Anda di halaman 1dari 24

Islam dan Pancasila di

Sidang Konstituante
Gallery
Posted on 16 December, 2009

Pendahuluan

Pembentukan Badan Konstituante, merupakan suatu upaya untuk menyusun suatu


konstitusi atau undang-undang dasar yang lebih lengkap dan menyeluruh, yang
diharapkan akan menyempurnakan UUD 1945, 1949 dan 1950. UUD 1950 merupakan
konstitusi yang dibentuk oleh Kabinet Hatta (1949-1950), yang mendapatkan mandat
untuk membentuk suatu bentuk negara kesatuan dan menyusun konstitusi yang lebih
lengkap rumusannya.[1] Namun UUD 1950 memiliki sifat kesementaraan, karena itu
suatu undang-undang dasar yang bersifat permanen harus dirumuskan untuk mengganti
UUD 1949 dan 1950. Amanat penyusunan suatu konstitusi yang lebih lengkap dan
menyeluruh oleh suatu badan yang dianggap sebagai representasi rakyat Indonesia yang
menelurkan gagasan pembentukan Badan Konstituante.
Sesuai dengan mandat yang ditetapkan dengan pengumuman pemerintah pada 3
November 1945, awalnya ditetapkan pemilihan umum diselenggarakan pada Januari
1946, namun ditunda karena banyaknya persoalan dalam revolusi fisik sampai tahun
1949. Kabinet Hatta juga berencana menyelenggarakan pemilu untuk membentuk badan
konstituante yang berwenang menentukan bentuk negara dan menyusun dasar negara
yang lebih sempurna, namun tidak berhasil melaksanakannya. Baru pada tahun 1955,
pada masa pemerintahan kabinet Burhanuddin, dilaksanakan pemilu untuk membentuk
badan perwakilan dan membentuk Konstituante.[2]
Tulisan ini bertujuan melihat bagaimana perdebatan antara pengusung Islam dan
Pancasila dalam merumuskan dasar negara di sidang-sidang Konstituante. Untuk melihat
perdebatan di Konstituante, tulisan ini juga akan sedikit menelusuri perdebatan mengenai
dasar negara semenjak sidang-sidang BPUPK, yang sudah mencuatkan perdebatan antara
bentuk negara atas dasar agama (Islam) dengan dasar sekuler (Pancasila). Pada bagian
analisa akan dilihat bagaimana konstelasi dan pertarungan gagasan tersebut dalam
konteks di luar sidang, artinya argumentasi mengenai pilihan taktis atau strategis terhadap
dasar negara akan dielaborasi dengan menggunakan teori yang dikembangkan filosof
Prancis Cornelius Castoriadis.
Sidang BPUPK: Pertarungan Pancasila dengan Islam Jilid Pertama
Perdebatan mengenai bentuk dan dasar negara Indonesia sudah berlangsung semenjak
sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), suatu badan
yang dibentuk Pemerintah Militer Jepang pada bulan April 1945.[3] BPUPK merupakan
badan yang dibentuk oleh Pemerintah Militer Jepang, yang keanggotaannya terdiri dari
tokoh-tokoh yang terkemuka di Pulau Jawa, yakni tokoh-tokoh yang dipercaya oleh
pimpinan militer Jepang untuk menduduki posisi-posisi tinggi dalam pemerintahan
militer Jepang atau badan-badan lain bentukan Jepang.[4] Seluruh kegiatan perundingan
dalam BPUPK harus dilaporkan secara rutin kepada penguasa militer Jepang. Ini bisa
dilihat dari rumusan kewajiban yang harus dilaksanakan BPUPK,
Badan ini berkewajiban: mempelajari dan menyelidiki segala sesuatu urusan penting
yang mengenai hal-hal politik, ekonomi, tata-usaha pemerintahan, kehakiman,
pembelaan negeri, lalu-lintas dan sebagainya yang dibutuhkan dalam usaha
pembentukan Negara Indonesia, dan hal itu harus dilapurkan kepada Gunseiken. Dalam

menyampaikan lapuran itu, dapatlah didahulukan hal-hal yang penting dan yang
dianggap perlu, dengan segera pada setiap waktu sesudah selesainya perundingan
tentang sesuatu soal.[5]
Inilah salah satu faktor yang tidak memungkinkan tokoh-tokoh yang dianggap antiJepang untuk dapat duduk sebagai anggota BPUPK, sehingga mereka-mereka yang
duduk dalam keanggotaan BPUPK adalah orang-orang yang dinilai dapat dipercaya
oleh pimpinan militer Jepang. Inilah yang merupakan salah satu persoalan dalam BPUPK
sebagai sebuah badan, karena bukan badan yang bisa dikatakan mandiri terhadap
Pemerintahan Militer Jepang. Adanya situasi tekanan dari Pemerintah Militer Jepang
memang tidak dapat dikesampingkan. Ini diakui oleh Soekarno sendiri, di mana menurut
Soekarno proses pembuatan UUD 1945 dilakukan di bawah todongan bayonet tentara
pendudukan. Sekalipun demikian, ia membantah kalau konstitusi tersebut merupakan
hasil buatan Jepang.[6] Argumen ini kembali dinyatakan Soekarno dalam biografinya
yang ditulis oleh Cindy Adams, yang mana, sekalipun berada dalam keadaan diawasi oleh
polisi rahasia Jepang, Soekarno sama sekali tidak pernah mengeluarkan kata-kata yang
memuji Dai Nippon ataupun mengagung-agungkan Tenno Haika, ataupun menyatakan
bentuk kesetiaan.[7]
Perumusan dasar negara (staatside) merupakan salah satu agenda pokok dalam sidangsidang dan rapat-rapat di BPUPK yang memandatkan usaha pembentukan Negara
Indonesia. Dalam sidang-sidang BPUPK ini gagasan tentang Islam sebagai dasar negara
mulai muncul dan diperdebatkan. Setidaknya kalau mau dikerucutkan secara sederhana,
perdebatan mengenai dasar negara bermuara pada dua argumen besar, yakni negara
agama atau negara sekuler, yang di dalam masing-masing dua argumen besar tersebut
terdapat argumen-argumen yang memiliki kekhususannya sendiri-sendiri.
Pandangan yang kemudian menonjol dalam sidang-sidang BPUPK, dan menjadi rumusan
dasar negara adalah pandangan Soepomo dan pandangan Soekarno. Soepomo tampil
dengan gagasan negara integralistik sementara Soekarno dengan gagasan Pancasila.
Gagasan Soepomo dan Soekarno yang dinilai kemudian banyak menjiwai penyusunan
UUD 1945, dengan konsep-konsep seperti kekeluargaan dan gotong royong. Pandangan
Soepomo dan Soekarno secara sekaligus menolak gagasan Islam sebagai dasar negara,
sekaligus juga menolak ide dan konsepsi Barat dalam penyusunan UUD 1945.
Soepomo berangkat dengan satu asumsi dasar bahwa negara haruslah merupakan suatu
unit satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya dalam satu negara tidak dikenal
pemisahan antara pemerintah dengan rakyat, yang memerintah dan yang diperintah,
melainkan sebagai sebuah satu-kesatuan integral, seperti badan dengan satu jiwa yang
seluruh anggota-anggota tubuh lainnya (kepala, tangan, kaki) merupakan satu-kesatuan
integral. Kesatuan integral inilah yang membawa Soepomo pada satu kesimpulan bahwa
bentuk negara Indonesia setelah merdeka, haruslah suatu bentuk negara integralistik.
Dalam pidatonya di depan sidang BPUPK, Soepomo merujuk pemikiran-pemikiran
Friedrich Hegel, Baruch Spinoza dan Adam Muller sebagai referensi untuk merumuskan
bentuk Negara Integralistik.[8]

