Anda di halaman 1dari 19

7 Indikator Kebahagiaan

Siapa di antara kita yang tidak menginginkan kebahagiaan? Tentu semuanya mau. Dan untuk meraihnya banyak upaya yang dilakukan oleh manusia, yang kadang-kadang justru malah menjauhkannya dari kebahagiaan itu sendiri. Dari itu sebagai seorang muslim -yang tentunya menjadikan Islam tidak hanya sekadar sebagai identitas formal semata, tetapi sebagai way of knowing (cara mengetahui) dan a way of life (cara hidup)- kita mesti merujuk kepada al-Quran dan as-Sunnah untuk mengetahui dan menapaki jalan menuju kebahagian tersebut. Islam memandang kebahagian dalam kacamata yang tauhidi, tidak dualistik atau skularistik. Islam memandang kebahagian itu merupakan kesatuan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 201: Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka. Inilah harapan yang senantiasa terlontarkan dalam setiap munajat kita untuk mendapatkan rahmat Allah, berupa kebahagiaan dunia dan akhirat. Ada keberserahan diri secara total, dan itulah identitas transendental kita sebagai orang beriman, bahwa sebesar apapun ikhtiar kita hanyalah berkat rahmat Allah jua terkabulkan apa yang kita idamkan. Apa yang dimaksud dengan kebahagiaan? Ibnu Abbas, salah seorang sahabat Nabi SAW yang sangat telaten dalam menjaga dan melayani Rasulullah SAW, dimana ia pernah secara khusus didoakan Rasulullah SAW, selain itu pada usia 9 tahun ia telah hafal Al-Quran dan telah menjadi imam di mesjid, pada suatu hari ditanya oleh para Tabiin (generasi sesudah wafatnya Rasulullah SAW) dengan pertanyaan tersebut. Dan ada baiknya, kita memperhatikan bagaimana ia menjawabnya dengan 7 (tujuh) indikator yang dapat kita jadikan sebagai alat ukur kehidupan kita : Pertama, Qalbun syakirun atau hati yang selalu bersyukur. Memiliki jiwa syukur berarti selalu qonaah dan berlapang dada, sehingga tidak ada ambisi yang berlebihan, tidak ada stress, inilah nikmat bagi hati yang selalu bersyukur. Dan ini dapat kita contoh dari nabi Ibrahim alaihissalam sebagaimana digambarkan dalam QS. An-Nahl ayat 120122: . . . Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah, Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus. Dan Kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. Dan sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh. Seorang yang pandai bersyukur sangatlah cerdas memahami sifat-sifat Allah SWT, sehingga apapun yang diberikan Allah ia malah terpesona dengan pemberian dan keputusan Allah. Bila sedang kesulitan maka ia segera ingat sabda Rasulullah SAW yaitu : Kalau kita sedang sulit perhatikanlah orang yang lebih sulit dari kita. Bila sedang diberi kemudahan, ia bersyukur dengan memperbanyak amal ibadahnya, kemudian Allah pun akan mengujinya dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Bila ia tetap bandel dengan terus bersyukur maka Allah akan mengujinya lagi dengan kemudahan yang lebih besar lagi. Maka berbahagialah orang yang pandai bersyukur!

Kedua. Al-azwaju shalihah, yaitu pasangan hidup yang sholeh. Pasangan hidup yang sholeh akan menciptakan suasana rumah dan keluarga yang sholeh pula. Di akhirat kelak seorang suami (sebagai imam keluarga) akan diminta pertanggungjawaban dalam mengajak istri dan anaknya kepada kesholehan. Berbahagialah menjadi seorang istri bila memiliki suami yang sholeh, yang pasti akan bekerja keras untuk mengajak istri dan anaknya menjadi muslim yang sholeh. Demikian pula seorang istri yang sholeh, akan memiliki kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa dalam melayani suaminya, walau seberapa buruknya kelakuan suaminya. Maka berbahagialah menjadi seorang suami yang memiliki seorang istri yang sholeh.

Ketiga, al auladul abrar, yaitu anak yang soleh. Saat Rasulullah SAW sedang thawaf, bertemulah dengan seorang pemuda yang pundaknya lecet-lecet. Selesai thawaf, Rasulullah SAW bertanya kepada anak muda itu: Kenapa pundakmu itu ? Jawab anak muda itu : Ya Rasulullah, saya dari Yaman, saya mempunyai seorang ibu yang sudah udzur. Saya sangat mencintainya, dan tidak pernah melepaskannya. Saya melepaskan beliau hanya ketika buang hajat, ketika sholat, atau ketika istirahat, selain itu sisanya saya selalu menggendongnya. Lalu anak muda itu bertanya: Ya Rasulullah, apakah aku sudah termasuk ke dalam orang yang berbakti kepada orang tua? Nabi SAW sambil memeluk anak muda berkata: Sungguh Allah ridho kepadamu. Kamu anak yang soleh. Anak yang berbakti. Tapi ketahuilah, anakku, cinta orangtuamu tidak akan terbalaskan olehmu. Dari hadist tersebut kita mendapat gambaran bahwa amal ibadah kita ternyata tidak cukup untuk membalas cinta dan kebaikan orang tua kita. Walaupun begitu, minimal kita bisa memulainya dengan menjadi anak yang soleh, dimana do`anya teruntuk orang tua amat mustajabah. Berbahagialah kita bila memiliki anak-anak yang sholeh.

Keempat, albi`atu sholihah, yaitu lingkungan yang kondusif untuk iman kita. Yang dimaksud dengan lingkungan yang kondusif ialah, kita boleh mengenal siapapun tetapi untuk menjadikannya sebagai sahabat karib kita, haruslah orang-orang yang mempunyai nilai tambah terhadap keimanan kita. Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah menganjurkan kita untuk selalu bergaul dengan orang-orang yang sholeh. Orang-orang yang sholeh akan selalu mengajak kepada kebaikan dan mengingatkan kita bila kita berbuat salah. Orang-orang sholeh adalah orang-orang yang bahagia karena nikmat iman dan nikmat Islam yang selalu terpancar pada cahaya wajahnya. InsyaAllah cahaya tersebut akan ikut menyinari orang-orang yang ada disekitarnya. Berbahagialah orang-orang yang selalu dikelilingi oleh orang-orang yang sholeh.

