Anda di halaman 1dari 19

Bagian 3

SUPER FOUNDATION
-Membangun Iman Sekokoh Karang-

Bilal bin Rabbah, ada yang kenal sama dia? Kalo kenal kayaknya enggak ya, tapi kalo tahu dan
pernah dengar ceritanya, sudah kan ya? Apa? Belum pernah dengar atau baca kisah tentang Bilal?
Heum, sepertinya buat teman-teman yang belum pernah mendengar atau membaca kisah-kisah
sahabat nabi, harus buruan membacanya. Sebab, dengan menyimak kisah-kisah mereka, maka kita
bakalan kagum, takjub, terpesona, mungkin nggak sedikit yang bakalan meleleh air matanya. Ya,
memang para sahabat nabi ini jaminan mutu secara kualitas keimanan maupun individunya
masing-masing.
Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bertutur tentang posisi para sahabatnya:
‫ِدِه‬
‫َخ ْيُر الَّناِس َقْر ِني ُثَّم اَّلِذ يَن َيُلوَنُه ْم ُثَّم اَّلِذ يَن َيُلوَنُه ْم ُثَّم َيِج يُء َقْو ٌم َتْس ِبُق َش َه اَدُة َأَح ْم َيِم يَنُه َو َيِم يُنُه‬

‫َش َه اَدَتُه‬
“Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian
zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan
sumpahnya mendahului persaksian.”
Di keterangan yang lain, dalam hadits ‘Aisyah r.a, ia berkata: “Seorang lelaki bertanya
kepada Rasulullah Saw: ‘Siapakah sebaik-baik manusia?’ Rasul Saw menjawab: ‘(Yaitu) kurun,
yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya’.
Dalam hadist yang termaktub di kitab Fathul-Bari, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani:
“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap,
maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku,
jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku
adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah
dijanjikan atas umatku”
Jadi gitu, semua sahabat nabi itu mulia, tidak ada yang lebih antara yang satu dengan
lainnya. Nah, kali ini kita bakal urai sedikit kisah Bilal bin Rabah, tentang gimana dia bisa memeluk
Islam, bahkan bukan hanya memeluk tapi juga kekeuh memegangnya. Bilal bin Rabah adalah
seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia). Lahir di daerah as-Sarah sekitar 43
tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang
budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Sebagaimana dikutip dari dalam Shuwar min
Hayati ash-Shahabah.
Bilal dibesarkan di kota Mekah sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat
ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum
kafir.
Saat Bilal masuk Islam, nggak banyak orang di Mekah yang masuk Islam. Tercatat yang
hampir berbarengan masuk Islam, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar
ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi,
dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Diriwayatkan, saat Rasulullah Saw dan Abu Bakar r.a berada di dekat sebuah gua, lewatlah
Bilal yang sedang menggembala kambing milik Abdullah bin Jad’an. Saat Rasulullah melihat Bilal
yang sedang bersama kambing tersebut beliau berkata, “Wahai penggembala, apakah engkau
memiliki susu?” Bilal menjawab, “Tidak ada, hanya kambing ini saja. Apabila kalian mau,
kusisihkan susunya hari ini untuk kalian.” Rasulullah berkata, “Bawa kemari kambingmu itu.”
Kemudian Rasulullah Saw bertanya kepada Bilal, “Apakah engkau telah mengenal Islam?
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah.” Bilal pun memeluk Islam berkat dakwah Rasulullah
tersebut dan memerintahkan Bilal agar menyembunyikan keislamannya. Bilal pun pulang dengan
kambingnya yang kantung susunya mengembung penuh.
Setelah hari itu, Bilal tetap menemui Rasulullah untuk menyajikan susu kambing dan belajar
Islam kepada beliau, sampai akhirnya orang-orang kafir Mekah mengetahui keislamannya. Mereka
menyiksa Bilal dengan siksaan yang berat. Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik
tanpa ampun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Dia, terus
disiksa, biasanya ketika matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir, orang-orang Quraisy
mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada
mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para
algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya
berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu
besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan
penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan
Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”. Bilal menjawab, “Lidahku
tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Kalo mereka lelah dan bosan menyiksa, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali
yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar
menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati
siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus
mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-
ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu
Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus
mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Selepas hijrah ke Madinah, Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Saw hidup. Selama
itu pula, Rasulullah Saw sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat
di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Saw mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri
untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Saw masih terbungkus kain kafan dan
belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak
sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir disana tak kuasa menahan tangis,
maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga
hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum
muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Al Akhir, ketika ajal telah dekat, Bilal memanggil istrinya dan berkata, “Alangkah gembiranya
aku, besok aku akan berjumpa dengan kekasihku, Rasulullah dan sahabatnya.” Bilal wafat di
Damaskus pada tahun 20 H. Saat itu ia berusia 60 sekian tahun.
[ilustrasi bilal atau budak hitam]

Itu tadi kisah salah seorang sahabat Nabi bernama Bilal bin Rabbah dalam memperoleh dan
mempertahankan keimanannya. Kisah Bilal ini mewakili kisah kelas ‘bawah’, ini menunjukkan kalo
Islam bisa dipeluk dan diyakini oleh siapa saja. Nah, kita kutipkan juga kisah keimanan dari
kalangan sahabat yang dari segi strata ekonomi bisa dibilang berkebalikan dari Bilal bin Rabbah.
Kisah tentang Mushab bin Umair. Kisah ini tentunya juga udah banyak yang pernah mendengar
atau membacanya. Kelewatan banget deh, kalo banyak yang belum tahu kisah tentang Musbah
bin Umair.
Mushab bin Umair, nama sebenaranya adalah Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin Abdu
Manaf al-‘Abdary al-Qursy. Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, 14 tahun setelah
kelahiran Nabi Saw yang dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54)
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda
yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya
adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya
merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr,
penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan
manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi
dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Makanya ia bertekad mendatangi
Nabi Saw di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya. Sejak saat itu ia rajin mengikuti
majelis yang diadakan oleh Rasulullah Saw.
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada
Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab.
Ibunya kecewa bukan kepalang, mengancam tidak akan makan dan minum serta terus berdiri
tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan
agamanya. Tapi hal itu tak menggoyahkan Mush’ab.
Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka, diisolasi dari
pergaulannya. Mush’ab juga mendapat siksaan fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini
tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang
menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah Saw di masjid. Lalu
muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki
tambalan. Ketika Rasulullah Saw melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang
ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR.
Tirmidzi No. 2476).
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang
mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi Saw mengutusnya untuk mendakwahi penduduk
Yatsrib, Madinah. Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi
tempat pilihan Nabi Saw dan para sahabatnya hijrah.
Pada saat dakwah periode Madinah, Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di
peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil
mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair r.a membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang
kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab
adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu
Mush’ab membaca ayat:

