Anda di halaman 1dari 25

BAB II

KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Kajian Berbicara
a. Definisi berbicara

Keterampilan berbicara dalam bahasa Indonesia merupakan suatu


keterampilan bahasa yang perlu dikuasai dengan baik. Apa lagi bila
keterampilan berbicara tersebut diiringi dengan kesantunan berbahasa yang
baik dan benar (Nuryanto, Abidin, Setijowati, & Sb, 2018: 84) Berbicara
adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata
untuk mengekspresikan, menyatakan, serta menyampaikan pikiran, gagasan,
dan perasaan seseorang. Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan
bahwa berbicara adalah suatu kemampuan untuk meyampaikan isi dari hal-
hal yang dipikirkan seseorang kepada orang lain. Semakin sering seseorang
melakukan aktivtas berbicara, semakin lancar pula seseorang tersebut
berkomunikasi (Syarifudin, 2016)
Melalui berbicara orang dapat menyampaikan informasi melalui
ujarannya kepada orang lain. Jika melalui menyimak orang menerima
informasi dari orang lain. Maka kegiatan berbicara selalu diikuti kegiatan
menyimak atau kegiatan menyimak pasti ada dalam kegiatan berbicara, ke
duanya fungsional bagi komunikasi (Mabruri & Aristya, 2017: 114). Jadi
dapat disimpulkan bahwa tujuan berbicara adalah untuk berkomunikasi agar
dapat menyampaikan pikiran secara efektif dan pembicara harus memahami
makna segala yang ingin dikomunikasikannya. Adapun hal yang harus
diperhatikan dalam keterampilan berbicara ini sejalan dengan pendapat
Suhendra dan Pien Supinah mengatakan bahwa. Penelitian keterampilan
berbicara ada enam hal yang harus diperhatikan yaitu: (1) lafal dan ucapan.
(2) tata bahasa, struktur kebahasan yang sesuai dengan ragam bahasa yang
sesuai dengan ragam bahasa yang dipakai. (3) kosa kata atau diksi pilihan

7
8

kata yang tepat sesuai dengan makna informasi yang akan disampaikan. (4)
kefasihan, kemudahan dan kecepatan berbicara. (5) isi pembicaraan. (6)
pemahaman. (Cahayanti Novianti Ayu, 2017: 1573) Dalam melatih
keterampilan berbicara guru harus bisa menciptakan situasi pembelajaran
yang aktif bagi siswa, selain itu guru wajib untuk mengarahkan atau
membimbing siswanya agar mampu berbahasa dengan baik dan benar.
Seorang guru dapat menggunakan berbagai metode dan media
pengajaran yang dapat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran khususnya
pada pembelajaran Bahasa Indonesia sehingga dapat terciptanya suasana
belajar yang baik untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
b. Tujuan dan fungsi berbicara
Para ahli bahasa sepakat bahwa berbicara merupakan kemampuan
yang dimiliki oleh mahluk hidup sebagai alat interaksi dengan sesama
mahluk hidup lainnya, untuk mengekspresikan diri, sebagai eksisteni. Selain
itu, keterampilan berbicara juga mampu melahirkan generasi masa depan
yang kritis karena mereka memiliki kemampuan untuk mengekspresikan
gagasan, pikiran, atau perasaan kepada orang lain secara runtut dan
sistematis.
Keterampilan berbicara juga mampu melahirkan generasi masa
depan yang berbudaya karena sudah terbiasa dan terlatih untuk
berkomunikasi dengan pihak lain sesuai dengan materi dan situasi tutur
pada saat berbicara. Berbicara sebagai keterampilan berbahasa berhubungan
dengan keterampilan berbahasa yang lain. Kemampuan berbicara
berkembang pada kehidupan siswa apabila didahului dengan keterampilan
menyimak. Jadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dan fungsi berbicara
adalah untuk mengekspresikan perasaan, gagasan, menambah daya kritis,
mengubah peradaban dalam ilmu pengetahuan, menjadikan seseorang
berbudaya, dan berkomunikasi. Jauh dari pada itu tujuan dan fungsi
berbicara dalam
9

penelitian ini adalah agar siswa SMA memiliki kemampuan berbicara


sesuai dengan keterampilan berbicara.
2. Pengertian Retorika
Secara etimologi istilah retorika salah satunya dapat diartikan yakni,
berbicara atau berpidato di depan umum dengan prinsip menggunakan segala
kemampuan dan strategi komunikasi untuk memengaruhi orang banyak (Safnil,
2010: 35) Retorika dan public speaking merupakan cara berbicara efektif yang
perlu di pelajari ketika dibutuhkan untuk bisa memengaruhi orang atau orang-
orang lain dalam arti mengubah sikap, sifat, pendapat, dan tingkah laku orang
atau orang-orang lain itu berawal sekitar 3000 SM Devito (Suardi, 2017: 133).
Istilah retorika awal kalinya diperkenalkan oleh Aristoteles (384 -322
SM) (Sutrisno, 2014: 73) Maka mereka menekankan pada pembinaan
kecakapan menggunakan ulasan-ulasan atau argumen dengan pemakaian
contoh dan bukti- bukti yang menguntungkan gagasan yang sedang
ditampilkan, mereka memilih kata, istilah, ungkapan, kalimat yang dapat
menarik perhatian pendengar. Pemakaian bahasa mereka amat berbunga-bunga
dengan konotasi agak negatif, retorika kaum Sofis ini dikenakan orang-orang
yang pandai bersilat lidah atau berdebat kusir, mereka yang pandai sekali
bertutur, tetapi tidak menampilkan hal-hal yang berguna atau berisi dalam
tuturnya.
3. Sejarah retorika dan perkembangannya sebagai ilmu
a. Retorika di zaman romawi
Di zaman ini perkembangan retorika berawal dari kerajaan romawi
yang berhasil menguasai kerajaan yunani, para intelktual romawi kemudian
membangun komunikasi dengan para cendekiawan yunani untuk menukar
informasi terutama dalam bidang ilmu berbicara dari sinilah kemudian lahir
sekolah kepandaian dalam berbicara. Mercus Tulius Cicero (106-43 SM)
adalah orang yang mengembangkan retorika bahkan dia dianggap yang
paling masyur diantara tokoh lainnya. Cicero berpendapat bahwa retorika
hanya mempunyai dua tujuan yaitu bersifat anjuran dan penolakan, dia
mengajarkan
10

