Pemrakarsa Serangan
Umum 1 Maret 1949
Siapakah Pemrakarsa Serangan Umum 1Maret 1949
Menurut buku-buku teks sejarah yang dikeluarkan pada masa pemerintahan Orde Baru,
serangan umum tersebut diprakarsai Letkol Soeharto. Akan tetapi, kontroversi muncul ketika
harian Suara Merdeka (terbit di Semarang) edisi 15 Oktober 1985 memuat wawancara
dengan KPH Soedarisman Poerwokoesoemo, mantan wali kota Yogyakarta (1947-1966).
Soedarisman mempertanyakan, dari manakah gagasan serangan itu, berasal; apakah dari
Soeharto, dari Bambang Soegeng yang menjadi atasan Soeharto, Sudirman, Nasution,
ataukah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX?
Dalam tanya jawab antara Dwipayana dan Soeharto untuk mendapatkan jawaban bagi
Soedarisman, dan disiarkan oleh pers pada 5 November 1985, Soeharto berkata; “(apakah
Soedarisman tidak percaya kalau inisiatifnya seorang komandan Brigade(Soeharto)?”
Soeharto juga mengatakan;”tanyakan saja kepada yang masih hidup. Sebab, yang sudah
meninggal, Pak Dirman (Jendral Sudirman) dan Bambang Soegeng. Yang masih hidup’kan
Jendral Nasution dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Kalau dia (Soedirman) ragu-ragu
bahwa yang mengambil inisiatif itu seseorang komandan Brigade, seorang bawahan saja,
tanyakan saja kepada yang bersangkutan, yang masih hidup. Apakah pernah memberi
komando serangan umum 1 Maret, atau tidak?”
Sri Sultan Hamengku Buwono IX sendiri cenderung bersikap diam tentang hal ini,
sampai beliau wafat.
Setelah kekuasaan Orde Baru pudar, kritikan semakin kuat bahwa penulisan teks
sejarah tentang Serangan Umum 1Maret 1949 merupakan kategori hagiografi-artinya
penulisan karya untuk mengkultuskan peranan seorang tokoh.
Berikut ini kutipan buku Soeharto: pikiran, ucapn, dan tindakan saya, otobiografi
Seoharto yang dipaparkan kepada . G. Dwipaya dan Ramadhan KH (PT Citra Lamtoro Gung
Persada, Jakarta 1988).
Persis pada waktu saya menyetel radio memantau siaran luar negeri bersama-sama dengan
Purhadi, perwira PHB (perhubungan) yang sekarang sudah tiada, terdengar siaran luar negeri
mengenai perdebatan di PBB. Belanda mengatakan tindakan polisionilnya, begitulah sebutan
mereka, telah berhasil. Yogya telah mereka duduki, pemerintahan Belanda berjalan lancar, TNI
sudah tidak ada,ekstremis sudah ada diluar kota, katanya. Hati saya melawan, mendengar siaran
itu. Sudah empat kali kita mengadakan serangan, masih juga mereka lantang mengatakan
begitu.
Seketika saya berfikir,”bahkan apa yang akan digunakan (Lambertus Nicodemus) palar, wakil
RI di PBB untuk menjawab pernyataan pihak Belanda itu?” maka muncul keputusan dalam
fikiran saya: kita harus melakukan serangan pada siang hari, supaya bisa menunjukkan kepada
dunia, kebohongan Belanda itu. Karena sulit menghubungi pnglima besar Jendral Sudirman,
yang tempat bergerilyanya tidak diketahui dengan jelas, maka sebagai komandan Wehrkreise
yang memiliki wewenang untuk melakukan prakarsa,... saya putuskan, pada pertengahan
Februari mengadakan serangan pendahuluan terhadap pos-pos Belanda di luar kota, untuk
mengelanuhi perhatian Belanda, seolah-olah kita tidak akan menyerang kota. Dengan begitu,
kita buat mereka lengah.setelah itu, saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk
melaksanakan erangan umum. Waktu saya tentukan:pada tanggal 1 Maret, serangan pagi.. kita
menyerang untuk tujuan politis, agar supaya dunia mengetahui bahwa TNI masih mampu
mengadakan perlawanan...
