Anda di halaman 1dari 2

PENYELESAIAN PELANGGARAN HAM BERAT

Di banyak negara, termasuk Indonesia, sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk
menyelidiki atau mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Sikap melindungi secara terang-terangan biasanya dilakukan oleh para penguasa yang warga
negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Perlindungan seperti itu tecermin dari
kesengajaan untuk tak menerapkan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau
memberikan interpretasi (penafsiran) yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan
perundang-undangan mengenai kejahatan itu.

Segala cara selalu dilakukan semata untuk menciptakan impunitas bagi para pelaku kejahatan itu.
Kebiasaan seperti ini harus segera dihentikan agar tak merusak masa depan anak bangsa.

Banyak contoh kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia yang terkesan ditutup- tutupi.
Mulai dari kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti, Semanggi I, II, penculikan aktivis tahun
1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), hingga kasus Waisor, Wamena, di Papua yang telah selesai
diselidiki oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tanpa kunjung tiba
penyelesaiannya. Kini kasus HAM berat 1965/1966 kembali diungkap Komnas HAM dan
merekomendasikan untuk ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung.

Menurut Jaksa Agung Basrief Arief, jika hasil penelitian diputuskan ditingkatkan ke tahap penyidikan,
kejaksaan membutuhkan pengadilan HAM ad hoc. Hal ini mengingat kasus itu terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ada. Polemik tentang pembentukan
pengadilan HAM ad hoc ini sangat krusial menghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat
yang terjadi selama ini.

Menurut penulis, seharusnya Komnas HAM terlebih dahulu melakukan penyelidikan (sudah berjalan),
kemudian Jaksa Agung menyidik atau mengembangkan hasil temuan Komnas HAM itu. Dari hasil
temuan itu baru DPR memberikan rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM ad hoc kepada
presiden untuk mendapat keputusan presiden (keppres). Jadi, bukan justru mengembalikan berkas
kasus yang sudah diselidiki Komnas HAM seperti yang pernah terjadi 1 April 2008, apalagi tanpa
petunjuk jelas dari Kejaksaan Agung.

SATU PAKET

Menurut penjelasan Pasal 43 (2) UU Pengadilan HAM, secara eksplisit ditegaskan, dalam hal DPR
mengusulkan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya
pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus dan tempus delicti tertentu yang terjadi
sebelum diundangkannya UU ini. Ini berarti, setiap pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
UU No 26/2000 terbentuk, DPR wajib merekomendasikan/mengusulkan pembentukan pengadilan
HAM ad hoc atas peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat berdasarkan hasil temuan Komnas HAM
dan Jaksa Agung.

Di tahapan ini, DPR tak boleh menolak memberikan rekomendasi pembentukan pengadilan HAM ad
hoc dengan alasan tidak ditemukan pelanggaran HAM berat. Di sini DPR tak perlu menilai substansi
perkara ada tidaknya pelanggaran HAM berat. Yang berwenang menilai hanya pengadilan HAM ad
hoc, bukan DPR.

Dalam praktik, pengalaman penulis sebagai hakim HAM mengadili kasus pelanggaran HAM berat
Timor Timur 1999 dan Tanjung Priok 1984 di Pengadilan HAM Ad Hoc Jakarta (20022005),
pembentukan pengadilan HAM ad hoc atas kedua peristiwa itu satu paket, didasarkan pada
Keppres No 53/2001 yang diperbarui dengan Keppres No 96/2001. Sebelumnya didahului
penyelidikan Komnas HAM dan penyidikan Kejaksaan Agung tentang adanya dugaan pelanggaran
HAM berat tersebut. Hasil temuan itu mendapat rekomendasi/usul pembentukan pengadilan HAM
ad hoc dari DPR kepada presiden.

Jadi, kalau ada kemauan politik dari Presiden SBY, pengalaman sejarah pembentukan pengadilan
HAM ad hoc atas peristiwa Timor Timur dan Tanjung Priok tersebut dapat diterapkan pada peristiwa
1965/1966. Terlebih dengan adanya ajakan SBY yang menyebutkan negara punya kewajiban moral.

Sumber : nasional.kompas.com/ new/ nasional

Anda mungkin juga menyukai