Anda di halaman 1dari 84

KARAKTERISTIK GAYA KOMUNIKASI POLITIK

PRESIDEN JOKO WIDODO

TUGAS METODE PENELITIAN

Oleh
DYAN AIRLANGGA
NIM: DIP. 11XXX

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
JAKARTA
TAHUN 2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai negara berdaulat telah melalui perjalanan dalam

kepemimpinan nasional sejak kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus

1945. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki tujuh orang presiden, di mulai

sejak era Ir. Soekarno, hingga presiden yang sedang menjabat selama dua periode

sekarang ini yaitu Ir. H. Joko Widodo. Masing-masing pemimpin yang telah

menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia (RI) tentu memiliki gaya

komunikasi tersendiri yang pastinya berbeda satu sama lain.

Sebagai mahluk sosial, manusia selalu berkomunikasi dengan orang lain.

Setiap manusia dituntut terampil berkomunikasi, terampil menyatakan pikiran,

gagasan, ide, dan perasaan. Terampil menangkap informasi-informasi yang

didapat dan terampil pula menyampaikan informasi-informasi yang diterima. Pada

dasarnya gaya berkomunikasi seorang calon kepala negara atau calon presiden

saat melakukan kampanye itu secara langsung maupun tidak langsung akan

membawa dampak bagi jabatan atau diri pribadinya.

Setiap calon kepala negara atau calon presiden tentunya harus memiliki

seni dalam berbicara saat melakukan kampanye. Hal tersebut bertujuan untuk

memperbaiki kualitas kemahiran berpidato di hadapan publik. Seni berbicara

diistilahkan dengan retorika. Retorika bisa dikatakan seperti sebuah alat yang

1
2

digunakan orator ataupun komunikator saat melakukan komunikasi dihadapan

khalayak banyak.

Setiap orang mempunyai karakteristik yang berbeda-beda untuk

menyampaikan pesan kepada orang lain. Hal tersebut mempengaruhi seseorang

dalam cara berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau

tindakan. Gaya komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang

berkomunikasi baik secara verbal (bicara) maupun nonverbal (ekspresi wajah,

gerakan tubuh dan tangan serta gerakan anggota tubuh lainnya). Gaya yang

dimaksud dapat bertipe verbal atau nonverbal berupa vokalik, bahasa badan,

penggunaan waktu, penggunaan ruang dan jarak.

Retorika menurut Aristoteles adalah kemampuan retorika untuk

mengemukakan sesuatu, dan dalam penyampaiannya tersebut, retorika dapat

memberikan efek persuasif kepada para pendengarnya. Secara etimologis retorika

berasal dari bahasa yunani yaitu (rhetorikos). Yang artinya kecakapan berpidato.

Kata tersebut terkait dengan kata (rhema), yang berarti perkataan. Sehingga secara

etimologis, retorika bisa dikatakan sebagai kecakapan berpidato pembicara publik

yang terbiasa berkata-kata.1

Aristoteles dalam bukunya ”Rhetoric” mengemukakan pengertian retorika,

yaitu kemampuan untuk memilih dan menggunakan bahasa dalam situasi tertentu

secara efektif untuk mempengaruhi orang lain. Retorika berarti kesenian untuk

berbicara baik, yang dicapai berdasarkan bakat alam (talenta) dan keterampilan

teknis. Dewasa ini retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang

dipergunakan dalam proses komunikasi antar manusia. Kesenian berbicara ini


1
Zainul Maarif, Retorika Metode Komunikasi publik (Jakarta: Rajawali Pers, 2017), 1.
3

tidak hanya berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang jelas dan tanpa isi,

melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas,

padat, dan mengesankan.2

Dahulu retorika tidak hanya dipandang sebagai ilmu, melainkan hanya

sebagai kecakapan berpidato. Kaum sofis bahkan memandang retorika sebagai

alat untuk memenangkan suatu kasus dengan memilih kata, istilah, ungkapan,

kalimat yang dapat menarik perhatian pendengar, sehingga muncul konotasi agak

negatif bahwa retorika hanyalah alat untuk bersilat lidah atau berdebat kusir, dan

tidak menampilkan hal-hal yang berguna atau berisi dalam tindak tutur. Kemudian

dalam perkembangan selanjutnya, utamanya saat ini retorika sudah dikategorikan

sebagai ilmu, tidak lagi hanya berlandasan pada metode-metode kohersif atau

asumsi.

Jadi, retorika itu merupakan suatu ilmu tentang berbicara yang sangat

dibutuhkan oleh setiap manusia, karena dengan retorika seseorang bisa

berinteraksi dengan baik, seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa retorika itu

merupakan kemampuan seseorang dalam berbicara di depan umum secara singkat,

jelas, padat, dan mengesankan, dan yang paling penting di sini adalah, ketika

seseorang beretorika maka audiens atau lawan bicaranya bisa tertarik untuk

mendengarkan serta menyimak pesan dari penutur dan dapat menerima atau bisa

memahami dengan mudah apa yang telah disampaikan oleh penutur atau

pembicara publik.

2
Dori Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi,
Bernegosiasi, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI, 2007), 14
4

Kemudian mengenai tentang berbicara, menurut kamus besar bahasa

Indonesia berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa, atau melahirkan

pendapat, (dengan perkataan, tulisan, dan sebagainya) berbicara adalah bentuk

komunikasi verbal yang dilakukan oleh manusia dalam rangka pengungkapan

gagasan ide yang telah disusunya dalam pikiran. 3 Berbicara secara umum dapat

diartikan suatu penyampaian maksud (ide, pikiran, isi hati) seseorang kepada

orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dapat

dipahami oleh orang lain. Bisa juga dikatakan berbicara adalah mengungkapkan

kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu

tujuan tertentu, seperti memberikan informasi atau memberi motivasi.

Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Bahasa dan

pembicaraan itu muncul, ketika manusia mengungkapkan dan menyampaikan

pikirannya kepada manusia lain. Dalam berbicara, bahasa memegang peranan

yang sangat vital. Karena tanpa bahasa manusia akan sulit menjalani ritme

kehidupan ini. Bahasa itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua pengertian, yaitu

dalam arti luas dan dalam arti sempit. Bahasa dalam arti luas adalah, bahasa

digunakan sebagai alat komunikasi yang tidak terbatas pada kata-kata saja, akan

tetapi juga gerak-gerik, mimik, dan pantomimik. Sedangkan bahasa dalam arti

sempit dipahami sebagai hubungan antara suasana dan kata-kata. Bahasa dalam

arti sempit mempunyai peranan penting terhadap hubungan manusia dengan

manusia pada abad modern dewasa ini. Dalam berbicara, orang menggunakan

bahasa lisan sebagai alat komunikasinya. Dalam kehidupan kita sebagai manusia.
3
Ali Fikry “Representasi Konsep Retorika Persuasif Aristoteles Dalam Pidato Ismail Haniyah
Untuk Umat Islam Indonesia” (Jurnal AL-AZHAR INDONESIA SERI HUMANIORA,Vol, 5,
No, 3, Maret 2020) 138.
5

Kemampuan berbicara sangat erat kaitannya dengan keberadaan bahasa

lisan. Karena itu, perlu dikemukakan beberapa ciri bahasa lisan. Di antaranya

yaitu: (1) pemakaian bahasa lisan memberikan sumbangan sarana paling hakiki

untuk terjadinya dan berhasilnya komunikasi, (2) dalam komunikasi lisan, kita

banyak bergantung pada kemungkinan yang diadakan hubungan fisik (melihat dan

mendengar si pembicara si pembicara sering sangat penting untuk menjelaskan

apa yang dimaksudkan), (3) dalam situasi percakapan, salah paham dapat

dihindari karena adanya uraian informasi kontekstual, dan (4) akan tetapi, dalam

bahasa lisan tanggapan harus diberikan pada waktu itu juga dan tidak dan tidak

dapat ditunda kecuali dikatakan sebelumnya.

Berbicara berarti berkomunikasi lisan, walaupun bisa saja seseorang

berbicara bertolak dari apa yang ada secara tertulis, sebagaimana seseorang

melakukan kegiatan membaca dengan suara nyaring. Istilah berbicara memang

secara khusus mengarah pada komunikasi langsung dengan memanfaatkan saluran

lisan. Setiap pembicara sebaiknya memahami karakteristik atau ciri bahasa lisan

yang menjadi inti ketika seseorang berbicara. Bahasa lisan adalah bahasa yang

secara langsung keluar dari seseorang, ada lawan bicaranya. Lawan bicara bisa

langsung berhadapan secara fisik, bisa pula secara tidak langsung, melalui radio

atau televisi.4

Berbicara mempunyai banyak fungsi yang berbeda-beda bergantung pada

tingkat perkembangan manusia itu sendiri. Dalam berbicara, bahasa memegang

peranan yang sangat vital. Karena tanpa bahasa manusia akan sulit menjalani

4
Dr. H. Zulkifli Musaba, M.Pd. Terampil Berbicara Teori Dan Pedoman Penerapannya
(Banjarmasin, ; 2012)
6

ritme kehidupan ini. Bahasa itu sendiri dapat dibedakan menjadi dua pengertian,

yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Bahasa dalam arti luas adalah, bahasa

digunakan sebagai alat komunikasi yang tidak terbatas pada kata-kata saja, akan

tetapi juga gerak-gerik, mimik, dan pantomimik. Sedangkan bahasa dalam arti

sempit dipahami sebagai hubungan antara suasana dan kata-kata. Bahasa dalam

arti sempit mempunyai peranan penting terhadap hubungan manusia dengan

manusia pada abad modern dewasa ini. Dalam berbicara, orang menggunakan

bahasa lisan sebagai alat komuikasinya. Dalam kehidupan kita sebagai manusia,

berbicara mempunyai banyak fungsi yang berbeda-beda bergantung pada tingkat

perkembangan manusia itu sendiri.5

Dapat disimpulkan bahwa berbicara itu bukan hanya sekedar

mengucapkan kata-kata, atau mengeluarkan bunyi, namun berbicara itu adalah

merupakakn suatu alat untuk menyampaikan pendapat atau gagasan kita yang

telah tersusun kemudian dikembangkan sesuai kebutuhan pendengar atau audien.

Audien disini bukan hanya mendengar suara penutur, namun audien juga

menyimal gerak-gerik dan raut muka penutur, sehingga audien-audien tersebut

bisa dapat memahami apa yang telah disampaikan oleh penutur. Pemahaman

audien disini sangat diperlukan, karena dengan demikian akan menimbulkan

hubungan timbal balik antara penutur dan audien.

Perlu persiapan dan penyajian yang dilakukan pembicara untuk dapat

menyampaikan pembicarannya dengan baik, disini terdapat empat cara yang

digunakan dalam komunikasi publik, masing-masing dari cara tersebut memiliki

5
Maria Assumpta Rumanti, Dasar-dasar Publik Relations Teori dan Praktik,159
7

tujuan serta memiliki kelebihan dan kelemahan seperti yang akan diuraikan

berikut ini:

Pertama, penyampaiannya mendadak. Artinya, seseorang hanya

mempunyai waktu yang sangat singkat untuk menyiapkan apa yang ingin

disampaikan, dan berdiri di hadapan forum untuk mengatakan apa yang ada dalam

pikirannya. Kelebihannya, spontanitas maksimal, kelemahannya tidak ada

perencanaan terlebih dahulu. Jenis komunikasi publik biasanya memerlukan gaya

penyampaian yang lebih formal. Sama halnya seperti Pidato mendadak biasanya

diberikan kepada pembicara hanya beberapa saat sebelum pidato dimulai.

Waktunya hanya beberapa menit saja, tetapi semua unsur pidato harus tercakup

didalamnya dan dapat dianalisis.

Kedua, cara yang paling formal adalah membaca manuskrip (Naskah

tertulis). Jenis ini memerlukan kesiapan yang lengkap dengan menggunakan

teknik berbicara atau berpidato, dan hal ini sangatlah berharga. Untuk teknik

menyampaikan pidato dengan menggunakan manuskrip diperlukan kemampuan

yang baik dalam memahami point-ponit penting dalam naskah sehingga seorang

pembicara tidak hanya terfokus pada naskah tapi juga terhadap audien, sehingga

audien tidak merasa diabaikan dan pidato yang disampaikan mampu masuk

kedalam hati para pendengarnya. Teknik tersebut memungkinkan pembicara

menyampaikan pesan secara amat persis, sehingga dapat menimalisir penyalah

tafsiran pesan. Adapun kelemahannya perlu waktu yang sangat lama, yang

sebenarnya kurang diperlukan, terlalu mengandalkan pada manuskrip sehingga


8

cenderung hanya dibaca saja, tidak menatap publik, kalaupun menatap publik itu

hanya sekilas saja.6

Ketiga, teknik menyampaikan pidato dengan metode menghafal. Sebuah

pidato direncanakan sebelumnya, ditulis dengan manuskrip, kemudian dihafalkan.

Pembicara dapat secara bebas memandang publik atau forum. Kelemahannya,

pada tehnik ini seorang pembicara terkadang cenderung monoton terhadap teks

yang dihafal sehingga perhatian terhadap audien berkurang.

Keempat teknik menyampaikan pidato dengan persiapan tidak lengkap.

Jenis penyampaian ini menggabungkan keuntungan pidato yang berpedoman dan

direncanakan dengan baik, dengan spontanitas. Berpidato dengan gaya ini, hanya

dengan bantuan sedikit catatan. Kemudian penyampaian pidato yang baik akan

membuat publik mampu berkonsentrasi pada kualitas pesan, memberi pengaruh

kuat pada pesan secara optimal. Pada teknik ini kita harus mengetahui strata sosial

siapa pendengarnya, umum, kelompok tertentu, atau lainnya. Hal ini sangatt perlu

untuk menentukan strategi, yang memungkinkan menarik perhatian mayoritas

hadirin atau forum.7

Keterampilan dan kesanggupan untuk menguasai seni berbicara dapat

dicapai dengan mencontoh tokoh-tokoh yang terkenal dengan mempelajari dan

mempergunakan hukum-hukum retorika dan dengan melakukan latihan yang

teratur. Hal tersebut dapat dilakukan dengan memperhatikan tahapan berikut,

yakni; Invetio (penemuan), Dispositio (Penyusunan), Elucotio (Gaya), dan

6
Maria Assumpta Rumanti, Dasar-dasar Publik Relations Teori dan Praktik,162.
7
Ibid
9

Pronuntiatio (Penyampaian).8 Karena dengan menguasai semua ini seseorang bisa

menjadi pembicara publik yang proffesional dan disukai oleh audien, karena cara

penyampainnya bisa membuat audien tertarik dan paham terhadap apa yang

disampaikan.

Gaya komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang

baik. Gaya yang dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau

nonverbal berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan

ruang dan jarak. Pengalaman pembuktian bahwa gaya komunikasi sangat penting

dan bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan

hubungan yang harmonis. Komunikasi merupakan proses transaksional dalam

konteks public speaking, Aristoteles menyatakan bahwa hubungan antara

pembicara khalayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh

menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayak

mereka. Gaya komunikasi (Communication Style) dapat dipahami sebagai

serangkaian dari bagaimana seseorang berperilaku dengan orang lain yang

terspesialisasi digunakan dalam suatu situasi tertentu. Calon Presiden Joko

Widodo yang kini akrab dipanggil Jokowi, merupakan politis Indonesia yang

berperan sebagai presiden ke-7 Indonesia yang mulai menjabat sejak Oktober

2014. Ia terpilih bersama wakil presiden yakni Muhammad Jusup Kalla dalam

pemilu presiden 2014 dan terpilih kembali bersama wakil presiden Ma’ruf Amin

dalam pemilu presiden 2019. Sebelumnya Jokowi melayangkan sayapnya di dunia

birokrasi ketika ia berhasil memenangkan pemilu pada pemilihan kepala daerah


8
Isbandi Sutrisno dan Ida Wiendijarti, “Kajian Retorika Untuk Pengembangan
Pengetahuan dan Keterampilan Berpidato”, (Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 12, No. 1,
januari-April, 2014), 77.
10

surakarta tahun 2005. Pada saat itu Jokowi diusung oleh PDI perjuangan untuk

dicalonkan menjadi walikota solo. Jowi dipasangkan dengan FX Hadi Rudyatmo

sebagai calon wakil wali kota. Setelah mengambil keputusan dengan tekad yang

bulat, berbulan-bulan Jokowi mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk

berkampanye. Tanggal 27 Juni 2005, pemilihan kepala daerah Surakarta

dilangsungkan. Hasilnya, pasangan Jokowi dan Rudy mendapatkan suara tertinggi

diantara empat pasangan calon yang mengikuti pemilu wali kota Solo. Joko

Widodo menjabat wali kota Solo selama dua periode, periode pertama Jokowi

menjabat wali kota Solo pada tahun 2005-2010, dan periode ke dua, tahun 2010-

2015. Pada periode kedua pasangan Jokowi dan Rudy berhasil memenangkan

perolehan suara mencapai 90,09 persen, dari perolehan ini Jokowi sah terpilih

menjadi wali kota Solo untuk kedua kalinya. Namun di periode keduanya, Jokowi

hanya mengemban tugas kepemimpinannya sebagai wali kota Solo selama dua

tahun. Hal ini terjadi karena Jokowi diberikan mandat dan tugas oleh partainya

yaitu PDIP untuk mencalonkan dirinya sebagai calon gubernur Jakarta pada

pilkada DKI Jakarta tahun 2012.

