Resume
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mandiri
Mata Kuliah : Public Speaking
Dosen : Uun Machsunnah,M.M.
oleh :
FATHURROHMAN
160210022
BAB 2
ETHOS: KEPRIBADIAN KOMUNIKATOR
Ethos atau etika adalah bagaimana karakter pembicara terlihat melalui pesan. Seharusnya
pembicara publik hanya mengatakan kebaikan yang sudah dilakukan, dan melakukan kebaikan
yang dikatakan. Karena ketidakselarasan perkataan dan perbuatan dinilai sangat tidak etis.
Bahkan pembicara publik idealnya menyerap sifat-sifat nabi yaitu jujur (shiddiq), dapat
dipercaya (amanah), cerdas (Fathanah) dan komunikatif (tabligh).
Hal ini lantaran pembicara publik seperti orator seharusnya bukanlah pembicara yang
asal bicara. Pembicaraan seorang pembicara publik diharapkan diterima oleh pendengarnya.
Karena itu hal-hal yang diperlukan untuk pembicaraan dapat diterima oleh para pendengar
menjadi sesuatu hal yang perlu diperhatikan. Hal tersebut antara lain adalah faktor kepribadian
sang pembicara, jika kepribadian dari sang pembicara itu baik dalam semua hal tidak menutup
kemungkinan topik yang disampaikan akan menuai kebaikan dan banyak semua pihak ikut
bergabung dan mendengarkan (menyimak) sampai selesai dan diterapkan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Seyogyanya pembicara publik semacam orator punya karakter yang mudah untuk
membujuk para pendengar mengikuti perkataan sang pembicara (ethos). Karakter itu mewujud
dalam bentuk kehormatan, kewibawaan dan popularitas sang pembicara di mata publik
(dignitas).
Karakter persuasive itu dihasilkan pertama-tama dari bakat alami sang pembicara untuk
berbicara di hadapan orang banyak (ingenium); kedua, dari pengalaman, pendidikan dan
kebiasaan untuk: (1) memutuskan kebaikan dan keburukan bagi diri sendiri dan orang lain
(phronesis), (2) menyelaraskan kata dengan ruang dan waktu, teks dengan konteks (prudential),
(3) mengambil sikap tengah di antara ekstrem-ekstrem yang bertentangan (arête) dan (4)
mengutamakan kebaikan orang lain tanpa pamrih pribadi (eunoia dan diligentia).
Jika kemampuan-kemampuan praktis yang natural ataupun non-natural itu melekat pada
diri pembicara publik, maka karakter kepribadiannya itu akan menjadi magnet tersendiri bagi
penerimaan para pendengar atas perkataannya.
BAB 3
PATHOS: EMOSI DAN KARAKTER KOMUNIKASI
Pathos atau emosi adalah perasaan akan pidato yang muncul dari pendengar. Perbedaan
karakter pendengar memerlukan perbedaan cara berkomunikasi dengan mereka. Ada
pembicaraan khusus bagi masing-masing tipikal pendengar.
Fenomena semacam itu disadarai oleh filsuf Islam Spanyol, Ibn Rusyd saat
mengkomparasikan ayat Al-Qur’an nomor 125 dari surat An-Nahl dengan metode berpikir dan
berkomunikasi Aristotle. Di ayat tersebut Tuhan berfirman, “serulah (manusia) ke jalan
Tuhanmu dengan kebijaksanaan (hikmah) dan pelajaran yang baik (mau’idhah al-hasanah);
bantahlah (jadil) mereka dengan cara yang baik pula. Di pihak lain Aristotle mencatat ada tiga
metode berpikir dan berkomunikasi yaitu metode demonstratif, dialektis dan retoris.
Ibn Rusyd mengidentikkan metode demonstratif dengan hikmah, metode dialektis dengan
jadal, dan metode retoris dengan mau’idhah al-hasanah. Yang dia sebut dengan hikmah
demonstratif metode berpikir dan berkomunikasi yang berorientasi pada hakikat kebenaran,
kebaikan dan keindahan. Metode ini menurutnya cocok untuk disampaikan kepada orang yang
sangat khusus, yang punya kemampuan intelektual tinggi, setaraf filsuf, yang memang fokus
pada inti wujud. Di pihak lain, jadal dialektis merupakan metode perdebatan yang cenderung
menggunakan logika menang kalah. Metode kedua ini cocok untuk orang-orang yang terpelajari,
namun masih belum menelusupkan kesadarannya kepada hal-hal yang lebih fundamental.
