Berdasarkan pengertiannya retorika adalah seni penggunaan bahasa secara efektif[1]. Jika ditinjau dari
awal mula adanya ilmu retorika adalah pada masa 480-370 SM. Yunani menculat tinggi dalam bidang
ilmu tersebut begitu Yunani melahirkan satu orator ulung yang hingga saat ini namanya masih
melegenda, Aristoteles. Ia juga mendapatkan gelar De Arte Rethorica.
Hingga pada tahun 106-43 SM Romawi turut antusias mengikuti jejak Yunani. Meskipun setelah seratus
tahun dari masa Aristoteles Romawi belum dapat mengembangkan ilmu Retorika, namun kekaisaran
Romawi telah menunjukkan sikap semangat belajar dengan bukti dibangunnya banyak sekolah-sekolah
retorika yang akhirnya melahirkan banyak orator-orator ulung. Diantaranya : Antonius, Crassus, Rufus,
Hortensius. Dari keempat tokoh tersebut yang termasyhur adalah Hortensius. Ia terkenal sebagai
seorang orator yang banyak diminati para artis dalam penyampaian bahasa dan gerak tubuh saat
menyampaikan bahasa tersebut. Selain dari pada itu Hortensius juga merupakan seorang advokat kelas
tinggi pada masanya.
Pada tahun 45-44 SM muncullah seorang negarawan baru. Seorang cendekiawan yang mampu
menyempurnakan cara berretorika Hortensius, Marcus Tulius Cicero. Ia tak hanya ulung dalam
berretorika secara lisan, namun ia juga pandai dalam menuangkan ilmu pengetahuannya ke dalam
tulisan. Banyak buku-buku filsafat dan lima buku retorika yang berhasil ia tuliskan hanya dalam waktu
dua tahun.
Dalam berretorika Cicero sendiri lebih banyak merujuk pada seorang filosof besar bernama Socrates. Ia
beranggapan bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man
speaks well[2]. Seperti yang ia terangkan pula dalam salah satu karya termasyhurnya ‘De Oratore’.
1. Suasio (anjuran) :
Pada saat itu tujuan berpidato adalah untuk menyadarkan publik tentang hal-hal yang menyangkut
kepentingan rakyat, perundang-undangan negara, dan keputusan yang akan diambil.
2. Dissuasio (penolakan) :
Pada saat itu pidatonya akan lebih condong pada dissuasio apabila terdapat kekeliruan atau pelanggaran
dalam hubungannya dengan undang-undang dan keadilan.
Dalam bukunya juga ia mengajarkan bagaimana orasi akan sampai pada tujuan, yaitu persuasi. Ia
menganjurkan para orator untuk memegang teguh kesusilaan dan kebenaran sebab itu merupakan
komponen penting dalam berhasilnya satu orasi. Sebab kepribadian terpercayapun merupakan salah
satu syarat penting bagi seorang orator.
a. Investio
Ini merupakan tahap dimana seorang orator harus mencari tema yang akan dibahas dengan bahasa yang
mudah dipahami dan simpel. Dalam hal ini seorang orator wajib memiliki ketrampilan :
1. Mendidik
2. Membangkitkan kepercayaan
3. Menggerakkan hati
b. Ordo collocatio
Tahap ini adalah tahap dimana orator akan memilih mana yang lebih penting, mana yang kurang
penting. ia juga harus memiliki fokusan terhadap :
1. Exordium (pendahuluan)
2. Narratio (pemaparan)
3. Confirmatio (pembuktian)
4. Reputatio (pertimbangan)
5. Peroratio (penutup)
Dari sekian pemikiran tentang berretorika menurut Cicero yang tidak jauh berbeda dengan ilmu retorika
bangsa Yunani yang ia praktikkan pada tiap orasinya mampu membuat seorang pemimpin militer paling
menakutkan pada masanya memuji advokat sekaligus orator ini selepas Cicero berhasil merampungkan
suatu kasus.
“Anda telah menemukan satu khazanah retorika, dan andalah orang pertama yang menggunakan
semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jendral.
Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia dari pada memperluas
batas-batas kerajaan Romawi.[5]”
Pada tahun 43 SM Cicero wafat. Puluhan sepeninggalnya seorang terpelajar lulusan dari Roma
mencuatkan pemikiran berretorikanya dengan mengagumi pemikiran Cicero. Adalah Quintillianus. Ia
membangun sebuah sekolah retorika dimana di dalamnya akan mengkaji teori-teori retorika Cicero dan
semua tulisan-tulisannya. Quintillianus sangat setuju dengan pemahaman Cicero ‘Good man speaks
well’. Ia menerangkan lebih lanjut pada karya tangannya yang berjudul ‘Institutio Oratio
Retorika Masa Romawi
bangan retorika.
Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika, tetapi juga kaya
dengan
Hortensius.
terkadang disertai dengan cucuran air mata. Jika Cicero berpidato, ia telah benar-benar mempelajarinya
dengan baik,
drama. Cicero juga percaya bahwa efek pidato akan baik jika