Saat maju pemilukada DKI Jakarta tahun 2012, Joko Widodo di dampingi

oleh Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) sebagai wakil gubernur. Ada perdebatan

panjang di kalangan internal PDIP, dimana sebagian anggota PDIP mendukung

Jokowi dan Ahok sebagai cawagub DKI Jakarta, sedangkan sebagiannya lagi

mendukung Adang Ruchiatna dan Fauzi Bowo atau Foke untuk melaju ke

pemilukada DKI Jakarta 2012. Akhirnya dari proses perdebatan yang panjang,

PDIP memantapkan kader terbaiknya untuk melaju ke pemilukada Jakarta.


11

PDIP memutuskan secara resmi bahwa Jokowi dan Ahok cagub dan

cawagub Jakarta yang diusung PDIP dan Gerindra. Tak ada suara protes dari

kalangan PDIP yang semula mendukung Foke dan Adang. Jokowi dan Ahok

diiringi Prabowo saat itu, akhirnya menyerahkan formulir pendaftaran pemilukada

Jakarta pada hari terakhir yaitu 26 Maret 2012 di Komisi Pemilihan Umum (KPU)

DKI Jakarta. Keletihan yang luar biasa dan emosi yang teraduk oleh beragam rasa

selama masa kampanye, terbayar lunas ketika Jokowi akhirnya berhasil

memenangkan pilkada DKI Jakarta yang diikuti oleh lima pasangan kadindat

calon gubernur dan calon wakil gubernur.

Saat itu putaran pertama pilkada DKI Jakarta dilangsungkan pada 11 Juli

2012. Pada putaran pertama ini, Jokowi dan Ahok meraih 1.847.157 (42,60%)

suara. Mereka lolos dengan pasangan kandidat Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli

dengan jumlah suara 1.475.648 (34,05%), untuk memastikan kemenangan yang

tunggal, kedua kandidat tersebut kembali harus mengikuti sesi putaran pilkada

yang kedua. Putaran pilkada yang kedua dilaksanakan pada 20 September 2012.

Lagi-lagi Jokowi dan Ahok memenangi pilkada tersebut dari lawannya

yaitu Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, pada putaran kedua pilkada DKI Jakarta

2012, Jokowi dan Ahok memperoleh suara sebesar 2.472.130 (53,82%),

mengungguli Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli yang memperoleh 2.120.815

(46,18%) suara. Akhir dari drama yang begitu panjang, Komisi Pemilihan Umum

(KPU) DKI Jakarta menetapakan pasangan Jokowi dan Ahok sebagai gubernur

dan wakil gubernur Jakarta priode 2012-2017.


12

Setelah memenangkan pemilukada DKI Jakarta 2012, Jokowi dan Ahok

resmi menjadi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta lima tahun mendatang.

Namun lagi-lagi Jokowi hanya mengemban jabatannya sebagai gubernur selama

dua tahun. Pada tahun 2014 adalah puncak tahun politik Indonesia. Pada tahun ini,

pesta demokrasi paling besar digelar. Orang nomor satu di negeri ini akan

ditentukan dalam pemilu presiden periode 2014-2019 mendatang. Tidak ingin

menunggu lama, PDIP langsung secara resmi mengumumkan pencalonan Jokowi

sebagai capres.

Pencapresan Jokowi diumumkan secara resmi pada Jumat, 14 Maret 2014.

Setelah kepastian pencapresannya diumumkan, Jokowi menyatakan bahwa dirinya

siap melaksanakan mandat tersebut. Saat itu Jokowi dipasangkan dengan Jusuf

Kalla sebagai calon wakil presiden untuk melangkah ke pemilu presiden

Indonesia 2014. Pemilihan presiden tahun 2014 diikuti dua pasangan calon,

pasangan pertama yaitu Jokowi dan Jusuf Kalla dan pasangan kedua yaitu

Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Tibalah waktunya masyarakat Indonesia

memilih, pada pemilu presiden 2014 kemenangan diraih oleh Joko Widodo dan

Jusuf Kalla. Pastinya sudah banyak yang mengenal Bapak Jokowi, terutama

masyarakat Indonesia, ia dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1961 di Surakarta,

bapaknya bernama Noto Mihardjo dan ibunya bernama Sudjiatmi.

Pemimpin juga dapat dikatakan sebagai proses untuk mengarahkan dan

mempengaruhi aktivitas-aktivitas yang ada kaitannya dengan pekerjaan para

anggota, supaya dapat bekerja sama secara produktif dan mencapai tujuan yang

telah ditentukan. Kualitas paling penting dan efektif untuk dapat sukses
13

mempersuasi audiens dan dan berbicara dengan baik mengenai perkara publik

adalah memahami semua bentuk pemerintahan dan masing-masing kebiasaan,

institusi, dan kepentingannya.

Komunikasi dapat dilakukan melalui media yang berbeda-beda. Dengan

ini dapat dikatakan bahwa konteks yang telah ada di sekitar komunikasi yang

tidak ada relevasinya dengan apa yang disampaikan melalui kata-kata maupun

tulisan. Saat ini di berbagai media massa muncul berita tentang bagaimana

berbagai hubungan gaya komunikasi Presiden Jokowi menghadapi berbagai

macam hal yang terjadi banyak pihak yang mengemukakan pendapat bagaimana

seharusnya Jokowi bersikap dalam komunikasinya. Penelitian ini menemukan

bahwa orang memiliki perbedaan dalam gaya komunikasi dipengaruhi oleh

budaya yang berbeda.

Dalam rangka menjalankan program Nawacita yaitu 9 agenda prioritas

Joko Widodo–Jusup Kalla, Jokowi menggunakan pendekatan Trisakti, yaitu :

berkuasa secara otonom di bidang politik, bebas bertindak di lingkup ekonomi dan

berkarakter budaya (www.kpu.go.id). Joko Widodo mengambil langkah berani,

yaitu melakukan lompatan besar dalam komunikasi politik dengan berbagai

kekuatan-kekuatan partai politik di DPR dan lembaga-lembaga sosial politik

(civil society) lainnya. Jokowi akhirnya berhasil meredam gejolak sosial politik di

tanah air yang selalu muncul sebagai dinamika politik yang terus berlangsung

setiap zaman. Melalui gaya komunikasi politiknya yang unik dan khas, Joko

Widodo mampu melakukan diplomasi dan mudah diterima para elit politik untuk

membicarakan dan bekerja sama dalam menata negara. Jokowi selalu tampil
14

dengan gayanya yang unik dan khas, hadir sebagai tradisi baru sebagai

aktor politik nasional yang kental dengan suasana kerakyatan, apa adanya, tidak

dibuat-buat, kebiasaan tersebut terkesan kuat dilatarbelakangi kebiasaan masa

lalunya. Mengingat kehidupan Jokowi yang sederhana di masa lalu,

mencerminkan gaya komunikasi politiknya yang jelata penuh dengan simbol

kerakyatan.

Gaya komunikasi (communication style) dapat dipahami sebagai

serangkaian dari bagaimana seseorang berperilaku dengan orang lain yang

terspesialisasi digunakan dalamsuatu situasi tertentu. Gaya dapat

dipahami sebagai penggunaan kata-kata atau verbal maupun nonverbal yang dapat

berupa bahasa tubuh, vokalik, penggunaan ruang, penggunaan waktu dan jarak.

Jokowi tergolong pemimpin yang mengedepankan musyawarah dalam

menjalankan dan memberikan kebijakannya. Walaupun dalam beberapa kasus

Jokowi terlihat lemah dan plin plan dalam mengambil sikap. Sehingga itu yang

disayangkan oleh beberapa pengamat terhadap kepemimpinan jokowi. Selain itu

Jokowi termasuk pemimpin yang partisipatif yang tersirat dalam kinerja para

menteri-menteri pilihan Jokowi. Dalam beberapa kondisi dan situasi nasional,

misal dalam permasalah kapal nelayan yang illegal Jokowi memberikan mandat

tersebut kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti, begitu juga

dalam persoalan Ujian Nasional Jokowi memberikan peran tersebut kepada

Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menegah dalam menangani

masalah pendidikan. Namun disamping itu Jokowi mendapat kritikan yang cukup

tajam terkait Pemilihan Kapolri dengan rekomendasi Kandidat Calon yang


15

diusulkan Jokowi dirasa tidak layak menjadi Seorang Pejabat negara lantaran

Calon rekomendasi Jokowi merupakan tersangka Kasus Korupsi yang ditetapkan

KPK. Ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Jokowi tidak mampu memberikan

sikap yang strategis dalam menyikapi kondisi genting dimana apakah dia teguh

terhadap pilihannya meski menjadi tersangka atau bersikap memutuskan bahwa

rekomendasi Jokowi layak ditinjau kembali dengan kelegowoannya. Dalam kasus

Pertahanan dalam kebijakan kerjasama luar negeri Jokowi hari ini terlihat lebih

condong terhadap Negara Tiongkok. Hal tersebut tersirat dari kunjungan pertama

Jokowi setelah dilantik menjadi Presiden RI yakni menemui Pemimpin Tiongkok.

Banyak yang menyayangkan bahasa pidato Jokowi saat bertemu dengan banyak

negara dunia, dimana dalam pidatonya Jokowi terlihat mempromosikan Indonesia

dengan strategi marketing pemasaran.

Jokowi menjadi sosok yang berbeda dibanding dengan pemimpin-

pemimpin Indonesia lainnya. Sangat kontras dengan mereka yang punya mental

ingin dilayani dan dihormati. Jokowi berusaha memahami kemauan rakyat,

sementara pemimpin yang ada saat ini ingin rakyat lebih dimengerti kemauannya.

Untuk lebih memahami kemauan rakyat Jokowi melakukannya melalui sebuah

komunikasi yang dikenal dengan blusukan, berbicara langsung dengan masyarakat

(komunikasi interpersonal), dan melakukan diplomasi meja makan (komunikasi

persuasif). Jokowi juga membangun komunikasi melalui kerja nyata action speaks

louder than words.

Komunikasi politik Presiden Joko Widodo dalam menyikapi isu-isu publik

melalui media massa tidak optimal. Komunikasi yang dilakukan tidak terkelola
16

dengan baik dan langsung dikomentari oleh Presiden tanpa menggunakan pola

Juru Bicara (Jubir) seperti zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selanjutnya komunikasi yang dilakukan oleh Presiden seringkali berbeda bahkan

tumpang tindih dengan pihak lain seperti Wakil Presiden atau para pembantunya.

Salah satu contoh terjadi perbedaan pandangan antara Jokowi dengan Jusuf Kalla

atau pernyataan pendapat mengenai kenaikan BBM (Qodary dalam

news.metrotvnews.com).

Menurut pakar komunikasi politik Evie Ariadne (dalam

nasional.sindonews.com) pola komunikasi yang digunakan tanpa pola. Jokowi

masih menggunakan pola komunikasi politik populis dan komunikasi relasi.

Sedangkan menurut Ridho, tim komunikasi politik Jokowi harus mampu

memetakan media yang mempublikasikan berita-berita istana dikarenakan setiap

media mempunyai agenda tersendiri tergantung pemilik modal. Presiden harus

sering melakukan konferensi pers dan para menteri. Akan tetapi bila

menggunakan door stop. Informasi yang disampaikan akan sepotong-sepotong

sehingga informasi diperoleh tidak utuh dan menimbulkan penafsiran berbeda

oleh setiap media.

Semenjak tahun 2015 untuk mereduksi distorsi informasi publik, Presiden

Jokowi membentuk tim komunikasi politik yang berfungsi untuk menyampaikan

pikirannya ke publik dalam konteks komunikasi politik. Tim tersebut diisi oleh

Sukardi Rinakit dan Teten Masduki. Kedua orang ini bertugas menjelaskan segala

persoalan yang disampaikan kepada publik agar menjadi jelas dan rinci. Salah
17

satu contoh menarik untuk di cermati adalah peragaan model komunikasi

megaphone jajaran kementerian pada kabinet kerja Jokowi-JK dalam membangun

serta memperkuat identitas kementerian masing-masing. Lembaga kementerian

yang paling nampak atau menonjol diantara pelbagai kementerian yakni

kementerian Kelautan dan Perikanan, kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara, Tenaga kerja dan Transmigrasi, Kementerian BUMN serta kementerian

Perhubungan. Di sisi lain, model tersebut juga menunjukkan elemen pencitraan

yang kuat. model komunikasi yang terbangun memang memiliki “pemompa

impian” dan menjadikan media massa sebagai instrumen kekuatan komunikasi.

Akan tetapi bila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik, maka akan terjebak

dalam dimensi artifisial pencitraan semata dan tidak tertutup kemungkinan akan

terperangkap pada banalisme komunikasi. Banalisme menurut kamus Besar

Bahasa Indonesia merupakan paham tentang ketidak elokan, kasar. Sedangkan

banalisme komunikasi adalah pola komunkasi yang menggunakan kata- kata tidak

elok. Selanjutnya dari perspektif komunukasi lintas budaya. Komunikasi yang

digunakan Presiden Jokowi adalah low context communication (komunikasi

konteks rendah). Komunikasi konteks rendah adalah bentuk komunikasi langsung,

tanpa tedeng aling-aling. Setiap ucapan yang dikemukakan oleh Presiden Joko

Widodo tidak menggunakan kata-kata atau kalimat bersayap, tidak ada penafsiran

ganda terhadap setiap kalimat yang terlontar. Kalimat tersebut bermakna tunggal

dan tidak menimbulkan interpretasi subyektif pendengarnya. Bahasa yang


18

digunakan adalah bahasa sehari-hari sehingga dapat dengan mudah dipahami

khalayak umum masyarakat.

Joko Widodo juga senang menggunakan komunikasi konteks tinggi ketika

menyikapi kisruh KPK-POLRI sejak Komjen Budi Gunawan ditetapkan sebagai

tersangka dan Bambang Widjayanto ditangkap oleh Badan Reserse Kriminal

Markas Besar Polri (Bareskrim Mabes Polri). Beliau dalam konferensi pers

mengatakan kita dukung pemberantasan korupsi dan tidak ada usaha pelemahan

KPK (disadur dari pelbagai media massa). Sebaliknya contoh komunikasi tingkat

rendah, pernyataan Presiden Joko Widodo terkait dengan pemberantasan illegal

fishing. Statemen presiden dalam salah satu acara seminar dan konferensi pers di

Istana Negara adalah “kita selamatkan laut kita, tangkap nelayan-nelayan asing

dan ilegal, tenggelamkan kapalnya” (disadur dari pelbagai media massa).

Ungkapan tersebut jelas maknanya untuk mengurangi pencurian hasil laut dengan

tegas menenggelamkan kapal-kapal nelayan di atas 1000 tonase.

Terkait fenomena tersebut, penelitian ini adalah mengkaji fenomena gaya

komunikasi politik Jokowi. Berbagai gaya komunikasi politik Presiden RI di

media telah menjadi bahan kajian pakar komunikasi politik, antara lain:

1. Politik anjang sana yaitu kunjungan presiden di rumah, basecamp, atau

kantor para tokoh masyarakat, dan politik secara mendadak dimana

bukan berada dalam bagian program kerja, serta bersifat fleksibel tanpa

adanya protokol berarti.


19

2. Politik meja makan yaitu undangan makan bersama para tokoh

masyarakat serta politik dadakan di Istana Negara oleh Jokowi.

3. Politik jamuan minum teh di beranda istana, yaitu aktivitas penjamuan

tamu istana dengan santai pada sofa panjang tak bersekat mulai dari

mengobrol dan minum teh dengan para undangan agar muncul keakraban

pada kedua belah pihak.

4. Politik santri, yaitu pendekatan dengan tujuan permintaan petunjuk

sekaligus arahan yang diucapkan pemuka dan pemimpin Ormas Islam

Moderat seperti NU dan Muhammadiyah yang dilakukan oleh presiden

RI, Jokowi ini dilakukan secara intens dengan penuh kepatuhan. Dalam

pendekatan tersebut mampu menekan emosi massa politik yang pada saat

itu terbelah karena kasus Basuki Tjahaja Purnama yang menodai agama

Islam dan masih berjalan di Pengadilan Negeri di Jakarta.

