Anda di halaman 1dari 4

HUJAN RINDU YANG TAK TERBENDUNG LAGI

(Kisah Cinta dan Rindu Bilal bin Rabah)


Langit Madinah kala itu mendung…Bukan mendung biasa, tetapi mendung yang kental
dengan kesuraman dan kesedihan. Seluruh manusia bersedih, burung-burung enggan
berkicau, daun dan mayang kurma enggan melambai, angin enggan berhembus,
bahkan matahari enggan nampak. Seakan-akan seluruh alam menangis, kehilangan
sosok manusia yang diutus sebagai rahmat sekalian alam.

Di salah satu sudut Masjid Nabawi,


sesosok pria yang legam kulitnya menangis tanpa bisa menahan tangisnya.Waktu shalat telah
tiba. Bilal bin Rabah, pria legam itu, beranjak menunaikan tugasnya yang biasa:
mengumandangkan adzan.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Suara beningnya yang indah nan lantang terdengar di seantero Madinah. Penduduk Madinah
beranjak menuju masjid. Masih dalam kesedihan, sadar bahwa pria yang selama ini
mengimami mereka tak akan pernah muncul lagi dari biliknya di sisi masjid.

Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha ilallah.

Suara bening itu kini bergetar. Penduduk Madinah bertanya-tanya, ada apa gerangan. Jamaah
yang sudah berkumpul di masjid melihat tangan pria legam itu bergetar tak beraturan.

Asy…hadu.. an..na.. M..Mu..mu..hammmad. ..

Suara bening itu tak lagi terdengar jelas. Kini tak hanya tangan Bilal yang bergetar hebat,
seluruh tubuhnya gemetar tak beraturan, seakan-akan ia tak sanggup berdiri dan bisa roboh
kapanpun juga. Wajahnya sembab. Air matanya mengalir deras, tidak terkontrol. Air matanya
membasahi seluruh kelopak, pipi, dagu, hingga jenggot. Tanah tempat ia berdiri kini dipenuhi
oleh bercak-bercak bekas air matanya yang jatuh ke bumi. Seperti tanah yang habis di siram
rintik-rintik air hujan.

Ia mencoba mengulang kalimat adzannya yang terputukalimat dari dua kalimat syahadat.
Kalimat persaksian bahwa Muhammad bin Abdullah adalah Rasul ALLAH.

Asy…ha..du. .annna…
Kali ini ia tak bisa meneruskan lebih jauh. Tubuhnya mulai limbung. Sahabat yang tanggap
menghampirinya, memeluknya dan meneruskan adzan yang terpotong.

Saat itu tak hanya Bilal yang menangis, tapi seluruh jamaah yang berkumpul di Masjid
Nabawi, bahkan yang tidak berada di masjid ikut menangis. Mereka semua merasakan
kepedihan ditinggal Kekasih ALLAH untuk selama-lamanya. Semua menangis, tapi tidak
seperti Bilal. Tangis Bilal lebih deras dari semua penduduk Madinah. Tak ada yang tahu
persis kenapa Bilal seperti itu, tapi Abu Bakar ash-Shiddiq ra. tahu. Ia pun
membebastugaskan Bilal dari tugas mengumandangkan adzan.

Saat mengumandangkan adzan, tiba-tiba kenangannya bersama Rasulullah SAW berkelabat


tanpa ia bisa membendungnya. Ia teringat bagaimana Rasulullah SAW memuliakannya di
saat ia selalu terhina, hanya karena ia budak dari Afrika. Ia teringat bagaimana Rasulullah
AW menjodohkannya. Saat itu Rasulullah meyakinkan keluarga mempelai wanita dengan
berkata, “Bilal adalah pasangan dari surga, nikahkanlah saudari perempuanmu dengannya.”
Pria legam itu terenyuh mendengar sanjungan Sang Nabi akan dirinya, seorang pria berkulit
hitam, tidak tampan, dan mantan budak.

Kenangan-kenangan akan sikap Rasul yang begitu lembut pada dirinya berkejar-kejaran saat
ia mengumandangkan adzan. Ingatan akan sabda Rasul, “Bilal, istirahatkanlah kami dengan
shalat.” lalu ia pun beranjak adzan, muncul begitu saja tanpa ia bisa dibendung. Kini tak ada
lagi suara lembut yang meminta istirahat dengan shalat.

Bilal pun teringat bahwa ia biasanya pergi menuju bilik Nabi yang berdampingan dengan
Masjid Nabawi setiap mendekati waktu shalat. Di depan pintu bilik Rasul, Bilal berkata,
“Saatnya untuk shalat, saatnya untuk meraih kemenangan. Wahai Rasulullah, saatnya untuk
shalat.” Kini tak ada lagi pria mulia di balik bilik itu yang akan keluar dengan wajah yang
ramah dan penuh rasa terima kasih karenaudah diingatkan akan waktu shalat.

Bilal teringat, saat shalat ‘Ied dan shalat Istisqa’ ia selalu berjalan di depan Rasulullah dengan
tombak di tangan menuju tempat diselenggarakan shalat. Salah satu dari tiga tombak
pemberian Raja Habasyah kepada Rasulullah SAW. Satu diberikan Rasul kepada Umar bin
Khattab ra., satu untuk dirinya sendiri, dan satu ia berikan kepada Bilal. Kini hanya tombak
itu saja yang masih ada, tanpa diiringi pria mulia yang memberikannya tombak tersebut. Hati
Bilal makin perih.

