I.
A.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Abad 20, mencatatkan dua revolusi sosialis-komunis yang monumental. Revolusi
1917 di Rusia, dan revolusi 1949 di Cina, telah mengantarkan Rusia dan Cina menjadi
negara komunis di dunia. Pengaruh kedua revolusi tersebut tidak bisa diabaikan. Sejarah
tidak akan sama tanpa dua revolusi tersebut, tidak saja di abad 20, bahkan sejarah masa
kini. Perjuangan nasionalisme di negara-negara kolonial, banyak menimba inspirasi dan
mendapatkan pengaruh yang kuat dari kedua revolusi tersebut.
Tetapi sejarah telah mencatat, bahwa komunisme Soviet dan Cina menampilkan
konsekuensi yang berbeda: komunisme Soviet ambruk pada 1991, sedang komunisme
Cina dengan gagah melintasi sejarah, bahkan disebut sebagai penantang paling serius atas
hegemoni dan dominasi AS di lapangan ekonomi dan politik. Perbedaan konsekuensi
historis tersebut, meski sama-sama mengklaim diri sebagai negara berideologi sosialiskomunis, secara implisit mengindikasikan perbedaan-perbedaan inheren tertentu diantara
keduanya.
Kemenangan kaum Bolshevik pada Revolusi 7 November 1917 tidak mengubah
kebijakan Rusia atas Asia, meskipun salah satu asas politik luar negeri Bolshevik adalah
melawan imperialisme dan kolonialisme. Hal ini ditunjukkan oleh Lenin yang
menandatangani Deklarasi Hak-hak Bangsa- bangsa Rusia yang menjamin bangsabangsa bekas imperium Tsar membentuk Negara merdeka. Ia mengakui hak bangsabangsa atas penentuan diri tetapi tidak pernah menginginkan pelaksanaannya karena
tujuan utama Lenin adalah mendirikan negara sebesar mungkin (Rusia Raya). Lenin
menggunakan hak penentuan diri sebagai taktik, yakni menggalakkan disintegrasi
bangsa-bangsa jajahan Rusia (Masa Tsar) untuk mempercepat proses revolusioner. Lenin
yakin, setelah terjadi disintegrasi bangsa-bangsa itu akan dengan sukarela bergabung ke
dalam Rusia yang telah mengalami revolusi sosialis. Rupanya Lenin tidak pernah
menggunakan ideologi yang selama hampir 70 tahun Marx dan Engels menyebut dengan
istilah sosialisme ilmiah.
Lenin sejak berhasil memimpin Revolusi Bolshevik akhir tahun 1917 dan juga
Stalin menerjemahkan istilah tersebut ke dalam praktek. Oleh karena itu, ideologi
Komunis sebenarnya baru dilahirkan setelah Partai Bolshevik, fraksi mayoritas yang
memisahkan diri dari Partai Buruh Demokrat Rusia, untuk selanjutnya berdiri sendiri
sebagai partai, mulai memegang kendali pemerintahan di Rusia. Selanjutnya lima tahun
setelah mengeluarkan Manifes Partai Komunis, Marx dan Engels mengganti istilah
humanisme dengan Komunisme. Kebesaran Rusia dengan Uni Soviet-nya kian menjadi
nyata, sehingga negara ini telah ditakuti oleh negara- negara Barat terutama Amerika
Serikat. Musuh bebuyutan dan Perang Dingin pun menjadi kepentingan politik dan
strategi kedua negara adidaya ini hingga berakhirnya negara Uni Siviet pada tahun 1990.(
Dwi Susanto & Zainuddin Djafar (ed)/,1990:4-7)
Reformasi ekonomi China pasca Mao merupakan peristiwa penting yang tidak
hanya menjadi awal kebangkitan perekonomian China, tetapi juga memberi pelajaran
berharga akan arti sebuah perubahan. Slogan reformasi dan membuka diri (gaige,
keifang) pada masa pemerintahan Deng Xiaoping menandai bangkitnya kesadaran baru
bagi China dalam melihat dunia dan masa depan. Globalisasi memang yang tidak bias
dihindari oleh bangsa China betapapun baik atau buruk sifatnya, cara terbaik untuk
menghadapi adalah justru merangkul dan mengelola untuk kepentingan bangsa China
sendiri.
