Anda di halaman 1dari 41

Globalisasi dan Perlawan

Oleh Chris Harman.

"Anti-capitalism: Theory and Practice", International Socialism No 88, London, 2000.


Disadur dan ditejermahkan oleh Julian dan Setiabudi.

Pada tahun 1999, mass media di seluruh dunia ramai-ramai membicarakan fenomena
baru: gerakan "anti-kapitalisme" internasional. Istilah ini muncul untuk pertama kalinya
di Inggeris di bulan Juni, saat lembaga-lembaga finansial di London kena aksi unjuk rasa.
Kemudian aksi besar-besaran melawan pertemuan WTO di Seattle di bulan November
juga dicap "anti-kapitalis". Arti kata "anti-kapitalisme" bukan sama dengan sosialis, tetapi
fenomena ini memang hebat. Sepuluh tahun setelah kaum penguasa kapitalis berjaya saat
rezim-rezim Eropa Timur ambruk, sebuah peristiwa yang didengungkan sebagai
kemenangan mutlak pasar bebas, mass media borjuis harus mengakui bahwa semakin
banyak manusia menolak sistem mereka.

Suasana anti-kapitalis menjadi cukup jelas dalam demonstrasi yang terjadi secara
berturut-turut di Washington, Melbourne, Praha, Millau dan Nice, tetapi termanifestasi
dalam bentuk lain pula: misalnya ketika sejuta warga Perancis mencoblos calon-calon
Trotskys dalam pemilihan untuk parlemen Eropa. Di Eropa Timur, hasil jajak-jajak
pendapat membuktikan bahwa kata "kapitalisme" memiliki asosisasi negatif bagi
mayoritas rakyat. Di Amerika Latin telah terjadi serangkaian pemberontakan melawan
agenda neoliberal. Demonstrasi-demonstrasi hanya merupakan puncak dari gunung es
ketidakpuasan massa rakyat tertindas di seluruh dunia.

Demonstrasi anti-WTO di Seattle tentu saja harus menjadi titik tolak bagi diskusi kita.
Banyak sekali kelompok dari seluruh dunia dan dari bermacam-macam sektor yang
bersatu dalam aksi tersebut. Seperti tulis Luis Hernandez Navarro, seorang wartawan dari
koran harian radikal La Jornada di Meksiko: "Kaum pecinta alam, petani dari Dunia
Pertama, anggota serikat buruh, feminis, punk, aktivis HAM, wakil masyarakat adat,
anak muda dan orang separo baya, warga Amerika Serikat, Kanada, Eropa, Amerika
Latin dan Asia" berkumpul di Seattle waktu itu. Kata dia, mereka semua bersatu dalam
menolak slogan "Semua kekuatan untuk perusahaan-perusahaan transnasional!" yang
menjadi agenda WTO.

Aksi protes itu menonjolkan sisi spontan; banyak orang yang mendengar tentang demo
itu dan berangkat begitu saja. Namun dari sisi lain, banyak pendemo yang terlibat dalam
organisasi yang bekerja keras selama berbulan-bulan untuk setting demo itu, dengan
menjalin hubungan melalui internet, dan juga mempropagandakan isu-isu globalisasi dan
perlawanan. Sejumlah pemikir terkemuka sangat berjasa pula dalam mengupas isu-isu
ini, seperti Walden Bello, Susan George, Vandana Shiva, Noam Chomsky, Naomi Klein
dan Pierre Bourdieu.

Menolak agenda neo-lib


Doktrin-doktrin neo-liberal pertama diucapkan dalam ideologi konservatif yang dijuluki
"Thatcherism" di Inggeris dan "Reaganomics" di Amerika. Kemudian logika neo-lib
disambut oleh golongan sosial demokratik dalam program "The Third Way" yang juga
pro-kapitalis. Ide-ide neoliberal menjadi pondasi bagi kebijakan-kebijakan lembaga-
lembaga interasional seperti WTO, IMF dan Bank Dunia, dan program-program
"reformasi ekonomi" yang diajukan oleh para politikus dan ahli ekonomi.

Pilar utama ideologi neolib adalah, bahwa aparatus negara seharusnya tidak ikut berperan
dalam kegiatan-kegiatan pokok ekonomi nasional maupun internasional. Kita diajak
kembali ke gagasan ortodoks yang bercokol sebelum depresi tahun 1930-an, yang
dianjurkan oleh Adam Smith dan dipopularisasikan oleh Jean-Baptiste Say. Gagasan ini
dikenal sebagai "liberalisme ekonomi" waktu itu, jadi versi baru dikenal dengan nama
"neo-liberalisme". Para penyokongnya mau menurunkan pajak dari profit-profit kapitalis
dan gaji tinggi, menjual BUMN kepada pihak swasta, melemahkan regulasi-regulasi yang
mengurusi tindakan perusahaan-perusahaan, serta menghapuskan semua proteksi
ekonomi yang dilakukan melalui bea cukai.

Menurut argumentasi mereka, segala intervensi pemerintah di dunia ekonomi semenjak


tahun 1930-an hanya mengakibatkan industri-industri menjadi pemboros yang tidak
efisien. Ambruknya blok Soviet, serta kemandegan dan kesengsaraan Amerika Selatan
dan Afrika, menurut mereka telah membuktikan betapa celakanya konsekwensi intervensi
pemerintah. Kemiskinan di dunia ketiga hanya dapat diatasi dengan menerapkan
kebijakan pasar bebas yang tak kenal ampun, melalui kegiatan WTO, IMF dan Bank
Dunia.

Bila usaha-usaha ekonomi di"bebas"kan dari kontrol yang "semena-mena" itu, katanya
nasib umat manusia bisa diperbaiki secara menyeluruh. Modal dapat mengalir dengan
leluasa ke mana saja diperlukan sehingga barang-barang dan jasa-jasa akan dihasilkan di
tempat yang paling cocok. Modal yang sudah terakumulasi tidak akan lagi tertambat
dalam industri-industri "berkarat" yang tak berdayaguna, dan "monopoli tenaga kerja"
yang dikuasai oleh serikat-serikat buruh jahat tidak lagi bisa menghalangi kenaikan
produktivitas kerja secara "dinamis". Daerah-daerah dunia masing-masing dapat
mengkhususkan dalam bidang produksi di mana mereka lebih mampu. Boleh jadi melalui
proses-proses ini kaum kaya akan menjadi lebih kaya lagi, tetapi tidak apa-apa, karena
lewat tumbuhnya penghasilan ekonomi secara umum, kekayaan itu akan bercucur ke
bawah secara dikit berdikit (trickle down) untuk memperkaya rakyat jelata pula.
Demikian argumentasi mereka.

Pandangan "neoliberal" semacam ini biasanya berasosiasi dengan teori "globalisasi".


Menurut teori itu, restrukturalisasi dunia telah terjadi sehingga pengaliran modal bebas
tanpa intervensi oleh pemerintah-pemerintah sudah tercapai. Kita sedang menghayati
zaman kapitalisme multinasional (atau transnasional). Aparatus-aparatus negara adalah
lembaga-lembaga yang kadaluwarsa, yang tidak lagi sanggup menghalangi perusahaan-
perusahaan berpindah-pindah guna mencari keuntungan. Bila pemerintah-pemerintah
ngotot berusaha melakukan halangan yang demikian, ekonomi mereka cuma akan
menjadi ekonomi "terkepung" seperti Korea Utara atau Kombodja di bawah Pol Pot; dan
bagaimanapun juga mereka tidak bisa melakukan hal itu karena para pemilik modal
terlalu cerdik dan selalu akan mengelabui pemerintah-pemerintah tersebut. Sebuah
pemerintah yang mengasihani para warganya paling banter bisa menyediakan lingkungan
ekonomi yang paling menarik bagi para investor: pajak rendah, tenaga kerja "fleksibel",
serikat buruh lemah, regulasi minimal.

Beberapa orang neolib yang mengaku sosial-demokratik (contohnya Anthony Giddens,


yang menyiapkan teori-teori demi membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintahan Tony
Blair di Inggeris), mengakui bahwa di masa lampau, intervensi oleh negara terkadang
berperan positif. Namun menurut mereka, timbulnya sebuah ekonomi global telah
merubah situasi politik. Dewasa ini, kontrol-kontrol atas kehidupan ekonomi hanya
menghadirkan ketidakefisienan melulu, dan jika ekonomi tidak efisien, pasti kita kandas.
Sehingga "globalisasi" dan "neoliberalisme" merupakan dua konsep yang berkaitan erat.

Dalam versi teori globalisasi tertentu yang agak berpengaruh, kemampuan modal untuk
bercucuran ke sini-sana dengan leluasa sudah menjadi hal yang mutlak. Menurut
pandangan ini, kita menghayati era "produksi tanpa bobot" (weightless production).
Komputer, perangkat lunak dan internet sudah jauh lebih penting dibandingkan produk-
produk logam yang "kadaluwarsa", dan perusahaan-perusahaan bisa luput dengan mudah
dari genggaman negara-negara dengan memindahkan alat-alat produksi mereka secepat
kilat. Negeri-negeri maju sudah bersifat paska-industrial, dan kelas perkerja di barat tidak
lagi merupakan kekuatan yang berarti, karena industri manufaktur sedang berpindah ke
dunia ketiga. Tinggal semacam masyarakat "sepertiga": di satu sisi ada kelas menengah
(sepertiga dari penduduk) yang mempunyai cukup keterampilan (human capital) untuk
mendapatkan gaji tinggi -- sedangkan di sisi lain "proletariat bawah" paling-paling bisa
mencari pekerjaan sementara yang "fleksibel" dan tak terampil, dengan upah yang tidak
bisa naik menjadi terlalu tinggi karena tersaingi oleh barang-barang murahan dari dunia
ketiga.

Sementara itu, di dunia ketiga, massa rakyat tidak mempunyai pilihan lain kecuali
menawarkan diri sebagai tenaga kerja murahan untuk perusahaan-perusahaan
multinasional, dengan upah yang melarat. Pemerintah-pemerintah tidak dapat berbuat
apa-apa kecuali mengajak rakyat menyambut pasar bebas internasional. Industri pertanian
mesti dibentuk kembali guna menghasilkan barang-barang yang bisa dijual di pasaran
global. Pajak untuk membiayai dinas kesehatan, kesejahteraan serta pendidikan rakyat
harus diminimalkan. Kaum buruh harus membanting tulang untuk menyambung hidup.
Demikian skenario "globalisasi" ekstrim.

Namun para pengritik telah mengekspos banyak sekali kontradiksi dan kesalahan dalam
doktrin-doktrin ini. Mereka sudah membuktikan bahwa negara-negara dunia ketiga yang
menyambut pasar bebas biasanya tidak mengalami perbaikan nasib apapun. Selama dua
dasawarsa "globalisasi", kondisi kebanyakan penduduk Afrika dan Amerika Selatan telah
merosot. Penyerahan bidang tanah yang besar untuk pertanian monokultur sama sekali
tidak meningkatkan pendapatan kaum tani, karena barang-barang yang sama juga
dihasilkan di negara-negara lain sehingga harga-harga menurun terus. Pendapatan yang
diterima, dimakan pula oleh bunga kredit yang harus dibayar, sementara lingkungan alam
kaum tani sering rusak.

Mereka yang meninggalkan desa dan berpindah ke perkotaan mendapatkan pekerjaan


kasar dan mesti bekerja selama 10 sampai 12 bahkan 16 jam sehari dalam kondisi yang
merugikan kesehatan, serta hidup di daerah-daerah kumuh. Begitu laju bertumbuhan
ekonomi global berkurang, mereka lekas menganggur. Kaum pekerja di barat memang
mempunyai standar hidup yang lebih baik, tetapi tidak bisa dikatakan "beruntung" dari
sebuai sistem yang sedang memperpanjang jam-jam kerja mereka (hari kerja seorang
pekerja laki-laki di Amerika Serikat sekarang ini 8 persen lebih panjang dibandingkan
dengan 25 tahun yang lalu). Upah mereka menurun atau paling banter tersendat. Di saat
yang sama, para pengritik menunjukkan bagaimana tidak bersedianya para politisi dan
birokrat untuk mengatur kegiatan perusahaan-perusahaan, telah menghadirkan
pengrusakan lingkungan alam secara global yang dapat mengancam kehidupan umat
manusia.

WTO, IMF, Perusahaan Multinasional dan Konsekwensi Aksi Seattle

Para paus neoliberalisme mentuntut agar semua kegiatan ekonomi oleh negara
dihentikan, semua halangan bagi pengaliran modal dan barang-barang dihapuskan, dan
semua hambatan untuk penggunaan hak-hak kepemilikan swasta dihilangkan. World
Trade Organisation (Organisasi Perdagangan Sedunia -WTO) menerapkan kebijakan-
kebijakan yang senada. Negara-negara yang tidak membuka sektor penyediaan jasa
seperti telekomunikasi kepada investasi serta persaingan dari luar, bisa kena sanksi.
Produk-produk dari luar negeri yang mengancam kesehatan orang atau lingkungan alam
tidak boleh dilarang. Obat-obatan atau software harus dihasilkan dengan harga mahal
supaya perusahaan-perusahaan multinasional dapat beruntung karena "hak cipta" mereka
(walau sebenarnya yang menciptakan innovasi itu adalah kaum pekerja, bukan kaum
majikan).

International Monetary Fund (Dana Internasional Moneter - IMF) bertindak lebih agresif
lagi melalui Structural Adjustment Programs (restrukturalisasi) yang mendorong negara-
negara untuk menghapuskan subsidi pada bahan-bahan pokok dan untuk menswastanisasi
ekonomi.

Selain memaksa, para neolib juga rajin berargumentasi. Bermacam-macam konferensi,


pertemuan puncak dan lembaga penelitian ramai-ramai merancang rencana untuk
membentuk kembali kebijakan negara-negara seluruh dunia. Contohnya European Round
Table (Meja Bundar Eropa) para industriawan, yang mendorong IMF, WTO dll untuk
mendukung "reformasi" di bidang pendidikan (seperti biaya lebih tinggi bagi
mahasiswa); World Water Council (Dewan Air Sedunia) yang mendesak agar penyediaan
air diswastanisasi; atau Transatlantic Business Dialogue (Dialog Bisnis Trans-Atlantik --
semacam tim kerja para kapitalis terbesar), yang bekerjasama dengan wakil-wakil
Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk merencanakan agenda-agenda WTO. Pertemuan
semacam ini amat berpengaruh pada opini publik. Kolom-kolom surat kabar, berita-berita
mass media, komentar-komentar di TV, laporan dari lembaga-lembaga riset dan
departemen-departmen universitas semua ikut serta dalam proses propaganda tersebut.
Selama bertahun-tahun proses itu behasil, sampai menimbulkan kesan, ideologi
neoliberal tak dapat dikalahkan. Itu sebabnya kaum neolib begitu terperangah oleh
demonstrasi di Seattle.

Kesuksesan di Seattle itu sebagian disebabkan oleh kontra-propaganda para aktivis anti-
neoliberal. Melalui buku, seminar, kolom yang kadang-kadang berhasil diselipkan di
dalam koran tertentu, sejumlah program televisi dan makalah akademis, mereka
menandingi dan berusaha untuk mengekspos kesalahan-kesalahan argumentasi neolib.
Kami kaum Marxis ikut partisipasi dalam upaya kontra-propaganda itu. Pada awal
dasawarsa 1990-an kita masih agak terisolasi, berusaha berlayar melawan angin. Namun
menjelang akhir dasawarsa tersebut, audiens kita bertumbuh secara hebat. Audiens yang
bersedia menerima argumentasi kaum Marxis mungkin hanya bertumbuh berlipat 2, 3
atau 4; tapi audiens untuk para pemikir anti-neoliberal non-Marxis betumbuh lebih pesat.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Pengalaman tahun 1990-an sama sekali menyalahkan
prediksi-prediksi neolib. "The New World Order" (Orde Baru Sedunia), yang digembar-
gemborkan oleh Amerika Serikat seusai Perang Dingin sebagai dunia perdamaian, justeru
melahirkan perang demi perang: di Teluk, Somalia, Cecnia, Bosnia, Serbia dll.
"Keajaiban ekonomi" yang dijanjikan di bekas blok Soviet melalui diterapkannya pasar
bebas terbukti cuma merupakan retorika kosong: padahal perekonomian Soviet ambruk
secara hampir total. Kekuatan ekonomi kapitalis terbesar kedua, Jepang, terjerumus ke
dalam sebuah krisis kemandegan ekonomi yang tiada hentinya, sedangkan di Eropa Barat
angka pengangguran berfluktuasi sekitar 10 persen. Warga-warga Afrika mengalami
kelaparan serta perang saudara secara bergantian -- karena kelaparan menimbulkan
konflik yang hebat, sedangkan peperangan memperparah masalah pangan. Hanya di Asia
terjadi suatu kemakmuran ekonomi tertentu, namun kesuksesan ini ambruk juga menjadi
krisis moneter, sampai para ahli ekonomi borjuis dan lembaga ekonomi nyaris kehilangan
akal.

Selain itu efek rumah kaca, sebuah ancaman terhadap lingkungan alam dan umat manusia
yang mula-mula hanya diakui oleh sebuah minoritas ilmuwan, akhirnya menjadi topik
hangat di seluruh dunia -- tetapi para penguasa kapitalis belum juga mau mengambil
langkah serius untuk mengatasinya, karena langkah-langkah yang dibutuhkan akan
mengurangi profit-profit mereka.

Yang mahapenting di sini adalah: hal-hal ini tidak lagi dilihat sebagai fenonema yang
terisolasi tanpa kaitan satu sama lain. Masalah pangan, lingkungan alam, penindasan dan
eksploitasi dimengerti sebagai sisi-sisi dari satu sistem global. Kampanye anti-imperialis,
pro-lingkungan atau feminis, gerakan buruh, tani dan mahasiswa -- yang tercabik-cabik
selama bertahun-tahun sebelumnya -- mulai bersatu. Kecenderungan ini telah memuncak
dalam aksi unjuk rasa di Seattle.

Perdebatan (i): Apakah WTO dapat direformasi, atau mesti dihapuskan?


Barang tentu, sebuah gerakan yang mempersatukan banyak sektor, kampanye serta grup
akan menghadapi perdebatan yang intensif, mengenai stategi, taktik dan orientasi teoritis.
Masalah pertama yang menjadi hangat di antara para aktivis di Seattle adalah: apakah
WTO bisa dibentuk kembali, atau harus dibubarkan saja?