Kelima, al-malul halal, atau harta yang halal. Islam memandang harta bukanlah pada banyaknya, tetapi halalnya. Ini tidak berarti Islam menghalangi umatnya untuk kaya. Dalam riwayat Imam Muslim di dalam bab sadaqoh, Rasulullah SAW pernah bertemu dengan seorang sahabat yang berdoa mengangkat tangan. Kamu berdoa sudah bagus, kata Nabi SAW, Namun sayang makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalmu didapat secara haram, bagaimana doamu dikabulkan. Berbahagialah menjadi orang yang hartanya halal karena doanya sangat mudah dikabulkan Allah. Harta yang halal juga akan menjauhkan setan dari hatinya, maka hatinya semakin bersih, suci dan kokoh, sehingga memberi ketenangan dalam hidupnya. Karena itu, hendaklah kita berhati-hati dan selalu teliti menjaga kehalalan harta kita.

Keenam, Tafakuh fi dien, atau semangat untuk memahami agama. Semangat memahami agama diwujudkan dalam semangat memahami ilmu agama. Semakin kita belajar, semakin kita terangsang untuk belajar lebih jauh lagi tentang Islam baik yang tersurat maupun yang tersirat. Allah menjanjikan nikmat bagi umat-Nya yang menuntut ilmu, semakin ia belajar semakin cintalah ia kepada agamanya, dan semakin tinggi pula cintanya kepada Allah dan rasul-Nya. Cinta inilah yang akan memberi cahaya bagi hatinya. Semangat memahami agama akan menghidupkan hatinya, hati yang hidup adalah hati yang selalu dipenuhi cahaya iman dan islam. Maka berbahagialah kita yang penuh semangat memahami ilmu agama Islam.

Ketujuh, yaitu umur yang barokah. Umur yang barokah itu artinya semakin tua semakin sholeh, yang setiap detiknya diisi dengan amal ibadah. Seseorang yang mengisi hidupnya untuk kebahagiaan dunia semata, maka hari tuanya akan diisi dengan banyak bernostalgia tentang masa mudanya dan cenderung kecewa dengan ketuaannya. Di samping itu, pikirannya terfokus pada bagaimana caranya menikmati sisa hidupnya; iapun sibuk berangan-angan terhadap kenikmatan dunia yang belum sempat ia rasa. Hatinya kecewa bila tidak mampu menggapai kenikmatan yang diidamkannya. Sedangkan orang yang mengisi umurnya dengan banyak mempersiapkan diri untuk akhiratnya, maka semakin tua semakin rindu ia untuk bertemu dengan Sang Pencipta. Hari tuanya diisi dengan kemesraan bersama Sang Maha Pengasih. Tidak ada rasa takutnya untuk meninggalkan dunia ini, bahkan ia penuh harap untuk segera merasakan keindahan alam berikutnya. Inilah semangat hidup orang-orang yang barokah umurnya, maka berbahagialah kita bila dirahmati seperti ini. Jadi, tujuh indikator kebahagian yang dapat kita jadikan alat untuk mengukur kehidupan kita, yaitu: (1) memiliki hati yang selalu bersyukur; (2) bersanding bersama pasangan hidup yang sholeh; (3) melahirkan anak-anak yang soleh; (4) berada di dalam lingkungan yang baik; (5) memiliki harta yang halal; (6) selalu semangat untuk memahami agama; dan (7) mempunyai umur yang barokah. Wa Allahu alam!

SETIAP MANUSIA ITU PENTING


Jamaah Jumah rahimakumullah.. Ada sebuah cerita sederhana yang patut kita simak untuk memulai renungan kali ini. Adalah seorang kyai di satu pesantren menerima telpon dari Jakarta. Isinya, seorang pejabat akan mengunjungi pesantrennya. Kapan rencana kunjungan itu? tanya pak Kyai Suara dari seberang sana menyebutkan tanggal dan jamnya. Maaf, pada tanggal tersebut pesantren sedang libur jawab Kyai. Mengapa kalau libur? tanya sang penelepon. Kalau libur, ya sepi pak! jawab kyai Tapi khusus pada hari kunjungan itu kan para santri bisa disuruh masuk? Maaf pak, tidak bisa. Mereka sudah pada pulang kampung Tapi kan bisa disuruh datang sehari saja, mengingat yang akan datang ini orang penting lho.. kata sang penelepon agak ngotot.. Wah, saya tidak bisa, Pak. Banyak dari mereka berasal dari luar kota, bahkan luar daerah. Selain itu, liburan adalah milik para santri. Maaf, saya tidak berani merampas hak mereka Dengan wibawa kyai, mereka kan bisa diminta datang, kata sang penelepon lebih ngotot. Sekali lagi, maaf pak. Saya tidak sanggup. Kalau boleh tahu, sebenarnya yang mau ditinjau oleh beliau itu, pondoknya atau santrinya? Memangnya kenapa? Tanya sang penelepon agak emosi. Kalau yang ingin ditinjau itu pondoknya jawab kyai sekalem mungkin, kapan saja kami senantiasa siap karena pondoknya selalu ada. Tapi kalau yang ditinjau itu para santri, maka nanti saja ya, kalau liburan sudah selesai Saya tidak tahu santri atau pondoknya, karena yang datang bukan saya tapi beliau. Ingat pak kyai, beliau itu pejabat penting di negeri ini! kata suara dari seberang sambil meletakkan gagang telepon secara kasar. Jamaah Jumah yang dirahmati Allah.. Kejadian seperti di atas barangkali sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Saking seringnya, kemudian kita menjadikannya sebagai sesuatu yang biasa. Saking biasanya, lalu kita menjadikannya sebagai satu pembenaran. Dari itu, kemudian terbentuklah carapandang yang menganggapnya sebagai kelaziman bahwa dalam konteks cerita di atas: pejabat itu penting dan santri tidak penting sehingga liburannya harus dirampas. Ketika hal ini telah dianggap sebagai sesuatu yang lazim maka jadilah ia sebagai karakter atau dalam bahasa agama sebagai akhlaq di mana Imam al-Ghazali mengartikannya dengan tabiat yang tertanam dalam di ruang bawah sadar kita dan mengejawantah dalam bentuk tindakan yang mengalir begitu saja secara refleks, tanpa ada pertimbangan akal pikiran sedikitpun.

