Anda di halaman 1dari 15

Retorika dalam Kepemimpinan

Oleh : Muhammad Nor Gusti


Dalam Dunia Komunikasi, Retorika adalah sesuatu yang tidak asing lagi bagi para
Komunikator khususnya komunikator Politik dan Orator. Retorika merupakan seni berbicara
dengan tujuan untuk mempersuasi audiens melalui alam bawah sadar. Dalam teori komunikasi
retorika bertumpu pada komunikator (sebagai penyampai pesan), kemudian bagaimana
komunikator mengemas sebuah pesan yang kemudian memberikan pengaruh dan kepada
komunikan (penerima pesan) agar mau mengikuti apa yang telah disampaikan.
Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai
alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk
khalayknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos) dan
etika/kredibilitas (ethos) (Richard West, 2008). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang
efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-
potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil
kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang yang memberikan petunjuk untuk menyusun
sebuah presentasi atau pidato persuasive yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi
yang tersedia.
Asumsi-asumsi Retorika menurut West Richard.
1. Pembicara yang efektif harus mempertimbangkan khlayak mereka. Asumsi ini menekankan
bahwa hubungan antara pembicara – khlayak harus dipertimbangkan. Para pembicara tidak boleh
menyusun atau menyampaikan pidato mereka tanpa mempertimbangkan khalayaknya, tetapi
mereka harus berpusat pada khalayak. Dalam hal ini, khalayak dianggap sebagai sekelompok
besar orang yang memiliki motivasi, keputusan, dan pilihan dan bukannya sebagai sekelompok
besar orang yang homogeny dan serupa. Asumsi ini menggarisbawahi definisi komunikasi
sebagai sebuah proses transaksional. Agar suatu pidato efektif harus dilakukan analisis khalayak
(audience analysis), yang merupakan proses mengevaluasi suatu khalayak dan latar belakangnya
dan menyusun pidatonya sedemikian rupa sehingga para pendengar memberikan respon
sebagaimana yang diharapkan pembicara.
2. Pembicara yang efektif menggunakan beberapa bukti dalam presentasi mereka. Asumsi ini
berkaitan dengan apa yang dilakukan pembicara dalam persiapan pidato mereka dan dalam
pembuatan pidato tersebut. Bukti-bukti yang dimaksudkan ini merujuk pada cara-cara persuasi
yaitu: ethos, pathos dan logos. Ethos adalah karakter, intelegensi, dan niat baik yang
dipersepsikan dari seorang pembicara. Logos adalah bukti logis atau penggunaan argument dan
bukti dalam sebuah pidato. Pathos adalah bukti emosional atau emosi yang dimunculkan dari
para anggota khalayak.

Argument Tiga Tingkat (Silogisme dan Entimem)


