Anda di halaman 1dari 22

KOMUNISME SOVIET DAN CINA; SATU IDEOLOGI, DUA KONSEKUENSI

KOMUNISME SOVIET DAN CINA; SATU IDEOLOGI, DUA KONSEKUENSI


Oleh:
Andry
Kamaruddin Salim

I.
A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Abad 20, mencatatkan dua revolusi sosialis-komunis yang monumental. Revolusi
1917 di Rusia, dan revolusi 1949 di Cina, telah mengantarkan Rusia dan Cina menjadi
negara komunis di dunia. Pengaruh kedua revolusi tersebut tidak bisa diabaikan. Sejarah
tidak akan sama tanpa dua revolusi tersebut, tidak saja di abad 20, bahkan sejarah masa
kini. Perjuangan nasionalisme di negara-negara kolonial, banyak menimba inspirasi dan
mendapatkan pengaruh yang kuat dari kedua revolusi tersebut.
Tetapi sejarah telah mencatat, bahwa komunisme Soviet dan Cina menampilkan
konsekuensi yang berbeda: komunisme Soviet ambruk pada 1991, sedang komunisme
Cina dengan gagah melintasi sejarah, bahkan disebut sebagai penantang paling serius atas
hegemoni dan dominasi AS di lapangan ekonomi dan politik. Perbedaan konsekuensi
historis tersebut, meski sama-sama mengklaim diri sebagai negara berideologi sosialiskomunis, secara implisit mengindikasikan perbedaan-perbedaan inheren tertentu diantara
keduanya.
Kemenangan kaum Bolshevik pada Revolusi 7 November 1917 tidak mengubah
kebijakan Rusia atas Asia, meskipun salah satu asas politik luar negeri Bolshevik adalah

melawan imperialisme dan kolonialisme. Hal ini ditunjukkan oleh Lenin yang
menandatangani Deklarasi Hak-hak Bangsa- bangsa Rusia yang menjamin bangsabangsa bekas imperium Tsar membentuk Negara merdeka. Ia mengakui hak bangsabangsa atas penentuan diri tetapi tidak pernah menginginkan pelaksanaannya karena
tujuan utama Lenin adalah mendirikan negara sebesar mungkin (Rusia Raya). Lenin
menggunakan hak penentuan diri sebagai taktik, yakni menggalakkan disintegrasi
bangsa-bangsa jajahan Rusia (Masa Tsar) untuk mempercepat proses revolusioner. Lenin
yakin, setelah terjadi disintegrasi bangsa-bangsa itu akan dengan sukarela bergabung ke
dalam Rusia yang telah mengalami revolusi sosialis. Rupanya Lenin tidak pernah
menggunakan ideologi yang selama hampir 70 tahun Marx dan Engels menyebut dengan
istilah sosialisme ilmiah.
Lenin sejak berhasil memimpin Revolusi Bolshevik akhir tahun 1917 dan juga
Stalin menerjemahkan istilah tersebut ke dalam praktek. Oleh karena itu, ideologi
Komunis sebenarnya baru dilahirkan setelah Partai Bolshevik, fraksi mayoritas yang
memisahkan diri dari Partai Buruh Demokrat Rusia, untuk selanjutnya berdiri sendiri
sebagai partai, mulai memegang kendali pemerintahan di Rusia. Selanjutnya lima tahun
setelah mengeluarkan Manifes Partai Komunis, Marx dan Engels mengganti istilah
humanisme dengan Komunisme. Kebesaran Rusia dengan Uni Soviet-nya kian menjadi
nyata, sehingga negara ini telah ditakuti oleh negara- negara Barat terutama Amerika
Serikat. Musuh bebuyutan dan Perang Dingin pun menjadi kepentingan politik dan
strategi kedua negara adidaya ini hingga berakhirnya negara Uni Siviet pada tahun 1990.(
Dwi Susanto & Zainuddin Djafar (ed)/,1990:4-7)
Reformasi ekonomi China pasca Mao merupakan peristiwa penting yang tidak
hanya menjadi awal kebangkitan perekonomian China, tetapi juga memberi pelajaran
berharga akan arti sebuah perubahan. Slogan reformasi dan membuka diri (gaige,
keifang) pada masa pemerintahan Deng Xiaoping menandai bangkitnya kesadaran baru
bagi China dalam melihat dunia dan masa depan. Globalisasi memang yang tidak bias
dihindari oleh bangsa China betapapun baik atau buruk sifatnya, cara terbaik untuk
menghadapi adalah justru merangkul dan mengelola untuk kepentingan bangsa China
sendiri.
Boleh dibilang bahwa transformasi ideologi komunisme China adalah sebuah
kisah dramatis, sekaligus inspiratif. Bagaimana tidak, sebuah Negara komunis yang
begitu ketat dalam menerapkan ideology tiba-tiba dapat begitu akrab dengan modal asing
dan berhasil menumbuhkan perusahan-perusahan lokal yang berdaya saing tinggi di level
internasional. Jumlah pengusahan kaya pun semakin bertambah dan bahkan sejak 2001,
di bawah kepemimpinan Jiang Zemin, Pemerintah Partai Komunis China (PKC)
menerima keanggotaan dari kalangan swasta. Sesuatu yang mungkin tak pernah
terbayangkan dapat terjadi di sebuah Negara komunis yang menganut paham dictatorship
of ploretariat.
Cukup mengejutkan, ketika konflik vertical maupun horizontal yang biasa
menyertai perubahan besar dalam masyarakat Negara berkembang sekan tidak terjadi di
China. Pergeseran paradigm dari konservatisme komunisme menuju pragmatism
dekonomi dala era reformasi dan membuka diri tentunya berpotensi memunculkan
benturan kepentingandalam tubuh PKC maupun gejolak dalam masyarakat. Tetapi hal

yang menarik adalah perubahan di dalam kehidupan sosial politik yang dapat dibilang
cukup dramatis tersebut membahayakan stabilitas Negara dan menghalangi cita-cita
perubahan itu sendiri. Cerita yang berbeda terjadi di Uni Sovyet, ketika semangat
reformasi dan keterbukaan yang digaungkan oleh Goerbachev justru berujung pada
perpecahan di Negara yang menjadi kiblat komunisme dunia tersebut. Disinilah
menariknya China, yakni kemampuannya mengelola kontradiksi-kontradiksi yang
muncul dalam alur perubahan tersebut.
Dan tentunya fenomena ini memerlukan penelaahan lebih mendalam daripada
sekedar menilai yang ditujukan terhadapnya. Disamping itu, ada kekuatan lain yang juga cukup
berpengaruh dalam perpolitikan China adalah militer. Akar keterlibatan militer dalam politik China tidak
jauh berbeda dengan pengalaman sejarah di kebanyakan negara post-kolonial, yaitu berawal dari revolusi
kemerdekaan. Keterlibatan militer dalam politik China secara garis besar ditentukan oleh dua hal: teknik
organisasi dan kekuatan bersenjatanya. Pada masa revolusi melawan kolonialisme dan menyingkirkan
Goumindang dari China daratan, hingga akhirnya berdiri Republik Raykat China pada 1949. Dalam politik
China modern, teknik organisasi yang dimiliki militer telah memberikan kontribusi penting bagi PKC untuk
membangun sebuah sistem politik yang sentralistik dan hirarkis. Militer pula menjadi instrument koersif
yang efektif untuk menjaga ketertiban sosial dan politik. (Wang,1992:179)
Dominasi militer dalam politik China ditunjukkan dengan munculnya Tentara Pembebasan Rakyat
(TPR) sebagai kekuatan utama selama berlangsungnya Revolusi kebudayaan (1966-1976). TPR meminta
Mao memasuki ranah plotik karena situasi dalam negeri sudah kacau. Tugas utamanya adalah
menggantikan membentuk Komite Revolusioner yang beranggotakan dari tiga unsur; militer, kader partai
dan perwakilan massa. Pada tahun 1968 seluruh pemerintah tingkat provinsi dan di bawahnya telah
digantikan oleh Komite Revolusioner. Dalam perkembangannya, militer justru menjadi kekuatan
penyeimbang di tengah-tengah persaingan antara kubu reformis dan konservatif. Instituysi militer memang
tidak mempunyai pengaruh langsung dalam pengambilan keputusan, tetapi militer sangat menentukan
berjalan atau tidaknya suatu kebijakan atau program di lapangan. Dalam kasus Tiananmen, misalnya,
campur tangan militer telah menyelamatkan jalur modernisasi China. Karenanya, kubu manapun yang
berkuasa harus bisa meyakinkan pihak militer bahwa mereka maupun memerintah China dengan baik.
(Nanda Akbar A.2011:51-53)

Ketika analisa yang mengedepankan peran dan pengaruh militer maupun individu
di dalam suatu perubahan politik dalam suatu negara dianggap tidak relevan dan
reduksional, maka pengalaman China menunjukkan sebaliknya. Sejak merdeka hingga
dicanangkannya reformasi ekonomi, percaturan politik Chinna tidak pernah lepas dari
keberadaan tokoh sentral di dalamnya, diantaranya, Mao Zedong yang berkuasa pada era
komunisme China dan Deng Xiaoping pada masa reformasi dan keterbukaan, yang
memberi corak tersendiri bagi kepemimpinan China. Tidak bisa disangkal bahwa sosok
Deng Xiaoping memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika politik China
selama reformasi, sebagaimana Mao di masa sebelumnya. Perjalanan panjangnya
bersama PKC (semenjak revolusi kemerdekaan) dan kedekatannya dengan para kader
veteran, telah memberi Deng pengaruh yang kuat dalam partai. Deng mampu
menjembatani hubungan antara faksi-faksi yang bersaing, golongan tua yang konservatif
dan golongan muda yang reformis/pragmatis. Deng juga merupakan tokoh yang sangat
dihormati di kalangan militer. Kedekatannya dengan militer sudah berlangusng cukup
lama, berawal dari keanggotaaannya dalam Tentara Merah sampai menjabat sekretaris

