Anda di halaman 1dari 13

KELOMPOK 6:

SISTEM EKONOMI DEMOKRASI TERPIMPIN


(SISTEM EKONOMI TERPIMPIN)

ALFIE FITRAHADI K
GHEANTY SELYAWATI
IRSA SALSABILA
MIFTAH SAEPUL MILAH
M. SULTAN HIZBULLOH
SEPTIAN HELMI
ZEHAN AGUSTIA A

SISTEM EKONOMI TERPIMPIN


Bung Hatta, yang oleh banyak orang dicap demokrat tulen, adalah salah satu pengusung
gagasan ekonomi terpimpin. Di tahun 1959, di era dimulainya proyek politik demokrasi
terpimpin, Bung Hatta juga beberapa kali membawakan ceramah tentang ekonomi
terpimpin. Ceramah-ceramah Bung Hatta itu melahirkan risalah berjudulEkonomi
Terpimpin.
Ekonomi terpimpin adalah antitesa dari ekonomi liberal yang berpanglimakan laissez
faire. Jika ekonomi liberal selalu ingin mendepak peran negara di lapangan ekonomi,
maka ekonomi terpimpin justru mempromosikan sebaliknya. Pengusung ekonomi
terpimpin melihat negara bisa menjadi alat yang efektif dalam mengorganisir ekonomi
yang bisa melahirkan kemakmuran bagi rakyat.
Dukungan Bung Hatta terhadap konsep ekonomi terpimpin bukan hal yang ganjil. Generasi
se-angkatan Bung Hatta, termasuk Bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan lain-lainnya,
adalah penentang kapitalisme liberal. Malahan, sebagaimana diakui Bung Hatta, hampir
semua spektrum pergerakan nasional Indonesia kala itu punya sentimen anti-kapitalis.
Penjelasannya sederhana. Hampir semua spektrum pergerakan nasional itu, dari kalangan
nasionalis, marxis, hingga kaum agamais, menganggap penindasan selama ratusan tahun
oleh kolonialisme Eropa sebagai ekspresi dari kapitalisme. Mereka tahu betul betapa
kekejian kapitalisme menghisap dan mengeksploitasi rakyat jajahan.

Boedi Oetomo, organisasinya kaum priayi itu, menganggap kapitalisme sebagai sebuah
tanaman dari negeri asing yang tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Sementara Tjokroaminoto,
pimpinan dari Sarekat Islam, menggunakan istilah kapitalisme yang murtad.
Bung Hatta sendiri sangat menentang ekonomi liberal. Ia bilang, membiarkan perekonomian
berjalan menurut apa yang dikatakan permainanmerdeka(bebas) dari tenaga-tenaga
masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.
Menurut Bung Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang (individu
kapitalis) yang menjadi juru-mudi dalam segala tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal
hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum
kapitalis. Kepentingan Orang-seorang didahulukan dari masyarakat, kata Bung Hatta.
Persaingan bebas bisa saja bermanfaat, kata Bung Hatta, asalkan kalau semua subjek ekonomi
punya kedudukan dan kemampuan yang sama, sama-sama cerdik, dan sama-sama punya
kepandaian.
Tetapi faktanya, di dalam masyarakat kapitalis, masyarakat terbelah dalam kelas-kelas: antara
pemilik alat produksi dan mereka yang tidak punya akses terhadap alat produksi. Mereka yang
menguasai alat produksi mengontrol segalanya: dari produksi material untuk pemenuhan
kebutuhan manusia hingga produksi gagasan. Sementara yang tidak punya akses terhadap alat
produksi dipaksa menjual tenaga kerja untuk bisa mendapatkan upah agar tetap bertahan hidup.
Begitu juga dalam konteks bangsa. Bangsa-bangsa di dunia, yang dipicu oleh kapitalisme dan
nafsunya mengakumulasi keuntungan, terbelah antara bangsa penindas (penjajah) dan bangsa
tertindas (terjajah dan semi-jajahan). Akibatnya, dalam konteks perekonomian global, selalu
terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang diterima oleh bangsa-bangsa tertindas.

