Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyusun tugas Pendidikan Pancasila dan Kewarnegaraan
ini dengan baik serta tepat waktu. Seperti yang sudah kita tahu “Sejarah dan Kebudayaan
Suku Rejang”.

Tugas ini kami buat untuk memberikan ringkasan tentang Sejarah dan Kebudayaan
Suku Rejang. Semoga makalah yang kami buat dapat menambah wawasan yang lebih luas
lagi. Kami menyadari jika masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini.

Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Guru mata
pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarnegaraan. Atas perhatian serta waktunya, kami
ucapkan terima kasih.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………… 1

DAFTAR ISI ………………………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ………………………………………… 3


B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………… 3
C. TUJUAN ………………………………………… 3
D. MANFAAT ………………………………………… 4

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………… 5

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ………………………………………… 8
B. SARAN ……………………………………….... 8

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………… 9

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang mendiami Provinsi Bengkulu dan
Provinsi Sumatra Selatan. Masyarakat Rejang di Bengkulu mendiami bekas wilayah
Onderafdeling Lais (Rejang Pesisir), serta Lebong dan Redjang (Rejang Pegunungan).

Masyarakat Rejang, memiliki budaya yang beragam. Ragam budaya itu meliputi
tulisan,adat istiadat, hukum adat, kesenian, dan sastra. Khusus untuk sastra lisan. Suku ini
juga memiliki berbagai macam jenis sastra, antara lain Nandei, Geritan, Berdai, Pantun,
Syair, Sambei, dan Serambeak. Jenis sastra yang disebut terakhir inilah yang lebih popular
digunakan sehari-hari, baik oleh orang tua, remaja, dan anak-anak dalam berinteraksi.

Karena mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak


heran jika hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga
sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat
kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum
denda terhadap pelaku zina.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Sejarah Suku Rejang ?.

2. Bagaimana Kebudayaan Suku Rejang ?.

C. TUJUAN

1. Untuk Mengetahui Sejarah Suku Rejang

2. Untuk Mengetahui Kebudayaam Rejang

3
D. MANFAAT

Makalah ini dibuat dengan harapan agar masyarakat setempat khususnya dapat
memahami tradisi tersebut secara benar, baik dipandang dari segi budaya maupun ajaran
agama. Selain itu, tulisan ini juga sebagai sarana berlatih untuk meningkatkan kemampuan
menulis penulis. Dengan adanya Makalah ini, penulis berharap dapat memberi sedikit
sumbangsih kepada masyarakat terutama masyarakat diluar rejang. Selain itu, mungkin dapat
digunakan sebagai referensi dalam penelitian serupa dikemudian hari.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. SEJARAH SUKU REJANG

Sejarah kedatangan masyarakat Rejang ke tanahnya yang sekarang secara


umum dipercayai sama dengan kedatangan masyarakat penutur bahasa Austronesia
lainnya. Rejang diyakini berasal dari suatu daerah di utara Kepulauan indonesia saat
ini. Beberapa menyebut wilayah tersebut sebagai Hindia Belakang. Dalam
Kebudayaan Rejang karya Ekorusyono, disebutkan bahwa sekurang-kurangnya abad
ke-2 Masehi, nenek moyang Rejang berlayar melintasi lautan dan menepi di pesisir
barat Sumatra. Mereka lalu menduduki daerah hilir Sungai Ketahun sebelum akhirnya
terus menyusuri sungai tersebut hingga sampai ke wilayah Lebong, yang kala itu
dinamai Renah Sekalawi. Prof. McGinn mengemukakakn hipotesisnya mengenai asal-
usul bangsa Rejang. Sebelum ke Sumatra, nenek moyang Rejang diperkirakan
singgah sekian lama di Kalimantan (Sarawak), sebelum kemudian menyeberang ke
Sumatra melalui Bangka dan mendarat di Sungai Musi. Mungkin karena faktor
keamanan dan penaklukkan, nenek moyang Rejang terus menyusuri Sungai Musi
serta Sungai Rawas hingga ke hulu. Kelompok yang berhasil adalah yang menyusuri
ke Ulu Rawas dan sampai di daerah Topos (Tapus) yang dipercaya sebagai
permukiman Rejang tertua.
Setelah mencapai wilayah Rejang yang sekarang, nenek moyang Rejang tidak
langsung mengenal pertanian atau perladangan. Kehidupan mereka bercirikan
seminomaden, mengumpulkan makanan atau meramu, dan sifatnya genealogis.
Kemudian seiring semakin majunya masyarakat, ciri kehidupan seminomaden masih
berlangsung dan perlahan-lahan menghilang. Kegiatan mengumpulkan makanan
mulai berganti dengan perladangan dan akhirnya persawahan, keluarga luas mulai
terkonsep dan dikenal dengan sebutan pêtuloi atau pêtulai. Masyarakat Rejang pada
tahap ini sudah mulai membentuk permukiman tetap dalam bentuk talang yang di
kemudian hari berubah menjadi kutai. Baik pêtuloi maupun kutai, sama-sama masih
bersifat genealogis. Kutai nantinya digantikan oleh sistem marga yang dikenalkan
Belanda. Kutai yang semula berdiri sendiri sebagai kesatuan wilayah otonom, menjadi
daerah bawahan marga dan marga pada akhirnya lebih menonjolkan sifat teritorial

