Anda di halaman 1dari 14

4

Pemrakarsa Serangan
Umum 1 Maret 1949
Siapakah Pemrakarsa Serangan Umum 1Maret 1949

Menurut buku-buku teks sejarah yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru,
serangan umum tersebut diprakarsai Letkol Soeharto. Akan tetapi, kontroversi muncul ketika
harian Suara Merdeka (terbit di Semarang) edisi 15 Oktober 1985 memuat wawancara
dengan KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, mantan wali kota Yogyakarta (1947-1966).
Soedarisman mempertanyakan, dari manakah gagasan serangan itu, berasal; apakah dari
Soeharto, dari Bambang Soegeng yang menjadi atasan Soeharto, Sudirman, Nasution,
ataukah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX?

Dalam tanya jawab antara Dwipayana dan Soeharto untuk mendapatkan jawaban bagi
Soedarisman, dan disiarkan oleh pers pada 5 November 1985, Soeharto berkata; “(apakah
Soedarisman tidak percaya kalau inisiatifnya seorang komandan Brigade(Soeharto)?”

Soeharto juga mengatakan;”tanyakan saja kepada yang masih hidup. Sebab, yang sudah
meninggal, Pak Dirman (Jendral Sudirman) dan Bambang Soegeng. Yang masih hidup’kan
Jendral Nasution dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kalau dia (Soedirman) ragu-ragu
bahwa yang mengambil inisiatif itu seseorang komandan Brigade, seorang bawahan saja,
tanyakan saja kepada yang bersangkutan, yang masih hidup. Apakah pernah memberi
komando serangan umum 1 Maret, atau tidak?”

Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri cenderung bersikap diam tentang hal ini,
sampai beliau wafat.

Setelah kekuasaan Orde Baru pudar, kritikan semakin kuat bahwa penulisan teks
sejarah tentang Serangan Umum 1Maret 1949 merupakan kategori hagiografi-artinya
penulisan karya untuk mengkultuskan peranan seorang tokoh.
Berikut ini kutipan buku Soeharto: pikiran, ucapn, dan tindakan saya, otobiografi
Seoharto yang dipaparkan kepada . G. Dwipaya dan Ramadhan KH (PT Citra Lamtoro Gung
Persada, Jakarta 1988).

Persis pada waktu saya menyetel radio memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan
Purhadi, perwira PHB (perhubungan) yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri
mengenai perdebatan di PBB. Belanda mengatakan tindakan polisionilnya, begitulah sebutan
mereka, telah berhasil. Yogya telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI
sudah tidak ada,ekstremis sudah ada diluar kota, katanya. Hati saya melawan, mendengar siaran
itu. Sudah empat kali kita mengadakan serangan, masih juga mereka lantang mengatakan
begitu.

Seketika saya berfikir,”bahkan apa yang akan digunakan (Lambertus Nicodemus) palar, wakil
RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?” maka muncul keputusan dalam
fikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada
dunia, kebohongan Belanda itu. Karena sulit menghubungi pnglima besar Jendral Sudirman,
yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise
yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa,... saya putuskan, pada pertengahan
Februari mengadakan serangan pendahuluan terhadap pos-pos Belanda di luar kota, untuk
mengelanuhi perhatian Belanda, seolah-olah kita tidak akan menyerang kota. Dengan begitu,
kita buat mereka lengah.setelah itu, saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk
melaksanakan erangan umum. Waktu saya tentukan:pada tanggal 1 Maret, serangan pagi.. kita
menyerang untuk tujuan politis, agar supaya dunia mengetahui bahwa TNI masih mampu
mengadakan perlawanan...

Tepat pukul 06:00 pada tanggal 1 Maret 1949 bersama dengan dibunyikannya sirene akhir jam
malam, yang telah saya tentukan sebagai tanda mulai serbuan, terdengar tembakan yang
gemuruh di seluruh kota.....Enam jam saja kami duduki Yogya. Itu pun sudah cukup untuk
mencapai tujuan kami.

Paparan versi Soeharto didukung oleh Djatikusuma, komandan sektor 041 yang
mebawakan Yogyakarta Utara dan Timur sampai batas Magelang dan Surakarta. Ia
menamakan Soeharto sebagai” arsitek” serangan itu. Djatikusumo
mempertanyakan:”bagaimana mungkin Sri Sultan Hamengku Buwono IX bisa merancang
serangan itu. Dari mana dan kapan beliau belajar ilmu ketentaraan?”(Majalah Editor, 21
Maret 1992).
Itu adalah reaksi Djatikusumo terhadap paparan wartawan dan politisi Manai Sophiaan
dalam bukunya, apa yang masih teringat, yang mengutip keterangan penulis Belanda Dr. L
De Jong dalam bukunya, Het Koninkrijk der Nederlandet in de Twede Wereldoorlog, seperti
dimuat dalam editor.”... Februari 1949, setelah mendengar bahwa Dewan Keamanan PBB
akan bersidang kembali pada permulaan Maret, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat
rencana supaya gerilya mengadakan serangan besar-besaran terhadap Yogya..”

