TUANKU Tambusai adalah salah seorang pejuang tangguh dalam sejarah negeri
ini. Berikut kisah perjuangan Pahlawan Nasional ini.
Nama kecilnya, Muhammad Saleh. Dia anak dari pasangan perantau Minang,
Tuanku Imam Maulana Kali, ada juga yang menulis Imam Maulana Kadhi, dan
Munah.
Ayahnya berasal dari Nagari Rambah dan merupakan seorang guru agama Islam.
Oleh Raja Tambusai, ayahnya diangkat menjadi imam dan kemudian menikah
dengan perempuan setempat.
Ibunya berasal dari Nagari Tambusai yang bersuku Kandang Kopuh. Sesuai
dengan tradisi Minang yang matrilineal, suku ini diturunkannya kepada Tuanku
Tambusai.
Untuk memperdalam ilmu agama, Tuanku Tambusai pergi belajar ke Bonjol dan
Rao di Sumatera Barat. Di sana, dia banyak belajar dengan ulama-ulama Islam
yang berpaham Paderi (Padri).
Ajaran Paderi begitu memikat dirinya, sehingga ajaran ini disebarkan pula di
tanah kelahirannya. Ajaran itu dengan cepat diterima luas oleh masyarakat,
sehingga ia banyak mendapatkan pengikut. Semangatnya untuk menyebarkan dan
melakukan pemurnian Islam, mengantarkannya untuk berperang mengislamkan
masyarakat di tanah Batak yang masih banyak menganut pelebegu.
Dalam usia yang belia itu, menurut Mahidin Said dalam "Tuanku Tambusai
Berjuang", Tuanku Tambusai dan pasukannya berhasil mengancurkan benteng
Belanda Fort Amerongen. Bonjol yang telah jatuh ke tangan Belanda direbut
kembali.
Tuanku Tambusai tidak saja menghadapi Belanda, tetapi juga melawan pasukan
Raja Gedombang (regent Mandailing) dan Tumenggung Kartoredjo, yang
berpihak kepada Belanda.
Sesudah Bonjol jatuh, peranan Tuanku Tambusai semakin menonjol. Sadar bahwa
ia merupakan satu-satunya pimpinan perjuangan yang masih ada, Tuanku
Tambusai memperkuat pertahanan di Dalu-dalu.
Belanda pun sadar bahwa selama Tuanku Tambusai masih belum ditundukkan,
kekuasaan mereka di daerah pedalaman Sumatera belum akan berdiri dengan
kukuh. Dua kekuatan itu berhadap-hadapan sepanjang tahun 1838 terutama di
sekitar Dalu-dalu.
Sejak Januari 1838, pasukan Belanda dikerahkan ke Raja Mondang, suatu tempat
sehari perjalanan dari Dalu-dalu. Gerakan mereka terhalang oleh pertahanan
Tuanku Tambusai dan aksi-aksi gerilya yang dilancarkan pasukan Tambusai.
Belanda berusaha merebut satu demi satu kubu pertahanan Tuanku Tambusai
yang bertebaran di daerah-daerah sekitar Dalu-dalu. Namun, sejak September
1838, Belanda memperoleh beberapa kemajuan sehingga Tuanku Tambusai
memusatkan pertahanannya di benteng utama di Dalu-dalu.
Belanda mengerahkan kekuatan yang cukup besar untuk merebut benteng ini.
Sejak pertengahan Desember 1838, Benteng Dalu-dalu dihujani dengan tembakan
meriam.
Namun, Tuanku Tambusai berhasil meloloskan diri lewat pintu rahasia. Dia
mengungsi dan wafat di Seremban, Negeri Sembilan, Malaysia, pada tanggal 12
November 1882.
"Salah satu sikap itu ia tunjukkan ketika menolak bujukan Kolonel Elout untuk
berdamai," kata Fikrul kepada Sindonews.