5
(persekutuan berdasarkan kewilayahan) dibanding sifat genealogis (persekutuan
berdasarkan hubungan darah).
Pada tahun 1818 Thomas Stamford Raffles yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Jenderal Bengkulu mengunjungi beberapa daerah di Bukit Barisan, meliputi
wilayah Rejang, Serawai, dan Besemah. Kunjungannya diikuti beberapa misionaris
Protestan, yang upaya penginjilannya tidak berhasil, terkecuali mendapat beberapa
jemaat di kawasan Tanjung Sakti di Ulu Manna. Ketidakberhasilan dalam usaha
menginjilkan suku-suku di Bukit Barisan boleh jadi disebabkan karena mereka sudah
memeluk agama Islam, walaupun dalam praktiknya masih tercampur dengan adat
istiadat dan kepercayaan lama.
Pada pertengahan abad ke-19, Tanah Rejang bagian dari Hindia Belanda
menyusul perjanjian antara pihak Hindia Belanda dengan penguasa Rejang di Topos.
Penguasaan atas Tanah Rejang ini melengkapi penguasaan Belanda di Bengkulu yang
dimulai pada 6 April 1825 khususnya pada wilayah pesisir. Ada pun wilayah
pedalaman termasuk wilayah huni suku Rejang tidak tersentuh oleh Belanda hingga
sekurang-kurangnya 1860-an. Ketika Tanah Rejang diduduki Belanda, pihak Belanda
menuliskan beberapa laporan tentang masyarakat Rejang, termasuk pembagian
masyarakatnya ke dalam lima marga dengan pemimpin masing-masing. Masuknya
Belanda mempengaruhi adat istiadat setempat. Budaya asli Rejang terganggu dan
mulai mengalami penurunan. Belanda juga memulai serangkaian proyek perkebunan
dan pertanian skala besar dengan pembangunan irigasi, serta pertambangan emas di
wilayah Lebong. Kekurangan tenaga kerja dan ketidakmauan penduduk Rejang untuk
menjadi kuli menyebabkan Belanda mendatangkan ribuan pekerja kebun dan tambang
dari Jawa.

