Bismillahirahmanirrahim
Puji Syukur Kehadirat Allah Swt atas segala nikmat, taufik dan hidayahnya yang di
anugerahkan kepada manusia. Penulis menyusun kumpulan makalah ini guna memberi
penjelasan mengenai Sastra Melayu Klasik dan Modern dan untuk lebih jelasnya akan
dijabarkan dalam kumpulan makalah ini ini. Makalah ini jauh dari kata sempurna, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan
dalam makalah ini.
Dengan adanya kumpulan makalah ini diharapkan mampu membantu pencarian materi serta
referensi terkait sastra melayu klasik dan modern. Kumpulan makalah ini bersumber dari
pemikiran mahasiswa kelas 2021C, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Riau.
Demikian kumpulan ini dibuat dengan harapan semoga makalah ini dapat menjadi sumber ilmu
pengetahuan dan memberikan banyak manfaat yang nyata untuk masyarakat luas maupun
inspirasi terhadap pembaca.
Sastra zaman peralihan adalah sastra yang lahir dari pertemuan sastra yang berunsur
Hindu dengan sastra yang berunsur Islam di dalamnya. Sebelum masuk ke sastra Indonesia /
setelah zaman Melayu dan Islam sejarah sastra Indonesia mengalami suatu zaman peralihan
ini dikenal juga sebagai zaman Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi.
Inti dari setiap cerita Melayu adalah suatu cerita rakyat atau kelompok cerita rakyat
yang dipengaruhi India yang dimanipulasi baik dalam kesatuan tempat, waktu, maupun
kebenaran sejarah (Winstedt, 1969:70). Setelah itu, sastra Melayu dipengaruhi cerita Jawa
dan Islam. Dari sastra terpengaruh Hindu ke sastra Islam ditemukan cerira-cerita transisi.
Yang dimaksud sastra peralihan (transisi) ialah karya sastra yang di dalamnya tergambar
peralihan dari pengaruh Hindu ke pengaruh Islam. Di dalam sastra peralihan, terdapat
cerita-cerita dengan motif Hindu, tetapi unsur-unsur Islam juga dimunculkan. Istilah sastra
zaman peralihan muncul berdasarkan asumsi bahwa sebelum Islam masuk ke Melayu,
pengaruh India (khususnya agama Hindu dan Buddha) sudah begitu dalam mempengaruhi
pikiran orang-orang Melayu.
Sastra yang terpengaruh India (Hindu dan Buddha) mempunyai ciri-ciri tertentu. Ciri-
ciri sastra yang masih terpengaruh India adalah sebagai berikut.
1. Sumber kekuasaan dan kekuatan diceritakan berasal dari dewa-dewa. Hal ini sesuai
dengan pandangan Hindu bahwa yang menguasai dunia ialah para dewa.
2. Dewa dan manusia sering berinteraksi. Manusia tertentu sering dikatakan masih
keturunan dewa atau dewa keindraan yang turun ke dunia.
3. Motif-motif cerita dari Mahabharata dan Ramayana sering muncul, namun dalam
konteks yang berbeda. Motif tersebut misalnya kisah sayembara memperebutkan istri,
senjata sakti, pembuangan tokoh utama, dan sebagainya.
Dalam bidang kesusastraan,tentulah cerita-cerita yang telah populer pada zaman Hindu
dijadikan media-media penyebaran agama Islam. Oleh karena itu, cerita-cerita tersebut tidak
begitu saja dimusnahkan, tetapi diubah sesuai dengan keadaan atau suasana dalam Islam.
Sebagaimana halnya sastra Hindu dan sastra Jawa yang masuk ke alam Melayu mengalami
penyesuaian. Corak baru itu adalah corak campur aduk antara Hindu dan Islam.
Kedatangan Islam membawa tulisan Jawi (Arab – Melayu) yang dijadikan tulisan orang-
orang Melayu pada masa itu. Semenjak itu pula terbukalah lembaran baru dalam sejarah
kesusastraan Melayu, yang sebelumnya hanya mengenal bentuk sastra lisan.
Moh. Yusof Md. Nor (1987 : 29) mengemukakan pengertian zaman peralihan, ―Zaman
Peralihan bermakna zaman peralihan peradaban Hindu ke Islam. Yaitu zaman kebudayaan
Hindu masih meninggalkan pengaruhnya dan semakin berangsur lemah, manakala pengaruh
kebudayaan Islam semakin berkembang‖. Lebih lanjut Jihati Abadi, dkk (1986 : 34-35)
menjelaskan tentang zaman peralihan ini sebagai berikut, ―Zaman yang bermula dengan
kedatangan agama Islam di alam Melayu sehingga tertutupnya zaman Hindu di kawasan
yang sama, dikenali dengan zaman peralihan Hindu – Islam. Dengan tersebarnya ajaran
Islam yang sedikit demi sedikit mengikiskan pengaruh Hindu dalam kebudayaan
masyarakat Melayu, maka sudah pasti kesusastraan Melayu juga mengalami perubahan
yang sama ; pengaruh Islam mengambil alih pengaruh Hindu. Dan hasil dari pada
perubahan demikian terdapatlah kesusastraan Melayu yang bercampur aduk,Hindu dan
Islam, dalam zaman peralihan Hindu – Islam itu. Unsur-unsur Hindu diubah mengikuti
kehendak Islam‖.
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa zaman peralihan Hindu ke
Islam dalam kesusastraan Melayu mengacu pada zaman di mana kebudayaan Hindu masih
tetap meninggalkan kesan-kesan pengaruhnya, yang makin lama semakin berangsur
merosot, sementara pengaruh kebudayaan Islam semakin bertambah kuat pengaruhnya.
Kedua kebudayaan itu masih serentak memberikan pengaruh ke dalam Kesusastraan
Melayu Lama.
Tidak ada bukti bila zaman peralihan ini berlaku, tidak dapat dipastikan secara tegas bila
bermula dan berakhirnya. Tetapi yang jelas zaman peralihan Hindu ke Islam itu bermula
sejak Islam mula bertapak, pengaruh Islam masih sangat lemah, manakala pengaruh Hindu
masih ada.
Jika dilihat dari beberapa pengertian serta simpulan dari apa yang dimaksud dengan
zaman peralihan Hindu-Islam, maka terdapat pula ciri-ciri karya sastra yang bisa
digambarkan pada zaman peralihan Hindu-Islam. Sastra peralihan memiliki ciri-ciri
tertentu. Ciri-ciri tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
a. Tokoh Peristiwa
Tokoh Ditokohi dewa-dewi, bidadari, yang turun ke dunia untuk menjadi anak raja.
Kelahiran tokoh Tokoh utama biasanya lahir secara ajaib, disertai gejala alam luar biasa,
lahir bersama senjata sakti Tuah.Anak raja biasanya membawa tuah yang menjadikan negeri
makmur, aman sentausa.
Petualangan Setelah mengalami masa damai bersama orang tuanya, tokoh utama
biasanya melakukan petualangan yang luar biasa dan memperoleh hikmat-hikmat yang luar
biasa pula. Petualangan itu terjadi karena beberapa sebab, misalnya difitnah, diserang
garuda/ naga, mencari putri yang ada dalam mimpi, diculik, dan sebagainya.Akhir cerita
Cerita diakhiri dengan tokoh utama yang berbahagia bersama istri-istrinya.
b. Muncul unsur-unsur Islam.
Dalam hikayat peralihan, unsur-unsur Islam dimunculkan. Unsur-unsur tersebut adalah
sebagai berikut.
1) Penyebutan nama Tuhan mula-mula disebut dengan nama Hindu seperti dewata mulia
raya, Batara Kala lalu menjadi nama Islam seperti raja syah alam atau Allah Subhana wa
Ta‘ala.
2) Dalam hal judul, sastra zaman peralihan sering memiliki dua judul, yakni judul yang
terpengaruh Hindu dan judul yang terpengaruh Islam. Contoh hikayat yang memiliki
dua judul tersebut dapat dilihat di tabel berikut.
Hikayat Marakarma Hikayat Si Miskin
Hikayat Indrajaya/ Hikayat Bikramajaya Hikayat Syah Mardan
Hikayat Serangga Bayu Hikayat Ahmad Muhammad
3) Dimunculkan percakapan mengenai agama Islam oleh tokoh tertentu. Misalnya (1)
Inderajaya bertanya jawab tentang agama Islam dengan istrinya, (2) Lukman Hakim
muncul menerangkan perbedaan antara sembahyang dan salat, arti syariat, tarikat,
hakikat, dan makrifat. (3) Isma Yatim menguraikan syarat raja dan hukum Allah (Fang,
1991:152).
4) Ceritanya masih ada unsur masa lampau tapi sudah ditulis siapa nama pengarangnya,
berbeda dengan karya sastra sebelumnya yang belum dicantumkan nama pengarangnya.
1. Suka bergaul dengan pendeta Milne dan membantunya untuk menyalin kitab Bible
(Injil). Untuk itu dia digelari Abdullah Padri.
2. Suka mengagung-agungkan orang Barat yang rajin bekerja dan menyebut bangsa
Melayu bodoh, malas dan angkuh, sehingga rasa nasionalismenya diragukan bangsanya.
Peranan Abdullah Dalam Kesusastraan Melayu ke alam realis 2. Dia mengusahakan
adanya sastra terjemahan dan saduran untuk orang Melayu.
3. Dia mempelopori penggunaan bahasa Melayu yang lebih hidup dan mengurangi
penggunaan bahasa asing yang berlebih-lebihan.
4. Dia memberikan dorongan kepada orang Melayu untuk berpikir lebih rasional dan
obyektif.
a. Hikayat Abdullah
Hikayat Abdullah bisa dikatakan merupakan sebuah otobiografi. Hal ini membuat
hikayat ini istimewa dalam khazanah Sastra Melayu. Karya sastra ini ditulis pada
pertengahan abad ke-19.
b. Sejarah Melayu
Buku ini diterbitkannya pada tahun 1831 berdasarkan naskah Sejarah Melayu
susunan Tun Muhammad/Tun Seri Lanang tahun 1612.
Berikut cuplikan dari salah satu Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji.
Dalam bentuk puisi seperti halnya mantera, terlihat juga adanya peralihan Hindu ke
Islam ini. Misalnya terdapatnya nama-nama dewa Hindu, tetapi akhirnya akan disudahi
dengan unsur Islam, seperti adanya kalimat Berkat doa Lailahaillallah Muhammad
Rasulullah, Aku panggil dengan kata Muhammad, dan sebagainya.
Mantera
Sebagai salah satu bentuk puisi (non narrative), mantera dianggap sebagai genre puisi
yang paling awal dalam kehidupan dan kebudayaan masyarakat Melayu.
Setelah kedatangan agama Islam, mantera diubah sesuai dengan agama Islam. Seperti
terdapatnya nama-nama nabi, malaikat, ayat-ayat suci Al- Qur‘an, dan lainlain. Dengan
demikian mantera dan sejenisnya dapat diterima di kalangan masyarakat Melayu. Sebagai
contoh, berikut ini akan kita lihat adanya percampuran antara pengaruh Hindu dan Islam
dalam mantera sebagai berikut.
Memerintah alam empat yang empunya pada hari ini ketika ini
Muhammad Rasulullah
Mantera di atas dibacakan ataupun digunakan dalam upacara ‗berbagih‘, satu cara
pengobatan penyakit-penyakit ganjil, yang masih terdapat di Kelantan dan Terengganu.
Satu dari pada objek-objek yang digunakan ialah beras kunyit (beras putih yang
dikuningkan warnanya dengan air kunyit), digunakan untuk ditaburkan ke tubuh si sakit dan
di sekitar ruang dalam rumah, dengan tujuan menghalau semangatsemangat yang
berbahaya. Beras dan padi depercayai mempunyai semangat dan semangat ini harus dipuja
untuk memberikan kekuatan yang diminta.
Kepada semangat padi yang ‗berusul berasal‘ ini, si bomoh meminta menjadikannya
anak panah wira yang merupakan ―national hero‖ yang terdiri dari pada Sri Rama, Arjuna,
dan ‗Wong‘ Inu Kertapati. Sri Rama di sini adalah watak wira dalam cerita-cerita Sri Rama
Melayu. Demikian juga watak Arjuna dalam mantera di atas adalah seorang dewa di
khayangan yang selalu diinkarnasikan kepada watak Raden Inu Kertapati, wira cerita Panji
Melayu dan Jawa. Watak sang Raya juga tidak semestinya Dewata Mulia Raya atau Sang
Hyang Tunggal yang selalu dihubungkan dengan Visnu dan Siva dalam sistem ketuhanan
Hindu.
Kalau diperhatikan watak-watak yang terdapat dalam mantera di atas adalah nama lain
yang dikenal dalam sistem kepercayaan Islam ; iblis, syaitan, malaikat,Nabi Muhammad
SAW, dan sebagainya.
Hikayat
Liaw Yock Fang (1982 : 103) mengemukakan ada 14 hikayat yang dapat dimasukkan
dalam karya pada zaman peralihan Hindu ke Islam, yakni :
Hikayat ini dikatakan berasal dari Thailand. Van der Tuuk, demikian juga R. O
Winstedt, idak percaya kepada kemungkinan ini. Pertama, dalam hikayat ini tidak dapat
kata-kata Thai atau gelar yang berasal dari Thai. Kedua, hikayat ini mempunyai persamaan
yang sangat dekat dengan versi Parsi-Indianya. Ketiga, plotnya yang menceritakan musibah
selepas kanak-kanak memegang burung kecil, mungkin berasal dar bahasa Pali Ditunjukkan
oleh Van der Tuuk, tatkala yang dikatakan sebagai kata Sam yang berarti "Astana Pura
Negara," mungkin adalah Tatsyasila, sebuah universitas Baddha yang terkenal dalam sastra
India (Winstedt, 1921 96-103).
Hikayat ini pernah dua kali diterbitkan. Mula-mula diterbitkan oleh JC Frassinet bagai
Hikayat Bispu Raja pada tahun 1849 di Leiden. Kemudian diterbitkan pula oleh
Government Press, Singapura pada tahun 1899. Di bawah ini disajikan ringkasan naskah
Hikayat Bispu Raja yang diterbitkan oleh J. C Fraissinet.
Tersebutlah cerita sebuah negeri yang bernama Astana Pura Negara. Rajanya bernama
Baspu Raja, sedang permaisurinya bemama Kemala Kisna Dewi Adapun baginda itu
mempunyai dua orang anak laki-laki, yang tua bernama Jaya Indra dan yang muda bernama
Jaya Cindra. Adapun Jaya Cindra itu sedang menyusui.
Sekali peristiwa baginda mendengar halwa adinda baginda yang bernama Anta sedang
mufakat dengan segala pegawai dan hulubalang yang muda-muda hendak ba kerajaan.
Maka haginda pun sangat masygul dengan dukacitanya Pikir baginda, kalis ia melawan
Antaras berperang asaya hanyaklah rakyat yang man, darah pun bany nimpuh ke bumi
Untuk mengelakkan kejadian ini baginda pun hendak pergi dan neg Permanuri berkata
"Patik pun serta tuanku, karena patik int adalah umpama kaun dan kalau nggal kau itu
biasalah kaki Pada malam hari, baginda dua laki mendukung anak-anak mereka keluar dari
negen Astana Pura Negara Mereka mas kelau hutan rimba yang besar dan pailang yang luas.
Beberapa lama berjalan, han pa tanglah dan mereka pus sampai ke tepi sungai, dan berhenti
di bawah sebatang poh kayu Maka baginda pun mendengar anak burung bayan yang di atas
palion kayu berbuny mencari shunya. Hatta anak baginda pun menangis menginginkan anak
burung bayan itu Harpun tahu bahwa harang sapa yang menceraikan anak burung itu dari
ibunya, niscay meniadi papa, diambil anak burung bayan itu untuk anaknya, karena kasih
kepala juga anaknya. Beberapa lama kemudian, anak burung itu pun dipulangkan kepada
sarang Hama ibu burung mu pun datang Diciumnya bau manusia dan dipatuk anaknya.
Seorang menteri mengabarkan bahwa baginda telah dipilih oleh gajah untuk menjadi
raja dalam negeri itu, karena raja negeri itu sudah mati dan tiada anak yang
menggantikannya. Maka baginda pun menjadi rajalah di dalam negeri itu, terlalu adil dan
murahnya Hana sendengarlah warta kepada semua negeri yang takluk, maka segala ra pan
datang menghadap baginda dengan membawa persembahan yang banyak Namun demikian,
baginda tidak beroleh kesukaan juga, melainkan dukacita siang dan malam karena
mengingat anak wit yang hilang Syahdan baginda pun menyuruh member dirham dan
sedekah kepada segala fakir miskin, karena baginda hendak meminta dipertemukan Dewata
Milia Raya dengan anak dan istri baginda.
Alkisah inilah hikayat Dewa Laksana Dewa, seorang dewa yang duduk di kayangan
bersama-sama dengan istrinya yang bernama Cahaya Khairani. Selang beberapa lamanya,
Putri Cahaya Khairani berputra seorang perempuan yang terlalu baik parasnya, Putri
Langgam Cahaya namanya. Hatta Putri Langgam Cahaya pun besarlah, makin baik
rupanya.
Sekali periwa, Pati Langgam Calaya bermain-main di taman . Tiba-tiba seekor belalang
hinggap ke dadanya, maka Putri Langgam menjadi berdelisedebas hatinya, tiada
betketahuan anys Hana p bestesi dengan Mambang Segara Indes yang sedang mandi di
kolam dekat taman Mambang Segara India tidak dapat menahan bannya, lalu dipeluk den
dys Tan Putri Langgam Cahaya Putn Langgam Cahaya macah dan berkata, kalau Mabang
Indra betul-betul nudi kepadanya, pinanglah dia pada orang tuanya. Dia tidak seperti bitan
Mambang Segara Indra yang tidak senonoh in Maka Mambang Segara Indes pun merasa
malu bercampur maiali la berniat akan mencari kesaknan untuk membalas dam Lalu
diambilnya sekuntum cempaka dan dipujanya Beberapa hari kemudian thals tus putzi
bermain main di taman, ia pun melentati ruan putri dengan bunga yuka yang dipujanya.
Bunga cempaka tepat mengenai dada putri. Beberapa lama, ayahandanya marah sekali dan
menyumpah menjadi seorang perempuan yang jahat rupanya dan dibenci oleh semua orang.
Putri Langgam Cahaya berputralah seorang laki laki yang terlalu baik tupanya di dalam
hutan rimba la tinggal di sebuah rumah buruk yang ditinggalkan orang Senap hara pergi
mengambil upahan untuk memberi makan dirinya dan anaknya la bertemu dengan seorang
tua yang sangat murals hati terhadap dirinya. Dalam hal yang demikian. anaknya pun
besarlah Pada suatu hari, semasa ia pergi mengambil upahan, datanglah orang membawa
seekor anak ular ke rumahnya Anaknya membeli anak ular tu Jengan cupak beras Bila Putri
Langgam Cahaya pulang, la memarahi anaknya, karena sudah membeli anak ulat yang tiada
gunanya dengan beras yang dicarinya dengan susah papah Tetapi anaknya berdiam din,
tiada apapun katanya Selang beberapa hari, dibelinya kor anak elang dengan secupak beras
pula Kemudian ia membeli pula seekor anak nkus putih dengan secupak beras juga
Bundanya hanya diam saja, tidak berkata apa apa Tetapi anak iru suka hati sekali Setiap
hari, ia bermain main dengan ketiga ekor binatangnya.
Setelah beberapa lamanya, ular itu pun tumbuhlah culanya serta menjadi seekor naga
yang terlalu clok rupanya. Sehari-hari ia naik di atas naga itu berjalan berkeliling lampung
untuk bermain, burung elang itu melayang di atas kepalanya sedang anak tikus mengiring
dari kiri anak naga itu. Datanglah budak-budak kampung yang hendak bermain bersama-
sama. Mereka memberikan dia beras dan berbagai buah-buahan Syahbandar juga
memanggilnya pergi bermain main ke kampung Syahbandar dan memberikannya beras padi
dan kain baju. Segala orang yang menengok juga memberi, masing masing dengan kadamya
Syahdan, raja di dalam negeri juga menyuruhnya bermain di dalam kota dan memberinya
kurnia beserta kain baju dan beras padi banyak sekali.
Tersebutlah perkataan Maharaja Puspa Indra berputra seorang perempuan yang terlalu
clok parainya, tuada taranya di dalam tanah keindraan itu. Wama tubuhnya se emar sudah
tersepah plang gemilang kilau-kilauan tiada dapat ditentang nyata. Maka dibuat baginda
mahligai di tengah padang Pelanta Cairani untuk tempat tinggal anakra yang dinamai Putri
Kesuma Dewi iru Adapun Putri Kesuma Dews itu sudah bertunangan dengan anak Raja
Indra Dewa yang bernama Raja Indra Syah Peri.
Tersebut pula perkataan seorang raja di tanah manusia, Lela Gambars bama negerinya.
Adapun rasa itu bernama Puspa Indra Kuci Pada suatu malam, baginda bermimpi bertemu
dengan seorang tua yang memintanya mengambil serumpun bungs melur, jikalau bertemu
dengan bunga itu Bunga itulah kelak yang akan menjadi anak laki laki yang lelalu gagah
berani. Maka haginda pun berbuat sepern nuruhan orang tua itu. Setelah beberapa lamanya
permaisuri pun berputralah seorang laki laki terlalu baik rupanya sebagai zamrud yang hijau
Maka ini diberi nama oleh baginda India Bumaya.
Tersebutlah perkataan Indra Buaya mencati pri idamannya ili belah taha math keluar
masuk hutan simba yang besar dan pulang yang luas. Segala binatang yang bskallannya
memandikan kepala seperti ang memberi hamar kepada casa. Indis Burs pan sampai di
sebuah gunung yang terlalu tinggi lagi besa Serang pempuan aruhnys perg bergu pada Se
Maharaja Sakti dan belajar hikmat tips perang danna Dan untuk sampar ke tempat Se
Maharaja Sakti, Inalta Buaya bertemal dengan Maharesi Antaku dulu.
Trebus pula perkataan India Bumaya sudah berjalan samopat di pailang Antah Berantah
yang terlalu permai rupanya. Di sengali paitang nu. Initra Buma bertema dengan serumpun
bunga melus dan sekin baring hayan yang pandai berkata kata Ketika bermain di padang itu,
Indra Bumaya pun melihat ker kumbang hijau menjadikan dys sebuah rumah dan di dalam
rumal na ada ang pempuan yang will kparannya India Bumaya teringat pesan Mahamri
Antaku dan hendak bersalan keluar maka dilihatnya padang itu sudah menjadi laut Indra
Buaya murah dan mengancam akan membunuh perempuan itu Perempuan in kur dan
memberitahu halwa namanya salah Candra Lela Nur Lela Indra Bumaya lalu igakuinya
sebaga audits. Putri Candia Lela juga memberikan Indra Bumaya satu kemala hikmat yang
dapat mengeluaskan empat orang jin dari dalamnya
Maka persahabatan Indra Bumaya dan For Candra Lela pun kedengaran pala Rau Jahan
Syah Pen tunangan tuan pair Rai Johan Syah mah sekali dan datang mang Indra Bumaya
Dalam peperangan yang berlangsung tujuh hari tujuh malam itu tidak ada yang tewas. Hatta
Mahami Amaka pun tersadar akan perkelahian ini dan datang mendamaikan mereka Maka
Indra Bumaya dan Raja Johan Syah pun mengaku beamlara Johan Syah Peri berjanji aka
mmolong Indrs Bumaya menyampaikan maksudnya stu, Indera Humaya pula membuk Parri
Candra Lela Nur Lala kawin dengan Johan Syah Peri Hatta Johan Syah Per dinikahkanlah
dengan san putri Berbaga permainan diadakan di stans Johan Syals Per terlalu ramainya.
4. Hikayat Si Miskin
Naskah kayat ini agak banyak juga. Di Museum Jakarta ada lima, di Leiden dua, dan di
London satu. Hikayat ini sangat populer, pernah beberapa kali diterbitkan (a) J.S.A Van
Dissel. Hikayat Si Miskin, J. E Brill, Leaden 1897, (b) Ch. Van Ophuijsen. Hikayat Si
Miskin, P.W.M. Trap Leiden 1916. (c) Datoek Madjoindo. Hikayat Si Miskin, Djambatan &
Gunung Agung Djakarta). Biarpun hikayat ini mengandung pantun yang menyentuh tentang
orang Nasrani dan Belanda, ia masih termasuk hikayat saman peralihan yang awal-awal.
Perkataan Arab tidak banyak. Tetapi ada tiga motif Hindu terdapat dalam hikayat ini, yaitu
seperti ini,
Tersebutlah perkataan seorang raja keindraan yang kena sumpah Batara Indra. Adapun
rasa itu sekarang hidup laki-laki sebagai Miskin di negeri Antah Berantah yang diperintah
oleh Maharaja Indra Dewa. Ada pun pekerjaan Si Miskin mengelilingi negeri mencari
rezeki setiap hari. Tetapi ke mana pun mereka pergi, mereka selalu dilempari orang dengan
baru dan kayu Terpaksalah mereka makan ketupat dan buku tebu yang didapatinya dan
timbunan-timbunan sampah Hatta beberapa lamanya bins. Si Mukin pun hamillah dan ingin
makan mempelam yang ada di dalam atana raja. biarpun gentar.
Terpaksa juga Si Miskin meminta mempelam dari raja Raja. Antah Berantah dengan
suka memberikan mempelam nu Beberapa lama kemudian, bini Si Miskin ingin maka
nangka yang di dalam istana pula dan nangka itu pun diberikan juga oleh taja Si Ma
Arherana.
Maka pada ketika yang baik, in St Miskin pun beranaklah Seorang anak laksta terlalu
amat baik parasnya dan rupanya. Maka anak itu dinamakan Maraka arya anak di dalam
kesukaran Sejak kelahiran anaknya, nasib Si Miskin pun berub la beroleh emas yang terlalu
banyak dengan tiba tiba. Dengan memuja dewa, sebuah juga men la menamakan negeri itu
Papa Sari dan dirinya Maharaja Indra Ang Istrinys menjadi Ratia Dewi Tidak lama
kemudian, seorang putri lalu pula ke da Putri itu dinamakan Nila Kenima Ada pun orgen
Puspa Sari makin ramai penduduk Banyak satidagas yang datang ke situ Raja Antals
Berantah. Maharaja India De menjadi marygul hatinya, sebab Si Miskin itu sudali menadi
raja besar Maka terbuka kaber Si Makin Maharaja Indra Dewa lalu menyuruh para
mengatakan bahwa anak Si Miskin itu celaka adanya. Si Miskin termakan fit aldimum yang
carang Anak-anaknya lalu dibuang dan negers Sesudah pembuanga makes Puspa San put
terbakar dan Si Miskin menjadi papa seperti semula.
Semasa dalam buangan Marakarmia banyak mendapat kesaktian dari jin, raksa, dan
ular. Pada suatu hari Marakarma berburu menangkap seekor burung. Karna saudaranya
ingin makan burung itu pergilah Marakarma mencari api untuk memasaknya. Setelah
sampai di dusun Markama ditangkap, dituduh mencuri dan dipukul sampai bengkak-
bengkak tubuhnya. Marakarma pingsan dan diikat dengan tali lalu dibuang ke dalam laut.
Tersebutlah pula perkataan Raja Puspa Indra dari negeri Pelinggam Cahaya Adapun
haginda mempunyai seorang purta Mengindra Sari namanya. Adapun puma baginda m dak
mau ber Pada suatu hariMenginidra Sari pun pergi berburu Didapatinya Nils Kesuma
sedang menang di bawah pohon waringin. Nila Kesuma lalu dibawa pulang ke istana dan
dikawininya. Adapun Nila Kesuma itu diberi nama Mayang Mengura.
Tersebut pula kisah Marakarma yang dibuang ke dalam laut Marakarma terdampar
kepunta. Adapun pantai tu pangkalan seorang raksasa Marakarma didapati aleb in Calaya
Kairani, anak Raja Malai Kana, yang diculik raksasa untuk dimakan Karma putri Cahaya
Kamani masih kecil maka dipelihara. Putri itu menyembunyikan Marakarma Kemudian
mereka bersama-sama melarikan diri dengan menumpang kapal yang mendekat ke tepi
pantai Akhirnya raksasa itu mati terperosok ke dalam lubang rana yang digali oleh
Marakarma.
Naskah Leiden memberi nama pengarang sebagai Syaikh Ibn Abu Bakar. Naskah
Jakarta (Bat. Gen: 216) yang berasal dari Bengkulu juga menyebut Syaikh Ibn Abu Bakar
sebagai pengarang. Winstedt berpendapat hikayat ini berasal dari abad ke 15, pada masa
pemerintahan Malaka.
Bagian 1
Berma Syahdan mengejar seekor kumbang hijau yang tidak lain adalah titisan dari putri
Nur ulain. Teman putri yang bernama Mandu Hirans juga gila berahi akan rupa Berma
Syahdan dan menyuruh inangnya membawa Berma Syahdan ke tananya Ayahanda Patn
Mandu Hirani, Maharaja Syah Gerak Gempa, murka dan mengepong istana Raja Berkianah
mengirim putranya Arjan pergi membantu Berma Syahdan.
Gempa meminta bantuan pada ayahanda putri Nur ulain yaitu Maharaja darjanus. Putri
nur ul-'ain. mengajarkan berbagai ilmu kepada Berma Syahdan supaya dapat melawan
ayahandanya. Tetapi perbuatan ini siasa saja Berma Syahdan diculik oleh seorang dan
dilemparkan ke Bahr (laut) Allah.
Tersebut pula perkataan Aidan yang kawin dengan seorang putri dari sebuah kerajaan
yang telah dikalahkan oleh Maharaja Dar…
Burandan Syah meminta bantuan Maharaja Asmara Gangga dan raja-raja yang takluk
kepadanya. Maharaja Berma Syahdan dan putra-putra Berma Syahdan, masing-masing
bemama Indra Syah Peri dan Indra Dewa Syah, juga datang membantu Berma Syahdan
Perang ini berlangsung dengan tiada putusnya Burandan Syah lalu meminta bantuan
Maharesi Raja Bayu. Sesudah perang sengit di mana Berma Syahdan dan Mahar Raja Bayu
masing-masing mengeluarkan kesaktian mereka, Mahares Raja Bayu mengaku kalah dan
kembali ke tempat pertapaannya.
Peperangan terus berlangsung. Banyak korban telah jatuh dipanah Burandan Syah
Akhirnya Burandan Syah meminta bantuan Kanhu Barnasib Berma Syahdan mengutus
putranya, Indra Syah Pri, melawan Kanhu Barnasib Putra Berma Syahdan tidak dapat
melawan musuh…
Allah Di dalam karya lain yanu anus Salamin (1637) dungatkan bahwa barang apa yang
beranak laki laki atau perempuan jangan diberi membaca hikayat yang ada berfaedah seperti
Hikayai Indraputra, karena hikayat itu nyata dustanya. Taj aSalas juga memberi peringatan
yang hampir sama bunyinya Anehnya di Filipina, hikayat ini dianggap sebuah por Islam
yang dinyanyikan di mand manid di Maraniu wlagai ala penyebaran agama Islam Di bawah
ini duajikan singkatannya menurut sebuah naskah yang diterbitkan di Kuala Lumpur (Ali
Ahmad, 1968) Ringkasan cerita ini pernah dib oleh I O. Wind (19221 46-53).
Indraputra, putra Maharsa Bikrama Puspa adalah seorang putra yang sangat and
bijaksana, lagi telalu perkasa dan saktinya. Tetapi nasibnya mula-mula tidak berapa mar
Semasa masih kecil a enlah diterbangkan oleh seekor merak emas la jatuh satu taman dan
dipelihara oleh nenek Kebayan. Sesudah beberapa lama ia diangka menjadi anak oleh
perdana menteri.
Tersebutlah perkataan Raja Syahuan yang tiada mempunyai anak Paida watu ha baginda
pergi berburu dan melihat wekor kuang menangisi ibunya yang telah dipanah man Baginda
shani dan ingin berputra Kemuilian terdengar kahar bahwa di abad yang jauh ala tinggal
seorang mahami pertapa yang terlalu sakn, Berma Saku namanya. Barang siapa yang ingin
beranak boleh meminta obat darinya. Akan tetap karena tempat gunung itu terlalu sauh dan
harus melalui husan nimba yang penuh dengan binatang bus tiada orang pun yang sanggup
pergi ke gunung itu Indrap menawarkan diri untuk pergi ke gunung itu.
Di perpustakaan Musium Pusat di Jakarta ada enam narkah hikayat ini. Salah sana
darinya sudah diterbitkan oleh Balai Pustaka li naskah ini sama saja. Hanya saja nakah
Koleksi vid.W 162 rupa-rupanya berisi cerita yang lebih lanjut dari naskah yang sudah
diterbitkan oleh Balai Pustaka ini. Diceritakan bahwa kesembilan anak raia yang ditewaskan
olth Indra Bangsawan itu kembali ke negeri masing-masing dengan dukacita. Pada tahun
berikut, mereka mengirim upeti kepada Indra Bangsawan. Diceritakan juga Raja
Mangkubumi (Syals Pers) mempunyai anak yang bemama Indra Berah, selangkan anak
Indra Bangsawan bernama Indra Pramana.
Hikayat ini juga pernah dicap dengan batu di Singapura pada tahun 1310 dan tahun
1323 H. Dalam bahasa Aceh juga ada saduran hikayat ini. Di hawah ini disajikan ceritanya
(Hikayar Indra Banguwan, 1927).
Tersebutlah perkataan seorang raja yang bernama Indra Bungu dari negeri Kobar
Syahrial Setelah beberapa lama di atas kerajaan, tiada juga beroleh putra Maka pada satu
hari, ia pun menyuruh orang membaca doa kunut dan memberi sedekah kepada falu dan
miskin Hatta beberapa lamanys, Tuan Putri Sam Kendi pun hamillah dan bersalin dua orang
putra laki-laki Adapun yang tua kelaamya dengan panah dan yang muda dengan pedang
Maka baginda pun terlalu amar sukacita dan menamiai anaknya yang rua Syah Peri dan
anaknya yang muda Indra Bangsawan.
Maka ananda baginda yang dua orang itu pun sampailah usia tujuh tahun dan dintahkan
pergi mengaji kepada Mualim Sufian. Serudah taha menga, menka dititahkan pula mengaji
kitab usul, fikil hingga saraf, tafir sekaliannya diketahuinya Setelah beberapa lamanya,
mereka belajar pula ilmu senjata, ilmu hikmat dan isyarat tipu peperangan Maka baginda
pun bimbanglah, tidak tahu apa yang patut dirasakan dalam negeri, karena, anaknya kedua
orang itu sama-sama gagah Jikalau seorang dirajakan tentulah yang seorang lagi syak
hatinya Hatta baginda pun mencan muslihar, la menceriakan kepada kedua orang anaknya
bahwa ia bermimpi bertemu dengan seorang peminda yang berkata kepadanya, "harang
siapa yang dapat mencan buluh perindu yang dipegangnya, salah yang patut menjadi raja di
dalam negeri".
Syah Kohat Lela Indra adalah putra Raja Syah Perasyat Indra Laksana dari negri
Atharap. Ada pun negri Athrap ini takluk kepada raja kera yang bernama Maharaja Belia
Indra dan setiap tahun harus mengantar upeti kepada raja kera itu. Syah Kobat sangat sedih
melihat keadaan negerinya.
Pada suatu hari, Syah Kobat diculik oleh moyangnya sendiri. Moyangnya bermakna
mengasarkan berbagai kesaktian kepada cucunya. Di tempat moyangnya ina Syah Koha pun
dewasalah dan mahu dalam berbaga kesaktian Pada suatu hari, rang rasa melankan Syah
Kobat. Dengan ilmu yang dipelajari, Syah Kabat membunuh jin in Maka Siyah Kabut pun
berjalanlah dan sampai di sebuah padang Di padang ina ia bertemu dan sarah cinta pada
orang putri yang bemana Tuan Putri Cami Rama Dem Tuan Pan Cam Ratta Dewi
arbenamya sudah bertunangan. Kaima inu, paksalah Syah Kob melawan segala anak-anak
rasa yang ingin meminang ruan putri Syah Kobat memang dan kawin dengan tuan putri
Segala anak raja menjadi sahabat Syah Kobat Moyang Spa Kobat, Brama Indrs Sakti
menggelarkan citys Syah Kabat Johan Anfin.
Terahatlah perkataan bahwa Syah Kobat ingin pulang ke negeri ayahandanya. D gah
perjalanan, Syahi Kobat bertemu sebuah pulau di laut aps Di pulau ini, Syah Kabal bertemu
jodah dengan Tuan Putri Sekanda. Saudara-saudara Tuan Putri Sekanda ah dan memerangi
Syah Kobat. Dengan bantuan anak anak rasa lain dan moyangnya, ah Kobat menang lagi
maka sampailah Syah Kohat di suatu padang sangat luas, Padang Tawil namanya Di palang
ini Syah Kobat berperang dengan raja kera Maharaja Belia Indra yang pernah maklakkan
negeri ayahandanya. Peperangan ini hebat sekalt Rakyat dan kedua belah phil banyak yang
gugur Syah Kobat sendin juga pernah diterbangkan oleh taufan age rang diciptakan oleh
saja kera Raja Belia Indra, saudara raja kera, juga terbunuh. Ahamya raja kera, Maharaja
Belia Indra juga tahu ajalnya mendekat dan ia memberi pean kepada Syah Kobat supaya
menjaga anak-anaknya dengan baik, karena anak aatnya ina, sekali waktu nanti akan dapat
membantu Syah Kobat.
Terahatlah perkataan Tuan Putri Cahaya Khairani yang terlalu amat clok parasnya lap
pagah berani Beberapa anak raja yang sakti-sak dilawannya untuk mengadu akannya. Maka
ruan putri pun tertarik kepada keelokan paras dan kesaktian Syah Kobat Lalu ditantangnya
Syah Kobat mengadu kesaktian. Tuan Putri menyamar sebagai lablab dan bernama Johan
Ali Perkasa. Syah Kobat ternampak wajah tuan putri yang atk lalu pingsan. Tetapi akhirnya
Johan Ali Perkasa dapat ditawan oleh jin jin yang bantu Syah Kobat Syah Kobat
membebaskan Johan Ali Perkasa, setelah diketahui bahwa Johan Ali Perkasa sebenarnya
adalah perempuan Sultan Ahmad, ayahanda tuan putri sangat gembira dan mengawankan
Syah Kobat dengan tuan putri.
Dewa Cahaya Indra, tunangan tuan putri marah dan menyerang Syah Kohar Serangan
ini tidak berhasil. Dewa Cahaya Indra sendiri tertawan, tetapi segera dibebaskan Deva
Cahaya Indra melarikan diri ke tempat ayahandanya, Syah Alam Dewa. Peperangan pun
disiapkan oleh dua pihak. Beribu-ribu bala tentara datang membantu Syah Alam Dewa Dan
pihak Syah Kobat juga datang bantuan. Maka meletuslah peperangan. Banyak yang menjadi
korban. Akhunya Syah Alam Dewa juga terbunuh. Demikian juga Dewa Cahaya Indra.
Tersebut juga perkataan Syah Kobat kawin dengan Tuan Putri Kemala Di Rasa sebagai istri
yang keempat.
Syah Kobat meneruskan perjalanan pulang ke negeri ayahandanya. Maka sampailah Sab
Kobat ke sanu padang yang luas. Maka dibuat Syah Kobat sebuah negeri yang Ingkap
dengan parit, jalan dan kotanya. Negeri itu dinamakannya Warkah Indra.
Tersebut cerita seorang raja yang terlalu besar kerajaannya, Saiful Muluk namanya,
Ajam Saukat nama kerajaannya. Adapun raja ini telah kawin dengan Putri Sukanda
Rum……
Tersebutlah perkataan Maha Jaya seorang menten dan negu India membeli seorang anak
yang dinamainya Ratna Katihan Adapun Ratna Kahan terlalu baik kelakuannya dan diberi
pekerjaan oleh Menteri Maha Jaya untuk menelit hartanya Harta Ratna Kasihan pun diambil
sebagai anak oleh Maha Jaya dan diben Kemudian Ratna Katihan dijadikan pula nakhoda
sebuah balitera dan disuruh berniaga ke berbagai negeri Tatkala Ratna Kasihan pulang dari
pelayaran, dulapat ayah angkatnya sudah meninggalkan segala harta kepadanya Maka Ratna
Kap duduklah berniaga di dalam negeri Makin lama, makin bertambah tambah pula hartan
Hatta Ratna Katihan pun berpindah ke negeri Gendara Giri, karena sangat lana daga di situ.
Pada suatu malam, Ratna Kasihan pun bermimpi melihat bulan dan matahan da ke
hadapannya dan menerangi seluruh tubuhnya. Selang berapa lamanya, nurinys bersalin
kembar, dua orang anak laki laki, yang dinamainya Sukama dan Sukarni. Ha kedua anak itu
sampailah tujuh tahun umumnya dan disuruh mengaji. Sebagai upa mengaji, mereka
mendapat seekor burung Setiap hari, mereka bermain-main da burung itu, selepas mengan
Arkian, mereka pun tamailah pengajian dan perp bela bermain pedang dan panah pula.
Sekali peristiwa seorang biaperi berjalan-jalan di pasar, dekat kampung Ratu Kasihan
dan melihat burung itu dan ingin memiliki burung itu. Keinginannya maka bertambah, bila
ia mendengar seorang ahli nujum meramalkan bahwa barang memakan kepala burung itu
akan menjadi raja besar dan barang siapa yang menaku hatinya, akan menjadi menten besar
lagi bijaksana. Pada suatu hari, ia menyuruh se sahabatnya pergi membeli burung itu dengan
menawarkan harga yang mahal sekali. Tetap Ratna Kasihan tetap tidak mau menjualnya.
Maka biapen itu pun mencoba berkena dengan Ratna Kasihan dua suami istri, dengan
harapan, maksudnya akan terapii sun hari nanti.
Ada empat raja bersaudara. Yang memainkan peranannya hanya Sultan India Maharaja
(kemudian bernama Mendu Sakti) dan Sultan Gempita Gunung Kotany anas nama
lengkapnya Koraisy Mengindia Raja Alami adalah putra Sultan Indra Maha Koray sudah
bertunangan dengan Sri Udara, putri Sultan Gempita Gunung Teup karena perbuatan
seorang perempuan, Hatlah Maya Dewi, pertunangan Koray din Sn Udara putus Kemudian
Sri Udara dikawinkan dengan Agas Paduka Alam Terapy Sn Udara ndak pernah mencintai
suaminya, malah membencinya sehingga ram meninggal.
Koraisy sangat sedih hati karena perkawinan Sri Udara ini la meninggalkan nem dan
pergi belajar ilmu kesaktian di sebuah gunung Banyak senjata ajaib yang diperolehnya
Kemudian Koraisy pun pergi mengembara
Cerita selanjutnya adalah cerita penaklukan dan percintaan Koraisy. Koraisy sampai di
negeri Mangarma Indra dan kawin dengan putri raja yang bernama Seraja Sri Danta. Sudah
tentu sesudah membantu raja mengalahkan muruh yang datang menyerang Koraisy
menikahi seorang putri lagi.
Koraisy meneruskan dan sampai ke sebuah negeri yang raunys beserta dua orang telah
ditawan oleh seorang jin Koraisy membunuh in ita Titap karena kurang hati-hati, Koraisy
sendin ditiup oleh nafas jin tersebut dan terjatuh di tempat yang jauh. Di sini, Koraisy
terpaksa pula melawan seorang jin yang lain. Jumala Indra namanya Timbul peperangan
pula Sudah tentu Korassy menang dan kawin lag Akhir cerita, menceritakan bahwa Korainy
pulang ke negerinya dan ditabalkan menjadi raja, menggantikan ayahandanya.
1825 Naskah Jakarta (Bat Gen 77) adalah salinan yang dibuat oleh M Donielen pada 29
November 1860 benlasarkan sebuah ruskah yang dalin da Mak pada tahun 1814 Naskah
Jakarta ini telah diterbitkan ninh Balai Pustaka pada tahun 1954 tap nama watak-wataknya
telah disesuaikan dengan naskah Leiden Di bawah duk nys (Nachoda Monda (Sun Sara dan
Rada Gana Balai Pustaka, Batavia, 1934).
Ada seorang raja yang bernama Raja Gamawi yang terlalu besar kerajaannya lag dengan
adil muralnya Sekali peristiwa, baginda bermimpi berolah seorang perempu yang amat baik
paratoya Perempuan itu memakai kain merah dan memberi makan panggang hati bin biri
dengan ini pinggangnya Maka baginda pun berahilah akan perempuan yang dilihatnya
dalam mimpi ina Dua orang anak perdana mentum yang mang mating bernama Husain
Mandati sanggup pergi mencan perempuan itu Tersebut pula perkataan Husain Mandari dua
bersaudara pergi mencari perempuan yang dimimpikan raja itu Segala rumah raja-raja,
rumah pengawal dan rumah orig besar-besar, armuanya diperiksa mereka, tetapi perempuan
seperti yang dimimpikas baginda tidak dijumpai juga Hana mereka pun sampailah di
pinggir negen Betw Merka bertemu dengan seorang tua yang mengambil kayu dan bertanya,
"Adakah d dalam negeri itu rumah yang nada bendapur Mereka mengikuts orang tua ina
berjalan tetapa kelakuan mereka menimbulkan eyak wasangka di hati orang tua itu. Meria
mengembangkan payung semasa berjalan di dalam hutan, memakai kaus dan strong kaki
semasa menyeberang sungai, serta menamas jembatan yang tidak ada peganga itu jembatan
monyet Akhimya mereka masih memperingati orang tua itu bahwa kalas sampai di rumah
menilah bendehem-dehem dulu barulah naik ke rumah. Orang tua in tidak memberi
perhatian kepada peringatan kedua orang itu Setiba di rumah, didapa anaknya Satti Sara lagi
mandi bertelanjang, kelihatan susunya…..
Menurut Wendly, bahasa hikayat ini sangat indah, tetapi pendapat ini tidak disetujui
oleh R.O Winstet. Winstet mengutip suatu adegan hikayat yang dikatakannya pernah
dengan ungkapan-ungkapan yang bukan Melayu. Hikayat ini, demikian dijelaskan oleh
Winstedt, adalah contoh hikayat zaman peralihan, pengaruh Hindu dan Jawa sudah menipis
dan sana Melayu jatuh ke tangan penerjemah dan penyadur yang meniru contoh-contoh dan
Farsi dan Arab. Buktinya ialah pembagian bab yang terdapat dalam hikayat ini. Sebagai
tambahan boleh dikatakan bahwa pada permulaan setiap bab semacam ringkasan yang
menceritakan isi bab berikutnya.
Naskah hikayat ini banyak. Plotnya adalah sama, tetap terdapat perbedaan-perbedaan
juga. Misalnya nakah (Cod.Or 1747) mulai dengan cerita Dewa Putra, Raja Negeri
Samandar Pura, Negara yang mendapat seorang putra, Indra Mengindra Namanya. Indra
Mengindra kawin dengan Indra Dewi, putri Raja Lila Mengindra dari neger Maalipatana
Nama putri yang dilahirkan oleh Putri Ratna Kendi dalam buang dricbut Putri Puspa Ratna
Komala. Akhimya Pum Ratna Komala datang menyes tapi dikalahkan dan ditawan oleh
seorang anak raja yang pernah meminangnya Imp ditolak Di bawah ini disajikan ringkasan
hikayat memurut uraian Roonda van Eying naskah cetakan Singapura serta naskah tulisan
tangan yang tersimpan di Perpustaka Kebangsaan Singapura.
