Public speaking sebenarnya bukanlah aktivitas baru yang hanya dilakukan oleh
manusia-manusia pada zaman modern saja. Bahkan sejarah telah menunjukkan bahwa akar
tradisi kegiatan public speaking ini telah ada sejak zaman peradaban Yunani kuno, yaitu pada
tradisi politiknya. Seni berbicara di depan publik ini biasanya disebut dengan nama “retorika”,
dari bahasa Yunani rhētorikós, yang berarti “pidato”, atau dari kata rhḗtōr yang berarti
“pembicara publik” yang telah dipelajari bahkan sejak dalam ilmu pengantar ilmu komunikasi.
Sekitar 2.500 tahun yang lalu di Athena kuno, para pemuda diminta untuk memberikan pidato
yang efektif sebagai bagian dari tugas mereka sebagai warga negara. Selama waktu itu
Socrates (c.469-3998 SM), Plato (427-347 SM), dan Aristoteles (384-322 SM) mengajarkan
murid mereka filsafat dan retorika. Retorika menurut Plato adalah “seni memenangkan jiwa oleh
wacana.”
Demokrasi saat berkembang saat itu semua warga harus mampu berbicara dalam legislatif dan
bersaksi di pengadilan. Warga bertemu di Sidang besar di pasar (agora) untuk membahas
isu-isu perang dan ekonomi dan politik.Ditambah dengan lembaga Pengadilan Rakyat oleh
Sage, Solon, di 594-593 SM, dimana warga bisa membawa keluhan-keluhan mereka ke
pengadilan dan berdebat kasus mereka. Saat itu, tidak ada pengacara dan karena orang sering
menggugat satu sama lain , sehingga penting bagi setiap warga negara untuk memiliki
kemampuan komunikasi untuk dirinya dan keluarganya.
Tokoh-tokoh yang terkenal berbicara atau melakukan retorika pada zaman kuno antara lain
adalah Gorgias, Plato, dan Aristoteles dengan model komunikasi Aristoteles yang dimilikinya.
4.Aristoteles Aristoteles
mengatakan bahwa ada 5 tahap dalam penyusunan pidato (Lima Hukum Retorika = The Five
Canons of Rhetoric), yaitu:
Inventio (penemuan), penggalian topik dan menentukan metode persuasi yang paling tepat,
merumuskan tujuan mengumpulkan bahan/argumen yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut ada 3 metode persuasi, yaitu:
1.Ethos, kita harus menunjukkan kepada khalayak bahwa kita memiliki pengetahuan yang luas,
kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat.
2.Pathos, kita harus dapat menyentuh hati khalayak: perasaan, emosi, harapan, dan kebencian.
3.Logos, kita dapat menunjukan dokumen atau sesuatu contoh sebagai bukti.
> Dispositio (penyusunan), tahap pengorganisasian pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yaitu
pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis seperti pengantar,
pernyataan, argumen, dan epilog.
> Elocutio (gaya), pemilihan kata-kata dan bahasa yang tepat untuk mengemas pesan.
Gunakan bahasa yang tepat, benar dan dapat diterima oleh para audience, pilih kata- kata yang
jelas dan langsung, dan juga rangkaian kalimat yang indah,
> Memoria (memori), pembicara harus mengingat pesan yang ingin disampaikan.
> Pronuntiatio (penyampaian), pembicara menyampaikan pesannya. Di sini acting sangat
berperan, pembicara harus memperhatikan olah vocal dan gerakan tubuh.
Rasa percaya diri perlu selalu dipupuk dan dikembangkan dalam diri kita agarketika tampil di
hadapan orang banyak dapat tampil prima dan baik. Ketika akan tampil, buatlah diri Anda
percaya diri pada kemampuan dan persiapan yang telah dilakukan sebelumnya. Dengan cara
demikian percaya diri Anda akan terbentuk dan tidak akan “demam panggung”. Namun
demikian over percaya diri tidak boleh ada dalam diri kita karena berakibat riak dan sombong
dan selalu “under estimate” pada orang lain.