Gerak substantif terbentuknya akhlaq di atas mirip dengan apa yang pernah disitir oleh Steven R. Covey dalam bukunya The Seven Habits for Teenagers, bahwa barangsiapa menanam pikiran, akan menuai perbuatan. Barangsiapa menanam perbuatan, akan menuai kebiasaan. Barangsiapa menanam kebiasaan akan menuai karakter. Dan barangsiapa yang menanam karakter, akan menuai nasib. Bisa jadi nasib (bagian hidup) bangsa kita ini masih saja terpuruk karena carapandangnya yang dikotomik terhadap manusia: penting dan kurang penting. Dosen penting, mahasiswa kurang penting. Rektor penting, karyawan kurang penting. Presiden penting, rakyat kurang penting dan sejenisnya. Padahal kalau anggapan dikotomik seperti ini muncul maka penghargaan terhadap manusia akan berubah dan keadilan pun mulai sirna. Akibatnya, sejarah kekalahan manusia oleh manusia kembali terulang. Banyak tragedi hilangnya kekuasan karena berangkat dari pandangan dikotomik seperti ini. Orde baru terjungkal karena penguasa lebih mementingkan diri dan meremehkan rakyatnya. Saat ini peristiwa yang sama terulang kembali di Tunisia, dan tengah berlangsung di Yaman dan Mesir. Tidakkah kita mengambil pelajaran dari tragedi sejarah yang terus berulang ini? Jamaah Jumah yang dikasihi Allah.. Tuhan menciptakan semua manusia sama pentingnya. Karena Allah telah membuatnya dengan penuh kesungguhan dan sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya:

Dialah yang menciptakan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah (QS. As-Sajadah [32]:7).

Namun, manusialah yang membeda-bedakan diri mereka berdasarkan kelas. Ada kelas penting. Ada kelas kurang penting. Bahkan ada pula kelas yang tidak penting. Ukuran penting-tidaknya seringkali ditentukan oleh jabatan, pangkat dan kekayaan. Kemiskinan sering dianggap sebagai kesalahan bahkan kehinaan. Naudzubillah min dzalik Padahal di hadapan Allah, jabatan, pangkat, golongan dan kekayaan bukanlah ukuran kemuliaan, sebagaimana Allah berfirman:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat [49]: 13). oOo Sebuah hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim menceritakan, ada sebuah masjid yang sering dikunjungi Nabi Muhammad saat bepergian. Tiap kali singgah, beliau bertemu dengan nenek tua tukang sapu masjid itu, dan saling tegur sapa dengan ramah. Suatu hari Nabi kembali singgah di masjid itu, namun beliau tidak menemukan sang nenek tukang sapu itu. Kemana nenek kita, saya kok tidak melihat? Tanya Nabi. Oh, sudah meninggal beberapa hari lalu jawab seorang jamaah masjid.

Nabi terkejut mendengarnya, Mengapa tidak seorang pun dari kalian yang memberitahu aku? Para sahabat menganggap tidak perlu menginformasikannya kepada Nabi karena yang meninggal hanyalah tukang sapu masjid, sudah tua lagi. Padahal urusan Nabi sangat banyak. Nabi kecewa mendengar penjelasan itu. Kalau begitu, tunjukkan kepadaku kuburannya sekarang? pinta Nabi. Para sahabat menunjukkan kuburan nenek itu. Nabi lalu melakukan shalat gaib di sisinya. Jamaah Jumah yang dikasihi Allah.. Begitu tinggi Nabi menghargai nenek itu sampai perjalanannya tertunda demi ziarah ke kuburan tukang sapu. Secara fisik apa kelebihan nenek itu? Tidak ada. Ia tidak kaya, tidak pandai, tidak cantik, sudah tua lagi. Namun Nabi sangat menghormatinya karena nenek itu memberikan manfaat besar kepada orang lain dalam bentuk menjaga kebersihan masjid. Itu dilakukan dengan penuh kesungguhan. Nabi pernah bersabda:

Sebaik-baik manusia ialah yang paling banyak manfaatnya kepada sesama manusia Menghormati orang besar itu gampang. Tapi menghormati orang kecil itu perlu belajar. Lebih sulit lagi jika yang tumbuh di sekitar kita justru budaya menjilat ke atas dan menginjak ke bawah.. dan belajar menghargai orang lain bisa diawali dengan menganggap penting setiap orang. Demikianlah, semoga renungan sejenak ini dapat menginspirasi kita untuk belajar menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, semoga

KRISIS MAKNA
Jamaah Jumah rahimakumullah.. Sebagai orang timur dan beragama Islam, sesungguhnya kita mewarisi banyak tatanan nilai yang mulia. Semua itu bertebaran dalam pelbagai symbol tradisi, ujaran, pitutur, nyanyian, dongeng dan firman-firman suci. Bisa dikatakan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan semuanya sarat dengan ajakan kebajikan. Namun sayangnya, entah mungkin karena mata kita telah terbutakan, telinga kita telah tertulikan dan hati kita telah terbekukan sehingga semua nilai itu hanyalah formalitas hiasan dinding keberagamaan kita semata. Di tengah penomena alam yang tidak terduga, dan di tengah penomena kehidupan yang begitu cepat berubah, tatanan nilai itu tampak lusuh, dingin, datar dan tanpa makna. Dari itulah, ada orang yang menyebut bahwa dari sekian krisis yang terjadi pada bangsa ini, yang terparah adalah krisis makna. Kalaulah benar pembacaan ini, sungguh harga diri kita sebagai manusia telah terjatuh pada titik nadirnya, karena sesungguhnya potensi tertinggi yang dianugerahkan Allah SWT pada manusia adalah kecerdasannya untuk memaknai. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan binatang, dan pada sisi inilah manusia tidak mampu dijelaskan oleh teori evolusi Darwin. Sekali lagi, kalaulah benar pembacaan ini, maka tidak tertutup kemungkinan kita termasuk golongan yang digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya (QS. Al-arof [7]:179)

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.