B.

jenderal PKC (1956-1966). Berlanjut hingga pada 1975, ketika dia menjadi kepala Staf
TPR, dialah satu-satunya orang dalam hirarki puncak setelah kematian Mao yang bisa
diperoleh dukungan dari sebagian besar pejabat TPR.
Deng adalah tipe pemimpin yang memiliki dua macam leitimasi, yaitu legitimasi
kharismatik dan rasional. Tidak hanya pesona pribadi yang membuatnya memperoleh
banyak dukungan dari berbagai kalangan, namun juga karena prestasi yang dibuatnya.
Pertumbuhan ekonomi China yang menjanjikanselama reformasi adalah salah satunya.
Kiranya inilah yang membuat pengaruh politik Deng tetap kuat, meski ia tidak lagi
memegang jabatan structural. Seperti yang ditunjukkan dalam pempilihan Jiang Zemin
sebagai Presiden menggantikan Li Peng. Kemampuannya merangkul berbagai elemen
politik telah menempatkan Deng sebagai sosok arbitrator tertinggi bila sewaktu-waktu
terjadi krisis sosial politik atau pertikaian antar fraksi. Disini Deng tidak hanya berperan
sebagai policy maker, tetapi Deng pun menjadipolitic peacmaker. Besarnya pengaruh
yang dimiliki Deng, selain karena struktural, kemungkinan Besar ditunjang oleh karakter
masayarakat China yang sangat menjaga hirarki. Menurut tradisi China, kehadiran
penguasa adalah untuk memelihara keseimbangan di antara kontradiksi-kontradiksi yang
hadir di alam semesta. Seorang penguasa dipercaya memegang mandate dari langit untuk
menghindari kekacauan dan anarkhi dalam masyarakat. Karena itu figure pemimpin
menjadi hal yang sangat menentukan dalam politik China.
Kecenderungan tersebut nampak dalam relasi politik di China yang lebih banyak
ditentukan oleh hubungan patron-clien. Agar dapat memperoleh posisi penting dalam
pemerintahan, seseorang kader harus mempunyai relasi yang baik dengan petinggi partai.
Demikian hanlnya dengan seorang petinggi partai yang pasti sudah mempunyai jagonya
sendiri untuk ditempatkan di posisi-posisi strategis. Pola hubungan patron-clien pada
akhirnya tidak hanya akan berpengaruh pada jenjang karir seorang kader, namun juga
untuk melestrarikan kepentingan ataupun gagasan-gagasan politik para politisi tua.
Setelah mengetahui karakter kepemimpinan politik China, bolehlah dikatakan
bahwa membaca proses konsolidasi di China selama reformasi tanpa mempertimbangkan
faktor individu Deng justru akan terlihat reduksionis. Bagaimanapun politik tidak hanya
ditentukan oleh persoalan structural, namun ia juga melibatkan suatu rangkaian nilai
tertentu yang dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini, sebuah analisas atau teori menjadi
berarti ketika ia membuka diri terhadap segala kemungkinan yang ada termasuk terhadap
munculnya anomaly-anomali di dalam masyarakat yang ingin dianalisa dan tidak hanya
bekerja untuk dirinya sendiri.(Nanda Akbar A.2011.hlm. 64)
Rumusan Masalah
Masalah utama yang hendak dijawab dalam uraian makalah adalah: mengapa
Soviet dan Cina, meski sama-sama mengklaim berideologi sama, justru mengarah pada
konsekuensi berbeda (satu ambruk, yang lain bertahan)? Jawaban atas masalah ini
diletakkan pada level sistem politik. Masalah dimaksud didekati secara bertingkat,
dengan terlebih dahulu menguraikan secara analitis dan sintetis masalah yang berkenaan
dengan perbedaan pokok antara ideologi komunisme Soviet dan komunisme Cina, baik
teori maupun praktek, sebagaimana dicerminkan oleh elit-elit puncak partai. Selain itu,
situasi konkrit macam apa yang mempengaruhi penerapan tesis komunisme di Rusia dan
Cina, berikut derivasinya berupa kebijakan-kebijakan pokok yang dibuat oleh elit puncak

partai. Sintesa dilakukan untuk mengidentifikasi apa saja persamaan dan perbedaan pola
komunisme Soviet dan Cina dalam prakteknya masing-masing.
C.

Kerangka Teori
Dalam menyajikan penjelasan tentang komunisme Soviet (Rusia) dan Cina,
makalah ini mencoba untuk mengajukan model dua tingkat penjelasan, yakni tingkat
generalisasi melalui perbandingan sistem politik, dan tingkat analitis dan sintesis melalui
perbandingan ideologi dan teori serta perbandingan elit dan partai. Penjajakan dilakukan
dengan terlebih dahulu melihat pada tingkat analitis dan sintesis sebagai basis
argumentasi pada tingkat generalisasi.
Salah satu persoalan krusial yang diidap oleh teori sistem politik adalah sifatnya yang
terlalu abstrak dan spektrumnya yang terlampau makro (Chilcote, 1981). Atas dasar itu,
makalah ini difokuskan pada aspek spesifik terkait derajat kesisteman. Dengan
memodifikasi kerangka teori yang diajukan oleh Randall dan Svasans, derajat kesisteman
dipahami sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi politik, termasuk penyelesaian konflik,
melalui aturan, prosedur dan mekanisme yang disepakati secara terlembaga (Randall &
Svasand, 2002). Tentunya, bertahan atau tidaknya sebuah sistem politk sedikit banyak
bergantung pada derakat kesisteman dimaksud.
Meski demikian, kesulitan untuk menerapkan analisa pada level mikro tetap
mengemuka. Makalah ini hendak melihat sistem politik yang spesifik, yaitu sistem politik
komunisme Soviet dan Cina. Untuk menutupi kekurangan tersebut, maka penjelasan pada
level mikro dibutuhkan. Penjelasan level mikro ini memilih pendekatan perbandingan
ideologi dan teori, serta perbandingan elit dan partai (Kuliah TB. Massa, 2013).
Perbandingan ideologi dan teori dilakukan melalui mengidentifikasi tesis-tesis
pokok ideologi politik yang membingkai komunisme Rusia dan Cina. Christenson, et.al.,
dalam ideologies and modern politics, sebagaimana dikutip Rusli Karim, secara tegas
menyebutkan bahwa ideologi politik sebagai suatu sistem kepercayaan yang menjelaskan
dan menjustifikasikan tatanan politik yang dipilih suatu masyarakat (Rusli Karim, 1990 :
2). Freeden juga menandaskan bahwa ideologi tampak jelas
pada
seluruh bidang pemikirantentang prinsip dan tujuan politik, dan membekali para
pengikutnya dengan suatu identitas sosial dan politik dan bekerja sebagai salah
satu faktor utama dalam merealisasikan tujuan-tujuan politik (Freeden, 2013 [2004]:11,
12). Meski sama-sama komunis, Soviet dan Cina memperlihatkan dasar dan praktek
ideologis yang berbeda. Perbandingan ideologi dan teori komunisme membantu untuk
menganalisa perbedaan sifat dan karakteristik ideologis antara keduanya.
Tetapi, ideologi tetaplah wilayah yang abstrak. Meski memberi justifikasi atas
tatanan politik, relasi ideologi dan sistem politik tidak memadai untuk menjelaskan
fenomena pada wilayah aktual-empirik, karena hanya akan berhenti pada tataran idealnormatif. Untuk itu, penjelasan lain dubutuhkan. Dalam praktek komunisme, salah satu
ciri pokoknya adalah keberadaan partai tunggal dengan kekuasaan yang monolitik. Tak
pelak lagi, partai (dalam hal ini Partai Komunis Uni Soviet [PKUS] dan Partai Komunis
Cina [PKC]) menjadi unit analisis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensinya,
kepemimpinan (elit) partai menjadi mata rantai penting untuk mengkonstruksi analisis,
sintesis dan generalisasi yang akan dibangun.

Selanjutnya, sejauh apa tingkat konsistensi dan koherensi ideologi yang dipraktekkan elit
puncak partai diukur dari keputusan dan kebijakan yang ditempuh oleh elit puncak partai
dalam merespon situasi konkrit. Sebagaimana ditandaskan oleh Freeden, ideologi sebagai
kelompok ide, kepercayaan, opini, nilai dan sikap yang biasa dianut kelompok-kelompok
beridentitas, yang memberikan arah, bahkan rencana tindakan pembuatan kebijakan
publikdalam upaya menegakkan, menjustifikasi, mengubah atau mengkritisi tatanan
sosial dan politik suatu negara dan komunitas politik lainnya (Freeden, 2013 [2004]: 10).
Makalah ini memang menitikberatkan aspek ideologi, khususnya ideologi yang
anut dan menjadi panduan elit puncak partai dalam merumuskan kebijakan. Makalah ini
hendak membuktikan tesis yang diajukan oleh Holmes, bahwa [salah satu] dari sumber
keruntuhan (komunisme)Soviet adalah penyimpangan ideologi. Tesis tentang
penyimpangan ideologi ini menjadi mata rantai penting dalam alur argumentasi yang
hendak diajukan pada level generalisasi perbandingan sistem politik.
Secara sederhana, kerangka teoritik dari perbandingan komunimse Soviet dan
Cina dalam makalah ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gbr. Skema dan Alur Teoritik (komunisme Soviet dan Cina)