Logos adalah salah satu dari tiga bukti yang menurut Aristoteles menciptakan pesan yang
lebih efektif. Berpegang pada bukti-bukti logis ini merupakan sesuatu yang disebut silogisme
(syllogism). Namun, kemudian muncul istilah yang juga popular yaitu entimem (entymeme).
Silogisme (Bitzer,1995; Kim dan Kunningham, 2003) adalah sekelompok proporsi yang
berhubungan satu sama lain dan menarik sebuah kesimpulan dari premis-premis mayor dan
minor. Silogisme sebenarnya merupakan sebuah argument deduktif yang merupakan sekelompok
pernyataan (premis) yang menuntun pada sekelompok pernyataan lainnya (kesimpulan).
Entimem (Lloyd Bitzer, 1959) adalah silogisme yang didasarkan pada kemungkinan
(probability), tanda (sign) dan contoh (example), dan berfungsi sebagai persuasi retoris.
Kemungkinan adalah pernyataan-pernyataan yang secara umum benar tetapi masih
membutuhkan pembuktian tambahan. Tanda adalah pernyataan yang menjelaskan alas an bagi
sebuah fakta. Contoh adalah pernyataan-pernyataan baik yang faktual maupun yang diciptakan
oleh pembicara. Entimem dalam hal ini memungkinkan khalayak untuk mendeduksi kesimpulan
dari premis-premis yang atau dari pengalaman mereka sendiri. James McBurney (1994)
mengingatkan bahwa entimem merupakan dasar dari semua wacana persuasive. Karenanya
entimem juga berhubungan dengan ethos dan pathos. Larry Anhart (1981), percaya akan adanya
kesalingterhubungan antara entimem dan bentuk-bentuk bukti ketika ia menyimpulkan bahwa
kekuatan persuasive entimem terletak didalam kemampuannya untuk menjadi logis, etis dan
patheis: “entimem dapat digunakan tidak hanya untuk membangun sebuah kesimpulan sebagai
kebenaran yang mungkin tetapi juga untuk mengubah emosi para pendengar atau untuk
membangun rasa percaya mereka akan karaketer dari pembicara”.
Silogisme dan entimem secara struktur sama. Akan tetapi, silogisme berhubungan dengan
kepastian sedangkan entimem berhubungan dengan kemungkinan.
Kanon Retorika
Kanon merupakan tuntunan atau prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pembicara agar
pidato persuasive dapat menjadi efektif, yaitu:
Penemuan (invention), didefinisikan sebagai konstruksi atau penyusunan dari suatu argument
yang relevan dengan tujuan dari suatu pidato. Dalam hal ini perlu adanya integrasi cara berfikir
dengan argumen dalam pidato. Oleh karena itu, dengan menggunakan logika dan bukti dalam
pidato dapat membuat sebuah pidato menjadi lebih kuat dan persuasive. Hal yan membantu
penemuan adalah topic. Topik (topic) adalah bantuan terhadap yang merujuk pada argument
yang digunakan oleh pembicara. Para pembicara juga bergantung pada civic space atau metafora
yang menyatakan bahwa pembicara memiliki “lokasi-lokasi” dimana terdapat kesempatan untuk
membujuk orang lain.
Pengaturan (arrangement), berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk
mengorganisasikan pidatonya. Pidato secara umum harus mengikuti pendekatan yang terdiri atas
tiga hal: pengantar (introduction), batang tubuh (body), dan kesimpulan (conclusion). Pengantar
merupakan bagian dari strategi organisasi dalam suatu pidato yang cukup menarik perhatian
khalayak, menunjukkan hubungan topic dengan khalayak, dan memberikan bahasan singkat
mengenai tujuan pembicara. Batang tubuh merupakan bagian dari strategi organisasi dari pidato
yang mencakup argument, contoh dan detail penting untuk menyampaikan suatu pemikiran.
Kesimpulan atau epilog merupakan bagian dari strategi organisasi dalam pidato yang ditujukan
untuk merangkum poin-poin penting yang telah disampaikan pembicara dan untuk menggugah
emosi di dalam khalayak.
Gaya (style), merupakan kanon retorika yang mencakup penggunaan bahasa untuk
menyampaikan ide-ide didalam sebuah pidato. Dalam penggunaan bahasa harus menghindari
glos (kata-kata yang sudah kuno dalam pidato), akan tetapi lebih dianjurkan menggunakan
metafora (majas yang membantu untuk membuat hal yang tidak jelas menjadi lebih mudah
dipahami). Penggunaan gaya memastikan bahwa suatu pidato dapat diingat dan bahwa ide-ide
dari pembicara diperjelas.
Penyampaian (delivery), adalah kanon retorika yang merujuk pada presentasi nonverbal dari
ide-ide pembicara. Penyampaian biasanya mencakup beberapa perilaku seperti kontak mata,
tanda vocal, ejaan, kejelasan pengucapan, dialek, gerak tubuh, dan penampilan fisik.
Penyampaian yang efektif mendukung kata-kata pembicara dan membantu mengurangi
ketegangan pembicara.
Ingatan (memory) adalah kanon retorika yang merujuk pada usaha-usaha pembicara untuk
menyimpan informasi untuk sebuah pidato. Dengan ingatan, seseorang pembicara dapat
mengetahui apa saja yang akan dikatakan dan kapan mengatakannya, meredakan ketegangan
pembicara dan memungkinkan pembicara untuk merespons hal-hal yang tidak terduga.
Jenis-jenis Retorika
Retorika forensic (forensic rhetoric), berkaitan dengan keadaan dimana pembicara
mendorong timbulnya rasa bersalah atau tidak bersalah dari khalayak. Pidato forensic atau juga
disebut pidato yudisial biasanya ditemui dalam kerangka hukum. Retorika forensic berorientasi
pada masa waktu lampau.
Retorika epideiktik (epideictic rhetoric), adalah jenis retorika yang berkaitan dengan wacana
yang berhubungan dengan pujian atau tuduhan. Pidato epideiktik sering disebut juga pidato
seremonial. Pidato jenis ini disampaikan kepada publik dengan tujuan untuk memuji,
menghormati, menyalahkan dan mempermalukan. Pidato jenis ini berfokus pada isu-isu sosial
yang ada pada masa waktu sekarang.
Retorika deliberative (deliberative rhetoric), adalah jenis retorika yang menentukan tindakan
yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan oleh khalayak. Pidato ini sering disebut
juga dengan pidato politis. Pidato deliberative berorientasi pada masa waktu yang akan datang.
Di Indonesia, retorika merupakan bukan hal baru dalam proses sosial, politik, dan budaya.
Karena seperti yang telah dipaparkan oleh Aristoteles, retorika adalah seni mempengaruhi orang-
orang untuk melakukan sesuatu dibawah kendali sang orator. Banyak contoh, para orator yang
semasa hidupnya berhasil membius banyak masyarakat secara universal. Contoh; Soekarno, pada
zamannya, dia telah memberikan kontribusi yang cukup banyak terhadap negeri ini.
Soekarno yang pada masanya dijuluki sebagai “singa podium”, telah berhasil membawa
pengaruh kuat dalam proses kemerdekaan NKRI. bukan hanya soekarno, masih banyak tokoh-
tokoh yang kiranya sangat berpengaruh dengan gaya retorika masing-masing.
Bila merujuk pada fenomena komunikasi, retorika merupakan cara untuk mempersuasi
audiens agar melakukan apa yang telah di arahkan orator dibawah alam sadar. Ini merupakan
efek komunikasi yang dikemukakan oleh Jalaludin Rakhmat (2009:231), bahwa efek komunikasi
meliputi ; kognisi, afeksi, dan behavioral. Berbeda dengan retorika yang digunakan SBY, retorika
yang digunakan SBY lebih cenderung menggunakan “apologie” atas apa yang terjadi di negeri
ini. Ini kemudian secara serentak membuat rakyat Indonesia jenuh atas apa yang telah
disampaikan oleh SBY pada saat pidato politik. Bayangkan, bagaimana mungkin seorang
presiden hanya mampu ber-apologi dalam menangani kasus-kasus yang terjadi pada negeri ini ?.
Padahal dalam teori kepemimpinan misalnya, karakteristik seorang pemimpin adalah ;
• Cerdas
• Terampil secara konseptual
• Kreatif
• Diplomatis dan taktis
• Lancar berbicara
• Memiliki pengetahuan ttg tugas kelompok
• Persuasive
• Memiliki keterampilan sosial (Yulk dalam Hersey dan Blanchard (1998))
Sedangkan Robins (1996) mengatakan bahwa teori ini adalah teori yang mencari ciri-ciri
kepribadian sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dan yang bukan
pemimpin. Setidaknya SBY mampu membius dengan pola-pola retorika yang membakar
semangat rakyat Indonesia agar tidak pernah patah semangat atas persoalan bangsa ini.

