Anda di halaman 1dari 14

Syarah Arbain Nawawi Ke 1

Peran Niat Dalam Amal


Ust. Yazid bin Abdul Qodir Jawas

ُ ‫مِري امل ُ ْؤ ِم ِننْي َ َأيِب َح ْف ٍص مُع َ َر ْب ِن اخل ََّط ِاب َريِض َ اهَّلل‬ ِ ‫َع ْن َأ‬
:‫ول‬ ُ ‫هللا ﷺ ي َ ُق‬ ِ ‫ مَس ِ ْع ُت َر ُسو َل‬:‫َع ْن ُه قَ ا َل‬
‫ فَ َم ْن‬،‫ َوإ ن َّ َم ا ِللُك ِّ ا ْم ِرى ٍء َم ا ن َ َوى‬،‫ات‬ ِ ‫« ن َّ َم ا اَألمْع َ ُال اِب ل ِنّ َّي‬
‫ِإ‬
، ِ ‫هللا َو َر ُس ُوهِل‬ ِ ‫هللا َو َر ُس ْوهِل ِ فَهِ ْجرتُ ُه ىَل‬ ِ ‫اَك ن َْت جِه َْرتُ ُه ىل‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
‫َو َم ْن اَك ن َْت جِه َْرتُ ُه دِل ُ نْ َيا يُ ِص ْيهُب َا َأ ِو ا ْم رَأ ٍة ي َ ْن ِك ُحهَ ا فَهِ ْج َرتُ ُه ىَل‬
‫ِإ‬
»‫َما َها َج َر إ ل َ ْي ِه‬
‫هللا ُم َح َّم ِد ْب ِن مْس َ ا ِع ْي َل ْب ِن‬ ِ ‫َر َوا ُه َما َم ا امل ُ َح ِّد ِثنْي َ َأبُ ْو َع ْب ِد‬
‫ِإ‬ ْ ‫ِإ‬
ُ ‫ َوَأبُ ْو ال ُح َس نْي ِ ُم ْس مِل‬،‫ْب َرا ِهمْي َ ْب ِن امل ُ ِغرْي َ ِة ْب ِن بَ ْر ِد ْزب َ َه ال ُب َخ ِار ُّي‬
‫حَص‬ ْ ْ ‫ِإ‬
‫ يِف ِ ْي َحهْي ِ َما‬،‫ْب ُن ال َح َّجاجِ ْب ِن ُم ْس مِل ٍ ال ُق َش رْي ِ ُّي النَّي َْس ابُ ْو ِر ُّي‬
.‫الذَّل َ ْي ِن مُه َا َأحَص ُّ ال ُك ُت ِب امل ُ َصنَّ َف ِة‬
Dari Amirul Mukminin Abu Hafsh, Umar bin Khatab -Rodliallohu anhu- ,
beliau berkata, ” Aku mendengar Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam
bersabda: ” Sesunggunya amal-amal itu (harus) dengan niat. Maka barangsiapa
hijrahnya kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya, maka (pahala) hijrahnya
(dinilai) kepada Alloh dan RosulNya, dan barangsiapa hijrahnya diniatkan
untuk (kepentingan harta) dunia yang hendak dicapainya atau atau karena

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 1


seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan
tujuan niat ia berhijrah.”
Diriwayatkan dua imam ahli hadits: Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Bukhari dan Abul Husain Muslim
bin Hajjaj bin Muslim Al-Qushairi An-Naisaburi di kedua kitab Shahihnya yang
merupakan dua kitab paling shahih yang pernah disusun. (HR. Al-Bukhari no. 1
dan Muslim no. 1907)
Imam Ibnu Rajab Al Hambali -rahimahullah-(wafat 795 H) berkata,” hadits ini
hadits fard ( gharib) hanya diriwayatkan oleh Yahya  bin Said Al Anshori dari
Muhammad bin Ibrohim At Taimi dan Al Qomah bin Abi Waqosh Al Laitsi 
dari Umar bin Khatab -Rodliallohu anhu- . Tidak ada jalan lain yang shahih
selain jalan ini menurut pendapat Ali Ibnul Madini dan lainnya.”
Imam Al Khattabi berkata,” Aku tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan)
di kalangan ahli hadits tentang masalah ini. Meskipun ada riwayat dari jalan
Abu Said Al Khudri dan lainnya, akan tetapi tidak satupun yang shohih menurut
para huffadh (imam-imam ahli hadits).” [lihat : Jamiul Uluw wal Hikam hal 7
dan Iqodhahul Himam hal 28]
Imam Bazar berkata,” Abu Ali bin As Sakan, Muhammad bin ‘Itab, Ibnul Jauzi
dan selainnya mereka mengatakan bahwa tidak ada satupun hadits yang sah
(tentang hadits Innamal ‘amalu bin niyat) dari seorang shohabat melainkan dari
Umar bin Khathab saja.” [lihat At Talkhisul Habir 1/92]

