Anda di halaman 1dari 50

38

Ketika Rasulullah SAW Menangis Menyendiri

Suatu ketika para sahabat mendapati Nabi SAW dalam keadaan yang tidak biasanya.
Selama beberapa hari beliau tampak bersedih dan menyendiri saja di dalam rumah, tidak keluar
kecuali saat shalat berjamaah saja, itupun beliau tidak bercakap-cakap dengan siapapun. Ketika
shalat itu Nabi SAW sangat merendahkan diri kepada Allah dan menangis, seolah-olah ada beban
begitu berat yang beliau rasakan. Setelah itu pulang dan menyendiri, lagi-lagi sambil menangis.
Para sahabat jadi ikut bersedih tanpa tahu apa yang sedang mengganggu pikiran beliau.

Pada hari ketiga, Abu Bakar datang ke rumah Nabi SAW dan berkata, “Assalamu’alaikum
yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu Rasulullah SAW??”

Tidak ada jawaban, Nabi SAW hanya diam sehingga (sahabat) pembantu beliau yang
menjaga pintu juga tidak berani menjawab dan tidak membukakan pintu. Setelah tiga kali salam
tidak ada jawaban, Abu Bakar berlalu pulang sambil menangis tersedu-sedu.

Tidak berapa lama datang Umar bin Khaththab dan berdiri di pintu rumah Nabi SAW. Ia
berkata, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu Rasulullah
SAW??”

Seperti yang terjadi pada Abu Bakar, tidak ada jawaban, sehingga Umar juga pulang
dengan menangis tersedu-sedu.

Kemudian datanglah sahabat Salman al Farisi, ia juga berdiri di depan pintu mengucapkan
salam, “Assalamu’alaikum yaa ahla baitir rakhmah, apakah saya bisa bertemu junjunganku,
Rasulullah SAW??”

Seperti pada Abu Bakar dan Umar, tidak ada jawaban sehingga Salman menangis sedih
beberapa lamanya, bahkan hingga ia jatuh tanpa menyadarinya. Ia bangkit lagi dan berjalan
menuju rumah Fathimah, Salman berkata, “Assalaamu’alaika, wahai putri Rasulullah!!”

Tampaknya sang suami, Ali bin Thalib sedang tidak ada di rumah sehingga Fathimah
hanya menjawab salamnya tetapi tidak membukakan pintu. Karena itu Salman berkata lagi,
“Wahai putri Rasulullah, sesungguhnya Rasulullah dalam beberapa hari ini sedang menyendiri.
Beliau tidak keluar rumah kecuali untuk kepentingan shalat, dan itupun beliau tidak berkata-kata
sedikitpun. Beliau juga tidak mengijinkan siapa saja untuk masuk ke rumah beliau!!”

Mendengar pemberitahuan Salman ini, Fathimah segera mengenakan pakaian panjang dan
pergi ke rumah Rasulullah SAW. Di depan pintu ia berkata, “Assalaamu’alaika ya Rasulullah, saya
adalah Fathimah!!”

Saat itu Nabi SAW sedang sujud dan menangis. Beliau bangkit kemudian bersabda, “Ada
apa Fathimah? Aku sedang menyendiri. Bukakan pintu untuk Fathimah!!”

Pintu dibukakan dan Fathimah masuk, seketika itu ia menangis tersedu-sedu melihat
keadaan Nabi SAW. Beliau tampak sangat lemah dan pucat pasi, wajahnya sembab karena terlalu
sedih dan banyak menangis. Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang sedang menimpa
ayah??”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Fathimah, tiga hari yang lalu Jibril datang dan menceritakan
tentang neraka….!!”

Rasulullah SAW menceritakan bagaimana Malaikat Jibril menggambarkan keadaan neraka


(Uraian lengkapnya, lihat Laman Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman, dengan judul “Malaikat
Jibril Menggambarkan Neraka”), sehingga mereka berdua menangis penuh ketakutan, takut akan
‘makar’ Allah. Setelah tangisan mereka agak reda, Jibril menjelaskan lagi bahwa neraka itu
mempunyai tujuh pintu, yang masing-masing pintu seluas jarak 70 tahun perjalanan. Pintu yang di
bawah lebih panas 70 kali daripada pintu di atasnya.

Nabi SAW bertanya, “Siapakah penghuni pintu-pintu itu?”

Jibril menjelaskan bahwa pintu yang pertama dan yang terbawah sekaligus yang paling
panas bernama Hawiyah. Penghuninya adalah kaum munafik, kaum dari Nabi Isa AS yang ingkar
setelah diturunkannya hidangan dari langit untuk mereka, dan untuk Fir’aun dan para pengikutnya.
Pintu kedua yang di atasnya bernama Jahim, dihuni oleh orang-orang yang musyrik.

Pintu ke tiga adalah Saqar, dihuni oleh orang-orang Shabi’in. Pintu ke empat bernama
Ladha, dihuni oleh Iblis dan para pengikutnya, termasuk kaum Majusi. Pintu ke lima bernama
Huthamah, dihuni oleh orang-orang Yahudi. Pintu ke enam bernama Sa’ir, dihuni oleh orang-
orang Nashrani….

Sampai di situ tiba-tiba Malaikat Jibril terdiam, sementara Nabi SAW menunggu
penjelasan lebih lanjut. Merasa aneh dengan diamnya Jibril, Nabi SAW bersabda, “Mengapa
engkau memberitahukan penghuni pintu neraka yang ke tujuh??”

Malaikat Jibril tampak segan untuk berbicara, tetapi pandangan mata Nabi SAW tampak
‘memaksa’ untuk mengetahuinya, sehingga Jibril berkata, “Pintu ke tujuh dihuni umat-umatmu
yang melakukan dosa besar, dan tidak bertaubat hingga ia meninggal!!”

Mendengar perkataan Jibril yang terakhir, seketika wajah Nabi SAW pucat pasi dan beliau
pingsan. Jibril meletakkan kepala beliau di pangkuannya. Setelah sadar, Nabi SAW bersabda,
“Betapa besar cobaanku, betapa sedihnya hatiku, jadi ada umatku sebagai penghuni neraka?”

Jibril berkata, “Benar, umatmu yang mengerjakan dosa-dosa besar dan belum bertaubat!!”

Setelah menceritakan hal itu, Fathimah makin terhanyut dan tangisannya makin tersedu.
Nabi SAW berkata, “Sejak saat itulah aku teramat sedih dan selalu menangis. Aku banyak
bersujud dan merendahkan diri kepada Allah, agar siksa bagi umatku tersebut diringankan oleh
Allah!!”

Fathimah berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah mereka itu masuk ke neraka?”

Nabi SAW bersabda, “Mereka digiring malaikat menuju neraka. Wajah mereka tidak
hitam, mata mereka tidak biru, mulut mereka juga tidak disumbat. Mereka juga tidak dirantai atau
dibelenggu sebagaimana penghuni neraka lainnya…”

Fathimah bertanya lagi, “Bagaimana keadaannya ketika mereka digiring ke neraka??”

Beliau bersabda, “Orang laki-laki ditarik pada jenggotnya, sedangkan yang perempuan
ditarik pada rambut ubun-ubunnya…”

Beliau melanjutkan penjelasannya, bahwa ada di antara mereka yang masih muda, ketika
ditarik jenggotnya, mereka berkata, “Betapa sayangnya kemudaan dan ketampananku!!”

Sedangkan kaum wanita yang ditarik rambut ubun-ubunnya, mereka berkata, “Alangkah
malunya aku!!”

Ketika malaikat yang menggiring ke neraka bertemu malaikat Malik, malaikat penjaga
neraka, Malik berkata, “Siapakah mereka ini? Aku tidak pernah menemukan orang yang disiksa
seperti keadaan mereka ini. Wajahnya tidak hitam, matanya tidak biru, mulutnya tidak disumbat,
mereka juga tidak digiring dalam golongan syaitan yang dibelenggu atau diikat pada lehernya!!”
Malaikat yang menggiring itu berkata, “Demikianlah keadaannya kami diperintahkan
membawa mereka kepadamu!!”

Malaikat Malik berkata, “Wahai orang-orang yang celaka, siapakah sebenarnya kalian
semua ini??”

Kisah selanjutnya dari percakapan tersebut bisa dilihat pada Laman ini juga (Percik Kisah
Nabi Muhammad SAW) dengan judul : Syafaat Nabi SAW pada Yaumul Makhsyar.

Fathimahpun makin sedih mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, dan menemani Nabi
SAW munajat kepada Allah agar umat-umat beliau yang menempati pintu ke tujuh dari neraka itu
mendapat keringanan siksaan, dan akhirnya dapat dibebaskan dari neraka.

39
Beberapa Tanda akan Wafatnya Nabi SAW

Telah menjadi kebiasaan Nabi SAW, pada setiap bulan Ramadhan beliau akan selalu
memperbanyak amal-amal ibadah. Bahkan pada sepuluh hari terakhir, beliau tidak ‘mengunjungi’
(menggilir) sembilan orang istri-istri beliau, tetapi menghabiskan waktu dengan i’tikaf di masjid.
Di saat seperti itu biasanya malaikat Jibril ‘menemani’ beliau melakukan tadarus Al Qur’an,
sekaligus menata ulang lagi urutan-urutan Al Qur’an setelah ada ‘penambahan’ wahyu-wahyu
yang turun dalam tahun yang bersangkutan.

Pada bulan Ramadhan tahun 10 hijriah, ternyata Nabi SAW lebih awal dan lebih lama
melaksanakan i’tikaf di masjid, yakni selama duapuluh hari. Malaikat Jibril juga lebih sering
datang dan menemani beliau tadarus Al Qur’an. Kalau pada ramadhan-ramadhan sebelumnya
Jibril hanya sekali saja ‘mengetes’ hafalan Al Qur’an Nabi SAW, kali ini sampai dua kali. Seolah-
olah mereka telah mengetahui bahwa saat itu adalah kesempatan terakhir untuk mengisi indahnya
waktu ramadhan di bumi dengan membaca Al Qur’an, dan saat terakhir juga untuk menetapkan
urutan-urutan Al Qur’an, walau mungkin masih ada beberapa ayat atau wahyu lagi yang akan
turun.

Pada saat terjadinya Penaklukan Kota Makkah (Fathul Makkah) yang terjadi pada tahun 8
hijriah, pasukan muslim hanya berjumlah sekitar sepuluh ribu orang. Setelah itu berbagai kabilah
di Jazirah Arabia berduyun-duyun memeluk Islam. Pada tahun 10 hijriah Nabi SAW
mengumumkan akan melakukan ibadah haji (yakni Haji Wada’), maka hampir seluruh umat Islam
bermaksud untuk mengikuti perjalanan haji beliau. Tidak kurang dari 124.000 orang, atau dalam
riwayat lain 144.000 orang yang mengikuti ibadah haji tersebut, dan sebagian besarnya berkumpul
dahulu di Madinah. Hanya dalam dua tahun, ternyata Islam mengalami perkembangan yang
sungguh luar biasa, bertambah hingga duabelas atau empatbelas kalinya.

Nabi SAW dan rombongan besar beliau itu meninggalkan Madinah, empat atau lima hari
sebelum berakhirnya Bulan Dzulqa’idah tahun 10 H, dan setelah sekitar delapan hari perjalanan,
mereka sampai di Makkah pada tanggal 4 Dzulhijjah 10 H. Saat wuquf di Arafah tanggal 9
Dzulhijjah, beliau minta didatangkan unta beliau Al Qashwa, dan beliau menungganginya hingga
di tengah padang Arafah. Dari tempat itu beliau memberikan khutbah secara umum kepada umat
Islam, yang kemudian dikenal dengan nama ‘Khutbah Arafah’. Yang mengulang dengan suara
keras khutbah beliau agar bisa didengar oleh ratusan ribu kaum muslimin itu adalah Rabi’ah bin
Umayyah bin Khalaf.

Setelah melantunkan pujian dan sanjungan kepada Allah SWT, Rasulullah SAW membuka
khutbah dengan perkataan, “Wahai semua manusia, dengarkanlah perkataanku!! Aku tidak tahu
pasti, bisa jadi aku tidak akan bisa bertemu dengan kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan
yang seperti ini….!!”
Kemudian beliau memberikan berbagai macam nasehat dan bimbingan kepada mereka. Di
sela-sela nasehat tersebut, beberapa kali beliau bersabda, “….bukankah aku telah bertabligh
(menyampaikan)??”

Hampir mereka semua berkata, “Kami bersaksi bahwa engkau telah bertabligh,
melaksanakan kewajiban dan memberi nasehat!!”

Mendengar itu, sambil mengacungkan jari ke atas, Nabi SAW bersabda sampai tiga kali,
“Ya Allah, persaksikanlah!!”

Ketika telah cukup banyak nasehat yang beliau sampaikan, tiba-tiba beliau terdiam, suatu
tanda bahwa wahyu tengah turun kepada beliau. Keadaan itu tampaknya sangat memberatkan
beliau sehingga beliau bersandar pada unta beliau (pada punuknya), bahkan al Qashwa sendiri
tampak merasa keberatan sehingga terduduk, menempelkan perutnya di tanah.

Setelah selesai menerima wahyu tersebut, Nabi SAW langsung membacakannya kepada
seluruh kaum muslimin di Arafah, yakni bagian dari QS Al Maidah ayat 3, “Al-yauma akmaltu
lakum diinakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matii wa rodhiitu lakumul islaama diinaa.”

Artinya adalah : Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agama bagimu.

Wahyu tersebut adalah ayat terakhir dalam masalah hukum atau syariat. Artinya setelah itu
tidak ada lagi wahyu yang turun berkaitan dengan perintah (kefardhuan) dan larangan kepada
kaum muslimin. Hari Arafah itu adalah 81 hari sebelum wafatnya Rasulullah SAW. Menurut
beberapa ulama, beberapa wahyu masih turun lagi, misalnya QS Surat an Nashr yang turun pada
pertengahan hari Tasyriq saat haji itu, QS An Nisa ayat 176 turun 50 hari sebelum wafat, QS At
Taubah ayat 128 turun 35 hari sebelum wafat, dan yang terakhir QS Al Baqarah ayat 281 turun 21
hari sebelum kewafatan Nabi SAW.

Para sahabat yang berkumpul sangat gembira mendengar turunnya wahyu tersebut, mereka
saling berkata kepada sesamanya, “Agama kita telah sempurna!!”

Tetapi reaksi Umar bin Khaththab sangat berbeda, kalau yang lainnya berseru gembira,
Umar justru menangis. Ketika ada yang menanyakan sebabnya, Umar berkata, “Sesungguhnya
setelah ada kesempurnaan itu hanyalah ada kekurangan!!”

Berbeda lagi dengan reaksi Abu Bakar, wajahnya langsung pucat pasi setelah Nabi SAW
menyampaikan wahyu tersebut. Ia segera pulang ke rumahnya dan menangis tersedu-sedu di sana.
Beberapa orang sahabat datang ke rumah Abu Bakar, dan salah seorang dari mereka berkata,
“Wahai Abu Bakar, mengapa engkau menangis justru pada saat yang menggembirakan ini,
bukankah Allah telah menyempurnakan agama kita?”

Abu Bakar berkata, “Wahai para sahabat, kalian semua tidak menyadari musibah yang
akan menimpa kalian ini. Bukankah kalian telah mengetahui, jika suatu perkara telah sempurna,
maka akan terlihat kekurangannya. Ayat ini mengisyaratkan akan perpisahan kita dengan
Rasulullah, tentang keberadaan Hasan dan Husain menjadi yatim (Dua orang cucu beliau ini
memang lebih banyak dinisbahkan kepada Nabi SAW daripada kepada Ali bin Abi Thalib,
ayahnya), tentang istri-istri beliau yang menjadi janda….!!”

Seketika mereka semua menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Abu Bakar, bahkan
ada yang menjerit penuh kesedihan. Keadaan ini mengundang perhatian beberapa sahabat lainnya
dan melaporkannya kepada Nabi SAW, mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak tahu apa
yang sebenarnya terjadi dengan para sahabat. Mereka berkumpul di rumah Abu Bakar dan kami
mendengar tangisan dan jerit kesedihan mereka!!”
Nabi SAW segera pergi ke rumah Abu Bakar diikuti beberapa sahabat lainnya, sampai di
sana beliau langsung bersabda, “Apa yang membuat kamu sekalian menangis??”

Ali bin Abi Thalib yang juga berada di dalam rumah, berkata, “Abu Bakar menjelaskan
bahwa dalam ayat yang baru saja engkau sampaikan itu, ia mencium ‘aroma’ akan kewafatan
engkau, ya Rasulullah. Apakah memang benar seperti itu??”

Nabi SAW tersenyum, senyum yang sejuk dan menenangkan, tetapi beliau tidak mau
menutup-nutupinya, beliau bersabda, “Benar apa yang dikatakan Abu Bakar, sungguh telah dekat
saatnya kepergianku dari sisi kalian semua, dan perpisahanku dengan kalian semua!!”

Seketika pecahlah tangis mereka semua, termasuk sahabat yang baru datang mengiringi
Nabi SAW. Akan halnya Abu Bakar, walaupun ia yang telah menduganya, tetapi begitu ucapan itu
langsung keluar dari mulut Rasulullah SAW sendiri, ia tidak mampu menahan kepedihan hatinya
dan seketika pingsan.

Dalam setiap pelaksanaan rangkaian ibadah haji itu, seperti thawaf, sa’i, melempar jumrah
dan lain-lainnya, sering sekali Nabi SAW bersabda, “Pelajarilah manasik kalian dariku ini, karena
boleh jadi aku tidak akan bertemu kalian lagi setelah tahun ini, dalam keadaan seperti ini!!”

Turunnya surat An Nashr, yakni : Idzaa jaa-a nashrullahi wal fatkhu, wa ro-aitan naasa
yadh-khuluuna fii diinillaahi afwajan, fasabbikh bi khamdi robbika wastaghfir-hu innahuu kaana
tawwaban, setelah terjadinya Fathul Makkah, atau menurut riwayat lain turun pada pertengahan
hari Tasyriq pada saat haji Wada’ tersebut, menurut sahabat Abdullah bin Abbas merupakan isyarat
yang sangat gamblang akan berpulangnya Rasulullah SAW ke hadirat Allah SWT.

Pada tahun 10 hijriah itu juga, Nabi SAW mengirimkan sahabat Muadz bin Jabal ke Yaman
untuk mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada penduduknya, yang kebanyakan baru memeluk
Islam setelah terjadinya Fatkhul Makkah. Sekaligus ia ditugaskan sebagai pengumpul zakat
mereka. Setelah beberapa perbincangan untuk ‘mengetes’ pengetahuan Mu’adz, kemudian beliau
bersabda, “Wahai Mu’adz, boleh jadi engkau tidak akan bertemu lagi dengan aku sesudah tahun
ini, dan boleh jadi engkau hanya akan lewat di masjidku ini, dan juga kuburanku!!”

Mu’adz menangis sejadi-jadinya. Kalau saja boleh memilih, tentulah ia ingin tetap tinggal
di Madinah untuk mengisi waktu-waktu yang tersisa selalu bersama Rasulullah SAW. Tetapi tugas
telah ditetapkan dan ia tidak mungkin menolak perintah beliau. Setidaknya dengan sabda beliau
itu, Nabi SAW telah berpamitan kepadanya selagi ada kesempatan bertemu. Dan memang Mu’adz
tenggelam dalam tugas yang diberikan Nabi SAW di Yaman saat beliau wafat, dan baru bisa
menyelesaikan tugasnya dan kembali ke Madinah saat Abu Bakar telah menjadi khalifah. Sungguh
benar sekali yang diramalkan Nabi SAW, ia hanya bisa menjumpai masjid dan kuburan Nabi SAW.

40
Ketika Nabi SAW Mengijinkan Diqishash

Beberapa hari, sebagian riwayat menyebutkan lima hari, sebelum Nabi SAW wafat, saat itu
sakit beliau mulai parah, beliau memerintahkan Bilal untuk mengumpulkan para sahabat
Muhajirin dan Anshar di Masjid. Beliau naik mimbar, setelah memuji dan menyanjung Allah,
beliau berkhutbah yang tidak terlalu panjang (lama) tetapi cukup padat, menyentuh hati dan
membuat para sahabat banyak yang menangis. Antara lain beliau bersabda sebagai berikut :

“Wahai kaum muslimin, sesungguhnya aku seorang Nabi bagimu, penasehat dan penyeru
kepada Allah atas ijin-Nya. Aku layaknya seorang saudara yang berbelas kasih kepada kamu,
sekaligus seorang ayah yang menyayangi. Barang siapa yang merasa mempunyai hak untuk
membalas penganiayaan padaku, hendaklah ia berdiri dan membalas (meng-qishash) kepadaku
sekarang ini, sebelum diberlakukan balasan (qishash) pada hari kiamat kelak….!!”

Tiada seorang-pun yang berdiri, Nabi SAW mengulangi ucapan beliau dua sampai tiga
kali, tetapi para sahabat masih tenggelam dalam keharuan dan ‘ke-terpesona-an’ akan ketinggian
akhlak beliau tersebut. Pemimpin mana yang berani bersikap seperti itu? Dalam keadaan sakit dan
mungkin mendekati kematiannya, membolehkan rakyat dan pengikutnya untuk melakukan hisab
(tuntutan balas) dan meminta haknya? Sebagian riwayat menyebutkan, ada seseorang yang berdiri
dan mengatakan kalau Nabi SAW mempunyai tanggungan 3 dirham kepadanya, maka Nabi SAW
memerintahkan Fadhl bin Abbas untuk membayarkan ‘hutang’ tersebut.

Para sahabat masih duduk diam dalam kekhuyu’annya karena pengaruh khutbah Nabi
SAW, tiba-tiba berdirilah seorang sahabat, Ukasyah bin Mihksan dan berkata, “Wahai Rasulullah,
demi Allah, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu, kalau tidak karena engkau mengumumkan
hal itu berkali-kali, tentulah aku enggan untuk menyampaikan sesuatu hal kepadamu!!”

Para sahabat tampak terhenyak kaget dan memandang marah kepada Ukasyah, tetapi Nabi
SAW bersabda, “Katakanlah wahai Ukasyah!!”

Kemudian Ukasyah menceritakan bahwa dalam perang Badar, ketika sedang bergerak
menyerang musuh, untanya berlari sangat cepat sehingga mendahului unta Rasulullah SAW.
Karena itu ia berhenti dan turun mendekati beliau, tetapi saat itu beliau mengayun tongkat/cambuk
yang akhirnya mengenai tubuhnya. Ukasyah berkata, “Saya tidak tahu, ya Rasulullah, apakah
engkau sengaja memukul saya, atau engkau akan memukul untamu, yang akhirnya mengenai
saya!!”

Nabi SAW bersabda, “A’udzubillah, wahai Ukasyah, kalau Rasulullah memukul kamu
dengan sengaja!!”

Maksudnya, Nabi SAW tidak sengaja ketka memukul tersebut bahkan beliau tidak
mengetahuinya. Beliau berkata kepada Bilal, “Pergilah ke rumah Fathimah, ambillah
tongkat/cambukku dan bawalah kemari!!”

Bilal mendatangi rumah Fathimah dan menyampaikan maksudnya, Fathimah berkata,


“Wahai Bilal, apa yang akan diperbuat ayahku dengan tongkatnya??”

Bilal berkata, “Beliau mempersilahkan dirinya untuk diqishash dengan tongkatnya!!”

Sambil menyerahkan tongkat beliau tersebut, Fathimah berkata, “Siapakah yang sampai
hati hendak mengqishash Rasulullah??”

Bilal mengambil tongkat tersebut tanpa memberikan jawaban kepada Fathimah, mungkin
takut terjadi salah persepsi. Setelah menerimanya, Nabi SAW memberikan tongkat itu kepada
Ukasyah dan mempersilahkannya untuk memukul beliau. Tiba-tiba Abu Bakar dan Umar berdiri di
depan Ukasyah dan berkata, “Wahai Ukasyah, laksanakan qishash itu kepada kami dan janganlah
meng-qishash Rasulullah!!”

Nabi SAW bersabda, “Duduklah kalian, sungguh Allah telah mengetahui kedudukan dan
niat kalian berdua!!”

Mereka kembali duduk, tetapi ganti Ali bin Abi Thalib yang berdiri menghadang, sambil
berkata, “Wahai Ukasyah, hidupku selalu aku pergunakan untuk membentengi Rasulullah, hatiku
tidak akan tahan jika engkau sampai membalas pukulan beliau. Inilah punggung dan perutku,
silahkan engkau memilih dan pukullah sesukamu!!”

Tetapi Nabi SAW bersabda, “Wahai Ali, sungguh Allah telah mengetahui kedudukanmu
dan niatmu, duduklah!!”
Ali kembali duduk, tetapi kini dua putranya, Hasan dan Husein berdiri di depan Ukasyah
dan berkata, “Wahai Ukasyah, bukankah engkau tahu bahwa kami adalah cucu-cucu Rasulullah,
jika engkau memukul kami, sama artinya engkau telah meng-qishash Rasulullah. Laksanakanlah
qishash itu kepada kami!!”

Nabi SAW bersabda, “Duduklah kalian berdua, wahai penghibur hatiku!!”

Dan beliau bersabda kepada Ukasyah, “Wahai Ukasyah, segera pukullah aku, jika memang
aku pernah memukulmu dengan tongkat itu!!”

Tetapi Ukasyah berkata, “Wahai Rasulullah, saat engkau memukulku itu, bajuku tengah
tersingkap dan langsung mengenai kulitku, karena itu hendaklah engkau singkapkan bajumu!!”

Para sahabat langsung menjerit, antara sedih dan marah kepada Ukasyah, tetapi beliau
dengan tenangnya menyingkapkan baju beliau pada bagian punggung atas seperti permintaannya.
Seketika itu Ukasyah melemparkan tongkat itu dan menempelkan dirinya pada tubuh Nabi SAW
yang terbuka dan menciumi punggung beliau. Dengan berlinangan air mata, yang tampaknya ia
sangat bahagia, Ukasyah berkata, “Wahai Rasulullah, aku persembahkan jiwaku sebagai tebusan
bagimu!! Siapakah kiranya yang akan tega meng-qishash engkau. Aku melakukan ini hanyalah
terdorong oleh keinginan kuat, agar kulitku yang hina ini bisa bersentuhan dengan kulitmu yang
mulia. Semoga saja dengan ini Allah akan menjagaku dari neraka berkat kemuliaan engkau!!”

Dengan tersenyum, Nabi SAW bersabda, “Perhatikanlah, siapa saja yang ingin melihat ahli
surga, hendaklah melihat Ukasyah ini!!”

Dalam riwayat lainnya disebutkan, Nabi SAW sengaja membuka bagian punggung atas
dan menunjukkan cap kenabian beliau, karena sebenarnya beliau telah mengetahui maksud
tersembunyi Ukasyah tersebut. Maka Ukasyah memeluk beliau dan mencium cap kenabian itu
sambil menangis penuh haru dan bahagia, dan mengucapkan perkataan di atas. Nabi SAW
bersabda, “Sesungguhnya pada hari kiamat kelak, ada 70.000 orang dari umatku yang akan masuk
surga tanpa hisab!!”

Ukasyah melepaskan pelukannya dan berkata, “Wahai Rasulullah, doakanlah saya


termasuk di dalamnya!!”

Nabi SAW bersabda, “Engkau termasuk di antaranya, wahai Ukasyah!!”

Beberapa sahabat lainnya segera bangkit meminta didoakan juga seperti Ukasyah juga,
tetapi Nabi SAW bersabda, “Kalian telah didahului oleh Ukasyah!!”

Walau kecewa, tetapi para sahabat yang berkumpul itu segera menghampiri Ukasyah untuk
memberikan selamat, mereka mencium di antara kedua mata Ukasyah (cara penghormatan dan
penghargaan orang-orang Arab saat itu), sambil berkata, “Sungguh beruntunglah kamu,
memperoleh derajad yang tinggi di surga bersama Rasulullah!!”

41
Menjelang dan Saat-saat Wafatnya Rasulullah
SAW

Memasuki bulan Shafar tahun 11 hijriah, sekitar empat puluh hari sebelum kewafatan
beliau, Nabi SAW datang ke Uhud diikuti oleh beberapa orang sahabat. Beliau shalat sunnah
(mungkin shalat ghaib, atau shalat sunnah mutlak, setelah itu berdoa) untuk para sahabat yang
mati syahid di peperangan Uhud tersebut. Usai shalat beliau berdiri menghadap para sahabat dan
bersabda, “Sesungguhnya aku lebih dahulu meninggalkan kalian, dan aku akan menjadi saksi bagi
kalian di hadapan Allah. Demi Allah, aku telah melihat tempat kembaliku saat ini. Sesungguhnya
aku telah diberi kunci-kunci gudang dan perbendaharaan dunia, tetapi aku meninggalkannya.
Demi Allah, aku tidak takut kalian akan musyrik sepeninggalku, tetapi yang aku khawatirkan
(takutkan) adalah kalian akan saling bersaing dalam masalah itu (yakni bersaing dan bermegah-
megahan dalam hal ke-duniawiah-an, atau at-takaatsur)…!!”