Retorika Dalam Kepemimpinan

Retorika Dalam Kepemimpinan

Kepemimpinan atau Leadership merupakan fungsi manajemen/administrasi untuk menggerakkan


organisasi dan memotivasi bawahan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Menurut John M. Pfiffner menyatakan bahwa : “leadreship is the art of coordinating and
motivating individual and group to achieve the desired end (Kepemimpinan adalah seni untuk
mengkoordinasikan dan memotivasi terhadap individu atau kelompok untuk mencapai tujuan
yang diinginkan)”.
Sedangkan menurut Dalton Mc. Farland bahwa : “Leadership as the process by which and
executive imaginativevely direct, guides, or influences the work of others, in choosing and
attaining particular ends (Kepemimpinan sebagai suatu proses dimana pimpinan digambarkan
akan memberikan perintah atau pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain
dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan)”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu merupakan seni dan proses
pengarahan dan bimbingan terhadap kegiatan kerja seseorang atau kelompok karyawan dalam
menjalankan kegiatan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.
Kepemimpinan mempunyai 3 prasyarat :
 Skill (kecakapan)
 Power and Authority (kekuasaan dan wewenang/otoritas)
 Gezag/Goodwill (kewibawaan)
 Skill (kecakapan) adalah sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui
belajar formal maupun dari pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk
mengarahkan, membimbing, dan memerintah bawahannya.

