Anda di halaman 1dari 11

Faedah Sirah Nabi: Perang Bani Musthaliq (Muraisi’), Rasulullah Menikah

dengan Juwairiyyah, Kisah Haditsul Ifki (Aisyah Difitnah Selingkuh)

Perang ini disebut dengan perang Bani Musthaliq atau Muraisi’. Banyak peristiwa penting di
dalamnya, di antaranya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Juwairiyyah
binti Al-Harits bin Abu Dhirar dan haditsul ifki, di mana Aisyah difitnah berselingkuh.
Musthaliq adalah julukan seseorang yang bernama Jadzimah bin Sa’ad bin ‘Amr bin Rabi’ah bin
Haritsah, dari suku Bani Khuza’ah. Sedangkan Muraisi’ merupakan nama sumber air yang
terdapat pada Bani Khuza’ah.
Menurut pendapat yang benar dari kalangan ahli sejarah, perang ini terjadi pada malam kedua
bulan Syakban tahun kelima Hijriyah.

Dampak dari Perang Uhud telah membuat berani sebagian suku-suku Arab untuk memerangi
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau mendapatkan informasi bahwa Bani Musthaliq
tengah bersiap untuk melakukan penyerangan di bawah pimpinan Harits bin Abu Dhrirar. Dia
telah mengumpulkan pasukan bersenjata dan memprovokasi kabilah-kabilah di sekitarnya untuk
melakukan serbuan ke Madinah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengutus Buraidah
bin Hushaib Al-Aslami untuk memastikan kebenarannya. Kemudian berangkatlah ia untuk
bertemu Al-Harits bin Abu Dhirar dan menanyakan hal itu kepadanya. Setelah itu, kembalilah
ia kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyampaikan berita tentang tekad
mereka untuk menyerbu Madinah.

Bani Musthaliq pernah diajak untuk memeluk Islam. Mereka juga bersekutu dengan kaum kafir
dalam perang Uhud serta menghimpun kekuatan untuk menyerbu Madinah. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan serangan mendadak saat mereka lengah. Al-
Bukhari meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mubarak, Ibnu ‘Aun menceritakan kepada kami
seraya berkata, “Aku menulis surat kepada Nafi’ dan beliau membalasnya bahwa Nabi
melakukan serangan mendadak pada Bani Musthaliq sehingga mereka pun kocar-kacir. Hewan
ternak mereka diguyur hujan lebat, prajuritnya banyak yang terbunuh, dan kaum perempuannya
ditawan di antaranya Juwairiyyah binti Al-Harits.” Aku diceritakan oleh Ibnu ‘Umar yang ikut
dalam peperangan tersebut.

Korban yang tewas di antara mereka sebanyak sepuluh orang laki-laki, sedangkan perempan dan
anak-anak ditawan. Sementara dari pasukan kaum muslimin tidak ada seorang pun dari mereka
yang menjadi korban, kecuali satu orang yaitu Hisyam bin Shobaabah yang terbunuh oleh
seorang Anshar karena ia menyangkanya adalah musuh.

Rasulullah Akhirnya Menikahi Juwairiyyah


Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan bahwa ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
membagi-bagi tawanan Bani Musthaliq, lalu Tsabit bin Qais bin Syimas anak pamannya
mendapatkan bagian Juwairiyyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar, lalu dia bersedia untuk
menebus dirinya. Dia adalah seorang wanita manis yang murah senyum. Setiap orang yang
melihatnya pasti tertarik padanya. Dia pun datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk minta bantuan untuk menebus dirinya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Demi Allah, tiba-tiba aku melihatnya berada di depan
kamarku, aku tidak menyukainya dan aku mengetahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan melihatnya sebagaimana aku melihatnya. Lalu dia masuk ke dalam seraya berkata,
‘Wahai Rasulullah, aku adalah Juwairiyyah binti Al-Harits bin Abu Dhirar, di mana Al-Harits
adalah pemimpin Bani Musthaliq. Aku mengalami musibah seperti yang engkau ketahui. Aku
menjadi bagian dari Tsabit bin Qais bin Syimas atau anak pamannya. Kemudian aku pun berjanji
untuk menebus diriku, untuk itulah aku datang untuk minta bantuan kepadamu untuk menebus
diriku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Maukah kamu yang lebih baik
dari itu?” Dia bertanya, “Apa itu wahai Rasulullah?” Beliau berkata, “Aku akan melunasi
tebusanmu dan menikahimu!” Dia berkata, “Baik, wahai Rasulullah.” Beliau berkata, “Aku telah
melakukannya.” Aisyah berkata, “Lalu berita menikahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan Juwairiyyah tersebar luas. Sedangkan, kaum muslimin yang lain, mereka
memerdekakan tawanan-tawanan yang ada pada mereka. Aisyah berkata, “Sedikitnya 100
orang yang dimerdekakan dari Bani Musthaliq karena pernikahan Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan Juwairiyyah. Aku menilai bahwa dia adalah perempuan yang membawa
keberkahan besar bagi kaumnya.”

