Anda di halaman 1dari 64

1

Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi


SAW (1)
Pasukan Bergajah

Sebagai Nabi akhir jaman dan Penutup semua Kenabian, sekaligus kecintaan Allah SWT,
sejak masa menjelang kelahiran Nabi Muhammad SAW telah muncul beberapa peristiwa luar
biasa yang menunjukkan nubuwwah (bukti-bukti kenabian) beliau. Kejadian yang paling terkenal
dan diabadikan di dalam Al Qur’an dalam Surat A-Fiil adalah peristiwa Pasukan Bergajah,
bahkan dalam sejarah Islam, tahun kelahiran beliau, yakni tahun 570 atau 571 Masehi dikenal
dengan nama Tahun Gajah. Ada perbedaan pendapat tentang tepatnya peristiwa itu terjadi,
sebagian menyatakan beberapa hari sebelum beliau dilahirkan, sebagian lagi beberapa bulan,
bahkan ada yang menyatakan beberapa tahun.

Peristiwa tersebut berawal dari kecemburuan penguasa Yaman yang beragama Nashrani
terhadap “popularitas” Baitullah dan Ka’bah di Makkah. Telah ratusan tahun orang-orang di
Jazirah Arabia melakukan ritual (ibadah haji) mengunjungi atau ziarah ke Baitul Athiq (Rumah
Tua, yakni Ka’bah) tersebut, termasuk yang berasal dari Yaman. Penguasa atau Gubernur Yaman
yang bernama Abrahah ash Shabbah al Habsyi itu berkeinginan agar mereka mengalihkan
kebiasaannya tersebut ke Kota Shan’a, ibukota Yaman. Karena itu ia membangun sebuah gereja
yang amat besar dan menghiasinya dengan seindah-indahnya.

Setelah gereja yang begitu megah, indah dan mengagumkan itu selesai dibangun, Abrahah
mengirimkan pengumuman ke seluruh penjuru Arabia. Ia memerintahkan agar para kabilah itu
“mengalihkan” ritual ibadah hajinya kepada gerejanya yang diberi nama Qalis tersebut. Para
pemimpin kabilah itu amat marah dengan “pemaksaan” yang dilakukan Abrahah. Seseorang dari
Bani Kinanah mendatangi Gereja Qalis tersebut, dan pada suatu malam ia memasukinya dan
melumurkan kotoran ke pusat (kiblat)nya gereja tersebut. Riwayat lainnya menyebutkan, dua
orang pemuka dari Bani Fuqaim dan Bani Malik yang mendatangi dan mengotori gereja Qalis,
sedangkan utusan Abrahah yang dikirim ke Bani Kinanah tewas tertembus panah dari orang tidak
dikenal.

Melihat keinginannya tidak tercapai, ditambah lagi pengotoran Qalis dan pembunuhan
pada utusannya, Abrahah memuncak kemarahannya. Tetapi ia menyadari bahwa tidak mungkin
menyerang dan menaklukkan semua kabilah yang menyebar seantero Jazirah Arabia itu, yang di
antara mereka dipisahkan bermil-mil padang pasir. Dalam pemikirannya, kalau Baitullah dan
Ka’bah telah hilang, maka akan mudah menggiring masyarakat Arab untuk mendatangi Qalis di
Shan’a, karena itu ia memutuskan untuk menyerang dan menghancurkan Ka’bah di Makkah
tersebut.

Abrahah menghimpun pasukan yang sangat besar untuk merealisasikan maksudnya, yakni
hingga enampuluh ribu prajurit. Para komandan pasukan berkendaraan gajah, ada tigabelas ekor
(atau sembilan ekor pada riwayat lainnya) gajah di antara tunggangan lainnya, dan Abrahah
menunggangi gajah yang terbesar. Beberapa kabilah sempat melakukan perlawanan untuk
membatalkan maksud Abrahah, tetapi dengan mudah mereka dapat dikalahkan. Sepanjang
perjalanan ke Makkah mereka juga menjarah harta dan ternak para kabilah yang dilaluinya,
termasuk duaratus ekor unta milik Abdul Muthalib.