Fenomena dalam penelitian ini menggunakan paradigma interpretif untuk

melakukan kajian dan analisis lebih mendalam terhadap gaya komunikasi politik

Jokowi. Agar kajian lebih luas dan mendalam dalam mengungkap fenomena gaya

komunikasi politik Jokowi, digunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan untuk

lebih memfokuskan studi kasus ini, peneliti memakai metode penelitian dan

tradisi ilmu komunikasi fenomenologi. Studi fenomenologi sebagai metode

penelitian digunakan untuk melibatkan pembedahan kesadaran pengalaman

manusia pada penelitian yang terperinci, teliti, dan seksama, terutama untuk

mengungkap fenomena dan makna gaya komunikasi politik Jokowi. Gaya


20

komunikasi politik Jokowi dapat dianalisis juga dengan teori persuasi politik.

Dalam konteks retorika politik, Jokowi harus memperhatikan kondisi khalayak

untuk menentukan tema yang akan dipaparkan sebagai bentuk pesan retorika

politik. Diplomasi meja makan ala Jokowi merupakan bagian dari persuasi politik

yang didalamnya juga mengandung propaganda dan iklan politik sebagai sarana

penyampaian pesan persuasi Jokowi pada khalayak.

Dalam melakukan komunikasi politik, Jokowi sudah memiliki modal

simbolik dan brand yang baik dan positif sebagai pemimpin politik yang unik dan

khas. Brand yang sudah terbangun harus dimanfaatkan Jokowi untuk terus

melakukan komunikasi dengan berbagai pihak, baik dalam kegiatan formal

maupun non formal. Pendekatan brand adalah tindak lanjut dari marketing politik

yang telah melalui dua tahapan komunikasi yaitu communion, dimana memiliki

dua pengaruh berbeda pada konsumen atas media yang telah digunakan, yaitu

efek langsung maupun tidak dalam Ummi Salamah (2001).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka permasalahan

penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah komunikasi politik dan persuasi Jokowi sebagai

komunikator Politik diimplementasikan dalam meredam kegaduhan sosial

politik?

2. Bagaimana karakteristik gaya komunikasi politik Jokowi?


21

3. Apa saja karakter komunikasi yang berhubungan dengan perilaku

komunikasi politik Presiden Joko Widodo?

4. Bagaimana temuan keunikan gaya komunikasi politik Jokowi sebagai

tradisi baru dalam perpolitikan di Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian

dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Untuk menganalisis dan mengetahui komunikasi politik dan persuasi

Jokowi sebagai komunikator Politik diimplementasikan dalam

meredam kegaduhan sosial politik?

2. Untuk menganalisis dan mengetahui karakteristik gaya komunikasi

politik Jokowi.

3. Untuk menganalisis dan mengetahui karakter komunikasi yang

berhubungan dengan perilaku komunikasi Presiden Joko Widodo.

4. Untuk mendeskripsikan keunikan gaya komunikasi politik Jokowi

sebagai tradisi baru dalam perpolitikan di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Penelitian pada kasus gaya komunikasi presiden ini menggunakan

metode fenomenologi dan paradigma interpretif. Manfaat teoritis


22

penelitian ini untuk memberikan warna tersendiri bagi studi ilmu

komunikasi yang makin berkembang dan bersifat multidisipliner.

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah mampu menjadi output

penelitian yang menjadi rujukan pemahaman style komunikasi politik

presiden ketujuh RI sekaligus berguna bagi praktisi komunikasi politik.

2. Manfaat praktis

Fenomena gaya komunikasi politik Jokowi mampu memberikan

keteduhan dan menurunnya ketegangan sosial politik yang terjadi akhir-

akhir ini. Pesan politik yang disampaikan melalui simbol kekuasaan

sebagai presiden dikombinasi dengan retorika dengan hati dan

menggunakan persuasi politik yang santun, memberikan nuansa sejuk

bagi perkembangan dan stabilitas perpolitikan di tanah air. Dari

perspektif positif gaya komunikasi politik yang dilakukan Jokowi cukup

memberikan keteladanan dan pelajaran berharga bagi setiap aktor politik.


BAB II

KERANGKA TEORI

Bagian ini akan dikemukakan kajian hasil penelitian yang relevan dengan

permasalahan penelitian. Teori, konsep dan paradigma terkait akan ditampilkan

guna menjawab pertanyaan penelitian. Teori-teori tersebut juga berfungsi sebagai

penjelasan atas konsep-konsep, paradigma dan perilaku tertentu yang relevan

dengan topik penelitian. Selain itu berperan sebagai panduan, konfirmasi dalam

menganalisis data dan penguatan terhadap hasil temuan lapangan yang diperoleh

dalam penelitian.

2.1 Penelitian Terdahulu

Penelitian yang ini merupakan bentuk dari pengembangan yang dilakukan

terhadap penelitian-penelitian yang telah lebih dahulu ada, penelitian ini memiliki

titik kesamaan yaitu pada segi tema yang diangkat tentang pembentukan suatu

kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti menjadikan

beberapa judul penelitian terdahulu sebagai bahan rujukan dan referensi dalam

proses penyusunan penelitian ini, hasil penelitian terdahulu yang relevan menjadi

acuan studi adalah hasil penelitian yang dilaksanakan oleh :

1. M. Y. Tiyas Tinov dan Baskoro Wicaksono (2019) Gaya Kominkasi

Politik Presiden Joko Widodo dalam Menyikapi Isu-Isu Kebijakan

Publik Melalui Media Massa.

Setiap Presiden mempunyai gaya komunikasi politik yang

berbeda antara satu dengan yang lainnya. Gaya komunikasi politik ada

23
24

yang menggunakan komunikasi politik high context dan komunikasi

politik low context. Presiden SBY adalah salah satu Presiden yang

menggunakan high context communication sedangkan Presiden Jokowi

menggunakan low context communication, dimana bahasa yang

digunakan mudah dimengerti, lugas dan tidak bersayap sehingga tidak

menimbulkan penafsiran yang berlainan. Gaya komunikasi Presiden

Jokowi dalam menyikapi isu-isu kebijakan publik di media massa tidak

berbeda ketika melakukan konferensi pers, yakni “main tembak

langsung”. Demikian pula para menterinya sehingga terjadi kegaduhan

politik karena tidak koheren antara Presiden dengan para pembantunya.

Studi ini memuat rumusan masalah sebagai berikut; Pertama, apa saja

isu-isu kebijakan publik yang disikapi oleh Presiden Joko Widodo dalam

media massa. Kedua, bagaimana gaya komunikasi politik Presiden Joko

Widodo dalam menyikapi isu-isu publik melalui media massa?

Studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian

deskriptif dengan strategi penelitian library research. Teknik

pengambilan data menggunakan 1 (satu) jalan, yakni dokumentasi dari

pelbagai media massa baik cetak maupun online.

Hasil studi memperlihatkan ada 2 (dua) tipologi sebaran isu-isu

kebijakan mengenai pemerintahan Presiden Jokowi, yaitu (a) isu-isu yang

menjadi tranding topic di media online dan sosial media, (b) isu-isu yang

popular di khalayak masyarakat umum sebanyak 12 (dua belas) isu

kebijakan. Selanjutnya komunikasi politik Jokowi tidak terkelola dengan


25

baik, seringkali terjadi perbedaan antara Presiden dengan pembantunya.

Oleh karena itu Jokowi membentuk tim komunikasi politik yang bertugas

memberikan informasi kepada publik. Gaya komunikasi politiknya

bersifat low context communication menyesuaikan kultur budaya

masyarakat karena dipengaruhi oleh tradisi dan budaya mataraman.

2. Riniwaty Makmur (2016) Gaya dan Karakter Komunikasi Politik

Presiden Joko Widodo

Komunikasi politik Presiden Joko Widodo, yang juga adalah

pemimpin negara, dalam satu tahun awal pemerintahannya beberapa kali

dipersepsi publik kurang memuaskan. Padahal sebelum menjabat sebagai

presiden, Joko Widodo dinilai memiliki komunikasi politik yang bagus.

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mendeskripsikan gaya dan

karakter komunikasi politik Presiden Joko Widodo dalam beberapa

aktivitasnya pada kurun waktu Oktober 2014 hingga Desember 2015.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan

kualitatif dan menggunakan metode analisis semiotika terhadap data

sekunder, serta didukung oleh wawancara pakar.

Melalui pendekatan budaya dan Teori Ciri-ciri/Karakter

komunikasi (communication traits) sebagai referensi, diketahui Presiden

Joko Widodo memiliki gaya komunikasi konteks rendah, dan tampaknya

memiliki karakter komunikasi berikut: meninggalkan kesan mendalam,

terbuka, dominan, perhatian, bersahabat, dan cukup hidup. Presiden Joko


26

Widodo juga memiliki ketegasan, namun tingkat keterlibatannya agak

rendah di dalam komunikasi kelompok kecil berbahasa Inggris.

3. Sarah Hafizha, Sandi Faiz, Mita Nurhalimah dan Mirza Syahreza (2019)

Karakteristik Gaya Komunikasi Presiden Joko Widodo dalam

Menyikapi Isu Kebijakan PERPU KPK

Beberapa bulan belakangan ini Indonesia sedang diguncang oleh

masalah yang sangat panas, dimana DPR mengesahkan UU tentang KPK.

Banyak kalangan mulai dari Mahasiswa, buruh, hingga masyarakat sipil

yang beranggapan bahwa pengesahan UU KPK tersebut akan

melemahkan KPK terhadap pemberantasan korupsi yang ada di

Indonesia. Para elemen masyarakat ini mendesak Presiden Joko Widodo

untuk mengeluarkan Perrpu KPK guna menyelamatkan lembaga yang

dianggap sangat menyelamatkan keuangan negara ini.

Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif

observasi data online. Data yang diperoleh melalui berita -berita tentang

komunikasi Presiden Jokowi yang berisi tentang kebijakan PERPPU

KPK dimana media yang digunakan media online. Pengambilan data

berasal dari portal berita online tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana sikap Presiden Joko Widodo dalam

menyikapi disahkannya UU KPK dan akankah Presiden Joko Widodo

akan mengeluarkan Perpu KPK seperti yang diharapkan oleh berbagai

elemen masyarakat.
27

Hasil dari penelitian ini adalah bahwa Presiden Joko Widodo

tidak akan mengeluarkan Perrpu KPK seperti apa yang diharapkan oleh

banyak orang. Dari hasil riset menunjukkkan bahwa jokowi

menggunakan gaya komunikasi The Withdrawal style.

4. Afriadi, Guntur Freddy Prisanto, Niken Febrina Ernungtyas, Irwansyah,

Anandita Lintangdesi Afriani (2019) Komunikasi Politik “Rasa” Ala

Jokowi dalam Merespon Politik Sentimen

Politik sentimen dieksploitasi secara massif oleh kelompok

Populisme Islam dalam menyerang Presiden Joko Widodo. Isu-isu yang

dipergunakan seperti Jokowi anti-Islam, antek-asing, pro-PKI,

diskriminalisasi ulama dan sebagainya diharapkan bisa menciptakan

kebencian kepada Presiden Jokowi.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat pandangan Jokowi terhadap

politik sentimen tersebut dan bagaimana dia meresponnya. Metode

penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif.

Hasil penelitian menemukan bahwa Presiden Jokowi secara

personal tidak terganggu secara psikologis oleh politik sentimen tersebut,

tetapi dia memandang sebagai isu yang perlu direspon karena politik

sentimen berimplikasi negatif terhadap keharmonisan hidup berbangsa

dan bernegara. Jokowi lebih fokus menggunakan pendekatan komunikasi

politik “RASA” dalam merespon politik sentimen yang menurutnya juga

adalah permainan rasa. Adapun politik komunikasi rasa yang dilakukan


28

bertumpu pada kekuatan personal yang meliputi friendly, santun, dan

merakyat.

5. Hanifah Islamiyah (2021) Distorsi Bahasa Komunikasi Politik Jokowi

Mengenai Pembangunan Papua

Pemimpin politik kerap menggunakan penuturan bahasa untuk

melindungi kekuasaannya. Distorsi bahasa dalam komunikasi politik

dirumuskan oleh Mochtar Pabottingi yakni distorsi bahasa sebagai

topeng, distorsi bahasa sebagai proyek lupa, distorsi bahasa sebagai

representasi dan distorsi bahasa sebagai ideologi. Bahayanya distorsi

bahasa dengan tujuan menguatkan kekuasaan Jokowi dapat menjadikan

negara yang totalitarianisme.

Penelitian ini hendak mengetahui distorsi dalam penggunaan

bahasa sebagai komunikasi politik yang dilakukan oleh Jokowi mengenai

pembangunan infrastruktur di Papua. Penelitian ini merupakan penelitian

deksriptif, yakni menganalisis bahasa yang memiliki fungsi yang

bermacam-macam ketika dikomunikasikan, utamanya dalam

menyampaikan ideologi program kepemimpinannya.

Hasilnya adalah Jokowi menggunakan distorsi bahasa sebagai

topeng untuk menarasikan Papua dikesampingkan, distorsi bahasa

sebagai representasi untuk menggambarkan kondisi Papua tidak seperti

yang sebenarnya, distorsi bahasa sebagai proyek lupa untuk melupakan

aspek antropologis suku Papua, dan distorsi bahasa sebagai ideologi agar

dapat dipahami dan menjadi maklum atas segala dampak yang


29

diakibatkan daripada hal itu serta sila ke-lima Pancasila landasan

pembangunan Jokowi.

6. Andi Budi Sulistijanto (2022) Implementasi Gaya Komunikasi Joko

Widodo dalam Berpolitik

Penelitian ini didasarkan pada gaya komunikasi Joko Widodo

yang sedikit berbeda dalam melakukan upaya pendekatan pada

komunikasi politik. Sebagai aktor politik Joko Widodo mampu berbaur

dengan berbagai lapisan masyarakat, mulai dari rakyat, pemuka agama,

hingga lembaga politik seperti DPR.

Fenomena dalam penelitian ini menggunakan paradigma

interpretif untuk melakukan kajian dan analisis lebih mendalam terhadap

gaya komunikasi politik Jokowi. Agar kajian lebih luas dan mendalam

dalam mengungkap fenomena gaya komunikasi politik Jokowi,

digunakan pendekatan kualitatif. Tujuan dari studi penelitian ini adalah

sebagai sarana untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1)

Mengetahui komunikasi politik serta persuasi Jokowi sebagai

komunikator politik diimplementasikan dalam meredam kegaduhan

politik. 2) Mengetahui karakteristik gaya komunikasi politik Jokowi 3)

Mengetahui implementasi dan pengaruh gaya komunikasi politik Jokowi

dalam harmonisasi relasi antar Presiden dengan DPR dan Ormas NU 4)

Mengetahui temuan keunikan gaya komunikasi politik Jokowi sebagai

tradisi baru dalam perpolitikan di Indonesia.


30

Adapun beberapa temuan penelitian dalam mengkaji Fenomena

Gaya Komunikasi Politik Jokowi, peneliti mengungkapkan bahwa gaya

komunikasi politik Jokowi bersifat merakyat, tidak bertele-tele, apa

adanya. Jokowi suka banyak bekerja daripada bicara berlebihan. Jokowi

menggunakan gaya komunikasi ala jelata dan melayani atau yang disebut

servant leadership karena latar belakang Jokowi berasal dari keluarga

sederhana. Dengan gaya komunikasi seperti ini, Jokowi telah

memberikan rasa optimis dan mendapatkan sambutan yang hangat oleh

sebagian besar rakyat Indonesia sehingga dapat menyatukan

keberagaman yang ada di NKRI.

2.2 Kajian Pustaka

2.2.1 Manajemen Pemerintahan

Fungsi manajemen pemerintahan yang berlangsung dalam pelaksanaan

fungsi-fungsi pemerintahan. Manajemen pemerintahan merupakan sebutan lain

manajemen publik. Berbicara tentang manajemen publik, berarti kita berbicara

tentang manajemen. Mengenai manajemen, Terry mengatakan:

Ada pihak yang berpendapat bahwa "Manajemen adalah tindakan


memikirkan dan mencapai hasil-hasil yang diinginkan melalui usaha
kelompok yang terdiri dari tindakan mendayagunakan bakat-bakat
manusia dan sumber-sumber daya." Ada pihak lain yang berpendapat
bahwa "Manejemen tidak lain daripada usaha melaksanakan hal-hal
tertentu melalui manusia." Secara singkat orang pernah menyatakan
tindakan manajemen sebagai tindakan merencanakan dan
mengimplementasikannya.

Dengan demikian manajemen dapat diartikan sebagai suatu proses

pengelolaan sumber daya dan perilaku organisasi untuk mencapai tujuan atau
31

hasil tertentu. Dalam konteks ini, Terry (2003:3) sendiri memberi definisi

manajemen berikut:

Manajemen merupakan sebuah proses yang khas, yang terdiri dari


tindakan-tindakan: perencanaan, pengorganisasian, menggerakkan dan
pengawasan, yang dilakukan untuk menentukan serta mencapai sasaran-
sasaran yang telah ditetapkan melalui pemanfaatan sumber daya manusia
serta sumber-sumber lain.

Dari definisi yang dikemukakan Terry terungkap 4 fungsi manajemen

yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), menggerakkan

(actuiting) dan pengawasan (controlling) yang dikenal dengan singkatan POAC.