Tepat pukul 06:00 pada tanggal 1 Maret 1949 bersama dengan dibunyikannya sirene akhir jam
malam, yang telah saya tentukan sebagai tanda mulai serbuan, terdengar tembakan yang
gemuruh di seluruh kota.....Enam jam saja kami duduki Yogya. Itu pun sudah cukup untuk
mencapai tujuan kami.
Paparan versi Soeharto didukung oleh Djatikusuma, komandan sektor 041 yang
mebawakan Yogyakarta Utara dan Timur sampai batas Magelang dan Surakarta. Ia
menamakan Soeharto sebagai” arsitek” serangan itu. Djatikusumo
mempertanyakan:”bagaimana mungkin Sri Sultan Hamengku Buwono IX bisa merancang
serangan itu. Dari mana dan kapan beliau belajar ilmu ketentaraan?”(Majalah Editor, 21
Maret 1992).
Itu adalah reaksi Djatikusumo terhadap paparan wartawan dan politisi Manai Sophiaan
dalam bukunya, apa yang masih teringat, yang mengutip keterangan penulis Belanda Dr. L
De Jong dalam bukunya, Het Koninkrijk der Nederlandet in de Twede Wereldoorlog, seperti
dimuat dalam editor.”... Februari 1949, setelah mendengar bahwa Dewan Keamanan PBB
akan bersidang kembali pada permulaan Maret, Sri Sultan Hamengku Buwono IX membuat
rencana supaya gerilya mengadakan serangan besar-besaran terhadap Yogya..”
Buku serangan umum 1 Maret 1949 Di Yogyakarta: latar belakang dan pengaruhnya
yang dipersiapkan oleh Seskoad dan diterbitkan oleh PT Citra Lamtoro Gung Persada tahun
1989 menggalbarkan suatu paralel antara prakarsa Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan
Letkol Soeharto. Berbeda dengan otobiografi Soeharto yang menyebutkan bahwa Letkol
Soeharto besama-sama Purhadi mndengarkan siaran radio, buku terbitan Seskoad itu
menyatakan bahwa:.. berita tentang perdebatan di Dewan Keamanan PBB tersebut berhasil
dimonitor oleh komandan PHB WK II Mayor Poerhadi melalui siaran berita ALL Indian
Radio. Mayor Poerhadi melaporkan apa yang didengarnya kepada Letkol Soeharto...”(h.
195).
Buku terbitan Seskoad menyebutkan, Sri Sultan Hmengku Buwono IX dan Letkol
Soeharto sama-sama mendengar pemancar radio luar negeri dan mengikuti perdebatan di
Dewan Keamanan tentang masalah Indonesia.” Baik Letkol Soeharto maupun Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, keduanya berpendapat bahwa sidang DK PBB merupakan
kesempatan baik dst”(h. 195-196). Tapi tidak dicantumkan bahwa Letkol Soeharto berjumpa
dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX dalam persiapan SO 1 Maret seperti diceritakan
oleh adik beliau GBPH Prabuningrat.
Nasution dalam bukunya, memnuhi panggilan Tugas jiid 2 A, tidak menjelaskan siapa
sebenarnya yang mula-mula mengusulkan serangan umum 1 Maret 1949. Ia hanya
mengatakan, serangan itu ada kaitannya dengan instruksi rahasia kolonel Bambang Soegeng,
panglima komando divisi III Jawa Tengah, kepada Letnan Kolonel Soeharto, komandan
Wehrkreise III /Brigade X yang mliputi daerah Yogyakarta, agar” mengadakan gerakan
serangan besar-besaran terhadap ibu-kota (RI di Yogyakarta yang diduduki pasukan
Belanda)” antara 25 Februri dan 1 Maret 1949.
