Anda di halaman 1dari 52

1

Membeli Surga dengan Memaafkan


Suatu ketika para sahabat sedang berkumpul di sekitar Rasulullah SAW, mereka melihat
suatu pemandangan yang aneh. Tiba-tiba saja mereka melihat Nabi SAW tampak bersedih dan
mata beliau berkaca-kaca seolah akan menangis. Tetapi tidak berapa lama kemudian, tampak
wajah beliau berbinar-binar gembira, bahkan beliau tertawa sehingga kelihatan dua gigi seri
beliau.
Para sahabat penasaran, tetapi mereka malu untuk bertanya, sampai akhirnya Umar yang
memang cukup kritis, berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat engkau tampak menangis,
kemudian tertawa??”
Nabi SAW tersenyum melihat wajah-wajah para sahabat yang tampak keheranan sekaligus
penasaran. Kemudian beliau berkata, “Sungguh ditampakkan kepadaku suatu pemandangan di saat
ditegakkan pengadilan Allah (yakni, yaumul hisab, hari perhitungan) …..!!”
Kemudian beliau menceritakan, bahwa ada dua orang dari umat beliau yang menghadap
Allah SWT. Salah satunya mengadukan temannya, ia berkata, “Wahai Allah, ambilkanlah untukku,
kedzaliman yang dilakukan saudaraku ini (padaku)!!”
Maka Allah berfirman kepada orang yang mendzalimi tersebut, “Berikanlah kepada
saudaramu kedzalimanmu itu (yakni kebaikannya, untuk menebus kedzaliman yang telah
dilakukannya saat di dunia kepada saudaranya itu)….!!”
“Wahai Rabbi, bagaimana aku bisa melakukannya sedangkan aku tidak (lagi) memiliki
kebaikan sedikitpun!!” Kata Lelaki yang dzalim itu.
Allah berfirman kepada lelaki yang menuntut tersebut, “Bagaimana engkau meminta
darinya, sedangkan ia tidak memiliki lagi kebaikan sedikitpun…!!”
“Diambilkan dari keburukan-keburukanku, ya Allah, dan pikulkanlah kepada dirinya…!!”
Memang seperti itulah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, dosa atau kedzaliman yang
berhubungan dengan manusia (termasuk hutang), tidak cukup hanya dengan bertobat kepada
Allah. Harus diselesaikan (dihalalkan) dengan mereka ketika masih hidup di dunia. Jika tidak,
kejadiannya akan seperti yang diceritakan Nabi SAW tersebut di atas.
Ketika melihat pemandangan itulah Nabi SAW merasa bersedih dan hampir menangis
melihat keadaan umatnya yang memilukan tersebut. Reaksi beliau yang seperti itu dilihat oleh
para sahabat tanpa tahu penyebabnya. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Itu adalah hari yang
agung, di mana pada hari itu setiap orang membutuhkan adanya orang lain yang dapat memikul
kesalahan-kesalahannya….!!”
Tak lama kemudian Nabi SAW meneruskan cerita beliau, bahwa dalam keadaan seperti itu,
Allah SWT berfirman kepada lelaki yang mengajukan tuntutan, “Angkatlah kepalamu, dan
lihatlah!!”
Lelaki tersebut mengangkat kepalanya dan ia melihat pemandangan yang menakjubkan,
kalau sekarang ini bisa digambarkan seperti melihat tayangan televisi raksasa, yang membuatnya
terpana kagum. Ia berkata, “Ya Rabbi, saya melihat kota-kota yang bangunannya bertatahkan
perak dan emas. Untuk nabi yang manakah ini? Untuk orang setia yang manakah ini? Untuk orang
syahid yang manakah ini??”
Allah berfirman, “Itu semua untuk orang yang mampu membayar harganya!!”
“Siapakah yang mampu membayarnya, ya Allah?” Tanya lelaki itu.
“Engkau mampu membayarnya!!”
“Dengan apa saya harus membayarnya, ya Allah?”
“Dengan memberi maaf kepada saudaramu!!”
Segera saja lelaki penuntut tersebut berkata, “Ya Allah, saya telah memaafkan dirinya!!”
Dalam riwayat lain disebutkan, setelah lelaki itu memaafkan temannya, Allah berfirman
kepadanya, “Gandenglah tangan saudaramu itu, dan ajaklah ia masuk ke surga yang telah menjadi
milikmu tersebut!!”
Ketika melihat pemandangan tersebut, Nabi SAW menjadi gembira dan beliau tertawa
sehingga terlihat dua gigi seri beliau, reaksi yang dilihat oleh para sahabat tanpa mereka
mengetahui penyebabnya. Selesai menceritakan semua itu, Nabi SAW bersabda, “Wahai manusia,
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan antara kalian. Sesungguhnya Allah
menghubungkan antara orang-orang mukmin…!!”
2
Didoakan Malaikat Jibril masuk Neraka

Suatu ketika Nabi SAW naik mimbar. Sebagian riwayat menyebutkan, saat itu di akhir
Bulan Sya’ban, menjelang masuk Bulan Ramadhan, tiba-tiba saja beliau mengucapkan “Amin!!”,
tidak berselang lama, beliau mengucap lagi, “Amin!!”, beberapa saat kemudian beliau mengucap
lagi, “Amin!!”
Salah seorang sahabat yang hadir saat itu memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai
Rasulullah, engkau naik mimbar, dan tiba-tiba saja engkau mengucap ‘amin’ hingga tiga kali,
tanpa kami tahu apa maksud dan tujuannya….!!”
Dengan tersenyum Nabi SAW memandang para sahabat yang tampak penuh tanda-tanya
dengan sikap beliau tersebut. Kemudian beliau menceritakan, ketika naik mimbar tersebut, tiba-
tiba Malaikat Jibril datang dan berkata, “Barang siapa yang mendapati bulan Ramadhan, akan
tetapi belum juga diampunkan dosanya hingga ia mati, kemudian ia masuk neraka, maka
(sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-Nya)….!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah : Amin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Amin!!”
Kemudian Malaikat Jibril berkata lagi, “Barang siapa yang mendapati kedua orang-tuanya,
atau salah satu dari keduanya, dan ia tidak berbuat baik (tidak taat) kepada keduanya hingga ia
mati, kemudian ia masuk neraka, maka (sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-Nya)
…!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah : Amin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Amin!!”
Kemudian Malaikat Jibril berkata lagi, “Barang siapa yang mendengar namamu (Nabi
Muhammad SAW) disebutkan kepadanya, dan ia tidak membaca shalawat untukmu hingga ia
mati, kemudian ia masuk neraka, maka (sungguh) Allah telah menjauhkannya (dari Rahmat-
Nya…!!”
Dan Malaikat Jibril berkata kepada Nabi SAW, “Katakanlah : Amin!!”
Maka beliau berkata, yang didengar oleh para sahabat, “Amin!!”

3
Lebih Baik Tanpa Mu'jizat

Suatu ketika Nabi SAW didatangi oleh beberapa orang tokoh Quraisy, mereka berkata,
“Hai Muhammad, engkau telah menceritakan kepada kami mu’jizat para Rasul, bahwa Musa
mempunyai tongkat, dan dengan tongkat itu ia memukul batu (sehingga keluarlah air). Isa bisa
menghidupkan orang yang telah mati, dan Shaleh diberi unta untuk menguji kaum Tsamud, maka
datangkanlah mu’jizatmu agar kami percaya kepadamu!!”
Dalam riwayat lainnya, para tokoh Quraisy tersebut didatangi oleh beberapa orang Yahudi
dan “memprovokasi” mereka untuk menanyakan mu’jizat Nabi SAW, sembari mereka
menceritakan beberapa mu’jizat para Rasul yang mereka ketahui dari Kitab Taurat.
Mendengar permintaan tersebut, Nabi SAW bersabda, “Apa yang kalian inginkan?”
Para tokoh Quraisy itu berkata, “Cobalah gunung Shafa itu dijadikan emas!!”
Nabi SAW memang sangat menginginkan kaum Quraisy, yang sebenarnya masih kerabat
beliau itu memeluk Islam, karena itu beliau bersabda, “Jika aku telah melaksanakan permintaan
kalian itu, apakah kalian akan percaya kepadaku (dan memeluk Islam) ?”
Mereka berkata, “Demi Allah, kami akan taat kepadamu!!”
Maka Nabi SAW berdiri untuk berdoa kepada Allah, tetapi belum sempat beliau memulai,
datanglah Malaikat Jibril kepada beliau. Setelah mengucap salam, ia berkata, “Jika engkau
menghendakinya dan berdoa kepada Allah, pastilah gunung Shafa itu menjadi emas. Tetapi jika
ternyata mereka tidak mempercayainya, pastilah Allah akan menyiksa mereka. Karena itu lebih
baik engkau biarkan mereka (tidak perlu memenuhi kemauan dan permintaan mereka), sehingga
bertaubat orang-orang yang ingin bertaubat…!!”
Tidak lama kemudian, turunlah wahyu Allah, QS Al An’am ayat 109-111, yang
menjelaskan bahwa mu’jizat-mu’jizat tersebut adalah hak “prerogatif” Allah untuk menurunkan
atau memberikannya. Bukan mu’jizat-mu’jizat itu yang menyebabkan orang beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, tetapi semata-mata jika Allah menghendakinya untuk memperoleh hidayah.
Memang, jarang sekali kita temukan, walau memang ada beberapa, mu’jizat Nabi SAW
yang muncul ditujukan untuk membuat orang percaya atau meyakini beliau. Kebanyakan mu’jizat
beliau itu datang ketika dalam keadaan mendesak dan membutuhkan, misalnya kambing yang
tidak bisa mengeluarkan air susu, baik karena masih belum pernah beranak, atau sudah tua atau
keadaan lainnya, tiba-tiba mengeluarkan air susu ketika diperah oleh Rasulullah SAW, atau
sahabat beliau (lihat kisahnya dalam buku “Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW”, pada
kisah sahabat Abdullah bin Mas’ud, Miqdad bin Amr al Aswad, Ummu Ma’bad saat Nabi SAW
Hijrah dll), makanan atau kurma yang sedikit bisa untuk orang banyak yang menggali parit saat
Perang Khandaq, atau membayar hutang yang banyak (lihat kisah : Jabir bin Abdullah), dua
mazadah (tempat air dari kulit) air bisa memenuhi kebutuhan satu pasukan, tanpa berkurang
sedikitpun (lihat kisah : Wanita Pembawa Air). Ranting yang menjadi pedang (lihat kisah :
Ukkasyah bin Mikhsan), dan beberapa mu’jizat beliau lainnya.

4
Dzikrnya Seekor Ulat

Nabi Dawud AS terkenal dengan suaranya yang merdu. Kalau beliau sedang berdzikr atau
sedang melantunkan Zabur, terkadang burung-burung dan gunung-gunung ikut berdzikr pula
bersama beliau. Suatu ketika beliau sedang duduk di mushalla sambil menelaah Zabur, tiba-tiba
terlihat seekor ulat merah melintas di tanah. Nabi Dawud berkata kepada dirinya sendiri, “Apa
yang dikehendaki Allah dengan ulat ini?”
Ternyata Allah memberikan “ijin” kepada ulat tersebut bisa berbicara dengan bahasa
manusia, untuk menerangkan keadaannya kepada Nabi Dawud. Ulat tersebut berkata, “Wahai
Nabiyallah, apabila siang datang, Allah mengilhamkan kepadaku untuk membaca : Subkhanallah
wal hamdulillah wa laa ilaaha illallah wallaahu akbar, sebanyak seribu kali. Dan jika malam
datang, Allah mengilhamkan kepadaku untuk membaca : Allahumma shalli ‘alaa Muhammad an
nabiyyil ummiyyi wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa sallam, sebanyak seribu kali…”
Nabi Dawud terkesima dengan ucapan ulat tersebut. Sang ulat berkata lagi, “Lalu engkau,
ya Nabiyallah, apa yang akan engkau katakan agar aku memperoleh faedah darimu!!”
Nabi Dawud menyesal telah meremehkan ulat tersebut, kemudian menangis penuh rasa
takut kepada Allah, bertobat dan berserah diri kepada Allah.

5
Jenazah yang Meninggalkan Hutang

Suatu ketika Nabi SAW sedang berada di masjid bersama beberapa orang sahabat. Tiba-
tiba datang serombongan orang membawa jenazah ke masjid, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah
ia (jenazah tersebut) meninggalkan hutang?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Tidak, ya Rasulullah!!”
Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazah tersebut
Pada kesempatan lain ketika beliau sedang berada di masjid juga, beberapa orang
membawa jenazah untuk dishalatkan, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah ia (jenazah tersebut)
meninggalkan hutang?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Benar, ya Rasulullah!!”
Beliau bersabda lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu (untuk membayar hutangnya) ?”
“Ada, ya Rasulullah, tiga dinar!!” Kata salah seorang dari mereka.
Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazah tersebut.
Pada kesempatan lain lagi ketika beliau sedang berada di masjid juga, beberapa orang
membawa jenazah untuk dishalatkan, maka Nabi SAW bersabda, “Apakah ia (jenazah tersebut)
meninggalkan hutang?”
“Benar, ya Rasulullah!!” Kata salah seorang dari mereka.
Beliau bersabda lagi, “Apakah ia meninggalkan sesuatu (untuk membayar hutangnya) ?”
“Tidak, ya Rasulullah!!”
Maka Nabi SAW bersabda kepada para sahabat, “Shalatkanlah kawanmu ini!!”
Tetapi beliau sendiri tidak ikut shalat jenazahnya.
Dalam riwayat lainnya disebutkan, ketika Nabi SAW memerintahkan para sahabat
menyalatkan tanpa beliau mengikutinya, Ali bin Abi Thalib berkata, “Wahai Rasulullah, biarlah
hutang jenazah tersebut saya yang menanggungnya!!”
Maka Nabi SAW mengimami shalat jenazahnya.

6
Kedermawanan Seorang Majusi
Seorang wanita dari kalangan Alawiyah (keturunan dari Ali bin Abi Thalib, termasuk
dalam Ahlul Bait Nabi SAW) hidup dalam keadaan fakir setelah ditinggal wafat suaminya. Ia
mempunyai beberapa orang anak perempuan yang masih kecil. Karena khawatir orang-orang di
sekitarnya akan gembira karena penderitaannya, wanita janda dan anak-anak yatimnya itu
meninggalkan tanah kelahirannya, pindah ke suatu tempat, yang ia sendiri belum tahu ke mana?
Dalam perjalanannya, wanita tersebut memasuki suatu desa dan tinggal di masjid yang
kosong. Karena anak-anaknya dalam keadaan lapar, wanita tersebut mencoba mencari (meminta)
makanan dari warga sekitar masjid, yang tentunya tidak mengenal kalau dia seorang Alawiyah. Ia
memasuki suatu rumah dari seorang muslim yang tampak berkecukupan, yang ternyata adalah
salah seorang pembesar di desa tersebut. Ia berkata, “Saya ini seorang perempuan asing….”
Dan wanita tersebut menyebutkan keadaannya dan anak-anaknya yang dalam kelaparan,
tetapi lelaki tersebut mengabaikannya begitu saja. Maka wanita itu meninggalkan rumah tersebut,
dan berjalan lagi sampai di suatu rumah lainnya. Permilik rumah tersebut yang ternyata beragama
Majusi, menyambut kehadirannya dengan gembira. Setelah ia menceritakan keadaannya, lelaki
Majusi itu memenuhi kebutuhannya, bahkan ia mengirim salah seorang istrinya menjemput anak-
anak wanita tersebut di masjid dan membawanya untuk tinggal di rumahnya. Ia begitu
memuliakan Wanita Alawiyah dan anak-anak yatimnya itu, layaknya terhadap kaum kerabatnya
sendiri.
Pada malam harinya, lelaki muslim yang didatangi Wanita Alawiyah itu bermimpi, seolah-
olah hari kiamat telah tiba. Ia melihat Rasulullah SAW berdiri di samping sebuah gedung yang
amat megah dan indah, maka ia mengucap salam kepada beliau dan berkata, “Ya Rasulullah, untuk
siapakah gedung itu?”
“Untuk orang-orang Islam!!” Kata Nabi SAW
Lelaki itu berkata penuh harap, “Saya adalah orang Islam, saya juga bertauhid!!”
Tetapi tanpa diduga, Nabi SAW bersabda dengan nada kurang ramah, “Tunjukkan buktinya
di hadapanku!!”
Lelaki tersebut tampak bingung mendengar sabda beliau dengan nada seperti itu, bahkan
ketakutan. Kemudian Nabi SAW menceritakan tentang wanita yang telah mendatanginya meminta
sesuatu dan ia mengabaikannya itu, dan ia terbangun dari mimpinya. Tampak tergambar kesedihan
dan penyesalan tak terkira di wajahnya karena sikapnya terhadap Wanita Alawiyah tersebut.
Keesokan harinya ia berjalan berkeliling untuk mencari wanita tersebut, dan akhirnya
ditunjukkan ke tempat orang Majusi. Setelah bertemu, ia meminta dengan sangat agar lelaki
Majusi itu menyerahkan wanita dan anak-anak yatimnya tersebut kepadanya. Lelaki Majusi itu
menolak dengan keras permintaannya, dan berkata, “Kami benar-benar merasakan berkah dari
kehadiran wanita tersebut dan anak-anaknya!!”
Lelaki Muslim itu mengeluarkan sekantong uang sambil berkata, “Ambillah uang seribu
dinar ini, dan serahkanlah mereka kepadaku!!”
Lelaki Majusi tetap bertahan menolak permintaan tersebut walaupun “disuap” dengan
seribu dinar. Lelaki Muslim yang juga pembesar desa itu tampaknya ingin memaksakan
kehendaknya, dengan memanfaatkan kekuasaannya. Segala cara, dari yang halus hingga yang
kasar dilakukannya untuk bisa membawa wanita Alawiyah itu beserta anak-anaknya.
Karena lelaki Muslim itu begitu memaksa, maka lelaki Majusi itu berkata, “Apa yang
engkau inginkan itu, akulah yang lebih berhak dengannya. Mungkin engkau bermimpi
sebagaimana aku memimpikannya, dan gedung yang engkau lihat dalam mimpi itu diciptakan
untukku. Apakah engkau ingin membanggakan keislamanmu padaku? Demi Allah, aku dan
seluruh keluargaku tidaklah tidur tadi malam kecuali telah memeluk Islam di tangan wanita
tersebut…”
Kemudian lelaki Majusi yang sebenarnya telah memeluk Islam itu menceritakan, bahwa
dalam mimpinya tersebut ia bertemu Rasulullah SAW berdiri di sisi gedung yang megah dan
indah, sebagaimana dimimpikan si lelaki muslim, dan beliau bersabda, “Apakah wanita Alawiyah
dan anak-anak perempuannya itu ada di sisimu?”
“Benar, ya Rasulullah!!” Katanya.
“Gedung ini milikmu dan selutuh anggota keluargamu!!” Kata Nabi SAW, dan setelah itu
lelaki Majusi tersebut terbangun.
Riwayat lain menyebutkan, lelaki tersebut tetap dalam agama Majusi ketika tidur dan
bermimpi itu. Setelah tersentak bangun dari impiannya, ia segera menemui wanita Alawiyah
tersebut dan berikrar memeluk Islam beserta seluruh anggota keluarganya.
Lelaki Muslim itu akhirnya pulang dengan kesedihan dan penyesalan yang tidak terkira.
Kalau saja ia bisa membalikkan (memundurkan) waktu, tentu ia akan mengambil sikap yang
berbeda. Tetapi seperti kata pepatah, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Tidak
ada jalan untuk “mengambil” keutamaan yang telah hilang, kecuali dengan taubat dan terus
bertaubat.

7
Iblis Bertamu kepada Nabi Musa AS
Suatu ketika Nabi Musa AS sedang duduk sendiri, tiba-tiba datang seorang lelaki dengan
penampilan menarik dan memakai topi yang berwarna-warni. Tiba di hadapan Nabi Musa, lelaki
itu membuka topinya dan mengucap salam, tetapi beliau tidak serta merta menjawab salamnya.
Ada firasat tertentu sehingga beliau tidak menjawab salamnya, dan justru bertanya, “Siapakah
engkau ini?”
Lelaki itu berkata, “Saya iblis!!”
Benarlah apa yang dirasakan Nabi Musa, beliau berkata, “Kenapa kamu datang kemari??”
Iblis menjawab, “Untuk memberi selamat kepadamu atas kedudukanmu di sisi Allah!!”
Nabi Musa tidak mau terjebak dengan perangkap iblis yang bernada pujian tersebut, dan
mengalihkan pada hal lainnya, beliau berkata, “Untuk apa topi yang kamu bawa itu?”
“Untuk mengelabuhi manusia!!” Kata Iblis.
“Beritahukanlah kepadaku, dosa apa yang bila dilakukan manusia, yang membuat engkau
akan mudah menguasainya?” Kata Nabi Musa.
Maka iblis berkata, “Apabila manusia itu merasa bangga bercampur sombong atas dirinya
sendiri. Merasa amalnya telah banyak dan melupakan dosa-dosanya. Maka di saat itulah saya
dengan mudah dapat menguasainya!!”

8
Malaikat Jibril Menggambarkan Neraka
Suatu ketika Malaikat Jibril datang mengunjungi Nabi SAW, dan beliau bersabda, “Tolong
engkau gambarkan kepadaku keadaan neraka!!”
Malaikat Jibril berkata, “Wahai Muhammad, api neraka itu hitam kelam, seandainya satu
lubang jarum dari api neraka dijatuhkan, maka terbakarlah semua yang ada di muka bumi…!!”
Malaikat Jibril menjelaskan lagi, seandainya satu potong baju dari baju-baju yang ada di
neraka digantungkan antara langit dan bumi, niscaya penghuni bumi akan mati karena terciumnya
baunya yang sangat busuk.
Seandainya setetes zaqqum (makanan penduduk neraka dari pohon berduri) dilemparkan
ke bumi, maka makanan penduduk bumi akan musnah.
Seandainya satu saja dari sembilanbelas malaikat yang disebutkan Allah SWT dalam Al
Qur’an (Malaikat Zabaniah yang ditugaskan menyiksa penduduk neraka) muncul di tengah-tengah
penduduk bumi, niscaya mereka semua akan mati karena buruknya dari bentuk, penampilan dan
rupanya.
Seandainya satu lingkaran dari rantai belenggu neraka seperti yang disebutkan Allah SWT
dalam Al Qur’an dibuang ke bumi, niscaya bumi itu hancur hingga lapisan yang paling bawah,
dan bumi tidak bisa ditempati lagi.
Mendengar penjelasan-penjelasan tersebut, tiba-tiba Nabi SAW memotong ucapan Jibril,
“Cukup, wahai Jibril!!”
Kemudian beliau menangis. Malaikat Jibril ikut menangis melihat beliau menangis, maka
Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, mengapa engkau menangis, sedangkan kedudukan engkau
begitu dekat dengan Allah…!!”
Jibril berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada kedudukanku di sisi Allah, kecuali posisiku
saat ini. Dan aku (takut) diuji dengan apa yang diujikan kepada Malaikat Harut dan Marut, serta
iblis yang terkutuk tersebut!!”
Maka dua mahluk termulia dari golongan manusia dan malaikat itu kembali menangis
karena takutnya kepada “makar’ Allah SWT, yang mungkin saja akan menimpa mereka.

9
Lebih Jahat Daripada yang Berzina
Seorang wanita dari Bani Israil datang menghadap kepada Nabi Musa AS dan berkata, “Ya
Nabiyallah, saya telah berbuat dosa besar, dan kini saya bertaubat kepada Allah. Karena itu tolong
doakanlah saya kepada Allah agar Dia mengampuni dosa saya dan menerima taubat saya!!”
Nabi Musa berkata, “Apakah dosamu itu?”
Wanita itu berkata, “Wahai Nabiyallah, saya telah berzina hingga mengandung dan punya
anak, kemudian saya membunuh anak saya tersebut!!”
Mendengar penjelasan tersebut, Nabi Musa langsung berkata keras, “Enyahlah engkau dari
sini, wahai pelacur, jangan membakar kami dengan apimu!! Jangan sampai ada api turun dari
langit dan membakar kami karena kesialanmu itu!!”
Wanita tersebut keluar dengan hati hancur, tetapi ia tidak mau berputus asa dari rahmat
Allah.
Tidak lama berselang, turun Malaikat Jibril mendatangi Nabi Musa dan berkata, “Wahai
Musa, Tuhanmu berkata kepadamu, mengapakah engkau menolak orang yang datang untuk
bertaubat? Tidak adakah orang yang lebih jahat daripada dirinya?”
Nabi Musa bertanya, “Siapakah orang yang lebih jahat daripada wanita itu?”
Malaikat Jibril berkata, “Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja!!”

10
Utusan Izrail kepada Nabi Ya’kub AS

Sebagaimana kebanyakan nabi-nabi lainnya, Nabi Ya’kub AS bersahabat dengan Malaikat


Izrail atau malaikat maut yang bertugas mencabut nyawa. Suatu ketika Malaikat Izrail
mengunjungi Nabi Ya’kub, dan beliau berkata, “Wahai malaikat maut, engkau datang hanya
sekedar mengunjungi aku atau akan mencabut nyawaku?”
Malaikat Izrail berkata, “Aku hanya sekedar berkunjung!!”
“Bolehkan aku meminta agar engkau memenuhi satu keinginanku?’ Tanya Nabi Ya’kub.
“Apa itu?”
“ Kuminta agar engkau memberitahukan kepadaku jika saat ajalku telah dekat dan engkau
akan mencabut nyawaku!!”
“Baiklah,“ Kata Malaikat Izrail, “Aku akan mengirimkan kepadamu dua atau tiga utusan
jika saat ajalmu telah dekat!!”
Beberapa tahun kemudian, ketika saat ajal Nabi Ya’kub telah tiba, Malaikat Izrail datang
kepada beliau, dan seperti biasanya beliau berkata, “Wahai malaikat maut, engkau datang hanya
sekedar mengunjungi aku atau akan mencabut nyawaku?”
Malaikat Izrail berkata, “Aku datang untuk mencabut nyawamu!!”
Tentu saja Nabi Ya’kub kaget dengan jawaban tersebut, beliau berkata, “Bukankah engkau
telah berjanji akan mengirimkan dua atau tiga utusan jika saat ajalku telah dekat?”
Malaikat Izrail berkata, “Wahai Ya’kub, aku telah melakukannya. Putihnya rambutmu
setelah sebelumnya hitam, kelemahan tubuhmu setelah sebelumnya kuat, dan kebongkokan
tubuhmu setelah sebelumnya tegak, semua itu adalah utusanku kepadamu dan juga kepada anak
Adam lainnya, sebelum saat ajalnya tiba!!”

11
Yang Pertama Dibakar Api Neraka
Pada hari kiamat nanti, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi akan mengadili mahluk-
mahluknya pada yaumul hisab (Hari Perhitungan). Tidak ada perkara, yang sangat kecil atau
remeh sekalipun, apalagi yang besar, pasti akan didatangkan ke sidang pengadilan yang benar-
benar adil tersebut. Tentunya ada pengecualian bagi orang-orang yang Allah memberikan Rahmat
dan Kasih-Nya, yang Allah menutupi keburukan-keburukannya dan memaafkannya, sehingga
Allah memasukkannya ke surga tanpa hisab.
Yang pertama kali didatangkan untuk diadili adalah tiga kelompok manusia, yang waktu di
dunia mempunyai kemuliaan dan keutamaan dalam pandangan manusia. Mereka adalah orang-
orang yang membaca dan memahami Al Qur’an, orang-orang yang kaya (berharta), dan orang-
orang yang berjuang di jalan Allah
Allah mendatangkan salah seorang yang ahli membaca dan mengajarkan Al Qur’an dan
berfirman, “Bukankah Aku telah mengajarkan kepadamu apa yang Aku turunkan melalui utusan-
Ku?”
“Benar, wahai Tuhanku!!” Kata orang tersebut.
“Kemudian, apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-Ku itu?”
“Saya mempelajari ilmu, mengajarkannya dan membaca Al Qur’an karena Engkau, ya
Allah!!”
Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
Dan Allah berfirman lagi, “Kamu mengerjakan semua itu hanya karena ingin dikatakan
bahwa engkau adalah orang pandai membaca Al Qur’an, seorang Qari’ yang hebat, dan semua itu
telah dikatakan orang-orang kepadamu seperti yang kau inginkan!!”
Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke
neraka.
Kemudian Allah menghadirkan orang yang kaya (hartawan) yang banyak bersedekah di
jalan Allah, dan berfirman, “Bukankah Aku telah memberi kelapangan kepadamu (yakni,
berlimpah kekayaan) sehingga Aku tidak membiarkan dirimu membutuhkan seseorang?”
“Benar, wahai Tuhanku!!” Kata orang tersebut.
“Kemudian, apa yang telah kamu lakukan dengan nikmat-nikmat harta yang Aku berikan
kepadamu itu?”
“Saya menyambung silaturahmi dan bersedekah. Tidak ada jalan atau tempat dimana
Engkau senang jika diinfakkan harta, kecuali saya menginfakkannya semata-mata karena
Engkau!!”
Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
Dan Allah berfirman lagi kepadanya, “Kamu melakukan semua itu agar engkau dikatakan
sebagai dermawan, dan itu telah dikatakan orang-orang kepadamu seperti yang engkau inginkan!!”
Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke
neraka.
Selanjutnya Allah menghadirkan seseorang yang terbunuh ketika berjuang di jalan Allah.
Setelah Allah mengingatkan berbagai nikmat yang dianugerahkan kepadanya dan ia mengakui,
Allah berfirman kepadanya, “Apakah yang kamu amalkan di dunia?”
Orang tersebut berkata, “Saya diperintahkan untuk berjuang dan berperang di jalan-Mu, dan saya
memenuhinya dengan terjun di medan jihad hingga saya terbunuh di jalan-Mu!!”
Allah berfirman, “Kamu bohong!!”
Para malaikat ikut berkata, “Kamu bohong!!”
Dan Allah berfirman lagi kepadanya, “Sesungguhnya kamu berjuang di medan jihad agar
dikatakan bahwa engkau seorang pemberani, dan itu telah dikatakan orang-orang kepadamu
sebagaimana engkau inginkan!!”
Setelah itu Allah memerintahkan malaikat untuk menariknya dan melemparkannya ke
neraka.
Nabi Muhammad SAW yang menceritakan kisah ini, menepuk dua lutut Abu Hurairah dan
bersabda, “Wahai Abu Hurairah, tiga orang (semacam) itulah mahluk Allah yang pertama kali
dibakar oleh api neraka pada hari kiamat nanti!!”

