Anda di halaman 1dari 8

ETHOS DALAM RETORIKA ARISTOTELES

Disusun Oleh:

Nama : Erlisa Kambera Nauli Lumban Tobing


NIM : 2191111009
Kelas : Reguler B 2019
Dosen Pengampu : Dr. H.M. Mohammad Joharis Lubis, M.M., M.Pd.
Mata Kuliah : Retorika

PRODI S1 PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
ETHOS DALAM RETORIKA ARISTOTELES

Retorika berasal dari bahasa Inggris “rhetoric” dan bersumber dari bahasa Latin
“rhetorica” yang berarti ilmu berbicara. Retorika sebagai ilmu memiliki sifat-sifat rasional,
empiris, umum, dan akumulatif Rasional berarti apa yang disampaikan oleh seorang
pembicara harus tersusun secara sistematis dan logis. Empiris berarti menyajikan fakta-fakta
yang dapat diverifikasi oleh panca indera. Umum artinya kebenaran yang disampaikan tidak
bersifat rahasia dan tidak dirahasikan karena memiliki nilai sosial. (Harsoyo dalam Dhanik
dkk, 2020).
Istilah retorika pada awalnya diperkenalkan oleh Aristoteles (384-322 SM). Setelah
itu istilah retorika menyebar luas dan digunakan dalam berbagai bidang, seperti politik,
ekonomi, kesenian, jurnalistik, pendidikan, dan lain-lain. Oleh karena itu terkadang muncul
ungkapan “retorika politik”, “retorika dagang”, “retorika jurnalistik”, dan sebagainya. Pada
awalnya retorika tidak dipandang sebagai ilmu, tetapi sebagai kecakapan berpidato. Kaum
Sophis bahkan memandang retorika sebagai alat untuk memenangkan suatu kasus. Untuk
memenangkan kasus, mereka menekankan pada pembinaan kecakapan menggunakan ulasan-
ulasan atau argumen-argumen dengan pemakaian contoh-contoh dan bukti-bukti yang
menguntungkan gagasan yang sedang ditampilkan. Mereka memilih kata, istilah, ungkapan,
kalimat yang dapat menarik perhatian pendengar. Pemakaian bahasa mereka amat berbunga-
bunga. Dengan konotasi agak negatif, retorika kaum Sophis ini dikenakan pada orang orang
yang pandai bersilat lidah atau berdebat kusir, mereka yang pandai sekali bertutur, tetapi
tidak menampilkan hal-hal yang berguna atau berisi dalam tuturnya (Dhanik dkk, 2020).
Perubahan pandangan tentang retorika mulai muncul pada pertengahan abad ke-20.
Jika Aristoteles memandang retorika sebagai kemampuan menyusun dan menampilkan
pembicaraan untuk mempersuasi pihak lain, maka perintis retorika “baru” tidak menyepakati
persuasi sebagai tujuan akhir. Persuasi bagi mereka dipandang hanya sebagai akibat logis dari
setiap pembicaraan yang tertata dengan baik. Sebab diyakini bahwa retorika itu memiliki
tujuan yang lebih jauh daripada hanya sekedar mempersuasi. Persuasi itu hanya penting bagi
masyarakat yang terbilang masih terbelakang tingkat kecerdasannya, seperti halnya keadaan
kehidupan masyarakat pada masa lalu. Persuasi bagi masyarakat modern yang tingkat
kecerdasannya sudah demikian tingi, tidak begitu berarti. Jadi masyarakat modern tidak
mudah dipersuasi. Hal yang penting bagi retorika baru adalah membina kerja sama, saling
pengertan, dan keadaan damai di dunia lewat kegiatan berbicara. Dengan membina kerjasama
dan saling pengertian, maka kesalahpahaman dan berbagai bentuk miskonsepsi yang
diakibatkan kegiatan berbicara harus dikurangi bahkan dihilangkan sama sekali (Dhanik dkk,
2020).
Seiring dengan berjalannya waktu dan perkembangan zaman, muncul pandangan-
pandangan negatif tentang retorika. Pandangan-pandangan tersebut antara lain:
a) Retorika dianggap sebagai kemampuan menggunakan bahasa yang indah yang dapat
mempesona orang lain, tetapi tidak mempunyai isi. Retorika dipandang sebagai
pemakaian bahasa yang bombastis yang hanya merupakan omong kosong belaka.
b) Retorika dianggap sebagai penggunaan bahasa belaka yang jauh dari realitas, sehingga
muncul ungkapan “Ini realitas atau hanya retorika belaka?” dan tidak bisa dipercaya.