Dalam buku biografi yang ditulis berdasarkan wawancara dengan beliau, Takhta untuk
rakyat :celah-celah kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (PT Gramedia, Jakarta,
1982),diungkapkan sebagai berikut:
Kian lama kian tampak keadaan( tak menentu di Yogyakarta) itu menyebabkan semangat juang
rakyat sekitar Yogya menurun dan mengendur
Sri Sultan Hamengku Buwono IX menyaksikan situasi ini dengan rasa cemas. Ia merasa,
apabila menurunnya semangat itu dibiarkan terus, akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan
dan akan merugikan perjuangan kemerdekaan, suatu kejutan harus diciptakan untuk
mengunggah kembali semangat rakyat, untuk meningkatkan kembali semangat juang mereka.
Otaknya berfikir keras mencari akal. Apabila ketika ia mendengar berita dari radio luar negeri
bahwa pada akhir Februari 1949 masalah Indonesia-Belanda akan dibicarakan di forum PBB.
Bagaimana cara untuk memberitahukan kepada dunia international bahwa republik Indonesia
masih hidup, bahwa Belanda sama sekali tidak menguasai keadaan seperti yang ingin mereka
kesankan? Ia kemudian mendapat suatu akal.
Waktu telah mendesak, ketika itu telah pertengahan Februari. Segera ia mengirim kurir untuk
menghubungi panglima besar Sudirman di persembunyiannya, meminta persetujuan untuk
melaksanakan siasatnya dan untuk langsung menghubungi komandan Gerilya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX kemudian dapat mendatangkan komandan Gerilya, Letkol
Soeharto. Dalam pertemuan dirumah kakanya, GBPH Prabuningrat, di komplek kraton sekitar
13 Februari 1949, ia menanyakan kesanggupan Soeharto untuk menyiapkan suatu serangan
umum dalam waktu dua minggu. Itulah satu-satunya pertemuan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX – Soeharto dalam hubungan dengan rencana serangan umum 1 Maret 1949. Kontak-kontak
selanjutnya dilakukan dengan perantaraan kurir. Melalui kurir pula ia memberi tahu Soeharto
pada sore hari 1 Maret bahwa,”pendudukan Yogya”oleh pasukan Gerilya dianggapnya sudah
cukup.
Berikut seluruh gerakan persiapan, serangan ini berlangsung selama sembilan jam-mulai pukul
06:00 sampai 15:00. Tetapi , secara efektif Yogya diduduki oleh gerilya selama 6 jam, sehingga
serangan ini juga dikenal dengan sebutan ‘enam jam di Yogya’.
Thomas Kingston Critchley, wakil Australi komite jasa baik PBB mengenai masalah
Indonesia(1948-1949) dan pada komisi PBB untuk Indonesia (1949-1951), menduga bahwa
Sultan, yang berhubungan erat dengan para gerilyawan, ikut terlibat dalam semua serangan
ini. Lagi pula, mereka pastilah memperoleh kemudahan oleh kenyataan bahwa di bawah
kepemimpinan Sultan di Yogyakarta hampir tidak ada sama sekali kerja sama penduduk sipil
dengan Belanda (Atmakusumah, 1999)
Sri Sultan Hamengku Buwono IX memang menjalin kontak dengan tentara Republik.
Agar tidak dicurigai Belanda sebagai mata-mata Republik maupun dicurigai TNI sebagai
mata-mata Belanda yang loyal terhadap pemerintahan kerajaan Belanda, maka Sri Sultan
Hamengku Buwono IX membuka kraton Yogyakarta untuk pasukan Belanda maupun TNI.
Ini juga merupakan strategi Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk menyadap semua
informasi penting dari Belanda dengan kedatangan pemimpin-pemimpin pasukan Belanda,
diantaranya Kolonel Van Langen.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX adalah tokoh yang rajin mengikuti perkembangan
informasi international melalui siaran radio. Beliau menyampaikan informasi kepada Jendra
Sudirman yang sedang bergerilya, bahwa dari berita-berita yang diperoleh dari radio
kelihatannya dunia international termakan propaganda Belanda, yang menyatakan RI sudah
tiada lagi.
