i
ABSTRAKSI
Kesultanan Ternate pada abad ke-16-17 M, merupakan sebuah kesultanan
yang memperoleh kejayaan dari perdagangan rempah-rempah. Letaknya yang
menjorok ke arah lautan, memudahkan datangnya pedagang baik dari dalam
maupun dari luar Kesultanan Ternate untuk berlabuh dan mengadakan hubungan
dagang. Sumber daya alam berupa cengkeh dan pala merupakan komoditi yang
diperdagangkan ketika itu, rempah-rempah tersebut hanya terdapat di Maluku.
Kejayaan Kesultanan Ternate tidak terlepas dari perdagangan rempahrempah yang membawa keuntungan besar. Karena kebutuhan pasar akan rempahrempah pada saat itu sangat besar, menjadikan harga rempah-rempah menjadi
sangat mahal, maka tak mengherankan jika para pedagang bangsa asing saling
berburu untuk mendapatkan rempah-rempah secara langsung dari produsennya.
Oleh karena itu, tak mengherankan jika rempah-rempah telah membawa
Kesultanan Ternate dalam percaturan politik dan ekonomi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Kesultanan Ternate sebagai
bandar niaga di Kepulauan Timur Nusantara. Melalui sumber-sumber tertulis
yang didapat telah diketahui bahwa kejayaan Kesultanan Ternate amat
dipengaruhi oleh perdagangan.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Alhamdulillah, penulis panjatkan puji serta syukur ke hadirat Ilahi Rabbi,
Dzat Yang Maha Pengatur dan Pemberi Kemudahan, Allah SWT. Akhirnya, jerih
payah dan kesabaran menanti kepastian yang telah digoreskan Sang Penguasa
kehidupan telah terjawabkan, tanpa keridhoan dari-Nya mimpi ini tidak akan
pernah jadi kenyataan. Hanya Dia yang setia menemani ketika jiwa ini dalam
kerapuhan, pikiran, dan hati yang tersesat, kelelahan yang tiada tara, waktu yang
terus merongrong. Demi Dzat Yang Maha Sempurna, penulis tidak akan bisa
bertahan tanpa inayah dan hidayah dari-Nya.
Untaian shalawat dipersembahkan untuk Khatam Al-Nabiyyin, pemimpin
sejati, pembawa pesan cahaya Ilahi, Muhammad saw.
Dalam pengantar skripsi ini, dengan segala kerendahan dan ketulusan hati,
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua tercinta; ayahanda H. Kaman dan ibunda Hj. Naya Safitri.
Terima kasih yang tulus, rasa tadzim dan hormat penulis haturkan atas
kesabaran, nasihat, dan kasih sayang yang tiada pernah berujung. Ini
wujud bangga untuk ayahanda dan ibunda dari ananda, semoga Allah
selalu memberi kebahagiaan di dunia dan akhirat. Amien.
2. Prof. Dr. H. Badri Yatim (alm), Dr. H. Abdul Chair, MA, selaku mantan
Dekan Fakultas Adab dan Humanira, dan Dr. H. Abdul Wahid Hasyim,
M.Ag, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora.
2
dan Persia, yang berusaha mencari wilayah utama penghasil rempah-rempah.3
Sejalan dengan perkembangan tersebut, Kesultanan Ternate mengalami
perkembangan pesat, baik di bidang ekonomi maupun politik, melampaui
kerajaan-kerajaan lain di Maluku; seperti Tidore, Jailolo, dan Bacan.
Tidak dapat disangkal lagi bahwa Ternate merupakan pangkalan penting
dalam jalur perdagangan dan pelayaran antar-bangsa. Lokasinya merupakan
jalur yang menghubungkan antara Jawa dan belahan bumi bagian Timur
Nusantara yang telah melahirkan suatu peninggalan-peninggalan purbakala.
Peninggalan-peninggalan tersebut sebagai bukti masuknya aneka ragam
kebudayaan dan produksi dagang dari berbagai penjuru dunia seperti Arab,
India, Cina, dan Eropa, dengan produksi dagang seperti kain sutra, keramik,
porselin, alat-alat rumah tangga, serta alat persenjataan, dll.
Abad ke-3 SM bangsa kita sudah melakukan hubungan dagang dengan
para pedagang Cina khususnya dalam perdagangan rempah-rempah.
Perdagangan rempah-rempah mulai ramai pada abad ke-7 M, dan bangsa Cina
menyebut daerah penghasil rempah-rempah ini dengan sebutan Mi-li-ku. Dalam
dokumen Spanyol dan Portugis bangsa Cina menamakan Maluku dengan
sebutan Batu Cina de Moro yang artinya (Batu atau kepulauan milik orang
Cina).4
Rempah-rempah khususnya cengkeh merupakan tulang punggung
perekonomian kesultanan Ternate. Cengkeh juga merupakan komoditi eksport
yang sangat dibutuhkan oleh pasar dunia, hal inilah yang menyebabkan Ternate
3 Prof. Dr. Taufik Abdullah, dkk, ed. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara
jilid V (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 51.
4 Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Ternate:T.pn., 1998), h. 18.
3
banyak dikunjungi oleh berbagai suku bangsa, pelaut, dan pedagang yang ingin
mengadakan hubungan dagang yang lebih terbuka. Dengan demikian barangbarang dagangan seperti sutera, porselin, keramik, senjata, dan bahan makanan
yang dibawa oleh para pedagang dari luar Ternate telah membuat Ternate
semakin makmur dan berjaya.
Bangsa Eropa yang pertama menemukan Kepulauan Maluku adalah
Portugis tahun 1512 M. Pada tahun itu dua armada Portugis, masing-masing di
bawah pimpinan, Anthonio dAbreu dan Fransisco Serau, mendarat di pulau
Banda dan Pulau Penyu. Segera mereka menjalin persahabatan dengan
penduduk dan raja-raja setempat, seperti dengan Kerajaan Ternate, sehingga
Portugis diberi izin untuk mendirikan benteng di Pikapoli, Negeri Hitu Lama,
dan Mamala.5
Kehadiran bangsa Portugis dan Spanyol yang semula hanya mengurus
perdagangan rempah-rempah saja, ternyata kemudian menggiatkan pula usaha
penyeberan agama Kristen. Hal ini menimbulkan kegusaran penduduk
khususnya di daerah Maluku Utara yang sejak abad ke-15 M, sudah menjadi
pemeluk agama Islam yang taat. Keadaan ini menyebabkan sering terjadi
benturan dan pertentangan antara Portugis dengan penduduk setempat.
Hubungan yang kurang baik antara Portugis dan Kesultanan Ternate menjadi
semakin meruncing setelah Portugis mulai memaksakan kehendaknya
memonopoli perdagangan rempah-rempah.
5 Kementrian Dalam Negri, Profil Provinsi Republik Idonesia Maluku (Jakarta: Yayasan
Bhakti Wawasan Nusantara, 1992), h. 8.
4
Pada tahun 1530 M persahabatan antara kerajaan Ternate dengan
Portugis berakhir, setelah para pedagang dari benua Eropa merampas hasil
cengkeh milik sultan Hairun yang tewas di benteng6 Santo Paulo, Ternate. Sejak
saat itu hubungan antara Portugis dan Ternate tidak pernah harmonis lagi.
Selain itu usaha Portugis untuk menguasai Ternate yaitu, Gobernador
Gonzales de Pareira (1530-1532 M) membunuh putera mahkota Deyale dengan
meracuni makanan yang akan dimakan pangeran. Begitu juga Pangeran Abdul
Hayat ditawan Portugis. Sultan Tabarija naik tahta (1532-1535 M) dengan tetap
mempertahankan wilayah serta jalur perniagaan tradisional seperti bandar
Ternate Jawa Aceh Malaka. 7 Akibatnya Sultan Tabarija ditawan di Goa
India dan dipaksa menandatangi kesetiaan pada penguasa Iberia, King Alfonso
di Lisabon.
Penggantinya adalah Sultan Khairun Jamil (1535-1570 M)8 dengan
memimpin perang melawan Portugis. Untuk menghancurkan Portugis putera
mahkota Baabullah mengadakan hubungan dengan Sulawesi, Makasar, dan
kepulauan Nusa Tenggara. Selain itu hubungan tradisional dengan Aceh, dan
Demak dilanjutkan lagi. Dalam pertempuran yang hebat Sultan Khairun
dibunuh secara biadab oleh Gobernador Lopez de Mosquito tanggal 27 Februari
1570 M. Sultan Baabullah naik tahta (1570-1583 M) dan kembali memimpin
perang setelah berhasil mengadakan konsolidasi kekuatan. Pada waktu
6 Benteng adalah pusat kegiatan pemerintahan sipil sekaligus merupakan markas militer.
7 RZ. Leirissa, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 59.
8 Terdapat perbedaan tahun pada awal masa kepemimpinan Sultan Khairun Jamil. Abdul
Hamid Hasan menyebut dalam buku Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, awal
kepemimpinan
Sultan Khairun yaitu tahun 1537-1570. Sedangkan, M. Adnan Amal menyebutkan
tahun 15351570, dapat dilihat dalam bukunya Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah
Maluku Utara
1250-1950.