c) Retorika dianggap sebagai gaya bahasa atau gaya penyajian saja. Anggapan ini
menimbulkan sikap yang tidak menghargai retorika.
d) Retorika dianggap sebagai sebutan untuk semua bentuk komunikasi dengan media apapun.
Anggapan ini memperluas pengertian retorika, dan menghilangkan esensi makna retorika
yang sesungguhnya, yakni penggunaan bahasa yang tertata dalam komunikasi (Dhanik
dkk, 2020).
W.S. Roberts (dalam Dhanik dkk, 2020) mengemukakan pengertian retorika sebagai
berikut :
a) Retorika adalah seni mengafeksi (menarik minat) pihak lain dengan berbicara, dengan
cara mengatur unsur-unsur pembicaraan begitu rupa untuk meraih respon pendengar.
b) Retorika adalah seni yang mengajarkan kaidah dasar pemakaian bahasa yang efektif.
c) Retorika adalah seni berbicara yang dapat mempersuasi dan dapat memberikan informasi
yang rasional kepada pihak lain.
d) Retorika adalah upaya pemilihan bentuk pengungkapan yang efektif denga cara lain yang
mampu memukau.
e) Retorika adalah ide atau gagasan untuk mempersuasi.
Retorika menurut Dori Wuwur Hendrikus (dalam Jerry dan Riris, 2019) adalah
kesenian untuk berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alami (talenta) dan
keterampilan teknis. Umumnya, retorika melihat bagaimana penyampaian pesan yang
disampaikan oleh komunikator agar efektif sampai kepada para pendengarnya. Ada
perspektif-perspektif yang digunakan dalam meneliti menggunakan retorika. Retorika, juga
merupakan teknik pembujukan dengan menggunakan pembicaraan. Dalam penyampaiannya,
retorika mempunyai unsur yang cukup mempengaruhi keberhasilan komunikator dalam
menyampaikan pesan.
Jerry dan Riris (2019) mengatakan retorika modern adalah gabungan yang serasi
antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Dalam bahasa percakapan
atau bahasa populer, retorika berarti pada tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, atas
dcara yang lebih efektif, mengucapkan kata-kata yang tepat, benar dan mengesankan. Itu
berarti orang harus dapat berbicara jelas, singkat dan efektif.
Hakikat retorika adalah kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan
menggunakan bahasa sebagai alatmya. Dalam peristiwa komunikasi itu, tujuan utama
komunikator adalah menyampaikan pesan yang diharapkan dapat diketahui, dipahami, dan
dapat diterima oleh komunikan. Penyampaian pesan itu dilakukan secara persuasif dengan
mengembangkan kemungkinan-kemungkinan cara yang paling efektif untuk menunjang
pesan komunikasi yang ingin disampaikan itu. Sebaliknya, pendengar juga memilih
kemungkinan-kemungkinan itu untuk dapat menerima pesan komunikasi yang disampaikan.
Memilih ungkapan yang dipandang paling cocok adalah ciri utama dalam retorika. Dalam
proses pemilihan itulah persuasive tidaknya suatu ungkapan dipertimbangkan masak-masak
oleh pembicara atau penulis (Dhanik dkk, 2020).
Jadi dapat disimpulkan bahwa retorika adalah kemampuan berkomunikasi secara
efektif dengan menggunakan bahasa sebagai alatmya.
Teori Retorika yang masih banyak dipelajari hingga saat ini berpusat pada pemikiran
Aristoteles tentang retorika sebagai alat persuasi. Retorika dalam kaitannya dengan nilai
persuasif dapat didefinisikan sebagai kemampuan menemukan alat-alat persuasi yang tersedia
pada setiap keadaan yang dihadapi. Fungsi ini hanya dimiliki oleh seni retorika (Ali, 2020).
Retorika lebih menitikberatkan pada upaya penemuan dan pengumpulan pengetahuan
teoritik, kadangkala bersifat normatif, mengenai aktivitas berkomunikasi, teristimewa
komunikasi verbal yang disampaikan oleh seseorang (rhetor) yang bertindak sebagai
komunikator (sekaligus orator-per-suader) kepada sekumpulan orang yang bertindak sebagai
komunikan (audience) sebagaimana lazim dijumpai pada penyampaian pidato. Komunikasi
