Mahsun
Guru Besar Bidang Linguistik
Universitas Mataram
Pada lembar tabulasi tahap I di atas terlihat bahwa semua data yang dikumpulkan tetap
terekam, baik glos yang memperlihatkan realisasinya bervarian maupun yang tidak bervarian
(perhatikan glos pada nomor urut 2 dan 6 tidak direalisasi dalam berbagai bentuk yang berbeda,
melainkan direalisasikan hanya dalam satu bentuk). Selain itu, pada tabulasi I, belum tergambar
jenis perbedaan unsur kebahasaan yang dideskripsikan, apakah termasuk perbedaan fonologi,
leksikon, morfologi, sintaksis, atau semantik. Untuk itu, langkah selanjutnya adalah membuat
analisis perbedaan unsur kebahasaan dalam bentuk tabulasi II dengan langkah menyisihkan glos
yang realisasinya hanya dalam satu bentuk, karena data ini tidak diperlukan bagi analsisi variasi
bahasa. Artinya, karena linguistik diakronis merupakan studi variasi bahasa, maka glos yang tidak
memperlihat variannya tidak perlu dianalisis. Kemudian menetapkan pada tataran apa deskripsi
perbedaan itu akan dilakukan, apakah akan dilakukan pada semua tataran linguistik atau hanya pada
tataran linguistik tertentu. Mungkin karena keterbatasan waktu, tenaga, dan biaya, analisis
perbedaan unsur kebahasaan dapat difokuskan pada perbedaan yang secara universal banyak terjadi
dalam bahasa-bahasa di dunia, yaitu bidang fonologi dan leksikon. Untuk keperluan penjelasan
sekadarnya, deskripsi perbedaan unsur kebahasaan akan difokuskan pada kedua tataran lingusitik
tersebut, sehingga data yang termuat dalam tabulasi I di atas dapat dianalisis lebih lanjut dalam
bentuk tabulasi tahap II berikut ini.
Tabulasi Tahap II
Perbedaan Fonologi
Tabulasi Tahap II
Perbedaan Leksikon
Analisis yang berupa deskripsi perbedaan unsur kebahasaan tahap II di atas dilaksanakan
melalui tahapan berikut ini.
a. Penentuan kaidah fonologis bentuk-bentuk yang berbeda yang diduga merupakan
refleks dari etimon yang sama.
b. Penyusunan kaidah perbedaan fonologis dengan berlandaskan pada prinsip
historis yang menyatakan bahwa: (1) bentuk yang lebih kompleks, yang
monomorfemis, dihipotesisikan sebagai bentuk asal, karena secara diakronis,
bahasa-bahasa di dunia berkembang dari bentuk yang lebih panjang ke bentuk
yang lebih sederhana (pendek), (2) bunyi konsonan berubah atau selalu muncul
sebagai konsonan bukan sebagai vokal dan bunyi vokal berubah atau selalu
muncul sebagai vokal, bukan sebagai konsonan; (3) vokal tengah, depan atau
belakang masing-masing diturukan dari vokal tinggi depan atau belakang; (3) buyi
bersuara sealu menjadi asal dari bunyi takbersuara.
c. Membuat kaidah perbedaan fonologis dengan mengidentifikasi perbedaan pada
posisi awal, menyusul ke posisi tengah (antarvokal atau antarkonsonan), dan
akhir.
d. Apabila beberapa bentuk yang seetimon memiliki lebih dari satu kemungkinan
pengkaidahan, maka setiap kemungkinan pengkaidahan ditempatkan dalam
alternatif pemetaan yang berbeda. Perhatikan misalnya, makna ‘bibir’ yang
memiliki dua alternatif pemetaan.
e. Setiap alternatif pemetaan (secara verbal) itu harus memuat informasi tentang
semua bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut serta sebaran geografisnya.
f. Apabila bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna itu dapat dikelompokkan ke
dalam beberapa etimon, maka setiap kelompok yang memiliki lebih dari satu
refleks harus dikaidahkan, kecuali refleks-refleks dari etimon itu memiliki sebaran
geografis yang sama.
g. Setiap kaidah fonologis untuk setiap etimonnya ditempatkan dalam alternatif
pemetaan yang berbeda, selama bentuk-bentuk yang seetimon itu dapat dikaidah
secara lengkap: posisi awal, tengah, dan akhir.
h. Apabila hanya dapat dikaidah satu kali, maka kaidah itu akan muncul berulang-
ulang pada alternatif pemetaan yang berbeda, sejumlah kemungkinan pemetaan
bentuk-bentuk yang menjadi realisasi makna tersebut.
i. Urut-urutan bunyi dalam pengkaidahan harus konsisten. Artinya, apabila pada
pengkaidahan dalam glos/makna tertentu digunakan urutan kaidah: a ≅ e ≅ê/#-
maka pemetaan pada alternatif pemetaan glos lainnya harus mengikuti urutan
tersebut. Bahwa mana yang lebih dahulu [a], [e], atau [ê]atau sebaliknya tidaklah
menjadi persoalan, karena pembedaan pada tataran ini masih bersifat horisontal
bukan vertikal, yang penting selalu konsisten dengan pengurutan tersebut.