Keempat fungsi manajemen tersebut dalam penyelenggaraan manajemen

pemerintahan mengalami perkembangan. Menurut Siagian (1994:4) manajemen

pemerintahan adalah:

Manajemen yang ditetapkan dalam lingkungan aparatur pemerintahan atau

aparatur negara, tidak saja diartikan sebagai aparatur dari badan eksakutif

akan tetapi aparatur dari badan yudikatif atau legislatif, serta baik yang

berada pada tingkat pusat maupun yang berada pada tingkat daerah.

Lembaga Administrasi Negara memberikan definisi bahwa Manajemen

Pemerintahan adalah manajemen yang diterapkan dalam lingkungan aparatur

negara atau aparatur pemerintahan. Aparatur pemerintahan atau aparatur negara

tidak saja diartikan aparatur dari badan Eksekutif, akan tetapi juga aparatur dari

badan Legislatif dan Yudikatif, baik yang berada di tingkat pusat maupun di

tingkat daerah. Dengan prinsip-prinsip umum manajemen pemerintahan

mencakup pembagian kerja, kewenangan dan tanggungjawab, mekanisme kerja,

penghargaan, etos kerja, penyesuaian, budaya kejuangan, dan antisipatif.


32

Manajemen pemerintahan sering juga disebut manajemen publik yang

terkait dengan pelaksanaan urusan pemerintahan. Perkembangan manajemen

publik ini, kemudian berkembang dengan sebutan New Public Management

(NPM).

Konsep NPM adalah paradigma baru dalam manajemen publik yang

digunakan untuk melukiskan reformasi sektor publik. Munculnya konsep ini

adalah adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang

dianggap tidak efisien dan efektif dalam pengelolaan sumber daya. Ketidakpuasan

ini dipicu oleh keadaan utang pemerintah yang terus meningkat, pajak tinggi, dan

turunnya pertumbuhan ekonomi.

NPM adalah suatu sistem manajemen desentral dengan perangkat-

perangkat manajemen baru seperti controlling, benchmarking dan lean

management. Hal ini dipahami sebagai privatisasi sejauh mungkin atas aktivitas

pemerintah. Secara umum dipandang sebagai suatu pendekatan dalam

administrasi publik yang menerapkan pengetahuan dan pengalaman yang

diperoleh dalam dunia manajemen dan disiplin yang lain untuk meningkatkan

efisiensi, efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern. NPM

berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan

berorientasi kebijakan. Penggunaan paradigma NPM tersebut menimbulkan

beberapa konsekuensi bagi pemerintah diantaranya adalah tuntutan untuk

melakukan efisiensi, pemangkasan biaya, dan kompetensi tender. NPM

memberikan perubahan manajemen sektor publik yang cukup drastis dari sistem

manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hierarkis menjadi


33

model manajemen sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar.

Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil dan sederhana. Perubahan

tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara

pemerintah dengan masyarakat.

Administrasi publik mulai memperkenalkan NPM yang merupakan

paradigma baru pada tahun 1990-an. NPM merupakan paradigma alternatif yang

menekankan perubahan perilaku pemerintah menjadi lebih efisien dan efektif.

Karakterisitik NPM meliputi (1) lebih berfokus pada manajemen, bukan

kebijakan, (2) adanya standar dan ukuran kinerja yang jelas, (3) lebih ditekankan

pada control hasil/keluaran, (4) pembagian tugas ke dalam unit-unit yang

dibawah, (5) ditumbuhkannya persaingan di tubuh sektor publik, (6) lebih

menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor publik, (7) lebih menekankan

pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam menggunakan berbagai

sumber.

Dalam kaitan dengan model ini, Denhardt & Denhardt (2007:26)

mengungkapkan:

... a chief question facing the organization's "controlling group" is how to

provide sufficient and appropriate inducements so that lower participants

would contribute to the work of the organization. In either case, what

makes the model work is a commitment to rational choice...

Yang menarik, menurut Denhardt & Denhardt, adalah bahwa sementara

manajemen publik yang baru telah disebut-sebut sebagai alternatif dari

administrasi publik yang lama, sebenarnya memiliki banyak kesamaan dengan


34

model umum administrasi publik, khususnya ketergantungan dan komitmen

terhadap model pilihan rasional. Pendekatan semacam itu memiliki pandangan

mencolok dengan pertanyaan utama yang dihadapi organisasi "kelompok

pengendali" adalah bagaimana memberikan rangsangan yang cukup dan tepat

sehingga peserta yang lebih rendah akan berkontribusi pada pekerjaan organisasi.

Dalam kedua kasus, apa yang membuat model bekerja adalah komitmen terhadap

pilihan yang rasional. Jadi, sementara jelas ada perbedaan antara administrasi

publik lama dan manajemen publik baru, landasan teoritis dasar dari dua versi

"mainstream" dari administrasi publik dan kebijakan publik ini pada kenyataannya

sangat mirip. Dalam perspektif ini, Denhardt & Denhardt menuturkan:

... focus on more contemporary precursors of the new public services,


including (1) theories of democratic citizenship, (2) models of community
and civil society, (3) organizational humanism and the new public
administration, and (4) postmodern public administration.

Menurut Denhardt & Denhardt, berbeda dengan model-model arus utama

administrasi publik atau manajemen publik yang berakar pada gagasan pilihan

rasional, kami menyarankan alternatif, layanan publik baru. Seperti manajemen

publik baru dan administrasi publik lama, layanan publik baru terdiri dari banyak

elemen yang beragam, dan banyak sarjana dan praktisi yang berbeda telah

berkontribusi, sering kali dalam perselisihan dengan satu sama lain. Namun ada

beberapa ide umum yang tampaknya mencirikan pendekatan ini sebagai model

normatif dan membedakannya dari yang lain. Tentu saja layanan publik baru

dapat mengklaim warisan intelektual yang mengesankan, termasuk pekerjaan

orang-orang yang kami sebutkan sebelumnya yang memberikan perbedaan

konstruktif dengan resep rasionalis model mainstream (misalnya, dimock, dahl,


35

dan waldo). Namun, di sini kita akan fokus pada prekursor yang lebih

kontemporer dari layanan publik baru, termasuk (1) teori kewarganegaraan

demokratis, (2) model komunitas dan masyarakat sipil, (3) humanisme

organisasional dan administrasi publik baru, dan (4) administrasi publik

postmodern. Kami kemudian akan menguraikan apa yang kami lihat sebagai

prinsip utama dari layanan publik baru.

Berdasarkan pengembangan adminstrasi publik baru itulah, kemudian

berkembang manajemen publik baru. Perkembangan manajemen publik baru ini

antara lain tercermin dari prinsip NPM sebagaimana yang dikemukakan oleh.

Hood (1995:93-109) sebagai berikut:

a. Lebih berfokus pada manajemen, bukan kebijakan.


b. Adanya standar yang jelas dan dilakukannya pengukuran terhadap
kinerja yang dicapainya.
c. Penekanan yang lebih besar pada pengendalian atas hasil (output),
bukan pada prosedur.
d. Pergeseran ke arah adanya tingkat persaingan yang lebih besar didalam
sektor pelayanan publik.
e. Penekanan pada pengembangan pola-pola manajemen sebagaimana
yang dipraktikan pada sektor swasta untuk mendukung perbaikan
kinerja pelayanan publik.
f. Adanya pergeseran ke arah pemecahan ke dalam berbagai unit
organisasi yang lebih kecil dalam sektor pelayanan publik.
g. Penekanan yang lebih besar pada disiplin dan parsimony dalam
penggunaan sumber daya.

Menurut Hood C. (1995:93:109) terdapat 7 karakteristik NPM, yaitu

sebagai berikut :

a. Hands-on professional management. Pelaksanaan tugas manajemen


pemerintahaan diserahkan kepada manajer professional.
b. Explicit standards and measures of performance. Adanya standar dan
ukuran kinerja yang jelas.
c. Greater emphasis on out put controls. Lebih ditekankan pada control
hasil/keluaran.
36

d. A shift to desegregations of units in the public sector. Pembagian


tugas ke dalam unit-unit yang dibawah.
e. A shift to greater competition in the public sector. Ditumbuhkannya
persaingan ditubuh sektor publik.
f. A stress on private sectore styles of management practice. Lebih
menekankan diterapkannya gaya manajemen sektor privat.
g. A stress on greater discipline and parsimony in resource use. Lebih
menekankan pada kedisiplinan yang tinggi dan tidak boros dalam
menggunakan berbagai sumber. Sektor publik seyogianya bekerja
lebih keras dengan sumber-sumber yang terbatas (to do more with
less).

Pada dasarnya penerapan sistem NPM yang di dasari pada desentralisasi

mempunyai tujuh karakteristik, yaitu: a). Manajemen profesional di sektor publik;

b). Adanya standar kinerja dan ukuran kinerja; c). penekanan yang lebih besar

terhadap pengendalian output dan outcome; d). Pemecahan unit-unit kerja di

sektor publik; e). Menciptakan persaingan di sektor publik; f). Pengadopsian gaya

manajemen di sektor bisnis ke dalam sektor publik; g). Penekanan pada disiplin

dan penghematan yang lebih besar dalam menggunakan sumber daya.

Seiring dengan perubahan waktu NPM ini telah mengalami berbagai

perubahan orientasi, sebagaimana dikemukakan oleh Ferlie & Mcnulty

(2004:400) adalah berikut:

a. Orientasi The Drive yaitu mengutamakan nilai efisiensi dalam


pengukuran kinerja.
b. Orientasi Downsizing and Decentralization yaitu mengutamakan
penyederhanaan struktur, memperkaya fungsi dan mendelegasikan
otoritas kepada unit-unit yang lebih kecil agar dapat berfungsi secara
cepat dan tepat.
c. Orientasi in Search of Excellence yaitu mengutamakan kinerja optimal
dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
d. Orientasi Public Service yaitu menekankan pada kualitas, misi dan
nilai-nilai yang hendak dicapai organisasi publik, memberikan
perhatian yang lebih besar kepada aspirasi, kebutuhan dan partisipasi
"user" dan warga masyarakat, termasuk wakil-wakil mereka
menekankan "social learning" dalam pemberian pelayanan publik dan
37

penekanan pada evaluasi kinerja secara berkesinambungan, partisipasi


masyarakat dan akuntabilitas.

Hal pokok yang tercantum dalam proses perubahan orientasi yang

dimaksud adalah pemberian pelayanan publik dan penekanan pada evaluasi

kinerja secara berkesinambungan, melibatkan partisipasi masyarakat dan

menonjolkan pentingnya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Dalam konteks ini telah berkembangan pemikiran tentang pelayanan

publik baru. Mengacu pada pelayanan publik baru ini, Denhardt & Denhardt

(2007:26) menjelaskan:

Theorists of citizenship, community and civil society, mizational humanism


and the new public administration, and postmodernism have helped to
establish a climate in which it makes sense today to talk about a new
public service... then discuss each one in more detail in the seven chapters
that follow... Among these ideas, we find the following the most
compelling:
1. Serve citizens, not customers
2. Seek the public interest.
3. Value citizenship over entrepreneurship
4. Think strategically, act democratically
5. Recognize that accountability isn't simple
6. Serve rather than steer
7. Value people, not just productivity.

Menurut Denhardt & Denhardt (2007:26), para ahli teori

kewarganegaraan, komunitas dan masyarakat sipil, organisasi kemanusiaan,

administrasi publik baru, dan postmodernisme telah membantu membangun iklim

yang masuk akal saat ini dalam membicarakan pelayanan publik baru. Meskipun

diakui bahwa perbedaan, bahkan perbedaan substansial, ada di berbagai sudut

pandang, disarankan ada juga kesamaan yang membedakan gugus ide yang

disebut pelayanan publik baru dari yang terkait dengan manajemen publik baru
38

dan administrasi publik lama. Selain itu, ada sejumlah pelajaran praktis yang

disarankan oleh pelayanan publik baru bagi mereka dalam administrasi publik.

Pelajaran ini tidak saling eksklusif, melainkan saling menguatkan.

Diuraikan ide-ide ini di sini, Di antara ide-ide ini, ditemukan hal-hal berikut yang

paling menarik: (1) Layani warga, bukan pelanggan: kepentingan publik adalah

hasil dari dialog tentang nilai-nilai bersama daripada agregasi kepentingan pribadi

individu. Oleh karena itu, pegawai negeri tidak hanya menanggapi tuntutan

"pelanggan," tetapi lebih fokus pada membangun hubungan kepercayaan dan

kolaborasi dengan dan di antara warga gara. (2) Cari kepentingan publik:

administrator publik harus berkontribusi untuk membangun gagasan bersama

yang kolektif tentang kepentingan publik. Tujuannya bukan mencari solusi cepat

yang didorong oleh pilihan individu. Sebaliknya, itu adalah penciptaan

kepentingan bersama dan tanggung jawab bersama. (3) Nilai kewarganegaraan

atas kewirausahaan: kepentingan publik lebih baik maju oleh pegawai negeri dan

warga berkomitmen untuk membuat kontribusi yang berarti bagi masyarakat

daripada oleh manajer kewirausahaan bertindak seolah-olah uang publik adalah

milik mereka sendiri. (4) Berpikirlah secara strategis, bertindak secara demokratis:

kebijakan dan program yang memenuhi kebutuhan publik dapat secara efektif dan

bertanggung jawab dicapai melalui upaya kolektif dan proses kolaboratif. (5)

Mengakui bahwa akuntabilitas tidak sederhana: pegawai negeri harus

memperhatikan lebih dari pasar; mereka juga harus menghadiri undang-undang

dan hukum konstitusional, nilai-nilai masyarakat, norma-norma politik, standar

profesional, dan kepentingan warga negara. (6) Melayani dan bukannya


39

mengarahkan: semakin penting bagi pegawai negeri untuk menggunakan

kepemimpinan berbasis nilai bersama dalam membantu warga mengartikulasikan

dan memenuhi kepentingan bersama mereka daripada mencoba mengendalikan

atau mengarahkan masyarakat ke arah yang baru. (7) Nilai orang, bukan hanya

produktivitas: organisasi publik dan jaringan di mana mereka berpartisipasi

kemungkinan besar akan berhasil dalam jangka panjang jika mereka dioperasikan

melalui proses kolaborasi dan kepemimpinan bersama berdasarkan rasa hormat

untuk semua orang.

Terkait dengan konsep dan fungsi manajemen publik baru, Denhardt &

Denhardt (2007:57) berpendapat:

... the new public management views the relationship between those in
government and those served or regulated by government that is
worthwhile to elaborate the theoretical notion of citizen as consumer. This
view is largely derived from the so-called economic theory of democracy,
a theory that explains political behavior in terms of economic
competition... (Dagger 1997, 105).

Menurut Denhardt & Denhardt, manajemen publik baru membahas

hubungan antara pemerintah dan warga negara, bukan hanya masalah praktis,

tetapi dari posisi teoretis yang berbeda. Kami memeriksa secara rinci konsep ideal

kewarganegaraan yang aktif, terlibat, dan bersemangat di depan umum. Kami juga

menunjukkan definisi hukum alternatif dari kewarganegaraan - pandangan yang

kami temukan tidak hanya didasarkan pada legalisme tetapi juga pada

kepentingan diri sendiri. Sudut pandang teoritis ini dengan begitu jelas mendasari

cara di mana manajemen publik baru memandang hubungan antara mereka dalam

pemerintahan dan yang dilayani atau diatur oleh pemerintah yang bermanfaat

untuk menguraikan gagasan teoritis warga negara sebagai konsumen. Pandangan


40

ini sebagian besar berasal dari apa yang disebut teori ekonomi demokrasi, sebuah

teori yang menjelaskan perilaku politik dalam hal persaingan ekonomi. Partai-

partai politik, misalnya, terlihat bersaing memperebutkan suara, sama seperti

perusahaan dipandang bersaing untuk mendapatkan keuntungan. Warga, pada

gilirannya, dilihat sebagai konsumen yang memilih partai-partai bersaing. Warga

negara/konsumen membuat keputusan berdasarkan upaya mereka untuk

memaksimalkan utilitas mereka sendiri, memberikan suara mereka untuk satu atau

pihak lain, atau hanya membalik bentuk politik dan mencari utilitas besar dengan

menghabiskan waktu dan energi mereka di tempat lain.

Bagaimana pandangan masyarakat sebagai pihak penerima layanan publik

dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam hal ini, Denhardt &

Denhardt menuturkan:

This view of citizens as consumers is certainly consistent with the


selfinterested interpretation of political life we examined earlier: the view
that government ultimately reflects the accumulated self-interests of
largely disconnected and utility-maximizing individuals... consistent with
an economic interpretation of political life. (Walzer 1995, 160).

