Tressi A.Hendraparya
RIAU DARATAN
Dari Darat Sampai Pesisir
ISBN 978-602-99968-0-7
SUATU PENGANTAR
Assalaamualaikum ww.
Riau saat ini, bukanlah suatu entitas politik, budaya ataupun geografis yang
muncul begitu saja di tahun 1958 sebagai tahun berdirinya Provinsi Riau,
melainkan suatu hasil dari pergulatan panjang kesejarahan Masyarakat Riau
yang pada saat awal mulanya, terdiri dari beragam politi dan puak.
Keberagaman ini, seperti terlihat di hari ini, terwadahi dalam suatu lingkup
yang terus berkembang dan berpadu dalam bingkai kemelayuan Riau
Daratan.
Penulisan Riau Daratan, dengan sub judul Dari Darat Sampai Pesisir
dimaksudkan untuk mengenangkan kembali proses panjang Ke-Riau-an
tersebut, keterpaduan Riau Daratan yang telah menjadi kesepakatan umum
para pendahulu Riau hingga hari ini, untuk menuju kehidupan yang lebih baik
sesuai dengan martabat Melayu – Riau. Disadari, bahwa potensi konflik selalu
ada pada seluruh masyarakat ataupun politi diseluruh dunia, terutama jika
dikaitkan dengan kesejarahan yang difregmentasi oleh dinginnya cengkraman
kuku kolonial, sehingga terkadang air tenang pun kan beriak. Namun dengan
kearifan lokal dan penggalian nilai-nilai kesejarahan yang patut dijadikan
keteladanan dalam berkehidupan politik, maka akan lebih menyenangkan
untuk tetap berpadu dalam bingkai ke-Riau-an(Daratan); perjalanan sang
waktu yang akan memberikan jawabannya.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya pada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan
ini, kepada pihak KITLV, National Archieve, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia(ANRI), Perpustakaan Wilayah,
kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau, juga Pemerintah
Kabupaten Rokan Hilir atas segala kemudahan yang diperoleh selama
penulisan buku ini. Hormat kami kepada para tokoh masyarakat, Budayawan,
Sejarahwan, cerdik pandai, alim ulama, para dosen dan guruku-tempat ku
melihat pelita tanpa ragu, kepada rekan-rekan mitra diskusi yang telah
bersusah-payah meluangkan waktu berharganya, kepada Kakekku Sang
Perintis Kemerdekaan; Alm.Letkol.inf.H.Idris Sutrisna dan keluarga besar,
Kakekku Alm.R.Soekabat W. dan Keluarga Besar, kepada Ayahku
Alm.R.H.Soekabat juga Ibuku, Hj.Tuti Suparyati,BA, Kepada Orangtua Ku
H.Sardjoko,Mpd dan Keluarga Besar, kepada Kanda Ferry H.Parya, Kakakku;
Frissa Hendraparya, isteriku Agustina Sri Hastuti dan anak-anak dirumah;
Mutiara Cahaya Negeri; Muhammad Bintang Cahaya Negara dan Muhammad
Buminata Cahaya Negara, para kerabat, rekan sejawat, teman diskusi; juga
kepada berbagai pihak atas dukungannya, yang telah banyak membantu
namun tidak dapat Kami sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, kepada
seluruh masyarakat Riau, kepada mereka jualah buku ini didedikasikan.
Wassalaamualaikum ww.
Hamba Allah,
Tressi A Hendraparya
DAFTAR ISI
Hal.
Daftar Judul 1
Daftar Isi 11
Pendahuluan ……………………………………………………. 13
PENDAHULUAN
1 Terdapat beberapa pandangan tentang asal-usul masyarakat Asia Tenggara, seperti dari Asia
Tengah ataupun India, atau juga dari daratan Yunan di China. Proto Melayu(Melayu Tua)
diperkirakan bermigrasi ke Nusantara pada 2500-1500 SM, menyebar di Sulawesi dan Maluku,
Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan ke Madagaskar; mereka saat
ini, diantaranya dikenal sebagai Talang Mamak dipedalaman Indragiri, sementara di Kepulauan
Riau dikenal sebagai Orang Laut; juga meliputi Suku Bonai dan Suku Akit. Adapun gelombang
berikutnya adalah Deutro Melayu(Melayu Muda), melakukan migrasi ke Nusantara antara tahun
250-150 SM yang berasal dari Yunan menyebar di Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa;
umumnya bermukim dikawasan pesisir, akan tetapi terdapat juga yang memasuki kawasan
pedalaman. Selain itu, ditemukan juga bangsa Wedoid yang bermigrasi dari Srilanka yang
terdesak oleh bangsa Indo-Arya pada abad ke-6 SM. Bangsa Wedoid ini, ditemui di Semenanjung
sebagai Suku Senoi, di Siak sebagai Suku Sakai, Suku Mentawai di Pantai Barat Sumatra, dan di
Jambi sebagai Suku Kubu.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
14
hingga dataran rendah timur Sumatra, terutama pada lima aliran sungai
besar; Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Akan tetapi,
kedatangan bangsa penakluk; Portugis di tahun 1511, telah merubah peta
tersebut, yang juga diiringi dengan penetrasi VOC selama periode abad ke-17
sehingga negara-negara di pesisir timur lebih memilih untuk berdiri sendiri,
era yang dimulai terutama sejak pendirian Siak oleh Raja Kecil tahun 1722.
Sebelumnya, Raja Kecil yang mengklaim keturunan Raja Johor trah Malaka,
Sultan Mahmud yang terbunuh tahun 1699, dengan dibantu Minangkabau
melakukan penyerbuan ke Johor,2 mengangkat dirinya menjadi Sultan, akan
tetapi, aliansi antara Sultan Sulaiman dan sekelompok Bangsawan Bugis, telah
menyebabkannya meninggalkan Riau3 dan menuju Buantan-Siak. Berdirinya
politi-politi di dataran rendah Timur Sumatra dengan berbasis pada eks
wilayah Melaka-Johor, bagaimanapun juga “dibayangi” oleh realita darat –
pesisir yang merupakan kharakter Sumatra, sebagai akibat klaim
Minangkabau atas rantau di sebelah timur.
Bahwa runtuhnya kerajaan Melayu Klasik Pagaruyung pada tahun 1830-an,
menggeser peta politi-politi dipedalaman ranah timur, seperti rantau
Kuantan, Kampar Kiri dan kanan serta Rokan. Perubahan nyata mungkin saja
terlihat pada lanskap Tapung (kanan dan Kiri), yang sebelumnya berada pada
tarikan kekuatan dua kutub; Johor dan Pagaruyung, menjadi benar-benar
berada dibawah kekuasaan negara pesisir terutama semenjak penetrasi
Belanda melalui Traktat tahun 1858 antara Siak - Belanda. Bahwa kekuasaan
kolonial telah memencilkan, mereduksi kekuasaan tradisional politi-politi;
seperti Siak yang pada abad ke-20 berada dalam statusnya sebagai wilayah
onderafdeeling Siak, berada dibawah Afdeeling Bengkalis; kekuasaan yang
dilucuti, tanpa kepemilikan militer yang memadai sebagai kekuatan utama
diawal pendiriannya. Politik aneksasi yang dilancarkan, menggerogoti
kekuasaan dan juga kewibawaan kepemimpinan tradisional, bahkan pada
situasi tertentu menimbulkan konflik berdarah antara hulu – hilir, seperti
yang terjadi antara lanskap di hulu sungai Rokan dan Siak. Bahwa Belanda,
tidak memperkuat keterpaduan Riau kuno antara Kepulauan – Daratan,
2 Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the
Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74.
3
Bahwa Raja Kecil meninggalkan Riau setelah melalui pertarungan ketatnya dengan Bugis, lihat
Norhalim Hj.Ibrahim, “Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan Negeri Sembilan.”
Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
15
4
. Lihat Taufik Ikram Jamil dkk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan Pustaka
Riau, 2003, hal.30; Barbara W.Andaya, 1997.
5. Feith 1962: 520-38.
maupun pada wilayah Semenanjung diseberang selat dan juga gugusan pulau-
pulau Riau.
Dari serangkaian laporan dari para observer atas kondisi wilayah pesisir
hingga abad ke-19, dapat dikatakan terdapat wilayah-wilayah arbiter antara
dua kekuatan kultural; Minangkabau dipegunungan dan Melayu di seberang
pantai yang bertemu, terutama di wilayah pesisir. Tomi Pires dalam Suma
Oriental mencatat bahwa pada awal abad ke-16, terdapat kerajaan mulai dari
Arcat – sebelah barat Rokan, kemudian Siak, Kampar, Indragiri hingga
perbatasan Jambi yang dikatakannya merupakan rantau Minangkabau; akan
tetapi dikatakannya juga bahwa mereka adalah orang-orang Melayu.7
Anggapan ini, berkemungkinan melihat Indragiri sendiri merupakan
pelabuhan utama dari kerajaan Minangkabau dalam memasarkan produk
emasnya.8 Meskipun demikian, fakta lainnya mengatakan bahwa wilayah Siak,
Kampar dan Indragiri merupakan bahagian dari Kerajaan Melaka, setidaknya
pada era Sultan Mahmud Syah III (wafat 1477), dimana sebagai tanah lungguh
Sultan Melaka, anak-anak sang Sultan kemudian dinabalkan dikerajaan-
kerajaan tersebut. Bentuk hubungan antara Melaka dan negara pesisir timur
tersebut diyakini sebagai bentuk negara vassal (bawahan). Dapat pula
dipertimbangkan, bahwa pada suatu masa wilayah kekuasaan suatu kerajaan
tidaklah dititikberatkan pada batas-batas wilayah melainkan pada kesetiaan
rakyat yang mendiami wilayah tersebut. Kondisi ini dapat diduga telah
menyebabkan loyalitas “cair” dari rakyat-hamba yang merupakan subyek-
langsung Sultan. Dalam hal di bahagian timur Sumatra Tengah, maka dapat
diasumsikan,
terjadi loyalitas “mendua” atau kepada dua “tuan”; Melayu
Semenanjung (Melaka-Johor) dan pedalaman Minangkabau.9
Secara ekologi, konsepsi ruang arbitrer ini dapat dilihat dari serangkaian alam
pegunungan yang menurun menyusuri sungai melintasi lembah-lembah
subur, hutan tropis perawan dan bentangan rawa-rawa, bertemu dengan
milleu lautan dan hingarnya perdagangan Strait; membentuk apa yang
7 Pires, Tome, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in
Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt Society. 2 vols.1944.
8
Lihat Christine Dobbin, “Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement”,
Indonesia, 23 (1977).
9 Seperti kasus Petapahan, terutama pada abad ke-17.
10 Timothy P.Barnaard, 2014, “We are Comfortable ridding the waves: Lanscape and the
Formation of a Border State in Eighteen Century Island South Asia,” dalam “Borerlands in World
History, 1700-1914, sebagai Border Land, bahwa negara Siak dikatakannya sebagai kawasan
“hybrid” yang unik, yang menguasai kawasan perbatasan antara alam maritim dan pegunungan.
11 Barbara Watson Andaya, Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition (1997), no: 4, Leiden, 483-508
12 Leonard Y.Andaya, 2008, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaca,
2008.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
19
13 Barnard, 2006, sebagai proses yang berpuncak pada masa cucu Raja Kecil; Raja Ismail.
14 J. Kathirithamby-Wells, Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before
the Mid-Nineteenth Century, In: Archipel. Volume 45, 1993. pp. 77-96.
15. Bronson,1977.
16. Ellen,1979; Andaya, 1993.
17. Barbara W.Andaya, Recreating a Vision Daratan and Kepulauan in Historical Context, Riau in
Trantition 153, 1997.
18
. Barbara W.Andaya, To Live As Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and the
Eighteenth Centuries, 1993.
19. Timothy P.Barnard, Text, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay
Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, 2004, pp.107-120.
20. G.A.Wiken, DE VERBREIDING VAN HET MATRIARCHAAT OP SUMATRA, KITLV, Bijdragen tot de
21
. Kato, Tsuyoshi, “The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier to Riau
Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Riau in Transition 153
(1997), no: 4, Leiden, 737 – 763.
22. B. Bronson, “Exchange in the Upstream and Downstream Ends Notes towards a Functional
Model of the Coastal State in Southeast Asia”, in Economic Exchange and Social Interaction in
Southeast Asia Perspectives from Prehistory and Ethnography, (ed.) Karl L. Hutterer, Centre for
South and Southeast Asian Studies, University of Michigan, Ann Arbor, 1977, pp. 39-52.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
22
1
Rekonseptualisasi Riau
telah diidentifikasi dengan budaya Melayu, meskipun hanya sedikit saja yang
diketahui. Selain itu,
bahwa politi Melayu juga meliputi wilayah dataran tinggi, sekaligus
juga menyediakan dasar yang kemudian menyebabkan terjadinya
pemisahan identitas Minangkabau dari Melayu. 25
Majapahit dalam Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, merupakan
sebuah kitab penting sebagai sumber konseptualisasi aktual tentang Melayu
sebagai sebuah dunia Melayu. Dalam kitab tersebut, Bhumi Jawa atau dunia
jawa atau orang jawa, tampak kontras dengan bhumi Melayu, dunia Melayu
yang diasosiasikan dengan Sumatra. Ini memberitahukan tentang eksistensi
dari Komunitas di Sumatra yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda
dengan yang berada di Jawa, sebagai identitas yang terpisah. Dalam
kaitannya dengan wilayah kolonisasinya tersebut, dalam Kakawin
Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII:1 dan 2 menyebutkan 26:
1. Rincian pulau negara bawahan, Mālayu: Jāmbi dan Palembaη,
Karitań, Teba, dan Dharmaśraya, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak,
Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņdahiliń juga, Tumihaη,
Parlāk dan Barat.
2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus.
Sebagai negara-negara Mālayu yang telah tunduk kepada Majapahit.
Kakawin Nāgarakeŗtāgama sebagaimana terlihat menyebutkan Mālayu
terlebih dahulu, dan menyebutkannya sebagai sebuah negara terpenting dari
seluruh negara bawahan Majapahit. Setelah keruntuhan pusat kebudayaan
Melayu di bahagian Sumatra Selatan-lah(Sriwijaya) selanjutnya kisah Melayu
bermula di Semenanjung Malaya. Awal mula Melaka sebagai kekuatan
Melayu yang dominan di abad ke-15 menambahkan layar baru ke identitas
etnis Melayu, dan kemudian sebagaimana dikemukakan Andaya berpindah ke
wajah Sumatra dalam kesamaran; bahwa dengan penaklukan Melaka oleh
Portugis di tahun 1511, dan berdirinya kekuatan rival Melayu pada kedua sisi
Selat Melaka, kisah Melayu sekali waktu jeda ke Sumatra, sekitar 150 tahun
setelahnya, Aceh merupakan pusat dunia Melayu, hingga Johor di akhir abad
ke-17 berhasil mengembalikan Melayu ke Semananjung Malaya, yang
nampaknya juga menjadi model di kepulauan Riau dan wilayah sepanjang
pantai timur Sumatra hingga abad ini. Menurut tradisi, Melayu ditemukan
dalam “SEJARAH MELAYU” 27, dimana seorang pangeran dan para
pengikutnya bermigrasi dari Palembang (situs Sriwijaya) ke Semenanjung
Malaya disuatu waktu menjelang akhir abad ke-14.28 Sebagian besar cerita
dalam teks ini adalah tentang individu dan peristiwa dari semilegendari
kerajaan Melaka (1400-1511) dan mungkin saja berasal dalam periode ini.
Sebagaimana dikemukakan Rickless,
meskipun asal-usul Melaka ini masih menjadi perdebatan, akan tetapi
nampaknya seorang Pangeran dari Palembang tersebut berhasil
meloloskan diri dari sewaktu terjadinya serangan Majapahit ditahun
1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini,
27 Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu, awal mulanya dikenal didunia barat pada tahun 1708
dalam “Introduction to the Malayan Vocabulary of Gueynier” yang ditulis oleh Petrus Van der
Vorm. Setelah itu diabad ke-18, ditemui dalam karya Francois Valentijn (1726) dan abad ke-19;
Wiliam Marsden(1811) dan juga Netscher(1854). Meskipun demikian, nampaknya Sejarah
Melayu benar-benar memperoleh perhatian khusus dari dunia barat setelah terbitnya karya John
Leyden yang mengalih-bahasakan Sejarah Melayu kedalam bahasa Inggris. Sebagai suatu karya
sastra, maka dapat dipastikan Sejarah Melayu banyak memuat nama, tempat ataupun peristiwa
yang memiliki nilai historis yang pemaparannya cenderung menyerupai mitos ataupun legenda.
Dapat dipastikan, bahwa penulisan Sejarah Melayu memiliki tujuan-tujuan yang lebih luas dari
sekedar pentamsilan kisah yang terekam dalam karya besar tersebut; sebagaimana memiliki
puluhan naskah dan edisi Sejarah Melayu yang membentuk satu koreksi rujukan besar. Para ahli
bisa saja beranggapan bahwa kitab Sejarah Melayu tidak dapat dianggap faktual secara
keseluruhan-tersebab lebih dipandang sebagai sebuah karya sastra, akan tetapi poin yang
mendasar dari karya ini bahwa ia telah menyediakan panduan dan ruang untuk dapat melakukan
pengembangan berdasarkan bukti-bukti otentik lain sesuai dengan apa yang menjadi tradisi
akademik barat.
28 Mekipun tradisi berasal dari kisah dalam Sejarah Melayu yang berawal mula pada abad ke-15,
namun nampaknya juga berasal jauh sebelumnya sebagaimana terdapat dalam Raffles 18;
manuskrip bertahun 1612. Untuk studi detail dapat dilihat pada Roolvink, “Variant Versions.”
Suatu ikhtisiar berguna tentang artikel Sejarah Melayu dan teks latin dapat ditemukan dalam
Raffles 18, dalam Cheah, Sejarah Melayu. Penulisnya menamakan karyanya sebagai Sulalatu’l-
Salatin atau dalam bahasa Melayu Penurunan Segala Raja-Raja (The Genealogy of Kings).
Roolvink meyakini bahwa apa yang sekarang kita kenal sebagai Sejarah Melayu bermula sebagai
daftar raja-raja beserta penanggalan waktunya, akan tetapi kemudian penanggalan waktu
tersebut disisipkan berbagai kisah yang diakukan ditempat yang dan waktu yang berbeda namun
dimaksudkan untuk menghasilkan versi tertentu. Roolvink, “Variant Versions,” 304–6.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
28
29 Cortesao, Suma Oriental. An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka
1512-1515, A. Cortesao (trans.), London, 1944.
30
Wade, “Ming Shi-lu.”
31
Wade, “Ming Shi-lu,” 262.
32 Kedua gelar berkaitan dengan Siva, dengan “Permaisura” yang berarti Penguasa bagi Semuanya
(Lord of All) dan “Sri Tri Buana” yang bermakna Penguasa Tiga Dunia (Lord of the Three Worlds).
Selanjutnya muncul sebagai penganugerahan gelar yang berkaitan dengan kerajaan dan raja di
Asia Tenggara pada era awal. Wolters, Fall of Srivijaya, 232 fn 18; Wilkinson, Malay English
Dictionary, vol. 2, 890.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
29
teks terakhir ini jelas telah dituliskan untuk peneguhan dari kerajaan Melaka.
Sementara itu Suma Oriental menggambarkan gerakan ini sebagai pelayaran
untuk melarikan diri dari murka Majapahit,33 sebaliknya, Sejarah Melayu
menjelaskannya sebagai suatu rencana kunjungan. Dalam Sejarah Melayu, Sri
Tri Buana bertemu dengan singa, jenis aneh Singa yang berhubungan dengan
zaman kuno, saat kunjungannya ke pulau Temasek. Ia menafsirkan hal ini
sebagai sebuah tanda, dan kemudian memilih berdiam di Temasek serta
mengganti nama itu menjadi Singapura, atau Kota Singa. Sri Tri Buana tetap
berada di Singapura sampai kematiannya dan digantikan oleh putranya.
Singapura pun berkembang menjadi sebuah kota besar yang menarik banyak
orang asing untuk berkunjung, tapi ketenaran ini hanya berumur singkat
disebabkan penyerangan dan penghancuran oleh Majapahit. Perusakan
Singapura secara implisit dikaitkan dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh
penguasa terhadap hambanya yang setia, sehingga menyebabkan hukuman
dari Pencipta.34 Tome Pires dalam Suma Oriental, memberikan alasan untuk
ditinggalkannya Singapura, serangan bukan dilakukan oleh Majapahit, tetapi
Siam. Sejarah Melayu menyebutkan Melaka, dan bukan Singapura, diserang
oleh Siam dari Sharu'n-nuwi (New City), yang merupakan nama Persia yang
diberikan atas kota Ayutthaya. Dalam Ming Shi-lu, Melaka disebutkan untuk
pertama kalinya sebagai pelabuhan yang dikunjungi di tahun 1403 oleh kasim
Yin Qing atas perintah Kaisar Ming. China belum pernah mendengar tentang
Melaka sampai diinformasikan tentang keberadaannya oleh beberapa
Pedagang Muslim dari India selatan. Para pedagang ini yang tampaknya ingin
melihat pengembangan entrepot di Selat Melaka, yang jauh lebih mudah
daripada pelabuhan di Ayutthaya untuk pedagang yang datang dari barat.
Diyakinkan oleh pedagang ini bahwa Melaka sukses secara komersil, kaisar
Ming pun mengirimkan delegasi yang cukup besar (dibawah pimpinan
Admiral Dinasti Ming bernama Zheng He (Cheng Ho) untuk membangun
hubungan dengan dunia politik baru, hubungan yang terus berlanjut hingga
tahun 1434. Pada saat China meninggalkan kebijakan perdagangan negara di
tahun 1435, Melaka telah mapan sebagai emporium besar di wilayahnya.35
Melaka menjadi entrepot pilihan bagi para pedagang dari timur, Khususnya
China. Kaisar China telah memberikan bantuan khusus kepada Melaka dan
33
Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 231.
34
Brown, Sejarah Melayu, 20–1, 40–1.
35 Wang, “Opening of Relations.”
36
Wolters, Fall of Srivijaya, ch. 13.
37 Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 265.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
31
orang.38 Tidak disebutkan oleh Pires adalah pulau Riau, yang penduduknya
dipadati dengan Orang Laut ; Lingga. Hubungan khusus antara Melayu dan
Orang Laut diyakini sebagai keberhasilan dari kelompok-kelompok Melayu
dari abad ke-7 hingga ke pertengahan abad ke-18. Peningkatan pesat Melaka
dan keberhasilan yang menakjubkan membuatnya menjadi salah satu model
ekonomi dan budaya bagi negara lainnya di maritim Asia Tenggara. Gaya dan
ide-ide yang berasal dari Melaka menjadi keharusan di kalangan elite di
kerajaan hingga sejauh Ternate, dan bahasa Melayu muncul sebagai
linguafranca perdagangan dan diplomatik untuk daerah-daerah.
39 Rickless, 1981.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
33
Batas-Batas Imajiner
40
Brown 1952:55,61;Pires 1944, II:149.
41
Hirth dan Rockhill, 1966: 67; Shuhaimi, 1990: 69, 73, 78; Schnitger, 1964: 37-45; Brown, 1952:
83.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
35
produk laut seperti mutiara, ikan dan karang, mereka nampaknya memiliki
kekurangan hubungan pribadi dengan penguasa Melaka selayaknya khas
rekan-rekan mereka di Selat. Menurut Sejarah Melayu, misi resmi pertama
Melaka untuk mengarungi Laut Cina Selatan menuju China tidak terjadi
hingga setelah aksesi Sultan Mansur di sekitar tahun 1458.
Dengan demikian, meskipun memori Melayu yang melihat asosiasi
Daratan-kepulauan sebagai bagian integral dari kejayaan Melaka,
daerah taklukan seperti yang terletak di sepanjang pantai timur
Sumatera dan secara geografis berjauhan seperti gugusan Pulau Tujuh
bukanlah merupakan bahagian dari inti asli. 42
Oleh sebab itulah dalam mencari basis kontemporer Riau, penting
dipertimbangkannya mengenai perluasan wilayah Melaka yang dipandang
sebagai suatu even yang mengesankan. Penulis Sejarah Melayu menjelaskan
bagaimana Sultan Mansur mengadakan kunjungan ke Majapahit, pada saat
itulah ia menikah dengan putri Batara Majapahit. Sebagai hadiah perpisahan,
Sultan Mansur Syah meminta wilayah kemaharajaan Inderagiri, dan ia pun
memperolehnya. Segera setelah itu, Sultan Mansur memerintahkan
Laksamana Hang Tuah, untuk memintakan kepada penguasa Majapahit
wilayah lainnya, seperti pulau Siantan.
42 Barbara Andaya,1997.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
36
Maka titah betara kepada Tun Bijaya Sura, “katakan salam kita
kepada anak kita, pemberian kitalah akan anak kita; janganlah setara
Inderagiri, seluruh Jawa ini lagi anak kita empunyai dia.” Maka Tun
Bijaya Sura pun bermohonlah kembali. Segala titah Betara Majapahit
itu semuanya dipersembahkan pada Sultan Mansyur Syah. Maka
baginda pun terlalu sukacita mendengar titah Betara Majapahit itu,
lalu baginda menyuruh Hang Jebat memohonkan Jambi dengan
Tungkal maka dikurniakan oleh Betara Majapahit. Sembah Tun Biajaya
Sura pula, “Siantan tidaklah tuanku pohonkan kepada paduka
ayahanda?” Maka titah baginda, “Kami lupa berpesan kepada Hang
Jebat memohonkan Jambi dengan Tungkal tadi, pergilah laksamana
kita titahkan memohonkan Siantan.” Maka Maka Laksamana pun
menyembah lalu pergi mengadap Betara Majapahit. Maka titah
Betara, “Hendak kemana Laksamana baharu-baharuan datang
mengadap kita.”Maka sembah Laksamana, “Tuanku, paduka
anakanda mohonkan Siantan; konon tuanku, jikalau duli tuanku
kurniakan dialap, jikalau tidak akan dikurnia pun paduka anakanda
alap; kerana paduka anakanda sangat berkehendaklah Siantan.”
Maka Betara Majapahit pun tersenyum mendengar sembah
Laksamana itu. Titah Baginda, “Hei Laksamana, jikalau sungguh anak
kita berkehendakkan Siantan, menarilah Laksamana, kerana kita
tiada memandang Laksamana menari, telah termasyhur Laksamana
pandai menari ketika sedang pekerjaan anak kita itu. Maka
Laksamana pun menyembah, lalu bangkit menari seperti merak
mengingal di dalam talam lakunya. Maka hairanlah Betara dengan
sekalian yang mengadap melihat laku Laksamana menari itu terlebih
kelakuannya daripada joget Mangun Asmara…” 43
Jika kita memilih tema ekspansi Melaka seperti yang digambarkan dalam
Sejarah Melayu ini, maka misi ke Jawa bisa dilihat sebagai perluasan wilayah
yang signifikan bagi konsep Riau Daratan-kepulauan. Mulai saat itu dan
seterusnya, Melaka melihat dirinya sebagai “TUAN SAH” bagi kawasan
sepanjang pantai timur Sumatera. Akibatnya, penguasa Kampar yang telah
menggunakan gelar Maharaja Jaya dan tidak mau takluk kepada Melaka,
diserang dan dijarah.
Tidak cukup Kampar, begitu pula halnya Siak, yang penguasanya telah
menggunakan gelar Maharaja dan menolak untuk mengakui penguasa
atasan dari Melaka. Akibatnya, Siak ditaklukkan dengan konsekuensi
sejumlah besar barang jarahan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Mansur.
“Arakian maka Sultan Mansyur Syah pun hendak menyuruh
menyerang Siak, Akan Siak itu dahulu kala negeri besar, Maharaja
Parameswara nama rajanya, asalnya daripada raja Pagar Ruyung
yang dahulu, tiada mau ia menyembah ke Melaka; sebab itulah maka
baginda suruh serang. Adalah yang dititahkan itu Seri Udana dan
enam puluh banyaknya kelengkapan yang pergi itu, Sang Jaya
Pikrama, dan Sang Surana dan Akhtiar Muluk, dan Sang Aria
dititahkan baginda pergi sama-sama dengan Seri Udana… setelah
sudah lengkap, maka Seri Udana pun pergilah dengan segala
hulubalang yang tersebut itu. Setelah beberapa hari di jalan, maka
sampailah ke Siak. Maka dipersembahkan orang kepada Maharaja
45
ibid, hal.150-151, A-188, B-153; A-189.
46
Ibid, hal.129, B-131, A-157.
47 Pires 1944 1:. 244-5, 263; Boxer,1968: 94
tinggi Minangkabau: Siak, Kampar dan Inderagiri. 48 Selain itu, sungai ini
adalah sumber penting ekonomi yang berada di tangan mereka sendiri,
dengan Kampar dan Inderagiri khususnya menikmati reputasi sebagai tempat
“kaya” karena emas yang ditemukan di hulu sungai mereka. Banyak hasil
hutan dan laut lainnya tersedia di sini bisa sebagai sama berharganya dengan
logam mulia. Kampar misalnya, terkenal karena aloeswood aromatic
(gaharu), dikatakan layak sama dengan emas di India49 Tetangganya Siak,
sama dikenal dengan batu bezoar yang ditemukan dalam perut babi hutan,
monyet, landak dan hewan lain. Dihargai karena dugaan obat dan magis
mereka, batu bezoar konon bisa bernilai sepuluh kali berat emas. Sungai-
sungai dan pulau-pulau lepas pantai Sumatera pantai timur yang juga domain
dari berbagai kelompok Orang Laut, dimana pemilikan pengetahuan tentang
laut dan rawa bakau pesisir, menjadikannya sebagai sumber ekonomi yang
penting. Mereka membawa produk eksotis dari lautan ke pasar, dan yang
memiliki kemampuan menyerang menempatkan mereka dalam
perkembangan pasar budak, seperti yang terjadi di Rokan.50
Urutan episode yang disajikan oleh Sejarah Melayu menunjukkan bahwa
perpanjangan pengaruh Melaka ke kawasan Laut Cina Selatan adalah sama
signifikannya. Tak lama setelah ia kembali dari Jawa, menyusul pengalihan
kedaulatan atas Siantan, Sultan Mansur mengirimkan misi ke Cina. Teks
kemudian menjelaskan bagaimana Sultan Mansur mengirim pasukan untuk
mengalahkan Pahang.51 Dengan menempatkan kisah ini dalam konteks
sejarah, kita dapat melihat bahwa kontrol atas Pahang dan pulau-pulau lepas
pantai Pulau Tioman, Aor dan Tinggi sekarang telah ditambahkan ke
kepulauan Siantan. Sejarah Melayu juga mengisyaratkan unsur penting
lainnya dalam akuisisi Inderagiri dan Siantan. Wilayah ini sebelumnya berada
di bawah Jawa, dan transfer mereka ke Melaka terjadi dalam konteks
persaingan Melayu dengan orang Jawa. Selama misi Melaka ke Majapahit,
bangsawan muda Melayu terus-menerus membayangi dan mempermalukan
rekan-Jawa mereka karena kecerdikan dan keberanian yang lebih besar.
Batara Majapahit sendiri mengakui bahwa 'Orang-orang dari Melaka jauh
48 Dobbin,1983: 6.
49
Castanheda 1979: 651.
50 Pires 1944,11: 149; Sopher 1965: 110-13.
51 Brown 1952: 89-92, 95-6
lebih tajam dibandingkan dengan negara lain! Tidak ada yang akan
memenangkan kesempatan dengan mereka dalam permainan apa pun,
“Terlalu cerdik raja Melaka daripada raja-raja yang lain.”.52
Menyadari manfaat yang diperoleh dari hubungan Sumatra timur dan Laut
Cina Selatan, abad ke-17 Melayu akan melihat keberhasilan Melaka dalam
membujuk Majapahit untuk melepaskan kontrol atas Inderagiri dan Siantan
sebagai bukti lebih lanjut dari kecerdasan “nenek moyang.” Pentingnya
agenda ini juga dikuatkan oleh fakta tentang legenda yang mengingat transfer
penguasa atasan dari Jawa ke Johor yang masih ditemukan di antara pulau-
pulau Pulau Tujuh pada akhir abad ke-19.53 Akan tetapi sebagaimana
dikemukakan Barbara Andaya,
benarlah bahwa “Sejarah Melayu” tidaklah dapat diperlakukan
sebagai gudang informasi faktual. Meskipun demikian, “Sejarah
Melayu” memberikan beberapa petunjuk tentang asal-usul Riau dan
konsepsi asli dari kebersatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau,
pesisir dan pedalaman dimana kesemuanya itu berorientasi pada
perdagangan internasional.54
Bahwa sebuah Entreport yang strategis telah menarik orang luar kedalam
suatu signifikansi ekonomi yang vital dan strategis. Sementara cerita lengkap
di balik evolusi visi ini tidak akan pernah diketahui, memori Melayu dari awal
abad ke-17 jelas dalam menghubungkan kepada penguasa awal kelima
Melaka, Sultan Mansur Syah. Pemeliharaan visinya, bagaimanapun, adalah
untuk membuktikannya sebagai tugas berat. Lebih khusus lagi, perpanjangan
ambisius Melaka berbasis Daratan-kepulauan yang mewariskan masalah
abadi koherensi dan kesatuan yang telah terbukti diabad terakhir:
pemekaran provinsi Riau Kepulauan, terpisah dari Riau Daratan.
52 A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, 1978, hal.120-121, A-145; B-122, lihat juga hal.123-125;
permainan yang menunjukkan kecerdikan orang Melaka.
53 Van Hasselt dan Schwartz 1898: 72.
54 Barbara Andaya, 1997.
55
Pierre-Yves Manguin, Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir Asia Tenggara Kepulauan: Pinggiran-
Pinggiran yang Meluas, dilihat dalam “KEDATUAN SRIWIJAYA,” Kajian Sumber Prasasti dan
Arkeologi, tahun 1989, edisi kedua, 2014, hal.315-388.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
43
sampai habis pada segala teluk rantau dan anak sungai jajahan yang
takluk ke Melaka itu (HHT: 517) .. jadi tiada diambilnya negeri dengan
segala anak sungainya itu oleh Wolanda yang duduk di Melaka dan
Jayakatra itu ..(HHT:525)… Maka (..) dirusakkannya segala teluk
rantau jajahan Melaka (SM:145) .. pada zaman itu rakyat Melaka juga
sembilan laksa banyaknya, lain pula rakyat segala teluk
rantau...(SM:225). 56
Bahwa ungkapan anak sungai dan teluk rantau, meng-konotasi-kan hal yang
sama sebagai wilayah pinggiran yang takluk kepada negara pusat, pemukiman
yang tersebar di sepanjang aliran anak sungai sebagai daerah yang diperintah
oleh pusat kekuasaannya di hilir sungai primer. Bahwa para arkeolog telah
mengembangkan model fungsi politi hubungan hulu-hilir dengan pusat
berada di hilir sungai utama, dan serangkaian pinggiran pada anak-anak
sungai: model yang terutama dikembangkan oleh Bennet Bronson 57 yang
merefleksikan apa yang dikisahkan dalam teks-teks Sejarah Melayu. Bahwa,
diyakini model hubungan hulu-hilir dengan Sriwijaya sebagai pusatnya, candi-
candi dibangun disepanjang anak sungai atau muaranya, menunjukkan bahwa
telah terdapat kehadiran kekuasaan politik untuk membangun situs ritual
tersebut yang dipastikan membutuhkan pula sejumlah sumber daya;
kemakmuran. Bahwa potensi kemakmuran yang berasal dari hulu sungai,
dibawa menuju pusat-pusat pertukaran di bandar utama seperti Melaka,
dimana penduduk negeri taklukkan pun memperoleh imbalan akses produk
barang bergengsi dari lintas perdagangan dunia. Ilustrasi dinamisnya
keikutsertaan negeri pedalaman-pesisir taklukkan dalam jejaring perdagangan
dunia si Selat Melaka, segera menjadi salah satu bahan bakar bagi
meningkatnya kesulitan dalam mempertahankan penguasaan atas perluasan
wilayah; yang segera saja menjadi semakin jelas dalam hal pantai timur
Sumatera di mana banyak kerajaan kecil memiliki sejarah panjang
pengembangannya sendiri yang mandiri, dan merasa gelisah berada dibawah
“pusat” kemaharajaan Melaka. Sultan Mansur dan penerusnya, jelas
menyadari kebencian ini, dan tampaknya berharap bahwa aliansi pernikahan
akan membawa situasi kearah rekonsiliasi. Segera setelah kembali ke Melaka,
Sultan Mansur menikahkan putrinya dengan penguasa Inderagiri, sedangkan
56
Manguin, 316-17
57 Bronson:1977, 43
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
44
putra penguasa Siak menikah dengan putrinya yang lain. Selanjutnya anak
sulung dari Sultan Alauddin Melaka (1477-1488) dinabalkan sebagai Sultan
Kampar. Meskipun demikian, tindakan tersebut tidaklah memadai untuk
membangun superioritas Melaka. Sejarah Melayu misalnya, mencatat
sebuah insiden ketika penguasa Siak menjatuhkan hukuman mati tanpa
meminta izin dari Sultan Alau’d-Din.
“ALKISAH maka tersebutlah perkataan Sultan Ibrahim, raja Siak. Ada
seorang salah pada baginda, maka disuruh baginda bunuh pada Tun
Jana Pakibul. Maka kedengaran ke Melaka, raja Siak membunuh
orang tiada memberi tahu ke Melaka. Maka Sultan Alau’d-Din
menitahkan laksamana ke Siak. Setelah sampai, maka oleh Sultan
Ibrahim disuruh jemput surat dari Melaka itu, seperti adat Sultan
Pahang menjemput surat dari Melaka. Maka gajah dikepilkan di
balairung, maka Sultan Ibrahim pun duduk, dan surat pun dibaca
orang. Setelah surat dibaca, maka segala orang naiklah duduk.
Maka Laksamana pun berkata pada Tun Jana Pakibul, Perdana
Menteri Siak, ‘Sungguhkah tuan hamba membunuh Tun anu itu?’
maka sahut Tun Jana Pakibul, “Oleh dengan titah, maka hamba
berani; kerana ia derhaka ke bawah duli Yang DIpertuan.” Maka
laksamana mengadap kepada Tun Jana Pakibul, mengiring kepada
Sultan Ibrahim; oleh Laksamana ditunjuknya Tun Jana Pakibul dengan
tangan kirinya, katanya, ‘Tiada berbudi tuan hamba, sungguhlah tuan
hamba orang hutan, maka tiada tahu akan adat istiadat dan cara
bahasa. Benarkah membunuh orang tiada memberitahu ke Melaka?
Hendak maharajalelakah tuan hamba di Siak ini?’ maka Sultan
Ibrahim dan segala Orang Besar-besar semuanya diam, tiada
menyahut kata Laksamana Hang Tuah itu.” 58
Di Kerajaan Melaka, para bangsawan muda kehilangan kesempatan untuk
dapat mempermalukan rekan-rekan Inderagiri mereka, yang ternyata lebih
dari sekedar orang-orang Inderagiri yang biasanya dapat dilakukannya.59
Dalam tahun-tahun berikutnya penguasa Kampar terjebak dalam konflik
bersaudara, dan kedua pihak pun terus-menerus berselisih.60 Ketegangan ini
58
A.Shamad Ahmad: 1978, hal.184; B-190,A-237.
59
Brown 1952: 117, 139, 214.
60 Hashim 1992b: 214; Barbara Andaya,1997.
61
Brown 1952: 172; Tiele 1877: 366; Andaya 1975: 21. Raja Kampar, Sultan Abdullah yang
merupakan menantu Sultan Mahmud Syah, diangkat oleh Portugis sebagai bendahara orang-
orang asing di Melaka, juga diiming-iming akan diangkat menggantikan kedudukan mertuanya
itu, lihat Ahmad Dahlan,PhD, 2014; hal.157.
62 Andaya 1975: 21-5; Ali Haji 1982: 18.
63 Villiers 1990: 150.
64 Barbara Andaya,1997.
65 Lihat H. Maier, We are playing relatives; Riau, the cradle of reality and hybridity dalam:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, hal.
672-698
66 Lihat Ahmad, 1975, hal.189 dalam H. Maier, 1997, hal. 673-674
67
Boxer 1968:94
68
Andaya 1995: 537-32; Andaya 1975: 133, 146, 178
69 Andaya 1975: 90, 106-7, 108110, 112, 131-2
merusak ekonomi dan kesetiaan budaya yang telah didirikan dengan pesisir
timur. Suksesi mantan bendahara tidak pernah diterima oleh banyak orang
Melayu, yang menuduhnya durhaka (makar), kejahatan keji. Pada masa ini,
banyak Orang Laut sebagai hamba Riau yang paling setia, meninggalkan
Johor, meskipun sementara itu di Sumatera sendiri, ternyata prestise mereka
itu jelas-jelas terlihat jauh dari harapan.
Awal abad ke-18 terjadi pemberontakan, terutama di kalangan Minangkabau
dipedalaman Siak pada tahun 1705 dan di Inderagiri pada tahun 1706. Raja
muda Johor dipaksa untuk menggunakan kekuatan untuk mempertahankan
calonnya sendiri sebagai Sultan Inderagiri.70 Untuk periode yang singkat
setelah tahun 1718 tampaknya mungkin saja bahwa dinasti Riau baru di
bawah pemimpin Raja Kecil memberi legitimasi baru untuk visi Daratan-
Kepulauan dari Sultan Mansur. Raja Kecil, yang mengaku sebagai anak dari
penguasa Johor yang dibunuh, memiliki imprimatur dari ratu Pagaruyung, dan
juga klaim yang diterima secara luas; baik di kalangan orang Melayu maupun
Minangkabau. Selain itu, sumber Eropa dan adat menunjukkan bahwa ia
dielu-elukan sebagai penguasa Johor yang sah oleh Orang Laut, yang
wilayahnya membentang tanpa batas dari Sumatera timur hingga kawasan
Laut Cina Selatan. Kita dapat saja berandai-andai,
“sejarah Riau mungkin saja akan sangat berbeda jika Raja Kecil
mampu mempertahankan kekuasaannya atas Bintan dan kepulauan
Riau-Lingga.”
Akan tetapi, pada saat itu pemain baru pun muncul di sana. Sekelompok
Bangsawan Bugis, petualang dari Sulawesi yang mencari tanah air baru di
barat, melihat situasi di Riau sebagai peluang yang bisa diubah untuk
keuntungan mereka. Meskipun Raja Kecil berada di posisi yang kuat, ia
tampaknya memutuskan menekan keuntungan karena istri dan kerabatnya
jatuh ke tangan Bugis. Pada 1728 Bugis berada dalam posisi sebagai
pengontrol Riau dan telah mencapai kesetaraan dengan penguasa Melayu,
Sultan Sulaiman. Dengan mundurnya Raja Kecil ke Siak, ia akhirnya terpaksa
melepaskan harapan akan kembalinya Riau. Membangun dukungan
masyarakat Minangkabau di sepanjang pantai timur, dan sebuah dinasti baru
pun didirikan di Siak. Pada tahun-tahun berikutnya dua putra Raja Kecil ini,
70 Andaya1975: 211-227
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
49
Raja Alam dan Raja Mahmud, bersitegang untuk memperoleh akses kontrol,
masing-masing berusaha untuk mendapatkan dukungan dari Sultan Sulaiman,
dan secara berkala kembali ke basis di Siantan dimana mereka bergabung
dengan Orang Laut dalam kegiatan pembajakan. Meskipun Sultan Sulaiman
melanjutkan klaimnya sebagai penguasa atasan di Siak, pengaruhnya dapat
dikatakan terbatas, dan pengaruh ini pun semakin berkurang pada tahun
1746, ketika ia menyerahkan Siak kepada Belanda untuk imbalan bantuan
dalam mengantisipasi terhadap serangan Bugis dan Minangkabau. Bagian
akhir abad ke-18 terlihat betapa progresifnya Siak dan daerah pesisir timur
lainnya terhadap Johor. Pada 1761 Belanda dibantu Raja Alam, putra sulung
Raja Kecil, untuk mengambil alih kendali atas Siak, akan tetapi tetap ada
keberlanjutan perjuangan untuk penguasaan kontrol antara cabang-nya dari
keluarga dan keturunan Raja Mahmud. Meskipun sengketa ini berlanjut
hingga ke generasi ketiga, pernikahan putri Raja Alam dengan Said Osman
secara substansial dipandang telah meningkatkan prestise keluarga penguasa
Siak, sedangkan bagi pemukim Arab di pelabuhan pantai timur, terutama
Kampar, telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Sementara itu,
kontrol teritorial Siak itu terus berkembang ke pantai timur, dan pada tahun
1780 telah mencapai hingga sejauh Deli. Aliansi dengan VOC membawa
kepada peluang baru ala Eropa; Sultan Muhammad Ali dari Siak bahkan
didudukkan sebagai penguasa Selangor menyusul kekalahannya oleh Belanda
pada tahun 1785.
Akan tetapi, tidak satu pun dari perkembangan ini memupuk
pemulihan kaitan politis lama dengan Johor, yang efektif dilupakan
pada saat cucu Raja Alam, Said Ali (1791-1821), ia berhasil bertahta
sebagai penguasa Siak Sri Inderapura yang independen.
Said Abdullah, saudara dari Said Ali, menjadi Tengku Besar Kampar, dengan
rute menguntungkan yang mengarah ke Minangkabau. Tantangan ekonomi
Siak terhadap Riau jelas terlihat dalam perkembangan perdagangan dengan
Belanda yang memerintah Melaka, dan pelabuhan Inggris di Penang, sukses
itu lebih menyakitkan karena sebelumnya kemakmuran Riau telah menurun
tajam setelah serangan Belanda pada tahun 1784. Pada tahun 1761 misalnya,
jika hanya empat kapal saja tiba di Melaka dari Siak; akan tetapi pada tahun
1783, angka ini telah meningkat drastis mencapai 171. 71 Kebencian elit Riau
terhadap Siak terasa jelas dalam sikap bermusuhan yang diadopsi oleh Tuhfat
al-Nafis ketika menggambarkan pemimpin Siak sebagai orang yang bernafsu
dengan kekayaan dunia (Ali Haji 1982: 173). Di bawah pemerintahan Sultan
Abdul Jalil Saifuddin (Said Ali), Siak dikembangkan menjadi konfederasi
longgar atas entitas politik lokal yang membentang dari Kampar hingga
sejauh utara Asahan dan Deli. Selama pendudukan Inggris di Melaka (1795-
1816), perdagangan dengan Siak tetap kuat. Pengembangan perkebunan lada
juga ditingkatkan terutama pada jaringan perdagangan Siak. Dan memang,
untuk waktu yang singkat,
tampaknya mungkin saja bahwa Siak telah menciptakan negara baru
berbasis Daratan dengan sistem vassal-nya sendiri.
Pada tahun 1811 misalnya, Kampar telah diberikan status baru dengan
ibukotanya di Pelalawan.72 Mengingat ambisi tersebut, kehadiran penguasa
Siak di perhelatan kerajaan di Riau pada 1804 dan pernikahannya dengan
seorang putri Riau tidak meredakan ketegangan antara mantan tuan dan
pengikut tersebut. Seorang utusan Riau ke Siak, sedemikian ketatnya telah
diberikan instruksi:
“Jangan memberi penghormatan kepada Yang dipertuan Siak!” 73
Meskipun demikian, fakta yang menguatkan kehadiran Johor untuk terus
bersama-sama dengan pantai timur, terbatas hanya berada di daerah Reteh
dan di Inderagiri; bahkan di sini ada tekanan dari kelompok Minangkabau
hulu, dan Tuhfat al-Nafis menggambarkan tersingkirnya penguasa Inderagiri
oleh empat pangeran dari Minangkabau. Otoritas Johor di Inderagiri
dipulihkan melalui upaya pemimpin Bugis Riau, Yang Dipertuan Muda Raja
Haji (1777-1784), akan tetapi meskipun telah dilakukan aliansi kerajaan
melalui hubungan pernikahan, daerah Inderagiri-Reteh tetaplah gelisah.
Reteh sendiri menjadi basis bajak laut Ilanun pada akhir abad ke-18, dan di
Inderagiri adalah bukti yang menunjukkan ketahanan yang memadai bagi
penguasa atasan: Riau. Secara berkala pemimpin agama pun berusaha untuk
membangun kekuatan independen, dan kampanye militer yang diperlukan
untuk mempertahankan kedaulatan Riau.74 Bahwa kemiripan rezim
72
Faes, 1882: 507, 511.
73Ali
Haji, 1982: 213.
74 Ali Haji, 1982: 118-9, 194,217
tradisional yang bertahan hingga Perang Dunia II, akan tetapi juga di sini
tampak suatu keterbatasan yang ditetapkan oleh kolonialisme Belanda telah
menggerus kepemimpinan tradisional. Setelah kematian Sultan Abdul Jalil di
tahun 1821, kemampuan penguasa Siak untuk bertindak independen semakin
menyusut sebagai akibat dari penurunan ekonomi yang disertai dengan
peningkatan tekanan Eropa. Munculnya gerakan militan kaum Padri di
Minangkabau yang mengganggu aktifitas perdagangan dengan pedalaman,
dan bahkan pada tahun 1823 setidaknya seorang pengamat barat menilai
bahwa Siak bukan lagi negara yang kuat dan mandiri - itu hanya lima belas
atau dua puluh tahun yang lalu, ketika Siak adalah tempat perdagangan yang
besar; bahkan Anderson ketika berkunjung, ia menyatakan tidak terkesan
dengan apa yang disaksikannya.75
Kontrol pesisir atas masyarakat Minangkabau di darat selalu sulit, dan
tanpa individu yang kuat akan menjadi jauh lebih sulit lagi untuk dapat
senantiasa mempertahankan otoritas atas beragam wilayah Siak,
terutama dengan banyaknya calon raja atau pemimpin. Permusuhan
antara pangeran yang juga diperparah oleh keterlibatan Belanda dan
Inggris, juga berupa dorongan yang mereka berikan kepada keinginan
lokal untuk kemandirian yang lebih besar. 76
Mengingat tekanan untuk ekspansi imperium, nampaknya situasi sudah
matang bagi intervensi Eropa, terutama karena kebanyakan kolonialis
Belanda percaya tentang pentingnya kontrol atas pantai Timur Sumatra, jika
mereka harus melindungi kepentingannya. Melemahnya Siak dengan klaim
teritorial yang membentang hingga ke utara di perbatasan Aceh telah
menjadi undangan terbuka bagi ekspansi-eksploitasi. Berharap dukungan
dalam menghadapi militansi Aceh, pemimpin Siak menandatangani perjanjian
dengan Belanda pada tahun 1858 di mana mereka, seperti rekan-rekan
mereka di Inderagiri, menyatakan negara mereka segera menjadi bahagian
dari Hindia Belanda dan di bawah kedaulatan Belanda. Meskipun demikian,
proses ini bukanlah proses yang singkat dan sebagai akibat situasi internal
Siak semata, melainkan sebagai dampak perseteruan dua kolonialis; Inggris
dan Belanda.
75
Anderson 1971: 343.
76 Barbara Andaya,1997.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
52
2
Menghulu - Menghilir
79 Marsden, The History of Sumatra, p. 42; Forbes, A Naturalist's Wanderings, hal. 199; Collins,
"Besemah Concepts," pp. 57-58. Barbara Andaya, p.14.