Menurut Keith Davis, skill yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin meliputi Conceptual
Skills (CS), Human Skills (HS), dan Technical Skills (TS).
Masing – masing tingkatan pimpinan dalam organisasi yaitu ; Pimpinan Tingkat Bawahan/Lower
Manager (LM), Pimpinan Tingkat Menengah/Middle Manager (MM), dan Pimpinan Tingkat
Atas/Administrative Manager/Top Manager (AM/TM) mempunyai kapasitas kecakapan yang
berbeda – beda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan dari fungsi dan kecakapan
kepemimpinan berikut dibawah ini :

Menurut Keith Davis Menurut Sondang P Siagian :

Menurut Soewarno Handayaniningrat dalam bukunya “Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan
Manajemen” menyebutkan bahwa fungsi dan kecakapan kepemimpinan meliputi :
Mengetahui bidang tugasnya
Peka/tanggap terhadap keadaan lingkungan
 Mampu melakukan hubungan kerja/komunikasi dengan baik kedalam maupun ke luar.
 Melakukan human relations dengan baik
 Mampu melakukan koordinasi
 Mampu menganbil keputusan secara cepat dan tepat
 Mampu mengadakan hubungan kerja.
Sedangkan menurut Sondang P Siagian dalam buku “Filsafat Administrasi” menyebutkan fungsi
dan kecakapan kepemimpinan meliputi :
 Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya.
Berpengalaman luas
 Mengetahui sifak hakiki dan kompleksitas dari pada tujuan organisasi
 Mempunyai keyakinan organisasi akan berhasil dengan kepemimpinannya.
 Memiliki stamina (daya kerja) dan antusiasme yang besar.
 Cepat mengambil keputusan
 Objektif, dalam arti menguasai emosi dan mementingkan rasio
 Adil memperlakukan karyawan.
 Menguasai prinsip – prinsip human relations
 Menguasai teknik – teknik komunikasi
 Dapat bertindak sebagai penasehat, guru dan kepala terhadap bawahannya.
 Mempunyai gambaran menyeluruh terhadap semua kegiatan organisasi.
Kekuasaan dan otoritas tidak dapat dipisahkan seperti kedua sisi dari suatu mata uang, karena
suatu kekuasaan selalu diikuti dengan otoritas.
Power (kekuasaan) adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi orang
lain atau kelompok lain seupaya mengikuti dan menuruti keinginan orang/kelompok tadi.
 Otoritas (authority) atau kewenangan adalah dasar pengesahan atau pengabsahan kekuasaan
seorang pemimpin agar dituruti/diikuti secara sukarela.
Secara teoritis dasar pengesahan suatu kekuasaan dapat didasarkan atas tiga hal :
 Otoritas legal rasional, pengesahan kekuasasan didasarkan atas dasar nilai norma – norma atau
aturan – aturan yang dapat diterima oleh akal sehat.
 Otoritas tradisional, pengesahan kekuasaan yang berdasarkan atas nilai – nilai yang telah
diwariskan secara turun temurun.
 Otoritas kharismatis, dasar pengesahan kekuasaan berdasarkan atas daya pribadi seorang
pemimpin.

Seorang pemimpin walau sudah mempunyai skills, kekuasaan dan kewenangan kadang tidak
menjamin keberhasilannya dalam mengarahkan, memerintah dan membimving bawahannya.
Kadang bawahan menunjukkan sikap kurang menerima dan malah mengungkit kedudukan
kepemimpinannya. Hal ini disebabkan pemimpin tersebut tidak mempunyai kewibawaan
(gezag/goodwill).
Kewibawaan dapat ditumbuhkan dengan jalan :
 Pimpinan harus menyesuaikan dengan kemampuan dan aspirasi bawahan.
 Berusaha mempengaruhi bawahan dengan tindakan integritas atas dasar konsensus secara
sukarela.
 Memupuk sikap dekat dengan bawahan tetapi dengan menjaga perilaku yang malah
menjatuhkan wibawa.
 Pimpinan supaya tidak terkesan rewel maka perintah selalu diberikan asalkan diberi
pengertian/diajak membicarakannya dan ditetapkan prosedur kerja yang lebih baik.

Selain kecakapan kepemimpinan itu dalam hal berkomunikasi seperti dikemukakan di atas, juga
dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan itu tidaklah akan terlepas dengan melakukan
komunikasi. Oleh karena itu kedudukan (status) dan peranan (role) seorang pemimpin sudah
termasuk di dalamnya sebagai komunikator. Dengan kata lain fungsi seorang pemimpin itu
termasuk instrinsik sebagai komunikator. Maka kemampuan kepemimpinan harus juga diikuti
dengan kemampuan komunikasi, yaitu mempunyai ethos, pathos, dan logos komunikator.
Retorika Dalam Kepemimpinan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dewasa ini orang mulai mempelajari bahasa yang halus dan lembut serta yang tepat dalam
memajukan usahanya, khusunya dalam dunia usaha atau pebisnis. Diharapkan dengan bahasa yang
demikian membuat konsumen terpengaruh. Begitu juga dengan pemimpin, baik pemimpin yang terkecil
sampai dengan pemimpin besar.