2. Materi
Dalam menyusun materi public speaking harus diperhatikan hal-hal berikut : memahami materi,
ketahui yang khalayak senangi dan situasi audiens dengan menyesuaikan gaya bahasa. Public
speaking sebaiknya disampaikan dalam kalimat dan pesan yang terstruktur yang disampaikan
dengan metode yang sistematis agar memudahkan para pendengar dalam memahami materi
yang disampaikan oleh public speaker. Agar kita lancar dalam membawakan materi di
panggung, kita juga perlu untuk membaca materi yang akan disampaikan berulang-ulang.
3. Retorika
Dalam Bahasa Yunani ῥήτωρ, rhêtôr, orator, teacher) retorika adalah sebuah teknik
pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan dengan melalui karakter
pembicara, emosional atau argumen (logo). Plato secara umum memberikan defenisi terhadap
retorika sebagai suatu seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan
lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui pidato, dan yang
dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, kepercayaan dan pengharapan
mereka. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi dengan penggunaan
media oral atau tertulis.
Retorika pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan
antarpersonal untuk mempengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif.
Dalam ajaran retorika Aristoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi (mempengaruhi) politik yaitu
deliberatif, forensik dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan
terjadi dikemudian bila diterapkan sebuah kebijakan saat sekarang. Retorika forensik lebih
memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk
menunjukkan bersalah atau tidak, pertanggungjawaban atau ganjaran. Retorika demonstartif
memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk
seseorang, lembaga maupun gagasan.
Salah satu tokoh yang memiliki kemampuan retorika yang baik adalah Ir Soekarno.Ia adalah
Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan
penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah
Proklamator Kemerdekaan Indonesia yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Presiden
pertama RI itu pun dikenal sebagai orator yang ulung, yang dapat berpidato secara amat
berapi-api tentang revolusi nasional, neokolonialisme dan imperialisme. Ia juga amat percaya
pada kekuatan massa, kekuatan rakyat. Gejala berbahasa Bung Karno merupakan fenomena
langka yang mengundang kagum banyak orang. Kemahirannya menggunakan bahasa dengan
segala macam gayanya berhubungan dengan kepribadiannya. Hal ini tercermin dalam
autobiografi, karangan-karangan dan buku-buku sejarah yang memuat sepak terjangnya.
4. Penampilan
Menyesuaiakan pakaian yang akan kita gunakan, contohnya saat kita mengisi acara formal
maka kita juga harus menggunakan pakaian yang bersifat formal seperti kemeja, jas dan
berpaiakan rapi. kemudian ketika kita mengisi acara nonformal seperti acara anak muda
contohnya, kita juga harus menyesuaikan pakaian seperti anak muda pada umumnya.
Kemampuan mengelola audiens salah satu komponen yang dibutuhkan untuk menentukan
berhasil atau tidaknya seseorang dalam public speaking. public speaker hendaknya mencari
topik yang dapat menarik perhatian para audiens. selain itu pertimbangkan juga minat dan
kebutuhan dari para audiens. Tentukan poin-poin di dalam menyampaikan informasi kepada
audiens.
Jangan melulu menggunakan satu cara saja (apalagi cara itu adalah dengan penjelasan /
ceramah biasa). Gunakanlah berbagai cara untuk menyampaikan pesan, misalnya saja dengan
cerita, kita juga memiliki pengalaman dan cerita pribadi yang bisa kita sampaikan. Itu akan
menjadi hal unik dan menarik jika kita bisa menambahkan pengalaman-pengalaman pribadi
kita ke dalamnya. mungkin kita juga bisa menyelipkan cerita yang lucu agar suasana tidak
terlalu tegang dan para audiens bisa sesekali tertawa. Bisa juga dengan video ataupun diskusi.
Selain itu variasilah juga intonasi suara, jika suara kita hanya memiliki satu nada suara saja
pastilah ini adalah resep ampuh supaya audiens cepat tertidur.
Jangan ada pikiran lain ketika sedang public speaking, misal: berpikir jika audiens tidak suka
dengan materi kita atau masih berusaha mengingat-ingat isi materi. Audiens akan bisa
merasakan ketika hal ini terjadi, itulah saat ketika kita akan kehilangan koneksi dengan audiens.
kita juga bisa melibatkan audiens untuk berpartisipasi dalam materi yang kita sampaikan.
Dengan berpartisipasi mereka juga akan bergerak dan berpikir, inilah yang akan membuat para
audiens tidak lagi bosan dan mengantuk.