Boleh dibilang bahwa transformasi ideologi komunisme China adalah sebuah
kisah dramatis, sekaligus inspiratif. Bagaimana tidak, sebuah Negara komunis yang
begitu ketat dalam menerapkan ideology tiba-tiba dapat begitu akrab dengan modal asing
dan berhasil menumbuhkan perusahan-perusahan lokal yang berdaya saing tinggi di level
internasional. Jumlah pengusahan kaya pun semakin bertambah dan bahkan sejak 2001,
di bawah kepemimpinan Jiang Zemin, Pemerintah Partai Komunis China (PKC)
menerima keanggotaan dari kalangan swasta. Sesuatu yang mungkin tak pernah
terbayangkan dapat terjadi di sebuah Negara komunis yang menganut paham dictatorship
of ploretariat.
Cukup mengejutkan, ketika konflik vertical maupun horizontal yang biasa
menyertai perubahan besar dalam masyarakat Negara berkembang sekan tidak terjadi di
China. Pergeseran paradigm dari konservatisme komunisme menuju pragmatism
dekonomi dala era reformasi dan membuka diri tentunya berpotensi memunculkan
benturan kepentingandalam tubuh PKC maupun gejolak dalam masyarakat. Tetapi hal
yang menarik adalah perubahan di dalam kehidupan sosial politik yang dapat dibilang
cukup dramatis tersebut membahayakan stabilitas Negara dan menghalangi cita-cita
perubahan itu sendiri. Cerita yang berbeda terjadi di Uni Sovyet, ketika semangat
reformasi dan keterbukaan yang digaungkan oleh Goerbachev justru berujung pada
perpecahan di Negara yang menjadi kiblat komunisme dunia tersebut. Disinilah
menariknya China, yakni kemampuannya mengelola kontradiksi-kontradiksi yang
muncul dalam alur perubahan tersebut.
Dan tentunya fenomena ini memerlukan penelaahan lebih mendalam daripada
sekedar menilai yang ditujukan terhadapnya. Disamping itu, ada kekuatan lain yang juga cukup
berpengaruh dalam perpolitikan China adalah militer. Akar keterlibatan militer dalam politik China tidak
jauh berbeda dengan pengalaman sejarah di kebanyakan negara post-kolonial, yaitu berawal dari revolusi
kemerdekaan. Keterlibatan militer dalam politik China secara garis besar ditentukan oleh dua hal: teknik
organisasi dan kekuatan bersenjatanya. Pada masa revolusi melawan kolonialisme dan menyingkirkan
Goumindang dari China daratan, hingga akhirnya berdiri Republik Raykat China pada 1949. Dalam politik
China modern, teknik organisasi yang dimiliki militer telah memberikan kontribusi penting bagi PKC untuk
membangun sebuah sistem politik yang sentralistik dan hirarkis. Militer pula menjadi instrument koersif
yang efektif untuk menjaga ketertiban sosial dan politik. (Wang,1992:179)
Dominasi militer dalam politik China ditunjukkan dengan munculnya Tentara Pembebasan Rakyat
(TPR) sebagai kekuatan utama selama berlangsungnya Revolusi kebudayaan (1966-1976). TPR meminta
Mao memasuki ranah plotik karena situasi dalam negeri sudah kacau. Tugas utamanya adalah
menggantikan membentuk Komite Revolusioner yang beranggotakan dari tiga unsur; militer, kader partai
dan perwakilan massa. Pada tahun 1968 seluruh pemerintah tingkat provinsi dan di bawahnya telah
digantikan oleh Komite Revolusioner. Dalam perkembangannya, militer justru menjadi kekuatan
penyeimbang di tengah-tengah persaingan antara kubu reformis dan konservatif. Instituysi militer memang
tidak mempunyai pengaruh langsung dalam pengambilan keputusan, tetapi militer sangat menentukan
berjalan atau tidaknya suatu kebijakan atau program di lapangan. Dalam kasus Tiananmen, misalnya,
campur tangan militer telah menyelamatkan jalur modernisasi China. Karenanya, kubu manapun yang
berkuasa harus bisa meyakinkan pihak militer bahwa mereka maupun memerintah China dengan baik.
(Nanda Akbar A.2011:51-53)
Ketika analisa yang mengedepankan peran dan pengaruh militer maupun individu
di dalam suatu perubahan politik dalam suatu negara dianggap tidak relevan dan
reduksional, maka pengalaman China menunjukkan sebaliknya. Sejak merdeka hingga
dicanangkannya reformasi ekonomi, percaturan politik Chinna tidak pernah lepas dari
keberadaan tokoh sentral di dalamnya, diantaranya, Mao Zedong yang berkuasa pada era
komunisme China dan Deng Xiaoping pada masa reformasi dan keterbukaan, yang
memberi corak tersendiri bagi kepemimpinan China. Tidak bisa disangkal bahwa sosok
Deng Xiaoping memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap dinamika politik China
selama reformasi, sebagaimana Mao di masa sebelumnya. Perjalanan panjangnya
bersama PKC (semenjak revolusi kemerdekaan) dan kedekatannya dengan para kader
veteran, telah memberi Deng pengaruh yang kuat dalam partai. Deng mampu
menjembatani hubungan antara faksi-faksi yang bersaing, golongan tua yang konservatif
dan golongan muda yang reformis/pragmatis. Deng juga merupakan tokoh yang sangat
dihormati di kalangan militer. Kedekatannya dengan militer sudah berlangusng cukup
lama, berawal dari keanggotaaannya dalam Tentara Merah sampai menjabat sekretaris
B.