Pada pertengahan bulan Shafar itu juga, suatu malam beliau datang ke pemakaman Baqi’
diikuti beberapa orang sahabat. Beliau mendoakan (memintakan) ampunan bagi mereka yang
dimakamkan di sana. Beliau juga bersabda, “Salam sejahtera bagi kalian wahai penghuni kubur,
apa yang kalian hadapi di sana menjadi ringan, daripada yang (akan) dihadapi manusia. Fitnah
datang seperti sepotong malam yang gelap gulita, yang akhir akan menyusul yang awal. Hari
akhirat lebih berat pembalasannya daripada di dunia…!!”

Akhirnya beliau bersabda, “Sesungguhnya kami akan segera bersua dengan kalian!!”

Masih pada bulan Shafar tahun 11 hijriah, Nabi SAW membentuk suatu pasukan untuk
dikirim ke wilayah Palestina di Syam untuk memerangi pasukan Romawi. Latar belakangnya
adalah pasukan Romawi yang dengan semena-mena menyerang dan membunuh para pemeluk
Islam di daerah perbatasan tersebut. Puncaknya adalah ketika mereka menangkap Farwah bin Amr
al Judzamy, seorang sahabat yang sebelum keislamannya menjabat sebagai Gubernur Ma’an di
bawah kekuasaan Romawi. Mereka menangkap dan memenjarakan Farwah. Ia diberikan waktu
yang cukup banyak untuk membuat pilihan. Tetapi cahaya keimanan yang telah menancap kuat di
dalam dada, tidak akan bisa diiming-imingi dengan jabatan dan kekayaan dunia sebanyak apapun.
Karena tetap memilih Islam, Farwah disalib di dekat mata air Afra di Palestina, setelah itu
kepalanya dipenggal.

Pasukan besar yang terdiri pada sahabat senior dan utama dari kalangan Muhajirin dan
Anshar, termasuk Umar, pimpinan (komandan)-nya diserahkan Rasulullah SAW kepada Usamah
bin Zaid, yang ketika itu masih berusia sembilan belas tahun. Keputusan beliau ini memicu sikap
pro kontra dari beberapa sahabat. (Lebih lengkapnya tentang hal ini bisa dibaca pada Laman
‘Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW’ di bawah judul ‘Usamah bin Zaid’.) Nabi SAW
tidak mengetahuinya secara langsung sikap pro-kontra tersebut karena saat itu kondisi fisik beliau
mulai turun (kurang sehat), sehingga tidak bisa selalu berkumpul dengan para sahabat secara
maksimal seperti sebelumnya.

Pada hari senin tanggal 29 Shafar 11 hijriah, sekitar 13 atau 14 hari sebelum kewafatan,
Nabi SAW menghadiri pemakaman jenazah salah seorang sahabat di Baqi’. Dalam perjalanan
pulangnya, tiba-tiba beliau merasakan sangat pusing dan suhu tubuh beliau naik dengan
drastisnya. Para sahabat bisa merasakan panasnya tersebut hanya dengan berdekatan dengan tubuh
beliau, atau memperhatikan urat-urat nadi yang muncul di kepala beliau. Dalam keadaan sakit
tersebut, Nabi SAW masih menjadi imam shalat jamaah selama sebelas hari.

Dari hari ke hari sakit Nabi SAW makin parah saja, namun demikian beliau masih
berusaha untuk ‘menggilir’ istri-istri beliau dengan adil. Tidak henti-hentinya beliau bertanya, “Di
mana giliranku besok? Di mana giliranku besok?”

Para Ummahatul Mukminin itu merasa kasihan dengan kondisi kesehatan Nabi SAW.
Karena itu mereka sepakat agar Nabi SAW untuk tetap tinggal di salah satu rumah istri beliau
tanpa harus berpindah-pindah lagi, merelakan waktu giliran mereka untuk istri yang beliau pilih.
Nabi SAW memilih untuk tinggal di rumah Aisyah, maka Ali bin Abi Thalib dan Fadhl bin Abbas
memapah beliau ke sana. Selama seminggu terakhir beliau tinggal di sana hingga hari kewafatan
beliau.
Lima Hari Sebelum Hari Kewafatan

Pada hari Rabu tanggal 7 Rabiul Awwal 11 hijriah, lima hari sebelum hari kewafatan, suhu
tubuh beliau makin tinggi sehingga beliau demam dan menggigil. Beliau bersabda kepada orang-
orang di sekitarnya, “Guyurkanlah air dari mana saja ke tubuhku, agar aku bisa menemui orang-
orang dan memberikan nasehat kepada mereka!!”

Dalam riwayat lain disebutkan, beliau meminta diambilkan air dari tujuh sumur untuk
mengguyur beliau tersebut.

Maka mereka mendudukkan Nabi SAW pada suatu bejana cucian yang cukup besar, dan
mereka mengguyurkan air ke seluruh tubuh beliau. Berkali-kali mereka mengguyur Nabi SAW
sehingga beliau sendiri yang berseru, “Cukup, cukup!!”

Pengaruhnya cukup signifikan, beliau merasa agak ringan dan tidak menggigil lagi.
Dengan kepala diikat dengan kain untuk mengurangi rasa sakit yang beliau rasakan, Nabi SAW
datang ke masjid dengan dipapah oleh Ali dan Fadhl. Beliau memerintahkan Bilal beradzan untuk
mengumpulkan orang-orang Muhajirin dan Anshar di masjid. Setelah mereka semua berkumpul,
Nabi SAW naik mimbar dan memberikan berbagai nasehat. Beliau juga mengijinkan siapa saja
yang mempunyai tanggungan atau merasa teraniaya dengan sikap atau tindakan Nabi SAW selama
ini untuk menuntut balas atau meminta qishash beliau. Pada saat inilah terjadi peristiwa, di mana
sahabat Ukasyah bin Mikhsan bermaksud meng-qishash Nabi SAW. (Kisah lengkapnya bisa
dilihat pada Laman ini juga, dengan judul ‘Ketika Nabi SAW mengijinkan diqishash’.)

Dalam kesempatan itu beliau juga memberikan wasiat, antara lain beliau bersabda,
“Kutukan Allah dijatuhkan kepada orang-orang Yahudi dan Nashrani karena mereka menjadikan
kuburan nabi-nabi mereka sebagai tempat ibadah (masjid), karena itu, janganlah kalian
menjadikan kuburanku sebagai berhala yang disembah!!”

Beliau juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian tentang orang-orang Anshar, mereka
adalah familiku, tempat simpanan rahasia-rahasiaku. Mereka telah melaksanakan kewajibannya,
dan apa yang tersisa adalah milik mereka. Terimalah orang-orang yang baik di antara mereka, dan
maafkanlah orang-orang yang buruk di antara mereka!!”

Beliau bersabda lagi, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang diberi pilihan oleh Allah,
antara diberi kemewahan dunia menurut kehendaknya ataukah apa yang ada di sisi Allah. Ternyata
hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya!!”

Semua sahabat tampak biasa saja mendengar penuturan Nabi SAW kecuali Abu Bakar.
Tiba-tiba ia menangis dan berkata, “Demi ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!!”

Mereka tampak keheranan dengan sikap Abu Bakar tersebut bahkan mempertanyakannya,
dan di sinilah tampak kelebihannya di antara sahabat lainnya. Memang ‘gaya-bahasa’ Nabi SAW
saat bersabda yang terakhir itu hanya sekedar bercerita, tetapi hanya Abu Bakar yang menangkap
isyarat, bahwa yang dimaksudkan beliau dengan ‘hamba’ itu adalah Rasulullah SAW sendiri.
Artinya Nabi SAW memilih untuk kembali kepada Allah, yakni diwafatkan, daripada tetap tinggal
di dunia walau diberi berbagai macam kenikmatan sesuai keinginan beliau. Itulah yang
menyebabkan Abu Bakar memangis, karena perpisahan dengan Nabi SAW telah sangat dekat.

Nabi SAW bersabda lagi, “Sesungguhnya orang yang paling banyak memberikan
pertolongan kepadaku, dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakar. Seandainya aku boleh
mengambil seorang kekasih selain Rabb-ku, tentulah aku mengambil Abu Bakar sebagai kekasih,
tetapi ini adalah ukhuwah islamiyah dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke Masjid
hendaklah ditutup kecuali pintunya Abu Bakar…!!”
Empat Hari Sebelum Hari Kewafatan

Pada hari kamis tanggal 8 Rabiul Awwal 11 hijriah, empat hari sebelum hari kewafatan,
kesehatan beliau tidak juga membaik, bahkan makin menurun saja kondisinya. Beliau sempat
bersabda, “Kemarilah kalian semua, aku akan menuliskan sesuatu (mendiktekan sesuatu untuk
dituliskan), yang dengannya kalian sama sekali tidak akan tersesat selama-lamanya!!”

Beberapa sahabat sudah bersiap membawa penanya. Umar yang juga hadir saat itu, melihat
keadaan Nabi SAW yang benar-benar sangat lemah, dan ia merasa sangat kasihan, karena itu ia
berkata, “Beliau terpengaruh oleh sakit beliau, bukankah di sisi kalian sudah ada Al Qur’an dan
sunnah-sunnah beliau? Cukuplah itu semua sebagai pegangan kalian!!”

Karena pendapat Umar tersebut, mereka jadi terpecah menjadi dua kelompok dan masing-
masing berdebat mempertahankan sikapnya. Akibatnya suasana menjadi gaduh dan hal itu
membuat beliau sangat terganggu. Karena itu beliau bersabda, “Menyingkirlah kalian dari sini!!”

Tetapi beliau sempat menyampaikan tiga wasiat (pesan) kepada sahabat yang masih tinggal
bersama beliau. Pertama adalah agar mereka mengeluarkan orang-orang Yahudi, Nashrani dan
orang-orang musyrik dari jazirah Arabia. Kedua adalah tentang (meneruskan) pengiriman para
utusan seperti yang pernah beliau lakukan. Maksudnya adalah delegasi dakwah ataupun delegasi
jihad, termasuk penerusan pasukan Usamah bin Zaid. Sedang wasiat ketiga, sahabat yang dipesani
Nabi SAW itu lupa. Hal ini dimaklumi karena kondisi psikologis yang dihadapinya saat itu. Bisa
jadi tentang berpegang teguh kepada Al Qur’an dan as Sunnah, tentang shalat dan hamba sahaya,
atau wasiat tentang kaum wanita, seperti yang disitir pada beberapa riwayat lainnya.

Pada shalat maghrib pada hari kamis itu, Nabi SAW masih bisa menjadi imam shalat
jamaah, walau tampak sekali beliau sangat berat dan payah menahan rasa sakit. Pada salah satu
rakaat beliau membaca surat al-Mursalat. Ketika menjelang shalat isya’, beliau berusaha datang ke
masjid, tetapi keadaan beliau sangat parah sehingga tidak mampu bangkit dari tempat tidur. Nabi
SAW bersabda, “Apakah orang-orang sudah shalat?”

Aisyah menjawab, “Belum, wahai Rasulullah, mereka sedang menunggu kehadiran engkau
untuk shalat bersama!!”

Nabi SAW bersabda, “Letakkan air di bejana tempat cucian untukku!!”

Mereka yang hadir melaksanakan perintah beliau, setelah itu Nabi SAW mandi untuk
mendinginkan dan mengurangi sakit kepala beliau. Tetapi setelah itu Nabi SAW masih kesulitan
untuk bangkit, bahkan akhirnya beliau pingsan. Setelah siuman beliau bersabda, “Apakah orang-
orang sudah shalat?”

Aisyah berkata, “Belum, ya Rasulullah, mereka menunggu engkau!!”

Nabi SAW berusaha bangkit, tetapi lagi-lagi beliau pingsan. Ketika sadar dan berusaha
bangkit lagi, beliau pingsan untuk ke tiga kalinya. Setelah siuman kembali, beliau memerintahkan
seorang sahabat, yakni Abdullah bin Zam’ah untuk mencari Abu Bakar agar ia menjadi imam bagi
shalat jamaah mereka. Aisyah sempat memprotes kalau Abu Bakar menjadi imam, karena ayahnya
tersebut seorang yang lembut hatinya dan mudah menangis, sehingga tidak akan mampu kalau
disuruh menggantikan kedudukan beliau, baik sebagai imam shalat, terlebih lagi sebagai khalifah
Rasulullah SAW.

Aisyah sempat dua atau tiga kali mengulangi protesnya sehingga Nabi SAW sempat marah.
Beliau bersabda, “Kalian para wanita ini, sama saja dengan kaum wanita di jaman Nabi Yusuf…
Katakanlah kepada Abu Bakar untuk mengimami shalat dengan orang banyak!!”

Aisyah tidak berani membantah lagi, dan Abdullah bin Zam’ah berangkat memenuhi
perintah Nabi SAW. Para jamaah yang telah cukup lama menunggu tampak gelisah, dan Ibnu
Zam’ah tidak menemukan Abu Bakar di antara mereka. Ketika melihat Umar, ia menyimpulkan
kalau Umar tidak kalah dekat dan mulianya di sisi Rasulullah SAW dibanding Abu Bakar, karena
itu ia berkata, “Berdirilah wahai Umar, shalatlah engkau mengimami orang banyak!!”

Dalam pemahaman Umar, Ibnu Zam’ah tidak berkata seperti itu kecuali diperintahkan
Nabi SAW karena ia memang baru keluar dari rumah beliau. Tetapi baru saja Umar mengucap
takbir, yang suaranya memang keras hingga sampai terdengar Rasulullah SAW, segera saja beliau
bersabda, “Dimanakah Abu Bakar? Allah menolak yang demikian itu, dan juga kaum muslimin!!”

Nabi SAW mengulang ucapan beliau hingga tiga kali, sehingga Umar dan jamaah kaum
muslimin menghentikan shalat mereka. Setelah itu Nabi SAW bersabda lagi, “Suruhlah Abu
Bakar, hendaklah ia mengimami shalat dengan orang banyak!!”

Setelah Abu Bakar datang, ia segera menjalankan perintah Rasulullah SAW, mengimami
jamaah shalat isya’ pada hari kamis tersebut, dan itu terus berlanjut hingga Abu Bakar mengimami
17 kali shalat jamaah saat Nabi SAW masih hidup. Usai shalat, Umar menghampiri Abdullah bin
Zam’ah dan berkata agak marah, “Celaka kamu, wahai Ibnu Zam’ah, apa yang engkau lakukan
padaku?? Demi Allah, kalau tidaklah aku menduga bahwa Rasulullah menyuruhmu seperti itu,
tentulah aku tidak akan melakukannya!!”

Abdullah bin Zam’ah meminta maaf dan menjelaskan permasalahannya, bahkan ia sendiri
juga tidak menduga kalau reaksi Nabi SAW begitu kerasnya. Ia berkata kepada Umar,
“Sesungguhnya saya tidak melihat seseorang yang lebih berhak dengan hal ini kecuali engkau (di
saat Abu Bakar sedang tidak hadir)!!”

Dua Hari Sebelum Hari Kewafatan

Pada hari Sabtu tanggal 10 Rabiul Awwal 11 hijriah, dua hari sebelum hari kewafatan,
Nabi SAW merasakan sakitnya agak ringan. Saat itu beliau baru menyadari kalau orang-orang
yang ditunjuk untuk mengikuti pasukan Usamah bin Zaid ke Palestina, termasuk Usamah sendiri
masih ada di Madinah. Beliau menanyakan penyebabnya, maka datanglah Umar bin Khaththab
untuk memberikan penjelasan, termasuk sikap pro-kontra para sahabat tentang kepemimpinan
Usamah yang masih sangat muda, di samping juga keadaan sakit Nabi SAW yang makin parah
dalam beberapa hari terakhir.

Mendengar penjelasan tersebut, pada saat para sahabat berkumpul dan siap melaksanakan
shalat zhuhur, Nabi SAW berusaha bangkit berdiri. Dengan kepala dibalut dengan sorban untuk
mengurangi rasa sakit dan tubuh berselimut, beliau dipapah oleh dua orang sahabat menuju
masjid. Melihat kehadiran Nabi SAW mereka sangat gembira, Abu Bakar akan beranjak mundur,
tetapi beliau mengisyaratkan agar ia tetap di tempatnya. Nabi SAW duduk di samping kiri Abu
Bakar dan mulai shalat, Abu Bakar mengikuti shalat beliau dengan mengeraskan bacaan takbir-
takbirnya, sehingga bisa diikuti oleh para jamaah lainnya.

Usai shalat, beliau duduk di tangga pertama dari mihrab menghadap para jamaah. Beliau
bersabda, "Telah kudengar sebagian dari kalian mengecam kepemimpinan Usamah. Demi Allah,
jika kalian mengecam dirinya, berarti kalian mengecam bapaknya. Demi Allah, sungguh ia (Zaid
bin Haritsah) layak sebagai pemimpin, dan seperninggal bapaknya, putranya sangat layak sebagai
pemimpin. Dan sungguh, Zaid adalah orang yang sangat aku kasihi, demikian juga dengan
Usamah. Keduanya layak untuk mendapat semua kebajikan, karena itu, berwasiatlah kalian dalam
kebajikan karena ia adalah sebaik-baiknya orang di tengah kalian…!!"

Satu Hari Sebelum Hari Kewafatan


Pada hari Ahad tanggal 11 Rabiul Awwal 11 hijriah, satu hari sebelum hari kewafatan, satu
persatu para anggota pasukan Usamah berpamitan kepada Nabi SAW di rumah beliau, termasuk
Umar bin Khaththab. Mereka berkumpul di Jurf, sekitar tiga mil di luar kota Madinah, tempat
yang memang ditetapkan Nabi SAW sebelumnya untuk berkumpul. Rencananya, keesokan
harinya pasukan itu baru diberangkatkan menuju Palestina.

Saat itu sakit Nabi SAW mulai parah lagi, bahkan ketika Usamah akan berpamitan, beliau
jatuh pingsan. Dengan sabar Usamah menunggu. Setelah beliau siuman, ia membungkuk dan
mencium Nabi SAW dengan mata berkaca-kaca, berat rasanya untuk meninggalkan beliau dalam
keadaan seperti itu. Tetapi Nabi SAW mengangkat tangan seolah-olah berdoa, kemudian
mengusapkannya ke wajah Usamah. Usamah menangkap isyarat Rasulullah SAW itu sebagai doa
restu untuk keberangkatannya. Maka ia segera berangkat ke Jurf untuk mempersiapkan pasukan.

Pada hari Ahad itu juga, Nabi SAW membebaskan seorang budak lelaki yang masih tersisa,
juga menyedekahkan uang tujuh dirham (atau tujuh dinar pada riwayat lainnya) yang masih beliau
miliki. Beliau juga menyerahkan senjata yang selama ini beliau pergunakan untuk berjihad kepada
salah seorang sahabat. Padahal satu hari sebelumnya, Aisyah meminjam minyak untuk bisa
menyalakan lampu, dalam rangka merawat dan menemani Nabi SAW. Baju besi Nabi SAW juga
sedang digadaikan kepada seorang Yahudi seharga tigapuluh sha’ gandum. Gandum tersebut bukan
dipergunakan oleh Nabi SAW atau ahlul bait (keluarga dan kerabat) beliau, tetapi diberikan
kepada seseorang yang meminta bantuan makanan kepada Nabi SAW, tetapi saat itu beliau tidak
memiliki apa-apa untuk diberikan.

Setelah keberangkatan pasukan ke Jurf, beberapa orang sahabat yang tidak termasuk
anggota pasukan Usamah, datang dan berkumpul di rumah Nabi SAW. Walau dalam keadaan
lemah dan kesakitan, beliau berusaha tersenyum menyambut mereka, mata beliau berkaca-kaca
tergenang air mata penuh haru. Kemudian beliau bersabda, “Selamat datang kepada kalian semua,
mudah-mudahan Allah menghidupkan, melindungi dan menolong kalian. Aku berwasiat kepada
kalian dengan takwa kepada Allah, dan aku berwasiat (menitipkan, memohonkan pertolongan atau
perlindungan) kepada Allah tentang kalian semua. Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan
yang nyata dari Dia kepada kalian, bahwa janganlah kalian sombong kepada Allah di negeri-Nya
dan (terhadap) hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya ajal sangat dekat, kembali kepada Allah, ke
Sidratul Muntaha, ke surga al Ma’wa dan ke gelas yang sempurna. Ucapkanlah (sampaikanlah)
kepada dirimu dan kepada orang-orang yang masuk (memeluk) agamamu setelah (kewafatan)-ku
salam dan rahmat Allah dari diriku!!”

Semua yang hadir saat itu menangis sesenggukan mendengar sabda Nabi SAW tersebut,
yang bisa dikatakan sebagai salam perpisahan beliau. Suasana hening tanpa suara kecuali isak
tangis yang tertahan. Nabi SAW bersabda, “Wahai Abu Bakar, bertanyalah!!”

Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ajal telah dekat?”

Beliau bersabda, “Sungguh sangat dekat dan telah bergantung!!”

Abu Bakar berkata lagi, “Tentulah Allah akan memudahkan engkau, wahai Nabiyallah!!”

Kemudian ia berkata lagi seolah-olah sebuah keluhan atau kekhawatiran, “Apakah yang
ada di sisi Allah (bagi kami)?? Oh, sekiranya kami mengetahui tempat kembali kami nantinya
(maksudnya, selamat atau tidak di hadapan Allah)!!”

Nabi SAW berkata menenangkan, yang seolah mendoakan, “Kepada Allah, ke Sidratul
Muntaha, kemudian ke surga al Ma’wa dan Firdaus yang tertinggi, gelas yang paling sempurna,
Teman Yang Tertinggi, keberuntungan dan hidup yang menyenangkan!!”

Abu Bakar berkata lagi, “Siapa yang memandikan (jenazah) engkau, ya Rasulullah??”

Beliau bersabda, “Lelaki dari ahli baitku (keluargaku) yang terdekat, lalu yang terdekat!!”
Dalam riwayat lain beliau menunjuk langsung, Nabi SAW bersabda, “Yang memandikan
aku adalah Ali, yang menuangkan air adalah Fadhl bin Abbas, dibantu oleh Usamah bin Zaid!!”

Abu Bakar berkata lagi, “Dengan apa kami mengkafani (jenazah) engkau??”

Beliau bersabda, “Dengan pakaianku ini, dan dengan pakaian bikinan negeri Yaman, dan
kain putih bikinan negeri Mesir!!”

Abu Bakar berkata lagi, “Bagaimana shalat kami kepada engkau, ya Rasulullah, padahal
(pastinya) kami sedang menangis!!”

Nabi SAW bersabda, “Pelan-pelanlah, wahai Abu Bakar, semoga Allah mengampuni dosa-
dosamu dan memberi balasan kepadamu dengan kebaikan (dengan berkah) dari nabimu ini….!!”

Kemudian Nabi SAW berpesan lagi, “Jika kalian telah memandikan dan mengkafani
(jenazah)-ku, hendaklah kalian menempatkan (jenazah)-ku di atas tempat tidurku, di sisi lubang
kubur, di dalam rumahku ini (yakni rumah yang ditempati Aisyah RA). Setelah itu hendaklah
kalian keluar dari rumah untuk sesaat, karena yang pertama kali menyalatkan aku adalah Allah
SWT. Kemudian Dia akan mengijinkan para malaikat menyalatkan aku. Mahluk Allah yang
pertama kali menyalarkan aku adalah Malaikat Jibril, kemudian Mikail, kemudian Israfil, disusul
kemudian oleh malaikat Izrail dengan bala tentaranya yang sangat banyak, kemudian para
malaikat seluruhnya. Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat kepada mereka semuanya.
Kemudian kalian, hendaklah kalian masuk kepada (menyalatkan jenazah)-ku rombongan demi
rombongan dan ucapkanlah salam sejahtera (shalawat) kepadaku. Janganlah kalian menyulitkanku
dengan men-sucikan (terlalu mendewakan, bahkan menuhankan seperti kaum Nashrani kepada Isa
AS), teriakan dan jeritan. Hendaklah yang memulai (menyalatkan) dari kalian adalah ahli baitku
yang terdekat, lalu yang terdekat, lalu jamaah kaum laki-laki, jamaah kaum wanita dan jamaah
anak-anak!!”

Abu Bakar bertanya lagi, “Siapakah yang memasukkan engkau ke dalam kubur, wahai
Rasulullah??”

Nabi SAW bersabda, “Ahli baitku yang terdekat, lalu yang terdekat, lalu yang terdekat lagi,
beserta para malaikat yang kalian tidak melihatnya tetapi mereka menyaksikan kalian. Berdirilah
dan laksanakanlah daripadaku (dan sampaikanlah) kepada orang-orang sesudahku!!”

Para sahabat yang hadir makin tenggelam dalam tangisan masing-masing mendengar
wasiat beliau tersebut. Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, engkau adalah rasul bagi
kami, pemimpin kami dan penguasa urusan kami, jika engkau telah pergi, kepada siapa lagi kami
akan mengembalikan urusan kami!!”

Nabi SAW bersabda, “Aku tinggalkan kalian pada jalan kebenaran dan jalan yang sangat
terang. Aku tinggalkan untuk kalian dua nasehat, yang berbicara dan yang diam. Nasehat yang
berbicara adalah Al Qur’an, dan nasehat yang diam adalah kematian. Apabila kalian menghadapi
persoalan dalam suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Al Qur’an dan sunnah-sunnah Rasul.
Apabila hatimu terasa keras, maka lunakkan dan lembutkanlah dengan mengambil pelajaran dari
kematian!!”

Hari Kewafatan Rasulullah SAW

Senin tanggal 12 Rabiul Awwal tahun 11 Hijriah, pada subuh hari itu keadaan Nabi SAW
tampak cukup membaik, tidak separah hari-hari sebelumnya. Ketika Abu Bakar bersiap
mengimami, beliau menyibak tabir rumah Aisyah yang memang berhubungan langsung dengan
bagian dalam Masjid Nabi SAW. Beliau sempat tersenyum melihat barisan (shaf-shaf) shalat yang
tampak seperti pasukan yang begitu rapi dan kokoh di bawah pimpinan Abu Bakar. Mengetahui
hal itu, Abu Bakar mundur ke shaf belakangnya karena mengira Nabi SAW akan hadir dan
mengimami shalat subuh itu. Tetapi beliau mengisyaratkan agar ia meneruskan shalat tersebut dan
beliau menurunkan lagi tabir rumah Aisyah.

Riwayat lainnya menyebutkan, Nabi SAW sempat mengimami shalat subuh pada hari
terakhir tersebut. Kisahnya, setelah mengumandangkan adzan subuh, Bilal datang ke rumah Nabi
SAW seperti yang selalu dilakukannya sebelum beliau sakit parah dan digantikan oleh Abu Bakar
dalam shalat jamaah. Mungkin masih terpengaruh dengan suasana ‘psikologis perpisahan’ pada
hari sebelumnya sehingga Bilal melakukan hal itu, para jamaah lainnya juga mengalami hal yang
sama, termasuk Abu Bakar sendiri. Bilal berdiri di pintu rumah Nabi SAW dan berkata,
“Assalamu’alaika ya Rasulullah!!”

Fathimah yang menjawab, “Wahai Bilal, Rasulullah masih sibuk dengan dirinya sendiri!!”

Bilal kembali ke masjid dengan wajah tidak mengerti dan kebingungan. Beberapa saat
kemudian, ketika shalat siap dilaksanakan, Bilal kembali berdiri di pintu rumah Nabi SAW dan
berkata, “Assalamu’alaika ya Rasulullah!!”

Kali ini Nabi SAW mendengar salam Bilal, setelah menjawab salamnya beliau bersabda,
“Masuklah wahai Bilal, aku sedang sibuk dengan diriku sendiri (dengan sakitku ini), dan sakitku
bertambah berat sehingga aku tidak bisa mengimami shalat subuh ini. Suruhlah Abu Bakar untuk
mengimami shalat bersama orang banyak!!”

Bilal keluar rumah beliau dan masuk ke masjid dengan menangis, tangannya ditangkupkan
di atas kepalanya sambil berkata penuh kesedihan, “Oh, betapa besarnya musibah ini, putuslah
sudah harapan, patahlah sudah semangat. Alangkah baiknya jika ibuku tidak pernah melahirkan
aku!!”

Kemudian Bilal menyampaikan perintah Rasulullah SAW agar Abu Bakar mengimami
shalat subuh. Abu Bakar sendiri sebenarnya masih ‘labil’ akibat pengaruh psikologis perpisahan
pada hari sebelumnya. Ketika ia berdiri di depan, dan melihat mihrab Nabi SAW yang dalam
keadaan kosong, ia menjerit sedih dan jatuh pingsan. Ketika siuman, ia segera berjalan keluar
masjid dengan perasaan penuh kedukaan. Suasana menjadi heboh dan gaduh karena keadaan yang
menimpa Abu Bakar.

Suasana di dalam masjid itu didengar Rasulullah SAW dan beliau bersabda, “Wahai
Fathimah, suara gaduh apakah ini? Apa yang terjadi??”

Fathimah berkata, “Suara gaduh kaum muslimin di masjid karena engkau tidak hadir
mengimami mereka subuh ini!!”