5
sebelumnya perang antara kerajaan dengan Portugis masih bersifat
mempertahankan wilayah kerajaan. Pada masa Sultan Baabullah perang sudah
ditingkatkan dengan perang pengusiran Portugis dari Ternate.9
menjanjikan. Selain itu adalah buku karya Abdul Hamid Hasan yaitu Aroma
Sejarah dan Budaya Tenate.13 Buku ini menjelaskan peranan cengkeh dalam
mengangkat perekonomian bangsa Ternate yang juga sekaligus membawa
Kesultanan Ternate masuk dalam sejarah percaturan ekonomi dan politik
nusantara maupun dunia.
Dari sumber-sumber tersebut lebih menekankan peranan cengkeh yang
telah membawa kejayaan Kesultanan Ternate lalu tanpa disadari juga nanti akan
membawa Kesultanan Ternate menuju kehancuran dikarenakan terjadinya
12 M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara12501950 (Nala Cipta Litera, 2007).
13 Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate (Ternate:T.pn., 1998).
9
konflik perebutan kekuasaan dalam perdagangan rempah-rempah yang tak
kunjung berhenti.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini tersusun dari lima bab di antaranya:
Bab I adalah pendahuluan berisi tentang signifikansi tema yang diangkat
sebagai latar belakang penulisan, pembatasan dan perumusan masalah,
metodologi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kepustakaan,
serta sistematika penulisan.
Bab II, menjelaskan bagaimana kondisi geografis Ternate, sumber daya
alamnya, dan juga iklim yang mempengaruhi kedatangan pedagang-pedagang
dari luar untuk datang ke Ternate.
Bab III, membahas tentang Islamisasi di Ternate hingga terbentuknya
sebuah kesultanan dan bagaimana struktur sosial masyarakat Ternate.
Bab IV, membahas tentang periode di mana Kesultanan Ternate telah
berperan dalam perdagangan Internasional, kedatangan para bangsa asing, serta
melihat hubungan perdagangan Kesultanan Ternate dengan daerah-daerah lain
di Nusantara, hingga pengaruh perdagangan terhadap kondisi politik kesultanan
Ternate, yang mengakibatkan mundurnya perdagangan di Ternate.
Bab V, berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran-saran untuk
penelitian lanjutan.
10
BAB II
TERNATE DALAM LINTASAN SEJARAH
Ternate muncul sekitar abad ke-13 M sekitar tahun 1257 karena
permusyawarahan antara 3 kerajaan14 di wilayah Ternate yang ingin mengakhiri
pertikaian di antara mereka, yang bisa membawa pada kerugian masing-masing
hingga terjadilah kemufakatan dengan terpilihnya Momole Cico sebagai pucuk
pimpinan kerajaan. Setelah menjadi penguasa tunggal atas ketiga komunitas
tersebut, Cico mengubah gelarnya menjadi Kolano.
Wilayah Ternate mulai ramai dikunjungi para pedagang dari Jawa dan
12
sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim.16 Ciri kerajaan maritim
ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam. Sebaliknya kerajaan yang
bercorak agraris dalam kehidupan ekonominya lebih menitik beratkan pada
pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih dititik beratkan pada angkatan
darat. Ciri ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaaan pada zaman Indonesia
Hindu. Namun, tidak semua kerajaan pada zaman Indonesia-Hindu bercorak
agraris, contoh kerajaan Majapahit merupakan kerajaan yang bercorak
campuran agraris-maritim.17
A. Letak Geografis
Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terletak pada lintasan garis
Khatulistiwa dan berada pada 124 Bujur Timur dan 3 Lintang Selatan. Ada
sekitar 353 pulau besar dan kecil baik yang berpenghuni maupun yang belum
berpenghuni di wilayah ini. Pulau terbesarnya dan paling utama adalah
Halmahera, menyusul pulau-pulau penting lainnya seperti Obi, Sula, Morotai,
Bacan, Makian, Ternate, dan Tidore. Luas wilayah Maluku Utara mencapai
32.000 km , sementara kawasan lautnya sebesar 107.381 km . Di sebelah Utara
kawasan ini berbatasan dengan Samudera Pasifik, di sebelah Selatan dengan
Laut Seram, di sebelah Timur dengan Laut Halmahera, dan di sebelah Barat
dengan Laut Maluku. Wilayah kota Ternate terletak antara 0 - 2 Lintang Utara
dan berada pada posisi 126 - 128 Bujur Timur, dengan luas wilayah 249,75
16 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia
(Kudus: Menara Kudus, 2000), h. 46
17 Ibid,
13
km, seluruh wilayah daerah ini dikelilingi laut, dengan batas-batasnya meliputi:
Sebelah Timur dengan Selat Halmahera dan Sebelah Barat dengan Laut
Maluku.18
Wilayah kota Ternate merupakan daerah kepulauan karena wilayahnya
terdiri dari delapan buah pulau, lima pulau berukuran sedang, dan tiga pulau
lainnya berukuran kecil yang hingga sekarang belum dihuni penduduk. Nama
dan luas pulau tersebut serta kategorinya seperti pada uraian berikut:19
1. Pulau Ternate (110,7 km/ dihuni)
2. Pulau Hiri (12,4 km/ dihuni)
3. Pulau Moti (24,6 km/ dihuni)
4. Pulau Mayau (78,4 km/ dihuni)
5. Pulau Tifure (22,1 km/ dihuni)
6. Pulau Maka (0,50 km/ tidak dihuni)
7. Pulau Mano (0,50 km/ tidak dihuni)
8. Pulau Gurida (0,55 km/ tidak dihuni)
Nama Maluku pada awalnya hanya menunjuk kepada sebuah mata rantai
lima pulau kecil yaitu Ternate, Tidore, Morotai, Bacan, dan Makian yang
membentang sepanjang 25 mil2 dan berada hanya 5 mil2 dari pantai pesisir
pulau yang relatif cukup besar yaitu Jailolo (6,950 mil2)20 yang dewasa ini
disebut Halmahera. Letaknya di sebelah Utara Khatulistiwa dan arah ke Selatan
18 M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah perjalanan Sejarah Maluku Utara 12501950, (Nala Cipta Litera: 2007), h. 4.
19 BPS 2002, dalam laporan penelitian Abu Sanmas, Kedudukan dan Fungsi Lembaga
Adat Kesultanan Ternate dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah (Jakarta: LIPI), h. 42-43.
20 Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 289.
14
dari Filipina. Kepulauan kecil ini yang memiliki jumlah daratan tidak kurang
dari 200 mil2 pada zaman dahulu dihuni oleh 25.000 jiwa (dibandingkan dengan
50.000 jiwa dewasa ini). Pemegang peranan di kepulauan ini adalah pulau
kembar Ternate dan Tidore yang masing-masing luasnya sekitar 40 mil2. Kedua
pulau tersebut merupakan gunung berapi yang menyembul dari dasar laut
sampai ketinggian lebih dari satu mil di atas permukaan laut.
Secara alamiah kedua pulau ini pada awalnya merupakan sumber
penghasil cengkeh dunia. Pulau-pulau ini merupakan kedudukan dari para kaicil
(yaitu pemimpin-pemimpin tertinggi atau raja-raja kecil) yang menguasai
kawasan yang membentang ke Barat sampai ke Sulawesi, Mindanao di Utara,
Papua di Timur, Seram, serta Ambon di Selatan.
B. Sumber Daya Alam
Maluku sebagai daerah yang mendapat julukan emas hijau
mempunyai hasil utama dalam bidang pertanian yaitu jagung, sagu, dan padi.
Hasil utama perkebunan berupa kelapa, pala, cengkeh, dan kopi, dalam bidang
kehutanan yaitu kayu putih. Hasil utama perikanan berupa ikan laut, rumput
laut, dan mutiara. Dalam bidang industri antara lain; minyak pala, minyak
kelapa, kayu lapis, dan kayu olahan; bidang pertambangan; minyak bumi,
mangaan, batu perhiasan, dan lain-lain.
15
Julukan emas hijau ini karena komoditi berupa rempah-rempah,
seperti tulisan Tom Pires dalam bukunya The Suma Oriental of Tom Pires,21
yang menjelaskan bahwa cengkeh, pala dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di
Indonesia bagian Timur dan terdapat dalam jumlah besar, oleh karena itu
cengkeh dapat diupayakan menjadi barang ekspor guna memenuhi kebutuhan
yang selalu berubah, terutama di pasaran Eropa.
Orang-orang Maluku memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu
penyedap masakan dan untuk pengobatan. Ketika Francis Drake mengunjungi
Ternate, ia dijamu Sultan Baabullah dengan berbagai jenis masakan yang
semuanya diramu dengan aroma cengkeh. Orang-orang Cina, pada zaman
dahulu, menggunakan cengkeh untuk pengobatan dan stimulasi selera makan.
Bahkan, mereka percaya bahwa cengkeh dapat meningkatkan kemampuan
seksual manusia.
