Anda di halaman 1dari 18

Ucapan Selamat Pada Momen-Momen Bahagia

Hukum Tahniah

Hukum asal dalam memberikan ucapan selamat pada moment-moment bahagia


dibolehkan. Ibnu Baththah rahimahullah dalam al-Ibanah telah menukil adanya
kesepakatan para ulama atas hal tsb dengan perkataan beliau,

‫مل يزل الناس عىل هتنئة بعضهم ببعض يف جح أو معرة أو‬


‫ تقبل هللا ننا ومنمك‬: ‫غريها بقوهلم‬
“Manusia (para sahabat) senantiasa memberikan ucapan selamat sebagiannya
kepada sebagian yang lain ketika haji, umrah dan yang selainnya, dengan
ucapan : Taqabbalallahu minna wa minkum“.

Ijma’ ini adalah dalil atas bolehnya saat-saat yang membahagiakan selain hari-
hari raya. Sepertt kelulusan, kembalinya dari safar, umrah atau haji dll.

Dan jika berupa amalan ketaatan, maka yang diucapkan: “Taqabbalallahu


minna wa minka“. Dan jika selain itu (ketaatan) maka yg diucapkan selain
adalah ucapan tersebut yang disesuaikan kondisinya. Akan tetapi dilarang
menyerupai Ahli kitab dan orang-orang musyrik dalam ucapan-ucapan selamat
dan adat-adat mereka.

Maka intinya, hukum asal dalam ucapan selamat adalah boleh.

Riwayat-riwayat yang datang dalam Tahniah


1. Riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam

Yang shahih datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam ada tiga macam:

a. Pernikahan

Berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu,


– ‫أن النيب صىل هللا عليه وسمل اكن إ ذا رفأ إنساان‬
‫يعين إ ذا هنأه يف ناكحه – قال ” ابرك هللا كل وابرك‬
‫ رواه أبو داود بسند‬. ” ‫عليك ومجع بينكام يف خري‬
‫حصيح‬
“Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila memeberikan
selamat sesorang dalam pernikahannya, beliau
mengucapkan, Baarakallahu laka wa baaraka alaika wa jama’a
bainakuma fi khair” (HR. Abu Dawud dg sanad yg shahih).

b. Taubat

Kisah Ka’ab Bin Malik radhiyallahu anhu dan perkataan shahabat


kepadanya,

‫ِلهَت ْ ِن َك تَ ْوب َ ُة هللا عَلَ ْي َك‬


“Selamat untukmu, Allah telah menerima taubatmu”. (Muttafaq ‘alaih)

Sebagaimana terdapat dalam Shahihain. Dan ini termasuk sunnah karena


disetujui Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Dari Ibnu Syihab, dari Abdurrahman bin Abdullah bin Ka’ab bin Malik,
diriwayatkan, bahwa Abdullah bin Ka’ab bin Malik -dia adalah
penuntun Ka’ab dari anak-anaknya saat Ka’ab menjadi buta- berkata:
“Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang kisahnya saat tidak
ikut dalam perang Tabuk.

Ka’ab bercerita, ‘Saya tidak pernah absen dalam peperangan yang


dipimpin oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam kecuali perang
Tabuk. Hanya saja, saya juga tidak ikut dalam perang Badar, tapi
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menegur orang-orang
yang absen saat itu. Sebab Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam -saat
itu- hanya ke luar untuk mencegat kafilah onta yang membawa
dagangan kaum Quraisy. Dan tanpa ada rencana sebelumnya, ternyata
Allah Ta`ala mempertemukan kaum muslimin dengan musuh mereka.
Tapi saya pernah ikut bersama Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam pada malam (Baiatul) Aqabah, saat itu kami mengadakan janji
setia terhadap Islam. Dan peristiwa ini lebih saya senangi ketimbang
peristiwa perang Badar, walaupun perang Badar itu lebih sering
dikenang oleh banyak orang!’

Sehubungan dengan perang Tabuk, ceritanya begini. Saya tidak pernah


merasa lebih kuat secara fisik dan lebih mudah secara ekonomi
ketimbang saat saya absen dalam perang itu. Demi Allah, saya tidak
pernah punya dua kendaraan (kuda), tetapi ternyata saat perang itu saya
bisa mempunyai dua kendaraan. Sebelum Tabuk, bila
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam mengajak para sahabat untuk
perang, biasanya beliau selalu tidak menerangkan segala sesuatunya
dengan jelas dan terang-terangan. Tetapi dalam perang ini,
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berterus terang kepada para
sahabat. Sebab, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam akan
melangsungkan peperangan ini dalam kondisi cuaca yang sangat panas.
Beliau akan menempuh perjalanan yang jauh, melalui padang pasir yang
begitu luas. Dan beliau juga akan menghadapi musuh dalam jumlah
besar. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjelaskan semua ini
pada para sahabat. Saat itu, jumlah kaum muslimin memang banyak.
Tidak ada catatan yang menyebutkan nama-nama mereka secara
lengkap.’