Nabi SAW memanggil Ali dan Fadhl bin Abbas, dengan dipapah dan bersandar kepada
keduanya Nabi SAW berjalan menuju masjid. Para jamaah menjadi tenang dan gembira ketika
melihat kehadiran Nabi SAW di antara mereka, dan segera bersiap melaksanakan shalat.
Tampaknya pada hari itu Allah memberikan ‘kekuatan ekstra’ sehingga beliau bisa mengimami
kaum muslimin pada shalat terakhir beliau itu. Atau mungkin beliau melakukannya seperti dua
hari sebelumnya pada shalat zhuhur, duduk di sisi kiri Abu Bakar, yang mengeraskan bacaan
takbir-takbir beliau. Tidak ada kejelasan riwayat tentang hal ini, tetapi yang jelas saat itu kesehatan
Nabi SAW tampak sangat membaik, bahkan menunjukkan tanda-tanda kesembuhan.

Anas bin Malik, seorang sahabat yang selama tahun sepuluh tahun mengabdikan hidupnya
menjadi pelayan Rasulullah SAW hingga saat kewafatan beliau, berkata, “Saya tidak pernah
melihat Rasulullah begitu cerah dan berseri, seperti keadaan beliau pada saat subuh hari terakhir
beliau itu!!”

Memang demikianlah keadaannya, Nabi SAW tersenyum dan melambaikan tangan kepada
mereka. Tampak cukup sehat dan segar. Kaum muslimin seolah-olah lupa bahwa pada hari
sebelumnya beliau telah menyampaikan salam perpisahan. Usai shalat, beliau berdiri bersandar
sambil bersabda, “Wahai kaum muslimin, kalian semua berada di bawah perlindungan Allah dan
penjagaan-Nya. Bertakwalah kalian semua kepada Allah dan selalu taatlah kepada-Nya, karena
aku akan segera meninggalkan dunia ini. Inilah hari pertamaku di akhirat dan hari terakhirku di
dunia!!”

Begitu jelasnya perkataan Nabi SAW, tetapi mereka ‘tenggelam’ dalam kegembiraan
karena kondisi beliau yang membaik, sehingga tidak menangkap isyarat perpisahan yang begitu
gamblang. Ketika matahari mulai terbit dan naik, keadaan Nabi SAW makin membaik saja.
Karena itu hampir semua kaum lelaki meminta ijin meninggalkan beliau untuk menyelesaikan
urusannya, dan beliau mengijinkannya. Termasuk di antaranya Abu Bakar yang pergi ke kabilah
Bani Harits bin Kharijah di luar kota Madinah.

Pagi hari itu juga, Usamah bin Zaid datang dari Jurf untuk berpamitan kepada Nabi SAW
yang terakhir kali, sebelum pasukannya berangkat ke Palestina. Usamah sangat gembira melihat
kondisi Nabi SAW yang begitu membaik, dan hal itu membangkitkan semangat juangnya. Nabi
SAW mengusap wajah Usamah penuh kasih sayang dan bersabda, ”Berangkatlah engkau dengan
berkat dari Allah!!”

Setelah kepergian Usamah, kebanyakan kaum wanita saja yang ada di sekitar Rasulullah
SAW, kecuali hanya beberapa orang, di antaranya pelayan beliau, Anas bin Malik dan
Abdurrahman bin Abu Bakar, saudara Aisyah. Pada saat itulah datang seorang lelaki badui di pintu
rumah Rasulullah SAW. Ia berkata, “Assalamu’alaikum wahai penghuni rumah kenabian dan
pusat kerasulan, apakah saya boleh masuk?”

Fathimah membuka pintu dan berkata, “Wahai hamba Allah, Rasulullah sedang sibuk
dengan urusannya sendiri (yakni sakit keras)!!”

Tetapi lelaki itu mengucap lagi salam dan permintaannya, ketika Fathimah mengulang
jawabannya, lelaki itu mengulang untuk ketiga kalinya dengan memandang sekilas kepadanya,
yang dengan pandangan itu, Fathimah menjadi gemetar, diliputi ketakutan yang amat sangat. Saat
itu Nabi SAW berseru, “Wahai Fathimah, siapakah di depan pintu??”

Fathimah meninggalkan lelaki badui itu dan menghampiri Rasulullah SAW, kemudian
menceritakan bagaimana lelaki badui meminta ijin masuk, bahkan mengulanginya hingga tiga kali
dan mengabaikan jawabannya. Bahkan ketika lelaki itu sekilas memandang dirinya, Fathimah
menjadi sangat ketakutan, kulitnya serasa tergetar, persendian menjadi lunglai dan wajahnya
berubah warna (pucat pasi).

Nabi SAW tersenyum mendengar uraian Fathimah tersebut, dan bersabda pelan, “Wahai
Fathimah, tahukah kamu, siapakah dia??”

Ia berkata, “Tidak, wahai Rasulullah!!”

Beliau bersabda lagi dengan pelan, bahkan cenderung berbisik, “Dialah yang memutuskan
segala kelezatan duniawi, pemutus kesenangan syahwat, memisahkan di antara yang berkumpul,
‘merusak’ kehidupan rumah tangga dan mengosongkannya. Dan dialah yang ‘meramaikan’
kuburan!!”

Fathimah langsung menangis mendengar penuturan beliau itu. Siapa lagi yang mempunyai
‘identitas’ seperti itu kecuali malaikat maut? Memang benar, Malaikat Izrail-lah yang datang
dalam bentuk lelaki badui tersebut. Sebenarnya, dalam ‘tugasnya’ sehari-hari mencabut nyawa
seseorang yang telah tiba waktunya, Izrail tidak perlu ‘berganti rupa’ segala dan meminta ijin.
Tetapi dalam kasus mewafatkan Nabi SAW, Allah memberikan pesan khusus untuk meminta ijin,
baik untuk masuk bertemu ataupun ketika akan mencabut nyawa beliau. Kalau Nabi SAW
menolak dan tidak mengijinkan, maka ia harus kembali.
Di sela-sela tangisannya, Fathimah berseru pelan, seolah mengeluh pada dirinya sendiri,
“Oh celaka, penutup para Nabi kewafatannya telah di depan pintu, oh, betapa besar musibah ini,
orang yang paling bertakwa segera pergi, berakhir sudah kehidupan penghulu orang-orang pilihan.
Oh celaka dan kerugian yang sangat besar, karena wahyu dari langit akan terputus!!”

Tiba-tiba Nabi SAW memanggil Fathimah mendekat lagi, dan bersabda setengah berbisik,
“Wahai Fathimah, putriku tersayang, janganlah engkau menangis. Sesungguhnya aku berdoa
kepada Allah agar engkau menjadi anggota keluargaku yang pertama kali menyusulku dan
bertemu dengan aku di akhirat!!”

Fathimah langsung tertawa gembira mendengar penjelasan beliau itu. Orang-orang yang
hadir tampak keheranan dengan perubahan sikap Fathimah tersebut. Bisa dimaklumi karena
mereka memang tidak mengetahui dengan jelas isi pembicaraan antara mereka berdua yang
dilakukan setengah berbisik. Beberapa waktu berlalu barulah mereka mengerti, setelah Fathimah
menjelaskan isi pembicaraannya dengan Rasulullah SAW.

Setelah itu Nabi SAW memerintahkan semua yang hadir untuk keluar dari rumah beliau,
karena kehadiran malaikat maut itu. Ketika Aisyah juga akan keluar, beliau menahannya dan ia
duduk di pojokan rumah, agak menjauh dari beliau. Nabi SAW telah mengijinkan malaikat Izrail
masuk, dan kali ini tidak merupa sebagai lelaki badui lagi sehingga Aisyah tidak bisa melihatnya,
tetapi ia bisa mendengar suaranya, walau tidak terlalu jelas.

Izrail masuk mengucap salam dan Nabi SAW bersabda, “Wa’alaikum salam, ya malaikat
maut, apakah engkau datang sekedar berkunjung atau akan mencabut nyawaku??”

Malaikat Izrail berkata, “Saya datang berkunjung dan juga mencabut ruhmu, jika engkau
mengijinkan. Jika engkau tidak mengijinkan, Allah memerintahkan aku untuk kembali!!”

Nabi SAW bersabda, “Wahai malaikat maut, dimanakah engkau tinggalkan Jibril??”

Izrail berkata, “Ia berada di langit dunia, para malaikat lainnya sedang menghibur dan
memuliakannya!!”

Nabi SAW meminta Izrail untuk menunggu hingga kehadiran malaikat Jibril. Saat itu Nabi
SAW memanggil Aisyah untuk mendekat dan beliau tidur pada pangkuannya. Beliau juga
mengijinkan yang hadir untuk masuk ke rumah beliau jika menginginkan. Aisyah berkata,
“Bukankah itu suara malaikat Jibril??”

Beliau bersabda, “Bukan, itu adalah malaikat Izrail. Ia bermaksud mengambil nyawaku
jika aku mengijinkan. Tetapi aku minta tangguh sebentar hingga malaikat Jibril datang…!!”

Aisyah langsung tercekat tidak bisa bicara, begitu juga dengan ahlul bait lainnya yang
hanya terdiam. Sunyi, tetapi bukan mencekam, terasa syahdu, haru dan agung, dan tidak bisa
digambarkan lagi. Ada suasana kesedihan dan kedukaan yang menggantung. Bahkan sebagian
ahlul bait keluar rumah karena tidak kuasa menahan kepedihan hatinya dan menangis sesenggukan
di luar.

Tidak berapa lama malaikat Jibril datang mengucap salam, dan Aisyah mengenal suaranya,
Jibril berkata, “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menyampaikan salam kepada engkau dan Dia
berfirman, ‘Bagaimana kamu mendapatkan dirimu??’ Dan sesungguhnya Dia lebih mengerti
tentang apa yang engkau dapatkan pada dirimu, tetapi Dia berkehendak menambahkan dan
menyempurnakan kemuliaanmu atas mahluk lainnya, dan agar engkau menjadi sunnah (contoh)
bagi umatmu!!”

Nabi SAW bersabda, “Aku mendapatkan diriku dalam keadaan sakit!!”


Jibril berkata, “Bergembiralah!! Sesungguhnya Allah menghendaki akan menyampaikan
engkau, pada apa yang disediakan untuk engkau!!”

Beliau berkata lagi, “Wahai Jibril, malaikat maut datang kepadaku untuk meminta ijin, dan
memberitahukan suatu berita kepadaku!!”

Jibril berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Tuhanmu rindu kepadamu. Bukankah


Dia telah memberitahukan yang Dia kehendaki dengan engkau?? Demi Allah, tidaklah malaikat
Izrail meminta ijin kepada seseorang (untuk mencabut nyawanya), kecuali dia meminta ijin
kepadamu itu karena Allah ingin menyempurnakan kemuliaanmu. Wahai Muhammad,
sesungguhnya Allah rindu kepadamu!!”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, gembirakanlah saya, kemuliaan apakah yang telah
dipersiapkan di sisi Allah untukku??”

Jibril berkata, “Sesungguhnya semua pintu langit telah dibuka, para malaikat telah berdiri
bershaf-shaf menunggu kehadiran ruhmu di langit. Pintu-pintu surga telah terbuka, para bidadari
semuanya telah berdandan mempercantik diri untuk menyambut kehadiran ruhmu!!”

Beliau bersabda, “Alhamdulillah, wahai Jibril, gembirakan juga diriku, bagaimana kondisi
umatku pada hari kiamat kelak??”

Jibril berkata, “Aku sampaikan berita gembira untukmu, sesungguhnya Allah berfirman :
Sungguh Aku haramkan surga bagi seluruh nabi-nabi dan rasul-rasul sampai kamu masuk ke
dalamnya. Dan Aku haramkan surga bagi seluruh umat terdahulu, sampai umatmu masuk ke
dalamnya!!”

Nabi SAW berkata, “Sekarang hatiku menjadi lega dan hilanglah kegelisahanku!!”

Beliau memandang berkeliling kepada mereka yang hadir, tampaknya kesehatan beliau
mulai menurun lagi. Ketika pandangan beliau jatuh pada Fathimah, beliau menyatakan kalau dia
adalah pemimpin wanita semesta alam pada hari kiamat kelak. Beliau mendekap Hasan dan
Husein dan memberi nasehat kepada keduanya. Beliau juga memanggil ummahatul mukminin dan
memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka.

Setelah itu Nabi SAW beringsut, dari pangkuan menjadi bersandar ke dada Aisyah, suatu
posisi yang paling disenangi Nabi SAW, ketika beliau sedang bersama dan bermanja-manja
dengan istri tercinta beliau itu. Saat itu pandangan beliau jatuh pada Abdurrahman bin Abu Bakar
yang sedang memegang sebuah siwak. Aisyah menangkap isyarat itu, dan berkata, “Bolehkah aku
mengambil siwak itu untukmu??”

Beliau mengiyakan dengan isyarat kepala. Abdurrahman menyerahkan siwak itu kepada
Aisyah, yang kemudian menggosokkannya ke mulut Rasulullah SAW. Tampaknya hal itu
menyakiti beliau karena siwak itu masih baru dan keras. Aisyah mengetahui hal itu dan berkata,
“Apakah aku harus melembutkannya untukmu??”

Lagi-lagi Nabi SAW mengiyakan dengan isyarat kepala beliau. Setelah melembutkannya,
Aisyah kembali menggosok mulut (gigi) beliau dengan siwak tersebut dengan sangat pelannya,
takut menyakiti lagi seperti sebelumnya. Beliau sempat mencelupkan tangan pada bejana berisi air
dan mengusapkan ke wajah beliau, dan bersabda, “Laa ilaaha illallaah, sesungguhnya setiap
kematian itu ada sakaratnya!!”

Padahal saat itu malaikat maut belum benar-benar mencabut nyawa beliau, tetapi Nabi
SAW telah mulai merasakan sakitnya. Setelah selesai memakaikan siwak, Nabi SAW memandang
Aisyah dengan penuh kasih dan rasa terimakasih tak terhingga. Beliau juga sempat mencium
Aisyah untuk terakhir kalinya, bahkan ludah Rasulullah SAW menyatu dengan ludahnya.
Kemudian Nabi SAW memanggil malaikat maut dan mengijinkan melakukan tugasnya.
Namun Izrail masih tetap menjaga ‘tata krama’-nya kepada Nabi SAW, setelah mendekat ia
berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepada kami??”

Nabi SAW bersabda, “Susulkan aku kepada Tuhanku sekarang juga!!”

Izrail berkata, “Baiklah, dari (permintaan) engkau, pada hari ini!! Ingatlah, sesungguhnya
Tuhanmu telah rindu kepadamu, dan Dia tidak pulang pergi dari seseorang, seperti pulang
perginya dari engkau. Dan Dia tidak pernah mencegahku masuk kepada seseorang, kecuali dengan
ijin ketika menemuimu. Tetapi saatmu tepat di hadapanmu!!”

Malaikat Jibril menghampiri dan berkata, “Shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada
engkau, wahai Muhammad, inilah akhir dari apa yang diturunkan ke bumi selama-lamanya.
Wahyu telah dilipat dan dunia juga terlipat. Dan di bumi ini saya tidak mempunyai keperluan apa-
apa selain kehadiranmu. Inilah keharusanku untuk berhenti (turun ke bumi untuk menyampaikan
wahyu)!!”

Malaikat maut mulai melaksanakan tugasnya, dengan sepelan dan selembut mungkin,
tetapi tampak sekali Nabi SAW merasakan kesakitan tak terperikan. Nabi SAW berkata, “Wahai
Jibril, alangkah beratnya menahan sakitnya kematian!!”

Jibril memalingkan wajahnya, maka Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, apakah engkau
tidak suka melihat wajahku??”

Jibril berkata, “Wahai Habibullah (Kekasih Allah), siapakah yang tahan (tega) hatinya
melihat engkau dalam kondisi sakaratul maut begini??”

Tidak lama kemudian Nabi SAW pingsan. Aisyah mendekap dada beliau dengan erat,
tampak dahi beliau dipenuhi dengan keringat hingga menetes. Aisyah mengusap keringat tersebut
dan bau harum menyebar dari keringat beliau itu. Ketika beliau siuman kembali, Aisyah berkata,
“Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, diriku dan keluargaku sebagai tebusannya, ada apa
dengan keringat yang keluar dari dahi engkau ini??”

Beliau bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya ruh seorang mukmin itu keluar (diiringi atau
bersamaan) dengan keringat, sedangkan nyawa orang kafir itu keluar dari dua rahangnya seperti
nyawa keledai!!”

Dalam keadaan seperti itu, malaikat Izrail tampaknya tidak tega juga melihat ‘penderitaan’
Nabi SAW dalam merasakan sakitnya sakaratul maut. Ia sempat menawarkan untuk menunda,
tetapi Nabi SAW mengarahkan tangan atau jari-jari beliau ke atas, begitu juga dengan pandangan
mata beliau, dan bersabda, “Pertemukanlah aku dengan Teman Yang Maha Tinggi, Kekasih Yang
Maha Tinggi (Ar Roofi’ul A’laa).”

Dengan menguatkan dirinya, malaikat Izrail meneruskan tugasnya mencabut ruh Nabi
SAW, selembut mungkin, se-perlahan mungkin, se-penuh kasih sayang yang mungkin, tetapi itu
tidak berarti ‘membebaskan’ Nabi SAW dari rasa sakitnya sakaratul maut. Ketika ruh beliau
sampai di dada, Anas bin Malik mendengar Nabi SAW berulang-ulang bersabda pelan,
“Uushiikum bish-shoolati wa maa malakat aimaanukum!!”

Artinya : “Aku berwasiat kepada kalian semua, jagalah shalat, dan jagalah amanat-amanat
kalian semua!!”

Pada akhir nafas beliau, Ali bin Abi Thalib mendekatkan diri pada bibir Rasulullah SAW
dan ia mendengar beliau berkata dua kali, “Ummatii, ummatii…!!”

Pada riwayat lain disebutkan, di akhir nafas beliau, beliau bersabda beberapa kali, “Ash-
shoolah, ash-shoolah, an-nisaa’, an-nisaa’, ummatii, ummatii….!!”
Setelah itu Nabi SAW tidak bergerak lagi, ruh beliau dibawa Malaikat Maut dan Malaikat
Jibril terbang ke hadirat Allah SWT, dengan diiringi para malaikat yang bertasbih, bertahmid,
bertahlil dan bertakbir mengiring perjalanan beliau menuju Ar-Roofi’ul A’laa, Allah SWT. Inna
lillaahi wa inna ilaihi rooji’uun!!!

Saat itu tepat pada hari senin tanggal 12 Rabiul Awwal 11 Hijriah, di waktu dhuha yang
telah meninggi (panas), bertepatan dengan tanggal 3 Juni 632 Masehi. Beliau wafat dalam usia 63
tahun (dalam hitungan hijriah atau qomariah).

Setelah Kewafatan Rasulullah SAW

Kabar wafatnya Rasulullah SAW segera menyebar luas ke antero Madinah. Ummu Aiman
mengirim utusan untuk menyusul pasukan yang dipimpin putranya, Usamah bin Zaid,
mengabarkan kewafatan Nabi SAW, sekaligus meminta mereka segera kembali ke Madinah. Para
sahabat segera berkumpul kembali di masjid Nabi SAW dalam keadaan kaget dan penuh sesal.
Pada subuh hari itu mereka menyaksikan keadaan Nabi SAW yang tampak bugar, karena itu
mereka tidak pernah menyangka beliau akan berpulang ke rahmatullah pada hari itu juga.
Kalaulah mereka tahu, tentulah mereka tidak akan pernah meninggalkan beliau.

Reaksi para sahabat umumnya diliputi oleh kesedihan dan kepedihan hati yang sangat
dalam, serta perasaan tidak percaya bahwa Nabi SAW telah wafat. Seolah-olah mereka hanya
sedang mimpi saja. Aisyah sendiri, setelah melepaskan jenazah beliau dari pelukannya dan
meletakkan di tempat tidur serta menutupinya dengan kain, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri
beberapa kali, seolah-olah meyakinkan kalau dirinya tidak sedang bermimpi. Tetapi ada juga yang
berdiam diri seperti Utsman, atau menahan diri untuk berbicara seperti Ali, walau ia mengetahui
secara pasti kalau beliau telah wafat. Seolah-olah mereka mengalami pukulan psikologis yang
begitu dahsyat sehingga tidak bisa berkata dan berbuat apa-apa.

Reaksi yang paling ekstrim adalah Umar bin Khaththab, ia menolak kenyataan bahwa
beliau telah berpulang ke rahmatullah. Dengan mengacungkan pedangnya, ia berkata, “Siapa yang
mengatakan bahwa Muhammad telah meninggal, maka akan aku pukul dengan pedangku ini.
Muhammad tidaklah mati, ia hanya sementara pergi sementara kepada Tuhannya, sebagaimana
Musa bin Imran menghilang dari kaumnya selama 40 hari, kemudian ia kembali setelah orang-
orang menyatakan kalau ia telah mati. Demi Allah, Rasulullah akan kembali sebagaimana halnya
Musa kembali!!”

Abu Bakar yang sedang berada di Kabilah Bani Harits bin Kharijah di luar Kota Madinah,
segera kembali ke masjid setelah memperoleh pemberitahuan bahwa Nabi SAW telah wafat.
Begitu datang, ia langsung menerobos kerumunan massa tanpa berkata apapun dan masuk ke
rumah Rasulullah SAW. Ia membuka kain penutup dan mencium wajah Nabi SAW yang mulia itu
dengan tangisan tersedu-sedu. Di antara isak tangisnya, ia berkata, “Demi ayah bundaku, wahai
Rasulullah, alangkah indahnya hidupmu, dan alangkah indahnya kewafatanmu. Demi Allah,
sekali-kali tidak akan berkumpul dua kematian atas engkau. Kematian yang telah ditentukan Allah
telah engkau temui, dan setelah itu tidak ada kematian lagi untukmu selama-lamanya!!”

Setelah memasang kembali kain penutup jenazah beliau, ia keluar menghadapi orang
banyak. Dengan suara yang tegas berwibawa walau tidak keras, ia berbicara seolah-olah sedang
berkhutbah. Orang-orang-pun mengalihkan perhatiannya kepada Abu Bakar, termasuk juga Umar.
Setelah mengucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah dan juga shalawat kepada Rasulullah
SAW, ia menentramkan suasana hati kaum muslimin yang sedang berduka. Antara lain ia berkata,
“…Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad maka Muhammad telah mati.
Tetapi barang siapa yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup, dan tidak akan mati
selama-lamanya…”
Abu Bakar juga mengutip beberapa ayat Al Qur’an, “Sesungguhnya engkau akan mati dan
sesungguhnya mereka akan mati juga (QS az Zumar 30). Muhammad itu tidak lain hanyalah
seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau
dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia
tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberi balasan
kepada orang-orang yang bersyukur. (QS Ali Imran 144)”

Mendengar rangkaian ‘khutbah’ Abu Bakar itu, kepanikan dan kekacauan itu hilang,
termasuk yang dirasakan Umar, digantikan dengan perasaan sedih yang tidak terperikan. Mereka
menangis tersedu-sedu, termasuk Abu Bakar sendiri.

Walau sebelumnya Nabi SAW telah menunjuk siapa-siapa yang nantinya akan mengurus
jenazah beliau setelah kewafatan, tetapi pada hari senin itu mereka belum berbuat apa-apa.
Kesedihan yang begitu dalam dan beban psikologis yang begitu mengguncang jiwa membuat
mereka tidak cukup tegar untuk memandang dan merawat jenazah Nabi SAW. Apalagi sempat
terjadi ‘tarik-ukur’ antara kaum Muhajirin dan Anshar, tentang siapa yang berhak menjadi khalifah
(pengganti) Nabi SAW, sampai akhirnya mereka sepakat untuk memba’iat Abu Bakar.

Barulah pada hari selasa tanggal 13 Rabi’ul Awwal 11 H mereka siap untuk merawat
jenazah Nabi SAW. Pada awalnya Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait lainnya merasa kebingungan,
bagaimana mereka akan memandikan Nabi SAW? Apakah mereka harus menelanjangi seperti
kalau merawat jenazah pada umumnya, tetapi rasanya sangat tidak pantas jika menampakkan aurat
Rasulullah SAW!! Dalam kebingungan itu, terdengar suatu hatif (suara tanpa wujud) yang
memerintahkan agar mereka memandikan beliau, sekaligus dengan baju yang beliau pakai saat
meninggal, tanpa membukanya.

Riwayat lain menyebutkan, dalam kebingungan itu tiba-tiba mereka diserang dengan rasa
mengantuk dan terlena sesaat, yang dalam keadaan itu, mereka mendengar hatif tentang
bagaimana harus memandikan jenazah Rasulullah SAW, yakni sekalian dengan baju beliau tanpa
membukanya.

Dalam riwayat yang berbeda lagi disebutkan, pada saat kebingungan itu tiba-tiba terdengar
suara dari pojok rumah tanpa terlihat wujudnya, “Janganlah engkau memandikan jenazah
Muhammad, sesungguhnya dia dalam keadaan suci dan selalu disucikan, jadi tidak perlu engkau
memandikannya!!”

Ali bertanya keheranan, “Siapakah engkau? Sesungguhnya Rasulullah telah berwasiat


kepada kami untuk memandikan jenazah beliau!!”

Belum sempat ada jawaban, terdengar suara lainnya dari pojok yang berbeda, juga tanpa
diketahui wujudnya, “Wahai Ali, mandikanlah Rasulullah dengan baju yang beliau pakai tanpa
melepasnya. Sesungguhnya suara yang tadi berasal dari iblis terlaknat, ia menaruh kedengkian
kepada beliau dan menginginkan agar Muhammad dikubur tanpa dimandikan!!”

Ali berkata, “Semoga Allah membalas engkau dengan kebaikan, wahai hamba Allah,
karena telah memberitahukan kehadiran Iblis. Siapakah sebenarnya dirimu??”

Terdengar suara menjawab, “Aku adalah Khidir, aku sengaja datang untuk menghadiri
jenazah Rasulullah!!”

Kemudian Ali mulai memandikan jenazah Nabi SAW dengan dibantu Fadhl bin Abbas dan
Usamah bin Zaid sesuai dengan wasiat Nabi SAW. Malaikat Jibril juga datang, tentunya tanpa
diketahui oleh siapapun, dengan membawa wangi-wangian dari surga, termasuk wangi cendana.
Riwayat lain menyebutkan, beberapa kerabat beliau ikut membantu memandikan, seperti Abbas,
paman beliau, Qatsam bin Abbas, Syaqran, salah satu pembantu Rasulullah SAW dan Aus bin
Khaily.
Setelah dimandikan, beliau dikafani dengan tiga lembar kain sesuai dengan wasiat beliau,
pakaian yang beliau pakai itu hingga wafat, dan dua kain dari Yaman dan Mesir. Sahabat Abu
Thalhah menggali lubang kubur di dalam rumah Aisyah tersebut, kemudian mereka menempatkan
jenazah beliau di salah satu sisinya. Seperti wasiat Nabi SAW sebelumnya, mereka meninggalkan
jenazah beliau sendirian beberapa waktu lamanya.

Setelah itu kelompok demi kelompok, dalam riwayat lain disebutkan masing-masing
sepuluh orang, masuk ke rumah untuk menyalatkan beliau. Tidak ada yang menjadi imam,
masing-masing shalat munfarid (sendirian), tidak berjamaah. Giliran pertama adalah para kerabat
beliau, disusul kaum Muhajirin kemudian kaum Anshar dan baru kaum muslimin lainnya.
Rombongan pertama adalah kaum lelaki, disusul kaum wanita, dan terakhir adalah kelompok
anak-anak.

Semua itu berlangsung sepanjang hari selasa sehingga malam harinya (masuk hari Rabu).
Setelah semua selesai menyalatkan beliau, Rasulullah SAW dimakamkan pada tengah malam pada
malam Rabu tersebut.

42
Sikap Nabi SAW pada yang Awam

Suatu ketika ada seorang Badui pedalaman datang kepada Nabi SAW untuk meminta
sesuatu. Nabi SAW memenuhi (memberikan) apa yang dimintanya, kemudian bersabda, “Apakah
aku sudah berbuat baik kepadamu??”

Di luar dugaan, orang Badui itu berkata, “Belum, engkau belum berbuat baik!!”

Para sahabat yang berkumpul di sekitar beliau terkejut dan marah dengan jawaban si Badui
itu, bahkan ada yang berkata (sebagian riwayat menyebutkan adalah Umar bin Khaththab), “Ya
Rasulullah, serahkanlah orang ini kepadaku, biarkan saya membunuhnya!!”

Nabi SAW mencegah para sahabat untuk berbuat sesuatu yang mencelakakan si Badui.
Beliau mengajaknya ke dalam rumah dan mengambil sesuatu untuk diberikan sebagai tambahan,
lalu bersabda lagi, “Apakah aku sudah berbuat baik kepadamu??”

Si Badui berkata, “Benar, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, juga kepada
semua keluargamu!!”

Dalam riwayat lain disebutkan, si Badui berkata seperti itu setelah Nabi SAW memberikan
sesuatu untuk ke tiga kalinya.

Nabi SAW sangat senang dengan jawabannya tersebut dan bersabda, “Engkau tadi
mengatakan sesuatu yang membuat para sahabatku marah. Jika engkau mau mengatakan
perkataanmu (yang terakhir itu) sekali lagi di hadapan mereka, tentulah hal itu bisa menghilangkan
kemarahan mereka kepadamu, dan hal itu sangat baik sekali!!”

“Baiklah,“ Kata si Badui.

Nabi SAW membawa si Badui itu kepada para sahabat yang masih berkumpul dan
bersabda, “Orang desa ini mengatakan sesuatu sebagaimana yang telah kalian dengar. Lalu aku
memberikan tambahan pemberian, dan ia merasa puas, bukankah demikian wahai orang desa??”

Si Badui berkata, “Benar, semoga Allah membalasmu dengan kebaikan, juga kepada
semua keluargamu!!”
Tampak para sahabat menjadi gembira, dan kemarahan mereka kepada si Badui seketika
hilang. Wajah Nabi SAW tampak bersinar, pertanda beliau sangat gembira melihat reaksi para
sahabat tersebut. Kemudian beliau bersabda, “Aku dan orang desa ini ibarat seseorang dengan
untanya yang berontak dan lari…”

Kemudian Nabi SAW meneruskan penjelasannya, bahwa pada umumnya orang-orang akan
berlari mengejarnya untuk menangkapnya. Tetapi hal itu hanya membuat untanya berlari makin
jauh. Pemilik unta itu akan berkata kepada orang-orang, “Biarkan unta itu, aku lebih tahu dan
lebih dapat bersikap lemah lembut kepadanya!!”

Setelah itu sang pemilik akan berjalan ke tempat untanya dan mengambil sejumlah sampah
dari tanah. Ia akan melambai-lambaikan sampah itu sambil memanggil sang unta, maka perlahan-
lahan unta itu akan datang mendekat dan tenang kembali. Maka dengan mudah ia akan bisa
mengikatnya kembali.

Nabi SAW bersabda lagi, “Jika aku membiarkan kalian dengan perkataan orang desa ini
yang pertama, niscaya kalian akan membunuhnya dan ia pasti akan masuk neraka!!”

43
Ketika Shalat Tidak Khusyu’

Suatu ketika Nabi SAW sedang berkumpul dengan para sahabat dalam sebuah majelis
pengajaran, tiba-tiba datanglah seorang Badui (orang Arab pedalaman/pedesaan) sambil mengucap
salam, “Assalamu’alaika ya Rasulullah, wa ‘alaikum ya jamii’al juluus!!”

Kemudian ia meminta ijin untuk menanyakan sesuatu. Setelah dijawab salamnya dan
diijinkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah mewajibkan kepada kita shalat lima waktu,
tetapi pada saat yang sama, Allah menguji kita dengan dunia beserta hal ikhwalnya. Maka, demi
hakmu, ya Rasulullah, tidaklah kami mengerjakan satu rakaat-pun kecuali segala kesibukan dunia
seringkali masuk di dalamnya. Lalu, bagaimana mungkin Allah menerimanya sedangkan shalat itu
bercampur dengan kesibukan dunia??”

Pertanyaan yang diajukan oleh orang Badui itu, bisa jadi mewakili keadaan sebagian besar
kaum muslimin yang berada jauh dari ‘lingkaran’ Rasulullah SAW, bukan dari kalangan sahabat
Muhajirin dan Anshar. Mungkin termasuk kita semua yang berada sangat jauh dari ‘lingkaran
waktu’ kehidupan Nabi SAW.

Nabi SAW hanya tersenyum bijak mendengar pertanyaan itu. Tetapi belum sempat beliau
berkomentar, Ali bin Abi Thalib, yang hadir sekaligus meriwayatkan kisah ini, berkata, “Shalat
seperti itu tidak akan diterima Allah SWT, dan Allah tidak akan memandang shalat seperti itu!!”

Mendengar perkataannya itu, Nabi SAW berkata kepada Ali, “Wahai Ali, apakah kamu
mampu mengerjakan shalat dua rakaat karena Allah semata, tanpa terganggu dengan segala
kesusahan, kesibukan dan bisikan-bisikan??”

Ali berkata, “Saya mampu melakukannya, ya Rasulullah!!”

Tentu saja Nabi SAW sebenarnya mengetahui bahwa Ali dan sahabat-sahabat terdekat
dalam lingkaran kehidupan beliau, baik kaum Muhajirin ataupun Anshar, bisa melakukan shalat
seperti itu, yakni shalat yang khusyu’ hanya karena Allah. Dan hal itu bisa dimaklumi karena para
sahabat itu langsung dalam didikan dan pengawasan Rasulullah SAW. Sehari-harinya mereka
melihat dan mengikuti contoh nyata dari beliau, tidak sekedar dalam perbuatan, terlebih dalam
(pengaruh) ‘aura’ akhlaqul karimah Nabi SAW.
Tetapi karena Islam dan Rasulullah SAW adalah rahmatan lil ‘alamin, tidak hanya sekedar
untuk para sahabat tersebut, beliau ingin memberikan pelajaran yang berharga, untuk tidak
membuat orang Badui itu, atau umat Islam pada ‘lingkaran’ yang jauh dari beliau, termasuk kita
semua tidak berputus asa dari rahmat Allah. Begitu mendengar kesanggupan Ali, yang sebenarnya
Nabi SAW tidak menyangsikan dirinya atau sahabat lainnya bisa melakukannya, maka beliau
‘menambahkan’ sedikit gangguan duniawiah. Nabi SAW bersabda, “Wahai Ali, jika engkau
mampu melakukannya, aku akan memberikan kepadamu pakaianku yang buatan Syam!!”

Dalam riwayat lainnya, “… aku akan memberikan surbanku kepadamu, engkau bisa
memilihnya, yang buatan Syam atau buatan Yaman!!”

Ali bin Abi Thalib bangkit untuk berwudhu secara sempurna, kemudian berdiri melakukan
shalat dua rakaat seperti yang disanggupinya kepada Nabi SAW. Semua yang hadir, termasuk sang
Badui itu, hampir yakin bahwa Ali akan memperoleh hadiah yang dijanjikan Nabi SAW, karena
mereka melihat (dengan mata lahiriah semata tentunya) begitu sempurnanya shalat yang
dilakukannya, begitu khusyu, khudur dan tawadhu’ tampaknya.

Usai shalatnya Ali, Nabi SAW bersabda, “Wahai Abul Hasan dan Husein, bagaimana
pendapatmu!!”

Ali berkata, “Demi kebenaranmu, ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah melakukannya


pada rakaat pertama tanpa sedikitpun diganggu oleh kesibukan, kesusahan dan bisikan apapun.
Tetapi ketika berada pada rakaat kedua, saya teringat akan janji engkau, dan saya membatin :
Seandainya Nabi SAW memberikan pakaian Quthwani tentulah lebih baik daripada pakaian Syam
itu (atau dalam riwayat lain : Surban Syam atau surban Yaman ya yang lebih baik??). Demi
hakmu, ya Rasulullah, tidak ada seorang-pun yang dapat mengerjakan shalat dua rakaat dengan
benar-benar murni karena Allah SWT semata-mata, dan ingatannya selalu terfokus hanya kepada
Allah SWT!!”

Nabi SAW tersenyum dan bersabda kepada semua yang hadir, “Kerjakanlah shalat
fardhumu dan janganlah kamu berbicara dalam shalatmu, karena sesungguhnya Allah tidak
menerima shalat yang dicampur-adukkan dengan kesibukan-kesibukan dunia. Tetapi (tetaplah)
engkau laksanakan shalatmu, dan mohonlah ampunan kepada Tuhanmu setelah selesai shalat. Aku
berikan kabar gembira kepada kalian semua, bahwa Allah telah menciptakan seratus rahmat yang
disebarkan pada umatku pada hari kiamat. Tidak seorangpun dari umatku, baik laki-laki atau
perempuan, yang mengerjakan shalat fardhu kecuali ia akan berdiri di bawah naungan shalatnya
itu pada (terik panasnya) hari kiamat!!”

Pada riwayat lain, Nabi SAW menjelaskan bahwa dari seratus rahmat tersebut, satu rahmat
diturunkan ke bumi, yang dengan satu rahmat itu, Allah memberikan karunia, rezeki dan kasih
sayang kepada seluruh alam, sejak bumi diciptakan hingga hari kiamat tiba. Tidak terkecuali untuk
orang-orang kafir dan ingkar dengan kekayaan tidak terukur (dalam ukuran duniawiah) seperti
Qarun, atau para konglomerat di masa sekarang ini. Bahkan dengan satu rahmat ini, Allah
‘mencegah’ binatang-binatang buas seperti harimau, singa, serigala dan lain-lainnya memakan
anak-anaknya sendiri. Pada hari kiamat kelak, satu rahmat itu diangkat kembali dan disatukan ke
induknya seratus rahmat, dan disebarkan kepada kaum yang beriman dari seluruh umat, yang
mayoritas adalah umat Nabi Muhammad SAW, khususnya yang mengerjakan shalat, seperti yang
dikisahkan di atas, walau mungkin tidak bisa sepenuhnya khusyu’ dalam shalatnya. Wallahu
A’lam.

44
Tamu Nabi SAW Memberikan Pengajaran

Suatu ketika Nabi SAW tengah berkumpul dengan para sahabat, tiba-tiba datang seorang
lelaki yang berwajah putih dan tampan, rambutnya sangat indah dan berpakaian serba putih.
Sepintas wajah tamu itu mirip sahabat Nabi SAW, Dihyah al Kalbi RA, tetapi tidak seorang
sahabatpun yang mengenalnya, dan tidak juga tampak kalau dia itu seseorang yang baru saja
bepergian jauh, yakni seorang musafir. Ia langsung duduk di hadapan Nabi SAW dan berkata,
“Assalamu’alaika, ya Rasulullah, apakah dunia itu??”
Setelah menjawab salamnya, Nabi SAW bersabda, “Bagaikan impian dari orang yang
sedang tidur!!”
Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana dengan akhirat?”
Beliau bersabda, “Segolongan di surga, dan segolongan lainnya di neraka!!”
Dia bertanya lagi, “Apakah surga itu??”
Nabi SAW bersabda, “Sebagai pengganti dunia bagi orang yang meninggalkannya. Karena
harga surga adalah dengan meninggalkan dunia!!”
Dia bertanya lagi, “Apakah neraka itu??”
Beliau bersabda, “Sebagai pengganti dunia bagi orang yang mencarinya!!”
Tentunya maksud Nabi SAW adalah bagi orang yang lebih banyak menghabiskan
waktunya untuk mencari dan mengumpulkan dunia, hingga melalaikan amal ibadahnya. Sedang
bagi mereka yang mencari dunia untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup keluarganya tanpa
melalaikan akhiratnya, dan dalam mencari dunia tersebut tidak melanggar syariat Islam, maka
kesibukannya mencari dunia yang sekedarnya itu juga menjadi ibadah baginya.
Tamu Nabi SAW itu berkata lagi, “Siapakah yang terbaik di antara umat ini (selama di
dunia)??”
Beliau bersabda, “Orang yang selalu melakukan ketaatan kepada Allah!!”
Dia bertanya lagi, “Bagaimana keadaan orang yang melaksanakan ketaatan itu?”
Nabi SAW bersabda, “Yakni, seperti semangatnya seorang musafir (yang tertinggal atau
tersesat) yang mencari kafilahnya!!”
Lelaki itu bertanya lagi, “Berapa lama ia tinggal di sana??”
Beliau bersabda, “Menurut kadar orang yang tertinggal kafilahnya (yakni, sebentar saja)!!”
Dia bertanya lagi, “Berapakah lamanya antara dunia dan akhirat??”
Nabi SAW bersabda, “Hanya sekejab mata!!”
Setelah mendengar jawaban Nabi SAW yang terakhir itu, ia berpamitan dan berlalu pergi.
Beberapa sahabat mencoba mencari tahu ke arah mana lelaki itu pergi, tetapi mereka tidak bisa
menemukannya. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Lelaki itu tadi adalah Malaikat Jibril, ia sengaja
datang di antara kalian untuk mengajarkan agar kalian bersikap zuhud terhadap dunia dan cinta
kepada akhirat!!”

45
Ketika Nabi SAW Menganjurkan Menikah

Suatu ketika seorang sahabat bernama Akkaf bin Wada’ah datang menghadap Nabi SAW,
beliau langsung berkata, “Wahai Akkaf, apakah engkau tidak beristri??”
Akkaf berkata, “Tidak, ya Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Apakah engkau memiliki seorang budak wanita??”
Akkaf berkata lagi, “Tidak juga, ya Rasulullah!!”
Tradisi masa itu, yang juga diakui oleh syariat Islam, seorang budak atau sahaya wanita
boleh ‘dipergauli’ oleh tuannya. Jika ia melahirkan seorang anak, maka anaknya dinisbahkan
kepada tuannya, yakni menjadi anak tuannya dan menjadi orang merdeka. Budak atau sahaya
berbeda dengan pembantu atau pekerja. Hukum yang berlaku saat itu, budak lebih merupakan
‘barang milik’, dan ia tidak memperoleh gaji atau pembayaran dari pekerjaan yang dilakukan atas
perintah tuannya. Tetapi segala kebutuhan hidupnya menjadi tanggung jawab tuannya.
Nabi SAW menatap Akkaf dengan keheranan, kemudian bersabda, “Bukankah engkau
sehat afiat (maksudnya normal secara seksual) dan kaya??”
Ia berkata, “Benar, ya Rasulullah, alhamdulillah!!”
Maka dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Jika memang demikian, engkau dari kawannya
syaitan. Jika engkau seorang Nashrani, ikutilah jejak para pendeta mereka. Tetapi jika engkau dari
golongan kami (yakni seorang muslim) maka berbuatlah seperti kami, dan sebagian dari sunnahku
adalah menikah. Orang yang sangat jelek adalah orang yang tidak beristri, orang mati yang sangat
hina adalah orang yang tidak beristri… Celakalah engkau, wahai Akkaf!! Menikahlah segera!!”
Mendengar ‘teguran’ yang begitu kerasnya, Akkaf langsung berkata, “Wahai Rasulullah,
nikahkanlah saya dengan siapapun yang engkau kehendaki!! Saya tidak akan menikah kecuali
engkau yang menikahkan saya!!”
Nabi SAW tersenyum gembira dengan tanggapannya yang begitu cepat atas anjuran beliau
tersebut, dan bersabda, “Aku akan menikahkan engkau atas nama Allah dan berkah-Nya, dengan
Karimah binti Kultsum al Himyari..!!”
Akkaf menerima dengan senang hati, dan Nabi SAW menjabat tangannya mengucap ijab
kabul pernikahannya, dengan disaksikan beberapa sahabat yang hadir.
Sehubungan dengan menikah ini, Nabi SAW pernah bersabda, “Barang siapa mendapat
seorang anak, hendaklah ia membaguskan namanya dan pendidikannya. Dan jika telah mencapai
usia baligh, hendaklah ia menikahkannya. Jika anak itu telah menjadi dewasa dan ia tidak
dinikahkan, kemudian ia berbuat dosa (yakni berzina), maka sebagian dari dosa (zina) itu
ditanggung oleh ayahnya!!”
Nabi SAW juga pernah berkomentar tentang keengganan kaum wanita untuk menikah
karena tidak mau direpotkan dengan kehamilan dan mengurus anak-anaknya. Beliau bersabda,
“Apakah seorang wanita tidak rela (senang), jika ia sedang hamil dan suaminya ridha dengannya,
maka ia mendapat pahala seperti orang yang berpuasa dan bangun malam (yakni shalat tahajud) di
jalan Allah (fii sabilillah). Kemudian jika ia melahirkan, maka tidaklah penduduk langit dan bumi
mengetahui (betapa besarnya pahala) yang disediakan oleh Allah untuknya, sesuatu yang sangat
memuaskan pandangan matanya. Setelah melahirkan dan mengeluarkan air susu, kemudian ia
menyusui anaknya, maka untuk setiap teguk atau isapan itu ia memperoleh satu hasanat
(kebaikan). Jika ia bangun malam karena anaknya (menangis atau lainnya), maka ia mendapat
pahala seperti orang yang memerdekakan tujuhpuluh orang budak di jalan Allah (fii sabilillah)!!”

46
Istiqomah Shalawat yang Menyelamatkan
Di masa Nabi SAW, ada seorang Yahudi yang menuduh seorang muslim mencuri unta,
yang sebenarnya unta itu adalah miliknya sendiri. Untuk memperkuat tuduhan itu, Si Yahudi
‘menyewa’ empat orang muslim lainnya untuk membenarkan ‘klaimnya’ bahwa unta itu adalah
miliknya. Empat orang muslim yang dibayar tersebut memang termasuk dari kalangan kaum
munafik, lahiriahnya saja beragama Islam, tetapi jiwanya sangat memusuhi Islam, atau keislaman
itu dipergunakannya hanya untuk memperoleh keuntungan duniawiah semata-mata.
Ketika Nabi SAW memperoleh laporan Si Yahudi, berikut empat orang saksi palsunya,
beliau memerintahkan mendatangkan lelaki muslim pemilik unta yang diklaim tersebut, termasuk
unta yang disengketakan itu. Setelah ia datang, beliau bersabda, “Orang Yahudi ini telah menuduh
engkau mencuri untanya, dan ia membawa empat orang saksi ini. Jika engkau memang tidak
mencuri, atau unta ini memang milikmu, tunjukkanlah buktinya, atau datangkanlah empat orang
saksi sebagai hujjahmu!!”
Si Muslim itu dengan kebingungan berkata, “Wahai Rasulullah, unta ini memang milik
saya, tetapi saya tidak tahu bagaimana saya harus membuktikannya, atau bagaimana bisa saya
mendatangkan empat saksi untuk memperkuat kepemilikan saya!!”
Mendengar jawaban tersebut, Nabi SAW bersabda, “Kalau demikian halnya, tuduhan
orang Yahudi itu benar, unta itu miliknya dan engkau akan dijatuhi hukum qishash, yakni dipotong
salah satu tanganmu!!”
Memang, dalam memutuskan hal-hal yang bersifat hukum atau fiqiyah, Nabi SAW hanya
akan melihat dan menilai bukti dan saksi-saksi dengan pengakuan lahiriahnya semata, dalam hal
bathiniahnya (kebenaran atau kepalsuan bukti dan saksi yang ditunjukkan), beliau menyerahkan
urusannya kepada Allah. Kecuali jika ada pemberitahuan khusus dari Allah melalui malaikat Jibril
atau dari jalan lainnya, barulah beliau memutuskan berbeda dengan bukti dan saksi yang
ditunjukkan. Dalam kasus di atas, beliau memang tidak memperoleh pemberitahuan dari Malaikat
Jibril, karena itu beliau ‘memenangkan’ kasus tersebut pada si Yahudi.
Tampak orang Yahudi beserta empat orang saksi palsunya tertawa gembira, sedang si
Muslim makin tenggelam dalam kesedihan dan kebingungan. Keputusan Nabi SAW telah
ditetapkan, jika ia menolak sama artinya telah ingkar kepada beliau, dan jatuhlah ia dalam
kekafiran. Tetapi ia yakin tengah didzalimi oleh orang Yahudi itu, hanya saja ia tidak tahu
bagaimana harus membela diri. Dalam keadaan buntu seperti itu, si Muslim berdoa, “Ya Allah,
hanya Engkau tempat aku mengadu, dan hanya Engkau yang mengetahui bahwa aku tidak mencuri
unta ini!!”
Sesaat dalam keadaan tercenung, seolah-olah mendapat ilham, si Muslim menghadap Nabi
SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, keputusan engkau adalah benar, dan saya tidak akan pernah
berani menentangnya. Tetapi dalam hal ini, tolonglah engkau tanyakan kepada unta ini mengenai
saya!!”
Nabi SAW memenuhi permintaan si Muslim itu, apalagi beliau mendengar sendiri doa
yang dipanjatkannya kepada Allah. Setelah menghadapkan diri kepada unta yang digugat tersebut,
Nabi SAW bersabda, “Wahai unta, milik siapakah kamu ini??”
Dan sungguh suatu mu’jizat, tiba-tiba sang unta berbicara dengan bahasa manusia dengan
fasihnya, “Wahai Rasulullah, saya adalah milik orang muslim ini, orang Yahudi beserta saksi-
saksinya adalah bohong dan palsu belaka!!”
Pucatlah wajah orang Yahudi dan empat saksinya dari kalangan munafik tersebut
mendengar perkataan sang unta. Segera saja mereka bergegas pergi sebelum sempat Nabi SAW
mempertanyakan tuduhannya, tetapi beliau membiarkannya saja. Beliau justru memandang kagum
kepada si Muslim itu, dan bersabda, “Wahai Fulan bin Fulan, ceritakanlah kepadaku apa yang
engkau kerjakan, sehingga Allah mengijinkan unta ini berbicara tentang dirimu!!”
Si Muslim berkata, “Tidak ada yang istimewa, ya Rasulullah, kecuali saya tidak pernah
tidur di malam hari sebelum saya membaca shalawat kepadamu, sepuluh kali!!”
Maksudnya tidak ada yang istimewa, adalah apa yang diamalkannya tidak berbeda dengan
kebanyakan kaum muslimin yang selalu mengerjakan perintah dan menjauhi larangan Allah dan
Rasulullah SAW. Tetapi lagi-lagi Nabi SAW memandangnya dengan penuh sayang dan bersabda,
“Kamu selamat dan terbebas dari hukuman potong tangan di dunia ini, dan kelak engkau akan
selamat dari azab akhirat berkat bacaan shalawatmu kepadaku itu!!”
Hati si Muslim berbunga-bunga, walau baru saja ia didzalimi, sedikitpun tidak terpikir ia
akan menuntut balik kepada si Yahudi dan empat orang muslim (tetapi munafik) tersebut, dengan
dalih pencemaran nama baik ataupun kesaksian palsu. ‘Pembenaran’ Rasulullah SAW atas
‘ijtihadnya’ membaca shalawat sepuluh kali sebelum tidur, dan juga ‘jaminan’ beliau bahwa ia
akan selamat dari azab akhirat berkat amalannya tersebut, merupakan berkah yang sangat besar,
sehingga menghapuskan ‘rasa terdzaliminya’ tersebut.
Amalannya tersebut tidak sepenuhnya merupakan amalan baru (bid’ah) yang tidak ada
tuntunannya dari Rasulullah SAW. Pada dasarnya beliau menganjurkan umat Islam untuk
memperbanyak membaca shalawat kepada beliau, termasuk sebelum tidur tersebut. Dalam suatu
kesempatan, Nabi SAW pernah menganjurkan empat hal kepada istri beliau, Aisyah RA, sebelum
ia berangkat tidur. Pertama adalah mengkhatamkan Al Qur’an, kedua adalah memastikan bahwa ia
akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW pada yaumul makhsyar atau kiamat kelak, ketiga
adalah memastikan bahwa seluruh kaum muslimin (di seluruh dunia) menjadi ridha atas dirinya,
dan yang ke empat, ia melaksanakan haji dan umrah.
Tentu saja Aisyah terheran-heran, sekaligus kebingungan bagaimana merealisasikan
anjuran Nabi SAW tersebut, satu saja hampir tidak mungkin, apalagi keempat-empatnya. Nabi
SAW tersenyum melihat keadaan istri kesayangan beliau tersebut, kemudian bersabda, “Bahwa
engkau mengkhatamkan Al Qur’an sebelum tidur, cukuplah engkau membaca surat Al Ikhlas
sebanyak tiga kali….!!”
Beliau menjelaskan lebih lanjut tentang amalan sebelum berangkat tidur tersebut, dengan
membaca shalawat sebanyak sepuluh kali, maka ia akan memperoleh syafaat Rasulullah SAW
pada yaumul makhsyar atau hari kiamat kelak.
Dengan membaca istighfar, atau mendoakan ampunan untuk diri sendiri, orang tua dan
seluruh kaum muslimin, sebanyak tujuh kali, sama artinya ia telah memperoleh keridhaan dari
seluruh kaum muslimin di seluruh dunia. Redaksi sederhana bisa seperti ini : Astaghfirullah al
azhiim, wa liwaalidayya, wa lil mu’miniina wal mu’minaat, al akhyaa-i minhum wal amwaat.
Atau bisa memakai redaksi doanya Nabi Ibrahim AS sebagaimana tercantum dalam QS Ibrahiim
ayat 41, atau beberapa redaksi lainnya.
Dan untuk melaksanakan haji dan umrah, maka dengan membaca serangkaian kalimat
thayyibah sebanyak tujuh kali, maka sama artinya ia memperoleh pahala seperti orang yang
melaksanakan ibadah haji dan umrah. Rangkaian kalimat Thayyibah adalah : Subkhaanallaah wal
khamdulillaah wa laa ilaaha illallaah allaahu akbar laa khaula wa laa quwwata illaa billaahil
‘aliyyil ‘azhiim.

Note:dn535etc

47
Ketika Sahabat Tertawa Terbahak-bahak
Suatu ketika beberapa orang sahabat terlibat beberapa pembicaraan sehingga mereka
tertawa terbahak-bahak. Kebetulan saat itu Nabi SAW berjalan melintasi mereka, seketika beliau
bersabda, “Mengapa kalian tertawa terbahak-bahak, sedangkan api neraka menanti di belakang
kalian? Demi Allah aku tidak senang melihat kalian tertawa seperti itu!!”
Setelah itu Nabi SAW berjalan lagi meninggalkan mereka, yang tampak bersedih dan
sangat menyesal melihat ‘ketidak-sukaan’ beliau atas sikap mereka itu. Dengan tanggapan beliau
seperti itu, mereka merasa telah berdosa besar, dan hanya neraka yang menjadi balasannya.
Mereka hanya diam dengan kepala tertunduk, seolah-olah ada burung yang bertengger di kepala
mereka dan khawatir burung itu akan terbang jika menggerakkan kepalanya.
Tetapi tidak lama setelah itu tampak Nabi SAW hadir lagi di antara mereka dengan berjalan
mundur. Kemudian dengan nada yang lebih lembut, tanpa meninggalkan ketegasan, beliau
bersabda, “Malaikat Jibril datang kepadaku dan mengatakan, bahwa Allah SWT berfirman
kepadaku : Mengapakah engkau mematahkan hati hamba-hamba-Ku dari rahmat-Ku? Kabarkan
kepada hamba-hamba-Ku, bahwa Aku adalah Dzat Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,
akan tetapi Siksa-Ku (pun) adalah siksaan yang amat pedih!!”
Setelah itu beliau berjalan lagi meninggalkan mereka, dan para sahabat tersebut segera
bertaubat dan berazam (bertekad dengan sangat kuat) untuk tidak lagi tertawa terbahak-bahak.
Dalam suatu kesempatan lain, Nabi SAW baru saja keluar menuju masjid ketika beliau
melihat beberapa orang sahabat tengah berbincang sambil tertawa terbahak-bahak. Beliau
menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah mereka membalas salam, beliau bersabda,
“Perbanyaklah kalian mengingat sesuatu yang ‘memutuskan kelezatan’ (haadzimil ladzdzaat)!!”
Salah seorang sahabat berkata, “Apakah haadzmil ladzdzaat, ya Rasulullah??”
Nabi SAW bersabda, “Al Maut (yakni, kematian)!!”
Seketika para sahabat tersebut terdiam, dan Nabi SAW meninggalkan majelis mereka.
Belum jauh berjalan lagi, beliau melihat sekumpulan sahabat lainnya juga tengah berbincang-
bincang dengan tertawa-tawa. Beliau segera menghampiri mereka dan mengucap salam. Setelah
mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Ingatlah, demi Dzat yang jiwaku berada dalam
genggaman-Nya, seandainya kalian mengetahui sebagaimana apa yang aku ketahui, tentulah
kalian akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis!!”
Para sahabat itu seketika terdiam, tidak lagi tertawa-tawa seperti sebelumnya. Nabi SAW
berpamitan meninggalkan mereka, yang tenggelam dalam tafakkur masing-masing, merenungi
perkataan Nabi SAW tersebut. Tetapi belum jauh beliau berjalan, ada lagi sekumpulan sahabat
yang berbincang sambil tertawa-tawa juga. Nabi SAW menghampiri mereka dan mengucap salam.
Setelah mereka menjawab salam, beliau bersabda, “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya asing,
dan nanti akan kembali menjadi asing ketika (telah dekat saat) hari kiamat!! Maka, beruntunglah
bagi orang-orang yang asing pada (saat dekat) hari kiamat nanti.”
Salah seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing pada
(saat dekat) hari kiamat tersebut??”
Beliau bersabda, “Yaitu orang-orang yang apabila masyarakat berada dalam kerusakan
(yakni tenggelam dalam kemaksiatan dan mengabaikan kewajiban), maka orang-orang itu
berusaha untuk memperbaikinya (yakni melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar)!!”

Note:tg1-121319
48
Psy War Sebelum Terjadinya Perang Badar

Kaum orientalis, missionaris dan mereka yang tidak suka dengan Islam, seringkali
menyampaikan statemen bahwa Islam didakwahkan dengan kekerasan. Mereka menggambarkan
bahwa Nabi SAW dan para sahabat memegang pedang di tangan kanan dan Al Qur’an di tangan
kiri, memerangi dan menaklukan negeri-negeri di sekitarnya dan memaksa penduduknya memeluk
Islam. Tentu saja pernyataan tersebut salah besar, walaupun berbagai peperangan yang terjadi
dalam sejarah perkembangan Islam adalah suatu kenyataan, termasuk perang Badar.
Perang Badar bisa dikatakan sebagai perang pertama yang dialami kaum muslimin, tetapi
bukan merupakan konfrontasi yang pertama kalinya dengan kaum kafir Quraisy Makkah.
Sebenarnya, ketika Nabi SAW dan kaum muslimin memutuskan hijrah ke Madinah, tentunya
karena ijin dan perintah Allah, bukanlah dengan maksud untuk membentuk ‘kutub kekuatan’ untuk
memerangi Makkah, tetapi semata-mata untuk menyelamatkan keimanan dan keislaman, serta bisa
melaksanakan ibadah kepada Allah dengan tenang tanpa gangguan dan teror kaum kafir Quraisy.
Tetapi perkembangan yang terjadi ‘menggiring’ Nabi SAW dan kaum muslimin untuk membentuk
kekuatan pasukan perang, bahkan kemudian turun ayat Al Qur’an yang mengijinkan dan akhirnya
mewajibkan perang bagi kaum muslimin.