Buku serangan umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta: latar belakang dan pengaruhnya
yang dipersiapkan oleh Seskoad dan diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada tahun
1989 menggalbarkan suatu paralel antara prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Letkol Soeharto. Berbeda dengan otobiografi Soeharto yang menyebutkan bahwa Letkol
Soeharto besama-sama Purhadi mndengarkan siaran radio, buku terbitan Seskoad itu
menyatakan bahwa:.. berita tentang perdebatan di Dewan Keamanan PBB tersebut berhasil
dimonitor oleh komandan PHB WK II Mayor Poerhadi melalui siaran berita ALL Indian
Radio. Mayor Poerhadi melaporkan apa yang didengarnya kepada Letkol Soeharto...”(h.
195).

Buku terbitan Seskoad menyebutkan, Sri Sultan Hmengku Buwono IX dan Letkol
Soeharto sama-sama mendengar pemancar radio luar negeri dan mengikuti perdebatan di
Dewan Keamanan tentang masalah Indonesia.” Baik Letkol Soeharto maupun Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, keduanya berpendapat bahwa sidang DK PBB merupakan
kesempatan baik dst”(h. 195-196). Tapi tidak dicantumkan bahwa Letkol Soeharto berjumpa
dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam persiapan SO 1 Maret seperti diceritakan
oleh adik beliau GBPH Prabuningrat.

Nasution dalam bukunya, memnuhi panggilan Tugas jiid 2 A, tidak menjelaskan siapa
sebenarnya yang mula-mula mengusulkan serangan umum 1 Maret 1949. Ia hanya
mengatakan, serangan itu ada kaitannya dengan instruksi rahasia kolonel Bambang Soegeng,
panglima komando divisi III Jawa Tengah, kepada Letnan Kolonel Soeharto, komandan
Wehrkreise III /Brigade X yang mliputi daerah Yogyakarta, agar” mengadakan gerakan
serangan besar-besaran terhadap ibu-kota (RI di Yogyakarta yang diduduki pasukan
Belanda)” antara 25 Februri dan 1 Maret 1949.

Pengkultusan peran Soeharto sebagai pemrakarsa sekaligus pemimpin lapangan pada


serangan umum 1 Maret 1949, tidak Cuma ditandaskan melalui buku-buku teks sejarah.
Dalam bentuk film, penonjolan terhadap Soeharto juga dilakukan. Dr Khrisna Sen, dosen
studi komunikasi Universitas Murdoch di Australia Barat, dalam tesis doktoralnya, Indonesia
Cinema:Framing the New Order(Zed Boks Ltd , 1988), mengungkapkan bahwa peranan Sri
Sultan Hamengku Buwono IX dalam skenario janur kuning tentang serangan umum adalah
sangat kuat (substansial). Tetapi, dalam film itu sendiri, peranan itu menjadi sangat kecil,
sekadar sebagai” pengamat yang pasif, sekaligus penuh perhatian dan simpatik, terhadap
kegiatan-kegiatan tentara melawan Belanda.”

Dr Khrisna Sen mengungkapkam;” dalam skenario film menjelang serangan umum,


Soeharto mengadakan pertemuan dengan Sultan,Marsudi, waktu tiu perwira intelijen di
bawah Soeharto, dan menjadi produser yang bertanggung jawab atas materi sejarah dalam
film ini, masih ingat bahwa pertemuan itu memang ada(sebelum serangan umum)... tetapi,
film itu mempertunjukkan versi yang diinginkan oleh presiden Soeharto bahwa ia bertemu
dengan Sultan hanya setelah serangan itu berlangsung.

Prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono IX


Kini dapat disimpulkan bahwa pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949 adala Sri
Sultan Hamengku Buwono IX. Dari berbagai sumber, tampaklah dengan jelas bahwa peran
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai pemrakarsa serangan itu.

Dalam buku biografi yang ditulis berdasarkan wawancara dengan beliau, Takhta untuk
rakyat :celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (PT Gramedia, Jakarta,
1982),diungkapkan sebagai berikut:

Kian lama kian tampak keadaan( tak menentu di Yogyakarta) itu menyebabkan semangat juang
rakyat sekitar Yogya menurun dan mengendur

Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyaksikan situasi ini dengan rasa cemas. Ia merasa,
apabila menurunnya semangat itu dibiarkan terus, akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dan akan merugikan perjuangan kemerdekaan, suatu kejutan harus diciptakan untuk
mengunggah kembali semangat rakyat, untuk meningkatkan kembali semangat juang mereka.