ۚ‫َو َم ا َحُمَّمٌد ِإاَّل َرُس وٌل َقْد َخ َلْت ِم ْن َقْبِلِه الُّر ُس ُل‬
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan
menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal
membaca ayat yang sama: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab
gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Setelah perang usai, Rasulullah Saw memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat
jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu
mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
‫ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِر َج اٌل َص َد ُقوا َم ا َعاَهُدوا َهَّللا َع َلْيِهۖ َفِم ْنُهْم َم ْن َقَض ٰى َنْح َبُه َوِم ْنُهْم َم ْن َيْنَتِظ ُرۖ َو َم ا َبَّد ُلوا َتْبِد ياًل‬
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah,
tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan
sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya
ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya,
terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan
kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.” Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke
Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
[ilustrasi yang bisa mewakilil Mushab berdawah di madinah]

Ditentang tapi diikuti


Sobat, dua kisah sahabat Nabi Saw tadi mewakili gambaran keimanan para sahabat sekaligus
kondisi dakwah di Mekah saat itu. Secara umum fragmen kehidupan masa sebelum Islam datang,
sebelum Rasulullah Saw mengenalkan Islam kepada penduduk Mekah, perilaku dan cara ibadah
orang-orang Mekah mengikuti perilaku nenek moyang mereka. Tradisi ini udah berlangsung
berpuluh-puluh tahun lamanya dan nggak ada yang menggugat.
Lalu perilaku dan tradisi itu ditegur oleh seorang pemuda yang diangkat sebagai nabi dan
Rasul, beliaulah Muhammad Saw. Pasti dong, kalo yang namanya sudah tradisi berpuluh tahun
ditentang bakalan marah. Nah, itulah reaksi yang terjadi dari para pemuka suku Quraisy. Kalo kita
pernah membaca sejarahnya, gimana tentangan orang-orang quraisy terhadap dakwah Rasulullah
Saw dan sahabatnya. Tapi meski mereka menentang risalah yang disampaikan Rasulullah Saw,
sebenarnya akal pikiran mereka nggak memungkiri bahwa apa yang disampaikan Muhammad Saw
itu benar, logis, masuk akal. Lha gimana nggak, wong Rasulullah Saw mengajak orang-orang
musyrikin Mekah untuk meninggalkan tradisi menyembah berhala, dimana berhala-hala itu nggak
sedikit pun bisa ngasih perlindungan kepada mereka. Bahkan ngasih perlindungan kepada diri
sendiri aja, berhala itu nggak bisa. Karena berhala-berhala itu hanya batu, kayu bahkan
sebagiannya lagi hanya dibuat dari tepung. Nah, argument kayak yang disampaikan Rasulullah Saw
kan nggak bisa dibantah, secara akal pikiran itu logis.
Tapi rupanya, nggak ada argument yang lebih kuat bagi mereka kecuali ‘tradisi nenek
moyang’. Jadi jawaban paling mentok mereka adalah ‘tradisi nenek moyang’. Disamping memang
dari para pemimpin suku sendiri ada semacam egoisme (gharizatul baqa’), ogah bin nggak sudi
kalo harus tunduk sama Muhammad, atau kalo dalam bahasa betawinya dalam pikiran pemimpin
suku itu, “Siapa sih Loe? Muhammad itu kan baru anak kemarin sore.”. Jadi 2 alasan itulah yang
bikin mereka terhalangi untuk iman kepada Risalah yang dibawa Muhammad Saw.
Namun bagi yang mereka yang hati dan pikirannya tersinari cahaya kebenaran serta
mengabaikan egoisme, nggak ada pilihan lain kecuali meyakini kerasulan Muhammad Saw seraya
memeluk Islam sebagai agama baru mereka. Mereka itulah yang kita kenal sebagai asabihunal
awaallun –pemeluk Islam pertama- di tanah Mekah, diantaranya para sahabat yang salah duanya
sudah kita simak kisahnya diatas tadi.
Sobat, tentu kalo dibandingkan secara jumlah antara yang beriman dan yang masih musyrik
di Mekah saat itu, sangat jauh bedanya. Masih lebih banyak yang musyrik. Tercatat dalam sejarah
selama berdakwah di Mekah kurang lebih 13 tahun, hanya beberapa orang yang bisa masuk Islam.
Makanya selama dakwah di Mekah, Rasulullah Saw dan para sahabatnya mendapat penentangan
yang luar biasa. Ada yang disiksa seperti Bilal bin Rabbah, ada yang dibunuh seperti Yasir dan
Istrinya, orang tua dari Amar bin Yasir. Rasulullah Saw sendiri juga nggak luput dari ejekan,
umpatan, dilempari kotoran onta, diinjak lehernya, sampe hampir dibunuh sebelum akhirnya
hijrah ke Madinah.
Peristiwa sejarah dakwah Rasulullah di Mekah ngasih pelajaran penting banget buat kita. Apa
kira-kira pelajaran dakwahnya? Ya, bahwa sebenarnya risalah Islam yang dibawa oleh Rasulullah
Saw dibenarkan oleh penduduk Mekah tapi nggak mereka peluk, gegara egoisme individu dan
kekeuhnya mereka pada ajaran nenek moyang. Namun disisi yang lain, meski ditentang habis-
habisan oleh kaum musyrikin Mekah, ternyata ada beberapa orang yang mengikutinya, yaitu para
sahabat. Dan kita bisa lihat bersama sekarang hasil dari risalah dan dakwah Rasulullah Saw
tersebut, Islam nggak terbendung jumlah pengikutnya.
Nggak kebayang kan, kalo misal aja Rasulullah Saw saat itu putus asa dan nggak ada para
sahabat yang kualitas imannya tak diragukan lagi. Jelas, Islam nggak bakal eksis sampe sekarang
ini. Lihat dan bacalah sejarah perikehidupan para sahabat saat itu, nggak sejengkal pun mereka
mundur, atau meletakkan Islam begitu saja. Sebaliknya, mereka juga bersama Rasulullah Saw
menyebarkan risalah Islam kepada penduduk Mekah, meski harus berhadapan dengan kefanatikan
musyrikin quraisy. Subhanallah, Allahu Akbar!
Maka pertanyaan pentingnya “apa rahasianya para sahabat saat itu, walaupun ditentang
hampir seluruh penduduk mekah, tapi mereka bisa memiliki dan mempertahankan iman yang
super duper keren?”. Lanjut ke pertanyaan kedua “bisakah kita saat ini, memiliki iman sekualitas
para sahabat?”

