1
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Kecuali Bilal, Semoga Allah meridhainya, hatinya merasa
hina jika harus melalukan itu dalam menempuh jalan Allah ‘Azza wa Jalla’.
Orang yang paling kejam menyiksa Bilal adalah Ummayah bin Khalaf dan para
centengnya, mereka memang manusia bengis. Mereka melecuti punggung Bilal dengan cemeti,
namun dia tetap mengatakan “ahad, ahad” (Allah Maha Esa).
Mereka menindih dadanya dengan batu besar, Bilal pun tetap mengatakan “ahad,
ahad”. Orang-orang itu menyuruhnya untuk menyebut nama lata dan Uza, dua berhala
sesembahan kaum musyrik Quraisy, namun Bilal malah menyebut nama Allah dan Rasul-Nya.
Mereka berkata, “Katakan seperti apa yang kami katakan!” Bilala menjawab: “Sungguh, lidahku
tak kuasa mengatakannya!”
(Mendengar jawaban itu) mereka makin memperkejam dan makin memperkuat siksaan
itu. Bahkan Umayyah bin Khalaf, Sang majikan musyrik yang bengis, manakala merasa bosan
menyiksa Bilal, dia ikatkan sebuah tali tambang yang besar di leher Bilal. Lalu dia serahkan
kepada orang-orang tolol dan anak-anak. Dia perintahkan mereka agar mengarak Bilal melalui
gang-gang sempit kota Mekkah. Dia perintahkan mereka menyeretnya di atas jalan-jalan
berbatu.
Bilal telah merasakan berbagai macam siksaan dalam rangka berjuangn fi sabilillah. Dia
selalu mengulang-ulang senandung ‘indahnya’: “ahad, ahad.” Dia tidak pernah bosan
melantunkannya. Dia tidak pernah jemu mengucapkannya.
Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah mengajukan tawaran kepada Umayyah bin Khalaf bahwa
dia akan membeli Bilal, namun Umayyah memberikan tawaran yang sangat tinggi, dengan
harapan Abu Bakar tidak akan sanggup membelinya. Akhirnya, Abu Bakar pun membeli Bilal
dengan harga Sembilan uqiyah emas.
Setelah transaksi jual-beli itu selesai, Umayyah bin Khalaf berkata: “Sebenarnya,
andaikata engkau membelinya dengan satu uqiyah saja, tentu aku berikan.” Abu Bakar
menjawab: “Andaikata engkau menjualnya dengan harga seratus uqiyah pun, akan aku beli…!!!
Ketika Abu Bakar member tahu Rasulullah, bahwa dia membeli Bilal dan
menyelamatkannya dari tangan para penyiksanya, Nabi bersabda: “Sertakan pula Aku wahai
Abu Bakar!!! Abu Bakar menjawab: “Dia telah aku merdekakan, wahai Rasulullah”.
Tatkala Allah memperkenankan Rasul-Nya, untuk hijrah ke Madinah, Bilal menjadi salah
satu orang-orang yang berhijrah itu. Dia bersama Abu Bakar ash-Shiddiq dan Amir bin Fihr di
sebuah rumah. Mereka beritga terserang demam. Tatkala Bilal telah sembuh dari sakitnya, dia
berkata dengan suaranya yang bening dan lantang:
Duhai indahnya senandungku ini, kapan lagi aku akan beriman satu malam saja. Di Fakh,
sementara di sekelilingku ada idzkhir dan akankah suatu hari nanti akudapat mndatangi mata
air di Mijannah. Akankah terlihat lagi olehku Bukit Syamah dan Bukit Thafil.
Tidak heran jika Bilal merasa rindu dengan kota Mekkah dan gang-gang sempitnya, dia
memendam rindu akan lembah dan bukit-bukitnya, karena di sanalah, untuk pertama kalinya,
dia merasakan manisnya iman. Di sana pula dia pernah merasakan berbagai siksaan, demi
mencari keridhaan Allah. Pun di sana pula dia memenangkan sebuah pertarungan melawan
dirinya sendiri dan syetan.
Sekarang Bilal tinggal dari kekejian kaum musyrik Quraisy. Dia kini dengan dengan Nabi,
yang amat dia cintai. Dia menemani Nabi, saat beliau pergi, dia pula yang mengiringi beliau
saat Rasulullah kembal dari bepergian. Dia shalat di kala Nabi shalat, diapun menyertai beliau
manakalah beliau pergi berperang. Sampai-sampai tak sekalipun dia berpisah dengan beliau.