Teror Kaum Kafir Quraisy Makkah


Saat tiba di Madinah, yang pertama kali dilakukan oleh Nabi SAW adalah membentuk
tatanan kehidupan yang rukun dan toleran di antara penduduk Madinah dengan dirumuskannya
Piagam Madinah. Setidaknya ada tiga kelompok besar yang dicakup, yakni masyarakat baru kaum
muslimin, masyarakat Madinah dan sekitarnya yang masih memeluk agama jahiliah, yakni
menyembah berhala, dan kaum Yahudi yang masih ‘memegangi’ ajaran-ajaran Nabi Musa AS
dengan Kitab Tauratnya. Tetapi tampaknya kaum kafir Quraisy tidak mau merelakan begitu saja
kalau Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya beribadah dengan tenang di Madinah.
Langkah pertama yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy adalah mengirim surat kepada
Abdullah bin Ubay bin Salul sebagai pimpinan masyarakat Madinah yang masih musyrik, dan
kepada orang-orang Yahudi. Dalam suratnya itu kaum kafir Quraisy mengancam akan
mengerahkan seluruh kekuatannya, termasuk sekutu-sekutunya di jazirah Arabia untuk menyerang
Madinah, membantai kaum lelakinya dan menawan kaum wanitanya, kecuali jika mereka mau
mengusir kaum muslimin, khususnya Muhajirin Makkah dari kotanya tersebut.
Mendapat surat tersebut, segera saja Abdullah bin Ubay mengumpulkan orang-orang untuk
melakukan penyerangan dan pengusiran kaum Muhajirin. Tetapi sebelum sempat bergerak, Nabi
SAW yang mengetahui maksudnya tersebut, segera mendatangi mereka, dan bersabda, “Ternyata
orang-orang Quraisy telah mengancam kalian. Ketahuilah, sesungguhnya mereka hanya ingin
memperdayai kalian, lebih banyak daripada tipu daya yang akan kalian timpakan kepada diri
kalian sendiri. Sebenarnya kalian sendiri sajalah yang menghendaki membunuhi anak-anak dan
saudara-saudara kalian!!”
Saat itu Nabi SAW hanya ditemani beberapa orang sahabat saja, sementara kaum
musyrikin Madinah itu telah berkumpul cukup banyak dengan persenjataan yang lengkap. Tetapi
terpergok (ketahuan) niatnya seperti itu, mereka jadi keder, semangat dan nyali mereka langsung
turun. Mungkin mereka merasakan ‘aura’ kenabian yang begitu kuat sehingga kekuatannya seperti
tersedot dan tidak berkutik lagi. Abdullah bin Ubay membatalkan niatnya dan memerintahkan
mereka untuk bubar. Tetapi kebencian dan kedengkian Abdullah bin Ubay kepada Nabi SAW tidak
sirna begitu saja. Ia tetap saja berhubungan dengan kaum Quraisy dan mencari-cari kesempatan
agar bisa menyerang Nabi SAW suatu saat nanti.
Hal itu mungkin bisa dimaklumi, karena sebelum kedatangan Islam dan Nabi SAW ke
Madinah, masyarakat Madinah dari Suku Aus dan Khazraj yang terlibat perang saudara, telah
memutuskan akan mendukung Abdullah bin Ubay bin Salul ini menjadi raja Madinah untuk
mempersatukan mereka. Tetapi ketika masyarakat Madinah mengenal Islam, yang sebenarnya
hanya diawali pertemuan enam pemuda dengan Nabi SAW saat umrah ke Makkah, mereka batal
merealisasikan rencananya tersebut. Bahkan setelah Nabi SAW tinggal di Madinah mereka
mengabaikannya begitu saja, tidak lagi menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang disegani
seperti sebelumnya.
Beberapa waktu kemudian Sa’d bin Mu’adz, salah satu tokoh Madinah yang telah
memeluk Islam, melakukan ibadah umrah ke Makkah. Ia tinggal di rumah tokoh Quraisy yang
juga sahabatnya, Umayyah bin Khalaf. Ketika mereka berdua tengah thawaf, mereka bertemu Abu
Jahal yang langsung berkata, “Wahai Abu Shafwan (nama kunyah Umayyah), siapakah orang
ini??”
Umayyah bin Khalaf berkata, “Dia sahabatku, Sa’d bin Mu’adz dari Yatsrib!!”
Seketika itu Abu Jahal berkata, “Bukankah engkau thawaf dengan aman di sini? Tetapi
mengapa kalian melindungi orang-orang yang murtad (dari agama jahiliahnya), bahkan kalian
bertekad akan meolong mereka. Demi Allah, andaikata engkau tidak sedang bersama Abu
Shafwan, tentu engkau tidak akan selamat kembali kepada keluargamu!!”
Mendapat ancaman seperti itu, Sa’d berkata, “Demi Allah, jika engkau menghalangiku di
sini dan saat ini, maka aku dan kaumku akan menghalangi perjalanan kalian melewati penduduk
Yatsrib dengan cara yang lebih keras!!”
Ketika pulang ke Madinah, Mu’adz menceritakan pengalamannya tersebut kepada Nabi
SAW, maka beliau memerintahkan untuk tidak berkunjung (berziarah, berumrah atau berhaji pada
bulan haji) ke Makkah untuk sementara waktu. Pada dasarnya Nabi SAW tidak menginginkan
terjadinya bentrokan langsung, yang bisa berakibat terjadinya korban jiwa. Tetapi belum lama
setelah itu, datang utusan dari kaum kafir Quraisy menyampaikan pesan kepada Nabi SAW dan
kaum muslimin lainnya, khususnya kaum Muhajirin, “Janganlah kalian bersenang-senang terlebih
dahulu karena berhasil meninggalkan kami ke Yatsrib!! Sungguh kami akan mendatangi kalian,
lalu merenggut dan membenamkan kalian di antara tanaman di halaman rumah kalian!!”
Memperoleh ancaman frontal seperti itu, Nabi SAW menyadari bahwa kaum Quraisy tidak
main-main dengan keputusannya memusuhi kaum muslimin. Tidak urung terjadi kegelisahan pada
mereka, karena bagaimanapun juga kaum musyrikin di Madinah dan kaum Yahudi tidak mungkin
dipegang janjinya seratus persen, walau mereka telah terikat perjanjian damai di dalam Piagam
Madinah. Pada hari itu Nabi SAW tidak bisa langsung tidur, ada kegelisahan dan kekhawatiran
yang menghantui. Bahkan beliau sempat berkata, “Andaikata saja ada seseorang yang shalih dari
sahabatku yang mau menjagaku!!”
Walau bukan doa dan hanya sekedar harapan, ternyata Allah mengabulkannya. Tiba-tiba
Nabi SAW mendengar suara gemerincing senjata yang dikeluarkan dari sarungnya di depan pintu
rumah, beliau bersabda, “Siapa itu??”
Seseorang menjawab, “Saya Sa’d bin Abi Waqqash!!”
Beliau bersabda lagi, “Apa yang mendorongmu datang ke sini??”
Sa’d berkata, “Saya khawatir akan keselamatan engkau, ya Rasulullah, karena itu saya
datang untuk menjaga engkau!!”
Nabi SAW bersyukur kepada Allah, dan mendoakan kebaikan untuk Sa’d. Setelah itu
barulah beliau bisa beristirahat dan tidur dengan tenang.
Hari-hari berikutnya para sahabat lainnya mengikuti jejak Sa’d untuk menjaga keselamatan
Nabi SAW, baik malam atau siang harinya. Ke manapun beliau pergi, selalu saja ada sahabat yang
mengikuti beliau dan bersiaga. Mereka bergiliran melakukan tugas tersebut tanpa diberikan jadwal
secara khusus. Hal berlangsung terus selama beberapa hari lamanya, sampai akhirnya turun
Firman Allah, sebagian dari QS Al Maidah ayat 67 : Wallaahu ya’shimuka minan naasi (Dan Allah
memelihara engkau dari (gangguan) manusia).
Ayat itu turun pada suatu malam, dan segera saja Nabi SAW menjulurkan kepada beliau
lewat jendela dan bersabda kepada para sahabat yang berjaga-jaga di sekitar rumah beliau, “Wahai
semua orang, pergilah kalian karena waktu malam adalah waktu untuk tidur. Sesungguhnya Allah
telah menjagaku dari kejahatan manusia!!”
Setelah itu tidak ada lagi penjagaan khusus terhadap Nabi SAW, dan beliau juga cukup
tenang dan yakin dengan penjagaan Allah. Namun demikian, tetap saja para sahabat ada yang
bersiaga di sekitar Nabi SAW walau tidak tampak secara khusus menjaga beliau.

Show of Force dari Kaum Muslimin


Dalam sebuah konfrontasi antara dua pihak, pihak yang diserang akan lebih banyak merasa
lemah dan tertekan, sedang pihak yang menyerang akan merasa lebih kuat dan bebas tekanan.
Dalam sebuah bentuk permainan seperti catur, sepakbola, basket dan lain-lainnya, terkadang
berlaku hukum “Pertahanan yang Paling Kuat adalah Penyerangan”. Artinya, kalau kita hanya
bertahan saja, kemungkinan untuk kalah akan lebih besar. Sedangkan dengan aktif menyerang,
peluang untuk kalah jadi lebih kecil, setidaknya memunculkan kepercayaan diri kalau memang
mempunyai kekuatan.
Konsep seperti itulah yang mungkin muncul dalam pemikiran Nabi SAW, apalagi turun
juga wahyu yang mengijinkan kaum muslimin untuk berperang, yakni QS Al Hajji ayat 39 (yang
artinya) : Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya
mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu.
Nabi SAW mulai menyusun kekuatan pasukan bersenjata, dan mengirimkan satuan-satuan
pasukan itu ke beberapa penjuru Arabia. Tujuan pertama adalah untuk menunjukkan eksistensi
Islam kepada berbagai kabilah Arab yang tersebar di sana, sekaligus mendakwahkan Islam, atau
setidaknya menjalin kerjasama untuk tidak saling menyerang. Kedua adalah untuk meredam
tindakan kabilah-kabilah Badui yang biasanya suka merampok kafilah-kafilah di perjalanan,
sehingga pasukan muslimin itu bertindak layaknya ‘polisi’ yang mengamankan jalur perdagangan.
Dan ketiga adalah melakukan ‘gangguan’ kepada kafilah dagang kafir Quraisy yang menuju dan
dari Syam.
Nabi SAW juga mengirim mata-mata untuk mengamati pergerakan kaum Kafir Quraisy,
baik dalam bidang militer ataupun kafilah dagangnya. Beliau juga memperoleh informasi dari
berbagai kabilah yang telah menjadi sekutu beliau. Terkadang informasi itu datang dari orang-
orang yang baru saja melakukan perjalanan dan singgah di Madinah, baik yang menuju ke utara,
yakni Syam, ke Selatan yakni Yaman, atau ke arah Timur, yakni Bahrain, Persia dan lain-lainnya.
Pada akhirnya Nabi SAW mempunyai ‘pemetaan’ yang cukup lengkap untuk wilayah di Jazirah
Arabia tersebut, dan siap untuk melakukan tindakan lebih lanjut, khususnya dalam menghadapi
dan membalas teror yang dilakukan oleh kaum kafir Quraisy di Makkah.
Tanggal 1 Ramadhan tahun 1 Hijriah, sekitar enam bulan sejak Nabi SAW tinggal di
Madinah pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 Hijriah, beliau mengirimkan 30 orang sahabat yang
dipimpin oleh Hamzah bin Abdul Muthalib untuk ‘mengganggu’ (menghadang) kafilah dagang
Quraisy yang pulang dari Syam. Walau jumlahnya sedikit, Nabi SAW menyertakan panji
(bendera) pasukan berwarna putih yang dipegang oleh sahabat Marstad Kannaz bin Hishn al
Ghanawy. Mereka bertemu dengan kafilah Quraisy yang berkekuatan 300 orang, salah satu di
antaranya adalah Abu Jahal, di Siful Bahr. Kedua pasukan telah berhadap-hadapan dan siap
berperang, tetapi tiba-tiba muncul Majdy bin Amr al Juhanny yang menjadi sekutu kedua belah
pihak, melerai pertikaian tersebut.
Satu bulan kemudian, pada tanggal 1 Syawal tahun 1 Hijriah, Nabi SAW mengirimkan 60
sahabat Muhajirin yang dipimpin oleh Ubaidah bin Harits bin Abdul Muthalib, masih paman
beliau juga, dengan misi yang sama. Panji pasukan berwarna putih dibawa oleh sahabat Misthah
bin Utsatsah. Mereka bertemu di lembah Rabigh, dan sempat terjadi saling melepaskan anak
panah dengan kafilah yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb berkekuatan 200 orang tersebut,
tetapi pertikaian tidak berlanjut.
Dalam kesempatan itu, dua orang anggota kafilah Quraisy membelot ke pasukan muslim
dan masuk Islam, yakni Miqdad bin Amr al Bahrany dan Utbah bin Ghazwan al Maziny. Ternyata
sejak awal keduanya telah mempunyai rencana memeluk Islam, hanya saja tidak memungkinkan
bagi mereka untuk secara frontal menyatakan keislaman, kemudian berangkat ke Madinah. Kalau
seperti itu, pastilah kaum kafir Quraisy akan mengejar atau menangkap mereka, dan membawanya
kembali ke Makkah untuk ditawan, sebagaimana terjadi pada beberapa orang sahabat lainnya.
Tetapi dengan strategi seperti itu, mereka dengan mudah ke Madinah, bahkan dengan membawa
serta barang-barang miliknya yang berharga.
Pada bulan Dzulqa’idah tahun 1 hijriah itu juga, yakni sekitar satu bulan kemudian, Nabi
SAW mengirimkan 20 sahabat yang dipimpin Sa’d bin Abi Waqqash untuk menghadang kafilah
dagang kafir Quraisy, panji pasukan dipegang oleh Miqdad bin Amr. Tetapi ketika tiba di Kharrar,
ternyata kafilah itu telah melewatinya satu hari sebelumnya.
Pada bulan Shafar tahun 2 Hijriah, sekitar tiga bulan kemudian, Nabi SAW memimpin
sendiri 70 orang sahabat Muhajirin masih dengan misi yang sama. Panji pasukan berwarna putih
dipegang oleh Hamzah bin Abdul Muthalib, dan yang menjadi wakil beliau memimpin Madinah
untuk sementara waktu adalah Sa’d bin Ubadah, seorang sahabat Anshar. Tetapi ketika Nabi SAW
tiba di Waddan atau Abwa, tempat yang diperkirakan akan bertemu kafilah tersebut, beliau tidak
menjumpainya. Mungkin sudah lewat sebelumnya, atau mereka ‘mencium’ gerakan pasukan Nabi
SAW dan mengalihkan arah kafilahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Nabi SAW singgah dan bertemu dengan pimpinan kabilah
Bani Dhamrah, Amr bin Makhsyi. Beliau melakukan perjanjian kerjasama untuk tidak saling
memerangi. Ini adalah perjalanan pertama Nabi SAW memimpin pasukan, dan beliau bergerak
menyusuri padang pasir selama limabelas hari.
Satu bulan kemudian, pada Rabi’ul Awwal 2 Hijriah, Nabi SAW memimpin sekitar 200
sahabat, baik dari Muhajirin maupun Anshar, untuk menghadang kafilah dagang kafir Quraisy
yang dipimpin Umayyah bin Khalaf. Panji pasukan berwarna putih dibawa oleh Sa’d bin Abi
Waqqash, dan yang menjadi wakil beliau memimpin Madinah adalah Sa’d bin Mu’adz, seorang
sahabat Anshar. Tetapi ketika Nabi SAW tiba di Buwath, lagi-lagi kafilah itu telah terlebih dahulu
melewatinya.
Pada bulan yang sama, Nabi SAW memperoleh kabar kalau kandang gembalaan orang-
orang Madinah yang berada di luar kota, diserbu oleh beberapa perampok musyrik yang dipimpin
oleh Kurs bin Jabir al Fihry. Segera saja beliau memimpin 70 sahabat untuk mengejarnya, panji
pasukan dibawa oleh Ali bin Abi Thalib dan wakil beliau di Madinah adalah Zaid bin Haritsah.
Beliau mengejar hingga ke Badr, bahkan terus mencari hingga di wadi (sumber air) Safawan,
tetapi tidak berhasil menemukan mereka.
Sekitar dua bulan kemudian, yakni pada akhir bulan Jumadil Ula, Nabi SAW memperoleh
informasi kalau kaum kafir Quraisy mengirimkan kafilah dagang cukup besar ke Syam, yang
dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb. Beliau langsung mempersiapkan 150 atau 200 orang sahabat
Muhajirin dan memimpinnya sendiri. Panji pasukan dibawa oleh Hamzah bin Abdul Muthalib,
sedang yang ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah adalah Abu Salamah al Makhzumy. Beliau
bergerak hingga Dzul Usyairah, tetapi ternyata kafilah itu telah melaluinya beberapa hari
sebelumnya. Tetapi dalam kesempatan itu beliau sempat singgah di kabilah Bani Mudlij dan
mengikat perjanjian damai dengan mereka.
Walau serangkaian pasukan yang beliau kirimkan atau beliau memimpinnya sendiri tidak
memberikan hasil secara nyata, tetapi setidaknya telah memunculkan kekhawatiran kaum kafir
Quraisy. Kalau selama ini tidak pernah ada yang berani mengganggu kafilah dagangnya, termasuk
sebagian kaum Badui yang suka merampok, kini mereka harus lebih mewaspadai kaum muslimin
di Madinah. Setidaknya kaum kafir Quraisy telah merasakan ‘teror’ psikologis, sebagaimana
mereka telah melakukan teror yang sama kepada kaum muslimin di Madinah. Di sisi lain, kaum
muslimin memperoleh pembelajaran secara langsung bagaimana suasana medan dan kesulitan
yang harus mereka hadapi selama dalam perjalanan pasukan, termasuk bagaimana melaksanakan
ibadah, khususnya shalat.

Kontak Senjata yang Pertama Kalinya


Bisa jadi kegagalan misi-misi tersebut karena masih adanya komunikasi yang kuat antara
kaum musyrikin dan Yahudi di Madinah dengan kaum kafir Quraisy di Makkah. Semua gerakan
kaum muslimin mungkin dibocorkan mereka kepada orang-orang Quraisy, tentunya secara diam-
diam karena sebenarnya mereka terikat perjanjian Piagam Madinah untuk saling menjaga dan
membantu (membela).
Pada Bulan Rajab 2 Hijriah Nabi SAW mengirim duabelas orang Muhajirin di bawah
pimpinan Abdullah bin Jahsyi al Asady, satu unta dikendarai oleh dua orang. Mungkin belajar dari
pengalaman sebelumnya, kali ini Nabi SAW tidak memberikan instruksi langsung kemana mereka
harus pergi, tetapi beliau hanya menunjukkan satu arah, dan sebuah surat tertutup yang hanya
boleh dibuka setelah dua hari perjalanan.
Setelah dua hari perjalanan, dan mereka berada di tengah padang pasir yang luas, Abdullah
bin Jahsyi membuka surat Rasulullah SAW tersebut. Bunyi surat tersebut adalah : “Jika engkau
telah membuka surat ini, maka pergilah kalian ke Nakhlah, di antara Makkah dan Thaif. Selidikah
kafilah dagang Quraisy dan sampaikanlah informasinya kepada kami!!”
Ibnu Jahsyi mencium surat itu sambil berkata, “Sami’na wa atho’na” (Kami mendengarkan
dan kami mentaatinya). Para sahabat lainnya juga mengucapkan perkataan yang sama ketika ia
menceritakan isi surat Nabi SAW tersebut.
Sungguh hal itu tugas yang berbahaya, memasuki Nakhlah berarti memasuki ‘beranda’
kota Makkah yang menjadi ‘markas besar’ kaum kafir Quraisy. Sekali mereka terpergok, susah
sekali akan meloloskan diri dari penangkapan musuh, dengan resiko mati terbunuh. Untuk kembali
ke Madinah masih terlalu jauh, sekitar 400 km, apalagi satu tunggangan unta harus membawa dua
orang. Karena itu Abdullah bin Jakhsyi sempat berkata, “Siapa yang menginginkan mati syahid
karena mengemban tugas ini, marilah bangkit bersamaku. Tetapi siapa yang takut mati, hendaklah
pulang saja sekarang ini!!”
Tentu saja tidak seorangpun dari para sahabat tersebut yang ingin pulang. Adalah suatu
kehormatan dan kemuliaan ketika mereka ditunjuk langsung oleh Nabi SAW mengemban suatu
tugas, seberat apapun resikonya, termasuk kematian. Segera saja mereka memacu tunggangannya
ke arah Nakhlah, yang membutuhkan waktu berhari-hari untuk tiba di sana. Tetapi di suatu hari,
ketika tengah beristirahat, tiba-tiba unta yang membawa Sa’d bin Abi Waqqash dan Utbah bin
Ghazwan terlepas. Beberapa waktu lamanya mereka berusaha mencari tetapi tidak diketemukan
juga, akhirnya Abdullah bin Jahsyi meneruskan perjalanan tanpa mereka berdua.
Sampai di Nakhlah tepat pada hari terakhir di Bulan Rajab pada sore hari. Mereka
memergoki, atau mungkin lebih tepat terpergok, kafilah dagang Quraisy dengan membawa
berbagai macam barang perniagaan, dan siap memasuki Kota Makkah. Abdullah bin Jahsyi
menghadapi pilihan yang tidak mudah, kalau berdiam diri saja dan membiarkan kafilah itu
bertemu kaum Quraisy, bisa jadi mereka akan mengerahkan segenap tenaga dan kekuatan untuk
mengejar dan menangkapnya. Melakukan perlawanan di saat itu bisa jadi sudah terlambat, sepuluh
orang melawan kekuatan Quraisy, yang entah berapa banyaknya, hampir bisa dipastikan
kekalahannya.
Kalau melakukan serangan terhadap kafilah dagang Quraisy itu, saat itu mereka berada di
Bulan Haram Rajab, yang secara hukum tidak tertulis di Jazirah Arabia, mereka terlarang
melakukan pertempuran. Jika menunggu malam menjelang, yang mana telah masuk ke Bulan
Sya’ban, bisa jadi kafilah itu telah memasuki Tanah Haram, yang secara hukum juga terlarang
untuk melakukan peperangan di sana. Belum lagi kemungkinan akan diketahui oleh Kaum
Quraisy menjadi lebih besar.
Abdullah bin Jahsyi melakukan rapat singkat, dan secara bulat mereka memutuskan untuk
menyerang kafilah itu saat itu juga. Itulah pilihan terbaik dari kemungkinan yang ada, walaupun
mungkin melanggar larangan yang berlaku di kalangan mereka. Sepuluh orang sahabat itu segera
menyerang dengan panah dan senjata lainnya. Terjadi pertikaian yang cukup seru, satu orang kafir
tewas, yakni Amr bin Hadramy, dua orang ditawan, yakni Hakam bin Kaisan dan Utsman bin
Abdullah bin Mughirah. Sedangkan yang lainnya melarikan diri meninggalkan barang-barang
perniagaannya.
Segera setelah itu Abdullah bin Jahsyi memerintahkan pasukannya kembali ke Madinah
dengan membawa serta tawanan dan ghanimah (rampasan perang) yang diperolehnya. Sepanjang
malam itu mereka terus bergerak menjauhi Kota Makkah, sehingga mereka tidak terkejar lagi
ketika kaum Quraisy mulai mengejar keesokan harinya. Inilah tawanan dan ghanimah yang
pertama kalinya di dalam Islam,
Ketika sampai di Madinah, Ibnu Jahsyi langsung melaporkan pelaksanaan tugasnya secara
lengkap, dan menyerahkan ghanimah yang diperolehnya itu kepada Nabi SAW. Tetapi ternyata
beliau tidak sependapat dengan ‘ijtihad’ yang diambil oleh sepuluh orang sahabat tersebut. Beliau
menolak menerima tawanan dan ghanimah itu sambil bersabda, “Aku tidak memerintahkan kalian
untuk berperang di Bulan Haram!!”
Abdullah bin Jahsyi dan kawan-kawannya menjadi sedih dengan keputusan Nabi SAW
tersebut, walaupun sebenarnya beliau tidak menyalahkannya secara mutlak. Beliau memahami
situasi yang dihadapinya saat itu, hanya saja secara ‘politis’ beliau harus tetap mematuhi kaidah-
kaidah yang berlaku di Jazirah Arabia, baik tentang batasan pada Bulan-bulan Haram dan juga
Tanah Haram yang telah berlaku selama ratusan atau bahkan ribuan tahun sebelumnya. Hukum
yang selama ini telah diyakini sebagai hukum yang telah ditetapkan Allah bagi mereka.
Keadaan tersebut ternyata dimanfaatkan juga oleh kaum kafir Quraisy memprovokasi
bahwa orang-orang Islam ternyata telah menghalalkan apa yang telah diharamkan Allah. Hal ini
membuat ‘pamor’ kaum muslimin agak meredup, dan sepuluh sahabat pimpinan Abdullah bin
Jahsyi yang merasa paling bersalah. Semangat jihad dan perjuangan kaum muslimin yang sempat
membara dalam beberapa bulan terakhir, karena digembleng Nabi SAW dengan berbagai
pengiriman pasukan, sedikit banyak jadi menurun.
Tetapi tidak lama kemudian turun wahyu Allah, QS Al Baqarah 217 : Mereka bertanya
kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah
dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi
masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi
Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya
memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran),
seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia
mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.
Ayat ini menegaskan tentang hukum berperang pada Bulan dan di Tanah Haram tersebut,
tetapi dengan pengecualian, bahwa apa yang telah dilakukan oleh sepuluh sahabat itu adalah benar
adanya. Apalagi ayat tersebut merupakan rangkaian dari kewajiban berperang dan hakikat
berperang di Jalan Allah, yakni pada QS Al Baqarah 216. Tidak lama kemudian turun lagi ayat
yang menegaskan kewajiban berperang, dalam situasi dan kondisi yang dihadapi kaum muslimin
Madinah saat itu, yakni QS Al Baqarah 190-193. Semangat kaum muslimin kembali membara,
semakin kokoh untuk mempertahankan dan membela diri dalam rangka melangsungkan dakwah
Risalah Ilahiah tersebut di Jazirah Arab dan sekitarnya.
Ketika turunnya ayat-ayat tersebut telah sampai di pendengaran kaum Quraisy Makkah,
mereka hanya bisa gigit jari. Provokasi mereka menjadi mentah kembali, bahkan kini mereka
dihinggapi rasa khawatir dan ketakutan setelah apa yang dilakukan oleh Abdullah bin Jahsyi dan
kawan-kawannya. Kaum muslimin itu bisa menjangkau begitu dekat ke ‘markas’ mereka tanpa
diketahui dan kembali ke Madinah dengan selamat tanpa kesulitan yang berarti.