Menurut Denhardt & Denhardt, pandangan masyarakat sebagai konsumen

ini tentu konsisten dengan interpretasi kepentingan diri sendiri tentang kehidupan

politik yang kita pelajari sebelumnya: pandangan bahwa pemerintah pada

akhirnya mencerminkan akumulasi kepentingan pribadi yang sebagian besar tidak

terputus dan memaksimalkan utilitas. Interpretasi ini juga konsisten dengan

definisi hukum kewarganegaraan, karena warga negara/ konsumen menikmati hak

dan kebebasan tertentu yang dilindungi oleh sistem yurisprudensi negara.

Akhirnya, pandangan ini konsisten dengan interpretasi ekonomi kehidupan


41

politik. "memahami kewarganegaraan dalam istilah ekonomi, sehingga warga

berubah menjadi konsumen otonom, mencari partai atau posisi yang paling

persuasif menjanjikan untuk memperkuat posisi pasar mereka. Mereka

membutuhkan negara, tetapi tidak memiliki hubungan moral dengannya, dan

mereka mengendalikan pejabatnya hanya ketika konsumen mengendalikan

produsen komoditas, dengan membeli atau tidak membeli apa yang mereka

hasilkan.

Fungsi manajemen pemerintahan yang dikemukakan oleh Supriyanto

(2009:4) dapat dikategorikan sebagai berikut:

1. Manajemen pemerintahan berarti membaut keputusan-keputusan, mulai

dari perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring atau evaluasi tentang

tata kelola pemerintahan, baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah.

2. Manajemen pemerintahan berarti membuat kebijakan-kebijakan tentang

hubungan yang mengikat antara pemerintahan, baik pemerintah pusat

maupun pemerintah daerah.

3. Manajemen pemerintahan berarti menetapkan kebijakan-kebijakan

kerjasama antara pemerintah dengan masyarakat dan penguasa untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

4. Manajemen pemerintah berarti menetapkan kebijakan untuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat.


42

5. Manajemen pemerintah berarti melaksanakan kekuasaan pemerintahan,

baik sebagai pimpinan negara, pemerintahan, maupun lembaga-lembaga

tinggi negara.

6. Manajemen pemerintahan berarti melaksanakan pertanggung jawaban

penggunaan anggaran secara berkala.

7. Manajemen pemerintahan berati melaksanakan LAKIP (Laporan

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) setiap akhir tahun anggaran.

8. Melaksanakan program dan kegiatan tahunan yang ditugaskan.

9. Menentukan standar pelayanan yang wajib dilaksanakan di bidang tata

kelola pemerinthan.

10. Menetapkan kinerja penentuan dan perubahan tata kelola pemerintahan.

11. Menyusun rencana nasional secara makro bidang tata kelola

pemerintahan.

12. Menetapkan persyaratan jabatan bagi calon yang menempati jabatan di

bidang pemerintahan.

13. Melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan otonomi

daerah yang meliputi kelembagaan, pemberian pedoman/bimbingan,

pelatihan, arahan, dan supervise bidang tata kelola pemerintahan.

14. Pengaturan penetapan perjanjian atau persetujuan internasional yang

disahkan atas nama negara bidang tata kelola pemerintahan.

15. Penetapan standar pemberian ijin untuk investor yang akan menanamkan

modalnya.

16. Pengaturan sistem kelembagaan perekonomian negara.


43

17. Penyelesaian perselisihan antar provinsi dibidang administrasi atau

perbatasan daerah.

18. Penetapan pedoman perencanaan, pengembangan, pengawasan

pengendalian bidang tata kelola pemerintahan.

19. Penyelenggaraan hubungan kerja dibidang tata kelola pemerintahan antar

instansi.

2.2.2 Komunikasi

Komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal adalah dua komunikasi

yang sering terjadi ketika dua orang atau lebih bertemu satu sama lain untuk

melakukan interaksi, komunikasi verbal dan non-verbal merupakan refleks lisan

dan bahasa tubuh yang terjadi secara tidak sadar.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan kata-kata, entah

lisan maupun tertulis. Komunikasi ini paling banyak dipakai dalam hubungan

antarmanusia. melalui kata-kata, mereka mengungkapkan perasaan, emosi,

pemikiran, gagasan atau maksud mereka, menyampaikan fakta, data, dan

informasi serta menjelaskannya, saling bertukar perasaan dan pemikiran, saling

berdebat dan bertengkar. Dalam komunikasi verbal itu bahasa memegang peranan

penting. (Hardjana, 2003:22) Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat

simbol, dengan aturan untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut yang

digunakan dan dipahami suatu komunitas. (Lantara dan Nusran, 2019:168)

Dalam komunikasi verbal bahasa yang digunakan adalah bahasa lisan dan

bahasa tulisan. Menurut Larry L. Barker (Kusumawati, 2016) bahasa mempunyai


44

tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi, dan transmisi informasi.

Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasikan objek,

tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam

komunikasi. Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi, yang dapat

mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingungan, dan ketiga

adalah fungsi transmisi informasi yakni melalui bahasa informasi dapat

disampaikan kepada orang lain, melalui bahasa, kita menerima informasi setiap

hari dari orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung (misalnya

melalui media massa).

Hal lain yang perlu dilihat yakni, Komunikasi verbal tentunya juga

memiliki keterbatasan diantaranya, yaitu:

1. Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek. Kata-kata

adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu: orang,

benda, peristiwa, sifat, perasaan dan sebagainya. Tidak semua kata

tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili realitas,

tetapi buka realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata pada dasarnya

bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak. Kata-kata sifat

dalam bahasa cenderung bersifat dikotomi, misalnya baik-buruk, kaya-

miskin, pintar-bodoh, dan sebagainya.

2. Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu

(bermakna lebih dari satu) karena kata-kata mempresentasikan persepsi

dan interpretasi orang-orang yang menganut latar belakang sosial budaya

yang berbeda-beda. Oleh karena itu terdapat berbagai kemungkinan


45

untuk memaknai kata-kata tersebut. Kata berat misalnya, yang

mempunyai makna yang nuansa nya beraneka ragam. Contohnya: tubuh

orang itu berat; kepala saya berat; ujian itu berat; dosen itu memberikan

sanksi yang berat kepada mahasiswanya yang nyontek.

3. Kata-kata mengandung bias budaya. Bahasa terikat oleh konteks budaya.

Jadi bahasa yang berbeda sebenarnya mempengaruhi pemakainya untuk

berpikir, melihat lingkungan dan alam semesta di sekitarnya dengan cara

yang berbeda, dan karenanya berperilaku secara berbeda pula. Akibat

dari pembiasan budaya ketika dua orang yang berasal dari budaya yang

berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka

menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk orang Minang

adalah saya atau kita, sedangkan dalam bahasa Melayu (di Palembang

dan Malaysia) berarti kamu.

4. Komunikasi sering dihubungkan dengan kata Latin communis yang

artinya sama. Komunikasi hanya terjadi bila kita memiliki makna yang

sama. Pada gilirannya, makna yang sama hanya terbentuk bila kita

memiliki pengalaman yang sama. Kesamaan makna karena kesamaan

pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif disebut

isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan berasal

dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan yang sama,

ideologi yang sama; pendeknya mempunyai sejumlah maksimal

pengalaman yang sama. Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total.


46

5. Percampurandukan fakta, penafsiran dan penilaian. Dalam berbahasa kita

sering mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan) dan

penilaian. Masalah ini berkaitan dengan kekeliruan persepsi.

Komunikasi nonverbal adalah komunikasi yang pesannya dikemas dalam

bentuk tanpa kata-kata. Dalam hidup nyata komunikasi nonverbal jauh lebih

banyak dipakai daripada komunikasi verbal. Dalam berkomunikasi hampir secara

otomatis komunikasi nonverbal ikut terpakai. Karena itu, komunikasi nonverbal

bersifat tetap dan selalu ada. Komunikasi nonverbal lebih bersifat jujur

mengungkapkan hal yang mau diungkapkan karena spontan. (Hardjana, 2003:26).

Komunikasi nonverbal (nonverbal communication) menempati porsi

penting. Banyak komunikasi verbal tidak efektif hanya karena komunikatornya

tidak menggunakan komunikasi nonverbal dengan baik dalam waktu bersamaan.

Melalui komunikasi nonverbal, orang bisa mengambil suatu kesimpulan mengenai

suatu kesimpulan tentang berbagai macam perasaan orang, baik rasa senang,

benci, cinta, kangen dan berbagai macam perasaan lainnya. (Kusumawati, 2016)

Rakhmat yang dikutip Deddy Mulyana (2016:343) mengelompokkan

pesan-pesan nonverbal sebagai berikut:

1. Pesan kinesik. Pesan nonverbal yang menggunakan gerakan tubuh yang

berarti, terdiri dari tiga komponen utama:

a. Pesan fasial menggunakan air muka untuk menyampaikan makna

tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa wajah dapat

menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok makna:

kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan, kesedihan,


47

kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan tekad. Leathers

(1976) menyimpulkan penelitian-penelitian tentang wajah sebagai

berikut:

1) Wajah mengkomunikasikan penilaian dengan ekspresi senang

dan tak senang, yang menunjukkan apakah komunikator

memandang objek penelitiannya baik atau buruk;

2) Wajah mengkomunikasikan berminat atau tak berminat pada

orang lain atau lingkungan;

3) Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam situasi

situasi;

4) Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu

terhadap pernyataan sendiri; dan wajah barangkali

mengkomunikasikan adanya atau kurang pengertian.

b. Pesan gestural menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti

mata dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna.

c. Pesan postural berkenaan dengan keseluruhan anggota badan, makna

yang dapat disampaikan adalah:

1) Immediacy yaitu ungkapan kesukaan dan ketidaksukaan

terhadap individu yang lain. Postur yang condong ke arah yang

di ajak bicara menunjukkan kesukaan dan penilaian positif.

2) Power mengungkapkan status yang tinggi pada diri

komunikator. Anda dapat membayangkan postur orang yang

tinggi hati di depan anda, dan postur orang yang merendah.


48

3) Responsiveness, individu dapat bereaksi secara emosional pada

lingkungan secara positif dan negatif. Bila postur anda tidak

berubah, anda mengungkapkan sikap yang tidak responsif.

2. Pesan proksemik disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang.

Umumnya dengan mengatur jarak kita mengungkapkan keakraban kita

dengan orang lain.

3. Pesan artifaktual diungkapkan melalui penampilan tubuh, pakaian, dan

kosmetik. Walaupun bentuk tubuh relatif menetap, orang sering

berperilaku dalam hubungan dengan orang lain sesuai dengan

persepsinya tentang tubuhnya (body image). Erat kaitannya dengan tubuh

ialah upaya kita membentuk citra tubuh dengan pakaian, dan kosmetik.

4. Pesan paralinguistik adalah pesan nonverbal yang berhubungan dengan

cara mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat

menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan secara berbeda.

5. Pesan sentuhan dan bau-bauan. Alat penerima sentuhan adalah kulit,

yang mampu menerima dan membedakan emosi yang disampaikan orang

melalui sentuhan. Sentuhan dengan emosi tertentu dapat

mengkomunikasikan: kasih sayang, takut, marah, bercanda, dan tanpa

perhatian.

6. Bau-bauan, terutama yang menyenangkan (wewangian) telah berabad-

abad digunakan orang, juga untuk menyampaikan pesan menandai

wilayah mereka, mengidentifikasikan keadaan emosional, pencitraan, dan

menarik lawan jenis.


49

Selain itu, bentuk-bentuk komunikasi nonverbal antara lain sebagai

berikut:

1. Bahasa tubuh, bahasa tubuh yang berupa raut wajah, gerak kepala, gerak

tangan, gerak-gerik tubuh mengungkapkan berbagai perasaan, isi hati, isi

pikiran, kehendak, dan sikap orang.

2. Tanda, dalam komunikasi nonverbal tanda mengganti kata-kata, misalnya

bendera, rambu-rambu lalu lintas darat, laut, udara dan aba-aba dalam

olah raga.

3. Tindakan/Perbuatan, tindakan atau perbuatan sebetulnya tidak khusus

dimaksudkan mengganti kata-kata, tetapi dapat menghantarkan makna.

Misalnya, menggebrak meja dalam pembicaraan, menutup pintu keras-

keras pada waktu meninggalkan rumah, menekan gas mobil kuat-kuat.

Semua itu mengandung makna tersendiri.

4. Objek, objek sebagai bentuk komunikasi nonverbal juga tidak mengganti

kata, tetapi dapat menyampaikan arti tertentu. Misalnya, pakaian,

aksesoris dandan, rumah, perabot rumah, harta benda, kendaraan, hadiah.

(Hardjana, 2003:27)

Fungsi Komunikasi Nonverbal Mark Knapp (1978) menyebut bahwa kode

nonverbal dalam berkomunikasi memiliki fungsi untuk:

1. Repeating (Repetisi), yaitu mengulang kembali pesan yang disampaikan

secara verbal. Contohnya mengangguk kepala ketika mengatakan ‘Iya’

dan menggelengkan kepala ketika mengatakan ‘Tidak’


50

2. Substituting (Substitusi), yaitu menggantikan lambang-lambang verbal.

Contohnya menggoyangkan tangan anda dengan telapak tangan

menghadap depan sebagai penganti kata ‘Tidak’ saat pedagang

menghampiri anda. Menyatakan rasa haru tidak dengan kata-kata,

melainkan dengan mata yang berlinang-linang.

3. Contradicting (Kontradiksi), yaitu menolak pesan verbal atau

memberikan makna lain terhadap pesan verbal. Contohnya seorang suami

mengatakan ‘Bagus’ ketika dimintai komentar istrinya mengenai baju

yang baru dibelinya sambil matanya terus terpaku pada koran yang

sedang dibacanya.

4. Complementing (Komplemen), yaitu melengkapi dan memperkaya pesan

maupun makna nonverbal. Contohnya melambaikan tangan saat

mengatakan selamat jalan.

5. Accenting (Aksentuasi), yaitu menegaskan pesan verbal atau mengaris

bawahinya. Contohnya Mahasiswa membereskan buku-bukunya atau

melihat jam tangan ketika jam kuliah berakhir atau akan berakhir,

sehingga dosen sadar diri dan akhirnya menutup kuliahnya.

2.2.3 Gaya Komunikasi

Sebagaimana penulis utarakan pada latar belakang sebelumnya, dimana

bahwa setiap orang mempunyai cara yang berbeda-beda untuk menyampaikan

pesan kepada orang lain, hal tersebut mempengaruhi seseorang dalam cara

berkomunikasi baik dalam bentuk perilaku maupun perbuatan atau tindakan. Gaya
51

komunikasi dapat dilihat dan diamati ketika seseorang berkomunikasi baik secara

verbal (lisan) maupun nonverbal (ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan tangan serta

gerakan anggota tubuh lainnya).

Gaya komunikasi sudah ada dalam kepribadian setiap manusia, dan sukar

untuk berubah. Hal inilah yang membuat setiap orang mempunyai gaya

komunikasi yang bersifat personal atau gaya khasnya tersendiri. Gaya khas

tersebut muncul ketika seseorang berkomunikasi dengan lawan bicaranya. Nah

untuk memahami gaya berkomunikasi maka setiap orang harus berusaha

mempertahankan gaya komunikasi personal sebagai ciri khas pribadinya.

(Liliweri, 2011:308)

Menurut Mulyasa (2002:165), Gaya Komunikasi (communication style) di

definisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang terspesialisasi yang

digunakan dalam suatu situasi tertentu (a spesialized set of interpersonal

behaviors that are used in a given situation). Masing-masing gaya komunikasi

terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan

respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu pula. Kesesuaian dari satu

gaya komunikasi yang digunakan, tergantung pada maksud dari pengirim (sender)

dan harapan dari penerima (receiver).

Menurut Norton, Kritley dan Weaver yang dikutip oleh Liliweri

(2011:309), gaya komunikasi adalah proses kognitif yang mengakumulasikan

bentuk suatu konten agar dapat dinilai secara makro. Setiap gaya selalu

merefleksikan bagaimana setiap orang menerima dirinya ketika dia berinteraksi

dengan orang lain.


52

Proses kognitif dalam komunikasi merupakan upaya peningkatan belajar

berwawasan, artinya belajar menggunakan logika saat menghadapi suatu masalah.

(Yusup, 2013:317) Contohnya, seperti permasalahan penyampaian pesan dari

komunikator kepada komunikan yang sering kurang efektif, untuk memecahkan

gangguan dalam komunikasi tersebut setidaknya komunikator dianjurkan untuk

menggunakan logika yang sama dengan logika yang dimiliki oleh komunikan nya.

Gaya komunikasi dapat dipandang sebagai meta-messages yang

mengkontekstualisasikan bagaimana pesan-pesan verbal diakui dan di interpretasi.

Definisi ini menjelaskan mengapa seseorang berkomunikasi, tidak lain

berkomunikasi sebagai upaya untuk merefleksikan identitas pribadinya yang dapat

mempengaruhi persepsi orang lain terhadap identitas ini. Gaya komunikasi juga

dapat dipandang sebagai campuran unsur-unsur komunikasi lisan dan ilustratif.