bahwa retorika adalah ilmu dalam mempengaruhi keyakinan dari lawan


bicaranya. Dalam pemaparannya juga dia menjelaskan bahwa dalam
beretorika setidaknya harus ada pendahuluan, pemaparan, pembuktian,
pertimbangan dan penutup.
4. Sejarah Perkembangan Retorika di Indonesia
Sejarah retorika di Indonesia tidak terlepas dari sistem penjajahan
belanda sekitar empat abad lalu, hal in bisa dikatakan semacam adanya upaya
perlawanan dari bangsa Indonesia untuk mengusir penjajah dari tanah air,
tercatat ada beberapa tokoh yang pada waktu itu lahir sebagai orang yang
berpengaruh terhadap perginya belanda yaitu H. Agus Salim Sitompul beliau
lahir di Sumatera Barat, beliau adalah sastrawan, penyair, cendekia muslim
yang ahli dalam ilmu agama, beliau juga dikenal memahami banyak bahasa
asing sehingga beliau dikenal dengan bapak poligot Indonesia. Oleh karena
kecintaannya terhadap bangsa Indonesia dia pernah berbicara lantang di sidang
Dewan Perwakilan Rakyat yang saat itu dikenal dengan (wolksraad) sehingga
menggegerkan para penjajah belanda. Tokoh yang berpengaruh lainnya adalah
Ir Soekarno, dia dikenal diseluruh dunia karena ketegasan dan keberaniannya.
Kemampuan pidatonya dikagumi dunia karena mampu menggugah semangat
dan membawa naluri dalam mengarungi kehidupan sehingga orang-orang disaat
itu enggan meninggalkan Soekarno berpidato, hal lain yang menjadi ciri khas Ir
Soekarno adalah pidato tanpa teks dan retorikanya membuat orang mau
mengikuti apa yang dia sampaikan di dalam berpidato salah satu pidatonya
berjudul “nawaskara”.
Ahli retorika lainnya adalah Buya Hamka dia adalah seorang ulama,
politik, cendekia sekaligus penulis kemampuan menulsnya melahirkan banyak
karya dari karya sastra, ilmu filsafat, sejarah, sosial dan politik ia mahir
berbahasa arab dan suka berdiskusi dengan Cokrominoto. Orator lain yang
terkenal kala itu adalah Bung Tomo, dengan ketajaman kata-katanya ia mampu
membangkitkan masyarakat Surabaya yang diserang oleh tentara NICA dia
dikenal dengan seruan-seruan pidatonya di radio-radio.
11

5. Beberapa Dimensi dan Ideologi Retorika


Retorika bukan hanya berbicara terkait verbal dan nonverbal tetapi juga
gerakan pola mata atau pandangan bahkan benda yang kita pegang juga
berpengaruh bagaimana kita memandang dan menyikapi benda tersebut karena
itu akan berpengaruh pada kepercayaan audienc tentang ucapan kita. Seni
berbicara erat kaitannya dengan mempengaruhi lawan bicara kita oleh
karenanya kita harus menganalisis apa siapa dan bagaiman lawan bicara kita
sehingga kita tau kata-kata dan metode apa yang harus digunakan saat
menghadapi orang- orang tertentu. Adapun dimensi-dimensi dalam retorika
yaitu.
a. Dimensi filosofis
Yaitu dari sini kita memahami wilayah identitas dari lawan bicara,
manusia antarmanusia, manusia antarbudaya dan manusia antarpengetahuan
dan keterampilan dalam pandangan hidup. Artinya, dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa dimensi filosofis secara fungsi dan tujuan adalah
memahami sebuah retorika dengan cara mengetahui privasi seseorang
berdasarkan antropologi lawan bicara, hal ini menjadi parameter karena jika
seseorang mengetahui lawan bicaranya berdasarkan sesuatu yang sangat
privasi seperti identitas lawan bicara dari segi rekam jejak, bagaimana
jenjang pendidikan lawan bicara, budaya dan lingkungan lawan bicara,
sehingga dari situ seorang lawan bicara mampu mengukur sampai sejauh
mana pengentahuan lawan bicara dan harus menyesuaikan jika terlepas dari
ranah perdebatan, tetapi kemudian jika hal itu tidak bisa lepas dari ranah
perdebatan maka mengetahui dimensi filosofis berdasarkan uraian
sebelumnya adalah sebuah keberhasilan untuk mengalahkan lawan bicara.
b. Dimensi teknis
Yaitu penggunaan simbol atau teknik dalam menyampaikan
informasi. Hal ini dilakukan untuk seseorang dalam penyampaian berita atau
informasi kepada khalayak umum, penggunaan simbol ini dinilai cukup
praktis dan tidak membuang-buang waktu. Biasanya bentuk dari penggunaan
simbol ini antara
12