Jamaah Jumah yang dirahmati Allah.. Orang bijak mengatakan, makna bukanlah untaian kata yang menghibur hati. Makna bukanlah kata-kata mutiara yang menenangkan jiwa. Namun makna adalah ketika apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dipahami dan diyakini mampu menghadirkan perubahan di dalam tindakan nyata. Maksud dari itu semua adalah keterpaduan antara keyakinan iman dan amal kebajikan. Secara teologis, konsep ini dapat kita rujukkan pada setiap torehan kata di dalam alQur`an, di mana senantiasa dilanjutkan dengan kata . Dengan kata lain, belumlah dikatakan beriman diri kita, jika keyakinan yang ada di hati ini belum mampu kita praksiskan dalam wujud amal kebajikan. Muhammadiyah sebagai gerakan, sesungguhnya adalah wujud nyata dari konsep keberimanan di atas. Lambangnya matahari merupakan pertanda bahwa orang-orang persyarikatan ini selain mencerahkan mestilah senantiasa memberi tanpa harap kembali. Untuk itu, maka basis gerakannya bukanlah sekadar pemikiran yang melayang di awang-awang, tetapi lebih pada amal-usaha yang nyata di pelbagai sektor kehidupan. Dan agar amal itu kian optimal, maka selayaknyalah disinerjikan dalam kinerja organisasi yang baik. Karena sebenar apapun amal kebajikan, jika tidak diorganisir dengan baik, selain tidak efektif, juga akan tergerus oleh kebatilan yang terorganisir.

Kini, marilah kita berkaca. Merasuk ke dalam diri kita, jangan-jangan keimanan kita baru sebatas bualan tanpa tindakan, hanya sekadar pengetahuan tanpa makna, atau hanyalah interpretasi tanpa aksi. Kalau demikian adanya, maka kebinasaanlah jadinya. Muhammad Iqbal (pujangga Muslim Pakistan) pernah mengingatkan dengan syairnya: Hidup tak ubahnya adalah lukisan dan puisi, semuanya adalah ekspresi. Kontemplasi tanpa aksi adalah kematian. oOo Pada khutbah kedua ini, khatib ingin menambahkan renungan sebelumnya dengan mengajak menelisik pada kisah nyata yang dikutip dari sebuah tabloid Islam di London, Inggris berikut ini: Adalah seorang imam masjid di London, yang setiap hari pergi pulang dari rumahnya ke masjid dengan mengendarai bus umum. Ongkos bus tersebut dibayar pakai kartu (card), atau langsung ke sopir karena bus tidak memiliki kondektur. Setelah bayar, baru kemudian mencari tempat duduk yang kosong. Sang imampun membayar ongkos pada sopir lalu menerima kembalian, sebab hari itu ia tidak punya uang pas, baru kemudian duduk di bangku belakang yang kebetulan kosong. Di tempat duduknya, ia menghitung uang kembalian dari sopir yang ternyata kelebihan 20 sen. Sejenak olehnya terpikir, uang ini dikembalikan atau tidak yah? Ah hanya 20 sen saja kok? Lagian sopirnya juga orang kafir, atau aku masukkan saja ke kotak amal di masjid?? Setelah sampai di tempat tujuan, ia pun hendak turun dengan berjalan melewati sopir bus tersebut. Dalam hatinya masih bergejolak atas uang 20 sen itu, antara dikembalikan atau tidak. Namun ketika sampai di dekat sopir, spontan iapun mengulurkan 20 sen sambil berkata: Uang kembaliannya berlebih 20sen. Tanpa disangka tanpa dinyana.. sopir itu mengacungkan jempol seraya berkata:Anda berhasil..!!!. Apa maksud Anda..? Tanya sang imam. Bukankah anda imam masjid yang di sana tadi? Tanya sopir. Betul jawabnya Lantas sopir itu berkata Sebenarnya sejak beberapa hari ini saya ingin datang ke masjid Anda untuk belajar dan memeluk Islam.. tapi timbul keinginan di hati saya untuk menguji Anda sebagai imam masjid, apa benar Islam itu seperti yang saya dengar: jujur, amanah dan sebagainya. Saya sengaja memberikan kembalian berlebih dan anda berhasil. Saya akan masuk Islam. Kata sopir tersebut.. Alangkah tercengangnya imam masjid tersebut, sambil beristighfar meyesali apa yg dipikirkannya tadi. Hampir saja ia kehilangan kepercayaan hanya dengan uang 20 sen itu. Astaghfirullah Jamaah Jumah yang dirahmati Allah SWT.. Kisah di atas menunjukkan tentang bagaimana kesejatian iman seorang Muslim senantiasa akan diuji. Apakah sebatas keyakinan tanpa makna, atau menyatu dengan sikap dan amal kebajikan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan di hadapan siapa saja Ujian keimanan itu akan selalu kita hadapi, karena sesungguhnya kehidupan ini Allah ciptakan memang untuk menguji siapa di antara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS: Al-Mulk: 2:

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Amal yang baik, cirinya adalah karena dilandasi niatan ibadah yang penuh keikhlasan. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal. Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya, . .

Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan. (Ash-Shaaffat: 40-43)