Pandangan mayoritas dalam serikat-serikat buruh Amerika (AFL-CIO) mengajukan


kepada WTO sebuah "klausul sosial" yang mesti dimuat dalam semua persetujuan
perdagangan untuk menentukan standar-standar perburuhan minimal: melarang
penggunaan tenaga kerja anak, melarang diskriminasi, dan menjamin hak bersikat bagi
kaum buruh. Dengan demikian, WTO diharapkan akan mengenakan sanksi tidak hanya
kepada badan-badan yang menhalangi pasar bebas, tetapi juga kepada pihak yang
menindas kelas buruh. Steven Shrybman, seorang jurubicara organisasi-organisasi
pelindung lingkungan alam, menganjurkan agar WTO ditransformasikan sampai badan
itu akan "mengkhawatirkan masalah perubahan iklim planet kita dan bukan hanya profit
perusahaan-perusahaan obat-obatan transnasional." Bahkan sering diusulkan bahwa Bank
Dunia dan IMF bisa direformasi melalui suatu "visi alternatif", yang mentuntut agar
lembaga serta perusahaan internasional menjadi "lebih terbuka dan bertanggung-jawab".

Di sisi lain, Walden Bello menegaskan bahwa "upaya pembentukan kembali WTO adalah
salah". Dia belum mengajukan tuntutan mutlak agar WTO dibubarkan, tetapi memang
menyerukan agar sebuah "kombinasi langkah aktif dan pasif diterapkan untuk
mengurangi kekuatan IMF secara radikal, sehingga hanya menjadi satu lembaga antara
banyak lembaga lain yang akan saling periksa." Tuntutan agar WTO dibubarkan semakin
dapat dukungan karena WTO itu tidak menggubris kekhawatiran-kekhawatiran para
demonstran di Seattle.

Perdebatan yang mirip juga terjadi disekitar demonstrasi besar-besaran di kota Millau,
Perancis selatan. Para pembicara yang ingin "membongkar" lembaga seperti WTO dicap
"utopis" oleh pihak moderat, dan bahkan dituduh bersikap "sealiran" dengan para
pendukung pasar bebas (yang menolak semua pengaturan ekonomi). Perdebatan
mengenai reformasi atau penghapusan lembaga-lembaga ini berkaitan dengan satu
perdebatan lain: mengenai alternatif mana yang harus diperjuangkan.

Perdebatan (ii): Klausul sosial, buruh anak, hak berserikat

Serikat-serikat buruh di AS mengajukan "klausul-klausul sosial" yang seharusnya dimuat


dalam semua persetujuan perdagangan internasional, guna melarang perusahaan-
perusahaan multinasional memperlakukan buruh di dunia ketiga seperti budak belian,
sekaligus menghindari mereka memindahkan pabrik-pabrik keluar negeri hanya untuk
mengurangi upah dan kondisi kaum buruh. Perubahan semacam ini diharapkan dapat
membantu negara-negara yang mau lolos dari "the race to the bottom" (perlombaan ke
bawah). Ada yang berniat menjalankan klausul-klausul ini melalui intervensi pemerintah;
ada juga yang mengandalkan kampanye-kampanye untuk mengambil hati para konsumen
dan aksi-aksi boikot untuk memaksa perusahaan seperti Nike untuk berubah sikap.
Namun pendekatan ini juga dikritisi oleh berbagai aktivis terkemuka karena dua hal.
Yang pertama, pendekatan ini kurang memperhatikan kemampuan perusahaan-
perusahaan multinasional untuk mengelak peraturan-peraturan yang dilakukan oleh
pemerintah serta menghindari tekanan dari para konsumen. Menurut David Bacon,
"pemerintahan Clinton di AS, yang mula-mula ogah mendiskusikan perlindungan
manapun bagi kaum buruh", sekarang telah melihat kenyataan tertentu: kritik tentang
kasus-kasus yang paling parah di pabrik-pabrik di luar negeri "bisa menjadi sebuah taktik
untuk menangkis tekanan para pengritik di dalam negeri". Namun Gedung Putih tidak
berkepentingan untuk menghadapi sebab-sebab fundamental dari kemiskinan, atau
merevisi peranan yang dimainkan oleh kebijakan AS sendiri yang justeru melanggengkan
kemiskinan tersebut.

Minat yang tiba-tiba ditonjolkan oleh Clinton pada hal ini malah menjadi cara untuk
memfasilitasi diterapkannya kebijakan itu. Contohnya peraturan-peraturan yang
diusulkan oleh Departemen Perburuhan untuk melarang kerja paksa, atau melarang kerja
lembur tanpa upah melebihi 60 jam, atau dipekerjakannya anak-anak di bawah umur 14
tahun di tempat-tempat kerja melarat … Perusahaan-perusahaan yang melanggar
peraturan itu dilukiskan sebagai iblis; yang tidak melanggar peraturan dikira OK saja.
Namun usulan-usulan untuk standar dan peraturan ini tidak menyentuh satu pertanyaan
pokok: darimana asalnya kemiskinan yang memaksa kaum buruh memasuki gerbang
pabrik? Kebijakan-kebijakan mana yang diterapkan oleh pemerintah AS yang justeru
memperparah kemiskinan tersebut?"

Naomi Klein belum mengkritisi klausul-klausul sosial dengan begitu blak-blakan.


Menurut dia, kalau kita memfokuskan perhatian masyarakat pada tingkah laku sejumlah
perusahaan seperti Nike atau Starbucks, kita dapat merangsang orang "meletakkan
seluruah sistem di bawah mikroskop". Tetapi dia juga memperingatkan: "jika hanya satu
merek saja yang menarik minat kita, yang lain jelas bisa luput dari perhatian … Chevron
telah mendapatkan kontrak yang luput dari genggaman Shell, sedangkan Adidas berhasil
muncul kembali sebagai pemain penting di pasaran, dengan meniru strategi Nike dalam
hal perburuhan dan pemasaran tetapi menghindari kontroversi publik." Dia menulis lebih
lanjut:

"Bahkan kalau peraturan-peraturan tidak berasil menghapuskan penindasan, mereka toh


berhasil (dengan cukup efektif) menggelapkan fakta bahwa perusahaan-perusahaan
raksasa dan para warga biasa sebenarnya tidak mempunyai tujuan yang sama dalam
masalah bagaimana hal-hal perburuhan dan lingkungan alam harus diatur … Di balik
omongan tentang etika dan kemitraan, kedua belah pihak masih terpiting dalam sebuah
perjuangan kelas yang klasik."

Perdebatan tidak hanya menyangkut keefektifan klausul-klausul sosial. Ada juga sebuah
diskusi lebih luas, apakah klausul semacam ini sama sekali dapat dibenarkan. Sejumlah
aktivis berpendapat bahwa dampak klausul itu hanya membuat negeri-negeri miskin tetap
menjadi miskin. Menurut David Bacon:
"Klausul sosial yang diajukan oleh AFL-CIO mencerminkan kebutuhan terlambaga dari
serikat-serikat di sebuah negeri industrial yang makmur. Serikat-serikat dan gerakan
buruh di negeri-negeri lain mempunyai kebutuhan yang berbeda, terutama mereka
memerlukan perkembangan ekonomi. Misalnya kaum tani di Filipina atau Meksiko
hampir semua sepakat, lebih baik anak-anak mereka bersekolah daripada bekerja. Namun
dengan melarang dipekerjakannya buruh anak, kita belum juga memberikan kesempatan
bersekolah; kita hanya memotong penghasilan yang diperlukan oleh keluarga mereka
untuk bertahan hidup."

Bacon menunjuk ke imperialisme global sebagai biang keladi sebenarnya dari


kemiskinan. Tetapi soalnya, beberapa butir argumentasinya agak dekat dengan argumen-
argumen yang diajukan oleh Clare Short, Mennaker Inggeris dalam pemerintahan Tony
Blair, yang telah merangkul doktrin-doktrin neoliberal. Menurut argumentasi neoliberal,
setiap upaya mengatur kondisi kerja atau level upah hanya mengurangi jumlah lowongan
kerja sehingga kaum buruh akan merugi. Argumentasi Bacon juga menonjolkan satu
kelemahan tambahan; menurut dia, para aktivis di barat harus bekerjasama dengan
pemerintah-pemerintah dunia ketiga serta serikat-serikat resmi yang disokong pemerintah
tersebut, dan bukan dengan kaum buruh sendiri:

"Walau hak-hak buruh memang penting, ada sebuah perjuangan yang lebih besar
mengenai siapa yang akan menguasai perekonomian negeri-negeri yang sedang
berkembang … Serikat-serikat di Amerika harus menegosiasikan sebuah agenda bersama
dengan serikat-serikat di negeri-negeri itu, dengan mengakui dan menghormati perbedaan
orientasi dan pendapat. Yang mengatakan, misalnya, bahwa Konfederasi Serikat Buruh
se-Cina tidak memiliki legitimasi sebagai organisasi buruh karena konfederasi itu tidak
setuju dengan agenda perdagangan AFL-CIO, hanya bersikap sovinis saja."

Di satu sisi kita melihat usulan untuk klausul yang tidak efektif, dan malah bisa
digunakan oleh para politisi barat untuk menutup-nutupi dosa-dosa perusahaan besar dan
agenda-agenda imperialis (contohnya: para politisi sayap kanan suka menuntut agar
sanksi perdagangan dikenakan pada Cina). Namun di sisi lain kita melihat argumentasi
yang terlalu mirip dengan argumen-argumen yang digunakan 150 tahun lalu oleh
penganut pasar bebas Senior di Inggeris, yang tidak setuju kerja anak-anak dibatasi:
argumentasi bahwa segala upaya mengatur dunia ekonomi hanya memperlambat
pertumbuhan ekonomi sehingga kemiskinan menjadi lebih umum. Pendekatan pertama
membiarkan pemerintah-pemerintah barat terus mendominasi WTO, sambil
menggunakan klausul-klausul sosial sebagai alat demi tujuan-tujuan imperialis mereka.
Pendekatan kedua terlalu sering cenderung menbenarkan eksploitasi kaum buruh di dunia
ketiga sebagai satu-satunya jalan pembangunan ekonomi.

Kedua belah pihak mengemukakan kritik satu sama lain yang agak masuk akal. Sehingga
kita harus menarik kesimpulan: kedua-duanya masih gagal menemukan akar dari
masalah-masalah yang mereka tekuni.

Perdebatan (iii): Hutang


Perselisihan yang mirip juga muncul dalam kampanye-kampanye seperti Jubilee 2000
yang berfokus pada hutang yang ditanggung oleh negara-negara dunia ketiga. Kampanye
ini sangat berjasa dalam menyoroti permerasan oleh lembaga-lembaga finansial
imperialis. Namun kesuksesan mereka juga telah mengangkat sejumlah persoalan.
Apakah kita harus selalu mengajukan tuntutan-tuntutan moderat saja, dengan harapan
mempengaruhi badan-badan pemerintahan, atau mesti menuntut penghapusan semua
hutang itu? Apakah kita harus tetap mengangkat isu-isu hutang saja, atau mesti
meluaskan agenda sampai mencakup isu-isu lebih luas tentang sistem kapitalis? Susan
George, seorang peneliti yang telah menekuni masalah hutang selama 30 tahun lebih,
menjelaskan sebagai berikut:

Banyak orang yang baik hati menuntut penghapusan semua hutang sebagai satu-satunya
solusi yang layak: saya sendiri khawatir kalau solusi ini bisa menjadi sebuah perangkap
bagi kita … Jika mereka yang berhutang bisa bersatu untuk mengemplang sebagian dari
hutang-hutangnya, atau semua hutang, syukurlah. Tapi rasanya itu tidak akan terjadi.
Nah, bila aksi bersama itu tidak terjadi, bagaimana? Harus kita menyelenggarakan
kampanye-kampanye mentuntut agar pemerintah-pemerintah di barat membatalkan
semua hutang secara sepihak? … Tetapi penghapusan itu sebenanarnya justeru akan
menguntungkan sistem yang sedang memperluas kelaparan dan kemiskinan di seluruh
dunia ketiga. Kenapa? Yang pertama, pemerintah-pemerintah dunia ketiga yang paling
memboroskan dana akan beruntung. Yang kedua, lewat pemutihan semacam itu, para
negeri yang berhutung akan kena aib, sampai di masa mendatang mereka akan
mengalami kesulitan mendapatkan dana baru dari sumber manapun.

Selain itu, tidak sedikit negeri yang sudah tidak mampu membayar hutang, sehingga
sekarang mereka hanya bisa melunasi separuhnya. Jika 50% dari hutang mereka
diputihkan, itu hanya berarti mereka harus membayar 100% dari 50% yang tersisa. Tidak
ada gunanya untuk negeri yang berhutang, tetapi lembaga-lembaga finansial di barat bisa
pura-pura bermurah-hati.

Susan George tidak mengungkit kekhawatiran ini untuk membenarkan sepak-terjang


lembaga-lembaga finansial. Sebaliknya, dia ingin meluaskan cakrawala para aktivis
gerakan dan menyoroti masalah hutang dari semua segi, termasuk pola pengaliran sumber
daya secara keseluruhan, dan tingkah-laku para elit dunia ketiga (bukan hanya di barat).
Dia membuktikan bahwa untuk mencari solusi yang signifikan, tidaklah cukup kita hanya
memusatkan perhatian pada masalah hutang.

Pengalaman kampanye Jubilee 2000 membenarkan argumentasi Susan George.


Kesuksesan kampanye tersebut dalam mengekspos dampak hutang justeru merangsang
diskusi baru di kalangan aktivis. Beberapa tokoh terkemuka dalam kampanye itu
beranggapan, mereka harus bersikap moderat guna mengambil hati pemerintah-
pemerintah, dan bahkan mengharap dukungan dari orang-orang yang sudah terbukti
reaksioner seperti ahli ekonomi Jeffrey Sachs -- walau si Jeffrey Sachs itu masih
menyetujui program neo-liberal yang dijalankan oleh presiden Ekuador, Jamil Mahaud,
yang ditumbangkan jari jabatannya oleh pemberontakan masyarakat adat pada bulan
Januari 2000. Mereka mengucapkan selamat kepada pertemuan puncak para pemimpin
G8 di tahun 1998, karena para pemimpin itu berkenan mengakui adanya persoalan
hutang. Namun setelah menyaksikan bahwa pemerintah-pemerintah tersebut belum juga
mengambil langkah yang kongkrit untuk menyelesaikan persoalan itu, para aktivis mulai
merevisi taktik-taktik moderat mereka. Salah satu aktivis menyimpulkan: "Saya menyesal
bahwa kami mengucapkan selamat kepada negara-negara G8 … Namun [yang penting]
kampanye kita telah membuat masyarat lebih melek mengenai sebab-musabab
kemiskinan."

Perdebatan (iv) Kemiskinan, pembangungan dan pengrusakan lingkungan alam.

Di samping perselisihan tentang masalah perdagangan dan hutang ada perdebatan lain,
tentang pembangunan macam apa yang mesti dijalankan di negeri-negeri miskin. Banyak
aktivis di Seattle mempunyai pendapat yang cukup tegas dalam hal ini: menurut mereka,
negeri-negeri dunia ketiga seharusnya diizinkan mengadakan industrialisi agar dapat
mengejar negeri-negeri barat. William Greider menulis tentang perlunya "pembangunan
industri di negeri-negeri di mana upah-upah masih rendah", sedangkan Juliette Beck dan
Kevin Danaher ingin "melindungi industri-industri domestik yang muda sampai mereka
mampu bersaing di arena internasional". Danaher bahkan melihat Korea Selatan sebagai
ekonomi teladan karena "selama dasawarsa 1960-an sampai dengan 1980-an, meski
terjadi bertahun-tahun represi, namun secara ekonomi negeri itu cukup sukses." Sikap
Waldon Bello tidak jauh berbeda: dia menganut sebuah strategi industrialisasi untuk
dunia ketiga berdasarkan proteksi, yang sudah lama berasosiasi dengan UNCTAD
(sebuah badan PBB) dan pemimpinnya Raul Prebisch, walau Waldon Bello memang
mengakui bahwa "model integrasi ke dalam ekonomi global [versi UNCTAD] perlu
dikaji kembali".

Namun sejumlah aktivis lain telah mempertanyakan pendekatan industrialisasi ini.


Mereka mencari suatu "jalan alternatif selain model yang mendominasi selama ini, yang
berorientasi ke pertumbuhan cepat berdasarkan sektor ekspor." Aliran alternatif ini sering
didukung oleh para aktivis yang membela hak-hak masyarakat adat, atau yang berfokus
pada masalah lingkungan alam seperti Vandana Shiva. Mereka menunjukkan ke akibat-
akibat buruk yang disebabkan oleh proses industrialiasi di dunia ketiga (dan di barat dan
bekas negeri "Komunis" pula): pemiskinan, pengrusakan lingkungan alam, pengganguan
gaya hidup tradisional, dan lain sebagainya. Seperti dicatat oleh Susan George dalam
kritiknya terhadap model-model ekonomi, "paradigma dominan" berarti "banyak manusia
yang kehilangan tanah dan harus meninggalkan desa mereka, menyaksikan anak-anak
mereka mengidap penyakit parah atau kelaparan; bekerja 14 jam per hari dengan gaji
yang merana atau tidak bekerja sama sekali; meringkuk atau disiksa atau dibunuh, jika
berani membuka mulut atau berusaha memperjuangkan nasib yang lebih baik."

Namun mereka yang menolak paradigma lama jarang berhasil menyajikan paradigma
alternatif yang memadai. Ahli genetika Mae-Wan Ho misalnya, menggabungkan sebuah
kritik yang brilian terhadap tehnik-tehnik modifikasi genetik dengan usulan untuk kita
kembali kepada "cara-cara pertanian tradisional". Vandana Shiva melukiskan
konsekwensi buruk pendekatan agrikultur yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan
multinasional raksasa di India, tetapi kurang memperhatikan bahwa pertanian tradisional
berarti penindasan yang mengerikan bagi jutaan petani kecil dan buruh tani, terutama
kaum perempuan. Selain itu, cara-cara tradisional tidak mampu menghasilkan cukup
bahan pangan untuk melayani seluruh populasi India yang bertumbuh dengan begitu
cepat selama beberapa dasawarsa ini.

Membalas sebuah pertanyaan tentang hal tersebut seusai makalah Reith Lecture-nya,
Vandana Shiva hanya mengeluh tentang "pertumbuhan populasi yang tidak bisa
diteruskan begitu saja", dan menyalahkan pembangunan:

Jika anda menyimak datanya, jumlah pendukuk India tetap stabil sampai tahun 1800.
Penjahan Inggeris dan penggusuran orang dari tanah mereka membuat populasi kita
muliai bertumbuh. Sedangkan laju pertumbuhan populasi di Inggeris sangat mempercepat
setelah tanah yang dulu dimiliki secara berkelompok menjadi tanah swasta …
pertumbuhan populasi adalah hasil dari pembangunan yang tak henti-hentinya.

