ALFIE FITRAHADI K
GHEANTY SELYAWATI
IRSA SALSABILA
MIFTAH SAEPUL MILAH
M. SULTAN HIZBULLOH
SEPTIAN HELMI
ZEHAN AGUSTIA A
Boedi Oetomo, organisasinya kaum priayi itu, menganggap kapitalisme sebagai sebuah
tanaman dari negeri asing yang tidak sesuai dengan iklim Indonesia. Sementara Tjokroaminoto,
pimpinan dari Sarekat Islam, menggunakan istilah kapitalisme yang murtad.
Bung Hatta sendiri sangat menentang ekonomi liberal. Ia bilang, membiarkan perekonomian
berjalan menurut apa yang dikatakan permainanmerdeka(bebas) dari tenaga-tenaga
masyarakat berarti membiarkan yang lemah menjadi makanan empuk dari yang kuat.
Menurut Bung Hatta, ekonomi liberal meletakkan nasib rakyat di tangan orang-seorang (individu
kapitalis) yang menjadi juru-mudi dalam segala tindakan ekonomi. Akibatnya, ekonomi liberal
hanya membawa kemerdekaan dan kemakmuran bagi satu golongan kecil saja, yakni kaum
kapitalis. Kepentingan Orang-seorang didahulukan dari masyarakat, kata Bung Hatta.
Persaingan bebas bisa saja bermanfaat, kata Bung Hatta, asalkan kalau semua subjek ekonomi
punya kedudukan dan kemampuan yang sama, sama-sama cerdik, dan sama-sama punya
kepandaian.
Tetapi faktanya, di dalam masyarakat kapitalis, masyarakat terbelah dalam kelas-kelas: antara
pemilik alat produksi dan mereka yang tidak punya akses terhadap alat produksi. Mereka yang
menguasai alat produksi mengontrol segalanya: dari produksi material untuk pemenuhan
kebutuhan manusia hingga produksi gagasan. Sementara yang tidak punya akses terhadap alat
produksi dipaksa menjual tenaga kerja untuk bisa mendapatkan upah agar tetap bertahan hidup.
Begitu juga dalam konteks bangsa. Bangsa-bangsa di dunia, yang dipicu oleh kapitalisme dan
nafsunya mengakumulasi keuntungan, terbelah antara bangsa penindas (penjajah) dan bangsa
tertindas (terjajah dan semi-jajahan). Akibatnya, dalam konteks perekonomian global, selalu
terjadi ketimpangan dan ketidakadilan yang diterima oleh bangsa-bangsa tertindas.
Bung Hatta sendiri menyaksikan kegagalan dari kapitalisme liberal. Pada akhir tahun 1920-an, kapitalisme
global dihantam krisis. Orang-orang kala itu menyebutnya krisis malaise; di Hindia Belanda, nama krisis
ini diplesetkan menjadi zaman meleset. Bagi Bung Hatta, krisis malaise telah mengubur kapitalisme
liberal.
Ekonomi terpimpin menghendaki adanya campur tangan kekuasaan publik, yakni negara, secara
sistematis dalam mengatur penghidupan ekonomi agar mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat. Apabila
ekonomi kapitalistik didorong oleh nafsu mengakumulasi keuntungan sebesar-besarnya bagi si kapitalis,
maka ekonomi terpimpin memperjuangkan pemenuhan kebutuhan rakyat sebesar-besarnya.
Konsep ekonomi terpimpin sendiri sangat beragam, tergantung dari spektrum ideologi di belakangnya,
seperti sosialisme, komunisme, sosial-demokrasi, solidarisme (Kristen Demokrat), ekonomi kesejahteraan
(welfare economics), Keynesian, dan lain-lain.
Namun demikian, kata Bung Hatta, kendati muncul beragam berdasarkan basis ideologi masing-masing,
konsep ekonomi terpimpin punya dua nilai umum:pertama, penolakan terhadap individualisme;
dankedua, memberikan tempat teristimewa kepada pemerintah untuk mengatur dan memimpin dalam
perekonomian.
Bung Hatta juga membeberkan beberapa tujuan prinsipil dari penyelenggaraan ekonomi terpimpin, yaitu:
1) menciptakan kesempatan kerja penuh (full employment), sehingga rakyat terbebaskan dari
pengangguran; 2) standar hidup yang lebih baik; 3) mengurangi ketimpangan ekonomi; dan 4) keadilan
sosial.
Namun demikian, kendati Bung Hatta menyokong ekonomi terpimpin, ia tidak setuju dengan model
ekonomi komunis. Menurutnya, komunisme terlalu pure collectivism atau kolektivisme murni. Alhasil,
komunisme tidak memberi tempat kepada kepemilikan pribadi.