Asbabul Wurud Hadits

Tentang asbabul wurud (sebab datangnya hadits) diriwayatkan bahwasannya


ada seorang wanita bernama Ummu Qois sudah dilamar oleh seseorang dan dia
tidak mau dinikahi sampai calon suaminya hijrah. Lalu ia hijrah dan kami
menamakan orang tersebut dengan muhajir Ummu Qois. Kisah ini banyak
ditulis dalam beberapa kitab, akan tetapi kisah ini tidak ada asalnya yang
shahih. Wallahu ‘alam [lihat : Jamiul uluw Wal Hikam & Iqadhul Himam hal
37]

Imam Ibnu hajar Al Atsqolani -rahimahullah- berkata,”….tetapi tidak ada


riwayat yang shahih bahwa hadits innamal amalu sebabnya karena itu (ummu
Qois). Aku tidak melihat sedikitpun dari jalan-jalan hadits yang menyebutkan
dengan jelas tentang masalah itu.” [Fathul Baari 1/10].

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 2


Syaikh Salim bin Ied Al Hilali membenarkan perkataan Ibnu rajab bahwa kisah
asbabul wurud hadits diatas tidak benar [Iqadhul Himam Al Muntaqo min
Jami’il Uluw Wal Hikam hal 37]
Kedudukan Hadits

Banyak perkataan para ulama tentang hadits ini, diantaranya :

 Imam An Nawawi -rahimahullah-  berkata ,” kaum muslimin telah ijma’


(sepakat) tentang tingginya hadits ini dan banyak manfaatnya.”

Imam Asy Syafii -rahimahullah- berkata,”Hadits ini merupakan sepertiga ilmu


dan termasuk dalam tujuh puluh bab masalah fiqh.” [Syarah Shahih Muslim
13/53]

Imam Abdurrahman bin Mahdi (wafat 198 H) berkata,” hadits tentang niat
termasuk dalam tiga puluh bab masalah ilmu [Al Asybah wan Nadhair hal 43]

beliau juga berkata,” Selayaknya bagi orang yang menyusun satu kitab, dimulai
dengan hadits ini untuk mengingatkan para penuntut ilmu agar meluruskan dan
memperbaiki niatnya.” [Syarh Shahih Muslim 13/53], Imam Bukhori pun
memulai kitabnya dengan hadits ini.

Abu Abdillah berkata,” tidak ada satupun hadits yang mencakup (berbagai
masalah) dan paling banyak manfaatnya melainkan hadits ini.” [tuhfatul
Ahwadzi 5/286]

Abdurrahman bin Mahdi, Asy Syafii, Ahmad bin Hambal, Ali Ibnu Madini,
Abu daud, At Tirmidzi, Ad Daraqutni, dan Hamzah Al Kinani. Semuanya
bersepakat bahwa hadits ini adalah sepertiga ilmu. [Fathul Baari 1/10]

Sepertiga ilmu maknaya dijelaskan oleh Imam Ahmad bin Hambal sebagai
berikut ,
” Pokok-pokok Islam terdapat dalam tiga hadits, yaitu :
 hadits Umar:” Innamal a’malu bin Niyyat”

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 3


 hadits Aisyah : “Man akhdatsa fii amrinaa hadzaa maa laisa fiihi”
 hadits Nu’man bin Basyir :” Al Halalu bayyan wal Haraamu bayyan.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata,” makna yang ditunjukan oleh hadits ini
merupakan pokok penting dari prinsip-prinsip agama, bahkan merupakan pokok
dari setiap amal.” [Majmu Fatawa18/249]

Sebagian ulama berpendapat bahwa pokok-pokok agama terdiri atas empat


hadits dikarenakan melihat urgensi hadits tersebut.

Imam Asy Syaukani berkata,” hadits ini memiliki faedah yang banyak sekali
dan tidak cukup untuk saya jelaskan disini. Meskipun hadits ini fard (gharib),
selayaknya ditulis (dibahas) dalam satu kitab tersendiri.” [Nailul Authar 1/159]

Makna Hadits

- Innama ‘amaalu  = (innama) susunan seperti ini menunjukkan pengertian


hashr –arab-- /pembatasan, yang diartikan dengan “hanya”. Makna hashr ialah
menetapkan hukum yang disebutkan dan menafikkan selainnya [lihat : Al
Qowaid wal Fawaid minal Arbain An Nawawiyyah hal 25]

- …al ’amaalu = arinya amal-amal, kata jamak yang diawali dengan alif lam –
arab—yang menunjukkan arti istighraq yaitu berarti seluruh amal, yang
dimaksud adalah amal-amal syar’i yang membutuhkan niat. Adapun yang tidak,
seperti kebiasaan makan, minum, berpakaian dan lainnya atau seperti
mengembalikan amanah dan tanggung jawab, atau menghilangkan najis, maka
tidak membutuhkan niat. Akan tetapi ada ganjarannya bagi yang berniat untuk
taqarrub kepada Alloh Azza wa Jalla [iqadhaul Himam Al Muntaqo min jamiuil
Uluw wal Hikam hal 30-31].