80 Timothy P Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves:” Landscape and the Formation of
a Border State in Eighteenth Century Island of Asia, dalam Borderlands in World History, 2014.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
57
Koto Kampar dihulu Sungai Kampar Kanan, sebagai negeri yang subur dan
makmur; kemudian lanskap rantau Kuantan, hulu Kampar Kiri dan juga hulu
Rokan. Kontras dengan penggambaran pada abad ke-19 tentang pesisir
Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan yang dikatakannya lebih menyerupai negeri
miskin dengan mal-administrasi pemerintahan yang dikelola oleh pribumi.
Dapat saja orang mengatakan bahwa hal ini mungkin juga lebih menyerupai
prasangka ketimbang analisa. Bahwa berkemungkinan pula disebabkan
kondisi tanah yang paling subur sekalipun dari Sumatera tidak dapat
dibandingkan dengan kondisi di Jawa Tengah, dan pencucian lahan yang
dibuka oleh beratnya Curah hujan Sumatera telah mengalami begitu
banyaknya kehilangan nutrisi dasar. Untuk sebagian besar padi ladang(dry-
culture) lebih banyak dibudidayakan dari pada padi-sawah(wet-culture),
faktor yang pada gilirannya membantu mempengaruhi laju pertumbuhan
penduduk; untuk sementara padi kering membutuhkan lebih sedikit tenaga
kerja, juga menghasilkan lebih sedikit biji-bijian.
Darat, seperti di pesisir, ukuran populasinya sebanding dengan
ekologinya.
Meskipun demikian, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa pada awal abad
ke-17 ada lebih banyak orang yang tinggal di daerah hulu daripada di pesisir.
Dengan periode ini, juga, pedalaman telah mengembangkan ekonomi lokal di
mana jaringan distribusi mencerminkan proporsi pusat populasi. Sementara
di daerah pesisir yang berawa, ibukota adalah fokus utama dari kegiatan
komersial, darat ditandai oleh sejumlah poin tukar yang telah dikembangkan
di pedalaman sungai yang penting, seperti di Petapahan. Pusat-pusat ini
dikaitkan dengan jalan darat ke Minangkabau dan pantai barat, yang penting
faktor karena hulu sungai sekunder, meskipun banyak, namun seringkali
dangkal, diblokir oleh jeram dan batu-batu besar dan tidak cocok untuk
Perdagangan jarak jauh. Bagi banyak orang pedalaman, dijalur kuno hutan
seringkali ditemui pondok-pondok kecil bagi wisatawan untuk beristirahat,
juga sebagai sarana utama komunikasi antar berbagai pusat pertukaran.
Yang terakhir, dan ini penting bagi perekonomian pedalaman karena pada
musim kemarau ketinggian air disungai utama berada di bawah standar, dan
itu menjadi tidak mungkin untuk membawa muatan menuju hilir. Hingga
hujan tiba, perdagangan antara darat dan pesisir hampir terhenti, dan
pedalaman pun bisa-bisa hampir saja terisolasi dari pesisir. Robekan
81 KI Hs. 581, Wellan, van Hasselt, Ethnographische Atlas van Midden Sumatra, h.72-73.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
60
82
VOC 1428 Palembang to Batavia, 10 Feb. 1687, fo. 394v. Marsden, History if Sumatra, hal. 45;
Jaspan, "From Patriliny to Matriliny," hal. 2.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
61
menanggung kerasnya dari perjalanan akan tetapi juga untuk bertahan hidup
dari perangkap dan menguji kelicikan orang-orang hilir yang akan merasa
senang melakukan hal itu untuknya.83 Dengan masuknya pengaruh Islam,
maka cerita-rakyat yang awal mulanya berpuncak pada kehidupan dewa,
mambang, peri dan mahluk gaib, distimulir dan disesuaikan dengan mahluk
gaib yang diakui Islam. Kalaupun perwujudannya masih berupa dewa,
mambang dan sebagainya, akan tetapi nafas Islam sudah ditiupkan
kedalamnya, baik melalui dialog-dialog maupun melalui tema cerita. 84
Sementara itu juga dari sudut pandang masyarakat hulu, memperoleh
penghargaan dari pantai dapat juga sebagai simbol hadiah yang luar biasa
bagi penerimanya seperti halnya prestise yang berasal dari Raja hilir.
Meskipun dijauhkan oleh geografi, bahasa, dan adat istiadat, darat
dan pesisir tetap ditarik bersama-sama oleh ekonomi kemakmuran
pusat pesisir yang sangat bergantung pada kemampuannya untuk
menawarkan kepada para pedagang asing hasil-hasil yang dibawa
dari pedalaman.
Upaya oleh raja di pesisir untuk membawa mereka yang di hulu di bawah
penguasa atasan mereka dan melanjutkan upaya dari penghuni hulu untuk
membentuk hubungan ini terhadap mereka keuntungan mendominasi
sejarah Jambi dan Palembang di abad ke-17 dan 18, dan ini berbeda dengan
Riau Daratan, bahwa awal abad ke-18 merupakan era baru hubungan hulu-
hilir dengan tampilnya tokoh Raja Kecil dengan pendirian kerajaan hilir; Siak,
yang menggantikan dominasi Johor. Ambiguitas dan potensi dari asosiasi
darat-pesisir adalah kekusyuan (preoccupation) banyak cerita rakyat
Sumatera, akan tetapi dikatakan sebagai ke-kusyu-an yang tumbuh dari
realitas lingkungan setempat. Bahwa disepanjang pantai timur Sumatra yang
memliki Melayu sebagai budaya dasarnya, namun didapati bahwa bahagian
dari Jambi dan Palembang dengan kedekatan geografisnya mengalami
berbagai tingkat pengaruh dari Jawa. Meski kronologi ekspansi Jawa di
tenggara Sumatera masih belum jelas, namun setidaknya akhir abad ke-15
wilayah itu tunduk pada pelabuhan pantai utara Demak, dan abad ke-17 di
Jawa tengah diakui Kerajaan Mataram sebagai tuan. Tahun 1512 Tome Pires
83
Sandbukt, "Kubu Conceptions of Reality," hal.89; lebih jauh lihat Collins, "Besemah Concepts,
hal. 118.
84 Tenas Effendi, 1990;2-3, Ashley Turner, 1997; 656.
85
Pires, The Suma Oriental of Tome Pires, II, hal.154.
86.
Dagh-Register, 1631-1634, p. 321; VOC 1338 Jambi to Batavia, 28 Oct.1678, fo. 385; Bassett,
"The Factory of the English East India Company," p.269., dalam Barbara Andaya, 1993.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
63
juga memiiki banyak pohon bakau, saat itu telah menjadi begitu baik.87
Betapa pun jua, aliran perempuan ke istana adalah link penting dalam
hubungan hulu-hilir dimana perempuan yang melayani di kerajaan, sangat
sering berasal dari distrik hulu, tempat sebagian besar desa ditemukan.
Dalam dunia legenda salah satu tema yang paling luas adalah
cara di mana, kadang-kadang di masa lalu, serikat seksual
antara seorang perempuan hulu dan raja hilir membantu mendirikan
dasar bagi kerjasama antara ulu dan ilir.
Sebagai raja-raja Palembang dan Jambi yang berusaha untuk terus saja
memperketat ikatan selama lada tumbuh di pedalaman dan mereka kurang
bersedia untuk duduk pasif di ibukota dan menunggu "hadiah" yang dibawa
oleh rakyat mereka. Dan ini semakin menajam saja, perjalanan ke darat
untuk berburu atau memancing yang dikombinasikan dengan pemaksaan
pengumpulan persediaan lada, upeti, dan perempuan, "anak-anak
perempuan yang belum menikah tercantik.”88 Hal ini hampir pasti bahwa
gadis tersebut tidak akan pernah melihat keluarga mereka lagi, karena
mereka sekarang menjadi properti raja, dengan mudah diberikan kemana pun
atau dikirim ke Belanda untuk pembayaran utang.
Ambiguitas hubungan hulu-hilir tercermin dalam cerita yang
menggambarkan kompleksitas hubungan raja dengan ulu sebagai laki-
laki yang perempuan melayaninya dan bahkan melahirkan anak-
anaknya.
Bagi sebagian besar laki-laki, penyitaan anak perempuan atau saudara
perempuan adalah setara penghinaan bagai penculikan istri, karena sebagian
besar perempuan muda telah dijanjikan atau bertunangan selagi kanak-
kanak. Di desa, suami yang dirugikan, ayah, saudara, atau kekasih akan
berhak untuk mengambil tindakan berdasarkan motif balas dendam, bahkan
sampai tingkat membunuh pelakunya. Standar perilaku bagi khalayak umum
dan pangeran, diletakkan sama dalam legenda Palembang; sang pahlawan
besar Aria Damar, yang bersumpah ia tidak akan mengambil istri orang lain.
Ketika ia ditipu sehingga melakukannya, ia menemukan rasa malu sehingga
ditolerir bahwa ia pun akhirnya bunuh diri. Cerita lain yang melekat pada
87.
Hijman van Anrooij, 1885; 385.
88. VOC 1248 Palembang to Batavia, 15 Nov. 1664, fo. 2387; 1290, 26 Feb.1672, fo. 208.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
65
89
. KI Hs. 371a, "De kroniek van Palembang," n.f.; Generale Missiven, I, p.247., dalam Barbara
Andaya, 1993.
upeti dan pemenuhan jasa tenaga kerja dapat dijelaskan dan bahkan secara
tepat pula. Seorang raja mungkin juga mendukung “saudara,” akan tetapi
pada gilirannya mereka harus selalu siap untuk meminjamkan bantuan.
Sistem rotasi rodi dioperasikan oleh mana sejumlah orang dan perempuan
secara terus-menerus di istana sebagai pengumpul kayu, membawa air,
memasak, memberi makan hewan, dan sebagainya.
Asumsi implisit yang mendasari asosiasi hulu-hilir adalah bahwa
hubungan antara desa dan kerajaan terletak pada hubungan saling
pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban antara kedua belah
pihak.
Orang orang memberi hadiah, barang, dan tenaga kerja; penguasa
memberikan penghargaan dan perlindungan. Penguasa ini hanya tidak bisa
mempertahankan posisi mereka di hulu semata-mata melalui kekuatan.
Meskipun keuntungan dari suksesnya kerjasama antara hulu dan hilir yang
jauh, ikatan yang dikembangkan adalah tidak berarti tak terelakkan.
Masyarakat pedalaman selalu melihat penerimaan raja pesisir sebagai
bersyarat, dan mereka menjadi “hamba” hanya sejauh mereka setuju untuk
menganggapnya sebagai tuan mereka. Sebagaimana telah ditunjukkan
Barbara Andaya, bahwa asosiasi darat-pesisir yang diwarnai dengan
ketegangan dan ambiguitas, juga dipicu oleh kehadiran Eropa yang
menyebabkan perubahan pada produksi, yang memicu tekanan atas
rasionalisasi produksi, kemudian dikenalkan dan meluasnya penggunaan
uang, serta perbedaan persepsi atas hutang. Benturan budaya mengenai tata
cara perniagaan tradisional dan barat, tergambar dari ketidaksepahaman atas
satuan ukuran, dan bagaimana kepercayaan harus dibangun, yang bermula
dari mengandalkan jaringan kekerabatan sebagai sumber daya yang bisa
dipercaya, beralih pada pembeli dan agen yang dicurigai penuh muslihat dan
tipu daya, lalu, pasar pun berubah menjadi arena konfrontasi dan
antagonisme daripada kepercayaan dan persahabatan. Ketegangan produsen
darat dan pembeli pesisir ini, juga diiringi rivalitas antar kerajaan yang dimasa
Belanda, meskipun dicarikan solusinya untuk sementara, namun secara
sengaja dikondisikan tidak menghilangkan konflik untuk waktu permanen,
dbiarkan saja hingga menjadi laten. Sarana peredam konflik melalui ikatan
perkawinan, kerap tidak menjadi salah satu solusi yang dilakukan ketika
penjajah “menengahi” ketegangan antar politi-politi. Barbara Andaya
berpendapat, bahwa
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
67
Bahwa Legenda atau hikayat yang ada, jelas merupakan sebuah media
penyampaian pesan, tidak hanya bagi kalangan Melayu, melainkan juga bagi
Orang Asli. Bahwa hubungan antara Orang Asli dan Melayu, dapat kita lihat
dari penggambaran yang dapat menjelaskan pembagian pahlawan legendaris.
Pada awal abad ke-20, Skeat dan Blagden melukiskan kisah Orang Asli dari
Semenanjung Malaya tentang batin yang disebut sebagai Batin Berchanggei
Besi; setelah kematiannya, posisinya diambil oleh Hang Tuah, batin dari
Pengkalan Tampoi di Kelang. Ia dan anak-anaknya, Hang Jebat dan Hang
Ketuwi (Kasturi di Malayu), dan keturunan mereka menjadi pendiri batin di
Sungai Ujong, Kelang, Johor, dan Melaka.90 Di Semai chermor, di kalangan
pengikut dari penguasa Melayu Malaka adalah Orang Asli bersaudara, Hang
Tuah dan Hang Jebat. Akan tetapi kemudian terjadi pertengkaran antara
bersaudara itu, yang mengakibatkan kematian Hang Jebat. Hang Tuah,
didampingi keluarga istrinya dan orang-orang dari Hang Jebat, serta Orang
Asli dari Gunung Ledang, bergerak ke utara dan kemudian bermukim di sana.
Bagian dari kelompok yang bertetap di pusat Perak dan kemudian dikenal
sebagai dataran rendah Semai, sedangkan HangTuah yang bergerak jauh ke
utara menjadi pemimpin Orang Asli di dataran tinggi Perak. Kelompok
terakhir akhirnya mengendap di daerah yang sekarang disebut Lambor. 91
Dalam cerita Orang Asli ini, Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Kasturi adalah
pemimpin awal yang penting dari masyarakat Orang Asli. Mereka juga
terkenal dalam folklore Melayu dan dalam dua karya yang paling populer dari
90
Skeat and Blagden, Pagan Races, vol. 2, 267–73.
91 Edo, “Traditional Alliance,” 3–5.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
68
sastra Melayu, Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Mereka ini merupakan
tipikal pahlawan Melayu, sementara juga mereka berdua terkait dengan
pulau-pulau dan tersirat untuk menjadi asal-usul Orang Laut.
Fitur lain yang penting pada kisah Orang Asli adalah peran Sumatra,
terutama Minangkabau dengan pusat kerajaan legendarisnya;
Pagaruyung.
Kembali kita pada kisah yang dikumpulkan oleh Skeat dan Blagden, Batin
berchanggei Besi, ia meninggalkan Minangkabau dengan pengikutnya untuk
bepergian pertama-tama ke Jawa, di mana beberapa pengikutnya tetap
bersamanya dan kemudian menuju Malaka, yang kemudian diketahui telah
berpenghuni. Salah satu keturunannya di Kelang memberikan putrinya dalam
pernikahan ke pemimpin Minangkabau dihilir.92 Selain itu, sebuah mitos
penciptaan Biduanda dikumpulkan oleh Hood Salleh yang juga memiliki
hubungan dengan Sumatera. Menurut kisah ini, asal kelompok tersebut
diberikan untuk Batin Sri Alam dengan “batang pohon yang berjalan” (walking
tree trunk) dan menyimpannya di penangkaran. Batang (trunk) kemudian
menghasilkan telur sejumlah empat puluh empat butir, dimana batin
kemudian memendamnya sampai mereka menetas menjadi empat puluh
empat anak. Ketika mereka tumbuh ia mencukupi mereka dengan kain kulit
kayu untuk pakaiannya. Separuh dari anak-anak ini ia kirim ke Sumatera, di
mana mereka berkoloni di pantai hingga “sejauh perbatasan dengan negeri
Batak” (di pedalaman Sumatera), sementara itu separuh lainnya tetap di
semenanjung dan menjadi Biduanda.93 Yang lainnya dan masih berkaitan
dengan Sumatra dari Semenanjung, bahwa dalam salah satu chermor Semai,
nenek moyang Orang Asli meninggalkan Mengkah dan menuju tanah pertama
di Sumatera, di mana beberapanya berlayar menggunakan rakit dan
membangun pemukiman di Pagaruyung. Lainnya dari kelompok ini pergi ke
negeri di Siam atau Siap di Gunung Maluk (dikatakan di bagian utara
Semenanjung Melayu), sementara yang ketiga terus ke selatan sampai
gunung Sahine (diyakini berada di timur sisi pusat Perak), dan anggota yang
tersisa turun di Malaka dan mengendap di Gunung Ledang. 94 Kemudian,
berusaha mencari wilayah baru untuk memindahkan kepadatan penduduknya tersebut; salah
satunya rombongan yang terdiri dari 190 orang (189 orang janda dan seorang hulubalang sebagai
pemimpin dikirimkan ke wilayah timur hingga sampai ketepian sungai Biduando(yang berarti
sungai dari rombongan 189 janda dan seorang pemimpin), sungai itu akhirnya berubah nama
menjadi Mandau, dimana Mandau sendiri dapat juga diartikan dari “marandau:, yang berarti
campuran nasi dan ubi kayu, sebagai makanan pokok orang Sakai. Untuk jelasnya, lihat Suparlan,
Orang-Orang Sakai di Riau, 1993, hal.72-88.
98 Sager, “If We Cross,” ch. 3: 5.
99
Sager menyebutkan bahwa Putri Selero Pinang Masak dan Orang Kayo Hitam, diketahui dalam
masa penyebaran Islam dan pendiri hukum kemasyarakatan (considered sacred by the Orang
Rimba), dikatakan bahwa Orang Rimba telah menetap di desa dan menjadi Muslim (sebagai
penyebab ke-Melayu-an). Pahlawan lainnya yang berasal dari Orang Rimba adalah Si Pahit Lidah.
Sager, “If We Cross,” ch. 3: 2–8; Andaya, To Live as Brothers, 11–3, passim.
100 Hijman van Anrooij, 295.
101 Van Rijn van Alkemade, Reis Naar Siak van Poelau Lawan, 1887, hal.136-137
mematuhi situs kuno Jawa di berbagai belahan Sumatera; akan tetapi, ini
tidaklah berlaku terhadap kasus pada bahagian Minangkabau yang berasal
dari keturunan luar, bahwasanya ditemui bukti kuat seperti yang terdapat
dikalangan orang-orang ini sebagaimana halnya perilaku dan kebiasaan orang
Melayu dari pantai barat, sebaliknya, adalah upaya sia-sia untuk menemukan
jejak keturunan Jawa, baik pada adat maupun bahasa, dan juga pada fisik
tubuh dan penampilan mereka. Gelar Patih sebagai gelar dari orang pertama
di Talang Dayun, sebahagian berpendapat untuk dapat dipertimbangkan
sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Jawa. Mungkin juga, kondisi ini
dapat dijelaskan dari apa yang berasal dari tradisi Anten-Anten sebagai kepala
kedua di Talang Dayun yang diturunkan dari tradisi Minangkabau: Datuk
Katemanggungan. Juga tradisi yang sama dari saudaranya: Perpatih
Sebatang yang mendirikan dua kepala Laras pada masyarakat Melayu
Minangkabau; dan pada Talang Dayun ditemukan, meskipun dengan nama
yang berbeda, bahwa kembali terdapat model pembagian sebagaimana
halnya kedalam dua Laras. Pemimpin yang disebut Patih, namanya
mengingatkan kita dengan Parpatih dan dengan demikian tentu saja hal ini
dapat kita kaitkan. Sementara itu pemimpin yang lainnya; Anten-Anten dan
kewenangannya atas Suku Dayun Darat(terletak di pedalaman) berbeda
dengan Suku Dayun laut (ke arah tepian sungai), yang merupakan otoritas
dari Patih. Kedua suku utama ini, seperti yang akan kita lihat memiliki suku-
suku mereka sendiri, mengingatkan kita akan pembagian dua Laras yang awal
mulanya berada dikalangan masyarakat Melayu dari Pantai Barat, perlu juga
dicatat bahwa kewenangan Patih sebelumnya telah diperluas hingga
mencakup talang tetangga baik di Siak maupun Pelalawan, dengan
peringkat yang lebih tinggi dari Anten-Anten, meskipun juga otoritas yang
terakhir ini ditempatkan dengan rasa hormat dikalangan suku-sukunya
sendiri.
Cerita-cerita yang berasal dari Minangkabau juga ditemukan di kalangan
masyarakat Talang Mamak, yang bermukim di sepanjang Sungai Indragiri dan
sekali waktu terkait erat dengan kerajaan Indragiri di pesisir. Meskipun
subsistensi mereka lebih didasarkan pada pertanian padi ladang, mereka juga
merupakan pengumpul hasil hutan, yang menjelaskan hubungan mereka
dengan kerajaan Melayu di pesisir.102 Menurut “Langkah lama”
mereka(perilaku lama, yaitu; adat), tiga putra dari Parapatih nan Sebatang
(salah satu dari dua pembuat hukum Minangkabau) meninggalkan
Pagaruyung karena pertengkaran keluarga dan menjadi pemimpin Talang
Mamak di Indragiri.103 Identifikasi Pagaruyung dan Minangkabau sebagai
tempat asal dari banyak kelompok Orang Asli dapat dijelaskan oleh reputasi
spiritual yang luar biasa dari para penguasa Pagaruyung dikalangan orang di
wilayah tersebut. Cerita dari kekuatan suci penguasa tersebut akan tiba di
Semenanjung Malaya selama berlangsungnya imigrasi Malayu dari akhir abad
ke-14 atau bahkan lebih awal sebagai hasil dari aliran bebas barang dan
informasi di Selat Melaka. Orang Asli mungkin telah menyerap tradisi dari
pemukim Minangkabau, akan tetapi lebih mungkin lagi bahwa reputasi pusat
sakral Minangkabau mendahului para imigran kemudian. Reputasi ini
memfasilitasi terjadinya perkawinan antara Minangkabau dan Orang Asli,
khususnya di Negeri Sembilan, yang sering dilihat sebagai cara di mana
pemukim awal Minangkabau memperoleh akses ke negeri.104 Namun bagi
Orang Asli terdapat banyak keuntungan spiritual dari perserikatan tersebut.
Kisah mereka tentang potensi spiritual Pagaruyung, diperkuat oleh reputasi
“kata-kata” sakral penguasa,105 akan membuat ide perkawinan dengan
Minangkabau memang menjadi menarik. Perkawinan antara Minangkabau –
Orang Asli, merupakan suatu bentuk interaksi dengan jarak sosial nol;
meleburnya juga tidak hanya melibatkan dua individu, melainkan meliputi
interaksi aktif dari dua sistem sosial. Sehingga, disini dapat diasumsikan
bahwa orang asli mengadopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam
kelembagaannya. Proses ini diasumsikan merupakan salah satu bahagian dari
serangkaian adopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam orang asli yang
menunjukkan keterkaitan antara Orang Asli dan Minangkabau.
Petalangan adalah elemen yang paling penting dari hamba penguasa, karena
dikatakan bahwa mereka dan nenek moyang keluarga kerajaan berasal dari
dataran tinggi Minangkabau; pendapat ini seperti dikemukakan Moszkowski,
yang nampaknya mengidentifikasi orang asli seperti Sakai sebagai berasal dari
Pagaruyung, sebagai orang Veddoid bersama-sama dengan orang
Minangkabau yang bermigrasi ke Riau Daratan pada abad ke-14, tepatnya di
wilayah Gasip, dan juga sebagaimana telah disampaikan tentang hasil studi
Suparlan yang menemukan jejak Sakai ke Minangkabau ataupun Mentawai. 106
Meskipun demikian, terdapat pandangan yang berbeda. Bahwa disatu sisi,
Sakai dianggap sebagai berasal dari Minangkabau-Pagaruyung, sementara
disisi lainnya adalah sebagai Melayu.107 Untuk yang pertama,
dikatakan sebagai hanya sedikit bukti untuk mendukung pandangan
ini, yang mungkin hanya muncul disebabkan Minangkabau dan
Petalangan ataupun Sakai berbagi praktek matrilineal yang sama
(adat kamanakan).108
Kontak antara Petalangan dan Minangkabau mungkin saja telah meningkat di
abad ke-17 dengan gerakan besar Minangkabau dari tanah air mereka
menghilir ke pantai timur.109 Selain itu, bahwa
di lingkungan Selat Malaka, afiliasi etnis bukanlah sebagai identitas
tunggal, melainkan sebagai “Spektrum Identitas.”
Nathan Porath menjelaskan fenomena ini dalam hal "afiliasi melalui asosiasi,"
di mana ada gradasi link affinal yang terbentang ke daerah lain untuk
memasukkan sejumlah unsur luar yang berbeda. 110 Oleh karena itu, mungkin
saja satu kelompok menyatakan dirinya Minangkabau atau Malayu di bawah
suatu kondisi, sebagai Orang Riau di tempat lainnya, dan Melayu Sakai atau
Asli Sakai di situasi yang lain pula. Konsepsi etnis yang “cair” ini merupakan
mekanisme ekonomi dan politik yang penting, yang dapat digunakan untuk
memajukan kepentingan individu ataupun seluruh kelompok. Pilihan etnik
yang dibuat pada suatu masa di sepanjang spektrum bisa menentukan
keberhasilan ataupun juga kegagalan suatu usaha ekonomi atau hubungan
politik. 111
112
Rijn van Alkemade, “Het Rijk Gassip,” 222–5.
113 Menurut Rijn van Alkemade, bahwa tugas peperangan ditetapkan kepada Suku Laut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
75
pusat peradaban Melayu dari Sriwijaya ke pedalaman Batang Hari. Candi ini
ditemukan pada tahun 1858 oleh insinyur pertambangan C. de Groot, yang
membuat sketsa ditepian Sungai Kampar-Kanan. Dari penduduk setempat ia
mengetahui bahwa di suatu tempat terpencil terdapat reruntuhan candi yang
mereka sebut sebagai “Kota Candi.” De Groot pun menemukan reruntuhan
situs di tengah-tengah rimbunnya tanaman bambu. Terdapat beberapa
pendapat tentang masa pendirian candi ini, seperti Schnitger, yang
mengemukakan bahwa pendirian situs Muara Takus ini bersamaan dengan
periode candi di Padang Lawas. Di Padang Lawas, bahkan Bosch, Stutterheim
dan Boris menemukan angka-angka di salah satu candi; 1175 caka, yang
berarti sama dengan tahun 1235 masehi. Bahwa, penguasa India selatan
Rayendra Chola yang melakukan penyerangan terhadap Sriwijaya, Pane dan
Lamuri diabad ke-11, diduga telah mendirikan candi pemujaan Syiwa
diwilayah Padang Lawas; terdapat kesenjangan antara kedatangan Rayendra
Chola dengan tanggal situs, yaitu abad ke-11 dengan abad ke-13.
Diasumsikan, pembangunan dilanjutkan oleh keturunannya mengingat
keberadaan situs sama dengan yang terdapat di India Selatan. Keberadaan
kerajaan ini, punah seiring penyerangan yang dilakukan orang-orang Batak
yang dipimpin oleh Datuk penghubung114. Jika melihat letak posisinya, maka
keberadaannya pada jalur perdagangan Minangkabau dan juga, Batak.
Sehingga, disini terdapat keberadaan Legenda yang berkaitan dengan entitas
Batak tersebut. Legenda ini juga berhubungan dengan tempat utama di
lanskap V Kota Kampar; Bangkinang. Menurut legenda, terdapat suatu ibu
kota, yang terletak di sebuah tikungan tajam Sungai Kampar, yang begitu
besarnya sehingga dikisahkan kucing yang berjalan dari atap keatap rumah
lainnya harus menghabiskan waktu selama tiga hari untuk terus berjalan
sebelum seluruh kota telah selesai ditempuhnya. Kota dikelilingi oleh tembok
tanah, dan juga parit115 sebagai sumber daya pertahanan dalam menghadapi
penyerangan (Batak).116
Pendapat lainnya mengatakan bahwa candi Muara Takus dibangun
pada abad ke-7 atau 8, atau bahkan abad-abad sebelumnya, dan juga
114 Dada Meuraxa, dalam “Kerajaan Melayu Purba,” Penerbit Kalidasa Medan, tahun 1971, hal.13
115 Holle menemukan pola semacam ini yang merupakan kediaman Datuk Penghulu, berada di
Lanskap Pangkalan Kota Bahru, dan satu-satunya yang ditemukan disana pada akhir abad ke-19.
116 Lihat Kalff, dalam “Sumatraanche Oudheden,” in Nederlandsch Iindie Oud & Nieuw, 5 Mei
1920.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
76
117
Bahwa dikisahkan tentara Sriwijaya menuju ke ibukotanya dari daerah yang bernama
“Minanga-Tamwan”. Purbacaraka mengemukakan bahwa arti dari “Minanga-Tamwan” adalah
pertemuan dua buah sungai; diartikan sebagai Sungai Kampar Kanan dan Kiri.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
77
pasukan Batak datang menyerang Muara Takus, dan dalam pertempuran ini
raja terakhir, Panjang Jungur tewas. Didekat Batu Besurat, orang Batak
melemparkan batu bertulis ke dalam sungai dan berkata, “Ketika batu ini
mengapung kembali ke permukaan air, kita juga akan kembali.” Sayangnya,
di Pematang Gadang, mereka menemui hambatan. Bahwa sepokok kayu
besar telah menimpa dan mereka pun tenggelam. Banyak mayat yang
mengambang dialiran sungai dan berbau busuk, sehingga dinamakan sebagai
Sungai Sibusuk. Dari aliran ini, menghilir mayat-mayat mengambang dan
dengan demikian dinamakan “Bangkai-inang” atau Bangkinang118 (Mayat
Batak). Nama “inang” berarti “ibu” dalam terminologi Batak, tersebab
terkejut, mereka menyebutnya dengan “inang.” Bahwa juga diceritakan di
masa kuno terdapat aliran sungai bawah tanah, yang menghubungkan
Kampar Kanan dengan Kampar Kiri; Legenda berkisah tentang Indo Chatib
dari Suku Bondang, yang suatu ketika ia memancing di wilayah tetangganya;
Koto Air Tiris. Bahwa sang tokoh ditarik oleh ikan yang berhasil diburunya
melalui sungai dibawah tanah hingga ke Kampar Kiri; legenda ini, terutama
berkaitan pula dengan asal-usul nama Air Tiris. Muara Takus sendiri dulunya
dinamakan Si Jangkang atau Telago Undang. Nama ini, berasal dari kata
Takut; nama anak sungai dari sungai Kampar, sebab disini orang-orang mulai
merasa takut dengan sang Penguasa Muara Takus (takut). Kerajaan ini
sesekali waktu mendominasi wilayah sekelilingnya. Seperti penguasa Rokan
yang mengunjungi Muara Takus untuk melakukan ritual “Balimau.”
Pada era Hindia, saat peringatan Hari Ratu, seluruh penghulu di wilayah
pemerintahan Bangkinang tiba untuk memberi penghormatan kepada
Kontrolir; Penghulu Muara Takus memimpin prosesi dibawah payung emas.
Dari legenda Muara Takus ini, sebagaimana telah disampaikan bahwa
terdapat unsur Batak yang melakukan penyerbuan, dan bahkan,
menimbulkan penyebutan Bangkinang yang berasal dari kata Bangkai-Inang.
Hal ini, diasumsikan berkaitan dengan suatu masa di era Sriwijaya yang
berada dalam perdagangan camphor dan benzoin di abad ke-8, dimana terjadi
migrasi orang Batak dari danau Toba kearah selatan, dan terdapat juga bukti
bahwa telah terjadi penyebaran awal orang Batak diwilayah yang sekarang ini
dikenal sebagai berbasis Melayu ataupun Minangkabau. Menurut sejumlah
118
Bangkinang sebagai pusat dari V Koto Kampar, sekarang dikenal sebagai ibukota Kabupaten
Kampar Provinsi Riau.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
78
tradisi Kampar, bahwa Rao pada suatu masa adalah Batak, namun disaat
selanjutnya adalah Minangkabau, sementara daerah timur dari Rao dianggap
sebagai Batak. Bahwa legenda penyerangan Muara Takus oleh Batak, berbasis
di Kuamang. Pada abad ke-19, seorang Belanda melaporkan melihat batu
berinskripsi kaligraphi Batak, yang terletak di lingkungan Glugur di Sungai
Kampar. Ia menjelaskan bahwa batu tersebut menginformasikan pemberian
penghargaan kepada pemimpin desa, yang diasumsikan sebagai Batak, dan
nampaknya dapat dikaitkan dengan Mandailing. Hingga pertengahan abad
ke-19, Neuwman meyakini bahwa Batak bermukim di sebelah utara
pegunungan Pasoman (Dolok-Pasoman di Batak), dimana pegunungan
Pasoman ini merupakan sumber dari sungai Rokan, Siak dan Kampar, dan
menandai perbatasan paling selatan dari negeri Batak. 119
Kondisi tersebut juga menegaskan keyakinan, bahwa, peradaban
masyarakat manusia dapat lebih tua dari yang apa yang telah dan
tengah dipercaya, bahwa pengetahuan yang meliputi suatu entitas
masa kuno telah diikat oleh keterbatasan bukti-bukti, dan akan
berubah ketika ditemukan bukti baru yang otentik dan argumentatif.
Upaya yang sangat baik dalam melihat kondisi Lanskap darat dalam kaitannya
dengan kerajaan pegunungan; Minangkabau, kita dapat bandingkan dari apa
yang diperoleh Kato Tsuyoshi120 yang melakukan kajian yang mengaitkan asal
usul Rantau Kurang Oso Dua Puluh melalui kisah Rakit Kulim yang terkenal
sepanjang aliran Kuantan - Indragiri sejauh hilir di Rengat. Suatu waktu yang
telah sangat lama berlalu, atau menurut satu versi pada akhir abad ke-14,
seorang raja Minangkabau dari Pagaruyung mengirim dua bangsawan ke
Kuantan untuk membawa hukum adat dan ketertiban di daerah ini. mereka
adalah Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka
membuat rakit dari pohon Kulim untuk perjalanan. Kulim (Scorodocarpus
borneensis) adalah pohon keras dan berat yang sulit mengapung di air.
Namun sebaliknya, rakit Kulim mereka mengapung disebabkan dua
bangsawan itu diberkahi dengan kekuatan supranatural. Mereka dan para
pengikutnya pun berakit menyusuri Kuantan - Indragiri hingga tiba di daerah
121
Pandji Poestaka, 17 November 1942; koleksi dari Nederlandsche Instituut voor Oorloogs
Documentatie.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
81
dimana gelar adat tersebut masih diwariskan di Kuantan hingga saat ini.
Berkaitan dengan perwakilan raja Pagaruyung di Kuantan, ada baiknya kita
melihat laporan yang dituliskan oleh Grijzen. Grijzen122 menyebutkan bahwa
keseluruh federasi kota-kota di Distrik Kuantan, membentuk empat federasi,
termasuk yang disebut sebagai IX Kota di Atas dan IX Kota di Ilir, dan negeri-
negeri ini berada di bawah kewenangan taruhan orang Gedang nan berlima.
Untuk jelasnya adalah sebagai berikut:
Datuk Dano Puto dan Datuk Dano Sekaro untuk IV Koto di Ilir; masing-
masing berpusat di Cerenti dan Inoman;
Datuk Muda Besei untuk V-Koto-di Tangah; berpusat di Taluk
Datuk Habib untuk V Kota di Mudik berpusat di Lubuk Jambi, dan
Datuk Paduka Raja untuk IV Koto di Mudik; berpusat di Aur Balei.
Di Lubuk Ambacang bermukim kepala, yang memimpin dengan gelar Datuk
Sangga Raja. Posisinya sebagaimana dalam ungkapan, “orang gedang
berlima, bëranam dengan Sangga Raja.” Mereka semua orang Gedang Raja,
bahwa tugas mereka oleh Raja Pagaruyung adalah mereka diangkat sebagai
wakilnya. Adapun kata “Sangga Raja” berasal dari kata “mënyangga Raja”.
Gelar diberikan, saat kedatangan pangeran Pagaruyung yang menaiki perahu
di rantau Kuantan dan menariknya untuk menepi (Mënyangga perahu Raja).
Paduka Raja, berawal dari pëndukung Raja dan didasarkan pada kenyataan
bahwa Raja dari Pagaruyung yang berada di perahu menuju Singgasana Raja,
dan ini haruslah didukung (mendukung Raja). Datuk Chabit bertanggung
jawab atas pemeliharaan ini, dan juga untuk memastikan bahwa Pangeran
menerima bagian atau hak istimewanya (privillege) dan juga meliputi
pemotongan rumput (sabit rumput); Pada salah satu perjalanannya dimana ia
berada di Taluk, bahwa istri Raja terihat pucat dan kurus. Salah satu kepala
dapat memulihkan dan menjadikannya sehat kembali, sehingga ia
memperoleh galar “Muda Bisai” (Bisai = menyenangkan, sehat); bahwasanya
ia tengah berada di Inuman dan telah diketahui bahwa isteri sang Raja
tersebut ternyata sedang hamil. Terhadap kepala yang membawanya dengan
perawatan yang diperlukan dari perahu di pantai, diberikan gelar Dano Bikaro
atau Sikaro(Bingkaro=hamil). Kemudian sang Raja dari tempatnya itu, akan
kembali melakukan perjalanan dan segera saja diatur untuk tujuan tersebut,
dan didahului oleh Raja Dubalang dari Aur (Onderafdeeling Lintau dan Buo)
123
Menurut Hadat: “doea kali toedjoeh hari,” dalam Schwartz,1893:hal.362
124
Raja Dubalang dari Aur(wilayah ini di era Hindia Belanda termasuk dalam Onderafdeeling
Lintau en Bua) diperintahkan oleh salah seorang Penghulu dari Padang Tarab untuk
mempersiapkan segala sesuatunya;
125
IJzerman, Nijhoff, 1909;
126 Bahwa Grijzen mengungkapkan tentang ikatan antara Kuantan dan Indragiri yang lebih longgar
bertuan ka Minangkabau”127.
Kembali melihat kebelakang, Ketika pemukim di Indragiri banyak yang berasal
dari Minangkabau, menurut tradisi bersama dengan sistem pemerintahan di
Kuantan di awal abad ke-14, berkaitan dengan Datuk Pepatih dan Datuk
Katemmenggungan, lambat laun tampaknya dan apa pun alasannya, raja
Pagaruyung mengetahui bahwa dikalangan pemukim di koloni, terdapat
keinginan untuk “membuatnya terpisah”. Lalu, To Patih dan To Tumenggung
pun memutuskan untuk mengembalikan kepada sang raja. Mungkin saja,
tradisi hubungan Semenanjung dengan Minangkabau yang banyak ditemui
bermukim di hilir, sebagai dikisahkan bahwa seorang pangeran sebagai putra
dari Sultan Muhammad Syah, Raja terakhir yang memerintah di Malaka di
akhir abad ke-15 ketika terjadinya invasi Portugis,128 di Kampar mereka
mengangkatnya menjadi Sutan. Dikisahkan bahwa ia menikahi putri
pangeran dari Minangkabau, yang memberinya dua putra, yang tertua dari
Sutan berhasil mendirikan kerajaan dengan menyisihkan saudaranya yang
hanya menjadi Raja Muda. Di distrik Kuantan acapkali terjadi sengketa yang
sering berakhir dengan konflik. Oleh karena jarak yang cukup jauh, sehingga
pangeran Minangkabau tidak mampu untuk langsung turun menanganinya, ia
melimpahkan kepada kepada cucunya; Raja muda (Yang dipertuan muda) dan
Tumenggung untuk kasus-kasus besar, dimana tidak bisa diselesaikan sendiri.
Di bawah ini adalah secara garis besar apa yang telah berlangsung: 129
1. Dengan sering terjadinya perselisihan atau pertengkaran, maka
mengharuskan Datuk Tumenggung mengundang Datuk nan Berlima
sebagai Orang yang tidak memihak dalam upaya menyelesaikan
permasalahan dan jika mereka gagal, maka akan dialihkan ke wakil
raja, dan kemudian mereka menyelesaikannya di Tambangan,130
dimana dibuat keputusan untuk para pihak yang bersengketa;
127 Kontrolir Twiss mengatakan “adapoen Rantau Kuantan, sahingga Cerenti moedik bertoean ka
Minangkabau, sahingga Batu Idjar Hilir ba Raja ka Raja Moeda (Indragiri) berDatuk ka
Toemenggoeng”.
128 Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511 dan Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke
pedalaman, tepatnya di Kampar, lihat: Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
129
Schwartz, Nota Over den politieken en economischen toestand van het landschap Kuantan,
Tahun 1893.
130 Sungai Perbatasan antara kerajaan Kuantan dan Indragiri.
131Schwartz, 1893:hal.341.
132
Meskipun demikian, dapat dibandingkan juga dengan IJzerman (1895), bahwa para penguasa
rantau Kuantan pasca keruntuhan Pagaruyung secara geneologis tetap terkait dengan dinasti
Minangkabau tersebut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
86
Oleh karena itu, kata “Tuan”, digunakan untuk kedudukan Pagaruyung, sejak
menemukan dirinya di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak diperlukan
satu intervensi Raja muda dan Datuk Indragiri untuk menyelesaikan sengketa.
Sebagaimana telah disampaikan, akhirnya persoalan diselesaikan secara
bertahap; pada awalnya dalam rangka menciptakan penampilan dua tahunan
untuk acara “Tambangan” dan menawarkan hadiah, adapun tebus Kepala
tetap dalam posisinya. Terjadi hubungan persahabatan antara dua kerajaan
ini, terutama setelah pasifikasi dinegosiasikan, yang hanya menunggu sanksi
dari Pemerintah, untuk pernikahan awal-antara Sutan Tengku bong dengan
putri pangeran Kuantan, terdapat rasa kekuatiran bahwa hubungan antara
Sultan dan Sutan dari Indragiri akan mengalami perubahan.
Di dalam kebiasaan ataupun adat Melayu, keputusan diambil hanya dengan
suara bulat yang sempurna, atau model permusyawaratan (mufakat). Oleh
karena itu, tak ada habisnya di sana besarnya pengaruh Orang-pandei. Orang
yang memiliki keunggulan dan kecerdasan serta kefasihan; biasanya akan
memiliki pengaruh yang besar. Bahkan mereka dengan modal keberaniannya
dapat menjadi kekuatan bagi dirinya dalam berhadapan dengan yang lain.
Siapa yang kuat dan cerdas benar-benar akan dapat memiliki kekuasaan di
Rantau Kuantan. Pada periode sebelumnya, negeri Kuantan yang berada di
bawah pangeran Pagaruyung; dan setelah pembentukan otoritas Belanda di
dataran tinggi Padang, mereka tetap membayar upeti kepada sang pangeran
Cerenti atau Basarah. Hingga akhirnya pada awal abad ke-19, Kaum Padri,
sebuah gerakan reformis Islam telah mengguncang masyarakat
Minangkabau di pedalaman Sumatra Tengah. Dalam suatu aksi oleh kaum
reformis, Sebagian besar keluarga kerajaan Pagaruyung tewas, akan tetapi
beberapa diantaranya berhasil melarikan diri ke daerah Kuantan. Salah satu
dari mereka akhirnya dinobatkan sebagai raja di daerah Kuantan sekitar
tahun 1830-an dan bertempat di koto baru dengan nama Koto Rajo.
Sebagaimana telah disampaikan, bahwa hubungan antara Kuantan dan
Sumatera Barat lebih baik dipahami dalam konteks Alam Minangkabau. Alam
Minangkabau terdiri dari Luhak nan Tigo dan rantau. wilayah yang termasuk
kedalam rantau pasisir ( perbatasan sepanjang pantai barat Sumatera bagian
tengah ) dan rantauhilir ( perbatasan hilir ) sepanjang sungai-sungai besar
yang mengalir turun dari bagian tengah dari pegunungan Bukit Barisan ke
arah timur. Dalam skema alam Minangkabau, Rantau Kurang Oso Dua Puluh
sebagai bagian rantau hilir yang penduduk Minangkabau dan adat telah
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
87
beberapa catatan Belanda pada paruh kedua abad ke-19, Kuantan adalah
salah satu pemasok utama daging untuk kedua dataran tinggi Minangkabau
Sumatera Barat dan juga Singapura.133 Dapat dikatakan,
bahwa bukti-bukti ini menunjukkan, Kuantan, sejak era Hindu-Budha
telah berperan sebagai lintasan peradaban, baik dari pedalaman
menuju pesisir, atau begitu pula sebaliknya.
Perjanjian Anglo-Belanda tahun 1824 yang membagi Sumatera dan
Semenanjung Malaya bersama-sama dengan Selat Malaka menjadi dua kutub
politik di bawah kontrol Belanda dan Inggris. Meskipun tidak selalu
menghambat ekonomi atau susunan demografis antara dua kutub,
bagaimanapun juga ini berpotensi menjadi sebagai penghalang; kondisi yang
sebelumnya tidaklah ada. Sebuah perkembangan yang sama, nampaknya
juga berlaku di Sumatera itu sendiri. Setelah memenangkan perang Padri,
Belanda mengkonsolidasikan kontrol mereka. Hal ini sangat menarik untuk
dicatat bahwa sebagian besar tempat utama yang penting dalam Sejarah
Minangkabau terletak di sepanjang sungai dari Kuantan - Indragiri. Buo dan
Nagari Kumanis, berada dekat Pagaruyung yang dilaporkan pada awalnya
terletak disepanjang Batang Sinamar, sedangkan lokasi Sumpur Kudus adalah
sepanjang anak sungai Batang Unggan. Batang Ombilin, Sinamar dan Ungang
sebagai tiga anak sungai utama dari Kuantan - Indragiri semuanya berada di
Sumatera Barat. Pembentukan Karesidenan dari Dataran Rendah dan
Dataran Tinggi Padang yang kemudian digabung ke dalam Karesidenan
Pantai Barat Sumatera, akhirnya menghasilkan identifikasi yang semakin
dekat dari Sumatera Barat sebagai negeri Minangkabau. Gambaran batas
administratif Sumatera Barat ini, masih ditambah pula dengan upaya
Belanda untuk membatasi aliran komoditas dari Sumatera Barat ke pantai
timur dan, sebagai gantinya, langsung menuju Padang sebagai ibukota
Residensi Sumatra Barat, melalui pembangunan jalan penghubung antara
pedalaman pantai Barat.
Dengan demikian, Kuantan secara bertahap mulai terpisahkan secara
ekonomi dan budayanya dari Sumatera Barat yang berawal mula
pada akhir abad ke-19.
134 Boudwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
90
yang berkaitan dengan masuknya Islam di Rokan pada sekitar 800 tahun yang
lalu. Terkisah berasal dari pantai barat memerintahlah seorang Pangeran
bernama Abdullah sebagai Sultan Sintong, sebuah kota besar yang dalam
legenda keadaan rumah-rumahnya diberitakan begitu banyak dan rapatnya
sehingga saling terhubung dan mencapai Pekaitan. Sultan Abdullah memiliki
dua anak, seorang putra dan putri. Anak itu bernama “Tengku Putra” dan
putri “Putri Dang Sanggul” yang dikenal dengan ”Putri-Hijau”. Pada satu
kesempatan Tengku Putra mengendarai kuda bersama pengikutnya; tiba-tiba
saja kudanya terkejut, membuatnya keheilangan keseimbangan sehingga
Kuda dan penunggangnya jatuh dari tebing tinggi di sungai Rokan dan tidak
terselamatkan. Tempat ini masih dapat ditemui sebagai "Tebing Anak Raja
Jatuh", dan terletak antara Sintong dan Teluk-Mega. Tidak lama setelah
insiden tersebut, tibalah dari Aceh sejumlah empat puluh kapal besar dan
awaknya yang berjumlah lebih dari 400 orang yang dipimpin oleh seorang
Panglima. Kekuatan gabungan mereka berlokasi di situs Tuk Bian di Lintasan
(Rantau Bais). Kesemuanya menasbihkan batu nisan atas nama mereka yang
disebutkan berasal dari Aceh, sebagian sebagai tanda bahwa mereka siap
untuk gugur di jalan Allah yang mereka tujukan pada semua orang untuk
memeluk Islam.
Datok-Rantau-Binoeang, wiens begraafplaats op Rantau-Binoeang is,
Datoek-Dinoengkal, wiens begraafplaats op Koeala-Batang-Koemoe is,
Datoek-Diboekit met de begraafplaats op Sidinginan,
Datoek-BatoeHampar met zijn begraafplaats op Batoe-Hampar. 135
Dengan kedatangan empat puluh kapal di Sintong, mereka mengirim utusan
kepada Sultan Abdullah dengan rekomendasi agar ia dan rakyatnya memeluk
agama Islam, dan mereka akan menyatakan perang bila terjadi penolakan.
Akan tetapi, Sultan Abdullah yang masih menganut agama kuno, menolak.
Bahwa sang Sultan, dikisahkan tengah bermain catur dan seolah tidak
menghiraukan kedatangan para penyerbu tersebut. Sultan mengatakan,”Jika
musuh datang, maka kita akan melakukan langkah ini dan itu.” Ketika menjadi
jelas bagi Sultan bahwa musuh sudah di halaman istananya, bersama istri dan
pengikut pun bergerak keluar melalui lorong rahasia menuju Siarang-Arang,
sayangnya ia lupa dengan putrinya yang berada di istana kerajaan. Setelah
pelarian Sultan-Abdullah dan tiba di Siarang-Arang, ia ingat nasib anak
135 Bouwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
91
Sangsura atau Datuk Sura Di Raja. Pada awalnya, wilayah ini disebut dengan
Tanah Putih Tanjung Bunga atau Tanjung Melawan, akan tetapi ketika
Belanda tiba disana, mereka mencatat bahwa nama-nama ini ternyata telah
dilupakan semenjak 800 tahun yang lalu.
Bahwasanya Sungai Rokan relatif paling dekat dengan Melaka, dan dapat
dipastikan memiliki kesejarahan yang berkaitan dengan kemaharajaan
Melaka; bahwa menjadi suatu kelaziman di hilir sungai Rokan atas
hubungannya dengan Melaka dan dalam dunia yang lebih luas lagi-
Semenanjung Malaya. Bahwa, afiliasi Kerajaan Rokan dengan Melaka terjadi
melalui perkawinan – suatu perluasaan jaringan kekerabatan sebagaimana
yang lazim terjadi dalam dunia Melayu; bahkan diberitakan raja Rokan
memperoleh perlakuan istimewa saat mengunjungi Melaka sebagai dampak
hubungan tersebut. Pasca penaklukan Portugis terhadap Melaka tahun 1511,
Portugis dalam rangka mencari pelarian Melaka dan perluasaan jejaring
perdagangan menyusuri sungai-sungai diantaranya Rokan, dan sebagaimana
dikisahkan melakukan penyerangan dan penghancuran kerajaan Rokan di
Pekaitan. Runtuhnya kerajaan Rokan ini, diasumsikan memunculkan
kerajaan-kerajaan kecil sebagaimana federasi di hulu sungai Rokan dan tiga
lanskap di hilir; Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Bahwa sangatlah minim
informasi yang dapat diperoleh berkaitan dengan awal mula dan
pemunculannya, melainkan salah satunya sebagaimana terekam dalam
persiapan Raja Kecil untuk suatu penyerangan ke Johor; bahwa Kubu di
muara Rokan, menjadi salah satu lanskap tempat Raja Kecil menghimpun
pasukannya, dan selanjutnya ke Batu Bara. Catatan Belanda menyebutkan
tiga lanskap di hilir sungai Rokan melalui Traktat 1858 antara kerajaan Siak
dan Belanda; bahwa Tanah Putih, Kubu dan Bangko termasuk dalam wilayah
taklukan Siak; Belanda menyatakan bahwa tiga lanskap ini masuk dalam
wilayah kekuasaan Siak pada era Said Ali melalui suatu penaklukan yang
elegan.