Pasukan bergajah tersebut beristirahat di luar kota Makkah, dan Abrahah mengirim utusan
untuk menemui sayyid (sesepuh) kota Makkah yang juga kepada suku Quraisy, yang tak lain
adalah kakek Nabi Muhammad SAW, Abdul Muthalib. Utusan tersebut berkata kepada Abdul
Muthalib, “Raja Abrahah berpesan bahwa dia tidak bermaksud memerangi bangsa Quraisy, tetapi
hanya bermaksud meruntuhkan Ka’bah. Jika tuan dan bangsa tuan tidak menghalangi, tidak akan
terjadi pertumpahan darah. Dan Raja berharap tuan bersedia menemuinya!!”
Abdul Muthalib berkata, “Demi Allah, kami tidak mempunyai kekuatan untuk memerangi
tentara rajamu. Dan aku memang bermaksud untuk menemuinya!!”

Maka mereka berdua segera menghadap Abrahah di perkemahannya, dan Abdul Muthalib
diperlakukan dengan penuh kehormatan. Abdul Muthalib berkata, “Wahai raja Abrahah, tolong
dikembalikan duaratus ekor unta milik saya yang telah engkau ambil dari penggembala saya…!!”

Abrahah memandangnya penuh keheranan, dan berkata, “Kami datang untuk meruntuhkan
Ka’bah, tetapi engkau hanya membicarakan unta-unta milikmu itu? Bagaimana dengan agama dan
Ka’bah yang selama ini kalian puja-puja? ”

“Saya hanya tuannya unta-unta itu. Sedangkan Ka’bah mempunyai Tuannya sendiri yang
akan memeliharanya!!” Kata Abdul Muthalib.

Abrahah menegaskan, “Jadi engkau tidak akan menghalangi kami?”

“Sama sekali tidak!! Hanya saja berilah kami sedikit waktu untuk mengucapkan salam
perpisahan kepada Ka’bah sebelum engkau menghancurkannya!!”

Abrahah sangat gembira dengan jawaban tersebut, dan memerintahkan pasukannya untuk
mengembalikan duaratus unta milik Abdul Muthalib tersebut. Kemudian Abdul Muthalib dan
beberapa pemuka Quraisy menghampiri Ka’bah, berdoa kepada Allah untuk memelihara Ka’bah
dari pasukan Abrahah. Dan sebelum mereka pergi ke tempat perlindungan di bukit-bukit sekeliling
Makkah, sebagaimana penduduk lainnya, masing-masing dari mereka mencium Ka’bah dengan air
mata bercucuran penuh kesedihan sebagai salam perpisahan.

Abrahah menggerakkan pasukannya memasuki kota Makkah yang telah kosong layaknya
kota mati. Ia berjalan dengan pongahnya seolah-olah kemenangan telah berada di genggamannya.
Ketika tiba di Wadi Mahsar yang berada di antara Mina dan Muzdalifah, gajah-gajah tersebut tiba-
tiba menderum (duduk) dan tidak mau bergerak maju, begitu juga dengan tunggangan-tunggangan
lainnya. Tetapi jika diarahkan ke tempat lain menjauhi Ka’bah, binatang itu segera bergerak cepat
seolah-olah ingin melarikan diri. Jika diarahkan kembali menuju Ka’bah, tiba-tiba mereka
menderum dan tidak mau atau tidak bisa bergerak maju.

Ketika Nabi SAW dan kaum muslimin ingin melakukan umrah yang gagal, kemudian
berakhir dengan Perjanjian Hudaibiyah, Unta Nabi SAW yang bernama Al Qashwa tiba-tiba
menderum ketika tiba di Tsaniyyatul Murar. Mereka beranggapan mungkin unta itu lelah dan perlu
beristirahat sebentar. Tetapi setelah cukup istirahat dan diberdirikan lagi untuk meneruskan
perjalanan ke Makkah, Al Qashwa menderum lagi. Maka Nabi SAW bersabda, “Tidaklah al
Qashwa itu menderum atas kemauannya sendiri, sesungguhnya ia ditahan oleh (malaikat) yang
dahulu menahan pasukan bergajah Abrahah…!!”