Sekali peristiwa, seorang menteri dari benua Keling yang bemama Megat Nin bermain
catur dengan seorang hulubalang di hadapan majelis raja-raja. Dia kalah dan karena mi,
turun dari benua Keling pergi ke negen Masulipatana. Hatta beberapa lamanya maka pada
suatu malam, turunlah taufan, guruh, kilat, petir, guntur, dan halilintar, maka beberapa
pohon kayu yang besar-besat pun habis tumbang Dari alamat ini, tahulah Megat Nira bahwa
dia akan dianugerahi seorang anak yang amat bijaksana. Beberapa lama antaranya, istri
Megat Nira pun beranaklah seorang anak laki-laki yang terlalu had rupanya Anak itu
dinamai Isma Yatim serta dipelihara dengan semestinya.
BAB II
SASTRA KITAB
Sastra kitab adalah jenis sastra yang mencakup satu bidang yang sangat luas. Ilmu
yang terdapat didalamnya adalah ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tasawuf, dan sebagainya. Ilmu
tasawuf adalah bagian terpenting dalam sastra kitab. Hal ini dikarenakan ahli tasawuf atau
sufi dapat menyesuaikan ajaran Islam kepada tingkat kepahaman masyarakat setempat.
Sastra kitab adalah karya orang Melayu masa lampau yang berisi ajaran agama Islam. Karya
sastra kitab dapat menjadi rujukan mengenai Islam bagi orang-orang Melayu karena pada
waktu sebagian besar masyarakat Melayu masih sedikit yang memahami bahasa Arab.
Kebanyakan karya sastra kitab ini merupakan terjemahan atau hasil transformasi karya-karya
Arab. Bidang pengetahuan yang terdapat dalam karya sastra kitab ini adalah ilmu tauhid,
fikih, hadis, dan tasawuf (Yock Fang, 1982).
Contoh sastra kitab: MSS 2758 (PNM) Shifa‗ al Qulub, ditulis oleh Nuruddin Arraniri
pada waktu luhur, hari senin, 2 ramadhan 1225H ( 1 Oktober 1810 M), tahun ‗zai‗, 14 hlm,
21,2 X 17 cm. Nuruddin Arraniri menulis kitab ini untuk menerangkan pengertian kalimat
syahadat dan kepercayaan kepada Allah. Ia berpendapat bahwa kepercayaan kepada Allah
telah dinodai oleh pemikiran kaum wujudiyah. Pada bagian awal kitab ini Nuruddin
menerangkan dengan rinci tentang pengertian syahadat. Dalam bagian berikutnya, ia
mengecam golongan wujudiyah yang telah mengubah makna Alquran dan hadis (Zawiyah,
2003: 50).
Ketika menjadi pusat Islam, Aceh mengalami pergolakan yang juga berlaku di dunia
Islam. Ajaran wahdaniyah atau wujudiyah yang mengajarkan wahdat al-wujud yang
mengguncangkan dunia Arab juga masuk Aceh. Dua tokoh ulama, Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin al-Sumatrani mendukung aliran yang mengatakan bahwa: "Wujud makhluk tiada
lain daripada wujud khalik", sedangkan Nuruddin Ar-Raniri dan Abdur Rauf adalah dua
tokoh ulama yang menentangnya.
A. HAMZAH FANSURI
Meski seorang tokoh tasawuf yang terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang
riwayat hidupnya. Tentang masa hidup dan tempat kelahirannya pun menimbulkan berbagai
pendapat dari para sarjana. Terlepas dari berbagai kontroversi tentang kehidupannya, berikut
tiga karya prosa Hamzah Fansuri yang sudah terkumpul dan diterbitkan:
Syarab al-'Asyikin (Minuman segala orang yang berahi) dikenal juga dengan judul Zinat al-
Muwafidin (Perhiasan segala orang yang muwahid) adalah kitab yang menyatakan jalan
kepada Allah dan makrifat. Kitab ini terdiri atas tujuh bab:
Bab 4 menyatakan bahwa orang yang sudah mencapai makrifat itu tahulah rahasia Nabi serta
sifat-Nya.
Bab 5 menyatakan kenyataan zat Tuhan yang maha tinggi dan tidak dapat dipikirkan.
Bab 6 menyatakan sifat Allah SWT yang sudah dijelaskan dalam Bab 4.
(3) Al-Muntahi
Al-Muntahi adalah semacam pedoman bagi orang yang sudah arif dalam ajaran wujudiyah.
Menurut beberapa pengamat sastra sufi, sajak-sajak Syaikh Hamzah al-Fansuri tergolong
dalam Syi'r al- Kasyaf wa al-Ilham, yaitu puisi yang berdasarkan ilham dan ketersingkapan
(kasyafi yang umumnya membicarakan masalah cinta Ilahi).
4
Syair si Burung Pingai
~ Hamzah Fansuri
Syair Perahu
5
Sudahlah hasil kayu dan ayar,
angkatlah pula sauh dan layar,
pada beras bekal jantanlah taksir,
niscaya sempurna jalan yang kabir.
~ Hamzah Fansuri
9
B. SYAMSUDDIN AL-SUMATRANI
Kita tidak banyak tahu tentang riwayat hidup Syamsuddin Al-Sumatrani. Hanya saja dari
kitab seperti Bustanus Salatin dan Hikayat Aceh serta catatan orang Eropa yang mengunjungi
Aceh pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 kita ketahui bahwa Syamsuddin
adalah seorang tokoh yang sangat penting di istana Aceh. Karena dianggap mengandung
ajaran yang menyesatkan buku-buku Syamsuddin dibakar oleh Sultan Iskandar Thani yang
saat itu berkuasa di Aceh. Karena pembakaran karya Syamsuddin yang sampai kepada kita
sedikit sekali dan kebanyakan merupakan fragmen yang tidak lengkap. Di antaranya
ialah Mir'at al-Mu'min (cermin orang yang beriman) dan Kitab Mir'at al-Muhaqqiqin.
1. (a) Allah - Tuhan yang dimaksud ialah Tuhan yang menampakkan diri-Nya melalui
rasulnya dan kitab-Nya. Ia adalah Tuhan yang harus dipuji seluruh umat.
(b) Zat - Zat adalah wujud Allah yang di luar kemampuan manusia untuk memikirkannya.
(c) Hubungan zat dan sifat - Sifat itu tiada lain daripada zat Allah Ta'ala.
(d) Sifat - Sifat dua puluh dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. sifat salabiya atau nafsiya, 2. sifat
ma'ani dan 3. sifat ma'nawiya.
(e) Asma - Asma atau nama Tuhan penting dalam ajaran tasawuf.
(f) Afal - Afal berarti mengitikadkan bahwa Allah menjadikan sekalian makhluk daripada
tiada kepada ada.
2. Muhammad - Tampak dua pikiran yang berbeda tentang tempat Nabi Muhammad dalam
tasawuf.
3. Ajaran Wujud: Martabat tujuh - Ajaran wujud diterangkan dalam martabat tujuh. Martaba
tujuh ialah ahadiya, wahda, wahidiya, alam al-arwah, alam al-amsal, alam al-ajsam dan alam
al-insan. Ketiga martabat yang pertama bersifat kekal (kadim lagi baka) dan keempat yang
lain bersifat bayang-bayang (muhdath).
4. Keesaan Wujud - Kaum wujudiyah, misalnya Syamsuddin, memberi tafsiran lain kepada
kalimat Syahadat yang berbunyi: la ilaha illallah (tiada Tuhan selain Allah), menjadi tiada
wujudku hanya wujud Allah.
C. NURUDDIN AR-RANIRI
10
1. Sirat al-Mustakim
Sirat al-Mustakim (Jalan yang Lurus) merupakan kitab fikih yang tertua di dalam bahasa
Melayu dan masih diajarkan di perguruan tinggi Islam dan juga menjadi kitab pegangan
orang Islam. Sirat al-Mustakim terdiri atas 7 kitab, yaitu kitab taharah, kitab sembahyang,
kitab hukum zakat, kitab hukum puasa, kitab hukum haji, kitab hukum perburuan dan
menyembelihnya dan kitab hukum segala makanan yang halal dan haram.
2. Bustanus Salatin
Bustanus Salatin fi. Dhikr al-Awwalin wa 'l-Akhirin (Kebun segala raja-raja dan menyatakan
permulaan segala kejadian dan kesudahannya) adalah sebuah hasil karya yang paling besar di
dalam bahasa Melayu. Kitab yang mengandung 7 bab dan lebih dari 1250 halam itu
menguraikan kejadian alam, sejarah dunia dan Nusantara, raja-raja yang adil dan raja-raja
yang pertapa.
Asrar Al-Insan Fi Ma'rifa Al-Ruh Wa 'l-Rahman (Rahasia Manusia dalam Mengetahui Ruh
dan Tuhan) disusun atas perintah Sultan Iskandar Thani dan baru selesai pada zaman
Sultanah Safiatuddin. Si dalam kitab ini Nuruddin banyak memanfaatkan tulisan dari tokoh -
tokoh tasawuf seperti Ibn Arabi, Imam Ghazali, Al-Hallaj, dan Abd al-Razak al-Kashani.
Dalam Hujjatu'l-Siddik li daf'i 'I-Zindik (Dalil Orang yang Arif untuk Menolak Iktikad
Faham yang Zindik), Nuruddin menguraikan pendapat tentang wujud yang berbeda-beda,
yang diberikan empat taifa (golongan), yaitu kaum mutakallimin, ahli sufi, kaum hukama
falasifah dan kaum wujudiyah.
6. Hill al-Zill
Hill al-Zill (Menguraikan Perkataan Zill) merupakan saduran Nuruddin dari karya bahasa
Arab yang berjudul Da'wa 'l-Zill ma'a Sahibihi (Bayang-bayang dengan yang empunya
bayang-bayang).
7. Shifa al-Kulub
Shifa al-Kulub (Obat Hati) disusun untuk menyamankan hati yang kufur.
11
Jawahir al-Ulum fi Kasyf al-Ma'lum (Permata Ilmu untuk Menyingkap Alam) terdiri atas 5
bab. Bab pertama tentang wujud, bab kedua tentang sifat-sifat Allah, bab ketiga tentang asma
Allah, bab keempat tentang a'yan thabita dan bab kelima tentang a'yan kharijiyah.
Fath Al-Mubin 'ala Al-Makhidin (Kemenangan yang Amat Nyata Terhadap segala Faham
yang Rusak) ditulis pada tahun 1068 H (1675 M) setelah Nuruddin kembali ke India
Abdur Rauf Singkel adalah seorang tokoh tasawuf Aceh yang sangat terkenal dan cukup
produktif. Walaupun demikian tidak banyak yang tahu tentang riwayat hidupnya. Beberapa
hasil karya yang utama:
Umdat al-Muhtajin ila Suluki Maslak 'l-Mufridin (Perpegangan Segala Mereka Itu yang
Berkehendak Menjalani Jalan Segala Orang yang Meninggalkan Dirinya) terdiri dari 7 bab.
Bab pertama tentang makna la ilaha ilallah serta sifat Allah dan rasul-Nya, bab kedua tentang
hukum atau aturan berzikir, bab ketiga mengandung hadis rasul dan perangai yang jahat dan
syaitan yang di dalam tubuh, bab keempat tentang sifat-sifat orang berzikir "yang haram
dengan kalimat syahadat", bab kelima tentang asal usul ajaran mistik dan upacara masuk
tarikat, bab keenam tentang ratib dan bab ketujuh menerangkan sekali lagi sifat-sifat berzikir.
2. Kifayat Muhtajin
Kitab ini disusun atas titah Sultanah Tajul Alam Safiatun (1641-1675). Kitab ini dimulai
dengan ulasan tentang a'yan thabita yang banyak menarik perhatian para ulama aceh.
3. Mir'at at-Tullab
Mir'at at-Tullab fi Tashil al-Ma'rifat al-ahkam al-Syar'iyah li 'l-Malik al-Wahhab (Cermin
segala mereka yang menuntut ilmu fikih pada memudahkan mengenal segala syarak Allah).
Kitab ini disusun atas perintah Sultanah Tajul Alam Safiatuddin (1641-1675).
4. Daka'ik al-Huruf
Di dalam kitab ini Abdur Rauf menjelaskan beberapa istilah bagi orang yang menjalani jalan
Allah. Pengetahuan tentang istilah ini penting, karena "barang siapa mengambil maknanya
seperti maknanya yang makruf pada antara segala ahli al-zahir niscaya jadi kafir ia." Apabila
ia sudah tahu istilah mereka itu, patutlah ia memutalaah segala kitab mereka-mereka itu.
5. Tarjuman al-Mustafid
Ini adalah sebuah tafsir yang banyak dipakai di kepulauan ini sejak tiga abad yang lalu. Pada
umumnya tafsir ini dianggap sebagai terjemahan dari tafsir yang dibuat oleh Al-Badawi
(wafat 685 H/1286).
12
C. Contoh Sastra Kitab
Berikut ini akan dibicarakan beberapa kitab yang masih digolongkan dalam sastra kitab:
Hikayat seribu masalah atau masa‘ll seribu adalah sebuah kitab yang sangat popular pada
abad pertengahan. Kitab ini mula- mula ditulis dalam bahasa arab, tetapi masa penulisannya
tidak dapat diketahui. Kitab ini pertama kali ddisebut dalam ringkasan al-tabart dalam bahasa
parsi yang dibuat oleh Abu Ali Muhammad Al Ba‘ami dari bahasa Arab. Dalam
ringkasannya ini, Al ba‘ami menyebut sebuah kitab yang berjudul mesail. Kitab tersebut
berkisah tentang seorang yahudi terpelajar mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sukar
kepada nabi Muhammad karena jawaban Nabi Muhammad sangat memuaskan, yahudi
tersebut kemudian masuk islam.
Pada tahun 1143, seribu masalah diterjemahkan kedalam bahasa latin . sebelumnya
terjemahan sudah terdapat dalam bahasa Parsi dengan judul : kitab 28 masalah. Disamping
itu, dalam bahasa parsi masih ada kitab yang berjudul hazar afsana yang mengilhami
lahirnya cerita seribu satu malam dan hazar mazar yang menceritakan kelahiran seribu orang
suci.Menurut Pijper, hikayat seribu masalah yang terdapat dalam bahasa melayu itu disadur
dari sebuah naskah parsi yang disunting di india.
Ada 15 naskah Hikayat Seribu Masalah Naskah museum pusat, bat. Gen. 19 (va ronkel Nr.
CCC) telah diterbitkan oleh Pijper. Menurutnya naskah ini disalin oleh Ki Muhammad mizan,
pada tahun 1237 H (1865) di Palembang.Naskah ini menunjukkan pengaruh Minangkabau
yang kuat.merupakan ringkasan teks yang diterbitkan oleh pijper tahun 1924.
Hikayat ini dimulai dengan kisah Abdulah Ibnu Salam seorang yahudi yang terpelajar yang
menerima surat dari Nabi Muhammad agar kaumnya masuk islam. Kaumnya setuju jika Nabi
Muhammad mampu menjawab seribu masalah yang diajukan. Pertanyaan yang diajukan
adalah menyangkut akidah agama islam , Nabi Muhammad menjawab bahwa beliau adalah
nabi dan rosul. Agama islam itu agama Allah dan orang yang masuk surga ialah orang yang
menyebut dua kalimat syahadat. Tentang rupa Jibrail dikatakan bahwa ―Jibrail itu bukan
laki-laki dan bukan perempuan, mukanya seperti bulan purnama empat belas hari bulan ,
cahaya gilang-gemilang‖. Sayapnya sangat banyak dan besar.
Tentang arti bilangan yang dikatakan esa tiada menjadi dua, karena Allah Ta‘ala Esa dan
tiada sekutu baginya. Dua tiada menjadi tiga, karena Nabi Adam dan Hawa adalah dua.
Demikian juga zat dan Allah, bulan dan matahari, siang dan malam, tinggi rendah, jauh dan
dekat, semuanya adalah dua. Mengapa tidak menjadi empat, empat tidak menjadi lima, dan
seterusnya hingga 30, semua jawaban yang disediakan adalah jawaban munasabah.
1. Anak yang lebih keras daripada bapaknya ialah besi yang berasal dari batu.
13
2. Yang lebih keras dari api ialah angin
4. Perempuan yang beranak dengan tiada laki laki adalah Siti Mariam
7. Anak yang dilahirkan itu akan serupa dengan ibunya, kalau ibunya lebih birahi
daripada bapaknya, kalau bapaknya lebih birahi, anak itu akan serupa dengan bapaknya.
B. TAJUS SALATIN
Tajus salatin (mahkota segala raja) adalah sebuah kitab yang bertujuan memberi pelajaran
kepada anak-anak raja atau raja. Tajus salatin adalah kitab yang ditulis dalam trasisi
ini. Tetpi ada satu perbedaan yang besar. Di india, raja adalah dewa atau titisan dewa dan
kedudukannya tidak mungkin dicapai manusia biasa. Di eropa raja adalah manusia biasa yang
berkedudukan tinggi dalam masyarakt dan bukan tidak bisa dicapai oleh manusia biasa.
Didalm islam raja adalah manusia biasa yang juga sama sama takut terhadap hokum Allah
atau syariat seperti rakyatnya.hanya saja raja itu dianggap sebagai pengganti Allah di muka
bumi ini yang mempunyai tugas dan kewajiban yang mesti ditunaikan. Inilah yang
merupakan tujuan utama penulisan kitab tajus salatin di dunia islam.
Tajus salatin terdiri atas 24 bab. Sesudah puji pujian kepada Allah yang amat berkuasa ,
diucapkan pula rahmat kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang sidik.
Pertama-tama kepada Abu Bakar Al-sidik, kedua kepada Umar yang adil, ketiga kepada
usman yang sadik dan rafik, dan keempat kepada Ali yang ghazi. Kemudian daripada itu
penulisnya , bukhari mengatakan bahwa ia mengarang kitab ini untuk menyatakan perkataan-
perkataan peri pekerjaan segala raja-raja dan menteri-menteri, hulubalang , rakayat dan
barang yang bergantung dengan ibarat yang amin dan simpan supaya orang beroleh manfaat
dan menurut katanya ,‖Maka dinamai kitab ini Tajus Salatin, artinya Mahhkota segala Raja-
Raja.
Pasal pertama yang menyatakan bahwa manusia pelu mengenal dirinya supaya mengetahui
awal dari apa dirinya berasal dan bagaimana adanya (wujud-nya itu). Sesungguhnya manusia
harus bersyukur kepada segala nikmat Allah yag tiada terbilang itu.
14
Adapun kehidupan manusia itu terbagi dalam tiga bagian atau pangkat yaitu permulaan,
pertengahan,dan penghabisan. Sebelum manusia dijadikan oleh Allah, alam ini telah ada.
Sesudah manusia mati, alam juga tiada lenyap. Pada pangkat permulaan, manusia itu hina dan
keji, tapi pada pangkat pertengahan , manusia sudah diberi beribu-ribu nikmat dan kesukaan
yang tiada terkira. Disamping itu Tuhan juga memelihara manusia daripada binasa dan
menolong manusia menahan kehendak nafsunya.Adapun manusia itu terdiri dari
empat anasir yaitu tanah,air,angin dan api. Kalau anasir itu bercampur dengan baik, yaitu
sedang maka orang tersebut akan sentosa hidupnya. Pasal ini berakhir dengan cerita tentang
pangkat kesudahan kehidupan manusia, Tuhan mengambil segala kurnianya.
Pasal kedua menyatatakan bahwa Tuhan menjadikan alam dan barang sesuatu yang ada
didalamnya termasuk perbuatan hambanya. Pasal ketiga menyatakan bahwa manusia yang
hidup di dunia ini adalah seperti seorang musafir atau orang asing yang dalam perjalanan
ketempat yang kekal. Pasal yang keempat menyatakan bahwa dunia ini fana dan seyogyanya
manusia senantiasa menyebut maut dan kubur. Pasal yang kelima menyatakan bahwa Adam
dijadikan khalifah , tetapi kemudian dibuang kedunia karena berbuat salah.
Pasal yang keenam menyatakan bahwa raja yang adil. Yang dimaksud dengan adil adalah
yang memerintah dan melepaskan orang yang teraniaya. Pasal yang ketujuh mengisahkan
pekerti raja-raja yang adil. Pasal yang kedelapan mengisahkan raja kafir yang adil yaitu
Nursyiwan adil. Pasal yang kesembilan mengisahkan raja yang menganiaya rakyatnya. Pasal
yang kesepuluh menyatakan bahwa seseorang baru dapat menjalankan tugasnya, jikalau
mempunyai menteri yang budiman.
5. memeliharakan segala orang asing dan fakir miskin daripada kejahatan orang.
6. mempunyai perangai yang murah hati dan luas akan segala bicara.
Pasal yang kesebelas menyatakan bahwa daripada segala yang dijadikan Allah Ta‘ala itu
tiada yang terbesar daripada kalam, karena sekalian alam dari pertamanya dating kepada
kesudahannya tiada dapat diketahui melainkan dengan kalam.
Pasal kedua belas menyatakan bahwa orang yang menjadi pesuruh itu hndaklah benar
perkataan dan perbuatannya; tiada berdusta, dan menyampaikan barang amanat yang disuruh
sampaikan. Pasal yang ketiga belas mengatakan bahwa segala pegawai hendaknya
memelihara 25 syarat. Yang menarik ialah pegawai dianjurkan supaya mendahulukan kerja
Allah daripada kerja raja. Pasal yang keempat belas menyatakan dalam mengasuh anak.
Didalamnya juga terdapat peraturan tentang akikah. Pasal kelimabelas menyatakan bahwa
manusia hendaklah mempunyai hemat(pikiran) yang benar. Pasal yang keenambelas
15
menyatakan bahwa orang yang berbudi mempunyai tujuh tanda, diaantarany a adalah berbuat
baik, merendahkan diri, menyebut nama Allah, serta memohon perlindunganNya sewaktu
dalam kesukaran. Pasal ketujuh belas menyatakan syarat raja .
c. Menurut peri dan perbuatan segala raja yang beriman, budiman,dan adil
Pasal yang kedelapan belas menyatakan bahwa ilmu mengenal manusia itu terdiri dari
empat perkara. Pertama nubuwat, kedua wilayat, ketiga hikmat dan yang keempat ilmu
kifayah dan firasat. Pasal yang ke Sembilan belas menerangkan lebih lanjut tentang kifayah
dan firasat. Kifayah adalh (tanda tubuh) dan firasat adalah kelakuan tubuh dapat menolong
kita mengenal orang yang baik dan orang yang jahat. Pasal yang keduapuluh menyatakan
kewajiban raja terhadap rakyatnya yang islam.
Pasal yang keduapuluh satu yang menyaatakan segala rakyat kafir yang hidup di bawah raja
islam harus memenuhi 20 syarat diantaranya adalah
1. Tiada harus berbakti kepada berhala baru; yang lama atau roboh juga tiada harus
diperbaiki
Pasal keduapuluh dua menyatakan sakhwat (murah hati) dan ikhsan. Pasal kedua puluh tiga
menyatakan wafa‘uhud yaitu menepati janji. Pasal kedua puluh empat mengandung pesan
bukhari yang ingin disampaiikan kepada emapat golongann pembacanya. Golongan pertama,
raja mukmin dan adil, golongan kedua menteri dan hulubalang , golongan ketiga adalah
segala rakyat yang beriman dan berakal, dan yang keempat adalah golongan para penyurat.
Pasal ini berakhir dengan sebuah mathnawi.
16
C. HIKAYAT WASIAT LUKMAN HAKIM
Lukman adalah seorang tokoh yang terkenal dalam dunia Islam. Di dalam Al Quran surat 31
ia digambarkan sebagai seorang yang arif yang banyak menghasilkan peribahasa. Peribahasa
dalam bahasa Arab bisa diartikan dengan dongeng, maka Lukman terkenal sebagai penulis
dongeng setara dengan Aesop di Eropa. Lukman cukup terkenal di dalam bahasa Melayu.
Namanya dapat ditemui dalam Hikayat Syah Mardan, Tajus Salatin, dan Bustanus salim,
serta hiyakat yang khusus memuat namanya adalah Hikayat Lukman Hakim. Naskah ini
tersimpan di Museum Pusat jakarta dan dialih-aksarakan oleh Edwar Djamaris dkk. (1985).
Dalam ceritanya, Lukman Hakim dianggap sebagai setengah nabi oleh setengah pendeta, ada
juga yang berpendapat Lukman adalah wali Allah. Lukman menasehati anaknya yang termuat
dalam Nasihat Lukman; jangan meninggalkan kebaktian kepada Allah dan jangan
memenadang yang lain dari Allah. Hendaklah mengurangi tidur dan makan supaya dapat
senantiasa berbakti kepada Allah.
Ilmu hikmah dapat diperoleh dengan tiga cara; 1) berkata dan berlaku yang benar, 2) diam
yang disertai pikiran yang benar, 3) menjauhkan diri dari orang yang jahat. Kemudian
diceritakan pula tanda atau alamat orang murah hatinya, orang bijaksana, dan orang hina. Di
dalam Hikayat ini juga diceritakan empat perkara yang memberi mudharat kepada manusia;
penggusar, bersenda-gurau, pemalas, bersegerayang tiada dengan kira-kira lagi. Serta perkara
yang jahat; kikir, berdusta, kurang malu. Sebagai penutup kitab ini diceritakan empat tanda
isi neraka; raja yang mengambil hak dan menghukum rakyatnya, raja yang alpakan negeri
serta rakyatnya dan tidak memelihara rakyatnya, orang yang berbuat fitnah, orang yang lupa
pada diri dan kematiannya.
17
BAB III
SASTRA SEJARAH
18
B. Struktur Sastra Sejarah
Susunan atau struktur sastra sejarah atau pensejarahan (historiography) Melayu
biasanya terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang bersifat mitos atau
dongeng. Isinya menceritakan keadaan dahulu kala, asal mulanya raja-raja dalam negeri
serta permulaan berlakunya adat-istiadat dan sebagainya.
Dalam Sejarah Melayu, raja-raja Melayu dikatakan adalah keturunan dari anak
cucu Raja Iskandar yang turun di Bukit Si Guntang. Dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, Raja
Pasai dikatakan adalah keturunan dari seorang anak yang dipelihara oleh gajah dengan
Putri Betung. Sama halnya dengan Hikayat Aceh, raja-raja Aceh adalah keturunan dari
seorang yang kawin dengan Putri Buluh, anak perempuan yang keluar dari buluh.
Sehingga boleh dikatakan hampir semua sastra sejarah dimulai dengan cerita yang sama,
yaitu raja yang memerintah adalah keturunan dari raja yang besar, seperti Raja Iskandar
atau Nabi Adam (Sejarah Tambusi). Paling sedikit, mereka adalah keturunan dari raja
yang luar biasa kelahirannya, dari Putri Betung, Putri Kayangan atau anak raja yang
diperoleh dari pertapaan.
Bagian kedua adalah bagian yang historis, teristimewa kalau pengarangnya
menceritakan masa hidupnya sendiri. Walaupun demikian, cerita-cerita yang merugikan
raja yang memerintah diringkas ceritanya atau dikesampingkan sama sekali.
Dalam segi-segi tertentu, sastra sejarah Melayu sama dengan sastra Jawa. Kedua-
duanya bertujuan menerangkan sifat-sifat ketuhanan dari raja dan fungsinya. Kedua-
duanya juga menyusur-galurkan nenek moyang persamaannya yang memerintah kepada
raja-raja yang turun dari kayangan. Selain itu, raja juga dianggap memiliki kekuatan gaib,
sehingga dengan memujanya, kekuatan raja yang memerintah akan bertambah. Yang mau
dicapai ialah pengaruh-pengaruh gaibnya (Hall via Yock Fang, 1993:89). Hanya dengan
mengetahui latar belakang sastra sejarah ini, sastra sejarah Jawa baru dapat digunakan
sebagai sumber sejarah.
Satu lagi jenis sastra sejarah yang perlu disebut, yaitu sastra sejarah Bugis dan
Makasar. Sastra sejarah Bugis biasanya lebih dapat dipercayai. Orang Bugis memiliki
kebiasaan menyimpan catatan-catatan, surat-surat perjanjian dan salasilah raja. Dari
catatan-catatan inilah berasal sastra sejarah Bugis.
Sastra sejarah Bugis juga dapat dibagikan dalam dua bagian. Bagian pertama ialah
bagian dongeng yang menceritakan raja-raja yang turun dari kayangan. Yang agak
berbeda adalah penulisnya selalu memakai perkataan konon, menurut setengah kaul
(cerita) dan sebagainya. Bagian kedua ialah bagian historis. Cerita-ceritanya terkadang
bersifat Bugis sentris dan mengagungkan orang Bugis (J. Noordyun via Yock Fang,
1993:89). 19
C. Contoh Sastra Sejarah di Lingkup Melayu
2. Karya Sejarah
Kalau kita menilai Sejarah Melayu dengan ukuran yang diberikan oleh R. G.
Collingwood, seorang sejarawan Barat, bahwa sejarah mestilah bersifat ilmiah (scientific),
humanistik, rasional, dan "self-revelatory" (Collingwood, 1961: 18), sudah tentu Sejarah
Melayu tidak bisa dianggap sebagai karya sejarah. Tetapi berapa banyakkah hasil karya
sejarah bangsa bangsa lain di dunia yang dapat memenuhi syarat-syarat ini? Sedikit sekali.
Tiap bangsa mempunyai tradisi penulisan sejarah (historiografi) yang berlainan.
Sejarawan Arab, misalnya Al-Mas'udi (meninggal 956) berpendapat bahwa sejarah
menceritakan peristiwa yang terjadi di sekeliling raja-raja, dinasti atau hal-hal tertentu.
Bangsa Jawa pula berpendirian sejarah mestilah dapat menambah kekuatan raja supaya
raja dapat melindungi dunia dan rakyatnya. Pada bangsa Tionghoa, sejarah hendaklah
merupakan "cermin" kepada raja-raja, karena itu sejarawan mesti menghukum kezaliman
dan menyanjung keadilan. Sesungguhnya, biarpun Sejarah Melayu tidak bisa dianggap
sebagai karya sejarah menurut pengertian sejarah yang modem, ia adalah sebuah hasil
pensejarahan (historiografi), penulisan sejarah Melayu yang terbaik. Di dalamnya kita
dapat memperoleh gambaran yang jelas tentang pertumbuhan masyarakat Melayu untuk
beberapa abad lamanya. Kita juga dapat mengetahui "world view." yaitu pandangan
bangsa Melayu tentang dunia sekelilingnya. Sejarah Melayu adalah sumber sejarah yang
kaya sekali. R. Roolvink mengakui hal ini tatkala beliau menulis, "Sejarah Melayu seperti
yang kita ketahui hari ini adalah terutama sekali sebuah buku cerita dan catatan masa
lampau. Ia bukanlah sebuah karya sejarah, tetapi ia mengandung bahan-bahan sejarah
yang kaya sekali."
3. Karya Sastra
Sejarah mempunyai hubungan yang erat dengan sastra. Sejarah mesti ditulis dalam
21
bahasa ayang indah supaya dapat menghidupkan suasana yang dilukiskannya. Sastra juga
dapat mengambil peristiwa-peristiwa sejarah sebagai bahannya. Di Yunani kuno dan di
Tiongkok, sejarah adalah bagian dari sastra. Karya sejarawan Inggris Gibbon yang
berjudul Decline and Fall of the Roman Empire (Mundur dan Runtuhnya Kerajaan
Romawi) juga dianggap sebuah hasil sastra yang bernilai. Dapatkah Sejarah Melayu
dianggap sebuah karya sastra? Jawabannya adalah "ya." Sejarah Melayu adalah sebuah
hasil sastra yang agung. Ia memberikan gambaran yang hidup tentang peristiwa-peristiwa
yang berlaku pada satu masa dahulu, penculikan Tun Teja, persaingan antara saudagar-
saudagar di Malaka, kedatangan orang Portugis, serta keruntuhan kerajaan Malaka,
semuanya terbayang jelas di mata kita. Teknik penulisan Sejarah Melayu juga tidak kalah
dengan teknik penulisan masa kini. Misalnya, untuk menuliskan betapa gagahnya Hang
Tuah. penulisnya tidak banyak menimbunkan kata-kata yang berarti gagah la hanya
menulis bahwa barang ke mana Hang Tuah pergi, semua orang dahulu mendahului untuk
melihat dia, sampai perempuan yang di dalam pangkuan lakinya juga bangun hendak
melihat Hang Tuah. Sesungguhnya, melukis kecantikan tidak menggunakan perkataan
cantik itu sendiri adalah satu teknik penulisan sastra yang perlu dipelajari, terutama dalam
sajak. Di bawah ini adalah ringkasan Sejarah Melayu, Raffles 18.
dikeluarkan untuk bertikam dengan Hang Kasturi. Hang Kasturi bukan lawannya
dan tertikam mati. Segala anak bininya habis dibunuh, tanah kaki tiang digali dan dibuang
ke laut. Hang Tuah pun digelari Laksamana.
Kebesaran raja Malaka kedengaran ke benua Cina. Bingkisannya sebuah pilu
(perahu) yang sarat dengan jarum. Raja Malaka menyambut utusan Cina itu dengan baik
lalu mengutus Tun Perpatih Putih ke benua Cina. Bingkisannya sebuah pilu yang sarat
dengan sagu rendang yang digolek. Raja Cina sangat kagum dengan kebesaran raja
Malaka dan mengirim putrinya Hang Liu ke Malaka untuk kawin dengan raja Malaka.
Sejak itulah raja Malaka berkirim sembah pada raja Cina.
Hatta Sultan Mansur Syah pun menitahkan Paduka Raja menyerang Pahang. Raja
Pahang, Maharaja Sura tertangkap dan dipenjarakan. Adapun Maharaja Sura itu terlalu
tahu pada gajah dan disuruh Sultan Mansur Syah mengajarkan ilmu gajah pada segala
anak tuan-tuan di dalam negeri.
Tersebut pula perkataan raja Cina mendapat penyakit kedal. Penyakit itu akan, 10.
sembuh sesudah raja Cina santap air basuhan kaki raja Malaka. Sejak itu raja Cina tiada
mau disembah raja Malaka lagi. Raja Malaka menyuruh menyerang Siak yang tidak mau
menyembah ke Malaka. Raja Siak dibunuh dan anaknya ditangkap dan dibawa ke Malaka.
Tersebut perkataan Raja Muhammad, anak Sultan Mansur Syah sedang berkuda di
lebuh. Destarnya jatuh kena raga Tun Besar,22
anak Bendahara Paduka Raja. Pengiring Raja
Muhammad marah dan membunuh Tun Besar. Semua anak buah bendahara hendak
mendurhaka. Bendahara Paduka Raja memarahi mereka. Sultan Mansur Syah sangat
murka dan membuang Raja Muhammad ke Pahang. Di Pahanglah Raja Muhammad
dirajakan. Hatta masyhurlah kebesaran Malaka dari atas angin datang ke bawah angin.
Maka oleh segala Arab dinamai Malakat. Tersebut perkataan Raja Semerluki yang hendak
mengalahkan segala negeri yang di bawah angin. Banyak negeri di tanah Jawa yang
dirusakkannya, tetapi Malaka dan Pasai tiada kalah. Raja Semerluki pun kembali ke
Mengkasar.
Maulana Abu Bakar datang ke Malaka dengan membawa sebuah kitab yang
berjudul Dar al-Mazlum. Sultan Mansur Syah menyuruh artikan maksudnya ke Pasai.
Hatta Malaka mengutus ke Pasai pula menanyakan apakah isi surga dan isi neraka itu
kekal di dalamnya selama-lamanya. Hatta Kadi Yusuf yang banyak. mengislamkan orang
Malaka itu juga berguru kepada Maulana Abu Bakar.
Tersebut pula perkataan Sultan Mansur Syah hendak meminang Putri Gunung
Ledang. Laksamana dan Sang Setia lalu dititahkan ke Gunung Ledang.
bendahara supaya menunjukkan anaknya pada Sultan Mahmud Syah sebelum
didudukkan dengan orang lain. Bendahara tidak mengindahkan nasihat ini dan
mengawinkan anaknya dengan Tun Ali. Sultan Mahmud Syah sangat murka apabila
melihat kecantikan Tun Fatimah. Senantiasa dicarinya daya untuk menjatuhkan
bendahara.
Adapun Bendahara Sri Maharaja adalah orang yang paling kaya pada masa itu,
lebih kaya daripada Raja Mendeliar, seorang Keling yang menjadi syahbandar. Sekali
peristiwa Raja Mendeliar berdakwa dengan Naina Sura Dewana, kepala segala dagang di
dalam negeri. Keduanya bicara kepada bendahara. Naina Sura Dewana takut kalau-kalau
Raja Mendeliar menyokong bendahara. Maka ia pun membawa emas sebahara kepada
bendahara pada malam hari. Tersebut pula perkataan seorang Keling. Kitul namanya,
masih keluarga pada Naina Sura Dewana, ada berhutang pada Raja Mendeliar setahil
emas. Maka Kitul pun mendatangi Raja Mendeliar mengatakan bahwa Naina Sura
Dewana membawa emas sebahara kepada Bendahara Sri Maharaja supaya membunuh
Raja Mendeliar. Raja Mendeliar ketakutan dan membawa emas sebahara dan permata
yang indah indah kepada Laksamana. Dikatakannya bahwa bendahara hendak durhaka,
sudah berbuat takhta kerajaan, maksudnya hendak naik raja di dalam negeri. Melihat harta
yang sekian banyak itu Laksamana pun hilang budi akalnya dan menyampaikan fitnah itu
kepada Sultan Mahmud Syah. Sultan Mahmud Syah yang sedianya sudah menaruh
dendam pada Bendahara Sri Maharaja menitahkan supaya Bendahara Sri Maharaja
23
dibunuh. Anak buah bendahara hendak melawan tetapi bendahara melarang mereka
durhaka. Maka Bendahara Sri Maharaja, Sri Nara Diraja dan segala anak buahnya pun
semua dibunuh orang Yang tinggal cuma Tun Hamzah saja. Setelah Bendahara Sri
Maharaja mati dan segala pusakanya dibawa masuk ke dalam, Sultan Mahmud Syah
melihat bahwa berita yang disampaikan padanya tidak benar. Maka baginda pun sangat
masygul dan menyesal karena membunuh bendahara dengan tiada periksa. Raja
Mendeliar disuruh bunuh karena mengadakan fitnah, Kitul disuruh sulakan melintang dan
Laksamana disuruh mengasi (dikebiri) oleh baginda.
Maka Paduka Tuan, anak Paduka Bendahara, yang sudah tua lagi habis. tanggal
giginya itu, dijadikan bendahara. Itulah Bendahara Lubuk Tanah yang banyak beranak,
tiga puluh dua anaknya, semuanya seibu sebapak.
Tersebut pula perkataan Tun Fatimah diambil baginda akan istri. Adapun selama
Tun Fatimah diperistri baginda, jangankan tertawa, tersenyum pun tidak pernah. Dan
kalau bunting, anak itu dibuangnya. Hanya setelah Sultan Mahmud berjanji akan
merajakan anak yang dilahirkan itu, barulah tiada dibuangnya.
Sultan Mahmud murka dan menyuruh melanggar Lingga tetapi dikalahkan oleh
orang Peringgi.
Hatta Sultan Mahmud menyuruh menyerang Malaka dan Paduka Tuan akan
panglimanya. Serangan itu gagal. Orang pun banyak mati dan luka dibedil oleh Peringgi
dari atas kota. Gading gajah tunggangan Sultan Mahmud Syah yang ditunggangi oleh
Paduka Tuan juga patah. Sultan Abdul Jalil, raja Indragiri, yang menyertai serangan
sebagai mata-mata itu memperjahat Paduka Tuan, karena semasa gendang nobatnya
dipalu, Paduka Tuan tidak menghadap. Sultan Mahmud: sangat murka pada Paduka Tuan
tetapi kemudian memaafkannya.
5. Hikayat Aceh
Hikayat Aceh adalah hasil sastra yang tertulis pada zaman Iskandar Muda (1606-
1636). Hikayat ini tidak mempunyai judul. Judul Hikayat Aceh ini berasal dari satu ayat
yang ditambahkan oleh orang sarjana barat yang mencatat pada permulaan hikayat ini: Ini
hikayat raja Aceh daripada turun temurun. Menurut T. Iskandar, Hikayat Aceh adalah
judul yang kurang tepat. Hikayat ini sesungguhnya adalah Hikayat Iskandar Muda.
Namun, nama Iskandar Muda juga tidak terdapat dalam hikayat ini. iskandar Muda diberi
nama sebagai Pencegah, Johan Alam, dan Perkasa Alam.
Menurut T.Iskandar, Hikayat Aceh ini meniru sebuah kitab Paksi Akbar Nama
yang disusun oleh seorang menteri untuk mengagung-agungkan Maharaja Akbar (1556-
1605). Walaupun demikian, di dalamnya terdapat juga unsur-unsur Aceh/ Indonesia.
Penulisnya juga pernah terpengaruh oleh Hikayat Sri Rama, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Muhammad hanafiah, Sejarah Melayu, dan Hikayat
Malim Deman. A.H. Johns berpendapat bahwa persamaan yang dikatakan T.Iskandar
tentang persamaan Hikayat Aceh dengan Hikayat Nama kurang meyakinkan. Sebaliknya,
dia menunjukkan unsur-unsur persamaan yang terdapat di antara Hikayat Aceh dengan
Hikayat Malim Deman dan Hikayat Awang Sulung Merah Muda. Siapa pengarang
hikayat ini tidak dapat diketahui secara pasti karena beberapa halaman permulaannya
telah hilang. Namun diduga pengarang dari hikayat ini mengenal bahasa Arab, Turki,
Persia, dan sedikit Bahasa Portugis. Seorang tokoh tasawuf yang bernama Syamsuddin
Pasai diduga sebagai pengarangnya, namun belum ada bukti konkrit yang bisa
membuktikan dugaan tersebut.
Menurut Ismail Hussein, Hikayat negeri Johor adalah suatu misnomer yang artinya
penamaan yang kurang tepat. Hikayat ini tidak mengisahkan tentang raja-raja Johor tapi
cerita Bugis di Riau. Judul yang paling tepat mungkin Sejarah Sultan di Teluk Ketapang
karena memang salah satu naskah yang diteliti Ismail Husein memang dimulai dengan
kalimat tersebut.
Sultan dari Teluk Ketapang ini tidak lain adalah Raja Haji. Sebagian besar isi
hikayat ini mengenai Raja Haji. Zaman raja haji adalah zaman kemegahan raja-raja Bugis
di Semenanjung Melayu. Sejak kematian Raja Haji, raja-raja Bugis pun mundur
pengaruhnya, meski begitu tetap saja raja-raja Bugis meninggalkan pengaruhnya di
Selangor. Inilah yang menyebabkan hikayat ini banyak menceritakan peristiwa-peristiwa
yang terjadi di Selangor. Menurut Ismail Hussein, kira-kira 70% bahan dari Hikayat
Negeri Johor, terdapat dalam 2/3 bagian pertama Tuhfat Al Nafis. Diperkirakan
pengarang Tuhfat Al Nafis menggunakan hikayat Negeri Johor sebagai sumbernya. Salah
satu naskah ini yang dianggap sempurna tertulis di Riau, mungkin oleh Raja Ali atau atas
perintahnya.
Satu lagi hikayat mengenai Johor adalah Peringat Sejarah Negeri Johor yang
dimulai dengan ringkasan sejarah Johor dari tahun 1672 hingga lahirnya Sultan Sulaiman
pada tahun 1699. Cerita selanjutnya merupakan catatan-catatan pendek yang mengisahkan
peristiwa yang terjadi pada tahun 1721-1750 sehingga kurang enak dibaca karena. Karena
kisah ini lebih banyak berpusat pada Sultan Sulaiman, ada ahli yang menganggap hikayat
ini sebagai riwayat hidup Sultan Sulaiman.
Mengenai siapa yang menulis hikayat ini tidak dapat diketahui. Menurut Kratz,
penulis hikayat ini pastilah orang yang dekat dengan Bendahara Tun Hassan yang dipuji
di dalam syair yang juga ditulis dalam hikayat ini perlu ditegaskan di sini bahwa Hikayat
Johor yang ditulis oleh Datuk Mayor Haji Muhammad Said adalah sebuah karya modern
26Abu Bakar di Johor.
yang mengisahkan masa pemerintahan Sultan
4. Silsilah Melayu dan Bugis
Silsilah Melayu dan Bugis dan Segala Raja-Rajanya adalah salah satu hikayat
yang mengisahkan kegiatan orang-orang Bugis di Kalimantan, Kepulauan Riau serta
Semenanjung Melayu sampai tahun 1737. Pada umumnya para ahli berpendapat Raja Ali
Haji Lah penulis silsilah ini. Beliau adalah cucu dari seorang raja bugis yang tewas di
dekat Teluk Ketapang pada tahun 1784, yaitu Raja Haji. Ayahnya, Raja Ahmad juga
merupakan seorang tokoh politik penting yang pernah berkali-kali dikirim ke Jakarta
untuk berunding dengan orang Belanda Raja Ali Haji dilahirkan di Pulau Penyengat, Riau.
Ia tinggal dan belajar di Mekah. Sekembali ke Riau dia pernah menjadi pensehat
abangnya yang menjadi Yamtuan Muda. Ia juga pernah menjadi guru karena inilah ia
pernah menulis semacam tata bahasa serta sebuah kamus.
Silsilah Melayu dan Bugis ini mempunyai beberapa ciri khas. Pertama ditulis di
dalam tradisi pensejarahan yang dibawa masuk orang Bugis ke Riau. Kedua, unsur-unsur
dongeng sudah sangat berkurang. Terhadap cerita yang diragukan kebenarannya selalu
digunakan kata "konon" atau "wallahu a'lam" dan sebagainya. Ketiga, penulisnya
menggunakan sumber sumber tertulis lainnya. Dala hikayat ini sekurang-kurangnya ada
empat sumber yang dipakai, yaitu Sejarah Negeri Johor, Sejarah Raja-Raja Riau, Sejarah
Siak, dan Hikayat Upu Daeng Menambun. Keempat, setiap peristiwa yang diceritakan
biasanya disampaikan di dalam sebuah syair yang indah. Kelima, hikayat ditulis dari
pandangan orang Bugis yang sangat anti Minangkabau.
Silsilah ini pernah beberapa kali diterbitkan. Mula-mula dicetak di Singapura pada
tahun 1911 oleh pencetak Al-Imam yang diusahakan oleh Syed Abdullah bin Abu Bakar
Al-Haddad. Naskah ini juga diringkas oleh Hans Overbeck dalam bahasa Inggris. Pada
tahun 1956, silsilah ini dicetak di Johor dengan judul Silsilah Melayu dan Bugis dan
Sekalian Raja Rajanya. Penerbitan ini dilakukan dengan titah Duli Yang Maha Mulia
Sultan Johor, Sultan Ibrahim. Menyalinnya yaitu Haji Abdullah. Sekali lagi, naskah ini
diterbitkan pada tahun 1973 atas usaha Arena Wati. Dalam penerbitan ini semua rangkap
syair sudah ditiadakan dan teks dasarnya disusun menjadi 38 bab. Pada tahun 1984 terbit
pula sebuah naskah baru yang berdasar naskah Bilangan 209 yang tersimpan dalam
Perpustakaan Museum Negara, Kuala Lumpur.
5. Tuhfat al-Nafis
Menurut RO Winstedt, Tuhfat al-nafis merupakan karya sastra yang paling penting
sesudah sejarah Melayu (Winstedt, 1958 halaman 135. Karya sastra ini mempunyai
banyak keistimewaan yaitu luasnya isi yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
27
Semua peristiwa yang dicatat itu diberi tarikh yang tepat serta sumber sejarah yang
dipakai juga disebutkan pengarangnya. Keistimewaan lainnya adalah Bugis-sentris, yaitu
mengagung-agungkan orang Bugis bahkan terkadang bersifat anti-Melayu. Pada awalnya
para sarjana berpendapat bahwa Raja Ali Haji bin Raja Ahmadlah merupakan penulis
Tuhfat al-nafis. Namun pada tahun 1967, seorang sarjana Inggris dalam naskahnya yang
berjudul Maxwell 2 menyebutkan bahwa "Tuhfat al-nafis dimulai oleh Raja Haji Ahmad
dan diteruskan (diselesaikan) oleh putranya Raja Haji Ali." (Amin Sweeney, 1967a, hal
155-156).