Otaknya berfikir keras mencari akal. Apabila ketika ia mendengar berita dari radio luar negeri
bahwa pada akhir Februari 1949 masalah Indonesia-Belanda akan dibicarakan di forum PBB.
Bagaimana cara untuk memberitahukan kepada dunia international bahwa republik Indonesia
masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan seperti yang ingin mereka
kesankan? Ia kemudian mendapat suatu akal.
Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk
menghubungi panglima besar Sudirman di persembunyiannya, meminta persetujuan untuk
melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan Gerilya.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian dapat mendatangkan komandan Gerilya, Letkol
Soeharto. Dalam pertemuan dirumah kakanya, GBPH Prabuningrat, di komplek kraton sekitar
13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan
umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX – Soeharto dalam hubungan dengan rencana serangan umum 1 Maret 1949. Kontak-kontak
selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. Melalui kurir pula ia memberi tahu Soeharto
pada sore hari 1 Maret bahwa,”pendudukan Yogya”oleh pasukan Gerilya dianggapnya sudah
cukup.

Berikut seluruh gerakan persiapan, serangan ini berlangsung selama sembilan jam-mulai pukul
06:00 sampai 15:00. Tetapi , secara efektif Yogya diduduki oleh gerilya selama 6 jam, sehingga
serangan ini juga dikenal dengan sebutan ‘enam jam di Yogya’.

Thomas Kingston Critchley, wakil Australi komite jasa baik PBB mengenai masalah
Indonesia(1948-1949) dan pada komisi PBB untuk Indonesia (1949-1951), menduga bahwa
Sultan, yang berhubungan erat dengan para gerilyawan, ikut terlibat dalam semua serangan
ini. Lagi pula, mereka pastilah memperoleh kemudahan oleh kenyataan bahwa di bawah
kepemimpinan Sultan di Yogyakarta hampir tidak ada sama sekali kerja sama penduduk sipil
dengan Belanda (Atmakusumah, 1999)

Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang menjalin kontak dengan tentara Republik.
Agar tidak dicurigai Belanda sebagai mata-mata Republik maupun dicurigai TNI sebagai
mata-mata Belanda yang loyal terhadap pemerintahan kerajaan Belanda, maka Sri Sultan
Hamengku Buwono IX membuka kraton Yogyakarta untuk pasukan Belanda maupun TNI.
Ini juga merupakan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyadap semua
informasi penting dari Belanda dengan kedatangan pemimpin-pemimpin pasukan Belanda,
diantaranya Kolonel Van Langen.

Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh yang rajin mengikuti perkembangan
informasi international melalui siaran radio. Beliau menyampaikan informasi kepada Jendra
Sudirman yang sedang bergerilya, bahwa dari berita-berita yang diperoleh dari radio
kelihatannya dunia international termakan propaganda Belanda, yang menyatakan RI sudah
tiada lagi.
Pemikiran yang dikembangkan dikalangan militer adalah perlunya meyakinkan dunia
international ( terutama Amerika dan Inggris) bahwa negara RI masih kuat, memiliki
pemerintahan, memiliki organisasi kenegaraan yang lengkap dan fungsional, serta
mempunyai tentara. Untuk membuktikan hal tersebut , tidak mungkin dilakukan dengan
kontra propaganda. Upaya melancarkan propaganda balasan membutuhkan pemancar radio
yang modern. Karena itu, harus diadakan suatu serangan spektakuler. Serangan tersebut harus
diketahui wartawan-wartawan asing yang berada di Yogyakarta agar merka menyebarluaskan
ke seluruh dunia.

Taktik lain juga ditempuh. Untuk menginformasikan bahwa negara RI masih ada
kepada wartawan asing, diperlukan pemuda-pemuda yang diberi seragam TNI, yang dapat
berbhasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Mereka ditugaskan siap di hotel Garuda.

Konsep tersebut disampaikan Letkol Dr Hutagalung dalam rapat pimpinan


pemerintahan dan militer di lereng gunung sumbung, Jawa Tengah, Hadirin pun
menerimanya. Persoalan yang timbul, kota mana yang diserang? Ada yang mengusulkan
surabaya, ada pula Yogyakarta, dan lain-lain. Rapat menyetujui sasaran serangan Yogyakarta,
dan pelaksanaanya diserahkan kepada komandan pasukan yang mebawahi Yogyakarta yakni
komandan Brigade X Letkol Soeharto.

Panglima divisi Bambang Soegeng dan Dokter Hutagalung kemudian berangkt


menemui komandan Brigade X yang dikenal sebagai Wehrkreise III, untuk menyampaikan
keputusan rapat. Dalam perjalanan , panglima divisi dan perwira Teritorial singgah di
pedukuhanbanaran untuk menemui wakil II kepala Staf Angkatan perng kolonel
T.B.Simatupang, juga hadir dalam perjuangan itu Mr. Ali Budiardjo.