Pada zaman pemerintahan dinasti Han di Cina, cengkeh digunakan para
19
politik. Hal ini erat kaitannya dengan peranan Ternate sebagai bandar jalur
sutera. Munculnya Ternate sebagai bandar jalur sutera berkaitan erat dengan
interaksi jalur dagang darat maupun jalur dagang laut.
Di Ternate terdapat Pelabuhan Samudera Ahmad Yani dan Bandar
Udara Babullah. Kota Ternate sendiri berlokasi di pesisir Timur pulau
Ternate menghadap pulau Halmahera, posisi ini sangat potensial28. Kedudukan
yang demikian ini menyebabkan kota Ternate memiliki peranan yang sangat
penting dalam ekonomi perdagangan lintas Halmahera. Selain itu, letak pulau
Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi Sulawesi Utara.
Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga, sebuah
persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini
berkembang dalam jalur perdagangan di daerah Maluku Utara.
Rempah-rempah dari Maluku menemukan pasar yang makin meluas,
karena dibawa dalam jumlah besar ke Eropa lewat Mesir dan Venesia. Karena
Maluku hampir merupakan satu-satunya produsen rempah-rempah, maka segera
menjadi tempat yang penting secara politik.
Kedatangan Portugis ke Maluku mulai berupaya memonopoli
perdagangan rempah-rempah. Namun, menurut Howard Federspiel, usaha
Portugis tidak terlalu berhasil, akibat tidak mampu menggantikan sistem
perdagangan yang telah ada.29 Lebih lanjut, Des Alwi menjelaskan, bahwa
perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh Portugis di Maluku tidak lain
semacam sistem barter yang sangat memberi keuntungan besar kepada Portugis
28 RZ. Leirissa, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, h. 80.
29 Howard M. Federspiel, Sultans, shamans, and saints : Islam and Muslims in Southeast
Asia, (USA : University of Hawaii Press, 2007), h.23.
20
sedangkan Maluku menerima keuntungan yang sangat kecil saja.
Membandingkan dengan harga dewasa ini maka volume dan nilai perdagangan
Portugis di Maluku dapat diperkirakan kira-kira pemasukan dan pengeluaran
per tahun hanya sekitar 3.000 ton senilai 2 sampai 3 juta dollar AS. Tetapi 2-3
juta dollar pada abad ke-16 M setara dengan 20-30 juta dollar AS atau bahkan
50-100 juta dollar AS sekarang. Pada jalur Ternate-Lisabon, Portugis berhasil
memuat sekitar setengah juta pound setiap tahun dan seperempat juta pound
pala dan fuli dengan nilai total yang dilaporkan sebesar sekitar 2 juta dollar AS
di pasaran Eropa.30 Keuntungan sepihak inilah yang mengindikasikan Portugis
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dan Ternate tidak
mengalami sukses secara signifikan.
Di Eropa, selama abad Pertengahan, rempah-rempah ini dijual dengan
harga sangat mahal, tapi harga itu sangat sedikit, karena masalah biaya produksi
atau jumlah yang tersedia. Pembudidayaan cengkeh hanya membutuhkan
sedikit kerja, dan pohon itu terus berproduksi selama tigaperempat abad, yang
sangat cukup menutupi ongkos selama periode lama pertumbuhan sebelum
mulai berbunga hampir 12 tahun. Yang membuat biayanya begitu mahal ialah
biaya transportasi, serta resiko tinggi perjalanan panjang di laut. Penduduk
kepulauan Maluku tidak banyak beruntung dari perdagangan itu dibandingkan
pedagang-pedagang Jawa, Gujarat, dan Cina.31
30Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 318-319.
31 Ibid, h.100.
21
Kepulauan rempah-rempah sudah menjadi legenda di Eropa sebagai
sumber kekayaan terbesar di kawasan Timur. Cengkeh dan pala adalah
produknya. Cengkeh, kuncup bunga yang dikeringkan dari pohon cengkeh.
Dengan perkembangan perdagangan cengkeh yang menyebabkan
perluasan perkebunan cengkeh dan menurunnya produksi bahan pangan, maka
bahan makanan harus didatangkan dari luar, terutama dibawa oleh orang Jawa
dan Melayu. Orang Cina pun mula-mula berlayar sampai ke Maluku, akan
tetapi sesudah abad ke-14 M mereka tidak lagi berhubungan langsung dengan
Maluku, mungkin karena tidak bisa menghadapi saingan berat dari pedagang
Jawa dan Melayu. Yang jelas ialah bahwa pedagang Cina memperoleh rempahrempah Maluku dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Keadaan ini mungkin
berubah pada abad ke-16 M. Sebab ketika orang Belanda khususnya VOC tiba
di Maluku (awal abad ke-17 M)32 mereka bertemu dengan banyak orang Cina
yang memainkan peranan penting di Maluku sebagai juru bahasa dan penilai
rempah-rempah. Mereka ini mungkin datang dari kepulauan Filipina (bersama
orang Spanyol).
Sekitar tahun 1630 M, Belanda telah mencapai banyak kemajuan dalam
meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni perdagangan atas
perniagaan laut di Indonesia. Mereka berkuasa di Ambon, di pusat kepulauan
penghasil rempah-rempah, dan mendirikan markas besar di Batavia yang
terletak di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1641 M, Malaka Portugis jatuh
ke tangan VOC, dan pada tahun 1648 M, Perang Delapan Puluh Tahun di Eropa
32 Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Pra Sejarah Hingga
17 Agustus 1945 (Jakarta: PUSPINDO, 1990), h. 45.
22
berakhir, mengakhiri permusuhan antara Belanda dan Spanyol. Akan tetapi,
pada pertengahan abad XVII, menjadi jelas bawa hegemoni VOC tidak dapat
ditegakkan hanya dengan perjanjian-perjanjian perdamaian, pembangunan
benteng-benteng, dan dipertahankannya keunggulan angkatan lautnya.
Kekuasaan-kekuasaan di Indonesia, baik yang besar maupun yang kecil, masih
tetap dapat megacaukan rencana-rencana VOC. Oleh karena itu, VOC harus
melakukan suatu kebijakan militer yang bahkan lebih agresif, dengan campur
tangan secara langsung dalam urusan dalam negeri beberapa negara di
Indonesia. Dengan demikian, diletakanlah dasar-dasar bagi apa yang disebut
sebagai imperium Belanda di Indonesia.33
33M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2008), h. 135.
23
BAB III
KESULTANAN TERNATE
A. Berdirinya Kesultanan Ternate
Di seluruh wilayah Nusantara, pada masa lampau banyak terdapat
kerajaan-kerajaan yang secara historis kelahirannya berbeda antara kerajaan
yang satu dengan kerajaan yang lainnya.
Sejarah Maluku sebelum kedatangan Portugis adalah sejarah yang
diterka atau rekaan saja, karena memang tidak ada catatan sejarah dan
peninggalan-peninggalan arkeologis penting. Bahkan Maluku juga sama sekali
tidak mendekati kepada arus civilisasi yang maju sampai masa mulai
menyebarnya Islam pada abad ke-15 M. Sebelum masa itu para imigran dari
daerah Melayu telah datang dan menetap di pulau-pulau di sepanjang pesisir
yang sampai hari ini masih bisa kita temukan.34
Berdirinya kesultanan Ternate tidak dapat dilepaskan pada awal sejarah
terbentuknya Kerajaan Ternate atau yang disebut awal masa pra-kolano (raja).
Awal berdirinya kerajaan Ternate berkaitan dengan beberapa sumber mitos dan
legenda.
Menurut Des Alwi35 yang bersumber dari naskah tua Ternate, pada
awalnya Ternate diduduki oleh pelarian-pelarian yang telah menentang
kekuasaan penguasa lalim dari Jailolo. Profil pemimpin Ternate pertama yang
cukup berpengaruh adalah seorang yang bernama Guna seorang kepala Desa
34 Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 294.
35 Ibid, h. 296.
24
Tobona yang bertempat tinggal di ketinggian lereng kepundan Merapi. Ketika
pada suatu hari ia sedang berkelana mencari kelapa untuk melegakkan
tenggorokan dengan airnya, kaki Guna tersentuh sebongkah batu yang
kemudian ternyata terbuat dari emas murni. Harta ini yang pada awalnya
dianggap bekas milik jin yang dianggap bisa membuat pemiliknya mendapatkan
kekuatan magis yang pada zaman dahulu dianggap sebagai kelengkapankelengkapan yang dimiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu Guna dan para
pengikutnya dianggap sebagai penguasa-penguasa seluruh pulau Ternate.
Menurut Abu Sanmas36 dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa
Kerajaan Ternate bermula dari beberapa Momole di antaranya; Momole Guna
yang berkedudukan di Tobona yang menemukan benda berupa bongkahan
emas, tetapi karena terjadi huru-hara yang menyertai keberadaan benda tersebut,
lalu beliau menyerahkan kepada Momole Matiti yang berkedudukan di
Foramadiyahi, namun Momole Matiti juga tak sanggup menahan benda yang
dianggap mempunyai kekuatan magis, maka diserahkan kepada, Momole Cico
mendapat ajaran agama tersebut dari madrasah Giri di Jawa48. Dalam kunjungan
ke pusat Islam ini, Sultan Ternate bertemu dengan kepala daerah Hitu dari
Ambon. Antara keduanya diadakan persetujuan mengenai persekutuan.