Virgina Matheson pun juga menyetujui pendapat sarjana Inggris tersebut. Virgina
merupakan seorang sarjana yang membuat kajian Tuhfat al-Nafis untuk tesis Ph.D-nya.
Menurut Virgina lagi, Raja Ahmad menyelesaikan karyanya pada bulan November 1866.
Karya ini diselesaikan oleh Raja Ali sebelum meninggal pada tahun 1872 (Matheson,
1982. Hal xxi) Tuhfat al-Nafis pernah beberapa kali diterbitkan. Pertama kali diterbitkan
oleh RO Winstedt (Winstedt, 1932b). Penerbitan ini ditulis dalam cap Jawi kemudian
dirumikan oleh Encik Munir bin Ali dan diterbitkan di Singapura tahun 1965. Pada tahun
1982, terbit pula edisi Virgina Matheson Edisi ini berdasar sebuah naskah yang ditulis
pada tahun 1896 sebagai hadiah kepada A.L van Hasselt, seorang residen Belanda di Riau
yang akan pensiun (Matheson, 1982, hal xxiii). Teks yang diselenggarakan oleh Virgina
ini adalah versi pendek yang tidak diberi kata tambahan. Sedangkan versi Winstedt dan
Munir Ali adalah versi panjang. Dalam sebuah makalah, Virgina telah membandingkan
gaya bahasa kedua versi ini. Berikut ini ringkasan berdasarkan versi panjang terbitan
Winstedt dan Munir Ali
Setelah puji-pujian bagi Allah, pengarangnya berkata bahwa pada Hijriah Nabi
SAW 1282 dan pada 3 hari bulan Syaban, tergerak hatinya untuk membuat sebuah hikayat
untuk menceritakan kisah raja-raja Melayu dan Bugis hingga kepada anak cucunya. Kitab
ini dinamai Tuhfat al-Nafis. Hikayat ini menceritakan silsilah raja-raja Melayu yang
dimulai dari Raja Sri Tri Buana yang mendirikan kerajaan Singapura sampai kepada
jatuhnya Melaka ke tangan Portugis dan mangkatnya Sultan Mahmud. Kemudian disusul
dengan silsilah raja Johor, raja-raja Siak, dan raja-raja Bugis.
7. Hikayat Patani
Patani adalah sebuah kota kecil di bagian Selatan Siam, pada suatu masa dahulu,
adalah sebuah kerajaan Melayu yang lengkap dengan pelabuhan serta sibuk perdagangan
asingnya. Tentang hal ini, dapat ditemukan dalam Hikayat Patani yang telah diselidiki A.
Teeuw, paling sedikit ada tiga naskah Hikayat Patani. Naskah pertama, naskah A adalah
naskah yang disalin oleh Munsyi Abdullah di Singapura pada tahun 1839 untuk tuan
North. Naskah kedua, naskah B adalah naskah yang diperoleh W W Skeet pada tahun
1899 semasa beliau tinggal di Patani Naskah ketiga, naskah T adalah naskah yang berasal
dari seorang pegawai Thai yang tinggal di Songkhla. Naskah yang dipercaya berasal dari
dari istana Islam ini telah disalin ke dalam bahasa Thai untuk Raja Rama yang
mengunjungi Patani pada tahun 1928.
Hikayat Patani sebenarnya sudah diketahui di Barat sejak tahun 1838. Pada tahun
1839, Newbold menggunakan sebuah hikayat Patani untuk menyusun bukunya, mengenai
negeri negeri Melayu yang berjudul Political and Statistical Account of the British
Settlements in the Straits of Malacca. Ibrahim Syukri dalam bukunya Sejarah Kerajaan
Melayu Patani yang diterbitkan pada tahun 1962, telah menggunakan beberapa naskah
Melayu yang mengisahkan sejarah Patani. Salah satu naskah yang dipakai dipercayai
mengandung teks seperti yang diterbitkan oleh A. Teeuw dan D.K Wyatt
Menurut A Teeuw, Hikayat Patani yang panjangnya 94 halaman itu dapat dibagi
menjadi enam bagian Didalamnya hanya bagian pertama (dari halaman 1-74) yang dapat
29
dianggap sebagai bagian asli Hikayat Patani. Pertama, hubungan antara cerita penghabisan
bagian 1 dan bagian II tidak jelas. Kedua, bagian I mempunyai gaya bahasa yang
berlainan sekali dengan bagian II. Bagian I ditulis dalam tradisi penulisan historiografi
Melayu yang membesar besarkan kebesaran kerajaan Patani serta kelebihan raja-rajanya,
sedang bagian II sarat dengan fakta dan nama yang kadangkala membingungkan.
Valentjin dan Overbeck bahkan melihat hikayat ini sebagai hasil sastra Melayu
yang indah. Dalam pandangan A. Teeuw, Hikayat Hang Tuah adalah sebuah roman
Melayu asli karena strukturnya sudah memenuhi syarat-syarat sebuah roman, berupa
cerita panjang yang di dalamnya pengalaman manusia merupakan unsur asasi,
memaparkan jalur peristiwa yang jelas, dan ada tema dan jalur yang diceritakan dari
pandangan tertentu (Sulastin Sutrisno 1979: 26-40).
Hikayat Hang Tuah pernah beberapa kali diterbitkan. Edisi yang terkenal ialah
edisi W. G Shellabear (dalam huruf Rumi dan Jawi) dan Balai Pustaka. Disamping itu
pada tahun 1960. juga terbit suatu edisi dalam huruf Jawa Abas Datoek Pamoentjak nan
Sati. Dewan Bahasa juga terbit suatu edisi dalam huruf Jawi Abas Datoek Pamoentjak nan
Sati. Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, telah menerbitkan suatu naskah yang
berasal dari Kelantan (Kassim Ahmad, 1964)
30
BAB IV
SASTRA PANJI
Dalam kajian ini istilah tersebut digunakan dengan makna yang sama di samping
mempertimbangkan kedudukannya dalam genre yang lebih umum, iaitu "sastera
pahlawan" malah "sastera hikayat" dan "sastera epik", iaitu antara genre-genre sastera
yang dibincangkan dalam kajian ini.
Sastera pahlawan (heroic literature) adalah antara genre sastera sejagat yang
penting dan umum didapati dalam kebanyakan budaya: Yunani, Romawi, Jerman,
Inggeris, Afrika dan Nusantara. Baroroh Baried dan kumpulan penyelidik yang telah
mengkaji cerita-cerita panji ini dalamn rangka penyelidikan kewiraan (he- roism) dalam
kesusasteraan Asia Tenggara, meletakkan cerita-cerita panji sebagai sastera pahlawan,
sejajar dengan ukuran-ukuran yang didapati dalam cerita-cerita yang sama dalam budaya-
budaya lain di dunia (Baroroh Baried et al. 1987: 29).
cerita-cerita pahlawan juga mempunyai ciri-ciri yang sama dengan "sastera epik"
justru kedua-duanya mementingkan nilai-nilai kepahlawanan dan kewiraan yang unggul,
sesuai dengan nilai-nilai masyarakat yang menghasilkannya. Kedua-duanya juga
menonjolkan keperwiraan wira, sebagai pahlawan yang terangkum dalam dirinya satu
peri- badi yang penuh dengan sifat-sifat kemanusiaan dan pengabdian diri yang murni dan
sejati. Selain itu, kedua-duanya mengemukakan latar tempat dan masa yang panjang,
dengan babak-babak peperangan yang berulang kali dan melibatkan watak yang secara
relatifnya ramai.
Sebagai karya sastera yang terdapat dalam bentuk prosa dan puisi, iaitu syair,
cerita panji juga tidak berbeda daripada cerita-cerita lain yang secara genre tergolong
sebagai "sastera hikayat"; malah dengan cerita-cerita lipur lara yang merupakan
sebahagian daripada "sastera rakyat". Namun ukuran yang diambil di sini dalam
penentuan genre ialah ciri-ciri khusus dan istimewa yang terdapat dalam sesuatu golongan
karya. "Sastera epik" misalnya adalah sastera31
pahlawan dalam bentuk hikayat, tetapi telah
terangkat sebagai epik bagi masyarakat Melayu, berbeda daripada hikayat-hikayat lainnya
yang secara umum berkedudukan sebagai hikayat. Demikian juga sastera panji adalah
sastera pahlawan yang mengandungi ciri-ciri hikayat dan lipur lara tetapi mempunyai
identiti tersendiri berdasarkan struktur plot, watak, latar tempat dan latar budaya, seperti
yang akan dibincangkan seterusnya. Untuk memulakan nerbincangan kita nersoalkan
dahulu anakah vang dimaksudkan dengan sastera atau cerita-cerita panji. Menurut A.
Teeuw(1966: v);
Motif utama untuk berkelana dalam kebanyakan cerita panji - baik Melayu
mahupun Jawa - adalah berpunca daripada kepu- tusasaan wiranya, Raden Inu Kertapati,
putera Ratu Kuripan yang kehilangan kekasihnya, tunangannya atau kadang-kadang
isterinya. Raden Galuh Cendera Kirana, puteri Ratu Daha atau Kediri. Dengan demikian
terjadilah perjalanan yang panjang dengan pelbagai peristiwa, perpisahan, peperangan dan
penyamaran, hingga akhirnya mereka bertemu semula, kenal-mengenal dan hidup
berbahagia untuk selamanya (Rassers 1922:128-131). Ternyata motif- inotif tersebut telah
digabungkan oleh pengarangnya sehingga menjadi sebuah kerangka cerita yang unik dan
dapat dianggap sebagai pola cerita panji yang autentik.
Di samping itu, terdapat pula faktor-faktor lain untuk mengenal sebuah cerita itu
panji atau bukan panji. Di satu pihak, ada yang senang memilih jalinan cerita (alur atau
plot) sebagai faktor utama, sedangkan di pihak lain ada pula yang lebih senang memilih
nama- nama watak atau latar tempat sebagai faktor utamanya (Robson J971: 12).
Sebaliknya, kita tidak dapat menganggap persamaan yang terdapat dalam alur cerita sudah
menunjukkan bahawa keseluruhan cerita panji itu sama pula isinya. Sebenarnya cerita
panji selalu mengalami beberapa penyimpangan dan tidak mungkin kita dapat menunjuk
yang mana satu harus menjadi modelnya, kecuali menurut Robson:
Dengan melihat alur khas cerita panji tersebut, kita masih belum dapat menarik
satu kesimpulan yang utuh mengenai unsur penting yang harus ada dalam sesebuah cerita
panji yang autentik. Apakah harus mempunyai unsur ―angreni‖ (seperti dalam sinopsis
tersebut) yang berfungsi sebagai pembukaan; namun dalam naskhah panji dari zaman
Jawa Tengahan, unsur tersebut tidak kita temui (Robson 1971:13; Ras 1973: 418). Begitu
juga dalam naskhah panji Jawa atau Melayu yang lebih kemudian, unsur tersebut ternyata
tidak ada. Akan tetapi mengenai hal yang terakhir ini, Poerbatjaraka memberi alasan
dengan menyebutkan bahawa cerita tersebut sudah dijadikan bahan lakonan. Kiranya
unsur angreni tersebut dimasukkan, maka cerita akan menjadi terlalu panjang. Tambahan
pula, bagi sesetengah masyarakat, unsur tersebut dianggap sebagai pemali yang harus
dielakkan (Poerbatjaraka 1968:379).
Walau bagaimanapun, jika kita bandingkan antara cerita panji dengan cerita yang
bukan panji ternyata selain struktur alurnya berbeda, kita dapati ciri-ciri lain yang juga
berbeda. Ciri-ciri yang kita maksudkan itu dapat berupa nama-nama pelaku, latar tempat,
unsur dan peranan dewa, watak-watak yang senantiasa bertukar nama, unsur penjelmaan,
dan inkarnasi. Kita tidak dapat berpijak hanya pada tiga unsur utama seperti yang
dikatakan oleh Rassers untuk menentukan sebuah cerita itu panji atau sebaliknya. Cerita-
cerita lain memiliki juga unsur-unsur tersebut. Misalnya Hikayat Seri Rama (HSR) yang
mengisahkan seorang suami berputus asa terhadap isterinya yang hilang, di samping
adanya unsur pengembaraan dan halangan yang harus diatasi, sama seperti yang terdapat
dalam cerita panji. Sekarang, apakah HSR itu dapat kita golongkan ke dalam kelompok
cerita panji? Atau, apakah cerita panji yang dipengaruhi oleh HSR? Jawabnya tentulah
tidak, sebab cerita panji memiliki ciri-ciri khas yang tidak terdapat pada HSR. Namun
demikian, pengaruh epik India ini secara tuntas tidak dapat dikatakan tidak ada dalam
cerita panji (Ras 1973: 428).
Sebaliknya, kalau kita tinggalkan unsur yang dinyatakan oleh Rassers, kemudian
kita ambil nama tempat atau nama pelaku sebagai unsur terpenting ternyata hal tersebut
juga kurang tepat. Nama pelaku atau latar tempat dalam cerita panji, ada kalanya terdapat
pula dalam cerita-cerita yang bukan panji. Sedangkan peranan watak-watak tersebut
berbeda sekali dengan peranan yang dibawakan oleh Raden Inu atau Raden Galuh dalam
kebanyakan cerita panji. justru itu nama pelaku dan latar tempat sahaja tidak cukup untuk
dijadikan ukuran yang muktamad.
Semua cerita panji menampilkan alur khas yang sama, kerana itu ada yang
menganggap bahawa cerita panji sama sahaja ceritanya. Akan tetapi kalau dianggap
keseluruhannya tidak berbeda, barangkali hal itu tidak benar. Kalau kita huraikan babak
demi babak ternyata antara beberapa naskhah panji yang ada, meskipun alurnya sama,
namun tidak sedikit pula motif-motif lainnya yang berbeda. Sebagai contoh, selalunya
dalam sebuah cerita panji terdapat empat buah kerajaan, iaitu Kuripan, Daha, Gagelang,
dan Singasari. Akan tetapi dalam sebuah cerita yang lain, hanya disebutkan tiga buah,
bahkan ada yang menyebutkan dua buah seperti yang terdapat dalam Syair Ken
Tambuhan (Teeuw 1966: XIII). Contoh lain, wira dan wirawatinya terpisah antara satu
33 panji. Tetapi punca yang menyebabkan
sama lain dan ini terjadi dalam semua cerita
mereka terpisah itu tidak sama. Dalam HMTJK, Raden Galuh sengaja melarikan diri
kerana berasa kecil hati atas penolakan Raden Inu yang tidak menyukainya. Sebaliknya
dalam CWP, wiranya diculik oleh musuh dan dibuang ke dalam sungai. Dia tidak mati
kerana terdampar ke tepi pantai. Serentak dengan itu, dia mendapat khabar bahawa
tunangannya hilang dari Daha lalu dia mengembara.
perbedaan- perbedaan kecil yang lain dapat kita lihat, misalnya peristiwa para ratu
dari keempat-empat buah kerajaan itu berkaul kerana inginkan putera. Dalam hal ini tidak
semua cerita memasukkan hal tersebut. Begitu juga tempat terjadinya pertemuan akhir
antara pelaku, sering kali tidak sama. Lazimnya, pertemuan tersebut terjadi di Gagelang,
tetapi ada pula yang terjadi di tempat lain.
Kata panji berasal daripada kata Jawa yang bererti keluarga atau nama samaran,
dan dipakai juga sebagai gelaran (Juynboll 1923: 330). Pada zaman Majapahit dahulu,
gelaran panji ada hubungannya dengan kerabat diraja. Sedangkan watak-watak utama
dalam cerita roman ketika itu juga menggunakan gelaran panji, tetapi dalam
perkembangan yang kemudian, gelaran ini bertukar menjadi nama (Pigeaud 1967-70, Jil.
1: 206).
Dalam babad-babad Jawa, nama panji sering dipakai oleh raja- raja Jawa zaman
dulu (Poerbatjaraka 1968: XVII). Dalam kitab Babad Tanah Jawa, kita jumpai kata panji
sebagai nama raja pada urutan ke-35 dalam salasilah raja-raja Jawa. Panji dikatakan anak
Amiluhur, yang menjadi raja di Jenggala (M. Ramlan 1975: 5). Sebaliknya, kalau kita
lihat dalam kebanyakan naskhah-naskhah panji, nama atau gelaran panji tidak diberikan
ketika putera Kuripan itu lahir. Sebagai contoh, dalam Hikayat Misa Taman Jayeng
Kusuma (HMTJK), nama yang diberikan ketika dia lahir ialah Raden Asmara Jaya,
timang-timangan Raden Inu Kertapati Anakan Asmaraningrat. Nama atau gelar panji itu
muncul ketika dia sudah dewasa, dan apabila dia memulakan babak-babak pengembaraan.
Contohnya, dalam HMTJK dia menukar namanya menjadi Misa Jayeng Kusuma Sira
Panji Jayang Seteru, Kelana Adimerta Sira Panji Jayeng Seteru, dan Misa Edan Sira Panji
Jayeng Kusuma. Kalau kita teliti lebih lanjut ternyata nama panji ini dipakai pula oleh
tokoh wirawati, tetapi sama seperti wiranya, nama ini hanya digunakan ketika
wirawatinya menyamar diri. Dalam HMTJK, ketika Raden Galuh Lasmipuri menyamar
sebagai lelaki, dia memakai nama Misa Jejuluk Sira Panji Maring Daha. Apa yang sering
kita temui ialah gelaran panji itu hanya digunakan oleh watak utama, baik wira mahupun
wirawati, dan tidak pernah digunakan oleh watak-watak lain.
Gelaran panji muncul ketika watak utama menyamar diri sewaktu dalam
pengembaraan. Ketika itu dalam kebanyakan cerita panji, kita menemui kata-kata seperti,
―Adapun akan titiang paduka sangulun ini asal wong gunung, tan wara bumi astana,
kijang kang anusoni, merak kang angumuli‖ (HPKS, Cod. Or. 3242: 280). Kata- kata ini
sering diucapkan oleh wira atau wirawati yang sengaja tidak mahu mengenalkan diri
mereka sebagai putera-putera raja. Mereka lebih senang dikenal sebagai Kalana.
34
Kalau kita sesuaikan pengertian kata ‗panji‘ dengan pengertian anak raja atau
putera mahkota seperti yang dinyatakan oleh Juynboll atau Pigeaud ternyata kurang tepat,
sebab pengertian daripada kata ‗panji‘ itu lebih tepat pula kalau dikaitkan dengan
pengertian ―pengembara‖ atau ―Kalana‖. Biasanya orang akan berasa takut dan gentar
apabila mendengar adanya Kalana yang mendatangi negeri mereka. Kalana atau
―pengembara‖ ini digambarkan sebagai perompak atau pemerkosa yang amat kejam.
Akan tetapi ketika mereka melihat kedatangan Panji, mereka akan berbisik-bisik sesama
sendiri. Kata-kata berikut sering terdengar, ―Hai, baik paras Kalana ini seperti dewa-dewa
turun dari kayangan!‖ atau, ―Sungguh seperti katamu itu, kita sangkakan bagaimana besar
dan panjangnya maka jadi Kalana, rupanya layak diadap orang di paseban agung!‖ (Abdul
Rahman Kaeh 1976: 228).
Daripada pembicaraan tersebut kita dapat menyimpulkan bahawa gelar panji dalam
kebanyakan cerita panji itu dipakai oleh seorang kalana yang sedang mengembara, atau
dalam keadaan menyamar diri. Dia semestinya berasal daripada anak raja. Dia bukan
sahaja lawa dari sudut ketampanan wajah, tetapi juga memiliki bermacam-macam
kelebihan dan keistimewaan. Meskipun dia terus menyembunyikan asal-usulnya, namun
daripada ketampanan wajahnya, orang sudah dapat menduga bahawa dia bukanlah berasal
daripada orang kebanyakan
Gagasan Berg yang menyatakan bahawa cerita panji itu dibawa ke luar ketika
terjadinya peristiwa PaMalayu pada tahun 1277 M, kerana alasan terlalu awal; maka
barangkali kita dapat mengambil tahun 1343 M iaitu ketika terjadi sekali lagi ekspedisi
Jawa menakluk Bali. Penaklukan ini telah disebut dalam kitab Nagarakertagania, dan bagi
sesetengah orang, tindakan Gajah Mada menakluk Bali itu dianggap sesuatu yang radikal
(Wbjo- wasito 1960:57-58; Robson 1971:9). Bermula dari tahun itu hingga terbinanya
Keraton Samprangan dan Gelgel (1550 M-1600 M), Bali telah mengambil alih usaha
memperkembangkan tradisi kebudayaan Majapahit Salah satu genre sastera yang ikut
dikembangkan adalah cerita panji (Robson 1971:8-9).
Kita dapat melihat perkembangan kesusasteraan di Bali dari sudut lain. Nampak
bahawa dari merosotnya kerajaan Majapahit hingga kekuasaannya diambil alih oleh
penguasa Islam awal abad ke- 16 menjadikan kesusasteraan Hindu Jawa ketika itu
terdesak. Raja Majapahit yang menentang Islam pindah ke Bali, dan keturunannya telah
mengembangkan tradisi kesusasteraan Hindu-Jawa tersebut Kerana itu, Pigeaud telah
menempatkan cerita panji ke dalam periode Jawa-Bali, iaitu termasuk hasil-hasil sastera
antara tahun- tahun 1500 M hingga dewasa ini. Juga dalam masa perkembangan
kesusasteraan pesisir Jawa pada abad-abad 35
ke-16 dan ke-17, cerita panji berkembang ke
seluruh Nusantara dan akhirnya sampai pula ke negeri di timur India (Pigeaud 1967-70,
Jil. 1:206).
(Winstedt 1969: 54). Kemudian pada tahun 1736 M, Wemdly telah menerbitkan
sebuah kamus dengan mendaftarkan pula beberapa buah cerita panji. Ini membuktikan
bahawa cerita tersebut sudah ada jauh sebelum tahun 1736 M itu (Wemdly 1736:
hujungan; Winstedt 1920: 163-165). Sebaliknya Francois Valentijn, sepuluh tahun
sebelum itu, telah memiliki sebuah naskhah panji berjudul Misa Gomitar (Valentijn 1926,
Jil. V). Ini dapat pula memperkuat dugaan kita bahawa cerita panji sudah ada sebelum
tahun 1726 M, atau mungkin sejak dua ratus tahun sebelumnya sehingga
membolehkannya mempengaruhi Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu.
Kemudian cerita panji yang sudah lama berkembang di Melaka, masuk pula ke
Thailand kira-kira akhir abad ke-5 (Kro- momamun Phitthayalap Phrittiyakon 1975: 73-
74; Rattiya Salleh 1988). Daerah Patani di selatan Thailand memang mempunyai
hubungan dengan Semenanjung Tanah Melayu dan Jawa. Tambahan pula, Patani dalam
masa pemerintahan Raja Ijau dan Raja Biru (1584 M-1624 M) disebut sebagai sebuah
pusat. perdagangan antara bangsa termasuk Jambi, Jawa, Makasar, dan Melaka seperti
yang dilukiskan oleh Peter Flores (Teeuw 1970: 13). Hal ini dapat kita jadikan bukti
bahawa Patani sudah mempunyai hubungan yang erat dengan Indonesia dan Semenanjung
Tanah Melayu ketika itu. Dalam satu jamuan makan di Istana Patani, ketika menghormati
Sultan Pahang pada tahun 1612 M, sejenis drama (Makyong) telah dipertontonkan. Drama
ini menggunakan bahan lakon dari Jawa (Mubin Sheppard 1972: 58). Ada kemungkinan
antara cerita-cerita yang dimainkan itu termasuk pula cerita panji (Rattiya Salleh 1988:
43).
dengan putra Sultan Pasai, Tun Abdul Jalil (Hill 1960:93-100). Beberapa motif di dalam
kisah
ini menarik perhatian, oleh karena adanya kemiripan dengan cerita-cerita Panji.
Di dalam kisah itu pertama-tama selalu kita jumpai gelaran ‗Raden Galuh‘, yang
terkadang dihubungkan dengan nama tokoh putri utama, Candra Kirana, dan terkadang
pula dengan nama putri raja-raja lainnya.Kemudian motif pengutusan seorang pelukis,
agar dia melukiskan gambar putra-putra (atau putri-putri) raja asing, yang daripadanya
tokoh utama mesti memilih calon isterinya (atau suaminya), terdapat baik dalam Hikayat
Raja Pasai maupun dalam cerita Panji Jawa-Bali,
36 yaitu Malat (Poerbatjaraka 1968:316)
maka dapat diperkirakan bahwa cerita Panji sudah dikenal orang Melayu dalam
akhir abad ke-14. Di Jawa sendiri, bukti-bukti tertua tentang populernya cerita Panji, juga
berasal dari abad yang sama (Poerbatjaraka 1968:403- 408).16 Dengan demikian dapat
diperkirakan, bahwa dengan cepat cerita Panji menjalar dari sastra Jawa masuk ke dalam
sastra Melayu. Pengaruh mencolok cerita-cerita Panji ini dapat diperhatikan dalam
Sejarah Melayu. Tentang pengaruh cerita Panji terhadap kronik tersebut, pernah suatu
ketika dikemukakan oleh sarjana Belanda, H.N.van der Tuuk (1866:99). Pada masa yang
lebih kemudian, C. Hooykaas juga menunjukkan, bahwa salah satu episode dalamSejarah
Melayu, yaitu bab IX pada resensi Winstedt, sangat sarat dengan motif-motif baik dari
cerita Panji maupun dongeng Damarwulan (Hooykaas 1947:227), yang menurut pendapat
kami lebih problematis. mengisahkan tentang putra mahkota negeri Tanjung Pura di
Kalimantan, Kirana Langu, yang kapalnya dilanda taufan sehingga terdampar di pulau
Jawa. Di pulau ini ia ditemu dan dirawat oleh seorang tukang arak. Akhirnya ia kawin
dengan seorang putri Majapahit, dan diangkat sebagai batara di kerajaan itu. Pada bagian
kedua dikisahkan tentang pinangan Sultan Malaka, Mansur Syah, pada putri batara
Majapahit yang berasal dari Tanjung Pura itu (Winstedt 1938:100-111).
Dalam Sejarah Melayu itu, sebagaimana akan kita lihat, tidak hanya membuktikan
tentang populernya cerita Panji di Malaka. Tetapi, di samping itu, juga menunjukkan
bahwa sudah dalam abad ke-15-16 cerita-cerita Panji diadaptasi dalam sastra Melayu
sebegitu rupa, sehingga penulis Sejarah Melayu dengan mudah memadu antara motif-
motif cerita Panji untuk mengungkapkan konsep politiknya. Yaitu konsep Malaka-sentris
tentang hubungan kekeluargaan raja-raja Melayu dan batara- batara Majapahit, dan
bahkan tentang kedudukan yang lebih tinggi dari raja-raja tersebut pertama.Pengaruh
cerita Panji terhadap karya-karya tertentu bisa ditilik paling sedikit dari dua hal; pertama,
dari pemilihan nama-nama tokoh utamanya yang khas; dan kedua, dari pemilihan motif-
motif naratifnya yang juga khas. Jika jumlahnya motif-motif yang khas itu cukup besar
dan urutan rangkaiannya cukup dekat dengan skema cerita Panji yang baku (tentang
skema ini lihat Robson 1969:10; Robson 1971:12-13), maka kiranya perihal motif itu
mempunyai arti yang teristimewa penting.
Jika kita pandang "pseudo cerita Panji" sebagai penggabungan motif-motif yang
dikutip dari berbagai karangan, maka kiranya akan lebih mempermudah perkiraan bahwa
penulis Sejarah Melayu mengenal berbagai karangan tersebut melalui pertunjukan yang
dipergelarkan dalam bentuk wayang kulit, wayang topeng, dan berbagai macam drama
tarian seperti rakit (raket). Sampai sekarang sebagian besar repertoar kedua macam
wayang dan drama tarian ini umumnya berupa lakon-lakon Panji. Terdapat beberapa data
yang menunjukkan bukti, bahwa wayang semacam itu sudah dikenal di Malaka dalam
permulaan abad ke-16. Di atas juga sudah dikemukakan tentang catatan Tome Pires
mengenai "pertunjukan yang bergaya Jawa" di Malaka (Cortesao 1944, 2:268). Tentang
pertunjukan wayang di Jawa sendiri, ia melukiskannya sebagai berikut:
―Jawa merupakan negeri aktor-aktor, dan negeri bermacam-macam topeng; baik laki-laki
maupun perempuan pandai dalam keahlian itu. Mereka menghibur diri sendiri dengan
menari dan berkisah. Mereka mengadakan pertunjukan, mereka berbusana dan berhias
sebagai aktor. Tubuh mereka sangat ramping dan anggun. Mereka main giring-giring,
yang paduan bunyi-bunyinya seperti bunyi organ. Para aktor ini siang malam menghibur
37
[para penonton] dengan berbagai macam tari- tarian yang lemah gemulai. Setiap malam
mereka memperlihatkan bayang-bayang yang berbagai- bagai rupanya (yaitu mengadakan
pertunjukan wayang kulit; V.B.)‖ (Ibid., 1:177).
Bagaimana pun kerangka berpikir bahwa "pseudo cerita Panji" muncul di dalam
Sejarah Melayu hanya sebagai hasil kontaminasi motif-motif dari beberapa kisah Panji
belaka, tidak didukung alasan yang cukup kuat. Kerangka berpikir demikian bertentangan
dengan adanya kemiripan yang besar, walaupun tidak selalu mencolok, antara bab IX
dalam Sejarah Melayu dengan Hikayat Cekel Waneng Pati dan karya- karya lainnya yang
serupa dengan hikayat ini. Begitu juga dugaan tentang kontaminasi itu bertentangan
dengan beberapa motif Hikayat Cekel Waneng Pati yang dijumpai dalam episode-episode
lain dalam kronik tersebut.Winstedt pernah menunjukkan keserupaan stilistik antara
Sejarah Melayu dan Hikayat Cekel Waneng Pati, dan pengaruh Hikayat Cekel Waneng
Pati terhadap Sejarah Melayu(Winstedt 1991:40-41).
Penelitian tentang pengaruh itu dipersulit, oleh karena motif-motif Sejarah Melayu
yang mirip dengan Hikayat Cekel Waneng Pati ditemukan terpencar-pencar di dalam teks
kronik. Di samping itu terkadang motif-motif yang pada Hikayat Cekel Waneng
Patimeliputi jangkauan tindakan seorang pelaku, pada Sejarah Melayu dibagi pada
beberapa pelaku. Tetapi terkadang sebaliknya, pada Sejarah Melayu, di dalam jangkauan
tindakan seorang pelaku dijumpai kontaminasi motif-motif, yang pada Hikayat Cekel
Waneng Patiberkaitan dengan beberapa pelaku.Pembandingan antara Hikayat Cekel
Waneng Pati dengan Sejarah Melayu memungkinkan kita menemukan tidak kurang dari
dua belas motif yang sejalan di dalam dua karya ini.20 Tentu saja fakta adanya
kesepadanan beberapa motif belum sekaligus membuktikan tentang ketergantungan cerita
kronik (Sejarah Melayu) pada hikayat (Hikayat Cekel Waneng Pari), justru karena motif-
motif yang diperbandingkan itu terdapat di dalam beberapa cerita Panji.
Walaupun begitu, konfigurasi umum bab IX Sejarah Melayu yang terbentuk di atas motif-
motif seperti:
1. Kedudukan tokoh ulama (Kirana Langu) pada permulaan cerita, yang secara palsu
dianggap
sebagai ―rendah‖;
2. tokoh utama yang terbaring di atas papan dan terdampar di pantai, serta ―dihidupkan‖
(dirawat) oleh seorang tokoh yang juga berkedudukan ―rendah‖;
4. versi "terbalik‖ pada motif pelayaran ke Tanjung Pura dan perkawinan dengan putri
raja (dalam Sejarah Melayu juga ditemukan versi langsung motif ini);
Dan raja Majapahit Hayam Wuruk (Rajasanagara) yang sangat terkenal dan memerintah
tahun 1350-1389 itu, dianggapnya sebagai prototipe pelaku ulamanya (Berg 1954;
bandingkan Poerbatjaraka (1968:404-405).Bertolak dari hasil-hasil kajian tersebut untuk
sementara dapat dikemukakan asumsi, bahwa prototipe lakon-lakon, kidung-kidung dan
hikayat-hikayat tentang Panji timbul dalam zaman Kediri, sebagai hasil usaha untuk
memasukkan reminisensi realitas sejarah ke dalam skema mitos lama.
Selanjutnya, selama jangka waktu kira-kira dua abad prototipe itu agaknya
tersimpan dalam tradisi lisan, yang serupa dengan tradisi para empu cerita Jawa kuno,
widu amancangah, yang repertoarnya meliputi kisah-kisah mitologi dan sejarah (lihat
Pigeaud 1960-1963, jil.3:78; 130:17-19), atau bisa juga dalam kalangan pewayangan.
Kepopuleran luar biasa cerita-cerita Panji yang bersumber pada prototipe itu barangkali
sudah terjadi dalam zaman Majapahit. Pada saat itu para penyair istana umumnya
cenderung sangat menyukai baik alur cerita maupun genre setempat, yang sebelumnya
biasanya ditempatkan di latar belakang belaka.Dari zaman Majapahit ini, kalau malah
tidak dari zaman Kediri, cerita Panji mewarisi unsur-unsur Tantrisme. Unsur-unsur ini
misalnya tercermin dalam penggambaran tentang hantu-hantu menakutkan, yang
menampakkan diri di depan Raden Inu pada waktu malam di lapangan pembakaran
mayat; pada adegan ketika ia digoda oleh ratu hantu-hantu itu, yaitu oleh Betari Durga
(Hikayat Cekel Waneng Pati 2:150-152); pada tarian ritual perkawinan, ketika Raden Inu
menari sebagai pengantin perempuan sedangkan Candra Kirana sebagai mempelai laki-
39
laki (Hooykaas 1959:689- 691).
Cerita Panji merupakan salah satu bidang sastra beletri Melayu Zaman
Pertengahan yang paling penting. Secara kuantitas bidang sastra beletri tersebut mungkin
juga yang paling luas dan sangat besar pengaruhnya terhadap sastra seni baik prosa
maupun puisi, historiografi tradisional, dan bahkan karya-karya Sufi Melayu. Peneliti
Melayu Abdul Rahman Kaeh menghitung sebanyak 200 naskah-naskah hikayat Panji
yang tersimpan di berbagai perpustakaan di seluruh dunia, yang meliputi seratus karya
yang berbeda-beda (setidak-tidaknya menurut judulnya) yang terkadang masing-masing
sangat tebal (Kaeh 1977:15-16; 174-180). .
40
1. HIKAYAT CEKEL WANENG PATI
Salah satu karya sastra Melayu Abad Pertengahan yang paling terkenal ialah
Hikayat Cekel Waneng Pati. Hikayat yang mungkin disusun masih dalam abad ke-15 atau
pada awal abad ke-16 ini termasuk cerita Panji jenis pertama, yaitu di dalamnya Raden
Inu dengan menyamar sebagai tokoh "rendah" merebut hati kekasihnya, Candra Kirana.
Menilai arti hikayat ini Van der Tuuk, menulis: "Karya ini merupakan salah satu karya
berbahasa Melayu yang paling menarik, dan telah mempengaruhi hampir seluruh sastra
Melayu" (Tuuk 1866:99). Pendapat serupa juga dikemukakan R.O. Winstedt di dalam
tulisan-tulisannya (Winstedt 1991:41).
Seperti halnya banyak cerita Panji yang lain, Hikayat Cekel Waneng Pati memulai
kisahnya dengan prolog di Kayangan.
41
2. HIKAYAT PANJI KUDA SEMIRANG, HIKAYAT ANDAKEN PENURAT
Di antara hikayat Panji jenis kedua, yaitu Raden Inu langsung tampil sebagai
tokoh berbangsa (tokoh "tinggi"), yang lebih utuh dan dari segi seni sastra juga lebih
indah, ialah Hikayat Panji Kuda Semirang. Adegan-adegan hikayat ini mungkin sudah
diabadikan pada gambar-gambar timbul candi dari awal abad ke-15, seperti yang sudah
kami kemukakan di atas.
Dalam hikayat ini (ikhtisar yang cukup panjangnya lihat dalam Poerbatjaraka 1968:3-42)
Raden Inu Kertapati dan Candra Kirana tampil sebagai awatara Arjuna dan istrinya,
Sumbadra. Sedangkan dua putra-putri yang saling mencinta, yaitu saudara laki-laki
Candra Kirana: Gunung Sari dan saudara perempuan Raden Inu: Ratna Wilis, kedua-
duanya adalah titisan Sang Samba dan Januwati dari Hikayat Sang Boma, yang
berinkamasi di muka bumi. Adapun perempuan jelata yang dicintai Raden Inu tidak lain
ialah dewi kayangan Anggar Mayang, yang telah terkena kutuk dewa Indra karena tindak
serongnya dengan seorang dewa bernama Jayakesuma, dan berubah wujud sebagai
perempuan desa Ken Mertalangu, anak kepala desa. Sang Putra bertemu dengannya secara
kebetulan, saat ia sedang asyik bergembira mengejar kijang buruannnya (Cherita Hindu
1958:89-93). Penggambara adegan ini barangkali merupakan bagian yang terbagus dalam
hikayat.
Ciri istimewa Hikayat Andaken Penurat ialah nadanya yang semakin bersuasana
tragis. Tema kehancuran dua pelaku utama sudah dipastikan sejak awal hikayat, dan
hanya dapat dicegah dengan campur tangan Batara Kala. Seluruh isi hikayat penuh
dengan kata-kata para punggawa istana dan bahkan raja, yang diulang berkali-kali, bahwa
setiap memandangi dengan rasa kagum cantik dan tampannya pasangan kekasih itu,
mereka merasa seakan-akan melihat sepasang putra-putri untuk terakhir kali, dan serasa
hendak mengucap selamat berpisah selama-lamanya kepada kedua mereka
42
3. HIKAYAT ISKANDAR ZULKARNAIN
Hikayat ini, yang akhirnya berdasar pada Kisah Aleksander karya Pseudo-
Callisthene yang termasyhur itu, lebih langsung dihubungkan dengan "versi Arab dari
sebuah karangan Parsi yang digubah di Asia Tengah" (Brakel 1979:17-18). Karangan ini
mengandung unsur-unsur Syah-nama Firdausi, legenda-legenda dari Al-Qur'an, dan
berbagai hadis serta cerita (Leeuwen 1937:14-21), yang sangat mungkin telah
diterjemahkan pada awal abad ke-15 di Pasai.(Brakel 1979:18). Menurut pendapat R.O.
Winstedt, dari sanalah naskah Hikayat Iskandar Zulkarnain telah dibawa masuk ke
Malaka, yaitu ketika sultan Malaka menerima Islam setelah mengawini seorang puteri
Pasai (Winstedt 1991:59). O.W. Wolters telah menetapkan terjadinya peristiwa ini pada
tahun 1436 (Wolters 1970:159-163). Arketipe hikayat ini, yang terbentuk di Pasai, telah
melahirkan dua resensi yang sampai saat ini kita kenal; yaitu, yang pertama resensi
Sumatra dan yang kedua resensi Semenanjung (Leeuwen 1937:28-34; Winstedt 1938b:5).
43
4. HIKAYAT AMIR HAMZAH
Amir Hamzah seorang manusia nyata dari zaman awal perkembangan Islam. Ia
tergolong suku Kuraisy yang berdiam di Mekah, dan paman Nabi Muhammad. Seperti
halnya dengan orang-orang dari suku Kuraisy umumnya, mula-mula ia tidak mau
menerima ajaran kemenakannya itu. Tetapi beberapa tahun berselang ia pun masuk Islam,
dan mengikuti Nabi Muhammad ke Madinah. Di sana ia menjadi sangat terkenal oleh
keberanian dan kepandaiannya dalam berperang, sehingga karenanya ia mendapat julukan
"singa Allah dan Rasulullah". Amir Hamzah meninggal dalam umur 60 tahun, pada
peperangan di bukit Uhud. Menurut suatu legenda, seorang negro bernama Wahsyi yang
telah berhasil membunuh Amir Hamzah dengan tombaknya, merobek dada Amir Hamzah
dan mengambil hatinya, yang kemudian dilemparnya kepada ibu khalifah pertama
Umaiyah, MuawMuawiah. Karena sangat geramnya, hati Amir Hamzah itu pun digigitnya
(Gibb dan Kramers 1961:131).
Tetapi bukan tentang sedikit fakta nyata dalam riwayat hidup Amir Hamzah itu
yang dapat dibaca para pembela Malaka dari Sejarah Melayu.
44
5. HIKAYAT MUHAMMAD HANAFIAH
Dalam konteks sastra Melayu dari akhir abad ke-16 sampai awal abad ke-19 secara
keseluruhan, semua pernyataan ini dapat ditafsirkan atas dasar doktrin tentang dampak
psikoterapi Islam dalam sastra. Sementara itu pembandingan antara kata pengantar pada
hikayat-hikayat Panji Melayu, yang mengalami islamisasi dalam derajat terendah, dengan
beberapa karangan Jawa Kuno dan Jawa Pertengahan yang termasuk tradisi Hindu-Budha,
barangkali bisa memberi penjelasan yang berbeda mengenai orisinil konsep 'menghibur'.
Pertama kita lihat dari segi plot dan bentuk cerita. Seperti yang diketahui, tema
cerita panji adalah sekitar pengembaraan Panji mencari kekasihnya. Plotnya bermula
45
dengan Panji bertunang, tetapi oleh sebab-sebab tertentu berlaku perpisahan, kemudian
terjadi pula pengembaraan dan pada masa inilah berlaku penyamaran serta berbagai-bagai
kesulitan. Walaupun dalam masa penyamaran ini Panji telah bertemu dengan tunangnya
tetapi disebabkan tanpa keizinan dewa dia terpisah lagi. Kemudian berlaku lagi peristiwa
yang lebih hebat iaitu peperangan dan kemudian selepas itu berlaku pertemuan kembali
yang berkekalan lalu diadakan majlis perkahwinan dan keramaian.
Ciri kedua adalah tentang unsur-unsur dan peranan dewa- dewa. Dewa dianggap
serba tahu dan seolah-olah perjalanan cerita ini bergantung penuh kepadanya. Ini dapat
dilihat dari awal cerita lagi. Sebagai contoh, dalam Hikayat Misa Taman Jayeng Kusuma
apabila para dewa berkumpul di Balai Tanjung Maya untuk berbincang siapakah yang
patut turun ke dunia. Seterusnya dewa juga menerbangkan Galuh ke Segara Gunung-dan
pengembaraan Panji pun bermula. Unsur dan peranan dewa dalam cerita panji mempunyai
pertalian rapat dengan mitologi masyarakat Jawa. Cerita panji juga banyak mengandungi
mitos, mistik dan sejarah. Sebagai contoh, mitos yang menghubungkan keturunan raja
dengan dewa-dewa sedangkan nama dewa kebanyakannya merupakan watak dalam epos
Hindu terutamanya Mahabharata (Harun Mat Piah 1980:260).
Ciri yang seterusnya ialah pertukaran nama-nama watak terutamanya watak utama.
Sebagai contoh dalam HMTJK, pertukaran nama berlaku dengan berubahnya tempat yang
ditemui. Ini dapat dilihat melalui watak Raden Inu Kertapati semasa di Gunung
Jamurdhipa namanya Ajragapati. Setelah turun dari gunung, dia menggunakan nama Misa
Jayeng Kusuma Sira Panji Jayeng Seteru, seterusnya dia menggunakan nama Kalana
Adimerta Sira Panji Jayeng Kusuma. Manakala bagi watak Raden Galuh Cendera Kirana
pula namanya di Segara Gunung ialah Ken Segerbaningrat; Endang Kusuma Jiwa di
Gunung Wilis; Misa Jejuluk Sira Panji Maring Daha setelah menjadi lelaki; kemudian
bertukar kepada Kalana Merta Jiwa; seterusnya menjadi Perabu Anom ketika menjadi ratu
di Tambak Kencana.
Nama-nama tempat dan nama pelaku juga memainkan peranan penting untuk
mengenali cerita panji Melayu. Latar belakang cerita panji ini, umumnya berkisar di
Tanah Jawa di mana terdapatnya kerajaan Kuripan, Daha, Gagelang, Singasari, Bali dan
juga Majapahit. Kerajaan-kerajaan ini memang wujud suatu masa dahulu. Lalu para
dalang memasukkan tempat-tempat ini dalam cerita panji sebagai latarnya. Seterusnya
nama-nama pelaku menggunakan nama Jawa dan juga nama gelaran seperti Kelana,
Jayeng, Prabu, Misa, dan sebagainya yang banyak digunakan oleh watak utamanya.
Daripada apa yang telah diterangkan tadi dapatlah dibuat kesimpulan bahawa
cerita panji Melayu merupakan saduran daripada panji Jawa, sebab kebanyakan antara
ciri-ciri cerita panji Jawa itu terdapat pula dalam cerita panji Melayu. Walau
bagaimanapun terdapat pula dalam banyak versi dan wujud dalam bentuk prosa dan syair.
Sedangkan cerita-cerita panji dalam bentuk syair, misalnya Syair Ken Tambuhan, tidak
jauh berbeza dengan yang terdapat dalam bentuk prosanya.
Sebenarnya ada tiga dasar pembahagian antara panji Melayu dengan panji Jawa
iaitu berdasarkan pembahagian yang sedia ada, bahasa, dan unsur-unsur tempatan (Harun
Mat Piah 1980: Bab I). Berdasarkan pembahagian yang sedia ada yang telah dilakukan
oleh sarjana-sarjana terdahulu, antaranya Poerbatjaraka, Hooykaas dan Pigeaud,
Hooykaas telah menyenaraikan sebanyak 33 46
tajuk panji Melayu dan menurutnya lagi
tajuk itu tidak terdapat dalam panji Jawa. Ini menunjukkan dengan jelas bahawa panji
Melayu dan panji Jawa adalah berbeza walaupun ia menyenaraikan juga panji Jawa yang
antara lainnya berjudul Panji Jaya Kusuma, Panji Priambada dan Kuda Narawangsa. Oleh
itu menurut kajian para sarjana terdahulu, kita dapat mengetahui naskhah-naskhah panji
Melayu dan panji Jawa berdasarkan daftar tajuk-tajuk yang disenaraikan oleh mereka.
Dasar yang kedua dalam pembahagian panji Melayu dan panji Jawa ialah
berdasarkan bahasa yang digunakan dalam cerita tersebut. Panji Melayu menggunakan
bahasa Melayu manakala panji Jawa menggunakan bahasa Jawa. Begitu juga panji Siam
atau Kemboja, masing-masing menggunakan bahasa mereka. Merujuk HMTJK, karya ini
ditulis dengan mengggunakan huruf Jawi dalam bahasa Melayu. Namun demikian
terdapat banyak pengaruh bahasa Sanskrit seperti perkataan dewa, geroda, kala, puri,
permaisuri, dan sebagainya. Juga terdapat pengaruh bahasa Arab, seperti perkataan
alkisah, hikayat, ilmu, hatta, istirahat, nafsu, syak, ghaib, dan lain-lain, sedangkan
pengaruh yang paling banyak sekali ialah pengaruh bahasa Jawa. Ini bersesuaian sekali
kerana panji Melayu itu berasal daripada panji Jawa. Jadi, sedikit sebanyak pengaruh
bahasa Jawa tidak dapat dielakkan. Ini dibuktikan dengan adanya kata-kata yang sering
digunakan seperti kidul, kakang, yayi, aji, edan, lelancingan, cawis, anom, dalang,
gambuh, kowe, selukut, dan lain-lain. Daripada contoh-contoh tersebut dapatlah
dinyatakan bahawa walaupun panji Melayu menggunakan bahasa Melayu terdapat juga
pengaruh bahasa Sanskerta dan bahasa Arab. Akan tetapi pengaruh tidak begitu asing lagi
bagi kita, manakala kehadiran bahasa Jawa dapat pula dianggap sebagai penyedap
tambahan dalam menikmati karya-karya itu, di samping kedudukannya sebagai
kesinambungan daripada tradisi yang dikekalkan.