Bung Hatta sendiri menyaksikan kegagalan dari kapitalisme liberal. Pada akhir tahun 1920-an, kapitalisme
global dihantam krisis. Orang-orang kala itu menyebutnya krisis malaise; di Hindia Belanda, nama krisis
ini diplesetkan menjadi zaman meleset. Bagi Bung Hatta, krisis malaise telah mengubur kapitalisme
liberal.
Ekonomi terpimpin menghendaki adanya campur tangan kekuasaan publik, yakni negara, secara
sistematis dalam mengatur penghidupan ekonomi agar mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Apabila
ekonomi kapitalistik didorong oleh nafsu mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya bagi si kapitalis,
maka ekonomi terpimpin memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyat sebesar-besarnya.
Konsep ekonomi terpimpin sendiri sangat beragam, tergantung dari spektrum ideologi di belakangnya,
seperti sosialisme, komunisme, sosial-demokrasi, solidarisme (Kristen Demokrat), ekonomi kesejahteraan
(welfare economics), Keynesian, dan lain-lain.
Namun demikian, kata Bung Hatta, kendati muncul beragam berdasarkan basis ideologi masing-masing,
konsep ekonomi terpimpin punya dua nilai umum:pertama, penolakan terhadap individualisme;
dankedua, memberikan tempat teristimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin dalam
perekonomian.
Bung Hatta juga membeberkan beberapa tujuan prinsipil dari penyelenggaraan ekonomi terpimpin, yaitu:
1) menciptakan kesempatan kerja penuh (full employment), sehingga rakyat terbebaskan dari
pengangguran; 2) standar hidup yang lebih baik; 3) mengurangi ketimpangan ekonomi; dan 4) keadilan
sosial.
Namun demikian, kendati Bung Hatta menyokong ekonomi terpimpin, ia tidak setuju dengan model
ekonomi komunis. Menurutnya, komunisme terlalu pure collectivism atau kolektivisme murni. Alhasil,
komunisme tidak memberi tempat kepada kepemilikan pribadi.
Tidak hanya itu, kata Hatta, komunisme menyerahkan seluruh keputusan dan rencana ekonomi secara
terpusat di pimpinan tertinggi. Model ekonomi komunistik juga mematikan inisiatif pribadi. Rakyat tidak
lagiberekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin, jelas Hatta.

Namun, Hata mengakui, model ekonomi komunistik, yakni sistim ekonomi berencana, lebih
kebal terhadap krisis. Penyebabnya, dalam sistim ekonomi berencana, proses produksi
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan atau konsumsi rakyat. Jadinya, sistim ekonomi berencana
tidak mengenal krisis over produksi. Selain itu, karena disusun berdasarkan perencanaan yang
matang dan sistematis, pemanfaatan sumber daya juga bisa efektif dan tidak boros.
Bagi Hatta, konsep ekonomi terpimpin tetap harus bekerja di bawah logika ekonomi: mengejar
hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga yang sekecil-kecilnya. Karena itulah ekonomi
terpimpin ala Hatta juga berbicara mengenai efisiensi dan efektifitas. Produksi harus dijalankan
dengan se-efisien mungkin tanpa menghisap kaum buruh. Penggunaan kapital harus efektif dan
terencana. Pembelian dan penggunaan barang/bahan baku harus secara rasional.
Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, Bung Hatta mengusung profesionalisme, yakni
menyerahkan manajemen kepada orang-orang yang ahli atau terampil. Selain itu, usaha swasta
juga masih diberikan tempat, asalkan tunduk pada arahan pemerintah dan kepentingan umum.
Nah, dalam konteks Indonesia, para pendiri bangsa kita sebetulnya sangat tegas memihak
konsep ekonomi terpimpin. Ini sangat nyata dalam pasal 33 UUD 1945. Kalimat dari ayat (1)
pasal 33 UUD 1945 tegas menggariskan itu: perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas kekeluargaan. Kata disusun menjelaskan bahwa sistem perekonomian
yang dikehendaki kostitusi adalah sistim perekonomian yang teratur atau terencana.
Kalau kita lihat, ada beberapa prinsip ekonomi terpimpin yang diadopsi oleh pasal 33 UUD 1945,
yakni: 1) penentangan terhadap individualisme dan kapitalisme; 2) pemberian peran kepada
negara yang cukup besar dalam mengatur dan memimpin jalannya perekonomian; 3) pemilikan
sosial terhadap alat produksi; dan 4) prioritas produksi mengutamakan pemenuhan kebutuhan
dan kesejahteraan rakyat.