Jadi maknanya setiap amal harus dengan niat dan tidak ada amal tanpa niat
[lihat nailul Authar1/157]
- ..anniyaat = jamak dari niyyat, yaitu hati yang menyengaja secara sadar
terhadap apa yang dituju/dimaksud mengerjakannya.

Al Baidlowi berkata,” Niat adalah dorongan hati yang dilihat sesuai dengan
suatu tujuan, berupa mendatangkan manfaat atau mendatangkan manfaat atau
mudharat. [Fathul Baari 1/13].

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 4


Ada yang berpendapat bahwa niat berarti menuju sesuatu yang dibarengi
dengan mengerjakannya. [lihat : Bahjatun Nadhirin 1/31 ]

- innama likullimrii maa nawa : Sesungguhnya setiap orang akan memperoleh


dari Alloh Azza wa Jalla sesuai dengan apa yang diniatkan. Jika ia berniali baik
akan memperoleh kebaikan dan jika ia berniat jelek akan memperoleh balasan
jelek [ Iqodhul Himam 31]

 “ barangsiapa yang hijrahnya kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya


dan barangsiap yang hijrahnya karena dunia yang akan diperoleh atau
wanita yang akan dinikahinya maka hijrahnya menurut apa yang ia hijrah
kepadanya.”

Kata Ibnu Rajab Al Hambali,” ketika Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam


menyebutkan bahwa amalan tergantung dengan niatnya. Baik atau buruk, dua
kalimat ini merupakan dua kaidah yang mencakup dan merupakan contoh
perbuatan yang bentuknya sama akan tetapi hasilnya berbeda. Rusaknya amal
tergantung dari niat. Yang pertama adalah tajir (pedagang) dan yang kedua
adalah khatib (peminang). Keduanya bukan muhajjir sebenarnya [lihat Iqadul
Himam 36-37]

“menurut apa yang ia hijrah kepadanya”, hal ini menunjukkan jelek dan
hinanya orang yang hijrah karena harta dan wanita.

‘Al Hijrah”= asal maknanya adalah  “at tarku” yaitu meninggalkan sesuatu.
Sedangkan menurut Istilah Syar’i adalah pindah dari negeri kafir ke negeri
Islam. Hijar ini oleh para ulama dibagi menjadi beberapa bagian. Hijrah tetap
berlaku selama musuh masih diperangi sebagaimana taubat masih diterima
sampai matahari dari barat. [ HR Ahmad 4/99, Abu daud 2479 dan Darimi
2/239 dengan derajat Shahih].

Penjelasan Hadits
Tidak diragukan lagi bahwa niat itu merupakan suatu neraca bagi sahnya suatu
perbuatan dan niat adalah satu kehendak yang pasti sekalipun tidak disertai
dengan amal.  maka dari itu kadang-kadang kehendak itu niat yang baik lagi
terpuji dan kadang merupakan niat yang buruk lagi tercela. Hal ini tergantung
kepada apa yang diniatkan dan juga tergantung kepada pendorong dan

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 5


pemicunya, apakah untuk dunia semata ataukah untuk akherat ? Apakah untuk
mencari keridloan Alloh Azza wa Jalla atau mencari pujian manusia ?

Sebagaimana sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “…Kemudian


mereka dibangkitkan menurut niat mereka..” [HR Bukhori dan Muslim]

karena peranan niat dalam mengarahkan amal menentukan bentuk dan


bobotnya, maka para ulama menyimpulkan banyak kaedah fiqh yang diambil
dari hadits ini,yang merupakan kaedah yang luas. Diantara kaedah dalam fiqh
tersebut adalah :” Suatu perkara tergantung dari tujuan niatnya.”

Niat dan Tujuan Syariat

Niat adalah ruh amal, inti dan sendinya. Amal itu mengikuti niat. Amal menjadi
benar karena niat yang benar dan sebaliknya [lihat ‘I’lamul Muwaqi’in 4/199].

Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam telah menyampaikan dua kalimat yang


dalam maknanya, yaitu “Sesungguhnya amal-amal itu bergantung niatnya dan
seseorang memperoleh menurut apa yang diniatkannya.”