Seterusnya dasar pembahagian yang ketiga adalah mengenai unsur tempatan. Bagi
panji Melayu, walaupun dalam keseluruhan cerita panji, kisah dan peristiwa dikatakan
berlaku di Tanah Jawa dan menggunakan latar belakang istana serta kehidupan raja-raja
Jawa, tetapi ada unsur-unsur tempatan dari segi watak, jalinan cerita dan beberapa
persamaan yang tertentu dengan cerita-cerita rakyat Melayu, dan kerana itu panji Melayu
berbeza dengan panji Jawa. Dalam panji Melayu, kita tidak bertemu dengan nama
Angreni, Lalean, Lembu Amiluhur, dan lain-lain yang biasa terdapat dalam cerita-cerita
panji Jawa. Sebaliknya pula tidak terdapat nama-nama Ken Tambuhan, Mangun Jaya,
Kuda Rawi Seragga dalam panji Jawa, tetapi sering timbul dalam kebanyakan panji
Melayu.
Poerbatjaraka ada menyebut tentang Gunung Sari, iaitu putera mahkota kerajaan
Daha. Dalam cerita-cerita panji Melayu nama Perbata Sari adalah suatu nama yang
sinonim betul dengan nama Jawa. Ini kerana dalam kebanyakan cerita panji Jawa, watak
tersebut diberi nama Gunung Sari sedang dalam panji Melayu lebih umum dengan nama
Perbata Sari. Dalam Hikayat Dewa Asmara Jaya, misalnya dikatakan permaisuri Daha,
setelah beberapa lama melahirkan Galuh Cendera Kirana mendapat pula seorang putera
diberi nama Gunung Sari, timang-timangnya Perbata Sari tetapi selepas itu hanya nama
Perbata Sarilah yang digunakan sepanjang cerita itu.
Pada jalan cerita juga terdapat sedikit pebedaan yang agak umum antara kedua-
dunya, misalnya dalam Hikayat- Panji Semi- rang kita temui peranan madu dan ibu tiri.
Paduka Liku digambarkan sebagai isteri ketiga yang dengki dan sentiasa menaruh dendam
kepada permaisuri dan puteri gahara, Galuh47Cendera Kirana. Oleh sebab terlalu didorong
oleh perasaan itu, dia akhirnya meracuni permaisuri dan kerana itu Galuh tersisih dari
istana. Konfrontasi antara isteri-isteri dan anak-anak Panji juga terdapat dalam Hikayat
Cekel Waneng Pati, Misa Susupan, Carang Kulina dan beberapa yang lain, sedang dalam
panji Jawa unsur-unsur madu dan ibu tiri itu tidak ditemui. Kalaupun ada, tidak dijadikan
tema cerita.
Perbedaan juga jelas dapat dilihat antara panji Melayu dan panji Jawa melalui
cerita-cerita panji Melayu yang dituturkan atau dimainkan dalam wayang kulit, contohnya
cerita-cerita wayang kulit di Terengganu memberikan tajuk-tajuk cerita yang asing
daripada cerita panji yang lebih tua termasuk panji Jawa. Betara Kuripan, Kerak Nasi,
Panji Gajah Bakong, Lalat Hijau, dan beberapa yang lain seperti yang dikaji oleh A.H.
Hill (1949: 85-104) tidak terdapat dalam senarai panji Jawa, misalnya seperti yang
disenaraikan oleh A. Rahman Kaeh (1989: 349-359). Dalam cerita Betara Kuripan
dikatakan raja-raja empat bersaudara itu, Kuripan, Daha, Gagelang dan Singasari dihantar
oleh Semar ke Makkah. Di dalamnya juga terdap'at nama-nama dewa yang disebutkan
sebagai Betara Guru, Betara Nengada, Betara Omar, Betara Burhan, Betara Kermajaya,
Betara Indera dan Betara Inderajaya. Nama Nengada itu tentulah Narada dalam panji Jawa
tetapi nama-nama Betara Omar dan Burhan tidak pernah ada dalam panji Jawa dan cerita-
cerita panji yang lebih tua. Jadi, dengan membandingkan unsur- unsur seperti ini mungkin
kita dapat mengenali sesuatu teks itu sama ada panji Melayu atau bukan panji Melayu.
Namun demikian apa yang jelas daripada perbincangan mengenai pebedaan panji
Melayu dan panji Jawa, kedua-duanya mempunyai banyak persamaan dalam beberapa hal
dan hanya sedikit sahaja yang berbeza. Ini bertolak daripada pendapat bahawa cerita-
cerita panji adalah berasal dari Jawa. Sedangkan istilah ―Melayu‖ meliputi semua negeri
yang wujud di Nusantara, termasuklah Semenanjung Tanah Melayu dan Pulau Jawa.
Berhubung dengan naskhah panji Jawa, bentuk, uukuran dan kertas yang
digunakan hampir sama keadaannya dengan panji Melayu. Kebanyakannya ditulis
menggunakan kertas Eropah lama, terdapat48pula tanda (cap) air (water marks) dengan
gambar seperti singa dan tiara. Kertas jenis ini memang banyak digunakan di negeri
Belanda dan hanya pada akhir abad ke-17 telah diimport dari negeri Perancis. Pada
umumnya naskhah panji Jawa memiliki ukuran yang tidak sama. Jika dibandingkan
jumlah panjang pendek halaman ternyata panji Melayu lebih banyak yang panjang.
Naskhah panji Melayu terpanjang ialah Hikayat Jinatur Jayeng Kusuma yang terdiri
daripada tujuh jilid dengan 1326 halaman. Naskhah panji Jawa pula dalam lingkungan
700-800 halaman. Contohnya Panji Jaya Kusuma yang terdiri daripada 3 jilid sebanyak
876 halaman, Serat Panji (749 halaman), Serat Panji Angreni (710halaman).
Naskhah panji Jawa seperti juga naskhah panji Melayu sedikit sekali dikaji atau
diterbitkan. Sehingga kini hanya terdapat kurang daripada 10 buah yang telah dikaji atau
diterbitkan. Antaranya ialah Panji Jayeng Tilem (Balai Pustaka 1932), Panji Narawangsa
(Balai Pustaka 1936), Panji Wulung (Bataviacentrum 1931), Serat Panji (1907), Serat
Panji Dadap (1932), Wangbang Wideya (The Hague 1971) tiaa Panji Raras I dan II
(Departemen Perguruan Pendidikan 1978). Semua naskhah ini diterbitkan dalam bahasa
Jawa dengan menggunakan aksara Jawa kecuali Wangbang Wideya dan Panji
Jayengtilem.
Seperti cerita-cerita panji Melayu dan panji Jawa, cerita-cerita panji Thai juga
tertulis dalam bentuk puisi dan prosa. Naskhah- naskhah dalam bentuk puisi:
(1) Inau Khrang Krung Kau iaitu Dalang dan Inau. Kedua-dua ini dipercayai dihasilkan
oleh dua orang puteri Phraca Yu Hua Barommakot iaitu Puteri Kunthon dan Puteri Mong-
kut pada zaman Ayuttaya ke akhir.
(2) Dalang dan Inau ciptaan Phrabat Somdet Phra Phut- thyatta Gulalok, Dinasti Bangkok.
(3) Inau ciptaan Phrabat Somdet Phra Phutthaletla Naphalai (King Rama II), Dinasti
Bangkok.
49
Naskhah-naskhah berbentuk prosa ialah:
(1) Phongsawadan Inau Chabab Ari Nakhara.
(3) Hikayat Pan-yi Semirang (Hikayat Panji Kuda Semirang). Ketiga-tiga buah
Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada hasil kesusasteraan yang bersemangat Jawa
yang penyebarannya di seluruh Kepulauan Nusantara menyamai penyebaran cerita Panji.
(Poerbatjaraka 1968: 409-410).
Sebagai sebuah hasil sastera, cerita panji dicipta oleh pengarang untuk bacaan
masyarakat. Apa yang disajikan tidak akan terlepas daripada dunia masyarakat atau
dirinya sendiri, kerana dia adalah sebahagian daripada masyarakat itu. Pada umumnya
pengarang cerita panji ini tentu telah mengetahui atau paling tidak, telah mendengar
peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dalam rentetan sejarah bangsanya. Peristiwa-
peristiwa sejarah seperti pembahagian kerajaan Jenggala atau adanya kerajaan-kerajaan
lain seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit; juga tokoh-tokoh sejarah seperti Erlangga,
Puteri Erlangga, Kameswara I, Srikiranaratu, Ken Arok. Ken Dedes, Raden Wijaya, dan
sebagainya tentu telah diketahui atau didengarnya.
Gambaran cerita yang terfokus kepada beberapa kerajaan Jawa itu tidak semestinya
tepat dengan segala peristiwa yang pernah terjadi dalam sejarah. Namun Majapahit yang
bertindak sebagai penaung kepada cerita panji, tentu mempunyai hubungan geneo- iogi
dengan beberapa kerajaan yang selalu disebut-sebut dalam kebanyakan cerita panji itu.
Dengan menampilkan sifat-sifat kepahlawanan raja-raja keturunan mereka, Majapahit
dapat menyalurkan secara implisit propaganda kekuasaannya. Sebahagian daripada
propaganda tersebut disampaikan melalui cerita panji. Hal tersebut ikut pula melancarkan
penyebarannya.
Dari satu segi memang terdapat genre sastera lain yang menjadi saingan kepada cerita-
cerita panji; tetapi cerita-cerita tersebut merupakan tradisi yang dibawa dari luar,
khususnya yang di- adaptasi daripada cerita-cerita Hindu (India). Sebahagian daripada
masyarakat Nusantara, baik Melayu mahupun Jawa, khususnya daripada golongan tua
sudah amat terbiasa dengan cerita-cerita saduran sastera Hindu itu, sebaliknya, golongan
muda menginginkan sesuatu yang lebih menarik dan yang tidak terlalu ‗mengajar‘ seperti
cerita-cerita Hindu sebelumnya (Poerbatjaraka 1968: 404). Jadi, kelahiran cerita panji
dianggap membawa angin baru, dan tentu sahaja sambutan daripada masyarakat ketika itu
amat menggalakkan.
Di satu segi yang lain, mungkin cerita-cerita yang sezaman dengan cerita panji
dirasakan kurang menarik oleh masyarakat pendengarnya, sebabnya, sebahagian daripada
cerita-cerita tersebut, seperti Pararaton, Nagarakertagama dan lain-lain tidak dapat
menyaingi cerita panji. Ini kerana.karya-karya demikian terlalu menitikberatkan soal
kepahlawanan tanpa diimbangi oleh faktor- faktor kemanusiaan yang lain. Padahal faktor-
faktor yang erat bertalian dengan perasaan manusia yang hampir menimpa tiap individu
atau paling disukai untuk dikhayalkan, misalnya percintaan, kekecewaan, kerinduan, dan
iri hati, tampak menguasai seluruh cerita panji. Hal ini masih dapat dilihat malah dalam
Damar Wulan atau Hikayat Hang Tuah, yang lahir terkemudian daripada cerita-cerita
panji.
Di samping itu, pembaca cerita panji mungkin tertarik kepada kepintaran pengarang
memasukkan unsur erotik dan adegan- adegan ranjang, yang secara alamiah diingini oleh
semua manusia. Unsur-unsur tersebut disampaikan secara agak lumrah dalam kebanyakan
cerita-cerita panji. Unsur-unsur itu dimanfaatkan secara samar - sifat-sifat erotiknya dapat
diimbangi sehingga tidak dirasakan ―keterlaluan‖ oleh khalayak pendengarnya (Robson
1971: 208-120).
Unsur-unsur lain yang ikut membangun cerita panji seperti humor, moral, etika, dan
lukisan-lukisan budaya masyarakat setempat telah diolah oleh pengarangnya lewat
penyampaian yang cukup indah. Keindahan tersebut memukau Poerbatjaraka dan dalam
sebuah komentarnya mengenai cerita panji, beliau menyebutkan: Kerana indahnya, maka
seketika keluar, sudah amat terkenal. Kemudian disalin berulang kali. ... Kerana indah
dapat mengakibatkan timbulnya dongeng-dongeng wayang gedog dan lakon topeng...
(Poerbatjaraka 1952: 89-90) 51
Jadi, paduan antara unsur-unsur tersebut, dan tentunya ditopang pula oleh aspek-aspek
lain menjadikan cerita panji ini dapat menjangkau begitu jauh. Meskipun cerita ini secara
umum memaparkan of realistic Javanese World (Zoetmulder 1974: 428) namun cerita
tersebut dengan ciri-cirinya yang tersendiri serta inti temanya yang bersifat universal
dapat pula merangkumi dunia Melayu, Siam, dan Kemboja.
52
BAB V
SASTRA EPIK
Dalam sastra epik kepahlawanan adalah ciri utama bagi cerita. Ceritanya digabung
atau dipadu-padankan dengan unsur-unsur mitos, legenda, cerita rakyat, dan sejarah.
Tokoh-tokoh dalam epik ialah tokoh super human. Kehebatan tokoh-tokoh itu kelihatan
dalam peperangan dan pertembungan yang lain dengan musuh. Jadi, sifat
kepahlawananlah yang terserlah dalam cerita-cerita epik ini. Justeru itu karya epik juga
dapat digolongkan ke dalam genre yang lebih umum, iaitu sastera pahlawan (heroic
literature).
Kata ―pahlawan‖ kalau disusur-galur artinya akan sampai kepada kata asalnya
yaitu kata Sanskrit phala yang bererti ―buah". Buah di sini dapat ditafsirkan sebagai suatu
―ganjaran‖ dari hasil tindakan positif yang gagah berani dari seorang yang dinamakan
pahlawan atau pejuang.
Kata epik berasal dari bahasa Latin, epicus dan dalam bahasa Yunani, epikos yang
kemudian menurunkan kata epos. Dalam bahasa Indonesia, kata epik dan epos sering
digunakan untuk pengertian yang sama, yaitu yang berkaitan dengan cerita
kepahlawanan atau wiracarita. Padahal, epik merupakan kata sifat dari kata benda Epos.
Jadi, untuk mengacu pada sifatnya kita memakai epik, sedangkan untuk mengacu pada
bendanya kita memakai epos. Sama hal yang sama terjadi dalam bahasa Inggris.
Epos dimaknai sebagai puisi epik ―epic poetry‖, sedangkan epik dimaknai sebagai puisi
naratif yang panjang yang mengisahkan sebuah tradisi atau sejarah kepahlawanan yang
ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi. Dalam bahasa Perancis, Epik ―epique‖ bersifat
syair kepahlawanan atau bersifat kidung perwira. Jadi pengertian puisi epik berkaitan
dengan kisah-kisah epos, seperti epos mahabarata atau epos (ramayana)
Pahlawan pada mulanya merupakan seorang yang gagah berani yang telah
meninggal dunia dan kemudian dimuliakan sebagai dewa. Pahlawan dianggap sebagai
tokoh sejarah kerana tindakannya membela nasib orang banyak, malahan dia dijadikan
sebagai manusia idaman. Bagi sesuatu bangsa, kononnya ada orang-orang tertentu yang
hidup pada masa lampau yang memiliki kekuatan
53 luar biasa. Mereka dikenal sebagai
pahlawan dan kadang kala dimitoskan, misalnya Achilles, Hercules, Theseus dan
77beberapa yang lain (Tripp 1970:302).
1. Peribadi yang dianggap sebagai pendiri sesuatu agama atau sesebuah negara;
2. Orang yang sangat sempurna yang memiliki sifat-sifat luhur - berani, kuat,
pemurah, setia, trampil;
3. Panglima perang yang gugur dalam peperangan;
4. Tokoh utama dalam karya sastera.
1. Pahlawan sebagai dewa - misalnya Odin, tokoh mitologi rakyat Scandi- navia;
2. Pahlawan sebagai nabi - misalnya Nabi Muhammad s.a.w.;
3. Pahlawan sebagai penyair - misalnya Dante;
4. pahlawan sebagai pendeta - misalnya Luther,
5. pahlawan sebagai sasterawan misalnya Goethe; dan
6. pahlawan sebagai raja - misalnya Napoleon.
Dalam roman lama, ciri pahlawan adalah perwujudan daripada hidup dan daripada
apa yang dicita- citakan oleh rakyat biasa sateria yang mengabdi semata-mata kepada
kejayaan dan kemasyhuran dalam medan perang atau dalam latihan perang (Carlyle dlm.
Kooiman 1931:1 dan 2).
54
Ciri-ciri epik sebagaimana yang dikemukakan oleh C. Hugh Holman dalam
bukunya A Handbook to Literature (New York, 1972) hlm. 194-195 yaitu:
Melansir dari Owlcation, dalam liputan 6, ciri-ciri epic dapat dijabarkan sebagai
berikut:
kebanyakan epik yang besar di dunia termasuk Iliad dan Odessey merupakan
sebuah puisi naratif, tetapi kesemua karya epik dalam bahasa Melayu termasuk epik
kebangsaan Hikayat Hang Tuah ditulis dalam bentuk prosa. Akan tetapi ini tidak
mengurangkan nilainya sebagai sebuah epik kerana kebanyakan ciri umum epik terdapat
dalam karya-karya tersebut.
Satu persoalan yang perlu ditimbulkan di sini ialah hubungan ―sastera epik‖ dan
―sastera pahlawan‖. Apakah perbezaan antara istilah-istilah itu yang kedua-duanya dirujuk
secara sejajar dalam kajian ini.
Pada dasarnya kedua-dua istilah itu tidak mempunyai perbezaan yang besar.
Sastera atau cerita-cerita pahlawan dapat dianggap sebuah epik jika wira dalam cerita
tersebut adalah wira yang dibangga-banggakan oleh masyarakatnya. Ia lebih bermakna
lagi jika wira itu pernah benar-benar hidup dalam konteks sejarah masyarakat itu, dan
ceritanya dibesar-besarkan dan diwarnai dengan mitos, legenda dan unsur-unsur lisan
yang lain.
Kebanyakan sastera epik, sejarah, dan drama pada tahap awalnya lazimnya
merupakan cerita-cerita pahlawan kerana watak- watak yang ditonjolkan adalah peribadi
serta kehidupan mereka yang terdapat dalam rakaman berupa cerita. Biasanya kematian
seorang pahlawan dipandang sebagai terputusnya nilai-nilai kehidupan sesuatu bangsa
(Encyclopedia ofthe Social Sciences, Jil. 7-8: 33). Tokoh-tokoh sejarah yang hidup dalam
tradisi bertukar menjadi tokoh mitos, bahkan para pemimpin yang telah berjaya
menunjukkan sifat kepahlawanan dalam peperangan dan selalu melindungi rakyat akan
dipuja sebagai pahlawan.
Dalam pembinaan alur (plot) yang demikian, apa yang jelas kelihatan ialah
kesamaan intinya, meskipun di sana sini terdapat perbezaan-perbezaan kecil. Misalnya,
sang pahlawan pasti keluar meninggalkan tempat asal (umatnya) oleh sebab sesuatu hal.
Perkara ini pasti terjadi dalam kebanyakan cerita pahlawan, tetapi apa yang menyebabkan
dia keluar kadang kala tidak sama antara satu dengan yang lain. Kemudian sang pahlawan
pasti menghadapi rintangan dalam perjalanannya (inisiasi) sedangkan cerita-cerita yang
mengisi ruang dalam iniasiasi ini selalunya tidak sama. Pola seterusnya memastikan
adanya unsur kembali (return) dalam semua cerita jenis ini. Cuma perbezaannya ialah
cerita-cerita yang menghuraikan pengalaman sang pahlawan dalam pengembaraan
tersebut yang mungkin tidak serupa antara satu dengan yang lainnya.
Perbezaan penggunaan kedua-dua istilah ialah dari segi makna dan penekanannya.
Sastera pahlawan merupakan istilah umum bagi kebanyakan cerita, terutamanya klasik;
dan ini termasuk cerita-cerita panji dan beberapa karya lain yang tergolong sebagai
hikayat Sedang epik membawa konotasi yang khusus kepada karya yang diterima sebagai
epik berdasarkan ciri-ciri lain yang lebih unggul.
1. Latar belakang ceritanya memakan masa yang lama dan latar tempatnya amat
luas. Para pelakonnya ramai.
2. Unsur ajaib yang melibatkan kuasa sakti dan ghaib, dan unsur campur tangan
makhluk non-human seperti Tuhan, nabi-nabi dan dewa-dewa. Sebenarnya
unsur seperti ini terdapat juga dalam sastera hikayat tetapi wira dalam cerita
tersebut adalah wira fiksyen, tidak dapat disamakan dengan sejarah
masyarakatnya.
3. Sifat yang lain ialah pengarangnya bersifat objektif dalam perisian wataknya.
Pengarangnya mencuba menulis seobjektif mungkin, tanpa banyak campur
tangan dalam pergerakan wataknya.
Dalam kesusasteraan Melayu tradisional terdapat tiga buah epik yang penting, atau
dengan perkataan lain tiga buah karya pahlawan yang dapat diterima sebagai epik oleh
masyarakat Melayu. Dalam kajian ini epik-epik itu dibahagikan kepada dua kategori,
iaitu:
58
1. Epik kebangsaan, iaitu Hikayat Hang Tuah.
2. Epik daripada sumber Islam, iaitu Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat
Muhammad Hanafiyah.
Hikayat Hang Tuah merupakan sebuah contoh karya epos, yang memadu ciri-ciri
epos kepahlawanan dengan epos sejarah, dan benar-benar bersemangat kebangsaan. Epos
ini menceritakan sejarah, sesuai dengan pengertian tradisi Melayu, sebagai riwayat hidup
tokoh utama, dan dengan jalan demikian mengurai isinya yang didaktis.
Hikayat Hang Tuah (HHT) merupakan sebuah epik kebangsaan. Hikayat ini dapat
memenuhi beberapa ciri epik yang penting. Antaranya epik ini mengemukakan watak
yang agung. Hang Tuah merupakan tokoh yang agung bagi bangsa Melayu. Watak itu
dicipta dalam hikayatnya bukanlah sangat hendak menggambarkan kebenaran sejarah,
tetapi adalah sebagai lambang kemegahan dan kekuatan bangsa Melayu.
Hikayat Hang Tuah untuk pertama kali dikenal orang Eropa melalui buku
karangan seorang misionaris Belanda, F. Valentijn, Oud en Nieuw Oost-lndie ("India
Timur [=Indonesia] Lama dan Baru") yang terbit tahun 1726. Di dalam bukunya ini
hikayat tersebut disebutnya sebagai "intan yang sangat jarang ditemui" dan "yang terbaik
dari semua karangan Melayu" (Valentijn 1726, 5:316-317). Memang tidak begitu jelas,
hingga mana F. Valentijn sendiri mengenal hikayat ini (Teeuw 1964a:339-340); tetapi
penilaiannya yang begitu tinggi, bukannya tanpa alasan sama sekali.
Alur cerita karangan yang sangat panjang dan terdiri dari lebih 500 halaman ini
sebagai berikut:
Di kerajaan kayangan, raja Sang Perta Dewa mempunyai putra bernama Sang
Sapurba. Ia mengejawantah di Bukit Seguntang, tidak jauh dari Palembang, dan kawin
dengan putri yang lahir dari buih hembusan seekor kerbau sakti, yang juga penjelmaan
dewa di kayangan. Dari perkawinan lahir empat anak laki-laki. Para utusan dari Bintan
dan Singapura mengundang mereka berempat untuk menjadi raja di negerinya masing-
masing. Yang tertua, Sang Maniaka, bertakhta di Bintan. Baginda mengangkat empat
59
pejabat kerajaan. Yang paling bijak dan berpengaruh diantaranya ialah Bendahara
Paduka Raja.
Selanjutnya menyusul kisah tentang Hang Tuah. Ia anak seorang pencari kayu
dari Sungai Duyung. Berbagai-bagai isyarat-isyarat gaib terjadi mendahului lahirnya
Hang Tuah. Sesudah Hang Tuah lahir, kedua ayah-ibunya pindah kc Bintan, dan
membuka kedai tidak jauh dari kampung kediaman Bendahara raja. Dengan rajin setiap
hari Hang Tuah membantu pekerjaan kedua orangtuanya. Ia mempunyai empat sahabat
sepermainan yang sebaya dengan dirinya, yaitu Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir,
dan Hang Lekiu. Ketika masih berumur sepuluh tahun, Hang Tuah memperlihatkan
tindak kepahlawanannya yang pertama. Bersama empat sahabatnya ia mengalahkan
segerombolan penyamun yang terdiri dari dua puluh tujuh orang, dan berhasil pula
membantu seorang pembesar Singapura memperoleh data gerakan pasukan Majapahit,
yang mempersiapkan penyerangan terhadap Palembang. Pembesar yang dibantunya itu,
sebagai tanda rasa terima kasihnya, mengenalkan Hang Tuah dan sahabatnya kepada
Bendaltara Paduka Raja.
Sementara itu Hang Tuah dan sahabatnya belajar pada seorang pertapa. Usai
dari pelajarannya ini, Bendahara membawanya ke istana raja, dan segera pula mereka
menjadi kesayangan raja itu. Tidak lama kemudian sang raja mendirikan ibu kota yang
baru, yaitu kota Malaka, dan bertakhta sebagai sultan di situ. Selama menghamba kepada
Raja Malaka inilah Hang Tuah melakukan sangat banyak perbuatan kepahlawanan. Ia
menjadi pengiring Sulian Malaka ke Majapahit. Berkat akalnya yang panjang dan
keberaniannya, ia berhasil membantu rajanya inempersunting putri Batara Majapahit,
Raden Mas Ayu. Hang Tuah mendapat gelar laksamana karena jasa-jasanya itu. Dalam
perkelahiannya melawan tokoh tersakti di Jawa, Tatnang Sari, ia memperoleh senjata
keris sakti. Tetapi oleh keberhasilannya itu juga ia difitnah oleh orang-orang yang iri
kepadanya. Untuk memulihkan kembali namanya, ia melarikan putri Bendahara
Indrapura atau Pahang, yaitu Tun Teja, yang akhimya menjadi istri kedua Sultan Malaka.
Ia diutus lagi ke Jawa dengan tugas diplomatik yang berat, yaitu meredakan amarah Raja
Majapahit yang tidak senang karena putrinya telah dipermadu. Kemudian Hang Tuah
juga berhasil mengusir para penyamun dari Jawa yang menyerang Malaka.
Namun begitu, Hang Tuah tertimpa musibah untuk kali yang kedua. Karena
fitnah, Hang Tuah dijatuhi hukuman mati oleh Sultan. Bendahara diam-diam berhasil
menyelamatkan jiwanya. Kedudukannya di istana digantikan oleh Hang Jebat yang
60
dianugerahi berbagai gelar oleh Raja Malaka.
Namun demikian, Hang Jebat yang mabuk kekuasaan tidak mau memaafkan Raja
karena pembunuhan Hang Tuah, sahabat akrab yang telah dipersaudarakan dengannya.
Hang Jebat menyalakan diri membangkang terhadap Raja. Sebagai pembalasan
dirayunya semua selir-selir Raja, dan akhimya diusirnya Raja dari istana. Tidak seorang
pun sanggup melawan Hang Jebat. Bendahara akhimya berterus terang kepada Raja,
bahwa Hang Tuah sebenarnya masih hidup. Raja memerintahkan agar Hang Tuah
dipanggil, dan atas namanya menghukum si petnakar Hang Jebat. Terjadilah perkelahian
antara dua sahabat yang termasyhur sakti itu. Dalam perkelahian ini Hang Jebat tewas.
Inilah episode yang paling tragis dalam Hikayat Hang Tuah.
Akhirnya dengan tipu muslihat yang licik Portugis berhasil merebut Malaka.
Beberapa waktu kemudian, atas perintah Sultan Mahmud dari Bintan, orang Malaka
mendirikan kesultanan Johor. Bersama-sama lasykar Kompeni Belanda mereka berhasil
mengusir orang-orang Portugis. Namun Hang Tuah tidak lagi tampil dalam semua
peristiwa terakhir itu. Konon ia dihadiahkan hidup abadi, menjadi orang suci dan raja
dari sekalian penghuni hutan di Semenanjung Malaka (Kassim Ahmad 1968).
61
Hikayat ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berisi mitos tentang asal usul
keluarga raja-raja Melayu, yaitu kisah pengejawantahan ke gunung Seguntang; dan bagian
kedua berisi uraian tentang kejadian-kejadian dalam sejarah (lebih tepat pseudo- sejarah)
Malaka, dari saat timbul sampai jatuhnya. Uraian tersebut penuh dengan anakronisme-
anakronisme, tetapi yang demikian memang hal biasa di dalam kronik- kronik Melayu.
Tambahan pula, di dalam Hikayat Hang Tuah, timbulnya anakronisme terkadang adalah
akibat dari sifat karya yang merupakan pasemon.
Karya ini sarat dengan butir-butir yang dengan tepat melukiskan kehidupan sehari-
hari yang khas di kota dan di istana, upacara perkawinan, penobatan raja, perjamuan
kerajaan, penyambutan duta negeri asing (Parnickel 1978), aneka macam hiburan seperti
sepak raga, sabung ayam, main catur, kepercayaan dan takhayul di kalangan rakyat jelata,
dan lain-lain. Pendeknya seluruh gambaran hidup yang khas Melayu dalam Abad
Pertengahan, beraneka warna, dan berkembang berubah-ubah. Semuanya itu
menyebabkan, pada satu pihak, Hikayat Hang Tuah menjadi lebih dekat dengan Sejarah
Melayu; dan pada lain pihak, membedakan hikayat ini dari karya-karya Melayu yang
berasal dari sumber Jawa dan Parsi, berikut suasananya yang konvensional dan tidak
bernafas kebangsaan Melayu.
62
2. Epik daripada Sumber Islam: Hikayat Amir Hamzah
Sifat kegagahan dan kepahlawanan wira adalah salah satu ciri epik yang
terpenting. Dalam kedua-dua hikayat tersebut gambaran keistimewaan tokoh wira
diberikan sejak dari kecil lagi. Kelahiran Amir Hamzah telah diramalkan oleh pembesar
Parsi yang bernama Khoja Buzuijum- hur Hakim. Bahkan beliaulah yang menamakan
anak itu sebagai Amirul Mukminin Hamzah.70 Dalam ramalan itu beliau menyatakan
demikian:
“Hei Khoja Abdul Mutalib, kanak-kanak inilah kelak yang membuka agama Nabi
Muhammad Rasulullah s.a.w. Di dalam dunia ini Hamzah inilah yang tiada berlawan dan
ialah yang menghukumkan tujuh penjuru dunia ini, ialah yang mengalahkan negeri yang
besar-besar, semua negeri itu di dalam hukum dan takluknya semua memberi ufti akan
dia; dan ialah seperti harimau di hadapan seterunya”. (A Samad Ahmad 1987:24-25).
Kisah kegagahan Amir Hamzah sebagaimana Hang Tuah ter- serlah sejak dari
kecil lagi. Misalnya ketika berumur tujuh tahun dia dapat membantun sepohon kurma
yang sedang lebat berbuah sehingga mengherankan penduduk Makkah pada masa itu. Dia
juga dapat membunuh seorang pendekar yang gagah. Juga berjaya membunuh 70 orang
penunggu berhala.
Hikayat Amir Hamzah juga memperlihatkan perpaduan dan keutuhan orang Islam.
Apabila mereka berhadapan dengan musuh, mereka menentang dengan penuh keberanian
dan kegagahan, walaupun jumlah musuh itu amat ramai. Di sini hikayat ini men- cuba
memperlihatkan kepentingan perpaduan di kalangan penga- nut-penganut agama Islam.
Dengan perpaduan yang teguh, mereka dengan mudah dapat menentang musuh; misalnya
peristiwa pengepungan bandar Madain oleh tentera Arab menggambarkan sifat perpaduan
dan ketabahan tentera untuk menghadapi musuh mereka.
Pendewaan kepada wira Muhammad Hanafiyah dan juga Amir Hamzah jelas
terdapat dalam episod penyerangan Portugis ke atas Melaka apabila hulubalang Melayu
mahukan Hikayat Muhammad Hanafiyah dibaca bagi menaikkan semangat pahlawan
Melayu. Pada mulanya diberikan Hikayat Amir Hamzah tetapi yang diminta ialah Hikayat
Muhammad Hanafiyah, lalu hikayat ini diserahkan kepada pahlawan-pahlawan Melaka
itu. Lihat petikan episod tersebut sebagaimana dalam Sejarah Melayu:
Maka Sultan Ahmad pun menghimpunkan orang, dan disuruh berhadir senjata.
Maka hari pun malamlah, maka segala hulubalang dan segala anak tuan-tuan semuanya
bertunggu di balairung. Maka kata segala anak tuan-tuan itu, “Apa kita buat bertunggu
di balairung diam-diam sahaja? Baik kita membaca hikayat perang, supaya kita beroleh
faedah daripadanya.”
Maka kata Tun Muhammad Unta, “Benar, kata tuan-tuan itu, baiklah Tun Indera
Segara pergi memohonkan Hikayat Muhammad Hanafiyah,sembahkan mudah-mudahan
64
dapat patik-patik itu mengambil faedah daripadanya, kerana Fe- ringgi akan melanggar
esok hari.” Maka Tun Indera Segara pun masuk menghadap Sultan Ahmad. Maka segala
sembah orang itu semuanya dipersembahkannya ke bawah duli Sultan Ahmad. Maka oleh
Sultan Ahmad dianugerahi Hikayat Amir Hamzah. Maka titah Sultan Ahmad pada Tun
Indera Segara, “Katakan kepada segala anak tuan-tuan itu, hendak pun kita anugerahkan
Hikayat Muhammad Hanafiyah, takut tiada akan ada berani segala tuan-tuan itu seperti
Muhammad Hanafiyah; hanya jikalau dapat seperti Amir Hamzah pun padalah; maka
kita beri Hikayat Amir Hamzah.”
Maka Tun Indera Segara pun keluarlah membawa Hikayat Amir Hamzah. Maka
segala titah Sultan Ahmad itu semuanya disampaikannya pada segala anak tuan-tuan itu.
Maka semuanya diam, tiada menyahut.Maka kata Tun Isap pada Tun Indera Segara,
“Persembahkan ke bawah Duli Yang Dipertuan, salah titah baginda itu. Hendaknya Yang
Dipertuan seperti Muhammad Hanafiyah, patik-patik itu adalah seperti hulubalang
Baniar.”
Maka oleh Tun Indera Segara segala kata Tun Isap itu semuanya
dipersembahkannya kepada Sultan Ahmad. Maka baginda pun tersenyum. Maka titah
Sultan Ahmad, “Benar katanya itu”. Maka dianugerahi pula Hikayat Muhammad
Hanafiyah. (Shellabear 1978: 203)
65
BAB VI
PANTUN SEBAGAI PUISI KLASIK
A. PENGERTIAN PANTUN
Pantun adalah satu genre yang sangat disukai oleh masyarakat melayu. Menurut
teuku iskandar, naskah asli perhimpunan pantun melayu diterbitkan pada tahun 1877
oleh w. Bruining di batavia. 2 braginsky memberi istilah terhadap pantun dengan
puisi empat seuntai atau kuatren yag berirama silang. Pantun memiliki bentuk/
struktur teks seperti pantun lainnya. Hal ini ditandai dengan adanya rima akhir pada
akhir baris yang berpasangan. 3 pantun merupakan khazanah lisan melayu tradisional
yang terdiri dari empat baris yang mandiri dengan skema rima abab. Dua baris
pertama merupakan pembayang atau sampiran, sedangkan dua baris berikutnya
mengandungi isi. Biasanya bagian pembayang merupakan unsur-unsur alam,
sementara bagian isi merujuk kepada dunia manusia yang meliputi perasaan,
pemikiran, dan perbuatan manusia. Selain bentuk empat baris, pantun juga bisa
terdiri dua baris, enam baris, delapan baris, dan bentuk berkait yang dikenal sebagai
pantun berkait.4 namun ada juga yang mengangap bahwa pantun melayu sekedar
hasil dari kreativitas orang-orang melayu dalam mempermainkan kata-kata. (tuti et
al., 2012)
Kata pantun mengandung arti sebagai, seperti, ibarat, umpama, atau laksana. Sebagai
contoh kita sering mendengar ucapan-ucapan ―sepantun labah-labah, meramu dalam
badan sendiri‖. Kata sepantun dalam susunan kalimat di atas mengandung arti sama
dengan semua yang diungkapkan di depan.
Pantun merupakan bentuk puisi asli indonesia (melayu). Namun, istilah pantun
pernah menjadi perdebatan sebagian pengamat sastra. Sebagian dari mereka
menyatakan bahwa kata pantun berati misal, seperti, umpama (pengertian semacam
ini juga termuat dalam kamus besar bahasa indonesia).
Namun, ada sebagian orang yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari bahasa
jawa, indonesia (melayu).
Pendapat yang menyatakan bahwa kata pantun berasal dari bahasa jawa dikuatkan
oleh adanya salah satu jenis puisi lisan jawa yang mirip pantun. Dalam kesusasteraan
jawa, ikatana window puisi yang mirip dengan pantun ini dinamakan parikan.
Ada sebuah pendapat yang menyatakan bahwa parikan berasal dari kata rik yang bisa
dibandingkan dengan larik yang berarti baris atau menderetkan. Fungsi parikan tidak
jauh beda dengan pantun, yaitu untuk melukiskan perasaan cinta, alat untuk
menyindir, sebagai lelucon, dan sebagainya. Parikan lazim digunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Sebagaimana halnya pantun, dalam parikan juga dikenal
istilah sampiran.
Bentuk parikan dalam kesusasteraan jawa bisa disejajarkan dengan bentuk pantun
dalam kesusasteraan melayu. Perbedaan antara parikan dan pantun terletak pada
jumlah larik tiap bait. Jika pantun terdiri empat baris, parikan hanya terdiri dua baris.
66
Dengan demikian, parikan bisa disejajarkan dengan pantun kilat atau karmina dalam
puisi melayu (uraian tentang karmina akan dibahas secara detail di bagian lain dalam
buku ini).
Agar lebih jelas, mari kita simak contoh parikan di bawah ini sehingga bisa
membandingkannya dengan karmina atau pantun kilat.
Jika kita cermati dua contoh parikan di atas, parikan ternyata juga bisa disusun empat
baris layaknya pantun. Namun, jika parikan disusun empat baris tiap bait, maka baris
ini hanya terdiri atas dua kata.
Meskipun ada perbedaan pendapat dari para ahli mengenai asal-usul kata pantun,
namun satu hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa parikan dan pantun
merupakan gubahan yang diuntai atau diikat oleh ikatan-ikatan tertentu. Ikatan-ikatan
inilah yang membedakan dengan bentuk karya sastra lisan yang lain dan merupakan
ciri khas yang mudah dikenali.
Pantun terbagi atas dua bagian, yaitu bagian sampiran dan isi. Sampiran (dua larik
pertama) merupakan pengantar menuju isi pantun, yaitu pada kedua larik berikutnya.
Umumnya larik larik dalam dua larik pertama (sampiran) hanya memiliki hubungan
persamaan bunyi dengan larik ketiga dan keempat dan tidak memiliki hubungan
makna. Agar lebih jelas, di bawah ini disebutkan beberapa ciri pantun.
B. SEJARAH PANTUN
Pantun merupakan sastra lisan yang dibukukan pertama kali oleh haji ibrahim datuk
kaya muda riau, seorang sastrawan yang hidup sezaman dengan raja ali haji. Antologi
pantun yang pertama itu berjudul perhimpunan pantun-pantun melayu. Genre pantun
merupakan genre yang paling bertahan lama. Pantun merupakan salah satu jenis puisi
lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa nusantara. Pantun berasal dari
kata patuntun dalam bahasa minangkabau yang berarti "petuntun". Dalam bahasa
jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa sunda dikenal sebagai
paparikan dan dalam bahasa batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa).
Pantun adalah genre kesusasteraan tradisional melayu yang berkembang di seluruh
dunia khususnya di nusantara sejak ratusan tahun lampau. Pantun adalah simbol
artistik masyarakat nusantara dan ia adalah lambang kebijaksanaan berfikir. Pantun
sering dijadikan sebagai alat komunikasi. Pantun bersifat ringkas, romantik dan
mampu mengetengahkan aspirasi masyarakat dengan lebih jelas. Ia begitu sinonim
dengan pemikiran dan kebudayaan masyarakat nusantara dan malaysia.
Di nusantara, pantun wujud dalam 39 dialek melayu dan 25 bukan dialek. Pantun juga
didapati turut berkembang di selatan burma,kepulauan cocos, sri lanka, kemboja,
vietnam serta afrika selatan(kerana pengaruh imigran dari indonesia dan
malaysia).pantun di malaysia dan indonesia telah ditulis sekitar empat abad lalu.
Malah, ia mungkin berusia lebih tua daripada itu seperti tertulis dalam hikayat raja-
raja pasai dan sejarah melayu. Menyedari kepentingan pantun dalam memartabatkan
budaya melayu, jabatan kebudayaan, kesenian dan warisan negara di kementerian.
Za'ba dalam bukunya ilmu mengarang melayu menjelaskan, "perkataan pantun itu
pada mulanya dipakai orang dengan makna seperti atau umpama." ada pendapat
mengatakan perkataan pantun adalah daripada bahasa minangkabau iaitu panuntun
yang bermaksud pembimbing atau penasihat yang berasaskan sastera lisan dalam
pengucapan pepatah dan petitih yang popular dalam masyarakat tersebut.sehingga hari
ini, pantun sering digunakan dalam upacara peminangan dan perkahwinan atau
sebagai pembuka atau penutup bicara dalam majelis-majelis resmi.
68
C. JENIS-JENIS PANTUN
Pujawan menjelaskan bahwa pantun adalah bentuk puisi lama yang terdiri atas
empat baris yang bersajak bersilih dua-dua yaitu berpola ab-ab dan tidak boleh a-a-b-b,
atau a-b-b-a, dan biasanya tiap baris terdiri atas empat perkataan. Dua baris pertama
disebut sampiran, sedangkan dua baris berikutnya disebut isi pantun. Pantun pada
mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Ia
mengemukakan bahwa pntun memiliki jenis-jenis yaitu :
Pantun agama;
Pantun adat;
Pantun budi;
Pantun jenaka;
Pantun kepahlawanan;
Pantun kias;
Pantun nasehat;
Pantun percintaan;
Pantun peribahasa;
Pantun perpisahan;
Pantun teka-teki.
Pantun merupakan puisi indonesia klasik yang paling banyak diteliti oleh para pakar
sastra, baik dari indonesia maupun dari luar negeri. Para peneliti pantun antara lain
adalah dow purbatjaraka, intojo, amir hamzah, hussin djajadiningrat, pijnappel, r.o.
Winsted, van ophuysen dan h.c. Klinkert.
Para ahli yang meneliti pantun mengemukakan pandapat mereka tentang pantun,
khususnya yang berkaitan dengan unsur sampiran dan isi. Mereka mengemukakan
pendapat tentang hubungan antara sampiran dan isi. Adapun beberapa pendapat para
peneliti pantun tentang hubungan antara sampiran dan isi pantun adalah sebagai
berikut.
Seorang peneliti lain bernama hooykas rupanya lebih bersifat netral dalam
memandang apakah antara sampiran dan isi maknanya saling berhubungan atau tidak.
Menurut hooykas, pada pantun yang baik ada hubungan makna tersembunyi dalam
sampiran dan isi, sedangkan pada pantun biasa atau kurang baik, hubungan tersebut
semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi.
Dalam buku puisi lama, sutan takdir alisjahbana menyatakan bahwa hubungan antara
sampiran dan isi hendaknya dipandang dalam kaitannya dengan cara manusia
mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Secara umum, manusia selalu berusaha
mengucapkan apa-apa yang dia pikirkan dan rasakan dengan sebaik-baiknya menurut
ukuran dia.
Adapun dalam pantun, pikiran dan atau perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu
irama, bunyi, dan isi. Namun, ketiga hal ini (irama, bunyi, dan isi) tidak selalu hadir
bersama sama dalam sebuah pantun. Hanya irama yang selalu ada dalam setiap
pantun.
Terlepas dari masalah apakah ada hubungan makna antara sampiran dan isi, satu hal
yang harus diakui adalah bahwa isi pantun merupakan hal yang sangat penting. Isi
pantun dianggap penting karena isi panting mengandung pesan yang ingin
disampaikan oleh pemantun (penutur pantun). Dengan demikian membahasa pesan
apa yang terkandung dalam sebuah pantun adalah jauh ebih penting daripada sekedar
memperdebatkan apakah ada hubungan makna antara sampiran dan isi.
Pantun tergolong puisi lama dan atau puisi klasik melayu (winstedt, 1977; daillie,
1990; alisjahbana, 2009). Keberadaannya ternyata masih mendapat tempat yang
istimewa dalam masyarakat pendukung budaya melayu (malik, 2013). Oleh sebab itu,
jenis puisi lama melayu itu tetap lestari sampai sekarang ini. Keistimewaan pantun
tersirat dalam bait-bait pantun karya haji ibrahim (riau, 2002).
Inilah pantun baharu direka
Menyurat di dalam tidak mengerti
Ada sebatang pohon angsuka
Tumbuh di mercu gunung yang tinggi
Etimologi kata 'pantun' tidak begitu jelas. R. Brandstetter menganggap bahwa kata
'pantun' berasal daripada akar kata 'tun'. Dalam beberapa bahasa daerah indonesia dan
filipina, semantik kata-kata turunan dari akar kata 'tun' menyimpang dari arti semula,
yaitu 'baris' atau 'deret', sampai menjadi "kata-kata yang dirangkai dalam bentuk prosa
atau puisi" (winstedt 1991:136-137).3
Di antara bentuk-bentuk puisi lisan yang relatif sederhana, terdapat bentuk yang
sekeluarga atau mungkin bahkan "nenek moyang" bentuk pantun. Yang dimaksud di
sini ialah rangkai-rangkai kata kiasan yang berima, yang serupa dengan teka-teki atau
pepatah dalam bentuk teka-teki, yang berasas
71 paralelisme atau kesejajaran bunyi yang
nyata dan kesejajaran arti yang lebih tersirat. Rangkai-rangkai kata demikian ini terdiri
dari dua baris (larik), yang pertama merupakan larik yang diucapkan, yakni teka-teki
itu sendiri; sedang yang kedua merupakan larik yang tidak diucapkan, yakni jawaban
atas teka-teki tersebut.
Misalnya, jika seorang bujang melayu sudah tidak lagi mencintai gadisnya, dan ia
bermaksud menyampaikan kata hatinya kepada gadis itu, maka dia akan mengatakan
"dahulu parang, sekarang besi". Dengan "teka-teki" yang berima demikian itu, seakan
akan ia pun sekaligus sudah menyampaikan jawabannya, yaitu: "dahulu senang.
Sekarang benci". Mendengar itu si gadis akan menjawab: "pinggan tak retak, nasi tak
dingin", yang merupakan alusi untuk jawaban yang berima dan berasonansi pada teka
teki tersebut, ialah: "tuan tak hendak, kami tak ingin".
Sepintas lalu kaitan antara "teka-teki" dan "jawaban" dalam dua pepatah tersebut
hanya berupa bunyi semata-mata. Tetapi, menurut hemat kami, persoalannya tidak
sesederhana itu. Pertama-tama, pada "teka-teki" si bujang, persoalan berkisar pada
benda-benda yang termasuk 'dunia laki-laki', seperti parang dan besi. Sedangkan
dalam "teka-teki" si gadis, persoalannya ada dalam 'dunia perempuan', seperti pinggan
dan nasi. Perubahan parang ke besi merupakan suatu transformasi, dari sesuatu yang
penting dan berguna ke sesuatu yang sama sekali tidak bermanfaat (bandingkan
kesejajarannya dengan makna 'mencintai': 'membenci'). Tetapi baik dengan pinggan
maupun dengan nasi tidak terjadi apa-apa. Hal ini adalah alusi semantik untuk sikap
acuh tak acuh si gadis pada perubahan dalam hati si bujang (bandingkan dengan kata
kata "tuan tak hendak, kami [pun] tak ingin").