Inilah rahasianya
Rahasia hebatnya iman para sahabat sebenarnya terletak pada Islam itu sendiri. Karena Islam
ini agama yang sesuai fitrah manusia dan dalam proses keimanan melalui proses berpikir (aqidah
aqliyah). Metode keimanan melalui proses berfikir merupakan ciri khas agama tauhid. Sobat
pembaca tentu ingat kan waktu kita masih SD pernah diceritain sama guru kita tentang kisanh
Nabi Ibrahim? Ya, kisah Nabi Ibrahim ketika berdakwah tauhid kepada kaumnya juga mengajak
berpikir logis tentang tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Khaldan.
Menurut buku kisah-kisah 25 nabi dan mukjizatnya, Nabi ibrahim as adalah putera dari
Aaazar bin tahur bin saruj rau’ bin falij bin aaabir bin syalih bin arfakhsyad bin saam bin nuh as.
Ayahnya adalah pembuat patung untuk sesembahan. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama
“Faddam Aram” dalam kerajaan “Babylon” yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja
bernama “Namrud bin kan’aan”. Pada suatu ketika Namrudz mendapat firasat yang menunjukkan,
bahwa kelak akan lahir seorang anak laki-laki yang dapat menggulingkan kekuasaannya. Maka
Namrudz mengeluarkan undang-undang kerajaan, bahwa tidak boleh ada satupun yang hidup dari
bayi laki-laki dalam tahun ini. Tanpa ada rasa kemanusiaan semua bayi laki-laki yang baru saja lahir
langsung dibunuh.
Ketika Nabi Ibrahim dilahirkan, ayahnya tidak kuasa untuk membunuh anaknya, nabi Ibrahim
kemudian dibuang saja oleh ayahnya ke dalam hutan dengan angapan nabi Ibrahim bakal mati
juga dimakan binatang buas. Tetapi kehendak Allah diluar kemampuan akal manusia, nabi Ibrahim
dalam penjagaan Allah sehingga tak satupun binatang buas yang berada didalam hutan
mengganggu atau memakannya.
Setelah selang beberapa lama kemudian, ayah beserta ibunya mencoba menengok anaknya
di gua tempat Nabi Ibrahim disembunyikan. Selama satu tahun nabi Ibrahim tinggal didalam gua,
setelah umur nabi Ibrahim satu tahun, orang tuanya membawa nabi Ibrahim pulang kerumah,
karena masa pemberlakuan undang-undang telah berakhir. Semakin hari nabi Ibrahim semakin
dewasa, ia pun mulai bertanya kepada orang tuanya, siapa yang menciptakan alam.
"Wahai ibu dan ayahku, siapa yang telah menjadikan aku ini? Jawab ayahnya, ''Ayah dan Ibu
yang menjadikan kamu, karena kamu lahir disebabkan kami". Kemudian Ibrahim bertanya lagi:
"Dan siapa pula yang menjadikan Ayah dan Ibu? Jawab orang tuanya: "Ya Kakek dan nenekmu."
Demikian tanya jawab seterusnya sampai ketitik puncak, nabi Ibrahim menyatakan: "Siapakah
orang pertama yang menjadikan semua ini? Maka orang tuanya tidak bisa menjawab, karena
mereka tidak tahu kepada Tuhan. Ibrahim kemudian bertanya kepada orang lain, namun mereka
semua tidak bisa menjawab. Nabi Ibrahim kemudian menggunakan akal dan pikirannya untuk
mencari Tuhan Sang Pecipta alam semesta ini, karena akal manusia sangat terbatas, nabi Ibrahim
gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya yang telah menciptakan alam semesta ini.
Firman Allah Swt. "Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang, katanya: Inilah
Tuhanku...? Maka setelah dilihatnya bintang terbenam, ia berkata: Saya tidak akan berTuhan
pada yang terbenam. Kemudian ketika melihat bulan purnama, iapun berkata lagi: Inilah
Tuhanku...? Setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya berTuhan kepada bulan itu, seraya
berkata: Sungguh kalau tidak Tuhan yang memberi petunjuk, tentu saya menjadi sesat. Maka
ketika siang hari, nampak olehnya matahari yang sangat terang, ia pun berkata: Inikah Tuhanku
yang sebenarnya...? Inilah yang lebih besar. Setelah matahari terbenam, iapun berkata: Hai
kaumku! Saya tidak mau mempersekutukan Tuhan seperti kamu. Saya hanya bertuhan yang
menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan sekali-kali saya tidak mau menyekutukanNya." (QS.
Al-An'am: 76-79).
Itulah sejarah singkat cara Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan dengan menggunakan proses
berpikir dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dan cara berpikir atau menggunakan akal pikiran
itulah yang juga diajarkan kepada kaumnya.
[ilustrasi yang mewakili nabi Ibrahim berdakwah di kaumnya]