lain yaitu menggerakan jari kanan dan jari kiri secara bersamaan dengan pola
memutar, mengedipkan mata, menggerakkan kepala, atau menggunakan
pilihan kata tertentu dimana hanya seseorang itu dan tim lainnya saja yang
memahami hal tersebut. Selain menggunakan simbol-simbol tersebut juga
bisa menggunakan anggota tubuh lainnya sebagai sebuah simbol seperti
kaki, mimik wajah, gestur tubuh dan semiotika lainnya.
c. Dimensi teologis
Menyampaikan ajaran agama, mengutip dalil atau kitab-kitab yang
dianggap menjadi rujukan utama. Dimensi teologis mengacu secara akurat
pada penukilan sebuah ajaran agama berdasarkan rujukan dari kitab suci
agama tersebut. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan jati diri secara
kepercayaan dan sebagai legitimasi terhadap apa yang disampaikan sehingga
seorang akan menuruti apa yang dikatakan sebab dalil dari sebuah agama,
letak atau posisi dari penukilan dalil ini biasanya berada di awal sebuah
percakapan yang dibangun, pada bagian isi dan penutup. Adapun
penggunaan dimensi teologi ini biasanya berada dalam acara atau ucapara
pidato keagamaan, ceramah atau khutbah dan acara lainnya yang terikat
berdasarkan keyakinan ajaran agama.
Jadi, secara keseleruhuan beberapa dimensi dalam retorika tersebut
ada untuk memudahkan seseorang cakap dalam mempelajari keterampilan
berbicara atau seni retorika. Dimensi filosofis, teknis dan teologis
merupakan cara yang sederhana tetapi sangat berpengaruh ketika diterapkan
dalam berbicara di depan umum. Secara singkat dimensi filosofis berbicara
mengenai ranah privasi dari lawan bicara yang kemudian akan sangat
menguntungkan jika dipergunakan dalam ranah perdebatan dalam diskusi
karena kita bisa menjatuhkan lawan bicara dengan cara membuat isu negatif
tentang masa lalunya berdasarkan rekam jejak pendidikan, budaya dan lain
sebagainya. Dimensi teknis berbicara terkait semiotika atau tanda yang
bertujuan untuk mempermudah dalam komunikasi sedang dimensi teologis
13

mengacu pada penukilan dalil atau argumen berdasarkan ajaran agama, hal
ini bertujuan agar apa yang disampaiakan memiliki legitimasi yang kuat dan
dapat diikuti oleh para pendengar.(Yusuf Zainal Abidin, 2013:57).
Pandangan atau teori dari Yusuf Zaenal Abidin terkait dimensi dalam
retorika inilah yang nantinya akan dijadikan sebuah pisau bedah dalam
menganalisis retorika Najwa Shihab berdasarkan metode dan gaya bahasa
yang ada di acara Mata Najwa dengan judul “Menguji Ujian Nasional”
6. Tujuan dan Fungsi Retorika
a. Tujuan retorika
Tujuan retorika adalah mengajak, mengajak orang lain untuk
meyakini kebenaran dalam hal gagasan tanpa ada paksaan, artinya ada
semacam pengertian yang menumbuhkan kedamaian dalam kehidupan
bermasyarakat melalui kegiatan bertutur.
b. Fungsi retorika
Untuk mengambil keputusan yang tepat, artinya dalam situasi
genting seseorang harus mengambil sebuah keputusan dalam sebuah
permasalahan yang sedang dihadapi mempertahankan prinsip dan kebenaran
melalui argumen atau pemikiran yang rasional dan masuk akal.
7. Metode Retorika
a. Exordium (Pendahuluan)
Fungsinya adalah pengantar kearah pokok-pokok pembahasan
sebagai upaya memberi mental para hadirin dan membangkitkan perhatian,
berbagai cara yang dapat ditampilkan untuk memikat perhatian para hadirin.
Selain memiliki fungsi tersebut exordium atau pendahuluan biasanya
dibungkus dengan tempo retorika yang cenderung pelan dan tidak tergesa-
gesa, menggunakan bahasa yang mudah dipahami sehingga akan terlihat
jelas oleh pendengar dan banyak disukai karena kesederhanaan dalam
pemilihan diksi.
14

Adapaun aspek-aspek yang ada dalam exordium atau pendahuluan


adalah sebagai berikut:
1) Mengemukakan kutipan dari kitab suci atau argumen para pemuka agama
2) Mengajukan pertanyaan
3) Menyajikan ilustrasi yang spesifik
4) Memberikan fakta yang mengejutkan
5) Menyajikan sesuatu yang bersifat kemanusiaan
6) Mengetengahkan pengalaman yang ganjil
Adapun beberapa hal yang tidak diperbolehkan dalam retorika antara
lain yaitu, permintaan maaf karena kurang persiapan, tidak menguasai
materi, tidak berpengalaman dan lain sebagainya dan menyajikan lelucon
yang berlebihan.
b. Protesis (Latar Belakang)
Mengemukakan hakikat pokok isi pembahasan secara faktual atau
secara kesejahteraan nilai dan fungsinya dalam kehidupan sehari-hari. Jadi
dibagian ini pembahasan dipaparkan sedemikian rupa sehingga tampak jelas
kepentingannya bagi pendengar. Bahasa yang dugunakan dalam protesis atau
latar belakang ini cenderung menggunanakan bahasa yang cukup menguras
emosional pendengar dan disampaikan dengan tempo sedikit lebih cepat
dengan intonasi yang tegas dan menggunakan diksi yang ilmiah tujuannya
adalah untuk membuat pendengar lebih fokus pada pembahasan
permasalahan yang sebentar lagi disajikan.
c. Argumentasi (Isi)
Mengemukakan pembahasan yang akan disajikan secara teoretis
kemudian mengemukakan oposisinya. Pada bagian ini mengupas sebuah
persoalan berdasarkan argumen dan rasionalisasi yang kemudian biasanya
diadu secara argumen dan rasionalisasi atau gagasan, sesi ini merupakan sesi
debat dimana argumen akan diadu dan mencari kedudukan berdasarkan
posisi atau tempatnya artinya ada yang menjadi pro dan kontra dan ada yang
menjadi
15