II. Analisa: Komunisme Soviet dan Rusia


I. Komunisme Soviet
1.1. Lenin, Bolshevik dan Revolusi 1917
Lenin, atau lengkapnya Vladimir Ilyich Ulyanov, adalah tokoh terpenting dalam
revolusi Rusia. Berhasil menggulingkan kekuasaan Tsar Nikolas II, bersama-sama
dengan faksi Bolshevik, dalam revolusi oktober 1917, dan mengantarkan Rusia menjadi
negara komunis pertama di dunia (Kusumandaru, 2004: 250-264). Keberhasilan Lenin
berhasil dalam mewujudkan revolusi sosialis di abad ke 20 adalah hal yang penting
dikemukakan, karena dalam beberapa segi pokok hal itu menndai perbedaan penting
antara Marx dan Lenin, perbedaan yang juga melambungkan Lenin menjadi teoritisi
Marxian terkemuka.
Imperialisme, Rusia sebagai mata rantai terlemah dan vanguard party
Keyakinan Lenin tentang keniscayaan revolusi sosialis di Rusia dituntun oleh
tesis Lenin tentang Imperialisme. Inilah kontirbusi teoritis Lenin yang terpenting, sebab
tidak hanya melengkapi konstruksi teoritis Marxisme, pemikiran Lenin juga kerap
disebut sebagai Marxisme dalam era imperialisme. Elaborasi teoritis Lenin dalam karya
seminalnya: Imperialism, The Highest Stage of Capitalism menyebutkan bahwa
pertentangan antara buruh dan kapital di negara-negara kapitalis utama dapat ditenangkan
sejenak melalui praktek imperialisme dalam bentuk ekspor kapital dan pada gilirannya
penghisapan ekonomi di negara-negara pra-kapitalis. Fenomena imperialisme ini
menggeser perjuangan kelas dari tingkat nasional ke tingkat global. Daerah-daerah
kolonial yang terhisap, menjadi wilayah yang paling merasakan penderitaan sehingga
memicu bangkitnya kesadaran revolusioner. Akibatnya, revolusi sosialis paling
dimungkinkan pecah justru di negara-negara pra-kapitalis. Rusia adalah negara prakapitalis yang mengabsorpsi kapital dari negara-negara kapitalis utama, yang disis lain

masih dikuasai oleh praktik feodalisme-aristokratik. Tekanan kapital dan feodalismearistokratik (yang ditandai oleh Trarisme) membuat Rusia menjadi mata rantai
kapitalisme yang paling lemah, sehingga secara logis peluang pecahnya revolusi sosialis
menjadi sangat terbuka.
Keniscayaan revolusi itu tidak dimungkinkan jika hanya diserahkan pada kondisi
objektif dan kesadaran kelas proletariat semata. Menurut Lenin, revolusi hanya mungkin
diwujudkan lewat pengorganisasian kesadaran kelas oleh kelas proletariat lewat partai
yang berdisiplin kuat. Kesadaran kelas proletariat tanpa partai berdisiplin kuat, hanya
akan mengungkung kelas proletariat pada kepentingan ekonomisme semata. Disini, Lenin
menambahkan dimensi politik dalam ranah praktis pada teori materialisme historis Marx.
Selanjutnya, partai pelopor dengan kesadaran kelas paling maju ini diorientasikan
untuk merebut dan menguasai negara. Lenin menguatkan pandangan Marx tentang
negara instrmentalis, yang secara khusus dijelaskan dalam karya pamflet seminal Marx
Manifesto Komunis. Dalam karya tersebut, Marx menyebutkan negara sebagai alat kelas
borjuis di satu sisi, sekaligus menyebutkan bahwa negara juga dapat ditransformasikan
menjadi negara kelas pekerja. Visi kedua tentang negara sebagai negara kelas pekerja
inilah yang diacu oleh Lenin, sebagaimana ditunjukkan secara gamblang dalam karya
Negara dan Revolusi. Pentingnya merebut dan menguasai negara ini juga menandai
perbedaan Lenin dengan kaum Anarkho dan Anarkho Sindikalis. Hanya dengan
menguasai negara dan menjadikannya negara kelas pekerja, visi melenyapnya negara
menjadi mungkin.
Dari uraian singkat diatas, pandangan Lenin dapat disingkat ke dalam rangkaian
tesis:
(1) Imperialisme
(2) Mata rantai terlemah bagi revolusi
(3) Mungkin oleh partai pelopor
(4) Menguasai negara dan menjadikannya negara kelas pekerja
(5) Untuk melenyapnya negara. Dari uraian tesis tersebut, setidaknya ada dua hal
mendasar yang menandai perbedaan Marx dan Lenin: diantaranya:
(1) berbeda dengan Marx yang mengajukan pandangan bahwa revolusi hanya
mungkin pecah di negara-negara yang telah mencapai tahapan tertinggi kapitalisme, bagi
Lenin revolusi justru mungkin terwujud di negara-negara pra-kapitalis sebagai mata
rantai terlemah dari kapitalisme.
(2) Jika revolusi bagi Marx diwujudkan melalui kesadaran kelas proletariat, oleh
Lenin revolusi dimungkinkan untuk diwujudkan melalui pengorganisasian kelas melalui
partai berdisiplin kuat. Ini menegaskan penekanan Lenin pada dimensi aktivisme politik
dan praktis atas teori Marx.
1.2.

Tantang Situasi & Respon Kebijakan


Cita-cita Lenin untuk segera mewujudkan negara kelas pekerja setelah kejatuhan
Tsar dan ambruknya kekuasaan pemerintahan sementara Kerensky pasca revolusi oktober
1917, tidak serta merta dapat segera terlaksana. Alih-alih, Lenin terpaksa harus
mengkompromikan cita-cita tersebut oleh desakan situasi pasca revolusi.

1. Situasi internal: Penarikan dukungan dan perang sipil.


Pasca revolusi oktober 1917, kekuatan-kekuatan politik yang awalnya mendukung
Lenin dan faksi Bolshevik meruntuhkan Trarisme, yaitu faksi Menshevik, Sosialis
Revolusioner (SR) Kiri dan Kanan, berbalik menarik dukungannya. Lenin yang kokoh
pada tesis imperialisme dan Rusia sebagai negara sosialis, mendapat tentangan serius dari
faksi Menshevik dan sebagaian eksponen SR. Berkebalikan dengan Lenin, faksi
Menshevik dan SR justru berpandangan bahwa Rusia belum siap untuk sosialisme.
Kesiapan tersebut hanya dapat dibangun jika kepemimpinan diserahkan pada kaum
borjuis progresif, dan tugas kaum buruh adalah beroposisi dalam struktur tersebut, hingga
kapitalisme mencapai tahap matang dan buruh dapat melancarkan revolusinya.
Penentangan faksi Menshevik dan SR tersebut dan bergabungnya mereka dengan tentara
putih, membuat Lenin dan Bolshevik (dan tentara merah) berada dalam posisi terisolir.
Inilah ancama perang sipil pertama yang dihadapi Rusia dibawah Lenin pasca
Revolusi. Ancaman perang sipil ke dua datang dari konflik kelas, antara buruh perkotaan
dan tani pedesaan. Puncak dari konflik ini adalah pemberontakan Krondstad pada 1921,
pemberontakan kaum tani yang terkena wajib militer untuk mengisi pertahanan Petrograd
, yang ditinggalkan tentara merah untuk bertempur di front depan. Pemberontakan
tersebut adalah puncak dari ketidakpuasan kaum tani berkenaan dengan penyediaan
makanan, sementara pada saat yang sama tidak ada barang yang diperoleh dari kota untuk
memenuhi kebutuhan petani perdesaan akibat kelangkaan barang. Situasi kelangkaan
barang ini merupakan imbas dari buruknya keadaan Rusia pasca revolusi yang diwarisi
Lenin, khususnya keadaan ekonomi yang porak poranda akibat salah urus administrasi
Tsar dan
kehancuran industri akibat perang berkepanjangan.
2. Situasi Eksternal: Perang Dunia Pertama
Peralihan kekuasaan yang difasilitasi oleh Revolusi oktober 1917 dari rezim Tsar
ke Lenin dan Bolshevik terjadi dalam situasi perang dunia pertama (PD I). Tak dapat
dimungkiri, PD I menjadi faktor terpenting yang mempengaruhi Rusia, tidak saja selama
revolusi berlangsung, tetapi sekaligus pasca revolusi. Pada PD I, Rusia tergabung dalam
blok sekutu bersama dengan Inggris (Britania Raya) dan Perancis, melawan blok sentral
(Jerman, Austria-Hongaria dan Italia). Kekalahan yang diderita Rusia menyumbang pada
turunnya kredibilitas dan legitimasi rezim Tsar di mata rakyat Rusia, yang mematangkan
jalan bagi revolusi.
Sebenarnya, ditopang oleh internasionalisme sosialis yang dianutnya, Lenin adalah
penentang perang tersebut. Bagi Lenin, PD I tidak lebih dari perang imperial. Pasca
Revolusi, Lenin mengambil posisi untuk mengakhiri perang dengan Jerman. Ada dua hal
yang patut dicatat terkait dengan posisi yang diambil Lenin. Pertama, Lenin
berkepentingan untuk mengonsolidasikan kekuasaan pasca revolusi oktober. Kedua,
slogan revolusi oktober 1917 yang diusung oleh Bolshevik adalah Roti, Tanah dan
Perdamaian. Perdamaian lalu dibangun Rusia dibawah Lenin dengan pihak Jerman,
melalui perjanjian damai yang terbilang kontroversial, yakni perjanjian Brest-Litovsk
pada Maret 1918. Perjanjian damai dengan Jerman ini juga menjadi pokok pertentangan
antara Lenin dengan faksi Menshevik dan Sosialis Revolusioner (SR) yang sejak awal
tidak sepakat jika perang dihentikan. Ditambah lagi, isi perjanjian Brest-Litovsk memang

lebih banyak merugikan Rusia. Jerman yang menyadari perkembangan situasi Rusia,
terdorong untuk mengajukan tuntutan lebih. Lewat perjanjian Brest-Litovsk, Jerman
menuntut Riga (Latvia), Lithuania, Livonia (Baltik), Estonia, dan terutama ukraina.
Daerah-daerah tersebut adalah lumbung pangan utama bagi Rusia. Alhasil, perjanjian
tersebut memicu pertentangan, terutama dari Menshevik dan SR, bahkan beberapa
eksponen Bolshevik sendiri. Bagi Lenin, perjanjian damai dengan Jerman, tidak saja
berguna untuk konsolidasi kekuasaan pasca revolusi, namun juga terkait dengan slogan
revolusi oktober sendiri: Roti dan Perdamaian. Rusia harus memilih antara keduanya,
karena situasi tak memungkinkan untuk mendapatkan keduanya. Jika ingin roti, berarti
mengorbankan perdamaian,begitu pula sebaliknya. Atas pertimbangan Lenin, sovyet
Rusia lebih memilih perdamaian. Konsekuensinya berupa kekurangan pangan yang
memaksa sovyet Rusia dan pengawal merah menyita bahan-bahan makanan (khususnya
gandum) dari gudang-gudang petani menengah atas, yang memicu perang sipil
sebagaimana telah disebutkan secara ringkas sebelumnya.
1.3.

