Anda di halaman 1dari 51

BAB I

DEFINISI RETORIKA

Aristoteles dalam salah satu karya terbesar berjudul Topics mengurai asal kata
retorika, dari kata dasar bahasa Yunani (rhetorikos) artinya oratorical. Kata ini
berhubungan dengan (rhëtör), yakni public speaker yang tidak dapat dipisahkan dengan …
(rhêma), yang dalam bahasa inggris bermakna that which is said or spoken, word, saying,
kalau diderivasi dari kata kerja (erô) atau to speak, say.
Sehari-hari, kata retorika merupakan konsep untuk menerangkan tiga seni
penggunaan bahasa persuasi (etos, patos, dan logos), itu pun harus berbasis pada lima
“hukum kanon” retorika, yaitu memory, invention, delivery, style, dan arrangement. Dalam
artian mikro, retorika dipahami sebagai konsep yang berkaitan dan seni berkomunikasi
lisan berdasarkan tata bahasa, logika dan dialektika yang baik dan benar untuk
mempersuasi publik dengan opini (doxa) judgment resting on grounds insufficient for
complete demonstration dan jika perlu harus-berbasis pada episteme science. Dua
kemampuan ini (doxa dan episteme) dipraktikkan di Polis/negara kota untuk membedakan
aktivitas mempersuasi warga dalam ruang publik atau ruang privat. Dalam artian makro
retorika berhubungan dengan diskursus komunikasi manusia.
Sebenarnya catatan awal tentang keterampilan retorika dapat dibaca dalam karya
Homer berjudul Iliad, yang bercerita tentang kepiawaian para pahlawan seperti Achilles,
Hector, dan Odysseus yang mendapat penghargaan dan Polis yang berjasa mendidik dan
melatih para Laos atau tentera untuk berpikir bijaksana, bertindak cepat. dan tepat. Seiring
dengan bertumbuhnya demokrasi di Polis maka keterampilan dan kecakapan berbicara yang
kemudian disusul dengan keterampilan menulis teks diadaptasikan ke dalam kehidupan
politik di saat itu. Mengapa disebut kebutuhan? Karena retorika tidak saja dikenal sebagai
seni berbicara, tetapi harus dijadikan sebagai bukti bagaimana seorang orator menyusun
strategi argumentasi secara baik dan benar.
Berikut ini dikutip dari beberapa pengertian “retorika” agar dapat dipahami pelbagai
persamaan dan perbedaan di antara definisi-definisi tersebut sebagai berikut:
1. Plato: retorika adalah seni para retorikan untuk memenangkan jiwa para
pendengar.
2. Aristoteles: kemampuan retorikan untuk mengemukakan suatu kasus
tertentu secara menyeluruh melalui persuasi.
3. Cicero: seni berpidato melalui lima kiat yaitu, inventio, dispositio, elocutio,
memoria, dan pronunciation - sebagai pidato yang dirancang untuk mempersuasi
pendengar.
4. Quintilian: seni berbicara secara baik.
5. Francis Bacon: aplikasi pernyataan dari suatu alasan tertentu yang bertujuan
untuk membangun imajinasi yang lebih balk, sehingga dapat menggerakkan orang lain.
6. George Campbell: seni atau talenta yang ditampilkan daiam pidato yang
bertujuan tertentu; ada empat tujuan pidato, yaitu; mencerahkan pola pikir, membangun
imajinasi, menggerakkan perasaan iba dan memengaruhi kemauan atau kehendak baik.
7. Richards: studi tentang kesalahpahaman dan usaha untuk memperbaiki
kesalahpahaman tersebut.
8. Kenneth Burke: pada hakikatnya retorika merupakan fungsi realistis dan
esensi bahasa yang berkelanjutan untuk melahirkan penggunaan bahasa secara simbolis, di
sini retorika bermakna sama dengan persuasi.
“dorongan” dengan karakteristik utama adalah memanipulasi keyakinan manusia
untuk percaya pada tujuan politik; fungsi dasar retorika adalah penggunaan kata-kata
sebagai pernyataan sikap atau tindakan kepada orang lain.
9. Richard Weaver: apa yang diciptakan dan diinformasikan demi kebaikan.
10. Erika Lindemann: peluang untuk membentuk penalaran terhadap pelbagai
asumsi yang akan dibagi kepada para anggota suatu komunitas.
11. Andrea Lunsford: seni, praktik, dan studi tentang komunikasi manusia.
12. Francis Christensen: peta tata bahasa yang memungkinkan retorikan
menampilkan pidato secara menarik dan efektif. Pertanyaan kuncinya adalah bagaimana
membuat orang lain tahu bahwa sesuatu itu mempunyai daya tarik tertentu.
13. Sonja dan Karen Foss: aksi manusia untuk tampil ketika mereka
menggunakan simbol-simbol dalam berkomunikasi dengan orang lain. Retorika juga
merupakan perspektif yang difokuskan pada proses simbolis.
14. Boethius: perlakuan dan pengakuan atas pidato. Perlakuan ini untuk menguji
hipotesis tentang pelbagai masalah sekitar kehidupan manusia sesuai dengan ruang dan
waktu, dan jika perlu, setiap waktu manusia dapat membangun tesis baru yang dikaitkan
dengan hipotesis terdahulu; pertanyaan tentang situasi sekitar adalah siapa, apa, di mana,
siapa yang membantu, apa sebab, dalam hal apa, dan berapa kali.
15. James J. Murphy: dalam One Thousand Neglected Authors mengatakan
bahwa seorang retorikan adalah orang yang bersedia mengajarkan dan mengarahkan
pelbagai ajaran yang bermanfaat kepada para rekannya, sehingga mereka dapat
mengorganisasi dan mempresentasikan ide-ide sampai dapat menikmatinya.
16. Marc Fumaroli: dalam Rhetoric, Politics, and Society: retorika tampil
sebagai jaringan pengikat masyarakat sipil agar masyarakat menjadi tegas, bergembira, dan
membangun politik secara damai.
17. Covino dan Joliffe: dalam karya Rhetoric: Concepts, Definitions,
Boundaries (1995), retorika adalah penyampaian simbol-simbol verbal yang sesuai dengan
situasi tertentu, seni dan praktik berfilsafat yang dapat menumbuhkan potensi manusia
untuk aktif mewacanakan sesuatu.
18. Paolo Valesio: Novantiqua (1980), adalah fungsi pengorganisasian suatu
pidato tentang semua aspek yang sesuai dengan konteks sosial dan kultural, pidato
diadakan sebagai aksi untuk merealisasikan metalanguage formal secara tepat, dengan lain
kata, retorika merupakan keseluruhan bahasa yang direalisasikan dalam bentuk pidato.
19. George Kennedy: dalam A Hoot in the Dark (1992), retorika adalah
kesadaran yang paling umum yang dapat disebut sebagai energi yang melekat di dalam
komunikasi, misalnya energi yang secara emosional mendorong pembicara untuk berbicara,
energi yang secara fisik memungkinkan keluasan ucapan pembicara, energi pada level
meng-code pesan-pesan yang dapat diterjemahkan oleh penerima.
20. Francis Bacon (1561-1626): dalam karya Advancement of Learning
mengemukakan retorika adalah kewajiban dan kerja dan retorikan untuk mengaplikasikan
semua kehendak dia melalui bangunan imajinasi secara baik, sehingga dapat menggerakkan
orang lain.
21. Bender dan Weilbery: ... retorika itu ibarat transmisi yang komunikatif ...
drama yang bersifat impersonal yang terjadi di antara kita, yang menampilkan pesan yang
tidak pernah kita perhatikan atau yang kita anggap remeh, yang menampilkan sesuatu yang
membuat kita tidak sabar untuk menikmati.
22. Lloyd Bitzer: dalam The Rhetorical Situation (1968), retorika adalah model
atau cara untuk mendekati realitas bukan melalui aplikasi energi yang langsung terhadap
objek tertentu tetapi oleh kreasi seorang retorik untuk mengubah realitas itu melalui media
pikiran dan tindakan.
23. Edward T. Channing: retorika adalah kumpulan aturan berkomunikasi
melalui rancangan berbahasa demi efisiensi komunikasi, aturan-aturan ini ditarik dan
pengalaman dan pengamatan lapangan. Melalui aturan semacam ini, maka kita tidak perlu
bertanya bagaimana seharusnya seorang pembicara, penulis, penulis puisi, filsuf, peserta
debat mengatakan atau menulis suatu wacana; singkatnya aturan ini ingin meletakkan cara
benar untuk mengomunikasikan semua pikiran dari perasaan melalui kekuatan kata-kata
yang terucap dan tertulis. jika para retorik menggarisbawahi aturan ini, maka dia akan
berkomunikasi berdasarkan aturan dan prinsip yang membantunya mengekspresikan
pikiran-pikirannya secara efektif.
24. Douglas Ehninger (1972): disiplin yang mempelajari semua cara bagaimana
seseorang mempengaruhi pikiran dan perilaku orang lain melalui strategi penggunaan
simbol-simbol.
25. Gerard A. Hauser: dalam Introduction to Rhetorical Theory (1986), retorika
adalah instrumen penggunaan bahasa ketika seseorang melibatkan orang lain dalam suatu
pertukaran simbol demi mencapai tujuan tertentu, juga berarti dia tidak sekadar
berkomunikasi untuk mencapai tujuan kornunikasi melainkannya berusaha mengoordinasi
tindakan sosial. Untuk alasan ini, maka komunikasi yang retorik menampilkan secara
eksplisit sifat pragmatis dan komunikasi yang bertujuan mempengaruhi aneka pilihan
manusia terhadap hal-hal tertentu yang patut mendapat prioritas untuk diperhatikan.
26. C. H. Knoblauch: dalam Modern Rhetorical Theory and Its Future
Directions (1985) retorika adalah proses penggunaan bahasa dalam mengorganisasmkan
pengalaman berkomunikasi dengan orang lain, juga merupakan studi tentang bagaimana
orang menggunakan bahasa untuk mengorganisasikan dan mengkomunikasikan
pengalaman. Karena “kata” dapat menjelaskan aktivitas manusia dan hakikat “sains’ yang
berkaitan dengan cara seseorang memahami suatu aktivitas.
27. John Locke: dalam Essay Concerning Human Understanding (1690),
retorika merupakan instrumen yang sangat kuat untuk menentukan kesalahan dan penipuan.
28. McCloskey: retorika merupakan pidato, cara berbicara dan rancangan yang
berguna bagi para pembaca.
29. Anonymous: ilmu pengetahuan yang seolah berfungsi untuk menyegarkan
orang lapar, mengartikulasikan pandangan orang lain dan kegelapan, membuat orang buta
melihat, mengajarkan sesuatu bagi orang sehingga mereka dapat menghindari kecerobohan
bersilat lidah.
30. Bazerman, Charles: studi tentang bagaimana orang memakai bahasa dan
simbol-simbol lain untuk merealisasikan tujuan manusia dan membimbing aktivitas
manusia ... Studi praktis tentang bagaimana seseorang harus mengontrol seseorang
menggunakan aktivitas simbol.
31. Hyde, Michael dan Craig Smith: fungsi tertua dan retorika ialah membuat
suatu pengetahuan itu bermanfaat bagi din sendiri kepada orang lain. Makna yang dibangun
retorika adalah membuat orang lain membangun interpretasi dan pemahaman bagi realitas.
Retorika merupakan proses pengubahan pengetahuan menjadi bermakna tertentu, jadi kita
tidak saja sekadar mendefinisikan retorika sekadar sebagai komunikasi pragmatis, tetapi
lebih dari itu membuat audiens lebih maju dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan khusus
daripada pertanyaan universal.
BAB II
RETORIKA, DARI YUNANI SAMPAI ROMAWI
TRADISI YUNANI

Beberapa di antara para sofis (filsuf petualang) yang dikenal pertama kali
mengembangkan retorika ialah Empedocles (444 SM). Dia telah menampilkan teori tentang
pengetahuan manusia yang menjadi dasar bagi pengembangan retorika masa depan. Ide-ide
lisan Empedocles kemudian ditulis kembali oleh muridnya Tisias di bawah judul Corax,
tulisan ini berisi strategi dan argumentasi hukum di depan pengadilan kota. Beberapa nama
lain yang patut dikenang pula ialah Protagoras (481-420 SM), Gorgias (483-376 SM), dan
Isokrates (436-338 SM). Khusus bagi Isocrates, pendapatnya perlu dicatat, bahwa public
speaking merupakan cara manusia membarui diri dengan titik berat pada talenta alamiah
sembari meniru model-model retorika yang baik.
Isocrates dikenal sebagai orang yang paling berjasa dalam mengembangkan retorika
karena dia mendirikan sekolah-sekolah permanen (formal) di Athena yang kemudian diikuti
oleh pendirian Akademi Plato dan Liseum Aristoteles. Sebagian besar gagasan Isocrates
dibukukan dalam Antidosis dan Against the Sophists, dua buku ini merupakan karya yang
sangat relevan bagi studi retorika dan orasi yang kelak melahirkan kanon retorika Ten Attic
Orators. Gagasan-gagasan ini pula yang mempengaruhi pikiran-pikiran Cicero dan
Quintilian di Roma yang kelak menjadi dasar bagi lahirnya pendidikan formal di barat.
Para sofis, meskipun berada dalam beberapa kelompok yang terpisah namun mereka
mempunyai keunikan yakni berjalan dan kota ke kota mencari murid-murid untuk belajar
retorika. Fokus utama retorika versi para sofis adalah diskursus fungsi dan kekuatan
retorika yang berbasis pada argumentasi. Juga, retorika harus terlihat dalam speech, analisis
puisi, dan debat. Mereka juga tidak lupa mengajarkan kebajikan (virtue) bagi para
muridnya. Para sofis berpendapat bahwa kemampuan retorika merupakan seni dan techne
(teknik) yang harus dipelajari, karena retorika dianggap sebagai praktik budaya, juga
sebagai fungsi dan konvensi warga atau nomos sehingga retorika tidak dapat diwarisi dan
keturunan atau phusis. Para sofis sering mengatakan bahwa man is the measure of all
things—retorika manusia diukur dan semua hal yang tumbuh dan apa yang manusia
percayai. (Jacqueline de Romilly, The Great Sophists in Periclean Athens, French Orig.
1988; English trans. Clarendon Press/Oxford University Press, 1992.)
Selain beberapa nama sofis di atas, maka kebanyakan orang tidak dapat melupakan
Plato (427-347 SM). Plato adalah seorang murid Socrates yang mendirikan sekolah filsafat
dan sekaligus menjadikan flisafat sebagai pengetahuan untuk membedakan hal yang benar
dan yang salah dalam retorika. Para pengikut Plato tetap rnenyebutkan retorika sebagai seni
persuasi, sedangkan para sofis tetap menyebutkan retorika sebagai kebebasan berpendapat
namun tetap berbasis pada seni dialektis. Nama lain yang tetap dijunjung dalam tradisi
retorika ialah Aristoteles (384-322 SM) yang pada saat itu Iebih dikenal sebagai ahli fisika,
namun dia dikenal sangat menguasai filsafat karena menjadi murid Plato selama 20 tahun,
akibatnya Aristoteles menjadikan filsafat sebagai dasar retorika. Menurut Aristoteles,
dalam budaya Yunani kuno, kata-kata yang diucapkan merupakan bentuk komunikasi yang
sangat dominan, dan “retorika” merupakan ilmu yang mempelajari bidang ini.
Retorika sebenarnya bertautan dengan tiga seni penggunaan bahasa untuk
mempersuasi orang, tiga seni itu adalah:
1. Ethos - tampilan karakter dan kredibilitas pembicara yang dapat
mempersuasi audiens sehingga mereka peduli dan percaya kepada pembicara. Kini, etos
merupakan metode yang paling efektif untuk membentuk karakter pembicara sebagai
persuader yang diharapkan mampu membangkitkan sikap kritis audiens agar mereka
percaya terhadap pelbagai argumen yang dia ucapkan. Jadi seorang pembicara merupakan
seseorang yang appeal to authority karena dia adalah seorang pakar yang menguasai subjek
pembicaraan, dan hanya dia pula yang dianggap sangat berpengalaman menjawab dan
membahas pelbagai pertanyaan dari audiens.
2. Pathos - keterampilan pembicara untuk mengelola emosi ketika dia
berbicara di depan publik. Pada umumnya para retorik, ketika berpidato, memakai metafora
(perumpamaan), amplification (seni menampilkan suara baik dalam volume maupun
intonasi), storytelling (pesan yang disampaikan dengan tuturan) yang menggugah perasaan
audiens.
3. Logos - adalah pengetahuan yang luas dan mendalam tentang apa yang akan
dikomunikasikan, di mana struktur pesan yang akan disampaikan itu harus logis dan
rasional dan berbasis pada kekuatan argumentasi, tambahan lagi pesan ini harus
disampaikan secara induktif dan deduktif. Yang dimaksudkan dengan inductive reasoning
adalah penyampaian pesan berdasarkan historis dan hipotesis, sehingga membuat audiens
dapat menarik kesimpulan umum, sebaliknya deductive reasoning atau enthymematic
reasoning menghendaki agar seorang persuader merumuskan pesan dalam bentuk proposisi
umum, sehingga membuat audiens dapat menarik kesimpulan-kesimpulan khusus. Term
logic sebenarnya berkembang dan logos yang oleh Aristoteles dimaksudkan sebagai
enthymematic reasoning (metode deduktif), yang juga sebagai sentral dan pnoses invensi
retorikal. Beberapa ahli kemudian tampaknya mengabaikan enthymematic reasoning dan
Aristoteles ini, namun Cicero memperkuatnya kembali melalui bahasan dialektika dalam
penyampaian pesan. (Eugene Garver, Aristotle’s Rhetoric: An Art of Character, University
of Chicago Press, 1994.)
Di samping tiga seni itu, para retorikan tetap berpegang pada lima hukum retorika,
yaitu:
1. Memory - apa yang disampaikan, baik lisan maupun tertulis termasuk yang
terekam dalam ingatan.
2. Invention - isu-isu baru yang disampaikan retorikan.
3. Delivery - kemampuan retorikan untuk membagi dan menyebarluaskan
informasi.
4. Style - gaya beretorika secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui
media massa dan toko masyarakat.
5. Arrangement - kemampuan untuk menyatukan, mengintegrasikan, dan
merangkul semua pihak yang beranekaragam dalam audiens.