Suatu hari, ketika beliau, Rasulullah membangun masjid di Madinah, saat itu adzan
mulai disyariatkan. Di masa Islam, Bilal menjadi orang yang pertama kali mengumandangkan
Adzan.
2
Setiap kali selesai Adzan, dia berdiri di depan pintu rumah Rasulullah dan menyerukan:
“Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alal-falah.” Saat dia melihat beliau keluar kamar, serta merta Bilal
mengumandangkan iqamah. Raja Najasyi, raja negeri habasyah pernah member hadiah
kepada Rasul mula dan agung (Muhammad) berupa tiga buah tombak pendek. Benda-benda
itu merupakan koleksi dan benda kesayangan para raja saat itu. Rasululla mengambil satu
tombak. Dua tombak lainnya beliau berikan kepada Ali bin Abu Thalib dan Umar bin Khatthab.
Lalu, secara khusus beliau mengamanahkan tombak beliau kepada Bilal. Selama hidunya,
membawanya saat shalat Hari Raya, saat shalat istisqa’, dan saat di depan Rasulullah (sebagai
sutrah).
Bilal ikut serta dalam perang Badar. Di sana, dengan mata kepala sendiri dia
menyaksikan Allah memenuhi janji-Nya. Allah memenangkan hamba-Nya. Di sana pula dia
melihat para thaghut tersungkur menemui ajal. Mereka, orang-orang yang pernah menyiksanya
dengan siksaan yang tidak berperikemanusiaan. Dia melihat Abu Jahal dan Umayyah bin Khalaf,
kedunya jatuh tersungkur tertebas pedang milik kaum muslimin. Darah mereka berdua tumpah
oleh tombak orang-orang yang pernah mereka siksa.
Ketika Rasulullah memasuki kota Mekkah, untuk menaklukkannya, beliau berada di
tengah-tengah sebuah batalyon (pasukan). Beliau ditemani oleh ‘sang penyeru langit’ Bilal bin
Rabah.
Saat beliau memasuki Ka’bah al-Musyarrafah, tidak ada yang menemani beliau kecuali
tiga orang, yaitu: Utsman bin Thalhah, juru kunci Ka’bah, Usaman bin Zaid, lelaki kesayangan
Rasulullah, anak dari kesayangan beliau Zaid bin Haritsah, dan Bilal bin Rabah, sang Muadzin
Rasulullah.
Ketika waktu shalat zhuhur telah tiba, beribu-ribu orang muallaf mengelilingi sang Rasul
yang agung (Muhammad). Sementara orang-orang kafir Quraisy yang memeluk Islam – entah
dengan sukarela atau karena terpaksa menyaksikan peristiwa besar itu dengan mata kepala
mereka. Saat itulah beliau memanggil Bilal bin Rabah. Beliau menuuruhnya agar naik ke atas
Ka’bah untuk menyerukan kalimat tauhid (adzan). Bilal pun dengan serta merta menyambut
perintah itu. Dia naik ke atas Ka’bah, lalu dengan suaranya yang lanatng, dia menyerukan
adzan. Ketika itu, beribu manusia mendongak memandang ke arahnya. Sementara, beribu lidah
orang-orang di belakangnya berulang-kali (mengikuti) seruan itu dengan khusyu’.
Sedangkan orang-ornag yang dalam hatinya ada penyakit (nifak), rasa dengki yang amat
sangat mulai merasuki hati mereka. Dengki dan dendam itu serasa mencabik-cabik hati mereka
sehancur-hancurnya. Hingga tatkala kalimat adzan Bilal sampai pada kalimat: “Asyhadu anna
muhammadar rasulullah,” Juwariyah binti Abu Jahal berkata: “Demi Allah, memang Dia telah
meninggikan namamu (Muhammad). Adapun shalat, maka kami akan ikut shalat. Akan tetapi,
demi Allah, kami tidak bias mencintai orang yang telah membunuh orang-orang yang kami
cintai…! Ayah Juwairiyah (Abu Jahal) terbunuh pada Perang Badar).
Khalid bin Usaid berkata: “Segala puji Allah yang telah memuliakan ayahku, hingga dia
tidak menyaksikan (apa yang terjadi) hari ini”. Ayah Khalid meninggal dunia sehari sebelum
Kota Mekkah ditaklukkan.
Al-Harits bin Hisyam berkata: “Duhai kematian, alangkah baiknya jika aku mati sebelum
Bilal naik ke atas Ka’bah.”