Kegagalan Revolusi Jerman


Selain perang Dunia Pertama, situasi eksternal lain yang mempengaruhi Lenin
adalah kegagalan revolusi Jerman. Lenin, yang sejak awal berpandangan bahwa
kelangsungan revolusi Rusia juga bergantung dari keberhasilan revolusi sosialis di negara
kapitalis utama, juga punya ekspektasi lebih atas revolusi Jerman. Jika Revolusi Jerman
berhasil, maka tidak saja bakal ada limpahan teknisi dari Jerman untuk menggerakkan
pembangunan sosialis di Rusia, tetapi juga Jerman dapat menjadi buffer zone yang
strategis bagi Rusia dari tekanan imperialisme Barat. Sayangnya, revolusi tersebut gagal.
1.4.
Respon Lenin: Langkah ditengah situasi darurat.
Dihadapkan pada situasi yang sulit; perang sipil, PD I, ambruknya ekonomi dan
industri dan konflik kelas buruh dan tani; memaksa Lenin untuk mengambil kebijakan
drastis ditengah situasi serba darurat. Kondisi perang yang dihadapi Rusia pasca Revolusi
(1918-1921) membuat desain kebijakan yang dibangun adalah kebijakan komunisme
perang (war communism), yang mendukung industri perang untuk melindungi Rusia
pasca revolusi. Komunisme perang tersebut justru memicu konflik kelas, yang berpuncak
pada pemberontakan Krondstadt. Oleh karena itu, Lenin kemudian berupaya untuk
mendamaikan kepentingan tani dan buruh. Haluan komunisme perang lalu dirubah lewat
kebijakan baru yang diluncurkan Lenin sebagai kebijakan ekonomi baru atau New
Economic Policy (NEP ) yang disahkan pada kongres Partai komunis Uni Sovyet
(PKUS) ke sepuluh pada 1921. Pada dasarnya, NEP adalah pemulihan sistem ekonomi
pasar, sebagai kebijakan sementara untuk memperbolehkan pasar bebas dan investasi
asing. Lenin menjelaskan perlunya menghidupkan kembali pasar karena keberadaan
jutaan usaha pertanian subsisten yangrelatifterisolasi di Rusia, yang tidak terbiasa
mendefinisikan relasi ekonominya dengan dunia luar kecuali melalui perdagangan.
Sirkulasi perdagangan akan membangunkan koneksi antara kaum tani kecil dengan
industri-industri yang ternasionalisasi. Rumusan teoritik untuk koneksi ini adalah:
industri harus memasok wilayah pedesaan dengan barang-barang kebutuhan dengan
tingkat harga tertentu yang memungkinkan dihentikannya pengumpulan paksa atas
produksi petani kecil oleh aparatus negara (Trotsky, 2010 [1936]:37).

Segera setelah diluncurkan, NEP menuai reaksi keras dari kalangan internal
Bolshevik sendiri. April 1921, rumor bermunculan tentang upaya demontrasi besar buruh
menuntut dihapuskannya kebebasan berdagang. Lenin berusaha keras untuk
mengendalikan ekses buruk dari perekonomian pasar. Di usahakannya kendali Sovyet
atas kapitalisme, yang dikenal sebagai state capitalism. Tetapi itu tidak cukup untuk
mencegah ketegangan yang terlanjur menajam di tubuh partai.
Ketegangan yang berlangsung dalam suasana negara Soviet yang masih sangat
muda, memaksa Lenin mengeluarkan kebijakan drastis ditahun 1922, yang dikenal
sebagai larangan berfaksi. Larangan ini sebenarnya merupakan kebijakan temporer untuk
meredakan ketegangan di tubuh partai dan menjaga dukungan utuh partai pada Soviet
(dewan pekerja). Kebijakan ini, yang tidak pernah dicabut sejak itu, menjadi landasan
bagi kemunculan totalitarianisme Stalin, pasca mangkatnya Lenin pada 1925.
1.5.

Stalin dan Tesis Sosialisme dalam Satu Negara


Stalin menampilkan diri sebagai pewaris sah dari Lenin, dengan memformalisasi
ajaran Lenin menjadi doktrin Leninisme. Walau demikian, Stalin kerap dianggap telah
menyimpangkan ajaran Lenin, serta meradikalisasi ajaran Lenin sampai pada batas
terjauh untuk kepentingannya sendiri.
1. Sosialisme Dalam Satu Negara dan Tekanan Situasi
Stalin mengajukan tesis tentang Sosialisme dalam satu negara, sebagai eksposisi
tandingan atas tesis Revolusi Permanen yang diajukan Trotsky. Tidak dapat dimungkiri,
debat antara tesis Sosialisme dalam satu negara vs Revolusi permanen ini menjadi
memecah kaum komunis di seluruh dunia ke dalam dua tendensi umum: Tendensi
Trotskys dan Tendensi Stalinis. Baik Sosialisme dalam satu negara Stalin maupun
Revolusi Permanen Trostsky sama-sama mengklaim sebagai interpretasi dan
pengejawantahan Lenin yang paling sahih dan penyelamatan warisan revolusi Bolshevik
yang paling otentik.
Melalui tesis sosialisme dalam satu negara ini, Stalin hendak menegaskan Uni
Soviet sebagai benteng proletariat bagi pembangunan sosialisme. Menurut Stalin,
sosialisme harus berada di satu negara, yaitu Soviet. Bagi Stalin, Soviet harus menjadi
benteng sosialisme, yang merupakan model pembangunan sosialisme yang akan
mengilhami kaum sosialis di seluruh dunia.
Doktrin Sosialisme dalam satu negara Stalin, dapat dibaca secara lebih memadai
sebagai respon teoritis-politik Stalin atas kondisi khas Rusia. Yang diwarisi oleh Stalin
adalah adalah Rusia yang tercabik oleh perang, baik dengan kekuatan asing maupun
eksponen domestik yang menentang kaum Bolshevik. Selain itu, keberadaan Rusia
sebagai satu-satunya negara Sosialis di dunia saat itu, menjadikan Rusia harus selalu
bersiap menghadapi kemungkinan tekanan dan blokade asing. Rusia harus segera
mengatasi kelangkaan barang, khususnya lagi pangan, demi kesinambungan negara
sosialis Rusia. Stalin juga harus segera menjalankan industrialisasi, khususnya industr
berat, untuk menjadi basis bagi kelas buruh dan landasan bagi revolusi selanjutnya.
Menyelamatkan Rusia sebagai basis sosialisme sebagai tugas historis yang mesti diemban
Stalin, dijalankan Stalin dengan keras. Ketaatan pada partai dimutlakkan, dan
memberangus semua bentuk oposisi. Pada sisi ini, Stalin meradikalisasi prinsip partai