Masuknya pengaruh agama Islam pada abad ke-15 M (masa Kolano
Marhum 1468) mempengaruhi juga pertumbuhan dan perkembangan dalam
bidang politik dan pemerintahan. Kepemimpinan dalam bentuk Kolano Ternate
menjadi Kesultanan Ternate dan Zainal Abidin diangkat sebagai Sultan
pertama.
Menurut pengetahuan umum bahwa masuknya Islam di Ternate dalam
tiga periode, yaitu periode awal, periode pertengahan dan periode diterimanya
Islam oleh Kesultanan.49
1. Periode Awal
Periode ini dimulai pada masa perdagangan orang-orang Arab ke daerah
ini untuk membeli rempah-rempah, berupa cengkeh, pala, dan fuli, lalu dibawa
ke Eropa. Periode ini berlangsung pada pertengahan abad VII Masehi.
Masuknya orang-orang Arab ke daerah ini paling tidak memberi pengaruh
terhadap masyarakatnya, terjadinya interaksi antara dua orang atau lebih, akan
memberi peluang untuk memberi pengaruh antara satu dengan yang lainnya.
2. Periode Pertengahan
Periode ini dimulai pada abad XII, pada periode ini penyiaran Islam
telah disampaikan kepada penduduk, bahkan telah memasuki kawasan kerajaan,
48 Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 60.
49 Abd. Rahman I. Marasabessy, Masuknya Agama Islam di Ternate dalam Pandangan
Tokoh-tokoh di Ternate (Sebuah Telaah Pemurnian Islam di Ternate) dalam Ed, G.A.
Ohorella,
Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutera (Jakarta: CV. Putra Sejati Raya, 1997), h. 83-89.
32
baik Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Bahkan masyarakat pada umumnya.
Periode ini ditandai dengan munculnya nama-nama raja yang sudah dipengaruhi
nama-nama Arab, dan diduga keras adalah pengaruh ajaran Islam, seperti
Mashur Malamo (1257-1272) yang nama aslinya adalah Cico untuk kerajaan
Ternate, lalu Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331). Dari nama-nama raja yang
telah dikemukakan, jelas bahwa telah ada pengaruh langsung dari bangsa Arab
yang masuk ke daerah ini, terhadap para raja dari kerajaan-kerajaan yang ada di
daerah ini.
3. Periode Penerimaan Islam oleh Kesultanan
Sultan Zainal Abidin adalah penguasa Ternate yang ke-19, yang juga
merupakan orang pertama di Ternate yang memakai gelar Sultan. Ini
dikarenakan beliau sudah belajar ajaran Islam sedari kecil dan memperoleh
didikan formal dari Maula Husein, hingga ia belajar di sekolah tinggi Islam
Gresik di bawah pimpinan Sunan Giri, inilah yang disebut dengan penerimaan
Islam oleh Kesultanan. Dari hasil belajar Islam beberapa bulan di Giri, Zainal
Abidin berhasil membangun persahabatan dengan orang-orang yang
peradilan sipil dan kejahatan beserta memakai lencana kerajaan. Para sengaji itu
memelihara perbatasan-perbatasan dan tanda-tanda bagi pertanahan, di seluruh
wilayahnya, kekuasaannya, tempat-tempat, desa-desa, dan kota-kota yang
dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut soa-soa (kampung-kampung).
Jumlah penduduk dikatakan yang terbesar daerah itu mempunyai penduduk
tidak sampai 2.000 orang. Penduduk itu kebanyakan menempati sepanjang
pesisir atau sepanjang alur-alurnya, dengan rumah-rumahnya di atas tiang-tiang
disertai tangga yang diambil pada malam hari.
Setelah Islam masuk, seorang Sultan dibantu oleh para Imam (pemimpin
dalam agama Islam, pembantu sultan dalam bidang agama Islam), pada masa ini
kedudukan para Imam menjadi sangat penting. Mereka juga sering dipilih
menjadi anggota Soasiwa (Soa: kampung, siwa: sembilan atau dalam
pengertiannya 9 sengaji).53 Tidak jarang mereka turut menentukkan nasib
kesultanan sekaligus ikut berperan dalam perang melawan para bangsa asing,
52 Ibid, h. 48.
53R.Z. Leirissa, Sultan Ternate Emir el Mukminin Hamzah Nasarun Minallahi Shah
(Sultan Hamzah 1627-1648) dan Politiknya di Kerajaan Ternate antara Tahun
1628-1643
Berdasarkan Dokumen VOC yang telah diterbitkan, (Skripsi Sarjana Fakultas Sastra,
Universitas
Indonesia, 1965), h. 3.
35
selain sebagai penetap hukum keagamaan karena merekalah yang paling
mengerti hukum-hukum agama.
Di Ternate, Raja adalah kunci utama perdagangan, mengumpulkan
cengkeh dari tangan masyarakat sebagai hasil pajak, dan hanya memberikan
sedikit imbalan kepada masyarakat, atau dalam keadaan tertentu mengambil
dengan paksa atau menyita hasil bumi itu untuknya. Sehingga perdagangan
rempah-rempah tidak membawa keuntungan bagi masyarakat biasa, yang
mendapat untung besar hanyalah raja dan bawahan-bawahannya.54
Jogugu (menteri) dan Fala Raha (kata ini secara harfiah berarti empat
rumah dan dianggap di sini sebagai Raja Penasehat) terpilih untuk membantu
raja dalam menjalankan kerajaan. Fala Raha merupakan perwakilan dari empat
klan bangsawan yang merupakan pilar penting dari Kerajaan Ternate. Dapat
dikatakan bahwa Fala Raha merupakan pengganti empat momole pada periode
pra-Islam. Selain itu ada beberapa posisi yang dibentuk untuk membantu raja
seperti Nyagimoi Bobato (Dewan 18), Sabua Raha (empat hakim agung), Heku
Cim (angkatan laut dan darat), Salahakan (Gubernur), dan Sangaji.55
Kepercayaan atau keagamaan penduduk di daerah Maluku dan Ternate
sebagian besar masih animisme dan dinamisme dan sebagian kecil pada lapisan
atas terutama golongan raja dan bangsawan berikut anggota birokratnya sudah
menganut agama Islam. Golongan atau lapisan masyarakat seperti telah
digambarkan oleh Antonio Galvao dari mulai kolano atau sultan setelah Islam
masuk dan tersebar di daerah itu lambat laun makin bertambah dan bukan
54 Des Alwi, Sejarah Maluku, Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 319.
55 Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, h. 29.
36
penduduk asli saja tetapi sudah bercampur dengan etnik lainnya akibat
kedatangan pedagang-pedagang dari etnis lainnya yang berdagang di situ.
Perhubungan yang erat sekali berasal dari Jawa atau kebudayaan Jawa masuk
dan bercampur dengan kebudayaan setempat seiring dengan pertumbuhan
jaringan pelayaran dan perdagangan.
Seluruh sistem pertanian, industri, dan sosial di Maluku didasari pada
pemahaman bahwa tanah atau lahan dan pengusahaan lahan, termasuk juga laut
dan ikan di dalamnya, adalah milik masyarakat.56 Artinya setiap penduduk
mempunyai hak untuk mengelola sistem-sistem ini akan tetapi sebagian dari
hasil panen diserahkan kepada para penguasa.
Masyarakat Ternate divariasikan dalam hal pekerjaan mereka. Karena
Ternate terkenal dengan hasil panen seperti rempah-rempah, dan cengkeh,
sebagian besar orang menjadi petani. Mereka yang biasanya bertanam cengkeh,
pala, kenari, dan kayu manis tinggal di daerah bukit. Sementara orang-orang
yang tinggal dekat pantai biasanya menanam kelapa atau menjadi nelayan.
Selain itu, beberapa dari mereka adalah pedagang. Huda yang terbuat dari beras,
sagu, atau singkong yang biasanya dimasak dengan cara tertentu adalah
makanan pokok Ternate.
56 Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 305.
