SUPER FOUNDATION
-Membangun Iman Sekokoh Karang-
Bilal bin Rabbah, ada yang kenal sama dia? Kalo kenal kayaknya enggak ya, tapi kalo tahu dan
pernah dengar ceritanya, sudah kan ya? Apa? Belum pernah dengar atau baca kisah tentang Bilal?
Heum, sepertinya buat teman-teman yang belum pernah mendengar atau membaca kisah-kisah
sahabat nabi, harus buruan membacanya. Sebab, dengan menyimak kisah-kisah mereka, maka kita
bakalan kagum, takjub, terpesona, mungkin nggak sedikit yang bakalan meleleh air matanya. Ya,
memang para sahabat nabi ini jaminan mutu secara kualitas keimanan maupun individunya
masing-masing.
Dalam kitab Shahîhain, al-Bukhâri dan Muslim diriwayatkan dari hadits ‘Abdullah bin Mas’ûd
Radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bertutur tentang posisi para sahabatnya:
ِدِه
َخ ْيُر الَّناِس َقْر ِني ُثَّم اَّلِذ يَن َيُلوَنُه ْم ُثَّم اَّلِذ يَن َيُلوَنُه ْم ُثَّم َيِج يُء َقْو ٌم َتْس ِبُق َش َه اَدُة َأَح ْم َيِم يَنُه َو َيِم يُنُه
َش َه اَدَتُه
“Sebaik-baik manusia ialah pada zamanku, kemudian zaman berikutnya, dan kemudian
zaman berikutnya. Lalu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpah, dan
sumpahnya mendahului persaksian.”
Di keterangan yang lain, dalam hadits ‘Aisyah r.a, ia berkata: “Seorang lelaki bertanya
kepada Rasulullah Saw: ‘Siapakah sebaik-baik manusia?’ Rasul Saw menjawab: ‘(Yaitu) kurun,
yang aku hidup saat ini, kemudian kurun berikutnya, kemudian kurun berikutnya’.
Dalam hadist yang termaktub di kitab Fathul-Bari, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani:
“Sesungguhnya bintang-bintang itu adalah pengaman bagi langit. Jika bintang-bintang itu lenyap,
maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas langit. Aku adalah pengaman bagi sahabatku,
jika aku telah pergi maka akan datang apa yang telah dijanjikan atas sahabatku. Dan sahabatku
adalah pengaman bagi umatku, jika sahabatku telah pergi maka akan datang apa yang telah
dijanjikan atas umatku”
Jadi gitu, semua sahabat nabi itu mulia, tidak ada yang lebih antara yang satu dengan
lainnya. Nah, kali ini kita bakal urai sedikit kisah Bilal bin Rabah, tentang gimana dia bisa memeluk
Islam, bahkan bukan hanya memeluk tapi juga kekeuh memegangnya. Bilal bin Rabah adalah
seorang budak berkulit hitam dari Habsyah (sekarang Ethiopia). Lahir di daerah as-Sarah sekitar 43
tahun sebelum hijrah. Ayahnya bernama Rabah, sedangkan ibunya bernama Hamamah, seorang
budak wanita berkulit hitam yang tinggal di Mekah. Sebagaimana dikutip dari dalam Shuwar min
Hayati ash-Shahabah.
Bilal dibesarkan di kota Mekah sebagai seorang budak milik keluarga bani Abduddar. Saat
ayah mereka meninggal, Bilal diwariskan kepada Umayyah bin Khalaf, seorang tokoh penting kaum
kafir.
Saat Bilal masuk Islam, nggak banyak orang di Mekah yang masuk Islam. Tercatat yang
hampir berbarengan masuk Islam, seperti Ummul Mu’minin Khadijah binti Khuwailid, Abu Bakar
ash-Shiddiq, Ali bin Abu Thalib, ‘Ammar bin Yasir bersama ibunya, Sumayyah, Shuhaib ar-Rumi,
dan al-Miqdad bin al-Aswad.