pelopor dalam pembangunan masyarakat sosialis, yang hakekatnya berimplikasi pada


pemerintahan minoritas: pemerintahan birokrasi partai atas massa.
Dibawah tuntutan tesis sosialisme dalam satu negara tersebut, Stalin kemudian
menggerakkan industrialisasi dan kolektivisasi pertanian melalui de-kulak-isasi. Pada
desember 1932, ketika Rencana Lima Tahun Pertama diumumkan (dengan label selesai
mendahului jadwal), pencapaian Stalin boleh dibilang mengesankan, jika mengambil
reruntuhan 1928 sebagai dasarnya. Pabrik bahan baku meningkatkan outputnya mencapai
250%, produksi permesinan meningkat 400% dan elektrifikasi meningkat 250%,
produksi minyak meningkat 200% dan industri besar meningkat 118% (Dmytryshyn,
1977: 532-33). Demikian halnya dengan Rencana Lima Tahun Kedua, target yang
ditetapkan berhasil dicapai, dan membuat Rusia mampu menyalip banyak negara Eropa
Barat yang telah lebih dahulu menjalankan industrialisasi. Di bawah Uni Sovyet,
pertambahan penduduk 15% menghasilkan pertambahan jumlah teknisi 5.500%, jumlah
penduduk bersekolah meningkat meningkat 600%, buku diterbitkan meningkat 1.300%,
jumlah tempat tidur rumah sakit meningkat 138.500%, rasio dokter per pasien
205:100.000 (berbanding Amerika 150:100.000 atau Inggris 110:100.000).
Pasca perang dunia ke 2, pencapaian Sovyet pada Rencana Pembangunan Lima
Tahun pertama dan kedua kembali rontok. Tanpa bantuan ekonomi dari negara yang lain,
berikut tanggungan membangun kembali Eropa Timur yang juga luluh lantak oleh
perang, Soviet dibawah Stalin kembali menunjukkan kemampuan yang menakjubkan
membangun kembali industrinya, dan menjadi pesaing terdekat AS. Meski begitu,
keberhasilan Stalin ini tercapai diatas tumpukan korban, yang oleh media Barat
digambarkan sebagai salah satu horor kemanusian terbesar, khususnya korban yang jatuh
di kamp kerja paksa (Gulag).
Satu hal lagi yang perlu dikemukan terkait dengan penyimpangan pokok Stalin atas
Lenin, yaitu tentang negara. Lenin meyakini visi melenyapnya negara yang diperantarai
oleh pembentukan Negara kelas pekerja. Oleh Stalin, diktum melenyapnya negara justru
dimungkinkan setelah negara (Sovyet) menjadi sedemikian kuat secara ekonomi, politik
dan militer sehingga dapat menyingkirkan seluruh musuhnya secara internal dan
eksternal (Dmytryshyn, 1977: 538-39). Dengan demikian, beberapa penyimpangan pokok
Stalin atas Lenin adalah: menginterupsi visi internasionalisme Sosialis melalui konsep
Sosialisme dalam satu negara, memberangus demokratisasi internal partai dan
menegakkan birokratisme/kekuasaan minoritas atas massa melalui radikalisasi partai
pelopor dan larangan berfaksi, serta membelokkan visi melenyapnya negara melalui
tahap menguatnya negara.
1.1. Pasca Stalin (Kruschev, Bresnev dan Gorbachev)
Pasca Stalin, Nikita Kruschev naik ke tampuk pemimpin PKUS pada 1953, yang
didahului oleh intrik politik tajam. Hampir serupa dengan naiknya Stalin, Nikita
Khrushchev menjadi pemimpin Soviet setelah deposisi dan pengeksekusian Lavrentiy
Beria dan juga menyingkirkan saingannya seperti Georgy Malenkov dan Vyacheslav
Molotov. Secara mengejutkan, Kruschev mecela Stalin dan warisan politiknya melalui
apa yang diistilahknnya sebagai kultus kepribadian Stalin yang melanggar legalitas
Sosialisme, yang sekaligus menandai era de-Stalinisasi. Tidak hanya itu, reformasi

Kruschev juga ditandai dengan kebijakan hubungan bersahabat dengan


Barat. Kebijakan de-Stalinisasi ini, berikut perbaikan hubungan dengan Barat inilah
yang memicu perpecahan Rusia dengan Cina (Sino-Sovyet Split). Oleh Mao, kebijakan
Kruschev ini dikritik sebagai revisionisme Vulgar. Kasus Sino-Sovyet Split, menurunnya
citra Soviet akibat invasi militer atas Hungaria, serta insiden Teluk Babi Kuba yang
hampir saja memicu perang nuklir Uni Soviet vs Amerika, berujung pada pendepakan
Kruschev yang dimotori oleh poros Brezhnev-Kosygin-Zukhov.
Naiknya Brezhnev, setelah sebelumnya melalui pendepakan Kruschev, berujung
pada stagnasi ekonomi yang parah. Setelah melalui penguasaan singkat Andropov,
Gorbachev, melalui kebijakan Glastnost dan Perestroika-nya, membawa Uni Soviet pada
kebangkrutan pada 1991.

1.1.

III. Komunisme Cina


Mao: Tesis Struktur Cina, Revolusi Dua Tahap dan Perang Rakyat
Mao berhasil memimpin revolusi Komunis Cina, yang mentransformasi China
dari negara Republik menjadi Republik Rakyat Cina (RRC) yang berhaluan sosialiskomunis. Keberhasilan Mao ini dituntun oleh Tesis Mao atas Cina, yang sekaligus
menandai perbedaannya dengan prinsip komunisme Lenin. Bagi Mao, struktur dasar Cina
adalah kombinasi dari setengah kolonial (jajahan) dan setengah feodal. Dari dasar analisis
tersebut, Mao selanjutnya membangun tesisnya tentang Revolusi, sebagai revolusi dua
tahap: (1) Revolusi politik-demokratis, (2) Revolusi ekonomi-sosialis. Revolusi politik
merupakan proses revolusi yang berkaitan perebutan kekuasaan negara. Perebutan
kekuasaan ini dilakukan untuk mereformasi budaya birokrasi yang telah lama ada, yaitu
budaya feodal dan kapitalis birokrat dalam tubuh partai Koumintang. Dalam revolusi ini,
Mao memandang akan perlunya menghilangkan kelas tuan tanah dan kapitalis birokrat
dalam struktur masyarakat.
Hal ini dilakukan karena, kelas tuan tanah dan kapitalis birokrat merupakan kelas
yang telah mematikan demokrasi rakyat. Revolusi politik Mao ini menggunakan metode
desa mengepung kota. Metode ini adalah taktik mengumpulkan basis kekuatan petani
di desa-desa dan melumpuhkan pemerintahan partai Komumintang satu demi satu.
Tujuan akhir dari taktik ini adalah merebut kekuasaan di pusat pemerintahan. Metode dan
taktik ini diturunkan dari doktrin politik perang rakyat, yakni perang gerilya dalam tiga
tahap: (1) Pengorganisasian dan mobilisasi kaum buruhh-tani; (2) Pembangunan wilayah
basis pedesaan dan peningkatan kordinasi diantara organisasi gerilya; (3) transisi ke
perang konvensional untuk merebut kekuasaan. Revolusi politik ini bertujuan untuk
mewujudkan China yang demokratis dan terbebas dari sistem masyarakat yang feodal.
Revolusi ini dijadikan pijakan peralihan dari masyarakat yang tidak demokratis menuju
masyarakat demokratis. Namun , dalam perkembangannya revolusi ini hanya menjadi
peralihan menuju sosialisme.
Revolusi sosialis adalah revolusi berkelanjutan yang menyentuh ranah ekonomi.
Revolusi ini bertujuan agar perekonomian negara diambil alih oleh rakyat dari tangan
imperialisme. Perubahan ini ditujukan agar rakyat dapat mengelola kehidupannya sendiri
secara bertahap. Salah satu bentuk dari penerapan tahapan menuju revolusi ekonomi
sosialis adalah dengan membentuk komune di desa-desa. Komune Rakyat adalah wadah

kolektivitas produksi pertanian dengan skala besar. Seluruh China dikelompokkan


menjadi unit-unit baru, masing-masing terdiri atas 2000-20.000 rumah tangga. Dengan
sistem ini, rakyat menjadi lebih mudah dikendalikan karena petani harus hidup dalam
suatu sistem yang terorganisir. Dalam hal ini, Komune Rakyat menjadi tahapan penting
dalam proses menuju negara sosialis.
Ringkasnya, tesis tentang struktur sosial Cina dan dua tahap revolusi ini menandai
perbedaan pokok antara Mao dan Lenin, setidaknya dalam dua hal: (1) Kaum petanipedesaan adalah basis revolusioner sesungguhnya dalam struktur sosial negara-negara
dunia ketiga yang semi-jajahan dan semi feodal, bukan buruh perkotaan sebagaimana
pemikiran dan tesis Lenin; (2) Mao lebih menitikberatkan perjuangan revolusioner pada
doktrin politik-militer perang rakyat, ketimbang melulu melalui partai berdisiplin kuat
sebagaimana yang diyakini Lenin.

I.V. Situasi dan Kebijakan


1.1.
Faksionalisme di Tubuh PKC era Mao
Dituntun oleh tesis politik dimuka, Mao berhasil melancarkan revolusi komunis
Cina pada Oktber 1949. Hanya saja, sejak awal, meski merupakan figur sentral dalam
proses tersebut, Mao bukanlah figur tunggal. Invasi Jepang menjadi faktor penting yang
dapat ditunjuk sebagai akar dari faksionalisme dalam tubuh PKC. Kebutuhan untuk
mengusir invasi Jepang menuntut persatuan Cina, dan PKC mesti berkolaborasi dengan
Kuomintang. Kekecewaan beberapa eksponen Kuomintang mendorong migrasi eksponen
Kuomintang bergabung dengan Mao. Inilah asal muasal faksionalisme dalam PKC.
Eksponen Kuomintang yang bergabung dengan PKC dibawah Mao tersebut tetap
membawa orientasi politik nasionalistik-pragmatis-teknokratik ke dalam tubuh PKC.
Faksionalisme ini terus berlanjut pasca Revolusi 1949.
Secara umum, faksionalisme PKC terlihat dari pembelahan dua faksi dalam PKC, yang
oleh Sinolog William Hinton disebut dengan: (1) mereka yang menganut
pendekatakan Politics in Command (PiC) atau penganut jalan sosialis yang berpusat pada
figur Mao dan, (2) penganut pendekatan Technique in Command (TiC) atau penganut
jalan kapitalis dengan tokoh sentralnya Liu Shaoqi dan Deng Xiaoping (Hinton, 1972).
Dalam banyak situasi historis tertentu, Mao bahkan menemukan posisinya sedemikian
minor, karena elit partai lainnya seperti Zhou Enlai dan bahkan Hua Guofeng
menunjukkan kecondongan pada faksi TiC Liu dan Deng.
Pasca Revolusi 1949, Cina berhadapan dengan dua problem pelik. Pertama,
kerusakan ekonomi dan inflasi tinggi akibat perang Cina-Jepang dan perang saudara
dengan Kuomintang. Tahun-tahun pertama pasca revolusi, PKC memusatkan perhatian
pada perbaikan produksi, fasilitas publik, pengendalian inflasi dan pengeluaran
pemerintah. Pemberlakuan komune pedesaan (renmin gongshe), sampai batas tertentu,
berhasil mengembalikan tingkat produksi Cina kembali ke saat sebelum perang pada
1952 (Hang, 2009). Kedua, ketidaksiapan PKC dalam pengambilalihan kekuasaan dan
pembangunan kembali sebuah negara. Pengalaman PKC terbatas pada masa perang dan
masalah pedesaan, yang relatif gagap menjalankan roda kekuasaan pada masa pasca

perang. Selain itu, kekurangan SDM untuk menempati pos-pos baru pemerintahan juga
menjadi satu kesulitan tersendiri bagi PKC di bawah Mao (Townsend, 2008 [1974]:
227).
Dibawah pengawasan dan kerja sama Cina dan Rusia era Stalin, Cina
menjalankan program pembangunan kembali pasca perang, khususnya program Land
Reform dan pembangunan pedesaan yang memang sejak awal menjadi perhatian utama
Mao. Persoalan mulai muncul saat Rusia/Uni Soviet dipimpin oleh Kruschev dengan
kebijakan destalinisasinya. Kebijakan destalinisasi Kruschev tersebut dikritik keras oleh
Mao sebagai revisionis, dan menandai perpecahan komunisme Cina dan Soviet (SinoSovyet Split).
1.2.