Soepomo menolak Islam sebagai dasar negara, dengan argumen bahwa dalam model
negara Islam, negara tidak bisa dipisahkan dengan agama, di mana negara dan agama
adalah satu dan bersatu padu. Dalam posisi ini Soepomo bersandar pada argumen
Mohammad Hatta bahwa negara Indonesia haruslah berbentuk negara persatuan nasional,
yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, atau ringkasnya: bukan negara Islam.
[9] Dalam pandangan Soepomo, pandangannya bukan berarti menafikan agama, atau
bersifat a-religius, melainkan memegang teguh budi-pekerti dan cita-cita luhur. Model
negara yang diusulkan Soepomo adalah bentuk negara organik, suatu bentuk negara di
mana tidak ada pemisahan antara negara dan individu, tidak akan ada dualisme susunan
negara dan susunan hukum individu, suatu negara yang bersifat totaliter. Jadi dalam
hubungannya dengan agama dan negara, Soepomo mengemukakan pandangannya bahwa,
Oleh karena itu saya menganjurkan dan mufakat dengan pendirian yang hendak
mendirikan negara nasional yang bersatu dalam arti, totaliter seperti yang saya uraikan
tadi, yaitu Negara yang tidak akan mempersatukan diri dengan golongan yang terbesar,
akan tetapi yang mengatasi segala golongan dan akan mengindahkan dan menghormati
keistimewaan dari segala golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang
kecil. Dengan sendirinya dalam negeri nasional yang bersatu itu, urusan agama akan
terpisah dari urusan negara dan dengan sendirinya dalam negara nasional yang bersatu
itu urusan agama akan diserahkan kepada golongan-golongan agama yang
bersangkutan. Dan dengan sendirinya dalam negara sedemikian seseorang akan
merdeka memeluk agama yang disukainya. Baik golongan agama yang terbesar, maupun
golongan agama yang terkecil, tentu akan merasa bersatu dengan negara (dalam bahasa
asing zal zich thuis vooelen dalam negaranya).[10]
Dalam menjawab model yang cocok untuk Indonesia, Soepomo menolak model Barat
sekaligus model Islam yang berasal dari Timur-Tengah. Tesis utama Soepomo adalah
bahwa dasar negara dan model negara harus ditemukan dari dalam diri Indonesia sendiri,
atas dasar khas Indonesia. Soepomo dalam pidatonya menguraikan mengenai prinsip
perlunya suatu kesatuan utuh antar pemimpin dengan rakyat, suatu kesatuan utuh bersifat
kekeluargaan, yang bagi Seopomo merupakan suatu sifat ketatanegaraan Indonesia yang
asli, yang dalam pandangan Soepomo sangat jelas tergambar dalam struktur dan tatanan
masyarakat desa. Masyarakat desa merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi
Soepomo dalam melihat hubungan antara pemimpin-rakyat sehingga serta-merta ia
melakukan reduksifikasi bentuk negara, yakni hubungan-hubungan yang tercipta seperti
yang ada pada bentuk pemerintahan desa, sebagaimana diuraikan Soepomo,
Menurut sifat tatanegara Indonesia yang asli, yang sampai zaman
sekarangpun masih dapat terlihat dalam suasana desa baik di Jawa, maupun
di Sumatera dan kepulauan-kepulauan Indonesia lain, maka para pejabat
negara ialah pemimpin yang bersatu-jiwa dengan rakyat dan para pejabat
negara senantiasa berwajib memegang teguh dan keimbangan dalam
masyarakatnya.
Maka teranglah tuan-tuan yang terhormat, bahwa jika kita hendak
mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan

corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran
pikiran (Staatside) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan
seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam
lapangan apapun.[11]
Konsepsi yang sama juga diajukan oleh Soekarno, namun Soekarno menambahkan ide
gotong-royong dalam konsepsinya mengenai negara, selain sifat kekeluargaan
sebagaimana diajukan Soepomo, Soekarno juga menawarkan ide demokrasi, namun
demokrasi yamg dalam pemahaman Soekarno yakni demokrasi kekeluargaan dan gotongroyong. Ini bisa dilihat pada konsepsi kekeluargaan dan gotong-royong yang diajukan
Soekarno pun ditawarkan juga oleh Soepomo, sebagaimana diuraikan Soekarno dalam
pidatonya,
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie,
yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan
kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu: Inilah yang dulu saya namakan sociodemocratie.[12]
Keseluruhan sistem politik-ekonomi ini bagi Soekarno haruslah didasarkan suatu prinsip
yakni gotong-royong, di mana prinsip ini menurutnya melampaui sekedar prinsip
kekeluargaan. Ini adalah salah satu ide yang dikemukakan Soekarno dalam pidatonya di
depan sidang BPUPK pada 1 Juni 1945,
[] Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah
hebatnya! Negara Gotong-Royong. Gotong-Royong adalah faham yang dinamis, lebih
dinamis dari kekeluargaan, saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang
statis, tetapi gotong-royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang
dinamakan anggota yang terhormat Soekardjo: satu karyo, satu gawe. Marilah kita
menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah
pembanting tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu
bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan
semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong![13]
Dalam pidato tanggal 1 Juni itulah, Soekarno merumuskan gagasannya mengenai
Pancasila yang merupakan gagasan atas dasar lima prinsip atau sila, yaitu: (1)
Kebangsaan Indonesia; (2) Internasionalisme atau Peri-Kemanusiaan; (3) Mufakat
atau Demokrasi; (4) Kesejahteraan Sosial; (5) Prinsip Ketuhanan.[14] Lima prinsip inilah
yang oleh Soekarno kemudian dirumuskan dengan,
Namanya bukan Panca Dharma, tapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman
kita ahli bahasa-namanya ialah Panca Sila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas
kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal abadi.[15]
Pandangan Soekarno tentang Prinsip Ketuhanan cukup jelas kalau dilihat dari pidatonya.
Dalam pikiran Soekarno, Prinsip Ketuhanan merupakan suatu bentuk kebebasan tiap

orang menjalankan kegiatan agama dan ibadahnya, serta hubungan toleransi antar umat
beragama ini bisa dilihat dalam argumen yang dikemukakan Soekarno,
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing
orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah
menurut petunjuk Isa al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi
Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada
padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah
negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa.
Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoismeagama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu begara yang bertuhan.
Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang
berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah menghormati satu sama lain
(tepuk tangan sebagian hadirin). Nabi Muhammad SAW beru bukti yang cukup tentang
verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isapun telah
menunjukkan verdraagzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita
susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima daripada Negara kita
ialah ke-Tuhanan yeng berkebudayaan, ke-Tuhanan yang berbudi pekerti luhur.
Ketuhanan yang menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau
saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan ke-Tuhanan
Yang Maha Esa![16]
Selain memperdebatkan staadside yang didasarkan pada konsep kekeluargaan, gotong
royong, atau yang secara umum dikategorikan sekuler, muncul juga gagasan Islam
sebagai staatside. Argumen untuk membentuk dasar negara Islam juga muncul dari
kalangan peserta sidang BPUPK yang dikategorikan wakil-wakil golongan Islam, yakni:
K. H. A. Sanusi (PUI), Ki Bagus Hadikusumo, K. H. Mas Mansur, Abdul Kahar
Muzakkir (Muhammadiyah), K. H. A. Wachid Hasjim, K. H. Masjkur (NU), Sukiman
Wirjosandjojo (PII sebelum perang), Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Agus Salim
(Penyadar sebelum perang), K. H. Abdul Halim (PUI).[17]
Setelah sidang-sidang awal BPUPK dan disusul sidang-sidang lanjutan, yang membahas
mengenai dasar negara yang oleh Syafii Maarif dalam studinya dinilai telah memaksa
para pendiri Republik Indonesia untuk menjalani masa-masa yang sulit dalam sejarah
modern Indonesia akhirnya dicapai sebuah kompromi politik dalam bentuk piagam
Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945, sebagai hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPK
yang diketuai Soekarno. Namun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, yakni pada tanggal
18 Agustus 1945, dicapai kesepakatan termasuk oleh wakil-wakil kalangan Islam untuk
menyetujui penghapusan anak kalimat dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam
bagi pemeluk-pemeluknya dari Pancasila dan Batang Tubuh UUD 1945, namun sila
pertama ditambahkan kata-kata menjadi: Ketuhanan Yang Maha Esa.[18] Pada 18
Agustus disusunlah UUD 1945, dengan preambul yang mengambil gagasan Pancasila
yang dicetuskan Soekrno pada sidang BPUPK tanggal 1 Juni 1945, dengan isi atau
batang tubuh yang kental memuat gagasan negara integralistik yang diajukan oleh
Soepomo.[19]