Diriwayatkan, saat Rasulullah Saw dan Abu Bakar r.a berada di dekat sebuah gua, lewatlah
Bilal yang sedang menggembala kambing milik Abdullah bin Jad’an. Saat Rasulullah melihat Bilal
yang sedang bersama kambing tersebut beliau berkata, “Wahai penggembala, apakah engkau
memiliki susu?” Bilal menjawab, “Tidak ada, hanya kambing ini saja. Apabila kalian mau,
kusisihkan susunya hari ini untuk kalian.” Rasulullah berkata, “Bawa kemari kambingmu itu.”
Kemudian Rasulullah Saw bertanya kepada Bilal, “Apakah engkau telah mengenal Islam?
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah.” Bilal pun memeluk Islam berkat dakwah Rasulullah
tersebut dan memerintahkan Bilal agar menyembunyikan keislamannya. Bilal pun pulang dengan
kambingnya yang kantung susunya mengembung penuh.
Setelah hari itu, Bilal tetap menemui Rasulullah untuk menyajikan susu kambing dan belajar
Islam kepada beliau, sampai akhirnya orang-orang kafir Mekah mengetahui keislamannya. Mereka
menyiksa Bilal dengan siksaan yang berat. Bilal merasakan penganiayaan orang-orang musyrik
tanpa ampun. Berbagai macam kekerasan, siksaan, dan kekejaman mendera tubuhnya. Dia, terus
disiksa, biasanya ketika matahari tepat di atas ubun-ubun dan padang pasir, orang-orang Quraisy
mulai membuka pakaian orang-orang Islam yang tertindas itu, lalu memakaikan baju besi pada
mereka dan membiarkan mereka terbakar oleh sengatan matahari yang terasa semakin terik.
Orang Quraisy yang paling banyak menyiksa Bilal adalah Umayyah bin Khalaf bersama para
algojonya. Mereka menghantam punggung telanjang Bilal dengan cambuk, namun Bilal hanya
berkata, “Ahad, Ahad … (Allah Maha Esa).” Mereka menindih dada telanjang Bilal dengan batu
besar yang panas, Bilal pun hanya berkata, “Ahad, Ahad ….“ Mereka semakin meningkatkan
penyiksaannya, namun Bilal tetap mengatakan, “Ahad, Ahad….”
Mereka memaksa Bilal agar memuji Latta dan ‘Uzza, tapi Bilal justru memuji nama Allah dan
Rasul-Nya. Mereka terus memaksanya, “Ikutilah yang kami katakan!”. Bilal menjawab, “Lidahku
tidak bisa mengatakannya.” Jawaban ini membuat siksaan mereka semakin hebat dan keras.
Kalo mereka lelah dan bosan menyiksa, Umayyah bin Khalaf, mengikat leher Bilal dengan tali
yang kasar lalu menyerahkannya kepada sejumlah orang tak berbudi dan anak-anak agar
menariknya di jalanan dan menyeretnya di sepanjang Mekah. Sementara itu, Bilal menikmati
siksaan yang diterimanya karena membela ajaran Allah dan Rasul-Nya. Ia terus
mengumandangkan pernyataan agungnya, “Ahad…, Ahad…, Ahad…, Ahad….” Ia terus mengulang-
ulangnya tanpa merasa bosan dan lelah.
Suatu ketika, Abu Bakar Rodhiallahu ‘anhu mengajukan penawaran kepada Umayyah bin
Khalaf untuk membeli Bilal darinya. Umayyah menaikkan harga berlipat ganda. Ia mengira Abu
Bakar tidak akan mau membayarnya. Tapi ternyata, Abu Bakar setuju, walaupun harus
mengeluarkan sembilan uqiyah emas.
Selepas hijrah ke Madinah, Bilal menjadi muazin tetap selama Rasulullah Saw hidup. Selama
itu pula, Rasulullah Saw sangat menyukai suara yang saat disiksa dengan siksaan yang begitu berat
di masa lalu, ia melantunkan kata, “Ahad…, Ahad… (Allah Maha Esa).”