Ka’ab berkata, ‘Dari saking banyaknya, sampai-sampai tak ada seorang


pun yang ingin absen saat itu kecuali dia menyangka tidak akan
diketahui selagi wahyu tidak turun dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melangsungkan perang Tabuk


itu di saat buah-buahan dan pohon-pohon yang rindang tumbuh dengan
suburnya. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum
muslimin telah bersiap-siap, hampir saja saya berangkat dan bersiap-siap
dengan mereka. Tapi ternyata saya pulang dan tidak mempersiapkan
apa-apa. Saya berkata dalam hati, ‘Saya bisa bersiap-siap nanti.’
Begitulah, diulur-ulur, sampai akhirnya semua orang sudah benar-benar
siap. Di pagi hari, Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah
berkumpul bersama kaum muslimin untuk berangkat. Tetapi saya tetap
belum mempersiapkan apa-apa. Saya berkata, ‘Saya akan bersiap-siap
sehari atau dua hari lagi, kemudian saya akan menyusul mereka setelah
mereka berangkat.’ Saya ingin bersiap-siap, tapi ternyata saya pulang
dan tidak mempersiapkan apa-apa. Begitulah setiap hari, sampai
akhirnya pasukan kaum muslimin benar-benar sudah jauh dan perang
dimulai. Saat itu saya ingin berangkat untuk menyusul mereka, tapi
sayang, saya tidak melakukannya. Saya tidak ditakdirkan untuk
berangkat.
Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan kaum muslimin
keluar dari kota Madinah, aku keluar dan berputar-putar melihat orang-
orang yang ada. Dan yang menyedihkan, yaitu bahwa saya tidak melihat
kecuali yang dicurigai sebagai munafik atau orang lemah yang memang
mendapat keringanan dari Allah Ta`ala. Sementara itu,
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam tidak menyebut-nyebut saya
sampai beliau tiba di Tabuk. Di sana, beliau duduk-duduk bersama para
sahabat dan bertanya, ‘Apa yang diperbuat Ka’ab?’ Ada seseorang dari
Bani Salamah yang menyahut, ‘Ya Rasulullah, dia itu tertahan oleh
pakaiannya dan bangga dengan diri dan penampilannya sendiri.’
Mendengar itu Muadz bin Jabal berkata, ‘Alangkah jeleknya apa yang
kamu katakan. Demi Allah ya Rasulullah, kami tidak mengetahui dari
Ka’ab itu kecuali kebaikan.’ Maka Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam diam.’

Ka’ab melanjutkan ceritanya, ‘Ketika saya mendengar bahwa beliau


bersama pasukan kaum muslimin menuju kota Madinah kembali, saya
mulai dihinggapi perasaan gundah. Saya pun mulai berfikir untuk
berdusta, saya berkata, ‘Bagaimana saya bisa bersiasat dari kemarahan
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam besok?’

Untuk itu, saya minta bantuan saran dari keluarga saya. Setelah ada
informasi bahwa Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sudah mulai
masuk kota Madinah, hilanglah semua kebatilan yang sebelumnya ingin
saya utarakan.

Saya tahu, bahwa tidak mungkin saya bisa bersiasat dari kemarahan
beliau dengan berdusta. Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam telah tiba, dan biasanya bila beliau tiba dari suatu perjalanan,
pertama kali beliau masuk ke masjid, lalu shalat dua rakaat, kemudian
duduk-duduk menemui orang-orang yang datang.

Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam duduk, berdatanganlah


orang-orang yang tidak ikut berperang menemui beliau. Mereka
mengajukan berbagai macam alasan diikuti dengan sumpah -jumlah
mereka lebih dari 80 orang- Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam menerima mereka secara lahir dan membai’at mereka serta
memintakan ampunan. Adapun rahasia-rahasia hati, semuanya beliau
pasrahkan kepada Allah Ta`ala.
Saya pun datang menemui beliau dan mengucapkan salam. Beliau
tersenyum sinis, kemudian berkata, ‘Kemarilah!’ Saya berjalan sampai
duduk di hadapan beliau. Lalu beliau bertanya, ‘Apa yang membuatmu
tidak ikut serta? Tidakkah kau sudah membeli kendaraanmu?’ Saya
jawab, ‘Ya benar. Demi Allah, sekiranya aku sekarang duduk di
hadapan orang selain engkau dari seluruh penduduk dunia ini, tentu aku
bisa selamat dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan tertentu.
Aku telah dikaruniai kepandaian berdiplomasi. Akan tetapi, demi Allah,
aku yakin, kalau hari ini aku berdusta kepada engkau dan engkau rela
menerima alasanku, niscaya Allah akan menanamkan kemarahan diri
engkau kepadaku. Dan bila aku berbicara jujur kepada engkau, maka
engkau akan menjadi marah karenanya. Sesungguhnya aku
mengharapkan pengampunan dari Allah Ta`ala. Tidak, demi Allah,
sama sekali saya tidak mempunyai alasan apa pun secara fisik dan lebih
lapang secara ekonomi daripada saat aku tidak ikut serta dengan
engkau.’(Maksudnya dalam perang Tabuk. (Pen)) Maka
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam berkata, ‘Orang ini telah
berkata jujur, bangun dan pergilah sampai Allah Ta`ala memberikan
keputusan dalam masalahmu ini!’ Saya pun berdiri dan pergi. Saat itu
orang-orang dari Bani Salamah mengikutiku, mereka berkata, ‘Demi
Allah, kami tidak pernah mengetahui bahwa engkau pernah berbuat
kesalahan sebelum ini. Mengapa engkau tidak mengajukan kepada
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam alasan-alasan seperti yang
dilakukan orang lain yang juga tidak ikut? Dan dosamu nanti akan
hilang dengan istighfar (permintaan ampun) Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam untukmu.’ Mereka terus menerus mencerca saya
sampai-sampai saya sempat berfikir untuk kembali kepada
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan meralat pembicaraan saya
yang pertama. Kemudian saya bertanya pada mereka, ‘Adakah orang
yang mendapatkan perlakuan sama denganku?’ Mereka menjawab, ‘Ya,
ada dua orang lagi yang mengatakan seperti apa yang kau katakan dan
mendapatkan jawaban seperti jawaban yang kau terima.’ Saya bertanya
lagi, ‘Siapa mereka?’ Mereka menjawab, ‘Murarah bin Ar-Rabi’ Al-
Amry dan Hilal bin Umayyah Al-Waqify.’ Mereka menyebutkan nama
dua orang yang pernah ikut perang Badar dan mereka bisa dijadikan
panutan. Setelah mendengar dua nama yang mereka sebutkan itu saya
terus pergi.

Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam lalu melarang kaum muslimin


berbicara dengan kami bertiga di antara orang-orang yang tidak ikut
bersama beliau. Akibatnya, orang-orang semua meninggalkan kami dan
sikap mereka pun berubah, bahkan dunia ini pun seolah juga berubah,
tidak sama dengan dunia yang saya kenal sebelumnya.
Kami merasakan hal demikian selama 50 hari. Selama itu, dua teman
senasib saya hanya berdiam diri dan duduk di rumah masing-masing
sambil menangis. Berbeda dengan saya, saya termasuk yang paling
muda dan paling kuat menahan ujian ini. Saya pergi keluar dan ikut
shalat berjamaah, tetapi tidak ada satu pun yang mau berbicara dengan
saya. Saya datangi Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dan saya
ucapkan salam kepada beliau saat berada di tempat duduknya seusai
shalat. Saya berkata dalam hati, ‘Adakah Rasulullah menggerakkan
kedua bibirnya untuk menjawab salamku atau tidak?!’ Kemudian saya
shalat di dekat beliau, saya mencuri pandangan. Saat saya sedang shalat,
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam melihat kepada saya. Tapi bila
saya menoleh kepadanya, beliau berpaling dari saya. Setelah cukup lama
orang-orang meninggalkan saya, suatu saat saya pergi memanjat dinding
kebun Abu Qatadah -dia adalah sepupu saya dan termasuk orang yang
paling saya cintai-. Saya mengucapkan salam kepadanya, tetapi -demi
Allah- dia tidak menjawab salam saya. Saya berkata, ‘Wahai Abu
Qatadah! Demi Allah aku bertanya, adakah engkau tahu bahwa aku ini
mencintai Allah dan Rasul-Nya?’ Dia diam saja. Saya kembali bertanya
tapi dia tetap diam. Saya bertanya sekali lagi, akhirnya dia juga
menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya sendiri yang lebih tahu.’ Air mata saya
berlinang dan saya kembali memanjat dinding itu lagi.

Ketika saya berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba ada seorang bangsawan


dari Syam. Dia termasuk para pedagang yang datang membawa
makanan untuk dijual di Madinah. Dia berkata, ‘Siapa yang dapat
menunjukkan di mana Ka’ab bin Malik?’

Orang-orang yang ada di situ menunjukkannya. Setelah dia mendatangi


saya, dia menyerahkan pada saya sebuah surat dari Raja Ghassan.
Dalam surat itu tertulis, ‘Aku telah mendengar bahwa kawanmu (yaitu
Nabi Muhammad) telah meninggalkanmu, sementara engkau tidaklah
dijadikan oleh Allah berada pada derajat yang hina dan terbuang.
Datanglah kepada kami, kami akan menghiburmu.’ Setelah membaca
surat itu saya bergumam, ‘Ini termasuk rangkaian ujian Allah.’ Lalu
saya bawa surat itu ke tungku dan membakarnya.