Dalam kalimat pertama Beliau menjelaskan bahwa amal tidak ada artinya tanpa
niat. Sedangkan dalam kalimat kedua beliau menjelaskan bahwa orang yang
melakukan suatu amal tidak memperoleh apa-apa kecuali menurut niatnya. Hal
ini mencakup ; ibadah, muamalah, iman, nadzar, jihad dan lainnya.

Pengaruh niat terhadap sah atau tidaknya sudah dijelaskan di atas. Suatu amal
Qurbah (untuk mendekatkan diri kepad Alloh Azza wa Jalla ) harus dilandasi
kepada niat. Suatu tindakan/amalan tidak dikatakan suatu ibadah kecuali disertai
dengan niat dan tujuan. Oleh karena itu meskipun seseorang menceburkan diri
kedalam air tanpa niat mandi atau masuk ke kamar mandi semata untuk
membersihkan diri atau sekedar menyegarkan tubuh, maka itu tidak termasuk
Qurbah dan ibadah.

Contoh lain : Ada seseorang tidak makan seharian karena tidak ada makanan
atau karena pantang makan karena akan menjalani proses operasi medis, maka
ia tidak disebut orang yang melakukan ibadah puasa walaupun sama-sama tidak
makan.

Seseorang yang berputar mengelilingi Ka’bah untuk mencari sesuatu yang jatuh
IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 6
atau atau mencari saudaranya tertinggal , maka orang tersebut tidak dikatakan
melakukan ibadah thowaf walaupun sama-sama berputar mengelilingi Ka’bah.

Imam An Nawawi -rahimahullah-  menjelaskan,”Niat itu disyariatkan


untuk beberapa hal berikut :
Pertama: untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat). Misalnya
duduk dimasjid, ada yang berniat istirahat, ada juga yang berniat i’tikaf. Mandi
dengan niat mandi junub berbeda dengan mandi yang hanya sekedar untuk
membersihkan tubuh. yang membedakan diantara ibadah dan kebiasaan adalah
niat.

Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mengisyaratkan hal itu ketika ditanya


tentang seorang lelaki yang berperang/jihad karena riya’ (ingin dilihat orang),
karena fanatisme golongan, dan berperang hanya karena supaya dianggap
pemberani. Yang mana yang berperang/berjihad di jalan Alloh Azza wa Jalla ?
maka Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam menjawab, ”barangsiapa
berperang dengan tujuan agar kalimat Alloh adalah yang paling tinggi maka itu
fi sabilillah.” [Hadits ini diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam shahihnya dalam
bab Kitabul Ilmi, Fathul Baari1/222 no 123 dan Muslim dalam Shahihnya
dalam bab Kitabul Imarah no 1904, Sunan At Timidzino 1652]

Kedua : Untuk membedakan antara satu ibadah dengan ibadah lainnya.


Misalnya seorang mengerjakan sholat empat rakaat. Apakah diniatkan sholat
dhuhur ataukan sholat sunnat yang membedakan adalah niatnya. Demikian pula
orang yang memerdekakan seorang hamba, apakah ia niatkan untuk membayar
kafarah (tebusan) ataukah ia niatkan untuk nadzar atau lainnya. inilah
pentingnya niat [ lihat : Syarah Arbai’n oleh Imam An Nawwawi hal 8].

Kata niat yang sering diulang-ulang dalam hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam dan firman Alloh Azza wa Jalla terkadang dengan makna iradah dan
terkadang pula dengan makna Qashd dan sejenisnya. Seperti dalam Al Qur’an
Surat 3 ayat 152, dan Surat 17 ayat 18-19.

Pengaruh Niat Terhadap Hal-Hal yang  Mubah dan Kebiasaan

Karena besarnya pengaruh niat, maka hal-hal yang mubah dan kebiasaan dapat
bernilai ibadah dan qurbah. Pekerjaan mencari rezki, pegawai, petani,
berdagang, mengajar dan profesi lainnya dapat menjadi ibadah dan jihad fi
sabilillah selagi pekerjaan itu dimaksudkan untuk menjaga dirinya dari hal-hal

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 7


yang haram dan mencari yang halal serta tidak bertentangan dengan perintah
atau larangan Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya.