(perhatikan glos air, api, dan adik pada tabulasi tahap II telah disatukan dalam satu
kaidah sehingga perbedaan itu bersifat teratur karena satu kaidah dapat berlaku
pada lebih dari satu makna/glos (lihat tabulasi II tentang perbedaan yang berupa
korespondensi di atas).
j. Baik deskripsi perbedaan unsur kebahasaan dalam bentuk tabulasi I dan tabulasi
II,kedua-duanya disebut sebagai peta verbal, karena kedua-duanya menampilkan
bentuk yang menjadi realisasi makna tertentu lengkap dengan sebaran
geografisnya. Hanya saja, tampilannya tidak dalam bentuk peta geografis, tetapi
terurai secara verbal.
Pada peta tabulasi II tergambar bahwa bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos-glos di
atas sudah terpilah atas jenis perbadaan unsur kebahasaan pada tataran tertentu, yang dalam hal ini
perbedaan fonologi dan leksikon, serta sebaran geografisnya. Berbeda dengan tabulasi I yang hanya
memperlihatkan sebaran bentuk-bentuk yang menjadi realisasi glos atau makna-makna tersebut
serta sebaran geografisnya belum terpilah atas perbedaan pada tataran tertentu.
(S x 100) = d%
Keterangan :
Kriteria di atas berlaku untuk perbedaan fonologi dan leksikon yang dihitung menjadi satu.
Tidak dilakukan pembedaan perbedaan kategori persentase untuk fonologi dan leksikon seperti
yang diusulkan Guiter, karena pembedaan semacam itu tidak cocok degan realita perubahan
bahasa. Guiter membedakan persentase untuk perbedaan fonologi dan leksikon seperti berikut ini.
Apabila diperhatikan persentase batas krusial antara suatu isolek disebut bahasa atau dialek
maka akan ditemukan batas maksimal untuk pebedaan fonologi adalah 16% dan perbedaan fonologi
adalah 80%. Dari titik krusial persentase perbedaan kedua tataran linguistik itu diperoleh
perbandingan 1:5;artinya, satu perbedaan fonologi sama dengan lima perbedaan leksikon. Asumsi
Guiter yang menetapkan bahwa perbandingan antara perbedaan fonlogi dengan leksikon 1:5 baru
berlaku jika perubahan dalam bahasa yang dapat memunculkan perbedaan itu berlangsung secara
teratur. Dari penelahaan terhadap bahasa-bahasa di Indonesia, perubahan yang diasumsikan Guiter
itu tidak terbukti. Artinya, bahwa perubahan yang banyak terjadi dalam isolek-isolek yang
berkerabat itu tidak berlangsung secara teratur. Lebih banyak perubahan yang bersifat sporadik
(tidak teratur) daripada perubahan yang bersifat teratur (korespondensi).Penyangkalan terhadap
asumsi Guiter ini, sebenarnya telah menjadi perdebatan dalam tradisi penelusuran kekerabatan
bahasa-bahasa rumpun Indo-Eropa. Gillieron dan Wenker (masing-masing di Prancis dan Jerman)
telah membuktikan bahwa hipotesis Kaum Neogrammarian, tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Selain analisis di atas, pengelompokan isolek atas penutur bahasa, dialek, atau subdialek
yang sama dapat dilakukan melalui analisis kualitatif, yaitu menemukan ciri-ciri kesamaan
linguistik (sharedof linguistc features). Kesamaan ciri-ciri linguistik tersebut dapat berupa
kesamaan dalam memelihara unsur bahasa purba, maupun kesamaan dalam melakukan
pembaharuan (inovasi bersama). Kesamaan ciri-ciri linguistik dapat mencakupi semua tataran
kebahasaan, mulai dari tataran fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik. Untuk bidang
fonologi, misalnya dapat dilihat berikut ini.
Ciri-ciri kesamaan linguistik ini, baik berupa retensi maupun inovasi selain dapat menjadi
bukti untuk pengelompokan DPI sebagai pemakai subdialek, dialek, atau bahasa, dapat juga
dijadikan dasar pengelompokan beberapa bahasa dalam keluarga, rumpun atau filum yang sama
tergantung pada status isolek yang diperbandingkan. Apabila status isolek yang diperbandingkan itu
berstatus bahasa yang berbeda, maka penggunaan metode ini dimaksudkan sebagai upaya
pengelompokan bahasa-bahasa yang berkerabat; sebaliknya apabila DPI yang diperbandingkan itu
berstatus dialek atau subdialek, maka penggunaan metode ini dimaksudkan sebagai upaya
penentuan hubungan kekerabatan antardialek/subdialek dalam bahasa yang diteliti.