pengamat dan oposisi. Bahasa yang digunakan dalam argumentasi atau isi ini
biasanya menggunakan bahasa yang sangat ilmiah dan mengacu pada
referensi yang jelas lengkap dengan data dan fakta serta intonasi yang tidak
teratur artinya kadang terkesan cepat dan kadang terkesan lambat hal itu bisa
dipahami sebab pada sesi ini merupakan sesi debat atau adu argumen.
d. Conclusion (Kesimpulan)
Penegasan hasil pertimbangan yang mengandung pembenaran, pada
bagian ini segala persoalan yang disajikan dari awal dan akhir di simpulkan
berdasarkan keputusan terbaik yang mengacu pada data dan fakta. Secara
struktur kesimpulan memuat beberapa pendapat pada bagian argumentasi
atau isi untuk kemudian dibuatkan sebuah sintesis dan menjadikan sebuah
hasil yaitu kesimpulan (Yusuf Zainal Abidin, 2013:59) Kesimpulan biasanya
menggunkan bahasa yang halus dan bernuansa positif sebab pada bagian ini
persoalan dalam pembahasan sudah menemukan titik terang atau sudah
terjawab oleh beberapa argumentasi pada sesi sebelumnya, secara tempo
pada bagian kesimpulan cenderung lebih pelan dan terdengar jelas serta
pemilihan diksi yang positif hal ini bertujuan untuk memberitau pada
pendengar bahwa persoalan yang sedang terjadi sudah selesai dan menemui
titik terang.
Jadi, dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa metode retorika yaitu
mengupas secara teknis dilihat dari pembagian dan perbedaan dari isi
masing- masing bagian tersebut, hal ini dilakukan untuk mengetahui bagian
awal, tengah dan akhir sehingga dalam menentukan bahasa atau pemilihan
diksi dan tempo dapat dipelajari dengan mudah. Teori metode dalam retorika
inilah yang kemudian akan dijadikan sebagai pisau bedah dalam
menganalisis metode dan gaya bahasa retorika Najwa Shihab pada acara
Mata Najwa dengan judul “Menguji Ujian Nasional”
16

Agar lebih jelas perhatikan bagan sebagi berikut:

Exordium (Pendahuluan)

Protesis (Latar Belakang)

Argumentasi (Isi)

Conclusion (Kesimpulan

Bagan 2.1 Ringkasan Teori

8. Gaya Bahasa dalam Retorika


Pada dasarnya gaya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
hampir setiap tingkah laku pasti memiliki gaya. Begitupun dengan aktivitas
manusia termasuk dalam berbicara.(Yusuf Zainal Abidin, 2013:70). Gaya
adalah rasa dari kegiatan pesan itu tersendiri. Oleh karenanya gaya akan
menunjukan sifat alami pada seseorang. Itulah kemudian disiplin ilmu lahir
dengan nama stilistika, stilistika berarti ilmu tentang gaya, gaya berbicara,
dalam sastra, tingkah laku dan aktivitas lainnya. (Ratna, 2013:3).
a. Pemajasan dan jenis-jenisnya
1) Perbandingan
(a) Hiperbola, yaitu melebih-melebihkan sesuatu.
Gedung yang mecakar langit!

(b) Metonimia, yaitu pengungkapan sebuah benda dengan makna


mengacu pada keadaan atau situasi
Aku diseret ke meja hijau!
17

(c) Personifikasi, berbandingan sesuaatu yang mati menjadi hidup


Pena itu menari-nari diatas kertas!

(d) Perumpamaan, perumpamaan dua hal yang berbeda tetapi


hakikatnya sama.
Wajahnya indah bagai bunga!

(e) Metafora, yaitu pengungkapan secara langsung menggunakan


makna yang bukan sebenarnya tetapi dianggap sangat penting.
Bhisma, keagunganmu terdengar di wilayah arya!

(f) Simile, yaitu perbandingan dengan menggunaakan kata depan


dan kata hubung ibarat, bagai, bak, umpama.
Wajahmu bagai bulan!

2) Sindiran
(a) Sinisme, sindiran secra langsung
Perkataanmu sangat tidak baagus, tidak pantas diucapkan
oleh pelajar sepertimu!

(b) Ironi, sindiran dengan masud yang bertentangan


Ini baru mahasiswa cerdas, membuat skripsi saja
sampai berbulan-bulan!

(c) Sarkasme, sindiran yang sangat kasar


Dasar kerbau dungu, kerja seperti ini saja tidak becus!

(d) Satire, sindiran tidak langsung atau berupa kiasan


Sarapan apa kau pagi tadi, kelakuanmu aneh sekali hari ini!
18

3) Pertentangan
(a) Paradox, yaitu majas yang menggambarkan sesuatu yang
bertentangan dengan fakta.
Api itu terasa dingin walau sudah kugenggam!

(b) Antithesis, penggunaan paangan kata yang berlawanan


Kaya, miskin dihadapan tuhan tetaplah sama!

(c) Litotes, kebalikan dari hiperbola yaitu merendahkan atau


mengecil-ngecilkan
Terima kasih telah singgah di gubuk saya!

4) Penegasan
(a) Repetisi, pengulangan kata-kata sebagai penegasan
Aku yakin dia akan kembali kepadaku, aku yakin!

(b) Pararelisme, pengulangan yang biasanya terdapat dalam puisi.


Cinta adalah suka!
Cinta adalah duka!
Cinta adalah
segalanya!

5) Faktor-faktor kebahasaan penunjang berbicara


a. Ketetapan ucapan atau tata bunyi
b. Penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai
c. Pilihan diksi
d. Kalimat efektif
e. Sikap yang wajar, tenang dan tidak kaku
f. Kontak mata atau pandangan
19