Sesaat setelah Rasulullah Saw mengembuskan nafas terakhir, waktu shalat tiba. Bilal berdiri
untuk mengumandangkan azan, sementara jasad Rasulullah Saw masih terbungkus kain kafan dan
belum dikebumikan. Saat Bilal sampai pada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi
(Aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, tiba-tiba suaranya terhenti. Ia tidak
sanggup mengangkat suaranya lagi. Kaum muslimin yang hadir disana tak kuasa menahan tangis,
maka meledaklah suara isak tangis yang membuat suasana semakin mengharu biru.
Sejak kepergian Rasulullah Saw, Bilal hanya sanggup mengumandangkan azan selama tiga
hari. Setiap sampai kepada kalimat, “Asyhadu anna muhammadan rosuulullaahi (Aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah)”, ia langsung menangis tersedu-sedu. Begitu pula kaum
muslimin yang mendengarnya, larut dalam tangisan pilu.
Al Akhir, ketika ajal telah dekat, Bilal memanggil istrinya dan berkata, “Alangkah gembiranya
aku, besok aku akan berjumpa dengan kekasihku, Rasulullah dan sahabatnya.” Bilal wafat di
Damaskus pada tahun 20 H. Saat itu ia berusia 60 sekian tahun.
[ilustrasi bilal atau budak hitam]
Itu tadi kisah salah seorang sahabat Nabi bernama Bilal bin Rabbah dalam memperoleh dan
mempertahankan keimanannya. Kisah Bilal ini mewakili kisah kelas ‘bawah’, ini menunjukkan kalo
Islam bisa dipeluk dan diyakini oleh siapa saja. Nah, kita kutipkan juga kisah keimanan dari
kalangan sahabat yang dari segi strata ekonomi bisa dibilang berkebalikan dari Bilal bin Rabbah.
Kisah tentang Mushab bin Umair. Kisah ini tentunya juga udah banyak yang pernah mendengar
atau membacanya. Kelewatan banget deh, kalo banyak yang belum tahu kisah tentang Musbah
bin Umair.
Mushab bin Umair, nama sebenaranya adalah Mush’ab bin ‘Umair bin Hasyim bin Abdu
Manaf al-‘Abdary al-Qursy. Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, 14 tahun setelah
kelahiran Nabi Saw yang dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54)
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda
yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya
adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya
merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr,
penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan
manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi
dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Makanya ia bertekad mendatangi
Nabi Saw di rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya. Sejak saat itu ia rajin mengikuti
majelis yang diadakan oleh Rasulullah Saw.
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada
Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab.
Ibunya kecewa bukan kepalang, mengancam tidak akan makan dan minum serta terus berdiri
tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan
agamanya. Tapi hal itu tak menggoyahkan Mush’ab.
Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka, diisolasi dari
pergaulannya. Mush’ab juga mendapat siksaan fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini
tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang
menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah Saw di masjid. Lalu
muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki
tambalan. Ketika Rasulullah Saw melihatnya, beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang
ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR.
Tirmidzi No. 2476).
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang
mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi Saw mengutusnya untuk mendakwahi penduduk
Yatsrib, Madinah. Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi
tempat pilihan Nabi Saw dan para sahabatnya hijrah.
Pada saat dakwah periode Madinah, Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di
peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil
mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair r.a membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang
kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab
adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu
Mush’ab membaca ayat:
َۚو َم ا َحُمَّمٌد ِإاَّل َرُس وٌل َقْد َخ َلْت ِم ْن َقْبِلِه الُّر ُس ُل
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan
menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal
membaca ayat yang sama: “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah
berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab
gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Setelah perang usai, Rasulullah Saw memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat
jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu
mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنيَن ِر َج اٌل َص َد ُقوا َم ا َعاَهُدوا َهَّللا َع َلْيِهۖ َفِم ْنُهْم َم ْن َقَض ٰى َنْح َبُه َوِم ْنُهْم َم ْن َيْنَتِظ ُرۖ َو َم ا َبَّد ُلوا َتْبِد ياًل
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah,
tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan
sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya
ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya,
terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan
kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.” Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke
Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
[ilustrasi yang bisa mewakilil Mushab berdawah di madinah]
Inilah rahasianya
Rahasia hebatnya iman para sahabat sebenarnya terletak pada Islam itu sendiri. Karena Islam
ini agama yang sesuai fitrah manusia dan dalam proses keimanan melalui proses berpikir (aqidah
aqliyah). Metode keimanan melalui proses berfikir merupakan ciri khas agama tauhid. Sobat
pembaca tentu ingat kan waktu kita masih SD pernah diceritain sama guru kita tentang kisanh
Nabi Ibrahim? Ya, kisah Nabi Ibrahim ketika berdakwah tauhid kepada kaumnya juga mengajak
berpikir logis tentang tuhan-tuhan yang disembah oleh kaum Khaldan.