Sidang Konstituante: Pertarungan Pancasila Dengan Islam Jilid Kedua


Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya, agenda pokok setelah proklamasi
kemerdekaan adalah menyelenggarakan pemilihan umum untuk membentuk badan
perwakilan dan badan konstituante yang akan menetapkan bentuk negara (federal atau
kesatuan), dan menyusun undang-undang dasar. Dalam pidato Soekarno di sidang
BPUPK juga sudah menekankan bahwa undang-undang yang akan disusun oleh BPUPK
(dan kemudian PPKI) adalah bersifat sementara, karena itu akan dibentuk suatu badan
yang bertugas menyusun undang-undang dasar yang lebih lengkap. Pemilu untuk
memilih anggota Konstituante berlangsung pada 15 Desember 1955.
Hasil pemilihan umum untuk memilih anggota-anggota badan Konstituante yang
berjumlah 514 orang anggota, yang terdiri dari anggota partai politik, golongan dan
aliran. Selain yang dipilih melalui pemilihan umum, ada juga 30 orang wakil golongan
minoritas yaitu keturunan Tionghoa (12 wakil), wakil Indo-Eropa (12 wakil) dan wakil
wilayah Irian Barat (6 wakil) yang pada waktu itu masih diduduki Belanda. Pemilu untuk
memilih anggota Konstituante diikuti lebih dari 39 juta pemilih, yaitu 91,54% dari rakyat
yang menggunakan hak suara, sisa yang tidak menggunakan hak suara karena meninggal
pada kurun waktu pendaftaran sampai pemilihan, dan lainnya karena di wilayah yang
sedang berlangsung pemberontakan.[20]
Namun, selain pertentangan antara blok Islam dengan blok Pancasila mengenai dasar
negara dalam sidang konstituante, ada konteks di luar sidang yang juga mempengaruhi
sikap politik setiap kekuatan politik dan partai-partai politik dalam merumuskan dasar
negara. Salah satu yang paling penting adalah adanya pergolakan-pergolakan daerah yang
menentang pemerintahan pusat, seperti pemberontakan DI/TII, RMS, PRRI dan Permesta
yang mempengaruhi sikap politik Soekarno.[21] Dalam kampanye-kampanye menjelang
pemilu, salah satu pidato Soekarno pada tahun 1953 di Amuntai,
Negara yang ingin kita susun dan kita ingini adalah negara nasional yang meliputi
seluruh Indonesia. Kalau kita dirikan negara berdasarkan Islam, maka banyak daerahdaerah yang penduduknya tidak beragama Islam akan melepaskan diri, misalnya
Maluku, Bali, Flores, Timor, Kai dan juga Irian Barat yang belum masuk wilayah
Indonesia tidak akan mau ikut dalam Republik.[22]
Pidato Soekarno tersebut sudah menunjukkan sikap politik Soekarno dan PNI terhadap
Islam sebagai dasar negara, yakni menolak bentuk negara agama, sebagaimana sikap
yang diambilnya pada sidang BPUPK. Pertentangan antara ide pembentukan Indonesia
atas dasar agama atau sekuler dalam wacana politik sebelum pemilu 1955 memang cukup
kencang. Nadhlatul Ulama (NU) termasuk kekuatan politik besar yang berada dalam
sikap memperjuangkan Islam sebagai dasar negara.
Dalam dokumen Penafsiran Tentang Prinsip-prinsip Partai pada kongres di bulan
September 1954, NU mengajukan Islam sebagai dasar negara, karena dalam pandangan
NU, Islam memiliki ketegasan dalam meletakkan hukum persamaan di antara manusia
dalam hukum pergaulan, tidak membedakan manusia atas dasar kekayaan, dan melarang

sikap bermegah atas kebangsaan yang fanatik. Terlebih, NU meyakini bahwa Islam
memiliki piagam yang mengatur kehidupan yang sentosa, sejahtera aman dan damai,
yang sudah pernah dibuktikan dalam masa sejarah dari Andalusia sampai Tiongkok.[23]
Sikap ini juga yang dibawa NU dalam perdebatan mengenai dasar negara di dalam
Konstituante.
Gesekan-gesekan yang terjadi dalam wacana politik antara dua kekuatan dominan, yakni
blok Islam dan blok Pancasila langsung terlihat pada saat komposisi keanggotaan
Konstituante terbentuk. Ada tiga blok yang terbentuk dalam komposisi kekuatankekuatan politik dalam Konstituante, yakni dua blok besar yaitu Blok Pancasila dan Blok
Islam serta Blok Sosial-Ekonomi yang relatif kecil, yang bisa dilihat dalam tabel berikut:
Tiga Faksi Ideologis Dalam Konstituante [24]

Perdebatan mengenai dasar negara dalam sidang-sidang Konstituante yang menjadi fokus
tulisan ini berlangsung dari tanggal 11 November hingga Desember 1957. Kalau dibuat
suatu pemetaan berdasarkan ideologi dan argumentasi politis tarhadap pemilihan dasar
negara dalam sidang-sidang tersebut maka bisa dipetakan posisi ideologis dari setiap blok
sebagai berikut:

Menjadi penting untuk mengajukan pertanyaan, mengapa dasar negara menjadi suatu hal
penting yang harus dipermasalahkan, dalam artian, kesepakatan terhadap Pancasila
sebagai dasar negara kembali mengalami gugatan dalam sidang Konstituante. Kalau
merujuk pada perdebatan sebelumnya yakni dalam sidang-sidang BPUPK dan PPKI,
memang perdebatan antara bentuk negara Islam atau negara sekuler sebagai pilihan bisa
dikatakan belum selesai. Pasang surut pertikaian yang menghasilkan Piagam Jakarta dan
kemudian UUD 1945, merupakan gambaran belum selesainya perdebatan mengenai dasar
negara. Ini juga diperkuat dengan munculnya pemberontakan Darul Islam yang salah satu
alasan perlawanannya adalah penolakan terhadap bentuk negara sekuler, dan
memproklamirkan Negara Islam Indonesia, merupakan ujud artikulasi dari masih
kentalnya penolakan terhadap bentuk negara sekuler.
Karena itu, ketika Konstituante terbentuk dari hasil pemilihan umum, dan memiliki
mandat untuk membuat undang-undang baru yang menyempurnakan UUD 1945, 1949
dan 1950, peluang untuk memperjuangkan kembali Islam sebagai dasar negara terbuka
kembali. Konstituante menjadi ruang politik baru bagi kalangan politik Islam untuk
memperjuangkan dasar negara Islam yang kandas dalam sidang PPKI. Namun syarat
untuk mewujudkan perubahan dasar negara sangat sulit, karena ada klausul dalam UUD

yakni untuk mengubah dasar negara diperlukan mayoritas duapertiga kursi untuk
mengubah dasar negara. Namun, bagaimanapun juga ruang politik ini dimanfaatkan
sebesar mungkin untuk memperjuangkan tujuan-tujuan partai, baik dari kalangan Islam
maupun Pancasila yang juga ingin memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara yang
definitif. Kalangan Islam seperti Masyumi melihat Konstituante sebagai kesempatan yang
tepat untuk memperjuangkan perwujudan tujuan dari partai yakni, untuk mewujudkan
tujuan-tujuan Islam dalam urusan kenegaraan.[25]
Pandangan masing-masing blok atas dasar negara sebagai kebenaran mutlak dan
keunggulan atas yang lainnya, menjadi faktor yang membuat keputusan mayoritas
menjadi sangat sulit. Kebutuhan untuk mencapai mayoritas duapertiga sangat sulit
dicapai baik Blok Pancasila maupun Blok Islam. Menurut kajian Adnan Buyung
Nasution, bahkan ketika pada akhirnya Blok Sosial-Ekonomi berpihak pada Blok
Pancasila pada tahun 1959 dalam pemungutan suara untuk memutuskan kembali ke UUD
1945, tetap saja tidak berhasil mencapai suara mayoritas duapertiga.[26]
Dalam perdebatan mengenai dasar negara, secara umum Blok Islam mengajukan
argumen bahwa Islam merupakan wahyu yang diturunkan Tuhan kapada Nabi
Muhammad, yang dituangkan dalam Al-Quran dan dicatat dalam hadis. Berdasarkan itu,
tujuan Islam adalah menyerah kepada Tuhan, karena itu memenuhi norma-norma yang
diturunkan Tuhan untuk memberikan bimbingan kepada manusia, baik sebagai
perorangan, kepada masyarakat juga kepada negara. Misalnya dalam pandangan
Mohammad Sjafii Wirakusumah dari PSII, yang mengatakan bahwa: Islam adalah suatu
peraturan Tuhan, suatu Wet jang dibuat oleh Tuhan Jang Maha Sempurna jang tidak ada
kekurangannja. Islam, tidak dapat dipisahkan daripada soal ibadat dengan soal politik
atau soal ketatanegaraan.[27] Dasar argumen Wirakusumah, Islam merupakan sesuatu
yang sempurna sehingga tidak mungkin dijadikan semacam satu bagian dalam Pancasila,
sebagaimana ia utarakan,
Tiada suatu dasar jang sempurna selain daripada Islam. Dan oleh karena
kesempurnaannja, karena tidak akan terdapat kekurangannja dan karena Maha Agung
sifatnja, tidak mungkin Islam itu dapat dimasukkan kedalam tempat lain, kalau Islam
dapat dimasukkan kedalam tempat lain, berarti Islam itu masih ada kekurangan
sempurnanja alias tidak sempurna.[28]
Sementara Muhammad Natsir, tokoh terkemuka Masyumi, meneropong makna prinsip
utama yang membedakan antara paham sekulerisme (ladinyah) tanpa agama dengan
paham agama (dinyah). Bagi Natsir, merupakan suatu pandangan hidup atau cara hidup
yang mengadung paham, tujuan, dan sikap, hanya di dalam batas hidup keduniaan.[29]
Jadi, bagi Natsir segala hal dalam kehidupan sekulerisme tidak memiliki tujuan pada apa
yang melampui batas-batas yang sifatnya duniawi, misalnya: Tuhan, akhirat, dan lainnya.
Menurut Natsir, ada satu pengaruh sekulerisme yang sangat berbahaya, yaitu
menurunkan sumber nilai-nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf
kemasyarakatan semata-mata.[30] Maksud pernyataan Natsir adalah di dalam
sekulerisme terdapat juga ajaran untuk tidak boleh membunuh, kasih saying sesama
manusia, namun bukan didasarkan pada wahyu Ilahi, melainkan didasarkan pada apa