Al-Hakam bin Abul Ash berkata: “Demi Allah, perkara yang sangat mulia ini telah
diserukan bagaikan suara keledai oleh orang budak pelarian di atas bangunan itu – maksudnya
Ka’bah.”
Dan di tengah-tengah mereka ada Abu Sufyan bin Harb, dia mengatakan: “Aku tidak bisa
berkata kata-kata apa-apa…!!!
3
Bilal menemani Rasulullah sepanjang hidup beliau. Rasulullah pun merasa nyaman
mendengar suara orang ini, yang telah merasakan siksaan yang amat pedih saat menempuh
jalan Allah, namun dia selalu mengulang-ulang kata “ahad, Ahad.”
Di hari Rasulullah wafat, saat tiba waktu shalat, sementara jenazah beliau belum
dikebumikan, Bilal mengumandngkan adzan. Ketika sampai pada kalimat: “Asyhadu anna
muhammadar rasulullah’, dia menangis tersedu-sedu. Suaranya tidak keluar, lehernya terasa
tercekik. Melihat hal itu, serta merta kaum muslimin itu, Bilal sempat adzan tiga kali. Setiap kali
lidahnya mengucapkan: “Asyhadu anna muhammadar rasulullah,” dia menangis dan
menyebabkan orang menangis pula.
Beberapa waktu setelah hari itu, dia mohon kepada Abu Bakar, khalifah pertama
Rasulullah agar khalifah berkenan memberinya izin; Bilal tidak mau adzan lagi, dia tidak mampu
lagi melakukannya. Dia minta izin kepada Abu Bakar untuk berjihad fi sabilillah, memerangi
musuh di negeri Syam.
Abu Bakar ragu-ragu memenuhi permintaan Bilal, dia ragu mengizinkan Bilal
meninggalkan Madinah. Bilal mengatakan: “Jika engkau membeliku untuk dirimu sendiri,
silahkan engkau tahan diriku. Namun, jika engkau memerdekakan aku karena Allah, maka
biarkan aku pergi demi Dzat yang karena-Nya engkau memerdekakan aku!”
Abu Bakar menjawab: “Demi Allah, Aku membelimu karena Allah, Aku tidak
memerdekakanmu kecuali karena Allah.” Bilal berkata lagi: “Sungguh, aku tidak mau adzan lagi
setelah Rasulullah wafat.” Abu Bakar pun menjawab: “Jika demikian, terserah engkau…” Bilal
pergi meninggalkan Madinah al-Munawwarah bersama pasukan pertama dari pasukan-
pasukan kaum muslimin (yang dikirim ke Syam). Sesampainya di Syam, dia tinggal di Darayya,
sebuah kampong dekat Dimasq (Damaskus).
Bilal tak lagi bersedia untuk adzan (dan tak sekalipun dia adzan) hingga Umar bin al-
Khatthab, khalifah pengganti Abu Bakar dating ke negeri Syam. Umar bertemu Bilal setelah
sekian lama berpisah. Umar begitu rindu kepada Bilal. Umar menghormatinya, hingga setiap
kali nama Abu Bakar as-Shiddiq disebut, Umar akan menimpali: “Abu Bakar adalah pemimpin
kita, dia memerdekakan ‘pemimpin’ kita.” Yang dia maksud adalah Bilal.
Sementara para sahabat sangat ingin mendengar Bilal mengumandangkan adzan saat
Umar datang ke Syam. (Bilal pun bersedia). Manakala suaranya melengking membahana
menyerukan adzan, Umar tak kuasa menahan tangis. Para sahabat pun menangis, hingga
jenggot mereka basah oleh air mata.
Bilal telah mengobati kerinduan mereka akan Kota Madinah di masa lampau. Semoga
Allah senantias merahmati masa-masa itu. Kini ‘sang penyeru langit’ tinggal di Damaskus, dia
tinggal di sana hingga ajal menjemput. Saat Bilal sakit keras menyongsong ajal, sang isteri
duduk di sampingnya seraya meratap dan berkata dengan suara keras: “Duhai, alangkah
sedihnya…” Mendengar itu, Bilal membuka matanya sambil berkata: “Duhai, alangkah
bahagianya…”
Pada tarikan nafasnya yang terakhir, berkali-kali Bilal menyenandungkan sebuah syair:
Besok, kita akan bertemu dengan orang-orang terkasih, Muhammad dan para sahabat
Besok, kita akan bertemu dengan orang-orang terkasih,
Muhammad dan para sahabat.