Pemimpin yang di kenal dengan Leadership memiliki power yang berguna untuk mempengaruhi
banyak orang, memanajemen sebuah organisasi, memberi tugas, arahan dan bimbingan kepada
bawahannya, tanpa retorika yang baik, tidak ada pengaruh. Maka retorika sangat dibutuhkan sorang
kepemimpinan, dalam pembangunan dan kemajuan usaha. Retorika buka hanya sekedar berbahasa dan
berbicara seperti di warung kopi, di tengah temah sepermainan, tetapi benar-benar menggunakan
bahasa yang berusaha memikat dan membuat orang tertarik untuk mendengar, membaca dan
mengikutinya.

Dalam pembahasan ini dijelaskan pentingnya retorika dalam kepemimpina, faktor apa saja yang
ada dalam retorika kepemimpinan dan dimana letak retorika dalam kepemimpinan tersenut.

PEMBAHASAN

A. Retorika Dalam Kepemimpinan

Retorika adalah seni berbicara dan menggunakan bahasa yang baik dengan maksud
mempengaruhi orang lain agar orang lain mau melakukan apa yang kita sampaikan (ada power). Dalam
retorika, ada dua aspek yang harus di ketahui, yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan
bahasa dengan baik1[1]. Oleh karena itu, retorika harus di pelajari bagi siapa saja yang ingin
menggunakan bahasa dengan cara yang baik untuk tujuan tertentu. Seperti dalam kepemimpinan,
Retorika merupakan ilmu dasar dalam kepemimpinan, maka setiap pemimpin harus punya dasar dan
kemampuan beretorika, karena retorika adalah seni berbicara, bukan saja sebuah seni tapi bagai mana
seni itu bisa berpengaruh dan mempengaruhi oranng lain, kalau dalam kepemimpinan adalah bawahan
yang ia pimpin, bisa membuat mereka giat dalam bekerja, menyegani atasannya dan dengan pengaruh
pemipin bisa mebuat yang dipimpin termotipasi dan senang dengan kehadiran pemimpin. Selain itu,
seorang pemimpin untuk mempengaruhi bawahannya atau masyarakat luas harus mempunyai bahasa
yang baik dan benar, disebut dengan retorika 2[2].

Kepemimpinan atau Leadership merupakan fungsi manajemen atau administrasi untuk


menggerakkan organisasi dan memotivasi bawahan untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Untuk menggerakkan organisasi itu butuh seorang prmipin sebagai orang yag terdepan 3[3].
Menurut Dalton Mc. Farland bahwa “Leadership as the process by which and executive imaginativevely
direct, guides, or influences the work of others, in choosing and attaining particular ends (Kepemimpinan
sebagai suatu proses dimana pimpinan digambarkan akan memberikan perintah atau pengarahan,
bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah
ditetapkan)”.

Kita semua adalah pemimpin, baik pemimpin dalam ruang lingkup yang besar seperti memimpin
sebuah Negara, memimpin perusahaan, memimpin usaha dan bisnis, kelurahan , dusun, RT dan RW, juga
sebagai kepala keluarga atau pemimpin keluarga. Semua itu, butuh komunikasi atau retorika yang baik
dalam mengatur, memajukan dan mempertahankan Negara, perusahaan dan sampai dengan keluarga,
seorang pemimpin yang dalam keluarganya sering berantem karean tidak baiknya retorika dalam
berkomunikasi yang di sampaikannya, maka pemimpin ini belum dikatakan berhasil meski diya berhasil
memimpin orang lain, keberhasilannya itu adalah keberhasilan yang palsu, maka retorika mengantarkan
kita sebagai pemimpin yang berbicara dengan istri sebagai pelaksana rumah tangga, jika retorika dalam
keluarganya benar dan baik, berbicara sopan, santun, anggun, dan jujur dengan menyentuh hati dari

3
yang kita ajak berbicara maka kepemimpinan di keluarganya berhasil, apalagi jika diya memimpin
perusahaan atau masyarakt4[4].