Pantun klasik mempunyai susunan bunyi yang sangat rumit. Karena biasanya yang
diperhatikan tidak saja perulangan bunyi dalam rima-rima akhir, tetapi juga kesamaan
72
fonem (berupa rima intern atau asonansi) pada kata-kata yang terkait berpasangan,
dari bagian 'sampiran dan bagian 'isi'. Misalnya:
1 2 3 4
5 6 7 8
9 10 11 12
13 14 15 16
Dalam pantun dari hikayat koris mengindra (abad ke-17) ini, semua kata terkait
berpasangan oleh bermacam-macam ulangan bunyi: kata 1-9 dan 7-15 berpasangan
ulangan kata lengkap; 2-10, 3-11, 4-12, 5-13, 6-14 berpasangan rima; dan 8-16
berpasangan rima dan asonansi. Dengan demikian di dalam pantun ini jelas sekali
adanya "kesamaan bunyi yang melalui sepanjang segenap larik [yang berpasangan]",
yang dianggap oleh r. Wilkinson (1907:53) sebagai dasar struktur pantun. Di samping
itu tidak terlalu sulit untuk melihat adanya aliterasi pada larik-larik kedua dan ketiga
pantun ini (disambar - dengan; diturut datang), demikian pula adanya paralelisme arti
yang penuh di antara kedua bagian pantun itu, tentu saja tidak semua pantun
mempunyai susunan bunyi yang begitu canggih. Tetapi pada umumnya susunan bunyi
demikian itulah yang merupakan kecenderungan genre sastra ini. Atas dasar kajian
statistik, struktur fonetik pantun pada umumnya dapat dilukiskan sebagai berikut:
73
Skema di atas memperlihatkan, bahwa hubungan bunyi bukan kebetulan pada semua
kata yang berpasangan secara vertikal, walaupun hubungan ini bersifat mutlak hanya
pada rima-rima akhir (4 12, 8 16). Adapun pasangan 2-10 dan 6 -14 dihubungkan
oleh rima atau asonansi, terdapat pada sekitar 75% dari pantun yang dikaji;
sedangkan pasangan-pasangan lain tidak begitu sering dihubungkan, walaupun tidak
berarti jarang belaka.
Di samping itu secara horisontal pantun menunjukkan susunan yang simetris, yaitu
terbagi dalam dua hemistik (paro larik) yang sama. Batas-batas hemistik itu ditandai
dengan rima atau asonansi yang dalam hal ini menunaikan fungsi ritmis, yaitu
menegaskan irama dalam larik. Secara vertikal pantun menunjukkan susunan yang
paralel. Dalam rangka paralelisme tersebut, rima dan asonansi dari bagian 'sampiran'
menunaikan fungsi semantis, yaitu, melalui alusi bunyi pada kata-kata pasangannya
yang akan timbul dalam bagian 'isi', juga sedikit banyak meramalkan arti kata-kata
pasangan itu (altmann 1963:280-281).
Sifat hubungan antara bagian pertama dengan kedua, selama lebih dari seratus tahun
terakhir ini, tetap menjadi soal besar di kalangan para peneliti pantun. Di antara
mereka itu misalnya w. Marsden, j. Pijnappel (1883), h. Overbeck (1922a) dan r
stiller (1971), semuanya mengutamakan pada adanya asosiasi semantik antara
'sampiran' dan 'isi'. Peneliti-peneliti lain, misalnya c.a. Van ophuyzen (1904) dan c.
Hooykaas (1947; 1953), tidak banyak melihat adanya hubungan semantik antara
'sampiran' dan 'isi'. Mereka berpendapat, bahwa fungsi 'sampiran' dalam pantun ialah
hanya untuk membentuk rima bagi 'isi'. Peneliti ketiga, terutama r. Wilkinson (1907),
mengajukan hipotesis fonetik sugestif tentang 'sampiran'; bahwa kesesuaian
kesesuaian bunyi yang terdapat pada dua 74 bagian itu, memberi isyarat tentang apa
yang akan dinyatakan di dalam bagian 'isi'. Hipotesis ini hampir sama dengan
pendapat r.o. Winstedt (wilkinson dan winstedt 1914; winstedt 1991:137-146), yang
sekaligus juga menekankan peranan hubungan semantis atau maknawi yang, menurut
dia, sering begitu istimewa dan khas melayu, sehingga sukar untuk ditangkap dan
dipahami tanpa pengetahuan dalam tentang kebudayaan melayu. Di antara sekian
banyak pantun yang ada, tentu saja ditemui contoh-contoh yang bisa memberi
pembenaran pada masing-masing hipotesis tersebut.
Walaupun begitu beraneka warna, semua hipotesis yang telah diuraikan di atas
mempunyai ciri yang umum: semuanya tidak memperhitungkan sejarah
perkembangan kuatren-kuatren yang berdasarkan paralelisme. Namun, masih pada
akhir abad 19, tentang perkembangan ini telah dikemukakan oleh sarjana rusia, a.n.
Veselovsky, dalam karangan tentang apa yang disebutnya 'paralelisme psikologis'.
Dalam karangan itu, dengan menggunakan bahan bandingan yang cukup banyak
termasuk juga pantun, veselovsky merinci proses evolusi kuatren paralelis dan
menentukan beberapa fase proses itu yang dapat ditinjau dalam banyak sastra lisan
sedunia (veselovsky 1940:125-199). Fase-fase seperti itu mungkin juga telah dilalui
oleh genre pantun. Sementara itu tradisi melayu masih menyimpan contoh-contoh
berbagai untaian, yang disusun berdasar prinsip-prinsip khusus pada masing-masing
fase. Karena itu, kiranya, dalam uraian peneliti-peneliti yang disebut tadi, ciri-ciri
yang tipikal bagi salah satu fase dimutlakkan dan diluaskan pada seluruh tradisi
pantun.
Penyedaran nilai estetika dari keserupaan fonetis 'sampiran' dan 'isi', rupa rupanya
sejalan dengan proses perkembangan dan perluasan bidang semantik dari 'kata-kata
motif (yaitu kata yang berhubungan dengan citra tertentu) yang lebih awal termasuk
dalam 'sampiran' dan 'isi'. Penyedaran ini jugalah yang menjadi salah satu "saringan"
untuk pemilihan kata-kata baru yang paling cocok pada 'bidang semantik' kata
semula. Yang diutamakan oleh "saringan" ini ialah kata-kata yang melalui asosiasi
fonetis berkaitan dengan 'kata motif'-semula. Sebagai akibatnya, maka lahirlah
semacam "bahasa" yang khas dalam pantun yang tersusun apik. Kesatuan-kesatuan
dasar "bahasa" itu merupakan pasangan-pasangan kata yang saling berkaitan, baik
menurut bunyi maupun menurut artinya. Lebih penting lagi ialah pembentukan aturan
aturan untuk menumbuhkan lebih lanjut pasangan kata yang demikian itu. R. Stiller
menamakan kesatuan dasar tersebut dengan istilah melayu 'lambang' (simbol), dan
memberinya definisi sebagai berikut:
"lambang bukan hanya rima belaka. Tambahan pula persamaan bunyi di dalamnya
terkadang tidak lengkap, terkadang tersembunyi di balik "kata ketiga" yang tersirat
dalam pikiran, tetapi tidak pernah diucapkan. Lebih penting dari persamaan bunyi
ialah hubungan-hubungan maknawi dan simbolis (antara kata-kata dalam 'sampiran'
dengan kata-kata dalam 'isi' yang saling berpasangan; v.b.) Yang juga dapat dicari di
dalam lambang. Karena adanya hubungan maknawi itu, berbeda dengan rima,
lambang binasa jika terlepas dari konteksnya" (stiller 1971:xxi).
Jika prinsip-prinsip susunan fonetik dan ritmik seperti diuraikan di atas menentukan
sintaksis "bahasa" pantun, maka keseluruhan lambang-lambang seolah olah
merupakan "kamus" untuk "bahasa"75 pantun itu. Dalam "bahasa" ini dapat
dikemukakan beberapa tingkatan leksikal. Tingkatan leksikal yang pertama
mengandung arti kebahasaan biasa. Pemahaman terhadap pantun-pantun yang
disusun dari lambang-lambang yang bersangkutan dengan tingkatan ini tidak akan
terlalu sukar, sehingga tidak juga memerlukan pengetahuan khusus untuk itu. Sangat
mudah, misalnya, orang memahami arti pantun berikut ini:
Paralel antara awan berarak di ketinggian gunung dengan si dia yang entah di mana
rimbanya, dan antara pelita yang menyala dengan cinta kepada si dia yang tetap
membara di hati, semuanya tertangkap dengan sangat mudah dan jelas. Begitu juga
halnya dengan lambang-lambang dalam pantun berikut:
Pada pantun di atas paralelisme telah mengikat antara citra burung kuau yang
tertangkap dengan kekasih yang ada dalam pelukan; antara gunung dan lembah ke
mana air terjun mengarah, dengan dada ke mana kekasih ingin menyandarkan
kepalanya. Tetapi pantun berikut ini memerlukan sekedar ulasan:
Agar dapat memahami maksudnya, pertama-tama harus diketahui bahwa bagi orang
melayu kerengga, yaitu jenis semut yang besar, selalu dihubungkan dengan
"bayangan tentang penderitaan cinta yang mengingatkan sengatan semut besar
tersebut pada dia", sedangkan air mawar "yang mengobati sengatan itu, sebaliknya
melambangkan kasih seseorang yang dulu pernah mendatangkan penderitaan cinta"
(nevermann 1961:67).
Dari contoh pantun di atas tampak, bahwa arti lambang pada tingkatan leksikal kedua
tidak dengan sendiri langsung muncul. Sebab di samping mempunyai arti kebahasaan,
lambang-lambang pada tingkatan ini juga mendukung makna yang khas bagi tradisi
pantun. Justru lambang-lambang tingkatan kedua, yang merupakan simbol simbol
tetap itulah, sering diulangi, dan - hal ini sangat penting - disosialisasikan, yaitu
dipahami dan dipakai umum, membentuk 76 inti di dalam "kamus" tradisi pantun itu.
Agar bisa memahami lambang-lambang pada tingkatan ini, hendaknya lebih dahulu
diketahui aspek mana yang menurut tradisi harus ditonjolkan, arti kiasan apa yang
diberikan terhadapnya, dan kata apa yang dimaksud oleh bunyi kata tersebut.
Juga khas untuk tingkatan kedua ialah lambang-lambang yang di dalamnya lebih
diutamakan isyarat fonetis atau isyarat bunyi. Jika misalnya pada 'sampiran' timbul
kata 'hujan', maka tidak sukar meramalkan bahwa dalam isi akan timbul kata 'bujang';
jika dalam 'sampiran' terdapat kata 'rama-rama', serangga yang sering terbang
berpasangan itu, maka dalam 'isi' akan muncul kata 'bersama-sama', dan sebagainya:
Rangkaian kata-kata 'antara jati dan bintan' mengandung alusi pada wadah perasaan
rahasia yang ada di 'antara hati dan jantung'. Sedangkan kata 'padi' selalu dikaitkan
dengan kata 'hati'.
Terkadang kedua deretan lambang tingkatan ini, yaitu yang mengutamakan alusi
bunyi kata dan yang mementingkan isyarat makna kata, dijalin-jalin satu sama lain.
Misalnya, jika pada bagian pantun yang pertama muncul kata bilangan 'lima', maka
selanjutnya alusi bunyi akan menghubungkannya dengan kata 'delima', sedangkan
alusi maknawi akan mengisyaratkan jawaban terakhir: yang dimaksudkan dalam
pantun ini ialah 'kekasih'. Seperti sudah dikemukakan di atas, 'delima' lazim dipakai
sebagai lambang 'kekasih'.
77
Termasuk lambang tingkatan kedua juga ialah kata-kata alusi geografis dan historis,
seperti terdapat dalam pantun berikut ini:
Nama-nama tempat teluk, siam, dan mekah tidak sekedar merupakan alusi bunyi
untuk kata 'berpeluk', 'bercium' dan 'bernikah'. Jarak jauh yang memisahkan tempat
tempat itu dari si pelaku, menunjuk tentang betapa jauh ia terseret dalam hubungan
cinta. Sementara itu nilai tempat-tempat tersebut, yang pasti berbeda-beda bagi orang
melayu, menunjuk tentang betapa penting arti setiap perbuatan yang bersangkutan
bagi penilaian si pelaku: perbuatan "berpelukan" sepenting teluk saja, sedangkan
perbuatan "pernikahan" sepenting mekah! Berikut ini sebuah pantun dari sejarah
melayu:
Untuk menangkap maksud pantun di atas, perlu diketahui kisah yang melatar
belakanginya sebagai berikut. Seketika jana khatib si pengembara sakti tiba di
singapura, ia tahu bahwa dari balik jendela diam-diam ratu memperhatikannya.
Seketika itu juga ia ingin merebut hati sang ratu, dengan memamerkan kekuatan gaib
yang dimilikinya. Maka dibelahnya sebatang pohon kelapa menjadi dua, hanya
dengan kekuatan pandangan matanya belaka. Untuk perbuatannya yang lancang ini ia
dijatuhi hukuman mati di singapura, dan mayatnya dikuburkan di langkawi.
Dalam menafsir 'sampiran' pantun tersebut r.o. Winstedt menyatakan, bahwa 'telur
itik' melambangkan kesunyian tokoh kisah dan kehidupannya sebagai pengembara.
Adapun "tikar pandan putih halus di rumah melayu" yang tidak boleh dirambah kaki
yang berkasut, ialah lambang "perempuan cantik... Yang mesti diperlakukan dengan
penuh kebijaksanaan oleh pemujanya" (winstedt 1991:141). Dengan demikian
'sampiran' pantun mengisyaratkan tentang perbuatan salah yang telah dilakukan jana
khatib, sedangkan pantun seutuhnya mengisahkan ceritanya secara agak lengkap.
Termasuk lambang tingkat ini ialah lambang "spontan", yang timbul dalam proses
semacam mengutarakan cintanya atau bercumbu rayu dengan sindir-menyindir,
pepatah petitih, senda gurau, saling bertegur sapa dan puji-memuji. Lambang-
lambang demikian ini jarang berasaskan asosiasi maknawi atau simbolisme yang
halus, sehingga karena itu kiranya merupakan dasar dari hipotesis tentang hubungan
bunyi belaka dalam pantun.
Tetapi ada kalanya lambang-lambang yang paling baik dan canggih di antara yang
diimprovisasi itu diingat orang. Lambang ini mulai diulangi, dan kemudian pindah
pada tingkatan kedua. Dengan cara demikian timbullah kemungkinan diciptakannya
variasi dalam rangka lambang-lambang kanonik, sehingga simbolisme pantun tidak
menjadi usang, melainkan selalu dilengkapi dan diperbarui. Hal ini juga mendorong
daya cipta para pengarang, dan merangsang mereka untuk menantang lambang-
lambang yang sudah ada dan yang sudah dipandang sebagai puncak keindahan.
Seperti halnya segala bentuk puisi miniatur yang canggih dan sudah diolah sampai ke
seluk-beluknya yang terakhir (misalnya ruba'i parsi, tanka jepang, dan lain lainnya),
juga pantun tidak tahan dengan sifat berbunga-bunga dan berlebihan. Apa saja yang
tidak perlu harus dihilangkan. Sintaksis berubah menjadi elipsis, dan makna dituang
di dalam isyarat atau alusi. Arti alusi ini bisa ditangkap dengan tepat, karena "bahasa"
pantun seolah-olah diproyeksi atas sistem 'asosiasi budaya yang disosialisasikan dan
memantulkan "cahaya" asosiasi-asosiasi ini. Jika pantun masuk ke dalam kalimat-
kalimat percakapan, sehingga berubah menjadi komponen suatu teks yang lebih
besar, maka pantun itu cenderung memadat menjadi satu larik saja. Ada kalanya pula
larik itu masih dipadatkan lagi menjadi sepatah kata alusi, yang di dalamnya tersirat
seluruh makna pantun lengkap.
Contoh baik pemadatan pantun yang demikian itu terdapat dalam percakapan dua
orang bujang, tercantum pada buku karangan h. Fauconnier, the soul of malaya ("jiwa
negeri melayu"), sebagai berikut:
79
"osman: "dari mana datangnya lintah?"
Apakah itu kutipan dari sebuah sandiwara absurd? Sama sekali bukan! Itu percakapan
biasa di antara dua bujang, yang seluruh artinya akan dipahami orang-orang
sekampung mereka. Mereka semua tahu, bahwa yang menjadi pembicaraan ialah
tentang masalah percintaan osman, sedangkan yang saling diucapkan ialah larik-larik
pertama dari pantun-pantun berikut ini:
Dengan bahasa pantun orang dapat bicara tentang berbagai aspek kehidupan. Hal ini
bisa dibuktikan oleh keanekaragaman tema gubahan-gubahan genre sastra ini.
"separo pantun-pantun dapat ditafsir sebagai sindiran. Juga dapat dianggap, bahwa
sebagian besar pantun mengandung unsur percintaan, walaupun hal itu tidak selalu
mencolok mata" (stiller 1971:xxii-xxiii).
Tetapi makna pantun tidak terbatas pada masalah percintaan saja. Melalui pantun
dagang, pengembara melantunkan kerinduan pada kampung halaman, dan
mengisahkan kesusahan hidup di rantau orang:
Atau:
Juga tidak sedikit pantun yang berisi mantra para pawang; nyanyian kanak-kanak,
nelayan dan pelaut; pengetahuan tentang perbintangan dan astrologi, dan sebagainya.
Pantun yang dilagukan bersahutan oleh dua paduan suara atau dua anak remaja,
rempuan, melahirkan semacam bentuk ikatan pantun yang disebut 'pantun berkait'.
Pada pantun berkait larik kedua dan keempat dari kuatren pertama digunakan sebagai
larik pertama dan ketiga pada kuatren kedua, dan seterusnya.
Inilah contohnya:
Rantai-rantai pantun demikian tidak hanya sangat disukai oleh tokoh-tokoh dalam
hikayat dan syair klasik, tetapi juga, berkat usaha seorang penyair romantikus jerman
a. Von schamisso, menjadi dikenal dan ditiru oleh beberapa sastrawan besar eropa,
terutama perancis dan rusia, seperti victor hugo, leconte de lisle, ch. Baudelier, v.
Bryusov, i. Bunin dan lain-lainnya (lihat dailie 1988:17-35; braginsky dan dyakonoff
[akan terbit]). Kadang-kadang pantun berkait merupakan suatu rekaan yang agak
tidak biasa. Misalnya, penulis kronik misa melayu menutup ceritanya tentang tamasya
laut sultan perak, iskandar, dengan pantun berkait yang dalamnya di setiap kuatren
"dua larik yang pertama menggambarkan istana perak butir demi butir, sedangkan
dua larik yang kedua menyanjung puji pada tuan istana itu" (winstedt 1991:145).
82
BAB VII
SASTRA SURAT-SURAT
Agus Sugiarto, 2005 menjelaskan bahwa suratadalah sarana komunikasi yang digunakan oleh
pihak tertentu kepada pihak lain dengan tulisan. Surat merupakan alat komunikasi tertulis untuk
menyampaikan pesan.
Dapat disimpulkan bahwa sastra surat adalah alat komunikasi seseorang sastrawan pada tahun
1970an yang ditulis sebagai sebuah ungkapan atau ekspresi bentuk dan bahasa yang bercorak
ukuriran sastra kuno (lama) oleh seorang sastrawan yang berumur diatas lima puluh tahun ke atas
untuk menyampaikan pesan-pesannya.
Surat resmi merupakan surat yang digunakan untuk keperluan resmi atau formal oleh pihak
tertentu bsik itu perorangan,organisasi,lembaga, maupun instansi tertentu guna meakukan
komunikasi satu sama lain secara resmi. Surat yang dimaksud dalam tulisan ini bukan surat dalam
pengertian kertas yang bertulis atau secarik kertas sebagai tanda atau keterangan, seperti yang
diartikan dalam KBBI (1995:978), Pengertian itu sejalan dengan van de Putten (2000) yang
mengatakan bahwa surat adalah tulisan tangan pada selembar kertas yang dikirim seorang kepada
orang lain untuk menyampaikan informasi.
Tradisi penulisan surat Melayu sudah berkembang di Nusantara sejak abad ke-16. Surat Melayu
tertua ditemukan di Ternate pada tahun 1521 vang ditulis oleh Sultan Abu Hayal kepada Raja
Portugal, |ohn 111, yang berisi pemberitahuan tentang pembunuhan Raja lernate vang tua, Bavan
Sirullah, dan pedagang Portugal, Francisco Serrao, karena diracun (Gallop, 1994:120).
Dalam tradisi penulisan Melayu vang formal sekurang-kurangnya ada delapan bagian yang selalu
muncul, yakni iluminasi (hiasan), cap (stempel), kepala surat, puji-pujian, isi, bingkisan, penutup,
dan alamat.
Iluminasi dalam surat Melayu sangat penting. Di samping memperlihatkan seni yang tinggi, ia
juga memperlihatkan asal-usul si pengirim surat. Tinta yang dipakai untuk menghias pun sangat
beragam, yakni tinta emas, tinta perak, dan cat air. Penggunaan tinta emas dan tinta perak
melambangkan keagungan dan kebesaran pengirim surat.
Cap, juga tidak kalah penting. Peletakan cap di atas surat memperlihatkan derajat dan pangkat
pengirim dan penerima surat. Gallop (1994) meneliti bahwa cap sangat berkaitan dengan bidang
seni, budaya, dan agama. Cap dalam surat dipakai sebagai pengganti tanda tangan, tanda keaslian
surat. Kepala surat biasanya ditemukan pada bagian alas surai; kata-kata yang sering dipakai
hampir seragam. Sama halnya dengan peletakan cap, peletakan kepala surat juga tergantung pada
derajat dan pangkat pengirim surat dengan penerima
84 surat. Kepala surat yang diletakkan di
sebelah kiri atau sebelah kanan menentukan bahwa pengirim surat jabatannya lebih rendah atau
lebih tinggi. Kepala surat ini bisanya ditulis dengan kaligrafi vang indah, bahkan sering dihias
dengan gambar yang cantik. Bagian lain, puji-pujian, merupakan bagian surat vang mencantumkan
nama, gelar pengirim dan penerima surat. Setelah puji-pujian, barulah masuk pada isi surat vang
bisanya ditandai dengan kata tertentu.
Bagian selanjutnya bingkisan yang di dalamnya disebutkan hadiah yang dikirimkan bersama
dengan surat. Bagian ini membuat hubungan antara pengirim dan penerima semakin dekat dan
bersahabat. Benda-benda yang menjadi bingkisan bermacam-macam, kipas bulu, jam, anggur,
kain, sagu, permadani, bahkan sampai pada budak. Sebagai contoh, Sultan Ternate dalam suratnya
kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia, bertahun 1755, menyatakan bahwa baginda
menghantar empat budak, tiga laki-laki dan seorang perempuan, seorang Papuah dan duapuluh
ekor nuri (Gallop, 1994:82). Bagian akhir penutup surat ditandai dengan kata tennaktub yang
diikuti dengan alamat berupa penyebutan tempat dan waktu penulisan. Contoh bagian penutup
surat Raja Ali kepada Jan Jacob van Rochussen, berbunyi Tennaktub di dalam istana kita negeri
Riau, Pulau Penyengat, kepada. 15 hari bulan Sya'ban al-muazzdm yaum al-Jum'at, waktu jam
pukul 5 tarikh sanat 12.65.
85
Bagian ini kadangkala penulisannya agak terpisah beberapa spasi dari isi surat Kadang-kadang
penutup surat ini juga ditulis dalam kaligrafi yang indah. Ada yang terdiri atas dua baris atau tiga
baris yang pembacaannya beralih alih dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.Bagian-bagian
surat formal itu tersebut berbeda formatnya dengan surat informal, yang biasanya bersifat pribadi.
Dalam surat ini tidak ada aturan-aturan tertentu.
2 Surat Perjanjian
Surat perjanjian Melayu yang sering juga disebut surat ikrar atau surat kontrak, biasanya berisi
pernyataan persetujuan antara dua orang atau lebih untuk berbuat sesuatu atau memberikan
sesuatu. Surat perjanjian Melavu tertua berangka tahun '1609 yang dibuat oleh VOC, sebuah
badan perdagangan Belanda vang diberi hak politik oleh Pemerintah Belanda di tanah Hindia
Belanda. Dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia — ialah satu lembaga di Indonesia
yang menyimpan beragam dokumen —surat- surat perjanjian yang paling banyak jumlahnya
berasal dari masa Pemerintah Kolonial Belanda dan VOC. Perjanjian itu dibuat oleh Pemerintah
Kolonial Belanda dengan para penguasa di Nusantara, seperti Sultan Hamengku Buwono I, Raja
Menado, Raja Alor, Sultan Banten, Raja Bali, Sultan Borneo.
Surat perjanjian Melayu tersebut formatnya berbeda dengan surat dinas, di samping
jumlah halamannya lebih banyak, bentuknya |uga terdiri atas beberapa pasal. Penggunaan
bahasa dalam surat kontrak biasanya tidak cukup hanya satu bahasa, bahasa Melayu,
tetapi kadang-kadang dua bahasa. Bahkan, ada yang menggunakan tiga bahasa sekaligus,
yaitu bahasa Melayu dengan aksara Jawi, bahas a Belanda dengan aksara Latin, dan
bahasa Sunda dengan aksara Sunda. Contoh perjanjian semacam itu ditemukan dalam
surat perjanjian Banten yang menjadi koleksi Arsip Nasional (ANRl: Banten 43/3). Surat
perjanjian itu berisi akte persetujuan Sultan Abui Mahassin Muhammad Zainal Abidin
dari Bantam dengan para pembesar VOC. Dalam surat itu dinyatakan bahwa sultan
berkewajiban menyerahkan uang 100.000 gulden kepada Belanda. Uniknya surat itu
disahkan dengan tanda tangan 13 orang yang masing-masingnya disertai dengan 13 cap
dan nama-nama mereka pun ditulis dengan aksara yang berbeda.
Jika surat perjanjian di atas menggunakan tiga bahasa, surat perjanjia Bongaya (ANRI:
Makassar, 273) yang dibuat di Makassar memakai dua ba hasa, bahasa Melayu dengan
aksara Jawi dan bahasa Belanda dengari aksara Latin. Surat perjanjian itu dibuat antara
Sultan Hasanuddin dan Gubernur Jenderal Cornelis Speelrnan setelah Perang Makassar.
Dalam perjanjian itu, Makassar harus mengakui kedaulatan VOC dan menyerahkan Bone,
Flores, dan Sumbawa kepada VOC, pada tahun 1667. Surat perjanjian lain yang memakai
dua bahasa adalah surat Perjanjian Ternate pada tahun 1692. Dalam surat itu dipakai
86
bahasa Melayu dan bahasa Ternate yang keduanya ditulis dalam aksara Jawi. Tanda baca
dipakai untuk teks yang berbahasa Ternate.
Surat Perjanjian Sullan Abui Mahassin Muhammad Zainal Abiilin, Batam Koleksi Arsip
Nasional, Jaloirla (Sumber: HtuirhilioH.v, 1996:5(1)
Di samping surat yang ditulis dalam dua bahasa, ada juga surat perjanjian yang ditulis dalam satu
bahasa, yaitu bahasa Melayu dengan aksara Jawi. Surat yang hanya menggunakan satu bahasa di
antaranya surat perjanjian Bali yang dibuat antara Raja Gusti Ngurah Made Karangasem dari
perampasan bagi kapal-kapal yang terdampar di sepanjang pantai laut Bali (ANRI:
BaliC.3).Dalam Bo' Sangaji Kai, semacam buku catatan Raja-Raja Bima, disebutkan juga
berbagai perjanjian yang dilakukan oleh Raja-Raja Bima dan Dompu dengan Kompeni. Surat
perjanjian pertama ditandatangani pada 1 Oktober 1669 di Makasar, surat perjanjian lainnya
dilakukan tahun 1701, dan 1731 (Chambert-Loir dan Salahuddin, 1999). Dalam buku itu
dilampirkan ke-3surat tersebut dalam edisi bahasa Belandanya yang diambil dari Corpus
Diplomaticum, Vol II: 419 — 42.6.
Dalam bagian awal beberapa surat perjanjian kadang-kadang tercatat tanggal pembuatan
perjanjian dan pada sebagian surat lainnya langsung disebutkan, misalnya surat ikrar, ini surat
perjanjian, atau paulu perjanjian diperkatakan. Jika surat itu merupakan perjanjian yang diperbaiki
pada bagian awalnya berbunyi Bahwa ini surat jang diubah daripada bunjiuja ......... atauAdapun
jang sudah diperbaiki.... Setelah itu, disebutkan orang-orang yang terlibat dalam perjanjian itu,
87
contohnya ini perjanjian antara Kompeni Welanda dengan Paduka Sri Sultan Mahmud. Setelah
kata-kata pembuka itu, perjanjian langsung pada bagian isi yang biasanya terdiri atas beberapa
pasal. Kata pasal selalu diikuti oleh nomor urut (angka) yang jumlahnya tergantung pada butir-
butir perjanjian.
Bagian isi perjanjian biasanya terdiri atas beberapa pasal dan menyangkut berbagai masalah. Surat
perjanjian antara Raja Paduka Muhijuddin Muhammad Zain Iskandar Monoarja dari Ternate dan
pemerintah Belanda, misalnya, berisi tentang pengakuan kekuasaan Sultan Hamengku Buwana
atas kerajaan Gorontalo (ANRI: Ternate, 131). Kontrak persahabatan dilakukan oleh tiga Pangeran
Cirebon dengan Jacob van Dijk pada 7 Januari -27 Pebruari 1681 (ANRI: Cirebon 38/4).
Perjanjian dari Menado antara Gubernur Jenderal Belanda F'rederik Jansen Rider dan Paduka Raja
Muhammad Nur Aliudin, salah satu pasal berbunyi Adapun maka Sri Paduka Raja beserta
menteri2 mengaku bahwa tanah Bawal yaitulah dipunyai tanah Wilanda. Lagipun mereka itu
mengaku sebagaimana Raja Wilanda dan guvernement Hindia Ncderland itu seperti tawan
pertamanan sambil berjanji ketulusan kebaktian dan penaklukan kepadanya dan kepada penjawat
memegang kuasanya. Surat tersebut terdiri atas 21 pasal.
Setelah bagian isi, agar para pembuat perjanjian tidak mengingkari janjinya, dalam beberapa surat
ada yang disertai dengan sumpah. Pada bagian akhir surat perjanjian Makassar, misalnya,
dinyatakan bahwa sumpah dilakukan di atas Qur'an. Demikian juga dengan surat perjanjian Riau,
yang di dalamya, antara lain berbunyi Maka sudahlah bersumpah pada djandji ini atas al-Qur'an
al-'azim. Setelah itu, surat ditutup dengan pernyataan, demikianlah ikrar, atau termaktub, lalu
disebutkan waktu terjadinya perjanjian tersebut. Dalam surat perjanjian Alor penutup suratnya
berbunyi, Demikianlah ikrar yang telah saya mengaku dengan bersumpah pada 9 Mei 1916, yaitu
pada / hari bulan Rajab Tahun Hijrat 1334. Bagian akhir surat perjanjian Makasar ikrar yang telah
saya mengaku dengan bersumpah pada 9 Mei 1916, yaitu pada 7 hari bulan Rajab Tahun Hijrat
1334. Bagian akhir surat perjanjian Makasar tertulis terhias tertapak tangan dan sudah bersumpah
di atas Mengkasar dalam kota Roterdam kepada 10 hari bulan ... tahun 1784 atau 1136 Zulkaidah.
Begitu juga dengan bagian akhir surat dari Menado, dalam bagian itu dinyatakan Sebegitu
dipahatkan diperbekas tangan dan dipersumpah di negeri Bawal pada sepuluh lima hari bulan
Agustus 1850 dilelangnya. Hampir mirip dengan surat itu hanya isinya lebih panjang adalah
perjanjian dari Bandjarmasin Tamat surat ini perdjandjian jang telah djadi di dalam istana Sri
Sultan dan Ratu Anom di Kajutangi jang telah mufakat dengan Kompeni Wilanda dalam hijrat
1160 tahun kepada tahun ba dan kepada bulan Rabiulawal dan pada hari Khamis dan yaitu dua
surat jang telah djadi dan dalam keduanja itu sama djua serta dengan tjapnja dan tapak tangan dan
satu surat jang tinggal di bawah Sri Sultan dan Ratu Anom dan jang satu surat tinggal di bawah
Kompeni.
Sebagai tanda pengesahan pada bagian akhir surat perjanjian terdapat cap yang disertai dengan
88
tanda tangan dan nama. Penulisan nama para penandatangan surat itu juga ada yang menggunakan
aksara lontarak, aksara Jawa, aksara Jawi, dan aksara Latin. Dalam surat perjanjian Bongaya,
umpamanya, penulisan nama pihak kolonial memakai huruf Latin, Sri Sultan Jukalan Tuduri
Saifuddin memakai aksara Jawi dan satu nama lain ditulis dalam aksara Bali.
Cap dalam surat perjanjian ini sama dengan cap dalam surat Melayu. Ada yang memakai dakwat
dari lilin atau lak (wax) berwarna merah atau stempel jelaga berwarna hitam. Dalam surat cap
biasanya diletakkan di bagian atas, pada surat perjanjian cap biasanya diletakkan di bagian bawah
teks. Dalam perjanjian Bongaya, cap yang tertera ada 4, dua cap dengan lilin atau lak merah yang
bentuknya bulat dan 2 cap dengan jelaga hitam. Salahsatu bentuk cap yang berwarna hitam ini,
bentuknya agak unik, menyerupai bentuk kubah. Bentuk cap sangat bervariasi dan sebagian besar
berbentuk lingkaran atau segi delapan. Sudewo (1986), yang pernah meneliti berbagai cap dalam
surat perjanjian, menemukan bahwa cap yang dipakai pihak Belanda kebanyakan berbentuk
lingkaran, belah ketupat, dan segi delapan lengkap dengan hiasan huruf dan flora. Sementara itu,
cap dari RajaRaja Nusantara lebih banyak elips berbentuk dan segi delapan dengan hiasan huruf,
geometrik, dengan berbagai kombinasi.
pertemuan pertama kali Raja Ali Haji dan Von de Wall terjadi pada 1857 di
Riau. Raja Ali Haji telah dikenal sebagai pengarang terkemuka Riau Lingga,
sementara Von de Wall menjabat Asisten Residen Riau.Ketika itu Von de Wall
89
sebenarnya tengah menjalankan dua tugas: menjadi asisten residen dan menyusun
kamus Belanda-Melayu. Menurut Hendrik M.J. Maier dalam Raja Ali Haji dan
Hang Tuah: Arloji dan Mufassar, tugas pertama hanyalah tugas sampingan,
sedangkan pekerjaan pokoknya adalah penyusunan kamus Belanda-
Melayu.―Tugas resminya ialah menyusun kamus bahasa dan tatabahasa Melayu
yang boleh dipegang sebagai pedoman oleh pegawai negeri. Tetapi, tidak
disangsikan Von de Wall diharapkan pula memberi taklimat kepada pegawai
atasannya mengenai perkembangan politik dan ekonomi di kepulauan Riau.
Karir militer Von de Wall dilepas setelah pada 1834 diangkat menjadi
pemimpin sipil di Kalimantan. Salah satu prestasi Von de Wall yang membuat
pejabat tinggi Belanda terkesan adalah ketika dia berhasil mengadakan perjalanan
untuk menjalin hubungan baik dengan penguasa-penguasa di pedalaman
Kalimantan. Di Kalimantan, Von de Wall menunjukkan ketertarikannya terhadap
bahasa Melayu. Dia pun lalu diminta oleh pemerintah pusat di Batavia untuk
mengerjakan kamus Belanda-Melayu, yang keberadaannya amat penting dalam
melanggengkan kekuasaan mereka di tanah jajahannya. Von de Wall menerima
jabatan asisten residen sebagai kompensasi tugas tersebut, dengan bayaran
mencapai 1.200 gulden sebulan.
Pada 1857, Von de Wall tiba di Riau. Salah satu kesultanan Melayu di Pulau
Sumatra tersebut terpilih sebagai tempat penelitian untuk penyusunan kamus
karena dianggap memiliki kebahasaan Melayu yang paling asli dan murni
dibandingkan daerah lain di Nusantara. Pada waktu itulah, Von de Wall pertama
kali bertemu dan berkenalan dengan Raja Ali Haji. Setelah pertemuan pertama,
Raja Ali Haji dan Von de Wall semakin sering bertemu. Raja Ali Haji menjadi
informan bagi Von de Wall dalam penyusunan kamus Belanda-Melayu. Dia juga
membantu kawan Eropa-nya itu menerjemahkan dan mengumpulkan naskah-
naskah di Kesultanan Riau Lingga, serta menyusun kosa-kata untuk kamus.
Pertemuan mereka biasanya diisi dengan saling bertukar ilmu. Von de Wall
tentang kebahasaan Melayu, sementara Raja Ali Haji tentang pengetahuan Barat
yang tidak pernah dia temukan di tempat kelahirannya. Pada awal terbentuknya
kerja sama antara Raja Ali Haji dengan Von de Wall, ikatannya tidak didasarkan
pada landasan formal. Raja Ali Haji hanya menerima imbalan berupa hadiah,
seperti senjata dan buku, bukan uang. Baru setelah beberapa tahun bekerja dia
mendapat tunjangan sebesar 30 rial sebulan. Hubungan persahabatan Raja Ali Haji
dan Von de Wall kian erat seiring dengan banyaknya pertemuan keduanya dalam
menyusun kamus Belanda-Melayu.
90
Setelah menyelesaikan pekerjaan membuat kamus Belanda-Melayu, kedekatan
Raja Ali Haji dan Von de Wall masih terjalin baik. Keduanya tidak pernah lupa
saling bertukar surat. Adapun beberapa surat surat dari Raja Ali Haji kepada Von
de Wall diantaranya
1.Surat Dated Rabiulakhir 1275 (i.e., 8 November to 6 December 1858)
Qaula l-haqq
Alhamdulillah wa al syukur Allah.
Kemudian kita menerima kasihlah yang amat banyak kepada sahabat kita yang
sebenarnya tolan kita yang boleh menerangkan kebenaran kita seperti lepaslah
keaiban kita dan kemaluan kita.
Syahdan yang kita pegang selama2 ini, biarlah kita jadi orang miskin atau jadi
orang kecil, asalkan jangan kita cacat kepada agama atau nama. Karena apabila
orang2 tiada memeliharakan yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di
dalam dunia karena sama juga dengan binatang.
Itulah siang malam kita pinta kepada Allah Taala kita hidup dengan kesempurnaan
yang kita sudah selama2nya mengetahui yang orang2 yang dialahkan dengan
sebab bughat itu haram badannya diperhamba atau hartanya diambil jikalau satu
jarum sekalipun, melainkan barang yang binasa di dalam peperangan itu, tiadalah
harus diganti.
Inilah tersebut di dalam kitab2. Nanti kita tunjukkan kepada sahabat kita tentang
hukuman bughat di dalam kitab yang sahabat kita suruh pakai kepada kita itu.
Apalagi kitab Arab, maka yaitu terlalu banyak serta dengan keras larangannya
tentang perkara itu.
Syahdan dari sebab inilah kita takut akan orang yang fasik2 yang tiada takut akan
Allah Taala barangkali ada kepada tangannya anak bini orang yang belum lepas
idahnya atau dengan tiada rida dirinya dicabulinya, diperbuatnya tidak ketahuan.
Maklumlah sahabat kita orang yang jahil2. Jadi pekerjaan itu zalim, memberi
cedera kepada ugama dan kepada negeri. Maka sebab itulah kita beri ingatan
kepada orang2 itu dengan surat yang sedikit itu, karena pekerjaan mengingatkan
orang wajib kepada kita. Hendakpun kita aturkan bini2 orang begini2 dan anak
yang kecil2 begini2, itu tiada sekali2 kita berani karena pekerjaan itu tuan residen
91
dengan Yang Dipertuan. Tiadalah kita boleh campur di situ. Inilah yang kita
pegang adanya.
Maktub Rabiulakhir sanah 1275 (The letter is addressed on side four as follows:
'alamat surat kepada sahabat kita tuan van de Wal asisten residen'.)
Qaula l-haqq
Salam yang dipesertakan beberapa hormat kepada paduka sahabat kita tuan van de
Wal.
Syahdan adalah kita memaklumkan daripada kitab Syarh al-K'fia ada yang sudah
diterjemahkan dengan bahasa Melayu, akan tetapi pada pikiran kita, jika benar
kepada paduka sahabat kita, biar habis Syajarah Melayu disurat oleh Raja Ismail
itu. Nanti boleh dipindahkan daripada menyurat syajarah itu kepada Syarh al-K'fia
pula, sebab syajarah sudah separuh, tiada berapa lagi habislah. Sebab dia menyurat
pun bukannya satu sahaja, disambilkan pula menyurat salinan kamus yang kita
perbuat itu, ia juga menyurat. Syahdan empat lima hari ini terhenti menyurat bab
al-Kaf, sebab kita lagi menambah2 pada yang tertinggal2 itu, disusup mana2 yang
tinggal itu pada kotak2 nya. Pagi ini dapat satu pula bahasa tertinggal pada bab al-
Pa, yaitu bahasa panndun, yakni 'satu kelamin daripada hewan sama ada manusia
atau hewan adanya'. Inilah kita kirimkan boleh paduka sahabat kita lihat sebentar
syajarah, kemudian kirimkan kembali supaya segera disudahkan.
Dan lagi bila2 paduka sahabat kita senang kita hendak datang menentukan kitab2
yang akan dipesankan di Mesir itu adanya. Intih'.
(N.B. At the top of the letter the word 'panndun' is written in Jawi, and in the right-
hand margin, near the underlined word 'keiurnin', the words 'iuki bini'.)
Salam yang dipesertakan dengan hormat kepada paduka sahabat kita tuan van de
Wal.
Syahdan adalah kita menyatakan kepada paduka sahabat kita pasal daripada
perkara kamus tentang daripada bahasa 'galur', adakah sudah terbuat atau belum.
Coba periksa pada bab al-Kaf awalnya, akhirnya Ra, kita lupa. Jikalau belum ada
kita kirimkan, boleh dibuat karena bahasa 'galur' lagi tengah mufassarnya yang am
manfaatnya. Sebab itu kita panjang dua hari lagi habislah. Apabila habis kita bawa
kepada paduka sahabat kita.
Syahdan yang kita pun tahu juga yang maksud paduka bukannya perkara mufassar,
hanyalah dikehendaki paduka sahabat itu hanyalah bahasa maknacmufrad jua.
Maka sudah jugalah ia makna mufrad. Adapun makna mufassar pada kamus yang
dicadangkan khas pada orang2 Melayu jua adanya.
4. Dated 18 Muharam 1288 H (9 April 187 1)
Qaula l-haqq
Salam kepada paduka sahabat kita tuan van de Wal.
Syahdan kita dapat khabar kepada Datuk semalam, yang paduka sahabat kita akan
berangkat ke Betawi kepada mil ini, lamanya dua tahun karena berobat. Jadi jika
kita tiada uzur, petang2 sekarang atau esok kita berjumpa paduka sahabat kita jua.
Pagi ini kita hendak pergi mengambil anak2 kita di Pengujan dibawa di Penyengat
sebab demam. Dan air terlalu kering, jadi terhenti kita sebentar menantikan pukul
sepuluh menurunkan sekoci, baharu dapat air adanya.
Syahdan suatupun tiada burhan al-hayat hanyalah doa bil'ajihi 'alaina ji Ead al-laila
wa n-nahar amin.
93
surat terakhir Raja Ali Haji kepada Von de Wall dikirim pada Desember 1872.
Setelah itu tidak ada lagi catatan mengenai komunikasi keduanya. Diketahui
bahwa, baik Raja Ali Haji, maupun Von de Wall wafat pada 1873. Sang pujangga
meninggal di Pulau Penyengat, sementara kawan Eropa-nya di Pulau Jawa.
BAB VIII
SASTRA HUKUM ADAT
Sastra dalam ruang spasial dan kronologis jenis ini adalah asli milik orang Melayu. Cara
penyampaian melalui kelisanan. Hidup dalam alam Melayu mulai dari pra sejarah hingga
hari ini. Disampaikan dalam siklus kehidupan orang Melayu, mulai dari tradisi
melahirkan, masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa dan memasuki usia
perkawinan, masa membina keluarga, masa-masa tua, hingga masa pra dan pasca
kematian atau penguburan
Indonesia memiliki latar belakang budaya tinggi yang tertulis dalam karya sastra.
Kekayaan yang dimiliki Indonesia sangat beragam, di antaranya berupa karya sastra, seni,
dan kebudayaan. Keanekaragaman karya sastra Indonesia bisa diketahui dengan
banyaknya karya sastra daerah. Karya sastra daerah yang sangat terkenal, salah satunya
adalah karya sastra Melayu. Kesusastraan Melayu memiliki dua bentuk utama, yaitu prosa
dan puisi. Bentuk kesusastrraan Melayu lama berbeda dengan sastra Indonesia baru mulai
dari peraturan penyusunannya hingga isinya. Seperti yang diketahui, bahwa sastra adalah
suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek & Warren, 1990:1). Sesuai dengan
fungsinya yang ada, karya sastra menurut Horatio adalah dulce et utile (menyenangkan
dan berguna). Dianggap berguna karena pengalaman jiwa yang dibeberkan dalam naskah
GDB dan dikatakan menyenangkan karena naskah ini enak dibaca. Suatu karya sastra
akan berfungsi sesuai dengan sifatnya. Kedua segi tadi, kesenangan dan manfaat, harus
ada dan saling mengisi. Kesenangan yang diperoleh dari sastra bukan seperti kesenangan
fisik lainnya, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak
mencari keuntungan. Sedang manfaatnya, keseriusan itu bersifat didaktis, yaitu keseriusan
yang menyenangkan, keseriusan estetis, dan keseriusan persepsi. (Wellek & Warren,
1990:26-27). Sastra pun memiliki makna lain. Menurut Robert Scholes, ―sastra itu sebuah
kata, bukan sebuah benda.‖ Sastra ialah teks-teks yang tidak selalu disusun atau dipakai
untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis dan yang hanya berlangsung untuk sementara
waktu saja (Jan van Luxemburg, 1984: 9).
Terkait dengan pengertian sastra Tjokrowinoto menjelaskan bahwa: ―Hasil cipta sastra
sebagai peristiwa seni, akan memancarkan rasa indah atau rasa estetis. Jika kita
berhadapan dengan hasil cipta sastra, maka kesan pertama ialah, bahwa hasil cipta sastra
itu memberi kenikmatan atau kepuasan kepada kita. Kepuasan dari membaca hasil cipta
sastra yang luhur adalah kepuasan batiniah, kepuasan yang menambah kekayaan batin
kita. Kesusastraan menghidangkan kepada kita berbagai masalah manusia dengan segala
segi-seginya, sukadukanya, dan sebagainya. Dengan mengetahui bagaimana sastra kita
itu, kita dapat memahami apa yang menjadi kehendak dan cita-cita leluhur kita dahulu.
Kita dapat meneruskan dan melaksanakan kehendak atau cita-cita yang belum terkabul.