B. KEBUDAYAAN SUKU REJANG

Pusat kebudayaan Rejang berada pada suatu lembah (nuak) di Lebong yang
dialiri Sungai Ketahun. Lembah diapit oleh dua baris Bukit Barisan di sisi utara dan
selatannya. Dua sisi Bukit Barisan tersebut pada masa lalu berhutan lebat dan sangat
sulit ditembus. Pada masa sekarang perlahan mulai berkurang lahan hutannya karena
dibuka untuk pertanian dan perladangan. Para petani tradisional Rejang umumnya
menanam padi. Padi sendiri merupakan tanaman pertanian yang sangat penting, salah
satunya tentu saja karena tanaman ini menjadi makanan pokok. Saking pentingnya
6
tanaman padi dan manfaatnya, sebelum masa tanam serta sebelum dan sesudah panen
dahulu masyarakat Rejang mengadakan acara syukuran. Salah satunya yaitu
dmundang biniak (mêdundang, nundang) atau mengundang benih. Namun, syukuran
seperti ini sudah jarang sekali diadakan.
Selain bertani, orang Rejang juga dikenal sebagai nelayan dan pemburu yang
andal. Pada masa ekonomi Belanda yang ditandai dengan pembukaan perkebunan
besar dan tambang, sebagian laki-laki Rejang turut bekerja di sana. Belanda
memperkenalkan sistem uang dan membawa ribuan tenaga kerja dari daerah lain. Hal
ini berkontribusi pada menurunnya budaya Rejang dan meningkatnya asimilasi
dengan suku lain melalui perkawinan campur.
Struktur sosial tradisional Rejang adalah talang, yang dibangun di lahan
perkebunan oleh orang-orang yang masih berkeluarga, yang terdiri dari 10 hingga 15
buah rumah. Secara tradisional garis keturunan yang diakui hanyalah garis ayah
(patrilineal) saja. Dahulu anak-anak hasil perkawinan campur dengan suku di luar
Rejang menduduki status sosial yang lebih rendah di masyarakat dibandingkan
dengan yang berdarah murni.
Pada suatu permukiman tradisional Rejang yang disebut kutai (lebih maju dan
telah melewati tahap talang) terdapat beberapa keluarga. Keluarga yang mendirikan
kutai lah yang dianggap sebagai keluarga bangsawan Anggota keluarga bangsawan
juga akan dipilih dan merupakan pilihan utama untuk menempati posisi-posisi adat
yang srategis dan membentuk sistem kepemimpinan adat yang dikenal dengan nama
tuai kutai (tuêi kutêi, tui kutêi). Komunitas Rejang memiliki hukum adatnya sendiri,
yang sering kali berbeda secara signifikan dengan aturan pemerintah dan juga norma-
norma Islam. Sekurang-kurangnya hingga 1970, para pemimpin adat telah lama
kehilangan jabatan dan posisi absolut di masyarakat. Namun, mereka berhsil
mempertahankan fungsinya sebagai hakim adat.
Orang Rejang dikenal akan lagu-lagu dan tariannya, termasuk tari yang
dibawakan oleh gadis atau perempuan muda. Dalam masyarakat Rejang, perempuan
menempati posisi yang tinggi. Menurut hukum adatnya, terdapat hukuman yang keras
atas pelanggaran tertentu termasuk zina. Hal ini cocok dengan hukum Islam dan
diduga menjadi salah satu penyebab mengapa perlahan-lahan Islam diterima sebagai
agama rakyat.

7
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa yang mendiami provinsi Bengkulu
dan Sumatera Selatan. Masyarakat Rejang di Bengkulu mendiami bekas wilayah
onderafdelling lais (Rejang Pesisir) serta Lebong Redjang (Rejang Pegunungan).
Secara tradisional, garis keturunan yang diakui hanyalah garis ayah
(Patrilineal) saja. Dahulu anak-anak hasil perkawinan campur dengan suku diluar
Rejang menduduki status sosial yang lebih rendah di masyarakat dibandingkan
dengan yang berdarah murni.
Seperti yang kita ketahui Suku Rejang memiliki hokum adatnya sendiri yang
seringkali berbeda secara signifikan dengan aturan pemerintah dan juga norma-norma
Islam. Dalam masyarakat Rejang, perempuan menempati posisi yang tinggi. Menurut
hukum adatnya terdapat hukuman yang keras atas langgaran tertentu termasuk zina.
Hal ini cocok dengan hokum Islam dan diduga menjadi salah satu penyebab mengapa
perlahan-lahan Islam diterima sebagai agama rakyat.

B. SARAN

Untuk teman-teman sekalian yang juga mempelajari sejarah dan kebudayaan


suku Rejang. Memahami antar budaya sangat diperlukan untuk kita menghindari
sifat egois yang memicu kepada etnosentrisme.

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian Sejarah dan


Budaya.
2. History of Sumatra 1996 Edisi ketiga.
3. Journal.laincurup.ac.id
4. William Marsden, 2008. Sejarah Sumatra
5. Abdullah Siddik. 1980. Hukum Adat Rejang. Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai