Anda di halaman 1dari 405

1

Tressi A.Hendraparya

RIAU DARATAN
Dari Darat Sampai Pesisir

Soreram Media, Cetakan II


Pekanbaru, Tahun 2016

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
2

Judul : RIAU DARATAN


Dari Darat Sampai Pesisir

Penulis : Tressi A.Hendraparya

Penerbit : Soreram Media - Pekanbaru

Gambar Cover : Peta residensi di Sumatra Tengah era Hindia.


Sumber : Verslag betreffende Nederlandsch (Oost) Indie
van 1909.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


All Right Reserved

Cetakan ke-2, Tahun 2016

ISBN 978-602-99968-0-7

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
3

"Mari kita Bangun Semangat kebersamaan dalam kesatuan


dan persatuan untuk mencapai cita-cita besar Provinsi Riau,
Tahniah Hari Jadi ke-58 Provinsi Riau, Tanah Tumpah Darah
Melayu, Takkan Melayu Hilang di Bumi,"

Andi Rachman, Plt.Gubernur Riau,


“Homeland of Melayu,” 14 Agustus 2015

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
4

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
5

Provinsi Riau (Daratan), sumber:Wikipedia;googleweblight.com

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
6

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
7

SUATU PENGANTAR

Assalaamualaikum ww.

Encik-encik, Tuan-tuan dan Puan-Puan,

Riau saat ini, bukanlah suatu entitas politik, budaya ataupun geografis yang
muncul begitu saja di tahun 1958 sebagai tahun berdirinya Provinsi Riau,
melainkan suatu hasil dari pergulatan panjang kesejarahan Masyarakat Riau
yang pada saat awal mulanya, terdiri dari beragam politi dan puak.
Keberagaman ini, seperti terlihat di hari ini, terwadahi dalam suatu lingkup
yang terus berkembang dan berpadu dalam bingkai kemelayuan Riau
Daratan.
Penulisan Riau Daratan, dengan sub judul Dari Darat Sampai Pesisir
dimaksudkan untuk mengenangkan kembali proses panjang Ke-Riau-an
tersebut, keterpaduan Riau Daratan yang telah menjadi kesepakatan umum
para pendahulu Riau hingga hari ini, untuk menuju kehidupan yang lebih baik
sesuai dengan martabat Melayu – Riau. Disadari, bahwa potensi konflik selalu
ada pada seluruh masyarakat ataupun politi diseluruh dunia, terutama jika
dikaitkan dengan kesejarahan yang difregmentasi oleh dinginnya cengkraman
kuku kolonial, sehingga terkadang air tenang pun kan beriak. Namun dengan
kearifan lokal dan penggalian nilai-nilai kesejarahan yang patut dijadikan
keteladanan dalam berkehidupan politik, maka akan lebih menyenangkan
untuk tetap berpadu dalam bingkai ke-Riau-an(Daratan); perjalanan sang
waktu yang akan memberikan jawabannya.
Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang
sebesar-besarnya pada seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan
ini, kepada pihak KITLV, National Archieve, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Arsip Nasional Republik Indonesia(ANRI), Perpustakaan Wilayah,
kepada masyarakat dan Pemerintah Provinsi Riau, juga Pemerintah
Kabupaten Rokan Hilir atas segala kemudahan yang diperoleh selama
penulisan buku ini. Hormat kami kepada para tokoh masyarakat, Budayawan,
Sejarahwan, cerdik pandai, alim ulama, para dosen dan guruku-tempat ku

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
8

melihat pelita tanpa ragu, kepada rekan-rekan mitra diskusi yang telah
bersusah-payah meluangkan waktu berharganya, kepada Kakekku Sang
Perintis Kemerdekaan; Alm.Letkol.inf.H.Idris Sutrisna dan keluarga besar,
Kakekku Alm.R.Soekabat W. dan Keluarga Besar, kepada Ayahku
Alm.R.H.Soekabat juga Ibuku, Hj.Tuti Suparyati,BA, Kepada Orangtua Ku
H.Sardjoko,Mpd dan Keluarga Besar, kepada Kanda Ferry H.Parya, Kakakku;
Frissa Hendraparya, isteriku Agustina Sri Hastuti dan anak-anak dirumah;
Mutiara Cahaya Negeri; Muhammad Bintang Cahaya Negara dan Muhammad
Buminata Cahaya Negara, para kerabat, rekan sejawat, teman diskusi; juga
kepada berbagai pihak atas dukungannya, yang telah banyak membantu
namun tidak dapat Kami sebutkan satu persatu disini. Akhirnya, kepada
seluruh masyarakat Riau, kepada mereka jualah buku ini didedikasikan.
Wassalaamualaikum ww.

Bagansiapiapi, 21 September 2015

Hamba Allah,

Tressi A Hendraparya

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
9

Kepada Ibu dan Ayahku,


isteri dan anak-anak ku,
Terimakasih atas
Segala dukungan dalam melewati
hari-hari Hingga terbit buku ini

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
10

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
11

DAFTAR ISI

Hal.

Daftar Judul 1

Kata Pengantar Penulis 9

Daftar Isi 11

Pendahuluan ……………………………………………………. 13

1 Rekonseptualisasi Riau ……………..…………………. 23

2 Menghulu – Menghilir ……………………………………. 55

3 Kondisi Ekologi dan Kultural ……………………………. 103

4 Dinamika Darat - Pesisir………………………………… 141

5 Pesan Kemandirian Negeri Daratan ……………… 191

6 Aneksasi Pesisir ……………………………………………… 211

7 Perluasan Otoritas Hindia Di Pedalaman ……… 277

8 Negeri Dalam Transisi ………………………………. 351

9 Penutup ……………………………………………………… 385

Daftar Pustaka ……….……………………………………… 393

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
12

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
13

PENDAHULUAN

Riau Daratan, penyebutannya tidak hanya untuk memudahkan penyampaian


maksud atas wilayah Provinsi Riau pada bahagian daratan Sumatra; hal ini
juga berarti, bahwa Riau meliputi wilayah diluar daratan, tepatnya
Kepulauan. Dua entitas yang seringkali dikatakan sebagai berbeda, dan
benar-benar terpisah melalui pemekaran provinsi di tahun 2002, wilayah
Kepulauan berdiri sendiri dengan menggunakan nama Provinsi Kepulauan
Riau, dan Riau (Daratan), merupakan bahagian kawasan daratan timur
Sumatra dengan beberapa area pulau di seberang muara sungai, sebagai yang
lazim ditemui di Pantai Timur. Berbicara tentang kesejarahan dari Riau
Daratan, maka tidak akan dapat diabaikan hal yang telah berlangsung di Selat
Malaka, tentang kerajaan Melayu di Semenanjung, dan juga yang telah
terkisah di Jantung Sumatra; pulau sebagai Bhumi-Melayu tanahnya sendiri.
Kerajaan-kerajaan Melayu yang memiliki pengaruh dalam perjalanan
kesejarahan Riau Daratan, tercatat tidak terlepas dari pengaruh dua
peradaban tersebut, yang memberi warna pada identitas-tradisional
sebagaimana terus berkembang dan bertahan hingga hari ini; bahkan, jejak
kedatangan “nenek-moyang” sejak era migrasi Proto-Melayu dan Deutro-
Melayu,1 terlihat dalam arbitrasi keruangan yang menjadi corak khas Riau
Daratan. Meskipun demikian, konsepsi ke-Riau-an dapat ditelusuri pada
Kemaharajaan yang melebarkan wilayah kekuasaannya menyeberangi Selat

1 Terdapat beberapa pandangan tentang asal-usul masyarakat Asia Tenggara, seperti dari Asia
Tengah ataupun India, atau juga dari daratan Yunan di China. Proto Melayu(Melayu Tua)
diperkirakan bermigrasi ke Nusantara pada 2500-1500 SM, menyebar di Sulawesi dan Maluku,
Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara, bahkan ke Madagaskar; mereka saat
ini, diantaranya dikenal sebagai Talang Mamak dipedalaman Indragiri, sementara di Kepulauan
Riau dikenal sebagai Orang Laut; juga meliputi Suku Bonai dan Suku Akit. Adapun gelombang
berikutnya adalah Deutro Melayu(Melayu Muda), melakukan migrasi ke Nusantara antara tahun
250-150 SM yang berasal dari Yunan menyebar di Semenanjung, Sumatra, Kalimantan, Jawa;
umumnya bermukim dikawasan pesisir, akan tetapi terdapat juga yang memasuki kawasan
pedalaman. Selain itu, ditemukan juga bangsa Wedoid yang bermigrasi dari Srilanka yang
terdesak oleh bangsa Indo-Arya pada abad ke-6 SM. Bangsa Wedoid ini, ditemui di Semenanjung
sebagai Suku Senoi, di Siak sebagai Suku Sakai, Suku Mentawai di Pantai Barat Sumatra, dan di
Jambi sebagai Suku Kubu.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
14

hingga dataran rendah timur Sumatra, terutama pada lima aliran sungai
besar; Rokan, Siak, Kampar, Indragiri dan Batang Hari. Akan tetapi,
kedatangan bangsa penakluk; Portugis di tahun 1511, telah merubah peta
tersebut, yang juga diiringi dengan penetrasi VOC selama periode abad ke-17
sehingga negara-negara di pesisir timur lebih memilih untuk berdiri sendiri,
era yang dimulai terutama sejak pendirian Siak oleh Raja Kecil tahun 1722.
Sebelumnya, Raja Kecil yang mengklaim keturunan Raja Johor trah Malaka,
Sultan Mahmud yang terbunuh tahun 1699, dengan dibantu Minangkabau
melakukan penyerbuan ke Johor,2 mengangkat dirinya menjadi Sultan, akan
tetapi, aliansi antara Sultan Sulaiman dan sekelompok Bangsawan Bugis, telah
menyebabkannya meninggalkan Riau3 dan menuju Buantan-Siak. Berdirinya
politi-politi di dataran rendah Timur Sumatra dengan berbasis pada eks
wilayah Melaka-Johor, bagaimanapun juga “dibayangi” oleh realita darat –
pesisir yang merupakan kharakter Sumatra, sebagai akibat klaim
Minangkabau atas rantau di sebelah timur.
Bahwa runtuhnya kerajaan Melayu Klasik Pagaruyung pada tahun 1830-an,
menggeser peta politi-politi dipedalaman ranah timur, seperti rantau
Kuantan, Kampar Kiri dan kanan serta Rokan. Perubahan nyata mungkin saja
terlihat pada lanskap Tapung (kanan dan Kiri), yang sebelumnya berada pada
tarikan kekuatan dua kutub; Johor dan Pagaruyung, menjadi benar-benar
berada dibawah kekuasaan negara pesisir terutama semenjak penetrasi
Belanda melalui Traktat tahun 1858 antara Siak - Belanda. Bahwa kekuasaan
kolonial telah memencilkan, mereduksi kekuasaan tradisional politi-politi;
seperti Siak yang pada abad ke-20 berada dalam statusnya sebagai wilayah
onderafdeeling Siak, berada dibawah Afdeeling Bengkalis; kekuasaan yang
dilucuti, tanpa kepemilikan militer yang memadai sebagai kekuatan utama
diawal pendiriannya. Politik aneksasi yang dilancarkan, menggerogoti
kekuasaan dan juga kewibawaan kepemimpinan tradisional, bahkan pada
situasi tertentu menimbulkan konflik berdarah antara hulu – hilir, seperti
yang terjadi antara lanskap di hulu sungai Rokan dan Siak. Bahwa Belanda,
tidak memperkuat keterpaduan Riau kuno antara Kepulauan – Daratan,

2 Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the
Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74.
3
Bahwa Raja Kecil meninggalkan Riau setelah melalui pertarungan ketatnya dengan Bugis, lihat
Norhalim Hj.Ibrahim, “Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan Negeri Sembilan.”
Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
15

melainkan membentuk sendiri wilayah administrasi yang berbasis


kepentingan khas kolonial di tanah jajahannya. Kedatangan balatentara
Jepang di tahun 1942 yang mengakhiri kekuasaan Hindia Belanda, sama sekali
tidak memperkuatnya. Sama dengan pendahulunya, sang penjajah Jepang
nampaknya juga tidak benar-benar memahami ikatan tadisional kepulauan –
daratan, dan kemudian menempatkan Kepulauan bersama-sama dengan
Semenanjung, terpisah dengan daratan Sumatra yang berbasis di Singapura.
Untuk Daratan, maka reorganisasi “Riau-Syu” menempatkan Kampar, Siak,
Bengkalis, Indragiri dan juga Bangkinang (sebagai eks Sumatra barat) dengan
berpusat di Pekanbaru. Mungkin saja reorganisasi versi Jepang telah
membesarkan hati Kepulauan yang terkenang dengan kebesaran imperium
Melayu Riau Johor, akan tetapi disisi lainnya telah semakin mempertajam
perbedaan Kepulauan dan Daratan. Ketidakjelasan arah pembentukan
administrasi kewilayahan masa awal republik, telah membawa Riau
Kepulauan dan Daratan pada provinsi Sumatra Tengah bersama-sama dengan
Sumatra Barat dan jambi yang beribukota di Bukit Tinggi. Pemapanan
ekonomi dan juga transformasi kepemimpinan Minangkabau di wilayah Riau,
jelas saja membangkitkan ketegangan antar Melayu dan Minangkabau, 4
terlebih dengan pengalaman sejarah bahwa ketegangan antara darat – pesisir
selalu diwarnai dengan tingginya migrasi dari pedalaman. Bahwa hal ini
nampaknya juga menyangkut pertanyaan tentang sejauh mana batas-batas
provinsi dan wilayah militer harus bertepatan dengan etnisitas. Pecahnya
pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) pada
tahun 1958 telah menginisiasi pergulatan antara Pemerintah republik di
Jakarta dan pimpinan PRRI untuk kontrol atas mantan residensi Riau.
Menyadari pentingnya ekonomi Sumatera daratan, pusat melakukan upaya
yang kuat untuk memerangi pengaruh kaum revolusioner di Riau. Pasukan
dari Jawa mendarat di Bengkalis pada bulan Maret 1958 dan tidak lama
kemudian Pekanbaru pun diambil alih. Pada awal April semua Daratan Riau
berada di bawah kendali pusat.5 Pusat sendiri telah merespon ketegangan di
Sumatera dengan keputusan tahun 1957 untuk menarik-ulang batas Riau
sekali lagi, kali ini hanya Bengkalis, Kampar, Inderagiri, Kepulauan Riau dan
Kotapraja Pekanbaru. Bertepatan dengan tindakan ofensif pusat melawan

4
. Lihat Taufik Ikram Jamil dkk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan Pustaka
Riau, 2003, hal.30; Barbara W.Andaya, 1997.
5. Feith 1962: 520-38.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
16

PRRI, Gubernur pertama menjabat Maret 1958. Meskipun Semenanjung


Malaya dan Singapura yang tentu saja dikecualikan, sebagai batas-batas baru
kerajaan tua; dengan demikian dapat dikatakan batas-batas kuno itu telah
terbukti sangat kuat, bahkan di masa sulitnya ekonomi dari konfrontasi dan
tahun-tahun terakhir rezim Soekarno. Namun, perbedaan radikal terjadi atas
lokasi pusat pemerintahan, dengan kembali pulihnya perdamaian pada tahun
1959 ibukota Riau pun dipindahkan dari Tanjungpinang ke Pekanbaru.6

Riau Sebagai Ruang Interaksi


Geografis Riau, nampaknya sepadan dengan kondisi geopolitik yang
berkembang selama hampir separuh milenium ke-2, yang merupakan eks
wilayah kerajaan Malaka. Jika Riau Kepulauan mencerminkan kondisi wilayah
yang terdiri dari gugusan pulau-pulau ditepi Laut Cina Selatan, maka halnya
wilayah Riau daratan berada diseberang Semenanjung ditepian Selat Malaka -
pesisir timur Sumatra. Riau Daratan merupakan wilayah yang dialiri oleh
empat sungai besar; Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri; berhulu dibarisan
pegunungan yang menghilir menuju pesisir timur; kondisi yang telah
menyediakan ruang-ruang pertemuan antara berbagai kelompok masyarakat
pedalaman yang mendiami sepanjang tepian sungai dan anak sungai dengan
suatu dunia perdagangan internasional di selat, atau telah menjadikan
wilayah sepanjang “jalan-raya” sebagai basis pasar pertukaran ataupun
tempat transit produk. Kondisi geografis ini juga meyakinkan untuk dapat
memahami pertemuan berbagai kepentingan yang didominasi oleh negara di
semenanjung dan juga dari wilayah pedalaman di Sumatra Tengah. Hal inilah
yang menjadikan kawasan yang termasuk kedalam Riau Daratan berbeda,
terutama dibandingkan dengan negeri-negeri Melayu lainnya, seperti Jambi,
Palembang, atau kearah barat seperti Sumatra Utara. Dengan sejumlah “jalan
raya” yang menghubungan pegunungan hingga semenanjung, maka dapat
dipastikan bahwa interaksi akan lebih intens di sini jika dibanding tempat
lainnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa dinamika perkembangan negeri-
negeri dikawasan Pantai Timur Sumatra tepatnya di pesisir timur Sumatra
Tengah, tidak terlepas dari situasi yang berkembang; baik di pedalaman

6. Lutfi 1977: 691, 696.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
17

maupun pada wilayah Semenanjung diseberang selat dan juga gugusan pulau-
pulau Riau.
Dari serangkaian laporan dari para observer atas kondisi wilayah pesisir
hingga abad ke-19, dapat dikatakan terdapat wilayah-wilayah arbiter antara
dua kekuatan kultural; Minangkabau dipegunungan dan Melayu di seberang
pantai yang bertemu, terutama di wilayah pesisir. Tomi Pires dalam Suma
Oriental mencatat bahwa pada awal abad ke-16, terdapat kerajaan mulai dari
Arcat – sebelah barat Rokan, kemudian Siak, Kampar, Indragiri hingga
perbatasan Jambi yang dikatakannya merupakan rantau Minangkabau; akan
tetapi dikatakannya juga bahwa mereka adalah orang-orang Melayu.7
Anggapan ini, berkemungkinan melihat Indragiri sendiri merupakan
pelabuhan utama dari kerajaan Minangkabau dalam memasarkan produk
emasnya.8 Meskipun demikian, fakta lainnya mengatakan bahwa wilayah Siak,
Kampar dan Indragiri merupakan bahagian dari Kerajaan Melaka, setidaknya
pada era Sultan Mahmud Syah III (wafat 1477), dimana sebagai tanah lungguh
Sultan Melaka, anak-anak sang Sultan kemudian dinabalkan dikerajaan-
kerajaan tersebut. Bentuk hubungan antara Melaka dan negara pesisir timur
tersebut diyakini sebagai bentuk negara vassal (bawahan). Dapat pula
dipertimbangkan, bahwa pada suatu masa wilayah kekuasaan suatu kerajaan
tidaklah dititikberatkan pada batas-batas wilayah melainkan pada kesetiaan
rakyat yang mendiami wilayah tersebut. Kondisi ini dapat diduga telah
menyebabkan loyalitas “cair” dari rakyat-hamba yang merupakan subyek-
langsung Sultan. Dalam hal di bahagian timur Sumatra Tengah, maka dapat
diasumsikan,
terjadi loyalitas “mendua” atau kepada dua “tuan”; Melayu
Semenanjung (Melaka-Johor) dan pedalaman Minangkabau.9
Secara ekologi, konsepsi ruang arbitrer ini dapat dilihat dari serangkaian alam
pegunungan yang menurun menyusuri sungai melintasi lembah-lembah
subur, hutan tropis perawan dan bentangan rawa-rawa, bertemu dengan
milleu lautan dan hingarnya perdagangan Strait; membentuk apa yang

7 Pires, Tome, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in
Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt Society. 2 vols.1944.
8
Lihat Christine Dobbin, “Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement”,
Indonesia, 23 (1977).
9 Seperti kasus Petapahan, terutama pada abad ke-17.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
18

dinamakan “wilayah perbatasan” antar dua konsepsi alam tersebut. 10 Bahwa


realita menunjukkan tentang populasi yang mendiami wilayah Riau Daratan,
hingga abad ke-19 terdikhotomi antara populasi dengan kharakter
Minangkabau di wilayah hulu, dan Melayu di bahagian pesisir. Persoalan ini,
telah menjadi sorotan para ahli terutama akhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20.
Menjelang berakhirnya rezim orde baru, di tahun 1997, Barbara
Watson Andaya telah mengemukakan bahwa persoalan “batas-batas”
Riau tidak hanya meliputi Riau Kepulauan dan daratan, melainkan
juga untuk mempertimbangkan dinamika antara hulu-hilir dari Riau
Dataran;11
lebih jauh bahwa kondisi latar historis dan orientasi menjadikan perlunya
dilakukan penelaahan kembali atas batas-batas sebagai dampak penyatuan
dalam bentuk pemerintahan Provinsi pada tahun 1958 yang terkesan
“tergesa-gesa,” yang nampaknya memang terlihat dari peristiwa politik yaitu
pemekaran Provinsi Riau Kepulauan pada tahun 2002. Bahwa di daratan
batas-batas sebagai garis imajiner antar darat dan pesisir, sebagaimana
diketahui mengerucut menjadi batas-batas etnis disebelah dataran tinggi
hingga kawasan lembah, dan juga dipesisir. Jika pesisir adalah dataran rendah
timur di hilir sungai, maka darat disini diartikan sebagai dataran rendah
(peneplein) di hulu sungai, berbeda dengan darek sebagai dataran tinggi
Padang(Padangsch Bovenlanden) yang terutama mendiami kawasan lembah
subur dikaki gunung. Leonard Andaya12 yang mendalilkan terjadinya
etnisisasi bermula dari persaingan antara politi Pagaruyung di pegunungan
barisan dan Melaka di Semenanjung Malaya, sehingga entitas pegunungan
mempertajam identitas untuk membuatnya tampil beda dan terpisah dengan
wilayah pesisir yang telah identik dengan kompetitornya; Semenanjung;
terutama berkaitan dengan perdagangan yang disertai migrasi dan juga

10 Timothy P.Barnaard, 2014, “We are Comfortable ridding the waves: Lanscape and the
Formation of a Border State in Eighteen Century Island South Asia,” dalam “Borerlands in World
History, 1700-1914, sebagai Border Land, bahwa negara Siak dikatakannya sebagai kawasan
“hybrid” yang unik, yang menguasai kawasan perbatasan antara alam maritim dan pegunungan.
11 Barbara Watson Andaya, Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In:

Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition (1997), no: 4, Leiden, 483-508
12 Leonard Y.Andaya, 2008, Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of Melaca,

2008.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
19

melalui peran penguasa baik tradisional maupun kolonial dalam menyediakan


ruang pembentukan identitas. Berkaitan dengan pesisir, maka dapat pula kita
lihat Timothy P.Barnard13 yang menelisik masyarakat pesisir terutama Siak,
yang dikatakannya telah mengalami proses etnisisasi Melayu pada abad ke-
18; transformasi dari komunitas budaya pegunungan menjadi pesisir sebagai
entitas yang terlepas dari hulu.
Sementara itu Siak, kemunculannya diabad ke-18 telah memperlunak
dinamika darat - pesisir dimana sebagai kerajaan pesisir terlihat
mengambil perannya dalam menfasilitasi perdagangan dari darat dan
sekaligus berhadap-hadapan dengan kekuatan di Semenanjung.14
Saat ini, ikatan politis tradisional Kepulauan – Daratan nampaknya memudar
terlebih dengan penegasannya melalui pemekaran Provinsi. Sementara Riau
Daratan sendiri, terlihat dibayang-bayangi oleh issue dinamika darat–pesisir,
kategorisasi yang pada awalnya mengacu pada kondisi geografis, akan tetapi
sejak abad ke-19, terlihat tidak lagi mutlak berhubungan dengan aspek-aspek
alamiah saja, melainkan meliputi kultur yang dilihat dan dirasakan sebagai
“berbeda.” Dalam konteks itulah buku ini mencoba untuk memahami asosiasi
darat – pesisir di Riau Daratan. Hubungan itu seperti yang lazimnya terjadi,
dapat berupa kerjasama atau persaingan, integrasi ataupun konflik, akan
tetapi, ini saja dirasa belum cukup untuk memenuhi rasa dari pembentukan
ideologi umum yang dianut dikalangan masing-masing entitas. Kondisi ini
mengingat, bahwa Riau Daratan tidaklah sama dengan, seperti; Jambi dan
Palembang yang masing-masing memiliki satu sungai besar saja; Batang Hari
dan Musi. Adapun Riau Daratan, sebagaimana telah disebutkan, memiliki
empat sungai besar dengan kharakter khasnya masing-masing;
bahwa jika penduduk pedalaman memiliki beberapa pilihan jalur
perdagangan melalui darat atau sungai, maka otonomi mereka pun
meningkat; otonomi menurun bila mereka hanya bergantung pada
satu aliran sungai,15 model yang berlaku di sebahagian besar
Indonesia bagian barat. 16

13 Barnard, 2006, sebagai proses yang berpuncak pada masa cucu Raja Kecil; Raja Ismail.
14 J. Kathirithamby-Wells, Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East Sumatra before
the Mid-Nineteenth Century, In: Archipel. Volume 45, 1993. pp. 77-96.
15. Bronson,1977.
16. Ellen,1979; Andaya, 1993.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
20

Meskipun keseragaman tinggi terjadi di dataran rendah timur, akan tetapi,


orientasi yang terbentuk sebagai hasil pengalaman interaksi dalam sejarah,
diasumsikan akan dapat menimbulkan hasil yang berbeda pula. Kompleksitas
dan rumitnya hubungan diasumsikan akan berpotongan dengan terma darat
– pesisir. Seperti lanskap darat – Rantau Kuantan, yang memiliki ikatan
kesejarahan dengan Indragiri sebagai entriport pesisir, ataupun lanskap di
pesisir Rokan yang memiliki sejarah kuno-nya bersama-sama dengan lanskap
di hulu sebagai Kerajaan Rokan. Berkaitan dengan ini, tentu dibutuhkan
penjelasan-penjelasan yang memadai, dengan melihat pula hubungan tidak
saja antar darat – pesisir, melainkan juga didalam kategorisasi itu sendiri.
Buku ini banyak “berhutang” kepada Barbara Watson Andaya, tentang tema
historis Ke-Riau-an sebagaimana digambarkan secara panjang lebar dalam
bahagian pertama,17 serta hubungan ulu–ilir yang dipaparkannya dengan
penuh ketelitian sebagaimana terlihat dari hasil studinya di Jambi 18 yang
menunjukkan bahwa;
asosiasi darat–pesisir diwarnai dengan ketegangan dan ambiguitas,
sekaligus rivalitas antara negara-negara hilir dan juga sebagai dampak
kehadiran Eropa. Selain itu, Barbara Andaya juga menunjukkan bahwa
dinamika darat – pesisir dipengaruhi oleh kerajaan di dataran tinggi;
Pagaruyung.
Selanjutnya juga sederetan pemerhati dan ahli kontemporer tentang Riau
Daratan, seperti Timothy P.Barnard19; juga disini, karya klasik WIlken 20
tentang penyebaran Matriarkat di Sumatra khususnya di Riau Daratan sebagai
wilayah yang berbeda antara darat – pesisir sehubungan kolonialisme Johor di
wilayah pesisir timur. Hubungan darat – pesisir ini, Kato Tsuyoshi
menyebutnya perspektif barat – timur yang seringkali berpotongan dengan

17. Barbara W.Andaya, Recreating a Vision Daratan and Kepulauan in Historical Context, Riau in
Trantition 153, 1997.
18
. Barbara W.Andaya, To Live As Brothers: Southeast Sumatra in the Seventeenth and the
Eighteenth Centuries, 1993.
19. Timothy P.Barnard, Text, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay

Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, 2004, pp.107-120.
20. G.A.Wiken, DE VERBREIDING VAN HET MATRIARCHAAT OP SUMATRA, KITLV, Bijdragen tot de

Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 37, No 1, 1888.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
21

perspektif utara – selatan;21 dimana darat – pesisir dapat juga dianalisa


dengan mengacu pada model Bronson tentang entreport di hilir dan kawasan
pemasok dari anak-anak sungai yang banyak tersebar di pedalaman. Pada
tahun 1977, Bennet Bronson22 mendalilkan sebuah “hipotesa kerja” untuk
jaringan pertukaran tradisional dalam pemerintahan tipe Sumatra
berdasarkan hubungan hulu-hilir. Dapat dikatakan, model Bronson ini
membantu menjelaskan hubungan darat – pesisir yang terefleksi pada jalur
komunikasi sungai dan anak sungai, akan tetapi, pendekatan ini juga
menekankan kesamaan-kesamaan yang dimiliki kategori masing-masing
entitas; sebagaimana dapat dilihat difokuskan atas pemunculan lanskap
pedalaman yang didukung oleh sumber daya material dan budaya, sementara
di pesisir, nampaknya memang telah terlihat memiliki keseragaman yang
tinggi dalam hal bahasa, agama dan budaya. Sementara itu di darat, secara
faktual disadari bahwa Riau Daratan dengan empat jalur sungai “jalan raya”,
meski lanskap berada dalam naungan dan ditarik ke kutub politi pegunungan,
menunjukkan varian lanskap yang tinggi pula. Kita tidak dapat serta merta
menyamakan lanskap di hulu sungai Kuantan dengan Kampar misalnya, atau
dengan di hulu sungai Rokan. Dengan demikian, selain menggunakan
pendekatan Bronson, maka buku ini berupaya menjelaskan kondisi darat –
pesisir melalui memori kolektif lanskap yang dipelihara melalui tradisi lisan
(walau dituliskan di era kemudian); legenda, hikayat ataupun forklore yang
dikenal dikalangan lanskap diharapkan dapat membantu penjelasan-
penjelasan yang sistematis dan logis dalam upaya memahami kharakteristik
darat – pesisir di Riau Daratan.

21
. Kato, Tsuyoshi, “The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier to Riau
Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, Riau in Transition 153
(1997), no: 4, Leiden, 737 – 763.
22. B. Bronson, “Exchange in the Upstream and Downstream Ends Notes towards a Functional

Model of the Coastal State in Southeast Asia”, in Economic Exchange and Social Interaction in
Southeast Asia Perspectives from Prehistory and Ethnography, (ed.) Karl L. Hutterer, Centre for
South and Southeast Asian Studies, University of Michigan, Ann Arbor, 1977, pp. 39-52.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
22

Provinsi Riau, terletak ditepian Selat Melaka. Sumber:


agnazgeograph.wordpress.com

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
23

1
Rekonseptualisasi Riau

Sudah lazim di era kontemporer penelaahan historis juga menyertakan


pengetahuan lokal yang tersimpan dalam memori kolektif yang diwariskan
secara turun temurun, dimana kondisi ini bertentangan dengan kondisi saat
awal mula Eropa tiba. Bahwa pengetahuan baca-tulis merupakan sesuatu
yang wajib bagi pejabat kolonial, dan bila tidak menguasainya, akan membuat
mereka tampak sama seperti masyarakat primitif saja. Orang Eropa dengan
hukum positifnya, menuntut suatu upaya metodologis untuk merunutkan
peristiwa dengan teliti, dan pengumpulan bukti otentik untuk penyusunan
kronologi. Superioritas Eropa pada abad ke17, bertemu dengan nilai-nilai
tradisional sedikit banyaknya diduga saat itu telah menimbulkan guncangan-
guncangan. Bahwa nilai-nilai puritanisme barat dengan kedisiplinan
waktunya, membuat seorang Eropa harus banyak bersabar dalam proses
pembelian rempah-rempah yang mungkin saja hanya dengan jumlah yang
sedikit, namun memakan waktu seharian ketika berurusan dengan pribumi.
Untuk level yang luas, maka perjanjian dagang tidak lagi dapat dilakukan
hanya dengan mengandalkan lisan, melainkan hitam diatas putih, “tercatat”-
sebagai sesuatu yang khas kapitalisme. Selain itu, para pejabat kolonial juga
dilatih untuk menyimpan dan mencatatkan segala kegiatan hariannya,
berbeda dengan kondisi mitranya. Halnya dengan pola arsip, tidak dikenal
oleh kerajaan ataupun masyarakat tradisional(kecuali Alquran dan Hadist);
mereka menyimpan suatu peristiwa sepenting apapun dalam tradisi lisan.
Tradisi lisan ini dipelihara dan dilestarikan dalam bentuk adat kepada generasi
sesudahnya, begitu seterusnya. Oleh sebab itu dihari ini, kita mengenal
sebahagian cerita dari Syair, tambo, Kaba(koba) ataupun Hikayat yang sudah
di-tulis-kan kemudian. Memori kolektif itu menyimpan terutama asal-usul
nenek moyang hingga kisah-kisah legendaris pada tatanan sosial; yang
membawa pesan-pesan atas kondisi dan situasi sosial pada waktu tertentu.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
24

Legenda ataupun mitos yang ada biasanya berkaitan dengan ketokohan


individu; Raja, Pangeran ataupun orang sakti atau keramat dalam wilayah
tertentu. Meskipun demikian, dalam penelitian modern, bagaimanapun juga
telah disarankan,
sejauh berkenaan dengan gambaran mengesankan dari suatu
legenda, maka penafsiran terbaik bukanlah spesifik sebagai individual,
melainkan sebagai wakil dari sesuatu “chiefdom” yang lebih besar,
kelompok etnis, seluruh masyarakat dan juga sebagai kendaraan
untuk menyampaikan pesan-pesan yang bermakna tentang hubungan
yang relevan.23
Sebagaimana Barbara Andaya mengemukakan bahwa batas-batas awal Riau
(Kepulauan dan Daratan) dapat dilacak kepada sebuah tradisi tua lebih dari
500 tahun lalu. Kondisi ini mengingat perjalanan sejarah tidak hanya
didominasi peran politi-politi lokal-tradisional, melainkan juga fregmentasi
kolonial dalam upaya memisahkan, membagi, dan bahkan menyatukan
lanskap dalam suatu administrasi kewilayahan yang menjadikan Riau
cenderung bukan sebagai kawasan obyektif, melainkan diasumsikan
terformat oleh benturan historikal antara berbagai struktur politi yang
bermula berabad lalu itu; Sebagai contoh pada tahun 1911, penjajah
Belanda telah mengakuisisi Sultan Riau-Lingga terakhir dan kemudian
memapankan Residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan wilayah
Taklukkannya) dengan wilayah yang meliputi Kepulauan Riau dan Afdeeling
Indragiri dan ditetapkannya ibukota; Tanjung Pinang. Kemudian menyusul di
tahun 1933, Afdeeling Bengkalis dimasukkan pula kedalam administrasi
pemerintahannya. Selanjutnya ditahun 1942, juga ikut dimasukan seluruh
wilayah kerajaan seperti Siak, Pelalawan, dan Rokan. Kondisi ini,
menyebabkan keluasan wilayah Riau melebihi dari apa yang pernah dipegang
oleh kerajaan Riau-Lingga itu sendiri, atau bahkan Melaka-Johor. Memasuki
periode Jepang (1942-1945), maka dikenal penamaan Riau-Syu yang juga
meliputi kepulauan dan sebahagian daratan Sumatra. Ketika era Republik,
konflik kepentingan antara Belanda yang ingin kembali, kaum tradisionalis
dan Republik, telah menyebabkan inkoorporasi Residensi Riau kedalam
Provinsi Sumatra Tengah, dimana nama Riau digunakan hanya sebatas
wilayah Kabupaten Kepulauan Riau saja. Pasca 1958, maka Riau pun kembali

23 Barbara W.Andaya, 1993: 38.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
25

memiliki keluasan wilayah sebagaimana yang dimiliki pada era sebelumnya.


Perjalanan kewilayahan ini, sebagaimana telah disampaikan mengisyaratkan
bahwa,
pemahaman atas Riau (Kepulauan dan daratan) dalam ruang
administrasi politik, dapat ditelusuri melalui kesejarahannya dengan
tidak dapat berlepas dari situasi di Selat Melaka.
Penelaahan ini, tidak luput dari upaya pengintegrasian wilayah di kepulauan
dan juga daratan dalam suatu kancah perdagangan internasional. Hal lainnya,
runtuhnya Sriwijaya dan beralihnya pusat jejaring perdagangan ke
Semenanjung Malaya, menjadi contoh bagi suksesnya pembentukan jejaring
tersebut dibawah kontrol Melaka. Melaka sendiri melihat pentingnya
penguasaan atas wilayah kepulauan dan daratan, yang terekam dalam
sumber Portugis yang menceritakan awal mula pendirian Melaka
sebagaimana yang dilakukan oleh seorang pangeran yang berasal dari
Palembang. Penguasa pertama, membawa bersamanya para pengikut tidak
hanya dari Sumatra, melainkan juga sekelompok orang laut dari lepas pantai
Palembang, dimana faktor penting dari jalinan hubungan ini adalah loyalitas
yang tampak dari permintaan penguasa untuk menikahkan putri dari
pemimpin orang Laut dengan putranya.24 Kisah ini, bagaimanapun juga terkait
dengan kisah perjalanan kebudayaan yang meluas dan dikenal saat ini sebagai
MELAYU.

Dari Sriwijaya sampai Melaka

Sriwijaya saat ini dianggap sebagai tempat kelahiran kebudayaan Melayu,


meskipun terdapat juga anggapan bahwa kerajaan Melayu yang pertama
terletak ditepian sungai Batang Hari yang sekarang dikenal dengan Jambi.
Kontradiksi ini, memunculkan perdebatan tentang posisi Melayu dalam era
awal tersebut di Sumatra, bahwa kerajaan Melayu adalah di Jambi, yang
kemudian melemah disebabkan dominasi Sriwijaya dan kemudian ketika
Sriwijaya melemah, maka kerajaan Melayu bangkit kembali. Akan tetapi kisah
kesuksesan dari Sriwijaya sebagai suatu negara, mencakup kharakteristik yang

24 Pires 1944, II:233-238.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
26

telah diidentifikasi dengan budaya Melayu, meskipun hanya sedikit saja yang
diketahui. Selain itu,
bahwa politi Melayu juga meliputi wilayah dataran tinggi, sekaligus
juga menyediakan dasar yang kemudian menyebabkan terjadinya
pemisahan identitas Minangkabau dari Melayu. 25
Majapahit dalam Negarakertagama yang ditulis pada tahun 1365, merupakan
sebuah kitab penting sebagai sumber konseptualisasi aktual tentang Melayu
sebagai sebuah dunia Melayu. Dalam kitab tersebut, Bhumi Jawa atau dunia
jawa atau orang jawa, tampak kontras dengan bhumi Melayu, dunia Melayu
yang diasosiasikan dengan Sumatra. Ini memberitahukan tentang eksistensi
dari Komunitas di Sumatra yang memiliki karakteristik budaya yang berbeda
dengan yang berada di Jawa, sebagai identitas yang terpisah. Dalam
kaitannya dengan wilayah kolonisasinya tersebut, dalam Kakawin
Nāgarakŗtāgama Pupuh XIII:1 dan 2 menyebutkan 26:
1. Rincian pulau negara bawahan, Mālayu: Jāmbi dan Palembaη,
Karitań, Teba, dan Dharmaśraya, Kaņdis, Kahwas, Manańkabwa, Siyak,
Ŗkān, Kāmpar dan Pane, Kāmpe, Harw, dan Maņdahiliń juga, Tumihaη,
Parlāk dan Barat.
2. Lwas dengan Samudra dan Lamuri, Batan, Lampuη dan Barus.
Sebagai negara-negara Mālayu yang telah tunduk kepada Majapahit.
Kakawin Nāgarakeŗtāgama sebagaimana terlihat menyebutkan Mālayu
terlebih dahulu, dan menyebutkannya sebagai sebuah negara terpenting dari
seluruh negara bawahan Majapahit. Setelah keruntuhan pusat kebudayaan
Melayu di bahagian Sumatra Selatan-lah(Sriwijaya) selanjutnya kisah Melayu
bermula di Semenanjung Malaya. Awal mula Melaka sebagai kekuatan
Melayu yang dominan di abad ke-15 menambahkan layar baru ke identitas
etnis Melayu, dan kemudian sebagaimana dikemukakan Andaya berpindah ke
wajah Sumatra dalam kesamaran; bahwa dengan penaklukan Melaka oleh
Portugis di tahun 1511, dan berdirinya kekuatan rival Melayu pada kedua sisi
Selat Melaka, kisah Melayu sekali waktu jeda ke Sumatra, sekitar 150 tahun

25Leonard Andaya (2007) menguraikan bagaimana etnisisasi entitas di pegunungan Sumatra


Tengah itu sebagai dampak persaingan politi-politi di Selat Melaka.
26Pigeaud, T.G. Th., 1960-1963, Java in the Fourtheenth Century; A study in cultural history. The

Hague: Martinus Nijhoff.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
27

setelahnya, Aceh merupakan pusat dunia Melayu, hingga Johor di akhir abad
ke-17 berhasil mengembalikan Melayu ke Semananjung Malaya, yang
nampaknya juga menjadi model di kepulauan Riau dan wilayah sepanjang
pantai timur Sumatra hingga abad ini. Menurut tradisi, Melayu ditemukan
dalam “SEJARAH MELAYU” 27, dimana seorang pangeran dan para
pengikutnya bermigrasi dari Palembang (situs Sriwijaya) ke Semenanjung
Malaya disuatu waktu menjelang akhir abad ke-14.28 Sebagian besar cerita
dalam teks ini adalah tentang individu dan peristiwa dari semilegendari
kerajaan Melaka (1400-1511) dan mungkin saja berasal dalam periode ini.
Sebagaimana dikemukakan Rickless,
meskipun asal-usul Melaka ini masih menjadi perdebatan, akan tetapi
nampaknya seorang Pangeran dari Palembang tersebut berhasil
meloloskan diri dari sewaktu terjadinya serangan Majapahit ditahun
1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun 1400. Di tempat ini,

27 Sulalatus Salatin atau Sejarah Melayu, awal mulanya dikenal didunia barat pada tahun 1708
dalam “Introduction to the Malayan Vocabulary of Gueynier” yang ditulis oleh Petrus Van der
Vorm. Setelah itu diabad ke-18, ditemui dalam karya Francois Valentijn (1726) dan abad ke-19;
Wiliam Marsden(1811) dan juga Netscher(1854). Meskipun demikian, nampaknya Sejarah
Melayu benar-benar memperoleh perhatian khusus dari dunia barat setelah terbitnya karya John
Leyden yang mengalih-bahasakan Sejarah Melayu kedalam bahasa Inggris. Sebagai suatu karya
sastra, maka dapat dipastikan Sejarah Melayu banyak memuat nama, tempat ataupun peristiwa
yang memiliki nilai historis yang pemaparannya cenderung menyerupai mitos ataupun legenda.
Dapat dipastikan, bahwa penulisan Sejarah Melayu memiliki tujuan-tujuan yang lebih luas dari
sekedar pentamsilan kisah yang terekam dalam karya besar tersebut; sebagaimana memiliki
puluhan naskah dan edisi Sejarah Melayu yang membentuk satu koreksi rujukan besar. Para ahli
bisa saja beranggapan bahwa kitab Sejarah Melayu tidak dapat dianggap faktual secara
keseluruhan-tersebab lebih dipandang sebagai sebuah karya sastra, akan tetapi poin yang
mendasar dari karya ini bahwa ia telah menyediakan panduan dan ruang untuk dapat melakukan
pengembangan berdasarkan bukti-bukti otentik lain sesuai dengan apa yang menjadi tradisi
akademik barat.
28 Mekipun tradisi berasal dari kisah dalam Sejarah Melayu yang berawal mula pada abad ke-15,

namun nampaknya juga berasal jauh sebelumnya sebagaimana terdapat dalam Raffles 18;
manuskrip bertahun 1612. Untuk studi detail dapat dilihat pada Roolvink, “Variant Versions.”
Suatu ikhtisiar berguna tentang artikel Sejarah Melayu dan teks latin dapat ditemukan dalam
Raffles 18, dalam Cheah, Sejarah Melayu. Penulisnya menamakan karyanya sebagai Sulalatu’l-
Salatin atau dalam bahasa Melayu Penurunan Segala Raja-Raja (The Genealogy of Kings).
Roolvink meyakini bahwa apa yang sekarang kita kenal sebagai Sejarah Melayu bermula sebagai
daftar raja-raja beserta penanggalan waktunya, akan tetapi kemudian penanggalan waktu
tersebut disisipkan berbagai kisah yang diakukan ditempat yang dan waktu yang berbeda namun
dimaksudkan untuk menghasilkan versi tertentu. Roolvink, “Variant Versions,” 304–6.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
28

sang pangeran yang bernama Prameswara menemukan tempat


sebagai pelabuhan yang baik dimana seluruh kapal-kapal dapat
berlabuh disegala musim, dan Melaka sendiri terletak dibahagian
paling sempit dari Selat Melaka. Dengan bersekutu dengan para orang
laut, ia memaksa kapal-kapal yang melintas disana untuk
menggunakan pelabuhannya, dan iapun mencukupi kebutuhan kapal-
kapal tersebut, dan ini menjadikan Melaka segera menjadi pelabuhan
internasional yang besar, sekaligus juga sebagai pelabuhan transit.
Ketika Portugis menaklukkan Melaka pada tahun 1511, apothecary Portugis
Tome Pires mengumpulkan banyak tradisi Melaka untuk merekonstruksi
sesuatu dari masa lalu. Dokumen lokal dipelajari untuk memahami Melayu
dan penilaian terhadap kemungkinan perdagangan Portugis di wilayah
tersebut. Hasilnya adalah Suma Oriental, yang ditulis di Melaka antara tahun
1512 dan 1515, yang menggambarkan beberapa episode yang sama seperti
yang terdapat dalam Sejarah Melayu, tetapi seringkali lebih mendetail. 29
Tidak seperti dua dokumen tersebut, sejarah Dinasti Ming, Ming Shi-lu,
terkenal karena catatannya saat berurusan dengan Melaka. Hal ini tetap
menjadi catatan yang tak ternilai bagi era kontemporer dari tahun-tahun awal
kerajaan (kingdom).30 Ketiga dokumen tersebut menyediakan akun yang
jauh lebih rinci (meskipun masih terbatas) dari pemerintahan Melayu
daripada yang tersedia untuk Sriwijaya/ Melayu. Penguasa supranatural yang
turun di Bukit Siguntang di Palembang disebut Sri Tri Buana di Sejarah
Melayu dan Permaisura di Suma Oriental. Ini adalah nama terakhir yang
disebutkan tanggal 3 Oktober 1405 dalam Ming Shi-lu, di mana "Bai-li-mi-su-
la" dikatakan “sebagai penguasa asli negara Melaka.” 31 Kedua nama untuk
pendiri Melaka menggarisbawahi asal non-Muslim dari pangeran
Palembang.32 Meskipun garis-garis besar cerita peregrinations Pangeran
Palembang secara struktural mirip dalam Suma Oriental dan Sejarah Melayu,

29 Cortesao, Suma Oriental. An Account of the East from the Red Sea to Japan, written in Melaka
1512-1515, A. Cortesao (trans.), London, 1944.
30
Wade, “Ming Shi-lu.”
31
Wade, “Ming Shi-lu,” 262.
32 Kedua gelar berkaitan dengan Siva, dengan “Permaisura” yang berarti Penguasa bagi Semuanya

(Lord of All) dan “Sri Tri Buana” yang bermakna Penguasa Tiga Dunia (Lord of the Three Worlds).
Selanjutnya muncul sebagai penganugerahan gelar yang berkaitan dengan kerajaan dan raja di
Asia Tenggara pada era awal. Wolters, Fall of Srivijaya, 232 fn 18; Wilkinson, Malay English
Dictionary, vol. 2, 890.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
29

teks terakhir ini jelas telah dituliskan untuk peneguhan dari kerajaan Melaka.
Sementara itu Suma Oriental menggambarkan gerakan ini sebagai pelayaran
untuk melarikan diri dari murka Majapahit,33 sebaliknya, Sejarah Melayu
menjelaskannya sebagai suatu rencana kunjungan. Dalam Sejarah Melayu, Sri
Tri Buana bertemu dengan singa, jenis aneh Singa yang berhubungan dengan
zaman kuno, saat kunjungannya ke pulau Temasek. Ia menafsirkan hal ini
sebagai sebuah tanda, dan kemudian memilih berdiam di Temasek serta
mengganti nama itu menjadi Singapura, atau Kota Singa. Sri Tri Buana tetap
berada di Singapura sampai kematiannya dan digantikan oleh putranya.
Singapura pun berkembang menjadi sebuah kota besar yang menarik banyak
orang asing untuk berkunjung, tapi ketenaran ini hanya berumur singkat
disebabkan penyerangan dan penghancuran oleh Majapahit. Perusakan
Singapura secara implisit dikaitkan dengan ketidakadilan yang dilakukan oleh
penguasa terhadap hambanya yang setia, sehingga menyebabkan hukuman
dari Pencipta.34 Tome Pires dalam Suma Oriental, memberikan alasan untuk
ditinggalkannya Singapura, serangan bukan dilakukan oleh Majapahit, tetapi
Siam. Sejarah Melayu menyebutkan Melaka, dan bukan Singapura, diserang
oleh Siam dari Sharu'n-nuwi (New City), yang merupakan nama Persia yang
diberikan atas kota Ayutthaya. Dalam Ming Shi-lu, Melaka disebutkan untuk
pertama kalinya sebagai pelabuhan yang dikunjungi di tahun 1403 oleh kasim
Yin Qing atas perintah Kaisar Ming. China belum pernah mendengar tentang
Melaka sampai diinformasikan tentang keberadaannya oleh beberapa
Pedagang Muslim dari India selatan. Para pedagang ini yang tampaknya ingin
melihat pengembangan entrepot di Selat Melaka, yang jauh lebih mudah
daripada pelabuhan di Ayutthaya untuk pedagang yang datang dari barat.
Diyakinkan oleh pedagang ini bahwa Melaka sukses secara komersil, kaisar
Ming pun mengirimkan delegasi yang cukup besar (dibawah pimpinan
Admiral Dinasti Ming bernama Zheng He (Cheng Ho) untuk membangun
hubungan dengan dunia politik baru, hubungan yang terus berlanjut hingga
tahun 1434. Pada saat China meninggalkan kebijakan perdagangan negara di
tahun 1435, Melaka telah mapan sebagai emporium besar di wilayahnya.35
Melaka menjadi entrepot pilihan bagi para pedagang dari timur, Khususnya
China. Kaisar China telah memberikan bantuan khusus kepada Melaka dan

33
Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 231.
34
Brown, Sejarah Melayu, 20–1, 40–1.
35 Wang, “Opening of Relations.”

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
30

mendorong untuk menjaga perdamaian di selat; dan dengan demikian


menjamin keselamatan pedagang China. Untuk alasan yang sama pula
bahwasanya Melayu telah menjadi pantai favorit untuk orang-orang China.36
Sementara itu disi lainnya, Pasai, tampaknya telah sering dikunjungi oleh para
pedagang Muslim dari barat. Disebabkan tampilnya kepentingan Kaisar Ming
dari China di Melaka, akan ada sedikit harapan untuk bertahan hidup
terhadap serangan oleh Ayutthaya dan Majapahit. Melaka tumbuh makmur
dan kuat, Dan pada paruh kedua abad ke-15 itu telah memperpanjang
pengaruhnya atas banyak negeri di Semenanjung Malaya, pantai timur
Sumatera, dan pulau-pulau yang berdekatan yang merupakan rumah bagi
Orang Laut. Keberhasilan ekonomi Melaka dapat diukur dengan fakta bahwa
bukan hanya dari satu saja, akan tetapi dari eksisnya empat syahbandar;
sebagai pejabat yang ditunjuk untuk menangani semua hal yang berhubungan
dengan perdagangan luar negeri di pelabuhan.
Gujarat, karena mereka secara teratur dengan jumlah paling banyak sebagai
pedagang di pelabuhan; lainnya untuk orang-orang dari India Selatan (Benua
Keling), Bengal, Pegu, dan Pasai; sepertiga untuk pedagang dari Jawa, Maluku
(Yaitu, Maluku Utara), Banda, Palembang, Tanjong Pura (Kalimantan), dan
orang-orang dari Luzon (Luçoes); dan akhirnya syahbandar ke China
(Termasuk dari China selatan), orang-orang dari Ryukyu, dan Chams.37 Salah
satu alasan utama untuk keberhasilan Melaka adalah kesetiaan khusus yang
diberikan kepada penguasa Melaka oleh Orang Laut.
Ada banyak kelompok-kelompok Orang Laut yang dianggap sebagai hamba
Melaka. Di pantai timur Sumatera dari Arcat selatan ke Rokan, Rupat,
Bengkalis dan (Purim) populasi Orang Laut melayani Melaka sebagai
pendayung atau prajurit. Selatan Bengkalis adalah negeri-negeri lebih besar
seperti; Siak, Kampar, dan Indragiri, dimana penguasa terkait dengan keluarga
kerajaan Melaka dan karenanya dapat diandalkan untuk diminta memberikan
kontribusi kapal dan prajurit (Banyak di antaranya adalah Orang Laut) untuk
armada Melaka. Akan tetapi, berkemungkinan sumber kekuatan Orang Laut
terbesar bagi Melaka berasal dari pulau Lingga, dimana sang penguasanya,
menurut Tome Pires, disamakan dengan seorang raja dari Orang Laut dengan
empat puluh lanchars mereka, atau perahu asli, dan pasukan sejumlah 4-5000

36
Wolters, Fall of Srivijaya, ch. 13.
37 Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 265.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
31

orang.38 Tidak disebutkan oleh Pires adalah pulau Riau, yang penduduknya
dipadati dengan Orang Laut ; Lingga. Hubungan khusus antara Melayu dan
Orang Laut diyakini sebagai keberhasilan dari kelompok-kelompok Melayu
dari abad ke-7 hingga ke pertengahan abad ke-18. Peningkatan pesat Melaka
dan keberhasilan yang menakjubkan membuatnya menjadi salah satu model
ekonomi dan budaya bagi negara lainnya di maritim Asia Tenggara. Gaya dan
ide-ide yang berasal dari Melaka menjadi keharusan di kalangan elite di
kerajaan hingga sejauh Ternate, dan bahasa Melayu muncul sebagai
linguafranca perdagangan dan diplomatik untuk daerah-daerah.

Gambar 1.1.Sriwijaya abad ke-7, Sumber: Robert Cribb, 2007

38 Cortesao, Suma Oriental, vol. 1, 148–57.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
32

Pada awalnya, Parameswara adalah seorang raja yang beragama Hindu-


Budha, akan tetapi sebagaimana disampaikan, ia telah “memaksa” para
pedagang muslim untuk berlabuh dipelabuhannya; dan ini mengundang
perdebatan mengenai perpindahan keyakinannya kepada agama Islam.
Diasumsikan ia memeluk agama Islam di akhir masa pemerintahannya di
sekitar tahun 1390-1414, dengan menggunakan nama Iskandar Syah. Dua
orang raja penggantinya kemudian juga beragama Islam, dan diperkirakan
telah terjadi reaksi dikalangan Hindu-Budha pada masa pemerintahan raja
keempat, Parameswara Dewa Syah yang terbunuh dalam suatu kudeta.
Setelah masa itu, kebesaran Islam di Melaka pun menjadi tidak tersaingi.
Bahwa setelah penguasa Melaka memeluk Islam pada pertengahan abad ke-
15, kerajaan berusaha untuk menyaingi Pasai sebagai pusat pembelajaran
Islam. Segera dimulai upaya mempromosikan agama melalui sponsor dari
ulama Islam dan penerjemahan risalah Islam ke dalam bahasa Melayu.
Perkembangan pesat penyebaran Islam di Asia Tenggara, kemudian Melaka
dikenal sebagai pelindung Islam.
Penyelenggaraan kerajaan Melaka dalam praktek kesehariannya yang
meliputi perilaku, pakaian, bahasa, dan agama, ditiru oleh kerajaan
lainnya, sehingga menambah korpus kegiatan dan artefak yang bisa
dipilih oleh populasi tertentu pada periode khusus dalam sejarah;
menjadi dasar identitas Melayu. Bahwa pada era tersebut, budaya
Melayu dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebahagian besar
pantai Sumatra dan juga Semenanjung Malaya, dan dengan cara-cara
tertentu, Kesultanan Melaka meletakkan norma-norma budaya bagi
Negara-negara tersebut. Karya-karya seperti Sejarah Melayu
menetapkan kaidah-kaidah kesusastraan dan memberikan gambaran-
gambaran mengenai kehidupan istana yang ideal serta hubungan baik
antara rakyat dan penguasanya. Oleh sebab itu penguasa dari
nusantara bahagian barat yang berbahasa Melayu melihat kembali ke
Melaka sebagai model mereka, tidak hanya meliputi bidang politik
melainkan juga budaya. 39
Ada dua komponen penting yang mendefinisikan pemerintahan Melayu di
Melaka dan menjadi dasar dari etnisisasi Melayu dari abad ke-15 hingga akhir
abad ke-18. Yang pertama adalah faktor penguasa, yang dikaitkan dengan

39 Rickless, 1981.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
33

keturunan (asal) melalui silsilah yang menggabungkan asal supranatural dan


garis keturunan kembali ke Nabi Sulaiman (Sulaiman). Seperti keturunan
terkenal diperlukan untuk membenarkan dan melegitimasi posisi penguasa
sebagai mediator dan sebagai “primus inter pares” pemimpin jaringan
kekerabatan. Komponen penting kedua adalah aliansi jaringan kekerabatan.
Para ahli cenderung fokus pada penguasa sebagai pengikat dari masyarakat
Melayu, dengan semua makna yang berasal dari hubungan dengan penguasa.
Sebagai akibatnya, sedikit saja perhatian yang diberikan kepada petunjuk
yang tersedia dalam sumber-sumber Melayu, yang menunjukkan bahwa
aliansi jaringan kekerabatan mungkin awalnya telah menjadi lebih penting
dalam menentukan bentuk dan kelangsungan hidup sebuah kerajaan Melayu.
Melihat Sejarah Melayu yang memuat kisah nenek moyang para penguasa
Melayu muncul secara ajaib di Palembang di puncak bukit suci, Bukit
Siguntang, dan diterima oleh masyarakat yang sudah ada sebelumnya;
mengingatkan akan suatu perjanjian saling ketergantungan dan kepercayaan
yang kemudian dibuat antara kepala leluhur masyarakat dan nenek moyang
para penguasa, mewakili hubungan yang ideal disepanjang masa. Untuk
Melayu di Semenanjung Malaya, ini adalah mitos pemerintahan etnis
berdasarkan keturunan supernatural dari nenek moyang kerajaan Melaka.
Orang dapat saja berargumen bahwa "perjanjian" atau kontrak sosial
dijelaskan dalam Sejarah Melayu, hanya mencerminkan sikap kelas
penguasa, akan tetapi masyarakat Melayu sangat menekankan pada
konsensus. Bahkan dalam Sejarah Melayu, sifat hubungan antara penguasa
dan rakyat ditandai dengan saling menghormati dan konvergensi
kepentingan. Penggambaran ini tidak berbeda dengan apa yang dikenal dari
bukti sejarah lainnya.

Batas-Batas Imajiner

Sebagaimana lazimnya penelaahan atas politi-politi Melayu terutama


kerajaan Melaka di Semenanjung dan juga pantai timur Sumatra, para ahli
nampaknya telah menempatkan sumber penting dalam melakukan kajian
tersebut, sebagaimana telah disampaikan yaitu “Sejarah Melayu.” Meskipun
pokok perhatian dari pemeriksaan tersebut adalah kemaharajaan Melaka,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
34

namun catatan tentang upaya Melaka untuk melebarkan sayap kekuasaannya


di Sumatra dan kepulauan yang membentang hingga Kalimantan
menjadikannya relevan dalam upaya penelaahan dimaksud. Serangkaian
episode Sejarah Melayu menjelaskan bagaimana lima penguasa pertama
memperluas kedaulatan mereka atas wilayah yang berdekatan dan juga
pulau-pulau di arah selatan Selat, dan bagaimana mereka diterima sebagai
tuan oleh beberapa kerajaan semenanjung. Selain itu terdapat pula referensi
singkat tentang Rokan, yang telah menjadi pengikut Melaka melalui
perkawinan anggota kerajaan,40 akan tetapi tidak disebutkan upaya untuk
menegaskan kontrol atas pantai timur Sumatera sampai masa pemerintahan
Sultan Mansur Syah (14587-1477). Penggambaran dalam Sejarah Melayu
tentang wilayah pantai timur sebagai daerah yang mana otonominya telah
dikembangkan terutama disebabkan oleh kedekatannya dengan Melaka,
kondisi ini didukung oleh sumber-sumber lainnya. Misalnya, legenda lokal
yang mengingatkan Kampar sebagai kerajaan yang kuat, dan daerah ini telah
diidentifikasi oleh para arkeolog sebagai pusat pertukaran yang penting,
mampu menyaingi tetangganya karena persediaan emas dari daerah hulu.
Pada abad ke-12 orang Cina mengunjungi Kuantan, di hulu Inderagiri, dan
mencatatnya sebagai “kota” yang berbeda, dan di kemudian hari Maharaja
Inderagiri, meskipun bersikap ramah terhadap Melaka, namun masih tetap
saja menganggap dirinya sebagai raja yang merdeka.41

Sejarah Melayu menunjukkan bahwa daerah yang dicakup oleh “kepulauan


Melaka” ternyata juga terbatas. Kelompok Orang Laut yang merupakan
komponen sangat penting dalam mengendalikan Selat Melaka dikaitkan
terutama dengan kepulauan Riau-Lingga, dan Sejarah Melayu menunjukkan
bahwa koneksi antara pemimpin dan penguasa Melaka sangatlah dekat.
Sebagai salah satu yang paling penting dari wilayah Melaka, Pulau Bintan
ditempatkan di bawah bendahara; menurut legenda, Laksamana yang
pertama adalah Hang Tuah, yang juga dikatakan berasal dari Bintan. Pulau-
pulau di Laut Cina Selatan ini berjumlah sekitar tiga ratus, akan tetapi secara
kolektif dikenal sebagai Pulau Tujuh, yang jauh dari Lingkup Melaka.
Meskipun Orang Laut dari daerah ini hampir dipastikan menyampaikan

40
Brown 1952:55,61;Pires 1944, II:149.
41
Hirth dan Rockhill, 1966: 67; Shuhaimi, 1990: 69, 73, 78; Schnitger, 1964: 37-45; Brown, 1952:
83.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
35

produk laut seperti mutiara, ikan dan karang, mereka nampaknya memiliki
kekurangan hubungan pribadi dengan penguasa Melaka selayaknya khas
rekan-rekan mereka di Selat. Menurut Sejarah Melayu, misi resmi pertama
Melaka untuk mengarungi Laut Cina Selatan menuju China tidak terjadi
hingga setelah aksesi Sultan Mansur di sekitar tahun 1458.
Dengan demikian, meskipun memori Melayu yang melihat asosiasi
Daratan-kepulauan sebagai bagian integral dari kejayaan Melaka,
daerah taklukan seperti yang terletak di sepanjang pantai timur
Sumatera dan secara geografis berjauhan seperti gugusan Pulau Tujuh
bukanlah merupakan bahagian dari inti asli. 42
Oleh sebab itulah dalam mencari basis kontemporer Riau, penting
dipertimbangkannya mengenai perluasan wilayah Melaka yang dipandang
sebagai suatu even yang mengesankan. Penulis Sejarah Melayu menjelaskan
bagaimana Sultan Mansur mengadakan kunjungan ke Majapahit, pada saat
itulah ia menikah dengan putri Batara Majapahit. Sebagai hadiah perpisahan,
Sultan Mansur Syah meminta wilayah kemaharajaan Inderagiri, dan ia pun
memperolehnya. Segera setelah itu, Sultan Mansur memerintahkan
Laksamana Hang Tuah, untuk memintakan kepada penguasa Majapahit
wilayah lainnya, seperti pulau Siantan.

“Hatta berapa lamanya Sultan Mansyur Syah di Majapahit, maka


baginda pun berkira-kira hendak kembali. Maka baginda
bermohonlah pada Betara Majapahit hendak membawa raden Galuh
kembali ke Melaka, maka dikabulkanlah oleh Betara. Maka Sultan
Mansyur Syah pun menyuruhkan orang berlengkap. Setelah sekiannya
hadir, maka baginda pun menitahkan Tun Bijaya Sura minta Inderagiri
kepada Betara. Maka Tun Bijaya Sura pun pergilah mengadap Betara
Majapahit. Maka sembahnya, “Tuanku, paduka ankanda empunya
sembah ke bawah duli sampean, andika padukaanakanda hendak
memohonkan Inderagiri, tuanku.” Maka titah Betara pada segala
Orang Besar-Besar, “Apa bicara kamu sekalian bahawa anak kita, raja
Melaka hendakkan Inderagiri? Berikan atau jangan?” maka sembah
Patih Aria Gajah Mada, “sebaik-baiknya Tuanku anugerahkan kepada
paduka anakanda, supaya jangan jadi mufarik lagi kita dengan dia.”

42 Barbara Andaya,1997.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
36

Maka titah betara kepada Tun Bijaya Sura, “katakan salam kita
kepada anak kita, pemberian kitalah akan anak kita; janganlah setara
Inderagiri, seluruh Jawa ini lagi anak kita empunyai dia.” Maka Tun
Bijaya Sura pun bermohonlah kembali. Segala titah Betara Majapahit
itu semuanya dipersembahkan pada Sultan Mansyur Syah. Maka
baginda pun terlalu sukacita mendengar titah Betara Majapahit itu,
lalu baginda menyuruh Hang Jebat memohonkan Jambi dengan
Tungkal maka dikurniakan oleh Betara Majapahit. Sembah Tun Biajaya
Sura pula, “Siantan tidaklah tuanku pohonkan kepada paduka
ayahanda?” Maka titah baginda, “Kami lupa berpesan kepada Hang
Jebat memohonkan Jambi dengan Tungkal tadi, pergilah laksamana
kita titahkan memohonkan Siantan.” Maka Maka Laksamana pun
menyembah lalu pergi mengadap Betara Majapahit. Maka titah
Betara, “Hendak kemana Laksamana baharu-baharuan datang
mengadap kita.”Maka sembah Laksamana, “Tuanku, paduka
anakanda mohonkan Siantan; konon tuanku, jikalau duli tuanku
kurniakan dialap, jikalau tidak akan dikurnia pun paduka anakanda
alap; kerana paduka anakanda sangat berkehendaklah Siantan.”
Maka Betara Majapahit pun tersenyum mendengar sembah
Laksamana itu. Titah Baginda, “Hei Laksamana, jikalau sungguh anak
kita berkehendakkan Siantan, menarilah Laksamana, kerana kita
tiada memandang Laksamana menari, telah termasyhur Laksamana
pandai menari ketika sedang pekerjaan anak kita itu. Maka
Laksamana pun menyembah, lalu bangkit menari seperti merak
mengingal di dalam talam lakunya. Maka hairanlah Betara dengan
sekalian yang mengadap melihat laku Laksamana menari itu terlebih
kelakuannya daripada joget Mangun Asmara…” 43
Jika kita memilih tema ekspansi Melaka seperti yang digambarkan dalam
Sejarah Melayu ini, maka misi ke Jawa bisa dilihat sebagai perluasan wilayah
yang signifikan bagi konsep Riau Daratan-kepulauan. Mulai saat itu dan
seterusnya, Melaka melihat dirinya sebagai “TUAN SAH” bagi kawasan
sepanjang pantai timur Sumatera. Akibatnya, penguasa Kampar yang telah
menggunakan gelar Maharaja Jaya dan tidak mau takluk kepada Melaka,
diserang dan dijarah.

43 A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, 1978, hal.127-129, A-156; B-131,A-157.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
37

“Alkisah maka tersebutlah perkataan Kampar, Maharaja Jaya nama


rajanya, Pekan Tua negerinya, asalnya daripada raja Minangkabau;
tiada ia menyembah ke Melaka. Maka Sultan Mansyur Syah
menitahkan Seri Nara Diraja menyerang Kampar. Maka Seri Mara
Diraja pun berlengkaplah. Setelah sudah lengkap, maka Seri Nara
Diraja pun pergilah bersama-sama dengan Sang Setia, dan Sang Naya,
dan Sang Guna dan segala hulubalang sekalian; Khoja Baba pun pergi
mengiringkan Seri Nara Diraja. Setelah datang ke Kampar, maka
dipersembahkan orang kepada Maharaja Jaya., mengatakan: “Orang
Melaka datang menyerang kita.” Setelah Maharaja Jaya mendengar
khabar Seri Nara Diraja datang menyerang dia itu, maka Maharaja
Jaya memberi titah kepada mangkubuminya, Tun Demang namanya,
suruh mengampungkan rakyat Kampar. Maka Tun Demang pun
keluarlah mengampungkan segala rakyat dan berhadir segala
kelengkapan perang. Setelah itu maka Seri Nara Diraja datanglah.
Maka segala orang Melaka naiklah ke darat, lalu dikeluari oleh
Maharaja Jaya dengan kenaikan Gajah, dan Tun Demang dibawah
gajah. Senjatanya lembing. Maka bertemulah orang Melaka dengan
orang Kampar, lalu berperanglah terlalu ramai; ada yang bertikamkan
lembing, ada yang bertetakkan pedang dengan cipan, ada yang
berpanah-panahan. Maka daripada kedua pihak rakyat pun
banyaklah matinya, dan darah yang mengalir dibumi. Adapun perang
itu seperti dalam hikayat. Daripada sangat tempuh orang Melaka,
maka orang Kampar pun undur. Setelah dilihat oleh Maharaja Jaya,
lalu ditempuhkannya Gajah pada orang Melaka, bersama-sama
dengan Tun Demang. Barang dimana ditempuhnya, mayat
berkaparan di medan, dan darah mengalir di bumi. Maka segala
orang Melaka pun habis lari lalu ke air, melainkan Seri Nara Diraja
dan Khoja Baba yang lagi berdiri, tiada bergerak daripada tempatnya.
Maka Maharaja Jaya dan Tun Demang pun datanglah bersama-sama
dengan segala orang Kampar yang banyak itu; rupa senjata seperti
hujan mencurah datangnya ke hala Seri Nara Diraja dan Khoja Baba,
maka kata Seri Nara Diraja pada Maharaja Jaya, seraya menimang
lembingnya, “Tuanku, tanah sedikit ini henak sinda pohonkan, jikalau
digagahi juga hendak diambil; lembing anugerah paduka kakanda ini
sinda persembahkan di dada.” Maka oleh Tun Demang, ditikamnya
Khoja Baba dengan lembingnya, kena rusuknya, tetapi menyisip.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
38

Maka oleh Khoja baba diuraikannya Terigkoloknya; maka katanya


pada Seri Nara Diraja; “Orang Kaya, beta luka!” maka dibebat oleh
Seri Nara Diraja. Akan Khoja Baba Senjatanya panah perisai; maka
dipanahnya kena pelipisan Tun Demang terus menyebelah. Maka Tun
Demang pun tersungkur dibawah gajah Maharaja Jaya. Maka kata
Khoja Baba, “apa rasa Tun Demang?” setelah Maharaja Jaya melihat
Tun Demang mati, maka Baginda pun terlalu marah, segera
menampilkan gajah mengusir Seri Nara Diraja. Maka oleh Seri Nara
Diraja, ditikamnya dengan lembing yang ditangannya itu, kena dada
Maharaja Jaya, terus kebelakangnya, lalu jatuh dari atas gajah ke
tanah, maka Maharaja jaya pun matilah. Setelah orang Kampar
melihat Maharaja Jaya dan Tun Demang sudah mati itu, maka
sekalian pun pecahlah, lalu lari. Maka perikut oleh orang Melaka,
dibunuhnya, lalu dimasukinya ke dalam kota sekali. Maka orang
Melaka pun merampaslah, terlalu banyak beroleh rampasan. Dan
kota itu, dibakarnya sekali. Kampar diserahkan kepada Seri Nara
Diraja, maka Seri Nara Dirajalah yang pertama meletakkan Kampar
itu Adipati.”44

Tidak cukup Kampar, begitu pula halnya Siak, yang penguasanya telah
menggunakan gelar Maharaja dan menolak untuk mengakui penguasa
atasan dari Melaka. Akibatnya, Siak ditaklukkan dengan konsekuensi
sejumlah besar barang jarahan yang dilakukan oleh pasukan Sultan Mansur.
“Arakian maka Sultan Mansyur Syah pun hendak menyuruh
menyerang Siak, Akan Siak itu dahulu kala negeri besar, Maharaja
Parameswara nama rajanya, asalnya daripada raja Pagar Ruyung
yang dahulu, tiada mau ia menyembah ke Melaka; sebab itulah maka
baginda suruh serang. Adalah yang dititahkan itu Seri Udana dan
enam puluh banyaknya kelengkapan yang pergi itu, Sang Jaya
Pikrama, dan Sang Surana dan Akhtiar Muluk, dan Sang Aria
dititahkan baginda pergi sama-sama dengan Seri Udana… setelah
sudah lengkap, maka Seri Udana pun pergilah dengan segala
hulubalang yang tersebut itu. Setelah beberapa hari di jalan, maka
sampailah ke Siak. Maka dipersembahkan orang kepada Maharaja

44 Ibid, hal.148-151, A-184, B-150; A-185,B-151; A-186; B-152,A-187.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
39

Parameswara “kelengkapan Melaka datang menyerang kita.” Maka


baginda memberi titah pada mangkubuminya yang bernama Tun Jana
Pakibul, menyuruh mengampungkan segala rakyat dan memperbaiki
kota, dan berlengkap senjata, maka kelengkapan Melaka pun
mudiklah. Adapun kota Siak itu ditepi sungai; maka oleh orang
Melaka, segala kelengkapan dikepilkannya berkembar dengan kota
Siak. Maka oleh orang Melaka ditempuhinya sekalian dengan senjata,
rupanya seperti air turun dari atas bukit; maka rakyat Siak pun
banyaklah matinya. Bermula Maharaja Parameswara berdiri dikepala
kotanya, menyuruhkan segala rakyatnya berperang. Setelah dilihat
oleh Akhtiar Muluk, maka segera dipanahnya, kena pada dada
Maharaja Parameswara terus, maka Maharaja parameswara pun
matilah. Setelah rakyat Siak melihat rajanya sudah mati, habislah
pecah lari cerai-berai; maka kotanya pun dibelah oleh orang Melaka,
dimasukinya; sekalian menawan dan merampas, terlalu banyak
beroleh rampasan.” 45

Pada saat yang sama, Sejarah Melayu jelas mengungkapkan pandangan


bahwa klaim Melaka atas Siantan dicabut, untuk itu dinyatakan dengan jelas
bahwa Siantan menjadi wilayah Laksamana [Melaka], untuk dirinya dan
orang-orang yang datang setelahnya.46 Dengan pemahaman tentang pola
pergeseran perdagangan internasional, maka ekspansi Melaka atas klaim
teritorial menjadi semakin jelas. Ketika Sultan Mansur Syah berhasil naik
takhta sekitar tahun 1458, perdagangan dengan India dan China mengalami
perkembangan pesat. Sebagian besar kesuksesan komersial ini disebabkan
pertukaran kain India untuk emas yang dibawa Minangkabau dari hulu sungai
di pesisir timur. Pada pertengahan abad ke-16, penulis sejarah Portugis De
Couto mencatat bahwa pedagang Minangkabau kadang-kadang
menyampaikan sebanyak 8 candil (berat sekitar 500 lbs) emas pada suatu
waktu ke Melaka47. Tanpa koneksi Minangkabau, kemakmuran ekonomi
Melaka tentunya akan mengalami penyusutan; dan ini menjadi logis bila
faktor kontrol atas sungai di pantai timur akan membantu menjamin akses ke
pedalaman Sumatera. Terdapat tiga sungai yang memegang kunci ke dataran

45
ibid, hal.150-151, A-188, B-153; A-189.
46
Ibid, hal.129, B-131, A-157.
47 Pires 1944 1:. 244-5, 263; Boxer,1968: 94

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
40

tinggi Minangkabau: Siak, Kampar dan Inderagiri. 48 Selain itu, sungai ini
adalah sumber penting ekonomi yang berada di tangan mereka sendiri,
dengan Kampar dan Inderagiri khususnya menikmati reputasi sebagai tempat
“kaya” karena emas yang ditemukan di hulu sungai mereka. Banyak hasil
hutan dan laut lainnya tersedia di sini bisa sebagai sama berharganya dengan
logam mulia. Kampar misalnya, terkenal karena aloeswood aromatic
(gaharu), dikatakan layak sama dengan emas di India49 Tetangganya Siak,
sama dikenal dengan batu bezoar yang ditemukan dalam perut babi hutan,
monyet, landak dan hewan lain. Dihargai karena dugaan obat dan magis
mereka, batu bezoar konon bisa bernilai sepuluh kali berat emas. Sungai-
sungai dan pulau-pulau lepas pantai Sumatera pantai timur yang juga domain
dari berbagai kelompok Orang Laut, dimana pemilikan pengetahuan tentang
laut dan rawa bakau pesisir, menjadikannya sebagai sumber ekonomi yang
penting. Mereka membawa produk eksotis dari lautan ke pasar, dan yang
memiliki kemampuan menyerang menempatkan mereka dalam
perkembangan pasar budak, seperti yang terjadi di Rokan.50
Urutan episode yang disajikan oleh Sejarah Melayu menunjukkan bahwa
perpanjangan pengaruh Melaka ke kawasan Laut Cina Selatan adalah sama
signifikannya. Tak lama setelah ia kembali dari Jawa, menyusul pengalihan
kedaulatan atas Siantan, Sultan Mansur mengirimkan misi ke Cina. Teks
kemudian menjelaskan bagaimana Sultan Mansur mengirim pasukan untuk
mengalahkan Pahang.51 Dengan menempatkan kisah ini dalam konteks
sejarah, kita dapat melihat bahwa kontrol atas Pahang dan pulau-pulau lepas
pantai Pulau Tioman, Aor dan Tinggi sekarang telah ditambahkan ke
kepulauan Siantan. Sejarah Melayu juga mengisyaratkan unsur penting
lainnya dalam akuisisi Inderagiri dan Siantan. Wilayah ini sebelumnya berada
di bawah Jawa, dan transfer mereka ke Melaka terjadi dalam konteks
persaingan Melayu dengan orang Jawa. Selama misi Melaka ke Majapahit,
bangsawan muda Melayu terus-menerus membayangi dan mempermalukan
rekan-Jawa mereka karena kecerdikan dan keberanian yang lebih besar.
Batara Majapahit sendiri mengakui bahwa 'Orang-orang dari Melaka jauh

48 Dobbin,1983: 6.
49
Castanheda 1979: 651.
50 Pires 1944,11: 149; Sopher 1965: 110-13.
51 Brown 1952: 89-92, 95-6

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
41

lebih tajam dibandingkan dengan negara lain! Tidak ada yang akan
memenangkan kesempatan dengan mereka dalam permainan apa pun,
“Terlalu cerdik raja Melaka daripada raja-raja yang lain.”.52
Menyadari manfaat yang diperoleh dari hubungan Sumatra timur dan Laut
Cina Selatan, abad ke-17 Melayu akan melihat keberhasilan Melaka dalam
membujuk Majapahit untuk melepaskan kontrol atas Inderagiri dan Siantan
sebagai bukti lebih lanjut dari kecerdasan “nenek moyang.” Pentingnya
agenda ini juga dikuatkan oleh fakta tentang legenda yang mengingat transfer
penguasa atasan dari Jawa ke Johor yang masih ditemukan di antara pulau-
pulau Pulau Tujuh pada akhir abad ke-19.53 Akan tetapi sebagaimana
dikemukakan Barbara Andaya,
benarlah bahwa “Sejarah Melayu” tidaklah dapat diperlakukan
sebagai gudang informasi faktual. Meskipun demikian, “Sejarah
Melayu” memberikan beberapa petunjuk tentang asal-usul Riau dan
konsepsi asli dari kebersatuan wilayah yang terdiri dari pulau-pulau,
pesisir dan pedalaman dimana kesemuanya itu berorientasi pada
perdagangan internasional.54
Bahwa sebuah Entreport yang strategis telah menarik orang luar kedalam
suatu signifikansi ekonomi yang vital dan strategis. Sementara cerita lengkap
di balik evolusi visi ini tidak akan pernah diketahui, memori Melayu dari awal
abad ke-17 jelas dalam menghubungkan kepada penguasa awal kelima
Melaka, Sultan Mansur Syah. Pemeliharaan visinya, bagaimanapun, adalah
untuk membuktikannya sebagai tugas berat. Lebih khusus lagi, perpanjangan
ambisius Melaka berbasis Daratan-kepulauan yang mewariskan masalah
abadi koherensi dan kesatuan yang telah terbukti diabad terakhir:
pemekaran provinsi Riau Kepulauan, terpisah dari Riau Daratan.

52 A.Samad Ahmad, Sulalatus Salatin, 1978, hal.120-121, A-145; B-122, lihat juga hal.123-125;
permainan yang menunjukkan kecerdikan orang Melaka.
53 Van Hasselt dan Schwartz 1898: 72.
54 Barbara Andaya, 1997.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
42

Kristalisasi Darat dan Pesisir

Pemahaman akan kecenderungan hingga terpisahnya asosiasi Kepulauan-


Daratan dari “imperium” Riau, kemudian dinamika hulu(Darat) dan
hilir(Pesisir) di daratan sebagaimana telah kita lihat dapat diperiksa dari
model politi Melaka yang nampaknya juga mengadopsi model pendahulunya;
Sriwijaya. Selain Sejarah Melayu, pusat peradaban Melayu di Melaka
Semenanjung, dapat juga ditarik kembali dalam konteks kemaharajaan
Sriwijaya yang pada awalnya di elu-elukan sebagai suatu “imperium” Melayu
di Sumatra selatan. Konsep imperium ini, dikritisi menyangkut apa yang
umum diyakini kalangan ilmuwan barat sebagai “Negara Kota” ala Max
Weber; Bahwa dikatakan seperti halnya Melaka, pusat politi Sriwijaya
diyakini tidak mewakili apa yang dinamakan Negara-Kota tersebut,
disebabkan Melaka ataupun Sriwijaya tidak memiliki wilayah pedalaman yang
berfungsi sebagai penyedia kebutuhan pokok-beras, ataupun kebutuhan
dasar bagi warga Negara-kota yang padat pemukim, sehingga kesemuanya
membutuhkan barang-barang melalui jalur impor. Kondisi ini, menyebabkan
“imperium” tidaklah dianggap menyerupai sebuah provinsi, melainkan adalah
suatu lingkup istana yang dikelilingi oleh wilayah yang dikuasainya secara
langsung. Sebaliknya, politi Sriwijaya nampaknya lebih dari sekedar politi
pelabuhan-seperti-kebanyakan politi-politi lain di Asia Tenggara, bahwa
Sriwijaya sejatinya adalah “Negara-Kota” sama halnya dengan Melaka, yang
baik secara awal berdiri maupun secara berangsur-angsur memperluas
cakupan wilayah kekuasaannya atas wilayah hulu sungai; Manguin
mengistilahkannya sebagai “pusat yang terbatas, pinggiran-pinggiran yang
meluas.”55 Lebih jauh, Manguin menunjukkan beberapa ungkapan yang
tertera dalam Hikayat Hang Tuah, ataupun Sejarah Melayu;
Maka terdengarlah kepada segala anak sungai dan teluk rantau yang
banyak itu bahawa sekarang negeri Bentan itu adalah raja… (HHT:18)
Maka bendahara (..) mengerahkan segala orang besar-besar yang
memegang anak sungai dan teluk rantau itu suruh bawa rakyatnya ke
Inderapura (HHT:445) .. segala rakyat dalam negeri Melaka itu

55
Pierre-Yves Manguin, Sifat Amorf Politi-Politi Pesisir Asia Tenggara Kepulauan: Pinggiran-
Pinggiran yang Meluas, dilihat dalam “KEDATUAN SRIWIJAYA,” Kajian Sumber Prasasti dan
Arkeologi, tahun 1989, edisi kedua, 2014, hal.315-388.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
43

sampai habis pada segala teluk rantau dan anak sungai jajahan yang
takluk ke Melaka itu (HHT: 517) .. jadi tiada diambilnya negeri dengan
segala anak sungainya itu oleh Wolanda yang duduk di Melaka dan
Jayakatra itu ..(HHT:525)… Maka (..) dirusakkannya segala teluk
rantau jajahan Melaka (SM:145) .. pada zaman itu rakyat Melaka juga
sembilan laksa banyaknya, lain pula rakyat segala teluk
rantau...(SM:225). 56
Bahwa ungkapan anak sungai dan teluk rantau, meng-konotasi-kan hal yang
sama sebagai wilayah pinggiran yang takluk kepada negara pusat, pemukiman
yang tersebar di sepanjang aliran anak sungai sebagai daerah yang diperintah
oleh pusat kekuasaannya di hilir sungai primer. Bahwa para arkeolog telah
mengembangkan model fungsi politi hubungan hulu-hilir dengan pusat
berada di hilir sungai utama, dan serangkaian pinggiran pada anak-anak
sungai: model yang terutama dikembangkan oleh Bennet Bronson 57 yang
merefleksikan apa yang dikisahkan dalam teks-teks Sejarah Melayu. Bahwa,
diyakini model hubungan hulu-hilir dengan Sriwijaya sebagai pusatnya, candi-
candi dibangun disepanjang anak sungai atau muaranya, menunjukkan bahwa
telah terdapat kehadiran kekuasaan politik untuk membangun situs ritual
tersebut yang dipastikan membutuhkan pula sejumlah sumber daya;
kemakmuran. Bahwa potensi kemakmuran yang berasal dari hulu sungai,
dibawa menuju pusat-pusat pertukaran di bandar utama seperti Melaka,
dimana penduduk negeri taklukkan pun memperoleh imbalan akses produk
barang bergengsi dari lintas perdagangan dunia. Ilustrasi dinamisnya
keikutsertaan negeri pedalaman-pesisir taklukkan dalam jejaring perdagangan
dunia si Selat Melaka, segera menjadi salah satu bahan bakar bagi
meningkatnya kesulitan dalam mempertahankan penguasaan atas perluasan
wilayah; yang segera saja menjadi semakin jelas dalam hal pantai timur
Sumatera di mana banyak kerajaan kecil memiliki sejarah panjang
pengembangannya sendiri yang mandiri, dan merasa gelisah berada dibawah
“pusat” kemaharajaan Melaka. Sultan Mansur dan penerusnya, jelas
menyadari kebencian ini, dan tampaknya berharap bahwa aliansi pernikahan
akan membawa situasi kearah rekonsiliasi. Segera setelah kembali ke Melaka,
Sultan Mansur menikahkan putrinya dengan penguasa Inderagiri, sedangkan

56
Manguin, 316-17
57 Bronson:1977, 43
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
44

putra penguasa Siak menikah dengan putrinya yang lain. Selanjutnya anak
sulung dari Sultan Alauddin Melaka (1477-1488) dinabalkan sebagai Sultan
Kampar. Meskipun demikian, tindakan tersebut tidaklah memadai untuk
membangun superioritas Melaka. Sejarah Melayu misalnya, mencatat
sebuah insiden ketika penguasa Siak menjatuhkan hukuman mati tanpa
meminta izin dari Sultan Alau’d-Din.
“ALKISAH maka tersebutlah perkataan Sultan Ibrahim, raja Siak. Ada
seorang salah pada baginda, maka disuruh baginda bunuh pada Tun
Jana Pakibul. Maka kedengaran ke Melaka, raja Siak membunuh
orang tiada memberi tahu ke Melaka. Maka Sultan Alau’d-Din
menitahkan laksamana ke Siak. Setelah sampai, maka oleh Sultan
Ibrahim disuruh jemput surat dari Melaka itu, seperti adat Sultan
Pahang menjemput surat dari Melaka. Maka gajah dikepilkan di
balairung, maka Sultan Ibrahim pun duduk, dan surat pun dibaca
orang. Setelah surat dibaca, maka segala orang naiklah duduk.
Maka Laksamana pun berkata pada Tun Jana Pakibul, Perdana
Menteri Siak, ‘Sungguhkah tuan hamba membunuh Tun anu itu?’
maka sahut Tun Jana Pakibul, “Oleh dengan titah, maka hamba
berani; kerana ia derhaka ke bawah duli Yang DIpertuan.” Maka
laksamana mengadap kepada Tun Jana Pakibul, mengiring kepada
Sultan Ibrahim; oleh Laksamana ditunjuknya Tun Jana Pakibul dengan
tangan kirinya, katanya, ‘Tiada berbudi tuan hamba, sungguhlah tuan
hamba orang hutan, maka tiada tahu akan adat istiadat dan cara
bahasa. Benarkah membunuh orang tiada memberitahu ke Melaka?
Hendak maharajalelakah tuan hamba di Siak ini?’ maka Sultan
Ibrahim dan segala Orang Besar-besar semuanya diam, tiada
menyahut kata Laksamana Hang Tuah itu.” 58
Di Kerajaan Melaka, para bangsawan muda kehilangan kesempatan untuk
dapat mempermalukan rekan-rekan Inderagiri mereka, yang ternyata lebih
dari sekedar orang-orang Inderagiri yang biasanya dapat dilakukannya.59
Dalam tahun-tahun berikutnya penguasa Kampar terjebak dalam konflik
bersaudara, dan kedua pihak pun terus-menerus berselisih.60 Ketegangan ini

58
A.Shamad Ahmad: 1978, hal.184; B-190,A-237.
59
Brown 1952: 117, 139, 214.
60 Hashim 1992b: 214; Barbara Andaya,1997.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
45

menjadi sedemikian terbukanya ketika Melaka jatuh ke tangan Portugis pada


tahun 1511. Sumber-sumber Eropa menunjukkan bahwa beberapa kerajaan
melihat kekalahan tuan mereka sebagai kesempatan untuk kemerdekaan
baru. Memang benar demikian, pada tahun 1514 penguasa Kampar
menawarkan jasanya untuk Portugis, menolak sanak Melaka-nya yang
berlindung di Pulau Bintan di kepulauan Riau-Lingga.61
Meskipun demikian, perkembangan ini tidak berarti bahwa ikatan
keluarga dan budaya yang berbasis Melayu menjadi tersisih.
Perlu dipertimbangkan bahwa mantan penguasa Melaka, Sultan Mahmud,
melarikan diri ke Kampar di Pekan Tua pada tahun 1526 ketika sebuah
ekspedisi Portugis menghancurkan Bintan, dan pangeran Johor sebagai
keturunan Melaka, terus dipasang sebagai penguasa di tempat-tempat
seperti di Kampar dan Siak. Raja Johor masih dihargai oleh kaum kerabat
mereka di Sumatera Timur pada saat bahaya, dan dalam tahun kemudian
Inderagiri, Kampar dan Siak semuanya memberikan bantuan mereka ketika
Johor diancam oleh Aceh.62 Pada awal abad ke-17 hubungan ekonomi yang
diperkuat karena Johor telah pulih secara komersial, dan kembali berposisi
sebagai pusat pertukaran utama di wilayah ini. Secara etimologi, dengan
berpusat di Bintan, 'kata “Riau” merupakan nama untuk kesibukan dan
keaktifannya (riuh-rendah). Meskipun demikian, loyalitas daratan nampaknya
tidak akan pernah bisa ditebak, sebagian disebabkan kemandirian ekonomi
dan juga ambisi para pemimpin lokal. Misalnya, akses ke emas hulu berarti
pedagang Kampar akan disambut di seluruh nusantara, dan pada akhir abad
ke-16, Makassar mengidentifikasi mereka secara jelas sebagai kelompok yang
terpisah.63
Bahkan persoalan lebih mendasar dalam ketegangan Daratan-
kepulauan adalah kondisi kharakter Melayu dari negara-negara
pantai timur-karena meningkatnya migrasi orang Minangkabau ke
sungai Kampar, Siak dan Inderagiri. Migrasi ini memunculkan

61
Brown 1952: 172; Tiele 1877: 366; Andaya 1975: 21. Raja Kampar, Sultan Abdullah yang
merupakan menantu Sultan Mahmud Syah, diangkat oleh Portugis sebagai bendahara orang-
orang asing di Melaka, juga diiming-iming akan diangkat menggantikan kedudukan mertuanya
itu, lihat Ahmad Dahlan,PhD, 2014; hal.157.
62 Andaya 1975: 21-5; Ali Haji 1982: 18.
63 Villiers 1990: 150.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
46

masyarakat “hibrid”(kacukan) yang menggabungkan kedua nilai;


Melayu dan Minangkabau.
Akan tetapi, meskipun Melayu menempatkan Minangkabau dengan rasa
hormat, terdapat anggapan bahwa selalu ada rasa bahwa kultur campuran
yang berkembang dari interaksi Melayu-Minangkabau tidaklah “benar-benar
Malay,”64 meskipun “kemurnian” Kemelayuan Melaka sendiri bahkan
nampaknya masih menjadi perdebatan.65 Frasa Melayu Kacukan, juga dimiliki
Melayu Melaka sebagaimana perkataan Laksmana Hang Tuah berikut ini: 66
“Maka kata biduan itu: ‘Baiklah tuanku; ragam apa diperhamba palu
ini karena ragam orang Indrapura bukan Melayu? Sungguh beta
Melayu, kacukan juga bukan seperti Melayu Melaka sungguh.’ Maka
Laksamana pun tersenyum seraya berkata: ‘Orang Melaka gerangan
Melayu kacukan, bercampur dengan Jawa Majapahit!’ Dayang pun
satu sebagai hendak mengajuk beta pula." Setelah biduan lima orang
itu mendengar kata Tun Tuah itu, maka ia pun berpaling, malu-malu
bahasa seraya berkata: "Tuan ini pun satu, sebagai pula beta berkata
benar menjadi salah." Maka Laksamana pun berpaling sambil
tersenyum. Maka biduan lima orang itupun tertawa sambil mengambil
rebana lalu dipalunya. Maka piala pun dilarah oranglah kepada
Laksamana. Maka rebana pun berbunyilah kelimanya setala. Maka
biduan itu pun bernyanyilah terlalu merdu suaranya. Maka Tun Jenal
pun berbangkit menari, dua tiga langkah dianggapkannya kepada
Laksamana. Laksamana pun berbangkit menari serta membaiki
panjang kainnya dan mengiringkan keris panjangnya. Maka kata
Laksamana: "Jangan sahaja diajuk, karena orang Melaka dan tuannya
bercampur, Jawa Majapahit. Tiada tahu menari." Maka sahut Tun
Jenal: "Kata apa tuan katakan itu? Kita bermain adik-beradik;
hendaklah jangan menaruh syak di hati." Maka Laksamana pun
menarilah terlalu manis tarinya, tiada pernah orang Indrapura melihat
tari seperti tari Laksamana itu. [...] Setelah sudah minum maka
Laksamana pun dipersalin oleh Bendahara Sri Buana dan Tun Jenal,

64 Barbara Andaya,1997.
65 Lihat H. Maier, We are playing relatives; Riau, the cradle of reality and hybridity dalam:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, hal.
672-698
66 Lihat Ahmad, 1975, hal.189 dalam H. Maier, 1997, hal. 673-674

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
47

dipersalin pakaian selengkapnya. Maka Laksamana pun memberi ikat


tangan akan biduan itu, kain baju lima serupa.”
Untuk komunitas migran atau rantau, kedekatan sangat bergengsi dengan
penguasa Minangkabau tetap menjadi magnet budaya yang kuat; tarikan
kemaharajaan Minangkabau tampak jelas dalam laporan Portugis dari
tahun1561 yang mencatatkan putra raja Kampar.67 Pendatang baru
Minangkabau cukup bersedia untuk mengabaikan Johor jika mereka sebagai
penguasa atasan dianggap merugikan secara ekonomi, dan kesetiaan
emosional mereka adalah penguasa Pagaruyung di pedalaman Minangkabau,
dan bukan untuk seorang raja Melayu. Sehingga Johor mungkin saja
mengklaim otoritas atas Siak, Inderagiri, Rokan dan Kampar, namun
pengakuan otoritas ini tidak pernah mencapai jauh melampaui dataran
rendah. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah penulis yang telah berkomentar
mengenai hubungan ketegangan antara darat-pesisir (ulu-ilir) di Sumatera,
dan ini sangat jelas pada sistem sungai di pantai timur, di mana penduduk
alam rantau Minangkabau terus mempertanyakan penguasa atasannya:
Johor. Sebagai contoh, emas yang diproduksi di daerah Patapahan di hulu
Siak yang dihuni oleh migran Minangkabau, hanya menerima kedaulatan
Johor di tahun 1643, dan selalu berposisi sebagai pengikut yang gelisah.68
Penemuan timah di hulu Rokan dan Siak, memberikan penduduk setempat
kekuatan untuk kemandirian, dan meskipun terdapat tawaran dari Johor,
mereka menunjukkan preferensi untuk perdagangan langsung dengan
Melaka, yang sejak tahun 1641 berada di bawah kekuasaan Belanda. Upaya
Johor untuk menegakkan loyalitas pedagang Minangkabau di Sungai Siak dan
di tempat lainnya, hanya menjadi penyedia bahan bakar saja bagi
menguatnya permusuhan. Inderagiri, negeri vassal lainnya dari Johor
berulang kali diserang oleh orang Minangkabau di hulu Kuantan. Tumbuhnya
permusuhan terhadap Johor dikalangan masyarakat Minangkabau di Siak
terlihat mencolok pada tahun 1682 ketika masyarakat darat berusaha
membangun kerajaannya sendiri. Meskipun Johor berhasil menghancurkan
pemberontakan ini, hal itu dicapai dengan cara yang harus meninggalkan
kenangan pahit.69 Lalu, pembunuhan penguasa Johor oleh bangsawan di
tahun 1699 memperburuk situasi sentrifugal tersebut; pada dasarnya telah

67
Boxer 1968:94
68
Andaya 1995: 537-32; Andaya 1975: 133, 146, 178
69 Andaya 1975: 90, 106-7, 108110, 112, 131-2

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
48

merusak ekonomi dan kesetiaan budaya yang telah didirikan dengan pesisir
timur. Suksesi mantan bendahara tidak pernah diterima oleh banyak orang
Melayu, yang menuduhnya durhaka (makar), kejahatan keji. Pada masa ini,
banyak Orang Laut sebagai hamba Riau yang paling setia, meninggalkan
Johor, meskipun sementara itu di Sumatera sendiri, ternyata prestise mereka
itu jelas-jelas terlihat jauh dari harapan.
Awal abad ke-18 terjadi pemberontakan, terutama di kalangan Minangkabau
dipedalaman Siak pada tahun 1705 dan di Inderagiri pada tahun 1706. Raja
muda Johor dipaksa untuk menggunakan kekuatan untuk mempertahankan
calonnya sendiri sebagai Sultan Inderagiri.70 Untuk periode yang singkat
setelah tahun 1718 tampaknya mungkin saja bahwa dinasti Riau baru di
bawah pemimpin Raja Kecil memberi legitimasi baru untuk visi Daratan-
Kepulauan dari Sultan Mansur. Raja Kecil, yang mengaku sebagai anak dari
penguasa Johor yang dibunuh, memiliki imprimatur dari ratu Pagaruyung, dan
juga klaim yang diterima secara luas; baik di kalangan orang Melayu maupun
Minangkabau. Selain itu, sumber Eropa dan adat menunjukkan bahwa ia
dielu-elukan sebagai penguasa Johor yang sah oleh Orang Laut, yang
wilayahnya membentang tanpa batas dari Sumatera timur hingga kawasan
Laut Cina Selatan. Kita dapat saja berandai-andai,
“sejarah Riau mungkin saja akan sangat berbeda jika Raja Kecil
mampu mempertahankan kekuasaannya atas Bintan dan kepulauan
Riau-Lingga.”
Akan tetapi, pada saat itu pemain baru pun muncul di sana. Sekelompok
Bangsawan Bugis, petualang dari Sulawesi yang mencari tanah air baru di
barat, melihat situasi di Riau sebagai peluang yang bisa diubah untuk
keuntungan mereka. Meskipun Raja Kecil berada di posisi yang kuat, ia
tampaknya memutuskan menekan keuntungan karena istri dan kerabatnya
jatuh ke tangan Bugis. Pada 1728 Bugis berada dalam posisi sebagai
pengontrol Riau dan telah mencapai kesetaraan dengan penguasa Melayu,
Sultan Sulaiman. Dengan mundurnya Raja Kecil ke Siak, ia akhirnya terpaksa
melepaskan harapan akan kembalinya Riau. Membangun dukungan
masyarakat Minangkabau di sepanjang pantai timur, dan sebuah dinasti baru
pun didirikan di Siak. Pada tahun-tahun berikutnya dua putra Raja Kecil ini,

70 Andaya1975: 211-227
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
49

Raja Alam dan Raja Mahmud, bersitegang untuk memperoleh akses kontrol,
masing-masing berusaha untuk mendapatkan dukungan dari Sultan Sulaiman,
dan secara berkala kembali ke basis di Siantan dimana mereka bergabung
dengan Orang Laut dalam kegiatan pembajakan. Meskipun Sultan Sulaiman
melanjutkan klaimnya sebagai penguasa atasan di Siak, pengaruhnya dapat
dikatakan terbatas, dan pengaruh ini pun semakin berkurang pada tahun
1746, ketika ia menyerahkan Siak kepada Belanda untuk imbalan bantuan
dalam mengantisipasi terhadap serangan Bugis dan Minangkabau. Bagian
akhir abad ke-18 terlihat betapa progresifnya Siak dan daerah pesisir timur
lainnya terhadap Johor. Pada 1761 Belanda dibantu Raja Alam, putra sulung
Raja Kecil, untuk mengambil alih kendali atas Siak, akan tetapi tetap ada
keberlanjutan perjuangan untuk penguasaan kontrol antara cabang-nya dari
keluarga dan keturunan Raja Mahmud. Meskipun sengketa ini berlanjut
hingga ke generasi ketiga, pernikahan putri Raja Alam dengan Said Osman
secara substansial dipandang telah meningkatkan prestise keluarga penguasa
Siak, sedangkan bagi pemukim Arab di pelabuhan pantai timur, terutama
Kampar, telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi mereka. Sementara itu,
kontrol teritorial Siak itu terus berkembang ke pantai timur, dan pada tahun
1780 telah mencapai hingga sejauh Deli. Aliansi dengan VOC membawa
kepada peluang baru ala Eropa; Sultan Muhammad Ali dari Siak bahkan
didudukkan sebagai penguasa Selangor menyusul kekalahannya oleh Belanda
pada tahun 1785.
Akan tetapi, tidak satu pun dari perkembangan ini memupuk
pemulihan kaitan politis lama dengan Johor, yang efektif dilupakan
pada saat cucu Raja Alam, Said Ali (1791-1821), ia berhasil bertahta
sebagai penguasa Siak Sri Inderapura yang independen.
Said Abdullah, saudara dari Said Ali, menjadi Tengku Besar Kampar, dengan
rute menguntungkan yang mengarah ke Minangkabau. Tantangan ekonomi
Siak terhadap Riau jelas terlihat dalam perkembangan perdagangan dengan
Belanda yang memerintah Melaka, dan pelabuhan Inggris di Penang, sukses
itu lebih menyakitkan karena sebelumnya kemakmuran Riau telah menurun
tajam setelah serangan Belanda pada tahun 1784. Pada tahun 1761 misalnya,
jika hanya empat kapal saja tiba di Melaka dari Siak; akan tetapi pada tahun
1783, angka ini telah meningkat drastis mencapai 171. 71 Kebencian elit Riau

71 Lee 1986: 62-3


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
50

terhadap Siak terasa jelas dalam sikap bermusuhan yang diadopsi oleh Tuhfat
al-Nafis ketika menggambarkan pemimpin Siak sebagai orang yang bernafsu
dengan kekayaan dunia (Ali Haji 1982: 173). Di bawah pemerintahan Sultan
Abdul Jalil Saifuddin (Said Ali), Siak dikembangkan menjadi konfederasi
longgar atas entitas politik lokal yang membentang dari Kampar hingga
sejauh utara Asahan dan Deli. Selama pendudukan Inggris di Melaka (1795-
1816), perdagangan dengan Siak tetap kuat. Pengembangan perkebunan lada
juga ditingkatkan terutama pada jaringan perdagangan Siak. Dan memang,
untuk waktu yang singkat,
tampaknya mungkin saja bahwa Siak telah menciptakan negara baru
berbasis Daratan dengan sistem vassal-nya sendiri.
Pada tahun 1811 misalnya, Kampar telah diberikan status baru dengan
ibukotanya di Pelalawan.72 Mengingat ambisi tersebut, kehadiran penguasa
Siak di perhelatan kerajaan di Riau pada 1804 dan pernikahannya dengan
seorang putri Riau tidak meredakan ketegangan antara mantan tuan dan
pengikut tersebut. Seorang utusan Riau ke Siak, sedemikian ketatnya telah
diberikan instruksi:
“Jangan memberi penghormatan kepada Yang dipertuan Siak!” 73
Meskipun demikian, fakta yang menguatkan kehadiran Johor untuk terus
bersama-sama dengan pantai timur, terbatas hanya berada di daerah Reteh
dan di Inderagiri; bahkan di sini ada tekanan dari kelompok Minangkabau
hulu, dan Tuhfat al-Nafis menggambarkan tersingkirnya penguasa Inderagiri
oleh empat pangeran dari Minangkabau. Otoritas Johor di Inderagiri
dipulihkan melalui upaya pemimpin Bugis Riau, Yang Dipertuan Muda Raja
Haji (1777-1784), akan tetapi meskipun telah dilakukan aliansi kerajaan
melalui hubungan pernikahan, daerah Inderagiri-Reteh tetaplah gelisah.
Reteh sendiri menjadi basis bajak laut Ilanun pada akhir abad ke-18, dan di
Inderagiri adalah bukti yang menunjukkan ketahanan yang memadai bagi
penguasa atasan: Riau. Secara berkala pemimpin agama pun berusaha untuk
membangun kekuatan independen, dan kampanye militer yang diperlukan
untuk mempertahankan kedaulatan Riau.74 Bahwa kemiripan rezim

72
Faes, 1882: 507, 511.
73Ali
Haji, 1982: 213.
74 Ali Haji, 1982: 118-9, 194,217

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
51

tradisional yang bertahan hingga Perang Dunia II, akan tetapi juga di sini
tampak suatu keterbatasan yang ditetapkan oleh kolonialisme Belanda telah
menggerus kepemimpinan tradisional. Setelah kematian Sultan Abdul Jalil di
tahun 1821, kemampuan penguasa Siak untuk bertindak independen semakin
menyusut sebagai akibat dari penurunan ekonomi yang disertai dengan
peningkatan tekanan Eropa. Munculnya gerakan militan kaum Padri di
Minangkabau yang mengganggu aktifitas perdagangan dengan pedalaman,
dan bahkan pada tahun 1823 setidaknya seorang pengamat barat menilai
bahwa Siak bukan lagi negara yang kuat dan mandiri - itu hanya lima belas
atau dua puluh tahun yang lalu, ketika Siak adalah tempat perdagangan yang
besar; bahkan Anderson ketika berkunjung, ia menyatakan tidak terkesan
dengan apa yang disaksikannya.75
Kontrol pesisir atas masyarakat Minangkabau di darat selalu sulit, dan
tanpa individu yang kuat akan menjadi jauh lebih sulit lagi untuk dapat
senantiasa mempertahankan otoritas atas beragam wilayah Siak,
terutama dengan banyaknya calon raja atau pemimpin. Permusuhan
antara pangeran yang juga diperparah oleh keterlibatan Belanda dan
Inggris, juga berupa dorongan yang mereka berikan kepada keinginan
lokal untuk kemandirian yang lebih besar. 76
Mengingat tekanan untuk ekspansi imperium, nampaknya situasi sudah
matang bagi intervensi Eropa, terutama karena kebanyakan kolonialis
Belanda percaya tentang pentingnya kontrol atas pantai Timur Sumatra, jika
mereka harus melindungi kepentingannya. Melemahnya Siak dengan klaim
teritorial yang membentang hingga ke utara di perbatasan Aceh telah
menjadi undangan terbuka bagi ekspansi-eksploitasi. Berharap dukungan
dalam menghadapi militansi Aceh, pemimpin Siak menandatangani perjanjian
dengan Belanda pada tahun 1858 di mana mereka, seperti rekan-rekan
mereka di Inderagiri, menyatakan negara mereka segera menjadi bahagian
dari Hindia Belanda dan di bawah kedaulatan Belanda. Meskipun demikian,
proses ini bukanlah proses yang singkat dan sebagai akibat situasi internal
Siak semata, melainkan sebagai dampak perseteruan dua kolonialis; Inggris
dan Belanda.

75
Anderson 1971: 343.
76 Barbara Andaya,1997.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
52

Sebagaimana telah dikemukakan, kerajaan Melayu modern di pesisir pantai


timur yang paling terkemuka; Siak, melalui perjanjian dengan Belanda di
tahun 1858 benar-benar kehilangan kedaulatannya. Dapat juga dikatakan
bahwa sejak didirikan oleh Raja kecil; Siak yang sempat mencapai masa
keemasannya sebagai penguasa maritim di kawasan pantai Timur Sumatra
perlahan memudar hingga ditandatanganinya traktat 1858. Momen tersebut
nampaknya menjadi titik awal dari proses kolonialisme negeri-negeri Melayu
di Pantai Timur yang didahului dengan melalui serangkaian kondisi-kondisi,
terutama semenjak Siak mulai kehilangan pengaruhnya dalam kancah
perdagangan di Selat dan melemahnya kerajaan akibat konflik-konflik
internal. Faktor pertama, berkaitan erat dengan meningkat suhu kompetisi
dagang antar bangsa Eropa, yang memuncak pada rivalitas Inggris dan
Belanda dalam menanamkan pengaruhnya di selat Melaka - semenanjung
Malaya. Selain konflik internal kerajaan, rivalitas antar bangsa penjajah yang
berujung pada pembahagian tanah jajahan, dan melalui aneksasi penjajah
mengakibatkan tereduksinya kekuasaan negara Melayu di pesisir sehingga
meretakkan bahkan memecahkan dominasi tradisional atas politi-politi lokal,
digantikan dengan kewilayahan administrasi Hindia. Persoalan ini, akan kita
bahas lebih jauh pada bahagian 6; Aneksasi Pesisir.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
53

Gambar 1.2.Hegemoni Melaka-Johor di Sumatra tahun 1600-1650


Sumber: Robert Cribb,2007.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
54

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
55

2
Menghulu - Menghilir

Bahwa pada era kontemporer nampaknya penjelajahan arsip Eropa atas


wilayah Sumatra akan menemui beberapa titik jenuh; pengulangan informasi
atas suatu bahan yang isinya menjelaskan kondisi komunitas dimana salah
satunya menyangkut hubungan antara darat dan pesisir. Sebuah motif umum
dalam cerita rakyat menyangkut sang pahlawan yang bepergian ke hulu dan
menunjukkan bahwa terdapatnya sebuah pemukiman hulu; Kisah lainnya
menceritakan petualangan nenek moyang mereka yang turun dari pedalaman
untuk membuktikan keberadaannya dihadapan raja pantai. Legenda ataupun
mitos tersebut, jelaslah membawa pesan nyata,
penjajaran hulu(darat) dan hilir(pesisir) ini adalah salah satu hal yang
signifikan. 77
Pada tingkatan “rasa” yang sangat sederhana, darat dan pesisir adalah sarana
dasar dimana orang biasa berorientasi diri dengan lingkungannya. Pengamat
Barat pada abad ke-19 dikejutkan oleh kenyataan bahwa orang mengatakan
darat dan pesisir bahkan ketika tidak adanya air yang terlihat dan bahwa
(mereka menunjukkan) situasi tempat dengan referensi sederhana untuk
pendakian dan penurunan dari sungai. 78 Dalam artian yang lebih luas, sebuah
pembedaan pemahaman darat - pesisir menjadi penting karena hilir yang
mendominasi hulu tidak pernah dilihat sebagai tak terelakkan, dan identitas
terpisah dari pedalaman yang secara konsisten disampaikan, pada abad ke-
18, orang Rejang dengan bangga mengatakan,

77.Barbara Andaya, 1993.


78
Damste, "Het landschap Loeboe Oelang Aling," p. 327; Anderson, Mission to the East Coast of
Sumatra in 1823, p. 390. Pembagian ini jelas saja, suatu tipikal dari kewilayahan ini. Untuk
jelasnya, lihat Drakard, A Malay Frontier, hal.16.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
56

“Malayo tidak; orang hulu betul sayo”.79


Atau sebaliknya, sebagaimana dikatakan oleh Raja Ismail; seorang cucu dari
Raja Kecil pendiri kerajaan Siak,
“kami keturunan raja Siak, bukan Palembang, Kami dah biasa bermain
ombak, anak-anak laut, tidak seperti orang hulu.” 80
“Sense” hulu atau darat yang berbeda dari hilir atau pesisir, sebahagian dapat
ditelusuri dalam sejarah panjang tentang perkembangannya yang terpisah.
Bukti Arkeologi dan linguistik menunjukkan bahwa baik pedalaman
Palembang, Jambi, Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan dihuni oleh kelompok-
kelompok yang berkembang secara independen dari orang-orang di
sepanjang pesisir pantai. Satu gambaran era prehistorian menguntungkan
daerah danau dataran tinggi, seperti orang di sekitar Danau Ranau dan
Kerinci, seperti secara aktif diselesaikan oleh Austronesia awal dan menjalani
kehidupan pertanian dari sekitar 2000 SM dan seterusnya. Prasasti abad ke-7
dari Palembang menyebutkan kuatnya hubungan dengan para pemimpin
pedalaman, dan tahun 500 M telah dianggap berasal dari beberapa monumen
megalitik besar di wilayah Pasemah. Kurangnya kata-kata asal dataran tinggi
di Melayu pesisir Palembang telah menyebabkan ahli bahasa berpendapat
bahwa hal itu dikembangkan dari dialek Melayu pada tahapan ketika dataran
Melayu sudah berbeda. Kontras antara darat dan pesisir ini dipertajam oleh
cara yang berbeda di mana mereka tersentuh oleh dunia luar.
Dunia Sumatra di abad ke-17 dan 18 menunjukkan bahwa perbedaan
dalam bahasa dan adat istiadat telah meluas hingga konotasi "hulu"
disebut tidak hanya untuk sistem hulu sungai, akan tetapi untuk
masyarakat dan gaya hidup yang sangat berbeda dari yang terdapat
di hilir.
Pertimbangan tersebut mencakup sejauh perbedaan-perbedaan yang dapat
dikaitkan dengan kontras fisik dan lingkungan ekonomi. Sebagian besar
dataran pantai yang memanjang di sisi timur Sumatera itu kemudian ditutup
dengan hutan rawa tebal atau rawa, yang bahkan bisa mencapai lebih dari

79 Marsden, The History of Sumatra, p. 42; Forbes, A Naturalist's Wanderings, hal. 199; Collins,
"Besemah Concepts," pp. 57-58. Barbara Andaya, p.14.
80 Timothy P Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves:” Landscape and the Formation of

a Border State in Eighteenth Century Island of Asia, dalam Borderlands in World History, 2014.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
57

seratus kilometer ke pedalaman. Meskipun pohon-pohon hutan rawa sering


tumbuh enam puluh meter atau lebih, mereka tumbuh bukan pada tanah
padat akan tetapi pada luasnya gambut yang dibentuk oleh sisa-sisa tanaman
yang terbawa dari pedalaman. Di tempat-tempat yang ketinggiannya tidak
lebih dari satu meter di atas permukaan laut, hutan rawa tunduk pada
genangan saat air laut pasang, dan Seluruh daerah berubah pula oleh sungai
saat air surut. Akan tetapi, meskipun tanggul tanah lebih subur dibangun di
sepanjang tepian sungai, keberadaan rawa gambut yang letaknya rendah
tetap berada di belakang mereka. Menuju pantai wilayah ini, banjir selama
musim hujan dan bahkan kadang-kadang terjadi untuk sebagian besarnya
dalam setahun, secara bertahap bergabung dengan rawa hutan permanen.
Meskipun padatnya pepohonan dan tanaman merambat menutupi, rawa
tersebut dataran pesisir umumnya tidak cocok untuk pertanian dan karena itu
tidak bisa mendukung pemukiman dalam jumlah yang besar. Basis ekonomi
dataran rendah adalah perikanan, pengumpulan hasil rawa dan laut, dan
pemeliharaan pusat perdagangan regional, yang berada di dataran yang lebih
tinggi adalah seperti di Tanah Putih, Siak, Pelalawan dan Rengat.
Sebaliknya, situasi agak berbeda di pedalaman.
Sungai-sungai yang sama yang membawa sisa-sisa tanaman ke hilir juga
lumpur vulkanik yang diguyur dari Barisan pegunungan tinggi yang
membentang dan memanjang pada tulang belakang Sumatera. Tanah kaya
ini disimpan disepanjang hulu dan bahagian tengah utama sistem sungai,
terutama Kampar, Tembesi dan Batang Hari di Jambi dan Musi di Palembang.
Sehingga, hulu lebih kondusif dibandingkan hilir untuk tempat tinggal
manusia, Pertanian berpindah dimungkinkan melalui pembukaan hutan, dan
tanaman pun bisa ditanam di atas lantai lembah subur yang diukir oleh
sungai-sungai di kaki bukit Barisan besar. Beberapa tanah terkaya dapat
ditemukan di dataran tinggi Padang, dan sebelum berkembang-luasnya
penanaman lada, produksi beras rupanya cukup luas ditemui dibeberapa
distrik untuk memungkinkan berlangsungnya penjualan komersial.
Salah satu hasil yang lebih jelas dari kesuburan yang lebih tinggi dari
pedalaman adalah jumlah penduduknya yang lebih besar. Meskipun
demikian, pada abad ke-17 hingga 19, Belanda mempersepsikan hulu sebagai
“masyarakat kaya” (volkrijk) yang harus disimpan dalam perspektif. Kita dapat
melihat bagaimana Pejabat Belanda memuji kesuburan tanah dari wilayah V

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
58

Koto Kampar dihulu Sungai Kampar Kanan, sebagai negeri yang subur dan
makmur; kemudian lanskap rantau Kuantan, hulu Kampar Kiri dan juga hulu
Rokan. Kontras dengan penggambaran pada abad ke-19 tentang pesisir
Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan yang dikatakannya lebih menyerupai negeri
miskin dengan mal-administrasi pemerintahan yang dikelola oleh pribumi.
Dapat saja orang mengatakan bahwa hal ini mungkin juga lebih menyerupai
prasangka ketimbang analisa. Bahwa berkemungkinan pula disebabkan
kondisi tanah yang paling subur sekalipun dari Sumatera tidak dapat
dibandingkan dengan kondisi di Jawa Tengah, dan pencucian lahan yang
dibuka oleh beratnya Curah hujan Sumatera telah mengalami begitu
banyaknya kehilangan nutrisi dasar. Untuk sebagian besar padi ladang(dry-
culture) lebih banyak dibudidayakan dari pada padi-sawah(wet-culture),
faktor yang pada gilirannya membantu mempengaruhi laju pertumbuhan
penduduk; untuk sementara padi kering membutuhkan lebih sedikit tenaga
kerja, juga menghasilkan lebih sedikit biji-bijian.
Darat, seperti di pesisir, ukuran populasinya sebanding dengan
ekologinya.
Meskipun demikian, tampaknya ada sedikit keraguan bahwa pada awal abad
ke-17 ada lebih banyak orang yang tinggal di daerah hulu daripada di pesisir.
Dengan periode ini, juga, pedalaman telah mengembangkan ekonomi lokal di
mana jaringan distribusi mencerminkan proporsi pusat populasi. Sementara
di daerah pesisir yang berawa, ibukota adalah fokus utama dari kegiatan
komersial, darat ditandai oleh sejumlah poin tukar yang telah dikembangkan
di pedalaman sungai yang penting, seperti di Petapahan. Pusat-pusat ini
dikaitkan dengan jalan darat ke Minangkabau dan pantai barat, yang penting
faktor karena hulu sungai sekunder, meskipun banyak, namun seringkali
dangkal, diblokir oleh jeram dan batu-batu besar dan tidak cocok untuk
Perdagangan jarak jauh. Bagi banyak orang pedalaman, dijalur kuno hutan
seringkali ditemui pondok-pondok kecil bagi wisatawan untuk beristirahat,
juga sebagai sarana utama komunikasi antar berbagai pusat pertukaran.
Yang terakhir, dan ini penting bagi perekonomian pedalaman karena pada
musim kemarau ketinggian air disungai utama berada di bawah standar, dan
itu menjadi tidak mungkin untuk membawa muatan menuju hilir. Hingga
hujan tiba, perdagangan antara darat dan pesisir hampir terhenti, dan
pedalaman pun bisa-bisa hampir saja terisolasi dari pesisir. Robekan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
59

berbahaya dan dangkal membuat perjalanan menghilir berbahaya bahkan


ketika air tinggi, dan harus ada bujukan nyata sebelum orang akan
mempertimbangkannya untuk membuat suatu perjalanan menghilir. Darat
sendiri adalah sama-sama asing bagi sebagian besar penghun pesisir, untuk
suatu perjalanan menghulu apakah dengan perahu atau rakit atau berjalan
kaki yang sangat melelahkan dan tidak ringan untuk dilakukan. Dengan
demikian, sistem sungai besar Sumatera memang berasal dari pedalaman
dan mengalir menuju pantai, mereka tidak selalu mengikat erat dataran tinggi
dan dataran rendah. Pemisahan geografis memberikan kontribusi terhadap
sikap saling waspada(mungkin curiga) yang berakar pada perbedaan bahasa
dan budaya.
Menurut Barbara Andaya, kunci dalam hubungan ini adalah
“ambiguitas.”
Di satu sisi, darat bisa menakutkan secara ekstrem kepada orang-orang yang
tinggal di dataran pantai. Di pesisir adanya gerakan mengerikan bumi bisa
sesekali dirasakan, kadang-kadang selama berhari-hari pada suatu waktu, dan
sungai pun bisa berubah warna dengan ribuan ikan mati mengambang di
perairan, tapi setidaknya orang di sini selamat dari tumbangnya pohon,
kehancuran tanaman, dan perusakan tempat tinggal dimana orang-orang
dipedalaman mengalaminya selama letusan vulkanik atau gempa bumi.
Bahkan pada abad ke-19, beberapa warga darat masih melaporkan
mendengar suara musik dari desa yang telah menghilang ke bumi setelah
salah satu episode menakutkan.81 Ada alasan lain bagi penduduk pesisir
untuk menganggap darat sebagai domain dari bahaya. Mungkin saja penyakit
gondok yang disebabkan oleh kekurangan garam telah membantu sebagai
bahan bakar legenda lain tentang monster aneh yang berkeliaran
dipedalaman. Keyakinan yang menegaskan keberadaan Bunian, makhluk
hutan yang bisa menghilang , dan tokoh mirip kera fantastis ditutupi dengan
rambut panjang, “orang gugu.” Sungai Sumai di ulu Jambi, di mana dengan
megahnya Bukit Si Guntang berdiri, adalah nama untuk manusia serigala
diyakini menghantui hutan, dan masih pada zaman sekarang orang Bengkulu

81 KI Hs. 581, Wellan, van Hasselt, Ethnographische Atlas van Midden Sumatra, h.72-73.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
60

di sepanjang pantai barat Sumatera menyebutnya dipedalaman Rejang


berekor.82
Penghuni pesisir juga takut terhadap darat yang dianggap sebagai tempat
penyakit, mungkin saja ini karena pembukaan hutan adalah tempat
berkembang biak bagi nyamuk. Ekspedisi ke pedalaman yang dikirim oleh
Belanda sering kembali dengan "panas, demam, sakit perut dan pusing.
Dikombinasikan dengan jarak geografis, berkemungkinan jatuhnya korban
akibat beberapa penyakit membuat wilayah darat nyaman bagi raja untuk
melepaskan diri dari saingan; banyak yang berburu ke pedalaman
menyebabkan kematian misterius beberapa petinggi pesertanya, seperti
Belida suatu distrik pedalaman yang biasanya "kering dan tidak subur" di
Palembang, bahkan menjadi tempat yang didirikan untuk pengasingan bagi
mereka yang memiliki tersinggung terhadap raja. Namun pada saat yang
sama pedalaman adalah domain dari roh-roh leluhur yang besar dan bisa
dipanggil untuk bantuan. Ziarah ke kuburan suci di hulu yang kadang-kadang
disebut dalam sumber-sumber, dan itu ke daerah pedalaman dimana seorang
raja Palembang sakit dari “penyakit pribumi” pergi kesana untuk
penyembuhan. Itu juga merupakan sumber relaksasi, karena di sini
pembukaan hutan untuk perburuan rusa dan kerbau liar, dan di sungai kecil
ikan bisa dimiliki. Sikap orang darat ke pesisir sama-sama ambigu, untuk
pesisir itu dijiwai dengan kekuatan supranatural dan mungkin, berpotensi
berbahaya. Gaung yang mungkin saja berupa persepsi sangat tua, telah
bertahan dalam kosmologi kelompok suku pedalaman yang dipelajari oleh
para antropolog modern. Bagi mereka, dewa hulu yang ramah terkait
dengan perladangan padi, gajah, pegunungan tinggi, dan langit; hilir
sebagaimana disebut orang Melayu (Melayu), terkait dengan beras, penyakit,
perdagangan, dan agama, dan dapat saja dianggap sebagai jahat dengan
kemampuan untuk menyebabkan penderitaan besar. Hubungan paralel
ditemukan dalam cerita rakyat dari pedalaman Palembang, dimana monster
penghancur yang mendorong jalan bagi mereka ke pedalaman, hampir selalu
berasal dari pantai. Untuk sesiapapun pahlawan yang meninggalkan
keakraban ulu dan melakukan perjalanan menghilir; memerlukan
keterampilan khusus dan juga, benda-benda magis, tidak hanya untuk

82
VOC 1428 Palembang to Batavia, 10 Feb. 1687, fo. 394v. Marsden, History if Sumatra, hal. 45;
Jaspan, "From Patriliny to Matriliny," hal. 2.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
61

menanggung kerasnya dari perjalanan akan tetapi juga untuk bertahan hidup
dari perangkap dan menguji kelicikan orang-orang hilir yang akan merasa
senang melakukan hal itu untuknya.83 Dengan masuknya pengaruh Islam,
maka cerita-rakyat yang awal mulanya berpuncak pada kehidupan dewa,
mambang, peri dan mahluk gaib, distimulir dan disesuaikan dengan mahluk
gaib yang diakui Islam. Kalaupun perwujudannya masih berupa dewa,
mambang dan sebagainya, akan tetapi nafas Islam sudah ditiupkan
kedalamnya, baik melalui dialog-dialog maupun melalui tema cerita. 84
Sementara itu juga dari sudut pandang masyarakat hulu, memperoleh
penghargaan dari pantai dapat juga sebagai simbol hadiah yang luar biasa
bagi penerimanya seperti halnya prestise yang berasal dari Raja hilir.
Meskipun dijauhkan oleh geografi, bahasa, dan adat istiadat, darat
dan pesisir tetap ditarik bersama-sama oleh ekonomi kemakmuran
pusat pesisir yang sangat bergantung pada kemampuannya untuk
menawarkan kepada para pedagang asing hasil-hasil yang dibawa
dari pedalaman.
Upaya oleh raja di pesisir untuk membawa mereka yang di hulu di bawah
penguasa atasan mereka dan melanjutkan upaya dari penghuni hulu untuk
membentuk hubungan ini terhadap mereka keuntungan mendominasi
sejarah Jambi dan Palembang di abad ke-17 dan 18, dan ini berbeda dengan
Riau Daratan, bahwa awal abad ke-18 merupakan era baru hubungan hulu-
hilir dengan tampilnya tokoh Raja Kecil dengan pendirian kerajaan hilir; Siak,
yang menggantikan dominasi Johor. Ambiguitas dan potensi dari asosiasi
darat-pesisir adalah kekusyuan (preoccupation) banyak cerita rakyat
Sumatera, akan tetapi dikatakan sebagai ke-kusyu-an yang tumbuh dari
realitas lingkungan setempat. Bahwa disepanjang pantai timur Sumatra yang
memliki Melayu sebagai budaya dasarnya, namun didapati bahwa bahagian
dari Jambi dan Palembang dengan kedekatan geografisnya mengalami
berbagai tingkat pengaruh dari Jawa. Meski kronologi ekspansi Jawa di
tenggara Sumatera masih belum jelas, namun setidaknya akhir abad ke-15
wilayah itu tunduk pada pelabuhan pantai utara Demak, dan abad ke-17 di
Jawa tengah diakui Kerajaan Mataram sebagai tuan. Tahun 1512 Tome Pires

83
Sandbukt, "Kubu Conceptions of Reality," hal.89; lebih jauh lihat Collins, "Besemah Concepts,
hal. 118.
84 Tenas Effendi, 1990;2-3, Ashley Turner, 1997; 656.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
62

mengungkapkan bahwa meskipun orang-orang dari Jambi “lebih seperti


Palembang dan Jawa dari Melayu,” bagaimanapun juga mereka tetap lebih
dekat ke pusat budaya Melayu Melaka, seperti halnya wilayah hilir Siak,
Kampar dan Indragiri yang dikatakan sebagai rantau Minangkabau, namun,
mereka adalah Melayu. 85
Sebelum kedatangan bangsa Eropa, hubungan ekonomi antara
produsen darat dan pelabuhan pesisir telah terpelihara, terutama
melalui kemauan.
Kondisi alam membuat penegakan kontrol secara langsung hampir tidak
mungkin, dan Kelompok pedalaman akan menghilir untuk menjual barang-
barang mereka hanya jika mereka yakin bahwa mereka akan bertemu
perlakuan yang adil. Seorang raja mungkin saja mengklaim bagi dirinya sendiri
manusia sakti item eksotis dari hutan dan laut, tetapi rakyat yang mengakui
hak prerogatif kerajaan tersebut akan membenarkannya selama ia bisa
melihat beberapa hadiah baginya. Konsesi ini cukup besar, karena pusat
pemeliharaan hubungan darat-pesisir adalah penampilan reguler orang darat
di kerajaan, yang menawarkan hadiah sebagai imbalan atas perlindungan.
Kehadiran fisik mereka adalah demonstrasi penting suatu penghormatan,
berdirinya penguasa diwujudkan melalui tampilan dari banyaknya pengikut.
Eropa melihat hubungan di mana orang-orang hulu adalah tetap ke hilir
"dengan [raja] sebagai dasar kemegahan namun mereka tidak cenderung
eksploitatif atas kebun mereka sebagai bukti bahwa penguasa lokal “lebih
suka menjadi raja pada acara seremoni dan diluar negara daripada terfokus
pada negeri dan hambanya.”86 Mereka tidak mengerti bahwa hal itu bisa
menjadi lebih penting bagi penguasa untuk memiliki rakyatnya yang
senantiasa berkumpul di sekelilingnya sebagai bukti langsung dan tidak
terbantahkan dari kekuasaannya daripada memiliki mereka yang bekerja
sebagai tak terlihat di beberapa tempat yang jauh dalam mengejar
keuntungan yang mungkin tidak jelas selama bertahun-tahun.
Perempuan memiliki tempat yang penting di antara mereka yang
mengelilingi Raja, mungkin mewakili yang paling berharga dari "upeti"
hamba, yang bisa ditawarkannya.