Ada Dua Peristiwa Penting dalam Perang Muraisi’

Pertama: Tampak kemunafikan dari kalangan munafik yang dipimpin oleh


‘Abdullah bin Ubay bin Salul

Seperti yang dituturkan oleh Ibnu Ishaq bahwa Ashim bin Umar bin Qatadah menceritakan
kepadaku. Ketika orang-orang tengah berkumpul di sumber air, tiba-tiba datang sekelompok
orang dan Umar bin Khaththab yang tengah memberi perlindungan seorang dari Bani Ghiffar
bernama Jahjah bin Mas’ud dengan berkendaraan kuda. Lalu Jahjah mendorong Sinan bin
Wabar Al-Juhani sekutu Bani ‘Auf bin Khazraj yang tengah berada di sumber mata air
sehingga keduanya pun berkelahi. Tiba-tiba seseorang dari suku Al-Juhani berteriak, “Wahai
orang-orang Anshar! Jahjah pun berteriak, “Wahai orang-orang Muhajirin!”
Hal itu membuat Abdullah bin Ubay bin Salul marah. Seketika itu ia berkumpul dengan
kaumnya di antaranya Zaid bin Arqam yang masih muda belia. Munafik itu berkata, “Apakah
mereka berani berbuat seperti ini?” Sungguh mereka telah mengajak kita berperang dan mereka
tinggal di negeri kita! Demi Allah ini seperti pepatah mengatakan, “Senjata makan tuan. Demi Allah,
seandainya kita sudah kembali ke Madinah,

‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬


‫َيُقوُلوَن َلنِئ َّر َجْعَنآ ىَل ْلَم ِد يَنِة َلُي ْخ ِر َجَّن َأْلَع ُّز ِم َهْنا َأْلَذَّل ۚ َو ِهَّلِل ْلِع َّز ُة َو ِلَر ُس وِهِل ۦ َو ِلْلُم ْؤ ِمِنَني َو َٰل ِكَّن ْلُمَٰن ِفِقَني اَل َيْع َلُم وَن‬
‫ِإ‬
“Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang
kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya”. (QS. Al-Munafiqun: 8). Kemudian
ia menemui kaumnya seraya berkata, “Inilah akibat dari perbuatan kalian. Kalian mengizinkan
mereka tinggal di negeri kalian dan membagi harta kalian kepada mereka. Demi Allah
seandainya kalian tidak memberikan harta kalian kepada mereka, niscaya mereka akan
meninggalkan negeri kalian. Semua itu didengar oleh Zaid bin Arqam kemudian disampaikan
kepada Rasulullah dan saat itu Umar bin Khaththab ada bersama beliau. Umar berkata,
“Perintahkan ‘Abbad bin Bisyr untuk membunuhnya!” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Bagaimana menurutmu Umar seandainya manusia berkata bahwa
Muhammad tega membunuh sahabatnya sendiri? Jangan dibunuh! Namun, biarkan mereka
pergi.”

Padahal saat itu bukanlah waktunya untuk melanjutkan perjalanan. Kemudian semua orang pun
berangkat. Lalu ‘Abdullah bin Ubay datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena ia mengetahui bahwa Zaid bin Arqam telah menyampaikan apa yang diucapkannya. Ia
bersumpah bahwa ia tidak mengatakan seperti apa yang diceritakan Zaid. Ia adalah seorang
tokoh di kaumnya, sehingga orang-orang Anshar yang hadir bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata sambil membela, “Ya Rasulullah, barangkali anak itu salah
mendengar.”

Ibnu Ishaq berkata, “Ketika Rasulullah sedang beristiharat, datanglah Usaid bin Hudhair
menemui beliau. Usaid mengucapkan salam kepadanya dan berkata, “Ya Rasulullah, engkau
istirahat pada waktu yang tidak biasanya seperti ini.” Beliau berkata kepadanya, “Apakah kamu
tidak tahu apa yang dikatakan temanmu?” Teman yang mana ya Rasulullah?” Beliau berkata,
“Abdullah bin Ubay bin Salul.” “Apa yang dikatakannya?” Nabi berkata, “Ia menyangka bahwa
apabila ia kembali ke Madinah, orang yang kuat akan mengusir orang yang lemah dari sana.”
Usaid berkata, “Ya Rasulullah, engkau dapat mengusir orang yang engkau kehendaki. Demi
Allah, dialah orang yang lemah dan engkaulah yang kuat. Ya Rasulullah, bersikap lembutlah,
demi Allah, Allah telah mendatangkan engkau kepada kami, padahal kaumnya tengah bersiap
merencanakan untuk mengangkatnya sebagai pemimpin. Ia menyangka engkau telah merebut
kekuasaannya.”

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat melanjutkan perjalanannya sehari


semalam hingga pagi. Mereka merasakan panasnya terik matahari dan kelelahan yang luar biasa
sampai ketika waktu istirahat mereka pun tertidur pulas. Ini sengaja dilakukan oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar orang-orang tidak membicarakan perkataan Abdullah bin
Ubay.

Ibnu Ishaq berkata, “Turunlah surah Al-Munafiqun yang Allah menceritakan di dalamnya
tentang orang-orang munafik, seperti Ibnu Ubay dan orang-orang yang serupa
dengannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang Zaid bin Arqam seraya
berkata, “Orang ini telah Allah fungsikan telinganya dengan baik.”
Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam seraya berkata, “Ya Rasulullah, aku mendengar bahwa engkau akan membunuh Abdullah
bin Ubay. Kalau memang itu benar, perintahkan aku untuk membunuhnya! Aku akan bawakan
kepalanya ke hadapanmu! Demi Allah, orang-orang Khazraj mengetahui bahwa tidak ada orang
yang sangat hormat dan lebih berbakti kepada orang tuanya, kecuali aku. Aku khawatir
seandainya engkau menugaskan orang lain untuk membunuhnya, malah dia yang akan dibunuh.
Oleh karena itu, biarkanlah aku yang akan membunuhnya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Tidak, bahkan kami akan bersikap lembut dan baik kepadanya selama ia
bersama kita.”
Abdullah bin Abdullah bin Ubay bin Salul berdiri di hadapan ayahnya, Abdullah bin Salul ketika
ia sampai di Madinah, Abdullah berkata, “Stop! Demi Allah, engkau tidak boleh masuk sehingga
Rasulullah mengizinkannya.” Ketika Rasulullah datang, maka ia minta izin kepadanya dan
beliau pun mengizinkannya. Kemudian putranya itu pun melepaskannya untuk masuk Madinah.
Mengenai ayat,
‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬ ‫ٱ‬
‫َيُقوُلوَن َلنِئ َّر َجْعَنآ ىَل ْلَم ِد يَنِة َلُي ْخ ِر َجَّن َأْلَع ُّز ِم َهْنا َأْلَذَّل ۚ َو ِهَّلِل ْلِع َّز ُة َو ِلَر ُس وِهِل ۦ َو ِلْلُم ْؤ ِمِنَني َو َٰل ِكَّن ْلُمَٰن ِفِقَني اَل َيْع َلُم وَن‬
‫ِإ‬
“Mereka berkata: “Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang
kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya”. Padahal kekuatan itu hanyalah
bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada
mengetahui.” (QS. Al-Munafiqun: 8)
Syaikh As-Sadi rahimahullah menerangkan dalam kitab tafsirnya:
“Mereka berkata, ‘Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang
kuat akan mengusir orang-orang yang lemah darinya’.” Ini terjadi pada saat perang Al-Muraisi’
(perang Bani Musthaliq), ketika beberapa orang dari kalangan Muhajirin dan Anshar terlibat adu
mulut yang mengusik perasaan. Saat itu kemunafikan mereka tampak dan jelaslah apa yang
tersembunyi di hati mereka.
Pemimpin kaum munafik, Abdulllah bin Ubaibin Salul, berkata, “Perumpamaan kami dengan
mereka –maksudnya kaum Muhajirin- tidak lain adalah seperti orang yang berkata,
Gemukkanlah anjingmu, niscaya ia akan memakanmu.” Dan dia juga berkata, “Sesungguhnya
jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan mengusir orang-orang
yang lemah darinya,” karena mengira bahwa dia dan teman-temannya dari kalangan munafik
adalah orang-orang kuat dan Rasulullah serta orang-orang yang bersamanya adalah kalangan
lemah, padahal sebenarnya perkataan si munafik itu terbalik. Karena itu Allah itu berfirman,
“Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik RasulNya, dan milik orang-orang Mukmin.”
Merekalah yang kuat sedangkan orang-orang munafik serta teman-teman mereka adalah orang-
orang lemah. “Tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui” hal itu. Karena itu mereka
mengira bahwa mereka adalah orang-orang kuat dengan kebatilan yang ada pada diri mereka.
(Tafsir As-Sa’di, hlm. 913)