Sino-Sovyet Split dan Lompatan Besar Ke Depan (Great Leap Forward)


Orientasi Soviet di bawah Kruschev yang ingin mengejar ketertinggalan dari
Barat, berimplikasi pada berkurangnya komitmen Sovyet pada pembangunan
Komunisme di luar Sovyet, yang membawa implikasi serius pada Cina yang baru saja
membangun jalan sosialisme-komunisme mereka. Oleh Mao, kebijakan tersebut selain
dikritik sebagai revisonis, juga akan berimplikasi pada makin meningkatnya
ketergantungan Cina pada kekuatan luar, sebuah situasi yang tidak diinginkan Mao. Oleh
karena itu, Mao kemudian mengumumkan kebijakan dan program ambisius Lompatan
Jauh Ke Depan (The Great Leap Forward atau D Yu Jn). Segera nampak, bahwa
kebijakan Lompatan Jauh Ke Depan (selanjutnya disingkat LJKD) juga merupakan
derivasi tesis Mao tentang revolusi sosialis dan garis massa (mass line). Oleh Mao,
LJKD ditujukan untuk mempercepat transformasi ekonomi Cina menuju sosialis-komunis
melalui percepatan industrialisasi dan kolektivisasi. Industrialisasi tersebut dilaksanakan
melalui dua jalur utama: Peningkatan industri baja dan industri ringan serta konstruksi
yang outputnya diharapkan mampu menopang kolektiviasi pertanian dan basis
industrialisasi lebih lanjut Cina, hingga pada gilirannya menampilkan Cina sebagai
kekuatan ekonomi yang mandiri. Industrialisasi Cina dalam LJKD juga menimba
inspirasi dari Uni Sovyet yang berhasil dalam menjalankan pembangunan industri berat.
Mao menyebut baja sebagai pilar industri dan memerintahkan untuk
meningkatkan produksi baja dua kali lipat dalam waktu satu tahun, dari 5,35 juta ton pada
tahun 1957 menjadi 10,7 juta ton pada tahun 1958. Slogan Lompatan Besar ke Depan
adalah berjalan di atas 2 kaki dan kemandirian pembangunan bersama industry dan
pertanian mencerminkan penerapan teknologi ganda: teknologi modern dan tradisional.
Untuk mengembangkan industri baja tersebut Mao tidak mempekerjakan tenaga ahli,
tetapi Mao memutuskan untuk menggerakkan seluruh rakyat untuk berpartisipasi dalam
gerakan lompatan jauh ke depan. Para ahli yang mencoba berbicara dengan akal sehat
dihukum mati.
Dalam program ini Mao mengesampingkan rasionalitas. Pabrik baja dan industri
terkait seperti tambang batu bara diperintahkan bekerja habis-habisan untuk untuk
memperbesar produksi. Pabrik-pabrik tersebut tidak mampu mencapai target seperti yang
ditetapkan Mao, sehingga Mao memerintahkan untuk membangun tanur rakyat. Rakyat
dipaksa untuk menyerahkan semua benda logam yang mereka miliki, seperti alat-alat
pertanian, alat masak-memasak, pegangan pintu, tempat tidur besi, dan sebagainya, untuk

a)

b)

c)
d)
e)

dicairkan dan dilelehkan. Gunung-gunung digunduli, pohon-pohon ditebang untuk


dijadikan kayu bakar. Bagi setiap unit diberikan kuota produksi baja, akibatnya
masyarakat banyak menghentikan kegiatan rutin mereka selama berbulan-bulan hanya
untuk memenuhi kuota. Kegiatan pertanian dilaksanakan bersama-sama secara serentak,
pertanian perorangan dilarang, penduduk ditempatkan dalam kelompok-kelompok besar
beranggotakan ribuan orang dan dipaksa bertani dengan disiplin militer.
Pada tahun 1958 diadakan perlombaan antar kelompok pertanian di seluruh
China, yang berpenghasilan terbesar dianggap sebagai komunis teladan. Akibatnya setiap
kelompok bersumpah untuk menhasilkan panen melebihi hasil ketetapan, dan pada panen
berikutnya mereka mengumumkan penghasilan yang lebih. Padahal angka ini sebenarnya
angka-angka palsu. Akibat perhitungan palsu tersebut maka Partai Komunis beranggapan
bahwa persediaan gandum dan beras telah melebihi batas, sehingga ke depan China harus
mengedepankan mata pencaharian lainnya. Puluhan juta petani dikerahkan untuk
pembangunan prasarana, jam kerja pabrik dilipatgandakan, bahkan mesin tidak boleh
dimatikan meski hanyauntuk perawatan. Petani harus bekerja lebih keras dan jauh lebih
lama dari sebelumnya.Mao mengerahkan tenaga dalam jumlah yang sangat besar untuk
membangun jaringan irigasi yang meliputi bendungan, waduk, dan kanal.
Dalam waktu empat tahun sejak 1958 diperkirakan hampir seratus juta petani
diperintahkan meninggalkan pekerjaan di tanah pertanian untuk bekerja dalam proyekproyek itu. Proyek-proyek besar tersebut dikerjakan dengan peralatan yang seadanya,
sehingga dalam pembangunannya banyak proyek yang berhenti di tengah jalan.
Pembangunan tersebut juga memakan korban petani dalam jumlah yang besar. Padahal
para petani tersebut merupakan tenaga kerja yang memproduksi bahan pangan dalam
jumlah besar di desa-desa. Lompatan jauh ke depan mengakibatkan salah satu bencana
ekonomi yang direncanakan yang terbesar pada abad ke-20.
Faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan gerakan ini adalah:
Tenaga kerja produktif di bidang agraris ditransfer seluruhnya ke bidang industri
menyebabkan kurangnya tenaga petani yang menanam tanaman untuk stok bahan
pangan.
Angka-angka statistik yang dilambungkan dan tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan. Faktor ini menyebabkan petinggi Beijing mengira bahwa program ini sangat
sukses yang selanjutnya menuai bencana yang lebih besar, berupa bencana kelaparan
yang terbesar sepanjang sejarah. Empat puluh juta jiwa mati dalam waktu dua tahun.
Rakyat yang dipekerjakan masih terlalu awam sehingga baja yang dihasilkan berkualitas
rendah.
Penggunaan bahan bakar untuk memacu industri begitu besar
jumlahnya sehingga mengakibatkan kekurangan bagi bidang lainnya.
Program LJKD ini, akhirnya berujung pada kegagalan, berupa kelaparan besar.
Meski faktor penyebab kegagalan tersebut sedikitnya disumbang oleh faktor bencana
alam yang menyebabkan gagal panen, serta kesalahan administratif berupa laporan palsu.
Disebutkan, jutaan korban jatuh akibat kebijakan ini, meski tidak ada angka pasti
mengenai besaran jumlah korban.

Kegagalan program dan kebijakan LJKD ini, membuat Mao mundur ke garis
kedua, dan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada faksi TiC yang lebih
pragmatis, Liu dan Deng.
1.3.