TRADISI ROMAWI
Bagi orang Roma, Oration merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan
publik. Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dan Marcus Fabius Quintilianus (35-100)
merupakan dua dari para ahli pidato ternama dari Roma. Nama Cicero selalu dihubungkan
dengan Rhetorica ad Herennium satu karya suntingan yang hingga saat ini tidak diketahui
siapa penyuntingnya, meskipun demikian karya ini sangat berpengaruh terhadap pelajaran
orasi di abad pertengahan, zaman renaisans bahkan sampai sekarang. Tercatat pula
beberapa karya Cicero yang sangat berpengaruh yakni De Inventione yang berisi teori-teori
tentang orasi yang menjadi bacaan wajib di abad pertengahan dan ranaisans, De Oratore
yang berisi prinsip-prinsip dialog, Topics sebagai gagasan uji coba retorika, Brutus yang
berisi diskusi dengan seorang orator, dan Orator yang memuat gaya orator untuk
mempertahankan diri.
Orang Roma lain yang patut dikenang ialah Quintilian yang memulai kariernya
sebagai pengacara di pengadilan kota. Reputasi Quintilian mulai tumbuh setelah dia
menulis karya Vespasian, yang berisi pengalaman tentang orasinya di Roma. Puncak dan
kerja ilmiah Quintilian dapat dibaca melalui karya Institutio Oratoria (Institutes of
Oratory), buku ini ternyata memberikan inspirasi bagi lahirnya semacam sekolah/institut
retorika dan orasi yang mendidik dan melatih para orator. Melalui lembaga pendidikan
inilah Quintilian menanamkan doktrin-doktrin dia tentang retorika kepada anak-anak sejak
dini sampai kepada orang dewasa dan orang tua sekalipun. Pendidikan ala Quintilian ini
juga telah memberikan inspirasi bagi pendidikan dan pengajaran tata bahasa, membaca,
menulis, kritik pustaka, dan pengajaran komposisi (the progymnasmata) termasuk narasi
dan perbandingan.
Satu gagasan brilian lain dari Quintilian adalah orasi ilmiah yang disebut
declamation yang kelak sangat berpengaruh terhadap pidato politik hingga ke periklanan
masa kini. Quintilian telah menetapkan “lima kanon” retorika yang sampai saat ini dikenal
di dunia, yaitu:
1. Inventio (invention), menetapkan semacam “titik masuk” dan orasi,
biasanya berdasarkan argumentasi orator.
2. Dispositio (disposition, atau arrangement), orator menetapkan
exordium/bagaimana harus memulai orasi dengan membuat disposisi atau
mengelompokkan gagasan-gagasan yang diduga dapat menimbulkan efek bagi audiens.
3. Orator menetapkan struktur orasi ke dalam Elocutio (gaya) dan
Pronuntiatio (presentation), agar dia mengetahui bagaimana cara mempresentasikan suatu
orasi.
4. Memoria (memory), orator mulai menghafal dan mengingat kembali
elemen-elemen dasar dan teks orasi untuk dipresentasikan.
5. Actio (delivery), merupakan aktivitas penyampaian pidato yang
memperhatikan semua tahapan tersebut, yang dikemas dalam the grand style.
BAB III
RETORIKA DARI ABAD PERTENGAHAN HINGGA MODERN

Dalam periode ini studi retorika difokuskan pada the verbal arts atau seni
menyampaikan pendapat secara verbal, yang meskipun di beberapa negara di Eropa
mengalami kelesuan, namun studi ini semakin berkembang dalam lembaga pendidikan
formal terutama di universitas. Bahkan di beberapa lembaga pendidikan formal, studi
retorika bergeser ke studi the arts of letter writing (ars dictaminis) dan penulisan
khotbah/sermon writing (ars pro ethcandi). Pada periode ini tercatat beberapa nama antara
lain Agustinus Hippo (354-430), seorang Uskup Katolik yang kelak menjadi “santo” (orang
kudus) yang mendidik dan melatih retorika pada lembaga pendidikan seminar (pendidikan
imam Katolik) di Milan di mana kerja Agustinus ini dirumuskan sebagai Pagan atau seni
menyebarluaskan ajaran agama. Gagasan Agustinus ini kelak diterbitkan dalam bukunya
yang keempat yang berjudul De Doctrina Christiana, buku ini merupakan dasar ilmu
homiletics (homileotika) yang berisi dasar-dasar penulisan khotbah.
Setelah Agustinus dikenal pula Jerome (420) yang mempertanyakan What has
Horace to do with the Psalms, Virgil with the Gospels, Ciccro with the Apostles? (catatan:
pertanyaan tentang sifat maskulinitas dan teks Mazmur dalam Perjanjian Lama, seni
penulisan Injil dan pikiran Cicero tentang peranan pejabat gereja dalam berkhotbah).
Retorika terus berkembang melalui Boethius (480-524) dengan karya berjudul Overview of
the Structure of Rhetoric, dia melanjutkan taksonomi retorika Aristoteles, namun Boethius
menempatkan filsafat dan dialektika sebagai dasar argumentasi dan retorika.
Pada saat yang sama, para ahli retorika Roma mendapat masukan dari para ahli
retorika berkebangsaan Arab yang mempunyai pelbagai catatan dokumenter tentang
retorika dalam bentuk puisi, dokumen-dokumen tersebut bersumber dari masa jaya Islam di
Al-Andalus/Spanyol. Di akhir periode abad pertengahan ini, penulisan retorika melibatkan
pula Thomas Aquinas (1225-1274), Mathew of Vendome dengan karya Ars Versificatoria
(1175), dan Geoffrey of Vinsauf dalam Poetria Nova (1200-1216). Bahkan muncul pula
gagasan-gagasan retorika klasik dan para ahli retorika perempuan pramodern seangkatan
Socrates seperti Aspasia. Sumbangan Aspasia dijadikan sebagai bahan dasar studi retorika
di bidang agama, hal yang sama disumbangkan pula oleh Julian of Norwich (1415) yang
gagasannya berkaitan erat dengan Christine de Pizan (1430).
Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, “ecery antagonist in the combats of tongue or
ofsword was subdued by his eloquence and valor”. Pada Ali bin Abi Thalid, kefasihan dan
kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh
para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi
disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim
menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika, tetapi warisan retorika Yunani, yang
dicampakkan di Eropa abad pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah.
Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi balaghah pada retorika
modern. Balaghah beserta ma’ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan
lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.
Tercatat pula Desiderius Erasmus (1466-1536), seorang pemerhati retorika klasik
yang pada tahun 1512 menulis De Duplici Copia Verborum et Rerum (dari beberapa
sumber karya ini dikenal dalam judul Copia: Foundations of the Abundant Style). Dari
tangan Erasmus tertulis kurang lebih 150 edisi artikel dan buku tentang retorika di Eropa,
buku-buku tersebut merupakan buku ajar wajib dalam pelajaran retorika modern, terutama
dikaitkan dengan pelajaran retorika tentang resverba (matter and form dan retorika) yang
isinya mempertegas kembali karya Quintilian.
Setelah Erasmus ada nama Juan Luis Vives (1492-1540) yang memperkenalkan
studi retorika di Inggris, di saat yang hampir bersamaan pada tahun 1523 Raja Inggris
Henry VIII menunjuk Cardinal Wolsey, dosen retorika di Universitas Oxford, menjadi tutor
Mary istri Henry VIII, Setelah Henry bercerai dengan Katarina dan Aragon. Salah satu
karya terkenal Wolsey adalah De Disciplinis yang terbit tahun 1531, disusul Rhetoricae,
sive De Ratione Dicendi, Libri Tres (1533), De Consultatione (1533), De Conscribendis
Epistolas (1536).
Sejak periode ini perkembangan retorika sebagai ilmu makin dikenal luas karena
kebanyakan artikel dan buku retorika ditulis dalam bahasa Inggris, antara lain karya
Leonard Cox’s The Art or Crafte of Rhetoryke (1524-1530), Thomas Wilson dalam The
Arte of Rhetorique (1553), Wilson juga memperkuat tradisi “lima kanon” Quintilian
(invention, disposition, elocutio, memoria, dan utterance atau actio). Juga tampil Angel
Day dalam karya The English Secretorie (1586, 1592), George Putteriham dengan The Arte
of English Poesie (1589), dan Richard Rainholde dalam Foundacion of Rhetorike (1563).
(Sumber: TW Baldwin’s, William Shakspere’s Small Latine and Lesse Greeke, 2 vols.,
University of Illinois Press, 1944.)
Dalam periode yang sama retorika terus berkembang bahkan mengalami pelbagai
perubahan mendasar, karena pelajaran retorika dimasukkan dalam kurikulum pendidikan
formal di lembaga-lembaga pendidikan gereja Protestan. ini juga merupakan era baru dalam
pendidikan Protestart karena sebelumnya retorika “dihilangkan” oleh kaum Protestan
puritan. Di Perancis dikenal nama Pierre de Ia Ramée juga Petrus Rarnus (1515-1572),
yang sangat aktif membahas kembali gagasan-gagasan Quintilian yang lebih memusatkan
perhatian pada aspek gaya dialektika.
Sementara itu, di Inggris muncul John Milton yang menghubungkan puisi dengan
retorika, karya-karya Milton sangat mirip dengan karya Ramus, di saat yang sama ada
Audomarus Talaeus dan Roma yang menerbitkan Institutiones Oratoriae (1544), karya ini
merupakan karya yang paling sederhana membahas gaya retorika, juga ada John Brinsley
(1612) yang menulis Ludus literarius atau The Grammar Schoole sebagai naskah yang
disebut most used in the best schooles. (Walter J. Ong, Ramus, Method, and the Decay of
Dialogue: From the Art of Discourse to the Art of Reason, Harvard University Press, 1958;
reissued by the University of Chicago Press, 2004, with a new foreword by Adrian Johns.)

ABAD PENCERAHAN/MODERN
Hingga akhir abad ke-19 memasuki awal abad ke-20 studi retorika mengalami
perkembangan menarik, misalnya: (1) muncul kembali gagasan untuk mempelajari
Elocution (retorika di depan publik yang tenar di abad ke-17-19); (2) makin banyaknya
lembaga pendidikan dan pelatihan Literary Societies (melatih warga untuk berdebat); (3)
tampil pula beberapa penulis retorika seperti John Locke, George Campbell, Hugh Blair,
dan Richard Whately yang pada tahun 1920-1930-an memasukkan studi retorika dalam
kurikulum di pelbagai departeman universitas di Inggris; (4) l.A. Richards menulis The
Philosophy of Rhetoric sebagai karya penting tentang bahasa dan sistem simbol; (5)
Kenneth Burke dalam karya A Grammar of Motives dan A Rhetoric of Motives yang
mendiskusikan diskursus pengaruh motivasi terhadap retorika; dan (6) juga Chaim
Perelman dan Richard Weaver yang memfokuskan retorika pada etika dan argumentasi.
Sekitar tahun 1943 di Cambridge University seorang mahasiswa doktoral asal
Kanada bernama Marshall McLuhan (1911-1980) menulis disertasi doktor tentang sejarah
the verbal arts, yang bersumber dan retorika mulai dan Cicero sampai ke Thomas Nashe
(1567-1600). Disertasi ini merupakan catatan tentang studi retorika yang paling berharga
sekaligus menjadikan McLuhan sebagai seorang pemikir ternama di abad ke-20 karena
dianggap berjasa mendorong studi sejarah retorika dan dialektika.
Setelah masa ini muncul beberapa nama lain seperti Walter J. Ong yang menulis
Humanism (1967) karya ini membahas perkembangan humanisme di zaman renaisans
melalui naskah-naskah retorika, logika, dialektika terutama analisis tentang gaya Latin
klasik. Karya ini sangat berpengaruh sampai saat ini karena berhasil menunjukkan betapa
pentingnya studi dan manfaat retorika dalam pelbagai bidang komunikasi seperti
komunikasi antarpersonal, organisasi komunikasi hukum dan komunikasi kesehatan.
Bagaimanapun juga menurut Walter ilmu-ilmu lain tetap memakai metode persuasi dalam
komunikasi antara manusia, terutama bagi kepentingan merumuskan pesan persuasif.
(Reprinted in Ongs Faith and Contexts, Scholars Press, 1999.)