37
BAB IV
KESULTANAN TERNATE DALAM LINTAS
PERDAGANGAN ABAD XVI-XVII
A. Ternate dalam Lintas Perdagangan Abad XVI-XVII
Jalur sutera adalah nama puitis dari jalur perdagangan yang berkembang
antara Asia dan Eropa sejak abad-abad pertama masehi. Nama Seidentrasse
yang pada abad ke 19 M, diberi oleh seorang pakar geografi Jerman, Baron
Ferdinand von Richthofen, kini telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa,
dan sejak tahun 1978 M, menjadi nama sebuah proyek penelitian Unesco yang
diberi judul : Integral Study of the Silk Roads: Roads of Dialogue. Dengan
memilih nama demikian hendak diperingatkan bahwa melalui jalur itu tidak
hanya mengalir barang dagangan seperti sutera, rempah-rempah, dan
sebagainya tetapi juga gagasan dan pemikiran, nilai dan norma, dan sebagainya
yang telah memperkaya, malah mengubah kebudayaan setempat.57
Jalur sutera ini juga meliputi atau melewati perairan Indonesia. Jalur ini
menyatu dengan jalur rempah-rempah yang berawal dari Maluku, penghasil
pala dan cengkeh. Sampai akhir abad ke-13 M, rempah-rempah Maluku dahulu
hanya diperdagangkan ke Ambon dan Banda oleh para pedagang lokal. Para
pedagang Jawa dan Melayu kemudian membawanya dari Ambon atau tepatnya
Hitu dan Banda ke Pelabuhan Gresik, Tuban, Pasai, dan Malaka. Tetapi para
pedagang Hitu dan Banda ketika itu juga membawa rempah-rempah Maluku ke
57 Adrian B. Lapian, Ternate Sekitar Pertengahan Abad XVI Menurut Catatan Antonio
Galvao, Kapitan di Ternate (1536-1539), dalam Ed, G.A. Ohorella, Ternate Sebagai
Bandar di
Jalur Sutera (Jakarta: CV. Putra Sejati Raya, 1997), h. 59.
38
pelabuhan-pelabuhan Jawa Timur dan Malaka.58 Pada awal abad ke-14 M,
pelabuhan Ternate, Tidore, Makian, dan Bacan mulai dikunjungi para pedagang
Nusantara yaitu Jawa dan Melayu lalu menyusul pedagang-pedagang Cina dan
Arab. Agaknya perdagangan cengkeh mulai ramai kala itu. Dengan datangnya
para pedagang dari Arab, agama Islam mulai masuk namun belum dianut oleh
para bangsawan maupun oleh kalangan penduduk lainnya.
Barulah pada pertengahan abad ke-15 M agama Islam mulai dianut oleh
para bangsawan kemudian menyusul kalangan penduduk lainnya. Namun,
rupanya bukan bangsa Arab yang mengislamisasi penduduk Ternate melainkan
orang Jawa atau tepatnya berasal dari Giri (Gresik) yaitu Maula Husein. Pada
pertengahan abad ini jugalah motivasi para pelayar ataupun para pedagang
asing untuk memperoleh rempah-rempah ini secara langsung (tanpa pedagang
perantara seperti pada abad-abad sebelumnya) telah mendorong mereka
melakukan pelayaran hingga menemukan daerah asal produsennya. Mula-mula
terbatas pada orang Portugis dan Spanyol saja, tetapi sejak akhir abad ke 16 M
orang Inggris, Perancis, Belanda, dan kemudian juga orang Denmark,59 mulai
terlibat dalam pertarungan sengit yang terjadi ketika kapal-kapal Eropa tersebut
saling memperebutkan hegemoni dan monopoli perdagangan pada masa
globalisasi awal ini.
Cengkeh merupakan komoditi dagang yang dibawa dari Indonesia oleh
pedagang India. Cengkeh yang merupakan hasil dari wilayah Timur Indonesia
58 M.Adnan Amal, Maluku Utara. Perjalanan Sejarah 1250-1800 (Universitas Khairun
Ternate, 2002) h. 230.
59 Adrian B. Lapian, Ternate Sekitar Pertengahan Abad XVI Menurut Catatan Antonio
Galvao, Kapitan di Ternate (1536-1539), h. 60.
39
rupa-rupanya telah dikenal lama dalam tradisi India ini dibuktikan dalam kitab
Raghuvamsa yang ditulis Kalidasa disebut lavanga yang berarti cengkeh yang
berasal dari Dvipantara yang artinya nama lain dari Indonesia.60 Cengkeh oleh
orang India digunakan antara lain untuk campuran bahan obat yang
diperkenalkan oleh seorang tabib raja.
Digunakannya jalur laut ke kepulauan rempah-rempah oleh para
pedagang bangsa asing untuk mencapai dan membawa ke pelabuhan-pelabuhan
lain. Karena jalur darat dirasakan tidak aman dan beresiko tinggi selain
berhadapan dengan para perampok, para pedagang yang melewati jalur ini harus
mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi belum lagi terjadi pungutan dalam
sepanjang perjalanan oleh orang-orang yang bermukim di wilayah jalur niaga.
Kerajaan atau kesultanan-kesultanan di Maluku sangat mengandalkan
penghasilannya pada sektor perdagangan rempah-rempah. Hingga pada abad
ke-16 M, Ternate berhasil mencapai kejayaannya.61 Menurut catatan sejarah
tentang dunia perniagaan cengkeh merupakan niaga utama yang mempengaruhi
dunia perniagaan karena mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Jadi
tidaklah mengherankan para pedagang terdorong untuk menemukan wilayah
produsen rempah-rempah, walaupun jalan menuju tujuan ke Maluku tidaklah
mudah.
Pengaruh rempah-rempah telah mengangkat perekonomian Ternate,
pengaruh rempah-rempah juga membuat percaturan politik antara kerajaan
60Tim Penulis Puspindo, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Pra Sejarah hingga 17
Agustus 1945, (Jakarta: Yayasan PUSPINDO, 1990), h. 11.
61M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara 12501950, h. 233.
40
maupun kesultanan daerah sekitar Maluku saling memperluas wilayahnya.
Kedatangan para bangsa asing khususnya bangsa Eropa pada abad ke-16, telah
membawa perubahan dalam perniagaan rempah-rempah. Kebanyakan dari
mereka ingin menguasai dan memonopoli perdagangan dengan cara politik
bujuk rayu dan adu domba antar-kesultanan hingga menyebabkan kerajaan atau
kesultanan-kesultanan di Maluku terperangkap dengan siasat itu.
A. 1. Jenis Barang Ekspor dan Impor
Sejalan dengan penyebaran barang perdagangan yang diduga dibuat di
dalam maupun di luar kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan impor.
Sistem ekspor dimaksudkan adalah penjualan barang-barang ke luar wilayah dari
Kesultanan Ternate. Baik berupa hasil pertanian dan non-pertanian. Sedangkan
sistem impor adalah penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah
kekuasaan Kesultanan Ternate, baik berupa bahan makanan seperti beras, benda
seni seperti keramik yang didatangkan dari Jawa dan Cina, dan peralatan seharihari.
Mengacu pada sumber-sumber yang ada saat ini. Sulit sekali untuk
mendapatkan rincian tertulis mengenai komoditi ekspor dan impor di Ternate.
telah diketahui bahwa pada umumnya barang yang diekspor oleh Kesultanan
Ternate antara lain, cengkeh, pala, dan kayu manis. Kesulitan data ini
mengakibatkan pengambaran komoditi ekspor dan impor ini hanya di pilih
beberapa saja. Dari sumber yang ada, barang ekspor antara lain cengkeh dan pala.
Barang Impor yaitu Beras.
41
Cengkeh, bentuk komoditi cengkeh yang diperdagangkan berupa putik
bunga cengkeh yang dikeringkan. Awalnya tanaman ini tumbuh subur di pulau-
pulau kecil di Ternate, Tidore, Makian, dan Motir di lepas pantai Barat
Halmahera. Kegunaan cengkeh sebelum Masehi sampai sekarang masih
dimanfaatkan untuk pengobatan, parfum, dan bumbu masak.62 Selama abad ke-16
penanaman jenis tanaman tropis ini mulai meluas ke Selatan yakni ke Ambon dan
Seram. Pada abad ke-17 kepulauan di sebelah Selatan ini merupakan pusat
produksi utama. Kombinasi antara tanah subur walaupun berbatu, kabut
pegunungan, angin laut, dan matahari serta hujan tropis adalah kondisi alam yang
sangat baik bagi pertumbuhan cengkeh. Tidak memerlukan tenaga ekstra untuk
memproduksi cengkeh.
Ketika pohon cengkeh mendekati masa berbunga pada Agustus atau
September, maka orang-orang siap memanen yang berlangsung selama beberapa
pecan.63 Pada awalnya cengkeh hanya dijual ke Ambon dan sekitarnya kemudian
para pedagang dari Ambon membawanya ke Jawa. Setelah kedatangan bangsa
Eropa, perdagangan rempah-rempah Maluku dimonopoli oleh mereka. Hal ini
menjadikan harga cengkeh di Maluku sangat rendah sedangkan di pasaran Eropa
sangat mahal. Dengan kisaran harga 1 bahar (456 lb, atau setara dengan 309 kg)
di Maluku hanya 2 ducat (1 ducat=f5,25). Sementara di Malaka harganya
mencapai 10 ducat (525 Gulden). Di Calcutta, harga cengkeh naik tajam menjadi
500-600 fanom (1fanom=1 real) sedang cengkeh dengan kualitas terbaik seharga
mencapai 700 fanom. Pada tahun 1600 harga 1 pon cengkeh (1 pon=0,54 kg) di
62 M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950, (Nala Cipta Litera, 2007), h. 230.
63 Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 305.
42
Maluku hanya penny (penny, mata uang Inggris. 100 penny=1 poundsterling),
tetapi di Eropa harganya bisa mencapai 16 poundsterling atau naik menjadi
32.000%64.