Banyak kita jumpai para pemimpin yang tidak ramah kepada yang diya pimpin,suka pecat orang
sebelum bagun tidur, kalau berbicara tegas tanpa senyum, sehingga bawahannya selaku yang diya
pimpin merasa tidak enak dan nyaman, akhirnya tidak memberikan sumbangsih yang baik kepada
Negara atau perusahaan. ini menandakan retorika mereka sebagai pemimpin tidak berpengaruh dan
bahkan tidak didengarkan oleh yang diya pimpin 5[5].

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan itu merupakan seni dan proses
pengarahan dan bimbingan terhadap kegiatan kerja seseorang atau kelompok karyawan dalam
menjalankan kegiatan untuk pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Kepemimpinan mempunyai 3
syarat :

a. Skill (kecakapan).

b. Power and Authority (kekuasaan dan wewenang/otoritas.

c. Gezag/Goodwill (kewibawaan)

Skill (kecakapan) adalah sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh melalui belajar
formal maupun dari pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemimpin untuk mengarahkan,
membimbing, dan memerintah bawahannya.

Kekuasaan dan otoritas tidak dapat dipisahkan seperti kedua sisi dari suatu mata uang, karena
suatu kekuasaan selalu diikuti dengan otoritas. Power (kekuasaan) adalah kemampuan seseorang atau
kelompok untuk mempengaruhi orang lain atau kelompok lain supaya mengikuti dan menuruti keinginan
orang/kelompok. Otoritas atau kewenangan adalah dasar pengesahan atau pengabsahan kekuasaan
seorang pemimpin agar dituruti/diikuti secara sukarela.

Seorang pemimpin walau sudah mempunyai skills, kekuasaan dan kewenangan kadang tidak
menjamin keberhasilannya dalam mengarahkan, memerintah dan membimbing bawahannya. Kadang
bawahan menunjukkan sikap kurang menerima dan malah mengungkit kedudukan kepemimpinannya.
Hal ini disebabkan pemimpin tersebut tidak mempunyai kewibawaan. Selain hal itu, pemimpin juga
menggunakan retorika yang tidak baik kepada bawahannya dalam menyampaikan tugas, memberi

5
arahan dan perintah. Disini lah butuh ilmu retorika dalam kepemimpinan, bahasa yang baik, sopan dan
santun tersusun dengan kalimat yang indah dan jelas akan membawa seorang pemimpin dalam
mencapai tujuan yang dia inginkan. Bukan sekedar pandai berbicara, tetapi juga mampu untuk bertindak
langsung dengan anggota masyarakat atau kelompok dalam menyampaikan apa yang dibicarakan dan
ditugaskan.

Ditinjau dalam pengertiannya retorika adalah menggunakan seni berbicara dan bahasa yang
baik untuk mempengaruhi orang lain agar orang lain terpengaruh, seperti itu juga dengan kepemimpinan
adalah manajemen atau administrasi dalam mengatur semua tugas, memberi arahan dan melakukan
pengontrolan. Maka dalam kepemimpinan tersebut tidak bisa terlepas dari retorika, hal ini diibaratkan
seperti dua sisi mata uang yang saling membutuhkan. Pemimpin dalam menjalankan tugasnya untuk
megnatur semua bagian-bagian sistem,butuh retorika yang baik dan santun. Tanpa retorika tersebut,
orang lain sulit untuk dipengaruhi, dan akhirnya sistem dalam kepemimpinan itu tidak punya power.
Sebagai mana yang dikatakan oleh Aristoteles, untuk mempengaruhi orang lain dalam berbicara ada tiga
cara yaitu:

1. Harus mampu menunjukan kepada khalayak bahwa kita memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian
yang terpercaya dan status yang terhormat(Ethos).

2. Harus menyentuh hati khalayak, perasaan, hati, emosi, harapan, kebencian, kasih dan sayang(Phatos).

3. Meyakinkan khalayak dengan bukti yang meyakinkan(Logos) 6[6].

Selain kecakapan kepemimpinan itu dalam hal beretorika seperti dikemukakan di atas, juga
dalam melaksanakan fungsi kepemimpinan itu tidaklah akan terlepas dengan retorika. Oleh karena itu
kedudukan dan peranan seorang pemimpin sudah termasuk di dalamnya sebagai komunikator(retorika).
Dengan kata lain fungsi seorang pemimpin itu termasuk instrinsik sebagai retorika. Maka kemampuan
kepemimpinan harus juga diikuti dengan kemampuan retorika, yaitu mempunyai ethos, pathos, dan
logos. Selain hal itu, retorika juga menguatkan fungsinya dalam kepemimpinan yaitu, mengarahkan
komunikasi dari pada pemimpin dengan baik, pada akhirnya mampu menciptakan suasana
kepemimpinan yang disegani dan dihormati oleh khalayak luas.