12
Tidak Menyembah jika Tidak Melihat

Imam Ja’far ash Shadiq, salah seorang ulama sekaligus auliyah dari keturunan Nabi SAW,
yakni dari pernikahan putri beliau Fathimah az Zahrah dan Ali bin Abi Thalib, suatu ketika sedang
berjalan-jalan di tepi sungai Tigris, tiba-tiba muncul seseorang yang terkenal sangat kaya, pintar
dan terkemuka menghadang jalan Sang Imam. Orang ini seorang muslim, tetapi sangat materialis
dan sangat mengagungkan otaknya semata. Ia berkata, “Wahai Imam, engkau adalah keturunan
Nabi Muhammad SAW dan pemimpin para auliyah. Aku ingin melihat Allah dengan kedua
mataku ini, dapatkah engkau mengaturnya untukku?”
“Wahai sahabatku,” Kata Imam Ja’far Shadiq, “Allah tidak bisa dilihat dengan mata
lahirian ini, Dia hanya bisa dirasakan (kehadiran-Nya) dengan mata hati!!”
Lelaki materialis (mengukur segalanya hanya dengan yang tampak nyata) ini berkata,
“Terserah apa yang engkau katakan, tetapi aku tidak bisa menyembah Tuhan yang tidak bisa
disentuh dan dilihat!!”
Imam Ja’far Shadiq memandangnya dengan tajam, kemudian berkata kepada para
sahabatnya, “Angkatlah lelaki ini dan lemparkan ke sungai!!”
Mereka segera melaksanakan perintah sang imam, dan lelaki tersebut dilemparkan ke
sungai. Dalam keadaan timbul tenggelam berjuang untuk selamat, lelaki materialis itu berseru, “
Wahai Imam, selamatkanlah aku! Aku mohon dengan sangat, selamatkanlah aku!!”
Imam Ja’far Shadiq memerintahkan para sahabat untuk mengangkatnya dari sungai. Lelaki
tersebut masih terengah-engah nafasnya ketika beliau berkata lagi, “Ikat kedua tangannya dan
lemparkan ke sungai, dan jangan diselamatkan lagi!!”
Lelaki materialis itu tampak ketakutan, tetapi para sahabat Sang Imam tetap patuh
melaksanakan perintah beliau. Setelah dilemparkan ke sungai, ia megap-megap hampir tenggelam.
Ia telah putus asa untuk meminta tolong pada sang imam, bisa-bisa keadaannya lebih parah.
Dalam keadaan sangat kritis tersebut, ia berteriak, “Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih,
selamatkanlah hamba! Tidak ada yang bisa menyelamatkan hamba dari bahaya ini kecuali Engkau,
Ya Allah!!”
Mendengar teriakan lelaki tersebut, Imam Ja’far Shadiq tersenyum dan memerintahkan
para sahabatnya untuk menyelamatkan dia. Dalam keadaan gemetar ketakutan, lelaki itu
dihadapkan kepada sang imam, dan beliau berkata, “Kamu memanggil-manggil : Tuhan Yang
Maha Pengasih, Tuhan Yang Maha Pengasih…!! Apa benar kamu telah melihat-Nya??”
Lelaki itu berkata, “Benar, ya imam, ketika harapan kepada semua manusia telah lenyap,
aku mencari perlindungan-Nya, dan mata hatiku terbuka sehingga aku bisa melihat (merasakan)
kehadiran-Nya…!!”
Lelaki tersebut akhirnya bertobat dan tidak materialis lagi, bahkan menjadi pengikut sang
imam yang setia.

13
Khidr AS Muncul karena Ketulusan (1)
Sosok Nabi Khidr AS yang terkenal karena kisah pertemuannya dengan Nabi Musa AS
diabadikan dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 60-82 memang fenomenal. Nabi SAW juga
mengulang kisah tersebut dalam beberapa hadist beliau dengan beberapa penjabaran. Dalam surat
Al Kahfi tersebut tidak disebutkan nama Khidr dan juga statusnya sebagai salah satu nabi, hal ini
saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat, apakah beliau seorang nabi atau hanya seorang
ulama atau salah satu auliyah Allah. Begitu juga terjadi perbedaan pendapat, apakah beliau masih
hidup sampai sekarang atau sudah meninggal?
Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut karena masing-
masing ulama mempunyai hujjah (argumentasi) yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi
kita yang awam, cukuplah mengikuti pendapat yang kita mantap dengannya tanpa “menghujat”
pendapat lain yang berbeda. Hanya saja, bagi yang percaya Nabi Khidr AS masih hidup sampai
sekarang, terkadang ada yang terlalu “mendewa-dewakan” beliau, bahkan membuat cara-cara
yang menyeleweng dari syariat hanya untuk bisa bertemu dengan beliau.
Sesungguhnya Nabi Khidr AS tidak bisa “dipaksa” hadir dengan cara apapun, kecuali jika
Allah SWT mengijinkan beliau hadir seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS, atau beliau
“ditugaskan” Allah SWT hadir sebagai jalan untuk menolong hamba-hamba yang dikehendaki-
Nya. Kalau “ritual-ritual” yang diadakan untuk bertemu Nabi Khidr didasari hawa nafsu dan
tujuan duniawiah semata-mata, bisa jadi yang hadir malahan syaitan terkutuk yang akan makin
menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesesatan. Naudzubillahi min dzaalik!! Semoga kisah
berikut ini memberikan hikmah dan menambah pemahaman bagi kita.
Al kisah, di negeri Turkestan tinggal seorang lelaki tua bernama Bakhtiar. Ia sangat miskin,
dan dengan usianya yang telah renta, ia kesulitan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya.
Ia sendiri “cukup malu” untuk meminta-minta walau warga di sekitarnya cukup banyak yang
hidup berkelimpahan, karena itu ia tetap berusaha sebatas kemampuannya.
Suatu ketika raja yang berkuasa di Turkestan tersebut sedang didatangi seorang ulama sufi.
Setelah menyampaikan beberapa nasehat, tiba-tiba Sang Raja menanyakan tentang Nabi Khidr
yang misterius tersebut. Sang Sufi menceritakan tentang Nabi Khidr secara sekilas, kemudian
berkata, “Khidr hanya datang jika diperlukan, tangkaplah jubahnya kalau ia muncul, maka segala
pengetahuan akan menjadi milik Baginda!!”
Tentu saja apa yang dikatakan Sang Sufi tersebut tidak bisa diterjemahkan secara harfiah
begitu saja. Sang Raja bertanya, “Apakah itu bisa terjadi pada siapapun?”
“Ya, siapapun bisa!!”
Setelah Sang Sufi pergi, keinginan Sang Raja untuk bertemu Nabi Khidr sangat kuat. Ia
ingin melengkapi kekuasaannya dengan pengetahuan, dan itu akan bisa diwujudkan dengan mudah
kalau ia bertemu Nabi Khidr dan ‘menangkap jubahnya’. Ia berfikir, “Kalau hal itu bisa terjadi
pada siapapun, apalagi aku, bukankah aku seorang raja??”
Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, Sang Raja membuat sayembara yang
disebarkan ke seluruh pelosok negeri, “Barangsiapa yang bisa menghadirkan Khidr yang misterius
di hadapanku, maka ia akan kujadikan orang yang kaya…!!”
Ternyata tidak banyak yang merespon sayembara tersebut karena hal itu suatu hal yang
tidak mudah, walau mungkin saja terjadi. Ketika Bakhtiar mendengarnya, muncul suatu rencana di
benaknya. Ia berkata kepada istrinya, “Wahai istriku, aku punya rencana dan kita akan segera
kaya. Tetapi tak lama setelah itu aku akan mati, dan itu tidak mengapa, karena engkau telah
mempunyai simpanan untuk bisa membiayai kehidupanmu seterusnya…!!”
Bakhtiar menceritakan rencananya. Istrinya hanya bisa setuju dan mendoakan saja. Bagi
orang-orang seperti mereka, memang tidak banyak pilihan untuk bertahan hidup. Setelah itu ia
pergi menghadap kepada Sang Raja.
Setelah memberi penghormatan seperlunya, Bakhtiar berkata kepada Sang Raja, “Hamba
dapat menghadirkan Khidr, tetapi ada syaratnya!!”
“Apa syarat yang kamu minta itu?” Tanya Sang Raja.
“Baginda harus memberi hamba seribu keping uang emas!!”
Sang Raja setuju dengan persyaratan tersebut, dan memerintahkan salah satu abdinya
untuk memberikan seribu keping uang emas kepada Bakhtiar. Lalu ia berkata, “Berapa lama waktu
yang engkau perlukan untuk menemukan Khidr?
“Hamba akan mencarinya dalam waktu empatpuluh hari!!” Kata Bakhtiar lagi.
“Baiklah,” Kata Sang Raja, “Kalau engkau berhasil menemukan Khidr dan membawanya
kemari, engkau akan mendapat tambahan sepuluh ribu keping uang emas. Tetapi jika engkau
gagal, engkau akan mati dipancung di sini, sebagai peringatan bagi orang-orang yang mencoba
mempermainkan rajanya!!”
Bakhtiar sudah tidak perduli lagi dengan ancaman tersebut, yang sebenarnya ia sudah
menduga sebelumnya. Ia segera pulang dan menyerahkan seribu keping uang emas tersebut
kepada istrinya. Ia sudah hampir yakin bahwa ajalnya akan tiba di tangan Sang Raja, empatpuluh
hari kemudian. Karena itu sisa waktunya digunakannya untuk merenung, beribadah dan bertobat,
mempersiapkan diri dengan amal-amal kebaikan sebagai bekal memasuki alam barzah. Ia telah
banyak mendengar tentang Nabi Khidr yang memang tidak bisa dipaksakan kehadirannya, jadi
untuk apa sibuk menghabiskan waktu mencarinya. Lebih baik ia terus beribadah dan bertobat,
termasuk karena telah “menipu” Sang Raja.
Pada hari yang ditentukan Bakhtiar menghadap Sang Raja. Hatinya telah sangat mantap,
empatpuluh hari hanya berkhidmat untuk beribadah kepada Allah, membuatnya tidak ada
ketakutan kepada siapapun dan kepada apapun, kecuali kepada Allah saja. Maka kepada Sang Raja
ia berkata tegas, “Wahai Raja, kerakusanmu telah menyebabkan engkau berfikir bahwa uang akan
bisa mendatangkan Khidr. Tetapi Khidr tidak akan datang karena panggilan yang berdasarkan
kerakusanmu itu!!”
Tentu saja Sang Raja amat marah dengan perkataannya tersebut. Bukannya datang untuk
memenuhi janjinya, tetapi malah menasehatinya. Ia berkata, “Celaka kau ini, kau telah menyia-
nyiakan nyawamu. Siapa pula kau ini beraninya mencampuri urusan seorang raja?”
Sekali lagi Bakhtiar berkata, “Menurut cerita, semua orang mungkin saja bertemu dengan
Khidr. Tetapi pertemuan itu hanya ada manfaatnya jika ia mempunyai niat yang tulus dan benar.
Seringkali sebenarnya Khidr telah datang di antara kita, tetapi kita tidak bisa memanfaatkan
kunjungannya tersebut, dan itulah yang kita tidak bisa menguasainya!!”
Sang Raja makin marah dengan nasehatnya tersebut, ia memerintahkan para pengawal
menangkapnya dan menghardik, “Cukup ucapanmu itu. Bualanmu itu tidak akan memperpanjang
hidupmu. Engkau hanya tinggal menunggu bagaimana caranya engkau mati saat ini!!”
Sang Raja meminta pendapat para menterinya tentang cara mengeksekusi mati Bakhtiar.
Menteri pertama berkata, “Wahai Raja, bakarlah dia hidup-hidup sebagai peringatan bagi yang
lainnya!!”
Menteri kedua berkata, “Wahai Raja, potong-potong saja tubuhnya, dan pisah-pisahkan
anggota tubuhnya (dimutilasi)…!!”
Menteri ketiga berkata, “Wahai Raja, sediakan saja kebutuhan hidupnya sehingga ia tidak
akan pernah menipu lagi demi kelangsungan hidup keluarganya.”
Di tengah-tengah sang Raja mendiskusikan masalah tersebut, masuklah seorang tua yang
tampak bijaksana. Setelah orang tua itu memberi salam, Sang Raja berkata, “Wahai orang tua, apa
maksud kedatanganmu ke sini?”
“Saya hanya ingin mengulas pendapat para menteri anda itu!!”
“Apa maksudmu?” Tanya Sang Raja.
“Menterimu yang pertama itu dahulunya adalah tukang roti, karena itu ia berbicara tentang
membakar (memanggang). Menterimu yang kedua dahulunya adalah tukang daging, karena itu ia
berbicara tentang memotong. Dan menterimu yang ketiga inilah yang benar-benar mengerti
masalah kenegaraan, karena itu ia melihat kepada sumber masalahnya…!!”
Selagi raja dan para hadirin terkejut dengan hakikat para menteri tersebut, orang tua itu
berkata lagi, “Hendaklah kalian mencatat dua hal, pertama : Khidr akan datang untuk melayani
setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu memanfaatkan kedatangannya. Dan kedua :
Bakhtiar ini, ia kuberi (tambahan) nama ‘Baba’ karena pengorbanan yang dilakukannya atas dasar
terdesak dan putus asa (dari manusia). Keadaannya yang makin terdesak (yakni, akan dihukum
mati) sehingga aku muncul di hadapan kalian semua!!”
Sekali lagi raja dan para hadirin terkejut dengan perkataan orang tua tersebut, yang tak lain
adalah Nabi Khidr itu sendiri. Dan sebelum sempat mereka berbuat apa-apa, termasuk keinginan
Sang Raja untuk “menangkap jubahnya”, Khidr telah lenyap dari pandangan. Sang Raja sangat
menyesal, sebaliknya Bakhtiar merasa sangat gembira karena mendapat nama baru “Baba”
langsung dari Khidr sendiri, tanpa ia mengharapkannya. Semacam sebuah “pengesahan” dari apa
yang telah dilakukannya sebelumnya.
14
Kuda yang Bertaubat

Abdullah bin Mubarak, seorang ulama di masa Tabi’in (pengikut atau murid para sahabat
Nabi SAW), suatu ketika berjalan-jalan di pasar dan melihat seekor kuda yang dijual seharga 40
dirham. Maka ia berkata, “Murah sekali harga kuda ini!!”
Ia bermaksud membelinya, tetapi sang penjual yang memang jujur berkata, “Wahai Syech,
kuda ini ada kelemahannya!!”
“Apakah kelemahannya?”
“Kuda ini tidak bisa dipacu, ia berhenti saat dikejar musuh sehingga terkejar (tertangkap),
dan ia selalu meringkik ketika disuruh diam!!”
“Kalau begitu harganya terlalu mahal,“ Kata Ibnu Mubarak, dan ia batal membelinya.
Suatu ketika Abdullah bin Mubarak melihat salah satu muridnya mengendarai kuda itu.
Bahkan ia melihatnya terjun pada salah satu pertempuran dengan mengendarainya. Tentu saja hal
itu membuatnya bertanya-tanya atas kebenaran informasi yang diberikan sang penjual tentang
kelemahan kuda tersebut.
Pada suatu kesempatan, Ibnu Mubarak memanggil muridnya tersebut dan menanyakan
tentang kuda yang ternyata telah dibelinya itu. Ia berkata, “Apakah engkau telah membuktikan
kelemahan kuda itu?”
Sang Murid menceritakan kalau ia memang telah membuktikannya. Tetapi setelah itu ia
berbisik ke telinga kudanya, “Wahai kuda, telah kutinggalkan semua dosa-dosa, aku telah bertobat
dan kembali kepada Allah. Karena itu hendaklah engkau juga bertobat dan meninggalkan tabiat
burukmu itu. Aku berjanji tidak akan membawamu kepada jalan maksiat kepada Allah.”
Mendengar bisikan tersebut, tampak sang kuda menggerakkan kepalanya tiga kali, seolah-
olah sangat gembira, dan setelah itu ia menjadi kuda yang penurut seperti yang dilihat Abdullah
bin Mubarak. Kemudian sang murid mengetahui bahwa pemilik kuda itu sebelumnya adalah
seorang kafir yang lalim, karena itu sang kuda sering mengutuknya dan sering menjatuhkannya
dari punggungnya. tabiat buruk itulah yang terbawa pada kuda itu saat ia dijual.

15
Kesusahan yang Bukan Kesusahan

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib, yang saat itu menjabat sebagai khalifah, bertemu dengan
sahabat Salman al Farisi. Ali menyapanya, “Apa kabar dirimu, wahai Salman?”
Salman berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya sedang dilanda empat kesusahan!!”
“Kesusahan apa?” Tanya Ali.
Salman menjelaskan, “Kesusahan keluarga karena membutuhkan roti (makanan pokok),
kesusahan karena perintah Allah untuk menjalankan taat, kesusahan karena godaan syetan yang
selalu mengajak maksiat, dan kesusahan karena akan datangnya malaikat maut untuk mencabut
nyawaku!!”
Reaksi yang diberikan Ali sungguh mengejutkan, “Bergembiralah wahai Abu Abdillah,
pada setiap keadaan itu, engkau memiliki derajad (kedudukan utama) di sisi Allah”
Tentu saja Salman kebingungan melihat reaksi sahabat dan menantu Rasulullah SAW itu.
Kemudian Ali menceritakan, bahwa ketika Nabi SAW masih hidup, suatu pagi ia bertemu dengan
beliau dan beliau bersabda, “Bagaimana pagimu, ya Ali?”
“Wahai Rasulullah,” Kata Ali, “Saya berada dalam kesedihan karena empat hal. Saya tidak
memiliki apapun (untuk makan) kecuali hanya air, saya sedih dalam melaksanakan ketaatan
kepada Allah (apakah akan diterima?), saya sedih tentang balasan amal (apakah lebih banyak
kebaikannya?), dan saya sedih akan datangnya malaikat maut (apakah akan khusnul khotimah?).”
Mendengar jawaban Ali tersebut, dengan tersenyum Nabi SAW bersabda, “Bergembiralah
wahai Ali, sesungguhnya kesedihan atas keluarga adalah tabir dari neraka, dan kesedihan dalam
taat kepada Allah al Khaliq adalah (kunci) keamananmu dari azab, kesedihan atas balasan amal
adalah jihad, yang hal itu lebih baik daripada ibadah selama 60 tahun, dan kesedihanmu atas
malaikat maut adalah kafarat (pelebur, penebus) dari dosa-dosamu. Ketahuilah, wahai Ali, rezeki
Allah kepada hamba-Nya itu tidak karena kesedihan itu. Kesedihan tidak berpengaruh apa-apa
(atas pembagian rezeki dari Allah) kecuali semakin menambah pahala. Jadilah orang yang
bersyukur dan tawakal, niscaya engkau akan menjadi kekasih Allah!!”
Ali bertanya, “Dengan apa (atas apa) saya bersyukur kepada Allah?
“Dengan Islam!!”
“Dengan apa saya taat?” Tanya Ali lagi.
“Ucapkanlah : Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil ‘azhiim…!!”
Ali bertanya lagi, “Apa yang harus saya tinggalkan?”
Nabi SAW bersabda lagi, “Tinggalkanlah kemarahan, karena hal itu akan menghilangkan
amarah Tuhanmu, memberatkan timbangan amal (kebaikan) dan membawamu ke surga!!”
Mendengar penjelasan Ali tersebut, Salman berkata, “Sungguh saya benar-benar susah
memikirkan hal itu, terutama tentang keluarga!!”
Tentu, maksud Salman bukanlah perasaan sedih atau susah karena menyesali keadaannya.
Tetapi kesedihan dalam rangka mengharap berbagai kebaikan seperti yang dijelaskan oleh
Rasulullah SAW tersebut. Menjalani hidup dalam kesedihan/kesusahan dengan ikhlas untuk
menggapai kegembiraan di akhirat kelak.
Menanggapi ucapan Salman tersebut, Ali berkata, “Saya pernah mendengar Rasulullah
bersabda : Barang siapa yang tidak pernah bersedih atas keluarganya, ia tidak berhak mendapat
surga!!”
Salman menyahuti, “Bukankah Rasulullah SAW juga bersabda : Orang yang memiliki
keluarga tidak akan bahagia selamanya??”
“Bukan seperti itu (maksudnya), Salman,” Kata Ali, “Jika pekerjaanmu halal, maka surga
akan selalu merindukan orang-orang yang bersedih dan nestapa dalam mencari rezeki yang halal,
demi untuk menghidupi keluarganya!!”

Note : mu95

16
Karena Doa Seorang Peminta-minta

Dalf bin Jahdar Asy-Syibli, nama kunyahnya Abu Bakar, sehingga lebih dikenal dengan
nama Abu Bakar Asy-Syibli, adalah seorang ulama sufi yang lahir dan dibesarkan di Baghdad. Ia
bersahabat dengan ulama sufi lainnya yang sangat terkenal, Junaid al Baghdadi. Suatu ketika ia
sedang berjalan ke suatu desa, dan ia melihat seorang pemuda kurus dengan rambut terurai dan
bajunya sangat kumal. Pemuda itu sedang duduk di antara kubur dan meletakkan pipinya di tanah,
air matanya mengalir membasahi wajahnya, mulutnya terus bergerak mengucap dzikr. Tasbih,
tahmid, tahlil dan istighfar tak henti-hentinya keluar dari mulutnya. Sesekali ia memandang ke
langit.
Syibli sangat tertarik dengan pemuda tersebut karena itu ia menghampirinya, tetapi melihat
kedatangannya, sang pemuda lari menghindar. Syibli berusaha mengejarnya, tetapi karena
tertinggal terus, ia berkata, “Perlahan-lahan, wahai waliyullah!!”
Sang pemuda hanya berkata, “Allah”
Syibli berkata lagi, “Demi Allah, sabarlah engkau menantiku!!”
Sang pemuda hanya mengisyarakan penolakan dengan tangannya, sambil berkata, “Allah”
Putus asa untuk menghentikan pemuda itu, Asy-Syibli berkata, “Jika benar apa yang
engkau katakan, maka tunjukkan kepadaku kesungguhanmu kepada Allah!!”
Mendengar ucapan Syibli itu, sang pemuda berteriak keras, “Allah!!”
Kemudian ia jatuh tersungkur. Ketika Syibli sampai di tempatnya, ia memeriksa pemuda
tersebut dan ternyata ia telah meninggal. Syibli menjadi bingung sekaligus heran, begitu besar
tekadnya kepada Allah, sehingga untuk membuktikan sebagaimana permintaannya, Allah harus
mengambil nyawanya. Ada sedikit perasaan bersalah, sekaligus kekaguman, karena itu ia berkata,
“Yakhtahshu bi rahmatihii man yasyaa’u, walaa haula walaa quwwata illaa billaahil ‘aliyyil
‘azhiim…”
Syibli pergi sebentar untuk mencari kafan dan segala keperluan untuk memakamkan
pemuda tersebut. Setelah kembali ia tidak menemukan jenazahnya, bahkan tidak ada bekas-
bekasnya. Sekali lagi ia bingung dan bertanya-tanya, siapakah yang mendahuluinya mengurus
jenazahnya, padahal ia tidak lama meninggalkan tempat itu. Tiba-tiba ia mendengar hatif (suara
tanpa wujud), “Ya Syibli, telah ada yang menyelesaikan urusannya. Jenazahnya telah dirawat
malaikat. Hendaklah engkau banyak beribadah kepada Allah dan bersedekah. Pemuda itu tidak
sampai kepada kedudukannya seperti itu, kecuali karena suatu sedekahnya di suatu hari…”
“Beritahukanlah kepadaku, apakah sedekahnya itu?” Kata Syibli.
“Ya Syibli, pemuda itu sebelumnya seorang yang fasik, suka berzina, durhaka dan gemar
bermaksiat kepada Allah. Suatu malam ia bermimpi kemaluannya menjadi ular dan mengeluarkan
api dari mulutnya. Ia disembur dengan api itu sehingga tubuhnya menjadi hitam seperti arang.
Setelah terbangun, ia gelisah dan ketakutan, kemudian menyingkir dari orang-orang sekitarnya
untuk bertobat dan khusyu’ beribadah. Ia tetap dalam keadaannya itu selama duabelas tahun,
hingga kemarin ia kedatangan seorang peminta-minta yang meminta makanan. Karena tidak
memiliki apa-apa lagi, ia melepas baju yang dipakainya, dan memberikannya kepada sang
peminta-minta. Karena begitu gembiranya, ia mendoakan sang pemuda agar dosa-dosanya
diampuni oleh Allah, dan Allah mengabulkannya. Karena itulah pemuda itu memperoleh
kemuliaan (karamah) seperti yang engkau lihat…!!”

17
Sungguh Allah Lebih Gembira
Ada seseorang akan bepergian melewati padang pasir yang luas. Ia telah mempersiapkan
perbekalannya, baik makanan ataupun minuman selama perjalanan itu pada onta, yang juga jadi
kendaraannya. Di tengah padang pasir yang begitu panasnya, ia ingin beristirahat di bawah suatu
pohon. Tetapi begitu ia turun, ontanya tersebut lepas dan melarikan diri entah kemana. Tidak bisa
dibayangkan bagaimana kesedihannya, apalagi semua perbekalannya ikut hilang.
Orang itu mencoba mengikuti jejak-jejak ontanya dengan harapan akan menemukannya
kembali. Tetapi tidak begitu lama mengarungi padang pasir yang seolah tanpa batas itu, ia jatuh
terduduk, lelah, lapar dan haus segera saja menyergapnya sehingga ia tidak mampu meneruskan
langkahnya. Ia berteduh di bawah sebuah pohon dan tertidur di sana.
Entah berapa lama ia tertidur, ketika terbangun tiba-tiba dilihatnya ontanya tersebut duduk
menderum di bawah pohon itu juga, masih lengkap dengan perbekalannya, tidak berkurang
sedikitpun. Tidak terkira kegembiraannya melihat ontanya itu, begitu gembiranya sehingga ia
salah dalam mengucap rasa syukurnya, “Allahumma anta ‘abdii, wa ana rabbuka” (Wahai Allah,
Engkaulah hambaku, dan saya adalah rabb-Mu).
Padahal maksudnya ia ingin berkata : Allahumma anta rabbi wa ana ‘abduka. Kegembiraan
yang begitu memuncak membuat ia salah tanpa menyadarinya dan lisannya “keseleo”
mengucapkan perkataan itu.
Ia segera memeluk ontanya dan segera mengambil makanan dan minuman untuk
mengobati perutnya yang telah sangat perih minta diisi.
Nabi SAW yang menceritakan kisah perumpamaan tersebut, bersabda kepada para sahabat,
“Sungguh Allah lebih gembira untuk menerima taubat hamba-Nya, daripada kegembiraan orang
tersebut yang menemukan kembali ontanya yang telah hilang di tengah-tengah padang sahara…!!”

18
Karena Melawan Nasehat Ibunya

Seorang lelaki bernama Awwam bin Husyaib baru saja pindah ke rumah di dekat suatu
pemakaman. Pada waktu ashar, tiba-tiba dilihatnya dari salah kuburan muncul asap berwujud
seorang lelaki berkepala keledai, dan mengeluarkan suara dengkingan (suara keledai) sebanyak
tiga kali. Kemudian wujud asap itu masuk kembali ke dalam kubur. Tidak jauh dari kuburan
tersebut, ada seorang wanita yang sedang memintal benang bulu.
Ibnu Husyaib begitu keheranan melihat pemandangan itu. Seorang wanita tetangganya
yang melihat ekspresi keheranannya berkata, “Tahukah engkau wanita tua yang memintal benang
bulu itu?”
Tetangganya itu menunjukkan tempatnya. Ibnu Husyaib berkata, “Siapakah dia?”
“Dia adalah ibu dari lelaki yang kuburannya berasap dan mengeluarkan suara itu!!”
“Bagaimana ceritanya hingga bisa seperti itu?” Tanya Ibnu Husyaib.
Wanita itu kemudian bercerita, bahwa anak lelakinya itu sangat suka minum khamr. Suatu
ketika sang ibu berkata kepadanya, “Wahai anakku, takutlah kamu kepada Allah. Sampai
kapankah engkau akan minum khamr??”
Anak yang memang sedang dirasuki khamr sehingga akalnya tidak genap itu berkata
kepada ibunya, “Engkau medengking saja seperti keledai!!”
Ternyata setelah ashar di hari itu, anak lelakinya itu meninggal. Dan setiap ashar
kuburannya mengeluarkan asap berwujud dirinya yang berkepala keledai, dan mendengking tiga
kali layaknya seekor keledai.

19
Empat Malaikat ketika Sakit
Ketika Allah SWT telah menetapkan seorang hamba-Nya yang beriman, baik itu laki-laki
atau perempuan, akan mengalami sakit, maka Dia akan mengirimkan empat malaikat kepada
orang itu. Malaikat pertama diperintahkan untuk mengambil kekuatannya, maka orang itu menjadi
lemah tidak seperti biasanya. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengambil selera makannya
dari mulutnya, maka ia jadi enggan makan walau terkadang merasa lapar. Malaikat ketiga
diperintahkan untuk mengambil kecerahan wajahnya, maka orang-orang di sekitarnya akan
melihat bahwa ia sangat pucat. Dan malaikat keempat diperintahkan untuk mengambil dosa-
dosanya, maka ia terbebas dari dosa, kecuali dosa yang berhubungan dengan hak-hak manusia.
Ketika Allah SWT menghendaki hamba beriman itu sehat kembali, maka Allah
memerintahkan malaikat pertama untuk mengembalikan kekuatannya, dan ia akan berangsur kuat
kembali. Malaikat kedua diperintahkan untuk mengembalikan selera makannya, maka ia akan
senang makan dan itu membantu memulihkan kesehatannya. Malaikat ketiga diperintahkan untuk
mengembalikan kecerahan wajahnya, maka kepucatan wajahnya berangsur menghilang dan
kembali cerah seperti sediakala.
Tiga malaikat itu telah selesai melaksanakan tugasnya dan tidak lagi “membawa” beban
apapun, tinggal malaikat keempat yang menunggu perintah Allah turun kepadanya sehingga ia
tidak harus “membawa” seperti ketiga malaikat temannya itu. Tetapi perintah itu tidak datang-
datang juga, karena itu ia memberanikan diri bertanya kepada Allah, “Wahai Allah, kami berempat
adalah hamba-hamba-Mu yang patuh kepada perintah-Mu. Mereka bertiga telah Engkau
perintahkan untuk mengembalikan apa yang mereka ambil, mengapa tidak engkau perintahkan aku
untuk mengembalikan apa yang aku ambil dari hamba-Mu itu?”
Allah SWT berfirman, “Kemuliaan yang Aku miliki tak pantas membuat-Ku menyuruhmu
untuk mengembalikan dosa-dosanya, setelah aku membuatnya kepayahan karena sakit yang
dialaminya!!”
Malaikat keempat berkata, “Lalu apa yang harus aku lakukan dengan dosa-dosanya ini, Ya
Allah??”
Allah berfirman, “Pergilah engkau ke laut dan buanglah dosa-dosanya di sana!!”
Malaikat keempat segera turun ke laut dan membuangnya di sana, dan ia terbebas dari
beban sebagaimana ketiga malaikat temannya. Kemudian dari dosa-dosa yang dibuang tersebut
Allah menciptakan buaya laut, Wallahu A’lam.
Kalau dalam sakitnya itu sang hamba mukmin meninggal, maka ia akan pergi menuju
akhirat dalam keadaan suci, tanpa membawa dosa-dosanya. Tentulah dikecualikan dosa-dosa yang
berhubungan dengan hak-hak anak Adam lainnya. Hal ini mungkin salah satu penjabaran dari
sabda Nabi SAW, “Sakit panas sehari semalam adalah pelebur dosa setahun!!”
Dalam riwayat lainnya Nabi SAW menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba mukmin
sakit dan ia tidak bisa mengerjakan amalan-amalan istiqomah yang biasa dilakukan waktu sehat,
maka Allah SWT memerintahkan malaikat mencatat pahala dari amal-amal kebaikan tersebut
untuknya, walau ia tidak bisa mengerjakannya karena sakit yang dideritanya itu.
Tentulah semua itu bisa terjadi jika sang hamba mukmin tersebut sabar dan ridho dengan
kehendak Allah kepadanya. Bukan justru “mengadukan/memprotes” Allah (yang menghendakinya
sakit) kepada pengunjung-pengunjung yang menjenguknya.
Dalam keadaan sakit tersebut, seharusnyalah seorang hamba melakukan ikhtiar untuk
berobat atau ke dokter, tetapi tidak boleh meyakini bahwa obat atau dokter tersebut yang
menyembuhkan penyakitnya. Kalau keyakinan seperti itu tertanam, bisa-bisa ia terjatuh pada
kesyirikan yang samar (syiri’ khofi), karena sesungguhnyalah hanya Allah yang berkehendak
menyembuhkan, sebagaimana hanya Dia pula yang menghendakinya menjadi sakit.
Maka ikhtiar itu ada batasnya, setelah itu harus tawakal kepada Allah tentang hasilnya,
yang mana tawakal tersebut tidak ada batasnya. Jangan sampai kita “terjebak” dengan pameo
“berusaha/ikhtiar tanpa batas” dan tidak pernah sempat untuk tawakal. Apa jadinya kalau kita
meninggal dalam keadaan ikhtiar, sementara kita belum pernah atau belum sempat tawakal kepada
Allah?

20
Pahala dari Setiap yang Bernyawa
Seseorang sedang berjalan-jalan, dan ketika ia merasa kehausan, ia turun ke suatu sumur
yang tidak jauh dari situ. Setelah hausnya hilang, ia segera naik lagi dan ia melihat seekor anjing
yang lidahnya terjulur ke tanah karena hausnya. Ia berkata dalam hati, “Anjing ini kehausan
seperti aku tadi!!”
Ia turun lagi ke dalam sumur, ia menciduk air dengan sepatunya dan membawanya ke atas
dengan menggigitnya. Sampai di atas, ia memberi minum anjing tersebut dengan air di dalam
sepatunya itu.
Rasulullah SAW yang menceritakan kisah tersebut bersabda, “Allah SWT berterima kasih
kepada lelaki itu dan mengampuni dosa-dosanya!!”
Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, memangnya kita bisa memperoleh
pahala sehubungan dengan binatang?”
Beliau bersabda, “Pada setiap yang berjantung lagi hidup ada pahala!!”
Pada riwayat lain yang hampir senada, Nabi SAW menceritakan bahwa seorang wanita
pelacur melihat seekor anjing yang terengah-engah dan lidahnya terjulur, tampaknya ia hampir
mati kehausan. Pelacur itu melepas sepatunya dan diikatkan pada kain kerudungnya untuk
menimba air dari sumur yang tidak jauh dari situ. Setelah itu ia memberi minum anjing itu
sehingga ia segar kembali.
Nabi SAW menyatakan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa wanita pelacur itu karena
keperdulian dan sikap kasih sayangnya memberi minum pada anjing yang kehausan. Dan ia juga
memperoleh hidayah sehingga meninggalkan perbuatan maksiatnya dan bertaubat kepada Allah.

21
Khidr AS Muncul karena Ketulusan (2)
Seorang lelaki berniat untuk terjun ke dunia rohani (dunia sufi). Ia mendatangi banyak
tempat dimana diadakan pengajian tentang kesufian, membaca banyak kitab-kitab yang berkaitan
itu. Telah banyak ucapan-ucapan para guru sufi yang telah didengarnya, banyak pula sikap dan
perbuatan yang dilihat dan dipraktekkannya dengan bimbingan para guru itu. Dengan senang hati
pula ia melakukan berbagai latihan spiritual dan perintah-perintah peribadatan yang ketat dan
keras.
Entah berapa tahun, atau berapa belas tahun yang telah dilaluinya, berkecipung di dunia
tasauf. Ia merasa telah banyak memperoleh kemajuan dalam beribadah, tidak sekedar praktek
lahiriahnya, tetapi juga rahasia-rahasia rohaniahnya. Namun demikian ia masih bingung, tingkatan
apa yang telah dicapainya? Sejauh dan sedalam apa ia telah menempuh dunia rohaniah itu?
Kapankah dan dimanakah pencariannya akan berakhir?
Suatu ketika ia berjalan sambil merenungi (muhasabah) dirinya sendiri, segala perbuatan
dan tingkah lakunya, mana yang sesuai perintah Allah dan Rasul-Nya dan mana yang hanya
kepura-puraannya semata? Mana yang ia tulus melakukannya, mana pula yang hanya ambisi
egonya? Tanpa disadarinya, langkahnya sampai di depan rumah seorang manusia arif (tokoh sufi)
yang telah terkenal kebijaksanaannya. Dan, tanpa disadarinya pula, ia berdiri di samping seorang
tua, yang kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Khidr AS. Tentu saja ia gembira tidak terkira
karena Khidr telah terkenal di kalangan kaum sufi sebagai “Penunjuk jalan rahasia ke arah jalan
kebenaran”
Nabi Khidr membawanya ke suatu tempat, di mana ia menyaksikan orang-orang yang
tampak sangat berduka dan sengsara. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata, “Siapakah kalian ini
sebenarnya?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah orang-orang yang tidak mengikuti
ajaran-ajaran yang sejati, kami tidak setia (tidak istiqomah) dengan tugas yang dibebankan kepada
kami. Dan kami hanya memuliakan guru-guru yang kami angkat sendiri!!”
Kemudian Nabi Khidr membawanya ke tempat lainnya, di mana ia menyaksikan orang-
orang yang wajahnya berseri-seri dan tampak berbahagia. Kepada mereka ini, lelaki itu berkata,
“Siapakah kalian ini?”
Salah seorang dari mereka berkata, “Kami adalah manusia-manusia yang tidak menuruti
petunjuk-petunjuk jalan kebenaran yang sebenarnya!!”
Tentu saja lelaki itu heran dengan jawaban tersebut, ia berkata, “Kalau memang kalian
tidak mengikuti petunjuk-petunjuk itu, bagaimana kalian bisa tampak sangat berbahagia?”
Mereka berkata, “Karena kami lebih memilih kebahagiaan daripada kebenaran. Seperti
halnya orang-orang yang memilih guru-guru mereka sendiri, sebenarnya kami memilih jalan
kesengsaraan (penyesalan) pula!!”
“Bukankah kebahagiaan itu adalah cita-cita tertinggi dari umat manusia?” Lelaki itu masih
tampak tak percaya yang yang dilihatnya, tentunya didasari dengan yang telah diyakininya selama
ini.
“Tujuan utama dari umat manusia adalah kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah
kebahagiaan, ia jauh lebih utama dari kebahagiaan. Seseorang yang telah mencapai kebenaran,
dapat memiliki perasaan-perasaan apapun yang diinginkannya, atau membuang semua perasaan-
perasaan itu tanpa beban…!!”
Lelaki itu tampak mulai memahami, dan mereka melanjutkan penjelasannya, “Kami telah
berpura-pura bahwa kebenaran itu adalah kebahagiaan, dan kebahagiaan itu adalah kebenaran.
Banyak sekali orang yang percaya kepada kami, termasuk engkau sendiri mungkin beranggapan
demikian. Tetapi percayalah, kebahagiaan itu akan memenjarakan dirimu sebagaimana yang
dilakukan oleh kesengsaraan!!”
Setelah pemahaman itu makin meresap ke dalam hatinya, tiba-tiba saja ia telah ada di
depan rumah manusia arif seperti sebelumnya, dan Khidr masih berada di sisinya. Khidr berkata,
“Aku akan mengabulkan sebuah permintaanmu!!”
Lelaki itu berkata, “Aku ingin tahu mengapa aku telah gagal dalam pencarianku, dan
bagaimana aku dapat berhasil?”
Khidr berkata, “Engkau telah menyia-nyiakan hidupmu, karena engkau manusia
pembohong. Engkau hanya mencari kepuasan pribadi (ego dan prestise), walau sebenarnya engkau
bisa mencari kebenaran!!”
“Namun aku sedang mencari kebenaran itu ketika aku bertemu denganmu, dan hal itu tidak
terjadi pada setiap orang!!” Katanya, masih mnecoba membela diri.
“Benar,” Kata Khidr, “Ketulusan hatimu yang cukup besar untuk mencari kebenaran demi
kebenran itu sendiri, walau hanya sesaat saja, yang menyebabkan aku datang untuk
menemuimu!!”
Mendengar penuturan Khidr itu, ia merasakan kegairahan yang menggelora untuk masuk
ke dalam kebenaran dengan segenap ketulusan hatinya. Ia tampak tak perduli walau ia akan
tenggelam dalam samudra kebenaran yang tidak berujung itu.
Ketika Khidr beranjak pergi, ia berusaha mengejarnya tetapi Khidr berkata, “Jangan ikuti aku!
Aku akan kembali ke dunia yang penuh tipuan, karena di sanalah seharusnya aku berada untuk
melaksanakan tugasku!!”
Begitu Khidr lenyap dari pandangan, ia tidak lagi berada di halaman rumah manusia arif
seperti sebelumnya, tetapi ia telah berada di negeri kebenaran.
22
Yang Terakhir Masuk Surga
Pada hari kiamat kelak, ketika semua manusia telah selesai dihisab dan memasuki
tempatnya masing-masing, di surga atau di neraka, Allah berkehendak untuk menyelamatkan para
penghuni neraka yang “pernah” menyembah Allah, walau hanya sesaat. Allah memerintahkan
beberapa malaikat “menjelajah” neraka untuk menemukan mereka itu, yakni mereka yang masih
tampak tersisa bekas-bekas sujud yang tidak terbakar api neraka. Dari bekas sujud yang tampak
cukup besar dan sangat jelas, atau yang terlihat sangat kecil dan samar-samar.
Ketika mereka semua itu ditemukan dan diangkat dari neraka, keadaan tubuhnya hitam
terbakar seperti arang. Kemudian dituangkan kepada mereka ma’ul khayaah (air kehidupan), dan
mereka tumbuh bagaikan tumbuhnya bibit tumbuhan di tanah bekas banjir, dalam keadaan segar
dan sebaik-baiknya penampilan. Sekali lagi Allah “memasang” mizan (timbangan amal), dan
sebagian besar dari mereka dipersilahkan memasuki surga karena keburukan dan kejahatannya
telah habis setelah “dicuci” di neraka. Tetapi tertinggal satu orang di antara surga dan neraka,
walaupun keburukannya telah habis terbakar di neraka, tetapi sisa kebaikannya tidak cukup
memberatkan mizan untuk bisa mengantarkannya ke surga.
Dia itulah orang terakhir yang akan masuk surga, karena kasih sayang dan rahmat Allah.
Tetapi tampaknya Allah tidak akan membiarkannya begitu saja memasuki surga tanpa
“mencandainya” terlebih dahulu, sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Sekaligus memaksimalkan
kegembiraannya ketika nantinya masuk surga.
Allah menghadapkan wajahnya ke arah neraka. Setelah beberapa waktu lamanya, ia
berdoa, “Wahai Tuhanku, palingkanlah wajahku dari neraka ini, baunya amat menyakitkan diriku,
dan panasnya bisa membakarku!!”
Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau
akan meminta lagi kepada-Ku?”
Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu!!”
Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian dengannya untuk tidak meminta lagi, dan
Allah memalingkan wajahnya dari neraka ke arah surga. Ia bersyukur telah dihindarkan dari
pemandangan neraka dan melihat pemandangan surga. Tetapi namanya manusia yang masih
memiliki nafsu, walau saat itu telah menjadi nafsu yang diridhoi Allah dan nafsu yang ridho
kepada Allah (rodhiyallahu ‘anhum wa rodhuu ‘anhu / an-nafsul muthma-innah…roodhiyatan
mardhiyyah), melihat pemandangan yang begitu indah hanya dari kejauhan, bangkit keinginannya
untuk melihat lebih dekat. Tetapi ia “terhalang” dengan perjanjian yang telanjur disetujuinya
dengan Allah, karena itu ia hanya diam.
Beberapa saatnya ia diam, tetapi pergolakan hati dan nafsunya untuk lebih dekat kepada
surga tidak pernah “diam”. Tampaknya ia tidak tahan lagi untuk meminta (berdoa) walau telah
berjanji untuk tidak meminta. Ia menyadari, tidak Dzat yang paling sabar, paling memaafkan, yang
tidak pernah jemu untuk mengabulkan walau tidak pernah mematuhi dan selalu melanggar
larangan-Nya, kecuali Allah SWT. Bahkan keberadaannya saat itu tidak lepas sifat-sifat Rahman
dan Rahim Allah itu. Kalau bukan Allah yang mengadilinya saat itu, pantasnya ia tetap berada di
neraka selama-lamanya.
Ia memberanikan diri untuk berdoa (meminta) lagi, “Wahai Tuhanku, bawalah aku ke
dekat pintu surga!!”
Allah berfirman, “Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta lagi, selain yang
telah engkau minta sebelumnya?”
Ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku mahluk-Mu
yang paling malang!!”
Allah berfirman kepadanya, “Apabila permintaanmu itu Aku kabulkan, apakah engkau
akan meminta lagi kepada-Ku?”
Orang itu berkata, “Tidak, ya Allah, demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan meminta yang
lain lagi!!”
Kemudian Allah membuat “semacam” perjanjian lagi dengannya untuk tidak meminta
yang lainnya lagi dan Allah mendekatkannya ke pintu surga. Ia sangat gembira dengan tempatnya
tersebut. Keindahan surga, bunga-bunganya, kemewahan-kemewahannya, gemerlap-gemerlapnya,
kesenangan-kesenangannya, bidadari-bidadarinya dan berbagai macam kenikmatan yang tidak
pernah terbayangkan olehnya terpampang di depan matanya tanpa halangan.
Setelah beberapa waktu lamanya menikmati pemandangan surga yang penuh kenikmatan
itu, lagi-lagi nafsu manusianya tergerak untuk bisa memasuki surga, tidak sekedar berdiri di
pintunya seperti saat itu. Tetapi teringat akan janji yang telah diberikannya kepada Allah ia jadi
terdiam. Pergolakan nafsu dan hatinya makin menggelora, dan hal itu memang digerakkan oleh
Allah, karena itu ia “nekad” untuk melanggar janjinya dan berkata, “Wahai Tuhanku, masukkanlah
aku ke dalam surga!!”
Allah berfirman kepadanya, “Sayang sekali, wahai anak Adam, alangkah khianatnya
dirimu! Bukankah engkau telah berjanji untuk tidak meminta sesuatu lagi selain permintaanmu
sebelumnya!!”
Lagi-lagi ia berkata memelas, “Wahai Tuhanku, jangan hendaknya Engkau jadikan aku
mahluk-Mu yang paling celaka!!”
Allah tertawa mendengar pernyataannya tersebut dan mengijinkannya memasuki surga.
Baru beberapa langkah di surga, Allah berfirman, “Mintalah segala apa yang kamu inginkan!!”
Tentu saja orang tersebut sangat gembira mendengar perintah Allah tersebut. Ia menyebutkan
daftar permintaan dari semua apa yang dilihatnya tersebut, termasuk beberapa hal yang terlintas di
pikirannya. Setelah ia kehabisan “data” permintaannya dan berhenti berbicara, Allah berfirman
kepadanya, “Mintalah tambahannya ini dan itu…!!”
Allah menyebutkan sesuatu yang belum masuk dalam permintaannya, dan ia segera
memohon untuk diberikan tambahan seperti itu. Beberapa kali Allah mengingatkan beberapa hal
dan kenikmatan kepadanya, dan ia memohon untuk bisa diberikan tambahan seperti itu. Akhirnya
Allah berfirman kepadanya, “Apakah engkau telah puas?”
“Saya telah puas, ya Allah!!” Katanya.
Dan Allah SWT menetapkan untuknya, “Bagimu, apa yang telah engkau minta itu
semuanya, dan tambahannya sebanyak itu pula (artinya dilipatkan dua kali dari daftar
permintaannya).”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, Allah berfirman kepadanya, “Bagimu, apa yang telah
engkau minta itu semuanya, dan dilipat-gandakan sepuluh kalinya!!”

23
Karena Taat Kepada Ibunya

Di masa Nabi Musa AS, ada seorang lelaki yang saleh dari kalangan Bani Israil. Ia
mempunyai seorang istri dan anak yang masih kecil. Ketika ia sakit dan merasa waktu ajalnya
telah dekat, ia membawa satu-satunya ternak yang dimilikinya, yakni seekor anak lembu (sapi) ke
hutan, dan berdoa, “Ya Allah, aku titipkan anak lembu ini kepada-Mu untuk keperluan anakku jika
ia telah dewasa!!”
Setelah itu ia melepaskan anak lembu tersebut, yang segera saja lari ke dalam hutan. Lelaki
itu menceritakan kepada istrinya tentang lembu tersebut, dan tidak lama berselang ia meninggal
dunia. Anak lembu itu sendiri hidup secara liar di dalam hutan tanpa penggembala. Jika ada orang
yang melihat dan menemukannya, lembu itu segera lari ke dalam hutan dan tidak pernah bisa
ditemukan.
Setelah menginjak remaja, anak itu menjadi seorang yang saleh seperti ayahnya dan sangat
taat kepada ibunya. Waktu siang harinya digunakan untuk bekerja mencari kayu di hutan dan
menjualnya di pasar. Uang hasil penjualannya itu dibagi tiga, sepertiga untuk kebutuhan hidupnya
sehari-hari, sepertiga diberikan kepada ibunya, dan sepertiga sisanya disedekahkan di jalan Allah.
Waktu malam juga dibaginya menjadi tiga, sepertiga malam pertama untuk menjaga ibunya,
sepertiga pertengahan untuk tidur (istirahat), dan sepertiga terakhir untuk beribadah kepada Allah
hingga pagi menjelang.
Suatu ketika Sang Ibu memanggil putranya tersebut dan berkata, “Wahai anakku, ayahmu
meninggalkan warisan seekor anak lembu yang “dititipkan” kepada Allah di hutan. Pergilah
engkau ke dalam hutan, dan berdoalah kepada Allah, Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq dan
Ya’kub, agar Dia “mengembalikan” titipan ayahmu tersebut kepadamu. Tandanya, anak lembu itu
berwarna kuning, jika tertimpa cahaya matahari akan berkilau laksana emas.”
Anak itu segera pergi ke hutan memenuhi perintah ibunya. Ketika ia melihat seekor lembu
berwarna kuning, yang tentunya telah menjadi lembu dewasa yang besar sedang makan rumput, ia
segera berdoa kepada Allah seperti diajarkan ibunya. Usai berdoa, ia berkata kepada lembu itu,
“Wahai lembu, aku panggil engkau demi Tuhannya Nabi Ibrahim, Ismail, Ishaq dan Ya’kub,
segeralah engkau datang kemari!!”
Lembu itu segera berlari mendekatinya dan berdiri tegak di hadapannya. Pemuda itu
memegang lehernya dan menuntunnya pulang. Tanpa disangka-sangka, dengan ijin Allah, sang
lembu berbicara kepadanya, “Wahai anak muda yang taat kepada ibumu, naiklah engkau ke atas
punggungku agar meringankan beban perjalananmu!!”
Walau sempat terkejut dengan berbicaranya lembu itu, ia berkata, “Ibuku tidak
menyuruhku untuk mengendaraimu, tetapi beliau menyuruhku untuk memegang lehermu
menuntun pulang ke rumah ibuku!!”
Sang lembu berkata lagi, “Demi Tuhannya Bani Israil, jika engkau bermaksud
mengendaraiku, tentu engkau takkan bisa melakukannya (karena ibumu tidak memerintahkan
seperti itu). Wahai anak muda, seandainya engkau memerintahkan bukit itu untuk berpindah,
tentulah bukit itu akan pindah, semua itu karena taat dan baktimu kepada ibumu!!”
Pemuda itu tidak menanggapi pujian sang lembu tersebut, dan terus menuntunnya pulang
dan menyerahkan kepada ibunya. Sang ibu berkata, “Hai anakku, engkau miskin, dan tidak
memiliki harta apapun. Berat bagimu untuk mencari kayu di hutan setiap harinya, dan tetap
menjalankan shalat di malam harinya. Karena itu juallah lembu ini di pasar…!!”
“Berapa harus saya jual lembu ini, wahai ibu?” Tanya sang pemuda.
“Tiga dinar, dan jika tidak sejumlah itu, janganlah dijual sebelum bermusyawarah
denganku!!” Kata ibunya.
Tiga dinar adalah harga yang wajar untuk seekor lembu pada saat itu. Pemuda itu
menuntun lembunya ke pasar, tetapi sebelum sampai di sana, ada seeorang yang mencegat
langkahnya dan berkata, “Berapakah engkau akan menjual lembu ini!”
“Tiga dinar!!”
Lelaki itu berkata, “Lembu ini sangat bagus, biarlah aku membelinya seharga enam
dinar!!”
“Ibuku memerintahkan menjualnya seharga tiga dinar, jika engkau ingin membayarnya
enam dinar, aku harus meminta ridha ibuku dahulu!!” Kata pemuda itu.
“Tidak usahlah meminta ridha ibumu, bukankah itu sudah melebihi harga yang
diinginkannya?”
“Andaikata engkau membeli dengan uang emas seberat lembu ini, aku tidak bisa
menerimanya jika ibuku belum meridhainya. Biarlah aku pulang dahulu untuk meminta ridha
beliau!!” Kata sang pemuda.
Ia pulang lagi dan menceritakan kepada ibunya apa yang dialaminya dengan orang yang
ingin membeli lembu tersebut. Sang ibu berkata, “Baiklah kalau begitu, juallah lembu ini seharga
enam dinar.”
Sang pemuda kembali menuntun lembunya ke pasar. Sebelum ia sampai di sana, lelaki
yang tadi itu telah menunggunya, dan berkata, “Lembu milikmu itu semakin menarik saja, biarlah
aku membayarnya seharga duabelas dinar, dan engkau tidak perlu pulang-balik lagi kepada
ibumu!!”
Pemuda itu berkata, “Ibuku telah ridha dengan harga enam dinar, jadi bayarlah dengan
seharga itu!!”
“Tidak bisa,” Kata lelaki itu, “Tidak sepantasnya jika kubayar seharga enam dinar, aku
berbuat dholim jika tidak membayar seharga duabelas dinar…!!”
Pemuda itu berkata, “Kalau begitu, biarlah aku pulang dahulu untuk meminta ridha
ibuku!!”
Pemuda itu kembali lagi kepada ibunya dan menceritakan apa yang dialaminya dengan
lelaki tersebut. Mendengar penjelasan anaknya itu, sang ibu berkata, “Yang datang kepadamu itu
adalah malaikat yang ingin mengujimu. Jika engkau bertemu lagi dengannya, tanyakan kepadanya,
apakah lembu ini boleh dijual?”
Ketika sang pemuda kembali ke pasar dan bertemu dengan lelaki itu, yang tak lain adalah
malaikat, sang pemuda menyampaikan pertanyaan ibunya. Sang malaikat berkata, “Sungguh aku
diperintahkan Allah untuk memberitahukan, agar kalian mempertahankan lembu itu. Suatu saat
nanti akan terjadi pembunuhan di kalangan Bani Israil, dan Nabi Musa bin Imran akan
membutuhkan lembu ini. Jika mereka datang untuk membelinya, janganlah dilepaskan (dijual)
kecuali dengan harga emas seberat timbangan lembu itu…!!”
Begitulah, ketika terjadi peristiwa pembunuhan misterius di kalangan Bani Israil, dan Nabi
Musa AS, atas perintah dari Allah SWT, mensyaratkan menyembelih seekor lembu dengan
spesifikasi tertentu, sebagaimana diabadikan dalam QS Al Baqarah 67-73, lembu tersebut dibeli
Bani Israil dengan harga yang dipesankan malaikat tersebut.

24
Tawakalnya Seekor Semut
Allah SWT menganugerahi Nabi Sulaiman AS sebuah mu’jizat bisa berbicara dengan
binatang, suatu ketika beliau bertemu seekor semut dan bertanya, “Berapakah rezeki yang engkau
perlukan untuk hidupmu setahun?”
Sang semut berkata, “Sebutir gandum!”
“Hanya sebutir gandum?” Kata Nabi Sulaiman, hampir tidak percaya.
“Ya, hanya sebutir gandum!!” Kata sang semut menegaskan.
Nabi Sulaiman menempatkan semut tersebut dalam suatu wadah tertutup, dan memberikan
sebutir gandum untuk keperluan hidupnya.
Setahun kemudian Nabi Sulaiman membuka wadah tertutup itu, dan beliau melihat
gandum tersebut masih ada separuh, dan semut tersebut dalam keadaan sehat-sehat saja. Beliau
berkata kepada sang semut, “Engkau bilang jatahmu satu butir gandum setahun, mengapa masih
ada separuhnya setelah setahun ini?”
Sang semut berkata, “Kalau aku di luar sana, Allah yang menjamin rezekiku, dan aku
bertawakkal kepada-Nya. Allah tidak akan pernah lupa dan lalai dengan rezeki yang menjadi
bagianku. Karena engkau menempatkanku di tempat tertutup, dan engkau memaksa aku ‘tawakal’
kepada engkau, maka aku hanya memakan separuh jatahku. Aku tidak yakin apa engkau akan
ingat kepadaku setelah setahun ini, karena itu aku mencadangkan separuhnya, kalau-kalau engkau
lupa dengan jatahku!!”
Nabi Sulaiman bersujud dan mengucapkan kalimat-kalimat pujian akan Kebesaran dan
Keadilan Allah.