CATATAN PENTING BAB I HINGGA III


Keseluruhan uraian ini mengantar kita pada suatu kesimpulan bahwa:
1. Retorika sebagai civic art, karena retorika dipandang tidak saja sebagai seni
berkomunikasi melalui pidato dan penulisan teks, tetapi juga teknik berpidato di depan
publik. Baik retorika sebagai seni, ilmu maupun teknik merupakan tradisi tua karena dapat
dilacak mulai dari Sejarah peradaban Yunani, Romawi hingga ke periode abad pertengahan
dan abad pencerahan di seluruh Eropa. Sumbangan retorika terbesar adalah mengkonstruksi
kehidupan demokrasi yang dicirikan oleh kebebasan berkumpul dan berpendapat bagi
seluruh warga masyarakat.
2. Retorika sebagai studi keilmuan, perkembangan sejarah retorika yang jatuh
bangun antara sekadar seni atau sebaliknya sebagai ilmu pengetahuan ternyata mampu
menyedot perhatian para ilmuwan dan praktisi. Dengan semakin banyaknya lembaga
pelatihan dan pendidikan, terutama universitas yang memasukkan pelajaran retorika dalam
kurikulum maka retorika akhirnya dapat diakui sebagai studi keilmuan yang cikal bakal
mendorong lahirnya ilmu komunikasi di Amerika Serikat.
3. Retorika sebagai epistemologi, meskipun retorika berawal dan praktik seni
semata-mata namun dengan berkembangnya retorika dan masa ke masa, maka pada
akhirnya sejanah pulaIah yang membantu para ahli untuk menyusun epistemologi dan ilmu
retorika. Epistemologi retorika seolah berpegang dan bertahan pada adagium retorika
sendiri, empty speech atau empty words yang bermakna “tiada retorika tanpa kata-kata,
manusia tanpa kata-kata maka dia bukan manusia, ucapan tanpa kata merupakan ucapan
kosong yang tidak bermanfaat”. Perspektif ini sekaligus menunjukkan bahwa pengetahuan
retorika sangat bermanfaat bagi masyarakat yang berbudaya, tanpa budaya beretorika maka
tidak ada komunikasi manusia.
4. Cakupan retorika, kini, cakupan retorika semakin luas, keluasan ini tidak
pernah dibayangkan ketika retorika ini dimulai di Yunani, Roma, Inggris, dan Perancis.
Retorika dimanfaatkan oleh pelbagai macam orang dan pelbagai macam fungsi dan profesi.
Retorika bahkan berkembang menjadi diskursus yang menarik tidak saja dalam ilmu sosial
tetapi juga dalam seni rupa, agama, jurnalistik, fiksi, sejarah, kartografi, arsitektur, politik,
dan hukum yang semuanya bertemu di silang ramai dalam ilmu komunikasi.
BAB IV
IMAJINASI DAN RETORIKA

Imajinasi secara umum, adalah kekuatan atau proses menghasilkan citra mental dan
ide. Imajinasi merupakan suatu gambaran (citra) yang dihasilkan oleh otak seseorang.
Istilah ini secara teknis dipakai dalam psikologi sebagai proses membangun kembali
persepsi dari suatu benda yang terlebih dahulu diberi persepsi pengertian. Sejak
penggunaan istilah ini bertentangan dengan yang dipunyai bahasa biasa, beberapa psikolog
lebih menyebut proses ini sebagai "menggambarkan" atau "gambaran" atau sebagai suatu
reproduksi yang bertentangan dengan imajinasi "produktif" atau "konstruktif".
Manfaat Imajinasi walau tidak dapat dilihat secara kasat mata, berguna dalam
kehidupan manusia. Dengan mengasah kemampuan pikiran, seseorang dapat bebas
berimajinasi. Membayangkan dan membuat sesuatu yang belum pernah ada sebelumnya.
Dimulai dari hal-hal kecil yang terkesan remeh seperti membuat mainan dari barang-barang
bekas. Dibutuhkan kreativitas, imajinasi, pikiran, dan pertimbangan untuk menciptakan
sesuatu menggunakan bahan-bahan yang tidak terpakai
Imajinasi verbal adalah imajinasi yang terbentuk oleh kata-kata dalam pikiran
manusia dan diproses di dalam otak kiri. Sedangkan imajinasi visual adalah imajinasi yang
berbentuk gambar-gambar dalam mata pikiran manusia dan diproses oleh otak kanan.
Orang dewasa yang telah mengetahui banyak kosa kata cenderung lebih menggunakan
kata-kata dalam berimajinasi, sehingga banyak orang dewasa yang justru mengalami
ketumpulan dalam berimajinasi dengan gambar.
Para psikolog mengatakan bahwa individu yang berhasil menunjukkan potensinya
biasanya memiliki kemampuan membayangkan bahwa ia mampu melakukan sesuatu.
Mereka membagi bentuk imajinasi menjadi dua yaitu sintetis dan kreatif. Imajinasi sintetis
memampukan seseorang untuk mengatur konsep, gagasan atau rencana lama
menjadi sebuah perpaduan yang baru. Pada dasarnya kemampuan imajinasi ini tidak
menghasilkan apapun. Seseorang hanya menggunakan pengalaman dan pengetahuan yang
sudah lewat untuk membuat sesuatu yang tampak seolah-olah baru. Padahal penemuan
tersebut hanya merupakan gabungan dari beberapa penemuan sebelumnya.
Imajinasi sintetis paling sering digunakan untuk mewujudkan sebuah keinginan
yang telah dimiliki. Sebuah keinginan tidak berarti jika hanya berbentuk bayangan semata.
Keinginan baru akan berarti ketika sudah diubah ke dalam bentuk fisik. Imajinasi
sintetislah yang berperan disini. Dengan imajinasi sintetis Anda dapat memikirkan cara dan
rencana-rencana untuk mewujudkan keinginan tersebut. Imajinasi kreatif adalah tahap yang
lebih tinggi dari imajinasi sintetis. Melalui imajinasi kreatif ini manusia mendapatkan akses
menuju Inteligensi Tanpa Batas. Dalam imajinasi kreatif Anda mendapatkan ‘firasat’ dan
‘ilham’. Disinilah penemuan yang sesungguhnya diciptakan. Imajinasi kreatif dapat bekerja
secara otomatis ketika pikiran sadar Anda bekerja pada kecepatan yang sangat tinggi.
Misalnya ketika Anda memiliki sebuah keinginan yang sangat kuat. Ketika ada kekuatan
pikiran yang sangat besar, kemampuan imajinasi kreatif akan menjadi siaga.
Pengertian pokok dari retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan
kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan
tertentu (memberikan informasi atau memberikan motivasi). Berbicara adalah salah satu
kemampuan khusus pada manusia. Retorika sebagai salah satu cabang ilmu mempunyai
peranan yang sangat menentukan dalam kehidupan bertutur. Menguasai ilmu retorika dan
keterampilan dalam mempergunakan bahasa secara tepat, dapat meningkatkan kemampuan,
dan dapat mengalami kesuksesan dalam hidup. Sejak jaman Yunani-Romawi sampai
sekarang para ahli filsafat dan ilmu pengetahuan mengemukakan pandangan-pandangan
tentang retorika. Disinilah kemampuan berimajinasi seseorang menempati posisi yang
sangat strategis.
BAB IV
HAKEKAT MANUSIA DAN PESAN

A. Hakikat Pembicara dan Pendengar


Sebagai ciptaan Tuhan Yang Mahakuasa, manusia merupakan makhluk yang paling
mulia, jika kita analogikan dengan hewan atau tumbuhan. Karena, selain memiliki
komponen jasmaniah, manusia juga memiliki komponen rohaniah. Seperti yang sudah kita
amati dan rasakan bersama setiap hari, bahwa manusia memiliki komponen jasmaniah yang
dapat kita urutkan dari organ yang paling atas, antara lain kepala, mata, telinga, mulut,
jantung, paru-paru, tangan, dan kaki. Semua organ itu, digunakan oleh manusia untuk
beretorika. Kecuali komponen jasmaniah, manusia juga memiliki komponen rohaniah,
seperti akal, budi, naluri, dan hati nurani, yang berfungsi secara simultan dalam sepanjang
hidupnya. Dengan memanfaatkan komponen rohaniah, manusia dapat saling mencerahkan
pikiran dan membahagiakan dalam komunikasi antarpersonal.
Fungsi akal bagi manusia (1) untuk menilai seseorang bersalah atau tidak bersalah;
dan (2) untuk mengingat, menghubungkan, mengidentifikasi, menganalisis, dan
menyimpulkan. Kemampuan akal manusia sangat bergantung dari banyaknya pengalaman
dan tingkat pendidikan, baik formal maupun nonformal. Kemampuan akal ‘Intellectual
Quotient’ yang dikenal oleh masyarakat yaitu ‘IQ’ atau kecerdasan intelektual. Dalam
menyerap pengalaman dan pendidikan, setiap orang dapat dipastikan berbeda-beda. Oleh
karena itu, perbedaan kemampuan akal manusia harus mendapat perhatian utama dalam
retorika, sehingga dapat menghasilkan logika demi tercapainya kebenaran yang objektif.
Fungsi budi bagi manusia (1) untuk membedakan etika, estetika, dan keadilan.
Kemampuan budi ‘Emotional Quotient’ yang disingkat ‘EQ’ atau kecerdasan emosi, untuk
menilai seseorang beretika atau tidak beretika, berestetika atau tidak berestetika, dan
berkeadilan atau tidak berkeadilan sebagai tolok ukur keberhasilan manusia.
Naluri, merupakan anugerah Tuhan Yang Mahamulia yang diberikan kepada
manusia sejak ia dilahirkan. Fungsi naluri bagi manusia, agar segala kemauannya dapat
dimanifestasikan, namun fakta membuktikan bahwa tidak semua keinginan manusia dapat
diwujudkan. Dengan demikain, sangat realistis jika ada individu yang kecewa. Terkait hal
itu, naluri ada yang bersifat positif dan negatif. Contoh naluri positif adalah naluri sosial,
naluri ingin tahu, naluri kebahagiaan, dan naluri beragama, sedangkan naluri negatif adalah
naluri ateis, naluri nafsu liar, dan naluri kriminal. Namun, tolok ukur kebahagiaan antara
individu yang satu dengan individu yang lain berbeda-beda. Ada manusia yang berbahagia,
karena memperoleh atau memiliki hal-hal yang bersifat duniawi. Ada juga manusia yang
berbahagia, karena melakukan hal-hal yang bersifat spiritual. Ada pula manusia yang
berbahagia karena memperoleh atau memiliki hal-hal yang bersifat duniawi sekaligus
melakukan hal-hal yang bersifat spiritual. Sedangkan naluri yang secara khusus berkaitan
dengan retorika adalah naluri sosial, naluri ingin tahu, dan naluri kebahagiaan. (Hanum,
2014:23)
Hati nurani adalah komponen rohaniah manusia yang berfungsi sebagai pedoman
jika akal, budi, dan naluri sama sekali tidak dapat memutuskan sesuatu sehingga manusia
menjadi bimbang. Putusan manusia akan didukung, apabila sejalan dengan ketetapan hati
nurani, dan sebaliknya akan ditolak apabila tidak sejalan dengan hati nurani.
A. Hakikat Pesan
Pada mulanya manusia menyampaikan informasi kepada sesamanya melalui bahasa
isyarat, baik gerak air muka maupun gerak seluruh tubuh, dan melalui suara yang
berasal dari mulut, Namun, keadaan itu belum memuaskan kebutuhan manusia untuk
berkomunikasi dan berinteraksi antarpersonal serta berkreasi dalam ilmu pengetahuan.
Dalam perkembangan selanjutnya, karena kemampuan yang dimiliki oleh manusia,
baik kemampuan akal, budi, naluri ingin tahu, naluri sosial maupun naluri kebahagiaan,
manusia berinisiatif untuk menciptakan bahasa lisan, yang kemudian diikuti oleh
bahasa tulis. Bentuk bahasa lisan dan tulis itu, pada dasarnya untuk memanifetasikan
pesan-pesan manusia melalui akal dan budi serta nalurinya (Hanum, 2014:46). Bahkan
tidak berhenti sampai bahasa lisan dan tulis, untuk memenui kebutuhan dalam
komunikasinya, manusia juga menciptakan lambang, tanda, penanda, petanda, kode,
gejala, dan ikon.
Bentuk pesan tidak akan berarti apa pun tanpa memaknainya. Oleh karena itu,
manusia menciptakan tanda-tanda pesan untuk mengubah pesan yang abstrak menjadi
pesan yang konkret. Tanda pesan yang secara khusus digunakan oleh kaum waria
misalnya, “akika” bermakna, aku, “cakra” bermakna, gagah, “diana” bermakna, dia.
Bertikutnya, tanda pesan nonverbal yang digunakan secara umum contohnya, senyuman
sebagai bentuk penanda kebahagiaan, tangisan sebagai bentuk penanda duka, hardikan
sebagai bentuk penanda kemarahan dan rintihan sebagai bentuk penanda kesakitan dsb.
Pada hakikatnya pesan yang bersifat abstrak harus berubah menjadi konkret melalui
tanda retorika. Rangkaian tanda retorika yang tersusun secara sistematis sehingga
membentuk bahasa. Proses mengubah pesan menjadi tanda retorika yang dilakukan
oleh pembicara disebut “encoding” atau penyandian. Kemudian, proses mengubah
pesan menjadi tanda retorika yang ditafsir oleh pendengar disebut “decoding” atau
penyandian balik. Baik encoding ‘penyandian’ maupun decoding ‘penyandian balik’
yang dilakukan oleh pembicara maupun pendengar keduanya adalah penting dalam
retorika. Karena, orang yang menjadi pembicara wajib menyertakan penyandian, begitu
juga sebaliknya, orang yang menjadi pendengar wajib menyertakan penyandian baik.
Ikhtisar
Dalam beretorika, manusia memanfaatkan komponen jasmaniah antara lain kepala,
mata, telinga, mulut, hidung, jantung, paru-paru, kaki dan tangan. Kecuali itu, manusia
dalam beretorika juga memanfaatkan komponen rohaniah seperti akal, budi, naluri ingin
tahu, naluri sosial, maupun naluri kebahagiaan. Di samping itu, manusia dalam
menyampaikan pesan menggunakan media bahasa lisan, bahasa tulis, berbagai alat
peraga berupa perlambangan. Tambahnya lagi, karena banyaknya informasi yang harus
disampaikan oleh pembicara, sehingga pembicara harus melakukan pengubahan pesan
menjadi tanda retorika disebut penyandian atau “encoding”. Kemudian, pengubahan
pesan menjadi tanda retorika yang ditafsir oleh pendengar disebut penyandian balik
“decoding”.
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan singkat!
1. Jelaskan komponen jasmaniah, dari bagian atas sampai ke bagian bawah yang
dibutuhkan oleh manusia untuk beretorika!
2. Jelaskan apakah perbedaan yang fundamental antara penyandian dan penyandian
balik, baik yang dipakai oleh pembicara maupun pendengar dalam beretorika!
3. Jelaskan fungsi akal, budi, naluri positif, dan hati nurani yang dipakai oleh manusia
untuk beretorika!
4. Sebutkan lima contoh perbuatan nafsu liar yang dilakukan oleh manusia!
5. Pada mulanya manusia berkomunikasi dengan sesamanya dengan menggunakan
bahasa isyarat. Dalam perkembangannya, karena manusia memiliki akal, budi,
naluri positif, dan hati nurani, dalam berinteraksi juga memanfaatkan bahasa lisan,
bahasa tulis dan perlambangan. Silakan sebutkan perlambangan yang Anda ketahui!
BAB VI
FUNGSI PESAN NON VERBAL DAN KLASIFIKASINYA

Komunikasi nonverbal sangat penting dikarenakan komunikasi nonverbal dapat


memperkuat dan memperjelas atau melengkapi komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal
juga merupakan penggambaran emosi yang tidak dapat diungkapkan dalam komunikasi
verbal. Hal ini dikarenakan komunikasi nonverbal tidak dapat dipisahkan (saling berkaitan)
dengan komunikasi verbal. Komunikasi nonverbal dapat digunakan kapan saja dan oleh
siapa saja termasuk orang-orang yang memiliki kelainan fisik serta saat seseorang itu sulit
mengungkapkan perasaan melalui komunikasi verbal.

A. Mengenal Pesan-pesan Non Verbal


Pesan-pesan nonverbal sangat berpengaruh dalam komunikasi, oleh Edward T.Hall,
memberi nama sebagai bahasa diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal
tertanam dalam konteks komunikasi. Yang Termasuk komunikasi nonverbal sebagai
berikut :
• Ekspresi wajah : wajah merupakan sumber yang kaya dengan komunikasi,
karena ekspresi wajah cerminan suasana emosi seseorang.
• Kontak mata : merupakan sinyal alamiah untuk berkomunikasi.
• Sentuhan : adalah bentuk komunikasi personal mengingat sentuhan lebih
bersifat spontan dari pada komunikasi verbal. Beberapa pesan seperti
perhatian yang sungguh-sungguh, dukungan emosional, kasih sayang atau
simpati dapat dilakukan melalui sentuhan.
• Postur tubuh dan gaya berjalan : cara seseorang berjalan, duduk, berdiri dan
bergerak memperlihatkan ekspresi dirinya. Postur tubuh dan gaya berjalan
merefleksikan emosi, konsep diri, dan tingkat kesehatannya.
• Sound (suara) : rintihan, menarik nafas panjang, tangisan juga salah satu
ungkapan perasaan dan pikiran seseorang yang dapat dijadikan komunikasi.
Bila dikombinasikan dengan semua bentuk komunikasi nonverbal lainnya
sampai desis/suara dapat menjadi pesan yang sangat jelas.
• Gerak isyarat : yang dapat mempertegas pembicaraan. Menggunakan isyarat
sebagaibagian total dari komunikasi seperti mengetuk-ngetukan
kaki/menggerakkan tangan selama berbicara menunjukkan seseorang dalam
keadaan stress, bingung atau sebagai upaya untuk menghilangkan stress.