Tetapi kita dapat mengetahui ilmu latar belakang timbulnya suatu ide atau gagasan yang
barangkali lain sekali dengan keadaan sekarang. Sekurang-kurangnya kita akan maklum
mengapa demikian itu yang menjadi gagasan nenek moyang kita pada waktu dahulu.‖
(Tjokrowinoto, 1999:1). Sastra klasik dan sastra modern mempunyai batasan. Batasan itu
salah satunya adalah batas waktu. Bagi sastra Indonesia ―batas waktu‖ tersebut adalah
abad ke-20 atau kisaran tahun 1900. Karya-karya sastra yang lahir sebelum tahun 1900
termasuk ke dalam sastra lama, dan termasuk karya sastra baru bila karya-karya sastra
95
tersebut diciptakan setelah tahun 1900. Dengan adanya batasan waktu tersebut terlihat
jelas perbedaan bentuk dan isinya. Jika dilihat dari susunan masyarakat dari masa ke
masa, jelas berbeda karena masyarakat pada masa dulu sangat terpengaruh oleh adat
istiadat. Pengarang pada masa itu tidak berani mengungkapkan jati dirinya. Pada masa itu
para pengarang hanya berani menulis perasaan masyarakat dan mengemukakan keadaan
masyarakat yang hidup adil makmur karena kebaikan sri baginda. Serta menceritakan
kehidupan keluarga istana yang bahagia dan sejahtera (Tjokrowinoto, 1999: 2). Menurut
Mulder melalui Aminuddin, karya sastra lama sangat kental dan tak dapat dipisah oleh
nuansa ajaran-ajaran edukatif dan bernilai positif. (Aminuddin, 1987:72
Istilah hukum adat dikemukakan pertama kali oleh Prof.Dr.Christian Snouck Hurgronye
dalam bukunya yang berjudul ―De Accheers‖(Orang-orang Aceh), yang kemudian diikuti
oleh Prof.Mr.Cornelis Van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul ―Het Adat Recht
Van Nederland Indie‖
Dengan adanya istilah ini, maka pemerintah kolonial Belanda pada akhir tahun 1929
mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundangan Belanda. Hukum adat
pada dasarnya merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat istiadat mencakup
konsep yang sangat luas.
Hukum Adat adalah Hukum Non Statuir yang berarti Hukum Adat pada umumnya
memang belum/ tidak tertulis. Oleh karena itu dilihat dari mata seorang ahli hukum
memperdalam pengetahuan hukum adatnya dengan pikiran juga dengan perasaan pula.
Jika dibuka dan dikaji lebih lanjut maka akan ditemukan peraturan-peraturan dalam
hukum adat yang mempunyai sanksi dimana ada kaidah yang tidak boleh dilanggar dan
apabila dilanggar maka akan dapat dituntut dan kemudian dihukum.
Definisi dari hukum adat sendiri adalah suatu hukum yang hidup karena dia menjelmakan
perasaan hukum yang nyata dari rakyat sesuai dengan fitrahnya sendiri, hukum adat terus
menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.
Untuk memperoleh suatu pengertian tentang hukum adat itu, dapat di kemukakan
beberapa pertanyaan seperti di bawah ini.
c. sejak kapan orang mulai meninjau dan memeriksa hukum adat di lapangan?
Apa gunanya pertanyaan-pertanyaan tersebut? Bukankah kita ini bangsa indonesia yang
hidup dalam hukum adat kita sendiri? Apakah hukum adat kita harus di ketemukan?
Memang, kita adalah orang indonesia yang hidup dalam suasana adat kita sendiri, akan
tetapi adat ini harus di ungkapkan, di ketahui, dan dimengerti untuk menyadari bahwa,
hukum adat kita adalah hukum yang tidak dapat di abaikan begitu saja. Hukum ini harus
di temukan supaya mendapat penghargaan yang selayaknya, bukan oleh kita sendiriakan
tetapi juga oleh bangsa lain.
Artinya bahwa kehidupan manusia selalu dilihat dalam wujud kelompok, sebagai satu
kesatuan yang utuh. Individu satu dengan yang lainnya tidak dapat hidup sendiri, manusia
adalah makluk sosial, manusia selalu hidup bermasyarakatan, kepentingan bersama lebih
diutamakan dari pada kepentingan perseorangan.
3. Bercorak Demokrasi
Bahwa segala sesuatu selalu diselesaikan dengan rasa kebersamaan, kepentingan bersama
lebih diutamakan dari pada kepentingan-kepentingan pribadi sesuai dengan asas
permusyawaratan dan perwakilan sebagai system pemerintahan.
Adanya musyawarah di Balai Desa, setiap tindakan pamong desa berdasarkan hasil
musyawarah dan lain sebagainya.
4. Bercorak Kontan
Pemindahan atau peralihan hak dan kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan
yaitu peristiwa penyerahan dan penerimaan harus dilakukan secara serentak, ini
dimaksudkan agar menjaga keseimbangan didalam pergaulan bermasyarakat.
5. Bercorak Konkrit
Artinya adanya tanda yang kelihatan yaitu tiap-tiap perbuatan atau keinginan dalam setiap
hubungan-hubungan hukum tertentu harus dinyatakan dengan benda-benda yang
berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji, semuanya harus disertai tindakan
nyata, tidak ada saling mencurigai satu dengan yang lainnya.
sumber hukum adat disini adalah sumber mengenal hukum adat, atau sumber dari mana
hukum adat kita ketahui, atau sumber dimana asas-asas hukum adat menyatakan dirinya
dalam masyarakat, sehingga dengan mudah dapat kita ketahui. Sumber-sumber itu adalah
:
Sumber ini merupakan bagian yang paling besar yang timbul dan tumbuh dalam
masyarakat yang berupa norma-norma aturan tingkah laku yang sudah ada sejak dahulu.
Adat kebiasaan ini meskipun tidak tertulis tetapi selalu dihormati dan ditaati oleh warga
98
masyarakat, sebagai aturan hidup manusia dalam hubungannya dengan manusia lain. Oleh
karena itu tidak tertulis, maka adat kebiasaan ini hanya dapat dicari dalam kehidupan
masyarakat yang bersangkutan, atau dalam berbagai peribahasa, Pepatah, kata-kata
mutiara atau dalam perbuatan simbolik yang penuh dengan arti kiasan.
Hukum adat juga dapat diketahui dari berbagai macam keputusan para petugas hukum
adat, seperti Kepala Adat, Kepala Suku, Hakim Adat, rapat Desa (rembug Desa) dan
sebagainya.
3. Hukum Islam
Norma hukum islam atau yang lebih dikenal dengan istilah Hukum FIQH, juga
merupakan sumber hukum adat, terutama mengenai ajaran hukum Islam yang sudah
meresap dalam kesadaran hukum masyarakat yang sebagian besar beragama Islam.
Misalnya mengenai perkawinan, warisan, wakaf dsb.
Hukum Adat Indonesia sekarang ini ada juga yang bersumber pada hukum tertulis dalam
Piagam dan Pranatan Raja-raja dahulu seperti : Pranatan Bekel dari Kraton Yogyakarta,
Angger-angger Arubiru dari Surakarta, kitab hukum kertagama dari Majapahit, kitab
hukum Kutaramanawa dari Bali dsb.
Beberapa perhimpunan yang dibentuk oleh masyarakat juga sering membuat ketentuan-
ketentuan yang mengikat para anggotanya, awig-awig untuk para anggota perkumpulan
pengairan/subak di Bali, Perkumpulan kematian, Perkumpulan arisan dsb.
Buku-buku mengenai hukum adat, terutama yang merupakan hasil penelitian dan
pengamatan para sarjana hukum adat yang terkenal, merupakan sumber adat yang penting,
terutama bagi para pelajar dan mahasiswa yang sedang mempelajari hukum adat, seperti
misalnya: Beginselen en Stelsel van Het Adatrecht susunan Ter Haar, Het Adatrecht van
Nederlansch Indie susunan van Vollen Hoven, Het Adatsprivaat recht van Middel java
susunan Joyodiguno dan Tirawinata. Het Adatsprivaat recht van West Java susunan
Soepomo dan sebagainya.
Hukum adat merupakan salah satu sumber hukum bagi terbentuknya hukum secara
nasional. Keberadaan hukum adat di Indonesia
99 tidak boleh bertentangan dengan sumber
hukum yang utama, yakni Pancasila. Justru hukum adat semestinya mendukung
implementasi pelaksanaan hukum yang ada pada Pancasila tersebut. Di antara sekian
banyak hukum adat yang ada di Indonesia, hukum adat masyarakat adat Melayu Riau
memiliki karakteristik dan keunikan tersendiri.
Secara umum sejarah Minangkabau hanya dapat diketahui melalui Tambo. Tambo adalah
suatu hikayat yang menjelaskan tentang asal usul nenek-moyang orang Minangkabau,
sampai tersusunnya ketentuan-ketentuan adat dan budaya Minangkabau yang berlaku
sekarang. Sejarah Minangkabau memang banyak diliputi ketidakpastian, terutama waktu
sebelum kedatangan Islam. Karena sejarah hanya dituturkan secara turun temurun dalam
bentuk cerita rakyat yang diduga banyak mengandung unsur dongeng.
Setelah cerita-cerita rakyat itu dibukukan, cerita ini kemudian dikenal dengan istilah
Tambo. Penulisan tambo terkadang disisipi pula oleh pendapat pribadi penulisnya, atau
pendapat umum yang berkembang saat penulisan itu, sehingga muncullah berbagai
macam versi tambo yang asalnya sama. Tidak mengherankan pula kalau kemudian
muncul penilaian bahwa hanya terdapat 2% fakta sejarah dalam tambo itu, sehingga
selebihnya adalah mitos-mitos (Mansoer:1879)
isi Tambo yang beredar di Sumatera Barat adalah yang disesuaikan dengan ajaran Islam.
Tambo tertua bertuliskan Arab Melayu, namanya Tambo Loyang umurnya kira-kira 200
tahun. (Dokumen Skrip Sajian CD Serial Aspek Budaya Minangkabau. UPTD Museum
Nagari, Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Propinsi Sumatera Barat, 2003) Terdapat
berbagai jenis Tambo, ada yang dimasuki interpretasi pribadi dan ada pula yang khusus
menulis adat saja. Jadi ada Tambo lisan, tulisan, asli, saduran dan terjemahan. Ringkasan
Tetapi dalam ketiadaan catatan sejarah itu, masyarakat Minangkabau umumnya sepakat
mengatakan bahwa nenek-moyang mereka berasal dari puncak gunung
Di dalam Tambo Alam dikutipkan beberapa kalimat yang memberikan petunjuk, bahwa
nenek-moyang suku Minangkabau berdatangan dari Tanah Basa (India Selatan) menempuh
perjalanan laut. Serangkuman pantun berbunyi:
Cerita lisan yang disampaikan turun-temurun menyatakan bahwa perjalanan laut memakan
waktu yang sangat lama, sehingga di dalam Tambo dibunyikan:
(artinya: karena lama kelamaan tampaklah gosong dari laut yang ―sebesar telur itik‖ –
kondisi saat itu, sedang dalam keadaan hilang-hilang timbul ditengah-tengah ombak). Di
sanalah berlabuh nenek-moyang bersama rombongannya.
Pada umumnya pendapat-pendapat itu tidak bertentangan, karena nenek-moyang ras Melayu
berdatangan dari daerah Yunan-Utara melalui lembah- lembah sungai besar ke Tongkin,
Annam dan Kocin Cina terus kepulauan Nusantara ini, ± 2000 tahun sebelum Masehi secara
bergelombang.
Namun para ahli sejarah nampaknya telah sepakat mengatakan, bahwa nenek-moyang suku
Minangkabau terdiri dari sekelompok manusia yang telah mendiami daerah selingkar (Bukit
Barisan) gunung Merapi. Percampuran bangsa Proto Melayu dan Deutro Melayu (yang
datang bergelombang antara ± 2000 SM hingga ± 250 SM) yang menurunkan nenek-moyang
suku Minangkabau. Mereka menganut adat matrilinial, yang sampai kini dikatakan ―adat
yang tak lapuk kena hujan dan yang tak lekang kena panas‖.
Kedatangan nenek-moyang ras Melayu Tua dan ras Melayu Muda sama saja keadaannya,
yakni mempergunakan perahu bercadik ke Pulau Perca atau Warnadwipa ini. Ras Melayu
Tua yang membudayakan
neo-lithikum bercampur dengan ras Melayu Muda yang membawa kebudayaan perunggu,
kemudian mengem- bangkan kembali kebudayaan megalithikum yang menghasilkan
bangunan dari batu-batu besar yang dianggap keramat.
Kebudayaan neo-lithikum mempunyai ciri utama yang terlihat pada kepandaian bertani dan
10
berternak secara sederhana, dikerjakan oleh kaum
1 wanita. Wanita menjadi lambang dari
kesuburan dan produksi serta tetap tinggal di rumah mengatur keluarga atau memegang
peranan dalam ikatan kekeluargaan dari kampung.
Pada zaman yang panjang berikutnya perkem- bangan penduduk dan penyebarannya
keseluruh pelosok, sejak mulai dari taratak, dusun, koto dan nagari berjalan menurut irama
yang semestinya sampai terdengar berita- berita terbentuknya kerajaan-kerajaan yang
membawa naiknya nama Minangkabau ke gelanggang sejarah. (Drs.Mid Jamal, 1985: 31 dan
37- 38)
BAB IX
SASTRA UNDANG-UNDANG DAN KETATANEGARAAN
Salah satu jenis sastra Indonesia lama ialah sastra yang berisi undang-undang.
Yang dimaksud dengan undang-undang di sini bukanlah undang-undang seperti yang
dalam bahasa Inggris disebut law, melainkan adat kebiasaan alau adat istiadat yang
dipakai sejak dahulu secara turun-temurun yang disebut customary law.
Dengan membaca hasil sastra berisi undang-undang ini, kita akan mengetahui
latar belakang cara berpikir dan falsafah hidup masyarakat zaman dahulu serta adat
istiadatnya. Naskah undang-undang itu merupakan peninggalan lama yang sangat
penting, yang menceritakan tentang adat istiadat zaman dahulu, adat raja-raja, adat di
istana atau adat yang dilakukan pada upacara tertentu. Semuanya itu menggambarkan
masyarakat lama dengan segala macam adat yang berlaku.
Dengan demikian, naskah undang-undang ini penting artinya bagi ahli sosiologi,
antropologi, filsafat. dan hukum adat. Pada masa dahulu hukum adat itu tidak tertulis;
baru kemudian hari aturan-aturan itu dituliskan. Mungkin semula hal ini dikerjakan atas
desakan pemerintah jajahan guna kepentingan mereka dalam menjalankan
pemerintahannya. Dengan demikian, apa yang tertulis tentu hanya pernyataan syarat-
syaral adat menurut yang diketahui seorang ahli saja yang dianggap sah (Emeis.
1971:194).
Di samping berisi undang-undang atau adat istiadat itu, naskah undang-undang
kadang-kadang diselingi pula dengan ayat-ayat Quran dan Hadis Nabi Muhammad
10
2
untuk menguatkan adat istiadat yang berlaku dan supaya undang-undang itu mendapat
berkah dan perlindungan dari Allah Subhanahu Wataala. Dengan demikian, jelaslah
bahwa undang-undang itu mendapat pengaruh hukum Islam. Berdasarkan hal itu, dapat
diketahui seberapa kuat pengaruh agama Islam dalam undang-undang Itu. Hal ini dapat
dilakukan dengan memperbandingkan hukum adal yajig berlaku dengan hukum Islam
alau hukum syarak.
Penelitian mengenai sastra undang-undang ini belum banyak dilaku kan.
Winstedt (1969:167-172) yang menyebut sastra undang-undang ini Digests of Law telah
membicarakan sccara singkat beberapa hasil sastra yang berisi undang-undang, yaitu
undang-undang Malaka, Undang-undang Paltang, Undang-undang Kedalt, Undang-
undang Perak, dan Undang-undang Johor.
Kemudian Liaw Yock Fang (1975:270—284) dalam bukunya Sejarah
Kesusasteraan Melayu Klassik membicarakan tujuh buah hasil sastra yang berisi
undang-undang itu, yaitu Undang-undang Malaka, Undangundang Laut, Undang-undang
Minangkabau, Undang-undang Pahang, Un dang-undang Perak, Undang-undang
Minangkabau Sungai Ujung (Negeri Sembilan) dan Undang-undang 99. Di samping itu,
secara kliusus ia telaJi meneliti Undang-undang Malaka bempa disertasi (Liaw Yock
Fang, 1975).
Agaknya naskah inilah satu-satunya naskah undang-undang yang baru diteliti
secara mendalam. Naskah undang-undang yang disajikan transliterasinya ini boleh
dikatakan belum dibicarakan oleh ahli sastra lama.
Di bawah ini dibicarakan latar belakang naskah itu satu persatu.
10
3
202, dan v.d.W. 203) (van Ronkel, 1909:502 —506) dan 2 naskah (Bat. Gen. 35 dan
Bat. Gen. 36) yang berjudul "Undang-undang Tanah Datar" (van Ronkel, 1909:298
— 299) sudah hilang dan tidak tercatat lagi dalam katalogus Sutaarga (1972). Dua
naskah berjudul UUM, yaitu Bat. Gen. 27 (Ml. 27) dan v.d.W. 204 (Ml. 716)
lernyata sudah rusak, tidak terbaca lagi. Enam naskah lainnya yang juga tercatat
dalam katalogus Sutaarga (1972) akan dibicarakan iebih lanjut di bawah ini. Dalam
katalogus Sutaarga (1972) tercatat 18 naskah yang ada hubungannya dengan UUM,
10 naskah berjudul UUM, 1 naskah beijudul "Undang-undang Adat", I naskali
berjudul "Undang-undang Lohpk Tiga Laras", 2 naskah beijudul "Tambo
Minangkabau" (satu di antaranya tidak berisi UUM), 2 naskah berjudul "Adat
Istiadat Minangkabau", dan 1 naskah berjudul "Kitab Kesimpanan Adat
Minangkabau".
Semua naskah ini juga tercatat pada katalogus Baharuddin (1969). Di samping
itu, ada satu naskah lagi yang hanya tercatat dalam katalogus Baharuddin, yaitu
naskah MI.439. (Selanjutnya, lihat daftar naskah dalam bagian 3.1.1.). UUM banyak
mendapat perhatian orang Minangkabau. Ada beberapa buku yang membicarakan
UUM ini. Namun, belum ditemukan buku yang menyajikan transliterasi naskah
UUM itu. Di bawah ini adalah karya-karya yang membicarakan UUM disertai
penjelasan tentang pokok-pokok ^inya.
Pertama, Himpunan Tambo Minangkabau dan Bukti Sejarahnya (Mahmoed,
1978). Dalam buku ini dijitmpai pembicaraan adat Minang kabau dalam salah satu
dari lima bab yang ada. Kelima bab itu ialah: I. Tambo Alam Minangkabau
(halaman 1 — 60); II. Masalah Penghulu dan Masalah Pewarisan, Masalah Harta
Pusaka dan Masalah Pewarisan (halaman 61—88); III. Adat Minangkabau (halaman
89 — 110); IV. Pidato Adat (halaman 111 — 125); dan V. Alua Pasambahan
(halaman 126 — 178). Bagian adat Minangkabau pada bab III itu isinya ada
persamaannya dengan apa yang dijumpai dalam naskah UUM, di antaranya
mengenai adat nan empat, undang-undang nan empat, macam-macam kata,
kewajiban kepala koto, hukum adat dan syarat-syarat mengangkat penghulu. Kedua,
Pokok-pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau (Pangulu, 1978a).
Dalam buku ini juga disajikan begian UUM dan tambahanTain mengenai
penghulu. waris, dan sebagainya. Bagian yang ada persamaannya dengan UUM itu
kita jumpai pada Bab II, yang mengenai "Undang-undang 20" dan pada Bab V
mengenai "Cupak Asli". Ketiga, Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di
10
4
Minangkabau (Pangulu, 1978b). Dalam buku ini dijumpai pembahasan dasar-dasar
adat dan kaidah-kaidah pokok adat Minangkabau. Bab yang terakhir di antara 4 bab
yang ada yaitu "Pcmbagian Adat Minangkabau", ada persamaannya "dengan UUM,
khususnya mengenai adat nan sabana adat, adat nan diadatkan, adat nan teradat, adat
istiadat, dan cupak. Keempat, Tinjauan Adat Minangkabau (Hanafiah, 1970).
Dalam buku yang lerdiri dari 9 bab ini, bab VII membicarakan adat Minang
kabau yang mempunyai persamaan dengan UUM yang ditransliterasikan. Bab yang
lain isinya mengenai geografi, dongeng, sejarah, nama Minang kabau, bahasa
Minangkabau, dan sebagainya. Kelima, Tambo dan Silsilah Adat Minangkabau
(Basa, 1966). Dalam buku ini sebagian isinya mengenai Tambo Minangkabau dan
sejarah adat, bukan mengenai adat seperti yang kita jumpai dalam UUM. Dari 12
pokok pembicaraan dalam buku itu kiia jumpai satu bagian saja mengenai adat, yaitu
bagian 10, yang membicarakan pindahnya waris dari anak kepada kemenakan. Di
samping itu, seperti yang telah kami kemukakan di atas, dalam Sejarah Kesusastraan
Melayu Klassik dibicarakan garis besar UUM (Liaw, 1975:277 - 282).
Kemudian sebuah artikel dalam majalah Manusia Indonesia (Djamaris, 1973)
membicarakan secara sepintas naskahnaskah UUM di Museum Pusat, Jakarta..
Pembicaraan naskah UUM ini belum sampai pada deskripsi naskah. Semua buku itu
di atas dapat membantu penelitian terhadap UUM lebili lanjut. Hal ini juga
membuktikan bahwa UUM ini cukup populer dan dihargai masyarakat serta
mendapat perhatian yang cukup luas di kalangan masyarakat.
Di samping memberikan gambaran mengenai adat istiadat, cara berpikir, dan
falsafah hidup masyarakat zaman dahulu, UUM ini juga berfungsi sebagai pedoman
hidup anggota masyarakat mengenai hal-hal yang baik dan yang tidak baik
dilakukan, pedoman menjalankan peraturan-peraturan adat, pedoman tingkah laku
tentang sifat-sifat baik dan tercela, seperti landa-tanda jahat, tanda orang bcrakal,
tanda cemo; pedoman bag! orang menjalankan kewajibannya seperti kewajiban
penghulu, kewajiban hakim, kewajiban mantri, dan kewajiban hulubalang.
10
5
44) dengan judul "Kedah Laws" dalam JMBRAS, yang isinya sedikit berbeda
dengan naskah nomor Ml. 25. Dalam "Kedah Laws" terdapat 4 bab dan 84 pasal,
sedanglcan dalam Ml. 25 terdapat 5 bab dan 89 pasal. Oleh karena itu, UUNK tidak
diambil sebagai naskah yang ditransliterasikan.
Naskah UUNK ini dituiis pada akhir pemerintahan RalTles oleh Ismail pada
tanggal 15 Dzulkaidah 122(?) H. dan pada alinea pertama naskah itu tertulis "...
paduka raja suruh salin ambil taruh "Undang-undang Perbuatan Datuk Besar
Dehulu", alih supaya mudahlah hukum . . . ." tcrnyata naskah UUNK itu isinya sama
dengan naskali "Undang-undang Perbuatan Datuk Besar Dehulu".
Naskah "Undang-undang Perbuatan Datuk Besar Dehulu" (selanjutnya disebut
UUPDBD) terdapat di Museum Pusat Jakarta dengan nomor Ml. 709- NaskaJi
UUPDBD di Museum Pusat Jakarta tercatat dalam kalalogus van Ronkel
(1909:305—306; v.d.W. 57); katalogus Sutaarga (1972:220); Malay Manuscripts
(Howard, 1966:62); dan katalogusBaharu ddin (1969:57).
Pada halaman terakhir tertulis "Selesai disalin pada 28 Sapar 1199; bahwa pada
ketika itu maka adalah titah Yang dipertuan Yang Maha Mulia ke atas jemala datuk
bendahara". Berdasarkan kolofon yang terdapat dalam UUNK dan UUPDBD
terllhatlah bahwa naskah UUPDBD itu lebih tua dan isinya disalin menjadi naskah
UUNK seperti yang tersurat pada alinea pertama yang dikutip itu. Itulah alasannya
mengapa naskah UUPDBD itu yang diambil sebagai bahan transiiterasi. Isinya sama
dan kalimat dalam UUPDBD pada umumnya lebih singkat dan jelas.
Naskah UUPDBD antara lain berisi peraturan mengenai tata cara kapal masuk
kuala, mengenai orang asing yang akan bemiaga di dalam negeri, baik jangka
waktunya maupun barang apa saja yang akan diniagakan di sana karena ada
beberapa barang yang dilarang pemerintah dijual atau dibawa ke luar negeri seperti
hamba sahaya dan beras. Dalam pasal tentang nakhoda kapal yang mempunyai
piutang di dalam pasar dikatakan bahwa panglima negeri itu harus mengetahuinya
agar kedua belah pihak terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan. Juga ada
peraturan yang berbeda-beda tentang bagaimana cara menyambut surat sesuai
dengan tingkatan si pengirimnya. Pasal tentang tugas dan kewajiban syahbandar
mata-mata untuk menjaga dan melindungi pasar; demikian juga tentang kewajiban
dan hal panglima kuala untuk melindungi kuala dan penangkap ikan.
Pasal tentang kewajiban rakyat untuk melaksanakan peraturan si Polan yang
diangkat raja; kewajiban pengjiulu mesjid, imam, khatib, dan bilal untuk
10
6
melaksanakan sembahyang lima waktu, sembahyung Jumat, melakukan puasa di
bulan Ramadan, dan membayar zakat. Pasal tentang kewajiban tumenggung yang
harus membuat penjara untuk orang-orang jahat seperti penjudi, peminum tuak,
pemadat, penyamun, dan pencuri. Pasal tentang peraturan jalan untuk umum, tentang
aturan berjalan di kampung orang siang atau malam hari serta pemakaian tanah mati
atau tanah hidup.
Pasal lain ialah tentang keharusan untuk menyamakan ukuran dan timbangan
yang sewaktu-waktu disesuaikan di seluruh negeri, dan bila temyata ada yang
menyimpan ukuran atau timbangan lain akan dikenakan hukuman pukul. Pasal
tentang hukum nikah, tentang hukum syarak, adat dan akal, tentang kemakmuran
dan kesejahteraan negeri yang hams dilaksanakan oleh raja dan penguasa daerah.
Selain itu, terdapat pasal tentang syarat raja-raja, tentang bahasa raja-raja, dan
pakaian raja-raja serta aduan hamba Allah seperti sahaya yang merdeka.
Berdasarkan isi naskah UUPDBD itu dapatlah dikatakan bahwa undang-undang
itu disusun untuk menjaga status raja dan golongan pemerintah seperti bendahara,
tumenggung, syahbandar, panglima, serta menjaga ketenteraman masyarakat umum.
Hal ini terlihat pada pasal-pasal mengenai kewajiban rakyat untuk melaksanakan
peraturan si Polan (golongan pemerintah) yang diangkat raja. Demikian juga tentang
cara penyambutan surat yang berbeda-beda, yang bergantung pada jabatan di
pengirim, itu pun menipakan dasar untuk menjaga status raja. Pasal mengenai
keharusan menyamakan timbangan dan pemakaian tafiah serta jalan umum bertujuan
untuk menjaga kesejahteraan dan kemakmuran umum, Mengenai pasal tentang
larangan rakyat memakai wama kuning dan mempergunakan kata "gering" atau
"murka" dan sebagainya; hal ini menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan raja dan
kaum bangsawan dengan corak kefeodalannya.
Naskah undang-undang ini menipakan hasil kesusastraan Melayu lama yang
isinya merupakan pancaran intelektual dan ketertiban masyara kat Melayu lama.
Undang-undang ini merupakan kebiasaan yang dibentuk oleh peredaran masa. Oleh
karena itu, dalam undang-undang itu terbayang falsafali hidup dan pikiran orang-
orangnya (Liaw Yock Fang, 1978:270). Selain itu, dapat juga dikatakan bahwa
naskah UUPDBD itu berfungsi sebagai pengatur hidup warga atau sebagai pedoman
hidup masyarakat di tempat undang-undang itu dibuat.
Naskah ini belum ada yang membicarakannya. Liaw Yock Fang (1976:23) hanya
menyinggung-nyinggung naskah "Undang-undang Negeri Kedahr" baik dalam
10
7
disertasinya yang berjudul Undang-undang Malaka maupun dalam Sejarah
Kesusastraan Melayu Klassik (1978:282), sedangkan UUPDBD tidak disebut.
10
8
gaib berkalam Allah (bersumpah). "Undang-undang Jambi" berisi aturan bagi
mantri, yang antara lain berisi wewenang untuk memanggil, mendakwa,
menyalahkan, mengalahkan, dan menghukum orang; sumpah segala mantri,
hukuman bagi yang berbuat jahat kepada mantri untuk perbuatan atau
pembicaraannya, dan hukum bicara bagi priayi serta mantri dan pepatih dalam.
Selain itu, terdapat pula aturan bagi hamba, budak, perkan, dan pinokawan yang
antara lain berisi kewajiban minta keterangan bagi budak yang baru dibeli, aturan
hamba yang mengungsi kepada priayi atau mantri, hukum bagi yang berbuat jaliat
terhadap hamba orang, dan perbedaan pampas dan bangun bagi perkan, pinokawan,
utang-utangan raja, dan orang yang berlindung kepada raja. Dalam "Undang-undang
Jambi" juga termuat hal-hal tentang penguasa yang berhak menyelesaikan hukum,
asal-usul adat priayi, hak orang 9 kecil untuk melawan tuduhan priayi, dan
perbedaan martabat priayi di dalam negeri dengan priayi yang tinggal di dusun.
Selain itu, terdapat puia pasal seluk-beluk, misalnya, larangan membandingkan
dengan segala hukum adat, larangan mencabut hukuman yang telah dijatuhkan,
perbedaan hukum adat dan hukum sarak, dan keluar undang-undang hukum adat.
Mengenai undang-undang disebutkan tentang undang-undang empat perkara,
undang-undang ambat, undang-undang salah, undang-undang bangun dan pampas,
undang-undang pusaka, undang-undang tanah, undang-undang air, undang-undang
kulit, undang-undang berhuma, dan undangundang mendapat serta orang beijalan
bersama.
Aturan yang diatur di luar undang-undang juga termuat di dalam "Undang-
undang Jambi" meliputi tertib akal, asfal bicara, aturan berdagang, syarat menjadi
saksi, dan syarat sah hukum. Berdasarkan pasal-pasal yang ada dapat ditarik
kesimpulan baliwa "Undang-undang Jambi" berfungsi sebagai pedoman hidup suku
bangsa Jambi zaman dahulu. Pedoman itu mencerminkan perlunya keteraturan
hubungan manusia dengan sesama manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Selain
itu, lampak bahwa "Undang-undang Jambi" merupakan landasan demokrasi dalam
mengatur kehidupan masyarakat Jambi zaman dahulu. Hal ini terlihat dengan
ringannya hukuman yang dijatuhkan kepada pencuri. Di samping itu, orang kecil
pun mendapat hak melawan dan membela diri dari tuduhan priayi bahkan kalau
periu melawan dengan kekerasan.
10
9
Naskah "Peraturan Bambang dalam Negeri Bangkahulu" terdapat dalam
katalogus van Ronkel (1909:310) dengan nomor Bat. Gen. 144, katalogus Sutaarga
(1972:22) dengan nomor Ml. 396, Malay Manuscripts (Ho ward, 1966:64), katalogus
Baharuddin tidak mencatatnya. Dalam katalogus van Ronkel dan katalogus Sutaarga
dicatat dengan judul 'Teraturan Bam bang dalam Negeri Bangkahulu".
Dalam katalogus van Ronkel naskah ini tercatat dengan judul "Peraturan
Bambang dalam Negeri Bangkahulu", bernomor Ml. 396 (Bat. Gen. 144) dan berisi
judul "Oendang-oendang Bangkahoeloe 1 dan 11". Yang pertama berisi undang-
undang adat disusun atas perintah Lewis, kuasa Pemerintah Inggris pada tahun 1817,
yang terdiri dari 42 pasal (lihat Catal. Batavia halaman 308), tulisannya tidak jelas,
sedangkan dalam naskah II beijudul "Oendang-oendang dan adat limbago Malayoe
yang dipakai oleh raja dan penglioeloe dalam negeri Bangkahoeloe . . ."
Jadi, kedua naskah JuynboU ini ada sedikit kaitannya dengan naskah yang
terdaftar dalam katalogus van Ronkel. Dalam naskah yang terdapat di Museum Pusat
(Ml. 144) terdapat 11 pasal mengenai hukum pertunangan dan perkawinan menurut
hukum adat dan agama Islam. Pada halaman kesembilan terdapat daftar keperluan
kamar dan pakaian pengantin. Pada akhir naskah tertulis judul "Undang-undang
Bambang atau Kawin". Tulisan dalam naskah ini balk; ditulis dalam huruf Arab-
Melayu dan keadaan naskah balk.
Buku-buku yang secara kliusus membicarakan 'Teraturan Bambang dalam
Negeri Bangkahulu" belum ada, tetapi ada beberapa buku yang membicarakan hal-
hal yang berhubungan dengan naskah ini. Dalam "Peraturan .Bambang dalam Negeri
Bangkahulu" (pasal yang ketujuh) disebutkan bahwa bambang kecil tidak boleh
memakai kebenaran yang dipergunakan bambang besar, misalnya kain kuning
berlenggang pucuk.
Hal ini sama dengan pasal pertama "Undang-undang Melayu Lama" yang
menyebutkan pantang larang di raja, yaitu rakyat tidak boleh memakai pakaian
kekuningan pada tempat tertentu (Liaw Yock Fang, 1978). Selain itv ada pula
persamaan antara pasal-pasal yang terdapat dalam "Peratufan Bambang dalam
Negeri Bangkahulu" dengan Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu.
Persamaan itu antara lain tentang peraturan beranak atau bersalin, khususnya
mengenai hari bersalin dan hari cukur kepala dan memberi nama anak. Begjtu pula
tentang adat resam nikah kawin: bersanding, mandi-mandi atau berlimau,
sambutmenyambut, peraturan jamuan kenduri, dan meminang perempuan yang janda
11
0
atau yang bujang. Persamaan lainnya yang ada ialah tentang adat mengarak
mempelai, adat aturan, dan adat perarakan ke panca persada.
Isi naskah "Peraturan Bambang dalam Negeri Bangkahulu" ini mempunyai
fungsi penting bagi masyarakat pemakai adat Bangkahulu sebab naskah ini berisi
petunjuk-petunjuk dan aturan-aturan mengenai pertunangan dan perkawinan sebagai
pedoman dan petunjuk-petunjuk yang harus ditaati oleh masyarakat. Di samping itu,
diuraikan pula daftar isi kamar dan pakaian pengantin untuk melengkapi upacara-
upacara adat yang dilakukan. Selain upacara pertunangan dan perkawinan dituliskan
pula menge nai syarat-syarat yang harus dipenuhi anggota masyarakat serta
upacaraupacara seperti upacara mencukur anak dan menerima semenda.
Naskah ini merupakan naskah tunggal (Codex Unicus), naskali mi tidak dapat
dibandingkan dengan naskali lain. Dengan demikian, naskah yang akan dijadikan dasar
transliterasi ialah naskah nomor Br. 157 II
Karena naskah ini merupakan naskah tunggal (Codex Unicusj. naskah ini tidak
dapat dibandingkan dengan naskah lain. Dengan demi kian. naskah yang akan dijadikan
dasar transliterasi ialah naskah nomor Ml. 144.
Maka dimulai buat ini peraturan, ketika zaman Tuan Daeng Marupaᵌᵌ hingga
sampai kepada Tuan Daeng Mabelaᵌᵌ. Bahwa inilah perkataan aturan undang-undang
bambang yang sudah dimufakatkan pangeran yang duli kedudukan serta daeng yang
menjadi peng/h/awal dagang peranakan dalam negeri Bangkahulu. Maka disalinkan dari
kitab tua kepada kitab ini pada 30 Mei 1882, yaitu kitab peraturan, kelika zaman Tuan
Daeng Marupa disalin oleh Tuan Daeng Mabela.
Karena naskah ini merupakan naskah tunggal (Codex Unicus), naskah ini tidak
dapat dibandingkan dengan naskah lain. Dengan demikian, naskah yang akan dijadikan
dasar transliterasi adalah naskah nomoc Ml. 439.
11
1
Bab Al-qawa’id
Bab al-qawaid atau Baabul al qawaid merupakan sebuah kitab hukum yang
menjadi pranata hukum bagi kesultanan siak atau disebut juga Pintu Segala Pegangan
hukum, tata adat istiadat dan pembagian tugas setiap pemegang jabatan baik orang besar
kerajaan, Datuk-Datuk, Para Bangsawan, Pendahulu, Batin, Hakim Polisi, Imam dan
Tuan Qadi, kepala suku. Ditulis pada periode kedua kesultanan Siak tepat nya pada
masa Pemerintahan Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syarifuddin, pada periode kedua
ini kesultanan siak diperintah oleh sultan dari kelompok nasab keturunan Arab hingga
sampai Indonesia merdeka pada 1945. Keturunan Arab bermula dari cucu Raja
Alamuddin yang ayahnya bernama Sharif Osman berasal dari keturunan Arab suku
kesultanan terakhir. Tidak mengherankan bahwasannya pada periode kedua ini makin
kuatnya unsur-unsur islam yang melekat pada kerajaan Siak.
(2) Implementasi Bab Al-Al-qawa’id Masa Pemerintahan Sultan Syarif Hasyim Abdul
Implementasi Bab al-Qawaid sangat terlihat jelas saat sultan menjalankan roda
pemerintahannya. Dengan adanya pembagian-pembagian sistem kerja yang telah tertera
dalam kitab ini masing-masing kepala atau suku-suku menjadi tahu dengan jelas
bagiannya masing-masing. Ketika Bab Al-Qawaid diundangkan, saat itu nusantara
masih berada dalam kekuasaan Belanda. Maka dari itu penetapan undang-undang ini
juga harus mendapat persetujuan dan tanda tangan (cap) dari Gubernur Jenderal yang
berkuasa di Provinsi Riau kala itu.
Dalam pelaksanaanya, daerah taklukan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan rakyat
mematuhi apa yang telah diundangkan dalam Bab Al-Qawaid. Undang-undang ini harus
dipatuhi oleh penguasa daerah taklukan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan rakyat
Melayu umumnya, akan tetapi isinya tidak berlaku sebagai hukum bagi penduduk bukan
Melayu atau orang Melayu yang menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda, kecuali
yang terlibat perkara dengan orang Melayu maka akan diputuskan secara bersama oleh
kedua belah pihak.
(3) Dampak dari Keberadaan Bab – Al-qawa’id bagi Kesultanan Siak dan Masyarakat
11
2
Adanya sebuah kitab hukum pada kesultanan Siak tersebut, membuktikan adanya
perkembangan yang sangat pesat dalam kelembangan sebagai pranata hukum tatanan
pemerintahan kesultanan tersebut. Modernisasi penyelenggaraan pemerintahan terlihat
sangat jelas dan teratur karna tidak satupun boleh lari dari ketetapan yang telah
tercantum dalam kitab tersebut.
Dengan cakupan wilayah kekuasaan yang cukup luas yang terbagi kedalam 10
bagian provinsi, kitab ini memudahkan segala urusan kesultanan untuk mengkontrol
daerah kekuasaannya tersebut. Terbentuknya kitab ini sekaligus juga mengurangi
campur tangan belanda kedalam wilayah kekuasaan kesultanan karna telah adanya
kesepakatan bersama antara pihak kesultanan dan belanda seperti yang tertera didalam
pembukaan kitab tersebut. Kekuatan perjanjian kewilayahan kekuasaan ini menguatkan
dominasi kesultanan untuk mempercepat kemajuan-kemajuan setiap daerah jajahannya,
baik dari segi politik, ekonomi perdagangan dan kehidupan kemasyarakatan.
Babul al-Qawaid bagi masyarakat pada saat itu merupakan sebuah buku yang
tinggi nilainya dan merupakan pegangan dalam kehidupan kaena segala aturan-aturan
yang berlaku baik bagi pemerintahan maupun masyarakat termaktub didalamnya.
Berlakunya undang-undang yang berlandaskan hukum Islam ini, maka dengan
sendirinya segala upaya, usaha dan macam bentuk kehidupan masyarakat bertitik tolak
pada prinsip dan ajaran Islam yang kemudian menciptakan sebuah kemandirian pada
kesultanan.
Berkat adanya sistem kerja antar suku yang di terapkan dalam kitab tersebut,
membuat sultan memudahkan dalam mengawasi setiap perkembangan dari kawasan
pemerintahan. Hasil yang juga tidak diganggu oleh pihak belanda membuat rakyat dapat
menikmati hasil dari pertanian dan lainnya sehingga rakyat pada masa ini mengalami
kemakmuran.
11
3
BAB X SYAIR
(a) syair sejarah (b) syair romantic (c) syair alegoris
11
4
BAB XI
SEJARAH SASTRA MODERN
1) Arti Modern
Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak dalam
pertentangan dengan kata klasik. Bahkan sebenarnya, istilah sastra Indonesia klasik
sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern tidak ada. Kata modern
dipergunakan sekedar menunjukan betapa intensifnya pengaruh barat pada perkembangan
dan kehidupan kesusastraan pada masa itu.
Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal sastra Melayu
atau sering disebut pula sastra melayu lama/klasik untuk membedakan dengan sastra
melayu modern yang berkembang di Malaysia.
2) Pengertian Sastra Indonesia
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang di sebut sastra Indonesia. Ada yang
berpendapat bahwa suatu karya sastra dapat dinamakan dan digolongkan kedalam
pengertian kesusastraan indonesia apabila:
- Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia
- Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya harus masalah-masalah Indonesia
- Pengarangnya harus bangsa Indonesia (Soemadiwagyo, 1966:2)
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia mencakup tiga unsur
persyaratan yaitu bahasa, masalah yang dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapatlain
yang menyatakan bahwa ―sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat
sastra erat dan saling berjalin (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat ini persyaratan
cukup dibatasi pada pembahasannya.
Pendapat lain juga menyatakan sastra Indonesia ialah sastra yang aslinya ditulis dalam
Bahasa Indonesia yang isinya memancarkan sikap dan watak Bangsa Indonesia. Jadi,
unsure persyaratan ada dua yaitu:
- Media bahasanya bahasa Indonesia dan
- Corak isi karangannya mencerminkan sikap watak Bangsa Indonesia didalam
memandang suatu masalah
Dengan dasar pemikiran itu, Umar Junus membagi sastra Indonesia dengan
Bahasa Indonesia itu secara formal diakui sebagai bahasa persatuan pada tahun 1928.
Akan tetapi, realitasnya bahasa tersebut pasti sudah berkembang pada tahuntahunsebelumnya.
Apabila diperhatikan buku-buku hasil sastra Balai Pustaka sekitar tahun 20-an, misalnya novel
11
6
Azab dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan juga puisi-puisi Moh. Yamin, Sanusi Pane, dan Rustam
Effendi, yang termuat dalam majalah Yong Sumatra, majalah Timbul, nyatalah bahwa bahasa
yang dipergunakan dalam karangan-karangan tersebut tidak jauh berbeda dengan bahasa yang
kemudian diresmikan menjadi bahasa persatuan pada tahun 1928. Berdasarkan kenyataan itu,
bisa dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa bahasa Indonesia sudah ada sekitar tahun 20-
an. (Viora et al., 2017)
Corak isi karya sastra sudah mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia, artinya
mengandung unsur kebangsaan. Hasil-hasil sastra sekitar tahun 20-an sudah mengandung unsur
kebangsaan. Tanah Air kumpulan puisi Moh. Yamin temanya ialah kecintaan penyair pada tanah
air dan bangsanya yang pada waktu itu hidup dalam penjajahan. Dengan demikian, karya sastra
modern Indonesia adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan isinya
mencerminkan sikap watak bangsa Indonesia.
Periode ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel,
yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika
misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak- sajak peduli bangsa atau sajak-sajak
reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi
sajak-sajak bertema sosial- politik.
Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran
karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel -- pada saat itu. Bahkan, penyair- penyair yang
semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi
Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online:
duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial- politik
mereka.
Penulis dan karya periode ini antara lain, Ayu Utami (Saman dan Larung), Seno Gumira
Ajidarma (Atas Nama Malam, Sepotong Senja untuk Pacarku, dan Biola Tak Berdawai), Dewi
Lestari (Supernova 1 : Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, Supernova 2.1 : Akar, dan Supernova
2.2 : Petir), Raudal Tanjung Banua (Pulau Cinta di Peta Buta, Ziarah bagi yang Hidup, ParangTak
Berulu, dan Gugusan Mata Ibu), Habiburahman El Shirazy (Ayat-ayat Cinta, Di atas Sajadah
Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Pudarnya Pesona Cleopatra, Ketika Cinta
Bertasbih 1 dan 2, dan Dalam Mihrab Cinta), Andrea Hirata (Laskah Pelangi, Sang Pemimpi,
Maryamah Karpov, dan Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas),
Contoh sejarah dalam penciptaan karya sastra modern Indonesia warna lokal yang terdapat
dalam sajak Rendra yang berjudul Sajak Seorang Tua Tentang Bandung Lautan Api.
11
7
berbangsa bila tidak mampu mempertahankan kepastian
hidup bersama?
Sajak tersebut bersumber atau dibuat berdasarkan peristiwa sejarah ―Bandung Lautan
Api‖ yang terjadi pada tanggal 25 Maret 1946. Peristiwa yang terjadi adalah penindasan dan
penjajahan dari pihak sekutu yang terdiri dari tentara Inggris. Pada puisi tersebut dapat dilihat
peristiwa yang dikenang oleh penyair, seperti udara panas yang bergetar dan
menggelombang, bau asap, bau keringat dan sebagainya. Puisi tersebut juga menceritakan
alasan pertempuran itu terjadi, yaitu ingin memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
Ia ingin keturunannya hidup merdeka karena keadilan tidak akan terjadi dalam penindasan
dan penjajahan. (Saidi, 2011)
Selanjutnya, puisi Toto Sudarto Bachtiar yang berjudul Pahlawan Tak Dikenal (Gani,
1988:175-176).
11
8
Dunia tambah beku di tengah derap dan suara menderu
...
Puisi tersebut menceritakan seorang pejuang muda yang gugur di medan perang pada
saat pertempuran di Surabaya tanggal 10 November 1945. Berdasarkan puisi tersebut dapatkita
ketahui bahwa pejuang muda tersebut tidak tahu untuk siapa dia berperang. Dia hanya ingin
memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Dia berperang tidak mengharapkan imbalan apapun.
Hal ini tergambar pada baris puisi yang menceritakan bahwa dia tidak tahu untuk siapa dia
datang. Berarti pahlawan tersebut berjuang tidak untuk siapa pun atau suruhan siapa pun,
tetapi hanya ingin memperjuangkan kemerdekaan bangsa.
Pahlawan tersebut gugur karena tertembak peluru yang mengenai dadanya. Dia terbaring
(gugur) sambil memeluk senapang atau senjata demi mempertahankan tanah air. Puisi
tersebut juga menggambarkan banyak peziarah membawa karangan bunga untuk mengenang
perjuangan yang sudah dilakukan oleh pahlawan tersebut, walaupun tidak tahu namanya atau
tidak mengetahui identitasnya.
Pada puisi itu terlihat unsur sejarah yang ingin disampaikan penyair. Penyair membuat
puisi tersebut berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan pada waktu itu dan menyampaikannya
melalui puisi yang dibuatnya. Dengan demikian, pembaca bisa mengetahui kejadian masa
lalu, tepatnya 10 tahun sebelum pembuatan puisi tersebut, yaitu tahun 1945 karena puisi
tersebut ditulis tahun 1955. Berdasarkan puisi tersebut bisa kita ketahui kejadian peperangan
pada masa lalu tepatnya pada tanggal 10 November 1945 yang kita peringati sekarang
sebagai hari pahlawan.