Kedua: Peristiwa Haditsul Ifki

Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, “Biasanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak keluar untuk melakukan suatu
perjalanan, maka beliau mengundi di antara istri-istrinya. Maka, siapa saja di antara mereka yang
keluar undiannya, maka dialah yang keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan undian di antara kami di dalam suatu peperangan yang beliau ikuti. Ternyata
namaku-lah yang keluar. Aku pun berangkat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kejadian ini sesudah ayat tentang hijab diturunkan. Aku dibawa di dalam sekedup (tandu di atas
punggung unta) lalu berjalan bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga kembali
dari perang tersebut.

Ketika telah dekat dengan Madinah, maka pada suatu malam beliau memberi aba-aba agar
berangkat. Saat itu aku keluar dari tandu melewati para tentara untuk menunaikan keperluanku.
Ketika telah usai, aku kembali ke rombongan. Saat aku meraba dadaku, ternyata kalungku dari
merjan zhifar terputus. Lalu aku kembali lagi untuk mencari kalungku, sementara rombongan
yang tadi membawaku telah siap berangkat. Mereka pun membawa sekedupku dan
memberangkatkannya di atas untaku yang tadinya aku tunggangi. Mereka beranggapan bahwa
aku berada di dalamnya.

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,


“Pada masa itu perempuan-perempuan rata-rata ringan, tidak berat, dan tidak banyak daging.
Mereka hanya sedikit makan. Makanya, mereka tidak curiga dengan sekedup yang ringan ketika
mereka mengangkat dan membawanya. Di samping itu, usiaku masih sangat belia. Mereka
membawa unta dan berjalan. Aku pun menemukan kalungku setelah para tentara berlalu. Lantas
aku datang ke tempat mereka. Ternyata di tempat itu tidak ada orang yang memanggil dan
menjawab. Lalu aku bermaksud ke tempatku tadi di waktu berhenti. Aku beranggapan bahwa
mereka akan merasa kehilangan diriku lalu kembali lagi untuk mencariku.”
“Ketika sedang duduk, kedua mataku merasakan kantuk yang tak tertahan. Aku pun
tertidur. Shafwan bin Al-Mu’aththal As-Sullami Adz-Dzakwani tertinggal di belakang para
tentara. Ia berjalan semalam suntuk sehingga ia sampai ke tempatku, lalu ia melihat hitam-hitam
sosok seseorang, lantas ia menghampiriku. Ia pun mengenaliku ketika melihatku. Sungguh, ia
pernah melihatku sebelum ayat hijab turun, Aku terbangun mendengar bacaan istirja’-nya
(bacaan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika ia melihatku. Kututupi wajahku dengan jilbab.
Demi Allah, ia tidak mengajakku bicara dan aku tidak mendengar sepatah kata pun dari
mulutnya selain ucapan istirja sehingga ia menderumkan kendaraannya, lalu ia memijak kaki
depan unta, kemudian aku menungganginya. Selanjutnya ia berkata dengan menuntun kendaraan
sehingga kami dapat menyusul para tentara setelah mereka berhenti sejenak seraya kepanasan di
tengah hari. Maka, binasalah orang yang memanfaatkan kejadian ini (menuduh berzina). Orang
yang memperbesar masalah ini ialah Abdullah bin Ubay bin Salul.”