g. Menghargai pendapat orang lain


h. Gerak-gerik dan mimik yang tepat
i. Kenyaringan suara
j. Kelancaran
k. Penalaran
l. Penguasan materi
9. Kajian Debat
1. Definisi debat
Pengertian debat merupakan suatu argumen untuk menentukan baik
tidaknya suatu usul tertentu yang didukung oleh satu pihak yang disebut
pendukung atau afirmatif dan ditolak, disangkal oleh pihak lain ysng disebut
penyangkal atau negatif, sedangkan menurut Wiyanto menjelaskan bahwa
debat merupakan silang pendapat tentang tema tertentu antara pihak
pendukung dan pihak penyangkal melalui dialog formal yang terorganisasi
(Wiyanto, 2003: 4) Ismawati mengatakan debat pada hakikatnya adalah
saling adu argumentasi antarpribadi atau antarkelompok manusia, dengan
tujuan mencapai kemenangan untuk satu pihak (Ismawati, 2012: 20-21)
Dalam debat setiap pribadi atau kelompok mencoba menjatuhkan lawannya,
supaya pihaknya berada pada posisi yang benar. Debat juga salah satu
metode pembelajaran dimana siswa melakukan kegiatan adu argumentasi
antara dua pihak atau lebih, baik secara perorangan atau kelompok, dalam
mendiskusikan dan memutuskan masalah dan perbedaan. Debat dapat
menumbuh kembangkan pola pikir kritis, melatih siswa untuk berani
menyampaikan pendapat, menanggapi pertanyaan, menghormati pendapat,
menumbuhkan sikap kerja sama antar peseta didik dalam kelompok,
menyenangkan, memantapkan pemahaman konsep siswa terhadap materi
pelajaran yang telah diberikan (Yuliati, 2018: 29)
20

2. Keunggulan dan kelemahan metode debat


a) Keunggulan-keunggulan debat.
(1) Perdebatan yang sengit akan mempertajam hasil pembicaraan.
(2)Kedua segi permasalahan dapat disajikan, yang memiliki ide dan yang
mendebat atau menyanggah sama-sama berdebat untuk menemukan
hasil yang lebih tepat mengenai suatu masalah.
(3) Siswa dapat terangsang untuk menganalisa masalah di dalam
kelompok, asal terpimpin sehingga analisa itu terarah pada pokok
permasalahan yang di kehendaki bersama.
(4) Dalam pertemuan debat itu siswa dapat menyampaikan fakta dari
kedua sisi masalah, kemudian diteliti fakta mana yang benar atau valid
dan bisa dipertanggungjawabkan.
(5) Karena terjadi pembicaraan aktif dan penyanggah maka akan
membangkitkan daya tarik untuk turut berbicara, turut berpartisipasi
mengeluarkan pendapat.
(6) Bila masalah yang diperdebatkan menarik, maka pembicaraan itu
mampu mempertahankan minat anak untuk terus mengikuti perdebatan
itu.
(7) Untungnya pula metode ini dapat dipergunakan pada kelompok besar.
Tetapi dalam pelaksanaan metode debat ini kita juga menemukan
sedikit kelemahan, hal mana bila dapat diatasi. Guru akan mampu
menggunakan metode ini dengan baik.
(8) Metode debat dapat meningkatkan keterampilan berbicara dan hasil
belajar pada pembelajaran Bahasa Indonesia (Wijayanto, 2017: 100)
b) Kelemahan-kelemhan metode debat
(1)Dalam pertemuan ini kadang-kadang keinginan untuk menang
mungkin terlalu besar, sehingga tidak memperhatikan pendapat orang
lain.
(2) Kemungkinan lain diantara anggota mendapat kesan yang salah
tentang orang yang berdebat.
21

(3) Dengan metode debat membatasi partisipasi kelompok, kecuali


kalau diikuti dengan diskusi.
(4) Karena sengitnya perdebatan bisa terjadi terlalu banyak emosi yang
terlibat, sehingga debat itu semakin gencar dan ramai.
(5) Agar bisa dilaksanakan dengan baik maka perlu persiapan yang
teliti sebelumnya (Simarmata & Sulastri, 2018: 52-53)
10. Kajian Bahan Ajar
a. Pengertian dan kedudukan bahan ajar dalam pembelajaran
Pendidikan dapat dimaknai sebagai suatu proses yang melewati
serangkaian kegiatan, pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi,
proses transformasi budaya, proses penyiapan warga negara dan pendidikan
juga sebagai proses penyiapan tenaga kerja. Guru sebagai pribadi kunci
masalah psikologi dan mengajar perlu dibaca oleh guru-guru dan siswa calon
guru karena masalah yang dibahas dalam buku adalah belajar dan mengajar,
misalnya dasar-dasar psikologi belajar-mengajar, faktor-faktor dalam proses
belajar, transaksi belajar mengajar di dalam kelas, dan masalah-masalah
yang berkaitan dengan situasi belajar-mengajar. Materi yang dibahas
tersusun secara sistematis dan dalam beberapa hal dilengkapi dengan hasil
penelitian. (Oemar Hamalik, 2013: 27)
Pendidik (guru) juga harus dituntut mempunyai kompetensi
(kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesi), pengembangan bahan ajar (materi ajar) dan media
pembelajaran merupakan salah satu kewajiban yang harus dimiliki guru
untuk mengembangkan kompetensi sebagai guru yang profesioanal. Hal ini
sejalan dengan pendapat (Suparlan, 2006), bahwa kompetensi guru dipilih
dalam tiga komponen yang saling mengait yakni, pengelolaan pembelajaran,
pengembangan profesi dan penguasaan akademik (Eti, 2017: 34)
22

Bahan ajar mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kegiatan


pembelajaran, seperti memberikan petunjuk yang jelas bagi pembelajar
dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, menyediakan bahan alat yang
lengkap yang diperlukan untuk setiap kegiatan, merupakan media
penghubung antara oleh pembelajar sendiri dalam mencapai tujuan yang
diharapkan, serta dapat digunakan untuk program perbaikan (Permana, 2015:
137) Agar diperoleh pemahaman yang lebih jelas akan dijelaskan masing-
masing peran sebagai berikut.
1) Bagi guru guru memiliki peran, yaitu.
(a) Menghemat waktu guru dalam mengajar
Adanya bahan ajar, siswa dapat ditugasi mempelajari terlebih
dahulu topik atau materi yang akan dipelajarinya sehingga guru tidak
perlu menjelaskan secara rinci lagi.
(b) Mengubah peran guru dari seorang pengajar menjadi seorang
fasilitator.
Adanya bahan ajar dalam kegiatan pembelajaran maka guru
lebih bersifat memfasilitasi siswa dari pada penyampai materi
pelajaran.
(c) Meningkatkan proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan
interaktif.
Adanya bahan ajar maka pembelajaran akan lebih efektif
karena guru memiliki banyak waktu untuk membimbing siswanya
dalam memahami suatu topik pembelajaran, dan juga metode yang
digunakannya lebih variatif dan interaktif karena guru tidak
cenderung berceramah.
2) Bagi siswa, bahan ajar bagi siswa memiliki peran, yakni:
(a) Siswa dapat belajar tanpa kehadiran.
(b) Siswa dapat belajar kapan saja dan dimana saja dikehendaki
23

(c) Siswa dapat belajar sesuai dengan kecepatan sendiri.