1. Ayu Utami
Ayu Utami dikenal sebagai penulis novel Saman dilahirkan di Bogor pada tanggal
21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama
Bernadeta Suhartinah. Bungsu dari lima bersaudara ini bernama lengkap Justina Ayu
Utami dan beragama Katolik. Ia dikenal sebagai novelis sejak novelnya
Saman menjadi pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1998.
Kehadiran Ayu Utami dengan novelnya Saman ini mengundang banyak kontroversi.
Namun, terlepas dari semuanya itu, novel ini dipuji oleh banyak pihak dan di pasaran
tergolong laris (best seller). Dalam waktu tiga tahun Saman terjual 55 ribu eksemplar.
Berkat Saman pula, Ayu mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund,
sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang mempunyai misi mendukung dan
memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan.
Selama ini Ayu Utami dikenal sebagai pengarang novel Saman yang sering
disebut sebagai contoh karya dengan ciri "keterbukaan baru" dalam membicarakan
seksualitas. Namun, Ayu dapat dikataan bukan pengarang yang produktif. Karya Ayu
yang lain novel Larung (2002), Bilangan Fu (2008), dan kumpulan Esai Si Parasit Lajang
(Gagas Media, Jakarta, 2003), Lalita (Gramedia Pustaka Utama, 2012)
11
9
Dr. Seno Gumira Ajidarma, S.Sn., M.Hum. (lahir 19 Juni 1958)[ adalah penulisdan
ilmuwan sastra Indonesia. Beberapa buku karyanya adalah Atas Nama Malam,
Wisanggeni—Sang Buronan, Sepotong Senja untuk Pacarku, Biola Tak Berdawai, Kitab
Omong Kosong, Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi, dan Negeri Senja.
Ia juga terkenal karena menulis tentang situasi di Timor Timur tempo dulu.
Tulisannya tentang Timor Timur dituangkan dalam trilogi buku Saksi Mata (kumpulan
cerpen), Jazz, Parfum, dan Insiden (roman), dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra
Harus Bicara (kumpulan esai;))
Seno Gumira Ajidarma adalah putra dari Prof. Dr. M.S.A Sastroamidjojo, seorang
guru besar Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada. Tapi, lain ayah, lain pula si anak.
Seno Gumira Ajidarma bertolak belakang dengan pemikiran sang ayah.
3. Dewi Lestari
Dewi Lestari Simangunsong atau yang akrab dipanggil Dee (lahir 20 Januari
1976) adalah seorang penulis dan penyanyi-penulis lagu asal Indonesia. Dee pertama kali
dikenal masyarakat sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Ia merupakan alumnus
SMA Negeri 2 Bandung dan alumnus jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas
Parahyangan. Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia
dikenal oleh masyarakat luas sebagai seorang novelis.
Dee lahir sebagai anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Yohan
Simangunsong dan Tiurlan br Siagian (alm). Sepertinya, darah seni mengalir turun
menurun kepada seluruh anggota keluarga ini. Setidaknya, tiga saudara perempuannya
juga aktif di bidang seni, meskipun tidak sama-sama menjadi penulis seperti Dee. Kakak
perempuannya, Key Mangunsong adalah seorang sutradara dan penulis skenario. Kakak
perempuan keduanya, Imelda Rosalin adalah seorang pianis dan penyanyi jazz. Adik
perempuannya, Arina Ephipania adalah seorang penyanyi dan merupakan vokalis grup
musik Mocca.
4. Raudal Tanjung Banua
Raudal Tanjung Banua (lahir 19 Januari 1975) adalah sastrawan Indonesia yang
banyak menulis puisi dan cerita pendek.
Raudal pernah menjadi koresponden Harian Semangat dan Haluan, Padang.
Raudal menyelesaikan studinya di Jurusan Teater Yogyakarta. Karyanya yang berupa
puisi, cerpen dan esei dipublikasikan di pelbagai media massa dan antologi. Kini ia
mengelola Komunitas Rumah Lebah Yogyakarta, Penerbit Akar Indonesia, dan Jurnal
Cerpen Indonesia. Penghargaan : Sih Award dari Jurnal Puisi, Anugerah Sastra Horison
untuk cerpen terbaik dari Majalah Sastra Horison.
5. Habiburahman El Shirazy
H. Habiburrahman El Shirazy, Lc. Pg.D., (lahir 30 September 1976), adalah
novelis Indonesia. Selain novelis, sarjana Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir ini juga
dikenal sebagai sutradara, dai, penyair, sastrawan, pimpinan pesantren, dan penceramah.
Selain di Indonesia, karya-karya Habiburrahman sudah dikenal di mancanegara seperti
Malaysia, Singapura, Brunei, Hongkong, Taiwan, Australia, dan Amerika Serikat. Di
antara karya-karyanya yang telah beredar di pasaran adalah Ayat-Ayat Cinta (telah dibuat
versi filmnya, 2004), Di Atas Sajadah Cinta (telah disinetronkan Trans TV, 2004), Ketika
Cinta Berbuah Surga (2005), Pudarnya Pesona Cleopatra (2005), Ketika Cinta Bertasbih
(2007), Ketika Cinta Bertasbih 2 (Desember, 2007) Dalam Mihrab Cinta (2007), Gadis
Kota Jerash (2009), Bumi Cinta, (2010) dan The Romance. Kini ia sedang
12
0
merampungkan Langit Makkah Berwarna Merah, Bidadari Bermata Bening, Bulan Madu
di Yerussalem, Bumi Cinta, Api Tauhid, dan Ayat-Ayat Cinta 2 yang sedang dimuat
bersambung di Harian Republika.
Memulai pendidikan menengahnya di MTs Futuhiyyah 1 Mranggen sambil
belajar kitab kuning di Pondok Pesantren Al Anwar, Mranggen, Demak di bawah asuhan
K.H. Abdul Bashir Hamzah. Pada tahun 1992 ia merantau ke kota budaya Surakarta
untuk belajar di Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Surakarta, lulus pada tahun
1995. Setelah itu melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Fakultas Ushuluddin,
Jurusan Hadist Universitas Al-Azhar, Kairo dan selesai pada tahun 1999.Pada tahun 2001
lulus Postgraduate Diploma (Pg.D) S2 di The Institute for Islamic Studies di Kairo yang
didirikan oleh Imam Al-Baiquri.
Ketika menempuh studi di Kairo, Mesir, Habiburrahman pernah memimpin
kelompok kajian MISYKATI (Majelis Intensif Yurisprudensi dan Kajian Pengetahuan
Islam) di Kairo (1996-1997). Pernah terpilih menjadi duta Indonesia untuk mengikuti
"Perkemahan Pemuda Islam Internasional Kedua" yang diadakan oleh WAMY (The
World Assembly of Moslem Youth) selama sepuluh hari di kota Ismailia, Mesir (Juli
1996). Dalam perkemahan itu, ia berkesempatan memberikan orasi berjudul Tahqiqul
Amni Was Salam Fil ‗Alam Bil Islam (Realisasi Keamanan dan Perdamaian di Dunia
dengan Islam). Orasi tersebut terpilih sebagai orasi terbaik kedua dari semua orasi yang
disampaikan peserta perkemahan tersebut. Pernah aktif di Majelis Sinergi Kalam
(Masika) ICMI Orsat Kairo (1998-2000). Pernah menjadi koordinator Islam ICMI Orsat
Kairo selama dua periode (1998-2000 dan 2000-2002). Sastrawan muda ini pernah
dipercaya untuk duduk dalam Dewan Asaatidz Pesantren Virtual Nahdhatul
Ulama yang berpusat di Kairo. Dan sempat memprakarsai berdirinya Forum Lingkar
Pena (FLP) dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kairo.
Habiburrahman kembali ke Indonesia pada pertengahan Oktober 2002 dan
kemudian ikut menyunting Kamus Populer Bahasa Arab-Indonesia yang disusun oleh
KMNU Mesir dan diterbitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, (Juni 2003). Ia juga menjadi
kontributor penyusunan Ensiklopedia Intelektualisme Pesantren: Potret Tokoh dan
Pemikirannya, (terdiri atas tiga jilid ditebitkan oleh Diva Pustaka Jakarta, 2003). Antara
tahun 2003-2004, ia mengajar di Madrasah Aliyah Negeri I Jogjakarta. Selanjutnya sejak
tahun 2004 hingga 2006, ia menjadi dosen Lembaga Pengajaran Bahasa Arab dan Islam
Abu Bakar Ash Shiddiq UMS Surakarta. Saat ini, Habiburrahman tinggal di kota
Salatiga.
Semasa di SLTA, Habiburrahman pernah menulis teatrikal puisi berjudul Dzikir
Dajjal sekaligus menyutradarai pementasannya bersama Teater Mbambung di Gedung
Seni Wayang Orang Sriwedari Surakarta (1994). Pernah meraih Juara II lomba menulis
artikel se-MAN I Surakarta (1994). Pernah menjadi pemenang I dalam lomba baca puisi
relijius tingkat SLTA se-Jateng (diadakan oleh panitia Book Fair‘94 dan ICMI Orwil
Jateng di Semarang, 1994). Pemenang I lomba pidato tingkat remaja se-eks Keresidenan
Surakarta (diadakan oleh Jamaah Masjid Nurul Huda, UNS Surakarta, 1994). Ia juga
pemenang pertama lomba pidato bahasa Arab se-Jateng dan DIY yang diadakan oleh
UMS Surakarta (1994). Meraih Juara I lomba baca puisi Arab tingkat Nasional yang
diadakan oleh IMABA UGM Jogjakarta (1994). Pernah mengudara di radio JPI Surakarta
selama satu tahun (1994-1995) mengisi acara Syharil Quran Setiap Jumat pagi. Pernah
menjadi pemenang terbaik ke-5 dalam lomba KIR tingkat SLTA se-Jateng yang diadakan
oleh Kanwil P dan K Jateng (1995) dengan judul tulisan, Analisis Dampak Film Laga
Terhadap Kepribadian Remaja. Beberapa penghargaan bergengsi lain berhasil diraihnya
12
1
antara lain, Pena Award 2005, The Most Favorite Book and Writer 2005 dan IBF Award
2006.
Dari novelnya yang berjudul "Ayat-ayat Cinta" dia sudah memperoleh royalti
lebih dari 1,5 Miliar, sedangkan dari buku-bukunya yang lain tidak kurang ratusan juta
sudah dia kantongi.
6. Andrea Hirata
Andrea Hirata Seman Said Harun atau lebih dikenal sebagai Andrea Hirata (lahir
24 Oktober 1967) adalah novelis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitung, provinsi
Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah Laskar Pelangi yang menghasilkan tiga
sekuel.
Hirata lahir di Gantung, Belitung.Saat dia masih kecil, orang tuanya mengubah
namanya tujuh kali. Mereka akhirnya memberi nama Andrea, yang nama Hirata
diberikan oleh ibunya.Dia tumbuh dalam keluarga miskin yang tidak jauh dari tambang
timah milik pemerintah, yakni PN Timah (sekarang PT Timah Tbk.) Hirata memulai
pendidikan tinggi dengan gelar di bidang ekonomi dari Universitas Indonesia. Meskipun
studi mayor yang diambil Andrea adalah ekonomi, ia amat menggemari sains—fisika,
kimia, biologi, astronomi dan sastra. Andrea lebih mengidentikkan dirinya sebagai
seorang akademisi dan backpacker. Sedang mengejar mimpinya yang lain untuk tinggal
di Kye Gompa, desa di Himalaya.[butuh rujukan]
Setelah menerima beasiswa dari Uni Eropa, dia mengambil program master di
Eropa, pertama di Universitas Paris, lalu di Universitas Sheffield Hallam di Inggris.
Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari universitas
tersebut dan ia lulus cum laude.Tesis itu telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia
dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang
Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi ilmiah.[butuh rujukan]
Hirata merilis novel Laskar Pelangi pada tahun 2005.Novel ini ditulis dalam
waktu enam bulan berdasarkan pengalaman masa kecilnya di Belitung. Ia kemudian
menggambarkannya sebagai sebuah ironi tentang kurangnya akses pendidikan bagi anak-
anak di salah satu pulau terkaya di dunia. Novel ini terjual lima juta eksemplar, dengan
edisi bajakan terjual 15 juta lebih. Novel ini menghasilkan trilogi novel, yakni Sang
Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov. \
7. Rendra
Dr.H.C Willibrordus Surendra Broto Rendra, S.S., M.A. (7 November 1935 – 6
Agustus 2009) atau dikenal sebagai W.S. Rendra adalah penyair, dramawan, pemerandan
sutradara teater berkebangsaan Indonesia.
Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra di berbagai
media massa. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Gajah Mada dan dari
perguruan tinggi itu Rendra menerima gelar Doktor Honoris Causa. Penyair yang kerap
dijuluki sebagai "Burung Merak" ini, pada tahun 1967 mendirikan Bengkel Teater di
Yogyakarta. Melalui Bengkel Teater itu, Rendra melahirkan banyak seniman antara lain
Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi, dan lain-lain. Ketika kelompok
teaternya kocar-kacir karena tekanan politik, ia memindahkan Bengkel Teater ke Depok,
Oktober 1985.
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden
Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru bahasa Indonesia dan bahasa
12
2
Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan
ibunya adalah penari serimpi di Keraton Surakarta Hadiningrat. Masa kecilhingga remaja
Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Pernikahan Rendra dengan Sunarti Suwandi dan Sitoresmi Prabuningrat berakhir
dengan perceraian, dan terakhir ia menikahi Ken Zuraida yang juga seniman teater. Dari
ketiga istrinya, Rendra dikaruniai sebelas orang anak.
12
3
BAB XII
SASTRA NON NARATIF
A. DIALEK
a. Dialek
Menurut Chaer (1995:63) dialek adalah variasi bahasa dari sekelompok penutur yang
jumlahnya relatif, yang berada pada suatu tempat, wilayah atau area tertentu. Karena dialek
ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut
dialek areal, dialek regional atau dialek geografi.
Alwasilah (1993: 40), dialek merupakan bahasa kelompok penutur tertentu yang
melibatkan keteraturan yang sistematik dan membentuk dialek dari bahasa yang sama.
Parera (1993: 20) mengemukakan bahwa dialek adalah variasi dari sebuah bahasa
standar yang bercirikan daerah atau variasi bahasa yang bersifat regional dan merupakan
sebuah bahasa standar mempunyai perbedaan-perbedaan kecil dalam bidang fonologi,
morfosintaksis, semantik berdasarkan daerah pemakaian-nya. Selanjutnya, menurut
Weijen, dkk. (dalam Ayatrohaedi, 2002:2) dialek adalah sistem kebahasaan yang
digunakan oleh masyarakat untuk membedakannya dari masyarakat yang lain yang
bertetangga yang menggunakan sistem berlainan walaupun erat hubungannya.
Ayatrohaedi (2002:2) mengemukakan bahwa dialek memiliki dua ciri, yaitu: (1)
seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda yang memiliki ciri-ciri umum dan
masing-masing memiliki lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain
dari bahasa yang sama dan (2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari
sebuah bahasa.
Menurut Cahyono (1995: 387), ―Dialek mengacu ke semua perbedaan antar variasi
bahasa yang satu dan yang lain mencakup penggunaan tata bahasa, kosa kata maupun
aspek ucapannya‖.Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dialek adalah
variasi bahasa dari sekelompok penutur dalam bentuk ujaran setempat yang merupakan
penilaian hasil perbandingan dengan salah satu isolek lainnya yang dianggap lebih unggul.
1. Dialek Melayu Riau
Bahasa merupakan ciri khas budaya dan menunjukkan jati diri suatu bangsa. Bahasa
melayu terus berkembang sesuai dengan sub-sub dialek lokal yang ada di nusantara.
Jumlah penutur bahasa Melayu di Indonesia sangat banyak, bahkan dari segi jumlah
melampaui jumlah penutur Bahasa Melayu di Malaysia dan Brunai Darussalam.
Bahasa melayu dituturkan dari Sumatra, Kepulauan Riau, Riau, Kepulauan bangka
Belitung, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu hingga Pesisir Pulau Kalimantan dan kota
Negara, Bali. Riau merupakan negeri pusat12perkembangannya budaya dan sastra melayu.
4
Dari negeri inilah berkembang bahasa melayu yang merupakan pokok dari bahasa-bahasa
negeri-negeri di Nusantara. Perkembangan bahasa dan sastra melayu mencapai puncak
kejayaannya pada masa kerajaan Riau-Lingga yang diangkat dan dikembangkan oleh Raja
Ali Haji di Pulau Penyengat. Dari Pulau Penyengat lah bahasa
melayu itu menjadi gemilang di negeri Nusantara.
c. Rokan Hilir
Di Rokan Hilir hampir sama dengan di Bengkalis, bahasa melayunya kental
mirip dengan bahasa melayu Johor - Riau - Lingga. Namun juga tak sedikit yang kata-
katanya berakhiran dengan 'o' seperti halnya bahasa Riau Pedalaman (Kampar dan
Rokan Hulu). Dialek ini dipergunakan oleh masyarakat Rokan Hilir yang wilayahnya
dekat atau berbatasan langsung dengan Rokan Hulu
12
Seperti : 7
Orang - Uyang
Tidak hendak - Tak ondak
Berlayar - Belaya
Beli - Boli
Barang - Ba ang
Jemur - Jemor
Rumah - Umah
Cukup - Cukuik
Lihat - Tengok
Esok – Isok
Selain dipengaruhi oleh bahasa melayu Riau pedalaman, Rokan Hilir juga
dipengaruhi sedikit oleh bahasa melayu deli, batak dan pesisir timur.
d. Siak
Bahasa Melayu di Siak sama dengan Bahasa melayu di Bengkalis, selain
banyak terdapat kata-kata berakhiran 'e' lemah juga cukup banyak kata-kata yang
berakhiran 'o'. Di Siak juga pernah ada kerajaan Siak yang merupakan kerajaan melayu
islam terbesar di Sumatera yang turut andil dalam mengembangkan tradisi, adat-
isitadat, budaya dan bahasa melayu secara luas keseluruh pelosok-pelosok negeri-
negeri yang di bawah naungan kerajaan Siak, seperti Siak,Bengkalis, Rokan,
Pekanbaru, dan Kampar.
Di Bengkalis dan Siak juga terdapat
perubahan kata-kata sapaan tertentu.
contoh : Kamu = "Miko"
e. Dumai
Dumai juga sama dengan Bengkalis. Bahasa Melayu juga masih kental disini bahkan di
kota pelabuhan di pesisir timur Sumatea ini juga masih terdapat perkampungan
masyarakat melayu yang masih melestarikan tradisi dan budayanya. Di Dumai bahasa
melayunya sama dengan melayu kepulauan dengan perubahan kata-kata tertentu.
Pada kata sapaan
contoh: Kamu = "Mike"
f. Pelalawan
12
8
Di Pelalawan pernah terdapat kerajaan Pekantua dan Kerajaan Pelalawan. Dua
Kerajaan ini merupakan satu galur dari kerajaan Melaka. Sehingga bahasa melayu yang
mirip dengan bahasa melaka juga berkembang disini. Namun bahasa dan
tradisi di Pelalawan juga turut di pengaruhi oleh tradisi dan budaya dari ranah Kampar.
Disini pula pertama kalinya nenek moyang orang Kampar merantau dari kampar ke
Semenanjung dan kembali lagi ke Kampar melalui Semenanjung Kampar di Pekantua.
g. Indragiri Hulu
Di Indragiri Hulu dahulunya merupakan bahagian negeri dari Kerajaan Indragiri yang
bermula dari Keritang Indragiri Hulu. Bahasa melayu Riau yang kental dengan loghat
dan dialeg yang mirip dengan bahasa melayu Johor-Riau-Lingga masih lestari hingga
saat ini. Jika anda pergi ke Rengat ataupun sekitarnya,dan menemukan anak-anak
bermain bercengkrama seperti halnya tokoh serial kartun Malaysia, Upin dan Ipin. Di
Bahagian Indragiri Hulu di pedalaman maka bahasa nya pun dipengaruhi oleh bahasa
Kuantan.
contoh :
Saya - saye - awak
kecil-kecik - kocik
kedai-kedai – kodai
h. Indragiri Hilir
Sama dengan Indragiri Hulu, Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu merupakan
wilayah satu kesatuan di bawah kerajaan Idnragiri. bahasa melayu riau yang kental
namun juga dipengaruhi oleh bahasa Banjar, khususnya di Tembilahan. Karena
masyarakat perantau asal Banjar juga banyak berada disini. Namun di Mandah ataupun
ke pantai solop bahasa melayu yang dipakai adalah standar bahasa melayu Riau
terutama di desa-desa yang masih teguh memegang adat dan tradisi budaya
nenek moyangnya. Bahasa di Indragiri Hilir merupakan campuran antara komunitas
banjar dengan melayu pesisir dan kepulauan.
i. Pekanbaru
Pekanbaru merupakan ibukota provinsi Riau. Saat ini Pekanbaru berkembang
menjadi kota besar yang pesat perkembangannya. Sulit untuk menemukan masyarakat
yang berbahasa melayu disini. Seperti halnya kota-kota besar lainnya di Indonesia,
Pekanbaru merupakan kota yang masyarakatnya heterogen. Selain daripada masyarakat
12
9
Riau sendiri, Pekanbaru asli, juga ada masyarakat minangkabau, jawa, batak,
Medan,Sunda, Bugis, Banjar, Palembang, Aceh, dan sebagainya.
Bahasa melayu Riau asli Pekanbaru juga masih ada meski Pekanbaru
diramaikan oleh bahasa-bahasa warga pendatang, karena pada hakikatnya Pekanbaru
zaman dulunya merupakan daerah kampung melayu yang didiami penduduk melayu
Siak yang sangat sedikit populasinya pada saat itu. Pekanbaru dahulunya adalah negeri
bahagian dari Kerajaan Siak, dan sebagai negeri pembatas antara Riau pesisir dan Riau
pedalaman sehinngga budaya tradisi Riau daratan bercampur baur disini terlebih ketika
bandar Pekan telah dibuka oleh Sultan Siak. Karena dibawah naungan Kerajaan Siak
kala itu yang memindahkan pusat pemerintahannya di Senapelan, jadi segala budaya,
adat istiadat, tradisi dan budaya Siak berkembang di
Senapelan,Pekanbaru.
Bahasa dan tradisi melayu di Pekanbaru yangditutur oleh penduduk asli
Pekanbaru sangat mirip dengan bahasa asli Siak, Perawang, dan Gasib.
Seperti : (pakai frasa paling gampang sejagat aja,,,
"Kamu Hendak Pergi Ke mana?")
Bahasa melayu Pekanbaru: "Awak tuh nak pegi kemane?" atau "Awak nak pegi
kemano?" atau bisa juga "Kau nak pegi kemana?"
Selain bahasa melayu Pekanbaru, juga banyak terdapat bahasa melayu
Kampar, karena Pekanbaru juga merupakan daerah yang sangat dekat dan dikelilingi
oleh daerah Kampar,sehingga perpaduan tradisi dan bahasa itu juga berkembang
terutama daerah-daeah Pekanbaru di kawasan daratan atas, barat dan selatan.
Lebih lanjut Hamidy (1994:16) menyatakan bahwa dialek Melayu kepulauan
Riau disebut juga dengan dialek Riau-Johor, sebab kerajaan Riau, Johor, Pahang, dan
Lingga pernah bergabung dalam satu kerajaan yaitu kerajaan Melayu sebelum dibagi
dua oleh Belanda dan Inggris dalam perjanjian London tahun 1824. Dialek ini disebut
dialek Melayu Riau-Lingga (setelah perjanjian London) yang daerah kekuasaannya
meliputi pesisir pantai Timur Sumatera sampai ke pulau-pulau Natuna dan Anambas di
Laut Cina Selatan.
j. Kepulauan Riau
Hamidy (1994:16) menyatakan bahwa dialek Melayu kepulauan Riau disebut
juga dengan dialek Riau-Johor, sebab kerajaan Riau, Johor, Pahang, dan Lingga pernah
bergabung dalam satu kerajaan yaitu kerajaan Melayu sebelum dibagi dua oleh Belanda
dan Inggris dalam perjanjian London tahun 1824. Dialek ini disebut dialek Melayu
13
Riau-Lingga (setelah perjanjian London)
0 yang daerah kekuasaannya meliputi pesisir
pantai Timur Sumatera sampai ke pulau-pulau Natuna dan Anambas di Laut Cina
Selatan.
Ragam Dialek Melayu Kepulauan Riau tersebut meliputi bekas Kerajaan
Inderagiri dan Kabupaten Bengkalis yang daerahnya meliputi Kerajaan Siak Sri
Inderapura. Oleh karena Selatpanjang adalah daerah yang termasuk ke dalam daerah
Kerajaan Siak Sri Indrapura, berdasarkan pendapat di atas, dapat dikatakan bahwa
bahasa yang digunakan di daerah ini adalah dialek Melayu Kepulauan Riau.
Selatpanjang adalah ibukota Kabupaten Meranti yang diresmikan pada tahun 2009.
Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Bahasa daerah yang digunakan di sini adalah bahasa Melayu.
Bahasa Melayu merupakan bahasa daerah di Selatpanjang yang berfungsi
sebagai alat pengembangan dan pendukung kebudayaan daerah di Selatpanjang. Kota
Selatpanjang dahulu merupakan salah satu bandar (kota) paling sibuk dan terkenal
dalam perniagaan pada masa kekuasaan Kesultanan Siak Sri Indrapura yang merupakan
kesultanan terbesar pada masa itu. Bandar ini telah membentuk masyarakat yang
heterogen, terutama suku Melayu dan Tionghoa, sehingga memudahkan perdagangan
dan lalu lintas barang-barang dari China ke Nusantara. Hal ini terbukti dengan
terdapatnya dua Toapekong di tepi laut Selatpanjang. Salah satunya merupakan
toapekong tertua di Provinsi Riau. Toapekong ini diperkirakan berdiri pada awal 1868.
Sejarawan memprediksi Toapekong ini berumur lebih dari 150 tahun setelah dilihat dari
relief arsitektur bangunannya (Rudi dkk, 2014:15).
13
1
BAB XIII
SASTRA NARATIF
1) Sastra naratif klasik berkembang dan hidup dalam masyarakat Indonesia terdahulu, yaitu
masyarakat tradisional yang tidak memperoleh pengaruh dari sastra atau kebudayaan
Barat. Di nusantara, sastra naratif klasik awalnya muncul sebagai salah satu sastra lisan,
sebelum masyarakat mengenal tulisan, penyampaian sastra naratif klasik ini
disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut. Penggunaan tulisan pada sastra naraif
klasik kemudian diperkenalkan saat penyebaran agama dan kebudayaan Islam di
Indonesia. Sifatnya yaitu mengandung imajinasi dan ceritanya berpusat pada kejadian
yang terjadi di kerajaan atau istana. Penulisan sastra naratif klasik pada umumnya
anonim, bentuk isinya tidak berubah dan ditujukan untuk memberi pengajaran. Sastra
naratif klasik ini juga sering diistilahkan dengan folklor atau cerita rakyat, yaitu cerita di
kehidupan rakyat yang telah diwariskan dari generasi-generasi sebelumnya secara lisan.
2) Sedangkan sastra naratif modern merupakan karya yang berkembang setelah mendapat
pengaruh dari sastra atau kebudayaan asing.
1. Sastra Hikayat 13
2
Hikayat adalah salah satu bentuk karya sastra Melayu yang umumnya menceritakan tentang
kehebatan seseorang. Istilah hikayat berasal dari bahasa serapan Arab, yaitu haka, yang berarti
cerita. Namun, secara harfiahnya hikayat sama dengan riwayat atau tarikh. Genre ini merupakan
genre terbesar dan paling banyak menghasilkan karya kesusastraaan.
Contoh karya:
Hikayat Hang Tuah adalah naskah Melayu Kuno yang diperkirakan ditulis pada abad 17.
Menurut Iskandar (1995) Hikayat Hang Tuah selambat-lambatnya ditulis pada akhir abad ke
tujuh belas‘. Braginsky (1990:403) menyatakan bahwa Hikayat Hang Tuah ditulis di Johor,
kerajaan pengganti Malaka, antara tahun 1688 dan 1710. Hang Tuah memiliki beberapa kenalan
karib: Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu. Mempunyai yang berpendapat
bahwa kedua tokoh terakhir ini sebenarnya hanya satu orang yang sama saja. Sebab huruf Jawi
wau; " "ﻭdan ra; " "ﺭwujudnya sangat mirip. Tetapi lainnya menolak dan menyebut bahwa
kelima kawan ini adalah versi Melayu dari Pandawa lima, tokoh utama dalam wiracarita
Mahabharata.
Hikayat ini berkisah pada kesetiaan Hang Tuah pada Sri Sultan. Bahkan ketika dia dikhianati
dan dibuang, kenalan karibnya, Hang Jebat yang memberontak membelanya akhir-akhirnya
malah dibunuh oleh Hang Tua. Hal ini mencapai sekarang, terutama di kalangan Bangsa
Melayu masih dibentuk menjadi kontroversial. Siapakah yang benar: Hang Tuah atau Hang
Jebat?
Selain itu setting kisah ini adalah di Malaka lebih kurang zaman ke-14 Masehi. Sebab jumlah
dikatakan dalam hikayat ini perseteruan selang Malaka dan Majapahit.
Hikayat Prang Sabi ini bercerita tentang jihad seorang tokoh pahlawan. Hikayat ini tergolong ke
dalam dua bentuk yaitu epos dan tambeh. Hikayat Prang Sabi dalam jenis epos menggambarkan
kejadian-kejadian perang yang berlangsung di Aceh. Dengan segala kepahlawanan,
keperkasaan dan keberanian para tokohnya.
Sedangkan Hikayat Prang Sabi tambeh lebih menitikberatkan tentang nasihat yang ditulis oleh
para pemuka agama untuk melakukan jihad dan menegakkan agama. Hikayat Prang Sabi
tambeh pertama kali dihadirkan berupa saduran dari risalah Abdul Samad Al-Falimbani yang
ditulis pada 1834 yakni 40 tahun sebelum perang Aceh. Hikayat pertama tentang Perang Sabi
berjudul Hikayat Prang Sabi yang dituliskan oleh Teungku Chik Pante Kulu.
Hikayat ini dituliskan ke dalam bahasa Melayu. Isinya mengisahkan tentang raja-raja islam
pertama di Samudra-Pasai yang kini terletak di Aceh. Hikayat ini sekilas bercerita mengenai
Merah Silu yang tengah bermimpi bertemu Nabi Muhammad.
Dalam mimpinya, Nabi Muhammad mengislamkan Merah Silu. Kemudian setelah kejadian
tersebut Merah Silu sultan pertama di kerajaan Pasai dengan nama islam Malik al-Saleh.
13
3
Hikayat Abdullah
Hikayat ini masuk kedalam jenis hikayat biografi karena menceritakan suatu kisah tentang satu
tokoh bernama Abdullah. Karya sastra yang ditulis pada pertengahan abad ke 19 ini
menceritakan tentang Abdullah bin Abdulkadir Munsyi yang merupakan tokoh yang lahir
dalam keluarga terpelajar.
Beliau adalah keturunan Arab, Yaman. Leluhur Abdullah adalah seorang guru agama yang
menetap di India. Abdullah juga memiliki istri seorang Tamil yang kemudian bersama-sama
pindah ke Malaka.
Ayah abdullah adalah narasumber untuk seorang pakar bahasa Melayu dari Britania Raya.
Orang tersebut bahkan pernah menuliskan kitab Sejarah Sumatra (History of Sumatra) yang
menjadi rujukan bagi banyak sejarawan saat ini. Hikayat Abdullah ini mengisahkan banyak hal
menarik mengenai Malaka dan Singapura.
2. Sastra Syair
Kata atau istilah Syair berasal dari Bahasa arab yaitu Syi'ir atau Syu'ur yang berarti "perasaan
yang menyadari", kemudian kata Syu'ur berkembang menjadi Syi'ru yang berarti puisi dalam
pengetahuan umum. Pengertian yang lain, Syair adalah salah satu puisi lama. Syair berasal dari
Persia, dan dibawa masuk ke Nusantara bersama dengan masuknya Islam ke Indonesia.
Kemudian berkembang menjadi kata umum. Maka syair dalam bahasa Melayu mengarah pada
pengertian puisi secara umum. Namun berkembang dan mengalami perubahan dan modefikasi
sehingga syair di desain sesuai dengan kondisi yang terjadi dalam perkembangan syair.
3. Cerita berbingkai
Cerita berbingkai adalah cerita yang di dalamnya mengandung cerita lain. Cerita berbingkai
berasal dari India dan masuk ke dalam kesusastraan Melayu melalui Arab Persi. Oleh karena
itu, pengaruh Islam lebih dominan daripada pengaruh Hindu. Struktur isi cerita berbingkai
terdiri atas pokok cerita dan cerita sisipan. Penokohan cerita berbingkai terdiri atas tokoh
manusia dan tokoh binatang. Tokoh manusia umumnya berasal dari kalangan istana atau rakyat
jelata, sedangkan tokoh binatang bersifat personifikasi. Sifat cerita berbingkai adalah selalu
terdapat sisipan, umumnya bersifat romantik, banyak mengandung kiasan dan sindiran, sering
menggunakan karakter binatang, banyak peristiwa ajaib dan benda ajaib, serta tajuk cerita
menggunakan watak utama dan memunculkan anak cerita. Cerita berbingkai, umumnya
berbentuk hikayat.
Khojan Mubarok adalah saudagar dari kerajaan Ajam. Dia tidak memiliki anak, maka ia
selalu berdoa kepada Tuhan. Setelah sekian lama, istrinya hamil dan melahirkan seorang
anak laki-laki yang diberi nama Khojan Maimun. Setelah Khojan Maimun berumur lima
tahun, Khojan Mubarok menyuruh seorang guru mengaji untuk mengajarkan anaknya
mengaji. Ketika Khojan Maimun berumur lima belas tahun, ia dinikahkan dengan anak
saudagar kaya yang sangat cantik bernama Bibi Zaenab. Setelah beberapa lama menikah
dengan Bibi Zaenab, ia membeli seekor Burung Bayan jantan. Selain membeli Burung
Bayan, ia juga membeli Burung Tiung betina. Kedua burung tersebut dibawanya ke rumah
dan ditaruh pada sangkar yang sama.
Pada suatu hari Khojan Maimun tertarik untuk berdagang di laut, lalu Khojan Maimun
meminta izin kepada istrinya. Sebelum dia pergi, ia berpesan kepada istrinya, jika ada
suatu permasalahan maka bermusyawarahlah dengan kedua burung itu, ingatlah itu karena
fitnah itu lebih tajam dari pada senjata. Setelah beberapa lama ditinggal suaminya, ada
seorang anak Raja yang sedang berkuda melihat wajah Bibi Zaenab yang sangat cantik.
Mereka saling jatuh cinta dan mereka bertemu dengan dibantu oleh seorang perempuan
tua. Maka pada suatu malam, Bibi Zaenab berpamitan kepada Burung Tiung untuk bertemu
13
dengan Pangeran, tetapi Burung Tiung menasehati Bibi Zaenab karena perbuatannya itu
6
melanggar aturan Allah SWT. Mendengar nasehat Burung Trung, Bibi Zaenab marah dan
dilemparkanlah sangkar itu sampai Burung Trung mati.
Ketika Bibi Zaenab hendak pergi, ia melihat Burung Bayan yang sedang berpura-pura
tertidur. Burung Bayan berpura-pura terkejut mendengar keinginan Bibi Zaenab yang
hendak pergi menemui anak Raja. Maka Bayan berpikir, jika ia menjawab seperti yang
dikatakan Tiung maka dia pun akan mati. Setelah lama berpikir, Bayan berkata, "Bibi
Zaenab yang cantik, cepatlah pergi menemui anak Raja itu. Apapun yang anda lakukan itu
baik atau buruk sekalipun, hamba yang akan menanggungnya. Segeralah tuan pergi,
karena anak Raja sudah menunggu. Apa yang dicari manusia di dunia ini selain martabat,
kesabaran, dan kekayaan? Adapun hamba ini adalah seperti seekor Burung Bayan yang
dicabut bulunya oleh istri tuannya sendiri."
Setiap malam, Bibi Zaenab selalu bertemu dengan anak Raja, dan setiap berpamitan
dengan Bayan, Bayan selalu bercerita hingga 24 kisah dan 24 malam terus bercerita,
hingga akhimya Bibi Zaenab insyaf terhadap perbuatannya dan menunggu suaminya
Khojan Maimun pulang dari berdagang
Hikayat Bakhtiar.
Tersebutlah perkataan seorang raja yang bernama Indera Bungsu dari Negeri Kobat
Syahrial. Setelah berapa lama di atas kerajaan tada juga beroleh putra. Maka pada suatu
hari, la pun menyuruh orang membaca doa kunut dan sedekah kepada fakir dan miskin.
Hatta beberapa lamanya, Tuan Puteri Sam Kendi pun hamillah dan bersalin dua orang
putra laki-laki. Adapun yang tua keluarnya dengan panah dan yang muda dengan pedang
Maka baginda pun terlalu amat sukacita dan menamai anaknya yang tua Syah Pen dan
anaknya yang muda indera Bangsawan. Maka anakanda baginda yang dua orang itu pun
sampailah usia tujuh tahun dan dititahkan pergi mengaji kepada Muslim Sulian Sesudah
tahu mengau, mereka dititah pula mengaji kitab usul, fikih, hingga saraf, tafsir sekaliannya
diketahuinya. Setelah beberapa lamanya, mereka belajar pula ilmu senjata, ilmu hikmat,
dan isyarat tipu peperangan. Maka baginda pun bimbanglah tidak tahu siapa yang patut
dirayakan dalam negeri karena anaknya kedua orang itu sama-sama gagah,
Jikalau baginda pun mencant muslihat ia menceritakan kepada kedua anaknya bahwa ia
bermimpi bertemu dengan seorang pemuda yang berkata kepadanya barang siapa yang
dapat mencari buluh perindu yang dipegangnya ialah yang patut menjadi raja di dalam
negeri. Setelah mendengar kata-kata baginda. Syah Pen dan Indera Bangsawan pun
bermohon pergi mencan buluh perindu itu. Mereka masuk hutan keluar hutan, naik gunung
turun gunung, masuk rimba keluar rimba, menuju ke arah matahari hidup, Miska datang
pada suatu hari, hujan pun turunlah dengan angin ribut, taufan, kelam kabut, gelap gulita
dan tiada kelihatan barang suatu pun. Maka Syah Pen dan Indera Bangsawan pun
bercerailah. Setelah teduh hujan ribut, mereka pun pergi saling can-mencan Tersebut pula
perkataan Syah Peri yang sudah bercerai dengan saudaranya Indera Bangsawan. Maka ia
pun menyerahkan dirinya kepada Allah Subhanahuwata'ala dan berjalan dengan
sekuatkuatnya. Beberapa lama di jalan, sampailah in kepada suatu taman, dan bertemu
sebuah mahliga la naik ke atas mahligai itu dan melihat sebuah gendang tergantung.
13
Gendang itu dibukanya dan dipukulnya. Tiba-tiba ia terdengar orang yang melarangnya
7
memukul gendang itu. Lalu diambilnya pisau dan ditorehnya gendang itu, maka Puteri
Ratna Sari pun keluarlah dari gendang itu.
Puteri Ratna Sari menerangkan bahwa negerinya telah dikalahkan oleh Garuda. Itulah
sebabnya ia ditaruh orangtuanya dalam gendang itu dengan suatu cembut. Di dalam
cembul yang lain ialah perkakas dan dayang-dayangnya. Dengan segera Syah Peri
mengeluarkan dayang dayang itu. Tatkala Garuda itu datang, Garuda itu dibunuhnya.
Maka Syah Peri pun duduklah berkasih-kasihan dengan Puteri Ratna Sari sebagai suami
istri dihadap oleh segala dayang-dayang dan inang pengasuhnya. Tersebut pula perkataan
Indera bangsawan pergi mencan saudaranya, la sampai di suatu padang yang terlalu luas
ta masuk di sebuah qua yang ada di padang itu dan bertemu dengan seorang raksasa.
Raksasa itu menjadi neneknya dan menceritakan bahwa Indera Bangsawan sedang berada
di negeri Antah Berantah yang diperintah oleh Raja Kabir. Adapun Raja Kabir mu takluk
kepada Buraksa dan akan menyerahkan putrinya, Puten Kemala Sari sebagai upeti. Kalau
tiada demikian, negeri itu akan dibinasakan oleh Buraksa Ditambahkannya bahwa Raja
Kabir sudah mencanangkan bahwa barang siapa yang dapat membunuh Burisksa itu akan
dinikahkan dengan anak perempuannya yang terlalu elok parasnya itu. Sembilan orang
anak raja sudah berada di dalam negeri itu. Akhirnya raksasa itu mencanangkan supaya
indera Bangsawan pergi menolong Raja Kabir. Diberikannya juga suatu permainan yang
disebut sarung kesaktian dan satu isyarat kepada Indera Bangsawan seperti kanak-kanak
dan ilmu isyarat itu boleh membawanya ke tempat jauh dalam waktu yang singkat Dengan
mengenakan isyarat yang diberikan raksasa itu, sampaliah Indera Bangsawan di negeri
Antah Berantah. Ia menjadikan dirinya budak-budak berambut keriting, Raja Kabir sangat
tertarik kepadanya dan mengambilnya sebagai permainan Puteri Kemala Sari Puteri
Kemala Sari juga sangat suka cita melihatnya dan menamainya si Hutan. Maka si Hutan
pun disuruh Puteri Kemala Sari memelihara kambingnya yang dua ekor Itu seekor jantan
dan seekor betina.
Pada suatu hari, Puteri Kemala Sari bercerita tentang nasib saudara sepupunya Puteri
Ratna Sari yang negerinya sudah dirusakkan oleh Garuda. Diceritakannya juga bahwa
Syah Peri lah yang akan membunuh garuda itu. Adapun Syah Peri itu ada adik kembar,
Indera Bangsawan namanya. lalah yang akan membunuh Buraksa itu. Tetapi bilakah
gerangan Indera Bangsawan baru akan datang? Puteri Kemala San sedih sekali. Si Hutan
mencoba menghiburnya dengan menyanyikan pertunjukan yang manis. Maka Puteri
Kemala Sari pun tertawalah dan si Hutan juga makin disayangi oleh tuan puteri, Hatta
berapa lamanya Puteri Kemala Sani pun sakit mata, terlalu sangat.. Para ahii nujum
mengatakan hanya air susu harimau yang beranak mudalah yang dapat menyembuhkan
penyakit itu. Baginda beritah lagi. "Barang siapa yang dapat susu hanmau beranak muda
alah yang akan menjadi suami tuan puteri. Setelah mendengar kata-kata baginda Si Hutan
pun pergi mengambil seruas buluh yang berisi susu kambing serta menyangkutkannya pada
pohon kayu. Maka ia pun duduk menunggui pohon itu. Sarung kesaktiannya
dikeluarkannya, dan rupanya pun kembali seperti dahulu kala.
13
8
Syahdan pada dahulu kala pernah bertahta seorang raja yang bernama Raja Shariar. Raja
itu amat membenci wanita. Anehnya justru setiap hari dia menikah dengan seorang wanita.
Istrinya yang baru dinikahi satu hari, langsung dibunuhnya, kemudian dia menikahi wanita
yang lain.
Pada suatu hari sang raja menikahi seorang gadis bernama Scheherazade, perempuan
cantik anak seorang Wazir dari India. Pada pernikahan ke sekian itulah raja baru kena
batunya. Pedang yang telah dipersiapkan untuk memenggal kepala istrinya itu tetap
tersimpan dalam sarungnya, bahkan hingga memasuki malam yang ke seribu.
Sejak malam pengantin, Scheherazade mengisahkan pada suaminya sebuah cerita yang
mengasyikkan, tetapi setiap kali cerita itu belum juga berakhir. Ujungnya masih
menggantung dan membuat raja itu ingin mengetahui kelanjutannya. Tiap hari dia
menunda memenggal leher istrinya dan meminta supaya Scheherazade melanjutkan cerita
bersambung itu pada malam berikutnya.
Semakin lama cerita yang dikisahkan Scheherazade semakin mengasyikkan hati Sang Raja,
sehingga dia selalu menunda niatnya membunuh dan meminta cerita dilanjutkan malam
berikutnya. Begitulah cerita Scheherazade menjadi sambung menyambung hingga genap
seribu satu episode. Leher Scheherazade berhasil selamat dari penggalan sang raja.
Karena itulah kumpulan cerita ini kemudian disebut sebagai Kisah Seribu Satu Malam.
4. Sastra Kitab
Sastra kitab adalah jenis sastra yang mencakup satu bidang yang sangat luas. Ilmu yang terdapat
didalamnya adalah ilmu kalam, ilmu fiqh, ilmu tasawuf, dan sebagainya.
Hikayat seribu masalah atau masa‘ll seribu adalah sebuah kitab yang sangat popular pada abad
pertengahan. Kitab ini mula- mula ditulis dalam bahasa arab, tetapi masa penulisannya tidak
dapat diketahui. Kitab ini pertama kali ddisebut dalam ringkasan al-tabart dalam bahasa parsi
yang dibuat oleh Abu Ali Muhammad Al Ba‘ami dari bahasa Arab. Dalam ringkasannya ini, Al
ba‘ami menyebut sebuah kitab yang berjudul mesail. Kitab tersebut berkisah tentang seorang
yahudi terpelajar mengajukan pertanyaan pertanyaan yang sukar kepada nabi Muhammad
karena jawaban Nabi Muhammad sangat memuaskan, yahudi tersebut kemudian masuk islam.
Pada tahun 1143, seribu masalah diterjemahkan kedalam bahasa latin . sebelumnya terjemahan
sudah terdapat dalam bahasa Parsi dengan judul : kitab 28 masalah.
Disamping itu, dalam bahasa parsi masih ada kitab yang berjudul hazar afsana yang
mengilhami lahirnya cerita seribu satu malam dan hazar mazar yang menceritakan kelahiran
seribu orang suci.Menurut Pijper, hikayat seribu masalah yang terdapat dalam bahasa melayu
itu disadur dari sebuah naskah parsi yang disunting di india. Ada 15 naskah Hikayat Seribu
Masalah Naskah museum pusat, bat. Gen. 19 (va ronkel Nr. CCC) telah diterbitkan oleh Pijper.
Menurutnya naskah ini disalin oleh Ki Muhammad mizan, pada tahun 1237 H (1865) di
13
9
Palembang. Naskah ini menunjukkan pengaruh Minangkabau yang kuat.merupakan ringkasan
teks yang diterbitkan oleh pijper tahun 1924.
Tajus Salatin
Tajus salatin (mahkota segala raja) adalah sebuah kitab yang bertujuan memberi pelajaran
kepada anak-anak raja atau raja. Tajus salatin adalah kitab yang ditulis dalam trasisi ini. Tetpi
ada satu perbedaan yang besar. Di india, raja adalah dewa atau titisan dewa dan kedudukannya
tidak mungkin dicapai manusia biasa. Di eropa raja adalah manusia biasa yang berkedudukan
tinggi dalam masyarakt dan bukan tidak bisa dicapai oleh manusia biasa. Didalm islam raja
adalah manusia biasa yang juga sama sama takut terhadap hokum Allah 14 atau syariat seperti
rakyatnya.hanya saja raja itu dianggap sebagai pengganti Allah di muka bumi ini yang
mempunyai tugas dan kewajiban yang mesti ditunaikan. Inilah yang merupakan tujuan utama
penulisan kitab tajus salatin di dunia islam.
Tajus salatin terdiri atas 24 bab. Sesudah puji pujian kepada Allah yang amat berkuasa ,
diucapkan pula rahmat kepada Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya yang sidik. Pertama-
tama kepada Abu Bakar Al-sidik, kedua kepada Umar yang adil, ketiga kepada usman yang
sadik dan rafik, dan keempat kepada Ali yang ghazi. Kemudian daripada itu penulisnya ,
bukhari mengatakan bahwa ia mengarang kitab ini untuk menyatakan perkataanperkataan peri
pekerjaan segala raja-raja dan menteri-menteri, hulubalang , rakayat dan barang yang
bergantung dengan ibarat yang amin dan simpan supaya orang beroleh manfaat dan menurut
katanya ,‖Maka dinamai kitab ini Tajus Salatin, artinya Mahhkota segala Raja-Raja.