Sungai Rokan sendiri pada masa pra-kolonial, dimana untuk menyusurinya
para pelaut akan disambut dengan apa yang dikatakan oleh Marsden sebagai
Teluk yang luas. Hal ini berkemungkinan pada saat itu diabad ke-18, Muara
Rokan lebih menyerupai sebuah teluk yang berbeda dengan kondisi diabad
ke-20 yang telah dipenuhi dengan delta yang menutupi view muara, terutama
Pulau Barkey dan juga Pulau Halang -agak masuk ke sungai, maka akan
berjumpa dengan Pulau Pedamaran. Kondisi muara yang lebar, memudahkan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
93
136
Sebagaimana disampaikan Tideman, aliansi yang kembali memapankan supremasi Pagaruyung
di pedalaman Rokan.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
95
seperti yang dialami kerajaan Gasip disungai Siak. Memasuki abad ke-15,
Kehadiran Portugis di Samudera Pasai, diasumsikan telah mengakibatkan
eksodusnya sebahagian ulama atau keluarga kerajaan meninggalkan Pasai
menuju wilayah di Sungai Rokan dan lanskap di pesisir timur. Pada masa
inilah kemungkinan negeri-negeri di pesisir timur pada umumnya mulai
menganut agama Islam. Di Pesisir Sungai Rokan, makam Datuk Batu Hampar
merupakan salah satu situs yang menunjukkan betapa salah seorang
Pangeran Kerajaan Samudra Pasai yang juga seorang ulama; Tengku Syarief
Ali, tiba di Bantaian di hilir sungai Rokan. 137 Kesemuanya ini menunjukkan
bahwa sebagaimana telah disiratkan dalam legenda; kesejarahan penyebaran
Islam, invasi Aceh dan Portugis, serta jalinan hubungan dengan Melaka
maupun pagaruyung. Dengan begitu, tidaklah mengherankan bila sejak abad
ke-15, Kerajaan Rokan diperintah seorang raja keturunan Sultan Sidi yang
merupakan saudara dari Sultan Sujak, sebagaimana diutarakan dalam Sejarah
Melayu.
Secara umum, jelas telah kita lihat bagaimana proses-proses bagi terciptanya
kemajemukan sosial. Bahwa Orang asli sebagai native, Melayu disepanjang
pantai hingga ditepian sungai, bertemu dengan entitas pegunungan yang
diakibatkan gerakan “Menghilir” Minangkabau menuju pesisir timur dan
Semenanjung. Selain itu, sebagai sebuah entitas Melayu klasik di Sumatra,
Minangkabau juga dapat dianggap sebagai tetangga terdekat bagi orang asli
dan Melayu di Riau Daratan, yang berinteraksi di sepanjang jalan raya sungai
hingga ke muara. Mulai dari pedalaman hingga pesisir, mulai dari sungai
Rokan sampai Kuantan; kesemuanya memperoleh pengaruh yang cukup
signifikan. Signfikansi ini sebagai basis bagi pembentukan kemajemukan
masyarakat Riau Daratan, dapat berupa keterpaduan atau keterpisahan,
merupakan kharakter Sumatra sebagai bahagian dari alam yang lebih luas;
Dunia Melayu. Berikut ini kita akan mencoba untuk memahami Riau daratan
dalam perspektif Dunia Melayu.
137 Sebagaimana dikisahkan dalam harian Posmetro Rohil, 14 September 2015, hal.1 dan 9, kol.2
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
96
“Dunia Melayu”
138
Maziar Mozaffari-Falarti, 2009, hal.35-46.
139
Rollins Bonney, 1971: 4-5.
140 Matheson, 2003: 21-22.
dikatakan sebagai kelompok masyarakat luas yang terdiri daripada berbagai kumpulan etnik yang
merasakan atau menggambarkan diri mereka sebagai satu bangsa walau tidak pernah berjumpa
antara satu sama lainnya.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
98
146
Gullick, 1958, hal.21.
147 Milner, 1995, hal.104.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
99
148
Milner, 1982, hal.31-32.
149
Bennet Bronson, 1977, hal.49.
150 O.W.Wolters, 1979, hal.19-21.
3
Kondisi Ekologi dan Kultural
Pulau seperti Sumatra diketahui memiliki wilayah yang luas dan jumlah
penduduk yang besar, akan tetapi sepertinya luput dari perhatian para
ilmuwan untuk melihatnya secara utuh. Sebenarnya upaya pernah dilakukan,
pertama-tama oleh William Marsden, sayangnya upaya ini nampaknya
tidaklah berlanjut lebih jauh. Hal ini terlihat dari perilaku sarjana barat yang
memiliki akses terbesar atas Sumatra, seperti para ahli Belanda yang
cenderung melihat Sumatra sebagai bagian-bagian yang terpisah, tidak
seperti halnya ketika mereka mengkaji pulau Jawa dimana Majapahit dapat
didudukkan sebagai perspektrum Jawa. Sebaliknya, Sriwijaya, yang pernah
berjaya dan menguasai sepanjang pantai Sumatra; benar-benar terlupakan
hingga seorang ilmuwan Perancis George Coedes(1918) menerbitkan
laporannya yang meyakinkan diabad ke-20. Tulisan Coedes memberitakan
bahwa, Sriwijaya benar-benar merupakan sebuah kerajaan besar yang
berlangsung dari abad ke-7 hingga ke-13. Diketahui pula pada abad ke-20,
pernah terdapat upaya untuk melakukan kajian yang memperlakukan
Sumatra sebagai satu kesatuan, akan tetapi nampaknya hal inipun, sekali lagi
tidaklah berlanjut.154 Pulau Sumatra dipenuhi dengan sungai-sungai besar
yang mengalir ke Selat Malaka, telah memberikan output bagi area eksternal
yang lebih luas; kondisi ini, menyebabkan para sarjana barat banyak
memandangnya seakan terlepas dari Sumatra itu sendiri. Bahasa Melayu
sebagai bahasa Lingua Franca pun sering dilihat sebagai milik entitas yang
lebih luas ketimbang milik Sumatra saja, dan bahkan penghuni Sumatra
sendiri mulai menggunakan nama Sumatra melalui kontaknya dengan Eropa.
154
Anthony Reid, Identitas Sumatra dalam Sejarah, dalam “Menuju Sejarah Sumatra: antara
Indonesia dan Dunia,” Kitlv Jakarta, Edisi Pertama, tahun 2011, hal.23-29.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
104
basah dan kering, nelayan dan juga perdagangan.158 Kondisi ini dominan pada
konfigurasi budaya Sumatera Timur, dan bukannya tanpa variasi regional,
akan tetapi dataran rendah budaya dataran timur laut dari Deli, Langkat, dan
Serdang, lebih mirip dengan yang ada pada dataran selatan Sungai Mesuji,
1500 kilometer jauhnya, dari budaya Batak di pedalaman. Seluruhnya di
dataran rendah timur, terdapat sepuluh sistem sungai besar; dari Barumun di
timur laut hingga ke Seputih di selatan. Sungai-sungai besar ini muncul
dangkal mirip satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa poin di mana
perbedaan yang signifikan antara mereka muncul. Beberapa sungai, misalnya,
tidak menarik dari sudut pandang pelayaran disebabkan gelombang pasang
surut yang berbahaya; seperti Rokan dan Kampar.159 Tanah yang sungai telah
diciptakan melalui pengendapan partikel batuan terkikis dari kaki barat dan
pegunungan juga berbeda secara signifikan. Alluvium di wilayah dari
Barumun di utara ke lembah Kuantan terdiri dari batu pasir dan batu kapur,
yang relatif subur. Dari Batang Hari selatan proporsi produk vulkanik kaya di
tanah menjadi semakin besar.
Batas-batas antara populasi dataran tinggi dan dataran rendah cenderung
ditandai dengan jelas dan sering dikaitkan dengan kriteria topografi seperti
perubahan gradien sungai dari tercuram untuk selanjutnya secara bertahap
melandai (yang juga bertepatan dengan batas antara bagian yang dapat
dilayari). Hingga intervensi langsung Eropa pada pertengahan abad ke-19,
hubungan antara kelompok-kelompok dataran rendah dan dataran tinggi
seolah-olah diatur antara negara yang berbeda, oleh peperangan dan juga
perjanjian. Transisi antara kompleksitas dataran tinggi, nampaknya tidak
ditandai begitu baik, baik secara topografi ataupun etnis. Misalnya; Zona
158
Irigasi sawah dibekas swamplands didataran rendah terlihat diperluas hanya diakhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20, ketika sejumlah besar proyek drainase dilaksanakan. Selama periode
awal kontak dengan Eropa, subsistensi pribumi didasarkan pada pertanian lahan kering dan
basah untuk padi dan sejumlah panenan lainnya. Pola ini mungkin telah mendominasi di zona
piedmont di sisi timur dari barisan pegunungan Sumatra, utara dan barat dari Kalimantan, dan
juga di Semenanjung selama 2000 tahun hingga di aabad ini. Lihat Zaharah binti Haji Mahmud,
"The period and nature of 'traditional' settlement in the Malay peninsula," Journal of the
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, XLIII/2 1970, pp. 81-113 ; R. D. Hill, Rice in Malaya
(Kuala Lumpur 1977); M. Dove and J.N. Miksic, "Dryland-swampland transitions in Southeast
Asian agricultural evolution" (MS).
159William Marsden, The History of Sumatra (London, 1811, reprinted by Oxford University Press,
160Micsik, hal.428
161
Lihat Timothy P.Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves”: Landscape and the
Formation of a Border State in Eighteenth-Century Island Southeast Asia, dalam Borderlands in
World History, 1700-1914, 2014, hal.83-99.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
108
162Barbara
Andaya, 1993: 38-39
163Barbara Andaya, 1993: 40
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
112
Ruang-Ruang Kultural
164Diantaranya kita dapat melihatnya dalam Laporan Van Rijn van ALkemade(1884), Hijman van
Anrooij(1885), IJzerman(1891) dan O’Brien(1905).
165Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnichity in Malaka Strait, 2008.
166Lihat Tideman, “Land en Volk van Bengkalis,” 1935.
rendah dari Rokan, didekat kampung Sintong, reruntuhan situs Hindu telah
ditemukan, sementara itu arkeolog FM Schnitger yang melakukan penelitian
arkeologi di Tanah Datar dan daerah Panai bahwa diantara Rokan dan Pasir
Pangarayan terletak reruntuhan Kuil Hindu. Dijelaskan oleh Manguin bahwa
berdasarkan sebuah prasasti abad ke-14 yang ditemui di bagian hulu aliran
sungai Rokan dipercayai diperuntukkan bagi seorang Tuan Tanah yang
tunduk kepada Adityawarman.167 Nampaknya ini juga harus disebutkan
bahwa untuk pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan
Hindu – yang disebut sirih - teks itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung
melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai. 168 Dominasi Hindu ini diikuti
dengan periode pengembangan dari Minangkabau. Sebagaimana diketahui,
kondisi matrilineal di Minangkabau telah mendorong ramainya migrasi
(merantau), sekelompok besar migran telah mencapai daerah timur. Kondisi
tersebut menyebabkan orang Asli yang bermukim di sana (Orang Bonai,
Orang Sakai, Orang Akit dan Orang utan) didesak mundur ke hutan dan rawa-
rawa, dan ketika kerajaan Minangkabau berada di puncak kekuasaannya;
mendirikan kewenangannya di wilayah perbatasan, termasuk dibagian hulu
dari daerah tangkapan air Kampar dan Rokan sebagai “Rantau-
Minangkabau.” Hingga memasuki awal abad ke-20, kawasan Rantau ini dihuni
oleh keturunan Minangkabau, akan tetapi terdapat kesamaran lebih-lebih
ketika didapati realita disuatu masa tentang adanya invasi dari sisi lain (Johor)
yang juga menunjukkan pengaruhnya disana.
Tideman mengemukakan bahwa banyak ditemui dalam catatan yang dibuat
mengenai sejarah Bengkalis tentang berbagai kelembagaan adat
Minangkabau serta Melayu dari Melaka oleh masyarakat yang tinggal di sini,
tetap dipelihara dan dipertahankan, sehingga memunculkan “tumpukan
aneh” tentang adat rakyat, seperti yang satu berasal dari sini, dan yang
lainnya berasal dari adat yang berbeda pula. Dengan demikian, populasi
Melayu di pedalaman dapat dilihat menjadi dua bahagian: Minangkabau-
Melayu, yang pengaturannya didasarkan pada adat Minangkabau, dan
167
Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977, hal.6, juga hipotesis
Carparis bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian
barat dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan
Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at
Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998.
168 Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884.
169
Van Delden, Verslag over den toestand van het landschap Gloegoer VI Kota, Tijdschr. v. Ind. T.
L. eu Vk., dl. XXVII, blz. 169; Du Ry van Beest Holle, Aanteekeningen betreffende de landsohappen
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
117
VI Kota, Pangkalan (Pangkalan-Kota-Baroe) en XII Kota Kampar, Tijdschrift v. Inda. T. L. en Vk., dl.
XXIV, blz. 38G. " Du Ry van Beest Holle, O. c, blz. 380—881.
170 Kata Kabung berarti "bagian dari keseluruhan, misalnya, sebagian dari sepotong kain. Jadi
karena itu berbicara tentang Kabung-Ayer, sebagai "bagian dari lembah sungai." Masing-masing
dari dua bagian itu, XII Koto Kampar awalnya, itu adalah sebuah kabung, sementara yang kabung
ketiga dibentuk oleh V Koto Kampar itu (Lihat: Aanteekeningen op Midden Sumatra;
officiëelebescheiden, berasal dari catatan v h. Gen.Bat. v K.en W., Vol. XXXIX, hal. 20). Jadi secara
bersama XII Koto Kampar dan V Koto Kampar membentuk satu federasi besar. Pada tahun 1859,
bagaimanapun, hubungan antara dua bahagian ini pecah (Tijdschr. v Netherl. Indië, jaarg. 1880,
vol I, hal.169.).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
118
Sungai Siak, apa yang disebut dengan “Wilayah Asli Siak.”171 Sebaliknya
dengan wilayah koloni, yang pastinya arah lebih utara di sepanjang Rokan
Terletak Lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Dari muara sungai
membentang aliran sungai Siak dari hulu hingga perbatasan distrik Tapung-
Kiri dan Tapung Kanan. Biasanya distrik-distrik ini dianggap sebagai koloni
Siak. Bahwa pemimpin Tapung mengenali Sultan Siak sebagai yang sosok
yang berdaulat atas mereka, namun ikatan yang mengikat mereka ini lebih
dari sekedar federasi dari bawahan kerajaan. Pada lanskap Tapung, di sini
juga bermula, tampaknya matriarkhal tidak sepenuhnya ada. Jadi,
beragamnya pranata dalam sistem perkawinan, seorang laki-laki mengikuti
perempuan atau sebaliknya untuk bertempat tinggal yang ditemukan di sini,
ini sangat jelas menunjukkan bahwa terjadi komunikasi antar seluruh
anggota keluarga seintensif mungkin. Bahwa tercegahnya matriarkhal dalam
lanskap Tapung, kondisi ini tidak dapat diragukan lagi, dan tidak ditemui pula
informasi bahwa perkawinan dalam suku dilarang.
Lanskap Tapung, sebagaimana disebutkan dalam perjanjian tahun 1858
sebagai wilayah taklukkan, dan bukan wilayah Asli Siak, terdiri; Tapung Kanan
dan Tapung Kiri. Konfederasi Tapung kiri terdiri dari empat lanskap, dan
terkadang dinamakan Tapung nan IV. Para anggotanya adalah: Petapahan,
Batu Gajah, Kebon dan Tandun. Untuk Kebon, memiliki konfederasinya
sendiri, yaitu; Kebon, Kota Renah dan Lianten yang diwakili bandahara dari
Kebon. Sebelumnya, Kebon terdiri dari; Kota Renah, Giti dan Sikubin. Dua
terakhir ini punah, dan kemudian ditambahkan Liantan. Konfederasi Tapung
Kanan terdiri dari dua bahagian utama; masing-masing adalah Lindei dan
Sikijang. Pemimpin Lindei memiliki gelar dari Terana dan Sikijang; Bandahara.
Pada jaman dulu, mungkin saja Raja Gasip merupakan penguasa lanskap
Tapung Kanan. bahwa rasio Tapung kanan dijelaskan, 172
beraja ka Siak,
bertuan ka Kota Intan.
Para pangeran dari Kota- lntan,memiliki garis keturunan ibu dari Lindei,
karenanya Kota Intan (atau lebih tepatnya Kunta ) dianggap terdiri dari tiga
171
Traktat 1858 antara Belanda dan Siak, membagi Siak kedalam wilayah “eigenlijk Siak” dan
wilayah taklukan.
172 Hijman van Anrooij, hal.368.
bagian, yaitu Kota Intan, Kota Lama dan Lindei. Terana dari Lindei dinamakan
demikian sebagai suatu posisi yang tinggi; Seperti dalam definisi Melayu,
Adik raja,
abang Andika.
Dan ini ternyata, bahwa mereka belumlah dianggap sebagai raja, namun
kondisi demikian segera saja mengikutinya. Keistimewaan Posisi yang
terhubung dalam “Dua kali tujuh hari” sebagai martabat kerajaan; raja Kota
Intan, Terana dari Lindei selama 14 hari menikmati hak(sembah). Terana dari
Lindei mengklaim, bahwa ia tidak pernah memiliki perbatasan permanen
dengan Kota Intan. Dalam batas-batas dari Lindei, masih dimiliki bandahara
dari Sanama Nenek , dan orang-orang dari Sikijang sebagai bandahara Danau
Lancang. Baik Bandahara Sanama Nenek maupun Danau Lancang, umumnya
disertai batas-batas; Oetan Tanah, kekuatan dan tugas yang sama dari
Terana Lindei dan bandahara Sikijang di bidang keahlian mereka. Jika
terdapat sengketa maka dapat diajukan banding. Secara optimal, posisi itu
bertanda bahwa Terana dari Lindei dianggap kakak dari Bandahara Sanama
Nenek, Sikijang dan Danau Lancang (adik - beradik). Adik memiliki hak, akan
tetapi dalam urusan publik, keputusan tetap berada pada sang kakak. 173
Masyarakatnya terbagi atas suku-suku; Chaniago, Piliang, Domo, Pitopang
dan Melayu. Bahwa empat suku awal dikatakan sebagai anak negeri, anak
bumi. Sementara itu suku Melayu, dikatakan berasal dari berbagai entitas di
Siak. Masing-masing kepada suku adalah penghulu yang mengikut pada
hukum kemenakan, sementara Bendahara biasanya berasal dari Suku Melayu
yang diturunkan kepada garis keturunan anak. Jika dilihat pada situasi
Kampar, maka tipikal negeri dan masyarakatnya secara umum adalah sama,
akan tetapi, mengenai pelaksanaan kelembagaan adat, hanya sedikit saja
bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali dan berbeda dengan apa yang
berlaku di Kampar. Dapat ditemukan bahwa di Siak telah berlaku “Hadat
Raja” yang yang berasal dari Johor dan diperluas ke pedalaman hingga
melampaui Petapahan dan Batu Gajah.174 Mungkin saja, kondisi ini
bersesuaian dengan model bangunan rumah di Tapung, semakin ke hulu,
semakin dekat dengan model yang terdapat di Dataran Tinggi, dan berbeda
173
Hijman van Anrroij, hal.369-70.
174 Rijn van Alkemade, 1885; hal.218
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
120
dengan yang ada di Siak; kesemua kondisi ini tampak berlaku pada akhir abad
ke-19.175
Beralih kita pada “Wilayah Asli Siak.” Namun, dan ini penting, sebelum kita
melangkah lebih jauh dalam menguraikan keberadaan organisasi masyarakat
matriarkhal disini, pertama-tama adalah mencoba untuk memaparkan
gambaran ringkas dari penduduk daerah Siak.
Bahwa “wilayah Asli Siak” memiliki penduduk asli orang Melayu,
hingga kemudian pada suatu periode tibalah imigran dari ranah
Minangkabau. 176
Sebagaimana disampaikan dibahagian awal, sebelum Raja kecil mendirikan
kerajaan Siak atau saat Siak masih berada dibawah supremasi Johor, telah
banyak orang Minangkabau berdomisili di sana, dan dengan dukungan
merekalah Raja Kecil mampu menaklukkan Johor dan menguasai kawasan
Siak, bahkan hingga ke wilayah yang jauh dari daerah ini. Jadi tidak hanya
oleh Raja Kecil saja kerajaan Siak didirikan, akan tetapi secara bersama-sama
dengan orang Minangkabau pendukungnya. Hingga akhir abad ke-19, kondisi
ini terpelihara: Orang Minangkabau tidak merupakan hamba langsung dari
sultan, akan tetapi berada di bawah kepala mereka sendiri yang disebut:
datuk, yang mereka cukup tahu bagaimana untuk menjaga kemandiriannya.
Daerah asal dari mana mereka datang (atau pendahulunya), mereka para
pemukim Minangkabau dibagi menjadi empat suku, yaitu: Lima puluh, Tanah
Datar, Pesisir dan Kampar.177 Itulah suku-suku Lima puluh dan Tanah Datar,
adalah keturunan imigran dari lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar di
Dataran Tinggi Padang, sedangkan suku-suku Pasisir dan Kampar termasuk
orang-orang yang nenek moyangnya berasal Agam, arah barat ke laut, dan
Kecil – mereka sudah tinggal di sana, tetapi juga dari orang-orang, yang pada era berikutnya,
terutama selama “perang-Padri” dimana banyak warga dari Dataran Tinggi Padang beremigrasi
ke Siak. Mereka, tentu saja, untuk identitas daerah adalah dari mana mereka datang dari empat
suku yang direkam, dengan berjalannya suku mereka yang sebenarnya, mereka dirunut menurut
kelahirannya. Kata suku telah sedemikian signifikan di Siak selain Padangsche Bovenlanden: suku
di sini menunjukkan tidak adanya hubungan keluarga, dan bukanlah penekanan asal yang sama,
akan tetapi lebih luas lagi berasal dari luhak atau wilayah yang sama.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
121
dari dataran atas Kampar, serta Indragiri dan Jambi. Datuk Suku Lima Puluh
berasal dari Genting, sementara Datuk Tanah Datar berasal dari Sumanik;
dan Datuk Pasisir berasal dari Sianok Kota Gedang. Tanggungan para Datuk
tersebut bukanlah semata-mata terbatas pada anggota suku mereka sendiri
saja, melainkan berasal juga dari orang-orang yang memiliki kesamaan asal
daerah, atau dengan kata lain berasal dari Luhak yang sama. Pertama kalinya
untuk Suku Kampar terbentuk adalah ketika Raja Ismail (Marhum Mangkat di
Balei) untuk kedua kalinya bertahta Siak, sekitar tahun 1780. Sebelumnya,
anggota nya berada di bawah kewenangan langsung dari Sultan, dan mereka
atas nama tersebut dikendalikan oleh Syahbandar. Suku in adalah orang-
orang Melayu di Sumatera Tengah, juga meliputi suku di pedalaman Jambi,
Indragiri dan Sungai Kampar. Komposisi Suku sebahagian berasal langsung
dari tempat asal mereka, dan sebahagian lainnya datang melalui Johor – yang
telah memposisikan dirinya dimana banyak orang Minangkabau yang
menetap di Johor melakukan perkawinan disana. Orang-orang tersebut
banyak yang bergabung semasa Raja Kecil mendirikan Siak.
Secara kolektif asal-usul pemukim Minangkabau berada di bawah nama
“Anak IV Suku”. Mereka hidup menyebar di seluruh kerajaan, meskipun
sebagian besar Anak IV Suku bermukim diluar ibukota Siak berdampingan
dengan penduduk asli sebagai hamba langsung dari Pangeran. Sejumlah
besar anggota IV Suku, berasal dari Minangkabau dengan garis keturunan
laki-laki, sementara ibu mereka adalah orang Siak ataupun Johor. Meskipun
demikian, tercatat juga bahwa terdapat beberapa kasus dimana kaum
perempuannya benar-benar orang Minangkabau yang bermigrasi ke Siak.
Yang pertama, benar-benar asli, dengan kerabat atau sesama daerah asal.
Akan tetapi selanjutnya banyak migrasi yang diakibatkan oleh kerusuhan saat
bergejolaknya perang Padri dan kemudian mengungsi dari Dataran Tinggi
Padang, dan kebanyakan kaum wanita korban konflik tersebut berstatus
tanpa suami atau anak yatim (kaum laki-laki menjadi korban konflik). Kondisi
tersebut seringkali dijadikan dasar argumen bahwa orang-orang Minangkabau
telah melakukan respon sebagai upaya mempertahankan kelembagaan kuno
(kekerabatan dan pewarisan) dalam menghadapi konflik “perang-Padri”.
Akan tetapi, terdapat suatu ketidaktelitian tentang anggota IV Suku di Siak
yang mengikuti adat Minangkabau dan berbeda dengan penduduk asli Siak,
dan Kita dapat menelusurinya dari awal mulanya. Bahwa berkaitan dengan
asal-usul IV Suku, mereka tidak memiliki Oetan-Tanah, demikian pula tidak
adanya Sialang. Para anggota IV Suku hidup tersebar di wilayah Siak dimana
mayoritas menetap di tempat-tampat utama; adapun sebahagian lainnya
menyebar di kawasan perladangan disepanjang sungai Siak. Beban mereka
tidaklah terlalu besar, terutama semenjak dihapuskannya Pancung-Alas dan
Tapak-Lawang di tahun 1863. Sebelumnya, dibawah rezim Johor hanya suku
Pasisir saja yang bebas dari beban Tapak-Lawang. Meskipun demikian, tetap
dibebankan juga kepada mereka kewajiban, terutama dalam kondisi perang;
dimana harus menyediakan kapal penjajab; dan pada saat peristiwa perang
dengan Kota Intan, sultan hanya menyediakan senjata saja. Selain itu, mereka
berkewajiban membangun istana untuk sultan.
Penduduk asli Siak dibedakan menjadi dua kategori, yakni: Hamba-Raja dan
Rayat Raja,178 yang hidup secara terpisah dan lebih dekat ke pantai;
sepanjang dataran rendah hingga Siak, sementara yang lainnya lebih jauh di
pedalaman. Tampaknya agama ditetapkan sebagai kriteria pasti yang akan
dianggap dapat digunakan untuk membedakan antara Hamba Raja dan
Rayat-Raja: mereka dalam kenyataannya adalah orang Islam yang taat.
Terdapat fakta bahwa pada era awal Rayat-Raja disebut sebagai bukan
"orang Melayu", ternyata pendapat ini menunjukkan bahwa agama adalah
kriteria utama pembeda antara mereka dan Hamba-Raja. Perpecahan antara
Hamba-Raja dan Rayat-Raja diyakini terjadi sewaktu Islam belum mencapai
pedalaman Sumatera, dan juga termasuk Siak, dimana perintisannya pada
saat supremasi Johor telah berada di negara ini. Penduduk di wilayah hilir
Siak, yang semuanya adalah pengikut Nabi Muhammad, dengan demikian
secara alami dapat dibedakan oleh adanya pengaruh Johor, apa lagi di
wilayah hulu itu masih terdapat penganut Paganisme. Segera saja, perbedaan
tajam pun terbentuk, dimana melalui cara ini akan menjadi faktor pemisahan
antara Hamba-Raja dan Rayat-Raja. Pemisahan antara Rayat-Raja-dan
Hamba Raja sebelumnya sangatlah besar, bahkan sedemikian rupa sehingga
menurut adat, dahulunya tidak diperbolehkan untuk makan bagi keduanya
secara bersama-sama pada acara hajatan pernikahan; mereka tidak bisa
mengambil tempat bersama-sama. Namun perilaku ini semakin mengendur,
dan secara umum berjalan sebagaimana mestinya, bahkan oleh Van Anrooij
posisi mereka tersebut, tidak berada dalam kondisi saling iri dan curiga.
Meskipun demikian, dari perkembangan terakhir, Rayat-Raja, kebanyakan
mereka sudah menjadi muslim.179 Daerah Hamba-Raja membentang dari
muara Siak hingga ke Kuala-mandau dan dari jauh di daratan, ketika suara
tëtawak (semacam musik gong atau simbal) bisa terdengar, “sapendengaran”
pemukul tetawak, begitulah disebutnya.180 Tempat di pedalaman Mandau di
Siak dekat perbatasan Lanskap Tapung yang juga dicapai dengan suara
tëtawak, mencapai basis dari Rayat Raja.181 Selain itu milik untuk Rayat-Raja,
disebut Orang-Talang, di antaranya nama yang dipahami semua orang yang
tidak berada disepanjang sungai utama, tetapi di hutan atau di sungai untuk
hidup, dan berada dalam satu kehidupan nomaden. 182
Orang-Talang ini dibagi menjadi tiga kelompok utama. Dua dari mereka
berada ditepi kanan Siak. Di tempat dimana suara tëtawak tidak lagi
terdengar, maka dimulailah wilayah Orang Talang, sebagaimana Pètalangan
seperti yang umumnya dikenal. 183 Oleh karena itu, ihwal nama benar-benar
berkaitan sebagai suatu entitas dengan signifikansi etnografi; Orang-Talang-
Gasip, dinamai dengan Gasip, sebuah entitas-artefak Siak, sebagaimana telah
disebutkan di atas, bagian timur merupakan Orang Talang-Dayun, yang
berasal nama mereka; Dayun, terletak di sungai di Pulau Lawan, juga dinamai
179
Hijmans van Anrooy, hal.324.
180 " Hijmans Van Anrooij, hal.288. Hamba-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat panghulu
yaitu: Siak-Kecil, Rempah, Siak Besar dan Betung, masing-masing dengan daerahnya sendiri.
Tentang panghulu ini juga terdapat dua pejabat yang terdiri dari bintara-kiri dan bintara-kanan.
181 Hijmans van Anrooij, pada hal. 291 – 294: Rayat-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat
batin, yakni: Gasip, Senapalan, Prawang dan Si Galas. Sepanjang percabangan kiri sungai Siak,
dimulai dengan Kuwala-Mandau salah satu yang kemudian dilakukan dalam batin-Prawang dan
Senapalan, sepanjang tepi kanan batin dari Gasip dan Senapalan, sementara daerah Si-Galas
yang ke arah atas memanjang dari titik pertemuan Tapung-kanan dan Tapung-Kiri di sepanjang
tepi kedua lengan sampai batas Lanskap Tapung. Lihat juga: Van Rijn van Alkemade, Reis van Siak
naar Paja-Kombo, Tijdschr. v. h. Nederl. Aardr. Genootsch., 2e serie, dl. I I , Ie stuk, blz. 201,
Rayat-Raja dari batin Gasip, Senapalan dan Si Galas adalah pengikut Nabi Muhammad(muslim),
bahwa batin dari Prawang, meliputi; Orang Akit, dan Orang Sakei.
182
" Kata hutan atau talang, orang talang, menandakan penghuni hutan.
183 Sebelah selatan terletak kerajaan Pulau-Lawan(Pelalawan) dimana terdapat batas-batas
Pëtalangan. Membentang sebelah Timur arah Pëtalangan keluar ke Mempura, yang tidak jauh
di pedalaman adalah kota utama Siak, nama yang berasal dari nama sungai itu, dan sebelah
Barat ke Tiga Loewak datau Tiga Loerah, seperti wilayah ini disebut di antara Pekanbaru di Siak
dan Taratak Buluh di Kampar.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
124
184
Pulau-Lawan ke cabang kiri Kampar, terdapat kelompok lain dari Orang Talang, sebagai Orang
Talang-Pandan, para Orang Talang-Kutip, yang menurut Van Rijn van Alkemade, semua dapat
dipahami sebagai diantara Orang Talang-Gasip - Kepala Orang Talang-Dayun membawa gelar
patih, sedangkan Orang Talang-Mandau itu bergelar panghulu, sementara itu Orang Talang-
Gasip disebut batin negeri Gasip. Kebetulan sekali, Orang Talang-Dayun dan Orang-Gasip adalah
bintara kanan, dan Orang Talang-Mandau adalah bintara kiri;
185 Wilken, 1888; hal.34.
terletak di utara negara, dan dikenal dengan nama Orang Sakai. Orang-Sakai
ini adalah Orang Asli dan setidaknya berbicara dengan dialek Melayu.
Mengenai Suku Sakai, Wilken mengatakan bahwa suku-suku di Sumatera ini
diakhir abad ke-19 tengah berada pada tahap terendah peradaban. Hutan
adalah tempat dimana mereka tinggal, dan mereka sebagian besarnya
menjalani kehidupan nomaden. Mereka jarang atau tidak pernah muncul,
sehingga mereka dengan beberapa pengecualian, tetap benar-benar bebas
dari semua pengaruh asing. Sebagian, mereka berada di bawah otoritas Siak,
di mana mereka dianggap berada di kalangan Rayat-Raja, sebagiannya lebih
jauh lagi ke utara di aliran sungai Rokan, dimana terletak kerajaan Kota-Intan.
Dari Orang-Sakai saat itu kita menemukan bahwa mereka ditemui setidaknya
berciri matriarkhal dan dibagi ke dalam suku. Dalam aturan perkawinan, kita
dapat mengetahui bahwa anak-anak mengikuti suku ibu. Pembagian warisan
juga mengikuti aturan matriarkhal. Suksesi di tempat terhormat berada di
garis perempuan: kematian seorang kepala suku digantikan oleh kemenakan
tertua; anak-anak saudara perempuan tertua. Bahwa terdapat sistem
eksogami pada Orang Sakai, secara eksplisit dinyatakan “anak-anak akan
mengikuti suku ibu,” hal yang juga menunjukkan bahwa ayah masih memiliki
suku lainnya. Awalnya, Orang-Sakai berada dibawah Batin dimana di Siak
dibagi menjadi lima (Batin Lima), sementara di Kota Intan dibagi atas delapan
suku (Batin Selapan).
Di sebelah utara tepatnya di Jalur beban pantai timur, yang seluruh aliran
sungainya ditempati oleh orang Melayu, yakni; Rokan, yang terbentuk dari
penyatuan dua cabang, Rokan-Kanan dan Rokan Kiri. Sepanjang Rokan Kanan
terletak lanskap Tambusai, Ramba, Kepenuan dan Rantau-Binuwang;
sepanjang Rokan Kiri, dimulai dengan bagian atas mencapai tempat Sungai
mengalir masih di bawah nama Sumpur di arah barat laut, dengan Lubuk
Sikaping - Rau, dan, timur yang terakhir, Mapat-Tunggul, pada tahun 1882
nampaknya telah dimasukkan di bawah pemerintahan Hindia. Sementara itu
lebih jauh ke hilir, setelah Sumpur ke arah timur digunakan dan diadopsi
nama Rokan Kiri, federasi Rokan atau IV Kota dan Kunto, terdiri dari negeri-
negeri di Kota Intan dan Kota Lama. Populasi Tambusai, terdiri dari-orang
orang Melayu yang beragama Islam, dan dibagi menjadi 10 suku sebagai
berikut; Beno, Ampu, Pungkut, Kandang Kopo, Jagung , Mandeling , Kutie,
Sebrang dan Melayu, yang sukunya juga dikenal dengan nama “suku seribu”,
sementara itu selanjutnya anggota keluarga raja, disebut orang dalem sebagai
bagian terpisah, atau juga “seratus suku”. Selain suku dalam, yang seperti kita
lihat di atas, di bawah Sutan Mahmud, suku memiliki kepala mereka sendiri,
Kapala Suku dimana Raja menunjuknya dan berlangsung turun-temurun
dikalangan suku mereka sendiri, diikuti anak-anak saudara perempuan
(Kemenakan). Setiap suku dibagi menjadi lnduk, yang jumlahnya berbeda dan
di Kepala Induk, dinamakan pucuk.186
Dipedalaman federasi Rokan Kiri dan Kanan terdapat wilayah koloni Siak;
Tanah-Putih, Kubu dan Bangko, dua lanskap terakhir terletak di sepanjang
muara, disebelah kiri dan sebelah kanan sungai. Menjelang tutup abad ke-19,
hanya Mapat-Tunggul, Rantau-Binuang, Kubu dan Bangko, informasi yang
dimiliki atau data yang lebih rinci tentang keluarga dan hukum waris; masih
sangat kurang. Akan tetapi, dari lanskap lainnya diharapkan dapat diperoleh
semua data yang belum lengkap tersebut. Di Mapat Tunggul, meskipun
persoalan matriakhat dilengkapi dengan beberapa deviasi, masih ditemukan
hal-hal yang terkait dengan eksogami. Pernikahan dalam suku dilarang dan
dikenakan sanksi.187 Meski jarang terjadi, dalam kasus perceraian; anak-anak
mengikuti suku ibu. Namun dalam suksesi, kita menemukan perubahan
dalam adat-kamanakan. Setelah kematian suami, pihak saudara-saudara
perempuannya mewarisi, yaitu semua kemenakan, terkecuali anak dari
pernikahan, dalam hal ini setengah dari kekuasaan beralih ke jandanya.
Dengan demikian, tampaknya di sini anak-anaknya sendiri, jika tidak secara
langsung, akan tetapi melalui perantara sang ibu, berkemungkinan
mewarisinya dari ayah mereka. Untuk suksesi martabat, nampaknya masih
memiliki tempat, dan menurut Wilken telah terbukti, bagaimana Islam telah
menambahkan pengaruhnya kedalam adat asli ini.
Selain itu, kita melihat bagaimana sebagai konsekuensi dari lembaga
matriarkhal, dengan kasus pembunuhan, pada yang terbunuh itu uang
dibayarkan kepada kemenakan.188 Di Rantau-Binuang, matriarkhal agak
186 Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië,” jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.86-87;
bandingkan dengan Rijn van Alkemade, “Beschrijving Eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan
Rivier Naar Rantau Benoewang,” door J. A. van Rijn van Alkemade. KITLV, Volume 32, Nomor 1
Tahun 1884, hal.41
187 Lihat Neumann, “Nota betreffende de onafbankolijke landschappen Mapat-Toenggoel en
menuju ke hakim, bahwa penghakiman telah menyatakannya demikian (Neumann, O. o., hal.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
128
lengkap untuk terhubung dengan eksogami. Tidak ada yang bisa menikah di
suku-nya sendiri; Pria datang ke kediaman orang tua dari istri, dan anak-
anak pun mengikuti suku ibunya. Suku hanya mencakup keturunan dalam
garis perempuan. Dengan cara yang sama tentunya juga keluarga, sebagai
bagian dari suku tersebut, terdiri dari: satu nenek moyang umum. Oleh
karena itu pula kata induk = ibu (dan fisik atau ibu) untuk menunjukkan
kepada keturunan; keluarga, di mana masing-masing dibagi atas suku.189
Yang bersangkutan dengan persoalan warisan, kita sebutkan bahwa Harta
Pusaka, warisan, pada kematian pria akan jatuh pada anak-anak saudari,
berselang itu, kamanakan; Halnya harta-pencarian (benda properti yang
berarti bahwa sang suami selama pernikahan pada umumnya bekerja dan
dengan demikian telah memperoleh kepemilikan) milik orang itu hingga
kematian istrinya, anak-anak (yang tentu saja untuk berbagi menurut ibu
mereka); meninggalnya seorang manusia, maka anak-anak mewarisi segala
sesuatu (yaitu, semua yang dimiliki individu almarhum), setidaknya ketika
anak-anak mereka, yaitu anak perempuan, maka warisan anak-anak jatuh
bersama dengan saudara dari laki-laki itu. Jika tidak ada anak-anak, Harta
pencarian jatuh kepada keluarga laki-laki dan perempuan. Jika almarhum
memiliki hutang, mulai dari awal, maka pada keluarga laki-laki, anak-anak
saudari, juga terhadap anak-anak mereka sendiri.
Kita melihat dengan jelas bagaimana pada akhir abad ke-19 di Rantau-
Binuwang aturan matriarkal yang utama masih berlaku. Meskipun demikian,
sebagaimana telah dikomunikasikan, bahwa anak-anak disini dengan Harta-
pencarian, aset individu, mereka mungkin mewarisi dari ayah mereka, di
tempat pertama adalah anak-anak, dalam ketiadaan putra dan putri, maka
anak-anak saudara perempuan juga memperoleh bagian. Putra dan putri di
sini dari anak-anak saudara perempuan, begitu dekatnya. Juga kehormatan
terjadi di garis perempuan, pertama jatuh pada kemenakannya. Tidak hanya
pemimpin yang sebenarnya, kepala suku, harus diikuti dengan cara ini tetapi
59). Di Dataran tinggi Padang, seperti sudah diketahui, untuk “darah” 2/3, untuk hakim sepertiga
(Lihat, onze verhandeling: “Het strafrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 23)..
189 Kata induk sebagai nama bagi keluarga, bagian suku, juga dapat ditemukan dalam lanskap
Tapung, namun, itu tidaklah muncul, atau menjadi gejala yang umum. Dari induk, kemudian satu
kata perindukan, bahwa semua itu adalah menunjukkan garis ibu, seperti yang ditemukan dalam
kamus Wall-Von Van der Tuuk sebagai nama bagi keluarga. Dimana pada kasus tertentu
digunakan, namun hal itu tidaklah selalu muncul.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
129
Apriori pun berkembang, diduga bahwa di sini lebih khusus lagi dalam dua
lanskap terakhir, matriarkhal dalam bentuk murninya berkurang. Pada
sepanjang hilir aliran sungai Rokan yang dominan dibawah supremasi Johor
dan di bawah pengaruh Johor tersebut, maka kondisi asli di sini, dipastikan
akan banyak yang telah hilang. Pada masa sebelumnya, tidak diragukan
bahwa kelembagaan matriarkhal sepenuhnya efektif diterapkan pada pada
tiga lanskap, seperti di Lanskap Tanah-Putih ditemukan juga seperti yang
terjadi di Rantau-Binuwang, kata untuk induk = ibu; untuk menunjukkan
keluarga atau komponen dari suku. Bahkan saat itu, juga menentukan
regangan perhambaan pada pernikahan di luar suku tersebut. Hal ini tidak
dilarang dalam suku untuk menikah. Namun, seseorang menikah dengan
orang diluar sukunya sendiri, kemudian diikuti anak-anaknya; di Kubu dan
Bangko serta di Tanah Putih yang bersuku ibu. Tentang warisan ditemukan
hanya di Tanah-Putih bahwa tanah kebun sebagian besar untuk anak-anak
mereka sendiri, disini kemenakan juga memperoleh bagian meskipun hanya
sedikit. Bahkan suksesi martabat pun sudah menyimpang dari kebiasaan
lama. Tanah-Putih dan Bangko itu adalah contoh keberhasilan peralihan
terhadap anak, tetapi sebagai hubungan harus dipenuhi oleh orang-orang dari
suku hanya jika ia memiliki suku yang sama seperti suku ayah. Jika hal ini tidak
terjadi, ayah menikah dengan suku lain, maka martabat jatuh pada anak-
anak saudara perempuan. Di Kubu, pembatasan ini bahkan tidak akan
diperhitungkan, anak mengambil tempat ayah, meskipun ia bukan milik
sukunya. Seperti telah dicatat, Wilken juga melihat hilangnya sistem itu di
lanskap lainnya; Rokan IV Kunto dan Kota Lama (Kota Intan dan Kota Lama),
di sepanjang Rokan Kiri, dan Tambusai, Rambah dan Kapenuhan, sepanjang
Rokan Kanan, semuanya. Namun, tentu saja tidak cocok untuk menganggap
bahwa di sini juga sama sebagaimana di Rantau Binuang. Hal ini disebabkan
apakah informasi yang dimiliki Tambusei, dapat dikatakan telah memadai.
Rantau Binuang itu adalah permukiman sangat awal dari Tambusai,
sepenuhnya komponen dari keduanya muncul. Dengan pemeriksaaan yang
seksama atas lanskap, karena itu haruslah sama, dan adat disatu lanskap akan
merupakan refleksi dari yang lainnya.
Perhatian kita berikutnya di arah selatan Kampar dimana mengalir sungai
Indragiri, Jambi dan Musi. Di hulu aliran sungai Indragiri, Wilken menemukan
dasar klasik matriarkhal di Sumatera. Terletak diatas aliran sungai, yang
bernama Sinamu - sungai Ombilin, lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar.
Di distrik Lubuk Jambi atau Rantau Kuantan, dicatat Wilken bahwa para
warganya mengatakan bahwa hal ini terkait erat dengan orang-orang yang
berasal dari dataran tinggi Padang, matriarkal yang sepenuhnya hadir
bersama kedatangan mereka. Di sebelah timur Lubuk Jambi adalah kerajaan
Indragiri, yang berasal dari lanskap Tiga Lurung sebagai gabungan dari tiga
desa di Indragiri. Sekali lagi, matriarkal sebelumnya, dengan pengecualian ini,
bagaimanapun juga, bahwa anak-anak mereka sendiri dan anak-anak kakak
perempuan memiliki hak warisan yang sama. Tentu timbul pertanyaan,
hingga akhir abad ke-19, sampai sejauhmana tersisa pengaturan matriarkhat
yang masih dapat ditemukan di kerajaan Indragiri yang terletak di hilir aliran
sungai itu, akan tetapi nampaknya jawabannya: tidak ada. Hanya pesan dari
sejarahwan Cina di era Dinasti Ming (1368-1643), kita dapat melihat bahwa
ini adalah kasus yang seharusnya.
Menurut laporan itu untuk aturan Tong-ki-gi ( Indragiri), bahwa
pernikahan suami dan istri mengikuti keluarganya dimana anak-anak
milik dari ibunya.
Seperti diketahui, diarah Selatan dari Indragiri mengalir sungai di Jambi yang
dikenal dengan nama Batang-Hari. Arah tenggara menuju sungai pertama
mengalir melalui bagian selatan Dataran tinggi Padang dan kemudian, di
timur sendiri memiliki wilayah yang disebut distrik Batang Hari, juga di
Rantau Baruh yang terdiri dari beberapa desa. Distrik Batang Hari atau
Rantau Baruh, kita menemukan keberadaan matrilineal dimana gelar dan
martabat berada pada saudara-saudara perempuan. Dalam hubungannya
dengan negara, putra sulung saudari tertua sebagai penerus yang sah.
Namun, dalam hal harta warisan, disini menyimpang begitu jauhnya dari adat
kamanakan, dimana Harta-pencarian, diekstraksi dengan baik, bahwa
individu dimiliki oleh orang yang telah memiliki anak-anaknya sendiri. Aturan
yang sama berlaku dalam lanskap Kerinci. Anak-anak saudari, “kemenakan”
sebagaimana mereka disebutkan, disini tidak mewarisi di tempat pertama,
jikapun terjadi hanya disebabkan tidak adanya anak-anaknya sendiri "
Kita dapat pula melihatnya ke lembah di hulu sungai Musi. Dalam masyarakat
Melayu di semua negara yang terletak di aliran sungai ini, tampaknya
matriarkhal telah seluruhnya bermetamorfosis dengan patriarkhi sebagai
jalan keluarnya. Hanya satu lanskap, yaitu “Semendo” yang terletak di sebelah
selatan Pasemah, dan ini berbeda. Warisan di sini seluruhnya matriarkhal
dalam arti bahwa kematian menjadikan ibu sebagai pewaris tunggal; putri
tertua untuk properti barang, rumah dan sawah, yang dalam cara ini selalu
tinggal di garis perempuan, sementara hanya barang bergerak saja yang
didistribusikan di antara anak-anak lain. Konsisten dengan ini, karena itulah
sebagai anak: untuk putri tertua yang menikah, maka suaminya akan tinggal
dengannya. Hanya ketika perkawinan seorang anak perempuan yang lebih
muda kadang-kadang terjadi bahwa perempuan mengikuti laki-laki, terutama
ketika mereka sudah memiliki rumah atau cenderung untuk membangunnya
sendiri. Selain itu, bagaimana anak-anak di sini dianggap lebih kepada milik
ibu daripada milik ayahnya yang ditunjukkan dalam kasus perceraian, lihat
juga bagaimana pula dengan pengecualian di negara-negara pesisir di
cekungan Jambi, Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan, bahwa matriarkhal masih
dalam bentuknya yang dominan dalam hubungan tersebut. Secara ekslusif
anak milik ibunya, sedangkan ayahnya tidaklah berhak, tidak hanya seperti
yang berlaku di Dataran tinggi Padang. Akan tetapi, di sana-sini, setidaknya,
masih sepenuhnya di bawah proporsi wanita dalam produksi lebih besar
daripada pria, sehingga kharakteristik Orang Talang di daerah aliran sungai
Siak sebagaimana telah dinyatakan dalam kata-kata, “Ayam jantan tidak
bertelur.” Yang paling menonjol, tentu saja adalah matriarkhal yang disertai
dengan eksogami, sebuah hal lumrah dari era nenek moyang, dimana mereka
hanya berada di garis perempuan dari leluhurnya yang dapat berperan
sebagai pusat suku, dan dengan demikian juga sebagai bentuk dari keluarga.
Akan tetapi, pesan pada titik ini tidaklah berlaku sepenuhnya.
Dengan kepastian yang lebih besar atau lebih kecil hanya bisa dikatakan
ditemukannya eksogami di Glugur VI Koto, XII Koto Kampar dan Pangkalan
Kota Baru(Kampar Kanan), meskipun lanskap yang terakhir di beberapa desa
kadang-kadang aturan itu dibebaskan, Orang Talang-Dayun, Orang Talang
Gasip dan Orang Sakai (Siak), di Mapat Tunggul dan Rantau Binuang (Rokan),
sedangkan Orang Talang Mandau (Siak) dan penduduk Tanah Putih, Kubu dan
Bangko (Rokan) secara eksplisit menyatakan, persoalan pernikahan antara
anggota suku yang sama telah dilakukan dengan resmi. Sementara itu dari
lanskap lainnya, nampaknya pembagian tatanan ini telah menghilang. Bahwa
yang masih sepenuhnya sejalan dengan matriarkhal adalah pada sistem
suksesinya. Penyimpangan dari adat-kamanakan juga ditemukan; penentuan
bahwa anak milik suami, akan tetapi tidak untuk pemeliharaan anak-anak.