(d) Siswa dapat belajar menurut urutan yang dipilihnya sendiri.
(e) Membantu potensi untuk menjadi pelajar mandiri.
Berbicara tentang bahan ajar berarti berbicara tentang guru dan murid,
berarti berbicara tentang media pembelajaran juga. Seorang guru harus
memiliki kompetensi sebab seorang guru Guru merupakan jabatan atau
profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru. Pekerjaan ini tidak
dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk melakukan
kegiatan atau pekerjaan sebagai guru. Untuk menjadi guru diperlukan syarat-
syarat khusus, apalagi sebagai guru yang profesional harus menguasai betul
seluk beluk pendidikan dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya yang perlu
dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru diartikan sebagai
orang yang pekerjaannya mengajar akan tetapi pada pelaksanaanya dalam
kegiatan pendidikan tugas guru tentunya bukan hanya mengajar yang
berorientasi pada pengembangan kecakapan yang berdimensi ranah cipta saja
akan tetapi guru turut juga mengembangkan ranah rasa dan karas para peserta
didik sebab dalam perspektif psikologi pendidikan mengajar pada prinsipnya
berarti proses perbuatan seseorang (guru) yang menjadikan orang lain (peserta
didik) belajar, dalam arti mengubah seluruh dimensi perilakunya. Oleh sebab
itu guru harus bisa memahami penyusunan dalam mengelola kelas seperti
memberi stimulus pada siswa dan merespon stimulus itu dengan tanggap hal
ini yang kemudian dikenal dengan teori skinner (Mujiono, 2015:172) Oleh
sebab guru harus menguasai seluk-beluk Pendidikan maka guru juga harus
memahami teori tentang pembelajaran sehingga pembelajaran tidak terkesan
membosankan, pembelajaran hanya terkait tentang materi yang diajarkan
semata. Mitos semacam itu seringkali muncul sebab seorang guru kurang
memahami teori-teori pembelajaran dalam mengelola kelas (Suyono, 2016:26)
24

selain memahami seluk-beluk pendidikan dan teori pembelajaran, guru juga


harus memahami proses-proses pemakaian bahasa pada seorang murid sebab
dalam disiplin ilmu Psikolinguistik setiap individu terpengaruh dari sistem
geografis tempat dimana ia bermukim sebab demikian maka itu berpengaruh
pada gaya bahsa, intonasi dan setiap kata yang dikeluarkan oleh setiap
individu.(Faizuz, 2017: 15) Seyogyanya guru harus memahami kajian dari
disiplin ilmu Psikolinguistik ini agar terhindar dari kesalahan dalam
berkomunikasi.
b. Jenis-jenis bahan ajar
Pengelompokkan bahan ajar berdasarkan jenisnya dilakukan dengan
berbagai cara oleh beberapa ahli mempunyai justifikasi sendiri-sendiri pada
saat pengelompokannya. Heinich, dkk (1996) mengelompokkan jenis bahan
ajar berdasarkan cara kerjanya dalam 5 (lima) kelompok besar yaitu: a) bahan
ajar yang tidak diproyeksikan seperti foto, diagram, display, model; b) bahan
ajar yang diproyeksikan, seperti slide, film strips, overhad, trasfarenceis,
proyeksi computer; c) bahan ajar audio, seperi kaset dan compact disc; d)
bahan ajar video dan film; e) bahan ajar (media) komputer, misalnya
computer mediated instruction, computer based multimedia atau hypermedia.
Menurut Ellington dan Race ( 1997) mengelompokkan jenis bahan ajar
berdasarkan bentuk dalam 7 ( tujuh ) jenis antara lain: a) bahan ajar cetak dan
duplikatnya, misalnya handouts, lembar kerja, bahan belajar mandiri, bahan
belajar kelompok; b) bahan ajar displya yang tidak diproyeksikan, misalnya
flipchart, poster, model dan foto; c) bahan ajar audio, misalnya audio discs,
audio tapes dan siaran radio; d) bahan ajar display yang diproyeksikan,
misalnya slide, flim strips,dll; e) bahan ajar audio yang dihubungkan dengan
bahan visual diam, misalnya program slide suara, program flimstrip bersuara,
tape model, dan tape reali; f) bahan ajar video, misalnya siaran televisi dan
rekaman video tape; g) bahan ajar Computer, misalnya Computer Assited
Instruction (CAI) dan Computer Based Tutorial (CBT).
25