Mereka cocok untuk menerima kebenaran dengan cara berdebat. Sementara orang-orang awam,
menurut Ibn Rusyd, lebih cocok dengan metode retorika mau’idhah al-hasanah. Metode terakhir
ini cenderung membujuk, mengajurkan dan kadang mengancam dengan cara-cara yang
sederhana. Sementara orang-orang awam juga punya kesederhanaan cara pikir. Karena itu,
retorika mau’idhah al-hasanah dinyatakan cocok untuk berkomunikasi dengan orang awam.
Dari situ tampak bahwa beda audien beda juga cara berkomunikasi dengan mereka.
Setiap cara komunikasi ada audien yang cocok dengannya. Setiap tipe komunikasi juga punya
cara komunikasi yang tepat dengannya. Karena itu, pembicara paling tidak perlu mencocokkan
pembicaraannya dengan emosi dan karakter pendengar supaya komunikasinya efektif.
Emosi pendengar cukup beragam apalagi jika ditambah dengan emosi-emosi yang
menjadi antitesisnya. Dalam keragaman emosi itu, tidak ada emosi yang murni baik atau murni
buruk. Masing-masing bermanfaat pada momen yang tepat. Sehingga pembicara harus
mengenalnya, lalu membangkitkan atau mematikannya sesuai dengan kondisi yang diperlukan.
Jadi beragam bentuk emosi pendengar perlu dipahami bahkan direkayasa. Demikian pula
watak-watak para pendengar yang terkait dengan umur atau nasib juga perlu disadari oleh
pembicara publik supaya pembicaraannya dapat mencocoki siapa yang diajak bicara.
BAB 4
LOGOS: FORMAT PESAN RETORIKA
Logos atau logika adalah muncul dari pernyataan argumen pidato. Unsur-unsur logos
dalam retorika saling kait mengait. Sampel merupakan sisi induktif retorika. Sedangkan
enthymeme adalah sisi deduktifnya. Sampel yang bergerak dari hal-hal particular akan
mengerucut kepada pernyataan umum yang disebut dengan adagium. Selanjutnya, adagium
adalah premis atau kesimpulan dalam enthymeme, manakala enthymeme merupakan argumentasi
bagi adagium. Di situ, tampak bahwa sampel, adagium dan enthymeme saling melengkapi antara
saatu dengan yang lain. Karena itu, orator yang mumpuni seharusnya dapat menguasai dan
mengembangkan ketiga unsur logos itu.
Agar hal ideal tersebut tercapai, orator seharusnya memiliki :
1. Pengetahuan fakta historis
2. Kemampuan membuat analogi
3. Kemampuan membuat fiksi
4. Kemampuan mengabstraksi pengalaman
5. Kemampuan untuk berlogika
BAB 5
INVENTIO: PENCARIAN DATA RETORIKA
BAB 6
DISPOSITIO: PENYUSUNAN DATA RETORIKA
BAB 7
ELOCUTIO: GAYA KOMUNIKASI PUBLIK
Elocutio merupakan momen mengungkapkan data secara bergaya. Dasarnya tentu saja
dari kata dan kalimat yang dibuat jelas, sempurna dan berestetika. Kejelasan kata diukur dari
kejernihan, kelayakan dan ketepatannya. Parameter kesempurnaan kalimat terdapat pada
kejelasan, ketepatan, kepaduan, kekuatan dan harmoninya. Adapun estetika kata dan kalimat
ditopang dengan kiasan yang mentransformasikan makna denotatif suatu ungkapan ke arah
makna konotatif.
Unsur-unsur bahasa itu akan lebih kuat memunculkan gaya retorika jika ditopang oleh
perhatian atas unsur-unsur non bahasa. Yaitu meniru gaya tokoh tertentu, dan mencocokkan
retorika dengan objek yang dibahas, hadirin yang dihadapi, dan tujuan yang hendak dicapai. Bila
suatu tulisan atau pidato mengindahkan unsur-unsur bahasa dan non bahasa tersebut secara baik,
keindahan retorika akan muncul dan elocutio termanifestasikan dengan baik.