Sehingga dapat disimpulkan, ciri Sistem Ekonomi Terpimpin adalah :


1) Semua alat dan sumber-sumber daya dikuasai pemerintah
2) Hak milik perorangan tidak diakui
3) Tidak ada individu atau kelompok yang dapat berusaha dengan bebas dalam kegiatan
perekonomian
4) Kebijakan perekonomian diatur sepenuhnya oleh pemerintah

Kelebihan dari sistem ekonomi terpimpin adalah:


1) Pemerintah lebih mudah mengendalikan inflasi, pengangguran dan masalah ekonomi lainnya
2) Pasar barang dalam negeri berjalan lancar
3) Pemerintah dapat turut campur dalam hal pembentukan harga
4) Relatif mudah melakukan distribusi pendapatan
5) Jarang terjadi krisis ekonomi

Kelemahan dari sistem ekonomi terpimpin adalah :


1) Mematikan inisiatif individu untuk maju
2) Sering terjadi monopoli yang merugikan masyarakat
3) Masyarakat tidak memiliki kebebasan dalam memilih sumber daya.

Langkah yang ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi pada saat
masa demokrasi terpimpin sekaligus untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah
sebagai berikut :
1) Devaluasi.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai
penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp 1.000,00 dan Rp
500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Mata uang pecahan Rp 100,00 ke bawah tidak
didevaluasi. Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi,
dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, serta agar dapat
meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Selain itu dibelakukannya pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang melebihi
jumlah Rp 25.000,00. Namun, tindakan itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi,
sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi
Ekonomi yang ternyata tidak berhasil juga. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)
untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan
pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.

2) Pembentukan Front Nasional.


Front Nasional dibentuk berdasarkan Penetapan Presiden No.13 Tahun 1959. Front Nasional merupakan sebuah
organisasi massa yang memperjuangkan cita-cita proklamasi dan cita-cita yang terkandung dalam UUD 1945.
Tujuannya adalah menyatukan segala bentuk potensi nasional menjadi kekuatan untuk menyukseskan
pembangunan. Front Nasional dipimpin oleh Presiden Sukarno sendiri. Tugas front nasional adalah sebagai berikut :
Menyelesaikan Revolusi Nasional, melaksanakan pembangunan, dan mengembalikan Irian Barat.
3) Pembentukan Kabinet Kerja.
Tanggal 9 Juli 1959, presiden membentuk kabinet Kerja. Sebagai wakil presiden diangkatlah Ir. Juanda. Hingga
tahun 1964 Kabinet Kerja mengalami tiga kali perombakan (reshuffle). Program kabinet ini adalah sebagai berikut,
mencukupi kebutuhan sandang pangan, menciptakan keamanan negara, dan berjuang mengembalikan Irian Barat.
4) Pembentukan Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas).
Untuk melaksanakan pembangunan ekonomi di bawah Kabinet Karya maka dibentuklah Dewan Perancang Nasional
(Depernas) pada tanggal 15 Agustus 1959 dipimpin oleh Moh. Yamin dengan anggota berjumlah 50 orang. Tugas
Depernas : Mempersiapkan rancangan Undang-undang Pembangunan Nasional yang berencana dan Menilai
Penyelenggaraan Pembangunan. Hasil yang dicapai, dalam waktu 1 tahun Depernas berhasil menyusun Rancangan
Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Sementara Berencana tahapan tahun 1961-1969 yang disetujui oleh
MPRS.
Mengenai masalah pembangunan terutama mengenai perencanaan dan pembangunan proyek besar dalam bidang
industri dan prasarana tidak dapat berjalan dengan lancar sesuai harapan. 1963 Dewan Perancang Nasional
(Depernas) diganti dengan nama Badan Perancang Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dipimpin oleh Presiden
Sukarno. Tugas Bappenas adalah menyusun rencana jangka panjang dan rencana tahuanan, baik nasional maupun
daerah, mengawasi dan menilai pelaksanaan pembangunan, menyiapkan serta menilai hasil kerja mandataris
untuk MPRS.

