Anda di halaman 1dari 36

LINGUISTIK DIAKRONIS: DIALEKTOLOGI DIAKRONIS

Mahsun
Guru Besar Bidang Linguistik
Universitas Mataram

1. Ihwal Kekerabatan Bahasa dan Linguistik Diakronis


Berbicara ihwal kekerabatan bahasa tidak dapat dilepaskan dari persoalan variasi yang
terdapat dalam isolek-isolek baik yang berstatus dialek maupun bahasa. Sementara itu, bidang
linguistik yang mengkaji variasi bahasa yang lalu dikaitkan dengan masalah kekerabatan dan
perekonstruksian bahasa purba yang menurunkan isolek-isolek yang berkerabat itu merupakan
lahan garapan linguistik diakronis. Dari sudut pandang pandang status isolek yang diperbandingkan
dalam kerangka kerja linguistik diakronis, maka variasi bahasa dapat dikelompokkan dalam dua
jenis, yaitu variasi yang terdapat dalam satu bahasa (variasi dialektal dan variasi subdialektal) dan
variasi bahasa yang terdapat dalam beberapa bahasa yang berkerabat. Untuk jenis variasi bahasa
yang terdapat dalam satu bahasa dapat dibedakan dalam tiga jenis varian, yaitu:
a. varian yang berhubungan dengan faktor geografis,
b. varian yang behubungan dengan faktor waktu (temporal), dan
c. varian yang berhubungan dengan faktor sosial.
Untuk varian tipe (a) menjadi lahan kajian dialektologi sinkronis yang banyak
dikembangkan oleh kelompok dialektolog dari Universitas Indonesia, yang dimotori oleh Prof. Ayat
Rohaedi bersama murid-muridnya, sedangkan untuk varian tipe (a) dan (b) menjadi lahan kajian
dialektologi yang dikembangkan oleh Mahsun (1995) yang disebutnya dengan nama dialektologi
diakronis. Adapun varian tipe (c) menjadi objek kajian ilmu interdisipliner linguistik dengan
sosiologi, yang dikenal dengan nama sosiolinguistik. Selanjutnya, untuk varian yang terdapat dalam
bahasa-bahasa berkerabat menjadi objek kajian linguistik historis komparatif.
Dialektologi diakronis dan linguistik historis komparatif merupakan dua subbidang
linguistik yang mengkaji variasi bahasa dengan tujuan pengelompokan varian-varian itu dan
menemukan relasi historis antarvarian yang terdapat dalam kelompok-kelompok tersebut. Dengan
demikian, kedua subbidang linguistik inilah yang diaktegorikan sebagai kajian linguistik yang
bersifat diakronis.
1.2 Dialektologi Diakronis
Dalam bukunya yang berjudul ”Dialektologi Diakronis: Sebuah Pengantar”, Mahsun (1995)
memberi batasan tentang dialektologi diakronis sebagai suatu kajian tentang perbedaan-perbedaan
isolek yang bersifat analitis sinkronis dengan penafsiran perbedaan-perbedaan isolek tersebut
berdasarkan kajian yang bersifat historis atau diakronis. Dengan kata lain, dialektologi adalah kajian
tentang “apa dan bagaimana” perbedaan-perbedaan isolek yang terdapat dalam satu bahasa.
Pengertian dialektologi diakronis yang dikemukakan Mahsun tersebut berangkat dari kenyataan
bahwa bahasa manusia selalu hadir dalam wujud yang heterogen, bukan homogen. Oleh karena itu,
dalam satu bahasa akan selalu muncul varian-varian baik yang bersifat dialektal maupun
subdialektal. Selanjutnya, varian-varian itu baik yang berupa varian yang bersifat dialektal maupun
subdialektal tidaklah muncul secara seketika dalam satu waktu yang simultan (bersamaan). Sebagai
contoh, munculnya vokal tinggi, belakang, tengah: e secara teratur pada posisi silabe ultima yang
berakhir konsonan /t, r, s/ dalam bahasa Sumbawa dialek Sumbawa Besar (BSDB) yang
merefleksikan vokal tinggi, belakang: *u bahasa Sumbawa Purba (Pra-Sumbawa), misalnya:
*takut > BSDSB: taket ‘takut’,
*kamut > BSDSB: kamet ‘sabut’
*ñur > BSDSB: ñer ‘kelapa’
*bədus > BSDS: bədes ‘kambing’ tidaklah terjadi karena adanya keinginan yang menggebu-gebu
dari para penutur BSDSB untuk secara serentak mengucap bunyi *u menjadi [e], seperti contoh di
atas, melainkan ada beberapa penutur yang dalam jangka waktu tertentu mengucapkan *u sebagai
[e], lalu kecenderungan itu menyebar pada penutur-penutur lainnya. Pandangan ini, mengisyaratkan
bahwa perubahan suatu bahasa ke dalam berbagai perbedaan dialektal membutuhkan waktu. Begitu
pula perubahan suatu isolek sehingga memunculkan dialek temporal, terjadi dalam satu tenggat
waktu tertentu, sesuai dengan tengat waktu yang dijadikan dasar dalam periodisasi itu sendiri.
Semakin panjang perjalanan suatu bahasa, maka akan semakin banyak perbedaan isolek yang
muncul dalam bahasa itu. Dengan kata lain, semakin banyak perbedaan isolek dalam suatu bahasa
maka akan mengindikasikan perjalan waktu yang panjang dialami oleh bahasa tersebut. Dalam pada
itu, wilayah-wilayah bahasa tempat terjadinya banyak perbedaan isolek, dapat ditentukan sebagai
wilayah yang menjadi tanah asal penutur bahasa tersebut (periksa Dyen, 1956).
Dengan berpijak pada pandangan historis di atas, maka semua keragaman isolek yang
membentuk dialek-dialek atau subdialek-subdialek yang terjadi akibat perkembangan historis suatu
bahasa, memiliki kedudukan yang setara. Oleh karena itu pula, dalam pandangan historis,
pembicaraan tentang dialek atau subdialek hanya dimungkinkan untuk dilakukan jika dikaitkan
dengan sebuah bahasa yang menjadi induk dialek atau subdialek tersebut. Apabila suatu bahasa
induk menurunkan lebih dari satu dialek dan subdialek, maka dalam konteks historis itu pula
pembicaraan tentang dialek haruslah dikaitkan dengan dialek lainnya yang terdapat dalam bahasa
yang sama, bahkan lebih jauh pembicaraan tentang dialek-dialek/subdialek-subdialek tersebut dapat
dikaitkan dengan dialek-dialek dari bahasa lain, yang turut menentukan eksistensi dialek-
dialek/subdialek-subdialek dari bahasa yang diteliti. Yang terakhir ini tentu berkaitan dengan
inovasi eksternal yang dialami oleh dialek-dialek atau subdialek-subdialek tersebut.
Pandangan secara historis semacam itu merupakan pandangan yang memokuskan
pembicaraan tentang “bagaimana” suatu dialek/subdialek, suatu pembicaraan yang berkaitan dengan
bagaimana kita menentukan eksistensi suatu dialek atau subdialek. Dengan demikian, dapat
diringkaskan bahwa secara historis pembicaraan tentang dialek/subdialek adalah pembicaraan
tentang “bagaimana” eksistensi dialek/ subdialek itu, yang mencakup:
a. hubungan dialek-dialek/subdialek-subdialek dengan bahasa induk yang menurunkannya;
b. hubungan antardialek/subdialek itu satu sama lain; dan
c. hubungan antardialek/subdialek itu dengan dialek-dialek/subdialek-subdialek dari
bahasa lain, yang diduga ikut pula membentuk jati diri dialek-dialek/subdialek-subdialek
dari bahasa yang diteliti.
Selanjutnya, oleh karena pembicaraan secara historis/diakronis dimungkinkan dapat
dilakukan jika telah tersedia bahan (hasil) yang bersifat deskriptif/sinkronis, maka dalam pengertian
historis/diakronis itu pula terkandung pengertian yang bersifat sinkronis. Dalam pembicaraan yang
bersifat deskriptif/sinkronis dilakukan upaya menjawab persoalan “apa” itu dialek/ subdialek. Suatu
pembicaraan yang berhubungan dengan parameter (metode) yang digunakan untuk menentukan
bahwa perbedaan-perbedaan isolek yang terdapat dalam bahasa modern itu adalah perbedaan
dialek/subdialek serta ciri-ciri linguistis yang menandai dan membedakan dialek-dialek/subdialek-
subdialek itu satu sama lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapatlah dikemukakan cakupan garapan bidang
kajiandialektologi diakronis atas dua aspek, yaitu aspek deskriptif dan aspek historis. Mengapa
perlu dilakukan kajian dari aspek deskriptif (sinkronis)?Hal ini disebakan kajian diakronis hanya
dimungkinkan untuk dilakukan jika kajian secara denkriptif (sinkronis) telah dilakukan terlebih
dahulu. Uraian fakta secara sinkronis itulah yang ditafsirkan/ditelaah lebih lanjut dari aspek
diakronis (historis). Adapun hal-hal yang dilakukan dalam kedua aspek itu, msing-masing
dijelaskan berikut ini.
Dari aspek deskriptif (sinkronis) pengkajiannya ditujukan pada upaya-upaya berikut ini.
a. Pendeskripsian perbedaan unsur-unsur kebahasaan yang terdapat dalam bahasa yang
diteliti. Perbedaan itu mencakup bidang fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan
semantik; dan termasuk pula perbedaan unsur kebahasaa dari aspek sosiolinguistik,
khususnya yang berkaitan dengan unda usuk (tingkatan bahasa).
b. Pemetaan unsur-unsur kebahasaan yang berbeda itu.
c. Penentuan isolek sebagai dialek atau subdialek dengan berpijak pada unsur-unsur
kebahasaan yang berbeda, yang telah dideskripsikan dan dipetakan itu.
d. Membuat deskripsi yang berkaitan dengan pengenalan dialek atau subdialek melalui
pendeskripsian ciri-ciri fonologis, morfologis, sintaksis, dan leksikal, yang menandai
dan/atau membedakan antara dialek atau subdialek yang satu dengan lainnya dalam
bahasa yang diteliti.
Kemudian, dari aspek diakronis (historis) pengkajiannya ditujukan pada upaya-upaya:
a. Membuat pengelompokan dialek/subdialek dan menentukan relasi kedekatan antarsatu
sama lain dalam bentuk pohon kekerabatan dialek;
b. membuat rekonstruksi prabahasa (pre-language) bahasa yang diteliti dengan
memanfaatkan evidensi yang terdapat dalam dialek/subdialek yang mendukungnya;
c. penelusuran saling hubungan antara unsur-unsur kebahasaan yang berbeda di antara
dialek atau subdialek bahasa yang diteliti;
d. membuat analisis dialek/subdialek de dalam dialek/subdialek relik (dialek yang lebih
banyak mempertahankan atau memelihara bentuk kuno) dan dialek/subdialek
pembaharu. Dengan kata lain, membuat analisis dialek/subdialek yang konservatif dan
inovatif;
e. dalam pengertian yang terbatas, mambuat rekonstruksi sejarah daerah yang diteliti.
Sekadar penjelasan ihwal sasaran dari kajian dialektologi diakronis di atas dijelaskan satu
per satu berikut ini.