4
KISAH UMAR BIN KHATTAB
MENCARI TUHAN DAN MENCARI KEBENARAN
Umar bin Khattab ra terkenal sebagai orang yang berwatak keras dan bertubuh tegap. Sering kali pada
awalnya (sebelum masuk Islam) kaum muslimin mendapatkan perlakukan kasar darinya. Sebenarnya di
dalam hati Umar sering berkecamuk perasaan-perasaan yang berlawanan, antara pengagungannya
terhadap ajaran nenek moyang, kesenangan terhadap hiburan dan mabuk-mabukan dengan
kekagumannya terhadap ketabahan kaum muslimin serta bisikan hatinya bahwa boleh jadi apa yang
dibawa oleh Islam itu lebih mulia dan lebih baik.
Sampailah kemudian suatu hari, beliau berjalan dengan pedang terhunus untuk segera menghabisi
Rasulullah SAW. Namun di tengah jalan, beliau dihadang oleh Abdullah an-Nahham al-‘Adawi seraya
bertanya:
Setelah mendengar hal tersebut, Umar langsung menuju ke rumah adiknya. Saat itu di dalam rumah
tersebut terdapat Khabbab bin Art yang sedang mengajarkan al-Quran kepada keduanya (Fatimah,
saudara perempuan Umar dan suaminya). Namun ketika Khabbab merasakan kedatangan Umar, dia
segera bersembunyi di balik rumah. Sementara Fatimah, segera menutupi lembaran al-Quran.
Sebelum masuk rumah, rupanya Umar telah mendengar bacaan Khabbab, lalu dia bertanya :
Mendengar jawaban tersebut, Umar langsung menendangnya dengan keras hingga jatuh dan berdarah.
Fatimah segera memba-ngunkan suaminya yang berlumuran darah, namun Fatimah pun ditampar
dengan keras hingga wajahnya berdarah, maka berkata-lah Fatimah kepada Umar dengan penuh
amarah:
“Wahai Umar, jika kebenaran bukan terdapat pada agamamu, maka aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah Rasulullah”
Melihat keadaan saudara perempuannya dalam keadaan ber-darah, timbul penyesalan dan rasa malu di
hati Umar. Lalu dia meminta lembaran al-Quran tersebut. Namun Fatimah menolaknya seraya
mengatakan bahwa Umar najis, dan al-Quran tidak boleh disentuh kecuali oleh orang-orang yang telah
bersuci. Fatimah memerintahkan Umar untuk mandi jika ingin menyentuh mushaf tersebut dan Umar
pun menurutinya.
5
Kemudian beliau terus membaca :
طه
Hingga ayat :
إنني أنا ا ل إله إل أنا فاعبدني وأقم الصلةا لذكري
“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan
dirikanlah shalat untuk mengingat Aku”
(QS. Thaha : 14)
Beliau berkata :
“Betapa indah dan mulianya ucapan ini. Tunjukkan padaku di mana Muhammad”.
Mendengar ucapan tersebut, Khabab bin Art keluar dari balik rumah, seraya berkata: “Bergembiralah
wahai Umar, saya berharap bahwa doa Rasulullah SAW pada malam Kamis lalu adalah untukmu, beliau
SAW berdoa :
“Ya Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua orang yang lebih Engkau cintai; Umar bin
Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam”. Rasulullah SAW sekarang berada di sebuah rumah di kaki bukit
Shafa”.
Umar bergegas menuju rumah tersebut seraya membawa pedangnya. Tiba di sana dia mengetuk pintu.
Seseorang yang ber-ada di dalamnya, berupaya mengintipnya lewat celah pintu, dilihatnya Umar bin
Khattab datang dengan garang bersama pedangnya. Segera dia beritahu Rasulullah SAW, dan
merekapun berkumpul. Hamzah bertanya:
Rasulullah SAW memberi isyarat agar Hamzah menemui Umar. Lalu Hamzah segera menemui Umar, dan
membawanya menemui Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW memegang baju dan gagang
pedangnya, lalu ditariknya dengan keras, seraya berkata :
“Engkau wahai Umar, akankah engkau terus begini hingga kehinaan dan adzab Allah diturunakan
kepadamu sebagaimana yang dialami oleh Walid bin Mughirah ?, Ya Allah inilah Umar bin Khattab, Ya
Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab”.