85
Pires, The Suma Oriental of Tome Pires, II, hal.154.
86.
Dagh-Register, 1631-1634, p. 321; VOC 1338 Jambi to Batavia, 28 Oct.1678, fo. 385; Bassett,
"The Factory of the English East India Company," p.269., dalam Barbara Andaya, 1993.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
63

Eropa mungkin saja telah mencatat kehadiran perempuan dalam kerajaan di


Sumatra, tetapi hanya sebagian saja yang menyadari akan pentingnya
mereka. Seorang Belanda mungkin saja dapat berkomentar bahwa “raja di
nusantara” menunjukkan kebesaran dan kekuasaan melalui
mempertahankan banyaknya perempuan untuk menampilkan “nafsu”
mereka, akan tetapi, ia tidak menyadari bahwa pernyataan visual
maskulinitas penguasa adalah komponen penting dari legitimasi kerajaan.
Perempuan juga diperlukan karena mereka dipekerjakan dalam jumlah besar
dalam pembentukan kerajaan untuk mengurus kebutuhan pribadi penguasa
dan keluarganya dan untuk melaksanakan tugas-tugas yang diperlukan
seperti mengumpulkan kayu bakar dan membawa air. Ketika raja pergi
berperang, perempuan itu bisa melakukan layanan penting seperti
menyiapkan makanan dan persediaan untuk membela pasukan. Sebaliknya,
perempuan berpotensi menghasilkan imbalan besar bagi hamba karena
kemungkinan bahwa ia mungkin menjadi obyek perhatian penguasa.
Keluarganya kemudian akan terikat kepada penguasa dengan cara yang
sangat khusus dan sebagai imbalan untuk menyerahkan putri yang dipastikan
harus tepat, dan mendapatkan tidak hanya imbalan akan tetapi juga terus-
menerusnya keuntungan. Seperti yang dicatat di Siak oleh Hijman van
Anrooij, bahwa bagaimanapun juga, pendapatan Sultan Siak dari Sungai
Bangko diberikan untuk “mengamankan” Hadji Math Seh, ayah dari seorang
selir Sultan, Ia adalah seorang lelaki yang dalam sejarah Siak memperoleh
beberapa ketenaran. Dialah Panglima Perang yang dipekerjakan oleh Wilson
selama ekspedisi melawan Siak. Setelah diusir dari sana, sang panglima pun
melarikan diri dan bersembunyi untuk beberapa waktu di Langkat, di mana
salah satu putrinya menikah dengan putra tertua dari Pangeran Langkat,
Tengku Sodung. Setelah beberapa waktu, nampaknya diberitakan bahwa
Panglima Perang meninggalkan negeri keduanya itu, dan disebutkan bahwa
ia telah diusir oleh Pangeran Langkat. Tidak ada yang mengetahui apakah
kemudian ia pergi ke Makkah, tapi setidaknya, setelah beberapa waktu, ia
datang kembali ke Siak sebagai seorang Haji, dan menetap di Bangko, setelah
Sultan meminta seorang putrinya. Kemudian ia mengelola pancong alas dari
semua produk hutan, yang berasal dari Sungai Bangko, sementara dari
semua yang berkumpul di sana, maka sejumlah $25 (yaitu sekitar 40% dari
total nilai) akan diserahkan kepadanya. Sungai Bangko, yang bagaimanapun

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
64

juga memiiki banyak pohon bakau, saat itu telah menjadi begitu baik.87
Betapa pun jua, aliran perempuan ke istana adalah link penting dalam
hubungan hulu-hilir dimana perempuan yang melayani di kerajaan, sangat
sering berasal dari distrik hulu, tempat sebagian besar desa ditemukan.
Dalam dunia legenda salah satu tema yang paling luas adalah
cara di mana, kadang-kadang di masa lalu, serikat seksual
antara seorang perempuan hulu dan raja hilir membantu mendirikan
dasar bagi kerjasama antara ulu dan ilir.
Sebagai raja-raja Palembang dan Jambi yang berusaha untuk terus saja
memperketat ikatan selama lada tumbuh di pedalaman dan mereka kurang
bersedia untuk duduk pasif di ibukota dan menunggu "hadiah" yang dibawa
oleh rakyat mereka. Dan ini semakin menajam saja, perjalanan ke darat
untuk berburu atau memancing yang dikombinasikan dengan pemaksaan
pengumpulan persediaan lada, upeti, dan perempuan, "anak-anak
perempuan yang belum menikah tercantik.”88 Hal ini hampir pasti bahwa
gadis tersebut tidak akan pernah melihat keluarga mereka lagi, karena
mereka sekarang menjadi properti raja, dengan mudah diberikan kemana pun
atau dikirim ke Belanda untuk pembayaran utang.
Ambiguitas hubungan hulu-hilir tercermin dalam cerita yang
menggambarkan kompleksitas hubungan raja dengan ulu sebagai laki-
laki yang perempuan melayaninya dan bahkan melahirkan anak-
anaknya.
Bagi sebagian besar laki-laki, penyitaan anak perempuan atau saudara
perempuan adalah setara penghinaan bagai penculikan istri, karena sebagian
besar perempuan muda telah dijanjikan atau bertunangan selagi kanak-
kanak. Di desa, suami yang dirugikan, ayah, saudara, atau kekasih akan
berhak untuk mengambil tindakan berdasarkan motif balas dendam, bahkan
sampai tingkat membunuh pelakunya. Standar perilaku bagi khalayak umum
dan pangeran, diletakkan sama dalam legenda Palembang; sang pahlawan
besar Aria Damar, yang bersumpah ia tidak akan mengambil istri orang lain.
Ketika ia ditipu sehingga melakukannya, ia menemukan rasa malu sehingga
ditolerir bahwa ia pun akhirnya bunuh diri. Cerita lain yang melekat pada

87.
Hijman van Anrooij, 1885; 385.
88. VOC 1248 Palembang to Batavia, 15 Nov. 1664, fo. 2387; 1290, 26 Feb.1672, fo. 208.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
65

kerajaan dari silsilah Palembang; bercerita tentang seorang penguasa yang


menuntut bahwa pengantin dari setiap hambanya pertama kali harus
berbagi tempat tidurnya sebelum pergi ke suaminya sendiri. Setiap
perempuan yang hamil, oleh raja diminta untuk tetap berada di kerajaan, dan
suaminya pun dikirim pergi. Seorang laki-laki bernama Jeladri ingin menikahi
seorang gadis cantik, tapi Raja terus menghendakinya agar tetap berada di
kraton itu. Setelah tiga hari, Jeladri datang lagi untuk meminta Istrinya itu,
dan ia menawarkan keris sebagai pengganti. Sayangnya, sang penguasa
menolak. Delapan hari kemudian, Jeladri kembali datang, akan tetapi raja
kembali tidak mengindahkannya. Jeladri kemudian mengambil keris dan
mengamuk, membunuh penguasa dan semua penghuni Kraton. Dan
memang, pada tahun 1629, sumber Belanda mencatat bahwa pewaris tahta
Palembang dibunuh oleh salah satu rakyatnya sendiri yang pengantinnya
telah ia ambil.89
Tindakan raja tersebut, jelas saja bertentangan dengan gagasan
bahwa ia harus bertindak sebagai seorang yang peduli kerabat.
Tema lain yang sering ditemukan, baik pada cerita rakyat ataupun catatan
arsip adalah defleksi permusuhan populer terhadap penguasa, yang juga ke
wakilnya. Perempuan kerajaan, yang sering menyertai pihak kerajaan ke
wilayah hulu guna memilih perempuan untuk masuk ke istana, sama-sama
menjadi target permusuhan, dan pemerasan oleh raja atau tuntutan untuk
tugas rodi yang luar biasa, sering dikaitkan dengan "ratu kejam" atau “gundik
serakah.” Dan ini berarti,
ketegangan antara darat-pesisir dapat pula diungkapkan dalam cerita
rakyat dimana hubungan manusia mencerminkan “ketegangan” nyata
yang dapat berkembang ataupun tidak dalam interaksi ekonomi dari
darat dan pesisir.
Berikutnya, penguasa mudah meminta penyajian sebagai penebus, kewajiban
kepadanya yang dijustifikasi oleh ikatan kuno yang membuat hamba pemberi

89
. KI Hs. 371a, "De kroniek van Palembang," n.f.; Generale Missiven, I, p.247., dalam Barbara
Andaya, 1993.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
66

upeti dan pemenuhan jasa tenaga kerja dapat dijelaskan dan bahkan secara
tepat pula. Seorang raja mungkin juga mendukung “saudara,” akan tetapi
pada gilirannya mereka harus selalu siap untuk meminjamkan bantuan.
Sistem rotasi rodi dioperasikan oleh mana sejumlah orang dan perempuan
secara terus-menerus di istana sebagai pengumpul kayu, membawa air,
memasak, memberi makan hewan, dan sebagainya.
Asumsi implisit yang mendasari asosiasi hulu-hilir adalah bahwa
hubungan antara desa dan kerajaan terletak pada hubungan saling
pengakuan terhadap hak-hak dan kewajiban antara kedua belah
pihak.
Orang orang memberi hadiah, barang, dan tenaga kerja; penguasa
memberikan penghargaan dan perlindungan. Penguasa ini hanya tidak bisa
mempertahankan posisi mereka di hulu semata-mata melalui kekuatan.
Meskipun keuntungan dari suksesnya kerjasama antara hulu dan hilir yang
jauh, ikatan yang dikembangkan adalah tidak berarti tak terelakkan.
Masyarakat pedalaman selalu melihat penerimaan raja pesisir sebagai
bersyarat, dan mereka menjadi “hamba” hanya sejauh mereka setuju untuk
menganggapnya sebagai tuan mereka. Sebagaimana telah ditunjukkan
Barbara Andaya, bahwa asosiasi darat-pesisir yang diwarnai dengan
ketegangan dan ambiguitas, juga dipicu oleh kehadiran Eropa yang
menyebabkan perubahan pada produksi, yang memicu tekanan atas
rasionalisasi produksi, kemudian dikenalkan dan meluasnya penggunaan
uang, serta perbedaan persepsi atas hutang. Benturan budaya mengenai tata
cara perniagaan tradisional dan barat, tergambar dari ketidaksepahaman atas
satuan ukuran, dan bagaimana kepercayaan harus dibangun, yang bermula
dari mengandalkan jaringan kekerabatan sebagai sumber daya yang bisa
dipercaya, beralih pada pembeli dan agen yang dicurigai penuh muslihat dan
tipu daya, lalu, pasar pun berubah menjadi arena konfrontasi dan
antagonisme daripada kepercayaan dan persahabatan. Ketegangan produsen
darat dan pembeli pesisir ini, juga diiringi rivalitas antar kerajaan yang dimasa
Belanda, meskipun dicarikan solusinya untuk sementara, namun secara
sengaja dikondisikan tidak menghilangkan konflik untuk waktu permanen,
dbiarkan saja hingga menjadi laten. Sarana peredam konflik melalui ikatan
perkawinan, kerap tidak menjadi salah satu solusi yang dilakukan ketika
penjajah “menengahi” ketegangan antar politi-politi. Barbara Andaya
berpendapat, bahwa
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
67

“masyarakat secara geografis dan budaya terfragmentasi, di mana


kepemimpinan dipersonalisasikan dan rapuh, dan mana yang paling
signifikan Obligasi tersebut diciptakan melalui kekerabatan, kemudian
tidak lagi serasa seperti sebelum ekspansi dari dunia perdagangan
Eropa, situasinya pun berubah, dan hubungan persaudaraan antar
politi-politi pun terpengaruh.”

Orang Asli dan Melayu

Bahwa Legenda atau hikayat yang ada, jelas merupakan sebuah media
penyampaian pesan, tidak hanya bagi kalangan Melayu, melainkan juga bagi
Orang Asli. Bahwa hubungan antara Orang Asli dan Melayu, dapat kita lihat
dari penggambaran yang dapat menjelaskan pembagian pahlawan legendaris.
Pada awal abad ke-20, Skeat dan Blagden melukiskan kisah Orang Asli dari
Semenanjung Malaya tentang batin yang disebut sebagai Batin Berchanggei
Besi; setelah kematiannya, posisinya diambil oleh Hang Tuah, batin dari
Pengkalan Tampoi di Kelang. Ia dan anak-anaknya, Hang Jebat dan Hang
Ketuwi (Kasturi di Malayu), dan keturunan mereka menjadi pendiri batin di
Sungai Ujong, Kelang, Johor, dan Melaka.90 Di Semai chermor, di kalangan
pengikut dari penguasa Melayu Malaka adalah Orang Asli bersaudara, Hang
Tuah dan Hang Jebat. Akan tetapi kemudian terjadi pertengkaran antara
bersaudara itu, yang mengakibatkan kematian Hang Jebat. Hang Tuah,
didampingi keluarga istrinya dan orang-orang dari Hang Jebat, serta Orang
Asli dari Gunung Ledang, bergerak ke utara dan kemudian bermukim di sana.
Bagian dari kelompok yang bertetap di pusat Perak dan kemudian dikenal
sebagai dataran rendah Semai, sedangkan HangTuah yang bergerak jauh ke
utara menjadi pemimpin Orang Asli di dataran tinggi Perak. Kelompok
terakhir akhirnya mengendap di daerah yang sekarang disebut Lambor. 91
Dalam cerita Orang Asli ini, Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Kasturi adalah
pemimpin awal yang penting dari masyarakat Orang Asli. Mereka juga
terkenal dalam folklore Melayu dan dalam dua karya yang paling populer dari

90
Skeat and Blagden, Pagan Races, vol. 2, 267–73.
91 Edo, “Traditional Alliance,” 3–5.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
68

sastra Melayu, Sejarah Melayu dan Hikayat Hang Tuah. Mereka ini merupakan
tipikal pahlawan Melayu, sementara juga mereka berdua terkait dengan
pulau-pulau dan tersirat untuk menjadi asal-usul Orang Laut.
Fitur lain yang penting pada kisah Orang Asli adalah peran Sumatra,
terutama Minangkabau dengan pusat kerajaan legendarisnya;
Pagaruyung.
Kembali kita pada kisah yang dikumpulkan oleh Skeat dan Blagden, Batin
berchanggei Besi, ia meninggalkan Minangkabau dengan pengikutnya untuk
bepergian pertama-tama ke Jawa, di mana beberapa pengikutnya tetap
bersamanya dan kemudian menuju Malaka, yang kemudian diketahui telah
berpenghuni. Salah satu keturunannya di Kelang memberikan putrinya dalam
pernikahan ke pemimpin Minangkabau dihilir.92 Selain itu, sebuah mitos
penciptaan Biduanda dikumpulkan oleh Hood Salleh yang juga memiliki
hubungan dengan Sumatera. Menurut kisah ini, asal kelompok tersebut
diberikan untuk Batin Sri Alam dengan “batang pohon yang berjalan” (walking
tree trunk) dan menyimpannya di penangkaran. Batang (trunk) kemudian
menghasilkan telur sejumlah empat puluh empat butir, dimana batin
kemudian memendamnya sampai mereka menetas menjadi empat puluh
empat anak. Ketika mereka tumbuh ia mencukupi mereka dengan kain kulit
kayu untuk pakaiannya. Separuh dari anak-anak ini ia kirim ke Sumatera, di
mana mereka berkoloni di pantai hingga “sejauh perbatasan dengan negeri
Batak” (di pedalaman Sumatera), sementara itu separuh lainnya tetap di
semenanjung dan menjadi Biduanda.93 Yang lainnya dan masih berkaitan
dengan Sumatra dari Semenanjung, bahwa dalam salah satu chermor Semai,
nenek moyang Orang Asli meninggalkan Mengkah dan menuju tanah pertama
di Sumatera, di mana beberapanya berlayar menggunakan rakit dan
membangun pemukiman di Pagaruyung. Lainnya dari kelompok ini pergi ke
negeri di Siam atau Siap di Gunung Maluk (dikatakan di bagian utara
Semenanjung Melayu), sementara yang ketiga terus ke selatan sampai
gunung Sahine (diyakini berada di timur sisi pusat Perak), dan anggota yang
tersisa turun di Malaka dan mengendap di Gunung Ledang. 94 Kemudian,

92Skeat and Blagden, Pagan Races, vol. 2, 267–9.


93
Hood Salleh, “Morality,” 57.
94 Gunung Ledang adalah gunung legendaries yang disebut dalam Sejarah Malayu, sebagai

tempat kediaman seorang “ supernatural princess.”


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
69

Melayu banyak mengikuti jejak untuk bergabung dengan saudara mereka,


Orang Asli. Mereka pun lalu berlabuh di Sumatera dan kemudian menempati
seluruh wilayah pulau. Awalnya, mereka tinggal di antara para pemukim awal
di Pagaruyung, akan tetapi, cara agresif mereka memaksa orang-orang
Pagaruyung awal melarikan diri ke Malaka. Di Gunung Ledang orang-orang
dari Pagaruyung bersatu kembali dengan keluarga mereka dari kaum yang
pertama eksodus, dan mereka menjadi dikenal sebagai “Temuan” karena
mereka telah bertemu (Temu). Temuan memutuskan untuk tidak tinggal di
Gunung Ledang akan tetapi untuk menempati wilayah pesisir Melaka. 95
Asal cerita dari kelompok Orang Asli lain; Semelai, menggambarkan
Pagaruyung sebagai tempat sakral pada saat proses penciptaan, ketika tidak
ada perbedaan antara Malayu dan Semelai.96 Minangkabau juga menonjol
dalam cerita-cerita lain. Sakai di Siak melacak nenek moyang mereka pada
Minangkabau dan Mentawai, 97 dan Orang Rimba dongen melihat
Minangkabau sebagai rumah dewa utama, Tuhan Kuaso, yang menciptakan
bumi, hutan, manusia, dan hewan.98 Untuk Orang Rimba, kerajaan
Minangkabau memiliki magis kuat dan kekuatan sakral, dan dengan demikian
tentunya stabilitas yang lebih besar pula daripada politi Melayu lainnya.
Meskipun demikian, mereka berusaha untuk mempertahankan penyebab
umum dengan Malayu, yang tercermin tidak hanya dalam cerita asal-usul
mereka, akan tetapi juga dalam kecenderungan mereka untuk "berbagi"
pahlawan budaya dengan Melayu dan kelompok Sumatra lainnya. Pada
akhirnya, penekanan peran penting bagi Orang Rimba adalah penekanan
pada perbedaan, bahwa meskipun mereka memiliki asal-usul yang sama
dengan Melayu, mereka adalah saudara tua dan karenanya memiliki hak yang
lebih dari Melayu. Preseden ini adalah legitimasi mereka untuk mengklaim

95 134.Edo, “Traditional Alliances,” 3–


96 Gianno, “Malay Semelai,” 63–4.
97 Dikisahkan tentang negeri Pagaruyung yang sangat padat penduduknya, sehingga raja

berusaha mencari wilayah baru untuk memindahkan kepadatan penduduknya tersebut; salah
satunya rombongan yang terdiri dari 190 orang (189 orang janda dan seorang hulubalang sebagai
pemimpin dikirimkan ke wilayah timur hingga sampai ketepian sungai Biduando(yang berarti
sungai dari rombongan 189 janda dan seorang pemimpin), sungai itu akhirnya berubah nama
menjadi Mandau, dimana Mandau sendiri dapat juga diartikan dari “marandau:, yang berarti
campuran nasi dan ubi kayu, sebagai makanan pokok orang Sakai. Untuk jelasnya, lihat Suparlan,
Orang-Orang Sakai di Riau, 1993, hal.72-88.
98 Sager, “If We Cross,” ch. 3: 5.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
70

tentang penempatannya terhadap berbagai saluran dari area hutan.99


Sementara itu daerah antara Siak dan Kampar, terdapat Petalangan dimana
salah satunya; Talang Dayun, memliki legenda yang juga berkaitan dengan
Pagaruyung. Menurut legenda, bahwa Talang Dayun berasal dari Jawa dan
kedatangannya itu melalui Pagaruyung.100 Legenda terkenal tentang
pertarungan antara harimau dan kerbau, antara pangeran mereka dan raja
Minangkabau, dimana setelah harimau yang mewakili orang-orang Jawa:
kalah, maka selanjutnya mereka pun melebur ke wilayah setempat.
Mengenai Legenda ini, dikisahkan juga meski agak berbeda oleh van Rijn van
Alkemade, dalam laporan perjalanannya antara Siak dan Pelalawan. Kisah ini,
sebagaimana lazimnya telah dicatatkan dalam Tarumba, yang sayangnya
“pusaka” itu telah hilang dicuri di Siak lima tahun sebelum kedatangannya
kesana.101 Sekali lagi, kisah legendaris ini bertutur tentang Orang Talang
Dayun yang diduga berasal dari Jawa. Di suatu masa, bepergianlah seorang
Patih Jawa dengan didampingi dua Batin; Mursaka dan Rantau Pamuncak,
mereka menuju istana kediaman Raja Minangkabau. Untuk menghormati
tamu di kerajaan, maka sang Raja Minangkabau menyelenggarakan
pertarungan antara dua gajah, maka sang Patih pun dibedakan dengan
perlakuan heroik, ia menerima Gelar Dubalang Besar (juara), sementara dua
Batinnya dengan nama Dubalang Bungsu dan Dubalang Itam. Selain itu, Raja
Minangkabau menetapkan bagi mereka daerah-daerah; maka kepemilikan
Patih adalah dari Talang Dayun, Dubalang Bungsu dari Batang Nila dan
Dubalang Itam dari Langgam, dimana Kedua tempat tersebut terletak di
Pelalawan. Dan ini dikatakan Rijn van Alkemade, bahwa
legenda ini mendukung dugaan tentang Orang Talang Dayun bahwa
mereka berasal dari Jawa.

Bagaimana pula pendapat yang menyatakan bahwa Orang Talang umumnya


berasal dari Minangkabau? Sebagaimana umumnya kelompok tradisi yang

99
Sager menyebutkan bahwa Putri Selero Pinang Masak dan Orang Kayo Hitam, diketahui dalam
masa penyebaran Islam dan pendiri hukum kemasyarakatan (considered sacred by the Orang
Rimba), dikatakan bahwa Orang Rimba telah menetap di desa dan menjadi Muslim (sebagai
penyebab ke-Melayu-an). Pahlawan lainnya yang berasal dari Orang Rimba adalah Si Pahit Lidah.
Sager, “If We Cross,” ch. 3: 2–8; Andaya, To Live as Brothers, 11–3, passim.
100 Hijman van Anrooij, 295.
101 Van Rijn van Alkemade, Reis Naar Siak van Poelau Lawan, 1887, hal.136-137

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
71

mematuhi situs kuno Jawa di berbagai belahan Sumatera; akan tetapi, ini
tidaklah berlaku terhadap kasus pada bahagian Minangkabau yang berasal
dari keturunan luar, bahwasanya ditemui bukti kuat seperti yang terdapat
dikalangan orang-orang ini sebagaimana halnya perilaku dan kebiasaan orang
Melayu dari pantai barat, sebaliknya, adalah upaya sia-sia untuk menemukan
jejak keturunan Jawa, baik pada adat maupun bahasa, dan juga pada fisik
tubuh dan penampilan mereka. Gelar Patih sebagai gelar dari orang pertama
di Talang Dayun, sebahagian berpendapat untuk dapat dipertimbangkan
sebagai bukti bahwa mereka berasal dari Jawa. Mungkin juga, kondisi ini
dapat dijelaskan dari apa yang berasal dari tradisi Anten-Anten sebagai kepala
kedua di Talang Dayun yang diturunkan dari tradisi Minangkabau: Datuk
Katemanggungan. Juga tradisi yang sama dari saudaranya: Perpatih
Sebatang yang mendirikan dua kepala Laras pada masyarakat Melayu
Minangkabau; dan pada Talang Dayun ditemukan, meskipun dengan nama
yang berbeda, bahwa kembali terdapat model pembagian sebagaimana
halnya kedalam dua Laras. Pemimpin yang disebut Patih, namanya
mengingatkan kita dengan Parpatih dan dengan demikian tentu saja hal ini
dapat kita kaitkan. Sementara itu pemimpin yang lainnya; Anten-Anten dan
kewenangannya atas Suku Dayun Darat(terletak di pedalaman) berbeda
dengan Suku Dayun laut (ke arah tepian sungai), yang merupakan otoritas
dari Patih. Kedua suku utama ini, seperti yang akan kita lihat memiliki suku-
suku mereka sendiri, mengingatkan kita akan pembagian dua Laras yang awal
mulanya berada dikalangan masyarakat Melayu dari Pantai Barat, perlu juga
dicatat bahwa kewenangan Patih sebelumnya telah diperluas hingga
mencakup talang tetangga baik di Siak maupun Pelalawan, dengan
peringkat yang lebih tinggi dari Anten-Anten, meskipun juga otoritas yang
terakhir ini ditempatkan dengan rasa hormat dikalangan suku-sukunya
sendiri.
Cerita-cerita yang berasal dari Minangkabau juga ditemukan di kalangan
masyarakat Talang Mamak, yang bermukim di sepanjang Sungai Indragiri dan
sekali waktu terkait erat dengan kerajaan Indragiri di pesisir. Meskipun
subsistensi mereka lebih didasarkan pada pertanian padi ladang, mereka juga
merupakan pengumpul hasil hutan, yang menjelaskan hubungan mereka
dengan kerajaan Melayu di pesisir.102 Menurut “Langkah lama”

102 Sager, “If We Cross,” ch. 3: 6.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
72

mereka(perilaku lama, yaitu; adat), tiga putra dari Parapatih nan Sebatang
(salah satu dari dua pembuat hukum Minangkabau) meninggalkan
Pagaruyung karena pertengkaran keluarga dan menjadi pemimpin Talang
Mamak di Indragiri.103 Identifikasi Pagaruyung dan Minangkabau sebagai
tempat asal dari banyak kelompok Orang Asli dapat dijelaskan oleh reputasi
spiritual yang luar biasa dari para penguasa Pagaruyung dikalangan orang di
wilayah tersebut. Cerita dari kekuatan suci penguasa tersebut akan tiba di
Semenanjung Malaya selama berlangsungnya imigrasi Malayu dari akhir abad
ke-14 atau bahkan lebih awal sebagai hasil dari aliran bebas barang dan
informasi di Selat Melaka. Orang Asli mungkin telah menyerap tradisi dari
pemukim Minangkabau, akan tetapi lebih mungkin lagi bahwa reputasi pusat
sakral Minangkabau mendahului para imigran kemudian. Reputasi ini
memfasilitasi terjadinya perkawinan antara Minangkabau dan Orang Asli,
khususnya di Negeri Sembilan, yang sering dilihat sebagai cara di mana
pemukim awal Minangkabau memperoleh akses ke negeri.104 Namun bagi
Orang Asli terdapat banyak keuntungan spiritual dari perserikatan tersebut.
Kisah mereka tentang potensi spiritual Pagaruyung, diperkuat oleh reputasi
“kata-kata” sakral penguasa,105 akan membuat ide perkawinan dengan
Minangkabau memang menjadi menarik. Perkawinan antara Minangkabau –
Orang Asli, merupakan suatu bentuk interaksi dengan jarak sosial nol;
meleburnya juga tidak hanya melibatkan dua individu, melainkan meliputi
interaksi aktif dari dua sistem sosial. Sehingga, disini dapat diasumsikan
bahwa orang asli mengadopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam
kelembagaannya. Proses ini diasumsikan merupakan salah satu bahagian dari
serangkaian adopsi nilai-nilai Minangkabau kedalam orang asli yang
menunjukkan keterkaitan antara Orang Asli dan Minangkabau.
Petalangan adalah elemen yang paling penting dari hamba penguasa, karena
dikatakan bahwa mereka dan nenek moyang keluarga kerajaan berasal dari
dataran tinggi Minangkabau; pendapat ini seperti dikemukakan Moszkowski,
yang nampaknya mengidentifikasi orang asli seperti Sakai sebagai berasal dari
Pagaruyung, sebagai orang Veddoid bersama-sama dengan orang
Minangkabau yang bermigrasi ke Riau Daratan pada abad ke-14, tepatnya di

103 Obdeyn, “Langkah Lama,” 354–60.


104
Josselin de Jong, Minangkabau and Negri Sembilan, 123.
105 Sebagaimana diuraikan oleh Jane Drakard, dalam “Kingdom of Words.” Language and Power

in Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1999.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
73

wilayah Gasip, dan juga sebagaimana telah disampaikan tentang hasil studi
Suparlan yang menemukan jejak Sakai ke Minangkabau ataupun Mentawai. 106
Meskipun demikian, terdapat pandangan yang berbeda. Bahwa disatu sisi,
Sakai dianggap sebagai berasal dari Minangkabau-Pagaruyung, sementara
disisi lainnya adalah sebagai Melayu.107 Untuk yang pertama,
dikatakan sebagai hanya sedikit bukti untuk mendukung pandangan
ini, yang mungkin hanya muncul disebabkan Minangkabau dan
Petalangan ataupun Sakai berbagi praktek matrilineal yang sama
(adat kamanakan).108
Kontak antara Petalangan dan Minangkabau mungkin saja telah meningkat di
abad ke-17 dengan gerakan besar Minangkabau dari tanah air mereka
menghilir ke pantai timur.109 Selain itu, bahwa
di lingkungan Selat Malaka, afiliasi etnis bukanlah sebagai identitas
tunggal, melainkan sebagai “Spektrum Identitas.”
Nathan Porath menjelaskan fenomena ini dalam hal "afiliasi melalui asosiasi,"
di mana ada gradasi link affinal yang terbentang ke daerah lain untuk
memasukkan sejumlah unsur luar yang berbeda. 110 Oleh karena itu, mungkin
saja satu kelompok menyatakan dirinya Minangkabau atau Malayu di bawah
suatu kondisi, sebagai Orang Riau di tempat lainnya, dan Melayu Sakai atau
Asli Sakai di situasi yang lain pula. Konsepsi etnis yang “cair” ini merupakan
mekanisme ekonomi dan politik yang penting, yang dapat digunakan untuk
memajukan kepentingan individu ataupun seluruh kelompok. Pilihan etnik
yang dibuat pada suatu masa di sepanjang spektrum bisa menentukan
keberhasilan ataupun juga kegagalan suatu usaha ekonomi atau hubungan
politik. 111

106 Parsudi Suparlan, 72, dan 80.


107 Porath, “When the Bird Flies,” 4–5.
108
Seperti salah satu kelompok yang dikatakan sebagai berasal dari Jawa disebabkan istilah
“Patih” Jawa telah diberikan gelar Dulubalang Besar dan diizinkan untuk bermukim di Siak. Rijn
van Alkemade, “Reis van Siak,” 136.
109 Barnard, Multiple Centres, 20; Andaya, Kingdom of Johor, 111–2.
110
Porath, “When the Bird Flies,” 5. Konsep ini, is the underlying argumen dalam karya Barbara
Andaya, “To Live as Brothers.”
111 Leonard Andaya, 211.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
74

Menurut tradisi Petalangan, Ketika penguasa terakhir meninggal tanpa


pengganti, kerajaan dibubarkan dan orang-orang melarikan diri ke hutan
(talang) dan menjadi nenek moyang orang Petalangan. Tidak terdapat
dokumen menguatkan telah ditemukan, yang menyebutkan keberadaan
kerajaan Gasip, meskipun terdapat satu catatan Belanda mengklaim bahwa
benar adanya; hanya untuk waktu yang singkat dari abad ke-16 hingga awal
abad ke-17.112 Hubungan antara Petalangan dan kerajaan Melayu berlanjut
dengan dasarnya kerajaan Siak yang didirikan oleh Raja Kecil sekitar tahun
1722 hingga 1723. Pada abad ke-19, pemerintahan Melayu dari bintara
kanan dan bintara kiri yang ditunjuk oleh kerajaan untuk melayani ataupun
sebagai perantara antara sultan dan Petalangan. Di antara tugas-tugas yang
diminta dari Petalangan adalah membangun benteng bila diperlukan,
membantu dalam perjalanan penguasa, dan memberikan beberapa panen
padi mereka dalam pertukaran untuk garam dan besi dengan harga
ditetapkan oleh penguasa. Pada pangkalan tertentu, atau pos didirikan di
persimpangan jalan, juga pasar strategis di pedalaman, yang ditunjuk sebagai
titik pertukaran. Petalangan dibebaskan dari partisipasi dalam perang, akan
tetapi diharapkan untuk menjaga keamanan pedalaman. 113 Petalangan juga
terkait dengan kerajaan Pelalawan, terletak di daerah yang memberikan
kesaksian bahwa nama di Sungai Kampar. Penguasa Malayu nampaknya tidak
ikut campur dalam hukum adat masyarakat hutan.
Tema lainnya yang nampaknya bervariatif dan merujuk pada berbagai
tahapan perjalanan sejarah; Seperti asal usul penguasa Melayu dari Bukit
Siguntang, kemudian asal-usul pada masyarakat Pasemah kita mengenal
adanya Puyang Si Pahit Lidah, lalu di Jambi dengan kisah Putri Pinang Masak.
Tema-tema di Riau Daratan sendiri seperti di Hulu Sungai Rokan adanya Putri
Hijau dan Anak Raja Jatuh, Kisah Putri Tujuh, Putri Kacang Mayang di Sungai
Gasib, kisah Putri Sri Dunia di Muara Takus, Rakit Kulim di sungai Indragiri-
Kuantan. Terbetiknya legenda dikalangan masyarakat Kampar Kanan
berkaitan dengan Situs Candi Muara Takus yang meski waktu pendiriannya
belum diketahui dengan pasti dan menjadi perdebatan para ahli, salah
satunya berasumsi berdiri pada masa Sriwijaya yang juga merupakan suatu
jejak bahwa setidaknya wilayah ini telah eksis sebelum terjadinya pergeseran

112
Rijn van Alkemade, “Het Rijk Gassip,” 222–5.
113 Menurut Rijn van Alkemade, bahwa tugas peperangan ditetapkan kepada Suku Laut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
75

pusat peradaban Melayu dari Sriwijaya ke pedalaman Batang Hari. Candi ini
ditemukan pada tahun 1858 oleh insinyur pertambangan C. de Groot, yang
membuat sketsa ditepian Sungai Kampar-Kanan. Dari penduduk setempat ia
mengetahui bahwa di suatu tempat terpencil terdapat reruntuhan candi yang
mereka sebut sebagai “Kota Candi.” De Groot pun menemukan reruntuhan
situs di tengah-tengah rimbunnya tanaman bambu. Terdapat beberapa
pendapat tentang masa pendirian candi ini, seperti Schnitger, yang
mengemukakan bahwa pendirian situs Muara Takus ini bersamaan dengan
periode candi di Padang Lawas. Di Padang Lawas, bahkan Bosch, Stutterheim
dan Boris menemukan angka-angka di salah satu candi; 1175 caka, yang
berarti sama dengan tahun 1235 masehi. Bahwa, penguasa India selatan
Rayendra Chola yang melakukan penyerangan terhadap Sriwijaya, Pane dan
Lamuri diabad ke-11, diduga telah mendirikan candi pemujaan Syiwa
diwilayah Padang Lawas; terdapat kesenjangan antara kedatangan Rayendra
Chola dengan tanggal situs, yaitu abad ke-11 dengan abad ke-13.
Diasumsikan, pembangunan dilanjutkan oleh keturunannya mengingat
keberadaan situs sama dengan yang terdapat di India Selatan. Keberadaan
kerajaan ini, punah seiring penyerangan yang dilakukan orang-orang Batak
yang dipimpin oleh Datuk penghubung114. Jika melihat letak posisinya, maka
keberadaannya pada jalur perdagangan Minangkabau dan juga, Batak.
Sehingga, disini terdapat keberadaan Legenda yang berkaitan dengan entitas
Batak tersebut. Legenda ini juga berhubungan dengan tempat utama di
lanskap V Kota Kampar; Bangkinang. Menurut legenda, terdapat suatu ibu
kota, yang terletak di sebuah tikungan tajam Sungai Kampar, yang begitu
besarnya sehingga dikisahkan kucing yang berjalan dari atap keatap rumah
lainnya harus menghabiskan waktu selama tiga hari untuk terus berjalan
sebelum seluruh kota telah selesai ditempuhnya. Kota dikelilingi oleh tembok
tanah, dan juga parit115 sebagai sumber daya pertahanan dalam menghadapi
penyerangan (Batak).116
Pendapat lainnya mengatakan bahwa candi Muara Takus dibangun
pada abad ke-7 atau 8, atau bahkan abad-abad sebelumnya, dan juga

114 Dada Meuraxa, dalam “Kerajaan Melayu Purba,” Penerbit Kalidasa Medan, tahun 1971, hal.13
115 Holle menemukan pola semacam ini yang merupakan kediaman Datuk Penghulu, berada di
Lanskap Pangkalan Kota Bahru, dan satu-satunya yang ditemukan disana pada akhir abad ke-19.
116 Lihat Kalff, dalam “Sumatraanche Oudheden,” in Nederlandsch Iindie Oud & Nieuw, 5 Mei

1920.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
76

kata-kata “Minanga” dan “Tamwan” pada prasasti Kedukan Bukit


(682M) telah membawa asumsi bahwa candi Muara Takus merupakan
Mandala Sriwijaya pada masanya117; sebagai sebuah pusat
kebudayaan yang mengilhami bangsa dikawasan se-lingkungan-nya.
Kemudian legenda Putri Sri Dunia, bahwa ia berasal dari dataran tinggi, dan
seorang penguasa Hindu pun meminangnya. Sang putri menerima pinangan
itu dengan syarat ia meminta agar sang Pangeran Hindu itu membangun satu
istana untuknya. Sang raja menyanggupi dan membangunkan untuknya istana
yang terletak di Muara Takus. Lalu, sang raja pun kembali ke negerinya untuk
mempersiapkan pesta pernikahan. Jeda beberapa waktu, sepasukan besar
Batak mendekati kota dimana sang putri Sri Dunia bermukim. Sang
pemimpinnya, Sutan Palembang yang juga tertarik dengan sang putri Sri
Dunia, mengirimkan sekeranjang pasir kepada raja Hindu itu. Sekeranjang
pasir ini bermakna sebagai banyaknya jumlah dari pasukan Batak,
menanggapi ini, raja Hindu ini pun tidak pernah kembali lagi ke Muara Takus.
ketika orang Batak tiba di Muara Takus, mereka menemukan bahwa tempat
itu sudah kosong ditinggalkan penghuninya. Putri Sri Dunia dan pengikutnya
telah pergi dan sang putri menikah dengan seorang Datuk Minangkabau. Ia
memiliki seorang putra, yang bernama Indo Dunia, dan saat itu dikenallah
tempat di Muara Takus sebagai Galangah Indo Dunia. Kemudian ia
menurunkan anak yang menjadi penguasa; Raja Pamuncak (Datuk di Balai),
dikenal dalam sejarah pada masa masuknya Islam kesana.
Legenda lainnya, adalah penguasa terakhir Muara Takus (Mutakui) yang
bernama Raja Bicau. Raja hanya memiliki anak perempuan, yang tertua
menikah dengan maharaja Johor, dimana datanglah orang-orang ke pesta
pernikahannya. Diantara tamu undangan tersebut, terdapatlah Singa
Menjadian dan Singa Mendedean-mereka bersaudara; berasal dari Gunung
Melalo(hulu) dan yang menjadi awal mula dari Rao. Lainnya, berasal dari
Palembang. Salah satunya meminta putri yang lainnya dari sang raja,
sayangnya, ia ditolak sebab menderita suatu penyakit. Maka, kemudian ia
pun mengirimkan kemenakannya kepada Singa Merdekeh; raja Kuamang
(panti) dan memintanya mengirimkan pasukan. Kemudian sejumlah besar

117
Bahwa dikisahkan tentara Sriwijaya menuju ke ibukotanya dari daerah yang bernama
“Minanga-Tamwan”. Purbacaraka mengemukakan bahwa arti dari “Minanga-Tamwan” adalah
pertemuan dua buah sungai; diartikan sebagai Sungai Kampar Kanan dan Kiri.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
77

pasukan Batak datang menyerang Muara Takus, dan dalam pertempuran ini
raja terakhir, Panjang Jungur tewas. Didekat Batu Besurat, orang Batak
melemparkan batu bertulis ke dalam sungai dan berkata, “Ketika batu ini
mengapung kembali ke permukaan air, kita juga akan kembali.” Sayangnya,
di Pematang Gadang, mereka menemui hambatan. Bahwa sepokok kayu
besar telah menimpa dan mereka pun tenggelam. Banyak mayat yang
mengambang dialiran sungai dan berbau busuk, sehingga dinamakan sebagai
Sungai Sibusuk. Dari aliran ini, menghilir mayat-mayat mengambang dan
dengan demikian dinamakan “Bangkai-inang” atau Bangkinang118 (Mayat
Batak). Nama “inang” berarti “ibu” dalam terminologi Batak, tersebab
terkejut, mereka menyebutnya dengan “inang.” Bahwa juga diceritakan di
masa kuno terdapat aliran sungai bawah tanah, yang menghubungkan
Kampar Kanan dengan Kampar Kiri; Legenda berkisah tentang Indo Chatib
dari Suku Bondang, yang suatu ketika ia memancing di wilayah tetangganya;
Koto Air Tiris. Bahwa sang tokoh ditarik oleh ikan yang berhasil diburunya
melalui sungai dibawah tanah hingga ke Kampar Kiri; legenda ini, terutama
berkaitan pula dengan asal-usul nama Air Tiris. Muara Takus sendiri dulunya
dinamakan Si Jangkang atau Telago Undang. Nama ini, berasal dari kata
Takut; nama anak sungai dari sungai Kampar, sebab disini orang-orang mulai
merasa takut dengan sang Penguasa Muara Takus (takut). Kerajaan ini
sesekali waktu mendominasi wilayah sekelilingnya. Seperti penguasa Rokan
yang mengunjungi Muara Takus untuk melakukan ritual “Balimau.”
Pada era Hindia, saat peringatan Hari Ratu, seluruh penghulu di wilayah
pemerintahan Bangkinang tiba untuk memberi penghormatan kepada
Kontrolir; Penghulu Muara Takus memimpin prosesi dibawah payung emas.
Dari legenda Muara Takus ini, sebagaimana telah disampaikan bahwa
terdapat unsur Batak yang melakukan penyerbuan, dan bahkan,
menimbulkan penyebutan Bangkinang yang berasal dari kata Bangkai-Inang.
Hal ini, diasumsikan berkaitan dengan suatu masa di era Sriwijaya yang
berada dalam perdagangan camphor dan benzoin di abad ke-8, dimana terjadi
migrasi orang Batak dari danau Toba kearah selatan, dan terdapat juga bukti
bahwa telah terjadi penyebaran awal orang Batak diwilayah yang sekarang ini
dikenal sebagai berbasis Melayu ataupun Minangkabau. Menurut sejumlah

118
Bangkinang sebagai pusat dari V Koto Kampar, sekarang dikenal sebagai ibukota Kabupaten
Kampar Provinsi Riau.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
78

tradisi Kampar, bahwa Rao pada suatu masa adalah Batak, namun disaat
selanjutnya adalah Minangkabau, sementara daerah timur dari Rao dianggap
sebagai Batak. Bahwa legenda penyerangan Muara Takus oleh Batak, berbasis
di Kuamang. Pada abad ke-19, seorang Belanda melaporkan melihat batu
berinskripsi kaligraphi Batak, yang terletak di lingkungan Glugur di Sungai
Kampar. Ia menjelaskan bahwa batu tersebut menginformasikan pemberian
penghargaan kepada pemimpin desa, yang diasumsikan sebagai Batak, dan
nampaknya dapat dikaitkan dengan Mandailing. Hingga pertengahan abad
ke-19, Neuwman meyakini bahwa Batak bermukim di sebelah utara
pegunungan Pasoman (Dolok-Pasoman di Batak), dimana pegunungan
Pasoman ini merupakan sumber dari sungai Rokan, Siak dan Kampar, dan
menandai perbatasan paling selatan dari negeri Batak. 119
Kondisi tersebut juga menegaskan keyakinan, bahwa, peradaban
masyarakat manusia dapat lebih tua dari yang apa yang telah dan
tengah dipercaya, bahwa pengetahuan yang meliputi suatu entitas
masa kuno telah diikat oleh keterbatasan bukti-bukti, dan akan
berubah ketika ditemukan bukti baru yang otentik dan argumentatif.
Upaya yang sangat baik dalam melihat kondisi Lanskap darat dalam kaitannya
dengan kerajaan pegunungan; Minangkabau, kita dapat bandingkan dari apa
yang diperoleh Kato Tsuyoshi120 yang melakukan kajian yang mengaitkan asal
usul Rantau Kurang Oso Dua Puluh melalui kisah Rakit Kulim yang terkenal
sepanjang aliran Kuantan - Indragiri sejauh hilir di Rengat. Suatu waktu yang
telah sangat lama berlalu, atau menurut satu versi pada akhir abad ke-14,
seorang raja Minangkabau dari Pagaruyung mengirim dua bangsawan ke
Kuantan untuk membawa hukum adat dan ketertiban di daerah ini. mereka
adalah Datuk Katumanggungan dan Datuk Perpatih nan Sebatang. Mereka
membuat rakit dari pohon Kulim untuk perjalanan. Kulim (Scorodocarpus
borneensis) adalah pohon keras dan berat yang sulit mengapung di air.
Namun sebaliknya, rakit Kulim mereka mengapung disebabkan dua
bangsawan itu diberkahi dengan kekuatan supranatural. Mereka dan para
pengikutnya pun berakit menyusuri Kuantan - Indragiri hingga tiba di daerah

119Neumann, “Het Pane-,” vol. 2, 17–8; Andaya, 2008;156.


120
Localisation of Kuantan, in Indonesia From Minangkabau Frontier to a Riau Administrative
District, Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde, (1997), no: 4, Leiden, 737 - 763

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
79

Kuantan. Kedua bangsawan tersebut lalu menata beberapa pra - permukiman


di Kuantan, membuka tempat baru di kawasan hutan perawan dan
meletakkan dasar dari Rantau Kurang Oso Dua Puluh. Datuk Tumanggung,
Datuk Perpatih, dan juga seorang bangsawan ketiga Datuk Bandaro Lelo Budi,
mendirikan total sejumlah sembilan belas koto di Kuantan. Tidaklah jelas
kapan dan darimana Datuk Bandaro Lelo Budi datang ke Kuantan, akan tetapi
banyak ahli adat mengatakan bahwa ia sudah tinggal di Kuantan ketika dua
bangsawan datang ke daerah ini. Gelar Datuk Bandaro Lelo Budi masih
diwariskan di Kari, sebuah desa beberapa jarak di hulu Taluk, sedangkan dari
Datuk Perpatih dan Datuk Tumanggung juga mewariskannya di Lubuk Jambi
dan Inuman. Setelah Rantau Kurang Oso Dua Puluh dibentuk, Datuk
Tumanggung dan Datuk Perpatih mengatur tentang penyempurnaan adat di
Kuantan. Sayangnya dalam proses tersebut, mereka berselisih terutama atas
posisi Syarak atau hukum Islam dalam masyarakat. Beberapa ahli adat di
Kuantan mengatakan bahwa konflik muncul setelah kedatangan Islam di
Kuantan, sementara yang lain berpendapat bahwa kedua bangsawan sudah
menjadi Muslim sebelum kedatangannya ke Kuantan, akan tetapi
menempatkan derajat yang berbeda dalam penekanan atas Islam.
Akan tetapi kedua kubu ahli adat setuju bahwa Datuk Perpatih memberikan
keutamaan adat matrilineal untuk pengaturan hubungan keluarga (misalnya,
mamak – kemanakan), pola perkawinan (seperti, suku atau matri - klan
eksogami), dan pewarisan (misalnya, warisan komunal matrilineal);
Sementara Datuk Tumanggung lebih suka menekankan Syarak untuk
pengaturan faset kehidupan ini. Sebagai akibat dari konflik tersebut, Datuk
Tumanggung meninggalkan Kuantan dan pergi ke arah laut. Ia kemudian
mengembangkan adat berorientasi syara’ di daerah baru di bawah
pengaruhnya. Sementara itu Datuk Perpatih dengan bantuan Datuk Bandaro
Lelo Budi, terus menyempurnakan adat di Kuantan dan pengorganisasian
internal koto. Empat suku atau marga matrilineal dibentuk di koto dan posisi
yang sesuai sebagai pemimpin adat pun didirikan. Meskipun pada awal
mulanya rakit Kulim yang menghilir bersama dua tokoh Minangkabau ke
Kuantan, adat di daerah ini sekarang diakui sebagai Adat Perpatih. Sebaliknya,
adat berorientasi syara’ dibedakan sebagai Adat Katumanggung atau Adat
Tumanggung dimana menurut banyak ahli adat di Kuantan sekarang
berkembang di Semenanjung Melaka. Kisah pengembangan budaya dari
pegunungan Minangkabau di rantau Kuantan ini bahkan dapat kita temui

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
80

dalam warta121 di periode pendudukan Jepang. Kato berpendapat bahwa


hubungan antara Kuantan dan wilayah pegunungan lebih baik dipahami
dalam konteks alam Minangkabau.

Gambar 2.1.Para Pemimpin Muara Takus Awal Abad ke-20.


Sumber:Aanteekeningen Over Midden Sumatra door S.Kalff. Op de Hoogste, 1917.

Bahwa pemahaman hubungan Kuantan dengan Minangkabau dalam


perspektif alam Minangkabau, nampaknya dilengkapi dengan kisah lainnya
selain dari kisah Rakit Kulim, yang menunjukkan eratnya hubungan antara
Kuantan dan pegunungan Minangkabau. Menurut cerita lain yang terkenal di
Kuantan, raja dari Pagaruyung pernah mengunjungi Kuantan dengan lima
tokoh dari istananya. Tokoh ini kemudian berdiri sebagai wakil raja di
Kuantan. Mereka secara kolektif dikenal sebagai Orang Gadang nan Balimo

121
Pandji Poestaka, 17 November 1942; koleksi dari Nederlandsche Instituut voor Oorloogs
Documentatie.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
81

dimana gelar adat tersebut masih diwariskan di Kuantan hingga saat ini.
Berkaitan dengan perwakilan raja Pagaruyung di Kuantan, ada baiknya kita
melihat laporan yang dituliskan oleh Grijzen. Grijzen122 menyebutkan bahwa
keseluruh federasi kota-kota di Distrik Kuantan, membentuk empat federasi,
termasuk yang disebut sebagai IX Kota di Atas dan IX Kota di Ilir, dan negeri-
negeri ini berada di bawah kewenangan taruhan orang Gedang nan berlima.
Untuk jelasnya adalah sebagai berikut:
Datuk Dano Puto dan Datuk Dano Sekaro untuk IV Koto di Ilir; masing-
masing berpusat di Cerenti dan Inoman;
Datuk Muda Besei untuk V-Koto-di Tangah; berpusat di Taluk
Datuk Habib untuk V Kota di Mudik berpusat di Lubuk Jambi, dan
Datuk Paduka Raja untuk IV Koto di Mudik; berpusat di Aur Balei.
Di Lubuk Ambacang bermukim kepala, yang memimpin dengan gelar Datuk
Sangga Raja. Posisinya sebagaimana dalam ungkapan, “orang gedang
berlima, bëranam dengan Sangga Raja.” Mereka semua orang Gedang Raja,
bahwa tugas mereka oleh Raja Pagaruyung adalah mereka diangkat sebagai
wakilnya. Adapun kata “Sangga Raja” berasal dari kata “mënyangga Raja”.
Gelar diberikan, saat kedatangan pangeran Pagaruyung yang menaiki perahu
di rantau Kuantan dan menariknya untuk menepi (Mënyangga perahu Raja).
Paduka Raja, berawal dari pëndukung Raja dan didasarkan pada kenyataan
bahwa Raja dari Pagaruyung yang berada di perahu menuju Singgasana Raja,
dan ini haruslah didukung (mendukung Raja). Datuk Chabit bertanggung
jawab atas pemeliharaan ini, dan juga untuk memastikan bahwa Pangeran
menerima bagian atau hak istimewanya (privillege) dan juga meliputi
pemotongan rumput (sabit rumput); Pada salah satu perjalanannya dimana ia
berada di Taluk, bahwa istri Raja terihat pucat dan kurus. Salah satu kepala
dapat memulihkan dan menjadikannya sehat kembali, sehingga ia
memperoleh galar “Muda Bisai” (Bisai = menyenangkan, sehat); bahwasanya
ia tengah berada di Inuman dan telah diketahui bahwa isteri sang Raja
tersebut ternyata sedang hamil. Terhadap kepala yang membawanya dengan
perawatan yang diperlukan dari perahu di pantai, diberikan gelar Dano Bikaro
atau Sikaro(Bingkaro=hamil). Kemudian sang Raja dari tempatnya itu, akan
kembali melakukan perjalanan dan segera saja diatur untuk tujuan tersebut,
dan didahului oleh Raja Dubalang dari Aur (Onderafdeeling Lintau dan Buo)

122 Grijzen, hal.110 - 111


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
82

yang menyiapkan kedatangannya. Bahwa dalam konteks ini distrik Kuantan


masih terhitung negara-negara Minangkabau. Raja dubalang, kecuali sebagai
prekursor dari Rajanya, ia tidak memiliki pengaruh di Kuantan. Mereka
mengatakan :
“Orang Gadang nan Berlima di Rantau Kuantan, bëranam dengan
Sangga Raja, bërtujuh dengan Datuk Raja dubalang di Aur”.
Grijzen mengemukakan berkaitan dengan rantau Kuantan yang awalnya
berasal dari 18 kota, 19 kota dengan Padang Tarab dan 20 kota dengan
Muara. Padang Tarab sebagai kota ke-19 Rantau Kuantan akan tetapi
pembagian ke dalam federasi tidak dihitung; dengan kata lain tidak termasuk
dalam asli Rantau Kuantan, tapi, seperti dikatakan, mereka “bunga
setangkai.” Tampaknya pada saat itu adalah satu-satunya Kota yang sealur
dengan sungai, disebut Kuantan. Terdapat ungkapan:
sahingga Muara Ilir,
sahingga Cërenti mudik,
Muara dianggap sebagai nomor dua puluh, sendirian saja dan hanya karena di
Sungai Kuantan, bukan karena terhubung politik dengan kota lainnya.
Binuang Air Putih atau Padang Tarab disebut sebagai kesembilan belas karena
itu adalah lanskap Bunga setangkai, setandan bunga dari delapan belas kota
Kuantan yang sebenarnya. Lebih jauh lagi Grijzen, bahwa bukti kedekatan
antara rantau Kuantan dengan Kerajaan Pagaruyung adalah dapat dilihat dari
Datuk-Datuk yang merupakan Orang Gadang nan berlima, gelar dan lokus
yang berkaitan erat dengan peristiwa kedatangan Raja tersebut, dimulai dari
persiapan Raja dubalang dari Aur tersebut. Bahwa juga bunga setangkei, oleh
karena itu adalah tempat di mana Raja mulai untuk berhibur, seperti pada XIV
Kota itu dari Tapian sehingga air hangat, pada III Guguk dengan Selasar atau
përmédanan atau Tempat Bermain, Jadi dahulunya adalah tempat
memancing sebagaimana dari Raja dubalang dari Aur dengan balai
përanginan tersebut, tempat Raja untuk mendapatkan udara segar.
Keseluruhan gelar dan rangkaian acara dan tempat tersebut diatas berkaitan
dengan kedatangan Raja ke Rantau Kuantan: sebagaimana telah
dikemukakan, bahwa sekali setiap tiga tahun (dua tahun ketiga) sang Raja
Pagaruyung menghilir di sungai Kuantan untuk mengumpulkan pajak dan
estimasi yang sah, namun kedatangannya ini tidak lebih dari dua pekan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
83

saja.123 Raja Dubalang,124 sebagai seorang pembesar setempat akan


mengumumkan dan menyambut kedatangannya. Adapun pembesar di negeri
Silakat, Durian Gadang dan Siluka bergegas memberikan perahu lengkap
dengan awaknya yang diperlukan. Di Lubuk Ambacang dimana bertempat
Pucuk Negeri Datuk Sangga raja, bahwa setelah ia mendengar khabar tentang
kedatangan tuannya, segera saja pesan dikirimkan ke Orang Gadang dari
Gunung. Sang pangeran Pagaruyung ini diberi penghormatan. Jika terjadi
perselisihan di antara Orang Nan Berlima, maka diperlukan kehadiran
pangeran tersebut untuk menyelesaikannya; Dalam kasus ini, Rantau
Kuantan sangat berhati-hati, maka ini juga berarti tidak dapat
dikesampingkannya beberapa kemungkinan bahwa tetangganya, yakni;
negeri-negeri aliansi Indragiri; Inuman dan Cerenti memiliki kekuatan yang
sama seperti yang telah diberikan kepada Orang Gadang Raja, kepada Raja
Muda atau Datuk Tumenggung dari Indragiri. Meskipun demikian,
nampaknya kondisi ini mengindikasikan bahwa untuk kasus-kasus luar biasa
atau sangat penting, akan melibatkan seluruh elemen dari Rantau Kuantan. 125
Tentu saja dalam hubungan pemerintahan seringkali juga terjadi banyak
perselisihan. Kontroller Twiss menyebutkan bahwa Cerenti adalah tempat
yang telah ditunjuk untuk sebuah musyawarah dan penyelesaian dengan
wakil delegasi dari kedua belah pihak. Lebih terang lagi dan ini dipengaruhi
catatan yang dibuat oleh Kontrolir Schwartz mengenai hubungan antara
Kuantan dan Indragiri; ikatan antara keduanya yang sedari awal telah
“sedemikian rupa,”126 sehingga beberapa penulis menganggap bahwa
Kuantan memiliki ketergantungan pada Indragiri dan bahwa di era Hindia pun
monarki yang terbentuk merupakan anggota dari “Indragirische huis" (Dr
Hollander, halaman. 730). Pendapat ini mungkin berasal dari apa yang
terdapat dalam adat pusaka:
“Berdatuk ka datuk Tumenggung,
beraja ka Yang Pertuan muda,

123
Menurut Hadat: “doea kali toedjoeh hari,” dalam Schwartz,1893:hal.362
124
Raja Dubalang dari Aur(wilayah ini di era Hindia Belanda termasuk dalam Onderafdeeling
Lintau en Bua) diperintahkan oleh salah seorang Penghulu dari Padang Tarab untuk
mempersiapkan segala sesuatunya;
125
IJzerman, Nijhoff, 1909;
126 Bahwa Grijzen mengungkapkan tentang ikatan antara Kuantan dan Indragiri yang lebih longgar

dibandingkan ikatannya dengan Pagaruyung.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
84

bertuan ka Minangkabau”127.
Kembali melihat kebelakang, Ketika pemukim di Indragiri banyak yang berasal
dari Minangkabau, menurut tradisi bersama dengan sistem pemerintahan di
Kuantan di awal abad ke-14, berkaitan dengan Datuk Pepatih dan Datuk
Katemmenggungan, lambat laun tampaknya dan apa pun alasannya, raja
Pagaruyung mengetahui bahwa dikalangan pemukim di koloni, terdapat
keinginan untuk “membuatnya terpisah”. Lalu, To Patih dan To Tumenggung
pun memutuskan untuk mengembalikan kepada sang raja. Mungkin saja,
tradisi hubungan Semenanjung dengan Minangkabau yang banyak ditemui
bermukim di hilir, sebagai dikisahkan bahwa seorang pangeran sebagai putra
dari Sultan Muhammad Syah, Raja terakhir yang memerintah di Malaka di
akhir abad ke-15 ketika terjadinya invasi Portugis,128 di Kampar mereka
mengangkatnya menjadi Sutan. Dikisahkan bahwa ia menikahi putri
pangeran dari Minangkabau, yang memberinya dua putra, yang tertua dari
Sutan berhasil mendirikan kerajaan dengan menyisihkan saudaranya yang
hanya menjadi Raja Muda. Di distrik Kuantan acapkali terjadi sengketa yang
sering berakhir dengan konflik. Oleh karena jarak yang cukup jauh, sehingga
pangeran Minangkabau tidak mampu untuk langsung turun menanganinya, ia
melimpahkan kepada kepada cucunya; Raja muda (Yang dipertuan muda) dan
Tumenggung untuk kasus-kasus besar, dimana tidak bisa diselesaikan sendiri.
Di bawah ini adalah secara garis besar apa yang telah berlangsung: 129
1. Dengan sering terjadinya perselisihan atau pertengkaran, maka
mengharuskan Datuk Tumenggung mengundang Datuk nan Berlima
sebagai Orang yang tidak memihak dalam upaya menyelesaikan
permasalahan dan jika mereka gagal, maka akan dialihkan ke wakil
raja, dan kemudian mereka menyelesaikannya di Tambangan,130
dimana dibuat keputusan untuk para pihak yang bersengketa;

127 Kontrolir Twiss mengatakan “adapoen Rantau Kuantan, sahingga Cerenti moedik bertoean ka
Minangkabau, sahingga Batu Idjar Hilir ba Raja ka Raja Moeda (Indragiri) berDatuk ka
Toemenggoeng”.
128 Portugis menaklukkan Malaka pada tahun 1511 dan Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke

pedalaman, tepatnya di Kampar, lihat: Winstedt, Richard (1962). A History of Malaya. Marican.
129
Schwartz, Nota Over den politieken en economischen toestand van het landschap Kuantan,
Tahun 1893.
130 Sungai Perbatasan antara kerajaan Kuantan dan Indragiri.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
85

2. Orang-orang Kuantan dalam lanskap Indragiri, dirujuk langsung ke


individu;
3. Wakil Raja akan memerintahkan bahwa dalam dua tahun (Dua katiga
tahun) Raja Minangkabau akan segera melakukan sebuah perjalanan
ke Kuantan, penampilannya di Cerenti dilengkapi dengan berbagai
persembahan, seperti; gelas, mangkuk, piring, payung dengan jumlah
sebanyak 100 potong dari setiap jenisnya, pada pertemuan itu
mereka mungkin saling berhadapan satu sama lain dan hanya
dipisahkan oleh Tabir (kanvas yang dibentangkan);
4. Untuk membiayai perjalanan dan persembahan raja muda, orang-
orang Kuantan di Indragiri turun ke laut, dan segera dilakukan
pengumpulan pendapatan dari pajak (teboes Kapala senilai $0,60);
5. Orang-orang Kuantan terhadap Tumenggung dan wakil Raja, dimana
mereka tidak pernah hadir setelah sekian lama sejak pelantikannya;
maka orang-orang di Inuman dan Cerenti pun tidak mengakuinya;
6. Akhirnya, Raja muda membatalkan niatnya memasuki Kuantan.
Kondisi ini disikapi oleh datuk dan Raja Muda dengan sebuah
sumpah besar.
Kisah di atas secara jelas menunjukkan bagaimana kondisi kekuasaan
pangeran Minangkabau atas Kuantan; persoalan subordinasi dan kemudian
berturut-turut perlakuan khalifah kepada mereka, apalagi, Raja Muda dengan
penasehatnya, Datuk, tidak dapat berbuat lebih jauh. Secara eksplisit
larangan memasuki wilayah Kuantan timbul untuk menghindari intervensi
terlalu besar dari Raja, dan akhirnya, disisi lain dengan sendirinya Kuantan
telah membentuk hubungan ketergantungan kepada Indragiri, 131 akan tetapi
tidak banyak yang diketahui tentang bentuk-bentuk hubungan
ketergantungan tersebut,
fakta yang ditemukan bahwa setelah jatuhnya Kerajaan Pagaruyung,
putra Raja secara sah dipilih oleh rakyat untuk menjadi Raja atas
distrik bersama dan dengan cara itu juga kerajaan Kuantan
didirikan.132

131Schwartz, 1893:hal.341.
132
Meskipun demikian, dapat dibandingkan juga dengan IJzerman (1895), bahwa para penguasa
rantau Kuantan pasca keruntuhan Pagaruyung secara geneologis tetap terkait dengan dinasti
Minangkabau tersebut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
86

Oleh karena itu, kata “Tuan”, digunakan untuk kedudukan Pagaruyung, sejak
menemukan dirinya di tengah-tengah masyarakat, sehingga tidak diperlukan
satu intervensi Raja muda dan Datuk Indragiri untuk menyelesaikan sengketa.
Sebagaimana telah disampaikan, akhirnya persoalan diselesaikan secara
bertahap; pada awalnya dalam rangka menciptakan penampilan dua tahunan
untuk acara “Tambangan” dan menawarkan hadiah, adapun tebus Kepala
tetap dalam posisinya. Terjadi hubungan persahabatan antara dua kerajaan
ini, terutama setelah pasifikasi dinegosiasikan, yang hanya menunggu sanksi
dari Pemerintah, untuk pernikahan awal-antara Sutan Tengku bong dengan
putri pangeran Kuantan, terdapat rasa kekuatiran bahwa hubungan antara
Sultan dan Sutan dari Indragiri akan mengalami perubahan.
Di dalam kebiasaan ataupun adat Melayu, keputusan diambil hanya dengan
suara bulat yang sempurna, atau model permusyawaratan (mufakat). Oleh
karena itu, tak ada habisnya di sana besarnya pengaruh Orang-pandei. Orang
yang memiliki keunggulan dan kecerdasan serta kefasihan; biasanya akan
memiliki pengaruh yang besar. Bahkan mereka dengan modal keberaniannya
dapat menjadi kekuatan bagi dirinya dalam berhadapan dengan yang lain.
Siapa yang kuat dan cerdas benar-benar akan dapat memiliki kekuasaan di
Rantau Kuantan. Pada periode sebelumnya, negeri Kuantan yang berada di
bawah pangeran Pagaruyung; dan setelah pembentukan otoritas Belanda di
dataran tinggi Padang, mereka tetap membayar upeti kepada sang pangeran
Cerenti atau Basarah. Hingga akhirnya pada awal abad ke-19, Kaum Padri,
sebuah gerakan reformis Islam telah mengguncang masyarakat
Minangkabau di pedalaman Sumatra Tengah. Dalam suatu aksi oleh kaum
reformis, Sebagian besar keluarga kerajaan Pagaruyung tewas, akan tetapi
beberapa diantaranya berhasil melarikan diri ke daerah Kuantan. Salah satu
dari mereka akhirnya dinobatkan sebagai raja di daerah Kuantan sekitar
tahun 1830-an dan bertempat di koto baru dengan nama Koto Rajo.
Sebagaimana telah disampaikan, bahwa hubungan antara Kuantan dan
Sumatera Barat lebih baik dipahami dalam konteks Alam Minangkabau. Alam
Minangkabau terdiri dari Luhak nan Tigo dan rantau. wilayah yang termasuk
kedalam rantau pasisir ( perbatasan sepanjang pantai barat Sumatera bagian
tengah ) dan rantauhilir ( perbatasan hilir ) sepanjang sungai-sungai besar
yang mengalir turun dari bagian tengah dari pegunungan Bukit Barisan ke
arah timur. Dalam skema alam Minangkabau, Rantau Kurang Oso Dua Puluh
sebagai bagian rantau hilir yang penduduk Minangkabau dan adat telah
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
87

menyebar selama berabad-abad. Adapun hubungan Kuantan dengan


masyarakat hilir dan seterusnya, pengamatan berikut menunjukkan interaksi
yang erat antara kedua daerah. Perbatasan antara daerah Adat Perpatih dan
Adat Tumanggung dikonsep dengan jelas. Dikatakan bahwa Muara
Tambangan – dianggap sebagai perbatasan antara Kuantan dan Indragiri (di
mana Sungai Tambangan mengalir ke Kuantan - Indragiri ) bagian hulu berada
di bawah Adat Perpatih, sementara Batu Sawar hilir berada di bawah Adat
Tumanggung. Daerah antara kedua tempat ini menunjukkan campuran unsur-
unsur, yaitu; Minangkabau dari hulu, Minangkabau dari hulu Batanghari
melalui Batang Peranap, Talang Mamak, dan Melayu dari hilir. Orang-orang di
daerah unsur campuran sebagian besar mengikuti adat matrilineal, meskipun
nama-nama suku mereka (Misalnya , Panglima Sutan, Penghulu, dan
Manjolelo), yang awalnya terlihat memiliki gelar adat, secara substansial
berbeda dengan yang ada di Sumatera Barat, Kuantan, ataupun Negeri
Sembilan.
Diseluruh wilayah Sumatera Barat dan juga Riau daratan, hanya di Kuantan-
lah orang-orang lokalnya membuat perbedaan yang jelas antara Adat
Perpatih dan Adat Tumanggung, perbedaan yang juga diamati pada Negeri
Sembilan di Semenanjung Melayu. Salah satu suku besar di Negeri Sembilan
adalah disebut Suku Seri Lemak Pahang. Nama suku mungkin menunjukkan
bahwa beberapa kolonis kuno Negeri Sembilan dari Sumatra mencapai tujuan
dari Pahang di pantai timur semenanjung Melayu serta dari pantai barat. Ada
kemungkinan bahwa beberapa kolonis ini berasal dari Kuantan Sumatera,
berlabuh di “Kuantan” Pahang, dan melanjutkan ke pedalaman
semenanjung. Hal ini sering menunjukkan bahwa beberapa nama desa di
Luhak Lima puluh Kota Sumatera Barat mirip dengan beberapa nama suku
dari Negeri Sembilan. Diantaranya adalah Payakumbuh, Simalanggang, Batu
Hampar, mungkar, Sari Lamak dan Batubalang. Desa-desa ini semua terletak
di sepanjang Batang Sinamar atau anak-anak sungainya yang mengalir ke
Kuantan-Indragiri. suku penting lainnya di Negeri Sembilan adalah Tanah
Datar. Tempat-tempat bersejarah yang menunjukkan pengaruh dari luar di
Luhak Tanah Datar Sumatera Barat, seperti; Sungai Tarab, Saruaso, dan
Pagaruyung terletak di sepanjang Batang Ombilin atau yang anak sungainya
juga mengalir ke Kuantan - Indragiri. Selain itu, hubungan timbal balik
Kuantan dengan tetangganya, tidak hanya budaya atau etnis semata.
Mereka juga terlibat dalam bidang ekonomi. Sebagai contoh, menurut

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
88

beberapa catatan Belanda pada paruh kedua abad ke-19, Kuantan adalah
salah satu pemasok utama daging untuk kedua dataran tinggi Minangkabau
Sumatera Barat dan juga Singapura.133 Dapat dikatakan,
bahwa bukti-bukti ini menunjukkan, Kuantan, sejak era Hindu-Budha
telah berperan sebagai lintasan peradaban, baik dari pedalaman
menuju pesisir, atau begitu pula sebaliknya.
Perjanjian Anglo-Belanda tahun 1824 yang membagi Sumatera dan
Semenanjung Malaya bersama-sama dengan Selat Malaka menjadi dua kutub
politik di bawah kontrol Belanda dan Inggris. Meskipun tidak selalu
menghambat ekonomi atau susunan demografis antara dua kutub,
bagaimanapun juga ini berpotensi menjadi sebagai penghalang; kondisi yang
sebelumnya tidaklah ada. Sebuah perkembangan yang sama, nampaknya
juga berlaku di Sumatera itu sendiri. Setelah memenangkan perang Padri,
Belanda mengkonsolidasikan kontrol mereka. Hal ini sangat menarik untuk
dicatat bahwa sebagian besar tempat utama yang penting dalam Sejarah
Minangkabau terletak di sepanjang sungai dari Kuantan - Indragiri. Buo dan
Nagari Kumanis, berada dekat Pagaruyung yang dilaporkan pada awalnya
terletak disepanjang Batang Sinamar, sedangkan lokasi Sumpur Kudus adalah
sepanjang anak sungai Batang Unggan. Batang Ombilin, Sinamar dan Ungang
sebagai tiga anak sungai utama dari Kuantan - Indragiri semuanya berada di
Sumatera Barat. Pembentukan Karesidenan dari Dataran Rendah dan
Dataran Tinggi Padang yang kemudian digabung ke dalam Karesidenan
Pantai Barat Sumatera, akhirnya menghasilkan identifikasi yang semakin
dekat dari Sumatera Barat sebagai negeri Minangkabau. Gambaran batas
administratif Sumatera Barat ini, masih ditambah pula dengan upaya
Belanda untuk membatasi aliran komoditas dari Sumatera Barat ke pantai
timur dan, sebagai gantinya, langsung menuju Padang sebagai ibukota
Residensi Sumatra Barat, melalui pembangunan jalan penghubung antara
pedalaman pantai Barat.
Dengan demikian, Kuantan secara bertahap mulai terpisahkan secara
ekonomi dan budayanya dari Sumatera Barat yang berawal mula
pada akhir abad ke-19.

133 Oki, 1986:27-8.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
89

Selanjutnya kisah Lanskap Lembah yang terkait dengan Semenanjung, maka


dapat dilihat dari apa yang terdapat di pesisir sungai Rokan; Kisah Putri Hijau.
Bahwa terdapat beberapa versi, dimana salah satunya yang berkembang di
kerajaan Deli Tua, dimana hulu sungai Rokan dianggap sebagai eks
wilayahnya yang kemudian dikuasai oleh Tuanku Tambusai, sehingga
berkemungkinan legenda Putri Hijau juga berkembang disini. Adapun kisah
dari masyarakat sungai Rokan sendiri, juga dikaitkan dengan situs candi
Sintong di tepian sungai Rokan, dan disini dipilih untuk menyajikan dua versi
cerita tersebut. Yang pertama dituliskan oleh tokoh Masyarakat Rokan; Wan
Saleh Tamin, dan kedua, apa yang tercantum dalam catatan kontrolir
Bagansiapiapi; Bouwijen van Duuren. Yang pertama, terbetik bahwa sang
Putri ini berasal dari wilayah daratan Malaka, menghulu ke kerajaan Rokan
untuk menelusuri jejak sang calon jodohnya, yang memiliki tanda khusus.
Putri yang termasyhur kecantikannya ini menyamar menjadi seorang tua dan
telah berkelana hingga ke Negeri China dan Keling dalam pencahariannya,
sehingga akhirnya tiba di Pekaitan dan menumpang dirumah Datuk Penjarang
yang berstatus Hulubalang kerajaan Rokan. Oleh sang Putri, nampaklah
“tanda” pada Datuk Penjarang tersebut, akan tetapi disebabkan sang Datuk
merupakan seorang Panglima yang berwibawa, merasa seganlah ia
menyampaikannya. Sebaliknya, Datuk Penjarang merasa bahwa seorang tua
yang menumpang dikediamannya bukanlah seorang biasa, tersebab suatu
ketika ia melihat sinar hijau dari dalam rumahnya dimana putri Hijau berada.
Singkat cerita, mereka melangsungkan perkawinan dan menetap di hilir
Siarang-Arang. Terbetik juga berita bahwa pasukan Aceh yang mendengar
keberadaan Putri Hijau, mencoba mendatangi dan membawanya; upaya yang
dihalangi oleh Datuk Penjarang yang dibantu oleh Panglima Nayan. Akhirnya
pasukan Aceh ini berhasil dipukul mundur hingga ke Kuala Mahato dan terus
berjalan hingga ke Panei.
Kisah lainnya tentang Putri Hijau ini di aliran sungai Rokan, nampaknya juga
direkam oleh Belanda, dan mungkin saja dapat sedikit berbeda Meskipun
sang kontrolir Boudewijn van Duuren pun agak hati-hati dalam
menuliskannya.134 Kisah terkenal tentang Putri Hijau dan berasal dari Raja
(Tuan Raja Sintong) yang dikatakan dituliskannya tanpa ia meratifikasi kisah
tersebut, apa adanya, sesuai yang diperolehnya dari tradisi lisan kuno. Kisah

134 Boudwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
90

yang berkaitan dengan masuknya Islam di Rokan pada sekitar 800 tahun yang
lalu. Terkisah berasal dari pantai barat memerintahlah seorang Pangeran
bernama Abdullah sebagai Sultan Sintong, sebuah kota besar yang dalam
legenda keadaan rumah-rumahnya diberitakan begitu banyak dan rapatnya
sehingga saling terhubung dan mencapai Pekaitan. Sultan Abdullah memiliki
dua anak, seorang putra dan putri. Anak itu bernama “Tengku Putra” dan
putri “Putri Dang Sanggul” yang dikenal dengan ”Putri-Hijau”. Pada satu
kesempatan Tengku Putra mengendarai kuda bersama pengikutnya; tiba-tiba
saja kudanya terkejut, membuatnya keheilangan keseimbangan sehingga
Kuda dan penunggangnya jatuh dari tebing tinggi di sungai Rokan dan tidak
terselamatkan. Tempat ini masih dapat ditemui sebagai "Tebing Anak Raja
Jatuh", dan terletak antara Sintong dan Teluk-Mega. Tidak lama setelah
insiden tersebut, tibalah dari Aceh sejumlah empat puluh kapal besar dan
awaknya yang berjumlah lebih dari 400 orang yang dipimpin oleh seorang
Panglima. Kekuatan gabungan mereka berlokasi di situs Tuk Bian di Lintasan
(Rantau Bais). Kesemuanya menasbihkan batu nisan atas nama mereka yang
disebutkan berasal dari Aceh, sebagian sebagai tanda bahwa mereka siap
untuk gugur di jalan Allah yang mereka tujukan pada semua orang untuk
memeluk Islam.
Datok-Rantau-Binoeang, wiens begraafplaats op Rantau-Binoeang is,
Datoek-Dinoengkal, wiens begraafplaats op Koeala-Batang-Koemoe is,
Datoek-Diboekit met de begraafplaats op Sidinginan,
Datoek-BatoeHampar met zijn begraafplaats op Batoe-Hampar. 135
Dengan kedatangan empat puluh kapal di Sintong, mereka mengirim utusan
kepada Sultan Abdullah dengan rekomendasi agar ia dan rakyatnya memeluk
agama Islam, dan mereka akan menyatakan perang bila terjadi penolakan.
Akan tetapi, Sultan Abdullah yang masih menganut agama kuno, menolak.
Bahwa sang Sultan, dikisahkan tengah bermain catur dan seolah tidak
menghiraukan kedatangan para penyerbu tersebut. Sultan mengatakan,”Jika
musuh datang, maka kita akan melakukan langkah ini dan itu.” Ketika menjadi
jelas bagi Sultan bahwa musuh sudah di halaman istananya, bersama istri dan
pengikut pun bergerak keluar melalui lorong rahasia menuju Siarang-Arang,
sayangnya ia lupa dengan putrinya yang berada di istana kerajaan. Setelah
pelarian Sultan-Abdullah dan tiba di Siarang-Arang, ia ingat nasib anak

135 Bouwijen van Duuren, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
91

perempuannya yang tertinggal. Lalu Sultan mengumumkan kepada khalayak,


barang sesiapa yang dapat menyelamatkan dan membawa putrinya kembali,
ia akan mengawinkannya dengan sang putri tersebut. Seorang pembesar
Sultan dan warga Siarang-Arang bernama Panglima Tuk Nyarang, cukup
berani untuk mencoba membawa putri-Hijau dari Istana Sintong dan
menghancurkannya (istana) sehingga aman menuju Siarang-Arang. Panglima
Tuk Nyarang berangkat dengan perahu menuju Sintong dimana ia tiba di
bagian selatan Sintong; diteluk kolokati di malam hari dimana ia menemui
sejumlah empat puluh kapal tersebut, setelah didekati, ia mendekati seluruh
awak kapal tengah tertidur. Ketika sudah jelas bahwa seluruh awak tertidur
dengan nyenyak, ia memotong semua tali kapal di jangkar dengan katjip nya
(semacam penjepit), setelah selesai ia pun membuang tali ke sungai-tempat
yang bernama Lubuk Kolokati. Empat puluh kapal tersebut pun terlepas dan
didorong oleh arus ke arah laut, dan kemudian berlayarlah Panglima Tuk
Nyarang menuju ke istana di Sintong dimana putri Hijau berada. Istana putri
raja tidak memiliki tangga, “tidak satu pun dari batu atau kayu,” hanya
dengan bantuan dari tali tujuan-tahan, tali, yang navigasikan oleh penjaga
istana yang ditunjuk, orang pun dapatlah memanjatnya. Panglima Tuk
Nyarang di malam hari barulah ia mencapai istana dimana putri Hijau telah
jatuh tertidur. Akhirnya ia menyelamatkan putri Sultan, membawa ke
ayahnya di Siarang Arang, dan membuat sang Ayah sangat senang. Sultan
Abdullah menepati janjinya dan memanggil orang-orang bersama-sama untuk
menghadiri pernikahan putrinya dengan Panglima Tuk Nyarang. Namun, ia
menolak untuk menikahi putri Hijau karena ia bukan dari status yang sama
tingginya dan ia ingin tidak melanggar apa yang telah ditetapkan dalam adat
istiadat. Sultan kemudian menganugerahi Tuk Nyarang dengan apa yang
dikatakan sebagai “Sepotong Hutan Tanah”(Een Stuk Grond). Sepotong Hutan
Tanah, pada generasi berikut kemudian dikenal sebagai bahagian dari tradisi
para tetua. Bouwijen Van Duuren juga menuliskan bahwa setelah peristiwa
Putri Hijau tersebut, memerintahlah Sultan Ibrahim atas Kerajaan Lontar yang
terletak diantara Rantau Bais dan Sedinginan yang dikatakan juga berasal dari
pedalaman Minangkabau, sebagaimana pada Suku di Tanah Putih. Berikut
adalah bansawan dari masing-masing empat Kepala Suku; Yang pertama Suku
Melayu Besar dan disebut Datuk Bendahara atau Paduka Seri Maharaja, suku
kedua Melayu Tengah dan disebut Datuk Temanggung atau Datuk Raja
Lelawangso, dan yang ketiga Suku Merah dan disebut Datuk Perdana Menteri
atau Datuk Setia Pahlawan dan keempat; Suku Batu Hampar disebut Datuk
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
92

Sangsura atau Datuk Sura Di Raja. Pada awalnya, wilayah ini disebut dengan
Tanah Putih Tanjung Bunga atau Tanjung Melawan, akan tetapi ketika
Belanda tiba disana, mereka mencatat bahwa nama-nama ini ternyata telah
dilupakan semenjak 800 tahun yang lalu.
Bahwasanya Sungai Rokan relatif paling dekat dengan Melaka, dan dapat
dipastikan memiliki kesejarahan yang berkaitan dengan kemaharajaan
Melaka; bahwa menjadi suatu kelaziman di hilir sungai Rokan atas
hubungannya dengan Melaka dan dalam dunia yang lebih luas lagi-
Semenanjung Malaya. Bahwa, afiliasi Kerajaan Rokan dengan Melaka terjadi
melalui perkawinan – suatu perluasaan jaringan kekerabatan sebagaimana
yang lazim terjadi dalam dunia Melayu; bahkan diberitakan raja Rokan
memperoleh perlakuan istimewa saat mengunjungi Melaka sebagai dampak
hubungan tersebut. Pasca penaklukan Portugis terhadap Melaka tahun 1511,
Portugis dalam rangka mencari pelarian Melaka dan perluasaan jejaring
perdagangan menyusuri sungai-sungai diantaranya Rokan, dan sebagaimana
dikisahkan melakukan penyerangan dan penghancuran kerajaan Rokan di
Pekaitan. Runtuhnya kerajaan Rokan ini, diasumsikan memunculkan
kerajaan-kerajaan kecil sebagaimana federasi di hulu sungai Rokan dan tiga
lanskap di hilir; Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Bahwa sangatlah minim
informasi yang dapat diperoleh berkaitan dengan awal mula dan
pemunculannya, melainkan salah satunya sebagaimana terekam dalam
persiapan Raja Kecil untuk suatu penyerangan ke Johor; bahwa Kubu di
muara Rokan, menjadi salah satu lanskap tempat Raja Kecil menghimpun
pasukannya, dan selanjutnya ke Batu Bara. Catatan Belanda menyebutkan
tiga lanskap di hilir sungai Rokan melalui Traktat 1858 antara kerajaan Siak
dan Belanda; bahwa Tanah Putih, Kubu dan Bangko termasuk dalam wilayah
taklukan Siak; Belanda menyatakan bahwa tiga lanskap ini masuk dalam
wilayah kekuasaan Siak pada era Said Ali melalui suatu penaklukan yang
elegan.
Sungai Rokan sendiri pada masa pra-kolonial, dimana untuk menyusurinya
para pelaut akan disambut dengan apa yang dikatakan oleh Marsden sebagai
Teluk yang luas. Hal ini berkemungkinan pada saat itu diabad ke-18, Muara
Rokan lebih menyerupai sebuah teluk yang berbeda dengan kondisi diabad
ke-20 yang telah dipenuhi dengan delta yang menutupi view muara, terutama
Pulau Barkey dan juga Pulau Halang -agak masuk ke sungai, maka akan
berjumpa dengan Pulau Pedamaran. Kondisi muara yang lebar, memudahkan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
93

para pelaut untuk menemukan dan menyusurinya hingga ke hulu, meskipun


demikian, pada era ini bahaya lain mengancam pelayaran; Beno. Gejala alam
yang berkaitan dengan arus pasang di laut dangkal memungkinkan
terbentuknya gelombang berbahaya tersebut. Akan tetapi, cerita rakyat
menunjukkan adanya hubungan dengan luar, terutama selat, selain juga
dengan Eropa penakluk; Portugis. Kisah tentang invasi Portugis juga terekam
dalam memori kolektif dimana pasca penaklukan Malaka, pasukan Potugis
bergerak menyisir Pantai Timur Sumatra, dan di Sungai Rokan tibalah di
pelabuhan Pekaitan. Kisah yang mirip dengan Sultan Abdullah, bahwa sang
raja tengah bermain catur ketika Portugis tiba; lalu raja dan para hambanya
pun berpindah ke Batu Hampar, Tanah Putih dan Siarang-Arang. Bahwa Kisah
penguasa yang pada saat istananya diserbu penakluk tengah disibukkan
dengan permainan catur, juga terdapat dalam kisah penaklukan Raja kecil ke
Johor, dimana Raja Muda yang tetap bertahan dengan hobinya tersebut
akhirnya terbunuh dalam peristiwa huru hara di istananya.
Pada Abad ke-19, kisah invasi ataupun eksodusnya orang Aceh ke pedalaman
Rokan mungkin tampak pada identifikasi atas masyarakat di Lanskap Bangko
yang dilakukan oleh Hijman van Anrooij, yang dikatakan sebagai keturunan
dari Aceh (keturunan pasukan atau migrasi Acehkah?). Adapun peristiwa
huru-hara Malaka 1511 dan Penaklukan Raja Kecil atas Johor tahun 1718
dikatakan bahwa sebahagian penduduknya melarikan diri hingga ke Tanah
Putih dan menetap disana. Bahwa kisah Putri Hijau dan Tuk Nyarang atau
datuk Penjarang, menunjukkan telah terjadi suatu proses akulturasi antara
alam pesisir timur dan dunia selat Semenanjung, asimilasi yang menghasilkan
jarak sosial dalam titik nol dimana diberlangsungkannya perkawinan antara
Putri Hijau dari Melaka, dan Datuk Penjarang dari Pekaitan. Kondisi ini,
bagaimanapun juga melibatkan unsur lain, Aceh, yang berupaya menaklukkan
Kerajaan dan membawa Putri Hijau ke negaranya. Yang dapat dipahami
adalah pada era tahun 1614, Kerajaan Johor melibatkan lanskap di sungai
Rokan, Siak dan Indragiri dalam suatu persekutuan untuk menghadapi invasi
Aceh yang tengah “naik daun” dimasa Sultan Iskandar Muda, sementara di
pedalaman, lanskap melakukan aliansi dengan kerajaan Pagaruyung dalam
menghadapi tentara penakluk, seperti yang dilakukan Lanskap Tanah Putih
dan Lontar yang dibantu Minangkabau dalam menghadapi penyerangan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
94

Aceh.136 Aliansi dua kutub ini, diasumsikan merupakan bentuk-bentuk


akomodasi kepentingan selain dalam bidang perdagangan, atau juga
mungkin, aliansi pusat-pheripheri dalam menghadapi ancaman dari pihak
luar. Dalam konteks penyerbuan Aceh, kerajaan Gasip di Sungai Siak
merupakan kisah kerajaan yang punah akibat serbuan tersebut. Di sini, di
Gasip, berkembang kisah tentang Putri Kacang Mayang sebagai putri raja
Gasip yang dibawa oleh pasukan Aceh ke negaranya setelah mereka
menghancurkan kerajaan tersebut. Terdapat tokoh Panglima Gimbam, yang ia
merupakan panglima perang Gasip mengejar pasukan Aceh hingga ke
negaranya, dan berhasil mengalahkan musuh dalam suatu pertarungan. Sang
panglima berhasil membawa sang Putri Kacang Mayang kembali, akan tetapi
sayangnya ditengah perjalanan sang Putri jatuh sakit dan kemudian ia pun
wafat. Kisah legenda rakyat ini, memuat pesan yang jelas tentang adanya
invasi dan juga akulturasi.
Legenda di Sungai Rokan, dan juga di sungai Siak, dapat kita periksa ihwal
peristiwa dalam kurunisasi hingga Islam menyebar disana. Sebagaimana
diketahui, runtuhnya kerajaan Sriwijaya diabad ke-13 ditengarai diiringi
dengan kemunculan kerajaan-kerajaan yang awalnya berada dibawah
kerajaan Melayu kuno tersebut, diduga peristiwa ini berkisar pada akhir abad
ke-13 dan awal abad ke-14. Kerajaan itu semisal; Aru, Kandis, Lamuri, Rokan,
Siak, Keritang, Tamiang, Lahwas, Belawan/Deli, Kampar, dan Inderagiri.
Bahwa kesemuanya ini berlokasi dipinggir sungai yang menghilir ke Selat
Malaka. Terdapat situs reruntuhan Candi di Sintong dan Sedinginan di hulu
sungai Rokan, yang diduga merupakan situs peninggalan Kerajaan Rokan. Dari
apa yang tercatat dalam karya sastra kuno di Semenanjung, Malaka, bahwa
pada masa pemerintahan Raja Mahmud Syah terdapat hubungan yang erat
antara Kerajaan Melaka dan Rokan. Raja Mahmud Syah menikahi puteri Raja
Rokan yang dari istrinya ini diturunkan penerusnya; Raja Ibrahim. Sementara
itu di bahagian paling barat Sumatra, Kerajaan Samudera Pasai sebagai
negara yang berkembang pesat pada abad ke 14 nampaknya mengambil
perannya dalam penyebaran islam di wilayah di Nusantara, yang juga meliputi
kerajaan di Sungai Rokan; diduga, pada abad tersebut, akibat serangan Aceh,
kerajaan Rokan pun mengalami kemunduran, begitu pula di waktu kemudian

136
Sebagaimana disampaikan Tideman, aliansi yang kembali memapankan supremasi Pagaruyung
di pedalaman Rokan.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
95

seperti yang dialami kerajaan Gasip disungai Siak. Memasuki abad ke-15,
Kehadiran Portugis di Samudera Pasai, diasumsikan telah mengakibatkan
eksodusnya sebahagian ulama atau keluarga kerajaan meninggalkan Pasai
menuju wilayah di Sungai Rokan dan lanskap di pesisir timur. Pada masa
inilah kemungkinan negeri-negeri di pesisir timur pada umumnya mulai
menganut agama Islam. Di Pesisir Sungai Rokan, makam Datuk Batu Hampar
merupakan salah satu situs yang menunjukkan betapa salah seorang
Pangeran Kerajaan Samudra Pasai yang juga seorang ulama; Tengku Syarief
Ali, tiba di Bantaian di hilir sungai Rokan. 137 Kesemuanya ini menunjukkan
bahwa sebagaimana telah disiratkan dalam legenda; kesejarahan penyebaran
Islam, invasi Aceh dan Portugis, serta jalinan hubungan dengan Melaka
maupun pagaruyung. Dengan begitu, tidaklah mengherankan bila sejak abad
ke-15, Kerajaan Rokan diperintah seorang raja keturunan Sultan Sidi yang
merupakan saudara dari Sultan Sujak, sebagaimana diutarakan dalam Sejarah
Melayu.
Secara umum, jelas telah kita lihat bagaimana proses-proses bagi terciptanya
kemajemukan sosial. Bahwa Orang asli sebagai native, Melayu disepanjang
pantai hingga ditepian sungai, bertemu dengan entitas pegunungan yang
diakibatkan gerakan “Menghilir” Minangkabau menuju pesisir timur dan
Semenanjung. Selain itu, sebagai sebuah entitas Melayu klasik di Sumatra,
Minangkabau juga dapat dianggap sebagai tetangga terdekat bagi orang asli
dan Melayu di Riau Daratan, yang berinteraksi di sepanjang jalan raya sungai
hingga ke muara. Mulai dari pedalaman hingga pesisir, mulai dari sungai
Rokan sampai Kuantan; kesemuanya memperoleh pengaruh yang cukup
signifikan. Signfikansi ini sebagai basis bagi pembentukan kemajemukan
masyarakat Riau Daratan, dapat berupa keterpaduan atau keterpisahan,
merupakan kharakter Sumatra sebagai bahagian dari alam yang lebih luas;
Dunia Melayu. Berikut ini kita akan mencoba untuk memahami Riau daratan
dalam perspektif Dunia Melayu.

137 Sebagaimana dikisahkan dalam harian Posmetro Rohil, 14 September 2015, hal.1 dan 9, kol.2
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
96

“Dunia Melayu”

Riau Daratan sebagai bahagian dari dunia Melayu, membutuhkan penjelasan


yang lebih memadai mengenai kharakteristiknya dari “dunia Melayu” itu
sendiri. Sebagaimana diketahui, Riau Daratan yang terlihat lebih berkharakter
sungai ketimbang politi seperti yang terdapat dikawasan pulau-pulau ataupun
sebelah utara dari Selat yang berkharakter sangat maritim. Penjelasan ini,
dapat ditelusuri dari konsepsi negara kontemporer di Asia Tenggara sebagai
suatu kewilayahan teritorial dengan batas-batasnya yang jelas dan diyakini
sebagai phenomena yang muncul di abad ke-18 dan 19; “nation-
state”(negara-bangsa) sebagai konsepsi Eropa yang terkait dengan periode
kolonialisasi Eropa. Bahwa transformasi dari negeri tradisional menuju
negara model barat, mengadopsi aturan batas-batas wilayah, domain
kenegaraan dan otoritas kedalam pemerintahan ala Eropa, yang juga
merupakan signifikansi perluasan politik dan ekonomi penguasa pribumi. 138
Studi terhadap transformasi itu, sebagaimana dilakukan Rollins Bonney pada
akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 menunjukkan bagaimana bangsa
Eropa (Inggris) memperkuat pemahaman “nation-state” dan juga batas-batas,
dan menghilangkan konsepsi batas-batas politik tradisional Melayu(baik
lautan maupun daratan).139 Dengan demikian, tentu saja dapat berlaku
sebaliknya, terutama sebelum akhir abad ke-18; bahwa sangat dimungkinkan
untuk menggambarkan batas-batas sebagai sesuatu yang abstrak jika
dibandingkan dengan konsepsi Eropa. Kompleksitas persoalan ini, terlihat dari
pertanyaan tentang “Melayu” itu sendiri secara historis. Salah satu penjelasan
bagus tentang diskusi ini memberikan pemahaman, bahwa kategori “Malay”
bersifat sangat cair, yang tidak didefinisikan oleh karakteristik phisik,
melainkan oleh bahasa, busana, adat, dan terutama; Islam. Tidak ada satupun
dari kharakterisitik tersebut bersifat genetis, sebagaimana dibawa individu
semenjak lahir. Setiap unsurnya, dapat diadopsi dan diakui dan bahwa ini
memungkinkan untuk ”menjadi Melayu” berdasarkan kharakteristik tersebut.
140
Sementara itu, Gullick berpendapat bahwa secara historis dunia Melayu
hanya meliputi Semenanjung dan Sumatra Timur laut, yang dikatakannya
memiliki keterpaduan kultur dan “sense” Kemelayuan, seperti; Bahasa,

138
Maziar Mozaffari-Falarti, 2009, hal.35-46.
139
Rollins Bonney, 1971: 4-5.
140 Matheson, 2003: 21-22.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
97

agama, pandangan hidup, perekonomian agrikultural, dan juga budaya politik


(dalam konteks situasi raja-kerajaan).141 Meskipun demikian, Gullick juga
menunjuk wilayah yang memiliki kesamaan bahasa dan budaya di Vietnam
Selatan(orang Champa), Orang Laut, Orang Asli di seluruh timur Sumatra, dan
kerajaan-kerajaan di Philiphina Selatan dan Pantai Kalimantan. Meskipun
Gullick berupaya menunjukkan ciri dan kharakter dari “Dunia Melayu” atas
kesamaan ataupun sense Melayu, Jane Drakard142 dan Barnard143 atas
studinya di Barus dan Siak, telah menunjukkan suatu tingkatan ambiguitas
pada wilayah-wilayah yang diperlihatkan Gullick sebagai area Melayu
konvensional. Dalam studi tentang “dunia Melayu,” maka, bisa saja pada
suatu tingkatan tertentu secara historis sebagai bahagian dari “dunia
Melayu”; meskipun demikian, tidaklah semua negeri-negeri Melayu tepat
sama persis, akan tetapi, mereka berada dalam kesamaan budaya dan politik,
dan kurang – lebih terhubung satu dengan lainnya, dan juga berbagi
pandangan dunia yang sama. 144 Mungkin saja, berbagi pandangan dunia
yang sama ala Trocki ini dapat dipadankan dengan apa yang disampaikan
oleh Benedict Anderson yang dikenal sebagai “Imagined Communities” 145
dalam kesejarahan Melayu di Asia Tenggara. Diharapkan, bahwa pendekatan
ini dapat menjelaskan fleksibilitas kelompok-kelompok Melayu yang
berpindah dari satu kerajaan Melayu atau politi ke lainnya, tanpa menjadi
“pengkhianat” bagi tempatnya semula. Dan nampaknya, diskusi ini mengarah
pada bentuk-bentuk “dunia Melayu” pada periode sebelum abad ke-19,
dengan berpedoman pada semenanjung Malaya ataupun pulau-pulau lainnya
di Asia Tenggara.
Pada dasarnya, “dunia Melayu” yang berbasis kesejarahan tradisional, terbagi
atas dua periode yang penting; periode pra-Islam atau masa Hindu-Budha,
dan Periode Islam. Apa sebenarnya yang diketahui pada masa awal
kesejarahan dan susunan politi-politi dari “dunia Melayu”, yang didominasi
oleh model “pantai” dan “sungai,” dimana sebelum abad ke-15, politi-politi

141 Gullick, 1991, hal.3.


142
Jane Drakard, 1990.
143
Timothy P.Barnard, Multiple Centre of Authorities:
144 Trocki, 2000.
145 Konsep Imagined communities diajukan oleh Benedict Anderson (1983:14-16), yang dapat

dikatakan sebagai kelompok masyarakat luas yang terdiri daripada berbagai kumpulan etnik yang
merasakan atau menggambarkan diri mereka sebagai satu bangsa walau tidak pernah berjumpa
antara satu sama lainnya.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
98

dalam suatu periodesasi yang pendek ditarik kedalam konfederasi Sriwijaya,


ataupun juga Majapahit, menyediakan terbentuknya “Ship Shape Societies”
yang berbasis pantai; diorganisir dalam sebaran sistem politi kecil yang
terjalin dalam jejaring komunikasi laut dan perdagangan untuk makanan dan
ekonomi lainnya. Salah satu studi tentang era pra-abad ke-19, mengajukan
fokus pada “dunia Melayu” sebagai “riverine states.” Bahwa unit politik
terbesar dari Melayu adalah “negeri.” Konsepsi “negeri” ini sendiri,
dikatakan sebagai tipikal dari suatu tempat dari sungai besar atau (lebih-
kurang) sekelompok pemukim yang berada ditepian sungai, membentuk blok
dari area yang membentang dari pantai ke pedalaman ke pusat batas air;
ibukotanya, berada disungai utama yang mengalir ke laut. 146 Tingkatan
berikut secara keluasan, dikatakan sebagai distrik, yang biasanya ditemukan
meliputi di dua sisi sungai; dimana sungai disebutkan Gullick sebagai jalur
utama komunikasi dan perdagangan. Observasinya juga menyebutkan
pemerintahan sebagai kerajaan yang tidak menunjukkan otoritas
pemerintahan secara substansial, bahwa yang dikatakan sebagai
pemerintahan raja, lebih merupakan simbolisasi dan pada suatu tingkatan
dapat memadukan negara melalui kekuatan supranatural. Aura of sanctitiy
didentifikasikan sebagai “daulat,” suatu kondisi ekslusif dari pemegang tahta
kerajaan. Gullick membedakan penguasa dari orang biasa, dan posisi ini
ditandai oleh berbagai pameran, seremoni dan penghargaan yang ditujukan
khusus kepada penguasa. Konsepsi Gullick tentang “dunia Melayu” ini,
nampaknya dibantah oleh Milner, yang mengemukakan bahwa negeri dalam
“dunia Malayu” menjadi sama dengan negara, terutama setelah abad ke-19.
Selain itu, Milner menemukan bahwa sebelum abad ke-19, tidak terdapat
konsepsi yang jelas yang membedakan negara dengan kerajaan, bahkan
terhadap area diluar dunia Melayu pun sering digambarkan sebagai kerajaan.
147
Milner kemudian lebih jauh menyimpulkan bahwa untuk memahami
situasi politik Melayu tradisional adalah melalui konsepsi kerajaan, atau yang
ia sebut sebagai adanya raja. Raja, lebih daripada negeri, ataupun
kewilayahan, sebagai pusat dari sistem politik Melayu. Bagi Milner, kerajaan
bukanlah “state,” melainkan suatu situasi keberadaan raja; jadi bukanlah ras
Melayu ataupun umat Islam sebagai obyek loyalitas, melainkan raja-lah
sebagai obyek utama dari loyalitas; dengan demikian,

146
Gullick, 1958, hal.21.
147 Milner, 1995, hal.104.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
99

Raja adalah pusat dari segala aspek kehidupan Melayu.148 Ketiadaan


raja dalam suatu kerajaan, akan menyebabkan kondisi yang
dinamakan “utter confusion” atau sebagai apa yang didunia Melayu
dikenal sebagai “sangatlah huru-haranya” yang akan menggiring
situasi menjadi anarkhi.

Diskusi terus berlanjut, dimana Bennet Bronson mengetengahkan suatu


penjelasan atas dunia Melayu, melalui model yang berbasis “sungai”: bahwa
sungai sebagai jalur utama, dimana negara hilir akan berposisi sebagai tempat
pertukaran dengan jejaring perdagangan luar; Negara pesisir berlaku sebagai
pengontrol politi-politi pesisir dan sungai.149 Wolters, meskipun menunjukkan
bahwa Sriwijaya merupakan enterport dari politi-politi sungai dan anak
sungai, pusat pesisir juga mampu menarik barang-barang ataupun produk
luar; yang berada dibawah rute perdagangan maritim internasional.
Konsekuensi dari keterkaitan dengan jejaring perdagangan luar ini,
mengkondisikan entreport sebagai tempat pertukaran produk dan barang
dengan sedikit ketergantungan produk politi-politi lokal yang berbasis sungai
dan anak sungai. Wolters juga menyebutkan bahwa kemakmuran ekonomi
sebagai hubungan dengan “rute perdagangan maritim internasional,
meningkatkan prestise penguasa. Nampaknya, Wolters berbeda dengan
Bronson, bahwa bisa saja pusat kerajaan berubah ataupun berpindah dari
satu tempat sungai ke tempat lainnya, akan tetapi, bekas pusat kerajaan
tersebut tidak selamanya menghilang, melainkan ia pun akan segera
digantikan oleh vasalnya. 150 Saat ini, kita telah dapat melihat gambaran yang
diberikan oleh para ahli tentang “Dunia Melayu” sebagai politi-politi yang
berbasis pada sungai maupun maritim. Meskipun demikian, Trocki
memberikan penjelasan, betapa jauhnya pemisahan yang terjadi dalam
sejarah antara basis sungai dan maritime itu. Trocki berpendapat bahwa
sistem maritime sebagai suatu kondisi dimana entreport atau “trading city”
berbasis pada kekuasaan untuk melakukan kontrol, sebagaimana diuraikan
Wolters, dari pulau ke pulau, dari satu muara ke lainnya sebagai “rute
perdagangan.” Selain itu, magnet kuat dari maritim adalah kondisi geographi
yang berlokasi di pertengahan Timur-Barat rute perdagangan Asia.

148
Milner, 1982, hal.31-32.
149
Bennet Bronson, 1977, hal.49.
150 O.W.Wolters, 1979, hal.19-21.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
100

Sebaliknya sangat berbeda dengan sistem sungai; argument Trocki


menyebutkan bahwa sistem sungai (riverine system) hanya terdiri dari unit
kewilayahan sungai atau “negeri.” Ia merujuk pada kasus di Semenanjung
seperti Perak atau Selangor yang berperan sebagai pheripheri yang melayani
Malaka sebagai “trading cities,” kemudian Sriwijaya juga berperan sama yang
menarik produk atas kesetiaan wilayah disepanjang sungai dan anak-anak
sungai151. Model penjelasan Trocki ini, telah memberikan gambaran akan
peluang otonomi yang lebih besar kepada wilayah “pinggiran” ketika pusat
melemah; terlebih dengan dorongan kuat dari wilayah dataran tinggi. Lebih
jauh lagi, Drakard152 nampaknya tidak sependapat dengan anggapan bahwa
sungai merupakan satu-satunya jalur penghubung dalam dunia Melayu yang
berbasis sungai, bahwa di northwest Sumatra, jalan setapak terlihat lebih
dominan daripada sungai untuk menghubungkan dengan pedalaman, bahkan,
dikatakan bahwa sungai bukanlah satu-satunya bentuk sarana komunikasi
dalam sistem politik Melayu. Memenuhi varian pendapat para ahli tentang
“Dunia Melayu,” Timothy P.Barnard, 153 dalam studinya atas Siak,
menunjukkan bahwa sejumlah negeri kecil yang secara tradisional berada
dibawah kontrol politik Johor; dengan kepemimpinan Raja Kecil, membentuk
politi Siak dan berlokasi di jalur transportasi utama; Sungai Siak. Secara
khusus Barnard membahas dokumen historis, mitos ataupun legenda yang
mengiringi kelahiran Raja Kecil. Kemudian dari perkawinan, petualangan dan
kemampuan personalnya untuk menghimpun pengikut yang berasal dari
berbagai entitas, yang didominasi Orang Laut. Langkahnya ini, menjadikan
dirinya sebagai penerus dari tradisi Palembang – Malaka – Johor, dan
sekaligus membuatnya tampil sebagai figur alternatif dari peristiwa
terbunuhnya sang Sultan Johor di tahun 1699. Dengan beralihnya
kepemimpinan kepada generasi selanjutnya yang diwarnai konflik antar
saudara; membawa anak-keturunan Raja Kecil dan pengikutnya pada
sebahagian besar abad ke-18, suatu petualangan pengarungan samudra Laut
Cina Selatan; “penguasaan tanpa negeri” yang berbasis dari pulau ke pulau,
dan pantai ke pantai. Dalam “Multiple Centre of Authority,” Barnard telah
menunjukkan bahwa model alternatif dari “kerajaan” yang terdiri dari

151 Trocki, 1979, xvii.


152
Jane Drakard, 1990.
153 Timothy P.Barnard, 2003.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
101

penguasa dan pengikutnya yang mobile sebagai penguasa lautan.


Bagaimanapun juga, para ahli telah menunjukkan bahwa,
terdapat varian dalam sejumlah unit kewilayahan Melayu, yang
lazimnya terlihat dimiliki oleh Dunia Melayu; negara maritim dan atau
negeri sungai. Jadi, tidak terdapat lagi keraguan atas Riau Daratan
sebagai negeri yang berkharakter sungai-sungai dan juga pantai; dari
darat sampai pesisir sebagai bahagian dari “Dunia Melayu.”

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
102

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
103

3
Kondisi Ekologi dan Kultural

Keberagaman Identitas atau Tunggal?

Pulau seperti Sumatra diketahui memiliki wilayah yang luas dan jumlah
penduduk yang besar, akan tetapi sepertinya luput dari perhatian para
ilmuwan untuk melihatnya secara utuh. Sebenarnya upaya pernah dilakukan,
pertama-tama oleh William Marsden, sayangnya upaya ini nampaknya
tidaklah berlanjut lebih jauh. Hal ini terlihat dari perilaku sarjana barat yang
memiliki akses terbesar atas Sumatra, seperti para ahli Belanda yang
cenderung melihat Sumatra sebagai bagian-bagian yang terpisah, tidak
seperti halnya ketika mereka mengkaji pulau Jawa dimana Majapahit dapat
didudukkan sebagai perspektrum Jawa. Sebaliknya, Sriwijaya, yang pernah
berjaya dan menguasai sepanjang pantai Sumatra; benar-benar terlupakan
hingga seorang ilmuwan Perancis George Coedes(1918) menerbitkan
laporannya yang meyakinkan diabad ke-20. Tulisan Coedes memberitakan
bahwa, Sriwijaya benar-benar merupakan sebuah kerajaan besar yang
berlangsung dari abad ke-7 hingga ke-13. Diketahui pula pada abad ke-20,
pernah terdapat upaya untuk melakukan kajian yang memperlakukan
Sumatra sebagai satu kesatuan, akan tetapi nampaknya hal inipun, sekali lagi
tidaklah berlanjut.154 Pulau Sumatra dipenuhi dengan sungai-sungai besar
yang mengalir ke Selat Malaka, telah memberikan output bagi area eksternal
yang lebih luas; kondisi ini, menyebabkan para sarjana barat banyak
memandangnya seakan terlepas dari Sumatra itu sendiri. Bahasa Melayu
sebagai bahasa Lingua Franca pun sering dilihat sebagai milik entitas yang
lebih luas ketimbang milik Sumatra saja, dan bahkan penghuni Sumatra
sendiri mulai menggunakan nama Sumatra melalui kontaknya dengan Eropa.

154
Anthony Reid, Identitas Sumatra dalam Sejarah, dalam “Menuju Sejarah Sumatra: antara
Indonesia dan Dunia,” Kitlv Jakarta, Edisi Pertama, tahun 2011, hal.23-29.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
104

Kondisi geografis nampaknya menjadi penyebab tidak terdapatnya


identitas tunggal bagi Sumatra.
Menurut Scholz,155 secara geografis Sumatra terdiri dari lima kawasan; yaitu
pesisir barat, kawasan pegunungan, kawasan kaki gunung, dataran luas yang
hampir rata (peneplain), dan pesisir timur. Pesisir barat yang sangat sempit
(10-20 km) mencakup daerah kira-kira dari Pariaman di utara sampai Muko-
muko di selatan. Daerah ini ditandai oleh curah hujan yang tinggi sehingga
terdapat sejumlah sungai dengan kuatnya arus yang memotong-motong
daerah pesisir barat sehingga mempersulit hubungan antara utara dan
selatan, ditambah lagi oleh rawa-rawa yang sering terdapat di kawasan ini.
Hubungan laut pun sangat sulit karena besarnya ombak dan minimnya pela-
buhan yang aman dan terlindung. Dapat dikatakan umumnya kawasan ini
memiliki penduduk yang merantau dari pegunungan. Di kaki barat dan
dataran aluvial yang sempit ini dihuni oleh kelompok-kelompok dengan
kesamaan budaya dan bahasa yang kuat dengan kelompok yang berdekatan
di dataran tinggi, dan yang sangat mungkin adalah keturunan pendatang dari
daerah-daerah. Emigrasi asli mereka mungkin memiliki disebabkan oleh
kombinasi yang berbeda dari faktor-faktor seperti pertumbuhan penduduk,
peperangan antar kelompok, dan pertikaian internal. Karena itu pola
etnografi dataran rendah barat adalah refleksi dari yang berada di dataran
tinggi.
Kawasan dataran tinggi pegunungan, merupakan inti yang membentuk
pemukiman Minangkabau; kemudian meliputi kawasan pegunungan juga
termasuk tiga lembah di daerah Minangkabau di sekitar Gunung Merapi.
Tradisi Minangkabau menganggap tiga lembah tersebut telah menjadi
kawasan pertama yang dihuni ketika nenek moyang mereka turun dari
gunung itu. Bagian bawah ketiga lembah dibentuk oleh Danau Maninjau dan
Danau Singkarak, dan arah selatan di Kecamatan Solok Selatan terdapat dua
danau kecil, yaitu danau dibawah dan danau diatas. Bagian selatan kawasan
pegunungan Bukit Barisan ditandai oleh Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci.
Dapat diduga bahwa pemukiman yang paling tua terletak di sekitar danau-
danau tersebut, dan lembah-lembah di sekelilingnya sangat cocok sebagai
daerah pemukiman karena hawa yang sejuk dan tanah yang subur. Tidak
mengherankan bahwa kepadatan penduduk yang paling tinggi ditemukan di

155 Scholz, 1988: hal.31


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
105

daerah pegunungan. Di sebelah timur pegunungan Bukit Barisan terdapat


kawasan kaki gunung (dengan ketinggian di bawah 150m) yang lebarnya
sekitar 40km, peneplain, dan pesisir timur. Miksic156 yang menyebut ketiga
kawasan tersebut sebagai dataran rendah. Berbeda dengan kawasan
pegunungan, dataran rendah ditandai oleh kesuburan tanah dan kepadatan
penduduk yang sangat rendah. Akan tetapi hubungan antar daerah di dataran
rendah jauh lebih mudah karena terdapat sungai-sungai yang dapat dilayari,
dan di pesisir timur yang dibatasi oleh Selat Malaka juga terdapat sejumlah
pelabuhan yang aman. Batang Hari dan anak sungai seperti Tembesi,
Merangin, Bungo, dan Tebo, dapat dilayari oleh kapal seberat 20 ton sejauh
300 km ke pedalaman di musim kemarau, dan lebih jauh lagi di musim
penghujan. Oleh sebab itu tempat permukiman biasanya didirikan di tempat
perhubungan yang strategis seperti di tempat dua sungai bertemu, dan tidak
di muara sungai yang rawan terhadap angin yang dapat menghancurkan
armada kapal.
Dengan demikian terdapat dua zona ekonomi yang sangat berbeda:
Pegunungan yang subur dan padat penduduknya, dan pesisir timur
yang minim kesuburan tanahnya, akan tetapi sangat strategis dalam
hal perdagangan.
Dataran rendah timur menampilkan keseragaman tinggi dalam bahasa, adat,
dan agama. Terdapat pula sisa-sisa populasi rumah perahu maritim yang
tinggal di muara dan secara kolektif disebut sebagai Orang Laut; kelompok-
kelompok ini tampaknya telah jauh lebih banyak selama awal periode kontak
Eropa dari sekarang. Banyak polpulasi telah berasimilasi ke dalam dataran
rendah timur yang mengidentifikasi diri mereka sebagai Melayu (Orang
Melayu), identitas yang secara eksplisit berdasarkan penggunaan bahasa
Melayu dan agama Islam dan bukan pada umumnya yang diasumsikan
dengan asal-usul melalui keturunan genetik.157 Kebudayaan Melayu dapat
digambarkan sebagai hasil adaptasi terhadap muara pasang surut dan alam
rawa yang menggenang disepanjang pinggiran sungai, penduduk secara
tradisional membawa pada campuran ekonomi pertanian musiman dilahan

156Miksic, 1984: 424.


157Tentang Konsep etnisitas Melayu, dapat dilihat terutama D. E. Brown, "Brunei: the Structure
and History of a Bornean Malay Sultanate," Monograph of the Brunei Museum Journal, II/2 1970;
A. C. Milner, Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule (Tucson: Association for
Asian Studies Monograph no. XL, 1982).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
106

basah dan kering, nelayan dan juga perdagangan.158 Kondisi ini dominan pada
konfigurasi budaya Sumatera Timur, dan bukannya tanpa variasi regional,
akan tetapi dataran rendah budaya dataran timur laut dari Deli, Langkat, dan
Serdang, lebih mirip dengan yang ada pada dataran selatan Sungai Mesuji,
1500 kilometer jauhnya, dari budaya Batak di pedalaman. Seluruhnya di
dataran rendah timur, terdapat sepuluh sistem sungai besar; dari Barumun di
timur laut hingga ke Seputih di selatan. Sungai-sungai besar ini muncul
dangkal mirip satu sama lainnya, akan tetapi ada beberapa poin di mana
perbedaan yang signifikan antara mereka muncul. Beberapa sungai, misalnya,
tidak menarik dari sudut pandang pelayaran disebabkan gelombang pasang
surut yang berbahaya; seperti Rokan dan Kampar.159 Tanah yang sungai telah
diciptakan melalui pengendapan partikel batuan terkikis dari kaki barat dan
pegunungan juga berbeda secara signifikan. Alluvium di wilayah dari
Barumun di utara ke lembah Kuantan terdiri dari batu pasir dan batu kapur,
yang relatif subur. Dari Batang Hari selatan proporsi produk vulkanik kaya di
tanah menjadi semakin besar.
Batas-batas antara populasi dataran tinggi dan dataran rendah cenderung
ditandai dengan jelas dan sering dikaitkan dengan kriteria topografi seperti
perubahan gradien sungai dari tercuram untuk selanjutnya secara bertahap
melandai (yang juga bertepatan dengan batas antara bagian yang dapat
dilayari). Hingga intervensi langsung Eropa pada pertengahan abad ke-19,
hubungan antara kelompok-kelompok dataran rendah dan dataran tinggi
seolah-olah diatur antara negara yang berbeda, oleh peperangan dan juga
perjanjian. Transisi antara kompleksitas dataran tinggi, nampaknya tidak
ditandai begitu baik, baik secara topografi ataupun etnis. Misalnya; Zona

158
Irigasi sawah dibekas swamplands didataran rendah terlihat diperluas hanya diakhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20, ketika sejumlah besar proyek drainase dilaksanakan. Selama periode
awal kontak dengan Eropa, subsistensi pribumi didasarkan pada pertanian lahan kering dan
basah untuk padi dan sejumlah panenan lainnya. Pola ini mungkin telah mendominasi di zona
piedmont di sisi timur dari barisan pegunungan Sumatra, utara dan barat dari Kalimantan, dan
juga di Semenanjung selama 2000 tahun hingga di aabad ini. Lihat Zaharah binti Haji Mahmud,
"The period and nature of 'traditional' settlement in the Malay peninsula," Journal of the
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, XLIII/2 1970, pp. 81-113 ; R. D. Hill, Rice in Malaya
(Kuala Lumpur 1977); M. Dove and J.N. Miksic, "Dryland-swampland transitions in Southeast
Asian agricultural evolution" (MS).
159William Marsden, The History of Sumatra (London, 1811, reprinted by Oxford University Press,

Kuala Lumpur, 1975), hal. 357.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
107

kontak antara Minangkabau dan Batak, tampaknya telah bergeser dalam


berbagai waktu, dan kelompok populasi yang mengisi zona kontak memiliki
budaya konfigurasi yang terlihat seperti perantara antara keduanya. 160 Kita
telah dapat melihat, bagaimana kondisi geografis, topografis telah
memunculkan kompleksitas identitas, tidak saja pada dataran tinggi, juga
dataran rendah timur yang berbeda dengan dataran rendah barat. Kembali
dapat dikatakan,
ini adalah keberagaman, dan bukanlah identitas tunggal.
Selain itu, kerumitan dalam mengidentifikasi Identitas Sumatra ini, merujuk
pada kondisi keluasan, keberagaman, yang membuat Sumatra lebih dapat
dikenali dari varian penghuni Sumatra itu sendiri yang terlihat semisal pada
Sumatra Utara, Sumatra tengah ataupun Sumatra Selatan. Kompleksitas ini
dipenuhi pula oleh realita menonjolnya peranan kerajaan pedalaman pasca
runtuhnya Sriwijaya. Selain itu, berkaitan dengan upaya penelusuran atas
wilayah Riau daratan, mungkin akan terlihat mirip dan sekaligus juga berbeda
dengan wilayah tetangganya, Jambi. Kesamaannya adalah Riau Daratan dan
Jambi sama-sama berhulu di pedalaman Minangkabau dan menghadap ke
jalur Selat Malaka, akan tetapi keberadaan varian sungai-sungai besar
menjadikan upaya disini jauh lebih kompleks daripada hanya penelaahan atas
hulu Batang Hari semata. Mulai dari sebelah paling barat, Sungai Rokan,
kemudian Siak dengan anak sungai Tapung kanan dan Kiri, Sungai Kampar
dengan anak sungai Kampar Kanan dan kiri, dan terakhir adalah sungai
Indragiri yang berhulu di danau Singkarak. Kesemua ini memerlukan
penjelasan relasional, hubungan antara “Lanskap Lembah” dengan wilayah
pegunungan disatu sisi, dan hubungan dengan pesisir disisi lainnya.
Signifikansi ini mengingat “lanskap Lembah” merupakan wilayah perantara
antara Pegunungan dan pesisir, yang nampaknya telah “baku” berdasarkan
laporan pengamat pada abad ke-19. Sebagaimana diketahui, para ahli
nampaknya telah menarik garis batas yang tegas antara dikhotomi
Pegunungan dan Semenanjung. Barnard161 memandang wilayah pesisir
sebagai “wilayah perbatasan” antara pedalaman yang bertemu dengan

160Micsik, hal.428
161
Lihat Timothy P.Barnard, “We Are Comfortable Riding the Waves”: Landscape and the
Formation of a Border State in Eighteenth-Century Island Southeast Asia, dalam Borderlands in
World History, 1700-1914, 2014, hal.83-99.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
108

kosmopolitan perdagangan internasional; bertolak dari lanskap pegunungan


dengan alamnya yang seringkali curam dan kemudian arah ke hilir yang
semakin melandai bertemu hamparan rawa-rawa di pesisir. Meskipun
Antropolog umumnya mengidentifikasi wilayah Lanskap Lembah sebagai
bagian dari alam Minangkabau, akan tetapi hanya sebagai bahagian “rantau”
dari alam Minangkabau dan bukan “Luhak.” Jika kita membicarakan wilayah
rantau, maka klaim penguasa Pagaruyung di pegunungan Sumatra Tengah
mencakup hingga wilayah Semenanjung, dan ini menjadikannya logis sebagai
wilayah yang harus di lihat memiliki independensinya sendiri.
Meskipun Sumatra tampil dengan ketiadaan identitas tunggal, akan tetapi
sebagaimana telah disampaikan bahwa keseragaman tinggi dalam hal bahasa,
adat dan agama terbentuk di dataran rendah timur; kondisi ini dapat
membawa kita untuk sampai pada pembicaraan hulu – hilir, dimana kita
membicarakan paralelisme dari pulau Sumatra yang memiliki punggungnya di
barisan pegunungan Minangkabau, dan alirannya sungai-sungai besarnya
menuju selat Malaka disebelah pesisir timur; paralelisme geografis dan
mungkin juga; etnis. Selain itu, nampaknya pesisir timur Sumatra merupakan
daratan yang terus bertambah keluasannya, terutama disekitar muara sungai
dimana sumber endapan tersebut berasal dari pegunungan di hulu sungai
yang mengalir tergerus arus aliran sungai menuju perairan Selat Malaka dan
juga dari perubahan dan gerakan lapisan kerak bumi dari lautan dangkal.
Fakta, bahwa gejala alam tersebut terjadi disepanjang pesisir timur Sumatra,
mulai dari ujung barat sampai timur; dari era Sriwijaya hingga masuknya
kolonial. Dugaan bahwa kerajaan Sriwijaya pada masanya – merupakan
kerajaan dengan Entreport yang tidak terlalu jauh kepedalaman. Kemudian
fakta bahwa pendangkalan telah melenyapkan pelabuhan-pelabuhan utama
di kawasan Balai, Bagansiapiapi, merupakan keniscayaan yang terbuktikan
dilapangan. Bahkan Marsden pada abad ke-17 menggambarkan muara sungai
Rokan sebagai sebuah laut yang luas, gambaran teluk yang saat sekarang
telah begitu berbeda – sangat menyempit yang dilengkapi juga dengan
kemunculan delta-delta. Kesemua ini merupakan gambaran tentang ekologis
pantai timur yang terus saja mengalami perubahan yang diyakini akan turut
mempengaruhi kondisi masyarakat ataupun politi yang dijumpai mendiami
kawasan tersebut. Dengan kondisi alam pesisir sedemikian, maka turut
mempengaruhi pergerakan arus sungai yang bergerak kehulu dan kehilir.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
109

Sebagaimana diketahui, kawasan pesisir Timur Sumatra Tengah yang dialiri


sungai Rokan dan Kampar memiliki apa yang dinamakan “Beno”; yaitu suatu
gelombang pasang yang terjadi saat pasang-besar, pertemuan antara arus
kehilir dengan naiknya air laut serta kedangkalan pantai, menghasilkan
gelombang yang cukup membahayakan bagi arus pelayaran disungai
tersebut, kondisi ini menyebabkan hingga abad ke-18, nampaknya banyak
orang tidak berani melakukan pelayaran menyusuri sungai tanpa adanya
suatu pemandu, bahkan beberapa orang Eropa memilih untuk benar-benar
menghindari dari kegiatan berlayar disana. Di sungai Siak, kearah pedalaman
sejauh 150 km maka akan dijumpai percabangan anak sungai; Sungai Tapung
Kiri dan kanan yang disebut dengan Kuala Tapung – letaknya lebih kehulu dari
Pekanbaru. Bahwa Sungai Tapung Kiri akan menuju pegunungan
Minangkabau melalui lanskap-lanskap Kampar Kanan. Dapat dimaklumi,
bahwa di Tapung Kiri inilah terletak Petapahan, sebagai sebuah “outlet”
pertukaran barang-barang dari pegunungan menuju Selat. Selain itu, pada
masa sebelum terbentuknya Pekanbaru sebagai kota transit, maka para
pedagang yang melintasi sungai Kampar akan menerabas jalan setapak dari
Bangkinang menuju Petapahan. Bahwa hal kondisi arus Beno dan juga dapat
memperpendek rute, nampaknya merupakan faktor penyebabnya. Selain itu,
kondisi kawasan mangrove dan areal eksotik hutan rimba tak tertembus
diarah pedalaman, lautan dangkal dengan arusnya yang kuat, telah membuat
pesisir Timur Sumatra Tengah menjadi kawasan yang keras. Ciri ekologis ini
masing-masing memiliki penghuni yang bergerak dan memiliki mata
pencaharian sesuai dengan kharakter alamnya, terutama penghuni kawasan
hutan yang dikenal dengan orang asli sebagai pengumpul hasil hutan untuk
dipertukarkan dengan barang-barang kebutuhan mereka di pasar Selat.
Meskipun orang asli merupakan unit pengumpul hasil hutan, secara sadar
mereka terpisah dari penguasa dan mendiami arealnya sendiri di hutan hujan.
Seperti halnya orang Petalangan yang bermukim dikawasan antara sungai
Siak dan Kampar. Mereka memproduksi barang-barang berharga hasil hutan
yang memiliki nilai tinggi di pasaran, dan, untuk itulah diakukan pertukaran
antara barang-barang eksotis hasil hutan dengan garam dan kain, dan juga
besi terutama parang, telah dilakukan dengan perantaraan penguasa; seperti
orang petalangan yang mengumpulkan madu dari pohon Sialang dengan
menggunakan sistem Serahan, akan tetapi nampaknya ini tidak banyak
diikuti. Nampaknya juga banyak pedagang yang melakukan perkawinan
dengan perempuan Petalangan dalam rangka untuk memperoleh akses ke
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
110

produksi, dan meski dari pihak penguasa sendiri telah ditetapkan


memperoleh sejumlah porsi bahagian dari perdagangan, kenyataannya
banyak dari pelaku perdagangan melakukannya secara rahasia untuk
kepentingan komunitas lokal.
Pada akhir abad ke-17, kemampuan orang asli untuk mengumpulkan
produk bernilai dari hutan, telah bercampur dengan kegiatan
perekonomian dari kaum migran Minangkabau yang telah banyak
menghuni di wilayah pedalaman.
Pengumpulan hasil hutan ini menjadi terhubung dengan kemungkinan-
kemungkinan baru dari peluang eksploitasi hutan, dan membawanya pada
persoalan loyalitas dari Orang Asli terhadap penguasa Melayu ataupun
Minangkabau. Melalui hubungan perkawinan dan pertumbuhan jejaring
perdagangan antara kelompok tersebut, telah menumbuhkan kawasan
tersebut, namun bukan pada basis Melayu ataupun Minangkabau. Masing-
masing kelompok memiliki pemimpinnya sendiri dengan gelar kehormatan
yang diperolehnya melalui interaksinya dengan komunitas pedalaman
lainnya, juga dengan kerajaan Minangkabau dipegunungan dan di Kerajaan
melayu sepanjang Selat. Pada akhir abad ke-17, hubungan serupa itu mencair
dan kemudian diisi dengan beragam produk perdagangan lokal yang mereka
melakukannya secara mandiri untuk keuntungan perdagangannya. Relung
yang diproduksi melalui hubungan perdagangan personal dengan kawasan
yang lebih luas lagi. Bahwa pedalaman dari pantai timur Sumatra tengah
dimana dihuni oleh kaum migran Minangkabau dan orang asli, mereka
terkoneksi dengan Melayu di wilayah pesisir melalui banyaknya arus
perdagangan antara pedalaman Bukit Barisan dan Selat Malaka.
Bahwa, sebelum kita melangkah lebih jauh kedalam areal
“Borderland,” sebagaimana diketahui jejaring perdagangan di pesisir
Timur melibatkan Orang Asli, dan sudah layak pula bila kita menyusuri
hingga generasi awal mula kelompok tersebut dan hubungannya
dengan Melayu.
Yang menjadi pertanyaan disini adalah, bagaimana pula perdagangan dapat
menjadi item signifikan dalam peleburan ataupun penyerapan berbagai unsur
kebudayaan yang berbeda, terutama antara pegunungan dan pesisir? Bahwa
untuk kegiatan ekonomi, proses penciptaan dan pemeliharaan hubungan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
111

kekerabatan sangatlah penting karena perdagangan tidak bisa beroperasi


dengan sukses tanpa adanya kepercayaan, menurut Barbara Andaya;
“kepercayaan yang nyata hanya ada diantara para kerabat.”
Di pasar sepanjang “jalan raya” dan desa, hubungan yang diciptakan oleh
ikatan darah, perkawinan, dan adopsi disekitar penjual dan pembeli telah
mengikat mereka bersama-sama sebagai sebuah keluarga dan mengubah
transaksi komersial menuju bursa antara kerabat. Bagaimanapun juga, di
pelabuhan sungai ataupun pantai, para pedagang disemua sisi dihadapkan
dengan orang asing dan dengan sesiapa tanpa ikatan timbal balik yang belum
ditetapkan, dan mereka harus terus-menerus waspada terhadap
kemungkinan penipuan dari produk yang tercemar, pemalsuan, mata uang
yang juga palsu serta potensi ketidakwajaran harga. Ketegangan tertanamkan
pada setiap negosiasi antara orang asing yang berarti selalu ada preferensi
untuk berurusan di tempat yang lebih akrab di mana terkoneksi ke
kekerabatan secara mapan melalui ikatan perkawinan. Pada abad ke-14
deskripsi Cina mencatat bahwa para pedagang India di Semenanjung Malaya
“diberikan” putri lokal dalam pernikahan dan dengan demikian, “ia tidak lagi
akan pergi-berlalu.” Pedagang India ini dapat dikatakan dalam suatu masa
adalah garda depan, tak terhitung banyaknya orang lain di kemudian hari
yang membangun perdagangan melalui kerabat istri mereka, seperti orang
dalam babad Perak yang memiliki satu istri di Perak dan satu di India.
Pernikahan dan kaum kerabat itu membawa suatu jaminan penyambutan,
tempat tinggal, makanan, dan hidangan untuk kalangan perdagangan lokal.
Kondisi yang berlangsung ratusan tahun, dan ini berarti,
Generasi bisa saja berlalu, tapi kenangan koneksi terakhir masih bisa
dipanggil untuk memulai atau mempertahankan ikatan ekonomi. 162 Ini
berarti, bahwa dalam masyarakat yang aktivitas ekonomi merupakan
fungsi dari hubungan sosial, unsur masa lalu dipertahankan hanya jika
mereka masih tetap relevan. 163
Berkaitan dengan hal itu, dapat kita lihat bahwa nenek moyang dari orang-
orang dihulu sungai Kuantan, Kampar, Siak dan Rokan lebih digambarkan

162Barbara
Andaya, 1993: 38-39
163Barbara Andaya, 1993: 40
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
112

berasal dari Priangan di Minangkabau ketimbang dari luar.164 Mungkin saja


kondisi ini penggambaran atas relevansi menghilir dari pegunungan
Minangkabau terkait perdagangan yang bertahan hingga penetrasi kolonial di
abad ke-17, sebelum akhirnya dapat berubah seiring perluasan ekonomi
komersialisasi Eropa. Kondisi ini juga mengisyaratkan bahwa penyepadanan
darat - pesisir dengan kelompok-kelompok berbasis kebudayaan yang dikenal
dengan “etnis” ini, jika merupakan konsekuensi logis kompleksitas
perdagangan darat - pesisir itu sendiri, akan mempertahankan situasi serupa
selama hal itu masihlah relevan.
Dunia yang terus berubah, alam yang senantiasa bergerak, turut
mempengaruhi konsepsi cair tentang identitas komunitas darat-pesisir
yang dikatakan sebagai berhulu pada satu sumber yang sama;
“dedaunan dari pohon yang sama.” 165

Ruang-Ruang Kultural

Tersebab dalam melakukan pemeriksaan atas masyarakat Riau Daratan, kita


akan menjumpai berbagai entitas yang berbasis pada kategori etnis, maka
kita dapat juga melihat contoh penetrasi Melayu – Minangkabau di Riau
Daratan dalam salah satu laporan di awal abad ke-20 yang dituliskan oleh
Tideman tentang Bengkalis.166 Tideman menuliskan bahwa jauh disuatu
periode sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda, kawasan
Afdeeling Bengkalis yang merupakan bahagian terbesar dari wilayah Riau
Daratan saat ini, bermukim orang-orang Hindu-Budha, kemudian orang
Minangkabau dan Melayu-Johor (Selatan Malaka). Mengenai era Hindu-
Budha, nampaknya hanya sedikit saja yang diketahui. Pernyataan dari asisten
residen AF Zijll de Jong (1929) menyebutkan, bahwa sebagai berasal dari
kampung Aurkuning di hulu Sibayang, menjejakkan situs Kampar Kiri,
sementara di cekungan dari Sungai Singingi ditemui sisa-sisa situs besar,
dimana berlokasi penyucian debu emas Hindu. Juga di cekungan yang lebih

164Diantaranya kita dapat melihatnya dalam Laporan Van Rijn van ALkemade(1884), Hijman van
Anrooij(1885), IJzerman(1891) dan O’Brien(1905).
165Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnichity in Malaka Strait, 2008.
166Lihat Tideman, “Land en Volk van Bengkalis,” 1935.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
113

rendah dari Rokan, didekat kampung Sintong, reruntuhan situs Hindu telah
ditemukan, sementara itu arkeolog FM Schnitger yang melakukan penelitian
arkeologi di Tanah Datar dan daerah Panai bahwa diantara Rokan dan Pasir
Pangarayan terletak reruntuhan Kuil Hindu. Dijelaskan oleh Manguin bahwa
berdasarkan sebuah prasasti abad ke-14 yang ditemui di bagian hulu aliran
sungai Rokan dipercayai diperuntukkan bagi seorang Tuan Tanah yang
tunduk kepada Adityawarman.167 Nampaknya ini juga harus disebutkan
bahwa untuk pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan
Hindu – yang disebut sirih - teks itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung
melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai. 168 Dominasi Hindu ini diikuti
dengan periode pengembangan dari Minangkabau. Sebagaimana diketahui,
kondisi matrilineal di Minangkabau telah mendorong ramainya migrasi
(merantau), sekelompok besar migran telah mencapai daerah timur. Kondisi
tersebut menyebabkan orang Asli yang bermukim di sana (Orang Bonai,
Orang Sakai, Orang Akit dan Orang utan) didesak mundur ke hutan dan rawa-
rawa, dan ketika kerajaan Minangkabau berada di puncak kekuasaannya;
mendirikan kewenangannya di wilayah perbatasan, termasuk dibagian hulu
dari daerah tangkapan air Kampar dan Rokan sebagai “Rantau-
Minangkabau.” Hingga memasuki awal abad ke-20, kawasan Rantau ini dihuni
oleh keturunan Minangkabau, akan tetapi terdapat kesamaran lebih-lebih
ketika didapati realita disuatu masa tentang adanya invasi dari sisi lain (Johor)
yang juga menunjukkan pengaruhnya disana.
Tideman mengemukakan bahwa banyak ditemui dalam catatan yang dibuat
mengenai sejarah Bengkalis tentang berbagai kelembagaan adat
Minangkabau serta Melayu dari Melaka oleh masyarakat yang tinggal di sini,
tetap dipelihara dan dipertahankan, sehingga memunculkan “tumpukan
aneh” tentang adat rakyat, seperti yang satu berasal dari sini, dan yang
lainnya berasal dari adat yang berbeda pula. Dengan demikian, populasi
Melayu di pedalaman dapat dilihat menjadi dua bahagian: Minangkabau-
Melayu, yang pengaturannya didasarkan pada adat Minangkabau, dan

167
Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977, hal.6, juga hipotesis
Carparis bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian
barat dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan
Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at
Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998.
168 Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
114

kemudian Melaka -Melayu Riau – yang lebih dianggap sebagai penduduk


Melayu Johor dan kepulauan Riau. Adat Minangkabau di daerah darat, yang
disebut wilayah rantau, terpelihara dalam bentuknya yang murni, terutama
berlaku dari klasifikasi genealogis suku dan sistem pewarisan. Seperti
dimaklumi, batas daerah Afdeeling Bengkalis ini meliputi wilayah darat -
pesisir; Pasir Pangaraian - di Rambah (hulu Rokan) dimana terletak ibukota
onderafdeeling Rokan, disepanjang Tapung kanan setelah Pekanbaru melalui
sungai Siak terus ke Muara Sako yang merupakan pertemuan Sungai Kampar-
kiri dan kanan; dan seterusnya ke selatan perbatasan dengan distrik Kuantan.
Daerah Rantau ini sehingga milik lanskap Rokan (IV Koto Rokan Ilir), baik
Tapung ini (Tapung Kanan dan Kiri) maupun lanskap Kampar Kiri dan Singingi.
Terdapat hal unik, bahwa populasi - terutama di Sibayang pada sensus tahun
1930, terjadi dilema menyangkut populasi disini akankah dianggap sebagai
Minangkabau atau dianggap sebagai Melayu, dan mengapa pemerintah
Belanda akhirnya menyelesaikan masalah ini dengan menuliskan sebagai
“Melayu–Minangkabau” yang tentunya dengan beberapa catatan. Pembelaan
nampaknya mengacu pada klan utama; suku-suku yang ada antara lain;
Mandailing, Domo, Domo Pangkalan, Peliang, Chaniago dan Melayu.
Di era Rokan-Tambusai yang berbentuk kerajaan, kesemua wilayah yang
tercakup dalam Rokan-staatjes di era- Hindia, bermukimlah disuatu masa
orang-orang Minangkabau. Kemudian secara bertahap wilayah negeri Rokan
berada dalam pengaruh Johor; Cekungan yang lebih rendah ke hilir dari Rokan
bahkan pernah di bawah supremasi Johor; Tanah Putih. Dinamakan demikian
karena putihnya warna pasir disana - dihuni oleh suku-suku Melaka yang
bermigrasi ketika kerajaanya hancur. Tentunya kemudian Raja Purba
mendirikan kerajaan kecil Lontar (kemudian Tanah Putih). Sementara di darat
sebagai lanskap perbatasan, Pangeran Johor meminta pangeran dari hulu -
Tambusai dimana telah bermukim penduduk Minangkabau, untuk
dilengkapkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian, muncul kerajaan
Kepenuhan, Kota Intan dan Kota Lama, kedua terakhir ini, berlangsung
sampai pada suatu masa dimana terjadi penyatuannya kedalam “Kunto.”
Bahkan Pangeran Johor pun ternyata dapat memenangkan tahta Tambusai,
sehingga Johor kemudian memperluas pengaruhnya sampai ke Rambah.
Ketika pasukan Aceh melakukan penyerangan ke daerah-daerah di
pedalaman; berdampak pada kesemua negara-negara kecil ini untuk

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
115

beraliansi dengan Pagaruyung, dan akibatnya, tentu saja memperkuat


kembali pengaruh Minangkabau di negara-negara darat tersebut.
Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dapat dijumpainya campuran
antara unsur aristokrat dan demokratis (Masing-masing dari Johor dan
Minangkabau) dalam sistem pengaturan masyarakat di sana.
Halnya dengan kondisi struktur kekerabatan di wilayah darat - pesisir, yang
diasumsikan merefleksikan sejauhmana keberpengaruhan Johor pada wilayah
arbitrer di daratan Sumatra, khususnya di Riau Daratan. Dalam kontes ini,
artikel dari G.A.Wilken(1888) sangat membantu pemahaman tersebut.
Bahwa sebagaimana diketahui, pantai timur yang dialiri oleh Sungai Rokan,
Siak, Kampar, Indragiri dan Musi – terutama dihuni oleh orang-orang Melayu.
Dimulai dari; Kampar, negeri-negeri Rokan, disebelah selatan terutama orang-
orang Kuantan, Indragiri, Melayu Jambi dan Musi. Sungai utama, secara
umum terbentuk oleh anak-anak sungai – yang juga terdapat anak sungai
utama, seperti; Sungai kampar yang dibentuk oleh dua sungai kecil, sungai
Kampar Kanan dan Kampar Kiri yang namanya memiliki makna secara harfiah.
Hulu Sungai ini, dihuni oleh federasi lanskap yang nampaknya diinspirasi oleh
serikat lanskap di Dataran Tinggi Padang. Lanskap, seperti; Lanskap Kampar
Kanan Glugur VI Koto (sebelah barat); Glugur III Koto di Mudik dan Glugur III
Koto di Ilir. Lagi-lagi ini adalah nama dengan makna secara harfiah, satu di
hulu, satunya lagi di hilir. Sementara disebelah timur, ditemui federasi
Kampar nan XII Koto, disebut juga XII Koto Kampar(saat ini dikenal dengan
XIII Koto Kampar); bahwa setelah dihitung jumlah sebenarnya adalah tiga
belas desa, dimana Siberuang sebelumnya merupakan bahagian dari Gunung
Malelo. Adapun lanskap tersebut meliputi; Pulau Gadang, Tanjung Alij, Batu
Bersurat, Kota Tengah, Binamang, Pangkiy, Kota Tuah, Muara Takus, Gunung
Bungsu, Tanjung, Tabing, Gunung Malelo dan ketiga belas; Siberuang
(Bestholle; 370). Hingga tahun 1877, Bestholle masih menggunakan nama XII
Koto Kampar; meski diakuinya, bahwa keberadaan sebelumnya dapat dilihat
dalam dua bahagian. Satu bahagiannya, dikenal dengan nama Kampar nan VII
Kota atau VII Kota Ilir, kondisinya itu sebagaimana yang ditunjukkan oleh
namanya; tujuh desa asli dengan arah menghilir dimulai dari Pulau Gadang
hingga Kota Tuwah. Bahagian lainnya menyandang nama Toengkoe nan Tiga
dan telah menggunakan lima negori, karena Siberuang pada saat itu masih
merupakan bagian dari Gunung Malelo. Nama Toengkoe nan Tiga tampaknya
terkait dengan tiga kepala utama, yang bersama-sama memerintah wilayah
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
116

ini. Masing-masing berada di Muara Takus, Tanjung, dan Gunung Malelo.


Bahkan sebelum itu Siberuang ditemukan sebagai kampung independen,
kemudian VII Koto Ilir bergabung dengan Toengkoe nan Tiga dan aliansi ini
kemudian dikenal dengan nama XII Koto Kampar. Disini, disepanjang arah ke
timur, terdiri dari Kampar nan V Koto yang bermula dari kumpulan lima desa;
Kuwo, Salo, Bangkinang, Air Tiris dan Rumbio.
Adapun sebelah selatan dari XII Koto Kampar terdapat Lanskap Pangkalan. Di
pedalaman sungai Kampar Kanan, berangkat dari titik di sungai Mahi
melewati sekitar setengah mil di luar kampung Tanjung Pauh, dengan klaim
dari penduduk asli bahwa titik ini menandakan berakhirnya wilayah
Pangkalan dan dimulainya wilayah Kampar. Di bawah nama Kampar
tampaknya menjadi suatu daerah yang agak luas untuk dapat dipahami,
wilayahnya membentang disepanjang dua sisi sungai yang tidaklah kecil, apa
yang termasuk dalam nama Kampar Kanan dan setelah juga termasuk Kampar
Kiri yang bertemu di Kampar Besar, dimana nama itu sebagaimana terdapat di
Pantai timur laut di Pulau Lawan. Mungkin saja ini adalah suatu nama
kolektif, dan bahkan lebih dari itu adalah “Kerajaan Kampar” sebagaimana
wilayah ini disebutkan dalam arsip kuno, untuk menunjukkan bahwa seluruh
daerah digunakan untuk menjadi sebuah entitas politik, sudah pasti bahwa
mereka sekarang di sejumlah bagian yang independen saling berkaitan dan
juga mengakui kepala secara umum. Di tahun 1882, Pangeran kerajaan
Pelalawan mengakui kedaulatan Belanda, setelah itu pada periode tahun
1879 – 1882, Lanskap Kampar-Kanan Glugur VI Koto, XII Koto Kampar dan
Pangkalan; wilayah ini dimasukkan dalam pemerintahan Gubernemen. Van
Delden mengemukakan bahwa pada lanskap Kampar Kanan orang-orang
dibagi menjadi suku, sejumlah kepala keluarga berada di bawah-Perut,
berpegang teguh dengan suksesi adat-Kemanakan, yaitu ketentuan bahwa
anak kamanakan atau kakak yang mendapatkan warisan. Begitupula di XII
Koto Kampar, adat kamanakan masih sepenuhnya diterapkan tanpa
penyimpangan. Pembagian-Suku, perkawinan, singkatnya semua lembaga
sepenuhnya Matriarkhat-Minangkabau. Kondisi ini juga dapat ditemui pada
Pangkalan Kota-Baru, properti untuk para pewaris, gelar dan martabat yang
hanya berada dalam garis perempuan.169 Sisanya, sebagaimana di aliran

169
Van Delden, Verslag over den toestand van het landschap Gloegoer VI Kota, Tijdschr. v. Ind. T.
L. eu Vk., dl. XXVII, blz. 169; Du Ry van Beest Holle, Aanteekeningen betreffende de landsohappen
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
117

sungai Kampar, di V Koto Kampar sangat dimungkinkan dibawah pengaruh


matriarkhat. Lanskap ini dikatakan memiliki masyarakat yang sama seperti
pada XII Koto Kampar: Kedua daerah itulah karenanya merupakan kabung,170
atau subdivisi dari keseluruhan yang lebih besar. Lebih jauh lagi, mengenai
masyarakat lanskap Kampar-Kiri, yaitu bahwa mereka bersama dengan
masyarakat Lanskap Kampar Kanan memiliki perilaku dan kebiasaan yang
sama seperti yang terdapat di Dataran Tinggi Padang, bahwa mereka
memiliki sifat-sifat matriarkat tersebut.
Bagaimana pula dengan hilir sungai Kampar, tepatnya di Pelalawan? Tidak
mungkin pula ditemukan kondisi yang sama dengan wilayah yang berada
disebelah hulunya. Sebaliknya, kondisi struktur (masyarakat-hilir) berada di
bawah pengaruh Johor - seperti pada negeri pesisir lainnya – namun yang
dapat disadari juga bahwa dibawah pengaruh Johor tersebut, matriarkhat
tidak ditemukan.
Sementara itu disebelah utara dari sungai Kampar, mengalir Sungai Siak yang
berasal dari pertemuan dua sungai; Tapung-Kiri dan Tapung Kanan, dan anak
sungai utamanya yang disebelah kanan adalah Gasip, sementara disebelah
kirinya adalah Mandau. Aliran sungai sebelah hilir ditempati oleh negeri Siak.
Seperti diketahui, wilayah ini dahulunya berada dibawah kekuasaan
kesultanan Johor. Kewenangan pangeran Johor ini membentang hingga Pasir
Sala, dan selanjutnya sekitar satu jam kearah hulu terletak lokasi Pekanbaru.
Pengaruh Johor hanya sampai wilayah Kuala-Mandau, dimana Mandau
tersebut terletak di Siak. Dapat diketahui bagaimana wilayah tersebut pada
tahun 1718 Johor ditaklukkan oleh Raja Kecil, dan juga dikenal sebagai pendiri
kerajaan Melayu modern: Siak. Luas wilayah ini adalah meliputi sepanjang

VI Kota, Pangkalan (Pangkalan-Kota-Baroe) en XII Kota Kampar, Tijdschrift v. Inda. T. L. en Vk., dl.
XXIV, blz. 38G. " Du Ry van Beest Holle, O. c, blz. 380—881.
170 Kata Kabung berarti "bagian dari keseluruhan, misalnya, sebagian dari sepotong kain. Jadi

karena itu berbicara tentang Kabung-Ayer, sebagai "bagian dari lembah sungai." Masing-masing
dari dua bagian itu, XII Koto Kampar awalnya, itu adalah sebuah kabung, sementara yang kabung
ketiga dibentuk oleh V Koto Kampar itu (Lihat: Aanteekeningen op Midden Sumatra;
officiëelebescheiden, berasal dari catatan v h. Gen.Bat. v K.en W., Vol. XXXIX, hal. 20). Jadi secara
bersama XII Koto Kampar dan V Koto Kampar membentuk satu federasi besar. Pada tahun 1859,
bagaimanapun, hubungan antara dua bahagian ini pecah (Tijdschr. v Netherl. Indië, jaarg. 1880,
vol I, hal.169.).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
118

Sungai Siak, apa yang disebut dengan “Wilayah Asli Siak.”171 Sebaliknya
dengan wilayah koloni, yang pastinya arah lebih utara di sepanjang Rokan
Terletak Lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Dari muara sungai
membentang aliran sungai Siak dari hulu hingga perbatasan distrik Tapung-
Kiri dan Tapung Kanan. Biasanya distrik-distrik ini dianggap sebagai koloni
Siak. Bahwa pemimpin Tapung mengenali Sultan Siak sebagai yang sosok
yang berdaulat atas mereka, namun ikatan yang mengikat mereka ini lebih
dari sekedar federasi dari bawahan kerajaan. Pada lanskap Tapung, di sini
juga bermula, tampaknya matriarkhal tidak sepenuhnya ada. Jadi,
beragamnya pranata dalam sistem perkawinan, seorang laki-laki mengikuti
perempuan atau sebaliknya untuk bertempat tinggal yang ditemukan di sini,
ini sangat jelas menunjukkan bahwa terjadi komunikasi antar seluruh
anggota keluarga seintensif mungkin. Bahwa tercegahnya matriarkhal dalam
lanskap Tapung, kondisi ini tidak dapat diragukan lagi, dan tidak ditemui pula
informasi bahwa perkawinan dalam suku dilarang.
Lanskap Tapung, sebagaimana disebutkan dalam perjanjian tahun 1858
sebagai wilayah taklukkan, dan bukan wilayah Asli Siak, terdiri; Tapung Kanan
dan Tapung Kiri. Konfederasi Tapung kiri terdiri dari empat lanskap, dan
terkadang dinamakan Tapung nan IV. Para anggotanya adalah: Petapahan,
Batu Gajah, Kebon dan Tandun. Untuk Kebon, memiliki konfederasinya
sendiri, yaitu; Kebon, Kota Renah dan Lianten yang diwakili bandahara dari
Kebon. Sebelumnya, Kebon terdiri dari; Kota Renah, Giti dan Sikubin. Dua
terakhir ini punah, dan kemudian ditambahkan Liantan. Konfederasi Tapung
Kanan terdiri dari dua bahagian utama; masing-masing adalah Lindei dan
Sikijang. Pemimpin Lindei memiliki gelar dari Terana dan Sikijang; Bandahara.
Pada jaman dulu, mungkin saja Raja Gasip merupakan penguasa lanskap
Tapung Kanan. bahwa rasio Tapung kanan dijelaskan, 172
beraja ka Siak,
bertuan ka Kota Intan.
Para pangeran dari Kota- lntan,memiliki garis keturunan ibu dari Lindei,
karenanya Kota Intan (atau lebih tepatnya Kunta ) dianggap terdiri dari tiga

171
Traktat 1858 antara Belanda dan Siak, membagi Siak kedalam wilayah “eigenlijk Siak” dan
wilayah taklukan.
172 Hijman van Anrooij, hal.368.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
119

bagian, yaitu Kota Intan, Kota Lama dan Lindei. Terana dari Lindei dinamakan
demikian sebagai suatu posisi yang tinggi; Seperti dalam definisi Melayu,
Adik raja,
abang Andika.
Dan ini ternyata, bahwa mereka belumlah dianggap sebagai raja, namun
kondisi demikian segera saja mengikutinya. Keistimewaan Posisi yang
terhubung dalam “Dua kali tujuh hari” sebagai martabat kerajaan; raja Kota
Intan, Terana dari Lindei selama 14 hari menikmati hak(sembah). Terana dari
Lindei mengklaim, bahwa ia tidak pernah memiliki perbatasan permanen
dengan Kota Intan. Dalam batas-batas dari Lindei, masih dimiliki bandahara
dari Sanama Nenek , dan orang-orang dari Sikijang sebagai bandahara Danau
Lancang. Baik Bandahara Sanama Nenek maupun Danau Lancang, umumnya
disertai batas-batas; Oetan Tanah, kekuatan dan tugas yang sama dari
Terana Lindei dan bandahara Sikijang di bidang keahlian mereka. Jika
terdapat sengketa maka dapat diajukan banding. Secara optimal, posisi itu
bertanda bahwa Terana dari Lindei dianggap kakak dari Bandahara Sanama
Nenek, Sikijang dan Danau Lancang (adik - beradik). Adik memiliki hak, akan
tetapi dalam urusan publik, keputusan tetap berada pada sang kakak. 173
Masyarakatnya terbagi atas suku-suku; Chaniago, Piliang, Domo, Pitopang
dan Melayu. Bahwa empat suku awal dikatakan sebagai anak negeri, anak
bumi. Sementara itu suku Melayu, dikatakan berasal dari berbagai entitas di
Siak. Masing-masing kepada suku adalah penghulu yang mengikut pada
hukum kemenakan, sementara Bendahara biasanya berasal dari Suku Melayu
yang diturunkan kepada garis keturunan anak. Jika dilihat pada situasi
Kampar, maka tipikal negeri dan masyarakatnya secara umum adalah sama,
akan tetapi, mengenai pelaksanaan kelembagaan adat, hanya sedikit saja
bahkan dapat dikatakan tidak ada sama sekali dan berbeda dengan apa yang
berlaku di Kampar. Dapat ditemukan bahwa di Siak telah berlaku “Hadat
Raja” yang yang berasal dari Johor dan diperluas ke pedalaman hingga
melampaui Petapahan dan Batu Gajah.174 Mungkin saja, kondisi ini
bersesuaian dengan model bangunan rumah di Tapung, semakin ke hulu,
semakin dekat dengan model yang terdapat di Dataran Tinggi, dan berbeda

173
Hijman van Anrroij, hal.369-70.
174 Rijn van Alkemade, 1885; hal.218
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
120

dengan yang ada di Siak; kesemua kondisi ini tampak berlaku pada akhir abad
ke-19.175
Beralih kita pada “Wilayah Asli Siak.” Namun, dan ini penting, sebelum kita
melangkah lebih jauh dalam menguraikan keberadaan organisasi masyarakat
matriarkhal disini, pertama-tama adalah mencoba untuk memaparkan
gambaran ringkas dari penduduk daerah Siak.
Bahwa “wilayah Asli Siak” memiliki penduduk asli orang Melayu,
hingga kemudian pada suatu periode tibalah imigran dari ranah
Minangkabau. 176
Sebagaimana disampaikan dibahagian awal, sebelum Raja kecil mendirikan
kerajaan Siak atau saat Siak masih berada dibawah supremasi Johor, telah
banyak orang Minangkabau berdomisili di sana, dan dengan dukungan
merekalah Raja Kecil mampu menaklukkan Johor dan menguasai kawasan
Siak, bahkan hingga ke wilayah yang jauh dari daerah ini. Jadi tidak hanya
oleh Raja Kecil saja kerajaan Siak didirikan, akan tetapi secara bersama-sama
dengan orang Minangkabau pendukungnya. Hingga akhir abad ke-19, kondisi
ini terpelihara: Orang Minangkabau tidak merupakan hamba langsung dari
sultan, akan tetapi berada di bawah kepala mereka sendiri yang disebut:
datuk, yang mereka cukup tahu bagaimana untuk menjaga kemandiriannya.
Daerah asal dari mana mereka datang (atau pendahulunya), mereka para
pemukim Minangkabau dibagi menjadi empat suku, yaitu: Lima puluh, Tanah
Datar, Pesisir dan Kampar.177 Itulah suku-suku Lima puluh dan Tanah Datar,
adalah keturunan imigran dari lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar di
Dataran Tinggi Padang, sedangkan suku-suku Pasisir dan Kampar termasuk
orang-orang yang nenek moyangnya berasal Agam, arah barat ke laut, dan

175 Rijn van Alkemade, 1885; hal.213.


176 Bahwa orang Melayu di sepanjang hilir sungai Siak ini, juga secara bertahap berasal dari Johor
terutama masa pendudukan Bandhara Johor, lihat Hijman van Anrooij, hal.311.
177 Para Pemukim Minangkabau ini tidak hanya keturunan, selama era penaklukan Siak oleh Raja

Kecil – mereka sudah tinggal di sana, tetapi juga dari orang-orang, yang pada era berikutnya,
terutama selama “perang-Padri” dimana banyak warga dari Dataran Tinggi Padang beremigrasi
ke Siak. Mereka, tentu saja, untuk identitas daerah adalah dari mana mereka datang dari empat
suku yang direkam, dengan berjalannya suku mereka yang sebenarnya, mereka dirunut menurut
kelahirannya. Kata suku telah sedemikian signifikan di Siak selain Padangsche Bovenlanden: suku
di sini menunjukkan tidak adanya hubungan keluarga, dan bukanlah penekanan asal yang sama,
akan tetapi lebih luas lagi berasal dari luhak atau wilayah yang sama.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
121

dari dataran atas Kampar, serta Indragiri dan Jambi. Datuk Suku Lima Puluh
berasal dari Genting, sementara Datuk Tanah Datar berasal dari Sumanik;
dan Datuk Pasisir berasal dari Sianok Kota Gedang. Tanggungan para Datuk
tersebut bukanlah semata-mata terbatas pada anggota suku mereka sendiri
saja, melainkan berasal juga dari orang-orang yang memiliki kesamaan asal
daerah, atau dengan kata lain berasal dari Luhak yang sama. Pertama kalinya
untuk Suku Kampar terbentuk adalah ketika Raja Ismail (Marhum Mangkat di
Balei) untuk kedua kalinya bertahta Siak, sekitar tahun 1780. Sebelumnya,
anggota nya berada di bawah kewenangan langsung dari Sultan, dan mereka
atas nama tersebut dikendalikan oleh Syahbandar. Suku in adalah orang-
orang Melayu di Sumatera Tengah, juga meliputi suku di pedalaman Jambi,
Indragiri dan Sungai Kampar. Komposisi Suku sebahagian berasal langsung
dari tempat asal mereka, dan sebahagian lainnya datang melalui Johor – yang
telah memposisikan dirinya dimana banyak orang Minangkabau yang
menetap di Johor melakukan perkawinan disana. Orang-orang tersebut
banyak yang bergabung semasa Raja Kecil mendirikan Siak.
Secara kolektif asal-usul pemukim Minangkabau berada di bawah nama
“Anak IV Suku”. Mereka hidup menyebar di seluruh kerajaan, meskipun
sebagian besar Anak IV Suku bermukim diluar ibukota Siak berdampingan
dengan penduduk asli sebagai hamba langsung dari Pangeran. Sejumlah
besar anggota IV Suku, berasal dari Minangkabau dengan garis keturunan
laki-laki, sementara ibu mereka adalah orang Siak ataupun Johor. Meskipun
demikian, tercatat juga bahwa terdapat beberapa kasus dimana kaum
perempuannya benar-benar orang Minangkabau yang bermigrasi ke Siak.
Yang pertama, benar-benar asli, dengan kerabat atau sesama daerah asal.
Akan tetapi selanjutnya banyak migrasi yang diakibatkan oleh kerusuhan saat
bergejolaknya perang Padri dan kemudian mengungsi dari Dataran Tinggi
Padang, dan kebanyakan kaum wanita korban konflik tersebut berstatus
tanpa suami atau anak yatim (kaum laki-laki menjadi korban konflik). Kondisi
tersebut seringkali dijadikan dasar argumen bahwa orang-orang Minangkabau
telah melakukan respon sebagai upaya mempertahankan kelembagaan kuno
(kekerabatan dan pewarisan) dalam menghadapi konflik “perang-Padri”.
Akan tetapi, terdapat suatu ketidaktelitian tentang anggota IV Suku di Siak
yang mengikuti adat Minangkabau dan berbeda dengan penduduk asli Siak,
dan Kita dapat menelusurinya dari awal mulanya. Bahwa berkaitan dengan
asal-usul IV Suku, mereka tidak memiliki Oetan-Tanah, demikian pula tidak

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
122

adanya Sialang. Para anggota IV Suku hidup tersebar di wilayah Siak dimana
mayoritas menetap di tempat-tampat utama; adapun sebahagian lainnya
menyebar di kawasan perladangan disepanjang sungai Siak. Beban mereka
tidaklah terlalu besar, terutama semenjak dihapuskannya Pancung-Alas dan
Tapak-Lawang di tahun 1863. Sebelumnya, dibawah rezim Johor hanya suku
Pasisir saja yang bebas dari beban Tapak-Lawang. Meskipun demikian, tetap
dibebankan juga kepada mereka kewajiban, terutama dalam kondisi perang;
dimana harus menyediakan kapal penjajab; dan pada saat peristiwa perang
dengan Kota Intan, sultan hanya menyediakan senjata saja. Selain itu, mereka
berkewajiban membangun istana untuk sultan.
Penduduk asli Siak dibedakan menjadi dua kategori, yakni: Hamba-Raja dan
Rayat Raja,178 yang hidup secara terpisah dan lebih dekat ke pantai;
sepanjang dataran rendah hingga Siak, sementara yang lainnya lebih jauh di
pedalaman. Tampaknya agama ditetapkan sebagai kriteria pasti yang akan
dianggap dapat digunakan untuk membedakan antara Hamba Raja dan
Rayat-Raja: mereka dalam kenyataannya adalah orang Islam yang taat.
Terdapat fakta bahwa pada era awal Rayat-Raja disebut sebagai bukan
"orang Melayu", ternyata pendapat ini menunjukkan bahwa agama adalah
kriteria utama pembeda antara mereka dan Hamba-Raja. Perpecahan antara
Hamba-Raja dan Rayat-Raja diyakini terjadi sewaktu Islam belum mencapai
pedalaman Sumatera, dan juga termasuk Siak, dimana perintisannya pada
saat supremasi Johor telah berada di negara ini. Penduduk di wilayah hilir
Siak, yang semuanya adalah pengikut Nabi Muhammad, dengan demikian
secara alami dapat dibedakan oleh adanya pengaruh Johor, apa lagi di
wilayah hulu itu masih terdapat penganut Paganisme. Segera saja, perbedaan
tajam pun terbentuk, dimana melalui cara ini akan menjadi faktor pemisahan
antara Hamba-Raja dan Rayat-Raja. Pemisahan antara Rayat-Raja-dan
Hamba Raja sebelumnya sangatlah besar, bahkan sedemikian rupa sehingga
menurut adat, dahulunya tidak diperbolehkan untuk makan bagi keduanya
secara bersama-sama pada acara hajatan pernikahan; mereka tidak bisa
mengambil tempat bersama-sama. Namun perilaku ini semakin mengendur,
dan secara umum berjalan sebagaimana mestinya, bahkan oleh Van Anrooij

178Bersama-sama mereka disebut orang-kebanyakan = orang dari kerumunan, yaitu: mayoritas,


kelas bawah, berbeda dengan anak-raja, keturunan berbagai pangeran, yang secara kolektif
merupakan bangsawan dan di ibukota, Siak hidup. Satu tentunya memiliki populasi Siak
Sebenarnya berikut yang dibedakan atas: 1.Anak-Raja, 2.Anak IV Suku, 3. Hamba 4. Rayat-Raja.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
123

posisi mereka tersebut, tidak berada dalam kondisi saling iri dan curiga.
Meskipun demikian, dari perkembangan terakhir, Rayat-Raja, kebanyakan
mereka sudah menjadi muslim.179 Daerah Hamba-Raja membentang dari
muara Siak hingga ke Kuala-mandau dan dari jauh di daratan, ketika suara
tëtawak (semacam musik gong atau simbal) bisa terdengar, “sapendengaran”
pemukul tetawak, begitulah disebutnya.180 Tempat di pedalaman Mandau di
Siak dekat perbatasan Lanskap Tapung yang juga dicapai dengan suara
tëtawak, mencapai basis dari Rayat Raja.181 Selain itu milik untuk Rayat-Raja,
disebut Orang-Talang, di antaranya nama yang dipahami semua orang yang
tidak berada disepanjang sungai utama, tetapi di hutan atau di sungai untuk
hidup, dan berada dalam satu kehidupan nomaden. 182
Orang-Talang ini dibagi menjadi tiga kelompok utama. Dua dari mereka
berada ditepi kanan Siak. Di tempat dimana suara tëtawak tidak lagi
terdengar, maka dimulailah wilayah Orang Talang, sebagaimana Pètalangan
seperti yang umumnya dikenal. 183 Oleh karena itu, ihwal nama benar-benar
berkaitan sebagai suatu entitas dengan signifikansi etnografi; Orang-Talang-
Gasip, dinamai dengan Gasip, sebuah entitas-artefak Siak, sebagaimana telah
disebutkan di atas, bagian timur merupakan Orang Talang-Dayun, yang
berasal nama mereka; Dayun, terletak di sungai di Pulau Lawan, juga dinamai

179
Hijmans van Anrooy, hal.324.
180 " Hijmans Van Anrooij, hal.288. Hamba-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat panghulu
yaitu: Siak-Kecil, Rempah, Siak Besar dan Betung, masing-masing dengan daerahnya sendiri.
Tentang panghulu ini juga terdapat dua pejabat yang terdiri dari bintara-kiri dan bintara-kanan.
181 Hijmans van Anrooij, pada hal. 291 – 294: Rayat-Raja ditempatkan di bawah otoritas empat

batin, yakni: Gasip, Senapalan, Prawang dan Si Galas. Sepanjang percabangan kiri sungai Siak,
dimulai dengan Kuwala-Mandau salah satu yang kemudian dilakukan dalam batin-Prawang dan
Senapalan, sepanjang tepi kanan batin dari Gasip dan Senapalan, sementara daerah Si-Galas
yang ke arah atas memanjang dari titik pertemuan Tapung-kanan dan Tapung-Kiri di sepanjang
tepi kedua lengan sampai batas Lanskap Tapung. Lihat juga: Van Rijn van Alkemade, Reis van Siak
naar Paja-Kombo, Tijdschr. v. h. Nederl. Aardr. Genootsch., 2e serie, dl. I I , Ie stuk, blz. 201,
Rayat-Raja dari batin Gasip, Senapalan dan Si Galas adalah pengikut Nabi Muhammad(muslim),
bahwa batin dari Prawang, meliputi; Orang Akit, dan Orang Sakei.
182
" Kata hutan atau talang, orang talang, menandakan penghuni hutan.
183 Sebelah selatan terletak kerajaan Pulau-Lawan(Pelalawan) dimana terdapat batas-batas
Pëtalangan. Membentang sebelah Timur arah Pëtalangan keluar ke Mempura, yang tidak jauh
di pedalaman adalah kota utama Siak, nama yang berasal dari nama sungai itu, dan sebelah
Barat ke Tiga Loewak datau Tiga Loerah, seperti wilayah ini disebut di antara Pekanbaru di Siak
dan Taratak Buluh di Kampar.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
124

Orang-Talang Mandau. 184 Ketiga Kelompok utama dari Orang-Talang terletak


di tepi kiri sungai Siak, sepanjang hilir Mandau. Secara umum dapat
dikatakan bahwa di kesultanan Siak, di “wilayah asli Siak”(Eigenlijk Siak),
matriarkhal ditemukan dari batas lanskap Tapung hingga Kuwala-Mandau,
dekat Rayat-Raja, dengan demikian, sementara yang lebih ke hilir di Kuala-
Mandau: dekat dengan Hamba-Raja, dan ini berarti sudah terjawab. Wilken
berasumsi bahwa bukan tidak mungkin institusi matriarkhat tersebut
sebelumnya berlaku di sini, dan pengaruh Johor dalam otoritas Siak telah
membuatnya menghilang. Bahwa mereka di pedalaman-Kuala Mandau,
hingga akhir abad ke-19 masih tetap dalam posisinya itu, dan terdapat juga
argumentasi untuk menjelaskan bahwa pengaruh langsung dari Johor seperti
telah disebutkan, tidak lebih dari tempat yang namanya tertera; Pasir Sala.
Sementara itu juga pada koloni Minangkabau: Anak IV Suku, matriarkhal pun
tidak ditemukan. Mengapa demikian adanya? Wilken mengemukakan,
dalam pemukiman mereka di Siak, kebiasaan lama orang
Minangkabau telah ditinggalkan.
Ini mungkin juga terjadi karena di bawah pengaruh Johor dan penyebabnya
dapat juga dijelaskan dengan cara lain. Bisa saja melalui migrasi, di mana
mereka terjadi pada skala kecil, ternyata memiliki dampak patriarki. Secara
jelas kita dapat melihat ini dalam kasus Indian di Amerika Utara.
“At the British Association at Montreal”, aldus deelt Tylor mede, “the
Hon. J. W. Powell mentioned from his own observation of American
tribes a visible cause of the change from female to male kinship —the
necessity of tribes spreading over the country for hunting. The
husband thus removing his wife from the neighbourhood of her uncles
and brothers in the matriarchal settlement, naturally gets her and their
children into his own power, and a kind of patriarchalism with male
kinship sets in.” 185

184
Pulau-Lawan ke cabang kiri Kampar, terdapat kelompok lain dari Orang Talang, sebagai Orang
Talang-Pandan, para Orang Talang-Kutip, yang menurut Van Rijn van Alkemade, semua dapat
dipahami sebagai diantara Orang Talang-Gasip - Kepala Orang Talang-Dayun membawa gelar
patih, sedangkan Orang Talang-Mandau itu bergelar panghulu, sementara itu Orang Talang-
Gasip disebut batin negeri Gasip. Kebetulan sekali, Orang Talang-Dayun dan Orang-Gasip adalah
bintara kanan, dan Orang Talang-Mandau adalah bintara kiri;
185 Wilken, 1888; hal.34.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
125

Jadi serupa untuk dicatat, bahwa pada kenyataannya, organisasi masyarakat


matriarkhal di Siak adalah Rayat Raja, dan pada saat itu bersamaan pula
berada ditepian sungai utama, seperti yang terdapat dikalangan Orang-
Talang. Dari Kontrolir Rijn van Alkemade, kita dapat memperoleh lebih
spesifik lagi informasi tentang Orang Talang Dayun. Mereka dibagi menjadi
tujuh suku. Perkawinan selalu dibuat dengan persetujuan dari kedua belah
pihak, yang disebut sebagai: “Suka dengan suka”. Wanita itu tetap berada di
sukunya sendiri, dimana anak-anak menjadi miliknya, dan pria pun dibatasi.
Setelah kematian ayah atau ibu, anak-anak selanjutnya menjadi bagian dari
ibu; Orang-Talang menerimanya dengan mengatakan,
“AYAM JANTAN TIDAK BERTELUR,” pernyataan ini juga memiliki
makna masyarakat suku didirikan dengan berbasis pada matriarkhat.
Bersaman juga, persoalan warisan ditemui mutlak dijalankan dalam
kepatuhan penuh. Pada perihal kematian, tibalah persoalan Harta-pusaka
keluarga, ketika istri dan anak-anak juga sudah tidak ada, yang mewarisi
adalah keluarga perempuan dan begitu pula Harta-pusaka, dimana
suaminya tidak berhak. Akan tetapi mengenai Harta-pencarian atau properti
oleh suami dan istri dalam perkawinan yang diperoleh oleh kerja upaya
bersama, disini nampaknya dapat dipertahankan bagi perolehan pihak laki-
laki. Pada kematian pihak perempuan, harta dibagi sama rata antara pria dan
anak-anak, adapun pada kematian pihak laki-laki, harta setengahnya kepada
sanak saudaranya, yang lain untuk istri dan anak-anaknya. Untuk pria dengan
hutang, bagaimana pula setelah kematiannya? Hutang ini harus dibayarkan
oleh keluarga dan anak-anaknya sendiri. Apa yang dikatakan oleh Orang
Talang-Dayun, juga berlaku, setidaknya, pada Orang-Talang yang lain.
Sebaliknya Kita melihat, kemudian, betapa sulitnya mereka dalam
mempertahankan matriarkhal. Seperti telah disebutkan oleh Rijn van
Alkemade, setidaknya pada Orang-Talang Dayun, kekerabatan ini disertai
sistem eksogami. Ini berkemungkinan terjadi dengan Orang Talang Gasip.
Juga ditemui pada pemantauan kehormatan dalam aturan organisasi
masyarakat yang matriarkhal; para kepala diangkat oleh sultan, akan tetapi,
sebelumnya ditunjuk oleh rekan-suku dari pemegang jabatan pendahulunya,
biasanya dari kemenakannya atau anak adiknya.
Sebelum meninggalkan sungai Siak, kita telah memusatkan perhatian pada
sebuah suku kecil, di sepanjang bagian atas dari Mandau di wilayah ini

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
126

terletak di utara negara, dan dikenal dengan nama Orang Sakai. Orang-Sakai
ini adalah Orang Asli dan setidaknya berbicara dengan dialek Melayu.
Mengenai Suku Sakai, Wilken mengatakan bahwa suku-suku di Sumatera ini
diakhir abad ke-19 tengah berada pada tahap terendah peradaban. Hutan
adalah tempat dimana mereka tinggal, dan mereka sebagian besarnya
menjalani kehidupan nomaden. Mereka jarang atau tidak pernah muncul,
sehingga mereka dengan beberapa pengecualian, tetap benar-benar bebas
dari semua pengaruh asing. Sebagian, mereka berada di bawah otoritas Siak,
di mana mereka dianggap berada di kalangan Rayat-Raja, sebagiannya lebih
jauh lagi ke utara di aliran sungai Rokan, dimana terletak kerajaan Kota-Intan.
Dari Orang-Sakai saat itu kita menemukan bahwa mereka ditemui setidaknya
berciri matriarkhal dan dibagi ke dalam suku. Dalam aturan perkawinan, kita
dapat mengetahui bahwa anak-anak mengikuti suku ibu. Pembagian warisan
juga mengikuti aturan matriarkhal. Suksesi di tempat terhormat berada di
garis perempuan: kematian seorang kepala suku digantikan oleh kemenakan
tertua; anak-anak saudara perempuan tertua. Bahwa terdapat sistem
eksogami pada Orang Sakai, secara eksplisit dinyatakan “anak-anak akan
mengikuti suku ibu,” hal yang juga menunjukkan bahwa ayah masih memiliki
suku lainnya. Awalnya, Orang-Sakai berada dibawah Batin dimana di Siak
dibagi menjadi lima (Batin Lima), sementara di Kota Intan dibagi atas delapan
suku (Batin Selapan).
Di sebelah utara tepatnya di Jalur beban pantai timur, yang seluruh aliran
sungainya ditempati oleh orang Melayu, yakni; Rokan, yang terbentuk dari
penyatuan dua cabang, Rokan-Kanan dan Rokan Kiri. Sepanjang Rokan Kanan
terletak lanskap Tambusai, Ramba, Kepenuan dan Rantau-Binuwang;
sepanjang Rokan Kiri, dimulai dengan bagian atas mencapai tempat Sungai
mengalir masih di bawah nama Sumpur di arah barat laut, dengan Lubuk
Sikaping - Rau, dan, timur yang terakhir, Mapat-Tunggul, pada tahun 1882
nampaknya telah dimasukkan di bawah pemerintahan Hindia. Sementara itu
lebih jauh ke hilir, setelah Sumpur ke arah timur digunakan dan diadopsi
nama Rokan Kiri, federasi Rokan atau IV Kota dan Kunto, terdiri dari negeri-
negeri di Kota Intan dan Kota Lama. Populasi Tambusai, terdiri dari-orang
orang Melayu yang beragama Islam, dan dibagi menjadi 10 suku sebagai
berikut; Beno, Ampu, Pungkut, Kandang Kopo, Jagung , Mandeling , Kutie,
Sebrang dan Melayu, yang sukunya juga dikenal dengan nama “suku seribu”,
sementara itu selanjutnya anggota keluarga raja, disebut orang dalem sebagai

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
127

bagian terpisah, atau juga “seratus suku”. Selain suku dalam, yang seperti kita
lihat di atas, di bawah Sutan Mahmud, suku memiliki kepala mereka sendiri,
Kapala Suku dimana Raja menunjuknya dan berlangsung turun-temurun
dikalangan suku mereka sendiri, diikuti anak-anak saudara perempuan
(Kemenakan). Setiap suku dibagi menjadi lnduk, yang jumlahnya berbeda dan
di Kepala Induk, dinamakan pucuk.186
Dipedalaman federasi Rokan Kiri dan Kanan terdapat wilayah koloni Siak;
Tanah-Putih, Kubu dan Bangko, dua lanskap terakhir terletak di sepanjang
muara, disebelah kiri dan sebelah kanan sungai. Menjelang tutup abad ke-19,
hanya Mapat-Tunggul, Rantau-Binuang, Kubu dan Bangko, informasi yang
dimiliki atau data yang lebih rinci tentang keluarga dan hukum waris; masih
sangat kurang. Akan tetapi, dari lanskap lainnya diharapkan dapat diperoleh
semua data yang belum lengkap tersebut. Di Mapat Tunggul, meskipun
persoalan matriakhat dilengkapi dengan beberapa deviasi, masih ditemukan
hal-hal yang terkait dengan eksogami. Pernikahan dalam suku dilarang dan
dikenakan sanksi.187 Meski jarang terjadi, dalam kasus perceraian; anak-anak
mengikuti suku ibu. Namun dalam suksesi, kita menemukan perubahan
dalam adat-kamanakan. Setelah kematian suami, pihak saudara-saudara
perempuannya mewarisi, yaitu semua kemenakan, terkecuali anak dari
pernikahan, dalam hal ini setengah dari kekuasaan beralih ke jandanya.
Dengan demikian, tampaknya di sini anak-anaknya sendiri, jika tidak secara
langsung, akan tetapi melalui perantara sang ibu, berkemungkinan
mewarisinya dari ayah mereka. Untuk suksesi martabat, nampaknya masih
memiliki tempat, dan menurut Wilken telah terbukti, bagaimana Islam telah
menambahkan pengaruhnya kedalam adat asli ini.
Selain itu, kita melihat bagaimana sebagai konsekuensi dari lembaga
matriarkhal, dengan kasus pembunuhan, pada yang terbunuh itu uang
dibayarkan kepada kemenakan.188 Di Rantau-Binuang, matriarkhal agak

186 Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië,” jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.86-87;
bandingkan dengan Rijn van Alkemade, “Beschrijving Eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan
Rivier Naar Rantau Benoewang,” door J. A. van Rijn van Alkemade. KITLV, Volume 32, Nomor 1
Tahun 1884, hal.41
187 Lihat Neumann, “Nota betreffende de onafbankolijke landschappen Mapat-Toenggoel en

Moewara-Soengei-Lolo VI Kota,” Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Volk., dl. XXIX, hal. 62—63.


188 Namun, dapat dipahami bahwa hanya setengah dari uang itu, sementara setengah lainnya

menuju ke hakim, bahwa penghakiman telah menyatakannya demikian (Neumann, O. o., hal.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
128

lengkap untuk terhubung dengan eksogami. Tidak ada yang bisa menikah di
suku-nya sendiri; Pria datang ke kediaman orang tua dari istri, dan anak-
anak pun mengikuti suku ibunya. Suku hanya mencakup keturunan dalam
garis perempuan. Dengan cara yang sama tentunya juga keluarga, sebagai
bagian dari suku tersebut, terdiri dari: satu nenek moyang umum. Oleh
karena itu pula kata induk = ibu (dan fisik atau ibu) untuk menunjukkan
kepada keturunan; keluarga, di mana masing-masing dibagi atas suku.189
Yang bersangkutan dengan persoalan warisan, kita sebutkan bahwa Harta
Pusaka, warisan, pada kematian pria akan jatuh pada anak-anak saudari,
berselang itu, kamanakan; Halnya harta-pencarian (benda properti yang
berarti bahwa sang suami selama pernikahan pada umumnya bekerja dan
dengan demikian telah memperoleh kepemilikan) milik orang itu hingga
kematian istrinya, anak-anak (yang tentu saja untuk berbagi menurut ibu
mereka); meninggalnya seorang manusia, maka anak-anak mewarisi segala
sesuatu (yaitu, semua yang dimiliki individu almarhum), setidaknya ketika
anak-anak mereka, yaitu anak perempuan, maka warisan anak-anak jatuh
bersama dengan saudara dari laki-laki itu. Jika tidak ada anak-anak, Harta
pencarian jatuh kepada keluarga laki-laki dan perempuan. Jika almarhum
memiliki hutang, mulai dari awal, maka pada keluarga laki-laki, anak-anak
saudari, juga terhadap anak-anak mereka sendiri.

Kita melihat dengan jelas bagaimana pada akhir abad ke-19 di Rantau-
Binuwang aturan matriarkal yang utama masih berlaku. Meskipun demikian,
sebagaimana telah dikomunikasikan, bahwa anak-anak disini dengan Harta-
pencarian, aset individu, mereka mungkin mewarisi dari ayah mereka, di
tempat pertama adalah anak-anak, dalam ketiadaan putra dan putri, maka
anak-anak saudara perempuan juga memperoleh bagian. Putra dan putri di
sini dari anak-anak saudara perempuan, begitu dekatnya. Juga kehormatan
terjadi di garis perempuan, pertama jatuh pada kemenakannya. Tidak hanya
pemimpin yang sebenarnya, kepala suku, harus diikuti dengan cara ini tetapi

59). Di Dataran tinggi Padang, seperti sudah diketahui, untuk “darah” 2/3, untuk hakim sepertiga
(Lihat, onze verhandeling: “Het strafrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 23)..
189 Kata induk sebagai nama bagi keluarga, bagian suku, juga dapat ditemukan dalam lanskap

Tapung, namun, itu tidaklah muncul, atau menjadi gejala yang umum. Dari induk, kemudian satu
kata perindukan, bahwa semua itu adalah menunjukkan garis ibu, seperti yang ditemukan dalam
kamus Wall-Von Van der Tuuk sebagai nama bagi keluarga. Dimana pada kasus tertentu
digunakan, namun hal itu tidaklah selalu muncul.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
129

juga semakin tinggi pejabat negara, kerajaan besar. Bahkan dalam


penunjukan bandahara, kepala kerajaan besar, orang yang mewakil pangeran,
“adat kamanakan” pun membayangi. Selain itu, menurut Rijn Van Alkemade,
Bendahara berasal dari suku Melayu atau suku Ampu, dengan ketentuan
bahwa tidak pernah dua kali berturut-turut ditunjuk bandahara berasal dari
suku yang sama. Jika suatu waktu Bandahara, diangkat dari suku Malayu,
maka periode berikutnya ketika Bandahara diangkat dari Suku Ampu,
keponakan Bandahara sebelumnya yang bersuku Melayu sebagai tongkat
atau penolong bandahara, begitu pula sebaliknya. Keponakannya akan
menerima gelar Pakumu Raja dan tongkat dari suku Malayu adalah Sri
Paduka Maharaja, gelar yang terakhir hingga penerusnya dalam posisi
bandahara. Oleh karena itu bandahara dari suku Malayu, maka Sri Paduka
Maharaja dari suku ampu.
Mengenai Tanah-Putih, Bangko dan Kubu; sebelum kita menuju pada
informasi tentang distribusi matriarkhat yang ketersediaan informasinya tidak
begitu luas, berikut ini adalah gambaran mengenai masyarakat di hilir Rokan
sebagaimana dicatat oleh Hijman van Anrooij; bahwa penduduk Tanah Putih
terbagi menjadi suku sebagai berikut: 1)Melayu Besar; 2)Melayu Tengah;
3)Mesah, dan 4)Batu Hampar. Masing-masing suku memiliki Datuk sampai
kepala, dan lagi di bagian-bagian yang lebih tua, induk yang terbagi dan
dipimpin oleh seorang tokoh; Tongkat. Hanya tiga suku memiliki utan tanah;
adapun suku Batu Hampar tidak; berkemungkinan suku ini awalnya terdiri
dari imigran. Akibatnya, mereka tidak memiliki pancong alas, atau hasil tanah;
sebaliknya, mereka harus membayar kepada suku lainnya, jika mereka
memungut hasil hutan atau ladang. Utan tanah tidak termasuk dalam tiga
suku secara keseluruhan, tetapi masing-masing anggota memiliki bagiannya
(satu atau lebih perantauan) dalam warisan. Pemilik dari perantauan berhak
atas pancong alas dan hasil tanah disana, karena disediakan, dan
bagaimanapun, bahwa terdapat tongkat yang bebas dari pajak; Bebas, di
perantauan, itu adalah anak induk dan Datuk di sukunya. Kedua, sebagai adat,
orang-orang dari Bangko dibebaskan dari bea atas rotan yang berasal dari
Tanah Putih, dan sebaliknya, bahwa di Tanah Putih dibebaskan bea atas atap
yang berasal dari Bangko. Suku Melayu Besar terbagi menjadi 4 induk dan 3
Tongkat; Melayu Tengah atas 2 induk dan 1 Tongkat; Mesah di 2 induk dan 1
Tongkat; Batu Hampar dalam 3 Induk dan 2 Tongkat; Dimana Datuk sendiri
adalah merupakan Kepala induk. Sebelumnya, Tongkat bukan merupakan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
130

instrumen pengangkatan, tetapi di tahun 1878, oleh Mangkoeboemi


diberikan terhadap mereka ketika mereka datang untuk merayakan pesta di
Siak(?) Martabat Datuk atau tongkat turun dari ayah ke anaknya, tetapi hanya
jika ia adalah putra dari seorang Toekoe atau induk. Bahwa dalam tradisi,
lazim didapati anak begitu patuhnya, dan martabat pun mengikuti garis
kemenakan. Begitu juga hukum warisan sebagian besar untuk anak-anak,
akan tetapi sebagian tetap untuk kemenakan.
Adapun populasi Bangko seluruhnya terdiri dari suku yang berasal dari Aceh;
(Tujuh Indu’, Rebia, Pandita Mera, Mera Jamman, Aru dan Rambah). Bahkan
Hijman van Anrooij mengatakan dapat terihat dari pengamatannya atas orang
Bangko yang menunjukkan kondisi setipe dengan orang Aceh. Pemimpin
Bangko adalah Datuk, yang dalam pemerintahannya terdiri dari 6 tongkat.
Sementara itu masyarakat Kubu awalnya terdiri dari tiga suku sebagai berikut:
1) Suku Hamba Raja, yang berasal dari Johor; 2) Suku Rawa, yang berasal dari
Rau; dan 3) Suku Haruh; yang berasal dari Haru(Haru adalah sebuah kerajaan
besar yang telah lama menghilang dan ditemukan di sebelah barat Langkat di
Teluk Besilan dan sungai Sarang Jaya). Kepala masing-masing tiga suku ini
adalah seorang Datuk. Datuk dari suku Hamba Raja dan suku Rawa masing-
masing memiliki tongkat di antara mereka sendiri; Sedangkan Haru tidak.
Selain dari tiga suku yang telah disebutkan, terdapat suku keempat, yang
dinamakan dengan Suku Bebas. Sebahagian Suku ini terdiri dari orang-orang
asal Siak, dan sebagian lain anggotanya dari tiga suku lainnya, yang keluar dari
suku mereka sendiri, karena perselisihan atau karena alasan lain. Mereka
tidak memiliki Datuk, akan tetapi disertai dengan empat panghulu, kepala,
yang masing-masing memiliki bawahan mereka sendiri. Orang bebas
dianggap berada langsung dibawah Sultan Siak; ketika mereka datang ke Siak,
mereka sebagai bagian dari Hamba Raja Dalam. Adapun utan tanah di Kubu
milik dari tiga suku; dimana setiap suku atau induk memiliki bagiannya
sendiri. Pendapatan yang dimiliki Datuk dari Kubu; pancong alas dari dalam
hutan, dimana mereka mengumpulkan hasil hutan, di samping bagian mereka
atas denda yang dikenakan. Hijman van Anrooij mencatat bahwa Tongkat,
memperoleh hasil dari denda yang dikenakan. Tongkat dapat memberikan
hukuman sejumlah $20 sampai dengan $ 1,0, dan Karapatan program
bersama-sama dengan Datuk, juga panghulu bebas yang turun (tapi bersama-
sama mewakili satu suara) senilai $60. Untuk hal-hal yang lebih besar akan
ditetapkan di Karapatan Siak.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
131

Apriori pun berkembang, diduga bahwa di sini lebih khusus lagi dalam dua
lanskap terakhir, matriarkhal dalam bentuk murninya berkurang. Pada
sepanjang hilir aliran sungai Rokan yang dominan dibawah supremasi Johor
dan di bawah pengaruh Johor tersebut, maka kondisi asli di sini, dipastikan
akan banyak yang telah hilang. Pada masa sebelumnya, tidak diragukan
bahwa kelembagaan matriarkhal sepenuhnya efektif diterapkan pada pada
tiga lanskap, seperti di Lanskap Tanah-Putih ditemukan juga seperti yang
terjadi di Rantau-Binuwang, kata untuk induk = ibu; untuk menunjukkan
keluarga atau komponen dari suku. Bahkan saat itu, juga menentukan
regangan perhambaan pada pernikahan di luar suku tersebut. Hal ini tidak
dilarang dalam suku untuk menikah. Namun, seseorang menikah dengan
orang diluar sukunya sendiri, kemudian diikuti anak-anaknya; di Kubu dan
Bangko serta di Tanah Putih yang bersuku ibu. Tentang warisan ditemukan
hanya di Tanah-Putih bahwa tanah kebun sebagian besar untuk anak-anak
mereka sendiri, disini kemenakan juga memperoleh bagian meskipun hanya
sedikit. Bahkan suksesi martabat pun sudah menyimpang dari kebiasaan
lama. Tanah-Putih dan Bangko itu adalah contoh keberhasilan peralihan
terhadap anak, tetapi sebagai hubungan harus dipenuhi oleh orang-orang dari
suku hanya jika ia memiliki suku yang sama seperti suku ayah. Jika hal ini tidak
terjadi, ayah menikah dengan suku lain, maka martabat jatuh pada anak-
anak saudara perempuan. Di Kubu, pembatasan ini bahkan tidak akan
diperhitungkan, anak mengambil tempat ayah, meskipun ia bukan milik
sukunya. Seperti telah dicatat, Wilken juga melihat hilangnya sistem itu di
lanskap lainnya; Rokan IV Kunto dan Kota Lama (Kota Intan dan Kota Lama),
di sepanjang Rokan Kiri, dan Tambusai, Rambah dan Kapenuhan, sepanjang
Rokan Kanan, semuanya. Namun, tentu saja tidak cocok untuk menganggap
bahwa di sini juga sama sebagaimana di Rantau Binuang. Hal ini disebabkan
apakah informasi yang dimiliki Tambusei, dapat dikatakan telah memadai.
Rantau Binuang itu adalah permukiman sangat awal dari Tambusai,
sepenuhnya komponen dari keduanya muncul. Dengan pemeriksaaan yang
seksama atas lanskap, karena itu haruslah sama, dan adat disatu lanskap akan
merupakan refleksi dari yang lainnya.
Perhatian kita berikutnya di arah selatan Kampar dimana mengalir sungai
Indragiri, Jambi dan Musi. Di hulu aliran sungai Indragiri, Wilken menemukan
dasar klasik matriarkhal di Sumatera. Terletak diatas aliran sungai, yang
bernama Sinamu - sungai Ombilin, lanskap Lima Puluh Kota dan Tanah Datar.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
132

Di distrik Lubuk Jambi atau Rantau Kuantan, dicatat Wilken bahwa para
warganya mengatakan bahwa hal ini terkait erat dengan orang-orang yang
berasal dari dataran tinggi Padang, matriarkal yang sepenuhnya hadir
bersama kedatangan mereka. Di sebelah timur Lubuk Jambi adalah kerajaan
Indragiri, yang berasal dari lanskap Tiga Lurung sebagai gabungan dari tiga
desa di Indragiri. Sekali lagi, matriarkal sebelumnya, dengan pengecualian ini,
bagaimanapun juga, bahwa anak-anak mereka sendiri dan anak-anak kakak
perempuan memiliki hak warisan yang sama. Tentu timbul pertanyaan,
hingga akhir abad ke-19, sampai sejauhmana tersisa pengaturan matriarkhat
yang masih dapat ditemukan di kerajaan Indragiri yang terletak di hilir aliran
sungai itu, akan tetapi nampaknya jawabannya: tidak ada. Hanya pesan dari
sejarahwan Cina di era Dinasti Ming (1368-1643), kita dapat melihat bahwa
ini adalah kasus yang seharusnya.
Menurut laporan itu untuk aturan Tong-ki-gi ( Indragiri), bahwa
pernikahan suami dan istri mengikuti keluarganya dimana anak-anak
milik dari ibunya.
Seperti diketahui, diarah Selatan dari Indragiri mengalir sungai di Jambi yang
dikenal dengan nama Batang-Hari. Arah tenggara menuju sungai pertama
mengalir melalui bagian selatan Dataran tinggi Padang dan kemudian, di
timur sendiri memiliki wilayah yang disebut distrik Batang Hari, juga di
Rantau Baruh yang terdiri dari beberapa desa. Distrik Batang Hari atau
Rantau Baruh, kita menemukan keberadaan matrilineal dimana gelar dan
martabat berada pada saudara-saudara perempuan. Dalam hubungannya
dengan negara, putra sulung saudari tertua sebagai penerus yang sah.
Namun, dalam hal harta warisan, disini menyimpang begitu jauhnya dari adat
kamanakan, dimana Harta-pencarian, diekstraksi dengan baik, bahwa
individu dimiliki oleh orang yang telah memiliki anak-anaknya sendiri. Aturan
yang sama berlaku dalam lanskap Kerinci. Anak-anak saudari, “kemenakan”
sebagaimana mereka disebutkan, disini tidak mewarisi di tempat pertama,
jikapun terjadi hanya disebabkan tidak adanya anak-anaknya sendiri "
Kita dapat pula melihatnya ke lembah di hulu sungai Musi. Dalam masyarakat
Melayu di semua negara yang terletak di aliran sungai ini, tampaknya
matriarkhal telah seluruhnya bermetamorfosis dengan patriarkhi sebagai
jalan keluarnya. Hanya satu lanskap, yaitu “Semendo” yang terletak di sebelah
selatan Pasemah, dan ini berbeda. Warisan di sini seluruhnya matriarkhal

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
133

dalam arti bahwa kematian menjadikan ibu sebagai pewaris tunggal; putri
tertua untuk properti barang, rumah dan sawah, yang dalam cara ini selalu
tinggal di garis perempuan, sementara hanya barang bergerak saja yang
didistribusikan di antara anak-anak lain. Konsisten dengan ini, karena itulah
sebagai anak: untuk putri tertua yang menikah, maka suaminya akan tinggal
dengannya. Hanya ketika perkawinan seorang anak perempuan yang lebih
muda kadang-kadang terjadi bahwa perempuan mengikuti laki-laki, terutama
ketika mereka sudah memiliki rumah atau cenderung untuk membangunnya
sendiri. Selain itu, bagaimana anak-anak di sini dianggap lebih kepada milik
ibu daripada milik ayahnya yang ditunjukkan dalam kasus perceraian, lihat
juga bagaimana pula dengan pengecualian di negara-negara pesisir di
cekungan Jambi, Indragiri, Kampar, Siak dan Rokan, bahwa matriarkhal masih
dalam bentuknya yang dominan dalam hubungan tersebut. Secara ekslusif
anak milik ibunya, sedangkan ayahnya tidaklah berhak, tidak hanya seperti
yang berlaku di Dataran tinggi Padang. Akan tetapi, di sana-sini, setidaknya,
masih sepenuhnya di bawah proporsi wanita dalam produksi lebih besar
daripada pria, sehingga kharakteristik Orang Talang di daerah aliran sungai
Siak sebagaimana telah dinyatakan dalam kata-kata, “Ayam jantan tidak
bertelur.” Yang paling menonjol, tentu saja adalah matriarkhal yang disertai
dengan eksogami, sebuah hal lumrah dari era nenek moyang, dimana mereka
hanya berada di garis perempuan dari leluhurnya yang dapat berperan
sebagai pusat suku, dan dengan demikian juga sebagai bentuk dari keluarga.
Akan tetapi, pesan pada titik ini tidaklah berlaku sepenuhnya.
Dengan kepastian yang lebih besar atau lebih kecil hanya bisa dikatakan
ditemukannya eksogami di Glugur VI Koto, XII Koto Kampar dan Pangkalan
Kota Baru(Kampar Kanan), meskipun lanskap yang terakhir di beberapa desa
kadang-kadang aturan itu dibebaskan, Orang Talang-Dayun, Orang Talang
Gasip dan Orang Sakai (Siak), di Mapat Tunggul dan Rantau Binuang (Rokan),
sedangkan Orang Talang Mandau (Siak) dan penduduk Tanah Putih, Kubu dan
Bangko (Rokan) secara eksplisit menyatakan, persoalan pernikahan antara
anggota suku yang sama telah dilakukan dengan resmi. Sementara itu dari
lanskap lainnya, nampaknya pembagian tatanan ini telah menghilang. Bahwa
yang masih sepenuhnya sejalan dengan matriarkhal adalah pada sistem
suksesinya. Penyimpangan dari adat-kamanakan juga ditemukan; penentuan
bahwa anak milik suami, akan tetapi tidak untuk pemeliharaan anak-anak.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
134

Sama diketahui, bahwa hanya di Dataran tinggi Padang-lah hukum-adat yang


secara ketat dipertahankan. Setelah kematian sang ayah, dimungkinkan
untuk perkara yang jelas, Harta-Pencarian sebagai kepemilikan pribadi, yang
memenuhi syarat. Tetapi juga tentang manusia yang dalam hal ini ia berada di
bawah kendali masa depan ahli waris, yang sudah berada dalam kehidupan
hak-hak pewaris atas lahan yang berkemungkinan ditegaskan. Namun secara
bertahap menjadi aturan di banyak daerah, bahwa setidaknya setengah dari
Harta-pencarian dengan sumbangan untuk anak-anak mereka sendiri dapat
diambil manfaatnya.190 Di luar dataran tinggi Padang, bahwa terdapat juga hal
ini masih berlanjut. Di Tiga Lurung (Indragiri) anak sendiri telah berada dalam
persamaan hak dengan anak-anak saudari atas suksesi, jadi, setelah
kematian, setengah harta ayahnya berada pada mereka. Aturan yang sama
juga berlaku di Pangkalan Kota Baru (Kampar Kanan) dan Mapat Tunggul
(Rokan). Di Tanah Putih (Rokan) keberadaan warisan tidak hanya dibagi
antara pribadi anak-anak dan anak-anak saudara perempuan, sementara di
Rantau Baruh dan Kerinci (Jambi), langkah terakhir telah dilakukan ke arah
itu, anak dari saudara perempuan hanya jika memenuhi syarat dalam
kondisi ketiadaan anak sendiri, sehingga mereka dapat mewarisinya.
Sangat sedikit aturan di Rantau Binuang (Rokan). Sekali lagi, pada harta-
pencarian, semua kepemilikan individual jatuh pada anak sendiri, dan di
tempat yang pertama, tentu saja anak-anak yang mewarisi dan hanya ketika
mereka tidak memiliki anak-anak perempuan, dalam hal ini anak-anak dari
saudara perempuan juga menerima sesuatu. Putra-putri begitu dekat dengan

190 Ini juga tidak harus selalu terjadi dan tersedia bagi laki-laki; wasiat Harta pencarian, meskipun
ini merupakan salah satu sumbangannya yang lebih disukai, karena dengan cara ini menjamin
kelangsungan yang tepat dari keinginan laki-laki bahkan setelah kematiannya. Selain itu,
sumbangan apapun dalam soalan harta bergerak, dengan persetujuan dari mereka, yang berhak
atas warisan, dan juga kepala keluarga. Keluar dari kondisi ini, maka dapat dipastikan bahwa
kematian pada versi sedikit remeh adalah penuntutannya kembali. Terutama di Padangsche
Bovenlanden adalah “karunia,” dan sering membuka jalan mereka ke sebuah sumber dengan
gagasan-gagasan sosial tentang skema yang sesuai dan menunjukkan warisan (Lihat esai: “Over
de verwantschap en het huwelijks- en erfrecht bij de volken van het Maleische ras,” hal. 29, dan
lebih jauh: Van Hasselt, “Volksbeschrijving van Midden-Sumatra,” blz. 247-248 ; Verkerk Pistoiïus,
“Studiën over de inlandsche huishouding in de Padangsche-Bovenlanden,” hal. 45—46; Van der
Toorn, “Aanteekeningen uit het familieleven bij den Maleier in de Padangsche Bovenlanden,”
Tijdschr. v. Ind. T. L. en Vk., dl. XXVI, hal. 515 dan 526; Kroesen, “Het grondbezit ter Sumatra's
Westkust,” Tijdschr. v. Ned. lndië, jaarp. 1874, dl. II, hal. 20; “Résumés van het onderzoek naar
het grondbezit op Sumatra,” hal. 19 dan 21).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
135

‘perkebunan. Alasan untuk hak istimewa ini, ternyata tidaklah disebutkan,


akan tetapi kondisi ini diasumsikan memang begitulah adanya. Pada Harta-
pencarian maka dengan berbasis pada kemampuan individu yang biasanya
diperoleh melalui pengupayaan, adapun untuk Harta-Pusaka sebagai warisan
yang dimiliki secara komunal. Seperti di Dataran tinggi Padang, dan untuk
alasan yang sama di sana,191 mungkin juga di Rantau Binuang tentang pusaka
ini, maka anggota keluarga perempuan dari keluarga telah dianggap “lebih”
dari laki-laki, namun garis ibu telah gagal sehingga pusaka menjadi milik
anak-anak secara bersama-sama, Jadi, lebih kepada perempuan daripada
anak laki-laki. Saat itu mungkin saja, bahwa preferensi untuk putra-putri
yang berturut-turut dalam harta ibu, sang ayah telah dipimpin dengan hal itu,
hanya sebaliknya, yang terakhir dengan beralihnya manfaat, di mana
warisan sejati adalah harta kekayaannya. Di daerah yang disebutkan, dimana
adat kamanakan lebih dan kurang sudah menyimpang atau kurang berlaku,
namun ditempat lainnya lembaga yang lama masih dipertahankan dalam
kemurniannya.
Jadi, hanya disebutkan Lanskap dimana kita memiliki pembagian tertentu
seperti distrik Rantau Kuantan (Indragiri), di Glugur VI Koto dan XII Koto
Kampar (Kampar-Kanan), Lanskap Tapung dan di daerah Orang Talang dan
Orang sakai (Siak). Dimana garis matrilineal tidak hanya pada urusan material,
tetapi juga gelar dan martabat yang hanya berada di garis perempuan. Oleh
karena itu dalam kematian seorang kepala yang tidak memiliki putra, maka
penerusnya akan jatuh pada putra sulung saudara perempuan tertua. Aturan
ini berlaku untuk semua lanskap yang dipertimbangkan, bahkan dimana
dalam suksesi properti, akan menjadi penting dalam menyimpangnya adat-
kemanakan,192 seperti di Rantau Baruh (Jambi), Pangkalan Baru Kota (Kampar
Kanan), Mapat Tunggul dan Rantau Binuang (Rokan). Biasanya, bisa
dipastikan bahwa, seperti di Mapat Tunggul bahkan aturan Islam tentang
keturunan, yang collateral, berarti tidak lagi dari anak kakak. Penyimpangan

191 Lihat Verkerk Pistorius, “Studiën over de inlandche huishouding in de Padangsche


Bovenlanden,” hal. 47
192
"Bahkan di negeri-negeri lain, kita melihat bagaimana suksesi martabat, juga pada suksesi
politik, keturunan dalam garis perempuan-lah yang berpotensi, sementara tidak lagi terjadi di
kalangan masyarakat-sipil biasa. Juga terjadi bahwa beberapa entitas dari Kepulauan di barat-
daya, khususnya kelompok Loewang-Sermata dan Leti-Moa-Lakor, pengontrolan anak adik
melalui aturan tentang pembagian dari wasiat, karena segera ditemukan, sedikit atau terkadang
bahkan tidak terlihat: materilineal.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
136

dari model warisan ini, hanya ditemukan di Tanah Putih. Berikutnya adalah
martabat kepala sudah untuk anak sendiri, setidaknya yang bersuku sama
seperti ayahnya. Jika hal ini tidak terjadi disebabkan sang ayah menikah
dengan salah satu suku yang lain, itu berlaku pada putra dari saudara
perempuan.193 Dari pengaturan sebelumnya di berbagai daerah, selain hak-
hak ibu, “hukum-ayah” telah memulai pengembangannya, kekerabatan
matriarkal di luar sana, sedang dalam keadaan transisi ke hubungan
parental, realitas yang dicatat Wilken pada akhir abad ke-19.
Di negara-negara pesisir tampak jelas pengaruh Johor, dan menurut
Wilken transisi ini telah terbentuk sepenuhnya.194
Dari bagian bawah Daerah aliran sungai Siak, di Kuala Mandau telah
ditemukan secara eksplisit yang menyatakan bahwa matrilineal tidak lagi
terjadi, dan rupanya tidak ada yang tersisa di Bangko dan Kubu (Rokan) dari
seluruh tubuh aturan itu, di pesta pernikahan di luar suku, anak-anak
mengikuti sang ibu, 195 dan di bekas lanskap yang bersangkutan, juga
ketentuan yang telah kita lihat di Tanah Putih, dalam suksesi martabat, putra
saudara perempuan dilihat sebagai memenuhi syarat.
Dari Pulau Lawan (Kampar) dan cekungan yang lebih ke hilir di Indragiri kita
tidak memiliki pembagian yang pasti, akan tetapi, tentu saja tidak cocok,
dalam pandangan bahwa pengaruh Melayu dari Johor dan kepulauan Riau
Lingga kepada penduduk dari daerah-daerah dilakukan untuk menganggap
bahwa di sini hubungan parental sudah sepenuhnya berada di tempat
matriarkhal, meskipun sisa-sisa sisa kekerabatan lama masih ada dan merata,
seperti tampak pada aturan di bekas kerajaan, bahwa anak-anak dari
perceraian tetap dengan ibunya. Juga, negeri di daerah hilir Jambi, seperti
asumsi dari Van Hasselt, juga Wilken, bagaimanapun,

193 Bahwa ketentuan pernikahan dalam suku harus jelas. Mungkin juga kita memiliki salah satu
penyebabnya, yang juga telah mengkondisikan endogami di tempat lainnya. Di mana ada
matrilineal, berkemungkinan, misalnya ayah, hanya pada sukunya sendiri, bahkan dalam
keluarganya sendiri, dalam pernikahan, anak-anaknya tidak mengambil bagian dari kenikmatan
warisan, yang dimiliki keluarga secara komunal.
194 Juga Setelah “self-Johor,” ketika mereka telah dimulai, di pantai timur Sumatra dan ngengat

Melayu di sana telah berbaur, telah dialihkan sepenuhnya untuk hubungan parental.
195 Juga muncul di aliran sungai yang lebih rendah (hilir) dari Siak, pada pesta pernikahan di luar

suku, anak-anak mengikuti ibu...


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
137

bahwa penduduk daerah ini, yang telah begitu banyak bercampur


dengan unsur lain, dengan demikian matrilineal tentu tidak lagi dapat
ditemukan.
Jadi, kita melihat bagaimana negara-negara pesisir timur, berlangsung proses
“de-matriarkhat” secara bertahap, jika tidak di Selatan, harusnya di aliran
sungai Musi, dengan pengecualian bagi “lanskap Semendo:” dimana-mana,
disini, tampaknya seluruh matrilineal menghilang, akan tetapi susunan
keluarga, yang sebelumnya telah menggantikan mereka, bukan orang tua,
tapi “ayah” yang bersifat patriarki dan agnatik; terutama di daerah-daerah di
pedalaman adalah unsur kekerabatan ini, kecuali untuk penyimpangan di
sana-sini yang pada akhir abad ke-19, sebagaimana telah dinyatakan sedang
dimulai.196 Sëmëndoë, di tengah lingkungan matrilineal kuno meskipun tidak
dalam bentuk aslinya, praktek ini tentunya sangat kharakteristik, dan
mungkin merupakan hasil dari konservatisme, sebagian besar mereka
pastinya memiliki watak ini.197 Hasil dari himpunan di bagian sebelumnya,
dapat disimpulkan, bagaimanapun juga bahwa dalam banyak hal dan layak
untuk konfirmasi lebih jauh dan dipertimbangkan, bahwa di Sumatra-Tengah,
untuk pembentukan kekerabatan, dapat dibagi menjadi:
1) Dataran tinggi Padang dengan daerah tetangga di bagian hulu dan
untuk sebagian besar juga dibahagian tengah Musi, Indragiri, Kampar,
Siak dan Rokan, di mana matrilineal yang dalam bentuk murni atau
lebih atau kurang telah terjadi perubahan;
2) Daerah Aliran Sungai Musi, di mana berlaku patriarkhal, dan
3) Negara-negara di pesisir timur, di mana berlaku susunan
kekerabatan parental.
Lebih atau kurang adalah bahwa kita ingin mengatakan di sini, pembagian ini
bersamaan dengan faktor linguistik. Di daerah matrilineal dengan bahasa
Melayu-Minangkabau, sementara di tempat lainnya, Melayu dimana terdapat
hubungan parental, disini berlaku bahasa Riau-Lingga Melayu Johor.198

196
Lihat juga : “Over de verwantachap en het huwelijke- en erfrecht bij de volken van het
Maleieche ras”, hal. 55 .vv. dan 97 w.
197 Gramberg, “Schets der Kesam, Semendo, Makakauw on filalauw,” Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Vk.,

dl. XV, hal. 455—456.


198 Lihat: “Heeren Holle en Brandes vervaardigde taalkaart van Sumatra, behoorende bij het

Koloniaal Verslag van 1887.” Akan tetapi, menurut Wilken, di daerah perbatasan siak, ternyata
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
138

Wilken berspekulasi bahwa ketiga sistem kekerabatan ini (matrilineal,


patriarkhal dan parental) berkaitan dengan matrilineal; bahwa jika
matrilineal diasumsikan sebagai yang tertua, pastinya menjadi sesuatu
yang umumnya bagi Melayu ketika mereka meninggalkan benua Asia
untuk menetap di Sumatera.
Menurut kisah tentang matrilineal yang begitu berkharakter, adat
kemenakan hanya menyebar dari Dataran tinggi dari apa yang telah dibawa
oleh dua tokoh legendaris, Datuk Katumënggungan dan Përpatih Sabatang
dimana telah diletakkannya seperangkat dasar hukum kemasyarakatan.
Ketika kapal mereka terdampar di pantai disaat air surut, mereka pun
berkata kepada anak-anaknya:
“Naiklah kemari untuk membantu mendorong perahu kami yang
terdampar.”
Anak-anak mereka menolak untuk melakukannya, sebaliknya para
keponakan mereka (anak-anak saudari) secara sukarela turun membantunya.
Oleh karena itu, kemudian ditetapkan bahwa “kekuasaan” bukan berada
dalam garis langsung kepada anak-anak atau cucu, tetapi kepada anak-anak
saudarinya. Kita dapat saja menetapkan cerita yang luar biasa ini dan tentu
saja tidak terdapat nilai faktual, dan mungkin saja dapat diasumsikan bahwa
kemudian adat kamanakan menjadi diperkenalkan pada suatu waktu sebagai
sesuatu yang baru. 199 Sebaliknya, fakta bahwa terdapatnya benang merah
sebagai Orang Talang dan bahkan Orang sakai, yang peradabannya berada
pada tahap yang sama dan sebagai yang berlaku umum pada orang Melayu
dalam pemukiman mereka di Sumatera, awalnya matrilineal dipraktekkan
secara penuh dan dalam bentuk yang paling murni, dan disebut terutama
sebagai lembaga kuno dan orisinal.

faktor linguistik tidak sepenuhnya bertepatan dengan batas-batas sistem-kekerabatan


(verwantschapsstelsels).
199 Wilken, 1888, hal.187

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
139

Gambar 3.1. Afdeeling Bengkalis dan penyebaran Orang Asli.


Sumber: Tideman,1935.
Keterangan:
1. Borumban Minas;
2. Batin Belutu;
3. Batin Tingaran;
4. Batin Panasa;
5. Batin Beringin;
6. Batin Singa Meraja ;
7. Borumban (Sri Paoh) ;
8. Sutan Bertua;
9. Batin Majilelo;
10.Batin Mantilelo;
11.Batin Borumban;
12.Orang Kaya
13.Barumban Petani;
14.Batin Sinangar;
15.Batin Bertoa;
16.Batin Semunai.
I = Mandau; II = Kutip; III = Gasip; IV = Dayun.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
140

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
141

4
Dinamika Darat – Pesisir

Hubungan darat–pesisir, ditinjau dari model Bronson sebagaimana dijelaskan


oleh J.Kathirithamby-Wells,200 berfokus pada pengaruh komunikasi via sungai
di area perdagangan dan juga implikasi politiknya. Lebih khusus lagi, Bronson
mengidentifikasi secara ideal fungsi dendritik di perluasan sistem sungai
Sumatra timur, menuju Dataran tinggi. Hubungan darat (hulu) – pesisir (hilir)
yang sama pentingnya di Semananjung Malaya dan Kalimantan, akan tetapi
pada pertukaran komersial terutama di sungai-sungai Sumatera terlihat
sebagai suatu pertumbuhan yang berkelanjutan. Perbedaannya di sini adalah
kekayaan material dan sumber daya manusia dari pedalaman Sumatera dan
eksploitasi efektif mereka melalui serangkaian sistem kompetisi sungai
berdasarkan hubungan hulu-hilir. Didirikan berbasis kekayaan mineral dan
kesuburan tanah vulkanik yang mendukung budidaya sawah, metalurgi dan
kerajinan di wilayah Batak, wilayah danau Minangkabau dan Kerinci, dan di
Pasemah di selatan dari pegunungan Barisan.201
Kehadiran node budaya di pedalaman dan ketergantungan mereka pada rute
timur yang lebih panjang ke Selat, meskipun rute melalui pantai barat lebih
pendek namun kuranglah bernilai komersial, membawa interaksi antara hulu
dan hilir jauh lebih signifikan secara politik daripada hubungan yang
sebanding dengan apa yang berlangsung di Semenanjung dan juga
Kalimantan. Dalam kasus Kesultanan Melaka, selain koleksi timah alluvial dan
hasil-hasil hutan, melalui pemukiman kecil di pantai Semenanjung, telah
menarik secara masal sumber daya yang di ekspor dari pedalaman Sumatera.
Perkembangan Semenanjung diluar pantai, mengikuti penetrasi migrasi dari

200.
J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.79-82
201.
E. M. Loeb, Sumatra, Its History and People, Vienna, 1935, pp. 23-4, 100-1; J.Miksic, “Classical
Archaeology in Sumatra”, Indonesia, 30 (1980) pp. 43-4; 46-8.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
142

pedalaman Sumatera, setelah pertengahan abad ke-19, tampaknya akan


menunjuk kepada kepadatan penduduk yang rendah sebagai faktor penting
untuk relatifnya perlambatan ekspansi ekonomi di lembah sungai tersebut.
Bahkan kemudian, hubungan kekuasaan dikembangkan pada politi-politi
merdeka yang berada disepanjang sungai yang dikatakan sangat membebani
guna mendukung raja yang berpusat di hilir. Persepsi negatif atas terminologi
hulu dengan ekonomi dan budayanya, yang menekankan perkotaan, pesisir
atau masyarakat hilir, bisa merugikan pemahaman menyeluruh atas budaya
politik Malayu. Dalam beberapa tahun terakhir, misalnya, W.O. Wolters
menekankan pentingnya memberikan perhatian karena hubungan Sriwijaya
dengan dataran tinggi dan juga budaya sungai, tanpa perhatian eksklusif
untuk orientasi komersial eksternal Sriwijaya, Melaka dan Johor, meskipun
umumnya dipandang sebagai tanpa substansi pedalaman, akan jauh
sebaliknya. pada kenyataannya, di wilayah-wilayah yang dilintasi transportasi
air di Sumatera timur, dijelaskan dengan tepat dalam catatan Belanda sebagai
Binnenland atau pedalaman. Dalam model Bronson, Melaka dan Johor
merupakan entrepot luar negeri. Sebagai pelabuhan utama, mereka adalah
penerima barang, dan juga pemasok utama impor ke, negeri Sumatera timur.
Wilayah ini secara efektif adalah tanah lungguh atau jajahan mereka,
diberikan baik secara langsung oleh pangeran Melaka/Johor 'dan menteri
ataupun tidak langsung melalui raja-raja lokal. Padahal, umumnya, otoritas
langsung baik penguasa pesisir, atau dari kekuatan metropolitan, tidak
melampaui teritori hilir, kelayakan ekonomi dari negeri tergantung pada
perluasan pengaruh politik hulu, melalui sistem pertukaran komersial secara
efektif menghubungkan hilir dengan hulu. Link tersebut bertujuan
mengintegrasikan dalam sistem politiknya struktur pasar hirarkis resiprositas,
redistribusi dan pertukaran.
Pada model Bronson ini juga, maka, proses “transshipment” akan merujuk
pada “pangkalan” sebagai basis perdagangan sungai menuju lautan. Di Pantai
Timur, maka salah satunya kita akan menemukan lanskap Pangkalan Kota
Bahru, yang pada tahun 1834 hanya terdiri dari lima puluh rumah saja;
bermula di “pangkalan” maka orang dipedalaman berlaku sebagai penyedia
bahan makanan pada rute menuju port sebagai tempat pertemuan. Kata port
ini, biasanya dikombinasikan dengan kata “muara” yang menunjuk pada
ujung sungai kecil pada sungai utama. Pada abad ke-17, kapal-kapal VOC
maupun junk China tiba di Port ini. Meskipun demikian, sebagaimana

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
143

diketahui port ini tidak terletak di pantai, melainkan hingga sejauh 100 km ke
pedalaman, seperti disepanjang sungai Rokan adalah Tanah Putih, di sungai
Siak; Petapahan, Siak Sri Indrapura dan Senapelan, di Sungai Kampar adalah
Pelalawan, dan di sungai Indragiri adalah Rengat. Keseluruhan port ini,
terletak jauh dari rawa-rawa dan cenderung berada ditanah yang keras; selain
itu, jarak yang jauh dari pantai merupakan keuntungan tersendiri bagi
pertahanan dari serangan dari laut, dimana keberadaan posisinya
memungkinkan pertahanan dari sepanjang tepian sungai. 202
Sebuah studi dari etimologi dari kata “hulu”, menyorot pada konsep
hubungan hulu-hilir. Selain menyampaikan makna “hulu,” umumnya kata
tersebut terkait dengan pedalaman atau hutan, mengacu pada genggaman
atas sebilah keris, pisau, kapak, cangkul atau hal-hal yang
mengimplementasikan makna tersebut. Hal ini mungkin lebih dari suatu
kebetulan, bahwa hulu, menunjukkan atau mewakili pentingnya akan
genggaman atau pegangan yang diperlukan bagi fungsi suatu negeri. Sumber
utama pendapatan bagi negara awal di Sumatera tidak lain berasal dari hulu
sungai; emas dari Minangkabau, sementara di Kerinci dan Pasemah dari
berbagai hasil hutan di pedalaman dataran tinggi dan dataran rendah
pesisir.203 Produk pedalaman, tidak selalu mencapai pusat di hilir sebagai
sesuatu “hal yang biasa saja.” Akan tetapi, lebih sering sumber daya ini
dimobilisasi melalui perluasan pengaruh politik dan spiritual. Seperti yang
terlihat pada Sriwijaya melalui kutukan sebagaimana tertera pada prasasti
kepada wilayah mandalanya yang terletak jauh, atau juga sumpah “bisa
Kawi” dari Pagaruyung. Di Sriwijaya, prasasti ini mengutuk pelaku kejahatan
dan memberi berkat (tantramala), menjanjikan keamanan, kemakmuran dan
kebebasan spiritual, bagi mereka yang tetap setia kepada datu atau kepala
wilayah (n). Luasnya pengaruh politik tidak ditandai oleh batas-batas tetap di
ujung atas sistem lembah. Sebaliknya, terdapat penipisan secara bertahap
kearah luar menuju hulu, kekuasaan yang efektif, dalam proporsi terbalik
dengan jarak dan aksesibilitas dari ibukota hilir.

202.Collect
1925;279, Dobbin 1983;104, Muller 1837;31-3, Oki 1986;12, 36-39, Colombijn 2005:12.
203
. Wang Gangwu, “The Nanhai Trade A Study of the Early History of Chinese Trade in the South
China Sea”, JMBRAS, 31, ii (1958) pp. 103, 110-11; M. O.Woelders, Het Sultanaat Palembang,
1811-25, VKI, 72 (1971) pp. 95-127.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
144

Ini berarti, bahwa tanpa berpegang pada hulu, dengan demikian


merupakan bagian integral dari hilir, kepala hilir atau penguasa di
pesisir akan kehilangan genggamannya atas negeri.
Unsur paksaan juga dilibatkan untuk eksploitasi sumber daya dari hulu
tampak jelas di lembaga kewajiban pelayanan oleh penguasa Negeri Melayu.
Ini adalah sebanding dengan yang dikenakan hilir, akan tetapi secara
fungsional kuranglah efektif. Ini berupa rodi atau kerah, secara khusus
mendirikan bangunan dan memelihara pertahanan militer dan pengiriman
produk melalui lembaga-lembaga serah dan larangan raja. Pengakuan
universal di dunia Melayu dari penguasa tertinggi kontrol atas seluruh tanah
memberinya, secara teknis, hak atas mineral dan hasil hutan dan berhak dia
untuk proporsi hasil dari semua lahan budidaya diselenggarakan di hak pakai
hasil. “Serahan” merupakan proporsi tetap dari berbagai kemampuan pasar
untuk menghasilkan dan menyerahkan kepada kepala dan pemegang kuasa
jajahan yang berfungsi sebagai wakil penguasa. Disisi lain, “Barang Larangan”
atau “Larangan Raja,” adalah pengenaan monopoli kerajaan atas hasil-hasil
hutan eksotis dan berharga. Hingga akhir abad ke-19,
bahwa di Sumatra timur; berkenaan dengan domain utama hubungan
darat – pesisir, tidak ada yang lebih strategis daripada yang
berlangsung di Siak.204
Sebagaimana diketahui, faktor yang paling penting dalam mendukung Siak
adalah lokasinya yang strategis; dekat dengan entrepot pertama di
Semenanjung, Melaka dan Johor dan, kemudian, Penang dan Singapura.
Meskipun rute langsung yang “lebih” ditawarkan oleh Sungai Inderagiri ke
pedalaman Minangkabau, ketidakstabilan politik di daerah itu yang
dibandingkan dengan konsolidasi otoritas independen di Siak pada abad ke-
18, telah membawa penekanan yang lebih besar untuk lebih digunakannya
Siak dengan rute pesisir-pedalamannya. Mengikuti rute sungai ini, di hulu Siak
yang dibentuk oleh sungai Tapung Kanan dan Kiri, yang dihubungkan dengan
jalan setapak ke hulu Kampar dan menyediakan akses langsung ke dataran
tinggi Minangkabau. Awalnya, Siak dan Kampar, diperintah oleh penguasa
terpisah yang ditunjuk oleh kesultanan Melaka yang nampaknya

204
J. Kathirithamby-Wells, 1993, hal.88

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
145

kewenangannya itu tidaklah diperpanjang ke wilayah hulu. Pentingnya sungai


Siak dan Kampar untuk menjadi “perantara” perdagangan antara jantung
Minangkabau dan pasar Selat Melaka, ini berarti bahwa Pagaruyung memiliki
pengaruh yang lebih besar di sini daripada di tempat lainnya di rantau timur.
Tarikan kekuasaan raja di kedua ujung sistem sungai telah melemahkan
kontrol pesisir, dan ini berakibat terhadap ketidakstabilan politik Siak
dibawah Johor disepanjang abad ke-17, dan ini kita dapat memeriksanya
sedikit mundur kebelakang, dari situasi perdagangan yang melibatkan relung
pedalaman.
Bahwa Portugis pasca penaklukan Melaka tahun 1511, mencoba
mengupayakan suatu hubungan perdagangan dengan pangeran Minangkabau
dari kerajaan pedalaman, salah satunya melalui penelusuran atas sungai Siak.
Mereka pun mengutus beberapa pribumi menyusuri sungai hingga
pedalaman, nampaknya para utusan berhasil menemui sang penguasa dan
mereka pun kembali dengan beberapa pedagang dan juga; emas! Maka,
perdagangan emas Minangkabau di Melaka pun hidup kembali seperti era
sebelumnya. Diego de Cauto, menulis dalam tahun 1560 mengenai situasi
dimana disebut hubungan perdagangan yang luar biasa antara Monancabo
dan Malacca dan banyak kapal pulang-pergi setiap tahun bermuatan emas
untuk membeli barang-barang kain dan lain-lainnya.205 Dengan status
Minangkabau sebagai pensuplai utama produk emas, maka dapat diketahui
pula kerangka perluasan “rantau” alam Minangkabau terutama disepanjang
pantai timur yang menghadap ke Melaka. Diasumsikan, bahwa pada awal
mulanya sebagai akibat ramainya perdagangan di pasar Melaka, mereka pergi
dan melakukan aktifitas pertukaran dan menetap sementara. Seiring waktu,
mereka pun menjadi pemukim tetap yang telah berlangsung semenjak abad
ke-15, atau bahkan sebelumnya. 206
Kegairahan perdagangan ini bahkan terjadi jauh sebelum kedatangan bangsa
Eropa dimana orang-orang Minangkabau membawa produk emasnya untuk
dipertukarkan dengan produk kain dari Karomandel, terutama dengan orang-
orang Gujarat. Selain emas, Portugis juga mengadakan pembelian produk lain,
terutama lada. Paprika liar yang digarap dari Sumatera dan Jawa telah dijual
pada pasar internasional jauh sebelum kedatangan orang Eropa di abad ke-

205
Marsden, hal.334.
206 Lihat Mochtar Naim, Merantau:Pola Migrasi Suku Minangkabau, 1984, hal.69
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
146

16. Salah satu jenis lada yaitu lada kemukus (cubeb pepper), pertama kali
disebutkan sebagai ekspor dari wilayah Palembang-Jambi pada abad ke-18,
yang selanjutnya menemukan pasar penjualannya di China dan di seluruh
kepulauan baik untuk aroma makanan dan sebagai afrodisiak. Ketika orang
Italia Varthema tiba di Sumatera Utara pada tahun 1505 ia mencatat bahwa
lada lokal jenis lainnya; lada panjang, "berbeda dari yang biasa dijual di Eropa
sedang dimuat ke kapal menuju Cina.207 Lada hitam (piper nigrum), bukan asli
dari kepulauan Indonesia, melainkan berasal selatan India. Dengan demikian,
tidak seperti varietas lainnya, lada tidak tumbuh secara alami tetapi dengan
sengaja telah dibudidayakan. Kita hanya bisa menebak dan menduga tentang
waktu pertama kalinya disadari potensi lada hitam dan mulai
mengembangkannya, Berkemungkinan pembudidayaan di Sumatera terjadi di
abad ke-15. Menurut Pires, produsen utama Sumatera adalah Minangkabau,
dan pedagang dari daerah ini mungkin telah diperkenalkan dengan lada India
ketika mereka bertemu dengan para pedagang India itu di Melaka. Akan
tetapi disebabkan tanaman tersebut merupakan tanaman yang
membutuhkan waktu yang panjang, maka diduga harus ada faktor lainnya
yang membuat tanaman ini lebih menarik daripada tanaman tahunan lain,
semisal; seperti kapas. Salah satu unsur penarik tersebut adalah bahwa piper
nigrum tidak membutuhkan begitu banyak tanah yang subur karena suhu
hangat dan lebih dari 2.500 milimeter hujan per tahunnya, dan ini cocok
dengan iklim di pedalaman Sumatera. Lebih penting lagi, banyak penduduk
pedalaman selama abad ke-16 didorong untuk beralih ke tumbuhan lada
karena kesadaran bahwa piper nigrum lebih disukai kalangan pedagang asing
dan bahwa mereka pun bersedia membayar harga yang baik untuk
mendapatkannya, dan daerah pertama ekspansi pasar adalah China.
Hingga era dinasti Sung (1127-1279), “jagara asing” atau lada hitam sangat
jarang diimpor dari India dan terlalu mahal untuk dapat menjadikannya
popular. Meskipun demikian, selama periode ini kelas elit birokrasi
melakukan kegiatan yang secara tidak sadar telah ikut andil dalam
mengembangkannya. Mereka mulai mempromosikan masakan dimana lada
merupakan bumbu penting. Pada saat yang sama, terjadi ekspansi
perdagangan yang berarti bahwa produk dalam jumlah yang lebih besar lagi

207
Commelin, Begin ende Voortgangh, I, p. 86; Jones and Badger, The Travels of Ludovico di
Varthema, pp. 233-234.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
147

mulai merambah China dengan harga yang dapat dijangkau oleh kebanyakan
orang. Pertumbuhan pasar ditandai dalam penggunaan lada hitam di China
yang juga dapat dijelaskan dalam penggunakan therapeutic; piper ningrum,
seperti paprika lainnya dihargai karena sifat obat dan untuk kemampuan
peremajaan-nya atau kemampuan untuk membuat awet muda, memulihkan
ketahanan seksual, dan memelihara rambut tetap hitam. Pada tingkat yang
lebih pragmatis, lada hitam memperoleh pasar massal di China karena
penggunaannya dalam persiapan makanan dan pengawetan daging untuk
melalui musim dingin. lada di abad ke-15 bahkan dibayarkan kepada tentara
sebagai bahagian dari gaji mereka, dan dua ratus tahun kemudian China
mungkin telah mengimpor antara 10.000 - 12.000 pikul lada setiap
tahunnya.208 Respon terhadap permintaan hampir tak pernah terpuaskan di
Cina ini segera menjadi jelas di kepulauan Indonesia. Bahwa lada yang
tumbuh di bagian paling utara Sumatera diperluas sehingga Aceh menjadi
terkenal setelah Melaka yang jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511,
sedangkan pemukim yang berada jauh di selatannya; Minangkabau, secara
bertahap mulai memperkenalkan kebun lada di daerah rantau seperti yang
terjadi di hulu Kampar, Indragiri dan Batang Hari.
Memasuki awal abad ke-17, Siak diperintah oleh saudara dari Sultan Johor
yang nampaknya dengan otoritas yang “tidak diakui,” sehingga ditahun 1662
Johor menggantikan dengan bentuk resmi, memerintah wilayah-daerahnya
melalui syahbandar,209 akan tetapi nampaknya tetap dapat menggunakan
kewenangannya dalam hulu tersebut; kekuasaan yang diperpanjang hingga
Tapung Kanan dan Kiri. Belanda merekam, bahwa dibawah Johor-lah
perdagangan dengan wilayah pedalaman kali pertama meredup. Joan van
Riebeeck, yang pada tahun 1665 saat mundur dari jabatannya sebagai
gubernur Melaka, setidaknya menjelaskan dalam MVO nya, yang juga penuh
dengan prasangka; bahwa,
“tidak ada yang penting dari Siak; hanya beberapa orang Melaka saja
yang kadang-kadang menyusuri sepanjang sungai Siak hingga

208
Lihat Schafer, "T'ang," hal. 109-120; Mote, "Yuan and Ming," hal. 174-175; Spence, "Ching,"
hal. 272-274; Needham, Science and Civilisation in China, IV, pt. 3, hal. 520; Yule, The Book of Ser
Marco Polo, I, hal. 80; II, hal. 204, 235; Tien, "Cheng Ho's Voyages," hal. 186-197; Wills, Pepper,
Guns and Parleys, hal.10.
209 E. Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602 tot 1865 Historische Beschrijving,

Batavia, 1870, hal. 33.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
148

pedalaman untuk mencari ‘bezoar’ dan membelinya dari sesiapa yang


tinggal di sana; orang-orang liar dan buas.” 210
Begitulah vonis Joan van Riebeeck terhadap orang-orang pedalaman.
Lanskap ini menyadari akan kemerdekaannya, dan mereka berniat
mempertahankannya dengan mengadakan perjanjian ataupun kontrak sendiri
dengan otoritas Belanda. Sebaliknya, sentuhan pertama Belanda dengan
orang-orang dari daerah ini merupakan kisah kemuraman belaka bagi
mereka. Pada tahun 1689 ia menandatangani kontrak dengan Johor, dengan
monopoli pada tertanggung Sungai Siak. Namun pangeran Siak
mengendalikan sendiri perdagangannya, sehingga untuk sementara waktu,
hanya sedikit saja keuntungan bagi kompeni. Salah satu pos di Tapung kiri
segera dihapuskan karena dipandang tidak menguntungkan.
Kompeni sendiri tidak memiliki kontak dengan pedalaman Siak, akan tetapi
mereka terus mencari yang terbaik dan menguntungkan bagi dirinya. Meski
begitu, perubahan keadaan yang terjadi bukanlah berasal dari Kompeni,
melainkan berasal dari orang-orang di pedalaman. Bahwa dengan
ditemukannya disepanjang sungai Siak; tambang timah, dan pada tahun 1674
mereka pun memperkenalkan sejumlah mineral tersebut ke Melaka.
Tampaknya hubungan dagang dengan Kompeni pun membaik dikarenakan
setelah diteliti bijih timah itu juga terbukti berkualitas baik, dan Kompeni
mulai mempertimbangkan untuk melakukan eksploitasi langsung. Awalnya
mereka puas dengan pembelian bijih yang dikirimkan ke Melaka. Dengan
pemimpin yang berbeda mereka menandatangani kontrak pengiriman timah
yang diyakinkan hanya kepada VOC semata.211 Kemudian mereka pergi
sendiri ke sungai itu untuk membeli mineral menjadi bukti bahwa mereka
begitu seriusnya ingin mengeksploitasinya sendiri. Akan tetapi, kondisi ini
nampaknya bukan tanpa resistensi; pada tahun 1677, pecah pemberontakan
di Rombouw dan Nanning, tetangga dari Melaka; pada tahun 1679, orang-
orang Bantam menyerang kantor Kompeni di Indragiri dan melakukan
penjarahan; pos yang segera saja ditinggalkan oleh Belanda, dan oleh karena

210
INSULINADE 1924 — 87, “IETS OVER DEN HANDEL VAN MIDDEN SUMATRA IN DE 17de EEUW,
dalam Colonial Collection(KIT), Leiden University Libraries.
211 Pada tanggal 14 Januari 1676, Kepala Kota- Renah, Kebon dan Giti menandatangani kontrak

untuk penyediaan eksklusif timah timah jatuh ke Oost Indische Compagnie (O.I.C), dan juga
berjanji pemimpin Tandun untuk mencoba membawa kontraknya dibawah bendera OIC di
Melaka. Lihat Hijman van Anrooij, 1885: hal.355.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
149

itu juga telah merusak hubungan antara Melaka dan Indragiri. Dimasa yang
sama, Belanda ternyata tengah melakukan peperangan melawan Makassar
dan begitu juga di pulau Jawa melawan Trunojoyo-1674 dan Banten.
Untungnya saja, bahwa perdamaian dengan Naning dan Rombouw telah
memberikan beberapa kelonggaran, dan pada tahun 1680, Belanda
diperkirakan berada di sana untuk berdagang kembali dengan Sumatera
Tengah, akan tetapi mereka memiliki kekhawatiran baru. VOC menerima
pesaing kuat dari Paduka Raja; penguasa kerajaan Johor. Pada tahun 1677,
Sultan kerajaan itu meninggal dan digantikan oleh sepupunya; Sultan Ibrahim.
Catatan Belanda menunjukkan bahwa sang Sultan Ibrahim memberikan
semua daya-upaya dan kekuatannya untuk Johor yang telah sangat menderita
sebagai hasil dari peperangannya dengan Jambi, dan itu, untuk
menghidupkannya kembali. Dan memang, ia berhasil melakukannya dengan
muncul dan berkembangnya perdagangan. Riau,212 dipilihnya sebagai
pelabuhan untuk perdagangan yang kuat antara Aceh dan Jawa. Ia tidak
merasa kuatir atas pengkapalan bijih timah yang diperuntukkan bagi VOC di
Melaka, dengan bertahan di sungai Siak dan membawanya ke pasar untuk
Bengkalis, dan kemudian di tempat itulah Riau kedepannya sebagai
pelabuhan penting. Dengan tindakannya ini Johor memiliki hubungan yang
menguntungkan yang sebelumnya telah diambil oleh VOC. Perlu pula dicatat
bahwa dasar pembenaran tindakan Johor ini memiliki beberapa alasan untuk
cenderung lebih kepada dirinya sendiri daripada memikirkan VOC dan
pemerintah Belanda; yang berarti Belanda ditengarai pada saat itu benar-
benar menikmati sikap egois mantan obligasinya tersebut. Hal ini mungkin
didasari juga dari kenyataan bahwa tanpa bantuan dari Johor, Belanda tidak
akan pernah bisa menaklukkan Melaka-Portugis pada tahun 1641. Selain itu,
pembentukan VOC di Melaka, sebuah lokasi yang terpenting untuk re-koneksi
yang terputus dengan Jawa, diperolehnya melalui bantuan yang efektif dan
diwujudkan oleh Johor. Hal ini mencerminkan bahwa disatu sisi
merefleksikan aliansi antara Johor dan Kompeni. Bahwa Belanda yang
memenangkan perang memperebutkan Melaka dengan Portugis, terus

212
Pada tahun 1673, kerajaan Johor melalui pelabuhannya di Riau, telah membuka dan menarik
begitu banyaknya pedagang asing Eropa dan Asia kesana. Para pedagang India Muslim, telah
membawa kain yang diminati oleh pedagang Minangkabau – dan diperdagangkan dengan harga
yang lebih murah dari apa yang ditawarkan oleh Belanda; bahkan mereka memperdagangkan
produk itu di muara Indragiri, bersaing dengan Belanda dalam perdagangan “emas-
Minangkabau”-nya.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
150

mengukuhkan kedudukannya di Melaka dan mengawal perdagangan serta


memberi kuasa kepada Kerajaan dan Orang Kaya Johor; kondisi ini
menjadikan kapal-kapal Johor atau asing bebas berlabuh di Melaka dan juga
Johor. Hubungan VOC–Johor ini bermula tahun 1642 yang nampaknya
menempatkan Belanda dalam posisi yang sangat berpengaruh dalam
perdagangan Johor.213 Akan tetapi, ketika Johor berperang melawan Jambi,
VOC menempatkan dirinya pada posisi netral dan bersikap pasif yang
berakibat pada hancur totalnya ibukota kerajaan pada tahun 1673. Netralitas
Belanda ini menjadi preseden buruk, dan kemudian Johor berupaya tampil
dengan semangat kewirausahaan dan kecerdikan Paduka Raja, dan sebagai
hasilnya, para tuan Belanda itu pun dipaksa untuk menyaksikan
perkembangan yang elok ini. Bahwa, kesepakatan VOC - Johor yang antara
lain juga memuat kawasan bebas bea, telah menyebabkan orang kaya Johor
menggunakan kesempatan dengan mengumpulkan hasil timah dan perak
untuk dipasarkan di wilayah bebas bea Johor; Belanda curiga, bahwa Johor
telah meraup keuntungan yang sangat tinggi dari kawasan ekspor bijih timah.
214
Selain itu, pada saat yang sama Johor telah menjadi pasar bagi tembaga
Jepang yang diperoleh dari Pattani melalui pedagang Cina, juga pembelian
kain di Melaka dari Coromandel. Belanda, sebenarnya tengah memperoleh
powernya disemua sisi, akan tetapi, ternyata lebih memilih untuk
menghindari konflik sehingga menegangnya hubungan tidaklah menyebabkan
pecahnya konflik terbuka dengan Johor. Akan tetapi, dengan dan menyetujui
tindakan Paduka Raja, perdagangan hampir-hampir saja terhenti antara
Melaka dan Siak; Siak saat itu sebagai sebuah kawasan yang sebenarnya
potensial bagi pengembangan perdagangan. Di kawasan pesisir Siak sendiri,
terdapat gambaran atas situasi masyarakatnya, tepatnya di Bengkalis,
sebagaimana dicatat oleh Bort215 pada tahun 1678 sebagai berikut:
Bengkalis, sebagaimana diketahui sebagai negeri yang berada di
bawah Johor, terletak di sebuah pulau yang berjarak sekitar satu mil
dari Pulau Sumatera; sebuah desa nelayan, dengan masyarakat yang
dipimpin oleh seorang pejabat Syahbandar yang mewakili raja Johor.
Meskipun sebagai suatu Kampung nelayan, terdapat juga aktifitas

213 R.J.Wikinon(ed.), 1971, Papers on Malay Subject.Kuala Lumpur: Oxford University Press,
hal.56.
214 Leonard Y.Andaya, Kingdom of Johor, 1641-1728, hal.10
215 Lihat E.Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870, hal.41

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
151

pesat dari orang Melayu, Jawa dan Moor; yang masing-masing datang
ke sana untuk melakukan perdagangan mereka sendiri dari pantai
Jawa, Palembang, Jambi, Inderagiri, Aceh, Keddah, Pera, Klang, Johor,
Pahang, Patani, Siam, Kamboja, Koetjin-China, dan juga orang-orang
Minangkabau, yang mendiami Sumatera, membentuk keramaian di
sana dan mengumpulkan banyak garam dan beras serta ikan yang ada
pada waktu tertentu setiap tahunnya, masyarakat Melayu di pulau ini,
terlihat kaum perempuan dan anak-anak di berkeliaran di sana-sini,
juga orang asli yang sangat bersemangat mengerjakan ikan kering
dan asin.
Pada tahun 1682 kembali terjadi kontak. Awalnya, orang-orang Minangkabau
di Sungai Siak melakukan pemberontakan terhadap Johor, dan Johor pun
paham dengan kepentingan kompeni dalam keberhasilan mengatasi
pemberontakan ini, lalu mereka meminta bantuan kepada Gubernur Melaka.
Belanda yang berharap untuk mendapatkan kembali kebebasan pelayarannya
di Siak, segera memutuskan untuk terlibat dengan mengirimkan kapal ke
perairan Bengkalis. Akan tetapi, nampaknya pergerakan ini dan hal lain
sepenuhnya tanpa pengaruh apa pun, dimana pemberontakan itu dapat
ditekan dengan segera.
Johor setelah melalui konfliknya dengan Jambi, memiliki satu
kebencian mereka terhadap Minangkabau, dan sesegera mungkin
mengetahui sosok pemimpin perlawanan ini; Raja Itam, dan berupaya
membunuhnya untuk segera memulihkan ketenangan.216
Walau begitu, sebagaimana dapat dimaklumi bahwa, dimana ada pertikaian
antar politi-politi pribumi, maka disana ada Belanda yang menari. kondisi
penuh komplikasi ini nampaknya menguntungkan bagi penjajah, Melaka pun
kembali bersentuhan dengan orang-orang yang berada di pedalaman
Sumatera. Pada tahun 1683 Gubernur Melaka mengirim kapal ke sungai Siak
kepada orang-orang Minangkabau di dataran tinggi untuk mengadakan

216
Dalam Memori-nya bertanggal 6 Oktober 1870, Gubernur Melaka, B. Bort, Menyatakan
bahwa tambang timah rakyat sebagai subyek tak bertuan yang berada di aliran Sungai Siak.”
Disepakatinya kontrak tanggal 21 Mei 1685 dengan Sultan Johor menghendaki Belanda untuk
tidak membuang sauh mereka melampui dari Pasir Sala, yang juga dinyatakan, “supaya
masyarakat-ku di Siak tidak bercampur dengan orang-orang Minangkabau, untuk kemudian -
tidak memperoleh permasalahan.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
152

hubungan perdagangan. Sebelumnya, pada tahun 1665, dari Padang diutus


dua orang pribumi penting atas nama VOC ke ibukota mengirimkan hadiah ke
sultan dan juga untuk menawarkan peluang baru. Tujuan dari misi ini adalah
“emas,” dengan koneksi perdagangan terhadap Pantai Barat dan sultan
sendiri sangat senang dan merasa terhormat bahwa otoritas Padang
menunjuknya sebagai khalifah. Sultan, juga memiliki alasan untuk merasa
senang dengan pengakuan resmi atas martabatnya oleh penguasa
pendudukan pantai barat; setelah otoritasnya itu telah lama dirusak oleh
pendudukan Aceh. Ia pun berjanji untuk memimpin duta perdagangan emas
dengan VOC ke Padang; akan tetapi, ternyata tidak ada satupun yang datang.
Kemudian segera saja perdagangan emas di Padang terhenti karena
kerusuhan di negara-negara di dataran tinggi Minangkabau. Dengan
hilangnya akses emas melalui pantai barat, diharapkan akan dibuka dari arah
Pantai Timur. Suatu perdagangan besar, bahwa Paduka Raja di sungai Siak
saat itu membentangkan teritorinya disana, sehingga kompeni merasa perlu
untuk mendirikan kantor permanennya di tempat itu.
Masih terdapat harapan bagi Belanda, terutama akibat dari salah
urusnya mereka atas perdagangan di Indragiri yang dimulai dari
dataran tinggi di sepanjang aliran batang Kuantan, hingga akhirnya
bergeser ke Siak.
Berkaitan dengan emas, jauh sebelum Belanda beralih dari Inderagiri ke Siak,
mereka tiba di Pantai Barat dalam upayanya mencari lada, dan segera
menyadari terdapatnya sejumlah besar perdagangan emas disana dan segera
memutuskan untuk ikut masuk kedalamnya guna berhubungan dengan
sumber pemasok perdagangan emas tersebut. Seperti Inggris kompetitornya,
Belanda memulai kesuksesannya dengan perdagangan emas di Tiku
Pariaman217 pada tahun 1651, namun Aceh, yang ingin mempertahankan
dominasinya atas pelabuhan disana, segera mendorong Belanda lebih jauh ke
arah Selatan: Padang, dimana pada tahun 1663 telah dilakukan “Perjanjian
Painan” untuk memberikan kepada Belanda Monopoli atas emas dan lada
dengan imbalan perlindungan Belanda terhadap orang-orang Aceh. Bahkan
setibanya mereka di Selat Melaka, Belanda pun tertarik untuk melibatkan

217
Willian Foster(ed), The Voyage of Sir James Lancaster to Brazil and East Indies 1591-1603
(London: The Hakluyt Society, II, LXXXV,1940),hal.113, The Voyage of Sir Thomas to East Indies in
1612-1614, 1934, p.271; Moeilink Roelof Asian Trade, p.22-23, 92-93.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
153

dirinya dalam jalur perdagangan emas kearah timur pegunungan


Minangkabau. Bahwa sungai Indragiri yang terletak paling timur dari tiga
sungai besar jalur perdagangan, merupakan pelabuhan utama bagi
perdagangan emas Minangkabau,218 akan tetapi persaingan bangsa asing
telah menghambat kemajuan perdagangan disana. Setidaknya, hal ini setelah
Belanda melakukan akuisisi di pantai Koromandel-India dalam upaya
bargaining atas emas di jalur tersebut. Pada tahun 1658, dikirimlah utusan ke
Indragiri untuk menjajaki bahwa dimaksudkan pada pelabuhan Indragiri yang
cukup dengan persediaan emas untuk rute Karomandel; Pada tahun 1663,
Minangkabau dari Tanjung dan Kuamang bulat-bulat menyatakan bahwa
mereka lebih suka perdagangan melalui Indragiri daripada di Jambi, sebagian
karena di sana mereka bisa berurusan dengan raja "Melayu", sedangkan di
Jambi ada “penguasa Jawa,”219 selain itu, nampaknya sudah diketahui pula
bahwa harga yang lebih tinggi untuk emas bisa diperoleh di Inderagiri, selain
di Bengkulu, dan khususnya Palembang 220; dan pada tahun 1664, Kompeni
mendirikan “pos” di muara Indragiri yang diharapkan dapat melakukan
kontrol atas pengiriman emas yang melintas disana. Pada masa yang cukup
baik tersebut, dilaporkan bahwa di sana berdiri dua-ratusan rumah; sebagai
tempat yang indah dan cukup ramai dengan hadirnya para pedagang. Sejak
saat itulah Belanda merupakan satu-satunya partner dengan pedalaman
Minangkabau dalam hal perniagaan emas; bahwa Belanda telah memonopoli
perdagangan emas! Akan tetapi, masa kejayaan perdagangan emas Belanda
– pedalaman Minangkabau di Indragiri ternyata tidak berlangsung lama. 221
Sebagaimana telah disampaikan, perselisihan terutama antara pedalaman
dan Indragiri sendiri membuat perdagangan tersebut dialihkan ke Sungai Siak.
Belanda tidaklah menyangka, ternyata situasi perdagangan di Indragiri
nampaknya jauh lebih “buas” dari apa yang terjadi di Pantai Barat. Hingga
abad ke-18, ketika terjadi bencana alam diwilayah Tanah Datar yang selama

218 Cortesau, “Suma Oriental of Tome Pieres, An account of the east, from the red sea to china.
Written in Malacca and india in 1512-1515. And the book of fransisco rodrigues Pilot-major of
the armada that discovered Banda and the Moluccas, Published by J.Jetlet For Asian Educational
Services, pada hal. 153, dikatakan, “Indragiri is an important kingdom. It has a fair number of
trading people, and people go there from many place to trade. It is the chief port of
Menangkabau.”
219 VOC 1087 Jambi to Batavia, 2 Dec. 1625, fols. 154v, 156v; 1243 Jambi to Batavia, 12Jan. 1663,

fo. 9; Andaya,1993.
220 VOC 2133 King ofJambi to Batavia, rec'd 28 Sept. 1729, fo. 74; Andaya,1993.
221 Lihat Kielstra, “De Afeeling Indragiri,” dalam Onze Eeuw, Jaargang 15, 1915. Hal.33.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
154

ini menjadi basis penghasil emas, semua pun menjadi berbeda. Masa
achteruitgang (penurunan) ini pun menjadi tidak terelakkan lagi. Meskipun
perdagangan emas dari Indragiri telah dialihkan ke Siak, sayangnya dengan
terjadinya kelangkaan suplai dari pemasoknya: Tanah Datar, hanya sedikit
saja emas yang dapat diperdagangkan. Hingga di era tahun 1770-an,
nampaknya dalam perdagangan emas, Belanda benar-benar telah collaps.222
Bahkan, laporan tahun 1785 atas perdagangan di Riau yang didominasi orang
Bugis, tidak lagi menyebutkan produk emas yang berasal dari dataran tinggi
Minangkabau.223
Penurunan perdagangan emas berarti beralihnya Minangkabau
menuju perdagangan lainnya, dan nampaknya ini dengan pihak asing
lain: Inggris.
Bahwa di tahun 1751 dan 1755 Inggris telah menguasai Pantai Barat, Natal
dan Tapanuli. Natal sebagai magnet yang telah menarik para pedagang pantai
barat kesana dengan hanya satu hari perjalanan berperahu dari Air Bangis
dan banyaknya kain yang diperdagangkan dari Karomandel dan lebih murah
dari yang terdapat di Padang224. Inggris pun memperoleh akses siginifikan
terhadap perdagangan Minangkabau, terutama setelah perang Eropa 1781-
1785 yang membawa Inggris sebagai “tuan” di Padang. Jika Luhak Agam
memperdagangkan kain dan garam, maka luhak lainnya: Limapuluh,
nampaknya berbalik menuju pegunungan arah ke pantai timur dan cenderung
untuk melakukan perdagangan eksternal daripada internal. Luhak Limapuluh,
dengan mengandalkan jalur melalui anak-anak sungai Siak dan Kampar,
segera melakukan perdagangan keluar terutama menuju pelabuhan bebas
Penang yang dibangun dan dikuasai EEIC pada 1786. Pelabuhan tersebut,
segera saja banyak menarik para pedagang dan memulai perniagaan besar
dari “dunia Melayu”, dimana disana banyak terdapat kain dari Karomandel
sebagaimana yang diminati oleh pedagang Minangkabau. Perdagangan
menemukan pijakan baru, tidak lagi berbasis emas melainkan gambir.
Perdagangan ini berpusat di Petapahan, dimana perahu pedagang

222
Two Dutch Governors Reports, “Journal of tha Malayan Branch of Royal Asiatic Society
(hereafter JMBRAS), XXVII,I,(1954), hal.28-29,31. Lihat juga “Courant”, 5 November 1829,
kemudian dalam Indisch Magazijn, II,2, 1845. “Cousperus “Goudproduktie.”
223
“Trade in the Straits of Malacca in 1785”. A morandum by P.G.De Bruijn, Gouvernor of
Malacca, JMBRAS, XXVI, 1 (1953), hal.55.
224 “Consideratie,” pars, 234-246

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
155

Minangkabau pulang dengan membawa kain dan garam yang akan memasok
pasar Minangkabau. Sebagaimana disebutkan pada Juli 1787, sebuah perahu
dari hulu Siak dengan muatan utamanya Gambir, dicatat sebagai yang
mendominasi perdagangan Selat yang dibawa dari Limapuluh Kota 225. Tidak
seperti perdagangan garam di Luhak Agam, maka Gambir nampaknya tumbuh
dengan pesat; realita bahwa gambir dapat ditanam pada areal pegunungan
yang tidak dapat ditanami padi, menjadikannya sebagai tanaman yang lazim
dijumpai pada era ini, bahkan dengan tanaman kopi yang saat itu tidak begitu
sukses, pertumbuhan tanaman Gambir nampaknya patut memperoleh
kecemburuan dari produk lainnya disana. Selain itu, era perdagangan Gambir
menyebabkan Penghulu yang wilayahnya dilintasi arus perdagangan gambir,
ikut memperoleh keberkahan dari biaya tol yang dikeluarkan para pedagang;
seperti Penghulu Pangkalan Kota Baru. Seiring berjalannya waktu,
perdagangan pedalaman Limapuluh kota via Pantai timur berkembang lebih
luas dari sumbu awalnya, Petapahan-Penang. Tercatat juga bahwa pedagang
Bugis turut melakukan perdagangan ke Sungai Siak dengan sejumlah besar
nilai perdagangan dari rute Minangkabau-Petapahan. Bahwa kisah
perdagangan ini menunjukkan terjadinya kontak intensif antara pedalaman-
Minangkabau dengan komunitas di sepanjang rute perdagangan, hingga ke
Semenanjung. Sebagaimana diketahui, Siak menyediakan rute pendek ke
pedalaman dibandingkan dengan yang rute lain yang berdekatan seperti;
Kampar. Adapun pengaruh Johor terbatas pada area di hilir Sungai strategis
Tapung-Kiri.226 Pada umumnya adalah pedagang Minangkabau yang
melakukan perdagangan sungai, menyampaikan lada, emas dan timah kepada
syahbandar Johor yang ditempatkan di Bengkalis dalam kegiatan pertukaran
dengan garam dan kain.227

225 Dobbin, 1977, hal.20


226 Leonard Andaya, The Kingdom of Johor, 1641- 1728, Kuala Lumpur, 1975, p. 222; Van Anrooij,
«Nota omtrent het Rijk van Siak», hal. 262-3.
227 G. Du Rij van Beest Holle, «Aanteekeningen betreffende de Landschappen VI Kotta Pangkallan

en XII Kotta Kampar», TBG, 24 (1887) hal. 398-9; Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 104.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
156

Gambar 4.1.Dari Dataran Tinggi menuju hilir Siak via Senapelan


Sumber: dalam “Syair Perang Siak” oleh Donald Goudhie,1989.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
157

Bagian paling penting dari hulu Siak dalam hal sumber daya baik tenaga kerja
dan produk, adalah Sungai Tapung Kiri yang terletak di luar otoritas Johor. Ini
menempatkan tambang timah Petapahan, Kabun dan Tandun, melalui bagian
hulu Sungai Kampar Kanan, untuk era emas Minangkabau di dataran tinggi.
Patapahan juga sebagai sebuah pelabuhan sungai penting, yang arah agak ke
hilirnya dihubungkan dengan jalan setapak di Taratak buluh di Sungai Kampar
Kanan, yang kehulu mengarah ke tanah makmur pusat pasar dataran tinggi
Payakumbuh melalui Pangkalan Kota Baru. Selain rute melalui Sungai Siak,
jalan setapak yang sama dari Patapahan ke Taratak buluh menawarkan
komunikasi alternatif dengan pantai, menyusuri Sungai Kampar via
Pelalawan.228
Dapat terlihat, bahwa daerah darat ini tetap sangat independen dari
kontrol otoritas pesisir.
Bahkan, di Patapahan para penghulu (kemudian bendahara) diklaim sebagai
perwakilan penguasa Pagaruyung dan, seperti kepala negeri sekitarnya,
mengirim upeti tahunan kepada penguasa pegunungan tersebut. Pada tahun
1692, Akirsama, yang mengaku sebagai putra penguasa di Pagaruyung, tiba
untuk memulihkan hubungan baik antara Kabun dan Patapahan dan
mencegah gangguan lebih lanjut terhadap kegiatan perdagangan. Koneksi
lanjutan antara rantau dan jantung Minangkabau berarti bahwa otoritas Siak
di hulu tergantung pada pengaruhnya terhadap penghulu, dan ini berarti
mereka tidak bisa berlaku sewenang-wenang.229

Sebagaimana diketahui, pada tahun 1676, Gubernur di Melaka, Balthasar


Bort, mengadakan perjanjian dengan kepala Kota Rena(Pangkalan Bahru-
Dataran Tinggi) Kabun dan Gitti(Tapung) untuk menduduki rute utama ke
dataran tinggi. Kemudian untuk menfasilitasi perdagangan dengan daerah-
daerah tersebut, diadakan sebuah perjanjian lanjutan dengan empat negeri
penting di lokasi strategis Patapahan.230 Pada tahun 1701231, 1703232 dan

228
Lihat Oki, «The River Trade», Map 4-1, hal. 15.
229 Andaya, The Kingdom of Johor, hal. 133, 222.
230 Netscher, “De Nederlanders in Djohor en Siak,” hal. 39-40; Générale Missiven, 5, 13 Feb. 1679,

hal. 302.
231 Briefje door den heer gouverneur Phoonsen tot Malacca aan den Dato Bandhara tot

Pattapahan geschreven, NA.1.04.021648Malakka,140-141;145-146.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
158

1706233, Datuk Petapahan mengirimkan surat ke Melaka, dan kelanjutan dari


korespondensi ini nampaknya pada bulan Mei 1706, asisten Nicolaas van
Cuijlenbuurg dan onderstuurman Abraham Boone memimpin suatu komisi
menuju Petapahan dalam suatu pertukaran antara kain dengan timah dan
emas. Meskipun Belanda tidak mendapatkan kontrol yang efektif atas
persediaan dari negara-negara merdeka Minangkabau234 dan hubungan yang
ambigu dengan Johor, telah memberikan kesempatan bagi Melaka untuk
memiliki pangsa perdagangan. Selain produk utama mineral dan merica,
Belanda bersaing untuk pembelian hasil hutan seperti elang, dan kayu gaharu;
resin, bambu, bee'swax, getah perca (getah perca dari Palaquim getah) dan
bezoar, konon nilainya mencapai sepuluh kali harga emas. Siak juga
merupakan sumber penting kayu untuk perbaikan kapal di Melaka.
Sebelumnya, pada tahun 1683-4, Thomas Dias, seorang Portugis, memimpin
misi Belanda dari Melaka ke ibukota Minangkabau di Pagaruyung untuk
kepentingan mengamankan kerjasama hulu melalui pembentukan hubungan
dengan penguasa Minangkabau, tetapi gagal dalam tujuan jangka panjang.235
Populasi besar di dataran tinggi Minangkabau pun dicatat oleh Tomas Dias,
orang Eropa pertama yang mencapai darek Minangkabau itu. Meskipun angka
itu bisa saja meningkat, mereka memperkirakan terdapat populasi besar di
pedalaman Sumatera bagian tengah. Dia melaporkan bahwa ada sekitar 300
raja atau kepala pemukiman, dan bahwa Air Tiris memiliki populasi 10.000
orang di antaranya 500 orang adalah pedagang. Di istana penguasa
Pagaruyung sendiri hidup sekitar 8.000 orang. Sebuah laporan Belanda pada
tahun 1696 menegaskan kehadiran populasi besar di pedalaman. Pagaruyung

232
Translaat missive door den Dato Bandhara van Pattapahan en de hoofden der vier dorpen aan
den heer gouverneur Phoonsen en raad geschreven (ontfangen den 11 Junij 1703 per burger
chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 212-213; Seven agter de anderen geschreven translaat
brieven van den Dato Bandhara tot Pattapahan aan den gouverneur en raad tot Malacca
geschreven (ontfangen den 21 Maart 1703 per burger chialoup); NA.1.04.028684.Malakka2, 44-
51.
233
. Vier briefjes over de Malacxe regeeringe aan den Sabandhaar van Sambouwer, den Dato
Bandara van Pattapahan en de Pangoelos van Calang en Salangoor (ontfangen den 26 Maij 1706
per borger vaartuijg), 1.04.028594.Malakka1, 63-65.
234
Coolhaas, Générale Missiven, 5, 13 Dec. 1686, hal. 50.
235 F. de Haan, «Naar Midden Sumatra in 1684», TBG, 39 (1897) hal. 327-66; Générale Missiven,

4, 12 Feb. 1685, hal. 764-5.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
159

memiliki 1.000 orang; Suruaso 4.000; Padang Ganting 10.000; dan Sungai
Tarab (atau Padang Tarab) 1,000.236 Thomaz Diaz mencatat,
bahwa belumlah mereda ketegangan yang terjadi antara kerajaan di
pegunungan itu dengan Kerajaan di Semenanjung Malaya
sebagaimana terekam pada tahun 1682.
Disebutkan, Raja Pagaruyung mengklaim pelabuhan di tiga lanskap sebagai
wilayah kekuasaannya dimana Raja mengizinkan kompeni untuk dapat
melakukan perdagangan disana; Petapahan, Siak dan Indragiri, hal yang
dengan sopan dibantah sang utusan Eropa tersebut bahwasanya tempat
dimaksud dikuasai Johor dimana kompeni mengadakan perjanjian
dengannya237; dan Raja Pagaruyung pun mengatakan:238
“Kepada anak-anak Raja Johor aku sudah ijinkan Siak sebagai tempat
tinggal dan tempat bercengkerama mereka, tetapi kini tidak lagi
demikian karena Paduka Raja telah berlaku buruk serta berkhianat
terhadap keponakanku Raja Hitam, dan kepada Raja Johor yang sudah
mengatakan bahwa Siak termasuk daerah kawasannya, saya minta
Raja Johor memberikan bukti bilakah kawasan itu diberikan kepadanya
sebagai miliknya. Kemudian Indragiri adalah antek saya tetapi telah
berdiri sendiri dan memberontak, akan tetapi kawasan Indragiri 239
hingga ke tepi laut adalah milikku, dan Raja setempat belum lama ini
telah mohon ampun kepadaku, yang tidak aku berikan, dan aku juga
tidak sudi menerima upeti apa pun darinya.” 240

Tidak kurang berhasilnya adalah upaya Laksamana Johor, Paduka Raja Abdul
Jamil yang menyudutkan perdagangan hulu Siak dalam menghadapi
persaingan Belanda. Pada tahun 1689, perwakilan dari Kuo dan Air Tiris, dua

236 Haan, “Naar Midden Sumatra,” 355–6; Andaya, History of Johor, 111. Part of “Naar Midden
Sumatra,” which was a journal of Tomas Dias, telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh
Drakard, “A Mission,” 152–61.
237
Bahwa antara Djohor dan V.O.C.(Kompeni) mengadakan perjanjian persahabatan dan
perdagangan yang meliputi hingga hulu Sungai Siak.
238 Bahwasanya Johor melakukan perjanjian dengan kompeni di wilayah Siak sehingga Pasir Sala;
239 Netscher, 1870, Lamp.33
240
Lihat Timothy P. Barnard, “Thomas Dias: perjalanan ke Sumatera Tengah pada tahun 1684”.
Dalam: Harta Karun. Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta,
dokumen 1. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia, 2013.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
160

dari empat negeri di sekitar Patapahan, tiba di Melaka meminta untuk


perdagangan dan perlindungan, hal yang bertentangan dengan aliansi mereka
sebelumnya dengan Paduka Raja Johor.241 Rivalitas dan perselisihan
intermiten antara Patapahan dan Kabon berlanjut dan akhirnya berpengaruh
terhadap perdagangan. Laksamana berusaha untuk menarik sumber daya
Minangkabau ke Bengkalis dengan mengangkat penghulu di Patapahan
dengan status bendahara. Pada saat yang sama, ia mengembangkan outlet
perdagangan alternatif di Kampar.242 Akan tetapi langkah-langkah ini gagal
untuk memecahkan fluiditas hubungan darat-pesisir yang diperburuk oleh
gejolak politik menyusul terjadinya pembunuhan raja di Johor pada tahun
1699.243 Meskipun demikian, hubungan langsung antara VOC dan Petapahan
itu, berdampak memunculkan ketegangan antara Belanda dan Johor,
terutama menyangkut pengakuan tentang arah kesetiaan Petapahan,
ketegangan yang muncul pada awal abad ke-18.244 Kondisi ini juga timbul
sebagai akibat penafsiran berbeda atas ayat 3 perjanjian VOC-Johor tahun
1689.245 Raja Muda Johor menolak pandangan bahwa warga bebas Belanda
dari Melaka diperbolehkan masuk ke kawasan Sungai Siak untuk berdagang,
dan juga menolak kehadiran mereka di Patapahan. Ayat 4 dari perjanjian
1689 mengizinkan “kapal dari Melaka” untuk singgah dan berdagang di
Patapahan dengan membayar pajak kepada syahbandar Johor. Johor
berpendapat bahwa ayat 3 menetapkan yang berhak untuk datang dan
berdagang di Siak hanyalah bagi VOC, dan tidak untuk warga bebas Melaka,
dan mereka juga menyatakan bahwa rakyat Patapahan adalah hamba Johor.
Sebaliknya, nampaknya VOC tidak sepakat dan mengatakan bahwa rakyat
Patapahan menyerahkan upetinya kepada raja Minangkabau dan bukan
kepada penguasa Johor.

241 Générale Missiven, 5, 30 Dec. 1689, pp. 320-21; Andaya, The Kingdom of Johor; 146.
242 Andaya, The Kingdom of Johor, pp. 146-7; Générale Missiven, 5, 11 Dec. 1692, hal. 535; N.
MacLeod, «De Oost-Indische Compagnie op Sumatra», pt.7, De Indische Gids, (1907) i, hal. 788-9,
792.
243
Andaya, The Kingdom of Johor, 1641-1728: Economic and Political Developments. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1975 hal. 173-4, bag. 8-10.
244 Andaya, Kingdom of Johor,hal. 222-223.
245 Netscher; hal.46. lihat juga Peter Borschberg, “Surat dari Raja Johor, Abdul Jalil Shah IV (1699-

1720), kepada Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck, 26 April 1713”. Dalam: Harta Karun.
Khazanah Sejarah Indonesia dan Asia-Eropa dari Arsip VOC di Jakarta, dokumen 7. Jakarta: Arsip
Nasional Republik Indonesia, 2013.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
161

Gambar 4.2. Rute (tua) perjalanan Thomas Dias.


Sumber: Schnitger, 1935.

Sejarah mencatat, bahwa peran besar berlaku untuk Raja Kecil (1716-1746),
yang mengaku sebagai anak dari raja terbunuh Sultan Mahmud dari Johor
(1685-1699), untuk membawa hulu Siak kepada hubungan yang lebih dekat
dengan otoritas pesisir. Raja Kecil, diyakini telah dibesarkan di istana
Pagaruyung, mengaku memperoleh mandat agung dari kerajaan Melayu yang
terkenal di kedua ujung jaringan pertukaran, dihulu diperolehnya dari
penguasa Pagaruyung, dan di pesisir sebagai klaim keturunan raja Johor
terbunuh, “Marhum Mangkat di Julang.” Upaya awal Raja Kecil, tentunya ia
menggusur perwakilan Raja Johor di hilir Siak. Hubungan penguasa yang baik
dengan Minangkabau telah membantunya untuk mendirikan pengaruh pesisir
di wilayah pegunungan, hal ini juga berarti bahwa pada era awal berdirinya
Siak, lanskap hulu tetaplah merdeka, lepas dari kooptasi kekuasaan hilir
seperti; Tapung. Kehadiran Siak, nampaknya membawa peregangan antara

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
162

Belanda dengan negeri pedalaman, seperti ditunjukkan oleh dua putra Raja
Kecil; Raja Alam dan Raja Mohamad. Tahun 1752, Jan Frederik Bierman
dengan suatu kargo senilai 60.000, diutus oleh Melaka ke Sungai Siak untuk
membeli emas. Akan tetapi, ketidakpastian situasi keamanan di negara-
negara pedalaman telah mencegah menghilirnya emas, dan Bierman pun
kembali ke Melaka tanpa hasil. Kemudian, Onderkoopman Wiederholt diutus
ke Siak, ia pun kembali dengan hasil yang tidak menguntungkan Kompeni-
Melaka. Perundingan Raja Alam dengan Wiederholt, selain tidak
menguntungkan, juga dikatakan Netscher bahwa bahasa Raja Alam yang
menyatakan,
“….jika Kompeni memberinya seratus tong mesiu dan empat ratus
peluru, maka ia akan melindungi Kompeni dalam kehidupan
persahabatan dan perdagangan”; dirasa sebagai ‘agak terlalu
bertentangan dengan martabat dan kedaulatan Kompeni,’ sosok yang
telah lama mendominasi Selat Melaka.”
Pernyataan Raja Alam ini, sebenarnya merupakan sikap Raja Alam yang
menganggap ayahnya; Raja Kecil, sebagai penguasa sah Johor.246 Rivalitas
sengit di Selat antara Siak dan Johor, dimanfaatkan Kompeni-Melaka untuk
kemudian membenturkannya, dengan hasil; Raja Mohamad pun bertahta
kembali di Siak pada 1755.247 Kompeni kemudian menempatkan posnya di
Pulau Guntung, dengan seperangkat kebijakan monopolinya yang jelas-jelas,
telah menyebabkan kesulitan tersendiri, sunyinya perdagangan. Kondisi itu
menyuburkan perompakan, hingga akhirnya pecah peristiwa Pulau Guntung
tahun 1759.248 Belanda, benar-benar melaksanakan aksi pembalasan pada

246 Netscher, 1870: hal.79.


247
Aliansi Sultan Sulaiman dari Johor, Raja Mohamad dan Melaka dengan dukungan militer dari
Batavia: pada tanggal 13 Agustus 1755, armada Radja Alam dan Daeng Kamboja dikalahkan dan
juga diberitakan bahwa ia menyingkir ke wilayah Linggi yang berjarak 20 mil sebelah utara dari
Melaka Lihat Netscher, hal.79-82.
248 Mengenai peristiwa Pulau Guntung ini, sebagamana dituliskan oleh Anderson pada tahun

1823, bahwa dalam ekspedisinya ke Sumatra, salah seorang pembesar Siak menunjukkan
kepadanya keris yang dikatakan sebagai milik dari kakek buyutnya salah seorang dari empat
Datuk yang terlibat dalam peristiwa Pulau Guntung: dimana pada keris itu masih terdapat bercak
darah dari orang Belanda yang dibunuhnya. Kisah ini sendiri, pada awalnya diberitakan terjadi di
tahun 1738, dimana bermula di tahun 1730 melalui serangan Belanda, raja Siak (Raja Alam)
digulingkan dan kemudian sebagai penggantinya, adalah Raja Buwang ditempatkan diatas tahta.
Sebagai “tanda terimakasih” atas bantuan ini, maka diberilah bagi Belanda tempat untuk
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
163

tahun 1761, melakukan penyerbuan ke Siak dan Raja Alam pun kembali
bertahta.249 Bagi Belanda sendiri, nampaknya ikhwal mengembalikan Raja
Alam di tahta Siak ternyata tidak menimbulkan berkah bagi negaranya,
dibuktikan dengan surat dari Dewan Melaka kepada Batavia tanggal 29 Maret
1763; yang isinya hanyalah keluhan tentang hambatan atas perdagangan di
hilir dan pedalaman, Kompeni karenanya tidak bisa menarik keuntungan atas
hak Siak, karena biaya pos untuk Pulau Guntung masih cukup besar. Belanda
tidak menyangka, ternyata Raja Alam tidak membantu mereka untuk
menekan perdagangan di negara-negara pedalaman. Petapahan pada waktu
itu merupakan pasar yang besar, di mana para pedagang dari pedalaman
Sumatera menyediakan barang–barang yang bernilai dipasaran. Karena
tempat itu dirasa tidak lagi memadai bagi Raja Alam, maka ia pun pada
pertengahan tahun 1763 dengan satu kekuatannya beralih ke sana,
kemudian mendorong pasar ke bangsal danau yang terletak di Sungei Pelam,
250
dan berlepas dirinya dari keluhan-keluhan serius terhadap pos yang
dibangun oleh Gubernur dan Dewan Melaka, yang dijawabnya bahwa ia akan
bertindak di pedalaman dengan baik. Pada bulan November 1763, D.A.
Neufville dan seorang boekhouder Van Moesbergen yang diutus menemui

mendirikan loji di Pulau Guntung, yang terletak 6 km dari muara sungai. Akan tetapi, delapan
tahun kemudian, tepatnya tahun 1738, Raja Buwang dengan sejumlah 25 kapal perangnya,
mendekati Pulau Guntung dan berlabuh disana. Komandan Belanda, menyambut sang raja yang
didampingi empat Datuk tanpa kecurigaan, dan kemudian Raja Buwang duduk disamping
komandan tersebut. Yang terjadi selanjutnya, Raja Buwang menusukkan kerisnya tepat di dada
komandan, kemudian bersama dengan para Datuk, membunuh seluruh perwira yang ada dalam
ruangan tersebut. Ini belum berakhir, melalu tanda yang telah disiapkan, menyerbulah para
pasukan dari atas kapal menuju loji Belanda, dan pembantaian pun terjadi. Diberitakan bahwa
sejumlah 180 orang Belanda tewas dalam peristiwa tersebut. Akan tetapi, Milles meragukan
keakuratan cerita tersebut, dan melakukan penelitian terhadap arsip-arsip Belanda tentang
V.O.C. Dari hasil investigasinya, ia menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut tidak terjadi di tahun
1738, melainan pada tanggal 6 November 1759, dimana di loji Belanda di Pulau Guntung;
HENDRIK HANSEN, telah “dikhianati” oleh Raja Buwang, dan mengakibatkan pembantaian atas
sekitar 65 orang Belanda, dengan diperkirakan terdapat sejumlah 8–9 orang berhasil lolos dan
menyelamatkan diri. Lihat Maandelijksch overzigt der Indische letterkunde. De munten der
Engelsehen voor den Oost-Indische Archipel, Beschreven door H.C.Millies. Amst.1852; dalam
Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg.16, 1854 (1e deel), No.2 tanggal 1 Januari 1854, hal. 140-141.
249 Perjanjian tanggal 16 Januari 1761, antara Raja Alam dengan Melaka(lihat Bab 6).
250 Sungai Pelam ini, dikatakan juga Chinapella atau Senapelan, lihat Netscher, 1870, juga

Pof.Suwardi,MS dan Drs.Isjoni,MSi, dalam “Kota dan Dinamika Kebudayaan: Peluang dan
Tantangan menjadikan Pekanbaru sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara 2021,”
Makalah disajikan pada Konferensi Sejarah Nasional VIII di Jakarta, November 2006.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
164

Raja Alam di Sungei Pelem, memintanya untuk membayar hutang guna


memacu perdagangan Kompeni; dan mereka pun menerimanya dengan
beberapa catatan. Pada Maret 1764, Pos Guntung diperkuat dengan empat
belas orang dan juga di antaranya; onderkooplieden E. Cramer dan
A.F.Lemker yang diutus kepada Raja Alam, dan mencoba membujuknya untuk
kembali ke negeri yang terletak lebih ke hilir, dan untuk membuatnya berada
pada posisi yang bersesuaian dengan Kompeni. Akan tetapi, mereka
menemukan Raja Alam masih tetap berada di Petapahan dimana disana ia
memiliki banyak peluang, sehingga dapat dipahami betapa ia membenci
bujukan tersebut. Para komisaris juga melihat bersikerasnya Raja Alam yang
akan memperkuat Mapoera (Siak); karena untuk beberapa waktu terdapat
rumor yang sangat meresahkan; sebuah rencana penyerangan terhadap VOC
di wilayah Siak, dalam hal ini Pos Pulau Guntung dalam bahaya besar dan
sedapat mungkin harus dipotong dari semua hubungan, baik dengan laut
maupun pedalaman.251 Satu hal lagi, sebelumnya, tepatnya pada tahun
1762, sebagaimana juga di tahun 1731, VOC di pantai barat telah membuat
kesepakatan dengan raja Minangkabau, untuk menutup perdagangannya
pada rute pantai timur, dan mengalihkannya ke Padang, hanya saja mengenai
implementasinya tidaklah diketahui secara pasti.252 Jika melihat sepak-terjang
Raja Alam, maka, secara politis mungkin dapat dipahami alasan kebijakan
VOC tersebut.
Menjelang akhir 1765 atau awal 1766 di Senapelan yang terletak di Sungai
Siak, Raja Alam wafat dan digantikan oleh putranya Mohamad Ali, dengan
gelar Sultan Abd'oeldjalil Moealim Shah. Mohamad Ali datang dalam kondisi
yang sulit bagi pemerintah Hindia. Selain itu, ia telah kehilangan dukungan
yang besar dari Kompeni dengan penutupan pos di Pulau Guntung. Bahwa
pendirian Pos Kompeni disana tidak menghasilkan apa-apa kecuali hanyalah
kerugian belaka, sehingga diputuskan untuk menutupnya, sebagaimana
pemerintah Melaka berulang kali telah menyatakan untuk menentangnya.
Eksekusi terhadap penutupan Pos berlangsung di bulan Oktober 1765, di
bawah pengawasan dari seorang pejabat fiskal; Richardson, dan Belanda
mengatakan faktor penyebabnya adalah Raja Alam. Alasan utama mengapa
Pulau-Guntung tersebut ditinggalkan, dapat dilihat dari tujuan pembentukan

251
Netscher, 1870: hal.131-132.
252
GM 2-2-1731, Generale 9 (1988:212); GM 31-12-1762, ARA, VOC 3031,f,954rv,
Colimbijn,2005;13.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
165

pos itu sendiri sebagai pendorong kebangkitan perdagangan Kompeni di


sungai Siak; tidaklah tercapai. Bangunan Perusahaan dihancurkan, juga kanal,
dan semua barang Kompeni dipindahkan ke Melaka. Di situs eks pos
tersebut, kemudian dibangun batu berukir yang menandai bahwa pernah
berdirinya Kompeni disana. 253
Konsolidasi kepentingan darat-pesisir dicapai oleh independensi dinasti
Melayu yang didirikan oleh Raja-Kecil ini, selama paruh kedua abad ke-18
terancam dengan akrobat politik di Siak. Meningkatnya upaya penguasaan
pada urusan hulu segera saja berakibat pada terprovokasinya konflik di
Patapahan. Selama masa Sultan-Yahya (1781-1791), seorang pangeran Siak-
Arab terkenal, Said Ali, putra dari Said Osman, berusaha untuk dapat lebih
mengendalikan Patapahan sebagai sebuah situs besar yang akan memberikan
banyak pemasukan. Dengan pasukan yang dikerahkan dari Pekanbaru,
serangan diluncurkan ke Petapahan. Penghulu Petapahan, berhasil meminta
bantuan kepada orang-orang pedalaman V Koto Kampar dengan tokohnya
Haji di Padang, yang juga memiliki kepentingan untuk memastikan bebasnya
arus perdagangan hilir, dan kemudian pasukan gabungan dari hulu tersebut
berhasil memukul mundur Said Ali, dan ia kembali ke Pekanbaru. Bersama
Mohamad Ali, mereka menulis surat kepada Sultan dan Raja Muda. Raja
Muda(Tengku Endoet), kemudian menuju Petapahan; Haji di Padang
mengemukakan bahwa perlawanan itu bukan ditujukan kepada Sultan Siak,
akan tetapi hanya kepada Said Ali yang telah lebih dahulu melakukan
penyerangan. Bagaimanapun juga, Raja Muda melakukan perdamaian, dan
Said Ali pun kembali ke Tanah Lungguhnya di Bukit Batu. 254 Petapahan
mampu mempertahankan kemerdekaan tradisionalnya, hingga tahun 1858
ketika dibawa di bawah kekuasaan Siak oleh perjanjian Belanda. Hanya
kemudian adalah seorang bendahara ditunjuk sebagai wakil penguasa dan
pos tersebut diisi oleh Said Hamid, putra Said Abdul al Rahman.255 Pada
awalnya, kemandirian Tapung, telah bergeser masuk dalam pengaruh raja
Kota Intan, menurut tradisi lisan bahwa seorang pembesar kerajaan Siak,
karena suatu hal telah bermigrasi ke Kota Intan, kemudian ia dan
keturunannya menjadi penguasa Kota Intan. 256 Terdapat ungkapan,

253 Netscher, 1870: hal.133.


254
Netscher, tahun 1870, hal.140
255 Van Anrooij, «Nota Omtrent de Rijk van Siak», hal. 354, 357-9.
256 Hijman van Anrooij, hal.356-357.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
166

“beraja ka Siak, bertuan ka Kota Intan.”


Meskipun demikian, hubungan Siak dan Kota Intan ternyata menyimpan
ketegangan, yang nampaknya ketegangan itu meledak ditahun 1876. Pada
hari-hari terakhir tahun 1873, Sultan Siak beserta F.W.H.van Hedemann dan
beberapa orang lainnya dari Batavia, telah melakukan sebuah kesepakatan
suatu konsesi pertambangan timah dan mineral lainnya selama 75 tahun di
lahan yang terletak di hulu sungai Siak yang berada di Tapung Kanan dan
Tapung kiri. Awalnya, Sultan melakukan kesepatan ini dengan orang China
yang mengklaim telah menemukan deposit biji timah diwilayah kerajaannya.
Orang China tersebut memiliki koneksi dengan orang-orang di Batavia.
Disebutkan bahwa setelah van Hedemann melakukan penyelidikan, akhirnya
dengan sultan disepakati kontrak baru pada tanggal 29 Juni 1874. 257
Pemerintah Hindia, kepada pihak dimana persetujuan kontrak telah telah
ditawarkan: menetapkan bentuk dan isinya dengan beberapa persyaratan.
Melalui Residen Pantai Timur Sumatra, dilakukan ratifikasi kontrak sebagai
berikut:
1.Terdapat beberapa perubahan yang dibawa olehnya; 2.Kontrak
tersebut menunjukkan kerjasama yang melibatkan rijksgrooten”, dan;
3.Terhadap perjanjian, tidak ditemukan adanya keberatan pada para
kepala yang wilayahnya berada di bahagian yang termasuk dalam
konsesi;
Sang Sultan, ternyata tidak memiliki kewenangan rechtstreeksch, melainkan
memiliki hak dari apa yang dinamakan sebagai “dependensi” Siak. Dalam
perkembangan selanjutnya, diketahui bahwa Sultan Siak hanya memiliki
kekuasaan atas kepala Tapung; bandahara Petapahan, sebagai suatu
kewenangan resmi. Bandahara lainnya adalah dari Tandun (Tebing Tinggi),
Kasikan, Batu Gajah, Kabon, Kota Renah dan Aliantan (semua kepala Tapung
Kiri). Sementara Tapung Kanan sangat jarang penduduknya; kemudian juga
seorang kepala; Bandara dari Kampung Si Kejang. Bentuk kelembagaan di
Tapung Kanan dan Tapung Kiri secara keseluruhan dan juga kepentingan
umum masyarakat dipercayakan kepada suatu kepala gabungan. Ketika

257
Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1 November
1876, hal.394-5
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
167

dokumen diterima oleh Pemerintah Belanda dan kemudian diperiksa, 258


beberapa komentar pemerintah berisi rasa kuatir dan keraguan akan konsesi
ekslusif, yang tidak hanya meliputi penambangan biji timah, melainkan juga
mencakup persoalan perkebunan di daerah yang begitu luasnya sebagai
daerah tangkapan dari pedalaman sungai Siak: dan memang hak-hak
penduduk asli atas tanah yang digunakan untuk pertanian dijamin oleh
konsesi; akan tetapi, terdapat juga hak lain bagi pengusaha Eropa, dan ini
nampaknya dapat menimbulkan ketidakpuasan, dan meningkatkan keinginan
untuk merebut kembali tanah di Siak, sementara Sultan dan pemegang hak
lainnya akan merasa berhak dan wajib pula untuk baik menerima atau
menolak aplikasi - konsesi yang begitu luasnya. Sebaiknya, untuk menjamin
agar tidak akan tertipu hak-haknya, lantas para kepala akan mengerahkan
sendiri otoritas untuk menjaminnya.
Sejak pengiriman dokumen dari Hindia, konsensi akhirnya diberikan, mungkin
ini disebabkan pelaksanaan yang berada di bawah pemerintah Hndia: yang
bersikeras dan serius untuk secara akurat memantau eksekusi kebijakan dan
memastikan sendiri tidak adanya timbul ketidaknyamanan dan persoalan
yang timbul sebagai akibat implementasi konsesi. Sementara itu ia pun
memenuhi persyaratan yang diminta oleh pemerintah Hindia untuk
persetujuan kontrak, dan bahwa tanggal 30 Desember 1874 telah diratifikasi
oleh residen Pantai timur Sumatra.259 Kepala Tapung Kanan dan Tapung kiri
telah memberikan persetujuan mereka tanpa retensi; tetapi hanya Sultan
yang diminta untuk menentukan sendiri akan dalam bentuk apakah
keuntungan yang akan diperolehnya melalui konsesi. Sepertinya, mereka
dijanjikan berupa bagian. Ketika kontrak yang dihasilkan memberikan
persenan tertentu dari produk tahunan, atau dapat juga berupa nilai dalam
uang, dimana hal tersebut sesuai dengan kebijaksanaan Sultan, dengan
ketentuan bahwa yang diterima Sultan tidak akan kurang dari ƒ6000
pertahunnya.
Setelah penandatanganan kontrak, van Hedemann segera menuju ke negeri-
negeri pedalaman Siak, di mana untuk sementara waktu ia menetap di Batu
Gajah. Menurut laporannya, ia menjalin hubungan dengan kepala setempat
dan mempelajari hal-hal yang diinginkan dari penduduk Tapung; ia menerima

258
Pemeriksaan pada bulan Desember 1874.
259 Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876: hal.396
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
168

banyak ungkapan persahabatan dari beberapa kepala lanskap merdeka


tetangganya. Akan tetapi, pemerintah juga melihat bahwa lanskap yang
lainnya, tampaknya merasa iri atas pengembangan perdagangan ke depan
dikawasan itu, bahkan ada rasa takut atas perhatian yang ditujukan pada
Tapung, dan sebagaimana terlihat, wilayah itu berdekatan dengan Kota-
Renah yang berbatasan dengan Gunung Melala; Meskipun demikian,
nampaknya sejauh ini dari pantauan penjajah tidak menimbulkan persoalan;

Akan tetapi sikap dari raja lanskap Kota Intan memunculkan komplikasi serius
dan bahkan dapat menyebabkan sebuah ekspedisi militer. Dengan
ditutupnya transaksi oleh Sultan Siak, ia memutuskan untuk menyerang
Tapung Kiri yang kemudian terjadi di kampung Tebing Tinggi, dimana kepala
kampung dengan beberapa orang lainnya tewas. Bahkan pihak Kota Intan
tersebut, di kampong dimana terdapat warga yang tewas, Seorang kepala
lainnya melalui Tebing Tinggi; memaksa penduduk Gunung Tinggi membayar
uang darah atas terjadinya invasi di Tapung Kiri yang mengakibatkan
terbunuhnya orang dari Gunung Kandis (negeri di pedalaman sungai
Kampar).260 Sebagai dampak yang tidak diinginkan, bahwa kasus tersebut
diikuti pengiriman seorang pejabat dan rijksgrooten Siak menuju Kota Intan.
Raja lanskap yang bergelar Yang dipertuan Besar, membawa proposal
menuju siak untuk membahas urusan dengan dengan pihak yang dianggap
berwenang. Pemerintah Hindia menganggap bahwa usulan Raja ini
seluruhnya di bawah pengaruh saudaranya - Yang dipertuan Jumadil Alam –
akan tetapi, nampaknya hal tersebut tidak dapat untuk dipenuhi. Mantan
penguasa Kota Intan, terkait dengan kerajaan Siak, dan menurut Belanda,
tampaknya dapat dipastikan bahwa disaat Siak lemah, berulang kali mereka
telah menggunakan pelaksanaan kewenangan diwilayah yang jauh dari
ibukota Siak berupa penghapusan beberapa-bagian wilayah. Kehadiran Yang
dipertuan itu, mungkin karena keinginan untuk ikut memperoleh pendapatan
bagi pemerintah pribumi dari eksploitasi timah di Tapung; nampaknya ia
menjadi tergoda untuk sementara merampas dari para pendahulunya dan
membuat tuntutan baru atas setiap bahagiannya, dan ternyata bahwa ia tidak
rela untuk melepaskannya. Ketika pemerintah masih menunggu tentang apa
yang harus dilakukan, pada Bulan September 1875, tibalah Yang dipertuan

260 Ibid, hal.397


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
169

Jumadil Alam di kampung Tebing Tinggi (Tandun), dan ia memanggil semua


bandahara di Tapung untuk menuju ke sana yang disertai dengan ancaman
berupa hukuman jika mereka tidak hadir. Sultan Siak pun bereaksi; sebagai
raja yang memiliki kewenangan sah atas Tapung tempat terjadinya peristiwa
tersebut, ia meminta izin dari pemerintah Hindia untuk menyiapkan
rijksbestierder bersenjata menuju negeri-negeri di pedalaman, dan izin itu
pun diberikan, bahkan Kontroler Siak M.J.Honig ikut serta dikirim menuju
Tapung, dimana jika memungkinkan masih dapat mencari solusi terbaik dari
persoalan yang ada disana.
Tanggal 13 September261 tibalah pasukan Siak, yang terdiri dari rijksbestierder
tersebut, beberapa kepala-suku dan 300 orang bersenjata, dan juga dengan
didampingi oleh kontrolir menuju Batu Gajah, dimana mereka mengetahui
bahwa Yang dipertuan Jumadil Alam tengah berada di Kasikan, mereka
berada di tempat utama Bandahara Siak, dengan mayoritas penduduknya
yang telah mengungsi. Kontrolir mengirim surat kepada Yang dipertuan,
dimana ia mengundangnya untuk melakukan pertemuan, akan tetapi, Yang
dipertuan menolaknya. Ternyata setelah beberapa hari, baik di Tebing Tinggi
maupun di Kasikan, penyusup dengan sejumlah besar pengikutnya telah
melakukan tekanan besar terhadap penduduk; pasca penolakan terhadap
kontrolir, mereka dengan tergesa-gesa kembali menuju Kota Intan.
Sepeninggalnya tentara pendudukan Kota Intan, penguatan yang didirikan di
Kasikan hanya berjumlah sekitar 40 orang Siak saja, sementara sisanya
kembali ke Siak: aksi tersebut tertunda disebabkan keputusan pemerintah.
Pemerintah Hindia, akhirnya terlibat dengan pemahaman yang baru, bahwa
Belanda pada bulan Oktober 1875 mengeluarkan keputusan bahwa terhadap
Kota Intan akan dikenakan sanksi biaya untuk pelanggaran yang telah
dilakukannya terhadap hak-hak Siak.
Di bulan November 1875, Kontrolir Honig kembali menuju negeri-negeri
pedalaman untuk mencoba bernegosiasi dengan Kasikan dan Kota Intan.
Untuk menguatkan posisi tawar tersebut, kontrolir diberikan dukungan
kekuatan militer yang terdiri dari 50 orang pasukan yang berasal dari
garnisun di Deli262. Bahwa upaya kontrolir itu, baik sebelum maupun sesudah
kedatangannya di Tapung; terhadap kepala Kota intan – dengan Yang

261Ibid,
hal.398
262 Ibid, hal.399
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
170

dipertuan Besar, di Kasikan atau Lindai sampai ke pertemuan, untuk


memastikan keadaan benar-benar aman dan kembali dengan meyakinkan.
Sang tokoh Jumadil Alam, dahulunya ia memiliki hubungan persahabatan
dengan lanskap tetangga (merdeka) XII Kotta(wafat pada Februari 1876);
Kepala Gunung Malela Nan Bertua, telah membuktikan kepada pihak
berwenang di Pantai Barat Sumatera, dan terkadang-dikatakan sebagai suatu
bentuk hubungan yang manusiawi dalam halnya dengan lanskap merdeka
lainnya, dengan kondisi ini otomatis tertutup oleh pemerintahan Belanda
dengan beberapa otoritasnya.
Yang dipertuan selaku pangeran Kota Intan, kemudian melaporkan persoalan
tersebut ke Fort de Kock263 dan meminta agar dilakukan pemeriksaan oleh
dua pejabat Eropa (satu dari Pantai Barat dan lainnya dari Pantai Timur);
berkaitan atas perselisihannya dengan Sultan Siak. Akan tetapi permintaan
tersebut ditolak. Pemerintah Hindia telah memerintahkan kepada pihak
berwenang di Pantai Barat Sumatera untuk tetap menahan diri dan tidak
turut campur tangan dalam bentuk apapun terhadap kasus ini, termasuk juga
terhadap pengajuan baru integrasi pada bahagian dari Kota Intan, dimana
pihak-pihak hanya dapat merujuk pada Kontrolir Siak. Jadi Yang dipertuan
Besar, dalam beberapa waktu ini hanya sendirian saja ia berhadap-hadapan
dengan sang Kontrolir. Ternyata, dengan berani dan secara kasar Yang
dipertuan menolak semua tawaran. Meskipun Ia mengetahui bahwa
Kontrolirlah yang membawa misi tersebut, dia tidak menjawab surat dan
bahkan ketika sang kontrolir itu sendiri datang ke Kota Intan untuk
menemuinya atau saudaranya. Nampaknya bagi penjajah, tuntutan kekuatan
bersenjata terhadap Kota Intan menjadi tidak terelakkan lagi, terutama

263
Realita bahwa penguasa Lanskap tersebut pernah beberapa kali mengunjungi Fort de Kock,
yang pertama pada tahun 1865 oleh Jang di Pertoean Sati secara pribadi; kemudian pada tahun
1866 oleh utusannya. Sementara itu, pada tahun 1864 Kepala lanskap, Sutan Abdul Djalil
mengunjungi Fort de Kock untuk meminta suatu resolusi atas sengketa perbatasan dengan
Ramba, suatu bantuan eksekutif dari Residen dimana ia mendesak pihak yang bersengketa
dengan sepucuk surat perdamaian. Nampaknya sejak 1847 tidak terjadi sentuhan “rechtstreek”
lainnya dengan Rokan. Annexatie's in Centraal Sumatra, 1880, Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg
9, 1880 (1e deel), Nomor 3, Hal 185.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
171

berkaitan bagi pemulihan martabat pemerintah Hindia dan otoritas kerajaan


Siak. Sehubungan dengan itu, Belanda segera menambahkan kekuatan pada
pasukan garnisun Deli, dengan beberapa mortir, dan tanggal 19 Januari 1876,
dengan penempatan pasukan di Kampung Kasikan, dimana juga Sulthan Siak
telah memberangkatkan kekuatan besar pasukannya. Akhirnya, sebuah
Konvoi ekspedisi pasukan yang meliputi beberapa orang dari artileri dan staf
medis, terdiri sepenuhnya dari 4 perwira dan 135 prajurit Hindia dengan
sejumlah 24 orang adalah orang Eropa, dan terakhir, sejumlah 111 prajurit
pribumi.
Kontrolir Honig yang telah ditugaskan sebagai pemimpin politik dalam
ekspedisi tersebut dan berdasarkan konsultasinya dengan komandan
pasukan: kapten infanteri Barthelemy, memutuskan untuk tidak menunda-
nunda dan bergerak maju dari Kasikan. Marsh pertama bergerak menuju
Lindai, sebuah kampung Siak. Berkemungkinan disebabkan tidak imbangnya
kekuatan (pihak Belanda mengatakan karena rasa takut), meskipun tempat
tersebut sebagai basis Kota Intan, terlihat telah ditinggalkan oleh orang-orang
menjelang kedatangan pasukan Belanda.
Di sana, pada tanggal 26 januari, di Kota Intan sudah didirikan kubu utama
pertahanan, dan ketika pasukan penjajah tiba, tampaknya tempat tersebut
baru saja dikosongkan. Pada hari yang sama, segera diarahkan pasukan ke
Sungei – Kepanasan. Dan pada hari berikutnya, mereka mencapai sungai
Rokan dimana terdapat perlawanan dari sebuah kampung kecil; Rantau
Tenang. Di kampung tersebut, terdapat sekitar 60 sampai 70 orang
bersenjata berkumpul, dibawah dua tokoh; Yang dipertuan Besar dan
saudaranya yang baru saja kembali dari Fort de Kock; Yang dipertuan Jumadil
Alam. Ketika tantangan semakin menghebat, terlihat bahwa kebanyakan
orang-orang tersebut tidak mendengarkan orang-orang Siak. Setelah situasi
agak mereda, dari sungai secara lisan kontrolir memberitahukan kepada Yang
dipertuan Besar, sebuah surat untuknya, bahwa yang harus dilakukkannya
adalah mengambil dan menerima surat tersebut, dan jika ia menginginkan
pembicaraan maka tidak akan ada hal yang berbahaya. Untuk sementara, ia
ditinggal untuk memberinya waktu. Akan tetapi, jawabannya sama seperti
yang telah terjadi sebelumnya. Sementara itu, secara bertahap, dan akhirnya
semua kekuatan menuju kearah ibukota: Kota Intan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
172

Sesegera mungkin persenjataan dipersiapkan, menyeberangi sungai


dengan kekuatan utama, dan, setelah pawai yang melelahkan, malam
itu juga, tempat utama diserang!264
Kampung tersebut, bahwa sampai kondisi terbaru dan dilakukannya
penguatan dengan penempatan pertahanan dalam kondisi baik, dimana
sewaktu pertama diduduki kondisinya hampir seluruhnya serba dalam
kurangan. Yang dipertuan Besar, Setelah keberangkatannya dari Rantau
Tenang, memang benar kembali ke Kota Intan, akan tetapi yang dapat
dikatakan adalah ia dengan tergesa-gesa menuju Sunkup.
Hari berikutnya, tanggal 28 Januari, tibalah detasemen untuk melakukan
penjagaan di sisi lain dari Rantau-Tenang sebagai bahagian dari Kota Intan.
Pada malam tanggal 29 Januari, sebuah upaya yang dilakukan di Sunkup
dalam upaya pengejaran terhadap Yang dipertuan Besar, akan tetapi
beratnya kondisi alam yang merintangi perjalanan - sebagai wilayah hutan
perawan yang benar-benar belum tersentuh, hutan-belukar yang berlapis-
lapis, yang akhirnya; ternyata bahwa Yang dipertuan tidak ditemui di
Soenkoep, sehingga mereka pun kembali ke Kota Intan. Hari itu adalah
dimana raja dari kerajaan tetangga; Rokan, menerima janji tertulis, bahwa
dia akan menjauhkan diri dari segala campur tangan dalam urusan Kota Intan.
Tanggal 2 Februari, menghentak kekuatan utama di sepanjang Tenga –
sebuah kampung yang telah ditinggalkan di mana tempat penampungan
didirikan - menuju kampung Baru, kediaman dari Yang dipertuan Jumadil
Alam.
Pada tanggal 5 Februari, diadakan suatu pertemuan antara kontrolir dengan
Raja Rokan (atau Lubuk - Badara). keesokan harinya, dilanjutkan dengan
pertemuan kedua, membahas batas-batas Rokan, semacam wawancara
dengan Kontrolir, dan dilakukan suatu investigasi dan pelacakan untuk
mengetahui keberadaan Jumadil Alam; agar dapat dilakukan upaya mediasi
dengan Rokan, yang ternyata upaya ini hanya sia-sia belaka. Sementara itu,
dengan sendirinya, Yang dipertuan Besar tersebut telah menjadi “buron.”
Setidaknya beberapa hari kemudian diterima kabar bahwa Raja tidak berhasil
membawa Yang-dipertuan Besar, dan sementara itu Raja Rokan sendiri tidak

264 Ibid, hal.400


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
173

melaporkan keberadaan Jumadil Alam. Berdasarkan hal tersebut, pemerintah


melihat adanya upaya penghentian perdamaian, kelelahan, maka, kontrolir
setelah melihat dan berkonsultasi dengan komandan pasukan, akhirnya
memutuskan sebuah sanksi atas terjadinya kekerasan; dan karenanya berasal
dari sikap Yang dipertuan Besar, segera dilakukan eksekusi penghancuran
kampung utama dari Kota Intan. Nampaknya, Belanda tidak menginginkan
keresahan terjadi di wilayah di luar batas Rokan; yang dengan demikian
kepala buronan tidak akan melarikan diri setelah dilakukan penempatan
pasukan.
Tanggal 9 – 10 Maret, Gabungan pasukan tersebut kembali menuju Kasikan.
Setelah beberapa hari beristirahat, segera ditempatkan sebuah pasukan
militer kecil di Tapung, selanjutnya otoritas baru dikembalikan kepada Siak.
Konvoi ekspedisi kemudian kembali ke Deli, dengan pengecualian dari
detasemen, yang diperkuat seorang perwira dan 40 orang parajurit, sebagai
pasukan pengamanan di Kasikan. Meskipun hasil ekspedisi belum menjawab
dengan sempurna tujuan utama, bagi pemerintah, kondisi ini bagaimanapun
juga tidak diragukan lagi untuk suatu penerapan disiplin kolonial, baik di Kota
Intan maupun di pedesaan sekitarnya, Keyakinan telah terbentuk bahwa
tindakan orang-orang dari kerajaan tidak akan dibiarkan begitu saja.
Desa-desa di Tapung pun kembali sepi.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1876 para penguasa Kunto melarikan diri,
Yang dipertuan Besar Kota Intan dan Yang dipertuan Jumadil Alam dari Kota
Lama, kemudian pengajuan mereka pun ditawarkan ke Bengkalis. Bahwa
pada Maret 1876 kepala Linday, salah satu Kampung di Tapung yang selalu
berkaitan erat dengan Kota Intan, mendatangi Siak untuk menawarkan
penyerahannya terhadap Sultan, pada awalnya ragu-ragu, akhirnya oleh
penguasa Kota Intan juga sang kepala memutuskannya. Ketika mereka tampil
di hadapan Residen pantai timur Sumatra, sang residen menyarankan sebagai
syarat untuk pengampunan yang diminta, bahwa mereka benar-benar akan
membebaskan semua klaim ke wilayah Tapung dan, munculnya perselisihan
di antara mereka dan ranah Siak, bahwa sengketa mereka akan diserahkan
dengan keputusan pemerintah, yang akan resmi bagi mereka dimana untuk
suatu pelanggaran perjanjian akan dikenakan hukuman. Dalam pertemuan
yang diadakan di Bengkalis yang juga dihadiri oleh perwakilan dari Siak,
Setelah beberapa hari bermusyawarah maka pada tanggal 11 September

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
174

1876 mereka menyatakan untuk mengambil tindakan, yakni “mengikrarkan


diri.”265 Dalam perjanjian damai 11 September 1876 ini, Raja Kota Intan
secara resmi melepaskan semua hak-haknya untuk lanskap di kedua aliran
sungai Tapung ini, sementara tak lama kemudian Sultan Siak dalam plakat 10
Sawal 1293 memberikan rumusan kepada pemimpin dan masyarakat negeri
sebagai berikut:
»Adalah saperti antara segala bandahara-bandahara serta "kerapatan
isi negri samoeanja jang selaras Tapong kiri dan »selaras Tapong
kanan laloe ka Lindei antara dengan Radja "Kota Intan telah soedahlah
poetoes pertaliannja, dan tida «sekali-kali lagi ada persangkoetannja
deri pada adat dan poesaka, hanjalah segala marika jang terseboet
tertinggal dibawah pemerintahan doeli kita di Siak."
Dan berarti pula, pernyataan ungkapan berubah menjadi,
“Beraja dan bertuan ka Siak.”
Bahwa pada permulaan abad ke-18, perdagangan dari hulu Siak mulai
berkumpul di pasar-penting di Pekanbaru (Senapelan). Bahwa ibukota secara
bertahap digeser oleh penguasa- berturut-turut setelah Raja Kecil. Putra dan
penerus Raja-Kecil itu, Raja-Mahmud (1746-1760) memindahkan ibukota dari
Buantan (Siak Sri Inderapura), beberapa mil hingga Mempawa. Saudara dan
penggantinya, Raja-Alam (1761-1779), akhirnya memindahkan ke Senapelan
yang melalui inisiatif penguasa baru tempat tersebut diperluas, yang
kemudian berganti nama menjadi Pekanbaru. Ini mengendalikan rute ke
Patapahan, dimana melalui Sungai Tapung Kiri dapat dilayari semua jalan ke
pedalaman, hingga sejauh Payakumbuh. Selain itu, dengan perluasan
budidaya gambir di Minangkabau pada paruh kedua abad ke-18, Pekanbaru
memperoleh akses ke perdagangan makmur yang berpusat di Patapahan.266
Ibukota baru ini juga strategis dalam kaitannya dengan Kampar, dan
memungkinkan digunakan juga oleh Pelalawan ke pintu Siak267 yang diberikan

265
De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. Tijdschrift voor Neerland's
Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.89.
266 C. Dobbin, «Economic Change in Minangkabau as a factor in the Padri movement», Indonesia,

23 (1977), hal. 20.


267
B D. J. Goudie (ed. & trans.), Syair Perang Siak A Court Poem presenting the state policy of a
Minangkabau-Malay royal family in exile, Monograph no. 17, MBRAS, Kuala Lumpur, 1989, hal.
51-2.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
175

oleh Said Abdul al Rahman, putra sekutu penguasa yang berpengaruh,


Assayidi Syarif Osman Syahabuddin, umumnya dikenal sebagai Said Osman.
Dia bertindak sebagai wakil penguasa, menyandang predikat bandar, yang
kemudian diteruskan ke anaknya, Raja Hashim.268
Pada periode Said Ali-(1791-1821), Siak memiliki kekayaan yang cukup besar,
akan tetapi berasal dari perdagangan yang berpusat di Pekanbaru. Untuk
mendukung kerajaan, keuntungan dari perdagangan ini meletakkan dasar
bagi “komunitas sejahtera” dari pedagang Arab yang terlibat dalam
berkembang pesatnya perdagangan Siak dengan Singapura dan Penang.269
Perdagangan Arab berada pada tingkatan besar, tergantung pada jaringan
komersial Minangkabau yang menghubungkan rantai mereka dari diaspora di
sepanjang sistem sungai utama. Dari Patapahan, pantai bisa dicapai dalam 8
hari dan lebih lanjut selama 3 hari melalui laut menuju Pulau Pinang.270
Pengusaha Minangkabau, dibantu oleh ratusan pedlars, mengambil
keuntungan dari perluasan gambir dan kopi di pedalaman, untuk terlibat
dalam perdagangan bulking dan pertukaran barang untuk impor dari Selat,
terutama garam, kain, dan opium.
Satu realita, bahwa ramainya perdagangan telah mendorong
pendirian pemukiman Minangkabau di Siak.
Pada awal abad ke-19, jumlah mereka di Siak diperkirakan sekitar 10.000 jiwa
dari total populasi 17.000,271 bahkan Hijman van Anrooij mengatakan bahwa
sebelum didirikannya kerajaan Siak oleh Raja Kecil, telah banyak orang
Minangkabau bermukim di Siak, bahkan sangat banyak.272 Harmonisasi
kegiatan hulu-hilir di Siak, berbeda dengan subordinasi entitas hulu untuk
otoritas politik Hilir di Palembang dan Jambi yang memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan spektakuler aktivitas pedagang pribumi di daerah.273
Disisi lainnya, gejala rasionalisasi hubungan darat - pesisir di Kesultanan Siak
adalah bertepatan dengan terjadinya penurunan yang signifikan dalam

268 B Netscher, De Nederlanders in Djohor en Siak, 1870, hal. 129-30.


269
Dobbin, Islamic Revivalism, p. 94; Anderson, Acheen, London, 1840, reprinted O.U.P., 1971,
hal. 168-9, 351-3; Acheen, hal. 206-8.
270 VOC 3867 (A.R.A.), no. 57, Copie consideratien van opperhoofd van Sumatras westkust, von

Erath, van 22 Dec. 1789, nopens Compagnie handel en besittingen op die kust, ff.956, 981-2.
271
F. N. Niewenhuijzen, «Het Rijk Siak Sri Indrapoera», TBG, 13 (1864) hal. 392.
272 Hijman van Anrooij, hal.311
273 Dobbin, Islamic Revivalism, hal. 46-7, 70, 91, 93-4, 103-4.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
176

perdagangan Belanda Melaka dengan pedalaman. Sebagai perbandingan total


tahunan sekitar 3.000 tahil emas Belanda di Melaka yang diperkirakan telah
diterima sebelumnya dari Sumatera, pada 1789 diimpor hampir 200 tail saja.
Keberhasilan koordinasi darat-pesisir dalam Kegiatan perdagangan di
Siak, jelas saja tergantung pada stabilitas pemerintahan di pesisir.
Mungkin saja, sejak berdirinya kerajaan Siak oleh Raja Kecil, Riau daratan
terutama pesisir telah merdeka terlepas dari Johor, bahkan sebahagian ahli
melihatnya sebagai kebangkitan era baru hubungan darat – pesisir terlepas
dari bayang-bayang semenanjung ataupun Pagaruyung. Akan tetapi dalam
kenyataannya Siak belumlah benar-benar mapan dalam mengidentifikasi
dirinya sebagai penguasa Riau daratan, dan lebih cenderung berposisi hanya
sebagai penguasa pesisir timur Sumatra. Wilayah taklukan Siak(diluar
eigenlijk Siak) adalah membentang sepanjang pantai timur dari Kampar
hingga Haru, terutama penaklukan sebelah barat pada era Said Ali: sosok
yang dipuji Belanda sebagai raja yang energik dan prospektif. Pengalaman
pahit Said Ali ketika berkonfrontasi dengan Petapahan dan aliansinya(V koto
Kampar), ternyata, menyimpan ketegangan-ketegangan lanjutan di era
sesudahnya. Meskipun perjanjian 1858 antara Siak dan Belanda memasukkan
wilayah Tapung dalam lanskap taklukan Siak, sebagaimana telah dijelaskan,
tidak menyurutkan kerajaan di hulu sungai Rokan; Kota Intan, untuk
mempersoalkan dan menjadikannya pemicu konflik berdarah ketika
kepentingannya tidak terakomodir sehubungan masuknya kepentingan Eropa
kesana. 274 Selain itu, terdapat konflik Siak dan kerajaan di Hulu Sungai Rokan;
terutama antara Tengku Zainal Abidin dan Siak.
Dalam berbagai literatur nasional, maka kisah pendudukan penjajah
merupakan kisah hasil dari serangkaian politik adu-domba, pecah belah;
bagaimana para pejabat kolonial melakukan serangkaian taktik dan intrik agar
para penguasa pribumi saling berada dalam posisi saling berhadap-hadapan.
Akan tetapi sebaliknya, pengakuan yang terdapat dalam berbagai sumber dan
laporan-kolonial cenderung untuk menempatkan diri mereka sebagai sosok
“penengah” dalam membenahi situasi konflik-lokal yang sebenarnya kondisi

274
Dalam “Tijdschrift voor Neerland's Indië”: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], bertanggal 1
November 1876.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
177

tersebut menguntungkan mereka, seperti kasus konflik di pedalaman sungai


Rokan sebagai berikut:275
Nampaknya sia-sia saja Residen Pantai Timur Sumatra melakukan
pengaturan diantara para kepala negeri-negeri Rokan; seperti gesekan
yang terjadi antara lanskap Rantau Binuang: seorang keturunan
mantan sultan Tambusai dengan sultan Siak, meskipun kepala
Tambusai tersebut telah tinggal di Rantau Binuang selama lebih dari
40 tahun. Sementara Siak, tetap bersikukuh bahwa Rantau Binuang
merupakan bahagian dari wilayahnya. Dimana hal tersebut
menyebabkan penguasa Rantau Binuang, Zainal Abidin dalam posisi
berhadap-hadapan dengan Siak, dimana hak-haknya di Tanah Putih,
Kubu dan Bangko ditolak, dengan kata lain, Zainal Abidin tidak
mengakui kekuasaan Siak atas lanskap-lanskap tersebut. Zainal
Abidin, secara pribadi mengajukan kasusnya dan menyatakan sudah
terlebih dahulu mengajukan sebagai bahagian dari “rechtstreeksch”
kepada pemerintah di Bengkalis, untuk menghindari tuntutan Siak
dengan melakukan penyerahan. Upaya untuk membawa pihak-pihak
yang berselisih agar menuju pemulihan hubungan ini, ternyata gagal.
Zainal Abidin tinggal beberapa bulan di Bengkalis, kemudian menuju
Batavia juga membawa keluhan terhadap Siak dan klaim atas wilayah
Rokan. Upaya lebih jauh dikerahkan untuk menyelesaikan isu tersebut.
Terdapat juga perselisihan antara Rantau Binuang dengan Kepenuhan.
Untuk kasus perselisihan tersebut Residen segera mengirimkan
seorang utusan yang mempu menggambarkan batas-batas yang tepat
dari lanskap Kepenuhan.
Selanjutnya menjelang akhir abad ke-19, tepatnya ditahun 1897 diberitakan
bahwa telah terjadi potensi kerusuhan di wilayah lanskap Siak, khususnya di
Tanah Putih – sebagai akibat kembalinya Mohamad Zainal Abidin dari

275
Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264
– 265.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
178

semenanjung Malaya, tepatnya Perak.276 Bahwa situasi “Rawan” ini dirasakan


hingga ke hilir Sungai Rokan, Bagansiapiapi, yang telah menimbulkan
keresahan disana. Bahkan Asisten Residen sampai meminta perlindungan
militer dengan didatangkannya satu garnisun lengkap dengan kapal perang
yang bersandar di pelabuhan Bagansiapiapi. Kemudian, tanggal 27 Februari
Residen mengunjungi lanskap tersebut dalam upaya meredam situasi
tersebut, menyelidiki, dan hasilnya; ia beranggapan bahwa rasa takut
ternyata terlalu dibesar-besarkan. Residen memerintahkan kepada Asisten
Residen Bengkalis untuk menetap di Bagansiapiapi selama beberapa hari
guna menenangkan penduduk dan memulihkan keadaan, dan selanjutnya
melakukan kunjungan ke Tanah Putih; menerima kedatangannya, dimana
Kontrolir Tanah Putih menyerahkan surat “sopan” dari Zainal Abidin yang
berisi pemberitahuan kedatangan dan pengungkapan rasa perdamaiannya.
Sang Residen menjawab bahwa Zainal Abidin dapat bepergian kemana saja
yang diinginkannya, akan tetapi tetap berada diluar wilayah Tanah Putih. 277
Memasuki abad ke-20, tepatnya pada tahun 1904, terhadap Zainal Abidin,
penjajah memandang bahwa ia tidak lagi mematuhi pernyataan yang dibuat
olehnya sendiri dimana ia berjanji untuk berperilaku sebagai warga negara
yang baik dan tenang, namun kembali ia bersikap sebagai layaknya seorang
raja: satu sikap yang dipandang sebagai prilaku yang tidak mendukung
pemerintah penjajah, maka pada tanggal 4 Juli 1904, oleh kontrolir Quast278
yang disertai dengan sepasukan militer dari Bangkinang, Zainal Abidin
ditangkap di Tambusai, dan setelah itu melalui Gouv.Besluit tanggal 27
November 1904 No.3, untuk kepentingan perdamaian dan ketertiban umum
di Hindia, Zainal Abidin diinternir ke Madiun. Menurut Laporan Kolonial,

276 Bahwa pemerintah kolonial sendiri tidak mengetahui dengan pasti tujuan kedatangan Zainal
Abidin setelah bermukim selama tujuh tahun di Perak. Sebaliknya, kedatangannya yang disertai
rumor akan terjadi penyerangan ke Siak dan Bagansiapiapi tidaklah benar, melainkan
berdasarkan surat yang ditujukan kepada asisten residen, adalah untuk mengunjungi makam
keluarganya, dan diterima berita bahwa pada bulan Maret, Zainal Abidin kembali ke Perak.
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, tanggal 28 juni1899, “Midden Sumatra.”
277
Dalam UTRECHTS NIEUWSBLAD, tanggal 30 April 1897: Kolonien, hal.5
278
Melalui Besluit tanggal 15 Mei1903 diangkat Knight dari Orde Orange- Nassau sebagai
kontrolir Binnenandsch Bestuur (B.B.) di luar Jawa dan Madura H.C.E.QUAST, dengan tujuan
untuk melakukan pemeriksaan di lanskap merdeka, Rokan. H.C.E.QUAST, digambarkan meraih
sukses besar dengan tugas penyelesaian persoalan di Lanskap Rokan, dalam suatu operasi militer
penangkapan tokoh Dzainal Abidin yang dilakukan tanpa adanya satu pun tembakan yang
diepaskan petugas. Dalam Soerabaijasch handelsblad tanggal 30 Juni 1906.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
179

setelah pemindahannya tersebut, dilaporkan bahwa di Tambusai tidak lagi


mengalami gangguan keamanan.
Sementara itu pada tahun 1860-an, terdapat laporan yang menyatakan
bahwa Sultan Siak membuat kesepakatan dengan para pedagang pedalaman
dari salah satu distrik di lima Puluh Koto, agar memapankan outlet
perdagangan ekspornya di sungai Siak, dan bukan lagi menyertakan sungai
Kampar. Para pedagang itu kemudian memblokade sungai Kampar di Teratak
Buluh, dan memaksa seluruh pedagang menuju sungai Siak di Pekanbaru
melalui jalan setapak. Seorang Jago pun dikirim oleh penguasa Pelalawan-
Kampar untuk mematahkan blokade dengan menggunakan kekerasan, akan
tetapi, pemimpin dari Lima Puluh Koto secara persuasif menjanjikan bahwa
blokade akan dibuka pada tahun 1868. 279 Tidak diketahui alasan pasti dari
Sultan Siak untuk menyetujui aksi blokade tersebut. Hanya saja, pada sekitar
tahun 1861, muncullah sengketa tahta Kerajaan Pelalawan di hilir sungai
Kampar, antara Tengku Besar Said Hamid dan adiknya; Tengku Said Jafar.
Tengku Besar Said Hamid, dari istri pertamanya Inceh Obi, ia memiliki delapan
anak, dimana tiga yang tertua, dua putera dan seorang puteri, telah
meninggal, dan anak berikut yang lahir dari perkawinan yang sama; Tengku
Kesumoyudo atau Sumoyudo yang menikah dengan Tengku sidah yang
merupakan putri dari Tengku Ismail, Sultan Siak. Tengku Said Hamid berharap
kepada anaknya yang sudah ditunjuk sebagai pewaris tahta, akan tetapi
disisi lain, saudaranya sendiri Tengku Said Jafar berupaya menggagalkannya.
Bahwa pertimbangan dari sang adik bungsu; Tengku Said Abu Bakar mengenai
persoalan suksesi Raja ini, ia memperlihatkan bahwa setelah Tengku Said
Hasim bertahta, mengikutlah dua saudaranya sebagai pengganti secara
berturut-turut Raja Pelalawan; Tengku Said Ismail dan Tengku Said hamid.
Kondisi ini, diklaimnya sebagai telah berlangsungnya adat tentang suksesi
secara kolateral di Pelalawan. Akan tetapi, Tengku Said hamid membantah
klaim saudaranya itu. Ia berpendapat bahwa, penggantian Tengku Said Hasim
kepada Tengku Said Ismail, dan dari Tengku Said Ismail kepada Tengku Said
Hamid disebabkan pada saat kematiannya, tidak memiliki keturunan laki-laki.
Ketika kerajaan Pelalawan diserahkan oleh Sultan Siak Tengku Said Ali kepada
saudaranya Tengku Said Achmad, menurut Tengku Said Hamid telah diadopsi
beberapa hukum yang mengatur tentang hubungan suksesi. Ketika Raja

279 PV Riau 1865, ANRI, Riau 58-2; PV Riau 1868, ANRI Riau 59, Colimbijn, 2005; 16.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
180

Pelalawan meninggal, Karapatan haruslah menyelidiki siapa yang harus


menggantikannya, diurutkan mulai anak-anak tertua dari almarhum Raja,
kepada siapa tahta kerajaan tentunya memiliki peringkat calon, akan tetapi,
jika almarhum raja tidak meninggalkan anak, maka akan jatuh kepada
saudaranya sebagai pihak yang duduk memerintah. Pencalonan Kesumoyudo
atau Sumoyudo, didukung kuat oleh Siak, dan Belanda memandang bahwa ini
adalah bentuk upaya bagi Siak untuk kembali membawa Pelalawan kepada
bentuk hubungan sebagai dependensi. Ketika asisten residen Siak pada bulan
Maret 1862 berada di ibukota Siak, Sultan menyerahkan surat dengan segel
dari Tengku Besar dari Pelalawan, Tengku Said Hamid, bertanggal 11 Sjaban
1278 (11 Februari 1862), Sultan Siak sebagai berdaulat dan diakui, dan
asisten-residen Siak dipanggil untuk melihat tentang penunjukkan anaknya
Sumoyudo sebagai penggantinya. Akan tetapi, keaslian surat itu kemudian
ditolak oleh Tengku Besar. Bagi Belanda, ini merupakan waktunya untuk
masuk lebih jauh ke kerajaan di hilir sungai Kampar tersebut. Hal ini terlihat
dengan keinginan Belanda yang nampaknya berkemungkinan memasuki
negosiasi kontrak terpisah dengan Tengku Besar dan pembesar Kampar atas
pengakuan kedaulatan Belanda. 280 Mungkin saja, akan timbul spekulasi,
bahwa aksi blokade sungai Kampar di Teratak Buluh sebagai imbas rivalitas
antar dua kerajaan bersaudara tersebut.
kemudian halnya antara Siak dan V Koto Kampar menyangkut kepentingan
pertambangan Eropa ke pedalaman. Pada bulan Juli 1877 oleh Kontrolir
dilaporkan bahwa di negeri-negeri Rokan, sebagaimana juga terdengar di
wilayah negeri-negeri di pedalaman Siak dimana para administratur Eropa
dari perusahaan yang ada disana, sesekali memperoleh kunjungan dari kepala
V Koto Kampar. Yang jelas, ini tidak membuktikan bahwa yang mereka
lakukan telah keluar dari kedaulatan Belanda, melainkan hal ini menjadi
perhatian khusus disebabkan mereka telah bersumpah untuk tidak akan
membiarkan keberadaan orang Eropa atau Cina di negara mereka. Meskipun
demikian, nampaknya keberatan ini telah berakhir. Setidaknya pada bulan
Juli 1878, para kepala mengungkapkan keinginan kepada residen Pantai
Timur Sumatra secara tertulis. Sang residen memperkenalkan diri, kemudian
melakukan perjalanan ke Pulau-Lawan juga mengunjungi wilayah V Koto
Kampar. Pada tahun 1874 atau 1875, Sultan Siak mencoba membujuk Datuk V

280 Faes, “Het Rijk Pelalawan”, 1882, hal.512-514.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
181

Koto Kampar, dalam kepentingan pertambangan timah China di negeri


mereka, akan tetapi, sang Datuk menolak. Sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya bahwa pada tahun 1865, salah satu insinyur pemerintah
Gubernemen melakukan penelitian tentang sumber daya timah di negeri-
negeri Siak, dan berkeinginan untuk memasuki wilayah V Koto Kampar
dengan tujuan penelitian yang sama, akan tetapi seperti diperkirakan
terdapat resistensi bahkan pada saat kedatangannya kesana. Residen Riau
mengutus Seorang pribumi untuk menemani insinyur guna menjelaskan
bahwa orang Eropa telah diizinkan memasuki daerah mereka dan bahwa
mereka tidak akan menyimpang dari apa yang telah dijelaskan-melakukan
penelitian tersebut. Hasilnya, Insinyur itu kemudian didapati menyerah dari
rencananya semula.
Dalam perjalanan di tahun 1893, Pemerintah Belanda nampaknya
menganggap Siak terancam dengan kesulitan yang berasal dari negeri
tetangga, lanskap merdeka V Koto Kampar di cekungan atas dari sungai
Kampar Kanan, yang semakin menunjukkan penolakan untuk bersentuhan
dengan pemerintahan Eropa. Muncul ketidakpuasan V Koto Kampar
terhadap Siak atas penghasilan mereka menyangkut kuli untuk pengangkutan
barang-barang komersial antara Tratak Buluh di Sungai Kampar dan
Pekanbaru di Sungai Siak.281 Jalan raya penghubung ini sangat signifikan:
lebih khusus lagi orang-orang dari Kampar menggunakannya sebelum menuju
laut via Siak, dapat juga melalui sungai Kampar-Pelalawan (kv. 1890 hal.12) -
adalah salah satu layanan transportasi dijalankan dengan cara menggunakan
kuda beban, dan juga didirikan kedei di Teratak Buluh, terdapat aturan
mengenai penggunaan tambatan yang tidak disukai orang-orang dari V Koto
Kampar. Pada bulan September, bahwa berdasarkan ketidakpuasan tersebut
berkumpullah badder Di Pulau Payung dalam rangka untuk menghentikan
kedei pemberhentian kuda beban.
Tanggal 21 September 1893, muncul sekitar 100-an perahu besar di Teratak
Buluh dengan memuat banyak orang bersenjata, asisten residen Bengkalis,
Sultan Siak dan kontrolir menuju ke Pekanbaru, dan mendatangkan salah

281 KV: 1894, kol 13-14.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
182

satu pasukan militer dari garnisun Bengkalis yang terdiri dari 24 orang
anggota pasukan bayonet untuk mengantisipasi adanya kerusuhan dari orang-
orang bersenjata, sementara Sultan sendiri telah membawa orang-orangnya.
Adapun kepala V Koto Kampar, saat memberikan klarifikasinya terhadap
Sultan, menunjukkan sikap yang sangat tidak layak, dan ketika mereka
mengemukakan alasan untuk penampilan mereka itu, ia menyatakan keluhan
dan dirinya siap untuk melakukan keadilan sebagai bentuk legitimasi hukum
asalkan telah terlebih dahulu dipanggil kembali orang bersenjata mereka.
Kepala menyatakan kesediaan mereka untuk mematuhi poin ini, dengan
harapan bahwa Sultan akan mengutus seseorang menuju Tambang (Sebuah
negeri netral antara Siak dan V Koto Kampar) dimana seseorang yang
diharapkan dapat menjembatani kepentingan mereka.
Tanggal 29 dan 30 September, semua perahu mengubah arahnya kembali
menuju V Koto Kampar, dan kemudian asisten residen dengan detasemen
militer Pekanbaru, dan pada tanggal 1 Oktober kembali datang dari Bengkalis.
Siak, sesuai dengan keinginan dari V Koto Kampar sejauh dapat dipenuhi dan
masuk akal, bahwa pengaturan yang dibuat sehubungan dengan tambatan
untuk perahu dagang ke Teratak Buluh untuk kedua belah pihak; layanan
transportasi kuda tetap dipertahankan. Karena pembangunan transportasi ini
menempatkan seseorang dari Onderafdeeling Pangkalan Baru dan XII Koto
Kampar (afdeeling Limapuluh Koto Residensi Dataran Tinggi Padang) yang
ternyata menyebabkan ketidakpuasan terhadap warga di sana, akibatnya,
berimbas dalam mendorong perdagangan V Koto Kampar dengan Pantai
Timur Sumatra.
Selain itu, bahwa perluasan wilayah Siak ke hilir Sungai Rokan tahun 1858
dimana terdapat Lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, Belanda mencatat
terjadinya mal administrasi pemerintahan yang mungkin saja telah
menyebabkan “kegelisahan” sebagai negeri taklukkan Siak disana. 282 Hijman
van Anrooij, mendeskripsikannya sebagai berikut:
Pendapatan Sultan yang berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan
kepada (sejak almarhum) adik perempuannya; Tongkoe Maklugsoen,
yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pulau lawan, dan kemudian

282
Pemerintah Belanda terutama diakhir abad ke-19, mencatat penyimpangan-penyimpangan
yang dilakukan anggota kerajaan, lihat Hijman van Anrooij dalam “Het Rijk Siak” dan juga Rijn
van Alkemade.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
183

setelah kematiannya, beralih kepada saudaranya, Mangkubumi dari Siak;


yang kedua sebagai kompensasi atas pengambilalihan pulau Bengkalis
oleh Sultan kepada Pemerintah Belanda dengan kesepakatan, bahwa
sejumlah $400 per tahunnya akan dibayar kepada Datuk Tanah Putih.
Dokumen tersebut yang pastinya dicatat oleh Mangkubumi, ternyata
dipalsukan; baginya, perolehan dari Tanah Putih dianggap sebagai
perdikan turun-temurun. Pada akte tersebut, nampaknya semua harus
ditolak, bagi orang dengan pengetahuan yang lebih luas, maka orang
tersebut dapat memastikan bahwa hak pendapatan Mangkubumi berasal
dari catatan yang dipalsukan, dimana isinya tidak konsisten dengan adat,
bahwa tidak ada pangeran Melayu memiliki hak untuk otoritas sendiri atas
sebahagian negerinya kepada pihak ketiga – siapa pun mereka yang
mungkin untuk memberikannya. Sementara itu, Mangkubumi tidak luput,
sekarang dan kemudian begitu baik untuk berperilaku sebagai pangeran
berdaulat dari Tanah Putih, oleh Sultan, bahkan terhadap larangan-nya,
untuk memberhentikan atau menunjuk kepala, dan untuk mengatur
orang-orang pada kedudukannya, tanpa Sultan terlibat di dalamnya.
Sultan, bagaimanapun, tidak pernah memiliki keberanian untuk bertindak
atas penyalahgunaan kekuasaan ini. Akan tetapi memasuki tahun 1879,
setelah Mangkubumi dengan sikap arogannya terhadap Pemerintah, yang
menempatkannya dibawah mata, plakat dibuat dan disebarluaskan:
sebuah segel Sultan dan juga dirinya sendiri, serta menetapkan sanksi
berat bagi setiap pelanggaran bagi masing-masing kepala di Tanah Putih,
Kubu dan Bangko untuk menentukan apakah akan menerima satu janji
begitu tunduk, tetapi sebaliknya Mangkubumi mengabaikan apa yang bisa
dia lakukan, Ia memperoleh kekebalan atas apa yang dilakukannya
dihadapan mata Sultan. Seberapa jauhkah kesewenang-wenangan yang
dilakukan Mangkubumi, menurut redaksi dari “Acte van Aanstelling,” pada
tanggal 8 Dzoelhidjah 1294, terhadap Bimbang dan Badoe, Mangkubumi
mengangkat mereka sebagai kepala suku Batu Hampar dan Mesa, dan
mereka ditunjuk di tempat yang sah sebagai hak dari Sultan: dimana
sebelumnya sultan tidak pernah memecat para kepala sebelumnya. Lebih
jauh dalam catatan menunjukkan bahwa tidak terdapatnya peran dari
Sultan Siak, dan bahkan tempat bagi sultan untuk menentukan. Apa yang
penting disini bahwa yang tidak dapat diputuskan di Tanah Putih maka
akan diadili bukan oleh Karapatan di Siak, atau hakim yang berwenang,
Melainkan oleh Mangkubumi pribadi! Jika dia memiliki kekuasaan tak
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
184

terbatas atas Tanah Putih, maka akan ada tindakan-tindakan yang tidak
memerlukan pertimbangan lainnya. Mangkubumi memiliki alasan, bahwa
berdasarkan penggalan editorial yang tertera bahwa Tanah Putih
menyerahkan kepemilikan penuh, dan bukan tidak mungkin bahwa
seseorang telah melakukan ini, dengan demikian memaksanya untuk,
mematuhi persetujuan guna mematuhi jarak dari Bengkalis; dan dia,
setelah bagian itu dibuat sedemikian rupa, gaya yang dibuat, godaan yang
ditawarkan, secara eksplisit dinyatakan diantaranya terdapat kata-kata
"Sampei-anak-tjoetjoenjda" sebagai satu keturunan, hingga semua
quaesties berikutnya, baginya, tidak ada penghambat untuk
pelaksanaannya. Tak perlu dikatakan lagi bahwa praktik-praktik ini telah
menimbulkan kekacauan di Tanah Putih, yang tidak dapat
dikesampingkan bahwa hal ini relevan dalam posisinya saat itu sebagai
sebuah negeri yang tertinggal.283
Meskipun demikian, tidak akan pernah terdapat kisah Riau daratan
jika isinya hanyalah kisah konflik semata.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa berdirinya kerajaan Siak disatu sisi
telah menurunkan intensitas ketegangan antara politi didataran tinggi
Minangkabau, dengan politi pesisir. Raja Kecil sebagai pendiri Siak di wilayah
pantai, membawa darat kedalam hubungan yang lebih dekat dengan pesisir,
bahwa ia dianggap tidak saja sebagai pendiri dan penguasa kerajaan Melayu
modern di Riau Daratan pada awal abad ke-18, melainkan juga diasumsikan
mewakili kepentingan darat, yang didominasi Pagaruyung; Anak IV Suku di
Siak, mungkin menjadi salah satu jawaban atas dugaan ini, tidak saja sebagai
politik balas budi terhadap Minangkabau pendukungnya dalam serangan
terhadap Johor 1718, melainkan juga keberpihakan penguasa Siak terhadap
kerajaan di pedalaman. Keberhasilannya dipandang juga karena Raja Kecil
memiliki kedekatan dengan para pemukim Minangkabau di pesisir dan
sepanjang sungai yang mayoritas adalah pedagang. Seiring perjalanan waktu,
memasuki abad ke-20 nampaknya keterlibatan Minangkabau secara khusus
menandai distrik tradisional “rantau”, di mana sejumlah migran meningkat
tajam menyusul booming karet dari tahun 1920 dan peningkatan jalan
penghubung antara Bukit Tinggi dan Pekanbaru.284

283
Hijman van Anrooij, hal.377-9
284 Reid 1979: 49; Kato 1982: 84, 93 catatan 24, 108.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
185

Akan tetapi, peningkatan drastis migrasi ini diiringi pula dengan


meningkatnya kecenderungan Minangkabau untuk berlaku sebagai
kelompok yang terpisah, mempertahankan adat istiadat yang
membedakan mereka dari orang-orang Melayu: kondisi yang
nampaknya berbeda dengan para pendahulunya dimasa awal
berdirinya kerajaan Siak. 285
Nuansa Melayu dibanjiri oleh tetangga Minangkabau mereka secara intensif,
disebabkan banyaknya kaum perantau itu digunakan oleh Belanda untuk
mengisi tingkatan rendah dalam birokrasi. 286 Selain itu, migrasi massif
Minangkabau ke daerah darat diasumsikan mengabadikan ketegangan darat-
pesisir yang telah lama menjadi ciri khas daerah, dalam beberapa kasus yang
diselesaikan hanya dengan pembentukan terpisah “negara” seperti yang
terjadi di Kampar Kiri, muncul suatu waktu di abad ke-19.287 Di lanskap
Singingi di aliran sungai Singingi yang terletak di percabangan dari sungai
Kampar Kiri adalah pemukiman yang mandiri, tanpa adanya pemerintahan
sentral sehingga memungkinkan meningkatnya iklim masing-masing
kewilayahan dan memunculkan perang-sipil. Dalam rangka untuk
memperbaiki situasi ini, diputuskan untuk meminta bantuan Pagaruyung
yang dalam hal ini, pangeran dari dinasti Minangkabau. Atas permintaan
tersebut maka Pangeran Pagaruyung mengirimkan seorang putra menuju
Gunung Sahilan dan seorang puteri ke Muara Lembu. 288 Pangeran menarik
beberapa negeri bersama-sama dan membuat salah satu Kepala (pucuk
nagari) kepada Chalipah. Dalam menerapkan pucuk nagari dari Gunung
Sahilan, Chalipah dari Kampar Kiri adalah keturunan dari pangeran
Pagaruyung. Menurut O’Brien(1906), Chalipah, yang awalnya bertindak
sebagai pemimpin, mulai merasa semakin mandiri, sementara disisi lainnya

285 Penjelasan atas Kondisi Minangkabau pada era awal di Siak, dapat dilihat dalam Hijman van
Anrooij, 1885. Perbedaan dengan masa sesudahnya, terutama pada masa Republik, mungkin
dapat dilihat pada penjelasan sifat Merantau Minangkabau, yang dilakukan secara berkelompok
pada masa awal Siak, dan cenderung lebih kepada individual pelaku merantau pada masa
kontempoter, perbedaan ini terefleksi pada perbedaan orientasi di tanah rantau. lihat Mochtar
Naim: Merantau: Pola Migrasi Masyarakat Minangkabau. Juga, kontak Pribadi dengan
H.M.Rosdian,M.Si – Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau di Padang
Panjang Sumatra Barat, 6 Agustus 2015.
286
Kato 1982: 109
287 Lutfi 1977: 355.
288 Tideman, 1935: 11.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
186

hubungan dengan Pagaruyung pun semakin melonggar. Populasi akhirnya


mengakui Chalipah di Gunung Sahilan sebagai pemimpin tertingginya atau
raja, dan setelahnya adalah chalipah dari Ludai. Mereka mencoba untuk
menyelesaikan (mufakat), akan tetapi perbedaan menyebabkan tidak dapat
dicapainya suatu kesepakatan, kemudian akan dibahas oleh chalipah Ludai
dengan Kuntu, yang mengklaim gelar penghulu, sedangkan penasihat
tertinggi Chalipah Ujung bukit dengan gelar manteri. Setelahnya chalipah dari
Sanggam adalah seorang perwira penting, dalam kondisi seperti ini, jika tidak
bisa menemukan solusinya, maka kasus dibawa untuk sang pangeran. Dalam
peran yang dipimpinnya itu, ia mengenakan gelar dubalang.
Dengan kesenjangan antar imigran yang berasal dari Pagaruyung di
wilayah Boven Kampar, ini menjadi penyebab banyaknya perang yang
terus-menerus melanda wilayah. Sampai sesaat sebelum pengalihan
Kampar Kiri pada tahun 1905 kepada otoritas Belanda, konflik-konflik
di Kampar Kiri adalah kasus yang ditemui oleh pemerintah Hindia. 289
Ketika Pemerintah Kolonial menaklukkan kerajaan Pagaruyung pasca perang
Padri, dan penguasa terakhir; Raja Alam diasingkan ke Batavia pada tahun
1833, menetaplah di rantau Singingi (rantau Minangkabau) sebagai orang
tersingkir, Raja di Buo, yang kemudian dikenal dengan Yang dipertuan (atau
Pituan) Sembayang dan menikah dengan Tuan Gadis Muda, saudara dari Raja
Alam, Putri mereka hadir, Tuan Gadis Reni Sampur, dimana garis dari ibu
berupa silsilahnya itu, diterbitkan dalam Ijzerman.290 Sementara Yang Pituan
Sembayang banyak bepergian, dan bahkan ketika ia berupaya untuk kembali
ke Buo, O’Brien mengatakan ia ditolak oleh Pemerintah Hindia (bandingkan
dengan IJzerman(1895), bahwa Pemerintah Hindia bukan menolaknya,
melainkan tersebab hasutan seorang penghulu, Raja di Buo membatalkan
niatnya –teringat akan Raja Alam yang diasingkan Belanda ke Batavia,

289 Seperti Pangkalan Indaroeng, sebelumnya adalah sebuah negeri yang makmur dan sejahtera,
hingga terjadinya perang sipil terakhir, didapati sebagai nergeri yang dijarah; (rijstchuran-960),
seluruh penduduknya melarikan diri. O’Brien mengatakan bahwa saat kedatangannya kesana,
sejumlah 30-an orang penduduk telah kembali. Yang lainnya, sebahagian besar bermukim di
distrik Kwantan dimana mereka jatuh terlibat dalam hutang dan juga telah mengupayaan
pertanian menetap; terdapat beban untuk membangun kembali pemukiman dan juga
mempertahankannya; lihat O’Brien, dalam Tijdschr. K.N.A.G., 2de serie XXXIII., Rapport omtrent
de tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-
Landen. Amsterdam, 1906. hal.959.
290 O’Brien, 1906; hal.970, IJzerman, 1895; hal.47.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
187

kemudian istrinya, Tuan Gadis Muda wafat di Muara Lembu, dan


dimakamkan di situ. Adapun Raja di Buo yang wafat setelahnya,
dimakamkan di rantau Kuantan. Kediaman Raja di Buo dan istrinya Tuan Gadis
Muda di Muara Lembu – Singingi, terbagi dalam Lingkoengan Andiko dan
Lingkoengan Daulat, milik terakhir negri, untuk pemeliharaan sehari-hari dari
keluarga Raja, memiliki keprihatinan dan ini memiliki efek yang terbesar. Bagi
O’Brien, berkemungkinan sejak saat itu dinamakan Rantau Tuan Gadis,
dimana ia dimakamkan disana. Makam ini adalah satu-satunya petisi
pangeran di Singingi. Tidak terdapat Raja lainnya, baik laki-laki ataupun
perempuan , dimakamkan di Singingi; bukti bahwa Singingi pernah dihuni
oleh penguasa raja yang telah dikenal,291 dan Kepala yang berdaulat hanya
mengakui kekuasaan dari pangeran Pagaruyung, dan nampaknya kekuasaan
kerajaan ini telah berakhir dengan diasingkannya raja terakhir, Raja Alam.
Terdapat seorang anak Raja di Buo dan Tuan Gadis Muda, Tuan Gadis Reno
Sumpur yang kembali ke Minangkabau dan hidup dalam kegamangan di
Pagaruyung, di mana pemerintahan dibawah Residen Prince, membantunya
dengan dana untuk pembangunan rumah. Di Rantau Singingi ini, orang
tampaknya menganggap Pemerintah Hindia mengakui dirinya sebagai Raja
dari Pagaruyung, sebagai keturunan dari Raja Alam. Bagaimana sebenarnya
hubungan kepala di Singingi dengan Tuan Gadis?
“Bermamak ka Jelo Sutan nan Haji Bandaro” bertuan (ada yang
mengatakan “berajo” (Hal ini membingungkan Belanda) ka
Pagaruyung,” ini adalah aturan hukum yang umum berlaku.
Jadi, menurut O’Brien bahwa Jelo Sutan mengklaim dirinya secara sepihak
sebagai Mamak dari Singingi, Dan tidak seorangpun di dataran tinggi
mengenalinya. Sementara itu, Tuan Gadis adalah keluarga dari Raja Alam;
sepertinya terbukti dia dihormati untuk jangka waktu yang panjang, tetapi
tidak mengenalinya sebagai Tuan atau Raja. Adapun kepala lainnya
mengenalinya sebagai “Tuan,” dan mengklaim bahwa Singingi, adalah
sebagai Rantaunya.
Terdapat perselisihan antara kepala - Singingi sebagai berikut:
Terkisah bahwa terdapat pengajuan ke Pemerintah Hindia pada tahun 1899
dengan bertempat di Siak, segala macam transaksi yang dilakukan dengan

291 O’Brien, 1906; hal.970.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
188

dan melalui mediasi Sultan Siak, dari Gunung Sahilan dan negeri takluknya.
Kemudian Singingi, dilanjutkan sebagai dependensi (taklukan). 292 Datuk
Bandaro Hitam dari Kota Baru Anaro (Anaro ini biasanya dihilangkan)
menyatakan, bahwa ketika Jelo Sutan ingin mengubah adat kuno, dan
bersikeras pada Singingi, dalam hal apapun, Raja Gunung Sahilan harus
mengambil salah satu dari darah murni, yang tersisa dari pembantaian
menakutkan atas Pagaruyung. Terdapat seorang tokoh bernama Angku
Kuning atau Bujang Kuning, juga disebut SULTAN ABDUL MAJID, dikenal juga
sebagai Raja Angku kuning atau Bujang Kuning sebagai seorang putra Raja di
Buo dengan salah seorang perempuan Kuantan: seseorang dengan kelas
keturunan biasa yang berasal dari Kota tuo. Ia menikah dengan adik dari Raja
Gunung Sahilan. Sekembalinya dari Siak, Angku Kuning merasa keberatan
terhadap hasil transaksi dengan Sultan Siak, dan akhirnya juga meminta salah
satu penghasilan dari negeri yaitu pertambangan, karena sebagai putra Yang
Dipertuan Sembayang (Raja di Buo), ia mengklaim Rantau Sibayang dan
Singingi. Kondisi ini, menyebabkan perselisihan dan Angku Kuning pun
menyatakan dirinya sebagai Raja di Singingi dan bermahkota di Kota Baru
dengan gelar Yang Dipertuan Salih. Agar dapat dicapai kedamaian dan
pengakuan di tempat lainnya di wilayah Singingi, ia mengklaim bahwa hal ini
dilakukan dengan persetujuan kakaknya, Tuan Gadis, sebagai “Princess of
Pagarroejoeng.” Tanjung Pauh, Pulau Patai, Kota Baru dan Pangkalan
Indarung mengenali dan mendukungnya. Hanya saja, Muara Lembu dan Patai
menolaknya. Setelah jatuhnya Patai, yang benar-benar diperjuangkannya,
dengan hasil dua Kota itu akhirnya membayar upeti kepada Angku Kuning.293
Ia melanjutkan aksi ini, untuk membangun kota dimana ia bisa mengandalkan
loyalitas penduduknya.
Sementara di Kuntu di Sibayang, Bandaro tua digantikan oleh Sutan Bandaro,
yang ayahnya adalah seseorang yang terusir dari Rokan-stroke: seorang
keturunan Raja. Sutan Bandaro ini memiliki harapan yang lebih tinggi, dia
ingin melakukan sesuatu untuk meningkatkan posisinya menjadi Raja dari
Rantau-Sibayang. Sebelumnya, ia terlebih dahulu menjalin persahabatan
dengan Angku-Kuning dan membantunya dalam pertempuran dengan Patai.
Setelah penaklukan Patai dan Muara Lembu, ia pun kembali mendampingi

292
O’Brien, 1906; hal.971.
293 O’Brien, 1906; hal.972.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
189

Angku kuning, kembali ke Kuntu. Bersama-sama mereka menyerang Kuntu


dan Sutan Chalipah (nama ini diambil untuk Sutan Bandaro sebagai Raja)
melarikan diri ke temannya, yang telah kembali dari perjalanan ke Kota baru.
Di Singingi, Jelo Sutan dengan demikian digantikan oleh Angku Kuning. Jelo
Sutan sekarang bersekutu dengan Haji Bandaro dari Muara Lembu menuju
Gunung Sahilan, untuk meminta bantuan pemulihan perdamaian di
daerahnya. Sebelumnya, ia akan mengakui terlebih dahulu otoritas tertinggi
Raja Gunung Sahilan. Kemudian, mereka pun mengirimkan bantuan, dan
memerintahkan orang-orang Sibayang menuntut Sutan Chalipah, dan juga
mengusir Angku Kuning. Pertempuran berpindah kembali ke Singingi. Jelo
Sutan dan Datuk Haji Bandaro mengizinkan dubalang dari Gunung Sahilan
dan Sibayang (Datuk nan berlimo) untuk menyerang semua negeri, sebanyak
mungkin membakar dan menghancurkan, kecuali Muara Lembu, batung,
pulau padang, Kebon Lado dan Patai, mereka yang tetap setia kepadanya.
Demikianlah misi ini berhasil. Sutan Chalipah dan Angku kuning melarikan diri
ke Kuantan, yaitu kota Tuo; kemudian jatuh lagi Logas dan Pangkalan
Indarung dipedalaman yang menyebabkan penduduknya pun mengungsi.
Negeri-negeri yang mendukung Angku Kuning, oleh dubalang dihancurkan
dan dijarah. 294 O’Brien berpendapat bahwa segala sesuatu yang dilakukan
Angku Kuning itu tanpa sepengetahuan atau izin dari Tuan Gadis. Dengan
demikian, secara hukum tentu saja mereka tidak ada hubungannya dengan
kasus ini. Kondisi yang membuat Raja Gunung Sahilan menuntut Angku
Kuning ke Kuantan, bahkan jika diperlukan; membunuhnya. Akan tetapi,
diketahui bahwa dalam surat-suratnya terhadap Raja Gunung Sahilan, Angku
Kuning tidak berbicara tentang rantau Singingi, atau klaim atasnya; ataupun
menyatakan penyesalannya atas ketidaksetujuan dari tindakan Jelo Sutan
dan Haji Bandaro.

294 O’Brien, 1906; hal.973.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
190

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
191

5
Pesan Kemandirian
Negeri Daratan

Kisah Raja Kecil

Bahwa Kisah pendiri kerajaan Siak, Raja Kecil, memiliki banyak versi berkaitan
dengan pengakuannya sebagai anak dari Sultan Mahmud dari Johor yang
terbunuh di tahun 1699. Tertera dalam sumber-sumber Melayu, juga Bugis
menjadikan kisah pendiri Siak tersebut memiliki multi interpretasi dan bahkan
terkadang menjadi samar. Akan tetapi, E.Netscher, 295 sebagaimana hasil
upaya eksplorasinya atas arsip-arsip di Melaka dan Batavia; bagaimanapun
juga menekankan pentingnya menampilkan babad ataupun kisah Raja Kecil
yang memainkan peranan besar dalam konstelasi politik dunia Melayu di
Selat Malaka. Bahwa kronik Melayu di Selat Malaka diwarnai dengan
pertarungan Siak – Johor – Riouw dengan kekuatan kapitalis Eropa Kompeni
atau dalam khasanah arsip sering disebutkan sebagai OIC(Oost Indische
Compagnie) yang berpusat di Melaka. Bahwa turut berperannya orang-orang
Bugis di percaturan politik-ekonomi di Selat Melaka adalah keniscayaan yang
nampaknya tidak disukai Eropa-Belanda, seperti halnya Netscher yang
menuliskannya sarat dengan aroma prasangka. Meskipun demikian, riwayat
raja-raja Siak yang diuraikannya bersama pergulatan dan pertarungan antar
kerajaan dan penguasa negeri-negeri Melayu – yang tidak saja dibayang-
bayangi dan dalam kerangka kepentingan dagang VOC dan pemerintahan

295Netscher mengisahkan kronik raja Siak mulai dari Raja Kecil hingga Said Ali – dimana ia
menggali dari Hikajat Melayu dan Bugis yang seringkali dikatakannya terdapat kontradiksi yang
sangat tajam; dan untuk menjembataninya, ia berpedoman pada arsip-arsip yang terdapat di
Malaka. Lihat E.Netscher: De Nederlanders in Johor en Siak. 1602 tot 1865. Batavia: Bruining. &
Wijt, 1870. Mulai dari Hoofdstuk III – VII (p.47 -166).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
192

Eropa Melaka, setidaknya dapat memberikan gambaran tentang kebesaran


kerajaan Siak dalam rentang waktu abad ke-18 dan awal abad ke-19.
Timothy P.Barnard menggambarkan Raja Kecil sebagai tokoh yang paling
bertanggung jawab atas penggabungan masyarakat pantai timur kedalam
kesultanan Siak yang berstruktur longgar, ia dan keturunannya mendominasi
sejarah Siak sepanjang abad ke-18. Raja Kecil juga seorang tokoh penting
dalam sejarah tradisional masyarakat lain yang berbatasan dengan Selat
Melaka, serta dari komunitas dataran tinggi Minangkabau. Bahwa
prestisenya, awalnya berasal dari serikat dalam dirinya yang berasal dari dua
budaya yang dominan di kawasan itu, karena itu terdapat spekulasi mengenai
asal-usulnya; meskipun demikian, bahwa ia juga mengaku sebagai anak dari
Sultan Mahmud dari Johor yang dibunuh, ini tidak hanya menjadi sumber
energi bagi kharismanya di Selat, akan tetapi juga merupakan starting point
legitimasi negeri daratan kelak, terutama saat berhadap-hadapan dengan
otoritas Semenanjung. Pewarisan karisma tersebut, meningkat oleh
kedaulatan yang ia bangun dalam pengembaraannya di lautan yang berbasis
masyarakat dari Laut Cina Selatan. Setelah itu ia masih juga harus membayar
otoritasnya, menunjukkan fleksibilitas dalam pemerintahan dan kemauan
untuk mengalihkan kekuasaan ke pusat-pusat lokal lainnya. Pemerintahan
melalui “konsensus dan karisma,” pemerintahannya menyebar tidak hanya
untuk pedalaman Siak, akan tetapi juga untuk outlet maritim dan masyarakat
orang laut di Laut China Selatan, membentang sejauh kepulauan Sulu dan
pantai barat Kalimantan. Raja Kecil tampaknya mewujudkan kualitas sebagai
“manusia cakap”. Raja Kecil adalah satu-satunya dari sultan Siak selama
periode yang dicakup dalam studi ini yang dapat menentukan daerah yang
beragam sebagai penguasa. Seiring waktu dimana kemampuannya mulai
terlihat “gagal” dalam tahun 1730-an, Persatuan pun melonggar, kemudian
telah mencapai kondisi meretak ke dalam loyalitas saingan. Meskipun pendiri
dinasti Siak dikombinasikan dalam dirinya; sifat ganda dari pemerintahannya
itu, sayangnya, penggantinya tidak mampu merekatkan kembali namun
dipaksa untuk berbagi kekuasaan. 296

296 Kahin, 2008.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
193

Netscher sebagaimana Hikayat Melayu mengisahkan riwayat kelahiran Raja-


Kecil, yang terlahir dari seorang perempuan bernama Ince Apung297 dan
Sultan Mahmud yang tewas terbunuh di tahun 1699298, kelahiran secara
misterius ditahun yang sama;299 seorang anak yang memainkan peran besar
dalam kisah Johor. Laksamana menyembunyikan Ince Apung300 ditempat
yang tepencil hingga lahirlah seorang putra. Laksamana mencari cara untuk
membawa anak tersebut guna menghindari bahaya: sang Raja, ia menunjuk
pada seorang kepala di Singapura dimana anak tersebut dipercayakan kepada
Tumenggung Muwar, yang diaku sebagai anaknya sendiri. Ketika anak
tersebut berusia tujuh tahun, Tumenggung Muwar berkesempatan
mengunjungi Johor dan membawa serta anak laki-laki tersebut berjumpa
dengan laksamana dimana pada kesempatan itu ia berziarah ke makam
Sultan Mahmud, yang tentu saja, menimbulkan kcurigaan Sultan yang segera
saja ia berupaya untuk mencarinya. Laksamana, segera saja mempercayakan
sang anak pada pengasuhan seorang pedagang Minangkabau di Sumatra,
yang bernama Nakoda Malim. Nakoda Malim bermukim di Jambi
merawatnya dan memberi nama Tuan Bujang. Dari Jambi, Nakhoda Malim
membawa Tuan Bujang untuk dipertemukan dengan seorang pangeran dari
Minangkabau yaitu Yang Tuan Sakti, yang tidak hanya memperkenalkannya
melainkan juga mengenai kerahasiaan kelahirannya. Pangeran dan ibunya,
sangat senang melihat Tuan Bujang, mengangkatnya sebagai anak mereka
dan juga mengasuhnya. Setelah usianya mencapai tiga belas tahun, Tuan

297 Bahwa suatu malam Sang Sultan memanggil salah seorang selirnya yang bernama Enci Apung
dan merupakan putri dari Laksamana untuk mengurut kakinya, ia merasa ada racun ditubuhnya
dan muntahkan “semen,” dan sang Sultan mengatakan kepada Ince Apung untuk memakan
“semen” tersebut, dan dengan demikian ia akan memiliki anaknya. Ince Apung memakan
“semen” tersebut, dan dengan izin Sang Maha Pencipta, ia pun mengandung. Bahwa penggalan
kisah ini merupakan kiasan bahwa sebenarnya sang Raja saat diurut oleh Enci Apung, merasa
birahi dan kemudian mereka pun berhubungan yang menyebabkan kehamilan Enci Apung.
298 Sepeninggal Sultan Mahmud, atas dukungan Tumenggung Muar dan desakan pembesar

kerajaan, diangkatlah Bandahara menggantikan kedudukan penguasa dan bergelar Sultan Riajat
Sjah IV; dinasti yang dikatakan memerintah dari 1699 – 1720; disini dapat dibandingkan dengan
apa yang terdapat dalam kronik Melayu.
299
Terdapat pendapat berbeda yang mengatakan bahwa Raja Kecil dilahirkan pada tahun 1685,
akan tetapi tidak diketahui darimana Feis memperoleh informasi ini.
300 Bahwa dalam versi lainnya, sebagaimana terdapat dalam Sejarah Raja Riouw; setelah

pembunuhan Sulthan Mahmud Syah, Enci Apung dibawa oleh Laksamana Bebas menuju
Pagaruyung dimana ia melahirkan dan membesarkan Raja Kecil disana.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
194

Bujang meminta izin guna bepergian dan penguasa Minangkabau pun


mengizinkannya. Tuan Bujang melakukan perjalanan menyusuri pedalaman
Jambi menuju Palembang, dimana ia membawa serta kotak sirih dan
bergabung dengan Sultan Lemah Abang; Pangeran ini tengah terlibat dalam
konflik memperebutkan tahta Palembang. Disana, Tuan Bujang mengenal
petualang Bugis, Daeng Parani dan Daeng Celak yang disebut juga Daeng Pali.
Tuan Bujang setelah berpisah dari Sultan lemah Abang, segera menuju
pedalaman. Di Rawas ia menikah dengan seorang Putri dari Dipati Kucing
yang melahirkan seorang putra: Raja Alam. Dia pun bergerak meninggalkan
Rawas, meninggalkan istri dan anak untuk turut serta dalam perang sipil di
Jambi di mana ia terluka di pinggul kiri dan kemudian dari sana ia kembali ke
Pagaruyung dimana Yang dipertuan Sakti merasa senang melihatnya kembali.
Akan tetapi, kisah Raja Kecil semasa berada di Palembang, nampaknya
tidaklah terekam dalam catatan Belanda, baik di Melaka maupun di Pantai
Barat Sumatra. Hanya saja, pada tanggal 5 Maret 1720, diberitakan bahwa
Raja Kecil mengirimkan tiga kapal yang membawa duta penting dari Johor
menuju Palembang dengan misi yang tidak diketahui. Terdapat rumor, bahwa
semasa di Palembang, Raja Kecil memiliki seorang anak perempuan yang
diharapkannya segera dibawa kepadanya kembali dengan mengutus duta
tersebut. Selanjutnya,
bahwa kisah penaklukkan Johor oleh Raja Kecil dan orang-orang
Minangkabau pendukungnya, sebagaimana dikisahkan oleh Andaya 301,
penuh dengan serangkaian pengkhiatan oleh internal Johor sendiri;
berupa pembelotan dan aksi sabotase atas pertahanan Johor.
Nampaknya, kisah invasi tersebut yang berujung dengan hingar-bingar
di Johor, awalnya dimulai dari Pagaruyung.
Yang dipertuan Sakti yang merasa takjub dan surprise atas kepulangan Raja
Kecil, lalu ia pun menanyakan mengapa Tuan Bujang begitu lama
berpetualang, Raja Kecil menjawab: Saya telah mempelajari adat diluar (Patek
Menengok chupak gantang orang). Yang dipertuan Sakti tersenyum atas
jawabannya tersebut, namun ia menyatakan bahwa ia mengetahui dimana
sebenarnya keinginan dari Tuan Bujang. Bahkan, Putri Jamilan mengatakan

301
Leonard Y.Andaya, Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718, Journal of the
Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45, No.2(222), 1972. Hal.51-74.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
195

bahwa ia akan melakukan yang terbaik jika ia segera menuju Siak dan Johor
untuk membalaskan kematian ayahnya. Sebagai persiapan atas misi barunya
tersebut, penguasa Pagaruyung pun menggelar nobat untuk
menganugerahinya gelar – yang diiringi seperangkat tambur; bahwa, Raja
Kecil bersimpuh di sebuah panggung kayu, kemudian Yang dipertuan Sakti
berdiri dekatnya, melafalkan doa dan berkata:
Jika engkau adalah anak dari saudaraku di Johor, keturunan dari
Sulthan Iskandar Zulkarnain, (smoga Allah memberkahi dan juga
menyelamatkannya),
Tuan Bujang lalu dianugerahi gelar “Yang dipertuan Kecil dan nama kecilnya;
“Raja Beraleh.” Kehadapan Raja Kecil, oleh Yang dipertuan Sakti dan Putri
Jamilan dibawalah sebilah pedang yang bernama Sapuryaba, pedang kerajaan
sebagai hadiah pemberian dari raja Kuantan. Lalu Putri Jamilan memberikan
sirih, seuntai rambut yang panjangnya mencapai tigapuluh kaki, dua kupang
shells dan chap(stempel). Chap tersebut dijelaskan dibawa oleh Raja Kecil,
anak dari Istana Pagaruyung yang melakukan perjalanan ke laut (tanah laut).
Dinyatakan bahwa pada setiap wilayah yang dikunjunginya untuk mendukung
dan menyediakan sejumlah 20 real; jika ada yang menolak keberadaan chap,
mereka akan dihukum dengan sumpah tersebut dan juga bisa kawi.302 Raja
Kecil juga didampingi oleh empat hulubalang; Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji,
Raja Mandailing dan Sultan Pakadalian. Setelah upacara tersebut, Raja Kecil
lalu menuju Bukit Batu di Siak dimana ia mengadakan perdagangan Terubuk,
dan ia juga berlayar dan berdagang ke Malaka dengan menggunakan kapal
milik Nakhoda Penangkok. Pada saat itulah, Raja Kecil melakukan
pengamatan dan menemukan sejumlah orang-orang Minangkabau yang
makmur di Bengkalis dan memiliki kapal besar. Ketika akhirnya ia
memutuskan untuk mewujudkan rencana invasi ke Johor tersebut, maka
dilibatkanlah seluruh orang Minangkabau yang berada di Siak dan Johor
untuk membantunya; dengan diberikannya chap (plat tembaga yang telah
diukir) sebagai tanda dari raja Pagaruyung kepada Raja Kecil, agar seluruh
orang Minangkabau yang ditemui memberikan dukungannya; bahwa mereka
memberikan janji setia dan ketaatan kepadanya. Kekuatan dikumpulkannya

302
Bisa Kawi, suatu kekuatan legendaries yang menghukum sesiapa yang melakukan pelanggaran
adat, bahwa menurut tradisi, orang-orang Minangkabau melindungi diri mereka dengan sumpah
dan bisa kawi tersebut.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
196

juga dari masing-masing Luhak Agam, Tanah datar dan Limapuluh. Meskipun
demikian, nampaknya kekuatan belumlah mencukupi dan ternyata terdapat
pula resistensi di pedalaman Siak. Raja Kecil kemudian menuju Batu Bahra
dimana terdapat sejumlah besar pemukim Minangkabau dan ia membaiat
empat Penghulu disana, bahwa masyarakat Minangkabau yang tinggal disana,
dikonsolidasi dengan menggunakan pengaruh Raja pagaruyung tentang
dukungannya dalam memerangi Johor, termasuk pangeran Kwala.
Sementara sang Syahbandar sebagai perwakilan Johor, menolaknya. Raja
Kecil dan para pendukunganya memilih untuk membiarkannya; yang ternyata
Raja Kecil dihadapkan dengan suatu masalah yang berujung pada
pertarungannya dengan Syahbandar. Sebagai seorang pangeran keturunan
raja, Raja Kecil menolak untuk membayar, akan tetapi pada kenyataannya
ternyata ia tetap harus membayar juga. Kemudian Raja Kecil membelah
sepotong emas dari tali “oentjang”-nya (tas kecil dimana sirih dan tembakau
disimpan) dengan sebuah ancaman, “Setelah Siak dan Johor menjadi miliknya,
dia akan meminum darah Syahbandar.” Nampaknya, penggalan kisah ini
dengan beberapa pertimbangan tertentu tidak dituliskan oleh Netscher. Raja
Kecil juga merekrut pasukannya dari Tanah Putih dan Kubu; setelah sukses
melakukan perekrutan, Raja Kecil pun kembali ke Bengkalis. Sementara itu di
Pulau Bengkalis303 dimana telah banyak dihuni oleh orang-orang
Minangkabau,
Setelah Raja Kecil duduk di tahta Siak, ia ingin agar sumpahnya untuk
meminum darah Syahbandar Aur dilaksanakan. Akan tetapi dengan
beberapa pertimbangan, Syahbandar dibiarkan saja, sementara disisi
lain Raja Kecil tetap ingin melaksanakan sumpahnya, sehingga
Syahbandar memberikan jarinya yang dengan goresan kecil luka,
darah pun akan menetes. Akan tetapi mengingat persitiwa ini
menyangkut kedudukan dan martabat, maka dari Syahbandar beserta
seluruh penduduk sebagai punggawanya masing-masing memberikan
sejumlah enam-belas “hadiah tertentu.” Adat ini disebut dengan
“Pungut-pungutan.”

303Bahwa pada bulan-bulan terakhir tahun 1717, Bengkalis dan wilayah sepanjang sungai Siak
berlepas dari kekuasaan Johor, dan menurut laporan dari Kapal Belanda yang melintas disana;
wilayah tersebut telah dipenuhi oleh orang-orang Minangkabau dengan pemimpinnya Raja Kecil
yang mengklaim sebagai keturunan Sultan Mahmod yang terbunuh di tahun 1699 dan
merencanakan untuk menyerang Johor.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
197

Penaklukan Johor 1718


Sebelum invasi Raja Kecil ke Johor di tahun 1718, bahwa pada tanggal 4
Desember 1717, Raja Minangkabau di Pagaruyung mengirim sepucuk surat
kepada Gubernur Melaka yang meminta Belanda untuk menfasilitasinya guna
memperoleh kekuasaan atas tahta Johor. Akan tetapi sejak Dewan Melaka
memutuskan untuk tidak terlibat lebih jauh dalam kerumitan pertikaian di
negara-negara Melayu, dapat dipastikan bahwa sang Gubernur menolak
dengan sopan permintaan tersebut. 304 Bahwa diberitakan surat raja ini
menjadi teka-teki bagi Gubernur disebabkan sebelumnya pada bulan Agustus
dan Oktober ditahun yang sama diterima pula surat dari “Raja Pagaruyung.”
Bahwa surat tanggal 7 Agustus berisi tentang keluhan atas perampokan
barang-barang milik Sultan Johor yang dilakukan oleh orang-orang Bugis. Raja
pagaruyung tersebut bersumpah bahwa jika Belanda menolak permintaannya
untuk mengembalikan barang-barang tersebut, maka pihaknya dan Johor
akan mendeklarasikan perang terhadap Belanda-disebabkan orang-orang
Bugis dianggap sebagai hamba dari Belanda. 305 Kemudian surat tanggal 27
Oktober yang diterima Gubernur berasal dari ”Yang dipertuan Baginda Putri
Jamilan” yang meminta pengembalian barang-barang milik Sultan Johor yang
dijarah orang-orang Bugis di Bengkalis; bahwa Pagaruyung dan Johor adalah
satu (negeri). Jika Belanda menolak permintaan ini, maka Pagaruyung dan
Johor tidak lagi akan bersahabat dengan Belanda.
Andaya mengemukakan bahwasanya dari teks surat Desember tersebut,
nampaknya Pagaruyung sudah dalam keadaan “siap” untuk tidak lagi menjalin
hubungan persahabatan dengan Belanda. Surat yang beratas-namakan
Baginda Putri Jamilan - sebagaimana surat-surat raja terhadap wilayah Pantai
barat dan timur; bahwa juga Johor sebagai satu kesatuan dengan Pagaruyung
disebabkan wilayah Johor merupakan wilayah “rantau” Minangkabau, dengan
demikian berada dibawah pengaruh spiritual dan perlindungan Pagaruyung.
Bahwa, terdapat perbedaan yang substansial antara surat-surat pertama
(Agustus dan Oktober) dengan surat berikutnya(Desember), yang bahkan
bertolak belakang. Surat Desember, nampaknya ditulis tanpa menyertakan

304
Koloniaal Archieve 1787, Overgekomen Brieven 1718, Seccond Mallaca Register, Missive from
Gouv.van Suchtelen in Batavia, 30 january 1718 vol.42, fol 42; Leonard Andaya,1972.
305 Ibid, fol 43; Leonard Andaya, 1972.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
198

cap kerajaan. Gubernur beserta konsil Melaka memperoleh informasi bahwa


ia mengirimkan anak-saudaranya yang bergelar “Siry Sultan Sayet Mohalam
Sa raja la Lulla sulla allam” ke Johor melalui Bengkalis untuk menuntut
kematian raja yang budiman. Bahwa anak saudaranya membutuhkan senjata
dan amunisinya dimana Kompeni diminta untuk menjaminnya, bahkan ia
menuliskan kepada Gubernur untuk tidak terganggu dengan suratnya yang
tidak dibubuhi cap; bahwa anak saudaranya sudah lebih dari sekedar cap
tersebut. Bagaimanapun juga, surat Desember ini tidaklah menunjukkan
kesatuan antara Pagaruyung dan Johor atau tentang urusan Sultan, akan
tetapi lebih kepada urusan balas dendam terhadap Johor atas pembunuhan
Sultan Mahmud Syah. Surat itu, memuat pernyataan-pernyataan intriktif yang
dikirimkan dari perwakilan Pagaruyung (Raja Kecil) yang menunjukkan
kesetaraannya dengan simbol kerajaan (chap). Bahwa, Raja Kecil sebagai
seorang utusan dari Pagaruyung dengan kapabilitas personal yang tangannya
dilengkapi dengan otoritas dan kekuasaan.
Sementara itu, dari pulau Bengkalis Raja Kecil menuju Batu-Bahra, dimana
telah banyak bermukim orang-orang Minangkabau; selain itu juga di Tanah
Putih dan Kubu. Batu Bahra yang terletak di selat Melaka pun mengakui
otoritasnya. Setelah itu, Raja Kecil kembali ke Bengkalis untuk
mempersiapkan serangannya terhadap Johor. Di Bengkalis, datanglah
menemuinya para petualang Bugis, yaitu Daeng parani dan Daeng Celak/Pali.
Pada kesempatan itu Raja Kecil menawarkan “kerjasama”, dengan
kesepakatan bahwa jika berhasil, maka bagi Raja Kecil kedudukan Yang
Dipertuan Besar, sementara daeng Parani memperoleh kedudukan Yang
dipertuan Muda Johor. Pasukan Bugis itu kemudian menuju Langat untuk
memperkuat posisinya, dimana rekan senegerinya berlabuh disana.
Sementara itu Orang Laut dibawah kepemimpinan Raja Negara, yang
mendengar berita rencana invasi balas dendam dari anak Sultan Mahmud
tersebut, segera membelot dari Johor dan menuju Bengkalis memberikan
dukungannya terhadap Raja Kecil. Bahwa, diberitakan orang-orang
Minangkabau yang berada di Bengkalis sebahagian besar berasal dari Johor,
dan mereka membaiat kepada penguasa di Minangkabau. Raja Kecil
membagi menjadi dua kekuatannya untuk masing-masing saling membantu
dalam upaya penaklukan ke Johor. Kapal-kapal telah siap, dan orang-orang
Minangkabau menggunakan kapal dari Orang Laut. Pendekatan baru bagi
armada, ternyata telah menyebabkan kelumpuhan besar dikalangan orang-

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
199

orang Johor. Bahwa mereka mengatakan pasukan dipimpin oleh legitimasi


mereka dan bahwa Laksamana (Orang Laut) telah pergi; bahwa banyak orang-
orang Johor yang masih meragukan klaim Raja Kecil, dan mereka meminta
kepada Raja Kecil untuk membuktikan klaimnya tersebut dengan
menawarkan air payau. Raja Kecil pun setuju, dan ia memasukkan sepotong
gulungan rotan kedalam air payau dan berkata:
“Jika saya memang benar-benar keturunan dari raja Johor, dengan izin
Allah, biarlah air payau ini menjadi tawar.”
Dan ternyata air payau tersebut berubah menjadi tawar, dengan keajaiban
ini, Raja Kecil pun banyak memperoleh dukungan dari kalangan orang-orang
Johor. Sementara itu, pihak Johor yang menerima khabar tentang pergerakan
orang-orang Minangkabau diwilayah mereka, segera memerintahkan
penguatan pertahanannya. Dua Duta besar Johor; Raja Sri Dewa dan
Syahbandar Abdulrahman segera menuju Melaka pada Januari 1718
membawa hadiah dan surat dari Sultan, Raja Muda dan Bendahara Johor.
Surat-surat tersebut membawa keinginan untuk mempertahankan hubungan
persahabatan dengan Kompeni, dan meminta persenjataan dan amunisinya.
Meskipun Duta besar diberikan secara penuh wewenang untuk melakukan
negosiasi mengenai pembaharuan hubungan baru tersebut, mereka
tampaknya tidak membawa suatu yang dapat dijadikan pedoman bagi suatu
kesepakatan, dan segera saja kondisi ini membawa mereka pada situasi
keragu-raguan besar bagi Belanda untuk membantu dan mencegah invasi
terhadap Johor dan mempertahankan Bengkalis dari orang-orang
Minangkabau; bahwa sang duta besar tidak membawa dokumen apapun yang
dapat dijadikan landasan dari suatu negosiasi dengan Belanda.
Semua khabar berita yang berasal dari anak mendiang Sultan Mahmud yang
akan menuntut hak-haknya atas tahta, menyebar luas hingga terdengar oleh
suku laut (rajat) dengan penguasanya; Raja Negara, yang kemudian segera
menuju Bengkalis. Raja Kecil yang memperoleh tambahan kekuatan baru,
tanpa menunggu sekutu Bugisnya, segera menuju ibukota Johor. Bahwa
Belanda memperoleh informasi bahwa dari bengkalis telah berlayar menuju
Johor sejumlah 50 Kapal besar dan kecil. Dan ketika diketahui bahwa Belanda
tidak lagi ingin melanjutkan kebijakan apapun terhadap Johor, para duta
besar, segera meninggalkan Melaka. Syahbandar Abdulrahman, pertama-
tama ia berlayar menuju “Brouwer-straat”(Selat Bengkalis) dan bertemu

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
200

dengan kekuatan dua kapal yang diawaki orang-orang Minangkabau dan


mereka mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang Raja Kecil dan akan
bertarung dengan Tumenggung Johor. Syahbandar yang kemudian berlayar
menuju Muara Johor dan terus menghulu, dimana ia mendengar suara
tembakan meriam dari kejauhan. Kapalnya membuang sauh, dan segera saja
terihat jelas dari sungai kapal musuh mendekat dengan maksud untuk
membunuhnya. Sebelum Syahbandar berbuat sesuatu, seorang anggota awak
kapalnya terjun ke sungai dan berenang mendekati musuhnya; bahwa orang
itu, sebelum melompat ke sungai telah lebih dahulu membasahi mesiu kapal
sehingga tidak ada yang dapat dipergunakan lagi untuk bertempur. Maka dari
itu, lalu Syahbandar bersama dengan 3 – 4 orang pengikut setianya melarikan
diri kehutan. Menurut Andaya, bahwa insiden pengkhianatan terhadap
Syahbandar tersebut bukanlah perkara yang terpisah, melainkan konsisten
dengan thema besar “Invasi ke Johor.” Ketika Bendahara Tun Abdullah dari
Johor berada di pelabuhan Bengkalis seiring dengan kedatangan pasukan
Minangkabau disana, ia mendengar bahwa Raja Pagaruyung mengirimkan ke
pantai tersebut; Raja Kecil, yang telah memiliki reputasi sebagai anak dari
Sultan Mahmud Syah. Ia pun kembali ke Johor dan melaporkan peristiwa
tersebut kepada Raja Muda yang segera saja mengutus Sri Setia untuk
menemui Raja Kecil. Raja Kecil mengatakan kepada Sri Setia bahwa ia adalah
anak dari Sultan Mahmud dan ia bersama-sama dengan armada kapal dan
orang-orang Minangkabau akan segera ke Johor untuk menuntut haknya
sebagai keturunan Raja. Bahwa, laporan dialog tersebut berdasarkan
keterangan dari Syahbandar Abdulrahman kepada Belanda tanggal 25 Juli
1718, inilah alasan bagi kecurigaan Raja Muda menjadi lebih jelas:
Setelah melarikan diri dari kejaran pasukan Raja Kecil, kami bertahan
selama tujuh belas hari di hutan(dimana untuk bertahan hidup mereka
memakan dedaunan dan memburu hewan yang ada di hutan
tersebut). Kami tiba disuatu tempat didekat Johor yang bernama
Ziddilly (Sedili) dimana kami mengetahui bahwa Raja Muda dan Datu
Bendahara saling terasing satu sama lainnya, dengan perselisihan
diantara mereka, sebagai akibat Raja Johor mentransfer kekuasaan
dari Raja Muda ke Datu Bendahara. Raja Muda, bagaimanapun juga
tidak dapat menerima hal tersebut dan memohon kepada Raja tua itu
untuk diperkenankan memelihara pos nya (semenjak ini adalah hak
kepadanya bahwa kerajaannya diperkirakan akan jatuh, dimana

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
201

membawanya juga pada tahap pertama dari kejatuhannya) dalam


upaya menahan kejatuhan dan untuk memperbaiki kejayaan kerajaan
seperti sebelumnya. Raja tidak mendengarkan permintaan tersebut
dan tetap saja mengalihkan kekuasaannya pada Datu Bendahara.
Boleh jadi ia menjadi marah, dan ia segera saja memulai persiapan
untuk berlayar, Raja tua dan Datuk Bendahara menyarankan jika ia
hendak pergi dan bermukim ditempat lain, jangan kearah hilir,
melainkan kearah pedalaman; saran yang nampaknya dituruti oleh
Raja Muda, ia berlayar ke pedalaman dan menetap disuatu tempat
dengan para pengikutnya. 306
Laporan dari Kapten Laut Portugis yang berada di Johor pada Oktober 1717
hingga pasca invasi, menyebutkan bahwa transisi kekuasaan yang terjadi,
penuh dengan situasi yang tidak menentu, Raja Kecil tidak ada membuat
suatu tindakan berkaitan dengan hal tersebut. Raja Muda tidak pernah
melapaskan kontrolnya atas pemerintahan semenjak kapalnya menetap di
Johor. Bahwa kekuatan telah mengalami krisis sejak Bendahara dicurigai oleh
Raja Muda berkolusi dengan pihak Minangkabau. Ketika Raja Muda Tun
Mahmud mendengar Raja Kecil telah memasuki di Muara Johor, ia segera
memerintahkan armada di Sungai Johor dibawah komanda Sri Biji Wangsa,
Paduka Raja dan Tumenggung, untuk melakukan perlawanan terhadap
pasukan Minangkabau.
Kepanikan melanda orang-orang Johor di ibukota ketika didapati
seluruh meriam Johor ternyata saat itu tidak dapat dipergunakan.
Raja Muda menyadari bahwa saat itu tidak lagi ada harapan untuk
mengalahkan kekuatan Minangkabau sejak begitu banyaknya orang-orang
Johor yang mengkhianatinya. Ia menguasakan kepada Bandahara untuk
melakukan negosiasi dengan kapal Inggris dan Portugis untuk mencegah
Pasukan Minangkabau memasuki sungai menuju ibukota. Pihak Johor pun
menerima dari kapal Inggris Sembilan artileri dan delapan meriam kanon,
namun orang-orang Inggris itu tidak membantu untuk menahan barisan
Minangkabau. Ketika Bandahara mencoba untuk mendekati pasukan
Minangkabau untuk membuat suatu upaya negosiasi damai, sayangnya,

306
Report of the refugee Shahbandar Abdulrachman of Johor to Governour van Suchtelen, 25 July
1718, fols.45-47; Leonard Andaya, 1972.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
202

pasukan Minangkabau itu justru menembakinya dan memaksa untuk segera


berlayar ke pedalaman menuju Johor Lama. Mendengar berita bahwa
sepasukan asing telah menyusuri sungai mendekati kota, maka Raja Muda
dan sejumlah besar lainnya pun memutuskan untuk mengungsi ke daerah
pedalaman. Dalam suatu sumber hikayat, dikatakan bahwa dipantai
Bendahara dengan Sultan Abdul Jalil berkeliling, tidak ada sumber daya bagi
mereka, hingga akhirnya mereka memutuskan untuk menuju padalaman
dimana mereka berada selama lima hari sampai ditemukan oleh pihak Raja
Kecil, Panglima Bujong. Ia menyampaikan bahwa ia diutus oleh Raja Kecil
menemui Sultan Johor dan Bendahara,
bahwa Raja Kecil datang bukan untuk membumi-hanguskan Johor,
melainkan untuk “memenuhinya dengan bebungaan.”
Sultan Johor tidak mempercayainya, dan berkeyakinan bahwa Panglima
Bujong diutus untuk membunuhnya. Hanya ketika Panglima Bujong
bersumpah bahwa maksudnya benar-benar tulus, Sultan dan Bendahara
akhirnya mengikuti sang Panglima menuju Johor. 307
Terdengar bahwa Laksamana Sri Nara di Raja, Datu Temenggung dan Raja
Indra Muda telah memutuskan untuk membunuh atas saran Sri Bija Wangsa
dan Enchi Siam. Beberapa Orang Kaya lainnya juga telah bergabung dengan
pihak Raja Kecil dan juga telah menyetujui pembunuhan terhadap Bendahara
Tun Abdullah dan beberapa orang pengikutnya, tetapi mereka frustasi dengan
terjadinya beberapa pencegahan yang dilakukan oleh Bendahara. Diantara
orang Kaya tersebut terdapat Sri Dewa, yang diutus pada 13 Januari 1718 ke
Melaka untuk merundingkan permintaan bantuan Belanda untuk berhadap-
hadapan dengan orang-orang pengikut Raja Kecil. Meskipun Raja Muda Tun
Mahmud mengetahui bahwa Orang Laut telah bergabung dengan Raja Kecil,
ia tidak menyadari beberapa pengkhianatan lain hasil penghasutan dari
Bendahara. Raja Muda mengirimkan armada hingga tujuh puluh kapal
kerajaan dengan tiga orang panglimanya yang merupakan seorang saudara,
sepupu dan keponakan dari Sulthan Johor. Mereka merasa sudah cukup kuat
dan memulai untuk melakukan penyerangan. Ketika dua armada itu sudah
saling berhadapan, awak kapal Johor terjun ke sungai dan membelot ke Raja
Kecil. Pemimpin armada Johor lalu mencoba untuk menembakkan meriam

307 Andaya, 1972.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
203

mereka, namun mereka mendapati tidak satu senjata meriam pun yang dapat
berfungsi. Mereka menyadari posisinya yang tanpa harapan, mereka pun
kembali dan menyampaikannya kepada Raja Muda atas gerangan apa yang
telah terjadi. Langsung saja Raja Muda mencurigai Bendahara atas apa yang
telah menimpa armada Johor tersebut. Raja Muda memutuskan untuk
membunuh Bendahara, namun Sultan menahannya dan menyarankan untuk
memerintahkan Bendahara agar tetap berada ditempatnya. Bendahara
merasa ia telah berada pada level tertinggi di Kerajaan Johor. Ia sungguh-
sungguh mempercayai bahwa ia dapat memperoleh kekuasaan lebih besar
pada kerajaan dan atas persetujuan Sultan, meskipun ia telah menyerahkan
armadanya pada Raja Kecil. Lalu ia pergi menemui orang Portugis, berpura-
pura menanyakan ihwal tentang bantuan mereka sebagaimana maksud Raja
Muda telah mengutusnya menemui mereka, namun kenyataannya untuk
mengalihkan atau melemahkan Raja Kecil. Raja Muda menyadari kesia-
siaannya dalam upaya menyelamatkan kerajaan dan ia pun melarikan diri
pada 4 Maret 1718 dengan membawa sejumlah besar emas yang dikhabarkan
sangat banyak hingga membutuhkan sejumlah 30 orang untuk
mengangkatnya dalam dua perahu kecil (sekoci). Kemudian, Raja Muda dan
pengikutnya bertempur guna mempertahankan sekoci mereka dan akhirnya
mundur ke pedalaman akibat tekanan Raja Kecil.
Bendahara, ia mendirikan benteng dengan sepasukan untuk mengamankan
Johor. Benteng tersebut sangat kokoh yang dilengkapi dengan meriam yang
diarahkannya ke lintasan kapal disungai, sehingga setiap kapal yang
mendekatinya akan mudah untuk dibidik. Bahwa, pasukan Bendahara ini,
jumlahnya dikhabarkan mencapai 4000 orang. Meskipun demikian, Pasukan
Bendahara dikepung sedemikian rupa sehingga terpaksa untuk meninggalkan
benteng; Bendahara pun mundur untuk menyelamatkan hidupnya. Menurut
Kapten Tavares, dengan taktik tertentu yang diyakini oleh Raja Kecil,
memungkinkan baginya untuk merebut kerajaan Johor. Terdapat beberapa
poin menurut Kapten Tavares sehubungan dengan penaklukkan tersebut;
1)Bendahara memegang posisi krusial dalam peristiwa ini, baik dalam
pertahanan maupun pengkhianatan terhadap Johor; 2)Banyaknya
pembelotan dari para pendukung Johor, terutama Orang Laut yang
persentase populasinya cukup besar dari keseluruhan armada laut Johor;
3)Tokoh misterius Raja Kecil; ketiga faktor tersebut dikatakannya merupakan
penyebab dari kekalahan Johor di tahun 1718.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
204

Bahwa Pertahanan Johor mencoba menembakkan meriam mereka kepada


pasukan Raja Kecil, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa mesiu telah
disabotase dengan air, sehingga Raja Kecil dengan pedang Sapuryaba di
tangannya dan tentu saja para hulubalangnya dapat merapat dan menyerang
kota. Ketika Yang dipertuan mendengar bahwa Raja Kecil telah memasuki
kota, ia segera meninggalkan istana dan menuju ke Kampong. Sehingga, Raja
Kecil tidak menemukan perlawanan berarti dan ia pun beserta hulubalangnya
segera memasuki istana. Bahwa menyebar dikalangan Johor, Orang Laut
tidak memperingatkan Johor akan serangan Raja Kecil, sehingga Johor benar-
benar dalam situasi minim dari penjagaan pertahanan. Halnya dengan raja
Muda, ketika Raja Muda diberitahu bahwa musuh telah menyerang, ia
mengabaikan dan terus saja melanjutkan permainan caturnya. Sampai ketika
pertempuran sudah berada didepan matanya, akan tetapi didapatinya banyak
orang-orang Johor bergabung dengan musuh yang disebabkan sang
Laksamana, telah berbalik berkhianat. Raja Muda pun mengamuk, ia terpaksa
membunuh isterinya sendiri agar tidak ditangkap oleh pihak musuh, dan ia
terus menyerang pasukan Raja Kecil hingga akhirnya ia sendiri gugur di Kayu
Anak.
Dikisahkan dalam Hikayat, bahwa Sultan yang semula telah melarikan diri,
namun atas saran dari menterinya, ia pun menyerahkan diri. Segera saja,
Yang dipertuan kembali dan menempatkan dirinya pada pengampunan dari
Raja Kecil yang disebabkan hatinya telah terbebani oleh pembunuhan Sultan
Mahmud Syah. Ia tiba dan memberikan penghormatan kepada Raja Kecil dan
dikembalikan kepada kedudukannya semula, Bendahara. Lalu Raja Kecil
mengangkat dirinya menjadi Raja Johor dengan gelar “Sultan Abdul Jalil
Rahmat Syah, menggulingkan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah; peristiwa yang
nampaknya, terjadi pada tanggal 21 Maret 1718. Sang Sultan terguling,
memiliki dua putra dan tiga putri; masing –masing bernama Raja Sulaiman
dan Tengku Abd'ul Rahman, kemudian tiga anak perempuan yang disebut
Tengku Tengah, Tengku Kamariyah dan Tengku Mandah. Berkemungkinan
untuk menjaga persahabatan, Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah atau Raja Kecil
bermaksud meminang TengkuTengah. Akan tetapi ketika pernikahan itu
sudah di ambang, ia melihat adik bungsunya-Tengku Kamariyah dan
memutuskan bahwa pernikahan akan dilangsungkan dengan sang Bungsu
sebagai mempelai – perbuatan yang berdampak dikemudian hari. Tidak lama
kemudian, pemimpin Bugis - Daing Parani, tiba di Johor dan meminta agar

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
205

Raja Kecil menghormati janjinya untuk mengangkat sebagai Raja Muda. Raja
Kecil menganggap tidak ada pelanggaran yang telah ia lakukan sesuai dengan
kesepakatan Bengkalis – bahwa tanpa menunggu Daeng Parani, Raja Kecil
melakukan penyerangan terhadap Johor. Nampaknya Raja Kecil tidak ingin
meneruskan kesepakatan tersebut yang juga ditentang oleh seluruh
pembesar kerajaan. Menanggapi ini, Daeng Parani merasa tidak senang dan
dimanfaatkan oleh Raja Sulaiman – putra sulung dari Raja terguling. Raja
Sulaiman bersepakat dengan adiknya; Tengku Tengah - yang menaruh rasa
malu dan dendam atas peristiwa yang dialaminya terkait dengan perkawinan
dimana Raja Kecil lebih memilih adiknya-Tengku Kamariyah. Netscher,
bahkan merasa perlu untuk menuliskan bahwa kronik-Melayu juga memuat
kisah roman dalam kepentingan perebutan kekuasaan Johor yang melibatkan
Daeng Parani. Bahwa disuatu ketika disaat ketika Daeng Parani tengah
bersantap siang; pintu yang tertutup tiba-tiba saja gorden(tirai) tergulung dan
pintu terbuka – tampillah Tengku Tengah dengan gaun yang sangat indah di
mata sang bangsawan Bugis dan terdengar suara Tengku Tengah,
“Oh Raja Bugis !
Jika tuan ingin bekerja sama untuk menyelamatkan beta dari rasa
malu anak-beranak, adik beradik, maka apabila tertutupkan rasa
malu, Beta akan menjadi budakmu, jikalau menjadi penanak nasi raja
pun, ridholah beta.”
Kelanjutan episode ini adalah Daeng Parani melangsungkan perkawinan
dengan Tengku Tengah – bergabung dengan Raja Sulaiman untuk melakukan
persekongkolan pembunuhan atas Raja Kecil. Rencananya, Raja Sulaiman
akan menjadi Yang di Pertuan sementara Daeng Parani sebagai Yang di
Pertuan Muda. Rencana disusun melibatkan Tengku Tengah, di saat Yang di
pertuan Raja Kecil tengah berdoa di istana, Tengku Tengah membawa Tengku
Kamariyah sebagai sandera ke rumah ayahnya – Bandahara. Raja Kecil yang
mendengar perbuatan nakal ini menjadi sangat murka dan memerintahkan
penyerangan ke tempat Bandahara guna membawa kembali Tengku
Kamariyah. Bandahara, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah bergegas
melakukan pelayaran menuju Pahang – sementara dengan tergesa-gesa
Daeng Parani berlayar menuju Langat dimana disana terdapat sekutu
Bugisnya untuk bersiap-siap melakukan penyerangan ke Johor. Lasamana
Sakam yang diperintahkan Raja Kecil mengejar dengan menggunakan
beberapa kapal berhasil berjumpa dengan Bandahara di muara Sungai
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
206

Pahang. Laksamana memberitahukan perintah Sultan atasnya, dan dijawab


oleh Bandahara bahwa ia juga merasa bersalah, dan akhir cerita ini bahwa
Bandahara terbunuh. Bandahara kemudian dikenal sebagai “Marhum
Mangkat di Kuala Pahang.” Tengku Tengah dikembalikan oleh Laksamana ke
Johor, dan Raja Sulaiman melarikan diri ke pedalaman Pahang.
Dapat pula kita membandingkan peristiwa buron hingga terbunuhnya Sultan
Abdul Jalil Riayat Syah ibni Bendahara Seri Maharadaja Tun Habib di Kuala
Pahang tersebut diatas, berdasakan catatan seorang Pedagang Scotland,
Alexander Hamilton yang mengunjungi sang Sultan di Trengganu pada tahun
1719 dimana saat itu Sultan menjadi seorang buronan, yang nampaknya
hidup dalam kesusahan. Menurut Hamilton, ketika masa sebelumnya pada
1717 ia bertemu Sultan; digambarkannya sang Sultan sebagai seorang yang
saleh, dan memandang persoalan tahta Johor sebagai hal yang tidak perlu
diperdebatkan lagi. Bahwa akibat penyerbuan Raja Kecil, Sultan melarikan diri
ke Trengganu hingga tahun 1721, dan kemudian berpindah ke Pahang dimana
ia dibunuh oleh pasukan Raja Kecil disana. Laporan Hamilton dalam A new
Account of the East Indies: Edinburgh;1727, 2 vols: tentang masa pengasingan
Sultan – meskipun masa tersebut sebagai masa yang penuh dengan kegetiran,
akan tetapi Sultan dengan semangat akan membicarakan bagamana caranya
ia dapat memperoleh kembali kerajaannya. Sultan bercerita bagaimana
kekuatan militer Belanda, ataupun Inggris akan dapat membantunya merebut
dan membangun benteng pertahanan disana dan ia akan senang untuk
berada dibawah proteksi kekuatan Eropa tersebut. Pada waktu bersamaan,
terdapat kapal Perancis yang sedang dalam perjalanan ke China, dan sang
Sultan nampaknya menulis sepucuk surat yang diberikannya kepada Kapten
Kapal; Villaumont Gardin, surat yang berisikan permintaan Senjata dan
amunisi kepada Raja Perancis, akan tetapi nampaknya hal tersebut tidak
berlanjut, dan bahwa surat tersebut yang ditulis dalam bahasa Melayu itu
tersimpan di Perpustakaan Nasional di Paris. Bahwa Kratz menyebutkan
terdapat perbedaan kisah tersebut sebagaimana yang terdapat dalam
Sumber-sumber Melayu.308
Bahwa Raja Kecil menyesali peristiwa terbunuhnya Bandahara – sebab
isterinya Tengku Kamariyah sangat dekat dengan ayahnya; sang Bandahara.