Begitu pula makan, minum, berpakaian jika diniatkan untuk ketaatan kepada
Alloh Azza wa Jalla dan melaksanakan kewajiban kepada Nya. Orang yang
mencari nafkah untuk menjaga dirinya agar tidak meminta-minta kepada orang
lain dan juga untuk membiayai diri dan keluarganya, maka akan dibalas oleh
Alloh Azza wa Jalla atas niatnya itu. [Qowaid wal Fawaid minal Arbain An
Nawawiyah oleh Nazhim Muhammad Sulthon hal 32 cet. Darus Salafiyah 1408
H]

Seperti hadits Sa’ad bin Abi Waqash bahwa Rosululloh Sholallahu Alaihi
Wassalam bersabda,

”Sesungguhnya apabila engkau menafkahkan hartamu dan dengannya engkau


mencari wajah Alloh, maka engkau akan diberi pahala lantaran nafkahmu itu
sampaipun apa yang engkau suapkan ke mulut istrimu.” [HR Bukhori dalam
Fathul Baari 1/136 dan Muslim 1628].

Imam Nawawi mengambil istimbath dari hadits diatas bahwa memberikan


suapan kepada istri biasanya terjadi pada waktu bergurau dan ketika timbul
syahwat dan yang demikian itu jelas, namun bila dilakukan untuk mencari
ganjaran pahala, maka ia akan memperolehnya dengan keutamaan dari Alloh
Azza wa Jalla. [Fathul Baari 1/137].

Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa dalil yang paling tepat yang dijadikan
dasar oleh para ulama bahwa seorang hamba akan mendapatkan ganjaran
dengan niat yang baik dalam perkara yang mubah dan perkara adat kebiasaan
ialah sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam “..dan setiap orang
mendapatkan menurut apa yang ia niatkan..” Niat ini akan diganjar bila
diniatkan untuk taqorrub kepada Alloh Azza wa Jalla, sehingga bila tidak
dengan tujuan itu, tidak akan diberi pahala…[lihat : Syarah Suyuthi atas Sunan
Nasai, dinukil dari Qowaid Wa Fawaid minal Arbain hal 33].

Bahkan yang lebih mengagumkan lagi, nafsu seksual yang disalurkan seorang
muslim kepada istrinya pun dapat mendatangkan pahala disisi Alloh Azza wa
Jalla . Dalam sebuah hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,
”Dan dalam persetubuhan salah seorang diantara kalian dengan istrinya terdapat
shodaqoh.” Mereka bertanya,’ Ya Rosululloh, apakah salah seorang diantara
kami melampiaskan syahwatnya kepada istrinya mendapatkan pahala?’, Beliau

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 8


menjawab.’bagaimanakah menurut pendapat kalian jika ia melampiaskan
syahwatnya kepada yang haram, bukankah dia mendapatkan dosa? Begitu pula
jika ia memenuhi syahwatnya pada yang halal, maka ia pun akan mendapat
pahala.”[HR Muslim 1006]

Imam Nawawi  menjelaskan hadits ini, ”Didalam haits ini ada dalil bahwasanya
perkara yang mubah dapat menjadi perbuatan taat dengan niat yang benar. Jima’
(hubungan suami istri) bisa menjadi ibadah jika diniatkan untuk memenuhi hak
istri. Bergaul dengan cara yang baik yang diperintahkan Alloh Azza wa Jalla
atau untuk mendapat anak yang shalih atau untuk menjaga diri dan istrinya agar
tidak terjatuh pada perbuatan yang haram, atau mengkhayalkan yang haram,
atau berkeinginan untuk ini atau untuk lainnya [lihat Syarah Shahih
Muslim7/92]

Akan tetapi meskipun suatu perbuatan mubah dapat dijadikan amal ibadah yang
mendekatkan pelakunya kepada Alloh Azza wa Jalla , namun tetap ia memiliki
syarat-syarat yang ditentukan, yaitu : [ lihat Qoaid wa Fawaid minal Arbain
AnNawawiyah hal 34-35]

Tidak boleh menjadikan perkara mubah sebagai qurbah (ibadah) pada bentuk
dan dzatnya, sebagaimana orang menduga bahwa semata-mata berjalan, makan,
berdiri atau berpakaian dapat mendekatkan diri kepada Alloh Azza wa Jalla ,
karena itu Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam mengingkari Abu Israil
berdiri di terik panas matahari untuk memenuhi nadzarnya. Maka Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam menyuruh ia berbicara, berteduh, duduk dan
menyempurnakan puasanya [HR Bukhori, Ahmad dan Abu Daud]Hendaknya
yang mubah itu sebagai wasilah (sarana) untuk ibadah. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah -rahimahullah- berkata,” Hendaknya yang mubah dikerjakan dalam
rangka membantu diri untuk melaksanakan ketaatan.”Hendaknya seorang
muslim memandang yang mubah dengan keyakinan bahwa hal itu benar
dimubahkan oleh Alloh Azza wa Jalla .Hendaknya yang mudah itu tidak
menyebabkan pelakunya celaka atau membahayakan dirinya sendiri.

Oleh karena itu barangsiapa yang berniat mendekatkan diri kepada Alloh Azza
wa Jalla melalui amal-amal mubah, hendaknya ia pastikan ketentuan-ketentuan
diatas supaya tidak menghalalkan segala cara agar bernilai di sisi Alloh Azza
wa Jalla.

Niat Baik Tidak Dapat Mengubah yang Haram

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 9


Sebagaimana sudah diketahui oleh stiap muslim bahwa niat tidak dapat
mempengaruhi yang haram. Sebaik apapun niatnya dan semulia apapun
tujuannya, niat tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak melepaskan
sifat kekotoran, karena memang inilah yang menjadi sebab pengharamannya.

Barangsiapa mengambil riba atau mencuri harta, atau mencari harta dengan cara
bathil dengan niat untuk membangun mesjid atau mendirikan tenpat panti
asuhan yatim atau mendirikan pesantren atau disedekahkan ke fakir miskin dan
semisalnya maka niat baik ini tidak berpengaruh apa-apa serta tidak bisa
meringankan dosa yang haram.

Praktek ini banyak terjadi di tengah umat, misalnya seorang mendepositokan


uangnya di bank, lalu bunganya digunakan untuk membangun mesjid atau
pesantren dan semisalnya, ini adalah suatu perbuatan yang layak dipertanyakan.
Benarkah bunga bank yang haram digunakan untuk proyek kebaikan ?

Seorang pegawai mendapat uang sangat besar dari hasil manipulasi korupsi dan
kolusi, atau seorang penjudi atau pelacur, lalu mereka berniat menolong anak
yatim dan faqir miskin dari hasil pekerjaan yang haram, maka hukumnya tetap
haram dan tidak meringankan dosa yang haram, dan tidak boleh digunakan
untuk berbagai kegiatan kegiatan kebaikan. hasil keharaman tidak bisa
dibersihkan dengan menshodaqohkan uang hasil perbuatan haram, namun harus
keluar secara utuh dari yang haram itu Alloh Azza wa Jalla tidak akan
menerima yang haram walaupun dengan niat yang baik. dari Abu Hurairoh
-Rodliallohu anhu-  Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam bersabda,”
Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima sesuatu kecuali dari yang
baik.” [HR Muslim 1015]

Harta yang haram bukan milik orang yang mendapatkannya. Karena itu tidak
boleh ia bershodaqoh dengan uang tersebut, harta apapun yang dikeluarkan dari
hasil bunga, curian, pelacuran, perdukunan, manupulasi dan semisalnya dari
proses yang haram semua tidak diterima Alloh Azza wa Jalla .

Dari sini kita tahu bahwa Islam menolak prinsip Machiavelli, yakni  tujuan
menghalalkan segala cara. Islam juga tidak menerima kecuali dari cara yang
bersih untuk mencapai tujuan yang mulia. jadi niat yang baik harus disertai
dengan cara yang benar dan baik.

Hukum Melafadzkan Niat


IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 10
Niat tempatnya didalam hati, bukan dilisan dan diucapkan, hal ini berdasarkan
kesepakatan ulama dan imam muslimin baik dalam hal bersuci, wudlu, sholat,
zakat, puasa, haji dan ibadah lainnya. Meskipun lisanya mengucapkan yang
berbeda dengan apa yang diniatkan dengan hatinya maka yang diperhitungkan
adalah apa yang diniatkan dalam hati, bukan apa yang dilisankan. Walaupun dia
mengucapkan dengan lisan bersama niat sedangkan niat belum sampai ke dalam
hatinya, maka hal itu tidak cukup menurut kesepkan para ulama muslimin
karena sesungguhnya niat adalah jenis tujuan dan kehendak yang pasti.

Al Qodli Abu Ar Rabi’ Sulaiman bin ‘Umar Asy Syafii berkata,” Melafadzkan
niat di belakang imam bukan perkara sunnah, bahkan hukumnya makruh,
sedangkan jika menggangu orang lain (yakni melafadzkan dengan lisan ketika
sholat-red) maka hukumnya haram. barangsiapa mengatakan bahwa
melafadzkan niat termasuk sunnah, maka dia salah dan tidak halal bagi siapapun
berkata dalam agama Alloh Azza wa Jalla tanpa ilmu.” [lihat Al Qoulul Mubin
fi Akhtha’il Mushollin hal 91-92 oleh Syaikh Masyhur Hasan Alu Salman cet
IV darul Ibnul Qoyyim 1416H].