B. Faktor-faktor Ethos, Pathos dan Logos

6
Dalam surat kabar Fikiran Ra’jat pada tahun 1933 berdasarkan penyelidikan apakah semboyan
yang berbunyi”jangan banyak bicara,tetapi bekerjalah”,benar atau tidak.kesimpulan Manadi ialah bahwa
semboyan tersebut tidak benar.Semboyan kita,menurut nasionalis tersebut,haruslah:”Banyak bicara,
banyak bekerja!”

Pendapat Manadi itu didukung sepenuhnya oleh Ir.Sukarno dalam artikelnya pada surat kabar
yang sama dengan judul ”Sekali lagi,’Bukan jangan banyak bicara ,bekerjalah!”tetapi’Banyak
bicara,banyak bekerja!”Dalam artikelnya itu Bung karno dengan gayanya yang khas menandaskan betapa
pentingnya retorika dengan mengatakan antara lain:” Titik beratnya,pusatnya kita punya aksi harus
terletak di dalam politiekeb bewustmaking dan politieke actie yakni didalam menggugahkan keinsyafan
politik daripada rakyat dan di dalam perjuangan politik daripada rakyat.

Memang dalam politik bagi seorang politikus untuk mencapai reputasi, prestasi,dan prestise
tanpa pengguasaan retorika bagaimana ia bisa menyebarluaskan idenya pada rakyat dan menanamkan
idenya pada benak individu tanpa retorika. Seorang politikus atau orator harus mampu membawa rakyat
kearah yang dituju bersama-sama, apakah itu mengusir penjajah atau mengisi kemerdekaan dengan
berpatisipasi dalam pembangunan.

Terlepas dari persoalan suka atau tidak suka,senang atau tidak senang kepada Bung Karno, bila
dalam pembahasan”Retorika dalam Kepemimpinan”ini di tonjolkan figur Bung Karno, ini adalah contoh
yang tepat bagi penelaahan retorika sebagai objek studi ilmu retorika.

Sebagai seorang orator politik, siapa pun harus memiliki persyaratan yang meliputi aspek-aspek
psikis dan fisik, aspek teoretis yang lengkapi kegiatan praktek. Pada diri seorang pemimpin harus ada
faktor-faktor ethos,pathos,dan logos .Sejauh mana faktor-faktor tesebut di miliki Bung Karno sebagai
Proklamator Kemerdekaan Indonesi. Faktor-faktor ethos, pathos dan logos yang tercakup oleh retorika
dapat dijumpai padanya.

Ethos yang merupakan kredebilitas sumber tidak disangsikan lagikarena jelas perjuangannya
untuk tanah air dan bangsa, jelas pengetahuaanya berlandaskan pendidikan formal ditambah hasil studi
literatur mengenai segala aspek kehidupan7[7].

PENUTUP

7
A. Kesimpulan

Retorika adalah semua ilmu dasar dalam kepemimpinan, tanpa retorika yang baik seorang
pemimpin tidak bisa membentuk kerjasama yang baik, tidak bisa menatur bawahannya dengan benar
dan tidak mempengaruhi banyak orang untuk berbuat lebih banyak dalam melakukan sebuah perubahan
dan pembangunan.

Pentingnya retorika dalam kepemimpinan ini membuat seorang pemimpin bisa mengarahkan
orang yang berada dibawahnya, sebagai mana yang di maksut pemimpin adalah orang yang
mengarahkan dan mampu mempengarui bawahannya untuk tujuan tertentu. Retorika dalam
kepemimpinan berada dalam bahasa, etika dan kemampuan pemimpin dalam mengarahkan orang untuk
maksud tertentu.

Retorika dalam kepemimpinan ada tiga hal yang sangat penting untuk diperhatikan yaitu
ethos,pathos,dan logos. Tiga faktor ini yang berperan penting dalam proses retorika kepemimpinan, jika
faktor tersebut tidak dimiliki kemingkinan pengaruh seeorang pemipin terhadap khalayak ramai
berkurang.