1.2.4 Pengenalan Dialek
Seperti dimaklumi bahwa dialek merupakan sesuatu yang otonom, oleh karena itu dialek
memiliki sistem linguistik tersendiri, baik menyangkut sistem fonlogi, morfologi, sintaksis, atau
leksikon. Itu sebabnya, di dalam pembahasan tentang pengenalan dialek maka yang dipaparkan
adalah ciri-ciri linguistik yang membedakan antara dialek yang satu dengan dialek lainnya. Ciri
linguistik tersebut dapat menyangkut ciri fonologis atau morfologis atau lainnya tergantung pada
keberadaan ciri-ciri linguistik yang membedakan dialek itu dengan dialek yang lain dalam bahasa
yang diteliti.
DSB 80
DT 68 79
DJ 64 80 67
DTn DSB DT
Berdasarkan persentase perbedaan fonologi danleksikon di atas dapat dikatakan bahwa DJ,
DT, dan DTn memiliki hubungan yang lebih dekat satu sama lain, karena persentase perbedaan
unsur kebahasaannya lebih rendah dibandingkan hubungan ketiga dialek itu dengan DSB. Oleh
karena itu, hubungan antardialek bahasa Sumbawa tersebut dapat digambarkan dalam bentuk
diagram berikut ini.
Pra-Sumbawa
Pra-DJTTn
DJ DT DTn DSB
Pohon kekerabatan di atas memperlihatkan bahwa ketika bahasa Sumbawa Purba (Pra-
Sumbawa) pecah ke dalam dialek-dialeknya tidak langsung menjadi empat dialek sekaligus,
melainkan pecah ke dalam dua kelompok besar yaitu dialek Sumbawa Besar (DSB) dan Pradialek
Jereweh - Taliwang-Tongo (Pra-DJTTn), lalu pada fase historis berikutnya Pra-DJTTn pecah
menjadi tiga dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo. Dengan kata lain, dialek Jereweh,
Taliwang, dan Tongo pada fase historis tertentu pernah menjadi satu dialek dan karena itu dialek-
dialek tersebut lebih dekat hubungannya satu sama lain dibandingkan hubungan ketiga dialek itu
dengan DSB.
Relasi kekerabatan antardialek itu sangat diperlukan untuk melakukan tahap selajutnya,
yaitu tahap rekonstruksi bahasa purba yang menurunkan dialek-dialek tersebut. Melalui pohon
kekerabatan tersebut dapat ditentukan bukti-bukti dari dialek mana di antara keempat dialek itu
dapat digunakan untuk merekonstruksi bahasa purbanya. Idealnya, rekonstruksi unsur bahasa purba
dapat dilakukan jika bukti penggunaan bahasa diperlihatkan oleh keempat dialek tersebut. Namun,
dengan melihat pohon kekerabatan tersebut, rekonstruksi bahasa purba dapat dilakukan setidak-
tidaknya jika bukti kebahasaannya ditemukan pada dua dialek, yang salah satu dialeknya harus
merupakan bukti yang ditemukan pada DSB. Adapun bukti yang satunya dapat berasal dari salah
satu dari ketiga dialek lainnya, apakah itu dari DJ, DT, atau DTn.
Pengelompokan bahasa dalam bentuk pohon kekerabatan di atas sekaligus menggambarkan
bahwa penutur bahasa itu tersegmentasi ke dalam segmen yang lebih kecil (penutur dialek).
Penutur-penutur suatu dialek disatukan oleh kesamaan ciri-ciri kebahasaan yang mereka gunakan
dan dibedakan dengan penutur dialek lainnya juga oleh keberbedaan ciri-ciri kebahasaan mereka.
Persoalannya, adakah perbedaan ciri kebahasaan penutur dialek yang satu dengan penutur dialek
yang lain ditandai oleh perbedaan secara genetis atau adakah kesamaan ciri kebahasaan penutur-
penutur dalam satu dialek memiliki ciri genetis dominan yang sama. Dalam konteks inilah ruang
kolaborasi linguistik dengan genetika menjadi terbuka.
1.2.6 Rekonstruksi Bahasa Purba
Bahasa purba tidak lebih dari suatu rakitan teoretis yang dirancang dengan cara
merangkaikan sistem isolek-isolek yang memiliki hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-
kaidah secara sangat sederhana (bandingkan dengan Bynon, 1979: 71). Oleh karena itu, sosok
bahasa purba bukan merupakan wujud nyata suatu bahasa, tetapi merupakan “bangunan bahasa”
yang dirakit secara teoretis-hipotetis. Rakitan bahasa purba merupakan prototipe isolek-isolek yang
seasal (lihat pula Haas, 1966: 124). Dalam pada itu pula, rekonstruksi bahasa purba merupakan
upaya penyusunan kembali sosok bahasa purba yang menurunkan islek-isolek modern, yang
digunakan oleh penutur-penutur pada masa sekarang.
Sebelum dilakukan rekonstruksi bahasa purba (protolanguage) dari bahasa-bahasa
berkerabat yang mendukung bahasa purba tersebut terlebih dahulu harus ditentukan hubungan
kekerabatan antara bahasa-bahasa itu. Penentuan hubungan kekerabatan dilakukan, jika bahasa
purba itu menurunkan lebih dari dua bahasa. Meskipun disadari bahwa suatu bahasa purba dapat
saja menurunkan secara bersama-sama lebih dari dua bahasa, namun penentuan hubungan
kekerabatan tersebut mutlak diperlukan.