Abu Abdillah Muhammad bin Qosim At Tunisi Al Maliki berkata,” Niat


termasuk amal hati dan melafadzkan niat adalah bid’ah. Disamping itu juga
menggangu orang lain.” [lihat Al Qoulu Mubin]

Talafudh (melafadzkan) niat tidak pernah dicontohkan oleh Rosululloh


Sholallahu Alaihi Wassalam. Beliau tidak pernah ketika berwudlu membaca
”nawaitu raf’al hadatsil ashghor” dan juga tidak pula membaca "nawaitu
wudlu’ai li rofil hadatsil asghori fadlu lillahi ta’alaa.”dan lafadz semisalnya,
juga tidak pernah melafadz kan niat ketika hendak sholat, ”naiwaitu fardlu
dhuhri arba’a rokaatin mustaqbilal qiblatin …” demikain pula niat yang
dilisankan untuk ibadah lainnya.

Melafalkan niat tidak pernah diriwayatkan oleh seorangpun baik dengan riwayat
shahih apalagi dhoif maupun mursal. Tidak seorangpun shohabat Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam  yang meriwayatkan dan tidak ada seorang tabi’in
pun yang menganggap baik masalah ini dan tidak pula dilakukan oleh empat
imam madzab, gnafi, Maliki, Syafii dan Ahmad –rahimakumulloh-

Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam tidak pernah melafadzkan niat


meskipun hanya satu kali dalam setiap sholatnya dan tidak pula diriwayatkan
oleh para khalifahnya. ini adalah petunjuk beliau dan sunah para Shohabat
rodliallohu anhum dan tidak ada petunjuk yang lebih sempurna melainkan

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 11


petunjuk Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam. [lihat Zadul Ma’ad fi haydi
Khairil Ibad 1/201]

Imam As Suyuthi -rahimahullah- (wafat 921H) berkta, ”Diantara perkara yang


termasuk bid’ah ialah was-was dalam sholat. Hal ini tidak pernah dilakukan
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam maupun Shohabat rodliallohu anhum,
mereka tidak pernah mengucapkan sesuatu bersama niat sholat, selain hanya
takbiratul ikhram saja.

Imam Asy Syafii berkata, ”orang yang was-was dalam niat sholat dan bersuci
adalah orang-orang yang bodoh tentang syariat dan rusak pikirannya.” [lihat Al
Amru bil Ittiba’ Wa Nahyu ‘anil Ibtida’ hal 296 tahqiq Syaikh MAshur Hasan
AluSalman cet. Darul Ibnu Qoyyim 1416 H]

Sebab kekeliruan orang-orang yang mengaku bermadzab syafii adalah salah


faham dalam memahami perkataan Imam Syafii. Imam Syafii mengatakan,
”Apabila seorang niat haji dan umroh sudah cukup meskipun tidak dilafadzkan,
berbeda dengan sholat karena sholat itu tidak sah melainkan dengan ‘ucapan’.”

Imam An Nawawi -rahimahullah- berkata,”telah berkata para sahabat kami


(ulama dari madzab syafii) : orang yang memahami bahwa ucapan itu (yakni:
usholli) adalah keliru, karena bukan demikian maksud Imam Syafii
-rahimahullah- , namun yang dimaksud ialah ucapan mulai sholat itu adalah
takbiratul ihram.” [lihat Al Majmu Syarhul Muhadzdzab 3/277 cet. darul fikr,
At Ta’alum hal 100 dn lihat Al Qoulul Mubin hal 93-94]

Jadi dengan demikian para ulama menfatwakan bahwa melafadhkan niat


termasuk dalam bid’ah dan munkar dan jauh dari petunjuk Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam.

Alloh Azza wa Jalla berfirman,”Sungguh telah ada bagi kamu pada diri
Rosululloh contoh teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan Alloh dan
hari akhir dan banyak menyebut nama Alloh.” [QS Al Ahzab 21].

Niat Yang Ikhlas Adalah Dasar Penerimaan Amal


Keberadaan niat harus disertai dengan menghilangkan segala keburukan, nafsu
dan keduniaan. Niat harus dilandasi ikhlas karena Alloh Azza wa Jalla dalam
setiap amal agar amal diterima Alloh Azza wa Jalla. Sebab setiap amal sholeh

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 12


memiliki dua syarat yang tidak akan diterima disisi Alloh Azza wa Jalla kecuali
dengan keduanya, yaitu:
Niat yang ikhlas dan benarittiba’, yaitu sesuai dengan contoh sunnah Rosululloh
Sholallahu Alaihi Wassalam.

Dengan syarat pertama, kebenaran batin akan terwujud dan dengan syarat kedua
kebenaran lahir akan terwujud. tentang syarat pertama telah disebutkan dalam
sabda Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam ..”innamaal ‘amaalu bin Niyyat “
Sesungguhnya amal-amal itu bergantung pada niatnya. Inilah yang menjadi
timbangan batin/hati, Sedangkan syarat kedua isebutkan dalam hadits
Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam, ”Barangsiapa mengerjakan suatu amal
yang tidak ada padanya urusan kami (tidak mengikuti contoh kami), maka
(amalan itu) tertolak.” [HR Muslim].