dalam hal hubungan ini lebih dipandang sebagai suatu keterampilan praktis, yakni
penyampaian pesan untuk meyakinkan atau mempengaruhi orang lain. Fokus dari
pengetahuan yang dipelajari dalam retorika adalah bagaimana komunikator mengembangkan
startegi-strategi tertentu dalam menyampaikan pesan-pesan kepada komunikan (Edward dan
Cosmas, 2018).
Salah satu aliran retorika yang terkenal adalah karya Aristoteles yang menejelaskan
bahwa retorika pada dasarnya merupakan bagian dari cara-cara persuasi. Menurutnya,
terdapat tiga hal penting dalam melakukan retorika, yaitu: ethos,pathos, dan logos (Edward
dan Cosmas, 2018).
Ethos merujuk pada karakter, intelegensi, dan niat baik yang dipersepsikan dari
seorang pembicara ketika hal-hal ini ditunjukan melalui pidatonya. Eugene Ryan (dalam
Edward dan Cosmas, 2018) menyatakan bahwa ethos merupakan istilah yang luas yang
merujuk pada pengaruh timbal balik yang dimiliki oleh pembicara dan pendengar terhadap
satu sama lain.
Logos adalah bukti-bukti logis yang digunakan oleh pembicara – argumen mereka,
rasionalisasi, dan wacana. Bagi Aristoteles, logos mencakup penggunaan beberapa praktik
termasuk menggunakan klaim logis dan bahasa yang jelas. Menggunakan frase-frase puitis
berakibat pada kurangnya kejelasan dan kealamian (West dan Turner dalam Edward dan
Cosmas, 2018).
Sedangkn pathos berkaitan dengan emosi yang dimunculkan dari para pendengar.
Aristoteles berargumen bahwa para pendengar menjadi alat pembuktian ketika emosi mereka
digugah; para pendengar menilai dengan cara berbeda ketika mereka dipengaruhi oleh rasa
bahagia, sakit, benci, atau takut. (West dan Turner dalam Edward dan Cosmas, 2018).
Menurut Ali (2020) Seorang pembicara dalam membujuk khalayak harus
mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan etika/kredibilitas
(ethos). Teori Retorika adalah teori yang memberi petunjuk untuk menyusun sebuah pidato
atau presentasi yang efektif. Dan efektifitas tersebut dapat diraih dengan menggunakan alat-
alat persuasi yang tersedia. Beberapa asumsi dasarnya dapat dicermati dalam tiga perkara
berikut:
1. pertama, pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khalayak, dalam hal ini terjadi
komunikasi transaksional. Agar pidato dapat efektif, perlu dilakukan analisis khalayak
sehingga pidato dapat disusun sedemikian rupa supaya pendengar memberi respon seperti
yang diharapkan.
2. Kedua, pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka
yaitu cara persuasi, ethos, pathos dan logos.
3. Ketiga, kanon retorika, yakni prinsipprinsip yang harus diikuti pembicara, meliputi:
a) penemuan (Discovery)
b) pengaturan (Arrangement),
c) gaya (Style),
d) penyampaian (Delivery), dan
e) ingatan (Memory)
Dalam asumsi ketiga, lima prinsip yang kemudian disebut The Five Canon of
Rhetoric dapat dipahami melalui rincian penjelasan satu demi satu, Ali (2020) menjelaskan
lima prinsip tersebut sebagai berikut :
Pada tahap Inventio/Discovery (penemuan), pembicara menggali topik dan meneliti
khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Pada tahap ini pula,
pembicara menentukan tujuan dan bahan (argumen) yang sesuai dengan khalayak.
Tahap selanjutnya adalah Dispositio/Arrangement (penyusunan). Pada tahap ini
pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Pesan dibagi dalam beberapa
bagian secara logis. “Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar,
pernyataan, argumen, dan epilog”. Sebuah pengantar akan menarik perhatian, mendirikan
kredibilitas, dan menjelaskan tujuan
Tahap berikutnya disebut Elocutio/Style (gaya). Pada tahap ini, Aristoteles
memfokuskan perlakuannya pada kata kiasan (metaphor). Dia percaya bahwa “to learn easily
is naturally pleasant to all people” dan “metaphor most brings about learning”. Dengan
