ُ مِري امل ُ ْؤ ِم ِننْي َ َأيِب َح ْف ٍص مُع َ َر ْب ِن اخل ََّط ِاب َريِض َ اهَّلل ِ َع ْن َأ
:ول ُ هللا ﷺ ي َ ُق ِ مَس ِ ْع ُت َر ُسو َل:َع ْن ُه قَ ا َل
فَ َم ْن، َوإ ن َّ َم ا ِللُك ِّ ا ْم ِرى ٍء َم ا ن َ َوى،ات ِ « ن َّ َم ا اَألمْع َ ُال اِب ل ِنّ َّي
ِإ
، ِ هللا َو َر ُس ُوهِل ِ هللا َو َر ُس ْوهِل ِ فَهِ ْجرتُ ُه ىَل ِ اَك ن َْت جِه َْرتُ ُه ىل
ِإ ِإ
َو َم ْن اَك ن َْت جِه َْرتُ ُه دِل ُ نْ َيا يُ ِص ْيهُب َا َأ ِو ا ْم رَأ ٍة ي َ ْن ِك ُحهَ ا فَهِ ْج َرتُ ُه ىَل
ِإ
»َما َها َج َر إ ل َ ْي ِه
هللا ُم َح َّم ِد ْب ِن مْس َ ا ِع ْي َل ْب ِن ِ َر َوا ُه َما َم ا امل ُ َح ِّد ِثنْي َ َأبُ ْو َع ْب ِد
ِإ ْ ِإ
ُ َوَأبُ ْو ال ُح َس نْي ِ ُم ْس مِل،ْب َرا ِهمْي َ ْب ِن امل ُ ِغرْي َ ِة ْب ِن بَ ْر ِد ْزب َ َه ال ُب َخ ِار ُّي
حَص ْ ْ ِإ
يِف ِ ْي َحهْي ِ َما،ْب ُن ال َح َّجاجِ ْب ِن ُم ْس مِل ٍ ال ُق َش رْي ِ ُّي النَّي َْس ابُ ْو ِر ُّي
.الذَّل َ ْي ِن مُه َا َأحَص ُّ ال ُك ُت ِب امل ُ َصنَّ َف ِة
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khatab -Rodliallohu anhu- ,
beliau berkata, ” Aku mendengar Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
bersabda: ” Sesunggunya amal-amal itu (harus) dengan niat. Maka barangsiapa
hijrahnya kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya, maka (pahala) hijrahnya
(dinilai) kepada Alloh dan RosulNya, dan barangsiapa hijrahnya diniatkan
untuk (kepentingan harta) dunia yang hendak dicapainya atau atau karena
Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat 198 H) berkata,” hadits tentang niat
termasuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu [Al Asybah wan Nadhair hal 43]
beliau juga berkata,” Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, dimulai
dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan
memperbaiki niatnya.” [Syarh Shahih Muslim 13/53], Imam Bukhori pun
memulai kitabnya dengan hadits ini.
Abu Abdillah berkata,” tidak ada satupun hadits yang mencakup (berbagai
masalah) dan paling banyak manfaatnya melainkan hadits ini.” [tuhfatul
Ahwadzi 5/286]
Abdurrahman bin Mahdi, Asy Syafii, Ahmad bin Hambal, Ali Ibnu Madini,
Abu daud, At Tirmidzi, Ad Daraqutni, dan Hamzah Al Kinani. Semuanya
bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. [Fathul Baari 1/10]
Sepertiga ilmu maknaya dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai
berikut ,
” Pokok-pokok Islam terdapat dalam tiga hadits, yaitu :
hadits Umar:” Innamal a’malu bin Niyyat”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,” makna yang ditunjukan oleh hadits ini
merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok
dari setiap amal.” [Majmu Fatawa18/249]
Imam Asy Syaukani berkata,” hadits ini memiliki faedah yang banyak sekali
dan tidak cukup untuk saya jelaskan disini. Meskipun hadits ini fard (gharib),
selayaknya ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” [Nailul Authar 1/159]
Makna Hadits
- …al ’amaalu = arinya amal-amal, kata jamak yang diawali dengan alif lam –
arab—yang menunjukkan arti istighraq yaitu berarti seluruh amal, yang
dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak,
seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan lainnya atau seperti
mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka
tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk
taqarrub kepada Alloh Azza wa Jalla [iqadhaul Himam Al Muntaqo min jamiuil
Uluw wal Hikam hal 30-31].