B. Fungsi Pesan Nonverbal


 Komunikasi nonverbal tidak dapat dipisahkan dengan dipisahkan dengan
komunikasi verbal, contoh : apa yang anda lakukan ketika mengucapkan
“tidak.”
 Perilaku nonverbal berfungsi mengulangi perilaku verbal (repetition), contoh
: mengangguk ketika mengucapkan “ya.”
 Memperteguh, menekankan atau melengkapi perilaku verbal atau ucapan
yang dianggap belum sempurna, misalnya : melambaikan tangan saat
mengucapkan selamat jalan.
Pesan nonverbal sangat mempengaruhi berhasil atau tidaknya komunikasi. Dalam
bukunya Ninan W Syam mengungkapkan bahwa menurut Mark L. Knapp (1972:9)
menyebutkan 5 fungsi pesan nonverbal, yaitu :
 Repetisi : mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara
verbal.
 Substitusi : menggantikan lambang-lambang verbal.
 Kontradiksi : menolak pesan verbal atau memberikan makna lain terhadap
pesan verbal.
 Komplemen : melengkapi memperkaya makna pesan verbal.
 Aksentuasi : menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
Pesan nonverbal ini juga secara tidak langsung akan mempengaruhi pikiran
bawah sadar. Seseorang akan lebih percaya pada apa yang diungkapkan bahasa
tubuh dibandingkan dengan bahasa verbal. Contoh mudahnya seseorang
mengungkapkan bahwa ‘makanan ini enak sekali’ dengan wajah “ngerenyit” pesan
yang ditangkap lawan bicara adalah makanan tersebut sebetulnya tidak enak. Jadi
dengan mengetahui fungsi pesan nonverbal akan menambah kemampuan dalam
komunikasi yang efektif.

C. Jenis-jenis Komunikasi Nonverbal


1. Komunikasi Objek
Dalam hal ini yang palling umum ialah penggunaan pakaian, dimana orang sering
dinilai dari jenis pakaian yang digunakannya, walaupun ini dianggap termasuk salah untuk
bentuk stereotype. Misalnya orang sering lebih menyukai orang lain yangn cara
berpakaiannya menarik cenderung lebih mudah mendapat pekerjaan dari pada yang tidak.
2. Sentuhan
Sentuhan dapat termasuk, bersalaman, menggemgam tangan, berciuman, sentuhan
di punggung, mengelus-ngelus, pukulan dan lain-lain. Masing-masing bentuk komunikasi
ini menyampaikan pesan tentang tujuan atau perasaan dari penyentuh. Sentuhan juga dapat
menyebabkan suatu perasaan pada penerima sentuhan, baik positif ataupun negative.
3. Kronemik
Merupakan bidang yang mempelajari penggunaan waktu dalam komunikasi
nonverbal. Penggunaan waktu dalam komunikasi nonverbal meliputi durasi yang dianggap
cocok bagi suatu aktivitas, mencakup banyaknya aktiitas yang dianggap patut dilakukan
dalam jangka waktu tertentu, serta ketepatan waktu “Punctully”.
4. Gerakan Tubuh “Kinestik”
Dalam komunikasi nonverbal, gerakan tubuh atau kinestik meliputi kontak mata,
ekspresi wajah, isyarat dan sikap tubuh. Gerakan tubuh biasanya digunakan untuk
menggantikan suatu kata atau frasa, misalnya mengangguk untuk mengatakan ya. Untuk
meilustrasikan atau menjelaskan sesuatu; menunjukkan perasaan, misalnya memukul meja
untuk menunjukkan kemarahan; untuk mengatur atau mengendalikan jalannya percakapan
atau untuku melepaskan ketegangan.
5. Proxemik “Bahasa Ruang”
Merupakan jarak yang digunakan ketika berkomunikasi dengan orang lain,
termasuk juga tempat atau lokasi posisi kita berada. Pengaturan jarak menentukan seberapa
jauh atau seberapa dekat tingkat keakraban kita dengan orang lain, menunjukkan seberapa
besar penghargaan, suka atau tidak suka dan perhatian kita terhadap orang lain, selain itu
juga menunjukkan symbol social.
6. Jarak Intim
Jarak dari mulai bersentuhan sampai jarak satu setengan kaki.
7. Jarak Personal
Jarak yang menunjukkan perasaan masing-masing pihak yang berkomunikasi dan
juga menunjukkan keakraban dalam suatu hubungan, jarak ini berkisar antara satu setengah
kaki sampai empat kaki.
8. Jarak Sosial
Jarak yang menunjukkan pembicara yang menyadari betul kehadiran oranng lain.
Karena itu dalam jarak ini pembicara berusaha tidak mengganggu dan menekan orang lain,
keberadaannya terlihat dari pengaturan jarak antara 4 kaki hingga 12 kaki.
9. Jarak Publik
Jarak yang berkisar antara 12 kaki sampai tak terhingga.
BAB VII
PENYAJIAN PESAN

A. Proses Penyajian Pesan


Syarat untuk terjadinya sebuah proses komunikasi adalah tersedianya unsur-unsur
komunikasi yang terdiri atas enam hal, yaitu source (sumber), communicator
(komunikator/penyampai pesan), message (pesan), channel (saluran), communican
(komunikan/penerima pesan), dan effect (efek/hasil).
Proses komunikasi dapat terjadi apabila terdapat interaksi dan terjadi proses
penyampaian pesan. Tahapan penyampaian/penyajian pesan atau proses komunikasi
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penginterpretasian
Penyandian adalah langkah awal dalam sebuah proses komunikasi. Hal ini
berlangsung dalam diri komunikator. Sesuatu yang diinterpretasikan adalah motif
komunikasi yang mendasari komunikator melakukan proses komunikasi. Proses
komunikasi yang pertama ini berlangsung sejak motif komunikasi muncul hingga
komunikator mampu menginterpretasikan pikiran dan perasaannya dalam sebuah
pesan yang masih abstrak.
2. Penyandian
Tahap selanjutnya adalah penyandian. Tahap ini masih berlangsung dalam diri
komunikator. Pada proses ini, pesan abstrak yang diciptakan dalam tahap
sebelumnya berhasil diwujudkan oleh komunikator ke dalam lambang komunikasi
melalui proses encoding.
3. Pengiriman
Proses pengiriman terjadi ketika komunikator mengomunikasikan pesannya
kepada komunikan. Dalam tahap ini komunikator mengirim lambang komunikasi
melalui transmitter sebagai alat pengirim pesan. Transmiter dapat berupa apapun.
4. Perjalanan
Tahap ini terjadi antara komunikator dan komunikan, yaitu sejak pesan
dikirim hingga pesan diterima oleh komunikan.
5. Penerimaan
Terjadi ketika lambang komunikasi yang dikirim oleh komunikator telah
diterima oleh komunikan. Penerimaan dalam proses komunikasi diterima melalui
receiver berupa organ pendengaran komunikan
6. Penyandian balik
Tahap penyandian balik terjadi dalam diri komunikan yaitu sejka lambang
komunikasi diterima melalui receiver hingga pesan tersebut diolah dan diuraikan
dalam diri komunikan (decoding).
7. Penginterpretasian
Penginterpretasian kembali terjadi dalam diri komunikan, yaitu sejak lambang
komunikasi berhasil diuraikan dalam bentuk pesan hingga menimbulan feedback.
Berikut adalah ilustrasi sederhana berupa gambar tentang proses komunikasi/
penyampaian pesan:
B. Hambatan dalam Proses Penyajian Pesan
Dalam setiap proses komunikasi, terdapat hambatan-hambatan yang berpotensi
mengganggu proses penyampaian pesan dari komunikator ke komunikan. Jika hambatan
tersebut kecil, maka efek yang ditimbulkannya pun kecil dan dapat dihilangkan. Namun
apabila hambatannya besar, maka proses komunikasi dapat terganggu bahkan berpotensi
gagal.
Beberapa hambatan tersebut, misalnya:
1. Kebisingan
2. Keadaan psikologis komunikan
3. Kekurangterampilan komunikator/komunikan
4. Kesalahan penilaian oleh komunikator
5. Kurangnya pengetahuan komunikator/komunikan
6. Bahasa
7. Isi pesan berlebihan
8. Bersifat satu arah
9. Faktor teknis
10. Kepentingan / interest
11. Prasangka, dan sebagainya.

Rangkuman
• Syarat untuk terjadinya sebuah proses komunikasi adalah tersedianya unsur-unsur
komunikasi yang terdiri atas enam hal, yaitu source (sumber), communicator
(komunikator/penyampai pesan), message (pesan), channel (saluran), communican
(komunikan/penerima pesan), dan effect (efek/hasil).
• Tahapan penyampaian/penyajian pesan atau proses komunikasi terdiri atas
penginterpretasian, penyandian, pengiriman, perjalanan, penerimaan, penyandian
balik, dan penginterpretasian
• Beberapa hambatan yang dapat terjadi dalam proses penyajian pesan, misalnya
kebisingan, keadaan psikologis komunikan, kekurangterampilan
komunikator/komunikan, kesalahan penilaian oleh komunikator, kurangnya
pengetahuan komunikator/komunikan, bahasa, isi pesan berlebihan, bersifat satu
arah, faktor teknis, kepentingan / interest, dan prasangka.

Latihan Soal
1. Apakah sebuah proses komunikasi dapat terjadi apabila unsur-unsur komunikasi
tidak lengkap? Jelaskan disertai dengan contoh!
2. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan efek/hasil dalam proses komunikasi?
3. Jelaskanlah apakah interpretasi komunikan selalu sama dengan apa yang
disampaikan oleh komunikan? Mengapa?
4. Jelaskanlah apa yang dimaksud dengan isi pesan yang berlebihan?
5. Di antara tujuh tahapan penyajian/penyampaian pesan, pada tahap manakah yang
memungkinkan paling banyak peluang terjadinya hambatan/gangguan? Jelaskan!

Daftar Pustaka
Hanum, Z. (2014). Retorika: Suatu Pengantar. Tangerang: Pustaka Mandiri.
Rakhmat, J. (2011). Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
BAB VIII
Jenis-jenis Pidato

Hal yang fundamental harus dipersiapkan dalam menentukan jenis-jenis pidato


adalah pemilihan topik, penentuan tujuan, dan pengembangan pokok bahasan. Dengan
demikian, ada atau tidaknya persiapan bagi seorang pembicara, salah satu jenis pidato
itu harus dipilih oleh pembicara, agar ada sinkronisasi antara topik pidato, tujuan pidato
maupun pengembangan pokok bahasan. Jenis pidato dapat dikelompokkan menjadi
empat kategori yaitu “Impromptu”, “Manuskrip”, “Memoriter”, dan “Ekstempore” atau
“Ekstemporan”. (Rakhmat, 2011:17).

1. Jenis pidato impromptu, adalah jenis pidato yang dilakukan secara spontan oleh
pembicara. Biasanya, pidato itu dilakukan oleh pembicara karena diminta secara
spontan pula oleh pihak keluarga yang mempunyai acara adat, seperti pertunangan,
kelahiran bayi, selamatan kehamilan, ulang tahun, dan selamatan orang yang sudah
meninggal, sehingga pembicara pun tanpa mempunyai persiapan sedikit pun. Bagi
pembicara yang sudah mahir, jenis pidato itu memiliki beberapa keuntungan antara
lain (a) pembicara akan mengungkapkan kejujuran berdasarkan fakta yang
sesungguhnya; ( b) gagasan dan pandangan pembicara, tampak segar dan hidup;
dan (c) sangat memungkinkan, pembicara untuk terus berpikir. Namun, jika jenis
pidato itu dilakukan oleh pembicara pemula akan menimbulkan kelemahan-
kelemahan antara lain (a) kemungkinan, pembicara membuat simpulan yang tidak
lengkap; (b) pesan yang disampaikan oleh pembicara, tidak lancar; (c)
kemungkinan, gagasan dan pandangan yang disampaikan pembicara tidak
sistematis dan membingungkan khalayak; (d) pembicara berpotensi demam
panggung.

2. Jenis pidato manuskrip, adalah jenis pidato yang menggunakan naskah. Pembicara
menggunakan naskah pidato secara utuh sejak awal hingga akhir. Jenis pidato ini
biasanya digunakan oleh tokoh-tokoh nasional maupun internasional, karena
kekeliruan ucapan saja akan berdampak buruk terhadap kredibilitas maupun
reputasi pembicara. Oleh karena itu, para tokoh tersebut di atas, dalam pertemuan
ilmiah, sering menggunakan jenis pidato manuskrip. Tentu saja, jenis pidato itu,
bukan jenis pidato yang baik, namun memiliki keunggulan sebagai berikut (a) diksi
efektif, karena sudah diatur sebelumnya; (b) kekeliruan dan kesalahan dapat
dihindari; (c) Kefasihan dalam berbicara dapat terpenuhi; (d) materi pidato dapat
digandakan. Kecuali itu, jenis pidato manuskrip juga memiliki kelemahan-
kelemahan dalam proses komunikasi antara lain (a) jalinan komunikasi antara
pembicara dengan pendengar cenderung monoton, karena tidak disertai unsur
retorika; (b) umpan balik dari pendengar tidak dapat mengubah, materi pesan; (c)
Persiapan lebih lama, karena materi pidato harus dibuat secara utuh. Agar dapat
menutupi kelemahan-kelemahan tersebut di atas, pembicara seyogianya dapat
menyusun garis-garis besar jenis pidato manuskrip, beserta materinya secara
lengkap dan berlatihlah berulang-ulang.

3. Jenis pidato memoriter, adalah jenis pidato yang dilakukan dengan cara menghafal
kata demi kata. Tentu saja, jenis pidato memoriter memungkinkan diksi lebih tepat,
karena sudah disiapkan lebih lama, gerak-gerik pendengar dapat diintegrasikan
dengan uraian materi secara akurat. Namun, sering juga terjadi hal yang
dibicarakan tidak berkorelasi dengan hal yang dibutuhkan oleh pendengar. Kecuali
itu, pembicara lebih banyak mengingat kata demi kata agar tidak terjadi kesalahan
atau kekeliruan dalam berbicara. Lebih berbahaya lagi, jika ada satu kata atau
kelompok kata yang hilang dari ingatan pembicara. Hal itu akan berpotensi
terjadinya demam panggung.

4. Jenis pidato ekstempore atau ekstemporan adalah jenis pidato yang dilakukan oleh
pembicara, hanya dengan persiapan garis-garis besar dan pokok-pokok penunjang
materi yang dibahas. Jenis pidato ekstempore yang paling sering digunakan oleh
para orator, karena mereka tanpa mengingat kata-kata dalam naskah. Garis-garis
besar ini hanya dipakai sebagai pedoman untuk memandu gagasan yang ada dalam
pikiran. Keunggulan jenis pidato ekstempore, adalah interaksi antara komunikator
dengan komunikan lebih baik, karena komunikator langsung bersemuka dengan
pendengar. Pengungkapan pesan pun dapat diubah sesuai dengan kebutuhan serta
penyajiannya pun dapat dilakukan secara spontan. Jika jenis pidato ini dilakukan
oleh pembicara pemula, kemungkinan akan mengalami beberapa kendala, antara
lain (1) ada potensi penggunaan diksi yang kurang tepat; (2) kefasihan berbicara
juga kurang tepat; dan (3) berpotensi penyimpangan dari garis-garis besar yang
telah ditetapkan. (Rakhmat, 2011:17)

Ikhtisar

Jenis pidato impromptu, adalah jenis pidato yang dilakukan secara spontan oleh
pembicara. Biasanya, pidato itu dilakukan oleh pembicara, karena diminta secara
spontan pula oleh pihak keluarga yang mempunyai acara adat, seperti pertunangan,
kelahiran bayi, selamatan kehamilan, ulang tahun kelahiran atau perkawinan.
Jenis pidato manuskip, adalah jenis pidato yang menggunakan naskah sejak awal
hingga akhir. Jenis pidato ini digunakan oleh para tokoh nasional maupun internasional,
karena kekeliruan ucapan saja akan berdampak terhadap kredibilitas dan reputasi
pembicara.
Jenis pidato memoriter, adalah jenis pidato yang dilakukan dengan cara menghafal
kata demi kata. Tentu saja, diksi yang dipakai dalam jenis pidato ini cenderung efektif,
karena sudah disiapkan lebih dahulu oleh pembicara. Namun, pembicara harus
mengingat banyak kata, sehingga kalau ada satu atau beberapa kata yang hilang dari
ingatan pembicara, akan berpotensi demam panggung.
Jenis pidato ekstempore, adalah jenis pidato yang dilakukan oleh pembicara, hanya
dengan persiapan garis-garis besar dan pokok-pokok penunjang materi. Jenis pidato ini
yang paling sering digunakan oleh para orator, karena mereka tanpa mengingat kata-
kata dalam naskah. Garis-garis besar tersebut hanya dipakai sebagai pedoman untuk
memandu gagasan yang sudah ada dalam pikiran.

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan singkat!