Tapi sebenarnya, kemiskinan menjadi cukup umum di pedesaan India sebelum


kedatangan para penjajah Inggeris. Ahli sejarah ekonomi Irfan Habib telah membuktikan
keadaan miskin para penduduk rural di zaman Mogul. Dan di Inggeris ada sejumlah
periode jauh sebelum munculnya kepemilikan swasta di pedesaan di mana rakyat
menderita kelaparan, misalnya pada tahun-tahun pertama abad ke-14. Yang merasa
kangen pada zaman-zaman dulu sebetulnya sedang merindukan cara-cara hidup yang
agak merana, dan tatanan-tatanan sosial yang (walau bukan kapitalis) juga merupakan
masyarakat berkelas, penuh dengan jerih payah, kelaparan, pendindasan dan
penghisapan.

Lebih penting lagi, pertanian tradisional tidak sanggup untuk memberi makanan kepada
seluruh populasi dunia yang diperkirakan jumlahnya akan melebihi 12 milyar orang
dalam waktu 30 tahun. Metode-metode "Revolusi Hijau" patut dikecam secara tajam
karena penggunaan intensif pestisida, merambatnya hubungan kapitalis di pedesaan, dan
masalah lingkungan alam. Namun demikian, metode-metode itu memang berhasil
meningkatkan hasil panen sampai India bisa menjamin kebutuhan fisik minimal bagi
kebanyakan rakyat tanpa banyak impor. Bahkan Vandana Shiva sendiri harus mengakui
"keberhasilan terbatas Revolusi Hijau", walau hanya sepintas lalu. Betul, rakyat tidak
banyak beruntung: namun hal ini disebabkan karena "Revolusi Hijau" dijalankan dalam
konteks sosial yang timpang. Bukan metode-metode ilmiah yang berdosa, melainkan
struktur-struktur kapitalis. Kita memang harus menggunakan metode-metode modern,
tetapi dalam sebuah konteks sosial yang progresif.

Para pengamat yang mengecam model-model pembangungan kapitalis sering


berpendapat, kita harus beralih ke produksi dan penggunaan lokal. Tetapi kalau kita
hanya menggantungkan pada sumber-sumber daya setempat saja, akibat-akibatnya sering
buruk juga. Model produksi lokal biasanya disertai paceklik lokal pula, setiap kali kita
dilanda oleh cuaca yang tidak bersahabat atau hama-hama yang merusak panen. Tehnik-
tehnik modern yang memungkinan pengiriman bahan pangan dari satu daerah atau negeri
ke daerah atau negeri yang lain telah menyebabkan paceklik tidak lagi terjadi di banyak
tempat. Jika masih terjadi di tempat-tempat lain, itu bukan karena orang di satu negeri
seharusnya tidak membeli bahan makanan dari luar negeri. Paceklik itu terjadi karena
distribusi global dijalankan demi kepentingan kaum pemilik modal bukan demi
kepentingan manusia.
Ada sejumlah negara yang sudah lama bergantung pada ekspor tertentu, contohnnya
Kuba yang bergantung pada ekspor gula. Seandainya kita semua kembali ke penggunaan
hasil panen lokal dan menolak produk ekspor itu, rakyat Kuba akan mati. Kita hidup
dalam sebuah sistem global yang bukan hasil proses "globalisasi" 2-3 dekade ini,
melainkan sudah berkembang sejak abad ke-16. Sifat-sifat buruk dari sistem yang ada
tidak bisa dihilangkan dengan mengisolir diri kita dari dunia luar, melainkan kita harus
mengambil alih sumber-sumber daya yang ada di seluruh dunia, agar bisa digunakan
untuk membebaskan umat manusia dari sistem kapitalis.

Para lawan model pembangunan modern terkadang mengajukan satu argumen lagi yang
sangat jelek. Menurut mereka, model ini harus ditolak bukan karena memaksa orang
melakukan pekerjaan keras yang tak ada henti-hentinya. Sebaliknya, mereka mengeluh
bahwa model ini "kurang padat kerja". Misalnya lembaga penelitian Environment
Resarch Foundation mencatat sebagai salah satu kelemahan sistem produksi yang sedang
diterapkan, bahwa "manusia kehilangan pekerjaan ketika mesin-mesin dipergunakan
yang mengganti pekerja-pekerja dan kerbau-kerbau", seolah-olah pekerjaan kasar
merupakan nasib yang baik, dan manusia tak urung menderita bila jatah pekerjaan kasar
tidak mencukupi bagi semua orang. Tentu saja para pekerja harus melawan PHK. Tetapi
dalam sebuah tatanan sosial yang progresif, kita memang akan dapat membangun mesin
yang membebaskan orang dari pekerjaan semacam itu, sambil menjamin penghasilan
yang lebih tinggi untuk si pekerja. Sekarang ini sistem sosial memang berlum bersifat
demikian, namun itu hanya membuktikan bahwa sistem sosial tersebut harus diganti.
Tidak berarti, pekerjaan kasar adalah lebih baik daripada penggunaan mesin. Seperti
gurau Brendan Behan: "Kalau pekerjaan keras begitu baik, kenapa sih kaum kaya tidak
merebut semua pekerjaan itu buat diri mereka sendiri?"

Perdebatan (v) Globalisasi dan kapitalisme

Di belakang semua perdebatan tersebut ada satu masalah yang lebih mendasar. Kita
sedang melawan apa: sebuah sistem ekonomi yang sudah lama mapan, atau hanya
sejumlah perubahan dalam lembaga-lembaga dan ideologi-ideologi yang terjadi selama
dasawarsa terakhir, yang dikenal dengan nama "globalisasi" dan "neo-lib"?

Kadang-kadang istilah-istilah ini hanya menjadi kata sandi, sehingga serangan-serangan


terhadap globalisasi dan neoliberalisme merupakan satu cara menyerang sistem
kapitalisme serta berbagai ideologi yang berkaitan. "Corporate greed" (kerakusan
perusahaan besar) menjadi sinonim bagi profit, sedangkan "globalisasi" menjadi sinonim
untuk cara-cara kapitalisme internasional menindas umat manusia. Wacana-wacana ini
sangat berguna.

Namun tidak sedikit pengamat dan aktivis yang menggambarkan fenomena globalisasi
dan neoliberalisme sebagai kekuatan independen tanpa merujuk ke sistem kapitalis.
Misalnya Ignacio Ramonet menulis dalam Le Monde Diplomatique bahwa kita tidak
ingin lagi "menerima globalisasi sebagai nasib yang tak terhindari … masyarakat
semakin menuntut hak-hak mereka dalam bentuk yang baru, hak-hak kolektif di hadapan
pengrusakan yang sudah disebabkan oleh globalisasi." Sedangkan Vandana Shiva
berargumen dalam makalah Reith Lecture-nya bahwa globalisasi dan "ekonomi global
baru" telah berdampak mengerikan pada manusia biasa serta menyebabkan "malapetaka"
di negeri seperti India, "terutama di bidang pangan dan pertanian". Pierre Bourdieu
melihat globalisasi dan ideologi neolib sebagai musuh utama. "Persoalan pokok",
tulisnya, "adalah neoliberalisme dan kemunduran aparatus negara. Di Perancis, filsafat
neoliberal telah tertanam di seluruh kegiatan dan kebijakan negara." Berbagai tokoh dari
organisasi ATTAC di Perancis sampai mengatakan bahwa gerakan mereka bukanlah anti-
kapitalis, dan hanya ingin mengendalikan cucuran modal jangka pendek yang menggangu
ekonomi-ekonomi nasional.

Buku The Lugano Report karya Susan George memang merujuk ke kapitalisme dalam
judul lengkapnya. Tetapi setelah aksi di Seattle dia menulis tentang massa yang
memprotes "konsekwensi globalisasi yang parah" seolah-olah ini adalah hal yang terpisah
dari kapitalisme dan jauh lebih serius. Beberapa bagian The Economic Horror karya
Viviane Forrester melukiskan soal-soal seperti pengangguran bukan sebagai hasil sistem
kapitalisme yang sudah ada sejak dulu kala, melainkan sebagai "efek sekunder"
globalisasi. Sepertinya efek sekunder ini dikira baru muncul dalam dasawarsa 1990-an.

Kita nyaris diajak menarik kesimpulan bahwa "neoliberalisme" dan "globalisasi"


merupakan noda-noda jelek di muka sebuah sistem yang bisa ditolerir jika noda-noda itu
dilenyapkan. Seperti tulisan Your Money or Your Life karya Eric Toussaint, yang
memperbedakan antara tahap kapitalis sekarang dan tahap sebelumnya: "Konsensus
sosial ‘Fordis’ di barat, konsensus tentang pembangunan di dunia ketiga dan penguasaan
birokratik di blok timur tidak menghapuskan pengunaan kekerasan oleh pihak yang
berkuasa -- jauh dari itu -- tetapi semua metode ini telah membuka jalan untuk kemajuan
sosial tertentu."

Redaksi Le Monde Diplomatique menonjolkan mentalitas yang mirip dengan


mengusulkan agar kita kembali ke model ekonomi-ekonomi nasional kapitalis
berdasarkan proteksi. Sama halnya dengan Colin Hines yang beorientasi ke "produksi
lokal" oleh pengusaha dan perusahaan setempat di setiap negara. Seakan-akan sebuah
sistem kapitalis yang sebelumnya dikira kurang lebih memadai, baru saja sedang
dirongrong oleh kaum neolib yang melayani kepentingan perusahaan-perusahaan
multinasional. Tetapi upaya-upaya pihak reaksioner itu tidak merupakan penjelasan yang
memuaskan tentang fenomena-fenomena mengerikan yang sedang diekspos oleh gerakan
anti-kapitalis. Fenomena-fenomena ini sudah menyolok mata sejak awal sistem kapitalis.
Bila manusia direduksi menjadi barang jualan, buruh-buruh anak dieksploitir, jam kerja
menjadi kelewat panjang, malapeteka di desa tatkala kaum tani tergusur disusul oleh
tragedi di pabrik ketika kaum buruh di PHK, lingkungan alam dibahayakan -- soal-soal
ini bukan sesuatu yang baru muncul 10 atau 20 tahun yang lalu. Hal-hal itu digambarkan
100-150 bahkan 200 tahun yang lalu, dalam novel Hard Times karya Charles Dickens,
Germinal karya Emile Zola atau The Jungle karya Upton Sinclair; juga dalam Condition
of the Working Class in England karya Frederick Engels atau beberapa bab Das Kapital.
Fenomena-fenomena ini menyifati sistem kapitalis sejak awal. Sehingga tulisan anti-
globalisasi yang paling bagus dewasa ini sebenarnya bersifat cukup mirip dengan tulisan
zaman dulu tersebut.
Sejumlah ilusi

Sayangnya kaum pengritik terkemuka yang mengecam globalisasi kebanyakan masih


menerima sebagian dari argumentasi neoliberal tentang jalannya proses globalisasi itu.

Jauh-jauh hari Karl Marx menjelaskan bagaimana sistem kapitalis menyembunyikan inti
proses-proses sosial. Para pedagang yang berjual-beli di pasaran hanya melihat gerak-
gerik komoditi dan uang di permukaan pasar itu dan tidak memaklumi kegiatan-kegiatan
yang melatarbelakanginya. Para pemodal yang mendapat penghasilan dari saham atau
obligasi, atau manipulasi pasar modal, cenderung percaya bahwa uang dan surat-surat
berharga mampu bertumbuh secara ajaib tanpa adanya hubungan dengan pekerjaan
manusia di pabrik, sawah, tambang atau kantor. Para kapitalis yang hidup dari pekerjaan
kaum buruh, percaya bahwa merekalah yang menyediakan pekerjaan buat kaum buruh
yang seyogyanya mengucapkan terima kasih. Pengangguran dikira disebabkan oleh tidak
adanya cukup tugas yang perlu diselesaikan, walau sebenarnya tunakarya itu disebabkan
oleh sistem kompetisi buta antara kaum majikan.

Gambaran dunia yang terbalik ini disebut oleh Marx dengan istilah "fetishism of
comodities". Artinya Marx membandingkan masyarakat kapitalis dengan sebuah kiasan
dari dunia agama primitif, di mana manusia membuat berhala-berhala, kemudian
menyembah berhala-berhala itu. Berhala yang merupakan barang penciptaan manusia
sepertinya menjadi indepen lantas mendominasi manusia tersebut. Yang dilihat oleh
manusia bukan lagi kenyataan melainkan sebuah dunia terbalik. Seperti juga dunia
ekonomi kapitalis, di mana para ahli ekonomi borjuis melihat fenomena-fenomena dari
sudut pandangan kaum pemilik modal, terutama di sektor finansial di mana pertukaran
kertas dikira dapat menciptakan kekayaan. Kegiatan-kegiatan praktis di bidang produksi
kurang diperhatikan.

Mentalitas ini betul-betul kasat mata ketika para pengamat borjuis mengambarkan
perubahan-perubahan struktur ekonomi dunia selama 25 tahun ini. Transaksi
internasional berperan semakin besar, tetapi terutama transaksi finansial. Organisasi
materiil dari proses produksi belum begitu ditransformasikan.

Para pemodal mengirim trilyaran dolar mengelingi jagat setiap hari, namun perusahaan-
perusahaan multinasional tetap memusatkan sebagian besar dari produksi mereka di satu
atau paling banter dua negeri. Para pimpinan perusahaan itu hampir selalu menonjolkan
sebuah "bias nasional". Mereka sering digambarkan bersikap acuh-tak-acuh terhadap
kelakuan negara, tetapi gambaran ini salah. Tiap perusahaan multinasional mengandalkan
salah satu negara nasional untuk membela kepentingannya di kancah internasional, dalam
negosiasi ekonomi dan juga dalam mengatur suku bunga dan nilai tukar mata uang.
Dalam situasi gawat, mereka tak jarang mendorong negara untuk menasionalisasi
perusahaan-perusahaan yang bangkrut jika merasa terancam.

Perusahaan multinasional sama selaki tidak "tanpa bobot". Mereka tidak bisa
memindahkan pabrik secara besar-besaran begitu saja dari satu negara ke negara yang
lain. Mobil, truk, baja, lemari es, mesin cuci, obat-obatan bahkan komputer harus
dimanufaktur dalam pabrik yang mahal, yang tidak bisa ditinggalkan dengan leluasa. Di
industri modern, pemindahan pabrik biasanya memerlukan waktu bertahun-tahun.
Misalnya Ford berniat memindahkan produksi mobil dari Inggeris ke Jerman, dan proses
itu diperkirakan akan makan waktu dua tahun. Pemindahan-pemindahan seperti ini
biasanya bukan ke dunia ketiga (seperti sering dibayangkan) melainkan dari satu negeri
maju ke negeri maju lain. Pada tahun-tahun awal dasawarsa 1990-an, tiga perempat dari
investasi terkonsentrasi di negeri-negeri maju.

Besar-kecilnya negara-negara Amerika Utara dan Amerika Selatan dapat digariskan


sebagai berikut. Amerika Serikat memiliki 76% dari ekonomi belahan bumi barat itu.
Brazil menjadi negara terbesar di Amerika Latin dengan ekonomi sebesar 8 % (lebih
kecil dari California), Kanada meraih 6 % (sama dengan New York), Meksiko 4%,
Argentina 3 %, dsb. Kemiskinan menjadi umum di banyak negeri Asia, Afrika dan
Amerika Latin, bukan hanya karena para kapitalis membayar upah yang rendah, tetapi
juga karena mereka tidak melakukan banyak investasi di negeri-negeri tersebut.

Perusahaan-perusahaan multinasional juga sangat bergantung pada tenaga kerja. Diskusi-


diskusi tentang globalisasi memuat segala macam omong kosong bahwa kelas buruh
tradisional (kerah biru) sedang lenyap. Tetapi jumlah buruh industrial di 24 ekonomi
termaju masih sangat besar. Jumlah mereka naik dari 51,7 juta pada tahun 1900 menjadi
120 juta pada tahun 1971. Kemudian angka itu memang menurun tetapi hanya sampai
112,8 juta (pada tahun 1998). Buruh ini tidak bisa ditinggalkan begitu saja karena mereka
memiliki keterampilan yang tinggi.

Selain itu banyak sekali pekerja di sektor jasa mengalami kondisi kerja yang sangat mirip
dengan kondisi di pabrik. Hal ini sudah lama demikian dalam kasus pekerja pelabuhan
atau sopir truk - dan sopir truk sebenarnya akan berperan lebih penting dengan
berkembangnya e-commerce (perdagangan internet), karena barang-barang yang dibeli
via internet tidak bisa dikonsumsi di "alam maya" melainkan harus diantarkan secara riil.
Tumbuhnya restoran-restoran semacam McDonald’s dan KFC juga menciptakan banyak
tempat kerja yang mirip pabrik.

Para teoretisi globalisasi sering beranggapan, bahwa kelas pekerja dewasa ini semakin tak
berdaya di hadapan perusahaan-perusahaan global. Namun itu salah pula. Pada tahun
1998 kaum pekerja Ford menjalankan aksi mogok yang melumpuhkan pabrik-pabrik
Ford di seluruh Eropa. Tapi sayangnya para pengritik juga termakan oleh kesalahan ini.
Viviane Forrester menuliskan:

"Dunia lama -- di mana kerja dan ekonomi berfusi dan rakyat banyak diperlukan oleh
mereka yang mengambil keputusan penting -- seperti telah dihapuskan … Dunia baru
yang didominasi oleh kibernetika, proses produksi otomatis dan tehnologi baru yang
revolusioner tidak berkaitan lagi dengan ‘dunia kerja’ yang tidak lagi dibutuhkannya."

Rumusan-rumusan Naomi Klein sering senada; menurut dia banyak perusahaan


multinasional mendasarkan diri pada "sistem pabrik tanpa akar" yang "mengingkari
peranan tradisional mereka sebagai majikan yang memperkerjakan massa rakyat". Dan
perusahaan General Motors sedang "memindahkan alat-alat produksi ke maquiladoras
(daerah-daerag industrial sepanjang perbatasan antara Meksiko dan Amerika Serikat) dan
ke tempat yang mirip di mana-mana di dunia". Kita mendapatkan kesan bahwa lowongan
kerja sedang mengalir secara deras keluar Amerika Serikat. Tetapi dalam tempat lain
dalam buku yang sama Naomi Klein memberikan angka untuk tenaga kerja maquiladora
yang sebesar 900.000 -- kurang dari 5% dari tenaga kerja yang ada di A.S. Jumlah
pekerja perusahaan General Motors di A.S. tetap sebesar 200.000, jauh lebih besar
dibandingkan jumlah pekerja General Motors di Meksiko.

David Bacon, yang sering menggunakan terminologi Marxis, juga melakukan kesalahan
yang sama. Dia melihat pengaliran modal ke negeri-negeri dunia ketiga sebagai sebab
utama dari pengangguran di AS: "Perbedaan standar hidup antara negeri kaya dengan
negeri miskin … meyebabkan warga-warga AS kehilangan pekerjaaan saat perusahaan-
perushaan berpindah."