Pertemuan bersejarah dengan Letkol Soeharto diadakan disebuah gubug di tengah


sawah, yang hadir adalah Bambang Soegeng, Soeharto-masing-masing dengan ajudannya,
serta Dr. Hutagalung. Hadir pula Letnan Amron Tanjung. Setelah panglima divisi memulai
pembicaraan, Hutagalung dipersilahkan menyampaikan hasil rapat di lereng Gunung
Sumbing secara rinci. Disituasi dan ditempat itulah sebuah perintah disampaikan. Soeharto
diminta untuk mengkordinasikan serangan tersebut dengan bagian politik Kementrian
Pertahanan Wijoyo. Pelaksanaan serangan diserahkan kepada Brigade X / daerah III.
Soeharto menyatakan siap ketika Dokter Hutagalung menanyakan kesiapannya
Tanggal 18 Februari 1949 pukul 20:00, kolonel Bambang Soegeng selaku gubernur
militer III/ panglima divisi III mengeluarkan instruksi rahasia kepada Letkol Soeharto, selaku
komandan daerah III. Isi intruksi tersebut “untuk mengadakan serangan besar-besaran
terhadap ibu kota yang akan dilakukan antar tanggal 25 Februari 1949 sampai dengan 1
Maret 1949 dengan mempergunakan bantuan pasukan-pasukan dari Brigade IX.”

Kedatangan Kolonel Bambang Soegeng dan Letkol Dr Hutagalung ke Banaran,


dibenarkan kolonel T.B. Simatupang, dalam bukunya laporan dari Banaran(1960),
Simatupang menulis “kolonel Bambang Soegeng yang sedang mengunjungi daerah
Yogyakarta( dia adalah gubernur militer daerah Yogyakarta- kedubanyumas- pekalongan-
sebagian dari semarang) datang dan bermalam di Banaran. Soegeng adalah orang yang
emosional apabila Yogakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah:Yogya
harus direbut dengan senjata. Paling sedikit ia ingin Yogyakarta, kita serang secara vesar-
besaran, agar menjadi jelas bagi sejarah bahwa sekalipun Yogyakarta ditinggalkan oleh
Belanda, namun kita tidak menerima kota itu sebagai hadiah saja. Paling sedikit dia mau
membuktikan bahwa kita mempunyai kekuatan untuk menjadi kedudukan Belanda di kota
tidak tertahan(onhoud-baar).

Perihal serangan umum 1 Maret 1949, Simatupang menulis :”inilah serangan yang
beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Soegeng di Banaran,”

Herman Budi Santoso bersaksi, bahwa pemrakarsa serangan umum 1 Maret itu adalah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Bernas, 2 Maret 1999). Herman Budi Santoso adalah
anggota paguyuban Wehrkreise (WK) III ,( anak dari Sabar Wijonomukti anah buah mantan
Menpen alm. Boedihardjo, yang menyiarkan berita serangan umum 1 Maret melalui stasiun
radio AURI di Banaran, Playen, gunung kidul). Berkat Boedihardjo, berita penyerbuan
kekota Yogyakarta itu sampai ke Dewan Keamanan PBB yang bermarkas di New York,
Amerika Serikat. Didampingi oleh Yussac MR Wirosoebroto, Herman menuturkan bahwa
sebelum ayahanda dan Boedihardjo meninggal, kedua pelaku sejarah itu berpesan kepadanya,
agar bila situasi sudah memungkinkan, soal pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949 yang
sebenarnya dibeberkan. Boedihardjo dan Sabar Wiyonomukti mengatakan bahwa yang
memprakarsai serangan umum adalah mayor Jendral Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Sehari sebelum peristiwa serangan, kolonel TB Simatupang yang menyamar sebagai


petani, datang ke markas rahasia stasiun radio AURI diplayen membawa surat dari Sri Sultan
Hamengku Buwono IX untuk menemui kapten Boedihardjo. Surat tersebut berisi perintah
dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX kepada kapten Boedihardjo untuk menyiarkan
serangan umum 1 Maret 1949, etelah terjadi serangan umum itu langsung disiarkan dengan
bahasa morse (sandi) ke Sumatra. Dari sana berita diteruskan ke Birma, Ke India, dan dari
India diteruskan kepada Dewan Keaman PBB. Dari situlah dunia international tahu bahwa
negara Indonesia masih berdaulat.

Buku otobiografi mantan menpen Boedihardjo siapa sudi saya dongeni terbitan
pustaka Harapan 1996 menceritakan peritiwa serangan umum 1 maret 1949(h. 31, 34, 43,-
48). Tertulis dalam buku tersebut , pangkalan radio AURI diplayen terbukti berjasa, ketika
dengan peralatan radio PC2 yang sangat sederhana berhasil menyiarkan berita keberhasilan
serangan umum 1 Maret 1949 ke luar negeri.