1.2.1 Deskripsi Perbedaan Unsur Kebahasaan


Langkah yang pertama-tama dilakukan untuk membuat deskripsi perbedaan unsur
kebahasaan adalah mengumpulkan data dari daerah pakai isolek yang dijadikan sampel tempat
pengambilan data kebahasaan (lebih lanjut dalam pengambilan sampel, penentuan informan dapat
dilihat dalam Mahsun, 1995 dan 2007). Setelah data dikumpulkan kemudian dilakukan analisis awal
dengan memasukkan data ke dalam lembar tabulasi. Terdapat dua jenis lembar tabulasi dalam
rangka deskripsi perbedaan unsur kebahasaan, yaitu lembar tabulasi pertama, disebut juga tabulasi
tahap I, berisi hal-hal yang berkait dengan kode glos, bentuk yang menjadi realisasi makna tertentu
menurut daerah pengamatannya (daerah pakai bahasa yang menjadi sampel penelitian). Dalam
lembar tabulasi tahap I ini semua bentuk yang menjadi realisasi makna/glos tertentu diurut menurut
bentuk-bentuk yang dihipotesiskan sebagai bentuk-bentuk yang diturunkan dari sebuah bentuk
purba. Dengan kata lain, diurut menurut bentuk-bentuk yang diduga berasal dari satu etimon,
sekadar contoh berikut ini.
Tabulasi Tahap I

No. Kode Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan


I. Kosa Kata Dasar
1. I.2 air Aiq 1,2,4,5
Eiq 6
Êiq 7
We 3
2. I. 3 akar Akar 1-7
3. I.9 api Api 1-5
Epi 6
Êpi 7
4. I. 15 baik balOŋ 1-7
gəraq 1,3,4
5. I. 37 bulan Bulan 1-5
Bulen 6
Bulên 7
6. I. 38 bulu Bulu 1-7
I. 48 daging əmpaq 1-7
Isiq 5,6
II. Kosa Kata Selain Kosa Kata Budaya Dasar
1. II. A.1 ‘alis’ Kidat 1-4,7
Kijat 5,6
II. A. 5 bibir Biar 1-3
Biwer 4,7
bihər 6
Bihir 5
II.A. 35 pantat tOmOŋ 1,2,6
Buret 3-5
Buet 7
II. C.5 adik Ariq 1,2,4,5
Eriq 6
Êriq 7
Ali 3

Pada lembar tabulasi tahap I di atas terlihat bahwa semua data yang dikumpulkan tetap
terekam, baik glos yang memperlihatkan realisasinya bervarian maupun yang tidak bervarian
(perhatikan glos pada nomor urut 2 dan 6 tidak direalisasi dalam berbagai bentuk yang berbeda,
melainkan direalisasikan hanya dalam satu bentuk). Selain itu, pada tabulasi I, belum tergambar
jenis perbedaan unsur kebahasaan yang dideskripsikan, apakah termasuk perbedaan fonologi,
leksikon, morfologi, sintaksis, atau semantik. Untuk itu, langkah selanjutnya adalah membuat
analisis perbedaan unsur kebahasaan dalam bentuk tabulasi II dengan langkah menyisihkan glos
yang realisasinya hanya dalam satu bentuk, karena data ini tidak diperlukan bagi analsisi variasi
bahasa. Artinya, karena linguistik diakronis merupakan studi variasi bahasa, maka glos yang tidak
memperlihat variannya tidak perlu dianalisis. Kemudian menetapkan pada tataran apa deskripsi
perbedaan itu akan dilakukan, apakah akan dilakukan pada semua tataran linguistik atau hanya pada
tataran linguistik tertentu. Mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, analisis
perbedaan unsur kebahasaan dapat difokuskan pada perbedaan yang secara universal banyak terjadi
dalam bahasa-bahasa di dunia, yaitu bidang fonologi dan leksikon. Untuk keperluan penjelasan
sekadarnya, deskripsi perbedaan unsur kebahasaan akan difokuskan pada kedua tataran lingusitik
tersebut, sehingga data yang termuat dalam tabulasi I di atas dapat dianalisis lebih lanjut dalam
bentuk tabulasi tahap II berikut ini.

Tabulasi Tahap II
Perbedaan Fonologi

A. Perbedaan yang Berupa Korespondensi

No. Kode Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan


I. Kosa Kata Dasar
1. I.2 air a ≅ e ≅ ê/#-
1,2,4,5
aiq
Eiq 6
Êiq 7
We 3
I. 9 api Api 1-5
Epi 6
Êpi 7
II.C.5 adik a(r,l)iq 1,2,3,4,5
Eriq 6
Êriq 7
B. Perbedaan yang Berupa Variasi
No. Kode Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan
I. Kosa Kata Dasar
1. I. 37 bulan a~e~ê /-K#
bulan 1-5
Bulen 6
Bulên 7
II. Kosa Kata Budaya Dasar
1. II.1 ‘alis’ d~j /V-V
kidat 1-4,7
Kijat 5,6
2. II. 5 bibir 1. Ǿ~w~h/V-V
biar 1-3
Biwer 4,7
bih(i, ə)r 5,6
2. a~e~ə~i/-K#
Biar 1-3
Biwer 4,7
bihər 6
Bihir 5
3. II.35 pantat 1. a r~Ǿ/V-V
buret 3-5
Buet 7
b. tOmOŋ 1,2,6

Tabulasi Tahap II
Perbedaan Leksikon

No. Kode Glos Bentuk Realisasi Daerah Pengamatan


I. Kosa Kata Dasar
1. I. 48 daging əmpaq 1-4,7
Isiq 5,6
II. Kosa Kata Budaya Dasar
1. II.35 pantat tOmOŋ 1,2,6
bu(r)et 3-5,7
2. I. 15 baik balOŋ 1-7
gəraq 1,3,4

Analisis yang berupa deskripsi perbedaan unsur kebahasaan tahap II di atas dilaksanakan
melalui tahapan berikut ini.
a. Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang berbeda yang diduga merupakan
refleks dari etimon yang sama.
b. Penyusunan kaidah perbedaan fonologis dengan berlandaskan pada prinsip
historis yang menyatakan bahwa: (1) bentuk yang lebih kompleks, yang
monomorfemis, dihipotesisikan sebagai bentuk asal, karena secara diakronis,
bahasa-bahasa di dunia berkembang dari bentuk yang lebih panjang ke bentuk
yang lebih sederhana (pendek), (2) bunyi konsonan berubah atau selalu muncul
sebagai konsonan bukan sebagai vokal dan bunyi vokal berubah atau selalu
muncul sebagai vokal, bukan sebagai konsonan; (3) vokal tengah, depan atau
belakang masing-masing diturukan dari vokal tinggi depan atau belakang; (3) buyi
bersuara sealu menjadi asal dari bunyi takbersuara.
c. Membuat kaidah perbedaan fonologis dengan mengidentifikasi perbedaan pada
posisi awal, menyusul ke posisi tengah (antarvokal atau antarkonsonan), dan
akhir.
d. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu kemungkinan
pengkaidahan, maka setiap kemungkinan pengkaidahan ditempatkan dalam
alternatif pemetaan yang berbeda. Perhatikan misalnya, makna ‘bibir’ yang
memiliki dua alternatif pemetaan.
e. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang
semua bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya.
f. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa etimon, maka setiap kelompok yang memiliki lebih dari satu
refleks harus dikaidahkan, kecuali refleks-refleks dari etimon itu memiliki sebaran
geografis yang sama.
g. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimonnya ditempatkan dalam alternatif
pemetaan yang berbeda, selama bentuk-bentuk yang seetimon itu dapat dikaidah
secara lengkap: posisi awal, tengah, dan akhir.
h. Apabila hanya dapat dikaidah satu kali, maka kaidah itu akan muncul berulang-
ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda, sejumlah kemungkinan pemetaan
bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut.
i. Urut-urutan bunyi dalam pengkaidahan harus konsisten. Artinya, apabila pada
pengkaidahan dalam glos/makna tertentu digunakan urutan kaidah: a ≅ e ≅ê/#-
maka pemetaan pada alternatif pemetaan glos lainnya harus mengikuti urutan
tersebut. Bahwa mana yang lebih dahulu [a], [e], atau [ê]atau sebaliknya tidaklah
menjadi persoalan, karena pembedaan pada tataran ini masih bersifat horisontal
bukan vertikal, yang penting selalu konsisten dengan pengurutan tersebut.
(perhatikan glos air, api, dan adik pada tabulasi tahap II telah disatukan dalam satu
kaidah sehingga perbedaan itu bersifat teratur karena satu kaidah dapat berlaku
pada lebih dari satu makna/glos (lihat tabulasi II tentang perbedaan yang berupa
korespondensi di atas).
j. Baik deskripsi perbedaan unsur kebahasaan dalam bentuk tabulasi I dan tabulasi
II,kedua-duanya disebut sebagai peta verbal, karena kedua-duanya menampilkan
bentuk yang menjadi realisasi makna tertentu lengkap dengan sebaran
geografisnya. Hanya saja, tampilannya tidak dalam bentuk peta geografis, tetapi
terurai secara verbal.
Pada peta tabulasi II tergambar bahwa bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos-glos di
atas sudah terpilah atas jenis perbadaan unsur kebahasaan pada tataran tertentu, yang dalam hal ini
perbedaan fonologi dan leksikon, serta sebaran geografisnya. Berbeda dengan tabulasi I yang hanya
memperlihatkan sebaran bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos atau makna-makna tersebut
serta sebaran geografisnya belum terpilah atas perbedaan pada tataran tertentu.