KEMATIAN DAN HARAPAN


Saya ingin memulai renungan ini dengan menilik kembali kisah nyata yang pernah dikabarkan di salah satu stasiun televisi. Walaupun cerita ini telah lama, namun ada harapan semoga kita bisa mengambil Itibar darinya. Jejen (40 tahun) menceritakan bahwa peristiwa kematian Nana (71 tahun), ibunya sangat tibatiba dan tanpa diduga sama sekali. Tidak ada pertanda kalau ibunya sedang sakit atau apapun. Semuanya berjalan normal. Saat itu telah masuk waktu Subuh, seperti biasanya sang ibu terjaga dengan sendirinya dan bergegas mengambil wudhu. Suara gemercik air membangunkan Jejen dari tidurnya. Tak lama kemudian, melalui celah-celah dinding gedek pemisah kamar mereka, secara perlahan Jejen mendengar bacaan shalat yang keluar dari mulut ibunya. Tiba-tiba ia mendengar suara brukk! yang cukup keras. Jejen terhentak dan beranjak menuju kamar ibunya dan didapati ibunya sudah tersungkur dalam posisi miring. Sementara kedua tangannya masih dalam posisi menengadah, sebagaimana layaknya orang yang tengah berdoa. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. ucap Jejen saat menyadari urat nadi ibunya tidak lagi berdenyut. Ibunya telah wafat. Lalu sebagaimana wasiat sang ibu, Jejen menguburkan jenazahnya di atas tanah miliknya, di sekitar rumahnya. Lima belas tahun kemudian, saat Jejen sudah dikarunia dua orang anak dari pernikahannya dengan Fatimah, wanita yang sengaja dipilihkan ibunya, tiba-tiba muncul peristiwa di mana diketahui bahwa tanah waris ibunya telah berpindah tangan. Menurut pengakuan Jejen, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa ketika muncul sosok yang mengaku sebagai ahli waris ibunya. Secara singkat Jejen menceritakan bahwa tanah yang ditempatinya itu adalah hak saudara ibunya. Sayang ketika ibunya meninggal, Jejen tidak mendapat wasiat maupun hak waris mengenai tanah yang ditempatinya itu. Ya barangkali karena memang Jejen hanyalah anak angkat ibu tua itu. Ibunya pun tak sempat bercerita mengenai asal muasal tanah itu. Karena di antara tetangga ada yang mengetahui bahwa orang yang mengaku berhak atas tanah itu memang salah satu keluarga almarhumah, membuat posisi Jejen semakin lemah. Agar tidak terjadi keributan lebih panjang, Jejen akhirnya pasrah dan membiarkan orang tersebut menguasai tanah yang diakui sebagai haknya. Masalahnya adalah di atas tanah tersebut terdapat makam ibu Jejen sedangkan tanah itu akan segera dijual. Maka atas kesepakatan dalam musyawarah keluarga yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat setempat, makam Nana akan dipindahkan ke tempat lain. Penggalian kuburan pun dilakukan dan dipimpin oleh Ustadz Suhad, tokoh agama setempat yang juga guru mengaji almarhumah. Proses penggalian berlangsung lancar. Dari lubang kubur, ternyata mayat Nana masih terbungkus kain kafan. Peristiwa itu membuat Jejen, Ustadz Suhad serta beberapa orang yang turut menggali atau menyaksikannya terkejut. Setelah diangkat, subhanallah, ternyata Jenazah Nana masih utuh layaknya jenazah baru yang akan dimakamkan. Daging yang melekat di tubuh Nana tidak terasa lembek di tangan orang yang mengangkatnya. Jenazah Nana seperti tidak termakan oleh waktu dan tanah. Orang-orangpun ramai memperbincangkan perihal jenazah tersebut. Siapakah Nana sebenarnya? Mengapa ia bisa mendapatkan satu dari tanda kematian yang khusnul khatimah tersebut? Dalam kehidupannya yang sederhana, Nana dikenal para tetangganya sebagai orang yang dermawan, taat beribadah, dan dapat menjadi contoh bagi kita semua. Mereka melihat pada diri Nana suatu pelajaran bahwa hidup manusia tidak berarti apa-apa jika jauh dari Allah SWT. Karenanya mendekatkan diri pada-Nya setiap saat merupakan jalan yang terbaik sebelum maut menjemput.[1] Para Hadirin rahimakumullah..

Kullu nafsin dzaiqatul maut. Semua yang hidup pasti akan mati. Siapapun kita, muslim atau kafir, kita tidak menafikannya. Karena secara kasat mata, kematian adalah realitas yang kita temukan sepanjang hidup ini. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan mungkin setiap detik, ada yang mati. Selalu saja ada yang mati. Termasuk makhluk di sekitar kita, apakah yang telah kita namai atau belum. Termasuk manusia di sekeliling kita, apakah itu orangtua, saudara, sahabat, tetangga atau yang belum kita kenal.. Semuanya binasa. Dan dalam sanubari, kitapun haqqul yaqin bahwa diri ini bila tiba saatnya juga akan mati. Jadi kematian adalah real, suatu fakta yang pasti terjadi. Sehingga Imam Jafar ash-Shadiq pernah bertutur: Tidaklah Allah Azza wajalla menciptakan satu keyakinan yang di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun, atau bahkan hanya sekadar menyerupai keraguan, daripada kematian[2]. Walaupun semua manusia satu keyakinan tentang realitas kematian, namun tidak semua memiliki satu sikap yang sama terhadapnya. Karena yang demikian itu sangat dipengaruhi oleh keberbedaan carapandang dan pemahaman terhadapnya. Ada di antara manusia yang berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali yakni kehidupan duniawi semata dan kematian merupakan titik akhirnya maka mereka akan mengejar kelezatan duniawi dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun caranya senyampang maut belum menjemput. Sebagai seorang muslim, tentu tidaklah demikian carapandang kita, karena Islam telah mengajarkan bahwa kehidupan ini tidaklah berhenti di dunia semata tetapi merupakan satu paket perjalanan dunia-akhirat. Yang pertama dinamai Al-Quran sebagai al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang kedua dinamainya al-hayawan (kehidupan yang sempurna). Sebagaimana firman Allah:

Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna) jika mereka mengetahui (QS Al-Ankabut [29]: 64). Dijelaskan pula bahwa, Katakanlah: Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orangorang bertakwa, dan kamu sekalian tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa [4]: 77) Carapandang inilah yang menjadikan kita, sebagai muslim, memiliki orientasi dan visi hidup yang melesat jauh ke depan. Visi hidup yang tidak berhenti ketika datang kematian tetapi melintasi pasca-kematian. Karena kematian sebagaimana dikatakan oleh Raghib Al-Isfahani sebagai proses perpindahan dari satu negeri (dunia) ke negeri yang lain (akhirat). Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati). Para Hadirin yang dikasihi Allah.. Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa kematian merupakan pintu menuju kehidupan yang lebih abadi. Di sanalah kehidupan yang sesungguhnya dipertaruhkan. Apakah dalam kenikmatan atau kesengsaraan. Hal itu tergantung pada kualitas amal kita pada saat hidup sebelum kematian (kehidupan duniawi) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah: . .