Dalam keadaan seperti itu, dimana Abrahah tidak mampu menggerakkan pasukannya, tiba-
tiba Allah mendatangkan ribuan burung Ababil di atas mereka. Burung-burung yang menyerupai
burung Khathathif dan Balsan itu, masing-masing membawa tiga batu sebesar kacang kedelai dari
tanah yang sangat panas, dua di cengkeraman kaki dan satu di paruhnya. Batu-batu itu dijatuhkan
ke tentara Abrahah dan tepat mengenai satu persatu dari mereka. Ada riwayat yang menyebutkan,
pada masing-masing batu itu tertulis nama-nama dari tentara Abrahah, sehingga tidak satupun
yang lolos. Sebagian besar langsung mati di tempat, tetapi ada juga yang bisa melarikan diri dalam
keadaan luka dan mengidap penyakit, hanya saja akhirnya mati juga secara mengenaskan,
termasuk di antaranya Abrahah sendiri. Ia mati ketika tiba di Shan’a. Al Qur’an menggambarkan
keadaan tentara bergajah itu dengan “laksana daun-daun yang dimakan ulat!!”
2
Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi
SAW (2)
Ditemukannya Kembali Sumur Zam-zam

Selain tentara bergajah, peristiwa ajaib yang terjadi menjelang kelahiran Nabi SAW adalah
ditemukan atau digalinya kembali Sumur Zam-zam. Sumur yang pertama kali ditemukan oleh
Hajar dan Nabi Ismail yang saat itu masih bayi, sebenarnya terus memberikan airnya untuk
penghidupan kepada penduduk Baitullah dan sekitarnya Tetapi setelah Nabi Ismail wafat,
kemaksiatan dan kemusyrikan melingkupi Ka’bah dan Baitullah sehingga sumur Zam-zam
berangsur mengering dan akhirnya menghilang sama sekali. Selama berabad-abad orang-orang
mencoba mencari keberadaan sumur tersebut dan menggalinya, tetapi selalu saja mengalami
kegagalan.

Beberapa waktu sebelum terjadinya peristiwa Tentara Bergajah, Abdul Muthalib bermimpi,
ia didatangi suara ghaib yang memerintahkannya untuk mencari dan menggali kembali sumur
Zam-zam, sekaligus menunjukkan tempatnya, yang memang tepat seperti ketika pertama kali
ditemukan oleh Nabi Ismail. Padahal berabad-abad sebelumnya, banyak sekali yang berusaha
menggali di tempat yang sama, tetapi tidak memperoleh hasil apa-apa.

Abdul Muthalib segera melaksanakan perintah ghaib tersebut. Dalam penggalian itu Abdul
Muthalib menemukan simpanan benda berharga milik Bani Jurhum, kabilah yang pertama kali
tinggal dan menemani Nabi Ismail dan Hajar di Makkah, istri Nabi Ismail juga berasal dari kabilah
itu. Benda-benda berupa beberapa pedang, baju besi dan dua pangkal pelana itu semuanya terbuat
dari emas. Abdul Muthalib memasang pedang dan dua pangkal pelana itu pada pintu Ka’bah.

Setelah melakukan penggalian beberapa hari lamanya, sumur Zam-zam itu akhirnya
ditemukan kembali, dan airnya-pun sangat berlimpah. Tampaknya memang Allah menghendaki
munculnya sumur Zam-zam itu kembali untuk dinikmati oleh kecintaan-Nya, Nabi Muhammad
SAW yang tidak lama lagi akan dilahirkan, termasuk kaum kerabat beliau dan seluruh umat beliau
hingga hari kiamat tiba.

Sumur Zam-zam memang ajaib. Berbeda dengan sumur yang umumnya mempunyai mata
air di bagian bawah sendiri, Zam-zam ini mata airnya di tengah. Dengan kedalaman 30 meter dari
bibir sumur, mata air itu berada pada jarak 13 meter, dan memenuhi sumur sampai batas 4 meter
dari bibir sumur. Ada dua mata air utama, pertama yang keluar dari suatu celah sepanjang 75 cm
setinggi 30 cm yang mengarah pada Hajar Aswad, yang kedua celah sepanjang 70 cm setinggi 30
cm yang mengarah pada pengeras suara saat ini. Ada juga beberapa celah kecil yang mengalirkan
air juga, yang mengarah pada bukit Shafa dan Marwa. Diameter sumur juga berbeda-beda,
berkisar antara 1,46 m hingga 2.66 m. Debit airnya antara 11 liter hingga 18,5 liter perdetik.

Ketika sumur Zam-zam itu ditemukan kembali, beberapa kabilah Quraisy lainnya ingin
campur tangan dalam pengelolaannya, mereka berkata, “Kami ingin bersekutu!!”