jenderal PKC (1956-1966). Berlanjut hingga pada 1975, ketika dia menjadi kepala Staf
TPR, dialah satu-satunya orang dalam hirarki puncak setelah kematian Mao yang bisa
diperoleh dukungan dari sebagian besar pejabat TPR.
Deng adalah tipe pemimpin yang memiliki dua macam leitimasi, yaitu legitimasi
kharismatik dan rasional. Tidak hanya pesona pribadi yang membuatnya memperoleh
banyak dukungan dari berbagai kalangan, namun juga karena prestasi yang dibuatnya.
Pertumbuhan ekonomi China yang menjanjikanselama reformasi adalah salah satunya.
Kiranya inilah yang membuat pengaruh politik Deng tetap kuat, meski ia tidak lagi
memegang jabatan structural. Seperti yang ditunjukkan dalam pempilihan Jiang Zemin
sebagai Presiden menggantikan Li Peng. Kemampuannya merangkul berbagai elemen
politik telah menempatkan Deng sebagai sosok arbitrator tertinggi bila sewaktu-waktu
terjadi krisis sosial politik atau pertikaian antar fraksi. Disini Deng tidak hanya berperan
sebagai policy maker, tetapi Deng pun menjadipolitic peacmaker. Besarnya pengaruh
yang dimiliki Deng, selain karena struktural, kemungkinan Besar ditunjang oleh karakter
masayarakat China yang sangat menjaga hirarki. Menurut tradisi China, kehadiran
penguasa adalah untuk memelihara keseimbangan di antara kontradiksi-kontradiksi yang
hadir di alam semesta. Seorang penguasa dipercaya memegang mandate dari langit untuk
menghindari kekacauan dan anarkhi dalam masyarakat. Karena itu figure pemimpin
menjadi hal yang sangat menentukan dalam politik China.
Kecenderungan tersebut nampak dalam relasi politik di China yang lebih banyak
ditentukan oleh hubungan patron-clien. Agar dapat memperoleh posisi penting dalam
pemerintahan, seseorang kader harus mempunyai relasi yang baik dengan petinggi partai.
Demikian hanlnya dengan seorang petinggi partai yang pasti sudah mempunyai jagonya
sendiri untuk ditempatkan di posisi-posisi strategis. Pola hubungan patron-clien pada
akhirnya tidak hanya akan berpengaruh pada jenjang karir seorang kader, namun juga
untuk melestrarikan kepentingan ataupun gagasan-gagasan politik para politisi tua.
Setelah mengetahui karakter kepemimpinan politik China, bolehlah dikatakan
bahwa membaca proses konsolidasi di China selama reformasi tanpa mempertimbangkan
faktor individu Deng justru akan terlihat reduksionis. Bagaimanapun politik tidak hanya
ditentukan oleh persoalan structural, namun ia juga melibatkan suatu rangkaian nilai
tertentu yang dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini, sebuah analisas atau teori menjadi
berarti ketika ia membuka diri terhadap segala kemungkinan yang ada termasuk terhadap
munculnya anomaly-anomali di dalam masyarakat yang ingin dianalisa dan tidak hanya
bekerja untuk dirinya sendiri.(Nanda Akbar A.2011.hlm. 64)
Rumusan Masalah
Masalah utama yang hendak dijawab dalam uraian makalah adalah: mengapa
Soviet dan Cina, meski sama-sama mengklaim berideologi sama, justru mengarah pada
konsekuensi berbeda (satu ambruk, yang lain bertahan)? Jawaban atas masalah ini
diletakkan pada level sistem politik. Masalah dimaksud didekati secara bertingkat,
dengan terlebih dahulu menguraikan secara analitis dan sintetis masalah yang berkenaan
dengan perbedaan pokok antara ideologi komunisme Soviet dan komunisme Cina, baik
teori maupun praktek, sebagaimana dicerminkan oleh elit-elit puncak partai. Selain itu,
situasi konkrit macam apa yang mempengaruhi penerapan tesis komunisme di Rusia dan
Cina, berikut derivasinya berupa kebijakan-kebijakan pokok yang dibuat oleh elit puncak
partai. Sintesa dilakukan untuk mengidentifikasi apa saja persamaan dan perbedaan pola
komunisme Soviet dan Cina dalam prakteknya masing-masing.