Menurut buku kisah-kisah 25 nabi dan mukjizatnya, Nabi ibrahim as adalah putera dari
Aaazar bin tahur bin saruj rau’ bin falij bin aaabir bin syalih bin arfakhsyad bin saam bin nuh as.
Ayahnya adalah pembuat patung untuk sesembahan. Ia dilahirkan di sebuah tempat bernama
“Faddam Aram” dalam kerajaan “Babylon” yang pada waktu itu diperintah oleh seorang raja
bernama “Namrud bin kan’aan”. Pada suatu ketika Namrudz mendapat firasat yang menunjukkan,
bahwa kelak akan lahir seorang anak laki-laki yang dapat menggulingkan kekuasaannya. Maka
Namrudz mengeluarkan undang-undang kerajaan, bahwa tidak boleh ada satupun yang hidup dari
bayi laki-laki dalam tahun ini. Tanpa ada rasa kemanusiaan semua bayi laki-laki yang baru saja lahir
langsung dibunuh.
Ketika Nabi Ibrahim dilahirkan, ayahnya tidak kuasa untuk membunuh anaknya, nabi Ibrahim
kemudian dibuang saja oleh ayahnya ke dalam hutan dengan angapan nabi Ibrahim bakal mati
juga dimakan binatang buas. Tetapi kehendak Allah diluar kemampuan akal manusia, nabi Ibrahim
dalam penjagaan Allah sehingga tak satupun binatang buas yang berada didalam hutan
mengganggu atau memakannya.
Setelah selang beberapa lama kemudian, ayah beserta ibunya mencoba menengok anaknya
di gua tempat Nabi Ibrahim disembunyikan. Selama satu tahun nabi Ibrahim tinggal didalam gua,
setelah umur nabi Ibrahim satu tahun, orang tuanya membawa nabi Ibrahim pulang kerumah,
karena masa pemberlakuan undang-undang telah berakhir. Semakin hari nabi Ibrahim semakin
dewasa, ia pun mulai bertanya kepada orang tuanya, siapa yang menciptakan alam.
"Wahai ibu dan ayahku, siapa yang telah menjadikan aku ini? Jawab ayahnya, ''Ayah dan Ibu
yang menjadikan kamu, karena kamu lahir disebabkan kami". Kemudian Ibrahim bertanya lagi:
"Dan siapa pula yang menjadikan Ayah dan Ibu? Jawab orang tuanya: "Ya Kakek dan nenekmu."
Demikian tanya jawab seterusnya sampai ketitik puncak, nabi Ibrahim menyatakan: "Siapakah
orang pertama yang menjadikan semua ini? Maka orang tuanya tidak bisa menjawab, karena
mereka tidak tahu kepada Tuhan. Ibrahim kemudian bertanya kepada orang lain, namun mereka
semua tidak bisa menjawab. Nabi Ibrahim kemudian menggunakan akal dan pikirannya untuk
mencari Tuhan Sang Pecipta alam semesta ini, karena akal manusia sangat terbatas, nabi Ibrahim
gagal untuk mengetahui siapa sebenarnya yang telah menciptakan alam semesta ini.
