Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas makalah yang berjudul “Sejarah Suku
Rejang” ini dengan baik serta tepat waktu.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu. Tita Nurmalinasari H,S.Pd. selaku
guru pembimbing pelajaran Pendidikan Kewarnegaraan. Kami juga berterima kasih kepada
teman teman kami yang selalu setia membantu dalam mengerjakan tugas makalah ini.
Mungkin dalam pembuatan makalah kami ini masih banyak kesalahan yang belum
kami ketahui. Oleh karena itu, kami ssangat mengharapkan saran dan kritik bagi makalah
kami ini.
1
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. KESIMPULAN ………………………………………… 8
B. SARAN ……………………………………….... 8
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang mendiami Provinsi Bengkulu dan
Provinsi Sumatra Selatan. Masyarakat Rejang di Bengkulu mendiami bekas wilayah
Onderafdeling Lais (Rejang Pesisir), serta Lebong dan Redjang (Rejang Pegunungan).
Masyarakat Rejang, memiliki budaya yang sangat beragam. Pada kesempatan kali ini
kami akan mencari informasi lebih dalam terkait Suku Rejang dimlai dari sejarah, letak
geografis, bahasa, adat istiadat, hukum adat, kesenian dan sastra.
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
3
D. MANFAAT
3.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
(persekutuan berdasarkan kewilayahan) dibanding sifat genealogis (persekutuan
berdasarkan hubungan darah).
Pada tahun 1818 Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Bengkulu mengunjungi beberapa daerah di Bukit Barisan, meliputi
wilayah Rejang, Serawai, dan Besemah. Kunjungannya diikuti beberapa misionaris
Protestan, yang upaya penginjilannya tidak berhasil, terkecuali mendapat beberapa
jemaat di kawasan Tanjung Sakti di Ulu Manna. Ketidakberhasilan dalam usaha
menginjilkan suku-suku di Bukit Barisan boleh jadi disebabkan karena mereka sudah
memeluk agama Islam, walaupun dalam praktiknya masih tercampur dengan adat
istiadat dan kepercayaan lama.
Pada pertengahan abad ke-19, Tanah Rejang bagian dari Hindia Belanda
menyusul perjanjian antara pihak Hindia Belanda dengan penguasa Rejang di Topos.
Penguasaan atas Tanah Rejang ini melengkapi penguasaan Belanda di Bengkulu yang
dimulai pada 6 April 1825 khususnya pada wilayah pesisir. Ada pun wilayah
pedalaman termasuk wilayah huni suku Rejang tidak tersentuh oleh Belanda hingga
sekurang-kurangnya 1860-an. Ketika Tanah Rejang diduduki Belanda, pihak Belanda
menuliskan beberapa laporan tentang masyarakat Rejang, termasuk pembagian
masyarakatnya ke dalam lima marga dengan pemimpin masing-masing. Masuknya
Belanda mempengaruhi adat istiadat setempat. Budaya asli Rejang terganggu dan
mulai mengalami penurunan. Belanda juga memulai serangkaian proyek perkebunan
dan pertanian skala besar dengan pembangunan irigasi, serta pertambangan emas di
wilayah Lebong. Kekurangan tenaga kerja dan ketidakmauan penduduk Rejang untuk
menjadi kuli menyebabkan Belanda mendatangkan ribuan pekerja kebun dan tambang
dari Jawa.
Pusat kebudayaan Rejang berada pada suatu lembah (nuak) di Lebong yang
dialiri Sungai Ketahun. Lembah diapit oleh dua baris Bukit Barisan di sisi utara dan
selatannya. Dua sisi Bukit Barisan tersebut pada masa lalu berhutan lebat dan sangat
sulit ditembus. Pada masa sekarang perlahan mulai berkurang lahan hutannya karena
dibuka untuk pertanian dan perladangan. Para petani tradisional Rejang umumnya
menanam padi. Padi sendiri merupakan tanaman pertanian yang sangat penting, salah
satunya tentu saja karena tanaman ini menjadi makanan pokok. Saking pentingnya
6
tanaman padi dan manfaatnya, sebelum masa tanam serta sebelum dan sesudah panen
dahulu masyarakat Rejang mengadakan acara syukuran. Salah satunya yaitu
dmundang biniak (mêdundang, nundang) atau mengundang benih. Namun, syukuran
seperti ini sudah jarang sekali diadakan.
Selain bertani, orang Rejang juga dikenal sebagai nelayan dan pemburu yang
andal. Pada masa ekonomi Belanda yang ditandai dengan pembukaan perkebunan
besar dan tambang, sebagian laki-laki Rejang turut bekerja di sana. Belanda
memperkenalkan sistem uang dan membawa ribuan tenaga kerja dari daerah lain. Hal
ini berkontribusi pada menurunnya budaya Rejang dan meningkatnya asimilasi
dengan suku lain melalui perkawinan campur.
Struktur sosial tradisional Rejang adalah talang, yang dibangun di lahan
perkebunan oleh orang-orang yang masih berkeluarga, yang terdiri dari 10 hingga 15
buah rumah. Secara tradisional garis keturunan yang diakui hanyalah garis ayah
(patrilineal) saja. Dahulu anak-anak hasil perkawinan campur dengan suku di luar
Rejang menduduki status sosial yang lebih rendah di masyarakat dibandingkan
dengan yang berdarah murni.
Pada suatu permukiman tradisional Rejang yang disebut kutai (lebih maju dan
telah melewati tahap talang) terdapat beberapa keluarga. Keluarga yang mendirikan
kutai lah yang dianggap sebagai keluarga bangsawan Anggota keluarga bangsawan
juga akan dipilih dan merupakan pilihan utama untuk menempati posisi-posisi adat
yang srategis dan membentuk sistem kepemimpinan adat yang dikenal dengan nama
tuai kutai (tuêi kutêi, tui kutêi). Komunitas Rejang memiliki hukum adatnya sendiri,
yang sering kali berbeda secara signifikan dengan aturan pemerintah dan juga norma-
norma Islam. Sekurang-kurangnya hingga 1970, para pemimpin adat telah lama
kehilangan jabatan dan posisi absolut di masyarakat. Namun, mereka berhsil
mempertahankan fungsinya sebagai hakim adat.
Orang Rejang dikenal akan lagu-lagu dan tariannya, termasuk tari yang
dibawakan oleh gadis atau perempuan muda. Dalam masyarakat Rejang, perempuan
menempati posisi yang tinggi. Menurut hukum adatnya, terdapat hukuman yang keras
atas pelanggaran tertentu termasuk zina. Hal ini cocok dengan hukum Islam dan
diduga menjadi salah satu penyebab mengapa perlahan-lahan Islam diterima sebagai
agama rakyat.
7
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang mendiami provinsi Bengkulu
dan Sumatera Selatan. Masyarakat Rejang di Bengkulu mendiami bekas wilayah
onderafdelling lais (Rejang Pesisir) serta Lebong Redjang (Rejang Pegunungan).
Secara tradisional, garis keturunan yang diakui hanyalah garis ayah
(Patrilineal) saja. Dahulu anak-anak hasil perkawinan campur dengan suku diluar
Rejang menduduki status sosial yang lebih rendah di masyarakat dibandingkan
dengan yang berdarah murni.
Seperti yang kita ketahui Suku Rejang memiliki hukum adatnya sendiri yang
seringkali berbeda secara signifikan dengan aturan pemerintah dan juga norma-norma
Islam. Dalam masyarakat Rejang, perempuan menempati posisi yang tinggi. Menurut
hukum adatnya terdapat hukuman yang keras atas langgaran tertentu termasuk zina.
Hal ini cocok dengan hokum Islam dan diduga menjadi salah satu penyebab mengapa
perlahan-lahan Islam diterima sebagai agama rakyat.
B. SARAN
8
DAFTAR PUSTAKA