Pertemuan Empat Mata

Sri Sultan Hamengku Buwono IX Dan Letkol Soeharto


Dalem Prabeyo, keraton Yogyakarta, tanggal 14 Februari 1949, pukul 23:00 malam.
Pintu gerbang dan lorong-lorong di sekitar nDalem prabeyo, malam itu gelap gulit. Kegelapn
juga menyelimuti bangunan dapur di bawah pohon-pohon rindang. Sluruh karaton terasa
senyap kerna semua lampu listrik dipadamkan atas perintah Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. Keheningan yang mencekam menyelimuti seluruh kawasan keraton. Sementara
dibeberapa penggal jalan hingga ke jalan ke selatan setelah plengkung gading sepi, kecuali
berpuluh pasang mata Gerilya melakukan beveligen( pengamanan)tersamar bagi
Overste(Letnan Kolonel) Soeharto agar bisa masuk keraton tanpa diketahui intel-intel
Belanda.

Letnan Satu (Lettu) Marsoedi pada saat itu adalah staf perwira intel Letkol Soeharto
dan bertugas sebagai kurir yang menghubungkan komunikasi antara Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dengan Soeharto. Lettu Marsoedi adalah komandan sub Wehrkreise (SWK) 101
dibawah komando Soeharto, yang ketika itu menjadi komandan Brigade X dan merangkap
Komandan Wehrkreise (WK) III, yang membawahi seluruh wilayah Yogyakarta. Lettu
Marsoeilah yang menyampaikan surat “undangan” ,Sultan pada Soeharto, dan malam 14
Februari itu Marsoedi mempersiapkan pengamanan tersamar bagi Soeharto.

Letnan Marsoedi mengatur masuknya Letko Soeharto ke kota, agar pertemuan empat
mata dengan Sri sultan Hamengku Buwono IX berlangsung mulus dan aman. Pada waktu iti,
situasi keamanan sangat rawan, tidak bisa sembarangan masuk ke kota, apalagi pada malam
hari, sebab tentara Belanda ada dimana-mana. Marsoedi mengatur sektor satu agar membuat
pagar betis untuk mengamankan kolonel Soehrto masuk ke kraton Yogyakarta, mulai dari
Pojok Benteng, pugeran, kampung taman hingga ke karaton Yogyakarta.

Letkol Soeharto saat masuk kota menyamar dengan mengenakkan pakaian biasa, yakni
pakaian gerilya. Setelah tiba di nDalem prabeyo malam itu lewat pojok Benteng Barat,
menyusuri kampung dalam benteng, dan lewat sebelah timur taman sari, Overste Soeharto
diminta menganti pakaian. Letkol Soeharto kemudian mengenakkan stelan peranakan adat
Jawa, berupa blangkon, surjan lurik, dan kain panjang yang telah dipersiapkan Hendra
Bujono, abdidalem keraton inilah yang kemudian mendandani Soeharto di dapur keraton,
disaksikan Lettu Marsoedi.

Letnan Marsoedi mengawal sampai regol /pintu gerbang, kemudian diterima Pangeran
Prabuningrat. Marsoedi tidak diperbolehkan masuk ke ruang pertemuan dn pertemuan
berlangsung di rumah Pangeran Prabuningrat( ayah Hj Sitoresmi Prabuningrat), yang terletak
sebelah timur Ngejamen. Bahkan pangeran Prabuningrat juga tidak diperbolehkan masuk
ruang tersebut. Lampu-lampu juga dimatikan.

“Pak Harto, saya minta apakah Pak Harto sanggup melaksanakan serangan umum
besar-besaran di siang hari bolong untuk mempengaruhi sidang Dewan Keamanan PBB?”
kata Sultan HB IX malam itu di nDalem Prabuningrat.

“Saya bersedia” kata Letkol Soeharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai
komandan pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.

Sultan menambahkan,”jangan sampai gagal. Karena kalau gagal akan


menyulitkan lagi posisi kita,”.kode bunyi sirene pukul 06:00 pagi, dan tanda jalur kuning
kemudian di bahas dalam pertemuan empat mata itu sebagai tanda bagi kesatuan-kesatuan
gerilya untuk melakukan penyerangan terhadap beberapa instalasi penting Belanda.
Penyusunan strategi yang sangat serius itu berakhir sekitar pukul 01.00 dini hari.