Nah, demikian juga Risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw untuk bisa melalui proses
keimanan harus melalui proses berpikir. Proses berpikir yang dimaksud, disini bisa dilihat dari
seruan Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali-Imran: 190)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Ar-Rum: 22)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.Al-Baqarah: 164)
Dan masih banyak surat yang didalamnya Allah selalu menyebutkan tentang orang-orang
yang berakal dan memikirkan apa apa yang Allah telah ciptakan yang dari sini kita bisa
menyimpulkan bahwa manusia di tuntut beriman melalui proses berpikir. Jadi dalam beriman kita
nggak boleh bertaklid alias nggak boleh ikut-ikutan.
Kalo diibaratkan Islam itu istana nan megah, maka keimanan atau akidah adalah pondasinya.
Kalo ingin bangunan istana teguh terpancang, wajiblah pondasi kokoh mengakar. Orang arsitek
bilang, pondasi cakar ayam. Bukan cakar cacing. Kalau pondasinya rapuh, umur bangunan dijamin
nggak akan lama. Digoyang gempa ‘lini’ alias gempa kecil aja langsung ambruk. Hei, itu istana atau
gubuk!
Namanya pondasi, tempatnya bukan dipermukaan. Letaknya di dalam tanah, tersembunyi.
Nggak keliatan kasat mata, tapi cukup kerasa keberadaannya saat bangunan berdiri kokoh. Pun
begitu dengan keimanan. Orang lain nggak bisa lihat kadar keimanan seseorang. Hanya Allah yang
Tahu. Tapi bisa tergambar dalam perilakunya. Saat iman sedang rapuh, boleh jadi tingkah lakunya
mudah tergoda setan dan bermaksiat. Sebaliknya, saat iman begitu kokoh kumandang jihad pun
akan dijabanin dengan sepenuh hati, seperti iman yang dimiliki oleh para sahabat.