Alloh Azza wa Jalla telah menghimpun dua syarat ibadah tersebut dalam
beberapa ayat, diantaraya:

“Dan siapakah orang yang lebih baik agamanya dari orang yang ikhlas
menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedangkan diapun mengerjakan kebaikan
dan dia mengikuti agama Ibrohim yang lurus (QS An Nisa’ 125]

Menyerahkan dirinya kepada Alloh Azza wa Jalla artinya mengingklaskan amal


kepada Alloh Azza wa Jalla, mengamalkan dengan iman dan mengharap
ganjaran pahala dari Alloh Azza wa Jalla. Sedangkan berbuat baik artinya
dalam beramal mengikuti apa yang disyariatkan Alloh Azza wa Jalla dan apa
yang dibawa oleh Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam berupa petunjuk dan
agama yang haq.

Dua syarat ini, apabila salah satu atau keduanya tidak dipenuhi, maka amal ini
tidak sah. jadi harus ikhlas dan benar karena Alloh Azza wa Jalla . Ikhlas karena
Alloh Azza wa Jalla dan benar karena mengikuti contoh Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam. lahirnya Ittiba’ sedngkan batinnya Ikhlas.

Bila hilang salah satu syarat ini maka amalnya rusak. Bila hilang keikhlasannya
maka orang ini akan menjadi munafik dan riya’ kepada manusia. Sedangkan
bila ittbanya hilang artinya dia tidak mengikuti petunjuk Rosululloh Sholallahu
Alaihi Wassalam maka orang ini sesat dan bodoh. [lihat Tafsir Ibnu Katsir
1/616 cet darussalam]

Dari uraian diatas jelaslah bahwa pentingnya niat dalam amal. Niat haruslah

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 13


ikhlas dan ikhlas semata tidak cukup dalam menjamin diterimannya suatu amal
selalgi tidk sesuai dengan ketetapan syariat dan dibenarkan sunnah.
Sebagaimana amal yang dilakukan sesuai dengan ketentuan syariat tidak akan
diterima selagi tidak disertai dengan keikhlasan. Adapun amal akhirat yang
tidak disertai dengan ikhlas, maka tidak ada bobotnya sama sekali dalam
timbangan amal.

Faedah dan Pelajaran dari hadits ini


Niat termasuk iman, karena termasuk amalan hati.Wajib bagi setiap muslim
mengetahui hukum-hukum dan kedudukan amal yang hendak dilakukan,
disyariatkan atau tidak, wajib atau sunnah, karena amal tidak bisa lepas dari niat
yang disyariatkan. Disyariatkan niat secara sadar dalam amal-amal taat.Amal
tergantung dari niat, tentang sah dan  tidaknya sempurna dan kurangnya, taat
dan maksiat. Niat tempatnya di hati bukan dilisan (dilafadzkan/diucapkan)
melafadzkan niat termasuk bid’ah. Amal harus sesuai dengan sunnah, karena ia
termasuk syarat diterimanya amal. Niat yang baik tidak bisa menjadikan yang
haram menjadi halal, yang mungkar menjadi ma’ruf, yang bid’ah menjadi
sunnahBaiknya tujuan tidak bisa menghalalkan segala cara. Wajib berhati-hati
dari riya’, sum’ah atau beramal karena ingin dipuji manusia.Manusia selalu
digoda syaithon sehingga dapat merusak keikhlasan amalnyaWajib bagi
muslimin untuk memperhatikan perbaikan hatinya. Keadilan Alloh Azza wa
Jalla dalam memberikan ganjaran pahala dari amal-amal hambaNya. Hijrah dari
negeri syirik ke negeri Islam adalah ibadah yang utama bila diniatkan karena
mencari wajah Alloh Azza wa Jalla dan wajib hijrah bagi yang tidak dapat
melaksanakan ibadah kepada Alloh Azza wa Jalla. Keutamaan untuk hijarah
kepada Alloh Azza wa Jalla dan RosulNyaHijrah tetap berlaku selama diperangi
musuh-musuh Islam.Adapun hadits “ Tidak ada Hijrah sesudah fathul makkah
(muttafaq alaihi), maksudnya adalah hijrah dari Makkah ke Madinah karena
Makkah sudah menjadi Darul Islam (negara Islam.)

Allohu Ta’ala ‘Alam

Sumber : Salafy Edisi XX/1418 H, dari www.al-aisar.com

IHS Qurrota A’yun - Syarah Hadits - Page | 14

Anda mungkin juga menyukai