Setelah berlalu 40 hari dari total 50 hari, utusan Rasulullah shallallahu


`alaihi wasallam datang kepada saya. Katanya, ‘Sesungguhnya
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam telah menyuruhmu untuk
menjauhi isterimu!’ Saya bertanya, ‘Apakah saya harus menceraikannya
atau bagaimana?’, dia menjawab, ‘Tidak, jauhilah dia dan janganlah kau
mendekatinya’. Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam juga
mengirimkan utusan beliau kepada dua rekan senasib saya. Maka saya
meminta pada isteri saya, ‘Pergilah kau ke tempat keluargamu.
Menetaplah di sana sampai Allah Ta`ala memutuskan masalah ini!’
Ka’ab berkata, ‘Isteri Hilal bin Umayyah datang menemui
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, dia berkata, ‘Wahai Rasulullah,
Hilal bin Umayyah itu sudah tua renta, dan dia tidak mempunyai
pembantu. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?’
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam menjawab, ‘Tidak, tetapi jangan
sampai dia mendekatimu!’ Isterinya menjawab, ‘Demi Allah, dia sudah
tidak bisa bergerak lagi dan dia masih tetap menangis sejak dia
mempunyai masalah ini sampai hari ini juga.’ Sementara itu sebagian
keluarga saya berkata, ‘Bagaimana sekiranya engkau juga minta izin
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam dalam masalah isterimu,
agar dia bisa melayanimu seperti isteri Hilal bin Umayyah.’ Tetapi saya
menjawab, ‘Demi Allah, dalam masalah ini aku tidak akan minta izin
kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Aku tidak tahu apa
yang akan dikatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bila
aku minta izin kepada beliau, sementara aku ini masih muda?!’

Saya berada dalam kondisi demikian selama sepuluh malam, sehingga


jumlahnya 50 malam dari mulai pertama kali Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam melarang orang untuk berbicara pada kami. Pada hari
yang ke-50, saya menghadiri shalat Shubuh, setelah itu saya duduk-
duduk, sementara kondisi saya persis seperti yang digambarkan oleh
Allah Ta`ala, diri sendiri terasa sempit, begitu juga bumi yang luas ini
terasa sempit bagi saya. Saat saya duduk dalam keadaan demikian, tiba-
tiba saya mendengar suara orang yang berteriak dengan lantang di atas
bukit, ‘Wahai Ka’ab, bergembiralah!’ Saat itu juga saya langsung sujud,
saya tahu bahwa masalah saya akan berakhir. Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam mengumumkan datangnya taubat (pengampunan)
Allah atas kami bertiga saat beliau selesai shalat Shubuh. Banyak orang
pergi menemui kami untuk menyampaikan kabar gembira. Sebagian
mereka ada yang menemui dua kawan senasib saya, dan ada seseorang
yang ingin menemui saya dengan berkuda. Sementara itu ada seorang
Bani Aslam yang hanya berjalan kaki, lalu dia naik ke bukit dan
meneriakkan kabar gembira pada saya. Ternyata suara itu lebih cepat
dari pada kuda. Setelah orang yang naik ke bukit itu datang menemui
saya untuk menyampaikan langsung, saya tanggalkan pakaian saya dan
saya hadiahkan untuknya sebagai imbalan atas kabar gembiranya. Demi
Allah, sebenarnya saya ini tidak mempunyai baju lagi selain itu.
Akhirnya saya meminjam baju orang, kemudian berangkat menemui
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Orang-orang datang berduyun-
duyun mengucapkan selamat atas kabar gembira ini. Mereka
mengatakan,

‫ِلهَت ْ ِن َك تَ ْوب َ ُة هللا عَلَ ْي َك‬


‘Selamat atas pengampunan Allah untukmu!’

Setelah itu saya masuk ke dalam masjid, di situ terlihat


Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam sedang duduk di kelilingi
banyak orang. Tiba-tiba Thalhah bin Ubaidillah bangun dan menuju ke
arah saya dengan setengah lari. Dia menjabat tangan saya dan
mengucapkan selamat. Tidak ada seorang pun dari kaum Muhajirin yang
bangun selain dia, dan saya tidak akan melupakannya.

Setelah saya mengucapkan salam kepada Rasulullah shallallahu `alaihi


wasallam, beliau berkata -dengan wajah bersinar penuh kegembiraan-,
‘Bergembiralah dengan datangnya sebuah hari yang paling baik yang
pernah engkau lalui semenjak kau dilahirkan oleh ibumu.’ ‘Dari engkau
atau dari Allah, ya Rasulullah?’ tanya saya. Beliau menjawab, ‘Bukan
dariku, tapi dari Allah.’ Dan demikianlah, bila Rasulullah shallallahu
`alaihi wasallam sedang gembira, wajah beliau bersinar seperti bulan.
Kami semua tahu hal itu. Setelah aku duduk tepat di hadapan
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, saya berkata, ‘Wahai
Rasulullah, sebagai pertanda taubat ini, aku akan melepas semua hartaku
dan menjadikannya sebagai shadaqah untuk Allah dan Rasul-Nya.’
Rasulullah menjawab, ‘Ambillah sebagian dari hartamu, ini lebih baik
untukmu.’ Saya berkata, ‘Ya, aku akan mengambil jatahku yang aku
dapatkan dari perang Khaibar.’ Setelah itu saya ungkapkan kepada
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya
Allah Ta`ala telah menyelamatkan aku dengan kejujuran, dan sebagai
pertanda taubatku kepada Allah, aku berjanji bahwa aku akan selalu
berkata jujur selama hidupku. Demi Allah, aku tidak mengetahui
seorang muslim yang diuji oleh Allah dalam kejujuran kata-katanya
melebihi ujian yang aku dapatkan.’