25
Ketika Malaikat “Dibekali” Hawa Nafsu

Ketika Allah SWT berkehendak untuk menciptakan manusia sebagai khalifah di muka
bumi, malaikat melakukan “protes” tentang tindakan merusak dan kemaksiatan yang akan
dilakukan oleh manusia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh jenis jin yang telah mendiami
bumi. Bahkan para malaikat ini agak membanggakan diri dengan berkata, “Ya Allah, mengapakah
Engkau menciptakan manusia yang akan berbuat kerusakan dan berbuat maksiat di muka bumi,
sementara kami selalu bertasbih (memahasucikan, membaca subkhaanallah) dan bertahmid
(memuji, membaca hamdalah) serta ber-taqdis (meng-qudus-kan, menyucikan dan membersihkan
Engkau dari hal yang tidak layak)”
Tentu saja para malaikat itu tidak tahu, bahwa ketika Allah berkehendak menciptakan alam
semesta dan segala isinya, hanyalah karena kecintaan-Nya kepada ar-Ruh al-Muhammadiyah, ruh
Nabi Muhammad SAW yang nantinya “ditiupkan” pada mahluk berjenis manusia, jenis mahluk
yang “diputuskan” Allah sebagai yang termulia. Maka, kebanggaan para malaikat itu, dijawab
Allah dengan kesombongan yang memang hanya pantas untuk-Nya dan bukan selain-Nya, dengan
firman-Nya, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”
Allah al Khaliq, hanya Allah yang Maha Pencipta, hanya Allah yang sebenarnya Maha
Pencipta skenario kehidupan. Ketika Nabi Adam AS telah diciptakan, Allah berkehendak
mengajarkan segala “nama-nama” kepadanya, kemudian dikonfrontasikan dengan malaikat dalam
suatu forum semacam “cerdas-cermat”. Tentu saja para malaikat tidak berkutik dan kalah telak
dalam “pertandingan” tersebut, karena Allah memang tidak mengajarkan hal-hal itu kepadanya.
Dan puncaknya, para malaikat diperintahkan untuk bersujud kepada Adam, bukan sujud ubudiyah,
tetapi sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan kemuliaan Adam sebagaimana dikehendaki
Allah SWT. Mereka semua patuh bersujud kepada Adam kecuali Iblis, yang tetap bertahan dengan
kesombongannya.
Kisah tersebut di atas telah sangat kita kenali karena diabadikan dalam beberapa ayat Al
Qur’an, antara pada Surat Al Baqarah ayat 30-34. Berlalulah waktu, Nabi Adam AS telah turun ke
bumi dan anak keturunannya mulai banyak dan menyebar. Tindakan ‘kriminal’ diawali oleh Qabil
yang membunuh adiknya Habil, yang kemudian terus berkembang dan meluas, bahkan tindakan
merusak lainnya dilakukan oleh anak cucu Adam. Bisa jadi lebih parah daripada yang dilakukan
oleh para jin, ketika diserahi untuk ‘mengelola’ bumi sebelumnya.
Melihat ‘pemandangan’ di bumi seperti itu, dalam suatu ‘forum’ sekali lagi para malaikat itu
melontarkan pertanyaan yang bernada protes kepada Allah seperti sebelumnya, “Ya Rabbi, apakah
Engkau jadikan di bumi itu orang-orang yang merusak dan menumpahkan darah, padahal kami
tetap bertasbih dan bertahmid, selalu men-sucikan dan memuji-muji Engkau?”
Dan sebagaimana pada awal penciptaan Nabi Adam, Allah SWT hanya berfirman,
“Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui!!”
Para malaikat berkata, “Kami lebih taat kepada-Mu daripada anak Adam, Ya Allah!!”
Para malaikat itu lupa, kalau mereka selama ini selalu taat dan beribadah, itu karena Allah
telah melakukan “setting” seperti itu. Mereka selalu taat karena memang Allah menghendaki
mereka “hanya” untuk taat, tidak diberikan pilihan lain. Berbeda dengan jin dan manusia yang
memang diberikan Allah “kemampuan” memilih perbuatan yang diinginkannya, diberikan
sebagian sangat kecil dari sifat-sifat Allah seperti berkehendak, berkuasa, mengetahui dan
beberapa sifat lainnya, dalam rangka mengemban tugas sebagai “khalifah” di bumi. Termasuk juga
dibekali dengan hawa nafsu untuk memelihara kelangsungan hidup manusia, dengan segala
macam konsekwensinya.
Allah SWT yang tentunya sangat memahami “kegalauan” para malaikat tersebut,
berkehendak untuk melanjutkan “kompetisi” yang pernah terjadi antara mereka dengan Adam, Dia
berfirman, “Pilihlah dua malaikat di antara kalian, untuk menjalani ujian sebagaimana anak Adam
menjalani ujian kehidupan di bumi, dan perhatikanlah apa yang akan mereka lakukan!!”
Para malaikat memilih dua di antara mereka yang sangat saleh dan cukup dekat
kedudukannya dengan Allah, mereka berkata, “Inilah dia ya Allah, Harut dan Marut!!”
Allah “membekali” dua malaikat tersebut dengan hawa nafsu sebagaimana anak Adam, dan
diperintahkan untuk turun ke bumi dan bergaul dengan manusia.
Tentu saja pada awalnya mereka berdua tampak sangat alim dan abid, hawa alam malakut
masih cukup kental mewarnai mereka berdua. Beberapa waktu berlalu, Allah SWT
mempertemukan mereka dengan seorang wanita yang sangat cantik bernama Azzahrah. Walau
penampilan dua malaikat tersebut sangat sempurna, tetapi Azzahrah sama sekali tidak tertarik.
Sebaliknya dengan dua malaikat tersebut, tampaknya “bekal” nafsu yang diberikan Allah kepada
keduanya telah mulai bekerja. Dua malaikat yang sangat taat kepada Allah ketika berada di alam
malakut ini, tergila-gila dan merayu Azzahrah untuk menjadi istrinya, tetapi wanita tersebut tidak
bergeming, memang dikehendaki Allah seperti itu. Tetapi dorongan nafsu yang pertama kali
dirasakannya itu, bukan mereda dengan penolakan Azzahrah, justru berkobar-kobar.
Azzahrah memang dijadikan Allah khusus untuk menguji malaikat Harut dan Marut, sekaligus
pembelajaran bagi para malaikat lainnya yang menonton secara “live” kiprah dua malaikat yang
telah dibekali nafsu, sebagaimana manusia tersebut. Ketika keduanya makin memaksa, Azzahrah
berkata, “Baiklah kalau demikian, aku setujui permintaan kalian, tetapi kalian harus memenuhi
syarat-syaratku!!”
“Apakah syaratnya?”
“Kalian harus mengucapkan kalimat-kalimat syirik!!”
“Demi Allah, kami tidak akan menyekutukan Allah selama-lamanya!!” Kata keduanya,
“Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang dengan
membawa seorang anak kecil, dan berkata kepada keduanya, “Bunuhlah anak kecil ini, dan aku
akan menuruti kemauanmu!!”
“Demi Allah, kami tidak akan pernah membunuh manusia selamanya!!” Kata Harut dan Marut,
“Berikanlah kami syarat yang lainnya!!”
“Baiklah kalua begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang dengan
membawa seorang anak kecil, dan berkata kepada keduanya, “Bunuhlah anak kecil ini, dan aku
akan menuruti kemauanmu!!”
“Baiklah kalau begitu!” Kata Azzahrah. Ia beranjak pergi, dan sesaat kemudian ia datang lagi
dengan membawa dua gelas minuman keras (khamr), dan berkata, “Demi Allah, aku tidak akan
pernah menuruti kemauan kalian berdua kecuali jika kalian mau meminum khamr ini!!”
Dua malaikat itu mulai mempertimbangkan pilihan ketiga ini. Mereka tahu bahwa minum khamr
memang dilarang, tetapi dalam pengertian dan logikanya, dosanya tidaklah seberapa jika
dibandingkan dosa membunuh seorang anak dan musyrik. Karena dorongan nafsu yang telah
memuncak, mereka memenuhi permintaan Azzahrah minum khamr yang dibawanya tersebut.
Tidak terlalu lama, reaksinya langsung terlihat. Kalau tadinya mereka bermaksud untuk menikahi
Azzahrah, dengan tumpulnya akal karena pengaruh khamr, dorongan nafsunya yang lebih
mengedepan. Melihat kecantikan Azzahrah yang begitu menggoda, apalagi tidak ada penolakan
karena keduanya memenuhi permintaannya minum khamr, mereka terlibat perzinahan dengan
Azzahrah. Ketika mereka menyadari ada anak kecil yang menyaksikan perbuatannya itu, mereka
berdua membunuhnya. Dan tanpa sadar pula, mereka mengucapkan kalimat-kalimat yang
menunjukkan kesyirikan kepada Allah.
Beberapa waktu kemudian pengaruh khamr itu berangsur menghilang, dan kedua malaikat itu
kembali kepada akal sehatnya. Azzahrah berkata kepada keduanya, “Tahukah kalian, apa yang
telah kalian lakukan waktu kalian mabuk?”
“Apa yang kami lakukan?”
“Demi Allah, semua yang kalian menolaknya itu, kalian telah melakukannya. Kalian telah berzina
denganku, kemudian kalian membunuh anak kecil itu, dan kalian juga mengucapkan kalimat-
kalimat yang mengandung kesyirikan!!”
Setelah mengucapkan itu, Azzahrah berlalu pergi, dan kedua malaikat itu, Harut dan Marut
menangis penuh sesal. Keduanya dipanggil kembali menghadap Allah dan diizinkan memilih
untuk menebus kesalahannya tersebut dengan azab dunia atau azab akhirat. Mereka berdua
memilih untuk diazab waktu di dunia ini. Dan setelah peristiwa tersebut, para malaikat tidak
pernah lagi mempertanyakan atau memprotes “kebijakan” yang diambil Allah, seburuk apapun
yang dilakukan oleh anak Adam.
Tidak ada penjelasan pasti, bagaimana bentuk azab yang dialami oleh mereka berdua. Kalau kita
mempelajari QS Al Baqarah ayat 102, disana disebutkan bahwa dua malaikat yang diturunkan di
daerah Babilon, Irak, bernama Harut dan Marut mengajarkan sihir. Jin kafir (syaitan) dan manusia
yang ingkar mempelajari ilmu sihir tersebut dari mereka berdua, walau sebelum mengajarkannya,
Harut dan Marut selalu berkata atau memberi nasehat, “Sesungguhnya kami ini adalah fitnah
(ujian), karena itu janganlah kalian ingkar!!”
Tampak sekali kontradiksinya, bahwa kedua malaikat itu mengajarkan sesuatu yang sebenarnya
mereka berdua tidak ingin mengajarkannya. Tetapi ketika syaitan dan manusia yang fasiq dan
ingkar memaksa untuk mempelajarinya (berguru), kedua malaikat itu tidak berdaya menolaknya.
Padahal mereka tahu, dengan ilmu yang diajarkannya tersebut (yakni ilmu sihir), manusia dan
syaitan akan melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah, bahkan cenderung kepada kesyirikan.
Termasuk misalnya memisahkan/menceraikan seseorang dari istrinya.
Bisa jadi apa yang dijabarkan oleh QS Al Baqarah 102 itu merupakan “azab” yang
memang harus ditanggung oleh Harut dan Marut. Bisa dibayangkan, bagaimana tersiksanya
perasaan kita jika kita “dipaksa” melakukan sesuatu yang kita tidak ingin melakukannya, atau kita
benci melakukannya. Begitulah dengan dua malaikat tersebut, yang sebelumnya selalu
menjalankan ketaatan, selalu bertasbih, bertahmid dan bertashdiq (meng-qudus-kan) kepada Allah,
tiba-tiba diperintahkan (dipaksa) mengajarkan sesuatu (yakni sihir), yang dengan sesuatu itu
manusia dan jin jadi ingkar dan maksiat kepada Allah, bahkan terjatuh dalam kemusyrikan.
Seolah-olah Allah memaksa “melibatkan” keduanya dalam perbuatan yang dilarang oleh Allah.
Wallahu A’lam.

26
Malaikat Izrail Terhalang Mencabut Nyawa
Suatu ketika Malaikat Izrail, malaikat yang bertugas mencabut nyawa mendatangi seorang
hamba mukmin karena telah tiba saat ajalnya. Hamba mukmin tersebut sangat baik keimanannya,
dan memiliki amalan istiqomah hampir di setiap anggota tubuhnya. Malaikat Izrail bermaksud
mencabut ruhnya tersebut dari mulut seperti biasanya, tiba-tiba dari mulut itu keluar perkataan,
“Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan
oleh hamba ini untuk berdzikir kepada Allah!!”
Walaupun Malaikat Izrail biasanya bersifat pemaksa dan tidak bisa dihalangi ketika
menjalankan tugasnya, tetapi dalam kasus hamba mukmin yang satu ini, sepertinya ia tidak
berkutik dan tidak berdaya. Karena itu ia kembali menghadap Allah melaporkan kegagalannya
menjalankan tugas mencabut nyawa, sambil menjelaskan penyebabnya, yang tentunya Allah lebih
tahu sebelumnya. Allah SWT hanya berfirman, “Cabutlah nyawanya dari arah yang lain!!”
Malaikat Izrail mendatangi lagi hamba mukmin tersebut, dan mencoba mencabut
nyawanya lewat tangannya. Tetapi seperti sebelumnya, dari tangannya tersebut keluar ucapan,
“Wahai Izrail, tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan
oleh hamba ini untuk bersedekah, menyantuni anak yatim, berdakwah dan berjihad di jalan
Allah!!”
Seperti sebelumnya, Izrail tidak berdaya menghadapi hujjah tersebut dan melaporkannya
ke hadirat Allah, dan lagi-lagi Allah hanya berfirman, “Cabutlah nyawanya dari arah yang lain!!”
Beberapa kali Malaikat Izrail mendatangi anggota badan lainnya dari hamba mukmin
tersebut, untuk menjadi jalan mencabut nyawanya tetapi ia mengalami kegagalan. Dan ia pulang-
balik beberapa kali ke hadirat Allah untuk melaporkannya dan hanya mendapat perintah yang
sama.
Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat kakinya, sang kaki berkata, “Wahai Izrail,
tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini
untuk berjalan ke masjid untuk shalat jamaah, mendatangi majelis-majelis ilmu dan pengajaran,
berdebu di jalan Allah (berjihad), dan berbagai macam kebaikan lainnya!!”
Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat telinganya, sang telinga berkata, “Wahai Izrail,
tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini
untuk mendengarkan Al Qur’an dan pengajaran-pengajaran agama (ta’lim), begitu juga ia banyak
berdzikir dengan aku!!’
Ketika mencoba mencabut nyawanya lewat matanya, sang mata berkata, “Wahai Izrail,
tidak ada jalan bagimu untuk mencabut ruhnya dari sini, aku selalu dipergunakan oleh hamba ini
untuk membaca Al Qur’an dan berbagai macam kitab-kitab tentang keislaman. Begitu juga ia telah
banyak melihat tanda-tanda kekuasaan Allah dengan diriku sehingga makin memantapkan
keimanannya!!”
Begitulah, setelah berbagai macam jalan dicoba dan Malaikat Izrail mengalami kegagalan
karena hujjah anggota tubuhnya tersebut dengan amalan istiqomah yang dilakukan sang hamba, ia
melapor kepada Allah, “Wahai Tuhanku, aku telah dikalahkan (dilumpuhkan) dengan hujjah
(alasan-alasan) dari anggota tubuh hamba-Mu yang beriman itu, lalu bagaimana aku harus
mencabut nyawanya?”
Kali ini Allah berfirman, “Tulislah nama-Ku di atas telapak tanganmu dan tunjukkan
tulisan itu kepada hamba-Ku itu!!”
Malaikat Izrail melaksanakan perintah Allah itu dan turun menemui hamba mukmin
tersebut. Ia menunjukkan telapak tangannya yang di sana telah tertulis Asma Allah, di depan
matanya. Segera saja tampak senyum mengembang dan mata berbinar penuh kerinduan, kemudian
ruh hamba mukmin tersebut keluar dengan sendirinya lewat mulutnya, menuju rengkuhan
Malaikat Izrail, yang memperlakukannya dengan penuh kasih sayang. Seolah-olah ruh itu
mendengar panggilan Allah : Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji’ii ilaa rabbiki raadhiyatan
mardhiyyah, fadkhulii fii ‘ibaadii, wadkhulii jannatii…

27
Allah “Menghiasi” Surga dan Neraka

Ketika Allah telah selesai menciptakan surga dan neraka, Allah berfirman kepada Malaikat Jibril,
“Pergilah ke surga, dan lihatlah apa yang telah Aku persiapkan untuk penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan beberapa waktu kemudian ia datang menghadap
kepada Allah dan berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah
mendengar tentang surga tersebut, kecuali ia sangat ingin memasukinya!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) surga
tersebut dengan hal-hal yang tidak disukai, dan berbagai macam perintah peribadatan yang harus
dilakukan untuk bisa memasukinya. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat
Jibril untuk sekali lagi melihat keadaan surga. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi
segala keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak seorangpun yang akan mampu untuk
memasukinya!!”
Setelah itu Allah berfirman lagi kepada Malaikat Jibril, “Pergilah ke neraka, dan lihatlah apa yang
telah Aku persiapkan untuk para penghuninya di sana!!”
Malaikat Jibril memenuhi perintah tersebut, dan ia melihat api neraka itu saling menerkam
sebagian atas sebagian lainnya. Beberapa waktu kemudian ia datang menghadap kepada Allah dan
berkata, “Ya Allah, demi segala keagungan-Mu, tidak seorangpun yang pernah mendengar
tentangnya, kecuali ia sangat ingin lari dari neraka tersebut!!”
Kemudian Allah memerintahkan seorang malaikat lainnya untuk menghiasi (menutupi) neraka
tersebut dengan hal-hal yang disukai oleh nafsu syahwat, dan berbagai macam kesenangan lainnya
yang terlarang secara syara’. Setelah semua itu selesai, Allah memerintahkan Malaikat Jibril untuk
sekali lagi mengunjungi neraka. Ketika kembali ke hadapan Allah, ia berkata, “Demi segala
keagungan-Mu, ya Allah, aku khawatir tidak ada seorangpun yang akan luput dari padanya, dan
mereka akan memasukinya!!”

28
Khalifah Ali Membagi Warisan

Seorang lelaki saleh yang mempunyai tiga orang anak lelaki, dan istrinya telah meninggal,
suatu memanggil anak-anaknya dan berkata, “Wahai anak-anakku, kalau kelak aku meninggal,
hendaknya kalian tetap rukun dan saling membantu seperti saat ini. Harta peninggalanku,
hendaknya engkau bagi sesuai pesanku. Engkau yang tertua, karena telah mapan dan mempunyai
penghasilan yang mencukupi, memperoleh seper-sembilannya, engkau yang nomor dua
memperoleh seper-tiganya, dan engkau terkecil memperoleh seper-duanya. Tetapi ingatlah, kalian
harus tetap rukun dan saling menolong satu sama lainnya. Janganlah bermusuhan hanya karena
berebut harta dunia, sesungguhnya kehidupan di dunia itu hanya sesaat…!!”
Dalam riwayat lain disebutkan, yang tertua, karena kebutuhannya lebih banyak, ia
memperoleh seper-duanya, sedang yang terkecil, karena kebutuhannya masih sedikit, ia
memperoleh seper-sembilannya. Yang nomor dua tetap memperoleh seper-tiganya.

Beberapa waktu kemudian lelaki tersebut meninggal dunia. Karena anak-anaknya juga
saleh sebagaimana didikan ayahnya, setelah pemakaman ayahnya, mereka menyelesaikan segala
tanggungan orang tuanya tersebut. Setelah tidak ada lagi hutang dan tanggungan lainnya, mereka
ingin membagi sisa peninggalan (warisan) yang memang menjadi hak mereka bertiga, seperti
wasiat ayahnya tersebut.
Mereka menghitung dan ternyata masih tersisa tujuhbelas ekor unta untuk mereka bertiga. Tentu
saja mereka kesulitan untuk membaginya sesuai dengan wasiat ayahnya. Mereka mendatangi
beberapa orang pintar dan bijaksana untuk bisa membagi sesuai wasiat ayahnya, tetapi mengalami
jalan buntu. Sampai akhirnya seseorang menyarankan untuk meminta tolong kepada khalifah Ali.
Mereka mengirim utusan kepada Khalifah Ali dan beliau bersedia membantu kesulitan saudaranya
sesama kaum muslim. Didikan Rasulullah SAW sebagai orang yang zuhud dan tawadhu, membuat
Khalifah Ali dengan senang hati mendatangi tempat tinggal mereka dengan menunggangi untanya.
Setibanya di sana, mereka menceritakan permasalahannya, dan Khalifah Ali dengan tersenyum
berkata, “Bawalah unta-unta itu kemari!!”
Setelah unta-unta dikumpulkan di hadapan Khalifah Ali, beliau berkata, “Aku tambahkan untaku
dalam harta warisan ini, sehingga jumlahnya menjadi delapanbelas ekor. Wahai engkau yang
tertua, ambillah bagianmu, seper-sembilannya, berarti dua ekor unta!!”
Anak yang tertua mengambil bagiannya dua ekor unta. Kemudian Khalifah Ali berkata lagi,
“Wahai engkau yang nomor dua, ambillah bagianmu. Sepertiganya, berarti enam ekor unta!!”
Anak kedua mengambil bagiannya enam ekor unta. Dan beliau berkata lagi, “Dan engkau, wahai
yang termuda, ambillah bagianmu seper-duanya, berarti sembilan ekor unta!!”
Anak termuda mengambil bagiannya sebanyak sembilan ekor unta, dan ternyata masih tersisa satu
ekor, dan Khalifah Ali berkata, “Masih tersisa satu ekor, dan ini memang milikku, maka aku
mengambilnya kembali!!’
Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Rasulullah SAW, “Ana madinatul ‘ilmu, wa aliyyun
baabuuha!!” (Sesungguhnya saya ini kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya).

29
Hanya Mengharap Ridho Allah SWT

Abul Qasim Junaid bin Muhammad, seorang ulama sufi yang tinggal di Baghdad, karena itu lebih
dikenal dengan nama Junaid al Baghdadi, suatu ketika mengalami sakit mata yang cukup parah.
Suatu malam seorang dokter mata dipanggil, dan setelah melakukan pemeriksaan dan pengobatan,
sang dokter berkata, “Jika engkau ingin matamu selamat, jangan sampai kena air!!”
Salah satu amalan istiqomah yang tidak pernah ditinggalkan Junaid adalah shalat dua rakaat
sebelum tidur. Baginya, ancaman kerusakan mata bila terkena air, tidaklah seberapa beratnya jika
dibandingkan kehilangan dua rakaatnya tersebut. Begitu dokter itu pergi, ia segera mengambil air
untuk berwudhu dan shalat dua rakaat. Junaid tidak memperdulikan lagi rasa sakit dan resiko yang
terjadi dengan matanya, yang terpenting ia tidak meninggalkan amalan istiqomahnya demi untuk
memperoleh keridhoan Allah. Setelah itu ia tidur.
Menjelang waktu subuh, Junaid bangun dari tidurnya, dan ia keheranan karena rasa sakit di
matanya telah hilang. Bahkan penglihatannya jauh lebih baik dibandingkan sebelum sakit. Dalam
keheranannya itu, tiba-tiba ia mendengar suara tanpa wujud (hatif), “Junaid telah berani
mengorbankan matanya untuk ridho-Ku. Seandainya para ahli neraka jahanam (yakni orang-orang
yang suka bermaksiat kepada Allah) meminta (ampunan) kepada-Ku dengan semangat yang
dimiliki Junaid, pastilah Aku akan memenuhi permintaan mereka!!”
Keesokan harinya, dokter mata itu datang lagi untuk memeriksa keadaan Junaid, dan ia terheran-
heran karena matanya telah sembuh total. Sang dokter berkata, “Apa yang telah engkau lakukan
dengan matamu itu?”
“Aku berwudhu dan shalat dua rakaat!!” Kata Junaid.
Dokter itu terkesima dengan jawaban Junaid, berwudhu berarti terkena air, tetapi ternyata matanya
malah sembuh. Segera saja ia berkata, “Itu adalah obat dari Tuhan Yang Maha Pencipta, bukan
obat dari mahluk. Sesungguhnya akulah yang selama ini sakit mata (hati), dan engkau, wahai
Junaid sebagai dokternya!!”
Kemudian dokter mata yang beragama Nashrani itu mengucap syahadat, menyatakan diri
memeluk Islam di hadapan Junaid.

30
Menyantuni Tetangga dan Anak Yatimnya

Abdullah bin Mubarak, termasuk salah seorang ulama salaf (masa-masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW dan berakhirnya Khulafaur Rasyidin, yang masih mengikuti jalan dan teladan
Rasulullah SAW dan para sahabat beliau), ketika selesai menjalankan ibadah haji, ia sempat
tertidur di Baitullah tidak jauh dari Ka’bah. Tiba-tiba ia melihat suatu pemandangan dimana dua
malaikat turun dari langit menuju area thawaf. Salah seorang dari mereka berkata, “Berapa orang
yang berhaji tahun ini?”
Malaikat satunya berkata, “Enamratus ribu orang!!”
“Berapakah yang diterima hajinya?”
“Tidak seorangpun!!”
“Tidak seorangpun??” Tanya malaikat yang pertama, seakan tidak percaya.
Malaikat kedua berkata lagi, “Tetapi seorang tukang sol sepatu/sandal di Damaskus bernama
Muwafiq yang tidak jadi berhaji, justru diterima hajinya oleh Allah. Dan berkah dari diterimanya
hajinya Muwafiq ini, diterimalah semua ibadah haji pada tahun ini!!”

Abdullah bin Mubarak segera terbangun, dan terheran-heran dengan mimpi yang dialaminya.
Benarkah seperti itu keadaannya? Tidak ada pilihan lain, kecuali membuktikan adanya seorang
tukang sol sepatu/sepatu yang bernama Muwafiq tersebut. Dari Makkatul Mukarramah, Ibnu
Mubarak tidak langsung pulang, tetapi memacu tunggangannya menuju Damaskus di Syam
(Syiria).
Setibanya di sana, ia mencari tahu tentang Muwafiq tersebut, dan ternyata tidak terlalu kesulitan.
Profesinya sebagai tukang sol sepatu/sandal selama puluhan tahun membuatnya ia banyak dikenal
oleh orang-orang di Damaskus. Setelah ditunjukkan rumahnya dan bertemu dengan Muwafiq,
Ibnul Mubarak tidak melihat sesuatu yang istimewa pada dirinya, hanya seorang lelaki sederhana,
bahkan cenderung miskin, tetapi tampak jelas ketulusan dan keikhlasan pada sinar wajahnya.
Setelah dipersilahkan duduk dan memperkenal diri, Ibnul Mubarak berkata, “Kebaikan apakah
yang engkau kerjakan sehingga engkau memperoleh derajad yang tinggi di sisi Allah?”
Muwafiq tampak tidak mengerti dengan pertanyaannya tersebut, dan berkata, “Ada apakah
gerangan? Tiba-tiba engkau menemuiku dan bertanya seperti itu?”
Kemudian Abdullah bin Mubarak menceritakan kalau ia baru saja selesai berhaji dan mengalami
mimpi seperti yang dialaminya tersebut, yang kemudian membawa langkahnya untuk
menemuinya. Mata Muwafiq tampak berkaca-kaca penuh haru, dan ia hanya bisa mengucap
hamdalah sebagai ungkapan rasa syukurnya. Tanpa disadarinya, menitik air matanya karena begitu
bahagianya.
Setelah Muwafiq mulai bisa menguasai emosinya kembali, ia bercerita kalau sejak lama ia sangat
ingin berhaji. Tetapi karena keadaannya miskin, ia harus menabung dan menyisihkan
penghasilannya selama bertahun-tahun. Tahun ini ia telah mengumpulkan tigaratus dirham, cukup
untuk perjalanan hajinya dan bekal kehidupan keluarga yang ditinggalkannya.
Suatu ketika, istrinya yang sedang hamil, mencium bau masakan dari rumah tetangganya.
Layaknya seorang hamil muda yang ngidam, ia sangat ingin merasakan masakan tetangganya
tersebut. Muwafiq telah membujuknya untuk membuatkan atau membelikan masakan yang sama,
tetapi istrinya tetap menolak, kecuali masakan tetangganya itu. Dengan berat hati Muwafiq
mendatangi rumah tetangganya tersebut, yang ternyata adalah seorang janda dan anak-anak
yatimnya. Begitu dibukakan pintu, Muwafiq berkata, “Wahai ibu, istriku sedang hamil, dan ia
membaui masakan engkau dan ingin merasakannya. Bolehkan aku meminta sedikit saja untuk
memenuhi keinginannya?”
Tampak kesedihan di mata wanita itu, bahkan hampir menangis, ia berkata, “Wahai Muwafiq,
makanan itu halal bagiku tetapi haram bagi engkau!!”
“Mengapa demikian?” Tanya Muwafiq terheran-heran.
Kemudian wanita janda itu menceritakan kalau dia dan anak-anak yatimnya sedang kelaparan.
Telah tiga hari lamanya tidak ada makanan apapun yang masuk ke perut mereka kecuali air. Pagi
hari itu ia keluar, dan ketika berjalan berkeliling ia melihat seekor keledai yang telah mati. Ia
memotong sebagian daging bangkai keledai tersebut dan membawanya pulang, kemudian
memasaknya. Bau masakan itulah yang sempat masuk ke rumah Muwafiq, dan membuat istrinya
sangat menginginkannya.
Mendengar ceritanya itu, Muwafiq segera pulang dan mengambil simpanan tigaratus dirham yang
telah dikumpulkannya selama bertahun-tahun, dan memberikannya kepada janda tersebut. Ia
berkata, “Nafkahilah anak-anak yatimmu itu dengan uang ini!!”
Setelah itu ia beranjak pulang, dan ia berkata di dalam hati, “Sesungguhnya haji berada di pintu
rumahku!!”
Abdullah bin Mubarak terkagum-kagum dengan cerita Muwafiq tersebut dan berkata,
“Shadaqahmu kepada tetangga dan anak yatimnya itulah yang membuat hajimu diterima, dan
memberkahi haji kami semua tahun ini, sehingga diterima juga di sisi Allah!!”

31
Harta yang Tidak Dizakati
Suatu ketika Nabi SAW bersabda,”Jika seseorang mempunyai emas dan perak (yang telah sampai
Nisab dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak, emas dan
perak tersebut akan dijadikan lempengan dan dibakar di dalam jahanam, kemudian diseterikakan
pada pinggang, dahi dan punggung pemiliknya. Jika telah dingin, siksaan itu akan diulangi lagi
selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh ribu tahun perhitungan di bumi.
Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia mengetahui kemana akan dimasukkan,
apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki unta?”
Nabi SAW bersabda,”Begitu juga dengan seseorang mempunyai unta (yang telah sampai Nisab
dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak, unta-untanya
tersebut akan dikumpulkan pada suatu tanah lapang tanpa teringgal seekorpun, lalu akan
menggigit dan menginjak-injak pemiliknya. Satu persatu akan menyiksanya hingga selesai, dan
siksaan itu akan diulangi lagi selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh ribu
tahun perhitungan di bumi. Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia mengetahui
kemana akan dimasukkan, apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Salah seorang sahabat lainnya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki lembu (sapi)
dan kambing?”
Nabi SAW bersabda,”Begitu juga dengan seseorang mempunyai lembu dan kambing (yang telah
sampai Nisab dan Haulnya) dan ia tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kiamat kelak,
lembu-lembu dan kambing-kambingnya tersebut akan dikumpulkan pada suatu tanah lapang tanpa
teringgal seekorpun, termasuk yang tanduknya patah, bengkok atau juga tidak bertanduk. Mereka
akan menggigit dan menginjak-injak pemiliknya. Satu persatu akan menyiksanya hingga selesai,
dan siksaan itu akan diulangi lagi selama satu hari, yang lamanya sebanding dengan limapuluh
ribu tahun perhitungan di bumi. Setelah putusan “pengadilan akhirat” selesai, barulah ia
mengetahui kemana akan dimasukkan, apakah akan ke surga atau ke neraka?”
Sahabat lainnya berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki kuda??”
Tampaknya sahabat tersebut bertanya sehubungan dengan zakat, sebagai keterkaitan dari hal yang
dijelaskan oleh Rasulullah SAW sebelumnya, tetapi jawaban beliau sama sekali tidak
menghubungkan kuda dengan masalah zakat. Walaa yanthiquu ‘anil hawaa in huwa illaa wahyun
yuukhaa, tidaklah Nabi SAW mengatakan sesuatu dari hawa nafsunya (termasuk analisa dan
rekaan akal pikiran beliau), tetapi semua itu adalah wahyu yang diturunkan kepada beliau.
Namun demikian, sebagai seorang guru dan pendidik terbaik terhadap umat manusia, Nabi SAW
masih menghubungkan masalah kuda tersebut dengan akibat di akhirat sebagaimana sebelumnya.
Beliau bersabda, “Kuda itu ada tiga macam, kuda yang dapat mendatangkan dosa bagi pemiliknya,
kuda yang dapat menutupi hajat (kebutuhan) pemiliknya, dan kuda yang dapat mendatangkan
pahala bagi pemiliknya…..!!”
Kemudian Nabi SAW menjelaskan, bahwa kuda yang mendatangkan dosa adalah kuda yang
dipelihara dengan maksud untuk sombong dan menjadi kebanggaan semata-mata. Dan juga yang
digunakan untuk memerangi dan memusuhi Islam.
Kuda yang dapat menutupi hajat, adalah kuda yang dipergunakan untuk kepentingan pada jalan-
jalan yang diridhai Allah, dan ia tidak melupakan hak dan kewajiban pemeliharaannya. Termasuk
zakat dari harta/uang yang terkumpul dari hasil “pemanfaatan” kuda-kudanya tersebut, setelah
cukup Nisab dan Haulnya.
Kuda yang dapat mendatangkan pahala adalah kuda yang dipergunakan untuk berjihad di jalan
Allah dan untuk kepentingan umat Islam. Kuda semacam ini, jika ia dilepas pada suatu padang
rumput atau kebun, kemudian ia makan sesuatu yang ada di situ, maka apa yang dimakan itu
menjadi kebaikan (khasanat) bagi pemiliknya. Bahkan kotoran dan air kencingnya juga
mempunyai nilai kebaikan di sisi Allah. Bila kuda itu terlepas dari kekangnya kemudian ia lari
atau meloncat-loncat, maka jumlah langkahnya itu akan dicatat Allah sebagai kebaikan bagi
pemiliknya. Jika kuda dibawa melalui sungai dan ia minum airnya, walaupun pemiliknya tidak
bermaksud untuk memberinya minum, maka Allah akan mencatat air yang diminumnya itu
sebagai kebaikan bagi pemiliknya.
Kuda pada penjelasan ketiga ini bisa dikatakan sebagai kendaraan atau tunggangan yang
dipergunakan di jalan Allah. Karena itu bisa juga “dianalogikan” dengan alat-alat transportasi pada
jaman ini, yang jika digunakan dan diinfaqkan pada jalan Allah dan kepentingan umat Islam,
insyaallah akan membuahkan banyak sekali kebaikan bagi pemiliknya sebagaimana dijelaskan
Rasulullah SAW tersebut.
Ternyata masih ada saja seorang sahabat yang bertanya berkaitan dengan penjelasan beliau itu, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau memiliki keledai?”
Dan jawaban Nabi SAW mencerminkan sifat kejujuran dan ‘keshiddiqan’ sekaligus masih
dihubungkan dengan masalah akhirat seperti sebelumnya, beliau bersabda, “Tentang keledai tidak
diturunkan wahyu kepadaku yang menjelaskannya, kecuali suatu ayat yang bersifat umum, yakni :
Faman ya’mal mistqoola dzarratin khoiron yarah, waman ya’mal mitsqoola dzarratin syarron
yarah (Barang siapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah (atom) pastilah ia akan melihat
balasannya, dan barang siapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrah pastilah ia akan melihat
balasannya pula)…”

32
Kejujuran yang Mengundang Hidayah
Seorang anak remaja bermaksud membajak ladangnya untuk ditanami sesuatu, ia berjalan
mengiringi lembunya yang berjalan di depannya. Saat itu pagi hari tepat tanggal 9 Dzulhijjah, hari
Arafah yang mulia di mana kaum muslimin yang sedang beribadah haji bersiap-siap untuk wuquf
di Padang Arafah. Tanpa diduga-duga, tiba-tiba lembu itu menoleh kepada pemuda yang berjalan
mengikutinya, dan berkata, “Wahai Abdul Qadir, engkau tidak dijadikan untuk ini, dan engkau
tidak diperintahkan untuk mengerjakan ini!!”
Pemuda tersebut memang Syaikh Abdul Qadir al-Jilani, seorang ulama dan tokoh sufi yang
di kemudian hari melahirkan Thariqah al Qadiriyah yang menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Abdul Qadir remaja itu sangat terkejut dan ketakutan mendengar “teguran” dari sang lembu itu, ia
berlari pulang dan bersembunyi di suthuh (loteng) rumahnya. Ia merenungi peristiwa yang baru
saja dialaminya, tetapi lagi-lagi ia melihat peristiwa luar biasa. Dari tempatnya tersebut, ia melihat
pemandangan orang-orang yang sedang bergegas berangkat ke Arafah untuk melakukan wuquf,
padahal tempat tinggalnya tersebut sangat jauh dari Makkah, yakni di Jilan, di tepi sungai Dajlah
di daerah Thabaristan, termasuk wilayah Irak sekarang ini.
Abdul Qadir yang memang cerdas itu langsung bisa menangkap ‘isyarah’ dari apa yang
dialaminya secara beruntun tersebut. Ia mendatangi ibunya, orang tua yang tinggal satu-satunya
yang sangat dipatuhinya itu, dan berkata, “Wahai ibu, serahkanlah aku kepada Allah dan ijinkanlah
aku pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu dan berziarah kepada orang-orang shalih di sana…!!”
Tentu saja ibunya yang bernama Fathimah itu terkejut dengan sikap dan permintaan
anaknya yang begitu tiba-tiba, tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Sang ibu berkata, “Wahai
anakku, kenapa engkau tiba-tiba berkata seperti itu!!”
Abdul Qadir menceritakan peristiwa yang dialaminya pada hari itu, dan ibunya menangis
penuh haru sekaligus pilu mendengarnya, tangisan bahagia dan sedih. Bahagia, karena ia yakin
anaknya tersebut akan memperoleh derajad yang mulia di sisi Allah, sebagaimana “pesan/isyarat”
yang dikandung dari peristiwa yang diceritakannya itu. Sedih, karena ia harus berpisah dengan
putra kesayangannya itu, dan belum tentu akan bertemu di kemudian hari. Tetapi sebagai seorang
ibu yang sholihah, ia merasa bahwa sudah merupakan kehendak Allah anaknya akan menjalani
kehidupan terpisah dengan dirinya, karena itu ia harus merelakan dan meridhoinya.
Fathimah mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepergiannya anaknya tersebut. Ia juga
telah menghubungi kafilah dagang yang akan berangkat ke Baghdad untuk “menitipkan” Abdul
Qadir kepada mereka hingga sampai di sana. Sebelum meninggal, suaminya itu telah mewasiatkan
80 dinar untuk keperluan dua anaknya saat dewasa, karena itu ia mengambil 40 dinar untuk bekal
Abdul Qadir. Ia membuat saku rahasia pada bajunya di bagian bawah ketiaknya, dan meletakkan
uang tersebut dan menjahitnya sehingga tidak mungkin jatuh atau hilang dari baju anaknya.
Pada waktu yang ditentukan kafilah akan berangkat, ibunya berpesan kepada Abdul Qadir
untuk selalu berkata benar dan berlaku jujur dalam keadaan apapun. Ketika ia berangkat dan
mengucapkan selamat tinggal, ibunya berkata, “Berangkatlah wahai anakku, aku telah menitipkan
engkau kepada Allah. Mungkin wajahmu takkan pernah kulihat lagi hingga datangnya hari
kiamat!!”
Di tengah perjalanan, ketika kafilah itu meninggalkan suatu daerah bernama Hamadan,
sekelompok orang berkuda berjumlah enampuluh mengepung kafilah tersebut. Ternyata mereka
adalah para perompak yang akan menjarah kafilah tersebut, tidak ada seorangpun kecuali diambil
dan dikuras hartanya. Tetapi Abdul Qadir dibiarkan begitu saja karena ia tampak miskin dan tidak
membawa apa-apa. Ternyata ada salah seorang perompak yang secara iseng bertanya kepadanya,
“Wahai anak yang miskin, apakah engkau membawa sesuatu?”
Abdul Qadir berkata, “Saya memiliki empatpuluh dinar!!”
“Dimana?” Tanya perompak itu.
“Terjahit di dalam saku di bawah ketiakku!!”
Tampaknya perompak itu menganggap Abdul Qadir bergurau atau hanya mengejek, karena
itu ia tidak mempercayai atau menanggapinya secara serius. Bisa dimaklumi, dinar adalah uang
emas, satu dinar itu hampir empat gram emas dengan kadar 22 karat. Kalau empatpuluh dinar,
berarti hampir seratus enampuluh gram emas. Dengan kurs sekarang, seandainya 22 karat
harganya sekitar Rp 250.000, berarti senilai Rp 40 juta. Dengan penampilan seperti itu, tentu saja
ia tidak percaya Abdul Qadir mempunyai uang sebanyak itu.
Beberapa orang perompak lain yang melihatnya sempat menanyakan hal yang sama, dan
Abdul Qadir tidak pernah merubah jawabannya. Ketika para perompak berkumpul di depan
pimpinannya, mengumpulkan hasil jarahannya, sang pemimpin berkata, “Apakah harta mereka
sudah kalian ambil?”
“Sudah semua, hanya saja ada seorang pemuda yang tampak miskin mengaku memiliki
empatpuluh dinar, tetapi saya tidak mempercayainya!!”
Beberapa perompak lainnya juga menyatakan hal yang sama, maka sang pemimpin
memerintahkan agar ia didatangkan. Abdul Qadir dihadapkan kepada sang pemimpin, yang
langsung berkata, “Kau membawa apa?”
Lagi-lagi ia memberikan jawaban yang sama seperti sebelumnya, maka sang pemimpin
memerintahkan anak buahnya untuk menggeledahnya. Mereka menemukan empatpuluh dinar itu
tepat seperti yang dikatakan Abdul Qadir. Sang pemimpin tampak tercenung tak percaya melihat
anak muda di depannya. Setelah empatpuluh dinar itu ditaruh di depannya oleh anak buahnya, ia
berkata, “Wahai anak muda, mengapa engkau mengakui memilikinya, dan tidak berbohong agar
hartamu tidak kami rampas?”
Abdul Qadir berkata, “Ibuku berwasiat agar aku selalu berkata benar dan berlaku jujur
dalam keadaan apapun, dan aku tidak akan pernah mengingkari janjiku kepada beliau!!”
Pemimpin perompak itu langsung menangis mendengar jawaban Abdul Qadir, dan berkata
sambil terisak-isak, “Engkau tidak pernah sekalipun mengingkari janjimu kepada ibumu, sedang
aku telah bertahun-tahun ‘mengingkari’ Allah, selalu menyalahi dan melanggar larangan Allah!!
Mulai saat ini aku bertaubat kepada Allah!!”
Para anak buahnya yang memang ikut terperangah kagum dengan kejujuran Abdul Qadir
itu, berkata kepada pimpinannya, “Engkau adalah pemimpin kami dalam kejahatan (perompakan),
maka engkau adalah pemimpin kami pula dalam bertaubat!!”
Para perompak yang bertaubat itu mengembalikan hasil jarahannya kepada kafilah
tersebut, dan mengakui Abdul Qadir yang masih muda, bahkan belum mulai menuntut ilmu itu
sebagai gurunya dalam kebaikan karena kejujurannya.

33
Teman Nabi Musa AS di Surga

Suatu ketika, Nabi Musa AS berdoa, “Ya Allah, tunjukanlah salah seorang teman dudukku
di surga!!”
Maka Allah SWT memerintahkan Nabi Musa untuk datang ke pasar di suatu tempat yang
agak jauh, di sana terdapat seorang lelaki penjual daging (tukang jagal) dengan ciri-ciri yang
dijelaskan secara rinci, yang nantinya akan menjadi teman beliau di surga. Nabi Musa segera
menuju pasar itu dan dengan mudah menemukan orang yang dimaksud.
Nabi Musa dengan sabar menunggu orang tersebut menyelesaikan pekerjaannya hingga
menjelang petang, sambil memperhatikan aktivitasnya. Ketika akan pulang, Nabi Musa
menghampiri dirinya, yang tampaknya tidak mengenal beliau sebagai utusan Allah yang syariat
dan ajarannya diikutinya itu. Beliau berkata, “Apakah tuan bersedia menerima saya sebagai tamu?
Saya sedang dalam perjalanan (musafir)!!”
“Baiklah, marilah kita pulang!!”
Nabi Musa mengikutinya berjalan pulang. Sesampainya di rumah, ia memasak daging
yang dibawanya dengan kuah yang sangat lezat dan sebagian disuguhkannya kepada Nabi Musa.
Dari sebuah ruangan, lelaki itu mengeluarkan sebuah tempat (wadah) besar yang di dalamnya ada
seorang wanita tua yang lumpuh, begitu lemahnya sehingga ia tampak seperti anak burung merpati
yang tidak bisa berbuat apa-apa.
Lelaki itu mengambil dan memangku wanita tua itu, lalu menyuapinya dengan telaten hingga
merasa kenyang. Setelah itu ia membersihkan (mengelap dengan air) dan mengganti bajunya
dengan yang bersih dan menempatkannya di tempat (wadah) semula. Selanjutnya ia mencuci baju
kotor wanita tua itu dan menjemurnya. Sebelum ia membawa wadah tersebut ke ruangannya
kembali, tampak bibir wanita tua itu bergerak-gerak, tampaknya ia sedang berdoa, yang Nabi
Musa bisa ‘membaca’ gerak bibirnya, “Ya Allah, jadikanlah anakku ini sebagai teman duduk Nabi
Musa di surga!!”
Setelah lelaki itu duduk kembali menghadapi tamunya, Nabi Musa berkata, “Siapakah wanita tua
itu?”
Lelaki itu berkata, “Dia adalah ibuku yang sangat lemah karena telah lumpuh, hanya bisa
berbaring saja!!”
Nabi Musa berkata, “Bergembiralah engkau, aku adalah Musa, dan telah diwahyukan kepadaku
bahwa engkau adalah temanku di surga, berkat apa yang engkau lakukan dengan baik kepada
ibumu itu!!”
Lelaki itu sangat gembira dan bersyukur kepada Allah mendengar ucapan Nabi Musa itu, dan
makin istiqomah dalam merawat ibunya itu.

34
Akibat Kedzaliman kepada yang Lemah

Seorang lelaki yang tangannya buntung hingga bahunya, berseru dengan keras di pinggir
pantai, “Wahai, siapa yang melihat (keadaan) aku ini, janganlah kalian berlaku dzalim kepada
siapapun juga!!”
Dia mengulang-ulang ucapannya itu kepada orang-orang di sekitarnya. Mungkin hanya sebuah
nasehat sederhana, tetapi karena berseru lantang dan berulang-ulang, hal itu menarik perhatian dari
seorang lelaki Bani Israil yang melihatnya, dan berkata, “Hai hamba Allah, apakah yang terjadi
denganmu?”
Lelaki buntung itu kemudian bercerita, bahwa dahulunya ia adalah seorang petugas polisi, yang
dengan kedudukannya itu terkadang ia bersikap egois dan ‘sok kuasa’. Suatu ketika ia berada di
pinggir pantai itu, dan melihat seorang nelayan (pemancing) yang memperoleh seekor ikan yang
cukup besar. Ia sangat tertarik dengan ikan tangkapannya itu, dan berkata “Serahkan ikan
tangkapanmu itu kepadaku!!”
“Jangan, ikan ini satu-satunya makanan untuk keluargaku“ Kata nelayan itu.
Ia benar-benar tertarik dengan ikan itu, karenanya ia berkata, “Kalau begitu, biarkanlah aku
membelinya!!”
Tetapi sang nelayan tetap saja menolaknya. Ia menjadi marah dan memukul sang nelayan dengan
pecutnya dan mengambil ikan tersebut dengan paksa dan membawanya pergi. Ketika sampai di
rumahnya, ikan itu tiba-tiba seperti hidup dan menggigit ibu jarinya. Tampaknya hanya seperti
gigitan biasa, tetapi susah sekali dilepaskan. Setelah dengan susah payah berusaha, gigitan itu bisa
dilepaskan, tetapi ibu jarinya telah bengkak membesar, dan rasa sakit yang tidak terperikan.
Sang polisi datang ke seorang dokter untuk mengobati luka kecil akibat gigitan ikan di ibu jarinya
itu. Sang dokter memeriksa luka tersebut dan ia tampak keheranan dengan luka sederhana itu, dan
ia berkata, “Ibu jarimu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa membahayakan
jiwamu!!”
Karena rasa sakit yang tak tertahankan dan dokter telah membuat keputusan seperti itu, ia
merelakan ibu jarinya diamputasi. Seketika itu ia merasa baikan dan rasa sakitnya hilang. Tetapi
satu dua hari kemudian rasa sakit seperti sebelumnya menjalari telapak tangannya, dan ia pergi ke
dokter untuk memeriksakannya. Setelah memeriksa tangannya itu, lagi-lagi sang dokter keheranan
dan akhirnya memutuskan, “Telapak tanganmu harus diamputasi (dipotong), kalau tidak akan bisa
membahayakan jiwamu!!”
Tidak ada pilihan lain kecuali menurutinya, dan telapak tangannya diamputasi. Hanya sembuh satu
dua hari, rasa sakit menjalar ke lengannya di bawah siku. Dan ketika dibawa ke dokter, sang
dokter memutuskan untuk mengamputasi sampai batas sikunya untuk menyelamatkan jiwanya.
Dua tiga hari kemudian rasa sakit itu menjalar lagi, dan dokter memutuskan untuk mengamputasi
hingga batas bahunya.
Ada seseorang yang memperhatikan keadaannya sejak awal ia datang ke dokter, dan ia
menanyakan sebab penyakitnya itu. Sang polisi berkata, “Sebenarnya ini bermula dari luka kecil
gigitan ikan….!!”
Kemudian ia menceritakan secara lengkap peristiwanya yang dialaminya. Tampaknya orang yang
bertanya tersebut sangat bijaksana dan memahami ‘rahasia’ kekuasaan Allah, maka ia berkata
kepada sang polisi, “Jika saja sejak awal engkau datang kepada nelayan (pemancing ikan) itu
untuk meminta maaf dan meminta halalnya, engkau tidak akan kehilangan tanganmu. Maka
sebaiknya engkau sekarang mencari dan menemui nelayan tersebut untuk meminta maaf dan
meminta halalnya, sebelum penyakitmu itu akan menjalar ke seluruh tubuhmu!!”
Sang polisi terbuka mata hatinya dan ia baru menyadari kekeliruannya yang tampaknya sepele
saja. Ia segera memenuhi nasehat orang yang tidak dikenalnya itu. Begitu bertemu di tepi pantai
yang sama, ia segera berlutut dan mencium kaki nelayan itu, sambil menangis ia berkata, “Wahai
tuan, aku meminta maaf kepadamu!!”
Sang nelayan yang tidak mengenali lagi sang polisi itu dengan heran berkata, “Siapakah engkau
ini?”
“Aku adalah polisi yang dulu pernah merampas ikanmu!!”
Kemudian ia menceritakan peristiwa dan penderitaannya, hingga bertemu seseorang tak dikenal
yang menasehatinya untuk meminta maaf kepadanya. Sang polisi menunjukkan keadaan
tangannya yang buntung hingga bahunya. Nelayan itu menangis melihat penderitaan orang yang
pernah mendzaliminya itu, dan berkata, “Sungguh aku tidak menyangka akan seperti ini
keadaannya, aku halalkan dan aku maaafkan semua kesalahanmu kepadaku!!”
Polisi itu memeluk sang nelayan sambil menangis bercampur gembira. Setelah suasana emosional
itu mereda, sang polisi berkata, “Apakah engkau berdoa kepada Allah setelah aku merampas
ikanmu itu?”
Sang nelayan berkata, “Benar, aku berdoa : Ya Allah, orang itu telah menganiaya (mendzalimi)
aku dengan kekuatannya atas kelemahanku. Karena itu balaslah dia, perlihatkanlah kepadaku
Kekuasaan/Qudrah-Mu kepada orang itu!!”
Polisi itu ‘mengangkat’ sisa lengannya yang buntung dan berkata, “Inilah dia, Allah telah
memperlihatkan kepadamu Qudrah-Nya atas diriku. Dan kini aku bertaubat kepada Allah dari
semua yang telah aku lakukan dahulu!!”
Setelah menceritakan semuanya itu, sang mantan polisi itu berkata kepada orang Bani Israil yang
menghampirinya, “Sesekali aku datang ke sini untuk mengenang peristiwa tersebut, sekaligus
menasehati orang-orang agar tidak mengalami hal yang sama seperti aku. Tetapi sungguh aku
bersyukur Allah memperingatkan aku di dunia, dan mengambil kaffarat dosa-dosaku dengan
sebelah tanganku saat ini. Jika tidak, mungkin aku hanya akan menjadi bahan bakar api neraka di
akhirat kelak!!”

35
Karena Meringan-ringankan Shalat

Ada seorang saleh yang menguburkan jenazah saudara perempuannya. Setelah pulang kembali, ia
menyadari kalau dompet uangnya telah hilang. Mungkin jatuh ketika ia memakamkan saudaranya
itu. Karena itu ia segera kembali ke pemakaman dan menggali kembali. Tetapi belum sempat ia
menemukan dompetnya kembali, ia melihat nyala api di kubur saudaranya tersebut. Ia ketakutan
dan segera menutupnya kembali. Ia menangis melihat keadaan kubur saudaranya itu.
Saudaranya itu memang tidak tinggal bersamanya, tetapi bersama ibunya. Segera ia menuju rumah
ibunya, dan masih dengan menangis ia berkata, “Wahai ibu, beritahukan kepadaku, bagaimana
amalan saudaraku itu?”
Sang ibu berkata, “Ada apa gerangan sehingga engkau bertanya seperti itu?”
“Wahai ibu, aku melihat kuburnya menyala api!!” Kata sang anak, kemudian ia menceritakan
secara lengkap pengalamannya.
Sang ibu ikut menangis mendengar cerita tersebut, dan berkata, “Saudaramu itu biasa meringan-
ringankan (menggampangkan) sembahyang dan mengakhirkannya, hingga waktunya hampir
habis!!”
Sebagian ulama menyatakan bahwa tidak mengapa shalat menjelang akhir waktu, asal belum
masuk kepada waktu shalat selanjutnya, dan tidak ada maksud untuk menyepelekan shalat
tersebut, benar-benar karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Hanya saja ia akan
kehilangan keutamaan shalat pada awal waktunya. Nabi SAW bersabda, “Amal perbuatan yang
paling disukai Allah adalah shalat pada awal waktunya.” Beliau juga bersabda, “Kelebihan (shalat)
pada awal waktunya dibanding pada akhir waktunya adalah seperti keutamaan akhirat atas dunia.”
Pada riwayat lainnya, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa shalat pada awal waktunya, maka
naiklah shalatnya itu ke langit dengan diliputi cahaya hingga sampai di Arsy, lalu ia (shalat itu)
membacakan istighfar untuk orang yang melakukan shalat itu hingga hari kiamat, sambil berkata :
Semoga Allah memeliharamu, sebagaimana engkau memelihara aku. Jika seseorang itu shalat
tidak pada waktunya (ghairi waqtiha, menunda-nunda hingga masuk pada waktu shalat
selanjutnya), maka shalat itu akan naik ke langit diliputi kegelapan. Dan bila sampai ke langit, ia
dilipat bagaikan baju yang rusak, lalu dilemparkan ke wajah orang yang melakukannya itu…!”
Dalam hadits yang lain, Nabi SAW bersabda. “Barang siapa yang menghimpun antara dua waktu
shalat tanpa udzur atau karena meringan-ringankan (menggampangkan, menyepelekan), maka ia
telah memasuki pintu dosa besar.”

36
Yang Terdahulu Masuk Surga

Pada saat kiamat nanti, empat golongan yang dipastikan masuk surga tanpa hisab, dihadirkan di
pintu surga. Mereka itu adalah orang alim (ulama) yang mengamalkan ilmunya. Orang yang
beribadah haji yang tidak melakukan perbuatan merusak di dalam dan setelah hajinya, yakni
hajinya mabrur. Orang yang mati syahid, terbunuh di jalan Allah, ikhlas semata-mata mengharap
ridho Allah. Dan yang terakhir adalah orang dermawan, yang mencari harta dengan jalan halal dan
menginfaqkannya di Allah tanpa riya’.
Masing-masing golongan tersebut berebut untuk masuk surga terlebih dahulu, masing-masing dari
mereka beranggapan bahwa mereka lebih utama dari kelompok lainnya. Karena tidak ada yang
mengalah, maka Allah mengutus malaikat Jibril untuk memberi keputusan di antara mereka. Jibril
menemui kelompok orang yang mati syahid dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan sehingga
kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami telah mati syahid, terbunuh di jalan Allah, semata-mata untuk memperoleh
keridhoan Allah!!”
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala mati syahid, sehingga merasa
berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Jibril berkata, “Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”
Kemudian Jibril menemui kelompok orang yang berhaji mabrur, dan berkata, “Apa yang kalian
kerjakan sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami melaksanakan ibadah haji dan selalu menjaga diri dari segala sesuatu yang
merusak haji kami, yakni kami berhaji mabrur!!”
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala haji mabrur, sehingga merasa
berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Jibril berkata, “Jagalah sopan santun, janganlah kalian mendahului guru kalian!!”
Malaikat Jibril menemui kelompok kaum dermawan, dan berkata, “Apa yang kalian kerjakan
sehingga kalian beranggapan bahwa kalian berhak memasuki surga terlebih dahulu!!”
Mereka berkata, “Kami selalu mencari harta dengan jalan yang halal, dan menginfaqkan di jalan
Allah, ikhlas semata-mata mencari keridhoan Allah, tanpa disertai riya’!!”
Jibril berkata, “Dari siapakah kalian mendengar besarnya pahala dari apa yang kalian kerjakan itu,
sehingga merasa berhak masuk surga terlebih dahulu?”
Mereka berkata, “Dari para ulama!!”
Maka malaikat Jibril berkata, “Jelaslah sudah, kalian para ulama, silahkan masuk surga terlebih
dahulu!!”
Tetapi kaum ulama itu berkata, “Ya Allah, kami tidak bisa menghasilkan dan mengamalkan ilmu,
kecuali karena kelapangan hati dan kebaikan para dermawan!!”
Maka Allah berfirman, “Benar perkataan kalian wahai orang alim. Wahai malaikat Ridwan,
bukalah pintu surga untuk kaum dermawan, dan yang lainnya menyusul!!”

37
Tamak kepada Harta Dunia

Nabi Isa AS terkenal sebagai seorang nabi yang sangat zuhud. Suatu ketika ada seorang lelaki
Bani Israil mendatangi beliau yang sedang sendirian dan berkata, “Wahai Isa, saya ingin
bersahabat dan selalu bersamamu!!”
Nabi Isa berkata, “Baiklah, marilah berjalan mengikutiku!!”
Beberapa waktu lamanya berjalan menyusuri sungai, lelaki yang mengikuti beliau itu tampaknya
merasa lapar. Nabi Isa mengajaknya beristirahat, dan beliau ‘mengeluarkan’ tiga potong roti dari
balik baju beliau yang kumuh. Entah, kapan beliau membelinya atau sejak kapan beliau
menyimpannya di balik baju tersebut? Padahal dengan kezuhudannya, beliau tidak pernah
membawa atau menyimpan makanan atau harta apapun ke manapun beliau pergi.
Nabi Isa menaruh tiga potong roti itu di depan mereka berdua, beliau makan satu potong dan lelaki
itu ikut makan satu potong juga. Tersisa satu potong yang dibiarkan begitu saja. Nabi Isa turun ke
sungai untuk minum air, dan ketika kembali kepada lelaki teman seperjalanannya itu, sepotong roti
yang tersisa itu telah hilang atau habis. Nabi Isa bertanya, “Siapakah yang mengambil sepotong
roti itu?”
“Saya tidak tahu!!” Katanya.
Nabi Isa memandangnya sesaat dengan tajam, kemudian mengajaknya pergi melanjutkan
perjalanan. Beberapa waktu lamanya perjalanan, mereka tiba di pinggiran suatu hutan. Beliau
melihat seekor rusa dengan dua ekor anaknya, dan beliau memanggil salah satu anaknya. Setelah
mendekat, beliau menyembelih dan membakarnya, dan memakan dagingnya berdua dengan
temannya itu hingga habis. Setelah itu itu Nabi Isa memanggil anak rusa tersebut, dan dengan ijin
Allah, tulang-belulangnya dengan tiba-tiba telah kembali menjadi anak rusa yang utuh dan berlari
kembali ke induknya. Lelaki itu hanya bisa memandang dengan perasaan takjub.
Nabi Isa berkata kepada temannya itu, “Demi Allah yang telah menunjukkan padamu bukti
kekuasaan-Nya ini, siapakah yang mengambil sepotong roti yang ke tiga itu?”
“Saya tidak tahu!!” Kata lelaki itu, masih bertahan dengan jawabannya semula.
Lagi-lagi Nabi Isa hanya memandangnya sesaat dengan tajam, kemudian mengajaknya
melanjutkan perjalanan. Tidak lama kemudian, mereka terhalang oleh sungai yang cukup lebar,
tidak ada tukang perahu atau rakit yang bisa dimintai tolong. Maka Nabi Isa memegang tangan
lelaki itu, dan menuntunnya berjalan di atas permukaan air dengan tenangnya. Ketika telah sampai
di seberang, beliau berkata lagi, “Demi Allah yang telah menunjukkan padamu bukti kekuasaan-
Nya ini, siapakah yang mengambil sepotong roti yang ke tiga itu?”
“Saya tidak tahu!!” Kata lelaki itu, masih saja bertahan dengan jawabannya.
Seperti sebelumnya, Nabi Isa hanya memandangnya sesaat dan mengajaknya meneruskan
perjalanan. Tiba di tengah hutan, mereka beristirahat, Nabi Isa mengambil segenggam tanah
dicampur dengan kerikil, dan mengepalnya menjadi tiga bagian sama besar. Setelah itu beliau
bersabda, “Dengan ijin Allah, jadilah kalian emas!!”
Tiga gumpalan tanah itu menjadi emas, lelaki itu tampak berbinar-binar matanya. Nabi Isa berkata
sambil lalu, “Satu emas untukku, satu emas untukmu, dan satunya lagi untuk orang yang
mengambil sepotong roti yang ke tiga itu!!”
Segera saja lelaki itu berkata, “Wahai Nabi Isa, akulah orang yang memakan roti yang ketiga itu!!”
Nabi Isa bangkit berdiri, dan berkata, “Ini, ambillah semua emas ini, aku tidak memerlukannya,
tetapi jangan pernah mengikuti aku lagi!!”
Nabi Isa pergi meninggalkannya, tetapi tampaknya ia tidak perduli lagi. Bahkan sampai beliau
hilang dari pandangan, dengan tamaknya, ia masih asyik membolak-balik emas yang penuh ajaib
tersebut. Tetapi tiba-tiba datang dua orang yang bermaksud merampas hartanya, untungnya ia
mempunyai kemampuan bernegosiasi. Dengan bujuk rayu, ia berhasil menggagalkan maksud ke
duanya dan menjanjikan untuk membagi tiga harta yang dimilikinya sama rata, mereka berdua
menyetujuinya.
Kini mereka bertiga berjalan bersama layaknya seorang sahabat akrab. Ketika merasa lapar, ia
memberi uang kepada salah satu dari orang tersebut untuk membeli makanan di warung yang
tempatnya agak jauh. Setelah temannya berlalu pergi, keduanya berbincang-bincang. Ia berkata,
“Untuk apa kita mesti membagi tiga harta ini. Sebaiknya kita bagi untuk kita berdua saja. Jika
temanmu itu datang, kita bunuh saja, gimana?”
“Ide yang brillian!! Biar aku yang melakukannya jika nanti ia muncul” Kata lelaki satunya, yang
tampaknya tidak kalah tamaknya dengan teman barunya itu.
Tetapi sepertinya ketamakan itu juga tengah meliputi lelaki yang sedang disuruh membeli
makanan itu. Terbersit dalam pikirannya, “Untuk apa susah-susah membagi hartanya itu, semua itu
adalah milikku. Biarlah makanannya nanti kucampuri dengan racun!!”
Setelah ia makan sepuas-puasnya di warung, dan meminta dua porsi makanan lainnya dibungkus,
ia pergi membeli racun dan mencampurkannya dengan makanan dua temannya itu.
Begitulah, ketika ia kembali, temannya langsung memukulinya dengan kayu yang cukup besar
sehingga ia tewas seketika. Mereka berdua sangat gembira, mudah sekali memujudkan rencananya
itu. Karena perut keroncongan, mereka memutuskan untuk makan terlebih dahulu sebelum
membagi hartanya. Tetapi belum sampai setengah porsi mereka habiskan, leher mereka itu serasa
tercekik dan mereka jatuh terguling, mati dengan mulut berbusa dan wajah membiru karena racun
yang sangat kuat.
Tidak berlalu lama, Nabi Isa bersama beberapa orang sahabat beliau melewati tempat tersebut dan
mendapati tiga mayat dengan harta berserakan di sekitarnya. Beliau mengenali satunya sebagai
orang yang pernah mengikuti beliau itu. Beliau berpesan kepada sahabat-sahabatnya, “Inilah
contohnya (tamak kepada) dunia, hendaklah kalian berhati-hati dengan harta dunia ini!!”

Note : iu6/287

38
Murid yang Tidak Berterima Kasih

Seorang yang sangat ahli tanding gulat, ia mempunyai tigaratus enampuluh lebih cara
‘kuncian’ untuk mengalahkan lawan-lawan tandingnya. Ia menjadi juara tak terkalahkan selama
beberapa tahun lamanya. Ia mengajarkan kemampuannya kepada orang-orang yang memang mau
belajar kepadanya, ia tidak pelit dengan ilmunya itu. Salah seorang muridnya mempunyai bakat
yang sangat baik, dalam waktu sekejab saja sang murid telah menguasai berbagai keahliannya.
Dalam even-even pertandingan gulat yang dilakukan oleh kerajaan, sang guru ini tidak lagi
mengikutinya dan mengirimkan muridnya yang sangat berbakat itu. Tidak membutuhkan waktu
lama, sang murid telah menjadi sangat terkenal dan menjadi juara menggantikan kedudukan
gurunya. Selama bertahun-tahun berikutnya, ia menjadi juara tak terkalahkan seperti halnya
gurunya sebelumnya.
Sang murid tersebut memang seorang pemuda yang berbadan kekar dan tenaganya kuat sekali.
Dengan didikan yang baik dan teknik-teknik yang diajarkan gurunya tersebut, makin lengkap saja
kemampuannya. Sayangnya, ketika berada di puncak kepopuleran dan karirnya, sang murid ini
menjadi sombong. Seperti kata pepatah : kacang yang lupa pada kulitnya, orang yang lupa pada
asal-usulnya.
Ia memang tidak tinggal lagi belajar pada gurunya itu, tetapi orang-orang yang memujinya masih
tidak pernah melupakan peran gurunya tersebut dalam mendidiknya, dan hal itu membuat ia tidak
terima. Ia mengatakan bahwa berbagai kemampuan dan teknik itu memang telah dimilikinya
sendiri sebelumnya. Bahkan dalam puncak kekurangan-ajarannya, ia berkata kepada sang Raja,
“Wahai Raja, keunggulan guru dibandingkan dengan saya hanyalah karena umurnya dan haknya
sebagai pelatih, yang telah mengajari saya. Dalam hal teknik dan seni saya telah menyamainya,
bahkan saya melampauinya dalam hal kekuatan!!”
Sang guru hanya tersenyum ketika mendengar berita tentang perkataan muridnya tersebut. Ia tidak
berkomentar, bahkan cenderung mengabaikan berita itu begitu saja. Ia memang seorang yang
bijaksana, dan sejak muridnya itu belajar, ia telah memperkirakan hal seperti ini akan terjadi.
Tampak dari watak dasar dari muridnya tersebut. Karena itu, sejak awal ia telah meninggalkan
satu dua kuncian yang tidak diajarkan kepada muridnya tersebut.
Karena kesombongan anak muda itu makin menjadi-jadi, bahkan ia meremehkan gurunya itu,
maka sang Raja memerintahkan untuk diadakan pertandingan antara keduanya. Didirikanlah
panggung yang megah dan mengundang semua pembesar kerajaan, untuk menggelar pertandingan
gulat tersebut.
Sang murid yang perkasa memasuki gelanggang laksana gajah yang buas, ia mendengus layaknya
ingin merobohkan sebuah gunung dengan kekuatannya itu. Sementara sang guru, walau tampak
tua dan lemah dibandingkan dengan muridnya tersebut, ia berdiri dengan tenang di tengah arena.
Begitu dimulai, sang murid menyerang dengan garangnya, tetapi dengan sedikit gerakan sang guru
bisa mengelakannya. Pada serangan ke dua, tampaknya sang murid mengerahkan segala kekuatan
dan kemampuan tekniknya, kali ini sang guru, yang dengan mudah mengenali teknik serangan
muridnya, bahkan mengenali kelemahannya, menghadang serangan tersebut. Dengan mudah ia
mematahkan serangannya itu, dan kemudian melakukan kuncian yang selama ini tidak pernah
diajarkannya kepada siapapun. Sang murid mengerahkan segala kekuatan untuk melepaskan diri,
tetapi gagal juga. Makin kuat ia berontak, makin sakit saja rasanya kuncian yang dilakukan
gurunya. Sampai suatu ketika, sang guru mengangkat tubuhnya dan membanting ke tanah dengan
kerasnya sehingga seluruh kekuatannya seperti dilolosi dari sendi-sendinya. Ia berusaha bangkit,
tetapi ternyata jatuh lagi, tidak kuat menyangga tubuhnya sendiri.
Penonton bersorak dengan gemuruh tanda gembira. Bagaimanapun mereka juga tidak senang
dengan sikap sombong anak muda itu, bahkan hingga meremehkan sang guru. Raja bangkit dari
tempat duduknya, menghampiri sang guru yang masih berdiri dengan tegapnya, walau dengan
sikap merendah. Ia melepas jubah kehormatannya dan memakaikannya kepada sang guru, sambil
berkata kepada anak muda yang tampak lemah tak berdaya, “Engkau menantang gurumu,
menuntut diri lebih baik, tetapi engkau tidak bisa membuktikan ucapanmu!!”
Anak muda itu berkata, “Wahai raja yang berkuasa, itu bukan karena kekuatannya yang bisa
melumpuhkan saya. Tetapi karena suatu ilmu rahasia yang saya belum pernah diajarkannya,
dengan rahasia itulah ia mengalahkan saya!!”
Mendengar pengaduannya itu, sang guru berkata, “Dengan peringatan akan datangnya saat seperti
ini, maka seorang bijaksana pernah berkata : Jangan berikan semua (rahasia) kekuatanmu kepada
sahabatmu, karena jika ia berbalik menjadi musuhmu, maka kamu akan dikalahkan. Apakah
engkau tidak pernah mendengar cerita itu, yakni seseorang yang dilukai sendiri oleh muridnya??”

39
Ketika Ruh Berpisah dengan Jasad

Suatu ketika Nabi SAW mendatangi rumah istri kesayangan beliau, al Khumaira, Aisyah
RA. Melihat kedatangan beliau, Aisyah yang sedang duduk bersila ingin bangkit menyambut,
tetapi Rasulullah SAW bersabda, “Duduklah saja pada tempatmu, wahai Ummul Mukminin, tidak
perlu engkau berdiri!!”
Nabi SAW menghampiri Aisyah dan kemudian berbaring terlentang dengan berbantalkan
pangkuannya, tampak sekali kemanjaan dan kasih sayang beliau kepadanya. Sepertinya pada hari
itu Rasulullah SAW sangat lelah sehingga tidak lama berselang beliau telah tertidur. Aisyah
memandangi wajah beliau dengan kasih sayang dan kekaguman. Tanpa disadari jari jemarinya
mengurai jenggot Rasulullah SAW, dan Aisyah menemukan sembilanbelas rambut jenggot yang
telah memutih (beruban). Tiba-tiba saja tersirat dalam hatinya, “Sesungguhnya beliau akan keluat
dari dunia (meninggal) sebelum aku, dan tinggallah umat Islam dalam keadaan tanpa nabi!!”
Merasakan kenyataan seperti itu, Aisyah jadi bersedih dan menangis, air matanya mengalir
ke pipi dan menetes jatuh mengenai wajah Rasulullah SAW sehingga beliau terbangun. Dengan
heran beliau bersabda, “Apa yang membuatmu menangis, wahai Ummul Mukminin!!”
Aisyah menceritakan perasaan sedih yang menghantui dirinya, dan Nabi SAW hanya
tersenyum mendengarnya. Beliau bersabda, “Wahai Aisyah, keadaan apakah yang sangat
menyusahkan bagi seseorang (yakni bagi ruhnya) ketika ia menjadi mayat?”
Aisyah berkata, “Katakanlah padaku, ya Rasulullah!!”
Beliau berkata, “Engkau saja yang mengatakannya dahulu!!”
Aisyah sejenak berfikir, kemudian ia berkata, “Tidak ada yang menyusahkan atas diri
mayit kecuali ketika ia diusung ke luar rumah menuju kuburnya, anak-anak yang ditinggalkannya
akan berduka dan berkata : Wahai ayah, wahai ibu!! Begitu juga orang tuanya akan berkata :
Wahai anakku, wahai anakku!!”
Nabi SAW bersabda, “Hal itu memang terasa akan pedih, tetapi ada yang lebih pedih
daripada itu!!”
Aisyah berkata lagi, “Tidak ada yang lebih berat bagi mayit kecuali ketika ia dimasukkan
ke dalam liang lahad dan ia diurug di bawah tanah, anak dan orang tuanya, kerabat dan kekasihnya
akan meninggalkannya pulang. Mereka membiarkannya sendirian beserta amal perbuatannya,
menyerahkan urusannya kepada Allah. Kemudian setelah itu datanglah malaikat Munkar dan
Nakir ke dalam kuburnya!!”
Beliau bersabda lagi, “Apa lagi yang lebih berat dari apa yang engkau katakan itu?”
Akhirnya Aisyah menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui!!”
Maka Nabi SAW bersabda, “Hai Aisyah, sesungguhnya saat yang paling berat (paling
menyedihkan) bagi mayat adalah ketika tukang memandikan masuk ke dalam rumahnya untuk
memandikan mayatnya….”
Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa ketika tukang memandikan itu melepas
cincin (atau perhiasan lainnya) dari tubuhnya, melepas pakaian pengantin (atau pakaian lainnya)
dari badannya, melepaskan sorban para syaikh dan fuqoha dari kepalanya, ketika itulah sang ruh
berseru saat melihat tubuhnya yang telanjang, seruan yang bisa didengarkan oleh seluruh mahluk
kecuali jin dan manusia, “Wahai tukang memandikan, demi Allah aku memohon kepadamu, agar
engkau melepaskan pakaianku (dan lain-lainnya) dengan pelan-pelan, karena sesungguhnya saat
ini aku tengah beristirahat dari sakitnya dikeluarkannya nyawaku oleh malaikat maut!!”
Ketika tukang memandikan menuangkan air ke mayatnya, sang ruh berteriak keras dengan
teriakan yang didengar oleh semua mahluk, kecuali jin dan manusia, “Hai tukang memandikan,
demi Allah, janganlah engkau menuangkan air yang panas, jangan pula engkau tuangkan air yang
terlalu dingin, sesungguhnya jasadku telah terbakar saat dicabutnya nyawaku!!”
Ketika tukang memandikan mulai menggosok tubuhnya, lagi-lagi sang ruh berteriak,
“Wahai tukang memandikan, demi Allah, janganlah memegang tubuhku terlalu keras, sungguh
jasadku telah terluka sebab keluarnya nyawaku!!”
Ketika selesai memandikan dan jasadnya diletakkan pada kain kafan, dan mulai diikat di
bawah kakinya, sang ruh berseru lagi, “Demi Allah wahai tukang memandikan, janganlah engkau
ikat terlalu erat pada kepalaku, agar masih terlihat wajah-wajah keluargaku, anak-anakku, dan
kerabat-kerabatku lainnya. Karena saat ini terakhir kali aku bisa melihat mereka, aku tidak akan
melihatnya lagi hingga hari kiamat tiba!!”
Ketika dikeluarkan dari rumahnya dan diletakkan di dalam keranda, sang ruh berseru lagi,
“Demi Allah, wahai para pengantarku, janganlah tergesa-gesa membawaku pergi sehingga aku
berpamitan kepada rumahku, keluargaku, kerabatku, dan harta-hartaku. Aku tinggalkan istriku
menjadi janda, anak-anakku menjadi yatim, karena itu janganlah kalian menyakiti mereka.
Biarkanlah aku sesaat untuk mendengarkan suara keluargaku, anak-anakku, dan kerabat-
kerabatku, karena aku akan berpisah hingga saat kiamat tiba….!”
Ketika kerandanya dipikul dan keluar tiga langkah dari rumahnya, lagi-lagi sang ruh
berseru, “Hai para kekasihku, saudara-saudaraku dan anak-anakku, janganlah kalian terbujuk oleh
dunia sebagaimana dunia telah memperdaya aku!! Janganlah kalian dipermainkan oleh jaman
sebagaimana ia telah mempermainkan aku!! Ambillah ibarat (hikmah) dariku!! Sesungguhnya aku
meninggalkan untuk ahli warisku apa yang aku kumpulkan, dan aku tidak membawa (manfaat)
apapun dari dunia (harta) yang kutinggalkan, bahkan Allah akan menghisabku. Engkau bersenang-
senang dengannya (harta peninggalanku itu) dan kalian tidak mendoakan aku!!”
Sungguh nasehat yang sangat berharga. Sayangnya, semua seruan dan teriakan ruh tersebut
yang bisa didengar oleh seluruh mahluk, ternyata jin dan manusia tidak bisa mendengarnya.
Padahal justru dua jenis mahluk itu yang sebenarnya bisa memperoleh banyak manfaat dan
pengajaran jika saja bisa mendengar dan memahami seruan sang ruh.
Ketika jenazahnya dishalatkan dan sebagian orang lainnya meninggalkan masjid atau musholla,
sang ruh berseru lagi, “Demi Allah, wahai saudara-saudaraku, aku tahu bahwa orang mati akan
dilupakan oleh orang-orang yang masih hidup, akan tetapi janganlah kalian cepat-cepat pulang
sebelum kalian melihat tempat tinggalku. Sesungguhnya aku tahu bahwa wajah mayat itu lebih
dingin daripada air yang sangat dingin bagi orang-orang yang masih hidup, tetapi janganlah kalian
terlalu cepat pulang meninggalkan aku sendirian!!”
Ketika jenazahnya diletakkan di sisi kuburnya, dan kemudian diturunkan ke liang lahad,
sang ruh berseru untuk terakhir kalinya, “Demi Allah, wahai saudara-saudaraku dan para
pengantarku, sesungguhnya aku mendoakan kalian semua tetapi mengapa kalian tidak mau
mendoakan aku? Wahai ahli warisku, tidaklah aku kumpulkan harta dunia kecuali aku tinggalkan
untuk kalian, maka ingatlah kalian kepadaku dan berbuatlah kebaikan. Setelah aku mengajarkan
kalian membaca al Qur’an dan tata krama (adab), hendaklah kalian jangan lupa mendoakan aku!!”

40
Perompak yang Bertaubat

Fudhail bin Iyadh, nama kunyahnya Abu Ali, adalah seorang ulama sufi yang menghabiskan sisa
hidupnya di Makkah dan meninggal di Tanah Haram tersebut. Ia dilahirkan tahun 105 H di
Samarkand dan wafat tahun 187 H di Makkatul Mukaramah. Sebelumnya ia adalah seorang
perompak yang sangat ditakuti di tempat kelahirannya dan di daerah Khurasan, tempat ia
dibesarkan dan dewasa. Tidak ada kafilah dagang yang melewati dua kota tersebut kecuali selalu
dihinggapi ketakutan akan dijarah oleh Fudhail bin Iyadh dan anak buahnya.
Suatu ketika Fudhail dan anak buahnya sedang beristirahat di tempat persembunyiannya seperti
biasanya. Lewatlah suatu kafilah dagang yang kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang
yang pemberani, sekaligus saleh. Ketika tiba di tempat Fudhail tersebut, salah seorang dari mereka
berkata, “Fudhail dan anak buahnya berada di tempat ini, kita harus bagaimana??”
Salah satunya menjawab, “Kita panah saja mereka, jika ia terkena dan lari menghindar, kita
lanjutkan perjalanan. Jika tidak, kita kembali saja!!”
Mereka sepakat dan mempersiapkan panah-panah mereka. Ketika tampak bayangan-bayangan
hitam yang akan menghadang perjalanan mereka, salah satu dari mereka melepaskan anak
panahnya sambil membaca ayat al Qur’an, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a
quluubuhum li dzikrillaah…”
Ayat al Qur’an dalam Surat al Hadiid, juz 28 ayat 16 itu artinya adalah : Belum datangkah
waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Fudhail bin Iyadh menjerit keras sekali dan terjatuh ketika anak panah itu meluncur disertai
lantunan ayat Al Qur’an. Anak buahnya mengerumuninya, disangkanya anak panah itu mengenai
pimpinan mereka dan melukainya. Tetapi mereka sama sekali tidak menemukan luka pada
tubuhnya, Fudhail bangkit sambil berseru, “Aku tertimpa panah Allah!!”
Salah seorang lainnya di kafilah itu melepaskan anak panahnya, dan ia juga melantunkan ayat
Qur’an mengikuti temannya tadi, “Fafirruu ilallaahi innii lakum minhu nadziirun mubiin…!!
Ayat al Qur’an yang terdapat pada Surat adz Dzaariyat, juz 27 ayat 50 itu artinya adalah : Maka
segeralah kembali kepada Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari
Allah untukmu.
Kembali Fudhail menjerit dan terjatuh, dan ketika anak buahnya memeriksanya, sama sekali ia
tidak terluka karena panah tersebut meleset. Ia hanya bangkit lagi sambil berkata, “Aku terkena
panah Allah!!!”
Satu orang lagi melepaskan anak panah ke kelompok perompak Fudhail bin Iyadh, dan ia juga
melantunkan satu ayat Al Qur’an, “Wa aniibuu ilaa rabbikum, wa aslimuu lahu min qabli an
ya’tiyakumul ‘adzaabu tsumma laa tunshoruun…!!”
Ayat al Qur’an itu terdapat pada Surat az Zumar, juz 24 ayat 54, artinya adalah : Dan kembalilah
(bertaubatlah) kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab
kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).
Lagi-lagi Fudhail menjerit lebih keras walau anak panah itu tidak mengenai dirinya, ia berkata
kepada anak buahnya, “Kalian semua pulanglah!! Aku menyesal telah melakukan semua kejahatan
ini, hatiku takut kepada Allah. Aku akan meninggalkan semua yang telah aku lakukan selama
ini…!!”
Fudhail segera pulang, kemudian ia berkemas untuk meninggalkan tempatnya bergelimang dengan
kejahatan tersebut. Ia berniat ‘hijrah’ ke Makkatul Mukaramah dan tinggal di sana untuk menebus
semua kesalahannya selama ini dengan bertaubat dan beribadah di Tanah Haram tersebut.
Ketika ia tiba di Naharwan, ia berkunjung kepada Khalifah Harun al Rasyid, raja dari Bani
Abbasiyah yang terkenal saleh dan sangat menghargai ilmu pengetahuan. Ketika tiba di
hadapannya, tiba-tiba Harun al Rasyid berkata, “Hai Fudhail, sesungguhnya dalam mimpiku aku
mendengar seruan : Fudhail takut kepada Allah, ia memilih untuk mengabdi-Nya, maka sambutlah
dia!!”
Mendengar ucapan tersebut, Fudhail menjerit dan berkata, “Ya Allah, dengan kemuliaan dan
kebesaran-Mu, Engkau cintai hamba-Mu yang penuh dosa ini, yang telah meninggalkan-Mu
selama empat puluh tahun dalam gelimang dosa!!”
Semua itu makin menguatkan tekadnya untuk ‘berhijrah’ ke Makkah dan memperbaiki dirinya di
tempat kelahiran Islam dan Nabi Muhammad SAW itu. Salah seorang sahabat Fudhail yang juga
tinggal bersamanya di Makkah, Abu Ali ar Razi, berkata, “Selama tigapuluh tahun aku tidak
pernah melihat Fudhail tertawa, atau sekedar tersenyum (yakni, ia selalu dalam kesedihan karena
dosanya di masa lalu), kecuali ketika anaknya yang bernama Ali meninggal. Ketika ditanyakan
sebabnya, Fudhail berkata : Sesungguhnya Allah menyukai hal itu (yakni menimpakan ujian dan
musibah kepadanya), maka saya pun menyukainya pula!!”
Dalam riwayat lainnya disebutkan, bahwa Fudhail bertaubat karena seorang wanita yang
dicintainya. Walaupun ia seorang perompak dan penjahat yang ditakuti, ternyata ia jatuh cinta
pada seorang wanita muslimah yang shalihah. Namun menyadari keadaan dirinya, ia tidak pernah
menyampaikan perasaannya itu kepada wanita pujaannya. Untuk melampiaskan kerinduannya,
seringkali ia memanjat tembok rumah wanita untuk sekedar bisa memandang wajahnya.
Suatu malam, ketika ia memanjat tembok rumah itu seperti biasanya, ia mendengar wanita
pujaannya itu (dalam riwayat lain, suara seseorang atau suara tanpa wujud/hatif) sedang membaca
Al Qur’an, Surat al Hadiid ayat 16, “Alam ya’ni lilladziina aamanuu an takhsya’a quluubuhum li
dzikrillaah.” Yang artinya adalah : Belum datangkah waktunya bagi orang-orang yang beriman
untuk tunduk hati-hati mereka mengingat Allah?
Hati Fudhail bergetar mendengar ayat tersebut dan pikirannya jadi gelisah. Tiba-tiba saja ia
bergumam, “Ya Allah, telah datang waktunya!!”
Ia kembali ke tempat persembunyiannya ketika akan merompak kafilah yang melewati tempat itu.
Saat itu ada kafilah yang akan melewati tempatnya, salah satu dari mereka berkata, “Kita akan
melewati gerombolan penjahat dan perompak, Fudhail bin Iyadh, apakah kita akan terus?”
Seorang temannya berkata, “Kita berangkat besok pagi saja, malam ini Fudhail sedang
berkeliaran, kalau kita terus, mereka akan merampas semua barang dagangan kita!!”
Fudhail makin tertunduk malu. Bukan malu kepada kafilah itu karena mereka tidak
mengetahuinya, tetapi malu kepada Allah. Begitu buruknya nama dan perilakunya di mata
kebanyakan orang sehingga bisa menghambat dan mengganggu aktivitas mereka. Malam itu ia
membubarkan kelompok perompaknya dan menyuruh anak buahnya untuk pulang ke rumahnya
masing-masing. Ia sendiri memutuskan untuk bertobat dan pindah ke Makkah, dan mengisi sisa
hidupnya dengan ibadah demi ibadah.

41
Ilmu Lebih Utama daripada Harta

Ali bin Abi Thalib, sepupu sekaligus menantu Nabi SAW, merupakan salah seorang sahabat
yang diutamakan karena ilmunya. Pengakuan itu muncul langsung dari Nabi SAW dengan sabda
beliau, “Ana madinatul ‘ilmi, wa ‘aliyyun baabuhaa”
Maksudnya adalah : Saya (Nabi SAW) adalah kotanya ilmu, dan Ali adalah pintunya, yaitu
pintu dari kota ilmu tersebut. Tentu yang dimaksud ‘ilmu’ tersebut khususnya ilmu agama dan
tentang alam akhirat, karena dalam suatu kesempatan lainnya, Nabi SAW pernah bersabda,
“Kalian lebih tahu (daripada aku) tentang urusan duniamu!!”
Para sahabat yang selalu “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan kami mentaatinya)
dengan semua perkataan dan sabda-sabda beliau itu tidak pernah mempermasalahkan, bahkan
tidak jarang mereka meminta nasehat dan pendapat Ali dalam suatu permasalahan, walau usia Ali
mungkin lebih muda. Dan jika Ali telah memberikan suatu pendapat dan pandangan, mereka akan
mengikutinya, termasuk Umar bin Khaththab ketika menjadi khalifah.
Ketika Nabi SAW telah wafat beberapa tahun lamanya, ada sekelompok orang yang
meragukan keilmuan Ali. Sebagian riwayat menyebutkan, mereka itu dari kaum Khawarij, satu
kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib ketika terjadi pertentangan dengan Muawiyah.
Tetapi ketika Ali ‘mengikhlaskan’ melepas jabatan khalifah, karena sebenarnya memang tidak
berambisi, demi untuk persatuan umat Islam saat itu, kaum Khawarij itu berbalik melawan dan
menentang Ali. Kaum Khawarij ini banyak penyimpangannya sehingga sebagian besar ulama
menganggap sebagai kelompok yang sesat.
Mereka ini bermusyawarah dan memutuskan akan mengirim sepuluh orang dengan masalah
(pertanyaan) yang sama. Jika Ali memberikan jawaban yang sama walau dengan pertanyaan yang
sama, maka sebenarnya Ali ‘tidak pantas’ menyandang gelar sebagai pintunya ilmu sebagaimana
disabdakan Nabi SAW. Orang pertama datang menghadap Ali dan berkata, “Wahai Imam Ali,
manakah yang lebih utama, ilmu atau harta??”
“Ilmu” Kata Ali.
“Mengapa ilmu lebih utama??” Katanya.
Maka Ali berkata, “Sesungguhnya ilmu itu warisan para Nabi, sedangkan harta itu warisan dari
Qarun, Fir’aun, Hammam, Syaddad dan lain-lainnya!!”
Orang pertama itu membenarkan dan berlalu pulang. Tentu saja jawaban Ali tersebut bersifat
umum, karena ada juga orang yang diberikan kelimpahan harta, dan bisa memanfaatkan dengan
baik untuk kemanfaatan hidupnya sesudah mati, baik di alam kubur, terlebih lagi di alam akhirat.
Misalnya saja Ummul Mukminin Khadijah RA, Abu Bakar ash Shiddiq, Utsman bin Affan,
Abdurrahman bin Aus, Qais bin Sa’d bin Ubadah, dan beberapa sahabat lainnya. Intinya, jika harta
itu berada di tangan orang yang dermawan dan sangat perduli pada kaum fakir miskin, maka
kedudukan harta tidak kalah utamanya dibandingkan ilmu.
Orang ke dua datang menghadap Ali dengan pertanyaan yang sama, dan Ali menyatakan ilmu
lebih utama daripada harta. Tetapi ia menyampaikan alasan yang berbeda, “Ilmu akan menjagamu,
sedangkan harta, engkau yang harus menjaganya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke tiga datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama
pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu banyak sekali sahabatnya (dan murid-
muridnya), sedang pemilik harta akan banyak sekali musuhnya (dan orang yang bermanis muka
hanya untuk memperoleh pemberiannya, walau mungkin di dalam hati membencinya)!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke empat datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama
pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Ilmu akan bertambah jika engkau gunakan,
sedangkan harta akan berkurang jika engkau menggunakannya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke lima datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama
pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu akan selalu dihormati dan dimuliakan
karena ilmunya, tetapi pemilik harta, akan ada saja yang memanggilnya sebagai si pelit, karena ia
tidak memperoleh bagian dan manfaat dari harta tersebut!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke enam datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama
pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik harta harus selalu hati-hati dan menjaga
agar tidak diambil oleh pencuri, sedang pemilik ilmu tidak perlu menjaganya!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke tujuh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang sama
pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pada hari kiamat, pemilik harta harus susah payah
mempertanggung-jawabkan hartanya, sedangkan pemilik ilmu akan memperoleh syafaat dari ilmu
yang dimilikinya (dan diamalkannya)!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke delapan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang
sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Jika dibiarkan dalam waktu yang lama, harta
akan menjadi aus dan rusak, sedangkan ilmu tidak akan menjadi aus dan lenyap!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Ketika orang ke sembilan datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban yang
sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Harta bisa membuat hati menjadi keras dan
akhirnya bersifat bakhil (karena terlalu cintanya kepada harta), sedangkan ilmu akan selalu
menjadi penerang dan penyejuk hati!!”
Orang itu membenarkan Ali dan berlalu pulang, menyampaikan jawaban Ali kepada mereka yang
menyuruhnya.
Dan akhirnya orang ke sepuluh datang dengan pertanyaan yang sama, Ali memberikan jawaban
yang sama pula, kemudian ia menyampaikan alasannya, “Pemilik ilmu akan diberi gelar sebagai
ilmuwan, sedangkan pemilik harta akan dipanggil atau digelari Tuan Besar!!”
Tampaknya Ali mengetahui (dengan ilham dari Allah, atau dari analisa pikirannya) niat dari orang-
orang yang datang dengan pertanyaan yang sama tersebut, dan kepada yang terakhir datang itu, Ali
berkata, “Andaikata kalian mengirim lebih banyak lagi orang dengan pertanyaan yang sama,
pastilah aku akan memberikan alasan yang berbeda selagi aku masih hidup!!”
Memang, keutamaan ilmu atas harta tidak sepuluh itu saja, masih banyak lagi. Misalnya,
pertanyaan akhirat (yaumul hisab) atas ilmu hanya satu, yakni apa dan bagaimana ilmu itu
diamalkan? Sedangkan atas harta ada dua, pertama darimana dan bagaimana diperoleh harta
tersebut diperoleh? Dan kedua, kemana dan bagaimana harta tersebut diamalkan (dibelanjakan)?
Misalnya lagi, ketika seseorang meninggal, ilmu akan menemani pemiliknya hingga masuk kubur,
bahkan bisa menjadi teman dan penolongnya menghadapi malaikat, tetapi harta hanya akan
mengantarnya hingga ke pintu pemakaman, atau sampai ia diurug dengan tanah, setelah ia akan
menjadi milik ahli warisnya. Dan masih banyak lagi yang bisa dikupas dari berbagai hadits-hadist
Nabi SAW.
Setelah kembali dan menyampaikan pesan tersebut, mereka (kaum Khawarij itu)
berkhidmad kembali kepada Ali bin Abi Thalib dan memperbaiki keislamannya dengan bimbingan
beliau.

42
Salah Satu Hikmah dari Menikah

Seorang pemuda menghabiskan banyak waktunya untuk ibadah, dan sedikit waktu untuk bekerja
mencari penghasilan, sekedar memenuhi kebutuhannya yang memang tidak banyak. Ketika orang
tua dan kerabatnya bermaksud menikahkannya, ia selalu saja menolak. Ia beranggapan bahwa
kesibukannya mengurus istri dan anak-anak hanya akan mengganggu ibadahnya kepada Allah.
Pemuda itu makin disukai banyak orang karena kesalehannya, dan banyak di antaranya yang ingin
mengambilnya sebagai menantu. Di jaman itu, ukuran keutamaan seseorang di masyarakat adalah
akhlak dan kesalehannya, tidak seperti sekarang ini yang lebih mengacu pada harta dan
profesinya. Karena itu, walau pekerjaannya hanya ‘sekedarnya’ yang mungkin tidak bisa
mencukupi kebutuhan suatu keluarga, banyak sekali orang yang ingin ‘melamar’ pemuda itu untuk
dinikahkan dengan putrinya. Tetapi pemuda tersebut menolak dan tetap teguh dengan
pendiriannya, dan makin meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya kepada Allah.
Suatu hari ketika bangun dari tidurnya, tiba-tiba saja pemuda itu berkata, “Nikahkanlah aku,
nikahkanlah aku!!”
Orang tua dan para kerabatnya yang ada di situ, saling berpandangan penuh keheranan. Salah
seorang dari mereka berkata, “Mengapa tiba-tiba engkau minta menikah, padahal selama ini
engkau selalu menolaknya walau banyak yang menginginkan dirimu??”
Pemuda itu berkata, “Saya ingin mempunyai anak yang banyak, dan ada di antara mereka yang
meninggal ketika masih kecil (belum baligh), dan saya akan bersabar karenanya!!”
Sekali lagi orang tua dan kerabatnya berpandangan tidak mengerti, sepertinya tidak ada
hubungannya dengan keinginannya yang tiba-tiba itu. Pemuda itu mengerti kebingungan mereka,
dan ia menceritakan kalau baru saja bermimpi, seolah-olah kiamat telah tiba. Ia berdiri di padang
Makhsyar dalam keadaan panas dan haus yang tidak terperikan, seolah-olah akan mematahkan
lehernya. Tidak ada sesuatu yang bisa diminum untuk menghilangkan rasa haus dan panas itu, dan
sepertinya ‘penderitaan’ itu akan berlangsung sangat lama.
Dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba ia melihat anak-anak yang berjalan dan bergerak di antara
begitu banyak orang dengan membawa gelas-gelas perak yang ditutup dengan saputangan dari
cahaya. Mereka itu mencari-cari dan ketika menemukan seseorang, mereka memberikan minuman
dalam gelas tersebut. Ketika beberapa anak melewatinya, ia mencoba mengulurkan tangan
mengambil gelas itu sambil berkata, “Berikanlah kepadaku karena aku juga sangat haus!!”
Anak-anak itu menghalangi maksudnya, mereka memandanginya beberapa saat, kemudian
berkata, “Anda tidak mempunyai anak di antara kami, dan kami hanya memberikan minuman
kepada ayah dan ibu kami!!”
Pemuda itu berkata, “Siapakah kalian ini!!”
Mereka menjawab, “Kami adalah anak-anak dari kaum muslimin, dan kami meninggal sewaktu
kami masih kecil, dan orang tua kami bersabar dengan musibah dari Allah tersebut!!”
Pemuda itu berkata kepada orang tua dan kerabat yang mengitarinya, “Saat itu aku sangat
menyesal dan menangisi nasibku karena tidak mau menikah. Mungkin itu hukumanku karena
‘tidak mengikuti’ sunnah Rasulullah SAW. Tetapi tiba-tiba aku terbangun dan semua peristiwa itu
ternyata hanya dalam mimpi, walau sepertinya sangat jelas dan terasa nyata. Karena itulah aku
tiba-tiba berteriak minta segera dinikahkan!!”

43
Berdebat untuk Menolak Harta

Ada dua orang saleh yang terlibat transaksi jual beli tanah. Si pembeli mengolah tanahnya untuk
ditanami, tetapi tiba-tiba ia menemukan sebuah bejana yang berisi penuh perhiasan emas. Ia
memang seorang yang sangat wara’ (berhati-hati terhadap barang yang syubhat, apalagi yang
haram), karena merasa bukan miliknya, ia membawa bejana berisi emas tersebut kepada penjual
tanah, dan berkata, “Aku menemukan bejana berisi emas ini di tanah yang aku beli, ini pasti
milikmu, ambillah!!”
Sang penjual tanah, selain saleh ia juga sangat wara’ seperti halnya si pembeli tanah itu, ia berkata,
“Saya menjual tanah dan segala apa yang ada di dalamnya, jadi perhiasan-perhiasan itu memang
milikmu!!”
“Tidak bisa,” Kata pembeli tanah lagi, “Aku hanya berniat (dan berakad) membeli tanahmu, dan
tidak membeli emas-emasmu!!”
Penjual tanah berkata, “Emas itu engkau temukan setelah tanah itu menjadi milikmu, jadi ia
memang milikmu, bukan milikku!!”
Begitulah, mereka terus berdebat untuk menolak memiliki bejana berisi perhiasan emas yang
nilainya (harganya) tentu sangat tinggi. Hal itu mereka lakukan semata-mata karena tidak ingin
‘kemasukan’ dan memakan barang syubhat, yang akhirnya akan sangat menyulitkan mereka di
yaumul hisaab kelak.
Karena masing-masing tidak mau ‘mengalah’ untuk memiliki perhiasan-perhiasan tersebut,
mereka membawa perkaranya ke seorang Hakim. Setelah masing-masing menceritakan
permasalahan dan argumennya, sang Hakim hanya menggeleng-gelengkan kepala tidak percaya,
tetapi tampak sekali kekagumannya. Setelah berfikir sejenak, ia berkata, “Apakah kalian
mempunyai anak!!”
Salah seorang berkata, “Saya mempunyai anak laki-laki!!”
Satunya lagi berkata, “Saya mempunyai anak perempuan!!”
Sang Hakim berkata, “Nikahkanlah anak-anak kalian, dan berikan bejana berisi emas itu kepada
mereka untuk bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya!!”
Mereka berdua menerima solusi yang diputuskan Hakim, dan menikahkan anak-anak mereka.

44
Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun (1) Kelahiran dan Masa Kecilnya

Secara umum, ‘hubungan’ Nabi Musa AS dan Fir’aun terbagi dalam dua periode, yakni
ketika beliau dilahirkan dan berada dalam pengasuhan Fir’aun, dan kedua ketika beliau telah
diangkat sebagai Nabi dan mendakwahi ‘mantan’ bapak angkatnya tersebut. Pada kesempatan ini
akan dipaparkan bagian pertamanya.
Nabi Musa AS bisa dikatakan sebagai Nabi dari kalangan Bani Israil yang paling besar dan paling
banyak umatnya. Nama ‘Israil’ dinisbahkan (disandarkan) kepada Nabi Ya’kub, yang sebelumnya
tinggal di negeri Kan’aan. Beliau akhirnya pindah ke Mesir atas permintaan salah satu putranya,
Nabi Yusuf AS, yang ‘sukses berkarir’ di kerajaan Fir’aun tersebut, sebagai salah satu seorang
menteri bidang pangan dan pertanian. Jadi Bani Israil adalah anak keturunan dari putra-putra Nabi
Ya’kub yang berjumlah duabelas orang.
Bani Israil berkembang cukup pesat di Mesir sehingga jumlahnya menjadi mayoritas kedua
setelah bangsa Qibti, penduduk asli Mesir. Tetapi kebanyakan dari mereka tetap menjadi
masyarakat kelas dua, menjalani profesi kelas bawah seperti tukang bangunan, kuli, pelayan,
pembantu dan pegawai rendahan lainnya. Hanya sedikit saja yang sukses, khususnya dalam hal
perdagangan. Tetapi umumnya mereka dianggap sebagai orang-orang yang dapat dipercaya (saat
itu) oleh masyarakat Mesir.
Masyarakat Mesir saat itu sangat menghargai dan meninggikan hal-hal yang bersifat ghaib.
Sampai sekarang ini mungkin bisa kita temukan ‘jejak-jejaknya’ dari banyaknya misteri yang
melingkupi Piramid dan berbagai macam peninggalan Mesir kuno lainnya. Karena itulah, profesi
dukun (dukun klenik, bukan dukun pijat atau dukun bayi), ahli sihir, ahli tenung, ahli tafsir mimpi,
tukang ramal dan sejenisnya mempunyai kedudukan tinggi di sisi Fir’aun. Masyarakat Mesir asli
saat itu memang menyembah berbagai macam dewa-dewa, dan yang tertinggi adalah dewa
matahari (Dewa Ra). Mereka juga menyembah berhala-berhala, baik dalam bentuk binatang, atau
bentuk para leluhurnya, dan sebagian dari mereka juga ‘menyembah’ Fir’aun sebagai tuhannya.
Pada tahun ketika Nabi Musa akan dilahirkan, para ahli sihir dan ahli tenung kerajaan
memberitahukan kepada Fir’aun, bahwa akan dilahirkan seorang anak dari kalangan Bani Israil,
yang akan menjadi sebab jatuhnya kedudukan dirinya sebagai penguasa dan ‘tuhan’nya orang-
orang Mesir. Tentu informasi tersebut membuat Fir’aun menjadi marah. Berita tersebut walau
mengandung kebenaran, tetapi lebih banyak kebohongannya, dan hanya akan memancing lebih
banyak kemaksiatan dan kedzaliman.
Memang, sebelum kelahiran Nabi SAW dan diutusnya beliau sebagai Rasul dan Rahmatan lil
‘Alamin, jin dan syaitan bebas bergerak naik ke langit dunia untuk ‘mencuri’ berita-berita yang
dibawa oleh Malaikat. Berita-berita tersebut dicampur-adukkan dengan seratus macam
kebohongan dan disampaikan kepada para ahli sihir dan tukang tenung yang ‘menghamba’
kepadanya. Tetapi setelah kehadiran Nabi SAW, jin dan syaitan yang berusaha naik ke langit akan
dikejar dan dirajam oleh ‘bintang-bintang’ (meteor), yang bisa membuatnya cacat atau terbunuh.
Namun, karena hal ini adalah salah satu ‘cara efektif’ untuk bisa menyesatkan manusia, syaitan-
syaitan itu tidak pernah berhenti berusaha mencuri berita, demi mensupport ‘informasi’ bagi ahli
sihir dan tukang tenung.
Fir’aun dan para punggawanya, termasuk penasehatnya dari para ahli nujum dan ahli sihir,
mengadakan rapat kilat untuk membahas masalah itu. Akhirnya mereka mengambil keputusan
untuk membunuh semua bayi laki-laki dari kalangan Bani Israil yang dilahirkan pada tahun itu.
Dibuatlah ‘Undang-undang’ untuk menjadi dasar tindakannya, setelah itu Fir’aun menyebarkan
tentaranya ke seluruh pemukiman Bani Israil dan berjaga-jaga di sana. Jika ada bayi laki-laki
dilahirkan, mereka segera mengambilnya dan membawanya ke hadapan Fir’aun untuk dibunuh.
Tidak terkira banyaknya bayi-bayi tidak berdosa yang menjadi korban ‘kebijakan’ pemerintahan
lalim Fir’aun itu.
Ibu Nabi Musa, sebagian riwayat menyebutkan namanya adalah Jukabad, sebagian lagi
menyebutnya Imrah, dan al Qur’an hanya menyebutnya Ummi Musa, saat itu tengah mengandung
tua dan berusaha menyembunyikan diri dari pengamatan pasukan Fir’aun. Tidak ada kejelasan
tentang suaminya yang bernama Imran, kemungkinan besar saat itu telah meninggal, karena Al
Qur’an hanya menyebutkan keberadaan ibunya. Ketika tiba waktunya melahirkan, Jukabad hanya
ditemani oleh putrinya yang bernama Maryam dan ternyata bayi itu adalah laki-laki. Tidak ada
kejelasan riwayat, apakah saat itu Jukabad memberi nama bayinya Musa, atau nama Musa itu
diberikan oleh Fir’aun, karena nama Musa (Moses) artinya adalah “yang terhanyut/terapung tetapi
tidak tenggelam”. Ia makin ketakutan dan hanya berdiam di rumah saja untuk tidak diketahui oleh
mata-mata Fir’aun.
Walaupun telah ribuan atau mungkin puluhan ribu bayi laki-laki Bani Israil yang telah ‘dibantai’
oleh Fir’aun dan bala tentaranya, tetapi para juru tenung dan juru ramal Fir’aun menyatakan
bahwa ‘bahaya’ itu belum hilang. Tentu semua informasi itu berasal dari jin kafir dan syaitan-
syaitan yang tidak henti-hentinya mencuri berita dari langit. Fir’aun makin banyak menyebarkan
tentara dan mata-matanya untuk menemukan bayi yang dimaksud. Mereka makin efektif
menjelajah setiap pelosok Mesir untuk menemukan keluarga Bani Israil yang mengandung dan
mempunyai anak bayi laki-laki, dan diperintahkan untuk langsung membunuhnya jika ditemukan.
Wa makaruu wa makarallaah wallaahu khoirul maakiriin (Mereka membuat rencana dan Allah
juga memiliki rencana, dan Allah adalah sebaik-baiknya pembuat rencana), Sekuat dan sehebat
apapun Fir’aun dan bala tentaranya berusaha, dia tidak akan bisa merubah rencana Allah. Jika
Allah menghendaki terjadinya sesuatu, walau seluruh malaikat, jin dan manusia berkumpul untuk
mencegahnya, niscaya tidak akan berhasil menggagalkannya. Begitupun sebaliknya, jika Allah
tidak menghendaki terjadinya sesuatu, walau seluruh malaikat, jin dan manusia berkumpul untuk
mewujudkannya, niscaya tidak akan berhasil.
Jukabad makin ketakutan dengan tindakan Fir’aun dan bala tentaranya. Ketika Musa berusia tiga
bulan dan ia hampir tidak mampu lagi bersembunyi, Allah memberikan wahyu (ilham) kepada
Jukabad, sebagaimana disebutkan dalam QS al Qashash ayat 7 : Dan Kami wahyukan (ilhamkan)
kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke
sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena
sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (sebagai salah
seorang) dari para rasul.
Ketika Allah mengangkat Musa sebagai Nabi dan menceritakan tentang ilham yang diturunkan
kepada ibunya, Jukabad, Allah berfirman sebagaimana disitir dalam QS Thaha ayat 39 :
“Letakkanlah ia (Musa) di dalam peti, kemudian lemparkanlah ia ke sungai (Nil), maka pasti
sungai itu membawanya ke tepi, supaya diambil oleh (Fir'aun) musuh-Ku dan musuhnya”. Dan
Aku telah melimpahkan kepadamu (wahai Musa, ) kasih sayang yang datang dari-Ku; dan supaya
kamu diasuh (oleh Fir’aun) di bawah pengawasan-Ku.”
Memperoleh ‘bisikan ghaib’ seperti itu, hati Jukabad menjadi lebih tenang. Ia segera menyusui
Nabi Musa sepuas-puasnya, kemudian meletakkan Musa dalam sebuah peti kayu yang tidak
tembus air dan dihanyutkan di sungai Nil pada malam harinya. Ia memerintahkan Maryam
(saudara/kakak Musa) untuk mengikuti ke mana aliran air sungai membawa Musa. Ia
mengikutinya hingga terang tiba, ternyata peti itu mengarah ke istana Fir’aun, dan ‘seolah-olah’
berlabuh di depannya untuk bisa ditemukan oleh Fir’aun dan bala tentaranya. Ketika peti itu
diambil dan dibawa masuk ke dalam istana oleh penjaga-penjaga istana, Maryam segera pulang
untuk memberitahukan kepada ibunya. Hati Jukabad sempat khawatir, tetapi kemudian ia hanya
tawakal kepada Allah. Ia meyakini Allah akan tetap melindungi putranya sebagaimana ilham yang
diterimanya.
Begitu Fir’aun menerima laporan ditemukannya peti tersebut, ia segera memerintahkan untuk
membukanya. Tampaklah seorang bayi lelaki cukup sehat yang sedang mengisap jempolnya.
Logika Fir’aun berjalan, tentunya bayi itu dari kalangan Bani Israil, karena takut diketemukan dan
dibunuh, maka ‘dibuang’ ke sungai Nil. Para peramal dan ahli tenung juga mendukung pendapat
Fir’aun, maka mereka bersiap membunuhnya seperti biasanya.
Walau keadaannya cukup kritis bagi bayi Musa, tetapi ternyata mudah sekali bagi Allah untuk
merubah situasi tersebut. Tiba-tiba istri Fir’aun melihat bayi Musa dan dimunculkan-Nya rasa
kasih sayang dalam hatinya, ia berkata kepada suaminya, sebagaimana disitir dalam QS al
Qashash ayat 9 : "(Ia) adalah penyejuk mata hati bagiku dan bagimu. Janganlah kamu
membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak".
Dan mudah pula bagi Allah ‘memercikkan’ sedikit kasih sayang ke hati Fir’aun, sehingga ia
menyetujui permintaan istrinya, dan mengabaikan nasehat peramal dan juru tenung kerajaan.
Bahkan akhirnya Fir’aun ‘tenggelam’ dalam kegembiraan dengan kehadiran bayi Musa tersebut,
dan lupa tentang ancaman seseorang dari kalangan Bani Israil yang akan menjadi sebab kejatuhan
dirinya dan kerajaannya. Tak jarang ia menggendong sendiri bayi Musa tersebut.
Fir’aun mencari orang-orang yang mau menyusui Musa, puluhan bahkan ratusan wanita
‘melamar’ pekerjaan tersebut, tetapi Musa sama sekali tidak mau menyusu, bahkan tidak mau
melepaskan jempolnya dari mulutnya. Kemudian Maryam mendatangi Fir’aun dan menawarkan
diri untuk mencarikan seseorang yang bisa menyusui Musa. Setelah mendapat persetujuan, ia
membawa Jukabad datang ke istana, dan segera saja Musa mau menyusu kepada ibunya sendiri
itu. Benarlah janji Allah, bahwa Dia akan menyelamatkan putranya, dan mengembalikannya lagi
kepada dirinya.
Suatu ketika Fir’aun sedang ‘bermain-main’ dengan si kecil Musa yang telah mulai merangkak,
tanpa disangka-sangka Musa menarik jenggotnya dengan kerasnya. Fir’aun sangat marah, dan
tiba-tiba saja terfikirkan bahwa sangat mungkin bayi ini yang menjadi sebab kejatuhannya.
Istrinya berusaha mendinginkan suasana hati Fir’aun, dan menyatakan kalau Musa masih kecil
dan tidak mengerti apa yang dilakukannya. Fir’aun tidak bisa menerima alasan itu begitu saja, ia
berkata, “Aku akan menguji dirinya, benarkah ia belum mengerti? Kalau ia berbuat seperti itu
karena pengertiannya, tentu aku akan membunuhnya!!”
Fir’aun memerintahkan pembantunya untuk menyediakan sepotong roti dan sebuah bara api.
Kemudian Fir’aun membiarkan Musa merangkak menghampiri dua benda tersebut, jika ia
mengambil roti, berarti ia punya pengertian dan ketika menarik jenggotnya adalah dengan
kesengajaan. Ketika merangkak menghampiri dua benda tersebut, sebenarnya tangan Musa terulur
ke arah roti, tetapi Malaikat Jibril memukul tangannya sehingga terpegang bara, yang langsung
dimasukkan ke mulutnya sebagaimana umumnya anak kecil. Seketika itu lidah Musa terpanggang
sehingga mengkerut, tetapi segera diselamatkan oleh orang-orang di sekitarnya. Karena keadaan
lidahnya tersebut, hingga dewasa Nabi Musa agak susah dalam berbicara, suara yang terdengar
cenderung cedal. Itulah sebabnya, ketika Musa diangkat sebagai nabi, ia meminta kepada Allah
untuk mengangkat saudaranya, Harun sebagai nabi juga, sekaligus juru bicara yang menjelaskan
dakwah-dakwahnya.
Melihat keadaan tersebut, amarah Fir’aun jadi mereda, dan ia makin sayang kepada Musa Ia
memelihara dan membesarkannya hingga remaja, sehingga Musa layaknya seorang pembesar dan
bangsawan Qibti lainnya. Musa baru berpisah dan melarikan diri dari kerajaan Fir’aun, setelah ia
membantu seorang Bani Israil yang terlibat pertengkaran dengan seorang Qibti. Seperti biasanya,
orang Qibti itu berbuat sewenang-wenang kepada orang Bani Israil yang dianggapnya sebagai
warga kelas dua. Tampaknya ‘bahan’ kenabian yang tertanam di dalam dirinya tidak bisa
membiarkannya berdiam diri, Musa berusaha melerai. Tetapi ketika orang Qibti itu bersikap
arogan, ia memukulnya dan seketika itu mati.
Mendengar berita tersebut, Fir’aun mengirimkan pasukannya untuk menangkap dan mengeksekusi
pembunuh orang Qibti itu, yakni Musa. Ada seseorang yang memberitahukan rencana Fir’aun
kepada Musa, dan ia segera melarikan diri. Ia berjalan meninggalkan Mesir menuju negeri
Madyan, dan di sana ia diambil menantu oleh Nabi Syu’aib

45
Kisah Nabi Musa AS dan Fir’aun (2) Berdakwah dan Menyelamatkan Bani Israil

Sekitar sepuluh tahun lamanya Musa tinggal di Madyan, menjadi menantu Nabi Syu’aib, dan
selama itu pula Musa menggembalakan ternak-ternak Nabi Syu’aib sebagai ‘mahar’ dari
pernikahannya dengan putri beliau. Nabi Syu’aib memberi Musa sebuah tongkat untuk
melaksanakan tugas penggembalaannya. Sebagian riwayat menyebutkan, tongkat tersebut berasal
dari kayu surga, dan milik para Nabi secara turun temurun, yakni sejak Nabi Adam hingga kepada
Nabi Syu’aib. Setelah selesai masa sepuluh tahun itu, Musa meminta ijin kepada mertuanya untuk
kembali ke Mesir, menemui dan berkumpul kembali dengan orang tua dan keluarganya yang lain.
Nabi Syu’aib mengijinkannya.
Musa bersama keluarganya meninggalkan Madyan menuju Mesir, tanah kelahiran dan tempat
tinggal kaumnya Bani Israil. Al Qur’an menyebutkan ‘bi-ahlihii’, yang bisa diartikan hanya
bersama istrinya, berdua saja sebagai musafir. Atau bisa juga bersama anggota keluarganya yang
lain, yang salah satunya adalah Harun. Tetapi riwayat lain menyebutkan Harun adalah saudaranya
yang masih tinggal di Mesir. Ketika melarikan diri dari Mesir, Musa memerlukan waktu delapan
hari perjalanan terus-menerus sebelum sampai di Madyan. Tentunya saat kembali itu akan
memerlukan waktu lebih lama lagi, karena beliau bersama keluarga dan situasinya tidak sedang
dikejar-kejar seperti sebelumnya.
Suatu malam, rombongan tersebut berada di lereng bukit Thursina. Musa melihat suatu nyala api
dari kejauhan, dan ia berkata kepada keluarganya, sebagaimana disitir dalam QS al Qashash 29,
“Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu
berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat
menghangatkan badan."
Kemudian Musa berjalan mendaki bukit Thursina, hingga tiba di tempat di mana tampak api
menyala dari sebuah semak-semak. Tiba-tiba terdengar suatu suara dari balik semak terbakar
tersebut, yang adalah Firman Allah (wahyu) pertama yang diterimanya, sebagaimana disitir dalam
QS Thaha ayat 11–16, "Hai Musa, sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu!! Maka tanggalkanlah
kedua terompahmu (sepatu atau alas kakimu), sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci,
Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan
(kepadamu). (Yakni,) sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku,
maka sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku. Sesungguhnya hari kiamat itu
akan datang. Aku merahasiakan (waktunya) agar supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang
ia usahakan. Maka sekali-kali janganlah kamu dipalingkan daripadanya oleh orang yang tidak
beriman kepadanya (hari kiamat itu), dan oleh orang yang mengikuti hawa nafsunya, yang
menyebabkan kamu jadi binasa."
Musa dibesarkan oleh Fir’aun, dengan lingkungan yang jelas-jelas musyrik kepada Allah, sejak
masih bayi hingga menjelang masa dewasanya, tetapi ia terjaga dari pengaruh semua itu. Bahkan
dengan kondisi itu, bibit-bibit kenabian tumbuh subur dalam dirinya untuk melakukan
‘perlawanan’ terhadap semua kemusyrikan tersebut. Apalagi setelah selama sepuluh tahun
lamanya Musa menjadi ‘santri’ sekaligus menantu Nabi Syu’aib, jiwa kenabian itu makin
mengental pada dirinya. Karena itu, walau munculnya suara dari balik semak terbakar itu tampak
mengejutkan, ia dengan segera dapat menguasai diri. Di dalam hati ia menyadari, bahwa inilah
pengangkatan dirinya sebagai Nabi sebagaimana Nabi-nabi yang telah diutus sebelumnya, seperti
yang pernah diceritakan oleh Nabi Syu’aib, mertuanya.
Musa segera melepas kedua terompahnya sesuai perintah Allah tersebut, dan tunduk tawadhu.
Allah berfirman lagi, “Wahai Musa, apa yang ada di tangan kananmu itu?”
Ia berkata, “Ini adalah tongkat saya, saya pergunakan untuk bertelekan (berpegangan) jika sedang
berjalan, untuk menggembalakan kambing dan berbagai keperluan lain!!”
Allah berfirman lagi, “Lemparkanlah tongkatmu, ya Musa!!”
Musa melemparkan tongkat itu, yang segera saja menjadi seekor ular besar yang bergerak sangat
cepat dan gesit. Secara reflek, ia berlari menjauh dari ular tersebut, tetapi Allah berfirman, “Wahai
Musa, janganlah takut!! Datanglah kepada-Ku, dan peganglah ular itu, maka Aku akan
mengembalikannya seperti semula!!”
Ia memasukkan tangannya ke mulut ular tersebut, yang segera saja kembali menjadi tongkat. Allah
berfirman lagi, “Masukkanlah (kepitkanlah) telapak tangan kananmu di antara ketiak kirimu,
kemudian keluarkanlah lagi!!”
Musa melaksanakan perintah tersebut, dan telapak tangan kanannya tampak putih cemerlang,
bersinar menyilaukan pandangan mata. Ketika ia mengempitnya kembali, tangannya kembali
seperti sediakala. Allah berfirman lagi, “Itulah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Ku yang Aku
tunjukkan kepadamu, sekaligus sebagai tanda kerasulanmu. Pergilah engkau (berdakwah) kepada
Fir’aun dan orang-orang yang mengikutinya, karena sungguh ia telah melampaui batas, sehingga
berani mengaku sebagai tuhan!!”
Nabi Musa menerima tugas tersebut dengan senang hati. Tetapi kemudian ia menyadari berbagai
kekurangan dan kelemahannya, karena itu ia berdoa, sebagaimana disitir dalam QS Thaha ayat 25-
35 : “Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan
lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku, dan jadikanlah untukku
seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku, teguhkanlah dengan dia kekuatanku,
dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada Engkau, dan
banyak mengingat Engkau. Sesungguhnya Engkau adalah Maha Melihat (keadaan) kami."
Allah mengabulkan permintaan Nabi Musa tersebut, bahkan menjadikan saudaranya, Harun
sebagai Nabi seperti dirinya juga, tidak sekedar sebagai pembantu seperti yang diminta Nabi
Musa.
Doa Nabi Musa tersebut banyak sekali manfaatnya bagi kita umat Nabi Muhammad SAW,
khususnya pada ayat 25-29 yang berbunyi : “Rabbisy-rakhlii shodrii, wa yassirlii amrii, wakhlul
‘uqdatan min lisaanii, yafqohuu qoulii.” Doa ini bisa dibaca ketika akan berpidato, berdakwah,
mengajar atau membawakan suatu acara (sebagai MC). Ketika akan menghadap seorang pimpinan
dan pejabat/penguasa atau siapapun, yang kita cenderung takut kepadanya. Ketika menghadapi
pemerintah atau penguasa yang lalim/kejam. Ketika akan mengerjakan test atau ujian, baik untuk
sekolah atau pekerjaan. Dan beberapa keperluan lainnya.
Untuk lebih memantapkan hati Nabi Musa, Allah menceritakan kembali ‘kenikmatan’ yang telah
diberikan-Nya sejak ia dilahirkan. Ketika Allah menyelamatkan dirinya dari rencana jahat Fir’aun
membunuh semua bayi laki-laki Bani Israil, dengan jalan mengilhamkan (mewahyukan) kepada
ibunya, untuk menghanyutkannya ke sungai Nil. Ketika ditemukan, dipelihara, dan dibesarkan
oleh Fir’aun, tetapi tetap dalam kasih sayang ibu dan saudaranya, Maryam. Ketika ia membunuh
seorang Qibti, dan hampir dibunuh (diqishash) oleh pasukan Fir’aun, dan Allah
menyelamatkannya. Dan akhirnya ia ‘dipertemukan’ dengan Nabi Syu’aib, diambil menantu,
tinggal dan belajar bersama beliau selama sepuluh tahun.
Nabi Musa menjadi semakin mantap dan yakin bahwa ‘suara-suara’ itu adalah benar-benar firman
Allah, dan pengangkatan dirinya sebagai Nabi dan Rasul adalah suatu kebenaran. Bagaimanapun
Nabi Musa pernah tinggal di Mesir selama puluhan tahun, yang hal-hal ghaib adalah sesuatu yang
cukup biasa ditemui dan didengarnya. Tukang sihir, tukang tenung dan berbagai macam ahli
‘klenik’ lainnya adalah tokoh-tokoh yang biasa ditemuinya selama ia dalam pemeliharaan bapak
angkatnya, Fir’aun. Karena itu sedikit banyak ada juga kekhawatirannya kalau ‘suara-suara’ itu,
yakni Firman Allah dari balik semak terbakar, tidak berbeda dengan praktek-praktek klenik yang
diketahuinya. Tetapi dengan ‘penjabaran’ Allah tentang jalan kehidupannya yang begitu lengkap,
termasuk ketika ia berada di Madyan, kekhawatirannya itu lenyap sama sekali.
Di antara sekian banyak nabi-nabi, hanya beberapa saja yang mempunyai gelar khusus yang
‘disandarkan’ pada nama Allah, yakni Nabi Ibrahim adalah Kholilullah, Nabi Isa adalah Ruhullah,
Nabi Muhammad adalah Habibullah, dan tentunya Nabi Musa adalah Kalamullah, karena beliau
diajak ‘berbicara’ langsung oleh Allah SWT
Untuk menegaskan kenabian dan tugas risalah yang diberikan kepada Nabi Musa, sekali lagi Allah
berfirman kepadanya, seperti disitir dalam QS Thaha 41-44, “(Sesungguhnya) Aku telah
memilihmu untuk diri-Ku, pergilah kamu beserta saudaramu dengan membawa ayat-ayat-Ku, dan
janganlah kamu berdua lalai dalam mengingat-Ku!! Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas, maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-
kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut."
Bagaimanapun juga Nabi Musa masih manusia biasa, yang sedikit banyak masih memiliki rasa
takut. Apalagi menghadapi raja besar dan lalim (kejam) semacam Fir’aun dengan kekuatan bala
tentaranya yang begitu banyak, ditambah lagi ia mempunyai kesalahan membunuh salah seorang
Qibti. Ia mengungkapkan ketakutan dan kekhawatirannya itu, maka Allah berfirman, “Janganlah
kalian berdua takut (menghadapi Fir’aun), sesungguhnya Aku bersama kalian berdua, Aku
Mendengar dan Melihat!!”
Allah mengajarkan kepada Nabi Musa, bagaimana ia harus menghadapi Fir’aun, dan Allah juga
menjanjikan akan menunjukkan tanda-tanda Kebesaran dan Kekuasaan-Nya yang lain kepada
Fir’aun, hingga nantinya berjumlah sembilan (QS Al Isra ayat 101), termasuk tongkat dan telapak
tangan kanannya yang bersinar. Musa turun dari bukit Thursina dengan tekad dan semangat baru
untuk mengemban risalah Allah. Ia memberitahukan secara lengkap kepada keluarganya tentang
apa yang telah dialaminya, termasuk pengangkatan Harun sebagai nabi mendampingi dirinya.
Setelah itu mereka meneruskan perjalanan ke Mesir.
Tiba di Mesir, Nabi Musa dan Nabi Harun langsung menemui Fir’aun, mereka memperkenalkan
diri sebagai utusan Allah Tuhan semesta Alam, dan menyeru atau mendakwahi Fir’aun untuk
menghentikan tindak kemusyrikannya kepada Allah dan penyiksaan kepada kaum Bani Israil.
Fir’aun menanggapinya dengan berkata, “Siapakah Tuhan kalian berdua itu?”
Nabi Musa dan Nabi Harun menjelaskan risalah islamiah yang diembannya. Sempat terjadi
perdebatan antara Musa dan Fir’aun, sebagaimana disitir dalam QS Thaha 50-55. Setelah itu
Fir’aun berkata, “Jika memang benar engkau membawa bukti yang memperkuat pengakuan
(kenabian)mu, tunjukkanlah kepadaku!!”
Musa menunjukkan tongkatnya yang bisa menjelma menjadi ular besar, dan juga tangan kanannya
yang bisa bercahaya cemerlang. Fir’aun dan para punggawanya berkata, “Sungguh Musa ini
seorang ahli sihir yang ulung (sangat pandai)!!”
Tentu saja mereka melakukan penilaian dan mengambil kesimpulan sebatas dengan apa yang
mereka ketahui, dan mu’jizat yang ditunjukkan Nabi Musa mereka anggap tidak banyak berbeda
dengan ‘kegaiban-kegaiban’ yang ditunjukkan oleh para ahli sihir yang tersebar luas di bumi
Mesir. Mereka bermusyawarah sebentar, kemudian memutuskan untuk mengadakan ‘perang-
tanding’ antara Musa dengan ahli-ahli sihir yang tersohor Mesir, pada waktu yang ditentukan.
Nabi Musa menerima tantangan tersebut, bahkan menentukan waktunya, yakni pada hari raya
penduduk Mesir, dan sekaligus mengundang kehadiran mereka semua. Fir’aun menyetujui
permintaan Nabi Musa itu. Tentu saja itu adalah strategi Nabi Musa untuk lebih mudah
memperkenalkan dan menunjukkan dakwah Islamiah kepada masyarakat Mesir, khususnya Bani
Israil yang tinggal di sana.
Dalam masa menunggu ‘perang tanding’ itu, Fir’aun berkata kepada pembesar-pembesarnya,
sebagaimana disitir dalam QS al Qashash 38, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah (buatlah) hai Haman untukku tanah liat, kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhannya Musa, dan sesungguhnya
aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta."
Haman melaksanakan perintah Fir’aun tersebut, dan ketika bangunan tinggi telah selesai dan
Fir’aun naik hingga puncaknya. Ia memandang berkeliling untuk mencari dan menemukan ‘tuhan’
yang dimaksudkannya sebagai Tuhannya Musa, dan tentu saja ia tidak menemukan apa-apa. Hal
itu makin membuatnya sombong dan berteguh bahwa ia adalah tuhan yang sebenarnya bagi
masyarakat Mesir.
Ketika tiba pada waktunya hari raya tersebut, masyarakat Mesir berkumpul di suatu lapangan luas.
Ratusan atau mungkin ribuan ahli sihir telah siap dengan peralatan sihir mereka, berhadapan
langsung dengan Nabi Musa dan Nabi Harun. Fir’aun bersama para pembesarnya duduk di atas
tribun yang telah dipersiapkan untuk mereka. Para ahli sihir itu berkata, “Hai Musa, kamukah
yang akan melemparkan terlebih dahulu, atau kami yang akan melemparkan??”
Nabi Musa mempersilahkan mereka melakukan terlebih dahulu, dan begitu mereka melepaskan
tali-tali, tongkat-tongkat, dan semua peralatan sihir mereka, muncullah ribuan ular yang menjalar
dan bergerak cepat menuju Nabi Musa dan Nabi Harun. Masyarakat Mesir sempat ketakutan
melihat pemandangan tersebut, tetapi Nabi Musa berdiri dengan tenang, kemudian beliau
melemparkan tongkat beliau, yang seketika menjadi ular yang jauh lebih besar. Seketika ular
mu’jizat tersebut mencaplok habis semua ular penjelmaan sihir yang berjumlah ribuan itu, hanya
dalam waktu yang sangat singkat.
Para ahli sihir itu, yang mereka sangat ‘profesional dan pakar’ di bidangnya, segera saja
mengetahui bahwa apa yang ditunjukkan Nabi Musa itu bukanlah sihir seperti yang mereka
lakukan, tetapi benar-benar tanda-tanda kekuasaan Allah yang Maha Besar. Hampir semua dari
mereka tunduk bersujud dan berkata, “Kami beriman kepada Tuhan semesta alam, yaitu Tuhannya
Musa dan Harun!!”
Fir’aun sangat marah dengan perkembangan yang sungguh tidak diduganya itu. Apalagi sebagian
masyarakat Mesir, khususnya kaum Bani Israil yang tertindas, segera mengikuti jejak para ahli
sihir tersebut mempercayai Nabi Musa, walau mungkin mereka tidak berani secara ekstrim
bersujud atau menunjukkan keimanannya pada pemerintahan lalim Fir’aun.
Sebelumnya Fir’aun telah menjanjikan akan memberi hadiah besar dan menjadikan para ahli sihir
itu sebagai orang-orang terdekatnya jika berhasil mengalahkan Nabi Musa. Tetapi melihat
perkembangan situasi yang seperti itu, ia berkata, “Apakah kamu beriman kepadanya (Musa)
sebelum aku memberi izin kepadamu? Sesungguhnya ini adalah suatu muslihat yang telah kamu
rencanakan di dalam kota ini, untuk mengeluarkan penduduknya dari sini. Sungguh aku akan
memotong tangan dan kakimu dengan bersilang secara bertimbal balik, kemudian sungguh-
sungguh aku akan menyalib kamu semuanya."
Ketika keimanan telah merasuk begitu dalam, ancaman seberat apapun, bahkan kematian dengan
cara yang paling keji, tidak akan mampu melunturkannya. Begitu pula yang terjadi pada para
‘mantan’ ahli sihir yang telah menjadi muslim tersebut. Dengan tegas mereka berkata,
”Sesungguhnya kepada Tuhanlah kami kembali. Dan kamu tidak menyalahkan kami, melainkan
karena kami telah beriman kepada ayat-ayat Tuhan kami ketika ayat-ayat itu datang kepada kami."
Setelah itu mereka mengangkat tangannya dan berdoa, “Ya Tuhan kami, limpahkanlah kesabaran
kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah diri (kepada-Mu)."
Walaupun telah mengancam seperti itu, ternyata Fir’aun tidak berani mewujudkan ancamannya
begitu saja. Sedikit banyak mereka merasa ngeri dengan kemampuan sihir mereka, apalagi
ditambah dengan ‘sihir’ Nabi Musa. Kaum musyrik itu tidak sempat berfikir dan menganalisa,
bahwa begitu (mantan) ahli-ahli sihir itu beriman kepada Allah, tentulah mereka akan segera
meninggalkan praktek-praktek kesyirikan yang pernah mereka lakukan. Begitulah memang ‘cara’
Allah menyelamatkan hamba-hamba-Nya, terkadang melalui jalan yang tidak terduga-duga.
Fir’aun bermusyawarah lagi dengan pembesar-pembesarnya menyikapi situasi terbaru itu. Dan
mereka memutuskan untuk mengulangi cara yang terdahulu, yakni membunuh anak lelaki kaum
Bani Israil dan orang-orang yang beriman kepada Musa, dan hanya membiarkan hidup anak-anak
perempuannya. Mendengar rencana tersebut, mereka mendatangi Nabi Musa dan beliau berdoa
kepada Allah untuk memohon pertolongan dan perlindungan, sekaligus meminta Allah
membinasakan Fir’aun dan bala tentaranya.
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Musa tersebut. Sebelum Fir’aun sempat merealisasikan
rencananya, Mesir dilanda kemarau panjang dan paceklik yang sangat menyengsarakan rakyat dan
merepotkan pemerintahan Fir’aun. Inilah tanda-tanda Kekuasaan Allah dan kebenaran kenabian
Nabi Musa ke tiga, yang ditunjukkan kepada Fir’aun. Belum lagi masalah itu dapat ditanggulangi,
buah-buahan yang biasanya ‘membanjiri’ bumi Mesir, baik dari produksi lokal, atau kiriman dari
daerah-daerah lain di sekitar Mesir, tiba-tiba berkurang dan akhirnya menghilang. Inilah tanda
yang ke empat. Negeri Fir’aun yang terkenal makmur jadi terpuruk dan merana.
Ketika mereka gagal melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi masalah tersebut, Fir’aun
mengirim utusan kepada Musa. Mereka meminta agar Nabi Musa berdoa kepada Allah agar
paceklik yang sedang melanda segera berhenti. Dengan senang hati Nabi Musa memenuhi
permintaan mereka, dan tidak lama kemudian hujan turun. Rakyat Mesir sangat gembira, dan
hanya dalam beberapa bulan saja mereka memperoleh kemakmuran mereka kembali. Tetapi ketika
Nabi Musa mendakwahi mereka kepada jalan kebenaran Islam, dan mengingatkan ‘hukuman’
Allah yang menimpa mereka (yakni paceklik dan kekurangan buah-buahan), mereka mengingkari
hal itu. Mereka berkata, “Ini adalah hasil usaha kami sendiri!!”
Nabi Musa tidak pernah putus asa untuk berdakwah. Setidaknya sebagian besar kaum Bani Israil
telah beriman kepada Allah dan Nabi Musa, begitu juga dengan ‘mantan’ para tukang sihir
tersebut. Hari demi hari pengikut beliau makin banyak, dan akhirnya mengerucut menjadi poros
kekuatan selain pasukan Fir’aun, walaupun tanpa senjata. Dan Nabi Musa belum akan berhenti
berdakwah sebelum Allah memerintahkan berhenti. Ketika Fir’aun dan pengikutnya makin ‘bosan’
dengan Nabi Musa dan apa yang beliau sampaikan, mereka berkata, “Bagaimanapun kamu
mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami
sekali-kali tidak akan beriman kepadamu."
Mendengar jawaban tersebut, Nabi Musa berdoa kepada Allah agar sekali lagi menurunkan
hukuman sekaligus tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada masyarakat yang ingkar tersebut. Tidak
terlalu lama kemudian muncullah angin topan dan air bah yang memporak-porandakan dan
menggenangi tempat tinggal mereka selama tujuh hari penuh. Inilah tanda yang ke lima.
Setelah angin topan dan air bah menghilang, Allah mengirimkan ‘pasukan’ belalang yang
jumlahnya jutaan ekor. Mereka ‘membabat’ habis areal persawahan dan kebun buah-buahan
mereka, sehingga mereka kahabisan persediaan makanan. Keadaannya jauh lebih parah dibanding
ketika mereka dilanda musim paceklik. Tidak cukup itu, belalang-belalang itu juga memasuki
rumah-rumah dan istana Fir’aun sehingga mereka dalam keadaan yang benar-benar tersiksa. Inilah
tanda yang ke enam.
Setelah beberapa hari berlalu, dan belalang-belalang itu telah ‘menyelesaikan’ tugasnya sesuai
dengan perintah Allah, tiba-tiba saja mereka pergi menghilang entah kemana? Fir’aun dan
masyarakat Mesir yang mendukungnya agak bernafas lega. Tetapi belum beberapa hari berlalu,
Allah mengirim ‘pasukan’ yang lain untuk menghukum kaum yang ingkar dan lalim tersebut.
Entah darimana datangnya, tiba-tiba Mesir ‘diserang’ oleh jutaan kutu, ulat dan sejenis serangga
kecil lainnya, yang memenuhi pelosok dan rumah-rumah tinggal mereka. Mereka jauh lebih
menderita dari sebelumnya, karena binatang-binatang ini tampak lebih menjijikkan. Inilah tanda
yang ke tujuh.
Ketika kutu-kutu itu menghilang, mereka belum sempat bernafas lega ketika Allah mengirimkan
‘pasukan’-Nya yang lain. Jutaan ekor katak tiba-tiba saja menyerbu bumi Mesir, mereka
memenuhi rumah-rumah dan merusak makanan-makanan kaum yang dholim tersebut. Inilah tanda
yang ke delapan. Tidak cukup sampai di situ, Allah ‘mengubah’ air-air mereka menjadi darah. Air
sumur, air kolam, air sungai, dan berbagai air lainnya, begitu mereka menyimpan atau mau
menggunakannya, segera saja berubah menjadi darah. Dan inilah tanda yang ke sembilan.
Ketika ‘musibah-musibah’ sebanyak lima kali (macam) tersebut melanda, pengaruhnya sedikit
sekali kepada orang-orang yang beriman. Sepertinya ‘pasukan-pasukan’ Allah tersebut mempunyai
sensor yang sangat peka terhadap ‘nilai’ keimanan, sehingga mereka tidak menyerang Nabi Musa
dan orang-orang beriman yang mengikutinya.
Ketika Fir’aun dan rakyatnya berada pada tingkat penderitaan yang tidak tertahankan lagi, ia
mengirimkan utusan menemui Nabi Musa dan berkata, sebagaimana disitir pada QS al A’raaf 134,
“Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, dengan (perantaraan) kenabian yang
diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab-azab itu
daripada kami, pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israel pergi
bersamamu."
Nabi Musa dengan senang hati memenuhi permintaan mereka, ia memanjatkan doa kepada Allah
agar menghentikan siksaan-Nya kepada Fir’aun dan rakyat yang mendukungnya. Allah memenuhi
doa Nabi Musa, dalam sekejab katak-katak itu menghilang dan air-air mereka menjadi normal
seperti sediakala. Dalam beberapa bulan saja mereka kembali menjalani kehidupan yang lebih
baik, dan kemudian menjadi makmur seperti sediakala. Hanya saja Fir’aun dan bala tentaranya
agak berhati-hati untuk tidak ‘mengganggu’ Nabi Musa dan Bani Israil. Dua kali mereka
menjalani ‘pengalaman’ pahit, dan tidak ingin mengalaminya untuk ke tiga kalinya.
Nabi Musa dan orang-orang yang beriman, khususnya dari kalangan Bani Israil menjalani
kehidupan dengan nyaman selama beberapa waktu lamanya. Mereka sempat membeli beberapa
rumah untuk dijadikan tempat ibadah (masjid), dan mereka shalat di dalamnya. Dakwah Nabi
Musa makin menyebar, tetapi tetap tidak mampu menembus dinding istana ‘pemerintahan lalim’
Fir’aun. Suatu ketika Nabi Musa mendatangi Fir’aun untuk ‘menagih janji’, bahwa ia akan
beriman kepada Allah dan dirinya sebagai Nabi, jika berhasil menghilangkan musibah yang
menimpa mereka. Tetapi seperti sebelumnya, Fir’aun mengingkari janjinya.
Nabi Musa tidak bisa bersabar lagi, ia ingin memakai doa ‘pamungkas’-nya untuk menghancurkan
Fir’aun. Setiap nabi memang mempunyai satu doa mustajab, yang Allah pasti akan memenuhi doa
tersebut bagaimanapun keadaannya. Dan hampir semua nabi telah menggunakan doa tersebut
ketika masih hidup di dunia, termasuk Nabi Musa dalam keadaan di atas, kecuali Nabi
Muhammad SAW. Beliau (Nabi SAW) menggunakan doa mustajab tersebut untuk menyelamatkan
(memberi syafaat) kepada manusia, khususnya umat beliau pada yaumul makhsyar kelak.
Nabi Musa mengangkat kedua tangannya dan berdoa, sebagaimana disitir dalam QS Yunus 88,
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir'aun dan pemuka-pemuka
kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka
menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan
kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang
pedih."
Allah mengabulkan doa Nabi Musa tersebut, tetapi Dia tetap memerintahkan untuk tinggal di
Mesir, sampai waktu yang diperintahkan (diijinkan) untuk meninggalkan negeri itu. Nabi Musa
meneruskan dakwah Islamiah beliau, khususnya kepada kaum Bani Israil, untuk makin
memantapkan keimanan mereka. Dan jika sewaktu-waktu datang perintah Allah untuk
meninggalkan Mesir, mereka dengan ringan dan senang hati mau mengikuti Nabi Musa.
Setelah beberapa tahun berlalu, tampaknya ‘penyakit’ Fir’aun mulai muncul lagi. Mereka mulai
melakukan tekanan dan penyiksaan kepada Bani Israil seperti sebelumnya. Mungkin inilah
memang rencana Allah, Bani Israil dikondisikan untuk tidak kerasan lagi di Mesir. Ketika tingkat
penyiksaan begitu kerasnya, mereka mendatangi Nabi Musa. Dan pada saat yang bersamaan telah
datang perintah Allah agar Nabi Musa dan seluruh Bani Israil segera meninggalkan Mesir,
melakukan perjalanan pada malam harinya (isra’) menuju bumi Palestina. Mereka melakukannya
dengan diam-diam sehingga tidak seorangpun dari pasukan Fir’aun atau orang Qibti yang
mengetahuinya.
Keesokan harinya, ketika pasukan Fir’aun akan melakukan ‘operasi’ penyiksaan seperti biasanya,
mereka mendapati pemukiman dan tempat-tempat kerja Bani Israil dalam keadaan kosong
melompong. Mereka melaporkan hal itu kepada Fir’aun, yang segera saja ia menyusun pasukan
untuk mengejar Musa dan kaum Bani Israil. Fir’aun sendiri yang memimpin pasukannya untuk
melakukan pengejaran tersebut, dan berencana akan membantai habis mereka. Walaupun
tertinggal semalaman penuh, akhirnya mereka bisa melihat rombongan Nabi Musa dan Bani Israil
yang telah mendekat ke pantai. Mereka tampak sangat gembira, karena tidak mungkin ada jalan
lari bagi Nabi Musa dan kaum Bani Israil.
Rombongan Bani Israil mengalami ketakutan yang tak terperikan, ketika lautan luas menghadang
di depan mereka, yakni Laut Merah, sementara jauh di belakang mereka tampak pasukan Fir’aun
terus mendekat. Sebagian dari mereka sempat mencaci-maki Nabi Musa dan Nabi Harun, dan
berfikir akan mati dihabisi oleh pasukan Fir’aun. Dalam keadaan seperti itu, Allah berfirman
kepada Musa untuk memukulkan tongkatnya ke lautan, yang segera saja terbentuk jalan cukup
luas dengan dua dinding air di kanan kirinya. Sungguh suatu mu’jizat yang tidak bisa dijelaskan
secara logika atau akal sehat. Segera saja kaum Bani Israil berjalan cepat melalui jalan tersebut
untuk menghindari pengejaran Fir’aun yang telah semakin dekat. Sebagian riwayat menyebutkan,
jalan pada lautan yang terbelah itu terdiri dari duabelas jalur, dan masing-masing kelompok
(kabilah) pada kaum Bani Israil berada pada jalannya masing-masing.
Ketika Fir’aun dan pasukannya tiba di pantai, rombongan Nabi Musa telah separuh jalan di tengah
Laut Merah tersebut. Tanpa pikir panjang lagi, Fir’aun menggerakkan pasukannya untuk turun ke
jalan yang membelah lautan itu. Jarak keduanya makin dekat saja, tetapi begitu orang terakhir dari
rombongan Nabi Musa menginjakkan kaki di pantai seberangnya, dinding air itu ‘roboh’ kembali
seperti sediakala, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya.
Al Qur’an menjelaskan, ketika Fir’aun timbul tenggelam di lautan meregang nyawanya (sakaratul
maut), ia mengucapkan kalimat keimanan sebagaimana disitir QS Yunus ayat 90, “Aamantu
annahuu laa ilaaha illaal ladzii aamanat bihii banuu israa-iila wa ana minal muslimiin.”
Maksudnya adalah, “Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh
Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah, yakni muslimin)."
Fir’aun mengulang-ulang ucapannya, sehingga menyebabkan malaikat Jibril yang melihat
pemandangan itu sangat khawatir kalau Allah menurunkan rahmat-Nya kepada Fir’aun. Ia segera
turun ke dasar lautan mengambil segenggam lumpur, dan menyumbatkannya ke mulut Fir’aun
sehingga ia tidak bisa mengucapkan lagi kalimat-kalimat itu. Tetapi ternyata Allah menjawab
langsung kalimat keimanan Fir’aun tersebut, sebagaimana disitir dalam QS Yunus ayat 91,
“Apakah sekarang (kamu baru percaya/beriman?), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka
sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan!!”
Sebagian ulama menyebutkan, Allah ‘merealisasikan’ doa Nabi Musa tersebut, yakni
menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya di laut Merah, setelah berlalu hampir empat puluh
tahun sejak Nabi Musa menggunakan doa mustajabnya, dan Allah menyatakan mengabulkan
permintaan (doa) Nabi Musa.
Ada sebagian orang-orang Bani Israil yang tidak percaya begitu saja bahwa Fir’aun telah
mati tenggelam. Mereka beralasan bahwa selama ini Fir’aun mengaku sebagai tuhan, sehingga
bisa saja ia mempunyai kekuatan ‘super’ untuk menyelamatkan diri. Mendengar pernyataan
tersebut, Nabi Musa berdoa kepada Allah, dan tidak lama kemudian, sebuah ombak besar
melemparkan jasad Fir’aun yang telah kaku ke pantai, di hadapan semua orang-orang Bani Israil.
Tentang hal ini, Al Qur’an menjelaskan dalam Surat Yunus ayat 92, “Maka pada hari ini Kami
selamatkan badanmu (Fir’aun), supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang
datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan
Kami!!”

46
Waspada dalam Persahabatan

Syahdan ada empat ekor binatang yang bersahabat di dalam hutan, yakni singa, serigala, ajag dan
seekor gagak. Singa yang dianggap sebagai raja dan memang terkuat, selalu aktif mencari
makanan, sedangkan tiga temannya cenderung pasif, kalau tidak bisa dikatakan sebagai malas.
Mereka hanya mengandalkan pembagian atau makanan yang diberikan/disisakan oleh sang singa.
Untungnya sang singa cukup bijaksana dan dermawan kepada sahabat-sahabatnya.
Suatu ketika ada onta yang terlepas dari suatu kafilah dan tersesat masuk hutan, dan ia bertemu
dengan sang singa. Sang singa berkata, “Darimana kamu datang, dan apa yang kamu inginkan??”
Sang unta menceritakan keadaan yang menimpanya dan berkata, “Saat ini saya ingin menemani
engkau, wahai sang raja!!”
Sang singa berkata, “Jika engkau memang ingin berteman dengan aku, maka engkau akan tetap
bersamaku dalam keadaan aman dan berkecukupan. Sesungguhnya engkau berada dalam
perlindunganku!!”
Kemudian sang singa mengumumkan ke seluruh penduduk hutan tentang jaminan
perlindungan yang diberikannya kepada sang unta, sehingga ia hidup tentram di sana, bahkan ia
menjadi anggota baru dalam persahabatan mereka. Hanya saja sang unta tidak tergantung kepada
sang singa dalam hal makanan seperti tiga temannya yang lain, karena ia hanya makan rumput-
rumputan saja.
Suatu ketika sang singa terlibat pertarungan dengan seekor gajah, dan ia terluka parah
karena terkena gadingnya. Ia mundur dari pertarungan tersebut dan jatuh tersungkur ketika tiba di
sarangnya. Sang singa dalam keadaan sakit selama berhari-hari dan tidak bisa mencari makan.
Mungkin bagi sang singa sendiri tidak terlalu masalah karena pada dasarnya ia memang punya
cadangan makanan (lemak) di dalam tubuhnya, dan bisa bertahan tanpa makan hingga ia pulih
kembali. Tetapi bagi tiga orang temannya, serigala, ajag dan gagak tidak demikian, mereka dalam
keadaan kelaparan karena tidak ada mangsa yang ditangkap sang singa. Untuk mencari makan
sendiri, mereka cenderung kesulitan karena tidak terbiasa sebelumnya. Sedangkan bagi unta tidak
ada masalah, karena makanannya tidak tergantung pada sang singa.
Suatu ketika tiga hewan sahabat lamanya itu menjenguk sang singa yang sedang ditemani
oleh unta. Segera saja singa berkata, “Kalian tentulah kelaparan dan menjadi lemah, karena aku
belum bisa menangkap mangsa untuk kalian!!”
Salah satu dari mereka berkata, “Kami tidak meresahkan diri kami sendiri, tetapi keadaan
engkau sebagai raja kami yang kami khawatirkan. Apalagi kami tidak bisa berbuat sesuatu untuk
meringankan penderitaan engkau!!”
Sang singa berkata, “Aku tidak menyangsikan kesetiaan dan persaudaraan kalian. Tetapi
jika memungkinkan, keluarlah dan carilah makanan untuk kalian dan juga untukku!!”
Mereka bertiga keluar dan mendiskusikan permintaan sang singa. Sang serigala berkata,
“Apa perduli kita dengan pemakan rumput itu (yakni unta)!! Marilah kita mendorong
(menyarankan) raja kita untuk memangsanya, dan juga untuk makanan kita!!”
“Itu tidak mungkin!!” Kata sang ajag, “Kita tidak mungkin menyarankannya karena raja
telah memberikan jaminan perlindungan kepadanya!!”
Sang gagak berkata, “Serahkan urusan itu kepadaku!!”
Ketika unta sedang tidak bersama singa, sang gagak segera menemui singa dan
mengajukan usul sang serigala. Singa langsung marah dengan usulan tersebut, ia berkata, “Tidak
pernah kubayangkan engkau akan mengajukan usulan seperti itu, dimanakah rasa setia kawanmu?
Tidakkah engkau tahu, tidak ada perbuatan yang lebih mulia daripada melindungi orang (atau
binatang) yang sedang dalam kesusahan, dan mengelakkan pertumpahan darahnya!!”
Sang gagak kembali kepada dua temannya dalam keadaan lunglai. Mereka bertiga tepekur
merenungi nasibnya. Tetapi tiba-tiba sang gagak berteriak, “Aku punya ide!!”
Kemudian ia membisikkan rencana atau muslihat jahat kepada kedua temannya, dan
mereka menyetujuinya. Keesokan harinya mereka menemui sang singa yang sedang ditemani
unta. Sang gagak berkata, “Wahai tuanku raja, saya menyadari bahwa engkau membutuhkan
sesuatu untuk mengembalikan kesehatanmu. Selama ini engkau telah bermurah hati kepadaku,
karena itu aku ingin berkorban, menyerahkan diriku untuk menjadi makananmu!!”
Sang unta memandang gagak dengan mata berbinar, ia begitu kagum dengan ‘kemuliaan’
jiwa gagak yang mau berkurban demi kesehatan rajanya. Tetapi tiba-tiba sang ajag berkata,
“Cukup, tidak mungkin engkau bisa memuaskan sang raja dengan tubuhmu yang begitu kecil.
Tetapi tubuhku akan cukup untuk menjadi makanannya, biarlah aku saja yang berkurban untuk
sang raja!!”
Sang unta mengalihkan pandangannya kepada ajag dengan penuh kekaguman, seperti
ketika ia memandang gagak sebelumnya. Tetapi kemudian didengarnya sang serigala berkata,
“Tidak mungkin itu dilakukan, semua orang (atau, binatang) tahu bahwa perutmu kotor, penuh
dengan barang busuk dan angin. Lagipula dagingmu sangat busuk. Biarlah aku saja yang
berkurban, dagingku ini pantas untuk makanan sang raja!!”
Kali ini sang unta memandang kepada serigala dengan pandangan yang sama dengan
sebelumnya, penuh kekaguman. Ia tidak menyangka bahwa sebenarnya ia sedang dijebak untuk
memasuki jalan kematiannya. Belum sempat ia berkata apa-apa, didengarnya sang gagak berkata,
“Setiap orang (atau binatang) tahu, barang siapa yang ingin bunuh diri, hendaknya ia makan
daging serigala. Niscaya dia akan terkena penyakit diphteria, dan akan segera mati!!”
Sang unta yang telah terkagum-kagum dengan ‘jiwa mulia’ para sahabatnya itu, yang mau
mengurbankan diri demi sang raja, tanpa pikir panjang lagi berkata, “Inilah daging saya, sedap dan
mudah dicerna, akan sangat memuaskan bagi sang raja!!”
Sang gagak, ajag dan serigala segera saja berkata, “Engkau benar!! Sungguh suatu
persembahan yang perwira, dan kami setuju!!”
Segera saja ketiganya menerkam dan mencabik-cabik tubuh sang unta. Darah mengucur
deras, sang unta roboh meregang nyawa dan mati seketika. Sang singa yang dalam keadaan sangat
lemah, tidak mampu mencegah terjadinya peristiwa itu. Ia hanya bisa memandang sedih dan tidak
percaya dengan peristiwa yang terjadi begitu cepatnya. Tampaknya ia harus lebih waspada dalam
memilih teman dan sahabatnya di kemudian hari.

Anda mungkin juga menyukai