Taka da saksi mata lain yang hadir di ruangan itu, kecuali beberapa orang yang
sebelumnya mempersiapkan pertemuan itu, tetapi mereka berada di luar ruang. Mereka itu
adalah KGPH Prabuningrat (kakak kandung HB IX) ; abdi dalam penanggung jawab bagian
dapur bernama Hendro Bujono; serta perwira intel bernama Lettu Marsoedi.
Pertemuan empat mata antara Sultan HB IX dan Letkol Soeharto, menurut
perkiraan Marsoedi, berlangsung antara pukul 23.00-24.00 WIB. Kembalinya Letkol
Soeharto dari pertemuan adalah sekitar pukul 00.30 s.d 01.00. Letkol Soeharto ke luar dari
regiol lalu diterima menengah itu, kemudian mereka berdua istirahat sebentar. Setelah
melepas baju peranakan, Letkol Soeharto lalu berpamitan.

Soeharto sama sekali tidak mengungkapkan isi pembicaraan dengan Sultan,


kecuali mengatakan, “ Sudah Di, ini sudah malam nanti terlalu lama. Kamu tunggu instruksi
lebih lanjut,” kata Marsoedi, menirukan ucapan Soeharto.

Dua hari kemudian berulah Sultan mengungkapkan isi pembicaraan bersejarah itu
dengan memanggil Marsoedi. Selaku Menteri Koordinator Keamanan, Sultan merencanakan
SU Maret 1949, karena Sultan yang rajin memonitor siaran-siaran radio luar negeri
menangkap informasi perdebatan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB tentang Agresi
Militer Belanda II 19 Desember 1948 ke Yogyakarta.

Marsoedi mengaku dipanggil Pak Harto dan diberi penjelasan rencana Serangan
Umum 1 Maret.

“Di, kamu menyiapkan pasukan di dalam kota, saya akan mengadakan serangan
serentak di empat jurusan, terutama menyerang markas Belanda,” perintah Letkol Soeharto.
Saat itu, Yogyakarta ditetapkan sebagai Wehrkreise III disingkat WKIII. Wehrkreise berasal
dari kata wehr berarti perlawanan dan kreise berarti lingkaran.

Istilah ini dari bahasa Jerman dan sistem itu dipakai TNI pertama kali dalam
Agresi Militer Belanda ke-I pada 21 Juli 1947. Pertahanan TNI waktu itu disusun dengan
konsep wal Perintah Siasat dari para perwira di Markas Besar Tentara (MBT) tanggal 31 Mei
1947. Konsep tersebut telah disetujui oleh Menteri Pertahanan. Dari Agresi Militer Belanda
ke-1 ini ditarik beberapa pelajaran hanya gerakan militer defensive akan memerosotkan moril
prajurit di posisi stategis.

Pada 19 Desember 1948 dilaksanakan perang geriliya secara total yang dikenal
dengan doktrin system Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta i(permesta) atau perang
rakyat total. Maka seluruh kekuatan disebar di seluruh wilayah disebut kantong-kantong yang
dikembangkan menjadi wehr seperti digariskan dalam Perintah Siasat Panglima Besar
(Pangsar) No. 1 Tahun 1948 tanggal 12 Juni 1948.
Sebagai pelaksanaan perang geriliya rakyat semest maka dibentuk WK III yang
dibagi menjadi Sub WK. Pada Januari 1949 dibentuk 6 SWK, namun karena pergeseran
pasukan dalam SWK, namun karena pergeseran pasukan dalam personel berkembang WK III
dari 6 menjadi 7. SWK 101/ Yogya dipimpin oleh Lettu Marsoedi bermarkas di Prabeyo
(Dapur Keraton). SWK 10/ Bentuk bermarkas di Pandak (Bantul) dipimpin Mayor Sardjono,
SWK 103/ Gamping dipimpin Letkol Soehoed, SWK 104 A/ Godean dipimpin Mayor HN
Soemoeal bermaraks di Desa Jering (Sleman), SWK 105/ Sleman dipimpin Mayor Soekasno,
SWK 105/ Gunungkidul dipimpin Mayor Soedjono dan SWK 106/ Kulonprogo dipimpin
Letkol Soeharto.

Letkol Soeharto selanjutnya menyususn strategi penyerangan. Jelas di sini, bahwa


dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, peran Letkol Soeharto adalah sebagai pimpinan
pelaksana operasional yang bertugas menterjemahkan instruksi atasan di lapangan.

Serangan Umum itu bermula dari sikap pihak Belanda, yang menurut Resolusi
Dewan Keamanan PBB seharusnya meninggalkan wilayah RI akan tetapi tidak mau
hengkang. Bahkan mengklaim tindakan militernya sebagai aksi “polisionil” (penertiban) atas
kekacauan yang ditimbulkan oleh para ekstremis (perjuangan Indonesia). Belanda
menciptakan kesan tidak ada pemerintah di Indonesia. Karenanya Sultan merencanakan
gerakan militer untuk menunjukkan bahwa TNI masih ada, sekaligus sebagai tindakan politis
yang bisa diketahui oleh Negara-negara anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang sudah ada
di Yogya.