190 Ini juga tidak harus selalu terjadi dan tersedia bagi laki-laki; wasiat Harta pencarian, meskipun
ini merupakan salah satu sumbangannya yang lebih disukai, karena dengan cara ini menjamin
kelangsungan yang tepat dari keinginan laki-laki bahkan setelah kematiannya. Selain itu,
sumbangan apapun dalam soalan harta bergerak, dengan persetujuan dari mereka, yang berhak
atas warisan, dan juga kepala keluarga. Keluar dari kondisi ini, maka dapat dipastikan bahwa
kematian pada versi sedikit remeh adalah penuntutannya kembali. Terutama di Padangsche
Bovenlanden adalah “karunia,” dan sering membuka jalan mereka ke sebuah sumber dengan
gagasan-gagasan sosial tentang skema yang sesuai dan menunjukkan warisan (Lihat esai: “Over
de verwantschap en het huwelijks- en erfrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 29, dan
lebih jauh: Van Hasselt, “Volksbeschrijving van Midden-Sumatra,” blz. 247-248 ; Verkerk Pistoiïus,
“Studiën over de inlandsche huishouding in de Padangsche-Bovenlanden,” hal. 45—46; Van der
Toorn, “Aanteekeningen uit het familieleven bij den Maleier in de Padangsche Bovenlanden,”
Tijdschr. v. Ind. T. L. en Vk., dl. XXVI, hal. 515 dan 526; Kroesen, “Het grondbezit ter Sumatra's
Westkust,” Tijdschr. v. Ned. lndië, jaarp. 1874, dl. II, hal. 20; “Résumés van het onderzoek naar
het grondbezit op Sumatra,” hal. 19 dan 21).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
135
dari model warisan ini, hanya ditemukan di Tanah Putih. Berikutnya adalah
martabat kepala sudah untuk anak sendiri, setidaknya yang bersuku sama
seperti ayahnya. Jika hal ini tidak terjadi disebabkan sang ayah menikah
dengan salah satu suku yang lain, itu berlaku pada putra dari saudara
perempuan.193 Dari pengaturan sebelumnya di berbagai daerah, selain hak-
hak ibu, “hukum-ayah” telah memulai pengembangannya, kekerabatan
matriarkal di luar sana, sedang dalam keadaan transisi ke hubungan
parental, realitas yang dicatat Wilken pada akhir abad ke-19.
Di negara-negara pesisir tampak jelas pengaruh Johor, dan menurut
Wilken transisi ini telah terbentuk sepenuhnya.194
Dari bagian bawah Daerah aliran sungai Siak, di Kuala Mandau telah
ditemukan secara eksplisit yang menyatakan bahwa matrilineal tidak lagi
terjadi, dan rupanya tidak ada yang tersisa di Bangko dan Kubu (Rokan) dari
seluruh tubuh aturan itu, di pesta pernikahan di luar suku, anak-anak
mengikuti sang ibu, 195 dan di bekas lanskap yang bersangkutan, juga
ketentuan yang telah kita lihat di Tanah Putih, dalam suksesi martabat, putra
saudara perempuan dilihat sebagai memenuhi syarat.
Dari Pulau Lawan (Kampar) dan cekungan yang lebih ke hilir di Indragiri kita
tidak memiliki pembagian yang pasti, akan tetapi, tentu saja tidak cocok,
dalam pandangan bahwa pengaruh Melayu dari Johor dan kepulauan Riau
Lingga kepada penduduk dari daerah-daerah dilakukan untuk menganggap
bahwa di sini hubungan parental sudah sepenuhnya berada di tempat
matriarkhal, meskipun sisa-sisa sisa kekerabatan lama masih ada dan merata,
seperti tampak pada aturan di bekas kerajaan, bahwa anak-anak dari
perceraian tetap dengan ibunya. Juga, negeri di daerah hilir Jambi, seperti
asumsi dari Van Hasselt, juga Wilken, bagaimanapun,
193 Bahwa ketentuan pernikahan dalam suku harus jelas. Mungkin juga kita memiliki salah satu
penyebabnya, yang juga telah mengkondisikan endogami di tempat lainnya. Di mana ada
matrilineal, berkemungkinan, misalnya ayah, hanya pada sukunya sendiri, bahkan dalam
keluarganya sendiri, dalam pernikahan, anak-anaknya tidak mengambil bagian dari kenikmatan
warisan, yang dimiliki keluarga secara komunal.
194 Juga Setelah “self-Johor,” ketika mereka telah dimulai, di pantai timur Sumatra dan ngengat
Melayu di sana telah berbaur, telah dialihkan sepenuhnya untuk hubungan parental.
195 Juga muncul di aliran sungai yang lebih rendah (hilir) dari Siak, pada pesta pernikahan di luar
196
Lihat juga : “Over de verwantachap en het huwelijke- en erfrecht bij de volken van het
Maleieche ras”, hal. 55 .vv. dan 97 w.
197 Gramberg, “Schets der Kesam, Semendo, Makakauw on filalauw,” Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Vk.,
Koloniaal Verslag van 1887.” Akan tetapi, menurut Wilken, di daerah perbatasan siak, ternyata
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
138
4
Dinamika Darat – Pesisir
200.
J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.79-82
201.
E. M. Loeb, Sumatra, Its History and People, Vienna, 1935, pp. 23-4, 100-1; J.Miksic, “Classical
Archaeology in Sumatra”, Indonesia, 30 (1980) pp. 43-4; 46-8.
diketahui port ini tidak terletak di pantai, melainkan hingga sejauh 100 km ke
pedalaman, seperti disepanjang sungai Rokan adalah Tanah Putih, di sungai
Siak; Petapahan, Siak Sri Indrapura dan Senapelan, di Sungai Kampar adalah
Pelalawan, dan di sungai Indragiri adalah Rengat. Keseluruhan port ini,
terletak jauh dari rawa-rawa dan cenderung berada ditanah yang keras; selain
itu, jarak yang jauh dari pantai merupakan keuntungan tersendiri bagi
pertahanan dari serangan dari laut, dimana keberadaan posisinya
memungkinkan pertahanan dari sepanjang tepian sungai. 202
Sebuah studi dari etimologi dari kata “hulu”, menyorot pada konsep
hubungan hulu-hilir. Selain menyampaikan makna “hulu,” umumnya kata
tersebut terkait dengan pedalaman atau hutan, mengacu pada genggaman
atas sebilah keris, pisau, kapak, cangkul atau hal-hal yang
mengimplementasikan makna tersebut. Hal ini mungkin lebih dari suatu
kebetulan, bahwa hulu, menunjukkan atau mewakili pentingnya akan
genggaman atau pegangan yang diperlukan bagi fungsi suatu negeri. Sumber
utama pendapatan bagi negara awal di Sumatera tidak lain berasal dari hulu
sungai; emas dari Minangkabau, sementara di Kerinci dan Pasemah dari
berbagai hasil hutan di pedalaman dataran tinggi dan dataran rendah
pesisir.203 Produk pedalaman, tidak selalu mencapai pusat di hilir sebagai
sesuatu “hal yang biasa saja.” Akan tetapi, lebih sering sumber daya ini
dimobilisasi melalui perluasan pengaruh politik dan spiritual. Seperti yang
terlihat pada Sriwijaya melalui kutukan sebagaimana tertera pada prasasti
kepada wilayah mandalanya yang terletak jauh, atau juga sumpah “bisa
Kawi” dari Pagaruyung. Di Sriwijaya, prasasti ini mengutuk pelaku kejahatan
dan memberi berkat (tantramala), menjanjikan keamanan, kemakmuran dan
kebebasan spiritual, bagi mereka yang tetap setia kepada datu atau kepala
wilayah (n). Luasnya pengaruh politik tidak ditandai oleh batas-batas tetap di
ujung atas sistem lembah. Sebaliknya, terdapat penipisan secara bertahap
kearah luar menuju hulu, kekuasaan yang efektif, dalam proporsi terbalik
dengan jarak dan aksesibilitas dari ibukota hilir.
202.Collect
1925;279, Dobbin 1983;104, Muller 1837;31-3, Oki 1986;12, 36-39, Colombijn 2005:12.
203
. Wang Gangwu, “The Nanhai Trade A Study of the Early History of Chinese Trade in the South
China Sea”, JMBRAS, 31, ii (1958) pp. 103, 110-11; M. O.Woelders, Het Sultanaat Palembang,
1811-25, VKI, 72 (1971) pp. 95-127.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
144
204
J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.88
205
Marsden, hal.334.
206 Lihat Mochtar Naim, Merantau:Pola Migrasi Suku Minangkabau, 1984, hal.69
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
146
16. Salah satu jenis lada yaitu lada kemukus (cubeb pepper), pertama kali
disebutkan sebagai ekspor dari wilayah Palembang-Jambi pada abad ke-18,
yang selanjutnya menemukan pasar penjualannya di China dan di seluruh
kepulauan baik untuk aroma makanan dan sebagai afrodisiak. Ketika orang
Italia Varthema tiba di Sumatera Utara pada tahun 1505 ia mencatat bahwa
lada lokal jenis lainnya; lada panjang, "berbeda dari yang biasa dijual di Eropa
sedang dimuat ke kapal menuju Cina.207 Lada hitam (piper nigrum), bukan asli
dari kepulauan Indonesia, melainkan berasal selatan India. Dengan demikian,
tidak seperti varietas lainnya, lada tidak tumbuh secara alami tetapi dengan
sengaja telah dibudidayakan. Kita hanya bisa menebak dan menduga tentang
waktu pertama kalinya disadari potensi lada hitam dan mulai
mengembangkannya, Berkemungkinan pembudidayaan di Sumatera terjadi di
abad ke-15. Menurut Pires, produsen utama Sumatera adalah Minangkabau,
dan pedagang dari daerah ini mungkin telah diperkenalkan dengan lada India
ketika mereka bertemu dengan para pedagang India itu di Melaka. Akan
tetapi disebabkan tanaman tersebut merupakan tanaman yang
membutuhkan waktu yang panjang, maka diduga harus ada faktor lainnya
yang membuat tanaman ini lebih menarik daripada tanaman tahunan lain,
semisal; seperti kapas. Salah satu unsur penarik tersebut adalah bahwa piper
nigrum tidak membutuhkan begitu banyak tanah yang subur karena suhu
hangat dan lebih dari 2.500 milimeter hujan per tahunnya, dan ini cocok
dengan iklim di pedalaman Sumatera. Lebih penting lagi, banyak penduduk
pedalaman selama abad ke-16 didorong untuk beralih ke tumbuhan lada
karena kesadaran bahwa piper nigrum lebih disukai kalangan pedagang asing
dan bahwa mereka pun bersedia membayar harga yang baik untuk
mendapatkannya, dan daerah pertama ekspansi pasar adalah China.
Hingga era dinasti Sung (1127-1279), “jagara asing” atau lada hitam sangat
jarang diimpor dari India dan terlalu mahal untuk dapat menjadikannya
popular. Meskipun demikian, selama periode ini kelas elit birokrasi
melakukan kegiatan yang secara tidak sadar telah ikut andil dalam
mengembangkannya. Mereka mulai mempromosikan masakan dimana lada
merupakan bumbu penting. Pada saat yang sama, terjadi ekspansi
perdagangan yang berarti bahwa produk dalam jumlah yang lebih besar lagi
207
Commelin, Begin ende Voortgangh, I, p. 86; Jones and Badger, The Travels of Ludovico di
Varthema, pp. 233-234.
mulai merambah China dengan harga yang dapat dijangkau oleh kebanyakan
orang. Pertumbuhan pasar ditandai dalam penggunaan lada hitam di China
yang juga dapat dijelaskan dalam penggunakan therapeutic; piper ningrum,
seperti paprika lainnya dihargai karena sifat obat dan untuk kemampuan
peremajaan-nya atau kemampuan untuk membuat awet muda, memulihkan
ketahanan seksual, dan memelihara rambut tetap hitam. Pada tingkat yang
lebih pragmatis, lada hitam memperoleh pasar massal di China karena
penggunaannya dalam persiapan makanan dan pengawetan daging untuk
melalui musim dingin. lada di abad ke-15 bahkan dibayarkan kepada tentara
sebagai bahagian dari gaji mereka, dan dua ratus tahun kemudian China
mungkin telah mengimpor antara 10.000 - 12.000 pikul lada setiap
tahunnya.208 Respon terhadap permintaan hampir tak pernah terpuaskan di
Cina ini segera menjadi jelas di kepulauan Indonesia. Bahwa lada yang
tumbuh di bagian paling utara Sumatera diperluas sehingga Aceh menjadi
terkenal setelah Melaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511,
sedangkan pemukim yang berada jauh di selatannya; Minangkabau, secara
bertahap mulai memperkenalkan kebun lada di daerah rantau seperti yang
terjadi di hulu Kampar, Indragiri dan Batang Hari.
Memasuki awal abad ke-17, Siak diperintah oleh saudara dari Sultan Johor
yang nampaknya dengan otoritas yang “tidak diakui,” sehingga ditahun 1662
Johor menggantikan dengan bentuk resmi, memerintah wilayah-daerahnya
melalui syahbandar,209 akan tetapi nampaknya tetap dapat menggunakan
kewenangannya dalam hulu tersebut; kekuasaan yang diperpanjang hingga
Tapung Kanan dan Kiri. Belanda merekam, bahwa dibawah Johor-lah
perdagangan dengan wilayah pedalaman kali pertama meredup. Joan van
Riebeeck, yang pada tahun 1665 saat mundur dari jabatannya sebagai
gubernur Melaka, setidaknya menjelaskan dalam MVO nya, yang juga penuh
dengan prasangka; bahwa,
“tidak ada yang penting dari Siak; hanya beberapa orang Melaka saja
yang kadang-kadang menyusuri sepanjang sungai Siak hingga
208
Lihat Schafer, "T'ang," hal. 109-120; Mote, "Yuan and Ming," hal. 174-175; Spence, "Ching,"
hal. 272-274; Needham, Science and Civilisation in China, IV, pt. 3, hal. 520; Yule, The Book of Ser
Marco Polo, I, hal. 80; II, hal. 204, 235; Tien, "Cheng Ho's Voyages," hal. 186-197; Wills, Pepper,
Guns and Parleys, hal.10.
209 E. Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602 tot 1865 Historische Beschrijving,
210
INSULINADE 1924 — 87, “IETS OVER DEN HANDEL VAN MIDDEN SUMATRA IN DE 17de EEUW,
dalam Colonial Collection(KIT), Leiden University Libraries.
211 Pada tanggal 14 Januari 1676, Kepala Kota- Renah, Kebon dan Giti menandatangani kontrak
untuk penyediaan eksklusif timah timah jatuh ke Oost Indische Compagnie (O.I.C), dan juga
berjanji pemimpin Tandun untuk mencoba membawa kontraknya dibawah bendera OIC di
Melaka. Lihat Hijman van Anrooij, 1885: hal.355.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
149
itu juga telah merusak hubungan antara Melaka dan Indragiri. Dimasa yang
sama, Belanda ternyata tengah melakukan peperangan melawan Makassar
dan begitu juga di pulau Jawa melawan Trunojoyo-1674 dan Banten.
Untungnya saja, bahwa perdamaian dengan Naning dan Rombouw telah
memberikan beberapa kelonggaran, dan pada tahun 1680, Belanda
diperkirakan berada di sana untuk berdagang kembali dengan Sumatera
Tengah, akan tetapi mereka memiliki kekhawatiran baru. VOC menerima
pesaing kuat dari Paduka Raja; penguasa kerajaan Johor. Pada tahun 1677,
Sultan kerajaan itu meninggal dan digantikan oleh sepupunya; Sultan Ibrahim.
Catatan Belanda menunjukkan bahwa sang Sultan Ibrahim memberikan
semua daya-upaya dan kekuatannya untuk Johor yang telah sangat menderita
sebagai hasil dari peperangannya dengan Jambi, dan itu, untuk
menghidupkannya kembali. Dan memang, ia berhasil melakukannya dengan
muncul dan berkembangnya perdagangan. Riau,212 dipilihnya sebagai
pelabuhan untuk perdagangan yang kuat antara Aceh dan Jawa. Ia tidak
merasa kuatir atas pengkapalan bijih timah yang diperuntukkan bagi VOC di
Melaka, dengan bertahan di sungai Siak dan membawanya ke pasar untuk
Bengkalis, dan kemudian di tempat itulah Riau kedepannya sebagai
pelabuhan penting. Dengan tindakannya ini Johor memiliki hubungan yang
menguntungkan yang sebelumnya telah diambil oleh VOC. Perlu pula dicatat
bahwa dasar pembenaran tindakan Johor ini memiliki beberapa alasan untuk
cenderung lebih kepada dirinya sendiri daripada memikirkan VOC dan
pemerintah Belanda; yang berarti Belanda ditengarai pada saat itu benar-
benar menikmati sikap egois mantan obligasinya tersebut. Hal ini mungkin
didasari juga dari kenyataan bahwa tanpa bantuan dari Johor, Belanda tidak
akan pernah bisa menaklukkan Melaka-Portugis pada tahun 1641. Selain itu,
pembentukan VOC di Melaka, sebuah lokasi yang terpenting untuk re-koneksi
yang terputus dengan Jawa, diperolehnya melalui bantuan yang efektif dan
diwujudkan oleh Johor. Hal ini mencerminkan bahwa disatu sisi
merefleksikan aliansi antara Johor dan Kompeni. Bahwa Belanda yang
memenangkan perang memperebutkan Melaka dengan Portugis, terus
212
Pada tahun 1673, kerajaan Johor melalui pelabuhannya di Riau, telah membuka dan menarik
begitu banyaknya pedagang asing Eropa dan Asia kesana. Para pedagang India Muslim, telah
membawa kain yang diminati oleh pedagang Minangkabau – dan diperdagangkan dengan harga
yang lebih murah dari apa yang ditawarkan oleh Belanda; bahkan mereka memperdagangkan
produk itu di muara Indragiri, bersaing dengan Belanda dalam perdagangan “emas-
Minangkabau”-nya.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
150
213 R.J.Wikinon(ed.), 1971, Papers on Malay Subject.Kuala Lumpur: Oxford University Press,
hal.56.
214 Leonard Y.Andaya, Kingdom of Johor, 1641-1728, hal.10
215 Lihat E.Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870, hal.41
pesat dari orang Melayu, Jawa dan Moor; yang masing-masing datang
ke sana untuk melakukan perdagangan mereka sendiri dari pantai
Jawa, Palembang, Jambi, Inderagiri, Aceh, Keddah, Pera, Klang, Johor,
Pahang, Patani, Siam, Kamboja, Koetjin-China, dan juga orang-orang
Minangkabau, yang mendiami Sumatera, membentuk keramaian di
sana dan mengumpulkan banyak garam dan beras serta ikan yang ada
pada waktu tertentu setiap tahunnya, masyarakat Melayu di pulau ini,
terlihat kaum perempuan dan anak-anak di berkeliaran di sana-sini,
juga orang asli yang sangat bersemangat mengerjakan ikan kering
dan asin.
Pada tahun 1682 kembali terjadi kontak. Awalnya, orang-orang Minangkabau
di Sungai Siak melakukan pemberontakan terhadap Johor, dan Johor pun
paham dengan kepentingan kompeni dalam keberhasilan mengatasi
pemberontakan ini, lalu mereka meminta bantuan kepada Gubernur Melaka.
Belanda yang berharap untuk mendapatkan kembali kebebasan pelayarannya
di Siak, segera memutuskan untuk terlibat dengan mengirimkan kapal ke
perairan Bengkalis. Akan tetapi, nampaknya pergerakan ini dan hal lain
sepenuhnya tanpa pengaruh apa pun, dimana pemberontakan itu dapat
ditekan dengan segera.
Johor setelah melalui konfliknya dengan Jambi, memiliki satu
kebencian mereka terhadap Minangkabau, dan sesegera mungkin
mengetahui sosok pemimpin perlawanan ini; Raja Itam, dan berupaya
membunuhnya untuk segera memulihkan ketenangan.216
Walau begitu, sebagaimana dapat dimaklumi bahwa, dimana ada pertikaian
antar politi-politi pribumi, maka disana ada Belanda yang menari. kondisi
penuh komplikasi ini nampaknya menguntungkan bagi penjajah, Melaka pun
kembali bersentuhan dengan orang-orang yang berada di pedalaman
Sumatera. Pada tahun 1683 Gubernur Melaka mengirim kapal ke sungai Siak
kepada orang-orang Minangkabau di dataran tinggi untuk mengadakan
216
Dalam Memori-nya bertanggal 6 Oktober 1870, Gubernur Melaka, B. Bort, Menyatakan
bahwa tambang timah rakyat sebagai subyek tak bertuan yang berada di aliran Sungai Siak.”
Disepakatinya kontrak tanggal 21 Mei 1685 dengan Sultan Johor menghendaki Belanda untuk
tidak membuang sauh mereka melampui dari Pasir Sala, yang juga dinyatakan, “supaya
masyarakat-ku di Siak tidak bercampur dengan orang-orang Minangkabau, untuk kemudian -
tidak memperoleh permasalahan.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
152
217
Willian Foster(ed), The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East Indies 1591-1603
(London: The Hakluyt Society, II, LXXXV,1940),hal.113, The Voyage of Sir Thomas to East Indies in
1612-1614, 1934, p.271; Moeilink Roelof Asian Trade, p.22-23, 92-93.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
153
218 Cortesau, “Suma Oriental of Tome Pieres, An account of the east, from the red sea to china.
Written in Malacca and india in 1512-1515. And the book of fransisco rodrigues Pilot-major of
the armada that discovered Banda and the Moluccas, Published by J.Jetlet For Asian Educational
Services, pada hal. 153, dikatakan, “Indragiri is an important kingdom. It has a fair number of
trading people, and people go there from many place to trade. It is the chief port of
Menangkabau.”
219 VOC 1087 Jambi to Batavia, 2 Dec. 1625, fols. 154v, 156v; 1243 Jambi to Batavia, 12Jan. 1663,
fo. 9; Andaya,1993.
220 VOC 2133 King ofJambi to Batavia, rec'd 28 Sept. 1729, fo. 74; Andaya,1993.
221 Lihat Kielstra, “De Afeeling Indragiri,” dalam Onze Eeuw, Jaargang 15, 1915. Hal.33.
ini menjadi basis penghasil emas, semua pun menjadi berbeda. Masa
achteruitgang (penurunan) ini pun menjadi tidak terelakkan lagi. Meskipun
perdagangan emas dari Indragiri telah dialihkan ke Siak, sayangnya dengan
terjadinya kelangkaan suplai dari pemasoknya: Tanah Datar, hanya sedikit
saja emas yang dapat diperdagangkan. Hingga di era tahun 1770-an,
nampaknya dalam perdagangan emas, Belanda benar-benar telah collaps.222
Bahkan, laporan tahun 1785 atas perdagangan di Riau yang didominasi orang
Bugis, tidak lagi menyebutkan produk emas yang berasal dari dataran tinggi
Minangkabau.223
Penurunan perdagangan emas berarti beralihnya Minangkabau
menuju perdagangan lainnya, dan nampaknya ini dengan pihak asing
lain: Inggris.
Bahwa di tahun 1751 dan 1755 Inggris telah menguasai Pantai Barat, Natal
dan Tapanuli. Natal sebagai magnet yang telah menarik para pedagang pantai
barat kesana dengan hanya satu hari perjalanan berperahu dari Air Bangis
dan banyaknya kain yang diperdagangkan dari Karomandel dan lebih murah
dari yang terdapat di Padang224. Inggris pun memperoleh akses siginifikan
terhadap perdagangan Minangkabau, terutama setelah perang Eropa 1781-
1785 yang membawa Inggris sebagai “tuan” di Padang. Jika Luhak Agam
memperdagangkan kain dan garam, maka luhak lainnya: Limapuluh,
nampaknya berbalik menuju pegunungan arah ke pantai timur dan cenderung
untuk melakukan perdagangan eksternal daripada internal. Luhak Limapuluh,
dengan mengandalkan jalur melalui anak-anak sungai Siak dan Kampar,
segera melakukan perdagangan keluar terutama menuju pelabuhan bebas
Penang yang dibangun dan dikuasai EEIC pada 1786. Pelabuhan tersebut,
segera saja banyak menarik para pedagang dan memulai perniagaan besar
dari “dunia Melayu”, dimana disana banyak terdapat kain dari Karomandel
sebagaimana yang diminati oleh pedagang Minangkabau. Perdagangan
menemukan pijakan baru, tidak lagi berbasis emas melainkan gambir.
Perdagangan ini berpusat di Petapahan, dimana perahu pedagang
222
Two Dutch Governors Reports, “Journal of tha Malayan Branch of Royal Asiatic Society
(hereafter JMBRAS), XXVII,I,(1954), hal.28-29,31. Lihat juga “Courant”, 5 November 1829,
kemudian dalam Indisch Magazijn, II,2, 1845. “Cousperus “Goudproduktie.”
223
“Trade in the Straits of Malacca in 1785”. A morandum by P.G.De Bruijn, Gouvernor of
Malacca, JMBRAS, XXVI, 1 (1953), hal.55.
224 “Consideratie,” pars, 234-246
Minangkabau pulang dengan membawa kain dan garam yang akan memasok
pasar Minangkabau. Sebagaimana disebutkan pada Juli 1787, sebuah perahu
dari hulu Siak dengan muatan utamanya Gambir, dicatat sebagai yang
mendominasi perdagangan Selat yang dibawa dari Limapuluh Kota 225. Tidak
seperti perdagangan garam di Luhak Agam, maka Gambir nampaknya tumbuh
dengan pesat; realita bahwa gambir dapat ditanam pada areal pegunungan
yang tidak dapat ditanami padi, menjadikannya sebagai tanaman yang lazim
dijumpai pada era ini, bahkan dengan tanaman kopi yang saat itu tidak begitu
sukses, pertumbuhan tanaman Gambir nampaknya patut memperoleh
kecemburuan dari produk lainnya disana. Selain itu, era perdagangan Gambir
menyebabkan Penghulu yang wilayahnya dilintasi arus perdagangan gambir,
ikut memperoleh keberkahan dari biaya tol yang dikeluarkan para pedagang;
seperti Penghulu Pangkalan Kota Baru. Seiring berjalannya waktu,
perdagangan pedalaman Limapuluh kota via Pantai timur berkembang lebih
luas dari sumbu awalnya, Petapahan-Penang. Tercatat juga bahwa pedagang
Bugis turut melakukan perdagangan ke Sungai Siak dengan sejumlah besar
nilai perdagangan dari rute Minangkabau-Petapahan. Bahwa kisah
perdagangan ini menunjukkan terjadinya kontak intensif antara pedalaman-
Minangkabau dengan komunitas di sepanjang rute perdagangan, hingga ke
Semenanjung. Sebagaimana diketahui, Siak menyediakan rute pendek ke
pedalaman dibandingkan dengan yang rute lain yang berdekatan seperti;
Kampar. Adapun pengaruh Johor terbatas pada area di hilir Sungai strategis
Tapung-Kiri.226 Pada umumnya adalah pedagang Minangkabau yang
melakukan perdagangan sungai, menyampaikan lada, emas dan timah kepada
syahbandar Johor yang ditempatkan di Bengkalis dalam kegiatan pertukaran
dengan garam dan kain.227
en XII Kotta Kampar», TBG, 24 (1887) hal. 398-9; Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 104.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
156
Bagian paling penting dari hulu Siak dalam hal sumber daya baik tenaga kerja
dan produk, adalah Sungai Tapung Kiri yang terletak di luar otoritas Johor. Ini
menempatkan tambang timah Petapahan, Kabun dan Tandun, melalui bagian
hulu Sungai Kampar Kanan, untuk era emas Minangkabau di dataran tinggi.
Patapahan juga sebagai sebuah pelabuhan sungai penting, yang arah agak ke
hilirnya dihubungkan dengan jalan setapak di Taratak buluh di Sungai Kampar
Kanan, yang kehulu mengarah ke tanah makmur pusat pasar dataran tinggi
Payakumbuh melalui Pangkalan Kota Baru. Selain rute melalui Sungai Siak,
jalan setapak yang sama dari Patapahan ke Taratak buluh menawarkan
komunikasi alternatif dengan pantai, menyusuri Sungai Kampar via
Pelalawan.228
Dapat terlihat, bahwa daerah darat ini tetap sangat independen dari
kontrol otoritas pesisir.
Bahkan, di Patapahan para penghulu (kemudian bendahara) diklaim sebagai
perwakilan penguasa Pagaruyung dan, seperti kepala negeri sekitarnya,
mengirim upeti tahunan kepada penguasa pegunungan tersebut. Pada tahun
1692, Akirsama, yang mengaku sebagai putra penguasa di Pagaruyung, tiba
untuk memulihkan hubungan baik antara Kabun dan Patapahan dan
mencegah gangguan lebih lanjut terhadap kegiatan perdagangan. Koneksi
lanjutan antara rantau dan jantung Minangkabau berarti bahwa otoritas Siak
di hulu tergantung pada pengaruhnya terhadap penghulu, dan ini berarti
mereka tidak bisa berlaku sewenang-wenang.229
228
Lihat Oki, «The River Trade», Map 4-1, hal. 15.
229 Andaya, The Kingdom of Johor, hal. 133, 222.
230 Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak,” hal. 39-40; Générale Missiven, 5, 13 Feb. 1679,
hal. 302.
231 Briefje door den heer gouverneur Phoonsen tot Malacca aan den Dato Bandhara tot
232
Translaat missive door den Dato Bandhara van Pattapahan en de hoofden der vier dorpen aan
den heer gouverneur Phoonsen en raad geschreven (ontfangen den 11 Junij 1703 per burger
chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 212-213; Seven agter de anderen geschreven translaat
brieven van den Dato Bandhara tot Pattapahan aan den gouverneur en raad tot Malacca
geschreven (ontfangen den 21 Maart 1703 per burger chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 44-
51.
233
. Vier briefjes over de Malacxe regeeringe aan den Sabandhaar van Sambouwer, den Dato
Bandara van Pattapahan en de Pangoelos van Calang en Salangoor (ontfangen den 26 Maij 1706
per borger vaartuijg), 1.04.028594.Malakka1, 63-65.
234
Coolhaas, Générale Missiven, 5, 13 Dec. 1686, hal. 50.
235 F. de Haan, «Naar Midden Sumatra in 1684», TBG, 39 (1897) hal. 327-66; Générale Missiven,
memiliki 1.000 orang; Suruaso 4.000; Padang Ganting 10.000; dan Sungai
Tarab (atau Padang Tarab) 1,000.236 Thomaz Diaz mencatat,
bahwa belumlah mereda ketegangan yang terjadi antara kerajaan di
pegunungan itu dengan Kerajaan di Semenanjung Malaya
sebagaimana terekam pada tahun 1682.
Disebutkan, Raja Pagaruyung mengklaim pelabuhan di tiga lanskap sebagai
wilayah kekuasaannya dimana Raja mengizinkan kompeni untuk dapat
melakukan perdagangan disana; Petapahan, Siak dan Indragiri, hal yang
dengan sopan dibantah sang utusan Eropa tersebut bahwasanya tempat
dimaksud dikuasai Johor dimana kompeni mengadakan perjanjian
dengannya237; dan Raja Pagaruyung pun mengatakan:238
“Kepada anak-anak Raja Johor aku sudah ijinkan Siak sebagai tempat
tinggal dan tempat bercengkerama mereka, tetapi kini tidak lagi
demikian karena Paduka Raja telah berlaku buruk serta berkhianat
terhadap keponakanku Raja Hitam, dan kepada Raja Johor yang sudah
mengatakan bahwa Siak termasuk daerah kawasannya, saya minta
Raja Johor memberikan bukti bilakah kawasan itu diberikan kepadanya
sebagai miliknya. Kemudian Indragiri adalah antek saya tetapi telah
berdiri sendiri dan memberontak, akan tetapi kawasan Indragiri 239
hingga ke tepi laut adalah milikku, dan Raja setempat belum lama ini
telah mohon ampun kepadaku, yang tidak aku berikan, dan aku juga
tidak sudi menerima upeti apa pun darinya.” 240
Tidak kurang berhasilnya adalah upaya Laksamana Johor, Paduka Raja Abdul
Jamil yang menyudutkan perdagangan hulu Siak dalam menghadapi
persaingan Belanda. Pada tahun 1689, perwakilan dari Kuo dan Air Tiris, dua
236 Haan, “Naar Midden Sumatra,” 355–6; Andaya, History of Johor, 111. Part of “Naar Midden
Sumatra,” which was a journal of Tomas Dias, telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh
Drakard, “A Mission,” 152–61.
237
Bahwa antara Djohor dan V.O.C.(Kompeni) mengadakan perjanjian persahabatan dan
perdagangan yang meliputi hingga hulu Sungai Siak.
238 Bahwasanya Johor melakukan perjanjian dengan kompeni di wilayah Siak sehingga Pasir Sala;
239 Netscher, 1870, Lamp.33
240
Lihat Timothy P. Barnard, “Thomas Dias: perjalanan ke Sumatera Tengah pada tahun 1684”.
Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta,
dokumen 1. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
160
241 Générale Missiven, 5, 30 Dec. 1689, pp. 320-21; Andaya, The Kingdom of Johor; 146.
242 Andaya, The Kingdom of Johor, pp. 146-7; Générale Missiven, 5, 11 Dec. 1692, hal. 535; N.
MacLeod, «De Oost-Indische Compagnie op Sumatra», pt.7, De Indische Gids, (1907) i, hal. 788-9,
792.
243
Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728: Economic and Political Developments. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1975 hal. 173-4, bag. 8-10.
244 Andaya, Kingdom of Johor,hal. 222-223.
245 Netscher; hal.46. lihat juga Peter Borschberg, “Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (1699-
1720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713”. Dalam: Harta Karun.
Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 7. Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia, 2013.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
161
Sejarah mencatat, bahwa peran besar berlaku untuk Raja Kecil (1716-1746),
yang mengaku sebagai anak dari raja terbunuh Sultan Mahmud dari Johor
(1685-1699), untuk membawa hulu Siak kepada hubungan yang lebih dekat
dengan otoritas pesisir. Raja Kecil, diyakini telah dibesarkan di istana
Pagaruyung, mengaku memperoleh mandat agung dari kerajaan Melayu yang
terkenal di kedua ujung jaringan pertukaran, dihulu diperolehnya dari
penguasa Pagaruyung, dan di pesisir sebagai klaim keturunan raja Johor
terbunuh, “Marhum Mangkat di Julang.” Upaya awal Raja Kecil, tentunya ia
menggusur perwakilan Raja Johor di hilir Siak. Hubungan penguasa yang baik
dengan Minangkabau telah membantunya untuk mendirikan pengaruh pesisir
di wilayah pegunungan, hal ini juga berarti bahwa pada era awal berdirinya
Siak, lanskap hulu tetaplah merdeka, lepas dari kooptasi kekuasaan hilir
seperti; Tapung. Kehadiran Siak, nampaknya membawa peregangan antara
Belanda dengan negeri pedalaman, seperti ditunjukkan oleh dua putra Raja
Kecil; Raja Alam dan Raja Mohamad. Tahun 1752, Jan Frederik Bierman
dengan suatu kargo senilai 60.000, diutus oleh Melaka ke Sungai Siak untuk
membeli emas. Akan tetapi, ketidakpastian situasi keamanan di negara-
negara pedalaman telah mencegah menghilirnya emas, dan Bierman pun
kembali ke Melaka tanpa hasil. Kemudian, Onderkoopman Wiederholt diutus
ke Siak, ia pun kembali dengan hasil yang tidak menguntungkan Kompeni-
Melaka. Perundingan Raja Alam dengan Wiederholt, selain tidak
menguntungkan, juga dikatakan Netscher bahwa bahasa Raja Alam yang
menyatakan,
“….jika Kompeni memberinya seratus tong mesiu dan empat ratus
peluru, maka ia akan melindungi Kompeni dalam kehidupan
persahabatan dan perdagangan”; dirasa sebagai ‘agak terlalu
bertentangan dengan martabat dan kedaulatan Kompeni,’ sosok yang
telah lama mendominasi Selat Melaka.”
Pernyataan Raja Alam ini, sebenarnya merupakan sikap Raja Alam yang
menganggap ayahnya; Raja Kecil, sebagai penguasa sah Johor.246 Rivalitas
sengit di Selat antara Siak dan Johor, dimanfaatkan Kompeni-Melaka untuk
kemudian membenturkannya, dengan hasil; Raja Mohamad pun bertahta
kembali di Siak pada 1755.247 Kompeni kemudian menempatkan posnya di
Pulau Guntung, dengan seperangkat kebijakan monopolinya yang jelas-jelas,
telah menyebabkan kesulitan tersendiri, sunyinya perdagangan. Kondisi itu
menyuburkan perompakan, hingga akhirnya pecah peristiwa Pulau Guntung
tahun 1759.248 Belanda, benar-benar melaksanakan aksi pembalasan pada
1823, bahwa dalam ekspedisinya ke Sumatra, salah seorang pembesar Siak menunjukkan
kepadanya keris yang dikatakan sebagai milik dari kakek buyutnya salah seorang dari empat
Datuk yang terlibat dalam peristiwa Pulau Guntung: dimana pada keris itu masih terdapat bercak
darah dari orang Belanda yang dibunuhnya. Kisah ini sendiri, pada awalnya diberitakan terjadi di
tahun 1738, dimana bermula di tahun 1730 melalui serangan Belanda, raja Siak (Raja Alam)
digulingkan dan kemudian sebagai penggantinya, adalah Raja Buwang ditempatkan diatas tahta.
Sebagai “tanda terimakasih” atas bantuan ini, maka diberilah bagi Belanda tempat untuk
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
163
tahun 1761, melakukan penyerbuan ke Siak dan Raja Alam pun kembali
bertahta.249 Bagi Belanda sendiri, nampaknya ikhwal mengembalikan Raja
Alam di tahta Siak ternyata tidak menimbulkan berkah bagi negaranya,
dibuktikan dengan surat dari Dewan Melaka kepada Batavia tanggal 29 Maret
1763; yang isinya hanyalah keluhan tentang hambatan atas perdagangan di
hilir dan pedalaman, Kompeni karenanya tidak bisa menarik keuntungan atas
hak Siak, karena biaya pos untuk Pulau Guntung masih cukup besar. Belanda
tidak menyangka, ternyata Raja Alam tidak membantu mereka untuk
menekan perdagangan di negara-negara pedalaman. Petapahan pada waktu
itu merupakan pasar yang besar, di mana para pedagang dari pedalaman
Sumatera menyediakan barang–barang yang bernilai dipasaran. Karena
tempat itu dirasa tidak lagi memadai bagi Raja Alam, maka ia pun pada
pertengahan tahun 1763 dengan satu kekuatannya beralih ke sana,
kemudian mendorong pasar ke bangsal danau yang terletak di Sungei Pelam,
250
dan berlepas dirinya dari keluhan-keluhan serius terhadap pos yang
dibangun oleh Gubernur dan Dewan Melaka, yang dijawabnya bahwa ia akan
bertindak di pedalaman dengan baik. Pada bulan November 1763, D.A.
Neufville dan seorang boekhouder Van Moesbergen yang diutus menemui
mendirikan loji di Pulau Guntung, yang terletak 6 km dari muara sungai. Akan tetapi, delapan
tahun kemudian, tepatnya tahun 1738, Raja Buwang dengan sejumlah 25 kapal perangnya,
mendekati Pulau Guntung dan berlabuh disana. Komandan Belanda, menyambut sang raja yang
didampingi empat Datuk tanpa kecurigaan, dan kemudian Raja Buwang duduk disamping
komandan tersebut. Yang terjadi selanjutnya, Raja Buwang menusukkan kerisnya tepat di dada
komandan, kemudian bersama dengan para Datuk, membunuh seluruh perwira yang ada dalam
ruangan tersebut. Ini belum berakhir, melalu tanda yang telah disiapkan, menyerbulah para
pasukan dari atas kapal menuju loji Belanda, dan pembantaian pun terjadi. Diberitakan bahwa
sejumlah 180 orang Belanda tewas dalam peristiwa tersebut. Akan tetapi, Milles meragukan
keakuratan cerita tersebut, dan melakukan penelitian terhadap arsip-arsip Belanda tentang
V.O.C. Dari hasil investigasinya, ia menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi di tahun
1738, melainan pada tanggal 6 November 1759, dimana di loji Belanda di Pulau Guntung;
HENDRIK HANSEN, telah “dikhianati” oleh Raja Buwang, dan mengakibatkan pembantaian atas
sekitar 65 orang Belanda, dengan diperkirakan terdapat sejumlah 8–9 orang berhasil lolos dan
menyelamatkan diri. Lihat Maandelijksch overzigt der Indische letterkunde. De munten der
Engelsehen voor den Oost-Indische Archipel, Beschreven door H.C.Millies. Amst.1852; dalam
Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg.16, 1854 (1e deel), No.2 tanggal 1 Januari 1854, hal. 140-141.
249 Perjanjian tanggal 16 Januari 1761, antara Raja Alam dengan Melaka(lihat Bab 6).
250 Sungai Pelam ini, dikatakan juga Chinapella atau Senapelan, lihat Netscher, 1870, juga
Pof.Suwardi,MS dan Drs.Isjoni,MSi, dalam “Kota dan Dinamika Kebudayaan: Peluang dan
Tantangan menjadikan Pekanbaru sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara 2021,”
Makalah disajikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, November 2006.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
164
251
Netscher, 1870: hal.131-132.
252
GM 2-2-1731, Generale 9 (1988:212); GM 31-12-1762, ARA, VOC 3031,f,954rv,
Colimbijn,2005;13.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
165
257
Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1 November
1876, hal.394-5
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
167
258
Pemeriksaan pada bulan Desember 1874.
259 Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876: hal.396
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
168
Akan tetapi sikap dari raja lanskap Kota Intan memunculkan komplikasi serius
dan bahkan dapat menyebabkan sebuah ekspedisi militer. Dengan
ditutupnya transaksi oleh Sultan Siak, ia memutuskan untuk menyerang
Tapung Kiri yang kemudian terjadi di kampung Tebing Tinggi, dimana kepala
kampung dengan beberapa orang lainnya tewas. Bahkan pihak Kota Intan
tersebut, di kampong dimana terdapat warga yang tewas, Seorang kepala
lainnya melalui Tebing Tinggi; memaksa penduduk Gunung Tinggi membayar
uang darah atas terjadinya invasi di Tapung Kiri yang mengakibatkan
terbunuhnya orang dari Gunung Kandis (negeri di pedalaman sungai
Kampar).260 Sebagai dampak yang tidak diinginkan, bahwa kasus tersebut
diikuti pengiriman seorang pejabat dan rijksgrooten Siak menuju Kota Intan.
Raja lanskap yang bergelar Yang dipertuan Besar, membawa proposal
menuju siak untuk membahas urusan dengan dengan pihak yang dianggap
berwenang. Pemerintah Hindia menganggap bahwa usulan Raja ini
seluruhnya di bawah pengaruh saudaranya - Yang dipertuan Jumadil Alam –
akan tetapi, nampaknya hal tersebut tidak dapat untuk dipenuhi. Mantan
penguasa Kota Intan, terkait dengan kerajaan Siak, dan menurut Belanda,
tampaknya dapat dipastikan bahwa disaat Siak lemah, berulang kali mereka
telah menggunakan pelaksanaan kewenangan diwilayah yang jauh dari
ibukota Siak berupa penghapusan beberapa-bagian wilayah. Kehadiran Yang
dipertuan itu, mungkin karena keinginan untuk ikut memperoleh pendapatan
bagi pemerintah pribumi dari eksploitasi timah di Tapung; nampaknya ia
menjadi tergoda untuk sementara merampas dari para pendahulunya dan
membuat tuntutan baru atas setiap bahagiannya, dan ternyata bahwa ia tidak
rela untuk melepaskannya. Ketika pemerintah masih menunggu tentang apa
yang harus dilakukan, pada Bulan September 1875, tibalah Yang dipertuan
261Ibid,
hal.398
262 Ibid, hal.399
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
170
263
Realita bahwa penguasa Lanskap tersebut pernah beberapa kali mengunjungi Fort de Kock,
yang pertama pada tahun 1865 oleh Jang di Pertoean Sati secara pribadi; kemudian pada tahun
1866 oleh utusannya. Sementara itu, pada tahun 1864 Kepala lanskap, Sutan Abdul Djalil
mengunjungi Fort de Kock untuk meminta suatu resolusi atas sengketa perbatasan dengan
Ramba, suatu bantuan eksekutif dari Residen dimana ia mendesak pihak yang bersengketa
dengan sepucuk surat perdamaian. Nampaknya sejak 1847 tidak terjadi sentuhan “rechtstreek”
lainnya dengan Rokan. Annexatie's in Centraal Sumatra, 1880, Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg
9, 1880 (1e deel), Nomor 3, Hal 185.
265
De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. Tijdschrift voor Neerland's
Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.89.
266 C. Dobbin, «Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement», Indonesia,
Erath, van 22 Dec. 1789, nopens Compagnie handel en besittingen op die kust, ff.956, 981-2.
271
F. N. Niewenhuijzen, «Het Rijk Siak Sri Indrapoera», TBG, 13 (1864) hal. 392.
272 Hijman van Anrooij, hal.311
273 Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 46-7, 70, 91, 93-4, 103-4.
274
Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1
November 1876.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
177
275
Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264
– 265.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
178
276 Bahwa pemerintah kolonial sendiri tidak mengetahui dengan pasti tujuan kedatangan Zainal
Abidin setelah bermukim selama tujuh tahun di Perak. Sebaliknya, kedatangannya yang disertai
rumor akan terjadi penyerangan ke Siak dan Bagansiapiapi tidaklah benar, melainkan
berdasarkan surat yang ditujukan kepada asisten residen, adalah untuk mengunjungi makam
keluarganya, dan diterima berita bahwa pada bulan Maret, Zainal Abidin kembali ke Perak.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, tanggal 28 juni1899, “Midden Sumatra.”
277
Dalam UTRECHTS NIEUWSBLAD, tanggal 30 April 1897: Kolonien, hal.5
278
Melalui Besluit tanggal 15 Mei1903 diangkat Knight dari Orde Orange- Nassau sebagai
kontrolir Binnenandsch Bestuur (B.B.) di luar Jawa dan Madura H.C.E.QUAST, dengan tujuan
untuk melakukan pemeriksaan di lanskap merdeka, Rokan. H.C.E.QUAST, digambarkan meraih
sukses besar dengan tugas penyelesaian persoalan di Lanskap Rokan, dalam suatu operasi militer
penangkapan tokoh Dzainal Abidin yang dilakukan tanpa adanya satu pun tembakan yang
diepaskan petugas. Dalam Soerabaijasch handelsblad tanggal 30 Juni 1906.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
179
279 PV Riau 1865, ANRI, Riau 58-2; PV Riau 1868, ANRI Riau 59, Colimbijn, 2005; 16.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
180
satu pasukan militer dari garnisun Bengkalis yang terdiri dari 24 orang
anggota pasukan bayonet untuk mengantisipasi adanya kerusuhan dari orang-
orang bersenjata, sementara Sultan sendiri telah membawa orang-orangnya.
Adapun kepala V Koto Kampar, saat memberikan klarifikasinya terhadap
Sultan, menunjukkan sikap yang sangat tidak layak, dan ketika mereka
mengemukakan alasan untuk penampilan mereka itu, ia menyatakan keluhan
dan dirinya siap untuk melakukan keadilan sebagai bentuk legitimasi hukum
asalkan telah terlebih dahulu dipanggil kembali orang bersenjata mereka.
Kepala menyatakan kesediaan mereka untuk mematuhi poin ini, dengan
harapan bahwa Sultan akan mengutus seseorang menuju Tambang (Sebuah
negeri netral antara Siak dan V Koto Kampar) dimana seseorang yang
diharapkan dapat menjembatani kepentingan mereka.
Tanggal 29 dan 30 September, semua perahu mengubah arahnya kembali
menuju V Koto Kampar, dan kemudian asisten residen dengan detasemen
militer Pekanbaru, dan pada tanggal 1 Oktober kembali datang dari Bengkalis.
Siak, sesuai dengan keinginan dari V Koto Kampar sejauh dapat dipenuhi dan
masuk akal, bahwa pengaturan yang dibuat sehubungan dengan tambatan
untuk perahu dagang ke Teratak Buluh untuk kedua belah pihak; layanan
transportasi kuda tetap dipertahankan. Karena pembangunan transportasi ini
menempatkan seseorang dari Onderafdeeling Pangkalan Baru dan XII Koto
Kampar (afdeeling Limapuluh Koto Residensi Dataran Tinggi Padang) yang
ternyata menyebabkan ketidakpuasan terhadap warga di sana, akibatnya,
berimbas dalam mendorong perdagangan V Koto Kampar dengan Pantai
Timur Sumatra.
Selain itu, bahwa perluasan wilayah Siak ke hilir Sungai Rokan tahun 1858
dimana terdapat Lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, Belanda mencatat
terjadinya mal administrasi pemerintahan yang mungkin saja telah
menyebabkan “kegelisahan” sebagai negeri taklukkan Siak disana. 282 Hijman
van Anrooij, mendeskripsikannya sebagai berikut:
Pendapatan Sultan yang berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan
kepada (sejak almarhum) adik perempuannya; Tongkoe Maklugsoen,
yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pulau lawan, dan kemudian
282
Pemerintah Belanda terutama diakhir abad ke-19, mencatat penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan anggota kerajaan, lihat Hijman van Anrooij dalam “Het Rijk Siak” dan juga Rijn
van Alkemade.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
183
terbatas atas Tanah Putih, maka akan ada tindakan-tindakan yang tidak
memerlukan pertimbangan lainnya. Mangkubumi memiliki alasan, bahwa
berdasarkan penggalan editorial yang tertera bahwa Tanah Putih
menyerahkan kepemilikan penuh, dan bukan tidak mungkin bahwa
seseorang telah melakukan ini, dengan demikian memaksanya untuk,
mematuhi persetujuan guna mematuhi jarak dari Bengkalis; dan dia,
setelah bagian itu dibuat sedemikian rupa, gaya yang dibuat, godaan yang
ditawarkan, secara eksplisit dinyatakan diantaranya terdapat kata-kata
"Sampei-anak-tjoetjoenjda" sebagai satu keturunan, hingga semua
quaesties berikutnya, baginya, tidak ada penghambat untuk
pelaksanaannya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa praktik-praktik ini telah
menimbulkan kekacauan di Tanah Putih, yang tidak dapat
dikesampingkan bahwa hal ini relevan dalam posisinya saat itu sebagai
sebuah negeri yang tertinggal.283
Meskipun demikian, tidak akan pernah terdapat kisah Riau daratan
jika isinya hanyalah kisah konflik semata.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdirinya kerajaan Siak disatu sisi
telah menurunkan intensitas ketegangan antara politi didataran tinggi
Minangkabau, dengan politi pesisir. Raja Kecil sebagai pendiri Siak di wilayah
pantai, membawa darat kedalam hubungan yang lebih dekat dengan pesisir,
bahwa ia dianggap tidak saja sebagai pendiri dan penguasa kerajaan Melayu
modern di Riau Daratan pada awal abad ke-18, melainkan juga diasumsikan
mewakili kepentingan darat, yang didominasi Pagaruyung; Anak IV Suku di
Siak, mungkin menjadi salah satu jawaban atas dugaan ini, tidak saja sebagai
politik balas budi terhadap Minangkabau pendukungnya dalam serangan
terhadap Johor 1718, melainkan juga keberpihakan penguasa Siak terhadap
kerajaan di pedalaman. Keberhasilannya dipandang juga karena Raja Kecil
memiliki kedekatan dengan para pemukim Minangkabau di pesisir dan
sepanjang sungai yang mayoritas adalah pedagang. Seiring perjalanan waktu,
memasuki abad ke-20 nampaknya keterlibatan Minangkabau secara khusus
menandai distrik tradisional “rantau”, di mana sejumlah migran meningkat
tajam menyusul booming karet dari tahun 1920 dan peningkatan jalan
penghubung antara Bukit Tinggi dan Pekanbaru.284
283
Hijman van Anrooij, hal.377-9
284 Reid 1979: 49; Kato 1982: 84, 93 catatan 24, 108.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
185
285 Penjelasan atas Kondisi Minangkabau pada era awal di Siak, dapat dilihat dalam Hijman van
Anrooij, 1885. Perbedaan dengan masa sesudahnya, terutama pada masa Republik, mungkin
dapat dilihat pada penjelasan sifat Merantau Minangkabau, yang dilakukan secara berkelompok
pada masa awal Siak, dan cenderung lebih kepada individual pelaku merantau pada masa
kontempoter, perbedaan ini terefleksi pada perbedaan orientasi di tanah rantau. lihat Mochtar
Naim: Merantau: Pola Migrasi Masyarakat Minangkabau. Juga, kontak Pribadi dengan
H.M.Rosdian,M.Si – Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang
Panjang Sumatra Barat, 6 Agustus 2015.