5) Deklarasi Ekonomi (Dekon)


Latar belakang dikeluarkan Deklarasi Ekonomi adalah karena berbagai peraturan dikeluarkan pemerintah
untuk merangsang ekspor (export drive) mengalami kegagalan, misalnya Sistem Bukti Ekspor (SBE).
Sulitnya memperoleh bantuan modal dan tenaga dari luar negeri sehingga pembangunan yang
direncanakan guna meningkatkan taraf hidup rakyat tidak dapat terlaksana dengan baik. Sehingga pada
tanggal 28 Maret 1963 dikeluarkan landasan baru guna perbaikan ekonomi secara menyeluruh yaitu
Deklarasi Ekonomi (DEKON) dengan 14 peraturan pokoknya.
Dekon dinyatakan sebagai strategi dasar ekonomi Terpimpin Indonesia yang menjadi bagian dari strategi
umum revolusi Indonesia. Strategi Dekon adalah mensukseskan Pembangunan Sementara Berencana 8
tahun yang polanya telah diserahkan oleh Bappenas tanggal 13 Agustus 1960. Pemerintah Indonesia
menyatakan bahwa sistem ekonomi Indonesia adalah Berdikari yaitu berdiri diatas kaki sendiri. Tujuan
utama dibentuk Dekon adalah untuk menciptakan ekonomi yang bersifat nasional, demokratis, dan bebas
dari sisa-sisa imperialisme untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin.
Dalam tahap pelaksanaannya, peraturan tersebut tidak mampu mengatasi kesulitan ekonomi dan
masalah inflasi, Dekon mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia, kesulitan-kesulitan
ekonomi semakin mencolok, tampak dengan adanya kenaikan harga barang mencapai 400 % pada tahun
1961-1962, mengakibatkan beban hidup rakyat semakin berat.
Kegagalan Peraturan Pemerintah disebabkan karena tidak terwujudnya pinjaman dari International
Monetary Fund (IMF) sebesar US$ 400 juta, adanya masalah ekonomi yang muncul karena pemutusan
hubungan dengan Singapura dan Malaysia dalam rangka Dwikora, politik konfrontasi dengan Malaysia
dan negara barat semakin memperparah kemerosotan ekonomi Indonesia.

6) Kenaikan laju inflasi


Latar Belakang meningkatnya laju inflasi yaitu penghasilan negara berupa devisa dan penghasilan lainnya
mengalami kemerosotan, nilai mata uang rupiah mengalami kemerosotan, anggaran belanja mengalami defisit
yang semakin besar, pinjaman luar negeri tidak mampu mengatasi masalah yang ada, upaya likuidasi semua
sektor pemerintah maupun swasta guna penghematan dan pengawasan terhadap pelaksanaan anggaran
belanja tidak berhasil, penertiban administrasi dan manajemen perusahaan guna mencapai keseimbangan
keuangan tak memberikan banyak pengaruh, penyaluran kredit baru pada usaha-usaha yang dianggap penting
bagi kesejahteraan rakyat dan pembangunan mengalami kegagalan.
Kegagalan-kegagalan tersebut disebabkan karena pemerintah tidak mempunyai kemauan politik untuk menahan
diri dalam melakukan pengeluaran, diperparah dengan tindakan pemerintah yang menyelenggarakan proyekproyek mercusuar seperti GANEFO (Games of the New Emerging Forces ) dan CONEFO (Conference of the New
Emerging Forces) yang memaksa pemerintah untuk memperbesar pengeluarannya pada setiap tahunnya.
Dampak yang ditimbulkan yaitu inflasi semakin bertambah tinggi, harga-harga semakin bertambah tinggi,
kehidupan masyarakat semakin terjepit, Indonesia pada tahun 1961 secara terus menerus harus membiayai
kekurangan neraca pembayaran dari cadangan emas dan devisa, ekspor semakin buruk dan pembatasan Impor
karena lemahnya devisa, pada tahun 1965 cadangan emas dan devisa telah habis bahkan menunjukkan saldo
negatif sebesar US$ 3 juta sebagai dampak politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara barat.
Kebijakan pemerintah dalam keadaan defisit negara yang semakin meningkat ini diakhiri pemerintah dengan
pencetakan uang baru tanpa perhitungan matang. Sehingga menambah berat angka inflasi. Dampaknya dari
kebijakan pemerintah tersebut, uang rupiah baru yang seharusnya bernilai 1000 kali lipat uang rupiah lama akan
tetapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai sekitar 10 kali lipat lebih tinggi dari uang rupiah baru, dan
tindakan moneter pemerintah untuk menekan angka inflasi malahan menyebabkan meningkatnya angka inflasi.