BAB 8
MEMORIA: TEKNIK MENGHAFAL DALAM RETORIKA
Teknik menghafal yang umum di retorika ini dimulai dengan memerhatikan apa yang
hendak dihafal hingga dipahami dengan baik. Bila yang hendak dihafalkan berbentuk kata-kata,
maka kata-kata itu perlu diucapkan berkali-kali hingga terhafalkan. Jika memungkinkan hafalan
kata-kata itu perlu dibuatkan asosiasi yang memudahkan penghafalan.
Khusus untuk hafalan tentang benda atau inti utama dari sesuatu yang hendak dihafalkan,
asosiasi menjadi keharusan. Sesuatu itu perlu dikaitkan dengan sesuatu yang lain hingga menjadi
kesan yang mudah diingat. Lalu dibayangkan pula tempat yang disusun rapih untuk
menempatkan kesan hafalan tadi. Setelah kesan-kesan berada di tempat-tempat yang
diimajinasikan, sekali waktu hendak mengingatnya tinggal diingat saja tempat yang dimaksud.
Niscaya kesan yang ada di sana akan muncul, dan benda yang dikehendaki diingat pun teringat.
Metode mengingat semacam ini sangat memungkinkan untuk diterapkan di dalam
retorika. Ketika hendak berpidato tentang puasa ramadhan misalnya, diperlukan hafalan atas
dalil-dalil yang hendak digunakan. Pertama-tama dalil yang sudah didapatkan perlu dihafal
dengan memahaminya dan membacanya berulang-ulang. Lalu dalil itu dengan poin-poin penting
pembicaraan diimajinasikan dan dirangkai secara teratur, dimana masing-masing poin/dalil
dibayangkan terletak di ruang-ruang/benda-benda di rumah anda.
Bila pembuatan kesan dan penempatan kesan berjalan dengan baik, maka ingatan pun
akan mudah akurat, dan bila ingatan itu dibuat untuk pidato khususnya yang tanpa teks, maka
penguasaan diri atas materi pidato dapat diandalkan, dan pidato pun sangat potensial untuk
berhasil.
BAB 9
PRONUNTIATIO: TEKNIK MENYAMPAIKAN PIDATO
Pronuntiatio adalah metode menyampaikan pidato, maka yang dibahas adalah suara, raut
muka dan gerak tubuh.
Idealnya suara orator itu jelas, enak didengar, tidak aneh, pas, bervariasi, fleksibel,
lantang, berjangkauan luas dan mantap. Bila ada calon orator yang belum memiliki kualitas dan
kuantitas suara semacam itu, diperlukan pemeliharaan, peningkatan dan pengaturan suara
sebagaimana tercatat di atas.
Raut muka orator seharusnya memancarkan kebaikan dan sesuai dengan konteks
pembicaraannya. Untuk memiliki raut muka yang baik, orator sedari awal harus berkehidupan
baik, karena raut muka adalah cerminan jiwa. Untuk menyesuaikan raut muka dengan konteks
pembicaraan, perasaan harus diasah, supaya digapai penghayatan peran yang tepat.
Gerak tubuh orator pun seharusnya diatur sedemikian rupa supaya mencapai kualitas-
kualitas yang ideal yaitu cemerlang, gagah, beragam, bertenaga, sederhana, anggun, sopan dan
tepat. Pada taraf tertentu, pengetahuan atas parameter gerak tubuh ideal itu dapat dipraktikkan
dengan gaya yang tepat, baik gaya epic, retoris atau keseharian.
Dengan suara yang ideal yang diatur dengan seksama, raut muka yang baik dan penuh
penghayatan, serta gerak tubuh yang berkualitas dan sesuai dengan situasi dan kondisi, seorang
orator berpotensi besar untuk menyampaikan pidato dengan baik.
BAB 10
EPILOG: DARI TEORI KE PRAKTIK
Retorika merupakan metode komunikasi publik dengan media lisan atau tulisan yang
berupaya membujuk komunikan untuk menyakini bahkan melalukan sesuatu yang dianggap baik
di masa kini dan masa mendatang. Bujukan itu diterapkan dengan menampakkan kredibilitas
komunikator (ethos), mengenali emosi dan karakter komunikan (pathos), serta memformat pesan
yang masuk akal (logos). Rasionalitas pesan retorika dibentuk dari pencarian data (inventio),
penyusunan data (dispositio), pemilihan gaya penyampaian (elocutio), penghafalan poin-poin
penting yang hendak diutarakan (memoria), dan penyampaian pesan itu sendiri dengan
memerhatikan bahasa nonverbal, di samping bahasa verbal (pronuntiatio).