1.2.2 Pemetaan Perbedaan Unsur Kebahasaan


Data yang telah direduksi menjadi peta verbal II, selanjutnya dipindahkan ke dalam peta
peragaan (displaymap) atau peta geografis sehingga bentuk-bentuk tersebut terlihat dalam
perspektif geografis di mana bentuk itu digunakan. Pemetaan secara geografis ini merupakan tujuan
akhir dari tahapan kerja reduksi data di atas.Ada tiga cara atau metode yang dapat digunakan dalam
membuat peta perbedaan unsur kebahasaan, yaitu metode pemetaan langsung, menggunakan
lambang (metode pelambangan), dan metode petak. Metode pemetaan langsung dilakukan dengan
cara memindahkan unsur-unsur bahasa yang memiliki perbedaan itu ke atas peta dasar (peta yang
memuat daerah-daerah sampel penelitian). Metode ini dipandang efektif, jika realisasi unsur-unsur
yang berbeda itu memungkinkan untuk ditulis semuanya dalam peta menurut daerah pemakaiannya.
Adapun pemetaan dengan metode pelambangan maksudnya, mengganti unsur-unsur bahasa yang
berbeda itu dengan lambang yang dituliskan di sebelah kanan daerah pengamatan yang
menggunakan bentuk (untuk perbedaan fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis) atau makna (untuk
perbedaan semantik) yang dilambangkan itu; sedangkan metode petak maksudnya, daerah-daerah
pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna tertentu yang dibedakan dengan daerah-daerah
pengamatan yang menggunakan bentuk atau makna yang lain dipersatukan oleh sebuah garis,
sehingga keseluruhan peta terlihat terpetak-petak menurut daerah-daerah pengamatan yang
menggunakan unsur-unsur kebahasan yang serupa. Terdapat tiga teknik pemetaan dengan sistem
petak, yaitu teknik petak langsung, petak warna, maksudnya setiap petak diberi warna tertentu
sesuai dengan warna yang dipilih untuk melambangkan bentuk-bentuk yang digunakan pada
daerah-daerah pengamatan tersebut, dan petak garis (diarsir). Lebih jauh ihwal pemetaan dengan
ketiga sistem tersebut dapat dilihat dalam Mahsun (1995).
Selain dari peta peragaan di atas, juga terdapat peta penafsiran (interpretativemap), yaitu
peta yang memuat akumulasi pernyataan-pernyataan umum mengenai distribusi tentang perbedaan
unsur-unsur kebahasaan yang dihasilkan berdasarkan peta peragaan, contohnya peta yang dibuat
Jochnowitz tentang telaah tapal batas bahasa Prancis Utara dan Prancis Selatan, yang dibuat
berdasarkan peta peragaan Gielliron (periksa Mahsun, 1995). Peta penafsiran ini, untuk dialektologi
diakronis di samping berisi hal-hal yang berkaitan dengan inovasi dan relik, juga di dalamnya dapat
termasuk peta berkas isoglos.

1.2.3 Penentuan Status Isolek Sebagai Bahasa, Dialek, atau Subdialek


Dalam penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, subdialek dapat digunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan kuantitatif dan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif
difokuskan pada penggunaan metode dialektometri. Namun, perlu diingat bahwa sebelum
penggunaan metode dialektometri tahap yang harus dilakukan pertama-tama adalah memilih salah
satu dari sejumlah kemungkinan pemetaan yang dapat dilakukan dalam setiap glos (perhatikan
tabulasi tahap II contoh yang diambil dari bahasa Sumbawa dialek Jereweh di atas, glos ‘bibir’yang
memperlihatkan kemungkinan pemetaan lebih dari satu). Mengingat bahwa, suatu glos tertentu,
memiliki alternatif pemetaan lebih dari satu, sedangkan untuk keperluan analisis data selanjutnya
hanya diperlukan satu peta untuk setiap glosnya, maka diperlukan suatu pegangan dalam memilih
salah satu dari alternatif pemetaan yang terdapat dalam setiap glosnya. Adapun pegangan dalam
memilih salah satu dari keseluruhan alternatif pemetaan itu adalah berikut ini.
a. Dari sudut pandang perbedaan fonologis, dipilih alternatif peta yang kaidahnya sama
dengan kaidah dalam alternatif pemetaan pada glos lainnya. Pengertian sama di sini
tidak hanya sama kaidahnya, tetapi sama atau relatif sama daerah yang disatukan
oleh kaidah tersebut. Hal ini bermanfaat untuk mengidentifikasi peta yang berupa
korespondensi(periksa tabulasi tahap II untuk makna ‘air’, ‘api’, dan ‘adik’ di atas).
b. Setelah dilakukan identifikasi seperti langkah (a) di atas, dan ternyata tidak
ditemukan alternatif peta yang sama kaidahnya dari semua glos itu, maka langkah
selanjutnya, pilihlah alternatif peta pada glos-glos itu yang secara bersama-sama
mempersatukan daerah pengamatan yang sama atau relatif sama.
c. Setelah langkah (a) dan (b) dilakukan, maka glos sisanya yang belum ditentukan
alternatif pemetaan yang akan dipilih, ditentukan dengan tetap mempertimbangkan
akan adanya dukungan bagi penetapan daerah pengamatan atau kelompok daerah
pengamatan tertentu sebagai daerah pakai isolek yang berbeda dengan lainnya.
Apabila langkah ini tidak memungkinkan, pilihlah alternatif pemetaan secara mana
suka (Mahsun, 2007).
Patut diingatkan bahwa, langkah-langkah analisis di atas harus dilakukan secara hirarkhis,
artinya langkah (a) lebih dahulu, setelah itu diikuti langkah (b) dan (c). Setelah tahap-tahap di atas
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah penerapan metode dialektometri, melalui dua tahap
berikut ini.
a. Gunakanlah sebagai pegangan penamaan bahasa menurut pengakuan penutur;
b. Kelompokkan DP yang oleh penuturnya sebagai kelompok pemakai bahasa yang sama;
c. Lakukan penghitungan dialektometri secara internal kelompok pemakai bahasa yang sama
itu lebih dahulu untuk menjustifikasi apakah memang benar kelompok DP itu pemakai
bahasa yang sama;
d. Hindari penghitungan dialektometri dengan segi tiga antar-DP, tapi gunakanlah permutasi
antar-DP;
e. Apabila kelompok DP itu tersegmentasi ke dalam pemakai bahasa yang berbeda, maka
tetapkanlah wilayah DP tersebut sebagai pemakai bahasa yang berbeda.
f. Daerah pakai isolek yang terdiri atas satu DP dan diakui oleh penuturnya sebagai pemakai
bahasa tersendiri, maka tetapkanlah DP itu memang sebagai DP pemakai bahasa
tersendiri;
g. Langkah selanjutnya, adalah menghitung dialektometri tahap II dengan tujuan
menjustifikasi apakah DP atau kelompok DP yang telah ditentukan sebagai masing-
masing pemakai bahasa tersendiri itu sebagai bahasa yang berbeda.
h. Hasil penghitungan dialektometri tahap II inilah yang dijadikan patokan penentuan
jumlah bahasa, dialek, subdialek dalam wilayah penelitian.
Selain cara di atas, penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dapat
dilakukan dengan cara melakukan penghitungan dialektometri atas semua daerah pengamatan
(daerah yang menjadi sampel) secara serentak dengan menggunakan sistem permutasi
antardaerah pengamatan atau dengan menggunakan sistem segitiga antardaerah pengamatan.
Hasil dari penghitungan dialektometri secara serentak itu kemudian dianalisis untuk dilakukan
penentuan status isolek sebagai bahasa, dialek, atau subdialek dengan langkah-langkah:
a. Melakukan pengelompokan daerah pakai isolek atas daerah pakai bahasa atau dialek
dengan cara melakukan pemisahan kelompok berdasarkan persentase perbedaan tertinggi;
b. Menentukan kelompok-kelompok yang terpisahkan itu sebagai daerah calon pemakai
bahasa atau dialek yang berbeda sesuai tingkat persentase perbedaannya,
c. Menentukan daerah pengamatan/sampel yang belum termasuk dalam calon daerah
pakai bahasa atau dialek tersebut sebagai anggota dari salah satu calon bahasa atau dialek
yang telah ditetapkan dengan cara mencari persentase terkecil dari hubungan daerah
pengamatan tersebut dengan daerah pengamatan yang telah ditentukan sebagai calon bahasa
atau dialek tersebut;
d. Melakukan analisis kemungkinan daerah-daerah calon pemakai bahasa atau dialek
tersebut sebagai bagian dari salah satu calon bahasa atau dialek yang telah ditentukan
dengan memperhatikan persentase hubungan antarsesamanya yang lebih kecil;
e. Menetapkan daerah pengamatan yang dicadangkan sebagai calon bahasa atau dialek
beserta daerah pengamatan lain yang dapat dipersatukan dengannya sebagai daerah pakai
bahasa atau dialek tersendiri yang berbeda dengan lainnya.
Rumus yang digunakan untuk penghitungan dialetometri adalah berikut ini.

