Anda di halaman 1dari 14

perang Sawiq

Salah satu upaya balas dendam yang dilakukan kaum musyrik Makkah adalah dengan
melakukan invasi militer jarak dua bulan setelah Perang Badar atau bertepatan bulan
Dzulhijah tahun ke-2 Hijriah. Serangan yang dipimpin Abu Sufyan ini kemudian dikenal
dengan Perang Sawiq. Sebelum lebih jauh membahas bagaimana pertempuran ini terjadi,
perlu penulis singgung terlebih dulu mengapa Abu Sufyan menjadi dalang utama Quraisy
dalam invasi ini. Dikisahkan, sebelum terjadi Perang Badar, rombongan dagang Quraisy
yang dipimpin oleh Abu Sufyan sedang melakukan perjalanan pulang dari Syam ke Makkah.
Melihat rombongan itu, Rasulullah mengutus Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid untuk
melakukan penyelidikan
Abu Sufyan yang salah paham mengira umat muslim akan memerangi mereka. Hingga
akhirnya ia meminta bala bantuan dari Makkah dan nyata saja kaum Quraisy terprovokasi
dengan mengirim sebanyak 1.300 tentara. Berawal dari kesalahpahaman inilah meletus
Perang Badar. Kekalahan kaum musyrik dalam Perang Badar kemudian membuat mereka
meradang dan tentu salah satu orang yang paling marah akibat nasib sial ini adalah Abu
Sufyan yang dulu menjadi penyebab meletusnya perang pertama umat muslim dan kaum
musyrik dalam sejarah dakwah Rasulullah. Dengan berbekal dendam kesumat, Abu Sufyan
menyiapkan pasukan sebanyak 200 tentara untuk melancarkan invasi militer ke Madinah.
Ia sendiri sempat bersumpah tidak akan sedikit pun membasahi rambutnya bahkan jika
memiliki kewajiban mandi junub sekalipun sebelum bisa menyerang Rasulullah.
Dari jumlah tentara yang di bawah Abu Sufyan saja kita bisa menilai bahwa keputusannya
untuk melancarkan serangan militer tidak dipersiapkan dengan matang. Karena hanya balas
dendam yang sudah menguasai nafsunya. Logikanya, jika dulu saat Perang Badar dengan
jumlah tentara 1.300 saja kalah, apalagi sekarang hanya 200 pasukan. Siasat perang yang
dilakukan oleh Abu Sufyan adalah dengan merahasiakan kedatangannya ke Madinah,
sehingga umat muslim tidak memiliki persiapan apapun untuk melakukan perlawanan.
Bersama pasukannya, Abu Sufyan hanya berhenti di daerah Najib yang berjarak kurang lebih
12 mil dari Madinah. Di daerah ini Abu Sufyan meminta untuk menginap di rumah Huyay bin
Akhtab. Namun karena ketakutan, Huyay menolak persinggahannya. Abu Sufyan pun
mencari tempat peristirahatan lain hingga sampai di rumah Sallam bin Misykam, pemimpin
Bani Nadzir. Di rumah itulah Abu Sufyan bersama tentaranya bisa singgah. Dengan
mengambil jarak aman demikian Abu Sufyan dan pasukannya belum diketahui
keberadaannya sejauh ini. Abu Sufyan kemudian mengutus beberapa tentara untuk
menyusup ke wilayah Al-Aridh, sebuah daerah di Madinah. Di daerah tersebut tentara
melakukan kerusuhan dengan membakar kebun kurma dan membunuh orang Anshar serta
rekannya yang mereka temui. Kabar kerusuhan itu sampai ke telinga Rasulullah. Beliau pun
segera mengutus tentara untuk melakukan pengejaran. Sayang, mereka sudah mengetahui
informasi ini dan berhasil melarikan diri. Sebelum kabur, mereka sengaja meninggalkan
bekal berupa sejumlah karung gandum agar tidak membebani saat lari. Dalam bahasa Arab
gandum disebut ‘Sawiq’ yang kemudian dijadikan nama peristiwa. Rasulullah membiarkan
Abu Sufyan dan pasukannya kabur, sementara gandum-gandum yang mereka tinggalkan
diangkut umat muslim sebagai harta rampasan perang (ghanîmah). (Ibnul Atsir, Al-Kâmil
fitTârîkh,1997:juzII,h.32)
PERANGUHUD
Perang Uhud adalah salah satu peristiwa paling signifikan dalam sejarah Islam yang
terjadi pada awal periode kenabian. Peristiwa ini memiliki dampak mendalam dan banyak
pelajaran yang dapat dipetik oleh umat Islam hingga saat ini.
Dikutip dari buku Perang Uhud (Sabtu, 15 Syawal 3 H/Januari 625 M) karya Muhammad
Ridha, Perang Uhud berlangsung pada hari Sabtu, 15 Syawal 3 Hijriah atau 625 Masehi
setelah sekitar satu tahun setelah Perang Badar.
Pada saat itu, Makkah adalah pusat konflik antara umat Islam dan kaum musyrikin
Quraisy yang memusuhi Islam. Perang Uhud dimulai sebagai konflik bersenjata yang
disebabkan oleh dendam kaum musyrikin setelah kekalahan mereka dalam Perang
Badar. Sasaran utama dari kaum Quraisy adalah Hamzah bin Abdul Muthalib.

PersiapanPertempuran Mengutip buku Biografi Rasulullah: Sebuah Studi Analitis


Berdasarkan Sumber-sumber yang Otentik karya Mahdi Rizqullah Ahmad, dkk, perang
uhud dari pihak Quraisy dipimpin oleh Abu Sufyan dengan 3000 tentara dan sejumlah
wanita-wanitapelayan.. Sementara 1.000 pasukan muslimin terdiri dari gabungan orang
Makkah dan Madinah. Namun, dalam perjalanan menuju Gunung Uhud, Abdullah bin
Ubay salah satu pemimpin bani terbesar di kaum Quraisy membelot dan membawa 300
pasukan muslimin, karenanya sisa dari prajurit muslim yang ada hanya 700 orang.
Rasulullah SWT bermimpi mengenai apa yang akan terjadi dalam perang Uhud nanti dan
menyampaikan mimpinya kepada para sahabat.
"Aku bermimpi menggerakkan pedangku, tetapi tiba-tiba bagian depannya patah. Maka
itulah yang akan terjadi pada kaum Muslimin pada Perang Uhud (nanti). Kemudian, aku
menggerakkannya kembali lalu pedang itu kembali sempurna seperti semula. Maka,
itulah yang akan dikaruniakan Allah kepada kaum Muslimin pada saat penaklukan (Kota
Makkah) kelak dan pada hari berkumpulnya orang-orang yang beriman. Aku juga melihat
seekor sapi. Demi Allah, sapi itu dalam keadaan sangat bagus. Maka sapi itu adalah
kaum Muslimin pada waktu Perang Uhud."
Rasulllah SAW menafsirkan mimpinya sebagai kekalahan dan banyaknya korban dari
para sahabatnya.
Kemudian, Rasulullah SAW mengadakan musyarawarah dengan para sahabatnya untuk
mengevaluasi strategi yang akan mereka pakai. Perang Uhud dipimpin langsung oleh
RasulullahSAW.
Ketika pertempuran berlangsung Dikutip dari buku 60 Orang Besar di Sekitar Rasulullah
SAW karya Khalis Muhammad Khalid, peperangan pun dimulai. Di medan perang,
Hamzah dan kaum Muslimin terus menghantam kaum Quraisy itu hingga semakin dekat
dengankemenanganyangbesar .
Namun, pasukan berkuda kaum Quraisy datang dari arah belakang saat mereka lalai.
Meskipun kaum Muslimin telah kembali menyatukan barisan, tapi kekuatan mereka kalah
dengankekuatankaumQuraisy.
Kemudian, salah satu budak yang handal memadah dari Habsyi yang bernama Wahsyi
inimengintaiHamzahdaripepohonan. Wahsyi pun melempar pedangnya hingga
mengenaiperutHamzahdanakhirnyamenewaskanHamzah.
Masih mengutip dari sumber buku yang sama, kaum Muslimin berusaha untuk
mempertahankan posisi dan melindungi Nabi Muhammad SAW dengan sekeras mungkin
hingga mengakibatkan banyak korban jiwa berjatuhan termasuk sahabat dan keluarga
Nabi.
PelajarandariPerangUhud
Dikutip dari buku Ketika Rasulullah Harus Berperang karya Ali Muhammad Ash-Shallabi,
pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa perang Uhud yaitu:

-Memotivasiuntukbersungguh-sungguhdangiatdimedanperang

- Memotivasi untuk bersabar ketika berperang dan berhadapan dengan musuh

-Menjelaskandampakburukperpecahandankonflik

Tragedi Raji’ dan Bi’ru Ma’unah Pasca Perang Uhud, kaum muslimin menghadapi
peristiwa yang menggoncangkan, yaitu terjadinya peristiwa di Raji’ dan Bi’ru
Mau’nah. Peristiwa berdarah ini melunturkan wibawa mereka yang baru saja tumbuh.
Pasca peristiwa Raji’ dan Sumur Maunah itu kaum munafik dan orang yahudi menjadi
semakin berani berbuat kurang ajar kepada Rasulullah dan kaum muslimin.

Tragedi Raji’ Pada tahun ke -3 Hijriyah, beberapa utusan dari Kabilah Udlal dan Qarah
datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa berita
tentang Islam telah sampai kepada mereka. Oleh sebab itu, mereka sangat membutuhkan
orang-orang yang akan mengajarkan kepada mereka agama. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus beberapa orang dari sahabatnya,
antara lain: Murtsid bin Abi Murtsid, Khalid bin Al-Bakir, Ashim bin Tsabit, Khubaib bin
Ady, Zaid bin Datsinah dan Abdullah bin Thariq. Rasulullah saw menunjukk Ashim bin
Tasbit sebagai Amir mereka.

Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah ra, ia berkata :“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengutus sekelompok pasukan pengintai yang
dipimpin oleh ‘Ashim bin Tsabit -dia adalah kakek ‘Ashim bin Umar- Lalu mereka
berangkat, mereka kemudian singgah disuatu tempat antara ‘Usfan dan Makkah,
keberadaan mereka diberitahukan kepada suatu perkampungan dari suku Hudzail,
mereka biasa disebut dengan Bani Lahyan. Maka mereka diikuti oleh orang-orang dari
perkampuangan tersebut, yaitu sekitar seratus orang pemanah, mereka mengiuti jejak
para sahabat tersebut, sesampainya mereka di suatu persinggahan yang pernah
disinggahi oleh para sahabat, mereka mendapati biji kurma Madinah yang dibawa oleh
para sahabat sebagai perbekalan mereka, mereka berkata, ‘Ini adalah kurma
Madinah.’ Mereka terus mengikuti para sahabat sehingga berhasil menyusulnya, ketika
‘Ashim bin Tsabit dan para sahabatnya merasakan kehadiran orang-orang itu, para
sahabat langsung berlindung dibalik bukit, orang-orang itu datang dan langsung
mengepung, mereka berkata, ‘Turunlah kalian, kalian dapat membuat perjanjian dan
kesepakatan, supaya kami tidak membunuh seorangpun dari kalian, ‘ ‘Ashim bin Tsabit
menimpali, ‘Demi Allah, aku tidak akan berada dalam lindungan orang kafir, ya Allah
beritahukanlah kabar kami kepada Nabi-Mu shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘ Lalu mereka
menyerang para sahabat hingga berhasil membunuh ‘Ashim bersama tujuh pemanah
lainnya, tinggal tersisa Khubaib, Zaid dan seorang sahabat lagi. Lalu mereka membuat
perjanjian dan kesepakatan dengan mereka jika bersedia untuk turun dan menyerahkan
diri. Tatkala pasukan tersebut telah menyandera tiga utusan Nabi, mereka memudar tali
anak panah mereka untuk mengikat sandra mereka dengan tali itu, maka laki-laki yang
ketiga berkata, ‘Ini adalah pengkhinatan pertama, demi Allah aku tidak akan menjadi
teman kalian, ‘ lalu mereka menyeretnya, namun ia tetap berontak, akhirnya mereka
membunuhnya dan mereka pergi dengan membawa Khubaib dan Zaid hingga mereka
menjualnya di Makkah. Bani Harits bin ‘Amir bin Naufal lalu membeli Khubaib. -Khubaib
adalah orang yang telah membunuh Al Harits ketika perang badar- Khubaib menjadi
tawanan bagi mereka hingga mereka sepakat untuk membunuhnya. Khubaib meminjam
pisau kecil dari salah satu anak perempuan Al Harits untuk bercukur, lalu ia
meminjamkannya kepada Khubaib. Wanita itu berkata, ‘Namun aku lalai dengan anak
laki-laki kecilku, anak itu datang kepadanya, lalu ia mengambilnya dan mendudukkanya
diatas pangkuannya. Ketika aku melihatnya, aku sangat takut dengan rasa takut yang bisa
ia pahami, sedangkan pisau kecil masih ada dalam tangannya. Khubaib berkata, ‘Apakah
kamu takut kalau aku akan membunuhnya? Insya Allah aku tidak akan melakukan itu.’
Wanita itu berkata, ‘Demi Allah aku tidak pernah melihat tawanan yang sangat baik seperti
Khubaib, aku pernah melihatnya memakan setangkai anggur di tangannya dalam keadaan
terikat dengan rantai besi, padahal di Makkah tidak ada buah anggur, tidaklah hal itu
melainkan rizqi yang Allah berikan kepada Khubaib.’

Lalu mereka membawa Khubaib keluar dari Haram untuk membunuhnya. Khubaib
berkata, ‘Berikanlah kesempatan kepadaku untuk mengerjakan (shalat) dua raka’at!’
Setelah itu Khubaib kembali kepada mereka dan berkata, ‘Sekiranya aku tidak khawatir
kalian menganggapku takut dari kematian, niscaya aku akan menambah bilangan
raka’atku.’ Dan dialah orang yang pertama kali melakukan shalat dua raka’at sebelum
menghadapi kematian, kemudian ia berkata, ‘Ya Allah hitunglah jumlah mereka, ‘
kemudian dia melanjutkan, ‘Aku tak peduli bila terbunuh sebagai seorang muslim, di
bagian manapun hanya untuk Allah kematianku, yang demikian bagi Sang Ilah, jika Dia
berkehendak akan memberkahi semua persendian jasad yang terpisah.’ Lalu berdirilah
‘Uqbah bin Al Harits dan membunuhnya. Orang-orang Quraisy kemudian mengutus
utusan kepada ‘Ashim untuk mendapatkan sebagian jasadnya sebagai bukti, sebab ia
telah membunuh sebagian besar dari para pembesar mereka pada perang badar, ternyata
Allah mengutus semacam gulungan debu yang menggulung utusan mereka hingga
mereka tidak berhasil mengambil sedikitpun dari jasad Khubaib.’”
Ath-Thabary menambahkan sebuah riwayat dari Abi Kuraib, ia berkata : “Telah
menceritakan kepada kami Ja‘far b in Aun dari Ibrahim bin Ismail ia berkata, telah
menceritakan kepadaku Ja‘far bin Amir bin Umaiyyah dari bapaknya dari kakeknya, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya sendirian sebagai mata-mata
kepada kaum Quraisy. Ia berkata, ‘Kemudian aku datang ke sebuah kayu tempat Khubaib
dieksekusi, dengan sangat hati-hati. Lalu aku naik kepadanya kemudian aku lepaskan
ikatakannya dan Khubaib pun lenyap seolah-olah ditelan oleh bumi. Sampai hari ini tidak
diketahui tulang-tulang Khubaib itu’”.

Ibnu Ishaq berkata, “Adapun Zaid bin Datsinah, dia dibeli oleh Shafwan bin
Umaiyah. Ketika mereka membawanya keluar dari al-Haram untuk dibunuh, Abu Shafwan
bertanya kepadaku, ‘Aku bersumpah padamu hai Zaid. Apakah kamu suka seandainya
Muhammad sekarang ini kami hukum sebagai penggantimu dan kami kami kembalikan
kepada keluargamu?’ Jawab Zaid dengan tegas : ‘Demi Allah, aku tidak rela jika
Muhammad sekarang ini terkena duri sedikitpun sedangkan aku duduk bersama
keluargaku.’ Mendengar jawaban ini Abu Shufyan berkomentar , ‘Aku tidak pernah melihat
seorang pun yang lebih dicintai oleh sahabatnya seperti kecintaan sahabat Muhammad
terhadap Muhammad.’”

TragediBi‘ruMa‘unah
Amir bin Malik yang dikenal dengan Mula‘ibul Asnah datang kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan Islam
kepadanya, tetapi dia tidak menerima juga tidak menolak Islam. Dia hanya berkata kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Hai Muhammad , utuslah beberapa orang sahabatmu
ke Najd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut
agamamu!“ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Aku khawatir penduduk Nejd
akan menyerang mereka.“ Kata Amir, “Utuslah saja, aku yang akan melindungi dan
menjamin mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu.” Kemudian
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da’i
ini menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang
Uhud. Maka berangkatlah mereka hingga sampai di Bi‘ru Ma‘unah. Ketika sampai di
tempat ini, diutuslah Haram bin Milham salah seorang dari delegasi da’i tersebut untuk
menyampaikan surat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Amir bin Thufail. Belum
sampai surat itu dibacanya, Amir bin Thufail langsung membunuh Haram bin Milhan.

Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa ketika Haram bin Milhan
ditikam dan darahnya muncrat di wajahnya, ia berteriak, “Aku telah sukses demi Rabb
Ka‘bah“. Kemudian Amir bin Thufail menggerakkan Bani Amir untuk menyerang pada da’i
yang lainnya, tetapi Bani Amir menolaknya dan berkata, “Kami tidak akan mengkhianati
Abu Barra‘ (Amir bin Malik)”. Lalu Amir bin Thufail meminta bantuan kepada kabilah-
kabilah Sulaim dari suku Ushaiyyah, Ri‘iI dan Dzakwan. Kabilah-kabilah ini menyambut
ajakan Amir bin Thufail lalu mengepung dan menyerang mereka. Para da’i itu berusaha
melakukan perlawanan tetapi tidak berdaya sampai semuanya gugur terbunuh.

Di antara para da’i yang diutus itu terdapat dua orang sahabat yang tidak
menyaksikan tindak pengkhianatan ini. Salah seorang di antaranya ialah Amir bin
Umaiyyah Adh-Dhamri. Kedua sahabat ini tidak mengetahui berita terjadinya
pengkhianatan tersebut sehingga keduanya datang membantu saudara-saudaranya.
Tetapi sahabatnya itu pun terbunuh bersama yang lain, sementara Amir bin Umaiyyah
Adh-Dhamri berhasil lolos dan kembali ke Madinah. Di tengah perjalanan ia bertemu
dengan dua orang Musyrik yang disangkanya dari Bani Amir. Lalu kedua orang itu
dibunuhnya. Setelah sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
diceritakan kasus tersebut, ternyata kedua orang itu dari Bani Kilab dan telah
mendapatkan jaminan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian Nabi
bersabda, “Engkau telah membunuh dua orang. Aku harus membayar diyatnya.“
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam merasakan kesedihan yang mendalam atas
kematian delegasi da’i yang semuanya itu adalah sahabat beliau, sehingga selama sebulan
penuh Rasulullah saw melakukan qunut di shalat subuh mendoakan kecelakaan atas
kabilah Ri‘I, Dzakwan, Bani Lihyan dan Ushaiyyah.

Peristiwa tersebut diceritakan dalam banyak riwayat, diantaranya adalah dua riwayat
berikut,

Dari Anas bin Malik dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan
kebinasaan terhadap kaum yang telah membunuh para sahabat beliau di Bi’rul Ma’unah
selama tiga puluh hari, beliau mendo’akan (kebinasaan) terhadap Ri’l, Lahyan dan
‘Ushayyah yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.” Anas
mengatakan, “Lalu Allah Ta’ala menurunkan ayat untuk memberitahukan kepada Nabi-
Nya shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai orang-orang yang terbunuh di peristiwa Bi’rul
Ma’unah, dan ayat tersebut sempat kami baca hingga akhirnya dimansukh, ayat itu adalah
‘Sesungguhnya kami telah berjumpa dengan Rabb kami, dan Rabb kamipun ridla terhadap
kami, dan kamipun ridla terhadap-Nya ‘.” (HR. Bukhari)

Dari Anas radliallahu ‘anhu, dia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah
mengutus tujuhpuluh orang untuk suatu keperluan, mereka disebut sebagai qurra`
(para ahli al Qur’an), mereka di hadang oleh penduduk dari bani Sulaim, Ri’l dan
Dzakwan dekat mata air yang disebut dengan Bi’r Ma’unah, mereka berkata, ‘Demi
Allah, bukan kalian yang kami inginkan, kami hanya ada perlu dengan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam.’ Mereka akhirnya membunuh para sahabat tersebut,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendo’akan kecelakan kepada mereka
(Sulaim, Ri’l dan Dzakwan) selama sebulan pada shalat shubuh, itu adalah awal
kali dilakukannya qunut, sebelumnya kami tida pernah melakukan do’a qunut.”
Abdul Aziz mengatakan, ‘Seseorang bertanya kepada Anas tentang
qunut, apakah ia dikerjakan setelah rukuk ataukah setelah selesai membaca ayat?’
Anas menjawab, ‘Tidak, bahkan dikerjakan setelah selesai membaca
ayat.’” (HR. Bukhari)

Beberapa Ibrah

1. Masing-masing dari tragedi Ar-Raji‘ dan Bi‘ru Ma‘unah menunjukkan keterlibatan


dan partisipasi seluruh kaum Muslimin dalam tanggung jawab dakwah kepada
Islam dan menjelaskan hakekat serta hukum-hukum Islam kepada manusia.
Tanggung jawab dakwah bukan hanya tugas para Nabi dan Rasul atau para
Khalifah dan ulama saja. Tetapi merupakan tanggung jawab setiap individu Muslim.

2. Seorang Muslim tidak boleh tinggal di Darul Kufri atau Darul Harbi, jika tidak dapat
memperlihatkan eksistensi dan misi agamanya. Tetapi kasus dalam sirah Nabi ini
menunjukkan pengecualian hukum tersebut, yaitu apabila menetapkan seorang
Muslim di Darul Harbi atua Darul Kufri itu karena melaksanakan tugas kewajiban
dakwah Islam. Sebab, hal ini termasuk salah satu bentuk jihad yang tanggung
jawabnya berkaitan dengan seluruh kaum Muslimin , atas dasar fardhlu kifayah
yang jika telah ada sebagian orang yang melaksanakannya secara sempurna maka
tanggung jawab itu gugur dari orang lain, tetapi jika belum terlaksanakan secara
sempurna maka seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya.
3. Kedua tragedi ini secara jelas menunjukkna betapa kebencian dan dendam
kesumat yang membara di hati kaum Musyrikin terhadap kaum Muslimin, sampai
mereka tega melakukan pengkhianatan yang terburuk demi untuk memuaskan
dahaga kebencian mereka kepada kaum Muslimin. Sebaliknya, kedua tragedi ini
menunjukkan betapa indah dan mengagumkan gambaran watak dan tabiat kaum
Muslimin yang menjadi korban pengkhianatan mereka.

4. Tragedi ini menjadi dalil bahwa seorang yang ditawan oleh musuh boleh tidak
menerima tawaran keamanan dan tidak mau tunduk kepada musuh, sekalipun
dengan resiko dibunuh, karena menolak diberlakukannya hukum memilih tawaran
keamanan, demi menanti kesempatan dan mengharapkan pembebasan,
sebagaimana yang dilakukan oleh Khubaib dan Zaid. Tetapi seandainya ia dapat
melarikan diri maka menurut pendapat yang lebih shahih ia harus melakukannya,
kendatipun ia dapat menampakkan agamanya di antara mereka, karena tawanan
di tangan kaum kafir itu terhina. Oleh sebab itu ia wjaib membebaskan dirinya dari
kehinaan tawanan dan perbudakkan.
5. Jika kita perhatikan jawaban Zaid bin Datsinah kepada Abu Sofyan beberapa menit
sebelum pembunuhannya dapatlah kita ketahui betapa besar kecintaan para
sahabat kepada Rasulullah tidak diragukan lagi bahwa kecintaan ini merupakan
faktor terpenting yang menumbuhkan kesiapsediaan berkorban di jalan Allah dan
membela Rasulullah. Betapapun kualitas keimanan seseorang, jika tidak disertai
kecintaan kepada Rasulullah seperti ini, adalah tetap merupakan keimanan yang
belum sempurna.

6. Apa yang terjadi pada khubaib selama menjadi tawanan di Mekkah menunjukkan
kemungkinan terjadinya karamah bagi seorang Wali sebagaimana mukjizat bagi
seorang Nabi. Perbedaan utamanya bahwa mukjizat Nabi disertai dengan
tantangan dan pernyataan Kenabian sedangkan karamah para Wali dan orang-
orang shalih datang begitu saja tanpa disertai tantangan. Inilah yang ditetapkan
oleh jumhur Ahli Sunnah wal Jama‘ah. Tidak ada karamah yang lebih jelas daripada
karamah yang diberikan oleh Allah, kepada Khubaib sebelum pembunuhannya. Ia
begitu tabah dan tegar menghadapi kematian, sebagaimana diriwayatkan bukhari
dan lainnya.
7. Mungkin ada yang ingin bertanya, “ Apa hikmah terjadinya pengkhianatan
terhadap para pemuda Mukmin yang keluar demi menyambut perintah Allah swt
dan Rasul-Nya?“ Mengapa Allah tidak memberikan kekuatan kepada mereka
sehingga berhasil mengalahkan para pengkhianat itu ?“ Jawabannya ialah, apa
yang telah kami sebutkan berkali-kali yaitu, bahwa Allah memperhambakan para
hamba-Nya melalui perjuangan mewujudkan dua hal : Menegakkan masyarakat
Islam dan berjuang mencapai tujuan tersebut pada jalan yang penuh dengan
tebaran duri. Hikmahnya agar terwujudnya ubudiyah manusia kepada Allah dan
terpisahkan antara orang-orang yang benar-benar beriman dan orang-orang
munafiq. Di samping terlaksananya mubaya‘ah antara Allah dan para hambah-Nya
yang beriman.

NAJD
Setelah dua kekuatan politik yang selalu menjadi ancaman dan penghalang dakwah
Rasulullah saw dan umat Islam, yaitu kaum Quraisy dan Yahudi, berhasil ditundukkan, target
selanjutnya adalah satu kekuatan lagi, yaitu bangsa Arab Badui yang tinggal di gurun-gurun.
Mereka selalu membuat onar, kerusakan, dan perampokan. Ulah mereka membuat umat
Islam tidak tenang, sehingga Rasulullah saw dan beberapa sahabat membuat kesepakatan
untuk berperang dengan mereka. Perang ini kemudian lebih dikenal dengan nama Perang
Dzatur Riqa. Salah satu peperangan yang selalu dikenang sepanjang zaman dan diabadikan
dalam kitab-kitab sirah nabawiyah. Perang ini terjadi pada Muharram tahun keempat
hijriyah. Ada pula yang mengatakan tahun kelima hijriyah. Menurut Syekh Shafiyurrahman
al-Mubarakfuri, perang Dzatur Riqa disulut oleh pengkhianatan suku-suku Najd hingga
mengakibatkan terbunuhnya 70 sahabat yang ditugaskan Rasulullah saw sebagai juru
dakwah. Rasulullah saw bergerak keluar dengan niat memerangi Suku Muharib dan Tsa’lab.
Abu Dzarr al-Ghifari mendapat tugas untuk tinggal dan mengurus Madinah. Setiba di Nakhl,
daerah Najd milik Bani Ghathfan, Rasulullah saw dan pasukannya mendirikan markas.
Namun Allah telah memberikan rasa gentar dan takut pada suku-suku pengkhianat.
Akibatnya, mereka memilih menjauh dari pasukan Rasulullah saw, meskipun saat itu jumlah
mereka cukup banyak, sehingga tidak terjadi kontak senjata. (Shafiyurrahman al-
Mubarakfuri, ar-Rahîqul Makhtum, [Qatas, Wazaratul Auqaf: 2007], halaman 380]. Latar
Belakang Penamaan Dzatur Riqa Setiap peperangan yang diikuti Rasulullah saw dan para
sahabat memiliki nama khusus, seperti perang Uhud, karena terjadi di gunung Uhud. Begitu
juga perang Dzatur Riqa. Ada alasan tersendiri di balik penamaannya. Rasulullah saw
bersabda:
“Diriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari ra, ‘Kami pergi bersama Nabi saw dalam suatu
peperangan. Saat itu kami berenam menunggangi satu ekor unta secara bergantian. Banyak
luka pada telapak kaki kami, juga pada kedua telapak kakiku. Bahkan, kuku-kuku kakiku
patah. Kami membalut kaki-kaki kami yang terluka dengan sobekan kain. Dengan alasan
inilah peperangan itu disebut Dzatur Riqa (yang memiliki banyak sobekan kain), sebab kami
balutkan sobekan kain pada kaki-kaki kami.” (HR al-Bukhari). (Muhammad Isma’il Abu
Abdillah al-Bukhari, Shahîhul Bukhari, [Beirut, Darubni Katsîr: 1987), juz IV, halaman 1513).