Sebetulnya, sebab utama orang kehilangan pekerjaan di barat adalah proses


restrukturisasi dalam perusahaan-perusahaan, yang dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas di tempat-tempat kerja. Ketika pabrik-pabrik dipindahkan, mereka lebih
sering berpindah ke tempat lain di dalam negeri-negeri maju itu sendiri. Kekalahan-
kekalahan paling serius yang dialami oleh kelas pekerja Inggeris -- kalahnya kaum buruh
tambang pada tahun 1985 dan kaum pekerja percetakan pada tahun 1987, bukanlah akibat
berpindahnya alat-alat produksi keluar negeri.

Ini bukan kelemahan kecil dalam karya-karya Forrester, Klein dan Bacon. Salah satu
fungsi terpenting teori-teori neolib adalah untuk meyakinkan kita bahwa kita sama sekali
kehilangan kontrol atas sistem kapitalis dan sistem itu tidak dapat dilawan lagi. Para
politisi melakukan argumentasi ini untuk membenarkan kebijakan anti-rakyat seperti
dicabutnya subsidi BBM di Indonesia. Para birokrat konservatif dalam serikat-serikat
buruh menjadikannya alasan untuk menghidari perjuangan buruh yang mereka anggap
sia-sia. Jangan sampai kita menerima logika palsu ini.

Perang di zaman globalisasi

Masalah perang tidak dibicarakan oleh para teoretisi globalisasi, tapi hal ini seharusnya
menjadi perhatian penting bagi para pengritik sayap kiri.

Para teoritisi globalisasi cenderung mengajukan pendapat bahwa modal internasional


tidak lagi menghiraukan perbatasan antar-negara, sehingga perdagangan bebas dikira
akan menghentikan perang. Menurut salah satu slogan mereka, "negeri-negeri di mana
ada restoran McDonald’s tidak pernah saling tempur." Kenyataannya jauh berbeda.
Perang meletus secara reguler selama ini: Perang Teluk, pertempuran di banyak tempat di
Afrika, konflik bersenjata di beberapa negeri bekas Yugoslavia, kemudian serangan
NATO di Serbia (yang memang mempunyai restoran-restoran McDonalds), agresi Rusia
di Cecnya, dan lain sebagainya.
Peperangan semacam ini merupakan sebagian esensial dalam sistem kapitalis global,
seperti halnya kegiatan IMF atau perusahaan multinasional, karena nasib setiap pemilik
modal masih juga terkait dengan negara-negara tertentu. Perusahaan seperti Boeing,
Monsanto, Microsoft dan Nike tidak mungkin menjadi kuat tanpa sokongan aparatus
negara Amerika Serikat, termasuk militer. Namun kekuatan dan gengsi setiap negera
bergantung pada kemampuannya untuk mengalahkan negara lain di medan perang, atau
sekurang-kurangnya untuk ikut terlibat dalam sebuah aliansi militer yang mampu.

Pada awal tahun 1990-an kita menyaksikan koalisi militer yang dipimpin oleh Amerika
menjalankan invasi di Teluk untuk mempertahankan kekuasaanya atas sumber minyak
tanah. Pada akhir dasawarsa yang sama, kita menyaksikan sebuah koalisi yang mirip
menyerang Serbia guna mempertahankan "kredibilitas" NATO, yaitu untuk menjamin
posisi strategis mereka di Eropa tenggara, sekaligus mempertahankan akses ke daerah-
daerah di Timur Tengah dan Laut Kaspian yang sekali lagi kaya akan minyak tanah.
Thomas Friedman, seorang wartawan yang dekat dengan State Department A.S.,
menjelaskan hubungan antara perusahaan-perusahaan besar dan kekuasaan militer:

Tangan tersembunyi (the invisible hand) di pasar tidak pernah berfungsi tanpa kepalan
tersembunyi yang disediakan oleh militer. McDonalds tidak bisa sukses tanpa McDonnell
Douglas. Kepalan tersembunyi ini, yang menjaga keamanan bagi kesuksesan tekhnologi
dari Silicon Valley, namanya angkatan darat, udara dan laut serta marinir.

Biasanya pemerintah-pemerintah dan para pemikir neoliberal berusaha menutup-nutupi


hubungan itu, dan ketika melakukan perang mereka pura-pura membela hak asazi
manusia. Jangan percaya kebohongan ini. IMF, WTO, Bank Dunia, Pentagon dan NATO
hanya merupakan bermacam-macam sisi dari sistem yang sama. Tidak logis kita melawan
satu aspek sambil mendukung aspek lain.

Mengembangkan sebuah teori alternatif

Neo-liberalisme dan proses globalisasi amat tidak manusiawi, namun tidaklah cukup jika
kita hanya mengekspos segi yang tidak manusiawi itu. Teori neolib mengaburkan
kenyataan eksploitasi dan penindasan secara sistematis. Ideologi itu harus kita bongkar
secara sistematis pula. Kita juga mesti menjelaskan kenapa ideologi neolib begitu kuat.
Kuatnya neoliberalisme tidak dapat dipahami sebagai hasil konspirasi kapitalis saja.
Tentu saja ada banyak konspirasi kapitalis, tetapi itu bukan hal yang baru.
Persekongkolan semacam itu selalu terjadi, tetapi ini tidak menjelaskan kenapa ide-ide
neolib menjadi kuat persisnya di masa kini. Untuk sebuah penjelasan yang memadai, kita
harus berangkat dari analisis Marx tentang sistem kapitalis.

Banyak teoretisi anti-kapitalis dewasa ini yang anti-Marx, karena dipengaruhi oleh
pengalaman buruk di Uni Soviet, dan karena jemu "Marxisme akademis" abstrak yang
berkembang di universitas-universitas pada tahun 1970-an. Tetapi pemikiran Marx
meletakkan sebuah landasan yang tak kuat untuk mengerti sifat-sifat kapitalisme global.

Marx muda memulai sebagai seorang demokrat liberal yang melawan penindasan semi-
feodal yang masih bercokol di benua Eropa. Namun dia lekas insaf bahwa mode produksi
dan fenomena sosial kapitalis yang sedang muncul waktu itu, dan yang sudah menguasai
negeri Inggeris, tidak kalah menindas dan mengeksploitasi manusia. Marx mulai
menekuni cara-cara sistem baru ini beroperasi, dan bagaimana kapitalisme tersebut bisa
ditentang -- seperti kaum pemikir terkemuka gerakan "anti-kapitalis" menekuni persoalan
globalisasi baru-baru ini.

Fenomena "alienasi" (keterasingan) menjadi titik tolak bagi analisis Marx. Ini bukan
hanya sebuah konsep filosofis atau sosiologis saja, melainkan berkaitan erat dengan dunia
kerja dan sistem ekonomi pula. Marx mempelajari karya-karya para penganut terkemuka
sistem kapitalis, seperti Adam Smith dan David Ricardo. Marx menarik kesimpulan
bahwa, meskipun kapitalisme meningkatkan produktivitas kerja dan sumber-sumber daya
ekonomi secara hebat, namun mayoritas besar umat manusia tidak beruntung:

Makin banyak yang dihasilkan oleh si pekerja, makin kurang konsumsinya. Makin
banyak nilai yang diciptakannya, makin ia sendiri menjadi tak bernilai, tak berharga …
[Sistem kapitalis] mengganti tenaga kerja dengan mesin, tetapi di saat yang sama
melontarkan sebagian dari kaum pekerja kembali pada sebuah tipe pekerjaan yang
biadab, sedangkan kaum pekerja lain menjadi mesin … sistem itu menghasilkan
kepandaian -- tetapi bagi si pekerja, hanya kebodohan … Benar, pekerjaan semacam itu
menghasilkan barang-barang gemilang bagi kaum kaya -- namun untuk kaum pekerja
hanya kesengsaraan. Dia menghasilkan rumah-rumah mewah -- tapi untuk kaum pekerja,
pondok-pondok kumuh belaka. Dia menghasilkan keindahan -- tapi untuk si pekerja
cuma kejelekan … Si pekerja hanya merasa utuh di luar pekerjaannya, sedang selama dia
bekerja dia merasa luar diri sendiri. Dia merasa betah selama tidak bekerja; selama
bekerja dia sama sekali tidak kerasan. (The worker only feels himself outside his work,
and in his work feels outside himself. He feels at home when he is not working, when he
is working he does not feel at home.)

Seorang buruh bekerja untuk hidup. Dia malah tidak menghitung pekerjaannya sebagai
kehidupan, melainkan sebagai pengorbanan kehidupannya … Yang dihasilkannya bagi
diri sendiri bukanlah kain sutra yang ditenunnya, emas yang ditambangnya ataupun
istana-istana yang dibangunnya. Yang dihasilkannya bagi diri sendiri hanyalah upah,
sehingga kain sutra, emas dan istana itu menjelma mengambil bentuk sekian banyak
kebutuhan hidup, mengkali sehelai jaket kapas, sedikit uang recehan, dan kamar sumpek
yang dihuninya. Dan si pekerja yang menenun, memintal, mengebor, membangun,
menyodok atau berkuli selama 12 jam sehari -- mengirakah dia ke-12 jam penunan,
pemintalan, pengeboran, pembangungan, penyodokan dan pengkulian itu sebagai
manifestasi kehidupannya? Malah sebaliknya, kehidupannya baru berawal begitu
kegiatan-kegiatan itu selesai -- di meja makan, di kedai minuman, di tempat tidur.

Betapa relevannya kata-kata Marx ini! Untuk wanita-wanita muda di Indonesia atau
Amerika Latin yang dilukiskan dalam tulisan-tulisan Naomi Klein, menjahit busana
elegan yang tak pernah mereka sanggup beli dengan upah mereka sebesar sedolar sehari;
atau kaum tani India yang tergusur oleh perusahaan kapitalis guna menghasilkan bahan
makanan yang tidak mungkin akan dinikmati oleh para petani tersebut; ataupun kaum
buruh pabrik baja di Amerika yang di PHK karena industri mereka menghasilkan "terlalu
banyak" baja. Namun Marx tidak hanya menggambarkan keadaan yang sengsara ini;
keadaan tersebut memang telah dilukiskan oleh orang lain sebelum Marx. Dia berusaha
pula, melalui 25 tahun penelitian yang tekun, untuk memahami bagaimana sistem
kapitalis bisa muncul -- dan bagaimana sistem itu menimbulkan lawan-lawannya sendiri.
Dia menemukan asal-usulnya dalam hal monopoli oleh sebuah kelas minoritas atas "alat-
alat produksi", yakni hasil-hasil bekas pekerjaan, seperti mesin-mesin yang diperlukan
oleh manusia untuk mencapai penghasilan yang memadai. Sehingga mayoritas rakyat
hanya tinggal menjual tenaganya kepada kaum minoritas itu, jika tidak mau mati
kelaparan. Namun monopoli atas alat-alat produksi yang dinikmati oleh minoritas
tersebut memungkinkan mereka membayar sebuah upah untuk tenaga kerja itu yang
kurang dari nilai yang dihasilkan oleh para pekerja. Sehingga kaum pemilik alat-alat
produksi mendapatkan sebuah "nilai lebih" dari jerih payah kaum pekerja. Nilai lebih
tersebut menjadi sumber profit, dividen dan bunga.

Di saat yang sama, perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh minoritas tersebut sedang
saling bersaing. Akibatnya, setiap perusahaan berusaha bertumbuh lebih cepat dari para
pesaingnya. Itu hanya dapat dilakukan dengan secara senantiasa memaksimalkan nilai
lebihnya dengan semakin menghisap kaum pekerja. Sebagai konsekwensinya timbullah
sebuah fenomena yang sama sekali kontradiktif bahkan absurd: terjadi pertumbuhan
ekonomi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan peningkatan kemakmuran rakyat.
Seperti tulis Marx:

Akumulasi, akumulasi! Itulah nabi-nabinya! Tabunglah, tabunglah! Yaitu rubahlah


semakin banyak nilai lebih atau penghasilan surplus menjadi modal. Akumulasi guna
akumulasi saja, produksi demi produksi belaka -- dengan rumusan ini, ilmu ekonomi-
politik klasik mengucapkan amanat historis borjuasi.

Demikian bangkitlah sebuah sistem lengkap yang mengungkungi massa rakyat:

Kekuasaan si kapitalis atas pekerja juga merupakan kekusaan barang-barang atas


manusia, pekerjaan mati atas pekerjaan hidup, produk-produk atas para produsen, karena
sebenarnya barang-barang jualan yang menjadi alat dominasi atas kaum pekerja …
adalah alat-alat produksi … Ini merupakan proses pengasingan pekerjaan sosial para
pekerja.

Para pemilik modal sebagai individu menjadi pelaku yang menyelenggarakan proses ini.
Tetapi mereka tidak mempunyai pilihan lain kalau ingin tetap menjadi pemilik modal.
Seandainya mereka tidak berhasil menghisap profit yang setara dengan profit para
kapitalis lain, mereka akan kalah bersaing sehingga harus gulung tikar atau menjual
perusahaan mereka kepada para kapitalis lain itu. Sehingga dalam artian tertentu para
pemilik modal juga dikungkungi oleh logika sistem kapitalis -- tapi yang jelas, mereka
menikmati sebuah gaya hidup yang jauh lebih bagus daripada rakyat jelata. Menurut
Marx: "si pekerja dari mula menjadi korban; dia cenderung memberontak dan melihat
proses itu sebagai perbudakan" sedangkan si kapitalis "mengakar dalam proses alienasi,
dan di situ dia menikmati sebuah kepuasan hati yang penuh".

Para kapitalis mempertahankan sebuah dunia "kerja terasing", di mana hasil-hasil


kegiatan manusia hidup sendiri dan mendominasi manusia itu. Di dunia ini kita
senantiasa dipaksa untuk bekerja sambil secara berkala kita dipaksa untuk menganggur
pula; kita manyaksikan kelaparan disamping penghasilan "terlalu banyak" produk, dan
penggusuran kaum tani yang kemudian terpaksa harus datang ke perkotaan tetapi
mungkin tidak mendapatkan pekerjaan di situ. Semakin kuatnya pihak kapitalis, semakin
banyak orang yang harus menggantungkan pada pekerjaan upahan. Setiap kali mereka
menjual tenaga mereka kepada pihak kapitalis, para majikan menghisap lebih banyak
nilai lebih sehingga menjadi lebih kuat lagi. Bahkan kalau sejumlah pekerja berada dalam
kedudukan yang relatif beruntung sehingga bisa memaksa para majikan meningkatkan
upah, dinamika kapitalis tak kunjung berhenti: "Selama modal terakumulasi secara pesat,
upah bisa saja meningkat; tapi profit kapitalis akan meningkat dengan jauh lebih cepat.
Posisi materiil si pekerja memang membaik, tetapi posisi sosialnya tetap memburuk."
Kaum pekerja masih terus "menempa rantai-rantai emas" yang mengungkungi mereka
sendiri. Dan dalam Manifesto Komunis, Marx dan Engels melukiskan merambatnya
sistem kapitalis ini ke seluruh penjuru dunia:

Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar
borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-
mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.

Melalui penghisapannya atas pasar dunia borjuasi telah memberikan sifat kosmopolitan
kepada produksi dan konsumsi di tiap-tiap negeri. Kaum reaksioner merasa sedih sekali
karena borjuasi telah menarik bumi nasional dari bawah kaki industri di setiap negeri..
Semua industri nasional yang sudah tua telah dihancurkan atau sedang dihancurkan setiap
hari. Mereka digantikan oleh industri-industri baru yang pelaksanaannya menjadi jadi
masalah hidup dan mati bagi semua nasion yang beradab, oleh industri yang tidak lagi
mengerjakan bahan mentah dari negeri sendiri, tetapi bahan mentah yang didatangkan
dari wilayah-wilayah dunia yang paling jauh letaknya, industri yang barang-barang
hasilnya tidak saja dipakai di dalam negeri tetapi di setiap pelosok dunia. Sebagai
pengganti kebutuhan-kebutuhan masa lampau yang dipenuhi oleh produksi negeri sendiri,
kita mendapatkan kebutuhan-kebutuhan baru, yang untuk memuaskannya diperlukan
hasil-hasil dari negeri-negeri serta daerah-daerah iklim yang sangat jauh letaknya.
Sebagai pengganti keadaan terasing serta mencukupi-kebutuhan-sendiri secara lokal
maupun nasional yang lama, kita dapati hubungan ke segala jurusan, keadaan saling-
tergantung yang universal di antara nasion-nasion …

Borjuasi, dengan perbaikan cepat dari segala alat produksi, dengan makin sangat
dipermudahnya kesempatan menggunakan alat-alat perhubungan, menarik segala nasion,
sampai yang paling biadab pun, ke dalam peradaban. Harga-harga murah dari barang
dagangannya merupakan artileri berat yang dengannya ia memporak-porandakan segala
tembok-tembok Cina, yang dengannya ia menaklukkan kebencian berkepala batu dari
kaum biadab terhadap orang-orang asing. Ia memaksa semua nasion, dengan ancaman
akan musnah, cara produksi borjuis; ia memaksa mereka mengemukakan apa yang
olehnya disebut peradaban itu ke tengah-tengah lingkungan mereka, yaitu, supaya mereka
sendiri menjadi borjuis. Pendek kata, ia menciptakan sebuah dunia menurut bayangannya
sendiri.

Disamping proses globalisasi ini terjadi sebuah perkembangan tambahan. Para kapitalis
yang lebih besar mengalahkan yang lebih kecil di pasaran atau mengambil alih bisnis
mereka, dan ini menyebabkan proses "konsentrasi dan sentralisasi kapital". Yaitu modal
terpusat di dalam semakin sedikit tangan. Proses ini agak berkepanjangan, dan kapitalis
baru juga muncul secara terus-menerus, terutama di sektor-sektor baru yang diabaikan
oleh perusahaan yang mapan. Namun dalam jangka panjang kecenderungan konsentrasi
serta sentralisasi tidak bisa disangkal, sehingga sistem kapitalis semakin dikuasai oleh
sejumlah perusahaan raksasa.
Persaingan yang brutal ini membuat kaum pekerja selalu merasa gelisah. Tak pernah ada
jaminan bahwa majikan mereka tidak bisa dihancurkan oleh saingannya yang mungkin
mempekerjakan orang lain dengan upah yang lebih rendah, atau direstrukturalisasi di
bawah tekanan kompetisi yang tak kenal ampun tersebut dengan mem-PHK sebagian dari
kaum pekerja.