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al-Mulk: 1-2) Karena itu, walaupun kehidupan duniawi seringkali disebut sebagai kehidupan yang rendah dan menipu namun kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena di situlah ladang amal kita sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: ad-dunya mazraatul akhirah bahwa dunia itu adalah ladang akhirat. Bagaimana mungkin kita akan berpanen ria di akhirat kelak jika meninggalkan dunia, tanah ladang kita. Sesungguhnya Allah swt, kata Imam Ali dalam Nahjul Balaghah, telah menjadikan dunia untuk masa sesudahnya, dimana penghuninya diuji untuk mengetahui siapakah yang terbaik kualitas amalnya, dan tidaklah untuknya kita tercipta, serta tidak pula dengan larut di dalamnya kita diperintah. Di sinilah konsep kematian bagi kita melahirkan harapan sekaligus lecutan agar kita senantiasa waspada untuk mampu mengisi kehidupan duniawi ini dengan kesalehan-kesalehan yang terbaik sebagaimana dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitulah kiranya istidad (persiapan) untuk memasuki pintu keabadian. Dan selanjutnya, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, semoga kita semua dimatikan dalam kusnul khatimah, amin![]

MEWASPADAI CINTA DUNIA


Saya ingin mengajak hadirin sekalian untuk menggali nilai dalam kisah sufi yang mashur ini. Diceritakan ada seorang sufi yang berlaku keras terhadap dirinya agar tetap zuhud. Ia tinggal di sebuah gubuk sederhana di tepi sebuah hutan. Karena takutnya akan menjadi jauh dengan Sang Maha Kasih maka ia meninggalkan semua kesenangan dunia. Hari-harinya digunakan hanya untuk shalat dan berdzikir kepada-Nya. Ia makan dan minum hanya sedikit. Ia berpakaian sederhana saja. Di gubuknyapun tak ada perabot kecuali yang sederhana dan sekadar diperlukan. Tangannya tak pernah lepas memegang tasbih. Ia betul-betul menjaga diri agar dunia ini tidak membuatnya terlena. Sementara itu, tersiar kabar bahwa di tengah kota yang hiruk pikuk tinggallah seorang sufi yang lain. Konon ia seseorang yang berharta dan tinggal di rumah bak istana. Sang sufi yang hidup sederhana tadi menjadi penasaran dengan berita tersebut. Di benaknya menggelitik pertanyaan, bagaimana orang bisa menjadi sufi yang zuhud bila ia tinggal di tenggah-tengah kemeriahan kesenangan dunia? Maka timbullah hasratnya untuk bertemu dengannya, bila perlu ia akan menyampaikan nasihat kepada sufi yang tinggal di kota tersebut. Akhirnya, hari itu ia berangkat ke kota. Penat perjalanan yang lama ditahannya demi sebuah misi mulia menyadarkan seorang sahabat. Ketika tiba di kota yang dituju, ia begitu terperangah mengetahui tempat tinggal orang yang dicarinya itu. Rumah tinggalnya itu benar-benar megah dengan taman-taman yang indah. Akhirnya ditemuinya sang pemilik rumah itu, yang menyambutnya dengan gembira ketika ia menyampaikan maksud untuk bertamu hingga beberapa hari. Hari-hari bertamunya itu sungguh-sungguh silaturahmi yang baik. Mereka saling bertukar pikiran yang makin memperdalam keimanan mereka. Sesungguhnyalah mereka berdua itu orang-orang pintar yang tahu bagaimana menggunakan anugerah waktu. Pada hari terakhir, berpamitlah sufi sederhana tadi. Ia masih mengingat misi yang membawanya menemui sufi kaya raya tadi. Maka ditawarkannya kepada sufi kaya tadi untuk berkunjung ke gubuknya. Ajakan itu disambut oleh sufi kaya dengan gembira. Bagaimana kalau kita berangkat sekarang juga?, pinta si sederhana. Baiklah, dengan begitu kita tidak menyia-nyiakan waktu jawab si kaya. Demikianlah, sufi sederhana tadi mengajak sufi kaya pulang ke gubuknya di tepi hutan. Harapannya, dengan mengalami tinggal di gubuk sederhana sufi kaya tadi berkesempatan belajar hidup jauh dari kesenangan duniawi. Itu sebabnya ia ajak berangkat dengan segera, agar tidak sempat mempersiapkan harta benda untuk dibawanya sebagai bekal. Dan, ternyatalah bahwa sufi kaya tadi tidak membawa harta apa-apa kecuali yang ada pada dirinya saat ia menyetujui ajakan pergi. Singkat cerita, tibalah mereka di depan gubuk yang terkunci itu. Akan tetapi, sang sufi sederhana tadi tercekat. Barulah teringat olehnya bahwa tasbihnya tertinggal di kota. Aduhai, tasbih itulah yang menemaniku berdzikir. Dengan kesedihan yang sungguh-sungguh ia sampaikan kepada sang sufi kaya tadi, Maafkan sahabatku, tasbih milikku tertinggal di rumahmu. Dan aku sangat membutuhkan tasbih itu. Wahai sahabatku, bagaimana mungkin engkau menekuri jalan sufi bila hati dan pikiranmu masih terikat dengan tasbih yang adalah benda dunia?, jawab sang sufi kaya tadi. Jawaban itu begitu menghujam kesadarann ya, membuatnya terhentak dan sangat malu. Kearifan yang dapat digali dari kisah di atas adalah bahwa keterlenaan oleh dunia bukan dinilai dari banyak sedikitnya harta, bukan oleh besar kecilnya kekayaan tetapi oleh keterikatan hati dan pikiran kita kepadanya. Inilah esensi renungan kita kali ini. Katakuncinya adalah dunia dan keterikatan. Dunia berasal dari kata danaa-yadnuu, yang berarti dekat. Dinamai dunia, demikian Lisaul Arab menyebutkan, karena dekatnya dengan kita dan terlambatnya akhirat. Imam Ali (kw) mengatakan: sesungguhnya dunia disebut dunia karena dia yang terdekat dari segala