49
Perang Badar Kubra

Berbagai Peristiwa Sebelumnya


Pertempuran pertama dalam Islam, antara 314 kaum muslimin dan sekitar seribu orang
pasukan kaum kafir Quraisy, oleh para ahli sejarah Islam sering disebut sebagai Perang Badar
Kubra. Kalau ada Kubra (besar), apa ada juga yang disebut dengan Sughra (kecil), atau nama
lainnya yang dinisbahkan kepada Badar?
Memang benar, setidaknya ada dua kejadian lagi, pertama disebut para ahli tarikh (sejarah)
Islam sebagai Perang Badar Ula (Pertama). Yakni terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 2
hijriah, ketika Nabi SAW bersama 70 sahabat melakukan pengejaran orang-orang musyrik yang
dipimpin Kurs bin Jabir al Fihry, karena mereka melakukan perampokan domba-domba
gembalaan orang-orang Madinah. Beliau melakukan pencarian hingga Badr dan diteruskan hingga
wadi Safawan, tetapi mereka dapat meloloskan diri. Disebut juga dengan Perang Safawan.
Yang kedua disebut dengan Perang Badar Sughra atau Tsani (Kedua), terjadi pada Sya’ban
tahun 4 Hijriah, antara perang Uhud dan perang Ahzab. Perang ini merupakan ‘perjanjian’ yang
diminta sendiri oleh kaum kafir Quraisy Makkah, karena mereka ingin membalas kekalahan di
Perang Badr Kubra dan ‘menuntaskan’ kemenangan yang menggantung pada Perang Uhud.
Rasulullah SAW melayani ‘tantangan’ Abu Sufyan bin Harb ini dengan senang hati. Pada hari
yang ditentukan, beliau menggerakkan pasukan yang berkekuatan 1.500 orang ke Badr, dan
menunggu kehadiran kaum musyrikin Quraisy Makkah.
Abu Sufyan juga menggerakkan pasukan sejumlah dua ribu orang dengan persenjataan
lengkap. Tetapi ketika tiba di Zhahran, sejauh satu marhalah (jarak satu hari perjalanan di saat itu)
dari Makkah, mereka dihinggapi keraguan dan ketakutan, baik Abu Sufyan atau anggota pasukan
lainnya. Mereka mencari-cari atau membuat alasan yang ‘membenarkan’ sikapnya untuk
membatalkan pertempuran itu, dan akhirnya mereka sepakat kembali ke Makkah. Pasukan
muslimin menunggu hingga delapan hari di Badr, dan setelah tidak ada tanda-tanda kaum kafir
Quraisy akan datang, mereka meninggalkan Badr. Mereka tidak langsung kembali ke Madinah,
tetapi melakukan perniagaan dengan beberapa kabilah di sekitarnya, dan memperoleh keuntungan
yang lumayan.
Ketika Nabi SAW membentuk pasukan ke Badar, baik Muhajirin maupun Anshar, beliau
hanya sekedar menghimbau dan tidak mewajibkan, karena tujuan utama dari pasukan ini adalah
menghadang kafilah dagang kafir Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb,
sekembalinya dari perniagaannya di Syam. Sebenarnya ketika keberangkatannya ke Syam pada
akhir Jumadil Ula tahun 2 Hijriah, Nabi SAW beserta 150 atau 200 orang sahabat berusaha
menghadang dan mengejarnya hingga di Dzul Usyairah, tetapi mengalami kegagalan.
Salah satu tujuan Nabi SAW mengirim duabelas sahabat yang dipimpin Abdullah bin Jahsy
ke selatan, yakni ke Nakhlah pada Rajab tahun 2 Hijriah adalah mengetahui keberadaan kafilah
dagang tersebut. Tetapi mereka justru bertemu dan bentrok dengan kafilah dagang Quraisy
lainnya, yang akhirnya menewaskan Amr bin Hadhramy, salah satu sekutu kaum kafir Quraisy.
Karena belum memperoleh kejelasan informasi, Nabi SAW mengirim lagi dua orang
sahabat, yakni Thalhah bin Ubaidillah dan Sa’id bin Zaid ke utara, yakni ke Syam dengan tugas
yang sama. Mereka berhasil mengetahui keberadaan kafilah tersebut ketika di Haura, tetapi
mereka tetap menyembunyikan diri karena telah cukup dikenali oleh orang-orang Quraisy
tersebut. Untuk menyampaikan informasi itu kepada Nabi SAW, mereka mengirim orang upahan
ke Madinah.
Atas dasar informasi itu Nabi SAW mulai menyusun pasukan dan menggerakkan mereka
ke Badar. Sejumlah 313 orang (atau 317 pada riwayat lainnya), 82 orang Muhajirin, 61 orang
Anshar suku Aus dan 170 orang Anshar suku Khazraj menyambut seruan Nabi SAW itu. Nabi
SAW sendiri yang memimpin pasukan itu dan panji pasukan dibawa oleh Mush’ab bin Umair,
seorang sahabat yang menjadi muballigh pertama di Madinah. Yang ditunjuk menjadi wakil beliau
di Madinah adalah Abdullah bin Ummi Maktum, seorang sahabat yang buta, sekaligus muadzdzin
beliau selain Bilal. Tetapi dengan berbagai pertimbangan, kemudian diganti dengan Abu Lubabah
bin Abdul Mundzir.
Abu Sufyan yang memimpin kafilah dagang itu cukup hati-hati dan waspada. Ia menyadari
bahwa perjalanan dagang ke Syam tidaklah semudah sebelumnya, yakni sebelum kaum muslimin
hijrah ke Madinah. Beberapa upaya pencegatan yang dilakukan kaum muslimin memang
mengalami kegagalan, termasuk ketika menghadang kafilahnya saat berangkat ke Syam, tetapi ia
tidak mau gegabah. Apalagi ia telah mendengar berita peristiwa Nakhlah yang dilakukan oleh
Abdullah bin Jahsy dan kawan-kawannya.
Karena itu ketika akan kembali ke Makkah, ia mencari informasi tentang aktivitas kaum
muslimin di Madinah dari berbagai sumber, termasuk mengirim mata-mata, dan ia memperoleh
kabar kalau Nabi SAW tengah menyusun suatu pasukan yang belum jelas tujuannya. Karena itu ia
makin meningkatkan kewaspadaannya. Pada jarak beberapa marhalah dari Badr, jalur utama yang
biasa dilaluinya, ia menghentikan kafilahnya, kemudian berjalan mendahului beberapa jauhnya
hingga bertemu dengan Majdy bin Amr dari Kabilah Bani Juhanni yang menjadi sekutunya,
sekaligus sekutu orang-orang Madinah. Abu Sufyan bertanya tentang pasukan muslimin dari
Madinah, tetapi Majdy berkata, “Aku tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, hanya saja tadi
ada dua orang berdiri di atas bukit itu!!”
Abu Sufyan segera memacu tunggangannya ke bukit yang ditunjukkan Majdy dan
mendapati kotoran unta di sana. Setelah memeriksa dan mendapati biji-bijian yang masih utuh, ia
berkata pada dirinya sendiri, “Demi Allah, ini adalah makanan hewan dari Yatsrib!! Tentulah
mereka itu mata-mata yang menyelidiki kafilah dagangku!!”
Abu Sufyan semakin yakin kalau Rasulullah SAW dan kaum muslimin benar-benar akan
menghadang kafilah dagang yang dibawanya. Ia segera kembali ke kafilahnya, dan mengirim
orang upahan, yakni Dhamdham bin Amr al Ghifary ke Makkah untuk meminta bantuan demi
menyelamatkan kafilah dagangnya. Ia juga memberangkatkan kafilahnya dengan jalan memutar
melewati pesisir, menghindari jalur utama sumur Badar yang diperkirakannya akan bertemu
dengan pasukan muslimin di sana.
Ketika Dhamdham sampai di Makkah dan mengabarkan bahaya yang menimpa kafilah
dagang Abu Sufyan, dengan pongahnya Abu Jahal berkata. “Apakah Muhammad dan kawan-
kawannya mengira akan bisa berbuat seperti yang dilakukannya (yakni oleh Abdullah bin Jahsy
pada peristiwa Nakhlah) terhadap kafilah Ibnul Hadramy?? Sama sekali tidak, demi Allah mereka
pasti akan mendapati kenyataan yang berbeda!!”
Abu Jahal segera mengumpulkan para pemuka Quraisy dan segera membentuk pasukan,
maka dalam sekejab saja telah berkumpul sebanyak 1.300 orang dengan persenjataan dan bekal
yang sangat lengkap. Hampir semua tokoh-tokoh kaum Quraisy ikut serta dalam pasukan ini,
kecuali Abu Lahab karena sakit, tetapi ia mengirimkan seseorang untuk mewakilinya. Mereka
segera berangkat ke Badar sebagaimana diinformasikan oleh Dhamdham, untuk menghadang
pasukan kaum muslimin.
Setelah Abu Sufyan berhasil meloloskan kafilahnya dari hadangan pasukan muslimin, ia
segera mengirim utusan kepada Abu Jahal dan pasukannya yang telah sampai di Juhfah. Dalam
suratnya itu Abu Sufyan memberitahukan kalau kafilah dagangnya telah selamat, dan meminta
pasukan itu kembali ke Makkah, tidak perlu meneruskan ke Badr untuk bertempur dengan pasukan
muslimin. Tetapi dengan pongahnya Abu Jahal menanggapi surat Abu Sufyan itu, “Demi Allah
kita tidak akan kembali kecuali setelah tiba di Badr. Jika mereka (kaum muslimin) tidak ada di
sana, kita akan akan berpesta selama tiga hari. Kita akan menyembelih hewan, makan besar dan
minum arak sambil mendengarkan para biduan menyanyi untuk kita. Dengan demikian seluruh
orang di Jazirah Arabia akan gentar kepada kita dan tidak akan berani lagi mengganggu kafilah
dagang kita di perjalanan!!”
Tetapi tidak semua orang mendukung sikap Abu Lahab itu, sehingga mereka terpecah
menjadi dua kelompok besar. Yang paling gigih menolak sikap Abu Jahal adalah Akhnas bin
Syariq dari Bani Zuhrah, maka ia dan sekutunya sebanyak tigaratus orang segera bangkit
meninggalkan pasukan itu dan kembali ke Makkah. Di kemudian hari, setelah nyata kalau pasukan
kafir Quraisy dikalahkan kaum muslimin, Akhnas semakin disegani oleh kaumnya karena
ketajaman pikiran dan nalurinya itu.
Setelah mengetahui dari mata-mata yang dikirimkan Nabi SAW, yakni Basbas bin Amr dan
Ady bin Abu Za’ba dari Bani Jubahhy, kalau kafilah dagang Abu Sufyan telah lolos dan kini
‘disongsong’ oleh pasukan perang Makkah yang cukup lengkap sejumlah seribu orang di bawah
pimpinan Abu Jahal, kaum muslimin menghadapi dilema. Yang jelas dari segi kekuatan
persenjataan dan perbekalan mereka kalah jauh. Tetapi kalau harus kembali ke Madinah untuk
menghindari pertempuran, jelas akan menghancurkan ‘image’ dan moral kaum muslimin lainnya,
yang ujung-ujungnya bisa membuat Islam ‘mati suri’ dan akhirnya dilupakan sama sekali, mati
sebelum berkembang.
Saat itu Nabi SAW sedang berada di Wadi Dzafiran, maka segera saja beliau mengadakan
musyawarah dengan menjelaskan situasi gawat yang harus mereka hadapi. Para sahabat Muhajirin
mendukung beliau untuk terus berperang walau mungkin kekuatan tidak berimbang. Bahkan
Miqdad bin Amr berkata, “Wahai Rasulullah, majulah terus seperti diperlihatkan Allah kepada
engkau, dan kami akan selalu bersama engkau. Demi Allah, kami tidak akan berkata sebagaimana
kaum Bani Israel berkata kepada Nabi Musa : ‘Pergilah engkau sendiri bersama Rabb-mu dan
berperanglah kalian berdua, sesungguhnya kami akan duduk menunggu di sini.’ Tetapi kami
semua akan berkata : Pergilah engkau bersama Rabb-mu berperang dan sesungguhnya kami akan
berperang pula bersama engkau. Demi Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, seandainya
engkau membawa kami ke dasar sumur yang gelap, maka kami siap bertempur bersama engkau
hingga mencapai tempat itu!!”
Nabi SAW menyambut gembira semangat kaum Muhajirin itu, dan secara khusus
mendoakan kebaikan untuk Miqdad bin Amr. Namun demikian beliau masih saja bersabda,
“Wahai semua orang, berilah aku masukan (pendapat)!!”
Sebenarnya apa yang disampaikan Miqdad itu telah mewakili pendapat semua pasukan
kaum muslimin itu, tetapi tampaknya Nabi SAW ingin pendapat langsung dari kaum Anshar,
karena mereka jumlahnya memang lebih banyak dan mereka pula yang akan menanggung beban
biaya pasukan itu. Hanya saja beliau tidak mau langsung ‘tunjuk hidung’ agar mereka
menyampaikan sikapnya, atau memaksa mereka mengikuti begitu saja pendapat kaum Muhajirin.
Inilah salah satu contoh yang menunjukkan ketinggian akhlak Nabi SAW.
Tampaknya bahasa kinayah (sindiran) Rasulullah SAW itu ditangkap dengan baik oleh
kaum Anshar, maka salah satu tokohnya, yakni sahabat Sa’d bin Mu’adz berkata, “Demi Allah,
sepertinya yang engkau maksudkan adalah kami (kaum Anshar), ya Rasulullah??”
Nabi SAW bersabda, “Benar!!”
Sa’d berkata lagi, “Wahai Rasulullah, kami telah beriman kepada engkau dan kami telah
membenarkan engkau, kami juga telah memberikan sumpah janji untuk selalu patuh dan taat
kepada engkau, maka majulah engkau untuk berperang sebagaimana engkau kehendaki. Demi
Dzat Yang Mengutusmu dengan kebenaran, seandainya engkau bersama kami terhalang lautan,
lalu engkau terjun ke dalam lautan itu, maka kami semua akan terjun pula bersama engkau, tak
seorangpun di antara kami yang akan mundur. Kami sangat gembira jika esok engkau menghadapi
musuh, kami berada di sisimu bersama-sama menghadapinya. Sesungguhnya kami dikenal sebagai
orang yang sabar dan jujur di dalam pertempuran. Semoga Allah menunjukkan kepada engkau
tentang diri kami, apa yang engkau senangi. Maka majulah bersama kami dengan limpahan
barakah Allah!!”
Nabi SAW sangat gembira dengan tekad dan semangat kaum Anshar yang diwakii oleh
Sa’d bin Mu’adz tersebut, dan beliau bersabda, “Majulah kalian semua, dan terimalah kabar
gembira, karena Allah telah menjanjikan salah satu dari dua hal kepadaku (yakni kemenangan atau
mati syahid). Demi Allah, seakan-akan aku bisa melihat tempat kematian mereka itu!!”
Rasulullah SAW dan kaum muslimin meneruskan perjalanan ke Badar dengan semangat
baru. Tidak lagi ‘berharap’ untuk memperoleh keuntungan duniawiah dengan menghadang kafilah
dagang Quraisy Makkah, tetapi semangat untuk mempertahankan akidah dan keimanan mereka
dari rongrongan kesombongan kaum musyrikin. Semangat untuk menjaga kelangsungan risalah
Islamiah di muka bumi ini, sehingga tidak jadi prematur, mati sebelum sempat tumbuh dan
berkembang.
Nabi SAW menata ulang, atau lebih tepatnya melengkapi susunan pasukan yang kini
diarahkan untuk bertempur. Komandan utama masih beliau dan pemegang panji pertempuran
masih Mush’ab bin Umair, tetapi beliau menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pimpinan kelompok
Muhajirin, dan Sa’d bin Mu’adz sebagai pimpinan kelompok Anshar. Kelompok pasukan di sayap
kanan dipimpin oleh Zubair bin Awwam sedang pada sayap kiri dipimpin oleh Miqdad bin Amr.
Pada garis pertahanan di belakang, Nabi SAW menunjuk Qais bin Sha’sha’ah sebagai pemimpin.
Dari sini tampak sekali kemampuan beliau dalam hal strategi pertempuran, walau ini merupakan
‘pengalaman’ pertempuran yang pertama kalinya.

Berbagai Peristiwa Menjelang Pertempuran


Ketika pasukan muslimin telah tiba di sisi bukit di dekat Badar, di tempat yang bernama
Ad Dabbah, Nabi SAW dan Abu Bakar berjalan mendahului beberapa jauhnya untuk mencari
informasi, yakni melakukan kegiatan mata-mata. Mereka bertemu seorang Arab yang sudah tua,
maka dengan berpura-pura sebagai pihak ‘netral’, Nabi SAW menanyakan tentang keberadaan dua
pasukan itu, yakni pasukan muslimin dan pasukan musyrikin. Orang tua Arab itu berkata, “Yang
aku dengar, Muhammad dan kawan-kawannya berangkat pada hari ‘anu’, berarti saat ini mereka
telah tiba di ad Dabbah. Sedangkan kaum Quraisy Makkah berangkat pada hari ‘anu, itu berarti
mereka telah di sisi bukit itu di arah Udwatul Qushwa pada hari ini…!!”
Diam-diam Nabi SAW memuji kecermatan dan kecerdikan lelaki tua tersebut. Lelaki itu
berkata, “Sebenarnya kalian berdua ini dari mana??”
Karena tidak ingin diketahui identitasnya, apalagi jika pihak Quraisy akan bertemu dengan
lelaki tua Arab itu nantinya, Nabi SAW berkata diplomatis tanpa berbohong, “Kami berasal dari
setetes air!!”
Lelaki tua itu tampak keheranan dan berkata, “Setetes air yang mana? Apakah setetes air
dari Irak??”
Tetapi Nabi SAW dan Abu Bakar telah berlalu menjauh tanpa memberikan penjelasan lebih
lanjut.
Pada sore harinya, Nabi SAW mengirim beberapa sahabat, yakni Ali bin Abi Thalib, Zubair
bin Awwam, Sa’d bin Abi Waqqash dan lain-lainnya untuk memata-matai keadaan musuh. Di
dekat mata air Badar, mereka bertemu dua orang upahan kaum Quraisy yang sedang mengambil
air. Mereka segera menangkap keduanya dan membawanya menghadap Nabi SAW. Saat itu beliau
sedang shalat sunnah, sehingga mereka menginterogasinya lebih dahulu, dua orang itu berkata,
“Kami pesuruh kaum Quraisy untuk menyuplai kebutuhan air mereka!!”
Para sahabat tampaknya tidak puas dengan jawaban itu. Mereka memukul keduanya
dengan harapan akan memberikan ‘pengakuan’ kalau keduanya adalah pesuruh Abu Sufyan,
kafilah dagang yang baru pulang dari Syam dan bukannya pasukan perang kaum Quraisy. Karena
tidak tahan dengan pukulan para sahabat tersebut, akhirnya keduanya berkata, “Kami memang
pesuruh Abu Sufyan!!”
Saat itu Nabi SAW telah selesai shalat dan mendekati mereka, beliau langsung berkata,
“Ketika keduanya berkata jujur, kalian malah memukulinya, jika keduanya berkata dusta malah
kalian membiarkan dan mempercayainya. Demi Allah, mereka itu jujur dan mereka memang
pesuruh kaum Quraisy!!”
Nabi SAW menghadapi kedua orang itu dan berkata, “Dimanakah posisi kaum Quraisy??”
Mereka berkata, “Di balik bukit pasir itu, di arah Udwatul Qushwa!!”
Tepat sama seperti perkataan orang tua Arab itu, beliau berkata lagi, “Berapa jumlah
mereka tepatnya??”
Mereka berkata, “Banyak sekali, tetapi kami tidak tahu persis tepatnya!!”
“Berapa ekor unta yang mereka sembelih setiap harinya?” Tanya Nabi SAW.
“Dalam sehari kadang sembilan, kadang sepuluh ekor!!”
Nabi SAW berkata, “Berarti jumlah mereka sembilanratus hingga seribu orang!!”
Beliau bertanya lagi, “Siapa saja pemuka Quraisy yang bergabung dalam pasukan itu??”
Mereka berkata, “Hampir semuanya, di antaranya adalah Utbah dan Syaibah bin Rabiah,
Walid bin Utbah, Abul Bakhtary bin Hisyam, Hakim bin Hizam, sang singa Quraisy Naufal bin
Khuwailid, Harits bin Amir, Thuhaimah bin Ady, Zam’ah bin Aswad, Abu Jahal bin Hisyam,
Umayyah bin Khalaf…..!!”
Mereka masih menyebutkan beberapa nama lagi, setelah itu Nabi SAW menghadapkan diri
ke semua anggota pasukan dan bersabda, “Wahai semua orang, inilah Makkah, yang telah
menghantarkan jantung hatinya untuk kalian!!”
Nabi SAW melepaskan dua orang itu untuk kembali ke kaum Quraisy Makkah, tetapi
beliau meminta untuk tidak menceritakan pertemuan itu kepada mereka.
Pada malam harinya Allah menurunkan hujan yang cukup deras, yang membuat kaum
musyrikin Makkah menjadi basah kuyup dan terhambat melanjutkan perjalanan. Tetapi di sisi lain,
hujan yang sama justru meneguhkan langkah kaum muslimin. Fisik dan jiwa mereka seolah
disucikan dari berbagai kotoran dan was-was yang masih sempat menggelayuti pikiran. Semangat
makin berkobar dan jiwa mereka makin menyatu dalam semangat jihad fi sabilillah.
Pada pagi harinya, kamis tanggal 16 Ramadhan 2 hijriah, Nabi SAW membawa mereka
makin dekat pada mata air Badar, menghadap ‘arena’ pada pasir yang cukup luas, dan
memerintahkan para sahabat untuk melakukan berbagai macam persiapan. Tiba-tiba seorang
sahabat Anshar bernama Hubab bin Mundzir menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai
Rasulullah, mengenai berhenti di tempat ini, apakah ini merupakan wahyu yang diturunkan Allah
kepada engkau, sehingga dengan demikian tidak ada pilihan bagi kami untuk maju dan mundur
dari tempat ini. Ataukah ini hanya sekedar pendapat, siasat dan strategi pertempuran??”
Nabi SAW bersabda, “Ini hanya pendapatku saja, siasat dan strategi yang paling tepat!!”
Hubab berkata, “Bolehkan saya memberikan pendapat, ya Rasulullah??”
Beliau bersabda, “Katakanlah pendapatmu!!”
“Wahai Rasulullah,“ Kata Hubab lagi, “Menurut saya tidak tepat jika kita berhenti di
tempat ini. Pindahkanlah orang-orang lebih dekat ke mata air, kita buat kolam di dekat kita dan
kita alirkan air ke sana. Setelah itu kita timbun kolam-kolam air di dekat pasukan Quraisy. Setelah
kita berperang, kita mempunyai persediaan air yang cukup sedang mereka akan kesulitan
memperolehnya…..!!”
Nabi SAW tampak gembira dengan pendapat brillian yang disampaikan Hubab itu, dan
mendoakan kebaikan bagi dirinya. Beliau segera memerintahkan para sahabat untuk pindah pada
tempat diusulkan Hubab, hampir separuh malam mereka bekerja keras merealisasikan strategi
membuat kolam-kolam baru dan mengalirkan air ke dalamnya, serta menimbun kolam-kolam yang
lama.
Setelah semua itu selesai, lagi-lagi seorang sahabat Anshar, yakni Sa’d bin Mu’adz datang
menghadap Nabi SAW dan berkata, “Wahai Nabiyallah, bagaimana jika kami mendirikan tenda
khusus untuk engkau memberikan komando, dan menyiapkan tunggangan engkau di sisinya, dan
biarkanlah kami yang berperang menghadapi musuh. Jika Allah memberikan kemenangan, maka
itulah yang memang kita harapkan. Tetapi jika keadaan sebaliknya, engkau bisa segera duduk di
atas tunggangan dan kembali orang-orang yang di belakang kami (yakni di Madinah). Di sana
masih banyak orang-orang yang tidak bergabung bersama kami, tetapi demi Allah, ya Nabiyallah,
kecintaan mereka kepada engkau jauh lebih besar daripada kecintaan kami. Jika mereka
menganggap bahwa engkau harus berperang, mereka tidak akan berpaling (pergi) dari sisimu.
Allah pasti akan membela engkau bersama mereka, mereka akan memberikan nasehat dan
berjihad bersama engkau!!”
Nabi SAW menyetujui usulannya dan mendoakan kebaikan bagi Sa’d, dan segera saja para
sahabat mendirikan tenda komando tersebut. Sa’d juga menugaskan beberapa sahabat Anshar
untuk menjaga keselamatan Rasulullah SAW, bergiliran dengan beberapa sahabat Muhajirin
lainnya.
Nabi SAW sempat berkeliling mengitari arena perang Badar yang saat itu sedang kosong,
karena pasukan Quraisy terhambat hujan deras yang terjadi malam sebelumnya. Pada beberapa
tempat beliau berhenti dan bersabda, “Ini tempat kematian si Abu Jahal, insyaallah…Ini tempat
kematian si Fulan, insyaallah…!!”
Beberapa kali beliau bersabda seperti itu pada beberapa tempat yang berbeda, yang pada
pertempuran keesokan harinya, para tokoh kafir Quraisy yang beliau sebutkan itu memang
terbunuh di tempat itu.
Kamis malam atau malam jum’at, tanggal 17 Ramadhan tahun 2 hijriah, kebanyakan kaum
muslimin tidur dengan pulas dan tenangnya seolah-olah tidak ada bahaya yang mengancam
mereka. Beberapa orang sahabat saja yang tidak tidur karena ditugaskan menjaga, termasuk yang
menjaga Rasulullah SAW. Tetapi sebaliknya dengan Nabi SAW, beliau hampir tidak tidur
sepanjang malam itu, dan mengisinya dengan shalat dan berdoa memohon pertolongan Allah.
Beberapa sahabat telah berganti menjaga, tetapi beliau masih tetap dengan aktivitasnya itu.
Ketika sahabat Khabbab bin Arat mendapat giliran menjaga Nabi SAW, ia tidak tahan
untuk tidak bertanya, maka ia menghampiri Nabi SAW dan menanyakan tentang shalat beliau
yang begitu ‘panjang’ itu. Nabi SAW bersabda, "Itu adalah shalat yang penuh harapan dan
ketakutan, aku berdoa kepada Allah dengan tiga permintaan, dua dikabulkan dan satu lagi dicegah-
Nya (tidak dipenuhi). Pertama aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku Engkau binasakan sampai
habis karena kelaparan, dan Dia mengabulkannya. Kedua aku berdoa : Ya Allah, janganlah umatku
Engkau binasakan sampai habis karena serangan musuh, dan Dia mengabulkannya. Ketiga aku
berdoa : Ya Allah, janganlah terjadi perpecahan dan perselisihan di antara umatku, maka Dia
mencegah doaku ini."
Tampaknya perpecahan dan perbedaan pendapat di antara umat Nabi SAW sudah menjadi
kodrat dan sunnatillah sehingga beliau dicegah (artinya tidak dipenuhi) untuk meneruskan doa
tersebut. Namun perbedaan dan perpecahan itu tidaklah menghalangi datangnya rahmat dan
ampunan Allah kepada umat beliau, karena kasih sayang Allah yang begitu besarnya kepada Nabi
SAW.
Perpecahan umat itu baru terjadi setelah wafatnya Umar bin Khaththab, karena Nabi SAW
memang pernah menyabdakan kalau Umar adalah ‘gembok/kuncinya’ fitnah. Artinya, setelah
wafatnya Umar, di mana wilayah Islam makin luas dan makin banyak orang yang memeluk Islam,
termasuk orang-orang Romawi dan Persia, fitnah cinta dunia, cinta kedudukan dan jabatan makin
menjangkiti kaum muslimin, sehingga tidak bisa tidak akhirnya menimbulkan perpecahan dan
perbedaan pendapat di antara kaum muslimin. Namun demikian, ampunan dan kasih sayang Allah
masih tetap terbuka lebar bagi umat Nabi SAW yang ingin kembali atau bertaubat, hingga kiamat
tiba. Baik kiamat pribadi (yakni kematian) yang batasnya ketika nafas di tenggorokan, ataupun
kiamat kubra yang batasnya ketika matahari terbit dari sebelah barat.
Pada hari kamis itu, pasukan kaum kafir Quraisy masih tertahan di sisi bukit, di arah
Udwatul Qushwa, belum turun ke padang Badar. Mereka sempat mengirimkan Umair bin Wahb al
Jumahi untuk menyelidiki pasukan kaum muslimin. Umair segera berangkat dan mengitari
beberapa kali pasukan Muslimin, ia juga memacu tunggangannya jauh ke arah belakang pasukan
muslimin, kalau-kalau ada pasukan pendukung dan pasukan tambahan yang datang dari arah
Madinah, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.
Setelah kembali ke kalangan pasukan Quraisy, Umair berkata, “Mereka berjumlah sekitar
tigaratus orang, tidak ada tambahan atau bala bantuan pasukan lainnya. Tetapi wahai orang-orang
Quraisy, aku melihat bencana besar seperti mimpi, kolam-kolam Yatsrib membawa kematian yang
memilukan. Mereka memang tidak memiliki benteng atau tameng-tameng, kecuali hanya pedang-
pedang mereka, tetapi demi Allah, mereka tidaklah akan mati terbunuh kecuali setelah membunuh
salah satu atau beberapa dari kalian. Maka, pikirkanlah hal ini dengan cermat!!”
Entah apa yang dilihat Umair sehingga ia bisa berkata seperti itu, padahal jelas sekali
persenjataan dan jumlah mereka jauh lebih banyak dan lebih lengkap daripada kaum muslimin.
Tetapi bagi orang-orang tertentu, kepekaan rasa mereka terkadang mampu menangkap sinyal-
sinyal berbahaya yang menghadang mereka di depan. Mungkin Umair termasuk orang-orang
tersebut, termasuk juga Akhnas bin Syariq yang membawa pulang kabilahnya, Bani Zuhrah
sebanyak tigaratus orang, urung mengikuti pasukan kafir Quraisy ke Badar.
Dengan adanya pendapat Umair itu, kelompok yang sebenarnya menentang Abu Jahal
untuk terus berperang mulai berani berbicara. Dengan dimotori oleh Hakim bin Hizam, mereka
menemui Utbah bin Rabiah dan berkata, “Wahai Abul Walid, engkau adalah pemuka Quraisy,
pemimpin dan orang yang dipatuhi, apakah engkau ingin memperoleh kenangan manis sepanjang
masa??”
“Apakah itu, wahai Hakim??”
“Pulanglah dengan orang-orangmu, dan bawalah urusan sekutumu, Amr bin Hadramy.
Tidak ada gunanya kita berperang melawan Muhammad dan orang-orang Yatsrib itu!!”
Amr bin Hadramy yang terbunuh pada peristiwa Nakhlah oleh pasukan yang dipimpin
Abdullah bin Jahsy, memang sekutu Utbah bin Walid dan bukannya sekutu Abu Jahal. Dialah yang
memang lebih berhak ‘menangani’ masalah itu, dan ia bermaksud memberikan tebusan dan
penggantian harta yang seharusnya menjadi milik Ibnu Hadramy itu.
Utbah sendiri tampaknya sependapat dengan Umair, Hakim dan beberapa orang lainnya,
maka ia berdiri dan berkata, “Wahai orang-orang Quraisy, demi Allah, sebenarnya tidak ada
gunanya kalian memerangi Muhammad dan rekan-rekannya. Kalau kalian bisa mengalahkannya,
masih saja kalian akan melihat seseorang yang membuat kalian membencinya, karena ia yang
membunuh saudara, kerabat atau paman kalian yang menjadi pengikut Muhammad. Pulanglah
kalian, dan biarkanlah urusan Muhammad dengan orang-orang Arab (lainnya)….!!”
Abu Jahal yang saat itu tengah mengenakan baju perangnya, langsung berkomentar setelah
mendengar seruan Utbah, “Demi Allah, tampaknya ia (yakni Utbah bin Rabiah) benar-benar
ketakutan ketika melihat Muhammad, apalagi di antara mereka ada anaknya, sehingga ia menakut-
nakuti kalian untuk berhadapan dengan Muhammad…!!”
Salah seorang putra Utbah, yakni Abu Hudzaifah bin Utbah memang memeluk Islam pada
masa-masa awal beserta seluruh keluarganya. Bahkan budaknya bernama Salim yang ikut
memeluk Islam langsung dibebaskannya, dan kemudian diangkatnya menjadi saudara. Sungguh
suatu sikap yang ‘memalukan’ dalam pandangan tradisi jahiliah, tetapi suatu kemuliaan yang tiada
tara di sisi Allah. Ia rela menanggalkan nama besar, kemuliaan keluarganya dan semua harta
kekayaannya untuk bisa mengikuti hijrah ke Madinah.
Mendengar komentar Abu Jahal itu, Utbah menjadi panas hati, dengan geram ia berkata,
“Perlu dilihat nantinya, siapa yang sebenarnya lebih takut, aku atau dirinya??”
Karena khawatir akan lebih banyak orang yang menentang niatnya untuk berperang, Abu
Jahal memanggil Amir bin Hadramy, saudara dari Amr yang tewas di Nakhlah, dan berkata, “Ini
dia sekutumu (yakni Utbah) ingin mengajak orang-orang untul pulang. Padahal engkau tahu
sendiri siapa orang yang ingin engkau tuntut balas, maka bangkitlah, dan carilah orang yang telah
membunuh saudaramu itu!!”
Amir bin Hadramy segera bangkit dan berkata lantang, “Demi Allah, demi Allah, perang
sudah berkobar dan orang-orang sudah tidak sabar lagi. Mereka telah siap untuk menuntut balas,
tetapi mereka justru dikacaukan oleh pendapat Utbah!!”
Utbah tidak mau berkomentar lagi, hatinya telah panas dan akal sehatnya tertutup. Kalau
akhirnya ia ingin segera bertempur, tidak lepas dari kemarahannya kepada Abu Jahal yang
mengatakannya kalau ia penakut.

Jalannya Pertempuran
Jum’at pagi tanggal 2 Ramadhan tahun 2 hijriah, pasukan muslimin telah siap siaga di
padang Badar, sedangkan pasukan kafir Quraisy baru saja turun menuju arena pertempuran. Nabi
SAW mengatur dan menginspeksi barisan, beliau melihat Sawad bin Ghaziyah agak bergeser
sehingga beliau memukulnya dengan anak panah agar meluruskannya. Tetapi di luar dugaan,
Sawad berkata, “Wahai Rasulullah, engkau telah menyakitiku, karena itu ijinkanlah aku
membalasnya!!”
Para sahabat, termasuk Rasulullah SAW sendiri terkejut mendengar perkataan Sawad itu,
banyak yang mencela sikapnya. Tetapi ternyata semua itu hanya ‘akal-akalannya’ saja agar bisa
bersentuhan kulit dengan Nabi SAW, karena ia merasa akan menemui syahid di pertempuran itu.
Nabi SAW juga memberikan nasehat tentang keimanan dan kesabaran, termasuk strategi
dalam bertempur. Secara khusus beliau meminta pasukan muslimin untuk tidak membunuh Abbas
bin Abdul Muthalib dan orang-orang Bani Hasyim karena sebenarnya mereka tidak menginginkan
bertempur, tetapi dipaksa untuk mengikutinya. Mendengar sabda beliau ini, Abu Hudzaifah bin
Utbah berkata kurang senang, “Apakah kami dibolehkan (diperintahkan) membunuh bapak-bapak
kami, anak-anak, saudara dan kerabat-kerabat kami, tetapi membiarkan Abbas dan Bani Hasyim?
Demi Allah, seandainya aku bertemu dengannya, aku akan membabatnya dengan pedang!!”
Nabi SAW memandang Abu Hudzaifah sesaat, bukan kemarahan tetapi pandangan penuh
kasihan, kemudian bersabda kepada Umar, “Wahai Abu Hafshah, layakkah paman Rasulullah
dibabat dengan pedang??”
Umar berkata, “Wahai Rasulullah, ijinkanlah aku memenggal lehernya dengan pedang.
Demi Allah, sungguh dia telah berbuat munafik!!”
Tetapi Nabi SAW melarang Umar berbuat seperti itu, dan tidak memperpanjang masalah
ataupun juga mendebat (menasehati) Abu Hudzaifah, yang memang merupakan putra pemuka
Quraisy, Utbah bin Rabiah. Beliau membiarkannya begitu saja. Abu Hudzaifah sendiri yang
akhirnya menyadari kesalahannya dan peristiwa itu selalu menghantui perasaannya. Walau Nabi
SAW telah memaafkan dan bersikap biasa terhadapnya, tetapi ia masih saja tidak tenang. Ia
beranggapan bahwa tidak ada yang bisa menebus kegelisahan hatinya itu kecuali jika ia
memperoleh kesyahidan. Maka ia selalu mengikuti dan bersemangat tinggi dalam setiap medan
jihad, sehingga ia memperoleh kesyahidan pada Perang Yamamah, pada masa khalifah Abu Bakar
ash Shiddiq.
Tentunya sikap dan nasehat Rasulullah SAW itu bukanlah ‘egoisme kekerabatan’ semata.
Selama tigabelas tahun berdakwah di Makkah, Bani Hasyim dan Bani Muthalib mati-matian
membela Nabi SAW walau mereka tetap dalam kekafiran dan kemusyrikannya. Bahkan mereka
sempat juga diboikot oleh kaum Quraisy selama tiga tahun karena tidak mau menyerahkan Nabi
SAW untuk dibunuh. Mereka sampai mengalami ‘paceklik’ hingga hanya makan dedaunan dan
kulit-kulit binatang, sementara kaum Quraisy menguasai cadangan makanan yang berlimpah,
padahal mereka sama-sama musyriknya.
Nabi SAW juga meminta agar Abul Bakhtary tidak dibunuh. Salah satu pemuka Quraisy
ini memang seringkali melakukan pembelaan kepada Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya.
Ketika pemboikotan selama tiga tahun, seringkali Hakim bin Hizam, walau ia masih musyrik,
menyelundupkan bahan makanan kepada Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Suatu ketika ia
tertangkap basah menyelundupkan makanan, dan akan dihakimi oleh pemuka Quraisy lainnya.
Maka Abul Bakhtary tampil memberikan pembelaan kepada Hakim. Bahkan Abul Bakhtary ikut
berinisiatif membatalkan piagam pemboikotan itu.
Setelah semuanya siap, Nabi SAW kembali ke pos komandonya dengan dikawal oleh Sa’d
bin Mu’adz. Beliau menghadapkan diri ke kiblat dan berdoa, “Ya Allah, inilah Quraisy yang
datang dengan kecongkakan dan kesombongan, yang memusuhi-Mu dan mendustakan Rasul-Mu.
Ya Allah, yang kuharapkan adalah pertolongan-Mu seperti yang telah Engkau janjikan kepadaku.
Ya Allah, binasakanlah mereka pagi ini…!!!”
Dua pasukan telah berhadapan di padang Badar, ada semacam stagnasi (kebuntuan) dalam
sesaat. Bagaimanapun juga mereka (kaum Muhajirin dan kafir Quraisy) masih bersaudara, selama
puluhan tahun tumbuh dan bergaul bersama, tetapi kini berhadapan untuk saling membunuh.
Tetapi tiba-tiba seorang Quraisy yang kasar perangainya, Aswad bin Abdul Asad keluar dari
pasukan dan berkoar dengan sombongnya, mengancam akan menghabisi pasukan muslim. Maka
Hamzah tampil menghadapinya, dan dalam sesaat saja ia telah bisa membunuhnya.
Lalu muncul tiga pemuka Quraisy yang masih bersaudara menantang duel, yakni Utbah
bin Rabiah, Syaibah bin Rabiah dan Walid bin Utbah. Sedikit banyak Utbah masih terpengaruh
panas hatinya oleh ucapan Abu Jahal, sehingga ia langsung Tiga orang pemuda Anshar langsung
keluar melayani tantangan duel tersebut, yakni, Auf dan Muawwidz bin Harits al Afra, serta
Abdullah bin Rawahah. Tetapi para pemuka Quraisy itu menolak menghadapi tiga pemuda
tersebut, mereka berkata, “Wahai Muhammad, keluarkanlah orang-orang terpandang dari kaum
kami!!”
Maka Nabi SAW memanggil tiga pemuda Anshar itu untuk kembali ke pasukan, kemudian
memerintahkan Hamzah bin Abdul Muthalib, Ubaidah bin Harits dan Ali bin Abi Thalib. Ubaidah
yang paling tua berhadapan dengan Utbah bin Rabiah, Hamzah dengan Syaibah dan Ali melawan
Walid. Hamzah dan Ali dengan mudah mematahkan serangan lawannya kemudian membunuhnya,
sedangkan Ubaidah bertempur cukup seru melawan Utbah. Kekuatan mereka berimbang, saling
menyerang dan melukai, hingga akhirnya sama-sama tidak berdaya dalam keadaan luka parah. Ali
dan Hamzah menghampiri Utbah dan membunuhnya, kemudian membawa Ubaidah menuju tenda
komando Rasulullah SAW.
Nabi SAW meletakkan Ubaidah dalam pangkuan beliau beberapa saat lamanya, sambil
mendoakannya untuk kebaikan dan kesabaran. Ia terus bertahan dalam keadaan luka dan kesakitan
selama empat atau lima hari, dan wafat di Shafra’ dalam perjalanan pulang ke Madinah. Beliau
memakamnnya di sana.
Setelah kekalahan tiga orang pemuka dan pahlawannya dalam duel pembuka, kaum kafir
Quraisy langsung mengadakan serangan gelombang demi gelombang, seolah ingin melibas habis
pasukan muslimin yang hanya sepertiganya itu. Seperti perintah Nabi SAW, pada awalnya kaum
muslimin bersikap defensif dengan menggunakan panah-panah mereka, yang ternyata cukup
efektif mengurangi laju serangan kaum kafir Quraisy. Setelah makin dekat, barulah mereka
mengeluarkan pedang dan bertempur dengan serunya, man to man. Kaum muslimin tidak henti-
hentinya menyerukan kata : Ahad, ahad, sebagaimana dahulunya Bilal bin Rabah menyerukan kata
itu ketika ia disiksa dengan hebatnya oleh tokoh-tokoh kaum Quraisy.
Sejak awal terjadinya duel, tak henti-hentinya Rasulullah SAW berdoa memohon
pertolongan Allah. Ketika kaum musyrikin Quraisy itu bergelombang datang menyerbu kaum
muslimin, Nabi SAW makin intensif berdoa, “Ya Allah, jika pasukan ini hancur pada hari ini,
maka Engkau tidak akan lagi disembah lagi di muka bumi. Tolonglah kami, ya Allah, kecuali jika
Engkau memang menghendaki untuk tidak disembah lagi setelah hari ini!!”
Begitu menghibanya Rasulullah SAW meminta pertolongan Allah, hingga tanpa disadari
jubah atau mantel beliau terlepas dari pundak beliau jatuh ke tanah. Abu Bakar yang berada di sisi
beliau mengambil dan memakaikan lagi jubah tersebut, sambil berkata, “Cukuplah engkau berdoa,
ya Rasulullah, sungguh Allah tidak akan meninggalkan engkau!!”
Tidak lama berselang turun Firman Allah QS Al Anfal 9, "Sesungguhnya Aku akan
mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.”
Tiba-tiba Nabi SAW merasakan kantuk yang tidak tertahankan dalam sesaat, tersadar
kembali dan beliau mendongakan kepala ke atas, lalu beliau bersabda dengan gembiranya,
“Bergembiralah wahai Abu Bakar, inilah dia Jibril yang datang di atas gulungan-gulungan debu!!”
Nabi SAW segera melompat keluar tenda dengan mengenakan baju besi, beliau mengambil
segenggam pasir dan melemparkannya ke arah pasukan kafir Quraisy, dan bersabda, “Buruklah
wajah-wajah kalian!!”
Rasulullah SAW memompa semangat pasukan muslimin dengan berbagai cara, antara lain
beliau bersabda, “Demi diri Muhammad yang berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seseorang
yang berperang pada hari ini dengan kesabaran, mengharap ridha Allah dan maju terus pantang
mundur, kecuali Allah akan memasukkannya ke dalam surga!!”
Beliau juga bersabda, “Bangkitlah kalian ke dalam jannah, yang luasnya seluas langit dan
bumi!!”
Seorang sahabat Anshar bernama Umair bin Hammam berkata, “Bakh, bakh!!”
Nabi SAW langsung bersabda, “Wahai Umair, apa maksudmu berkata : Bakh, bakh??”
Umair berkata, “Tidak lain, ya Rasulullah, adalah harapan agar saya termasuk salah satu
penghuninya!!”
Sebagai seorang ‘motivator’ ulung, Nabi SAW langsung bersabda, “Sesungguhnya engkau
termasuk salah satu penghuninya (surga itu)!!”
Mata Umair berbinar-binar karena gembiranya, saat itu ia tengah mengambil kurma untuk
dimakan, maka segera dilemparkannya dan berkata, “Untuk hidup sekedar memakan kurma ini
rasanya terlalu lama!!”
Setelah itu ia meraih pedangnya dan menghambur menyerbu musuh yang terus datang
bergelombang. Sikapnya ini ternyata diikuti oleh beberapa kaum muslimin lainnya, yang terpacu
semangatnya untuk bisa memperoleh jaminan surga sebagaimana disabdakan Nabi SAW.
Seorang sahabat Anshar lainnya bernama Auf bin Harits al Afra menghampiri Nabi SAW
dan berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang bisa membuat Ar Rabb (yakni, Allah) tersenyum kepada
hamba-Nya??”
Nabi SAW bersabda, “Jika dia menyerbu ke tengah-tengah musuh tanpa mengenakan baju
besi….!!”
Tentunya maksud Nabi SAW bukannya ‘bunuh diri’. Tidak semua pasukan muslimin
memiliki dan memakai baju besi dalam pertempuran tersebut, sehingga sedikit banyak, hal itu
memberikan dampak psikologis bagi mereka untuk maju menyerbu kaum musyrikin, yang
kebanyakan memang memakai baju besi.
Auf sendiri saat itu tengah mengenakan baju besi, maka setelah mendengar sabda beliau
itu, ia melepas dan melemparkan baju besinya, kemudian menghambur menyerbu musuh dengan
perkasanya. Ternyata tanpa memakai baju besi, Auf lebih leluasa bergerak dan menyerang
sehingga merepotkan barisan kaum musyrikin itu. Tindakannya itu makin meningkatkan semangat
pasukan muslimin dalam menahan gempuran pasukan musyrikin yang memang lebih banyak dan
lengkap persenjataannya.
Begitulah, kemampuan Rasulullah SAW dalam memompa semangat jihad kaum muslimin
membuat mereka begitu tegar menghadang serbuan kaum musyrikin yang seolah ombak di laut
yang susul menyusul datang. Kaum musyrikin sendiri keheranan karena mereka tidak mampu
‘membungkam’ pasukan muslimin yang hanya seperti jumlahnya. Tentulah mereka tidak tahu,
karena sebenarnya saat itu sepasukan malaikat yang dipimpin oleh malaikat Jibril telah membantu
pasukan muslimin.
Iblis yang mewujudkan diri sebagai Suraqah bin Malik bin Ju’syum, seorang pemuka dari
kabilah Bani Mudlij yang sempat membuntuti hijrahnya Rasulullah SAW, lari terbirit-birit dari
pertempuran. Sebelumnya Iblis dalam bentuk Suraqah ini berjanji akan ‘memback-up’ pasukan
kafir Quraisy hingga bisa membunuh Rasulullah SAW, tetapi begitu melihat pasukan malaikat
datang, ia segera beranjak pergi. Gelagatnya itu diketahui oleh Harits bin Hisyam yang segera
memegang tangannya dan berkata, “Hai Suraqah, mau kemana engkau? Bukankah engkau berjanji
akan menjadi pendukung kami dan tidak akan pernah meninggalkan kami?”
Tentu saja Harits, saudara Abu Jahal ini, mengira ia benar-benar Suraqah bin Malik. Iblis
memukul dada Harits hingga pegangannya lepas dan ia jatuh terjengkang. Iblis berkata, “Sungguh
aku melihat apa yang tidak kalian lihat. Sesungguhnya aku sangat takut kepada Allah, siksaan
Allah benar-benar sangat pedih!!”
Setelah itu Iblis melarikan diri begitu cepatnya dan menceburkan dirinya ke dalam lautan,
karena begitu takutnya.
Pasukan muslimin yang dipimpin Rasulullah SAW dan pasukan malaikat yang dipimpin
oleh Malaikat Jibril terus mendesak pasukan kafir Quraisy hingga mereka terus mundur. Tampak
beberapa kejadian lucu dalam pertempuran. Seorang sahabat baru saja bergerak untuk menyerang,
tiba-tiba orang musyrik itu telah terkulai jatuh dan mati, seolah-olah terkena serangan ‘tenaga
dalam’. Seorang musyrik tengah mengayun pedang, tetapi tiba-tiba tangannya terputus, tanpa
diketahui siapa yang membabatnya. Seorang muslim lainnya tengah mati-matian bertahan dari
serangan musuh, tiba-tiba ia mendengar lecutan cambuk di atas kepalanya dan suara yang
menggelegar, “Majulah wahai Haizum!!”
Dan orang musyrik yang menyerangnya terjerembab jatuh dan mati. Usai pertempuran,
ketika sang sahabat menceritakan pengalamannya ini kepada Rasulullah SAW, dan menyatakan
kalau malaikat membantunya, beliau bersabda, “Engkau benar, itu adalah pertolongan Allah dari
langit yang ke tiga, Haizum adalah nama tunggangan malaikat Jibril!!”
Seorang sahabat lainnya bernama Abu Daud al Maziny, setelah bertempur dengan
hebatnya, musuhnya itu lari menghindar. Maka ia mengejarnya untuk menebas kepalanya, tetapi
sebelum pedangnya menyentuh tubuh musuhnya, orang musyrik itu tiba-tiba jatuh dan mati
dengan kepala terpenggal.
Pemuka Quraisy yang masih saudara sepupu Nabi SAW, Abu Sufyan bin Harits bin Abdul
Muthalib, melihat pemandangan yang menakjubkan di mana sepasukan tentara berkuda yang
berpakaian serba putih, berseliweran antara langit dan bumi tanpa menginjak tanah dan tidak
meninggalkan jejak apapun, dengan sesuka hatinya menyerang dan menawan kaum Quraisy.
Melihat hal itu, Abu Sufyan berlari sejauh mungkin dari pasukan muslimin, dan akhirnya ia bisa
menyelamatkan diri hingga kembali ke Makkah.
Abbas bin Abdul Muthalib yang akhirnya tertawan oleh seorang sahabat Anshar, dengan
tegas berkata di hadapan Rasulullah SAW, “Demi Allah, bukan orang ini yang tadi menyerang dan
menawanku. Aku tadi ditangkap oleh seorang lelaki yang botak kepalanya, wajahnya sangat
tampan, dan mengendarai kuda yang sangat gagah. Dan aku tidak melihat orang itu di antara
kalian!!”
Sahabat Anshar itu berkata, “Wahai Rasulullah, akulah yang telah menawannya!!”
Maka Nabi SAW bersabda kepadanya, “Diamlah engkau, karena sesungguhnya Allah telah
membantumu dengan seorang malaikat yang mulia.”
Ukasyah bin Mikhsan yang bertempur di dekat Nabi SAW, sekaligus menjaga keselamatan
beliau, bertempur begitu hebatnya menghadang serangan kaum musyrikin, hingga pedangnya
patah menjadi dua. Nabi SAW memanggilnya dan memberikan sepotong kayu dari akar pohon,
sambil bersabda, “Bertempurlah dengan ini, wahai Ukasyah!!”
Ukasyah menghampiri beliau dan menerima ranting kayu tersebut, yang seketika itu
berubah menjadi pedang yang panjang, mengkilat dan begitu tajamnya. Dengan pedang yang
kemudian dinamakan Al Aun ini, Ukasyah makin garang menghadang dan menyerbu pasukan
kaum musyrikin hingga mereka porak poranda.
Entah, apakah itu merupakan mu’jizat Rasulullah SAW yang merubah ranting menjadi
pedang, atau memang malaikat yang mengganti atau menukar ranting kayu itu dengan salah satu
pedang yang dipegangnya, wallahu a’lam.
Dan masih banyak lagi peristiwa keterlibatan malaikat dalam membantu pasukan muslimin
dalam perang Badar ini, yang secara kasat mata memang tidak terlihat, sehingga terkadang tampak
sebagai peristiwa yang ajaib, atau bahkan lucu kelihatannya.
Abu Bakar sempat bertemu dengan anaknya, Abdurrahman bin Abu Bakar yang berada di
pasukan musyrikin, ia berkata, “Wahai anak kecil yang buruk, dimanakah harta bendaku??”
Abdurrahman berkata, “Yang ada hanyalah senjata dan kuda yang siap membabat orang
tua yang telah renta (maksudnya bapaknya, Abu Bakar sendiri)….!!”
Abu Bakar sangat marah mendengar perkataan anaknya itu dan bersiap menyerangnya,
tetapi Nabi SAW menghalangi maksudnya, dan menyuruh membiarkannya saja.
Dua orang pemuda Anshar, Mu’adz bin Amr bin Jamuh dan Muawwidz bin Harits al Afra,
berperang hingga menyeruak jauh ke depan, ke jantung pertahanan kaum kafir Quraisy. Mereka
bertemu dengan Abdurrahman bin Auf di garis depan dan berkata, “Wahai paman, manakah
orangnya yang bernama Abu Jahal??”
Ibnu Auf memandang pemuda itu keheranan, “Keponakanku, apa yang engkau lakukan
terhadap dirinya??”
Salah satunya berkata, “Kudengar dia sering sekali mencaci maki Rasulullah SAW
sewaktu di Makkah, demi diriku yang berada dalam genggaman-Nya, jika aku melihatnya, takkan
kubiarkan dia lolos dari penglihatanku, hingga siapa yang terlebih dahulu mati di antara kami!!”
Pemuda satunya juga mengangguk-angguk menyetujui pendapat temannya. Maka Ibnu Auf
memandang berkeliling mencari keberadaan Abu Jahal, begitu ketemu dan menunjukkannya,
maka dua pemuda itu menghambur menuju tempatnya. Sebenarnya saat itu Abu Jahal tidak
sendirian, beberapa orang Quraisy lainnya juga berkerumun di sekitarnya sambil menjaganya,
tetapi kebanyakan mereka juga disibukkan dengan serangan pasukan muslimin yang makin gencar.
Mu’adz dan Muawwidz membuka ‘jalan darah’ dengan fokus mendekatinya, sehingga di antara
orang-orang Quraisy ada yang berkata, “Abul Hakam (yakni Abu Jahal) tidak akan bisa lolos kali
ini!!”
Pada suatu kesempatan yang tepat, Mu’adz berhasil mendekatinya dan menyabet kakinya
hingga putus pada betisnya. Tetapi saat itu datang anaknya, Ikrimah yang langsung menyerang
Mu’adz mengenai pundak kirinya hingga hampir putus, lengannya bergantung karena masih
tertahan oleh kulitnya. Mu’adz masih terus bertempur dalam keadaan seperti itu, dan karena
terganggu sekaligus kesakitan karena lengan kirinya yang bergelantungan, ia memotongnya
sekalian dan melanjutkan serangannya kepada kaum musyrikin.
Akan halnya Muawwidz yang bergerak bersamaan, begitu Abu Jahal tertebas kakinya oleh
pedang Mu’adz, gantian ia yang menebas tubuh Abu Jahal dengan pedangnya sehingga terkapar
tidak berdaya di tanah, tampaknya telah sekarat. Namun seperti halnya Mu’adz, ia langsung
bergerak lagi menyerang pasukan musyrikin lainnya.
Saat itu pasukan muslimin terus bergerak maju, termasuk Rasulullah SAW dengan
pengawalan ketat sekelompok sahabat yang dipimpin Sa’d bin Mu’adz. Mu’adz dan Muawwidz
menghadap Nabi SAW dan berkata bersamaan , “Wahai Rasulullah, saya telah membunuh Abu
Jahal??”
Nabi SAW memandang dua pemuda itu bergantian, kemudian bersabda, “Tunjukkanlah
pedang kalian!!”
Mu’adz dan Muawwidz menyerahkan pedangnya kepada Rasulullah SAW bergantian.
Setelah beberapa saat beliau memeriksa keduanya, yang tentunya didukung dengan ‘pandangan’
kenabian, beliau bersabda, “Kalian berdua yang telah membunuh Abu Jahal!!”
Kaum muslimin lainnya merawat dan mengobati luka yang dialami Mu’adz bin Amr bin
Jamuh, sedangkan Muawwidz bin Harits al Afra melanjutkan kali kiprahnya memerangi kaum
musyrikin yang makin porak poranda.
Pada awal pertempuran, Nabi SAW telah berwasiat untuk tidak membunuh Abul Bakhtary.
Seorang sahabat Anshar dari kabilah Bani Ghanm, suku Khazraj bernama Abdullah bin Ziyad al
Balwy bertemu dengannya yang tengah bertempur bersisian dengan sahabatnya. Teringat dengan
pesan Nabi SAW tersebut, Ibnu Ziyad berkata, “Wahai Abul Bakhtary, Rasulullah telah melarang
kami untuk membunuh engkau!!”
Abul Bakhtary berkata, “Bagaimana dengan temanku ini??”
“Kami tidak akan membiarkannya,“ Kata Ibnu Ziyad lagi.
“Kalau begitu, kami hidup bersama-sama, atau mati bersama-sama,“ Kata Abul Bakhtary.
Setelah itu keduanya menyerang sahabat Anshar itu dengan gencarnya. Sejak masa
jahliahnya, Abdullah bin Ziyad digelari dengan Al Mujadzdzir, yang artinya Sang Pembongkar
Urat. Gelar itu muncul karena ia seorang yang sangat kasar dan berangasan serta mempunyai
kekuatan untuk ‘menghancurkan’ orang-orang yang memusuhinya. Walau setelah keislamannya
watak kasarnya berangsur hilang, tetapi kekuatannya tidaklah lenyap. Serangan gencar dari dua
pemuka Quraisy tidak menyulitkannya, hanya saja ia masih berusaha untuk tidak membunuh Abul
Bakhtary sesuai pesan Nabi SAW. Tetapi ketika keadaan tidak memungkinkan lagi untuk terus
menghindar, daripada mati konyol ia berbalik menyerang, dan dalam sekejab saja ia bisa
membunuh keduanya.
Usai pertempuran Ibnu Ziyad meminta maaf kepada Nabi SAW karena telah membunuh
Abul Bakhtary. Tetapi setelah ia menjelaskan situasi sulit yang dihadapinya, Nabi SAW bisa
memaklumi dan memaafkannya.
Tokoh Quraisy lainnya, Umayyah bin Khalaf melihat kenyataan kalau pasukannya terus
mundur terdesak, maka ia berusaha mencari jalan untuk menyelamatkan diri. Tampak olehnya
Abdurrahman bin Auf, yang merupakan sahabatnya selama puluhan tahun di masa jahiliah, maka
ia segera menghampirinya dan berkata, “Wahai Abdurrahman, tangkaplah aku dan anakku sebagai
tawanan, maka kaum kerabatku akan menebusku dengan jumlah besar!!”
Saat itu Umayyah memang bersama anaknya, Ali bin Umayyah. Ada kebimbangan dalam
diri Ibnu Auf, kalau kemudian ia memenuhi permintaannya, bukanlah semata-mata karena iming-
iming harta tebusan, tetapi terlebih karena teringat akan kekerabatan dan persahabatannya di masa
lalu yang begitu akrab. Tiba-tiba muncullah Bilal bin Rabah di antara mereka, yang di masa lalu
merupakan budak milik Umayyah, dan mengalami penyiksaan yang tidak terperikan. Bilal segera
berkata, “Dedengkot kemusyrikan adalah Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat kalau dia
selamat!!”
Mendengar seruan Bilal itu, Abdurrahman bin Auf berkata, “Wahai Bilal, mereka adalah
tawananku!!”
Bilal berkata lagi, “Pertempuran masih berlangsung, bagaimana mungkin ia telah menjadi
tawanan??”
Tetapi Ibnu Auf masih mencoba melindungi dengan berkata, “Wahai Ibnus Sauda (nama
gelaran Bilal), tidakkah engkau mendengar ucapanku??”
Bilal merasa kalau ia tidak mungkin terus mendebat Abduurahman bin Aus, maka ia
berseru dengan kerasnya, “Wahai para penolong Allah (maksudnya kaum Anshar), dedengkot
kemusyrikan adalah Umayyah bin Khalaf, aku tidak akan selamat kalau dia selamat!!”
Maka beberapa sahabat Anshar segera datang menyerang, dan Ibnu Auf berkata kepada
keduanya, “Carilah selamat sebisamu, karena aku tidak bisa lagi menjamin keselamatan kalian di
tempat ini!!”
Sekelompok sahabat Anshar langsung menyerang dan dalam waktu singkat mereka berdua
mati terbunuh.
Umar bin Khaththab juga terlibat pertempuran dengan pamannya, Ash bin Hisyam bin
Mughirah dan berhasil menewaskannya.
Dengan banyak terbunuhnya pemuka kaum kafir Quraisy itu, pasukan musyrikin makin
kocar-kacir dan akhirnya melarikan diri. Sebagian besar bisa lolos dan kembali ke Makkah dalam
keadaan terhina, dan sebagian kecil lainnya tertawan oleh pasukan kaum muslimin.
Perang Badar ini, bagi kaum Muhajirin bisa dikatakan sebagai perang saudara, karena
mereka harus melawan orang-orang yang masih kerabatnya, teman sepermainan dan seperjuangan
di masa lalu selama puluhan tahun lamanya. Kalaulah ada pilihan untuk hidup berdampingan
tanpa harus saling menyerang dan memusuhi walau mungkin berbeda keyakinan, tentulah itu
menjadi pilihan terbaik, sebagaimana ditanamkan Rasulullah SAW ketika mereka pertama kali
tinggal di Madinah. Hidup berdampingan dan saling menjaga dengan kaum musyrikin Madinah,
kaum Yahudi dan pemeluk keyakinan lainnya di sana.
Tetapi ketika dihadapkan pilihan antara saudara seiman dan sekeyakinan, dengan saudara
sedarah dan seketurunan, yang mengancam akan mengkoyak dan merusak keimanan, tentulah
keimanan dan keyakinan yang harus diutamakan.