Jadi maknanya setiap amal harus dengan niat dan tidak ada amal tanpa niat
[lihat nailul Authar1/157]
- ..anniyaat = jamak dari niyyat, yaitu hati yang menyengaja secara sadar
terhadap apa yang dituju/dimaksud mengerjakannya.
Al Baidlowi berkata,” Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan
suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan manfaat atau
mudharat. [Fathul Baari 1/13].
“menurut apa yang ia hijrah kepadanya”, hal ini menunjukkan jelek dan
hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita.
‘Al Hijrah”= asal maknanya adalah “at tarku” yaitu meninggalkan sesuatu.
Sedangkan menurut Istilah Syar’i adalah pindah dari negeri kafir ke negeri
Islam. Hijar ini oleh para ulama dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap
berlaku selama musuh masih diperangi sebagaimana taubat masih diterima
sampai matahari dari barat. [ HR Ahmad 4/99, Abu daud 2479 dan Darimi
2/239 dengan derajat Shahih].
Penjelasan Hadits
Tidak diragukan lagi bahwa niat itu merupakan suatu neraca bagi sahnya suatu
perbuatan dan niat adalah satu kehendak yang pasti sekalipun tidak disertai
dengan amal. maka dari itu kadang-kadang kehendak itu niat yang baik lagi
terpuji dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung
kepada apa yang diniatkan dan juga tergantung kepada pendorong dan
Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi
benar karena niat yang benar dan sebaliknya [lihat ‘I’lamul Muwaqi’in 4/199].
Dalam kalimat pertama Beliau menjelaskan bahwa amal tidak ada artinya tanpa
niat. Sedangkan dalam kalimat kedua beliau menjelaskan bahwa orang yang
melakukan suatu amal tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal
ini mencakup ; ibadah, muamalah, iman, nadzar, jihad dan lainnya.
Pengaruh niat terhadap sah atau tidaknya sudah dijelaskan di atas. Suatu amal
Qurbah (untuk mendekatkan diri kepad Alloh Azza wa Jalla ) harus dilandasi
kepada niat. Suatu tindakan/amalan tidak dikatakan suatu ibadah kecuali disertai
dengan niat dan tujuan. Oleh karena itu meskipun seseorang menceburkan diri
kedalam air tanpa niat mandi atau masuk ke kamar mandi semata untuk
membersihkan diri atau sekedar menyegarkan tubuh, maka itu tidak termasuk
Qurbah dan ibadah.
Contoh lain : Ada seseorang tidak makan seharian karena tidak ada makanan
atau karena pantang makan karena akan menjalani proses operasi medis, maka
ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa walaupun sama-sama tidak
makan.
Seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh
IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 6
atau atau mencari saudaranya tertinggal , maka orang tersebut tidak dikatakan
melakukan ibadah thowaf walaupun sama-sama berputar mengelilingi Ka’bah.
Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam dan firman Alloh Azza wa Jalla terkadang dengan makna iradah dan
terkadang pula dengan makna Qashd dan sejenisnya. Seperti dalam Al Qur’an
Surat 3 ayat 152, dan Surat 17 ayat 18-19.
Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan dapat
bernilai ibadah dan qurbah. Pekerjaan mencari rezki, pegawai, petani,
berdagang, mengajar dan profesi lainnya dapat menjadi ibadah dan jihad fi
sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal
Begitu pula makan, minum, berpakaian jika diniatkan untuk ketaatan kepada
Alloh Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajiban kepada Nya. Orang yang
mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang
lain dan juga untuk membiayai diri dan keluarganya, maka akan dibalas oleh
Alloh Azza wa Jalla atas niatnya itu. [Qowaid wal Fawaid minal Arbain An
Nawawiyah oleh Nazhim Muhammad Sulthon hal 32 cet. Darus Salafiyah 1408
H]
Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam bersabda,
Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa dalil yang paling tepat yang dijadikan
dasar oleh para ulama bahwa seorang hamba akan mendapatkan ganjaran
dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan perkara adat kebiasaan
ialah sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “..dan setiap orang
mendapatkan menurut apa yang ia niatkan..” Niat ini akan diganjar bila
diniatkan untuk taqorrub kepada Alloh Azza wa Jalla, sehingga bila tidak
dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala…[lihat : Syarah Suyuthi atas Sunan
Nasai, dinukil dari Qowaid Wa Fawaid minal Arbain hal 33].
Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang
muslim kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala disisi Alloh Azza wa
Jalla . Dalam sebuah hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,
”Dan dalam persetubuhan salah seorang diantara kalian dengan istrinya terdapat
shodaqoh.” Mereka bertanya,’ Ya Rosululloh, apakah salah seorang diantara
kami melampiaskan syahwatnya kepada istrinya mendapatkan pahala?’, Beliau
Imam Nawawi menjelaskan hadits ini, ”Didalam haits ini ada dalil bahwasanya
perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’
(hubungan suami istri) bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak
istri. Bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan Alloh Azza wa Jalla
atau untuk mendapat anak yang shalih atau untuk menjaga diri dan istrinya agar
tidak terjatuh pada perbuatan yang haram, atau mengkhayalkan yang haram,
atau berkeinginan untuk ini atau untuk lainnya [lihat Syarah Shahih
Muslim7/92]
Akan tetapi meskipun suatu perbuatan mubah dapat dijadikan amal ibadah yang
mendekatkan pelakunya kepada Alloh Azza wa Jalla , namun tetap ia memiliki
syarat-syarat yang ditentukan, yaitu : [ lihat Qoaid wa Fawaid minal Arbain
AnNawawiyah hal 34-35]
Tidak boleh menjadikan perkara mubah sebagai qurbah (ibadah) pada bentuk
dan dzatnya, sebagaimana orang menduga bahwa semata-mata berjalan, makan,
berdiri atau berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Alloh Azza wa Jalla ,
karena itu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mengingkari Abu Israil
berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya. Maka Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk dan
menyempurnakan puasanya [HR Bukhori, Ahmad dan Abu Daud]Hendaknya
yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah -rahimahullah- berkata,” Hendaknya yang mubah dikerjakan dalam
rangka membantu diri untuk melaksanakan ketaatan.”Hendaknya seorang
muslim memandang yang mubah dengan keyakinan bahwa hal itu benar
dimubahkan oleh Alloh Azza wa Jalla .Hendaknya yang mudah itu tidak
menyebabkan pelakunya celaka atau membahayakan dirinya sendiri.
Oleh karena itu barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Alloh Azza
wa Jalla melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan
diatas supaya tidak menghalalkan segala cara agar bernilai di sisi Alloh Azza
wa Jalla.
Barangsiapa mengambil riba atau mencuri harta, atau mencari harta dengan cara
bathil dengan niat untuk membangun mesjid atau mendirikan tenpat panti
asuhan yatim atau mendirikan pesantren atau disedekahkan ke fakir miskin dan
semisalnya maka niat baik ini tidak berpengaruh apa-apa serta tidak bisa
meringankan dosa yang haram.