Selain itu ada riwayat lain yang menunjukkan bahwa nama tersebut berkaitan dengan
kelemahlembutan Rasulullah saw yang tampak selepas peristiwa tersebut. Yaitu ketika
Rasulullah saw merasakan lelah dan letih setelah perjalanan dari perang, kemudian beliau
istirahat di suatu tempat. Dalam istirahatnya ada salah satu orang Badui yang hendak
membunuhnya, namun niat jahat itu tidak terjadi. Dalam hadits dikatakan: Artinya,
“(Diceritakan) bahwa Jabir bin 'Abdullah ra mengabarkan dia berangkat berperang bersama
Rasulullah saw melewati Najed. Ketika Rasulullah saw pulang Jabir pun ikut pulang, lalu
mereka menjumpai sungai di bawah lembah yang banyak pepohonannya. Lalu Rasulullah
saw turun dan orang-orang pun berpencar mencari tempat berteduh di bawah pohon.
Rasulullah saw berteduh di bawah suatu pohon, lalu menggantungkan pedangnya pada
pohon tersebut, kemudian tidur sejenak. Saat itu, Rasulullah saw memanggil kami,
sementara di hadapannya telah ada seorang Badui. Rasulullah saw berkata: 'Orang ini telah
mengambil pedangku saat aku tidur, lalu aku bangun sementara tangannya sudah memegang
pedang yang terhunus. Dia berkata: 'Siapa yang dapat melindungimu dariku?' Aku jawab:
'Allah' sebanyak tiga kali'. Lalu orang itu tidak dapat berbuat apa-apa kepada beliau, dan dia
terduduk lemas." (HR al-Baihaqi).

Hikmah Perang Dzatur Riqa Meski perang Dzatur Riqa tidak sampai menimbulkan kontak
senjata, akan tetapi perang ini menyimpan banyak peristiwa penting untuk dikaji dan
direnungkan. Menurut Syekh Ramadhan al-Buthi, ada beberapa pelajaran yang perlu
direnungkan dari peristiwa ini.
1. ujian berat ketika berjuang di jalan Allah. Penamaan perang ini dengan nama Dzatur
Riqa menggambarkan secara jelas betapa beratnya cobaan yang dipikul para sahabat
dalam menyampaikan risalah Allah dan berjihad di jalan-Nya. Juga memberi
gambaran yang gamblang bahwa betapa fakir keadaan mereka. Mereka tidak memiliki
harta, tunggangan yang mereka gunakan untuk berjihad hanyalah seekor unta yang
ditunggangi secara bergantian oleh enam atau tujuh orang dalam menempuh
perjalanan jauh dan sarat rintangan. Namun, kemiskinan tidak serta-merta
menghalangi mereka untuk tetap bertugas mendakwahkan agama Allah dan berjihad
di jalan-Nya. Demi tugas ini, mereka rela menanggung semua risiko dan memikul
semua beban yang ada. Kaki-kaki mereka terluka akibat perjalanan jauh mengarungi
padang pasir dan kerikil tajam. Bahkan kuku-kuku mereka terlepas akibat tersandung
bebatuan keras. Darah pun mengalir dari kaki mereka, dan saat itu tidak mempunyai
apa-apa selain sobekan-sobekan kain yang dibalutkan lapis demi lapis. Meskipun
begitu, tak ada sedikit pun rasa lemah, patah semangat, atau menyerah di hadapan
tugas mereka. Menurut Syekh al-Buthi, semua perjuangan mereka tergambar dalam
Al-Qur’an Artinya, “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri
maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang
di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh.” (QS at-Taubah: 111).
2. penjagaan Allah kepada Rasul-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, ada
seorang musyrik mengambil pedang Rasulullah saw ketika beliau sedang tidur di
bawah pohon. Kisah ini menunjukkan penjagaan dan perlindungan Allah kepada
utusan-Nya. Syekh al-Buthi mengatakan: Artinya, “Kisah ini menjadi pembuka (hati
yang tertutup) perihal penjagaan dan perlindungan Allah kepada Nabi Muhammad
saw, dan menambah keyakinan dengan adanya kejadian yang tidak bisa dinalar yang
Allah anugerahkan kepada beliau.” (Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, Fiqhus
Sîrah Nabawiyah, [Beirut, Darul Fikr: 2013], halaman 216). Jika dipandang sekilas,
seharusnya sangat mudah orang musyrik yang sudah menggenggam pedang, dan
mengangkatnya di atas tubuh Rasulullah saw yang sedang tidur pulas untuk
membunuh dan menebasnya. Namun, ia gagal membunuhnya. Semua ini tak lain
adalah pertolongan dan perlindungan Allah kepada Rasul-Nya, dan hal itu tidak
pernah diduga dan disangka oleh orang tersebut. Pertolongan Allah telah membuat
hati orang musyrik itu disergap rasa gentar dan takut, membuat tubuhnya gemetar
hingga pedang di genggamannya terlepas dan jatuh ke tanah, lalu terduduk lemas di
hadapan Rasulullah saw. Dalam keadaan genting saat nyawa menjadi ancaman,
Rasulullah saw tetap membiarkan orang tersebut tanpa memberikan pelajaran.
Bahkan beliau tidak membalasnya sedikit pun. Inilah sosok teladan, tidak membalas
sedikit pun meski nyawa telah menjadi taruhannya. Poin paling penting dari kejadian
ini adalah pemenuhan janji Allah kepada Rasul-Nya yang tersurat dalam Al-Qur’an:
Artinya, “Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (QS al-Ma’idah: 67). Menurut Syekh al-
Buthi, maksud 'memelihara' pada ayat ini bukan berarti Rasulullah saw tidak
tersentuh gangguan atau permusuhan kaumnya. Sebab, hal itu sudah menjadi
sunnatullah bagi seluruh hamba-Nya. Namun 'memelihara' yang dimaksud ialah
Rasulullah saw tidak tersentuh oleh tangan orang-orang yang mencoba
membunuhnya dan menghentikan dakwah Islam yang diembannya. (Al-Buthi, Fiqhus
Sîrah, halaman 216). Dalam ayat lain Allah mengabadikan cerita ini sebagai nikmat
yang sangat besar bagi Nabi Muhammad saw: Artinya, “Wahai orang-orang beriman,
ingatlah nikmat Allah (yang diberikan) kepadamu, ketika suatu kaum bermaksud
hendak menyerangmu dengan tangannya, lalu Allah menahan tangan mereka dari
kamu.” (QS Al-Ma’idah: 11). Imam al-Qurthubi (wafat 671 H) mengutip pendapat
mayoritas ulama tafsir, ayat di atas Allah turunkan kepada Rasulullah saw bertepatan
dengan kejadian saat pulang dari perang Dzatur Riqa dan hendak dibunuh oleh
seorang Badui ketika beliau sedang tidur sebagaimana penjelasan di atas. (Abu
Abdillah Muhammmad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadl, Darul ‘Alam:
2003], juz VI, halaman 111). Demikian sekelumit sejarah di balik perang Dzatur Riqa.
Meski perang Dzatur Riqa tidak sampai terjadi, bahkan sama sekali tidak ada korban
meninggal, namun perjalanan dan perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat
sangat besar. Wallahu a’lam bish shawab.
PERANG AHZAB
Umat Islam di masa Rasulullah SAW pernah mengalami beberapa peperangan. Salah
satunya yang fenomenal ialah perang Khandaq atau dikenal juga dengan istilah
perang Ahzab. Peristiwa ini terjadi pada bulan Syawal tahun 5 H atau 627 M. Disebut
perang Khandaq sebab kaum muslimin dalam perang tersebut membuat parit untuk
menahan serbuan musuh. Kata “Khandaq” berasal dari bahasa Persia “Kandak” yang
artinya “itu telah digali” dan sesuatu yang telah digali disebut parit. disebut perang
Ahzab karena musuh yang dihadapi kaum Muslimin merupakan pasukan koalisi atau
sekutu (Ahzab) antara kaum Yahudi, kaum Ghathafan dan kaum kafir
Quraisy Makkah.
Perang Khandaq disebabkan kekhawatiran kaum Yahudi dan kaum kafir Quraisy akan
eksistensi ajaran mereka. Hal ini terlihat dengan semakin bertambah jumlah orang-
orang yang masuk Islam. Selain itu, disebutkan juga bahwa perang tersebut
disebabkan kaum Ghathafan ingin kembali menguasai perdagangan di wilayah kota
Madinah. Selain itu, keinginan untuk membalas dendam atas kekalahan dalam
perang-perang sebelumnya juga menjadi pemicu terjadinya perang tersebut.
Disebutkan juga bahwa pengusiran dan penyerangan kaum Yahudi Bani Nadhir
dari Madinah membuat para pembesar mereka menaruh dendam dengan Muslimin
di Madinah. Atas dasar kesamaan pandangan dan keinginan untuk menghancurkan
kaum Muslimin di Madinah, maka kaum Yahudi Madinah, kaum Kafir Quraisy Makkah
dan kaum Ghathafan sepakat melakukan kerjasama (koalisi)
KronologiPerangKhandaq
Perang Khandaq dimulai ketika pasukan gabungan Arab Quraisy dan Yahudi berniat
menyerang Kota Madinah untuk menghancurkan Islam dan membunuh Nabi
Muhammad SAW. Pasukan gabungan ini terdiri dari 10.000 prajurit dan dipimpin
oleh Abu Sufyan, seorang tokoh Quraisy yang sangat anti terhadap Islam dan Nabi
Muhammad SAW.