286
Kato 1982: 109
287 Lutfi 1977: 355.
288 Tideman, 1935: 11.
289 Seperti Pangkalan Indaroeng, sebelumnya adalah sebuah negeri yang makmur dan sejahtera,
hingga terjadinya perang sipil terakhir, didapati sebagai nergeri yang dijarah; (rijstchuran-960),
seluruh penduduknya melarikan diri. O’Brien mengatakan bahwa saat kedatangannya kesana,
sejumlah 30-an orang penduduk telah kembali. Yang lainnya, sebahagian besar bermukim di
distrik Kwantan dimana mereka jatuh terlibat dalam hutang dan juga telah mengupayaan
pertanian menetap; terdapat beban untuk membangun kembali pemukiman dan juga
mempertahankannya; lihat O’Brien, dalam Tijdschr. K.N.A.G., 2de serie XXXIII., Rapport omtrent
de tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-
Landen. Amsterdam, 1906. hal.959.
290 O’Brien, 1906; hal.970, IJzerman, 1895; hal.47.
dan melalui mediasi Sultan Siak, dari Gunung Sahilan dan negeri takluknya.
Kemudian Singingi, dilanjutkan sebagai dependensi (taklukan). 292 Datuk
Bandaro Hitam dari Kota Baru Anaro (Anaro ini biasanya dihilangkan)
menyatakan, bahwa ketika Jelo Sutan ingin mengubah adat kuno, dan
bersikeras pada Singingi, dalam hal apapun, Raja Gunung Sahilan harus
mengambil salah satu dari darah murni, yang tersisa dari pembantaian
menakutkan atas Pagaruyung. Terdapat seorang tokoh bernama Angku
Kuning atau Bujang Kuning, juga disebut SULTAN ABDUL MAJID, dikenal juga
sebagai Raja Angku kuning atau Bujang Kuning sebagai seorang putra Raja di
Buo dengan salah seorang perempuan Kuantan: seseorang dengan kelas
keturunan biasa yang berasal dari Kota tuo. Ia menikah dengan adik dari Raja
Gunung Sahilan. Sekembalinya dari Siak, Angku Kuning merasa keberatan
terhadap hasil transaksi dengan Sultan Siak, dan akhirnya juga meminta salah
satu penghasilan dari negeri yaitu pertambangan, karena sebagai putra Yang
Dipertuan Sembayang (Raja di Buo), ia mengklaim Rantau Sibayang dan
Singingi. Kondisi ini, menyebabkan perselisihan dan Angku Kuning pun
menyatakan dirinya sebagai Raja di Singingi dan bermahkota di Kota Baru
dengan gelar Yang Dipertuan Salih. Agar dapat dicapai kedamaian dan
pengakuan di tempat lainnya di wilayah Singingi, ia mengklaim bahwa hal ini
dilakukan dengan persetujuan kakaknya, Tuan Gadis, sebagai “Princess of
Pagarroejoeng.” Tanjung Pauh, Pulau Patai, Kota Baru dan Pangkalan
Indarung mengenali dan mendukungnya. Hanya saja, Muara Lembu dan Patai
menolaknya. Setelah jatuhnya Patai, yang benar-benar diperjuangkannya,
dengan hasil dua Kota itu akhirnya membayar upeti kepada Angku Kuning.293
Ia melanjutkan aksi ini, untuk membangun kota dimana ia bisa mengandalkan
loyalitas penduduknya.
Sementara di Kuntu di Sibayang, Bandaro tua digantikan oleh Sutan Bandaro,
yang ayahnya adalah seseorang yang terusir dari Rokan-stroke: seorang
keturunan Raja. Sutan Bandaro ini memiliki harapan yang lebih tinggi, dia
ingin melakukan sesuatu untuk meningkatkan posisinya menjadi Raja dari
Rantau-Sibayang. Sebelumnya, ia terlebih dahulu menjalin persahabatan
dengan Angku-Kuning dan membantunya dalam pertempuran dengan Patai.
Setelah penaklukan Patai dan Muara Lembu, ia pun kembali mendampingi
292
O’Brien, 1906; hal.971.
293 O’Brien, 1906; hal.972.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
189
5
Pesan Kemandirian
Negeri Daratan
Bahwa Kisah pendiri kerajaan Siak, Raja Kecil, memiliki banyak versi berkaitan
dengan pengakuannya sebagai anak dari Sultan Mahmud dari Johor yang
terbunuh di tahun 1699. Tertera dalam sumber-sumber Melayu, juga Bugis
menjadikan kisah pendiri Siak tersebut memiliki multi interpretasi dan bahkan
terkadang menjadi samar. Akan tetapi, E.Netscher, 295 sebagaimana hasil
upaya eksplorasinya atas arsip-arsip di Melaka dan Batavia; bagaimanapun
juga menekankan pentingnya menampilkan babad ataupun kisah Raja Kecil
yang memainkan peranan besar dalam konstelasi politik dunia Melayu di
Selat Malaka. Bahwa kronik Melayu di Selat Malaka diwarnai dengan
pertarungan Siak – Johor – Riouw dengan kekuatan kapitalis Eropa Kompeni
atau dalam khasanah arsip sering disebutkan sebagai OIC(Oost Indische
Compagnie) yang berpusat di Melaka. Bahwa turut berperannya orang-orang
Bugis di percaturan politik-ekonomi di Selat Melaka adalah keniscayaan yang
nampaknya tidak disukai Eropa-Belanda, seperti halnya Netscher yang
menuliskannya sarat dengan aroma prasangka. Meskipun demikian, riwayat
raja-raja Siak yang diuraikannya bersama pergulatan dan pertarungan antar
kerajaan dan penguasa negeri-negeri Melayu – yang tidak saja dibayang-
bayangi dan dalam kerangka kepentingan dagang VOC dan pemerintahan
295Netscher mengisahkan kronik raja Siak mulai dari Raja Kecil hingga Said Ali – dimana ia
menggali dari Hikajat Melayu dan Bugis yang seringkali dikatakannya terdapat kontradiksi yang
sangat tajam; dan untuk menjembataninya, ia berpedoman pada arsip-arsip yang terdapat di
Malaka. Lihat E.Netscher: De Nederlanders in Johor en Siak. 1602 tot 1865. Batavia: Bruining. &
Wijt, 1870. Mulai dari Hoofdstuk III – VII (p.47 -166).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
192
297 Bahwa suatu malam Sang Sultan memanggil salah seorang selirnya yang bernama Enci Apung
dan merupakan putri dari Laksamana untuk mengurut kakinya, ia merasa ada racun ditubuhnya
dan muntahkan “semen,” dan sang Sultan mengatakan kepada Ince Apung untuk memakan
“semen” tersebut, dan dengan demikian ia akan memiliki anaknya. Ince Apung memakan
“semen” tersebut, dan dengan izin Sang Maha Pencipta, ia pun mengandung. Bahwa penggalan
kisah ini merupakan kiasan bahwa sebenarnya sang Raja saat diurut oleh Enci Apung, merasa
birahi dan kemudian mereka pun berhubungan yang menyebabkan kehamilan Enci Apung.
298 Sepeninggal Sultan Mahmud, atas dukungan Tumenggung Muar dan desakan pembesar
kerajaan, diangkatlah Bandahara menggantikan kedudukan penguasa dan bergelar Sultan Riajat
Sjah IV; dinasti yang dikatakan memerintah dari 1699 – 1720; disini dapat dibandingkan dengan
apa yang terdapat dalam kronik Melayu.
299
Terdapat pendapat berbeda yang mengatakan bahwa Raja Kecil dilahirkan pada tahun 1685,
akan tetapi tidak diketahui darimana Feis memperoleh informasi ini.
300 Bahwa dalam versi lainnya, sebagaimana terdapat dalam Sejarah Raja Riouw; setelah
pembunuhan Sulthan Mahmud Syah, Enci Apung dibawa oleh Laksamana Bebas menuju
Pagaruyung dimana ia melahirkan dan membesarkan Raja Kecil disana.
301
Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the
Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
195
bahwa ia akan melakukan yang terbaik jika ia segera menuju Siak dan Johor
untuk membalaskan kematian ayahnya. Sebagai persiapan atas misi barunya
tersebut, penguasa Pagaruyung pun menggelar nobat untuk
menganugerahinya gelar – yang diiringi seperangkat tambur; bahwa, Raja
Kecil bersimpuh di sebuah panggung kayu, kemudian Yang dipertuan Sakti
berdiri dekatnya, melafalkan doa dan berkata:
Jika engkau adalah anak dari saudaraku di Johor, keturunan dari
Sulthan Iskandar Zulkarnain, (smoga Allah memberkahi dan juga
menyelamatkannya),
Tuan Bujang lalu dianugerahi gelar “Yang dipertuan Kecil dan nama kecilnya;
“Raja Beraleh.” Kehadapan Raja Kecil, oleh Yang dipertuan Sakti dan Putri
Jamilan dibawalah sebilah pedang yang bernama Sapuryaba, pedang kerajaan
sebagai hadiah pemberian dari raja Kuantan. Lalu Putri Jamilan memberikan
sirih, seuntai rambut yang panjangnya mencapai tigapuluh kaki, dua kupang
shells dan chap(stempel). Chap tersebut dijelaskan dibawa oleh Raja Kecil,
anak dari Istana Pagaruyung yang melakukan perjalanan ke laut (tanah laut).
Dinyatakan bahwa pada setiap wilayah yang dikunjunginya untuk mendukung
dan menyediakan sejumlah 20 real; jika ada yang menolak keberadaan chap,
mereka akan dihukum dengan sumpah tersebut dan juga bisa kawi.302 Raja
Kecil juga didampingi oleh empat hulubalang; Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji,
Raja Mandailing dan Sultan Pakadalian. Setelah upacara tersebut, Raja Kecil
lalu menuju Bukit Batu di Siak dimana ia mengadakan perdagangan Terubuk,
dan ia juga berlayar dan berdagang ke Malaka dengan menggunakan kapal
milik Nakhoda Penangkok. Pada saat itulah, Raja Kecil melakukan
pengamatan dan menemukan sejumlah orang-orang Minangkabau yang
makmur di Bengkalis dan memiliki kapal besar. Ketika akhirnya ia
memutuskan untuk mewujudkan rencana invasi ke Johor tersebut, maka
dilibatkanlah seluruh orang Minangkabau yang berada di Siak dan Johor
untuk membantunya; dengan diberikannya chap (plat tembaga yang telah
diukir) sebagai tanda dari raja Pagaruyung kepada Raja Kecil, agar seluruh
orang Minangkabau yang ditemui memberikan dukungannya; bahwa mereka
memberikan janji setia dan ketaatan kepadanya. Kekuatan dikumpulkannya
302
Bisa Kawi, suatu kekuatan legendaries yang menghukum sesiapa yang melakukan pelanggaran
adat, bahwa menurut tradisi, orang-orang Minangkabau melindungi diri mereka dengan sumpah
dan bisa kawi tersebut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
196
juga dari masing-masing Luhak Agam, Tanah datar dan Limapuluh. Meskipun
demikian, nampaknya kekuatan belumlah mencukupi dan ternyata terdapat
pula resistensi di pedalaman Siak. Raja Kecil kemudian menuju Batu Bahra
dimana terdapat sejumlah besar pemukim Minangkabau dan ia membaiat
empat Penghulu disana, bahwa masyarakat Minangkabau yang tinggal disana,
dikonsolidasi dengan menggunakan pengaruh Raja pagaruyung tentang
dukungannya dalam memerangi Johor, termasuk pangeran Kwala.
Sementara sang Syahbandar sebagai perwakilan Johor, menolaknya. Raja
Kecil dan para pendukunganya memilih untuk membiarkannya; yang ternyata
Raja Kecil dihadapkan dengan suatu masalah yang berujung pada
pertarungannya dengan Syahbandar. Sebagai seorang pangeran keturunan
raja, Raja Kecil menolak untuk membayar, akan tetapi pada kenyataannya
ternyata ia tetap harus membayar juga. Kemudian Raja Kecil membelah
sepotong emas dari tali “oentjang”-nya (tas kecil dimana sirih dan tembakau
disimpan) dengan sebuah ancaman, “Setelah Siak dan Johor menjadi miliknya,
dia akan meminum darah Syahbandar.” Nampaknya, penggalan kisah ini
dengan beberapa pertimbangan tertentu tidak dituliskan oleh Netscher. Raja
Kecil juga merekrut pasukannya dari Tanah Putih dan Kubu; setelah sukses
melakukan perekrutan, Raja Kecil pun kembali ke Bengkalis. Sementara itu di
Pulau Bengkalis303 dimana telah banyak dihuni oleh orang-orang
Minangkabau,
Setelah Raja Kecil duduk di tahta Siak, ia ingin agar sumpahnya untuk
meminum darah Syahbandar Aur dilaksanakan. Akan tetapi dengan
beberapa pertimbangan, Syahbandar dibiarkan saja, sementara disisi
lain Raja Kecil tetap ingin melaksanakan sumpahnya, sehingga
Syahbandar memberikan jarinya yang dengan goresan kecil luka,
darah pun akan menetes. Akan tetapi mengingat persitiwa ini
menyangkut kedudukan dan martabat, maka dari Syahbandar beserta
seluruh penduduk sebagai punggawanya masing-masing memberikan
sejumlah enam-belas “hadiah tertentu.” Adat ini disebut dengan
“Pungut-pungutan.”
303Bahwa pada bulan-bulan terakhir tahun 1717, Bengkalis dan wilayah sepanjang sungai Siak
berlepas dari kekuasaan Johor, dan menurut laporan dari Kapal Belanda yang melintas disana;
wilayah tersebut telah dipenuhi oleh orang-orang Minangkabau dengan pemimpinnya Raja Kecil
yang mengklaim sebagai keturunan Sultan Mahmod yang terbunuh di tahun 1699 dan
merencanakan untuk menyerang Johor.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
197
304
Koloniaal Archieve 1787, Overgekomen Brieven 1718, Seccond Mallaca Register, Missive from
Gouv.van Suchtelen in Batavia, 30 january 1718 vol.42, fol 42; Leonard Andaya,1972.
305 Ibid, fol 43; Leonard Andaya, 1972.
306
Report of the refugee Shahbandar Abdulrachman of Johor to Governour van Suchtelen, 25 July
1718, fols.45-47; Leonard Andaya, 1972.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
202
mereka, namun mereka mendapati tidak satu senjata meriam pun yang dapat
berfungsi. Mereka menyadari posisinya yang tanpa harapan, mereka pun
kembali dan menyampaikannya kepada Raja Muda atas gerangan apa yang
telah terjadi. Langsung saja Raja Muda mencurigai Bendahara atas apa yang
telah menimpa armada Johor tersebut. Raja Muda memutuskan untuk
membunuh Bendahara, namun Sultan menahannya dan menyarankan untuk
memerintahkan Bendahara agar tetap berada ditempatnya. Bendahara
merasa ia telah berada pada level tertinggi di Kerajaan Johor. Ia sungguh-
sungguh mempercayai bahwa ia dapat memperoleh kekuasaan lebih besar
pada kerajaan dan atas persetujuan Sultan, meskipun ia telah menyerahkan
armadanya pada Raja Kecil. Lalu ia pergi menemui orang Portugis, berpura-
pura menanyakan ihwal tentang bantuan mereka sebagaimana maksud Raja
Muda telah mengutusnya menemui mereka, namun kenyataannya untuk
mengalihkan atau melemahkan Raja Kecil. Raja Muda menyadari kesia-
siaannya dalam upaya menyelamatkan kerajaan dan ia pun melarikan diri
pada 4 Maret 1718 dengan membawa sejumlah besar emas yang dikhabarkan
sangat banyak hingga membutuhkan sejumlah 30 orang untuk
mengangkatnya dalam dua perahu kecil (sekoci). Kemudian, Raja Muda dan
pengikutnya bertempur guna mempertahankan sekoci mereka dan akhirnya
mundur ke pedalaman akibat tekanan Raja Kecil.
Bendahara, ia mendirikan benteng dengan sepasukan untuk mengamankan
Johor. Benteng tersebut sangat kokoh yang dilengkapi dengan meriam yang
diarahkannya ke lintasan kapal disungai, sehingga setiap kapal yang
mendekatinya akan mudah untuk dibidik. Bahwa, pasukan Bendahara ini,
jumlahnya dikhabarkan mencapai 4000 orang. Meskipun demikian, Pasukan
Bendahara dikepung sedemikian rupa sehingga terpaksa untuk meninggalkan
benteng; Bendahara pun mundur untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut
Kapten Tavares, dengan taktik tertentu yang diyakini oleh Raja Kecil,
memungkinkan baginya untuk merebut kerajaan Johor. Terdapat beberapa
poin menurut Kapten Tavares sehubungan dengan penaklukkan tersebut;
1)Bendahara memegang posisi krusial dalam peristiwa ini, baik dalam
pertahanan maupun pengkhianatan terhadap Johor; 2)Banyaknya
pembelotan dari para pendukung Johor, terutama Orang Laut yang
persentase populasinya cukup besar dari keseluruhan armada laut Johor;
3)Tokoh misterius Raja Kecil; ketiga faktor tersebut dikatakannya merupakan
penyebab dari kekalahan Johor di tahun 1718.
Raja Kecil menghormati janjinya untuk mengangkat sebagai Raja Muda. Raja
Kecil menganggap tidak ada pelanggaran yang telah ia lakukan sesuai dengan
kesepakatan Bengkalis – bahwa tanpa menunggu Daeng Parani, Raja Kecil
melakukan penyerangan terhadap Johor. Nampaknya Raja Kecil tidak ingin
meneruskan kesepakatan tersebut yang juga ditentang oleh seluruh
pembesar kerajaan. Menanggapi ini, Daeng Parani merasa tidak senang dan
dimanfaatkan oleh Raja Sulaiman – putra sulung dari Raja terguling. Raja
Sulaiman bersepakat dengan adiknya; Tengku Tengah - yang menaruh rasa
malu dan dendam atas peristiwa yang dialaminya terkait dengan perkawinan
dimana Raja Kecil lebih memilih adiknya-Tengku Kamariyah. Netscher,
bahkan merasa perlu untuk menuliskan bahwa kronik-Melayu juga memuat
kisah roman dalam kepentingan perebutan kekuasaan Johor yang melibatkan
Daeng Parani. Bahwa disuatu ketika disaat ketika Daeng Parani tengah
bersantap siang; pintu yang tertutup tiba-tiba saja gorden(tirai) tergulung dan
pintu terbuka – tampillah Tengku Tengah dengan gaun yang sangat indah di
mata sang bangsawan Bugis dan terdengar suara Tengku Tengah,
“Oh Raja Bugis !
Jika tuan ingin bekerja sama untuk menyelamatkan beta dari rasa
malu anak-beranak, adik beradik, maka apabila tertutupkan rasa
malu, Beta akan menjadi budakmu, jikalau menjadi penanak nasi raja
pun, ridholah beta.”
Kelanjutan episode ini adalah Daeng Parani melangsungkan perkawinan
dengan Tengku Tengah – bergabung dengan Raja Sulaiman untuk melakukan
persekongkolan pembunuhan atas Raja Kecil. Rencananya, Raja Sulaiman
akan menjadi Yang di Pertuan sementara Daeng Parani sebagai Yang di
Pertuan Muda. Rencana disusun melibatkan Tengku Tengah, di saat Yang di
pertuan Raja Kecil tengah berdoa di istana, Tengku Tengah membawa Tengku
Kamariyah sebagai sandera ke rumah ayahnya – Bandahara. Raja Kecil yang
mendengar perbuatan nakal ini menjadi sangat murka dan memerintahkan
penyerangan ke tempat Bandahara guna membawa kembali Tengku
Kamariyah. Bandahara, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah bergegas
melakukan pelayaran menuju Pahang – sementara dengan tergesa-gesa
Daeng Parani berlayar menuju Langat dimana disana terdapat sekutu
Bugisnya untuk bersiap-siap melakukan penyerangan ke Johor. Lasamana
Sakam yang diperintahkan Raja Kecil mengejar dengan menggunakan
beberapa kapal berhasil berjumpa dengan Bandahara di muara Sungai
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
206
308
Lihat E.U.KRATZ, A Malay Letter to Louis XV, King of France, dalam Archipel: Volume 17, 1979,
hal.49-61.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
207
Kejadian ini menyebabkan Raja Kecil tidak merasa nyaman untuk menetap di
Johor – terlalu banyak permasalahan baginya – dan kemudian memutuskan
untuk menetap di Riouw. Akan tetapi tempat tersebut diserang dan berhasil
diduduki oleh Daing Parani dan Raja Soleiman dengan satu kekuatan pasukan
Bugis. Raja Kecil pun menyingkir ke Lingga dimana kembali ia diserang oleh
orang-orang Bugis. Oleh sebab itu Raja Kecil kembali ke perairan Riau dan
beruntung baginya terdapat sebuah kapal besar dengan laksamana perang –
dan dengan kapal tersebut ia mendatangi tempat utama di Riau dan dengan
bantuan orang-orang Minangkau ia berhasil menaklukkan tempat tersebut
dan mengusir daeng Parani. Daeng parani melarikan diri ke Selangor, dimana
terdapat sejumlah 30 kapalnya berlabuh di Linggi yang merupakan taklukan
Johor,dan ini dianggap sebagai ancaman. lalu Sultan Linggi meminta bantuan
dan dengan semua perlengkapan perang segera mendatanginya. Kondisi
tersebut menyebabkan untuk sementara Riau tetap aman. Raja Kecil yang
mendengar bahwa Sultan Soleiman bergegas dari Pahang menuju Riau; atas
saran para pembesar kerajaan dan untuk kebaikan dan keselamatan
keluarganya ia segera meninggalkan Riau menuju ke Siak dan menetap di
Buantan.309
Terdapatnya kisah perseteruan Raja Kecil dengan aliansi Sultan Sulaiman dan
kelompok Bugis; sehingga akhirnya Raja Kecil harus meninggalkan Riau untuk
beralih menuju Siak sebagai akibat ketidakberhasilannya mempertahankan
kedudukannya disana. Akan tetapi, bukan hal itu yang penting; melainkan
yang lebih mendasar dapat kita lihat atas peristiwa yang menyertai invasi Raja
Kecil dan Pasukan Minangkabaunya ke Johor tersebut. Bahwa fokus dari
perihal terbunuhnya Raja Muda, mungkin dapat dicari penjelasannya dari
situasi menjelang invasi. Bahwa Johor telah mengalami konflik-konflik
internal dan trauma pasca pembunuhan Sultan Mahmud tahun 1699, antara
Bendahara Tun Abdullah dan Raja Muda Tun Mahmud. Ketegangan ini
semakin meningkat dengan peperangan terhadap Bugis tahun 1715, dan
milleu yang tidak kondusif ini membuat buruk hubungan terhadap pemukim
309
Lebih jauh dijelaskan Netscher bahwa di Buantan Raja Kecil mengadopsi model pemerintahan
Suku Minangkau yang berkemungkinan disebabkan Siak sebahagian terutama dihuni oleh orang-
orang dari Pedalaman Sumatra tersebut. Bahwa sebagimana di Pantai Barat Sumatra yang
disebut dengan empat Soekoe; Lima Puluh, Pasisir, Tanah Datar dan Kampar. Setiap suku
memiliki pemimpinnya sendiri dan berada tidak langsung dibawah Sultan melainkan pemimpin
sukunya tersebut. Hasil pendapatan negeri dibagi antara Sultan dan Kepala Suku.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
208
310
KA 1787, OB 1718, missive from Resident Carel van Der Putte of Jambi to Batavia, 13 Februari
1717, fol 7; Leonard Andaya,1972.
311J. Kathirithamby-Wells, Siak and its changing strategies for survival, c. 1700-1870,
Studies in the economies of East and South-East Asia, p. 217-243, 1997.
6
Aneksasi Pesisir 312
dari Siak, dan kemudian Belanda dengan pengerahan kekuatan yang cukup
besar, yang sekarang disebut bagian dari Pantai timur Sumatera. Adapun
dapat dikatakan disini, bahwa suatu otoritas, kebangkitan dan
kemundurannya tergantung pada kekuatan dan kelemahan sultan dari
kerajaan yang menjadi jiran-nya. Ini tidak akan mengganggu, menyatakan
bahwa hal itu mungkin saja jika dilihat dari kisah-kisah fantastis dari entitas
dinasti utama milik sejarah, terutama persoalan kewilayahan yang hingga
awal abad ke-20 pun masih digali dengan begitu berat: seperti Lanskap Deli
dan sekitarnya yang luar biasa dikonstruksi dengan pembentukan tanah-
tanah swasta dari industri perkebunan. Pada tahun 1689 setelah perjanjian
dengan Sultan Johor, maka ditutuplah semua perdagangan di Sungai Siak,
sementara itu VOC membangun kantor pertamanya di kawasan itu: Tapung
kiri, namun segera ditutup karena sedikitnya perdagangan yang berlangsung
disana. Terkadang dilakukan sebuah misi kapal yang berangkat dari Malaka
menghulu menuju Siak dan dianggap cukup untuk mempertahankan
kepentingan perdagangan. Namun, meskipun VOC akhirnya muncul di Siak,
akan tetapi nampaknya juga tidak bisa berbuat tanpa pengadaan kontrak-
kontrak tertentu. Hingga pertengahan abad ke-18, terjadi konflik antara dua
anak dari Raja Kecil(Raja Buang dan Raja Alam), salah satunya pergi ke
Melaka: dikatakan bahwa mereka memiliki penyelesaiannya di pulau Guntung
di Sungai Siak, sebuah posisi yang menguntungkan dan terletak di atas tanah
wilayah Tapung kiri. Akan tetapi beberapa tahun kemudian Pulau Guntung
ditinggalkan tersebab adanya resistensi lokal, dan karena tidak lagi relevan
dengan perkembangan yang ada. Sementara itu dari faktor eksternal, pada
akhir abad ke-18, Belanda menjadi Republik dan menekan VOC yang
terperangkap antara kekuatan Inggris dan Perancis. Dengan otoritas yang
tidak adil dari gubernur William V, tibalah kaki-tangan gubernur tertinggi dari
Perusahaan Inggris. Otorisasi berkuasa lagi dan memegang beberapa pos –
dan untuk menghadapi perlawanan sengit, dan memfasilitasi kapten Inggris
yang terlibat dalam beberapa penjarahan; seperti pada tahun 1795, Melaka
dan Pantai Barat Sumatra menyerah pada Inggris.
Setelah Restorasi kemerdekaan Belanda pada tahun 1814, antara pemerintah
di Den Haag dan London, dibuatlah perjanjian untuk mengembalikan koloni,
kecuali Cape, Ceylon dan Guyana, yang di tahun 1816 adalah termasuk dalam
wilayah yang akan diserahkan. Namun, ini belumlah selesai. Lebih jauh lagi
otoritas Inggris di Kepulauan Hindia segera saja dapat menemukan
313
Pada awal abad tersebut, Inggris memiliki perhatian mereka ke negeri-negeri Sumatera
khususnya yang berdekatan dengan Selat Melaka. Meningkat pesatnya perdagangan Pulau
Pinang membawa negeri-negeri ke dalam kontak lebih dekat dengan para pedagang dan
penguasa Inggris: kiriman dari Inggris memiliki beban untuk perluasan dan pengembangan
perdagangan dari Sumatera menuju Pulau Pinang. Ketika diketahui bahwa, Malaka akan kembali
ke Belanda di bawah perjanjian London 13 Agustus 1814, Inggris berupaya mencari titik yang
baru, dimana mereka bisa memastikan Perdagangannya di Selat Melaka.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
214
314Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun
1919. Hal.13. bahwa akibat rivalitas antara Sultan Husein Syah dan Sultan Abdul Rahman, juga
manuver Inggris-Belanda; Belanda berhasil menekan Sultan Riau–Lingga untuk menandatangani
kesepakatan yang merugikan Riau, tepatnya pada 23 Oktober 1830.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
215
315
Insinyur utama William Farquhar dikirim ke pantai timur Sumatera, Boekit Batoe: 15 Agustus
1818 bertemu dengan Sultan Siak untuk menghasilkan satu perjanjian perdagangan (berkas,
halaman 148-149).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
216
dengan strip yang telah diserahkan. Menurut Belanda, hal tersebut adalah
benar-benar perbuatan melawan hukum, dimana Belanda dan Sultan Riau
pun merasa terluka, akan tetapi bagaimanapun juga Inggris telah mem-plot
Singapura untuk menjadi titik yang sangat penting bagi perdagangannya
sendiri.316 Tak luput pula dilakukan pengenaan bea bagi para pedagang,
alhasil seorang negarawan dengan suara yang begitu sinis; Menteri Canning,
menyatakan di parlemen bahwa klaim hanya dapat dibuktikan oleh fakta-
fakta dan dokumen, dan Inggris mengklaim dapat membuktikan haknya atas
Singapura untuk persoalan properti di Hindia Timur. Bagaimanapun juga, hal
tersebut tidaklah akurat dan bahwa hal itu akan salah jika merujuk pada kasus
Singapura dimana dipersoalkan prinsip-prinsip umum politik Eropa ataupun
bagi perasaan romantisme moralitas. Dimana perlunya segera dilakukan
perluasan pasar inggris; politisi Inggris saat itu menuntut penegakan keadilan.
Setelah jatuhnya Napoleon, realitas menunjukkan bagaimana kondisi
perdagangan ekspor Inggris dengan dibukanya saham besar yang kemudian
ternyata terbukti, bahwa mereka telah salah perhitungan setelah melihat
pasokannya di daratan. Di luar negeri harga jatuh, industri besar pun secara
tiba-tiba terhenti begitu saja, pengangguran meningkat secara tak terduga,
rasa sakit yang lebih besar dialami para pemilik tanah serta harga pangan
(gandum) yang melonjak sangat mahal. Kondisi ini terjadi ketika kebijakan
Inggris hanya diwajibkan melayani kepentingan negara. Dengan begitu,
apakah terlihat mengherankan, sehingga harus diakui bahwa Inggris dengan
EEIC-nya mengalami waktu yang berat di garis belakang dan tampil kembali
dengan persoalan ekonomi internalnya? Pertanyaan berikut yang tidak kalah
kritis, adalah apakah selama perang dengan Perancis mereka tidak membuka
rute perdagangan di Hindia dan memeliharanya untuk produk industri Inggris
sendiri?
316Inggris, memanfaatkan konflik internal di tubuh kesultanan Melayu itu; semenjak mangkatnya
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1812, muncul kekisruhan tentang
penggantinya; antara Tengku Husein sebagai putra tertua Sultan, dengan Tengku Abdul Rahman
yang didukung oleh Yang dipertuan Jakfar(Ayahanda Raja Ali Haji). Tengku Huesein yang tersisih,
kemudian dinobatkan oleh Inggris sebagai Sultan di Singapura pada tanggal 6 Februari 1819
bergelar Sultan Husein Syah, dan mulai 13 Februari 1819, bendera Inggris pun berkibar di
Singapura; dan selanjutnya membangun Singapura untuk kepentingan perdagangannya.Lihat
Ahmad Dahlan,PhD, hal.273-4.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
217
Saat itu dunia sudah berubah, terutama persoalan harga, angkutan dan biaya
lainnya meningkat dan sementara itu dapat dikatakan bahwa “sang mister”
hanya duduk dan “ongkang-ongkang kaki” saja di gudang; sementara tengah
ramai-ramainya diproduksi barang yang diperjualbelikan di pasaran. Selain
itu, sebaiknya di era berikutnya tampil dengan harga bagus yang disukai oleh
pedagang swasta di perairan Hindia dan dari sana ia berusaha
menguntungkan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Inggris, jelas saja berdiri
dengan kebutuhan untuk meningkatkan penjualan yang membutuhkan
beberapa sikap tertentu, yang bagi Belanda, beberapa sikap tersebut
bertabrakan dengan kepentingannya di Hndia. Sementara itu Belanda muncul
di Nusantara dengan melakukan perdagangan di koloni mereka sendiri di
hadapan negara-negara lain. Penang dan Singapura segera menjadi titik fokus
bagi Perdagangan kolonial Inggris, peluang mereka bahkan lebih
mengesankan ketika di tahun 1824, Melaka menjadi taklukkan Inggris. Dan itu
pasti,
bahwa apakah demi kepentingan Penang, maka di Siak akan segera
ditingkatkan dan dilakukan perluasan komersialisasi?
Jawaban pastinya saat itu mungkin belum diketahui, kondisi ini disebabkan
masih terlalu minimnya informasi mengenai prospek dan penduduk negeri-
negeri di bagian timur pantai Sumatra tersebut. Menyikapi kondisi tersebut,
untuk segera dapat berkompetisi, maka Inggris maupun Belanda dipastikan
harus memperoleh pengetahuan ataupun informasi, setidaknya diawal era
eksplorasi. Dan dari catatan hasil penelitian Inggris dari tahun 1806-1808,
nampaknya kondisi itu telah membuahkan hasil. Abad tersebut, perjalanan
eksplorasi berlangsung dan tepatnya pada tahun 1820: terdapat satu prospek
kekuatan perdagangan, yaitu; diperlukannya dilakukan suatu kegiatan
pengkajian topografi dan hidrologi. Muara Sungai Jambi di pelajari, Asahan,
juga Deli dikunjungi selama satu sampai dua hari, begitu pula wilayah lainnya.
Sementara itu, Belanda mendengar bahwa gubernur Malaka menugaskan
Raffles dari Singapura untuk berangkat menuju Siak dalam salah satu tugas
untuk mencari penjelasan-penjelasan yang berguna, dimana pada waktu
sebelumnya, Belanda telah mengutus suatu komisi ke Siak dengan misi
membuat rancangan perjanjian persahabatan.
317
Netscher, hal.114-5.
318
Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun
1919. Hal.13.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
220
Hindia, terbitannya berasal dari cetakan yang sama seperti Raffles. Penuh
amarah, Broersma mengomentari paparannya tersebut: 319
Ia berharap memiliki keyakinan kuat untuk menilai persetujuan
pangeran lokal dalam perjanjian perdagangannya dengan Inggris
melalui EEIC-nya, dan begitu pula ia melihat sedikitnya nilai dalam
perjanjian tersebut. Meskipun demikian, ia merindukan mahkota
koloni(Inggris) di Perairan Selat Malaka, pemerintahan kerajaan yang
kuat untuk mempertahankan hubungan politik, rupanya ia sedang
membual tentang daya yang bisa diandalkan untuk ikut campur
tangan dan mencegah serangan Belanda di berbagai bidang – selain
itu terdapat pengharapan demi perdagangan, jalur lalu lintas dan
pintu masuk ke pelabuhan lokal supaya tetap terbuka. Dikatakan
bahwa ia menyesali realita yang telah terjadi setelah melihat Belanda
dengan Siak menandatangani perjanjian dengan berbagai cara, janji-
janji, maupun ancaman; pangeran dibujuk untuk membuat
pengecualian terhadap Inggris, meskipun Farquehar pada tahun 1818
dikatakan telah memiliki kesepakatan dengan Siak. Lihat pula,
bagaimana Anderson menilai Farquehar melakukan negosiasi
berlebihan dan bagaimana pula hasil dari upaya Belanda. Selain itu, ia
ingin mencoba perdagangan dengan Minangkabau, maka langkah
yang harusnya diambil di antaranya adalah; Belanda harus mampu
menguasai Padang, melakukan penelaahan seperti dahulu di Pantai
Timur; saat ini manfaatnya dapat dilihat dari Penang, yang
pelabuhan ekspor ladanya telah meningkat dari 1.800 pikul di tahun
1817, menjadi 30.000 pikul di tahun 1822.
Deli dan Langkat dianggap “kurang” dari Siak, namun mereka tidak
sepenuhnya menolak Belanda dan ingin menghormati perjanjian
perdagangan. Deli terancam oleh kedatangan kekuasaan Belanda, dan sultan
telah mengatakan bahwa ia mengakui tidaklah hal tersebut begitu
mengganggunya; begitu pula dengan Inggris. Di Palembang, Anderson
319
Terutama tulisan yang dapat dilihat dalam “John Anderson, Mission to the East Coast of
Sumatra in 1823”, 1971, Oxford in Asia Historical Reprint, Oxford University Press, Kuala Lumpur;
juga lihat komentar Broersma tentang itu, Broersma: 1919. hal.13
mengeluh atas dicegahnya impor dari Singapura, demikian juga Penang yang
menemukan berlakunya sistem pengecualian, terutama di wilayah tempat
Belanda meluaskan kekuasaannya. Antara tahun 1828-1829, sebelum
Belanda memiliki akses ke pedalaman Sumatera, impor kopi bulanan dari
Kampar ke Singapura berjumlah sekitar 1000 pikul, dari tahun 1836 hingga
1837 ditemukan bahwa impor kopi dari seluruh bagian Sumatra, berjumlah
sekitar 8000 pikul. Anderson mengatakan bahwa saat ini kondisi di Deli telah
berubah. Setiap tahun terdapat sejumlah 20 ribu pikul lada di Penang untuk
dipertukarkan dengan Inggris. Di bawah kekuasaan Belanda, Deli juga dapat
mengirim lada ke Penang, tetapi tidak bisa mengambil kembali kapas dan wol
dari Inggris. Sementara itu sang Anderson, perlahan-lahan ia menyingkir. Dan
lagi-lagi Broersma mencemoohnya:
Bahwa kemajuan otoritas Belanda di Sumatera, dilihat oleh Anderson
dengan mata penuh rasa iri. 320
Dari beberapa catatan Sanderson, nampaknya kebijakan perdagangan
ditentukan bersama-sama dengan pangeran, bea ekspor, pasar dan bea
pelabuhan, ditemukan sebagai penghasilan utama mereka. (15) Bahwa
sosialisme negeri tergantung sepenuhnya pada ego serta kepribadian dari
para pangeran: berbekal dirinya yang bijaksana dan moderat hingga akan
dapat mempromosikan perdagangan negerinya. Komoditas utama, lada
nampaknya kembali disorot. Langkat dan Deli adalah daerah lada yang paling
melimpah, begitu pula Serdang yang juga tergabung dalam sentra penghasil
lada. Di sisi lain dari wilayah pesisir, tidak ditemukan penduduk Melayu
bekerja pada sentra produk pertanian tersebut. Terdapat stereotipe disini,
yakni Pemerintah Kolonial menganggap mereka dan mengenalnya sebagai
pemalas, dan jika; orang-orang Batak dari pedalaman tidak menunjukkan
dirinya sebagai pekerja di sana, maka tidak akan ada lada dari Pantai Timur
di kirim ke Penang, Malaka, dan Singapura. Akan tetapi, seorang tokoh,
sebut saja ”Orang Kaya" adalah contoh dari Sunggal yang mengalahkan
orang-orang Batak dalam hal budidaya padi, hanya dengan menggunakan
beberapa alat pertanian saja menghasilkan sejumlah beras yang cukup untuk
satu tahun. Ia menegaskan, tiga tahun diterima dari orang Batak sejumlah
dua pertiga dari tanaman lada, sementara yang lain dibayar sebanyak harga
pasar. Dalam manfaat yang sepertiga adalah untuk kepala yang lebih rendah,
dalam hal ini adalah penghulu untuk menjadi petugas pengawas mereka.
Setelah tiga tahun rata-rata hasil per pohon adalah 4/4 kati = 1 Gantang,
kehidupan tanaman merambat itu mencapai enam belas tahun. Kebun tetap
bersih dan kadang-kadang diantara tanaman itu dilakukan penanaman padi,
tembakau atau jagung. Pada tahun 1823 harga di Soenggal sebesar 5 dolar
per pikul. 321
Nilai dari data tersebut sangat jauh diatas perkiraan. Data tersebut bukan saja
tidak lengkap, juga tidak memiliki signifikansi secara luas; selanjutnya,
Anderson hanya bersumber dari penuturan para kepala, kemudian berbicara
di sana-sini dan memaparkannya pada jurnal mereka. Begitu pula untuk
satuan ukuran, nilai-nilai dari waktu ke waktu yang kita tidak benar-benar
mengetahuinya secara pasti. Dia menyusun daftar harga untuk wilayah Buluh
Cina, dimana lima Gantang Beras tercatat bernilai untuk satu dolar, mungkin
saja ini dapat dikatakan mewakili harga 13 gulden per pikul. Biaya tembakau
$15 per pikul (sekitar 30 sen per pon), bea sebesar 1dolar per pikul. Iuran
pelabuhan di Deli yang tinggi: sebuah kapal sebesar 12 dolar, untuk tongkang
sebesar 8 dolar, sebuah sekoci sebesar 6 dolar. Saat itu digunakan koin yang
menggunakan dolar Spanyol, uang Belanda untuk tahun 1742 dan tahun-
tahun berikutnya, termasuk setengahnya mempersiapkan Inggris dengan OIC.
Perlu dicatat bahwa gambir juga dikirim dari Buluh Cina, tempat dimana
populasi masyarakat Melayu berada. Terdapat berbagai produk dari berbagai
lanskap, kecuali lada, seperti; rotan, lilin, gading, padi, tembakau , gambir
dan budak; impor terutama garam, opium, katun dan wol. Di Serdang,
populasi agak lebih padat dari pada yang tercatat di Deli dan Langkat,
terdapat juga beberapa industri yang didirikan oleh penduduk Batu Bahra.
Diisini terdapat ribuan orang Melayu yang tampak lebih berani
mempraktekkan perdagangan di pesisir; seperti penjualan kain yang terbuat
dari bahan sutra yang dibawa oleh pedagang Cina dan pedagang lainnya.
Perahunya berlayar di sepanjang Deli, Langkat, Serdang dan Asahan untuk
untuk mengambil merica dan mengirimkannya ke Penang. Menurut
pernyataan Syahbandar (perwira asli untuk ekspor dan impor) Jumlah perahu
yang selalu digunakan mencapai hingga 600 unit. Selain itu disini dijumpai
pula jejak-jejak bekas kediaman Portugis dan Jawa. Ini adalah negeri-padi
pertama di Pantai timur. Lada yang di abad ke-19 ditanam, tetapi padi,
ditanam atas kebutuhan rakyat mereka sendiri, bisa dijual ke daerah tetangga
Asahan yang juga tampaknya ditemukan perdagangan budak di negeri
tersebut. Perbudakan dibentuk dengan berbagai cara, yang paling sulit dan
tentu saja salah satunya adalah perampokan di laut oleh “bajak laut’’ dimana
korban mereka dijual di tempat lain. Cara lainnya adalah penjualan anak-anak
mereka oleh masyarakat miskin, penjualan ini akhirnya berkurang sebagai
dampak meningkatnya budidaya lada dikalangan mereka. Sebuah faktor
utama yang sering dianggap bertanggungjawab atas perbudakan perempuan
dan anak perempuan adalah disebabkan di Batu Bahra budak perempuan
digunakan untuk menenun kain sutra dan katun, juga wanita sering dijual ke
Malaka dan Penang sementara suami menjadi pedagang dan memiliki
kehidupan yang layak. Kurangnya tenaga Perempuan di Penang, yang terjadi
kemudian bahkan penyelundupan budak di Singapura juga tidak dapat
dihindari.
Sementara itu. pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, Siak terpancar
begitu menyilaukannya di mata semua orang asing!
Siak, Bagai mahkota terkaya yang terletak di tengah-tengah Sumatera
dimana disana mengalir sungai yang kerap dan ramai dilayari. Selalu ada
pengiriman dari Pantai Coromandel- India, dan perahu Bugis yang pernah
berlayar hingga ke pulau Jawa, juga selalu mengunjungi Siak. Sementara di
Pedalaman arah Pantai Barat, tepatnya sekitar tahun 1823 gerakan Padri
telah mengancam prevalensi dengan gerakan pembaharuan Menangkabau
dan itu jelas terjadi, bahwa Belanda berperang melawan kaum Padri. Juga
terdapat sebuah rencana besar untuk menghubungkan timur-barat; dimana
akan segera dibangun infrastruktur transportasi darat yang berakhir di Siak. Di
sepanjang jalur ini, ditemui tanaman, perikanan dan ikan kering, lada, padi,
tebu, gambir dan kayu juga kekayaan tanah yang sayangnya menderita
dengan sangat parah akibat perang dengan negeri-negeri lain dan melalui
perjuangan selama masa peralihan. Ini juga merupakan pasar dari Siak,
bahwa abad yang lalu telah menjanjikan begitu banyaknya untuk
perdagangan dengan Inggris. Dan nampaknya, saat itu bukanlah waktu yang
tepat bagi otoritas Belanda di Sumatra. Perjanjian tahun 1824 telah menarik
garis batas timur pulau.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
224
Gugusan kepulauan Riouw - Lingga sendiri sangat baik bagi bajak laut sebagai
tempat mereka bermarkas. Sementara itu, suara Inggris masih penuh dengan
keluhan atas kegagalan Belanda dalam pertarungan penumpasan perompak
tersebut. Pembajakan itu dan ekspansi Belanda, disebutkan telah
mengabaikan hak-hak Perdagangan orang Inggris, bagai membentuk garpu
bercabang dua yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda selama
bertahun-tahun terhambat perjalanannya dalam upaya menuju
pembentukan hukum otoritas Belanda. Sekali lagi, banyak keluhan dari pihak
Inggris yang menggema dalam pemerintahannya sendiri, dan kemudian
mereka berpaling kepada pemerintah Belanda. Di Belanda sendiri mereka
benar-benar menyuarakan nada ketidakpuasan dalam pendapatnya atas
pembentukan otoritas Belanda di Sumatera dalam setiap pengadilan Inggris.
Melalui senjata perkasa-mesin cetak, di Singapura, lembaran-lembaran pers
penuh dengan tuduhan dan wacana permusuhan terhadap pemerintah
Hindia. Kemudian di tahun 1838, terdapat ketidakpuasan para pedagang di
Singapura dan Penang yang disampaikan kepada pemerintah Inggris, atas
keberatan mereka terhadap perluasan kewenangan Belanda di Sumatra. 322
Saat gagasan Van den Bosch tentang meluaskan otoritas Belanda di Sumatera
dengan Nota 1838, ia secara hati-hati memerintahkan pada wilayah yang
berbasis di Siak dan lanskap utara, karena salah satunya merupakan
cadangan semangat perdagangan dengan Singapura. Tidak ada dukungan
untuk ide Van den Bosch tersebut, seperti surat yang dikirimkan oleh Sultan
Deli pada tahun 1840 kepada seorang pejabat di Pantai Barat dan di mana ia
meminta agar Deli harusnya ditempatkan di bawah Pemerintah Belanda.
Apapun yang muncul dari laporan Badan Pemeriksa, pada tahun 1841 Van
den Bosch memilih untuk mengurangi angkatan bersenjata dan membatalkan
pendirian pos militer di pantai timur. 323 Pada Tahun 1843, perintah itu
dilaksanakan, lokasi pos di pertemuan Sungai Bila dan sungai Panel pun
menghilang, sementara yang pos yang berada di Indragiri, segera saja
ditinggalkan.
322
Een Engelsch etablissement op Nederlandsch grondgebied in Indië, dalam Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg. 19, 1857 (1e deel), No. 3, tanggal 1 Januari 1857 (schatting).
323 Tanggal 1 September 1841, Menteri urusan Jajahan Kerajaan Belanda memerintahkan
Gubernur Jenderal Hindia untuk membatalkan semua pos sipil dan militer di Pantai Timur
Sumatera: dikatakan sang Menteri sebagai akibat dari keluhan yang tiada henti-hentinya dari
Inggris.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
225
Bagi Belanda, Inggris hanya tidak suka saja melihat mereka bekerja di
wilayah Siak.
Tidak lama setelah itu, Residen mengunjungi pantai timur, atau juga Penang-
Gazette yang datangnya menjelang akhir tahun 1863 dimana sebuah artikel
bercerita tentang aneksasi Deli, bagian lain dari Sumatera yang independen
dengan pelabuhan ladanya, dan berdampak pada terancam hilangnya
perdagangan Inggris disana. Pertama-tama di tahun 1871, ketika Pemerintah
Inggris memilih untuk abstain dari seluruh Sumatera, dan memberi hak
perdagangan sepenuhnya kepada Belanda, lalu terdengar keluhan dan Inggris
menuduh perusahaan dan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sumatera
sangat lemah dan tetap lamban dalam setengah abad ini. Ketakutan
menyerang pemerintah, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Hindia,
takut akan kata-kata dalam bahasa Inggris dan kemudian begitu sibuk menulis
di latar depan dengan membawa kepentingan dan bahkan berlebih-lebihan
untuk mengantisipasi kekacauan yang mungkin ditimbulkannya.
“Ini adalah suatu bentuk ketakutan, bagaikan rem yang bekerja pada
kereta kemakmuran, dimana pemerintah kolonial yang berinisiatif,
sangat menyukai mendapati bahwa pulau besar ini telah berhasil
didorong untuk bergerak menuju suatu kemajuan. Tapi jangan takut
dan hanya bekerja sebagai rem saja. Kami mampu setelah tahun 1816
ini yang menjadi kebebasan emas, kami masih berbeda dalam
perdagangan dan pengiriman, dan pelaut-penakluk pun pergi dengan
keegoisannya pada dua abad yang lalu, yang akhirnya kita telah
menyelasaikan suatu kontrak dengan bunga di pesisir sumatra yang
telah begitu hebatnya memikat kita.” 324
Karena pemerintahan kolonial Belanda setelah tahun 1816 menemukan
bahwa kebebasan nyata tidak dapat hidup dan perdagangan Inggris demikian
berkurangnya di Nusantara. Lantas Pemerintah Belanda mempertimbangkan,
menurut mereka, ini adalah sisi yang dicela oleh oposisi tentang
ketidakadilan.
“Tapi apakah kemudian bisa ditemukan di kerajaan kolonial Inggris
yang membanggakan kebebasan itu? Huh, jauh panggang dari api.
Bahkan Adam Smith, sang kompas doktrin ekonomi liberal itu akan
dengan senang hati menolaknya, dan berpendapat bahwa secara
eksklusif masa depan tanah air ditentukan oleh hak perdagangan
kolonial.” 325
Bristish-Hindia, yakni EEIC nampaknya akan segera usang, lantas untuk
siapakah perdagangan dengan motif besar ini? Dia punya prestasi yang tak
terbantahkan bahkan memiliki hari-hari yang berat di era Napoleon, yakni;
industri Inggris. Sebelumnya, seperti yang kita lihat, pernah terjadi membawa
dampak besar pada dania, dan perlu diingat kembali pula bahwa hal ini akan
memberikan dampak yang lebih besar lagi. Dan ketika hari-hari yang sulit
telah berakhir, banyak pedagang berusaha untuk melayari perairan Hindia,
namun mereka mengeluh tentang partisipasi dan kompetisi yang dihadapi,
dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Sampai tahun 1834, OIC
merupakan manajemen yang mengontrol perdagangan dan menjadi penentu
bagi saudagar di wilayah British-Hindia – semua hanyalah persoalan sistem,
beberapa di antara pejabat Inggris sangat mencolok bagi orang-orang
Belanda, begitu banyak keluhan kejahatan terhadap mereka. Ramainya
argumen mereka untuk gerakan perdagangan bebas di Nusantara
mengharuskan Penang dan Singapura memanfaatkan posisinya bagi
perdagangan Inggris, terutama Malaka ketika Belanda telah bangkit dan akan
mengambil bagi dirinya posisi disini. Penang memiliki hubungan , termasuk
dengan Pantai timur Sumatra, dan itu berharap bahwa mereka akan dapat
turut dalam “dunia sibuk” tersebut untuk saat ini.