1. Jenis pidato manakah yang paling tepat yang dipakai untuk menyampaikan laporan
pertanggungjawaban seorang pemimpin? Berikanlah argumentasi Anda!
2. Di antara keempat jenis pidato di atas, manakah yang kurang memiliki unsur
retorika?
3. Apakah kelemahan jenis pidato memoriter? Berikanlah argumentasi Anda!
4. Di antara keempat jenis pidato di atas, apakah keunggulan jenis pidato manuskrip?
5. Sebutkan kelemahan jenis pidato impromptu, jika dilakukan oleh pembicara yang
belum berpengalaman!
BAB IX
TOPIK DAN TUJUAN PIDATO

A. Topik Pidato
a. Pengertian
Topik pidato merupakan pokok pembicaraan dalam sebuah pidato. Erat
kaitannya dengan topik yaitu judul. Bila topik adalah pokok bahasan yang akan
diulas, maka judul adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan itu. Seringkali
judul telah dikemukakan lebih dahulu kepada khalayak, karena itu judul perlu
dirumuskan lebih dahulu.
Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1. Relevan, artinya berhubungan dengan pokok-pokok bahasan
2. Provokatif, artinya dapat menimbulkan hasrat ingin tahu dan antusiasme
pendengar
3. Singkat

b. Sumber Topik
Beberapa sumber yang dapat dijadikan topik, yaitu:
1. Pengalaman pribadi, misalnya tentang perjalanan, tempat yang pernah
dikunjungi, komunitas yang diikuti, wawancara dengan tokoh, kejadian luar
biasa, atau peristiwa lucu.
2. Hobi dan keterampilan, misalnya tentang cara melakukan sesuatu, peraturan
atau tata cara.
3. Pengalaman pekerjaan atau profesi, misalnya tentang pekerjaan tambahan atau
profesi keluarga.
4. Pelajaran sekolah atau kuliah, bisa berupa hasil-hasil penelitian atau hal-hal
yang perlu diteliti lebih lanjut.
5. Pendapat pribadi, seperti kritikan terhadap permainan, film, buku, puisi, dan
sebagainya.
6. Peristiwa hangat dan pembicaraan publik, seperti berita yang tengah viral di
media sosial
7. Masalah abadi, misalnya tentang pendidikan, agama, atau persoalan masyarakat
yang belum selesai
8. Biografi, misalnya tentang biografi orang-orang terkenal
9. Kejadian khusus, seperti peringatan atau perayaan tertentu
10. Minat khalayak, seperti tentang pekerjaan, hobi, rumah tangga, pengembangan
diri, kesehatan, penampilan, dan lain-lain.

Dari sumber topik tersebur, dapat ditemukan pokok pembicaraan yang sesuai
dengan latar belakang pengetahuan pembicara.

c. Kriteria Topik yang Baik


Untuk menentukan topik yang baik, beberapa hal yang harus diperhatikan
yaitu:
1. Topik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan pembicara
Topik yang paling baik adalah topik memberikan kemungkinan pembicara lebih tahu daripada
pendengar. Anda lebih ahli dibandingkan dengan kebanyakan pendengar
2. Topik harus menarik minat pembica
Topik yang enak dibicarakan tentu saja topik yang paling disenangi atau topik
yang amat menyentuh emosi pembicara.
3. Topik harus menarik minat pendengar
Pembicara berbicara untuk orang lan. Kalau tidak ingin ditinggalkan pendengar,
pembicara harus berbicara tentang sesuatu yang diminatinya.
4. Topik harus sesuai dengan pengetahuan pendengar
Betapa pun baiknya topik, apabila tidak dapat dicerna oleh pendengar, topik itu bukan saja
tidak menarik tetapi bahkan menyusahkan pendengar.
5. Topik harus jelas ruang lingkup dan pembatasannya
Topik tidak boleh terlalu luas, sehingga setiap bagian hanya memperoleh
penjelasan yang kurang memadai.
6. Topik harus sesuai dengan waktu dan situasi
Misalnya topik dalam orasi ilmiah sudah pasti berbeda dengan topik dalam peringatan atau
situasi tertentu. Selain itu topik juga harus disesuaikan dengan waktu yang tersedia.
7. Topik harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
Topik yang dipilih sebaiknya adalah topik yang bahan referensinya tidak sulit
untuk didapatkan.

B. Tujuan Pidato
a. Tujuan Umum
1. Informatif (memberitahukan)
Pidato informatif ditujukan untuk menambah pengetahuan pendengar. Komunikasi diharapkan
memperoleh penjelasan, menaruh minat, dan memiliki pengertian tentang persoalan yang
dibicarakan.
2. Persuasif (mempengaruhi)
Pidato persuasif ditujukan agar orang mempercayai sesuatu, melakukannya atau terbakar
semangat dan antusiasmenya. Bentuk reaksi pendengar yang diharapkan dari tujuan pidato
persuasif adalah keyakinan, adanya tindakan, dan semangat.

3. Rekreatif (menghibur)
Pidato rekreatif mengharapkan respons humor, perhatian, dan kesenangan dari pendengar.
Bahasanya bersifat ringan, segar, dan mudah dipahami. Untuk menyampaikan pidato
rekreatif, pembicara bukan saja memerlukan akting yang bagus, tetapi juga kecerdasan
untuk membangkitkan tawa pendengar.

b. Tujuan Khusus
Tujuan khusus adalah tujuan yang dapat dijabarkan dari tujuan umum. Namun apa yang
ingin dicapai pembicara, dapat dilihat dari tujuan khususnya. Tujuan khusus bersifat
konkret, sebaiknya dapat terukur atau dibuktikan.
Hubungan antara topik, judul, tujuan umum dan khusus dapat terlihat pada contoh berikut:
Topik : Manfaat memiliki sifat pemaaf
Judul : Memaafkan sumber kebahagiaan
Tujuan Umum : Informatif (memberi tahu)
Tujuan Khusus : Pendengar mengetahui bahwa (1) sifat dendam menimbulkan gangguan jasmani
dan rohani, (2) sifat pemaaf menimbulkan ketentraman jiwa dan kesehatan.

Rangkuman
• Topik pidato merupakan pokok pembicaraan dalam sebuah pidato, sedangkan judul
adalah nama yang diberikan untuk pokok bahasan itu.
• Judul yang baik harus memenuhi tiga syarat, yaitu relevan, provokatif, dn singkat
• Topik bisa bersumber dari pengalaman pribadi, hobi dan keterampilan, pengalaman
pekerjaan atau profesi, pelajaran sekolah atau kuliah, pendapat pribadi, peristiwa
hangat dan pembicaraan publik, masalah abadi, misalnya tentang pendidikan,
agama, atau persoalan masyarakat yang belum selesai, biografi, Kejadian khusus,
seperti peringatan atau perayaan tertentu, dan minat khalayak.
• Topik yang baik harus sesuai dengan latar belakang pengetahuan pembicara,
menarik minat pembica, menarik minat pendengar, sesuai dengan, harus sesuai
dengan waktu dan situasi, dan harus dapat ditunjang dengan bahan yang lain
• Tujuan umum pidato ada tiga, yaitu informatif, persuasif, dan rekreatif
• Tujuan khusus pidato bersifat konkret, dapat dijabarkan dari tujuan umum.

Latihan Soal
1. Jelaskanlah perbedaan antara topik dan judul!
2. Salah satu hal yang dapat dijadikan topik pidato adalah hobi dan keterampilan.
Jelaskan!
3. Sebutkanlah 3 contoh pidato yang bertujuan persuasif!
4. Jelaskanlah mengapa pembicara harus memerhatikan tentang kriteria topik yang
baik!
5. Jelaskanlah hubungan antara topik, judul, tujuan umum, dan khusus
BAB X
KERANGKA PIDATO

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “kerangka” diartikan sebagai garis besar
atau rancangan. Kerangka pidato atau Garis-garis besar (outline) pidato merupakan
pelengkap yang amat berharga bagi pembicara yang berpengalaman dan keharusan bagi
pembicara baru. Garis besar adalah “peta bumi” bagi komunikator yang akan memasuki
daerah kegiatan retorika. Peta ini memberikan petunjuk dan arah yang akan dituju. Garis
besar yang salah akan mengacaukan perjalanan pembicaraan, seperti juga garis besar yang
teratur akan menertibkan jalannya pidato.
Sesuai dengan tahap persiapan atau pengalaman pembicara, Alan H. Monroe
mengklasifikasikan 3 macam garis besar/kerangka, yaitu:

1. Garis besar lengkap (fullcontent outline)


Garis besar lengkap diperlukan dalam proses pengembangan pidato dan digunakan
pembicara yang belum ahli dalam penyajian. Pikiran-pikiran pokok ditulis dengan
kalimat-kalimat yang sempurna, dan dibawahnya disertakan lengkap bahan-bahan yang
digunakan untuk memperjelas uraian. Dengan membaca garis besar lengkap, orang lain
pun dapat mengetahui gambaran isi pidato itu secara keseluruhan.
2. Garis besar singkat (keyword outline)
Garis besar singkat diperlukan hanya sebagai pedoman atau pengingat saja.
Digunakan oleh pembicara yang sudah mahir dalam proses penyampaian pidato. Di
dalamnya hanya ditulis inti-inti pembicaraan saja. Orang lain mungkin tidak dapat
membacanya.
3. Garis besar alur teknis (outline of technical plot)
Garis besar alur teknis dapat ditulis sejajar dengan garis besar lengkap diletakkan
pada kertas lain. Pada jenis garis besar ini dijelaskan teknik pidato seperti gaya bahasa
yang akan digunakan.

Secara umum, kerangka pidato terdiri dari tiga bagian yaitu pengantar/pendahuluan,
isi, dan penutup.

1. Pengantar/Pendahuluan
a. Salam pembuka
Salam pembuka menandakan bahwa pembicara telah mendoakan para hadirin serta
semua pihak yang sedang mengikuti acara dan berharap acara yang sedang berlangsung
berjalan dengan baik.

b. Pujian kepada Tuhan Yang Maha Esa


Bagian ini jangan sampai dilupakan. Tuhanlah yang berkuasa atas segala sesuatu dan atas
kuasa-Nya sebuah acara dapat berlangsung.
d. Mengucapkan selamat datang dan terima kasih
Ucapan selamat datang dan terima kasih kepada hadirin juga dapat merebut perhatian para
hadirin sekaligus menjadi penghormatan hadirin dari pembicara
e. Menyampaikan tujuan
Pembicara dapat sedikit menggambarkan isi pidato yang dibawakan.
2. Isi/Pembahasan
Isi pidato harus sesuai dengan topik yang dipilih. Selain itu, pembicara juga harus
memperhatikan waktu agar semua isi dapat tersampaikan kepada hadirin
3. Penutup
Penutup pidato yang baik adalah dengan mengaitkan antara topik dan isi pidato.
Biasanya terdiri atas:
• Harapan-harapan
• Ajakan
• Ucapan terima kasih
• Permohonan maaf
• Salam penutup

Rangkuman
Latihan
Soalm

1. Jelaskanlah apa yang kamu pahami dengan kerangka pidato!


2. Jelaskanlah manfaat kerangka pidato bagi pembicara!
3. Isi pidato harus sesuai dengan topik yang dipilih
4. Tuliskan contoh pembukaan pidato yang berisi pujian!
5. Tuliskan contoh penutup pidato yang berisi ucapan terima kasih!
BAB XI
MEMILIH KATA-KATA

Pembicara yang baik yang baik selalu pandai dalam memilih kata-kata. Pernyataan yang
sama dapat menimbulkan kesan yang berbeda karena diungkapkan dengan pilihan kata
yang berbeda. Kata-kata bukan saja dapat mengungkapkan, tetapi juga memperhalus, dan
bahkan menyembunyikan kenyataan. Misalnya, antara kata “kelaparan” dan “kekurangan
gizi”, antara kata “ditahan” dengan “dimintai keterangan”.
Selain itu, kata-kata juga dapat mencerminkan tingkah laku dan struktur sosial
pembicara. Pembicara harus menyadari bahwa kata-kata yang diucapkannya tidak selalu
diartikan sama oleh orang lain, atau pada waktu yang lain, atau pada tempat yang lain.
Berikut adalah ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan pembicara dalam pemilihan
kata-kata menurut Glenn R. Capp dan Richard Capp Jr.
1. Kata-kata harus jelas
Ini berarti bahwa kata-kata yang dipilih tidak boleh menimbulkan arti ganda
(ambigu), tetapi dapat mengungkapkan gagasa secara cermat. Beberapa prinsip yang
harus diperhatikan yaitu:
a. Gunakan istilah yang spesifik
Ada kata-kata yang terlalu umum artinya sehingga mengundang tafsiran
bermacam-macam. Ada pula kata-kata yang maknanya sudah spesifik (tertentu).
Misalnya kalimat “uang ini dapat diambil secara teratur” lebih baik diganti
dengan “uang ini dapat diambil sekali sebulan”. Namun “sekali sebulan” lebih
spesifik lagi diganti dengan “setiap tanggal 1 setiap bulan”.
b. Gunakan kata-kata yang sederhana
Berpidato adalah berkomunikasi dan bukan “unjuk gigi”. Karena nilai
komunikasinya, kata-kata yang diucapkan harus dapat dipahami dengan cepat.
Hindarilah kata-kata sulit yang susah untuk dicerna.
c. Hindari istilah-istilah teknis
Yang dimaksud dengan istilah teknis adalah istilah-istilah tertentu yang
hanya dipahami oleh orang-orang di suatu bidang. Misalnya kata “fonologi” yang
hanya dipahami oleh khalayak/pendengar yang mempunyai latar belakang
pengetahuan linguistik.
d. Berhemat dalam penggunaan kata-kata
Kalimat-kalimat yang panjang akan sulit dipahami oleh pendengar.
Sebaiknya pembicara memenggal kalimat-kalimat yang panjang tersebut menjadi
kalimat yang lebih pendek.

e. Gunakan perulangan atau pernyataan kembali gagasan yang sama dengan


kata-kata yang berbeda
Dalam komunikasi tulisan, orang dapat melihat pokok pembicaraan dari
judul atau subjudul. Sedangkan dalam komunikasi lisan, gagasan utama hanya
dapat diketahui dari perulangan. Misalnya “kemalasan Saudara menjengkelkan
dosen, membuat kesal orang tua, dan mengecewakan pimpinan Saudara”

2. Kata-kata harus tepat


Beberapa prinsip yang harus diperhatikan yaitu:
a. Hindari kata-kata klise
Kata-kata klise adalah kata yang sudah sering dipergunakan atau tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Misalnya tentang penggambaran gadis
cantik yang alisnya “bak semut beriring”, dagunya “lebah bergantung”, dan
sebagainya sekarang dianggap sudah klise.
b. Gunakan bahasa pasaran (slang) secara hati-hati
Bahasa pasaran (slang) adalah bahasa yang digunakan bukan oleh orang
yang terpelajar, tetapi diterima dalam percakapan sehari-hari. Misalnya kata
“bilang”, “berkoar”, “ketimbang”, dan lain sebagainya.
c. Hati-hati dalam penggunaan kata-kata asing
Kata-kata asing sebaiknya dihindari jika tidak ditemukan padanannya
dalam bahasa Indonesia. Seringkali kata-kata asing itu hanya dapat dipahami
dalam lingkungan yang sangat terbatas.
d. Hindari vulgarisme dan kata-kata yang tidak sopan
Vulgarisme adalah kata-kata “kurang pantas” yang hanya digunakan oleh
masyarakat “rendah”. Vulgarisme labih baik dihindari dalam situasi apa pun.
Pendengar cenderung menganggap orang Vulgaris sebagai orang yang
berkarakter kurang baik, sehingga akan menolak pesan yang disampaikannya.
e. Jangan menggunakan penjulukan
Penjulukan (name calling) adalah pemberian nama jelek pada sesuatu atau
seseorang yang tidak kita senangi. Penjulukan biasanya membangkitkan respons
emosional, menghambat proses berpikir, walaupun kadang-kadang dapat
memperoleh hasil yang cepat. Misalnya dalam percakapan, ada julukan
“kampungan”, “kepala batu” dan lain sebagainya.
f. Jangan menggunakan eufemisme berlebihan
Eufemisme adalah ungkapan pelembut yang biasanya menggantikan kata-
kata yang terasa kurang enak. Eufemisme digunakan karena dikhawatirkan dapat
menyinggung perasaan. Namun terlalu banyak eufemisme juga dapat
mengaburkan pengertian. Orang timur cenderung suka menggunakan eufemisme,
misalnya kata “pakaian” diganti dengan “sandang”, tetapi kemudian diperhalus
lagi menjadi “busana”.