(S x 100) = d%

Keterangan :

S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain

n = jumlah peta yang diperbandingkan

d = jarak kosa kata dalam persentase

Hasil yang diperolehberupa persentase jarak


unsur-unsur kebahasaan di antara daerah-daerah pengamatan itu; selanjutnya digunakan untuk
menentukan hubungan antardaerah pengamatan dengan kriteria sebagai berikut.
81% ke atas : dianggap perbedaan
bahasa

51-80% : dianggap perbedaan dialek

31-50% : dianggap perbedaan subdialek

21-30% : diangggap perbedaan wicara

di bawah 20% : dianggap tidak ada


perbedaan

Kriteria di atas berlaku untuk perbedaan fonologi dan leksikon yang dihitung menjadi satu.
Tidak dilakukan pembedaan perbedaan kategori persentase untuk fonologi dan leksikon seperti
yang diusulkan Guiter, karena pembedaan semacam itu tidak cocok degan realita perubahan
bahasa. Guiter membedakan persentase untuk perbedaan fonologi dan leksikon seperti berikut ini.

% Perbedaan Fonologi % Perbedaan Leksikon Status Isolek


17 ke atas 81 ke atas dianggap perbedaan bahasa
12 -16 51 - 80 dianggap perbedaan dialek
8 - 11 31 - 50 dianggap perbedaan subdialek
4 -7 21 - 30 dianggap perbedaan wicara
0-3 20 ke bawah dianggap tidak ada perbedaan

Apabila diperhatikan persentase batas krusial antara suatu isolek disebut bahasa atau dialek
maka akan ditemukan batas maksimal untuk pebedaan fonologi adalah 16% dan perbedaan fonologi
adalah 80%. Dari titik krusial persentase perbedaan kedua tataran linguistik itu diperoleh
perbandingan 1:5;artinya, satu perbedaan fonologi sama dengan lima perbedaan leksikon. Asumsi
Guiter yang menetapkan bahwa perbandingan antara perbedaan fonlogi dengan leksikon 1:5 baru
berlaku jika perubahan dalam bahasa yang dapat memunculkan perbedaan itu berlangsung secara
teratur. Dari penelahaan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter
itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam isolek-isolek yang
berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang bersifat sporadik
(tidak teratur) daripada perubahan yang bersifat teratur (korespondensi).Penyangkalan terhadap
asumsi Guiter ini, sebenarnya telah menjadi perdebatan dalam tradisi penelusuran kekerabatan
bahasa-bahasa rumpun Indo-Eropa. Gillieron dan Wenker (masing-masing di Prancis dan Jerman)
telah membuktikan bahwa hipotesis Kaum Neogrammarian, tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Selain analisis di atas, pengelompokan isolek atas penutur bahasa, dialek, atau subdialek
yang sama dapat dilakukan melalui analisis kualitatif, yaitu menemukan ciri-ciri kesamaan
linguistik (sharedof linguistc features). Kesamaan ciri-ciri linguistik tersebut dapat berupa
kesamaan dalam memelihara unsur bahasa purba, maupun kesamaan dalam melakukan
pembaharuan (inovasi bersama). Kesamaan ciri-ciri linguistik dapat mencakupi semua tataran
kebahasaan, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Untuk bidang
fonologi, misalnya dapat dilihat berikut ini.

No. Makna/Glos Bentuk Realisasi Daerah Pakai Isolek


I. u ≅ì≅ e ≅ ə/-K#
kambing bədus 2-4,
bədìs 7-9
bədes 13-20, 22, 24, 26-30
bədəs 1,5,23
bedak, pupur Apus 2-4,
Apìs 7-9
Apes 13-20, 22, 24, 26-30
apəs 1,5,23
takut Takut 2-4,
Tacit 7-9
Taket 13-20, 22, 24, 26-30
takət 1,5,23
kelapa Ñur 2-4,
Ñìr 7-9
Ñer 13-20, 22, 24, 26-30
ñər 1,5,23
Dst.

Berdasarkan kaidah kesepadanan bunyi (korespondensi) di atas, daerah sampel dapat


dikelompokkan ke dalam beberapa daerah pakai isolek yang berbeda satu sama lain. Kita dapat
mengidentifikasi kelompok daerah pakai isolek (DPI) yang dapat memunculkan vokal belakang,
tinggi: [u] pada posisi silabe ultima berakhir konsonan [s, t, dan r), yaitu DPI: 2-4; kelompok DPI
yang merealisasikan vokal itu dengan vokal tengah, antara tegang dan kendur: [ì] untuk kelompok
DPI: 7-9; kelompok DPI yang merealisasikan vokal itu dengan vokal depan, tengah, tertutup: [e]
yaitu kelompok DPI: 13-20, 22, 24, 26-30; kelompok DPI yang merealisasikan vokal itu dengan
vokal tengah, tertutup: [ə] yaitu kelompok DPI: 1,5, dan 23. Apabila bentuk itu dihubungkan
dengan prinsip-prinsip historis, bahwa vokal tengah diturunkan dari vokal tinggi dan
membandingkannya dengan kasus dalam bahasa lain yang berkerabat (messolanguage cases),
misalnya dengan bentuk dalam bahasa Jawa atau Melayu, maka dapat dihipotetiskan bahwa bentuk
purba dari bentuk-bentuk dalam bahasa Sumbawa tersebut adalah bentuk-bentuk yang memelihara
vokal tinggi [u]. Dengan demikian, secara historis, kelompok-kelompok DPI yang merefleksikan
kesepadanan bunyi-bunyi di atas dapat diklasifikasi atas dua macam, yaitu kelompok DPI yang
secara bersama-sama masih memelihara bunyi dalam bahasa purbanya (retensi), dan kelompok DPI
yang melakukan pembaharuan (inovasi). Berdasarkan kedua kemungkinan itu, kita dapat
menjadikan bukti perubahan yang teratur ini sebagai salah satu fakta kualitatif dalam
mengelompokkan DPI sebagai pemakai subdialek, dialek, atau bahasa, yang sama. Kita dapat
menjelaskan bahwa, DPI: 2-4 adalah satu wilayah pemakai isolek yang sama, karena memiliki
kesamaan ciri linguistik, yaitu sama-sama memelihari usur bunyi purba: vokal tinggi, belakang:
*[u] pada silabe ultima yang berakhir konsonan: [s, r, dan t]; begitu pula untuk kelompok DPI: 7-9
adalah kelompok pemakai isolek yang sama, yang dibedakan dengan kelompok DPI: 2-4, karena
memiliki kesamaan ciri linguistik yang berupa inovasi bersama. Dalam hal ini, merefleksikan vokal
purba *[u]/ -K# sebagai vokal tengah, antara tegang dan kendur: [ì ]. Hal yang sama terjadi pula
untuk kelompok DPI: 13-20, 22, 24, 26-30 dan kelompok DPI: 1,5, dan 23. Kedua kelompok DPI
itu masing-masing disatukan sebagai kelompok pemakai isolek sendiri-sendiri karena memiliki
kesamaan ciri linguistik berupa refleksi bunyi purba: [*u], masing-masing sebagai: [e] dan [ə].
Apabila kesamaan ciri linguistik untuk kelompok DPI: 2-4 berupa retensi, maka kesamaan ciri
linguistik untuk masing-masing kelompok DPI: 7-9; 13-20, 22, 24, 26-30 ; dan kelompok DPI: 1,5,
dan 23 adalah berupa inovasi bersama antaranggota dalam kelompok.

Ciri-ciri kesamaan linguistik ini, baik berupa retensi maupun inovasi selain dapat menjadi
bukti untuk pengelompokan DPI sebagai pemakai subdialek, dialek, atau bahasa, dapat juga
dijadikan dasar pengelompokan beberapa bahasa dalam keluarga, rumpun atau filum yang sama
tergantung pada status isolek yang diperbandingkan. Apabila status isolek yang diperbandingkan itu
berstatus bahasa yang berbeda, maka penggunaan metode ini dimaksudkan sebagai upaya
pengelompokan bahasa-bahasa yang berkerabat; sebaliknya apabila DPI yang diperbandingkan itu
berstatus dialek atau subdialek, maka penggunaan metode ini dimaksudkan sebagai upaya
penentuan hubungan kekerabatan antardialek/subdialek dalam bahasa yang diteliti.
1.2.4 Pengenalan Dialek
Seperti dimaklumi bahwa dialek merupakan sesuatu yang otonom, oleh karena itu dialek
memiliki sistem linguistik tersendiri, baik menyangkut sistem fonlogi, morfologi, sintaksis, atau
leksikon. Itu sebabnya, di dalam pembahasan tentang pengenalan dialek maka yang dipaparkan
adalah ciri-ciri linguistik yang membedakan antara dialek yang satu dengan dialek lainnya. Ciri
linguistik tersebut dapat menyangkut ciri fonologis atau morfologis atau lainnya tergantung pada
keberadaan ciri-ciri linguistik yang membedakan dialek itu dengan dialek yang lain dalam bahasa
yang diteliti.

1.2. 5 Kekerabatan dan Pengelompokan Dialek


Pembahasan tentang penentuan kekerabatan dan pengelompokan dialek dimaksudkan
sebagai langkah awal sebelum rekonstruksi bahasa purba dilakukan. Dengan mempertimbangkan
persentase perbedaan unsur kebahasaan yang diperoleh melalui perhitungan dialektometri maka
dapat ditentukan dialek mana yang lebih dekat dengan dialek lainnya dalam suatu simpai
kekerabatan bahasa. Dialek yang memiliki persentase perbedaan yang rendah dalam hubungannya
dengan dialek lainnya, maka dialek itu dapat dihipotesiskan sebagai dialek yang lebih dekat
hubungannya, sehingga dialek-dialek itu dapat dikelompokkan sebagai dialek yang pada fase
historis tertentu memiliki sejarah yang sama. Sebagai contoh, hasil perhitungan dialektometri
terhadap keempat dialek bahasa Sumbawa memperlihatkan persentase berikut ini.