Singapura didirikan pada tahun 1819, yang pada masa itu hanyalah sebuah
pulau kecil yang mungkin saja, hanya terdapat seratusan orang Melayu yang
hidup dari menangkap ikan, dan mungkin juga; terlibat dalam melakukan
berbagai pembajakan. Orang harus dipancing untuk menuju Singapura
terutama China, apalagi yang berkaitan dengan perdagangan dan pengiriman.
Cara untuk mencapai tujuan ini adalah memiliki kebebasan mutlak untuk
datang dan pergi, untuk manusia dan properti, tidak ada hak negara, tidak
pula ada kontrol. Pada tahun 1828 Singapura memiliki penduduk sejumlah
10.683 jiwa, pada tahun 1890 jumlah ini meningkat lebih dari 90 000 jiwa.
Bahwa setelah sepuluh tahun akhirnya diperoleh nilai yang sama dengan yang
ada pada seluruh impor-ekspor Jawa, sejumlah 17 juta gulden.
Wow, ini benar-benar fantastis-lah!
Sama halnya dengan Singapura, pemerintah Belanda melihat begitu seringnya
ancaman itu tampak nyata bagi perdagangan Belanda itu sendiri, lalu secara
bertahap merubah dirinya menjadi saudagar yang memainkan peranan besar.
Sementara Singapura membuktikan kepada Hindia Belanda, Hindia Belanda
pun membuktikan kepada Singapura bahwa layanan itu penting: yaitu prinsip
yang benar dan bahwa kebebasan dihormati. Menarik untuk melihat apa yang
disajikan dari statistik Inggris, Singapura dan Penang untuk Hindia Belanda
memiliki nilai yang cukup berarti pada tahun 1863, yakni waktu dimulainya
kolonisasi di wilayah Pantai Timur Sumatra.
Nilai impor dari Hindia Belanda untuk satu tahun sebesar 14 juta gulden, atau
seperempat dari keseluruhan yang masuk ke Singapura. Pengiriman dalam
waktu yang sama, tercatat; Singapore 1279 kapal berukuran 471. 441 ton;
Inggris 608 kapal dengan ukuran 220. 826 ton, sedangkan jumlah di bawah
bendera Belanda adalah 279 sampai dengan 70.401 ton, Amerika dari 81
hingga 61.240 ton , dan semua negara lainnya memiliki bobot kurang dari ini.
Menurut Catatan keuangan Penang di tahun 1863; memperoleh masukan
senilai £1.684.598, dengan hasil dari Sumatera sejumlah 172.133 pound ,
nilai ekspor adalah £2.392.109 , dengan porsi dari Sumatera sejumlah
310.496 pound. Hal yang menjadi Momok menakutkan bagi Inggris, tahun
1819, adalah Hindia Belanda secara bertahap menjadi Pemerintah dengan
penampilan yang multiguna;
penampilan yang tidak hanya terbukti telah berhasil mendepak Inggris
dari Sumatra, tetapi juga melemahkan kekuasaan raja-raja pribumi;
seluruh kebijakan ekonomi para kolonialis benar-benar mengabaikan
politi-politi lokal, dan bahkan menjadikan seluruh kawasan Sumatra
sebagai jajahannya.
326
Sultan Ismail yang dianggap tidak pernah benar-benar mampu menguasai kerajaannya, bahwa
Tengku Putra, Saudara dari Sultan - yang mampu memadamkan pemberontakan diawal
pemerintahan Sultan Ismail diangkat menjadi Raja Muda Siak.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
229
pertama yang diberikan segera saja melanjutkan otoritas kuno yang batas-
batasnya dipandang pemerintah Hindia melebihi batas kedaulatan Siak. 327
Demikian pula penguasa Deli, yang telah dikaruniakan gelar "panglima" pada
tahun 1814 oleh Sultan Siak", dipaksa untuk menerima dan bertindak
sebagai pengikut Aceh. Bagi Pemerintah Hindia, sudah jelas bahwa mereka
harus turun tangan untuk menghindari terjadinya “kejahatan” yang lebih
besar.
Kembali kepada persoalan dengan Wilson, Residen Riau pun berada dalam
upaya melindungi dan mendamaikan Sultan. Residen dapat segera menjamin
dirinya dengan saudaranya itu dan segera memenuhi misinya, hal yang
segera saja di respon Wilson dengan menuju Bengkalis, sebuah pulau yang
diklaim mnjadi hak miliknya. Meskipun demikian, akhirnya ia melihat realita
bahwa ia tidak bisa tinggal disana dan kekuatannya pun telah menghilang,
maka ia segera meninggalkan Bengkalis untuk selamanya. Kisah konflik
tersebut, diberitakan dibeberapa warta kolonial, salah satunya adalah sebagai
berikut: Sebagaimana terdapat dalam warta Dagblad van zuid hollanden’s
gravenhage, Woensdag, tanggal 23 September 1857, No:224, Kolonien, dan
apa yang tertera dalam berikut kisahnya:
Mengenai peristiwa terakhir yang terjadi di Siak dapat dilaporkan
sebagai berikut:
Sultan Siak, dalam perseteruan dengan Jang dipertuan-Muda
(Rijksbestuurder)! Beberapa waktu lalu, sultan pergi ke Singapura
menemui Pemerintah Inggris membawa persoalan kerajaannya kepada
pemerintah Inggris. Wilson, yang sebelumnya telah berkunjung ke
Siak, menawarkan bantuan tertentu kepada Sultan. Sultan sendiri
bersaksi bahwa ini adalah antara ia dan Wilson saja! kesepakatannya,
seluruh perdagangan dan sumber daya di bawah kekuasaannya... dan
dan ini sepertiga dari keuntungan dari penghasilan negeri-negeri.
Wilson, sebagaimana dikemukakan Sultan, menyediakan sepasukan
327
Aceh mengklaim wilayah kekuasaannya di Pantai Timur meliputi sampai ke Serdang,
sebaliknya kemudian Aceh menganggap Perjanjian 1858 antara Siak dengan Belanda, dianggap
telah menetapkan batas-batas wilayah Siak secara berlebihan.
Bahwa sebelum peristiwa Wilson, menurut Netscher, 328 pada saat peristiwa
Bukit Batu saja tercatat sekitar 300 perahu nelayan bersandar disana, pasca
insiden, yang kembali hanya berjumlah sekitar 200-an perahu saja.
328E.Netcher, Togtjes Gebied van Riouw en Onderhoorigheden: Boekit Batoe, Sumatra Courant,
24 Januari 1863.
Hari berikutnya, hari Kamis, adalah hari yang telah ditentukan untuk
menghancurkan benteng, tapi nampaknya, hingga Februari 1858,
belum terdengar tindakan yang diambil oleh pihak Belanda.
Klaim Wilson, bahwa tindakannya tersebut dibawah atau sepengetahuan
pemerintah Inggris: dalam hal ini Gubernur di Singapura, akan tetapi
nampaknya sang gubernur tersebut membantahnya – bahwa pemerintah
Inggris tidak berkaitan dengan tindakan Sir Adam Wilson tersebut 329. F.J.N.
Nieuwenhuijzen dan Tobias, mengadakan perundingan dengan Sultan Ismail,
Tengku Putra dan juga bersama dengan empat Datuk Kepala Suku di Siak,
dengan tindakan pada tanggal 31 Desember 1857, yang kemudian diperkuat
oleh kontrak pada tanggal 1 Februari 1858, dengan kontribusi sultan, raja
muda dan seluruh kemaharajaan kerajaan Siak Sri Indrapura dan negeri
taklukannya segera berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Sebuah pos
militer ditempatkan tepat berada di pulau Bengkalis, 330 dan juga tempat
lainnya atas kesepakatan bersama.
Risalah traktat tersebut membagi Siak menjadi “Eigenlijk Siak” (negeri asli
Siak) dan “Onderhoorigheden” (wilayah taklukannya). Selain itu kekuasaan
pemerintah pribumi pun dibatasi, meski Pemerintah belanda selama Sultan
dan seluruh kemaharajaanya mentaati perjanjian, mereka tidak akan
mencampuri pemerintahan internal Siak. Secara khusus, Pemerintah kolonial
telah melakukan negosiasi untuk diri mereka sendiri hak menetap di mana hal
ini dipandang perlu di mana saja dalam wilayah kerajaan, hak kompensasi,
hak untuk menarik pajak dan hak penebangan hutan. Sebaliknya, dalam
posisi penggabungan tersebut, sulit bagi kerajaan untuk dapat tetap
mempertahankan hak-haknya, terutama pengaruhnya atas lanskap-lanskap
pesisir, hingga akhirnya di tahun 1884, ketika butir perjanjian Siak - salah
satunya mengenai kompensasi tahunan sebesar f40.000 dan utang remisi
lebih dari f50.000 – mengakibatkan turun tahtanya supremasi Siak atas
329 Regeling van het gebruik van het Koloniaal batig slot over 1855. (Memorie van Toelichting.),
hal.74
330
Tahun 1860, konflik terulang kembali. Semua dampak menguntungkan dari intervensi ini
nampaknya tidak menjadi persoalan bagi Pemerintah Hindia, hingga berkurangnya seluruh
konflik ataupun penjarahan, meskipun demikian, Belanda menolak untuk mengakui beberapa
kedaulatan sultan. Bahkan kedudukan sultan dikerajaannya tidak dipertahankan, ia dianggap
bertentangan dengan kepentingan Pemerintah Hindia, sebagai penyebab utama mengapa ia
dijatuhkan pada kisaran tahun 1864 -67: .
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
242
331 Lihat “De uitbreiding van het Nederlandsch gezag op Sumatra” dalam De Gids. Jaargang 51,
auteur: [tijdschrift] Gids, De bron: De Gids. P.N. van Kampen & zoon, Amsterdam, 1887 hal.281.
332 Reid 1969: 28-35.
333 Reid 1970 : 49 52.
Aneksasi Pelalawan
Belanda diantara Dua Saudara
334 Prof, P. J, Veth Mengatakan bahwa pada tahun 1878 Tengku Besar mencari perlindungan
kepada Pemerintah Belanda dan datang secara pribadi ke Bengkalis untuk meminta kerajaannya
berada dalam otoritas Belanda. Dikatakannya, “De TongkoeBesar zocht in 1878 bescherming bij
het Nederlandsche Gouvernement en kwam in persoon naar Bengkalis om te verzoeken, dat zijn
rijk onder het Nederlandsch gezag zou gebracht worden.” Dalam Van Rijn van Alkemade, 1897.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
244
335
Faes, 521.
336Sebagaimana dikisahkan Faes, dalam “Het Rijk Pelalawan,” dilihat dalam Tijdschrift Voor
Indische Land- En Volkenkunde, Uitgegeven Door Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Deel XXVII .Batavia, 1882. hal.489 - 537
dekat pertemuan Sungai Kampar-kiri dan kanan. Pada suatu waktu, seorang
tibalah seorang pangeran yang bernama Tengku-Inceh Maridin dengan
beberapa pengikut Johor dan mendirikan desa Pelalawan. Masyarakat Saman
Tolan yang berada di bawah Maharaja Dindo sangat tertindas dan segera saja
mereka bergabung kepada Inceh Maridin. Bagaimana selanjutnya nasib
Maharaja-Dindo, nampaknya tidak lagi terdengar. Selain itu, juga terdapat
kisah yang terdapat dalam Hikayat Melayu, yang menggambarkan
penyerbuan kemaharajaan Malaka yang disebabkan keengganan Kerajaan
Kampar untuk takluk dan menjadi bahagiannya. Pelalawan yang kemudian
menjadi dependensi kerajaan Melayu, dan begitulah kondisinya sampai
sekitar dua abad yang lalu, ketika beberapa kekuatan Siak yang disebabkan
oleh berkobarnya perang saudara, maka yang kalah pun melarikan diri. Kakek
dari pembesar kerajaan Engku Raja, Maharaja Lela Putra, kemudian
memerintah sebagai raja bergelar Maharaja Depati. Dibawah situasi tertentu,
ia pun secara sukarela menyerahkan kekuasaan kepada Siak, dan ia ditunjuk
menjadi semacam gubernur dimana segala kebijakannya harus melalui
persetujuan Siak; situasi yang berlangsung hingga masa Said Ali dimana
Pelalawan diserahkan kepada Saudaranya; Tengku Said rahman bergelar
Tengku Besar; dan mewariskan martabat sebagai penguasa Pelalawan ini
secara turun-temurun. Ayah dari Maharaja Lela Putra dipertahankan
kedudukannya sebagai pembesar kerajaan, selain itu terdapat juga Datuk
Bandar.
Bahwa kesejarahan kerajaan Pelalawan atau juga sering disebut Kampar, kita
dapat melihatnya sebagaimana tercantum dalam “Sejarah Melayu.”
Dikisahkan Sang Sultan Mahmud sebagai Sultan Kerajaan Melayu, setelah
terusir keluar Kopak akibat kekalahannya dari Portugis diawal abad ke-16,
bersama-sama dengan keluarga sebahagian pengikutnya menuju ke Pantai
Timur Sumatra, tepatnya di Kampar, dimana ia diterima dengan tangan
terbuka dan didirikanlah kursi kerajaan yang meliputi wilayah Semenanjung
dan taklukkannya disana; bahwa sebelumnya, Portugis telah menangkap
penguasa Kampar; Raja Abdullah dan kemudian Portugis mengasingkannya ke
Goa. Pengganti Sultan Mahmud, putranya sendiri yaitu Alaudin Syah, segera
meninggalkan Kampar(Pelalawan) menuju Pahang. Kemudian ia mendirikan
kota disungai Johor, yang ternyata berkembang sangat pesat. Dengan
wafatnya Sultan Alaudin Syah, ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Muthafar Syah. Seiring waktu, putranya Abdul Jalil kemudian bertahta
menggantikan Sultan Muthafar Syah. Abdul Jalil memiliki tiga putera; Raja
Hasan, Raja Husin, dan Raja Mahmud. Masing-masing puteranya ini
menempati tanah lungguh kerajaan; Raja Hasan di Siak, Raja Husin di
Kelantan dan Raja Mahmud di kerajaan Kampar atau Pelalawan. Disini,
kembali dapat kita lihat ketegasan bahwa kerajaan Siak dan
Kampar(Pelalawan), merupakan wilayah taklukan Johor. Pada tahun 1718,
dengan klaim sebagai keturunan Sultan Mahmud; Raja Kecil menginvasi Johor
dan bertahta disana, namun tidak berlangsung lama. Bahwa masa
pemerintahan yang singkat dan penuh gejolak sebagai akibat penetrasi
kekuatan Bugis yang mendukung Sultan Sulaiman (Putera bendahara Johor
yang dibunuh oleh pasukan Raja Kecil) telah memaksa Raja Kecil dari Riau
menuju Buantan di Siak di tahun 1723. Setelah kematian Raja Kecil di tahun
1746, dua puteranya; Raja Alam dan Raja Muhamad berselisih atas tahta Siak.
Bahwa Raja Muhamad adalah ber-ibu-kan Tengku Kamariyah yang
merupakan adik dari Sultan Sulaiman. Kedua bersaudara ini berbantahan dan
konflik ini begitu sengitnya, meminta hanya satu saja yang bertahan di
singgasana. Pada tahun 1753, Sultan Mohamad adalah penguasa atas tahta
Siak, akan tetapi pada awal tahun itu ia diserang oleh Raja-Alam dan
melarikan diri pada malam 21 - 22 Mei ke Pelalawan, Kemudian bertahtalah
Raja-Alam sebagai Sultan. Namun pada tanggal 13 Agustus 1755, ia
dikalahkan oleh Kompeni, dan saudaranya; Raja Mohamad dikembalikan
sebagai penguasa Siak. Meskipun ia menerima bantuan Kompeni, aliansi ini
tidak berlangsung lama dimana Sultan Muhamad meninggalkan kesepakatan
ini pada tanggal 6 November 1759, Pos Belanda di Pulau Guntung di Sungai
Siak diserang olehnya. Sebelum Kompeni dapat membalas penyerangan ini,
diberitakan bahwa Sultan Mohamad wafat pada tanggal 23 November 1760.
Kematiannya, adalah sinyal untuk situasi baru di Siak. Anaknya; Raja Ismail,
diangkat sebagai penggantinya, akan tetapi suksesi itu dibantah oleh
Mohamad Ali sebagai putra Raja-Alam, dimana ia bertindak untuk hak-hak
ayahnya. Perkembangan terus berlanjut, dan Kompeni mendukung Raja Alam
melalui perjanjian tanggal 16 Januari 1761 yang diajukannya kepada otoritas
Belanda. Karena pemimpin dan rakyat Pelalawan-Raja Ismail yang didukung,
Said Osman sebagai menantu dari Raja-Alam, dan pangeran dari Siak dengan
sejumlah kekuatan delapan belas kapal, menuju kesana. Bagaimanapun jua,
Kekuatan itu tidak bisa berbuat banyak dan harus memutuskan untuk
memblokade Sungai Kampar. Sementara itu terdapat tujuh kapal kompeni di
Siak, antara lain: “het Pasgeld," “de Draak," “het Zeepaard," “de Buys," “de
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
247
INDRAGIRI
Dari Instruksi Rahasia, Aksi Blokade sampai “Korte Verklaring”
337 Dilaporkan bahwa tempat tersebut adalah tempat yang indah, “Het is een mooi vlek, waar
wel twee honderd gemeene huizen zijn, Nevens een eschoone bazar of markt, en ettelijke
Moorsche tempels. Lihat Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en op de Oostkust: I
. Bevestiging in het rijk van IndragïrI. Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9;
01-01-1853
338 Lihat De Afdeeling Indragiri Door Dr. E.B. Kielstra, dalam Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915
339
Uraian ini sebagaimana terdapat pada “Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en
op de Oostkust Van Sumatra; I.Bevestiging in het rijk van IndragïrI;” dalam Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9 tanggal 1 januari 1853, hal.147-150
Pasal.6.
Setelah itu diperlukan jaminan dari Sultan Lingga atau bahkan jika
perlu, tanpa jaminan keamanan pun diserahkan seluruhnya pada
Residen Riouw dan De Perez dengan turut mempertimbangkan andai
terjadi situasi dengan tidak akomodatifnya pemerintahan disana, dan
Pasal 7.
De Perez akan mengulurkan naskah persetujuan tahun 1834 dengan
Sultan Jambi, dimana ia melayani hingga membimbingnya. Dia akan
bertindak dalam segala hal sebanyak mungkin sesuai dengan Residen
Riau; pesan yang tegas Kepada sesiapapun, untuk mengambil
dukungan yang paling mungkin diperoleh bahkan dapat termasuk
juga residen Palembang, sebagaimana sulthan Indragiri telah
menyatakan, bahwa sementara ini telah dilakukan sebelumnya, dapat
dianggap meminta secara resmi De Perez. Dengan demikian sultan
Indragiri sendiri lebih lanjut menyatakan, atau melakukan sesuatu
untuk bisnis, meminta De Perez dengan mengirimkan kapal ke Riau.
Pasal 8.
De Perez akan berkonsultasi dengan Residen Riau mengenai kontrak
dengan sultan Indragiri, yang seharusnya dijalankan sekaligus sampai
tetap selesainya, dan untuk itu didirikan tempat di sungai dan
bagaimana hal itu berkemungkinan menjadi bagian dari tujuan yang
diperlukan Riouw. Residen akan, menganggap hal ini perlu, dan
dengan demikian dapat dilakukan sesuai dengan anggarannya.
Pasal 9
Zr.Ms.korvet Triton akan membawa De Perez menuju Riau; Untuk
perjalanan ke depan memberikan masukan dari Pemerintah untuk
residen Bangka dan Palembang. Dalam pelayanan seluruhnya dari Zr.
Ms.korvetTriton oleh De Perez diperlukan justifikasi resmi atasnya,
Sendiri ataupun bersama-sama dengan Residen Riau, menuju Indragiri
dan dari sana menuju Palembang atau sekitar Riau, akan menjadi
Pasal 11
Untuk laporan terhadap Gubernur Jendral, maka petugas De Perez
akan menyampaikannya bersama-sama dengan Residen Riouw dan
juga Komisi, yang memuat rencana-rencana atas hasil informasi yang
telah ada; serta diantaranya hasil kedepan tanpa penundaan.
Asisten residen Bengkulu De Perez, disebabkan Instruksi Rahasia ini,
melakukan perjalanan sendiri menuju Riau, dimana selanjutnya komisi akan
datang untuk mencari informasi tentang tentang Indragiri dan derajat
kedaulatan atas lanskap ini yang dimiliki oleh Sultan Lingga. Dalam hal ini,
untuk pencapaian tujuan, panitia memastikan untuk juga dapat
mempertimbangkan cara yang lainnya. Tujuan tersebut ialah, bahwa di salah
satu kompensasi dari 4 - 600 gulden per bulan, adalah untuk mendapatkan
hak pajak atas impor dan ekspor, Sutan harus menjamin keamanan pelayaran
di sungai Indragiri, juga atas gedung milik Hindia, dan bila memungkinkan,
membangun benteng di muara sungai untuk melindunginya terhadap
gangguan bajak laut. Jika hasil melebihi dari hak kompensasi yang diberikan,
maka atas perbedaan ini Sutan akan menerima bagian yang adil, misalnya,
menerima setengahnya, demikian rencana penjajah. Pada awalnya, terjadi
hambatan. Sultan Lingga merasa bahwa hal ini tidak perlu dilanjutkan. Bahwa
diperoleh berita, dari lingkungan Sultan, terdapat seorang pria (Penjajah
menuduh pria ini berasal dari pihak Bajak Laut) yang berusaha
meyakinkannya bahwa itu adalah niat pemerintah Belanda untuk
melemahkan kekuasaannya, semakin banyak penguasaan dan akhirnya
menguasai kerajaannya. Selanjutnya yang terjadi, ternyata komisi cukup
sukses untuk menghilangkan kecurigaan tersebut:
Sebelumnya, di kerajaan dengan Raja Muda Riau, Sultan dikunjungi dan
pemerintah pun memberinya sejumlah f20.000 sebagai biaya penggantian
tahunan khusus, untuk kontrak pada tahun 1837 yang dilakukannya dalam
mana sistem yang menerapkan penanaman “yang wajib dan yang dilarang”,
dan ia juga tahu bahwa dengan kondisi-kondisi pemaksaan dan tekanan,
mereka pun dapat berbalik berubah menjadi oposisi dan menimbulkan
resistensi dimana saja di Pulau Jawa. Jadi tampaknya telah dipikirkan dan
kemudian berkesimpulan bahwa yang harus dihasilkan adalah apa-apa yang
meliputi “Kekayaan-luar,” dimana uang untuk pembiayaan dan tentara, dapat
saja bersumber dari kejahatan. Dia tidak memiliki penyebab langsung untuk
membuatnya dikenal sentimental dalam hal itu, apa yang sebenarnya telah
terjadi telah terjadi, dan tidak ada untuk saat itu khusus pada program
tersebut. Perang melawan Padri itu di Pantai Barat Sumatera, berakhir pada
tahun 1838, dan dari semua yang dilakukan selanjutnya adalah; pengamanan
dan konsolidasi. Tapi sampai di sana pada bulan Juli 1841, terdapat pesan
peringatan tentang terjadinya pemberontakan di Pantai Barat Sumatera.
Akan tetapi, kemudian terbukti hal tersebut terlalu dibesar-besarkan: dalam
beberapa hari saja pemberontakan itu mereda. Dalam hal ini,
Penjajah pun mengakui, bahwa tanpa hubungan antara pemerintah
dan rakyatnya, hubungan akan menjadi sangat tidak menguntungkan.
Sementara itu, menteri sangat terpengaruh dengan seorang mantan panglima
tentara, yang pada saat itu dipandang memiliki keyakinan penuh-berdedikasi
dan berintegritas: Jenderal de Stuers; sehubungan dengan peringatannya
terhadap ekspansi tergesa-gesa Hindia di Sumatera, dimana disana tidak akan
ada uang yang dapat dihasilkan oleh mereka. Disisi lain, nampaknya tentara
Hindia menjadi lelah dan dengan demikian posisi Hindia di Jawa itu sendiri
menjadi terancam. Tanggal 1 September 1841, lima minggu setelah
menerima pemberitahuan tersebut, Baud pun menulis setelah berkonsultasi
dengan Raja, termasuk kembalinya sebagian dari angkatan bersenjata
Sumatera untuk segera menuju Jawa, dan diperintahkan penarikan semua
pos-pos sipil dan militer di Pantai Timur. Dengan demikian, maka Jenderal
Michiels dan Pjs. Gubernur Jenderal Merkus dapat kembali bersantai, dan
dengan alasan yang baik dengan pertimbangan yang berasal Stuers dan Baud,
akan tetapi nampaknya hanya sebentar saja situasi tersebut. Selanjutnya
kembali ditentukan subyek Hindia, dengan kembali diangkatnya persoalan
pembentukan pendudukan di Indragiri pada awal tahun 1843. Ada indikasi
bahwa Baud telah berhasil dibujuk, dimana pada tahun 1847, persoalan
Pantai timur Sumatra dibahas di dalam TWEEDE KAMER DER STATEN-
GENERAAL. Hal ini kemudian menjelaskan bahwa terdapat sesuatu yang tidak
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
260
masuk akal, dalam kebijakan penarikan pos-pos Hindia dari Pantai Timur;
terbukti kemudian, pada tahun 1857, tidak akuratnya refleksi historis. Pada
bulan September 1841, alasan yang diberikan tidaklah terulang kembali.
Bagaimana bisa Hindia Belanda meninggalkan Indragiri?
Dengan ditutupnya kontrak baru, yang mengatakan antara lain bahwa
sebelumnya, di tahun 1838, kontrak dimaksudkan untuk melumpuhkan
pembajakan dan mempromosikan kemakmuran; bahwa para pangeran dan
kepala telah memberikan keterikatan mereka kepada pemerintah; dan juga
bukti yang sangat jelas tentang disposisi dan kemampuan mereka untuk
mengusir para bajak laut tersebut, bahwa disebabkan saat itu telah
tersedianya keamanan, dapat dianggap dana menjadi kurang diperlukan bagi
pengiriman dan perdagangan, dan bahwa pemerintah karena itu sebagai
tanda kepercayaan dan dukungan tinggi terhadap pangeran dan seluruh
rijksgrooten, dengan sendirinya, semua berjalan tanpa adanya dukungan
Pemerintah, asalkan kelangsungan tersebut tidak akan mengubah posisi
mereka yang ingin menjalankan kekuasaan dan otoritasnya sendiri. Dalam
kontrak baru, pemerintah Hindia mempertahankan semua hak yang diperoleh
sebelumnya, Sutan dan rijksbestierder, selama mereka hidup bersama dalam
harmoni dan tidak meninggalkan posisi mereka di Rengat, akan menerima
penghasilan tahunan sejumlah f2100 -f1200, dana yang dapat diambil oleh
utusan ke Riau. Perlu pula dicatat pula bahwa ketentuan-ketentuan baru
yang terdapat dalam kontrak ini berisi aturan mengenai suksesi tahta,
sebagaimana terdapat dalam pasal 4 Traktat 1838 tersebut. Bahwa pada
tahun 1838 disepakati bahwa Sutan akan digantikan oleh salah satu dari
keturunannya, dan bahwa " jika gagal, maka kedudukan akan jatuh pada
pangeran lainnya, tentunya dengan persetujuan Pemerintah Hindia, sekarang
ditetapkan bahwa tahta tersebut tunduk pada persetujuan Pemerintah yang
juga bersesuaian dengan Sultan Lingga. Menurut Kielstra,
jadi, logikanya sejauh ini supremasi Hindia-Belanda atas Indragiri
sama sekali tidak memerlukan pengakuan secara resmi!
Sebaliknya, dengan prasangka Hindia mencatat,
Sutan saat itu menunggu suatu tugas yang sulit tanpa adanya
dukungan, ia kembali menghadapi berbagai aristokrat pemalas,
340
Kielstra, 1915: hal.40
341 Kielstra, 1915: hal.41
342
Bahwa ketegangan antara Sutan dan Raja Muda dimana Sutan mengeluhkan sikap Raja Muda
yang kurang menghormatinya, sementara Raja Muda mengeluhkan sikap ambisius Sutan,
sebagaimana terdapat dalam Surat Menteri Jajahan, 19 September 1870.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
263
343
KV 1872.
344 KV 1874-1875
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
264
347Kontrolir, dalam bepergiannya ke Tandjong Pinang, pada hari-hari terakhir bulan November,
melalui surat dari radja Abdoelrachman sebagai perwakilan Lingga di Regat, ia diberitahukan
tentang kondisi Ringat yang sedemikian kelamnya, sehingga Kontrolir berpendapat untuk
mengirimkan utusan ke Kwala Cenako, di dekat muara sungai Indragiri, selain itu, sang kontrolir
juga memberikan peringatan terhadap Residen Riouw. Dengan pertimbangan dari Abdul
Rachman, kontrolir segera menuju Rengat, dan dia meskipun tidak membantah adanya
ketegangan di kalangan para bangsawan, telah membuat kondisi semakin tidak tenang daripada
yang digambarkan. Bahwa nampaknya terjadi ketegangan yang disebabkan khabar yang beredar
di kalangan pembesar bahwa Said Umbut yang dijatuhi hukuman pembuangan pada tahun 1878;
merupakan anggota kerabat, dalam suatu kerusuhan telah terbunuh. Pada awal tahun 1880,
Kontrolir memperoleh khabar bahwa ternyata semua kondisi dipandang aman dan baik.Lihat KV
1882-1883.
Residen kepada Sutan dihadapan kontrolir, wakil Sultan Lingga dan awak
kapal, di mana ketidakpuasan Batavia telah dibuktikan oleh Pemerintah, dan
Sutan diminta tidak lagi melalaikan tugasnya. Sutan menjanjikan perbaikan,
akan tetapi ternyata Belanda menemui tidak ada yang dilakukannya, dan
beberapa bulan kemudian Sutan melaporkan bahwa Said Begab tidak lagi
bermukim di Indragiri, melainkan ia berada di Jambi.
Atas peristiwa ini, pejabat Hindia mengerti, bahwa “mereka tengah
dituntun menuju taman.”
Baik Residen maupun Sultan menyesali tentang apa yang telah terjadi, dan
kepada Sutan, pemerintah menyatakan bahwa ia diminta untuk datang
sendiri ke Riouw menemui Residen dan Sulthan Lingga disana. Akan tetapi
disayangkan, bahwa pada pemerintah Hindia sendiri telah melekat firasat
sebagaimana ekspresi mantan menteri E. de Waal - juga menyatakan bahwa,
selama Said Begab tidak diekstradisi, atau setidaknya klaim suatu
ketidakpuasan, lantas memblokade Sungai Indragiri dengan satu armada
kapal yang cukup untuk menutup semua jalur masuk dan keluar. Kontrolir dan
juga stafnya sementara dipanggil untuk meninggalkan Rengat; bahwa
pemerintah dimana telah membuka kesempatan yang diberikan kepada
pedagang asing pada waktu itu, ikut mengungsi dengan barang-barang
mereka. Banyaknya pedagang China dan Melayu yang takut anarki akan
terjadi, mengikuti hal tersebut. Belanda merekam bahwa Sutan mundur ke
negara-negara di pedalaman dan rijksbestierder-lah yang bertanggung jawab
untuk penjagaan pemerintahan Rengat; sementara Kontrolir tetap berada di
salah satu kapal uap. Pertimbangan apa yang telah melahirkan tindakan ini,
sangat jauh dari kejelasan. Belanda menghadapi seorang Sutan. Dan
sekarang Sutan, yang mungkin lebih tidak berdaya dibandingkan dari
keengganannya untuk taat, menghukum, dimana mereka semua
menghentikan perdagangan, hampir secara eksklusif merugikan teman-teman
Belanda: para pedagang tersebut. Kerugian ini, sebagaimana tercatat pada
angka-angka: tahun 1881 memiliki f192.600 impor, ekspor senilai f144.526.
dan juga, bahwa sebagian besar penduduk meninggalkan Indragiri, karena
takut kesewenang-wenangan penguasa seperti yang dituduhkan penjajah di
semua negara pribumi, bahwa hal itu berkaitan dengan raja yang memiliki
prestise garis keturunan yang terlalu tinggi, dan di Indragiri, menurut
penjajah sudah terbentuk elemen rasa tidak puas dan berbahaya bagi
perdamaian dan ketertiban.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
268
348
Bahwa Said Begab dikatakan menghasut orang-orang di hilir Indragiri untuk melakukan
perampokan di kawasan yang dipercayakan pengawasannya kepada Raja Muda.
349
Dapat dilihat dalam Tijdschrift van Nederlandsch-Indië van 1842, juga pada Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 14, 1852 (1e deel), no 4, 01-01-1852.
Ten eerste: dat het landschap Indragiri een gedeelte uitmaakt van
Nederlandsch-Indië en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland;
dat ik mitsdien steeds getrouw zal zijn aan Hare Majesteit de Koningin der
Nederlanden en aan Zijne Kxeellentie den Gouverneur-Generaal als
Hoogstderzelver vertegenwoordiger, uit wiens handen ik het bestuur over het
landschap Indragiri aanvaard.
Ten tweede: dat ik mij in geenerlei staatkundige aan-rakingen zal stellen met
vreemde mogendheden, zullende de vijanden van Nederland ook mijne
vijanden, de vrienden van Nederland ook mijne vrienden zijn.
Ten derde: dat ik zal nakomen en handhaven alle regelingen, die niet
betrekking tot het landschap Indragiri door of namens de Koningin der
Nederlanden dan wel den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië of
Diens vertegenwoordiger zijn of zullen worden vastgesteld of toepas* i selijk
verklaard en dat ik in het algemeen alle bevelen zal opvolgen, die mij door of
namens den Gouverneur-Generaal of Diens vertegenwoordiger zijn of zullen
worden gegeven.
Aldus gedaan en heëedigd te Rengat den 20sten Juni 1912 of den vijfden der
maand Redjeb van het Mohammedaan-het jaar 1330, en opgemaakt in
drievoud. Hier stonden stempel en handteekeiiing van Radja Mahmoed,
bestuurder van het landschap Indragiri.
351 Dalam Handelingen der Staten Generaal Bijlagen 1912-1913, TWEEDE KAMER,
(overeenkomsten met inlandsehe vorsten in den Oost-Indischen Archipel), 342.8-9.
Korte Verklaring atau "Pernyataan singkat" diatas, seperti yang dilakukan oleh
pemerintah pribumi yang terdiri dari hanya tiga bahagian; Bahagian pertama
menyatakan bahwa lanskap adalah bagian dari Pemerintah Hindia Belanda
dan dengan demikian di bawah kekuasaan Belanda, karena itu raja akan
selalu setia kepada Ratu dan perwakilannya, Gubernur Jenderal. Dalam
bahagian kedua, juga akan diatur dalam kontrak mengenai kerjasama dengan
kekuatan asing. Dalam bahagian ketiga, bahwa ia akan menghormati dan
memelihara semua pengaturan yang akan dibentuk sehubungan dengan
wilayahnya oleh atau atas nama pemerintah, dan bahwa secara umum semua
arahan dari pemerintah akan diikuti. Selain itu dalam "tindakan pengakuan
dan penegasan"(acte van erkenning en bevestiging) yang menyatakan bahwa
raja akan tetap terjaga dikedudukannya, selama ia menghormati komitmen
yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
menurut penjajah ini lebih baik dari apa yang sudah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya, bahwa kebijakan yang diambil dengan
mempertimbangkan kegagalan pemerintah Hindia untuk memberikan
tata pemerintahan yang baik pada masa lalu, dimana kedepan demi
kepentingan pengembangan lanskap bisa diawali dengan penerapan
konsep-konsep modern.
Dalam semua perjanjian sebelumnya dengan pangeran dan kepala, ada
perbedaan antara pendapatan lanskap dan pangeran, yang menerima semua
pajak, ganti rugi dan lainnya yang dihasilkan dan itu pernah terjadi dapat
dipinta sebagian kecil dari yang tersedia untuk belanja kepentingan umum.
Adapun aturan yang terakhir, bagaimanapun menurut penjajah hanya sedikit
bukti yang menunjukkan hal tersebut berjalan sesuai aturannya, dan sehingga
semua pendapatan negara benar-benar hanya untuk melayani pangeran dan
lingkungannya yang memberikannya sebuah kehidupan yang relatif mewah,
akan tetapi juga memiliki kelemahannya sendiri. Sejak tahun 1902,
bagaimanapun, hal itu “dikeluarkan” dengan mendirikan “rumah kaca” atas
lanskap, dibuatlah pemisahan, sehingga secara bertahap pemerintahan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
274
7
Perluasan Otoritas Hindia
di Pedalaman
352 Bahwa Raffles yang mengunjungi pedalaman Minangkabau pada abad ke-19, menyaksikan
sendiri puing-puing istana kerajaan akibat gejolak peperangan; bahwa misinya tersebut guna
mempelajari dan mengumpulkan artefak kuno era Hindu-Budha yang tersebar di hulu Sungai
Kampar;
353 Greve, seorang geolog yang menemukan potensi batu Bara Ombilin di hulu sungai Kuantan. Ia
sendiri tewas tenggelam dalam upayanya menyusuri jeram di hulu sungai tersebut.
354 Traktat 1858; Belanda menetapkan batas-batas kerajaan Siak secara berlebihan – melampaui
355 Meskipun demikian, nampaknya pihak Belanda sendiri mengklaim bahwa mereka telah
memiliki kedaulatan atas Siak sejak 1745; Setidaknya sebahagian dari kedaulatan semenjak hak
perdagangan di sungai Siak telah diserahkan oleh Raja Sulaiman sebagai penguasa Johor kepada
V.O.C.
356
Bahwa pertimbangan Pemerintah penjajah berkaitan dengan penerapan batas-batas antar
residensi, terutama antar rersidensi Pantai Barat dengan Pantai Timur dan Riouw, kawasan
Merdeka sebagai kawasan netral.
357
Terminologi kawasan “merdeka” ini, bahwa lanskap tersebut belum tersentuh otoritas Hindia
Belanda.
358 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958;
Jika kita cermati, maka Riau Daratan dalam perjalanan sejarahnya, terbagi
menjadi beberapa tahapan berikut: Tahapan Kerajaan-Lanskap: Pada era ini,
maka situs negeri ditelusuri dengan berpedoman pada sungai-sungai besar:
Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri(batang Kuantan), dapat dilihat bahwa
terdapat kerajaan utama seperti Siak Sri Indrapura di Sungai Siak, Kemudian
Kerajaan Indragiri di Sungai Indragiri, Pelalawan di Sungai Kampar. Berikutnya
adalah kerajaan di pedalaman Sungai Rokan, yang terbagi dalam lanskap-
lanskap di sungai Rokan Kanan dan Rokan Kiri, yang termasuk dalam V Kota
(Kunto Daressalam, Rambah, Tambusai, Kepenuhan, IV Kota Rokan di Ilir),
selanjutnya adalah tiga Lanskap di hilirnya : Tanah Putih, Kubu dan Bangko.
Wilayah pedalaman, di sungai Kampar, maka kita akan menemui Lanskap V
Koto Kampar(Salo, Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio) kemudian kearah hilir
adalah Tambang, Terantang dan Kampar. Sementara itu dipercabangan
Sungai Kampar Kiri, maka kita akan menemui Lanskap Gunung Sahilan, Rantau
Sibayang dan Singingi, Logas, Ulu Teso dan Rantau Kampar Kiri; Lanskap
Kuantan di pedalaman Sungai Indragiri atau Batang Kuantan. Selain itu,
dipedalaman Sungai Siak kita akan menemui Lanskap-lanskap Tapung.
Pemetaan Kerajaan maupun lanskap tersebut, difokuskan secara geografis
yang terbagi menjadi dua bahagian: sebagai wilayah pedalaman maupun
wilayah pesisir. Bukan pula kebetulan, jika pemetaan lanskap secara geografis
ini juga memiliki kharakter yang dipengaruhi oleh dua kebudayaan, yakni
Minangkabau di pedalaman dan Melayu Johor di pesisir. Kondisi ini
nampaknya mengingat bahwa ekspansi politik-kultural yang bersumber dari
ranah Minangkabau di kawasan pegunungan di pedalaman Sumatra Tengah
menuju Pantai Timur, terhenti dengan eksisnya kerajaan-kerajaan Melayu
Modern,360 tepatnya di hilir aliran sungai-sungai besar. Bahwa keberadaan
kerajaan maupun lanskap pedalaman berkharakter atau setidaknya memiliki
kemiripan ataupun kesamaan dengan pola dan sistem yang berlaku di ranah
Minangkabau, dalam hal ini dengan sentralnya kerajaan Pagaruyung, seperti:
lanskap Kuantan, Kampar Kanan dan Kampar kiri, sebahagian pedalaman
Rokan, serta Siak. Sementara itu, pengaruh Johor sendiri terlihat pada wilayah
pesisir seperti sebahagian lanskap di hilir sungai Rokan, Siak (dengan klaim
Raja Kecil sebagai keturunan langsung sulthan Machmud), Pelalawan dan
Kerajaan Indragiri-. Akan tetapi, nampaknya Lanskap pesisir merupakan
lanskap Melayu yang berbasis pengaruh Melayu Johor.361 Argumen ini
mengingat bahwa wilayah Pantai Timur selama berabad-abad dibawah
360
Lihat Koloniale studiën: tijdschrift van de Vereeniging voor studie van koloniaal-
maatschappelijke vraagstukken, Volume 11, Nomor 1, tanggal 10 Mei 1927.
361 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002;
362 Bahwa kekerabatan pada lanskap Gasip, Tanah Putih, Indragiri, sebagaimana telah
disampaikan, G.A.Wilken (1888) berasumsi bermula dari kekerabatan matriarkhat yang dengan
hegemoni Melayu Johor – telah beralih, atau paling tidak sebahagian saja mengikuti kekerabatan
Melayu Johor tersebut.
363 Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree, 2008.
pada eksploitasi sumber daya, hingga diperiode ini dapat dilihat tumbuhnya
perusahaan Eropa yang berkaitan dengan pengupayaan budidaya tanaman
ekspor, seperti; karet, kopi, gambir,dan lainnya. Pihak penguasa kolonial akan
memandangnya sebagai sebuah peristiwa pertumbuhan ekonomi, yang
diantaranya dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pasar dan pedagang
lokal, terutama pada sentra-sentra ekspor-impor. Pertumbuhan dan
perkembangan tersebut memiliki konsekuensi lainnya, kondisi infrastruktur
yang tidak memadai seperti; Jalan raya. Bagaimanapun juga, tidak dapat
dielakkan kebijakan yang mengiringi “pertumbuhan” ekonomi tersebut
dengan penambahan infrstuktur seperti; jembatan, jalan raya dan gedung-
gedung socioteit. Selain itu, nampaknya kawasan jajahan ini juga mulai
dimasuki oleh, tidak hanya modal Eropa, melainkan juga “kaum migran”
sebagai pekerja yang terikat dengan “kontrak”, meski tidak seramai dengan
kawasan di sebelah barat pantai Timur Sumatra. Selain itu, pertumbuhan dan
perkembangan di dua sisi pantai Sumatra juga menambahkan dinamisasi
pertumbuhan lanskap-lanskap dalam wilayah pemerintahan Hindia,
sebagaimana sebuah bandul yang berayun menuju kesetimbangannya
sendiri. Pembukaan Pelabuhan internasional “Emmahaven” di Padang pada
kurun 1892, dikatakan telah menyebabkan “kemunduran” Pekanbaru sebagai
pelabuhan transit saudagar-saudagar dari Pantai Barat. Ya, mengapa tidak?
Sebab tentu saja para pemain ekonomi tersebut akan mencari tempat yang
lebih murah dan dekat untuk melakukan transaksi hasil buminya ke perairan
dunia. Bayangkan saja, para pedagang payakumbuh yang dalam upayanya
menuju Pekanbaru sebelum sampai di V Koto Kampar harus berjuang melalui
jeram curam yang deras dan berbahaya di Muara Mahat tersebut. Suatu
perjalanan bisnis yang penuh resiko dan ongkos yang sangat mahal. Dalam
konteks peralihan jalur ini, menyebabkan Jalur via Pekanbaru segera saja
menjadi usang. Akan tetapi, pembangunan jalan Bangkinang-Pekanbaru dan
hadirnya kendaraan bermesin (mobil), menyebabkan keadaan perlahan
membaik, meski pedalaman Minangkabau sebahagian besar tetap menjejaki
perdagangannya ke pantai Padang. Bahwa berbagai upaya dilakukan untuk
menjembatani hubungan antara Pantai Barat dan Timur dimana salah satunya
adalah pembangunan jalur kereta api dari Pantai Barat menuju Siak, yang
diawali dengan ekspedisi IJzerman kesana pada 1891. Terlalu banyak
resistensi dan kendala (salah satunya adalah jalur tersebut melintasi Kawasan
Merdeka) sehingga tidak terdengar realisasinya. Kembali pada tahapan
pemerintahan Hindia, maka kawasan “Riau Daratan-Sumatra Tengah” dibagi
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
283
atas tiga wilayah pemerintahan (gambar 2), yakni; Residensi Oostkust van
Sumatra (Pantai Timur Sumatra), Westkust van Sumatra (Pantai Barat
Sumatra) dan residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan Negeri
taklukkannya). Yang pertama berpusat di Medan, dengan wilayah yang
meliputi Afdeeling Bengkalis; kawasannya meliputi wilayah Eigenlijk Siak,
Kampar Kiri, Bengkalis, Pelalawan), Residensi Pantai Barat Sumatra berpusat
di Padang, dan mencakup wilayah V Koto Kampar, XII Koto Kampar. Adapun
Residensi Riouw en Onderhoorigheden yang berpusat di Tanjung-Pinang,
wilayahnya pada pulau sumatra meliputi lanskap Indragiri dan Kwantan.
Bahwa proses “peng-Hindia-an” Riau Daratan ini dimulai setidaknya pada
kurun awal abad ke-19 hingga benar-benar mapan di awal abad ke-20.
Robert Cribb364, memetakan Sumatra berdasarkan periode pemerintahan
Hindia, terlihat bahwa proses di Sumatra tengah terbagi atas; periode1824-
1837; selanjutnya 1838-1872; kemudian 1873-1906; dan berakhir pada
periode 1906-1942. Pada periode 1824-1837 ini, baru terbentuk keresidenan
Palembang, Periode pertama adalah dimana Riau - Siak masih benar-benar
merupakan negara merdeka yang berdaulat. Selanjutnya pada periode 1837-
1872, adalah dimana Siak dan Indragiri masuk dalam pemerintahan
keresidenan Riau; pada periode 1873-1906 hingga 1942, merupakan periode
terbentuknya residensi Pantai Timur dan pemapanan pemerintahan Hindia.
Bahwa hingga tahun 1938, perbedaan antara kondisi Siak dan tetangga-
tetangganya dan bagian utara dari residensi menunjukkan bahwa Belanda
menghadapi Masalah nyata bagi suatu penyelenggaraan pemerintahan
kolonial yang efektif. Sebuah keputusan yang radikal pun dibuat: Sesuatu
yang mirip dengan residensi Johor-Riau kuno itu harus dilarutkan dengan tiga
divisi administrasi (afdeeling) - Tanjungpinang yang termasuk dalam
kepulauan Riau-Lingga dan Pulau Tujuh; Bengkalis, akan terdiri dari
Onderafdeeling Siak, Kampar Kiri, Bagansiapi-api, Selat Panjang dan Rokan;
dan akhirnya Afdeeling Inderagiri, dengan onderafdeeling Rengat, Kuantan,
dan Tembilahan. Meskipun terdapat penemuan minyak Caltex, Pekanbaru
saat itu masihlah sebagai sebuah kota kecil tanpa klaim yang jelas untuk suatu
leadership daerah diera kedepannya.365 Wajar saja jika kemudian Tanjung
Pinang dipersiapkan sebagai ibukota sebagai kelanjutan dari konsepsi Riau–
364
Robert Cribb,2007.
365 Kratz, 1973:hal.54.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
284
eks , yang nampaknya menjadi samar sebagai akibat pecahnya perang pasifik
yang imbasnya sampai ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Meskipun
demikian, mungkin saja tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa
pemetaan wilayah semata-mata bertumpu pada kepentingan ekonomi
ataupun militer, melainkan juga mempertimbangkan kondisi kultural;
sebagaimana yang terjadi pada lanskap di pedalaman Sungai Siak, ataupun
Kwantan. Yang pertama, pernah terjadi wacana untuk memasukkan
Onderafdeeling Boven kampar yang merupakan bagian dari Afdeeling Lima
Puluh Koto, berkemungkinan VI Kota di Mudik dan VII Kota di Ilir dengan V
Koto Kampar, Tambang dan Kampar akan ditarik ke menjadi wilayah Siak.
366
Dalam De Sumatra Post, “Organisatie of desorganisatie?”
367 Dari catatan harian Komandan Militer Schroderr yang dipublikasikan dalam “Algemeen
Handelsblad”, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten”.
368
H.J.Grijzen, Nota Omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra); Tijdschrift Voor
Indische Taal-, Land - En Volkenkunde, 1908.
369 Lihat Koloniaal Verslag, tahun 1902
Era yang secara aktif dimulai di abad ke-19 dimana “perluasan kewenangan di
pedalaman” merupakan sebuah motto371 bagi pemerintahan Hindia di
Sumatera khususnya sumatra tengah yang juga bertitik tolak dari pecahnya
perang diwilayah pedalaman Sumatra Tengah (perang-padri). Bab ini akan
mengisahkan proses aneksasi (pencaplokan/penguasaan wilayah secara
sepihak) dan perluasan kewenangan Belanda hingga awal abad ke-20 di
Sebahagian pedalaman Sumatra Tengah, terutama dengan
mempertimbangkan batasan-batasan wilayah-administrasi yang saat ini
termasuk dalam propinsi Riau (Daratan). Terdapat realita bahwa dalam upaya
eksplorasi “Kekayaan-Luar” bagi pemasukan kas Imperium Hindia, bahwa
perluasan kewenangan di pedalaman Sumatra banyak mengalami resistensi –
perlawanan didaerah tujuan, bahkan terkadang berat, seperti salah satunya
pengalaman Perang-Padri yang dikatakan tidak kurang menyedihkan dari apa
yang berlangsung di Aceh. Kondisi tersebut, menyebabkan Pemerintah
penjajah melakukan desain ulang dalam upaya perluasan tanah jajahan. Akan
tetapi berbagai pengalaman lainnya dalam berhadapan dengan penguasa
pribumi, seperti ketika negosiasi antara pemerintah dengan utusan dari
Lanskap Rokan yang berlangsung di Batavia, kemudian negosiasi dengan IX
Kota diperbatasan Onderafdeeling Si Junjung, juga apa yang terjadi disebelah
Pulau Punjung, nampaknya bagi pemerintah kolonial diperoleh kesan bahwa,
370 Bukan hanya Kwantan, melainkan juga lanskap sebelah barat yang langsung berbatasan
dengan Onderafdeeling Sijunjung- Residensi Pantai Barat Sumatra, Lanskap IX Kota: dengan
alasan yang sama dengan Rantau Kwantan, penolakan ekstradisi pelarian. Lihat Grijzen,
371 Lihat Annexatie's in Centraal Sumatra, dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1880 (1e
372
Lihat Algemeen Handelsblad, tanggal 18 Februari 1891 :Vredelievende annexatiën in Indië.