Dengan semakin kuatnya pihak kapitalis, kekuaatan itu semakin mengganyang semua
bidang produksi yang belum kapitalis. Dalam Das Kapital, Marx menjelaskan bagaimana
dalam tahap-tahap pertama, kapitalisme mentransformasikan hubungan sosial di
pedesaan. Kelas petani lama binasa dan diganti oleh -- di satu sisi -- sejumlah kecil petani
kapitalis yang memiliki tanah, dan di sisi lain sejumlah besar manusia yang tidak bisa
bertahan hidup kecuali dengan menjual tenaga mereka kepada orang lain. Marx mengutip
saksi-saksi kontemporer yang melaporkan tentang perkembangan di pedesaan Inggeris,
Scotlandia serta Irlandia. Gambaran yang dibuat Marx tentang desa-desa yang
ditinggalkan semua penghuninya, keruntuhan rumah-rumah dan pemiskinan kebanyakan
orang di desa, sangat menyerupai perkembangan kontemporer di banyak pelosok dunia
ketiga. Para petani di dataran tinggi Scotlandia, umpamanya, telah diintegrasikan ke
dalam perekonomian kapitalis lewat sebuah proses berlipat dua: yang pertama mereka
tergusur supaya tanah mereka dapat diambil alih lantas digunakan untuk memelihara
domba; kemudian domba itu diganti dengan rusa dan tanah itu ditinggalkan kembali
menjadi hutan.

Namun Marx juga menunjuk ke satu fenomena tambahan. Dunia kerja teralienasi tadi
tetap dinamis. Proses akumulasi "bekas kerja" (alias modal) dan perluasan produksi
industrial, mengakibatkan terciptanya lebih banyak kekayaan dibandingkan semua zaman
terdahulu dalam sejarah umat manusia:

Borjuasi, selama kekuasaannya yang belum genap seratus tahun itu, telah menciptakan
tenaga-tenaga produktif yang lebih teguh dan lebih besar daripada yang telah diciptakan
oleh generasi-generasi yang terdahulu dijadikan satu. Ditundukkannya kekuatan-kekuatan
alam kepada manusia, mesin-mesin, pelajaran kapal api, pengenaan ilmu kimia pada
industri dan pertanian, jalan kereta api, pembukaan benua-benua utuh untuk tanah
garapan, telegrafi listrik, penyaluran sungai sejumlah sangat besar penduduk yang dengan
kekuatan sihir dikeluarkan dari dalam tanah - abad terdahulu manakah yang dapat
menduga adanya tenaga-tenaga produktif yang sedemikian itu tertidur dalam pangkuan
kerja masyarakat?

Sayangnya, penciptaan semua kekayaan ini hanya berarti pendindasan baru bagi mereka
yang bekerja. Menurut Marx, "kemajuan manusia" menyerupai "berhala kuno yang
memuakkan, yang tak sudi melahap minuman dewata selain dari tengkorak-tengkorak
orang terbunuh."

Namun secara potensi umat manusia sanggup untuk menyita semua kekayaan ini, serta
mengorganisasi proses produksi kembali guna melayani kepentigan rakyat dalam skala
besar. Akumulasi kapitalis membawa keterasingan yang dialami oleh manusia sampai
tingkat tertinggi, tetapi sekaligus mempersiapkan medan bagi penghapusan kondisi
teralienasi itu lewat perjuangan revolusioner. Karena proses akumulasi tersebut juga
menciptakan sumber daya produktif yang mampu untuk membebaskan kita dari jerih-
payah yang menjadi nasib manusia sejak dulu kala.

Marxisme dalam abad XX

Marx wafat pada tahun 1883. Maka dia kurang sempat menyaksikan serta
menggambarkan perkembangan tendensi-tendensi sosial yang dianalisirnya berdasarkan
tahap-tahap pertama kapitalisme di Inggeris. Ini menjadi tugas angkatan berikutnya.
Rudolf Hilferding di Austria melukiskan peranan yang semakin besar yang dimainkan
oleh lembaga-lembaga finansial seperti bank dan pasar efek, dan munculnya hubungan
yang semakin erat antara perusahaan-perusahaan dengan aparatur negara. Fenomena ini
dicapnya "finance capital". Rosa Luxemburg meneliti bagaimana kaum kapitalis Amerika
dan Erope menjelajah ke seluruh pelosok dunia mencari pasar baru dan bahan mentah,
sedangkan bangsa-bangsa lain dibuat semakin miskin. Nikolai Bukharin dan Vladimir
Lenin menganalisir bangkitnya "state monopoly capitalism", dengan menunjuk ke
berfusinya perusahaan-perusahaan besar dengan aparatur negara sebagai cara untuk
meluaskan kekusaaan imperialis guna menambah profit yang dihisap dari kompetisi
damai. Dan ekspansi imperialis itu tak urung menimbulan perang antar-imperialis. Leon
Trotsky menjelaskan bagaimana kelas-kelas penguasa, jika terancam oleh krisis ekonomi
besar-besaran atau perjuangan militan kelas buruh, tidak keberatan menyambut gerakan-
gerakan fasis berdasarkan kelas menengah untuk mempertahankan posisi ekonomi
mereka, tidak peduli kalau gerakan ini menerapkan kebijakan biadab dalam skala yang
luar biasa.

Dunia yang ditekuni oleh Hilferding, Lusemburg, Bukharin, Lenin dan Trotsky bersifat
agak berbeda dari dunia masa Marx. Aparatus negara dan perang, dua topik yang tidak
begitu menyolok dalam karya Marx, di sini sangatlah penting, seperti juga manipulasi
harga oleh para konglomerat, tawar-menawar ekonomi antar-negara serta persekongkolan
dan manuver para pemodal di pasar modal dan pasar komoditi. Lagipula, sistem kapitalis
yang di masa Marx hanya muncul di Eropa dan Amerika, sekarang sudah meluas sampai
seluruh dunia, dan terikat dalam sebuah jaringan global.

Meskipun demikian, masih ada satu unsur kontinuitas yang mahapenting. Sistem kapitalis
secara keseluruhan masih terus didorong oleh penghisapan nilai lebih dari kerja kaum
buruh, yang kemudian ditransformasikan menjadi modal -- "kerja mati" -- dan bergulir
kemana-mana. Proses ini menentukan kondisi kehidupan mayoritas besar umat manusia.
Kompetisi antara kaum majikan yang menguasai proses eksploitasi inilah yang
mengakibatkan Perang Dunia I dan Depresi Besar tahun 1930-an.

Intervensi negara dalam kehidupan ekonomi

Hilferding, Luxemburg, Lenin dll sebenarnya mencatat segi-segi yang berbeda dari
tendensi yang sama: integrasi pengelolaan industrial dan aparatur negara yang semakin
mempercepat sebelum, selama dan seusai Perang Dunia II. Di hadapan kondisi krisis
ekonomi, pemerintah-pemerintah melakukan intervensi untuk memfusikan perusahaan-
perusahaan besar serta mengkoordinasikan kegiatan mereka dengan kegiatan birokrasi
negara. Italia Fasis dan Jerman Nazi menempuh jalan itu. Kemudian degan pecahnya
perang dunia, mereka disusul oleh Inggeris dan Amerika Serikat. Kelas-kelas penguasa
lain yang lebih lemah menyusul pula; mereka mengira, hanyalah dengan menggunakan
aparatur negara untuk mengerahkan sumber-sumber daya mereka dapat menghadapi
musuh. Rezim yang beraneka-ragam seperti pemerintah sayap kanan di Polandia, rezim
populis di Brasil dan pemerintah Peronis di Argentina semua menjalankan nasionalisasi
industri dan perencanaan ekonomi. Banyak negeri dunia ketiga yang baru merdeka di
masa paska perang menempuh jalan yang sama. Hal ini tidak banyak sangkut pautnya
dengan sikap "kiri" atau "kanan": pemerintah-pemerintah konservatiflah yang
menasionalisasi perusahaan terbang di Inggeris dan perusahaan mobil Renault di
Perancis.

Konteks ini membantu kita mengerti satu hal lain yang mahapenting selama dekade-
dekade itu: fenomena Stalinisme. Sebelum tahun 1989 kebanyakan orang menganggap
rezim-rezim Stalinis di Uni Soviet, RRC dll sebagai suatu versi sosialisme, walau
mungkin dikira menonjolkan "distorsi" tertentu. Dewasa ini kita sudah terbiasa
mendengar pendapat bahwa rezim-rezim itu jauh lebih jelek dari sistem kapitalis. Tetapi
sebetulnya lebih logis sistem Stalinis tersebut dilihat sebagai satu kubu ekstrim dalam
rangkaian kesinambungan antara (di satu pihak) negeri-negeri di mana intervensi negara
relatif lemah dan (di pihak lain) negeri-negeri di mana intervensi itu sangat intensif.
Semua negeri itu masih harus berkompetisi di dalam konteks kapitalisme global,
termasuk Uni Soviet yang sebaiknya dimengerti sebagai masyarakat kapitalis-negara.

Ekonomi stalinis bukanlah produk revolusi Bolsyevik tahun 1917, melainkan timbul
sejak tahun 1928 ketika sebuah kelas penguasa baru berkembang dan mengambil alih
kekuasaan. Kelas penguasa itu hanya dapat bertahan di dunia internasional, yang
didominasi oleh kelas-kelas kapitalis yang kuat jika ekonomi Rusia diindustrialisasi
selekas mungkin guna mengejar ketinggalannya. Maka Stalin membangun industri di
Rusia dengan meniru banyak cara yang digunakan dalam revolusi industri di Inggeris:
menggusur kaum tani, menurunkan upah kaum buruh, mempekerjakan buruh anak,
bahkan dia menjalankan semacam sistem perbudakan di gulag (kamp-kamp konsentrasi)
di mana jutaan manusia hidup dan bekerja. Di saat yang sama dia mengandalkan aparatus
negara untuk menyelesaikan sejumlah tugas yang tidak dapat dilakukan oleh modal
swasta (yang masih lemah karena dampak revolusi buruh tahun 1917).

Hampir di mana-mana aparatus negara menjadi pelaku penting dalam ekonomi kapitalis
semenjak dekade 1930-an sampai dengan pertengahan tahun 1970-an. Doktrin-doktrin
yang digunakan untuk membenarkan peranan ini berbeda-beda dari satu negeri ke negeri
yang lain. Di barat, doktrin Keynesian menjadi pilar ideologis utama -- Keynes adalah
seorang pemikir borjuis yang mengira intervensi negara telah menjadi satu-satunya tiang
bergantung guna mempertahankan kapitalisme dalam depresi tahun 1930-an. Di Blok
Timur (dan di kalangan kaum yang mengagumi metode-metode Soviet di barat dan dunia
ketiga) bercokollah doktrin-doktrin Stalinis, yang biasanya berpura-pura sosialis bahkan
Marxis. Di dunia ketiga, teori-teori "pembangungan" dirangkul oleh bermacam-macam
rezim yang berusaha mencapai ekonomi-ekonomi industrial dengan mengandalkan
aparatus negara guna memblokir persaingan dari luar negeri dan untuk membangun
industri-industri baru.

Dan selama 45 tahun ini, semua pihak yang ingin memperbaiki kapitalisme sambil
menghindari revolusi sosial mengharapkan intervensi aparatus negara dapat mencapai
reformasi yang mereka inginkan. Di negeri-negeri maju, para pemikir Keynesian
mengatakan, intervensi semacam itu dapat menyelamatkan kapitalisme; sedangkan kaum
sosial demokrat mengatakan, intervensi tersebut akan menghindari perubahan yang
terlalu gegabah ke arah sosialisme. Di dunia ketiga, partai-partai Komunis, golongan
sosial demokrat, para politikus populis serta kaum intelektual semua berharap, intervensi
negara bisa menyatukan kelas penguasa nasional dengan kaum buruh dan kaum tani
dalam menghindari cengkeraman imperialis dan mencapai pertumbuhan ekonomi.
Menurut mereka, tugas ini harus diselesaikan dulu, baru kemudian kaum buruh dan
rakyat tertindas boleh memperjuangkan revolusi sosialis. Sebagian dari kaum aktivis
masa kini, yang memprioritaskan pembelaan negara nasional melawan "globalisasi",
sedang merindukan pendekatan lama tersebut.

Namun kita amat salah arah jika melihat negara nasional sebagai sahabat. Aparatus
negara mendasarkan diri pada tentara dan polisi yang terlatih untuk menghantam serta
membunuh orang. Periode 1930-1975, ketika negara sering melakukan intervensi,
bukanlah sebuah zaman kebahagiaan di mana rakyat diperlakukan secara adil.
Sebaliknya, kedudukan kaum pekerja di zaman tersebut digambarkan dengan akurat oleh
film di mana Charlie Chaplin menjadi perpanjangan mesin di pabrik. Di zaman itu kita
menghayati pembunuhan jutaan manusia oleh rezim Hitler, bom-bom atomik yang
menimpa kota-kota Jepang, represi stalinis di Eropa Timur dan gulag di Uni Soviet,
paceklik di Bengal yang menelan korban 4 juta, bangkitnya rezim Suharto dengan
pembunuhan separuh juta sampai sejuta orang, perang-perang kolonial di Indonesia dan
Aljazair serta agresi AS di Vietnam. Selama periode ini banyak sekali negeri Amerika
Latin yang dikuasai oleh kediktatoran militer, sedangkan di RRC proyek "Lompatan
Besar" yang gegabah menyebabkan jutaan manusia mati kelaparan.

Selama periode itu, kapitalisme terus berkuasa dengan konsekwensi yang mengerikan.
Mereka yang merindukan kapitalisme tahun 1930-75 agak melupakan fakta-fakta sejarah.

Selama tiga dasawarsa paska Perang Dunia II, sistem kapitalis memang mengalami
pertumbuah ekonomi yang cukup lumayan, dan selama tahun-tahun itu sebagian rakyat
jelata berhasil memaksa kaum penguasa meningkatkan standar hidup mereka. Namun
perbaikan itu pun tidak disebakan oleh kemurah-hatian atau akal-budi kaum penguasa,
melainkan kemakmuran itu dimotori oleh dana pemerintah AS, Inggeris dan Perancis
untuk persenjataan, terutama senjata nukliir. Di puncak Perang Dingin pada tahun 1950-
an, kira-kira seperlima dari kekayaan yang dihasilkan di Amerikat Serikat, negeri terkaya
di dunia, dikeluarkan secara langsung atau tidak langsung untuk anggaran militer. Di Uni
Soviet pengeluaran itu mungkin dua kali lipat, karena Uni Soviet jauh lebih lemah
ekonominya.
Sementara itu, logika kapitalis terus berjalan. Perusahaan yang besar dan kuat terus
mengambil alih perusahaan yang kecil atau lemah, sampai sektor-sektor utama
didominasi oleh beberapa "ologopoli" besar. Di Inggeris umpamanya, kira-kira 200
perusahaan, yang dikelola oleh maksimal 600 sampai 800 direktur, menghasilkan lebih
dari separuh dari produk industrial. Dan di pedesaan di hampir seluruh dunia, pola-pola
pertanian semakin mendekati pola yang dirintis di Inggeris di masa revolusi industri:
pertanian kapitalis mengganti pertanian tradisional, dan jutaan petani bermigrasi ke
perkotaan mencari rejeki di pabrik.

Proses itu berjalan paling jauh di Amerika, dan di Eropa di mana proporsi orang yang
bekerja di bidang agrikultur menurun dari 30-40 persen lebih di tahun 1950-an menjadi
20 persen kurang di pertengahan tahun 1970-an. Namun proses yang sama berlangsung
pula di banyak negeri paska-kolonial jauh sebelum istilah "globalisasi" pernah kita
dengar. Di India, misalnya, tanah yang paling subur di daerah Punjab semakin dimiliki
oleh para petani kapitalis berukuran sedang yang mempekerjakan buruh tani, dan yang
mampu beli bibit dan pupuk tipe baru yang disajikan oleh "Revolusi Hijau". Di Aljazair,
kelas menengah petani kapitalislah yang paling beruntung dari reform-reform agraria
setelah negeri itu merdeka. Kapitalisme sedang merubah wajah seluruh dunia menurut
bayangannya sendiri.

Lahirnya ideologi neo-liberal

Boom ekonomi paska-perang berhenti secara mendadak di pertengahan dasawarsa 1970-


an. Yang pernah dijuluki "zaman emas" kapitalisme disusul oleh "zaman timah". Banyak
negeri mengalami krisis ekonomi yang parah. Dan semua doktrin yang bercokol pada
"zaman emas" tersebut, gagal sama sekali memulihkan ekonomi "zaman timah" itu. Baru
saat itulah kelas-kelas penguasa serta para intelektual yang melayani kelas itu tiba-tiba
meninggalkan doktrin-doktrin lama dan menyambut teori baru, yang mula-mula dijuluki
"monetarisme", kemudian "Thatcherisme" atau "Reagonomics" dan sekarang sudah dicap
dengan julukan "neo-liberalisme".

Perubahan sikap seradikal ini bukanlah hasil propaganda licik saja. Sebaliknya perubahan
tersebut mencerminkan upaya-upaya nekad yang dilakukan oleh berbagai faksi kapitalis
untuk mempertahakan posisi mereka. Yang bergerak pertama adalah para pimpinan
perusahaan-perusahaan terbesar. Setelah mengyaksikan meluasnya pasaran selama
bertahun-tahun, tiba-tiba mereka harus merestrukturisasi operasi mereka serta mencari
sumber profit tambahan.

Restrukturiasi itu berarti baik melakukan "efisiensi" -- dengan memecat buruh bahkan
menutup pabrik; maupun mencari pasar baru di luar masing-masing perbatasan nasional
dengan mengekspor lebih banyak, tapi juga dengan mengorganisir proses-proses produksi
secara internasional. Profit baru hanya bisa didapat dengan menemukan sumber nilai
lebih yang belum pernah disadap. Salah satu sumber terletak di industri-industri dan jasa-
jasa yang dibangun oleh negara di masa lampau karena modal swasta tidak sanggup,
walau industri dan jasa itu memang diperlukan untuk perekonomian kapitalis. Ketika
pemerintah dimana-mana menswastanisasi BUMN yang sudah dipelihara menjadi kuat,
itu menjadi rezeki nomplok bagi kaum pengusaha sedunia. Apalagi BUMN itu sering
merupakan monopoli sehingga dalam praktek para pemilik baru dapat mengenakan
semacam "pajak" pada para nasabah.

Mereka menemukan profit tambahan dengan merampas sumber-sumber daya ekonomi


negeri-negeri yang lemah. Perampasan tersebut dilakukan dengan pertolongan aparatus-
aparatus negara yang kuat (terutama Amerika Serikat) dalam negosiasi tentang
perdagangan dan hutang. Dan selain itu profit-profit netto dapat ditingkatkan dengan
memindahkan beban perpajakan dari profit ke gaji dan barang dagangan.