yang disebut Natsir penghidupan mayarakat semata-mata. Dalam pandangan Natsir


reduksi nilai-nilai adab dan kepercayaan ke tingkat perbuatan manusia yang selalu hidup
dalam pergolakan masyarakat, akan menjadikan pandangan manusia terhadap nilai-nilai
tersebut merosot. Manusia akan merasa lebih tinggi dari nilai-nilai tersebut, dan
memandang nilai-nilai itu hanya alat semata-mata, karena merupakan hasil ciptaan
manusia sendiri. Bahaya paling besar dari sekulerisme, bagi Natsir adalah,
Bahkan Saudara Ketua, seorang secularist menganggap bahwa konsepsi tentang
udjudnja Tuhan dan agama adalah tjiptaan manusia belaka, jang menurutnya ditentukan
oleh keadaan masjarakat. Bukan oleh kebenaran wahju. Baginja agama dan paham
tentang udjudnja Tuhan adalah relatif, jakni berganti-ganti menurut tjiptaan manusia,
begini boleh, begitu boleh![31]
Natsir menolak pandangan sekulerisme menjadi dasar negara, termasuk menolak
Pancasila sebagai dasar negara. Kritik terhadap cara pandang sekulerisme dalam melihat
Tuhan dan agama ini juga yang dilihat Natsir ada pada pandangan Soekarno yang dirujuk
Natsir pada pidato Soekarno pada 17 Juni 1945. Karena itu Natsir menolak Pancasila
sebagai dasar negara, karena didasarkan atas cara pandang sekuler yang tidak sesuai
dengan cara pandang Islam, karena menurut Natsir, tidak ada satupun lapangan hidup
manusia jang dapat dipisahkan dari Agama atau suatu falsafah hidup. Kita hanja dapat
memilih diantara dua, paham jang berdasarkan atas Agama dan jang tidak berdasarkan
atas agama atau secularisme.[32]
Natsir mengajukan pokok argumen mengenai keunggulan agama dibandingkan dengan
sekulerisme. Menurut Natsir, ada dua kelebihan agama dari sekulerisme: Pertama, agama
memberikan lebih banyak kemungkinan bagi pemeluknya untuk mencari ilmu
pengetahuan dan kebenaran. Dalam pandangan Natsir, filsafat sekulerisme berpijak pada
tiga dasar berpikir, yakni: empirisme (mazhabul-tajribah), rasionalisme (mazhabul-aqly)
dan intuitionisme (mazhabul-ilhami), dan tidak mengakui wahyu (revelation) sebagai
dasar. Sementara, bagi Natsir agama mengakui semuanya, dan memberikan batasan yang
jelas atas berlakunya masing-masing dasar tersebut. Atas dasar ini Natsir menilai agama
lebih luas dan dalam jika dibandingkan dengan paham sekuler. Kedua, agama meliputi
seluruh bagian hidup. Natsir mencontohkan, jika seseorang yang menderita karena
ditinggal mati oleh seorang yang dikasihi akan mendapatkan suatu tafsiran dan
penjelasan dari agama, yakni: kematian seseorang merupakan bagian dari rencana
kehidupan yang sudah diatur dalam agama, juga dengan penderitaan yang ditinggalkan
orang yang mati tersebut. Jadi segala sesuatu kejadian ada hubungannya dengan Yang
Menguasai Alam.[33]
Bagi Natsir, dalam keadaan tersebut agama memberikan pegangan hidup yang harus
diikuti, yang berlaku pada seluruh aspek kehidupan baik pikiran, perasaan, tindakan dan
lain-lain, di mana agama akan memberikan petunjuk dan kepemimpinan.[34] Argumen
Natsir tersebut ditujukan untuk mengkritik paham sekulerisme Charles Darwin dan Karl
Marx, yang tidak memberikan tempat dalam filsafatnya mengenai adanya pergolakan
yang terjadi di dalam jiwa seorang manusia. Bagi Natsir, Darwin dan Marx hanya

melihatnya dari sudut proses alam semata-mata dan yang dipentingkan adalah manusia
sebagai kelompok atau kolektivitas.
Kritik Natsir terhadap Pancasila, selain karena merupakan paham sekuler, diciptakan oleh
manusia, bukan berdasarkan wahyu, dan tidak adanya kesolidan di antara pasal-pasalnya.
Menurut Natsir, agama sudah menjadi keyakinan dalam masyarakat Indonesia sejak
lama, sementara Pancasila adalah buatan manusia, sebagaimana argumen Natsir,
[] di Indonesia paham-hidup jang menggerakan djiwanja rakjat adalah agama, agama
jang sifat-sifat umumnja telah saja kemukakan. Dengan sendirinja asas negara kita
harus berdasar agama, bukan suatu rangkaian berupa idee jang dianggap diterima oleh
umum, sebagai Pantja Sila. Pantja Sila tidak dipertjajai sebagai agama. Kalaupun ada
terumus didalamnja Sila Ke-Tuhanan sumbernja, backgroundnja adalah seculair,
ladienyah, tanpa agama.
Ia bukan bersumber pada salah satu wahju Ilahi. Ia adalah dan ternjata, hasil
penggalian. Penggalian dari masjarakat. Ia bukan suatu pengakuan dan dan penjaksian
akan Kedaulatan Tuhan dengan segala konsekwensinja atas jang mengakui dengan
berupa ketaatan kepada Hukum Ilahi jang positif. Ia hanjalah rasa adanja Tuhan
tanpa wahju, tanpa konsekwensi; Rasa adanja Tuhan, sebagai tjiptaan manusia yang
relatif, jang berganti-ganti.[35]
Karena itu bagi Natsir, Pancasila merupakan suatu yang bersifat relatif, tidak memiliki
suatu rujukan yang pasti dan tetap. Juga hubungan antara masing-masing sila tidak
memiliki kejelasan, dan muncul bukan secara berurutan. Terutama Sila Ketuhanan, yang
menurut Natsir bukan pula merupakan point of reference, atau berkedudukan
menentukan isi dari empat sila lainnya, dan memiliki sifat relatif. Karena itu, buat Natsir,
Pancasila tidak akan bisa menjadi jiwa penggerak bagi rakyat Indonesia, karena rakyat
sudah memiliki ideologi agama dan sudah meliputi jiwa rakyat Indonesia. Dalam
pandangan Natsir, Pancasila tidak bisa menjelaskan jiwa rakyat Indonesia yang
beragama, sekaligus tidak dapat mencerminkan apa yang hidup bergelora dalam jiwa
masyarakat Indonesia, karena itu menurut Natsir,
Maka negara jang didasarkan kepada Pantja Sila jang terang sudah demikian sifatnja
itu tidaklah dapat mendjadi negara jang betul-betul mentjukupi kebutuhan hidup
Indonesia, bukan suatu negara jang mendjalankan fungsinja jang sebenarnya bukan
negara jang sebagai satu institution, jang akar-akarnja njata terhundjam dalam
sanubari Bangsa Indonesia.[36]
Kritik Natsir lainnya terhadap Pancasila adalah Pancasila itu sendiri untuk menjadi
sebentuk abstraksi atau pure concept dan netral, namun sifat sila-silanya berdiri
sendiri-sendiri, karena agar pure concept bisa diujudkan menjadi realitas, harus dapat
menjadi satu dan tidka dapat dipisahkan dari norma-norma dan hubungan-hubungan
positif yang menjadi substansinya. Dalam penilaian Natsir, Pancasila juga memiliki
obsesi untuk menjadi netral, berdiri di atas semua ideologi, di atas semua gelora
kehidupan manusia Indonesia, sehingga menjadi tidak berakar sama sekali dalam pikiran