Di satu sisi, saat itu pasukan muslim hanya berjumlah 3.000 prajurit. Nabi
Muhammad dan para sahabat menyadari bahwa mereka tidak dapat menghadapi
pasukan gabungan yang jauh lebih besar dari mereka dalam pertempuran terbuka.
Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk menggali parit sebagai pertahanan di
sekitar Kota Madinah. Parit ini menjadi salah satu inovasi strategis yang dibuat oleh
Nabi Muhammad SAW dalam peperangan.

Pasukan gabungan Quraisy dan Yahudi mencoba menyerang Kota Madinah


beberapa kali. Sayangnya usaha mereka tidak berhasil menembus pertahanan parit
yang dibuat oleh pasukan muslim. Sementara itu, Nabi Muhammad dan para
sahabat juga melakukan beberapa serangan kecil untuk memperlemah pasukan
gabungan.

Setelah 20 hari berada di luar Kota Madinah dan tidak berhasil menembus
pertahanan parit, pasukan gabungan akhirnya mundur. Perang Khandaq berakhir
dengan kemenangan bagi pasukan muslim dan Nabi Muhammad SAW berhasil
mempertahankan Kota Madinah dari serangan musuh.

Lamaperangkhandaq
Lama Perang Khandaq sendiri berlangsung selama 20 hari. Meskipun tidak ada
pertempuran besar-besaran yang terjadi selama peperangan, Perang Khandaq
menjadi salah satu kisah heroik dalam sejarah Islam. Pasukan Muslim berhasil
mengalahkan pasukan gabungan yang jumlahnya jauh lebih besar dari mereka
dengan keberanian, ketekunan, dan inovasi strategis yang dibuat oleh Nabi
Muhammad SAW.

Setelah perang, banyak suku Arab yang awalnya bermusuhan dengan kaum muslim
akhirnya merasa terkesan dengan kekuatan dan kebersamaan umat muslim. Hal ini
membuat banyak suku Arab akhirnya memilih untuk berdamai dengan umat muslim
dan membuka pintu masuk bagi perkembangan Islam di Arab.

Perang Khandaq juga memberikan pelajaran penting bagi umat Islam dalam
menghadapi situasi yang sulit dan memperkuat persatuan umat. Pasukan Muslim
yang terdiri dari berbagai suku dan latar belakang dapat bekerja sama
mempertahankan Kota Madinah dari serangan musuh.