308
Lihat E.U.KRATZ, A Malay Letter to Louis XV, King of France, dalam Archipel: Volume 17, 1979,
hal.49-61.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
207

Kejadian ini menyebabkan Raja Kecil tidak merasa nyaman untuk menetap di
Johor – terlalu banyak permasalahan baginya – dan kemudian memutuskan
untuk menetap di Riouw. Akan tetapi tempat tersebut diserang dan berhasil
diduduki oleh Daing Parani dan Raja Soleiman dengan satu kekuatan pasukan
Bugis. Raja Kecil pun menyingkir ke Lingga dimana kembali ia diserang oleh
orang-orang Bugis. Oleh sebab itu Raja Kecil kembali ke perairan Riau dan
beruntung baginya terdapat sebuah kapal besar dengan laksamana perang –
dan dengan kapal tersebut ia mendatangi tempat utama di Riau dan dengan
bantuan orang-orang Minangkau ia berhasil menaklukkan tempat tersebut
dan mengusir daeng Parani. Daeng parani melarikan diri ke Selangor, dimana
terdapat sejumlah 30 kapalnya berlabuh di Linggi yang merupakan taklukan
Johor,dan ini dianggap sebagai ancaman. lalu Sultan Linggi meminta bantuan
dan dengan semua perlengkapan perang segera mendatanginya. Kondisi
tersebut menyebabkan untuk sementara Riau tetap aman. Raja Kecil yang
mendengar bahwa Sultan Soleiman bergegas dari Pahang menuju Riau; atas
saran para pembesar kerajaan dan untuk kebaikan dan keselamatan
keluarganya ia segera meninggalkan Riau menuju ke Siak dan menetap di
Buantan.309
Terdapatnya kisah perseteruan Raja Kecil dengan aliansi Sultan Sulaiman dan
kelompok Bugis; sehingga akhirnya Raja Kecil harus meninggalkan Riau untuk
beralih menuju Siak sebagai akibat ketidakberhasilannya mempertahankan
kedudukannya disana. Akan tetapi, bukan hal itu yang penting; melainkan
yang lebih mendasar dapat kita lihat atas peristiwa yang menyertai invasi Raja
Kecil dan Pasukan Minangkabaunya ke Johor tersebut. Bahwa fokus dari
perihal terbunuhnya Raja Muda, mungkin dapat dicari penjelasannya dari
situasi menjelang invasi. Bahwa Johor telah mengalami konflik-konflik
internal dan trauma pasca pembunuhan Sultan Mahmud tahun 1699, antara
Bendahara Tun Abdullah dan Raja Muda Tun Mahmud. Ketegangan ini
semakin meningkat dengan peperangan terhadap Bugis tahun 1715, dan
milleu yang tidak kondusif ini membuat buruk hubungan terhadap pemukim

309
Lebih jauh dijelaskan Netscher bahwa di Buantan Raja Kecil mengadopsi model pemerintahan
Suku Minangkau yang berkemungkinan disebabkan Siak sebahagian terutama dihuni oleh orang-
orang dari Pedalaman Sumatra tersebut. Bahwa sebagimana di Pantai Barat Sumatra yang
disebut dengan empat Soekoe; Lima Puluh, Pasisir, Tanah Datar dan Kampar. Setiap suku
memiliki pemimpinnya sendiri dan berada tidak langsung dibawah Sultan melainkan pemimpin
sukunya tersebut. Hasil pendapatan negeri dibagi antara Sultan dan Kepala Suku.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
208

Minangkabau yang ada di Johor. Pada tanggal 12 November 1716, Residen


Jambi memberitakan tibanya dari Johor sejumlah 100-an orang yang terdiri
laki-laki, perempuan dan anak-anak. Mereka mengatakan bahwa Kesultanan
Johor telah “menjarah” mereka, meski Sultan dkatakan sudah memberikan
jaminan terhadap mereka disana; sejumlah 300-an orang dalam tujuh
balok(perahu kargo Melayu), empat berlabuh di Indragiri, satu di Palembang
dan dua di Jambi. 310 Selain itu, perilaku Raja Muda yang menjadikan
perempuan Minangkabau sebagai selir dan yang lainnya budak-hamba,
cukup menyentuh sensifitas Puteri Jamilan sebagai “Raja Perempuan
Minangkabau” yang berbasis matrilineal, sehingga akan dapat diperkirakan
sebab-sebab terjadinya peristiwa invasi 1718. Sebelumnya, pemadaman
pemberontakan Minangkabau di Siak menjelang akhir abad ke-17,
nampaknya juga merupakan faktor yang mempertajam konflik antara politi
dataran tinggi dan Semenanjung. Meski hanya berusia kurang lebih empat
tahun saja berkuasanya Raja Kecil di Johor, akan tetapi pesan tersirat yang
disampaikan oleh politi daratan telah sangat jelasnya;
pesan kemandirian, terlepas dari dominasi kekuasaan Johor atas politi
di pesisir Timur Sumatra (Siak) yang didukung oleh orang-orang dari
Dataran Tinggi.
Selanjutnya perjalanan sejarah Siak, penjajah Belanda telah secara tidak adil
menggambarkannya sebagai “politi bajak-laut.” Meskipun demikian, elit
penguasa Siak dengan mengkombinasikan strategi tradisional dan
ketrampilan diplomasi telah seringkali memenangkan kontrak yang dapat
berupa senjata yang acapkali diterima sebagai hadiah. Perluasan penjajahan
Eropa, bagaimanapun juga, elit Siak (anak dan cucu Raja Kecil) tetap dapat
memainkan perannya dikancah perdagangan selat terutama pada paruh
kedua abad ke-18 dan awal abad ke-19. Akan tetapi seiring waktu,
peningkatan besar modal Eropa terutama pada perluasan perkebunan
komersial, telah meminggirkan Siak dari peran utamanya dalam politik di
Selat. 311

310
KA 1787, OB 1718, missive from Resident Carel van Der Putte of Jambi to Batavia, 13 Februari
1717, fol 7; Leonard Andaya,1972.
311J. Kathirithamby-Wells, Siak and its changing strategies for survival, c. 1700-1870,
Studies in the economies of East and South-East Asia, p. 217-243, 1997.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
209

Gambar 5.1.Wilayah kekuasaan Siak abad ke-18


Sumber: Pluvier,Jan M., Historical Atlas of Southeast Asia, Leiden:
E.J.Brill, 1995,26

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
210

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
211

6
Aneksasi Pesisir 312

Riau diantara Inggris - Belanda

Pantai Melaka adalah salah satu pusat pertama perdagangan Perusahaan


Dagang Hindia Timur atau Vereenigigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Mereka membuka hubungannya dengan Sultan Johor, kemudian melakukan
negosiasi mengenai pertentangannya dengan Spanyol – Portugis. Selain itu,
Melaka, sebagai titik utama dari cabang Portugis, pada awalnya tidak segera
dapat dikuasai, sehingga mereka pun mencari kantor mereka di titik yang
lain, yakni; Batoesawer. Meskipun demikian, mereka tidak berhenti hingga
jatuhnya Melaka di tahun 1641, dengan sendirinya hal ini menyebabkan
Portugis memiliki cukup waktu untuk menanamkan pengaruhnya di
kepulauan nusantara. Sementara menjelajahi wilayah tetangganya disekitar
Melaka, perdagangan yang ada di Pantai Timur Sumatra hingga abad ke-17,
telah dipimpin oleh negeri-negeri Melayu yang berada disana. Perjanjian
berhasil dijalin sendiri oleh VOC dengan beberapa pangeran lokal dengan
mengesampingkan pihak lain, pabrik pun didirikan di Aceh dan Jambi, di mana
Bandar (Pasar) di Palembang, Indragiri, Bengkalis, Deli; selain itu kerajaan
lainnya juga dikunjungi. Pada era tersebut, dalam catatan “Pengantar Kisah
Perkebunan Deli,” “Orang kaya” (De Rijken), kebanyakan berada di Aceh dan
Siak, karena mereka selama dua abad berada dalam kondisi yang mirip satu
sama lainnya, sementara daerah antara sungai Panei dan Panei Besitan,
ternyata ditemukan memiliki persengketaan.
Kesultanan Johor yang di masa lalu bersama negeri-negeri di pantai timur
juga memainkan peran yang cukup signifikan hingga abad ke-18, terkait cukup
erat dengannya adalah kerajaan Siak. Pada awal abad ke-17 Deli berada
dibawah Aceh, lima puluh tahun kemudian pada abad ke-18 menjadi bagian

312 Maksudnya pencaplokan wilayah pesisir oleh kolonialis Belanda.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
212

dari Siak, dan kemudian Belanda dengan pengerahan kekuatan yang cukup
besar, yang sekarang disebut bagian dari Pantai timur Sumatera. Adapun
dapat dikatakan disini, bahwa suatu otoritas, kebangkitan dan
kemundurannya tergantung pada kekuatan dan kelemahan sultan dari
kerajaan yang menjadi jiran-nya. Ini tidak akan mengganggu, menyatakan
bahwa hal itu mungkin saja jika dilihat dari kisah-kisah fantastis dari entitas
dinasti utama milik sejarah, terutama persoalan kewilayahan yang hingga
awal abad ke-20 pun masih digali dengan begitu berat: seperti Lanskap Deli
dan sekitarnya yang luar biasa dikonstruksi dengan pembentukan tanah-
tanah swasta dari industri perkebunan. Pada tahun 1689 setelah perjanjian
dengan Sultan Johor, maka ditutuplah semua perdagangan di Sungai Siak,
sementara itu VOC membangun kantor pertamanya di kawasan itu: Tapung
kiri, namun segera ditutup karena sedikitnya perdagangan yang berlangsung
disana. Terkadang dilakukan sebuah misi kapal yang berangkat dari Malaka
menghulu menuju Siak dan dianggap cukup untuk mempertahankan
kepentingan perdagangan. Namun, meskipun VOC akhirnya muncul di Siak,
akan tetapi nampaknya juga tidak bisa berbuat tanpa pengadaan kontrak-
kontrak tertentu. Hingga pertengahan abad ke-18, terjadi konflik antara dua
anak dari Raja Kecil(Raja Buang dan Raja Alam), salah satunya pergi ke
Melaka: dikatakan bahwa mereka memiliki penyelesaiannya di pulau Guntung
di Sungai Siak, sebuah posisi yang menguntungkan dan terletak di atas tanah
wilayah Tapung kiri. Akan tetapi beberapa tahun kemudian Pulau Guntung
ditinggalkan tersebab adanya resistensi lokal, dan karena tidak lagi relevan
dengan perkembangan yang ada. Sementara itu dari faktor eksternal, pada
akhir abad ke-18, Belanda menjadi Republik dan menekan VOC yang
terperangkap antara kekuatan Inggris dan Perancis. Dengan otoritas yang
tidak adil dari gubernur William V, tibalah kaki-tangan gubernur tertinggi dari
Perusahaan Inggris. Otorisasi berkuasa lagi dan memegang beberapa pos –
dan untuk menghadapi perlawanan sengit, dan memfasilitasi kapten Inggris
yang terlibat dalam beberapa penjarahan; seperti pada tahun 1795, Melaka
dan Pantai Barat Sumatra menyerah pada Inggris.
Setelah Restorasi kemerdekaan Belanda pada tahun 1814, antara pemerintah
di Den Haag dan London, dibuatlah perjanjian untuk mengembalikan koloni,
kecuali Cape, Ceylon dan Guyana, yang di tahun 1816 adalah termasuk dalam
wilayah yang akan diserahkan. Namun, ini belumlah selesai. Lebih jauh lagi
otoritas Inggris di Kepulauan Hindia segera saja dapat menemukan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
213

kesenangannya yang terwujud dalam implementasi perjanjian lengkap, hal


ini, Belanda mengasumsikannya terutama disebabkan rasa ketakutan Inggris
akan berkurangnya peran perdagangan mereka di perairan ini.313
Tidak lama kemudian, kesulitan para kolonialis Eropa pun berakhir
pada tahun 1824.
Puncak dari perjanjian antara keduanya, dijanjikan berada di selatan
Singapura. Hasilnya, tidak lagi ditemui terdapatnya kantor Belanda di Melaka:
semua diserahkan ke pihak Inggris. Selain itu, Sumatera sepenuhnya menjadi
penguasaan Belanda dengan pembatasan wilayah Aceh yang diakui
kedaulatannya.
Inggris mengakui Neerlands, Neerlands mengakui Inggris.
Perdagangan kolonial, bagaimanapun juga, jika berada dalam posisi menjadi
pedagang asing, maka harus membayar lebih tinggi ketimbang dari
pedagang mereka sendiri. Apa arti penting dari dua puluh lima tahun Inggris
yang berada dalam “manajemen” setelah saat itu mereka keluar dari wilayah
pantai timur Sumatera? Menurut Belanda, jawaban tersingkat akan terlihat
ketika dilakukan penelitian pertama untuk melakukan penilaian ulang atas
perdagangan budak Eropa. Masalahnya adalah saat itu terlalu penting bagi
Pemerintah Hindia, dan Belanda sendiri pun tidak memiliki Penjelasan yang
lebih mendalam. Belanda mencoba berharap, terutama untuk melihat lebih
baik lagi kondisi dari “kerangka rumah” yang akan segera dimilikinya.
Para pejabat EEIC(English East Indie Company), seperti Raffles,
Farquehar, Anderson, dituduh oleh rivalnya sebagai pihak yang
menyesalkan kembalinya koloni Belanda di Sumatra.
Setelah tahun 1816, ditemukan terdapat sedikit bukti untuk perusahaan
mereka, terlebih atas cabangnya dengan hak milik di Sumatera dan ini
setidaknya bagi Inggris, pemerintah Hindia memiliki hak berdaulat yang

313
Pada awal abad tersebut, Inggris memiliki perhatian mereka ke negeri-negeri Sumatera
khususnya yang berdekatan dengan Selat Melaka. Meningkat pesatnya perdagangan Pulau
Pinang membawa negeri-negeri ke dalam kontak lebih dekat dengan para pedagang dan
penguasa Inggris: kiriman dari Inggris memiliki beban untuk perluasan dan pengembangan
perdagangan dari Sumatera menuju Pulau Pinang. Ketika diketahui bahwa, Malaka akan kembali
ke Belanda di bawah perjanjian London 13 Agustus 1814, Inggris berupaya mencari titik yang
baru, dimana mereka bisa memastikan Perdagangannya di Selat Melaka.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
214

dapat ditegakkan. Meskipun demikian, Inggris tetap mengharapkan pos-pos


untuk perdagangan dan pengiriman, dan mereka mengetahui bahwa sistem
tersebut dimonopoli oleh perusahaan Belanda yang lama, sehingga negara
Belanda akan membayang-bayangi mereka, dan dipastikan hal itu akan
menghalangi perdagangan Inggris. Akan logis jika akhirnya Inggris ingin
menjalin perjanjian dengan penguasa pribumi untuk memastikan orang
Inggrislah yang akan menguasai perdagangan. Sebagaimana diketahui,
Melaka pun menyerah, segera saja ditempatkan petugas Inggris yang
berupaya memberikan penilaian khusus untuk pulau Penang, di mana Inggris
dengan EEIC-nya memiliki pos ini selama lebih dari tiga puluh tahun. Pada
mulanya, diciptakan jaminan perdagangan Inggris di Penang dengan
perjanjian yang tidak melibatkan negeri-negeri tetangga lokal: juga
diberitakan perjalanan oud-Residen Malaka dengan misi mencegah
perdagangan Belanda. Sementara itu, Farquehar pun memilih untuk
menghindar dan tidak berbuat apa-apa. Belanda menuduh Farquehar menipu
Sultan Johor tentang niat Belanda dan ia juga bersikeras membuat perjanjian
dengan pangeran, yang bagaimanapun juga, dilaporkan penipuan itu akhirnya
terungkap. Kepada Raja Muda dari Riau, disampaikan oleh Farquehar kontrak
yang pada garis besarnya menyatakan bahwa sultan tidak dapat terlibat
perjanjian dengan pihak lain yang akan memiliki pengaruh disana; seperti
bentuk perjanjian yang mengakibatkan perdagangan Inggris mungkin
terhalang atau dibebankan, sementara yang lain dapat bebas dan tetap tanpa
pajak.

Bagaimana pula sikap Belanda?


Beberapa bulan kemudian, Belanda melakukan negosiasi dengan Riau, yang
menghasilkan sebuah perjanjian lengkap, berikut gambarannya: 314
De Ned.-Indische regeering stond welwillendhet rijk Djohore, Pahang,
Riouw en Lingga weer af aan den sultan: de sultan en zijn
rijksgrootenbeloofden trouw; de Ned.-Indische regeering zeide
bescherming toe; op Riouw zou een resident met een klein garnizoen

314Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun
1919. Hal.13. bahwa akibat rivalitas antara Sultan Husein Syah dan Sultan Abdul Rahman, juga
manuver Inggris-Belanda; Belanda berhasil menekan Sultan Riau–Lingga untuk menandatangani
kesepakatan yang merugikan Riau, tepatnya pada 23 Oktober 1830.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
215

komen; vrije vaart op Riouwen Lingga zou erzijnvooralle naties;


opalleandere havens van het rijk zouden inlandsche en Nederlandsche
schepen mogen varen, schepen uit Europa, Amerikan fuit Europeesche
bezittingen (behalve Nederlandsche) niet; de opbrengst der in-en
uitgaande rechten zouden de sultan en de Ned.-Indische regeering
deelen; enz.
Bahwa sultan dan pembesar kerajaannya berjanji setia kepada Pemerintah
Hindia Belanda, dan pemerintah Hindia sendiri menyatakan status
perlindungan bagi negeri-negeri tersebut; sementara itu Riau akan menjadi
Keresidenan yang ditandai dengan tibanya satu garnisun kecil; selain itu,
pelayaran bebas di Riau dan Lingga, untuk semua bangsa lain seluruh
pelabuhan bagi kapal-kapal pribumi dan Belanda, dapat berlayar seluruh
kapal dari Eropa, Amerika, tidak ada hasil yang masuk dan keluar melainkan
menjadi bagian hak dari sultan dan Pemerintah Hindia Timur Belanda, dan
lainnya. Aksi Belanda ini, bagi penjajah, disebabkan ketidakpastian sikap para
pangeran tentang kepada siapa sebenarnya keberpihakan mereka kepada
kedua kekuatan Eropa tersebut, kondisi yang akan terus membuat setiap
perjanjian menjadi tertutup. Bahwa seperti pada masa sebelumnya, seluruh
perjanjian yang ada, baik merupakan perjanjian yang murni didasarkan
pertimbangan rasional ataupun tidak, semuanya menjadi serba meragukan;
akibatnya, seperti pada tahun 1818, Farquehar, dari Johor berangkat menuju
Siak315, di mana tahun 1806 hingga 1808 sampai tiga kali agen Penang muncul
mendukung perdagangan dan berakhir dengan seorang pangeran yang
membuat perjanjian untuk perawatan kapal-kapal Inggris sebagai negara yang
paling disukainya: sang pangeran yang tidak menginginkan usangnya
perjanjian, segera memperbaharuinya dengan negara lain (Belanda, dimana
perdagangan Inggris dikecualikan dan dia akan memberikan hak kepada siapa
pun untuk semua perdagangan beberapa barang dagangan). Gubernur
Penang memperoleh izin dari pemerintah Kalkuta-India, menjajaki
kemungkinannya di Siak, untuk menentukan apakah hal tersebut dianggap
sebagai sebuah keputusan yang bijaksana. Pada tahun berikutnya tepatnya
tahun 1819, Inggris mendirikan EEIC yang terletak di pulau Singapura di salah
satu wilayah di kerajaan besar Johor, Inggris memiliki otoritas untuk tujuan ini

315
Insinyur utama William Farquhar dikirim ke pantai timur Sumatera, Boekit Batoe: 15 Agustus
1818 bertemu dengan Sultan Siak untuk menghasilkan satu perjanjian perdagangan (berkas,
halaman 148-149).
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
216

dengan strip yang telah diserahkan. Menurut Belanda, hal tersebut adalah
benar-benar perbuatan melawan hukum, dimana Belanda dan Sultan Riau
pun merasa terluka, akan tetapi bagaimanapun juga Inggris telah mem-plot
Singapura untuk menjadi titik yang sangat penting bagi perdagangannya
sendiri.316 Tak luput pula dilakukan pengenaan bea bagi para pedagang,
alhasil seorang negarawan dengan suara yang begitu sinis; Menteri Canning,
menyatakan di parlemen bahwa klaim hanya dapat dibuktikan oleh fakta-
fakta dan dokumen, dan Inggris mengklaim dapat membuktikan haknya atas
Singapura untuk persoalan properti di Hindia Timur. Bagaimanapun juga, hal
tersebut tidaklah akurat dan bahwa hal itu akan salah jika merujuk pada kasus
Singapura dimana dipersoalkan prinsip-prinsip umum politik Eropa ataupun
bagi perasaan romantisme moralitas. Dimana perlunya segera dilakukan
perluasan pasar inggris; politisi Inggris saat itu menuntut penegakan keadilan.
Setelah jatuhnya Napoleon, realitas menunjukkan bagaimana kondisi
perdagangan ekspor Inggris dengan dibukanya saham besar yang kemudian
ternyata terbukti, bahwa mereka telah salah perhitungan setelah melihat
pasokannya di daratan. Di luar negeri harga jatuh, industri besar pun secara
tiba-tiba terhenti begitu saja, pengangguran meningkat secara tak terduga,
rasa sakit yang lebih besar dialami para pemilik tanah serta harga pangan
(gandum) yang melonjak sangat mahal. Kondisi ini terjadi ketika kebijakan
Inggris hanya diwajibkan melayani kepentingan negara. Dengan begitu,
apakah terlihat mengherankan, sehingga harus diakui bahwa Inggris dengan
EEIC-nya mengalami waktu yang berat di garis belakang dan tampil kembali
dengan persoalan ekonomi internalnya? Pertanyaan berikut yang tidak kalah
kritis, adalah apakah selama perang dengan Perancis mereka tidak membuka
rute perdagangan di Hindia dan memeliharanya untuk produk industri Inggris
sendiri?

316Inggris, memanfaatkan konflik internal di tubuh kesultanan Melayu itu; semenjak mangkatnya
Yang Dipertuan Besar Sultan Mahmud Syah III pada tahun 1812, muncul kekisruhan tentang
penggantinya; antara Tengku Husein sebagai putra tertua Sultan, dengan Tengku Abdul Rahman
yang didukung oleh Yang dipertuan Jakfar(Ayahanda Raja Ali Haji). Tengku Huesein yang tersisih,
kemudian dinobatkan oleh Inggris sebagai Sultan di Singapura pada tanggal 6 Februari 1819
bergelar Sultan Husein Syah, dan mulai 13 Februari 1819, bendera Inggris pun berkibar di
Singapura; dan selanjutnya membangun Singapura untuk kepentingan perdagangannya.Lihat
Ahmad Dahlan,PhD, hal.273-4.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
217

Saat itu dunia sudah berubah, terutama persoalan harga, angkutan dan biaya
lainnya meningkat dan sementara itu dapat dikatakan bahwa “sang mister”
hanya duduk dan “ongkang-ongkang kaki” saja di gudang; sementara tengah
ramai-ramainya diproduksi barang yang diperjualbelikan di pasaran. Selain
itu, sebaiknya di era berikutnya tampil dengan harga bagus yang disukai oleh
pedagang swasta di perairan Hindia dan dari sana ia berusaha
menguntungkan sebesar-besarnya bagi perusahaan. Inggris, jelas saja berdiri
dengan kebutuhan untuk meningkatkan penjualan yang membutuhkan
beberapa sikap tertentu, yang bagi Belanda, beberapa sikap tersebut
bertabrakan dengan kepentingannya di Hndia. Sementara itu Belanda muncul
di Nusantara dengan melakukan perdagangan di koloni mereka sendiri di
hadapan negara-negara lain. Penang dan Singapura segera menjadi titik fokus
bagi Perdagangan kolonial Inggris, peluang mereka bahkan lebih
mengesankan ketika di tahun 1824, Melaka menjadi taklukkan Inggris. Dan itu
pasti,
bahwa apakah demi kepentingan Penang, maka di Siak akan segera
ditingkatkan dan dilakukan perluasan komersialisasi?
Jawaban pastinya saat itu mungkin belum diketahui, kondisi ini disebabkan
masih terlalu minimnya informasi mengenai prospek dan penduduk negeri-
negeri di bagian timur pantai Sumatra tersebut. Menyikapi kondisi tersebut,
untuk segera dapat berkompetisi, maka Inggris maupun Belanda dipastikan
harus memperoleh pengetahuan ataupun informasi, setidaknya diawal era
eksplorasi. Dan dari catatan hasil penelitian Inggris dari tahun 1806-1808,
nampaknya kondisi itu telah membuahkan hasil. Abad tersebut, perjalanan
eksplorasi berlangsung dan tepatnya pada tahun 1820: terdapat satu prospek
kekuatan perdagangan, yaitu; diperlukannya dilakukan suatu kegiatan
pengkajian topografi dan hidrologi. Muara Sungai Jambi di pelajari, Asahan,
juga Deli dikunjungi selama satu sampai dua hari, begitu pula wilayah lainnya.
Sementara itu, Belanda mendengar bahwa gubernur Malaka menugaskan
Raffles dari Singapura untuk berangkat menuju Siak dalam salah satu tugas
untuk mencari penjelasan-penjelasan yang berguna, dimana pada waktu
sebelumnya, Belanda telah mengutus suatu komisi ke Siak dengan misi
membuat rancangan perjanjian persahabatan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
218

Akhirnya, pada tahun 1822 hal yang menakutkan bagi pemerintah


Hindia pun tiba; permintaan akan perdagangan yang bebas, tidak
terikat dengan monopoli Belanda atas Siak di Hindia Belanda,
dan orang-orang Siak akan diperlakukan sebagai orang-orang dari negara
yang paling disukai, pembajakan yang akan diantisipasi dan diperoleh
kepastian bahwa tidak ada bangsa lain yang dapat dicegah untuk
memperoleh hak atas Siak. Akan tetapi, pemerintah Hindia keberatan
dengan perjanjian tersebut, namun masih tetap mengizinkan kapal-kapal Siak
berlabuh di pelabuhan Malaka. Pada saat itulah Gubernur Penang mengutus
seorang agen untuk Siak; John Anderson. Sebaliknya, setelah menghabiskan
waktu selama empat bulan, ia kembali tanpa perjanjian apapun. Melainkan ia
kembali dengan membawa dua surat dari Sultan kepada gubernur, yang
mengungkapkan rasa kuatir Sultan akan serangan pihak Belanda dan mencari
dukungan kepada Inggris; selain itu, Sultan juga menyatakan bahwa Belanda
akan memungkinkan melakukan pembentukan apapun demi mencapai
tujuannya; Sultan berkeinginan merilis perdagangan dengan Penang serta
ingin mempertahankan hubungan baik dengan pemerintah di sana. Selain itu,
Anderson juga menguatkan perjanjian di Deli dan Langkat, tapi karena
lanskap tersebut merupakan wilayah taklukan Siak, dan Siak sendiri di bawah
perjanjian dengan EEIC yang pada tahun 1761 Belanda menganggap bahwa
Siak tidak lagi berdaulat, maka perjanjian ini hanyalah suatu surat komitmen
yang tidak memiliki kekuatan.
Pada tanggal 16 Januari 1761, disepakati perjanjian antara Raja
Alam(putra dari Raja Kecil yang berseteru dengan penguasa Siak, yang
juga saudaranya sendiri; Raja Buang atau Raja Mohamad) dengan
Kompeni-Malaka, yang pada dasarnya memuat pokok sebagai berikut;
Pasal 1) Bahwa Raja-Alam kepada kompeni dan Raja Johor
berkomitmen menjalin hubungan persahabatan; Pasal 2) Permusuhan
dari Raja-Alam dan lain-lainnya akan dihentikan untuk selamanya;
Pasal 3)dengan bantuan Kompeni, bahwa Siak akan dipercayakan
kepada pemerintahan Raja-Alam, dan kepemilikan Raja Mohamad
dialihkan dan begitu pula dengan hutang kepada Kompeni;
Pasal4)Tidak ada penelusuran melalui sungai dapat dilakukan; Pasal 5)
Kompeni akan menempati kembali Pulau-Guntung dan hak untuk
membangun benteng di tempat lain di Siak; Pasal 6) Kompeni,
memberikan bantuan kepada Raja-Alam dan suksesi berikutnya jika
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
219

diserang, Raja Alam akan bergabung dengan Kompeni; Pasal 7)Semua


perdagangan sejalan dengan Kompeni; Pasal 8) Inspeksi kapal di
Sungai Siak; Pasal 9) Pembebasan dari bea untuk Kompeni. Raja-Alam
dapat memungut dari pihak lain sebesar 2 persen hak masuk dan
keluar; Pasal 10)Para kepala “jembel pembunuhan” untuk segera
diserahkan kepada kompeni; Pasal-11)Sahabat Kompeni juga
merupakan sahabat dari Raja-Alam dan begitupula musuh-musuhnya.
Ia juga akan bekerja untuk membersihkan rute Malaka dari para
pembajak; Pasal 12)Atas permintaan Raja Alam agar diberikan
pengampunan terhadap anaknya Mohamad Ali, asalkan dia sendiri,
pada kedatangan pasukan kompeni di Siak dapat diberikan pelajaran,
jika tidak, dia akan diekstradisi sebagai kepala dari pembunuh; Pasal
13) Suksesi di Siak sebagai penerus Raja Alam atas persetujuan
Pemerintah Tinggi di Batavia. 317
Melihat kenyataan ini, kemudian Sultan memutuskan untuk menjelaskan
sendiri dihadapan komisaris Belanda. Berkaitan dengan hal tersebut
Broersma dengan sinis mengatakan:
“Nah lihat, bagaimana gemetarnya para pangeran pribumi yang kini
berada diantara Belanda dan Inggris”. 318
Misi Anderson - ia berlayar dari Penang pada tanggal 30 Desember 1822 dan
kembali ke sana tanggal 9 April 1823, adalah untuk menggali pengetahuan
dan informasi tentang wilayah lanskap, yang saat itu berarti adalah wilayah
pantai timur Sumatera. Ia telah mempromosikan banyak temuan yang
diperolehnya dari beberapa kepala wilayah tersebut. Belanda, nampaknya
menuduh bahwa kehandalan jurnalisme yang nampaknya tidak terbatas,
sebenarnya disebabkan bertitik tolak dari ketidakmampuan Anderson
membangun penelitian awal; hanya dalam waktu yang relatif singkat saja
semuanya itu didirikan. Anderson mengalami banyak masalah yang
sebahagian mungkin bisa dianggap remeh: kadang kapalnya tidak bisa
berlayar yang disebabkan absennya nakhoda. Anehnya, pendapat Anderson
dan ekspresinya pada konflik kepentingan dari Belanda dan Inggris di perairan

317
Netscher, hal.114-5.
318
Broersma, dalam Oostkust van Sumatra, Eerste hoofdstuk: “Het Rijk Siak voor zijn val,” Tahun
1919. Hal.13.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
220

Hindia, terbitannya berasal dari cetakan yang sama seperti Raffles. Penuh
amarah, Broersma mengomentari paparannya tersebut: 319
Ia berharap memiliki keyakinan kuat untuk menilai persetujuan
pangeran lokal dalam perjanjian perdagangannya dengan Inggris
melalui EEIC-nya, dan begitu pula ia melihat sedikitnya nilai dalam
perjanjian tersebut. Meskipun demikian, ia merindukan mahkota
koloni(Inggris) di Perairan Selat Malaka, pemerintahan kerajaan yang
kuat untuk mempertahankan hubungan politik, rupanya ia sedang
membual tentang daya yang bisa diandalkan untuk ikut campur
tangan dan mencegah serangan Belanda di berbagai bidang – selain
itu terdapat pengharapan demi perdagangan, jalur lalu lintas dan
pintu masuk ke pelabuhan lokal supaya tetap terbuka. Dikatakan
bahwa ia menyesali realita yang telah terjadi setelah melihat Belanda
dengan Siak menandatangani perjanjian dengan berbagai cara, janji-
janji, maupun ancaman; pangeran dibujuk untuk membuat
pengecualian terhadap Inggris, meskipun Farquehar pada tahun 1818
dikatakan telah memiliki kesepakatan dengan Siak. Lihat pula,
bagaimana Anderson menilai Farquehar melakukan negosiasi
berlebihan dan bagaimana pula hasil dari upaya Belanda. Selain itu, ia
ingin mencoba perdagangan dengan Minangkabau, maka langkah
yang harusnya diambil di antaranya adalah; Belanda harus mampu
menguasai Padang, melakukan penelaahan seperti dahulu di Pantai
Timur; saat ini manfaatnya dapat dilihat dari Penang, yang
pelabuhan ekspor ladanya telah meningkat dari 1.800 pikul di tahun
1817, menjadi 30.000 pikul di tahun 1822.
Deli dan Langkat dianggap “kurang” dari Siak, namun mereka tidak
sepenuhnya menolak Belanda dan ingin menghormati perjanjian
perdagangan. Deli terancam oleh kedatangan kekuasaan Belanda, dan sultan
telah mengatakan bahwa ia mengakui tidaklah hal tersebut begitu
mengganggunya; begitu pula dengan Inggris. Di Palembang, Anderson

319
Terutama tulisan yang dapat dilihat dalam “John Anderson, Mission to the East Coast of
Sumatra in 1823”, 1971, Oxford in Asia Historical Reprint, Oxford University Press, Kuala Lumpur;
juga lihat komentar Broersma tentang itu, Broersma: 1919. hal.13

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
221

mengeluh atas dicegahnya impor dari Singapura, demikian juga Penang yang
menemukan berlakunya sistem pengecualian, terutama di wilayah tempat
Belanda meluaskan kekuasaannya. Antara tahun 1828-1829, sebelum
Belanda memiliki akses ke pedalaman Sumatera, impor kopi bulanan dari
Kampar ke Singapura berjumlah sekitar 1000 pikul, dari tahun 1836 hingga
1837 ditemukan bahwa impor kopi dari seluruh bagian Sumatra, berjumlah
sekitar 8000 pikul. Anderson mengatakan bahwa saat ini kondisi di Deli telah
berubah. Setiap tahun terdapat sejumlah 20 ribu pikul lada di Penang untuk
dipertukarkan dengan Inggris. Di bawah kekuasaan Belanda, Deli juga dapat
mengirim lada ke Penang, tetapi tidak bisa mengambil kembali kapas dan wol
dari Inggris. Sementara itu sang Anderson, perlahan-lahan ia menyingkir. Dan
lagi-lagi Broersma mencemoohnya:
Bahwa kemajuan otoritas Belanda di Sumatera, dilihat oleh Anderson
dengan mata penuh rasa iri. 320
Dari beberapa catatan Sanderson, nampaknya kebijakan perdagangan
ditentukan bersama-sama dengan pangeran, bea ekspor, pasar dan bea
pelabuhan, ditemukan sebagai penghasilan utama mereka. (15) Bahwa
sosialisme negeri tergantung sepenuhnya pada ego serta kepribadian dari
para pangeran: berbekal dirinya yang bijaksana dan moderat hingga akan
dapat mempromosikan perdagangan negerinya. Komoditas utama, lada
nampaknya kembali disorot. Langkat dan Deli adalah daerah lada yang paling
melimpah, begitu pula Serdang yang juga tergabung dalam sentra penghasil
lada. Di sisi lain dari wilayah pesisir, tidak ditemukan penduduk Melayu
bekerja pada sentra produk pertanian tersebut. Terdapat stereotipe disini,
yakni Pemerintah Kolonial menganggap mereka dan mengenalnya sebagai
pemalas, dan jika; orang-orang Batak dari pedalaman tidak menunjukkan
dirinya sebagai pekerja di sana, maka tidak akan ada lada dari Pantai Timur
di kirim ke Penang, Malaka, dan Singapura. Akan tetapi, seorang tokoh,
sebut saja ”Orang Kaya" adalah contoh dari Sunggal yang mengalahkan
orang-orang Batak dalam hal budidaya padi, hanya dengan menggunakan
beberapa alat pertanian saja menghasilkan sejumlah beras yang cukup untuk
satu tahun. Ia menegaskan, tiga tahun diterima dari orang Batak sejumlah
dua pertiga dari tanaman lada, sementara yang lain dibayar sebanyak harga
pasar. Dalam manfaat yang sepertiga adalah untuk kepala yang lebih rendah,

320 Broersma, 1919: hal.14


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
222

dalam hal ini adalah penghulu untuk menjadi petugas pengawas mereka.
Setelah tiga tahun rata-rata hasil per pohon adalah 4/4 kati = 1 Gantang,
kehidupan tanaman merambat itu mencapai enam belas tahun. Kebun tetap
bersih dan kadang-kadang diantara tanaman itu dilakukan penanaman padi,
tembakau atau jagung. Pada tahun 1823 harga di Soenggal sebesar 5 dolar
per pikul. 321
Nilai dari data tersebut sangat jauh diatas perkiraan. Data tersebut bukan saja
tidak lengkap, juga tidak memiliki signifikansi secara luas; selanjutnya,
Anderson hanya bersumber dari penuturan para kepala, kemudian berbicara
di sana-sini dan memaparkannya pada jurnal mereka. Begitu pula untuk
satuan ukuran, nilai-nilai dari waktu ke waktu yang kita tidak benar-benar
mengetahuinya secara pasti. Dia menyusun daftar harga untuk wilayah Buluh
Cina, dimana lima Gantang Beras tercatat bernilai untuk satu dolar, mungkin
saja ini dapat dikatakan mewakili harga 13 gulden per pikul. Biaya tembakau
$15 per pikul (sekitar 30 sen per pon), bea sebesar 1dolar per pikul. Iuran
pelabuhan di Deli yang tinggi: sebuah kapal sebesar 12 dolar, untuk tongkang
sebesar 8 dolar, sebuah sekoci sebesar 6 dolar. Saat itu digunakan koin yang
menggunakan dolar Spanyol, uang Belanda untuk tahun 1742 dan tahun-
tahun berikutnya, termasuk setengahnya mempersiapkan Inggris dengan OIC.
Perlu dicatat bahwa gambir juga dikirim dari Buluh Cina, tempat dimana
populasi masyarakat Melayu berada. Terdapat berbagai produk dari berbagai
lanskap, kecuali lada, seperti; rotan, lilin, gading, padi, tembakau , gambir
dan budak; impor terutama garam, opium, katun dan wol. Di Serdang,
populasi agak lebih padat dari pada yang tercatat di Deli dan Langkat,
terdapat juga beberapa industri yang didirikan oleh penduduk Batu Bahra.
Diisini terdapat ribuan orang Melayu yang tampak lebih berani
mempraktekkan perdagangan di pesisir; seperti penjualan kain yang terbuat
dari bahan sutra yang dibawa oleh pedagang Cina dan pedagang lainnya.
Perahunya berlayar di sepanjang Deli, Langkat, Serdang dan Asahan untuk
untuk mengambil merica dan mengirimkannya ke Penang. Menurut
pernyataan Syahbandar (perwira asli untuk ekspor dan impor) Jumlah perahu

321 Broersma, 1919: hal.15

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
223

yang selalu digunakan mencapai hingga 600 unit. Selain itu disini dijumpai
pula jejak-jejak bekas kediaman Portugis dan Jawa. Ini adalah negeri-padi
pertama di Pantai timur. Lada yang di abad ke-19 ditanam, tetapi padi,
ditanam atas kebutuhan rakyat mereka sendiri, bisa dijual ke daerah tetangga
Asahan yang juga tampaknya ditemukan perdagangan budak di negeri
tersebut. Perbudakan dibentuk dengan berbagai cara, yang paling sulit dan
tentu saja salah satunya adalah perampokan di laut oleh “bajak laut’’ dimana
korban mereka dijual di tempat lain. Cara lainnya adalah penjualan anak-anak
mereka oleh masyarakat miskin, penjualan ini akhirnya berkurang sebagai
dampak meningkatnya budidaya lada dikalangan mereka. Sebuah faktor
utama yang sering dianggap bertanggungjawab atas perbudakan perempuan
dan anak perempuan adalah disebabkan di Batu Bahra budak perempuan
digunakan untuk menenun kain sutra dan katun, juga wanita sering dijual ke
Malaka dan Penang sementara suami menjadi pedagang dan memiliki
kehidupan yang layak. Kurangnya tenaga Perempuan di Penang, yang terjadi
kemudian bahkan penyelundupan budak di Singapura juga tidak dapat
dihindari.
Sementara itu. pada abad ke-18 dan awal abad ke-19, Siak terpancar
begitu menyilaukannya di mata semua orang asing!
Siak, Bagai mahkota terkaya yang terletak di tengah-tengah Sumatera
dimana disana mengalir sungai yang kerap dan ramai dilayari. Selalu ada
pengiriman dari Pantai Coromandel- India, dan perahu Bugis yang pernah
berlayar hingga ke pulau Jawa, juga selalu mengunjungi Siak. Sementara di
Pedalaman arah Pantai Barat, tepatnya sekitar tahun 1823 gerakan Padri
telah mengancam prevalensi dengan gerakan pembaharuan Menangkabau
dan itu jelas terjadi, bahwa Belanda berperang melawan kaum Padri. Juga
terdapat sebuah rencana besar untuk menghubungkan timur-barat; dimana
akan segera dibangun infrastruktur transportasi darat yang berakhir di Siak. Di
sepanjang jalur ini, ditemui tanaman, perikanan dan ikan kering, lada, padi,
tebu, gambir dan kayu juga kekayaan tanah yang sayangnya menderita
dengan sangat parah akibat perang dengan negeri-negeri lain dan melalui
perjuangan selama masa peralihan. Ini juga merupakan pasar dari Siak,
bahwa abad yang lalu telah menjanjikan begitu banyaknya untuk
perdagangan dengan Inggris. Dan nampaknya, saat itu bukanlah waktu yang
tepat bagi otoritas Belanda di Sumatra. Perjanjian tahun 1824 telah menarik
garis batas timur pulau.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
224

Gugusan kepulauan Riouw - Lingga sendiri sangat baik bagi bajak laut sebagai
tempat mereka bermarkas. Sementara itu, suara Inggris masih penuh dengan
keluhan atas kegagalan Belanda dalam pertarungan penumpasan perompak
tersebut. Pembajakan itu dan ekspansi Belanda, disebutkan telah
mengabaikan hak-hak Perdagangan orang Inggris, bagai membentuk garpu
bercabang dua yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda selama
bertahun-tahun terhambat perjalanannya dalam upaya menuju
pembentukan hukum otoritas Belanda. Sekali lagi, banyak keluhan dari pihak
Inggris yang menggema dalam pemerintahannya sendiri, dan kemudian
mereka berpaling kepada pemerintah Belanda. Di Belanda sendiri mereka
benar-benar menyuarakan nada ketidakpuasan dalam pendapatnya atas
pembentukan otoritas Belanda di Sumatera dalam setiap pengadilan Inggris.
Melalui senjata perkasa-mesin cetak, di Singapura, lembaran-lembaran pers
penuh dengan tuduhan dan wacana permusuhan terhadap pemerintah
Hindia. Kemudian di tahun 1838, terdapat ketidakpuasan para pedagang di
Singapura dan Penang yang disampaikan kepada pemerintah Inggris, atas
keberatan mereka terhadap perluasan kewenangan Belanda di Sumatra. 322
Saat gagasan Van den Bosch tentang meluaskan otoritas Belanda di Sumatera
dengan Nota 1838, ia secara hati-hati memerintahkan pada wilayah yang
berbasis di Siak dan lanskap utara, karena salah satunya merupakan
cadangan semangat perdagangan dengan Singapura. Tidak ada dukungan
untuk ide Van den Bosch tersebut, seperti surat yang dikirimkan oleh Sultan
Deli pada tahun 1840 kepada seorang pejabat di Pantai Barat dan di mana ia
meminta agar Deli harusnya ditempatkan di bawah Pemerintah Belanda.
Apapun yang muncul dari laporan Badan Pemeriksa, pada tahun 1841 Van
den Bosch memilih untuk mengurangi angkatan bersenjata dan membatalkan
pendirian pos militer di pantai timur. 323 Pada Tahun 1843, perintah itu
dilaksanakan, lokasi pos di pertemuan Sungai Bila dan sungai Panel pun
menghilang, sementara yang pos yang berada di Indragiri, segera saja
ditinggalkan.

322
Een Engelsch etablissement op Nederlandsch grondgebied in Indië, dalam Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg. 19, 1857 (1e deel), No. 3, tanggal 1 Januari 1857 (schatting).
323 Tanggal 1 September 1841, Menteri urusan Jajahan Kerajaan Belanda memerintahkan

Gubernur Jenderal Hindia untuk membatalkan semua pos sipil dan militer di Pantai Timur
Sumatera: dikatakan sang Menteri sebagai akibat dari keluhan yang tiada henti-hentinya dari
Inggris.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
225

Bagi Belanda, Inggris hanya tidak suka saja melihat mereka bekerja di
wilayah Siak.
Tidak lama setelah itu, Residen mengunjungi pantai timur, atau juga Penang-
Gazette yang datangnya menjelang akhir tahun 1863 dimana sebuah artikel
bercerita tentang aneksasi Deli, bagian lain dari Sumatera yang independen
dengan pelabuhan ladanya, dan berdampak pada terancam hilangnya
perdagangan Inggris disana. Pertama-tama di tahun 1871, ketika Pemerintah
Inggris memilih untuk abstain dari seluruh Sumatera, dan memberi hak
perdagangan sepenuhnya kepada Belanda, lalu terdengar keluhan dan Inggris
menuduh perusahaan dan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sumatera
sangat lemah dan tetap lamban dalam setengah abad ini. Ketakutan
menyerang pemerintah, baik di negeri Belanda sendiri maupun di Hindia,
takut akan kata-kata dalam bahasa Inggris dan kemudian begitu sibuk menulis
di latar depan dengan membawa kepentingan dan bahkan berlebih-lebihan
untuk mengantisipasi kekacauan yang mungkin ditimbulkannya.
“Ini adalah suatu bentuk ketakutan, bagaikan rem yang bekerja pada
kereta kemakmuran, dimana pemerintah kolonial yang berinisiatif,
sangat menyukai mendapati bahwa pulau besar ini telah berhasil
didorong untuk bergerak menuju suatu kemajuan. Tapi jangan takut
dan hanya bekerja sebagai rem saja. Kami mampu setelah tahun 1816
ini yang menjadi kebebasan emas, kami masih berbeda dalam
perdagangan dan pengiriman, dan pelaut-penakluk pun pergi dengan
keegoisannya pada dua abad yang lalu, yang akhirnya kita telah
menyelasaikan suatu kontrak dengan bunga di pesisir sumatra yang
telah begitu hebatnya memikat kita.” 324
Karena pemerintahan kolonial Belanda setelah tahun 1816 menemukan
bahwa kebebasan nyata tidak dapat hidup dan perdagangan Inggris demikian
berkurangnya di Nusantara. Lantas Pemerintah Belanda mempertimbangkan,
menurut mereka, ini adalah sisi yang dicela oleh oposisi tentang
ketidakadilan.
“Tapi apakah kemudian bisa ditemukan di kerajaan kolonial Inggris
yang membanggakan kebebasan itu? Huh, jauh panggang dari api.

324 Broersma, 1919: hal.19


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
226

Bahkan Adam Smith, sang kompas doktrin ekonomi liberal itu akan
dengan senang hati menolaknya, dan berpendapat bahwa secara
eksklusif masa depan tanah air ditentukan oleh hak perdagangan
kolonial.” 325
Bristish-Hindia, yakni EEIC nampaknya akan segera usang, lantas untuk
siapakah perdagangan dengan motif besar ini? Dia punya prestasi yang tak
terbantahkan bahkan memiliki hari-hari yang berat di era Napoleon, yakni;
industri Inggris. Sebelumnya, seperti yang kita lihat, pernah terjadi membawa
dampak besar pada dania, dan perlu diingat kembali pula bahwa hal ini akan
memberikan dampak yang lebih besar lagi. Dan ketika hari-hari yang sulit
telah berakhir, banyak pedagang berusaha untuk melayari perairan Hindia,
namun mereka mengeluh tentang partisipasi dan kompetisi yang dihadapi,
dimana keduanya tidak dapat dipisahkan. Sampai tahun 1834, OIC
merupakan manajemen yang mengontrol perdagangan dan menjadi penentu
bagi saudagar di wilayah British-Hindia – semua hanyalah persoalan sistem,
beberapa di antara pejabat Inggris sangat mencolok bagi orang-orang
Belanda, begitu banyak keluhan kejahatan terhadap mereka. Ramainya
argumen mereka untuk gerakan perdagangan bebas di Nusantara
mengharuskan Penang dan Singapura memanfaatkan posisinya bagi
perdagangan Inggris, terutama Malaka ketika Belanda telah bangkit dan akan
mengambil bagi dirinya posisi disini. Penang memiliki hubungan , termasuk
dengan Pantai timur Sumatra, dan itu berharap bahwa mereka akan dapat
turut dalam “dunia sibuk” tersebut untuk saat ini.
Singapura didirikan pada tahun 1819, yang pada masa itu hanyalah sebuah
pulau kecil yang mungkin saja, hanya terdapat seratusan orang Melayu yang
hidup dari menangkap ikan, dan mungkin juga; terlibat dalam melakukan
berbagai pembajakan. Orang harus dipancing untuk menuju Singapura
terutama China, apalagi yang berkaitan dengan perdagangan dan pengiriman.
Cara untuk mencapai tujuan ini adalah memiliki kebebasan mutlak untuk
datang dan pergi, untuk manusia dan properti, tidak ada hak negara, tidak
pula ada kontrol. Pada tahun 1828 Singapura memiliki penduduk sejumlah

325 Broersma, 1919: hal.20

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
227

10.683 jiwa, pada tahun 1890 jumlah ini meningkat lebih dari 90 000 jiwa.
Bahwa setelah sepuluh tahun akhirnya diperoleh nilai yang sama dengan yang
ada pada seluruh impor-ekspor Jawa, sejumlah 17 juta gulden.
Wow, ini benar-benar fantastis-lah!
Sama halnya dengan Singapura, pemerintah Belanda melihat begitu seringnya
ancaman itu tampak nyata bagi perdagangan Belanda itu sendiri, lalu secara
bertahap merubah dirinya menjadi saudagar yang memainkan peranan besar.
Sementara Singapura membuktikan kepada Hindia Belanda, Hindia Belanda
pun membuktikan kepada Singapura bahwa layanan itu penting: yaitu prinsip
yang benar dan bahwa kebebasan dihormati. Menarik untuk melihat apa yang
disajikan dari statistik Inggris, Singapura dan Penang untuk Hindia Belanda
memiliki nilai yang cukup berarti pada tahun 1863, yakni waktu dimulainya
kolonisasi di wilayah Pantai Timur Sumatra.
Nilai impor dari Hindia Belanda untuk satu tahun sebesar 14 juta gulden, atau
seperempat dari keseluruhan yang masuk ke Singapura. Pengiriman dalam
waktu yang sama, tercatat; Singapore 1279 kapal berukuran 471. 441 ton;
Inggris 608 kapal dengan ukuran 220. 826 ton, sedangkan jumlah di bawah
bendera Belanda adalah 279 sampai dengan 70.401 ton, Amerika dari 81
hingga 61.240 ton , dan semua negara lainnya memiliki bobot kurang dari ini.
Menurut Catatan keuangan Penang di tahun 1863; memperoleh masukan
senilai £1.684.598, dengan hasil dari Sumatera sejumlah 172.133 pound ,
nilai ekspor adalah £2.392.109 , dengan porsi dari Sumatera sejumlah
310.496 pound. Hal yang menjadi Momok menakutkan bagi Inggris, tahun
1819, adalah Hindia Belanda secara bertahap menjadi Pemerintah dengan
penampilan yang multiguna;
penampilan yang tidak hanya terbukti telah berhasil mendepak Inggris
dari Sumatra, tetapi juga melemahkan kekuasaan raja-raja pribumi;
seluruh kebijakan ekonomi para kolonialis benar-benar mengabaikan
politi-politi lokal, dan bahkan menjadikan seluruh kawasan Sumatra
sebagai jajahannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
228

Belanda, Wilson dan Konflik Internal Siak

Nampaknya, Pemerintah Hindia memiliki alasan baru untuk kembali


membangun hubungannya dengan Pantai Timur Sumatra. Hal ini melihat
situasi keadaan “Chaos” di Siak, yang “memaksa” Pemerintah Hindia Timur
Belanda untuk campur tangan. Bahwa konflik yang terjadi dikalangan istana
Siak seolah-olah sudah melekat dengan sejarah kerajaan itu sendiri, yang
dimulai dari anak-anak Raja Kecil; Raja Alam dan Raja Buang hingga ke
periode pemerintahan Sultan Ismail. Sultan Ismail 326 bertentangan dengan
saudaranya, Raja Muda(Tengku Putra), dan tidak ada kesempatan untuk
melihat diri mereka sendiri dengan jaminan, dengan demikian ia pergi ke
Singapura untuk meminta bantuan kepada pemerintah Inggris. Di dalamnya ia
dapat melihat tersedianya jaminan perlindungan, dan ingin segera
menyerahkan kedaulatannya ke pihak Inggris. Akan tetapi pemerintah
Inggris, Gubernur E.A.Blundell nampaknya tidak dapat untuk
mempertimbangkannya, hal ini dipastikan karena akan berakibat pada
pelanggaran terbuka dari perjanjian yang ada. Akan tetapi disana ada seorang
petualang, seorang Inggris, yang ingin membantu Sultan dengan kekuatan
bersenjata, seseorang yang bernama Sir Adam Wilson.
Kemudian Wilson datang dengan sepasukan Bugis, berharap memperoleh
beberapa keuntungan dengan memerangi raja muda, dan kemudian meminta
tuntutan yang sangat tinggi terhadap sultan seperti hak istimewa dan
keuntungan hingga sebesar sepertiga dari wilayah yang berhasil direbut dan
dikuasainya, serta menegaskannya dengan kekerasan. Mungkin saja
terpikirkan, mengapa tidak meminta saja bantuan dari Pemerintah Hindia-
Belanda untuk mengakhiri gerakan Wilson ini. Raja Muda Tengku Putra
melakukan hal tersebut melalui Raja Muda Riau. Wilson berpaling, memaksa
sultan yang melihat otoritasnya berada dalam bahaya dan mencari
keselamatan atas dirinya dengan ikut meminta bantuan Pemerintah Belanda
– selain ia juga melihat bahwa Pemerintah Inggris nampaknya tidak akan
membantu seandainya Belanda membantu Raja Muda dalam berhadap-
hadapan dengn Wilson. Disisi lainnya, Sultan Aceh, pada kesempatan

326
Sultan Ismail yang dianggap tidak pernah benar-benar mampu menguasai kerajaannya, bahwa
Tengku Putra, Saudara dari Sultan - yang mampu memadamkan pemberontakan diawal
pemerintahan Sultan Ismail diangkat menjadi Raja Muda Siak.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
229

pertama yang diberikan segera saja melanjutkan otoritas kuno yang batas-
batasnya dipandang pemerintah Hindia melebihi batas kedaulatan Siak. 327
Demikian pula penguasa Deli, yang telah dikaruniakan gelar "panglima" pada
tahun 1814 oleh Sultan Siak", dipaksa untuk menerima dan bertindak
sebagai pengikut Aceh. Bagi Pemerintah Hindia, sudah jelas bahwa mereka
harus turun tangan untuk menghindari terjadinya “kejahatan” yang lebih
besar.
Kembali kepada persoalan dengan Wilson, Residen Riau pun berada dalam
upaya melindungi dan mendamaikan Sultan. Residen dapat segera menjamin
dirinya dengan saudaranya itu dan segera memenuhi misinya, hal yang
segera saja di respon Wilson dengan menuju Bengkalis, sebuah pulau yang
diklaim mnjadi hak miliknya. Meskipun demikian, akhirnya ia melihat realita
bahwa ia tidak bisa tinggal disana dan kekuatannya pun telah menghilang,
maka ia segera meninggalkan Bengkalis untuk selamanya. Kisah konflik
tersebut, diberitakan dibeberapa warta kolonial, salah satunya adalah sebagai
berikut: Sebagaimana terdapat dalam warta Dagblad van zuid hollanden’s
gravenhage, Woensdag, tanggal 23 September 1857, No:224, Kolonien, dan
apa yang tertera dalam berikut kisahnya:
Mengenai peristiwa terakhir yang terjadi di Siak dapat dilaporkan
sebagai berikut:
Sultan Siak, dalam perseteruan dengan Jang dipertuan-Muda
(Rijksbestuurder)! Beberapa waktu lalu, sultan pergi ke Singapura
menemui Pemerintah Inggris membawa persoalan kerajaannya kepada
pemerintah Inggris. Wilson, yang sebelumnya telah berkunjung ke
Siak, menawarkan bantuan tertentu kepada Sultan. Sultan sendiri
bersaksi bahwa ini adalah antara ia dan Wilson saja! kesepakatannya,
seluruh perdagangan dan sumber daya di bawah kekuasaannya... dan
dan ini sepertiga dari keuntungan dari penghasilan negeri-negeri.
Wilson, sebagaimana dikemukakan Sultan, menyediakan sepasukan

327
Aceh mengklaim wilayah kekuasaannya di Pantai Timur meliputi sampai ke Serdang,
sebaliknya kemudian Aceh menganggap Perjanjian 1858 antara Siak dengan Belanda, dianggap
telah menetapkan batas-batas wilayah Siak secara berlebihan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
230

yang diantaranya terdiri dari orang-orang Bugis, untuk memerangi


Saudaranya, Rijksbestuurder. Akan tetapi, siapa sebenarnya yang
diperjuangkan untuk menang, sangat tidak jelas, tetapi bahwa Sultan
akan menghadapi kembalinya Wilson, dengan tuntutan yang terlalu
tinggi tersebut, pemerintahannya jelas-jelas berada dalam bahaya.
Dikatakan oleh Sultan, bahwa Wilson mencoba untuk menegaskan
tuntutannya dengan senjata, insiden yang pecah pada tanggal 19 April
hingga berakibat Sultan dan para pengikutnya menjadi “buron.”
Anarkhi di Siak akan berakibat pada kekerasan, dan hal tersebut akan
berbahaya bagi kelangsungan negeri-negeri tetangga, terlebih yang
berada di bahwah pemerintahan langsung Hindia. Oleh karena itu,
Pemerintah Hindia memerintahkan kepada Residen Riau, dalam rangka
untuk mengantisipasi keadaan di Siak, membantu pengungsi, dan
melakukan upaya rekonsiliasi pemerintahan antara Sultan dengan
saudaranya dan juga upaya perlindungan bagi dirinya.
Pada tanggal 1 Juni tahun ini, Residen Riouw melakukan perjalanan
ke Siak dengan kapal uap Zr. Ms Merapi.
Pada malam yang kedua, berada di pintu masuk menuju pedalaman
Bukit Batu, akan tetapi untuk alasan keamanan, pada pukul tujuh
diputuskan untuk berlabuh tidak berapa jauh dari tempat pelabuhan.
Pada pagi hari tanggal 3 Juni, sauh diangkat, mereka kemudian
berjalan hanya dengan sedikit uap di pantai (perlahan), suatu tempat
khusus di mana Bukit Batu terletak di tepi barat yang cukup
tersembunyi. Sekitar pukul 7:00 di pagi hari, kabut terangkat dan satu
pemandangan pun terhampar naik, Bukit Batu, yang saat itu terlihat
dalam suatu situasi kekacauan, yang kemudian jelas dan terlihat
adalah sebuah sekunar (kapal layar bertiang dua), yang kemudian
terbukti itu adalah milik Wilson, tetapi ia kemudian tidak lagi berada
di sana, dengan tergesa-gesa ia mengembangkan layarnya. Dari
sekunar ini berkibar bendera Inggris, sementara sepotong bendera
lainnya terlihat di sebuah hunian ditepi kanan sungai, satu bendera
merah dengan salib putih di sudut-kirinya. Kemudian, segera terlihat
dan diketahui sebuah properti dari Panglima Prang Besar yang juga
merupakan kediamannya. Selain itu, rumah ini dilengkapi dengan satu
tembok pembatas dimana terpasang meriam, di tepi kiri sungai berdiri
tembok pembatas dengan sebelas buah meriam, dengan satu pemicu
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
231

peledak yang berhubungan dengan kapal-sekunar Wilson. Pelayaran


Residen Riouw dalam misi ini dengan menyertakan dua kapal. Salah
satu dari mereka dikirim untuk mencari informasi mengenai kediaman
Sultan. Mereka memperoleh informasi dari salah satu kontak yang ada
dengan Bukit Batu. Tak lama setelah membuang jangkar, datang
mendekati kapal Merapi dua orang Inggris, mereka mengaku sebagai
Kapten dan pasangan dari sekunar yang disebutkan di atas.
Pada pukul satu siang salah satu orang Inggris, menyebut dirinya W.M.
Carnie, menyampaikan surat, di mana ia menyatakan keyakinannya
kepada komandan Merapi yang merasa keberatan dan menentang
pembukaan sekunar dan dua kapal lainnya ke Singapura. Komandan
Merapi kemudian memberikan jawaban lisan, bahwa ini merupakan
waktunya bagi mereka untuk memilih akan pergi atau tidak.. Di akhir
malam, menurut salah satu warga setempat, orang Bugis terlihat
dengan sampan kecil di sebelah barat-laut pantai. Segera kami
menemukan bahwa rumah-rumah di seluruh Kampung Bukit Batu
telah kosong ditinggalkan penghuninya... Rumah yang ditempati oleh
Sultan sebagaimana sang Residen telah pergi kesana meninjaunya,
bahwa ditemukan sejumlah peluru menembus beberapa tempat di
bagian depan, dan pada platform disebelahnya, mereka menemukan
... mayat.. tidak jauh dari sana ditemukan pula tengkorak. Sementara
di sungai masih terlihat beberapa mayat orang Siak.... (bukti bahwa
tempat ini telah dibombardir dengan hebat). Diatas Kapal sekunar
Wilson, yang dipersenjatai dengan besi 12 pd., 4 besi 1 pd. rolpaarden
dan guntur pada 2 senapan polder, serta ditemukan surat dari W.
Carnie, disebutkan telah dijatuhkan hukuman oleh komandan Merapi
sebagaimana disampaikan bahwa ia telah menerima pesan lisan dari
komandan pada hari sebelumnya, dan yang juga telah
dikomunikasikan kepada para kapten kapal lainnya; akan tetapi
terdapat ketakutan bahwa Merapi akan mengejar mereka, meskipun
sang komandan telah meyakinkan mereka, sebaliknya mereka
bergegas pergi dengan meninggalkan barang-barang mereka; Carnie,
dengan kekuatan yang cukup di kapal untuk membawa sekunarnya
keluar, akan tetapi, tanpa sekunar tersebut ia terpaksa pergi dengan
perahu ke Malaka, sebagai pelaut ia meninggalkan sekunar nya

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
232

sekarang, di bawah pengawasan salah satu anak buahnya, yang


pastinya dalam keadaan “sakit”?
Di pagi hari tanggal 6 Juni, mesin Merapi dipanaskan untuk segera
menuju selat yang terletak diantara Pantai Siak dan Pulau Padang, dan
kemudian menyusuri jauh lebih kedalam untuk mencari Sultan dan
selanjutnya ke arah Tanjung Siri, dimana Residen telah menunggunya,
namun Sultan tidak ditemukan disana. Karena itu mereka kemudian
berbalik kembali ke Bukit Batu, di mana pada pukul 09:00 Sultan pun
muncul, bersama dengan kapal yang diutus kepadanya, sebuah kapal
jelajah. Utusan pribumi dari Residen, yang bertanggung jawab
melakukan pencarian, menunjukkan bahwa Sultan ternyata tidak
berada di Tebing Tinggi, melainkan di sebuah bangsal di pedalaman di
negeri ini, bersama dengan istrinya, ditemukan di sebuah pondok di
hutan,... disebutkan bahwa orang Bugis dari Bukit Batu akan
menyerangnya kesana, setelah mereka mendengar bahwa Sultan
telah berhasil melarikan diri ke Ulu Tasse.
Senin tanggal 8 Juni, diatas kapal Merapi, diadakanlah pertemuan
dengan Sultan.. bahwa sang Sultan dikabarkan menyampaikan ucapan
terimakasih atas penyelamatan yang memadai, juga kepada Gubernur
jenderal.. Residen pun mendengarkan, dan saat itu pula dari kedua
pembesar kerajaan, ada kekerasan yang mendahului disebutkan
kepada mereka, yaitu; serangan terhadap Sultan yang terjadi pada
tanggal 19 April tahun ini, dan ini telah memprovokasi, dan juga
terdapat kerusakan pada bagian 'kapal jelajah pemerintah No.58,
apakah selama pertempuran di pelabuhan sungai di Bukit Batu, tidak
melibatkan permusuhan setidaknya terhadap Wilson dan
komitmennya, nampaknya kabar itu telah menyebar di Singapura....
Tanggal 9 Juni, Sultan diberikan kesempatan, untuk segera mengambil
tindakan yang diperlukan sehubungan dengan kapal dan barang di
Bukit Batu, dan juga kemudian disitalah olehnya sekunar yang
ditinggalkan Wilson..Barang-barang yang ditemukan di kapal, atas
perintah Sultan, diinventarisasi, dan jendela sekunar disegel.
Pada tanggal 10 Juni, Merapi meninggalkan Bukit Batu, begitu pula
dua kapal jelajah yang mendampinginya, yang memuat sultan dan dan
banyak pembesar kerajaan melakukan perjalanan ke Siak. Saat tiba di
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
233

Siak, ditemukan kampung yang sudah benar-benar kosong. Bahwa


selama Merapi sana, dapat dilihat, secara bertahap telah dilakukan
upaya meningkatkan dan memulihkan ketenangan. Kapal Merapi pun
tidak sepi dari kunjungan berbagai lapisan masyarakat.... yang datang
untuk melihat-lihat dan mengaguminya... Bagian terbesar dari
kampung itu kembali dihuni oleh orang-orang Siak yang melarikan diri
dari sana, dimana sangat banyak dari mereka itu adalah para nelayan..
Pada tanggal 13 Juni, Siak direkonsiliasi, begitulah yang diinginkan
antara Sultan dan saudaranya, Raja Muda (onderkoning). Peristiwa ini
terjadi di rumah Sultan, di hadapan residen, komandan Merapi, dua
pangeran, saudara dari para pangeran, dan semua yang hadir dari
pembesar kerajaan besar Siak.
Tanggal 25 Juni, dengan Merapi, Residen melakukan perjalanan
pulang ke Riouw. Hingga hari itu, nampaknya Wilson masih
membutuhkan satu langkah lagi yang harus diambil untuk
mendapatkan kapalnya kembali.
Dalam upaya penyelesaian kasus Sultan dan Wilson tersebut, bahwa dua
orang pejabat Hindia, Tobias dan Nieuwenhuizen melakukan pengejaran
terhadap Wilson. “kericuhan” yang terjadi di Kelapa Patal – Bukit Batu
tersebut, memiliki dampak pada kehidupan masyarakat setempat. Ketika
gajah dengan gajah bertarung, maka pelanduk ditengah-tengah pun akan
lari!” Demikian halnya disana, di Kelapa Patal, bahwa selama kawasan lanskap
tersebut menjadi arena akumulasi ketegangan, perang syaraf dan ancaman,
maka penduduk kawasan tersebut untuk sementara mengungsi, baik melalui
laut ataupun melarikan diri ke pedalaman.

Bahwa sebelum peristiwa Wilson, menurut Netscher, 328 pada saat peristiwa
Bukit Batu saja tercatat sekitar 300 perahu nelayan bersandar disana, pasca
insiden, yang kembali hanya berjumlah sekitar 200-an perahu saja.

328E.Netcher, Togtjes Gebied van Riouw en Onderhoorigheden: Boekit Batoe, Sumatra Courant,
24 Januari 1863.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
234

Berikut adalah suatu episode “perang-urat syaraf” di Kepala Patal-Bengkalis,


kisah sebagaimana terdapat di “De Oostpost”: letterkundig, wetenschappelijk
en commercieel nieuws- en advertentieblad: SIAK, tanggal 8 Febrari 1858. Di
bawah judul “de Heer Wilson en de Hollanders” (Sir Wilson dan orang
Belanda), pada Straits–Times tanggal 9 Januari 1858, sebagai berikut:
Bahwa di Singapura pada tanggal 19 Desember, Kapal Perang Belanda
Merapi, mengadakan perjalanan pelayaran menuju Siak dan tiba di
hari berikutnya pada puncak tempat tersebut, dan berlabuh di lepas
pantai pulau Bengkalis, tempat di mana Wilson telah memulai suatu
kolonisasi singkatnya disana. Kapal uap tersebut berada dengan jarak
sekitar 400 yard dari rumah Wilson di Kalapa Patal. Dapat terlihat
dengan jelas dari pantai bahwa awak kapal Merapi telah bersiap untuk
melakukan suatu pertempuran. Segera kapal bersenjata tersebut
menuju ke arah darat, akan tetapi letnan yang menerima perintah
tersebut, menyadari bahwa kapal tidak mungkin untuk terlalu jauh
berlayar di sungai, segera mereka kembali, dan tak lama kemudian
melakukan pendaratan dalam satu perahu kecil yang memadai untuk
dilakukannya misi tersebut.
Setibanya didarat, sang letnan menanyakan kepada penjaga yang
bertugas di Benteng, yang ternyata diketahui merupakan kediaman
Gubernur. Selanjutnya, Letnan disambut disana, dan sang tuan rumah,
Mr.Carnie menawarkan sebuah kursi kepadanya. – Letnan mengaku
bahwa ia diutus untuk menjumpai Gubernur Kelapa Patal oleh
seseorang yang bernama NIEUWENHUIZEN bersama dengan Residen
Riau; F.H.TOBIAS dan diminta untuk menyampaikan beberapa
pertanyaan, seperti; apakah wilayah ini adalah pendudukan Inggris,
dan apakah Mr.Carnie adalah Gubernurnya, siapa yang telah
membangun benteng, atau apakah Gubernur Singapura berkaitan
dengan pemukiman ini, dimana tampak dari adanya pengibaran
bendera Inggris. Setelah Letnan memperoleh jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan ini, segera ia kembali ke kapal. – Sewaktu
letnan berada didarat, para awak kapal uap sudah bersiap-siap
membela dengan sederetan peluru yang dapat ditembakkan kapan
saja ke pantai. Setelah tengah hari terlihat melintas satu perahu
lainnya ke darat yang ditumpangi seorang letnan dan perwira
angkatan darat, dengan pengiriman berikutnya:
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
235

"Karena kami telah menerima respon dari orang yang


menyebut dirinya Gubernur Kalapa-Patal - terhadap petugas
dari Kapal Merapi, benteng di mana bendera Inggris dikibarkan,
dibangun oleh Wilson, seorang warga negara Inggris yang
menetap di Singapura.
Sementara itu seorang petugas dari H.M.Kapal uap Merapi
dikirim ke darat untuk memberikan penjelasan atas Pasal 9 dari
perjanjian tanggal 7 Maret 1824, yang disepakati antara Radja
Belanda dan Yang Mulia dari Kerajaan Britania Raya, bahwa
tidak diperkenankannya dibangun pemukiman Inggris di
Sumatera – sebagaimana telah berlaku, dan dengan demikian,
pembangunan benteng tersebut telah melanggar pasal dari
Perjanjian yang dimaksud.
juga itu pertanda bagi kita, bahwa sudah sepatutnya
dikeluarkan perintah oleh Yang Mulia Gubernur Jenderal Hindia
Belanda, orang yang di berada bawah komando benteng
dimana berkibar bendera Inggris di Kalapa Patal,
perintahkanlah, bahwa ia harus menghancurkan benteng
tersebut pada Kamis 24 Desember 1857, pada pukul enam
pagi.
Aldus gedaan aan boord van Z. N. M. Oorloge stoom schip
Merapi, op heden Zondag den 20 December 1857.

Hoofd ambtenaar in N. I. dienst. Resident van Riouw.


(w. g.) NIEUWENHÜYZEN, (w. f.) F. H. TOBIAS,
Ketika Mr.Carnie membaca dokumen ini, tampak personil dari
angkatan daratnya melakukan persiapan dengan mengangkut
persenjataan ke dalam benteng, meriam, dan bahwa mereka juga
mulai persiapannya dengan peluru-peluru panas... Mr.Carnie
mengatakan bahwa ia akan menjawab pada hari berikutnya, karena
sehari sebelumnya pada hari Minggu itu, setelah ramah-tamah dan
ucapan perpisahan oleh petugas militer di high- Hollandsch(?), tuan-
tuan kembali ke kapal. Pada pagi hari Senin tanggal 21 Desember,
Mr.Carnie mengirimkan jawaban sebagai berikut:

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
236

Aan den Hon.


F. H. TOBIAS Esq.
Resident van Riouw en den bevelhebber
van Z. N. Ms. stoomschip Merapi.
Dengan hormat,
Saya telah menerima surat Anda kemarin, pada Minggu 20
Desember 1857. Dengan segala hormat, jawaban saya adalah
bahwa saya tidak dapat memenuhinya. karena surat anda yang
ditujukan kepada Saya, telah saya kirimkan kepada Gubernur
Singapura, dan inilah jawaban yang saya terima:
Mengenai benteng tanah yang didirikan oleh Mr.Wilson di
Kepala Patal, bahwa hal ini dengan sepengetahuan Gubernur
Singapura, dan juga dilakukan untuk melindungi properti milik
Mr. Wilson dari kemungkinan serangan pribumi, Sementara
sebagai warga negara Inggris, dan sebagai pedagang, ia
berada di bawah perlindungan Pemerintah Inggris di Sumatera.
Bahwasanya keberadaan saya di sini hanya untuk mengelola
makanan selama tidak adanya Mr Wilson, oleh sebab itu saya
meminta Anda, untuk membiarkan saja saya disini hingga
Mr.Wilson tiba, atau sampai adanya keputusan dari Gubernur
Singapura;
Sementara itu setelah anda menerima jawaban saya ini,
dengan sebuah kapal saya akan kirimkan surat resmi kepada
Singapura.
Saya menunggu balasan anda,
Klapa Patal, Uwen geh. dienaar,
20 December 18567. (w. g.) N. M. CARNIE G. F. P.
Orang yang membawa surat ini, adalah seorang letnan laut, dan ialah
yang pertama kali ditampilkan pihak pantai, dan kapten kapal bertanya
apakah ia tidak takut untuk tinggal di darat; Ia menjawab bahwa ia
tidak melihat apa pun di sini yang bisa menakutinya. Menjelang siang,
tibalah seorang pribumi ke pantai dengan jawaban bahwa jika terlihat
ancaman yang terdapat dari tempat tersebut, maka tempat tersebut
akan segera saja di bombardir. Nampaknya surat hari itu pun tidak

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
237

juga membawa perubahan, meski surat telah diterimanya, tetap saja


terlihat kesibukan dengan benteng baru.
Kembali Pesan dari Merapi:
Kami memperingatkan anda bahwa jika pekerjaan itu tidak
dihentikan dengan segera, maka meriam dari Z.N.M Kapal
perang Merapi akan memaksa Anda.
Van boord van Z. N. M. stoomschip Merapie.
Kalapa-Patal (w. g.) NIEUWENHÜYZEN,
21 December 1857. Hoojd-ambt.-naar in N. 1. dienst,
(w. g.) F. H. TOBIAS, Aan Resident van Riouw
N.M.Carnie. Kalapa Patal.
Mr Carnie segera mengirim pesan berikut :
Aan den Komandant van Z. N. AI. oorlogs stoomschip Merapi,
en — F. H. TOBIAS Esq.
Resident van Riouw.
Dengan hormat,
Pagi ini saya menanggapi surat yang saya terima dari anda,
mengirimkan catatan berisi pemberitahuan, dalam paragraf
kedua dari surat tersebut, dikatakan melihat orang membangun
benteng. Saya merasa anda pasti telah melakukan kekeliruan
didalamnya, sementara setelah komunikasi dengan anda tadi
malam, saya melakukan tugas pekerjaan ke benteng sampai
saya akan menerima perintah lebih lanjut dari Singapura. Salah
satu yang saat ini beroperasi adalah pembangunan sebuah
rumah.
Ik blijf
Uw gehoort. Dienaar
(w. g.) N. M. CARNIE G. F- P„
Kalapa Patal, 21 December 1857.
(Signed) N.M.Carnie G. F. P. "
Saat itu para prajurit Bugis yang semula berjaga-jaga, semuanya telah
pergi, akan tetapi Mr.Carnie tampak tetap siaga bersama dengan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
238

delapan orang Eropa. Sementara seluruh penduduk di kampung itu


telah mengungsi; beberapa diantaranya bersembunyi di hutan(semak-
belukar); sedangkan yang lain berada di perahu mengambil arah yang
berbeda dengan mereka. – di sisi lainnya, seseorang mengatakan
bahwa setiap kali ketika perahu dikirim darat, sementara itu para
awak dikapal mempersiapkan sejumlah amunisi untuk menghukum
para penghuni rumah tersebut.
Pada hari Selasa tanggal 22, pada sore hari pada pukul tiga, terlihat
Wilson tiba dengan sebuah perahu dari Singapura, dan segera setelah
kedatangannya itu, dikirimkan surat menuju kapal uap Merapi.
Aan den Hon. NIEUWENHÜYZEN Esq. N. J. C. Si
en den Hon. F. H. TOBIAS Esq.
Resident van Riouw.
Dengan hormat!
1. Saya baru saja kembali dari Singapura dan mendapat
kehormatan untuk membaca pesan dalam surat anda kepada
Mr. Carnie.
2. Pada bagian kedua dari surat Anda tanggal 21 Desember.
Saya melihat bahwa Anda mengancam untuk menembak
rumah saya, jika pekerjaan di benteng dan sekitarnya tidak
segera dihentikan.
3. Dapat dicatat disini bahwa Anda telah begitu baik
membiarkan bendera Inggris tetap berkibar di benteng.
4. Saya mendapat kehormatan untuk melampirkan terjemahan
surat Sultan Siak yang menghadiahkan kepada saya pulau
Buncali (Bengkalis), dan terhadap anda, saya memprotes
dengan keras berkaitan dengan pembangunan benteng yang
saya dirikan di atas tanah milik saya yang tak terbantahkan.
5. Namun, sementara itu, saya ingin menghindari perselisihan,
Saya mempersiapkan benteng yang mengelilingi rumah saya;
yang memang harus saya lakukan, kecuali anda akan menjamin
perlindungan terhadap semua musuh, terhadap serangan sejak
benteng ini didirikan.
6. Saya meminta agar diizinkan untuk mengetahui apa rencana
Anda selanjutnya, di mana sesuai dengan keinginan Anda, yang

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
239

akan menghilangkan pekerjaan pembangunan benteng


tersebut.
7 . Akan menyenangkan bagi saya untuk dapat memastikan
apakah anda benar-benar memiliki niat untuk menembak
rumah saya jika pekerjaan benteng tidak dihentikan pada
Kamis pukul enam pagi.
Ik ben, Mijneheeren,
Klapa Patal, Uw geh. dienaar,
22 December. 1857.
(w.g) ADAM WILSON.
Berikut ini salinan surat Sultan (versi terjemahan dalam bahasa
Belanda) yang dilampirkan oleh Wilson:
VERTALING
Te Boekit-Batoe, op den zesden dag der maand Jemadal-Akir,
zijnde Zaturdag, ten vier ure geven wij, Sultan van Siak Sri
Indrapoera etc. etc, dezen brief aan ouzen vriend de Heer
Wilson. — Bij dezen staan wij af en geven over aan onzen
vriend de Heer Wilson het eiland Buncalis.
Wij magtigen hem daarover te regeren zoo lang het uitspansel,
de zon en de maan zullen bestaan. — Niemand dan de Heer
"Wilson of zijn vertegenwoordiger zullen daar eenige magt
uitoefenen of handels-inkomsten innen.
Gedaan te Boekit-Batoe op den 6 dag van de maand Jemadal-
Akir, zijnde Zaturdag, ten 4 ure na den middag.
L. S.
Bahwa surat diatas tersebut, yang bertanda di Bukit Batu pada hari
keenam bulan Jumadil Akhir, menyatakan Sultan Siak menghadiahkan
pulau Bengkalis kepada Wilson, dimana hanya kepada Wilson atau
wakilnya saja yang dapat bertempat di pulau tersebut guna
melaksanakan hak pengumpulan pendapatan...
Setelah menerima surat ini, segera terdapat jawaban dari kapal
Merapi:

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
240

"Saat ini dalam menanggapi Anda, dari surat yang kami


beritakan kepada anda dan bahwa kami sedang menunggu
pengajuan tanpa syarat atas surat kami yang bertanggal 20;
dan ternyata gagal, dan Kami berhak untuk selanjutnya
mengambil langkah-langkah tersebut dan tidak akan mencegah
niat kami dalam upaya mempertahankannya sesuai dengan hak
Neerlands.
Van boord van Z. N. Ms. oorlogsstoomschip Merapi,
Klapa Patal, 22 December 1857.
Aan (w. g.) NIEUWENHUIJZEN.
den Heer A. WILSON Hoofd-ambtenaar in N. I.
dienst.
te (w. g.)'F. H. TOBIAS.
Klapa Patal Resident van Riouw.
Karena tidak ada hadirnya kekuatan dari pihak Singapura ataupun
Inggris untuk terlibat dalam pertempuran dengan kapal uap, atau pun
untuk berjaga-jaga ditempat setelah penghancuran benteng,
nampaknya Wilson memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut
pada keesokan harinya, dan dengan demikian beberapa kapal di
sungai, segera sarat dengan barang-barang yang bernilai. – Dua kapal
besar bersenjata besar datang ke pantai, untuk mengakhiri olok-olok
yang tak henti-hentinya ini: mereka mengirimkan pesan ke kapal,
seperti,
“jelas saja benteng itu benar-benar tidak perlu ada sebab
hanya menjadi sampah saja”.
Ketika perahu itu dimuat, sepucuk surat dikirimkan ke kapal, (yang
tidak dapat ditemukan salinannya), tapi itu berarti bahwa Wilson
terpaksa pergi meninggalkan rumahnya dibawah ancaman
penyelesaian dan juga hal ini menyangkut kekuatan Belanda, dan dari
jawaban mereka yang dirasakan jauh dari keadilan, ia diperkirakan
akan kembali pada kesempatan pertama dalam rangka untuk
mempertahankan miliknya tersebut; Surat ini masih belum terjawab,
dan ketika kapal meninggalkan tempat di tengah malam, tempat itu
segera dibersihkan; dan dapat dipastikan bahwa pulau itu kosong...

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
241

Hari berikutnya, hari Kamis, adalah hari yang telah ditentukan untuk
menghancurkan benteng, tapi nampaknya, hingga Februari 1858,
belum terdengar tindakan yang diambil oleh pihak Belanda.
Klaim Wilson, bahwa tindakannya tersebut dibawah atau sepengetahuan
pemerintah Inggris: dalam hal ini Gubernur di Singapura, akan tetapi
nampaknya sang gubernur tersebut membantahnya – bahwa pemerintah
Inggris tidak berkaitan dengan tindakan Sir Adam Wilson tersebut 329. F.J.N.
Nieuwenhuijzen dan Tobias, mengadakan perundingan dengan Sultan Ismail,
Tengku Putra dan juga bersama dengan empat Datuk Kepala Suku di Siak,
dengan tindakan pada tanggal 31 Desember 1857, yang kemudian diperkuat
oleh kontrak pada tanggal 1 Februari 1858, dengan kontribusi sultan, raja
muda dan seluruh kemaharajaan kerajaan Siak Sri Indrapura dan negeri
taklukannya segera berada di bawah Pemerintah Hindia Belanda. Sebuah pos
militer ditempatkan tepat berada di pulau Bengkalis, 330 dan juga tempat
lainnya atas kesepakatan bersama.
Risalah traktat tersebut membagi Siak menjadi “Eigenlijk Siak” (negeri asli
Siak) dan “Onderhoorigheden” (wilayah taklukannya). Selain itu kekuasaan
pemerintah pribumi pun dibatasi, meski Pemerintah belanda selama Sultan
dan seluruh kemaharajaanya mentaati perjanjian, mereka tidak akan
mencampuri pemerintahan internal Siak. Secara khusus, Pemerintah kolonial
telah melakukan negosiasi untuk diri mereka sendiri hak menetap di mana hal
ini dipandang perlu di mana saja dalam wilayah kerajaan, hak kompensasi,
hak untuk menarik pajak dan hak penebangan hutan. Sebaliknya, dalam
posisi penggabungan tersebut, sulit bagi kerajaan untuk dapat tetap
mempertahankan hak-haknya, terutama pengaruhnya atas lanskap-lanskap
pesisir, hingga akhirnya di tahun 1884, ketika butir perjanjian Siak - salah
satunya mengenai kompensasi tahunan sebesar f40.000 dan utang remisi
lebih dari f50.000 – mengakibatkan turun tahtanya supremasi Siak atas

329 Regeling van het gebruik van het Koloniaal batig slot over 1855. (Memorie van Toelichting.),
hal.74
330
Tahun 1860, konflik terulang kembali. Semua dampak menguntungkan dari intervensi ini
nampaknya tidak menjadi persoalan bagi Pemerintah Hindia, hingga berkurangnya seluruh
konflik ataupun penjarahan, meskipun demikian, Belanda menolak untuk mengakui beberapa
kedaulatan sultan. Bahkan kedudukan sultan dikerajaannya tidak dipertahankan, ia dianggap
bertentangan dengan kepentingan Pemerintah Hindia, sebagai penyebab utama mengapa ia
dijatuhkan pada kisaran tahun 1864 -67: .
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
242

semua negeri pesisir. Sejak saat itu, dengan demikian Menggenapi


kewilayahan Residensi Pantai Timur Sumatra dengan sejumlah lanskap
merdeka lainnya, hampir semua pemerintahan pribumi berada dalam
pengawasan Eropa.331
Meskipun pemerintahan tetap berstruktur tradisional, kekuasaan yang efektif
berada di tangan Belanda dan Siak menjadi 'negara klasik pada abad ke-19
dengan sistem pemerintahan tidak langsung Belanda.332 Sebuah bayangan
koneksi tua dengan dunia pulau dipertahankan karena hingga tahun 1873,
Siak berada di bawah pengawasan administrasi Residen Riau, namun pada
tahun itu Belanda menciptakan sebuah provinsi baru, Pantai Timur Sumatera,
wilayahnya termasuk dari sebagian besar dari apa yang pernah menjadi
wilayah pedalaman dari kerajaan Riau-Johor serta wilayah yang dicakup oleh
Klaim perluasan kerajaan Siak. Karena itu jelas, disebabkan fokus ekonomi
provinsi baru ini terletak di daerah subur di utara, maka dari itulah pusat
pemerintahan Belanda pun dipindahkan dari Bengkalis ke Medan.
Pada tahun 1888, sehubungan dengan klaim Siak sebagai penguasa atasan di
Deli, Serdang, Asahan dan Langkat yang telah dikuasai oleh Belanda, sehingga
Sultan Siak pada saat itu berada dalam bayang-bayang pangeran yang
sebelumnya dianggap sebagai bawahannya. Disisi lainnya, kebijakan kolonial
melegitimasi posisi mereka dengan menandatangani perjanjian dengan
masing-masing negara yang mengurangi Siak hingga hanya menjadi wilayah
kecil saja, terbelakang secara ekonomi dan jarangnya penduduk Melayunya di
cekungan sungai Kampar, Siak dan Rokan. Dalam konteks ini, perhatian utama
dari penguasa seperti Sultan Sjarif Kasim (1915-1946) adalah untuk
mempertahankan pegangan erat pada otonomi kecil yang telah bertetap
ditangannya. Dengan demikian, ia bisa mengklaim jumlah sedikit keunggulan
kepada tetangga-tetangganya yang lebih kecil, yang sebagian besar pada
tahun 1912 menandatangani Korte Verklaring (Deklarasi Singkat) yang
memberikan semua kekuasaannya kepada Belanda, kecuali untuk apa yang
mereka pilih untuk mendelegasikannya kepada penguasa. 333 Pengebirian
bentuk pemerintahan lama dan kerugian ekonomi inisiatif di bawah

331 Lihat “De uitbreiding van het Nederlandsch gezag op Sumatra” dalam De Gids. Jaargang 51,
auteur: [tijdschrift] Gids, De bron: De Gids. P.N. van Kampen & zoon, Amsterdam, 1887 hal.281.
332 Reid 1969: 28-35.
333 Reid 1970 : 49 52.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
243

pemerintahan kolonial itu berlaku umum di semua wilayah yang menjadi


wilayah kerajaan Riau kuno. Dalam beberapa keadaan, keluhan bersama
mungkin cukup untuk menjadi perekat bagi kesatuan umum dalam
menghadapi dominasi Eropa. Hanya saja sayangnya ini tidaklah terjadi; yang
nampaknya dapat dikaitkan dengan berbagai alasan – kenangan perbedaan
sejarah, pemisahan geografis, kurangnya kepemimpinan, serta tidak adanya
organisasi nasionalis yang kuat.

Aneksasi Pelalawan
Belanda diantara Dua Saudara

Pada bulan Oktober 1881, Gubernur Jenderal Hindia Belanda menyetujui


suatu tindakan pengesahan atas kebijakan yang telah dilaksanakan pada
tahun 1879, dimana lanskap Pelalawan mengakui supremasi Belanda yang
wilayahnya terutama terdiri dari muara Sungai Kampar, batas – batas utara
dengan Siak dan kemudian arah selatan adalah pantai Sumatra yang berbatas
dengan wilayah dependensi Riau. Pada tanggal 1 Januari 1882 dimana
berdiri pusat pemerintahan Belanda di pulau Bengkalis, dan di tempat inilah
Tengku Besar dari Pelalawan menyatakan diri sebagai berada dibawah
pemerintah Hindia. Hal ini bermula dari pemerintahan pribumi yang
menghadapi sejumlah persoalan internal. Dua kelompok; Tengku Besar dan
Tengku Syarif Abu Bakar berselisih mengenai otoritas, sehingga masing-
masing cenderung mempertahankan hukumnya sendiri. Oleh sebab itulah
pada tahun 1877, Belanda menyatakan bahwa Tengku Besar Syarif Abu Bakar
meminta untuk berdiri dibawah otoritas Belanda.334 Dalam menganggapi hal
ini, lazimnya bangsa kolonialis, nampaknya Pemerintah Hindia juga harus
memeriksa kondisi untuk potensi bea di wlayah ini, terutama dari para
penguasa bea ekspor, sehingga residen pantai timur Sumatra pun melakukan
penelitian lokal guna kepentingan penyelesaian perdagangan. Aneksasi
wilayah Pelalawan terhadap otoritas Belanda, bagi penjajah dikatakan bahwa

334 Prof, P. J, Veth Mengatakan bahwa pada tahun 1878 Tengku Besar mencari perlindungan
kepada Pemerintah Belanda dan datang secara pribadi ke Bengkalis untuk meminta kerajaannya
berada dalam otoritas Belanda. Dikatakannya, “De TongkoeBesar zocht in 1878 bescherming bij
het Nederlandsche Gouvernement en kwam in persoon naar Bengkalis om te verzoeken, dat zijn
rijk onder het Nederlandsch gezag zou gebracht worden.” Dalam Van Rijn van Alkemade, 1897.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
244

selama Pelalawan masih merupakan kawasan merdeka, maka mereka tidak


dapat melakukan kontrol atas arus barang yang bersumber ataupun menuju
ke wilayah pedalaman, seperti pada lanskap merdeka V Koto Kampar.
Dikatakan bahwa arus barang itu tidak hanya meliputi barang hasil pertanian
ataupun komersil dan temuan tentang kekayaan hasil tambang seperti timah
di Batang Nila, melainkan juga opium, amunisi dan senjata. 335 Laporan
kolonial 1879 melaporkan bahwa residen telah mengunjungi Pelalawan, akan
tetapi belum memperoleh dasar hukum untuk pengaturan lebih jauh.
Selanjutnya dalam laporan kolonial tahun 1880 dinyatakan bahwa Tengku
Besar datang bersama dengan tiga pembesar kerajaan ke Bengkalis dan
berdasarkan catatan yang terdapat di sana, residen menyatakan kepadanya
untuk tunduk pada persetujuan lebih lanjut dari pemerintah Hindia,
kedaulatan ditawarkan pada Pelalawan yang diterima dan direksi lanskap
menyatakan kesediaan mereka untuk menanggung biaya pengadaan dan
sewa terhadap kompensasi kepada pemerintah tentang tapi satu yang
mungkin pada jumlah kompensasi. tidak bahkan. Dalam laporan 1881,
bahwa masalah kompensasi belum menghasilkan satu solusi, sehingga pada
saat itu pemerintah Hindia menunda ratifikasi akta. Penundaan ini adalah
hingga ia mampu juga untuk mengajukan menawarkan yang memuat
kesepakatan diantaranya mengenai akuisisi hak sewa(pacht). Sehubungan
dengan pengunduran dirinya, residen akhirnya masih dilewatkan ke aplikasi
tersebut sebelum perjanjian tersebut dicapai dan akte 1879 adalah bahwa,
sebagaimana telah dinyatakan di atas, lalu pada tanggal 18 Oktober pun
disahkan. Untuk memahami bagaimana kisah pencaplokan wilayah ini oleh
penjajah, ada baiknya kita menelusurinya mulai dari era dibelakang, yang
terkait erat dengan kharakteristik kerajaan itu sendiri.
Menurut tradisi,336 Kerajaan Pelalawan sebelumnya disebut dengan Saman
Tolan, dan berdiri di bawah seorang raja Maharaja-Dindo, yang dibantu oleh
Orang Besar Bandar dalam pemerintahan dan tinggal di sebuah kampung

335
Faes, 521.

336Sebagaimana dikisahkan Faes, dalam “Het Rijk Pelalawan,” dilihat dalam Tijdschrift Voor
Indische Land- En Volkenkunde, Uitgegeven Door Het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en
Wetenschappen. Deel XXVII .Batavia, 1882. hal.489 - 537

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
245

dekat pertemuan Sungai Kampar-kiri dan kanan. Pada suatu waktu, seorang
tibalah seorang pangeran yang bernama Tengku-Inceh Maridin dengan
beberapa pengikut Johor dan mendirikan desa Pelalawan. Masyarakat Saman
Tolan yang berada di bawah Maharaja Dindo sangat tertindas dan segera saja
mereka bergabung kepada Inceh Maridin. Bagaimana selanjutnya nasib
Maharaja-Dindo, nampaknya tidak lagi terdengar. Selain itu, juga terdapat
kisah yang terdapat dalam Hikayat Melayu, yang menggambarkan
penyerbuan kemaharajaan Malaka yang disebabkan keengganan Kerajaan
Kampar untuk takluk dan menjadi bahagiannya. Pelalawan yang kemudian
menjadi dependensi kerajaan Melayu, dan begitulah kondisinya sampai
sekitar dua abad yang lalu, ketika beberapa kekuatan Siak yang disebabkan
oleh berkobarnya perang saudara, maka yang kalah pun melarikan diri. Kakek
dari pembesar kerajaan Engku Raja, Maharaja Lela Putra, kemudian
memerintah sebagai raja bergelar Maharaja Depati. Dibawah situasi tertentu,
ia pun secara sukarela menyerahkan kekuasaan kepada Siak, dan ia ditunjuk
menjadi semacam gubernur dimana segala kebijakannya harus melalui
persetujuan Siak; situasi yang berlangsung hingga masa Said Ali dimana
Pelalawan diserahkan kepada Saudaranya; Tengku Said rahman bergelar
Tengku Besar; dan mewariskan martabat sebagai penguasa Pelalawan ini
secara turun-temurun. Ayah dari Maharaja Lela Putra dipertahankan
kedudukannya sebagai pembesar kerajaan, selain itu terdapat juga Datuk
Bandar.
Bahwa kesejarahan kerajaan Pelalawan atau juga sering disebut Kampar, kita
dapat melihatnya sebagaimana tercantum dalam “Sejarah Melayu.”
Dikisahkan Sang Sultan Mahmud sebagai Sultan Kerajaan Melayu, setelah
terusir keluar Kopak akibat kekalahannya dari Portugis diawal abad ke-16,
bersama-sama dengan keluarga sebahagian pengikutnya menuju ke Pantai
Timur Sumatra, tepatnya di Kampar, dimana ia diterima dengan tangan
terbuka dan didirikanlah kursi kerajaan yang meliputi wilayah Semenanjung
dan taklukkannya disana; bahwa sebelumnya, Portugis telah menangkap
penguasa Kampar; Raja Abdullah dan kemudian Portugis mengasingkannya ke
Goa. Pengganti Sultan Mahmud, putranya sendiri yaitu Alaudin Syah, segera
meninggalkan Kampar(Pelalawan) menuju Pahang. Kemudian ia mendirikan
kota disungai Johor, yang ternyata berkembang sangat pesat. Dengan
wafatnya Sultan Alaudin Syah, ia digantikan oleh putranya yang bergelar
Sultan Muthafar Syah. Seiring waktu, putranya Abdul Jalil kemudian bertahta

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
246

menggantikan Sultan Muthafar Syah. Abdul Jalil memiliki tiga putera; Raja
Hasan, Raja Husin, dan Raja Mahmud. Masing-masing puteranya ini
menempati tanah lungguh kerajaan; Raja Hasan di Siak, Raja Husin di
Kelantan dan Raja Mahmud di kerajaan Kampar atau Pelalawan. Disini,
kembali dapat kita lihat ketegasan bahwa kerajaan Siak dan
Kampar(Pelalawan), merupakan wilayah taklukan Johor. Pada tahun 1718,
dengan klaim sebagai keturunan Sultan Mahmud; Raja Kecil menginvasi Johor
dan bertahta disana, namun tidak berlangsung lama. Bahwa masa
pemerintahan yang singkat dan penuh gejolak sebagai akibat penetrasi
kekuatan Bugis yang mendukung Sultan Sulaiman (Putera bendahara Johor
yang dibunuh oleh pasukan Raja Kecil) telah memaksa Raja Kecil dari Riau
menuju Buantan di Siak di tahun 1723. Setelah kematian Raja Kecil di tahun
1746, dua puteranya; Raja Alam dan Raja Muhamad berselisih atas tahta Siak.
Bahwa Raja Muhamad adalah ber-ibu-kan Tengku Kamariyah yang
merupakan adik dari Sultan Sulaiman. Kedua bersaudara ini berbantahan dan
konflik ini begitu sengitnya, meminta hanya satu saja yang bertahan di
singgasana. Pada tahun 1753, Sultan Mohamad adalah penguasa atas tahta
Siak, akan tetapi pada awal tahun itu ia diserang oleh Raja-Alam dan
melarikan diri pada malam 21 - 22 Mei ke Pelalawan, Kemudian bertahtalah
Raja-Alam sebagai Sultan. Namun pada tanggal 13 Agustus 1755, ia
dikalahkan oleh Kompeni, dan saudaranya; Raja Mohamad dikembalikan
sebagai penguasa Siak. Meskipun ia menerima bantuan Kompeni, aliansi ini
tidak berlangsung lama dimana Sultan Muhamad meninggalkan kesepakatan
ini pada tanggal 6 November 1759, Pos Belanda di Pulau Guntung di Sungai
Siak diserang olehnya. Sebelum Kompeni dapat membalas penyerangan ini,
diberitakan bahwa Sultan Mohamad wafat pada tanggal 23 November 1760.
Kematiannya, adalah sinyal untuk situasi baru di Siak. Anaknya; Raja Ismail,
diangkat sebagai penggantinya, akan tetapi suksesi itu dibantah oleh
Mohamad Ali sebagai putra Raja-Alam, dimana ia bertindak untuk hak-hak
ayahnya. Perkembangan terus berlanjut, dan Kompeni mendukung Raja Alam
melalui perjanjian tanggal 16 Januari 1761 yang diajukannya kepada otoritas
Belanda. Karena pemimpin dan rakyat Pelalawan-Raja Ismail yang didukung,
Said Osman sebagai menantu dari Raja-Alam, dan pangeran dari Siak dengan
sejumlah kekuatan delapan belas kapal, menuju kesana. Bagaimanapun jua,
Kekuatan itu tidak bisa berbuat banyak dan harus memutuskan untuk
memblokade Sungai Kampar. Sementara itu terdapat tujuh kapal kompeni di
Siak, antara lain: “het Pasgeld," “de Draak," “het Zeepaard," “de Buys," “de
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
247

Vrijheid,” “de Roeigetij" en de “Paarl d'amour,” barulah di Mempura pada


tanggal 17 Juni 1761 pasukan Raja Ismail berhasil dihalau, setelah itu Raja
Alam pun bertahta sebagai Sultan Siak yang baru. Said Osman yang diperkuat
dengan empat Kapal, dan Mohamad Ali yang dibantu oleh tiga puluh prajurit
Bugis, menuju Pelalawan, dan pada hari-hari pertama bulan Agustus 1761,
Setelah pertempuran sengit, Pelalawan pun ditaklukkan. Kampar atau
Pelalawan kemudian menjadi dependensi Siak dan kepada kerajaan
ditunjuklah kepala dengan gelar Tengku Besar. Pada tahun 1787,
penguasanya adalah Tengku Besar Abdullah. Sementara itu, Said Osman,
menantu dari Raja-Alam, memiliki tiga putera, yaitu: Said Ali, Said
Abdurrahman atau Drachman dan Said-Hamad.
Pada 1791, Said Ali merebut tahta Siak. Di tahun 1811, dimasa Said Ali maka
Pelalawan dibawa kepada Said Drachman dan juga membawanya ke Siak
sebagai “bersaudara.” Said Drachman tetap mempertahankan gelar Tengku
Besar, sebagaimana sebelumnya juga dilakukan oleh kepala Kampar. Pada
tahun 1821 Said Drachman wafat, meninggalkan lima anak, yaitu: Tengku Said
Hasim lahir dari pernikahannya dengan istri pertamanya Tengku Katija;
Tengku Said Ismail dan Tengku Said Hamid, diperoleh dari istri keduanya
Inceh Monah; Tengku Jafar dan Tengku Said Syarif atau Abu Bakar, bahwa
keduanya lahir dari istri ketiganya bernama Mas-Ot'i.
Setelah kematiannya itu, Said Drachman digantikan oleh Tengku Said Hasim,
yang berlangsung hingga tahun 1828 dimana pada tahun itu ia wafat. Bahwa
Tengku Said Hasim tidak memiliki keturunan laki-laki dan hanya seorang anak
perempuan; Tengku Aisha yang telah menikah dengan pembesar Siak; Tengku
Putra. Said Hasim pun digantikan oleh saudara tirinya, Said Ismail yang wafat
pada tahun 1844, dimana juga tidak memiliki keturunan laki-laki; maka
saudara kandungnyalah yang mengisi posisi tahta saat itu; Tengku Said
Hamid. Di akhir kontrak dengan Siak pada tanggal 1 Februari 1858, ia adalah
pangeran Pelalawan. Belanda, yang belum benar-benar merasa mapan dalam
urusannya di Siak, nampaknya tidak melihat momen tersebut sebagai “masa
untuk memetik buah,” sehingga tidak melanjutkan upaya hubungan
langsungnya dengan Kampar ataupun Pelalawan. Akan tetapi, hingga
akhirnya, perseteruan internal, membuka peluang bagi penjajah untuk masuk
kedalamnya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
248

INDRAGIRI
Dari Instruksi Rahasia, Aksi Blokade sampai “Korte Verklaring”

Melengkapi kisah tentang sepak-terjang penjajahan Belanda di pantai Timur


Sumatra, maka kali ini dibahas proses pencaplokan atas kerajaan yang
berlokasi di hilir aliran sungai Indragiri, yang nampaknya dilakukan melalui
serangkaian proses aneksasi-negosiasi; dimulai dari era Raja Said dengan
Traktat tahun 1838 hingga pencaplokan wilayah tahun 1912. Penjajah,
menggunakan berbagai strategi, terutama pendekatan dari jalur hubungan
tradisional yang melekat antara Indragiri dan Riau-Lingga. Penjajah, yang
memang ingin menguasai pesisir Indragiri, awalnya tampak bagai “konseling
pemerintahan” saja, yang berposisi mendampingi penguasa dalam upaya
mengembangkan kemajuan dan kemakmuran masyarakat yang tentunya
juga, menguntungkan Hindia Belanda. Akan tetapi, akhir dari keseluruhan
cerita ini menjadi jelas, dengan pengakuan kedaulatan raja yang termaktub
dalam “korte verklaring”(pernyataan singkat). Kali ini, beberapa catatan yang
terdapat dalam lembar Tijdschrift dan juga halaman Kielstra, membantu
memahami kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa dalam proses tersebut.
Diantara bahagian selatan Jambi dan bahagian utara Residensi pantai timur
Sumatera, kita menemukan pada peta Hindia batas-batas wilayah yang relatif
signifikan – diperkirakan daerah tersebut hampir sama besar nya dengan
negeri Belanda - tetapi sangat jarang penduduknya, total populasi disini
hingga tahun 1915 tidak lebih dari 50 - 60.000 jiwa. Daerah dimaksud, dalam
bahasa administrasi Hindia, bernama Afdeeling Indragiri yang merupakan
bahagian dari Karesidenan Riouw en Onderhoorigheden (dan negrie
takluknya); yang merupakan bahagian pesisir dari daratan Sumatera.
Memasuki abad ke-20, kawasan Ini terdiri dari "kerajaan" Indragiri, distrik
Kuantan dan “amiraten” Mandah-Gaoeng dan Reteh.
Sebagaimana diketahui, lanskap Indragiri adalah negeri yang dikepalai
seorang Sutan dan bersinar terang di era abad ke-17. VOC (Vereenigde de
Oost Indische Compagnie), berulangkali memasuki "kerajaan dan negeri-
negeri dari kawasan sungai Indragiri, dan dalam waktu yang singkat telah
mendirikan loji guna memperoleh lada dan emas, namun ditarik kembali
ketika ternyata bahwa mereka dipukul oleh kenyataan yang menyakitkan bagi
mereka, sebuah pertunjukan yang telah begitu menyesatkan: lada yang mahal
dan kualitas buruk, dan juga langkanya emas. Oleh sebab itu ditahun 1648,
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
249

diputuskan untuk mengajukan penarikan loji dan mengalihkan perdagangan


ke Batavia dan Melaka. Pada tahun 1664 kontrak ditandatangani dengan
Sutan, dan di Cenako satu loji pun didirikan untuk kepentingan Compagnie
(kompeni); saat itu di Cenako dapat ditemui sejumlah dua ratusan rumah
setempat, pasar yang besar dan beberapa masjid. 337 Tempat itu terletak di
salah satu sungai dengan lanskapnya yang luar biasa indah, yang berfungsi
sebagai jalur ekonomi dengan ramainya para pedagang. Akan tetapi semua
kejayaan tersebut tidak berlangsung lama, tampak dari Loji Hindia yang telah
lama menghilang; juga adanya gejolak dari pedalaman, serta ancaman
pembajakan. Kondisi tersebut, bertolak belakang dengan realita bahwa para
saudagar dan pedagang selalu mencari tempat berlindung yang lebih aman.
Apa sebenarnya kekuatiran yang berasal dari gejolak dipedalaman tersebut?

Sekitar pertengahan abad ke-18, tahta Indragiri digulingkan oleh


keturunan radja Menangkabau, akan tetapi dengan bantuan Raja
Muda dari Riau; segera kekuasaannya berhasil dipulihkan kembali.
Hasilnya, Indragiri mengakui supremasi Riouw (Lingga); dan Riouw
menyerahkan urusannya tersebut kepada “Keamiran”.338
Dalam beberapa tahun berikutnya, hampir selalu terjadi sengketa suksesi dan
pertengkaran antara Raja dengan Rijksbestierder(Raja Muda), dimana pada
akhirnya, pada tahun 1838 didapati bahwa mereka mengalami kesulitan
dalam mengatasinya dan kemudian meminta bantuan kepada Pemerintah
Belanda. Sebenarnya, Belanda telah mendirikan pos-nya pada tahun 1834 di
Jambi, dan tentu saja, pemerintah Hindia dalam hal ini sangatlah “welcome”
dengan permintaan tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa Gubernur
Jenderal Van den Bosch (1838 Menteri Koloni) telah menyatakan pada tahun
1833, bahwa mereka berniat sepenuhnya terhadap wilayah Sumatera hingga

337 Dilaporkan bahwa tempat tersebut adalah tempat yang indah, “Het is een mooi vlek, waar
wel twee honderd gemeene huizen zijn, Nevens een eschoone bazar of markt, en ettelijke
Moorsche tempels. Lihat Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en op de Oostkust: I
. Bevestiging in het rijk van IndragïrI. Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9;
01-01-1853
338 Lihat De Afdeeling Indragiri Door Dr. E.B. Kielstra, dalam Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
250

ke perbatasan Aceh; wilayah yang akan segera berada di bawah kekuasaan


Belanda. Akan tetapi nampaknya proses tersebut tetaplah dimulai dengan
hati-hati. Untuk memanfaatkan kepemilikan Sumatera, Hindia juga memiliki
pengaturan untuk perdagangan di Pantai Timur, sehingga perlu juga untuk
ditetapkan antara lain pendirian pos-pos di sungai utama: Indragiri. Akan
tetapi tidak hanya untuk alasan ini dianggap perlunya pendirian pos-pos
tersebut. Setidaknya Menteri Baud membela diri, sebagaimana
diungkapkannya pada bulan Mei 1841;
“Ditemukannya markas Bajak Laut di Lingga di Kepulauan Hindia;
dan sejak Sultan Lingga memiliki hak kedaulatan atas Indragiri,
dimana ia harus melakukan bisnisnya, para perompak pun
memperluas wilayah operasinya, salah satu penekanan yang
mujarab atas tindak kejahatan ini adalah untuk dapat segera
dianggap penting dan harus diakui bahwa "kedaulatan kami
(Hindia) itu ada disana.”
Dan, Pemerintah Hindia nampaknya tidak ragu-ragu dengan keputusannya
tersebut. Hampir dua bulan setelah Sutan Indragiri mengirimkan agennya
menemui Gubernur di Jambi yang segera ditindaklanjuti dengan penunjukkan
suatu komite yang akan melakukan ataupun mempersiapkan suatu kontrak.
Untuk menyiapkan kontrak tersebut, mereka pertama kali harus mencoba
untuk bekerjasama dengan Sultan Lingga, dan ini dimaksudkan untuk
menjaga cabang Hindia di Indragiri dan juga akan berguna untuk mengekang
pembajakan. Sultan pun diingatkan atas dukungan yang pernah diterima dari
Pemerintah dan pada kewajiban yang dikenakan terhadapnya, atau mungkin
saja pemerintah Hindia harus memperingatkan akan konsekuensi yang
mungkin ada jika Sultan menolaknya. Singkatnya, Belanda mengerahkan
semua tekanan yang dimungkinkan untuk dikenakan pada diri raja tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa telah sangat jelas seberapa banyak berat yang
harus dipikul oleh pemerintahan Hindia pada tahun 1838 yang melekat pada
salah satu cabangnya di Indragiri, kemungkinannya,
jika Sultan Lingga menolak melakukan kerjasama, maka peluang
Belanda mengadakan kontrak dengan Indragiri pun akan menjadi
tertutup.
Meskipun demikian, Pemerintah Hindia sendiri menganggap bahwa terdapat
keinginan kuat dari bangsawan kerajaan untuk menjalin hubungan dengan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
251

Hindia, keinginan yang selaras dengan kebijakan perluasan kewenangan yang


telah dicanangkan oleh penjajah. Untuk itu, segera saja dibentuk komisi
dengan menunjuk anggotanya yang terdiri dari Residen Riau; F.Goldman, juga
Asisten Residen Bengkulu; P.J.B.De Perez, dan nampaknya, juga melibatkan
gubernur Pantai Barat Sumatra dan Komandan tentara; Korvet Triton yang
mengemban suatu “Geheime Instruktie” (Instruksi Rahasia). Dikatakan
“Instruksi Rahasia” disebabkan pada saat itu, dalam menghadapi persaingan
dari rivalnya: Inggris, maka pelaksanaan misi tersebut menjadi sangat hati-
hati dan tertutup. Bahwa, apa yang dinamakan dengan “Instruksi Rahasia”
tersebut yang ditetapkan oleh Gubernur jendral Hindia Belanda Eerens di
Buitenzoerg (Bogor) pada tanggal 31 Mei 1838, memuat hal yang dapat
dilihat berikut ini:339
Pasal1
Sejak dahulu, bahwa jika Pemerintah Hindia ingin memperoleh
keuntungan besar dari Sumatra, maka haruslah sisi timur Sumatra
dikuasai dengan menggunakan pemerintahan disana, dan bahwa
traktat London tanggal 17 Maret 1824 tidak menjadi penghambat bagi
pendirian pos-pos Hindia di Pantai Timur; Untuk itu di tahun 1834
kontrak dengan sultan Jambi dan pos di Muara Kompeh ditempatkan
di sungai Jambi.
Bahwa Sungai Indragiri juga pernah dipertimbangkan oleh perusahaan yang
sama, namun harus ditunda hingga berakhirnya penaklukan Bonjol, dengan
demikian, instruksi Rahasia nampaknya bertentangan dengan kebijakan
Menteri Koloni; Bahwa dalam perang Hindia dengan Padri; keberadaan
oposisi disepanjang sungai yang bermuara di Pantai Timur dimana mereka
dibantu oleh orang Inggris dengan memberi ransum dan baju besi; dan dalam
rangka untuk mencegah hal tersebut, beberapa pos militer Hndia di
sepanjang Pantai Timur pun didirikan; Justru sebaliknya,

339
Uraian ini sebagaimana terdapat pada “Het In bezit nemen en ontruimen van Etablissement en
op de Oostkust Van Sumatra; I.Bevestiging in het rijk van IndragïrI;” dalam Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 15, 1853 (2e deel), no 9 tanggal 1 januari 1853, hal.147-150

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
252

“Instruksi Rahasia” menyatakan bahwa mereka menunggu sampai


kejatuhan Bonjol yang mengakhiri perang dengan kaum Padri,
sebelum menduduki pantai Timur.
Bersamaan dengan itu, dari residen Palembang diterima berita bahwa sultan
Indragiri, meskipun secara tidak langsung telah menyatakan keinginannya
untuk bertindak menjalin kemitraan dengan Pemerintah Hindia. Bersamaan
dengan itu juga, Gubernur Pantai Barat Sumatra melaporkan bahwa
Pangeran Kuantan (hulu Sungai Indragiri) mengajukan proposal dalam rangka
menjalin hubungan dengan Pemerintah diwaktu-waktu kedepan, dimana
usulan mungkin saja dibuat sesuai dengan sultan Indragiri, diantaranya
menyangkut hukum dengan raja, dan dengan siapa ia terbaik menjalin
koneksi. Keadaan di Sumatera memungkinkan untuk suara yang
menguntungkan dari dua pangeran, untuk beberapa pengembangan dan
pemanfaatannya untuk waktu yang akan datang dan dalam rangka
menempati Sungai Siak dan Kampar. Sementara itu telah ditemukan bahwa
Sultan Indragiri dianggap bahagian dari Lingga, dan Kerjasama dengan
bangsawan dimaksudkan untuk memperoleh setidaknya jaminan;
bahwasanya dia setuju untuk membuat kesepakatan dengan salah satu
sultan Indragiri.
Pasal 2.
Oleh karena itu Gubernur Pantai Barat Sumatera harus terus
melakukan upaya negosiasi dengan pangeran Kuantan, mencoba
dengan penuh semangat membentuk suatu kesepakatan. Sementara
itu Komisaris Jenderal Van Den Bosch dengan tegas mengatur kerajaan
di Pantai Timur Sumatera.
Pasal 3.
Terhadap Sultan Indragiri juga diajukan negosiasi, dan
berkemungkinan akan berada di bawah persetujuan lebih lanjut dari
Pemerintah, sebuah kontrak yang disetujui bersama; dimana kelas
pangeran akan memperoleh sejumlah 400, 500 atau 600 gulden setiap
bulannya, sejalan dengan itu untuk terselenggaranya keadilan bagi
pendapatan dan hak; terhadap Pemerintah Hindia Belanda dan
sehubungan dengan itu, Kerajaan dibebani dengan penjaminan atas
kepentingan Hindia atas pelayaran di sungai Indragiri menuju
pedalaman, dan jika diperlukan pemerintah akan membangun

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
253

benteng di muara untuk memberikan perlindungan terhadap


kemungkinan serangan dari bajak laut.
Pasal 4.
Pihak berwenang akan melakukan pengawasan dan penegasan
terhadap larangan yang berlaku, terkait dengan pangeran atau
masyarakat Hindia, terakhir, dibahas pengamanan harta-benda
dengan mereka, atau adanya suatu komitmen untuk melindungi
mereka terhadap serangan dari pihak lain.
Pasal 5.
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3,
asisten residen De Perez berpindah menuju Riouw, dan disana pada
semua kesempatan Residen meminta informasi tentang Indragiri
terutama yang berkaitan dengan kedaulatan Sultan Lingga disana. Jika
melihat klausul pertama diatas, bahwa untuk diperolehnya jaminan
keamanan, maka perjanjian terhadap sultan Lingga akan ditutup,
sementara sebaliknya dengan radja Indragiri perjanjian akan dibuka,
Hal ini mengingat Pemerintahan yang pernah merampas dan
menghancurkan kekuatannya di lautan. Dalam mengantisipasi
masalah, maka terhadap sultan akan diadakan dukungan berupa uang
dan materi lainnya,…
Apakah akan ditemukan sesuatu yang berkaitan dengan tujuan pemerintah
Hindia; hak Sultan, untuk tujuan ini, maka semuanya oleh kebijakan
pemerintah Hindia, kerja sama dimana dampaknya akan berlangsung
berkesinambungan dan sekali lagi untuk semua alasan tersebut, jika residen
secara bijak mengantisipasinya, juga bila memungkinkan dana pemerintah
untuk sultan digunakan untuk dukungannya, dan juga dukungan ini meliputi
kekuasaan Sultan sebagaimana permintaannya untuk pembayaran pulau-
pulau secara bulan-tahunan dari kas Pemerintah, dimana kepada Sultan
diminta untuk mengerjakan sesuatu.

Pasal.6.
Setelah itu diperlukan jaminan dari Sultan Lingga atau bahkan jika
perlu, tanpa jaminan keamanan pun diserahkan seluruhnya pada
Residen Riouw dan De Perez dengan turut mempertimbangkan andai
terjadi situasi dengan tidak akomodatifnya pemerintahan disana, dan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
254

jika memungkinkan agar didampingi oleh seorang pembesar ataupun


kepala di Lingga untuk segera menuju Indragiri dimana kepada raja
diajukan kontrak yang mencakup pokok-pokok dalam instruksi ini.
Dalam hal ini bisa saja sesuatu yang tak terduga terjadi, bahwa secara resmi
De Perez membatasi diri dan mereka pun kembali ke Riau, atau juga ke
Palembang, dalam rangka menyelesaikan tugas Komisi tersebut. Ia akan
berada disana untuk melakukan komunikasi-negosiasi yang sebagaimana
termaktub dalam pasal 3.

Pasal 7.
De Perez akan mengulurkan naskah persetujuan tahun 1834 dengan
Sultan Jambi, dimana ia melayani hingga membimbingnya. Dia akan
bertindak dalam segala hal sebanyak mungkin sesuai dengan Residen
Riau; pesan yang tegas Kepada sesiapapun, untuk mengambil
dukungan yang paling mungkin diperoleh bahkan dapat termasuk
juga residen Palembang, sebagaimana sulthan Indragiri telah
menyatakan, bahwa sementara ini telah dilakukan sebelumnya, dapat
dianggap meminta secara resmi De Perez. Dengan demikian sultan
Indragiri sendiri lebih lanjut menyatakan, atau melakukan sesuatu
untuk bisnis, meminta De Perez dengan mengirimkan kapal ke Riau.
Pasal 8.
De Perez akan berkonsultasi dengan Residen Riau mengenai kontrak
dengan sultan Indragiri, yang seharusnya dijalankan sekaligus sampai
tetap selesainya, dan untuk itu didirikan tempat di sungai dan
bagaimana hal itu berkemungkinan menjadi bagian dari tujuan yang
diperlukan Riouw. Residen akan, menganggap hal ini perlu, dan
dengan demikian dapat dilakukan sesuai dengan anggarannya.
Pasal 9
Zr.Ms.korvet Triton akan membawa De Perez menuju Riau; Untuk
perjalanan ke depan memberikan masukan dari Pemerintah untuk
residen Bangka dan Palembang. Dalam pelayanan seluruhnya dari Zr.
Ms.korvetTriton oleh De Perez diperlukan justifikasi resmi atasnya,
Sendiri ataupun bersama-sama dengan Residen Riau, menuju Indragiri
dan dari sana menuju Palembang atau sekitar Riau, akan menjadi

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
255

komandan dan mantan utusan bulan membuat permintaan untuk


tujuan ini, dan memberikan hasil untuk kepentingan "pelayanan Raja.
Pasal 10
Setelah itu, komandan Zr.Ms.korvetTriton sesuai dengan instruksi,
bahwa ia dengan komandan Zr.Ms.Auxieliares menerbitkannya di
Lembaran Hindia.