DSB 80
DT 68 79
DJ 64 80 67
DTn DSB DT
Berdasarkan persentase perbedaan fonologi danleksikon di atas dapat dikatakan bahwa DJ,
DT, dan DTn memiliki hubungan yang lebih dekat satu sama lain, karena persentase perbedaan
unsur kebahasaannya lebih rendah dibandingkan hubungan ketiga dialek itu dengan DSB. Oleh
karena itu, hubungan antardialek bahasa Sumbawa tersebut dapat digambarkan dalam bentuk
diagram berikut ini.
Pra-Sumbawa

Pra-DJTTn

DJ DT DTn DSB
Pohon kekerabatan di atas memperlihatkan bahwa ketika bahasa Sumbawa Purba (Pra-
Sumbawa) pecah ke dalam dialek-dialeknya tidak langsung menjadi empat dialek sekaligus,
melainkan pecah ke dalam dua kelompok besar yaitu dialek Sumbawa Besar (DSB) dan Pradialek
Jereweh - Taliwang-Tongo (Pra-DJTTn), lalu pada fase historis berikutnya Pra-DJTTn pecah
menjadi tiga dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo. Dengan kata lain, dialek Jereweh,
Taliwang, dan Tongo pada fase historis tertentu pernah menjadi satu dialek dan karena itu dialek-
dialek tersebut lebih dekat hubungannya satu sama lain dibandingkan hubungan ketiga dialek itu
dengan DSB.
Relasi kekerabatan antardialek itu sangat diperlukan untuk melakukan tahap selajutnya,
yaitu tahap rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan dialek-dialek tersebut. Melalui pohon
kekerabatan tersebut dapat ditentukan bukti-bukti dari dialek mana di antara keempat dialek itu
dapat digunakan untuk merekonstruksi bahasa purbanya. Idealnya, rekonstruksi unsur bahasa purba
dapat dilakukan jika bukti penggunaan bahasa diperlihatkan oleh keempat dialek tersebut. Namun,
dengan melihat pohon kekerabatan tersebut, rekonstruksi bahasa purba dapat dilakukan setidak-
tidaknya jika bukti kebahasaannya ditemukan pada dua dialek, yang salah satu dialeknya harus
merupakan bukti yang ditemukan pada DSB. Adapun bukti yang satunya dapat berasal dari salah
satu dari ketiga dialek lainnya, apakah itu dari DJ, DT, atau DTn.
Pengelompokan bahasa dalam bentuk pohon kekerabatan di atas sekaligus menggambarkan
bahwa penutur bahasa itu tersegmentasi ke dalam segmen yang lebih kecil (penutur dialek).
Penutur-penutur suatu dialek disatukan oleh kesamaan ciri-ciri kebahasaan yang mereka gunakan
dan dibedakan dengan penutur dialek lainnya juga oleh keberbedaan ciri-ciri kebahasaan mereka.
Persoalannya, adakah perbedaan ciri kebahasaan penutur dialek yang satu dengan penutur dialek
yang lain ditandai oleh perbedaan secara genetis atau adakah kesamaan ciri kebahasaan penutur-
penutur dalam satu dialek memiliki ciri genetis dominan yang sama. Dalam konteks inilah ruang
kolaborasi linguistik dengan genetika menjadi terbuka.
1.2.6 Rekonstruksi Bahasa Purba
Bahasa purba tidak lebih dari suatu rakitan teoretis yang dirancang dengan cara
merangkaikan sistem isolek-isolek yang memiliki hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-
kaidah secara sangat sederhana (bandingkan dengan Bynon, 1979: 71). Oleh karena itu, sosok
bahasa purba bukan merupakan wujud nyata suatu bahasa, tetapi merupakan “bangunan bahasa”
yang dirakit secara teoretis-hipotetis. Rakitan bahasa purba merupakan prototipe isolek-isolek yang
seasal (lihat pula Haas, 1966: 124). Dalam pada itu pula, rekonstruksi bahasa purba merupakan
upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang menurunkan islek-isolek modern, yang
digunakan oleh penutur-penutur pada masa sekarang.
Sebelum dilakukan rekonstruksi bahasa purba (protolanguage) dari bahasa-bahasa
berkerabat yang mendukung bahasa purba tersebut terlebih dahulu harus ditentukan hubungan
kekerabatan antara bahasa-bahasa itu. Penentuan hubungan kekerabatan dilakukan, jika bahasa
purba itu menurunkan lebih dari dua bahasa. Meskipun disadari bahwa suatu bahasa purba dapat
saja menurunkan secara bersama-sama lebih dari dua bahasa, namun penentuan hubungan
kekerabatan tersebut mutlak diperlukan.
Sekadar penjelas kita kembali pada pohon kekerabatan bahasa Bali-Sasak-Sumbawa di atas.
Hubungaan kekerabatan yang diperlihatkan dalam bentuk diagram pohon tersebut memainkan
peran yang sangat penting dalam rekonstruksi bahasa purba, baik yang berupa prabahasa, maupun
protobahasa. Peran yang sangat penting tersebut terkait dengan bukti kebahasaan yang terdapat
dalam bahasa mana yang harus ada, jika rekonstruksi bahasa purbanya dilakukan. Apabila
rekonstruksi yang akan dilakukan itu adalah rekonstruksi bahasa purba pada tingkat Protobahasa
Bali-Sasak-Sumbawa, maka bukti (evidensi) kekognatan (kekerabatan) paling tidak harus terdapat
dalam dua bahasa dan salah satu merupakan bukti dalam bahasa Bali. Apabila bukti kekognatan itu
hanya ditemukan pada dua bahasa: bahasa Sasak dan Sumbawa, maka rekonstruksi hanya dapat
dilakukan pada tataran Protobahasa Sasak-Sumbawa, bukan pada tataran Protobahasa Bali-Sasak-
Sumbawa.

Dengan demikian, berdasarkan pohon kekerabatan itu terdapat dua tingkatan kekunaan
bahasa purba yang dapat direkonstruksi, yaitu bahasa purba Sasak-Sumbawa dan bahasa purba Bali-
Sasak-Sumbawa. Apabila evidensi/bukti kebahasaan itu ditemukan pada dua bahasa yaitu bahasa
Sasak dan Sumbawa, maka rekonstruksi bahasa purba hanya mungkin dilakukan pada level bahasa
purba Sasak-Sumbawa (Protobahasa Sasak-Sumbawa/PSS). Sebaliknya, jika evidensi kebahasaan
ditemukan pada dua bahasa, yaitu pada bahasa Bali dan bahasa Sasak atau bahasa Sumbawa maka
rekonstruksi dapat dilakukan pada level bahasa purba Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Akan
lebih kuat rekonstrusi itu, jika unsur kebahasaan yang direkonstruksi itu ditemukan pada semua
bahasa berkerabat yang diperbandingkan. Dengan demikian, penentuan kekerabatan bahasa sangat
penting dalam rekonstruksi bahasa purba.

Setelah diketahui hubungan kekerabatan antara isolek-isolek (dapat dialekatau bahasa) yang
diperbandingkanmaka langkah selanjutnya adalah penerapan metode rekonstruksi protobahasa.
Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode padan intralingual (PI) dan metode padan
ekstralingual (PE). Kedua metode ini memiliki teknik dasar yang berupa teknik banding. Metode PI
digunakan, jika yang direkonstruksi itu adalah etimon bentuk(-bentuk) protobahasanya sedangkan
metode PE digunakan, jika yang direkonstruksi adalah unsur makna (unsur semantis) dari bentuk
protobahasanya. Namun, mengingat rekonstruksi selalu melibatkan rekonstruksi etimon (bentuk)
dan makna, maka pada hakikatnya kedua metode ini diterapkan secara bersamaan.

Seperti dikemukakan di atas bahwa kerja diakronis (termasuk dalam hal merekonstruksi
bahasa purba) dilandasi oleh dua asumsi dasar, yaitu asumsi yang behubungan dengan hipotesis
keterhubungan (relatedness hypothesis) dan asumsi yang berhubungan dengan hipotesis keteraturan
(regularity hypothesis). Hipotesis keterhubungan berasumsi bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek itu,
pada dasarnya, berhubungan satu sama lain, karena semua bahasa/dialek yang ada di dunia berasal
dari satu bahasa induk (protobahasa atau prabahasa). Oleh karena itu, kerja perbandingan berusaha
menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang
berbeda tersebut. Adapun hipotesis keteraturan, dimaksudkan bahwa rekonstruksi bahasa induk itu
akan dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bahasa yang
bersifat teratur. Diasumsikan bahwa setiap (bentuk) suara dari suatu bahasa atau dialek akan
berubah dengan cara yang sama pada tiap keadaan dan kejadian yang sama. Dengan asumsi ini para
komparatifis dapat menghubungkan kata-kata yang mempunyai arti sama dari berbagai bahasa yang
berkerabat untuk direkonstruksi bahasa purbanya. Itu sebabnya pula, dalam pelaksanaan
kegiatannya diupayakan menjaring bentuk-bentuk yang menjadi realisasi suatu makna yang terdapat
dalam semua bahasa. Dalam hal ini, muncullah apa yang disebut dengan kosa kata dasar (basic
vocabulary) dengan beberapa asumsi dasar seperti diuraikan dalam seksi 2.3.2.2. Sesuai dengan
hakikat rekonstruksi protobahasa sebagai rekonstruksi internal (rekonstruksi dalam), maka yang
dipadankan atau dibandingkan itu adalah evidensi-evidensi yang terdapat dalam bahasa yang
direkonstruksi protobahasanya. Dalam hal ini, evidensi dalam bahasa-bahasa berkerabat yang
diperbandingkan tersebut.

Selanjutnya setiap teknik dasar dari kedua metode itu memiliki teknik lanjutan, yaitu
hubung banding menyamakan (HBM), hubung banding membedakan (HBB), dan hubung banding
menyamakan hal pokok (HBMP). Kedua metode ini memiliki teknik lanjutan yang sama, hanya
saja yang: dihubung-banding-menyamakan, hubung-banding-membedakan, dan hubung-banding-
menyamakan hal pokok dalam masing-masing metode itu berbeda. Dalam memtode padan
intralingual yang di-HBM-HBB-HBMP-kan (dihubung-banding-menyamakan, hubung-banding-
membedakan, dan hubung-banding-menyamakan hal pokok) adalah unsur-unsur yang bersifat
lingual, sedangkan dalam metode padan ekstralinguistik yang di-HBM-HBB-HBMP-kan adalah
unsur-unsur yang bersifat ekstralingual. Lebih jauh ihwal kedua metode di atas beserta teknik-
tekniknya dapat dilihat dalam Mahsun (2007).