Pala, berbentuk agak bulat biasa dipakai sebagai bumbu masakan. Sama
halnya dengan cengkeh. Komoditas yang termasuk dengan rempah-rempah ini
hanya ada di Maluku. di Banda pohon pala berbuah sepanjang tahun dan para
pemetiknya menggunakan bambu panjang yang ujungnya terdapat keranjang agar
kualitas buah pala dapat terjaga.65 Dalam memanennya jauh lebih ringan daripada
memanen cengkeh.
Oleh para pedagang rempah-rempah (cengkeh dan pala) dibawa menuju
Eropa. Pada tahun 1390-an. sekitar 6 metrik ton cengkeh dan 1 metrik pala
mencapai daerah Eropa. Pada abad sesudahnya terjadi peningkatan dalam
pengiriman rempah-rempah yaitu menjadi 52 ton untuk cengkeh dan 26 ton untuk
pala.66 Jalur perdagangan ini melalui Timur Tengah hingga sampai di Italia
tepatnya kota Venesia. Kebutuhan pasarlah yang mnyebabkan meningkatnya
pengiriman rempah-rempah.
Sulit untuk menjelaskan berapa nominal harga pala pada saat itu, kesulitan
dalam pencarian sumber-sumber yang menjelaskan harganya. Membuat penulis
tidak dapat menerangkan dan menjelaskannya. Yang bisa dijelaskan, menurut
sumber-sumber yang diperoleh keuntungan yang didapat dari perdagangan lada
64 Datu Jamal Ashley Abbas, Mindanao and the Spice Islands, (The Philippine Post, 11
Maret 2.000), dalam M. Adnan Amal, Portugis & Spanyol di Maluku, (Depok:
Komunitas Bambu,
2009), h. 357.
65 Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h. 309.
66 Anthony Reid, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara,(Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004),
h. 10.
43
telah menjadikan raja dan para bangsawan cepat kaya, rempah-rempah sangat
laku dan banyak membawa keuntungan.
Beras, barang impor terpenting yang didatangkan dari luar contohnya
adalah Beras. Beras merupakan salah satu hasil pertanian terpenting. Untuk
masyarakat Indonesia beras merupakan bahan makanan pokok yang dikonsumsi
sehari-hari. Tetapi makanan pokok ini tidak terlalu berpengaruh bagi penduduk di
wilayah Maluku, karena pada umumnya rakyat Maluku lebih banyak yang
mengkonsumsi sagu.
Dengan perkembangan perdagangan cengkeh yang menyebabkan
perluasan lahan perkebuanan cengkeh dan menurunnya produksi bahan pangan,
maka bahan makanan harus didatangkan dari luar, terutama dibawa oleh orang
Jawa dan Melayu.
Selain bahan pangan, Ternate juga mendatangkangkan berbagai macam
bahan pakaian, seperti kain sutra dari Cina termasuk juga bermacam-macam
porselin. Tidak didapatkannya banyak data mengenai komoditi impor di
Kesultanan Ternate namun komoditi tersebut sangat bernilai penting untuk
memenuhi kebutuhan hidup masyarakat yang tinggal di KesultananTernate.
Semua barang ekspor dan impor tersebut sangatlah berpengaruh bagi
kehidupan Kesultanan Ternate dan masyarakatnya. Karena di samping
perdagangan rempah-rempah yang telah mendatangkan kemakmuran bagi
Kesultanan Ternate, mendatangkan bahan pangan dan sandang, seperti beras
yang amat penting peranannya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat
44
Ternate. Semuanya itu merupakan barang-barang yang diperdagangkan di
Ternate.
A. 2. Alat Tukar Perdagangan
Di Ternate juga telah dikenal penggunaan mata uang yang telah di
gunakan sebagai alat transaksi pembelian suatu barang. Namun, berbeda dengan
Aceh pada zaman Iskandar Muda (w. 1607-1636), yang menggunakan mata uang
kesultanan yang dibuat oleh pemerintah yang berupa mata uang emas untuk
menggantikan mata uang real Spanyol.67 Kesultanan Ternate sama seperti bandar
dagang di Nusantara lainnya, bertransaksi dengan penggunaan mata uang real
Spanyol,68 terkadang juga mengunakan mata uang gulden Belanda, karena hal ini
lebih memudahkan dalam transaksi baik di dalam maupun ke luar. Hal ini wajar
karena mata uang real Spanyol telah banyak beredar dan berlaku di berbagai
tempat, seperti Malaka, Banten, Sulawesi, dan tempat lain.
B. Hubungan dengan Bangsa Asing
Dalam sebuah lintas perdagangan, akan didapati keterlibatan berbagai
kelompok bangsa yang berperan penting dalam kehidupan ekonomi suatu kota
perdagangan. Karena mereka itu merupakan pemain yang aktif dalam
perdagangan baik lokal maupun internasional. Hal ini telah menjadikan sebuah
67 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta:
Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006), h. 152-156.
68 real Spanyol mata uang yang terbuat dari perak. Satu real = 6 dollar lihat, Van Leur,
Indonesian Trade and Society, h. 368
45
kota perdagangan yang bersifat pluralistik menjadi titik temu antar bangsa-bangsa
dari seluruh wilayah.69
Pada abad ke-XVI, yang merupakan puncak kemakmuran Kesultanan
Ternate, telah banyak didatangi oleh berbagai bangsa yang ikut meramaikan
perdagangan. Seringnya mereka melakukan perdagangan, lambat laun mereka
berdomisili di Ternate. Berbagai bangsa itu datang dari kawasan sekitar Nusantara
maupun asing, antara lain bangsa: Cina, Arab, Portugis, Spanyol, Belanda, Jawa,
dan Melayu. Para pedagang Cina, Arab, dan para pedagang dari bumi Nusantara,
pada umumnya datang ke Ternate hanya untuk berdagang. Namun, tak dipungkiri
pedagang-pedagang dari Arab maupun pedagang Nusantara membawa misi
mengislamkan penduduk sekitar. Berbeda dengan para pedagang dari Eropa yang
selain berdagang dan misi penyebaran agama Kristen mereka juga berupaya untuk
memonopoli perdagangan hingga menimbulkan pertentangan dengan penguasapenguasa lokal.
Jika melihat dari data yang ada dalam abad ke-XVI, dari semua negara
di atas, Cina, Portugis, dan Belanda-lah yang memiliki peran yang amat berarti
bagi perdagangan di Kesultanan Ternate. Peran penting ini dapat dilihat dari
sejauh mana mereka dapat memainkan pengaruh dalam faktor ekonomi dan
politik.
69Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Jilid II terj, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 88
46
B. 1. Bangsa Cina
Orang-orang Cina berabad-abad lamanya telah merahasiakan negeri asal
cengkeh.70 Penemuan kompas oleh orang Cina, telah memberi jalan
pengetahuannya tentang kelautan, sehingga dapat dipastikan orang Cina-lah yang
pertama kali datang ke kepulauan rempah-rempah, kemudian menyusul
setelahnya para pedagang asing lainnya dengan tujuan yang sama pula.
Diperkirakan pada abad ketiga sebelum masehi telah ada hubungan
dagang antara Indonesia dan Cina dalam perdagangan rempah-rempah atau antara
48
mengadakan perjanjian berupa pemberian hak monopoli perdagangan cengkeh
kepada Portugis.75
Tahun 1522 M mulai berdiri benteng pertamaPortugis di Ternate.76
Benteng ini selain memperkuat kedudukan perdagangan Portugis di Ternate juga
memberikan jaminan kekuatan politik dan militer, sehingga dapat menjadi pusat
perdagangan cengkeh bagi seluruh daerah Maluku.77 Setelah Sultan Bayan
meninggal dunia tahun 1522 M, kericuhan mulai timbul dikarenakan campur
tangan Portugis dalam negeri mengenai pengangkatan sultan baru Ternate.
Portugis akhirnya menggunakan pengaruhnya setelah terjadi beberapa kali
perubahan kepala pemerintah dengan menempatkan Sultan Tabarija tahun 1535,
tetapi akhirnya ia juga ditahan dan diasingkan ke Goa. Namun tidak berlangsung
lama, yang menjadi Sultan Ternate setelah Tabarija adalah Sultan Khairun.
Pada masa pergantian sultan ini, telah ada dokumen-dokumen penting
pewarisan tahta, surat wasiat dari Tabarija kepada seorang bangsawan Portugis
bernama Jurdao de Freitas dan juga testamen dari Sultan Khairun tentang
pewarisan Kesultanan Ternate.78 Hal ini mencerminkan sudah adanya pengaruh
75Ibid, h. 213.
76Awal pembangunan 24 Juni 1522 atau bertepatan dengan perayaan hari Santa
John
Baptiste, sehingga dinamakan benteng San Joao Baptiste de Ternate. Tetapi, setelah
pembangunan
benteng usai tahun 25 Februari 1523 berubah kembali namanya menjadi Nostra
Senhora del
Rosario (gadis cantik berkalung bunga mawar). Rupanya nama ini terlalu sulit
dalam ejaannya
sehingga orang Ternate menyebutnya Benteng Gamlamo, mengikuti nama kota
dimana benteng
tersebut didirikan. Lihat, M. Adnan Amal, Portugis dan Spanyol di Maluku, (Depok:
Komunitas
Bambu, 2009), h. 42-43.