Sekadar penjelas kita kembali pada pohon kekerabatan bahasa Bali-Sasak-Sumbawa di atas.
Hubungaan kekerabatan yang diperlihatkan dalam bentuk diagram pohon tersebut memainkan
peran yang sangat penting dalam rekonstruksi bahasa purba, baik yang berupa prabahasa, maupun
protobahasa. Peran yang sangat penting tersebut terkait dengan bukti kebahasaan yang terdapat
dalam bahasa mana yang harus ada, jika rekonstruksi bahasa purbanya dilakukan. Apabila
rekonstruksi yang akan dilakukan itu adalah rekonstruksi bahasa purba pada tingkat Protobahasa
Bali-Sasak-Sumbawa, maka bukti (evidensi) kekognatan (kekerabatan) paling tidak harus terdapat
dalam dua bahasa dan salah satu merupakan bukti dalam bahasa Bali. Apabila bukti kekognatan itu
hanya ditemukan pada dua bahasa: bahasa Sasak dan Sumbawa, maka rekonstruksi hanya dapat
dilakukan pada tataran Protobahasa Sasak-Sumbawa, bukan pada tataran Protobahasa Bali-Sasak-
Sumbawa.
Dengan demikian, berdasarkan pohon kekerabatan itu terdapat dua tingkatan kekunaan
bahasa purba yang dapat direkonstruksi, yaitu bahasa purba Sasak-Sumbawa dan bahasa purba Bali-
Sasak-Sumbawa. Apabila evidensi/bukti kebahasaan itu ditemukan pada dua bahasa yaitu bahasa
Sasak dan Sumbawa, maka rekonstruksi bahasa purba hanya mungkin dilakukan pada level bahasa
purba Sasak-Sumbawa (Protobahasa Sasak-Sumbawa/PSS). Sebaliknya, jika evidensi kebahasaan
ditemukan pada dua bahasa, yaitu pada bahasa Bali dan bahasa Sasak atau bahasa Sumbawa maka
rekonstruksi dapat dilakukan pada level bahasa purba Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa. Akan
lebih kuat rekonstrusi itu, jika unsur kebahasaan yang direkonstruksi itu ditemukan pada semua
bahasa berkerabat yang diperbandingkan. Dengan demikian, penentuan kekerabatan bahasa sangat
penting dalam rekonstruksi bahasa purba.
Setelah diketahui hubungan kekerabatan antara isolek-isolek (dapat dialekatau bahasa) yang
diperbandingkanmaka langkah selanjutnya adalah penerapan metode rekonstruksi protobahasa.
Dalam hal ini metode yang digunakan adalah metode padan intralingual (PI) dan metode padan
ekstralingual (PE). Kedua metode ini memiliki teknik dasar yang berupa teknik banding. Metode PI
digunakan, jika yang direkonstruksi itu adalah etimon bentuk(-bentuk) protobahasanya sedangkan
metode PE digunakan, jika yang direkonstruksi adalah unsur makna (unsur semantis) dari bentuk
protobahasanya. Namun, mengingat rekonstruksi selalu melibatkan rekonstruksi etimon (bentuk)
dan makna, maka pada hakikatnya kedua metode ini diterapkan secara bersamaan.
Seperti dikemukakan di atas bahwa kerja diakronis (termasuk dalam hal merekonstruksi
bahasa purba) dilandasi oleh dua asumsi dasar, yaitu asumsi yang behubungan dengan hipotesis
keterhubungan (relatedness hypothesis) dan asumsi yang berhubungan dengan hipotesis keteraturan
(regularity hypothesis). Hipotesis keterhubungan berasumsi bahwa bahasa-bahasa/dialek-dialek itu,
pada dasarnya, berhubungan satu sama lain, karena semua bahasa/dialek yang ada di dunia berasal
dari satu bahasa induk (protobahasa atau prabahasa). Oleh karena itu, kerja perbandingan berusaha
menjelaskan adanya persamaan yang jelas antara kata-kata dari berbagai bahasa/dialek yang
berbeda tersebut. Adapun hipotesis keteraturan, dimaksudkan bahwa rekonstruksi bahasa induk itu
akan dengan mudah dilakukan karena diperkirakan adanya perubahan-perubahan bahasa yang
bersifat teratur. Diasumsikan bahwa setiap (bentuk) suara dari suatu bahasa atau dialek akan
berubah dengan cara yang sama pada tiap keadaan dan kejadian yang sama. Dengan asumsi ini para
komparatifis dapat menghubungkan kata-kata yang mempunyai arti sama dari berbagai bahasa yang
berkerabat untuk direkonstruksi bahasa purbanya. Itu sebabnya pula, dalam pelaksanaan
kegiatannya diupayakan menjaring bentuk-bentuk yang menjadi realisasi suatu makna yang terdapat
dalam semua bahasa. Dalam hal ini, muncullah apa yang disebut dengan kosa kata dasar (basic
vocabulary) dengan beberapa asumsi dasar seperti diuraikan dalam seksi 2.3.2.2. Sesuai dengan
hakikat rekonstruksi protobahasa sebagai rekonstruksi internal (rekonstruksi dalam), maka yang
dipadankan atau dibandingkan itu adalah evidensi-evidensi yang terdapat dalam bahasa yang
direkonstruksi protobahasanya. Dalam hal ini, evidensi dalam bahasa-bahasa berkerabat yang
diperbandingkan tersebut.