C.
Kerangka Teori
Dalam menyajikan penjelasan tentang komunisme Soviet (Rusia) dan Cina,
makalah ini mencoba untuk mengajukan model dua tingkat penjelasan, yakni tingkat
generalisasi melalui perbandingan sistem politik, dan tingkat analitis dan sintesis melalui
perbandingan ideologi dan teori serta perbandingan elit dan partai. Penjajakan dilakukan
dengan terlebih dahulu melihat pada tingkat analitis dan sintesis sebagai basis
argumentasi pada tingkat generalisasi.
Salah satu persoalan krusial yang diidap oleh teori sistem politik adalah sifatnya yang
terlalu abstrak dan spektrumnya yang terlampau makro (Chilcote, 1981). Atas dasar itu,
makalah ini difokuskan pada aspek spesifik terkait derajat kesisteman. Dengan
memodifikasi kerangka teori yang diajukan oleh Randall dan Svasans, derajat kesisteman
dipahami sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi politik, termasuk penyelesaian konflik,
melalui aturan, prosedur dan mekanisme yang disepakati secara terlembaga (Randall &
Svasand, 2002). Tentunya, bertahan atau tidaknya sebuah sistem politk sedikit banyak
bergantung pada derakat kesisteman dimaksud.
Meski demikian, kesulitan untuk menerapkan analisa pada level mikro tetap
mengemuka. Makalah ini hendak melihat sistem politik yang spesifik, yaitu sistem politik
komunisme Soviet dan Cina. Untuk menutupi kekurangan tersebut, maka penjelasan pada
level mikro dibutuhkan. Penjelasan level mikro ini memilih pendekatan perbandingan
ideologi dan teori, serta perbandingan elit dan partai (Kuliah TB. Massa, 2013).
Perbandingan ideologi dan teori dilakukan melalui mengidentifikasi tesis-tesis
pokok ideologi politik yang membingkai komunisme Rusia dan Cina. Christenson, et.al.,
dalam ideologies and modern politics, sebagaimana dikutip Rusli Karim, secara tegas
menyebutkan bahwa ideologi politik sebagai suatu sistem kepercayaan yang menjelaskan
dan menjustifikasikan tatanan politik yang dipilih suatu masyarakat (Rusli Karim, 1990 :
2). Freeden juga menandaskan bahwa ideologi tampak jelas
pada
seluruh bidang pemikirantentang prinsip dan tujuan politik, dan membekali para
pengikutnya dengan suatu identitas sosial dan politik dan bekerja sebagai salah
satu faktor utama dalam merealisasikan tujuan-tujuan politik (Freeden, 2013 [2004]:11,
12). Meski sama-sama komunis, Soviet dan Cina memperlihatkan dasar dan praktek
ideologis yang berbeda. Perbandingan ideologi dan teori komunisme membantu untuk
menganalisa perbedaan sifat dan karakteristik ideologis antara keduanya.
Tetapi, ideologi tetaplah wilayah yang abstrak. Meski memberi justifikasi atas
tatanan politik, relasi ideologi dan sistem politik tidak memadai untuk menjelaskan
fenomena pada wilayah aktual-empirik, karena hanya akan berhenti pada tataran idealnormatif. Untuk itu, penjelasan lain dubutuhkan. Dalam praktek komunisme, salah satu
ciri pokoknya adalah keberadaan partai tunggal dengan kekuasaan yang monolitik. Tak
pelak lagi, partai (dalam hal ini Partai Komunis Uni Soviet [PKUS] dan Partai Komunis
Cina [PKC]) menjadi unit analisis yang tidak bisa diabaikan. Konsekuensinya,
kepemimpinan (elit) partai menjadi mata rantai penting untuk mengkonstruksi analisis,
sintesis dan generalisasi yang akan dibangun.
Selanjutnya, sejauh apa tingkat konsistensi dan koherensi ideologi yang dipraktekkan elit
puncak partai diukur dari keputusan dan kebijakan yang ditempuh oleh elit puncak partai
dalam merespon situasi konkrit. Sebagaimana ditandaskan oleh Freeden, ideologi sebagai
kelompok ide, kepercayaan, opini, nilai dan sikap yang biasa dianut kelompok-kelompok
beridentitas, yang memberikan arah, bahkan rencana tindakan pembuatan kebijakan
publikdalam upaya menegakkan, menjustifikasi, mengubah atau mengkritisi tatanan
sosial dan politik suatu negara dan komunitas politik lainnya (Freeden, 2013 [2004]: 10).