77 Paramita R. Abdurrahman, Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon
Bunga Rampai Sejarah Maluku, h. 249.
78Sultan Tabarija akhirnya ditahan dan diasingkan ke Goa karena sultan tidak
dapat
menerima intrik-intrik Portugis dan ia dipersalahkan dengan tindakan anti-Portugis.
Sultan
penggantinya yaitu Sultan Khairun ternyata juga mempunyai pandangan yang sama
dengan Sultan
Tabarija, bahkan agar kesultanan tidak jatuh ke tangan Portugis, ia bersiasat membuat
surat wasiat.
Isinya dinyatakan bahwa Ternate merupakan vassal Portugis, tetapi ia minta agar putra
sulungnya
Baabullah diakui resmi sebagai putra mahkota dan anak-anak lainnya diakui sebagai
pewaris tahta.
49
pemikiran Barat, bahwa segala sesuatu harus diatur secara legal dan ditulis hitam
di atas putih. Sultan Khairun berusaha mengukuhkan kekuatan dan memperluas
daerah Kesultanan Ternate selain membantu kegiatan Portugis di wilayahnya.
Masa pemerintahan Sultan Khairun berakhir ketika tahun 1570 M terjadi
pembunuhan atas dirinya, setelah selesai mengadakan persetujuan mengenai
penjualan rempah-rempah dengan Portugis yang kemudian melanggar
kesetiaannya melalui pembunuhan tersebut.79
Dengan terbunuhnya Sultan Hairun seluruh rakyat Ternate merasa terhina
dan dengan serentak bangkit menyerang Benteng Gamlamo di bawah pimpinan
Sultan Baabullah (1570-1583). Baabullah menuntut balas atas pembunuhan
ayahnya, ia beserta para pengikutnya mengumumkan perang jihad untuk
memerangi Portugis selama 5 tahun.80 Tahun 1575 akhirnya Portugis berhasil
diusir dari Ternate dan bentengnya dipindahkan ke Tidore. Pengusiran bangsa
Portugis oleh Sultan Baabullah adalah kemenangan besar suatu bangsa dalam
menegakkan kewibawaan dan martabat. Kemenangan Sultan Baabullah
memberikan kredibilitas kepemimpinannya dalam menyusun kekuatan bangsa
mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan seluruh wilayah kesatuan.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Ternate mengalami kemajuan
yang luar biasa. Berkat keterampilan politiknya, ia meluaskan daerah
Lihat, Paramita R. Abdurrahman, Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di
Ambon
Bunga Rampai Sejarah Maluku, h. 256.
79 Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, h. 40, menyebutkan bahwa
Sultan Hairun diserang oleh Antonio Pimental (keponakan dari Diego Lopes de
Mesquita) setelah
menerima perintah dari de Mesquita, dengan menikamkan sebuah keris di dalam
Benteng
Gamlamo, pada saat itu pulalah Sultan Hairun tewas seketika.
80Pada waktu itu dilakukan pengepungan terhadap benteng Portugis dan tiap usaha dari
pemukim-pemukim benteng untuk mendapatkan bahan makanan dicegah. Lihat,
Paramita R.
Abdurrahman, Peninggalan-peninggalan yang berciri Portugis di Ambon Bunga Rampai
Sejarah
Maluku, h. 257.
50
kekuasaannya. Pada masa pemerintahan Baabullah juga bangsa Eropa lainnya
datang ke Kesultanan Ternate. Francis Drake seorang pedagang petualang Inggris
datang pada tahun 1579. Saat itu sultan yang sedang kesal dan dendam dengan
Portugis, bersumpah untuk mengadakan persahabatan dan kesetiaan kekal kepada
Ratu Elisabeth dan mempercayakan sebuah cincin materai berhias batu merah
delima untuk diserahkan kepada ratu serta menawarkan padanya suatu perjanjian
dan pengangkutan rempah-rempah.81
B. 3. Bangsa Belanda
Setelah orang-orang Portugis diusir ke luar dari Ternate oleh Sultan
Baabullah. Ternate juga harus menghadapi Bangsa Spanyol, inilah yang
menyebabkan Kesultanan Ternate mencari kekuatan baru dalam upayanya
mengusir bangsa Spanyol dari Ternate. Pada 22 Mei 1599 kapal Belanda yang
pertama tiba di Ternate di bawah pimpinan Wijbrand van Warwijk82 kemudian
menyusul Jacob Corneliszoon van Neck dalam upaya mencari rempah-rempah.
Sultan Said yang ketika itu menjabat sebagai kepala pemerintahan
Kesultanan Ternate segera mengundang saingan orang Portugis dan Spanyol
untuk berkunjung ke daerahnya. Maksud tujuan utama Belanda untuk berdagang
segera tercapai. Ternate merangkul Belanda sebagai mitra dagang dan sebagai
sekutu untuk mengusir Spanyol maupun Portugis yang ingin kembali ke Terante.
Sementara itu, pada bulan Maret 1602 M dibentuklah Persatuan Umum
Persekutuan Dagang Hindia Belanda atau VOC (Verenigde Oost Indische
81Des Alwi, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, h.380.
82 Willard A. Hanna dan Des Alwi, Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak,
(Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), h. 113.
51
Companie). Terbentuknya VOC untuk menyatukan perusahaan-perusahaan
ekspedisi Belanda yang saling bersaing memperebutkan rempah-rempah.83
Menurut Boxer,84 ada dua sebab utama dibentuknya persatuan perusahaan dagang
ini, yaitu: guna meneimbulkan bencana pada musuh dan guna keamanan Tanah
Air. Para pendiri VOC benar-benar sadar bahwa setiap usaha untuk memperkukuh
dan memperluas perdagangan Belanda di Asia, tidak boleh tidak melibatkan
persengketaan bersenjata dengan orang-orang Portugis maupun Spanyol,
kendatipun perang dengan mereka telah diperhitungkan, oraganisasi VOC
pertama kalinya hanya ditujukan untuk maksud-maksud dagang.
Tahun 1606 Spanyol menyerang Ternate dengan suatu kekuatan armada
yang besar. Mereka menduduki bagian Barat Ternate, Sultan Said ditangkap dan
diasingkan ke Manila.85 Terancam dengan Spanyol, sultan yang baru bersekutu
dengan VOC dan berhasil mengadakan perjanjian pada tahun 1607. Isi perjanjian
tersebut adalah:
Belanda diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate, Belanda membantu dalam
melindungi dari kemungkinan ancaman Spanyol, Ternate mengakui pembesarpembesar Belanda, ongkos pemeliharaan tentara Belanda ditanggung oleh
Ternate, Belanda memperoleh monopoli rempah-rempah, saling menghormati
agama masing-masing, tanpa persetujuan kedua belah pihak tidak boleh
mengadakan perjanjian dengan Spanyol maupun Tidore.86
83M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2008), h. 71.
84C.R. Boxer, Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799, terj.
sebagian pohon-pohon cengkeh agar harga itu tetap tinggi.90 Kebijakan ini dipakai
terus selama 2 abad berikutnya 1618-1857 tanpa ada yang bisa melanggarnya,
termasuk Sultan Ternate sendiri.
Meskipun terdapat kekuasaan VOC di Maluku, namun perebutan wilayah
kekuasaan antara Kesultanan Ternate dan Kesultanan Tidore masih tetap terjadi,
bahkan dimanfaatkan oleh penguasa asing tersebut. Pihak penguasa VOC di
Maluku maupun di Belanda pada tahun 1649 menyetujui siasat pejabat VOC di
Maluku bahwa Sultan Ternate harus selalu dilibatkan dalam peperangan dengan
Sultan Tidore dan diusahakan agar kedua kesultanan ini jangan pernah berdamai
karena hal ini sebenarnya dapat mencegah jatuhnya cengkeh ke tangan pedagang
Spanyol ataupun pedagang lainnya. Perebutan kekuasaan ini terus meluas, sampai
tahun 1665 ketika Kerajaan Goa memaksakan pengukuhan kekuasaan kepada
raja-raja daerah Kepulauan Sula, Banggai, dan Tambuku yang sebelumnya
89D.G.E Hall, Sejarah Asia Tenggara, h. 278.
90Tim Penyusun Monografi Daerah Maluku, Monografi Daerah Maluku. Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
RI, h. 13.
54
merupakan daerah kekuasaan Ternate. Kesultanan Ternate membentuk aliansi
dengan VOC dan mendapatkan perlawanan dari pihak Kerajaan Goa yang
beraliansi dengan Kesultanan Tidore.91 Akhirnya Kerajaan Goa berhasil
ditaklukan dan daerah Kesultanan Ternate semakin meluas, tetapi karena semakin
besarnya ketergantungan sultan terhadap VOC, untuk masa selanjutnya
kedudukan sultan di daerahnya mulai tergeser oleh kekuatan asing.92
Pihak Kesultanan Ternate juga merasa dirugikan dengan adanya hak
monopoli VOC. Merasa dirugikan Sultan Sibori pun memberontak terhadap VOC.