Dengan tegas Abdul Muthalib berkata, “Tidak bisa, ini adalah urusan yang khusus ada di
tanganku!!”

Tetapi kabilah-kabilah itu agak memaksa, maka Abdul Muthalib berkata, “Baiklah, kita
bawa masalah ini kepada dukun wanita dari Bani Sa’d. Aku tidak akan mau berbagi/bersekutu
kecuali jika dia telah memutuskannya!!”

Dukun wanita Bani Sa’d tersebut selama ini menjadi rujukan jika terjadi perselisihan di
antara kaum Quraisy. Mereka mendatanginya dan menyerahkan urusan tersebut. Walaupun cukup
lama menunggu, mereka dengan sabar tinggal di Bani Sa’d tersebut, sampai akhirnya Allah
menunjukkan kekuasaan-Nya, dukun wanita itu keluar dengan putusan bahwa hak pengelolaan
sumur Zam-zam mutlak berada di tangan Abdul Muthalib.

Abdul Muthalib sangat gembira dengan putusan tersebut, begitu gembiranya sehingga ia
bernadzar, jika ia mempunyai sepuluh orang anak laki-laki, dan tidak akan mempunyai anak
lainnya lagi setelah itu, ia akan mengorbankan (menyembelih) salah satunya di hadapan Ka’bah,
sebagaimana Ibrahim telah menyembelih (mengorbankan) Ismail.

Sesuatu yang berlebih-lebihan memang tidak baik, begitu juga dengan kegembiraan. Hal
itulah yang dialami oleh Abdul Muthalib, kegembiraan menemukan kembali sumur Zam-zam,
ditambah lagi kegembiraan karena memperoleh hak mutlak mengelola sumur tersebut, membuat
akal sehatnya tertutup untuk sementara waktu sehingga muncul nadzar seperti itu.

Setelah beberapa hari berlalu dan kegembiraannya mulai mereda, ia teringat akan nadzar
yang diucapkannya di depan dukun wanita Bani Sa’d itu. Dan ia mulai menyadari bahwa dari 16
orang anaknya, sepuluh orang di antaranya adalah laki-laki, hanya saja ia belum tahu, apakah di
antara istri-istrinya masih akan melahirkan lagi? Ia memerintahkah seorang yang ahli untuk
memeriksa keadaan istri-istrinya, dan sang ahli menyatakan bahwa mereka tidak akan bisa
mempunyai anak lagi.

Abdul Muthalib mengumpulkan anak laki-lakinya, dan menceritakan nadzar yang telah
diucapkannya. Ternyata mereka semua patuh dengan kehendaknya tersebut, siapapun yang harus
dikorbankan. Ia menulis ke sepuluh nama anaknya tersebut dan kemudiannya mengundinya.
Ternyata nama yang keluar adalah Abdullah, anak yang paling disayanginya dan ayahanda
Rasulullah SAW itu dengan ikhlas menerima keputusan tersebut, sebagaimana ikhlasnya Nabi
Ismail ketika akan disembelih oleh Nabi Ibrahim.

Abdul Muthalib menuntun anaknya itu menuju Ka’bah sambil membawa parang. Kaum
Quraisy yang menyaksikan pemandangan tersebut sejak awal merasa trenyuh, apalagi Abdullah
juga yang paling mereka sayangi di antara anak-anak Abdul Muthalib lainnya. Mereka kemudian
mencegah niat Abdul Muthalib dengan keras, terutama Abu Thalib dan paman-pamannya dari
pihak ibu yang berasal dari Bani Makhzum. Abdul Muthalib yang pada dasarnya memang tidak
tega untuk melaksanakan nadzarnya itu berkata, “Bagaimana dengan nadzarku?”

Mereka menyarankan untuk meminta pendapat dukun wanita Bani Sa’d untuk memberikan
solusinya, sebagaimana biasanya. Wanita itu memerintahkan agar Abdul Muthalib menyembelih
sepuluh ekot unta sebagai diyat, tebusan pembunuhan yang berlaku saat itu. Setelah itu ia harus
melakukan pengundian kembali nama Abdullah dengan sepuluh unta. Jika nama Abdullah yang
keluar, ia harus menambah lagi sepuluh ekor unta lagi sebagai diyat, dan mengundinya lagi.
Begitu seterusnya hingga yang keluar nama unta, dan itulah bukti kafarat dari nadzarnya telah
diridhoi Tuhan.