3. Kata-kata harus menarik


Selain harus jelas dan pantas (clear and appropriate), kata-kata juga harus
menimbulkan kesan yang kuat. Berikut adalah beberapa petunjuk:
a. Pilihlah kata-kata yang menyentuh langsung diri pendengar/khalayak
Bahasa lisan sebaiknya bergaya percakapan, langsung dan komunikatif.
Kata-katanya menyangkut pengalaman dan kepentingan mereka. Misalnya
ddupan mengan masyarakat di desa, gunakanlah kata-kata yang digunakan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jangan katakan “seorang petani telah
berhasil memenangkan hadiah. Ia begitu gembira seakan mendapat rapel gaji
yang cukup besar”. Katakanlah “Rekan Saudara kemarin mendapat hadiah. Ia
begitu gembira seperti kalau Saudara melihat hasil panen yang berlimpah-
limpah, jauh dari perkiraan”.
b. Gunakan colorfull word (kata berona)
Colorfull word adalah kata yang dapat melukiskan sikap dan perasaan,
atau keadaan. Warna kata dipengaruhi oleh asosiasi dengan pengalaman
tertentu. Misalnya kata “propaganda” sekarang mempunyai warna yang kurang
baik karena pernah digunakan dalam Perang Dunia Kedua dengan kesan yang
tidak baik.
Jadi pemakaian kata dapat meninggikan atau merendahkan warna kata,
bahkan dapat membangkitkan asosiasi emosional tertentu. Kata-kata “kuli”,
“buruh”, “pegawai”, “karyawan”, “babu”, “pelayan”, “pembantu rumah
tangga”, “bodoh”, “bebal”, “tolol”, “idiot” masing-masing mempunyai warna
emosioanal yang berlainan. Warna kata juga ditentukan oleh gambaran
keadaan yang ditimbulkannya. Kata “menangis” tidak mempunyai warna.
Tetapi “terisak”, “tersedu-sedu”, “mengiba”, “menjerit”, “meraung”,
“memelas”, memberikan warna tertentu.
c. Gunakan bahasa yang figuratif
Bahasa figuratif adalah bahasa yang dibentuk sehingga menimbulkan
kesan yang indah. Untuk itu biasanya digunakan gaya bahasa (figure of speech)
atau biasa disebut dengan majas.
d. Gunakan kata-kata tindak (action word)
Action word menggunakan kata-kata aktif. Misalnya, kalimat
“diharapkan dari pertemuan ini gagasan baik dapat dirumuskan oleh semua
peserta” akan lebih baik diganti dengan “kita berharap dengan pertemuan ini
semua peserta dapat merumuskan gagasan baik”. Agar kata tindak dapat
digunakan, penggunaan kalimat dapat dikurangi. Seperti “kesengsaraan adalah
penyebab kerusakan mental” dapat diganti dengan “kesengsaraan menyebabkan
kerusakan mental”

Rangkuman
• Pembicara harus dapat memilih kata-kata yang jelas, tepat, dan menarik
• Agar jelas, pembicara harus menggunakan istilah yang berarti khusus, kata-kata
sederhana, menghindari kata-kata teknis, berhemat, dan mengulang gagasan dengan
baik
• Agar tepat, sebaiknya pembicara menghindari kata-kata klise, bahasa pasaran
(slang), kata-kata asing, vulgarisme, penjulukan, dan eufemisme yang berlebihan
• Agar menarik, pembicara sebaiknya memilih kata-kata yang langsung menyentuh
khalayak, colorfullword, bahasa figuratif, dan kata-kata tindak (action word)
• Untuk memiliki keterampilan tersebut, pembicara (atau calon pembicara)
diharapkan banyak berlatih menambah perbendaharaan kata dengan membaca buku
yang baik, mendengarkan pembicaraan yang fasih, belajar mengarang atau menulis,
dan membiasakan diri berbahasa Indonesia yang benar dan baik

Latihan Soal
1. Jelaskanlah mengapa pembicara harus dapat memilih kata-kata yang jelas, tepat,
dan menarik dalam berpidato!
2. Apa yang dimaksud dengan kata-kata klise?
3. Tuliskanlah minimal 5 contoh pilihan kata yang mengandung penjulukan!
4. Jelaskanlah tentang konsep berbahasa Indonesia yang benar dan baik!
5. Apakah seseorang cukup berbahasa Indonesia dengan benar saja tanpa harus baik?
Atau sebaliknya? Jelaskan!

Daftar Pustaka
Hanum, Z. (2014). Retorika: Suatu Pengantar. Tangerang: Pustaka Mandiri.
Rakhmat, J. (2011). Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: Remaja Rosda
Karya
BAB XII
TEKNIK MEMBUKA DAN MENGURAIKAN PESAN PIDATO

A. Teknik Membuka Pidato


Secara umum, pidato terdiri atas pembuka, isi pidato, dan penutup. Sedangkan
jangka waktu bagi ketiga bagian pidato itu tidak sama. Pidato pendek yang hanya
memerlukan waktu sepuluh menit, misalnya pembuka dua menit, isi pidato enam menit,
dan penutup dua menit sedangkan pidato panjang dapat menganalogikan perbandingan
waktu pada pidato pendek.

1. Pembuka Pidato
Setelah pembicara mengucapkan salam dan sapaan pembuka yang tulus, ramah, dan
simpatik kepada khalayak, pembicara berdiam diri sejenak di podium sambil
membina kontak batin dengan hadirin. Salam yang lazim digunakan “Assalamu
‘alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh” atau selamat pagi, selamat siang, selamat
sore dan selamat malam ataupun bentuk salam lain yang sesuai dengan kelaziman,
dan situasi di lingkungan khalayak. Sapaan dapat berbentuk Bapak/Ibu yang saya
hormati, Saudara-Saudara yang saya banggakan, atau bentuk sapaan lain. Usahakan
orang yang disapa tidak terlalu banyak. jika terlalu banyak, hadirin kemungkinan
akan bosan. Pidato sesungguhnya, aktivitas berdialog antara pembicara kepada
pendengar. Pada saat berpidato keberadaan bagian pembuka sangat menentukan
bagi keberhasilan bagian-bagian pidato selanjutnya. jika pembuka pidato
menimbulkan kesan buruk, akan mengganggu kelancaran pembicaraan selanjutnya
(Hanum, 2015:15).

Secara normatif dan kelaziman, hal yang wajib ada dalam pembuka pidato, yaitu (1)
salam pembuka, yang disampaikan oleh pembicara kepada khalayak dengan
berbagai variasinya; (2) kontak batin pembicara sebagai bentuk ajakan untuk
berinteraksi, sekaligus penghomatan kepada khalayak, karena bersedia menghadiri
acara tertentu; (3) ucapan syukur ke hadirat Tuhan Yang Mahakuasa; dan (4) judul
yang menarik minat pendengar, sekaligus memiliki urgensi dengan topik yang akan
dibahas.

2. Kiat Membuka Pidato


Ada beberapa cara yang dapat dipilih oleh pembicara bergantung situasi, topik, dan
tujuan pidato. Berikut ini merupakan beberapa kiat membuka pidato yang dapat
dipaparkan sebagai berikut.
a. Ucapan “puji dan syukur”, dalam pembuka pidato sudah sangat lazim
digunakan oleh para pembicara, sehingga menimbulkan kesan buruk bagi
pendengar. Oleh karena itu, pembicara harus dapat mencari alternatif
rangkaian kata, sebagai inovasi dan kreasi baru, tanpa menghilangkan
substansi materinya. Contoh, “Selaku umat beragama, tidak ada yang lebih
baik dalam kesempatan ini, kita mengucapkan puji dan syukur ke haribaan
Tuhan Yang MahaKuasa yang telah menganugerahkan kesehatan kepada
kita, terbukti pada saat ini kita hadir di ruang ini.”.

b. Penyajian “ilustrasi”, pembuka pidato melalui ilustrasi bukanlah kisah


berdasarkan pengalaman pembicara sendiri, melainkan kisah kehidupan
dalam masyarakat yang unik dan menarik. Namun, kisah itu harus sesingkat
mungkin disampaikan dan haruslah sesuai dengan isi dan materi pesan yang
akan disampaikan. Perlu diingat oleh calon pembicara bahwa bagaimanapun
menariknya kisah tersebut, bila tidak ada kaitannya dengan materi pesan
adalah sebuah kekeliruan fatal. Hal ini adalah sebuah kesalahan besar yang
menghancurkan reputasi pembicara.

c. Penebaran “humor”, dalam pembuka pidato haruslah sesuai dengan isi


pidato, sopan, dan tidak vulgar serta pembicara berusaha agar dapat
menciptakan humor yang baru. Dengan demikian, humor itu dapat
menumbuhkan suasana segar sehingga pendengar bersemangat
mendengarkan pidato. Perlu diingat, jika humor itu tidak dapat
membangkitkan semangat bagi pendengar, bisa berpotensi menghancurkan
reputasi pembicara. Oleh karena itu, pembicara harus hati-hati, karena bisa
saja terjadi, bahwa humor yang dicipkannya, tidak lucu, dan membosankan.

d. Ada juga pembicara yang membuka pidato dengan cara “perkenalan diri”.
Hal itu, biasanya dilakukan oleh pembicara yang masuk ke lingkungan baru.
Misalnya, pejabat baru atau petugas baru yang belum dikenal oleh sebagian
atau semua yang hadir di tempat itu. Caranya, pembicara hanya
menyebutkan nama dirinya, jabatan atau tugasnya.

e. Pembicara dapat juga “menunjukkan benda peraga” sebagai pembuka pidato


yang ditujukan kepada pendengar. Benda peraga yang diperlihatkan itu,
tentu saja berkaitan erat dengan isi pidato yang akan sampaikan. Caranya,
pembicara harus mengangkat setinggi mungkin agar pendengar yang duduk
di bagian paling belakang pun dapat melihat dengan jelas. Sebelum benda
itu ditunjukkan, sebaiknya pembicara menyimpan di tempat yang
tersembunyi agar mengejutkan bagi pikiran dan perasaan pendengar. Hal itu
dimaksudkan oleh pembicara agar pendengar dapat berkonsentrasi terhadap
hal yang akan dibahas.

f. Dalam situasi yang tidak terlalu resmi dan memungkinkan, pembicara dapat
membuka pidato dengan “melibatkan pendengar”. Keterlibatan pendengar
hanya berdiri sebentar, menunjukan sesuatu, dan mengemukakan pendapat,
serta memberi jawaban terhadap pertanyaan. Cara menampilkan salah
seorang pendengar, harus sopan dan menjunjung harga dirinya. Jangan
berakibat pendengar yang ditampilkan merasa dipermalukan.

B. Teknik Menguraikan Pesan


Ada tiga usur utama yang harus ada dalam beretorika, yaitu pembicara, pesan, dan
khalayak. Pembicara, adalah orang yang menyampaikan pesan, sedangkan pesan,
adalah isi pidato, dan khalayak, adalah kelompok orang yang menerima pesan. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa beretorika adalah aktivitas menyampaikan pesan dari
pembicara kepada khalayak. Kemudian, masalah yang rumit yang dihadapi pembicara
adalah teknik menguraikan isi pidato. Sedapat mungkin, pembicara berusaha agar
pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan mudah oleh khalayak. Teknik
menguraikan pesan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu (a) tujuan pidato; (b)
situasi pidato; dan (c) pendekatan pidato.

1. Tujuan Pidato

a. Tujuan Pidato Rekreatif, biasanya dilakukan dalam pesta ulang tahun kelahiran,
pernikahan, atau pesta-pesta semacamnya. Supaya suasana tetap segar, ceria dan
bahagia, pembicara hanya menyampaikan hal-hal yang menyenangkan, tentu sangat
berkaitan dengan acara, undangan, dan juga hidangan yang disesuaikan. Gaya
bicaranya pun santai dan penuh keakraban. Akan lebih baik lagi, apabila pembicara
terampil menebar humor.

b. Tujuan Pidato Informatif, biasanya dilakukan dalam rangka menjelaskan suatu hal.
Dalam kaitan itu, pembicara sedapat mungkin berusaha agar penjelasannya dapat
dipahami oleh khalayak. Dengan demikian, pembicara hendaknya bukan hanya
menjelaskan melainkan juga harus menyertakan berbagai contoh dan peragaan demi
mendukung penjelasan. Bahkan bila perlu, pembicara juga menyajikan gambar,
grafik, bagan, denah, atau skema, agar tujuan pidato tercapai.
c. Tujuan Pidato Persuasif, biasanya dilakukan untuk memengaruhi pendengar.
Dengan demikian, pembicara berupaya semaksimal mungkin agar pengaruhnya
benar-benar dapat memengaruhi sekaligus meyakinkan pendengar, sehingga
pendengar melakukan sesuatu seperti yang dikehendaki pembicara. Oleh karena itu,
pembicara hendaknya menyajikan berbagai data dan contoh bedasarkan fakta serta
alasan, agar bisa menyakinkan dan dengan sukarela pedengar bersedia untuk
mengikuti keinginan pembicara.

2. Situasi Pidato

a. Pidato dengan “situasi formal”, biasanya dipakai dalam pertemuan resmi, seperti
pidato kenegaraan, pidato parlemen, pidato pertanggungjawaban presiden, pidato
pertanggungjawaban gubernur, pidato pertanggungjawaban bupati atau wali kota.
Dalam kesempatan itu, pembicara bisanya membacakan naskah yang telah
disiapkan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kekeliruan atau kesalahan. Jika
ada kekeliruan atau kesalahan dalam berpidato, kredibilas dan reputasi pembicara
kemungkinan akan mengalami penurunan.

b. Pidato dengan “situasi semiformal”, biasanya dipakai dalam pertemuan setengah


resmi, seperti penyuluhan, khotbah, ceramah, mimbar bebas, kampanye dan dunia
periklanan. Dalam kesempatan itu, pembicara dengan leluasa dapat
mengembangkan isi pidatonya secara luas dan terurai, karena isi pidato dapat
disesuaikan dengan keadaan partisipan. Walaupun demikian, pembicara tetap
berusaha agar pertemuan memiliki kesan resmi.

c. Pidato dengan “situasi nonformal”, biasanya dipakai dalam situasi tidak resmi,
ulang tahun dan pesta adat. Dalam kesempatan itu, pembicara boleh memakai diksi
tidak baku, bahkan boleh juga memakai ragam regional atau istilah yang bersifat
kedaerahan. pembicara secara lebih leluasa lagi dapat mengembangkan isi
pidatonya melalui penyesuaian dengan selera dan harapan pendengar. Biasanya
waktu yang digunakan tidak terlalu dibatasi. Kalau pendengar masih tetap tekun dan
antusias untuk mendengarkannya, pembicara dapat memperpanjang isi pidatonya.

3. Pendekatan Pidato

Pembicara dalam menyampaikan isi pidatonya memerlukan pendekatan retorika


yang sesuai dengan keberadaan khalayak. Keberadaan itu, berupa latar belakang
pendidikan yang seharusnya dapat dipertimbangkan secara tepat dan hati-hati oleh
pembicara, sehinggga ada sinkronisasi antara pendekatan pidato dengan keberadaan
khalayak. Pendekatan pidato yang sudah dikenal secara umum, untuk menyampaikan
isi pidato antara lain, (a) pendekatan kognitif; (b) pendekatan afektif; dan (c)
pendekatan moral.

a. Pendekatan Kognitif, merupakan pendekatan yang digunakan oleh pembicara, yang


ditujukan kepada pendengar yang berpendidikan tinggi, serta sudah terbiasa
menggunakan penalaran dan berpikir logis. Segala masukan yang diterima oleh
khalayak yang berpendidikan tinggi, selalu dicerna secara kritis. Oleh karena itu,
mereka membutuhkan argumentasi, pembuktian, dan contoh-contoh konkret dalam
menanggapi setiap uraian pesan pidato.

b. Pendekatan Afektif, merupakan pendekatan yang digunakan oleh pembicara, yang


ditujukan kepada pendengar yang berpendidikan rendah, serta terbiasa
menggunakan perasaan bukan penalaran dan pemikiran logis. Dengan demikian, hal
yang mereka butuhkan adalah semangat dan keramahan seorang pembicara
sehingga mereka dengan mudah dapat menerima uraian pesan pidato.

c. Pendekatan Moral, merupakan pendekatan yang digunakan oleh pembicara, yang


ditujukan kepada pendengar yang sudah terbiasa dalam aktivitas moral dan
keagamaan. Dengan demikian, setiap pernyataan pembicara, diharapkan dapat
berlandaskan ayat-ayat suci atau kutipan sumber lain, yang berkaitan dengan moral
baik. Mereka merasa lebih mantap, menerima penjelasan berdasarkan ajaran
keagamaan daripada penjelasan logis.