Seorang pegawai mendapat uang sangat besar dari hasil manipulasi korupsi dan
kolusi, atau seorang penjudi atau pelacur, lalu mereka berniat menolong anak
yatim dan faqir miskin dari hasil pekerjaan yang haram, maka hukumnya tetap
haram dan tidak meringankan dosa yang haram, dan tidak boleh digunakan
untuk berbagai kegiatan kegiatan kebaikan. hasil keharaman tidak bisa
dibersihkan dengan menshodaqohkan uang hasil perbuatan haram, namun harus
keluar secara utuh dari yang haram itu Alloh Azza wa Jalla tidak akan
menerima yang haram walaupun dengan niat yang baik. dari Abu Hurairoh
-Rodliallohu anhu- Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,”
Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali dari yang
baik.” [HR Muslim 1015]
Harta yang haram bukan milik orang yang mendapatkannya. Karena itu tidak
boleh ia bershodaqoh dengan uang tersebut, harta apapun yang dikeluarkan dari
hasil bunga, curian, pelacuran, perdukunan, manupulasi dan semisalnya dari
proses yang haram semua tidak diterima Alloh Azza wa Jalla .
Dari sini kita tahu bahwa Islam menolak prinsip Machiavelli, yakni tujuan
menghalalkan segala cara. Islam juga tidak menerima kecuali dari cara yang
bersih untuk mencapai tujuan yang mulia. jadi niat yang baik harus disertai
dengan cara yang benar dan baik.
Al Qodli Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafii berkata,” Melafadzkan
niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh,
sedangkan jika menggangu orang lain (yakni melafadzkan dengan lisan ketika
sholat-red) maka hukumnya haram. barangsiapa mengatakan bahwa
melafadzkan niat termasuk sunnah, maka dia salah dan tidak halal bagi siapapun
berkata dalam agama Alloh Azza wa Jalla tanpa ilmu.” [lihat Al Qoulul Mubin
fi Akhtha’il Mushollin hal 91-92 oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman cet
IV darul Ibnul Qoyyim 1416H].
Melafalkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun baik dengan riwayat
shahih apalagi dhoif maupun mursal. Tidak seorangpun shohabat Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam yang meriwayatkan dan tidak ada seorang tabi’in
pun yang menganggap baik masalah ini dan tidak pula dilakukan oleh empat
imam madzab, gnafi, Maliki, Syafii dan Ahmad –rahimakumulloh-
Imam Asy Syafii berkata, ”orang yang was-was dalam niat sholat dan bersuci
adalah orang-orang yang bodoh tentang syariat dan rusak pikirannya.” [lihat Al
Amru bil Ittiba’ Wa Nahyu ‘anil Ibtida’ hal 296 tahqiq Syaikh MAshur Hasan
AluSalman cet. Darul Ibnu Qoyyim 1416 H]
Alloh Azza wa Jalla berfirman,”Sungguh telah ada bagi kamu pada diri
Rosululloh contoh teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Alloh dan
hari akhir dan banyak menyebut nama Alloh.” [QS Al Ahzab 21].
Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud dan dengan syarat kedua
kebenaran lahir akan terwujud. tentang syarat pertama telah disebutkan dalam
sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ..”innamaal ‘amaalu bin Niyyat “
Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya. Inilah yang menjadi
timbangan batin/hati, Sedangkan syarat kedua isebutkan dalam hadits
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam, ”Barangsiapa mengerjakan suatu amal
yang tidak ada padanya urusan kami (tidak mengikuti contoh kami), maka
(amalan itu) tertolak.” [HR Muslim].
Alloh Azza wa Jalla telah menghimpun dua syarat ibadah tersebut dalam
beberapa ayat, diantaraya:
“Dan siapakah orang yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan
dan dia mengikuti agama Ibrohim yang lurus (QS An Nisa’ 125]
Dua syarat ini, apabila salah satu atau keduanya tidak dipenuhi, maka amal ini
tidak sah. jadi harus ikhlas dan benar karena Alloh Azza wa Jalla . Ikhlas karena
Alloh Azza wa Jalla dan benar karena mengikuti contoh Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam. lahirnya Ittiba’ sedngkan batinnya Ikhlas.
Bila hilang salah satu syarat ini maka amalnya rusak. Bila hilang keikhlasannya
maka orang ini akan menjadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan
bila ittbanya hilang artinya dia tidak mengikuti petunjuk Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam maka orang ini sesat dan bodoh. [lihat Tafsir Ibnu Katsir
1/616 cet darussalam]
Dari uraian diatas jelaslah bahwa pentingnya niat dalam amal. Niat haruslah