B. Saran

Retorika adalah seni berbicara dan berbahasa yang baik dan benar, dengan bahasa yang indah
dan juga etika yang baik akan membawa seorang individu berhasil dalam hubungan sosialnya, maka yang
diperhatikan adalah penguasaan bahasa dan penggunaan bahasa dalam beretorika.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M. Zazri, 2008, Dasar-Dasar Manajemen. Pekanbaru: SUSUKA PRESS

Effendy UchanaUnong, 2004, Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek, Bandung: PT. Rosdakarya

M. Hum Rahmadi Junjana, 2006, Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Yogyakarta: PT. Gelora Aksara

Usman Husen, 1990, Gaya Berbahasa yang Baik dan Seni Berbahasa, Jakarta: Rineka Cipta

www.MTGW.com

Retorika kepemimpinan yang baik berdasarkan ajaran Ki Hajar Dewantara. Bunyinya adalah
sebagai berikut:

"Ing ngarso sung tulodo". Artinya seorang pemimpin harus mampu lewat sikap dan
perbuatannya menjadikan dirinya pola anutan dan ikutan orang-orang yang dipimpinnya.

"Ing madya mangun karsa", artinya seorang pemimpin harus mampu memberikan semangat
berswakarsa dan berkreasi pada orang-orang yang dibimbingnya.

"Tut wuri handayani", artinya seorang pemimpin harus mampu mendorong orang-orang yang
diasuhnya agar berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab.

Memang, dalam politik rasanya sukar bagi seorang politikus untuk mencapai reputasi, prestasi,
dan prestise tanpa penguasaan retorika. Bagaimana dia bisa menyebarluaskan idenya kepada
rakyat dan menanamkan idenya pada benak tiap individu tanpa retorika.

Seorang politikus mutlak harus seorang retor atau orator yang mampu membawa rakyat ke arah
yang dituju bersama-sama. Terutama berperan serta dalam mengisi pembangunan untuk
mencapai kemakmuran hidup.

Tapi, apakah cukup sekedar retorika yang baik saja dan menebar pesona di mata rakyatnya,
sementara janji-janji saat kampanye belumlah banyak terbukti di hadapan rakyatnya. Atau
pemimpin yang banyak diam tidak banyak bicara di mana rakyatnya tidak tahu apa yang jadi
kebijakan pemimpinnya karena tidak adanya komunikasi politik. Apakah kepemimpinan yang
model begini yang dapat memberikan harapan bagi rakyatnya.
Kesenjangan hidup saat ini antara si miskin dan si kaya makin jelas terlihat kontras. Bahkan yang
miskin makin bertambah. Pesona janji yang ditawarkan saat kampanye oleh para politikus malah
jadi boomerang bagi rakyat itu sendiri yang mana janji-janji tidak terbukti.

Kesalahan fatal bagi rakyat adalah mudahnya terjebak dengan rayuan-rayuan manis dan retorika-
retorika yang mempesona dengan bahasa yang lembut dan halus dari para politisi. Sudah saatnya
kita memilih pemimpin yang mampu membumikan retorika-retorikanya. Bukan hanya sekedar
janji tapi bukti. Bukan wacana tapi realita dan fakta. Kinerja bukan hanya pesona.

Untuk memilih pemimpin di tahun 2009 hendaknya rakyat berhati-hati. Jangan mudah terjebak
dan terayu dengan retorika belaka. Bahkan kalau memang yang sudah-sudah kita pilih di masa
lalu tidak dapat memberi harapan dan perubahan maka carilah pemimpin alternatif yang belum
pernah memimpin.

Dengan demikian kita masih dapat memberikan harapan yang terbaik dari yang sudah-sudah kita
pilih dulu. Atau sebaliknya kita malah sudah muak dan jengah dengan istilah pemilu yang
hasilnya 'cuma gitu lagi-gitu lagi ngga' membawa perubahan dan perbaikan bagi kehidupan
rakyat dan membuang-buang uang rakyat saja.

Sikap pesimis pun rasanya wajar-wajar aja saat ini jika memang kenyataannya sangat
memilukan. Rakyat terus menderita. Hidupnya tak berubah tiap kali pemilu. Tiap kali buang-
buang anggaran negara yang hasilnya nol besar dan makin carut marut tak karuan.

Biaya pendidikan makin mahal. Bahkan pendidikan terutama pendidikan tinggi nantinya hanya
milik golongan si kaya saja. Sebab, mustahil si miskin mampu menjangkaunya sebab biayanya
makin melangit. PHK makin menambah pengangguran di pelosok negeri ini. Pokoknya masih
banyak lagi berbagai ketimpangan yang terjadi di bumi Indonesia ini.

Masih adakah harapan negeri ini menjadi baik dan masih adakah orang yang akan memimpin
negeri ini dengan baik pula gitu. Entahlah.

Anda mungkin juga menyukai