Abdul Muthalib melaksanakan saran wanita tersebut, dan ternyata setelah seratus ekor
unta, barulah nama Abdullah tidak keluar lagi. Sejak saat itu ketetapan diyat untuk pembunuhan
ditetapkan oleh orang-orang Arab sebanyak seratus ekor unta. Dan aturan diyat pembunuhan
sebesar seratus ekor unta diteruskan oleh Nabi SAW dalam syariat Islam. Karena peristiwa
tersebut, Nabi SAW pernah bersabda, “Aku adalah anak dari dua orang yang (akan) disembelih.”

Maksudnya adalah Nabi Ismail yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim, dan Abdullah
yang akan disembelih oleh Abdul Muthalib.
3
Ketika Nabi SAW Bersujud Sangat Lama

Suatu ketika sahabat Abdurrahman bin Auf masuk ke masjid, tidak lama kemudian ia
melihat Nabi SAW keluar dari masjid, maka diam-diam ia mengikuti beliau. Beliau terus saja
berjalan tanpa menyadari kalau diikuti oleh Ibnu Auf, sampai kemudian beliau memasuki sebuah
kebun kurma milik seorang sahabat Anshar.

Tidak berapa lama berada di kebun kurma tersebut, tiba-tiba Nabi SAW menghadap kiblat
dan bersujud. Abdurrahman bin Auf yang berdiri tidak jauh di belakang beliau, menunggu dengan
sabar sampai beliau bangkit kembali. Tetapi lama ditunggu-tunggu, Nabi SAW tidak juga bangkit
dari sujud beliau, sehingga terlintas di pikiran Ibnu Auf, “Jangan-jangan Allah Yang Maha Agung
dan Luhur telah mewafatkan beliau di tempat ini!!”

Karena itu ia mendekati Nabi SAW, dan menunduk untuk melihat wajah beliau. Tetapi ia
menjadi sangat kaget, karena tanpa disangkanya, ternyata Nabi SAW mengangkat wajah dan
berkata, “Ada apa, hai Abdurrahman??”

Setelah kekagetannya mereda, ia berkata, “Ya Rasulullah, ketika engkau bersujud begitu
lama, aku khawatir kalau-kalau Allah telah mewafatkan engkau, karena itu aku datang untuk
memeriksa!!”

Nabi SAW tersenyum mendengar kekhawatirannya itu, kemudian beliau menceritakan


bahwa Malaikat Jibril telah menemuinya ketika beliau memasuki kebun kurma itu. Dan Jibril
berkata, “Wahai Nabiyallah, aku hanya ingin menyampaikan kabar gembira untuk engkau,
sesungguhnya Allah SWT telah berfirman kepadamu : Barang siapa yang memberi salam
kepadamu, maka Aku (Allah) akan memberi salam kepadanya, dan barang siapa yang membaca
shalawat kepadamu, maka Aku (Allah) akan membaca/memberi shalawat untuknya!!”

Tampak binar-binar kegembiraan di mata Rasulullah SAW ketika menceritakannya, dan


beliau berkata kepada Ibnu Auf, “Mendengar pernyataan Jibril tersebut, hatiku sangat gembira
dengan keutamaan dan karunia yang diberikan Allah kepada umatku. Dan aku bersujud untuk
bersyukur dan berterima kasih, dan tak puas-puasnya aku bersyukur sehingga aku sujud begitu
lama sampai engkau mendatangiku!!”

4
Ketika Nabi SAW dan Aisyah Berbeda
Pendapat

Rumah tangga Rasulullah SAW adalah teladan terbaik, walau kebanyakan hidup dalam
kekurangan secara materi dengan sembilan istri, tetapi beliau bersabda, “Baitii jannatii!!” (Rumah
tanggaku adalah surgaku!!).

Namun dengan berbagai kelebihan itu, beliau masih manusia biasa, sehingga tidak jarang
beliau ‘didebat’ oleh mereka, termasuk istri kecintaan beliau, al Khumaira, Aisyah binti Abu
Bakar. Pernah terjadi suatu pembicaraan, yang Aisyah tidak bisa sepenuhnya menerima pendapat
Rasulullah SAW. Aisyah memang seorang yang cerdas sehingga ia mampu membuat argumen
untuk mendukung pendapatnya.
Akan halnya Nabi SAW sendiri, ketika beliau menyampaikan suatu hal yang didasari suatu
kebenaran, tidak mungkin beliau mengubahnya. Seperti yang disampaikan oleh Al Qur’an :
Tidaklah dia (Muhammad SAW) itu berbicara dengan hawa nafsunya, sesungguhnya semua itu
(didasari) oleh wahyu yang diturunkan kepadanya (Walaa yanthiqu ‘anil hawaa, in huwa illa
wahyun yuukhaa).

