PENGERTIAN RETORIKA, SEJARAH PERKEMBANGAN DAN MATA KULIAH
RETORIKA PADA JURUSAN KPI A. Pengertian Retorika dan Sejarah Perkembangannya 1. Pengertian Retorika Retorika berasal dari bahasa inggris, rethoric yang artinya ilmu berbicara, yang dalam perkembangannya berarti seni berbicara di hadapan umum atau ucapan untuk menciptakan kesan yang diinginkan Walaupun beragam pendapat tentang retorika, namun dengan jelas dapat diketahui bahwa tujuan utama retorika adalah tercapainya tujuan pembicaraan atau terjadinya komunikasi yang efektif. Bersumber dari perkataan Latin rhetorica yang berarti ilmu bicara. Cleanth Brooks dan Robert Penn Waren dalam bukunya, Modern Rhetoric, mendefinisikan retorika sebagai the art of using language effectively atau seni penggunaan bahasa secara efektif. Kedua pengertian tersebut menunjukan bahwa retorika mempunyai pengertian sempit: mengenai bicara, dan pengertian luas; penggunaan bahasa, bisa lisan dapat juga tulisan. Oleh karena itu, sementara orang yang mengartikan retorika sebagai public speaking atau pidato di depan umum, banyak juga yang beranggapan bahwa retorika tidak hanya berarti pidato di depan umum, tetapi juga termasuk seni menulis. Seni berbicara disebut retorika. Retorika adalah seni persuasi, suatu uraian yang harus singkat, jelas dan meyakinkan, dengan keindahan bahasa yang disusun untuk hal-hal yang bersifat memperbaiki (corrective), memerintah (instructive), mendorong (suggestive), dan mempertahankan (defensive).Dalam bahsa Yunani, rhetor, orator, teacher, retorika adalah teknik pembujukrayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter pembicara, emosional, atau argumen (logo). Plato secara umum memberikan definisi terhadap retorika sebagai seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan, dan pengharapan mereka. Retorika adalah bagian dari bahasa (linguistik). Khususnya ilmu bina bicara (sprecherziehung). Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau kelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (misalnya memberi motivasi atau memberi informasi). Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Oleh karena itu pembicara itu setua umur bangsa manusia. Retorika berarti kesenian untuk berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta), dan keterampilan teknis. Retorika juga sering diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi, melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, padat, dan mengesankan. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, banyak kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. 2. Sejarah Perkembangan Retorika Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. Sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun tahun koloni-koloni itu diperintah para tiran. Tiran di mana pun pada zaman apapun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang “teknik kemungkinan”. Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, “mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri ? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya “Ia pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”. Akhirnya retorika memang mirip “ilmu silat lidah”. Disamping teknik kemungkinan, Corak meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorangpun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya sang istri sudah belajar retorika dari Corax. a. Rerorika Zaman Romawi Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika. Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya. Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendikiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemu baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh. Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, Memuji Ciocero, “Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdassan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi” b. Retorika Abad Pertengahan Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, “membicarakan” diganti dengan “menembak”. Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara. Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk menyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari tekhnik penyampaian pesan. Suatu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan; “Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka” (Alquran 4:63). Muhammad SAW bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, “Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya”. Ia sendiri seorang pembicara yang fasih dengan kata-ata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orangorang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence an valor”. Pada Ali Bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban islam. Kaum muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa abad pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan islam tradisional. Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang terhadap retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocuito dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi. Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal dengan aliran epistemologis. Epistemologi membahas “teori pengetahuan”, asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya “mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan”. Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu retorika yang beorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis – aliran pertama retorika modern. Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) teruatam memusatkan perhatian meraka pada persiapan pidato pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga disebut gerakan elokusionis justru menekankan teknik penyampaian pidato. Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian dan kesetiaan yang berlebihan kepada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisal. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan “resep-resep” penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata “otak-atik otak” atau hasil prenungan rasional saja. retorika seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris. Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication atau publik speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokohtokoh retorika mutakhir. 1) James A Winans Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, publik speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winas, mendefinisikan persuasi sebagai “proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi- proposisi”. Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologi seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersikap percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Assosiation of America (1950) 2) Charles Henry Woolbert Ia pun termasuk pendiri the Speech communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang “Speech Communication” sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah dasra utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech. 3) William Noorwood Brigance Berbeda dengan Woolbert yang menitik beratkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. “Keyakinan” ujar Brigance, “jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita”. Persuasi meliputi empat unsur; (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar. 4) Alan H. Monore Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monore beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa Monore yang terbesar adalah cara organiassi pesan. Menurut Monore, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence. Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A. E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952 ), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh “notorious” Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, makan Naumann (Die Kunst der Rede 1941), Dessior (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga. Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral cmmunication, atau speech communication diajarkan dan diteliti secara ilmiah dilingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa di luar ilmu sosial,. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu. B. Tujuan dan Fungsi Retorika 1. Tujuan Retorika Tujuan Retorika adalah persuasi, yaitu keyakinan pendengar akan kebenaran gagasan hal yang dibicarakan. Artinya tujuan retorika adalah membina saling pengertian yang mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan masyarakat dalam kegiatan bertutur.Retorika bukan sekedar memperhatikan seni dalam berbicara, seni berbicara dalam retorika juga dapat diartikan sebagai cara supaya pendengar benar-benar percaya dan yakin terhadap informasi yang kita sampaikan. Dari tutur kata yang rapi dan jelas diharapkan informasi yang kita sampaikan dapat dipahami dan dicerna oleh pendengar. 2. Fungsi Retorika Membimbing penutur mengambil keputusan yang tepat, memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan orang-orang yang akan dan sedang dihadapi, menemukan ulasan yang baik, dan mempertahankan diri serta mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.Dengan demikian, seorang pembicara atau penutur ketika ia akan atau hendak berbicara, terlebih dulu dapat membaca atau memahami bagaimana kondisi kejiwaan orang-orang yang akan dihadapinya, sehingga bahasa yang ia sampaikan bisa diterima oleh mereka tanpa mengurangi maksud dari informasi yang disampikan tersebut.