Selanjutnya setiap teknik dasar dari kedua metode itu memiliki teknik lanjutan, yaitu
hubung banding menyamakan (HBM), hubung banding membedakan (HBB), dan hubung banding
menyamakan hal pokok (HBMP). Kedua metode ini memiliki teknik lanjutan yang sama, hanya
saja yang: dihubung-banding-menyamakan, hubung-banding-membedakan, dan hubung-banding-
menyamakan hal pokok dalam masing-masing metode itu berbeda. Dalam memtode padan
intralingual yang di-HBM-HBB-HBMP-kan (dihubung-banding-menyamakan, hubung-banding-
membedakan, dan hubung-banding-menyamakan hal pokok) adalah unsur-unsur yang bersifat
lingual, sedangkan dalam metode padan ekstralinguistik yang di-HBM-HBB-HBMP-kan adalah
unsur-unsur yang bersifat ekstralingual. Lebih jauh ihwal kedua metode di atas beserta teknik-
tekniknya dapat dilihat dalam Mahsun (2007).
Dalam pelaksanaan rekonstruksi protobahasa ketiga teknik metode padan tersebut selalu
digunakan. Teknik HBM dan HBB digunakan masing-masing untuk memilah unsur-unsur yang
berkognat dengan yang tidak berkognat serta mengelompokkannya; sedangkan teknik HBMP
digunakan dalam penentuan unsur protobahasanya. Untuk memperjelas hal di atas dilihat data
berikut ini.
Tabel 1Data Bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa
Dalam berhadapan dengan data di atas, langkah yang pertama-tama dilakukan adalah
menetapkan tingkat bahasa purba yang akan direkosntruksi bentuk purbanya. Kita andaikan bahwa
tujuan penelitian kita adalah merekonstruksi etimon protobahasa Sasak-Sumbawa (PSS).
Rekostruksi etimon dimungkinkan dilakukan, jika evidensi dalam kedua bahasa turunannya (bahasa
Sasak dan Sumbawa) ditemukan. Dari tujuan penelitian itu kita dapat menentukan metode analisis
padan intralingual (beserta teknik-tekniknya) yang relevan untuk digunakan.
Dengan menggunakan teknik HBM dan HBB kita dapat memilah bentuk-bentuk yang
berkognat, serta mengelompokkannya. Bentuk-bentuk yang tidak berkognat dapat diabaikan,
sedangkan bentuk yang berkognat disimpan dalam matriks yang sama seperti tabel 1 dengan
menandai bentuk yang berkognat itu dengan tanda plus (+) dan tidak berkerabat dengan tanda
minus (-), seperti terlihat dalam tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Analisis Bentuk Berkerabat dalam Bahasa Sasak dan Bahasa Sumbawa
Hasil analisis dengan teknik HBM dan HBB itu selanjutnya, dianalisis dengan teknik HBMP
untuk menentukan etimon protobahasanya. Hal pokok yang akan disamakan untuk merekonstruksi
sosok etimon protobahasanya adalah menyangkut formatif-formatifnya. Mengapa formatif-
formatifnya? Oleh karena yang akan direkonstruksi adalah etimonnya, (meskipun di dalamnya juga
terlibat rekonstruksi makna). Sebuah rekonstruksi etimon protobahasa selalu berkaitan dengan
formatif, karena maknanya sudah tidak menjadi masalah.
Rekonstruksi bahasa purba dengan menerapkan teknik HBMP didasarkan pada prinsip-
prinsip berikut ini.
1. Menentukan hubungan kekerabatan antara bahasa-bahasa yang diperbandingkan. Hal ini penting
untuk menentukan status evidensi yang ditemukan dalam bahasa tersebut dan sekaligus
menentukan sampai tingkat mana rekonstruksi itu dapat dilakukan.Selain itu, dengan
mengetahui hubungan kekerabatan bahasa-bahasa yang diteliti dapat ditentukan jumlah minimal
evidensi yang diperlukan dan evidensi-evidensi mana yang diperlukan sehingga rekonstruksi
memungkin untuk dilakasanakan.
3. Memulai rekonstruksi dengan mengambil bentuk atau bunyi yang memiliki kesamaan pada
semua bahasa.
4. Apabila bahasa-bahasa yang diperbandingkan itu memperlihatkan penggunaan lebih dari satu
bentuk untuk satu makna, maka rekonstruksi dilakukan lebih dari satu etimon (sejumlah bentuk
yang menjadi evidensi kekognatannya).