Makalah ini memang menitikberatkan aspek ideologi, khususnya ideologi yang
anut dan menjadi panduan elit puncak partai dalam merumuskan kebijakan. Makalah ini
hendak membuktikan tesis yang diajukan oleh Holmes, bahwa [salah satu] dari sumber
keruntuhan (komunisme)Soviet adalah penyimpangan ideologi. Tesis tentang
penyimpangan ideologi ini menjadi mata rantai penting dalam alur argumentasi yang
hendak diajukan pada level generalisasi perbandingan sistem politik.
Secara sederhana, kerangka teoritik dari perbandingan komunimse Soviet dan
Cina dalam makalah ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Gbr. Skema dan Alur Teoritik (komunisme Soviet dan Cina)
masih dikuasai oleh praktik feodalisme-aristokratik. Tekanan kapital dan feodalismearistokratik (yang ditandai oleh Trarisme) membuat Rusia menjadi mata rantai
kapitalisme yang paling lemah, sehingga secara logis peluang pecahnya revolusi sosialis
menjadi sangat terbuka.
Keniscayaan revolusi itu tidak dimungkinkan jika hanya diserahkan pada kondisi
objektif dan kesadaran kelas proletariat semata. Menurut Lenin, revolusi hanya mungkin
diwujudkan lewat pengorganisasian kesadaran kelas oleh kelas proletariat lewat partai
yang berdisiplin kuat. Kesadaran kelas proletariat tanpa partai berdisiplin kuat, hanya
akan mengungkung kelas proletariat pada kepentingan ekonomisme semata. Disini, Lenin
menambahkan dimensi politik dalam ranah praktis pada teori materialisme historis Marx.
Selanjutnya, partai pelopor dengan kesadaran kelas paling maju ini diorientasikan
untuk merebut dan menguasai negara. Lenin menguatkan pandangan Marx tentang
negara instrmentalis, yang secara khusus dijelaskan dalam karya pamflet seminal Marx
Manifesto Komunis. Dalam karya tersebut, Marx menyebutkan negara sebagai alat kelas
borjuis di satu sisi, sekaligus menyebutkan bahwa negara juga dapat ditransformasikan
menjadi negara kelas pekerja. Visi kedua tentang negara sebagai negara kelas pekerja
inilah yang diacu oleh Lenin, sebagaimana ditunjukkan secara gamblang dalam karya
Negara dan Revolusi. Pentingnya merebut dan menguasai negara ini juga menandai
perbedaan Lenin dengan kaum Anarkho dan Anarkho Sindikalis. Hanya dengan
menguasai negara dan menjadikannya negara kelas pekerja, visi melenyapnya negara
menjadi mungkin.
Dari uraian singkat diatas, pandangan Lenin dapat disingkat ke dalam rangkaian
tesis:
(1) Imperialisme
(2) Mata rantai terlemah bagi revolusi
(3) Mungkin oleh partai pelopor
(4) Menguasai negara dan menjadikannya negara kelas pekerja
(5) Untuk melenyapnya negara. Dari uraian tesis tersebut, setidaknya ada dua hal
mendasar yang menandai perbedaan Marx dan Lenin: diantaranya:
(1) berbeda dengan Marx yang mengajukan pandangan bahwa revolusi hanya
mungkin pecah di negara-negara yang telah mencapai tahapan tertinggi kapitalisme, bagi
Lenin revolusi justru mungkin terwujud di negara-negara pra-kapitalis sebagai mata
rantai terlemah dari kapitalisme.
(2) Jika revolusi bagi Marx diwujudkan melalui kesadaran kelas proletariat, oleh
Lenin revolusi dimungkinkan untuk diwujudkan melalui pengorganisasian kelas melalui
partai berdisiplin kuat. Ini menegaskan penekanan Lenin pada dimensi aktivisme politik
dan praktis atas teori Marx.
1.2.
lebih banyak merugikan Rusia. Jerman yang menyadari perkembangan situasi Rusia,
terdorong untuk mengajukan tuntutan lebih. Lewat perjanjian Brest-Litovsk, Jerman
menuntut Riga (Latvia), Lithuania, Livonia (Baltik), Estonia, dan terutama ukraina.