Meski neo-liberalisme sebagai ideologi menolak intervensi negara, namun penerapan


kebijakan-kebijakan ini dalam kenyataan selalu mengandalkan aparatus negara itu, atau
paling banter mengandalkan sebuah proses tawar-menawar antar-negara. Itu sebabnya
implementasi kebijakan tersebut tidak pernah berjalan dengan lancar. Redaksi harian
bisnis The Financial Times sering mengernyutkan dahi mengenai pertengkaran sepele
seperti percekcokan tentang impor pisang antara Eropa dan AS, karena pertengkaran itu
dikhawatirkan dapat meluas menjadi sebuah konflik besar sampai melumpuhkan WTO.
Perselisihan tajam juga terjadi mengenai persiapan mana yang harus dikerjakan oleh IMF
untuk melakukan intervensi efektif, jika terjadi krisis ekonomi lagi seperti krismon di
Asia. Para "teoretisi" neolib tidak memiliki solusi yang mudah bagi konflik-konflik ini.
Soalnya, walau doktrin mereka menolak intervensi negara, namun ideologi
neoliberalisme sebenarnya mencerminkan kepentingan negara AS, Eropa and Jepang
yang senantiasa bertarung di arena ekonomi.

Golongan kedua yang menyambut ideologi neolib adalah para pejabat tinggi dan politisi
yang mengelola aparatus negara. Dalam tahun-tahun kemakmuran ekonomi, mereka
terpaksa harus menyediakan sebuah sistem tunjangan dan jasa yang dikenal sebagai
"negara kesejahteraan". Negara kesejahteraan tersebut berkembang sebagai aspek
tambahan disamping lembaga-lembaga utama negara kapitalis -- seperti tentara, senjata
nuklir, penjara, pengadilan dll. Selama pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan profit
yang cukup, para kapitalis memang bersedia menyetujui tunjangan dan jasa itu sebagai
sebuah keharusan yang tak terhindari. Tetapi begitu profit mereka mulai berkurang,
mereka mendesak agar negara kesejahteraan tersebut dipotong. Para pengelola aparatus
negara tiba-tiba terjepit. Desakan itu tidak mungkin dilawan -- bila dilawan, mereka akan
segera dilanda oleh pelarian modal, mata uang mereka akan anjlok dan mereka akan
terancam oleh kebangkrutan nasional. Tetapi di sisi lain, sistem kesejahteraan tidak bisa
dibongkar begitu saja, karena itu dapat memprovokasi kekisruhan dalam masyarakat.
Sehingga mereka mencoba sebuah "jalan ketiga" (di barat memang sering disebut The
Third Way) dengan menggunakan mekanisme-mekanisme kompetitif guna memaksa para
pegawai negeri dan para konsumen jasa-jasa itu untuk bersaing. Lewat persaingan
tersebut, negara dapat mengurangi gaji yang dibayar kepada para pegawai dan juga
mengurangi "upah sosial" (social wage) yang disajikan kepada rakyat.

Kadang-kadang ini dilakukan melalui swastanisasi dan kemunduran aparatus negara dari
bidang tertentu. Namun seringkali tujuan yang sama dicapai dengan cara lain: membatasi
dana yang diberikan departemen-departemen pemerintahan, memotong anggaran
pemerintahan di daerah-daerah sambil meningkatkan tugas-tugas mereka, atau
menerapkan mekanisme-mekanisme yang meniru operasi pasar di dalam badan-badan
penyedia dinas sosial. Dalam kasus-kasus itu negara tidak mundur, melainkan justeru
melakukan intervensi guna meningkatkan profit yang dapat dihisap oleh kelas penguasa.
Selain itu dinas-dinas tertentu dikontrakkan kepada pihak swasta.

Golongan ketiga yang merangkul pendekatan neolib adalah kelas-kelas penguasa di luar
negeri-negeri maju industrial. Sejak tahun 1940-an sampai dengan tahun 1970-an mereka
berusaha membangun industri melalui berbagai strategi kapitalis-negara, seperti Program
Benteng di Indonesia umpamanya. Bahkan pada waktu boom ekonomi paska Perang
Dunia II, upaya itu tidak begitu berhasil, dan rakyat harus membayar mahal. Begitu boom
tersebut selesai, upaya itu sama sekali tidak sukses. Sederetan rezim membanting stir,
meninggalkan pendekatan kapitalis-negara dan berusaha mengintegrasikan negeri-negeri
mereka ke dalam pasaran internasional. Fenomena itu mulai di Mesir, Polandia, Hongaria
dan Yugoslavia di pertengahan tahun 1970-an; terjadi di India dan berbagai negeri
Amerika Latin di tahun 1980-an; kemudian terjadi pula di seluruh (mantan) blok Soviet
serta Afrika pada awal tahun 1990-an. Kaum penguasa di negeri-negeri tersebut
memutuskan menyerahkan monopoli mereka atas ekonomi nasional, guna menikmati
hasil pribadi yang dapat mereka raih sebagai mitra muda kaum pemodal besar
multinasional.

Di Mesir, Anwar Sadat pernah ikut mendukung Presiden Nasir dalam menasionalisasi
sejumlah industri pada masa lampau; tapi di tahun 1970-an dia membuka perekonomian
nasional kepada pasar bebas. Di India, Partai Kongres yang menganut perencanaan
negara di tahun 1960-an, kemudian menghentikan perencanaan tersebut di tahun-tahun
berikutnya. Di RRC Deng Xiaoping, yang bertahun-tahun terlibat dalam membangun
sebuah negara stalinis monolit, kemudian mengambil prakarsa untuk berpaling ke
pasaran internasional pula.

Susan George mencatat bagaimana rezim-rezim dunia ketiga pada umumnya menyambut
dengan antusias kebijakan-kebijakan Structural Adjustment Program yang diajukan oleh
IMF serta Bank Dunia:

Kaum kaya dan berpengaruh di negeri-negeri penyandang hutang sering cukup puas
dengan cara yang dilakukan untuk menanangi krisis ini. Kebijakan structural adjustment
sudah memotong upah kaum buruh, sedangkan undang-undang (jika ada) yang
melindungi kondisi kerja, kesehatan, keselematan dan lingkungan alam tidak perlu terlalu
dihiraukan … Setelah kurang-lebih luput dari akibat buruk masalah hutang, mereka
semakin berkeinginan untuk ikut golongan elit global …

Selama 20 tahun ini kita menyaksikan perusahaan-perusahaan tertentu di dunia ketiga,


yang sudah bertumbuh menjadi kuat di masa perencanaan dan proteksi oleh negara,
kemudian menjelma menjadi perusahaan multinasional juga. Jelas mereka belum sebesar
General Motors, Microsoft atau Monsanto, tetapi aspirasinya memang ke arah itu.

Golongan terakhir yang menyambut doktrin-doktrin neolib adalah kaum intelektual, yang
dulu menaruh harapan kepada perencanaan dan proteksi oleh aparatus negara. Di
Inggeris, berbagai tokoh Partai Buruh, yang pada tahun 1970-an dan 1980-an telah
menganjurkan "kebijakan ekonomi alternatif" yang porosnya ke perencanaan oleh negara,
sekarang sebagai anggota pemerintahan Tony Blair ramai-ramai menganut program
swastanisasi. Sejumlah teoritisi intelektual, yang dulu mendukung jurnal "Marxism
Today" berkaitan dengan Partai Komunis, dewasa ini menyambut pasar bebas pula.

Di beberapa pelosok dunia proses peralihan ini masih belum tuntas. Di Afrika Selatan,
pemerintah ANC sudah merangkul para pemilik modal dan melakukan swastanisasi, dan
seorang anggota Partai Komunis dari Sudan memberikan saya sebuah pernyataan dari
partai tersebut yang mengatakan, satu-satunya jalan untuk mencapai pembangunan mesti
melawati kebijakan pasar bebas yang berorientasi ekspor. Dalam hal ini komentar
Vandana Shiva sangatlah benar: "Kaum penguasa di dunia ini -- di pemerintahan, di
kancah politik, di mass media dan di dunia usaha -- sedang bersatu saat ini menjadi
sebuah aliansi global yang melebihi pembelahan lama antara Utara dengan Selatan."

Meski demikian ada banyak pula intelektual yang menolak neo-liberalisme, dan kritik-
kritik hebat mereka sudah saya kutip di atas. Tapi sayangnya mereka belum juga melacak
kontradiksi-kontradiksi kapitalisme sampai tuntas, sehingga argumentasi mereka masih
mengandung sejumlah kontradiksi yang hendak kita simak dalam bagian berikutnya.

Kontradiksi teoritis

Pola-pola perdagangan, aliran modal ataupun beban hutang hanya merupakan beberapa
aspek dari sebuah sistem kapitalis yang lebih luas. Usaha untuk menangani aspek ini atau
itu secara terpisah bisa dielak dengan mudah oleh mereka yang menguasai sistem tersebut
-- atau lebih parah lagi, jika dampak-dampaknya yang mengerikan dapat ditangkis oleh
satu bagian dari rakyat tertindas, dampak tersebut hanya akan menimpa rakyat tertindas
lainnya.

Ini sudah menjadi jelas dalam perdebatan mengenai "fair trade" (perdagangan adil) dan
buruh anak. Kalau kita mentolerir upah rendah serta dipekerjakannya anak-anak, itu
berarti kita mengizinkan para majikan menyengsarakan manusia melalui penghisapan
yang kejam. Namun jika kita hanya melakukan perjuangan disekitar masalah-masalah ini
saja, itu berarti kita belum merubah kondisi-kondisi mendasar yang memaksa orang
untuk bekerja di bawah majikan semacam itu. Negeri-negeri miskin di Afrika, Amerika
Latin, Asia dan bekas Blok Timur akan tetap miskin. Sehingga perjuangan melawan upah
rendah atau membela kaum buruh anak hanya betul-betul efektif jika perjuangan ini
menjadi batu loncatan untuk perjuangan dan kemenangan yang lebih besar.

Sama halnya dengan perjuangan untuk mencegah perusahaan-perusahaan menutup pabrik


dan berpindah ke tempat lain di mana upah lebih rendah. Tentu saja kita harus melakukan
perjuangan itu, namun dengan perjuangan tersebut paling banter kita mencapai solusi
sementara. Salah-salah kita harus mengemis pemerintah untuk menyuapi perusahaan
tersebut supaya tidak pindah. Sedangkan kemiskinan yang memaksa orang di tempat lain
itu untuk menerima upah rendah belum juga diselesaikan. Maka kita membutuhkan
sebuah strategi untuk menggoyangkan para pemilik modal di tingkat global.
Perdebatan-perdebatan di dalam kampanye anti-hutang berasal dari sumber yang mirip.
Jika kita tidak mempermasalahkan beban hutang, itu berarti kita ikut berdosa dalam
perampasan yang dilakukan oleh bank-bank besar; namun kalau kita membatasi
perjuangan kita ke masalah hutang saja, itu berarti tidak menyentuh faktor-faktor lain
yang menyebabkan kemiskinan di dunia ketiga, dan sumber-sumber daya yang
diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah ini akan tetap dipegang oleh kaum
penguasa kapitalis.

Tidak sedikit aktivis, termasuk para jurubicara kelompok ATTAC di Perancis, menuntut
agar pajak "Tobin Tax" dikenakan pada transaksi finansial yang melintasi perbatasan-
perbatasan nasional. Ada yang berpendapat, sebuah pajak serendah 0,5% dapat
menghalangi para spekulator merongrongi mata-mata uang yang lemah; mereka berharap
kebijakan ini bisa memberikan solusi untuk sejumlah aspek negatif proses globalisasi.
Menurut Robin Round:

Pasar modal internasional telah menjadi sebuah kasino global … Berbeda dengan para
investor di bidang barang dan jasa, spekulator-spekulator ini menarik untung dari
memainkan uang saja, tanpa menciptakan lowongan kerja, menyediakan jasa, ataupun
membangun pabrik … Dengan membuat krisis finansial lebih jarang terjadi, pajak ini
akan membantu dalam menghindari pengrusakan ekonomi yang disebabkan oleh krisis
tersebut, sekaligus menjadi sumber dana global … Menurut perhitungan konservatif,
pajak ini dapat menghasilkan $150 sampai $300 milyar setahun. Sedangkan menurut
PBB, untuk memberantas bentuk-bentuk kemiskinan dan pengrusakan lingkungan alam
yang paling parah hanya diperlukan dana sebesar $225 milyar.

Kita harus mensyukuri segala upaya untuk memindahkan beban pajak dari bahu kaum
miskin ke bahu kaum kaya, dan inilah segi bagus organisasi seperti ATTAC. Mereka
menarik perhatian pada perlunya menyita kekayaan yang dimiliki oleh pihak kapitalis.
Namun tidak benar satu pajak bisa memecahkan masalah-masalah pokok yang dihadapi
umat manusia pada awal abad XXI.

Yang pertama, arus-arus finansial hanya merupakan satu sumber krisis di antara banyak.
Faktor yang lebih berarti adalah persaingan buta antara perusahaan industrial dan
komersial, yang meningkatkan profit mereka dengan mengurangi standar hidup massa
rakyat sekaligus mempercepat produksi. Tingkah laku kontradiktif ini tak urung
menyebabkan krisis di pasaran karena rakyat tidak lagi mampu membeli hasil produksi
tersebut. Yang menjadi biang keladi bukan hanya para spekulator di pasar modal, tetapi
juga perusahaan industrial seperti General Motors, Toyota, Monsanto atau IBM.

Yang kedua, pajak Tobin Tax itu merupakan sebuah alat yang terlalu lemah untuk
menghentikan spekulasi. Pakar ekonomi keynesian P Davidson telah membuktikan
bahwa pajak sebesar 0,5% jauh terlalu rendah. Para spekulator akan terus memindahkan
modal mereka jika menduga devaluasi mata uang besar-besaran akan terjadi seperti pada
waktu krismon tahun 1997. "Butir-butir pasir di dalam roda-roda finansial sedunia
tidaklah cukup," tulisnya, "yang diperlukan, batu-batu besar."

Sebenarnya, usulan untuk menerapkan Tobin Tax itu memuat sebuah kontradiksi yang
serius. Jika berhasil mengurangi spekulasi, artinya arus modal akan menyurut, sehingga
pajak tersebut tidak bisa menghasilkan begitu banyak dana. Atau sebaliknya, jika dapat
menghasilkan dana yang diaharapkan, itu berarti fenomena spekulasi berjalan terus.

Bagaimanapun juga, upaya untuk menerapkan Tobin Tax pasti akan dilawan secara mati-
matian oleh kaum kaya sedunia. Pemerintah yang menerapkan usulan ini secara serius
akan mengalami tekanan ekonomi dan politik yang hebat. Sedangkan untuk membuat
Tobin Tax ini menjadi efektif, pajak tersebut harus dikenakan dimana-mana di dunia di
saat yang sama. Sehingga, usulan ini tak mungkin diterapkan tanpa perjuangan massa
internasional.

Seperti usulan lain yang mirip mengenai fair trade, buruh-buruh anak, hutang dan
sebagainya, argumentasi sekitar Tobin Tax sangat berguna dalam menarik perhatian
masyarakat pasa masalah-masalah sosial yang genting. Tapi seperti usulan itu pula,
argumentasi ini baru efektif ketika menjadi batu loncatan untuk perjuangan lebih luas.

Perdebatan antara pihak "developmentalis" (para penganut "pembangunan") dengan


pihak "tradisionalis" (yang menganut gaya hidup tradisional) juga cenderung hanya
memperhatikan aspek-aspek terbatas. Kemiskinan di dunia ketiga disebabkan karena
perkembangan kapitalis telah mengkonsentrasikan kekayaan sedunia -- hasil jerih payah
umat manusia -- di tangan kelas-kelas penguasa beberapa negeri maju.
"Developmentalisme" muncul sebagai usaha kaum penguasa dunia ketiga, didukung
secara antusias oleh kalangan intelektual, untuk mengimbangi kemiskinan tersebut
dengan memaksakan sebuah proses industrialisasi dan perubahan agraria yang mirip
dengan apa yang terjadi di zaman revolusi industri di barat. Namun karena proses itu
dimulai terlambat, proses tersebut membuat penderitaan rakyat dan pengrusakan
lingkungan alam menjadi lebih parah lagi. Meski demikian, hasil-hasil industrialisasi
belum begitu besar, dan kita tidak bisa memecahkan persoalan yang dihadapi oleh rakyat
tertindas dengan kembali ke jalan industrialisasi nasional yang kurang efektif itu. Namun
cara-cara "tradisional" juga bukan solusi yang progresif. Kedua-duanya tidak memadai.

Karl Marx telah mendiskusikan persoalan yang mirip 150 tahun yang lalu. Kritik-kritik
yang tajam tentang kapitalisme telah dilakukan oleh para pengritik Romantis yang
melihat ketidakmanusiawian kapitalisme tetapi mengusulkan agar umat manusia kembali
ke masa lampau. Komentar Marx:

Adalah menggelikan jika kita rindu dan ingin kembali kepada keutuhan asli itu, seperti
juga menggelikan kalau kita percaya bahwa dengan kekosongan komplit yang ada
sekarang, perkembangan sejarah telah selesai. Pandangan borjuis belum pernah
melampaui antitesis antara diri sendiri dan pandangan Romantis, maka pandangan
terakhir ini akan menemaninya sampai akhir hayat.

Kita tidak bisa mengatasi kebiadaban sistem kapitalis dengan kembali ke masa lampau,
melainkan kita harus mengembangkan sebuah strategi untuk menyita sumber-sumber
daya produktif yang diciptakan oleh kapitalisme, agar bisa digunakan demi kepentingan
umat manusia. Dana yang dikeluarkan dalam anggaran militer Amerika saja sudah cukup
untuk mentransformasikan kehidupan semua buruh dan petani di dunia ketiga. Jika
ditambah oleh uang yang diboroskan bagi periklanan, serta konsumsi mewah oleh 200-
300 orang terkaya di dunia, sudah mencukupi untuk memberantas kemiskinan di dunia
ketiga serta memperbaiki kehidupan kaum pekerja di negeri-negeri maju.

Akumulasi modal telah terjadi di tingkat global secara besar-besaran. Konsekwensinya


tidak bisa diatasi dengan kegiatan lokal, baik tipe "tradisonal" maupun
"developmentalis". Mendingan kita menyambut semangat aksi di Seattle, yang
mensinyalir perlawanan global.

Agen-agen pengubah

Tinggal bertanya, siapa yang akan memimpin perlawanan global tersebut? Kekuatan
mana yang dapat dimobilisasi, dan kekuatan mana yang mampu untuk memenangkan
perubahan mendasar? Di sini ada bermacam-macam pendapat pula.

Banyak aktivis di Seattle yang mengajukan taktik reformasi melalui struktur


pemerintahan yang ada. William Greider mengajukan reform-reform legal guna membuat
perusahaan-perusahaan multinasional lebih bertanggung-jawab. Menurut dia, para
legislator harus memaksa perusahaan tersebut "memberikan data persis tentang
pengrusakan lingkungan alam"; dan Steven Shryber mau mengandalkan tekanan opini
publik untuk memaksa para politikus mereformasi WTO.