Sultan yang dikenal dengan nama Raja Amsterdam ini mencoba mengambil
bagian dalam perdagangan rempah-rempah yang menghasilkan keuntungan besar.
Tahun 1675 Sultan Amsterdam memulai perang melawan Belanda. Namun
usahanya gagal, ternyata VOC telah siap siaga melakukan tindakan pencegahan
untuk menggagalkan niat sultan. Akhirnya Sibori ditangkap dan diasingkan ke
Batavia.93 Kemenangan VOC atas Ternate 1683 mengecilkan posisi Kesultanan
Ternate yang dijadikan sebagai negara di bawah naungan VOC dan Sultan harus
melepaskan semua klaimnya atas kedaulatan Laut Sulawesi.94 Tetapi segala upaya
yang dilakukan oleh Sultan Sibori ternyata pada akhirnya membawa kerugian
besar.
91Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari Emporium
sampai Imperium, jilid I. (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama), h. 97.
92Hal ini disebabkan oleh adanya perjanjian mengenai hak-hak monopoli dan
kesepakatan
mengenai daerah taklukan. Kesepakatan pada intinya adalah apabila wilayah yang baru
ditaklukan
berpenduduk Kristen, maka akan menjadi milik VOC, sedangkan mereka yang beragama
Islam di
bawah yurisdiksi Kesultanan Ternate, dengan demikian wilayah kekauasan VOC menjadi
semakin
luas. Kemunduran Ternate juga disebabkan adanya kenyataan bahwa Sultan Ternate telah
banyak
berhutang dengan VOC. Adrian B. Lapian, Perebutan Samudera Laut Sulawesi Pada
Abad XVIXVII, Prisma No, 11 Th. XIII, h. 38.
93Abdul Hamid Hasan, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate, h. 46.
94R.Z. Leirissa, Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah
Masyarakat Maluku Utara, (Disertasi, Universitas Indonesia, 1990), h. 40.
55
Sepanjang dua puluh tahun terkahir dari abad ke-17 M, kekuasaan atas
wilayah Timur berada di tangan Belanda. Tidak diperlukan lagi tindakan besar,
kecuali sesekali melakukan ekspedisi untuk memadamkan pemberontakan
setempat. Hal ini terlebih karena perhatian Belanda semakin tertuju ke Pulau
Jawa. Perdagangan rempah-rempah semakin kurang berarti jika dibandingkan
dengan hasil perkebunan di Jawa dan Sumatera. Karenanya, pada saat itu tidak
terjadi perluasan wilayah lagi.
56
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dari bab-bab terdahulu yang telah menjelaskan
mengenai tahap-tahap berkembangnya Kesultanan Ternate dalam lintas
perdagangan pada abad ke-XVI-XVII, maka dapatlah diketahui bahwa
berkembangnya Kesultanan Ternate sebagai salah satu pusat perdagangan di
Nusantara diakibatkan peran Kesultanan Ternate. Disebut demikian karena
rempah-rempah yang berupa cengkeh dan pala telah mengharumkan nama
Indonesia sampai ke tingkat internasional, berabad-abad lamanya. Sejak abad
ke-7 M, rempah-rempah merupakan salah satu hasil bumi Indonesia yang
diperdagangkan. Pada waktu itu cengkeh merupakan tanaman yang hanya
terdapat di Maluku. Pulau Ternate sebagai salah satu daerah penghasil cengkeh
terpenting, dianggap tanah asal bagi jenis rempah-rempah yang sangat vital di
daerah Maluku. Dalam upayanya mempertahankan dari monopoli bangsa asing,
langkah yang ditempuh Kesultanan Ternate adalah mencoba merangkul bangsa
Eropa demi mendapatkan dukungan militer, seperti, dengan VOC. Walaupun
demi menempuh tujuannya, Kesultanan Ternate harus mengalami suatu dilema
di mana harus menerima segala resiko atas koalisinya dengan VOC atau
ancaman dari kerajaan lainnya. Beberapa perjanjian yang dibuat oleh VOC dan
Ternate maupun sebaliknya berujung pada kerugian di pihak Ternate yang juga
pada akhirnya menimbulkan peperangan di antara mereka. Memang terdapat
59
DAFTAR PUSTAKA
1. Sumber yang Belum Diterbitkan
Leirissa, R.Z, Masyarakat Halmahera dan Raja Jailolo: Studi tentang Sejarah
Masyarakat Maluku Utara, Disertasi, Depok: Universitas Indonesia, 1990
Leirissa, R.Z, Sultan Ternate Emir el Mukminin Hamzah Nasarun Minallahi Shah
(Sultan Hamzah 1627-1648) dan Politiknya di Kerajaan Ternate antara
Tahun 1628-1643 Berdasarkan Dokumen VOC yang telah diterbitkan,
Skripsi Sarjana Fakultas Sastra, Depok: Universitas Indonesia, 1965
Sanmas, Abu, Kedudukan dan Fungsi Lembaga Adat Kesultanan Ternate dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Jakarta: t.t, LIPI
2. Sumber yang Sudah Diterbitkan
Abdullah, Taufik, Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta:
LP3ES, 1979
Abdullah, Taufik, dkk, ed, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara Jilid
V, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve
Abdurrahman, Paramita R, Peninggalan-peninggalan yang Berciri Portugis di
Ambon Bunga Rampai Sejarah Maluku, Jakarta: t.t., Lembaga Pendidikan
Sejarah Maluku
Alwi, Des, Sejarah Maluku Banda Naira, Ternate, Tidore dan Ambon, Jakarta:
PT. Dian Rakyat, 2005
60
Amal, M. Adnan, Kepulauan Rempah-rempah Perjalanan Sejarah Maluku Utara
1250-1950, Makassar: Nala Cipta Litera, 2007
Amal, M. Adnan, Portugis & Spanyol di Maluku, Depok: Komunitas Bambu,
2009
Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia
Tenggara 1450-1680, Jilid II terj, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998
Azra, Azyumardi Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan
Kekuasaan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999
Boxer, C.R, Jan Kompeni Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799,
terj. Bakri Siregar, Jakarta: Sinar Harapan, 1983
Federspiel, Howard M, Sultans, Shamans, and Saints : Islam and Muslims in
Southeast Asia, USA : University of Hawaii Press, 2007
Hall, Kenneth R, Maritime Trade and State Development in Early Southeast Asia,
Honolulu: University of Hawai Press, 1985
Hanna, Willard A dan Des Alwi, Ternate dan Tidore Masa Lalu Penuh Gejolak,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996
Hasan, Abdul Hamid, Aroma Sejarah dan Budaya Ternate. Ternate: T.pn., 1998
Kartodirdjo, Sartono, Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari
Emporium sampai Imperium, Jilid I, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1987
61
Kementerian Dalam Negri, Profil Provinsi Republik Idonesia Maluku, Jakarta:
Yayasan Bhakti Wawasan Nusantara, 1992
Lapian, Adrian B, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2008
Lapian, Adrian B, Perebutan Samudera Laut Sulawesi Pada Abad XVI-XVII,
Prisma No, 11 Th. XIII, 1984
Leirissa, R.Z, dkk., Ternate Sebagai Badar Jalur Sutra, Jakarta: CV. Ilham
Bangun Karya, 1999
Leirissa, R.Z, Tiga Pengertian Istilah Maluku dalam Sejarah Bunga Rampai
Sejarah Maluku, Jakarta: Lembaga Penelitian Sejarah Maluku, Pusat
Dokumentasi Ilmiah Naional LIPI, 1973
Lombard, Denys, Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636),
Jakarta: Kepusatakaan Populer Gramedia, 2006
Ohorella, G.A, ed., Ternate Sebagai Bandar di Jalur Sutera, Jakarta: CV. Putra
Sejati Raya, 1997
Pires, Tome, The Suma Oriental of Tome Pires 1512-1515, terj. Armando
Cortesao London: Hakluyt Society, 1944
Reid, Anthony, Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka LP3ES,
2004
62
Ricklefs, M. C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2008
Schrieke, B.J.O, Indonesian Sociological Studies, vol II, The Hague dan Bandung:
W. van Hoeve, 1957
Tim Penulis IAIN Syarif Hidyatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, Jakarta:
Penerbit Djambatan, 1992
Tim Penulis PUSPINDO, Sejarah Pelayaran Niaga di Indonesia Pra Sejarah
Hingga 17 Agustus 1945, Jakarta: PUSPINDO, 1990
Tim Penyusun Monografi Daerah Maluku, Monografi Daerah Maluku, Proyek
Pengembangan Media Kebudayaan Ditjen Kebudayaan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI, tt
Tjandrasasmita, Uka ed., Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka,
1993
Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: PT. Gramedia, 2009
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia, Kudus: Menara Kudus, 2000
Van Leur, J.C dan F.R.J Verhoeven, Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan
Indonesia, Jakarta: Bharatara, 1974
Van Leur, J.C, Indonesian Trade and Society, The Hague dan Bandung: Van
Hoeve, 1955
63