Pesan-pesan verbal individu yang digunakan untuk berkomunikasi diungkapkan

dalam kata-kata tertentu yang mencirikan gaya komunikasi. Ini termasuk nada,

volume atas semua pesan yang diucapkan. (Liliweri, 2011:309)

Berdasarkan definisi di atas, dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan gaya komunikasi (communication style) adalah seperangkat perilaku

antarpribadi yang terspesialisasi digunakan dalam situasi tertentu. Gaya

komunikasi merupakan cara penyampaian dan gaya bahasa yang baik. Gaya yang

dimaksud sendiri dapat bertipe verbal yang berupa kata-kata atau nonverbal

berupa vokalik, bahasa badan, penggunaan waktu, dan penggunaan ruang dan

jarak.
53

Gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang

dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi tertentu

pula. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada

maksud dari pengirim (sender) dan harapan dari penerima (receiver). (Sendjaja,

2004:7)

Ardiyansah (2019:29) mengatakan gaya komunikasi juga dipengaruhi

situasi bukan kepada tipe orang melainkan kepada situasi yang dihadapi. Setiap

orang akan menggunakan gaya komunikasi yang berbeda-beda ketika mereka

sedang gembira, sedih, marah, tertarik, atau bosan. Begitu juga dengan seseorang

yang berbicara dengan sahabat baiknya, orang yang baru dikenal dan dengan

anak-anak akan berbicara dengan gaya yang berbeda. Gaya yang digunakan

dipengaruhi oleh banyak faktor. Gaya komunikasi itu sesuatu yang dinamis dan

sangat sulit untuk ditebak. Sebagaimana budaya, gaya komunikasi adalah sesuatu

yang relatif.

Pengalaman membuktikan bahwa gaya komunikasi sangat penting dan

bermanfaat karena akan memperlancar proses komunikasi dan menciptakan

hubungan yang harmonis. Menurut Hall (Ramadanty, 2014) jika dilihat dari segi

konteks, ada dua gaya berkomunikasi yang melekat pada diri seseorang, yaitu

komunikasi konteks tinggi (high context) dan komunikasi konteks rendah (low

context). Masing-masing gaya komunikasi tersebut dipengaruhi oleh latar budaya

yang berbeda. Hall mendefinisikan yang dimaksud dengan komunikasi konteks

tinggi (high context) adalah dimana pesan yang terkandung kebanyakannya ada

dalam konteks fisik, sehingga makna pesan hanya dapat dipahami dalam konteks
54

pesan tersebut. Dalam budaya konteks tinggi, makna terinternalisasikan pada

orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal (implisit) lebih ditekankan.

Kebanyakan masyarakat homogen berbudaya konteks tinggi. Dalam masyarakat

demikian, mengetahui suatu kata atau huruf hanya memberi sedikit makna bila

kita tidak mengetahui konteks penggunaannya. Oleh karena kebutuhan untuk

secara penuh memahami makna kontekstual simbol.

Hall (Mulyana, 2004: 131) berpendapat bahwa komunikasi konteks tinggi

merupakan kekuatan kohesif (melekat) bersama yang memiliki sejarah yang

panjang, lamban berubah dan berfungsi untuk menyatukan kelompok. Sebaliknya,

komunikasi konteks rendah (low context) cepat dan mudah berubah, karenanya

tidak mengikat kelompok. Dengan kata lain sebagian besar makna dan informasi

disampaikan secara eksplisit (to the point).

Komunikasi konteks rendah dimana para anggota Low Context Cultures

(LCC) cenderung lebih heterogen dan individualis. Gaya komunikasi mereka

biasanya ‘langsung’. Karena mereka berada dalam budaya heterogen maka

umumnya mereka kurang mengetahui budaya orang lain (nilai, norma, dan

kepercayaan). (Liliweri, 2011:321) Komunikasi konteks rendah adalah

komunikasi yang bersifat langsung, apa adanya, lugas tanpa berbelit-belit. Dalam

konteks komunikasi ini para pelaku komunikasi tidak suka basa-basi, pada

umumnya komunikasi konteksrendah ditujukan pada pola komunikasi mode lisan

langsung, pembicaraan lurus, dan mengirim berorientasi nilai. Intinya dalam

komunikasi konteks rendah, pembicara diharapkan untuk lebih bertanggung jawab

untuk membangun sebuah kejelasan, pesan meyakinkan, sehingga pendengar


55

dapat membaca sandi dengan mudah. Para anggota Low Context Cultures (LCC)

biasanya selalu membuka jarak sosial dengan orang-orang yang berbeda budaya,

yaitu High Context Culture (HCC).

Sedangkan para anggota dalam budaya komunikasi konteks tinggi atau

High Context Culture (HCC) cenderung berada dalam posisi homogen dan

kolektif, mereka membawa bakat dan budaya tersebut dalam budaya komunikasi

seharihari. Para anggota masyarakat HCC memahami satu sama lain, mereka lebih

sedikit menggunakan kata-kata eksplisit dalam menerangkan pesan di antara

mereka, terutama kata lisan. Kebanyakan pesan yang disampaikan dengan simbol

nonverbal, mereka juga suka mengirimkan pesan melalui manipulasi konteks.

(Liliweri, 2011: 320-321)

Dua konteks gaya berkomunikasi tadi terdapat dua dimensi yaitu eksplisit

dan implisit, yang menggambarkan bagaimana pembicara mengungkapkan niat

mereka melalui pesan eksplisit atau pesan langsung. Yang dimaksud dengan gaya

komunikasi eksplisit adalah orang yang berbicara langsung menyatakan perasaan,

niat, dan keinginannya, atau to the point, sedangkan gaya komunikasi implisit

adalah orang yang berbicara secara lisan dengan kamuflase dan menyembunyikan

niat sejatinya. (Intyaswati, 2017)

Berdasarkan penjelasan di atas, menurut penulis gaya komunikasi konteks

tinggi memberi tekanan pada pemahaman pesan tanpa komunikasi verbal secara

langsung. Sedangkan gaya komunikasi konteks rendah memberi penekanan pada

pesan verbal yang eksplisit (to the point).


56

Setiap orang mempunyai gaya tersendiri nya saat menyampaikan suatu

gagasan, pesan, dan informasi kepada orang lain dalam berkomunikasi. Hal ini

bertujuan untuk bisa mempengaruhi komunikan agar bisa menimbulkan suatu

efek sebagaimana yang diharapkan oleh komunikator.

Norton dikutip Liliweri (2011:255) mengelompokkan tipe atau kategori

gaya komunikasi kedalam sepuluh jenis yaitu sebagai berikut:

1. Gaya dominan (dominant style), gaya seorang individu untuk mengontrol

situasi sosial.

2. Gaya dramatis (dramatic style), gaya seorang individu yang selalu

“hidup” ketika dia bercakap-cakap.

3. Gaya kontroversial (controversial), gaya seseorang yang selalu

berkomuniksi secara argumentatif atau cepat untuk menantang orang

lain.

4. Gaya animasi (animated style), gaya seseorang yang berkomunikasi

secara aktif dengan memakai bahasa nonverbal.

5. Gaya berkesan (impression style), gaya berkomunikasi yang merangsang

orang lain sehingga mudah diingat, gaya yang sangat mengesankan.

6. Gaya santai (relaxed style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan

tenang dan senang, penuh senyum dan tawa.

7. Gaya atentif (attentive style), gaya seseorang yang berkomunikasi dengan

memberikan perhatian penuh kepada orang lain, bersikap simpati dan

bahkan empati, mendengarkan orang lain dengan sungguh-sungguh.


57

8. Gaya terbuka (open style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara

terbuka yang ditunjukkan dalam tampilan jujur dan mungkin saja

blakblakan.

9. Gaya bersahabat (Friedly style), gaya komunikasi yang ditampilkan

seseorang secara ramah, merasa dekat, selalu memberikan respons

positif, dan mendukung.

10. Gaya yang tepat (precise style), gaya yang tepat di mana komunikator

menerima untuk membicarakan suatu konten yang tepat dan akurat dalam

komunikasi lisan.

McCallister (Liliweri, 2011:255) meyatakan pengelompokan lain terhadap

gaya komunikasi, yaitu meliputi tiga kategori, yaitu:

1. Noble style, merupakan gaya terhormat, gaya standar, gaya yang sesuai

dengan patokan yang seharusnya dilakukan.

2. Reflective style, yaitu gaya yang dipahami sebagai gaya yang secara tidak

langsung melakukan refleksi kepribadian.

3. Socratic style, yaitu gaya yang selalu menampilkan perincian konten dan

analisis yang digunakan dalam perdebatan.

Comstock dan Higgins, menelaah gaya komunikasi yang dikemukakan

oleh klasifikasi Norton (Liliweri, 2011:310) ke dalam empat kategori yang

meliputi:

1. Gaya koorperatif (cooperative style), gaya yang memadukan orientasi

sosial dan tugas.


58

2. Gaya prihatin (apperative style), gaya yang relatif bersahabat namun

selalu menampilkan perasaan cemas dan kepatuhan.

3. Gaya sosial (social style), yang digambarkan sebagai gaya ekspresif,

dominan (gaya menguasai orang lain), gaya dramatis, dan gaya tepat.

4. Gaya kompetitif (competitive style), yaitu gaya yang tepat atau gaya

standar, ekspresif, tidak terbuka terhadap isu-isu personal, dan lebih suka

tampil dominan dan berargumentasi.

Sementara Heffner (Liliweri, 2011:256) mengklasifikasikan ulang gaya

komuniksi dari McCallister ke dalam tiga gaya, yakni:

1. Gaya pasif (passive style), gaya seseorang yang cenderung manilai orang

lain selalu benar dan lebih dari pada diri sendiri.

2. Gaya tegas (assertive style), gaya seseorang yang berkomunikasi secara

tegas mempertahankan dan membela hak-hak sendiridemi

mempertahankan hak-hak untuk orang lain.

3. Gaya agresif (aggressive style), gaya seorang individu yang selalu

membela hak-haknya sendiri, merasa superior, dan suka melanggar hak

orang lain, dan selalu mengabaikan perasaan orang lain.

Sendjaja (2004:414-417), terdapat enam bentuk gaya komunikasi yang

sering digunakan di dalam kehidupan saat seseorang melakukan interaksi, keenam

gaya komunikasi tersebut antara lain, yaitu:

1. The Countroling Style

Gaya komunikasi yang bersifat mengendalikan ini ditandai

dengan adanya suatu kehendak atau maksud untuk membatasi, memaksa


59

dan mengatur perilaku, pikiran dan tanggapan orang lain. Orang-orang

yang menggunakan gaya komunikasi ini dikenal dengan komunikator

satu arah (one-way communicator). Para komunikator satu arah tersebut

tidak khawatir dengan pandangan negatif orang lain, tetapi justru

berusaha menggunakan kewenangan dan kekuasaannya untuk membuka

orang lain mematuhi pandangan-pandangannya.

Pesan-pesan yang berasal dari komunikator satu arah ini, tidak

berusaha menjual gagasan agar dibicarakan bersama, namun lebih pada

usaha menjelaskan kepada orang lain apa yang dilakukannya. The

coutrolling style of communication ini sering digunakan untuk

mempersuasi orang lain supaya bekerja dan bertindak efektif dan pada

umumnya dalam bentuk kritik. Namun demikian, gaya yang bersifat

mengendalikan ini tidak jarang bernada negatif sehingga menyebabkan

orang lain memberi respons atau tanggapan yang negatif pula.

2. The equalitarian Style

Aspek penting gaya komunikasi ini ialah adanya landasan

kesamaan. The equalitarian style of communications ini ditandai dengan

berlakunya arus penyebaran pesan-pesan verbal secara lisan maupun

yang bersifat dua arah (two-way traffic of communications). Dalam gaya

komunikasi ini, tindak komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya,

setiap anggota organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun

pendapat suasana yang rileks santai dan informal. Dalam suasana


60

demikian, memungkinkan setiap anggota organisasi mencapai

kesepakatan dan pengertian bersama.

Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi yang

bermakna kesamaan ini, adalah orang-orang yang memiliki sikap

kepedulian yang tinggi serta kemampuan membina hubungan baik

dengan orang lain, baik dalam konteks pribadi maupun dalam lingkungan

hubungan kerja. The equalitarian style ini akan lebih memudahkan

tindak komunikasi dalam organisasi, sebab gaya ini efektif dalam

memelihara empati dan kerja sama, khususnya dalam situasi untuk

mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang kompleks.

Gaya komunikasi ini pula yang menjamin berlangsungnya tindak berbagi

informasi diantara para anggota dalam suatu organisasi.

3. The Structuring Style

Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-

pesan verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah

yang harus dilaksanakan, penjadwalan tugas dan pekerjaan serta struktur

organisasi. Pengirim pesan lebih memberi perhatian kepada keinginan

untuk mempengaruhi orang lain dengan jalan berbagi informasi tentang

tujuan organisasi, jadwal kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam

organisasi tersebut.

4. The Dynamic Style

Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan

agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa lingkungan


61

pekerjaan berorientasi pada pekerjaan. Gaya komunikasi ini sering

dipakai oleh juru kampanye atau supervisor yang membawahi para

wiraniaga. Tujuan utama gaya komunikasi ini adalah menstimulasi atau

merangsang pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat atau

lebih baik.

Gaya komunikasi cukup efektif digunakan dalam mengatasi

persoalan-persoalan yang bersifat kritis, namun dengan persyaratan

bahwa karyawan mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengatasi

masalah yang kritis tersebut.

5. The Relinguishing Style

Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk

menerima saran, pendapat ataupun gagasan orang lain, dari pada

keinginan memberikan perintah, meskipun pengirim pesan mempunyai

hak memberi perintah dan mengontrol orang lain. Pesan-pesan dalam

gaya komunikasi ini akan efektif ketika pengirim pesan atau sender akan

bekerja sama dengan orang-orang yang berpengetahuan luas,

berpengalaman, teliti serta bersedia untuk bertanggung jawab atas semua

tugas atau pekerjaan yang dibebankannya.

6. The Withdrawal Style

Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan melemahnya tindak

komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang yang memakai

gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena ada beberapa

persoalan ataupun kesulitan antarpribadi yang dihadapi oleh orang-orang


62

tersebut. Dalam deskripsi konkrit adalah ketika seseorang mengatakan.

“Saya tidak ingin dilibatkan dalam persoalan ini”. Pernyataan ini

bermakna dia ingin melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga

mengindikasikan suatu keinginan untuk menghindari berkomunikasi

dengan orang lain.

Gambaran umum yang diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa

the equalitarian style merupakan gaya komunikasi yang ideal. Sementara

tiga gaya komunikasi lainnya: structuring, dynamic, dan relinguishing

bisa digunakan secara strategis untuk menghasilkan efek yang

bermanfaat bagi pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan)

pesan. Adapun gaya komunikasi yang terakhir, yakni controlling dan

withdrawal mempunyai kecenderungan menghalangi berlangsungnya

interaksi yang bermanfaat dan produktif.

2.3 Kerangka Pemikirian

Jokowi menjadi sosok yang berbeda dibanding dengan pemimpin-

pemimpin Indonesia lainnya. Sangat kontras dengan mereka yang punya mental

ingin dilayani dan dihormati. Jokowi berusaha memahami kemauan rakyat,

sementara pemimpin yang ada saat ini ingin rakyat lebih dimengerti kemauannya.

Untuk lebih memahami kemauan rakyat Jokowi melakukannya melalui sebuah

komunikasi yang dikenal dengan blusukan, berbicara langsung dengan masyarakat

(komunikasi interpersonal), dan melakukan diplomasi meja makan (komunikasi


63

persuasif). Jokowi juga membangun komunikasi melalui kerja nyata action speaks

louder than words.

Komunikasi politik Presiden Joko Widodo dalam menyikapi isu-isu publik

melalui media massa tidak optimal. Komunikasi yang dilakukan tidak terkelola

dengan baik dan langsung dikomentari oleh Presiden tanpa menggunakan pola

Juru Bicara (Jubir) seperti zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Selanjutnya komunikasi yang dilakukan oleh Presiden seringkali berbeda bahkan

tumpang tindih dengan pihak lain seperti Wakil Presiden atau para pembantunya.

Salah satu contoh terjadi perbedaan pandangan antara Jokowi dengan Jusuf Kalla

atau pernyataan pendapat mengenai kenaikan BBM (Qodary dalam

news.metrotvnews.com).

Menurut pakar komunikasi politik Evie Ariadne (dalam

nasional.sindonews.com) pola komunikasi yang digunakan tanpa pola. Jokowi

masih menggunakan pola komunikasi politik populis dan komunikasi relasi.

Sedangkan menurut Ridho, tim komunikasi politik Jokowi harus mampu

memetakan media yang mempublikasikan berita-berita istana dikarenakan setiap

media mempunyai agenda tersendiri tergantung pemilik modal. Presiden harus

sering melakukan konferensi pers dan para menteri. Akan tetapi bila

menggunakan door stop. Informasi yang disampaikan akan sepotong-sepotong

sehingga informasi diperoleh tidak utuh dan menimbulkan penafsiran berbeda

oleh setiap media.