Namun demikian, dengan kedudukannya sebagai Rasul Allah, dan juga sebagai suami,
beliau tidak dengan semena-mena memaksakan pendapat yang sudah pasti benarnya itu. Justru
beliau berkata kepada Aisyah, “Siapa yang akan kauterima sebagai penengah (hakim) antara aku
dan dirimu? Apakah engkau bisa menerima Abu Ubaidah bin Jarrah??”

Abu Ubaidah bin Jarrah memang digelari Rasulullah SAW sebagai ‘Orang Kepercayaan
Umat ini’, karena sifatnya yang amanah dan dapat dipercaya oleh hampir semua orang, termasuk
yang beragama lain. Tidak pernah berpijak kecuali di atas kebenaran. Tetapi mendengar usulan
Rasulullah SAW ini, Aisyah berkata, “Tidak, ia adalah orang yang lemah lembut, ia pasti akan
memenangkan perkaramu (pendapatmu)!!”

Nabi SAW berkata lagi, “Apakah engkau bisa menerima ayahmu sendiri?”

“Baiklah!!” Kata Aisyah dengan gembira.

Beliau memerintahkan salah seorang sahabat untuk memanggil Abu Bakar untuk datang ke
rumah beliau. Ketika Abu Bakar telah tiba, beliau berkata kepada Aisyah, “Ceritakanlah!!”

Tetapi Aisyah berkata, “Engkau saja yang bercerita!!”

Abu Bakar tampak tak mengerti melihat perilaku dua orang kesayangannya itu, yang satu
adalah putrinya, satunya lagi adalah sahabat dan kecintaannya, sekaligus menantunya. Akhirnya
Nabi SAW menjelaskan permasalahan yang terjadi secara mendetail. Mendengar penuturan beliau
itu, tampak wajah Abu Bakar bersemu merah, antara marah dan malu. Dan tanpa dapat ditahan
lagi, seolah-olah reflek, tangannya melayang menampar Aisyah sambil berkata, “Hai binti Ummi
Ruman, pantaskah engkau mengatakan yang tidak benar kepada Rasulullah? Cukup sudah, siapa
lagi yang benar kalau Rasulullah tidak benar??”

Aisyah sama sekali tidak menyangka dengan reaksi ayahnya yang terkenal lembut dan
sangat menyayanginya itu. Ia menyangka, dengan ayahnya sebagai ‘hakim’, ia akan memperoleh
perlindungan dalam perkaranya bersama Nabi SAW. Tetapi, bukanlah ash-Shiddiq namanya jika
Abu Bakar tidak membenarkan Rasulullah. Bahkan dalam peristiwa yang sangat tidak masuk akal
dan hanya 'semacam bualan’ saja saat itu, yakni peristiwa Isra Mi’raj Nabi SAW, Abu Bakar yang
berdiri pertama kali membenarkan Nabi SAW, sementara banyak sekali kaum muslimin sendiri
yang dihinggapi keragu-raguan.

Darah mengalir dari mulut dan hidung Aisyah akibat tamparan ayahnya tersebut, ia tampak
sangat ketakutan. Nabi SAW segera menghampiri dan memeluknya, melindunginya dari
kemarahan Abu Bakat lebih lanjut. Sambil mengisyaratkan agar pergi, beliau bersabda kepada Abu
Bakar, “Kami tidak menginginkan hal ini darimu!!”

Nabi SAW membersihkan darah yang mengalir dari hidung dan bibir Aisyah, sekaligus
yang mengotori bajunya itu sambil bersabda, “Tidakkah engkau lihat bagaimana aku telah
menyelamatkanmu dari kemarahan ayahmu??”
5
Nabi SAW Menyambut Utusan Kaum Fuqara’

Suatu ketika seorang lelaki menghadap Nabi SAW. Setelah mengucap salam dan
dipersilahkan duduk, orang itu berkata, “Wahai Rasulullah, saya adalah utusan sekelompok orang-
orang fakir (fuqara’) kepadamu!!”