Dan sejak aku ungkapkan hal itu kepada Rasulullah shallallahu `alaihi


wasallam, saya tidak pernah berdusta sampai hari ini. Saya memohon
semoga Allah tetap menjaga saya selama sisa hidup saya. Dan
Allah Ta`ala menurunkan firman-Nya kepada Rasul-Nya:
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang
Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa
kesulitan. Setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling,
kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka dan terhadap
tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas,
dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta
mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allahlah
yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang jujur.” (At-Taubah: 117-119).
Demi Allah, tidak ada nikmat yang telah Allah karuniakan kepada saya
-setelah nikmat hidayah Islam- yang lebih besar dari nikmat kejujuran
saya kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam. Saya tidak ingin
berdusta tapi kemudian binasa seperti binasanya orang-orang yang telah
berdusta. Dan Allah Ta`ala telah memberikan komentar tentang orang-
orang yang berdusta -di dalam wahyu yang diturunkan-Nya- dengan
kata-kata yang sangat keras dan jelek.

Allah Ta`ala berfirman,
“Kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah apabila
kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka.
Maka itu berpalinglah dari mereka, karena mereka itu adalah najis dan
tempat mereka adalah Jahannam, sebagai balasan atas apa yang telah
mereka kerjakan. Mereka akan bersumpah kepadamu agar kamu rela
kepada mereka. Tetapi, jika sekiranya kamu rela kepada mereka, maka
sesungguhnya Allah tidak rela kepada orang-orang yang fasik itu.” (At-
Taubah: 95-96).

Ka’ab berkata,

“Kami bertiga tidak memperhatikan lagi orang-orang yang diterima


alasan mereka setelah bersumpah kepada Rasulullah shallallahu `alaihi
wasallam, kemudian beliau menyumpah mereka dan memintakan
ampun buat mereka, sementara itu beliau menangguhkan urusan kami
sampai Allah sendiri yang memutuskan. Oleh karena itu
Alah Ta`ala menyatakan,

‫َوعَىَل الثَّلَثَ ِة اذَّل ِ َين ُخ ِل ّ ُفو ْا‬


”(Dan Allah juga telah menerima taubat) tiga orang yang ditangguhkan
(penerimaan taubat) mereka.”

Yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah tidak ikut sertanya kami bertiga
dalam perang, tetapi yang dimaksud adalah ditangguhkannya taubat
kami serta tidak diikutsertakannya kami pada kelompok orang-orang
yang telah bersumpah dan mengemukakan alasan dan diterima oleh
Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam.”(H.R. Al-Bukhari
(8/113)), Kitabul Maghazi, bab Hadits Ka’ab bin Malik.)

Sumber: Kisah-Kisah Nyata Tentang Nabi, Rasul, Sahabat, Tabi`in,


Orang-orang Dulu dan Sekarang, karya Ibrahim bin Abdullah Al-
Hazimi, penerjemah Ainul Haris Arifin, Lc. (alsofwah.or.id)

c. Al-Ilmu

Berdasarkan perkataan Nabi shallallahu alaihi wa sallam kepada Ubay


bin Ka’ab radhiyallahu anhu,

‫ِلهَي ْ ِن َك الْ ِعمْل ُ اَي َأاَب الْ ُم ْن ِذ ِر‬


“Hendaklah engkau bergembira dengan ilmu wahai Abul Mundzir!”

Ubay bin Ka’ab al-Anshari salah seorang sahabat mulia. Seorang sahabat
Anshar yang disebut qari’nya (pembaca Alqurannya) Rasulullah. Ia
datang ke Mekah. Bertemu Rasulullah dan menawarkan Kota Madinah,
negeri yang aman untuk hijrah beliau. Berikut ini tulisan pertama dari dua
tulisan tentang sahabat yang mulia, Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu.

Mengenal Qari Rasulullah


Dia adalah Ubay bin Ka’ab bin Qays al-Khazraji al-Anshari. Ia memiliki
dua kun-yah. Rasulullah memberinya kun-yah Abu al-Mundzir.
Sedangkan Umar bin al-Khattab menyebutnya Abu aht-Thufail. Karena ia
memiliki seorang putra yang bernama ath-Thufail.

Ubay adalah seorang laki-laki yang rambut dan janggutnya berwarna


putih. Namun ia tak mengubah warna perak rambut kepalanya itu dengan
inay. Atau pewarna lainnya.

Allah Ta’ala memilih Ubay termasuk salah seorang yang pertama-tama


memeluk Islam. Ia bersyahadat saat Baiat Aqobah kedua. Saat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, ia dipersaudarakan dengan
Said bin Zaid. Salah seorang dari sepuluh orang sahabat utama, al-
muabsyiruna bil jannah.

Dididik Sang Nabi


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah pendidik yang handal.
Beliau memberi teladan dengan lisan dan perbuatan. Apa yang beliau
ajarkan menancap di hati. Menjadi guratan-guratan yang muncul dalam
perbuatan. Ubay pun merasakan murninya pendidikan nubuwah itu.

‫عن أيب هريرة أن رسول هللا خرج عىل أيب بن‬


‫ فالتفت‬،‫ “اي ُأ ّيب” وهو يصيل‬:‫ فقال رسول هللا‬،‫كعب‬
‫ وصىل أ ّيب خففف مث انرصف إ ىل رسول‬،‫أيب ومل جيبه‬
‫ فقال رسول‬.‫ السالم عليك اي رسول هللا‬:‫ فقال‬،‫هللا‬
:‫ فقال‬.”‫ “ما منعك اي أيب أن جتيبين إ ذ دعوتك؟‬:‫هللا‬
‫ “أفمل جتد فامي‬:‫ قال‬.‫ إ ين كنت يف الصالة‬،‫اي رسول هللا‬
‫ول َذا َدعَامُك ْ ِل َما‬ِ ‫أويح إ َّيل {ا ْس َت ِجي ُبوا هَّلِل ِ َو ِل َّلر ُس‬
‫ِإ‬
‫ وال أعود إ ن شاء‬،‫ بىل‬:‫]؟” قال‬24 :‫حُي ْ ِييمُك ْ } [األنفال‬
‫هللا‬.
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemui Ubay bin Ka’ab. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata, “Wahai Ubay.” Saat itu Ubay sedang shalat. Ia hanya
menoleh, tapi tidak menjawab panggilan Nabi. Ubay melanjutkan
shalatnya. Dan menyegerakannya.

Setelah itu ia menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.


“Assalamu’alaika ya Rasulullah,” sapa Ubay. Rasulullah bersabda, “Hai
Ubay, apa yang menghalangi untuk menjawab panggilanku saat aku
menanggilmu tadi?” “Wahai Rasulullah, tadi aku sedang shalat,” jawab
Ubay.

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapi, “Tidakkah engkau


mendapati sesuatu yang diwahyukan kepadaku ‘Penuhilah seruan Allah
dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang
memberi kehidupan kepada kamu’?” [Quran Al-Anfal: 24].

“Iya (aku telah mengetahuinya). Aku tidak akan mengulanginya lagi,


insyaallah,” janji Ubay. (Sunan at-Turmudzi, Kitab Fadhail Quran, Juz: 5:
2875).

Perhatikanlah, bagaimana para sahabat dalam menanggapi perintah


Rasulullah. Mereka tidak membantah. Tidak mengedepankan hasrat dan
keinginan mereka. Ketika mengetahui bahwa Rasulullah menafsirkan
ayat tersebut demikian. Mereka pun berazam untuk mengamalkannya.
Tentu ini menjadi teladan bagi kita. Bagaimana adab ketika mendengar
atau membaca hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
tentang perintah dan larangan.

Rasulullah melarang kita dari riba, mendekati zina, dll. Beliau


memerintahkan wanita muslimah untuk mengenakan hijab yang
sempurna. Ingatlah pesan Allah yang disampaikan Rasulullah dalam
Surat Al-Anfal ayat 24 tersebut.

‫ول َذا َدعَامُك ْ ِل َما‬ ِ ‫اَي َأهُّي َا اذَّل ِ َين آ َمنُوا ا ْس َت ِجي ُبوا هَّلِل ِ َو ِل َّلر ُس‬
ِ‫ول بَنْي َ الْ َم ْر ِء َوقَلِْإ ِب ِه َوَأن َّ ُه ل َ ْيه‬
ُ ُ ‫حُي ْ ِييمُك ْ ۖ َوا ْعلَ ُموا َأ َّن اهَّلل َ حَي‬
‫ِإ‬
َ ُ ‫حُت ْ رَش‬
‫ون‬
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul
apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan
kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara
manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan
dikumpulkan.” [Quran Al-Anfal: 24].
Dalam riwayat Imam Ahmad dengan sanad dari Abu Hurairah dari Ubay
bin Ka’ab bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“‫أال أعلمك سورة ما أنزل يف التوراة وال يف الزبور‬


:‫ قال‬.‫ بىل‬:‫وال يف اإلجنيل وال يف القرآن مثلها؟” قلت‬
.”‫“فإين أرجو أن ال خترج من ذكل الباب حىت تعلمها‬
‫ فأخذ بيدي جفعل‬،‫مث قام رسول هللا فقمت معه‬
‫ اي‬:‫ فذكّرته فقلت‬:‫ قال‬.‫حيدثين حىت بلغ قرب الباب‬
‫ “فكيف تقرأ‬:‫ قال‬.‫ السورة اليت قلت يل‬،‫رسول هللا‬
،‫ “يه يه‬:‫ قال‬،‫إ ذا مقت تصيل؟” فقرأ بفاحتة الكتاب‬
‫”ويه السبع املثاين والقرآن العظمي اذلي أوتي ُته‬.
“Maukah kuajarkan kepadamu suatu surat yang tidak Dia turunkan yang
semisalnya dalam Taurat dan Injil. Juga tidak ada pada Alquran yang
semisalnya?” Ubay menjawab, “Tentu.” “Aku berharap sebelum engkau
keluar dari pintu itu, engkau telah mempelajarinya,” kata Rasulullah.

Kemudian Rasulullah berdiri. Dan aku berdiri bersamanya. Beliau


mengandeng tanganku sambil mengajarkanku. Sampai beliau hampir
sampai di pintu.

Aku berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, mana surat yang Anda
janjikan untukku?”

Beliau berkata, “Apa yang engkau baca saat shalat?”

“Aku membaca surat Al-Fatihah,” jawabku.

“Itulah dia. Itulah dia (surat yang tidak terdapat dalam Injil dan Taurat.
Bahkan dalam Alquran yang menyamai kemuliaannya). Surat itu adalah
tujuh yang berulang-ulang. Dan Alquran yang agung yang diwahyukan
padaku.”

Dalam riwayat yang lain, Ubay memperlambat langkahnya. Karena


sangat ingin mendengar surat yang dijanjikan Rasulullah untuknya.
Demikianlah semangatnya Ubay bin Ka’ab dan sahabat-sahabat lainnya
memperoleh ilmu dari Rasulullah.

Kemuliaan Ubay bin Ka’ab

ُّ ‫ قَا َل النَّيِب‬: ٍ ‫روى البخاري بسنده َع ْن َأن َ ِس ْب ِن َماكِل‬


‫ “ َّن اهَّلل َ َأ َم َريِن َأ ْن َأ ْق َرَأ عَلَ ْي َك {ل َ ْم يَ ُك ْن اذَّل ِ َين‬: ·ٍّّ ‫ُألٍيَب‬
ْ ‫ِإ‬
،”‫ “ن َ َع ْم‬:‫ َومَس َّايِن ؟! قَا َل‬:‫ قَا َل‬.”}‫َك َف ُروا ِم ْن َأه ِْل ال ِكتَ ِاب‬
‫فَ َبىَك‬.
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu, Nabi berkata kepada Ka’ab, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanku untuk membacakan kepadamu ‘Orang-orang kafir
yakni ahli Kitab… [Quran Al-Bayyinah: 1]”

“Dia (Allah) menyebut namaku, wahai Rasulullah,” tanya Ubay penuh


haru. “Iya,” jawab Nabi. Ubay pun menangis. (HR. al-Bukhari 4959)

‫فاكن ممن مجعوا القرآن عىل عهد رسول هللا؛ ففي‬


:‫ سألت أنس بن ماكل‬:‫البخاري بسنده عن قتادة قال‬
‫ أربعة لكهم من‬:‫من مجع القرآن عىل عهد النيب؟ قال‬
‫ وزيد بن‬،‫ ومعاذ بن جبل‬،‫ أيب بن كعب‬:‫األنصار‬
‫ وأبو زيد ريض هللا عهنم مجي ًعا‬،‫اثبت‬.
Ubay adalah orang yang mencatat dan menyusun Alquran di zaman
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imam al-Bukhari meriwayatkan
dengan sanadnya dari Qatadah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Anas
bin Malik, ‘Siapa yang mengumpulkan Alquran di masa Nabi?’ Anas
menjawab, ‘Ada empat orang. Semuanya dari kalangan Anshar. Ubay bin
Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, dan Abu Zaid -radhiallahu
‘anhum jami’an’.” (HR. al-Bukhari, 5003).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa ia adalah


orang yang paling fasih bacaan Alqurannya di umat ini. Dari Anas bin
Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫َأ ْر َح ُم ُأ َّميِت ِبُأ َّميِت َأبُو بَ ْك ٍر َوَأ َش ُّدمُه ْ يِف َأ ْم ِر اهَّلل ِ مُع َ ُر‬
‫َوَأ ْصدَ قُه ُْم َح َي ًاء ُعثْ َم ُان َوَأ ْعلَ ُمه ُْم اِب لْ َحاَل ِل َوالْ َح َرا ِم ُم َعا ُ·ذ‬
·ِّّ ‫ْب ُن َج َب ٍل َوَأفْ َرضُ ه ُْم َزيْدُ ْب ُن اَث ب ٍِت َوَأ ْق َر ُؤمُه ْ ُأيَب ٌّ َو ِلِلُك‬
ِ‫ُأ َّم ٍة َأ ِم ٌني َوَأ ِم ُني َه ِذ ِه اُأْل َّم ِة َأبُو ُع َب ْيدَ َة ْب ُن الْ َج َّراح‬
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar.
Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar.
Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui
halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu
fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling
bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang
kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin
Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakui luasnya ilmu Ubay bin