Pemikiran yang dikembangkan dikalangan militer adalah perlunya meyakinkan dunia
international ( terutama Amerika dan Inggris) bahwa negara RI masih kuat, memiliki
pemerintahan, memiliki organisasi kenegaraan yang lengkap dan fungsional, serta
mempunyai tentara. Untuk membuktikan hal tersebut , tidak mungkin dilakukan dengan
kontra propaganda. Upaya melancarkan propaganda balasan membutuhkan pemancar radio
yang modern. Karena itu, harus diadakan suatu serangan spektakuler. Serangan tersebut harus
diketahui wartawan-wartawan asing yang berada di Yogyakarta agar merka menyebarluaskan
ke seluruh dunia.
Taktik lain juga ditempuh. Untuk menginformasikan bahwa negara RI masih ada
kepada wartawan asing, diperlukan pemuda-pemuda yang diberi seragam TNI, yang dapat
berbhasa Inggris, Belanda, dan Prancis. Mereka ditugaskan siap di hotel Garuda.
Perihal serangan umum 1 Maret 1949, Simatupang menulis :”inilah serangan yang
beberapa waktu yang lalu telah saya bicarakan dengan Bambang Soegeng di Banaran,”
Herman Budi Santoso bersaksi, bahwa pemrakarsa serangan umum 1 Maret itu adalah
Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Bernas, 2 Maret 1999). Herman Budi Santoso adalah
anggota paguyuban Wehrkreise (WK) III ,( anak dari Sabar Wijonomukti anah buah mantan
Menpen alm. Boedihardjo, yang menyiarkan berita serangan umum 1 Maret melalui stasiun
radio AURI di Banaran, Playen, gunung kidul). Berkat Boedihardjo, berita penyerbuan
kekota Yogyakarta itu sampai ke Dewan Keamanan PBB yang bermarkas di New York,
Amerika Serikat. Didampingi oleh Yussac MR Wirosoebroto, Herman menuturkan bahwa
sebelum ayahanda dan Boedihardjo meninggal, kedua pelaku sejarah itu berpesan kepadanya,
agar bila situasi sudah memungkinkan, soal pemrakarsa serangan umum 1 Maret 1949 yang
sebenarnya dibeberkan. Boedihardjo dan Sabar Wiyonomukti mengatakan bahwa yang
memprakarsai serangan umum adalah mayor Jendral Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Buku otobiografi mantan menpen Boedihardjo siapa sudi saya dongeni terbitan
pustaka Harapan 1996 menceritakan peritiwa serangan umum 1 maret 1949(h. 31, 34, 43,-
48). Tertulis dalam buku tersebut , pangkalan radio AURI diplayen terbukti berjasa, ketika
dengan peralatan radio PC2 yang sangat sederhana berhasil menyiarkan berita keberhasilan
serangan umum 1 Maret 1949 ke luar negeri.
Letnan Satu (Lettu) Marsoedi pada saat itu adalah staf perwira intel Letkol Soeharto
dan bertugas sebagai kurir yang menghubungkan komunikasi antara Sri Sultan Hamengku
Buwono IX dengan Soeharto. Lettu Marsoedi adalah komandan sub Wehrkreise (SWK) 101
dibawah komando Soeharto, yang ketika itu menjadi komandan Brigade X dan merangkap
Komandan Wehrkreise (WK) III, yang membawahi seluruh wilayah Yogyakarta. Lettu
Marsoeilah yang menyampaikan surat “undangan” ,Sultan pada Soeharto, dan malam 14
Februari itu Marsoedi mempersiapkan pengamanan tersamar bagi Soeharto.
Letnan Marsoedi mengatur masuknya Letko Soeharto ke kota, agar pertemuan empat
mata dengan Sri sultan Hamengku Buwono IX berlangsung mulus dan aman. Pada waktu iti,
situasi keamanan sangat rawan, tidak bisa sembarangan masuk ke kota, apalagi pada malam
hari, sebab tentara Belanda ada dimana-mana. Marsoedi mengatur sektor satu agar membuat
pagar betis untuk mengamankan kolonel Soehrto masuk ke kraton Yogyakarta, mulai dari
Pojok Benteng, pugeran, kampung taman hingga ke karaton Yogyakarta.