7) Meningkatkan Perdagangan dan Perkreditan Luar Negeri.


Pemerintah membangkitkan ekonomi agraris atau pertanian, sebab kurang lebih 80% penduduk Indonesia hidup dari
bidang pertanian. Hasil pertanian tersebut diekspor untuk memperoleh devisa yang selanjutnya digunakan untuk
mengimpor berbagai bahan baku/ barang konsumsi yang belum dihasilkan di Indonesia.
Jika Indonesia tidak mampu memperoleh keuntungan maka akan mencari bantuan berupa kredit luar negeri guna
memenuhi biaya import dan memenuhi kebutuhan masyarakat di dalam negeri. Sehingga Indonesia mampu
memeprbesar komoditi ekspor, dari eksport tersebut maka akan digunakan untuk membayar utang luar negeri dan
untuk kepentingan dalam negeri. Dengan bantuan kredit tersebut membuka jalan bagi perdagangan dari negara yang
memberikan pinjaman kepada Indonesia.
8) Pembentukan Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan Kesatuan Operasi (KESOP)
Dikeluarkan peraturan tanggal 17 April 1964 mengenai adanya Komando Tertinggi Operasi Ekonomi (KOTOE) dan
Kesatuan Operasi (KESOP) dalam usaha perdagangan.
Selain itu diadakannya peleburan bank-bank Negara. Presiden berusaha mempersatukan semua bank negara ke
dalam satu bank sentral sehingga didirikan Bank Tunggal Milik Negara berdasarkan Penpres No. 7 tahun 1965. Tugas
bank tersebut adalah sebagai bank sirkulasi, bank sentral, dan bank umum. Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka
dilakukan peleburan bank-bank negara seperti Bank Koperasi dan Nelayan (BKTN), Bank Umum Negara, Bank
Tabungan Negara, Bank Negara Indonesia ke dalam Bank Indonesia. Dibentuklah Bank Negara Indonesia yang terbagi
dalam beberapa unit dengan tugas dan pekerjaan masing-masing. Tindakan itu menimbulkan spekulasi dan
penyelewengan dalam penggunaan uang negara sebab tidak ada lembaga pengawas.
Kegagalan pemerintah dalam menanggung masalah ekonomi, disebabkan karena semua kegiatan ekonomi terpusat
sehingga kegitan ekonomi mengalami penurunan yang disertai dengan infasi, masalah ekonomi tidak diatasi
berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi, tetapi diatasi dengan cara-cara politis, kemenangan politik diutamakan
sedangkan kehidupan ekonomi diabaikan (politik dikedepankan tanpa memperhatikan ekonomi). Peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah sering bertentangana antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Tidak ada
ukuran yang objektif untuk menilai suatu usaha atau hasil dari suatu usaha. Terjadinya berbagai bentuk
penyelewengan dan salah urus. Kebangkrutan tidak dapat dikendalikan, masyarakat mengalami kesulitan hidup,
kemiskinan, dan angka kriminalitas yang meningkat.

9) Konfrontasi Ekonomi dalam rangka perjuangan pembebasan Irian Barat


Konfrontasi ekonomi dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap aset-aset dan
kepentingan-kepentingan ekonomi Belanda di Indonesia. Konfrontasi ekonomi tersebut
sebagai berikut :
A) Tahun 1956 secara sepihak Indonesia membatalkan hasil KMB, diumumkan
pembatalan utang-utang RI kepada Belanda.
B) Selama tahun 1957 dilakukan pemogokan buruh di perusahaan-perusahaan Belanda,
melarang terbitan-terbitan dan film berbahasa Belanda, dan melarang penerbangan
kapal-kapal Belanda, serta memboikot kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.
C) Selama tahun 1958-1959 dilakukan nasionalisasi terhadap 700 perusahaanperusahaan Belanda di Indonesia, dan mengalihkan pusat pemasaran komoditi RI dan
Rotterdam (Belanda) ke Bremen, Jerman.

Terimakasih atas
perhatiannya
Progresif kiri

Anda mungkin juga menyukai