Ka’ab. Dalam Shahih Muslim terdapat sebuah hadits dari Ubay bin
Ka’ab, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

“‫ أتدري أي آية من كتاب هللا معك‬،‫اي أاب املنذر‬


‫ “اي أاب‬:‫ قال‬.‫ هللا ورسوهل أعمل‬:‫ قلت‬:‫أعظم؟” قال‬
”‫ أتدري أي آية من كتاب هللا معك أعظم؟‬،‫املنذر‬
:‫ قال‬.”‫ “اهَّلل ُ َال هَل َ الَّ ه َُو الْ َح ُّي الْ َقيُّو ُم‬:‫ قلت‬:‫قال‬
‫مْل‬ ِ ْ ِ ِ ِ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫ َ“واهَّلل لهَي ْن َك الع ُ َأاَب‬:‫فرضب يف صدري وقال‬
‫”الْ ُم ْن ِذ ِر‬.
“Wahai Abu al-Mundzir, tahukah engkau satu ayat yang paling agung
dalam Kitabullah yang kau hafal?” Ubay menjawab, “Allah dan Rasul-
Nyalah yang lebih mengetahui.” “Wahai Abu al-Mundzir, tahukah
engkau satu ayat yang paling agung dalam Kitabullah yang kau hafal?”
Rasulullah ingin Ubay menjawabnya. Aku menjawab, “Allaahu laa ilaaha
illaa huwa al-Hayyu al-Qayyum… (Allah Dialah yang tidak ada
sesembahan selain Dia. Yang Maha Hidup dan terus-menerus mengurusi
makhluknya).” Kemudian Rasulullah menderapkan tangannya di dadaku
dan mengatakan, “Demi Allah, semoga dadamu dipenuhi dengan ilmu,
wahai Abu Mundzir.” (HR. Muslim 810).

Banyak tokoh-tokoh sahabat yang belajar Alquran dari Ubay. Di antara


mereka: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Abdullah bin Saib, Abdullah bin
Ayyasy bin Abi Rabi’ah, Abu Abdurrahman as-Sulami -radhiallahu ‘anhu
jami’an-.

Kemuliaan lainnya yang disandang sahabat Anshar ini adalah sebagai


penulis wahyu. Ubay adalah orang pertama di Madinah yang menuliskan
wahyu untuk Rasulullah. Kalau tidak ada Ubay, baru Rasulullah
memanggil Zaid bin Tsabit. Di zaman Umar, ia diangkat menjadi hakim
di Yaman.

2. Riwayat dari sahabat Nabi

Yang diriwiyatkan dari para shahabat. Dan hanya ada satu macam yaitu
ucapan selamat pada hari raya.

Telah shahih dr mereka secara umum atsar yg datang dr Jubair Bin Nufair,
dimana dia berkata:
‫ول اهَّلل ِ َصىَّل اهَّلل ُ عَلَ ْي ِه َو َسمَّل َ َذا ِالْ َت َق ْوا ي َ ْو َم‬
ِ ‫اب َر ُس‬ ُ َ ‫اَك َن َأحْص‬
‫ِ ِ ِإ‬
‫هللا منَّا ومنمك‬ ُ ‫الْ ِعي ِد ي َ ُق‬
ُ ‫ تَقبَّ َل‬: ‫ول ب َ ْعضُ ه ُْم ِل َب ْع ٍض‬

Adalah para shahabat apabila bertemu pada hari raya sebagian mereka
mengucapkan kepada sebagian yang lain.

‫هللا ِمنَّا و ِمنمك‬


ُ ‫تَقبَّ َل‬
“Semoga Allah menerima amalan kami dan juga amalan kalian”.

3. Riwayat dari Tabi’in

Yang diriwayatkan dari tabiin. Ada dua macam:

a. Hari raya.

b. Kelahiran anak.

Telah shahih dr Ayyub as-Sikhtiyani bahwa beliau apabila memberikan


selamat kepada seseorang yang anaknya baru lahir, beliau mengucapkan
kepadanya,

‫هللا ُم َب َاراًك عَلَ ْي َك َوعَىَل ُأ َّم ِة ُم َح َّم ٍد صىل هللا عليه‬


ُ ُ ‫َج َعهَل‬
‫وسمل‬
“Semoga Allah menjadikannya sebagai keberkahan bagimu dan bagi umat
Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam”.

Dan telah datang pula riwayat yg shahih dari Hasan al-Bashri rahimahullah.

Maka 5 macam ini min bab diyanah (yang telah datang keterangannya


dalam agama)
1. Ilmu
2. Taubah
3. Nikah
4. ‘Ied
5. Lahirnya anak

Adapun yang selain itu, maka termasuk perkara yg dibolehkan selama tidak
terdapat penyerupaan terhadap Ahli Kitab.

Sumber: https://muslim.or.id/28578-ucapan-selamat-pada-momen-momen-
bahagia.html
Read more https://kisahmuslim.com/5960-ubay-bin-kaab-yang-paling-fasih-
bacaan-alqurannya.html

Anda mungkin juga menyukai