Biarkan Seratus Bunga Bermekaran (bihu qfng) dan Revolusi Kebudayaan


Pada tahun 1956 Mao mengumumkan kebijakan Seratus Bunga Berkembang,
yang diambil dari ungkapan biarkan seratus bunga mekar dan seratus aliran bersaing
suara yang secara teori berarti kebebasan yang lebih besar dalam bidang seni, sastra, dan
riset ilmiah. Partai ingin mendata dukungan dari rakyat Cina yang terpelajar yang
dibutuhkan oleh negara dan mengajak para intelektual untuk mengemukakan
pendapatnya terhadap perkembangan politik, ekonomi, dan sosial di China pada saat itu.
Sebenarnya kebijakan ini muncul karena kekhawatiran Mao dengan situasi yang
terjadi di Hongaria. Pada tahun 1956 sekelompok intelektual Hongaria membentuk
Lingkaran Petofi (Petofi Circle) yang memberikan kritik kepada pemerintahan Hongaria.
Mereka juga aktif berpartisipasi di berbagai forum dan perdebatan. Kelompok ini
mencetuskan gerakan revolusi nasional Hongaria, tetapi akhirnya berhasil ditumpas oleh
tentara Soviet (Roy
Medvedev, 1986:76).
Kesempatan melancarkan kritik terhadap pejabat partai melalui kebijakan seratus
bunga bermekaran tersebut, justru mengarah pada kritik terbuka tidak hanya terhadap
praktek birokratisme partai, tetapi juga pandangan-pandangan yang mengritik kebijakan
LJKD, bahkan kepemimpinan dan kemampuan Mao sendiri. Sentimen anti birokratisme
Partai sekaligus anti-Mao tersebut menunjukkan kecenderungan makin menguat pada
1961-1962. Sentimen anti-Mao tersebut kemudian dijawab dengan ofensifitas politik
untuk mengokohkan kembali pemikiran Mao melalui kampanye besar-besaran dengan
Tentara Pembebasan Rakyat (TPR)/People Liberation Army (PLA) sebagai ujung
tombaknya. TPR, dibawah kendali Lin Biao, menjadi pangkalan utama bagi Mao untuk
menjalankan kebijakan politik terpenting pasca Revolusi 1949: Revolusi Kebudayaan
Proletariat Cina.
Revolusi kebudayaan merupakan gerakan politik nasional yangdiorganisir dan
dipimpin oleh sekelompok elite politik di bawah pimpinan Mao Tse-tung. Revolusi
tersebut berusaha menguji semua pejabat, khususnya para pejabat tinggi, memperbarui
dan membersihkan mereka yang tidak mengikuti petunjuk-petunjuk Mao. Dalam
pandangan Mao banyak pemimpin menjadi borjuis dan korup. Jadi revolusi kebudayaan
dipandang sebagai kampanye pembetulan dan sebagai kampanye massa untuk perjuangan
kelas dalam menyelesaikan kontradiksi antara kaum proletar dan borjuis. Setelah
mundurnya Mao dari kursi kepresidenan China setelahkegagalannya dalam program
lompatan besar ke depan, Mao masih tetap merupakan pemimpin tertinggi yang diagungagungkan oleh rakyat. Namun yang menjalankan pemerintahan adalah dari kaum
pragmatis di bawah Liu Shaoqi. Revolusi Kebudayaan dilancarkan pada tahun 1966 oleh
Mao Tse-tung sebagai puncak perseteruannya dengan pejabat presiden Liu Shaoqi dan
kliknya yang dituduh beraliran kanan, mendukung intelektualisme dan kapitalisme. Liu
Shao Qi dan Deng Xiao Ping melihat bahwa kegagalan Lompatan Jauh ke Depan
menunjukkan bahwa sosialisme orthodox yang dipegang Mao tidak lagi bisa

dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan Uni
Soviet. Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan ide Mao dan
tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan
anti kapitalisme. Selaku presiden RRC Liu Shao Qi memiliki gagasan untuk melunakkan
penindasan pemerintahan terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat. Melalui program
Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi (sanzi yibao), Liu mengijinkan rakyat untuk
mengerjakan tanah miliknya sendiri serta memiliki usaha kecil untuk dijual ke pasar
bebas. Hal ini membuat Mao khawatir akan membangkitkan kapitalisme di China.
Gerakan Revolusi Kebudayaan itu secara langsung mengenai isi seni,literatur, dan drama
dengan menekankan bahwa ekspresi kebudayaan harus menghormati nilai-nilai
kebangsaan dan proletar dalam masyarakat sosialis, menentang musush-musuh kelas dan
asing, dan menolak nilai-nilai tradisional China. Tujuan revolusi kebudayaan tersebut
adalah untuk memelihara ideologi komunisme, budaya, dan adat kebiasaan proletariat.
Komunisme merupakan satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol
penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh tetapi juga pikiran. Revolusi kebudayaan
memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Zedong. Oleh karena
itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam PKC. Tradisi dan
budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan adat lama lainnya.
Langkah organisasional Mao selama masa revolusi ini adalah dengan membentuk
rantai komando pribadi yang beroperasi di luar mesin partai, meskipun secara resmi
menyatakan berada di bawah politbiro dan komite pusat. PKC tidak dapat dijadikan
sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao
memobilisasi militer, kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai
media khususnya Koran paling berpengaruh harian rakyat. Pada bulan Juni membuat
serangkaian editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak
ketua Mao, menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak
rakyat agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas
dan belum pernah ada sebelumnya.
Mobilisasi massa, khususnya mahasiswa dan pendukung Mao secara meluas, khususnya
yang diorganisir oleh TPR dan Jiang Qing dan gang empat, pada puncaknya justru
berujung pada destruksi partai. Mao kemudian meminta TPR untuk mengendalikan
situasi yang kian memburuk dan mengembalikan stabilitas keadaan. Meski dinilai sukses
dalam menyingkirkan semua lawan-lawan Mao, tetapi revolusi kebudayaan tidak
memberikan kemenangan mutlak pada golongan Maois (Townsend, 2008 [1974]: 235).
Dorongan konsolidasi untuk menguatkan kembali organisasi partai pasca revolusi
kebudayaan dilancarkan pada kongres ke PKC ke sembilan pada 1969, yang menandai
berakhirnya revolusi kebudayaan. Dihidupkannya kembali organisasi PKC membuat
manifestasi simbolik Mao berangsur-angsur surut. Tahun 1971-72, PKC telah mencapai
pemulihan seperti sedia kala. Seiring dengan berakhirnya revolusi kebudayaan, kesehatan
Mao terus menurun.

1.4.

Era Deng Xiaoping: Cina Bergerak Ke Pasar

Pasca Mao, sempat ditandai oleh ketegangan yang makin meningkat antar faksi
terkait perebuatan kekuasaan dan kepemimpinan pasca Mao, antara faksi moderatpragmatis yang berporos pada Zhou-Deng, dengan faksi Maois yang berporos pada Jiang
Qi dan gang empat. Bergabungnya kelompok-kelompok untuk menggulingkan faksi
radikal-Maois, khususnya faksi neo-Maois dibawah kepemimpinan Hua Guofeng,
membuat pertarungan berakhir dengan kemenangan faksi moderat-pragmatis atau faksi
TiC. Dukungan poros Hua Guofeng ini didasarkan pada kesepakatan mengenai prioritas
pertumbuhan ekonomi dan perlunya liberalisasi ideologi di bidang ilmu pengetahuan,
pendidikan dan kebudayaan, insentif material dan teknologi asing. Hanya 18 bulan
setelah wafatnya Mao, poros kepemimpinan ini segera meluncurkan program ambisius
empat modernisasi: Pertanian, Industri, Pertahanan Nasional, serta Ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tetapi sejatinya, koalisi ini secara inheren tidak stabil. Kelompok neo-Maois
dibawah Hua Guofeng menerima modernisasi, sejauh digambarkan sebagai lompatan
baru ke depan, dan tidak menerima pengahncuran nilai-nilai Maois dan gaya
pemerintahannya. Sedang kaum pragmatis percaya bahwa nilai Maois dan gaya
pemerintahannya justru akar permasalahan Cina, serta menilai bahwa serangan politik
terbuka terhadap Mao diperlukan untuk mendapatkan kembali dukungan rakyat
(Oksenberg & Bush, 1996: 233). Secara relatif, faksi pragmatis dan Deng lebih berhasil
mendapatkan dukungan.
1.5.

Deng: Sosialisme Berkarakter Cina dan Reformasi Menyeluruh


Gong reformasi ditabuh Deng pada 1978. Deng, yang secara publik tetap
mengaku berkomitmen terhadap sosialisme, dengan segera meluncurkan kebijakan yang
disebutnya Sosialisme Pasar. Pada kesempatan lain, ia menyebut kebijakannya sebagai
Sosialisme dengan karateristik Cina. Melalui kebijakan ini, ia berpendapat Cina akan
sanggup keluar dari kungkungan keterbelakangan dan kemelarataan yang menimpanya.
Apapun namanya, dalam Third Plenum Partai Komunis Cina, pada Desember 1979,
dicapai keputusan untuk menggunakan kekuatan pasar dalam menggerakkan mesin
ekonomi. Untuk itu, ada tiga kebijakan utama yang dicanangkannya, di masa-masa awal
kepemimpinannya.
Pertama, pada awal 1979, di kota-kota tertentu pemerintah mempromosikan
sosialisme pasar guna menciptakan pasar kerja. Pertimbangannya, tanpa kebebasan untuk
mengalokasikan sumberdaya kerja manajer tidak akan sanggup bertindak rasional
dalam merestrukturisasi produksi guna merespon sinyal yang dipancarkan oleh pasar.
Pasar kerja, juga memungkinkan manajemen untuk melakukan efisiensi dan produktivitas
ekonomi.
Langkah kedua, yang ditempuh rejim Deng adalah meneken kebijakan pintu
terbuka pada 1979. Berbekal kebijakan ini, pemerintah kemudian menetapkan empat
zona khusus ekonomi di sepanjang pesisir selatan provinsi Guangdong dan Fujian, bagi
investor asing. Deng berargumen, kehadiran investor asing akan membantu menciptakan
lapangan pekerjaan baru dan membawa masuk teknologi baru, sekaligus menjadi
sekolah tempat belajar tentang bagaimana mengoperasikan ekonomi pasar. Kebijakan
ini kemudian disusul dengan serangkaian kebijakan lain pada 1983 untuk merangsang
lebih banyak investasi asing langsung masuk, dengan cara menghapuskan pembatasan-