5. Apabila dalam bentuk evidensinya terdapat unsur morfofonemik, maka yang direkonstruksi
adalah morfem dasarnya.
6. Setiap korespondesi atau variasi bunyi harus direkonstruksi sebuah prafonem, kecuali dua
korespondeni atau variasi itu harus merupakan dua bunyi yang berbeda.
8. Setiap rekonstruksi ada protofonem, jadi, jika dalam bahasa-bahasa yang diperbandingkan
hanya ada satu fonem, sedang yang lainnya zero (ø), maka yang direkonstruksi adalah fonem
itu sendiri.
Dengan berpatokan pada prinsip-prinsip dasar rekonstruksi protobahasa di atas, maka hasil
penerapan teknik HBM dan HBB dapat dilanjutkan dengan penerapan teknik HBMP, karena tujuan
akhir dari penggunaan teknik HBM dan HBB adalah mencari kesamaan pokok di antara data yang
diperbandingkan tersebut. Dalam hal ini mencari kesamaan pokok, yang berupa kesamaan bentuk
asal (untuk rekonstruksi etimon prabahasa) dan kesamaan makna (untuk rekonstruksi makna
protobahasa).Dengan demikian, data yang dikemukakan pada tabel 2 di atas dapat direkonstruksi
etimon protobahasanya (PSS), seperti terlihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3 Rekonstruksi Etimon Protobahasa Sasak-Sumbawa
Pohon kekerabatan di atas menggambarkan bahwa bahasa Sasak Purba memiliki empat
dialek. Keempat dialek tersebut tidak secara langsung bersamaan diturunkan dari bahasa Sasak
Purba.Artinya, secara historis, bahasa Sasak Purba pertama pecah ke dalam dua dialek,
yaituPradialek a-o(-e), dan dialek a-a, baru dalam fase historis berikutnya Pradialeka(-e-e) masing-
masing pecah ke dalam dua dialek, yaitu dialek a-e dan dialek e-e. Apabila pohon kekerabatan ini
dihubungkan dengan kosntruksi fonologis yang dihipotesiskan sebagai konstruksi purbanya, yang
berupa konstruksi *a-a, seperti dalam etimon Pra-Sasak *mata < PAN *maCa ‘mata’, maka ketiga
konstruksi lainnya merupakan inovasi, yang dapat berupa inovasi eksternal: a-e dan a-o, dan invasi
internal: e-e (mata ~ mate ~ mete ~ mato ‘mata’). Munculnya dialek a-e dengan sebaran geografis
yang sangat luas, yang menyebar dari barat ke timur pulau Lombok sesungguhnya menggambarkan
besar dan luasnya pengaruh kerajaan Karang Asem, Bali atas kerajaan Selaparang, Lombok pada
abad ke-18.
Begitu pula munculnya dialek a-o tidak lepas dari pengaruh bahas Jawa, yang masuk ke
lombok sekitar abad ke-8. Ditemukannya pemakaian bahasa Jawa pada upacara perkawinan adat
sorong-serah dalam masyarakat Sasak membuktikan adanya pengaruh Jawa pada masyarakat Sasak.
Yang menarik justeru munculnya konstruksi e-e, yang ditemukan di salah satu dusun di desa
Selaparang, yang diduga menjadi bagian wilayah dari kerajaan Separang di Lombok Timur. Fakta
ini menggambarkan bahwa komunitas Sasak yang terdapat diwilayah tutur dialek e-e itu mencoba
menggambarkan kesasakannya dengan berusaha membedakan diri dari komunitas penjajah dengan
membuat bentuk kebahasaannya tidak sama dengan bahasa penjajah. Mengubah a-e menjadi e-e
atau mengubah bentuk yang mendapat pengaruh menjadi bentuk yang berbeda dari yang
mempengaruhi. Proses ini merupakan kreasi internal komunitas Sasak yang ingin memperlihat
kejelasan identitas komunitasnya melalui sarana bahasa. Secara historis fakta dialektal ini dapat
menjelaskan sejarah penutur bahasa Sasak yang terpilah ke dalam tiga kelompok, yaitu kelompok
yang melakukan perlawanan kultural melalui sikap konservatif, yaitu komunitas yang berada di
wilayah pegunungan Sembalun, Bayan, dan wilayah pinggiran di Lombok Timur dengan ciri
dialeknya: a-a; kelompok yang melakukan perlawanan kultural melalui sikap inovatif, yaitu
komunitas yang berada di desa Selaparang dengan ciri dialeknya: e-e; dan kelompok yang
melakukan adaptasi kultural melalui penyesuaian ciri kulturalnya dengan ciri kultural komunitas
pendatang dengan ciri dialeknya: a-e dan a-o. Persoalannya, apakah secara genetis kelompok
penutur varian yang mempertahankan keaslian Sasak baik melalui sikap konservatif atau inovatif
(inovasi internal) memiliki ciri genetik dominan yang sama, berbeda ciri genetik
dominannyadengan penutur dialek a-e dan a-o yang cenderung malakukan adaptasi kultural dengan
kelompokpendatang? Dengan kata lain, adakah segmentasi pada tataran dialektal mencerminkan
pula segmental pada tataran genetis baik genotipe atau subgenotipenya. Terlepas dari persoalan di
atas, yang patut ditekankan di sini adalah, rekonstruksi sejarah Sasak yang disajikan melalui
serpihan-serpihan variasi kebahasaan di atas merupakan kepingan historis yang menarik untuk
dibandingkan dengan fakta linguistik dan genetika.