Dari sana, Sultan kemudian mengirim surat meminta pertimbangan Panglima


Besar Jenderal Sudirman yang tengah bergeriliya, agar dilakukan SU 1 Mareet. Jenderal
Sudirman bisa menerima, bahwa Letkol Soeharto yang ditunjuk sebagai komandan operasi.
Karena itu, Letkol Soeharto kemudian diundang untuk membahas strategi SU 1 Maret di
dalam kraton. Sri Sultan menekankan pada Letkol Soeharto agar serangan itu jangan sampai
gagal

Surat Perintah Kolonel Bambang Soegeng

Pada saat itu, tentara Belanda melancarkan agresi kedua, Kolonel Bambang
Soegeng menjabat sebagai Gubernur Militer yang memawahi daerah Yogyakarta, Kedu,
Banyumas, Pekalongan dan sebagian dari Semarang. Kolonel Bambang Soegeng memiliki
peran besar sebagai penyusun strategi perang geriliya di wilayahnya.
Suatu kebenaran historis bahwa Kolonel bambang Soegeng terus-menerus
mengobarkan aktivitas geriliya terhadap para pejuang yang dipimpinnya. Akan tetapi, sejauh
menyangkut Serangan Umum 1 Maret 1949, peran sebagai pemrakarsa tetaplah Sri Sultan
Hamangku Buwono IX. Sri Sultanlah yang sampai pada kesimpulan bahwa srangan besar-
besaran pada waktu siang hari, sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat
terhadap TNI maupun besar artinya guna mendukung diplomasi RI di DK PBB.

Secara de jure, Kolonel Bambang Soegeng membawahi WK III yang dipimpin


Letkol Soeharto. Beliau juga memiliki inisiatif melakukan perang geriliya secara
terkoordinasi. Inisiatif itu dituangkan dalam Surat Perintah Kolonel Bambang Soegeng,
Panglima Divisi III, No.4/S/ Cop 1, bertanggal 1 Januari 1949. Format surat perintah itu
terdiri atas: Diperintahkan kepada, untuk, keterangan. Lengkapnya adalah sebagai berikut:

Diperintahkan kepada: 1. Letkol Moch Bakhrum, CDt. Daerah I. 2. Letkol


Sarbini, Cdt. Daerah II. 3. Letkol Soeharto, Cdt. Daerah III.
1) Segera mengadakan perlawanan serentak terhadap belanda sehebat-hebatnya,
agar timbul suasana pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda, yang dapat
menarik dunia luar, untuk menyatakan kebohongan keterangan-keterangan
Belanda, bahwa gerakan mereka telah selesai.
2) Supaya pada tanggal 17 Januari 1949 mengadakan perlawanan serentak
terhadap segala sasaran yang berada di daerah Paduka Tuan masing-masing.
Keterangan: pada saat ini perjuangan Indonesia digambarkan oleh Belanda,
seolah-olah sudah selesai, dan telah dihancurkan. Pada umumnya dunia luar
biasa dipengaruhi oleh perkabaran, bagaimana besaarnya kebohongan. Oleh
karena itu pada waktu ii tidak bisa langsung berhubungan dengan luar negeri,
untuk memberitahukan kepada mereka bahwa tenaga kita 90% masih berdiri
tegak, maka kita masih membuktikan dengan gerakan yang nyata, bahwa
kekuatan dan cara gerakan kita ini mesti sedemikian, sehingga Belanda tak
dapat menyembunyikannya. Tujuan yang dapat kita capai maksud ini ialah
antaranya menghalang-halangi penerbangan mereka, dan juga mengganggu
perjalanan kereta api mereka. Konsekuensi dari kedua ini ialah, bahwa kita
harus menghancurkan, guna angkutan yang penting, cq. Troepentransport dan
jlan yang akan ditelusuri oleh peninjau luar negeri.”