Dalam pelaksanaan rekonstruksi protobahasa ketiga teknik metode padan tersebut selalu
digunakan. Teknik HBM dan HBB digunakan masing-masing untuk memilah unsur-unsur yang
berkognat dengan yang tidak berkognat serta mengelompokkannya; sedangkan teknik HBMP
digunakan dalam penentuan unsur protobahasanya. Untuk memperjelas hal di atas dilihat data
berikut ini.
Tabel 1Data Bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa

No. Glos Bahasa Sasak Bahasa Sumbawa


1. (di) mana mbe me
2. (me)pikul lembar lemar
3. Jambu ňambuq ňamuq
4. Lapangan ləndaŋ lənaŋ
5. Pendek pendeq pEnEk
6. Menuntun (binatang) denden denen
7. (me)bopong poŋgoq poŋoq
8. Ranting raŋgeq raŋeq
9. Kecil kOcEt odeq

Dalam berhadapan dengan data di atas, langkah yang pertama-tama dilakukan adalah
menetapkan tingkat bahasa purba yang akan direkosntruksi bentuk purbanya. Kita andaikan bahwa
tujuan penelitian kita adalah merekonstruksi etimon protobahasa Sasak-Sumbawa (PSS).
Rekostruksi etimon dimungkinkan dilakukan, jika evidensi dalam kedua bahasa turunannya (bahasa
Sasak dan Sumbawa) ditemukan. Dari tujuan penelitian itu kita dapat menentukan metode analisis
padan intralingual (beserta teknik-tekniknya) yang relevan untuk digunakan.
Dengan menggunakan teknik HBM dan HBB kita dapat memilah bentuk-bentuk yang
berkognat, serta mengelompokkannya. Bentuk-bentuk yang tidak berkognat dapat diabaikan,
sedangkan bentuk yang berkognat disimpan dalam matriks yang sama seperti tabel 1 dengan
menandai bentuk yang berkognat itu dengan tanda plus (+) dan tidak berkerabat dengan tanda
minus (-), seperti terlihat dalam tabel 2 berikut ini.

Tabel 2 Analisis Bentuk Berkerabat dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa

No. Glos Bahasa Sasak Bahasa Sumbawa kekognatan


1. (di) mana Mbe me +
2. (me)pikul Lembar lemar +
3. jambu ňambuq ňamuq +
4. lapangan ləndaŋ lənaŋ +
5. pendek Pendeq pEnEk +
6. Menuntun Denden denen +
(binatang)
7. (me)bopong Poŋgoq poŋoq +
8. ranting Raŋgeq raŋeq +
9. kecil kOcEt odeq -

Hasil analisis dengan teknik HBM dan HBB itu selanjutnya, dianalisis dengan teknik HBMP
untuk menentukan etimon protobahasanya. Hal pokok yang akan disamakan untuk merekonstruksi
sosok etimon protobahasanya adalah menyangkut formatif-formatifnya. Mengapa formatif-
formatifnya? Oleh karena yang akan direkonstruksi adalah etimonnya, (meskipun di dalamnya juga
terlibat rekonstruksi makna). Sebuah rekonstruksi etimon protobahasa selalu berkaitan dengan
formatif, karena maknanya sudah tidak menjadi masalah.

Rekonstruksi bahasa purba dengan menerapkan teknik HBMP didasarkan pada prinsip-
prinsip berikut ini.
1. Menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Hal ini penting
untuk menentukan status evidensi yang ditemukan dalam bahasa tersebut dan sekaligus
menentukan sampai tingkat mana rekonstruksi itu dapat dilakukan.Selain itu, dengan
mengetahui hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang diteliti dapat ditentukan jumlah minimal
evidensi yang diperlukan dan evidensi-evidensi mana yang diperlukan sehingga rekonstruksi
memungkin untuk dilakasanakan.

2. Mengetahui kaidah perubahan bunyi yang terjadi pada masing-masing bahasa.

3. Memulai rekonstruksi dengan mengambil bentuk atau bunyi yang memiliki kesamaan pada
semua bahasa.

4. Apabila bahasa-bahasa yang diperbandingkan itu memperlihatkan penggunaan lebih dari satu
bentuk untuk satu makna, maka rekonstruksi dilakukan lebih dari satu etimon (sejumlah bentuk
yang menjadi evidensi kekognatannya).

5. Apabila dalam bentuk evidensinya terdapat unsur morfofonemik, maka yang direkonstruksi
adalah morfem dasarnya.

6. Setiap korespondesi atau variasi bunyi harus direkonstruksi sebuah prafonem, kecuali dua
korespondeni atau variasi itu harus merupakan dua bunyi yang berbeda.

7. Setiap bunyi hanya direkonstruksi satu kali.

8. Setiap rekonstruksi ada protofonem, jadi, jika dalam bahasa-bahasa yang diperbandingkan
hanya ada satu fonem, sedang yang lainnya zero (ø), maka yang direkonstruksi adalah fonem
itu sendiri.

Dengan berpatokan pada prinsip-prinsip dasar rekonstruksi protobahasa di atas, maka hasil
penerapan teknik HBM dan HBB dapat dilanjutkan dengan penerapan teknik HBMP, karena tujuan
akhir dari penggunaan teknik HBM dan HBB adalah mencari kesamaan pokok di antara data yang
diperbandingkan tersebut. Dalam hal ini mencari kesamaan pokok, yang berupa kesamaan bentuk
asal (untuk rekonstruksi etimon prabahasa) dan kesamaan makna (untuk rekonstruksi makna
protobahasa).Dengan demikian, data yang dikemukakan pada tabel 2 di atas dapat direkonstruksi
etimon protobahasanya (PSS), seperti terlihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Rekonstruksi Etimon Protobahasa Sasak-Sumbawa

No. Glos Bahasa Sasak Bahasa Sumbawa PSS


1. (di) mana Mbe me *mbe
2. (me)pikul Lembar lemar *lembar
3. jambu ňambuq ňamuq *ňambuq
4. lapangan ləndaŋ lənaŋ * ləndaŋ
5. pendek Pendeq pEnEk *pendeq
6. Menuntun Denden denen *denden
(binatang)
7. (me)bopong Poŋgoq poŋoq * poŋgoq
8. ranting Raŋgeq raŋeq * raŋgeq
9. kecil - - -

1.2.7 Analisis Dialek Inovatif dan Konservatif


Analisis dialek inovatif dan konservatifdimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui sejah
mana dialek itu (penuturnya) melakukan kontak dengan penutur lainnya, yang karena itu dapat
diketahui dialek mana yang penuturnya lebuh dinamis dan mana yang kurang dinamis. Pemahaman
terhadap dialek yang inovatif dan konservatif mengindikasikan pula bahwa penuturnya masih
dominan mempertahankan keaslian atau lebih dominan meninggalkan keaslian. Dalam pada itu,
dapat dijawab apakah anatara fakta dialek yang inovatif dan konservatif itu juga sepadan dengan
fakta secara genetis. Dalam arti, apakah pada dialek yang inovatif terjadi dominasi munculnya
rekombinasi genetik, sedangkan pada dialek konservatif lebih dominan mempertahankan gen asli
kelompok penutur dialek tersebut.

1.2.8 Rekonstruksi Sejarah Daerah Bahasa yang Diteliti


Melalui rekonstruksi bahasa purba yang diawali dengan membuat diagram pohon
kekerabatan bahasa baik dalam kajian dialektologidiakronis maupun dalam kajian linguistik historis
komparatif sesungguhnya dapat dijelaskan (secara terbatas) tentang sejarah daerah dari bahasa yang
diteliti. Sebagai contoh Mahsun (2006a) menggambarkan kekerabatan dialek-dialek bahasa Sasak
dalam bentuk pohon kekerabatan berikut ini.
Pra-Sasak
Praa-o(-e)
Pra a(-e-e)

a-a. a-e e-e a-o

Pohon kekerabatan di atas menggambarkan bahwa bahasa Sasak Purba memiliki empat
dialek. Keempat dialek tersebut tidak secara langsung bersamaan diturunkan dari bahasa Sasak
Purba.Artinya, secara historis, bahasa Sasak Purba pertama pecah ke dalam dua dialek,
yaituPradialek a-o(-e), dan dialek a-a, baru dalam fase historis berikutnya Pradialeka(-e-e) masing-
masing pecah ke dalam dua dialek, yaitu dialek a-e dan dialek e-e. Apabila pohon kekerabatan ini
dihubungkan dengan kosntruksi fonologis yang dihipotesiskan sebagai konstruksi purbanya, yang
berupa konstruksi *a-a, seperti dalam etimon Pra-Sasak *mata < PAN *maCa ‘mata’, maka ketiga
konstruksi lainnya merupakan inovasi, yang dapat berupa inovasi eksternal: a-e dan a-o, dan invasi
internal: e-e (mata ~ mate ~ mete ~ mato ‘mata’). Munculnya dialek a-e dengan sebaran geografis
yang sangat luas, yang menyebar dari barat ke timur pulau Lombok sesungguhnya menggambarkan
besar dan luasnya pengaruh kerajaan Karang Asem, Bali atas kerajaan Selaparang, Lombok pada
abad ke-18.
Begitu pula munculnya dialek a-o tidak lepas dari pengaruh bahas Jawa, yang masuk ke
lombok sekitar abad ke-8. Ditemukannya pemakaian bahasa Jawa pada upacara perkawinan adat
sorong-serah dalam masyarakat Sasak membuktikan adanya pengaruh Jawa pada masyarakat Sasak.
Yang menarik justeru munculnya konstruksi e-e, yang ditemukan di salah satu dusun di desa
Selaparang, yang diduga menjadi bagian wilayah dari kerajaan Separang di Lombok Timur. Fakta
ini menggambarkan bahwa komunitas Sasak yang terdapat diwilayah tutur dialek e-e itu mencoba
menggambarkan kesasakannya dengan berusaha membedakan diri dari komunitas penjajah dengan
membuat bentuk kebahasaannya tidak sama dengan bahasa penjajah. Mengubah a-e menjadi e-e
atau mengubah bentuk yang mendapat pengaruh menjadi bentuk yang berbeda dari yang
mempengaruhi. Proses ini merupakan kreasi internal komunitas Sasak yang ingin memperlihat
kejelasan identitas komunitasnya melalui sarana bahasa. Secara historis fakta dialektal ini dapat
menjelaskan sejarah penutur bahasa Sasak yang terpilah ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
yang melakukan perlawanan kultural melalui sikap konservatif, yaitu komunitas yang berada di
wilayah pegunungan Sembalun, Bayan, dan wilayah pinggiran di Lombok Timur dengan ciri
dialeknya: a-a; kelompok yang melakukan perlawanan kultural melalui sikap inovatif, yaitu
komunitas yang berada di desa Selaparang dengan ciri dialeknya: e-e; dan kelompok yang
melakukan adaptasi kultural melalui penyesuaian ciri kulturalnya dengan ciri kultural komunitas
pendatang dengan ciri dialeknya: a-e dan a-o. Persoalannya, apakah secara genetis kelompok
penutur varian yang mempertahankan keaslian Sasak baik melalui sikap konservatif atau inovatif
(inovasi internal) memiliki ciri genetik dominan yang sama, berbeda ciri genetik
dominannyadengan penutur dialek a-e dan a-o yang cenderung malakukan adaptasi kultural dengan
kelompokpendatang? Dengan kata lain, adakah segmentasi pada tataran dialektal mencerminkan
pula segmental pada tataran genetis baik genotipe atau subgenotipenya. Terlepas dari persoalan di
atas, yang patut ditekankan di sini adalah, rekonstruksi sejarah Sasak yang disajikan melalui
serpihan-serpihan variasi kebahasaan di atas merupakan kepingan historis yang menarik untuk
dibandingkan dengan fakta linguistik dan genetika.

Bahan Pustaka Wajib


Mahsun.1995. Pengantar Dialektologi Diakronis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Mahsun. 2006. Linguistik Historis Komparatif. Yogyakarta: Gama Media.
Mahsun.2010. Genolinguistik: Kolaborasi Linguistik dan Genetika dalam Pengelompokan Bahasa
dan Populasi Penuturnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Mahsun. 2017. Metode Penelitian Bahasa Edisi Ketiga: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya.
Jakarta: Rajawali Pers, RajaGrafindo.

DATA BAHASA UNTUK TUGAS U1, U2, DAN U3

Perintah:

1. Pilih secara acak 10 buah glos (data kebahasaan) dari enam daerah pengamatan dari data
kebahasaan berikut untuk setiap mahasiswa.
2. Setiam mahasiswa hanya dibolehkan memiliki glos data yang sama sebanyak 2 buah
sedangkan delapan sisanya harus berbeda.
3. Berdasarkan 10 buah glos data yang Saudara pilih lakukan analisis berikut:
TUGAS U1
a. Buatlah deskripsi perbedaan unsur kebahasaan berdasarkan data yang Saudara pilih
dalam bentuk tabulasi 2 dan 3.
4. TUGAS U2: Buatlah peta (geografis) yang menggambarkan sebaran pemakaian bentuk-
bentu perbedaan unsur kebahasaan yang telah Saudara temukan tersebut.
5. TUGAS U3: Lakukan analisis penentuan status isolek berdasarkan peta bahasa yang Sadara
temukan itu dengan menggunakan metode dialektometri.
6. Kumpulkan tugas U1 pada pertemuan setelah liburan, presensi (daftar hadir diisi untuk
pertemuan selama 2 kali, nanti setelah masuk). Tugas untuk U2 dan U3 akan dikerjakan
setelah materi tentang hal itu sudah dijelaskan.
7. Data kebahasaan bahan analisis:
No. Varibael Daerah Pengamatan
Kosa Kata Dasar Seran (1) Sindu (2) Dusun Pancuran
Swadesh (Siren) (3)
1. Abu au (dapur), krpuk abu, an Au
(tanah)
2. Air Aiq toye, yEh Aiq
3. Akar Akar Akah akar
4. alir (me-) (aiq) ElEk malir, ElEk Alir
5. anak Anak Panak anak
6. angin ain ain, ain
7. anjing ac asu ac
8. apa Apa ap, Apa
9. api Api api, agni Api
10. apung (me-) mpal kamba mpal
11. asap pnat andus, asp pndt
12. awan aun-aun ambubu aun-aun
13. ayah bapaq, mamiq bap amaq
14. bagaimana kabEka, bEka kEnkEn umbe
15. baik bal mlah bagus
16. bakar tunu , sdut sdut sdut
17. balik Tulak tulak, mbalik tulak
18. banyak pnq, lgah liu, bga lueq
19. baring ninti, ñlinti msasa tindoq
20. baru bruq baru baru
21. basah Basaq blus basaq
22. batu Batu batu batu
23. beberapa Pia akud pira
24. belah (me-) tbk, blaq, blah, sibak blaq
tbeq
25. benar ttu bnah knaq
26. bengkak Baraq bsah baraq
27. benih Biniq bibit binEq
28. berat brat baat brat
29. berenang ()n n Enat
30. beri Ube baa sade
31. berjalan blaan mjalan lEkaq
32. besar rEaq gde bleq
33. bilamana Piyan pidan umbe
34. binatang binata burn binata
35. bintang binta binta binta
36. buah Buaq buah buaq
37. bulan Bulan bulan bulan
38. bulu Bulu bk bulu
39. bunga kma kmba, bu kmba
40. bunuh smateq matian smateq
41. buru (ber-) ñran mbrs ñran
42. buruk lE jle lE
43. burung kdit, kmanukan kdis kdIt
44. busuk mamu brk mambu
45. cacing jlati caci, lo (tanah) loa
46. cium iyuk adkin, diman iduk
(org)
47. cuci popoq (pakaian), umbah (pakaian), bisoq
bisoq (tangan) cut-cut (piring)
48. daging mpaq be mpaq
49. dan Ke lan kanca
50. danau dan tlag mbu, kokoq
51. darah gti gtih daraq
52. datang data tke dat, kteq
52. daun Don dn gEdE
54. debu Au krpuk krpk
55. dekat rapt pk rapt
56. dengan Ke lan kanca
57. dengar mn diah da(h,r)
58. di dalam pa dalm juman leq dalm
59. di mana pa me dij leq mbe
60. di sini pa kaq, skaq diki, driki leq ite
61. di situ pa kun, skun deko Itu
62. pada pa sg pada
63. dingin gri diin ñt
64. diri (ber) nna mjojok anj
65. dorong sr tuludan sr
66. dua Dua due Dua
67. duduk mntk ngak tkl
68. ekor El ekoh El
69. empat mpat pat-pat, papat mpat
70. engkau kauq, sia (besar) ibaqe kamu
71. gali Kaliq kduk kaliq
72. garam Sira uyah Sia
73. garuk krk, karEk gEgEs karEk
74. gemuk, lemak mkh, uwur, mkh, muluk mkh
(l)lmu
75. gigi Isit gigi, untuh gigi
76. gigit Sot kakq, kart kekeq
77. gosok Roro gsk susuq
78. gunung gunu gunu gunu
79. hantam Jagur jagur amt
80. hapus sbrsiq, lap gsk, hapus susuq
81. hati Ate ati Ate
82. hidung iyu cooh id
83. hidup tlas idUp idup
84. hijau Ijo gada Ijo
85. hisap isap, Esp sdt isp
86. hitam Pisak slm bEd
87. hitung itu itu rEkE
88. hujan Ujen ujan ujan
89. hutan Gawah gawah gawah
90. ia ña i inta
91. ibu inaq mEmEq inaq
92. ikan mpaq nEq, be mpaq
93. ikat Taliq tgol taliq
94. ini Kaq niki inE
95. isteri binE kurnan sninaq
96. itu Kun nik Ito
97. jahit Jet jait Jit
98. jalan (ber-) blaan jalan lEkaq
99. jantung Ate jantu jantu
100. jatuh triq laboh triq
101. jauh jq jh jaq
102. kabut Kisap kabut aun-aun
103. kaki nE patis naE
104. kalau Lamin lamun lamun
105. kami, kita Kita ibaqe inta
106. kamu Kauq ibaqe anta
107. kanan Kanan knawan kanan
108. karena Karna awinan adeq
109. kata (ber-) bli ras kat
110. kecil dE crik bciq
111. kelahi (ber-) bsal mjaguran, bsual
mgjuh
112. kepala tak tndas tak
113. kering Tes tUh goro
114. kiri Kiri kEbt Kiri
115. kotor rmis daki kaq
116. kuku Kukuq kukuq kukuq
117. kulit lEn kulit lEnd
118. kuning kuni kuni kun
119. kutu Gutu kutu gutu
120. lain Len lEn Len
121. langit lait lait lait
122. laut Lot sgar sgara
123. lebar Guar ligah bleq, gar
124. leher krk ba bl
125. lelaki slaki mani mama
126. lempar plEwas slEmpa plEwas
127. licin llat bli llat
128. lidah Elaq layah Elaq
129. lihat Gitaq ciak, loken gitaq
130. lima Lima lim lima
131. ludah Tisuq kcuh Elr
132. lurus lomboq, lumbuq lurus lurus, lomboq
133. lutut kktut, ntun lutut kktut
134. main bjraq, maen plalian bkdEk
135. makan maan maam maan
136. malam pta pt kklm
137. mata Mata mate mata, pnnt
(halus)
138. matahari Matano sury jlo
139. mati Mate sede, madm, mate
bake
140. merah aba barak aba
141. mereka slapuq, dan i anta
142. minum inum nq Enm
143. mulut Babaq bebeh tdk
144. muntah utaq utah utaq
145. nama siin adan aran
146. napas briak akihan Iak
147. nyanyi mñañi mkmba mñañi
148. orang Tau jlm dan
149. panas Panas kbus panas
150. panjang Belo lanta belo
151. pasir Gres bias grEs
152. pegang ntiq gisi ntiq
153. pendek pEnEq, dendeq bawak kontEq
154. peras prs, rms prs prs
155. perempuan sbai loh nina
156. perut Tian basa Tian
157. pikir Piker mknah pikir
158. pohon Lolo puñan loloan
159. potong plak tugl pl
160. punggung baka tondun bkr
161. pusar pst pust pst
162. putih Puti potIh puteq
163. rambut Bulu bk bulu
164. rumput rbu pada rbu
165. satu skEq bsik skEq
166. saya Aku ia Aku
167. sayap klEtEk kamped klEtEk
168. sedikit skdiq ktk skdiq
169. sempit skt cupk skt, smpit
170. semua slapuq mkja slapuq
171. siang tari tai tari
172. siapa Sai sir si
173. suami ranE kurnan smamaq
174. sungai bra tukad kokoq
175. tahu tn tawa taq
176. tahun Ton taun tn
177. tajam mra tajp tajm
178. takut ktakut, no tan takUt takut
179. tali Tali tali Tali
180. tanah Tanaq tanah tanaq
181. tangan Ima limaq uma
182. tarik bEtak kd bEtk
183. tebal tbal tbl tbl
184. telinga kupi kupi tlia
185. telur tloq talUh tloq
186. terbang ibar mkbur kElEp
187. tertawa Kiat kdEk rereq
188. tetek Susu ññq susu
189. tidak No tusi ndeq
190. tidur Tunuq mbuq tindoq
191. tiga tlu tlu tlu
192. tikam (me-) gc tbk garuk, gacuk
193. tipis Ripis tepes tipis
194. tiup Tiup upin tiup
195. tongkat tunja tukd ttunja
196. tua lkaq tu taq
197. tulang tla tula tla
198. tumpul Tumpul pdk, puntul tumpul, l
199. ular Ular llipi ular
200. usus Baduk isi basa, jroan badk

No. Varibael Daerah Pengamatan


Kosa Kata Dasar Anjani (4) Pelabu (5) Tambang Ileh (6)
Swadesh
1. Abu awuk-awuk awk-awk an- an
2. air Aiq iq yEh
we
3. akar Akah akah akah
4. alir (me-) ElEk ElEk jalan
5. anak Anak anak panak
6. angin ain ngn angin
7. anjing as acng basng
basong cicing
8. apa ap ap ap
9. api Api pi Api
10. apung (me-) mpal mpal (ng) kambang
11. asap pndt pndt andus
12. awan urp urp awan
13. ayah Amaq amaq bap
14. bagaimana brmbe brmbE kEn-kEn
15. baik slah, mes slah mlah
bags luwung
16. bakar tunu, sdut tunuq sdut
sdut
17. balik Tulak mutr tulak-biasa
mwali-halus
18. banyak Loeq loeq Liu
19. baring lir nylili nggiring
20. baru baru, slah bru baru
21. basah Basaq basaq balus
22. batu Batu btu batu
23. beberapa pir-pir bEgaq bEgaq
24. belah (me-) teq blaq blah
tEk nyigar
25. benar ttu knaq bnah
26. bengkak Baq baq bngal
27. benih binEq binEq bibit
28. berat brat brat bahat
29. berenang n ngnng ngnng
30. beri bE bEng bahang
31. berjalan Lampaq lampaq mjalan
32. besar bleq bleq gde
33. bilamana piran piran pidan
34. binatang sato ssato ssato
35. bintang binta bintang bintang
36. buah buaq buaq buah
37. bulan bulan bulan bulan
38. bulu bulu bulu bulu
39. bunga kmba kmbang bung
40. bunuh smateq smatEq bunuh
41. buru (ber-) ñran nyrang mgrh
42. buruk bayk bayoq jlEq
43. burung kmanukan, kdit kdit kdis
sato
44. busuk bais bs brk
45. cacing le long jlati
46. cium seduk, ambu ngmbuq mmiq
47. cuci bisoq, popoq mopoq manting
48. daging mpaq mpaq Be
jangan
49. dan dait dat ajak
50. danau sgare anak danau danau
51. darah daraq daraq gtih
52. datang dat datng tk
52. daun daun dan dn
54. debu krpuk krpuk dbu
kmbl krpuk
55. dekat rapt rapt phk
56. dengan dait kanc kanc
57. dengar dah dngah dingah
58. di dalam leq dalam leq dalm jumahan
59. di mana leq mbe leq mbe ring dij
60. di sini leq te leq te iriki
61. di situ leq to leq to driko
62. pada jk leq kapin
63. dingin tlis (suasana), ñt nyt dingin
(makanan)
64. diri (ber) nanj, anjng (ng) jujuk
adg
65. dorong sr jlk drng
sorong
66. dua dua du dadu
67. duduk tkl tkl ngak
68. ekor El bontot Ekh
buntut
69. empat mpat mpat pat-pat
70. engkau sid, kamu kmu kamu
sid
71. gali kduk kduk ngduk
72. garam siâ si uyah
73. garuk kak kak garuk
74. gemuk, lemak lmu mkh mkh
lmu
75. gigi gigi gigi Isit
76. gigit kakq kakk cakk
77. gosok sk gsk sk, apus
78. gunung gunu gonung gunung
79. hantam jagur kpak jagur
jagr
80. hapus sk apus apus
sk
81. hati ate ate hati
82. hidung edu idung cunguh
83. hidup edup Edp idup
84. hijau ejo ijo gadang
85. hisap srut mt Isap
mt
86. hitam bid bidng badng
87. hitung it Etng itung
rEkEng rEkEng
88. hujan ujan ujan hujan
89. hutan gawar gawah abian
90. ia ni, i i i
91. ibu inaq inaq mEmE
92. ikan mpaq mpak Be

93. ikat talin nliq Tali


94. ini ne ne niki
95. isteri sninâ snin kurnan
96. itu no no nik
97. jahit jait jat Jait
98. jalan (ber-) lampaq lampaq jalan
99. jantung ks jntung jantung
100. jatuh triq triq labuh
101. jauh jaq jaq jh
dh
102. kabut awun-awun awn-awn kabut
103. kaki nae naE buntut
104. kalau lamun lamun lamun
105. kami, kita itâ it slapuq tiang sarngsami
it pad
106. kamu kamu, sid kmu kamu
sid
107. kanan kawan kawan knawan
kanan
108. karena sEaq sEngaq sakEwantn
109. kata (ber-) ras muni munyi
ngras

110. kecil kodeq kcEt-biasa cnik-biasa


kdEq alit-halus
111. kelahi (ber-) bsiaq bsiak gjh
bgjuh
112. kepala tak ongkoq sirah
113. kering gro, tais goro toh-biasa
tas kring-halus
kring
114. kiri kiri kiri kEbt
115. kotor rak, rim, ktr daki-biasa
gnun kuml kuml
116. kuku kukuq kukuq kuku
117. kulit lEnd lindong kulit
118. kuning kuni konEng kuning
119. kutu gutu gutu kutu
120. lain lain lEn lEn
bEd
121. langit lait lngt langit
122. laut sgarâ sgar sgar
123. lebar galuh gluh lEbar
linggah
124. leher bl blong bhng
125. lelaki mam mam muani
126. lempar plEwas plEwas ntungan
plEntng plEntng
127. licin llat llat blig
128. lidah Elaq Elaq layah
129. lihat gitaq, srik gitaq cingakin-
130. lima limâ lim lima
131. ludah Elr Elr kcuh
132. lurus lmbq lomboq kncng
papah papah
kncng
133. lutut jjku jngku ntud
134. main bjraq, bkdEk maEn maEn
135. makan maan bklor ngajng

136. malam klm klm ptng


kklm
ptng
137. mata mat mat pningalan
pnyingakan
138. matahari jlo jlo sury
139. mati mate matE mati
140. merah bEaq bEaq barak
141. mereka ni pad slapuq ratu id danE
142. minum inm nginm nginm
143. mulut biwih biwih cangkm
cocuk
144. muntah utaq ngutaq ngutah
145. nama arn aran adanE
146. napas brmbk mbk angkEhan
147. nyanyi blawas lgu nyanyi
nynyi nmbang
148. orang dan dngan jadma
149. panas panas panas kbus
lEtEng panas
150. panjang belo bilo lantang
151. pasir gres grEs bias
152. pegang tgl ngl gisi
153. pendek knteq kntEq bawak
154. peras pirs, ams prs prs
155. perempuan nin nin istri

156. perut tian tian basing-biasa


tng-halus
157. pikir pekir, ind mEkr pikir
158. pohon lolo lolon phn
wit
159. potong pl plng grk
grk tugl
160. punggung bukak bungkak tundun
161. pusar pst pust pungsd
162. putih poteq potEk putih
163. rambut bulu bulu bk
164. rumput pupak kupak padang
165. satu skEq, sopoq skEk asiki
sopoq
166. saya aku ku tiang
tiang
167. sayap klEtEk klEtEk kampid
168. sedikit skdiq skcEt akidik
skdik
169. sempit kutiq sukt cupk
170. semua llapuq slapuq mkjang
171. siang tari galEng tngai
tngri
172. siapa sai sai sir
173. suami smam smam laki
174. sungai kokoh, lapan kokoh blEq tukad
175. tahu taq taq nawang
176. tahun taun tan tahun
177. tajam tajp, mra tajp tajp
178. takut takut, pErt takt Takut
179. tali tali tli Tali
180. tanah tanaq tanaq Tanah
181. tangan imâ im lim
182. tarik kd, rs ntuq kdng
kdng
183. tebal tbl tbl tbl
184. telinga ki koing karn
kntok kuping

185. telur tlq tlq Taluh


186. terbang ksor ngkbr mkbr
187. tertawa dereq dErEk kdEq
188. tetek susu susu nynyq
189. tidak ndeq ndeq Bianak
190. tidur tindoq tidem msarE
tindoq
191. tiga tlu tlu tlu
192. tikam (me-) galah, gacuk gack back
galah gacuk
193. tipis tepes tangkls tangklis
tps
194. tiup tiup mps Upin
tEp
195. tongkat tunja tunjang tungkd
196. tua taq taq tu
197. tulang tla tlang Tulang
198. tumpul kl, topul tompl Tumpul
podoq
puntul
199. ular ulah ulah lipi
200. usus baduk baduk basang

Anda mungkin juga menyukai