Ikhtisar

Secara normatif dan kelaziman bahwa hal yang harus ada dalam pembuka pidato,
yaitu (1) salam pembuka pidato, dengan berbagai variasi yang dibuat oleh pembicara;
(2) kontak batin yang dibuat oleh pembicara, sebagai bentuk ajakan untuk berinteraksi;
(3) penghormatan yang tulus kepada khalayak, sebagai bentuk penghargaan pembicara,
kaena khalayak bersedia menghadiri acara tertentu; dan (4) pembicara hendaknya dapat
membuat judul yang menarik minat pendengar sekaligus memiliki urgensi dengan topik
yang akan dibahas.
Ada tiga unsur utama dalam retorika yang saling berkaitan, yaitu pembicara,
pesan, dan khalayak, karena beretorika adalah aktivitas menyampaikan pesan dari
pembicara kepada pendengar. Namun, ada hal yang rumit yang dihadapi oleh
pembicara, bahwa pembicara harus berusaha agar pesan yang disampaikan dapat
diterima dengan mudah oleh khalayak. Dengan demikian, pembicara hendaknya dapat
menyesuaikan penguraian pesan yang bertumpu pada tiga faktor yaitu (1) tujuan pidato:
menghibur, memengaruhi, dan menginformasikan; (2) situasi pidato: formal,
semiformal, dan nonformal; dan (3) pendekatan pidato: pendekatan kognitif,
pendekatan afektif, dan pendekatan moral.

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan singkat!

1. Hal apa sajakah yang harus ada, dalam pembuka pidato?


2. Buatlah pembuka pidato yang sesuai dengan topic yang Anda buat!
3. Pendekatan pidato terdiri atas pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan
pendekatan moral. Silakan Anda jelaskan!
4. Situasi pidato terdiri dari situasi formal, situasi semiformal, dan situasi nonformal.
Silakan Anda pasangkan ketiga situasi pidato di atas dengan acara ulang tahun,
laporan pertanggungjawaban wali kota, selamatan kelahiran bayi, penyuluhan KB,
khotbah, demonstrasi, dan pidato parlemen.
5. Tujuan pidato ada yang bersifat rekreatif, persuasif, dan informatif. Terkait hal di
atas, silakan Anda jelaskan!
BAB XIII
Teknik Menutup Pidato

Pembuka dan penutup pidato merupakan bagian yang sangat penting. Oleh karena
itu, bagian pembuka pidato harus dapat mengantarkan pikiran sekaligus menaruh
perhatian terhadap pokok pembicaraan, sedangkan penutup pidato harus dapat
memfokuskan pikiran dan perasaan khalayak yang dapat dimanifestasikan dalam
bentuk simpulan pidato. Dengan kata lain, penutup pidato harus dapat menciptakan
klimaks, memengaruhi khalayak agar dapat berbuat sesuatu, dan menimbulkan kesan
positif bagi seorang pembicara.

Terkait hal itu, secara normatif dan kelaziman, hal yang wajib ada dalam penutup
pidato, yaitu (1) simpulan; (2) ajakan pembicara kepada khalayak agar dapat berbuat
sesuatu, setelah menyimak pidato; (3) permohonan maaf, mungkin ada kesalahan atau
kekeliruan seorang pembicara, dan ucapan terima kasih seorang pembicara, karena
khalayak sudah bersedia menghadiri suatu acara; dan (4) salam penutup.

Ada dua macam penutup pidato yang buruk menurut Rakhmad, (2011:59) yaitu (1)
pembicara tanpa membuat simpulan, langsung berhenti secaara tiba-tiba; dan (2)
pembicara berbicara berlarut-larut tanpa mengetahui, kapan dan pada bagian mana
harus berhenti Agar terhindar dari hal tersebut, pembicara seyogianya merencanakan
penutup pidato sebelum tampil, dengan cara menghafal. Berikut ini, penulis contohkan
penutup pidato sebagai ilustrasi bagi Anda dalam membuat penutup pidato.

1. Pembicara harus menyimpulkan isi pidato, karena manusia tidak sanggup


mengingat banyak hal, tetapi hanya sanggup mengingat jelas beberapa hal saja.
Oleh Karena itu, pokok-pokok utama harus disebutkan kembali oleh pembicara.
Cara yang paling mudah ialah membilangnya dalam urutan satu, dua, tiga, dan
seterusnya. Contoh: “Pendeknya, ada tiga hal yang menjadi tonggak demokrasi
yaitu (1) kebebasan berbicara; (2) partai politik; dan (3) pemilihan umum yang
bebas dan rahasia.”

2. Pembicara menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat dan kata yang
berbeda. Contoh berikut adalah contoh pengulangan yang diungkapkan oleh
Presiden Amerika Serikat, John F. Kennedy mengakhiri pidato pelantikannya,
sebagai berikut. “Karena itu, saudara-saudaraku orang Amerika, jangan bertanya
apa yang dapat dilakukan negara untukmu, tetapi tanyakanlah apa yang dapat kamu
lakukan untuk negaramu. Dengan hati nurani sebagai satu-satunya imbalan yang
pasti dengan sejarah sebagai hakim terakhir bagi perbuatan kita, marilah kita maju
terus membawa negara yang kita cintai, seraya memohon rahmat-Nya dan bantuan-
Nya, sambil meyakini pula bahwa di bumi ini karya Tuhan haruslah menjadi karya
kita sendiri.

3. Pembicara memengaruhi khalayak agar berbuat sesuatu.


Pidato persuasif selalu ditunjukan untuk memperoleh tindakan tertentu dari
khalayak. Tindakan itu dapat berupa respons fisik, seperti mencoblos partai tertentu,
mengikuti program KB, menyumbangkan dana, dan sebagainya. Tindakan itu dapat
pula berupa hal-hal abstrak seperti penerimaan usul atau gagasan. Mochtar Lubis
mengakhiri ceramahnya seperti berikut. “Akhirnya, kita harus sampai pada
simpulan, bahwa betapa pentingnya, kita mengembangkan sistem pendidikan yang
dapat menjawab tantangan dunia masa kini. Melihat banyaknya laporan dan tulisan
mengenal ilmu dan teknologi di Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Jerman, jelas
betapa banyaknya informasi yang senantiasa harus kita kejar, kita sistimatisasi, kita
pahami dan untuk ini kita perlu orang-orang yang berpengetahuan, punya
pengertian, punya hati nurani, punya kejujuran dan dedikasi. Saya usulkan supaya
kita di Indonesia bersikap lebih manusia terhadap sesama manusia kita.”

4. Pembicara mengakhiri pidatonya, agar mencapai klimaks.


Akhir pidato merupakan puncak seluruh uraian menuju penutup pidato. Uraian
pidato, memang penting dan lebih patut mendapat perhatian. Namun, klimaks lebih
penting yang diperlihatkan dalam akhir pidato Mohammad Hatta di bawah ini.
“Camkanlah! Negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila
pemerintah dan masyarakat belum sanggup menaati Undang-undang Dasar 1945,
terutama belum dapat melaksanakan pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal
34. Lalu, camkanlah pula, bahwa Pancasila itu adalah kontrak Rakyat Indonesia
untuk menjaga persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa. Angkatan muda
sekarang tidak boleh melupakan ini dan mengabaikannya!”

5. Pembicara memuji dan menghargai khalayak.


Pujian yang efektif adalah pujian yang wajar, ikhlas, dan tidak berlebihan. Dengan
pujian, pembicara meninggalkan pendengar dalam keadaan puas dan bahagia.
Perhatikan penutup pidato Soekarno di bawah ini. Setelah menyebutkan “bangsa
Indonesia sebagai “bangsa yang berjiwa besar, suatu bangsa yang ulet laksana baja,
suatu bangsa yang mempunyai daya tahan yang luar biasa.”

Dengan mengetahui teknik menutup pidato, Anda akan leluasa memilih penutup pidato
yang mana yang akan Anda pilih. Sudah barang tentu, penutup yang paling tepat adalah
penutup yang sesuai dengan topik yang dibahas, sehingga penutup itu sangat
representatif sekaligus memadukan antara kepiawaian dan kreativitas Anda.

Ikhtisar

Penutup pidato hendaknya terfokus pada pikiran dan perasaan khalayak yang dapat
dimanifestasikan ke dalam bentuk simpulan pidato. Oleh karena itu, penutup pidato
harus dapat menciptakan klimaks, memengaruhi khalayak agar berbuat sesuatu, dan
menimbulkan kesan positif bagi pembicara. Terkait hal itu, pembicara dalam berpidato
kadang-kala membuat penutup pidato yang buruk, karena (1) pembicara pada bagian
penutup, berhenti secara mendadak tanpa menyimpulkan; dan (2) pembicara pada
bagian penutup, berbicara berlarut-larut tanpa menyimpulkan.

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan singkat dan tepat!


1. Hal apa sajakah yang wajib ada dalam penutup pidato?
2. Buatlah penutup pidato yang berdasarkan topic yang Anda buat!
3. Penutup pidato harus mencapai klimak. Apakah maksudnya?
4. Dalam mengakhiri pidatonya, pembicara harus dapat menimbulkan kesan baik. Apa
maksudnya?
5. Penutup pidato hendaknya dapat menimbulkan daya persuasi. Apa maksudnya?

Daftar Pustaka

Hanum, Zulfa .2014. Retorika: Suatu Pengantar. Tangerang: PT Pustaka Mandiri.


Rakhmat, Jalaluddin. 2011. Retorika Modern: Pendekatan Praktis. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
BAB XIV
Membangun Kepercayaan Diri dan Kredibilitas

1. Demam Panggung atau Kecemasan Berbicara


Dalam berkomunikasi, pembicara yang terkenal pun ada kalanya mengalami demam
panggung atau dengan istilah lain yang digunakan oleh khalayak yaitu kecemasan
dalam berbicara. Hal itu terjadi, jika pembicara yang akan berbicara dengan partisipan
yang baru dikenal, topik yang belum dikuasai atau kurang dikuasai, mungkin juga latar
belakang pembicara yang tidak sinkron dengan topik yang dibahas. Hal itulah yang
menyebabkan seorang pembicara terkenal pun, menjadi demam panggung. Keadaan
yang sama juga dirasakan oleh calon guru yang akan melaksanakan praktik, pelamar
kerja yang akan diwawancarai, atlet yang akan bertanding, atau pemusik yang akan naik
panggung.
Karakteristik orang yang mengalami demam panggung, menurut Rakhmat
(2011:65) bahwa secara fisik dapat diidentifikasi seperti berikut. (1) detak jantung lebih
cepat; (2) telapak tangan atau punggung berkeringat; (3) napas terengah-engah; (4)
mulut kering dan sukar menelan; (5) terjadi ketegangan pada otot dada, leher, dan
tangan; (6) kaki bergetar; (7) suara bergetar dan parau; (8) berbicara terlalu cepat dan
tidak lancar; dan (9) kurang konsentrasi bahkan berpotensi hilang ingatan.
Menurut para psikolog, semua gejala itu adalah reaksi alamiah yang dapat menjadi
ancaman. Dengan demikian, orang-oang yang akan tampil di depan pubik, baik sebagai
pembicara, guru, pelamar kerja, atlet, atau pemusik, sedapat mungkin harus melawan.
Dalam keadaan demam panggung, sistem saraf simpatetiknya berguncang, adrenalin
dan kadar gula dalam darah meningkat, sehingga terjadi tumpukan energi yang
merupakan upaya tubuh untuk beradaptasi dengan ancaman, atau disebut juga sebagai
sindrom adaptasi. Tumpukan energi itu, tersalur ke seluruh tubuh sebagai upaya untuk
melawan ancaman sehingga suara yang sebelumnya gemetar dan parau, berubah
menjadi nyaring serta gerakan menjadi dinamis dan berwibawa.

2. Penyebab Demam Panggung


Pertama, pembicara pada prinsipnya (1) kurang berlatih; (2) kurang berpengalaman;
dan (3) kurang berpengetahuan tentang retorika. Berdasarkan beberapa hal di atas,
penulis berpendapat bahwa dalam jangka pendek atau spontan, untuk mengawali
pembicaraan setelah salam pembuka lontarkan pertanyaan provokatif yang dapat
membangkitkan stimulus bagi partisipan. Dengan pertanyaan itu, diharapkan ada
respons berupa jawaban secara spontan pula dari pendengar. Namun, sangat
disayangkan, orang yang demam panggung justru pada umumnya enggan berbicara.
Jika keadaan yang demikian dilakukan secara berulang-ulang, pembicara semakin sulit
untuk memperbaiki kekurangan atau kelemahan itu. Andaikata suatu saat diminta
untuk berbicara, ia pun akan mengalami peristiwa yang sangat traumatis. Karena
kebencian terhadap pidato, orang yang tidak mau mencoba lagi, dapat dipastikan akan
mengalami kegagalan terus. Akhirnya, terbentuklah citra diri bahwa “Saya tidak
mempunyai bakat untuk berpidato.”Dengan keadaan yang demikian, ia tidak akan
memiliki kepercayaan diri secara berkelanjutan.
Kedua, orang yang menderita demam panggung karena tahu bahwa pembicara akan
dinilai sehingga muncul perasaan tidak nyaman. Dengan demikian, ia percaya bahwa
harga dirinya akan dipermalukan di hadapan publik. Alangkah malunya kalau humor
yang ia buat, tidak membuat orang lain tertawa, tetapi justru membuat mereka
menertawakan. Bagaimana kalau kita kelihatan bodoh di hadapan forum? Semua hal
yang dikhawatirkan itu, sebenarnya hanya persepsi pembicara daripada dalam
kenyataan. Seandainya pidato kita gagal, harga diri kita tidaklah akan jatuh serendah
itu. Apalagi, berdasarkan pengalaman, kegagalan itu hanya terjadi pada percobaan
pertama. Sebagai ilustrasi, ketika masih anak balita, kita pernah berlatih berjalan,
ternyata sering jatuh juga. Begitu juga, seseorang yang sedang berlatih pidato sudah
dapat dipastikan pernah mengalami kegagalan