Iman Melalui Berpikir, Iman Kokoh


Kalo sobat pembaca menyimak firman-firman Allah yang disebutkan diatas tadi tentang
proses keimanan melalui berpikir, maka disitu bisa dilihat kalo berpikirnya bukan sembarang
berpikir, melainkan berpikir tentang ‘penciptaan’. Sehingga keimanan itu lahirnya dari
pemahaman tentang sang Pencipta, kehidupan ini, dan akhirat. Kalo pemahaman akan ketiga hal
ini bener bin kokoh, insya Allah keimanannya mantab. Tapi kalo pemahamannya lemah, alamat
gampang digoyang tuh keimanan.
Kalo Islam itu diibaratkan istana nan megah, maka keimanan atau akidah, adalah pintu
masuknya. Kalo gitu, setiap muslim harus tahu tentang cara mencapai pintu iman. Salah memilih
jalan, maka akan salah pula tempat sampainya. Kata pepatah, ada seribu jalan menuju Roma.
Namun hanya satu jalan yang benar membangun keimanan. Satu jalan itu adalah berpikir.
Hanya berpikir? Sesederhana itukah membangun keimanan? Ya, betul. Sederhana memang.
Berpikirlah agar cahaya iman tetap menyala dalam hati. Kalau kadang redup, kadang pula
berkobar-kobar, itu wajar. Maka jagalah agar cahaya iman terus berpendar terang. Caranya
bagaimana? Mudah saja, kata Imam As-Syuti dalam Kitabnya Ad Durrul Mantsur. Cahaya dan sinar
iman, adalah dengan banyak berpikir. Ya, memang begitu. Rasulullah mendidik para sahabat
terkasihnya antara mengaitkan iman dengan aktivitas berpikir.
Berpikir memang jalan menuju akidah yang teguh. Bukan asal berpikir. Tapi berpikirlah yang
menyeluruh. Tentang manusia, kehidupan dan alam semesta. Juga pikirkan tentang keterkaitan
antara ketiganya dengan sesuatu yang ada sebelum alam kehidupan dan sesudah kehidupan.
Coba, pelan-pelan baca lagi serangkai kalimat yang dicetak miring itu. Bagaimana, bingungkah?
Jika bingung, itu pertanda proses berpikir telah terjadi. Dan itu adalah modal untuk beriman.
Kalo berpikir itu senjata kita, maka kenalilah dia baik-baik. Cermati setiap bagian-bagiannya.
Biar nanti nggak salah menggunakan. Berpikir itu sebenarnya adalah serangkaian proses yang
melibatkan empat unsur. Kalo salah satunya nggak ada, prosesnya nggak bisa berjalan. Kalaupun
dipaksa berjalan, dia akan pincang. Satu-satu komponen berpikir, akan kita bahas.
Pertama, harus ada fakta. Nah di sinilah perbedaan antara berpikir dan menghayal. Pernah
menonton film yang menggambarkan setan dengan mata merah? Punya tanduk. Badannya hitam
legam. Matanya bulat melotot. Di tangannya memegang tombak bermata tiga. Ini namanya
mereka-reka, berkhayal tentang wujud setan. Sama juga, bagi mereka yang berusaha melukiskan
tuhannya. Ada yang menggambarkan tuhan seperti lelaki rupawan. Rambutnya gondrong terurai
dan tangannya ada enam. Ah, macam-macam bentuknya. Sesuai khayalan masing-masing orang.
Menulusuri tentang bentuk tuhan, itu berkhayal namanya. Karena manusia, belumlah pernah
mengindera bentuk tuhan.
Allah tidak pernah memerintahkan manusia untuk mengkaji seperti apa bentuk Allah.
Bulatkah? Segitigakah? Berwajah menawan seperti Dewa Krishna atau berbadan kurus, berambut
keriting seperti Budha? Yang Islam perintahkan adalah meyakini bahwa Allah itu ada. Itu saja. Dan
untuk meyakini sesuatu, tidak perlu mengajukan syarat: Harus dilihat dulu. Seumpama angin. Saat
angin berhembus menerpa kulit, kita yakin angin itu ada. Tapi pernahkah ada yang tahu pasti
bentuk angin? Tidak ada.
Kedua, panca indra. Tiap-tiap manusia telah Allah anugerahi lima indera yang siap
menjalankan tugas masing-masing. Sederhananya, guna indra adalah merasakan dunia diluar
tubuh. Aktivitas berpikir akan berjalan, bila ada indra sebagai perantara. Bagaimana hendak
mengindra indahnya dunia? Ada mata, yang teramanahi untuk melihat. Mendengar merdunya
suara, itu tugas telinga. Karena dia yang bisa mendengar. Jadi bila indra yang lima tidak bekerja
sebagaimana seharusnya, maka proses berpikir pun tidak bisa berjalan sempurna.
Pernah satu masa, Napoleon Bonaparte bertitah kepada prajurtinya, “Ma sacre toux!” (Itu
artinya batuk sialan. Memang saat itu, Napoleon sedang batuk-batuk). Suara Napolean adalah
fakta. Telinga para prajuritnya adalah indra. Sialnya, indra pendengaran para prajurit mendengar
raja berkata, “Massacrez tous!” (mirip kedengarannya, namun maknanya jauh berbeda. Artinya:
Bunuh semua). Akibat itu, para tahanan dibunuh. Jadi berhati-hatilah. Jaga dan “pasang” indra
baik-baik. Lalu amati fakta cermat-cermat. Salah mengindra akan salah berkesimpulan. Ujung-
ujungnya, salah mengambil sikap.
Ketiga, adalah otak. Untuk ini, sulit rasanya ada yang tidak bersepakat. Otak satu komponen
yang begitu menentukan dalam berpikir. Otak adalah salah satu anugerah terhebat yang Allah
berikan. Otak menjadi pusat pemrosesan segala rupa informasi yang ditangkap oleh fakta, oleh
panca indra. Beratnya memang hanya sekitar 1 kg. Namun kemampuan kerjanya, luar biasa. Sel-
sel yang mendiami otak, ada triliunan jumlahnya. Kalau sehari sel otak yang mati itu satu juta,
maka dalam usia 100 tahun, manusia hanya kehilangan 3,6% sel otaknya. Otak ternyata mampu
bekerja melakukan 400 juta proses penghitungan setiap menit. Ini hanya segelintir kemampuan
otak. Konon manusia hanya menggunakan 12% kemampuan otaknya. Sisanya, 88% tidak
digunakan. Sungguh sayang, jika otak yang telah dianugerahi ini, tidak digunakan maksimal.
Apalagi bila sampai digunakan untuk melawan Sang Pemberi otak, Allah SWT.
Punya otak, belum tentu punya akal. Hewan punya otak, tapi tidak berakal. Inilah bedanya
dengan manusia. Otak manusia punya kemampuan untuk mengaitkan empat komponen berpikir.
Fakta, indera, otak dan informasi terdahulu (untuk yang terakhir, segera akan kita bahas). Maka
berpikirlah, lalu berimanlah. Karena itu pembeda kita dengan hewan. Kalau sudah begitu, nikmat
Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Keempat, informasi terdahulu. Tanpa ini, manusia tak bisa berpikir. Sekalipun ia memaksa
untuk melakukannya. Alkisah, pernah terjadi pada Nabi Adam dan malaikat. Ketika Allah bertanya
kepada malaikat, tentang nama-nama benda yang asing. Benda yang tak pernah dilihat malaikat
sebelumnya. Abadilah kisah itu dalam Al Baqarah: 31-33.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya. Kemudian Dia
perlihatkan kepada malaikat, seraya berfirman, ‘Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini,
jika kamu yang benar!’ Mereka menjawab, ‘Maha suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain
apa yang telah Engkau Ajarkan kepada kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mengaetahui,
Maha Bijaksana.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Wahai Adam! Beritahulah kepada mereka nama-nama
itu!’ Setelah dia (Adam) menyebut nama-namanya, Dia berfirman, ‘Bukankah telah Aku katakan
kepadamu, bahwa Aku Mengetahui rahasia langit dan bumi, dan Aku Mengetahui apa yang kamu
nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?”
Malaikat, makhluk suci yang tak pernah membangkang, tidak berani mereka-reka nama
benda yang tidak diketahuinya. Lalu teramanahkan kepada Nabi Adam untuk memberi tahu.
Mengajari para malaikat. Nah apa beda antara Nabi Adam dan malaikat? Nabi Adam memiliki
informasi tentang benda-benda. Adapun malaikat, mereka tidak punya. Pada Nabi Adam, terjadi
proses berpikir. Sementara malaikat, tidak.
Coba berikan buku ini pada orang yang tak bisa membaca. Anak kecil belia atau mereka yang
buta warna. Sekata pun tidak bisa dibaca. Karena mereka tidak punya informasi terdahulu. Mereka
tidak pernah tahu, kalau huruf “b” dirangkai dengan “a” maka akan dibaca “ba”. Mari cermati
orang yang sedang menyelesaikan soal ujian. Ada yang bisa menjawab benar. Ada yang salah. Ada
juga yang tidak tahu apa-apa. Padahal punya indra yang sama. Lima jumlahnya. Mempelajari
materi pelajaran yang sama, dari guru yang sama pula. Otak pun masing-masing punya, sudah
dijatah oleh Allah. Bedanya adalah pada informasi terdahulu. Yang memiliki informasi terdahulu
terkait soal yang sedang dikerjakan, insya Allah bisa menjawab. Jadi, itulah guna belajar
sebenarnya. Belajar gunanya untuk mendapatkan informasi terdahulu. Atau mengulang informasi
terdahulu yang mungkin terlupa. Diulang lagi, dibaca lagi, agar diingat kembali.
Itulah komponen berpikir. Semuanya ada empat. Semoga sudah tergambar, apa itu berpikir.
Berpikir (aktivitas akal) adalah proses mencerap fakta menggunakan indera. Bisa dengan melihat,
mencium, mendengar juga meraba. Lalu oleh saraf, dikirimkan ke otak untuk dihubungkan dengan
berbagai informasi terdahulu yang telah tersimpan.
[bagan sederhana, tentang keterkaitan 4 komponen: otak, informasi indera dan fakta]