rakyat. Sila-sila yang ada dalam Pancasila, semuanya sudah ada dalam Islam, dan klaim
Natsir adalah Islam sudah menjadi ideologi rakyat Indonesia, yang daidasarkan pada
kemutlakan kedaulatan Tuhan. Ini yang ditekankan oleh Natsir sebagaimana diuraikan
dalam pidatonya,
Itulah sebenarnya maka dalam saja menjebut nilai-nilai tadi, senantiasa saja
hubungkan dengan sumber asalnja, jaitu wahju Ilahi, zonder adanja sumber itu,
tegasnja, agama,, maka perumusan nilai itu akan hampa, dan steriel.
Adapun state-philosophy, atau Dasar Negara jang akan dirumuskan, apabila tidak
berpusat dan mendapat nucleus didalam Kedaukatan Tuhan jang mutlak, perumusan itu
akan merupakan rangkaian butir-butir pasir jang kering, jang tidak akan mengandung
kekuatan apapun djuga.
Tegasnja Saudara Ketua, bukan butir-butir perumusan nilai, tetapi sumber nilai-nilai itu
sendiri, jang harus didjadikan Dasar Negara.
Maka oleh karena itulah, Saudara Ketua, Umat Islam menghendaki Islam sebagai Dasar
Negara Republik Indonesia ini.[37]
Natsir menolak Pancasila dengan argumen: pertama, tidak adanya dasar ke-wahyu-an
dalam Pancasila; kedua, Islam merupakan agama mayoritas rakyat Indonesia. Dari kedua
argumen tersebut sejumlah argumen derivatif diajukan Natsir, untuk mendukung dua
alasan pokoknya tersebut. Argumen Natsir ini tidak terlalu berbeda jauh dengan
Mohammad Sjafii Wirakusumah dari PSII, yang melihat bahwa Pancasila dinilai tidak
memadai untuk menampung Islam. Bagi Natsir, dalam pidatonya menyatakan: Dari
ideologi Islam ke Pantja Sila bagi Umat Islam adalah ibarat melompat dari bumi tempat
berpidjak, ke ruang hampa, vacuum, tak berhawa.[38]
Argumen yang menolak Pancasila sebagai dasar negara, dan mengusulkan Islam sebagai
dasar negara juga muncul dari fraksi Nadhlatul Ulama (NU). Argumen ini misalnya bisa
dilihat dalam pidato K. H. Muhammad Isa Anshary, yang menolak Pancasila karena
sumbernya sendiri, yakni Soekarno, melakukan tafsiran yang menyesatkan atas Pancasila.
Tafsiran sesat yang dimaksud Isa Anshary adalah pidato Soekarno dalam rapat BPUPK 1
Juni 1945, di mana Soekarno menguraikan konsep gotong royong yang diperas dari silasila Pancasila, menjadikan Indonesia negara gotong-royong. Dalam tafsiran Isa Anshary,
peleburan sila-sila menjadi gotong royong berarti meleburkan sekaligus melenyapkan
kalimat ke-Tuhanan Yang Maha Esa, menjadi satu sila, yakni Sila Gotong Royong. Atas
dasar itu NU menolak Pancasila, sebagaimana diungkapkan Isa Anshary dalam
pidatonya,
Saudara Ketua, teranglah sudah, mengapa kami menolak Pantja Sila. Pengertian dan
tafsirnya adalah katjau dan gelap, sumbernja keruh, jang mentjiptakannya sendiri telah
membuat tafsiran jang sesat atasnja. Saja bertanja didalam hati, Saudara Ketua, itukah
Pantja Sila jang dibela dan dipertahankan oleh para pembelanja, dimana tafsir
pengertiannja katjau dan balau, tidak dapat didjadikan pegangan dan pedoman?[39]

Dalam pandangan Isa Anshary dan fraksi NU, Pancasila memiliki kerentanan terhadap
kecenderungan multi-tafsir, dan tafsir yang beragam terhadap Pancasila memiliki potensi
untuk menghilangkan unsur ke-Tuhanan dalam Pancasila. Multi-tafsir itu pula yang
dilakukan Soekarno terhadap Pancasila, yang bagi fraksi NU itu berpotensi mendorong
penghilangan pasal Ke-Tuhanan dari Pancasila.
Pandangan yang sama juga dikemukakan Fraksi Pergerakan Tarbijah Islamiyah (Perti),
melalui wakilnya Ny. H. Sjamsijah Abbas. Sjamsijah memandang bahwa di dalam diri
Pancasila bersemayam potensi multi-tafsir, yang membuat Pancasila menjadi tidak
kokoh, karena itu semenjak kemerdekaan, Indonesia di bawah Pancasila mengalami
kekacauan, keguncangan, tidka tentram dan tidak tenang. Sjamsijah bahkan
menyimpulkan bahwa Pancasila adalah sumber kekacauan, dengan mencontohkan Sila
Ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan dasar Kerakyatan. Untuk mengatasi kekacauan yang
dibuat oleh Pancasila, Sjamsijah dan Perti mengusulkan Islam sebagai dasar negara.
Sjamsijah mengemukakan empat alasan mengapa Islam harus menjadi dasar Negara.
Pertama, atas dasar bahwa mayoritas rakyat Indonesia adalah beragama Islam; kedua,
Islam yang dianut merupakan agama dan peraturan hidup; ketiga, Islam di Indonesia
juga bukan sekedar agama, melainkan sudah menjadi adat-istiadat yang berlaku dalam
kehidupan sehari-hari; keempat, Islam menjamin toleransi yang besar.[40]
Kritik terhadap Islam dasar negara juga datang dari blok Pancasila. Ketua Partai Nasional
Indonesia (PNI), Suwirjo, dalam pidatonya di sidang Konstituante menyatakan bahwa
Pancasila memenuhi ketentuan paling utama, yakni memenuhi kepribadian bangsa
Indonesia dan semangat revolusi 17 Agustus 1945. Dalam pandangan Suwirjo, istilah
Pancasila baru dikemukakan pada 1 Juni 1945, namun isinya sudah tumbuh dan
berkembang, dalam dalam kandungan Ibu Pertiwi Indonesia ini. Jadi Suwirjo
menekankan bahwa bukan negara Republik Indonesia yang melahirkan Pancasila,
melainkan Pancasila yang melahirkan negara Republik Indonesia.[41] Dalam hal ini
Suwirjo menilai bahwa Islam tidak akan mampu mewadahi keragaman dan kepribadian
rakyat Indonesia demikian juga dengan paham Sosial-Ekonomi, seperti yang diutarakan
Suwirjo,
Kami tidak menjatakan, bahwa Dasar Negara Sosial-Ekonomi dan Dasar Negara Islam
itu tidak baik. Tapi terang, adjaran jang dua ini tidak merupakan resultante dari seluruh
kekuatan perdjuangan bangsa Indonesia. Dasar Islam sadja dan dasar Sosial-Ekonomi
sadja belum terbukti dapat mempersatukan seluruh kekuatan perdjuangan Bangsa
Indonesia. Jang sudah terbukti dapat mempersatukan adalah Dasar Pantja Sila itu![42]
Argumen yang juga menolak Islam sebagai dasar negara muncul dari fraksi Partai
Komunis Indonesia (PKI). Argumen PKI bisa dilihat dalam pandangan Sakirman, yang
menilai bahwa Islam tidak mugkin untuk dijadikan dasar negara karena hanya merupakan
salah satu saja dari banyak kepercayaan dan keyakinan, sedangkan Pancasila bisa
mempertemukan semuanya dengan obyektif dan bersifat universal. Dalam pidatonya,
Sakirman menyatakan,

Djadi betatapun universil, praktis dan objektifnja Islam, tetapi karena Islam hanja
merupakan salah satu dari banjak kepertjajaan dan kejakinan, jang hidup dalam
masjarakat Indonesia, maka Pantja Sila sebagai apa yang dikatakan Partai Katholiek
Indonesia suatu grootste gemenedeler jang mempertemukan kejakinan dan
kepertjajaan kita semua, akan tetapi lebih praktis, lebih objektif dan lebih universil
daripada Islam.
Oleh karena itu adalah praktis dan objektif djuga kalau kami dari Fraksi Partai Komunis
Indonesia (PKI) mengharapkan dengan hormat agar Fraksi Madjelis Sjuro Muslimin
Indonesia (Masjumi) suka menerima tanpa perubahan Pantja Sila sebagai Dasar
Negara!
Revolusi kita djuga Saudara Ketua, ini jang terpenting, dimuali dari persatuan, dan oleh
sebab itu dia harus diselesaikan dengan persatuan djuga. Dan satu-satunja asas jang
bisa mendjamin persatuan dan seluruh bangsa dan tanah air sekarang ini, adalah bukan
asas Kristen, bukan asas Islam, bukan asas Nasionalisme, bukan asas Komunisme,
melainkan asas Pantja Sila jang universil itu.[43]
Argumen lain dari Blok Pancasila umumnya didasarkan pada soal keragaman rakyat
Indonesia dalam hal keyakinan dan pandangan hidup, sehingga Pancasila dinilai menjadi
satu-satunya dasar yang bisa menjadi tempat berpijak bagi masing-masing keragaman
tersebut.
Dewan Konstituante yang dibentuk untuk menyelesaikan tugas menyusun UndangUndang Dasar atau konstitusi akhirnya menemui akhir tanpa berhasil merumuskan dan
menyelesaikan pekerjaannya. Dalam sudut pandang normatif, ketidakberhasilan Dewan
Konstituante lebih disebabkan oleh kegagalan mencapai mayoritas duapertiga suara
untuk menetapkan dasar negara, karena komposisi kekuatan politik yang bertarung dalam
Dewan Konstituante tidak ada yang mampu mencapai mayoritas duapertiga, sebagaimana
diamanatkan UUD 1945.[44] Namun, dalam analisa Adnan Buyung Nasution, dalam
konteks politik sikap Soekarno dan Angkatan Darat yang tidak mendukung Konstituante
merupakan penyebab utama dari tidak berhasilnya Konstituante. Dalam analisa Buyung
Nasution, setelah Pemilu 1955 kekuatan politik Angkatan Darat semakin melemah,
karena kekuasaan politik beralih ke kabinet dan parlemen serta Konstituante.
Untuk mengembalikan kekuasaan politiknya Angkatan Darat membutuhkan UUD 1945
sebagai landasan hukum untuk memperbesar perannya dalam bidang politik.[45] Ini
didukung pula oleh situasi di mana Presiden Soekarno menyerang sistem multi-partai
yang diasosiasikan dengan Barat dan Liberal, dan menawarkan konsep demokrasi
baru yang dinamainya Demokrasi Terpimpin. Dalam pandangan Buyung Nasution,
kekuasaan Angkatan Darat dan ide Demokrasi Terpimpin dari Soekarno mengubah
Konstitante, terutama setelah Presiden Soekarno mengusulkan untuk kembali ke UUD
1945. Menurut Buyung Nasution, setelah usul presiden ditolak oleh Konstituante,
Angkatan Darat menggalang dukungan rakyat untuk kembali ke UUD 1945, yang disusul
dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang mengakhiri riwayat Dewan Konstituante.[46]