5. Sastra Undang-undang
Yang dimaksud dengan undang-undang di sini adalah peraturan, adat istiadat yang dipakai sejak
zaman dahulu secara turun-temurun, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah
customary law. Naskah undang undang ini merupakan peninggalan/warisan lama yang sangat
penting yang menjelaskan peraturan, adat istiadat zaman dahulu, adat raja-raja, adat di istana
atau adat yang dilakukan pada upacara tertentu, serta peraturan tentang pelayaran. Semuanya itu
menggambarkan masyarakat lama dengan segala macam adat yang berlaku.,
- Kuasa raja dan pembesar dan undang-undang yang bekaitan dengan pentadbiran negara.
- Undang-undang mengenai jenayah. Biasanya undang undang jenayah ini bercampur-
aduk antara undang-undang Islam, tempatan, dan Hindu.
- Undang-undang awam. Sifatnya juga bercampur aduk, ter masuk di dalamnya undang-
undang mengenai perkahwinan dan perwarisan.
- Adat-istiadat yang biasanya dilakukan oleh raja dan pembesar.
Winstedt
(1) Undang-Undang Melaka
(2) Undang-Undang Pahang
(3) Undang-Undang Kedah
(4) Undang Undang Perak 14
0
(5) Undang-Undang Johor.
6. Sastra Panji
Sastera panji, pada dasarnya adalah karya-karya berbentuk hikayat yang secara umum berkisar
di sekitar kisah pengembaraan dan percintaan watak utamanya yang sering kali menggunakan
gelaran "Raden Panji". Cerita-cerita ini terdapat dalam bahasa Jawa dan Melayu dalam jumlah
yang cukup banyak.
7. Sastra Epik
Sastra epik adalah sejenis karya sastra tradisional yang menceritakan kisah kepahlawanan. Epos
ini sering kali dinyatakan dalam bentuk syair. Ciri-ciri dari sastra epic adalah:
- Latar belakang ceritanya memakan masa yang lama dan latar tempatnya amat luas. Para
pelakonnya ramai.
- Unsur ajaib yang melibatkan kuasa sakti dan ghaib, dan unsur campur tangan makhluk
non-human seperti Tuhan, nabi-nabi dan dewa-dewa. Sebenarnya unsur seperti ini
terdapat juga dalam sastera hikayat tetapi wira dalam cerita tersebut adalah wira fiksyen,
tidak dapat disamakan dengan sejarah masyarakatnya.
- Sifat yang lain ialah pengarangnya bersifat objektif dalam perisian wataknya.
Pengarangnya mencuba menulis se objektif mungkin, tanpa banyak campur tangan
dalam pergerakan wataknya. 14
1
Contoh-contoh sastra epic:
8. Sastra Sejarah
Sastra Sejarah adalah karya sastra yang selain mengandung unsur sastra, juga mengandung
unsur sejarah, unsur keindahan, dan juga unsur khayalan. Realitas yang menjadi obyek Karya
Sastra Sejarah, merupakan peristiwa sejarah, maka karya Sastra Sejarah mencoba
menerjemahkan dalam bahasa imajiner dengan maksud untuk memahami peristiwa sejarah
menurut kadar kemampuan pengarang. Karya Sastra Sejarah dapat menjadi sarana bagi
pengarang untuk menyampaikan pikiran, perasaan, dan tanggapan mengenai suatu peristiwa
sejarah.
1) Cerita pendek/cerpen
Cerpen adalah cerita berbentuk prosa yang pendek. Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 5)
menyatakan bahwa sesuai dengan namanya, cerpen secara harfiah novella berarti ‗sebuah
barang baru yang kecil‘ kemudian diartikan sebagai cerita pendek. Jika dibaca, jalan
peristiwanya lebih padat, sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja. Di
dalam cerpen hanya ditemukan sebuah peristiwa yang didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil
14
lainnya. Cerita pendek juga memberikan kesan 2 tunggal yang dominan dan memusatkan diri
pada satu tokoh dalam satu situasi. Menurut Nurgiyantoro (2015:12-14) ada beberapa hal yang
dapat dijadikan pedoman mengenal cerpen, yaitu sebagai berikut.
a) Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (atau disingkat menjadi cerpen) adalah cerita yang
pendek.
b) Ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang
pernah terjadi (nonfiksi) berdasarkan kenyataan yang sebenarnya. Akan tetapi, benar-benar
hasil rekaan pengarang. Sumber cerita yang ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.
c) Ciri cerpen yang lain adalah bersifat naratif atau penceritaan.
d) Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama.
e) Cerpen dibangun dari dua unsur, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu, memiliki unsur
peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, dan sudut pandang. Karena bentuknya yang pendek,
cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang
"kurang penting" dan lebih bersifat memperpanjang cerita.
2) Novel/roman
Tema
Menurut Hartoko dan Rahmanto ‗tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah
karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut
persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan‘
Latar/setting
Menurut Tarigan ―Latar adalah latar belakang fisik, unsur tempat dan ruang, dalam suatu
cerita‖. Latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas agar memberikan kesan
realitas kepada pembaca, menciptakan tempat atau peristiwa yang seolah-olah ada. Dalam cerita
fiksi latar/setting bukan hanya sebagai latar yang membuat cerita itu menjadi nyata, latar juga
berfungsi sebagai alat untuk perkembangan daya imajinasi dan psikologis pembaca, karena
pembaca dapat menggambarkan suasana atau peristiwa tertentu dengan imajinasi yang mereka
miliki dan melukiskan bagaimana peristiwa yang terdapat dalam cerita, dis amping dapat
mengimajinasikan peristiwa pembaca juga dapat melukiskan tokoh yang terdapat dalam cerita.
Sebagai salah satu unsur pembangun sebuah karya sastra latar/setting juga memiliki hubungan
14
3
dengan unsur lain seperti penokohan, perwatakan dan suasana agar menjadi sebuah totalitas
terhadap sebuah cerita.
Alur/Plot
―Ada dua teknik pengaluran, yaitu dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah
atau puncak, akhir terjadinya peristiwa, dan yang kedua dengan jalan regresif (alur mundur)
yaitu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak, dan berakhir pada tahap awal.
Tahap progesif bersifat linier, sedangkan teknik regresif bersifat nonlinier‖
Tokoh/Penokohan
Menurut Aminuddin ―Tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi
sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita disebut tokoh‖. Dan ―Penokohan adalah
cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku‖.
Sudut Pandang
―Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih
pengarang untuk mengemukakan gagasan dan cerita. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam
cerita fiksi memang milik pengarang, yang antara lain berupa pandangan hidup dan tafsirannya
terhadap kehidupan‖
Amanat
―Amanat adalah pesan yang akan disampaikan melalui cerita. Amanat baru dapat ditemukan
setelah pembaca menyelesaikan seluruh cerita yang dibacanya. Amanat biasanya berupa nilai-
nilai yang dititipkan penulis cerita kepada pembacanya. Sekecil apapun nilai dalam cerita pasti
ada‖
d. Sastra syair
Raja Ahli Haji
Raja Ali Haji bin Raja Haji Ahmad atau cukup dengan nama pena-nya Raja Ali Haji
(kelahiran di Selangor, ca. 1808 - meninggal di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau, ca.
1873, masih diperdebatkan) adalah ulama, sejarawan, dan pujangga masa zaman 19
keturunan Bugis dan Melayu. Dia terkenal sebagai pencatat pertama dasar-dasar atur
bahasa Melayu lewat buku Pedoman Bahasa; buku yang diwujudkan menjadi standar
bahasa Melayu. Bahasa Melayu standar itulah yang dalam Kongres Pemuda Indonesia
28 Oktober 1928 dikuatkan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia. Dia adalah
keturunan kedua (cucu) dari Raja Haji Fisabilillah, Yang Dipertuan Muda IV dari
Kesultanan Lingga-Riau dan juga adalah bangsawan Bugis.
Mahakaryanya, Gurindam Dua Belas (1847), diwujudkan menjadi pembaru arus sastra
pada zamannya. Bukunya berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama, adalah kamus ekabahasa
pertama di Nusantara. Dia juga menulis Syair Siti Shianah, Syair Suluh Pegawai, Syair
Hukum Nikah, dan Syair Sultan Abdul Muluk
e. Cerita Berbingkai
Ekawati
Cerita "Hikayat Bayan Budiman" ini ditulis oleh Ekawati. Cerita ini termasuk cerita
berbingkai, sebagaimana cerita klasik pada umumnya dan dapat menjadi bahan bacaan
siswa sekolah. Dalam cerita ini disebutlah nama Bayan yang budiman.
f. Sastra Kitab
Hamzah Fansuri
Meski seorang tokoh tasawuf yang terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang
riwayat hidupnya. Tentang masa hidup dan tempat kelahirannya pun menimbulkan berbagai
pendapat dari para sarjana. Terlepas dari berbagai kontroversi tentang kehidupannya,
berikut tiga karya prosa Hamzah Fansuri yang sudah terkumpul dan diterbitkan:
- Asrar al-'Arifin
- Syarab al-‗Asyikin
14
- Al- Muntahi 5
Syamsuddin Al-Sumatrani
Kita tidak banyak tahu tentang riwayat hidup Syamsuddin Al-Sumatrani. Hanya saja dari
kitab seperti Bustanus Salatin dan Hikayat Aceh serta catatan orang Eropa yang
mengunjungi Aceh pada akhir abad ke-16 dan permulaan abad ke-17 kita ketahui bahwa
Syamsuddin adalah seorang tokoh yang sangat penting di istana Aceh. Karena dianggap
mengandung ajaran yang menyesatkan buku-buku Syamsuddin dibakar oleh Sultan Iskandar
Thani yang saat itu berkuasa di Aceh. Karena pembakaran karya Syamsuddin yang sampai
kepada kita sedikit sekali dan kebanyakan merupakan fragmen yang tidak lengkap. Di
antaranya ialah Mir'at al-Mu'min (cermin orang yang beriman) dan Kitab Mir'at al-
Muhaqqiqin.
Nuruddin Ar-Raniri
Abdur Rauf Singkel adalah seorang tokoh tasawuf Aceh yang sangat terkenal dan cukup
produktif. Walaupun demikian tidak banyak yang tahu tentang riwayat hidupnya. Beberapa
hasil karya yang utama:
g. Sastra undang-undang
Tokoh-tokoh sastra undang-undang tidak tertulis secara spesifik, sebab sastra undang-undang
ini di keluarkan oleh raja-raja zaman kerajaan dahulu.
h. Sastra Panji
Hijayat-hikayat Panji tidak diketahui siapa pengarangnya. Namun, cerita ini sudah menyebar ke
seluruh Nusantara dalam berbagai versi. Cerita Panji merupakan sastra klasik berasal dari Jawa
Timur, bersumber dari Kerajaan Kediri dan Jenggala yang tersebar hingga ke Malaysia,
Thailand, Kamboja, Laos, dan Myanmar.
i. Sastra Epic
Hikayat- hikayat pada satra epic itu mempunyai struktur asasi sebuah hikayat Melayu yaitu
14 sastra yang ditulis dalam huruf Jawi (huruf
(Brakel, 1975: 76-77): tergolong sebagai karya
6
Arab, bahasa Melayu); pengarang tidak diketahui (anonim); menceritakan kisah-kisah yang
menakjubkan; disalin dari satu naskah ke naskah lain; sewaktu menyalin si penyalin bebas
mengubah, menambah, dan mengurangi hal-hal yang dianggapnya perlu. Ketiga hikayat itu
dikategorikan sebagai hikayat pahlawan Islam karena berisi perjuangan tokoh utama yang
mencurahkan hidupnya untuk menegakkan Islam (artinya ia turut serta dalam menyebarkan,
menjaga, mempertahankan, dan membela agama Islam) (Dipodjojo, 1981: 122).
j. Sastra Sejarah
Tokoh-tokoh sastra sejarah tidak di ketahui jelas pengarang dalam karya-karya sastra sejarah,
sebab sastra sejarah dibuat untuk mengisahkan sejarah kerajaan-kerajaan dahulu.
Buya H Amrizal dengan nama penanya Amrizal Isa Al-Bengkalisi, beliau tidak hanya
dikenal sebagai ulama Melayu di Bengkalis yang selalu berdakwah dan menyampaikan
materi ceramahnya kepada umat, melainkan juga seorang penulis yang handal. Setakat ini
beberapa buah buku telah pun ditulis dan diterbitkannya, baik buku yang mengangkat isu
atau tema-tema politik, sosial, dan keagamaan, hinggalah kepada buku-buku bernuansa
sastra dan budaya Melayu.
Salah satu karya sastra yang pernah beliau tulis dan terbitkan sebelum ini adalah buku syair
yang berjudul Syair Penyejuk Jiwa yang diterbitkan pada tahun 2019 lalu dan Menabur
Budi.
b. Cerita Novel/Roman
Taufik Ikram Jamil
Taufik Ikram Jamil (lahir 19 September 1963) adalah sastrawan Indonesia. Namanya
dikenal secara luas melalui karya-karyanya berupa naskah drama, novel, dan cerita pendek
yang dipublikasikan di berbagai media massa. Taufik merupakan salah satu penerima
Anugerah Sagang, pada tahun 1997.
Tiga Cerita Sandiwara Melayu diterbitkan Cindai Wangi Publishing, Batam (tahun
2001).
14
8
BAB XIV
KARYA SASTRA MELAYU MODERN
2.1 Pengertian Sastra melayu modern
Riau pernah mendapat tempat istimewa dalam sejarah negeri ini. Kesusastraan Riau sudah
muncul sejak pertengahan abad ke-19, dari Tuan Bilal Abu, Raja Ali Haji dan ayahnya Raja
Ahmad hingga kerajaan di Pulau Penyengat dibubarkan pada tahun 1913. Dua hal yang menjadi
tonggak penting, ialah adanya wujud percetakan Mathba‟ah Ahmadiah dan Batba‟ah Riauwiyah
dan perjuangan Rusydiah Kelab (Saman, ed. 1994:300). Dan, memang wilayah berbahasa Melayu
yang cukup diperhitungkan dalam menghasilkan karya-karya sastra sepanjang abad ke-19 ialah
Riau (Hasan Junus 1995:13, Henri Chambert-Loir, 1944:25-27). Bahkan menurut R.O. Wistedt
(1969) seperti yang dikutip Hasan Junus wilayah ini pernah memiliki „Riau School‟ untuk
sekumpulan karya sastra Melayu Klasik, sedangkan lebih jauh
V.I. Braginsky (1994:156) menyatakan memang ada, apa yang ia sebut sebagai „mazhab puisi
Riau‟. (Ibid).
Setiap etnik dalam setiap kelompok subdialek bahasa (seperti juga subdialek budaya) di ranah
Melayu memiliki sastra yang sangat subur dan memungkinkan dapat menjulur kepiawaian
melalui tangan-tangan para pengarang. Riau memiliki banyak subdialek bahasa atau subdialek
budaya. Masing-masing subdialek itu perlu dilihat tingkat kreatifitas untuk melihat potensi dalam
pembangunan yang sedang digalakkan sekarang ini.
Berdasarkan hal itu, perkembangan sastra di Riau perlu mendapat perhatian antara lain karena
akhir-akhir ini ada suatu gejala makin menurun kualitas kehidupan sastra di Riau. Perkembangan
lain menyitir pendapat Prof. Dr. Willem Shorsky yang menyatakan bahwa sastra Indonesia
sebenarnya bermula dari masa jauh sebelum berdirinya Balai Pustaka ini yaitu dengan lahirnya
seorang sastrawan yang berasal dari Riau yaitu Raja Ali Haji. Selepas itu, sumbangan Riau dalam
pentas kesusastraan Indonesia (modern) patut pula diakui dengan hadirnya beberapa penyair,
novelis, eseis, dan penerjemah yang telah diperhitungkan dalam cakrawala kesusastraan,
banyaknya publikasi baik di media-media daerah atau ibukota, dan sekian nama penyair dan
pengarang yang telah menerima penghargaan di mana-mana.
1. bentuk karya satra lama terikat sedangkan karya sastra moderen bebas
2. tema sastra lama adalah istana sentris sedangkan karya sastra moderen bersifat kreatif dan
sentris
3. bahasa yang digunakan pada sastra lama 14 adalah bahasa melayu sedangkan karya sastra
9
moderen menggunakan bahasa indo-eropa
4. sastra lama bersifat anonim sedangkan sastra moderen bersifat nonim
Tema dalam karya prosa (roman) bukan lagi pertentangan faham kaum muda dengan adat
lama seperti angkatan Siti Nurbaya, melainkan perjuangan kemerdekaan dan pergerakan
kebangsaan, misalnya pada roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana.
3. Periodisasi Sastra Angkatan 45
Munculnya karya-karya sastra Angkatan „45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi
warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa
sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya
pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya
dianggap sebagai karya sastra Melayu.
4. Periodisasi Sastra Angkatan 1950
15
0
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jasin. Ciri angkatan
ini adalah karya sastra yang didominasi oleh cerita pendek dan kumpulan puisi.
5. Periodisasi SastraAngkatan 1966
Awal pertumbuhannya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukkan perhatian yang serius
kepada politik (Rosidi, 1965: 177)
Adapun buku-buku yang pernah dilarang, antara lain Pramudya Ananta Toer, Percikan Revolusi,
Keluarga Gerirya, Bukan pasar Malam ,Panggil Aku Kartini Saja , Korupsi dll; Utuy T. Sontani,
Suling, Bunga Rumah makan,Orang-orang Sial, Si Kabayan dll; Bakri Siregar, Ceramah Sastra,
Jejak Langkah , Sejarah Kesusastraan Indonesia Modern.
Menurut H. B. Jassin, ciri-ciri karya pada masa ini adalah sebagai berikut:
- mempunyai konsepsi Pancasila
- menggemakan protes sosial dan politik
- membawa kesadaran nurani manusia
- mempunyai kesadaran akan moral dan agama
1. Roman
adalah bentuk prosa baru yang mengisahkan kehidupan pelaku utamanya dengan segala suka
dukanya. Dalam roman, pelaku utamanya sering diceritakan mulai dari masa kanak-kanak sampai
dewasa atau bahkan sampai meninggal dunia. Roman mengungkap adat atau aspek kehidupan
suatu masyarakat secara mendetail dan menyeluruh, alur bercabang-cabang, banyak digresi
(pelanturan).
Pada masa tahun dua puluhan penulisan roman memberi gambaran tentang reaksi pertemuan
kebudayaan barat dan timur di Indonesia, tentang kawin paksa, salah satu aturan yang
dikendalikan oleh adat, pertentangan-pertentangan kaum adat dan kaum muda dan kawin
campuran.
Dalam roman modern pada tahun duapuluhan pengarang tidak lepas dari kebiasaan mematikan
pelaku-pelakunya pada akhir cerita. Roman modern pada tahun tigapuluhan memperlihatkan
kemajuan-kemajuan dalam perkembangan baik 15
isi maupun bentuknya.
1
Ciri-ciri roman di antaranya:
Menceritakan kisah hidup seseorang hingga dia meninggal
Memiliki alur yang kompleks
Karakter tokoh disajikan dengan detail
Bercerita tentang tokoh fiktif Pembaca
roman
2. Novel
Bentuk karya fiksi yang melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang terpenting,
paling menarik, dan mengandung konflik serta perubahan nasib pelakunya.
Ciri-ciri Novel
Menurut E. Kosasih dalam bukunya, ciri-ciri atau yang membedakan novel dengan karya
sastra lainnya yaitu:
a. Alur lebih rumit dan panjang. Ditandai oleh perubahan
nasibpada diri sang tokoh.
b. Tokohnya lebih banyak dalam berbagai karakter.
c. Latar meliputi wilayah geografis yang luas dan dalam waktu
yang lebih lama.
d. Tema lebih kompleks, ditandai oleh adanya tema-tema
bawahan.
3. Cerpen
Bentuk prosa baru yang menceritakam sebagian kecil dari kehidupan pelakunya yang terpenting
dan paling menarik. Di dalam cerpen boleh ada konflik atau pertikaian, akan telapi hat itu tidak
menyebabkan perubahan nasib pelakunya.
Ciri-ciri cerpen
Dapat dibaca dalam waktu singkat Cerpen atau cerita pendek dapat dibaca dalam waktu singkat
atau dibaca sekali duduk. Umumnya orang hanya membutuhkan waktu sekitar lima hingga
sepuluh menit untuk membaca satu cerpen.
Cerita kebanyakan dibuat berdasarkan kisah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Cerita tidak mendeskripsikan tokoh cerita secara detail, tetapi tetap dapat memberikan
penggambaran sifat dari tokoh tersebut.
Cerita ditulis menggunakan kata-kata sederhana dan mudah dipahami oleh pembaca.
Cerita dibuat dengan hanya menceritakan satu kejadian atau peristiwa saja.
4. Drama
Kata drama berasal dari bahasa yunani ―draomai‖ berarti gerak. Drama merupakan salah satu dari
bentuk karya sastra yang menggambarkan atau mengilustrasikan kehidupan dengan
menyampaikan konflik dengan melalui dialog.
Hasanudin (1996:7) mengatakan ―Drama mempunyai ciri khusus, yaitu berdimensi sastra pada
satu sisi dan berdimensi pertunjukan pada sisi yang lain‖. Namun, di dalam penelitian ini, peneliti
hanya membatasi drama sebagai dimensi karya sastra. Dengan begitu, penelliti akan meneliti
drama sebagai dimensi karya sastra. Peneliti akan melakukan pemisahan drama sebagai dimensi
karya sastra dan drama sebagai dimensi seni pertunjukkan (teater). Hal ini dilakukan, sebab
unsur-unsur yang membangun drama berbeda antara dimensi karya sastra dengan dimensi seni
pertunjukan (teater). Drama akan dikaji secara tekstual (bersifat otonom atau objektif), kembali
kepada teks karya sastra itu sendiri
15
2
5. Puisi
Puisi adalah sebuah hasil karya sastra yang berasal dari ungkapan atau curahan perasaan dan
pemikiran seorang penyair. Puisi dibuat atas dasar ungkapan perasaan penyair dengan rangkaian
bahasa yang indah serta mengandung makna, irama, rima, matra dan bait.
Ciri-ciri puisi modren
-Nama pengarangnya diketahui.
-Mempunyai bentuk yang rapi (simetris) dan persajakan akhir yang teratur.
-Gaya bahasanya dapat berubah-ubah (dinamis).
Perkembanganya melalui lisan maupun tertulis.
-Umumnya, berbentuk 4 seuntai.
-Tiap barisnya terdiri atas sebuah gatra (kesatuan sintaksis) yang di dalamnya berisi 4-5 sukukata.
6. Prosa baru
Karangan yang timbul setetelah mendapat pengaruh sastra atau budaya barat.
Ciri-ciri prosa baru
1. Tertulis
2. Bersifat realistis
3. Dinamis
4. Tidak anonim
5. Dipengaruhi sastra Barat
1) Puisi
Contoh puisi sastrawan melayu riau antara lain :
1. Puisi Salah satu karya sutardji calzoum bachri seperti o (kumpulan puisi 1973),
amuk (1977), kapak (1979)
2. Burung waktu, kumpulan puisi idrus tintin berisi 37 judul puisi tahun 1990
3. Jelajah cakrawala kumpulan puisi idrus tintin tahun 2003
4. Tanah Airku Melayu: Fakhrunnas MA Jabbar 1959
di sini kuberdiri
di tanah airku
di ranah melayuku
kucoba kembara
menjejak harap di kota-kota dunia mencecap
maung laut dan samudera
menghirup bau kawah di busut yang mengulur lidah ke arasybagai
burung kelelahan ditikam surya
bagai angin tak temukan arah bagai
panah tak ke mana-manamelayu jua
bertahta di jiwa
Kadang - kadang pandangan mata pri terhalang beberapa pengunjung kadang juga asap rokok
mengamburkan pandangnya gadis itu juga sering berdiri hingga mata pri itu tidak bisa menelanya
bulat - bulat .
Setelah Aminu‟ddin pulang, Mariamin pun masuk kedalam rumahnya untuk menyuapi ibunya
yang sedang sakit. Mariamin tidak ingin membuat ibunya sedih oleh karena itu ia berusaha untuk
menyembunyikan kesedihannya karena harus berpisah dengan orang yang dicintainya walaupun
itu hanya sementara. Ibunya sangat mengenal gadis itu sehingga dia mengetahui kalau Mariamin
sedang bersedih. Ibunya mengira kesedihan anaknya itu karena dia sedang sakit sebab sakitnya ibu
Mariamin sudah lama sekali. Setelah selesai menyuapi ibunya, Mariamin pergi ke kamarnya untuk
tidur. Mariamin tidak dapat memejamkan matanya, Pikirannya melayang mengingatkan masa
lalunya ketika dia masih kecil.
Dahulu ayah Mariamin, Sutan Baringin adalah seorang yang terbilang hartawan dan bangsawan di
seantero penduduk Sipirok. Akan tetapi karena ia suka berperkara,maka harta yang banyak itu
habis dan akhirnya jatuh miskin dan hina. Berapa kali Sutan Baringin dilarang istrinya supaya
berhenti berpengkara, tetapi tidak diindahkannya ia malah lebih mendengarkan perkataan pokrol
bambu tukang menghasut bernama Marah Sait. Ibu Mariamin memang seorang perempuan yang
penyabar, setia sederhana dan pengiba berlawanan dengan Sutan Baringin, suaminya yang
pemarah, malas, tamak , angkuh dan bengis. Mariamin dan Aminu‟ddin berteman karib sejak kecil
apalagi mereka masih mempunyai hubungan saudara sebab ibu Aminu‟ddin adalah ibu kandung
dari Sutan Baringin, ayah Mariamin ditambah lagi Mariamin sangat berhutang budi kepada
Aminu‟ddin karena telah menyelamatkan nyawanya 15 ketika Mariamin hanyut di sungai.
7
Setelah 3 bulan Aminu‟ddin berada di Medan, dia mengirimkan surat kepada Mariamin
memberitahukan kalau dia sudah mendapat pekerjaan, Mariamin pun membalas surat dari
Aminu‟ddin tersebut. Mariamin sangat bahagia menerima surat dari Aminu‟ddin yang isinya
menyuruh Mariamin untuk berkemas karena Aminuddin telah mengirim surat kepada orangtuanya
untuk datang ke rumah Mariamin dan mengambil dia menjadi istrinya serta mengantarkannya ke
Medan. Tetapi ayah Aminu‟ddin tidak menyetujui permintaan putranya itu, biarpun istrinya
membujuknya supaya memenuhi permintaan Aminu‟ddin. Mariamin sudah mempersiapkan
jamuan untuk menyambut kedatangan orang tua Aminu‟ddin. Akan tetapi yang ditunggu tidak
kunjung datang, malah yang datang adalah surat permintaan maaf dari Aminu‟ddin. Dalam surat
itu memberitahukan kalau kedua orang tua nya sudah berada di Medan dengan membawa gadis
lain sebagai calon istrinya. Aminuddin sangat kecewa dan hatinya hancur tetapi dia tidak bisa
menolak karena tidak ingin mempermalukan orang tuanya dan dia tidak mau durhaka pada
orangtua Mariamin gadis yang solehah itu menerima maaf Aminu‟ddin, dia menerima semuanya
sebagai nasibnya dan harapannya untuk keluar dari kesengsaraan pun sudah pudar. Setelah dua
tahun lamanya Mariamin pun menikah dengan orang yang belum dikenalnya, pria itu bernama
Kasibun. Usia Kasibun agak tua, tidak tampan dan dia pintar dalam tipu daya, selain itu dia
juga mengidap penyakit mematikan yang mudah menular pada pasangannya.
Aminu‟ddin mengunjungi Mariamin di rumah suaminya ketika itu suaminya sedang bekerja di
kantor. Kasibun sangat marah setelah dia mengetahui kedatangan Aminu‟ddin apalagi ketika
Mariamin menolak berhubungan suami-istri.
Suaminya yang bengis itu tidak segan-segan menamparnya, memukulnya dan berbagai
penyiksaan lainnya. Akhirnya karena dia sudah tidak tahan lagi Mariamin melaporkan perbuatan
suaminya itu pada polisi. Sampai akhirnya mereka bercerai. Kesudahannya Mariamin terpaksa
Pulang ke negrinya membawa nama yang kurang baik, membawa malu, menambah azab dan
sengsara yang bersarang di rumah kecil yang di pinggir sungai Sipirok. Hidup Mariamin sudah
habis dan kesengsaraannya di dunia sudah berkesudahan. Azab dan Sengsara dunia ini sudah
tinggal di atas bumi, berkubur dengan jazad badan yang kasar itu.
15
8
BAB XV
PENGARANG SASTRA MELAYU MODERN
1) Arti Modern
Kata modern pada sastra Indonesia modern dipergunakan tidak
dalam pertentangan dengan kata klasik. Bahkan sebenarnay, istilah sastra
Indonesia klasik sebagai pertentangan dengan sastra Indonesia modern
tidak ada. Kata modern dipergunakan sekedar menunjukanbetapa
intensifnya pengaruh barat pada perkembangan dan kehidupan
kesusastraan pada masa itu.
Sebelum berkembangnya sastra Indonesia modern kita mengenal
sastra Melayu atau sering disebut pula sastra melayu lama/klasik untuk
membedakan dengan sastra melayu modern yang berkembang di
Malaysia.
15
9
- Ditulis buat pertama kalinya dalam bahasa Indonesia
- Masalah-masalah yang dikemukakan didalamnya harus
masalah-masalah Indonesia
- Pengarangnya harus bangsa Indonesia (Soemadiwagyo, 1966:2)
Berdasarkan pendapat di atas, pengertian sastra Indonesia
mencakup tiga unsure persyaratan yaitu bahasa, masalah yang
dipersoalkan, dan pengarangnya. Ada pendapat lain yang menyatakan
bahwa ―sastra yang aslinya ditulis dalam bahasa Indonesia, mengingat
sastra erat dan saling berjalin (Enre, 1963: 10). Berdasarkan pendapat ini
persyaratan cukup dibatasi pada pembahasannya.
16
0
Menurut muhri (Muhri, 2016) Periode ini dimulai sejak berdirinya
Balai Pustaka sampai saat ini. Periode-periode tersebut seperti yang
tersusun sebagai berikut.
1. Angkatan 20
Angkatan 20-an disebut juga angkatan Balai Pustaka karena karya sastra
yang termasuk dalam angkatan ini adalah tebitan Balai Pustaka. Angkatan
ini juga disebut Angkatan Siti Nurbaya karena dalam periode ini roman
Siti Nurbaya sangat melegenda.
2. Angkatan 33
Angkatan 33 disebut juga angkatan Pujangga Baru karena penggagas
aliran baru tersebut terkumpul dalam majalah Pujangga Baru.
3. Kesusastraan Zaman Jepang
Kesusastraan ini lahir pada 1942-1945, yaitu dalam masa penjajahan
Jepang di Indonesia. Pengaruh penjajahan ini berpengaruh terhadap sastra
pada saat itu. Pengaruh tersebut disebabkan adanya batasan-batasan karya
yang boleh diterbitkan
4. Angkatan 45
Angkatan 45 disepakati hampir semua penulis sejarah sastra dengan nama
yang sama. Periode ini dimulai sejak zaman kemerdekaan sampai dengan
1966
5. Angkatan 66
Angkatan 66 adalah angkatan yang popular dan diakui hampir semua
penulis sejarah sastra. Angkatan ini timbul bersama terbitnya majalah
Horison yang murni menerbitkan tulisan tentang sastra.
Sastra modern sering juga disebut dengan sastra baru, adalah sastra
yang muncul dan berkembang setelah masa sastra lama. Bisa dikatakan
bahwa sastra modern dimulai ketika terjadi perubahan-perubahan yang
cukup mendasar terhadap sifat dan ciri khas sastra yang digunakan
masyarakat. Bisa dikatakan pula bahwa lahirnya sastra modern adalah
ketika mulai terjadi perubahan penggunaan media yang digunakan yaitu
dari media lisan yang bersifat kuno menjadi menggunakan media tulisan
yang lebih modern.
16
1
4. Mencantumkan nama pengarangnya.
5. Tidak rerikat dengan kaidah baku dan menggunakan bahasa yang
lebih bebas.
16
2
Abdullah lahir di Kampong Pali, Malaka pada tahun 1797 dengan nama
lengkap Abdullah bin Abdulkadir Munsyi sebagai seseorang dari
keluarga terpelajar. Istilah munsyi yang ditulis mendahului atau
mengikuti namanya memiliki arti guru atau pendidik. Abdullah adalah
keturunan pedagang Arab Hadrami, juga mempunyai darah keturunan
Tamil dan juga Melayu. Untuk menghormati latar belakang etnik dan
keagamaannya, orang-orang Melayu menyebut Abdullah sebagai Jawi
Peranakan atau Jawi Pekan.
Munsyi Abdullah adalah putera dari Abdul Kadir (meninggal pada 1820
di Melaka). Ayah Abdullah adalah seorang narasumber William Marsden,
pakar bahasa Melayu dari Britania Raya dan penulis kitab Sejarah
Sumatra ("History of Sumatra") yang masih dirujuk oleh banyak
sejarahwan hingga sekarang.
Masa kecil
Abdullah menghabiskan masa kanak-kanaknya di Melaka. Ia mulai
belajar menulis pada usia empat tahun dengan ―tulisan cakar ayam‖ yang
ia terakan di papan tulis. Ia terserang penyakit disentri ketika berumur
enam tahun. Setahun kemudian, sementara teman-teman sebayanya pada
waktu itu sudah bisa melagukan ayat-ayat Al-Quran, ia masih belum bisa
membaca Al-Quran. Justru ia belajar meniru tulisan-tulisan berbahasa
Arab dengan penanya. Abdul Kadir, yang geram atas keterbelakangan
anaknya, mengirim Abdullah ke Sekolah Qur‘an Kampung Pali
(Kampong Pali Koran School).
16
3
Pada usia sebelas tahun, Abdullah memperoleh uang sebagai upah
pekerjaannya menyalin teks Al-Quran. Ini adalah pekerjaan yang pertama
kali ia lakukan dan merupakan titik awal bagi karirnya. Tiga tahun
kemudian ia mengajar agama bagi sebagian besar tentara muslim yang
ditempatkan di Benteng Melaka. Tentara menyebutnya munsyi, istilah
Melayu untuk guru bahasa, gelar yang kemudian tersemat kepadanya
hingga akhir hidupnya.
Wafat
Daftar karya
16
4
Abdullah terkenal karena menulis hikayat-hikayat yang bersifat realistis
dan kontemporer. Abdullah Munsyi dianggap seorang pemikir yang
melampaui abadnya.
Karya asli
c. Kisah Pelayaran Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari Singapura
sampai ke Kelantan
d. Hikayat Abdullah
e. Kisah Pelayaran Abdullah dari Singapura sampai ke Mekah
f. Syair Singapura Terbakar
g. Syair Kampung Gelam Terbakar
h. Ceretera Kapal Asap
i. Ceretera Haji Sabar Ali
j. Karya terjemahan dan suntingan
k. Hikayat Panca Tanderan
l. Sejarah Melayu (edisi Abdullah)
Kebangsaan: Indonesia
Kewarganegaraan: Indonesia
16
5
Dr. Margaret Axer (Almh.)
Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (11 Februari 1908 – 17 Juli 1994) adalah
seorang budayawan, sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia.Ia juga salah
seorang pendiri Universitas Nasional Jakarta
Riwayat Hidup
Pendidikan
Pekerjaan
Ia menempuh beberapa macam karier dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian.
STA pernah menjadi redaktur majalah Panji Pustaka dan Balai Pustaka(1930-
1933). Kemudian mendirikan dan memimpin majalah Poedjangga Baroe (1933-
1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia (1947-1952),
dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-
1929), dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas
Indonesia(1946-1948), guru besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan
Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta (1950-1958), guru besar Tata
Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958), guru besar dan
16
6
Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-
1968).
Politik
Pemikiran
Liberalisme Barat
Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa
selama pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa
Indonesia sehingga dapat menjadi bahasa nasional yang menjadi pemersatu
bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia
(1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai
sekarang serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan
oleh negara baru yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang.
Setelah Kantor Bahasa tutup pada akhir Perang Dunia kedua, Ia tetap
mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui majalah Pembina
Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah
16
7
pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA
menjadi Ketua Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi
Pertama Bahasa- bahasa Asia tentang "The Modernization of The Languages in
Asia (29 September-1 Oktober 1967)
Dian Yang Tak Kunjung Padam adalah sebuah novel karangan Sutan Takdir
Alisjahbana yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1932.
Deskripsi :
Seorang pemuda miskin dan yatim bernama Yasin kebetulan berjumpa dengan
seorang anak bangsawan bernama Molek. Namun hubungan cinta mereka tidak
mungkin dapat dilanjutkan karena perbedaan status sosial mereka. Baik Yasin
maupun Molek menyadari hal tersebut, tetapi cinta kasih mereka tak dapat
dipisahkan,melalui surat menyurat mereka saling melepas rindu
-Layar Terkembang
Deskripsi:
16
8
Menurut data dari beberapa ahli novel ini merupakan salah satu ciri khas dari
kelahiran periodisasi Pujangga Baru. Novel ini dianggap unik karena dianggap
salah satu cerita yang baru mengangkat setting diluar kota Melayu, melainkan di
Batavia. Cerita yang diangkat merupakan masalah seorang kakak adik yang
memiliki latar belakang belakang berbeda memandang suatu kehidupan. Tokoh
Maria (adik) dengan sifat periang dan mudah mengagumi, sedangkan tokoh
Tuti (kakak) dengan sifat yang tegas dalam memandang suatu hal dan memiliki
kriteria yang tinggi untuk menilai sesuatu merupakan dua kolaborasi sifat yang
unik dalam penokohan yang diciptakan oleh pengarang.Novel ini mengisahkan
perjuangan wanita Indonesia dalam mencapai cita-citanya.
Hamka
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, populer dengan nama
penanya Hamka adalah seorang ulama dan sastrawan Indonesia. Ia berkarier
sebagai wartawan, penulis, dan pengajar. Wikipedia
Pasangan: Hajah Siti Khadijah (m. 1973–1981), Sitti Raham (m. 1929–1972)
16
9
yang ia tuliskan selalu ia kaitkan dengan sejarah. Kecintaannya terhadap sejarah
ia sampaikan di dalam kata pengantar beberapa buku karangannya. Kontribusi
yang besar sebagai seorang ulama di Indonesia, dan beberapa negara di Asia
Tenggara, menjadikan Hamka lebih dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai
seorang pendakwah dan pujangga. Namun, sedikit sekali literatur yang
menyinggung ia sebagai seorang sejarawan. Salah satunya adalah topik yang
mengkaji tentang filsafat sejarah Hamka oleh Fabian Fadhly Jambak. Beberapa
peneliti lainnya, seperti Khairudin Aljunied juga meneliti pemikiran Hamka
seputar neo-sufisme. Ia menyebutkan bahwa dalam berbagai tulisannya seputar
sufi, Hamka selalu memulai dengan perjalanan sejarah dari sufi atau tarekat itu
sendiri. Meskipun sebagian peneliti menerima Hamka dan mengakuinya sebagai
seorang sejarawan, tetapi tradisi intelektual di Indonesia tidak terlalu
menerimanya sebagai seorang tokoh sejarawan. Hal ini diungkapkan oleh Nasir
Tamara bahwa untuk tradisi di Eropa dan Arab sangat mengakui sejarawan
seperti Hamka. Namun tradisi di Indonesia sama sekali berbeda, yang mana
seorang sejarawan adalah mereka yang mengajar dan mengenyam pendidikan
formal di bidang ini. Karya-karya berupa tulisan-tulisan sejarah yang terbilang
cukup banyak dan dijadikan sebagai referensi, serta ketertarikannya yang sangat
kuat terhadap sejarah adalah alasan untuk menyebut Hamka sebagai salah
seorang sejarawan sekaligus tokoh sejarah di Indonesia. Selain itu, menganalisis
tulisan-tulisan sejarahnya, menunjukkan bahwa metode yang digunakan Hamka
sudah termasuk ke dalam langkah-langkah yang diwajibkan bagi seorang
sejarawan, seperti heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Metode
sejarah itu sendiri menurut Hasan Umar adalah tahapan-tahapan yang harus
ditempuh oleh peneliti untuk mencapai hakikat sejarah, yang mana hasilnya
disampaikan kepada pembaca dan para ahli.
Karya terkenal
Buku novel sekaligus sastra klasik ini diterbitkan di tahun 1938. Di dalamnya
menceritakan kisah cinta Hamid dan Zaenab yang harus terpisah karena
perbedaan latar belakang sosial serta perjodohan Zaenab denga lelaki lain.
Kisah yang menyentuh ini dapat membuat siapapun yang membacanya merasa
sesak karena menahan tangis.
17
0
Novel ini ditulis pertama kali oleh Hamka pada majalah ‗Pedoman Masyarakat‘
yang dipimpinnya pada tahun 1938. Mengisahkan tentang masalah keberlakuan
adat Minangkabau serta perbedaan latar belakang. Karya ini disebut-sebut
sebagai karya terbaik Hamka walaupun pernah dituding menjiplak karya dari
Jean Baptiste Alphonse Karr yang judulnya Sous Ies Tilleuls tahun 1932.
Soeman Hasiboean
Pengarang
Soeman Hasiboean, atau yang lebih dikenal dengan nama pena-nya Soeman Hs,
adalah seorang pengarang Indonesia yang diakui karena mempelopori penulisan
cerita pendek dan fiksi detektif dalam sastra negara tersebut. Wikipedia
Suman Hasibuan; 4 April 1904 – 8 Mei 1999),[3][4] atau yang lebih dikenal
dengan nama pena-nya Soeman Hs, adalah seorang pengarang Indonesia yang
diakui karena mempelopori penulisan cerita pendek dan fiksi detektif dalam
sastra negara tersebut. Lahir di Bengkalis, Riau, Hindia Belanda, dari keluarga
petani, Soeman belajar untuk menjadi guru dan, di bawah bimbingan pengarang
Mohammad Kasim, seorang penulis. Ia mulai bekerja sebagai guru bahasa
Melayu setelah menyelesaikan sekolah normal pada 1923, mula-mula di Siak
Sri Indrapura, Riau, kemudian di Pasir Pengaraian, Rokan Hulu, Riau. Pada
waktu itu, ia mulai menulis dan berhasil menyelesaikan novel pertamanya,
Kasih Tak Terlarai, pada 1929. Selama dua belas tahun, ia telah menerbitkan
lima novel, satu kumpulan cerita pendek, dan tiga puluh lima cerita pendek serta
puisi.
17
1
Soeman Hs adalah seorang guru yang menulis berbagai karya dalam bentuk
novel. Soeman adalah penggerak di balik berdirinya sekolah menengah pertama
dan universitas pertama di Pekanbaru, Riau. Kehidupan keluarga Soeman
adalah keluarga bangsawan, ayahnya adalah keturunan kerajaan Mandailing,
karena ada perebutan tahta yang membuat Wahid kecewa, ayah Soeman
menyebabkan Wahid meninggalkan tanah Mandailing dan memilih Bengkalis,
Riau sebagai tempat singgah dan memulai hidup baru sebagai petani dan guru
Alquran. Karena ayah Soeman sering bertemu dengan pedagang untuk transaksi
jual beli kopra, Soeman juga sering berinteraksi dengan pedagang yang akan
menyadarkan Soeman akan berbagai kondisi yang ada di dalam dan luar negeri.
Soeman bercita-cita menjadi guru untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagi
Soeman intelijen akan mampu menciptakan gerakan nasional. Soeman Hs telah
menerima banyak penghargaan dari novel-novel yang ditulis, bahkan Soeman
Hs disebut sebagai bapak pendidikan di Pekanbaru.
Karya terkenal:
-Kawan Bergeloet (EYD: Kawan Bergelut) adalah kumpulan cerita pendek yang
ditulis oleh Soeman HS dan mula-mula diterbitkan oleh Balai Pustaka pada
1941. Buku tersebut berisi dua belas cerita, tujuh diantaranya sebelumnya telah
diterbitkan dalam majalah Pandji Poestaka, serta sebuah perkenalan buatan
Sutan Takdir Alisjahbana. Cerita-cerita tersebut umumnya humor alami, yang
dipersembahkan dengan diksi yang menampilkan pengaruh Sumatra timur yang
kuat.Dirilis sebagai tanggapan dari kesuksesan komersial kumpulan cerita
17
2
pendek Mohammad Kasim Teman Doedoek, Kawan Bergeloet dicetak kembali
beberapa kali dan meraih pujian krits positif. Soeman, bersama dengan Kasim,
sejak itu dianggap sebagai pelopor cerita pendek Indonesia. Sarjana Belanda
sastra Indonesia A. Teeuw menulis bahwa kumpulan cerita pendek tersebut
merupakan jasa paling menonjol Soeman pada sastra Indonesia.
Pekerjaan: Penyairpenulis
Karier: Menulis
Genre : Puisisajak
17
3
Kehidupan pribadi
Sutardji adalah anak dari pasangan Mohammad Bachri dan May Calzoum.
Ayahnya berasal dari Prembun, Jawa Tengah, sedangkan ibunya adalah berasal
dari Tambelan, Kepulauan Riau. Ayahnya sejak remaja merantau ke Riau
hingga memeroleh jabatan Ajun Inspektur Polisi, Kepolisian Negara,
Kementerian Dalam Negeri. Ia merupakan anak kelima dari sebelas bersaudara.
Karier
Kemudian pada 30 Maret 1973, Sutardji dikenal dengan "Kredo Puisi" yang
menyatakan gagasan dan pemikirannya terhadap kata dan bahasa dalam sajak.
Dalam Kredo Puisi tersebut, ia berpendapat bahwa kata-kata harus bebas dalam
menentukan dirinya karena kata-kata itu sendiri adalah pengertian. Maka dari
itu, kata-kata di dalam sajak Sutardji dapat ditulis sungsang, dipotong, atau
bahkan dibalik susunannya. Menurutnya, menulis puisi adalah mengembalikan
asal mula kata sebagai mantra. Hal ini memperluas pandangan persajakan
Indonesia pada masanya. Manifesto itu diterbitkan di Horison pada Desember
1974.
17
4
kembali oleh Sinar Harapan dengan judul O, Amuk, Kapak. Selain menulias
sajak, ia juga menulis cerita pendek. Salah satunya adalah kumpulan cerpen
berjudul Hujan Menulis Ayam yang diterbitkan oleh Indonesia Tera pada tahun
2001. Ia pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Horison dan menjadi
redaktur senior pada 1966. Selain itu, ia juga bekerja di majalah mingguan
Fokus. Setelah berhenti menjadi redaktur di majalah Horison, ia menjadi
redaktur rubrik budaya "Bentara" di harian Kompas dan menangani puisi pada
tahun 2000 hingga 2002.Pekerjaannya sebagai redaktur di "Bentara"
memberinya kesempatan untuk membuat karya esai. Kumpulan esainya yang
berjudul Gerak Esai dan Ombak Sajak Anno 2001 dan Hijau Kelon & Puisi
2002 merupakan dua esai yang menjadi pengantar dalam kumpulan puisi
"Bentara".
Pada musim panas tahun 1974, Sutardji mengikuti International Poetry Reading
di Rotterdam, Belanda. Kemudian ia mengikuti seminar International Writing
Program di Universitas Iowa, Iowa, Amerika Serikat, sejak Oktober 1974
hingga April 1975.
Penghargaan
-Anugerah Sastra Majelis Sastra Asia Tenggara (2006) di Bandar Seri Begawan,
Brunei Daussalam
-Anugerah gelar "Datuk Seri Pujangga Utama" dari Lembaga Adat Melayu
Riau.
17
5
17
6