“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama
sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu
mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku
tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari
beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana
keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang
buruk sebelum aku keluar rumah.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan,


“Kemudian kami sampai ke Madinah. Ketika kami telah sampai di Madinah aku sakit selama
sebulan. Sedangkan orang-orang menyebarluaskan ucapan para pembohong. Aku tidak tahu
mengenai hal tersebut sama sekali. Itulah yang membuatku penasaran, bahwa sesungguhnya aku
tidak melihat kekasihku Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang biasanya aku lihat dari
beliau ketika aku sakit. Beliau hanya masuk, lalu mengucap salam dan berkata, ‘Bagaimana
keadaanmu?’ Itulah yang membuatku penasaran, tetapi aku tidak mengetahui ada sesuatu yang
buruk sebelum aku keluar rumah.”

“Lalu aku dan Ummu Mis-thah berangkat. Dia adalah putri Abi Ruhm bin Abdul Muththalib bin
Abdi Manaf. Ibunya adalah putri Shakhr bin Amr, bibi Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu
‘anha. Anaknya bernama Mis-thah bin Utsa-tsah bin Ubbad bin Abdul Muththalib bin Abdu
Manaf. Lantas aku dan putri Abu Ruhm, Ummu Mis-thah terpeleset dengan pakaian wol yang
dikenakannya. Kontan ia berujar, ‘Celakalah Mis-thah.’ Lantas aku berkata kepadanya,
‘Alangkah buruknya ucapanmu. Kamu mencela seorang lelaki yang ikut serta dalam perang
Badr.’ Ia berkata, ‘Apakah engkau belum mendengar apa yang telah ia katakan?’ Aku bertanya,
‘Memang apa yang ia katakan?’ Ia pun menceritakan kepadaku mengenai ucapan para pembuat
berita bohong (bahwa Aisyah telah berzina). Aku pun akhirnya bertambah sakit.”
“Ketika aku pulang ke rumah, aku berkata, ‘Bawalah aku kepada kedua orang tuaku!”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,


“Ketika itu aku ingin mengetahui secara pasti berita tersebut dari kedua orang tuaku. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkanku datang kepada kedua orang tuaku. Lantas aku
bertanya kepada ibuku, ‘Wahai Ibu! Apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang?’
Ibuku menjawab, ‘Wahai putriku! Tidak ada apa-apa. Demi Allah, jarang sekali seorang
perempuan cantik yang dicintai oleh suaminya sementara ia mempunyai banyak madu melainkan
para madu tersebut sering menyebut-nyebut aibnya.’ Lantas aku berkata, ‘Subhanallah
(Mahasuci Allah)! Berarti orang-orang telah memperbincangkan hal ini.’ Maka, aku menangis
pada malam tersebut sampai pagi. Air mataku tiada henti dan aku tidak tidur sama sekali.
Kemudian di pagi hari pun aku masih menangis.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,


“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ali bin Abi Thalib radhiyallahu
‘anhu dan Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu ketika wahyu tidak segera turun. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada keduanya dan meminta pendapat kepada keduanya
perihal menceraikan istrinya.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,


“Sedangkan Usamah radhiyallahu ‘anhu memberi pendapat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dengan apa yang ia ketahui akan jauhnya istri beliau dari perbuatan tersebut dan
dengan apa yang ia ketahui tentang kecintaannya kepada beliau. Usamah mengatakan, ‘Wahai
Rasulullah! Mereka adalah istri-istrimu, menurut pengetahuan kami mereka hanyalah orang-
orang yang baik.”

“Sedangkan Ali bin Abi Thalib berpendapat, ‘Wahai Rasulullah! Allah tidak akan memberikan
kesempitan kepadamu. Perempuan selain Aisyah masih banyak. Jika engkau bertanya kepada
seorang budak perempuan, pasti ia akan berkata jujur kepadamu.”
Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,
“Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Barirah radhiyallahu ‘anhu.
Beliau bertanya, ‘Hai Barirah! Apakah kamu melihat ada sesuatu yang mengutusmu dengan
kebenaran. Aku tidak melihat sesuatu pun pada dirinya yang dianggap cela lebih dari bahwa dia
adalah perempuan yang masih belia yang terkadang tertidur membiarkan adonan roti
keluarganya, sehingga binatang piarannya datang, lalu memakan adonan rotinya.”
“Lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar seraya bersabda, ‘Wahai
kaum muslimin! Siapakah yang sudi membelaku dari tuduhan laki-laki yang telah menyakiti
keluargaku? Demi Allah, aku tidak mengetahui tentang keluargaku kecuali kebaikan. Dan
mereka juga menuduh seorang laki-laki yang sepanjang pengetahuanku adalah orang baik-baik,
ia tidaklah datang menemui keluargaku kecuali bersamaku.”