Firman Allah Swt. "Ketika hari telah malam, Ibrahim melihat bintang, katanya: Inilah
Tuhanku...? Maka setelah dilihatnya bintang terbenam, ia berkata: Saya tidak akan berTuhan
pada yang terbenam. Kemudian ketika melihat bulan purnama, iapun berkata lagi: Inilah
Tuhanku...? Setelah bulan itu lenyap, lenyap pula pendapatnya berTuhan kepada bulan itu, seraya
berkata: Sungguh kalau tidak Tuhan yang memberi petunjuk, tentu saya menjadi sesat. Maka
ketika siang hari, nampak olehnya matahari yang sangat terang, ia pun berkata: Inikah Tuhanku
yang sebenarnya...? Inilah yang lebih besar. Setelah matahari terbenam, iapun berkata: Hai
kaumku! Saya tidak mau mempersekutukan Tuhan seperti kamu. Saya hanya bertuhan yang
menjadikan langit dan bumi dengan ikhlas dan sekali-kali saya tidak mau menyekutukanNya." (QS.
Al-An'am: 76-79).
Itulah sejarah singkat cara Nabi Ibrahim as. mencari Tuhan dengan menggunakan proses
berpikir dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dan cara berpikir atau menggunakan akal pikiran
itulah yang juga diajarkan kepada kaumnya.
[ilustrasi yang mewakili nabi Ibrahim berdakwah di kaumnya]
Nah, demikian juga Risalah Islam yang dibawa Rasulullah Saw untuk bisa melalui proses
keimanan harus melalui proses berpikir. Proses berpikir yang dimaksud, disini bisa dilihat dari
seruan Allah dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal” (QS. Ali-Imran: 190)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui” (QS. Ar-Rum: 22)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,
bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah
turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya
dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang
dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS.Al-Baqarah: 164)
Dan masih banyak surat yang didalamnya Allah selalu menyebutkan tentang orang-orang
yang berakal dan memikirkan apa apa yang Allah telah ciptakan yang dari sini kita bisa
menyimpulkan bahwa manusia di tuntut beriman melalui proses berpikir. Jadi dalam beriman kita
nggak boleh bertaklid alias nggak boleh ikut-ikutan.
Kalo diibaratkan Islam itu istana nan megah, maka keimanan atau akidah adalah pondasinya.
Kalo ingin bangunan istana teguh terpancang, wajiblah pondasi kokoh mengakar. Orang arsitek
bilang, pondasi cakar ayam. Bukan cakar cacing. Kalau pondasinya rapuh, umur bangunan dijamin
nggak akan lama. Digoyang gempa ‘lini’ alias gempa kecil aja langsung ambruk. Hei, itu istana atau
gubuk!
Namanya pondasi, tempatnya bukan dipermukaan. Letaknya di dalam tanah, tersembunyi.
Nggak keliatan kasat mata, tapi cukup kerasa keberadaannya saat bangunan berdiri kokoh. Pun
begitu dengan keimanan. Orang lain nggak bisa lihat kadar keimanan seseorang. Hanya Allah yang
Tahu. Tapi bisa tergambar dalam perilakunya. Saat iman sedang rapuh, boleh jadi tingkah lakunya
mudah tergoda setan dan bermaksiat. Sebaliknya, saat iman begitu kokoh kumandang jihad pun
akan dijabanin dengan sepenuh hati, seperti iman yang dimiliki oleh para sahabat.
Kokoh atau keroposnya keimanan, tergantung dari kualitas berpikir yang digunakan. Jika
kualitas berpikirnya semakin baik, maka keimanan yang dipunyai pun semakin teguh. Kalau
dangkal cara berpikirnya, keimanan bisa didapat. Ya, tapi keimanan yang alakadarnya pula.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Mulia. Yang mengajar
(mamusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-Alaq: 1-
5)
Allah, kalo memerintahkan manusia untuk berpikir, pasti mengarahkannya pada sesuatu
yang faktanya bisa diindra. Surat Al-Alaq, telah membuktikannya. Manusia diajak untuk beriman
kepada Allah, dengan menyeksamai sesuatu yang jelas faktanya. Lagi terjadi dekat dengan kita. Ya,
proses penciptaan manusia. Awalnya dari segumpal darah. Melalui serangkaian proses yang
menakjubkan, sampai bayi yang terlahir ke dunia. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah.