Daerah-daerah tersebut adalah lumbung pangan utama bagi Rusia. Alhasil, perjanjian
tersebut memicu pertentangan, terutama dari Menshevik dan SR, bahkan beberapa
eksponen Bolshevik sendiri. Bagi Lenin, perjanjian damai dengan Jerman, tidak saja
berguna untuk konsolidasi kekuasaan pasca revolusi, namun juga terkait dengan slogan
revolusi oktober sendiri: Roti dan Perdamaian. Rusia harus memilih antara keduanya,
karena situasi tak memungkinkan untuk mendapatkan keduanya. Jika ingin roti, berarti
mengorbankan perdamaian,begitu pula sebaliknya. Atas pertimbangan Lenin, sovyet
Rusia lebih memilih perdamaian. Konsekuensinya berupa kekurangan pangan yang
memaksa sovyet Rusia dan pengawal merah menyita bahan-bahan makanan (khususnya
gandum) dari gudang-gudang petani menengah atas, yang memicu perang sipil
sebagaimana telah disebutkan secara ringkas sebelumnya.
1.3.
Segera setelah diluncurkan, NEP menuai reaksi keras dari kalangan internal
Bolshevik sendiri. April 1921, rumor bermunculan tentang upaya demontrasi besar buruh
menuntut dihapuskannya kebebasan berdagang. Lenin berusaha keras untuk
mengendalikan ekses buruk dari perekonomian pasar. Di usahakannya kendali Sovyet
atas kapitalisme, yang dikenal sebagai state capitalism. Tetapi itu tidak cukup untuk
mencegah ketegangan yang terlanjur menajam di tubuh partai.
Ketegangan yang berlangsung dalam suasana negara Soviet yang masih sangat
muda, memaksa Lenin mengeluarkan kebijakan drastis ditahun 1922, yang dikenal
sebagai larangan berfaksi. Larangan ini sebenarnya merupakan kebijakan temporer untuk
meredakan ketegangan di tubuh partai dan menjaga dukungan utuh partai pada Soviet
(dewan pekerja). Kebijakan ini, yang tidak pernah dicabut sejak itu, menjadi landasan
bagi kemunculan totalitarianisme Stalin, pasca mangkatnya Lenin pada 1925.
1.5.
1.1.
perang. Selain itu, kekurangan SDM untuk menempati pos-pos baru pemerintahan juga
menjadi satu kesulitan tersendiri bagi PKC di bawah Mao (Townsend, 2008 [1974]:
227).
Dibawah pengawasan dan kerja sama Cina dan Rusia era Stalin, Cina
menjalankan program pembangunan kembali pasca perang, khususnya program Land
Reform dan pembangunan pedesaan yang memang sejak awal menjadi perhatian utama
Mao. Persoalan mulai muncul saat Rusia/Uni Soviet dipimpin oleh Kruschev dengan
kebijakan destalinisasinya. Kebijakan destalinisasi Kruschev tersebut dikritik keras oleh
Mao sebagai revisionis, dan menandai perpecahan komunisme Cina dan Soviet (SinoSovyet Split).
1.2.
a)
b)
c)
d)
e)
Kegagalan program dan kebijakan LJKD ini, membuat Mao mundur ke garis
kedua, dan memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada faksi TiC yang lebih
pragmatis, Liu dan Deng.
1.3.
dipertahankan, oleh karena itu perlu adanya revisionisme seperti yang dilakukan Uni
Soviet. Gagasan ini sangat ditentang oleh Mao karena bertentangan dengan ide Mao dan
tentu akan berpengaruh pada legitimasi Mao. Revolusi Kebudayaan merupakan gerakan
anti kapitalisme. Selaku presiden RRC Liu Shao Qi memiliki gagasan untuk melunakkan
penindasan pemerintahan terhadap kehidupan sosial ekonomi rakyat. Melalui program
Tiga Milik Pribadi dan Satu Garansi (sanzi yibao), Liu mengijinkan rakyat untuk
mengerjakan tanah miliknya sendiri serta memiliki usaha kecil untuk dijual ke pasar
bebas. Hal ini membuat Mao khawatir akan membangkitkan kapitalisme di China.
Gerakan Revolusi Kebudayaan itu secara langsung mengenai isi seni,literatur, dan drama
dengan menekankan bahwa ekspresi kebudayaan harus menghormati nilai-nilai
kebangsaan dan proletar dalam masyarakat sosialis, menentang musush-musuh kelas dan
asing, dan menolak nilai-nilai tradisional China. Tujuan revolusi kebudayaan tersebut
adalah untuk memelihara ideologi komunisme, budaya, dan adat kebiasaan proletariat.
Komunisme merupakan satu-satunya kekuatan yang meliputi keseluruhan, mengontrol
penuh atas seluruh wilayah, tidak hanya tubuh tetapi juga pikiran. Revolusi kebudayaan
memaksa pemujaan sepenuhnya terhadap partai komunis dan Mao Zedong. Oleh karena
itu unsur-unsur revisionis harus dihilangkan dan dibersihkan dalam PKC. Tradisi dan
budaya harus dihilangkan, seperti ajaran Konfusianisme dan adat lama lainnya.