demikian, rasa bahagia yang menyelimuti setiap orang dan penggunaan kiasan dalam pidato
akan memudahkan penerimaan materi dalam pembelajaran. “Aristoteles memberikan nasehat:
gunakan bahasa yang tepat, benar dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung;
sampaikan kalimat yang indah, mulia dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan,
khalayak, dan pembicara.”
Kemudian tahap selanjutnya disebut Pronuntiatio/Delivery (penyampaian). Pada
tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan/presentasi. Audiens akan menolak
(kurang menerima) penyampaian yang telihat terencana. Sebuah kewajaran adalah persuasi,
karena sebuah kecerdasan itu sesuai konteks “artifice just the opposite”. Teknik ini mengarah
pada teknik pidato impromptu (mendadak tanpa persiapan matang) atau ekstempore (ada
persiapan dan menggunakan out-line). Pembicara juga hendaknya memperhatikan olah suara
dan gerakan-gerakan badan, untuk mempertegas apa yang ia bicarakan.” Tiga prinsip
penyampaian pidato: Memelihara kontak visual atau mental, menggunakan olah vokal,
menggunakan olah visual.
Tahap terakhir adalah Memoria/Memory (Mengingat). Tahap ini bertujuan untuk
menemukan cara bagaimana audiens dapat mengingat isi pesan yang disampaikan. Cara ini
berguna untuk mengingat ide dan frasa yang ada dalam pikiran.
Edward dan Cosmas (2018) melakukan analisis terhadap gaya retorika fredrich yunadi,
retorika aristoteles program televisi catatan najwa edisi “setia pengacara setya”
Ethos
Dalam pernyataan Fredrich Yunadi ini, terlihat usaha untuk membangun logika dari
ungkapan yang dilontarkan, sesuai dengan kewajiban dari tugasnya sebagai seorang
pengacara. Fredrich Yunadi memiliki kredibilitas sebagai orang yang berkewajiban membela
kliennya, dengan memperlihatkan raut muka serius juga dengan sesekali menggerakan tangan
dan mengarahkan audiens memahami realita yang terjadi sesuai dengan pemahaman subjek
penelitian. Disamping itu terdapat pin yang melekat pada pakaian yang digunakan pengacara
Setya Novanto yaitu bertuliskan ADVOKAT.
Logos
Fredrich Yunadi, dalam pernyataan ini tidak menggunakan pesan yang rasional yang
disertai bukti-bukti dan fakta yang jelas dan benar. Hal ini diperlihatkan Fredrich saat
membahas berita-berita yang ada di dunia maya adalah bagian dari perang cyber yang
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dimana strategi yang digunakan
Fredrich dalam usaha membangun logika dan rasionalitas berfikir cenderung mengarah ke
asal bicara saja, Fredrich tidak memberikan bukti seperti apa bentuk, dan siapa dalang
sebenarnya dari perang cyber yang dimaksud.
Pathos
Berdasar argumentasi yang Fredrich Yunadi sampaikan berhasil menggugah emosi
terkejut dari Penonton program Catatan Najwa, Najwa Shihab selaku pembawa acara dan
Donal Fariz selaku aktivis anti korupsi, seperti saat menuding KPK sebagai dalang dari cyber
war melawan Setya Novanto. Rasa terkejut ini berimbas dengan rasa penasaran yang besar
akan keingintahuan lebih lagi dari dasar pernyataan Fredrich Yunadi, seperti saat Najwa
menanyakan bukti dan siapa dibalik cyber war yang KPK lakukan versi Fredrich.
DAFTAR PUSTAKA
Fikry, Ali. 2020. Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles dalam Pidato Ismail
Haniyah untuk Umat Islam Indonesia. Jurnal Al-azhar Indonesia Seri Humaniora. Vol
5 : 137-145.
Natanael, Edward dan Cosmas Gatot. H. 2018. Konstruksi Gaya Retorika Fredrich
Yunadi.Jurnal Semiotika. Vol 12 : 134-150.
Alberico, Jerry dan Riris Loisa. 2019.. Retorika Deliberatif Selebgram dalam Memotivasi
Audiens Melalui Media Sosial. Jurnal Koneksi. Vol 3 : 236-243.
Sulistyarini, Dhanik. 2020. Retorika. Banten : CV.AA. Rizky

Anda mungkin juga menyukai