373
Aneksasi damai tersebut bagi penguasa pribumi, nampaknya lebih sebagai jalan untuk
menghindari aneksasi kasar: invasi militer dari pemerintah kolonial, seperti kasus di lanskap
Kampar-Kiri diawal abad ke-20.
374
Lihat “Over de onderwerping en ontwikkeling van Sumatra, in verband met eenige
vraagstukken van den dag”, tahun 1904 — De geleidelijke onderwerping en ontwikkeling van
Sumatra - Colonial Collection (KIT) — Leiden University Libraries
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
288
375
Lihat De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. (1878) Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.104
376Ibid, hal.105
Sumatra. Sesuai dengan saran dari kepala yang relevan dari pemerintahan
penjajah di daerah, menyatakan bahwa entitas yang “akan” menjadi milik
lingkaran kewenangan gubernur Pantai Barat Sumatra, meliputi:
1. Lanskap Batak, dengan pengecualian hanya dari mereka yang berbatasan
langsung ke Langkat, Deli dan Assahan;
2. lanskap di Kampar: Kampar Kiri dan Kampar Kanan serta anak sungai
mereka, dengan pengecualian V Koto dan Pulau Lawan;
3. Distrik Kuantan;
4. IX Kota;
5. Distrik Batang Hari, dan
6. Kerinci.
Sementara wilayah dari Residensi Pantai Timur Sumatra, meliputi:
1 . Ini dikecualikan di pedalaman (timur) Battaklanden;
2. Lanskap dari Hulu Sungai Rokan (Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan
dan Kunto, yang terakhir terdiri dari Kota Intan dan Kota Lama);
3. V Koto Kampar, dan
4. Pulau Lawan.
Apakah dengan demikian secara tegas telah dipertahankan sebelumnya pada
kedua pemerintahan yang direkomendasikan kepada daerah yang wilayahnya
berdekatan dengan lanskap mereka, tanpa pengetahuan sebelumnya dari
pemerintah gubernemen, dan bahkan, kemudian, hasilnya seringkali mutlak
dengan persetujuan petugas di lapangan: Kasus negosiasi-aneksasi IX Kota
yang ditangani oleh Baron van Hoevell merupakan salah satu contohnya,
bahwa kematian wajar sang kontrolir menghentikan upaya diplomasi
tersebut. Berikut ini adalah kisah kebijakan Aneksasi Belanda di beberapa
lanskap Pedalaman, mulai dari hulu sungai Kampar, hingga Kuantan.
Rantau Sibayang, Singingi, Logas, Ulu Tase dan Rantau Kampar Kiri. Pertama,
kita membahasnya dari aneksasi yang terjadi di Lanskap Kampar Kanan, yang
dimulai dari negeri XII-Koto Kampar.
377 Diketahui bahwa Kampar landen (Negeri-negeri Kampar) adalah lanskap yang terletak di
sepanjang tepi sungai Kampar dengan bagian hulunya yang dibentuk oleh sungai Kampar Kanan-
dan Kampar kiri, sementara sungai Kampar Besar diarah hilir ditemukan Lanskap Poeloe Lawan
di pantai timur arah ke laut. Rinciannya, diberikan oleh laporan pada wilayah pedalaman dari
Kamparlanden, diambil dari laporan kunjungan Residen Dataran Tinggi Padang pada tahun 1875
ke wilayah Lanskap.
melakukan hal yang sama. Pemerintah Hindia mencatat bahwa beberapa kali
XII Koto Kampar dilindungi oleh pasukan dari distrik pemerintah terhadap
serangan sekelompok orang dari daerah lain, terutama dari V Kota. Meskipun
demikian, jika lanskap tersebut tidak memiliki proposal integrasi, tidak ada
konsekuensi selain dari pengangkatan saudagar dari Payakumbuh guna
memfasilitasi perdagangan terutama dalam hubungannya dengan XII Kota
Kampar – yang dilakukan pada November 1846. Sejak saat itu tampak bahwa
intervensi Pemerintah akan berkembang secara bertahap, tetapi dalam
bagian akhir di tahun 1847 dilakukan perubahan wawasan manajemen
sebagai upaya pemerintah untuk membuat jalan bagi sistem pantang hingga
tahun 1850. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Hindia nampaknya
kemudian berniat menetapkan Kamparlanden dalam sebuah hubungan yang
baru. Sebuah komisi pemimpin pribumi dari Dataran Tinggi Padang
ditugaskan ke daerah tersebut, klausa yang biasanya dimasukkan dalam akta
dimana pemerintah dapat mengambil suatu kesimpulan, dan nampaknya
masih terdapat keraguan tentang sikap kepala dan masyarakatnya di XII Kota.
Dan memang nampaknya Pemerintah Hindia mempersiapkan kondisi tertentu
untuk suatu partisipasi dan kepala pun berulang kali bersaksi yang isinya tidak
lebih daripada konteks mereka dalam pemerintahan Hindia. Sementara disisi
lainnya, tanggal 26 Januari 1859 di suatu tempat paling utama: Moeara
Takoes, diselenggarakan suatu rapat umum, yang juga dihadiri oleh
perwakilan dari daerah lainnya (para kepala Kampung) dari seluruh Kampar,
yang ditegaskan dengan pengambilan sumpah kepada Pemerintah Hindia. 378
378Pada tahun yang sama (1859) sebuah komite pribumi dari berbagai negeri di Pemerintahan
Pantai Barat Sumatra diutus ke Kampar untuk mengambil kesimpulan tentang hubungan mereka
dengan pemerintah. Adapun kemudian ditemukan masih tersisa, bahwa belum dilakukan
kunjungan terhadap salah satu kepala Lanskap kampar kiri, karena seluruhnya telah berjumpa
dengan panitia di V Koto dan sebatas pengetahuan mereka bahwa di Kampar Kiri tidak ada
menunggu yang lainnya. Adapun kemudian pimpinan Kampar memberikan kepada pemerintah
Hindia suatu alasan simpatik tentang sikap V Koto, dalam satu dokumen, yang bertempat di
Muara Takus bertanggal 6 Maret 1859, disebutkan bahwa daerah tersebut merupakan bagian
dari Federasi Kampar, dengan demikian perlu untuk dipertimbangkan. Hubungan belum berjalan
hingga pada tahun 1876, menunjukkan adanya suatu kunjungan pejabat di V Koto, setidaknya
yang berasal dari Pantai Barat, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.
memenuhi “hak tradisional” ini, maka sultan menerima untuk satu tahunan
“pemasukan” sejumlah 100 dolar dari kepala V Koto. Perbandingan kekuatan
dari V Koto yang terletak di sungai Kampar kanan dimana juga berdiri
kenegerian Kampar, Tambang dan Terantang, menunjukkan terdapatnya satu
negeri yang kuat dengan tetangganya yang lebih lemah. Selain itu, meskipun
masing-masing kenegerian dengan sendirinya dibawah seorang kepala,
namun mereka terkait satu sama lainnya; bahwa negeri-negeri ini sangat luas,
dan biasanya juga mereka bertindak sesuai dengan apa yang menjadi
keinginan dari V Koto. Akan tetapi disebabkan posisi V Koto yang letaknya
dipedalaman, dan oleh karena itu keberadaan masyarakat di sepanjang
sungai bisa jadi menyulitkan arus pedagang, maka berdasarkan hal tersebut
adalah biasa terjadi bahwa para perahu pedagang – termasuk perahu
pedagang dari V Koto -memberikan sedikit hadiah kepada para kepala lanskap
yang dilewatinya ketika menjalankan usahanya tersebut. Lanskap V Koto
tidak memiliki hubungan politik dengan Pulu Lawan. Meskipun demikian,
tetap ada jalinan hubungan antar keduanya: seperti berkaitan dengan
penghasilan yang diperoleh Datuk Nan Lima yang memilih untuk tidak
bersinggungan dengan pemerintahan Pulu Lawan. Mereka hanya mengambil
rute perdagangan di sepanjang Sungai Siak, meski upaya itu selalu ada
dengan pemberian hadiah dan sebaliknya, hal yang dilakukan untuk
memastikan persahabatan dari mereka.
sebab aksi itu terjadi di kawasan merdeka V Koto – dan lebih jauh lagi, Hindia
menunggu hingga terdapat aksi dari V Koto hingga di wilayah perbatasan yang
ternyata tidak terjadi suatu gerakan apapun juga. Pada kurun tahun 1859,
kembali diulangi surat penawaran oleh Hindia yang lagi-lagi tidak dijawab
oleh V Koto; Pada tahun 1865 bahwa seorang utusan asisten Residen Riau
dicegah untuk bepergian ke wilayah V Koto dan pemerintah mendengar
informasi bahwa pihak V Koto bertekad untuk tidak membiarkan keberadaan
orang Eropa di wilayahnya; Pada tahun 1875 adalah peristiwa penolakan
Residen Padangsche Boven Landen; Hingga kemudian di tahun 1884, bahwa
pemerintahan di perbatasan V Koto mengirimkan surat yang meminta V Kota
berartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan wabah yang terjadi saat itu,
akan tetapi melalui jawaban singkat V Koto menolaknya 380; hingga puncaknya
ditahun 1899 dengan terbunuhnya seorang Insinyur pertambangan - Clifford
di Pulau gadang di perbatasan V Koto. Berikut ini adalah kisah tentang
penolakan V Koto terhadap kunjungan Residen Padangsche Boven landen di
tahun 1875: Sementara itu pada tahun 1875, terdapat berita dari Pejabat di
Pantai Timur Sumatra tentang adanya “gejolak” di lanskap V Koto. Bahwa
dalam beberapa tahun terakhir, kepala Pangkalan Kota Baru telah berulang
kali menunjukkan keinginan mereka untuk bergabung dalam otoritas
administrasi Hindia tepatnya di Pantai Barat Sumatera, dan dikatakan oleh
mereka, bahwa telah berulang kali diyakinkan kepada pihak berwenang
tentang adanya disposisi yang sama dengan lanskap V-Koto. Hindia
mencatat; Kali pertama adalah pada tahun 1872, sebagaimana berita yang
disampaikan oleh kepala Jaksa Padang yang telah melakukan kontak dengan
kepala V Koto (Lihat Koloniaal Verslag tahun 1873, hal.14); dan pada tahun
1871 oleh seorang pedagang pribumi yang terkenal, kembali dari lanskap
menuju Padangsche Boven Landen, ia menunjukkan bahwa satu per satu
para kepala dari Kuwo, Lulo(sallo) dan Bangkinang melakukan penandatangan
surat, menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk menjalin hubungan
dengan pejabat Hindia.
Dengan maksud untuk beberapa hal, dan berkaitan dengan kewenangan
gubernur Pantai Barat Sumatra: pada tahun 1873 dan 1874 Pemerintah
380 “De Inlijving der V Kota”, dalam Algemeen Handelsblad, 12 Maret 1903.
381 Lihat 20ste VERGADERING. — 22 NOVEMBER 1899. 4. Vaststelling der begrooting van
Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar 1900. (Algemeene beraadslaging.), TWEEDE KAMER vel
III, hal. 417.
382 Bahwa dikatakan oleh Pemerintah telah terjadi pertemuan rahasia yang diprakarsai oleh
Datoek V Kotta untuk merencanakan hal tersebut, dan pemerintah juga meyakini bahwa
terbunuhnya Clifford juga dilandasai hal-hal politis; selain itu, bahwa realita V Kotta memiliki
hubungan yang dekat dengan Pantai Barat Sumatra, memungkinkan untuk diintegrasikan kesana
dan segala biaya yang mungkin ada akan tertutupi dengan kondisi sumber daya yang dimiliki oleh
wilayah V Kotta” lihat de De Moordzaak Clifford” (Pembunuhan Clifford), Sumatra Courant,
tanggal 24 Mei 1899.
383 Dalam Koloniaal verslag 1900.
384
Dalam Koloniaal verslag 1878, hal.18
385
“PA MARDJAN” adalah seorang tokoh asal Soerabaja, yang menikah dengan seorang putri dari
tokoh di V koto Kampar; Pemerintah Hindia melihatnya sebagai sosok yang berbahaya – bahwa ia
dituduh telah melakukan penghasutan untuk melakukan pembunuhan tersebut. Ia berhasil lolos
dari penyergapan di V Koto Kampar dan melarikan diri ke Kampar Kiri, kemudian ke Kuantan
hingga sepasukan patroli Belanda akhirnya berhasil menyergap dan menembaknya mati di sana
di tahun 1910.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
302
386TABANO, seperti tokoh lainnya: Boe Larang, Datoek bandara Setti, Doebalang Kaja, adalah
tokoh kharismatik yang dipandang memiliki kesaktian yaitu “kekebalan tubuh,” dalam suatu
penyergapan dirumahnya pada jam 11 malam, dengan keris ditangannya ia melakukan
perlawanan yang juga dibantu isterinya, akan tetapi nampaknya ia berhasil dilumpuhkan dengan
bayonet dan klewang: dilihat dalam Buletin Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en
koloniën, Volume 9, Nomor 24, tanggal 17 February 1926 — Schetsen Naar Herinneringen van
Een Oud Indisch Officer van Gezondheid.
berjalan dengan lancar dan begitu sempurna: semua benteng, meriam lila,
senjata api dan senjata lainnya diserahkan kepada Pemerintah. Pada hari
yang sama, pasukan yang dikomandoi Kapten cornets de Croot beserta tim
medis di bawah dokter Ouwehand menuju Kampar dan tambang; arah
pasukan selanjutnya beralih ke Rumbio di sepanjang tepi kiri Sungai Kampar.
Hari berikutnya adalah koloni yang diikuti oleh gubernur, Mayor Berenschot
dan Kapten Kronouer, juga untuk menegakkan ketertiban di Kampar dan
Tambang. Aneksasi yang dilakukan hampir tanpa pertumpahan darah, hanya
terdapat Insiden dengan dubalang TABANO, kemudian peristiwa di Pulau
Gadang tanggal 21 Agustus yakni penembakan terhadap sejumlah orang,
dengan hasil sebanyak 21 orang terluka, salah satunya adalah Datuk Paduka
Tuwak; penghulu dari Kuwo.
Hingga tanggal 10 September bersama-sama dengan komandan pasukan
yang membawahi satu detasemen tentara, Asisten Residen, Gubernur
mengadakan tur ke seluruh wilayah.
Tanggal 11 September, sang Gubernur kembali ke padang.
388Proses Aneksasi yang diduga telah dimulai beberapa dasawarsa sebelumnya; dengan melihat
catatan Netscher tahun 1872 yang menyebutkan adanya kunjungan komite pribumi terhadap
lanskap kampar Kiri: kunjungan yang tanpa hasil. Catatan Asisten Residen Solok tahun 1884 yang
menyebutkan bahwa kondisi politik dan ekonomi kerajaan di sungai Kampar, terletak di wilayah
hulu sungai; Kemudian, ekspedisi tahun 1899 ke V Kota Kampar; juga laporan Asisten Residen
Van Velthuysen tahun 1900 yang mencatat informasi tentang lanskap Kampar Kiri. Adapun
informasi yang diperlukan pemerintah Kolonial untuk suksesnya aneksasi Kampar Kiri, bersumber
dari laporan Kontrolir O'BRIEN, yang dipblikasikan tahun 1906: Rapport omtrent de
tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-Landen.
Amsterdam, K.N.A.G. hal.939 -957
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
306
Pada tanggal 19 April 1905, O’Brien tiba di Logas, kemudian kembali ke Mura
Lembu, dan pada perjalanan berkeliling berikutnya, ia ditemani oleh Raja
Gunung Sahilan. Pada kesempatan tersebut, dinyatakan oleh sang raja,
bahwa wilayah Singingi, berada dibawahnya, dan nampaknya tidak
disebutkan olehnya Tuan gadis. O Brioen menulis, bahwa dalam
perjalanannya di wilayah Singingi tersebut, dimana-mana ia menemui adanya
pengibaran bendera putih: tanda tunduk. Menurutnya, perang-sipil yang
terjadi nampaknya telah membuat penduduk merasa sangat ketakutan dan
berada dalam kedukaan, dan menurutnya lagi, mereka, penduduk Singingi
melihat dirinya bagai seorang “pembebas”. Dalam kunjungannya tersebut,
O’Brien menerima banyak keluhan dan harapan akan diperolehnya hak-hak
mereka, ia tinggal di Gunung Sahilan selama hampir 20 hari (22 April – 11
Mei), kemudian ia melanjutkan perjalannya ke Sibayang.
Tanggal 28 April, terjadi pertemuan dengan Bandaro dari Kunto, Datuk Majo
besar, juga Khalipah Ludai dari Bio. Penggalian informasi, mulai dari
pengajuan ke Siak tahun 1899, penandatanganan kontrak, politik, hingga
perang-sipil di Kunto dan Singingi.
Tur dilanjutkan, hingga tanggal 11 Mei, O’Brien bertemu dengan Datuk
Juhum, penguasa terkemuka dari wilayah Teso. Diperoleh informasi, bahwa
semua wilayah Teso berada dibawahnya, akan tetapi Tanah Darat, dihitung
sebagai bahagian dari Kuantan dan rajanya diakui sebagai seorang Pangeran
Basarah.
Jumat 12 Mei, O’Brien meninggalkan wilayah Sibayang. Singgah di Lipat Kain,
di lanskap ini, O’Brien menuturkan bahwa ia menemui adanya semacam
“tempayan”, sebagai benda yang dikelilingi oleh tongkat, mangkuk untuk
membakar dupa dan potongan kain putih; terdapat cerita tentang kesaktian
dari tempayan tersebut. Dari Lipat Kain, terus ke Lubuk Cimpur, Kuntu;
menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat disana.
Senin 15 Juni, menuju Padang-Sawah, Domo, Ujung Bukit dan Pasir Ramo
terus ke Tanjung Balit. 16 Juni, melangkah lebih jauh hingga Batang Bio
menuju Kota Lamo. Tanggal 19 Juni, dari Moeara Bio di Sibayang menuju
Batu Sanggan; terdapat wabah cacar dibeberapa banjar.
Tanggal 23 Mei, tiba kembali di Gunung Sahilan. O’Brien melaporkan, bahwa
penyambutan lanskap atas kunjungannya bermacam-macam, seperti; dengan
Rantau Kuantan:
Belanda dan Konflik Internal Kuantan
Sub-bab ini, berkisah tentang proses yang berkembang menjelang dan hingga
terjadinya pencaplokan terhadap Negeri Kuantan. Proses panjang yang
melibatkan hingga tiga generasi, dimulai dari era Yang dipertuan nan Putih
hingga Raja Hasan, mulai dari diplomasi hingga invasi. Pergulatan, persaingan
dan pertarungan antara elit lokal yang bertemu dengan kepentingan kolonial,
memuncak di awal abad ke-20, tepatnya di tahun 1905. Ada baiknya kita
kembali menyusuri jauh ke belakang, sebuah kisah yang tidak lepas dari
negeri tetangga tempat dimana berkobarnya Perang Padri. Dan kali ini,
kembali kita banyak dibantu oleh Laporan IJzerman, Kontrolir Schwartz,
Kontrolir Twiss, Baron Van Hoevell, O’Brien, Grijzen, catatan Kielstra serta
beberapa laporan Kolonial. Sebagaimana telah disampaikan, pertama kali
munculnya batas-batas Kuantan adalah pada saat keruntuhan imperium
Minangkabau akibat pukulan kuat dari peperangan Padri. Di Tanah Datar,
tempat tinggal para pangeran, dalam waktu yang singkat telah terjadi
perlawanan terhadap gerakan pembaharuan, akan tetapi gerakan
pembaharuan tersebut seolah tidak terbendungkan lagi. Oleh Tuanku
Pasaman, pemimpin gerakan baru, pertemuan diadakan di Kota Tengah,
kemudian terjadilah pembantaian-berdarah atas kaum pangeran. Tuanku
Raja Muning Alam Shah berhasil selamat yang terlihat bagai sebuah
keajaiban, dengan cucu di lengannya, ia melarikan diri dari pembantaian itu
perlawanan bangkit di tahun 1833, dari Pangkalan Kota Bahru terus berkobar
hingga di Lima puluh Koto; kemudian di Sumpur dan melakukan penyerbuan
ke Buo di tahun 1834, namun upayanya hanya memperoleh hasil yang tidak
berarti. Pemerintah menggambarkan bahwa sang pejuang tersebut begitu
putus asanya dan terus mengembara di perbatasan timur, nampaknya juga
tidak berhasil mengumpulkan pengikut dalam jumlah yang cukup. Lalu ia
melanjutkannya ke benteng Bonjol dengan melakukan tindakan ofensif.
Setelah jatuhnya benteng terakhir dan terkuat Padri itu, alhasil teror militer
Belanda terhadap semua perlawanan rakyat untuk sementara waktu telah
merusak kepercayaan terhadap semua yang dinamakan dengan “kebaikan”
dalam kekuasaan yang didirikan oleh Belanda395. Meskipun demikian,
diberitakan bahwa pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui
Residen Dataran Tinggi Padang; yakni Steinmetz, dengan membawa serta
surat alih dari Yang dipertuan Putih, pangeran Kuantan, di mana ia meminta
dibukanya suatu hubungan dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael
menduga bahwa permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan
Sultan Indragiri, yang dalam waktu bersamaan diberitakan oleh Residen
Palembang, mengabarkan bahwa permintaan ini disertai dengan datangnya
anak Yang dipertuan. Dia melakukan keduanya secara tertulis
menginformasikan kepada Pemerintah dan bertanya tentang pembukaan
negosiasi dengan Kwantan dan Indragiri. Persoalan dengan Kerajaan ini
(Indragiri) terakhir telah diselesaikan pada bulan September, dan untuk ini
adalah sebuah traktat pengakuan kedaulatan Belanda.
Akan tetapi untuk Kuantan sebagaimana permintaannya telah
diketahui, hingga sejauh itu belum menunjukkan hasil.
Yang dipertuan Putih tampaknya berhasil diakui sebagai Raja yang
berdaulat; memiliki koneksi ke penguasa baru dari Dataran tinggi Padang
yang memberikan dukungan atas otoritasnya. Akan tetapi pada tahun 1843,
atas perintah Menteri Baud dilakukan “kebijakan pantang”, yakni menutup
hampir semua kontak dengan negara luar bagian timur dari wilayah Pantai
Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta.
Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
395
Nampaknya yang dinamakan dengan “Kebaikan” pemerintah yang tertuang dalam Plakat-
Panjang, bagi masyarakat hanya sebagai akal-akalan atau strategi belaka dari pemerintah untuk
memenangkan perang.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
314
396 Ijzerman:hal.53
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
318
397 Tijdschrift voor Neerland's Indië: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], 1 November 1876, hal. 409
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
319
Meskipun demikian, terdapat klaim bahwa otoritas Datuk Sireno dan Angku
Kali Raja tidak memiliki dasar hukum. Para musuh paling brutal dari sang
pangeran akan tetap eksis di V kota. Mereka selalu menyalakan api
perselisihan, sementara itu Yang dipertuan Sati semakin tua dan kurang kuat.
Dengan kondisi ini, semakin hari sikap mereka pun semakin menantang dan
bahasa mereka menjadi sangat arogan. Mereka itu bukanlah orang-orang
dengan kelahiran yang ditunjuk untuk melakukan peran utama, tetapi
dengan status lebih rendah, yakni para orang pandei yang tidak puas dengan
keadaan. Pembentukan wilayah berdaulat Pangeran, pertama-tama di
Basarah dan kemudian Ceranti, ini akan membuat tugas mereka menjadi
mudah. Akan tetapi terdapat rumor atau berita bohong tentang ketidakadilan
yang meningkat, bahkan sangat berlebihan di negeri ini. Berikut beritanya:
“Kepala gerakan itu adalah Datuk Sireno, seorang panghulu dari Kariet
dan Angku Kali Raja, seorang maliem asal Taluk. Demagog ini merebut
otoritas lebih besar dari Orang nan Berlima dan mengetahui ia
didukung oleh sejumlah pemangku kepentingan dengan kekuatan
nyata di Kuantan. Mereka menyebar ketakutan dan teror dikalangan
penduduk.”398
Negeri- negeri yang saat ini masih terlihat kecil, dimana pengaruh beberapa
pihak yang terkadang berasal dari luar pemerintahan turun-temurun, adalah
lebih besar dari Datoek nan berampat dan hal ini segera membawanya ke
arah yang diinginkan oleh mereka, hasilnya bahwa negeri tersebut serta
merta akan terlihat sebagai negeri besar. Hal ini nampaknya tidak akan
pernah dilakukan, maka rapat panghulu pun diprogram dengan cara yang
telah dijelaskan oleh Van Hoevell; klik Datuk Sireno dan kelompoknya yang
terbentuk dan dilakukan secara sukarela, akan tetapi juga karena mereka
tidak berani menentangnya. Mereka berusaha keras agar tidak terjadi
kesepakatan diantara Orang-gadang dan lalu berupaya untuk menguasai
mereka, bahkan berusaha untuk menggantinya. Konsisten dengan strategi
tersebut, sehingga apa saja yang Pangeran inginkan, sebaliknya mereka tidak
akan menginginkannya. Bagaimanapun keinginannya selalu digagalkan. Jadi,
nampaknya inilah yang dapat dilakukan, yakni membayang-bayanginya.
Sebagaimana telah diketahui, Yang dipertuan Sati sudah tua dan lemah,
398 Ijzerman:hal.56
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
321
399
Ijzerman: hal.59
400 Ijzerman: hal.60
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
324
401Tahun 1872, sebagaimana terdapat dalam catatan kontrolir Schwartz, terdapat kasus; Orang
Melayu, Si Lajien dari Inuman pada bulan September dibawa ke Tanjung Gadang (VII kota) anak
laki-laki berusia 8 atau 9 tahun yang bernama SiMaripat, mungkin cocok dengan kegilaan, tanpa
alasan apapun, seperti, luka, yang menyebabkan anak itu dua bulan kemudian meninggal. Untuk
itu Si Ladjien dibawa ke tahanan, sementara keluarga Si Maripat menuntut “bangoen” (uang
mati) atau “Pampas” (uang darah), yang merupakan hak nya di bawah hadat tersebut. Untuk
menyelesaikan hal ini dilakukan rapat dengan dihadiri beberapa orang, diantaranya disebutkan
paman Si Lajien (mamak) dan dua orang kepala suku dari Inuman. Kemudian Hoevell sebagai
Kontrolir Sijunjung ditempatkan pada kasus tersebut.
402IJzerman: hal.67.
403 Sutan Alam Duni secara meyakinkan mengklaim, dengan dalih sebagai anak dari Yang
dipertuan, dilahirkan dari wanita dengan strata keturunan yang lebih rendah, dan menurut adat
di Rantau Kuantan tidak menurut garis keturunan ayah, melainkan garis keturunan ibu. Pada
Tahun 1877, dalam perjalanan dari Singapura, Sutan Alam Duni dari Lubuk Jambi sebagai wakil
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
327
pernikahannya dengan Tuan Gadies, Hanya dua tertua Raja Abdullah dan
Raja Hitam memenuhi syarat untuk suksesi. Karakter mereka sama sekali
berbeda: yang pertama, tokoh kuat, menimbulkan rasa gentar pada musuh-
musuhnya, sebaliknya yang kedua, lembut dan ramah, tampak mudah untuk
diatur. Adapun pihak Datuk Sireno, sepertinya ia menolak Raja Abdullah, akan
tetapi sebaliknya, melayani Raja Hitam dengan ramah. Bukan tidak mungkin,
bahwa kebijakan Datuk Sireno yang nampaknya lebih mengutamakan
“persahabatan” dengan Pemerintah kolonial, ketika ia berada dalam posisi
berhadap-hadapan dengan si sulung, bahwa sang pemuda yang telah
menjadi laki-laki dewasa dan mulai dikenal sebagai lawannya yang tangguh.
Selain itu, diberitakan juga terjadi pertemuan dimana Yang di pertuan Sati
diundang untuk membahas siapa yang akan menjadi penggantinya.
Mayoritas akan menyatakan Raja Abdullah, sebahagian juga mengatakan
bahwa Raja di Buo adalah orang yang paling dianggap tepat. Namun, bukan
tanpa protes dari kelompok minoritas, yang menyatakan bahwa Raja Hitam
harus dihormati karena ia sebelumnya dengan kepala Laras ia telah berangkat
ke Benteng Fort de Kock dan Padang, dan bagi pemerintah ia dikenal sebagai
dari beberapa kenegerian di Kuantan; telah berjumpa dengan konsulat Belanda dari Karesidenan
Riouw agar dirinya dan lima belas desa yang tercakup dalam Kwantan districten dengan apa yang
di akuinya akan didelegasikan di bawah perlindungan Pemerintah Hindia. Residen berjanji untuk
melakukannya. Atas kunjungan dan keinginan dari Sutan Alam Duni tersebut, kemudian
dilanjutkan ke Padang dalam rangka sana untuk menunggu Surat keputusan Gubernur
menanggapi permintaannya itu. Pertama, pada musim panas tahun 1878, menyebabkan suatu
penyelidikan dengan hasil tertentu. Kemudian ternyata bahwa mereka harus melakukan dengan
seorang petualang, yang pastinya masih keturunan raja Minangkabau, terletak di satu cabang di
Kuantan, tapi tidak bisa mendukung. kelas sedemikian sana ia kemudian mengklaim haknya.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk meangkah lebih jauh dengan Alam
Duni, dan lantas meninggalkannya, dan ini, adalah kesempatan untuk pergi ke Singapura,
kembali dari mana ia datang. Pada tahun 1877, berdasarkan berita dari Singapura, di Padang
diketahui bahwa Tuanku Nong Klana, mengkalim Reteh atau Mandah (yang milik Residensi
Riouw) resmi dibawah Sultan Lingga, orang –orang ini nampaknya benar-benar membawa
Kuantan dalam posisi sulit. Mungkin orang ini adalah sama dengan Mohamad Noer atau Noeng,
dimana pada tahun 1874 ia mengaku menjadi Raja Riouw, dengan hasil tibanya 40 orang
bersenjata, yang seperti dikatakannya dari Pulau Lawan menuju Kuantan, akan tetapi, sejak
tahun 1874 itu, Mohamad Nung tidak lagi terdengar oleh Dewan pemerintahan di Padang.
Nijhorf, hal 170-171.
pangeran dari negeri Kuantan. Kedua belah pihak tidak bersepakat, jadi
akhirnya Datuk Sireno mengatakan kepada Yang dipertuan: “Setelah
kematian Anda, tidak ada raja ditetapkan”.
Segera setelah kematian ayahnya, Raja Abdullah mengklaim dirinya dengan
gelar Yang di pertuan Putih atau Raja Besar. Sebagai raja, ia memperoleh
dukungan di negeri dimana ia bermukim; Basarah. Lanskap IV Kota di Hilir
adalah kuncinya dan akan segera bergabung dengannya, meskipun oposisi
dari beberapa orang yang memiliki keluhan pribadi, Datuk Salo Batang dan
Panghulu Sati di Inuman, Nakhoda Bujang dan Ampanglima Maliem di
Ceranti. Akan tetapi V Kota di Tengah dan IX kota di mudik menolak untuk
mengakuinya. Pada tanggal 30 April 1879, Asisten Residen Riouw Stakman
berkata tentangnya:
“Dia adalah seseorang yang memperhatikan pertanian dan orang
yang tepat dalam melindungi keselamatan jiwa dan harta benda.”
Tuduhan atau dugaan terhadap dirinya sebagai pelaku pembunuhan, juga
tidak akan berlaku seperti itu, tetapi sebaliknya, perbuatan tersebut harus
dilihat sebagai penjatuhan hukuman atas sebuah kejahatan yang telah
dilakukan, meskipun sebelumnya dianggap apakah hukuman ini sepenuhnya
sesuai dengan hukum konstitusional yang ada. Selain itu, tidak selalu denda
yang adil ditetapkan atas pelanggaran kecil, dan nampaknya untuk
memaksakan keuntungan mereka sendiri. Meskipun demikian, para pedagang
Indragiri tidak mengeluh tentang obstruksi perdagangan tersebut. Menurut
pernyataan Datuk Bandar dari Rengat bahwa Raja Besar tidak ada memiliki
hak pada pengenaan bea impor-ekspor barang, hal ini mengacu pada apa
yang dilakukan oleh Rengat. Ditegaskan juga oleh pernyataan pedagang
Indragiri, Raja Dayub, yang baru delapan bulan itu Basarah telah
menghentikannya dan terdapat beban atas garam dan kargo yang telah
dibawa, tanpa ada kewajiban untuk membayarnya. Selama masa
kunjungannya, semua pedagang, membawa barang-barang ke pedalaman.
Kasus ini. oleh orang lain, dan termasuk orang-orang dari distrik Kuantan, hal
ini harus dikonfirmasi. Karena itulah sungai ini tidak ditutup, dan hanya agak
terhambat oleh seroh yang diposisikan di dalamnya untuk menangkap ikan.
Raja Besar memiliki Orang Gadang dan panghulu dari IV Kota, Raja berulang
kali mengundang untuk memilih, baik Raja Hitam atau Raja Hassan dan siapa
pun juga, menyatakan bahwa ia menjadi pilihan pertama untuk menghormati
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
329
404Sebagaimana
yang dikatakan oleh informan IJzerman, Toean Toea.
405 Ijzerman:hal.72
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
330
407Lihat Koloniaal Verslag Tahun 1881, berita wafatnya salah satu Pangeran Pagaruyung yang
juga salah satu tokoh Perang Padri, berita yang diterima bulan Juli 1881.
Pencalonan Raja Hitam sudah lama tidak lagi eksis; ia adalah seorang pria
gemuk ramah dan tetap bersama adiknya seorang pendukung yang setia;
sampai pada kematiannya di tahun 1888. Pada bulan Juli 1881 Datuk Sireno
dan Angku Kali Raja meminta untuk terakhir kalinya, agar Datuk Paduka Sutan
dari Sijunjung mencampuri apa yang menjadi rencana Belanda mengenai
distrik Kuantan. Sudah tiga kali mereka diundang ke Indragiri untuk bersama-
sama dengan dewan di sana membuat suatu hubungan. Pemerintah Indragiri
dalam hal ini tentu saja tidak dapat berbuat, sebab mereka berada di luar
permainan. Namun ada beberapa kesepahaman dengan para pengungsi
untuk daerah tersebut, yang tidak terhindar dari upaya untuk membantu
pihak asing, juga Raja Besar dengan otoritas sepenuhnya; jika memungkinkan
akan menggulingkannya. Surat ini juga masih belum terjawab. Dari
pemerintah nampaknya juga telah tidak ada harapan lagi.
Perlahan tapi pasti, semakin dekat saja dimana tahta Taluk akan
segera berada di pangkuan Raja Besar.
Pada awal 1882, Pemerintah Hindia memandang bahwa sikap Sutan Indragiri
yang lemah dan ambigu dari merampungkan persoalan jalur sungai untuk
semua impor dan ekspor oleh angkatan laut Belanda, mengakibatkan tidak
stabilnya tingkat perdagangan di Kwantanlanden, harga Garam naik sangat
tinggi dalam waktu singkat. Menurut Koloniaal Verslag tahun 1883,
dinyatakan sebagai berikut:
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
333
408
IJzerman, hal 77, Koloniaal Verslag tahun 1883
409
Informan IJzerman, Datoek Bandara Goenoeng mengungkapnya dengan kata: “Lampu
dipadamkan, Batang kayu itu patah.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
334
Harapan bahwa pada saat itu, Raja Besar akan memperkuat otoritasnya
nampaknya tidak terpenuhi. Sebaliknya, tampak pengaruhnya jauh lebih
sedikit dibandingkan pada masa sebelumnya. Tampilan kekuasaannya
terbatas pada Basarah dan bahkan ia terlihat lebih ditakuti daripada dicintai.
Iritabilitas-nya, tampaknya tidak akan berkurang, beberapa tahun kemudian
seorang pria yang ia dicurigai memiliki hubungan dengan salah satu selirnya,
dengan tangannya sendiri dibunuhnya. Ia menganggap hidupnya tidak aman,
dan selalu berada dalam kerumunan pengawalan orang bersenjata di
sekelilingnya.
“Akan tetapi semangat perlawanan Datuk Sireno tidaklah mati, ia
merupakan kharakter orang-orang Kuantan.”
Pada tahun 1886 ketidakpuasan di Basarah ditekan dengan kekerasan. Pada
kesempatan ini, salah satu dari kepala suku pengikut sang pangeran, tewas
atas perintah saudaranya, Hassan. Orang Gadang dari Ceranti menolak
panggilan ke Basarah untuk datang dan menindaklanjuti kasus tersebut. Di V
Kota terdapat satu pihak oposisi yang melawan kebijakannya, bahkan dihulu-
Kariet terdapat ancaman untuk membunuhnya410.
Begitulah kondisi di “Kwantan-landen,” bentuk hubungan antara raja
dan pihak-pihak lain di masyarakatnya.
Kemudian di babak kedua pada tahun 1890, dimana perundingan tentang
eksplorasi kembali dibuka. Memang demikian bahwa peristiwa yang terjadi
merupakan pengulangan kejadian pada apa yang telah terjadi di tahun 1872.
Dewan menyatakan kesepakatan atas suatu rencana, atau lagi-lagi
mengisyaratkan kepada pemerintah Hindia untuk kembali mengeluarkan
“kebijakan pantang411.”Taluk, mengacu pada salah satu misi Gubernur,
bahwa tindakan penjajah seperti yang diinginkan pada saat itu,
Bahwa kepada Yang di Pertuan Basarah bukanlah untuk suatu
ketaatan, melainkan untuk di dikte.
410 Untuk hal ini, IJzerman mengatakan, “mengherankan bahwa dia terus saja mengharapkan
pada campur tangan Pemerintah, bahwa ia cenderung agar kita mengakui kedaulatannya, dan
dengan demikian haruskah menghormati mereka?”
411 Pemerintah Kolonial melakukan “blokade” terhadap Kwantanlanden, terutama hubungannya
412
Pemerintah Kolonial mencatat bahwa Datuk Sinaro nan Putih merupakan salah seorang
pemimpin perlawanan terhadap penguasa Kolonial dari Taluk, ia didukung oleh aliansi hulu yang
dikatakan oleh sumber-sumber kolonial terlibat dalam beberapa gerakan pembunuhan dan
penjarahan; bersama-sama dengan Datoek Maharadja yang diduga terlibat atas terbunuhnya
anggota ekspedisi IJzerman, van Raalten.
413 IJzerman, hal.79
414 Kielstra, 1915
Pada tahun 1901, Yang dipertuan wafat, yang juga meninggalkan persoalan
tidak terpenuhinya suara bulat (konsensus) diantara lima kepala lanskap
tentang pilihan siapa penggantinya417. Yang paling berpengaruh,
mengambilnya pada tahun 1904, suatu gelar, akan tetapi bagi pemerintah
Hindia, gelar ini sebenarnya tidak lebih dari kepala distrik saja. Sebelumnya di
bulan Oktober 1901, kembali orang dari Kuantan datang menghadap Residen
Riau, menyebut dirinya utusan dari lima kepala lanskap, dengan permintaan
yang sama, tetapi mereka dianggap oleh pemerintah disana tidak “legitimate”
dan dengan demikian kembali dengan tangan kosong.418
Terjadinya persoalan politik-internal di rantau Kuantan, terutama rivalitas
antara Raja Hassan dan Raja Begab, serta masalah lintas-batas merupakan
dua hal yang menonjol di awal abad ke-20 di lanskap tersebut. Sebagaimana
diketahui, bahwa para narapidana ataupun kuli kontrak pelarian menemukan
distrik merdeka (Kuantan, juga IX Kota-Padang Tarab) sebagai wilayah
“suaka” bagi mereka, dimana mereka akan aman dari penuntutan lebih lanjut
dari hukum Hindia. Hal ini logis, disebabkan mereka tentu mencari wilayah
yang berada diluar yuridiksi penahannya. Akan tetapi kondisi ini,
menimbulkan gesekan yang lebih tajam antara penguasa distrik merdeka
Kuantan dengan Pemerintah Kolonial. Kondisi tersebut dari pemberitaan yang
gencar di kalangan pers kolonial tentang wilayah suaka tersebut. Seperti
pemberitaan Sebuah pers Kolonial, "Java bode" , tanggal 13 Mei 1903 dalam
sebuah artikelnya “Sumatra Onder Rechstreek Bestuur”, menuliskan tentang
perlunya kebijakan aneksasi (pencaplokan-wiayah) terhadap Kwantan-
ditsricten. Lebih jauh dikatakan, “saat ini, ... bahwa penguasa Kuantan-akan
menemukan akhir dari kesabaran pemerintah Hindia Belanda.” Nampaknya
ini juga bersumber dari apa yang ditemukan dan terjadi pada rombongan
ekspedisi IJzerman, seperti Laporan IJzerman yang dikutip oleh media
tersebut yang mengatakan bahwa kawasan merdeka menjadi tempat bagi
tahanan pelarian maupun kuli-kontrak mencari “suaka.” 419. Selain itu, sebuah
dan sekaligus ini menandakan permusuhan dengan Ongku-Sutan, Raja Hasan menduga dia bisa
mengendalikan seluruh kekuatan di Rantau-Kuantan. Ternyata, selain itu juga terdapat
perselisihan antara Ongku-Sutan dengan Raja Hasan tentang hak setiap orang Kuantan, yang
meninggalkan tanah kelahirannya dan hak untuk menjual garam dari Indragiri. Akibatnya,bahwa
di Baserah tempat kediaman Raja Hasan; dan di Teluk Pau tempat keberadaan Ongku-Sutan, tol
dikenakan (tol geheven werd); situasi tetap begitu sampai awal tahun 1904, hingga Ketika Raja
Hasan dipaksa mengakui supremasi Ongku Sutan dengan aksi bersenjata;
418 Koloniaal Verslag, 1902/1903
419
Semasa ekspedisi di Kwantan Landen, IJzerman mendatangi suatu kontes Sabung Ayam,
dimana terdapat sekitar 50 orang pejudi disana. Dikatakannya, “Perantau dan sampah bangsa
kita datang ke sini bersama-sama, sekelompok bandit. Yang paling menonjol adalah bahwa
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
338
tahun yang lalu beberapa orang melarikan diri dari ikatan kerjanya. Distrik merdeka berfungsi
sebagai tong sampah Pemerintah. Itu adalah cara di mana kita berkontribusi untuk peradaban
dan pengembangan daerah-daerah!” IJzerman, hal.104.
420 Lihat "De Sumatra post, tertanggal 27 Mei 1903, Sumatra onder rechtstreeksch bestuur:
“...Taluk lagi, sebuah kekurangajaran dengan nada yang menantang, negeri lainnya juga
bergabung dan mengirimkan pesan bahwa Eropa tidak akan diterima, setidaknya dalam wilayah
Taluk. Apakah jawaban yang akan diberikan oleh Pemerintah Hindia yang perkasa terhadap
beberapa “bajingan kampong” itu bertentangan dengan kedaulatan mereka?
421
Lihat Algemeen Handelsblad, 23 Mei 1905, dalam “Onze Oost: Kwantan Districten.”,
sebagaimana terdapat dalam Middle burgsche courant: “Oost-Indië”, 5 agustus 1905
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
339
Dan bagi Penjajah, hal itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa
pemerintah Hindia tidak lagi ditakuti disana (Kuantan), dan diperlukan
setiap upaya (bahkan ekspedisi militer) untuk mempertahankan
kehormatannya, ketertiban dan perdamaian dalam kehidupan di tanah
jajahan!
422
Berita bertajuk “Vrijwillige onderwerping”, tanggal 3 Juli 1905
423
Bahwa Gubernur Jendral memerintahkan O’Brien untuk mengumpulkan informasi, tidak hanya
lanskap Kampar Kiri, melainkan juga meliputi Rokan dan Kuantan. Selain itu, dengan konsultasi
kepada Residen Pantai Timur Sumatra, O’Brien juga ditugaskan untuk menyiapkan suatu bahan
bagi pergerakan pasukan guna penegakan keamanan dan ketertiban negeri-negeri di pedalaman:
dilihat dalam Algemeenhandelsblad, tanggal 10 Agustus 1905.
424 O’Brien, hal.996-1003.
memakan waktu hingga 2 jam. Saat itu hari jumat, dan di Pangean
bertepatan dengan hari Pasar (pasar-dag), Sesaat terjadi “kekacauan-kecil” di
pasar ketika para perempuan melihat pengawal O’Brien, polisi bersenjata
tiba, dan mereka melarikan diri sambil berseru,
“Kompeni–datang! Kompeni datang!” (Compagnie komt);
akan tetapi, tidak ada hal-hal serius yang terjadi. Setelah istirahat sejenak di
Pangean disebuah Lapau (kedai) yang dimiliki seorang haji dari Priaman,
O’Brien melanjutkan misinya dengan berjalan kaki melewati sepanjang tepi
kiri Batang - Kuantan , termasuk juga Tanah - Bakali dengan perahu yang
panjangnya sekitar 20 meter yang dapat ditumpangi hingga sekitar 30 orang,
maka, di Batang Kuantan itulah ditempuh perjalanan hingga empat jam
lamanya untuk mencapai Basarah. O’Brien, setibanya di tempat Raja,
menggambarkan peristiwa tersebut.
Halaman depan Raja yang luas dipenuhi dengan orang bersenjata. Di
pintu gerbang, berdiri seorang Melayu berjubah hitam dengan medali
perunggu dan ekspedisi lintas Aceh, dengan dua gesper di dada.......
Lalu ia mendekat dan mengambil posisi berdiri di dekat saya. Para
kerabat: laki-laki muda dari Raja datang menemui saya dan
mengantar saya ke balai - penghadapan (balairung), sebuah bangunan
kayu persegi dengan Atap tertutup yang memuncak berbentuk persegi
di tengahnya, disana, terdapat dua kursi. Raja sudah ada dibalai,
kemudian menyambut di tangga dan lalu mengajak saya ke lantai
atas. Di sanalah kami duduk saling berhadapan, terbuka dihadapan
kerumunan. Saya lelah dan kotor setelah berjalan melalui hutan dan
lumpur; sementara Raja terlihat gugup dengan celana hitamnya khas
Kampong, bertelanjang kaki, dengan jubah hitam dengan bahagian
depan setengah terbuka, sehingga gagang kerisnya terlihat keluar, dan
juga penutup kepala berwarna hitam dengan garis emas yang luas.
Pembicaraan dengan raja pagi dimulai hari Sabtu, tanggal 5 Agustus pukul 9
pagi dirumah raja. Sekarang ini adalah raja dengan para kerabatnya, seorang
sepuh yang telah disebutkan sebagai Manti-Raja, kepala Tanah Darat, dan
beberapa Penghulu itu (kepala kampung) dari Basarah dan Pangean. Secara
umum diasumsikan bahwa distrik Kuantan berada di bawah Raja Basarah dan
lima orang Gadang (orang besar), namun nampaknya, bahwa saat itu Raja
Hasan - memang hanya diakui dan dipatuhi oleh inuman, Basarah dan
Pangean.
Kepala ini memiliki tiga negeri, bersama dengan Tanah Darat, menyatakan
secara tertulis untuk mematuhi peraturan, dan Raja menyerahkan
sepenuhnya kepada O’Brien. Akan tetapi, penguasa V kota Taluk menolak
hadir di Basarah untuk menemui O’Brien, meski disana berlangsung negosiasi
substansial mengenai konsepsi dan pengembalian khusus para desertir dari
Indragiri, yakni para narapidana yang melarikan diri. Raja bersumpah bahwa,
apa yang diinginkan oleh pemerintah gubernemen tersebut, tidak satupun
yang berada di wilayahnya yang meliputi negeri: Inuman, Basarah dan
Pangean. Meskipun demikian, pada kesempatan itu dinyatakan kembali
olehnya bahwa penghulu mereka akan melakukan upaya untuk mencari
yuridiksi yang mencakup wilayah Tanah Darat. Namun sang Raja
menginginkan keterangan tertulis dari O’Brien, yang kelak jika pemerintah
Hindia berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan pihak oposisi - disertir,
dan dari pihak pemerintah itu ada yang terluka atau terbunuh, bahwa
pemerintah gubernemen tidak akan menuntutnya dengan harga darah
(pampas atau dando). Pernyataan yang diminta Raja tersebut, kemudian
diberikan oleh O’Brien. Dari informasi yang ada, tidak ditempat lainnya, para
desertir tersebut terutama menghuni V kota Taluk, V kota ditengah (federasi
Lubuk-Jambi), dan Federasi Lubuk-Ambacang, khususnya di Kota Tuo, bahkan
di hilir Lubuk Ambacang terdapat para disertir, seperti halnya Angku-Kuning
sebagai eks perang sipil di Singingi, selain itu, terdapat sekitar 20 kk orang-
orang Jambi yang oleh Angku Kuning ditempatkan di Kota Tuo dan Sarasah.
Pada hari Senin, 7 Agustus O’Brien kembali menuju Gunung Sahilan dengan
cara yang sama seperti yang saat dia pergi, dikawal oleh anak-anak dan
keponakan dari Raja hingga ke Pangean, dilanjutkan oleh kepala Pangean
sampai Perhentian Lawas, dan kemudian selanjutnya oleh kepala Tanah
Darat. Menurut O’Brien, Kepala Tanah Darat mengatakan kepadanya akan
mengikuti rencana dari pemerintah, sedangkan Raja-Hasan telah
menunjukkan bahwa Tanah-Darat, berada di bawah kewenangannya.
Ekspedisi militer
Terhadap Rantau Kuantan
425 Menurut Algemeen Oost-Indië. Tertanggal 5 agustus 1905, Middle Burgsche Courant
menyebutkan bahwa Raja Basarah dari Rantau Kuantan, mengharapkan negosiasi untuk
penyerahan dan jaminan keselamatan. Kondisi ini disikapi dengan suatu persiapan proses
aneksasi dan resolusi damai. Kwantan sebagaimana telah beberapa kali disampaikan surat
tentang kawasannya yang menjadi penampungan narapidana pelarian, namun dengan hasil yang
tidak memuaskan; bahwa permintaan ekstradisi bagi Narapidana dan pelarian hingga batas
waktu yang ditetapkan tidak dipenuhi...Akan tetapi, Raja sekarang cenderung untuk bekerja sama
dan mencari solusi dari masalah yang ada...