Langkah organisasional Mao selama masa revolusi ini adalah dengan membentuk
rantai komando pribadi yang beroperasi di luar mesin partai, meskipun secara resmi
menyatakan berada di bawah politbiro dan komite pusat. PKC tidak dapat dijadikan
sumber legitimasi karena terdapat kubu Liu Shao Qi dan Deng Xiao Ping. Mao
memobilisasi militer, kaum intelektual radikal dan para pelajar. Mao juga menguasai
media khususnya Koran paling berpengaruh harian rakyat. Pada bulan Juni membuat
serangkaian editorial yang menganjurkan rakyat untuk menegakkan kekuasaan mutlak
ketua Mao, menyapu bersih semua setan, sapi, iblis, ular (musuh kelas) dan mendesak
rakyat agar mengikuti Mao dan bergabung dalam Revolusi Kebudayaan yang sangat luas
dan belum pernah ada sebelumnya.
Mobilisasi massa, khususnya mahasiswa dan pendukung Mao secara meluas, khususnya
yang diorganisir oleh TPR dan Jiang Qing dan gang empat, pada puncaknya justru
berujung pada destruksi partai. Mao kemudian meminta TPR untuk mengendalikan
situasi yang kian memburuk dan mengembalikan stabilitas keadaan. Meski dinilai sukses
dalam menyingkirkan semua lawan-lawan Mao, tetapi revolusi kebudayaan tidak
memberikan kemenangan mutlak pada golongan Maois (Townsend, 2008 [1974]: 235).
Dorongan konsolidasi untuk menguatkan kembali organisasi partai pasca revolusi
kebudayaan dilancarkan pada kongres ke PKC ke sembilan pada 1969, yang menandai
berakhirnya revolusi kebudayaan. Dihidupkannya kembali organisasi PKC membuat
manifestasi simbolik Mao berangsur-angsur surut. Tahun 1971-72, PKC telah mencapai
pemulihan seperti sedia kala. Seiring dengan berakhirnya revolusi kebudayaan, kesehatan
Mao terus menurun.
1.4.
Pasca Mao, sempat ditandai oleh ketegangan yang makin meningkat antar faksi
terkait perebuatan kekuasaan dan kepemimpinan pasca Mao, antara faksi moderatpragmatis yang berporos pada Zhou-Deng, dengan faksi Maois yang berporos pada Jiang
Qi dan gang empat. Bergabungnya kelompok-kelompok untuk menggulingkan faksi
radikal-Maois, khususnya faksi neo-Maois dibawah kepemimpinan Hua Guofeng,
membuat pertarungan berakhir dengan kemenangan faksi moderat-pragmatis atau faksi
TiC. Dukungan poros Hua Guofeng ini didasarkan pada kesepakatan mengenai prioritas
pertumbuhan ekonomi dan perlunya liberalisasi ideologi di bidang ilmu pengetahuan,
pendidikan dan kebudayaan, insentif material dan teknologi asing. Hanya 18 bulan
setelah wafatnya Mao, poros kepemimpinan ini segera meluncurkan program ambisius
empat modernisasi: Pertanian, Industri, Pertahanan Nasional, serta Ilmu pengetahuan dan
teknologi. Tetapi sejatinya, koalisi ini secara inheren tidak stabil. Kelompok neo-Maois
dibawah Hua Guofeng menerima modernisasi, sejauh digambarkan sebagai lompatan
baru ke depan, dan tidak menerima pengahncuran nilai-nilai Maois dan gaya
pemerintahannya. Sedang kaum pragmatis percaya bahwa nilai Maois dan gaya
pemerintahannya justru akar permasalahan Cina, serta menilai bahwa serangan politik
terbuka terhadap Mao diperlukan untuk mendapatkan kembali dukungan rakyat
(Oksenberg & Bush, 1996: 233). Secara relatif, faksi pragmatis dan Deng lebih berhasil
mendapatkan dukungan.
1.5.
pembatasan yang membatasi investor asing untuk melakukan usaha bersama dengan
investor domestik, dan juga untuk memuluskan jalan bagi kepemilikan investor asing.
Langkah ketiga, dalam proses awal reformasi ekonomi ini adalah perintah agar
dibubarkannya sistem produksi kolektif, pada September 1980. Dekolektivisasi ini diikuti
oleh sejumlah langkah seperti, dibentuknya sistem produksi berbasis rumah tangga
sebagai ganti sistem produksi berbasis kolektif. Hasilnya, pada 1983 hampir 98 persen
dari seluruh petani rumah tangga beroperasi menurut logika sistem baru ini, dimana
lahan-lahan kolektif dimanfaatkan untuk memproduksi barang-barang yang dijual di
pasar. Aturan baru ini kemudian disusul dengan regulasi pada 1983-1984, dimana para
pemilik lahan kontrak diharuskan untuk menggunakan buruh upahan (wage workers)
untuk produksi dan atau menyewakan lahannya kepada petani.
