Anda di halaman 1dari 2

Tuanku Tambusai

Tuanku Tambusai

Muhammad Saleh
Lahir 5 November 1784
Tambusai, Rokan Hulu, Riau
12 November 1882 (umur 98)
Meninggal
Negeri Sembilan, Malaya Britania
-De Padrische Tijger van Rokan atau
Nama lain
Harimau Paderi dari Rokan

Tuanku Tambusai (lahir di Tambusai, Rokan Hulu, Riau, 5 November 1784 – meninggal di


Negeri Sembilan, Malaya Briania, 12 November 1882 pada umur 98 tahun) adalah salah seorang
tokoh Paderi terkemuka.

Latar belakang
Tuanku Tambusai lahir di Dalu-dalu, nagari Tambusai, Rokan Hulu, Riau. Dalu-dalu merupakan
salah satu desa pedagang Minangkabau yang didirikan di tepi sungai Sosah, anak sungai Rokan.
Tuanku Tambusai memiliki nama kecil Muhammad Saleh, yang setelah pulang haji,
dipanggilkan orang Tuanku Haji Muhammad Saleh.[1]

Tuanku Tambusai merupakan anak dari pasangan perantau Minang, Tuanku Imam Maulana Kali
dan Munah. Ayahnya berasal dari nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam.
Oleh Raja Tambusai ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah dengan perempuan
setempat. Ibunya berasal dari nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai dengan
tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku Tambusai.[2]

Sewaktu kecil Muhammad Saleh telah diajarkan ayahnya ilmu bela diri, termasuk ketangkasan
menunggang kuda, dan tata cara bernegara.[3]
Gerakan Paderi
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan Rao di
Sumatera Barat. Disana ia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam yang berpaham Paderi,
hingga dia mendapatkan gelar fakih. Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini
disebarkan pula di tanah kelahirannya. Disini ajarannya dengan cepat diterima luas oleh
masyarakat, sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan
melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan masyarakat di
tanah Batak yang masih banyak menganut pelbegu.[4]

Melawan Belanda
Perjuangannya dimulai di daerah Rokan Hulu dan sekitarnya dengan pusat di Benteng Dalu-dalu.
Kemudian ia melanjutkan perlawanan ke wilayah Natal pada tahun 1823. Tahun 1824, ia
memimpin pasukan gabungan Dalu-dalu, Lubuksikaping, Padanglawas, Angkola, Mandailing,
dan Natal untuk melawan Belanda. Dia sempat menunaikan ibadah haji dan juga diminta oleh
Tuanku Imam Bonjol untuk mempelajari perkembangan Islam di Tanah Arab.[5]

Dalam kurun waktu 15 tahun, Tuanku Tambusai cukup merepotkan pasukan Belanda, sehingga
sering meminta bantuan pasukan dari Batavia. Berkat kecerdikannya, benteng Belanda Fort
Amerongen dapat dihancurkan. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda dapat direbut kembali
walaupun tidak bertahan lama. Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga
sekaligus pasukan Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang
berpihak kepada Belanda. Oleh Belanda ia digelari “De Padrische Tijger van Rokan” (Harimau
Paderi dari Rokan) karena amat sulit dikalahkan, tidak pernah menyerah, dan tidak mau
berdamai dengan Belanda. Keteguhan sikapnya diperlihatkan dengan menolak ajakan Kolonel
Elout untuk berdamai. Pada tanggal 28 Desember 1838, benteng Dalu-dalu jatuh ke tangan
Belanda. Lewat pintu rahasia, ia meloloskan diri dari kepungan Belanda dan sekutu-sekutunya.
Ia mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia pada tanggal 12 November
1882.

Karena jasa-jasanya menentang penjajahan Hindia-Belanda, pada tahun 1995 pemerintah


mengangkatnya sebagai pahlawan nasional.[6]

Anda mungkin juga menyukai