pembatasan yang membatasi investor asing untuk melakukan usaha bersama dengan
investor domestik, dan juga untuk memuluskan jalan bagi kepemilikan investor asing.
Langkah ketiga, dalam proses awal reformasi ekonomi ini adalah perintah agar
dibubarkannya sistem produksi kolektif, pada September 1980. Dekolektivisasi ini diikuti
oleh sejumlah langkah seperti, dibentuknya sistem produksi berbasis rumah tangga
sebagai ganti sistem produksi berbasis kolektif. Hasilnya, pada 1983 hampir 98 persen
dari seluruh petani rumah tangga beroperasi menurut logika sistem baru ini, dimana
lahan-lahan kolektif dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang yang dijual di
pasar. Aturan baru ini kemudian disusul dengan regulasi pada 1983-1984, dimana para
pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers)
untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.
Hancurnya sistem komune ini, juga berimbas pada keseimbangan kekuasaan,
dimana terjadi transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan baru.
Konstitusi 1982, misalnya, semula memberikan kekuasaan administratif dan politik
kepada komune untuk membentuk perusahaan kota dan desa. Dengan perubahan
keseimbangan kekuasaan tadi, pemerintah baru kemudian mengambilalih ase-aset
industrial komune, dan selanjutnya merestrukturisasinya menjadi perusahaan kota dan
desa (township and village enterprises/TVEs) dan memfasilitasi perluasan pasar di
wilayah pedesaan (Hans-Landsberg & Burkett, 2005).
Sampai batas tertentu, Deng mendasarkan legitimasinya pada perbedaanperbedaan pokok yang dapat dikenali dengan Mao, sekaligus dengan tetap
mempertahankan sebagian warisan Mao. Reformasi yang dijalankan Deng di bidang
politik juga substansial. Agenda penyatuan Cina menjadikan ekonomi sebagai sabuk
tranmisi integrasi. Upaya penyatuan Cina tidak lagi dilakukan semata-mata melalui
paksaan dan propaganda, rezim Deng justru mendorong persatuan melalui peningkatan
kesalingtergantungan ekonomi antar daerah, melalui alokasi barang-barang material dan
barang modal yang terencana dan efektif, dan sistem promosi dan manajemen personalia
yang teratur.
Rezim Deng, jelas menyadari bahwa dasar pembenaran diktator partai dan
penguasa sosialis Cina terletak pada kemampuan partai dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Selain itu, stabilitas rezim melalui konsensus relatif antar elit partai
juga dibangun untuk memastikan kesinambungan kekuasaan partai. Konsensus relatif
tersebut tidak lagi dicapai dengan internalisasi ideologis, tetapi melaui pemerintahan
kolektif. Meski menikmati periode singkat dimana inisiatif mutlak berada di tangan
Deng, keputusan-keputusan penting lebih didasarkan pada kesepakatan di dalam politbiro
dan sekretariat. Secara formal, bahkan keputusan kecil sekalipun membutuhkan
persetujuan beberapa anggota komisi tetap dewan negara.
Untuk meningkatkan legalitas sosialisme ala Cina dan membatasi
penyalahgunaan kekuasaan, sistem pidana diperbaharui, dan konstitusionalisme
ditegakkan lebih disiplin. Secara perlahan namun drastis, hak-hak istimewa Militer
dihilangkan dan anggaran belanjanya dikurangi.
Apa yang terlihat secara meyakinkan dari reformasi Deng adalah kemajuan yang
diarahkan oleh lembaga. Dewan negara difungsikan, konstitusi disempurnakan, dan

aparatur puncak partai diperbaharui. Hukum dan regulasi yang mengatur tahap-tahap
yang harus dilalui pembahasan kebijakan sebelum diundangkan secara resmi ditaati.
Satu lagi aspek terpenting dari sosialisme berkarakter Cina ala Deng, yang
membedakannya dengan Mao. Secara kultural, klausul berkarakter Cina dalam sosialisme
ala Deng adalah pemulihan tradisi kebudayaan Cina. Bagi Mao, tradisi Cina adalah batu
penghalang bagi ditegakkannya masayarakat sosialis karena tendensi pasifis dan karakter
feodal yang melekat kuat dalam tradisi Cina. Tetapi dalam sosialisme ala Cina Deng,
tradisi Cina kemudian diadaptasikan dengan sosialisme. Tradisi Cina yang digabungkan
dengan sosialisme tersebut, umpamanya dapat dilihat dalam relasi antara organ partai di
tingkat lokal dengan tingkat pusat melalui hubungan personal yang dikenal dengan
istilah Guan Xi, yang berakar dalam tradisi konfusius Cina.
Sedemikian jauh reformasi yang dijalankan Deng, tetap menyisakanwarisan era
Mao: partai politik dengan kekuasaan yang monopolistik, angkatan bersenjata
nasional/TPR dan aparat propaganda yang meski relatif dikekang, tetapi tak dirombal,
ekonomi yang sebagian besar tetap berada dibawah perencanaan dan kendali negara, serta
aparatur birokrasi negara yang kuat.
1.6.

Era Pasca Deng


Berbeda dengan Uni Soviet/Rusia, tidak ada gejolak yang berarti serta perubahan
haluan ideologi, politik dan ekonomi pasca Deng. Transisi kepemimpinan berlangsung
mulus, dan sosialisme pasar Deng dibakukan menjadi panduan kebijakan selanjutnya.
Bahkan, pada masa Jiang Zemin, sosialisme pasar ini dibawa lebih jauh, sehingga era
Jiang Zemin juga kerap disebut sebagai era pertumbuhan ekonomi Cina.
Tetapi, tetap perlu menambahkan satu catatan penting terkait dengan
perkembangan Cina saat ini. Dikalangan elit PKC saat ini, frasa yang paling sering
didengung-dengungkan, terutama di kalangan pejabat birokrasi Partai Komunis Cina,
adalah frasa harmonious society/ hxi shhu atau masyarakat harmonis. Bahkan
frasa ini menjadi kebijakan politik PKC pada era Hu Jintao dan Xi Jinping saat ini.
Kebijakan ini, oleh sebagian kalangan, disinyalir sebagai respon dari rezim atas ekses
negatif dari perluasan pasar. Tetapi, kebijakan baru ini, sama sekali bukan tanda bagi
adanya pergeseran ideologi, politik dan ekonomi yang praktekkan dan diwarisi dari Deng.
V.
KESIMPULAN
Sintesa: Persamaan dan Perbedaan Komunisme Soviet dan Cina
Setelah melakukan analisis atas jalannya komunisme Rusia dan Cina serta
kompleksitas tesis, doktrin dan ideologi politik dan kebijakan-kebijakannya secara
ringkas diatas, maka upaya sintesis menjadi dimungkinkan dengan lebih mudah. Sintesis
dilakukan melalui abstraksi atas persamaan sekaligus perbedaan pola komunisme Rusia
dan Cina dalam prakteknya masing-masing.
Setidaknya, ada dua hal pokok yang dapat diajukan terkait persamaan dan
perbedaan praktek komunisme Rusia dan Cina: (1) berkenaan dengan kesamaan watak
otoritarian komunisme Rusia danCina dan perbedaan konsekwensinya; (2) berkenaan
dengan kapasitas adaptif antara tipe komunisme Rusia dan Cina dalam menjalankan
modernisasi.

Pertama, watak Otoritarianisme politik. Baik komunisme Rusia maupun Cina


sama-sama berwatak otoriter. Watak ini dapat dilihat dalam besarnya kekuasaan partai
dan sifatnya yang sangat sentral dalam konstruksi politik di masing-masing negara.
Tetapi kesamaan tersebut juga secara inheren memperlihatkan perbedaan yang substansial
dalam konsekuensinya. Sentralisasi dan otoritarianisme partai komunis Rusia menjadi
landasan dan berujung pada despotisme personal. Despotisme personal di Rusia adalah
fenomena yang tetap menggejala sejak Lenin sampai Gorbhacev. Sedang di Cina, meski
tetap otoriter secara politik, tetapi otoritarianisme dan sentralitas partai di China justru
menjadi landasan, meski relatif, bagi terjadinya pelembagaan partai dan tersedianya
jaminan pelembagaan politik. Despotisme personal memang sempat terjadi pada era Mao,
yang kemudian berangsur-angur melemah sejak era Deng.
Kedua, kapasitas adaptif dalam menjalankan modernisasi. Baik rezim komunis
Rusia maupun Cina sama-sama berkomitmen pada modernisasi sebagai metode
pembangunan sosialisnya. Tetapi, kapasitas adaptif masing-masing rezim dalam
merespon perubahan yang diniscayakan oleh modernisasi berbeda. Mengacu pada
Byrnes, Otoritarianisme, seperti halnya semua bentuk pemerintahan, menciptakan
beberapa kekuatan besar, sekaligus pada saat yang sama mempunya sejumlah kelemahan
tertentu. Salah satunya adalah kelambatan dalam memberikan tanggapan terhadap
modifikasi modifikasi dalam suatu dunia tempat perubahan yang paradoksal selalu
dijumpai (Byrnes, 1996 [1984]: 215). Rezim komunisme Rusia relatif kurang memiliki
kapasitas adaptif dalam menjalankan modernisasi. Sebagian besar dari masalah ini
disumbang oleh lemahnya konsensus elit (partai) mengenai cara dan metode dalam
menjalankan modernisasi dan merespon perubahan yang terjadi dalam proses tersebut.
Berbeda dengan Cina, kapasitas adaptif rezim komunis lebih besar, karena adanya
konsensus relatif elit partai pada komitmen, cara dan metode menjalankan modernisasi
sejak era Deng.
Di lain pihak, pengkolektifan pertanian Uni Soviet tak akan pernah terwujud
tanpa perubahan drastis yang dilakukan Stalin. Dalam kaitan ini, politik kebijaksanaan
Stalin mempunyai pengaruh jauh seperti berikut: Stalin punya peranan penting dalam
penyebarluasan Komunisme ke seluruh dunia. Kenyataan ini mengandung kebenaran
obyektif. Adalah berkat usaha Stalin Komunisme tertancap kuat di negeri-negeri satelit di
Eropa Timur, tetapi di Cina kerja keras luar biasa yang diperbuat Mao Tse Tung
merupakan faktor yang tidak bisa diabaikan. Secara keseluruhan saya pikir tentulah Marx
dan Leninlah yang punya saham terbesar dalam penyebaran Komunisme ke seluruh
jagad. Tetapi, meskipun apabila Stalin tidak sejajar arti pentingnya dibanding Marx,
Lenin dan Mao Tse Tung, tidak bisa tidak dia merupakan salah seorang raksasa dalam
sejarah, seorang genius yang beringas yang tak bisa dilupakan sejarah.

Anda mungkin juga menyukai