Tidak hanya itu, kata Hatta, komunisme menyerahkan seluruh keputusan dan rencana ekonomi secara
terpusat di pimpinan tertinggi. Model ekonomi komunistik juga mematikan inisiatif pribadi. Rakyat tidak
lagiberekonomi, melainkan mengerjakan ekonomi menurut perintah dan disiplin, jelas Hatta.
Namun, Hata mengakui, model ekonomi komunistik, yakni sistim ekonomi berencana, lebih
kebal terhadap krisis. Penyebabnya, dalam sistim ekonomi berencana, proses produksi
disesuaikan dengan tingkat kebutuhan atau konsumsi rakyat. Jadinya, sistim ekonomi berencana
tidak mengenal krisis over produksi. Selain itu, karena disusun berdasarkan perencanaan yang
matang dan sistematis, pemanfaatan sumber daya juga bisa efektif dan tidak boros.
Bagi Hatta, konsep ekonomi terpimpin tetap harus bekerja di bawah logika ekonomi: mengejar
hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga yang sekecil-kecilnya. Karena itulah ekonomi
terpimpin ala Hatta juga berbicara mengenai efisiensi dan efektifitas. Produksi harus dijalankan
dengan se-efisien mungkin tanpa menghisap kaum buruh. Penggunaan kapital harus efektif dan
terencana. Pembelian dan penggunaan barang/bahan baku harus secara rasional.
Dalam konteks pengelolaan perusahaan negara, Bung Hatta mengusung profesionalisme, yakni
menyerahkan manajemen kepada orang-orang yang ahli atau terampil. Selain itu, usaha swasta
juga masih diberikan tempat, asalkan tunduk pada arahan pemerintah dan kepentingan umum.
Nah, dalam konteks Indonesia, para pendiri bangsa kita sebetulnya sangat tegas memihak
konsep ekonomi terpimpin. Ini sangat nyata dalam pasal 33 UUD 1945. Kalimat dari ayat (1)
pasal 33 UUD 1945 tegas menggariskan itu: perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas azas kekeluargaan. Kata disusun menjelaskan bahwa sistem perekonomian
yang dikehendaki kostitusi adalah sistim perekonomian yang teratur atau terencana.
Kalau kita lihat, ada beberapa prinsip ekonomi terpimpin yang diadopsi oleh pasal 33 UUD 1945,
yakni: 1) penentangan terhadap individualisme dan kapitalisme; 2) pemberian peran kepada
negara yang cukup besar dalam mengatur dan memimpin jalannya perekonomian; 3) pemilikan
sosial terhadap alat produksi; dan 4) prioritas produksi mengutamakan pemenuhan kebutuhan
dan kesejahteraan rakyat.
Langkah yang ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi pada saat
masa demokrasi terpimpin sekaligus untuk menunjang pembangunan ekonomi adalah
sebagai berikut :
1) Devaluasi.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 pemerintah mengumumkan keputusannya mengenai
penuruan nilai uang (devaluasi), yaitu pendevaluasian mata uang Rp 1.000,00 dan Rp
500,00 menjadi Rp 100,00 dan Rp 50,00. Mata uang pecahan Rp 100,00 ke bawah tidak
didevaluasi. Tujuan dilakukan Devaluasi yaitu guna membendung inflasi yang tetap tinggi,
dan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat, serta agar dapat
meningkatkan nilai rupiah sehingga rakyat kecil tidak dirugikan.
Selain itu dibelakukannya pembekuan terhadap semua simpanan di bank yang melebihi
jumlah Rp 25.000,00. Namun, tindakan itu tidak dapat mengatasi kemunduran ekonomi,
sehingga pada tanggal 28 Maret 1963 Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi
Ekonomi yang ternyata tidak berhasil juga. Pembentukan Deklarasi Ekonomi (Dekon)
untuk mencapai tahap ekonomi sosialis Indonesia dengan cara terpimpin. Dalam
pelaksanaannya justru mengakibatkan stagnasi bagi perekonomian Indonesia. Bahkan
pada 1961-1962 harga barang-barang naik 400%.
Devaluasi juga dilakukan pada 13 Desember 1965 menjadikan uang senilai Rp 1000
menjadi Rp 1. Sehingga uang rupiah baru mestinya dihargai 1000 kali lipat uang rupiah
lama, tapi di masyarakat uang rupiah baru hanya dihargai 10 kali lipat lebih tinggi. Maka
tindakan pemerintah untuk menekan angka inflasi ini malah meningkatkan angka inflasi.
Terimakasih atas
perhatiannya
Progresif kiri