Kokoh atau keroposnya keimanan, tergantung dari kualitas berpikir yang digunakan. Jika
kualitas berpikirnya semakin baik, maka keimanan yang dipunyai pun semakin teguh. Kalau
dangkal cara berpikirnya, keimanan bisa didapat. Ya, tapi keimanan yang alakadarnya pula.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar
(mamusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-
5)
Allah, kalo memerintahkan manusia untuk berpikir, pasti mengarahkannya pada sesuatu
yang faktanya bisa diindra. Surat Al-Alaq, telah membuktikannya. Manusia diajak untuk beriman
kepada Allah, dengan menyeksamai sesuatu yang jelas faktanya. Lagi terjadi dekat dengan kita. Ya,
proses penciptaan manusia. Awalnya dari segumpal darah. Melalui serangkaian proses yang
menakjubkan, sampai bayi yang terlahir ke dunia. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah.
Mari kita lakukan sedikit simulasi sederhana. Tentang cara meyakini Allah, dengan pasti
tanpa ragu, dengan “membaca” proses penciptaan manusia. Manusia itu asalnya dari cairan mani.
Cairan hina lagi menjijikkan.
“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan? Dia diciptakan dari air
memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan.” (QS. At-
Thariq: 5-7)
Dan dalam al-Mursalat ayat 20, Allah bertanya dengan gaya yang sungguh retoris.
Menyinggung dan menyadarkan, “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?”
Konon sekali keluar, jumlah sperma bisa 20-40 juta. Ini setara dengan empat kali jumlah
jama’ah haji. Dari 40 juta, hanya satu yang berhasil membuahi ovum. Luar biasanya, sperma tidak
pernah tahu tentang bentuk ovum. Tapi sperma tak pernah salah mendatangi ovum. Sperma juga
tak pernah tahu sebelumnya, di mana letak ovum. Menakjubkannya, sperma tidak pernah salah
jalan. Siapa yang menuntun penjelajahan sperma mencari ovum? Mungkinkah bergerak sendiri,
tanpa ada kuasa yang memandunya? Tentu tidak. Untuk mereka yang masih berpikir cerdas, pasti
percaya, ada kekuatan yang memandunya. Pada saat itulah, kekuasaan Allah bekerja. Amati,
pikirkan lalu imani Allah, pencipta segalanya.
Saat telah bersatu dan menjadi janin, jumlah kromosomnya 46 buah. Ada 23 dari laki-laki
dan 23 dari perempuan. Siapa yang berkuasa menentukan jumlah 46? Mengapa tidak 48 saja?
Bukankah sama-sama bilangan genap? Tidak mungkin manusia yang menentukan. Jika dipikirkan
dan terus ditelusuri, ada satu Maha Kuat dan Maha Kuasa yang turut campur. Allah SWT.,
jawabnya.
Ayo, sekarang kita berpikir tentang air. Tanpanya kehidupan tidak pernah ada. Tentu semua
sudah tahu, rumus kimia air. Betul H2O. Ada dua atom hidrogen berikatan dengan satu atom
oksigen. Hidrogen dan oksigen, wujud awalnya gas. Namun setelah berikatan jadilah cair, seperti
air. Sekarang pertanyaannya, siapakah yang menentukan komposisi kimia air? Siapakah yang
menetapkan perbandingan 2 : 1 untuk hidrogen dan oksigen? Andai saja komposisinya berubah,
dua atom hydrogen berikatan dengan dua atom oksigen, H2O2, niscaya air tak akan terbentuk.
Justru akan menjadi larutan asam peroksida. Ini adalah asam keras. Bisa menimbulkan iritasi kalau
terkena kulit. Dan siapa pula yang menentukan, pada 100 derajat celcius, air akan mendidih? Dan
pada titik 0 derajat akan membeku? Untuk yang jernih pikirnya, akan berujung pada satu jawaban.
Dialah Allah SWT.
Jadi begitulah ringkasnya. Beriman melalui jalan berpikir. Sehingga siapapun dia, kalo mau
berpikir dan dibimbing dalil, insya Allah akan sampai pada gerbang iman. Karena ada banyak
ajakan Allah kepada manusia, untuk berpikir, memerhatikan segala fakta yang ada. Kalo semuanya
yang diciptakan, karena ada yang menciptakan. Nggak ada yang bisa memungkiri hal itu, baik
secara akal pikiran maupun perasaan. Lalu berujung pada kesimpulan, bahwa satu-satunya
Pencipta yang Maha Sempurna adalah Allah.

Membawa Iman dalam Keseharian


Lalu gimana selanjutnya membawa iman itu dalam keseharian kita? Karena persoalannya,
kita bisa liat dengan mata dan kepala kita sendiri, banyak yang ngaku iman, banyak yang sudah
bersyahadat, toh mereka masih aja ada yang mencuri lah, korupsi lah, pacaran lah, narkoba lah,
dan lain sebagainya. Apakah mereka nggak punya iman? Kalo dilihat KTPnya Islam, ada di antara
mereka yang sholat, berkerudung, rajin sedekah, dll.
Nah disinilah penting kita ketahui kalo masalah iman itu nggak sekedar diucapkan di lisan.
Seorang muslim, nggak cukup sekedar mengucap syahadat setelah itu selesai, nggak ada
konsekuensinya. Bukan gitu, nggak begitu. Sebagaimana definisi iman dalam kitab tauhid, menurut
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih bahwa iman adalah pembenaran
dengan hati, pengakuan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan.
Pembenaran dengan hati dengan cara berpikir, sudah kita bahas panjang lebar tadi. Lalu
pengakuan dengan lisan dibuktikan dengan mengucapkan kalimat syahadat Asyhadu an laa
illaaha illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah dan satu bahasan lagi yakni amal
dengan anggota badan, yang mana sebenarnya dua kalimat syahadat dan beramal dengan badan
adalah dua bahasan yang nggak dipisah. Ya, seperti tadi sudah disinggung, banyak yang ngaku
iman, percaya sama Allah tapi nol besar dalam aktivitas sehari-harinya sebagai muslim.
Coba perhatikan sindiran Allah dalam ayat berikut yang artinya: “Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ”Kami telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi?[2]. Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka
sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui
orang-orang yang dusta,[3]. (QS. Al Ankabut: 2-3)
Dari ayat di atas kita bisa serap dua hal: (1) Seorang muslim nggak cukup iman dalam bentuk
omongan lisan; (2) Kelanjutan dari pengakuan iman adalah terikat apa yang dia Imani. Kedua hal
itu saling kait mengait, nggak bisa dipisahin, karena konsekuensi dari keimanan adalah bukti
terikat dengan hukum yang Allah turunkan. Makanya Allah butuh bukti, sehingga bisa diketahui
siapa orang yang bener-benar beriman dan siapa yang dusta.
Kalo dikaitkan dengan pembahasan “penciptaan”, maka diciptakannya kita (manusia) oleh
Allah yang kita yakini keberadaannya sebagai pencipta, harus berlanjut pada keterikatan pada
hukum yang telah Allah buat untuk kita. Karena itu masih masuk bagian dari iman, yakni
konsekuensi dari iman. Sehingga aktivitas kita selama di dunia sebagai mahluk selalu diperhatikan
dan dinilai (dihisab) oleh Allah SWT.
Nah, kalo udah jelas bahwa diri kita dan hidup yang kita jalani ini diciptakan oleh Allah SWT,
setelah kita bisa ngejalani hidup, pastinya maut bakal ngejemput kita. Secara singkat bisa dijelasin
begini, bahwa kita dulunya tidak ada (bayi), kemudian menjadi ada (di dunia), dan akhirnya tidak
ada lagi (mati).
Maka, dari mana kita berasal, untuk apa kita hidup dan kemana setelah kita mati merupakan
pertanyaan mendasar yang kudu kita jawab, agar kita bisa ngejalani hidup lebih terarah dan punya
jalur yang jelas. Atau kalo pinjam istilahnya Syekh Taqiyudin, tiga pertanyaan besar itu disebut
uqdatul kubro alias simpul besar, karena dengan terurainya simpul besar ini maka akan terjawab,
pertanyaan-pertanyaan cabang (simpul-simpul kecil) seputar hidup kita.
Ketika kita bisa mengkaitkan pertanyaan dari mana kita berasal dengan hidup yang sekarang
kita jalani, itu artinya kita sedang mencari kaitan penciptaan diri kita dengan hubungan perintah
atau larangan dari Sang Pencipta. Sekaligus mencari dan mengikatkan perbuatan kita dengan
pertanggungjawaban nanti ketika kembali kepada Allah. Allah sebagai Al Khaliq (Pencipta)
sekaligus Al Mudabir (Pengatur).
[bagan uqdatul kubro]