Aktivis lain sudah sadar bahwa sistem imperialis tidak bisa direformasi begitu saja,
sehingga mereka berharap rezim-rezim dunia ketiga dapat melakukan perlawanan.
Walden Bello membicarakan "usaha-usaha oleh masyarakat dan negara-negara [dunia
ketiga] untuk merebut kembali kontrol atas nasib mereka." Menurut dia mekanisme kunci
adalah UNCTAD, di mana negara-negara dunia ketiga berada dalam mayoritas; kata
Bello, badan itu dapat "memainkan peranan aktif dalam mengurangi kewenangan WTO
dan IMF".

Pendekatan ini kurang memperhatikan sifat-sifat rezim-rezim dunia ketiga. Hampir


semua rezim itu didominasi oleh para elit setempat, yang berniat mengintegrasikan
ekonomi mereka ke dalam pasaran global, walau masih ingin mengadakan tawar-
menawar tentang syarat-syaratnya. Yang menjadi perkecualian hanyalah sejumlah
kediktatoran, seperti rezim Sadam Hussein, yang menindas rakyatnya sendiri dan
biasanya menggabungkan unsur-unsur kapitalisme-negara dengan korupsi dalam skala
besar. Kita cukup naif kalau menaruh harapan kepada rezim semacam itu untuk
menjalankan perubahan yang menguntungkan rakyat. Dan naif juga jika membayangkan,
saat rezim-rezim itu duduk bersama dalam badan-badan internasional, tiba-tiba sikap
mereka berubah menjadi progresif.

Melihat bahwa amat susah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah, sejumlah aktivis
lain memusatkan perhatian mereka pada kegiatan di daerah-daerah. Menurut Susan
George:

Beribu-ribu kegiatan sedang berlangsung di tingkat lokal, di mana masyarakat melawan


konstruksi tempat sampah beracun, atau jalan tol, atau penutupan pabrik. Kadang
prakarsa-prakarsa ini dapat digabungkan, misalnya lewat gerakan "Sustainable and Self
Reliant Communities Movement" … Lusinan kota yang ukurannya bermacam-macam
sudah bereksperimen dengan perusahaan perseroan yang sahamnya dimiliki oleh warga-
warga setempat, guna menyediakan barang dan jasa demi kepentingan warga itu.

Namun sumber daya yang dapat diakses untuk kegiatan lokal ini kecil sekali
dibandingkan dengan negara imperialis dan perusahaan multinasional. Mana mungkin
mereka memenuhi kebutuhan masyarakat -- kecuali jika kita bersedia hidup melarat.
Paling banter kegiatan ini bisa menciptakan kantong-kantong kecil yang tidak
mengurangi kekuatan sistem kapitalisme global.

Susan George sendiri merujuk ke hal in ketika menulis: "Kita harus menemukan cara
untuk menghentikan orang yang tidak sudi berhenti (people who will stop at nothing).
Kapitalisme transnational tidak ada hentinya. Dengan perusahaan-perusahaan
transnasional dan cucuran modal yang tak terkendali, perkembangan kapitalisme sudah
mencapai tingkat yang berbahaya -- dan sistem ini akan terus melahap sumber-sumber
daya manusia dan alam, sekaligus merusak planet ini." Namun kemudian dia kembali
menganjurkan taktik-taktik penekanan terhadap negara sambil menganut Tobin Tax dan
semacamnya.

Menurut Susan George, pemerintah-pemerintah harus dilobi oleh aliansi tertentu. Dalam
bukunya The Debt Boomerang (Bumerang Hutang) dia menuliskan:

[Kita harus] membangun jembatan di barat antara para pecinta alam, aktivis buruh, orang
yang concern pada hal narkotika, para pembela hak-hak kaum imigran, anggota grup
solidaritas dengan dunia ketiga atau LSM-LSM … Semoga semua sektor ini bisa
bekerjasama untuk mendukung kebijakan alternatif sekaligus bekerjasama dengan
kawan-kawan imbangannya di dunia ketiga.

Banyak aktivis melihat aksi di Seattle sebagai contoh bagaimana aliansi ini dapat
dibangun, dengan menggabungkan wakil petani, kelompok aktivis, LSM, masyarakat
adat dan serikat-serikat buruh. Tetapi soalnya, kita tidak boleh menggabungkan semua
unsur ini dalam satu timbunan tanpa memperhatikan perbedaannya. Ada berbagai
kelompok aktivis minoritas tanpa banyak pengaruh. Ada organisasi lain yang berbasis
massa, tapi organisasi tipe ini juga agak bervariasi.

Misalnya gerakan-gerakan petani jarang mewakili satu lapisan sosial, karena kapitalisme
internasional telah membiakkan perbedaan-perbedaan di dalam tubuh kelas petani: yang
lebih makmur ingin menjadi petani kapitalis modern, dengan membeli tanah dari petani
lain lantas mempekerjakan mereka sebagai buruh tani. Ketika Luis Hernandez Navarro
menulis tentang "para produsen di pedesaan yang menjadi tulang punggung mobilisasi
baru" dia kurang memperhatikan bahwa agrikultur di Eropa sudah menjadi sebuah
industri kapitalis di mana tidak ada lagi banyak petani dalam artian tradisional. Bahkan di
negeri-negeri miskin seperti India cukup sering kaum tani kaya sudah mendominasi
organisasi-organisi tani. Mungkin mereka akan ikut mobilisasi demi kepentingan bersama
dengan kaum tani miskin dalam jangka pendek (misalnya untuk menurunkan harga
pupuk) tapi pasti ada konflik kepentingan dalam jangka panjang. Sama halnya dengan
banyak organisasi di kampung, yang timbul untuk memperjuangan air minum yang bersih
atau penyediaan tenaga listrik misalnya. Perjuangan ini sering militan. Namun sering juga
dikooptasi oleh politisi yang korup, yang berani menyediakan dinas dalam skop terbatas
guna mengambil hati warga-warga setempat serta membangun jaringan agen mereka.
Itulah sebabnya rezim-rezim otoriter dan korup seperti Orde Baru sering berhasil
melemahkan gerakan oposisi.

Ada yang melihat LSM-LSM sebagai pelaku utama dalam memperjuangkan perubahan.
Menurut Hernandez Navarro, "adanya jaringan komputer modern dan ratusan LSM, serta
kemampuan para aktivis untuk mengelilingi dunia telah memungkinkan dibentuknya
kantong-kantong perlawanan yang melintasi perbatasan nasional." Internet memang
berguna untuk melakukan kerjasama internasional. Tetapi LSM-LSM itu hanya
merupakan kelompok minoritas yang harus memobilisasi orang lain, kalau tidak hanya
ingin melobi-lobi instansi pemerintahan melainkan betul-betul mau memaksa badan-
badan itu berubah sikap. Oleh karena itu banyak LSM progresif yang bergerak di bidang
agitasi massa, bukan hanya advokasi atau penelitian.

Mereka yang menaruh harapan pada LSM itu sering merujuk ke peristiwa-peristiwa di
Meksiko, di mana tekanan dari LSM-LSM menghalangi pemerintah menghancurkan
perjuangan Zapatista. Tapi mereka lupa bahwa LSM itu tidak mampu menghalangi
pemerintah menyerang gerakan Zapatista tersebut. Pemberontakan itu tetap terisolasi di
satu daerah di Meksiko selatan, dan kaum penguasa di tingkat nasional tidak terlalu
direpotkan. Bahkan dalam pemilu tahun 2000, calon neoliberal Vicente Fox yang
menang.

Selain itu masing-masing LSM cenderung berfokus pada satu masalah saja: hak azasi
manusia, atau hutang, atau buruh, atau perempuan. Soalnya, jika ditawarkan konsesi
tertentu di bidang spesial mereka, para aktivis dapat terpancing untuk ikut mendukung
kegiatan yang sama sekali tidak progresif. Misalnya waktu intervensi imperialis di Teluk,
tidak sedikit aktivis HAM yang mendukung negara-negara imperialis karena pemerintah
Sadam Hussein telah melanggar HAM itu. Baru-baru ini sebuah laporan tetang gerakan
Zapatista yang diterbitkan oleh pemerintah Amerika mengusulkan agar LSM-LSM
digunakan demi kepentingan imperialis A.S.

Oleh karena itu, Susan George ingin memperluas aliansi yang ada. Dalam The Lugano
Report dia menuliskan bahwa "aliansi-aliansi kita harus lintas angkatan, lintas sektor,
lintas perbatasan…" Tapi orientasi ini terkadang berbahaya pula. Susan George
mengusulkan agar berbagai politikus konservatif diajak beraliansi karena mereka
melawan rencana multinasional tertentu. Bahkan dia bersedia mengajak perusahaan
transnasional tertentu seperti perusahaan asuransi. Soalnya sekutu semacam ini tidak
akan melakukan tindakan apa-apa yang bisa mengancam dinamika kapitalis yang sedang
merusak dunia kita, karena mereka justeru menarik keuntungan dari dinamika tersebut.
Kita harus mencari sekutu di bidang lain.

Kelas pekerja

Di Seattle banyak aktivis menyaksikan untuk pertama kalinya, kaum buruh tampil
sebagai sebuah kekuatan dalam perjuangan sosial. Cukup lama organisasi-organisasi
buruh di Amerika kelihatan pasif terhadap kampanye anti-militer atau anti-nuklir. Bahkan
para aktivis dari Eropa, yang memang pernah menyaksikan kaum buruh ikut aksi protes
politik, masih cenderung melihat mereka sebagai sebuah lapisan "aristokratik" (labour
aristocracy) yang ikut beruntung dari eksploitasi dunia ketiga. Namun di Seattle para
serikat buruh Amerika ikut berdemonstrasi. Tiba-tiba para aktivis mulai sadar bahwa
perjuangan melawan PHK dan melawan "efisiensi" kapitalis di barat bisa digabungkan
dengan perjuangan melawan kemiskinan di dunia ketiga dan pengrusakan lingkungan
alam.

Namun tulisan-tulisan yang terbit paska-Seattle jarang menonjolkan banyak pengertian


tentang kenapa gerakan buruh ikut terlibat dalam aksi itu, dan peranan mana yang bisa
dimainkan oleh kelas buruh. Kaum buruh cuma dilihat sebagai salah satu sekutu di antara
banyak sekutu lain, yang kebetulan ikut berdemo. Karena kebanyakan aktivis belum
mengerti bahwa sistem kapitalis bukan hanya sebuah persekongkolan antara beberapa
majikan. Kapitalisme global belum dipahami sebagai sistem akumulasi nilai lebih, di
mana sebagian besar nilai lebih itu berasal dari eksploitasi tenaga kerja upahan. Para
aktivis belum mengerti bahwa sistem ini didorong oleh upaya untuk menghisap semakin
banyak nilai lebih, sehingga tidak ada tempat berteduh di dunia ini di mana standar hidup
atau kondisi kerja kaum buruh tidak terancam.

Sebaliknya, mereka cendering melihat kaum pekerja di negeri-negeri maju sebagai


kolaborator dengan sistem global, dan pendapat itu seakan-akan dikonfirmasikan oleh
fakta bahwa para pekerja itu hidup lebih makmur dari mayoritas rakyat dunia ketiga.
Namun kesan itu berdasarkan persepsi-persepsi yang salah tentang dinamika sistem
tersebut. Perusahaan-perusahaan kapitalis didorong oleh perlunya menghimpun modal,
sehingga mereka melakukan investasi di mana saja para pekerja dapat dihisap secara
paling efektif. Pada awal abad XXI investasi itu terkonsentrasi di negeri-negeri maju
disamping beberapa "Newly Industrialising Countries" yang sedang berkembang. Di
sinilah sumber-sumber nilai lebih dapat disadap dengan paling mudah, karena tenaga
kerja di negeri-negeri maju adalah yang paling produktif karena paling terampil,
disebabkan berbagai faktor historis: banyaknya modal yang sudah terakumulasi;
prasarana-prasarana transportasi, enerji dan air; penyediaan tenaga kerja yang
berpendidikan, dan lain sebagainya.

Di bawah kapitalisme, manusia yang paling miskin bukanlah mereka yang paling
tereksploitasi, melainkan mereka yang dikesampingkan sama sekali oleh sistem kapitalis
itu, seperti tunakarya yang sudah lama menganggur -- kemiskinan ini disebabkan karena
para kapitalis tidak bisa menghisap profit yang cukup dengan mengeksploitasi mereka.
Demikian halnya juga dengan jutaan orang miskin kota di dunia ketiga, yang menderita
karena sistem kapitalis tidak mengizinkan mereka bekerja secara tetap -- artinya mereka
tidak berhak dieksploitasi secara konstan. Kensengsaraan mereka merupakan satu bukti
tentang kebiadaban sistem ini, namun sumber-sumber utama dinamika kapitalis bukanlah
di sini, melainkan letaknya dalam kelas pekerja yang dipekerjakan oleh kelas kapitalis.
Dan upaya kelas kapitalis yang tanpa jeda untuk meningkatkan profit tak urung
menimbulkan konflik antara kedua belah pihak.
Karena investasi cenderung terpusat di negeri-negeri maju, maka para pemilik modal
terpaksa terus berusaha mengurangi upah dan kondisi kerja kaum buruh. Sehingga para
majikan secara senantiasa menuntut "fleksibilitas" di tempat kerja dan berupaya memaksa
para pekerja bersaing dalam mencari kerja, sambil menjalankan "reform" yang memotong
asuransi kesehatan dan tunjangan sosial. Hal ini sudah berdampak besar pada psikologi
kaum pekerja. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, kaum pekerja merasa puas karena nasib
mereka agak membaik sejak akhir Perang Dunia II. Sedangkan dewasa in, nasib mereka
terasa memburuk lagi, karena mereka harus bekerja lebih keras dan lebih sering diPHK.
Di saat yang sama, para penguasa dunia ketiga dan mantan negara "komunis" juga
menyetujui kebijakan IMF dan Bank Dunia, serta memeras kaum pekerja and petani
mereka secara lebih intensif lagi.

Namun manusia jarang berserah diri begitu saja untuk diperas: biasanya mereka mencari
taktik untuk membela diri. Reaksi mereka sering defensif dan terbatas. Di sembarang
surat kabar di mana saja di dunia, kita mendapati berita tentang perjuangan setempat: aksi
protes atas penutupan rumah sakit atau kenaikan tarif angkutan umum, kekisruhan karena
pencabutan subsidi atas bahan-bahan pokok, aksi mogok karena PHK massal di
perbankan, dan semacamnya. Para peserta sering tidak melihat kaitan antara aksi mereka
dan perkembangan global; masalah-masalah yang mereka hadapi dikira berasal dari dosa-
dosa sejumlah politikus yang korup, perwira militer yang kejam atau majikan yang rakus.
Dengan cakrawala sempit ini tidak gampang aksi-aksi ini bersatu menjadi sebuah
mobilisasi umum, guna memecahkan persoalan-persoalan tersebut secara tuntas. Tapi hal
ini tidak mustahil. Pemogokan kaum buruh tambang di Inggeris pada tahun 1980, walau
bersifat defensif dan akhirnya kalah, tetapi menarik perhatian masyarakat luas dan
membuat banyak warga Inggeris melek tentang kebijakan reaksioner pemerintah
konservatif waktu itu. Pemogokan umum di Perancis pada tahun 1995 mendapatkan
dukungan mayoritas rakyat dan berhasil mengalahkan pemerintah. Sedangkan aksi
mahasiswa yang menduduki gedung DPR pada tahun 1998 menjadi inspirasi bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Pada tahun 2000 kita menyaksikan tumbangnya pemerintah Ekuador disebabkan sebuah
gelombang demonstrasi oleh kaum buruh dan masyarakat adat, pemogokan umum di
Argentina, Nigeria dan Afrika Selatan, aksi protes para petani di Brazil, kerusuhan massal
karena kenaikan tarif angukutan umum di Guatemala, dan aksi mogok di sektor publik di
Norwegia. Semua peristiwa ini merupakan reaksi terhadap dinamika globasisasi.

Potensi kaum pekerja untuk menantang sistem kapitalis jauh melebihi potensi
demonstrasi di jalanan. Demonstrasi hanya merupakan aksi "unjuk rasa", sedangkan aksi
mogok mempunyai implikasi yang jauh lebih besar. Karena kaum pekerja terkonsentrasi
di tempat-tempat kerja dan di kota-kota besar secara permanen, dan pekerjaan mereka
menciptakan nilai lebih yang memotori sistem kapitalis, sehingga potensi mereka mampu
untuk melumpuhkan sistem itu. Mereka jarang memenuhi potensi ini, karena belum
memiliki kepercayaan diri dan kesadaran yang perlu. Para aktivis anti-kapitalis harus
menemukan cara-cara untuk merealisasikan potensi tersebut. Seperti kata Rosa
Luxemburg sebelum dibunuh oleh militer Jerman pada tahun 1919: "Tempat rantai-rantai
kapitalisme ditempa, disitulah rantainya harus diputuskan."
Dinamika gerakan kita

Setiap gerakan perlawanan pasti melawati dua tahapan. Dalam tahap pertama, gerakan
baru itu meledak secara tak tersangka, menyenangkan para pendukung serta mengejutkan
para lawannya. Mula-mula gerakan itu berkesan sanggup mengatasi segala halangan
dengan momentum spontannya saja. Para pendukung merasa begitu antusias sampai
melupakan perselisihan lama dan bersatu dalam perjuangan. Namun musuh tidak
menyerah begitu saja. Dengan cukup cepat musuh itu mengembangkan taktik-taktik
defensif dan alat-alat pemecah belah, dan gerakan tersebut akan kehilangan momentum.
Di saat itu, perselisihan tentang strategi dan taktik tak urung muncul lagi.

Hal ini terjadi dalam gerakan anti senjata nuklir di Inggeris pada dasawarsa 1950-an.
Euforia yang bercokol di awal gerakan dalam waktu tiga tahun disusul oleh pertengkaran,
antara mereka yang mengharapkan perubahan melalui parlemen dan mereka yang
mementingkan aksi massa. Sepuluh tahun kemudian perdebatan yang mirip muncul di
Amerika dalam gerakan melawan intervensi A.S. di Vietnam. Kalau perbedaan pendapat
ini tidak diselesaikan, gerakan bisa tercerai-berai. Gerakan anti-kapitalis paska-Seattle
belum sampai ke tahapan kedua, tetapi sudah ada perdebatan tertentu yang harus
diselesaikan agar gerakan kita tidak kehilangan arah. Pertikaian yang paling panas terjadi
di London setelah aksi May Day tahun 2000. Pengrusakan sepele (jendela-jendela hancur
di satu restoran MacDonalds, patung Winston Churchill yang dicat oleh para pendemo)
menjadi topik hangat di mass media. Reaksi mass media semacam itu adalah hal yang
biasa. Namun sebuah perdebatan meletus juga di situs internet para penyelenggara aksi
tersebut, dan mereka yang melakukan pengrusakan kecil itu juga dikecam secara
emosional oleh George Monbiot, seorang wartawan yang menjadi jurubicara gerakan
anti-kapitalis. Si Monbiot menulis bahwa "Gerakan kita … kehilangan akal" karena
pengaruh sejumlah "orang gila".