Mari kita lakukan sedikit simulasi sederhana. Tentang cara meyakini Allah, dengan pasti
tanpa ragu, dengan “membaca” proses penciptaan manusia. Manusia itu asalnya dari cairan mani.
Cairan hina lagi menjijikkan.
“Hendaklah manusia memperhatikan dari apa dia diciptakan? Dia diciptakan dari air
memancar, yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dengan tulang dada perempuan.” (QS. At-
Thariq: 5-7)
Dan dalam al-Mursalat ayat 20, Allah bertanya dengan gaya yang sungguh retoris.
Menyinggung dan menyadarkan, “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?”
Konon sekali keluar, jumlah sperma bisa 20-40 juta. Ini setara dengan empat kali jumlah
jama’ah haji. Dari 40 juta, hanya satu yang berhasil membuahi ovum. Luar biasanya, sperma tidak
pernah tahu tentang bentuk ovum. Tapi sperma tak pernah salah mendatangi ovum. Sperma juga
tak pernah tahu sebelumnya, di mana letak ovum. Menakjubkannya, sperma tidak pernah salah
jalan. Siapa yang menuntun penjelajahan sperma mencari ovum? Mungkinkah bergerak sendiri,
tanpa ada kuasa yang memandunya? Tentu tidak. Untuk mereka yang masih berpikir cerdas, pasti
percaya, ada kekuatan yang memandunya. Pada saat itulah, kekuasaan Allah bekerja. Amati,
pikirkan lalu imani Allah, pencipta segalanya.
Saat telah bersatu dan menjadi janin, jumlah kromosomnya 46 buah. Ada 23 dari laki-laki
dan 23 dari perempuan. Siapa yang berkuasa menentukan jumlah 46? Mengapa tidak 48 saja?
Bukankah sama-sama bilangan genap? Tidak mungkin manusia yang menentukan. Jika dipikirkan
dan terus ditelusuri, ada satu Maha Kuat dan Maha Kuasa yang turut campur. Allah SWT.,
jawabnya.
Ayo, sekarang kita berpikir tentang air. Tanpanya kehidupan tidak pernah ada. Tentu semua
sudah tahu, rumus kimia air. Betul H2O. Ada dua atom hidrogen berikatan dengan satu atom
oksigen. Hidrogen dan oksigen, wujud awalnya gas. Namun setelah berikatan jadilah cair, seperti
air. Sekarang pertanyaannya, siapakah yang menentukan komposisi kimia air? Siapakah yang
menetapkan perbandingan 2 : 1 untuk hidrogen dan oksigen? Andai saja komposisinya berubah,
dua atom hydrogen berikatan dengan dua atom oksigen, H2O2, niscaya air tak akan terbentuk.
Justru akan menjadi larutan asam peroksida. Ini adalah asam keras. Bisa menimbulkan iritasi kalau
terkena kulit. Dan siapa pula yang menentukan, pada 100 derajat celcius, air akan mendidih? Dan
pada titik 0 derajat akan membeku? Untuk yang jernih pikirnya, akan berujung pada satu jawaban.
Dialah Allah SWT.
Jadi begitulah ringkasnya. Beriman melalui jalan berpikir. Sehingga siapapun dia, kalo mau
berpikir dan dibimbing dalil, insya Allah akan sampai pada gerbang iman. Karena ada banyak
ajakan Allah kepada manusia, untuk berpikir, memerhatikan segala fakta yang ada. Kalo semuanya
yang diciptakan, karena ada yang menciptakan. Nggak ada yang bisa memungkiri hal itu, baik
secara akal pikiran maupun perasaan. Lalu berujung pada kesimpulan, bahwa satu-satunya
Pencipta yang Maha Sempurna adalah Allah.