Pasal 11
Untuk laporan terhadap Gubernur Jendral, maka petugas De Perez
akan menyampaikannya bersama-sama dengan Residen Riouw dan
juga Komisi, yang memuat rencana-rencana atas hasil informasi yang
telah ada; serta diantaranya hasil kedepan tanpa penundaan.
Asisten residen Bengkulu De Perez, disebabkan Instruksi Rahasia ini,
melakukan perjalanan sendiri menuju Riau, dimana selanjutnya komisi akan
datang untuk mencari informasi tentang tentang Indragiri dan derajat
kedaulatan atas lanskap ini yang dimiliki oleh Sultan Lingga. Dalam hal ini,
untuk pencapaian tujuan, panitia memastikan untuk juga dapat
mempertimbangkan cara yang lainnya. Tujuan tersebut ialah, bahwa di salah
satu kompensasi dari 4 - 600 gulden per bulan, adalah untuk mendapatkan
hak pajak atas impor dan ekspor, Sutan harus menjamin keamanan pelayaran
di sungai Indragiri, juga atas gedung milik Hindia, dan bila memungkinkan,
membangun benteng di muara sungai untuk melindunginya terhadap
gangguan bajak laut. Jika hasil melebihi dari hak kompensasi yang diberikan,
maka atas perbedaan ini Sutan akan menerima bagian yang adil, misalnya,
menerima setengahnya, demikian rencana penjajah. Pada awalnya, terjadi
hambatan. Sultan Lingga merasa bahwa hal ini tidak perlu dilanjutkan. Bahwa
diperoleh berita, dari lingkungan Sultan, terdapat seorang pria (Penjajah
menuduh pria ini berasal dari pihak Bajak Laut) yang berusaha
meyakinkannya bahwa itu adalah niat pemerintah Belanda untuk
melemahkan kekuasaannya, semakin banyak penguasaan dan akhirnya
menguasai kerajaannya. Selanjutnya yang terjadi, ternyata komisi cukup
sukses untuk menghilangkan kecurigaan tersebut:
Sebelumnya, di kerajaan dengan Raja Muda Riau, Sultan dikunjungi dan
pemerintah pun memberinya sejumlah f20.000 sebagai biaya penggantian
tahunan khusus, untuk kontrak pada tahun 1837 yang dilakukannya dalam

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
256

rangka mengekang pembajakan. Hal ini membawanya ke suasana hati yang


baik, dan hanya ada satu konsesi yang diperlukan untuk benar-benar
melakukan bekerja sama. Ia Berharap pada kontrak yang sama yaitu pada
tahun 1837, asalkan, untuk menjaga ketertiban yang lebih baik, dan juga
penempatan polisi oleh Sultan, sementara kepala pulau utama akan ditunjuk,
untuk remunerasi kepala ini Pemerintah Hindia memberi sejumlah f14.400
setahunnya, yang mereka terima dari Residen atau Raja Muda. Sultan telah
membuat permintaan bahwa jumlah ini akan dibayarkan kepadanya – sebab
ia harus membayar pegawainya yang bersangkutan, dan sekarang ia
menginginkan hal tersebut diputuskan sebelum dilakukan pembahasan
tentang Indragiri. Komisi menyadari bahwa dana sekarang tidak akan masuk
ke kantong mereka didasari dari niat Pemerintah.
Sebagaimana disampaikan, bahwa saat itu Sultan Lingga dalam suasana hati
yang baik. Akan tetapi halnya dengan Eropa, bahwa sebelumnya mengenai
Indragiri di bawah pelaksanaan ketentuan, akan memiliki penyelesaian akhir
dari suatu hal yang saat itu dirasakan menggantung. Keinginan yang berasal
dari Pemerintah bahwa sejumlah kepala dari pulau-pulau yang berada
dibawah kekuasaan Lingga, akan dibayar secara bulanan oleh Belanda, dan ini
merupakan pembayaran tidak langsung kepada para kepala tersebut
melainkan diserahkan pembayarannya kepadanya. Residen Riau
menyarankan betapa pentingnya peran Pemerintah Hindia dalam upaya
pembentukan ataupun pendirian pendudukan di Indragiri, dan juga untuk
menunjukkan kepada sultan Lingga bahwa ini akan berhasil, dan dikatakan
bahwa hal ini atas nama pemerintah Hindia dan melakukannya dalam suatu
kebijakan yang dinamakan “Instruksi Rahasia,” Sultan akan mampu
mengendalikan Negara dikala terjadi percekcokan ataupun sesuatu yang lebih
besar. Setelah itu dilakukan dengan sultan negosiasi tentang konsesi laut.
Hampir saja upaya ini terhambat, bahwa Sultan kemudian menulis surat
kepada Sutan Indragiri, dimana dalam hal ini memberitahukan adanya komisi
dan juga unsur pembesar kerajaan Riau, bahwa ia diberitahu dan sekaligus
mengingatkan untuk mempertimbangkannya sesuai dengan niat dari
Pemerintah Hindia Belanda dan agar secepatnya untuk dilakukan upaya-
upaya pengembangan Indragiri, serta mengutamakan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya.
Kemudian komisi pun menuju Indragiri; selain Raja Muda, kemudian seorang
pejabat Eropa; Walbheem, yang kemudian disertai juga dengan Tuanku-
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
257

Slangor, seorang bangsawan Indragiri. Dari Lingga, Raja-Dolla, seorang


saudara dari raja Muda Riau, Datuk-Bandahara Riau, dan seorang utusan:
Haji-Ibrahim. Ketika mereka tiba di Sungai Indragiri di Pulau-Palas, diterima
satu jawaban dari sutan Indragiri atas surat yang telah dikirimkan oleh sultan
Lingga. Itu terutama mengenai beban sutan untuk menerima dan akan
keberhasilannya. Di Rengat Ibukota Indragiri, kedatangan Komisi ini diterima
dengan baik. Adapun untuk pemenuhan pencapaian tujuan komisi, mereka
perlu untuk melakukan pertemuan, akan tetapi Raja Muda atau Sutan-Muda
Indragiri tidak hadir. Bahwa ia nampaknya tengah “bersitegang” dengan
Sutan. Komisi berpendapat bahwa kedaulatan mereka memiliki
ketergantungan di bawah negara-negara besar, dan terus saja dengan situasi
seperti itu telah mengkondisikan sepertinya tidak sedikit pun merasa kuatir
terhadap masalah-masalah penting. Bahwa situasi ini berkaitan dengan
persoalan keluarga; dimana Raja Muda menikahi adik dari sang Sutan; dan
pernikahan ini nampaknya dilanda masalah. Komisi dalam beberapa hal,
tidak dapat melanjutkan pembahasan kesepakatan disebabkan
ketidakhadiran Raja Muda. Akan tetapi persoalan tersebut akhirnya dapat
terselesaikan, dan bahwasanya Komisi dan Raja Muda Riau sangat senang
akan keberhasilan misi tersebut.
Selanjutnya adalah penyusunan bahasa kerjasama antara Sutan dan
rijksbestierder; kemudian segera kontrak disepakati yang bertanggal 26
September 1838 dimana pemerintah Hindia menganggap bahwa keinginan-
keinginan telah dapat disimpulkan dan seluruhnya dalam bentuk yang
umumnya terjadi. Ternyata, didalam kontrak didapati beberapa hak berdaulat
Lingga tidak tertera, hal ini menurut Komisi dimaksudkan bahwa semua hak
Sultan telah ditransfer ke Pemerintah Hindia dalam beberapa tahun
kedepannya, seperti yang akan terlihat di bawah titik yang tampaknya tidak
ditegakkan. Sebagai pertimbangan untuk kewajiban diasumsikan dan hak
diserahkan kepada Sutan dan rijksgrooten bersama-sama menerima sebesar
f700 per bulannya (September 1838).
Sembari menunggu suatu ketetapan, sebelumnya dari Cenako, kapal
pemerintah dengan 40 tentara ditempatkan di Sungai Indragiri. "kekuatan
angkatan laut" diperkuat dengan perahu layar dan kapal dayung,
keputusannya adalah di Pulau Pakanlaïs, kemudian di pinggir sungai sebelah
kiri untuk membangun sebuah benteng keluar untuk pertahanan. Di
Pakanlais ditempatkan seorang wakil pemerintahan sipil, juga dengan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
258

pengawas bea masuk pada pengiriman dan perdagangan ditempatkan di


sana, Sementara di Cenako ditempatkan seorang pejabat bea cukai kecil. De
civiele gezaghebber telah melanjutkan tugas ini adalah untuk
menginformasikan kondisi sosial, dan untuk memantau kepatuhan terhadap
kontrak.
Dapat dipastikan bahwa interferensi Hindia di Indragiri sangat
menguntungkan mereka.
Tapi Kondisi tersebut tidak bertahan lama: pada akhir tahun 1839, Van den
Bosch mengundurkan diri, dan Baud sebagai menteri dimana berlangsungnya
situasi dengan berbagai kondisi yang merugikan Hindia. Pertama-tama
persoalan keuangan, meskipun banyak juga faktor lainnya di Hindia. Di
bawah tekanan dari sistem tanam-paksa, juga dari negeri Belanda sendiri
selama (38) penerapan sistem “stelsel” melawan Belgia, diketahui bahwa itu
pada tahun 1840 (dan masih waktu yang cukup setelah itu) 'kebutuhan negeri
Belanda sendiri "secara umum mengalami peningkatan. Hindia harus
menghasilkan uang sebanyak mungkin, karena pendapatan yang meningkat,
namun pengeluaran yang tak terbatas menjadi tidak terelakkan. Jadi, Baud
merasa secara teori mungkin benar, dalam prakteknya, tentu saja tidak ada
alasan untuk memperluas kantor Pemerintah di Hindia, di mana tidak adanya
keuntungan dari yang terkena dampak kebijakannya. Awalnya, ia adalah
seorang pria dengan pandangan luas, akan tetapi, banyak pihak yang
menyangsikan untuk melaksanakan ataupun menerapkan kebijakannya.
Nampaknya pemerintah Hindia kemudian terbebani, yang muncul sebagian
dari apa yang ditulisnya di bulan Januari 1842, di Merkus-Schreef:
“busur di negara ini, semakin kuat saja dan terus menegang.”
Akan tetapi tidak pula dapat dilupakan sistem yang cakupannya adalah untuk
memastikan kontribusi murah hati dari dana kolonial dan untuk mencegah
kesatuan koloni tersebut menjadi retak. “Busur” itu datang dan diterima oleh
sistem dengan mengabaikan kebutuhan teritori luar selama Perang Jawa,
terutama oleh Van den Bosch – dengan pengecualian Sumatera – yang
dibawa dalam rancangan, sehingga oleh persetujuan Baud, termasuk untuk
pantai timur Sumatera, yang dianggapnya hanya menjadi gangguan saja.
Sejarah mencatat bahwa disebabkan tuntutan keuangan dari negeri Belanda,
di seluruh distrik di Jawa telah diterapkan sistem Tanam-Paksa
(cultuurstelsel). Baud, mengetahui bahwa penduduk bisa menjadi sarana di
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
259

mana sistem yang menerapkan penanaman “yang wajib dan yang dilarang”,
dan ia juga tahu bahwa dengan kondisi-kondisi pemaksaan dan tekanan,
mereka pun dapat berbalik berubah menjadi oposisi dan menimbulkan
resistensi dimana saja di Pulau Jawa. Jadi tampaknya telah dipikirkan dan
kemudian berkesimpulan bahwa yang harus dihasilkan adalah apa-apa yang
meliputi “Kekayaan-luar,” dimana uang untuk pembiayaan dan tentara, dapat
saja bersumber dari kejahatan. Dia tidak memiliki penyebab langsung untuk
membuatnya dikenal sentimental dalam hal itu, apa yang sebenarnya telah
terjadi telah terjadi, dan tidak ada untuk saat itu khusus pada program
tersebut. Perang melawan Padri itu di Pantai Barat Sumatera, berakhir pada
tahun 1838, dan dari semua yang dilakukan selanjutnya adalah; pengamanan
dan konsolidasi. Tapi sampai di sana pada bulan Juli 1841, terdapat pesan
peringatan tentang terjadinya pemberontakan di Pantai Barat Sumatera.
Akan tetapi, kemudian terbukti hal tersebut terlalu dibesar-besarkan: dalam
beberapa hari saja pemberontakan itu mereda. Dalam hal ini,
Penjajah pun mengakui, bahwa tanpa hubungan antara pemerintah
dan rakyatnya, hubungan akan menjadi sangat tidak menguntungkan.
Sementara itu, menteri sangat terpengaruh dengan seorang mantan panglima
tentara, yang pada saat itu dipandang memiliki keyakinan penuh-berdedikasi
dan berintegritas: Jenderal de Stuers; sehubungan dengan peringatannya
terhadap ekspansi tergesa-gesa Hindia di Sumatera, dimana disana tidak akan
ada uang yang dapat dihasilkan oleh mereka. Disisi lain, nampaknya tentara
Hindia menjadi lelah dan dengan demikian posisi Hindia di Jawa itu sendiri
menjadi terancam. Tanggal 1 September 1841, lima minggu setelah
menerima pemberitahuan tersebut, Baud pun menulis setelah berkonsultasi
dengan Raja, termasuk kembalinya sebagian dari angkatan bersenjata
Sumatera untuk segera menuju Jawa, dan diperintahkan penarikan semua
pos-pos sipil dan militer di Pantai Timur. Dengan demikian, maka Jenderal
Michiels dan Pjs. Gubernur Jenderal Merkus dapat kembali bersantai, dan
dengan alasan yang baik dengan pertimbangan yang berasal Stuers dan Baud,
akan tetapi nampaknya hanya sebentar saja situasi tersebut. Selanjutnya
kembali ditentukan subyek Hindia, dengan kembali diangkatnya persoalan
pembentukan pendudukan di Indragiri pada awal tahun 1843. Ada indikasi
bahwa Baud telah berhasil dibujuk, dimana pada tahun 1847, persoalan
Pantai timur Sumatra dibahas di dalam TWEEDE KAMER DER STATEN-
GENERAAL. Hal ini kemudian menjelaskan bahwa terdapat sesuatu yang tidak
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
260

masuk akal, dalam kebijakan penarikan pos-pos Hindia dari Pantai Timur;
terbukti kemudian, pada tahun 1857, tidak akuratnya refleksi historis. Pada
bulan September 1841, alasan yang diberikan tidaklah terulang kembali.
Bagaimana bisa Hindia Belanda meninggalkan Indragiri?
Dengan ditutupnya kontrak baru, yang mengatakan antara lain bahwa
sebelumnya, di tahun 1838, kontrak dimaksudkan untuk melumpuhkan
pembajakan dan mempromosikan kemakmuran; bahwa para pangeran dan
kepala telah memberikan keterikatan mereka kepada pemerintah; dan juga
bukti yang sangat jelas tentang disposisi dan kemampuan mereka untuk
mengusir para bajak laut tersebut, bahwa disebabkan saat itu telah
tersedianya keamanan, dapat dianggap dana menjadi kurang diperlukan bagi
pengiriman dan perdagangan, dan bahwa pemerintah karena itu sebagai
tanda kepercayaan dan dukungan tinggi terhadap pangeran dan seluruh
rijksgrooten, dengan sendirinya, semua berjalan tanpa adanya dukungan
Pemerintah, asalkan kelangsungan tersebut tidak akan mengubah posisi
mereka yang ingin menjalankan kekuasaan dan otoritasnya sendiri. Dalam
kontrak baru, pemerintah Hindia mempertahankan semua hak yang diperoleh
sebelumnya, Sutan dan rijksbestierder, selama mereka hidup bersama dalam
harmoni dan tidak meninggalkan posisi mereka di Rengat, akan menerima
penghasilan tahunan sejumlah f2100 -f1200, dana yang dapat diambil oleh
utusan ke Riau. Perlu pula dicatat pula bahwa ketentuan-ketentuan baru
yang terdapat dalam kontrak ini berisi aturan mengenai suksesi tahta,
sebagaimana terdapat dalam pasal 4 Traktat 1838 tersebut. Bahwa pada
tahun 1838 disepakati bahwa Sutan akan digantikan oleh salah satu dari
keturunannya, dan bahwa " jika gagal, maka kedudukan akan jatuh pada
pangeran lainnya, tentunya dengan persetujuan Pemerintah Hindia, sekarang
ditetapkan bahwa tahta tersebut tunduk pada persetujuan Pemerintah yang
juga bersesuaian dengan Sultan Lingga. Menurut Kielstra,
jadi, logikanya sejauh ini supremasi Hindia-Belanda atas Indragiri
sama sekali tidak memerlukan pengakuan secara resmi!
Sebaliknya, dengan prasangka Hindia mencatat,
Sutan saat itu menunggu suatu tugas yang sulit tanpa adanya
dukungan, ia kembali menghadapi berbagai aristokrat pemalas,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
261

seperti di tempat lain di negeri-negeri pribumi, pemerasan dan


perampasan... 340
Pada tahun 1846, Sutan menulis langsung ke Gubernur Jenderal untuk
meminta kepadanya seorang pejabat resmi Belanda. Tentu saja pada saat itu
Baud-lah menterinya! – Dampaknya, sebuah respon yang negatif dan
nampaknya yang merupakan prioritas Hindia untuk sementara itu adalah
menghindari semua kontak. Kembali, kali pertama pada tahun 1850 negara
itu dikunjungi ulang oleh seorang pejabat kolonial; Residen Riau. Kielstra
dengan bangga menuliskan peristiwa kunjungan tersebut:
Residen Riau tersebut, disambut hangat, rupanya gangguan Kami pada
kurun tahun 1838-1843 masih diingat dengan rasa “syukur.” Sungguh
luar biasa bahwa terjadi hal ini selama tinggal disana; bahwa ia
menerima kunjungan tak terduga dari rijksbestierder, dalam
percakapan yang sangat rahasia, mengungkapkan kesedihan
sepeninggalan staf Hindia pada tahun 1843, dan keluhan lainnya.
“Sedert dien tijd is hier alle welvaart verdwenen. Alle takken van
nijverheid en volksvlijt zijn vernietigd. Wij vorsten kunnen onze
waardigheid niet meer ophouden. Armoede en gebrek nemen van
jaar tot jaar toe. Wij Maleiers kunnen geen rijk meer naar behooren
besturen zonder de hulp van een Europeesch gezag." 341
Belanda memandang bahwa beberapa negeri Melayu yang masih beroperasi
tanpa bantuan tersebut sebagai buktinya. Sistem anti-imperialis,
ketidakpedulian dengan yang demikian itu, sangat tepat dinilai oleh seorang
pangeran pribumi. Perampasan, pengabaian kepentingan penduduk pribumi,
untuk saat itu mungkin saja secara finansial dirasa kolonial lebih
menguntungkan, dan kewajiban moral pun tidak diperhitungkan, dan pada
tahun 1861, dalam suatu pidato menteri:

340
Kielstra, 1915: hal.40
341 Kielstra, 1915: hal.41

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
262

“Saya menganggap perpanjangan otoritas kita di kepulauan Hindia


sebagai langkah mendekati kejatuhan kita, dan lebih-lebih karena kita
sudah tumbuh dalam hal ini, jauh di atas pasukan kita.”
Bahwa, Pemerintah Hindia dengan pengalaman selama dua puluh tahun
terakhir nampaknya beranggapan, mereka jelas telah membawa Hindia
menjadi sejahtera, dan juga nama baik Belanda lebih baik dilayani oleh
konsepsi yang lebih luas dari apa yang namanya sekedar dari perintah tugas.
Dengan demikian, sang Residen Riau pun memenuhi permintaan pengelola
pemerintahan, dan beberapa tahun kemudian pada tahun 1854, oleh
Gubernur Jenderal, kembali dipertimbangkan pembentukan pendudukan di
Indragiri kepada Menteri Koloni dengan beberapa penekanan. Namun sia-sia
saja para pemangku kepentingan kekuasaan di Belanda menunggui urusan
tersebut, yang tiada menjanjikan keuntungan berupa uang, yang memang
sama sekali tidak ada! Sementara kelanjutan di tahun-tahun berikutnya,
remunerasi Sutan dan rijksbestierder, dan pada tahun 1859, dalam rangka
meringankan kesulitan sang raja dan pembesar kerajaan, sejumlah f6.600
diberikan Hindia sebagai hadiah. Sutan bisa melaksanakan kewenangan yang
memadai di bidangnya dan mementingkan dukungan Hindia yang ditunjukkan
oleh fakta yang aneh bahwa ia adalah bagian dari kerajaannya yang ingin
dikunjungi di tahun yang sama, diberikan dengan satu penandatanganan dan
disegel diumumkan oleh Residen Riau, ditujukan kepada semua pembesar di
kerajaan Indragiri, bahwa semua ini adalah ketentuan dalam kontrak, yang
ditandatangani oleh Pemerintah Hindia dengan kerajaan Indragiri, dan semua
perintah Sutan bagi mereka untuk bertemu.
Bahwa wajib untuk meningkatkan kemakmuran negeri, dan pemerintah
Hindia mengungkapkan bahwa mereka (Sutan dan pembesar kerajaan
Indragiri) telah banyak memiliki nasihat ini yang ternyata tidak membantu,
dan bahwa Pemerintah Hindia segera kembali mendengar terulangnya
permusuhan antara Sutan dan rijksbestierder, 342 kesewenang-wenangan, juga
anarkhi. Ketika lanskap dikunjungi oleh Asisten Residen Lingga pada tahun
1871, situasi terbukti memang demikian adanya. Meskipun hak-hak Hindia
diakui di Indragiri berdasarkan Traktat 1838, akan tetapi pengabaian Raja Said

342
Bahwa ketegangan antara Sutan dan Raja Muda dimana Sutan mengeluhkan sikap Raja Muda
yang kurang menghormatinya, sementara Raja Muda mengeluhkan sikap ambisius Sutan,
sebagaimana terdapat dalam Surat Menteri Jajahan, 19 September 1870.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
263

sebagai Sutan saat itu menyebabkan terjadinya “anomie”. Bagi penjajah,


Sutan kuno dipandang tidak layak, bahkan untuk melaksanakan kewenangan
apapun. Situasi ini benar-benar memperihatinkan dengan tidak terjadinya
pertumbuhan, seperti di Indragiri dan negara-negara pribumi lainnya seperti
Siak, yang dilanda konflik internal343. Bahwa dilaporkan hanya di Bengkalis
saja mengalami pertumbuhan. Hingga tahun 1874, keadaan tidak berubah.
Sang Sutan saat itu telah berumur 92 tahun, jadi kepadanya penjajah tidak
dapat mengharapkan dapat melanggengkan kekuasaannya. Selain itu,
terdapat faktor Keamanan bagi khalayak dan harta benda yang terus saja
merosot; bahwa dilaporkan, dalam beberapa tahun dua orang pedagang
Kuantan “dirampok” oleh anak raja di Indragiri, tuduhan dengan bukti barang
hasil rampasan yang ditemukan di tempat mereka. Bahwa tindakan tuduhan
ini juga dikhabarkan adalah hasil hasutan keluarga raja, dimana barang-
barang yang ditahan tersebut disebabkan merupakan barang barter dengan
senjata yang memang dilarang di Indragiri.344 Dan kemudian, ketika Sutan
(1876) wafat, keadaan menjadi tidak lebih baik.
Dalam transformasi tahta tersebut ditetapkan bahwa kontrak yang ada akan
dipertahankan; di hadapan Sultan Lingga, dan dengan sesiapa putra Sutan
baru dari sebelumnya, dengan rijksbestierder yang telah menghabiskan waktu
beberapa bulan, di samping itu dengan kontrak tambahan dapat disimpulkan,
bahwa, untuk bukti persetujuannya, disegel oleh Sultan dan
ditandatanganinya (1877). Residen telah berulangkali mengadakan
pertemuan dengan Raja baru, dan memberinya petunjuk yang diperlukan
tentang apa-apa yang harus dilakukan guna memperoleh kondisi yang lebih
baik dengan segera. Akan tetapi, ternyata tidak ada perubahan berarti dalam
manajemen pemerintahan tersebut. Terdapat resistensi dari seorang
saudara dari almarhum Sutan dengan beberapa sepupu dari pangeran baru
dan para saudara rijksbestierder tersebut, Belanda mencatat bahwa Indragiri
pun mengalami kekacauan, atas desakan residen, Sultan Lingga pun pada
bulan Maret 1878 mengirim komisi untuk menyelidikinya, akan tetapi para
“terduga-pelaku” seperti Said Umbut dan Said Begab menolak untuk
mengikuti mereka menuju Lingga. Ketika keluhan berikutnya diterima,
dimana para “penjahat” yaitu beberapa orang China yang dibawa dari

343
KV 1872.
344 KV 1874-1875
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
264

Singapura dijadikan obyek dalam perbudakan, dan juga terjadi pembunuhan


terhadap beberapa dari mereka dan hartanya pun dirampas, Asisten Residen
di Lingga dengan kapal uap menuju Indragiri dan setelah diinvestigasi,
diketahui pihak yang bersalah, dan Sutan diminta untuk melakukan
penangkapan dan menyerahkannya ke Lingga. Terhadap mereka yang
didakwa bersalah, di Lingga oleh pengadilan Sultan di jatuhi hukum
pembuangan. Salah satunya adalah Said Begab – namanya disebutkan di sini
karena ia memainkan peran dalam beberapa tahun ke depan - akan
dikenakan hukuman pembuangan ke Makassar. Sementara itu terbukti tidak
cukup meyakinkan, bahwa tidak bisa diharapkan dari pemerintah pribumi
yang berada dibawah pengawasan rutin dari seorang pejabat Eropa; bahwa
disekitar tahun 1850, rijksbestierder tidak berbicara terlalu banyak. Pada
tahun 1878, pemerintah Hindia menguraikan situasi sebagai berikut:
Tidak adanya jaminan keamanan terhadap orang dan harta, tidak
adanya sarana, seperti perdagangan yang terhambat oleh banyaknya
pajak dan pemerasan, dan akibatnya sebagian besar penduduk pindah
ke Kampar. Yang paling menderita, jelas saja, masyarakat paling
bawah. Jumlah jiwa berkurang dari yang sebelumnya di Indragiri, yang
meliputi Mandah dan Reteh, hanya sekitar 15–20.000 jiwa saja, (44)
dan dipastikan dalam beberapa tahun terakhir, karena banyak
keluarga pindah ke tempat lain, bahkan lebih kurang lagi. 345
Dalam beberapa tahun ini, banyak pemangku kepentingan kekuasaan di
berbagai negeri, berencana untuk memperluas campur tangan pemerintah
Hindia di wilayah luar yang diperebutkan, dan sering membiarkan dirinya
dengan penguasa pribumi merasa senang atas relasinya dengan pemerintah
Hindia. Bahkan di bawah tekanan di Aceh dimana Hindia mengalami
kesulitan, masih mengabaikan wacana “Kekayaan luar”, akan tetapi
sehubungan halnya dengan Sumatera; bahwa suara itu pun secara bertahap
mereda. Pantai timur Sumatera telah dikembangkan semenjak perjanjian
Siak tahun 1858, untuk satu wilayah yang mengalami perkembangan setelah
intervensi Hindia, sementara di pantai Barat adalah penemuan sejumlah
besar batu bara di Ombilin, dan seperti yang terlihat untuk alasan keuangan
masih bermanfaat dalam menunda hal tersebut sejauh mungkin - itu
dipahami sejak tahun 1871 bahwa berbagai bagian Sumatera, yang sejauh ini

345 Kielstra, 1915: hal.43-44.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
265

telah sepenuhnya atau sebagian saja dikuasai, akhirnya berkembang melebihi


lebih gangguan yang dialaminya.
Pemerintah Hindia meyakini, bahwa ketika semakin pergi jauh mengklaim
realisasi kewajiban moral Hindia di tanah jajahannya, ini telah memberikan
sesuatu yang menentukan; bahwa telah terjadi, daripada yang mereka
lakukan di tempat lain, Sebagai contoh, pada Soemba, tidak lagi diamati di
sana kondisi yang memprihatinkan dan hanya tersimpan saja. Meskipun
demikian, apa yang telah disebutkan di Sumatera, semuanya di pulau itu
sudah membawa Hindia pada kondisi untuk tidak lagi dapat
dipertahankannya sistem '”Stelsel”. Setelah itu terhadap Indragiri, mereka
tampak tidak keberatan lagi, ada yang dilakukan pemerintah dengan
menetapkan seorang petugas dari dinas Sipil. Bahwa keberatan berupa uang
tidaklah menjadi penting. Kontrolir, yang selama ini ditambahkan ke Asisten
Residen Lingga, akan berpindah ke Rengat, 346 akan tetapi itu tidak dilakukan
seperti pada tahun 1838, dan untuk penegasannya maka sangat diperlukan
penambahan beberapa angkatan kepolisian. Apa yang sudah terjadi dalam
kondisi begitu anarkisnya seperti yang berlaku di sana, agar situasi tersebut
menjadi jangan terlalu berlebihan. Pada awal tahun 1879, Kontrolir menerima
tugasnya membantu Sutan sebagai penasihat dan mentor, dan pada saat
yang sama dari Sultan Lingga, menempatkan seeorang agen politiknya di
Rengat.
Menurut Pemerintah Hindia, pada awalnya segala sesuatu tampak berjalan
dengan baik. Petani dan pedagang bersukacita, dan pedagang China, dengan
harapan bahwa mereka akan menemukan perlindungan di masa depan,
namun setelah beberapa bulan, sudah jelas bahwa rijksbestierder dan
bangsawan lainnya beserta keluarga kerajaan yang terkait, dianggap oleh
pemerintah Hindia bahwa mereka berhadap-hadapan dengan petugas secara
terselubung. Belanda meyakini bahwa kondisi tersebut disebabkan
kecemburuan raja muda terhadap kekuasaan Sutan – dan bahwa para
bangsawan tidak ada yang tidak berada dalam pengawasan Kontrolir. Diakhir
tahun 1879, muncul rumor tentang niat buruk tersebut, desas-desus tentang
ketidaksukaan terhadap penguasa Eropa; dan untuk melindungi dirinya,
sepuluh petugas polisi pribumi bersenjata dan dengan kapal, kontrolir pun

346 Staatsblad 1878 No.330.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
266

berlayar untuk melakukan penyelidikan. 347 Saat itu, kontrolir menemukan


bahwa keadaan tidak membaik, kebingungan meningkat dan tidak semua
orang diizinkan untuk menetap; meskipun demikian, sementara itu di Rengat
orang China diizinkan untuk lebih aktif, meningkatkan ekspor hasil hutan,
namun impor beras dan garam tidak meningkat secara signifikan yang meski
masih dapat untuk memenuhi kebutuhan. Mengenai kondisi tersebut,
pemerintah Hindia beranggapan bahwa berbagai kalangan pangeran beserta
keturunannya (kalangan atas dengan mengorbankan penduduk, dengan gaya
hidup-aristokrat) tetap seperti sebelumnyanya menjalankan praktek
kekuasaan berbahaya atas Sutan dan rijksbestierder dan dengan demikian,
pengaruh kontrolir terlalu sering menaungi dan berkeyakinan bahwa
diperlukan suatu tindakan tegas dimana mereka menginginkan penempatan
petugas akan dapat mencapai tujuan. Dan Belanda nampaknya berpendapat
harus memaksakannya secara bertahap atas kendali Hindia.
Pada tahun 1881, di Indragiri sebagaimana telah disebutkan bahwa Said
Begab, yang melarikan diri dari Makassar, telah kembali, dan dengan
demikian dimulailah suatu pertarungan baru dengan pemerintahan Hindia
disana. Sutan menarik diri dari kewajiban untuk mengekstradisi “penjahat”,
misi Asisten Residen untuk membantu dimana sutan berada dibawah tekanan
dari pangeran yang bertentangan dengan pengampunan. Ketika Asisten
Residen datang dengan kapal perang, guna menyerahkan langsung surat

347Kontrolir, dalam bepergiannya ke Tandjong Pinang, pada hari-hari terakhir bulan November,
melalui surat dari radja Abdoelrachman sebagai perwakilan Lingga di Regat, ia diberitahukan
tentang kondisi Ringat yang sedemikian kelamnya, sehingga Kontrolir berpendapat untuk
mengirimkan utusan ke Kwala Cenako, di dekat muara sungai Indragiri, selain itu, sang kontrolir
juga memberikan peringatan terhadap Residen Riouw. Dengan pertimbangan dari Abdul
Rachman, kontrolir segera menuju Rengat, dan dia meskipun tidak membantah adanya
ketegangan di kalangan para bangsawan, telah membuat kondisi semakin tidak tenang daripada
yang digambarkan. Bahwa nampaknya terjadi ketegangan yang disebabkan khabar yang beredar
di kalangan pembesar bahwa Said Umbut yang dijatuhi hukuman pembuangan pada tahun 1878;
merupakan anggota kerabat, dalam suatu kerusuhan telah terbunuh. Pada awal tahun 1880,
Kontrolir memperoleh khabar bahwa ternyata semua kondisi dipandang aman dan baik.Lihat KV
1882-1883.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
267

Residen kepada Sutan dihadapan kontrolir, wakil Sultan Lingga dan awak
kapal, di mana ketidakpuasan Batavia telah dibuktikan oleh Pemerintah, dan
Sutan diminta tidak lagi melalaikan tugasnya. Sutan menjanjikan perbaikan,
akan tetapi ternyata Belanda menemui tidak ada yang dilakukannya, dan
beberapa bulan kemudian Sutan melaporkan bahwa Said Begab tidak lagi
bermukim di Indragiri, melainkan ia berada di Jambi.
Atas peristiwa ini, pejabat Hindia mengerti, bahwa “mereka tengah
dituntun menuju taman.”
Baik Residen maupun Sultan menyesali tentang apa yang telah terjadi, dan
kepada Sutan, pemerintah menyatakan bahwa ia diminta untuk datang
sendiri ke Riouw menemui Residen dan Sulthan Lingga disana. Akan tetapi
disayangkan, bahwa pada pemerintah Hindia sendiri telah melekat firasat
sebagaimana ekspresi mantan menteri E. de Waal - juga menyatakan bahwa,
selama Said Begab tidak diekstradisi, atau setidaknya klaim suatu
ketidakpuasan, lantas memblokade Sungai Indragiri dengan satu armada
kapal yang cukup untuk menutup semua jalur masuk dan keluar. Kontrolir dan
juga stafnya sementara dipanggil untuk meninggalkan Rengat; bahwa
pemerintah dimana telah membuka kesempatan yang diberikan kepada
pedagang asing pada waktu itu, ikut mengungsi dengan barang-barang
mereka. Banyaknya pedagang China dan Melayu yang takut anarki akan
terjadi, mengikuti hal tersebut. Belanda merekam bahwa Sutan mundur ke
negara-negara di pedalaman dan rijksbestierder-lah yang bertanggung jawab
untuk penjagaan pemerintahan Rengat; sementara Kontrolir tetap berada di
salah satu kapal uap. Pertimbangan apa yang telah melahirkan tindakan ini,
sangat jauh dari kejelasan. Belanda menghadapi seorang Sutan. Dan
sekarang Sutan, yang mungkin lebih tidak berdaya dibandingkan dari
keengganannya untuk taat, menghukum, dimana mereka semua
menghentikan perdagangan, hampir secara eksklusif merugikan teman-teman
Belanda: para pedagang tersebut. Kerugian ini, sebagaimana tercatat pada
angka-angka: tahun 1881 memiliki f192.600 impor, ekspor senilai f144.526.
dan juga, bahwa sebagian besar penduduk meninggalkan Indragiri, karena
takut kesewenang-wenangan penguasa seperti yang dituduhkan penjajah di
semua negara pribumi, bahwa hal itu berkaitan dengan raja yang memiliki
prestise garis keturunan yang terlalu tinggi, dan di Indragiri, menurut
penjajah sudah terbentuk elemen rasa tidak puas dan berbahaya bagi
perdamaian dan ketertiban.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
268

Dibawah tuan-tuan itu terdapat tokoh Said Begab, yang bersembunyi di


pedalaman tapi kemudian seolah “dipamerkan” di daerah pesisir dan tidak
takut kepada rijksbestierder yang dipercayakan Gubernemen untuk menjaga
pemerintahan Rengat dimana ia melanggarnya dan melakukan kerusuhan.348
Meskipun naif, orang akan berkata, mengapa Hindia harus menganggap Said
sebagai musuh khusus, dimana pada tahun 1878 pemerintah Belanda sudah
menyebutnya sebagai “'penjahat”? Tidak lama setelah dimulainya blokade
(25 Maret 1882), Sutan dan rijksbestierder tersebut melalui surat secara
bersama-sama meminta kepada Kontrolir untuk datang kembali ke Rengat,
untuk membahas penundaan quaestie; tetapi, pemerintah sendiri menolak
usulan itu dimana mereka terus saja berlawanan. Aneh memang, namun
dapat dipelajari bahwa ketika Sutan tidak menyadari, pihak Hindia beberapa
kali telah menyampaikan secara lisan dan tertulis yang disajikan dalam bentuk
kontak dengan Sutan, bahkan memberi “luka” ke Indragiri dimana jaminan
Riau dapat kembali, dan setelah sikap Hindia itu baginya, bagai mengadopsi
tindakan atas kelemahannya, yang tidak mungkin mengakibatkan
konsekuensi yang lebih baik. Akan tetapi kemudian segera, seluruh blokade
dan apa yang berhubungan dengannya, adalah sebuah kegagalan. Sutan
terlibat permusuhan lebih dari yang sebelumnya, pasar - termasuk orang-
orang dari Kuantan (dari hulu sungai Indragiri) - membawa negara dalam
kekacauan, saat itu, mungkin saja Belanda pesimis, bahwa kerugian
penduduk berada di tingkat tertinggi telah menunjukkan; jangankan untuk
mendekati, bahwa upaya mencapai tujuan itu ternyata semakin menjauh
saja.
Situasi yang penuh intervensi penjajah itu, akhirnya membawa pemerintah
Hindia; merasa “waktunya telah tiba” saat itu untuk melakukannya dengan
cara yang lain: diputuskan bahwa kontrolir akan menetap kembali di Rengat
di awal tahun 1883, bila kemudian pembentukan menunjukkan tanda
memuaskan dan telah diperkuatnya keadaan pertahanan, maka tiba masanya
untuk segera mengakhiri blokade. Bahwa Sutan tidak diakui oleh pemerintah
Hindia selama ia tidak berubah; pemerintahan ini akan mencoba "untuk
bekerja dengan pembesar kerajaan dan masyarakatnya, terhadap Sutan dan

348
Bahwa Said Begab dikatakan menghasut orang-orang di hilir Indragiri untuk melakukan
perampokan di kawasan yang dipercayakan pengawasannya kepada Raja Muda.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
269

lingkungan yang memusuhinya. Kontrolir menempatkan satuan polisi yang


lebih kuat sejumah 32 orang dan, sementara itu juga sebuah kapal perang. Ia
datang pertengahan Maret ke Rengat, dan blokade pun dicabut pada bulan
Mei. Secara bertahap beberapa urutan dan aturan kembali datang ke
Indragiri, setidaknya pada Rengat dan lingkungannya, dan juga di negeri
pedalaman yang tetap selama bertahun-tahun hampir melampaui pengaruh
Hindia. Tapi sulit untuk mengatakan apakah tindakan tersebut saat itu
diyakini mampu membawa dampak sebagaimana yang diharapkan: awal
Agustus Sutan wafat, dan pemerintah Hindia dikatakan berkomitmen sekali
lagi untuk tidak terjadi kembali kesalahan besar. Bahwa mengingat selama
negosiasi tahun 1838, yaitu meminta dewan sebaik mungkin dengan kondisi
lokal dan praktek, laporan temuan mereka telah dicatat dan dibukukan. 349
Setelah deskripsi tentang bagaimana pemilihan seorang pangeran, jelas
dinyatakan:
“pada wafatnya sang raja maka harus segera diadakan pemilihan dan
dinyatakan martabat raja baru, bahkan sebelum jenazah raja yang
sebelumnya akan dimasukkan ke peristirahatannya.”
Kenyataannya, menurut Hindia adat tersebut pada tahun 1883 seluruhnya
diabaikan; dikatakan tidak ada pejabat yang merasa terganggu, bahkan
setelah sebelumnya dilakukan pembacaan laporan tentang Indragiri dan itu
diumumkan! Pemerintah, mengatakan bahwa terjadi kesalahan informasi,
berpendapat bahwa selama quaesties tertunda, antara lain mengenai Said
Begab tidak diselesaikan, kinerja dari salah satu Sultan yang baru tidak akan
menjadi persoalan, dan menyukai bahwa rezim akan dilakukan oleh sebuah
komite dari tiga kerajaan besar, tentunya di bawah arahan kontrolir.
Beberapa bulan kemudian, bahwa situasi kekosongan berlarut-larut dari
sosok yang layak berkedudukan sebagai Sutan bisa saja menimbulkan
“proklamasi” orang yang tidak diinginkan sebagai pemimpin lanskap;
kemudian diteliti kesesuaian putra raja yang memenuhi syarat, dan pada
bulan Februari 1885; adalah anak dari almarhum Sutan oleh kepala dan

349
Dapat dilihat dalam Tijdschrift van Nederlandsch-Indië van 1842, juga pada Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 14, 1852 (1e deel), no 4, 01-01-1852.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
270

mayoritas penduduk direkomendasikan untuk martabat itu. Para pemimpin


Hindia pun tidak keberatan, juga Sultan Lingga; pada bulan Agustus tahun itu,
mengikuti penobatan dari penguasa baru; Raja Isa. Said Begab dan keluhan
lainnya tidak ada lagi terdengar.
Akan tetapi, ternyata melupakan adat merupakan sumber baru
kesulitan.
Salah satu kandidat, Raja Abdullah, putra saudara almarhum Sutan, telah
berulang kali menginginkan penegakan adat, lalu ia bersikeras untuk suatu
pemilihan pangeran, dan akhirnya memindahkan kepada dirinya sendiri di
Pranap di lokasi pedalaman dimana ia diangkat menjadi Sutan - (November
1884); alasannya itu, bahwa dikatakan dalam sebuah dokumen resmi,
mengapa ia tidak memenuhi syarat untuk martabat Sutan, bahwa ia berada
diluar trah yang layak diikutkan dalam pemilihan. Meskipun demikian, bahwa
Indragiri saat itu benar-benar memiliki dua Sutan: satu di pedalaman, dan
satu di bahagian timur. Dalam beberapa kesempatan, ketika itu sudah
terlambat, negosiasi dengan Abdullah adalah untuk membuatnya mengubah
arah aksinya, akan tetapi upaya ini tidak membuahkan hasil. Akan tetapi
nampaknya terciptanya peluang perbaikan ketika Abdullah meninggal pada
tahun 1888; di bawah adat ia langsung digantikan oleh putranya, yang
membawa nama Sutan Ibrahim, ia segera naik “tahta.” Namun, ia tidak
mempedulikan Sutan-Isa, serta sutan-sutan sebelumnya, dengan kekuatan
untuk menegaskan dirinya sendiri di luar lingkungan langsungnya; tentu saja
dengan membuat pesaingnya menjadi tidak berdaya yang berguna untuk
memperkuat kekuasaannya, dan situasi pada akhir tahun 1889 adalah, bahwa
baik Isa, ataupun pembesar kerajaan, harus menghitung negara-negara
pedalaman; “kerajaan” Ibrahim, keberadaannya di sana dapat dianggap
mengganggu pemerintahan kerajaan, dan bahwa ada pula diterima khabar
sang Said Begab berada dekat dengannya. Upaya memahami, atau entah
bagaimana pula harus dilakukan untuk mengakhiri kekacauan negara, maka
Residen Riau pada bulan Februari 1890 berada di Pranap, tempat
bermukimnya Ibrahim; ia tentu saja tidak secara langsung atau “to the point”
dalam mencapai misinya, melainkan melalui suatu diskusi guna membuka
jalan bagi sentuhan lebih lanjut, bahkan, saat itu pengampunan Residen
disumbangkan kepada Said Begab. Hasilnya, Ia mengundurkan diri, dan untuk
operasi ini telah menunjukkan bahwa salah satu negeri dalam lanskap
Indragiri bisa didekati, dan setidaknya bisa dicapai kondisi yang lebih baik
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
271

dengan cara ini. Dalam negosiasi yang dilakukan kemudian, keuntungan


keuangan yang signifikan bagi berbagai pihak pada saat itu begitu pentingnya,
saat itu perdagangan terhenti, dan dengan demikian berkurang pula
keuntungan dari pengadaan tol. Dan ketika semua persiapan sudah berakhir,
pada bulan Agustus 1890, di Rengat berlangsung satu pertemuan antara
Residen dengan pemimpin kedua belah pihak dan juga lingkungan mereka di
mana perdamaian dikembalikan ke kondisi berikut: 350
Ibrahim mengakui Sutan sebagai pemimpinnya, dan ia di berada
dibawah gelar Sutan Muda (rijksbestierder). Bagian yang tersisa dari
Indragiri dikelola oleh rijksbestierder, bahwa dengan kinerja tugas dan
kesetiaan, maka persoalan suksesi ataupun martabat keduanya
dilakukan secara turun-temurun di generasi mereka. Semua impor dan
ekspor tugas dan semua pacht (hak sewa) diserahkan kepada
Pemerintah, yang akan ganti dengan kompensasi pembayaran setiap
tahun sebesar f30.000: sepertiga dari Sutan, sepertiga untuk masing-
masing rijksbestierders dan mantri mereka. Pendapatan selanjutnya
yang sah (sewa tanah, denda, pajak) harus didistribusikan.
Demikian pula Setelah diterapkannya prinsip-prinsip ini oleh pemerintah
Hindia Maret 1892 diikuti kesimpulan dari “kontrak tambahan” di mana
berlaku mulai bulan Agustus. Sejak saat itu, dapat dikatakan, meski masih
terjadi kesulitan, Indragiri dibuka untuk masa depan yang lebih baik; sejak
1843 kesalahan dilenyapkan, dan arah urusan itu nampaknya telah beralih ke
tangan otoritas Eropa. Sutan Isa wafat di tahun 1902, sang anak sebagai
penggantinya: Raja Machmud saat itu baru berusia 11 tahun. Bahwa semua
disiapkan begitu sistematis oleh penjajah; selama perjalanan transisi
pemerintahan - distrik itu dibawah kepimpinan pejabat Eropa (Sekarang
asisten residen); tapi apakah begitu layaknya untuk mendapatkan perhatian
bila tidak mengandung maksud-maksud tertentu: pemerintah Hindia
melakukan begitu banyak dalam kekuasaannya, untuk pendidikan pangeran
muda: ini adalah masa selama lima tahun, mahasiswa dan teman sekamar
dari kepala sekolah Eropa, pertama di Tanjung Pinang (Riau), dan kemudian di
Bogor. Ia tinggal untuk satu tahun lagi pada inspektur pendidikan dasar di
Batavia, dan kemudian kembali ke Tanjung Pinang untuk mendapatkan
kualifikasi mereka, dan pada tahun 1908 ia berada di bawah bimbingan

350 Kielstra, 1915: hal 51.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
272

Asisten Residen Indragiri, dan hasilnya; dimana ia menerima pemerintahan


pada tahun 1912, menurut prinsip-prinsip yang diikuti dalam beberapa tahun
terakhir, bahwa tidak lagi kontrak yang dilakukan dengannya, tetapi ia diambil
sumpah berkaitan dengan “Pernyataan Singkat” (Korte Verklaring) dimana
tindakan pengakuan dan konfirmasi diberikan kepadanya.
Berikut Korte Verklaring: 351
INDRAGIRI.
VERKLARING.
Ik, ondergeteekeude. Radja Mahmoed, bestuurder van het landschap Indragiri,
verklaar:

Ten eerste: dat het landschap Indragiri een gedeelte uitmaakt van
Nederlandsch-Indië en derhalve staat onder de heerschappij van Nederland;
dat ik mitsdien steeds getrouw zal zijn aan Hare Majesteit de Koningin der
Nederlanden en aan Zijne Kxeellentie den Gouverneur-Generaal als
Hoogstderzelver vertegenwoordiger, uit wiens handen ik het bestuur over het
landschap Indragiri aanvaard.
Ten tweede: dat ik mij in geenerlei staatkundige aan-rakingen zal stellen met
vreemde mogendheden, zullende de vijanden van Nederland ook mijne
vijanden, de vrienden van Nederland ook mijne vrienden zijn.
Ten derde: dat ik zal nakomen en handhaven alle regelingen, die niet
betrekking tot het landschap Indragiri door of namens de Koningin der
Nederlanden dan wel den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië of
Diens vertegenwoordiger zijn of zullen worden vastgesteld of toepas* i selijk
verklaard en dat ik in het algemeen alle bevelen zal opvolgen, die mij door of
namens den Gouverneur-Generaal of Diens vertegenwoordiger zijn of zullen
worden gegeven.

Aldus gedaan en heëedigd te Rengat den 20sten Juni 1912 of den vijfden der
maand Redjeb van het Mohammedaan-het jaar 1330, en opgemaakt in
drievoud. Hier stonden stempel en handteekeiiing van Radja Mahmoed,
bestuurder van het landschap Indragiri.

Ten overstaan van mij. Besident van Biouw en (>nder-hoorisrheden.

351 Dalam Handelingen der Staten Generaal Bijlagen 1912-1913, TWEEDE KAMER,
(overeenkomsten met inlandsehe vorsten in den Oost-Indischen Archipel), 342.8-9.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
273

(w.g) DE BRUYN KOPS.

Deze verklaring is goedgekeurd en bekrachtigd op den :3den September 1912,


zijnde daarmede tevens Radja Mahmoed erkend en beveitigd all bestuurder
van het landschap Indragiri.

Korte Verklaring atau "Pernyataan singkat" diatas, seperti yang dilakukan oleh
pemerintah pribumi yang terdiri dari hanya tiga bahagian; Bahagian pertama
menyatakan bahwa lanskap adalah bagian dari Pemerintah Hindia Belanda
dan dengan demikian di bawah kekuasaan Belanda, karena itu raja akan
selalu setia kepada Ratu dan perwakilannya, Gubernur Jenderal. Dalam
bahagian kedua, juga akan diatur dalam kontrak mengenai kerjasama dengan
kekuatan asing. Dalam bahagian ketiga, bahwa ia akan menghormati dan
memelihara semua pengaturan yang akan dibentuk sehubungan dengan
wilayahnya oleh atau atas nama pemerintah, dan bahwa secara umum semua
arahan dari pemerintah akan diikuti. Selain itu dalam "tindakan pengakuan
dan penegasan"(acte van erkenning en bevestiging) yang menyatakan bahwa
raja akan tetap terjaga dikedudukannya, selama ia menghormati komitmen
yang telah ditetapkan. Dengan demikian,
menurut penjajah ini lebih baik dari apa yang sudah terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya, bahwa kebijakan yang diambil dengan
mempertimbangkan kegagalan pemerintah Hindia untuk memberikan
tata pemerintahan yang baik pada masa lalu, dimana kedepan demi
kepentingan pengembangan lanskap bisa diawali dengan penerapan
konsep-konsep modern.
Dalam semua perjanjian sebelumnya dengan pangeran dan kepala, ada
perbedaan antara pendapatan lanskap dan pangeran, yang menerima semua
pajak, ganti rugi dan lainnya yang dihasilkan dan itu pernah terjadi dapat
dipinta sebagian kecil dari yang tersedia untuk belanja kepentingan umum.
Adapun aturan yang terakhir, bagaimanapun menurut penjajah hanya sedikit
bukti yang menunjukkan hal tersebut berjalan sesuai aturannya, dan sehingga
semua pendapatan negara benar-benar hanya untuk melayani pangeran dan
lingkungannya yang memberikannya sebuah kehidupan yang relatif mewah,
akan tetapi juga memiliki kelemahannya sendiri. Sejak tahun 1902,
bagaimanapun, hal itu “dikeluarkan” dengan mendirikan “rumah kaca” atas
lanskap, dibuatlah pemisahan, sehingga secara bertahap pemerintahan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
274

pribumi “zelfbestuur” bisa masuk secara tepat kedalam manajemen negara


Hindia; dimana arah ini juga bekerja di Indragiri. Segera terlihat bahwa
kompensasi pajak yang diperoleh tahunan dibayarkan sejumlah f30.000,
jumlah yang sekarang dituangkan ke dalam kas lanskap, dan karenanya
bermanfaat guna pembayaran bagi penerimanya; Sutan baru akan menerima
remunerasi tetap sejumlah f600 perbulannya, di samping 10 persen. Lanskap
memperoleh pemasukan dari bisnis di bidang pertanian dan industri .
Pendapatan ini (tribute untuk lisensi dan konsesi) pada tahun 1912 sebesar
f7000, sehingga peruntukan kepada Sutan sejumlah f700 adalah besaran yang
dinilai pantas oleh penjajah. Kas Afdeelings Indragiri pada tahun 1912
menerima total f87.000, bahwa meliputi: ke kas negara Hindia, dan selain itu
untuk kepentingan pengeluaran lanskap sejumlah f21.400, yang terdiri dari;
untuk biaya tahanan sejumlah f1.800, untuk polisi sejumlah f6.400, untuk
biaya pendidikan sejumlah f3.000, untuk ongkos pekerjaan umum sejumlah
f13.000, untuk kepala dan pejabat sejumlah f27.400. Menurut pemerintah Ini
semua masih di awal, tetapi sebagai perkembangan dari peningkatan
pendapatan lanskap; menurut pemerintah Hindia, maka masyarakat akan
diuntungkan karenanya.
Berada di awal tahun 1913 seperti yang terdapat dalam laporan resmi yang
mengatakan untuk menyederhanakan personil pemerintahan pribumi yang
berkaitan dengan status kedudukan Raja Muda, lalu mengangkat hanya salah
satu saja dari dua rijksbestierder. Kondisi ini memiliki beberapa penjelasan:
perjanjian 1890 itu memang ditentukan bahwa, dengan setia kepada tugas,
maka martabat rijksbestierders akan berlangsung secara turun-temurun,
sementara dari pemerintah Hindia sendiri tidak terdapat aturan resmi yang
mengatur hal tersebut. Kasus ini adalah: setelah kematian rijksbestierder
tersebut pada tahun 1898 dan ia digantikan oleh putranya yang juga
meninggal setelah beberapa bulan kemudian. Kemudian saudaranya
ditunjuk, akan tetapi, Belanda menganggap mereka berperilaku demikian
juga, bahwa ia akhirnya dihapus dari pemerintahan pada tahun 1901. Bahwa
saat itu kembali sang anak mengikuti ayahnya, akan tetapi karena tidak dapat
diandalkan dan disebabkan telah terjadi pelanggaran jugalah akhirnya yang
menyebabkan ia dipecat, itu adalah sebagian daftar dari mereka yang bisa
menegaskan martabat rijksbestierder dimana nampaknya Pemerintah Hindia
beranggapan bahwa negara-negara tersebut secara perlahan akan menjadi
lelah dengan hak-hak tersebut, dan kondisi tersebut tanpa kesulitan dapat

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
275

dilanjutkan ke arah penyederhanaan. Dalam hal lainnya, tidak ada keberatan:


Sutan muda yang dengan pendidikan dan pembangunan yang diperolehnya,
lebih cocok dari raja sebelumnya yang bersama-sama dengan rijksbestierder.
Bagian dari kompensasi senilai f30.000, meka ditentukan peruntukan baginya
sejumlah f6400 , dan kondisi tersebut jelas akan menguntungkan lanskap.
Dalam segala hal tampaknya 'alam Indragiri' kembali menuju masa depannya
bersama otoritas Belanda yang akhirnya menemukan jalan untuk menegaskan
pengaruhnya disana untuk kepentingan Hindia.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
276

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
277

7
Perluasan Otoritas Hindia
di Pedalaman

Berbagai peristiwa sebagai dampak imperialisme internasional yang


melibatkan negeri belanda di kawasan Nusantara, sebagaimana diketahui
nampaknya juga telah diawali dengan upaya penggalian pengetahuan dari
kawasan target, maka tidak mengherankan jika kawasan ini ramai dikunjungi
para ilmuwan yang melakukan ekspedisi hingga ke wilayah pedalaman, sebut
saja; Raffles352, hingga Greve353, yang berupaya menemukan dan
mengembangkan pengetahuan baik meliputi kondisi topografi hingga
populasi. Persaingan antar Bangsa Eropa, terutama Inggris – Belanda, yang
tampak pada serangkaian perjanjian antar mereka sendiri hingga episode
konflik Bukit Batu-Kelapa Patal di tahun 1857, akhirnya bermuara pada
penandatangan perjanjian Tahun 1858 antara pihak kerajaan Siak dan
Belanda, perjanjian yang tidak saja dianggap sebagai salah satu titik-awal
kolonialisme di timur Sumatra tengah; Indragiri dengan traktat 1838, juga
menyebabkan berkobarnya perang yang sangat menguras sumber daya
pemerintah kolonial; Perang Aceh.354 Bagaimanapun juga, keseluruhan
kerajaan dan lanskap baik pedalaman maupun hilir, sejak awal perkembangan
sejarahnya mampu bertahan mempertahankan independensinya hingga awal
abad ke-20, meski proses aneksasi sudah dimulai sejak era pasca perang padri
(1830-an) di hulu sungai Rokan, Kampar dan Kuantan, akan tetapi di Riau

352 Bahwa Raffles yang mengunjungi pedalaman Minangkabau pada abad ke-19, menyaksikan
sendiri puing-puing istana kerajaan akibat gejolak peperangan; bahwa misinya tersebut guna
mempelajari dan mengumpulkan artefak kuno era Hindu-Budha yang tersebar di hulu Sungai
Kampar;
353 Greve, seorang geolog yang menemukan potensi batu Bara Ombilin di hulu sungai Kuantan. Ia

sendiri tewas tenggelam dalam upayanya menyusuri jeram di hulu sungai tersebut.
354 Traktat 1858; Belanda menetapkan batas-batas kerajaan Siak secara berlebihan – melampaui

masuk ke wilayah yang diklaim Aceh sebagai wilayah taklukkannya.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
278

Daratan, pengaruh yang memiliki dampak paling signifikan atas seluruh


bahagian wilayah diasumsikan adalah yang terjadi pada Kerajaan Melayu
modern yang paling utama di Pantai Timur; Perjanjian Siak-belanda di tahun
1858355, kemudian menyusul kerajaan lainnya menjelang pergantian abad,
(Indragiri dimulai di tahun 1838, Pelalawan tahun 1879-1880), begitu pula
lanskap-lanskap pedalaman seperti V kota Kampar Tahun 1899, Kampar Kiri
dan Kuantan yang di aneksasi di tahun 1905, lanskap terakhir yang dengan
pertimbangan politis dibiarkan tetap sebagai “lanskap merdeka”356 hingga
beberapa peristiwa dikatakan menyebabkan “habisnya kesabaran”
penjajah.357 Sementara di hulu sungai Rokan, lanskap dianeksasi dengan
korte verklaring.
Melihat gambar dibawah(7.1), maka daerah arsir adalah kawasan merdeka
hingga akhir abad ke-19. Jika diperhatikan secara seksama, maka kawasan ini
meliputi kawasan terjepit, atau kantong bebas antara wilayah residensi,
dimulai dari arah utara kawasan merdeka antara residensi Dataran Tinggi
Padang dan Pantai Timur Sumatra. Sejarah telah mencatat bahwa
penguasaan bangsa Eropa atas nusantara tersebut dilakukan baik dengan
kekuatan militer maupun ekonomi, hingga kerajaan-kerajaan yang semula
berdaulat akhirnya hanya menjadi bahagian dari pemerintahan Hindia
Belanda. Konsekuensi logis dari peristiwa tersebut adalah penerapan sistem
pemerintahan Hindia Belanda; terutama pembahagian wilayah administrasi
pemerintahannya. Begitu pula halnya dengan kawasan yang sekarang
termasuk dalam wilayah administrasi propinsi Riau, yang dahulunya
tercantum didalam peta Sumatra-Tengah (midden Sumatra). Pada awal
pembentukan propinsi Riau di Tahun 1958,358 maka wilayah Riau,
sebagaimana diketahui awalnya tidak hanya terbatas pada wilayah daratan,
melainkan termasuk juga meliputi wilayah Kepulauan Riau hingga kawasan ini

355 Meskipun demikian, nampaknya pihak Belanda sendiri mengklaim bahwa mereka telah
memiliki kedaulatan atas Siak sejak 1745; Setidaknya sebahagian dari kedaulatan semenjak hak
perdagangan di sungai Siak telah diserahkan oleh Raja Sulaiman sebagai penguasa Johor kepada
V.O.C.
356
Bahwa pertimbangan Pemerintah penjajah berkaitan dengan penerapan batas-batas antar
residensi, terutama antar rersidensi Pantai Barat dengan Pantai Timur dan Riouw, kawasan
Merdeka sebagai kawasan netral.
357
Terminologi kawasan “merdeka” ini, bahwa lanskap tersebut belum tersentuh otoritas Hindia
Belanda.
358 Undang-Undang Nomor 61 Tahun 1958;

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
279

terpisah dengan terbitnya kebijakan pemekaran wilayah propinsi menjadi


Propinsi Kepulauan Riau359. Pemekaran wilayah ini tidak sepenuhnya
mengikuti jejak-administrasi wilayah kolonial, disebabkan Kawasan Indragiri
yang dahulunya termasuk kedalam Residensi Riouw en Onderhoorigheden
(Riau dan Negeri taklukkannya), tetap berada dalam wilayah propinsi induk,
Riau (daratan).

Gambar 7.1.Peta Kawasan Merdeka negara-negara Kampar dan Kuantan


pada akhir abad ke 19; Sumber: IJzerman, 1895.

Jika kita cermati, maka Riau Daratan dalam perjalanan sejarahnya, terbagi
menjadi beberapa tahapan berikut: Tahapan Kerajaan-Lanskap: Pada era ini,
maka situs negeri ditelusuri dengan berpedoman pada sungai-sungai besar:
Rokan, Siak, Kampar dan Indragiri(batang Kuantan), dapat dilihat bahwa

359 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002;


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
280

terdapat kerajaan utama seperti Siak Sri Indrapura di Sungai Siak, Kemudian
Kerajaan Indragiri di Sungai Indragiri, Pelalawan di Sungai Kampar. Berikutnya
adalah kerajaan di pedalaman Sungai Rokan, yang terbagi dalam lanskap-
lanskap di sungai Rokan Kanan dan Rokan Kiri, yang termasuk dalam V Kota
(Kunto Daressalam, Rambah, Tambusai, Kepenuhan, IV Kota Rokan di Ilir),
selanjutnya adalah tiga Lanskap di hilirnya : Tanah Putih, Kubu dan Bangko.
Wilayah pedalaman, di sungai Kampar, maka kita akan menemui Lanskap V
Koto Kampar(Salo, Kuok, Bangkinang, Air Tiris, Rumbio) kemudian kearah hilir
adalah Tambang, Terantang dan Kampar. Sementara itu dipercabangan
Sungai Kampar Kiri, maka kita akan menemui Lanskap Gunung Sahilan, Rantau
Sibayang dan Singingi, Logas, Ulu Teso dan Rantau Kampar Kiri; Lanskap
Kuantan di pedalaman Sungai Indragiri atau Batang Kuantan. Selain itu,
dipedalaman Sungai Siak kita akan menemui Lanskap-lanskap Tapung.
Pemetaan Kerajaan maupun lanskap tersebut, difokuskan secara geografis
yang terbagi menjadi dua bahagian: sebagai wilayah pedalaman maupun
wilayah pesisir. Bukan pula kebetulan, jika pemetaan lanskap secara geografis
ini juga memiliki kharakter yang dipengaruhi oleh dua kebudayaan, yakni
Minangkabau di pedalaman dan Melayu Johor di pesisir. Kondisi ini
nampaknya mengingat bahwa ekspansi politik-kultural yang bersumber dari
ranah Minangkabau di kawasan pegunungan di pedalaman Sumatra Tengah
menuju Pantai Timur, terhenti dengan eksisnya kerajaan-kerajaan Melayu
Modern,360 tepatnya di hilir aliran sungai-sungai besar. Bahwa keberadaan
kerajaan maupun lanskap pedalaman berkharakter atau setidaknya memiliki
kemiripan ataupun kesamaan dengan pola dan sistem yang berlaku di ranah
Minangkabau, dalam hal ini dengan sentralnya kerajaan Pagaruyung, seperti:
lanskap Kuantan, Kampar Kanan dan Kampar kiri, sebahagian pedalaman
Rokan, serta Siak. Sementara itu, pengaruh Johor sendiri terlihat pada wilayah
pesisir seperti sebahagian lanskap di hilir sungai Rokan, Siak (dengan klaim
Raja Kecil sebagai keturunan langsung sulthan Machmud), Pelalawan dan
Kerajaan Indragiri-. Akan tetapi, nampaknya Lanskap pesisir merupakan
lanskap Melayu yang berbasis pengaruh Melayu Johor.361 Argumen ini
mengingat bahwa wilayah Pantai Timur selama berabad-abad dibawah

360
Lihat Koloniale studiën: tijdschrift van de Vereeniging voor studie van koloniaal-
maatschappelijke vraagstukken, Volume 11, Nomor 1, tanggal 10 Mei 1927.
361 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002;

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
281

hegemoni kemaharajaan Johor362 dan juga kharakter yang bermula sejak


kemunculan Malaka di awal Abad ke-15, dimana kejayaan dan kegemilangan
kerajaan sebagai Pusat Melayu Pasca Sriwijaya, telah menjadikannya model
acuan politik dan budaya yang tidak hanya bagi negara-negara di
Semananjung, melainkan juga bagi negara-negara disepanjang pantai Timur
Sumatra.363
Bahwa pada awal mula kolonialisme Belanda di Riau Daratan – sebagaimana
halnya di wilayah lainnya di Nusantara, penjajah sendiri dapat dianggap
terkadang tidak memiliki sumber daya yang cukup memadai untuk melakukan
ekspansi tersebut secara langsung – sendirian saja – berhadap-hadapan
dengan penguasa pribumi, melainkan ia menjalin persekutuan dengan
kerajaan-lanskap ataupun para “panglima Perang” yang sejalan dengan
kepentingannya; politik pecah-belah pun dimainkan. Sebagai contoh bahwa
pada penumpasan gejolak di Sungai Siak (1759), Belanda dengan VOC-nya,
dengan penuh kesadaran melibatkan kekuatan-kekuatan lokal untuk terlibat
berseteru dengan Siak. Penjajah sangat menyadari potensi konflik yang
bersumber dari sengketa suksesi merupakan bahan bakar dari gerak
imperialisme tersebut. Adapun perluasan kewenangan Hindia Belanda,
aneksasi, pendudukan, penjajahan atau apapun namanya, memiliki dampak
yang signifikan, terutama pada sistem sosial lanskap berkaitan dengan
bergesernya kekuasaan para pangeran pribumi ke tangan penguasa Kolonial.
Kerajaan-lanskap yang tidak dibekukan, menjalani kekuasaan
pemerintahannya dibawah bayang-bayang kontrolir, Asisten Residen, Residen
hingga Gubernur Jendral di Batavia. Alasan tidak dilakukannya pembekuan
kerajaan, diasumsikan ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah kolonial
sendiri yang lebih cenderung untuk menggunakan kelas pangeran untuk
memuluskan kebijakan-di tanah jajahan. Pemerintah kolonial akan
membiarkan kedudukan para pengeran namun dengan gerak-gerik yang telah
“didikte.” Mungkin kelas ini lebih mirip sebagai “perantara” dalam konstelasi
pemerintahan Hindia. Pada tahapan tersebut, maka kawasan Riau-di
Sumatra tengah berada dalam sistem pemerintahan kolonial yang bertumpu

362 Bahwa kekerabatan pada lanskap Gasip, Tanah Putih, Indragiri, sebagaimana telah
disampaikan, G.A.Wilken (1888) berasumsi bermula dari kekerabatan matriarkhat yang dengan
hegemoni Melayu Johor – telah beralih, atau paling tidak sebahagian saja mengikuti kekerabatan
Melayu Johor tersebut.
363 Leonard Y.Andaya, Leaves of the Same Tree, 2008.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
282

pada eksploitasi sumber daya, hingga diperiode ini dapat dilihat tumbuhnya
perusahaan Eropa yang berkaitan dengan pengupayaan budidaya tanaman
ekspor, seperti; karet, kopi, gambir,dan lainnya. Pihak penguasa kolonial akan
memandangnya sebagai sebuah peristiwa pertumbuhan ekonomi, yang
diantaranya dilihat dari tumbuh dan berkembangnya pasar dan pedagang
lokal, terutama pada sentra-sentra ekspor-impor. Pertumbuhan dan
perkembangan tersebut memiliki konsekuensi lainnya, kondisi infrastruktur
yang tidak memadai seperti; Jalan raya. Bagaimanapun juga, tidak dapat
dielakkan kebijakan yang mengiringi “pertumbuhan” ekonomi tersebut
dengan penambahan infrstuktur seperti; jembatan, jalan raya dan gedung-
gedung socioteit. Selain itu, nampaknya kawasan jajahan ini juga mulai
dimasuki oleh, tidak hanya modal Eropa, melainkan juga “kaum migran”
sebagai pekerja yang terikat dengan “kontrak”, meski tidak seramai dengan
kawasan di sebelah barat pantai Timur Sumatra. Selain itu, pertumbuhan dan
perkembangan di dua sisi pantai Sumatra juga menambahkan dinamisasi
pertumbuhan lanskap-lanskap dalam wilayah pemerintahan Hindia,
sebagaimana sebuah bandul yang berayun menuju kesetimbangannya
sendiri. Pembukaan Pelabuhan internasional “Emmahaven” di Padang pada
kurun 1892, dikatakan telah menyebabkan “kemunduran” Pekanbaru sebagai
pelabuhan transit saudagar-saudagar dari Pantai Barat. Ya, mengapa tidak?
Sebab tentu saja para pemain ekonomi tersebut akan mencari tempat yang
lebih murah dan dekat untuk melakukan transaksi hasil buminya ke perairan
dunia. Bayangkan saja, para pedagang payakumbuh yang dalam upayanya
menuju Pekanbaru sebelum sampai di V Koto Kampar harus berjuang melalui
jeram curam yang deras dan berbahaya di Muara Mahat tersebut. Suatu
perjalanan bisnis yang penuh resiko dan ongkos yang sangat mahal. Dalam
konteks peralihan jalur ini, menyebabkan Jalur via Pekanbaru segera saja
menjadi usang. Akan tetapi, pembangunan jalan Bangkinang-Pekanbaru dan
hadirnya kendaraan bermesin (mobil), menyebabkan keadaan perlahan
membaik, meski pedalaman Minangkabau sebahagian besar tetap menjejaki
perdagangannya ke pantai Padang. Bahwa berbagai upaya dilakukan untuk
menjembatani hubungan antara Pantai Barat dan Timur dimana salah satunya
adalah pembangunan jalur kereta api dari Pantai Barat menuju Siak, yang
diawali dengan ekspedisi IJzerman kesana pada 1891. Terlalu banyak
resistensi dan kendala (salah satunya adalah jalur tersebut melintasi Kawasan
Merdeka) sehingga tidak terdengar realisasinya. Kembali pada tahapan
pemerintahan Hindia, maka kawasan “Riau Daratan-Sumatra Tengah” dibagi
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
283

atas tiga wilayah pemerintahan (gambar 2), yakni; Residensi Oostkust van
Sumatra (Pantai Timur Sumatra), Westkust van Sumatra (Pantai Barat
Sumatra) dan residensi Riouw en Onderhoorigheden (Riau dan Negeri
taklukkannya). Yang pertama berpusat di Medan, dengan wilayah yang
meliputi Afdeeling Bengkalis; kawasannya meliputi wilayah Eigenlijk Siak,
Kampar Kiri, Bengkalis, Pelalawan), Residensi Pantai Barat Sumatra berpusat
di Padang, dan mencakup wilayah V Koto Kampar, XII Koto Kampar. Adapun
Residensi Riouw en Onderhoorigheden yang berpusat di Tanjung-Pinang,
wilayahnya pada pulau sumatra meliputi lanskap Indragiri dan Kwantan.
Bahwa proses “peng-Hindia-an” Riau Daratan ini dimulai setidaknya pada
kurun awal abad ke-19 hingga benar-benar mapan di awal abad ke-20.
Robert Cribb364, memetakan Sumatra berdasarkan periode pemerintahan
Hindia, terlihat bahwa proses di Sumatra tengah terbagi atas; periode1824-
1837; selanjutnya 1838-1872; kemudian 1873-1906; dan berakhir pada
periode 1906-1942. Pada periode 1824-1837 ini, baru terbentuk keresidenan
Palembang, Periode pertama adalah dimana Riau - Siak masih benar-benar
merupakan negara merdeka yang berdaulat. Selanjutnya pada periode 1837-
1872, adalah dimana Siak dan Indragiri masuk dalam pemerintahan
keresidenan Riau; pada periode 1873-1906 hingga 1942, merupakan periode
terbentuknya residensi Pantai Timur dan pemapanan pemerintahan Hindia.
Bahwa hingga tahun 1938, perbedaan antara kondisi Siak dan tetangga-
tetangganya dan bagian utara dari residensi menunjukkan bahwa Belanda
menghadapi Masalah nyata bagi suatu penyelenggaraan pemerintahan
kolonial yang efektif. Sebuah keputusan yang radikal pun dibuat: Sesuatu
yang mirip dengan residensi Johor-Riau kuno itu harus dilarutkan dengan tiga
divisi administrasi (afdeeling) - Tanjungpinang yang termasuk dalam
kepulauan Riau-Lingga dan Pulau Tujuh; Bengkalis, akan terdiri dari
Onderafdeeling Siak, Kampar Kiri, Bagansiapi-api, Selat Panjang dan Rokan;
dan akhirnya Afdeeling Inderagiri, dengan onderafdeeling Rengat, Kuantan,
dan Tembilahan. Meskipun terdapat penemuan minyak Caltex, Pekanbaru
saat itu masihlah sebagai sebuah kota kecil tanpa klaim yang jelas untuk suatu
leadership daerah diera kedepannya.365 Wajar saja jika kemudian Tanjung
Pinang dipersiapkan sebagai ibukota sebagai kelanjutan dari konsepsi Riau–

364
Robert Cribb,2007.
365 Kratz, 1973:hal.54.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
284

eks , yang nampaknya menjadi samar sebagai akibat pecahnya perang pasifik
yang imbasnya sampai ke seluruh wilayah Hindia Belanda. Meskipun
demikian, mungkin saja tidak sepenuhnya benar jika dikatakan bahwa
pemetaan wilayah semata-mata bertumpu pada kepentingan ekonomi
ataupun militer, melainkan juga mempertimbangkan kondisi kultural;
sebagaimana yang terjadi pada lanskap di pedalaman Sungai Siak, ataupun
Kwantan. Yang pertama, pernah terjadi wacana untuk memasukkan
Onderafdeeling Boven kampar yang merupakan bagian dari Afdeeling Lima
Puluh Koto, berkemungkinan VI Kota di Mudik dan VII Kota di Ilir dengan V
Koto Kampar, Tambang dan Kampar akan ditarik ke menjadi wilayah Siak.

Gambar 7.2. Pembahagian wilayah pemerintaan Hindia di Sumatra


1873-1906. Sumber: Robert Cribb,2007.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
285

Bahwa persoalan “merger” lanskap tersebut, media mengulasnya dengan


mempertimbangkan faktor kultural dan memberikan contoh lainnya; bahwa
seperti lanskap Tapung Kanan berkemungkinan di merger dengan Rokan,
akan tetapi tidak dengan lanskap Tapung Kiri yang dikatakan lebih memiliki
kedekatan dengan Lanskap V Koto Kampar dan bukan sebaliknya. Akhirnya
disebabkan perkiraan akan terjadi kejanggalan secara kultural menyebabkan
hal tersebut tidak terdengar lagi berita kelanjutannya (antara Boven Kampar
dengan Siak).366 Begitu pula halnya dengan Lanskap Kuantan, yang pada saat
aneksasi, ditemui kecenderungan politik masing-masing lanskap yang
berbeda, dimana lanskap Taluk hingga hulu lebih cenderung kepada
pemerintahan Westkust, dan lanskap hilir dengan orientasi politik ke
pemerintahan keresidenan Riau. Akan tetapi, setelah “duduk-bersama”
antara komandan militer baik sebagai penguasa militer maupun sipil dan
beserta Datuk nan Berlima, dihasilkan pertimbangan bahwa secara sosio-
kultural Rantau Kuantan adalah satu, maka secara keseluruhan dimasukkan
kedalam afdeeling Indragiri sebagai bahagian Residensi Riouw en
Onderhoorigheden367. Bahwa terdapat ungkapan, Lanskap Kuantan secara
historis telah menjalin ikatan dengan Kerajaan Inderagiri pasca peristiwa
penolakan terhadap kedatangan Raja Pegaruyung, dan meski disadari juga
bahwa ikatan antara Kuantan dan Inderagiri bagaimanapun lebih longgar
dibandingkan ikatannya dengan Pagaruyung – sebagaimana disaksikan sendiri
oleh Grijzen saat bertugas disana.368 Pemerintah Kolonial sendiri berargumen
bahwa hal ini juga sudah sesuai dengan proses yang berjalan, dimulai dari
utusan yang mengaku sebagai perwakilan lanskap Kuantan ke Tanjung Pinang
– yang ternyata dianggap pemerintah tidak legitimate, sehingga hanya pulang
dengan tangan kosong369. Sebaliknya, permintaan ekstradisi para “pelarian”
tahanan maupun eks-kuli kontrak yang berada di distrik merdeka Kwantan,
nampaknya tidak digubris oleh penguasa lokal, sehingga memicu sebuah

366
Dalam De Sumatra Post, “Organisatie of desorganisatie?”
367 Dari catatan harian Komandan Militer Schroderr yang dipublikasikan dalam “Algemeen
Handelsblad”, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten”.
368
H.J.Grijzen, Nota Omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra); Tijdschrift Voor
Indische Taal-, Land - En Volkenkunde, 1908.
369 Lihat Koloniaal Verslag, tahun 1902

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
286

ekspedisi militer kesana(Distrik Kuantan), di tahun 1905.370 Berdasarkan


kondisi tersebut diatas, maka juga akan dipaparkan situasi dan kondisi proses
pencaplokan negara-negara merdeka di Sumatra Tengah yang saat ini
menjadi bahagian dari Riau Daratan, yang meliputi kerajaan-Lanskap
pedalaman maupun pesisir.

Menunggu buah yang hampir matang

Era yang secara aktif dimulai di abad ke-19 dimana “perluasan kewenangan di
pedalaman” merupakan sebuah motto371 bagi pemerintahan Hindia di
Sumatera khususnya sumatra tengah yang juga bertitik tolak dari pecahnya
perang diwilayah pedalaman Sumatra Tengah (perang-padri). Bab ini akan
mengisahkan proses aneksasi (pencaplokan/penguasaan wilayah secara
sepihak) dan perluasan kewenangan Belanda hingga awal abad ke-20 di
Sebahagian pedalaman Sumatra Tengah, terutama dengan
mempertimbangkan batasan-batasan wilayah-administrasi yang saat ini
termasuk dalam propinsi Riau (Daratan). Terdapat realita bahwa dalam upaya
eksplorasi “Kekayaan-Luar” bagi pemasukan kas Imperium Hindia, bahwa
perluasan kewenangan di pedalaman Sumatra banyak mengalami resistensi –
perlawanan didaerah tujuan, bahkan terkadang berat, seperti salah satunya
pengalaman Perang-Padri yang dikatakan tidak kurang menyedihkan dari apa
yang berlangsung di Aceh. Kondisi tersebut, menyebabkan Pemerintah
penjajah melakukan desain ulang dalam upaya perluasan tanah jajahan. Akan
tetapi berbagai pengalaman lainnya dalam berhadapan dengan penguasa
pribumi, seperti ketika negosiasi antara pemerintah dengan utusan dari
Lanskap Rokan yang berlangsung di Batavia, kemudian negosiasi dengan IX
Kota diperbatasan Onderafdeeling Si Junjung, juga apa yang terjadi disebelah
Pulau Punjung, nampaknya bagi pemerintah kolonial diperoleh kesan bahwa,

370 Bukan hanya Kwantan, melainkan juga lanskap sebelah barat yang langsung berbatasan
dengan Onderafdeeling Sijunjung- Residensi Pantai Barat Sumatra, Lanskap IX Kota: dengan
alasan yang sama dengan Rantau Kwantan, penolakan ekstradisi pelarian. Lihat Grijzen,
371 Lihat Annexatie's in Centraal Sumatra, dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1880 (1e

deel), no 3, 01-01-1880, Hal 167.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
287

ketika mereka membiarkan kekuasaan penguasa pribumi berada diluar


kendalinya, maka hal ini akan menyebabkan degradasi keunggulan
otoritas Eropa372.
Selanjutnya Kebijakan yang dilahirkan, tidak lepas dari pentingnya nilai moral
superioritas penjajah di Kepulauan Hindia. Sebagaimana diketahui bahwa
menjelang akhir abad ke-19, atau sebagaimana telah dikemukakan di kisaran
tahun 1880-an, telah berlangsung proses kolonialisme yang memang hingga
memasuki abad ke-20 masih menyisakan beberapa lanskap merdeka, seperti
Lanskap V Kota(koto) Kampar, Kampar Kiri serta Lanskap di pedalaman Sungai
Kuantan. Bagi Pemerintah Kolonial, hal ini jelas bahwa sebagian besar
lanskap merdeka yang akan dijelaskan di sini, nampaknya telah berlangsung
lebih dari satu peristiwa “aneksasi sukarela dan damai”373. Sebagaimana
lazimnya terjadi, tidak semua negeri jajahan diperoleh dengan peperangan;
dan salah satu bentuk proses kolonialisme di Nusantara seperti juga
dibelahan bumi lainnya, yakni “proses sukarela dan damai” yang biasanya
ditempuh melalui cara-cara diplomasi dan negosiasi, dikatakan segala upaya
dikerahkan oleh bangsa penjajah dalam melakukan “aneksasi halus.” Proses
aneksasi halus tersebut, bukanlah suatu proses instan, melainkan melalui
serangkaian strategi kebijakan dan juga: intrik, yang pada akhirnya, bagi
penjajah, proses tersebut;
“bagaikan menunggu buah yang hampir matang dan dengan
kesabaran maka panen akan dipetik”.
Meskipun demikian,
jika ekspansi halus menemui resistensi ataupun penolakan, maka
panen apel emas yang telah menguning tersebut, nampaknya, pihak
penjajah tidak segan-segan untuk menggunakan bayonetnya (militer)
bila situasi memang dianggap tidak memungkinkan.374

372
Lihat Algemeen Handelsblad, tanggal 18 Februari 1891 :Vredelievende annexatiën in Indië.
373
Aneksasi damai tersebut bagi penguasa pribumi, nampaknya lebih sebagai jalan untuk
menghindari aneksasi kasar: invasi militer dari pemerintah kolonial, seperti kasus di lanskap
Kampar-Kiri diawal abad ke-20.
374
Lihat “Over de onderwerping en ontwikkeling van Sumatra, in verband met eenige
vraagstukken van den dag”, tahun 1904 — De geleidelijke onderwerping en ontwikkeling van
Sumatra - Colonial Collection (KIT) — Leiden University Libraries
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
288

Sementara itu, jikapun timbul penentangan terhadap aneksasi, maka


biasanya pembagian wilayah lanskap sebagai produk kolonial – dengan
konsekuensi logisnya adalah masuknya modal Eropa yang mendorong
perkembangan ekonomi di suatu kawasan jajahan; kondisi yang akan
menimbulkan kecemburuan dari yang lainnya - yang otomatis akan membuka
matanya sendiri, dan hal ini akan membuat “kait” untuk melindungi otoritas
Belanda disana. Proses-proses yang merupakan kharakter dari “devide at
impera.” Tentu saja berlakunya politik halus tersebut juga mengingat akan
jauh lebih efisien, dapat menghemat ongkos ekspedisi militer yang tentu saja
jauh lebih besar dengan resiko yang lebih besar pula. Selain itu, pengalaman
yang diperoleh dari perang Aceh, pemerintah kolonial menerapkan semacam
perjanjian yang dinamakan “Pernyataan singkat” (korte verklaring) bagi raja-
raja pribumi yang wilayahnya dianeksasi, selain pertimbangan efesiensi
sebagaimana telah disebutkan, juga jauh lebih efektif dalam mengendalikan
lanskap-lanskap jajahan. Dari pihak penguasa pribumi, atau anggota
masyarakat lanskap, nampaknya, belum tumbuh pengetahuan ataupun
kesadaran akan nasib dan situasi di lanskap lainnya, telah memuluskan
kebijakan politik ini, mungkin juga disebabkan faktor terjadinya situasi
ketidakpedulian dikalangan rakyat jajahan antara satu dengan lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa implementasi “perluasan-
kewenangan” Pemerintah Hindia memiliki cara-cara halus yang diperkenalkan
melalui sentuhan para pejabat kolonial dengan suku-suku pribumi. Kadang-
kadang tetap muncul kesulitan dikalangan para pejabat dari Pantai Barat dan
Pantai Timur, pada waktu yang bersamaan mereka saling tidak mengetahui
apa-pun, namun, terhadap kepala lanskap, hal yang sama terjadi adalah
perlakuan terhadap penguasa pribumi dengan “rasa hormat.” Sering juga
terjadi bahwa kepala mereka dalam berhubungan dengan administrasi
kolonial tersebut didorong oleh wawasan dan kepentingan bisnis mereka
yang diiringi dengan sikap simpati ataupun dengan antipati. Akan tetapi,
Pemerintah Hindia berkeyakinan bahwa sepertinya mereka, pemerintah
Hindia akan menerima pantulan buah manis dari perdamaian dan ketaatan
politik di tanah jajahan, pemerintahan yang dikatakan tercerahkan, yang juga
senantiasa memberikan penjelasan tentang kepentingan penduduk pribumi
dan peradabannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
289

Pemerintah penjajah berpendapat, bahwa terhadap suku-suku di


pedalaman Sumatera tidak diperlukan sikap yang tergesa-gesa375 atau
bahkan mencegah hingga digunakannya aksi kekerasan (militer),
meski dalam beberapa kasus ditemukan kekerasan tersebut; jika
pendekatan ini macet, ekspedisi militer merupakan jalan keluarnya.

Sebagai Contoh negeri-negeri di perbatasan, pemerintah merasa bahwa


cukup bagi mereka untuk membangun sesuatu yang lebih baik daripada apa
yang dapat dinikmati oleh kalangan penguasa lokal sebagai apa dianggap
pemerintah hanya bersumber dari nafsu di dalam diri mereka sendiri dan
ketidakmampuan mereka untuk mencapai dorongan yang lebih baik, dan
untuk melakukannya diperlukan dukungan dari staf kolonial, dan bagi para
penguasa lokal untuk belajar untuk memiliki kepercayaan dan rasa hormat
terhadap pemerintah. Bertitiktolak dari hal tersebut, dapat dipastikan bahwa
pemerintah Hindia Belanda akan bertindak “bijak” dengan tidak terlalu cepat
mengalah pada keinginan lanskap merdeka yang masih berada diluar
kekuasaan “rechtstreeksch”-nya; tetapi ketika tampak bahwa keinginan
lanskap tersebut yang bertentangan dengan kebijakan penjajah yang ternyata
dilakukan dengan sungguh-sungguh dan selalu saja berulang, maka
Pemerintah Hindia biasanya akan menganggap tindakan tersebut sebagai
suatu sikap ketidaksopanan. Jiika terdapat harapan-harapan yang tidak
terpenuhi, dan mungkin berangkat dari harapan dan tindakan lanskap,
Pemerintah penjajah berasumsi kondisi tersebut tidak didasari atas suatu
kepentingan umum atau cinta tanah air, akan tetapi justru sebaliknya. Sikap
penolakan akan dianggap sebagai suatu konsep abstrak yang keluar terlalu
jauh dari kenyataan, dan malah sering disebabkan sebagai akibat dorongan-
dorongan kepentingan ekonomi semata penguasa lokal yang akan berakibat
penolakan terhadap ekspansi “rechtstreeksch” dari otoritas Belanda di
kepulauan Hindia. 376
Bahwa pada tahun 1877, dilakukan penyusunan ulang wilayah pemerintahan
Hndia yang menyentuh untuk semua wilayah Sumatera Tengah, yang
terbukti bagi Pemerintah Kolonial ini perlu dilakukannya untuk
terselenggaranya suatu pemerintahan di Pantai Barat dan Pantai Timur

375
Lihat De uitbreiding van het Nederlandsen gezag in Centraal Sumatra. (1878) Tijdschrift voor
Neerland's Indië jrg 7, 1878 (1e deel), no 2 (1-1-1878), hal.104
376Ibid, hal.105

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
290

Sumatra. Sesuai dengan saran dari kepala yang relevan dari pemerintahan
penjajah di daerah, menyatakan bahwa entitas yang “akan” menjadi milik
lingkaran kewenangan gubernur Pantai Barat Sumatra, meliputi:
1. Lanskap Batak, dengan pengecualian hanya dari mereka yang berbatasan
langsung ke Langkat, Deli dan Assahan;
2. lanskap di Kampar: Kampar Kiri dan Kampar Kanan serta anak sungai
mereka, dengan pengecualian V Koto dan Pulau Lawan;
3. Distrik Kuantan;
4. IX Kota;
5. Distrik Batang Hari, dan
6. Kerinci.
Sementara wilayah dari Residensi Pantai Timur Sumatra, meliputi:
1 . Ini dikecualikan di pedalaman (timur) Battaklanden;
2. Lanskap dari Hulu Sungai Rokan (Tambusai, Rambah, Kepenuhan, Rokan
dan Kunto, yang terakhir terdiri dari Kota Intan dan Kota Lama);
3. V Koto Kampar, dan
4. Pulau Lawan.
Apakah dengan demikian secara tegas telah dipertahankan sebelumnya pada
kedua pemerintahan yang direkomendasikan kepada daerah yang wilayahnya
berdekatan dengan lanskap mereka, tanpa pengetahuan sebelumnya dari
pemerintah gubernemen, dan bahkan, kemudian, hasilnya seringkali mutlak
dengan persetujuan petugas di lapangan: Kasus negosiasi-aneksasi IX Kota
yang ditangani oleh Baron van Hoevell merupakan salah satu contohnya,
bahwa kematian wajar sang kontrolir menghentikan upaya diplomasi
tersebut. Berikut ini adalah kisah kebijakan Aneksasi Belanda di beberapa
lanskap Pedalaman, mulai dari hulu sungai Kampar, hingga Kuantan.

Negara-Negara di Pedalaman Sungai Kampar

Negeri-negeri di Pedalaman Sungai Kampar, kita dapat membaginya disini


menjadi dua sub besar, yakni Lanskap di sungai Kampar Kanan dan Kampar
Kiri. Lanskap Kampar Kanan terdiri dari Lanskap XII Koto, V Koto Kampar,
Tambang dan Kampar; dan kemudian Lanskap Kampar Kiri; Gunung Sahilan,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
291

Rantau Sibayang, Singingi, Logas, Ulu Tase dan Rantau Kampar Kiri. Pertama,
kita membahasnya dari aneksasi yang terjadi di Lanskap Kampar Kanan, yang
dimulai dari negeri XII-Koto Kampar.

Lanskap XII Koto Kampar

Catatan kolonial yang berisi rincian mengenai “Kampar landen”377, lebih


khusus adalah apa yang disebut dengan XII Koto Kampar, yang dapat
ditelusuri dari utara melalui pedesaan Tapung (wilayah Siak), barat dan timur
dengan bagian lain dari batas Kampar, yaitu VI Kota Glugur dan V Kota, dan
arah selatan melalui pedesaan Pangkalan Kota Baru dan Pemerintahan
distrik Kapur nan Sembilan (Dataran Tinggi Padang). XII Koto Kampar di tahun
1844, ketika dua kepala utamanya mengajukan suatu penawaran atas negeri
mereka sebagaimana yang terjadi sebelumnya dengan Kapur nan Sembilan,
dapat dilaksanakan di bawah kewenangan pemerintah Kolonial. Pengajuan
mereka kepada pemerintah gubernemen yang kemudian diadopsi oleh
Residen Dataran Tinggi Padang: dimana perwakilan Pemerintah Payakumbuh
ditunjuk sebagai otoritas tempat mereka bergabung. Kampar, selain
tergabung di dalam negeri Dataran Tinggi Padang (XII Koto Kampar dan VI
Pangkalan Kota), termasuk juga Lanskap VI Kota Glugur dan lanskap merdeka
Pangkalan Kapas, Pangkalan Sari dan Pangkalan Indawang. Lanskap pertama
dikunjungi oleh Gubernur pada Tahun 1845 maka segera pemerintahan sipil
ditempatkan di Puar datar (Dataran Tinggi Padang), setelah tiga orang kepala
dari dari enam Kampong asli (Glugur, Tanjung Jajaran dan Kota Tengah) telah
menetapkan sendiri otoritasnya. Tidak lama kemudian tepatnya ditahun 1846
tiga Kepala Kampong asli lainnya (Kota Pandjang, Sungei Lolo dan Muara) juga

377 Diketahui bahwa Kampar landen (Negeri-negeri Kampar) adalah lanskap yang terletak di
sepanjang tepi sungai Kampar dengan bagian hulunya yang dibentuk oleh sungai Kampar Kanan-
dan Kampar kiri, sementara sungai Kampar Besar diarah hilir ditemukan Lanskap Poeloe Lawan
di pantai timur arah ke laut. Rinciannya, diberikan oleh laporan pada wilayah pedalaman dari
Kamparlanden, diambil dari laporan kunjungan Residen Dataran Tinggi Padang pada tahun 1875
ke wilayah Lanskap.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
292

melakukan hal yang sama. Pemerintah Hindia mencatat bahwa beberapa kali
XII Koto Kampar dilindungi oleh pasukan dari distrik pemerintah terhadap
serangan sekelompok orang dari daerah lain, terutama dari V Kota. Meskipun
demikian, jika lanskap tersebut tidak memiliki proposal integrasi, tidak ada
konsekuensi selain dari pengangkatan saudagar dari Payakumbuh guna
memfasilitasi perdagangan terutama dalam hubungannya dengan XII Kota
Kampar – yang dilakukan pada November 1846. Sejak saat itu tampak bahwa
intervensi Pemerintah akan berkembang secara bertahap, tetapi dalam
bagian akhir di tahun 1847 dilakukan perubahan wawasan manajemen
sebagai upaya pemerintah untuk membuat jalan bagi sistem pantang hingga
tahun 1850. Berkaitan dengan hal tersebut, Pemerintah Hindia nampaknya
kemudian berniat menetapkan Kamparlanden dalam sebuah hubungan yang
baru. Sebuah komisi pemimpin pribumi dari Dataran Tinggi Padang
ditugaskan ke daerah tersebut, klausa yang biasanya dimasukkan dalam akta
dimana pemerintah dapat mengambil suatu kesimpulan, dan nampaknya
masih terdapat keraguan tentang sikap kepala dan masyarakatnya di XII Kota.
Dan memang nampaknya Pemerintah Hindia mempersiapkan kondisi tertentu
untuk suatu partisipasi dan kepala pun berulang kali bersaksi yang isinya tidak
lebih daripada konteks mereka dalam pemerintahan Hindia. Sementara disisi
lainnya, tanggal 26 Januari 1859 di suatu tempat paling utama: Moeara
Takoes, diselenggarakan suatu rapat umum, yang juga dihadiri oleh
perwakilan dari daerah lainnya (para kepala Kampung) dari seluruh Kampar,
yang ditegaskan dengan pengambilan sumpah kepada Pemerintah Hindia. 378

378Pada tahun yang sama (1859) sebuah komite pribumi dari berbagai negeri di Pemerintahan
Pantai Barat Sumatra diutus ke Kampar untuk mengambil kesimpulan tentang hubungan mereka
dengan pemerintah. Adapun kemudian ditemukan masih tersisa, bahwa belum dilakukan
kunjungan terhadap salah satu kepala Lanskap kampar kiri, karena seluruhnya telah berjumpa
dengan panitia di V Koto dan sebatas pengetahuan mereka bahwa di Kampar Kiri tidak ada
menunggu yang lainnya. Adapun kemudian pimpinan Kampar memberikan kepada pemerintah
Hindia suatu alasan simpatik tentang sikap V Koto, dalam satu dokumen, yang bertempat di
Muara Takus bertanggal 6 Maret 1859, disebutkan bahwa daerah tersebut merupakan bagian
dari Federasi Kampar, dengan demikian perlu untuk dipertimbangkan. Hubungan belum berjalan
hingga pada tahun 1876, menunjukkan adanya suatu kunjungan pejabat di V Koto, setidaknya
yang berasal dari Pantai Barat, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
293

Berbeda dengan VI Kota Glugur yang membutuhkan perhatian lebih, Sejak


saat itu hingga 1875, pemerintah menganggapnya sebagai “mengundurkan
diri” dari bahagian negeri Kampar. Lanskap ini disebut juga dengan “Kampar-
Kiri,” yang menurut pejabat Kolonial, dalan kurunisasi waktu tersebut, masih
sangat kurang diperoleh gambaran dan informasi mengenai batas-batas
kewilayahannya secara jelas. Pada pemeriksaan lebih detail, bagaimanapun
juga pemerintah Hindia nampaknya berpikir untuk lebih baik melakukan
pemilihan kepala dan hal lainnya di Kamparlanden, dan untuk membangun
wilayah mereka di bawah kewenangan langsung pemerintah Hindia. Hal ini
dapat diterima, namun pada Mei 1860 pemerintahan Dataran Tinggi Padang,
terus berupaya dengan memberikan saran, masukan juga nasehat kepada
para pemimpin dan orang-orang dari negeri-negeri yang untuk atau yang
terhubung dengan otoritas Belanda . Dalam surat-surat yang selanjutnya
dikirim oleh Residen ke daerah-daerah, kepala-kepala itu selalu didorong
untuk memperluas pertaniannya, terutama beras dan kopi, pembangunan
jalan dan bekerja bersama-sama dengan tanggungan mereka untuk
kepentingan pengembangan kemakmuran di negeri ini. Biasanya datang ke
pada mereka surat-surat jawaban bahwa mereka akan menerima petunjuk
dan saran, tapi terdapat satu hal yang masih dipertimbangkan tentang
kedaulatan Pemerintah dan keinginan pembentukan satu atau lebih pejabat
Eropa. Keinginan ini juga diungkapkan lagi pada bulan Juli 1875, ketika
Residen Dataran Tinggi Padang, disertai dengan Kontrolir dan beberapa
kepala laras di distrik pemerintah, mengunjungi XII Koto Kampar. Para kepala
kemudian menyatakan bahwa wilayah itu sudah dianggap sebagai bagian
mereka, sebagai ketergantungan kepada pemerintah dan kemudian dikenang,
saat pengambilan sumpah pengajuan dan kesetiaan, pada tahun 1859 yang
telah dibuat oleh mereka. Pada kali pertama, pemerintahan kolonial
tampaknya memiliki janji bahwa dengan posisinya sebagai pemegang
pertama dari pemerintahan peribumi Puar Datar yang harus disetujui oleh
Gubernur. Karenanya di XII Kota Kampar, salah satu pemenuhannya adalah
tetap diaturnya hubungan dengan Penghulu Kepala. Penunjukan ini
didasarkan pada kepala, Datuk di Balei dari Muara Takus, awalnya hanya di
Tungku nan Tiga waardigheidbekleedende” dari pucuk bulek (penjaga adat);
tapi karena bergabung dengan aliansi ini VII Kota Ilir, tersebut juga
memperoleh supremasi atas daerah itu, atau setidaknya itu adalah kontak
pertama Hindia dengan XII Kota Kampar, yang diberikan oleh dewan Hindia
pada saat itu. Pada tahun 1858 di XII Koto Kampar, terdapat upaya
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
294

pemerintah Hindia dalam bentuk saran dan petunjuk tertulis mengenai


batas-batas lebih ke timur di cekungan Kampar Kiri, biasanya Pangkalan Kota
Baru atau disebut juga VI Kota Pangkalan. Di utara berbatasan dengan XII
Koto Kampar, ditetapkan batas barat pedesaan dan selatan ke distrik-distrik
Pemerintah Kapur nan Sembilan, Mungkar dan Sarilamah (Dataran Tinggi
Padang) dan di timur dengan negeri-negeri PangKalan di cekungan Kampar
Kiri.

V Koto Kampar, Tambang, Terantang dan Kampar


Sebagian besar daerah tangkapan air di wilayah pedalaman dari Kampar
Kanan, hingga tahun 1880-an oleh Pemerintah penjajah “dianggap” sudah
menjadi bahagian dari pemerintah Residensi Dataran tinggi Padang. Adapun
wilayah V Kota, yang meluas ke timur dari daerah ini, sudah terjadi beberapa
kali dan terakhir pada tahun 1875, seperti disebutkan di pedalaman dalam
lingkup bahagian barat dari negeri-negeri Kampar; bahwa mayoritas dari
mereka diketahui berposisi benar-benar menolak untuk bersentuhan dengan
pihak asing, setidaknya dengan pemerintahan Pantai Barat. Selain itu, faktor
lokasi dan kepentingan komersial, bagaimanapun juga, dengan asal dan
bentuk pemerintahan, nampaknya bagi pemerintah Penjajah;
V Koto Kampar lebih cenderung berhubungan dengan Pantai Timur,
dan pada tahun 1865, ketika kepala lanskap ini memiliki satu pertemuan
dengan Sulthan Siak dengan kerajaan mereka, dalam satu dokumen di
Pekanbaru bertanggal 22 Desember 1865, dibangun kembali hubungan yang
bersumber dari hubungan lama yang sudah ada, memberikan gabungan
Datuk V Kota untuk berdiri didalam suatu keinginan hubungan persahabatan
dengan Residen Riouw, yang selanjutnya juga berada di bawah wilayah Siak.
Sejak tahun 1875, pemerintah Belanda nampaknya telah memprediksi bahwa
V Koto Kampar, menjadi “tergoda” untuk bergabung dengan pemerintah
Hindia.
Lanskap V Koto Kampar terletak di aliran sungai Kampar Kanan disepanjang
kedua tepiannya. Memiliki pemerintahan yang terletak di tangan lima kepala
kampung: Kuwo, Lulo ( juga disebut Salok atau salo), Bangkinang, Air Tiris dan
Rumbio (juga disebut Rambio atau Rembio) yang bersama-sama disebut "
Datuk - Datuk nan lima. Realitas menunjukkan terdapatnya pemerintahan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
295

oleh rakyatnya sendiri, segalanya harus dikonsultasikan bersama terutama


pada setiap masalah penting apapun dan ditandai oleh rasa kuat kemandirian
dan juga ketidaksukaan mereka terhadap pengaruh asing. Lebih jauh
Pemerintah mencatat, bahwa disini beberapa aturan mengacu pada apa yang
terdapat didalam Alquran, yang menunjukkan bahwa para ulama cukup
memiliki pengaruh atas lanskap. Kemudian para pedagang (Náchoda)
termasuk yang paling banyak telah menunaikan ibadah haji, dan mereka
merupakan kelas yang paling berpengaruh, dikatakan bahwa merekalah kelas
masyarakat yang membuat berbagai aturan di lanskap tersebut. 379
Pertanian, meski bukan sumber mata pencaharian utama, dikatakan bahwa
tengah berada pada puncak perkembangannya, terutama hubungannya
dengan Siak dan Pelalawan. Perdagangan ini terutama didorong dari Dataran
tinggi Padang, di mana wilayah ini merupakan alur perdagangan beras dengan
negeri-negeri di semenanjung, termasuk juga dengan Singapura. Khusus
Singapura, maka jalur perdagangan menggunakan transportasi melalui Sungai
Siak. Rute perdagangan tersebut, yang jauh lebih baik digunakan untuk
Pengiriman, akan tetapi memiliki kelemahan bahwa harus dilakukan
pemindahan pengangkutan barang untuk mencapai pelabuhan Pekanbaru -
(Siak). Meskipun demikian, secara umum dapat dipastikan bahwa terdapat
kemakmuran di lanskap V Koto. Kerajaan Siak dalam konteks politik tertentu,
dalam hal ini Sultan Siak, dapat menjalankan wewenang tradisionalnya
terhadap V Koto.
Menurut tradisi kuno, Sultan Siak memiliki hak untuk memanggil Datuk
nan lima tersebut dalam rangka perundingan untuk kepentingan
bersama:
Sultan Siak telah menggunakan hak ini sekali, yaitu pada tahun 1866, dimana
berdasarkan panggilannya tersebut, bahkan seluruh kepala V Koto hadir ke
Pekanbaru. Mereka juga diharuskan memberikan suatu usaha semaksimal
mungkin untuk memfasilitasi perdagangan dengan kerajaan siak, dimana
penduduk dan pedagang sebenarnya lebih suka menanggung rute
perdagangan mereka sendiri, akan tetapi, Siak mengambil alihnya. Untuk

379 KV: 1876.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
296

memenuhi “hak tradisional” ini, maka sultan menerima untuk satu tahunan
“pemasukan” sejumlah 100 dolar dari kepala V Koto. Perbandingan kekuatan
dari V Koto yang terletak di sungai Kampar kanan dimana juga berdiri
kenegerian Kampar, Tambang dan Terantang, menunjukkan terdapatnya satu
negeri yang kuat dengan tetangganya yang lebih lemah. Selain itu, meskipun
masing-masing kenegerian dengan sendirinya dibawah seorang kepala,
namun mereka terkait satu sama lainnya; bahwa negeri-negeri ini sangat luas,
dan biasanya juga mereka bertindak sesuai dengan apa yang menjadi
keinginan dari V Koto. Akan tetapi disebabkan posisi V Koto yang letaknya
dipedalaman, dan oleh karena itu keberadaan masyarakat di sepanjang
sungai bisa jadi menyulitkan arus pedagang, maka berdasarkan hal tersebut
adalah biasa terjadi bahwa para perahu pedagang – termasuk perahu
pedagang dari V Koto -memberikan sedikit hadiah kepada para kepala lanskap
yang dilewatinya ketika menjalankan usahanya tersebut. Lanskap V Koto
tidak memiliki hubungan politik dengan Pulu Lawan. Meskipun demikian,
tetap ada jalinan hubungan antar keduanya: seperti berkaitan dengan
penghasilan yang diperoleh Datuk Nan Lima yang memilih untuk tidak
bersinggungan dengan pemerintahan Pulu Lawan. Mereka hanya mengambil
rute perdagangan di sepanjang Sungai Siak, meski upaya itu selalu ada
dengan pemberian hadiah dan sebaliknya, hal yang dilakukan untuk
memastikan persahabatan dari mereka.

Ketegangan antara V Koto Kampar - Belanda

Bahwa hubungan antara V Koto Kampar dengan Pemerintah Hindia memiliki


sejarah panjang yang nampaknya sarat dengan ketegangan – bahwa V Koto
tidak ingin bersinggungan ataupun berhubungan dengan pihak Hindia
Belanda; Sebagaimana diberitakan bahwa pada tahun 1849 ketika terjadi
penyerahan sebahagian wilayah pedalaman Kampar dengan Hindia,
pemerintah Hindia menyampaikan surat penawaran kepada V Koto dengan
hasil akhir tiadanya jawaban yang diberikan oleh V Koto; kemudian pada
tahun 1854 bahwa terdapat keluhan dari pedagang di kawasan Hindia yang
terletak di pedalaman Sungai Kampar – bahwa pemerintah memandang
perahu dagang mereka di tahan secara illegal oleh pihak V Koto; bahwa
penjajah juga diberitakan “menahan-diri” untuk tidak mengambil tindakan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
297

sebab aksi itu terjadi di kawasan merdeka V Koto – dan lebih jauh lagi, Hindia
menunggu hingga terdapat aksi dari V Koto hingga di wilayah perbatasan yang
ternyata tidak terjadi suatu gerakan apapun juga. Pada kurun tahun 1859,
kembali diulangi surat penawaran oleh Hindia yang lagi-lagi tidak dijawab
oleh V Koto; Pada tahun 1865 bahwa seorang utusan asisten Residen Riau
dicegah untuk bepergian ke wilayah V Koto dan pemerintah mendengar
informasi bahwa pihak V Koto bertekad untuk tidak membiarkan keberadaan
orang Eropa di wilayahnya; Pada tahun 1875 adalah peristiwa penolakan
Residen Padangsche Boven Landen; Hingga kemudian di tahun 1884, bahwa
pemerintahan di perbatasan V Koto mengirimkan surat yang meminta V Kota
berartisipasi aktif dalam upaya penanggulangan wabah yang terjadi saat itu,
akan tetapi melalui jawaban singkat V Koto menolaknya 380; hingga puncaknya
ditahun 1899 dengan terbunuhnya seorang Insinyur pertambangan - Clifford
di Pulau gadang di perbatasan V Koto. Berikut ini adalah kisah tentang
penolakan V Koto terhadap kunjungan Residen Padangsche Boven landen di
tahun 1875: Sementara itu pada tahun 1875, terdapat berita dari Pejabat di
Pantai Timur Sumatra tentang adanya “gejolak” di lanskap V Koto. Bahwa
dalam beberapa tahun terakhir, kepala Pangkalan Kota Baru telah berulang
kali menunjukkan keinginan mereka untuk bergabung dalam otoritas
administrasi Hindia tepatnya di Pantai Barat Sumatera, dan dikatakan oleh
mereka, bahwa telah berulang kali diyakinkan kepada pihak berwenang
tentang adanya disposisi yang sama dengan lanskap V-Koto. Hindia
mencatat; Kali pertama adalah pada tahun 1872, sebagaimana berita yang
disampaikan oleh kepala Jaksa Padang yang telah melakukan kontak dengan
kepala V Koto (Lihat Koloniaal Verslag tahun 1873, hal.14); dan pada tahun
1871 oleh seorang pedagang pribumi yang terkenal, kembali dari lanskap
menuju Padangsche Boven Landen, ia menunjukkan bahwa satu per satu
para kepala dari Kuwo, Lulo(sallo) dan Bangkinang melakukan penandatangan
surat, menunjukkan bahwa adanya keinginan untuk menjalin hubungan
dengan pejabat Hindia.
Dengan maksud untuk beberapa hal, dan berkaitan dengan kewenangan
gubernur Pantai Barat Sumatra: pada tahun 1873 dan 1874 Pemerintah

380 “De Inlijving der V Kota”, dalam Algemeen Handelsblad, 12 Maret 1903.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
298

Pantai Barat memandang bahwa nampaknya telah tiba waktunya terhadap


lanskap tersebut dilakukannya suatu kunjungan dari pejabat Pemerintah
Hindia Belanda. Pada Bulan Juli 1875, berlangsung kunjungan pertama
Residen Padangsche Bovenlanden ke Pangkalan Kota Baru. Kemudian dari
sana, yaitu dari Muara Mahi, residen menulis surat yang sama terhadap lima
kepala dari V Koto, bahwa ia datang sebagai tamu yang diundang untuk
menyelesaikan persoalan mereka; seperti yang terlihat dalam surat tahun
1874: sebuah permintaan, mengundangnya (residen) untuk datang ke Muara
– Mahi, dan bahwa mereka dengan senang hati menginginkan kampungnya
dikunjungi pejabat Hindia: dengan adanya jaminan dari kepala pribumi untuk
menuju V Koto. Residen, dengan bersemangat ia melakukan persiapan untuk
sebuah tur dan melakukan penelitian atas penduduk dikawasan tersebut.
Akan tetapi sebelum keberangkatannya dari Fort de Kock - beberapa jam
setelah surat-surat itu turun, di Muara Mahi, ternyata diberitakan bahwa
penduduk telah melakukan persiapan untuk menentang kedatangan residen,
bahkan dengan kekerasan. berita yang beredar tentang residen, bahwa sang
residen dengan membawa sejumlah 60 orang tentara, tanpa formalitas -
ingin lebih jauh memasuki lanskap V Koto Kampar. Sementara itu pembawa
surat dari residen diterima dengan baik di V Koto. Para Kepala menyatakan
bahwa segala sesuatunya harus secara kolektif diputuskan dan mereka akan
mengirimkan jawabannya. Sementara kabar lainnya menginformasikan
bahwa pertahanan batas kampung-Kuwo telah diperkuat. Dalam satu surat
yang ditujukan kepada para kepala V Koto Kampar secara kolektif, dituliskan
bahwa sang residen masih menunggu beberapa hari untuk jawaban mereka,
tetapi ia akan segera kembali ke Padang Dataran tinggi jika tidak ada
terdengar kabar dari mereka. Surat tersebut dikirimkan menuju Kuo, dan
utusan kembali dengan berita bahwa ternyata mereka benar-benar
memperkuat pertahanannya disana. ketika dua hari telah berlalu, residen
diperingatkan oleh salah satu dari lima kepala, bahwa mereka secara
bersama-sama telah memutuskan untuk menyerang ke Muara Mahi.
Untuk menghindari konflik senjata, sang Residen yang memang sedang dalam
suatu perjalanan kunjungan dan bukan untuk berperang, Segera
meninggalkan Muara Mahi di mana disana ia tidak menemui gangguan selain
dari terdengarnya suara di V Koto Kampar yang tidak menguntungkan
posisinya. Desas-desus tersebar di lanskap tersebut bahwa residen telah
mengambil jalan melalui Tapung (Siak) untuk menembus dari arah sana,
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
299

dengan demikian kepala V Koto Kampar mengambil langkah-langkah untuk


mengamankan batas-batasnya dengan wilayah Siak. Ketika berita itu sampai
ke Residen Pantai Timur Sumatra, Segera Kontrolir Siak dikirim ke negeri-
negeri di pedalaman, dengan mengikutsertakan didalamnya rijkbestuurder
dengan suatu konsekuensi kekuatan bersenjata, atau dengan kata lain
melibatkan negeri-negeri dalam urusan tersebut. Hasil dari Investigasi
pemerintah Pantai Timur menunjukkan, bahwa gerakan diperbatasan
tersebut, seluruhnya memang muncul sebagai akibat dari perjalanan Residen
Dataran tinggi Padang, dan akhirnya perdamaian dan ketenangan kembali ke
lanskap, ketika diperoleh jaminan bahwa perjalanan residen tersebut telah
berakhir. Pemerintah mengklaim, bahwa telah terbukti pergerakan yang
terjadi di V Koto Kampar dan menuduh Haji Ismael sebagai penghasutnya,
dimana penjelasan ini dibangun atas informasi yang diberikan dari para mata-
mata, akan tetapi Pemerintah Hndia sendiri, dibawah berita yang diterima
dari berbagai pihak, berada dalam posisi ragu-ragu atas apa yang sebenarnya
telah terjadi, bahwa berita tentang adanya suatu pemungutan suara di V Koto
untuk penunjukan otoritas Pantai Barat - sebagai suatu informasi yang
diberikan oleh orang pribumi kepada pihak Hindia ternyata kurang akurat.
Meskipun demikian, Belanda menganggap ini bukan berarti para kepala di V
Koto Kampar benar-benar bermusuhan dengan otoritas Belanda; Sebaliknya
terbukti pada tahun 1865, ketika ia menyatakan pada sebuah akta tertulis
untuk mempertimbangkan terkait dengan Siak, atau di bawah Siak, dengan
Pemerintah Hindia Belanda didalamnya.
Walau begitu, V Koto Kampar tetap menolak untuk bersentuhan
dengan Pemerintahan Pantai Barat;
Awalnya, terdapat keyakinan adanya hubungan antara pelaksanaan V-Koto
Kampar dan Kota Intan, ternyata asumsi ini terbukti keliru. Ketika langkah-
langkah pertumbuhan yang lebih kuat terhadap Kota lntan diputuskan, tidak
menimbulkan kekuatiran di V Koto Kampar, kabar dari Datuk nan lima dan
suara terhadap Siak, tetaplah kabar yang menguntungkan.

Ekspedisi Militer Belanda Terhadap V Koto Kampar


Diberitakan pada sekitar tanggal 5-6 April 1899, telah terjadi penyerangan
yang dilakukan oleh sejumlah pribumi (diperkirakan 14-20 orang) dari
Bangkinang ke batas wilayah Hindia – Pantai Barat Sumatra - disekitar Pulau

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
300

Gadang, dimana seorang insinyur pertambangan dari perusahaan eksplorasi,


E.Clifford, terbunuh.381 Pada awalnya, Pemerintah Hindia tidak yakin siapa
sebenarnya pelaku penyerangan dan pembunuhan tersebut; hanya asumsi-
asumsi bahwa di wilayah perbatasan selalu terdapat para pelarian; disertir
mantan narapidana yang bersembunyi disana – sehingga kawasan diluar
wilayah Hindia seringkali dianggap tidak aman. Namun selanjutnya,
pemerintah mengklaim bahwa mereka memiliki bukti-bukti meyakinkan yang
dikatakan diperoleh setelah melalui penyelidikan dengan hasil yang
menunjukkan, hal tersebut terjadi dengan sepengetahuan seluruh kepala V
Koto Kampar - setidaknya sebahagian atau juga dengan sepersetujuan
mereka.382 Nampaknya, hal ini menyebabkan Belanda bereaksi dan kemudian
memutuskan untuk menaklukkan lanskap V Kota Kampar. Bagi pemerintah
Hindia sendiri, “perampokan” yang telah terjadi dipastikan akan mendorong
gerak pasukan penjajah ke perbatasan dengan satu tujuan untuk mengait V
Koto Kampar menjadi bahagian Hindia, yang tentunya dengan disertai
ancaman hukuman jika mereka mungkin saja menolak untuk mematuhinya. 383
Nampaknya, kasus pembunuhan Clifford inilah yang menjadi alasan
pembenaran bagi kebijakan aneksasi atas wilayah V Koto Kampar.
Pemerintah Hindia, diparuh kedua bulan Juli 1899, untuk alasan keamanan,
melakukan penempatan pasukan di perbatasan Pulau Gadang – yang terdiri
dari beberapa kekuatan militer; satu kesatuan infantri dari Padang dan juga
dari Magelang, yang dikirim bersama dengan satu seksi telegraf. Yang terakhir
ini, untuk menghubungkan sesama pos, terutama pos di pemerintahan Kota
Baru (ibukota onderatdeeling Pangkallan Kota Baru dan XII Kota Kampar)
jaringan telegraf itu nampaknya segera siap untuk digunakan di bawah

381 Lihat 20ste VERGADERING. — 22 NOVEMBER 1899. 4. Vaststelling der begrooting van
Nederlandsch-Indië voor het dienstjaar 1900. (Algemeene beraadslaging.), TWEEDE KAMER vel
III, hal. 417.
382 Bahwa dikatakan oleh Pemerintah telah terjadi pertemuan rahasia yang diprakarsai oleh

Datoek V Kotta untuk merencanakan hal tersebut, dan pemerintah juga meyakini bahwa
terbunuhnya Clifford juga dilandasai hal-hal politis; selain itu, bahwa realita V Kotta memiliki
hubungan yang dekat dengan Pantai Barat Sumatra, memungkinkan untuk diintegrasikan kesana
dan segala biaya yang mungkin ada akan tertutupi dengan kondisi sumber daya yang dimiliki oleh
wilayah V Kotta” lihat de De Moordzaak Clifford” (Pembunuhan Clifford), Sumatra Courant,
tanggal 24 Mei 1899.
383 Dalam Koloniaal verslag 1900.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
301

kepemimpinan pemerintahan Payakumbuh, yang tidak lain didirikan untuk


kepentingan asisten residen afdeeling L Koto(50 Koto).
Sebagaimana diketahui, bahwa V koto dicanangkan menjadi bahagian dari
lingkaran kewenangan Pantai Timur; akan tetapi sebuah resistensi atas
kebijakan tersebut; peristiwa penolakan oleh Datuk V Koto terhadap
permintaan Sultan Siak untuk pembukaan tambang Timah China di
wilayahnya384. Bagi Pemerintah kolonial, ini sebuah pembangkangan atau
sikap ketidaksopanan, dan nampaknya sikap V Kota tersebut, menyebabkan
tidak terelak lagi untuk turunnya sebuah ekspedisi militer yang didatangkan
dari arah barat melalui Teratak Buluh. Selain itu, satu pasukan dari
Keresidenan Riouw telah tiba melalui sungai Siak di Pekanbaru, yang
dikatakan untuk melakukan antisipasi situasi. Sementara itu, detasemen
kedua tiba dilokasi tujuan dibulan Agustus, pasukan lainnya pada tanggal 23
di bulan itu juga yang kemudian segera menggabungkan diri dan bergerak
menuju Pulau Gadang. Disana, beberapa hari kemudian perlawanan dapat
ditaklukkan. Sebelum perbatasan, kepala Kuwo, menemui pasukan untuk
menawarkan pengajuan penyerahan mereka. Hari berikutnya, kepala Salo
dan Bangkinang juga datang ke sana untuk menawarkan pengajuannya.
Pada malam tanggal 27 Agustus, satu patroli pasukan dibawah pimpinan
Kapten Jielef dan Letnan Pieper yang dikirim menuju Bangkinang, terutama
untuk mencoba menangkap pembunuh Clifford, akan tetapi, nampaknya
mereka tidak sepenuhnya sukses dalam melaksanakan misinya. Dalam
penyergapan tersebut, tersangka utama, “Pa Mardjan”385 berhasil lolos dan
melarikan diri menuju lanskap merdeka, Kampar Kiri. Namun beberapa
“penghasut” ditangkap, termasuk kepala Pucuk dan sepasang dubalang
Bangkinang: salah seorang dubalang itu, Tubano; terjadi pergulatan dengan
senjata ditangannya ketika dilakukan penangkapan oleh pasukan Belanda

384
Dalam Koloniaal verslag 1878, hal.18
385
“PA MARDJAN” adalah seorang tokoh asal Soerabaja, yang menikah dengan seorang putri dari
tokoh di V koto Kampar; Pemerintah Hindia melihatnya sebagai sosok yang berbahaya – bahwa ia
dituduh telah melakukan penghasutan untuk melakukan pembunuhan tersebut. Ia berhasil lolos
dari penyergapan di V Koto Kampar dan melarikan diri ke Kampar Kiri, kemudian ke Kuantan
hingga sepasukan patroli Belanda akhirnya berhasil menyergap dan menembaknya mati di sana
di tahun 1910.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
302

dirumahnya.386 Dalam beberapa penggeledahan yang dilakukan di Salo dan


Bangkinang, patroli menemukan beberapa barang yang dikatakan terindikasi
sebagai properti milik Clifford, seperti; dompet, kertas-kertas dan alat-alat
pertambangan.
Tanggal 29 Agustus dua kelompok pasukan menuju Air-Tiris, dimana
sebelumnya, militer melakukan kunjungan ke Rumbio. Laporan Kolonial
tahun 1900 menyebutkan, bahwa dimanapun gerak pasukan Hindia tidak
menemui hambatan.
Tanggal 30 Augustus, dari Rumbio barisan militer kembali ke Bangkinang,
dimana di era kedepannya, di Bangkinang ditempatkan salah satu pos militer
belanda disana.
Pada malam 31 Agustus, berlangsung pertemuan antara komandan
ekspedisi, asisten residen Limapuluh Koto, penguasa V Koto Kampar, dimana
hadir juga Raja dari timur V Koto, lanskap Kampar beserta tetangganya; Raja
Tambang dan Terantang, (Tambang-Terantang, seperti halnya lanskap
Kampar, meskipun mereka lanskap merdeka, secara tradisional memiliki
ikatan sejarah dan berhubungan dekat dengan V Koto).
Tanggal 1 September, asisten residen dengan kepala pucuk V Koto Kampar
dan raja-raja dari Kampar, Tambang dan Tarantang menuju Pulau Gadang,
sementara itu juga menunggu kedatangan Gubernur Pantai Barat Sumatra
untuk pengajuan penyerahan, yang nampaknya akan dilakukan di
Bangkinang.
Tanggal 3 Saptember, adalah hari di mana Gubernur Pantai Barat Sumatra
menuju Bangkinang, dan diterima oleh semua penguasa V Koto Kampar.
Barisan tentara, parade musik di alun-alun, dan pada momen tersebut

386TABANO, seperti tokoh lainnya: Boe Larang, Datoek bandara Setti, Doebalang Kaja, adalah
tokoh kharismatik yang dipandang memiliki kesaktian yaitu “kekebalan tubuh,” dalam suatu
penyergapan dirumahnya pada jam 11 malam, dengan keris ditangannya ia melakukan
perlawanan yang juga dibantu isterinya, akan tetapi nampaknya ia berhasil dilumpuhkan dengan
bayonet dan klewang: dilihat dalam Buletin Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en
koloniën, Volume 9, Nomor 24, tanggal 17 February 1926 — Schetsen Naar Herinneringen van
Een Oud Indisch Officer van Gezondheid.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
303

dengan sungguh-sungguh dan secara terbuka para penguasa setempat


menawarkan pengajuan mereka kepada Gubernur. Bagi Pemerintah
kolonial, ini berarti penguasa pribumi terancam denda adat, “Salah
Melanggar,” "bangoen" untuk pembunuhan ($800), memenuhi
Pengembalian barang rampasan atau senilai (f6000), juga mengganti
kerugian ekstradisi pelaku langsung pembunuhan, juga dikenakan denda
seekor kerbau dan 100 gantang beras bagi setiap kampung. Sebagaimana
lazimnya peristiwa aneksasi, terdengar lagu kebangsaan dan bendera Belanda
dikibarkan.
Keesokan harinya, tanggal 4 September, penandatanganan oleh seluruh
penguasa lanskap: V Koto Kampar, Kampar dan Tambang yang disertai
sumpah penyerahan, dihadapan Gubernur yang mewakili Ratu Belanda.
Dapat dipastikan bahwa terjadi sebuah pemandangan yang tidak biasa
dimana semuanya terlbat dalam upacara, mendengarkan, dan semuanya
segera saja berubah; kemudian dilakukan suatu parade militer, dan
penduduk nampaknya dilaporkan terlihat sangat terkesan. Penguasa yang
hadir, terutama raja dari Kampar dan Tambang, dua pria besar dengan
busana kebesaran yang indah dengan dihiasi emas dan perak. Pertama-tama
kepala menyatakan sumpah: sumpah setia kepada Ratu, Gubernur Jenderal,
dan lainnya; Kemudian mereka bersumpah yang sesuai dengan ketentuan
adat, dengan Alquran di atas kepalanya.387
“Dami Allah, dami Rasoeloellah Djikaloe saja moengkir, diatas tidak
berpoetjoek, di bawah tidak beroerat, di tengah di girik koembang,
berkat koeraan"
Bahwasanya menurut ketentuan dalam adat, dikatakan bahwa jika melanggar
sumpah, maka kutukan terbesar tidak hanya akan menimpa dirinya sendiri,
melainkan juga keluarga dan keturunannya. Dikatakan bahwa penyerahan

387Brieven uit de Lima-Kota, Pakan-Bangkinang, 7 September 1899; Lihat juga 20ste


VERGADERING. — 22 NOVEMBER 1899. 4. Vaststelling der begrooting van Nederlandsch-Indië
voor het dienstjaar 1900. (Algemeene beraadslaging), TWEEDE KAMER vel III, hal. 417, bahwa
Pemerintah merasa puas dengan hasil yang diperoleh, ketundukan V Kota Kampar pada politik
Imperialis dan Kapitalis Belanda.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
304

berjalan dengan lancar dan begitu sempurna: semua benteng, meriam lila,
senjata api dan senjata lainnya diserahkan kepada Pemerintah. Pada hari
yang sama, pasukan yang dikomandoi Kapten cornets de Croot beserta tim
medis di bawah dokter Ouwehand menuju Kampar dan tambang; arah
pasukan selanjutnya beralih ke Rumbio di sepanjang tepi kiri Sungai Kampar.
Hari berikutnya adalah koloni yang diikuti oleh gubernur, Mayor Berenschot
dan Kapten Kronouer, juga untuk menegakkan ketertiban di Kampar dan
Tambang. Aneksasi yang dilakukan hampir tanpa pertumpahan darah, hanya
terdapat Insiden dengan dubalang TABANO, kemudian peristiwa di Pulau
Gadang tanggal 21 Agustus yakni penembakan terhadap sejumlah orang,
dengan hasil sebanyak 21 orang terluka, salah satunya adalah Datuk Paduka
Tuwak; penghulu dari Kuwo.
Hingga tanggal 10 September bersama-sama dengan komandan pasukan
yang membawahi satu detasemen tentara, Asisten Residen, Gubernur
mengadakan tur ke seluruh wilayah.
Tanggal 11 September, sang Gubernur kembali ke padang.