Berdasarkan penjelasan diatas penulis dapat mengelompokkan bahan


ajar dalam dua katagori yaitu cetak dan noncetak. Adapun Jenis bahan ajar
noncetak yang dimaksud adalah Radio dan Display (Slide, film, televisi,
computer) Sementara yang termasuk kategori jenis bahan ajar cetak adalah
buku, handout, lembar kerja.
11. Modul
Setiap guru harus menyusun Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
(RPP). RPP tersebut digunakan sebagai kendali dan pedoman dalam
melaksanakan pembelajaran. Mutu tidaknya proses dan hasil pembelajaran
sangat ditentukan oleh mutu-tidaknya RPP yang disusun. Oleh karena itu, guru
harus memiliki kompetensi menyusun RPP secara baik (Warih & Indriani,
2017: 26-27) Selain memiliki peran untuk merancang proses pembelajaran di
kelas guru juga bertanggung jawab atas penerapan kurikulum pada siswa karena
guru adalah pengelola pembelajaran. (Schiro, 2017: 126) Terlepas dari pada itu
kreatifitas seorang guru juga dibutuhkan agar pembelajaran tidak kaku dan
terkesan tegang (Mulyasa, 2017: 41)
Pembelajaran merupakan suatu proses interaksi antara peserta dengan
lingkungannya yang mengarah pada pencapaian tujuan pendidikan dan
pelatihan yang telah ditentukan terlebih dahulu. Jadi dapat disimpulkan bahwa
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran sangat penting bagi seorang guru, pada
dasarnya RPP berisikan tentang bagaimana seorang guru mengelola kelas agar
pembelajaran berlangsung efektif yang dalam hal ini meliputi Kompetensi
Dasar, Indikator, Teori Pembelajaran dan lain sebagainya.
Modul Menurut Daryanto (2013: 1) fleksibilitas modul sebagai materi
pembelajaran atau bahan pembelajaran sangat tinggi. Purwanto dkk (2007: 9)
menjelaskan pengertian modul adalah bahan belajar yang dirancang secara
sistematis berdasarkan kurikulum tertentu dan dikemas dalam bentuk satuan
pembelajaran terkecil dan memungkinkan dipelajari secara mandiri dalam
satuan waktu tertentu sedangkan menurut Daryanto (2013: 1) Modul
merupakan salah
26

satu bentuk bahan ajar yang dikemas secara utuh dan sistematis, didalamnya
memuat seperangkat pengalaman belajar dengan terencana dan didesain untuk
membantu peserta didik menguasai materi belajar, dan evaluasi.
Adapun menurut Diknas yang dikutip oleh Prastowo (2013: 104) modul
diartikan sebagai sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik
dapat belajar secara mandiri tanpa bantuan pendidik. Beberapa pengertian
menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa modul adalah bentuk
dari bahan ajar cetak yang dimanfaatkan untuk membantu pendidik dan peserta
didik dalam proses pembelajaran. Modul mencakup beberapa komponen yang
perlu diperhatikan, yaitu: tujuan yang harus dicapai, materi pokok yang sesuai
dengan kompetensi dasar, latihan-latihan, dan evaluasi (Robert Rizki Yono &
Mimi Mulyani, 2017).
a. Adapun kelebihan pembelajaran dengan modul yaitu.
1. Modul dapat memberikan umpan balik sehingga pebelajar mengetahui
kekurangan mereka dan segera melakukan perbaikan
2. Dalam modul ditetapkan tujuan pembelajaran yang jelas sehingga kinerja
siswa belajar terarah dalam mencapai tujuan pembelajaran
3. Modul yang didesain menarik, mudah untuk dipelajari, dan dapat
menjawab kebutuhan tentu akan menimbulkan motivasi siswa untuk
belajar
4. Modul bersifat fleksibel karena materi modul dapat dipelajari oleh siswa
dengan cara dan kecepatan yang berbeda
5. Kerjasama dapat terjalin karena dengan modul persaingan dapat
diminimalisir dan antara pebelajar dan pembelajar
6. Remidial dapat dilakukan karena modul memberikan kesempatan yang
cukup bagi siswa untuk dapat menemukan sendiri kelemahannya
berdasarkan evaluasi yang diberikan (Ismu Fatikhah&Nurma Izzati, 2015:
49-51)
27

b. Adapun kekurangan pembelajaran menggunakan modul yaitu:


1. Interaksi antarsiswa berkurang sehingga perlu jadwal tatap muka atau
kegiatan kelompok
2. Pendekatan tunggal menyebabkan monoton dan membosankan karena itu
perlu permasalahan yang menantang, terbuka dan bervariasi
3. Kemandirian yang bebas menyebabkan siswa tidak disiplin dan menunda
mengerjakan tugas karena itu perlu membangun budaya belajar dan
batasan waktu
4. Perencanaan harus matang, memerlukan kerjasama tim, memerlukan
dukungan fasilitas, media, sumber dan lainnya
5. Persiapan materi memerlukan biaya yang lebih mahal bila dibandingkan
dengan metode ceramah. Berdasarkan uraian di atas, peneliti merasa perlu
untuk mengadakan penelitian tentang pengembangan modul pembelajaran
pada materi geometri bidang datar untuk meningkatkan pemahaman
konsep dan minat siswa.
10. Deskripsi Acara Mata Najwa dan Kajian Retorika Najwa Shihab
Program Talkshow yang dipandu oleh sosok yang memiliki karakter
cerdas, lugas dan berani serta memiliki karisma kuat di mata pemirsa. Gaya
bertanya Najwa Shihab yang tegas, menusuk dan kerap sedikit provokatif
berpadu dengan treatment-treatment yang spesifik untuk mengakomodir
karakter bintang tamu atau narasumber mampu menghadirkan show yang
menarik sepanjang durasi penayangan program. Mata Najwa juga memiliki
brand image yang kuat sebagai salah satu program talkshow yang jadi
referensi.
Kemampuan Mata Najwa menghadirkan narasumber yang merupakan
sosok penting dari tema-tema yang luas menjadi salah satu daya tarik utama
program ini. Kehadiran Mata Najwa di Trans7 diharapkan mampu menjadikan
rujukan dan referensi bagi penonton tentang isu-isu nasional yang terjadi
sepanjang tahun. Tayang pada satu kali dalam sepekan di slot super
primetime, genre program Mata Najwa berpotensi untuk menarik penonton
agar berpikir
28