Letkol Soeharto saat masuk kota menyamar dengan mengenakkan pakaian biasa, yakni
pakaian gerilya. Setelah tiba di nDalem prabeyo malam itu lewat pojok Benteng Barat,
menyusuri kampung dalam benteng, dan lewat sebelah timur taman sari, Overste Soeharto
diminta menganti pakaian. Letkol Soeharto kemudian mengenakkan stelan peranakan adat
Jawa, berupa blangkon, surjan lurik, dan kain panjang yang telah dipersiapkan Hendra
Bujono, abdidalem keraton inilah yang kemudian mendandani Soeharto di dapur keraton,
disaksikan Lettu Marsoedi.
Letnan Marsoedi mengawal sampai regol /pintu gerbang, kemudian diterima Pangeran
Prabuningrat. Marsoedi tidak diperbolehkan masuk ke ruang pertemuan dn pertemuan
berlangsung di rumah Pangeran Prabuningrat( ayah Hj Sitoresmi Prabuningrat), yang terletak
sebelah timur Ngejamen. Bahkan pangeran Prabuningrat juga tidak diperbolehkan masuk
ruang tersebut. Lampu-lampu juga dimatikan.
“Pak Harto, saya minta apakah Pak Harto sanggup melaksanakan serangan umum
besar-besaran di siang hari bolong untuk mempengaruhi sidang Dewan Keamanan PBB?”
kata Sultan HB IX malam itu di nDalem Prabuningrat.
“Saya bersedia” kata Letkol Soeharto, yang kemudian tercatat dalam sejarah sebagai
komandan pelaksanaan Serangan Umum 1 Maret 1949 itu.
Taka da saksi mata lain yang hadir di ruangan itu, kecuali beberapa orang yang
sebelumnya mempersiapkan pertemuan itu, tetapi mereka berada di luar ruang. Mereka itu
adalah KGPH Prabuningrat (kakak kandung HB IX) ; abdi dalam penanggung jawab bagian
dapur bernama Hendro Bujono; serta perwira intel bernama Lettu Marsoedi.
Pertemuan empat mata antara Sultan HB IX dan Letkol Soeharto, menurut
perkiraan Marsoedi, berlangsung antara pukul 23.00-24.00 WIB. Kembalinya Letkol
Soeharto dari pertemuan adalah sekitar pukul 00.30 s.d 01.00. Letkol Soeharto ke luar dari
regiol lalu diterima menengah itu, kemudian mereka berdua istirahat sebentar. Setelah
melepas baju peranakan, Letkol Soeharto lalu berpamitan.
Dua hari kemudian berulah Sultan mengungkapkan isi pembicaraan bersejarah itu
dengan memanggil Marsoedi. Selaku Menteri Koordinator Keamanan, Sultan merencanakan
SU Maret 1949, karena Sultan yang rajin memonitor siaran-siaran radio luar negeri
menangkap informasi perdebatan dalam Sidang Dewan Keamanan PBB tentang Agresi
Militer Belanda II 19 Desember 1948 ke Yogyakarta.
Marsoedi mengaku dipanggil Pak Harto dan diberi penjelasan rencana Serangan
Umum 1 Maret.
“Di, kamu menyiapkan pasukan di dalam kota, saya akan mengadakan serangan
serentak di empat jurusan, terutama menyerang markas Belanda,” perintah Letkol Soeharto.
Saat itu, Yogyakarta ditetapkan sebagai Wehrkreise III disingkat WKIII. Wehrkreise berasal
dari kata wehr berarti perlawanan dan kreise berarti lingkaran.