3. Metode Pengendalian Demam Panggung


Ada dua metode pengendalian demam panggung, yaitu (1) metode jangka panjang;
dan (2) metode jangka pendek. Metode jangka panjang, calon pembicara hendaknya
berusaha agar dapat meningkatkan pengetahuan dan pengalaman tentang retorika.
Kecuali itu, calon pembicara hendaknya dapat melakukan pelatihan secara konstan,
sejak persiapan pidato, penyusunan teks pidato, dan penyampaian pesan pidato, serta
memahami reaksi calon pendengar. Metode jangka pendek, pada bagian pembuka
setelah salam pembuka, pembicara hendaknya melontarkan pertanyaan provokatif yang
dapat menstimulasi pendengar agar segera memberikan jawaban.
Langkah pertama, sebelum calon pembicara berlatih pidato, (1) pilihlah topik pidato
yang cocok dengan calon partisipan; (2) rumuskanlah judul yang menarik minat
pendengar; (3) tentukanlah tujuan pidato; (4) kembangkan bahasan; (5) buatlah garis-
garis besar pidato; (6) susunlah naskah pidato dengan menggunakan kalimat yang
gramatikal dan diksi yang efektik sehingga penyampaian pesan pidato mudah dipahami
oleh khalayak; (7) suntinglah naskah pidato jika ada hal yang kurang relevan dan
kurang efektif, baik mengenai eksistensi isi pesan, kalimat, maupun diksi.
Langkah kedua, andaikata tidak berhasil menjadi orator, tetapi Anda sudah berusaha
belatih menjadi penulis. Dengan membuat tulisan yang baik, berarti Anda sudah dapat
berkomukasi dengan baik pula, melalui bahasa tulis kepada calon pembaca. Karena,
Anda harus dapat membuat kalimat yang sistematis dan diksi yang efektif. Dengan
membiasakan diri untuk menjadi penulis, berarti juga bahwa Anda membiasakan
berbicara secara logis dan sistematis, sehingga kebiasaan menulis yang Anda alami
sekaligus dapat meningkatkan kualitas pembicaraan Anda.
Langkah ketiga, carilah tempat yang sunyi untuk berlatih pidato secara autodidak!
Tempat yang mungkin paling tepat yaitu kamar pribadi. Mengapa kamar pribadi yang
harus Anda pilih bukan tempat lain? Tujuannya, (1) agar calon pembicara dapat
berkonsentrasi secara maksimal sehingga diharapkan diperoleh hasil yang optimal; (2)
agar tidak mengganggu aktivitas pihak lain; dan (3) agar tidak dianggap aneh oleh
pihak lain. Setelah Anda berada di kamar pribadi, aktivitas selanjutnya antara lain, (a)
berdiri di depan cermin; (b) bayangkan seolah-olah Anda berada di hadapan hadirin; (c)
setelah itu, Anda berlatih vokal dengan nada atau suara datar, naik, atau turun; berbisik,
membentak, mengeluh, tenang, menggelora disertai unsur retorika, agar terasa lebih
hidup.
Nah, beberapa hal di atas merupakan tahapan penyiapan hingga pelatihan pidato
secara autodidak. Dalam penyiapan dan pelatihan itu, tentunya ada manfaat yang
diperoleh bagi Anda, antara lain berupa pengetahuan, pengalaman, sekaligus
penambahan kepercayaan diri. Dengan demikian, Anda diharapkan dapat
menyampaikan informasi yang mudah dipahami, runtut, fasih,dan menarik perhatian
pendengar. Setelah komunikasi dapat dilakukan dengan baik, Anda diharapkan
terhindar dari rasa ketakutan dan kecemasan. Hal itu merupakan kiat bagi Anda,
sehingga pengalaman yang menakutkan dalam pidato niscaya dapat berubah menjadi
kenikmatan. Tahapan tersebut, tentu saja dapat Anda capai secara berangsur-angsur.
Demam panggung dan teknik pengendaliannya, (1) kendurkan otot-otot dengan cara
menggerakkan kaki dan tangan; (2) tarik napas dalam-dalam selama demam panggung
masih berlangsung; dan (3) ambilah segelas air jika diperlukan untuk membasahi
tenggorokan. Dengan upaya itu, diharapkan detak jantung semakin melambat dan
menurun, kaki dan tangan bergetar serta berkeringat, secara perlahan juga diharapkan
kembali seperti keadaan semula.
Walaupun sudah terjadi demam panggung pada diri pembicara, ada kemungkinan
hadirin tidak mengetahuinya, karena mereka belum tentu memperhatikan keadaan itu.
Hal itu dapat Anda tanyakan kepada orang-orang yang sudah pernah berpidato, apakah
hadirin mengira bahwa pembicara sedang mengalami demam panggung. Karena,
hadirin biasanya lebih tertarik pada pesan yang disampaikan oleh pembicara, sehingga
kecemasan dalam komunikasi yang dialami oleh pembicara luput dari perhatian
mereka. Sesekali, tanamkan keberanian untuk terseyum pada saat Anda sedang
berbicara sembari menyusun diksi yang efektif.
Simpulannya, cara yang efektif untuk mengatasi demam panggung dalam waktu
yang relatif singkat adalah, pembicara seyogianya dapat melontarkan pertanyaan yang
provokatif pada bagian pembuka pidato. Bentuk pertanyaan itu, bisa berupa lelucon,
menanyakan kabar hadirin, dan bentuk pertanyaan lain yang dapat menstimulasi
pendengar, sehingga pada awal pembicaraan sudah terjadi komunikasi timbal balik
yang dapat menggugah pendengar untuk menyimak secara antusias. Dengan demikian,
hal yang diharapkan oleh pembicara, bahwa tingkat kecemasan berbicara dapat
berkurang sampai tingkat yang serendah mungkin.

4. Komponen Kredibilitas
Pada suatu kesempatan tertentu mungkin ada seseorang yang pernah membuat
banyolan. Para pembuatnya ada yang mau tertawa, tetapi ada juga yang tidak mau
tertawa. Terkait hal itu, Anda mungkin pernah memperhatikan banyolan yang dibuat
oleh mantan Presiden RI, Kiai Haji Abdurrahman Wihid, atau yang akrab dipanggil
Gusdur. Banyolan yang Anda tontong mungkin hanya berupa rekaman atau langsung.
Beliau sering membuat banyolan, apa yang dibanyolkan, membuat orang lain tertawa,
tetapi anehnya beliau justru tidak mau tertawa. Berdasarkan fakta, beliau memang
seorang humoris, cendekia, sekaligus berkredibilitas.
Kredibilitas pada prinsipnya, tidak melekat pada diri pembicara, tetapi terletak pada
persepsi khalayak mengenai rekam jejak, latar belakang pendidikan, dan pengalaman
pembicara. Terkait hal itu, sebagai ilustrasi bahwa Kiai Haji Abdurrahman Wahid
dihormati oleh masyarakat Indonesia, karena tingkah lakunya yang dapat menjadi
anutan bagi khalayak. Hal itu dapat dibuktikan bahwa beliau memiliki keselarasan
antara kata dan pebuatan, contohnya, keluaganya tetap harmonis karena tidak pernah
berbuat onar, tidak pernah melakukan kawin cerai yang berulang-ulang, belum pernah
dinyatakan sebagai koruptor oleh aparat huhum, belum pernah ditangkap oleh polisi
karena kasus perjudian, penipuan, perampokan, pembunuhan, narkoba dan zat aditif
lainnya. Beberapa hal itulah yang menjadi tolok ukur bagi khalayak, untuk bahan
identifikasi dan analisis tentang kredibilitas seorang pembicara.
Informasi tentang kredibilitas pembicara dapat diperoleh dari berbagai bidang.
Terkat informasi itu, kita dapat memperolehnya melalui teman dekatnya, teman
kuliahnya, teman kerjanya, pengamatan langsung dalam hidup sehari-hari, dari media
massa, atau dari orang-orang yang sering berbeda pendapat sebagai bahan
penyeimbang. Informasi dari berbagai sumber itulah sebagai bahan permenungan bagi
khalayak, agar tidak salah atau keliru untuk menentukan persepsi khalayak tentang
pembicara.

5. Membangung Kredibilitas
Salah satu komponen penting dalam kredibilitas adalah otoritas. Seseorang yang
memiliki otoritas untuk menjadi pembicara dalam bidang tertentu adalah seseorang
yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sudah diakui oleh
khalayak. Latar belakang itu, harus dikembangkan secara berkesinambungan oleh yang
besangkutan, sehingga masyarakat semakin percaya dengan keterampilan dan
keahliannya. Pengembangan keilmuan itu, bisa diperoleh secara autodidak, melalui
lembaga pendidikan formal, maupun nonformal atau melalui kursus-kursus. Mengapa
mereka memiliki otoritas? Kareana, mereka memiliki kredibilitas.
Komponen kredibilitas yang pertama adalah kecerdasan intelektual. Seseorang yang
memiliki latar belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang tertentu dapat
dipastikan bahwa orang yang bersangkutan berarti memiliki otoritas dalam bidang
tertentu juga, sehingga yang bersangkutan layak mendapat pengakuan dari masyarakat.
Oleh karena itu, merupakan hal yang wajar, jika ada seseorang yang memiliki latar
belakang pendidikan dan pengalaman bidang tertentu berhak memiliki otoritas untuk
menjadi pembicara. Misalnya, seseorang yang mempunyai latar belakang pendidikan
dan pengalaman dalam bidang pertanian, berarti yang bersangkutan mempunyai
otoritas untuk menjadi pembicara dalam bidang ilmu genetika tumbuh-tumbuhan,
nomenklatur tumbuh-tumbuhan, perbanyakan tanaman secara generatif dan vegetatif
serta budi daya tanaman hortikultura. Begitu juga seseorang yang memiliki latar
belakang pendidikan dan pengalaman dalam bidang bahasa Indonesia, ia mempunyai
otoritas untuk menjadi pembicara dalam bidang ilmu fonologi, morfologi, sintaksis,
semantik, pragmatik, maupun linguistik bahasa Indonesia. Jadi, termasuk guru, dosen,
maupun instruktur pendidikan khusus, yang memiliki latar belakang pendidikan dan
pengalaman yang harus sesuai dengan bidangnya, juga secara otomatis mempunyai
otoritas untuk menjadi pembicara atau pengajar. Kesesuaian antara pembicara dengan
bidangnya atau keahlian yang linier dengan bidangnya harus diupayakan oleh pihan-
pihak yang berkepentingan, agar kesalahan atau kekeliruan dapat ditekan sekecil
mungkin.
Terkait latar belakang pendidikan dan pengalaman yang harus disesuaikan dengan
bidangnya, hal itu memang harus diupayakan. Berdasarkan pengamatan penulis dalam
kurun waktu selama dua puluh tahun terakhir, ternyata banyak guru dan dosen yang
mengajar tidak sesuai dengan bidangnya. Dampak yang terjadi, bahwa ada kesalahan
atau kekeliruan yang tanpa disadari oleh pengajar yang bersangkutan, karena kurangnya
pemahaman terhadap hal yang dibahas. Khusus dalam bidang bahasa Indonesia,
ternyata ada kosakata yang salah tetapi dipakai terus oleh para pejabat, politikus, tokoh
agama, dan tokoh masyarakat.
Sebelum membahas topik tertentu, baik itu sebagai bahan kuliah, seminar,
lokakarya, diskusi maupun pidato, calon pembicara hendaknya melakuakan pengamatan
atau mencari informasi tentang para ahli yang memiliki otoritas dalam bidang yang
terkait dengan topik yang akan dibahas. Informasi itu, dapat Anda peroleh melalui
media massa atau berbagai sumber lain yang memiliki bukti empiris. Jika diperlukan
kutipan, Anda dapat mengutipnya secara utuh, untuk memperkuat argumentasi Anda,
sehingga hal yang Anda paparkan dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik
maupun moral.
Komponen kredibilitas yang kedua adalah kecerdasan emosi. Dalam kaitan itu,
pendengar merasa lebih suka, jika pembicara dapat mengungkapkan gagasan yang
objektif. Gagasan itu, mempunyai karakteristik antara lain, (1) menyampaikan
argumentasi yang logis; (2) menghindari nama samaran; (3) mengutamakan kejujuran
informasi; (4) menghormati pendapat yang berbeda.
Komponen kredibilitas yang ketiga adalah akhlak yang baik. Komponen yang satu
ini, berupa kejujuran dan keikhlasan dalam mengerjakan sesuatu. Secara generalisasi,
khalayak lebih menyukai para tokoh yang mempunyai rekam jejak yang baik, seperti
pribadi yang kredibel, tidak korup, tidak suka gratifikasi, manipulasi, maupun
konspirasi serta bukan hanya mengumbar janji melainkan perlu bukti. Jadi pembicara
yang bijak, memang tidak mudah, apa yang dibicarakan harus ada sinkronisasi antara
kata dan perbuatan. Dengan demikian, pembicara bukan hanya menyampaikan
informasi, melainkan dalam menjalani hidup pun, harus bisa menjadi anutan bagi
masyarakat, baik tutur katanya maupun perbuatannya.
Pembicara yang mempunyai akhlak yang baik, seyogiannya dapat menyampaikan
informasi degan cermat dan jelas. Informasi itu, hendaknya dapat disampaikan oleh
pembicara secara sopan dengan pilihan kata yang santun.. Hindari diksi yang bernilai
rasa negatif, vulgar, atau menyinggung perasaan. Tunjukkan juga hubungan Anda
dengan orang-orang yang memiliki akhlak yang baik, dan tampakkan ketidaksenangan
Anda kepada orang-orang yang berperilaku jelek, sehingga khalayak mengetahui, kalau
Anda bukan termasuk golongan orang yang suka berbuat onar atau berperilaku jelek.
Komponen kredibilitas yang keempat adalah kemauan yang baik. Para pendengar
akan tertarik kepada Anda jika mereka mengetahui bahwa Anda berbicara untuk
kepetingan mereka. Contoh pembicaraan yang berkaitan dengan kepentingan mereka,
antara lain tentang kesejahteraan para karyawan di korporasi tertentu. Contoh lain
pembicaraan pentang kesejahteraan bagi rakyat di wilayah kabupaten, kota madya, atau
provinsi tertentu. Kecuali itu, pembicaraan tentang kebahagiaan rumah tangga, cara
mendidik anak, dan kesehatan reproduksi bagi kaum wanita. Singkatnya, tema yang
Anda angkat harus sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga pembicaraan itu terkesan
bukan berbicara kepada mereka, melainkan berbicara bersama mereka.
Komponen kredibilitas yang kelima atau yang terakhir adalah gaya bicara yang
sopan. Jika informasi yang disampaikan oleh pembicara dengan penuh semangat,
pendengar pun akan mendengarkan dengan penuh semangat pula. Sebaliknya, jika
informasi yang disampaikan oleh pembicara tidak dengan penuh semangat, pendengar
pun akan merasakan kebosanan. Dampaknya, pendengar kemungkinan hanya
menyimak secara parsial, bahkan mengantuk atau tertidur. Singkatnya, gaya bicara
merupakan bagian integral dari proses pidato. Oleh karena itu, intonasi, dan bahasa
nonverbal baik tatapan mata maupun gerak anggota tubuh lainnya mutlak diperlukan.
Kredibilitas adalah hasil penilaian orang lain kepada diri Anda, setelah mereka
menerima informasi tentang Anda baik secara langsung atau tidak langsung. Terkait
penilaian kredibilitas bagi komunikator, Glenn R.Capp dan G.Richard Capp Jr.
berpendapat (Rakhmat, 2011:76) menyebutkan bahwa ada lima cara mereka menilai
orang lain.
1. Apakah yang sudah Anda kerjakan, baik kontribusi, jasa, atau karya?;
2. Apakah citra Anda positif atau negatif?;
3. Anda akan dinilai orang cendekia jika gagasan yang diungkapkan bermutu dan
cemerlang;
4. Anda akan dinilai bodoh jika berbicara tidak sistematis, tersendat-sendat, dan
membosankan; dan
5. Setiap pernyataan Anda seyogianya dapat menstimulasi etos kerja.

Ikhtisar

Karakteristik demam panggung atau kecemasan berbicara antara lain seperti


berikut. (1) detak jantung lebih cepat dari biasanya; (2) telapak tangan atau punggung
berkeringat; (3) napas terengah-engah; (4) mulut kering dan sukar menelan; (5) terjadi
ketegangan pada otot dada, leher, dan tangan; (6) kaki bergetar; (7) suara bergetar dan
parau; (8) berbicara terlalu cepat dan tidak lancer; dan (9) kurang konsentrasi bahkan
hilang ingatan. Penyebabnya, pembicara kurang berlatih, kurang berpengetahuan dan
pengalaman dalam bidang retorika.
Metode pengendaliannya, terdiri atas pengendalian jangka pendek dan jangka
panjang. Pengendalian jangka pendek, pada bagian pembuka setelah salam pembuka,
lontarkan pertanyaan provokatif yang dapat menstimulasi khalayak, agar segera
memberikan jawaban. Selanjutnya, metode pengendalian jangka panjang, tingkatkan
pengetahuan dan pengalaman, lakukan pelatihan secara konstan
Komponen yang terpenting dalam kredibilitas adalah otoritas. Seseorang yang
memiliki otoritas untuk menjadi pembicara adalah seseorang yang memiliki latar
belakang pendidikan dan pengalaman yang sesuai dengan bidangnya. Kredibilitas itu,
memiliki beberapa komponen antara lain (1) kecerdasan intelektual; (2) kecerdasan
emosi; (3) akhlak yang baik; (4) kemauan yang baik; dan (5) gaya bicara yang sopan.

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan benar dan singkat!

1. Silakan Anda jelaskan karakteristik komunikator yang demam panggunng!


2. Bagaimana Anda menyiasati agar komunikator tidak demam panggung?
3. Komponen yang terpenting dalam kredibilitas adalah otoritas. Apakah makna kata
otoritas maupun kredibilitas?
4. Kredibilitas itu memiliki beberapa komponen. Silakan Anda jelaskan!
Kredibilitas pada prinsipnya tidak melekat pada diri pembicara, tetapi melekat pada
persepsi khalayak. Apakah maksud pernyataan tersebut?

Anda mungkin juga menyukai