Pandangan dan Analisa


Melihat perdebatan dua blok utama yakni Pancasila dan Islam dalam Dewan
Konstituante, terutama dalam hal kritik Islam terhadap Pancasila sebagai dasar negara,
dan argumen dasar mengapa Islam harus menjadi dasar negara, bisa dirumuskan pada
beberapa poin. Pertama, model berpikir mayoritarianisme, di mana mayoritas rakyat
Indonesia adalah beragama Islam, maka dasar negara haruslah berdasarkan mayoritas.
Kedua, mempertentangkan konsep wahyu dengan sekulerisme (produk manusia), di mana
Islam sebagai wahyu Tuhan, memiliki kedudukan lebih tinggi dari Pancasila, sehingga
Islam yang seharusnya menjadi dasar negara. Dalam konteks ini, agama dipandang
sebagai sesuatu yang berifat abadi, sementara Pancasila bersifat sementara. Ketiga, kritik
terhadap soliditas dan konsistensi Pancasila, sehingga Pancasila dianggap suatu konsep
yang lemah dan rentan terhadap multi-tafsir. Sementara Islam dinilai sebagai suatu
konsep yang solid.
Suatu yang perlu juga dilihat adalah melihat konteks perjuangan untuk membangun
negara Islam, sebagai suatu institusi imajiner. Imajiner yang dimaksud di sini adalah
imajiner dalam pemahaman Cornelius Castoriadis, yakni ketidakpastian (sosial-historis
dan fisik) yang esensial dan terus-menerus dalam penciptaan figur/bentuk/citra, pada
dasar di mana secara pada dirinya sendiri akan selalu ada pertanyaan mengenai sesuatu.
Jadi pada saat membicarakan imajiner itu berarti ingin berbicara mengenai sesuatu
yang diciptakan/ditemukan.[47] Dalam hal ini negara Islam merupakan imajiner dalam
diskursus politik Indonesia, artinya ia ada dan ditemukan dalam rentang sosial-historis
maupun dalam artian fisik. Kalau melihat perdebatan mengenai Islam sebagai dasar
negara dalam sidang BPUPK, Konstituante, bahkan amandemen UUD 1945, kalau mau
ditarik lebih jauh, memberikan gambaran bahwa negara Islam merupakan institusi
imajiner dalam politik Islam di Indonesia. Itu menjadi suatu yang selalu dibayangkan
sekalipun dalam ketidakpastiannya, artinya akan terus ada dalam diskursus politik
Indonesia. Jadi, gesekan-gesekan antara perjuangan politik untuk menciptakan Islam
sebagai dasar negara dengan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara, akan
selalu ada, selama imajiner itu selalu bisa ditemukan/diciptakan.
Misalnya dalam melihat pandangan Natsir, di mana dalam beberapa kali tulisan dan
pidatonya salah satunya di Pakistan Natsir banyak memuji Pancasila, dan menyatakan
bahwa Pancasila merupakan dasar negara yang mampu menampung sekaligus menopang
keragaman dan dinamika masyarakat Indonesia, sehingga argumen yang muncul adalah
bahwa Natsir memilih Islam sebagai dasar negara semata-mata karena ada PKI di dalam
Blok Pancasila masih perlu diuji lebih jauh. Dalam buku George Kahin, di situ dikutip
pernyataan Natsir bahwa konsep negara Islam merupakan cita-cita, something yet to be
achieved and still very far removed from the reality of the present.[48] Artinya, gagasan,
ide, cita-cita dan perjuangan pembentukan negara Islam ataupun Islam sebagai dasar
negara merupakan suatu yang hidup dalam imajinasi, dan menjadi bagian dalam
perjuangan politik. Dari situ bisa dilihat bahwa posisi Natsir dalam memperjuangkan
Islam sebagai dasar negara bukan semata-mata posisi taktis, melainkan sekaligus posisi
strategis, artinya sebagai agenda politik jangka panjang yang diperjuangkan bukan untuk
alasan-alasan temporer atau taktis, melainkan atas dasar alasan ideologis dan strategis.

Posisi taktis mungkin lebih bisa dilekatkan pada NU, di mana setelah Konstituante
dibubarkan, NU justru ikut ambil bagian dalam proyek politik Nasakom Soekarno, justru
yang sulit dibaca adalah keberadaan NU di dalam Blok Islam dan bukan berada pada
Blok Pancasila, dan argumen politis apa yang yang menjadi landasan dasar NU untuk
berada dalam Blok Pancasila, karena pada tahun 1952, NU menyatakan keluar dari
Masyumi dan mengubah diri menjadi partai politik.
Masyumi sendiri sebagai organisasi merupakan bentukan pemerintah militer Jepang,
yang dinilai merupakan organisasi kolaborator pemerintahan militer Jepang, yang
merupakan metamorfosa dari MIAI (Madjlisul Islamil Alaa Indonesia) organisasi Islam
berbentuk federasi yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda di Surabaya pada
September 1937.[49] Oleh Harry Benda, didirikannya Masyumi dinilai sebagai
representasi kemenangan kebijakan Islam yang dilakukan Jepang.[50] Penilaian Benda
bisa dirujukkan pada resolusi Masyumi bulan Oktober 1944, yang menyatakan bahwa
Masyumi berdiri bersama Nippon, jatuh bersama Nippon, berjalan di jalur Allah untuk
menghancurkan musuh tirani, merupakan pernyataan terbuka yang menyatakan dukungan
Masyumi pada pemerintah militer Jepang.[51] Namun kekalahan Jepang, dan terusirnya
Jepang dari Indonesia tidak menjadikan Masyumi sebagai organisasi bubar, namun
menjadi partai politik yang didirikan pada November 1945, yang menyuarakan Islam
sebagai dasar negara, terutama dalam sidang-sidang Konstitante serta sesudahnya, sampai
kemudian dibubarkan oleh Soekarno.[52]
Yang juga menarik adalah bahwa ide mengenai pendirian negara Islam baru muncul lewat
gerakan DI/TII yang dipimpin S. M. Kartosoewirjo. Sebelumnya gagasan yang muncul
adalah ide mengenai Islam dan sosialisme sebagaimana yang diajukan oleh
Tjokroaminoto, di mana dalam argumen Tjokroaminoto, cita-cita sosialisme di dalam
Islam sudah mengakar selama tigabelas abad, dan telah dikenal dalam masyarakat Islam
pada zaman Nabi Muhammad SAW.[53] Demikian juga tuntutan dalam BPUPK maupun
Piagam Jakarta lebih kepada pengajuan Islam sebagai dasar negara, atau masuknya unsur
ke-Islaman dalam Pancasila, bukan ide mengenai pembentukan suatu negara Islam. Baru
pada Kartosuwiryo, tuntutan pendirian negara Islam menggema, dan bahkan
mendapatkan tentangan dari Natsir, di mana pada saat menjabat perdana menteri (19501951), Natsir mengerahkan kekuatan TNI untuk memerangi Kartosoewirjo dan para
pengikutnya, karena menurut Natsir gerakan Kartosoewirjo telah mengacaukan situasi
keamanan nasional.[54]
Ide mengenai pendirian negara Islam juga muncul dari salah seorang pimpinan DI/TII,
yakni Kahar Muzakkir, yang menyatakan bahwa Islam bukan hanya agama tetapi juga
negara. Muzakkir berpedoman bahwa Islam adalah atuhid, iman, ibadah, akhlak, politik,
ekonomi, pendidikan, sosial, hukum, undang-undang, peraturan, kebudayaan dan
pedoman hidup, dan jika dijalankan sebaiknya akan tercapai kehidupan sentosa, aman
dan sejahtera serta diganjar kehidupan di akhirat nanti. Di mata Muzakkir, Islam dan
negara merupakan dua sisi mata uang yang saling melekat, jadi Islam bukan smeata-mata
agama, melainkan agama sekaligus negara.[55]