Hancurnya sistem komune ini, juga berimbas pada keseimbangan kekuasaan,
dimana terjadi transfer kekuasaan politik dan ekonomi kepada pemerintahan baru.
Konstitusi 1982, misalnya, semula memberikan kekuasaan administratif dan politik
kepada komune untuk membentuk perusahaan kota dan desa. Dengan perubahan
keseimbangan kekuasaan tadi, pemerintah baru kemudian mengambilalih ase-aset
industrial komune, dan selanjutnya merestrukturisasinya menjadi perusahaan kota dan
desa (township and village enterprises/TVEs) dan memfasilitasi perluasan pasar di
wilayah pedesaan (Hans-Landsberg & Burkett, 2005).
Sampai batas tertentu, Deng mendasarkan legitimasinya pada perbedaanperbedaan pokok yang dapat dikenali dengan Mao, sekaligus dengan tetap
mempertahankan sebagian warisan Mao. Reformasi yang dijalankan Deng di bidang
politik juga substansial. Agenda penyatuan Cina menjadikan ekonomi sebagai sabuk
tranmisi integrasi. Upaya penyatuan Cina tidak lagi dilakukan semata-mata melalui
paksaan dan propaganda, rezim Deng justru mendorong persatuan melalui peningkatan
kesalingtergantungan ekonomi antar daerah, melalui alokasi barang-barang material dan
barang modal yang terencana dan efektif, dan sistem promosi dan manajemen personalia
yang teratur.
Rezim Deng, jelas menyadari bahwa dasar pembenaran diktator partai dan
penguasa sosialis Cina terletak pada kemampuan partai dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Selain itu, stabilitas rezim melalui konsensus relatif antar elit partai
juga dibangun untuk memastikan kesinambungan kekuasaan partai. Konsensus relatif
tersebut tidak lagi dicapai dengan internalisasi ideologis, tetapi melaui pemerintahan
kolektif. Meski menikmati periode singkat dimana inisiatif mutlak berada di tangan
Deng, keputusan-keputusan penting lebih didasarkan pada kesepakatan di dalam politbiro
dan sekretariat. Secara formal, bahkan keputusan kecil sekalipun membutuhkan
persetujuan beberapa anggota komisi tetap dewan negara.
Untuk meningkatkan legalitas sosialisme ala Cina dan membatasi
penyalahgunaan kekuasaan, sistem pidana diperbaharui, dan konstitusionalisme
ditegakkan lebih disiplin. Secara perlahan namun drastis, hak-hak istimewa Militer
dihilangkan dan anggaran belanjanya dikurangi.
Apa yang terlihat secara meyakinkan dari reformasi Deng adalah kemajuan yang
diarahkan oleh lembaga. Dewan negara difungsikan, konstitusi disempurnakan, dan
aparatur puncak partai diperbaharui. Hukum dan regulasi yang mengatur tahap-tahap
yang harus dilalui pembahasan kebijakan sebelum diundangkan secara resmi ditaati.
Satu lagi aspek terpenting dari sosialisme berkarakter Cina ala Deng, yang
membedakannya dengan Mao. Secara kultural, klausul berkarakter Cina dalam sosialisme
ala Deng adalah pemulihan tradisi kebudayaan Cina. Bagi Mao, tradisi Cina adalah batu
penghalang bagi ditegakkannya masayarakat sosialis karena tendensi pasifis dan karakter
feodal yang melekat kuat dalam tradisi Cina. Tetapi dalam sosialisme ala Cina Deng,
tradisi Cina kemudian diadaptasikan dengan sosialisme. Tradisi Cina yang digabungkan
dengan sosialisme tersebut, umpamanya dapat dilihat dalam relasi antara organ partai di
tingkat lokal dengan tingkat pusat melalui hubungan personal yang dikenal dengan
istilah Guan Xi, yang berakar dalam tradisi konfusius Cina.
Sedemikian jauh reformasi yang dijalankan Deng, tetap menyisakanwarisan era
Mao: partai politik dengan kekuasaan yang monopolistik, angkatan bersenjata
nasional/TPR dan aparat propaganda yang meski relatif dikekang, tetapi tak dirombal,
ekonomi yang sebagian besar tetap berada dibawah perencanaan dan kendali negara, serta
aparatur birokrasi negara yang kuat.
1.6.