Di Bangkinang - sejak aktifnya perangkat komunikasi telegraph yang


terhubung dengan Pulau Gadang, ditempatkan satu kompi infanteri - tetap
dalam bentuk detasemen kecil - hingga awal Maret tahun 1900. Sementara
Pos-pos militer Pekan Baru dan Taratah Boeloeh melakukan pembersihan
sampai pertengahan bulan Oktober.
15-17 September, di bawah dukungan satuan militer, asisten residen
Limapuluh Koto juga melakukan kunjungan ke Lanskap Si Belimbing, lanskap
Kota-Padang dan Petamuan, disebelah selatan V Koto dimana terletak
federasi III Kota Kampar. Dan nampaknya di sekitar sungai Lipai (anak sungai
Kampar Kiri) terdeteksi terdapatnya sumber daya timah. Setelah itu diterima
di Bangkinang draft pertama tanggal 19 September dari Datuk Sibelimbing
dan Kota Padang, kemudian juga dari Petamuan tertanggal 22 September,
dalam suatu pernyataan tertulis, antara lain mengenai pengajuan mereka ke
otoritas Hindia.
Sebagaimana diketahui, pada bulan Juni 1900 oleh Dewan Hindia dikeluarkan
kebijakan untuk menyatukan V Koto dengan Kampar, Tambang dan
Tarantang dalam lingkaran kewenangan pemerintahan langsung. Sebagai

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
305

konsekuensinya, diperlukan penganggaran dana Hindia untuk pembentukan


tertib pemerintahan. Sebagai tindakan awal untuk mengatur pengawasan
lanskap, diberikan kepada kontrolir Onderafdeeling Pangkalan Kota Baru dan
XII Kota Kampar, yang dalam hubungan pemerintahan tersebut berbasis di
Bangkinang. Seperti diketahui bahwa Pakanbaru dan Taratak - Bulu
merupakan bahagian yang berhubungan langsung dengan Pantai Timur,
maka hubungan antara Pantai Barat dan Pantai Timur menjadi kenyataan.
Collone Stoutjesdijk telah melihat wilayah yang terbagi atas Pakanbaru di
Sungai Siak dan Teratak - Buluh di Sungai Kampar, sehingga, diantaranya
dapat dibangun jalan yang menghubungkan cekungan Kampar dan Sungai
Siak. Jadi ini merupakan bagian penting dari rute perdagangan besar antara
Pinang, Singapura, Deli, Siak, V Koto, Pangkalan dan Payakumbuh. Realita
bahwa V kota dan juga lanskap Kampar dan Tambang terletak di sepanjang
tepian Sungai Kampar.

Ekspedisi Negosiasi ke Kampar Kiri


Untuk proses pencaplokan atas Lanskap kampar Kiri, nampaknya disini kita
perlu untuk menelusuri catatan seorang pejabat Kolonial yang ditugaskan
untuk menghimpun informasi yang berkaitan dengan proses perluasan
wilayah Hindia atas Lanskap Kampar Kiri. Pejabat tersebut bernama
O’Brien388, yang mengemban misi ke pedalaman Sungai Kampar, terutama di
cabang Kampar Kiri yang menjelajah hingga wilayah Teso di tahun 1905.
Perjalanan yang nampaknya bermula setelah ekspedisi ke V kota di tahun
1899. Kemudian Syekh Abu Bakar; Raja Gunung Sahilan yang terletak di hulu
Kampar kiri, baru saja kembali dari Mekah dan singgah di Pulu lawan-sebuah
lanskap yang terletak di hilir Sungai Kampar, Tengku Besar bersama Dewan

388Proses Aneksasi yang diduga telah dimulai beberapa dasawarsa sebelumnya; dengan melihat
catatan Netscher tahun 1872 yang menyebutkan adanya kunjungan komite pribumi terhadap
lanskap kampar Kiri: kunjungan yang tanpa hasil. Catatan Asisten Residen Solok tahun 1884 yang
menyebutkan bahwa kondisi politik dan ekonomi kerajaan di sungai Kampar, terletak di wilayah
hulu sungai; Kemudian, ekspedisi tahun 1899 ke V Kota Kampar; juga laporan Asisten Residen
Van Velthuysen tahun 1900 yang mencatat informasi tentang lanskap Kampar Kiri. Adapun
informasi yang diperlukan pemerintah Kolonial untuk suksesnya aneksasi Kampar Kiri, bersumber
dari laporan Kontrolir O'BRIEN, yang dipblikasikan tahun 1906: Rapport omtrent de
tegenwoordige politieke en economische verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-Landen.
Amsterdam, K.N.A.G. hal.939 -957
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
306

kerapatan mendapati bahwa penguasa Gunung Sahilan memilih untuk


melakukan penyerahan damai kepada Pemerintah; sehingga dapat terhindar
dari adanya invasi militer kolonial, dimana penyerahan tersebut dilakukan
kepada pemerintahan Pantai Timur, pilhan sebagaimana berdasarkan kepada
kepentingan mereka sendiri.
Sebelumnya, Syekh Abu Bakar terlebih dahulu pulang ke Gunung Sahilan,
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dengan pejabat kerajaan
lain yang lebih rendah, dan segera kembali ke Pelalawan. Dari Pelalawan, ia
melanjutkan surat ke Siak, dengan pertimbangan bahwa kerajaan Siak adalah
kerajaan yang lebih besar yang dapat memediasi dalam pengajuan
penyerahan tersebut. Nampaknya, gayung bersambut, dimana setelah itu,
secara bersama-sama; penguasa Gunung Sahilan dan Sibayang tiba di Siak
dimana mereka mengajukan permohonan kepada Sultan Siak untuk ikut serta
dalam proses penyerahan damai. Berikut kontraknya, yang bertanggal 27
Februari 1905389:
PENGOELOE en IBOEN GELAR DATOE BANDARO van Pangkalan Indaroeng;
Si MASALIH GELAR DATOE GADANG en Si KADIK GELAR DATOE
TEMENGGOENG van Logas;
Si HADJAT GELAR DATOE DJOEROEM van Parit Djawo Tanah Darat;
Si BONANG GELAR DATOE MOHAMAD van Pangkalan Bringin (Oeloe Tesso) en
Si TOEMBO GELAR DATOE BANDARO MOEDO van Langoeng(Batang Galawan)
en TAali vroeger Bandara van Koentoe, allen Datoe's van Goenoeng Sahilan en
Onderhoorigheden
verklaren bij deze:
Ten eerste: dat het gebied van Goenoeng Sahilan een gedeelte uitmaakt van
Nederlandsch-Indië en derhalve onder de heer-schappij van Nederland staat.
Ten tweede: dat wij mitsdien trouw zullen zijn aan Hare Majesteit de Koningin
der Nederlanden en aan Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal van
Nederlandsch-lndië als Hoogstderzelver vertegenwoordiger.
Ten derde: dat wij zullen nakomen en handhaven alle rogelingen. die met
betrekking tot het landschap Goenoeng Sahilan door of namens het
Gouvernement of deszelfs vertegenwoordiger, den resident der Oostkust van

389 Dikutip sebagaimana terdapat dalam “Staten Generaal.”

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
307

Sumatra, zullen worden getroffen en in het algemeen alle bevelen zullen


opvolgen, die ons door of namens dien vertegenwoordiger zullen worden
gegeven.
Gedaan te Bengkalis op den 27sten Februari 1905 en opgemaakt in drievoud.
Hierstonden stempels, hand-teekeningen en handmerken van den
Jamtoean-Besar en de Datoes van het landschap Goenoeng-Sahilan.
Deze handteekeningen zijn in onze tegenwoordigheid gesteld en nader
bezegeld met een eed volgens de godsdienstige gezind-heid der
onderteekenaren, zijnde in den eed begrepen de ver-klaring, dat
onderteekenaren bevoegd zijn, door mondelinge machtiging tot
verbinding ook van de achtergebleven hoofden.

Sebagaimana terdapat dalam korte verklaring, maka pernyataan singkat


diatas juga memuat pokok-pokok tentang kesetiaan kepada Ratu Belanda dan
wakilnya di Hindia; Gubernur Jendral, bahwa wilayah lanskap merupakan
bahagian Hindia Belanda serta persoalan-persoalan teknis “ketatanegaraan
dan kedaulatan”.
Sebelum ditindaklanjuti, nampaknya Pemerintah Gubernemen
berkepentingan untuk melakukan kunjungan dan penelitian untuk mengatur
arah hubungan politik dan ekonomi. Di masa sebelumnya di tahun 1900,
Asisten Residen Bengkalis – W.A.Van Velthuysen, telah melakukan kunjungan
ke Gunung Sahilan di Sungai Lipai dan Rantau Sibayang, namun tidak dengan
wilayah Singingi. Saat itu ditemukan bahwa dengan situasi politik, kawasan
Teso tidaklah relevan. Informasi tersebut diperoleh dari petugas yang
mengajukan Laporannya. Sekitar tiga tahun kemudian, secara resmi
dikunjungilah semua wilayah Kampar Kiri, dan nampaknya telah terbuka
wacana tentang penyerahan kawasan tersebut terhadap Pemerintah Hindia.
Akan tetapi, negosiasi ini ternyata gagal; pertama, karena faktor penguasa
lokal, akibatnya perusahaan Eropa; Blunctschli, melalui intervensi Sultan
Siak, menutup kontrak pertambangan, disebabkan tidak dapat memenuhi
salah satu persyaratan untuk memeperoleh izin melakukan penyelidikan
pertambangan, dan melimpahkan konsesi perkebunan, untuk tidak jatuh ke
tangan pemerintah Hindia Belanda. Selain itu, nampaknya perjalanan saat itu
mengabaikan kunjungan atas Lanskap Teso dan Singingi.
Salah satu yang dapat dikatakan dari situasi politik kawasan Singingi
adalah Angku Kuning, Raja Gunung Sahilan dan Tuan gadis dari

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
308

Pagaruyung yang diklaim oleh penjajah tidak bijaksana dalam


menganggapi persoalan tersebut.
Rantau Singingi yang berada di aliran Sungai Singingi, dipandang pemerintah
Kolonial sebagai kawasan “par-exellence,” sebagai akibat konflik dan
peperangan-sipil yang terjadi disana. Oleh sebab itu, perjalanan asisten
Residen bagi pemerintah kolonial diharapkan dapat memberikan
pengetahuan tentang hubungan politik terpenting yang terjadi, dimana
penguasanya telah mengajukan penawaran kepada Residen. Investigasi
menyeluruh atas lanskap Gunung Sahilan, Rantau Sibayang dan Singingi, dan
juga lanskap lainnya di Kampar Kiri dalam kaitannya dengan kawasan Pantai
Timur, hasilnya akan dilaporkan kepada Gubernur Jendral. Sehingga, di tahun
1905, diutuslah kontrolir O’Brien yang bertanggung jawab atas laporan
menyeluruh dari kawasan tersebut.
Bermula di Taratak Buluh, tanggal 19 Maret 1905, O’Brien melakukan
penelitian atas hukum adat, menghitung penduduk pribumi, kondisi ekonomi,
dan nampaknya juga, melakukan penangkapan terhadap 10 orang disertir
kerja-paksa. Pada undangan pertama (25 Maret-11 april) nampaknya
pertemuan hanya dihadiri oleh; khalipah Kunto, Ujung Bukit dan Batu
Sanggan. Kesemua ini berasal dari rantau Sibayang, adapun dari Rantau
Singingi, tidak satupun yang menghadirinya. O’Brien, mengaku ia telah
menulis-bahkan secara khusus (pribadi) kepada Jelo Sutan dan Haji Bandaro.
Berdasarkan kejadian tersebut, segera saja pejabat kontrolir Belanda tersebut
memutuskan untuk pertama-tama mengunjungi Rantau Singingi; sebagai
daerah kunjungan utama.
Dengan dikawal lima orang polisi bersenjata, dilalui rute Lipat Kain, Pulau
Patai, hingga Kota Baru. Disana, diundanglah kepala Tanjung Pauh dan Pulau
Patai. Akan tetapi, Jelo Sutan dari Muara Lembu, dan Haji Bandaro; Kepala
utama Singingi, belum juga nampak hadir, hanya perwakilannya saja yang
datang, ini tidak sesuai harapan: O’Brien mengatakan, bahwa setelah ia
berhasil menemui mereka, ia mengatakan bahwa ketidakhadirannya
disebabkan sakit. Akan tetapi, bagaimanapun juga pihak kolonial menyadari,
bahwa tanpa kehadiran penguasa sebenarnya, maka eksplorasi tidak akan
dapat diselesaikan sesuai dengan rencana. Tur berlanjut, melalui kebon Lado,
meninggalkan Muara Lembu hingga Betung, Pangkalan Indarung, hulu sungai
Singingi dimana terdapat banyak batu-batu gunung yang besar.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
309

Pada tanggal 19 April 1905, O’Brien tiba di Logas, kemudian kembali ke Mura
Lembu, dan pada perjalanan berkeliling berikutnya, ia ditemani oleh Raja
Gunung Sahilan. Pada kesempatan tersebut, dinyatakan oleh sang raja,
bahwa wilayah Singingi, berada dibawahnya, dan nampaknya tidak
disebutkan olehnya Tuan gadis. O Brioen menulis, bahwa dalam
perjalanannya di wilayah Singingi tersebut, dimana-mana ia menemui adanya
pengibaran bendera putih: tanda tunduk. Menurutnya, perang-sipil yang
terjadi nampaknya telah membuat penduduk merasa sangat ketakutan dan
berada dalam kedukaan, dan menurutnya lagi, mereka, penduduk Singingi
melihat dirinya bagai seorang “pembebas”. Dalam kunjungannya tersebut,
O’Brien menerima banyak keluhan dan harapan akan diperolehnya hak-hak
mereka, ia tinggal di Gunung Sahilan selama hampir 20 hari (22 April – 11
Mei), kemudian ia melanjutkan perjalannya ke Sibayang.
Tanggal 28 April, terjadi pertemuan dengan Bandaro dari Kunto, Datuk Majo
besar, juga Khalipah Ludai dari Bio. Penggalian informasi, mulai dari
pengajuan ke Siak tahun 1899, penandatanganan kontrak, politik, hingga
perang-sipil di Kunto dan Singingi.
Tur dilanjutkan, hingga tanggal 11 Mei, O’Brien bertemu dengan Datuk
Juhum, penguasa terkemuka dari wilayah Teso. Diperoleh informasi, bahwa
semua wilayah Teso berada dibawahnya, akan tetapi Tanah Darat, dihitung
sebagai bahagian dari Kuantan dan rajanya diakui sebagai seorang Pangeran
Basarah.
Jumat 12 Mei, O’Brien meninggalkan wilayah Sibayang. Singgah di Lipat Kain,
di lanskap ini, O’Brien menuturkan bahwa ia menemui adanya semacam
“tempayan”, sebagai benda yang dikelilingi oleh tongkat, mangkuk untuk
membakar dupa dan potongan kain putih; terdapat cerita tentang kesaktian
dari tempayan tersebut. Dari Lipat Kain, terus ke Lubuk Cimpur, Kuntu;
menyaksikan bagaimana kehidupan masyarakat disana.
Senin 15 Juni, menuju Padang-Sawah, Domo, Ujung Bukit dan Pasir Ramo
terus ke Tanjung Balit. 16 Juni, melangkah lebih jauh hingga Batang Bio
menuju Kota Lamo. Tanggal 19 Juni, dari Moeara Bio di Sibayang menuju
Batu Sanggan; terdapat wabah cacar dibeberapa banjar.
Tanggal 23 Mei, tiba kembali di Gunung Sahilan. O’Brien melaporkan, bahwa
penyambutan lanskap atas kunjungannya bermacam-macam, seperti; dengan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
310

parade tembakan di Batu Sanggan dan Ludai, dan penyembelihan kerbau di


Kuntu, Padang Sawah dan Tanjung Balit.
Ekspedisi masih berjalan, tanggal 21 Juni, O’Brien melanjutkan tur ke wilayah
Teso, dimana 31 mei lalu, O’Brien mengirimkan tujuh orang prajurit ke Londar
Teso. O’Brien disambut dengan parade musik oleh penguasa, sementara itu,
Sutan Sinaro telah bergabung. Disini, dikunjungi banjar-banjar seperti Cimpur,
Pangkalan Bringin, dan lanskap di hulu Teso; Tanah Darat. Akan tetapi, pada
momen tersebut, O’Brien nampaknya tidak berani untuk melanjutkan tur
hingga sungai Kuantan, disebutkan bahwa tidak adanya jaminan keselamatan
membuatnya kembali menuju Gunung Sahilan. 954 Di Londar, O’Brien
bertemu dengan Datuk Pobo, salah satu dari tiga Datuk Tanah Darat.
Hasilnya,
Datuk Pobo sepakat bahwa Tanah Darat adalah bahagian dari distrik
Kuantan dan berada dibawah Raja Basarah.
Bahwa realita kampung-kampung Tanah Darat terletak di sisi Sungai Kuantan,
berbeda dengan Teso yang berada di cabang dari Kampar Kiri, sehingga dalam
konteks tersebut, afiliasi Teso dengan Gunung Sahilan dapat dimengerti; dan
Datuk Juhum pada pernyataannya pada pihak Bengkalis, hanya menyatakan
Teso, dan tidak dengan Tanah darat. Selain Londar, maka Tanah-Kerajaan
langsung berada dibawah Datuk Besar dari negeri Gunung Sahilan. Menurut
adat, Datuk Juhum dengan Datuk Besar dari Gunung Sahilan bertali-seperti
saudara akan tetapi dengan Raja Gunung Sahilan, Datuk Juhum tidak memiliki
hubungan seperti itu.
Pada kesempatan itu, Datuk Pobo menyatakan bahwa ia ingin berkonsultasi
dengan para kepala Tanah Darat dalam kaitannya dengan misi dan juga untuk
memberikan suatu jaminan keselamatan bagi O’Brien, terutama dari Raja
Basarah. Menurut Sutan Sinaro di Perhentian Tinggi, berjalan sedikit ke arah
utara, terletak Pangkalan Bringin, disanalah terdapat salah seorang yang
diduga terlibat atas terbunuhnya Clifford: Pa Marjan, kemenakan dari Datuk
Mamat yang dianggap seorang penghasut. Para Kepala menjanjikan
bantuannya, dan O’Brien pun memberikan bantuan lima petugas polisi
bersenjata, dengan hasilnya: nihil. Nampaknya, buruan telah melarikan diri
kembali segera setelah kedatangan Datuk Juhum yang tiba dari Gunung
Sahilan dimana O’Brien juga akan kesana. Dengan isteri dan anaknya, buruan
tersebut menuju Benai dihulu Sungai Kuantan. O’Brien mengungkapkan hal
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
311

tersebut, “bagai burung yang kembali terbang.” Hal tersebut, menjadi


catatan tentang pelaku kejahatan dan narapidana yang melarikan diri dan
bertempat tinggal di kawasan merdeka. Kondisi ini, O’Brien juga
menyebutnya;
seperti seseorang yang tiba di kawasan merdeka terlihat bagai
“pulang ke induk semang”; seseorang yang ingin melindungi dan
menjaga mereka; dan dapat dimengerti, betapa sulitnya bagi Belanda
untuk melakukan pencaharian terhadap orang-orang pelarian di
kawasan merdeka.

Rantau Kuantan:
Belanda dan Konflik Internal Kuantan
Sub-bab ini, berkisah tentang proses yang berkembang menjelang dan hingga
terjadinya pencaplokan terhadap Negeri Kuantan. Proses panjang yang
melibatkan hingga tiga generasi, dimulai dari era Yang dipertuan nan Putih
hingga Raja Hasan, mulai dari diplomasi hingga invasi. Pergulatan, persaingan
dan pertarungan antara elit lokal yang bertemu dengan kepentingan kolonial,
memuncak di awal abad ke-20, tepatnya di tahun 1905. Ada baiknya kita
kembali menyusuri jauh ke belakang, sebuah kisah yang tidak lepas dari
negeri tetangga tempat dimana berkobarnya Perang Padri. Dan kali ini,
kembali kita banyak dibantu oleh Laporan IJzerman, Kontrolir Schwartz,
Kontrolir Twiss, Baron Van Hoevell, O’Brien, Grijzen, catatan Kielstra serta
beberapa laporan Kolonial. Sebagaimana telah disampaikan, pertama kali
munculnya batas-batas Kuantan adalah pada saat keruntuhan imperium
Minangkabau akibat pukulan kuat dari peperangan Padri. Di Tanah Datar,
tempat tinggal para pangeran, dalam waktu yang singkat telah terjadi
perlawanan terhadap gerakan pembaharuan, akan tetapi gerakan
pembaharuan tersebut seolah tidak terbendungkan lagi. Oleh Tuanku
Pasaman, pemimpin gerakan baru, pertemuan diadakan di Kota Tengah,
kemudian terjadilah pembantaian-berdarah atas kaum pangeran. Tuanku
Raja Muning Alam Shah berhasil selamat yang terlihat bagai sebuah
keajaiban, dengan cucu di lengannya, ia melarikan diri dari pembantaian itu

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
312

dan kemudian berlindung di Lubuk Jambi di mana ia 390 menghabiskan Waktu


dengan mempelajari agama dan juga bagi pendidikan cucunya. Anggota lain
dari keluarga kerajaan dan beberapa bangsawan lainnya bergerak menuju
Padang, di mana pada tanggal 21 Februari 1821 391 dilakukan perjanjian
dengan pihak Belanda.
Tentang nasib Raja Muning392 tidak ada disebutkan, hanya pada bulan
Agustus 1822 ditemukan keberadaannya di Sijunjung. Komandan pasukan
Raaff mengatakan bahwa tidak ada tindakan lebih lanjut dalam kaitannya
dengan hal tersebut. Padri di Barat kembali mengancam dan menyerang,
selain itu mereka mendirikan markas besarnya di Lintau dan memperluas
pengaruh mereka di timur dan utara, hingga tahun 1823 di Lubuk Jambi
ditemukan sejumlah 1200 orang kaum Padri. Akan tetapi terjadi kejutan di
tahun 1832, dimana di tahun ini juga Lanskap Lintau dan Buo ditaklukkan oleh
pasukan kolonial Belanda393.
Raja di Buo sebagai seorang pemimpin tidak seperti kebanyakan saudaranya
yang lain. Kepribadiannya dikenal memiliki kharakter seorang pejuang sejati
kaum Padri, memiliki nama baik serta kesalehan beragama. Namun tak lama
berselang pecah pemberontakan umum di berbagai belahan pedalaman, dan
perwira Elout melakukan penangkapan terhadap beberapa tersangka
termasuk terhadap regent (Bupati) Tanah Datar (Yang pituan Hitam Raja
Alam), beberapa tokoh dibuang dan ada yang dihukum mati. Raja di Buo,
termasuk tokoh yang ikut bergabung dengan gerakan ini. Kuatnya tekanan
Belanda dalam menekan Raja di Bua dan pendukungnya berakhir dengan
penguasaan kawasan dalam waktu relatif singkat. Pada bulan Mei 1833,
Letnan Hendriks memberikan sinyal akan segera terjadinya penyerahan
senjata. Para pangeran diasingkan jauh dari negerinya, 394 diduga semangat

390 Stuers mengatakan ke Djambi Vol. I hal 33


391 Dampak perjanjian ini adalah Belanda menjadikannya sebagai simbol bahwa Kerajaan
Pagaruyung menyerah kepada pemerintah Hindia-Belanda, Pemerintah Kolonial mengangkat
Sultan Tangkal Alam Bagagar sebagai Regent Tanah Datar , lihat dalam G. Kepper, (1900).
Wapenfeiten van Het Nederlands Indische Leger; 1816-1900. Den Haag: M.M. Cuvee
392 Hal ini sangat mungkin bahwa ia menggunakan nama lain.
393 Stuers, Inleiding, Vol hal XXIV.
394
Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di
Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan, ia dibuang ke Batavia sampai akhir hayatnya, dan
dimakamkan di pekuburan Mangga Dua, sumber: Hamka (12 Februari 1975). Pidato Prof. Dr.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
313

perlawanan bangkit di tahun 1833, dari Pangkalan Kota Bahru terus berkobar
hingga di Lima puluh Koto; kemudian di Sumpur dan melakukan penyerbuan
ke Buo di tahun 1834, namun upayanya hanya memperoleh hasil yang tidak
berarti. Pemerintah menggambarkan bahwa sang pejuang tersebut begitu
putus asanya dan terus mengembara di perbatasan timur, nampaknya juga
tidak berhasil mengumpulkan pengikut dalam jumlah yang cukup. Lalu ia
melanjutkannya ke benteng Bonjol dengan melakukan tindakan ofensif.
Setelah jatuhnya benteng terakhir dan terkuat Padri itu, alhasil teror militer
Belanda terhadap semua perlawanan rakyat untuk sementara waktu telah
merusak kepercayaan terhadap semua yang dinamakan dengan “kebaikan”
dalam kekuasaan yang didirikan oleh Belanda395. Meskipun demikian,
diberitakan bahwa pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui
Residen Dataran Tinggi Padang; yakni Steinmetz, dengan membawa serta
surat alih dari Yang dipertuan Putih, pangeran Kuantan, di mana ia meminta
dibukanya suatu hubungan dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael
menduga bahwa permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan
Sultan Indragiri, yang dalam waktu bersamaan diberitakan oleh Residen
Palembang, mengabarkan bahwa permintaan ini disertai dengan datangnya
anak Yang dipertuan. Dia melakukan keduanya secara tertulis
menginformasikan kepada Pemerintah dan bertanya tentang pembukaan
negosiasi dengan Kwantan dan Indragiri. Persoalan dengan Kerajaan ini
(Indragiri) terakhir telah diselesaikan pada bulan September, dan untuk ini
adalah sebuah traktat pengakuan kedaulatan Belanda.
Akan tetapi untuk Kuantan sebagaimana permintaannya telah
diketahui, hingga sejauh itu belum menunjukkan hasil.
Yang dipertuan Putih tampaknya berhasil diakui sebagai Raja yang
berdaulat; memiliki koneksi ke penguasa baru dari Dataran tinggi Padang
yang memberikan dukungan atas otoritasnya. Akan tetapi pada tahun 1843,
atas perintah Menteri Baud dilakukan “kebijakan pantang”, yakni menutup
hampir semua kontak dengan negara luar bagian timur dari wilayah Pantai

Hamka dalam upacara pemakaman kembali Sultan Alam Bagagar Syah di Balai Kota Jakarta.
Jakarta:Penerbit Pustaka Panjimas.
395
Nampaknya yang dinamakan dengan “Kebaikan” pemerintah yang tertuang dalam Plakat-
Panjang, bagi masyarakat hanya sebagai akal-akalan atau strategi belaka dari pemerintah untuk
memenangkan perang.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
314

Barat Sumatera. Kondisi ini akan membuatnya lebih mudah untuk


memadamkan kobaran api kerusuhan dan perlawanan, akhirnya menjelang
akhir tahun 1844 tiba saatnya Pemerintah kolonial melakukan sebuah
ekspedisi. Jauh sebelumnya, Jendral Michiels memutuskan untuk melakukan
pengasingan bagi kepala dan pendukung mereka yang berada di Aer Angat
dan sekitarnya. Di antara para pemimpin tersebut salah satunya adalah
adalah Raja di Buo, selain itu juga tercatat telah tertangkap seseorang
bernama Raja Hitam, namun pada tahun 1836 Raja Hitam berhasil melarikan
diri dari penjara Padang lalu menyamar sebagai anak dari Pangeran
Pagaruyung: Yang dipertuan Patah, di kenegrian Aer Angat dan Solok
Hamba, pengikutnya terutama dari wilayah pedalaman.
Namun sebaliknya pada bulan April tahun berikutnya, diadakan pertemuan
baru yang bertempat pada wilayah sekitar Sungei Batung di V kota; Namun
Kali ini daerah tersebut tidak dalam konteks untuk melakukan perlawanan,
meskipun yang dimaksudkan oleh Letnan Kolonel Sutherland adalah sejauh
mungkin membuktikannya dengan datang sendiri dan dilakukannya kontak
langsung dengan “kepala sebenarnya” dari Lubuk Jambi dan Kuantan,
kemudian membuat perjanjian dan mewajibkan mereka untuk mencegah
masuknya para petualang (disebut sebagai para gelandangan-politik) hingga
batas wilayah mereka. Konflik masih berlanjut, penaklukan XII Kota dan
penangkapan: kepala laras dari Lubuk Tarab, untuk itu telah diusulkan untuk
membuat suatu pawai hiburan yang berlebihan. Sementara itu sebahagian
besar dari Sungei Batung telah bersatu untuk Pasimpat Durian Tarang,
memutuskan untuk berjuang, sisanya tersebar. Sedangkan Beberapa negeri
menawarkan penyerahan wilayah mereka. Raja di Buo, selama bertahun-
tahun sedikit sekali terdengar beritanya; Ia diberitakan mundur ke Muara
Lembu, di mana Saudaranya tinggal, disana ia larut dalam kesalehan seorang
agamis. Tak lama setelah itu (antara 1845 dan 1849) Yang dipertuan Putih
wafat tanpa meninggalkan anak atau kamanakan untuk diwariskan. Tidak
ada penggantinya ditunjuk, akan tetapi disebut Yang dipertuan pandak, juga
disebut Yang dipertuan Sati atau Sultan Mohamad Isa Mejali, ia bermukim di
Pantei di Lubuk Ramo dimana penguasa setempat berpesan jika ia wafat,
agar segera pergi ke Kuantan, di mana disana ia akan dikenal dan dihormati.
Keadaan tahun-tahun pertama dari pemerintahannya tetap tidak diketahui,
hingga di tahun 1864, ketika dari Pantai Barat ditemui sebuah pesan tertulis
kepada Raja Muda Riau, bahwa di Kuantan terdapat pemerintahan yang

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
315

berdaulat. Oleh Pemerintah Dataran tinggi Padang segera dilakukan


penyelidikan untuk mengetahuinya secara langsung. Pada tahun 1869,
Asisten Residen Tanah Datar menerima surat yang ditandatangani oleh Orang
nan berlima dan pangeran, yang disebut Raja Besar. Sayangnya. tulisan
tersebut menunjukkan maksud yang kurang jelas; sebuah permintaan untuk
menetapkan Pemerintahan di Rantau Kuantan. Gubernur Arriens menilai
semua yang ditunjukkan tidaklah asli, seperti; tidak memiliki segel Raja Besar
dan tanda tangan manual dari Orang Gadang tampaknya dibuat oleh tangan
yang sama.
Disebabkan penemuan ladang batubara di tepi Oembilin, juga sehubungan
dengan ditemukannya hubungan ke Pantai Timur Sumatera, dan ini
nampaknya lebih menyentuh kapada Yang dipertuan Pandak dan Raja di
Buo. Yang terakhir adalah pada tahun 1861, Gubernur de Brauw menyatakan
bahwa permintaan untuk itu harus disampaikan kembali. Permintaan yang
tidak pernah diterimanya, sehingga Gubernur Netscher mengatakan dalam
makalahnya tentang Sumatera Tengah, bahwa tampaknya jelas dia
melakukan apa yang diartikan sebagai tindakan “melawan pemerintah.”
Segera saja Gubernur mengirim pesan untuk “membakar” beberapa imam
dan kepala Laras di Tanah datar, Agam dan Lima puluh Kota. Bagi Raja di Buo,
ini adalah tuduhan yang mungkin saja dapat juga mengandung kebenaran,
akan tetapi berdasarkan fakta-fakta yang terjadi pada tahun sebelumnya.
Tindakan seperti itu sekarang tidak lagi konsisten dengan keinginan hati orang
tua mantan raja untuk melihat lagi situsnya, melihat masa mudanya dimana
masa awal ia tumbuh dewasa. Bagaimanapun juga, kondisi ini menyebabkan
ia dapat saja berubah. Meskipun mungkin ia di dasar hatinya membenci
kekuasaan Belanda yang telah mengakhiri kemuliaan kerajaannya, akan tetapi
sangat tidak bijaksana jika ia memperlihatkannya disaat tersebut, yang harus
dilakukannya adalah memiliki peluang dan hak untuk meminta. Pandangan ini
juga didukung oleh pengulangan permohonannya, yang dilakukannya hanya
berselang waktu tiga tahun kemudian pada tahun 1864.
Anaknya Tuanku Tinggi atau Sutan Hassim, era pertama sesama pengasingan,
kemudian kemudian kembali ke Buo, dan beberapa waktu sebagai panghulu
Kapala di Lintau mengenakan kepentingan ayahnya. Meskipun ia didukung
oleh tiga kepala laras, yang secara pribadi meminta pelaksanaan hak-hak
Raja, Gubernur Van Den Bossche nampaknya tetap menolak permintaannya.
Untuk itu raja ingin bertemu, dan pemerintah pun menawarkan untuk

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
316

menetap tinggal di Padang. Dengan demikian, Pemerintah Kolonial akan


memiliki kesempatan untuk mengamati apakah pertobatannya tulus dan
dirinya memiliki apa yang dianggap sebagai tindakan bijaksana. Tawaran ini
diterima dan di tahun 1865, Raja di Buo di Padang menyatakan bahwa ia
sendiri cenderung menuruti keinginan Pemerintah untuk menyerah. Akan
tetapi, dalam perjalanannya kembali ke Muara Lembu di mana ia bertemu
dengan kepala laras dari Buo, yang mungkin saja merasa cemburu, Raja di
Buo pun dipengaruhi bahwa mereka (Belanda) sebenarnya tidak
menginginkan ia untuk kembali. Hal ini membawa Raja di Buo kepada memori
akan peristiwa di tahun 1832 yang membuatnya waspada; bahwa ia mungkin
bisa saja memiliki nasib yang sama seperti yang dialami kerabatnya yang
berasal dari wilayah Tanah Datar yang hidupnya harus berakhir di penjara
Batavia. Kecurigaannya menjadi-jadi seperti itu, sehingga ia membatalkan
rencananya dan memutuskan untuk tetap berada di Muara Lembu.
Sementara itu, segera di bawah pengaruh penemuan Greve, seperti pada
tanggal 17 Oktober 1871 kabinet menunjukkan pandangan bahwa perlu
untuk mengakhiri era tertutup bagi negeri-negeri merdeka di Sumatra
Tengah. Setelah menunjukkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi,
diperlukan informasi berupa pengetahuan yang akurat akan kondisi tersebut,
Menteri Bosse melanjutkan:
Tugas kita, masa depan kita di Sumatera tergantung dari semakin
kenalnya kita akan tempat ini, sejarah berdirinya otoritas Belanda di
Sumatera itu sendiri memancarkan cahaya, dimana banyak bayangan
gelap dalam sejarah pembentukan otoritas Belanda di Kepulauan
Hindia telah menghilang... Negara-negara yang pernah porak-poranda
oleh perang, perdagangan budak dan penjarahan telah habis,
kemudian berkembang oleh pengaruh kita sebagai cara yang telah
terlihat, bahwa negara-negara tetangga pribumi sepenuhnya atas
inisiatif mereka sendiri berada di bawah perlindungan kekuasaan
Pemerintah belanda. Pantai Timur dan Barat seperti sebelumnya yang
seolah dipisahkan oleh dinding yang tak dapat ditembus, sebelum
akhirnya terjangkau oleh teknologi telegraph, maka tidak semua hanya
berupa kegagalan semata, melainkan timbul harapan yang
dimungkinkan dengan pembangunan jalan yang baik. Alam dengan
kekayaan mineralnya datang membantu, dalam pelaksanaannya
tindakan penting terhadap populasi yang berbeda dan berada dalam

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
317

kepentingan kita wewenang menjadi sangat diperlukan, atau lebih


tepatnya insentif baru untuk mengambil tindakan tersebut. Diharapkan
suatu kebijakan Pemerintah yang aktif, bahwa Sumatera itu sendiri
segera dan secara bertahap akan dikembangkan. Tapi pertama-tama
kali adalah harus meyakinkan pejabat (pribumi) untuk dipersiapkannya
pemerintahan yang baik. Ketidakpastian tidak mungkin ada pada
sedikit wilayah di pantai dan pedalaman. 396
Pada tahun 1872 diputuskan untuk mengirim suatu komite ke Kuantan untuk
menyelidiki apakah sungai cocok dijakdikan sarana pengangkutan batubara,
dan segera ditunjuk insinyur pertambangan W.H.De Greve dan asisten
komisaris H. F. W. Cornets dan kontrolir B. G. Baron Van Hoevell sebagai
Sekretaris. Penguasa distrik Kuantan diinformasikan mengenai akan
datangnya komisi dan diminta kepadanya untuk memberikan bantuan.
Sebelumnya, kepala tiga laras diberitakan telah melakukannya, dan ini adalah
momen untuk menyampaikan dimana komisi akan segera sampai di
Kwantanlanden. Seperti sebelumnya disebutkan, terdapat Yang dipertuan
Sati ditengah-tengah rakyatnya dengan sejumlah besar lawan sengit, dan ia
dalam posisi seperti sebahagian besar nasib mayoritas penguasa Melayu;
rakyat mengenali namanya, akan tetapi tidak memiliki keinginan untuk
sepenuhnya tunduk pada perintah ataupun mengikuti keinginannya. Selain
itu, juga terdapat dua orang dari V kota di Tengah, Datuk Sireno dan Angku
Kali Raja, yang posisi, kekuasaan dan pengaruhnya berada di luar jangkauan
dirinya. Mengenai cara bagaimana terjadi posisi tersebut, dapat dilihat pada
hal yang bersumber dari catatan kontrolir Van Hoevell, sebagai berikut:
Orang Gadang. Apakah mereka bersatu, maka mereka memiliki Yang
dipertuan sebagai suatu ekspresi penghormatan, tetapi tidak pernah terjadi
kedudukan ini memiliki otoritas yang nyata. Perilaku hubungan mutual,
persaingan, juga kecemburuan antar Orang Gadang akan membangkitkan
dan mungkin, bahkan menabur genderang perang perselisihan antar
berbagai aliansi. Karenanya sebagaimana yang pernah dikatakan Kontrolir
Twiss, Yang dipertuan harus menyelesaikannya. Hal yang juga tak dapat
dihindarkan adalah ia akan memperolehnya secara bertahap selama Orang
gadang yang masing-masing masih mendominasi sekutunya, yakni para
penghulu. Tapi jikalau terjadi seperti perselisihan yang pelik,

396 Ijzerman:hal.53
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
318

perang pun nampaknya akan bermanfaat sebagai jalan keluar untuk


memperoleh otoritas tersebut.
Belum terdapat jalan yang layak, oleh sebab itu sangat mustahil ditemui lalu
lintas komersial yang dapat menjamin keselamatan. Hal ini juga akhirnya
membuat Orang Gadang mengakuinya dan (mungkin terdorong oleh Rapat
dari panghulu ini) keduanya mengakhiri situasi tersebut, maka murni untuk
sekuel ini, mereka pun mengadakan rapat umum dimana raja mereka sendiri
beserta panghulu ikut hadir. Pertemuan tersebut memutuskan:
1. Setelah itu tidak lagi “Orang Gadang”, atau juga “pangeran”;
melainkan hanya orang yang berperan sebagai perwakilan dari
kelompoknya;
2, Bahwa perwakilan dibentuk sebanyak dua orang, tetapi tidak dipilih
diluar dari lingkup Orang Gadang, dan mereka ini akan menjalankan
semua urusan pemerintahan;
3. Orang Gadang dan panghulu akan tunduk kepada apa yang
perintahkan oleh Yang dipertuan dan bahwa dua orang tersebut juga
akan memutuskan segala sesuatunya dengan suara bulat.
Pejabat yang sekarang terpilih adalah Khatib Moelano dan Pakih Bagunjung.
Yang pertama lebih terutama untuk sekuler (perkarah Hadat) sedangkan yang
kedua, lebih khusus diangkat untuk urusan agama (perkarah hibadat). Tak
lama setelah itu, diberikan oleh Orang Gadang pada sebuah upacara besar,
masing-masing diakui di bawah gelar Datuk Sireno dan Angku Kali Raja
sebagai martabat baru dan terhormat. Kedua pejabat dan perwakilan dari
pangeran dan Orang Gadang Panghulu, dan bagi Belanda,
inilah pihak penguasa yang sebenarnya di Rantau Kuantan.397
Adapun bagi Schwartz, sebagaimana dikemukakan Ijzerman, dia
mengungkapkan,
“Jika seseorang ingin memperoleh sesuatu hal di distrik Kuantan, maka
harus dapat dipastikan bahwa ia memiliki "dua orang” tersebut di
sisinya.”

397 Tijdschrift voor Neerland's Indië: jrg 5, 1876 (2e deel) [volgno 6], 1 November 1876, hal. 409
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
319

Gambar 7.3. Silsilah penguasa Rantau Kuantan


Sumber: IJzerman, 1895, hal47.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
320

Meskipun demikian, terdapat klaim bahwa otoritas Datuk Sireno dan Angku
Kali Raja tidak memiliki dasar hukum. Para musuh paling brutal dari sang
pangeran akan tetap eksis di V kota. Mereka selalu menyalakan api
perselisihan, sementara itu Yang dipertuan Sati semakin tua dan kurang kuat.
Dengan kondisi ini, semakin hari sikap mereka pun semakin menantang dan
bahasa mereka menjadi sangat arogan. Mereka itu bukanlah orang-orang
dengan kelahiran yang ditunjuk untuk melakukan peran utama, tetapi
dengan status lebih rendah, yakni para orang pandei yang tidak puas dengan
keadaan. Pembentukan wilayah berdaulat Pangeran, pertama-tama di
Basarah dan kemudian Ceranti, ini akan membuat tugas mereka menjadi
mudah. Akan tetapi terdapat rumor atau berita bohong tentang ketidakadilan
yang meningkat, bahkan sangat berlebihan di negeri ini. Berikut beritanya:
“Kepala gerakan itu adalah Datuk Sireno, seorang panghulu dari Kariet
dan Angku Kali Raja, seorang maliem asal Taluk. Demagog ini merebut
otoritas lebih besar dari Orang nan Berlima dan mengetahui ia
didukung oleh sejumlah pemangku kepentingan dengan kekuatan
nyata di Kuantan. Mereka menyebar ketakutan dan teror dikalangan
penduduk.”398
Negeri- negeri yang saat ini masih terlihat kecil, dimana pengaruh beberapa
pihak yang terkadang berasal dari luar pemerintahan turun-temurun, adalah
lebih besar dari Datoek nan berampat dan hal ini segera membawanya ke
arah yang diinginkan oleh mereka, hasilnya bahwa negeri tersebut serta
merta akan terlihat sebagai negeri besar. Hal ini nampaknya tidak akan
pernah dilakukan, maka rapat panghulu pun diprogram dengan cara yang
telah dijelaskan oleh Van Hoevell; klik Datuk Sireno dan kelompoknya yang
terbentuk dan dilakukan secara sukarela, akan tetapi juga karena mereka
tidak berani menentangnya. Mereka berusaha keras agar tidak terjadi
kesepakatan diantara Orang-gadang dan lalu berupaya untuk menguasai
mereka, bahkan berusaha untuk menggantinya. Konsisten dengan strategi
tersebut, sehingga apa saja yang Pangeran inginkan, sebaliknya mereka tidak
akan menginginkannya. Bagaimanapun keinginannya selalu digagalkan. Jadi,
nampaknya inilah yang dapat dilakukan, yakni membayang-bayanginya.
Sebagaimana telah diketahui, Yang dipertuan Sati sudah tua dan lemah,

398 Ijzerman:hal.56
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
321

sementara lingkungannya tidak ada yang melawan mereka serta


mengatasinya. Sementara itu sang Pangeran berdiri bersebelahan dengan
tahta, ia adalah laki-laki muda tanpa pengalaman dan dia dia juga dibayangi
seorang pria dengan semangat yang besar dan penuh keberanian yang
diperlukan, bagian dari kepribadian kuat dari seorang Datuk Sireno. Tetapi
saat akan melakukannya pun, ternyata Pangeran tidak mampu. Sementara
itu, mengetahui tentang bagaimana hubungan pemerintahan yang ideal,
Kepala Tiga Laras mempersiapkan Komisi untuk mengirim surat kepada
kepala gabungan dari Rantau Kuantan dan Yang dipertuan Basarah. Mereka
juga bertanggung jawab untuk mengirimkan surat kepada Raja di Buo di
Muara Lembu.
Bagi Pemerintah Kolonial, nampaknya tidak ada otoritas di rantau
Kuantan.
Meskipun demikian, Gubernur Netscher berpendapat semua pemikiran yang
benar harus diterapkan yang agaknya dapat berkontribusi terhadap
keberhasilan ekspedisi yang telah direncanakan. Mungkin untuk Raja di Buo
Komisi bisa dilayaninya, sekurang-kurangnya ia mampu mengatur orang lain
dalam lingkup kekuasaan dirinya. Adapun pembawa Misi pribumi adalah
sebagai berikut; Tuanku Laras dari Salayu, Lima kaum dan Sijunjung. Adapun
kepala terdekat asal Solok, sudah uzur dan tidak terbiasa dengan kunjungan
Negara. Lima kaum tersebut dikenal setia dan terhormat sebagai “abdi”
Pemerintah. Sebab utama jatuh pilihan pada dirinya, adalah karena ia
menikah dengan anak perempuan Raja di Bua. Disayangkan bahwa misi dari
kepala laras Sijunjung tersebut tidak dikategorikan sempurna, baik
disebabkan karakter maupun yang menyangkut faktor hubungannya, bahwa
salah satu kerabatnya masih memiliki perselisihan dengan penduduk distrik
Kuantan. Sekembali dari perjalanannya, pemimpin Komisi pribumi membawa
tanggapan secara tertulis dari Yang dipertuan. Dalam surat ini mereka
memberikan jaminan bahwa Pangeran memiliki keterikatan kepada
Pemerintah, dan kepada Komite Eropa mereka akan menerima dan
membantu segala sesuatunya. Akan tetapi bagi Pemerintah kolonial ini
merupakan hal yang aneh, bahwa terlalu singkat bagi mereka untuk
melakukan kebijakan ini, akan tetapi selanjutnya yang menjadi pertimbangan
pemerintah adalah; adanya asumsi penjajah bahwa di sini yang mungkin saja
terjadi tidak lain disebabkan tidak dapat dilupakannya “bunga kebajikan” dari
pemerintah Belanda. Sementara itu, Raja di Buo sendiri masih berkeinginan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
322

untuk kembali ke tanah kelahirannya; akan tetapi faktanya bahwa kekuasaan


Yang dipertuan Sati hampir sepenuhnya menghilang, kekuasaan yang ada
dijalankan oleh Datuk Sireno dan Angku Kali Raja, dan ini memiliki
konsekuensi hanya bisa diperoleh melalui kontak dengan otoritas Belanda.
Oleh karena itu, setelah melalui proses penyelidikan dan kemudian
ditemukan, bahwa menurut laporan dari Tuanku berkaitan hal atas mereka,
mereka pertama kali merasa bahwa V kota telah berusaha; Terdapat suara
bulat yang menyatakan bahwa tidak ada keberatan atas kedatangan Komisi
Eropa. Diduga dari Lubuk Ambacang dikirimkan surat untuk Raja di Buo.
Selanjutnya, dikonsultasikan kepada kepala KotaTua, Lubuk Jambi, Gunung,
Taluk dan Pangean, seluruh jawabannya menguntungkan; hanya Taluk saja
yang menyatakan diri untuk berperilaku sesuai dengan perihal yang menjadi
keputusan Yang dipertuan Sati. Untuk Basarah diserahkan surat kepada sang
pangeran, namun dia tidak segera memutuskan, melainkan yang pertama-
tama adalah melakukan pertemuan dengan kepala di Taluk dalam rangka
berkonsultasi lebih lanjut dengan mereka. Tuanku yang sudah bepergian jauh,
Inuman dan Ceranti ingin menerima. Kembali ke Basarah, disini menunjukkan
bahwa orang Taluk belum memberikan respon terhadap pemberitahuan
tersebut, jadi sekarang Pangeran sendiri harus mengambil keputusan dan itu
jelas dia akan melakukannya dengan se-simpatik mungkin.
Dia bahkan mengirim kedua anak Raja Hitam ke Padang yang berusia sekitar
dua puluh tahun yang juga disertai kepala Laras, untuk memberi
penghormatan kepada Gubernur. Ketika berkunjung ke Taluk, kembali lagi,
jawaban berbeda dari mereka bahwa saat itu tidak ada yang ingin
menyimpulkan, bahwa telah terjadi musyawarah di antara semua aliansi itu
dari Lubuk Ambacang sampai Ceranti. Tentang pentingnya tersebut, dapat
dikatakan dengan tanpa keragu-raguan untuk lebih dapat memahaminya,
bahwa Angku Kali Raja dengan keras menegaskan bahwa Komisi Eropa tidak
akan dapat melakukan penjelajahan ke Kwantanlanden dengan mulus,
melainkan jika telah diambilnya sebuah keputusan bersama mengenai hal
tersebut. Meskipun dalam satu hari tersebut penghulu Taluk bertekad untuk
membahasnya lebih lanjut masalah mereka di Sungei Hala, kepala Laras
mengajukan gagasan yang lebih aman untuk tidak menghormati kesepakatan
itu dan meneruskan perjalanan mereka menuju Lubuk Jambi. Akan tetapi, di
sana mereka menemukan sebagian besar suara sudah berubah, dan pihak
minoritas pun memiliki kesempatan untuk berbicara dan meminta untuk

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
323

merubah kebijakan atas kunjungan orang Eropa. Sekembalinya komisi ini


untuk daerah pedalaman, tempat dimana mereka berada lebih lama dari
yang diperlukan; dan bukan tanpa alasan bahwa tidak lama setelah
menerima pesan, dan bahwa selagi menunggu ternyata telah dipersiapkan
pembunuhan bagi Komisi Eropa, yang dikirim adalah pria bersenjata dari
Taluk ke Sungei Pinang. Apakah ini disebabkan, bahwa misi dari komisi ke
Taluk dan Lubuk Jambi tidak berhasil? kontrolir Hoeveil mengatakan dalam
hal ini:
“Kami melihat pertimbangan dari apa yang telah dicapai oleh Komisi
pribumi, sebagaimana tampak dalam laporannya bahwa mereka telah
melakukan langkah dengan Yang di pertuan dari Muara Lembu bisa
jadi ini adalah langkah pertamanya dengan seorang pangeran, atau
dengan Hadat, maupun dalam segala hal untuk mengatakan yang
sebenarnya di distrik Kwantan itu”. 399
Bahwa pangeran ini benar-benar menginginkan kehormatan yang tinggi, oleh
karena itu Komisi segera menempatkan bukti bahwa ia jelas akan menerima
dengan senang kedatangan Komisi Eropa;. tetapi sama jelasnya juga, bahwa
tindakan ini sekaligus akan mengejutkan Yang dipertuan Basarah serta Datuk
Sireno, Angku Kali Raja, Orang Gadang lainnya dan Panghulu. Komisi pribumi
dibebankan dengan itu, Setelah memulai misinya secara kurang bijaksana,
dan pengalaman buruknya itu nampaknya akan segera berbuah pahit.
Melihat ini, Ijzerman mengatakan400:
“Saya berpikir bahwa kritik ini tidak berdasar.
Kepala laras di bawah komando dimana mereka memberikan suratnya,
namun, Apakah ada sesuatu dalam sikap pangeran di Basarah, yang
dapat disimpulkan, bahwa ia tidak senang dan marah atas tindakan ini?
Sebaliknya, ia orangnya sangat baik dan ramah, tidak ada jejak
keprihatinan di pihaknya, tapi ia takut untuk bertindak tanpa
didampingi kepala V Kota, juga tanpa Datuk Sireno dan Angku Kali Raja.
Semua Orang Gadang V Kota menghilang di balik orang-orang yang
telah disebutkan, dan itu panghulu, kecuali Taluk, mereka menyatakan
memberikan persetujuan mereka terhadap usulan komisi, Mereka

399
Ijzerman: hal.59
400 Ijzerman: hal.60
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
324

semua begitu tidak tersinggungnya, tapi mengapa berbeda dengan


sikap penguasa Taluk? Apakah Komisi tidak bertindak terhadap mereka
seperti halnya di tempat lain? Neen, itu bukan kesalahannya, tapi
karena keadaan. Karena mereka tidaklah meninginkan diskusi yang
serius, akan tetapi kepada Jang di Pertuan-lah adanya hukum untuk
bertanya. Mereka tahu bahwa negosiasi Pemerintah akan
meningkatkan prestise-nya, bahwa cukup alasan untuk menentang
keinginannya ini ataupun untuk menolaknya, meskipun tidak ada yang
tidak suka dengan pengaruh Eropa dalam permainan ini. Menurut
Hadat harus diputuskan bersama, dalam hal ini oleh pangeran dan
Orang Nan Berlima; tidak terdapatnya oposisi di Taluk, maka di mana
jika Yang dipertuan tidak merespon, hanya diperlukan kata-kata, “ya”
Inilah kesempatannya, kekuasaan dan kelemahan ditunjukkan pangeran
didepan utusan, nampaknya bagi IJzrman akan terlalu naif untuk tidak
menggunakannya. Oleh karena itu ada rapat yang terpisah, akan tetapi tetapi
permintaan pertemuan ini datang dari Orang-nan Berlima. Sekarang,
bagaimana dengan sang raja? Mengetahui bahwa permintaannya tidak
memperoleh hasil yang diinginkan, Dia menyembunyikan kelemahannya, dan
menunjukkan disposisi terbaiknya. Bahkan, anaknya sendiri didelegasikan
untuk menjelaskannya. Lebih baik tenang-tenang daripada memberikan
jawaban yang menyulitkan dirinya sendiri, sembari terus menunggu
perkembangan situasi. Siapa yang bisa meramalkan bahwa misi Tuanku ini
akan tetap berlangsung? Untuk ketigakalinya, dari Taluk mereka harus
datang bersama-sama ke Sungei Hala; mereka memiliki misi bersama pejabat
mereka dari Pemerintah yang harus dijunjung tinggi. Menurut pandangan
dunia barat tentang orang Melayu, dalam situasi normal hanya fanatisme-lah
yang akan membuat mereka menjadi pahlawan. Mengetahui sifat berbahaya
dan buruk sebagai bagian dari Rantau, mereka takut akan keselamatan hidup
mereka, sementara pasti akan sama baiknya, jika pembicaraan lebih lanjut
tidak dilanjutkan.
Dalam permainan ini nampaknya, Datuk Sireno dan Angku kali Raja,
telah terluka. Bukan berarti mereka merasa tersinggung oleh surat
kepada Raja di Buo, tetapi ditemukan bahwa konsultasi kepada Raja
dan kepala dilakukan tanpa mereka membawa serta upeti,

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
325

mereka menuntut pengakuan atas kekuasaan mereka, dan untuk menjelaskan


kepada mereka semua bahwa sebagian upaya telah berhasil. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa keinginan mereka adalah hukum di Kwantan dan posisi
mereka tetap berada di atas angin dalam berhadapan dengan Pemerintah
Gubernemen untuk waktu-waktu kedepannya. Meskipun sangat berbahaya,
nampaknya para Kepala Laras bersama dengan komisi Eropa telah memulai
perjalanannya untuk menyusuri sungai, akan tetapi, beberapa hari kemudian,
ketua komisi, Ir.de Greve, tewas dalam kecelakaan perahu yang dialaminya
didekat Durian Gadang. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa;
ini adalah bentuk-bentuk konflik antara pemerintah-pribumi, orang-
orang dari “Kwantanlanden”, dan yang juga termasuk kerabat dari
tuanku Laras dari Sijunjung.
Pada bulan Januari '1875, bersama kasus Si Maripat,401 orang-orang yang
diperlukan dapat dipengaruhi muncul di Foet de Kock, dan empat bulan
kemudian muncul pula Datuk Sireno, sewaktu untuk mendaftar bergabung ke
Residen ke Fort de Kock dan Gubernur di Padang. Di sana, atas nama
pimpinan “Kwantanlanden,” ia menyampaikan keinginannya untuk
mengundang Dewan Pemerintah Hindia Belanda. Tujuan selanjutnya
merekomendasikan apa yang diperlukan bagi pemerintahan, dan yang
datang sudah dalam bentuk keputusan tanggal 11 Juni. Sayangnya, hal ini
terlambat! Karena telah diberikan kepada Hoevell beban tersebut. Jika belum,
tentu ia tidak perlu dengan begitu repot-repotnya berangkat menuju
Kuantan. Fakta ini menunjukkan, bahwa dengan demikian mereka tidak lagi
bertemu, dan dampaknya, kesepakatan tersebut sangat jelas dinyatakan tidak
dapat segera digunakan. Terlebih lagi Hoevell meninggal di puncak tahun di
Padang Panjang. Namun, bisa saja ini menjadi pilihan yang berbeda, yakni
untuk meninggalkan proses tersebut berjalan di tempat. Meskipun demikian,

401Tahun 1872, sebagaimana terdapat dalam catatan kontrolir Schwartz, terdapat kasus; Orang
Melayu, Si Lajien dari Inuman pada bulan September dibawa ke Tanjung Gadang (VII kota) anak
laki-laki berusia 8 atau 9 tahun yang bernama SiMaripat, mungkin cocok dengan kegilaan, tanpa
alasan apapun, seperti, luka, yang menyebabkan anak itu dua bulan kemudian meninggal. Untuk
itu Si Ladjien dibawa ke tahanan, sementara keluarga Si Maripat menuntut “bangoen” (uang
mati) atau “Pampas” (uang darah), yang merupakan hak nya di bawah hadat tersebut. Untuk
menyelesaikan hal ini dilakukan rapat dengan dihadiri beberapa orang, diantaranya disebutkan
paman Si Lajien (mamak) dan dua orang kepala suku dari Inuman. Kemudian Hoevell sebagai
Kontrolir Sijunjung ditempatkan pada kasus tersebut.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
326

pelaksanaannya bisa diberikan saat rencana mendatang di bulan April 1876:


menunggu keputusan Gubernur Jenderal sembari menunggu instruksi lebih
lanjut tentang distrik Kuantan, dan tidak oleh pejabat dari Dewan di Pantai
Barat Sumatera. Sedangkan disisi lainnya, nampaknya Pemerintah juga
sedang disibukkan dengan urusan Pantai Timur. Pada tanggal 7 Januari 1875,
menerima Residen Riau, pemeriksaan hilir sungai, dan selanjutnya untuk
mengatur dan juga untuk melaporkan keadaan di lanskap Kuantan dan
Indragiri. Mungkin sebagai akibat dari situasi ini, Yang dipertuan Sati telah
meminta intervensi dari Residen Lingga yang menyampaikan kepada Residen
Pantai Barat Sumatra untuk menempatkannya di bawah kedaulatan Belanda.
Nampaknya, sang Menteri Baron Van Goltstein benar-benar dengan asumsi
bahwa Dewan Timur telah menimbulkan dan meningkatkan banyak
kebingungan. Saat itu masih layak untuk diingat kata-katanya:
“Apa yang kita punya adalah pilihan bebas dari satu atau sebaliknya hal
yang berlawanan tentang hubungan dengan Sumatera Tengah yang
akan disatukan, Saya pikir kita harus memberikan aturan untuk
sentuhan dari Pantai Barat. Memang kita telah menyadari, bahwa
dalam masa depan yang lebih atau kurang, sejauh mungkin
pembentukan pemerintahan kita dalam lanskap yang berbeda dari
Sumatera Tengah tetap diperlukan. kami memperluas dewan kita di
bagian Pantai Timur atas lanskap yang kemudian disediakan dari baris
yang sama yang telah berpola sebagai Pantai Timur; Oleh karena itu
kita harus bertemu dengan pimpinan lanskap untuk mengesahkan
kontrak dan hasilnya akan diperoleh karakter pangeran dimana mereka
akan membandingkan bawahan dan tetangga mereka untuk
menempati posisi dengan resiko ketidaknyamanan kecil yang mungkin
ada." 402
Selanjutnya, surat Keputusan ini, tanggal 31 Oktober 1877 yang memutuskan,
bahwa “Kwantanlanden” selanjutnya akan menjadi milik dan lingkaran dari
Pemerintahan Gubernur Pantai Barat Sumatera. Sementara itu, Yang di
pertuan Sati, wafat pada awal April tahun 1876403. Dari tiga anak hasil

402IJzerman: hal.67.
403 Sutan Alam Duni secara meyakinkan mengklaim, dengan dalih sebagai anak dari Yang
dipertuan, dilahirkan dari wanita dengan strata keturunan yang lebih rendah, dan menurut adat
di Rantau Kuantan tidak menurut garis keturunan ayah, melainkan garis keturunan ibu. Pada
Tahun 1877, dalam perjalanan dari Singapura, Sutan Alam Duni dari Lubuk Jambi sebagai wakil
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
327

pernikahannya dengan Tuan Gadies, Hanya dua tertua Raja Abdullah dan
Raja Hitam memenuhi syarat untuk suksesi. Karakter mereka sama sekali
berbeda: yang pertama, tokoh kuat, menimbulkan rasa gentar pada musuh-
musuhnya, sebaliknya yang kedua, lembut dan ramah, tampak mudah untuk
diatur. Adapun pihak Datuk Sireno, sepertinya ia menolak Raja Abdullah, akan
tetapi sebaliknya, melayani Raja Hitam dengan ramah. Bukan tidak mungkin,
bahwa kebijakan Datuk Sireno yang nampaknya lebih mengutamakan
“persahabatan” dengan Pemerintah kolonial, ketika ia berada dalam posisi
berhadap-hadapan dengan si sulung, bahwa sang pemuda yang telah
menjadi laki-laki dewasa dan mulai dikenal sebagai lawannya yang tangguh.
Selain itu, diberitakan juga terjadi pertemuan dimana Yang di pertuan Sati
diundang untuk membahas siapa yang akan menjadi penggantinya.
Mayoritas akan menyatakan Raja Abdullah, sebahagian juga mengatakan
bahwa Raja di Buo adalah orang yang paling dianggap tepat. Namun, bukan
tanpa protes dari kelompok minoritas, yang menyatakan bahwa Raja Hitam
harus dihormati karena ia sebelumnya dengan kepala Laras ia telah berangkat
ke Benteng Fort de Kock dan Padang, dan bagi pemerintah ia dikenal sebagai

dari beberapa kenegerian di Kuantan; telah berjumpa dengan konsulat Belanda dari Karesidenan
Riouw agar dirinya dan lima belas desa yang tercakup dalam Kwantan districten dengan apa yang
di akuinya akan didelegasikan di bawah perlindungan Pemerintah Hindia. Residen berjanji untuk
melakukannya. Atas kunjungan dan keinginan dari Sutan Alam Duni tersebut, kemudian
dilanjutkan ke Padang dalam rangka sana untuk menunggu Surat keputusan Gubernur
menanggapi permintaannya itu. Pertama, pada musim panas tahun 1878, menyebabkan suatu
penyelidikan dengan hasil tertentu. Kemudian ternyata bahwa mereka harus melakukan dengan
seorang petualang, yang pastinya masih keturunan raja Minangkabau, terletak di satu cabang di
Kuantan, tapi tidak bisa mendukung. kelas sedemikian sana ia kemudian mengklaim haknya.
Dengan demikian, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk meangkah lebih jauh dengan Alam
Duni, dan lantas meninggalkannya, dan ini, adalah kesempatan untuk pergi ke Singapura,
kembali dari mana ia datang. Pada tahun 1877, berdasarkan berita dari Singapura, di Padang
diketahui bahwa Tuanku Nong Klana, mengkalim Reteh atau Mandah (yang milik Residensi
Riouw) resmi dibawah Sultan Lingga, orang –orang ini nampaknya benar-benar membawa
Kuantan dalam posisi sulit. Mungkin orang ini adalah sama dengan Mohamad Noer atau Noeng,
dimana pada tahun 1874 ia mengaku menjadi Raja Riouw, dengan hasil tibanya 40 orang
bersenjata, yang seperti dikatakannya dari Pulau Lawan menuju Kuantan, akan tetapi, sejak
tahun 1874 itu, Mohamad Nung tidak lagi terdengar oleh Dewan pemerintahan di Padang.
Nijhorf, hal 170-171.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
328

pangeran dari negeri Kuantan. Kedua belah pihak tidak bersepakat, jadi
akhirnya Datuk Sireno mengatakan kepada Yang dipertuan: “Setelah
kematian Anda, tidak ada raja ditetapkan”.
Segera setelah kematian ayahnya, Raja Abdullah mengklaim dirinya dengan
gelar Yang di pertuan Putih atau Raja Besar. Sebagai raja, ia memperoleh
dukungan di negeri dimana ia bermukim; Basarah. Lanskap IV Kota di Hilir
adalah kuncinya dan akan segera bergabung dengannya, meskipun oposisi
dari beberapa orang yang memiliki keluhan pribadi, Datuk Salo Batang dan
Panghulu Sati di Inuman, Nakhoda Bujang dan Ampanglima Maliem di
Ceranti. Akan tetapi V Kota di Tengah dan IX kota di mudik menolak untuk
mengakuinya. Pada tanggal 30 April 1879, Asisten Residen Riouw Stakman
berkata tentangnya:
“Dia adalah seseorang yang memperhatikan pertanian dan orang
yang tepat dalam melindungi keselamatan jiwa dan harta benda.”
Tuduhan atau dugaan terhadap dirinya sebagai pelaku pembunuhan, juga
tidak akan berlaku seperti itu, tetapi sebaliknya, perbuatan tersebut harus
dilihat sebagai penjatuhan hukuman atas sebuah kejahatan yang telah
dilakukan, meskipun sebelumnya dianggap apakah hukuman ini sepenuhnya
sesuai dengan hukum konstitusional yang ada. Selain itu, tidak selalu denda
yang adil ditetapkan atas pelanggaran kecil, dan nampaknya untuk
memaksakan keuntungan mereka sendiri. Meskipun demikian, para pedagang
Indragiri tidak mengeluh tentang obstruksi perdagangan tersebut. Menurut
pernyataan Datuk Bandar dari Rengat bahwa Raja Besar tidak ada memiliki
hak pada pengenaan bea impor-ekspor barang, hal ini mengacu pada apa
yang dilakukan oleh Rengat. Ditegaskan juga oleh pernyataan pedagang
Indragiri, Raja Dayub, yang baru delapan bulan itu Basarah telah
menghentikannya dan terdapat beban atas garam dan kargo yang telah
dibawa, tanpa ada kewajiban untuk membayarnya. Selama masa
kunjungannya, semua pedagang, membawa barang-barang ke pedalaman.
Kasus ini. oleh orang lain, dan termasuk orang-orang dari distrik Kuantan, hal
ini harus dikonfirmasi. Karena itulah sungai ini tidak ditutup, dan hanya agak
terhambat oleh seroh yang diposisikan di dalamnya untuk menangkap ikan.
Raja Besar memiliki Orang Gadang dan panghulu dari IV Kota, Raja berulang
kali mengundang untuk memilih, baik Raja Hitam atau Raja Hassan dan siapa
pun juga, menyatakan bahwa ia menjadi pilihan pertama untuk menghormati
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
329

mereka404. Raja Besar tahu bagaimana menghormati ketertiban, dan untuk


menjaga keamanan dan berusaha untuk menjadi seseorang yang simpatik;
disetidaknya beberapa kali dalam pertemuan dengan penghulu, ia berkata,
“Jika Aku salah bertindak, beritahu, dan tunjukkanlah kepadaku
bagaimana aku harus bertindak!" 405
Bahkan ia memperhatikan pertanian dan pemeliharaannya, tampaknya
sebagian menghubungkannya dengan contoh di IV Kota pada tahun 1878
dimana tanaman padi mudah diperoleh disana, Sementara di distrik lain di
pedalaman mengalami kegagalan: terjadi kelangkaan besar, dan pentingnya
ekspor dari wilayah pemerintah yang harus segera dipenuhi. Pada awal
musim hujan, Raja Besar telah menyediakan sawah yang ditanam di IV kota
ini, sementara di pedalaman dengan kurangnya kesesuaian yang seharusnya
dapat menguntungkan, dan waktu pun sepertinya dibiarkan begitu saja
terbuang dan berlalu percuma.
Bahwa terdapatnya pesan yang dikirim oleh Pendukung Datuk Sireno,
kemudian dibaca sebagai hal yang benar-benar berbeda, bahwa kemudian
tentang kesewenang-wenangan pangeran sebagaimana ia dituduh telah
melakukan pembunuhan. Menurut IJzerman, telah dikomunikasikan perihal
ketidakbenaran tuduhan ataupun sangat berlebihan, disebutkan oleh
Marseveen: “Sejauh yang saya bisa pastikan, bahwa Raja Besar memiliki
orang yang terbunuh di masa perang.” Melihat kebelakang bahwa bertahun-
tahun lalu muncul ketidaksepahaman antara Yang dipertuan Sati dan mamak-
nya Datuk pandak. Titik perbedaan adalah fakta bahwa mamak sudah
menikah dengan sembilan perempuan dan menolak untuk mematuhi putusan
raja dan Orang Gadang untuk melepasnya. Begitu pula dengan Raja Besar
yang masih sangat muda dengan sang “Mamak” disisinya. Perselisihan dan
pertengkaran ini begitu sengit hingga pada akhirnya, Pangean, Inoeman dan
Ceranti, yang berada di tangan Yang dipertuan memutuskan melakukan
perang terhadap Basarah. Dalam perang ini seorang Basarah kehilangan
nyawanya. Sebelum terbalas kematian, salah satu pihak pejuang akan
membalas dan tertutup kemungkinan untuk perdamaian, adalah penduduk
asli Pangean tetapi asal Baserah tidak melakukan sembah-hormat didekat

404Sebagaimana
yang dikatakan oleh informan IJzerman, Toean Toea.
405 Ijzerman:hal.72
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
330

Raja Besar. Bagaimanapun juga, ia menghunus pedangnya dan


membunuhnya hanya dengan satu tebasan saja. Secara umum, telah
diputuskan bahwa Raja Besar menjadi pangeran, dan hal tersebut untuk
kepentingan yang luas bagi distrik Kuantan, Raja Besar akan diakui oleh
semua negeri dan ini telah terjadi di Taluk, sementara itu juga, Datuk Sireno
pun nampaknya tidak keberatan.
Kembali kita ke Raja di Buo yang kemudian dikenal dengan sebutan Yang
dipertuan Raja Sembayang. Seiring dengan tahun yang terus berjalan maka
nostalgia yang menguat bagi pangeran yang telah berusia Lebih dari 70 di
tahun 1874 menyebabkan adanya intervensi dari anaknya Sutan Hassim
yang memintakan izin guna menghabiskan hari-hari terakhir hidup sang
pangeran dan meguburkannya di Buo. Sementara menunggu jawaban dari
Gubernur Netscher, ia menetap di dalam batas wilayah Siluka. Rumah tempat
ia tinggal sudah hancur, tapi tempat mandi sehari-hari dibawah rumahnya
tetap tidak berubah. Mengenai kondisi akhir sang Raja di Bua, IJzerman
mengatakan:
Tanpa sadar naluri kita akan merasa simpati terhadap orang tua yang
terhormat, lebih dari empat puluh tahun menebus perlawanannya
terhadap kaum penjajah (kolonial). Kaum Padri telah meletakkan
dasar untuk kesalehan, yang mereka mungkin dari kaca mata dunia
Barat dikenal dengan negeri yang penuh dengan kesucian-Nya. Bahkan
saat ini namanya bukan dihormati hanya sebatas bibir saja. Usia dan
penyakit telah melemahkan kekuatannya, ada alasan untuk takut
hidup, tetapi dengan kematian, kebajikan yang diucapkan orang-orang
tentu akan memuliakannya, ini bisa berbahaya dan rasa tidak puas
akan menginspirasi generasi kemudian. Ia harus beristirahat di luar
perbatasan kita, jauh dari tempat dimana Ingatan tentangnya yang
paling jelas akan terpelihara. Dia memiliki sedikit harta dan dengan itu
ia melakukan ziarah ke Mekah. Itu adalah pemakamannya dimana di
tanah airnya sendiri ia ditolak, sekarang ia ingin mati di tanah yang
dimana kata-kata Nabi telah menentukan arah hidupnya, namun
Basarah memukulnya dengan kelumpuhan. 406 Sekitar tahun 1880

406 IJzerman, hal.70.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
331

adalah seorang pengembara bersahaja, Raja di Buo, yang beristirahat


dengan kekal dan dikebumikan di rantau Kuantan.407
Sementara itu di distrik-distrik barat, pihak Datuk Sireno dan Angku Kali raja
tetap berjaya. Pada Desember 1877 mereka menulis surat yang berisi
permintaan kepada Kontrolir Sijunjung, sebuah model untuk pengiriman dan
untuk menjaga kontrol sapi impor dari Kuantan yang selama ini tanpa
pengawasan. Bagi Penjajah, permintaan ini nampaknya adalah hasil dari
situasi anomie yang ada. Ketidakamanan yang terjadi datang melebihi diluar
batas kekuatan kekuasaannya. Penggerebekan datang hampir setiap malam.
Gagal menemukan pemilik yang sah, ternak dicuri dan ia hanya bisa
mendapatkan kembali dengan penggantian secara penuh. Sementara itu
mempercepat akhir dari kejayaan Datuk Sireno, para pendukung Raja Besar
menikamnya dengan kuat yang dimulai di V Kota di Tengah, dan tampaknya
melalui segala cara untuk mencapai tujuan mereka. Cendo Kio, salah satu dari
kemanakan Angku Kali Raja, dibunuh dengan menggunakan senapan; adapun
Datuk Gadang Majalelo, seorang teman dekat Datuk Sireno, terluka di
lengannya. Sepertinya para pemimpin ataupun tokoh takut akan bernasib
sama. Pedang telanjang segera saja di lekatkan pada papan di dinding rumah
dimana mereka siap untuk menggunakannya. Mereka tidur dengan alas lantai
kering dan keras, ini cukup untuk meletakkan tombak untuk dan menahan
serangan yang mungkin saja tiba.
Pada bulan April 1879, mereka bertemu Kontrolir Sijunjung, bahwa seorang
pembawa misi tiba di Rantau Kuantan untuk menyelidiki apakah Orang nan
Berlima cenderung untuk berada di bawah otoritas Residen wilayah yang
akan datang. Akan tetapi kemudian jawabannya adalah: “tidak, karena kita
sudah di bawah perintah Kontrolir Sijunjung". Pada saat yang mungkin
bersamaan, ditawarkan kepada Raja Besar, salah seorang saudara Sijunjung
yang dikirim kesana untuk kepentingan advokasi. Sambil menunggu hasil
negosiasi ini, ia memutuskan untuk melakukan peresmian Taluk. Dengan
rombongan besar, konon dengan delapan puluh perahu berawak, dia pergi
ke hulu pada bulan Juli 1879. Simandolak, Lubuk Salak, Benei, Kopah dan

407Lihat Koloniaal Verslag Tahun 1881, berita wafatnya salah satu Pangeran Pagaruyung yang
juga salah satu tokoh Perang Padri, berita yang diterima bulan Juli 1881.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
332

Sintajo memilih berada dipihaknya dan menerima dia dengan gelar


kehormatan. Sebaliknya, ia menunggu untuk Taluk, menunggu mereka yang
sedang dalam perjalanan. Tapi ia menunggu dengan sia-sia, disebabkan masih
eksisnya perlawanan dari Datuk Sireno. Selama beberapa hari ia kembali ke
Basarah yang nampaknya terlalu cepat, sementara Datuk Habib dan beberapa
kepala Lubuk Jambi mengungkapkan bahwa mereka memang ingin bertemu.
Dalam perjalanan tahun 1880, ia mengirim surat kepada Sultan Lingga, yang
ia sebut ini sebagai kesempatan yang harus digunakan untuk bertemu dengan
Residen Riau di Tanjung Pinang. Meskipun dikatakan kepadanya bahwa
kunjungan tersebut akan ditunggu sang Residen dengan senang hati, ternyata
ia tidak bisa mengekspresikan keinginannya, karena kebingungan di negeri
dan ketidakamanannya sendiri; ia “terikat” di kediamannya di Basarah.

Sementara itu di Taluk, kekuasaan Datuk Sireno semakin memudar.

Pencalonan Raja Hitam sudah lama tidak lagi eksis; ia adalah seorang pria
gemuk ramah dan tetap bersama adiknya seorang pendukung yang setia;
sampai pada kematiannya di tahun 1888. Pada bulan Juli 1881 Datuk Sireno
dan Angku Kali Raja meminta untuk terakhir kalinya, agar Datuk Paduka Sutan
dari Sijunjung mencampuri apa yang menjadi rencana Belanda mengenai
distrik Kuantan. Sudah tiga kali mereka diundang ke Indragiri untuk bersama-
sama dengan dewan di sana membuat suatu hubungan. Pemerintah Indragiri
dalam hal ini tentu saja tidak dapat berbuat, sebab mereka berada di luar
permainan. Namun ada beberapa kesepahaman dengan para pengungsi
untuk daerah tersebut, yang tidak terhindar dari upaya untuk membantu
pihak asing, juga Raja Besar dengan otoritas sepenuhnya; jika memungkinkan
akan menggulingkannya. Surat ini juga masih belum terjawab. Dari
pemerintah nampaknya juga telah tidak ada harapan lagi.
Perlahan tapi pasti, semakin dekat saja dimana tahta Taluk akan
segera berada di pangkuan Raja Besar.
Pada awal 1882, Pemerintah Hindia memandang bahwa sikap Sutan Indragiri
yang lemah dan ambigu dari merampungkan persoalan jalur sungai untuk
semua impor dan ekspor oleh angkatan laut Belanda, mengakibatkan tidak
stabilnya tingkat perdagangan di Kwantanlanden, harga Garam naik sangat
tinggi dalam waktu singkat. Menurut Koloniaal Verslag tahun 1883,
dinyatakan sebagai berikut:
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
333

Mereka belajar bahwa ada yang berbeda, penghulu itu menyarankan,


untuk bergabung, setelah otorisasi oleh Jang di Pertoean Beserah
diperoleh di hulu-Indragiri dimana impor dan ekspor tertutup, mereka
bersikeras menginginkan perubahan.. Keluhan bersama dalam kondisi
yang ada tidak juga datang, tidak perlu, dan untungnya, blokade dibuka
setelah waktu yang singkat. 408
Meskipun bukannya tanpa keberatan mengetahui bahwa Raja Besar di IV
Kota dan di Hilir kuat untuk mempertahankannya. Pada paruh pertama tahun
1883 diperlukan ekspedisi ke Inuman, di mana pada masa dahulu telah diakui,
akan tetapi kemudian kehilangan bobotnya. Salang Batang tua, pemimpin
lawan dari pangeran, adalah salah seorang pendahulu dan anaknya Panghulu
Sati, merupakan salah satu dari Datuk nan berampat. Akan tetapi nampaknya
penampilan Raja Besar dengan berbagai dubalangnya sudah cukup untuk
membuat musuhnya berhamburan-berlarian dan mengembalikan
ketenangan. Beberapa bulan kemudian, pada bulan Desember, diikuti
penyerahan dari Taluk. Raja Besar Berlayar ke hulu yang menyerupai pawai
kemenangan, dimana-mana ia memperoleh penghormatan dan
penghargaan, meskipun demikian terdapat juga ancaman yang akan
membunuhnya. Nampaknya angin telah berubah; Datuk Sireno dan Angku
Kali Raja mungkin saja merajuk, akan tetapi sebaliknya, pengikut mereka
terlihat bersedia.409 Tur di pedalaman Kariet dilanjutkan, dan segera tampak
bahwa seluruh Kuantan menghormatinya. Para kepala Lubuk Jambi dan
Lubuk Ambacang datang bersama-sama dengan masyarakat di kawasan
paling timur di Lubuk Tarantang. Di sana, pro dan kontra dibahas selama tiga
hari di salah satu dari tiga tempat yang ditunjuk oleh Hadat: Pulau Ranah
(Lubuk Ambacang) Pulau gadang (Kariet) atau Pulau Sirankiang (Inuman).
Angku Kali Raja, setelah pulang-pergi ke Taluk; tidak lama sesudah itu
ia pun wafat. Datuk Sireno nampaknya tidak sanggup untuk
kehilangan pengaruhnya. Pada tahun 1888 ia pun pergi ke tanah suci
lalu kembalilah ia dengan mengenakan nama “Hadji Toea.”

408
IJzerman, hal 77, Koloniaal Verslag tahun 1883
409
Informan IJzerman, Datoek Bandara Goenoeng mengungkapnya dengan kata: “Lampu
dipadamkan, Batang kayu itu patah.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
334

Harapan bahwa pada saat itu, Raja Besar akan memperkuat otoritasnya
nampaknya tidak terpenuhi. Sebaliknya, tampak pengaruhnya jauh lebih
sedikit dibandingkan pada masa sebelumnya. Tampilan kekuasaannya
terbatas pada Basarah dan bahkan ia terlihat lebih ditakuti daripada dicintai.
Iritabilitas-nya, tampaknya tidak akan berkurang, beberapa tahun kemudian
seorang pria yang ia dicurigai memiliki hubungan dengan salah satu selirnya,
dengan tangannya sendiri dibunuhnya. Ia menganggap hidupnya tidak aman,
dan selalu berada dalam kerumunan pengawalan orang bersenjata di
sekelilingnya.
“Akan tetapi semangat perlawanan Datuk Sireno tidaklah mati, ia
merupakan kharakter orang-orang Kuantan.”
Pada tahun 1886 ketidakpuasan di Basarah ditekan dengan kekerasan. Pada
kesempatan ini, salah satu dari kepala suku pengikut sang pangeran, tewas
atas perintah saudaranya, Hassan. Orang Gadang dari Ceranti menolak
panggilan ke Basarah untuk datang dan menindaklanjuti kasus tersebut. Di V
Kota terdapat satu pihak oposisi yang melawan kebijakannya, bahkan dihulu-
Kariet terdapat ancaman untuk membunuhnya410.
Begitulah kondisi di “Kwantan-landen,” bentuk hubungan antara raja
dan pihak-pihak lain di masyarakatnya.
Kemudian di babak kedua pada tahun 1890, dimana perundingan tentang
eksplorasi kembali dibuka. Memang demikian bahwa peristiwa yang terjadi
merupakan pengulangan kejadian pada apa yang telah terjadi di tahun 1872.
Dewan menyatakan kesepakatan atas suatu rencana, atau lagi-lagi
mengisyaratkan kepada pemerintah Hindia untuk kembali mengeluarkan
“kebijakan pantang411.”Taluk, mengacu pada salah satu misi Gubernur,
bahwa tindakan penjajah seperti yang diinginkan pada saat itu,
Bahwa kepada Yang di Pertuan Basarah bukanlah untuk suatu
ketaatan, melainkan untuk di dikte.

410 Untuk hal ini, IJzerman mengatakan, “mengherankan bahwa dia terus saja mengharapkan
pada campur tangan Pemerintah, bahwa ia cenderung agar kita mengakui kedaulatannya, dan
dengan demikian haruskah menghormati mereka?”
411 Pemerintah Kolonial melakukan “blokade” terhadap Kwantanlanden, terutama hubungannya

dengan Pantai Timur.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
335

Di era berikutnya untuk peran seorang “Datuk Sireno,” oleh pemerintah


nampaknya dipegang oleh seorang pria yang mungkin kurang berpengaruh.
Hal tersebut dapat dipahami jika melihat kebelakang relasi yang terjadi antara
pemerintah Hindia dengan tokoh tersebut. Akan tetapi yang tidak kalah
penting disini tentang tokoh penerusnya,
Datuk Sinaro Nan Putih adalah seorang panghulu sederhana. Ia
membela diri dengan penuh semangat, pertama dengan lisannya, dan
kemudian dengan senjata.412
Mungkin pada saat itu Pemerintah Kolonial tengah berupaya menemukan
suatu pola yang “pas” untuk memapankan kekuasaannya di Sumatera
Tengah, khususnya di “Negeri-negeri Kuantan.” IJzerman menutup bab kisah
konflik politik ini dengan mengatakan:
Kefanatikan dan pelanggaran hukum tetap menjadi faktor dimana
disetiap upaya kontak yang lebih jauh lagi, telah menarik Kuantan ke
belakang. Adanya kekuatan, menunjukkan bahwa ketertiban, disiplin,
hukum dan keamanan dapat ditegakkan. Dimanapun saja, kekuasaan
kita semoga selalu diberkahi!413.
Pasca ekspedisi IJzerman menyusuri Sumatra Tengah melalui distrik Kuantan
pada tahun 1891, terdapat beberapa peristiwa penting sebagai berikut:
Pada bulan September 1894, dari kawasan paling barat Kuantan, kepala V
Kota Kuantan dengan lanskap tetangganya-yang juga berdampingan dengan
Residensi Dataran Tinggi Padang; terdapat permintaan berkaitan dengan
pembentukan dewan pemerintahan.414 Residen yang mengenal dengan baik
pandangan ataupun kebijakan dari kekuatan yang lebih tinggi di Batavia,
memberikan jawaban bahwa dalam beberapa tahun tersebut, jika
Pemerintah tidak berubah pendapat, akan segera diambil langkah-langkah
yang dipendang perlu untuk aneksasi wilayah mereka oleh pemerintah.
Senada dengan itu, di sebelah timur yang berbatasan dengan lanskap

412
Pemerintah Kolonial mencatat bahwa Datuk Sinaro nan Putih merupakan salah seorang
pemimpin perlawanan terhadap penguasa Kolonial dari Taluk, ia didukung oleh aliansi hulu yang
dikatakan oleh sumber-sumber kolonial terlibat dalam beberapa gerakan pembunuhan dan
penjarahan; bersama-sama dengan Datoek Maharadja yang diduga terlibat atas terbunuhnya
anggota ekspedisi IJzerman, van Raalten.
413 IJzerman, hal.79
414 Kielstra, 1915

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
336

Indragiri, pada tahun 1895 kepala lanskap mengunjungi Kontrolir di Rengat


dan permintaan pun terjawab; Kontrolir meminta untuk secara sukarela
datang tunduk kepada pemerintah dalam proporsi yang sama dan dipastikan
menjadi bagian dari Indragiri. Sebaliknya, pada tahun 1897, anak dari Yang
dipertuan datang menemui Residen Padang Dataran tinggi dan membuat
permintaan atas nama ayahnya, untuk mempertimbangkan distrik Kuantan
dalam pemerintahan Gubernemen disana. Adapun jawabannya adalah bahwa
keinginan ini harus dirumuskan dalam sebuah surat, juga ditandatangani
bersama-sama oleh lima kepala lanskap, surat itu datang (1898), tetapi tidak
ditandatangani oleh seluruh kepala, karena tidak semuanya mengakui
otoritas pangeran.
Hingga pada tahun 1899, kepala Cerenti tiba (distrik, berbatasan dengan
Indragiri), ini adalah kali kedua dalam kunjungan menemui Residen Riau
dengan permintaan di bawah administrasi, dari bagian lain Kuantan.
Ternyata, persoalan penggabungan lanskap dalam pemerintahan Hindia,
terdapat perbedaan arah dikalangan kepala lanskap, sebahagian
menginginkan di sebelah hilir mengikuti afdeeling Indragiri masuk dalam
Residensi Riau, dan sebahagian lainnya menghendaki bergabung dengan
Pantai Barat Sumatra. Kondisi ini, nampaknya berkaitan dengan penolakan
pengakuan IX Kota di Ilir atas kedudukan Yang dipertuan sebagai “Raja”
seluruh lanskap415, dan Pemerintah Hindia pun melihat kemungkinan
perubahan atas kebijakan yang terdapat pada Besluit tanggal 30 Oktober
1877416 tentang Distrik Kuantan. Bahwa akan dimodifikasinya kebijakan atas
Distrik Kuantan sebagai bahagian dari Pantai Barat Sumatra menjadi bahagian
dari Riouw en Onderhoorigheden.

Pada tahun 1901, Yang dipertuan wafat, yang juga meninggalkan persoalan
tidak terpenuhinya suara bulat (konsensus) diantara lima kepala lanskap
tentang pilihan siapa penggantinya417. Yang paling berpengaruh,

415 Koloniaal Verslag, Tahun 1899, hal.26


416
Koloniaal Verslag, Tahun 1878, hal.9
417
Sesaat sebelum kematian Raja Abdullah, ditunjuk saudara tirinya; Raja-Begab (putra Yang-
Dipertuan-Pandak dan Ongku-Kena (putri Yang-Dipertuan-Tunggal ke-3) sebagai khalifah dari
Cerenti dan Inuman. Setelah ia meninggal, tidak lama kemudian muncul saudaranya, Raja
Hasan. Dapat pula dikatakan, bahwa sejak hari itu (tanggal 3 Mei 1901) sebenarnya Kuantan
tanpa seorang pangeran, disebabkan terjadinya penentangan(oposisi) dari federasi IV Kota di
Gunung, Lubuk Jambi dan IV Kota Lubuk Ambacang, bahwa Raja Hasan menolak untuk mengakui,
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
337

mengambilnya pada tahun 1904, suatu gelar, akan tetapi bagi pemerintah
Hindia, gelar ini sebenarnya tidak lebih dari kepala distrik saja. Sebelumnya di
bulan Oktober 1901, kembali orang dari Kuantan datang menghadap Residen
Riau, menyebut dirinya utusan dari lima kepala lanskap, dengan permintaan
yang sama, tetapi mereka dianggap oleh pemerintah disana tidak “legitimate”
dan dengan demikian kembali dengan tangan kosong.418
Terjadinya persoalan politik-internal di rantau Kuantan, terutama rivalitas
antara Raja Hassan dan Raja Begab, serta masalah lintas-batas merupakan
dua hal yang menonjol di awal abad ke-20 di lanskap tersebut. Sebagaimana
diketahui, bahwa para narapidana ataupun kuli kontrak pelarian menemukan
distrik merdeka (Kuantan, juga IX Kota-Padang Tarab) sebagai wilayah
“suaka” bagi mereka, dimana mereka akan aman dari penuntutan lebih lanjut
dari hukum Hindia. Hal ini logis, disebabkan mereka tentu mencari wilayah
yang berada diluar yuridiksi penahannya. Akan tetapi kondisi ini,
menimbulkan gesekan yang lebih tajam antara penguasa distrik merdeka
Kuantan dengan Pemerintah Kolonial. Kondisi tersebut dari pemberitaan yang
gencar di kalangan pers kolonial tentang wilayah suaka tersebut. Seperti
pemberitaan Sebuah pers Kolonial, "Java bode" , tanggal 13 Mei 1903 dalam
sebuah artikelnya “Sumatra Onder Rechstreek Bestuur”, menuliskan tentang
perlunya kebijakan aneksasi (pencaplokan-wiayah) terhadap Kwantan-
ditsricten. Lebih jauh dikatakan, “saat ini, ... bahwa penguasa Kuantan-akan
menemukan akhir dari kesabaran pemerintah Hindia Belanda.” Nampaknya
ini juga bersumber dari apa yang ditemukan dan terjadi pada rombongan
ekspedisi IJzerman, seperti Laporan IJzerman yang dikutip oleh media
tersebut yang mengatakan bahwa kawasan merdeka menjadi tempat bagi
tahanan pelarian maupun kuli-kontrak mencari “suaka.” 419. Selain itu, sebuah

dan sekaligus ini menandakan permusuhan dengan Ongku-Sutan, Raja Hasan menduga dia bisa
mengendalikan seluruh kekuatan di Rantau-Kuantan. Ternyata, selain itu juga terdapat
perselisihan antara Ongku-Sutan dengan Raja Hasan tentang hak setiap orang Kuantan, yang
meninggalkan tanah kelahirannya dan hak untuk menjual garam dari Indragiri. Akibatnya,bahwa
di Baserah tempat kediaman Raja Hasan; dan di Teluk Pau tempat keberadaan Ongku-Sutan, tol
dikenakan (tol geheven werd); situasi tetap begitu sampai awal tahun 1904, hingga Ketika Raja
Hasan dipaksa mengakui supremasi Ongku Sutan dengan aksi bersenjata;
418 Koloniaal Verslag, 1902/1903
419
Semasa ekspedisi di Kwantan Landen, IJzerman mendatangi suatu kontes Sabung Ayam,
dimana terdapat sekitar 50 orang pejudi disana. Dikatakannya, “Perantau dan sampah bangsa
kita datang ke sini bersama-sama, sekelompok bandit. Yang paling menonjol adalah bahwa
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
338

fakta, bahwa rombongan IJzerman diserang oleh sekelompok orang Kuantan


yang menyebabkan kematian seorang anggota tim ekspedisi; Van Raalten, hal
ini manambah “kegusaran”420 pemerintah kolonial terhadap oposisi di negeri
Kuantan, yang jika dilihat bahwa pemerintah Hindia dapat menahan diri
untuk tidak terburu-buru mengambil sikap membalas atas kematian Van
Raalten tersebut. Menurut berita pers yang beredar, sekelompok “preman-
terorganisir” pelarian ini melakukan perampokan, penjarahan hingga
pembunuhan, konon dipimpin oleh seorang yang disebut “Ampanglima
Atjeh.” Disebutkan sebagai sepak terjang gang yang mengkhawatirkan.
Kondisi ini juga berdampak pada perdagangan antar distrik, bahkan
mangganggu jalur perdagangan pedalaman –Selat Malaka yang melintasi
distrik merdeka. Para pelarian itu, kebanyakan berasal dari pekerja di Sawah-
Lunto, baik sebagai pekerja tambang ataupun pekerja pembangunan
infrastrukturnya, pekerja yang berstatus tahanan-pekerja paksa, dan juga ada
yang berstatus kuli-kontrak. Bahwa pada Februari 1905 sebagaimana
disampaikan oleh Kontrolir Sijunjung, terdapat sejumlah pelarian melintas
batas pemerintahan Gubernemen menuju distrik merdeka, terlihat melintasi
Ayer Angat, menuju perbatasan. Dalam upaya penangkapan, seorang petugas
Belanda terluka oleh tebasan klewang, dua orang pelarian terbunuh dan
sisanya melarikan diri ke Distrik Kuantan421. Nampaknya, sebahagian besar
buruh yang bekerja di tambang batu bara melarikan diri ke Kwantan
districten, dan menemukan penerimaan yang baik disana; juga perlindungan,
hingga, pada tahun 1905, hingga Pemerintah Hindia memutuskan mengirim
kepada Yang dipertuan sekelompok ekspedisi ke sana sebagai hukuman!
Terlebih lagi ditemui fakta bahwa ekstradisi buronan Jambi, ditolak.

tahun yang lalu beberapa orang melarikan diri dari ikatan kerjanya. Distrik merdeka berfungsi
sebagai tong sampah Pemerintah. Itu adalah cara di mana kita berkontribusi untuk peradaban
dan pengembangan daerah-daerah!” IJzerman, hal.104.
420 Lihat "De Sumatra post, tertanggal 27 Mei 1903, Sumatra onder rechtstreeksch bestuur:

“...Taluk lagi, sebuah kekurangajaran dengan nada yang menantang, negeri lainnya juga
bergabung dan mengirimkan pesan bahwa Eropa tidak akan diterima, setidaknya dalam wilayah
Taluk. Apakah jawaban yang akan diberikan oleh Pemerintah Hindia yang perkasa terhadap
beberapa “bajingan kampong” itu bertentangan dengan kedaulatan mereka?

421
Lihat Algemeen Handelsblad, 23 Mei 1905, dalam “Onze Oost: Kwantan Districten.”,
sebagaimana terdapat dalam Middle burgsche courant: “Oost-Indië”, 5 agustus 1905
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
339

Dan bagi Penjajah, hal itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa
pemerintah Hindia tidak lagi ditakuti disana (Kuantan), dan diperlukan
setiap upaya (bahkan ekspedisi militer) untuk mempertahankan
kehormatannya, ketertiban dan perdamaian dalam kehidupan di tanah
jajahan!

Misi Kontrolir O’Brien


Ke Tanah Darat - Rantau Kuantan
Beberapa bulan menjelang ekspedisi militer ke Kuantan, terdapat satu
ekspedisi Pemerintah Kolonial, yang mengirimkan pejabatnya menemui Raja
Basarah, yakni; Kontrolir O’Brien. Di utusnya O’Brien ke Kuantan tersebut
setelah O’Brien menerima surat dan pesan dari Raja Basarah yang
menginginkan dibukanya negosiasi penyerahan.422 Segera setelah Residen
Pantai Timur menerima telegram dari O’Brien tentang hal tersebut, O’Brien
yang baru saja menyelesaikan investigasinya atas lanskap Kampar-Kiri:
Gunung-Sahilan, rantau Sibayang, Singingi, Logas, Ulu Tase dan Rantau
Kampar Kiri, segera memulai misinya ke Tanah Darat dan Kuantan yang
dimulai tanggal 27 Juli dan berakhir 9 Agustus 1905:423 misi berakhir hanya
satu bulan sebelum dikirimnya ekspediri militer kesana. 424

O’Brien meninggalkan Gunung Sahilan dengan disertai delapan orang polisi


bersenjata dengan menggunakan dua perahu menuju Teso hingga Telok
Merbo; dengan ditemani kepala lanskap Teso, berlayar menuju Ampang
Cimpur hingga Telok Merbo dan melanjutkan perjalanan darat menuju Tanah
Darat. Selama 6 jam, melalui Pangkalan Bringin menuju Perhentian Tinggi,
dan dikatakannya, hadirnya kepala luhak nan balimo dari bagian utara Tanah
Darat yang juga mendampinginya hingga Parit Jawo. O’Brien bermalam di
Perhentian Tinggi. Menurut O’Brien, Perhentian Tinggi yang hanya terdiri dari
empat rumah, salah satunya merupakan tempat “Pa–Mardjan”, yang diduga

422
Berita bertajuk “Vrijwillige onderwerping”, tanggal 3 Juli 1905
423
Bahwa Gubernur Jendral memerintahkan O’Brien untuk mengumpulkan informasi, tidak hanya
lanskap Kampar Kiri, melainkan juga meliputi Rokan dan Kuantan. Selain itu, dengan konsultasi
kepada Residen Pantai Timur Sumatra, O’Brien juga ditugaskan untuk menyiapkan suatu bahan
bagi pergerakan pasukan guna penegakan keamanan dan ketertiban negeri-negeri di pedalaman:
dilihat dalam Algemeenhandelsblad, tanggal 10 Agustus 1905.
424 O’Brien, hal.996-1003.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
340

Belanda sebagai tokoh “provokator” pembunuhan Clifford; ia telah melarikan


diri dengan keluarganya ke Benai di V Kota – Taluk, kawasan yang berada
dibawah perlindungan Panglimo Rajo.
Keesokan harinya, ia berjalan ke Parit Jawo yang memakan waktu sekitar
empat jam. Di Parit Jawo, kepala Pangean dan Basarah tiba dengan
membawa surat dari Raja Basarah, tetapi tidak untuk O’Brien, melainkan
untuk dua kepala Tanah Darat. Bersama mereka, Manti - Raja, seorang pria
berusia sekitar enam puluh tahun, tapi masih kuat dan sehat. Kecuali
beberapa informasi penting tentang Raja Basarah yang sebelumnya
menyatakan telah mengirim persan kepada O’Brien dimana ia diharuskan
membawa sejumlah f1000, ini untuk pertemuan antara Raja dan O’Brien, dan
nampaknya kontrolir itu benar-benar mendengarkan Manti–Raja, yang juga
menanyakan siapa sebenarnya kompeni(pemerintah kolonial).
Dimasa itu, seperti umumnya kebanyakan orang, termasuk orang-
orang Kuantan menganggap Kompeni sebagai sesuatu yang tidak
padu, seperti; Kompeni Bukit Tinggi, Kompeni Indragiri, Kompeni
Medan, bagi mereka ini adalah beberapa hal yang terpisah satu sama
lainnya.
O’Brien berupaya menjelaskan bahwa dirinya adalah pejabat administrasi
yang merupakan hamba Pemerintah Kolonial, sama dengan semua pejabat
pemerintah kolonial; adalah satu dan juga semuanya mematuhi perintah
Gubernur Jendral di Bogor, dan pemahaman tentang otoritas yang tersentral,
nampaknya cukup aneh bagi mereka. Tanggal 3 Agustus kembali tiba utusan
Basarah membawa serta surat dari Raja, yang dikatakan bersedia menerima
O’Brien dan memintanya untuk melupakan saja perihal f1000. O’Brien
mengakui, bahwa ia merasa tidak berharap banyak untuk keberhasilan
misinya, tapi secara pribadi ia masih merasa terlalu awal untuk menilai
Basarah, dan akan melihatnya sendiri apa yang sebenarnya terjadi di Kuantan
tersebut.
Tanggal 4 Agustus O’Brien meninggalkan Parit Jawo, didampingi kepala Tanah
Darat dan delapan polisi bersenjata. Pada sore harinya, sekitar pukul 3,
O’Brien bertemu dengan penguasa Pangean di Perhentian Lawas, selain itu
juga seorang krani (sekretaris) dari Raja yang ditugaskan untuk menemani
O’Brien ke Basarah. Dari Parit Jawo hingga Pasar Pangean menempuh waktu
perjalanan sekitar 4,5 jam; dari sana perjalanan menuju Basarah akan
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
341

memakan waktu hingga 2 jam. Saat itu hari jumat, dan di Pangean
bertepatan dengan hari Pasar (pasar-dag), Sesaat terjadi “kekacauan-kecil” di
pasar ketika para perempuan melihat pengawal O’Brien, polisi bersenjata
tiba, dan mereka melarikan diri sambil berseru,
“Kompeni–datang! Kompeni datang!” (Compagnie komt);
akan tetapi, tidak ada hal-hal serius yang terjadi. Setelah istirahat sejenak di
Pangean disebuah Lapau (kedai) yang dimiliki seorang haji dari Priaman,
O’Brien melanjutkan misinya dengan berjalan kaki melewati sepanjang tepi
kiri Batang - Kuantan , termasuk juga Tanah - Bakali dengan perahu yang
panjangnya sekitar 20 meter yang dapat ditumpangi hingga sekitar 30 orang,
maka, di Batang Kuantan itulah ditempuh perjalanan hingga empat jam
lamanya untuk mencapai Basarah. O’Brien, setibanya di tempat Raja,
menggambarkan peristiwa tersebut.
Halaman depan Raja yang luas dipenuhi dengan orang bersenjata. Di
pintu gerbang, berdiri seorang Melayu berjubah hitam dengan medali
perunggu dan ekspedisi lintas Aceh, dengan dua gesper di dada.......
Lalu ia mendekat dan mengambil posisi berdiri di dekat saya. Para
kerabat: laki-laki muda dari Raja datang menemui saya dan
mengantar saya ke balai - penghadapan (balairung), sebuah bangunan
kayu persegi dengan Atap tertutup yang memuncak berbentuk persegi
di tengahnya, disana, terdapat dua kursi. Raja sudah ada dibalai,
kemudian menyambut di tangga dan lalu mengajak saya ke lantai
atas. Di sanalah kami duduk saling berhadapan, terbuka dihadapan
kerumunan. Saya lelah dan kotor setelah berjalan melalui hutan dan
lumpur; sementara Raja terlihat gugup dengan celana hitamnya khas
Kampong, bertelanjang kaki, dengan jubah hitam dengan bahagian
depan setengah terbuka, sehingga gagang kerisnya terlihat keluar, dan
juga penutup kepala berwarna hitam dengan garis emas yang luas.
Pembicaraan dengan raja pagi dimulai hari Sabtu, tanggal 5 Agustus pukul 9
pagi dirumah raja. Sekarang ini adalah raja dengan para kerabatnya, seorang
sepuh yang telah disebutkan sebagai Manti-Raja, kepala Tanah Darat, dan
beberapa Penghulu itu (kepala kampung) dari Basarah dan Pangean. Secara
umum diasumsikan bahwa distrik Kuantan berada di bawah Raja Basarah dan
lima orang Gadang (orang besar), namun nampaknya, bahwa saat itu Raja

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
342

Hasan - memang hanya diakui dan dipatuhi oleh inuman, Basarah dan
Pangean.
Kepala ini memiliki tiga negeri, bersama dengan Tanah Darat, menyatakan
secara tertulis untuk mematuhi peraturan, dan Raja menyerahkan
sepenuhnya kepada O’Brien. Akan tetapi, penguasa V kota Taluk menolak
hadir di Basarah untuk menemui O’Brien, meski disana berlangsung negosiasi
substansial mengenai konsepsi dan pengembalian khusus para desertir dari
Indragiri, yakni para narapidana yang melarikan diri. Raja bersumpah bahwa,
apa yang diinginkan oleh pemerintah gubernemen tersebut, tidak satupun
yang berada di wilayahnya yang meliputi negeri: Inuman, Basarah dan
Pangean. Meskipun demikian, pada kesempatan itu dinyatakan kembali
olehnya bahwa penghulu mereka akan melakukan upaya untuk mencari
yuridiksi yang mencakup wilayah Tanah Darat. Namun sang Raja
menginginkan keterangan tertulis dari O’Brien, yang kelak jika pemerintah
Hindia berada dalam posisi berhadap-hadapan dengan pihak oposisi - disertir,
dan dari pihak pemerintah itu ada yang terluka atau terbunuh, bahwa
pemerintah gubernemen tidak akan menuntutnya dengan harga darah
(pampas atau dando). Pernyataan yang diminta Raja tersebut, kemudian
diberikan oleh O’Brien. Dari informasi yang ada, tidak ditempat lainnya, para
desertir tersebut terutama menghuni V kota Taluk, V kota ditengah (federasi
Lubuk-Jambi), dan Federasi Lubuk-Ambacang, khususnya di Kota Tuo, bahkan
di hilir Lubuk Ambacang terdapat para disertir, seperti halnya Angku-Kuning
sebagai eks perang sipil di Singingi, selain itu, terdapat sekitar 20 kk orang-
orang Jambi yang oleh Angku Kuning ditempatkan di Kota Tuo dan Sarasah.
Pada hari Senin, 7 Agustus O’Brien kembali menuju Gunung Sahilan dengan
cara yang sama seperti yang saat dia pergi, dikawal oleh anak-anak dan
keponakan dari Raja hingga ke Pangean, dilanjutkan oleh kepala Pangean
sampai Perhentian Lawas, dan kemudian selanjutnya oleh kepala Tanah
Darat. Menurut O’Brien, Kepala Tanah Darat mengatakan kepadanya akan
mengikuti rencana dari pemerintah, sedangkan Raja-Hasan telah
menunjukkan bahwa Tanah-Darat, berada di bawah kewenangannya.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
343

Ekspedisi militer
Terhadap Rantau Kuantan

Dengan kedatangan pasukan Hindia Belanda ke Cerenti pada tahun 1905


(Bandingkan Koloniaal Verslag 1906, Kol.29/30) terdapat penawaran kepada
baik Ongku-Sutan maupun Raja Hasan;425 Sebaliknya, pasukan yang berasal
dari Pantai Barat Sumatra menghadapi perlawanan di Lubuk Ambacang.
Oposisi sebagian besar berada di federasi Barat, IV Kota Lubuk-Ambacang dan
IV Kota-di-Gunung, akan tetapi hanya federasi Lubuk Jambi dan Taluk-Kari
yang didirikan oleh sekelompok pejuang yang diidentifikasi pemerintah Hindia
sebagai “berbahaya” dari wilayah Jambi, dimana mereka menentang
kedatangan pasukan Penjajah.426
Selain persoalan federasi Kuantan IV Kota di Mudik (Lubuk Ambacang) dan V
Kota di Tengah (Taluk), terdapat juga Padang Tarab, kepala lanskap yang
berdekatan dengan onderafdeeling Sijunjung, yakni; IV Kota dan V kota (V
Kota ber-konfederasi dengan Padang Tarab) yang telah meminta agar
diizinkan untuk berada di bawah administrasi Hindia, nampaknya telah
berubah dan dibujuk untuk meninggalkan rencana kesepakatan tersebut.
Oleh karena itu dengan Ord. 20 Agustus 1905 (Ind.Stbld.no.447) sebagai
tindakan koersif, semua impor dan ekspor Kwantan ...dilarang. Sementara itu,
Raja Hasan menyebut dirinya sampai saat itu sebagai Raja Kuantan,
akan tetapi, sekali lagi pemerintah kolonial memandang tidak adanya
hak apapun atas gelar tersebut.

425 Menurut Algemeen Oost-Indië. Tertanggal 5 agustus 1905, Middle Burgsche Courant
menyebutkan bahwa Raja Basarah dari Rantau Kuantan, mengharapkan negosiasi untuk
penyerahan dan jaminan keselamatan. Kondisi ini disikapi dengan suatu persiapan proses
aneksasi dan resolusi damai. Kwantan sebagaimana telah beberapa kali disampaikan surat
tentang kawasannya yang menjadi penampungan narapidana pelarian, namun dengan hasil yang
tidak memuaskan; bahwa permintaan ekstradisi bagi Narapidana dan pelarian hingga batas
waktu yang ditetapkan tidak dipenuhi...Akan tetapi, Raja sekarang cenderung untuk bekerja sama
dan mencari solusi dari masalah yang ada...
426
Realita bahwa Pemerintah penjajah sejak September 1905 telah mempersiapkan sebuah
konvoi militer kecil menuju Kuantan, seperti perwira infantri dan serdadu bayonet dari Riouw,
juga juga petugas medis dari Siak (berita 23 September 1905), bahkan menurut berita yang lain,
ekspedisi militer itu sendiri, memang telah dirancang untuk menguasai seluruh kawasan
Sumatera Tengah secara bertahap, berita bertajuk “Een nieuwe expeditie”, tanggal 4 januari
1903.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
344

Dari berita kolonial, nampaknya beredar anggapan bahwa terdapat kepala


federasi lainnya di Kuantan (IV Kota di Mudik atau Lubuk Ambacang, V Kota di
Tengah atau Taluk, dan V Kota di Mudik atau Lubuk Jambi) yang tidak
sependapat dengan penolakan Hindia, juga diyakini fakta bahwa terdapat
beberapa kepala di Lanskap IV Kota di Mudik (Lubuk Ambacang) untuk tunduk
kepada otoritas Hindia. Dengan kondisi seperti ini, detasemen dari Riouw
dan dari Pantai Barat Sumatera segera menuju Kuantan. Detasemen dari
Tanjung Pinang (Riouw) berangkat tanggal 7 Oktober dan tiba di Basarah pada
tanggal 18 oktober, tanpa adanya perlawanan pihak oposisi. Setelah itu, Pada
Tanggal 21 Oktober, Raja Hasan dan kepala Cerenti, Inuman, Kota Baserah
(Kota Raja dan Kota Tuwa), Tanah Darat dan Kota Pangian melakukan apa
yang dinamakan “de korte verklaring van onderwerping” (pernyataan singkat
pengajuan penyerahan). 427
Sebaliknya, iring-iringan dari Pantai Barat Sumatera, bersama sepasukan dari
Jambi, mengalami perlawanan bersenjata yang dipimpin oleh Tuanku Nan
Elok428 dari Lubuk Jambi bersama dengan orang-orang dari Lubuk Ambacang.
Dalam satu penyergapan terhadap benteng di Lubuk Ambacang, kubu
pertahanan tersebut dapat diambil alih oleh pasukan Belanda, dengan hasil
dipihak kolonial seorang pemandu tewas dan dua serdadu pribumi bersenjata
senapan terluka, sementara dipihak Kuantan didapati 18 orang pejuang
gugur. Selanjutnya pemimpin Lubuk Jambi dinyatakan bersalah dan dipaksa
menerima hukuman denda sebesar f10.000 untuk kepentingan Pemerintah
penjajah. Tuanku Nan Elok melarikan diri ke Taluk, setelah perlawanan kuat
dari Kariet, terdapat 2 pasukan penembak terluka dan 5 orang kuantan
tewas. Berikut ini adalah beberapa catatan yang dikutip dari beberapa surat

427
Pada tanggal 11 oktober 1905 nampaknya pertahanan Taloek telah dipatahkan, dan pada
bulan November ditempatkan semua yang tersisa dari Kwantan dengan Korte Verklaaring
(pernyataan singkat), yang bersama-sama dengan orang-orang dari Raja Hasan dari IV Kota di Ilir,
disetujui dan diratifikasi oleh Pemerintah tanggal 13 Maret 1900 No.142. Yang terakhir dilakukan
pada tanggal 21 November deklarasi pengajuan yang tercantum di sini, Onderafdeeling
Sidjoendjoeng batas-batas lanskap V Kota dengan Padang Tarab dan IV Kota ketika Gouv telah
disebutkan . Bt . 13 Maret 1900 no24 . Kebijakan penutupan negeri Kwantan sendiri dihapuskan
oleh Staatblad 1905 Nomor 576 tanggal 21 November 1905.
428 Sebagaimana diketahui, pemimpin perlawanan dari Lubuk Jambi adalah Tuanku nan Elok,

adapun Datuk Sinaro Putih untuk Taluk. Pemerintah Kolonial, nampaknya juga memburu Datuk
Maharaja, yang diduga terlibat atas tewasnya Van Raalten, anggota ekspedisi IJzerman; sejumlah
50-an orang disertir ditangkap, sebagaimana diberitakan tanggal 20 November 1905.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
345

kabar Kolonial, terutama berkaitan dengan kisah pendudukan Kuantan di


Tahun 1905. Setelah rantau Kuantan diduduki (Taluk 11 Oktober oleh
Detasemen dari Sijunjung–Cerenti tanggal 14 Oktober dan Inuman tanggal 16
Oktober), salah satu persoalan yang timbul adalah mengenai pembentukan
pemerintahan disana,
akankah Rantau-Kuantan tetap disatukan atau terpisah, dan menjadi
bahagian dari pemerintahan Riouw atau Dataran Tinggi Padang?
Dari Taluk tanggal 18 November, Batavia Nieuwswblad memberitakan429:
Menulis dalam ruang dan waktu yang besar, terutama karena
berbagai perubahan, berada di sini sejak kedatangan kami di posisi
kepemimpinan tertinggi. Sebelumnya disebutkan bahwa setelah
menaklukkan Taluk, satu detasemen kekuatan mobile di Jambi dan
bagian dari detasemen Sijunjung bergerak menuju Jahei yang terletak
disebelah utara Taluk, yang biasanya dapat dicapai dengan waktu
sekitar tiga jam perjalanan darat, Pergerakan ini dilakukan setelah
adanya pemberitahuan sehari sebelumnya bahwa pihak oposisi
kampoeng akan melakukan penyerangan. Detasemen ini berada di
bawah komando Letnan Nobele; letnan Meihuizen dan Van de Water
juga hadir, Dr. Van der Laaren dari Sijunjung. Di Jahei, dimana-mana
tidak hanya terlihat bendera putih sebagai tanda niat baik, alan tetapi
juga berjumpa dengan detasemen dari Bangkinang yang sebelumnya
baru saja tiba. Dikenali sebagai Letnan Holtoppel dan Jas, seorang
petugas Kesehatan Masyarakat juga Kontrolir tersohor; O'Brien...
Terjadi Pertemuan hangat dan tidak lama kemudian, Letnan Nobele
kembali keTaluk. Saat ini, di Taluk, bagi Kapten Romswinckel tersedia
kekuatan yang cukup untuk melakukan ekspedisi ke wilayah Kwantan
tengah dan barat; dan keesokan paginya menuju Lubuk Ramo di
distrik Batang Hari, dimana yang bertindak sebagai komandan pasukan
adalah Letnan Nobele. Akhirnya para “pejuang” pribumi itu menarik
diri, itu adalah salah satu momen bahwa seseorang harus hadir
sebagai penghargaan untuk mereka pasukan kita. Terdengar lagu
"hoera" dinyanyikan oleh sekitar seratusan orang prajurit, yang sudah
berbulan-bulan berkeliaran disebuah bagian wilayah di Sumatera

429 Algemeen Handelsblad, 2 Januari 1906, “De Annexatie der Kwantan Districten.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
346

tengah, teman kecil kita yang tenang, sesama serdadu sejak tiga hari
yang lalu... bergerak dengan antusias dan mereka mengisi sekitar 200
stapler di sungai Kwantan yang luas bergemuruh.... Ini telah berakhir.
Tanggal 16 Oktober, hari itu diterima telegram bahwa empat brigade
Marsosse akan bergerak meninggalkan Padang Panjang, dan Kapten
Bense, akan dilelahkan disebabkan kapasitasnya sebagai pemimpin
harus segera bertindak, tidak hanya sebagai pemimpin militer
melainkan juga sebagai pemimpin sipil Kwantan. Untuk mendukung
kepemimpinan militer dan sipil Kwantan, adalah Kontrolir Hondius
Van Herwerden ditambahkan ke jajaran perwira staf ini. Pesan untuk
tetap mempertahankan detasemen Riouw di bawah wilayah tersebut,
terlihat bahwa komando Militer Riouw berdiri.
Tanggal 20 Oktober tibalah Kapten Bense, juga kapten Berenschot dan
sepasukan Brigade Marsosse. hari berikutnya, dua brigade di bawah
letnan Wasterval - Sementara itu Kapten Bense, melakukan
pengaturan sebagai berikut:
Letnan Holtappel, dengan detasemen nya ditempatkan di IX Kota dan
Padang-Tarap. Letnan Jas dengan detasemen yang menjadi bagian dari
Letnan Nobele, yang berbasis di Loeboek Djambi, sementara Letnan
van Schelven dari penambahan brigade Marsosse ....
Tiga komandan ini telah bertindak sebagai penguasa sipil sementara,
dengan kantor pusat yang terletak di Taluk.
Tanggal 22 Oktober detasemen melakukan pergerakan sejauh yang
telah direncanakan dan diperlukan, mereka memulainya dengan
orang-orang Kuantan, seperti; "Penyerahan senjata, pendataan,
pembangunan jalan, membersihkan rumah dan pekarangannya.....
Sementara investigasi seksama dilakukan terhadap pengungsi dan
buruh paksa. Tuanku-nan-Elok melarikan diri ke Lubuk Jambi. Haji
Jabur dan Datuk Simaraja ditangkap oleh Detasemen Riouw,
sementara Datuk Senaro Putih, memegang perlawanan di Taluk,
patroli mengejarnya kesana hingga keluar dari wilayah Indragiri..
Semua daftar buronan sekarang berada di tangan kita; mereka tentu
akan mencari kesempatan untuk mengobarkan berbagai hasutan dan
menjadi resistensi untuk waktu yang lama. Saya tambahkan sekarang,
oleh patroli, ratusan desertir dan kuli kontrak kerja ditangkap...

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
347

Sekarang datang berita bahwa kapten Schröder dinominasikan disini


sebagai pemimpin keseluruhan Kuantan dan Kapten Bense pun
menuju Basarah, di mana kapten Schröder - komandan militer Riouw,
juga berada. "Tidak ada dua kusir di atas satu kursi,” demikian
dikatakan Kapten Bense, dan ia pun segera membentuk bestuur
Kuantan Tengah dan Barat. Kapten Schroeder tidak melakukan
perubahan terhadap kebijakan yang telah diambil oleh pendahulunya,
namun kapten Bense sekarang dengan Marsosse-nya ingin
mengunjungi distrik Batang Hari, wilayah dimana setengah dari
detasemen Nobele ditempatkan di Taluk. Beberapa hari kemudian
Kapten Bense kembali dari Basarah dan Kerajaan Kuantan pun
digulingkan,..... hal itu dilakukan pada waktu yang tepat. Sekarang,
pemberitahuan diterima bahwa Kapten Colijn akan tiba dan
mengambil keputusan akhir, dan kedatangannya dinantikan dengan
begitu bersemangat.
Catatan berikut, dari tanggal 26 – 28 Oktober 1905, merupakan catatan
harian Komandan militer SCHRODERR selama berada di Kuantan, yang
diberitakan dengan judul “Kwantan Districten” sebagai berikut430:
Di kantor pers, kami menerima buku harian dari detasemen Kuantan, yang
isinya sebagai berikut:
26 Oktober, Pukul 6.30 Letnan Agerbeek yang bertugas pada seksi
mobile diberitakan menuju Pangean, jadi ada waktu selama beberapa
hari untuk membawa pemerintahan daerah disekitarnya, begitu juga
untuk memperoleh informasi tentang narapidana- pelarian, di Jambi
dan Kuantan yang berasal dari V Kota.... Pukul lima memasuki Basarah,
Kontrolir B.B. (Binnenlands-Bestuur) Hendius van Herwerden, juga
datoek V Kota, Lubuk Jambi dan Lubuk Ambacang, dia mengatakan
tentang isi telegram dari pemerintah tentang Besluit tanggal 16
Februari 1899 No.5, Kwantan, secara resmi merupakan bagian dari
lingkup Residensi Riouw; Kapten Colijn telah memeriksa pemerintahan
lokal dan penggabungan Kuantan dan wilayah sekitarnya, juga
dilakukan konsultasi dengan kepala daerah administrasi bagaimana
wilayah ini akan dikelola; landhoogd saat ini dan keinginan di Lubuk-

430 Berita Tanggal 13 November 1905; “Kwantan Districten”: “Catatan Komandan SCHRODEER.”
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
348

Ambacang dan Lubuk Jambi pengaruh dewan untuk melihat ke pantai


barat Sumatera, sementara lainnya; Kwantan dengan Tanah Darat, ke
Riouw, Penataan wilayah ini sesuai dengan keinginan dewan di Lubuk
Ambacang dan Lubuk Jambi, Sementara batas tersebut tidak berlaku
untuk aksi militer.

Akan tetapi Kapten Bense beserta Herweden, bagaimanapun


juga berpendapat bahwa pemisahan Rantau Kuantan akan
menimbulkan permasalahan, karena seluruh Rantau-Kuantan
sebenarnya adalah daerah yang terdiri dari Lubuk-Ambacang,
Lubuk-Jambi, V kota ditengah dan V kota diilir...
Tidak dilakukannya pemilihan raja atas seluruh Kuantan, bahayanya
pemisahan dan kemudian penyelesaian akhir yang akan sulit untuk
dijelaskan..Oleh karena itu, Kapten Bense menyarankan bahwa saya
harus menerimanya. Dominasi Lubuk Ambacang dan Lubuk Jambi, hal
ini akan dijelaskannya kepada Gubernur Pantai Barat Sumatra...
Sebelum menyetujui permintaan Kapten Bense, saya pertama kali
ingin meyakinkannya melalui diskusi dengan datuk nan berlima,
apakah mereka menginginkan pemisahan Rantau-Kuantan atau
tidak?
27 Oktober, Setelah diskusi dengan datuk nan berlima juga saya
sampai pada kesimpulan bahwa, meskipun pemisahan Rantau-
Kuantan, sebagaimana dimaksud dalam telegram pemerintah, bukan
tidak mungkin, namun hal tersebut tidaklah diinginkan, dan juga
sehubungan dengan lembaga-lembaga yang ada dan adat Rantau-
Kwantan sementara ini berada di bawah satu administrasi sebagai satu
penyelesaian akhir, masih perlu untuk meminta Rantau-Kuantan
dibawah suatu manajemen pemerintahan, dengan kabupaten yang
ada di bawah datuk-datuk; Hassan dan Sutan yang dianggap sebagai
Raja, masing-masing pada Basarah dengan Pangean, dan Cerenti
dengan Inuman. Alasan Dewan menerima seluruh Rantau Kuantan
oleh saya atas saat ini. Dari Kontrolir Gunung-Sahilan, saya menerima
satu catatan, bahwa ia telah membuka pernyataan singkat dengan
kepala Tanah Darat yang sudah dinegosiasikan, berdasarkan
administrasi pemerintahan, saya telah mengambil alih Rantau

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
349

Kuantan-dan-Tanah Darat.. jadi saya bertanya kepadanya juga untuk


memberitahukan apa yang dilakukan olehnya dengan kepala Tanah
Darat. Para kepala juga diminta untuk menuju Taluk, di mana saya
akan pergi dengannya dalam beberapa hari.

28 Oktober, Kapten Bense dan kontrolir Hondius van Herwerden dan


Meijer dengan Kapten Bense juga kembali ke Taluk. Kontrolir Meijer
dengan perintah itu sendiri, memberitahukan mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan administrasi. Setelah menyerahkan administrasi
kepada detasemen Pantai Barat Sumatera, awalnya ditempatkan di
Sijunjung dan Muara Lembu, kemudian diberikan kepada komando
saya. Pukul 6 sore, tibalah kembali Letnan Agerbeek dengan seksi
Pangean, setelah melakukan patroli sekaligus pemetaan di sekitar
Pangean, tidak ada ditemui hal yang janggal disini.
..Merkwaardigheden kwamen niet voor.
De Militaire Commandant
(w.g.) SCHRODERR
Dilanjutkan kembali dengan catatan yang diterbitkan oleh
AlgemeenNieuwsblad, ditahun 1906:
Pada awal November (1905) kapten Bense meninggalkan Kapten
Berenschot dan sepasukan Marsosse: seluruh Taluk dikuasai olehnya,
bantuan Kolonel Romswinekel dikeluarkan untuk pasukan dari Pantai
Barat, untuk saling menghormati dengan cara yang bermartabat yang
mungkin diberikan. Sementara itu terjadi, dalam puasa mungkin akan
terdapat beberapa kesempatan. Kapten Schroeder dan stafnya -
inspektur Meijer dan dokter Jensen - yang sekarang ini diperlukan
untuk Taluk, telah datang dan pindah ke sana; sementara itu dari
markas mereka, dokter Van Laaren dari Sijunjung dengan iring-iringan
lengkap, Kapten Bense kemudian dokter dari Batang-Hari bergerak
kembali menuju Padang. kontrolir Van Herwerden juga melakukan
perjalanan ini, Namun, tidak sampai akhir karena ia dipanggil menuju
Sijunjung dimana kapten Colijn akan mengunjungi Kuantan, sehingga
ia pun bergegas kembali.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
350

Tanggal 11 November secara tak terduga, tibalah Asisten Residen


Indragiri, Van der Velde - dengan kapal uap, yang telah disediakan
oleh Pemerintah. Sebelumnya, ia tidak pernah menyusuri sungai
Kuantan hingga jauh ke pedalaman, dan bertanya-tanya tentang fakta
yang ditemuinya bahwa jumlah penduduk Taluk ternyata sangat besar.
Malam berikutnya datang kapten Colijn dan asisten residen Fort van
der Cape'len - dari Pantai Barat, membawa berita, bahwa Kontrolir Van
Herwerden dan O'Brien akan turut serta dua hari kemudian, juga
letnan Nobele dari Lubuk Jambi dan karena itu akan berpartisipasi
dalam diskusi tersebut.
Setelah penandatanganan pernyataan singkat (korte verklaring) dalam
perjalanan bulan Oktober dan November, Lubuk-Ramo, IV Kota Lubuk-
Ambacang, V Kota Lubuk Jambi dan IV Kota di Tengah berada di bawah
mereka: Datuk nan berlima, dan IV Kota Ilir di bawah Raja Hasan, dengan
Ongku Sutan, kemudian adalah pengaturan sementara pada tanggal 17
November 1905, ditentukan, bahwa Raja Hasan diakui sebagai kepala IV Kota
di Ilir Baserah, dan Pangean akan dibawah kewenangan langsung pemerintah,
sedangkan Raja-Begab (atau Ongku-Sutan) di Cerenti dan Inuman. Situasi ini
tidak berlangsung lama dan berakhir dengan wafatnya Raja Hasan pada
tanggal 25 September 1906, kemudian, sesuai dengan keputusan Pemerintah
Tanggal 6 Juli 1907 No: 13, Raja Begab (Ongku Sutan) ditunjuk sebagai satu-
satunya kepala IV Kota di Ilir. Adapun wilayah Tanah Darat terkait dengan
pengukuhan penguasa IV Kota di Ilir, dan juga dengan alasan yang sama,
untuk Lima Teratak pada IV Kota di Mudik.431 Berdasarkan Besluit Tanggal 9
Januari 1907 No.20 (Staatsblad No.9), Distrik Kuantan menjadi bahagian dari
Afedeeling Indragiri, Residensi Riouw en Onderhoorigheden. Dengan
demikian, dimulailah era pemerintahan dengan pengawasan seorang
Kontrolir. Meskipun demikian, Rantau Kuantan tetap diberikan kewenangan
untuk menjalankan sendiri sistem zelf-bestuur.