“Selanjutnya Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berdiri lalu berkata, ‘Aku akan
membelamu wahai Rasulullah! Jika ia dari kabilah Aus, maka akan kami tebas batang lehernya.
Jika ia dari kalangan saudara-saudara kami kalangan Khazraj, maka apa yang engkau
perintahkan kepada kami, pastilah kami melaksanakan perintahmu.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,


“Kemudian Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anha berdiri. Ia adalah pemimpin kabilah Khazraj. Ia
adalah lelaki yang shalih tetapi ia tersulut emosi. Lalu ia berkata kepada Sa’ad bin Mu’adz
radhiyallahu ‘anhu, ‘Kamu bohong! Demi Allah! Kamu tidak akan membunuhnya dan tidak
akan mampu membunuhnya. Jika ia berasal dari kabilahmu pasti kamu tidak ingin
membunuhnya.”

“Lalu Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anhu berdiri. Ia adalah sepupu Sa’ad bin Mu’adz
radhiyallahu ‘anhu. Ia berkata kepada Sa’ad bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu, ‘Kamu bohong!
Demi Allah. Sungguh kami akan membunuhnya. Kamu ini munafik dan berdebat untuk membela
orang-orang munafik. Lantas terjadi keributan antara kedua kabilah, yakni Aus dan Khazraj
sehingga hampir saja mereka saling membunuh padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
masih di atas mimbar. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menenangkan mereka
sampai mereka diam dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri juga terdiam.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,

“Pada hari itu aku menangis. Air mataku terus menetes tiada henti dan aku tidak tidur sama
sekali. Kedua orang tuaku beranggapan bahwa tangisan dapat membelah hatiku.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,

“Ketika keduanya sedang duduk di sampingku sedangkan aku sedang menangis, tiba-tiba
seorang perempuan dari kalangan Anshar meminta izin kepadaku, lalu aku pun memberi izin
kepadanya sehingga ia duduk seraya menangis di sampingku. Ketika kami masih dalam keadaan
seperti itu, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk kemudian duduk. Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah duduk di sampingku sejak beredarnya isu tersebut.
Dan telah sebulan penuh tidak ada wahyu turun mengenai perkaraku ini. Lantas Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta kesaksian pada saat beliau duduk seraya berkata, ‘Amma
ba’du, wahai Aisyah! Sungguh, telah sampai kepadaku isu demikian dan demikian mengenai
dirimu. Jika engkau memang bersih dari tuduhan tersebut, pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala
akan membebaskanmu. Dan jika engkau melakukan dosa, maka memohonlah ampun kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bertaubatlah kepada-Nya, karena sesungguhnya seorang hamba
yang mau mengakui dosanya dan bertaubat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima
taubat-Nya.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,

“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai menyampaikan sabdanya ini,
maka derai air mataku mulai menyusut, sehingga aku tidak merasakan satu tetes pun. Lalu aku
berkata kepada ayahku, ‘Tolong sampaikan jawaban kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam atas namaku!’ Ia menjawab, ‘Demi Allah, aku tidak tahu apa yang harus aku sampaikan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.’ Selanjutnya aku berkata kepada ibuku, ‘Tolong
sampaikan jawaban kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atas namaku!’ Ia menjawab,
‘Demi Allah, aku juga tidak tahu apa yang harus aku sampaikan kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam.’ Lalu aku berkata, ‘Aku adalah seorang perempuan yang masih belia. Demi
Allah, aku tahu bahwa kalian telah mendengar berita ini sehingga kalian simpan di dalam hati
dan kalian membenarkannya. Makanya, jika kukatakan kepada kalian bahwa aku bersih dari
tuduhan tersebut Allah Maha Mengetahui bahwa aku bersih dari tuduhan tersebut, maka kalian
tidak mempercayaiku. Dan jika aku mengakui sesuatu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengetahui bahwa aku terbebas darinya, malah kalian sungguh-sungguh mempercayaiku. Demi
Allah, aku tidak menjumpai pada diriku dan diri kalian suatu perumpamaan selain sebagaimana
yang dikatakan oleh Nabi Yusuf ‘alaihis salam,