Demikian juga pada saat pemerintahan parlementer, kabinet-kabinet yang dipimpin


Masjumi seperti Mohammad Natsir (1950-1951), Sukiman (1951-1952) dan Burhanuddin
Harahap (1955-1956), tidak muncul agenda pembentukan negara Islam atau upaya untuk
memasukkan Islam menjadi dasar negara. Pemerintahan justru disibukkan juga oleh
agenda menghadapi pemberontakan DI/TII. Namun, menariknya, pada saat Konstituante
terbentuk, dan agenda dasar negara kembali dibicarakan, ide mengenai Islam sebagai
dasar negara muncul kembali, sebagaimana pada sidang BPUPKU di tahun 1945, namun
kali ini dengan komposisi peserta yang berbeda, yakni adanya unsur PKI di dalam
keanggotaan Konstituante. Semenjak itu, pemikiran mengenai Islam sebagai dasar
negara, maupun pembentukan negara Islam, tidak pernah surut sampai hari ini.
Kalau melihat dengan kacamata analisa Castoriadis, sebenarnya ide mengenai suatu
masyarakat Islam sudah terbangun dari masa kolonialisme Belanda, kalau merujuk pada
pemikiran Tjokroaminoto, yang dalam bukunya Islam dan Sosialisme sudah menyebut
pada negara-negara Islam dan membayangkan suatu pemerintahan Islam, namun orientasi
pemikirannya lebih pada mewujudkan suatu tatanan masyarakat Islam yang sosialis,
ketimbang suatu negara Islam. Namun bayangan mengenai suatu tatanan masyarakat
Islam sudah terbentuk, dan muncul ke permukaan pada saat sidang BPUPK, dan
seterusnya sampai sidang Konstituante. Imajiner politik inilah yang terus terbentang
sampai hari ini.
Sisi lain yang unik dari perdebatan dalam Konstituante adalah bagaimana partai-partai
berhasil menyepakati seluruh rumusan batang tubuh undang-undang dasar, namun gagal
merumuskan dan menetapkan dasar negara. Artinya, perdebatan mengenai dasar negara
banyak dilihat lebih merupakan perdebatan politis ketimbang ideologis, karena rumusan
pasal-pasalnya sudah terleih dahulu tertata dan tersusun, dan tinggal melekatkan dasarnya
saja. Jadi, bisa disimpulkan bahwa dasarnya tidak lagi penting, karena akan bisa
beradaptasi dengan batang tubuhnya, jadi batang tubuhnya akan kompatibel dengan
apapun dasar negara yang dipilih. Suatu rumusan yang unik dan lucu, namun nyata
terjadi dan berlangsung, namun meskipun demikian bukan berarti karena itu tuntutan
Islam sebagai dasar negara kehilangan dimensi ideologisnya, karena pembayangan akan
tatanan masyarakat Islam sudah terbangun dalam diskursus politik masa itu, sehingga
argumen yang menilai bahwa tuntutan Islam sebagai dasar negara murni politis dan
taktis, adalah terlalu menyederhanakan persoalan, dan tidak berpijak pada historisitas.
Penutup
Dengan melihat perdebatan panjang antara Islam dan Pancasila, terutama pada sidangsidang BPUPK dan Konstituante, bisa merujuk pada perdebatan dalam amandemen UUD
1945 sepanjang tahun 1998-2002. Dalam perdebatan tersebut juga mengemuka ide
mengenai Islam sebagai dasar negara, sekalipun perdebatannya tidak sekental pada masa
BPUPK dan Konstituante, namun dalam penetapan Pasal 29 mengenai Agama sempat
mengalami perdebatan alot, sebelum akhirnya diputuskan untuk tidak mengubahnya, dan
tetap memberlakukan rumusan yang lama. Ini menunjukkan bahwa imajinasi mengenai
pembentukan suatu tatanan masyarakat Islam tidak hilang dari ruang politik di Indonesia,
dan sudah menjadi bagian dalam diskursus politik Indonesia. Imajinasi tersebut

merupakan penciptaan dan penemuan suatu momen atau peristiwa sejarah Indonesia,
terutama dalam Piagam Jakarta.
Perdebatan itu sendiri mengalami pasang-surut, semenjak sidang BPUPK, PPKI sampai
sidang Badan Konstituante, namun persoalan mengenai dasar negara selalu muncul dan
mengemuka. Pergeseran sikap para politisi dan pimpinan politik juga terus berlangsung,
seiring dengan perubahan konstelasi politik secara lebih luas. Perubahan itu juga yang
terjadi pada Mohammad Natsir dalam menghadapi perseteruan antara Blok Islam dan
Blok Pancasila di sidang Konstituante, di mana Natsir yang kerap dirujuk sebagai
seorang democrat dan pendukung Pancasila, memilih untuk berada di sisi seberang Blok
Pancasila atas dasar alasan politis, juga ideologis. Banyak yang menilai bahwa alasan
utama Natsir adalah politis, yakni keengganannya untuk berada dalam satu barisan atau
satu blok dengan PKI, karena itu ia lebih memilih Masyumi berada di seberangnya.
Namun, bagaimanapun juga ide Islam sebagai suatu bentuk masyarakat memiliki
persemayaman kolektifnya dalam tubuh politik Indonesia, sehingga sikap Natsir yang,
bisa jadi, murni politis, bukanlah sikap Islam suatu ujud politik. Artinya, dimensi
ideologis dalam perjuangan penetapan Islam sebagai dasar negara maupun bentuk negara,
memiliki akar berpijak yang dalam dan luas, sepanjang rentang berdirinya republik.

Kepustakaan Rujukan
Abbas, Ny. Hj. Sjamsijah (Perti), pidato pada Sidang Konstituante, dalam dokumen
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa
Tahun).
Ansyari, K.H.M. Isa (Nadhlatul Ulama), Kami Menudju Republik Indonesia
Berdasarkan Islam. Pidato pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar
Negara Djilid II (Bandung, Tanpa Tahun).
Adams, Cindy, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Haji
Masagung, 1988).
Badan Konstituante, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante
Djilid 1 (Bandung, Tanpa Tahun).
Badan Konstituante, Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante
Djilid 2 (Bandung, Tanpa Tahun).
Benda, Harry J., The Crescent and the Rising Sun: Indonesia Islam Under the Japanese
Occupation 1942-1945 (The Hague: Van Hoeve, 1958).
Boland, Bernard J., Pergumulan Islam di Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1985).

Bourchier, David, Lineages of Organicist Political Thought in Indonesia (Ph.D


Dissertation, Monash University, June 1996).
Castoriadis, Cornelius, The Imaginary Institution of Society (Cambridge: Politiy Press,
1997).
Dijk, Cornelis van, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta: Graffiti Press, 1995).
Feith, Herbert, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (Jakarta: Equinox,
2007).
Firmansyah, Adhe, SM. Kartosoewirjo: Biografi Singkat 1907-1962 (Jakarta: Garasi,
2009).
Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia: Studi
Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Graffiti, 2001).
Natsir, Mohammad (Masyumi), pidato pada sidang Konstituante, dalam dokumen
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa
Tahun).
Nadhlatul Ulama, Hukum Tuhan dan Penafsirannya, dalam Herbert Feith dan Lance
Castles (Eds), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1995).
Sakirman, Ir. (PKI), Partai Komunis Indonesia (PKI) Menerima Pantja Sila Tanpa
Perubahan. Pidato pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa Tahun).
Sekertariat Negara Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK), Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 22 Agustus 1945. Jakarta: Sekertariat Negara Republik
Indonesia, 1995.
Simajuntak, Marsillam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan
Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Grafiti, 2003).
Suwirjo (PNI), pidato pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa Tahun).
Syafii Maarif, Ahmad, Islam dan Pancasila Secagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan Dalam Konstituante (Edisi Revisi) (Jakarta: LP3ES, 2006).
Tjokroaminoto, H. O. S., Islam dan Sosialisme (Jakarta: Endang dan Pemuda, 1963).