Analoginya gini, ambil contoh kalo emak kamu bikin pisang goreng yang paling lezat
sekampungmu --wah, pisang goreng, bikin ngiler aja neh--, pasti orang bakalan merujuk ke
emakmu gimana cara bikin pisang goreng yang lezat tadi, karena emang emakmu koki handal yang
bikin pisang goreng itu. Nah, sama ajalah, ketika kita diciptakan oleh Allah SWT, maka udah pasti
rujukan segalanya tentang kelemahan dan kelebihan “barang ciptaannya” hanya Allah SWT, maka
amat sangat benar jika Allah yang berhak bikin hukum (perintah/larangan) buat manusia. Dan
sebagai manusia kewajiban kita adalah mentaati aturan tersebut, sebagai manifestasi ibadah
kepada Allah SWT. Ibadah itu sendiri merupakan kesadaran hubungan dirinya dengan sang
pencipta yakni Allah SWT.
Sedangkan ketika kita berpikir kaitan antara hidup yang kita jalani dengan pertanyaan kemana
setelah kita mati, maka itu hubungannya dengan hari pembangkitan atau hisab amal kita.
Layaknya seorang pegawai, bakalan dimintai progress dari tugas yang dia lakuin oleh atasannya.
Nggak berbeda dengan itu, ketika kita hidup di dunia mengemban tugas untuk beribadah kepada
Allah, maka sangat logis kalo Allah minta kita mempertanggungjawabkan tugas kita. Kalo ternyata
kita ngerjain tugas dengan sukses, maka Allah udah nyediain ganjaran surga, tapi buat yang gagal
dalam bertugas, Allah nggak segan-segan masukin kita ke neraka.
Ketika keterkaitan antara sebelum kita ada, sekarang hidup di dunia dan nantinya tidak ada
lagi, bisa dipikirkan dengan benar serta dijawab dengan jawaban yang benar pula, maka itu artinya
kita udah bisa berpikir tentang hidup kita musti ngapain. Nggak mungkin kita ngejalani hidup ini
santai atau seenake udele dhewe tanpa mempedulikan aturan Allah, karena ternyata hidup kita
telah diatur oleh Allah dan nantinya juga ditanyai tentang hidup kita dipake untuk apa.
Setelah kita bisa ngejawab dengan shohih alias betul simpul besar tadi, itu artinya kita udah
punya landasan hidup atau bahasa islamnya kita punya aqidah (asas, dasar). Ibarat rumah yang
perlu pondasi, maka untuk ngejalani hidup yang serba luas dan penuh teka-teki ini kita sebagai
manusia juga kudu punya pondasi yang namanya aqidah tadi.
Makanya, biar dapat pondasi yang nggak asal pondasi buat keimanan, cari pondasi yang kuat.
Super foundation. Caranya, sekali lagi kamu harus bisa memecahkan tiga pertanyaan besar
tentang hidup tadi dengan jawaban yang benar, memuaskan akal dan bikin hati kamu jadi
tentram. Selanjutnya, secara otomatis itu jadi landasan pada setiap perbuatan yang kita hendak
lakukan. Bahasa kerennya mah dijadikan sebagai qaidah fikriyah alias landasan berpikir, dan
qiyadah fikriyah alias kepemimpinan berpikir.