Semenjak tahun 2015 untuk mereduksi distorsi informasi publik, Presiden

Jokowi membentuk tim komunikasi politik yang berfungsi untuk menyampaikan


64

pikirannya ke publik dalam konteks komunikasi politik. Tim tersebut diisi oleh

Sukardi Rinakit dan Teten Masduki. Kedua orang ini bertugas menjelaskan segala

persoalan yang disampaikan kepada publik agar menjadi jelas dan rinci. Salah

satu contoh menarik untuk di cermati adalah peragaan model komunikasi

megaphone jajaran kementerian pada kabinet kerja Jokowi-JK dalam membangun

serta memperkuat identitas kementerian masing-masing. Lembaga kementerian

yang paling nampak atau menonjol diantara pelbagai kementerian yakni

kementerian Kelautan dan Perikanan, kementerian Pendayagunaan Aparatur

Negara, Tenaga kerja dan Transmigrasi, Kementerian BUMN serta kementerian

Perhubungan. Di sisi lain, model tersebut juga menunjukkan elemen pencitraan

yang kuat. model komunikasi yang terbangun memang memiliki “pemompa

impian” dan menjadikan media massa sebagai instrumen kekuatan komunikasi.

Akan tetapi bila tidak dilakukan pengelolaan dengan baik, maka akan terjebak

dalam dimensi artifisial pencitraan semata dan tidak tertutup kemungkinan akan

terperangkap pada banalisme komunikasi. Banalisme menurut kamus Besar

Bahasa Indonesia merupakan paham tentang ketidak elokan, kasar. Sedangkan

banalisme komunikasi adalah pola komunikasi yang menggunakan kata- kata

tidak elok. Selanjutnya dari perspektif komunukasi lintas budaya. Komunikasi

yang digunakan Presiden Jokowi adalah low context communication (komunikasi

konteks rendah). Komunikasi konteks rendah adalah bentuk komunikasi langsung,

tanpa tedeng aling-aling. Setiap ucapan yang dikemukakan oleh Presiden Joko

Widodo tidak menggunakan kata-kata atau kalimat bersayap, tidak ada penafsiran

ganda terhadap setiap kalimat yang terlontar. Kalimat tersebut bermakna tunggal
65

dan tidak menimbulkan interpretasi subyektif pendengarnya. Bahasa yang

digunakan adalah bahasa sehari-hari sehingga dapat dengan mudah dipahami

khalayak umum masyarakat.

Terkait fenomena tersebut, penelitian ini adalah mengkaji fenomena gaya

komunikasi politik Jokowi. Berbagai gaya komunikasi politik Presiden RI di

media telah menjadi bahan kajian pakar komunikasi politik, antara lain:

1. Politik anjang sana yaitu kunjungan presiden di rumah, basecamp, atau

kantor para tokoh masyarakat, dan politik secara mendadak dimana

bukan berada dalam bagian program kerja, serta bersifat fleksibel tanpa

adanya protokol berarti.

2. Politik meja makan yaitu undangan makan bersama para tokoh

masyarakat serta politik dadakan di Istana Negara oleh Jokowi.

3. Politik jamuan minum teh di beranda istana, yaitu aktivitas penjamuan

tamu istana dengan santai pada sofa panjang tak bersekat mulai dari

mengobrol dan minum teh dengan para undangan agar muncul keakraban

pada kedua belah pihak.

4. Politik santri, yaitu pendekatan dengan tujuan permintaan petunjuk

sekaligus arahan yang diucapkan pemuka dan pemimpin Ormas Islam

Moderat seperti NU dan Muhammadiyah yang dilakukan oleh presiden

RI, Jokowi ini dilakukan secara intens dengan penuh kepatuhan. Dalam

pendekatan tersebut mampu menekan emosi massa politik yang pada saat
66

itu terbelah karena kasus Basuki Tjahaja Purnama yang menodai agama

Islam dan masih berjalan di Pengadilan Negeri di Jakarta.

Fenomena dalam penelitian ini menggunakan paradigma interpretif untuk

melakukan kajian dan analisis lebih mendalam terhadap gaya komunikasi politik

Jokowi. Agar kajian lebih luas dan mendalam dalam mengungkap fenomena gaya

komunikasi politik Jokowi, digunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan untuk

lebih memfokuskan studi kasus ini, peneliti memakai metode penelitian dan

tradisi ilmu komunikasi fenomenologi. Studi fenomenologi sebagai metode

penelitian digunakan untuk melibatkan pembedahan kesadaran pengalaman

manusia pada penelitian yang terperinci, teliti, dan seksama, terutama untuk

mengungkap fenomena dan makna gaya komunikasi politik Jokowi. Gaya

komunikasi politik Jokowi dapat dianalisis juga dengan teori persuasi politik.

Dalam konteks retorika politik, Jokowi harus memperhatikan kondisi khalayak

untuk menentukan tema yang akan dipaparkan sebagai bentuk pesan retorika

politik. Diplomasi meja makan ala Jokowi merupakan bagian dari persuasi politik

yang didalamnya juga mengandung propaganda dan iklan politik sebagai sarana

penyampaian pesan persuasi Jokowi pada khalayak.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Pengertian metode, berasal dari bahasa Yunani yakni methodos yang

dimaksud adalah cara atau menuju suatu jalan. Metode merupakan kegiatan ilmiah

yang berkaitan dengan suatu cara kerja (sistematis) untuk memahami suatu subjek

atau objek penelitian, sebagai upaya untuk menemukan jawaban yang dapat

dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan termasuk keabsahannya (Ruslan,

2003:24).

Hadi (1987:3) mengungkapkan Penelitian adalah usaha untuk menemukan,

mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, yang dilakukan

dengan metode-metode ilmiah. Penelitian adalah suatu kegiatan atau proses

sistematis untuk memecahkan masalah yang dilakukan dengan menerapkan

metode ilmiah (Emzir, 2007:3). Penelitian sebagai aktivitas keilmua yang

dilakukan karena ada kegunaan yang ingin dicapai, baik untuk meningkatkan

kualitas kehidupan manusia maupun untuk mengembangkan ilmu pengetahuan

(Hamidi, 2007:6)

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa metodologi

penelitiaan adalah ilmu membahas tentang suatu kegiatan yang dilakukan untuk

memecahkan masalah ataupun sebagai pengembangkan ilmu pengetahuan dengan

menggunakan metode-metode ilmiah.

67
68

Secara umum, macam-macam penelitian (Hadi, 1987:3-4) dapat

digolongkan sebagai berikut:

1. Menurut bidangnya: penelitian pendidikan, penelitian sejarah,


penelitian bahasa, penelitian ilmu teknik, penelitian biologi,
ekonomi, dsb.
2. Menurut tempatnya: penelitian laboratorium, penelitian perpustakaan,
penelitian kancah.
3. Menurut pemakaiannya: penelitian murni (pure research) dan
penelitian terpakai (applied research)
4. Menurut tujuan umumnya: penelitian eksploratif, penelitian
devolpmental, dan penelitian veririkatif.
5. Menurut tarafnya: penelitian deskriptif dan penelitian inferensial
6. Menurut Pendekatannya (approach): penelitian longitudinal dan
penelitian cross-sectional

Memperhatikan latar belakang masalah, tujuan penelitian dan untuk

pemecahan masalah maka penelitian ini adalah penelitian yang melakukan kajian

terhadap sebuah kebijakan. Menurut Mayer dan Greenwood (1984 : 70)

menyatakan bahwa :

Dalam penelitian kebijakan, analis tidak dapat membatasi perhatian pada


hubungan sebab akibat yang sederhana. Intervensi umum terjadi dalam
konteks yang dibentuk oleh banyak kekuatan. Karena itu penelitian
kebijakan harus berusaha bersifat komprehensif dalam mempelajari
pengaruh suatu tindakan tertentu dalam mencapai beberapa tujuan.

Penelitian kebijakan tetap harus mengacu pada teori yang relevan dengan

permasalahan, sehingga diperlukan metode khusus, sebagaimana disebutkan

Mayer dan Greenwood (1984 : 80) bahwa : “Metode penelitian adalah suatu

pendekatan umum kearah fenomena yang telah dipilih oleh peneliti untuk

diselidiki dan dengan demikian merupakan sejenis logika dan mengarahkan

penelitian.”
69

Permasalahan yang akan dikaji memerlukan cara penyelesaiannya, hal ini

dilakukan untuk memenuhi kaidah penelitian ilmiah. Menurut Kerlinger

(2006:17) menyatakan bahwa : “Penelitian ilmiah adalah penyelidikan secara

sistematis, terkontrol, empiris, dan kritis, tentang fenomena-fenomena alami,

dengan dipandu oleh teori dan hipotesis-hipotesis tentang hubungan yang dikira

terdapat antara fenomena-fenomena itu.” Selanjutnya menurut Mayer dan

Greenwood (1984 : 80) bahwa : “Teknik penelitian merupakan manipulasi

spesifik dan mental yang dipergunakan oleh para peneliti untuk mengumpulkan

atau memproses data yang ditentukan oleh rencana penyeledikan.”

Hasil maksimal dapat memperoleh, maka diperlukan disain penelitian

yang sesuai dengan situasi dan kondisi serta sesuai pula dengan objek yang akan

diteliti. Nazir (2005:84) berpendapat bahwa “Disain penelitian adalah semua

proses yang diperlukan dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian”.

Sedangkan menurut Kerlinger (2006:484) menyatakan bahwa : “Desain Penelitian

mempunyai dua maksud atau kegunaan mendasar : (1) menyediakan jawab

terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian, dan (2) mengontrol atau

mengendalikan varian.” selanjutnya dijelaskan bahwa : “Desain membantu

peneliti mendapatkan jawab untuk pertanyaan penelitian dengan dan juga

membantu peneliti mengontrol varian-varian eksperimental, varian ekstra dan

varian galat pada suatu masalah penelitian tertentu yang sedang dikaji.”

Menurut Rusidi (2006:24) berpendapat bahwa: “Disain penelitian

kualitatif dilakukan pada empirik yang mendalam tetapi tidak meluas, untuk

memperoleh pengetahuan ilmiah yang bersifat konkrit, spesifik, dan lokus”.


70

Teknik penelitian kualitatif dapat ditentukan antara : studi kasus, studi sejarah,

studi etnhologi, studi fenomenologi, atau studi “grounded”.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut dapat dikatakan bahwa desain

penelitian adalah suatu model yang digunakan oleh peneliti untuk dapat

melakukan penelitian dengan baik sehingga akhirnya apa yang menjadi tujuan

penelitian yaitu untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan penelitian dapat

diperoleh.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu penelitian yang

menghasilkan penelitian yang signifikan sesuai data dan informasi di lapangan.

Menurut Sugiyono (2012: 32) bahwa dalam penelitian kualitatif, pengumpulan

data tidak dipandu oleh teori, tetapi dipandu oleh fakta-fakta yang ditemukan pada

saat di lapangan. Sedangkan teori hanya berfungsi membantu peneliti untuk

membuat berbagai pertanyaan penelitian, bukan untuk memandu bagaimana

mengumpulkan data dan analisis data. Sedangkan metode penelitian kualitatif

menurut Bogdan dan Taylor dalam (Moleong, 2002: 3) adalah prosedur penelitian

yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-

orang dan perilaku yang dapat diamati. Penelitian kualitatif yang dilaksanakan

pada setting sosial tertentu tidak dimaksudkan untuk mewakili atau sebagai

representasi dari latar tertentu. Hal ini disebabkan oleh sifat penelitian kualitatif

yang sangat kontekstual dan berupaya untuk menelaah fenomena sosial pada level

mikro, dan tidak bermaksud melakukan generalisasi (Bungin, 2010: 45).

Sejalan dengan itu, Newman dalam (Sugiyono, 2011) mengemukakan

bahwa penelitian kualitatif membentuk peristiwa dalam kenyataan sosial yang


71

bermakna terhadap kejadian yang ada di masyarakat ataupun di lembaga

organisasi dengan berfokus pada proses dan peristiwa interaktif yang

mengutamakan keotentikan serta menilai secara eksplisit dengan menggunakan

teori, fakta dan data di lapangan tergantung situasi/peristiwa pada subjeknya,

dengan menggunakan analisis tematik yang melibatkan peneliti secara langsung.

Selanjutnya menurut (Moleong, 2002) bahwa penggunaan metode

kualitatif didasarkan pada 3 (tiga) pertimbangan pokok yaitu: 1) lebih mudah

menyesuaikan dengan kenyataan yang bersifat ganda atau berhadapan dengan

kenyataan yang bersifat kompleks, 2) kemampuan dalam menyajikan hakekat

hubungan antara peneliti dengan informan dan responden, 3) lebih peka dan

adaptif terhadap pola-pola nilai, artinya dapat menyesuaikan diri dengan banyak

pengaruh dan pola-pola nilai yang dihadapi.

Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan penelitian ini berlandaskan

pada data dan kondisi objektif yang dilakukan dengan cara triangulasi, sehingga

peneliti dalam menggunakan teknik analisis data bersifat kualitatif yang lebih

menekankan makna dari pada bersifat generalisasi, bersifat objektif dan tetap

menjaga akurasi informasi.

3.2 Data yang Diperlukan

Data yang diperlukan dalam penelitian kualitatif sebagaimana pendapat

Creswell (2010:254) bahwa dalam penelitian kualitatif, mengumpulkan berbagai

jenis data dan memanfaatkan waktu seefektif mungkin untuk mengumpulkan data

di lokasi penelitian yaitu dengan observasi kualitatif dan wawancara kualitatif.


72

Dalam melakukan observasi kualitatif, peneliti dapat merekam/mencatat, baik

dengan cara terstruktur maupun semistruktur seperti dengan mengajukan sejumlah

pertanyaan yang ingin diketahui oleh peneliti. Dalam observasi ini bersifat open-

ended, dimana peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada partisipan atau

informan yang memungkinkan informan bebas memberikan pandangan-

pandangan mereka. Selanjutnya, wawancara kualitatif yang dilakukan peneliti

melalui face-to-face interview (wawancara berhadap-hadapan) dengan partisipan

atau informan, mewawancarai melalui telepon atau terlibat dalam focus group

discussion. Wawancara seperti ini memerlukan pertanyaan yang tidak terstruktur

dan bersifat terbuka yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini

dari para partisipan atau responden.

Sejalan dengan itu, dalam pengumpulan data dengan pendekatan kualitatif

dimaksudkan untuk membangun realitas yang terjadi pada fenomena yang diamati

agar memperoleh jawaban yang akurat tentang permasalahan penelitian.

Pengumpulan data tersebut melalui catatan tertulis atau melalui perekaman

video/audio tapes dan nengambilan foto atau gambar dan rekaman suara. Hal

tersebut juga didukung oleh Denzin dan Lincoln, (2005: 3) menyebutkan metode

kualitatif merupakan sebuah aktivitas yang membuat peneliti merepresentasikan

sebuah data seperti catatan lapangan, wawancara, percakapan, gambar, suara,

maupun memo sebagai bagian dalam menginterpretasikan sebuah fenomena yang

diteliti. Wawancara mendalam menjadi strategi dalam metode kualitatif.

Wawancara mendalam merupakan pertanyaan dan respon terbuka dari narasumber

atau informan untuk mendapatkan data yang diinginkan, terutama pada penjelasan
73

terhadap fenomena-fenomena yang ingin diteliti. Salah satunya ialah wawancara

terpadu, yaitu dengan topik dijabarkan terlebih dahulu, dan peneliti bebas memilih

dan menyusun rangkaian kalimat selama wawancara. Pencatatan sumber data

diperoleh melalui wawancara atau pengamatan dari hasil gabungan kegiatan

mencari informasi. Data yang diperoleh dari beberapa sumber meliputi:

1. Informan, yaitu melalui orang-orang yang berkompeten dengan


masalah yang diteliti. Informan yang dimaksud adalah pihak-pihak
yang terlibat dalam proses komunikasi politik Presiden Joko Widodo.
2. Paper yaitu melalui buku literatur, dokumen resmi, surat-surat serta
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah yang
diteliti.

Penggalian data langsung yang diperoleh peneliti, yaitu berasal dari

informan dengan instrumen wawancara. Kothari (2004 : 97-98) berpendapat

bahwa wawancara atau interview personal memerlukan seseorang sebagai aktor

yang mengajukan pertanyaan secara umum melakukan kontak langsung

berhadapan dengan orang lain (dapat disebut key informant atau informan). Secara

singkat, wawancara memungkinkan menjadi form kepada sesorang secara

langsung melakukan penelusuran personal untuk mengumpulkan informasi secara

personal berasal dari sumbernya. Selama penelitian, data juga dikumpulkan dari

dokumen-dokumen baik berupa dokumen publik, seperti koran terbitan daerah,

makalah, laporan Dinas/SKPD terkait dan lai-lain, ataupun dokumen privat seperti

buku harian, diari, surat, e-mail.