Seluruh kenangan itu bertumpuk-tumpuk, membuncah bercampur dengan rasa rindu dan
cinta yang sangat pada diri Bilal. Bilal sudah tidak tahan lagi. Ia tidak sanggup lagi untuk
mengumandangkan adzan.

Abu Bakar tahu akan perasaan Bilal. Saat Bilal meminta izin untuk tidak mengumandankan
adzan lagi, beliau mengizinkannya. Saat Bilal meminta izin untuk meninggalkan Madinah,
Abu Bakar kembali mengizinkan. Bagi Bilal, setiap sudut kota Madinah akan selalu
membangkitkan kenangan akan Rasul, dan itu akan semakin membuat dirinya merana karena
rindu. Ia memutuskan meninggalkan kota itu. Ia pergi ke Damaskus bergabung dengan
mujahidin di sana. Madinah semakin berduka. Setelah ditinggal al-Musthafa, kini mereka
ditinggal pria legam mantan budak tetapi memiliki hati secemerlangermin.
Jazirah Arab kembali berduka. Kini sahabat terdekat Muhammad SAW, khalifah pertama,
menyusulnya ke pangkuan Ilahi. Pria yang bergelar Al-Furqan menjadi penggantinya. Umat
Muslim menaruh harapan yang besar kepadanya.

Umar bin Khattab berangkat ke Damaskus, Syria. Tujuannya hanya satu, menemui Bilal dan
membujuknya untuk mengumandangkan adzan kembali. Setelah dua tahun yang melelahkan;
berperang melawan pembangkang zakat, berperang dengan mereka yang mengaku Nabi, dan
berupaya menjaga keutuhan umat; Umar berupaya menyatukan umat dan menyemangati
mereka yang mulai lelah akan pertikaian. Umar berupaya mengumpulkan semua muslim ke
masjid untuk bersama-sama merengkuh kekuatan dari Yang Maha Kuat. Sekaligus kembali
menguatkan cinta mereka kepada Rasul-Nya. Umar membujuk Bilal untuk kembali
mengumandangkan adzan.

Bilal menolak, tetapi bukan Umar namanya jika khalifah kedua tersebut mudah menyerah. Ia
kembali membujuk dan membujuk. “Hanya sekali”, bujuk Umar. “Ini semua untuk umat.
Umat yang dicintai Rosululloh, umat yang dipanggil Rosululloh saat sakaratul mautnya.
Begitu besar cintamu kepada Rosululloh, maka tidakkah engkau cinta pada umat yang
dicintai Rosululloh?”

Bilal tersentuh. Ia menyetujui untuk kembali mengumandangkan adzan. Hanya sekali, saat
waktu Subuh..Hari saat Bilal akan mengumandangkan adzan pun tiba. Berita tersebut sudah
tersiar ke seantero negeri. Ratusan hingga ribuan kaum muslimin memadati masjid demi
mendengar kembali suara bening yang legendaris itu.

Allahu Akbar, Allahu Akbar

Asyhadu anla ilaha illallah, Asyhadu anla ilaha illallah

Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Sampai di sini Bilal berhasil menguatkan dirinya. Kumandang adzan kali itu beresonansi
dengan kerinduan Bilal akan Sang Rasul, menghasilkan senandung yang indah lebih indah
dari karya maestro komposer ternama masa modern mana pun jua. Kumandang adzan itu
begitu menyentuh hati, merasuk ke dalam jiwa, dan membetot urat kerinduan akan Sang
Rasul. Seluruh yang hadir dan mendengarnya menangis secara spontan.

Asyhadu anna Muhammadarrasululla h

Kini getaran resonansinya semakin kuat. Menghanyutkan Bilal dan para jamaah di kolam
rindu yang tak berujung. Tangis rindu semakin menjadi-jadi. Bumi Arab kala itu kembali
basah akan air mata.

Hayya ‘alash-shalah, hayya ‘alash-shalah

Tak ada yang tak mendengar seruan itu kecuali ia berangkat menuju masjid.

Hayya `alal-falah, hayya `alal-falah

Seruan akan kebangkitan dan harapan berkumandang. Optimisme dan harapan kaum
muslimin meningkat dan membuncah.
Allahu Akbar, Allahu Akbar

Allah-lah yang Maha Besar, Maha Perkasa dan Maha Berkehendak. Masihkah kau takut
kepada selain-Nya? Masihkah kau berani menenetang perintah-Nya?

La ilaha illallah

Tiada tuhan selain ALLAH.

Tahun 20 Hijriah. Bilal terbaring lemah di tempat tidurnya. Usianya saat itu 70 tahun. Sang
istri di sampingnya tak bisa menahan kesedihannya. Ia menangis, menangis dan menangis.
Sadar bahwa sang suami tercinta akan segera menemui Rabbnya.

“Jangan menangis,” katanya kepada istri. “Sebentar lagi aku akan menemui Rasulullah SAW
dan sahabat-sahabatku yang lain. Jika ALLAH mengizinkan, aku akan bertemu kembali
dengan mereka esok hari.” Esoknya ia benar-benar sudah dipanggil ke hadapan Rabbnya.
Pria yang suara langkah terompahnya terdengar sampai surga saat ia masih hidup, Pria yang
suara dan kumandang adzannya membuat para malaikat sujud dan membuat arasy
berguncang kini berada dalam kebahagiaan yang amat sangat. Ia bisa kembali bertemu
dengan sosok yang selama ini ia rindukan. Ia bisa kembali menemani Rasulullah, seperti
sebelumnya saat masih di dunia….

yaaaa Allah sampaikan iman dan rasa cinta bilal di dalam hati kami…

sampaikan..

sampaikan wahai Allah….

Anda mungkin juga menyukai