Kenali Aqidah Sekuler


Sekuler? Apa lagi ini, sejenis makanan atau apa ini? Bukan, itu semacam istilah. Kalo menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sekuler artinya, bersifat duniawi atau kebendaan (bukan
bersifat keagamaan atau kerohanian). Menurut situs Wikipedia, sekulerisme secara istilah adalah
adalah sebuah ideologi yang menyatakan bahwa sebuah institusi atau harus berdiri terpisah
dari agama atau kepercayaan.
Di banyak literatur banyak dijelasin tentang asal muasal ide sekularisme dari akar sejarahnya
membatasi tugas rohaniawan hanya pada gereja-gereja, sementara untuk ngatur hidup manusia
diluar gereja diserahkan sepenuhnya kepada para cendekiawan. Ide sekularisme muncul dari
“kejeniusan” manusia, saking jeniusnya manusia bikin aturan buat dirinya sendiri.
Lalu apa kaitannya dengan pembahasan kita soal keimanan atau aqidah? Ya, ide sekularisme
adalah ide dasar dari peradaban selain Islam (Barat). Sekularisme juga masuk kategori aqidah,
pondasi dasar, karena dengan pijakan sekularisme itulah orang-orang Barat melakukan perbuatan.
Selayaknya kita sebagai muslim melakukan perbuatan didasarkan pada keimanan kita. Tapi jangan
salah, karena namanya aqidah maka bisa saja aqidah itu diadopsi oleh kaum muslimin. Iya, karena
kalo seorang muslim baik secara terang-terangan maupun sembunyi menyatakan diri tidak
bersedia diatur kehidupannya dengan Islam, itu artinya dia terindikasi terjangkit virus sekularisme.
Memisahkan antara urusan dunia dengan Islam.
Maka sangat jelas kalo ide itu ditransfer ke otak kaum muslim, maka muncullah manusia yang
berbodi Islam tapi berotak sekular. Jangan salah kalo ada yang dimintai komentarnya tentang
pornografi dalam seni, maka jawabnya “ah, kalo berbicara seni jangan bawa-bawa Islam dech”.
Nah, itu salah satu indikasinya muslim tapi terserang sekularisme. Sehingga ini menunjukan
dengan jelas bin pasti kepada kita, bahwa soal aqidah ini bukan soal main-main. Ini persoalan
mendasar, karena diatas pondasi aqidah itulah seluruh perbuatan, perkataan, pernyataan
seseorang dibangun.
Pastikan aja kalo kamu atau orang-orang terdekat kamu adalah muslim dan beraqidah Islam.
Gimana caranya? Gampang koq, diliat aja dari caranya berpikir. Maksudnya cara berpikir, bukan
berarti kalo berpikirnya memegangi jenggotnya yang tumbuh satu lembar dua lembar, itu berarti
memiliki pola pikir Islam. Bukan, bukan kayak gitu. Yang dimaksud cara berpikir Islami itu kalo
standar dia dalam memecahkan persoalan yang dia hadapi, dikembalikan kepada asas Islam,
bukan standar suka atau tidak suka, bukan pula standar dipilih kebanyakan orang atau sedikit
didukung orang.
Sobat, biar kamu bisa ngebedain dengan jelas antara Islam dengan sekularisme, simak aja
perbandingannya dalam menjawab uqdatul kubro, seperti yang kita ungkap tadi.
- Dari aspek pertanyaan: Darimana manusia berasal
Islam ngasih jawaban bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT, yang berarti mengakui
hubungan perintah dan larangan aturan Allah SWT.
Sementara sekularisme, memang ngakui kalo Tuhan menciptakan manusia tapi itupun secara
formalitas, artinya tuhan ibarat seorang pembuat jam, ketika jam dibikin maka jam akan
berputar dengan sendirinya. Demikian pula manusia menurut aqidah sekularisme, dia memang
diciptakan oleh tuhan, tapi manusia bebas ngatur hidupnya sendiri. Padahal kita tahu, kalo
manusia bikin aturan sendiri buat dirinya, karena manusia berhawa nafsu, maka akhirnya
muncul aturan, hukum atawa undang-undang yang dibikin berdasarkan hawa nafsunya yang
bikin undang-undang tadi.
- Dari aspek pertanyaan: Untuk apa manusia ada
Islam menjawab bahwa manusia setelah memahami dirinya diciptakan oleh Allah serta harus
memenuhi perintah dan larangan Allah, maka dia kudu beribadah kepada Allah sebagai wujud
ketundukan (pensucian/taqdis) kepada Allah SWT sebagai Sang Khalik.
Sekularisme karena dari pertanyaan awal tadi bahwa manusia bikin aturan sendiri, maka ketika
ada pertanyaan untuk apa dia hidup, jawabannya untuk mencari kesenangan hidup sepuas-
puasnya, tentu aja tanpa mempedulikan aturan Allah SWT. Akibatnya kita bisa liat, orang yang
beraqidah sekular, atau negara yang diatur dengan aturan sekular, mana bisa mensejahterakan
rakyatnya. Malahan asset yang jadi milik rakyat dijual, untuk memuaskan diri sendiri, sementara
rakyat dibiarkan kelaparan. Hubungan rakyat dengan penguasa, seperti hubungan atasan dan
bawahan atau antara juragan dengan babu. Kasihan memang.
- Dari aspek pertanyaan: kemana manusia setelah di dunia
Karena sedari awal Islam udah ngakui keberadaan Allah SWT, maka ketika manusia mati
kembalinya kepada Allah SWT, untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakuin di
dunia sebagai hamba Allah SWT.
Aqidah sekularisme pada dasarnya emang mengakui adanya hari pembangkitan atau kiamat,
tapi lagi-lagi itupun formalitas doang. Sebab dari awal sekularisme hanya memahami bahwa
Allah menciptakan manusia ibarat menciptakan jam. Kalo jamnya diminta kembali, ya no
problem. Artinya aqidah sekularisme tidak mengetahui atau memahami tentang perhitungan
amal/hizab di hari kiamat. Sehingga perbuatan yang telah mereka lakoni di dunia, menurut
mereka nggak ada hitungan amalnya. Pahala dan dosa, nggak ada dalam kamusnya orang
sekular. Surga dan neraka hanya formalitas.

Begitulah gambaran singkat tentang aqidah sekularisme dan perbedaanya secara mendasar
dengan aqidah Islam ketika menjawab tiga pertanyaan mendasar (uqdatul kubro). Jadi makin jelas
kalo aqidah Islam, atau keimanan dalam Islam harus dicapai melalui berpikir serta dibimbing oleh
wahyu (nash yang qath’i) itulah nanti akan jadi iman yang kokoh bin tangguh.
Kalo sudah mendapat dan membangun keimanan yang seperti itu, tinggal kita bawa dalam
kehidupan sehari-hari. Termasuk kesiapan kita untuk berhadapan dengan aqidah sekuler tadi di
arena kehidupan. Bahkan kita tidak hanya harus siap berhadapan, tapi kita juga harus
menyampaikan alias mendakwahkan Islam untuk bisa meghancurkan aqidah yang bertentangan
dengan Islam. Karena seperti itulah keadaan kehidupan akan selalu berlawanan antara yang haq
dan batil. Antara Islam dan Sekularisme.[]

Anda mungkin juga menyukai