Istilah ini dari bahasa Jerman dan sistem itu dipakai TNI pertama kali dalam
Agresi Militer Belanda ke-I pada 21 Juli 1947. Pertahanan TNI waktu itu disusun dengan
konsep wal Perintah Siasat dari para perwira di Markas Besar Tentara (MBT) tanggal 31 Mei
1947. Konsep tersebut telah disetujui oleh Menteri Pertahanan. Dari Agresi Militer Belanda
ke-1 ini ditarik beberapa pelajaran hanya gerakan militer defensive akan memerosotkan moril
prajurit di posisi stategis.
Pada 19 Desember 1948 dilaksanakan perang geriliya secara total yang dikenal
dengan doktrin system Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta i(permesta) atau perang
rakyat total. Maka seluruh kekuatan disebar di seluruh wilayah disebut kantong-kantong yang
dikembangkan menjadi wehr seperti digariskan dalam Perintah Siasat Panglima Besar
(Pangsar) No. 1 Tahun 1948 tanggal 12 Juni 1948.
Sebagai pelaksanaan perang geriliya rakyat semest maka dibentuk WK III yang
dibagi menjadi Sub WK. Pada Januari 1949 dibentuk 6 SWK, namun karena pergeseran
pasukan dalam SWK, namun karena pergeseran pasukan dalam personel berkembang WK III
dari 6 menjadi 7. SWK 101/ Yogya dipimpin oleh Lettu Marsoedi bermarkas di Prabeyo
(Dapur Keraton). SWK 10/ Bentuk bermarkas di Pandak (Bantul) dipimpin Mayor Sardjono,
SWK 103/ Gamping dipimpin Letkol Soehoed, SWK 104 A/ Godean dipimpin Mayor HN
Soemoeal bermaraks di Desa Jering (Sleman), SWK 105/ Sleman dipimpin Mayor Soekasno,
SWK 105/ Gunungkidul dipimpin Mayor Soedjono dan SWK 106/ Kulonprogo dipimpin
Letkol Soeharto.
Serangan Umum itu bermula dari sikap pihak Belanda, yang menurut Resolusi
Dewan Keamanan PBB seharusnya meninggalkan wilayah RI akan tetapi tidak mau
hengkang. Bahkan mengklaim tindakan militernya sebagai aksi “polisionil” (penertiban) atas
kekacauan yang ditimbulkan oleh para ekstremis (perjuangan Indonesia). Belanda
menciptakan kesan tidak ada pemerintah di Indonesia. Karenanya Sultan merencanakan
gerakan militer untuk menunjukkan bahwa TNI masih ada, sekaligus sebagai tindakan politis
yang bisa diketahui oleh Negara-negara anggota Komisi Tiga Negara (KTN) yang sudah ada
di Yogya.
Pada saat itu, tentara Belanda melancarkan agresi kedua, Kolonel Bambang
Soegeng menjabat sebagai Gubernur Militer yang memawahi daerah Yogyakarta, Kedu,
Banyumas, Pekalongan dan sebagian dari Semarang. Kolonel Bambang Soegeng memiliki
peran besar sebagai penyusun strategi perang geriliya di wilayahnya.
Suatu kebenaran historis bahwa Kolonel bambang Soegeng terus-menerus
mengobarkan aktivitas geriliya terhadap para pejuang yang dipimpinnya. Akan tetapi, sejauh
menyangkut Serangan Umum 1 Maret 1949, peran sebagai pemrakarsa tetaplah Sri Sultan
Hamangku Buwono IX. Sri Sultanlah yang sampai pada kesimpulan bahwa srangan besar-
besaran pada waktu siang hari, sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan rakyat
terhadap TNI maupun besar artinya guna mendukung diplomasi RI di DK PBB.
Soegeng adalah orang yang emosional dan bagi dia tidaklah memuaskan
apabila Yogyakarta nanti dikembalikan begitu saja kepada kita. Idenya ialah:
Yogyakarta harus direbut dengan senjata. Paling sedikit ia ingin bahwa
Yogyakarta kita serang secara besar-besaran…Dengan Kol. Soegeng masih
saya bicarakan beberapa kekuatan yang dapat dikumpulkannya untuk
serangan itu, bagaimana rencananya dan seterusnya.