Dalam sejarah Islam, Perang Khandaq juga dianggap sebagai peristiwa penting
dalam menguatkan posisi Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin umat Islam.
Ketika pasukan Muslim sedang menghadapi ancaman dari pasukan gabungan yang
lebih besar, Nabi Muhammad SAW tetap bisa menjaga kepercayaan dan keberanian
para sahabat sehingga dapat mempertahankan Kota Madinah.
GPT
1. Perang Sawiq terjadi pada tahun 623 M, selama ekspedisi Militer Islam yang dikenal
sebagai Perang Khandaq (Parit). Perang ini terjadi karena suatu insiden di mana
pasukan Muslim dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW dan pasukan Quraisy di Mekah
bersiap untuk bertempur di medan yang disebut Sawiq. Ibroh adalah salah satu tokoh
dalam Perang Sawiq yang membantu memperkuat pertahanan Muslim dengan
memberikan saran kepada Nabi Muhammad SAW. Secara hukum, perang ini
menunjukkan pentingnya strategi pertahanan dalam konteks peperangan dan juga
menegaskan keberanian serta keuletan pasukan Muslim.
Perang Sawiq terjadi pada tahun 627 M, selama Perang Khandaq (Parit) di masa awal
Islam. Sebab terjadinya perang ini adalah karena ketegangan antara kaum Muslimin
yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW dan pasukan Quraisy yang bersekutu
dengan suku-suku Arab lainnya yang menentang perkembangan Islam.
Hikmah dari Perang Sawiq adalah menunjukkan pentingnya strategi dan kecerdasan
taktis dalam menghadapi musuh, meskipun dengan sumber daya yang terbatas. Ini
juga menggambarkan pentingnya kesetiaan dan solidaritas di antara umat Muslim
dalam menghadapi ancaman dari luar.
Secara hukum, perang ini menunjukkan bahwa dalam situasi perang, perlindungan
terhadap diri, keluarga, dan komunitas menjadi prioritas, serta pentingnya
keberanian dalam mempertahankan agama dan kebebasan beragama.
2. Perang Uhud terjadi pada tahun 625 M, setahun setelah Perang Badar, selama masa
awal Islam. Sebab terjadinya Perang Uhud adalah sebagai respons terhadap
kekalahan pasukan Quraisy dalam Perang Badar. Quraisy ingin membalas dendam
dan mengambil kembali kehormatan mereka yang tercoreng akibat kekalahan
sebelumnya.
Ibroh dari Perang Uhud adalah pelajaran tentang pentingnya ketaatan terhadap
perintah dan strategi yang telah ditetapkan, serta pentingnya menjaga disiplin dan
kepatuhan di medan perang. Hal ini ditunjukkan oleh keputusan beberapa pasukan
Muslim untuk meninggalkan posisi mereka di puncak bukit, yang mengakibatkan
kerugian bagi pasukan Muslim.
Secara hukum, Perang Uhud mengajarkan pentingnya kesiapan dan persiapan dalam
menghadapi musuh, serta perlunya koordinasi yang baik antara pemimpin dan
pasukan dalam sebuah pertempuran. Selain itu, perang ini juga menegaskan prinsip-
prinsip hukum perang Islam, termasuk perlindungan terhadap warga sipil dan
larangan mutilasi terhadap musuh yang telah tewas.
3. Raji' dan Bi'r Ma'unah adalah dua peristiwa yang terjadi pada tahun 626 M, selama
masa awal Islam. Sebab terjadinya peristiwa Raji' adalah ketika Nabi Muhammad SAW
mengirim sebuah surat kepada kepala suku Ghassan, al-Harith bin Abi Shamir, untuk
meminta perlindungan bagi seorang sahabatnya yang bernama Abu Bakr Ash-
Shiddiq. Namun, al-Harith menolak permintaan tersebut dan menangkap Abu Bakr.
Peristiwa Bi'r Ma'unah terjadi ketika sekelompok Muslim dipimpin oleh Abdullah bin
Jahsy pergi ke suku Khazraj di Madinah untuk mengajak mereka masuk Islam. Namun,
mereka dibunuh oleh suku tersebut, yang menimbulkan konflik antara suku Khazraj
dan suku Quraysh. Ibroh dari peristiwa ini adalah menunjukkan betapa pentingnya
diplomasi dalam menjaga hubungan antarsuku dan antarbangsa, serta keberanian
para sahabat dalam menghadapi rintangan dan bahaya dalam menyebarkan agama
Islam. Secara hukum, peristiwa-peristiwa ini menunjukkan pentingnya keadilan,
perlindungan terhadap umat Muslim, dan kebutuhan untuk menegakkan kedaulatan
negara dalam menangani kasus-kasus konflik antarsuku atau antarbangsa.
4. Perang Najd terjadi pada tahun 626 M, selama masa awal Islam.
Sebab terjadinya Perang Najd adalah karena suku-suku di wilayah Najd menyerang
dan menjarah penggembala Muslim, sehingga Nabi Muhammad SAW mengirim
pasukan untuk menghentikan serangan tersebut.
Ibroh dari Perang Najd adalah menunjukkan pentingnya untuk melindungi diri dan
mempertahankan keamanan wilayah Islam dari serangan luar.
Secara hukum, perang ini menunjukkan pentingnya menjaga keamanan dan keadilan
dalam wilayah Islam, serta perlunya tindakan untuk melindungi umat Muslim dari
ancaman luar.
5. Perang Ahzab, juga dikenal sebagai Perang Khandaq (Parit), terjadi pada tahun 627
M, selama masa awal Islam. Sebab terjadinya Perang Ahzab adalah sebagai respons
terhadap serangan gabungan suku Quraisy, Ghatafan, dan suku-suku lainnya yang
ingin menghancurkan Madinah dan mengakhiri kekuasaan Islam di wilayah tersebut.
Ibroh dari Perang Ahzab adalah demonstrasi dari pentingnya persatuan umat Muslim
dalam menghadapi ancaman bersama dan strategi pertahanan yang efektif, seperti
penggalian parit di sekitar Madinah untuk menghambat serangan musuh. Secara
hukum, perang ini menunjukkan pentingnya kerjasama antarumat dan peran strategi
dalam melindungi komunitas Muslim dari ancaman luar. Ini juga menegaskan prinsip-
prinsip pertahanan diri dan keberanian dalam menghadapi musuh yang lebih kuat.

Anda mungkin juga menyukai