sesuatu, dan sesungguhnya akhirat disebut akhirat karena di dalamnya terdapat balasan dan ganjaran. Kata dunia di dalam al-Qur`an disebutkan sebanyak 115 kali. Di antaranya adalah surat Ali-Imran [3] ayat 14 yang berbunyi: Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita, anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). Ayat ini menjelaskan tentang kelezatan dunia secara ilustratif sebagai kecintaan kepada wanita, anak-anak dan harta benda. Semua itu dijadikan indah di mata manusia, sehingga membuat kita cenderung dan gandrung kepadanya. Jika tidak berhati-hati dan kurang bisa mengendalikan diri maka kita akan terjatuh pada kecintaan berlebih dan kita menjadi orang yang terpedaya oleh dunia. Dari sekian ayat tentang dunia, sebagian besar mengingatkan kita akan tipuan duniawi. Di antaranya dalam surat al-Hadid [57] ayat 20, Allah berfirman: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridaanNya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu. Rasulullah juga mengingatkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudry, bahwa Rasulullah saw duduk di atas mimbar dan kami duduk di sekelilingnya, lalu beliau bersabda: sesungguhnya di antara hal yang saya takuti pada kalian sesudahku adalah kemewahan dunia dan keindahannya (muttafaq alaih). Selain Allah dan Rasulnya, banyak pula para bijak-cendekia yang mengingatkan tentang tipudaya kehidupan dunia. Misalnya ada mengatakan: (manusia merupakan anak-anak dunia, maka tidaklah pantas seseorang mencintai ibunya). Kalau demikian, apakah kita mesti meninggalkan dunia ini?. Tentu tidak begitu. Karena sebagai muslim kita memiliki pandangan yang khas tentang dunia, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: ad-dunya mazraatul akhirah bahwa dunia itu adalah ladang akhirat. Bagaimana mungkin kita akan berpanen ria di akhirat kelak jika meninggalkan dunia, tanah ladang kita. Sesungguhnya Allah swt, kata Imam Ali dalam Nahjul Balaghah, telah menjadikan dunia untuk masa sesudahnya, dimana penghuninya diuji untuk mengetahui siapakah yang terbaik kualitas amalnya, dan tidaklah untuknya kita tercipta, serta tidak pula dengan larut di dalamnya kita diperintah. Sebagai tempat bercocok amal, maka dunia hanyalah instrumen semata untuk menggapai tujuan utama, yaitu keridhaan Allah SWT. Karenanya, jangan sampai sesuatu yang instrumental itu melengahkan kita terhadap yang esensi. Untuk itu, marilah kita terus belajar untuk menjadikan pikiran, hati, dan jiwa kita sebagai majikan dari kehidupan dunia kita, bukan sebaliknya menjadi budak yang terikat dengan harta benda kita. @@@

Pada khutbah kedua ini, khatib ingin mengikhtisari khutbah pertama bahwa dunia, walaupun memiliki kecenderungan untuk menipu dan melengahkan kita, namun justru di situlah tempat kita bercocok-amal untuk kita panen di akhirat kelak. Karenanya, mari kita menghitung-hitung diri ini apakah kita selama ini telah menjadi majikan dari kehidupan dunia dengan tidak terikat pikiran hati dan jiwa kita kepadanya, atau sebaliknya kita menjadi budak dari dunia yang kita miliki. Indikatornya sederhana saja: apakah kita masih takut kehilangan apa yang kita miliki setelah berikhtiar dan bertawakkal? apakah kita masih tidak bisa mengikhlaskan apa yang telah hilang dari kehidupan kita? Apakah kita masih enggan memberikan yang kita miliki kepada orang yang ebih membutuhkan? Kalau iya, berarti kita bukanlah termasuk majikan yang kaya. Hamka pernah mengatakan, orang yang kaya adalah orang yang sedikit keperluannya. Kalau demikian, maka marilah kita belajar lagi, dan terus berlatih lagi karena menjadi orang kaya yang tidak dimiliki oleh dunia bukanlah perkarah mudah!.

MENGAKHLAQKAN CARAPANDANG POSITIF


Saya ingin mengawali renungan kita kali ini dengan mengingatkan pada salah satu kisah kehidupan yang mungkin banyak tercecer di depan mata kita. Cerita ini tentang seorang kakek yang sederhana, hidup sebagai orang kampung yang bersahaja. Suatu sore, ia mendapati pohon pepaya di depan rumahnya telah berbuah. Walaupun hanya dua buah namun telah menguning dan siap dipanen. Ia berencana memetik buah itu di keesokan hari. Namun, tatkala pagi tiba, ia mendapati satu buah pepayanya hilang dicuri orang. Kakek itu begitu bersedih, hingga istrinya merasa heran. masak hanya karena sebuah pepaya saja engkau demikian murung ujar sang istri. bukan itu yang aku sedihkan jawab sang kakek, aku kepikiran, betapa sulitnya orang itu mengambil pepaya kita. Ia harus sembunyi-sembunyi di tengah malam agar tidak ketahuan orang. Belum lagi mesti memanjatnya dengan susah payah untuk bisa memetiknya.. dari itu Bune lanjut sang kakek, saya akan pinjam tangga dan saya taruh di bawah pohon pepaya kita, mudah-mudahan ia datang kembali malam ini dan tidak akan kesulitan lagi mengambil yang satunya. Namun saat pagi kembali hadir, ia mendapati pepaya yang tinggal sebuah itu tetap ada beserta tangganya tanpa bergeser sedikitpun. Ia mencoba bersabar, dan berharap pencuri itu akan muncul lagi di malam ini. Namun di pagi berikutnya, tetap saja buah pepaya itu masih di tempatnya. Di sore harinya, sang kakek kedatangan seorang tamu yang menenteng duah buah pepaya besar di tangannya. Ia belum pernah mengenal si tamu tersebut. Singkat cerita, setelah berbincang lama, saat hendak pamitan tamu itu dengan amat menyesal mengaku bahwa ialah yang telah mencuri pepayanya. Sebenarnya kata sang tamu, di malam berikutnya saya ingin mencuri buah pepaya yang tersisa. Namun saat saya menemukan ada tangga di sana, saya tersadarkan dan sejak itu saya bertekad untuk tidak mencuri lagi. Untuk itu, saya kembalikan pepaya Anda dan untuk menebus kesalahan saya, saya hadiahkan pepaya yang baru saya beli di pasar untuk Anda. Jamaah Jumah yang dirahmati Allah.. Kisah di atas mungkin begitu sederhana sebagaimana tokoh protagonisnya yang juga bersahaja. Namun ada ibroh yang bisa kita pelajari darinya, yaitu tentang keikhlasan, kesabaran, kebajikan dan cara pandang positif terhadap kehidupan. Yang terakhir itulah yang hendak kita jadikan topik renungan kita kali ini.

Saudara-saudara yang dimuliakan Allah SWT, Mampukah kita tetap bersikap positif saat kita kehilangan sesuatu yang kita cintai dengan ikhlas mencari sisi baiknya serta melupakan sakitnya suatu musibah? Kebanyakan dari kita mungkin belum bisa. Karena memang kecenderungan manusia dalam mencinta, lupa bahwa apa yang disenanginya hanyalah titipan semata, yang setiap saat bisa diambil kapan saja. Allah menyiratkan itu dalam QS. Al-Adiyat [100]:6-8: . . .

sesungguhnya manusia itu sangat ingkar, tidak berterima kasih kepada Tuhannya, dan sesungguhnya manusia itu menyaksikan (sendiri) keingkarannya, dan sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta.