Wirakusumah, R. Mohammad Sjafii (PSII), pidato pada sidang Konstituante, dalam


dokumen Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Tanpa
Tahun).
Catatan

[1] Kabinet Hatta (Desember 1949 Agustus 1950) mendapatkan mandat untuk
menjalankan dua tugas pokok, yakni membentuk negara kesatuan untuk mengubah
bentuk negara serikat hasil KMB, dan menyusun undang-undang dasar yang rumusannya
lebih lengkap dari UUD 1945. Lihat Herbert Feith, The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia (Jakarta: Equinox, 2007), hal. 92-93.
[2] Lihat Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia:
Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Graffiti, 2001), hal. 29-30.
[3] Badan ini bernama Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai, yang dalam bahasa Indonesia
diterjemahkan menjadi Badan Oentoek Menjelidiki Oesaha Persiapan Kemerdekaan
(BPUPK). Nama ini kemudian diubah menjadi Badan Penyelidik Usaha-Usaha
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), namun tulisan ini akan tetap merujuk pada nama asli
badan ini, dengan menyebutnya BPUPK atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai.
[4] Marsillam Simajuntak, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur dan
Riwayatnya Dalam Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Grafiti, 2003), hal. 75.
[5] Makloemat Gunseikan No.23: Azas-azas Pembentoekan Badan Oentoek Menjelidiki
Oeasaha Persiapan Kemerdekaan, dikutip dari Marsillam Simanjuntak, ibid.
[6] Marsillam Simanjuntak, ibid., hal. 77.
[7] Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Jakarta: Haji
Masagung, 1988), hal. 213. Namun sekalipun demikian Soekarno dalam pidato-pidatonya
berulangkali menyatakan komitmennya bagi [Kekeluargaan] Asia Timur Raya.
[8] Pidato Soepomo dalam sidang BPUPK pada tanggal 31 Mei 1945. Lihat, Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK),
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 22 Agustus
1945 (Jakarta: Sekertariat Negara Republik Indonesia, 1995). Yang menarik adalah dalam
studinya Marsillam menemukan bahwa istilah integralistik sendiri sebelumnya tidak
pernah ia temukan dalam karya-karya Soepomo baik sebelum dan sesudah pidatonya
tersebut, bahkan Marsillam melanjutkan bahwa istilah tersebut tidak pernah lagi
digunakan oleh Soepomo setelah sidang BPUPK tersebut. Marsillam bahkan menuliskan:
Sepanjang yang bisa dicapai oleh penelitian untuk tulisan ini, istilah negara
integralistik tidak dapat ditemukan dalam khazanah kepustakaan ilmu negara, hukum
tata negara dan sejarah. Kecuali yang didapatkan dalam teks pidato Prof. Mr. Dr.

Soepomo di muka sidang Dokuritsu Junbi Cosakai, pada tanggal 31 Mei 1945 [].
Lihat Marsillam Simanjuntak, op.cit., hal. 65-67, 116, 217-218.
[9] Pidato Soepomo dalam sidang BPUPK pada tanggal 31 Mei 1945, dalam Risalah, hal.
38
[10] Ibid., hal 40. Penulisan miring adalah sesuai dengan teks yang ada dalam Risalah
tersebut.
[11] Ibid., hal. 35-36. Penulisan miring adalah sesuai dengan teks yang ada dalam
Risalah tersebut.
[12] Pidato Soekarno dalam sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Risalah, hal.
81-82.
[13] Ibid., hal. 82
[14] Pidato Soekarno dalam sidang BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945 dalam Risalah, hal.
80.
[15] Ibid., hal. 81.
[16] Ibid., Hal. 80-81.
[17] Kategorisasi terhadap wakil-wakil golongan Islam ini diambil dari Ahmad Syafii
Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan Dalam
Konstituante (Edisi Revisi) (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 103-104. Kekurangan utama
dokumen Risalah adalah tidak adanya dokumentasi pidato tokoh-tokoh Islam yang
mengusulkan Islam sebagai dasar negara maupun bentuk negara. Risalah tersebut
didasarkan pada dokumetasi yang dilakukan Muhammad Yamin, yang hanya memuat
pidato dirinya sendiri serta Soekarno dan Soepomo.
[18] Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hal. 109-110. Anggota lain dalam Panitia Kecil
tersebut adalah Mohammad Hatta, A. A. Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso,
Abdoelkahar Moezakir, H. A. Salim, Achamd Soebardjo, Wachid Hasjim, Muhammad
Yamin, lihat Risalah, hal. 385.
[19] Oleh David Bourchier pidato Soepomo pada sidang BPUPK tanggal 29 Mei 1945,
disebutkan sebagai to become a key coordinate in later Indonesian organicist
discourse. Lihat David Bourchier, Lineages of Organicist Political Thought in
Indonesia (Ph.D Dissertation, Monash University, June 1996), hal. 76.
[20] Adnan Buyung Nasution, op. cit., hal. 30.
[21] Sejumlah pemberontakan yang menamakan diri gerakan Darul Islam (DI) terjadi di
Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan dan Aceh. Gerakan ini

awalnya merupakan manifestasi ketidakpuasan kelompok-kelompok di daerah terhadap


pusat, namun memiliki karakter di masing-masing wilayah. Misalnya di Jawa Barat dan
Jawa Tengah pemberontakan DI adalah akibat pertentangan mengenai otonomi wilayah,
dengan tambahan isu-isu Islam yang kuat. Di Sulawesi Selatan dipicu oleh demobilisasi
pasukan bekas gerilya sesudah tahun 1950an. Di Kalimantan Selatan karena
diremehkannya prestasi daerah dalam perjuangan kemerdekaan dirasa mencolok. Di Aceh
perjuangan utnuk menyatukan wahyu agama sekaligus melawan pengaruh pemerintah
pusat yang dianggap semakin merasuk. Gerakan ini kemudian mengajukan pendirian
Negara Islam Indonesia (NII) yang diproklamasikan oleh S. M. Kartosoewirdjo pada 7
Agustus 1949. Lihat Cornelis van Dijk, Darul Islam: Sebuah Pemberontakan (Jakarta:
Graffiti Press, 1995), hal. xix, 321-371.
[22] Adnan Buyung Nasution, op. cit., hal. 31.
[23] Nadhlatul Ulama, Hukum Tuhan dan Penafsirannya, dalam Herbert Feith dan
Lance Castles (Eds), Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.
202-203.
[24] Tabel ini diambil dari Adnan Buyung Nasution, op. cit., hal. 32-33.
[25] Ibid., hal. 68.
[26] Ibid., hal. 34.
[27] Pidato R. Mohammad Sjafii Wirakusumah (PSII) pada sidang Konstituante, dalam
dokumen Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I
(Bandung, Tanpa Tahun), hal. 58.
[28] Ibid., hal. 57.
[29] Pidato Mohammad Natsir (Masyumi) pada sidang Konstituante, dalam dokumen
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa
Tahun), hal. 116.
[30] Ibid., hal. 118.
[31] Ibid., hal. 119.
[32] Ibid., hal. 124.
[33] Ibid., hal. 125.
[34] Ibid.
[35] Ibid., hal. 126.

[36] Ibid., hal 127.


[37] Ibid., hal. 138.
[38] Ibid.
[39] Pidato K. H. M. Isa Ansyari (Nadhlatul Ulama), Kami Menudju Republik Indonesia
Berdasarkan Islam. Pidato pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar
Negara Djilid II (Bandung, Tanpa Tahun), hal. 190.
[40] Pidato Ny. Hj. Sjamsijah Abbas (Perti) pada sidang Konstituante, dalam dokumen
Tentang Dasar Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa
Tahun), hal. 238-241.
[41] Pidato Suwirjo (PNI) pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar
Negara Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa Tahun), hal. 7.
[42] Ibid., hal. 12.
[43] Pidato Ir. Sakirman (PKI), Partai Komunis Indonesia (PKI) Menerima Pantja Sila
Tanpa Perubahan, pada sidang Konstituante, dalam dokumen Tentang Dasar Negara
Republik Indonesia Dalam Konstituante Djilid I (Bandung, Tanpa Tahun), hal. 24.
[44] Analisis model ini misalnya bisa dilihat dalam Bernard J. Boland, Pergumulan Islam
di Indonesia (Jakarta: Grafiti Pers, 1985), hal. 103.
[45] Adnan Buyung Nasution, op. cit., hal. 417-418.
[46] Ibid., hal. 418.
[47] Cornelius Castoriadis, The Imaginary Institution of Society (Cambridge: Politiy
Press, 1997), hal. 3, 125.
[48] Kutipan dari buku Kahin ini dikutip dari Ahmad Syafii Maarif, op. cit., hal. 133.
[49] Harry J. Benda, The Crescent and the Rising Sun: Indonesia Islam Under the
Japanese Occupation 1942-1945 (The Hague: Van Hoeve, 1958), hal. 90.
[50] Ibid., hal. 150-151.
[51] Resolusi tersebut terbit dalam surat kabar Soeara Moeslimin Indonesia, Vol.II. No.20
(15 Oktober 1944), dikutip dari Harry Benda, ibid., hal. 102.
[52] Ahmad Safii Maarif, op. cit., hal. 93.

[53] H. O. S. Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme (Jakarta: Endang dan Pemuda, 1963),
hal. 13.
[54] Adhe Firmansyah, SM. Kartosoewirjo: Biografi Singkat 1907-1962 (Jakarta: Garasi,
2009), hal. 110-115.
[55] Syarifuddin Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khilafah,
Masyarakat Madani dan Demokrasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 245.

Anda mungkin juga menyukai