426
Realita bahwa Pemerintah penjajah sejak September 1905 telah mempersiapkan sebuah
konvoi militer kecil menuju Kuantan, seperti perwira infantri dan serdadu bayonet dari Riouw,
juga juga petugas medis dari Siak (berita 23 September 1905), bahkan menurut berita yang lain,
ekspedisi militer itu sendiri, memang telah dirancang untuk menguasai seluruh kawasan
Sumatera Tengah secara bertahap, berita bertajuk “Een nieuwe expeditie”, tanggal 4 januari
1903.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
344
427
Pada tanggal 11 oktober 1905 nampaknya pertahanan Taloek telah dipatahkan, dan pada
bulan November ditempatkan semua yang tersisa dari Kwantan dengan Korte Verklaaring
(pernyataan singkat), yang bersama-sama dengan orang-orang dari Raja Hasan dari IV Kota di Ilir,
disetujui dan diratifikasi oleh Pemerintah tanggal 13 Maret 1900 No.142. Yang terakhir dilakukan
pada tanggal 21 November deklarasi pengajuan yang tercantum di sini, Onderafdeeling
Sidjoendjoeng batas-batas lanskap V Kota dengan Padang Tarab dan IV Kota ketika Gouv telah
disebutkan . Bt . 13 Maret 1900 no24 . Kebijakan penutupan negeri Kwantan sendiri dihapuskan
oleh Staatblad 1905 Nomor 576 tanggal 21 November 1905.
428 Sebagaimana diketahui, pemimpin perlawanan dari Lubuk Jambi adalah Tuanku nan Elok,
adapun Datuk Sinaro Putih untuk Taluk. Pemerintah Kolonial, nampaknya juga memburu Datuk
Maharaja, yang diduga terlibat atas tewasnya Van Raalten, anggota ekspedisi IJzerman; sejumlah
50-an orang disertir ditangkap, sebagaimana diberitakan tanggal 20 November 1905.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
345
429 Algemeen Handelsblad, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
346
tengah, teman kecil kita yang tenang, sesama serdadu sejak tiga hari
yang lalu... bergerak dengan antusias dan mereka mengisi sekitar 200
stapler di sungai Kwantan yang luas bergemuruh.... Ini telah berakhir.
Tanggal 16 Oktober, hari itu diterima telegram bahwa empat brigade
Marsosse akan bergerak meninggalkan Padang Panjang, dan Kapten
Bense, akan dilelahkan disebabkan kapasitasnya sebagai pemimpin
harus segera bertindak, tidak hanya sebagai pemimpin militer
melainkan juga sebagai pemimpin sipil Kwantan. Untuk mendukung
kepemimpinan militer dan sipil Kwantan, adalah Kontrolir Hondius
Van Herwerden ditambahkan ke jajaran perwira staf ini. Pesan untuk
tetap mempertahankan detasemen Riouw di bawah wilayah tersebut,
terlihat bahwa komando Militer Riouw berdiri.
Tanggal 20 Oktober tibalah Kapten Bense, juga kapten Berenschot dan
sepasukan Brigade Marsosse. hari berikutnya, dua brigade di bawah
letnan Wasterval - Sementara itu Kapten Bense, melakukan
pengaturan sebagai berikut:
Letnan Holtappel, dengan detasemen nya ditempatkan di IX Kota dan
Padang-Tarap. Letnan Jas dengan detasemen yang menjadi bagian dari
Letnan Nobele, yang berbasis di Loeboek Djambi, sementara Letnan
van Schelven dari penambahan brigade Marsosse ....
Tiga komandan ini telah bertindak sebagai penguasa sipil sementara,
dengan kantor pusat yang terletak di Taluk.
Tanggal 22 Oktober detasemen melakukan pergerakan sejauh yang
telah direncanakan dan diperlukan, mereka memulainya dengan
orang-orang Kuantan, seperti; "Penyerahan senjata, pendataan,
pembangunan jalan, membersihkan rumah dan pekarangannya.....
Sementara investigasi seksama dilakukan terhadap pengungsi dan
buruh paksa. Tuanku-nan-Elok melarikan diri ke Lubuk Jambi. Haji
Jabur dan Datuk Simaraja ditangkap oleh Detasemen Riouw,
sementara Datuk Senaro Putih, memegang perlawanan di Taluk,
patroli mengejarnya kesana hingga keluar dari wilayah Indragiri..
Semua daftar buronan sekarang berada di tangan kita; mereka tentu
akan mencari kesempatan untuk mengobarkan berbagai hasutan dan
menjadi resistensi untuk waktu yang lama. Saya tambahkan sekarang,
oleh patroli, ratusan desertir dan kuli kontrak kerja ditangkap...
430 Berita Tanggal 13 November 1905; “Kwantan Districten”: “Catatan Komandan SCHRODEER.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
348
8
Negeri dalam Transisi
Pada bahagian ini akan dibahas Kuantan dan Bagansiapiapi, sebagai negeri
yang mewakili darat–pesisir. Kuantan dihadirkan sebagai representasi negeri
darat. Bahwa, lokasinya yang berada di sumbu perlintasan dataran tinggi –
pesisir semenjak era Hindu Budha, dan indikasi perubahan pada bangunan
supra sebagaimana ditangkap oleh para ahli menjelang tutup milenium ke-2,
membuat tidak adanya alasan untuk tidak menampilkannya dalam konteks
darat – pesisir di Riau Daratan. Kemudian, Bagansiapiapi yang berlokasi di
muara sungai Rokan yang mulai tumbuh pesat diakhir abad ke-19, segera saja
menarik pusat perekonomian dari hulunya di Tanah Putih. Sebagai wilayah
dependensi Siak, Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan dari
tiga sub distrik di hilir sungai Rokan yang kesemuanya juga merupakan
dependensi Siak. Belanda nampaknya berhasil menjadikan Bagansiapiapi
tidak hanya sebagai “tambang emas kecil” bagi kas Hindia, juga menjadikan
kawasan ini sebagai yang terdepan semenjak era pra-kolonial. Meskipun saat
kejayaannya mayoritas penduduk kota adalah nelayan Cina, akan tetapi
merupakan bahagian dari politi lokal melalui hak-hak tradisional hingga
Belanda tiba “menggantikannya” sebagai pemilik hak sewa. Signifikansi
ditampilkannya Bagansiapiapi adalah bahwa kota ini semenjak era Hindia
merupakan pertemuan aktif berbagai aktifitas ekonomi yang juga melibatkan
puak-puak Melayu dari tiga politi kuno: Tanah Putih, Kubu dan Bangko, juga
politi disepanjang pesisir timur dan pedalaman. Letaknya yang strategis
ditepian Selat Malaka, dan begitu dinamisnya pembentukan identitas di alam
otonomi daerah.
Rantau Kuantan:
Masyarakat Melayu Negeri Hulu
kita fokuskan perhatian kepada lanskap darat yang berbatasan dengan
Sumatra westkust; distrik Kuantan. Pada masa pra-kolonial, mengacu pada
bagan silsilah kerajaan Pagaruyung yang disusun oleh IJzerman, terutama
tentang garis Yang dipertuan nan Putih dan saudaranya; Raja di Buo;
Kontrolir Schwartz ada menyebutkan beberapa pangeran, dan bahwa Yang
dipertuan Putih-lah yang disebutkannya memiliki otoritas di Rantau Kuantan.
Beberapa pihak menyebutnya Yang di Pertuan Panjang Lutut sebagai raja
yang pertama, yang lainnya lagi menyebutkan; Yang dipertuan Tunggul.
Terdapat juga pendapat menyatakan bahwa Tahta Raja Beniang
diperselisihkan oleh adiknya, dan bahwa ia, telah didorong oleh mereka
untuk berpindah ke Lubuk Tarab; Lebih lanjut dikatakan bahwa Yang
dipertuan Tunggul atau keturunannya adalah pangeran Minangkabau, akan
tetapi, ia tidak pernah menjadi penguasa di negeri Kuantan. Berkembang
dugaan bahwa, nampaknya negeri di perbatasan eks Pagaruyung ini,
kekalahan Padri diikuti dengan pembagian Rantau Kuantan dikalangan
mereka sendiri dengan hasilnya; yang pertama adalah Yang dipertuan Putih,
dimana ia berhasil diakui sebagai Raja yang berdaulat. Diberitakan bahwa
pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui Residen Dataran Tinggi
Padang; yaitu Steinmetz, dengan membawa serta surat dari Yang dipertuan
Putih, sebagai raja Kuantan di mana ia meminta dibukanya suatu hubungan
dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael menduga bahwa
permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan Sultan Indragiri,
yang saat itu sebagaimana dilaporkan oleh Residen Palembang, permintaan
ini disertai dengan tibanya anak Yang dipertuan. Sang Residen menerima
permintaan ini secara tertulis tentang pembukaan negosiasi antara Hindia
Belanda dengan Kuantan dan Indragiri. Persoalan dengan Indragiri, Belanda
menganggap telah diselesaikan pada bulan September tahun itu juga, akan
tetapi, tidak halnya dengan rantau Kuantan. Bahwa hingga akhir abad ke-19,
belumlah diketahui bagaimana hasil kelanjutan proses hubungan tersebut
yang melibatkan beberapa generasi, meskipun sebenarnya penjajah
membayang-bayangi setiap proses dinamis terutama yang berkaitan dengan
suksesi kepemimpinan di Rantau Kuantan. Hingga akhirnya diawal abad ke-
20, sebagaimana telah disampaikan, dengan dalih bahwa para pempimpin di
rantau Kuantan tidak mengindahkan permintaan penjajah untuk
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
353
karet. Pada era kedua, dapat diingat dengan jelas sebagaimana era Kupon.
Setelah mengalami penurunan harga yang drastis dari karet selama Depresi
besar, pemerintah Belanda, Inggris, Perancis dan Siam menandatangani
Perjanjian Peraturan karet internasional pada tahun 1934 dalam rangka untuk
mengontrol produksi karet dan menstabilkan harga karet dunia. Untuk
tujuan ini pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kupon triwulanan
kepada petani kecil yang menentukan jumlah produksi karet yang
diperbolehkan dari masing-masing pemegang selama kuartal tertentu. Untuk
setiap kuartal, dealer karet hanya bisa mengekspor jumlah karet sesuai
dengan spesifikasi pada izin ekspor yang terakumulasi di tangan mereka.
Dengan demikian, kupon dipastikan membentuk pasarnya sendiri yang
terpisah, namun terkait dengan pasar karet. Penghasilan ganda dari petani
kecil dan kupon dan Kenyataan dari jual potongan kertas belaka di kalangan
petani. Salah satu dampak langsung dari booming karet adalah penghentian
migrasi keluar dari Kuantan. Tidak hanya orang berhenti bermigrasi, tetapi
juga sebahagian orang-orang yang telah pergi ke Pulau Tujuh, Semenanjung
Malaya dan di tempat lain, datang kembali ke kampung halamannya untuk
tidak tertinggal ekonomi booming karet. Pada saat itu, Kuantan pada
kenyataannya mulai menarik pendatang dari luar, terutama dari Sumatera
Barat. Minangkabau datang pada masa booming ke Kuantan terutama
sebagai penyadap, pedagang keliling dan seniman, juga sebagai guru Islam.
Beberapa orang Kuantan yang bagus kedudukan ekonomnya mulai pergi
melancong ke Sumatera Barat, yang menurut beberapa tetua Kuantan, jauh
lebih maju dalam setiap aspek kehidupan daripada Kuantan. Beberapa
diantaranya bahkan mulai menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah
Islam modernis di Sumatera Barat. Beberapa pedagang lokal menjadi kaya
oleh “babelok” ke Singapura, mengimpor barang asing seperti piring keramik,
barang logam, kaca dekoratif, botol, brankas besi, kuningan, sepeda, mesin
jahit dan gramofon. Hubungan ekonomi yang erat dengan Singapura selama
ini sebagian dapat disimpulkan dari beberapa istilah bahasa Inggris dilaporkan
digunakan di Kuantan sebelum perang, misalnya, sigaret, baisikal, stocking
daripada Rokok, Sepeda, dan Kaus kaki, yang lebih umum digunakan di Hindia
Belanda. Melihat kembali sejarah Kuantan Pra-Perang Dunia II, sangat intens
terjadi dan berlangsung terus menerus interaksi antara Kuantan dan dunia
luar dalam bidang ekonomi.
Bahwa, sungai sebagai sarana utama, maka tongkang pun ditarik oleh perahu
bermotor untuk membawa karet ke dunia luar. Sementara era tahun 1920-
1930, Belanda membangun jalan yang menghubungkan Kuantan dengan
Padang melalui Kiliran Jao. Berdirinya provinsi Riau tahun 1958 dan
pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, dengan kondisi jalan
raya yang masih minim, bagi orang Kuantan, membuat Pekanbaru menjadi
lebih jauh dari Tanjung Pinang. Bahwa Tanjung Pinang dapat dicapai dengan
mudah melalui transportasi air, sebaliknya, akan berbeda jika akan bepergian
ke Pekanbaru. Akan tetapi, ini tidak berlangsung lama. Perbaikan dan
penyempurnaan jalur transportasi yang menghubungkan dengan Pekanbaru,
program TVRI dan TV swasta, menyediakan akses yang besar bagi Kuantan
untuk menyerap homogenisasi nasional dalam ruang-ruang interaksi mereka.
Jalur jalan raya, tidak saja memudahkan hubungan dengan ibukota provinsi di
Pekanbaru, melainkan juga memperpendek jarak ke Jakarta. Dengan
demikian, Kuantan menjadi semakin terbuka untuk menerima migran yang
tidak saja dari Sumatra Barat, melainkan juga yang berasal dari Jawa.
Bagansiapiapi:
Kejayaan yang Tak Pernah Padam
433 Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas
pengumpul bea, melainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: yaitu seorang kontrolir
yang juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang juru mudi dan 6 orang awak kapal,
dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura - maka Tanah
Putih masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli
1885.
434Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,
zoodanige maatregelen te nemen, als ter verzekering eener richtige heffing noodzakelijk
zullen worden geacht.
Art.4
Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1 Januari 1886.
Kontrak ini, sebenarnya telah mengalihkan hak kewenangan para elit lokal
khususnya Siak dalam penguasaan langsung atas sumber daya. Sebagaimana
diketahui, Sultan Siak dan pembesarnya beserta para pemimpin di tiga
lanskap di hilir Rokan menerima hak-hak dari penyewaan yang dikelola
langsung oleh Siak, akan tetapi, terjadi keluhan oleh para pemimpin lokal di
tiga lanskap atas model pembahagian yang dilakukan, dan ini direkam oleh
Belanda terutama menyangkut bea impor – ekspor, cukai dan juga sewa atas
pulau-pulau. Pada tahun 1882, Mangkubumi menyerahkan hak kepada
Eropa dan atas orang China di Singapura, sementara dari sisi yang lain, situasi
ini berulangkali melahirkan keluhan, hal yang dikatakan hak sewa untuk
setiap orang Eropa, dimaksudkan oleh mereka semestinya dapat dilakukan
dengan cara yang lebih baik. Sejak kontrak ditandatangani pada saat itu,
sejumlah $400 langsung dibayarkan kepada penerima, dimana dari sejumlah
$400; Datuk Melayu Besar memperoleh 2/5 bagian atau sejumah $160, dan
tiga orang lainnya masing-masing 1/5 bagian atau sejumlah $80. Yang
pertama perolehannya sejumlah $160 atau 1/4 atau $40 lagi untuk tongkat
utamanya, Lela Raja, sehingga ia sendiri menikmati hanya sebesar $120.
Datuk Melayu Besar dikatakan seharusnya memperoleh lebih banyak, hal ini
mengingat karena ia memiliki sejumlah besar anak buah. Jumlah keluarga
punggawanya saja diduga sekitar 150 keluarga, sementara yang lainnya;
Melayu tengah dan Mesah masing-masing sekitar 25 keluarga, dan Batu
Hampar sekitar 35 keluarga. Secara keseluruhan Tanah Putih memiliki sekitar
250 keluarga, sehingga jumlah total mencapai 12-1500 jiwa.435 Sementara itu
pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah Pancong Alas,
kecuali sialang, yang sebahagian dicabut dari mereka dan digantikan dengan;
denda. Pejabat dibawahnya; Tongkat, dapat menjatuhkan hukuman dengan
tanggungan sebesar $10, dan "Datuk bisa melakukannya hingga sebesar $20.
Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk,
setengah-nya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Meskipun demikian, ia
masih harus membagi sama besar dari setengah lainnya yang umumnya
berada di bawah tongkat. Apakah ini benar, sepertinya Tongkat pun
mengeluh, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa
untuk mereka, akan tetapi, kondisi ini tidak dapat dikomunikasikan lebih jauh
lagi. Berbagai pendapatan di Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak,
permainan dadu dan pajak ekspor udang dan belacan) yang dikenakan
sebesar $600 oleh Sultan; disewakan ke orang China. Saat itu Bagan Api-Api
dengan Panipahan (di Kubu) disewakan ke orang China di Singapura sebesar
$2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji sejumlah $150 per
tahunnya untuk Datuk Bangko. Sementara di Kubu, retribusi dari beberapa
hak dimana terdapat komunitas China di Panipahan, digunakan oleh kapiten
China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, berbeda dengan
Bagan Api Api dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapura yang
diberikan untuk nilai $2800 per tahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka
sebelumnya memiliki hak untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan
sebesar 1 real($ 0,20) per pikulnya, sementara saat itu tidak hanya bahwa
hak-hak mereka telah teralihkan, bahkan tanggungan mereka sejumlah 5%
dari ikan yang ditangkap oleh penyewa pun terpaksa dilepaskan. Untuk klaim
yang satu itu, juga beserta yang lainnya, sayangnya ditolak oleh pihak Siak. 436
Berkaitan dengan implementasi kontrak 23 Juni 1884 tentang pungutan pajak
tersebut diatas, bahwa pada awalnya ditahun 1886 terjadi pembangkangan
oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah kolonial, dengan
insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas China
terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan
pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah
diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di
tanah jajahan, ada penolakan maka akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial
melakukan blokade atas jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan
ikan di Bagansiapiapi selama lima hari dengan menggunakan kapal uap
437 Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun
1909, — Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale
Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In
Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te
Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot
gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak
het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding
hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was
gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de
verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van
haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen
naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem
gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot.
438 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's
Oostkust.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
362
1500 jiwa; bandingkan dengan laporan Rijn van Alkamade Tahun 1884 yang
hanya berjumlah 1000-an jiwa di Bagan dan sejumlah lainnya di Panipahan
dan Tanah Putih), dimana sebagian besar dari mereka didorong untuk
melakukan penangkapan ikan. Bahwa pesatnya arus migran China yang
bergerak dibidang perikanan dan panglong di Bagansiapiapi, selain
disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan Rijksgrooten
Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah
Putih, melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan
Panglong China disana, mengajak mereka untuk bermigrasi menuju
Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang bagus. Dan hasilnya,
dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya
bermigrasi ke Bagansiapiapi.439
Meskipun perkembangan perkebunan dengan modal Eropa di pedalaman
menunjukkan peningkatan – bahwa di tahun 1895 tercatat sejumlah tujuh
belas perusahaan Eropa pemegang konsesi perkebunan di Tanah Putih,
sayangnya, ditahun 1892, setelah dilakukan pengujian penanaman Tembakau
yang hasilnya ternyata tidak memuaskan, beberapa perusahaan yang sudah
didirikan terpaksa ditutup. Kisah perkebunan komersil nampaknya berlanjut
dengan pengembangan tanaman karet. Meskipun demikian, dengan
pertimbangan untuk memudahkan urusan penanganan bea, maka, kontrolir
yang semula di tahun 1885 ditempatkan di Tanah Putih, direncanakan
dipindahkan ke Bagansiapiapi yang dimulai pada tahun 1894. Segera, segenap
struktur pemerintahan Hindia, bermukim dan memulai serangkaian
kebijakannya; mulai dari infrastruktur pemerintahan sendiri, hingga hal-hal
yang mendukung industri yang pada akhirnya, juga ikut mendorong
perkembangan, dari kampung Bagansiapiapi menuju “kota kecil nelayan” di
muara sungai Rokan. Seperti tercatat dalam Staatsblad 1894 No.93440
kemudian No. 94, Onderafdeeling Tanah Poetih rencananya dipindahkan ke
439 Dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tengku Mangkubumi, dalam “Sultan van
Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899.
440
“Sedert ingevolge Stbl.1894 No.93 ook in de landschappen Banka en Koeboe de heffing van in
– en uitvoerrechten in onze handen gekomen is, en bij die gelegenheid de standplaat van den
controleur verlegd is van Tanah Poetih naar Bagan Api Api, hebben de zaken aldaar en in de
overage Chineesche nederzettingen langs de kust een veel geregelder verloop”; dilihat dalam
Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen,
voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van
Sumatra. [1874—1906].
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
363
KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
364
443 Pada catatan lainnya tertulis “Zainal Abidin” adalah Raja Tambusai, sebagaimana terdapat
dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, Tahun 1896, hal.374. Zainal Abidin dalam salah
satu riwayat dikisahkan berupaya untuk membangun kembali kerajaan Rokan yang meliputi
wilayah hulu Rokan hingga hilir, akan tetapi untuk wilayah ini sebagaimana diketahui telah masuk
kedalam wilayah Kerajaan Siak, sehingga terjadi gesekan antara Zainal Abidin dengan penguasa
Kerajaan Siak yang nampaknya juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial dengan politik
devide et impera (pecah dan kuasailah). lihat Lintasan Sejarah Rokan, Wan Saleh Tamin, tahun
1972;
444
UTRECHTS NIEUWSBLAD, 30 April 1897, hal.5
445 Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae.
Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar
napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan
lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh:
J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier
Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari
Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan
ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api
Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih
dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut.
446 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling
Bagansiapiapi, 1925.
447
Vleming, Het Chineesche Zakenleven in Nederland-Indid, 1926
448 Menurut riwayat awalnya kedatangan orang China ke Bagansiapiapi berjumlah 18(delapan
belas) orang China bermarga “Ang” yang terdiri dari 17(tujuhbelas) orang laki-laki dan 1(satu)
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
365
Tongkang berlayar dari negeri asal yang pada awal mulanya mereka para
pelaut ini setelah terombang-ambing di lautan lepas menyusuri muara Rokan
dengan melihat pada nyala cahaya atau api, tibalah akhirnya di pantai, dan
memulai mendirikan pemukiman yang sekarang dikenal dengan
Bagansiapiapi. Hingga Tahun 1880-an, seperti dicatat oleh Van Rijn van
Alkemade, jumlah penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa,
yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki China. Menetapnya pemukim
China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui
Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan lingkungan pemukiman
untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana pada wilayah
Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat,
Bagan Api-Api, Tanah Putih dan Panipahan sebagai lingkungan pemukiman
orang China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana
ditetapkan dalam Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662.
Halnya sebagai newcomers, para pemukim China mulai berinteraksi dengan
penduduk tempatan, yakni orang Melayu, terutama dalam hal penangkapan
ikan. Orang China mengamati penangkapan ikan yang dilakukan oleh
penduduk setempat dan mencobanya, ternyata memperoleh hasil yang
banyak. Sehingga mereka memutuskan untuk menetap dan mengembangkan
teknologi penangkapan ikan, menjadi seperti yang dikenal saat industri
perikanan telah mengemuka. Dengan teknologi yang telah dikembangkan
sedemikian rupa, menghasilkan kelimpahan hasil ikan yang selanjutnya
mempengaruhi perekonomian pemukim, dan merupakan berita baik untuk
kerabat di negeri asal. Sehingga, seperti peribahasa “ada gula ada semut,”
maka arus migran China untuk bermukim di Bagansiapiapi merupakan realita
yang tidak terelakkan. Kondisi tersebut nampak jelas pada statistik, dimana
pada sensus penduduk yang dilakukan pemerintah kolonial tahun 1920
penduduk Bagansiapiapi berjumlah hingga 11.000-an jiwa. Adapun Sensus
Penduduk tahun 1930, sejumlah 15.000-an jiwa, data dari J.A. Van Rijn van
orang perempuan; Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia,
Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cia Tjua,
Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui (nama-nama ini dilihat
dalam tulisan Sudarno Mahyudin, “Sejarah Perguruan Wahidin” pada www.iapw.info Tahun
2008. Dari tiga kapal yang berlayar, dua buah kapal tenggelam dan hanya satu yang berhasil
berlabuh di Bagansiapiapi. Diperkirakan orang China di Bagansiapiapi berasal dari Provinsi Tan
Hai dan Amoy - China
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
366
449
Dilihat dalam artikel “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode
Kolonial, oleh Edi Sumarno, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006.
450 Bahwa bagi pemerintah Hindia, Bagansiapiapi tetap merupakan terbesar dengan produksi
mencapai lebih 30.000.000 Kg pertahunnya, hal ini disebabkan peringkat pertama yang dikatakan
sebagai Bergen-Norwegia, berlangsung hanya semusim dalam setahun, berbeda dengan
Bagansiapiapi yang tidak mengenal musim.
451 Ide ini berasal dari Ny.Marjati Pratomo, kontak pribadi tahun 2013.
negara telah membawa kembali lanskap di pesisir timur ini pada level
penguatan ulang sumber daya, identitas dan juga orientasi.
yang muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1978; buku tahunan ketika
Timor Timur dimasukkan ke Indonesia dan saat ini batas nasional Republik
Indonesia sudah final.452 Sebagaimana kita lihat, bahwa negara akhirnya
bertransisi dengan keleluasaan lebih kepada daerah dengan kebijakan
otonomi daerah di tahun 1999.
Perjalanan sejarah yang cukup sarat dengan intervensi, penetrasi, kooptasi
eksternal, menjadikan setiap entitas di Riau Daratan melakukan strategi
adaptif terhadap perubahan lingkungan yang bermula sejak lebih separuh
milenium lalu, sebagaimana digambarkan Leonard Y.Andaya, persaingan
dalam memperebutkan akses terhadap sumber daya perdagangan di Selat
Melaka, telah berdampak logis pada pembentukan kharakter dua kutub yang
lambat laun semakin tegas perbedaannya, dan semakin jelas keterpisahannya
diabad ke-16 dan 17. Perubahan-perubahan sosial ini, terefleksi dan terpola
pada keruangan Riau Daratan; sebagai ruang interaksi dua kutub tersebut,
dan menarik Suku-suku Asli dalam percaturan kompetisi antar keduanya. Silih
berganti, pengaruh salah satu kubu mendominasi. Mengacu pada
pemeriksaan atas entitas darat – pesisir yang terlihat dipengaruhi dua kutub;
Minangkabau dan Melayu, sebagaimana digambarkan oleh para sarjana
Eropa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah terdikhotomi dengan
batas-batas tatanan kekerabatan yang seringkali bertumpang tindih dengan
batas-batas politis; kesamaan yang ditemui, barangkali adalah kesamaan
pengidentifikasian pada batas yang menjadi tema kita; darat dan pesisir.
Darat, yang mewakili pengaruh politi Pagaruyung dipegunungan, dengan
kekerabatan matrilineal dan adat kemenakan, menunjukkan jejaknya dalam
adat yang terpelihara dikalangan masyarakat pedalaman, sebaliknya, pesisir
sebagai eks perluasan wilayah Melaka-Johor di semenanjung, masyarakatnya
teridentifikasi dengan kekerabatan parental; Melayu, sebagai kebudayaan
yang menjadi identitas Riau Daratan. Bila kita mencermati Wilken, bahwa
penyebaran matriarkhat di Sumatra, sedang berada pada peralihan yang
signifikan dengan berlakunya “Hukum Ayah” diberbagai tempat yang
sebelumnya berlaku “Hukum Ibu,” realitas sosial yang ditemuinya akhir abad
ke-19. Bahwa proses parentalisasi berlangsung dengan sangat kuat, proses
yang juga didukung oleh politi penguasa pada wilayah yang dikuasainya, dan
tentu ini merupakan hal yang lumrah saja terjadi. Dapat juga digarisbawahi,
453Konsep laut Melayu ini, diyakini bermula dari dokumen Arab; Tibbetts, Study of the Arabic
Texts, 43, 182, kemudiann diperkenalkan oleh Eredia pada tahun 1613, namun ia
mengidentifikasi hal itu dengan “enclosed” laut antara daratan Ujontana (Semenanjung Malaya)
dan Semenanjung Emas (Sumatera). Dengan mengistimewakan negeri di atas air, Eredia percaya
bahwa "Laut Melayu" disebutkan hanya untuk Selat Melaka. Lihat Mills, Erdia’s
descripstion,hal.42. Sementara Andaya, memandangnya secara lebih luas, sebagai suatu
pentasrifan komunitas melalui interaksi ekonomi dan kultural yang luas dan intensif, Leonard
Andaya, 2007.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
372
sejarah Riau Daratan, sebagai imbas atas perubahan dari bangsa terjajah
menuju alam kemerdekaan.
Perjalanan kesejarahan dengan pengalaman traumatik dibawah Sumatra
Tengah yang dituding sebagai Sumatra Barat sentris, menjadikan provinsi
Riau pada awal berdirinya benar-benar memiliki rasa keberpaduan antara
kepulauan – Daratan, 455 akan tetapi, ruang berbeda ini yang semakin
dipertegas dengan penarikan ibukota provinsi dari Tanjung Pinang di
Kepulauan ke pekanbaru di Daratan, pada akhirnya membuktikan, bahwa
jejak independensi Riau Daratan yang digusung Raja Kecil dengan pendirian
kerajaan Siak ditahun 1722 telah memenangkan dirinya atas batas-batas eks
Melaka kuno melalui pertarungan Kepulauan – daratan, untuk masing-masing
berdiri sendiri dan lepas-terpisah. Keterpisahan ini, memang semakin
mempertegas bahwa Riau Daratan benar-benar satu entitas mapan yang
dimulai lebih dari tiga abad lalu, sementara disisi lainnya, juga semakin
meningkatkan hubungan fluktuatif darat – pesisir, terlebih di era otonomi
daerah dimana masing-masing lokalitas diperkenankan untuk menggali tidak
hanya potensi daerah, melainkan juga untuk menegosiasikan ulang identitas
daerahnya sendiri.
Perlu juga dipertimbangkan, mengingat bahwa dalam masyarakat tradisional,
raja berfungsi sebagai pusat yang terhubungkan dengan dunia kosmis.
Mithologi ini mungkin saja tergambar dalam pola keruangan didunia Melayu
dimana pemukiman massa berorientasi kepada istana, dan bukan pasar.
Ketiadaan raja sebagai sumber, menjadi sebab keterputusan koneksi yang
telah berlangsung lama diera sebelumnya. Maka, massa-hamba seakan
digiring menuju pada kesamaran identitas sebagai akibat proses de-legitimasi
sang pusat dunia kosmis dan peradaban; sebagaimana telah disampaikan,
bahwa raja dalam “Dunia Melayu,” raja adalah pusat segala aspek kehidupan.
Akan tetapi, meskipun raja berperan sebagai sentral, ia tidak bekerja
sendirian saja, melainkan dibantu oleh berbagai status yang diperankan
dalam ruang yang aristokratis; dengan seperangkat gelar yang tidak saja
berlaku dikalangan Melayu, bahkan juga Orang Asli. Status dan peran ini
455
“Keberpaduan” ini bahwa pembentukan provinsi Riau, dilakukan secara bersama-sama oleh
berbagai kalangan di Kepulauan dan Daratan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat; Tufik Ikram
Jamil dikk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Cetakan ke-3, tahun 2003.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
374
Akan tetapi, terjadi “perubahan halus” yang dalam hal ini di bidang
budaya. Kuantan berhenti menjadi bahagian dari Dunia
Minangkabau456, dan sepertinya alam Minangkabau pun semakin
teridentifikasi dengan Karesidenan Pantai Barat Sumatera. 457
Proses identifikasi Minangkabau dengan Pantai Barat Sumatra yang sekarang
dikenal sebagai provinsi Sumatra Barat sebagaimana diuraikan Gusti Asnan,
456
Kato Tsuyoshi, 1997, hal. 749.
457
Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the
1950s.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
375
458
Kahn Bab 3, Pemberton, 1994, dalam Tania Muray Li, 2002, hal.19
459Bahwa di Kampar, penguatan Kemelayuan salah satunya terutama dikaitkan dengan
keberadaan situs Candi Muara Takus yang dikatakan sebagai “Pusat peradaban Melayu Tua di
Nusantara” oleh Prof.Suwardi Ms, dalam seminar Nasional “Menelusuri Kegemilangan Muara
Takus,” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Lihat dalam “Muara Takus Sebagai
Mata Air Peradaban,” Riau Pos, 1Juni 2015.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
376
460 Dikatakan bahwa pembangunan waduk Koto Panjang diperbatasan Riau – Sumatra Barat yang
menenggelamkan 10 desa(dua di Sumatra Barat dan 8 di Riau) disertai relokasi pemukiman baru,
telah menjauhkan generasi berikut dengan identitas lama, dan menyebabkan diadopsinya
identitas baru yang sesuai dengan kerangka kewilayahan administrasi Riau: Melayu. Lihat Gusti
Asnan, “Dinamika Sejarah dan Ulayat Rantau XIII Koto Kampar” dalam Alfan Miko (ed.),
Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press, 2006, hal. 284-302.
Lihat juga Witrianto, Pemukiman Baru Identitas Baru: Studi Kasus Masyarakat Relokasi Proyek
PLTA KotoPanjang DI Perbatasan Sumatra Barat – Riau; Makalah disampaikan pada Seminar
Hubungan Indonesia Malaysia tanggal 1-2 November 2010 di Universitas Andalas Padang.
461 Tagliocozzo, 1999, dalam “Secret Trades of the Straits: Smuggling and State Formation Along a
462 Dalam era ini, sebagai ilustrasi adalah dalam penyiaran radio siaran sebagaimana terdapat di
ibukota Provinsi; Pekanbaru, hingga memasuki awal tahun 1990, masih didominasi “gaya”
Jakarta-Jawa, dan barat; hingga muncul satu radio siaran Soreram Indah’ (RSI), yang menfokuskan
diri pada pengembangan budaya lokal; Melayu. Lihat Suryadi, “Identity, Media and the Margins:
Radio in Pekanbaru, Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol.36, tahun 2005.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
379
463
A.Turner, Cultural Survival, Identity and the Performing arts of Kampar’s Suku Petalangan,
dalam Bijdragen tot de Taal-en Volkukende, Riau in transition 153, 1997. No.4 Leiden, hal.658.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
380
Bahwa kemakmuran Melayu di negeri jiran juga telah menarik Melayu Riau,
yang terasa lebih dekat ke Kuala Lumpur dan Singapura daripada ke Jakarta.
Namun, ketertarikan ini tidaklah berlangsung mutualis. Melayu Malaysia dan
464 Will Derks, “Poet and power in Pekanbaru: On burgeoning Malay consciousness in Indonesia”,
in IIAS Yearbook 1994, ed. Paul van der Velde (Leiden: International Institute for Asian Studies,
1995), pp.60-72; Derks, “Malay identity works”, BKI, 153, 4 (1997): 699-716; Derks, “A literary
mycelium: Some prolegomena for a project on Indonesian literatures in Malay'”, Journal of
Southeast Asian Studies (henceforth JSEAS), 32, 3 (2001): 378-82.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
382
465
Tsoyushi Kato, “Typology of cultural and ecological diversity in Riau, Sumatra”, in
Transformation of the agricultural landscape in Indonesia, ed. Narifumi Maeda and Mattulada
(Kyoto: Centre for Southeast Asian Studies, 1984), pp. 3-4; Colombijn, “When there is nothing to
imagine”, hal. 346-51.
“perbedaan” dunia pesisir dengan alam darat; sementara itu juga tarikan
perspektif utara – selatan untuk menjauhkan pesisir dari semenanjung
terlihat sebagai dampak perlakuan orientasi ekonomi darat(an); akan tetapi,
nampaknya tidaklah benar-benar dapat membawa pesisir terbawa dalam
tarikan darat yang berperan sebagai pusat gravitasi; bahwa politi-politi pesisir
tetap bergerak dalam orbitnya sendiri. Otonomi daerah tahun 1999, telah
membuka ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mendefinisikan ulang
identitas dan batas-batas jati diri terkait dengan kewilayahannya masing-
masing. Kata “masing-masing” ini juga menunjukkan, bahwa arah
perkembangan, meskipun dapat mengindikasikan tertarik pada kutub pesisir
dan darat, entitas tetap berpijak pada latar kesejarahannya sendiri yang
mungkin saja “overlap” antara batas-batas etnis dan administratif, atau
bahkan, tidak hanya dapat menggeser relasi kuno antar politi, melainkan juga,
tarik-menarik, dipastikan akan terjadi aktiff dalam konteks kategorisasi itu
sendiri terlebih dengan dinamisasi proses kesejarahan hingga akhir abad ke-
20; Riau daratan sebagaimana telah diprediksi, pasca terpisahnya Kepulauan
akan membangkitkan kembali dinamika barat – timur yang dimasa
sebelumnya terbenam dalam “homogenisasi,” teritorialisasi dan juga
“pemencilan” melalui perspektif utara – selatan.
Penguatan lokal, membantu upaya negosiasi ulang identitas dan orientasi,
dan kondisi ini akan berkembang dinamis selama menyangkut tema ataupun
issue yang relevan bagi darat - pesisir. Sebagaimana telah berlangsung antara
Kepulauan – Daratan, maka, reorientasi bangunan suprastruktur di darat dan
juga perkembangan dinamis di pesisir, dipastikan menjadi pertanda,
sebagaimana banyak terdapat dalam literatur barat menjelang tutup
milenium ke-2, proses dinamis yang nampaknya masih terus berlangsung
hingga saat terakhir, bahwa,
Riau Daratan benar-benar tengah berada dalam transisi.
9
Penutup
466
Barbara Andaya, 1997.
467
Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the
1950s.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
389
468 Lihat Timothy P.Barnard, Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of
Malay Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, First Edition, 2004, hal.107 -120
469 Bahwa ketimpangan seperti pada pemerataan pendidikan dan pengembangan perekonomian
Daftar Pustaka
Abdul Rahman Haji Ismail. “Teks/Text of the Raffles MS. No. 18.” In Sejarah
Melayu: The Malay Annals, edited by Cheah Boon Kheng. Kuala Lumpur:
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1998.
Ahmad, Abdul Samad. “Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).” Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979.
Abu-Lughod, Lila. “Writing against Culture.” In Recapturing Anthropology,
edited by R. G. Fox. Santa Fe, N.M.: School of American Research Press, 1991.
Adatrechtbundels, bezorgd door de Commissie voor het adatrecht. Vol. 20
Sumatra en Riau. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922.
Ahmad, Kassim, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1971.
Andaya, Barbara Watson. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai‘i Press,
1993.
———. “Orality, Contracts, Kinship and the Market in Pre-Colonial Island
Southeast Asia.” In Ownership, Contracts, and Markets in China, Southeast
Asia and the Middle East: The Potentials of Comparative Study, edited by
Miura Toru. Tokyo: Islamic Area Studies Project, 2001.
———. Perak, the Abode of Grace: A Study of a Malay State in the Eighteenth
Century.Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979.
———. “Upstreams and Downstreams in Early Modern Sumatra.” The
Historian 57, 3 (Spring 1995): 537–52.
———. Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997),
no: 4, Leiden, 483-508.
Andaya, Barbara Watson and Virginia Matheson, 1979, 'Islamic Thought and
Malay Tradition; The Writings of Raja Ali Haji of Riau (ca. 1809-1970)', in:
Anthony Reid and David Marr, Perceptions of the Past in Southeast Asia, pp.
108-28, Singapore: Heinemann.
Andaya, Leonard Y. “Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718,
Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45,
No.2(222), 1972.Hal.51-74.
———. “Pathan Identity and Its Maintenance.” In Barth, Ethnic Groups and
Boundaries.
Bellwood, Peter. “Aslian, Austronesian, Malayic: Suggestions from the
Archaeological Record.” In Southeast Asian Archaeology: Willem G. Solheim II
Festschrift, edited by Victor Paz. Quezon City: University of Philippine Press,
2004.
———. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and
Transformation.” In The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives, edited by Peter Bellwood, James J. Fox, and Darrell Tryon.
Benjamin, Geoffrey. “Austroasiatic Subgroupings and Prehistory in the
Peninsula.” In Austroasiatic Studies, edited by B. Jenner, L. C. Thompson, and
S. Starosta. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1976.
Benjamin, Geoffrey, and Cynthia Chou, eds. Tribal Communities in the Malay
World: Historical, Cultural and Social Perspectives. Leiden/Singapore:
International Institute for Asian Studies/Institute of Southeast Asian Studies,
2002.
Boxer, C. R. “The Achinese Attack on Malacca in 1629.” In Malayan and
Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford: Clarendon
Press, 1964.
———. Further Selections from the Tragic History of the Sea, 1559–1565.
Cambridge:Hakluyt Society, 1968.
Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes
toward a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In
Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives
from Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann
Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies,
1977.
Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October
1952).
Bruijn Kops, G. F. de. “Sketch of the Rhio-Lingga Archipelago.” JIA 8 (1854):
386–402; 9 (1855): 96–108.
Bulbeck, David. “Indigenous Traditions and Exogenous Influences in the Early
History of Peninsular Malaysia.” In Southeast Asia: From Prehistory to History,
edited by Ian Glover and Peter Bellwood. London and New York:
RoutledgeCurzon, 2004.
Bulbeck, David, et al., eds. Southeast Asian Exports since the 14th Century.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
396
Chou, Cynthia. “Contesting the Tenure of Territoriality: The Orang Suku Laut.”
BKI 153, 4 (1997): 605–29.
———. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku
Laut.
London/New York: RoutledgeCurzon, 2003.
Butcher, Jhon G., The Salt Farm and the Fishing Industry in Bagansiapiapi,
Journal Southeast Asian, Publication at Cornell University, Vol.62, Oct, 2006.
Christie, Jan Wisseman. “Trade and State Formation in the Malay Peninsula
and Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” In The Southeast Asian Port and Polity:
Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby-Wells and John Villiers.
Singapore: Singapore University Press, 1990.
Colimbijn, Freek, “A Moving History of Middle Sumatra:1600-1870,” Modern
Asian Studies 39, 1 (2005) pp. 1–38. C - 2005 Cambridge University Press DOI:
10.1017/S0026749X04001374 Printed in the United Kingdom.
Collins, James T. Malay, World Language: A Short History. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.
Comaroff, Jean, and John L. Comaroff. Ethnography and the Historical
Imagination. Boulder, Colo.: Westview Press, 1992.
Couillard, Marie Andree. “The Malays and the ‘Sakai’: Some Comments on
their Social Relations in the Malay Peninsula.” Kajian Malaysia 2, 1 (June
1984): 81–108.
Dahlan, Ahmad, “Sejarah Melayu,” KPG, 2014, Cetakan ke-2.
Dentan, Robert Knox. “Potential Food Sources for Foragers in Malaysian
Rainforest:Sago, Yams and Lots of Little Things.” BKI 147, 4 (1991): 420–44.
———. The Semai: A Nonviolent People of Malaya. New York: Holt, Rinehart
and
Winston, 1968.
———. “Semai-Malay Ethnobotany: Hindu Influences on the Trade in Sacred
Plants, Ho Hiang.” In Minority Cultures of Peninsular Malaysia: Survivals of
Indigenous Heritage, edited by Razha Rashid and Wazir Jahan Karim. Penang:
Academy of Social Sciences, 2001.
———. “Spotted Doves at War: The Praak Sangkiil.” Asian Folklore Studies 58,
2
(1999): 397–434.
Djatmiko, Edhie. “Masyarakat Traditional di Pedalaman (‘Masyarakat
Terasing’).” dalam “Riau menatap Masa Depan,” editor oleh Mubyarto,
Yogyakarta: Aditya Media, 1993.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
397
Glover, Ian. Early Trade between India and Southeast Asia: A Link in the
Development of a World Trading System. Hull: Centre for South-East Asian
Studies, 1989.
———. “The Southern Silk Road: Archaeological Evidence for Early Trade
between India and Southeast Asia.” In Ancient Trades and Cultural Contacts in
Southeast Asia, edited by Ian Glover and A. Srisuchat. Bangkok: Office of the
National Culture Commission, 1996, 57–94.
Glover, Ian, and Peter Bellwood, eds. Southeast Asia: From Prehistory to
History. London/New York: RoutledgeCurzon, 2004.
Gonda, J. Sanskrit in Indonesia. New Delhi: International Academy of Indian
Culture, 1973. First published in 1952.
Goudie, D.J., (ed. & trans.), Syair Perang Siak: A Court Poem presenting the
state policy of a Minangkabau-Malay royal family in exile, Monograph no. 17,
MBRAS, Kuala Lumpur, 1989.
Graafland, A.F.P., De Verbreiding van het Matriarchaat in het Lanschap
Indragiri, KILV, Vol.39 Nomor 1, 1890.
Gramberg, J.S.G., “Reis Naar Siak,” Tijdschrift Voor Taal,- Land en
Volkenkunde, XIII, Vierde Serie, 1864:497-530.
Grijzen, H.J., Nota omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra),
Tijdschrift Voor Taal-, Land en Volkenkunde, 1908, 62-121.
Guillot, Claude(Penyunting), Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor
Indonesia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Arkeologi Nasional,
Jakarta, 2014.
Gullick,J.M., “Indigenous Political Systems in Western Malaya,” London, 1958,
pp. 27.
Haan, F. de. “Naar Midden Sumatra in 1684.” TBG 39 (1897): 327–66.
Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century
Aceh. Leiden:Brill, 2004.
Hagen, Bernard. “De Koeboes op Sumatra.” IG, 2e jg, 1 (1907): 945–6.
———. Die Orang Kubu auf Sumatra. Frankfurt am Main: Joseph Baer & Co.,
1908. Hale, A. The Adventures of John Smith in Malaya, 1600–1605. Leiden: E.
J. Brill, 1909.
Hall, Kenneth R. Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia. Honolulu:University of Hawai‘i Press, 1985.
Hamilton, Alexander. A New Account of the East Indies. London: Argonaut
Press, 1930 [reprint of 1727 edition].
Kassim Ahmad, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1971.
Kato, Tsuyoshi. Matrilineality and Migration: Evolving Minangkabau
Traditions in Indonesia. Ithaca, N.Y./London: Cornell University Press, 1982.
———. “Social Change in a Centrifugal Society: The Minangkabau of West
Sumatra.” Ph.D. dissertation, Cornell University, 1977.
———.“The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier
to Riau Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde,
Riau in Transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 737 – 763
Kielstra, E.B., De Afdeeling Indragiri, Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915; p.33-65.
Kipp, Rita Smith. Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an
Indonesian Society. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1996 [1991].
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana Yogyakarta, tahun 2003.
Leyds, W. J. “Larassen in Minangkabau.” KS 10e jg, 10, 1 (1926): 387–416.
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. 2 vols. Jakarta:
Penerbit Erlangga,1993.
Lieberman, Victor. Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800–
1830. Vol. 1, “Integration on the Mainland.” Cambridge: Cambridge University
Press, 2003.
Loeb, Edwin M. Sumatra: Its History and People. Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1972.
Logan, J. R. “The Orang Benua of Johore.” JIA 1 (1847): 242–93.
Lutfi, Muchtar et al., Sejarah Daerah Riau, Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977.
Maier, Hendrik. In the Center of Authority. Ithaca, N.Y.: Cornell University
Southeast Asia Program, 1988.
Maier, H. M. J. “Tales of Hang Tuah.” BKI 155, 3 (1999): 344–63.
———. “We Are Playing Relatives.” BKI 153, 4 (1997): 672–98.
Manguin, Pierre-Yves (sebagai penyunting, George Coedis, Louis-Charles
Damais, Hermann Kulke, “Kedatuan Sriwijaya:Kajian Sumber Prasasti dan
Ekologi, Ecole Francaise d”Extreme-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional,
Penerbit Komunitas Bambu, Edisi kedua, tahun 2014.
Marsden, William. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Historical
Reprints, 1966 [1783].
Martin, Jean, 1985, 'Ceramic Legacy of Asia's Maritime Trade on Tioman
Island', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 53-1:81-90.
Masefield, John, ed. Travels of Marco Polo. London: J. M. Dent & Sons Ltd.,
1954.
Matheson, Virginia, and Barbara Watson Andaya, eds. The Precious Gift
(Tuhfat al-Nafis) by Raja Ali Haji ibn Ahmad. Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1982.
———. Virginia, 1986, 'Strategies of Survival: the Malay Royal Line of Lingga-
Riau', Journal of Southeast Asian Studies 17-1:5-38.
Meilink-Roelofsz, M. A. Asian Trade and European Influence. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962.
Miksic, John. “Archaeology, Ceramics, and Coins.” JESHO 39, 3 (1996): 287–
97.
———. “Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra.” Ph.D.
dissertation, Cornell University, 1979.
———. “Classical Archaeology in Sumatra.” Indonesia 30 (October 1980): 43–
66.
———. “Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia.
Early History.Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9.
Mills, J. V. “Eredia [Emanual Godinho de]’s 1613 Description of Malaca and
Meridional India and Cathay in Three Treatises.” JMBRAS 8, 1 (September
1930):1–288.
———. , J.V., 1974, 'Arab and Chinese Navigators in Malaysian Waters in
about A.D.1500', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
47-2:1-82.
Milner, A. C. Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule.
Tucson: University of Arizona Press, 1982.
———. , “The Malays,” 2008, The Peoples of South-East Asia and the Pacific
General Editors: Peter Bellwood and Ian Glover.
MOSZKOWSKI, Max. Langs Nieuwe Wegen door Sumatra. (Ontdekkingsreizen
in Midden-Oost-Sumatra, 1907). Haarlem, Kruseman & Tjeenk Willink, 1917.
56p., with 56 illustrations, 4to modern wrappers. - Taken from: De Aarde en
haar Volken, Jrg. 53.
Nagel, Joane. “Constructing Ethnicity: Creating and Recreating Ethnic Identity
and Culture.” Social Problems 41, 1 (February 1994): 152–75.
Naim, Mochtar, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University
Press, tahun 1984.
Pires, Tome, 1944, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to
Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt
Society. 2 vols.
Porath, Nathan. “Developing Indigenous Communities into Sakais: South
Thailand and Riau.” In Benjamin and Chou, Tribal Communities in the Malay
World.
———. “When the Bird Flies: Shamanic Therapy and the Maintenance of
Worldly
Boundaries among an Indigenous People of Riau (Sumatra).” Ph.D.
dissertation,
Leiden University, 2003.
Raffles, Thomas Stamford. “On the Malayu Nation, with a Translation of Its
Maritime Institutions.” Asiatic Researches 12 (1818).
Reid, Anthony. “Elephants and Water in the Feasting of Seventeenth Century
Acheh.” JMBRAS 62, 2 (1989): 25–44.
———. “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia.” JSEAS 10,
3
(December 1969): 395–414.
———. Southeast Asia in the Age of Commerce. 2 vols. New Haven, Conn.:
Yale University Press, 1988, 1993.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Stanford, Calif.:
Stanford University Press, 1993.
Riddell, Peter. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and
Responses. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2001.
Rijn van Alkemade, J. A. van. “Het Rijk Gassip.” TAG, 2e serie, 2 (1885):
218–39.
———. “Reis van Siak naar Poelau Lawan,” TAG, 2e Serie, 111, 1 (1887): 100–
45.
———. Beschrijving eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan Rivier naar
Rantau Binoewang, KITLV, Vol 32, No. 1,(1884).
Sager, S. “If We Cross over the Realms, the Gods Will Run Away: Maintaining
Adat Boundaries in a Larger Malay World. The Orang Rimba of Jambi
Sumatra.”
Ph.D. dissertation, The Australian National University, 2007.
Sandbukt, Oyvind. “Precolonial Populations and Polities in Lowland Sumatra,
An Anthropological Perspective.” Kabar Seberang 22 (1991): 42–51.