Setelah Berakhirnya Pertempuran


Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak kaum muslimin, hanya empatbelas
orang yang syahid di medan jihad yang pertama ini, yakni enam sahabat Muhajirin dan delapan
sahabat Anshar. Sedangkan dari pihak kaum kafir Quraisy terbunuh sebanyak tujuhpuluh orang,
yang sebagian besar adalah para tokoh dan pemukanya, tujuhpuluh orang lainnya dalam keadaan
tertawan. Harta benda mereka juga banyak yang ditinggalkan begitu saja, dan menjadi harta
rampasan perang (ghanimah).
Sebanyak duapuluh empat jenazah para pemuka kafir Quraisy dikumpulkan dalam satu
tempat, kemudian Nabi SAW berjalan memutari sambil bersabda, “Sungguh kalian ini kerabat
paling buruk terhadap nabi kalian, yang berasal dari kalangan kalian sendiri. Kalian mendustakan
aku selagi orang-orang lainnya membenarkanku, kalian menelantarkan aku selagi orang-orang
lainnya menolongku, kalian mengusir aku selagi orang-orang lainnya menerima dan melindungi
aku!!”
Setelah itu beliau memerintahkan para sahabat untuk memasukkan jenazah para pemuka
tersebut ke dalam sebuah sumur kering yang kotor dan berbau. Jenazah kaum kafir lainnya
dikuburkan bersama-sama dalam satu lubang. Ketika giliran jenazah Utbah bin Rabiah yang
dimasukkan, Nabi SAW melihat kepada Abu Hudzaifah bin Utbah, dan bersabda, “Wahai Abu
Hudzaifah, adakah sesuatu yang menghantui (menyedihkan) dirimu karena keadaan ayahmu??”
Bagaimanapun ada gurat kesedihan yang sulit disembunyikan, tetapi dengan tegarnya ia
berkata, “Tidak, demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak lagi ragu tentang ayahku dan kematian
yang menimpanya (yakni dalam kekafiran). Tetapi tidak dipungkiri kalau aku masih mengakui
ketajaman pikirannya, kelembutan hatinya dan keutamaannya, dan aku sungguh berharap ia
memperoleh hidayah untuk memeluk Islam, tetapi ternyata ia mati dalam kemusyrikan. Karena
itulah aku menjadi sedih!!”
Nabi SAW menerima sikapnya tersebut dan mendoakan kebaikan bagi dirinya.
Kaum muslimin tinggal selama tiga hari di Badr. Sebelum kembali ke Madinah, Nabi SAW
berjalan ke sumur tempat ‘pembuangan’ jenazah para pemuka kaum kafir Quraisy dengan diikuti
beberapa orang sahabat. Beliau berdiri di bibir sumur dan bersabda, “Wahai fulan bin fulan, wahai
fulan bin fulan….”
Satu persatu Nabi SAW menyebutkan nama para pemuka Quraisy yang ‘terkubur’ dalam
sumur kering, kotor dan berbau tersebut, kemudian melanjutkan, “… apakah kalian gembira telah
menaati tuhan-tuhan kalian? Sesungguhnya kami telah mendapatkan bahwa apa yang dijanjikan
Rabb kami adalah benar adanya, lalu apakah kalian juga telah mendapatkan bahwa apa yang
dijanjikan rabb kalian itu juga benar??”
Umar bin Khaththab termasuk sahabat yang kritis, maka ia langsung berkomentar, “Wahai
Rasulullah, mengapa engkau berbicara dengan jasad-jasad yang tidak lagi memiliki roh, apakah
mereka bisa mendengar engkau??”
Nabi SAW bersabda, “Demi yang diri Muhammad ada di tangan-Nya, kalian tidak lebih
mendengar daripada mereka tentang apa yang aku katakan, hanya saja mereka tidak bisa
menjawabnya!!”
Mush’ab bin Umair al Abdary, yang memegang panji pasukan muslimin, melewati seorang
sahabat Anshar yang menawan saudara kandungnya, Abu Aziz bin Umair. Ia berkata kepada
sahabat Anshar itu, “Eratkanlah ikatan tangannya, jangan sampai ia lolos. Ibunya adalah seorang
yang kaya raya, siapa tahu dia akan menebusnya dengan jumlah yang besar, dan tebusan itu akan
menjadi milikmu!!”
Abu Aziz memandang Mush’ab dan berkata, “Begitukah engkau memperlakukan saudara
kandungmu??”
Mush’ab berkata, “Tetapi dia (yakni sahabat Anshar itu) juga saudaraku selain dirimu!!”
Ternyata kemudian Abu Aziz ditebus oleh ibunya dengan harga tertinggi dibanding
tawanan lainnya, yakni sebanyak empatribu dirham. Dan sahabat Anshar itu sangat beruntung
karena telah memenuhi saran yang diberikan Mush’ab.
Pada umumnya para tawanan ditebus dengan harga tigaribu, duaribu atau seribu dirham.
Yang tidak mampu membayar, tetapi bisa baca tulis, diperintahkan Rasulullah SAW untuk
mengajar anak-anak Madinah. Jika mereka telah mahir membaca dan menulis, para tawanan itu
dianggap telah membayar lunas tebusannya dan bebas.
Menantu Rasulullah SAW, Abul Ash bin Rabi juga tertawan dalam pertempuran tersebut.
Beliau mengikat perjanjian untuk membebaskannya, dengan syarat ia melepaskan istrinya, yakni
putri beliau Zainab binti Muhammad. Tetapi belum sempat disepakati, ternyata Zainab telah
mengirim utusan untuk menebus Abul Ash dengan kalung perhiasan miliknya, pemberian ibunya
Khadijah. Nabi SAW memegang kalung itu dengan mata berkaca-kaca penuh haru, karena teringat
dengan istri terkasih beliau itu.
Abul Ash dilepaskan, dan beliau mengirim Zaid bin Haritsah dan seorang sahabat Anshar
untuk menjemput Zainab. Walau penjemputan itu tidak sukses dilakukan karena halangan yang
dilakukan kaum Quraisy, tetapi akhirnya Zainab bisa hijrah juga beberapa hari selanjutnya dengan
diantar oleh saudara Abul Ash, Kinanah bin Rabi, walaupun dalam keadaan terluka.
Di antara para tawanan itu, ada dua orang yang kemudian dihukum mati oleh Nabi SAW,
karena mereka berdua termasuk paling keras dan paling kejam permusuhannya kepada Nabi SAW
dan umat Islam lainnya ketika di Makkah. Bahkan dalam keadaan tertawan tersebut, sama sekali
tidak ada penyesalan atas sikap mereka sebelumnya, masih saja dalam kesombongan jahiliahnya.
Yang pertama adalah Nadhr bin Harits, yang dihukum mati ketika pasukan muslimin tiba di
Shafra, pelaksananya adalah Ali bin Abi Thalib. Yang kedua adalah Uqbah bin Abu Mu’aith, yang
dihukum mati ketika tiba di Irquzh Zhabyah, pelaksananya adalah Ashim bin Tsabit al Anshary,
atau dalam riwayat lain, Ali bin Abu Thalib.
Kemenangan dalam perang Badar ini ternyata membawa dampak yang luar biasa bagi
kaum muslimin, sehingga kaum Yahudi dan kaum musyrikin Madinah tidak lagi berani bersikap
sembarangan. Sebagian masyarakat Madinah lainnya yang masih musyrik langsung memeluk
Islam setelah kemenangan ini.
Sementara itu, Abdullah bin Ubay bin Salul yang sangat hasud kepada Nabi SAW dalam
keadaan terjepit, pengikutnya makin sedikit dan pamornya juga makin turun saja. Akhirnya ia dan
kelompok pendukungnya memutuskan memeluk Islam, tetapi hanya penampilan luarnya saja. Jauh
di dalam hatinya mereka sangat membenci Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya. Diam-diam
mereka selalu mencari cara dan kesempatan untuk menghancurkan Islam. Kelompok inilah yang
kemudian menjadi kaum munafik, yang sebenarnya jauh lebih berbahaya daripada orang-orang
kafir dan musyrik, karena mereka ini layaknya musuh dalam selimut.

50
Abid yang Terjatuh pada Cinta Dunia
Tsa’labah bin Hathib al Anshari adalah seorang abid (ahlul ibadah) yang seringkali disebut
sebagai merpatinya masjid Nabi SAW. Sebutan itu muncul karena waktunya banyak dihabiskan di
masjid, baik ketika Nabi SAW sedang berada di sana atau tidak ada, baik siang ataupun malam.
Karena banyaknya shalat sunnah yang dilakukannya, dahinya sampai membekas seperti lutut unta.
Tsa’labah memang seorang sahabat Anshar yang miskin, ia tidak mempunyai ternak untuk
digembalakan ataupun kebun kurma untuk dirawat atau dipeliharanya.
Suatu ketika Nabi SAW melihat perilaku yang aneh dari Tsa’labah dalam beberapa hari
terakhir. Setiap kali selesai mengucap salam untuk menutup shalat, ia langsung beranjak
meninggalkan masjid tanpa menunggu dzikr dan berdoa bersama Rasulullah SAW, ataupun
mengerjakan shalat sunnah seperti sebelumnya. Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW
memanggilnya dan bersabda, “Wahai Tsa’labah, mengapa engkau melakukan sesuatu seperti yang
dilakukan kaum munafik, usai shalat langsung bangkit meninggalkan masjid?”
Istilah populernya sekarang adalah ‘lamcing’, setelah salam langsung ‘plencing’ (pergi atau
keluar, bahasa jawa). Maka Tsa’labah berkata,”Wahai Rasulullah, saya langsung keluar masjid
setelah shalat, karena dalam beberapa hari ini kami tidak memiliki kain yang mencukupi (untuk
menutup aurat). Saya segera pulang karena istri saya menunggu kain yang saya pakai ini, untuk
melaksanakan shalat..!!”
Nabi SAW mengangguk penuh pengertian. Tetapi Tsa’labah berkata, “Wahai Rasulullah,
berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami!!”
Beliau bersabda, “Wahai Tsa’labah, harta yang sedikit tetapi kamu bisa mensyukurinya, itu
lebih baik daripada harta yang banyak tetapi kamu tidak kuat dan tidak bisa mensyukurinya!!”
Mendengar nasehat beliau itu, Tsa’labah berpaling dan pulang. Tetapi keesokan harinya ia
menghadap Nabi SAW lagi dan berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku, agar
Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami!!”
Kali ini Nabi SAW berkata agak keras, “Wahai Tsa’labah, belum cukupkah bagimu diri
Rasulullah ini sebagai suri teladan? Demi Allah yang diriku dalam genggaman-Nya, jika aku
menghendaki gunung-gunung menjadi emas dan berjalan bersamaku, tentu hal itu menjadi
kenyataan. Tetapi aku tidak melakukannya, dan tetap bersabar dengan apa yang ditetapkan-Nya
untukku!!”
Tampaknya Nabi SAW, tentunya dengan pandangan kenabian, mengetahui bahwa tipikal
orang seperti Tsa’labah itu akan terjerumus jika bergelimang dengan harta benda. Karena itulah
beliau tidak mau mendoakannya, tetapi meminta dirinya untuk qana’ah dan bersabar dalam
keadaan miskin dan kekurangan seperti itu. Tentu saja Nabi SAW menyikapi seperti itu karena
kasih sayang beliau kepada umat Islam seluruhnya, khususnya kepada Tsa’labah yang telah begitu
intent dalam mengerjakan shalat di masjid beliau, baik shalat fardhu ataupun shalat sunnah.
Tetapi sepertinya Allah ingin memberikan suatu pelajaran berharga bagi kita, dengan
menunjukkan peristiwa nyata yang dialami sahabat Nabi SAW yang satu ini. Keesokan harinya
Tsa’labah datang lagi menghadap Nabi SAW, dan dengan yakinnya ia berkata, “Wahai Rasulullah,
berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia memberikan rezeki yang banyak kepada kami. Demi
Allah yang telah mengutus engkau dengan haq sebagai nabi, jika Allah telah memberikan rezeki
kepadaku, pastilah akan saya berikan hak setiap orang yang berhak atas harta tersebut (yakni, ia
berjanji akan membelanjakan hartanya di jalan Allah)!!”
Dua kali sudah Nabi SAW ‘menolak’ mendoakan, dan menasehatinya untuk menerima
takdir Allah sebagai pilihan terbaik dalam hidup. Tetapi Tsa’labah masih memaksa juga, maka
beliau tidak banyak berbicara lagi kecuali mendoakan, “Ya Allah, berilah Tsa’labah rezeki harta!!”
Beliau memerintahkan seorang sahabat lainnya untuk memberi Tsa’labah seekor kambing
yang sedang bunting. Tsa’labah pulang dengan suka cita karena doa Nabi SAW tersebut, juga
karena membawa seekor kambing yang sedang bunting. Sedangkan Nabi SAW mengiringi
kepergian Tsa’labah dengan pandangan sedih dan khawatir.
Pada hari-hari pertama sebagai ‘peternak’ kambing, Tsa’labah masih aktif hadir di masjid
Nabi SAW seperti biasanya. Tetapi dalam beberapa bulan saja kambingnya berkembang semakin
banyak, dan ia harus menggembalakannya hingga ke pinggiran kota Madinah. Ia hanya bisa
berjamaah bersama Nabi SAW pada waktu Zhuhur dan Ashar, selebihnya ia hanya shalat di antara
kambing piaraannya. Tidak cukup sampai di situ, karena kambingnya yang semakin banyak, ia
harus menggembalakannya hingga jauh ke luar Madinah, sehingga ia tidak hadir berjamaah
bersama Nabi SAW kecuali saat shalat Jum’at saja.
Ketika kambing-kambingnya telah memenuhi suatu lembah, bahkan lebih, Tsa’labah tidak
lagi hadir pada shalat Jum’at di Masjid Nabi SAW. Layaknya seorang ‘konglomerat’ kambing
yang tenggelam dalam kesibukan mengurus bisnis dan pekerjaannya, ia menganggap shalat itu
hanya menjadi gangguan dan ‘mengurangi’ keuntungannya. Segala sesuatu diukurnya dengan
materi (dalam hal ini kambing), dan dengan uang. ‘Time is money’ kata orang sekarang.
Suatu ketika Nabi SAW bersabda kepada para sahabat, “Apa yang dilakukan Tsa’labah??”
Mereka menjawab, “Ya Rasulullah, dia sibuk mengurusi dan menggembalakan kambing-
kambingnya yang tidak cukup hanya dalam satu lembah saja!!”
Nabi SAW bersabda, “Aduhai, celakalah Tsa’labah!!”
Ketika turun wahyu yang memerintahkan untuk mengeluarkan zakat, Nabi SAW mengutus
dua orang sahabat untuk mengambil zakat dari kaum muslimin yang hartanya telah memenuhi
haul dan nishabnya, termasuk di antaranya Tsa’labah. Semua yang didatangi oleh dua sahabat itu
dengan senang hati mengeluarkan zakat, bahkan tidak jarang mereka memberikan lebih banyak
daripada perhitungan nilai zakat yang dilakukan dua sahabat tersebut.
Tetapi ketika mereka berdua mendatangi Tsa’labah dan membacakan ayat yang turun
berkaitan dengan kewajiban zakat, mereka mendapat penolakan. Tsa’labah yang mereka kenal
sangat salehnya (pada saat belum kaya raya), berkata, “Ini tidak lain adalah penarikan upeti atau
pajak!! Biarkanlah aku berfikir dan berbuat menurut pendapatku, kembalilah lagi kalian ke sini di
lain waktu!!”
Mereka berdua kembali ke Madinah dan melaporkan hasil kerjanya mengumpulkan zakat,
termasuk sikap Tsa’labah, maka Nabi SAW bersabda, “Aduhai, celakalah Tsa’labah!!”
Namun demikian Nabi SAW masih mengirimkan dua orang sahabat lainnya menemui
Tsa’labah untuk memperhitungkan dan menarik kewajiban zakatnya. Beliau masih berharap dia
akan menjadi baik dan mau mengeluarkan zakatnya, seperti yang dijanjikannya kepada dua
sahabat terdahulu. Tetapi ketika dua sahabat itu kembali menghadap Nabi SAW dengan tangan
hampa, Nabi SAW bersabda, “Sungguh celakalah Tsa’labah, sungguh celakalah Tsa’labah!!”
Tidak lama kemudian turun wahyu Allah, yakni QS At-Taubah ayat 75-76 : Dan di antara
mereka ada orang yang telah berikrar kepada Allah, "Sesungguhnya jika Allah memberikan
sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk
orang-orang yang saleh.” Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebagian dari karunia-
Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang
selalu membelakangi (kebenaran).
Ayat ini menggambarkan sikap yang dilakukan oleh Tsa’labah, bahkan ayat selanjutnya,
QS At-Taubah 77 menyatakan : Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai
kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang
telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan (juga) karena mereka selalu berdusta.
Setelah Nabi SAW mengumumkan turunnya wahyu Allah berkenaan dengan Tsa’labah,
salah seorang sahabat yang masih kerabatnya bergegas menemui dirinya untuk menyampaikan
wahyu tersebut. Wajah Tsa’labah langsung memucat penuh ketakutan setelah mendengar wahyu
Allah tersebut. Ia bergegas membawa kambing sebanyak yang ia mampu, bahkan mungkin
melebihi kewajiban zakatnya, menuju Madinah. Sesampainya di masjid dan menghadap Nabi
SAW, ia berkata, “Wahai Rasulullah, inilah zakat dari harta saya!!”
Tetapi Nabi SAW bersabda, “Allah telah melarang aku menerima zakatmu!!”
Tsa’labah menangis penuh penyesalan, sambil menghiba-hiba dan meminta agar beliau
mau memaafkan dan menerima zakatnya. Tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Pergilah
sana, urusi saja pekerjaanmu sendiri. Aku telah memerintahkan kepadamu berzakat, tetapi engkau
menentang dan tidak taat pada perintahku!!”
Tsa’labah berlalu dari masjid Nabi SAW dengan kesedihan dan duka yang mendalam, ia
menaburkan pasir di kepalanya sebagai bentuk penyesalan dan kehinaan diri.
Setelah Rasulullah SAW wafat dan Abu Bakar dibai’at sebagai khalifah beliau, Tsa’labah
mendatanginya dengan membawa banyak sekali kambing yang dimilikinya, dan berkata, “Wahai
khalifah Rasulullah, terimalah zakatku ini!!”
Abu Bakar menolaknya dan berkata, “Rasulullah tidak mau menerima zakatmu, bagaimana
mungkin aku akan menerimanya??”
Ketika Abu Bakar wafat dan digantikan oleh Umar bin Khaththab, lagi-lagi Tsa’labah
mendatanginya sambil membawa sebagian hartanya, dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
terimalah zakatku!!”
Umar menolaknya dengan berkata, “Bagaimana mungkin aku menerima zakatmu, sedang
Rasulullah SAW dan Abu Bakar tidak mau menerimanya!!”
Ketika Umar wafat dan digantikan Utsman, Tsa’labah masih tidak putus asa mencoba
membayarkan zakatnya, tetapi khalifah Utsman juga menolaknya sebagaimana dua khalifah
pendahulunya. Akhirnya Tsa’labah meninggal pada masa khalifah Utsman ini dalam keadaan
miskin dan terhina.
Beberapa ulama berbeda pendapat tentang kematiannya ini. Pendapat pertama menyatakan
bahwa walau tidak sampai murtad (keluar dari Islam), tetapi ia dianggap sebagai kelompok orang-
orang munafik sebagaimana disinyalir dalam QS at Taubah ayat 77. Tetapi pendapat lainnya
menyebutkan, bahwa ia telah menyesal begitu hebatnya, hingga berusaha keras membayar
zakatnya hingga masa khalifah Utsman, walau memang tetap ditolak. Dengan upaya tobatnya
seperti itu, ia tetap dalam kontek seorang muslim yang bermaksiat, tetapi tidak sampai jatuh dalam
kaum munafik. Terserah kepada Allah, apakah ia akan diampuni, atau diazab lebih dahulu untuk
membersihkan dosa-dosanya. Wallahu A’lam.

Note: dn291,iu6-278
51
Seorang Badui yang Menghisab Allah

Seorang lelaki Badui telah memeluk Islam, tetapi karena keadaan ekonominya yang
terbatas dan tempat tinggalnya yang sangat jauh dari Madinah, ia belum pernah menghadap dan
bertemu langsung dengan Nabi SAW. Ia hanya berbai’at memeluk Islam dan belajar tentang
peribadatan dari para pemuka kabilahnya yang pernah mendapat pengajaran Nabi SAW. Tetapi
dengan segala keterbatasannya itu, ia mampu menjadi seorang mukmin yang sebenarnya, bahkan
sangat mencintai Rasulullah SAW.
Suatu ketika ia mengikuti rombongan kabilahnya melaksanakan ibadah umrah ke Makkah.
Sambil thawaf sendirian, terpisah dari orang-orang lainnya, si badui ini selalu berdzikir berulang-
ulang dengan asma Allah, "Ya Kariim, ya Kariim….."
Ia memang bukan orang yang cerdas, sehingga tidak mampu menghafal dengan tepat doa
atau dzikr yang idealnya dibaca ketika thawaf, sebagaimana diajarkan Nabi SAW. Karena itu ia
hanya membaca berulang-ulang asma Allah yang satu itu. Tiba-tiba ada seorang lelaki yang
mengikuti berjalan di belakangnya sambil mengucap juga, “Ya Kariim, ya Kariim!!”
Si Badui ini berpindah dan menjauh dari tempat dan orang tersebut sambil meneruskan
dzikrnya, karena ia menyangka lelaki yang mengikutinya itu hanya memperolok dirinya. Tetapi
kemanapun ia berpindah dan menjauh, lelaki itu tetap mengikutinya dan mengucapkan dzikr yang
sama. Akhirnya si Badui berpaling menghadapi lelaki itu dan berkata, "Wahai orang yang
berwajah cerah dan berbadan indah, apakah anda memperolok-olokkan aku? Demi Allah, kalau
tidak karena wajahmu yang cerah dan badanmu yang indah, tentu aku sudah mengadukan kamu
kepada kekasihku…"
Lelaki itu berkata, “Siapakah kekasihmu itu?”
Si Badui berkata, “Nabiku, Muhammad Rasulullah SAW!!”
Lelaki itu tampak tersenyum mendengar penuturannya, kemudian berkata, "Apakah
engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, wahai saudaraku Badui?"
"Belum..!!" Kata si Badui.
Lelaki itu berkata lagi, “Bagaimana mungkin engkau mencintainya jika engkau belum
mengenalnya? Bagaimana pula dengan keimananmu kepadanya?"
Si Badui berkata, "Aku beriman atas kenabiannya walau aku belum pernah melihatnya,
aku membenarkan kerasulannya walau aku belum pernah bertemu dengannya…!!"
Lagi-lagi lelaki itu tersenyum dan berkata, "Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah
Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat…!!"
Memang, lelaki yang mengikuti si Badui itu tidak lain adalah Rasulullah SAW, yang juga
sedang beribadah umrah. Sengaja beliau mengikuti perilaku si Badui karena beliau melihatnya
begitu polos dan ‘unik’, menyendiri dari orang-orang lainnya, tetapi tampak jelas begitu khusyu’
menghadap Allah dalam thawafnya itu.
Si Badui tersebut memandang Nabi SAW seakan tak percaya, matanya berkaca-kaca. Ia
mendekat kepada beliau sambil merendah dan akan mencium tangan beliau. Tetapi Nabi SAW
memegang pundaknya dan berkata, "Wahai saudaraku, jangan perlakukan aku sebagaimana orang-
orang asing memperlakukan raja-rajanya, karena sesungguhnya Allah mengutusku bukan sebagai
orang yang sombong dan sewenang-wenang. Dia mengutusku dengan kebenaran sebagai pemberi
kabar gembira (yakni akan kenikmatan di surga) dan pemberi peringatan (akan pedihnya siksa api
neraka) …"
Si Badui masih berdiri termangu, tetapi jelas tampak kegembiraan di matanya karena
bertemu dengan Nabi SAW. Tiba-tiba Malaikat Jibril turun kepada Nabi SAW, menyampaikan
salam dan penghormatan dari Allah SWT kepada beliau, dan Allah memerintahkan beliau
menyampaikan beberapa kalimat kepada orang Badui tersebut, yakni : "Hai Badui, sesungguhnya
Kelembutan dan Kemuliaan Allah (yakni makna asma Allah : Al Karim) bisa memperdayakan, dan
Allah akan menghisab (memperhitungkan)-nya dalam segala hal, yang sedikit ataupun yang
banyak, yang besar ataupun yang kecil….."
Nabi SAW menyampaikan kalimat dari Allah tersebut kepada si Badui, dan si Badui
berkata, "Apakah Allah akan menghisabku, ya Rasulullah??"
"Benar, Dia akan menghisabmu jika Dia menghendaki…" Kata Nabi SAW.
Tiba-tiba si Badui mengucapkan sesuatu yang tidak disangka-sangka, "Demi Kebesaran
dan Keagungan-Nya, jika Dia menghisabku, aku juga akan menghisab-Nya….!!"
Sekali lagi Nabi SAW tersenyum mendengar pernyataan si badui, dan bersabda, "Dalam
hal apa engkau akan menghisab Tuhanmu, wahai saudaraku Badui?"
Si Badui berkata, "Jika Tuhanku menghisabku atas dosaku, aku akan menghisab-Nya
dengan maghfirah-Nya, jika Dia menghisabku atas kemaksiatanku, aku akan menghisab-Nya
dengan Afwan (pemaafan)-Nya, dan jika Dia menghisabku atas kekikiranku, aku akan menghisab-
Nya dengan kedermawanan-Nya…."
Nabi SAW sangat terharu dengan jawaban si Badui itu sampai memangis meneteskan air
mata yang membasahi jenggot beliau. Jawaban sederhana, tetapi mencerminkan betapa "akrabnya"
si Badui tersebut dengan Tuhannya, betapa tinggi tingkat ma’rifatnya kepada Allah, padahal dia
belum pernah mendapat didikan langsung dari Nabi SAW.
Sekali lagi Malaikat Jibril AS turun kepada Nabi SAW dan berkata, "Wahai Muhammad,
Tuhanmu, Allah As Salam mengirim salam kepadamu dan berfirman : Kurangilah tangismu,
karena hal itu melalaikan malaikat-malaikat pemikul Arsy menjadi lalai dalam tasbihnya. Katakan
kepada saudaramu, si Badui, ia tidak usah menghisab Kami dan Kami tidak akan menghisab
dirinya, karena ia adalah (salah satu) pendampingmu kelak di surga….!!!"

Note: mu,bbck

Anda mungkin juga menyukai