431 Nijhoff, 1908.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
351

8
Negeri dalam Transisi

Pada bahagian ini akan dibahas Kuantan dan Bagansiapiapi, sebagai negeri
yang mewakili darat–pesisir. Kuantan dihadirkan sebagai representasi negeri
darat. Bahwa, lokasinya yang berada di sumbu perlintasan dataran tinggi –
pesisir semenjak era Hindu Budha, dan indikasi perubahan pada bangunan
supra sebagaimana ditangkap oleh para ahli menjelang tutup milenium ke-2,
membuat tidak adanya alasan untuk tidak menampilkannya dalam konteks
darat – pesisir di Riau Daratan. Kemudian, Bagansiapiapi yang berlokasi di
muara sungai Rokan yang mulai tumbuh pesat diakhir abad ke-19, segera saja
menarik pusat perekonomian dari hulunya di Tanah Putih. Sebagai wilayah
dependensi Siak, Belanda menjadikannya sebagai pusat pemerintahan dari
tiga sub distrik di hilir sungai Rokan yang kesemuanya juga merupakan
dependensi Siak. Belanda nampaknya berhasil menjadikan Bagansiapiapi
tidak hanya sebagai “tambang emas kecil” bagi kas Hindia, juga menjadikan
kawasan ini sebagai yang terdepan semenjak era pra-kolonial. Meskipun saat
kejayaannya mayoritas penduduk kota adalah nelayan Cina, akan tetapi
merupakan bahagian dari politi lokal melalui hak-hak tradisional hingga
Belanda tiba “menggantikannya” sebagai pemilik hak sewa. Signifikansi
ditampilkannya Bagansiapiapi adalah bahwa kota ini semenjak era Hindia
merupakan pertemuan aktif berbagai aktifitas ekonomi yang juga melibatkan
puak-puak Melayu dari tiga politi kuno: Tanah Putih, Kubu dan Bangko, juga
politi disepanjang pesisir timur dan pedalaman. Letaknya yang strategis
ditepian Selat Malaka, dan begitu dinamisnya pembentukan identitas di alam
otonomi daerah.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
352

Rantau Kuantan:
Masyarakat Melayu Negeri Hulu
kita fokuskan perhatian kepada lanskap darat yang berbatasan dengan
Sumatra westkust; distrik Kuantan. Pada masa pra-kolonial, mengacu pada
bagan silsilah kerajaan Pagaruyung yang disusun oleh IJzerman, terutama
tentang garis Yang dipertuan nan Putih dan saudaranya; Raja di Buo;
Kontrolir Schwartz ada menyebutkan beberapa pangeran, dan bahwa Yang
dipertuan Putih-lah yang disebutkannya memiliki otoritas di Rantau Kuantan.
Beberapa pihak menyebutnya Yang di Pertuan Panjang Lutut sebagai raja
yang pertama, yang lainnya lagi menyebutkan; Yang dipertuan Tunggul.
Terdapat juga pendapat menyatakan bahwa Tahta Raja Beniang
diperselisihkan oleh adiknya, dan bahwa ia, telah didorong oleh mereka
untuk berpindah ke Lubuk Tarab; Lebih lanjut dikatakan bahwa Yang
dipertuan Tunggul atau keturunannya adalah pangeran Minangkabau, akan
tetapi, ia tidak pernah menjadi penguasa di negeri Kuantan. Berkembang
dugaan bahwa, nampaknya negeri di perbatasan eks Pagaruyung ini,
kekalahan Padri diikuti dengan pembagian Rantau Kuantan dikalangan
mereka sendiri dengan hasilnya; yang pertama adalah Yang dipertuan Putih,
dimana ia berhasil diakui sebagai Raja yang berdaulat. Diberitakan bahwa
pada bulan April 1838, beberapa pedagang menemui Residen Dataran Tinggi
Padang; yaitu Steinmetz, dengan membawa serta surat dari Yang dipertuan
Putih, sebagai raja Kuantan di mana ia meminta dibukanya suatu hubungan
dengan pemerintah Belanda. Gubernur Michael menduga bahwa
permintaan ini datang bersamaan juga dengan keinginan Sultan Indragiri,
yang saat itu sebagaimana dilaporkan oleh Residen Palembang, permintaan
ini disertai dengan tibanya anak Yang dipertuan. Sang Residen menerima
permintaan ini secara tertulis tentang pembukaan negosiasi antara Hindia
Belanda dengan Kuantan dan Indragiri. Persoalan dengan Indragiri, Belanda
menganggap telah diselesaikan pada bulan September tahun itu juga, akan
tetapi, tidak halnya dengan rantau Kuantan. Bahwa hingga akhir abad ke-19,
belumlah diketahui bagaimana hasil kelanjutan proses hubungan tersebut
yang melibatkan beberapa generasi, meskipun sebenarnya penjajah
membayang-bayangi setiap proses dinamis terutama yang berkaitan dengan
suksesi kepemimpinan di Rantau Kuantan. Hingga akhirnya diawal abad ke-
20, sebagaimana telah disampaikan, dengan dalih bahwa para pempimpin di
rantau Kuantan tidak mengindahkan permintaan penjajah untuk
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
353

mengekstradisi pelarian tahanan Belanda yang menyeberang kesana yang


saat itu berstatus sebagai negara merdeka, maka tibalah ekspedisi militer
Belanda pada tahun 1905.432 Rantau Kuantan pun dianekasi, seluruh
kewilayahan “rantau nan kurang duo puluh” dimasukkan menjadi bahagian
Residensi Riouw en Onderhoorigheden yang beribukota di Tanjung Pinang.
Selanjutnya, uraian Kato Tsuyoshi akan membantu kita memahami,
bagaimana distrik ini akhirnya beralih, dari awalnya sebagai lanskap
perbatasan Minangkabau menuju tatanan baru dibawah administrasi Hindia,
dan juga perkembangannya menjelang pergantian milenium. Pada saat
ekspedisi IJzeman di tahun 1891 ke Rantau Kuantan, penjelajah tersebut
diberikan catatan oleh Kontrolir Schwartz termasuk diantaranya tentang
kondisi demographi rantau Kuantan, yang dikatakan telah terjadi penurunan
drastis dalam beberapa dekade terakhir. Kondisi ini, diyakini sebagai akibat
dari migrasi yang dilakukan warga menuju ke Kepulauan, ataupun juga ke
Semenanjung. Jika disebelah darat, pasca perang Padri, Belanda giat-giatnya
melakukan perluasan budidaya dan pembangunan jalan-jalan raya yang
menghubungkan pedalaman dengan Pantai Barat, maka disisi timur,
masyarakat Kuantan seolah ditarik oleh magnet perkembangan di kepulauan
Pulau Tujuh dan Semenanjung. Sesepuh di Kuantan sering menyebut sebagai
“poi kalaui” atau pergi ke laut ketika menggambarkan migrasi keluar dari
Kuantan pada periode ini. Bahwa migrasi ke kepulauan Pulau tujuh, terbukti
lebih tua ketimbang ke Semenanjung. Di Pulau Tujuh, maka orang Kuantan
terlibat dalam budidaya kelapa, baik sebagai petani penggarap maupun
petani kecil; sementara di Semenanjung, mereka umumnya bergerak sebagai
petani karet. Orang Kuantan mengalami perubahan substansial setelah
budidaya karet rakyat diperkenalkan ke wilayah tersebut sekitar tahun 1910,
terdapat dua booming karet di Riau Daratan pada umumnya, dan di Kuantan
khususnya sebelum Perang Dunia II, yaitu paruh kedua tahun 1920 dan
bahwa dari 1930. Ledakan kedua lebih baik diingat lokal daripada yang
pertama, di sana adalah beberapa kemungkinan alasan untuk hal ini. Ledakan
kedua, lebih jelas dalam pikiran orang. Kenangan yang baik dari ledakan
pertama diimbangi oleh kenangan pahit Depresi Besar tahun 1929. Orang
Kuantan, terlibat lebih mendalam dan luas pada era booming karet kedua,
sebagaimana dirangsang oleh terjadinya booming pertama dari budidaya

432 IJzerman, 1895, hal.48-49.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
354

karet. Pada era kedua, dapat diingat dengan jelas sebagaimana era Kupon.
Setelah mengalami penurunan harga yang drastis dari karet selama Depresi
besar, pemerintah Belanda, Inggris, Perancis dan Siam menandatangani
Perjanjian Peraturan karet internasional pada tahun 1934 dalam rangka untuk
mengontrol produksi karet dan menstabilkan harga karet dunia. Untuk
tujuan ini pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan kupon triwulanan
kepada petani kecil yang menentukan jumlah produksi karet yang
diperbolehkan dari masing-masing pemegang selama kuartal tertentu. Untuk
setiap kuartal, dealer karet hanya bisa mengekspor jumlah karet sesuai
dengan spesifikasi pada izin ekspor yang terakumulasi di tangan mereka.
Dengan demikian, kupon dipastikan membentuk pasarnya sendiri yang
terpisah, namun terkait dengan pasar karet. Penghasilan ganda dari petani
kecil dan kupon dan Kenyataan dari jual potongan kertas belaka di kalangan
petani. Salah satu dampak langsung dari booming karet adalah penghentian
migrasi keluar dari Kuantan. Tidak hanya orang berhenti bermigrasi, tetapi
juga sebahagian orang-orang yang telah pergi ke Pulau Tujuh, Semenanjung
Malaya dan di tempat lain, datang kembali ke kampung halamannya untuk
tidak tertinggal ekonomi booming karet. Pada saat itu, Kuantan pada
kenyataannya mulai menarik pendatang dari luar, terutama dari Sumatera
Barat. Minangkabau datang pada masa booming ke Kuantan terutama
sebagai penyadap, pedagang keliling dan seniman, juga sebagai guru Islam.
Beberapa orang Kuantan yang bagus kedudukan ekonomnya mulai pergi
melancong ke Sumatera Barat, yang menurut beberapa tetua Kuantan, jauh
lebih maju dalam setiap aspek kehidupan daripada Kuantan. Beberapa
diantaranya bahkan mulai menyekolahkan anak mereka ke sekolah-sekolah
Islam modernis di Sumatera Barat. Beberapa pedagang lokal menjadi kaya
oleh “babelok” ke Singapura, mengimpor barang asing seperti piring keramik,
barang logam, kaca dekoratif, botol, brankas besi, kuningan, sepeda, mesin
jahit dan gramofon. Hubungan ekonomi yang erat dengan Singapura selama
ini sebagian dapat disimpulkan dari beberapa istilah bahasa Inggris dilaporkan
digunakan di Kuantan sebelum perang, misalnya, sigaret, baisikal, stocking
daripada Rokok, Sepeda, dan Kaus kaki, yang lebih umum digunakan di Hindia
Belanda. Melihat kembali sejarah Kuantan Pra-Perang Dunia II, sangat intens
terjadi dan berlangsung terus menerus interaksi antara Kuantan dan dunia
luar dalam bidang ekonomi.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
355

Dua booming karet, membawa menghilir banyak orang Minangkabau dari


Sumatera Barat ke Kuantan. Beberapa akhirnya menikah dengan wanita
lokal, akan tetapi mayoritas pergi ke sana sebagai migran sementara. Mereka
menemukan bahwa di Kuantan berperilaku sebagai Minangkabau – akan
tetapi tidak benar-benar Minangkabau. Mereka juga melihat bahwa Kuantan
menjadi lebih mundur daripada Sumatera Barat. Migran Minangkabau disana
memperkenalkan reformisme Islam, pemikiran pendidikan Islam modern dan
nasionalisme ke Kuantan. Setelah sekolah dasar setempat mulai dibuka di
Kuantan di 1910-an, sebagian besar gurunya berasal dari Sumatera Barat.
Fakta ini saja mengesankan langkah besar orang Minangkabau di Kuantan
terhadap kemajuan. Dengan atau tanpa pengalaman pribadi pernah
mengunjungi Sumatera Barat, Orang Kuantan sendiri mulai mengenal
superioritas Sumatra Barat dibidang; ekonomi, pendidikan, agama dan
budaya. Dengan kemajuan sistem komunikasi dan transportasi, orang
Kuantan bepergian ke tempat yang jauh seperti Semenanjung Malaya dan
Pulau Tujuh. dan lebih penting lagi, hal itu juga memungkinkan bagi mereka
untuk dengan mudah datang kembali ke rumah bila diperlukan. Di masa lalu
properti yang paling berharga atau kekayaan adalah tanah, baik bagi mereka
yang tinggal di desa atau orang-orang yang bermigrasi. Ini berarti bahwa
orang-orang, lebih atau kurang selalu membuat pergerakan permanen ketika
melakukan migrasi.
Meningkatnya penetrasi ekonomi uang di Hindia Belanda pada awal abad ke-
20 mengubah situasi ini. Uang yang dapat diakumulasikan dan disimpan
sekarang menjadi sangat penting. Selain itu, terdapat pula banyaknya
barang-barang aneh dan ganjil yang semakin tersedia saja dari Eropa, Jepang
dan China yang bisa mudah dibawa kembali dan ditampilkan di rumah sebagai
hasil kerja mereka. Singkatnya, sirkulasi populasi menjadi norma. Dengan
jumlah penduduk lokal yang beredar, migran Minangkabau dari Sumatera
barat membawa informasi baru mengenai perubahan dunia luar dan juga
berbagai barang materi baru. Di tengah perubahan, orang Kuantan tumbuh
lebih sadar tentang pertanyaan tentang siapa mereka. Kesadaran untuk
tumbuh menjadi lebih seperti Minangkabau, dimana mereka mulai
menyekolahkan anak-anaknya ke Sumatra Barat. Akan tetapi, masuknya bala
tentara jepang telah menghentikan segala proses, termasuk kesadaran yang
baru tumbuh ini. Pasca invasi tahun 1905, Belanda mencoba melakukan
beberapa perbaikan infrastruktur, terutama yang terkait dengan transportasi.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
356

Bahwa, sungai sebagai sarana utama, maka tongkang pun ditarik oleh perahu
bermotor untuk membawa karet ke dunia luar. Sementara era tahun 1920-
1930, Belanda membangun jalan yang menghubungkan Kuantan dengan
Padang melalui Kiliran Jao. Berdirinya provinsi Riau tahun 1958 dan
pemindahan ibukota dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru, dengan kondisi jalan
raya yang masih minim, bagi orang Kuantan, membuat Pekanbaru menjadi
lebih jauh dari Tanjung Pinang. Bahwa Tanjung Pinang dapat dicapai dengan
mudah melalui transportasi air, sebaliknya, akan berbeda jika akan bepergian
ke Pekanbaru. Akan tetapi, ini tidak berlangsung lama. Perbaikan dan
penyempurnaan jalur transportasi yang menghubungkan dengan Pekanbaru,
program TVRI dan TV swasta, menyediakan akses yang besar bagi Kuantan
untuk menyerap homogenisasi nasional dalam ruang-ruang interaksi mereka.
Jalur jalan raya, tidak saja memudahkan hubungan dengan ibukota provinsi di
Pekanbaru, melainkan juga memperpendek jarak ke Jakarta. Dengan
demikian, Kuantan menjadi semakin terbuka untuk menerima migran yang
tidak saja dari Sumatra Barat, melainkan juga yang berasal dari Jawa.

Gambar 8.1. hoogwaardigheidsbekleders di Rantau Kuantan,


akhir abad ke-20.Sumber: KITLV.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
357

Bagansiapiapi:
Kejayaan yang Tak Pernah Padam

Bahwa Traktat tahun 1871 (Perjanjian Inggris – Belanda) telah menyebabkan


“booming” industri perkebunan swasta di kawasan Pantai Timur Sumatra
yang menghasilkan hingga f2.5 juta yang berdampak pula pada reorganisasi
pemerintahan kolonial; seperti pada tahun 1873 melalui Staatsblad 1873 No.
81 dibentuklah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Siak,
Bengkalis, Labuhan Batu dan Asahan. Selanjutnya pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi perkebunan tersebut yang diiringi dengan kontrak-
kontrak baru antara Belanda dan Siak termasuk kontrak dimana pemerintah
Hindia mengeluarkan kebijakan akuisisi hak “pacht” atas lanskap Tanah Putih,
Kubu dan Bangko – hal ini berarti perluasan kewenangan Kolonial di kerajaan
Siak - maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pendirian kantor Belanda
dan ditempatkannya seorang pejabat kontrolir di Tanah Putih di tahun
1885,433 bahwasanya salah satu butir kontrak – Pasal 4 dari perjanjian antara
wakil Pemerintah Hindia dengan Sultan Siak: Mangkubumi dan para
“Rijksgrooten” (para pembesar kerajaan) Tanah Putih atas hak pemungutan
pajak pada wilayah Tanah Putih, Kubu dan Bangko yang ditetapkan berlaku
pada tanggal 1 Januari 1886 – sebagaimana diketahui bahwa Tanah Putih
adalah Lanskap dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi kapal dari
pedalaman hingga era 1880-an. Kemudian secara bertahap, Pemerintah
Hindia pun sebagaimana telah disampaikan mulai melengkapi komponen
pemerintahannya dengan sumber daya personil mulai dari tenaga
administrasi pemerintahan hingga satuan polisi. Berikut ini adalah kontrak
sebagaimana yang ditandatangani oleh pihak Belanda dan Sultan Siak –
Mangkubumi beserta para pembesar Tanah Putih pada 23 Juni 1884: 434

433 Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas
pengumpul bea, melainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: yaitu seorang kontrolir
yang juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang juru mudi dan 6 orang awak kapal,
dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura - maka Tanah
Putih masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli
1885.
434Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,

17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
358

CONTRACT betreffende de overneming van belastingen in TANAH-POETIH.


Aangezien het Nederlandsch-Indisch Gouvernement, krachtens artikel 26 van het op den
1sten Februari 1858 met den Sultan en de rijksgrooten van Siak Sri Indrapoera en
onderhoorigheden gesloten contract, de bevoegdheid bezit om de heffing van alle in
dat gebied bestaande belastingen tegen de uitkeering van eene billijke
schadeloosstelling aan de betrokken vorsten en hoofden, in overleg 21rekening te
exploiteeren en de tarieven daarvan te wijzigen, het zij die af te schaffen of door andere
te vervangen;
Aangezien het wenschelijk is gebleken om van de voormelde bevoegdheid gebruik te
maken, ten einde in TanahPoetih, evenals in de overige landschappen ter Oostkust van
Sumatra, in het belang van den algemeenen handel een meer gelijkmatig werkend
belastingstelsel in het leven te roepen:
Zoo is op heden den 23sten Juni 1884 door mij RENSE CHRISTIAAN KROESEN, ridder der
orde van den Nederlandschen Leeuw, resident van de Oostkust van Sumatra,
handelende uit naam van het Nederlandsch-Indisch Gouvernement en daartoe
behoorlijk gemachtigd door Zijne Ex-cellentie den Gouverneur Generaal van
Nederlandsch-Indie; ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw,
met Zijne Hoogheid den Jang di Pertoean Besar SJARIF KASIM ABDOEL DJALIL
SAIFOEDIN, Sultan van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden, ridder der orde van
den Nederlandschen Leeuw, den mangkoeboemi Tongkoe POETRA, benevens de
datoehs, rijksgrooten van het landschap Tanah Poetih, hoofden der soekoe's Melajoe
besar, Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, te zamen voerende het bestuur over
het landschap-TanahPoetih, onder nadere goedkeuring van Zijne Excellentie den
Gouverneur-Generaal, de volgende overeenkomst gesloten:
Art.1
Zijne Hoogheid de Sultan en de mangkoe boemi van Siak en de landsgrooten van Tanah
Poetih, staan over het geheele gebied van laatstgemeld landschap aan het
Nederlandsch-Indisch Gouvernement af het uitsluitend recht tot het heffen van
inkomende en uitgaande rechten, en zulks tegen eenejaarlijksche schadeloosstelling
van f7500 (zeven duizend vijfhonderd gulden), te verdeelen als volgt:
aan Zijne Hoogheid den Sultan, ter uitkeering aan Toengkoe Poetra, f5625 (vijf
duizend zeshonderd vijf en twintig gulden); aan het hoofd der soekoe Melajoe
besar f 750 (zevenhonderd vijftig gulden); aan de hoofden der soekoe's Melajoe
Tengah, Mesah en Batoe Hampar, ieder f 375 (drie honderd vijf en zeventig gulden)
'sjaars.
Art.2
Aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement blijft het recht voorbehouden om de aan
zich getrokken belasting in het gebied van Tanah Poetih te wijzigen, dan wel nieuwe
daarvoor in de plaats te stellen.
Art.3
Zijne Hoogheid de Sultan en de hoofden van Tanah Poetih verbinden zich om het
Nederlandsch-Indisch Gouvernement alle noodige hulp te verleenen ter verzekering van
zijne rechten op de heffing der in-en uitgaande rechten in het landschap-Tanah Poetih,
terwijl het Nederlandsch-Indisch Gouvernement zich het recht voorbehoudt alle

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
359

zoodanige maatregelen te nemen, als ter verzekering eener richtige heffing noodzakelijk
zullen worden geacht.
Art.4
Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1 Januari 1886.

Aldus ten dage voorschreven overeengekomen te SiakSriIndrapoera,


waarna dit contract door ons is onder-teekend en bezegeld.
De Resident der Oostkust van Sumatra,
(get.) KROESEN.
Stempels en handteekeningen in Arabische
karakters.
Dit contract is goedgekeurd en bekrachtigd op heden den 7den Juli 1885.

Kontrak ini, sebenarnya telah mengalihkan hak kewenangan para elit lokal
khususnya Siak dalam penguasaan langsung atas sumber daya. Sebagaimana
diketahui, Sultan Siak dan pembesarnya beserta para pemimpin di tiga
lanskap di hilir Rokan menerima hak-hak dari penyewaan yang dikelola
langsung oleh Siak, akan tetapi, terjadi keluhan oleh para pemimpin lokal di
tiga lanskap atas model pembahagian yang dilakukan, dan ini direkam oleh
Belanda terutama menyangkut bea impor – ekspor, cukai dan juga sewa atas
pulau-pulau. Pada tahun 1882, Mangkubumi menyerahkan hak kepada
Eropa dan atas orang China di Singapura, sementara dari sisi yang lain, situasi
ini berulangkali melahirkan keluhan, hal yang dikatakan hak sewa untuk
setiap orang Eropa, dimaksudkan oleh mereka semestinya dapat dilakukan
dengan cara yang lebih baik. Sejak kontrak ditandatangani pada saat itu,
sejumlah $400 langsung dibayarkan kepada penerima, dimana dari sejumlah
$400; Datuk Melayu Besar memperoleh 2/5 bagian atau sejumah $160, dan
tiga orang lainnya masing-masing 1/5 bagian atau sejumlah $80. Yang
pertama perolehannya sejumlah $160 atau 1/4 atau $40 lagi untuk tongkat
utamanya, Lela Raja, sehingga ia sendiri menikmati hanya sebesar $120.
Datuk Melayu Besar dikatakan seharusnya memperoleh lebih banyak, hal ini
mengingat karena ia memiliki sejumlah besar anak buah. Jumlah keluarga
punggawanya saja diduga sekitar 150 keluarga, sementara yang lainnya;
Melayu tengah dan Mesah masing-masing sekitar 25 keluarga, dan Batu
Hampar sekitar 35 keluarga. Secara keseluruhan Tanah Putih memiliki sekitar
250 keluarga, sehingga jumlah total mencapai 12-1500 jiwa.435 Sementara itu
pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah Pancong Alas,

435 Hijman van Anrooij, hal.383-384.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
360

kecuali sialang, yang sebahagian dicabut dari mereka dan digantikan dengan;
denda. Pejabat dibawahnya; Tongkat, dapat menjatuhkan hukuman dengan
tanggungan sebesar $10, dan "Datuk bisa melakukannya hingga sebesar $20.
Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk,
setengah-nya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Meskipun demikian, ia
masih harus membagi sama besar dari setengah lainnya yang umumnya
berada di bawah tongkat. Apakah ini benar, sepertinya Tongkat pun
mengeluh, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa
untuk mereka, akan tetapi, kondisi ini tidak dapat dikomunikasikan lebih jauh
lagi. Berbagai pendapatan di Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak,
permainan dadu dan pajak ekspor udang dan belacan) yang dikenakan
sebesar $600 oleh Sultan; disewakan ke orang China. Saat itu Bagan Api-Api
dengan Panipahan (di Kubu) disewakan ke orang China di Singapura sebesar
$2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji sejumlah $150 per
tahunnya untuk Datuk Bangko. Sementara di Kubu, retribusi dari beberapa
hak dimana terdapat komunitas China di Panipahan, digunakan oleh kapiten
China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, berbeda dengan
Bagan Api Api dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapura yang
diberikan untuk nilai $2800 per tahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka
sebelumnya memiliki hak untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan
sebesar 1 real($ 0,20) per pikulnya, sementara saat itu tidak hanya bahwa
hak-hak mereka telah teralihkan, bahkan tanggungan mereka sejumlah 5%
dari ikan yang ditangkap oleh penyewa pun terpaksa dilepaskan. Untuk klaim
yang satu itu, juga beserta yang lainnya, sayangnya ditolak oleh pihak Siak. 436
Berkaitan dengan implementasi kontrak 23 Juni 1884 tentang pungutan pajak
tersebut diatas, bahwa pada awalnya ditahun 1886 terjadi pembangkangan
oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah kolonial, dengan
insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas China
terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan
pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah
diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di
tanah jajahan, ada penolakan maka akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial
melakukan blokade atas jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan
ikan di Bagansiapiapi selama lima hari dengan menggunakan kapal uap

436 Hijman van Anrooij, hal.386-387.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
361

Belanda – “M.S.Djambi” dan beberapa kapal uap kecil, maka selanjutnya


yang terjadi pada sikap orang-orang China di Bagansiapiapi adalah
meletakkan kepala di pangkuan (mengalah), akan tetapi ditemui, bahwa sang
Kontrolir tersebut kembali ke Tanah Putih.437 Kontrolir kemudian kembali lagi
ke Bagansiapiapi dengan bersama satu kesatuan polisi, dan komunitas China
Bagansiapiapi tersebut membayar biaya kerugian serta pajak atas hak sewa
(pacht) garam dan opium sebesar 1500 dollar. Kontrolir dan satuan polisi
tersebut lalu mengadakan sensus di “kampung” Bagansiapiapi438. Setelah itu,
orang China di Bagansiapiapi pun melakukan kegiatan seperti biasa, yakni
menjalankan bisnis penangkapan ikan. Pemerintah Penjajah menganggap
bahwa mereka memenangkan momen tersebut berdasakan kelemahan
komunitas China Bagansiapiapi itu sendiri. Peristiwa tersebut, menjadi
pemicu hadirnya Hindia dalam industri perikanan di Bagansiapiapi: bahwa,
diakhir abad ke-19, seluruh sumber daya komunitas ini dikerahkan untuk
mendukung industri tersebut.
Kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa pada tahun 1887 melalui
Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling yang dipimpin
oleh seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya adalah Afdeeling
Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Bengkalis, Siak dan Tanah Putih.
Perkembangan tersebut, nyata-nyata terlihat dari keadaan kependudukan
yang bahkan pada tahun 1888, tepatnya dua tahun sesudah peristiwa
blokade, populasi China Bagansiapiapi tumbuh dengan sangat pesat, yakni
mencapai 4000 jiwa (Bagansiapiapi sejumlah 2500 dan Panipahan sejumlah

437 Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun
1909, — Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale
Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In
Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te
Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot
gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak
het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding
hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was
gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de
verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van
haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen
naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem
gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot.
438 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's

Oostkust.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
362

1500 jiwa; bandingkan dengan laporan Rijn van Alkamade Tahun 1884 yang
hanya berjumlah 1000-an jiwa di Bagan dan sejumlah lainnya di Panipahan
dan Tanah Putih), dimana sebagian besar dari mereka didorong untuk
melakukan penangkapan ikan. Bahwa pesatnya arus migran China yang
bergerak dibidang perikanan dan panglong di Bagansiapiapi, selain
disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan Rijksgrooten
Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah
Putih, melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan
Panglong China disana, mengajak mereka untuk bermigrasi menuju
Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang bagus. Dan hasilnya,
dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya
bermigrasi ke Bagansiapiapi.439
Meskipun perkembangan perkebunan dengan modal Eropa di pedalaman
menunjukkan peningkatan – bahwa di tahun 1895 tercatat sejumlah tujuh
belas perusahaan Eropa pemegang konsesi perkebunan di Tanah Putih,
sayangnya, ditahun 1892, setelah dilakukan pengujian penanaman Tembakau
yang hasilnya ternyata tidak memuaskan, beberapa perusahaan yang sudah
didirikan terpaksa ditutup. Kisah perkebunan komersil nampaknya berlanjut
dengan pengembangan tanaman karet. Meskipun demikian, dengan
pertimbangan untuk memudahkan urusan penanganan bea, maka, kontrolir
yang semula di tahun 1885 ditempatkan di Tanah Putih, direncanakan
dipindahkan ke Bagansiapiapi yang dimulai pada tahun 1894. Segera, segenap
struktur pemerintahan Hindia, bermukim dan memulai serangkaian
kebijakannya; mulai dari infrastruktur pemerintahan sendiri, hingga hal-hal
yang mendukung industri yang pada akhirnya, juga ikut mendorong
perkembangan, dari kampung Bagansiapiapi menuju “kota kecil nelayan” di
muara sungai Rokan. Seperti tercatat dalam Staatsblad 1894 No.93440
kemudian No. 94, Onderafdeeling Tanah Poetih rencananya dipindahkan ke

439 Dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tengku Mangkubumi, dalam “Sultan van
Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899.
440
“Sedert ingevolge Stbl.1894 No.93 ook in de landschappen Banka en Koeboe de heffing van in
– en uitvoerrechten in onze handen gekomen is, en bij die gelegenheid de standplaat van den
controleur verlegd is van Tanah Poetih naar Bagan Api Api, hebben de zaken aldaar en in de
overage Chineesche nederzettingen langs de kust een veel geregelder verloop”; dilihat dalam
Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen,
voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van
Sumatra. [1874—1906].
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
363

Bagansiapiapi.441 Dapat pula disampaikan bahwa pertimbangan Pemerintah


Kolonial pada saat itu selain untuk mempermudah pemungutan bea ekspor-
impor terutama dengan bentuk pemukiman dan usaha perikanan yang
terletak disepanjang pantai, juga dapat dilihat dari letak Bagansiapiapi yang
berada di lintas pelayaran Selat Malaka, berdekatan dengan Singapura.
Sebagaimana diketahui, saat itu Singapura merupakan pelabuhan terbesar
Kapal-kapal Belanda di luar Eropa, Singapura yang berkembang dan menjadi
pusat pelayaran bagi Hindia Belanda sendiri; Singapura sebagai pelabuhan
persinggahan antara kepulauan dengan jalur-jalur internasional,442 dari
ramainya Bandar Singapura sebagai pelabuhan re-ekspor-impor, termasuk
pengiriman produk dari Bagansiapiapi via Singapura; Kemudian Bagansiapiapi
sendiri yang telah mulai berkembang menjadi pelabuhan yang ramai
disinggahi oleh kapal, baik kapal uap hingga kapal layar dan motor, yang
bahkan juga disinggahi oleh K.P.M. sejak tahun 1890. Rute transportasi via
Bagansiapiapi, nampaknya dominan untuk pengangkutan produk perikanan,
disamping sejumlah pengiriman produk lainnya. Menjelang pemindahan
Onderafdeeling dari Tanah Putih menuju Bagansiapiapi ini, terdapat
beberapa peristiwa yang dapat dianggap penting, sebagaimana telah
disampaikan tentang membangkangnya Komunitas China di Bagansiapiapi
terhadap Belanda di tahun 1886, juga sebagaimana telah disampaikan bahwa

441Bertitiktolak dari Staatsblad sebelumnya, yakni No.93 dimana pemberlakuan ketentuan


perubahan masalah pungutan pajak atas hasil laut adalah Kontrolir akan bertempat di
Bagansiapiapi, maka Staatsblad No.94 ini menegaskan rencana pemindahan Kontrolir tersebut,
sebagaimana tertera sebagai berikut: “Verplaatsing van de standplaats van den countroleur der
Onderafdeeling Tanah Poetih…. In stede van Tanah-Poetih zal zijn Bagan api-api”. Bagaimanapun
juga, pemindahan sebuah pusat administrasi pemerintahan akan memakan waktu, khususnya di
era awal abad ke-20, April 1894 telah dicatat dalam Statblad, namun realisasinya seperti dicatat
oleh Butcher adalah pada tahun 1900, dengan terbitnya penempatan kantor Kontrolir berlokasi
di Bagansiapiapi melalui Staatsblad 1900 Nomor 64. Adapun warta kolonial memberitakan bahwa
Tahun 1902 Onderafdeeling telah berada di Bagansiapiapi, dan baru pada Tahun 1903
diberitakan pembangunan sarana pemerintahan, seperrti; Kantor dan perumahan kontrolir;
adapun pembangunan dermaga adalah sebagaimana terdapat dalam Koloniaal Verslag Tahun
1912 seperti diberitakan dalam De Sumatra Post: Haven werker ter Oostkust, 16-01-1913.
Adapun kewilayahan Onderafdeeling Bagansiapiapi meliputi; Onderdistrik Tanah Putih, Kubu dan
Bangko.
442 Anthony Reid, dalam “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit:

KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
364

Zainal Abidin,443 mantan kepala Tamboesie-Streek, mengancam akan


melakukan kerusuhan di wilayah Tanah Putih yang merupakan bagian dari
Koloni Siak, sehingga menimbulkan ketidaktentraman dan juga rasa
ketidakpastian dikalangan penduduk Bagansiapiapi.444
Nampaknya proses pemindahan pusat Onderafdeeling berjalan secara
bertahap; semenjak terbitnya keputusan tahun 1894, diperoleh berita bahwa
proses pemindahan tersebut sudah diselesaikan di tahun 1901. Bahwa juga
sudah dapat diperkirakan bahwa Bagansiapiapi pun memperoleh sentuhan
awal pembangunan infrastruktur dan sarana-prasarana modern ala kolonial
dimulai dari periode ini. Adapun nama Bagansiapiapi, diduga berkaitan
dengan kondisi sumber daya alam yang ditumbuhi pohon Api-Api445, atau
nama tersebut diduga berasal dari “klip-klip” (kunang-kunang) yang
bercahaya.446Kata Bagan sendiri menunjukkan tempat, atau alat menampung
ikan. Vleming memperkirakan Bagansiapiapi, didirikan paling tidak pada
tahun 1860-an atau 1875447 oleh sekelompok pelaut petualang dimana pada
saat itu hanya berawal dari sekelompok kecil orang China 448, dengan

443 Pada catatan lainnya tertulis “Zainal Abidin” adalah Raja Tambusai, sebagaimana terdapat
dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, Tahun 1896, hal.374. Zainal Abidin dalam salah
satu riwayat dikisahkan berupaya untuk membangun kembali kerajaan Rokan yang meliputi
wilayah hulu Rokan hingga hilir, akan tetapi untuk wilayah ini sebagaimana diketahui telah masuk
kedalam wilayah Kerajaan Siak, sehingga terjadi gesekan antara Zainal Abidin dengan penguasa
Kerajaan Siak yang nampaknya juga telah dimanfaatkan oleh Pemerintah Kolonial dengan politik
devide et impera (pecah dan kuasailah). lihat Lintasan Sejarah Rokan, Wan Saleh Tamin, tahun
1972;
444
UTRECHTS NIEUWSBLAD, 30 April 1897, hal.5
445 Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae.

Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar
napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan
lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh:
J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier
Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari
Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan
ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api
Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih
dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut.
446 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling
Bagansiapiapi, 1925.
447
Vleming, Het Chineesche Zakenleven in Nederland-Indid, 1926
448 Menurut riwayat awalnya kedatangan orang China ke Bagansiapiapi berjumlah 18(delapan

belas) orang China bermarga “Ang” yang terdiri dari 17(tujuhbelas) orang laki-laki dan 1(satu)
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
365

Tongkang berlayar dari negeri asal yang pada awal mulanya mereka para
pelaut ini setelah terombang-ambing di lautan lepas menyusuri muara Rokan
dengan melihat pada nyala cahaya atau api, tibalah akhirnya di pantai, dan
memulai mendirikan pemukiman yang sekarang dikenal dengan
Bagansiapiapi. Hingga Tahun 1880-an, seperti dicatat oleh Van Rijn van
Alkemade, jumlah penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa,
yang hampir seluruhnya terdiri dari laki-laki China. Menetapnya pemukim
China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah Hindia Belanda melalui
Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan lingkungan pemukiman
untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana pada wilayah
Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat,
Bagan Api-Api, Tanah Putih dan Panipahan sebagai lingkungan pemukiman
orang China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana
ditetapkan dalam Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662.
Halnya sebagai newcomers, para pemukim China mulai berinteraksi dengan
penduduk tempatan, yakni orang Melayu, terutama dalam hal penangkapan
ikan. Orang China mengamati penangkapan ikan yang dilakukan oleh
penduduk setempat dan mencobanya, ternyata memperoleh hasil yang
banyak. Sehingga mereka memutuskan untuk menetap dan mengembangkan
teknologi penangkapan ikan, menjadi seperti yang dikenal saat industri
perikanan telah mengemuka. Dengan teknologi yang telah dikembangkan
sedemikian rupa, menghasilkan kelimpahan hasil ikan yang selanjutnya
mempengaruhi perekonomian pemukim, dan merupakan berita baik untuk
kerabat di negeri asal. Sehingga, seperti peribahasa “ada gula ada semut,”
maka arus migran China untuk bermukim di Bagansiapiapi merupakan realita
yang tidak terelakkan. Kondisi tersebut nampak jelas pada statistik, dimana
pada sensus penduduk yang dilakukan pemerintah kolonial tahun 1920
penduduk Bagansiapiapi berjumlah hingga 11.000-an jiwa. Adapun Sensus
Penduduk tahun 1930, sejumlah 15.000-an jiwa, data dari J.A. Van Rijn van

orang perempuan; Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang Se Teng, Ang Se Shia,
Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie Tjua, Ang Un Guan, Ang Cia Tjua,
Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian dan Ang Tjie Tui (nama-nama ini dilihat
dalam tulisan Sudarno Mahyudin, “Sejarah Perguruan Wahidin” pada www.iapw.info Tahun
2008. Dari tiga kapal yang berlayar, dua buah kapal tenggelam dan hanya satu yang berhasil
berlabuh di Bagansiapiapi. Diperkirakan orang China di Bagansiapiapi berasal dari Provinsi Tan
Hai dan Amoy - China
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
366

Alkemade sekitar tahun 1880-an di Bagansiapiapi terdapat sekitar 1000-an


jiwa penduduk, dimana hampir seluruhnya adalah orang China. Terdapat
lompatan jumlah penduduk yang drastis dalam era 30 tahun.

Gambar 8.2.Para Penyelenggara Onderafdeeling Bagansiapiapi dalam suatu perayaan


di Bagansiapiapi, tahun 1924. Sumber: KITLV.

Kenaikan Jumlah penduduk, dilihat pada situasi tersebut sebenarnya sudah


dapat dikatakan mengindikasikan perkembangan yang bagus di kawasan
Oostkust Sumatra, khususnya di kawasan pesisir. Akan tetapi di tempat
lainnya, tren pembukaan jalur transportasi darat telah mengakibatkan
stagnasi, bahkan kemunduran kota pelabuhan di Pantai Timur Sumatra.
Sebagai contoh, Labuhan Deli, Rantau Panjang, Tanjung Beringin dan Bandar
Khalipah. Akan tetapi, Bagansiapiapi sebagai wilayah yang tidak terkena jalur
transportasi darat seperti pembangunan Jalan raya dan jalur kereta api,
pada masa itu tidaklah terkena dampak yang sama. Bagansiapiapi, dengan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
367

Pelabuhannya pada masa Kolonial tetap bertahan.449 Sebagai Onderafdeeling


dibawah Afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi membawahi tiga subdistrik, yakni
Bangko, Tanah Putih dan Kubu; dengan ibukota Bagansiapiapi. Wilayah
subdistrik Bangko dan Kubu merupakan wilayah pesisir, sedangkan subdistrik
Tanah Putih terletak agak ke Hulu sungai Rokan. Dapat dikatakan, bahwa
Bagansiapiapi saat itu, tidak saja telah menjadi pusat produksi ikan laut
terbesar di dunia, 450 akan tetapi juga sebagai pusat pemerintahan Hindia
dengan penempatan Kontrolir dan juga disini bertempat pertemuan antara
tiga lanskap di hilir sungai Rokan dengan Siak. Hubungan dengan Siak, sebagai
pusat penguasa tradisional, berlangsung dalam penyelenggaraan zelf-bestuur
dimana perwakilan Siak menuju Bagansiapiapi sekali dalam dua minggu untuk
memutuskan perkara yang menjadi yuridiksi kerapatan. Kondisi ini,
berlangsung hingga masuknya tentara pendudukan Jepang seiring takluknya
Hindia Belanda sebagai dampak perang dunia II. Bahwa, pasca Jepang, terjadi
keterlambatan informasi tentang kemerdekaan republik sehingga
menimbulkan kesimpang-siuran dan ketidakjelasan siapa penguasa
berikutnya; kondisi ini ditengarai memicu konflik berdarah antara TRI dan
warga Bagansiapiapi yang didominasi keturunan China. Memasuki masa
kedaulatan Republik, kegiatan perekonomian yang semula terhenti dimasa
Jepang, berangsur-angsur pulih kembali, akan tetapi, ternyata kepergian sang
Toean Belanda ini diduga telah membawa juga bersamanya “struktur” yang
kurang lebih setengah abad dibangunnya di sana451, maka secara perlahan,
kejayaan Bagansiapiapi sebagai penghasil ikan terbesar dunia memudar yang
nampaknya juga disebut-sebut sebagai konsekuensi logis perubahan ekologi:
pendangkalan muara. Selain itu, perubahan ini berdampak pada beralihnya
para pemodal sektor ikan-laut ini ke kawasan lain yang masih menjanjikan
dan eksodusnya para pekerja terutama keturunan China keluar Bagansiapiapi.
Pada masa ini hingga era pra-otonomi, digambarkan Bagansiapiapi bagaikan
kota yang ditinggalkan, berbondong-bondong keluar setelah terlempar dari
collaps-nya industri perikanan. Hingga suatu ketika, perubahan ditingkat

449
Dilihat dalam artikel “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode
Kolonial, oleh Edi Sumarno, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006.
450 Bahwa bagi pemerintah Hindia, Bagansiapiapi tetap merupakan terbesar dengan produksi

mencapai lebih 30.000.000 Kg pertahunnya, hal ini disebabkan peringkat pertama yang dikatakan
sebagai Bergen-Norwegia, berlangsung hanya semusim dalam setahun, berbeda dengan
Bagansiapiapi yang tidak mengenal musim.
451 Ide ini berasal dari Ny.Marjati Pratomo, kontak pribadi tahun 2013.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
368

negara telah membawa kembali lanskap di pesisir timur ini pada level
penguatan ulang sumber daya, identitas dan juga orientasi.

Barat–Timur vs. Utara-Selatan


Diskusi tentang asosiasi darat – pesisir, jika kita mencermati apa
dikemukakan oleh Kato Tsuyoshi, sebenarnya secara sederhana dapat
dijelaskan melalui dua perspektif yang digunakan untuk melihat seluruh
Sumatera: perspektif Barat-timur dan utara-selatan. Dilihat dalam perspektif
timur - barat, Sumatera pada dasarnya dipahami dalam hal hubungan antara
daerah di atau dekat Bukit Barisan, pesisir daerah di kedua sisi Sumatera, dan
sungai (dan jalan setapak) yang menghubungkan darat dan pesisir. Sumber
daya pedalaman yang kaya, menyediakan produk hutan berharga, kadang-
kadang beras dan ternak, dan tenaga ekstra untuk daerah luar dan pesisir dan
seterusnya. Pesisir daerah pada gilirannya berfungsi sebagai pintu gerbang ke
dan dari dunia luar. Meskipun perspektif timur - barat dapat diterapkan lebih
atau kurang pada setiap titik di sepanjang pulau, hal ini sangat bermakna di
Sumatera bagian tengah di mana banyak sungai yang mengalir dari
pegunungan di sebelah timur dan barat pantai dan melintasi bagian terluas
dari pulau.
Secara ekologis dan historis ,perspektif barat-timur (darat – pesisir)
adalah yang paling banyak membantu dalam memahami lebih baik
dinamika internal masyarakat Sumatera. Berbeda dengan perspektif
Barat-timur, perspektif utara-selatan yang berbentuk lebih oleh
kekuatan eksternal dibandingkan dengan dinamika internal Sumatera
sendiri.
Hal ini lebih hegemonik dalam penerapannya daripada perspektif timur-barat.
Sementara disisi lainnya, perspektif barat-timur dikatakan lebih membumi
atau lebih dan kurang terus-menerus operatif dalam sejarah Sumatera,
perspektif utara-selatan menjadi penting hanya setelah Belanda
mengkonsolidasikan kontrol mereka atas seluruh Sumatra pada awal abad ke-
20. Saat itulah perspektif utara – selatan mulai didirikan dan mengerahkan
sebagaimana biasa, kekuatan dan keabadian pengaruhnya atas Sumatra dan
terus menerus membayangi perspektif timur-barat. Perspektif utara-selatan
tampaknya telah diadopsi dalam dokumen resmi akhir tahun 1930-an. Hal ini

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
369

ditunjukkan oleh fakta bahwa perspektif utara-Selatan tersebut menjadi


perspektif politik- administratif, sebagaimana dicontohkan dalam urutan
daftar unit administrasi di Sumatera. Perspektif administrasi utara-selatan
tidaklah memiliki nilai intrinsik untuk Sumatera. Akan tetapi, hal ini berharga
untuk kekuasaan kolonial Belanda di Batavia pada unit administratif: dari
terjauh ke sudut terdekat dari pulau dalam kaitannya dengan dirinya sendiri,
dan dengan demikian memberikan pemahaman yang mudah dari totalitas
dan struktur batin dari ruang tertutup yang berada di bawah kontrol:
Sumatera. Perspektif itu berarti, justru karena seluruh pulau saat itu benar-
benar terletak di peta bidang hegemonik dominasi kolonial Belanda. Terbukti
perspektif utara-selatan juga pada umumnya diadopsi pada sekolah di akhir
1930-an. Hal ini penting bahwa perspektif utara-selatan dari politik-
administrasi; alam menjadi sadar dan bermakna hanya setelah seluruh pulau
berada di bawah kendali langsung Belanda.
Perspektif ini membantu kekuasaan kolonial menyapih Sumatera jauh
dari Semenanjung Malaya, sebuah tujuan umum dan logis dari
perspektif utara - selatan, dan dengan rapi melokalisasi unit
administratif internal di Hindia Belanda dengan Batavia sebagai pusat
gravitasi politik.
Penurunan ekonomi setelah depresi besar, berkontribusi terhadap naiknya
perspektif utara-selatan. Perubahan besar pasca Kemerdekaan, maka
selanjutnya perspektif utara-selatan di Sumatera, kurang-lebih berada dalam
genggaman totalitas administrasi Republik Indonesia. Lebih jauh dijelaskan
Tsuyoshi bahwa salah satu perkembangan yang lebih signifikan untuk diskusi
ini berlangsung selama periode Orde Baru. Perspektif utara-selatan di
Sumatera dimasukkan ke dalam lanskap luas dari seluruh negeri. Saat itu,
dalam setiap jenis daftar dari Indonesia yang terdiri dua puluh tujuh daerah
provinsi, umumnya dicatat dari ujung utara Sumatera sampai ujung selatan,
dari Jakarta ke Jawa Barat ke Jawa Timur, dari Bali ke Timor Timur, kemudian
dari Kalimantan (dari barat ke timur), Sulawesi (dari utara ke selatan), ke
Maluku dan akhirnya ke Irian Jaya. Ini adalah urutan di mana anak-anak
sekolah menghafal nama-nama provinsi di Indonesia dan ibukota mereka di
sekolah dan dengan yang satu provinsi ditampilkan di program siaran-tayang
di televisi nasional TVRI, dari pertama sampai tanggal 27 bulan setiap
bulannya. Suatu pandangan luas tentang Indonesia, sejauh yang bisa
dipastikan dari Buku saku statistik Indonesia dan statistik Tahunan Indonesia,
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
370

yang muncul untuk pertama kalinya pada tahun 1978; buku tahunan ketika
Timor Timur dimasukkan ke Indonesia dan saat ini batas nasional Republik
Indonesia sudah final.452 Sebagaimana kita lihat, bahwa negara akhirnya
bertransisi dengan keleluasaan lebih kepada daerah dengan kebijakan
otonomi daerah di tahun 1999.
Perjalanan sejarah yang cukup sarat dengan intervensi, penetrasi, kooptasi
eksternal, menjadikan setiap entitas di Riau Daratan melakukan strategi
adaptif terhadap perubahan lingkungan yang bermula sejak lebih separuh
milenium lalu, sebagaimana digambarkan Leonard Y.Andaya, persaingan
dalam memperebutkan akses terhadap sumber daya perdagangan di Selat
Melaka, telah berdampak logis pada pembentukan kharakter dua kutub yang
lambat laun semakin tegas perbedaannya, dan semakin jelas keterpisahannya
diabad ke-16 dan 17. Perubahan-perubahan sosial ini, terefleksi dan terpola
pada keruangan Riau Daratan; sebagai ruang interaksi dua kutub tersebut,
dan menarik Suku-suku Asli dalam percaturan kompetisi antar keduanya. Silih
berganti, pengaruh salah satu kubu mendominasi. Mengacu pada
pemeriksaan atas entitas darat – pesisir yang terlihat dipengaruhi dua kutub;
Minangkabau dan Melayu, sebagaimana digambarkan oleh para sarjana
Eropa akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 adalah terdikhotomi dengan
batas-batas tatanan kekerabatan yang seringkali bertumpang tindih dengan
batas-batas politis; kesamaan yang ditemui, barangkali adalah kesamaan
pengidentifikasian pada batas yang menjadi tema kita; darat dan pesisir.
Darat, yang mewakili pengaruh politi Pagaruyung dipegunungan, dengan
kekerabatan matrilineal dan adat kemenakan, menunjukkan jejaknya dalam
adat yang terpelihara dikalangan masyarakat pedalaman, sebaliknya, pesisir
sebagai eks perluasan wilayah Melaka-Johor di semenanjung, masyarakatnya
teridentifikasi dengan kekerabatan parental; Melayu, sebagai kebudayaan
yang menjadi identitas Riau Daratan. Bila kita mencermati Wilken, bahwa
penyebaran matriarkhat di Sumatra, sedang berada pada peralihan yang
signifikan dengan berlakunya “Hukum Ayah” diberbagai tempat yang
sebelumnya berlaku “Hukum Ibu,” realitas sosial yang ditemuinya akhir abad
ke-19. Bahwa proses parentalisasi berlangsung dengan sangat kuat, proses
yang juga didukung oleh politi penguasa pada wilayah yang dikuasainya, dan
tentu ini merupakan hal yang lumrah saja terjadi. Dapat juga digarisbawahi,

452 Kato Tsuyoshi, 1997, hal.752-755.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
371

bahwa dalam proses tarik-menarik pewarnaan ruang interaksi yang bernama


Riau Daratan ini, sedianya dimotori oleh mesin politi dalam melancarkan
ekspansi budaya; seperti Pagaruyung yang secara aktif menembakkan
pengaruhnya melalui para utusan, dan dengan keruntuhan kerajaan
pegunungan ini ditahun 1833, sebagaimana disampaikan telah merubah peta
politi-politi di darat. Sebaliknya, lanskap pesisir dalam proses teridentifikasi
sebagai Melayu, justru terjadi intens pasca kejatuhan Melaka sebagai akibat
invasi Portugis di tahun 1511. Tentu saja, proses pengembangan Alam Melayu
terjadi juga disebabkan kharakter Melayu yang sejak periode awal banyak
diadopsi melalui hubungan perdagangan di “Laut Melayu.”453
Riau Daratan, sebagai bahagian dari Republik Indonesia, dan sebagai bekas
jajahan Hindia Belanda, sudah barang tentu memiliki pengalaman sebagai
lahan implementasi kebijakan pemerintahan yang dikatakan sebagai non-
tradisional, modern, diawali melalui suatu proses pembaratan oleh Belanda
terutama dalam kehidupan politik kenegaraan. Belanda sebagai penjajah,
jelas melucuti segala potensi yang dapat mengakumulasi kekuasaan
dikalangan elit pribumi dan mengenalkan kharakter barat yang mudah untuk
dikontrol; sebab, Belanda menginginkan hubungan dengan negeri jajahan
dalam konteks di dikte, dan ini akan memudahkan dan meringankan
pekerjaan pemerintahan Hindia dalam menggenggam wilayah jajahannya.
Sebagaimana telah dipaparkan, Belanda lebih peduli bagaimana ia dapat
secara efektif melakukan pengawasan, pengaturan atas jajahan, meskipun
kebijakannya baik disadari ataupun tidak, akan mengabaikan batas-batas
tradisional lanskap taklukkan. Belanda, dalam melakukan pengaturan,
mungkin saja beranggapan telah berbuat yang terbaik dalam upaya untuk
tidak mengabaikan konsepsi tradisional lanskap, akan tetapi, seringkali
ditemui bahwa perluasan administrasi kewilayahan Hindia lebih kepada
orientasi ekonomi imperialis dalam upaya eksploitasi sumber daya menuju
pelabuhan, dan selanjutnya produk tersebut dibawa menuju pasar

453Konsep laut Melayu ini, diyakini bermula dari dokumen Arab; Tibbetts, Study of the Arabic
Texts, 43, 182, kemudiann diperkenalkan oleh Eredia pada tahun 1613, namun ia
mengidentifikasi hal itu dengan “enclosed” laut antara daratan Ujontana (Semenanjung Malaya)
dan Semenanjung Emas (Sumatera). Dengan mengistimewakan negeri di atas air, Eredia percaya
bahwa "Laut Melayu" disebutkan hanya untuk Selat Melaka. Lihat Mills, Erdia’s
descripstion,hal.42. Sementara Andaya, memandangnya secara lebih luas, sebagai suatu
pentasrifan komunitas melalui interaksi ekonomi dan kultural yang luas dan intensif, Leonard
Andaya, 2007.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
372

internasional. Kondisi ini, disebut sebagai proses teritorialisasi, yang


didefinisikan sebagai proses yang dilalui oleh semua negara modern dalam
membagi wilayahnya menjadi zona-zona politik dan ekonomi yang kompleks
dan saling bertumpang tindih, mengatur kembali penduduk dan sumber daya
didalam urut-urut ini, dan membuat aturan yang membatasi bagaimana dan
oleh siapa wilayah ini dapat dimanfaatkan.454 Bahwa sebagaimana terlihat,
model teritorialisasi, bukanlah suatu ciri pemerintahan dimasa pra-kolonial,
akan tetapi dimasa kolonial dan sesudahnya, dengan tujuan utama; kontrol
atas sumber daya. Akibatnya bagi politi darat dan pesisir, aksesnya untuk
berhubungan dengan dunia luar mulai terkebiri seiring penetrasi kolonial
yang mengalihkan sebahagian hak dan wewenang politi menjadi wewenang
birokrasi penjajah dalam proses teritorialisasi itu, meski pada tahap tertentu
Belanda tetap mengakui status dan kedudukan penguasa tradisional yang
sebenarnya juga dominan memuat kepentingan penjajah.
Memasuki periode Republik, hubungan dengan dunia luar ini pun berubah;
kerajaan digantikan oleh negara pusat, maka proses pemencilan pun terjadi
dalam kurunisasi panjang orde lama-orde baru. Selain itu, gelombang revolusi
sosial yang berdarah-darah di Sumatra Timur dimasa revolusi phisik, dapat
saja tidak terjadi di Riau Daratan, akan tetapi dipercaya memiliki efek yang
sama terhadap keberadaan politi-politi kuno yang saat itu masih mampu
bertahan, hingga akhirnya melebur kedalam republik baru dibawah Sukarno-
Hatta. Pemerintahan Republik, nampaknya juga mengadopsi pola sama;
perspektif utara-selatan, sebagaimana pusat mengendalikan pheripheri.
Pembagian wilayah Republik dalam provinsi dan kabupaten, adalah
menempatkan homogenitas dalam keruangan administratif. Akan tetapi,
penyeragaman memencilkan keberagaman. Sebagai contoh adalah Siak,
yang semula berstatus sebagai ibukota negara(kerajaan) hanya menjadi
ibukota distrik ataupun kecamatan. Pemencilan hebat yang meminggirkan
prestise; bahwa entitas yang semasa prakolonial hingga era Hindia masih
menjadi pusat identitas Melayu di daratan yang memiliki koneksi langsung
dengan negara-negara di dunia internasional, tiba-tiba terhenti dengan
dimasukinya era republik. Bagi dunia Riau Daratan, disatu sisi adalah
perwujudan nasionalisme Sultan Siak terakhir, Sultan Syarif Kasim II,
sementara disisi lainnya, merupakan ironi dari suatu perubahan besar dalam

454 Definisi oleh Vandergeest dan Peluso,1995, 387, 21.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
373

sejarah Riau Daratan, sebagai imbas atas perubahan dari bangsa terjajah
menuju alam kemerdekaan.
Perjalanan kesejarahan dengan pengalaman traumatik dibawah Sumatra
Tengah yang dituding sebagai Sumatra Barat sentris, menjadikan provinsi
Riau pada awal berdirinya benar-benar memiliki rasa keberpaduan antara
kepulauan – Daratan, 455 akan tetapi, ruang berbeda ini yang semakin
dipertegas dengan penarikan ibukota provinsi dari Tanjung Pinang di
Kepulauan ke pekanbaru di Daratan, pada akhirnya membuktikan, bahwa
jejak independensi Riau Daratan yang digusung Raja Kecil dengan pendirian
kerajaan Siak ditahun 1722 telah memenangkan dirinya atas batas-batas eks
Melaka kuno melalui pertarungan Kepulauan – daratan, untuk masing-masing
berdiri sendiri dan lepas-terpisah. Keterpisahan ini, memang semakin
mempertegas bahwa Riau Daratan benar-benar satu entitas mapan yang
dimulai lebih dari tiga abad lalu, sementara disisi lainnya, juga semakin
meningkatkan hubungan fluktuatif darat – pesisir, terlebih di era otonomi
daerah dimana masing-masing lokalitas diperkenankan untuk menggali tidak
hanya potensi daerah, melainkan juga untuk menegosiasikan ulang identitas
daerahnya sendiri.
Perlu juga dipertimbangkan, mengingat bahwa dalam masyarakat tradisional,
raja berfungsi sebagai pusat yang terhubungkan dengan dunia kosmis.
Mithologi ini mungkin saja tergambar dalam pola keruangan didunia Melayu
dimana pemukiman massa berorientasi kepada istana, dan bukan pasar.
Ketiadaan raja sebagai sumber, menjadi sebab keterputusan koneksi yang
telah berlangsung lama diera sebelumnya. Maka, massa-hamba seakan
digiring menuju pada kesamaran identitas sebagai akibat proses de-legitimasi
sang pusat dunia kosmis dan peradaban; sebagaimana telah disampaikan,
bahwa raja dalam “Dunia Melayu,” raja adalah pusat segala aspek kehidupan.
Akan tetapi, meskipun raja berperan sebagai sentral, ia tidak bekerja
sendirian saja, melainkan dibantu oleh berbagai status yang diperankan
dalam ruang yang aristokratis; dengan seperangkat gelar yang tidak saja
berlaku dikalangan Melayu, bahkan juga Orang Asli. Status dan peran ini

455
“Keberpaduan” ini bahwa pembentukan provinsi Riau, dilakukan secara bersama-sama oleh
berbagai kalangan di Kepulauan dan Daratan. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat; Tufik Ikram
Jamil dikk, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Cetakan ke-3, tahun 2003.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
374

bukanlah hampa, akan tetapi benar-benar merefleksikan situasi dan kondisi


sosial, ekonomi dan budaya politi-politi tradisional saat itu.
Sebagaimana disampaikan, perubahan menggeser keseluruhan tatanan ini
dengan orde yang sama sekali baru. Akibatnya, ekspansi dari berbagai ruang
lingkungan terdekat terhadap ruang-ruang homogen dijawab dalam
gambaran kerinduan akan periode yang terputus dan menghilang. Jika tidak,
tentu saja di era otonomi daerah, daerah-daerah di Indonesia tidak perlu
bersusah payah membangkitkan kembali keberagaman politi kuno tersebut
sebagaimana terekam dalam Festival Kraton Nusantara. Dapat juga
dikatakan, arah identitas yang guncang dengan runtuhnya tatanan lama, akan
terus dipenetrasi oleh terma-terma baru yang dilancarkan oleh negara-pusat;
identitas yang nampaknya sebagaimana telah disampaikan, dikonstruksi
melalui penyebaran ruang-ruang homogen dari pembagian kewilayahan
administrasi; penyeragaman dalam suatu provinsi yang jelas saja
mengabaikan keberagaman lokal. Homogenisasi kewilayahan, di Kuantan
telah membagi politi tidak persis sama dengan yang dahulu, dan sesuai
dengan sifat perspektif utara-selatan yang mengedepankan kesamaan, jelas-
jelas Kuantan dikatakan tidaklah kebal dengan perlakuan situasi yang
menggiringnya pada bentuk-bentuk lokalitas yang berbeda; selain itu, lima
orang gadang dan penghulu yang berperan aktif membantu raja Kuantan
dalam menyelenggarakan pemerintahan hingga era Hindia Belanda, menjadi
tidak berdaya di masa Repubik terutama ketika memasuki era tahun 1970-an.
Sebagaimana telah disampaikan, bahwa Kuantan masa Hindia, telah
menempatkan ruangnya dalam kondisi interaksi intens - aktif dan terus
menerus dengan dunia luar.

Akan tetapi, terjadi “perubahan halus” yang dalam hal ini di bidang
budaya. Kuantan berhenti menjadi bahagian dari Dunia
Minangkabau456, dan sepertinya alam Minangkabau pun semakin
teridentifikasi dengan Karesidenan Pantai Barat Sumatera. 457
Proses identifikasi Minangkabau dengan Pantai Barat Sumatra yang sekarang
dikenal sebagai provinsi Sumatra Barat sebagaimana diuraikan Gusti Asnan,

456
Kato Tsuyoshi, 1997, hal. 749.
457
Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the
1950s.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
375

maka tentunya, secara sederhana dapat dikatakan bahwa Sumatra Barat


sebagai Minangkabau, dan entitas diluar perbatasan sebagai bukan
Minangkabau. Kondisi ini, menjadi penjelasan logis bahwa politi di “rantau
timur” akan menegosiasikan kembali identitasnya, dan tentu saja yang
relevan dengan ruang dinamis provinsi yang menaunginya; Riau, yang
teridentifikasi sebagai Melayu. Proses ini, berlangsung dalam tahapan
perkembangan sebagaimana yang terjadi di rantau Kuantan itu sendiri.
Dapat dikatakan bahwa pasca politi tradisional melintasi periode rezim
Hindia Belanda, orde lama dan orde baru, identitas Melayu telah mapan
diseluruh wilayah provinsi Riau (kepulauan maupun daratan), tak terkecuali
pada darat – pesisir. Kebhinekaan diterjemahkan sendiri oleh penguasa,
seperti Orde Baru yang memerlukan tingkat keberagaman yang pasti dan
terkendali guna memperkuat “persatuan” versi pemerintah. 458 Para ahli,
sering melihatnya pada maket ke-Indonesia-an di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII), dimana masing-masing provinsi diwakili oleh bentuk rumah adat
sebagai yang ditetapkan secara resmi, baku, sebagai bentuk rumah adat di
provinsi dimaksud. Sementara itu, model atap adat yang diterapkan pada
bangunan-bangunan pemerintah, atau bahkan swasta, dikatakan sebagai
manifestasi aspirasi elit penguasa yang terwakili pada gaya atap itu dan di
provinsi Riau adalah selembayung sebagai khas identitas Melayu. Ini jelas-
jelas secara perlahan menjadi salah satu pendorong tumbuhnya kesadaran
akan suatu rasa kesamaan identitas dalam suatu provinsi. Di Riau Daratan,
jelas saja, kesadaran ini mewujud dalam pengakuan sebagai Melayu. Baik di
darat ataupun pesisir, maka di era kekinian identitas Melayu sebagai jati diri
yang dilafaskan dan dituliskan. Darat, dengan ciri adat Minangkabau, akan
dikatakan sebagai adat yang berasal dari Minangkabau, akan tetapi dalam
berbagai kesempatan, elit dan juga massa, senada akan menyuarakan bahwa
mereka adalah Melayu, dan kondisi ini menjadi gejala umum 459 di pedalaman
Riau Daratan menjelang dan memasuki milenium ke-3, kesadaran Melayu
(Malay Conciousness). Phenomena perubahan ini, sebagaimana berlangsung

458
Kahn Bab 3, Pemberton, 1994, dalam Tania Muray Li, 2002, hal.19
459Bahwa di Kampar, penguatan Kemelayuan salah satunya terutama dikaitkan dengan
keberadaan situs Candi Muara Takus yang dikatakan sebagai “Pusat peradaban Melayu Tua di
Nusantara” oleh Prof.Suwardi Ms, dalam seminar Nasional “Menelusuri Kegemilangan Muara
Takus,” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning, Lihat dalam “Muara Takus Sebagai
Mata Air Peradaban,” Riau Pos, 1Juni 2015.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
376

di hulu sungai Kampar sebagai dampak relokasi pemukiman, dimana


pemukiman lama ditenggelamkan demi kepentingan pembangunan waduk
pembangkit tenaga Listrik.460 Sehingga dapat dikatakan,
bahwa mungkin saja “pengembangan Alam Melayu” tidak hanya
mencakup lanskap di pesisir, akan tetapi telah meluas hingga ke
wilayah pedalaman di Riau Daratan.
Penetrasi perspektif utara – selatan telah mereduksi hubungan tua ekonomi
pesisir - semenanjung ke dalam terma legal-formal. Bayangan akan
perdagangan aktif di Selat yang telah berlangsung ribuan tahun dengan
kompleksitas entitas sebagai pelaku aktifitas pertukaran komersial disana;
perluasan jaringan kekerabatan yang melibatkan orang asli, Minangkabau dan
Melayu yang melebur dalam ke-Melayu-an di pesisir timur, digantikan oleh
dominasi superioritas Eropa Inggris-Belanda yang bahkan membelah terpisah
antara pesisir timur dan Semenanjung bagai dua bersaudara yang coba
direngut pertaliannya dan dikotak-kotakkan dalam politik teritori. Hubungan
tradisional antar entitas sebagai suatu kelaziman dikalangan bangsa Melayu,
digantikan oleh hukum positif barat yang menuntut berbagai varian campur
tangan negara didalam aktifitas kuno tersebut. Perjanjian 1824 antara Inggris
Belanda, menempatkan para penguasa Eropa ini tidak memiliki kewenangan
untuk “mengatur” teritori sebagaimana yang dimilikinya, dan ini berarti
mereka harus bertindak lebih; Tagliacozzo menggambarkan proses bertindak
lebih ini sebagai proses pemetaan, eksploring, negosiasi, klasifikasi,
pengumpulan, penetapan pajak, kebijakan dan pemerintahan batas-batas
yang membagi antara British di Malaya dan Belanda di Hindia. 461 Salah satu
dampaknya, lanskap di hilir sungai Rokan, bagaimanapun juga, diasumsikan
secara bertahap mengalami resistensi dalam hubungan tradisional yang

460 Dikatakan bahwa pembangunan waduk Koto Panjang diperbatasan Riau – Sumatra Barat yang
menenggelamkan 10 desa(dua di Sumatra Barat dan 8 di Riau) disertai relokasi pemukiman baru,
telah menjauhkan generasi berikut dengan identitas lama, dan menyebabkan diadopsinya
identitas baru yang sesuai dengan kerangka kewilayahan administrasi Riau: Melayu. Lihat Gusti
Asnan, “Dinamika Sejarah dan Ulayat Rantau XIII Koto Kampar” dalam Alfan Miko (ed.),
Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas University Press, 2006, hal. 284-302.
Lihat juga Witrianto, Pemukiman Baru Identitas Baru: Studi Kasus Masyarakat Relokasi Proyek
PLTA KotoPanjang DI Perbatasan Sumatra Barat – Riau; Makalah disampaikan pada Seminar
Hubungan Indonesia Malaysia tanggal 1-2 November 2010 di Universitas Andalas Padang.
461 Tagliocozzo, 1999, dalam “Secret Trades of the Straits: Smuggling and State Formation Along a

South Eastern Sabah,” Kuala Lumpur, Oxford University Press.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
377

mengedepankan “jejaring persaudaraan” Ini. Akan tetapi, sulitnya akses ke


pedalaman dan terlalu jauhnya jarak ke pusat, menjadikan hubungan dengan
alam semenanjung tetap sebagai yang utama; seorang akan mengingat
bahwa kaum doeloe biasa melakukan perdagangan ke Semananjung
membawa hasil hutan untuk dipertukarkan, bahwa tidak mungkin menunggu
barang-barang datang dari Jawa misalnya, yang tentunya membutuhkan
waktu yang cukup lama; kegiatan yang umum dilakukan di pesisir.
Sementara itu juga, reorganisasi di era otonomi di hilir sungai Rokan yang
mengambil batas-batas dari kewilayahan tua yang bersumber dari tiga
lanskap; Tanah Putih, Kubu dan Bangko sebagai tradisi yang dibakukan oleh
Belanda melalui penetapan Onderafdeeling Bagansiapiapi, menjadi bahan
bakar bagi menguatnya gambar imajiner tentang kejayaan masa silam dimana
hilir merupakan pusat pengendali negeri-negeri darat sebagai pheripheri;
gambaran yang jika ditarik ke terma provinsi, akan bertolak belakang dengan
kondisi faktual kekinian; lompatan kemajuan Pekanbaru sebagai ibukota
provinsi yang berlokasi dipedalaman; dampak keberpihakan ekonomi ke
daratan.
Meskipun Pekanbaru awalnya berdiri sebagai representasi kekuasaan
politi hilir tepat di jantung Sumatra Tengah, perkembangannya pasca
kolonial hingga era kekinian, dapat saja membuat entitas dipesisir
memandangnya bagai batas-batas yang berbeda layaknya tampak
dari kejauhan.
Dengan terbentuknya Provinsi Riau, maka Bagansiapiapi sebagaimana era
Belanda, menjadi bahagian dari Daerah Swatantra Tingkat II Bengkalis dengan
luas kewilayahan yang lebih kurang sama dengan Onderafdeeling
Bagansiapiapi. Hingga era 1980-an, koneksi Bagansiapiapi dengan dunia luar
adalah melalui jalur transportasi air; jika warga Bagansiapiapi ingin bepergian
ke ibukota di Pekanbaru, maka ia harus terlebih dahulu menggunakan sarana
transportasi air menuju Dumai, dan dari sana dilanjutkan menggunakan
kendaraan darat. Suatu perjalanan yang memakan waktu, sehingga akan
dikenang juga gambaran sebagai perjalanan dengan dilepas oleh ramainya
kerabat sebagaimana layaknya perjalanan jauh. Bahwasanya, akan lebih
dekat dan mudah bagi warga di pesisir Rokan ini untuk bepergian ke Malaysia,
ataupun Kepulauan sebagaimana di era doeloe. Pada awal tahun 1990-an,
dilakukan penyempurnaan pembuatan jalan darat dari Bagansiapiapi menuju
Jalan lintas negara Jakarta – Aceh yang terletak 70km ke arah hulu.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
378

Kedekatan geografis, juga memungkinkan bagi kalangan di pesisir untuk lebih


mudah memperoleh akses informasi dari semenanjung melalui media televisi
ataupun radio, daripada penyampaian oleh pusat di pedalaman.

Riau Pasca Kerajaan Melayu


Dapat dikatakan, proses identifikasi Riau sebagai Melayu, berpuncak pada
masa kerajaan Melayu hingga menjelang pendudukan Jepang tiba.
Sebagaimana yang terjadi dikalangan Suku Petalangan di Kampar, periode
pedudukan Jepang diidentifikasi sebagai awal dari keterisoliran kembali
mereka dari kehidupan sosial. Terdapat klaim bahwa kontak ekonomi dan
sosial benar-benar eksis dibawah kerajaan Melayu, dan beberapa mengikuti
pada era republik. Bagaimanapun juga, Revolusi sosial sebagai perubahan
besar dan cepat dari tatanan politik, masyarakat, dan perubahan ekonomi
menuju kondisi “susah” seiring collaps-nya pasar, penempatan nilai-nilai dan
rasa “cemas” untuk menunjukkan dukungan atas struktur feodal dimasa lalu
itu, dikatakan menimbulkan apa yang dinamakan sebagai “kebingungan
budaya” (cultural confusion) dikalangan Melayu; yang terefleksi pada
jarangnya penampilan kebudayaan yang merupakan ekspresi nilai adat
budaya (Tenas Effendi, 1990b;5). Kondisi ini, bertepatan dengan lompatan
kemajuan dibidang industri Televisi dan juga Radio, dimana era kevakuman
budaya ini banyak diwarnai dengan penampilan budaya non-melayu.462
Ketika pemerintah Orde Baru menempatkan program pengembangan
kebudayaan, sejumlah tradisi lisan ataupun kesenian telah punah sebagai
akibat wafatnya para penjaga tradisi tersebut ataupun berada dalam kondisi
“uzur” sehingga tidak lagi mampu untuk aktif dalam kegiatan pengembangan
kebudayaan Melayu. Selama rentang periode ini pula; “kebingungan budaya,”
suku Petalangan dan suku dari orang asli lainnya tidak terlibat aktif dalam
parade tatanan ekonomi dan dunia baru. Sebaliknya, mereka terlihat kembali
kepada akar tradisionalnya yang menyediakan tatanan subsistensi sosial dan
ekonomi yang dirasa sebagai lebih aman. Dalam situasi ini, maka Orang Asli

462 Dalam era ini, sebagai ilustrasi adalah dalam penyiaran radio siaran sebagaimana terdapat di
ibukota Provinsi; Pekanbaru, hingga memasuki awal tahun 1990, masih didominasi “gaya”
Jakarta-Jawa, dan barat; hingga muncul satu radio siaran Soreram Indah’ (RSI), yang menfokuskan
diri pada pengembangan budaya lokal; Melayu. Lihat Suryadi, “Identity, Media and the Margins:
Radio in Pekanbaru, Riau”, Journal of Southeast Asian Studies, Vol.36, tahun 2005.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
379

akan mempertahankan substansi dasar dari keseniannya; tradisi lisan,


kerajinan tradisional dan produk budaya lain yang di masa kekinian, dilihat
oleh sebahagian pihak sebagai elemen recovery dari identitas Melayu mereka
sendiri.463 Selama periode ini pula, nampaknya kisah suram Melayu di Riau
seakan menjadi bahagian dari lompatan perkembangan ekonomi yang ada;
Rezim Orde Baru membuka seluas-luasnya perkebunan di Riau, sebagaimana
provinsi tetangganya Sumatra Utara yang telah lebih dulu dan juga
perkembangan perkebunan modern di luar Jawa. Selain itu, Riau juga
merupakan lokasi yang kaya dengan sumber daya Minyak bumi.
Bagaimanapun juga, perkembangan ekonomi telah meningkatkan
heterogenitas di Riau. Akan tetapi, ekonomi perkotaan nampaknya
didominasi non-Melayu yang sebahagian telah bermigrasi ke Riau bahkan
sebelum Belanda tiba disini, dan mereka telah memiliki pengaruh yang
signifikan dalam perdagangan di kawasan Riau.
Hingga Indonesia berada pada periode booming minyak, menurut Laporan
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK), masyarakat
Riau hanya memperoleh sedikit saja keuntungan dari distribusi bagi-hasil
provinsi, dari kontribusinya untuk nasional melalui sumber daya; Minyak
bumi, mineral, hutan, industri perkebunan, dan lainnya seperti dari pariwisata
(Mubyarto, 1992; 4-6). Terjadi kesenjangan tinggi dalam pembangunan, baik
makroekonomi maupun mikro ditingkatan desa; yang menunjukkan bahwa
tidak “menetesnya” profit ekonomi pada tingkatan lokal di Riau. Pada tahun
1970-an, pemerintah pusat mendesain pulau Batam sebagai suatu pusat
pertumbuhan ekonomi, dan ini nampaknya menjadi sebuah kisah sukses
bagaimana tempat ini menjadi pusat perkapalan, kemajuan teknologi,
perdagangan dan juga pariwisata. Sementara itu, tetangga-SIngapura, seakan
menemukan tempat yang relative lebih murah bagi penempatan industrinya.
Kita mengenal Barelang (Batam-Rempang dan Galang), kemudian SIJORI
(Singapura-Johor-Riau) yang dimulai pada tahun 1978. Kondisi ini,
menjadikan Riau “memimpin” pertumbuhan ekonomi dan juga nampaknya
seiring dengan terjadinya peningkatan migrasi dari luar daerah menuju Riau.
Diskursus kultural yang berkembang saat itu, bahwa meskipun Riau berada
dalam lompatan ekonomi, Melayu Riau dikatakan kurang beruntung. Dikota-
kota Riau, Melayu termarginalkan secara ekonomi, dan issue yang

463
A.Turner, Cultural Survival, Identity and the Performing arts of Kampar’s Suku Petalangan,
dalam Bijdragen tot de Taal-en Volkukende, Riau in transition 153, 1997. No.4 Leiden, hal.658.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
380

berkembang pun mengerucut sebagai akibat dari tekanan struktural dan


ketimpangan dari rezim Orde Baru-Jakarta; yang mengkondisikan pribumi
lokal menjadi tidak berdaya. Hanya sedikit saja Melayu Riau yang terlibat
dalam sektor modern dan pertambangan minyak, perkebunan skala besar dan
industri high technology seperti di Batam, sehingga, Melayu Riau tidak dapat
menjadi Tuan di negerinya sendiri. Para pemimpin dan intelektual di Riau,
meyakini bahwa otoritas Pusat sebagai penyebab dan harus segera
menyelesaikannya. Dengan kebijakan otonomi daerah, maka Melayu Riau
memperoleh kekuatan politik, yang sayangnya, hingga awal abad ke-21,
marginalisasi ekonomi tampaknya tidak banyak berubah.

Gambar 8.3.Sultan Syarief Kasim II,


gambar diambil antara tahun 1915-1925. Sumber:KITLV.

Bahwa kemakmuran Melayu di negeri jiran juga telah menarik Melayu Riau,
yang terasa lebih dekat ke Kuala Lumpur dan Singapura daripada ke Jakarta.
Namun, ketertarikan ini tidaklah berlangsung mutualis. Melayu Malaysia dan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
381

Singapura, memposisikan batas-batas yang tegas pada teritorinya, dan


Melayu Riau yang memasuki Malaysia dan Singapura secara illegal, akan
dikatakan sebagai “pendatang haram.” Hal ini, sebagaimana dikatakan
Suryadi; merupakan kenyataan yang menyakitkan bila mengenang era
pendahulunya yang dapat dengan mudah berlayar ke Semenanjung seperti
Melaka, baik untuk berdagang ataupun untuk sekedar berkunjung. Pada
situasi ini juga, marginalisasi Melayu Riau terefleksi pada karya-karya sastra.
Nasib Melayu, menjadi topik utama dalam berbagai seminar ataupun
pertemuan akademis. Kemuliaan tradisional politi-politi Melayu dihancurkan
oleh koloni barat diabad ke-19, dan kemudian upaya serius untuk penguatan
solidaritas dikalangan Melayu Riau, nampaknya tumbuh dalam bentuk
diaspora Melayu. Identitas Melayu, juga dipromosikan dalam berbagai
bidang, seperti karya seni, Sastra dan akademik. 464 Selain itu, pemerintah
provinsi Riau menempatkan visinya sebagai pusat kebudayaan Melayu tahun
2020. Konsekuensi logis adalah, berbagai program budaya dan pariwisata
telah dipromosikan dalam rangka merealisaskan visi ini, bahkan hingga level
internasional. Meskipun even sejenis juga terdapat di provinsi lainnya, di
Riau, menjadi berbeda. Hal ini disebabkan Melayu Riau memapankan
hubungan hingga dengan entitas diluar Indonsesia, bahkan sesekali waktu
dengan entitas di luar dunia Melayu. Menurut Suryadi, ini adalah aksi
simbolik Melayu Riau yang menempatkan diri pada posisi inti, setelah berada
pada penempatan posisi pheriperi oleh dominasi rezim Orde Baru. Selain itu,
akibat dari menonjolnya realitas ketimpangan alokasi hasil sumber daya
menjelang runtuhnya rezim orde baru; tampak sebagai ketidakadilan dan
“pemiskinan struktural” yang menjadi pendorong hebat beberapa
perkembangan politik dan budaya saat itu seperti “Gerakan Riau Merdeka,”
pembentukan provinsi “Kepulauan Riau,” dan juga usulan untuk membuat
provinsi “Riau Pesisir.” Akan tetapi, issue “merdeka” ini, nampaknya terdapat
ahli yang melihatnya hanya memiliki sedikit kekuatan, dan Freek Colombijn
mengaitkannya sebagai refleksi perjuangan Melayu Riau untuk menemukan
suatu “identitas nasional Riau.” Mungkin saja, ini merupakan bahagian dari
permasalahan yang ada, bahkan sebagaimana para ahli terkadang

464 Will Derks, “Poet and power in Pekanbaru: On burgeoning Malay consciousness in Indonesia”,
in IIAS Yearbook 1994, ed. Paul van der Velde (Leiden: International Institute for Asian Studies,
1995), pp.60-72; Derks, “Malay identity works”, BKI, 153, 4 (1997): 699-716; Derks, “A literary
mycelium: Some prolegomena for a project on Indonesian literatures in Malay'”, Journal of
Southeast Asian Studies (henceforth JSEAS), 32, 3 (2001): 378-82.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
382

menuduhkan, bahwa secara kultural dan politik, Riau (Kepulauan dan


daratan) tidak pernah benar-benar diikat dalam satu kesatuan; 465 jejak
awalnya, sebagaimana dapat ditelusuri dari kesatuan politis eks wilayah
Melaka, dimana pengaruhnya didaratan, semakin jauh ke pedalaman terihat
semakin berkurang. Kondisi ini, dipertegas dengan keberagaman kultural yang
paralel dengan kondisi-kondisi ekologi yang menjadi kharakter Sumatra.
Menjelang pergantian milenium, reformasi 1998 telah membuahkan otonomi
daerah (1999) yang juga berdampak pada Bagansiapiapi, pembentukan
kabupaten Rokan Hilir. “Keterputusan” Bagansiapiapi dengan dunia luar,
khususnya entitas di pedalaman Sumatra seolah saja terakhiri dengan
penyempurnaan akses jalan darat menuju pedalaman, akan tetapi, bayangan
akan kemegahan transaksi dalam perdagangan di dunia selat, tidak dapat
terhapuskan dalam waktu satu malam saja. Jakarta, pada awal pendirian
provinsi Riau tahun 1958, boleh saja telah menarik sumbu ekonomi ke
jantung Riau Daratan (Pekanbaru) dipedalaman sebagai terletak ditepian arus
ekonomi Sumatra - Jawa, akan tetapi bagi Bagansiapiapi dan secara umum di
hilir sungai Rokan, ketertarikan dan kemudahan hubungan dengan seberang
selat sebagaimana telah berlangsung berabad-abad, dan sulitnya akses ke
ibukota provinsi di pedalaman, menjadi persoalan yang tapak-nya menjejak
jelas hingga hari ini; orientasi yang berbeda dengan darat. Akan tetapi, ini
saja belumlah cukup. Memori kolektif tentang masa lampau akan kejayaan
Kerajaan Rokan dan Bagansiapiapi sebagai sentra penghasil ikan terbesar di
Hindia bahkan dunia, dan pengalaman kegelisahan selama berada dibawah
rezim Siak hingga orde baru, menjadi fitur utama yang dapat saja
membayang-bayangi orientasi dalam pemapanan identitas saat ini dan
kedepan. Bagansiapiapi, dengan pengalaman historis sebagai kota yang
mendunia, dapat dengan mudah membangkitkan cita-cita yang mengacu
pada kemahsyuran masa silamnya; cita-cita yang berarti melengkapi diri
dengan peran abadi sebagai pusat sentrifugal layaknya politi-politi pesisir.
Kesenjangan visi ini, diperlebar dengan ketidaksamaan sebagai akibat

465
Tsoyushi Kato, “Typology of cultural and ecological diversity in Riau, Sumatra”, in
Transformation of the agricultural landscape in Indonesia, ed. Narifumi Maeda and Mattulada
(Kyoto: Centre for Southeast Asian Studies, 1984), pp. 3-4; Colombijn, “When there is nothing to
imagine”, hal. 346-51.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
383

“perbedaan” dunia pesisir dengan alam darat; sementara itu juga tarikan
perspektif utara – selatan untuk menjauhkan pesisir dari semenanjung
terlihat sebagai dampak perlakuan orientasi ekonomi darat(an); akan tetapi,
nampaknya tidaklah benar-benar dapat membawa pesisir terbawa dalam
tarikan darat yang berperan sebagai pusat gravitasi; bahwa politi-politi pesisir
tetap bergerak dalam orbitnya sendiri. Otonomi daerah tahun 1999, telah
membuka ruang seluas-luasnya bagi daerah untuk mendefinisikan ulang
identitas dan batas-batas jati diri terkait dengan kewilayahannya masing-
masing. Kata “masing-masing” ini juga menunjukkan, bahwa arah
perkembangan, meskipun dapat mengindikasikan tertarik pada kutub pesisir
dan darat, entitas tetap berpijak pada latar kesejarahannya sendiri yang
mungkin saja “overlap” antara batas-batas etnis dan administratif, atau
bahkan, tidak hanya dapat menggeser relasi kuno antar politi, melainkan juga,
tarik-menarik, dipastikan akan terjadi aktiff dalam konteks kategorisasi itu
sendiri terlebih dengan dinamisasi proses kesejarahan hingga akhir abad ke-
20; Riau daratan sebagaimana telah diprediksi, pasca terpisahnya Kepulauan
akan membangkitkan kembali dinamika barat – timur yang dimasa
sebelumnya terbenam dalam “homogenisasi,” teritorialisasi dan juga
“pemencilan” melalui perspektif utara – selatan.
Penguatan lokal, membantu upaya negosiasi ulang identitas dan orientasi,
dan kondisi ini akan berkembang dinamis selama menyangkut tema ataupun
issue yang relevan bagi darat - pesisir. Sebagaimana telah berlangsung antara
Kepulauan – Daratan, maka, reorientasi bangunan suprastruktur di darat dan
juga perkembangan dinamis di pesisir, dipastikan menjadi pertanda,
sebagaimana banyak terdapat dalam literatur barat menjelang tutup
milenium ke-2, proses dinamis yang nampaknya masih terus berlangsung
hingga saat terakhir, bahwa,
Riau Daratan benar-benar tengah berada dalam transisi.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
384

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
385

9
Penutup

Setelah melalui pemaparan dari bahagian-bahagian sebelumnya, bahwa


terdapat pokok-pokok sebagai berikut:
Kisah “Riau” (Kepulauan – Daratan) yang diawali dari wilayah eks
kekuasaan imperium Malaka, sebagai bahagian dari “dunia Melayu,”
secara teritorial dipisahkan dari dunia Melayu Semenanjung oleh
perjanjian Inggris – Belanda tahun 1824; dan mencapai puncaknya
pada pembentukan Provinsi Riau tahun 1958; Kepulauan sendiri
sebagaimana telah berpisah melalui pemekaran provinsi Riau
Kepulauan pada tahun 2002, sementara Daratan, memiliki sejarah
panjang terutama hubungan darat – pesisir yang terkait dengan
perdagangan di Selat Malaka; Perdagangan, sebagaimana di Selat
Malaka dan belahan bumi lainnya, di Riau Daratan merupakan aktifitas
kuno yang telah merekatkan darat – pesisir, bahwa gerakan menghilir
para pembawa hasil sumber daya melalui sungai sebagai jalan raya,
telah mempertemukan entitas dataran tinggi – hulu, dengan Orang Asli
dan juga Melayu di pesisir dan Semenanjung; Kontak yang diyakini
berlangsung berabad ini diyakini intensif terjadi pada paruh kedua
milenium – sehingga pertemuan ini tidak hanya bersifat ekonomi
semata, melainkan juga terjadinya akulturasi antar entitas yang
terlibat dalam aktifitas perdagangan; Minangkabau, Orang Asli dan
Melayu; Sesuai dengan sifat pengembangan alam Melayu yang terkait
dengan perluasan jaringan kekerabatan, maka perdagangan telah
menjadi media komunikasi antar entitas yang berbasis saling percaya,
diyakini terwujud dalam hubungan kekerabatan diantaranya melalui
perkawinan; bentuk-bentuk akulturasi yang terefleksi dalam forklore,
hikayat ataupun legenda, dan nama atau gelar, serta struktur politi
dan juga kekerabatan;

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
386

Struktur kekerabatan yang mencerminkan kondisi tatanan sosial dalam


lingkup yang luas, di Riau Daratan merefleksikan dominasi dua entitas;
parental dan matrilineal. Studi Wilken menemukan bahwa diwilayah
pesisir yang berada dibawah hegemoni Melayu Johor selama dua abad
adalah kekerabatan khas Melayu yang parental; adapun lanskap hulu,
memiliki kekerabatan matrilineal seperti yang terdapat di lanskap
dataran tinggi; Dengan melihat domain Siak dalam hubungan hulu –
hilir, terutama semenjak Raja Kecil mendirikan kerajaan Siak di
Buantan yang didukung oleh Minangkabau; diasumsikan mendekatkan
otoritas pesisir dengan darat;
Bahwa benar terdapat keseragaman yang tinggi di dataran rendah
timur, yang meliputi bahasa, kebudayaan dan agama, meskipun situasi
politi disatu sisi dapat memperkuat hubungan antar lanskap pesisir,
akan tetapi dapat pula berbeda disisi lainnya. Seperti hubungan antara
negeri di hilir sungai Siak dan Kampar, Siak dan Pelalawan yang
merupakan hubungan “Saudara,” akan tetapi tidak terelakkan adanya
rivalitas antar keduanya; kemudian hubungan dominasi Siak terhadap
lanskap di hilir Sungai Rokan. Tiga lanskap; Tanah Putih, Kubu dan
Bangko yang melalui perjanjian tahun 1858 antara Belanda – Siak
dimasukkan sebagai wilayah taklukkan Siak, diasumsikan gelisah,
dimana Belanda secara jelas merekam bentuk-bentuk kegelisahan
disana pada akhir abad ke-19. Mungkin saja, sepanjang akhir abad ke-
19 dan awal abad ke-20, aspirasi untuk membentuk negeri berbasis
kerajaan Rokan kuno yang meliputi kawasan sepanjang sungai Rokan
mulai dari hulu hingga hilir terasa lebih “menggoda” ketimbang
bergabung sebagai negeri bawahan Siak, bahwa ikatan eks kerajaan
Rokan itu telah memotong dikhotomi darat – pesisir(?) konflik antara
Zainal Abidin dengan Siak (tanpa mengabaikan sebagai ulah Belanda)
merupakan salah satu contohnya. Halnya dengan negeri di hilir sungai
Indragiri, mereka memiliki hubungan tradisionalnya dengan Riouw
Lingga dimana Belanda sendiri tidak pernah merubah hubungan
tersebut hingga berakhir masa kekuasaannya. Pemetaan politis ini,
jelas merupakan sekat-sekat yang dapat memudarkan ikatan lama ke-
Melaka-an;
Penetrasi Kolonial Belanda di Riau Daratan telah membentuk tatanan
baru hubungan darat - pesisir diawal abad ke-20, ketika negeri-negeri
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
387

dimodernisasi ala barat demi kepentingan ekonomi imperialis-kapitalis


penjajah. Penggabungan wilayah yang dilakukan pemerintah Hindia,
memang benar terlihat bagai telah mempertimbangkan konsepsi
ruang tradisional politi lokal, namun tidak jika dilihat dalam konstelasi
hulu – hilir. Penyatuan rantau Kuantan kedalam Afdeeling Indragiri
yang berada dibawah residensi Riouw en Onderhoorigheden,
sementara lanskap hulu lainnya berada di bawah Afdeeling Bengkalis
yang merupakan bahagian residensi Pantai Timur Sumatra, dan
lanskap hulu lainnya(V koto dan XII Koto Kampar) pada residensi
Pantai Barat, terlihat seperti upaya pemecahan orientasi; hingga
kedatangan balatentara Jepang tahun 1942-lah kondisi itu tidak benar-
benar mengalami perubahan. Selain itu, di Riau Daratan, entitas darat
– pesisir secara bersama-sama ditarik dalam suatu “lompatan”
tahapan perkembangan masyarakat, dari tradisional menuju modern,
dari ruang lingkup imajiner menuju kategorisasi modern dan angka-
angka, tarikan guna perubahan orientasi dan juga gaya hidup yang
terlihat nyata dalam pembahagian wilayah administratif ala kolonial,
pembangunan jalan raya daratan yang tidak saja menggantikan jalan
raya sungai, bahkan memperpendek jarak dan mempersingkat waktu
hubungan antar lanskap; ini semua diasumsikan telah menimbulkan
perubahan orientasi; Jauh sebelumnya, perubahan orientasi secara
perlahan diasumsikan juga terjadi seiring runtuhnya monarkhi
Pagaruyung pada 1833; perang sipil di Kampar Kiri merupakan salah
satu contoh nyata perubahan orientasi dari lanskap hulu sebagai
naungan Pagaruyung menuju politi merdeka;
Bahwa ikut sertanya pemerintah Kolonial dalam pengupayaan
pengalihan kekuasaan sebagai “tuan” baru dinegeri jajahannya,
mengubah orientasi ataupun kecenderungan politi-politi darat dalam
beradaptasi di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang terlepas dari
ikatan-ikatan tradisional darat-pesisir, walaupun mereka mengenali
politi hilir, tajamnya politik “rumah-kaca” Belanda terhadap negara
pesisir telah membatasinya hanya sebagai simbol tradisional dimana
kekuasaan nyata lebih kepada superioritas Eropa yang menyentuh
langsung kepada sendi-sendi kehidupan masyarakat Riau Daratan;
Belanda mengenali kharakter masyarakat di dataran tinggi sebagai
orang-orang yang biasa melakukan tradisi merantau, terutama menuju
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
388

Semenanjung dan juga pulau-pulau di Laut China Selatan. Sementara


disisi lainnya, pertemuan antar kelompok masyarakat dari belahan
dataran rendah timur dengan dataran tingggi di Pantai Barat,
menimbulkan faksi-faksi, gesekan, kecemburuan sebagai akibat
ketimpangan perlakuan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda
maupun masa republik, baik disadari ataupun tidak;466 bahkan
mungkin juga proses kristalisasi etnis, yang tengah deras-derasnya
berlangsung di Sumatra Barat itu sendiri, bahwa identitas
Minangkabau semakin teridentik-kan dengan kewilayahan Sumatra
Barat;467 dengan kata lain tereduksi hanya sebatas wilayah
administratif, benar-benar mempertegas perbedaan antar lanskap;
Melayu di dataran rendah timur dan Minangkabau didataran tinggi
dan pesisir barat;
Penjajah boleh pergi, Belanda bisa saja angkat kaki, akan tetapi
warisan hubungan antar lanskap yang ditinggalkannya, seringkali
dikatakan sebagai sangat berbeda dan benar-benar terlihat nyata;
bahwa sebaliknya, hal itu sebenarnya merupakan keberagaman yang
menjadi identitas khas Sumatra, “dunia Melayu,” atau bahkan
diseluruh wilayah bekas jajahan Hindia, bahkan sebagaimana telah
ditunjukkan, dunia Melayu juga memiliki variannya sendiri; Kondisi
tersebut dari Riau Daratan sendiri yang merupakan negeri di daratan
Sumatra yang kaya dengan keberagaman identitas, sebagai akibat
keberagaman geographis dan jalur-jalan raya (baca: sungai dan anak
sungai) yang berbeda dengan tetangganya Provinsi Jambi dan Sumatra
Selatan - menuju selat Melaka;
Memori riuh rendahnya pasar-pasar disepanjang aliran sungai dan
pantai, pertukaran barang hasil hutan dan barang komersial unggulan,
menjadi media pertemuan antara orang asli dan Minangkabau
maupun Melayu, kesemuanya merupakan unsur pembentuk identitas
darat – pesisir; penyerapan identitas Melayu sebagaimana era Raja
Ismail dimana “Kemelayuan” melaka-Johor menjadi semacam panduan
bagaimana membentuk jati diri berbasis identitas Melayu, dan ini juga

466
Barbara Andaya, 1997.
467
Lihat Gusti Asnan, 8.Geography, Historirography and Regional Identity: West Sumatra in the
1950s.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
389

menunjukkan bahwa entitas Siak dalam bertransformasi bahkan telah


merefleksikan tidak lagi sekedar hubungan darat – pesisir dengan
bayang-bayang Pagaruyung di Jantung Sumatra, melainkan juga telah
terkoneksi dengan Alam Melayu yang meluas hingga ke Laut Cina
Selatan. Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan Timothy P
barnard, 468 mereka tidak pernah melupakan identitas ke-Sumatra-
annya, dan ini juga menunjukkan bahwa identitas Riau Daratan adalah
juga bahagian dari identitas Sumatra; dan Sumatra seperti telah
dituliskan pada abad ke-14; adalah sebagai Bhumi Malayu;
Meleburnya Provinsi Sumatra Tengah di tahun 1958 menjadi tiga
provinsi; Sumatra Barat, Riau (Kepulauan – daratan) dan Jambi, terjadi
selain sebagai dampak politis pusat Jakarta, juga sebagai hasil
akumulasi aspirasi dan kekecewaan wilayah dataran rendah timur dan
kepulauan terutama berkaitan dengan persoalan ketimpangan dan
juga kebudayaan; hingga mencetuskan Kongres Rakyat Riau I yang
menginginkan berdirinya provinsi sendiri bagi rakyat Riau(Kepulauan-
Daratan), terlepas dari Provinsi Sumatra Tengah.469 Selain itu,
nampaknya juga, keberpisahan dari Provinsi Sumatra Tengah seolah
menjadi berkah bagi pemapanan konsep Ke-Riau-an yang sempat
berfluktuatif di masa Melaka sampai pasca kekuasaan Belanda.
Seiring dengan pengembangan Alam Melayu pasca Melaka tahun
1511; yang meluas hingga sepanjang pesisir timur Sumatra, Laut Cina
Selatan dan Kalimantan, wilayah Riau saat itu telah menuju suatu
kesetimbangan baru sebagai “Bangsa Melayu,” tidak hanya Riau
Kepulauan melainkan juga meliputi Riau Daratan yang identik dengan
Melayu; yang ternyata, menyisakan konsepsi atas keruangan
Kepulauan – Daratan sebagai pewarisan antara politi Riau di
Kepulauan dan Siak di Daratan. Meskipun demikian, kebijakan
penetapan kewilayahan melalui politik aneksasi oleh Belanda telah
menyamarkan batas-batas politi tradisional, akan tetapi tidak benar-
benar menghilangkannya; harapan untuk kewujudan kejayaan masa

468 Lihat Timothy P.Barnard, Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of
Malay Identity in the Eighteenth Century, dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, First Edition, 2004, hal.107 -120
469 Bahwa ketimpangan seperti pada pemerataan pendidikan dan pengembangan perekonomian

rakyat, juga pemerintahan; Lihat Taufik Ikram Jamil dkk., 2003.


RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
390

silam tidak pernah menghilang antar Kepulauan dan Daratan,


sementara di daratan sendiri; antara darat dan pesisir;
Bahwa kompleksitas dinamis darat – pesisir telah membawa Riau
Daratan pada suatu perubahan pada tatanan suprastruktur terutama
pada lanskap-lanskap darat, yang meskipun berkharakter berbeda
dengan di pesisir, akan tetapi menuju pada suatu kondisi “kesadaran
Melayu.” Bagaimanapun juga, kenangan akan hubungan lanskap darat
dengan dataran tinggi, masih tersimpan dalam memori koletif yang
terefleksikan dalam adat, bahasa, akan tetapi itu tidak mencukupi
untuk keberlangsungannya politi-politi darat kedepannya. Bahwa
orientasi politi-politi darat telah mengalami perubahan pasca
runtuhnya Pagaruyung, dimana secara bertahap, hubungan
tradisional, meski awalnya beralih kepada negara di pesisir timur,
akan tetapi, selain sifat kemandirian yang dibentuk oleh varian jalur
“jalan-raya”(sungai utama), telah berbelok atau dibelokkan oleh
kekuatan kolonial pada suatu bentuk tatanan hubungan baru yang
memencilkan peran negara pesisir untuk mengambil posisi strategis
seperti era para pendahulunya;
Berpisahnya Kepulauan dari Daratan, dapat juga dikatakan secara logis
menciptakan konsekuensi penempatan kembali Riau Daratan dalam
suatu tantangan klasik; hubungan Darat - Pesisir. Akan tetapi
sebaliknya, dengan pertimbangan kesejarahan politi tradisional dan
fregmentasi kolonial bahwa peristiwa berpisahnya Kepulauan
diasumsikan telah menumbuhkan kesadaran untuk semakin
mempertajam identitas ke-Riau-an(Daratan) yang dapat
mempersempit atau bahkan sebaliknya mempertegas kegelisahan
“politi-politi” lokal untuk tetap bernaung dalam satu payung saja: Riau
(Daratan);
Akhirnya, darat – pesisir, sebagaimana diketahui telah menjadi
kategorisasi para ahli untuk membedakan antara dua entitas kalau
bukan malah seringkali didapati semakin mempertajamnya, di Riau
Daratan telah menjadi suatu kategorisasi yang fluktuatif sesuai dengan
perkembangan kerangka yang manaunginya. Arah mana yang akan
dituju, merupakan pertanyaan besar antar generasi yang
membutuhkan tidak saja kearifan, melainkan juga kemampuan

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
391

personal untuk menekan ketimpangan ataupun kebijakan kaum elit


politi-politi lokal yang dapat menguatkan ataupun melemahkan
keberpaduan darat - pesisir, kondisi yang telah diperjuangkan jauh di
era para pendahulu; terutama semenjak masa Raja Kecil.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
392

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
393

Daftar Pustaka
Abdul Rahman Haji Ismail. “Teks/Text of the Raffles MS. No. 18.” In Sejarah
Melayu: The Malay Annals, edited by Cheah Boon Kheng. Kuala Lumpur:
Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society, 1998.
Ahmad, Abdul Samad. “Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu).” Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1979.
Abu-Lughod, Lila. “Writing against Culture.” In Recapturing Anthropology,
edited by R. G. Fox. Santa Fe, N.M.: School of American Research Press, 1991.
Adatrechtbundels, bezorgd door de Commissie voor het adatrecht. Vol. 20
Sumatra en Riau. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922.
Ahmad, Kassim, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1971.
Andaya, Barbara Watson. To Live as Brothers: Southeast Sumatra in the
Seventeenth and Eighteenth Centuries. Honolulu: University of Hawai‘i Press,
1993.
———. “Orality, Contracts, Kinship and the Market in Pre-Colonial Island
Southeast Asia.” In Ownership, Contracts, and Markets in China, Southeast
Asia and the Middle East: The Potentials of Comparative Study, edited by
Miura Toru. Tokyo: Islamic Area Studies Project, 2001.
———. Perak, the Abode of Grace: A Study of a Malay State in the Eighteenth
Century.Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1979.
———. “Upstreams and Downstreams in Early Modern Sumatra.” The
Historian 57, 3 (Spring 1995): 537–52.
———. Recreating a vision; Daratan and Kepulauan in historical context, In:
Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997),
no: 4, Leiden, 483-508.
Andaya, Barbara Watson and Virginia Matheson, 1979, 'Islamic Thought and
Malay Tradition; The Writings of Raja Ali Haji of Riau (ca. 1809-1970)', in:
Anthony Reid and David Marr, Perceptions of the Past in Southeast Asia, pp.
108-28, Singapore: Heinemann.
Andaya, Leonard Y. “Raja Kechil and Minangkabau Conquest in Johor 1718,
Journal of the Malaysian branch of the Royal Asiatic Society, vol.45,
No.2(222), 1972.Hal.51-74.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
394

———. The Kingdom of Johor, 1641–1728. Kuala Lumpur: Oxford University


Press, 1975.
———. “Leaves of the Same Tree: Trade and Ethnicity in the Straits of
Melaca”, University of Hawai‘i Press Honolulu, 2008.
Anderson, Benedict. Imagined Communities. Revised Edition, London: Verso,
1993.
Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1971 [orig. 1826].
Asnan, Gusti, “Geography, Historiography and Regional Identity: West
Sumatra in the 1950s”, tahun 2004.
———.Dinamika Sejarah dan Ulayat Rantau XIII Koto Kampar” dalam Alfan
Miko (ed.), Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat. Padang: Andalas
University Press, 2006, hal. 284-302.
Barnard, Timothy P.,“Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the
Transformation of Malay Identity in the Eighteenth Century,” dalam
Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, First Edition,
2004.
———., “We are Comfortable ridding the waves: Lanscape and the Formation
of a Border State in Eighteen Century Island South Asia,” dalam “Borerlands in
World History, 1700-1914, first published, 2014.
———. Multiple Centres of Authority: Society and Environment in Siak and
East
Sumatra, 1674–1827. Leiden: KITLV Press, 2003.
———. Raja Kecil dan Mitos Pengabsahannya. Riau: Pusat Pengajian Melayu
Universitas Islam, 1994.
———., 1994, 'Taman Penghiburan; Entertainment and the Riau Elite in the
Late 19th Century', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
67-2:17-46.
Barth, Frederik. “Boundaries and Connections.” In Signifying Identities:
Anthropological Perspectives on Boundaries and Contested Values, edited by
Anthony Cohen. London/New York: Routledge, 2000.
———. “Enduring and Emerging Issues in the Analysis of Ethnicity.” The
Anthropology of Ethnicity (1998): 11–32.
———. “Introduction.” Dalam Ethnic Groups and Boundaries, edited by
Frederik Barth. Oslo: Norwegian University Press, 1969.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
395

———. “Pathan Identity and Its Maintenance.” In Barth, Ethnic Groups and
Boundaries.
Bellwood, Peter. “Aslian, Austronesian, Malayic: Suggestions from the
Archaeological Record.” In Southeast Asian Archaeology: Willem G. Solheim II
Festschrift, edited by Victor Paz. Quezon City: University of Philippine Press,
2004.
———. “Austronesian Prehistory in Southeast Asia: Homeland, Expansion and
Transformation.” In The Austronesians: Historical and Comparative
Perspectives, edited by Peter Bellwood, James J. Fox, and Darrell Tryon.
Benjamin, Geoffrey. “Austroasiatic Subgroupings and Prehistory in the
Peninsula.” In Austroasiatic Studies, edited by B. Jenner, L. C. Thompson, and
S. Starosta. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 1976.
Benjamin, Geoffrey, and Cynthia Chou, eds. Tribal Communities in the Malay
World: Historical, Cultural and Social Perspectives. Leiden/Singapore:
International Institute for Asian Studies/Institute of Southeast Asian Studies,
2002.
Boxer, C. R. “The Achinese Attack on Malacca in 1629.” In Malayan and
Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford: Clarendon
Press, 1964.
———. Further Selections from the Tragic History of the Sea, 1559–1565.
Cambridge:Hakluyt Society, 1968.
Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes
toward a Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In
Economic Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives
from Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann
Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian Studies,
1977.
Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October
1952).
Bruijn Kops, G. F. de. “Sketch of the Rhio-Lingga Archipelago.” JIA 8 (1854):
386–402; 9 (1855): 96–108.
Bulbeck, David. “Indigenous Traditions and Exogenous Influences in the Early
History of Peninsular Malaysia.” In Southeast Asia: From Prehistory to History,
edited by Ian Glover and Peter Bellwood. London and New York:
RoutledgeCurzon, 2004.
Bulbeck, David, et al., eds. Southeast Asian Exports since the 14th Century.
Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
396

Chou, Cynthia. “Contesting the Tenure of Territoriality: The Orang Suku Laut.”
BKI 153, 4 (1997): 605–29.
———. Indonesian Sea Nomads: Money, Magic, and Fear of the Orang Suku
Laut.
London/New York: RoutledgeCurzon, 2003.
Butcher, Jhon G., The Salt Farm and the Fishing Industry in Bagansiapiapi,
Journal Southeast Asian, Publication at Cornell University, Vol.62, Oct, 2006.
Christie, Jan Wisseman. “Trade and State Formation in the Malay Peninsula
and Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” In The Southeast Asian Port and Polity:
Rise and Demise, edited by J. Kathirithamby-Wells and John Villiers.
Singapore: Singapore University Press, 1990.
Colimbijn, Freek, “A Moving History of Middle Sumatra:1600-1870,” Modern
Asian Studies 39, 1 (2005) pp. 1–38. C - 2005 Cambridge University Press DOI:
10.1017/S0026749X04001374 Printed in the United Kingdom.
Collins, James T. Malay, World Language: A Short History. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka, 1998.
Comaroff, Jean, and John L. Comaroff. Ethnography and the Historical
Imagination. Boulder, Colo.: Westview Press, 1992.
Couillard, Marie Andree. “The Malays and the ‘Sakai’: Some Comments on
their Social Relations in the Malay Peninsula.” Kajian Malaysia 2, 1 (June
1984): 81–108.
Dahlan, Ahmad, “Sejarah Melayu,” KPG, 2014, Cetakan ke-2.
Dentan, Robert Knox. “Potential Food Sources for Foragers in Malaysian
Rainforest:Sago, Yams and Lots of Little Things.” BKI 147, 4 (1991): 420–44.
———. The Semai: A Nonviolent People of Malaya. New York: Holt, Rinehart
and
Winston, 1968.
———. “Semai-Malay Ethnobotany: Hindu Influences on the Trade in Sacred
Plants, Ho Hiang.” In Minority Cultures of Peninsular Malaysia: Survivals of
Indigenous Heritage, edited by Razha Rashid and Wazir Jahan Karim. Penang:
Academy of Social Sciences, 2001.
———. “Spotted Doves at War: The Praak Sangkiil.” Asian Folklore Studies 58,
2
(1999): 397–434.
Djatmiko, Edhie. “Masyarakat Traditional di Pedalaman (‘Masyarakat
Terasing’).” dalam “Riau menatap Masa Depan,” editor oleh Mubyarto,
Yogyakarta: Aditya Media, 1993.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
397

Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central


Sumatra, 1784–1847. London/Malmo: Curzon Press, 1983.
Dongen, C. J. van. “De Koeboes in de Onderafdeeling Koeboestreken der
Residentie Palembang.” BKI 63 (1910): 181–288.
Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1999.
———. “Malay Frontier: Unity and Duality,” Cornell Southeast Asia Program,
Newyork, USA, 1990.
Drakard, Jane, tr. “A Mission to the Minangkabau King” by Tomas Dias. In
Witnesses to Sumatra: A Travellers’ Anthology, edited by Anthony Reid. Kuala
Lumpur: Oxford University Press, 1995.
Effendy, Tenas. Bujang Tan Domang: Sastra Lisan Orang Petalangan.
Yogyakarta: Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 1997.
———. “The Orang Petalangan of Riau and Their Forest Environment.” In
Benjamin and Chou, Tribal Communities in the Malay World.
———. “Petalangan Society and Changes in Riau.” In Riau in Transition,
edited by Cynthia Chou and Will Derks. BKI 153, 4 (1997).
Evans, Ivor H. N. “Notes on the Sakai of the Ulu Kampar.” Federated Museums
Journal 7, 1 (August 1916): 23–30.
———. The Semang of Malaya. London: Frank Cass & Co. Ltd., 1968 [1937].
Faes, J., 1882, 'Het Rijk Pelalawan', Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en
Volkenkunde (TBG) 27:489-537.
Falarti, Maziar Mozaffari, “Kedah: The Foundations and durability of Malay
Kingship, 2009.
Fix, Alan G. “Genes, Language, and Ethnic Groups: Reconstructing Orang Asli
Prehistory.” In Indo-Pacific Prehistory: The Melaka Papers,” vol. 3, edited by
Peter Bellwood et al., BIPPA 19 (2000).
G. Du Rij van Beestholle, Aanteekeningen Betrefende de Landschappen VI
Kotta Pangkalan en XII Kotta Kampar, Tijdschrift Voor Taal-, Land en
Volkenkunde, 1877: 356-414.
Gianno, Rosemary. “Malay, Semelai, Temoq: Semelai Concepts of Ethnicity in
South-Central Malaya.” In Indigenous Peoples and the State: Politics, Land,
and Ethnicity in the Malayan Peninsula and Borneo, edited by Robert
Winzeler. New Haven, Conn.: Yale Southeast Asian Studies, Monograph 46,
1997.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
398

Glover, Ian. Early Trade between India and Southeast Asia: A Link in the
Development of a World Trading System. Hull: Centre for South-East Asian
Studies, 1989.
———. “The Southern Silk Road: Archaeological Evidence for Early Trade
between India and Southeast Asia.” In Ancient Trades and Cultural Contacts in
Southeast Asia, edited by Ian Glover and A. Srisuchat. Bangkok: Office of the
National Culture Commission, 1996, 57–94.
Glover, Ian, and Peter Bellwood, eds. Southeast Asia: From Prehistory to
History. London/New York: RoutledgeCurzon, 2004.
Gonda, J. Sanskrit in Indonesia. New Delhi: International Academy of Indian
Culture, 1973. First published in 1952.
Goudie, D.J., (ed. & trans.), Syair Perang Siak: A Court Poem presenting the
state policy of a Minangkabau-Malay royal family in exile, Monograph no. 17,
MBRAS, Kuala Lumpur, 1989.
Graafland, A.F.P., De Verbreiding van het Matriarchaat in het Lanschap
Indragiri, KILV, Vol.39 Nomor 1, 1890.
Gramberg, J.S.G., “Reis Naar Siak,” Tijdschrift Voor Taal,- Land en
Volkenkunde, XIII, Vierde Serie, 1864:497-530.
Grijzen, H.J., Nota omtrent de XI Kota en Padang Tarap, (Midden-Sumatra),
Tijdschrift Voor Taal-, Land en Volkenkunde, 1908, 62-121.
Guillot, Claude(Penyunting), Lobu Tua: Sejarah Awal Barus, Yayasan Obor
Indonesia, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Pusat Arkeologi Nasional,
Jakarta, 2014.
Gullick,J.M., “Indigenous Political Systems in Western Malaya,” London, 1958,
pp. 27.
Haan, F. de. “Naar Midden Sumatra in 1684.” TBG 39 (1897): 327–66.
Hadi, Amirul. Islam and State in Sumatra: A Study of Seventeenth-Century
Aceh. Leiden:Brill, 2004.
Hagen, Bernard. “De Koeboes op Sumatra.” IG, 2e jg, 1 (1907): 945–6.
———. Die Orang Kubu auf Sumatra. Frankfurt am Main: Joseph Baer & Co.,
1908. Hale, A. The Adventures of John Smith in Malaya, 1600–1605. Leiden: E.
J. Brill, 1909.
Hall, Kenneth R. Maritime Trade and State Development in Early Southeast
Asia. Honolulu:University of Hawai‘i Press, 1985.
Hamilton, Alexander. A New Account of the East Indies. London: Argonaut
Press, 1930 [reprint of 1727 edition].

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
399

Hasselt, A. L. “Reizen.” In Midden-Sumatra, Reizen en Onderzoekingen der


Sumatraexpeditie uitgerust door het Aardrijkskundig Genootschap, 1877–
1879 / beschreven door de Leden der Expeditie, onder toezicht van P. J. Veth,
edited by P. J. Veth. Leiden: E. J. Brill, 1881.
Hasselt, A.L. van and H.J.E.F. Schwartz, 1898, De Poelau Toedjoeh in het
Zuidelijk Gedeelte der Chineesche Zee, Leiden: Brill.
———., De inlijving der V Kota-Kampar. Amsterdam, K.N.A.G., 1900. 27p.,
with 1 large folding map, 8vo modern wrs. Original extract taken from the
periodical K.N.A.G. (Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap), Vol.
XVII.
Hashim, Mohammad Yusoff (ed.), 1992a, Hikayat Siak, Kuala Lumpur: Dewan
Bahasa dan Pustaka.
———., 1992b, The Malay Sultanate of Malacca; A Study of Various Aspects
of Malacca in the 15th and 16th Centuries in Malaysian History, D.J. Muzaffar
Tate (trans.), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hendraparya, Tressi A., Onderafdeeling Bagansiapiapi: Negeri Penghasil Ikan
Terbesar di Dunia, Soreram Media, Pekanbaru, Cet.I, tahun 2011.
Hijman van Anrooij, “Nota Omtrent Het Rijk Siak”, Tijdschrift voor Indische,
Taal, Land en Volkenkunde, Deel XXX, 1885, 259-390
Hood Mohamad Salleh. “Morality and Restraint among the Semelai of
Malaysia.” In The Nascent Malaysian Society, edited by Dahlan H. M. Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia, 1986.
Hooker, Virginia Matheson. Tuhfat al-Nafis: Sejarah Melayu-Islam. Kuala
Lumpur:Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991.
———.,A Short History of Malaysia, First published in 2003 by Allen & Unwin.
IJzerman, J.W., Dwars Door Sumatra: Tocht van Padang naar Siak,
Batavia,1895.
Jamil, Taufik Ikram, Dari Percikan Kisah MEMBENTUK PROVINSI RIAU, Yayasan
Pustaka Riau, tahun 2003.
Jones, Russell. “The Origins of the Malay Manuscript Tradition.” In Cultural
Contact and Textual Interpretation, edited by C. D. Grijns and S. O. Robson.
Jones, Sian. The Archaeology of Ethnicity: Constructing Identities in the Past
and Present. London: Routledge, 1997.
Josselin de Jong, P. E. de. Minangkabau and Negri Sembilan: Socio-Political
Structure in Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff, 1980.
Kahn, Joel S. Constituting Minangkabau: Peasants, Culture and Modernity in
Colonial Indonesia. Providence/Oxford: Berg, 1993.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
400

Kassim Ahmad, ed. Hikayat Hang Tuah. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, 1971.
Kato, Tsuyoshi. Matrilineality and Migration: Evolving Minangkabau
Traditions in Indonesia. Ithaca, N.Y./London: Cornell University Press, 1982.
———. “Social Change in a Centrifugal Society: The Minangkabau of West
Sumatra.” Ph.D. dissertation, Cornell University, 1977.
———.“The Localization of Kuantan in Indonesia: From Minangkabau Frontier
to Riau Administrative District,” Bijdragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde,
Riau in Transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 737 – 763
Kielstra, E.B., De Afdeeling Indragiri, Onze Eeuw. Jaargang 15. 1915; p.33-65.
Kipp, Rita Smith. Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an
Indonesian Society. Ann Arbor: University of Michigan Press, 1996 [1991].
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana Yogyakarta, tahun 2003.
Leyds, W. J. “Larassen in Minangkabau.” KS 10e jg, 10, 1 (1926): 387–416.
Liaw Yock Fang. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. 2 vols. Jakarta:
Penerbit Erlangga,1993.
Lieberman, Victor. Strange Parallels: Southeast Asia in Global Context, c. 800–
1830. Vol. 1, “Integration on the Mainland.” Cambridge: Cambridge University
Press, 2003.
Loeb, Edwin M. Sumatra: Its History and People. Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1972.
Logan, J. R. “The Orang Benua of Johore.” JIA 1 (1847): 242–93.
Lutfi, Muchtar et al., Sejarah Daerah Riau, Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1977.
Maier, Hendrik. In the Center of Authority. Ithaca, N.Y.: Cornell University
Southeast Asia Program, 1988.
Maier, H. M. J. “Tales of Hang Tuah.” BKI 155, 3 (1999): 344–63.
———. “We Are Playing Relatives.” BKI 153, 4 (1997): 672–98.
Manguin, Pierre-Yves (sebagai penyunting, George Coedis, Louis-Charles
Damais, Hermann Kulke, “Kedatuan Sriwijaya:Kajian Sumber Prasasti dan
Ekologi, Ecole Francaise d”Extreme-Orient dan Pusat Arkeologi Nasional,
Penerbit Komunitas Bambu, Edisi kedua, tahun 2014.
Marsden, William. The History of Sumatra. Kuala Lumpur: Oxford Historical
Reprints, 1966 [1783].
Martin, Jean, 1985, 'Ceramic Legacy of Asia's Maritime Trade on Tioman
Island', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society 53-1:81-90.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
401

Masefield, John, ed. Travels of Marco Polo. London: J. M. Dent & Sons Ltd.,
1954.
Matheson, Virginia, and Barbara Watson Andaya, eds. The Precious Gift
(Tuhfat al-Nafis) by Raja Ali Haji ibn Ahmad. Kuala Lumpur: Oxford University
Press, 1982.
———. Virginia, 1986, 'Strategies of Survival: the Malay Royal Line of Lingga-
Riau', Journal of Southeast Asian Studies 17-1:5-38.
Meilink-Roelofsz, M. A. Asian Trade and European Influence. The Hague:
Martinus Nijhoff, 1962.
Miksic, John. “Archaeology, Ceramics, and Coins.” JESHO 39, 3 (1996): 287–
97.
———. “Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra.” Ph.D.
dissertation, Cornell University, 1979.
———. “Classical Archaeology in Sumatra.” Indonesia 30 (October 1980): 43–
66.
———. “Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia.
Early History.Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9.
Mills, J. V. “Eredia [Emanual Godinho de]’s 1613 Description of Malaca and
Meridional India and Cathay in Three Treatises.” JMBRAS 8, 1 (September
1930):1–288.
———. , J.V., 1974, 'Arab and Chinese Navigators in Malaysian Waters in
about A.D.1500', Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society
47-2:1-82.
Milner, A. C. Kerajaan: Malay Political Culture on the Eve of Colonial Rule.
Tucson: University of Arizona Press, 1982.
———. , “The Malays,” 2008, The Peoples of South-East Asia and the Pacific
General Editors: Peter Bellwood and Ian Glover.
MOSZKOWSKI, Max. Langs Nieuwe Wegen door Sumatra. (Ontdekkingsreizen
in Midden-Oost-Sumatra, 1907). Haarlem, Kruseman & Tjeenk Willink, 1917.
56p., with 56 illustrations, 4to modern wrappers. - Taken from: De Aarde en
haar Volken, Jrg. 53.
Nagel, Joane. “Constructing Ethnicity: Creating and Recreating Ethnic Identity
and Culture.” Social Problems 41, 1 (February 1994): 152–75.
Naim, Mochtar, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Gadjah Mada University
Press, tahun 1984.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
402

Netscher, E. De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602–1865. Verhandelingen


Van Het Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Deel
XXXV, Batavia: Bruining & Wijt, 1870.
———. “Togtjes in het Gebied van Riouw en Onderhoorigheden.” TBG 12
(1862):233–54; 14 (1864): 1–23, 340–51.
Neumann, Nota betreffende de onafhankelijke landschappen Mapat-
Toenggoel en Moewara-Soengei-Lolo VI Kota, Tijdsohr. v. Ind. T. L. en Volk.,
dl. XXIX.
Niewenhuijen,F.N.,”Het Rijk Siak Sri Indrapoera,” Tidschrift Voor Taal,- Land
en Volkenkunde, Deel VII Derde Serie Deel I, 1858: 388-437.
Nieuwenhuys, R., ed. Herman Neubronner van der Tuuk: De Pen in Gal
Gedoopt: Een Keuze uit Brieven en Documenten. Amsterdam: Van Oorschot,
1962.
Nijhoff, Martinus, Mededeelingen Betreffende de Kwantan-Districten. 's
Gravenhage, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-
Indië, Zevende volgreeks, Deel 9. 1909.
Ibrahim, Norhalim,“Sejarah Linggi: Pintu Gerbang Sejarah Pembangunan
Negeri Sembilan.” Shah Alam, penerbit Fajar Bakti, 4, Kuala Linggi Semasa
Pemerintahan Raja Kecil di Johor, 1998.
Obdeyn, V. “De Langkah Lama der Orang Mamak van Indragiri.” TBG 69
(1929):
353–425.
O’Brien, J.L., Rapport omtrent de tegenwoordige politieke en economische
verhoudingen en toestanden in de Kampar-Kiri-Landen. Amsterdam, K.N.A.G.,
1906: 958-1003.
O’Connor, Richard. “Agricultural Change and Ethnic Succession in Southeast
Asian States: A Case for Regional Anthropology.” JAS 54, 4 (November 1995):
968–96.
Oki, Akira, “Social Change in The West Sumatran Village, Tesis, 1977.
———. “The River Trade in Central and South Sumatra in the 19th Century.” In
Environment, Agriculture and Society in the Malay World, edited by Tsuyoshi
Kato, Mochtar Lufti, and Narifumi Maeda. Kyoto: Center for Southeast Asian
Studies, Kyoto University, 1986.
Perret, Daniel, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur
Laut, KPG(Kepustakaan Populer Gramedia), Ecole Francaise d’Extreme-Orient,
Forum Jakarta-Paris, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional,
Jakarta, Tahun 2010.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
403

Pires, Tome, 1944, Suma Oriental; An Account of the East from the Red Sea to
Japan, written in Melaka 1512-1515, A. Cortesao (trans.), London: Hakluyt
Society. 2 vols.
Porath, Nathan. “Developing Indigenous Communities into Sakais: South
Thailand and Riau.” In Benjamin and Chou, Tribal Communities in the Malay
World.
———. “When the Bird Flies: Shamanic Therapy and the Maintenance of
Worldly
Boundaries among an Indigenous People of Riau (Sumatra).” Ph.D.
dissertation,
Leiden University, 2003.
Raffles, Thomas Stamford. “On the Malayu Nation, with a Translation of Its
Maritime Institutions.” Asiatic Researches 12 (1818).
Reid, Anthony. “Elephants and Water in the Feasting of Seventeenth Century
Acheh.” JMBRAS 62, 2 (1989): 25–44.
———. “Sixteenth Century Turkish Influence in Western Indonesia.” JSEAS 10,
3
(December 1969): 395–414.
———. Southeast Asia in the Age of Commerce. 2 vols. New Haven, Conn.:
Yale University Press, 1988, 1993.
Ricklefs, M. C. A History of Modern Indonesia since c. 1300. Stanford, Calif.:
Stanford University Press, 1993.
Riddell, Peter. Islam and the Malay-Indonesian World: Transmission and
Responses. Honolulu: University of Hawai‘i Press, 2001.
Rijn van Alkemade, J. A. van. “Het Rijk Gassip.” TAG, 2e serie, 2 (1885):
218–39.
———. “Reis van Siak naar Poelau Lawan,” TAG, 2e Serie, 111, 1 (1887): 100–
45.
———. Beschrijving eener Reis van Bengkalis Langs de Rokan Rivier naar
Rantau Binoewang, KITLV, Vol 32, No. 1,(1884).
Sager, S. “If We Cross over the Realms, the Gods Will Run Away: Maintaining
Adat Boundaries in a Larger Malay World. The Orang Rimba of Jambi
Sumatra.”
Ph.D. dissertation, The Australian National University, 2007.
Sandbukt, Oyvind. “Precolonial Populations and Polities in Lowland Sumatra,
An Anthropological Perspective.” Kabar Seberang 22 (1991): 42–51.

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya
404

Satyawati Suleiman. “The Archaeology and History of West Sumatra.” Bulletin


of the Research Center of Archaeology of Indonesia 12 (1977): 1–25.
Schnitger, F. M. The Archaeology of Hindoo Sumatra. Leiden: E. J. Brill, 1937.
———. Forgotten Kingdoms in Sumatra,1935.
———.,Het onstaan der rijken aan de Kampar Kanan. Amsterdam, K.N.A.G.,
1940. 7p., with 1 sketch-map & 6 photographic illustrations on plates, 8vo
modern wrs.
Schwartz, H.J.E.F., Nota Over den politieken en economischen toestand van
het landschap Kwantan, Indische Taal-, Land en Volkenkunde, Bataviaasch
Genootschappen van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXVI, 1893, 325-
342.
Shellabear, W. G., ed. Sejarah Melayu. Kuala Lumpur: Oxford University Press,
1967.
Skeat, Walter William, and Charles Otto Blagden. Pagan Races of the Malay
Peninsula.2 vols. London: Macmillan, 1906.
Smith, Anthony D. The Ethnic Origins of Nations. Oxford: Blackwell, 1986.
Soo, Kee-long. “Dissolving Hegemony or Changing Trade Pattern? Images of
Srivijaya in the Chinese Sources of the Twelfth and Thirteenth Centuries.”
JSEAS 29, 2 (1998): 295–308.
Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at Barus, Indonesia: a
rediscovery, 1998.
Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977.
Suparlan, Pusardi, et al., 1989, Interaksi Antar Etnik di Beberapa Poprinsi di
Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
———.”Orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing dalam Masyarakat
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995.
Tachimoto, Narifumi Maeda. The Orang Hulu: A Report on Malaysian Orang
Asli in the 1960’s. Subang Jaya: Center for Orang Asli Concerns, 2001.
Teeuw, A. “The History of the Malay Language.” BKI 115, 2 (1959): 138–56.
Tideman, J. Land en Volk van Bengkalis, Opgenomen in het Tijdschrift
Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, November 1935.
———. Hindoe-invloed in Noordelijk Batakland. Amsterdam: De Valk, 1936.
Tsuyoshi, Kato, Valentijn, Francois. Oud en Nieuw Oost Indien, vol. 5.
Dordrecht: Johannes van Braam, 1726.
Wells, J.Kathirithamby, Hulu-hilir Unity and Conflict: Malay Statecraft in East
Sumatra before the Mid-Nineteenth Century, In: Archipel. Volume 45, 1993.
pp. 77-96.
RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir
Tressi A.Hendraparya
405

Westenenk, L. C. “Opstellen over Minangkabau I.” TBG 55 (1913): 234–51.


———. “Opstellen over Minangkabau II. Pariangan-Padang Pandjang in de
Lareh nan Pandjang. Sang Sapoerba’s Boekit Si Goentang en de Goenoeng
Mahameru.” TBG 57 (1916): 241–62.
White, Walter Grainge. The Sea Gypsies of Malaya; An Account of the
Nomadic
Mawken People of the Mergui Archipelago. London: Seeley, Service & Co.
Limited,1922.
Wilken,G.A., De Verbreiding van het Matriarchat op Sumatra, KITLV, Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 37, No 1 (1888), 163-215.
Wilkinson, R. J. A History of the Peninsular Malays. In R. J. Wilkinson, Papers
on Malay Subjects. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1971.
———. A Malay-English Dictionary. 2 vols. London: Macmillan, 1959.
Williams-Hunt, Anthony. “Land Conflicts: Orang Asli Ancestral Laws and State
Policies.” In Indigenous Minorities of Peninsular Malaysia: Selected Issues and
Ethnographies, edited by Razha Rashid. Kuala Lumpur: Intersocietal and
Scientific Sdn. Bhd. (INAS), 1995.
Winstedt, R. O. “Raffles Ms. No. 18.” JMBRAS 16, 3 (1938).
Witrianto, “Pemukiman Baru Identitas Baru: Studi Kasus Masyarakat Relokasi
Proyek PLTA Koto Panjang di Perbatasan Sumatera Barat – Riau,” Makalah
disampaikan pada Seminar Hubungan Indonesia Malaysia tanggal 1-2
November 2010 di Universitas Andalas Padang.
Wolters, O. W. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri
Vijaya. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press, 1967.
———. The Fall of Srivijaya in Malay History. Ithaca, N.Y.: Cornell University
Press, 1970.
———. History, Culture, and Region in Southeast Asian Perspectives. Revised
Edition.Ithaca, N.Y.: Cornell University Southeast Asia Program, 1999 [1982].

RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir


Tressi A.Hendraparya

Anda mungkin juga menyukai