Perintah:
1. Pilih secara acak 10 buah glos (data kebahasaan) dari enam daerah pengamatan dari data
kebahasaan berikut untuk setiap mahasiswa.
2. Setiam mahasiswa hanya dibolehkan memiliki glos data yang sama sebanyak 2 buah
sedangkan delapan sisanya harus berbeda.
3. Berdasarkan 10 buah glos data yang Saudara pilih lakukan analisis berikut:
TUGAS U1
a. Buatlah deskripsi perbedaan unsur kebahasaan berdasarkan data yang Saudara pilih
dalam bentuk tabulasi 2 dan 3.
4. TUGAS U2: Buatlah peta (geografis) yang menggambarkan sebaran pemakaian bentuk-
bentu perbedaan unsur kebahasaan yang telah Saudara temukan tersebut.
5. TUGAS U3: Lakukan analisis penentuan status isolek berdasarkan peta bahasa yang Sadara
temukan itu dengan menggunakan metode dialektometri.
6. Kumpulkan tugas U1 pada pertemuan setelah liburan, presensi (daftar hadir diisi untuk
pertemuan selama 2 kali, nanti setelah masuk). Tugas untuk U2 dan U3 akan dikerjakan
setelah materi tentang hal itu sudah dijelaskan.
7. Data kebahasaan bahan analisis:
No. Varibael Daerah Pengamatan
Kosa Kata Dasar Seran (1) Sindu (2) Dusun Pancuran
Swadesh (Siren) (3)
1. Abu au (dapur), krpuk abu, an Au
(tanah)
2. Air Aiq toye, yEh Aiq
3. Akar Akar Akah akar
4. alir (me-) (aiq) ElEk malir, ElEk Alir
5. anak Anak Panak anak
6. angin ain ain, ain
7. anjing ac asu ac
8. apa Apa ap, Apa
9. api Api api, agni Api
10. apung (me-) mpal kamba mpal
11. asap pnat andus, asp pndt
12. awan aun-aun ambubu aun-aun
13. ayah bapaq, mamiq bap amaq
14. bagaimana kabEka, bEka kEnkEn umbe
15. baik bal mlah bagus
16. bakar tunu , sdut sdut sdut
17. balik Tulak tulak, mbalik tulak
18. banyak pnq, lgah liu, bga lueq
19. baring ninti, ñlinti msasa tindoq
20. baru bruq baru baru
21. basah Basaq blus basaq
22. batu Batu batu batu
23. beberapa Pia akud pira
24. belah (me-) tbk, blaq, blah, sibak blaq
tbeq
25. benar ttu bnah knaq
26. bengkak Baraq bsah baraq
27. benih Biniq bibit binEq
28. berat brat baat brat
29. berenang ()n n Enat
30. beri Ube baa sade
31. berjalan blaan mjalan lEkaq
32. besar rEaq gde bleq
33. bilamana Piyan pidan umbe
34. binatang binata burn binata
35. bintang binta binta binta
36. buah Buaq buah buaq
37. bulan Bulan bulan bulan
38. bulu Bulu bk bulu
39. bunga kma kmba, bu kmba
40. bunuh smateq matian smateq
41. buru (ber-) ñran mbrs ñran
42. buruk lE jle lE
43. burung kdit, kmanukan kdis kdIt
44. busuk mamu brk mambu
45. cacing jlati caci, lo (tanah) loa
46. cium iyuk adkin, diman iduk
(org)
47. cuci popoq (pakaian), umbah (pakaian), bisoq
bisoq (tangan) cut-cut (piring)
48. daging mpaq be mpaq
49. dan Ke lan kanca
50. danau dan tlag mbu, kokoq
51. darah gti gtih daraq
52. datang data tke dat, kteq
52. daun Don dn gEdE
54. debu Au krpuk krpk
55. dekat rapt pk rapt
56. dengan Ke lan kanca
57. dengar mn diah da(h,r)
58. di dalam pa dalm juman leq dalm
59. di mana pa me dij leq mbe
60. di sini pa kaq, skaq diki, driki leq ite
61. di situ pa kun, skun deko Itu
62. pada pa sg pada
63. dingin gri diin ñt
64. diri (ber) nna mjojok anj
65. dorong sr tuludan sr
66. dua Dua due Dua
67. duduk mntk ngak tkl
68. ekor El ekoh El
69. empat mpat pat-pat, papat mpat
70. engkau kauq, sia (besar) ibaqe kamu
71. gali Kaliq kduk kaliq
72. garam Sira uyah Sia
73. garuk krk, karEk gEgEs karEk
74. gemuk, lemak mkh, uwur, mkh, muluk mkh
(l)lmu
75. gigi Isit gigi, untuh gigi
76. gigit Sot kakq, kart kekeq
77. gosok Roro gsk susuq