Data yang dikumpulkan tersebut sesuai dengan keperluan analisis yang

berkaitan dengan proses komunikasi politik Presiden Joko Widodo antara lain:

Hasil Studi, Dokumen Artikel dan berita koran, majalah, media lainnya, Dokumen

rapat-rapat, Hasil Focus Group Discussion (FGD), Dokumen konsultasi, dokumen


74

surat-surat, dan infromasi mengenai proses komunikasi politik Presiden Joko

Widodo.

3.3 Informan dan Cara Menentukannya

Dalam penelitian kualitatif, tidak terlalu dibutuhkan random sampling

atau pemilihan secara acak terhadap para partisipan dan lokasi penelitian, yang

biasanya dijumpai dalam penelitian kuantitatif (Creswell, 2013:266). Oleh karena

itu, peneliti akan menggunakan unit analisa dari informan untuk memperoleh

berbagai informasi yang dipelukan selama proses penelitian. Informan merupakan

sampel penelitian yang dipilih secara purposif sampling, bahwa pemilihan sampel

dilakukan berdasarkan pada keperluan penelitian. Purposif sampling yang

digunakan oleh peneliti dalam hal ini yakni pemilihan sampel yang merupakan

subyek penelitian yang terkait dan terlibat langsung dalam proses komunikasi

politik Presiden Joko Widodo.

3.4 Tekhnik Pengumpulan Data

Pendekatan kualitatif, peranan peneliti sangat menentukan pada saat

pengumpulan data, sebab tata kelola dan cara mengumpulkan adalah kunci utama

dalam menentukan kualitas hasil penelitian. Menurut Sugiyono (2010 : 222)

bahwa dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen atau alat penelitian

adalah peneliti itu sendiri. Jadi, dalam penelitian ini berlangsung, yang menjadi

instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri dengan melakukan penelitian


75

langsung ke lapangan serta melakukan observasi dan wawancara untuk

mendapatkan data lengkap, mendalam dan komprehensif.

Terkait dengan penjelasan pengumpulan data dimaknai sebagai cara yang

dipakai dalam mengumpulkan fakta dan informasi terkait dengan permasalahan

penelitian yang merujuk pada konsep/teori yang digunakan dalam penelitian.

Menurut Burhan (2010: 107) bahwa kegiatan mengumpulkan data kualitatif dapat

menggunakan metode antara lain: wawancara bertahap dan mendalam (In-depth

Interview), Observasi partisipasi, Diskusi terfokus, serta bahan, sejalan dengan

pandangan Fiona dan Michael (2006: 23) berpendapat bahwa tata kelola

pengumpulan data dalam pendekatan fenomenologi sebagai berikut:

Data collection methods of phenomenological research tend to focus on


in-depth interviews and narratives as these methods are the key to
producing a description of the experiences that were lived through. Less
frequently lifeworld descriptions may be gathered through other methods
such as diaries, documentary methods or visual methods.

Mendasari pendapat di atas menjadi argumentasi ilmiah penulis dalam

menetapkan tata kelola mengumpulkan data dalam penelitian ini yang terbagi atas,

wawancara dan observasi sebagai berikut:

1. Wawancara (Interview)

Wawancara dimaksudkan untuk keperluan pencarian fakta dalam proses

penelitian ilmiah. Seperti yang diungkapkan Cristensen (dalam Sugiyono,

2004: 224) bahwa: “Interview is a data collection methods in which an

interviewer ( the researcher or someone working for the researcher) ask

question of an interviewee are research participant”. Dalam pencarian fakta

dan data peneliti menggunakan wawancara mendalam yang secara umum


76

diartikan sebagai proses mendapatkan penjelasan kongkrit seabagai bahan

menjawab permasalahan penelitian melalui proses tanya jawab secara

langsung antara penulis dengan informan yang menjadi objek wawancara,

dengan berdasarkan pedoman yang telah disusun untuk memandu wawancara.

Sesuai dengan hal itu, proses wawancara tersebut dapat diklasifikasikan

dalam wawancara mendalam (in-dept interview) sesuai pemahaman

pendekatan kualitatif yang memberikan tekanan pada pencarian informasi

yang mendalam hingga sampai menemukan makna informasi. Dengan

purposif sampling peneliti merasakan telah mendapatkan data yang sangat

cukup untuk menjadi bahan pembahasan dan analisis penelitian ini, karena

memiliki keterkaitan dan saling mendukung data.

2. Dokumentasi

Menurut Bugin (dalam Sugiyono, 2004: 28) bahwa metode dokumentasi

dalam penelitian kualitatif merupakan bagian dari metode yang dipkai dalam

mengumpulkan data. Teknik ini intinya melakukan penelusuran terhadap data

historis dalam bentuk dokumen antara lain: Koran, Makalah, Jurnal, serta

dokumen pendukung lainnya.

3. Observasi

Observasi merupakan salah satu tata kelola yang dapat berlaku secara umum

pada semua pendekatan penelitian karena memiliki ciri yang spesifik dengan

berinteraksi dan bertatap muka secara langsung dengan objek /atau benda,

pada teknik observasi bukan saja itu tetapi juga dengan lingkungan (alam).

Karena pengamatan yang dilakukan terkait dengan aktivitas manusia sebagai


77

objek penelitian dalam lokasi penelitian. Dalam penelitian ini peneliti

melakukan pengamatan dan pencacatan serta juga bisa melakukan perekaman

gambar.

3.5 Tekhnik Analisis Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif menurut Sugiyono

(2012;121) meliputi uji kredibitas data, uji transferability, dan uji confirmability.

Dalam menguji keabsahan data pada penelitian ini menggunakan tekhnik

Triangulasi yaitu tekhnik pemeriksaan keabsahan data yang lain diluar data itu

untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut dan

untuk penelitian ini yang digunakan adalah triangulasi Sumber atau triangulasi

data yaitu menggunakan sejumlah data dalam penelitian.

Triangulasi menurut Sugiyono (2014) diartikan sebagai proses

pengecekan data penelitian pada beberapa sumber dan menggunakan beberapa

cara yang berbeda serta waktu yang berbeda pula. Triangulasi terbagi dalam 3

(tiga) kategori, sebagaimana dijelaskan sebagai berikut:

1) Triangulasi Sumber
Uji Keabsahan ini dilakukan dengan melakukan uji kredibilitas data yang
di cek pada beberapa sumber yang berbeda.
2) Triangulasi Teknik
Uji Keabsahan data pada kategori ini dilakukan dengan memakai
beberapa cara yang berbeda terhadap data yang sama. Teknik yang
digunakan oleh penulis dalam penelitian ini secara berbeda antara lain:
wawancara, dokumentasi dan observasi. Wawancara dilakukan dengan
informan, dokumentasi melalui foto dan kumpulan dokumen yang terkait
dengan fokus pembahasan, Observasi dilakukan di lokus penelitian yang
berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Seribu.
3) Triangulasi Waktu
Untuk mendapatkan data yang valid maka waktu juga sering memiliki
pengaruh terhadap kredibilitas data. Sebab pada saat waktu berubah bisa
jadi jawaban tidak sama, hal ini disebabkan oleh kondisi psikis informan
78

kunci dalam memberikan data yang kredibel. Dalam rentan waktu 2


bulan penelitian kunjungan ke lokasi penelitian dilaksanakan secara
bergantian untuk melakukan pengecekan data pada waktu yang
bergantian.

Menurut Sugiyono (2009:432-433) dalam penelitian kualitatif, temuan

atau data dapat dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang

dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada obyek yang

diteliti. Setiap penelitian memerlukan kriteria untuk melihat derajat kepercayaan

terhadap hasil penelitian. Dalam penelitian ini, pengujian keabsahan data metode

penelitian kualitatif dilakukan dengan triangulasi. Wersma (Sugiyono, 2009:125)

menyatakan bahwa “triangulation is qualitative cross-validation. It assesses the

sufficiency of the data recording to the convergences of multiple data sources or

multiple data collection procedures”. Ide tentang triangulasi bersumber dari ide

tentang multiple operationism yang mengesankan bahwa kesahihan temuan-

temuan dan tingkat konfidensinya akan dipertinggi oleh pemakaian lebih dari satu

pendekatan untuk pengumpulan data.

Tujuan menggunakan metode triangulasi, pertama, adalah menggabungkan

dua metode dalam satu penelitian untuk mendapatkan hasil yang lebih baik

apabila dibandingkan dengan menggunakan satu metode saja dalam suatu

penelitian. Asumsinya bahwa informasi yang diperoleh peneliti melaui

pengamatan akan lebih akurat apabila juga digunakan interview atau

menggunakan bahan dokumentasi untuk mengoreksi keabsahan informasi yang

telah diperoleh dengan kedua metode tersebut. Kedua, tujuannya ialah

membandingkan informasi tentang hal yang sama yang diperoleh dari berbagai
79

pihak, agar ada jaminan tentang tingkat kepercayaan data. Cara ini juga mencegah

bahaya-bahaya subyektif. Teknik ini adalah sebagai upaya untuk menghilangkan

perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks pengumpulan

data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan, dengan

kata lain bahwa pihak peneliti dapat melakukan ‘check and recheck’ temuan-

temuannya dengan cara membandingkan. Yang digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.1
Model Triangulasi

OBSERVASI

HASIL
YANG SAH

WAWANCARA DOKUMENTASI

Sumber : Moleong, 2007: 330.

3.6 Teknik Analisis dan Penyajian Data

Nazir (2005:346) menyatakan bahwa “analisis data merupakan bagian

yang sangat penting untuk memberikan makna yang berguna dalam memecahkan

masalah penelitian dan mencapai tujuan akhir dari penelitian”. Menurut Miles dan

Hubermen dalam Sugiyono (2012:246) menyatakan bahwa :

Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan


berlangsung terus menurus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh.
Aktifitas dalam analisis data yaitu data reduction, data display, dan
conclution data drawing/verification
1. Data Reduction/Reduksi Data.
Dari lokasi penelitian, data lapangan dituangkan dalam uraian laporan
yang lengkap dan terinci. Data dan laporan yang lengkap kemudian
direduksi, dirangkum dan kemudian dipilah-pilah hal yang pokok,
80

difokuskan untuk dipilih yang terpenting kemudian dicari tema atau


polanya (melalui proses penyuntingan), pemberian kode dan
pentabelan). Reduksi data dilakukan terus menerus selama proses
penelitian berlangsung. Pada tahapan ini setelah data dipilah kemudian
disederhanakan, data yang tidak diperlukan disortir agar memberi
kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta untuk menarik
kesimpulan sementara.
2. Data Display / Penyajian Data
Penyajian data (display data) dimaksudkan agar lebih mempermudah
bagi peneliti untuk dapat melihat gambaran secara keseluruhan atau
bagian-bagian tertentu dari data penelitian. Hal ini merupakan
pengorganisasian data ke dalam sesuatu bentuk tertentu sehingga
kelihatan jelas sosoknya lebih utuh. Data-data tersebut kemudian
dipilah-pilah dan disisikan untuk disortir menurut kelompoknya dan
disusun sesuai dengan kategori yang sejenis untuk ditampilkan agar
selaras dengan permasalahan yang dihadapi, termasuk kesimpulan-
kesimpulan sementara diperoleh pada waktu data reduksi.
3. Conclution drawing / Penyajian Data
Pada penelitian kualitatif, verifikasi data dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitian dilakukan. Sejak pertama
memasuki lapangan dan selama proses penelitian dilakukan. Sejak
pertama memasuki lapangan dan selama proses pengumpulan data,
peneliti berusaha untuk menganalisis dan mencari makna dari data yang
dikumpulkan, yaitu mencari pola tema, hubungan persamaan, hipotesis
dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesimpulan yang masih
bersifat tentatif.

Gambar 3.1
Analisis Data

Pengumpulan Penyajian
Data Data

Reduksi
Data
Kesimpulan-
Kesimpulan :
Penarikan/Verifikas
i

Sumber : Sugiyono (2012:246)


DAFTAR PUSTAKA

Achroni, Keen, dan Swaesti, Eista, 2017, Ensiklopedi Presiden Republik


Indonesia: Joko Widod, Depok : Ar-Ruzz Media

Apter, David. 1965, Comperative Politics, The Free Press, New York.

Arifin, Anwar, 2011, Komunikasi Politik, Yogyakarta: Graha Ilmu.

________________, 2014, Politik Pencitraan - Pencitraan Politik, Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Arikunto, Suharsimi (Edisi Revisi 2010) Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan


Praktik, Rineka Cipta.

Arsyad, Lincolin, 1999, Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi


Daerah, Yogyakarta: BPFE.

Bardhan Pranab, Mookherjee Dilip. 2006. Decentralization and Local


Governance in Developing Countries a Comparative Perspective.
Hongkong: Massachusetts Institute of Technology.

Bijah Subijanto, Stratifikasi Kebijaksanaan Nasional, Jakarta Lemhamnas RI,


Edisi kedua, cetakan I, 2004

Catanese, Anthony J., James C. Snyder, 1996, Perencanaan Kota, Jakarta :


Penerbit Erlangga.

C.F. Strong. 1960, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Ltd.,
London

Cohen M, John and Peterson B, Stephen. 1999, Administrative Decentralization


(Strategies for Developing Countries), Kumarian Press : USA

Creswel, John. W. 1994. Research Design Qualitative & Quantitative


Approaches. Sage Publication : New Delhi

D.G.A. Poelje. 1953, Algemene Inleiding Tot De Bestuurskunde, Alphen aan den
Rijn, N. Samson N.V

Ghozali, Imam,2006, Structural Equation Modeling Metode Alternatif dengan


Partial Least Square (PLS), Edisi Kedua. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.

81
Hardjana, M., Agus, 2003, Komunikasi Intrapersonal dan Interpesonal,
Yogyakarta: Kanisius.

Hoogerwerf, A, 1978, Ilmu Pemerintahan, Terj.R.L.L. Tobing, Jakarta : Erlangga.

Kartasasmita, Ginandjar, 1996. Pembangunan Untuk Rakyat: Memadukan


Pertumbuhan Dan Pemerataan, Jakarta : Pustaka CIDESINDO.

Kerlinger, Fred. N, 2002, Asas-asas Penelitian Behavioral, Yogyakarta : Gadjah


Mada University Press.

Kuncoro, Mudrajad, 2000, Ekonomi Pembangunan – Teori, Masalah dan


Kebijakan, Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Kriyantono, Rachmat, 2019, Pengatar Lengkap Ilmu Komunikasi Filsafat dan


Etika Ilmunya Serta Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media Group.

Kurniati, Desak Putu, Yuli, 2016, Modul Komunikasi Verbal dan Nonverbal,
Denpasar: Universitas Udayana.

Lantara, Dirgahayu, dan Nusran, Muhammad, 2019, Dunia Industri Perspektif


Psikologi Tenaga Kerja, Makassar: CV. Nas Media Pustaka.

Liliweri, Alo, 2011, Komunikasi Serba Ada Serba Makna, Jakarta: Kencana.

__________, 2017, Komunikasi Antar-Personal, Surabaya: Pranada Media.

LAN RI, 1997. Sistim Administrasi Negara Republik Indonesia-Jilid I & II,
Jakarta : PT.Toko Gunung Agung.

Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1997, Sistem Administrasi


Negara Republik Indonesia, Jilid I, Jakarta : PT. Toko Gunung Agung.

Mubyarto et. al, 1993, Dua Puluh Tahun Penelitian Pedesaan, Yogyakarta:
Aditya Media.

Mulyana, Deddy, 2004, Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya,


Bandung: PT Remaja Rosdarkarya.

______________, 2016, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Mulyasa, 2002, Pimpinan dan Kepemimpinan, Jakarta: Raja Grafindo Perkasa.

Nazir, Moh, 1988. Metode Penelitian, Ghali Indonesia, Jakarta.


Neuman, William Lawrence, 2003, Social Research Methods Qualitative and
Quantitative Approach, Allyn and Bacon: London

________, 1997, Social Research Methods, London : Needham Heights, Allyn


and Bacon.

Rakhmat, Jalaluddin, 2012, Metodologi Penelitian Komunikasi Dilengkapi


Contoh Analisis Statistik, Bandung : Remaja Rosdakarya.

Sarjono, Agus R., 2001, Bahasa dan Bonafiditas Hantu, Mangelang : Katalog
Dalam Terbitan.

Sendjaja, S., Djuarsa, 2004, Teori Komunikasi, Jakarta: Universitas Terbuka.

Subiakto, Henry, dan Ida, Rahcmah, 2012, Komunikasi Politik, Media, dan
Demokrasi, Jakarta: Kencana.

Sillahi Uber. 2012. Metodologi Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama

Sugiyono, 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif dan R&D, Alfa Beta,
Bandung.

Triningtyas, Diana Astriwanti, 2016, Komunikasi Antar Pribadi, Jawa Timur: CV


Ae Media Grafika.

Anda mungkin juga menyukai