Atau barangkali ada di antara kita yang telah mampu bersikap positif saat didera musibah, namun bisa jadi itu bersifat sementara. Hari ini kita mungkin bisa tabah mengikhlaskannya, namun esok hari belum tentu bisa begitu karena suasana hati yang tidak menentu. Kalau demikian, berarti cara pandang positif belum menjadi akhlaq kita. Karena sesuatu dikatakan telah mengakhlaq di dalam diri manakala itu telah mendarahdaging, di mana geraknya bersifat substantif, tidak insidentil. Ia akan berpikir dan bertindak positif kapanpun, dimanapun, sendirian maupun bersama siapapun. Karena itu, orang-orang yang telah memiliki carapandang positif sebagai akhlaqnya bisa dikatakan sebagai orang-orang yang telah memetik buah dari pohon keimanan dan keberislaman. Ya, karena akhlaq positive thinking tidaklah mungkin bisa terbangun kalau tidak karena dasar aqidah yang kokoh dan keberserahan diri yang total kepada Allah SWT.

Jamaah Jumat yang selalu berharap ridha Allah Aqidah atau sistem keyakinan tauhid dalam Islam biasanya dikenali unsur-unsurnya, paling tidak, dalam 3 konsep utama yang tak terpisahkan: 1) Tauhid Rububiyah, satu unsur keyakinan dimana kita mengesakan Allah sebagai Rabb. Tuhan yang menciptakan dan maha mengatur alam semesta. Tiada apapun yang keluar dari takdir ilahi, bahkan daun yang berguguran dari pohonpun Allah yang mengaturnya. Sebagaimana firman suci-Nya: Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lohmahfuz) (QS. Al-An`am [6]:59).

2) Tauhid Mulkiyah, satu keyakinan dimana kita mengesakan Allah sebagai Malik, satu-satunya Raja Diraja yang maha memiliki dan maha menguasai alam semesta. Dialah Pemilik segalanya. Apapun yang ada di alam ini ataupun yang ada pada diri kita, Dialah Pemilik Hakikinya. Sebagaimana Allah berfirman: Tiadakah kamu mengetahui bahwa kerajaan langit dan bumi adalah kepunyaan Allah? Dan tiada bagimu selain Allah seorang pelindung maupun seorang penolong (QS. Al-Baqoroh [2]:107)

Di banyak ayat yang lain, Allah menegaskan kembali tentang itu, di antaranya:

Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Maidah [5]: 120).

3) Tauhid Uluhiyah, satu keyakinan dimana kita mengesakan Allah sebagai Ilah. Yaitu satusatunya al-Mabud, yang disembah, diibadahi, dicinta, diagungkan, ditaati, dan dipatuhi. Hanya kepada-Nya semata kita berserah diri, mengorban-kan diri, menambatkan setiap asa, harap dan doa kita, serta hanya kepada-Nya semata kita memohon pertolongan. Sebagaimana firman-Nya:

Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku (QS. Thaha [20]:14)

Saudara-saudara yang dirahmati Allah SWT, Berdasar sistem keyakinan itulah, orang-orang yang berpandangan positif sebagai akhlaqnya memiliki sikap yang terbaik terhadap setiap kejadian, walaupun pada apa yang kita menganggapnya sebagai musibah atau kesialan. Mereka tidak memiliki perbendaharan bahasa seperti sial, celaka, kehilangan, bencana dan sejenisnya, karena mereka selalu bisa melihat hikmah atau sisi baik di balik setiap peristiwa. Sehingga, pikiran dan perasaan mereka selalu mendisposisikan untuk berucap dan bertindak mulia dalam bingkai keyakinan sepenuhnya bahwa Allah dengan Rahman Rahimnya tidaklah menciptakan segala sesuatu dalam kebatilan atau kesia-siaan, sebagaimana ucapan Ulul Albab yang diabadikan dalam al-Qur`an: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka (QS. Ali Imran [3]: 191).

Dari itu, mereka berserah diri sepenuhnya bahwa Yang Maha Wadud, Allah SWT tidaklah mungkin akan mentakdirkan yang buruk bagi alam semesta, apalagi manusia. Ungkapan kesialan dan bencana jangan-jangan merupakan ekspresi dari ketidakmampuan kita dalam melihat sisi baik dari setiap ciptaan Tuhan yang Maha Kuasa. Orang yang memiliki carapandang positif sebagai akhlaqnya senantiasa bisa melihat pelita dalam kegelapan. Mampu bersikap adil dalam setiap kejadian. Tidak sombong dan lupa daratan ketika terdudukkan dalam kenikmatan, sebaliknya juga tidak pesimis dan putus-asa dari nikmat Tuhan bahkan selalu memiliki harapan ketika berada dalam kebangkrutan. Sehingga mereka itulah orang-orang yang bisa jadi dalam hidupnya pernah terjatuh sepuluhkali namun tetap mampu bangkit sebelaskali. Demikianlah kehebatan orang-orang yang memiliki akhlaq carapandang positif. Semoga kita mampu belajar untuk bisa memiliki akhlaq tersebut, amin ya Rabbal alamin..

-o0oKhutbah 2: Jamaah Jumah yang dirahmati Allah SWT, Memiliki akhlaq carapandang positif, bukanlah suatu kebetulan atau tiba-tiba. Tetapi melalui satu proses belajar yang awalnya disengaja. Ada yang mengatakan process of learning ini sebagai prinsip belajar tanam-tuai. System keyakinan Tauhid yang kita miliki tidak boleh berhenti sebagai pemahaman kognitif semata, haruslah kita tanam (ejahwantahkan, praktikkan) dalam setiap perbuatan sehingga kita bisa memanennya sebagai kebiasaan. Kebiasaan baik ini haruslah kita tanam terus hingga kita bisa menuainya sebagai karakter. Saat itulah, carapandang positif ini telah mendarahdaging, menjadi akhlaq kita. Semoga kita termasuk hamba Allah yang diberikan kemudahan dan inayah-Nya dalam menanam-tuai akhlaq baik ini. Amien ya Rabbal Alamin

Anda mungkin juga menyukai