78. gunung gunu gunu gunu
79. hantam Jagur jagur amt
80. hapus sbrsiq, lap gsk, hapus susuq
81. hati Ate ati Ate
82. hidung iyu cooh id
83. hidup tlas idUp idup
84. hijau Ijo gada Ijo
85. hisap isap, Esp sdt isp
86. hitam Pisak slm bEd
87. hitung itu itu rEkE
88. hujan Ujen ujan ujan
89. hutan Gawah gawah gawah
90. ia ña i inta
91. ibu inaq mEmEq inaq
92. ikan mpaq nEq, be mpaq
93. ikat Taliq tgol taliq
94. ini Kaq niki inE
95. isteri binE kurnan sninaq
96. itu Kun nik Ito
97. jahit Jet jait Jit
98. jalan (ber-) blaan jalan lEkaq
99. jantung Ate jantu jantu
100. jatuh triq laboh triq
101. jauh jq jh jaq
102. kabut Kisap kabut aun-aun
103. kaki nE patis naE
104. kalau Lamin lamun lamun
105. kami, kita Kita ibaqe inta
106. kamu Kauq ibaqe anta
107. kanan Kanan knawan kanan
108. karena Karna awinan adeq
109. kata (ber-) bli ras kat
110. kecil dE crik bciq
111. kelahi (ber-) bsal mjaguran, bsual
mgjuh
112. kepala tak tndas tak
113. kering Tes tUh goro
114. kiri Kiri kEbt Kiri
115. kotor rmis daki kaq
116. kuku Kukuq kukuq kukuq
117. kulit lEn kulit lEnd
118. kuning kuni kuni kun
119. kutu Gutu kutu gutu
120. lain Len lEn Len
121. langit lait lait lait
122. laut Lot sgar sgara
123. lebar Guar ligah bleq, gar
124. leher krk ba bl
125. lelaki slaki mani mama
126. lempar plEwas slEmpa plEwas
127. licin llat bli llat
128. lidah Elaq layah Elaq
129. lihat Gitaq ciak, loken gitaq
130. lima Lima lim lima
131. ludah Tisuq kcuh Elr
132. lurus lomboq, lumbuq lurus lurus, lomboq
133. lutut kktut, ntun lutut kktut
134. main bjraq, maen plalian bkdEk
135. makan maan maam maan
136. malam pta pt kklm
137. mata Mata mate mata, pnnt
(halus)
138. matahari Matano sury jlo
139. mati Mate sede, madm, mate
bake
140. merah aba barak aba
141. mereka slapuq, dan i anta
142. minum inum nq Enm
143. mulut Babaq bebeh tdk
144. muntah utaq utah utaq
145. nama siin adan aran
146. napas briak akihan Iak
147. nyanyi mñañi mkmba mñañi
148. orang Tau jlm dan
149. panas Panas kbus panas
150. panjang Belo lanta belo
151. pasir Gres bias grEs
152. pegang ntiq gisi ntiq
153. pendek pEnEq, dendeq bawak kontEq
154. peras prs, rms prs prs
155. perempuan sbai loh nina
156. perut Tian basa Tian
157. pikir Piker mknah pikir
158. pohon Lolo puñan loloan
159. potong plak tugl pl
160. punggung baka tondun bkr
161. pusar pst pust pst
162. putih Puti potIh puteq
163. rambut Bulu bk bulu
164. rumput rbu pada rbu
165. satu skEq bsik skEq
166. saya Aku ia Aku
167. sayap klEtEk kamped klEtEk
168. sedikit skdiq ktk skdiq
169. sempit skt cupk skt, smpit
170. semua slapuq mkja slapuq
171. siang tari tai tari
172. siapa Sai sir si
173. suami ranE kurnan smamaq
174. sungai bra tukad kokoq
175. tahu tn tawa taq
176. tahun Ton taun tn
177. tajam mra tajp tajm
178. takut ktakut, no tan takUt takut
179. tali Tali tali Tali
180. tanah Tanaq tanah tanaq
181. tangan Ima limaq uma
182. tarik bEtak kd bEtk
183. tebal tbal tbl tbl
184. telinga kupi kupi tlia
185. telur tloq talUh tloq
186. terbang ibar mkbur kElEp
187. tertawa Kiat kdEk rereq
188. tetek Susu ññq susu
189. tidak No tusi ndeq
190. tidur Tunuq mbuq tindoq
191. tiga tlu tlu tlu
192. tikam (me-) gc tbk garuk, gacuk
193. tipis Ripis tepes tipis
194. tiup Tiup upin tiup
195. tongkat tunja tukd ttunja
196. tua lkaq tu taq
197. tulang tla tula tla
198. tumpul Tumpul pdk, puntul tumpul, l
199. ular Ular llipi ular
200. usus Baduk isi basa, jroan badk