‫َفَص ْبٌر َجِم يٌل َو ُهَّللا اْلُم ْسَتَع اُن َع َلى َم ا َتِص ُفوَن‬

“Maka hanya sabar yang baik itulah yang terbaik (bagiku). Dan kepada Allah saja memohon
pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.” (QS. Yusuf: 18)

“Kemudian aku berpaling, aku berbaring di atas tempat tidurku.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan kisahnya,


“Aku–wallahu a’lam–ketika itu terbebas dan Allah-lah yang melepaskanku dari isu tersebut.
Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah menyangka akan diturunkan suatu wahyu yang akan
selalu dibaca perihal persoalanku ini. Sungguh persoalanku ini terlalu remeh untuk difirmankan
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadi sesuatu yang akan selalu dibaca (inilah sikap tawadhu’
dari Aisyah, pen). Sebenarnya yang aku harapkan ialah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bermimpi di dalam tidurnya yang di dalam mimpi tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala
membebaskanku dari tuduhan tersebut.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,

“Demi Allah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempat beranjak dari tempat
duduknya dan belum ada seorang pun dari anggota keluargaku yang keluar sehingga Allah
Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu kepada Nabi-Nya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
merasa berat ketika menerima wahyu. Sampai-sampai beliau bercucuran keringat bagaikan
mutiara padahal ketika itu sedang musim penghujan. Hal ini lantaran beratnya wahyu yang
diturunkan kepada beliau.”

Aisyah radhiyallahu ‘anha melanjutkan,

“Kontan, kesusahan telah lenyap dari hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau
tersenyum bahagia. Kalimat yang kali pertama beliau katakan ialah, ‘Bergembiralah Aisyah!
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah membebaskanmu.’ Lalu ibuku berkata kepadaku, ‘Berdirilah
kepada Nabi.’ Aku berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan berdiri kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan aku tidak akan memuji kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dialah
yang menurunkan wahyu yang membebaskan diriku. Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan
ayat berikut,

‫ِإَّن اَّلِذ يَن َج اُء وا ِباِإْل ْفِك ُعْص َبٌة ِم ْنُك ْم اَل َتْح َس ُبوُه َش ًّر ا َلُك ْم َبْل ُهَو َخْيٌر َلُك ْم ِلُك ِّل اْم ِر ٍئ ِم ْنُهْم َم ا اْك َتَس َب ِم َن اِإْل ْثِم َو اَّل ِذ ي َت َو َّلى ِكْب َرُه‬
‫ِم ْنُهْم َلُه َع َذ اٌب َع ِظ يٌم‬

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.
Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di
antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya
azab yang besar (pula).” (QS. An-Nur: 11)

Sampai sepuluh ayat secara keseluruhan.”


“Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan ayat ini yang menjelaskan tentang
kebebasanku, maka Abu Bakar radhiyallahu ‘anha–beliau adalah orang yang memberikan nafkah
kepada Misthah bin Utsatsah radhiyallahu ‘anha karena masih ada hubungan kerabat dan karena
ia orang fakir–berkata, ‘Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah kepadanya lagi untuk
selamanya setelah apa yang ia katakan kepada Aisyah.’ Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala
menurunkan ayat berikut (yang artinya), “Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi
(bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah
pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak
ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An-Nur: 22)

“Lantas Abu Bakar radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Baiklah. Demi Allah, sungguh aku suka bila
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengampuniku.’ Kemudian beliau kembali memberi nafkah kepada
Misthah yang memang sejak dahulu ia selalu memberinya nafkah. Bahkan ia berkata, ‘Aku tidak
akan berhenti memberi nafkah kepadanya untuk selamanya.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha
melanjutkan, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Zainab binti Jahsy
radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai persoalanku. Beliau
berkata, ‘Wahai Zainab, apa yang kamu ketahui atau yang kamu lihat?’ Ia menjawab, ‘Wahai
Rasulullah! Aku menjaga pendengaran dan penglihatanku. Demi Allah, yang aku tahu dia
hanyalah baik.’ Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, ‘Dialah di antara istri-istri Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyaingiku dalam hal kecantikan, tetapi Allah Subhanahu
wa Ta’ala melindunginya dengan sifat wara’. Sedangkan saudara perempuannya, Hamnah binti
Jahsy radhiyallahu ‘anha bertentangan dengannya. Maka, binasalah orang-orang yang binasa.”
(HR. Bukhari, no. 2661 dan Muslim, no. 2770)

Anda mungkin juga menyukai