Adalah logis bahwa Koloneal Bambang Soegeng, sebagai atasan Letkol


Soeharto, Letkol Bachrum dan Letkol Sarbini, melihat adanya hubungan antara serangan-
serangan TNI terhadap Belanda dan perhatian luar negeri. Tetapi, Surat peritah Kolonel
Bambang Soegeng tidak dapat disebut sebagai prakarsa atas serangan Umum 1 Maret 1949 di
Yogyakarta.
Disebutkan perlunya membuktikan kekuatan kepada pihak luar negeri , akan
tetapi tidak dijelaskan pihak luar negeri itu siapa. Tidak disebutkan secara spesifik bahwa
yang dimaksud adalah Dewan Keamanan PBB. Sperti diketahui, DK PBB mengadakan
siding dalam bulan Maret 1949 untuk membahas pertikaian RI-Belanda.
Surat perintah Kolonel Bambang Sungeng menyebut secara eksplisit
perlawanan serentak itu supaya dilaksanakan pada tanggal 17 januari 1949 di daerah masing-
masing. Tapi tidak disebutkan bahwa serangan dilakukan pada sing hari. Kelak terbukti
bahwa serangan tersebut gagal dilakukan secara serentak pada waktunya. Alasan teknis
tampaknya menjadi penghambat pelaksanaan serangan serentak itu. Kendati demikian, secara
subtansional para komandan lapangan di bawah Kolonel Bambang Soegeng tetap memegang
perintah untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap tentara Belanda.
Bukti yang lain adalahh perihal tujuan yang hendak dicapai. Dalam kolom
keterangan dari surat perintah tersebut, tujuan yang hendak dicapai adalah menghalangi
penerbangan dan mengganggu perjalanan kereta api belanda, khususnya pengangkatan
tentara dan peninjauan luar negeri. Tujuan ini bersifat sangat teknis, karena tidak secara
langsung memberikan dukungan kepada delegasi RI yang berdiplomasi di forum
internasional. Jelaslah bahwa surat perintah Kolonel Bambang Sungeng tidak dapat secara
langsung dihubungkan sengan Serangan Umum 1 maret 1949 seperti disebut di sepan.
Walaupun Kolonel Bambang Soegeng, tidak secara langsung memprakarsai
Serangan Umum 1 Maret 1949, akan tetapi beliau memiliki peran yang tidak kecil. Ada dua
narasumber yang menggambarkan keterlibatan Kol. Bambang Soegeng.
Adalah Kolonel TB Simatupang, Wakil Kepala Staf Angkatan Perang,
mengutip catatan hariannya dalam bukunya Laporan dari Banaran (Jakarta, 1960) yang
merekam kunjungan Kol. Bambang Soegeng ke markas geriliya di dukuh Banaran, di Utara
Yogya. Dalam catatan tertanggal 18 Februari 1949 Pak Sim menulis, antara lain:

Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan
apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah:
Yogyakarta harus direbut dengan senjata. Paling sedikit ia ingin bahwa
Yogyakarta kita serang secara besar-besaran…Dengan Kol. Soegeng masih
saya bicarakan beberapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk
serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.

Kolonel Bambang Soegeng dalam perjalanannya itu ditemani oleh perwira


teritorialnya, Letkol Dokter W. hutagalung. Ia masih hidup. Salah seorang putranya
meminjamkan naskah yang ditulis ayahnya mengenai pengalamannya selama perang geriliya.
Naskah itu ditulis hanya untuk keluarganya dan merupakan cerita perjuangan seorang patriot
yang sugguh mengharukan. Dalam kata pendahuluannya dokter Hutagalung menulis:
“Kupersembahkan tulisan ini pada isteriku yang tabah menghadapi kesulitan…Kutulis ini
juga untuk anak-anak agar mereka mengetahui dan mengerti kenapa ayah meninggalkan
mereka dalam keadaan serba susah, berpindah-pindah lebih dari 20 kali dalam kurun waktu
empat tahu.”
Kolonel Bambang Soegeng dan Letkol Hutagalung setelah menjumpai Ko.
Simatupang di Banaran pada tanggal 18 Februari 1949, berjalan menuju sekutu lokasi untuk
bertemu dengan Letkol Soeharto. Berikut ini catatan dokter Hutagalung yang ditulis pada
tahun 1986:
Panglima Divisi (Kol. Bambang Soegeng) membuka rapat dengan kata-kata:”
Bersama ini dibuka rapat dan dipersilahkan dr. Hutagalung untuk menguraikan
tujuan. Penulis (Hutagalung) berdiri, uluran tangan pada saudara Soeharto dan
mengatakan: “Saudara Soeharto, saya ucapkan selamat pada saudara Soeharto
oleh karena ditakdirkan memegang peranan penting dalam perjuangan kita.
Nama Soeharto akan dicantumkan dengan tinta mas dalam sejarah
perjuanggan untuk kemerdekaan RI”. Lalu diuraikan rencana serangan umum
terhadap Yogyakarta. Kemudian ditanya: “Bersediakah saudara Soeharto
untuk melaksanakan? Jawab: Siap.
Saudara Bambang Soegeng dan penulis (Hutagalung) kemudian kembali ke
lereng Gunung Sumbing (lokasi markas gubernur militer).

Gerakan pasukan geriliya biasanya dalam kesatuan-kesatuan kecil di malam


hari dengan tujuan untuk menganggu pasukan musuh. Gerakan geriliya semacam itu
memegang efektif untuk menimbulkan gangguan, tetapi kurang mendukung diplomasi
internasional. Belanda dengan mudah dapat menjelaskan kepada public internasional bahwa
RI sudah bubar. Mereka akan mengatakan bahwa pasukan geriliya TNI tidak lain adalah
preman-preman pengacau keamanan. Belanda mengistilahkan operasi militernya sebagai
“aksi polisionil” yang bertujuan pengaman, bukan pendudukan.

Anda mungkin juga menyukai