kritis. Selain itu, demikian fleksibilitas tema bahasan yang diangkat juga bisa
dilebarkan untuk mengakomodasi para penonton.
Kemampuan seorang Najwa Shihab juga menjadi sorotan para
penonton, hal ini dibuktian ketika Najwa Shihab menanyakan permasalahan
dalam suatu topik pada acara tersebut dengan pertanyaan yang membuat
narasumber tidak bisa mengelak sehingga kemampuannya tak dapat diragukan
lagi dalam dunia jurnalistik dan beretorika. Najwa Shihab acapkali
memancing narasumber dengan narasi yang sangat menyindir para
narasumber sehingga narasumber menjawab narasi yang Najwa sajikan tetapi
kemudian Najwa mampu menjawab argumen narasumber dengan retorika
yang menyudutkan sehingga narasumber tak diberi kesempatan untuk
mengelak pertanyaannya. Hal lain yang menjadi kemampuannya adalah
seringkali dia juga mengadu antarnarasumber untuk bertikai dalam
argumentasi sehingga para penonton mampu mncerna argumen dari
narasumber dan dapat menilai kapasitas dari narasumber dalam hal berdebat
dan beretorika. Dari retorika Najwa Shihab tersebutlah yang akhirnya akan
dijadikan analisis retorika yang kemudian hasil akhirnya adalah modul
pembelajaran analisis retorika berdasarkan metode dan gaya bahasa Najwa
Shihab.
B. Penelitian Relevan
Hasil penelitian relevan sebelumnya dilakukan oleh Leiza Sixmansyah
(2014) tentang retorika dakwah K.H Muchammad Syarif Hidayatullah. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, dengan memakai
pendekatan deskriptif dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mngetahui
karakteristik pendakwah berdasarkan gaya retorikanya. Keselarasan pada
penelitian ini adalah sama-sama mengkaji retorika tetapi dari segi tujuan berbeda,
penelitian sebelumnya bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari objek yang
diteliti sedang pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanana
metode retorika dari Najwa Shihab.
29

Hasil penelitian sebelumnya yang sesuai dengan penelitian ini dilakukan


oleh Lydia (2012) Nanda dengan judul interpretasi khalayak dalam retorika politisi
dalam televisi, penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan deskriptif
dimana tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi khalayak
atau penonton tentang retorika politisi di stasiun televisi.
Hasil penelitian sebelumnya dilakukan oleh Fitri Nur Badriyah (2015)
dengan judul strategi retorika dalam penyampaian pembelajaran. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui setiap guru dalam menyampaikan materi melalui
retorika, penelitian ini menggunakan metode kualitatif pendekatan statistik.
Keselarasan pada penelitian ini adalah sama-sama mengkaji retorika namun pada
tujuannya penelitian sebelumnya lebih mengacu pada bagaimana seorang guru
mampu menyampaikan materi dalam pembelajarannya sedang penelitian ini
mengacu pada bagaimana metode retorika Najwa shihab dan pengembangannya
sebagai bahan ajar modul pembelajaran debat.
Hasil penelitian sebelumnya dilakukan oleh Arif Dharma Prasetiyo Fitri
(2019) dengan judul retorika dakwah Fadhila Yahya Melalui Story Telling.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gaya bahasa, intonasi dan gestur Fadhila
Yahya dalam menyampaikan materi melalui dakwah metode kualitatif pendekatan
deskriptif. Keselarasan pada penelitian ini yaitu mengkaji retorika dan gaya bahasa
pada objeknya sedang perbedaanya terletak pada hasil akhir dimana penelitian
sebelumnya hanya untuk mengkaji gestur tetapi penelitiaan ini mengacu pada
Kompetensi Dasar yang hasil akhirnya berupa modul pembelajaran dalam
berdebat.
Hasil penelitian sebelumnya dilakukan oleh Rizza Rnifia (2017) dengan
judul retorika dalam program itu Islam itu Indah (Studi Komparatif Oki Setiana
Dewi dan Nur Maulana) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaiaman
gaya retorika Oki Setiana Dewi dan Nur Maulana dalam program Tv Islam itu
Indah. Jenis penelitian ini kualitatif dengan pendekatan komparatif. Keselarasan
terdaapat pada kajian retorika dan gaya bahasa adapun perbedaanya terletak pada
pendekatan
30

jika penelitian sebelumnya menggunakan pendekatan komparatif tetapi penelitian


ini menggunakan jenis deskriptif.
C. Kerangka Berpikir

Kurangnya kemampuan Sebagai bahan ajar Modul


berbicara di depan pada materi debat
umum di SMA, SMK, MA

Kurangnya rasa
percaya diri, malu, dan
tidak memiliki
pengalaman

Retorika Najwa Shihab di


Mata Najwa

Metode dan gaya Meningkatkan kemampuan


bahasa retorika Najwa berberbicara dan penerapannya
Shihab pada materi debat

Bagan 2.2 Kerangka Berpikir

Pada dasarnya retorika merupakan dasar utama dalam menguasai


pengetahuan sebab cara menyampaikannya dengan berbicara. Pada penelitian
sebelumnyapun sudah jelas bahwa meneliti terkait kajian retorika sangatlah penting
tercatat dalam penelitian relevan diatas menunjukkan pentingnya berbicara di depan
31

umum atau ilmu berbicara retorika. Hal inilah yang kemudian menjadi
kekhawatiran bahwa siswa SMA rendah dalam berbicara, faktor yang
mempengaruhi hal itu diantaranya adalah kurangnya rasa percaya diri atau malu
untuk mengemukakan pendapat sebab mereka menyimpan asumsi-asumsi negatif
entah tidak akan didengar, ditertawakan dan dianggap tidak penting yang menjadi
kekhawatiran juga bahwa pemahaman bahasa sangatlah penting oleh karenanya itu
penelitian ini meunjang agar siswa dapat memiliki kemampuan berbicara yang baik
dan benar dalam hal ini peran seorang pengajar sangatlah penting agar kemudian
mengetahui psikologi dengan siswa sebab jika seorang guru mampu menguasai
disiplin ilmu psikologi maka pendekatan kepada siswa cenderung baik dan akan
terjalin kedekatan emosional yang baik pula (Syaifullah, 2019: 37)

Anda mungkin juga menyukai