Analoginya gini, ambil contoh kalo emak kamu bikin pisang goreng yang paling lezat
sekampungmu --wah, pisang goreng, bikin ngiler aja neh--, pasti orang bakalan merujuk ke
emakmu gimana cara bikin pisang goreng yang lezat tadi, karena emang emakmu koki handal yang
bikin pisang goreng itu. Nah, sama ajalah, ketika kita diciptakan oleh Allah SWT, maka udah pasti
rujukan segalanya tentang kelemahan dan kelebihan “barang ciptaannya” hanya Allah SWT, maka
amat sangat benar jika Allah yang berhak bikin hukum (perintah/larangan) buat manusia. Dan
sebagai manusia kewajiban kita adalah mentaati aturan tersebut, sebagai manifestasi ibadah
kepada Allah SWT. Ibadah itu sendiri merupakan kesadaran hubungan dirinya dengan sang
pencipta yakni Allah SWT.
Sedangkan ketika kita berpikir kaitan antara hidup yang kita jalani dengan pertanyaan kemana
setelah kita mati, maka itu hubungannya dengan hari pembangkitan atau hisab amal kita.
Layaknya seorang pegawai, bakalan dimintai progress dari tugas yang dia lakuin oleh atasannya.
Nggak berbeda dengan itu, ketika kita hidup di dunia mengemban tugas untuk beribadah kepada
Allah, maka sangat logis kalo Allah minta kita mempertanggungjawabkan tugas kita. Kalo ternyata
kita ngerjain tugas dengan sukses, maka Allah udah nyediain ganjaran surga, tapi buat yang gagal
dalam bertugas, Allah nggak segan-segan masukin kita ke neraka.
Ketika keterkaitan antara sebelum kita ada, sekarang hidup di dunia dan nantinya tidak ada
lagi, bisa dipikirkan dengan benar serta dijawab dengan jawaban yang benar pula, maka itu artinya
kita udah bisa berpikir tentang hidup kita musti ngapain. Nggak mungkin kita ngejalani hidup ini
santai atau seenake udele dhewe tanpa mempedulikan aturan Allah, karena ternyata hidup kita
telah diatur oleh Allah dan nantinya juga ditanyai tentang hidup kita dipake untuk apa.
Setelah kita bisa ngejawab dengan shohih alias betul simpul besar tadi, itu artinya kita udah
punya landasan hidup atau bahasa islamnya kita punya aqidah (asas, dasar). Ibarat rumah yang
perlu pondasi, maka untuk ngejalani hidup yang serba luas dan penuh teka-teki ini kita sebagai
manusia juga kudu punya pondasi yang namanya aqidah tadi.
Makanya, biar dapat pondasi yang nggak asal pondasi buat keimanan, cari pondasi yang kuat.
Super foundation. Caranya, sekali lagi kamu harus bisa memecahkan tiga pertanyaan besar
tentang hidup tadi dengan jawaban yang benar, memuaskan akal dan bikin hati kamu jadi
tentram. Selanjutnya, secara otomatis itu jadi landasan pada setiap perbuatan yang kita hendak
lakukan. Bahasa kerennya mah dijadikan sebagai qaidah fikriyah alias landasan berpikir, dan
qiyadah fikriyah alias kepemimpinan berpikir.
Begitulah gambaran singkat tentang aqidah sekularisme dan perbedaanya secara mendasar
dengan aqidah Islam ketika menjawab tiga pertanyaan mendasar (uqdatul kubro). Jadi makin jelas
kalo aqidah Islam, atau keimanan dalam Islam harus dicapai melalui berpikir serta dibimbing oleh
wahyu (nash yang qath’i) itulah nanti akan jadi iman yang kokoh bin tangguh.
Kalo sudah mendapat dan membangun keimanan yang seperti itu, tinggal kita bawa dalam
kehidupan sehari-hari. Termasuk kesiapan kita untuk berhadapan dengan aqidah sekuler tadi di
arena kehidupan. Bahkan kita tidak hanya harus siap berhadapan, tapi kita juga harus
menyampaikan alias mendakwahkan Islam untuk bisa meghancurkan aqidah yang bertentangan
dengan Islam. Karena seperti itulah keadaan kehidupan akan selalu berlawanan antara yang haq
dan batil. Antara Islam dan Sekularisme.[]