Kekhawatiran ini bukan sesuatu yang 100% baru. Setelah demonstrasi di Seattle Media
Benjamin, seorang tokoh termuka dalam jaringan "Global Exchange", mengeluh bahwa
"segelintir demonstran" merusak perasaan solidaritas dengan "menghancurkan jendela,
menjungkirbalikkan tong sampah, menjarah toko, memukul para pejabat WTO serta
pekerja dan pembeli di toko-toko…" Hal ini "berkesan negatif di mata masyarakat
umum". Menurut dia yang berdosa adalah golongan anarkis tertentu.

Reaksi George Monbiot lebih galak lagi, tidak hanya menyalahkan kaum anarkis tetapi
juga para aktivis organisasi Reclaim the Streets, walau para aktivis itu memang ingin
melakukan aksi damai. Menurut Monbiot mereka juga bersalah karena kurung
memahami apa yang dapat tercapai dengan aksi protes: "Aksi tanpa kekerasan sering
disalahartikan. Bukanlah sebuah upaya untuk mengubah dunia dengan kegiatan fisik,
melainkan sebuah aksi simbolis guna menarik perhatian orang kepada isu-isu yang
diabaikan sebelumnya, untuk mengambil hati orang melalui sandiwara politik." Taktik ini
mungkin bisa mencapai tujuan konkrit yang terbatas, seperti "memperlambat konstruksi
sebuah jalan tol"; namun untuk mencapai tujuan yang lebih jauh, aksi itu harus menjadi
satu bagian dari sebuah kampanye lebih luas sifatnya yang melawan kaum penguasa.
Para aktivis Reclaim the Streets "mungkin bisa melakukan sebuah serangan yang efektif
pada kapitalisme global seandainya mereka mengidentifikasikan sebuah alternatif yang
berarti. Namun karena kurangnya usulan untuk perubahan politik, aksi-aksi protes
mereka … menjadi malapetaka." Gerakan sampai terombang-ambing di antara sejumlah
isu yang besar dan rumit, sambil meniru bahasa dan tingkah laku kaum revolusioner tapi
tanpa program yang revolusioner. Lagipula:

Persoalan ini menjadi lebih rumit lagi karena mitos konsensus. Gerakan direct action
(aksi langsung) itu ngotot mengaku non-hierarkis, padahal tidak pernah bersifat begitu.
Beberapa orang tak urung bekerja lebih keras daripada yang lain dan menjalankan
kegiatan tertentu, tidak peduli apakah semua orang setuju … Tapi dengan meyakinkan
diri sendiri bahwa tidak ada hierarki, bahwa aksi-aski mereka merupakan spontanitas
belaka, para pelaku mengelak pertanggunjawaban.

Menurut George Monbiot, sikap yang tidak bertanggungjawab ini membuka jalan bagi
tidakan anarkis.

Monbiot memang benar dalam beberapa hal. Demonstrasi dan blokade tanpa kekerasan
adalah aksi simbolis yang sangat penting untuk memfokuskan dan mengutarakan aspirasi
rakyat, tapi kegiatan ini memang hanya simbolis saja. Namun demikian pula dengan aksi
kekerasan oleh kelompok kecil, walau tampaknya lebih serius. Karena semua kegiatan ini
tidak mampu menghentikan operasi sistem kapitalis, mereka tidak sanggup
menyelesaikan proses penghisapkan dan peredaran nilai lebih serta akibat-akibat
mengerikan yang menyertainya. Sebuah dunia kerja teralienasi tidak dapat diselesaikan
dengan menghancurkan jendela-jendela toko ataupun dengan duduk di jalanan secara
pasif.

Namun George Monbiot cs tidak menganjurkan jalan alternatif yang meyakinkan.


Monbiot sendiri menunjuk ke pemilihan untuk pemerintah-pemerintah lokal, sedangkan
Medea Benjamin berargumentasi bahwa sejumlah kampanye yang "positif, inklusif serta
demokratik" telah berhasil "memaksa beberapa perusahaan besar merubah kebijakan
mereka yang paling kejam". Namun mendapatkan sejumlah kursi di DPRD atau merubah
sepak-terjang kaum majikan di beberapa tempat tidak berarti kita menghentikan ataupun
memperlambat dinamika sistem kapitalis internasional. Dan sebenarnya hal ini sudah
diakui oleh kedua tokoh tersebut. Monbiot mendukung berbagai aksi "direct action",
sedangkan Benjamin berperan sangat positif dalam menyelenggarakan demonstrasi di
depan kongres nasional Partai Demokratik di Amerika. Tidak ada cara non-kekerasan
yang simplistik untuk menghadapi sistem global kapitalis.

Kita bisa banyak belajar dari nasib gerakan-gerakan yang muncul pada tahun 1970-an
lantas merosot di tahun 1980-an. Di satu pihak, banyak aktivis menempuh jalan
parlementer, dengan mengembar-gemborkan partai partai baru yang anti-nuklir dan pro-
lingkungan, yang diharapkan bisa mentransformasikan kancah politik. 15 tahun
kemudian partai-partai itu sudah ikut memerintah di Jerman, Perancis dan Italia. Mereka
mendukung serangan imperialis di Serbia sambil mempertahankan fasilitas tentaga nuklir.
Di pihak lain, ada kelompok-kelompok tertentu yang menolak jalan parlementer dan
menganut politik "otonomis", dengan hidup di daerah-daerah kantong; secara berkala
mereka mengenakan topeng, turun ke jalan dan melempari polisi dengan bom asap
bahkan bom bensin. Para polisi membalas dengan gas air mata dan meriam air. Berita-
berita di TV menjadi tontonan yang hebat. Hasilnya? Kelompok-kelompok "otonomis"
menjadi semakin kecil, kelompok-kelompok yang bergerak di parlemen menjadi semakin
moderat, aparat keamanan menjadi semakin kuat. Kedua pendekatan ini (parlementaris
serta "otonomis") gagal karena menonjolkan sebuah kelemahan bersama. Mereka tidak
tahu kekuatan mana yang betul-betul mampu melawan sistem kapitalis dengan efektif.

Kita harus menggabungkan enerji dan idealisme para minoritas anti-kapitalis yang turun
ke jalan baru-baru ini dengan perjuangan massa yang juga sedang terjadi di mana-mana.
Untuk itu, aksi kekerasan oleh grup-grup kecil tidak efektif, bahkan memberikan peluang
bagi aparat untuk menghantam kita. Kadang-kadang mobilisasi non-kekerasan oleh
sebuah gerakan besar yang berdisiplin bisa mengekspos ciri-ciri kekerasan yang
menyifati sistem kapitalis. Namun itu tidak berarti, sistem ini dapat dikalahkan oleh aksi
non-kekerasan saja. Berkali-kali dalam sejarah, sistem kapitalis telah membantai gerakan
oposisi yang bersikap non-kekerasan, misalnya tragedi di Indonesia pada tahun 1965,
peristiwa yang mengerikan di Chile pada tahun 1973 dan pembantaian di Beijing pada
tahun 1989. Untuk mengatasi kekerasan kapitalis ini kita tidak bisa mengandalkan aksi
ultrakiri oleh grup kecil maupun prinsip non-kekerasan pasifis. Kita harus membangun
gerakan-gerakan massa yang bersedia melakukan perjuangan bersenjata kalau perlu.
Seperti ditulis oleh Bronterre O’Brien, tokoh Cartis di Inggeris masa lampau: "Kaum
kaya sudah dari dahulu kala bersifat kejam … Melawan musuh semacam itu,
menggelikan kita membicarakan kekuatan moral (moral force) … Hanya ketakutan besar
pada sebuah kekuatan yang besar akan memaksa mereka kembali bersifat manusiawi."

Masalah organisasi

Dalam setiap gerakan yang baru muncul, salah satu sifat yang paling mengesankan
adalah cara-cara orang mengambil prakarsa secara spontan, menyelenggarakan aksi
imajinatif serta menonjolkan kreativitas yang luar biasa. Semua enerji mental yang
sebelumnya diboroskan dalam bermacam-marcam hiburan sepele, tiba-tiba diarahkan
untuk membangun gerakan tersebut. Menyimak fenomena ini para pengamat sering
berkesimpulan, gerakan itu sudah mengatasi semua masalah organisasi yang dulu
menjadi perhatian para aktivis. Sehingga sama sekali tidak mengherankan bila seorang
Naomi Klein beranggapan, gerakan anti-kapitalis yang turun ke jalan di Seattle and
Washington telah melampaui semua bentuk-bentuk organisasi lama:

Gerakan protest anti-konglomerat yang menarik perhatian dunia di jalan-jalan Seattle


pada bulan November lalu, tidak disatukan oleh sebuah partai politik atau jaringan
nasional yang memiliki markas besar di kota tertentu; tidak diselenggarakan oleh
pemilihan tahunan serta sel-sel dan cabang-cabang di basis. Gerakan ini berdasarkan ide-
ide beberapa aktivis dan intelektual tertentu tetapi tidak tunduk dibawah orang ini sebagai
pimpinan. Ketika para aktivis gerakan berkumpul, mereka menyerupai ratusan bahkan
ribuan jari roda. Fakta bahwa kampanye-kampanye tidak tersentralisasi bukanlah sumber
kekacauan dan fragmentasi, melainkan sebuah upaya penyesuaian yang sangat masuk
akal, baik terhadap keretakan-keretakan yang sudah ada dalam jaringan-jaringan
progresif, maupun perubahan dalam budaya massa secara lebih luas. Salah satu kelebihan
besar model organisasi yang "leluasa" ini adalah: gerakan menjadi sulit terkontrol, karena
berdasarkan prinsip-prinsip organisasi yang begitu berbeda dengan prinsip lembaga-
lembaga dan perusahaan-perusahaan yang menjadi sasaran. Kepada hirarki kapitalis yang
mengkonsentrasikan wibawa dan kekuatan, gerakan ini menghadapkan grup-grup dan
aksi-aksi yang simpang-siur. Globalisasi dihadapi denganh semacam lokalisasi khas kita.
Konsolidasi kekuatan dibalas dengan penyebaran kekuatan secara radikal.

Dia mengutip Joshua Karliner dari LSM Transational Resources and Action Centre yang
melukiskan cara-cara organisasi tersebut sebagai "respon tak sengaja yang brilyan
terhadap globalisasi", dan Maude Barlow dari dewan Council of Canadians yang
mengatakan: "Kita sedang menghadapi sebuah batu raksasa, yang tidak bisa dihilangkan,
jadi kita berusaha melampauinya dengan mengeriap di bawah, di atas dan disekeliling
batu tersebut." Gerakan tak tersentralisasi itu juga dikira menyerupai sekawanan lebah
(swarm) yang mampu bergabung secara mendadak guna menggangu lembaga-lembaga
globalisasi:

Ketika para pengritik mengatakan, para pengunjuk rasa kekurangan visi, maksud mereka
adalah, kita tidak memiliki sebuah ideologi lengkap secara menyeluruh -- seperti
Marxisme, sosialisme demokratik, ekologisme ekstrim atau anarkisme sosial -- yang
disetujui oleh semua peserta. Hal itu sangat benar, dan patut disyukuri. Gerakan muda ini
patut dihargai karena sampai sekarang masih menangkis semua agenda itu dan menolak
segala manifesto yang mau dianugerahi oleh berbagai pihak. Mungkin yang menjadi
tugas utama bukanlah mencari visi melainkan melawan keinginan untuk merumuskan visi
itu dengan terlalu cepat.

Namun dalam artikel yang sama Naomi Klein mengakui bahwa cara organisasi yang
"mengeriap" itu menonjolkan berbagai kelemahan:

Betul, sistem berkepala lipat ini ada kelemahannya pula; dan kelemahan itu dapat
disaksikan di jalan-jalan Washington selama aksi anti IMF/Bank Dunia. Menjelang
tengah hari pada tanggal 16 April, saat aksi terbesar dijadwalkan, dewan jurubicara
(spokescouncil) yang mewaliki semua grup aktivis (affinity groups) bertemu. Pertemuan
itu diselenggarakan sewaktu grup aktivis tersebut sedang memblokir jalan-jalan disekitar
markas Bank Dunia dan IMF. Perempatan-perempatan sudah diblokir sejak jam 6 pagi,
tetapi para pendemo dikabari bahwa para peserta konferensi IMF berhasil masuk
sebelumnya, pada jam 5. Sehingga para jurubicara kebanyakan berkesimpulan, lebih baik
meninggalkan perempatan-perempatan itu dan ikut pawai [di tempat lain] … Soalnya,
tidak semua sepakat. Segelintar jurubicara dari grup tertentu mau tetap di situ dan
berusaha memblokir para peserta saat mereka mau keluar gedung.

Dewan jurubicara mencari sebuah kompromi, yang implikasinya agak ironis. "Dengerin!"
teriak Kevin Danaher via megafon. "Setiap perempatan punya otonomi sendiri. Mau
blokir terus, ya oke, boleh. Mau ikut pawai … juga boleh. Terserah."

Sebuah keputusan yang luar biasa fair dan demokratik -- cuma soalnya, tidak nalar sama
sekali! Taktik memblokir tempat-tempat masuk merupakan sebuah aksi terkoordinasi.
Kalau sekarang beberapa perempatan ditinggalkan, sedangkan perempatan lain tetap
diblokir oleh unsur-unsur pemberontak, itu berarti para peserta konferensi hanya perlu
belok kiri bukan kanan dan sudah luput. Dan itu memang terjadi.

Melihat sejumlah kelompok aktivis bangkit dan pergi, sedangkan yang lain tetap duduk
di jalanan secara menantang … tapi tanpa memblokir apa-apa … melihat itu saya merasa
cerita ini bisa menjadi kiasan bagi semua kelebihan dan kelemahan jaringan aktivis baru
kita.

Gerakan kita memiliki baik kelebihannya maupun kelemahannya, maka kita harus
membicarakan bagaimana kelemahan itu dapat diselesaikan. Kalau tidak diselesaikan,
mereka akan berkembang menjadi halangan besar, dan itu akan memungkinkan musuh
untuk menghancurkan gerakan tersebut. Pelajaran dari aksi di Washington dan juga dari
aksi di London adalah, tidak memadai setiap grup bertindak semaunya. Kita harus
menggunakan cara-cara demokrasi untuk mengambil keputusan, yang kemudian
diselenggarakan oleh semua orang yang terlibat. Kalau tidak, sembarang kelompok
minoritas bisa saja melakukan tindakan yang akibatnya parah untuk mayoritas.

Jaringan-jaringan longgar yang digemari para LSM bukanlah hal yang baru. Cara-cara
yang sama digunakan oleh para aktivis radikal pada akhir abad XVIII, melalui jaringan
surat-menyurat di Inggeris atau club-club Jacobin di tahap-tahap awal Revolusi Perancis,
dengan memakai surat karena belum ada e-mail. Namun saat mereka ingin beralih dari
propaganda dan agitasi yang tercabik-cabik ke perjuangan serius untuk menantang kaum
penguasa, mereka harus menggunakan bentuk-bentuk organisasi yang lebih
tersentralisasi; contohnya gerakan Jacobin antara 1792 dan 1794, kaum Irlandia Bersatu,
atau Konspirasi Kaum Sederajat yang dipimpin oleh Babeuf. Ini harus dilakukan karena
jaringan longgar tidak memungkinkan pengambilan keputusan secara bersatu di saat
mereka mau mengerahkan para pendukung untuk aksi revolusioner, malah membiarkan
unsur-unsur minoritas merusak aksi itu dengan bergerak terlalu cepat ataupun dengan
menjauhkan diri ketika semua kawan lain mau bertindak.

Lembaga-lembaga kapitalisme global bisa saja dilukiskan sebagai "batu besar" yang sulit
dihancurkan. Namun kalau kita hanya mau melampaui batu itu secara "mengeriap", batu
tersebut akan tetap ada dan bisa digunakan oleh kaum penguasa untuk menghantam kita.
Dan mereka memang menghancurkan ribuan orang setiap hari dengan Letter of Intent,
pengrusakan lingkungan alam, penggusuran dan lain sebagainya. Di hadapan hal-hal
yang mengerikan ini, tidaklah cukup kita bertindak bak "sekawanan lebah".

Juda tidak cukup mengatakan, gerakan kita memiliki banyak ide yang bagus. Memang
banyak sekali ide yang lahir dalam gerakan tersebut. Ratusan ribu, mungkin jutaan orang
sudah mulai menantang sistem kapitalisme global. Latarbelakang dan pengalaman
mereka bermacam-macam, sehingga pikiran-pikiran mereka bermacam-macam pula.
Siapa pun tidak boleh mendikte mereka. Namun itu justeru berarti timbulnya perdebatan
yang berbobot, dan kita semua harus ikut berdebat. Tidak memadai pula kalau kita
mensyukuri perselisihan itu saja, dengan mengatakan: "Alangkah bagusnya, kita sedang
berdebat dan pendapatnya beraneka-ragam." Sebaliknya, gerakan kita tidak bisa
berkembang secara sehat sebelum perdebatan-perdebatan ini diselesaikan. Jika kita
beranggapan, bahwa "sosialisme demokratik" atau "anarkisme sosial" terbukti salah di
masa lampau, hal itu harus kita utarakan.

Soal ini lebih penting lagi jika angkatan aktivis baru ingin bergabung dengan jutaan
pekerja dan rakyat tertindas lainnya yang setiap hari terlibat dalam perlawanan terhadap
neoliberalisme dan kapitalisme global. Dalam perjuangan ini, rakyat sering menaruh
pekerjaan, standar hidup bahkan jiwa mereka. Sangat penting kita membantu mereka
dalam mencari garis perjuangan yang tepat, strategi untuk mendapatkan dukungan dari
rakyat tertindas lainnya, taktik untuk menangkis serangan musuh. Sehingga klarifikasi
politik amat penting pula, bahkan menjadi sebuah keharusan untuk menghindari
kekalahan yang parah.

Para pimpinan perusahaan raksasa multinasional dan negara-negara imperialis agak


khawatir menyaksikan peristiwa di Seattle dan aksi-aksi yang menyusul. Gerakan kita
sudah menjadi inspirasi dan fokus politik bagi jutaan manusia yang ingin melawan
eksploitasi dan penindasan. Di dalam gerakan itu, hanya sebuah minoritas yang mengaku
sebagai Marxis ataupun sosialis. Namun dalam membangun sebuah gerakan baru dewasa
ini, mereka memasuki jalan yang ditempuh oleh Marx dan Engels hampir 160 tahun yang
lalu. Bukankah semboyan tempur Marxis "Kaum proletar sedunia bersatulah!"
mengucapkan inti dari perjuangan melawan kapitalisme global modern?

Anda mungkin juga menyukai