Mata Rasulullah SAW tampak berbinar, kemudian bersabda dengan gembira, “Marhaban
(selamat datang) untukmu dan orang-orang yang telah mengutusmu. Sungguh kamu datang dari
tengah-tengah kaum yang dicintai Allah…!!”

Lelaki itu tampak sangat gembira dengan sambutan beliau, kemudian ia berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya kaum fuqara’ itu berkata : Sesungguhnya orang-orang kaya (aghniya’)
bisa mengerjakan semua amal kebaikan. Mereka bisa berhaji sedangkan kami tidak mampu,
mereka bisa shadaqah sedangkankan kami tidak mempunyai kemampuan seperti mereka, apabila
mereka sakit, mereka bisa memberikan kelebihan hartanya sebagai simpanan (di akhirat)…!!”

Tentu saja Nabi SAW gembira dengan pernyataan utusan tersebut. Kaum fuqara’ itu tidak
mengeluhkan kesulitan hidup yang mereka hadapi karena kekurangannya, tetapi ‘mengeluhkan’
ketertinggalannya dalam berbuat baik (beramal saleh) yang berhubungan dengan harta. Maka
dengan tersenyum beliau bersabda, “Sampaikanlah kepada kaum yang mengutusmu, barang siapa
yang sabar dan tetap ikhlas di antara kalian, maka kalian akan memperoleh tiga kelebihan, yang
tidak akan didapatkan oleh orang-orang yang kaya….!!”

Kemudian beliau menjelaskan lebih lanjut, bahwa di surga itu terdapat ruang atau kamar
yang terbuat dari yaqut merah. Para penghuni surga itu melihat kamar tersebut layaknya para
penghuni dunia melihat bintang yang gemerlap di malam tanpa awan. Kamar tersebut dihuni oleh
para nabi yang fakir, para syahidin (yang mati syahid) yang fakir, dan orang-orang mukmin yang
fakir, itulah kelebihan yang pertama.

Kelebihan kedua, orang-orang mukmin yang fakir akan mendahului orang-orang mukmin
yang kaya selama setengah hari (akhirat), yang setara dengan 500 tahun perhitungan di dunia.
Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman akan masuk surga 40 tahun setelah para nabi lainnya, karena
Allah telah mengaruniakan kerajaan ketika di surga.

Kelebihan ketiga, jika kaum fuqara itu melafalkan dzikr ‘Subkhaanallah wal hamdu lillaah
wa laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar’ ikhlas dari dalam hatinya, dan orang-orang kaya juga
melakukannya, maka orang yang kaya itu tidak akan bisa mengejar keutamaan (pahala) yang
diterima kaum fuqara’ itu, walaupun mereka menambahkan shadaqah sebanyak 10.000 dirham.
Begitu juga dengan amal kebaikan lain yang dilakukan oleh kaum fuqara’ dengan ikhlas, dan
diikuti oleh orang yang kaya.

Utusan itu amat gembira dengan penjelasan beliau dan segera berpamitan pulang. Ketika
tiba di antara kaum yang mengutusnya, dan menyampaikan sabda Nabi SAW itu, kaum fuqara’ itu
berkata, “Ya Allah, kami merasa puas!! Ya Allah, kami merasa puas!!”
6
Ketika Nabi SAW Diancam akan Dibunuh

Pada bulan Rabi’ul awwal tahun 7 hijriah (riwayat lainnya, tahun 4 hijriah), Nabi SAW
memperoleh informasi bahwa kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib, termasuk suku
Ghathafan, bersekutu untuk menyerang Madinah, bahkan tidak jarang sebagian dari mereka telah
mengganggu kaum muslim yang tinggal cukup jauh dari Madinah. Karena itu beliau memimpin
satu pasukan berjumlah 700 orang (riwayat lain, 400 orang) menuju suku tersebut di daerah Najd.
Suku Ghathafan ini memang terkenal kekuatannya sejak masa jahiliah dan sangat ditakuti, suku ini
pula yang bersekutu dengan Suku Quraisy untuk menyerang Madinah pada Perang Khandaq
(Ahzab).

Setelah dua hari perjalanan, beliau tiba dan beristirahat di Nakhl, tidak jauh dari
Ghathafan. Kebanyakan anggota pasukan tersebut berjalan kaki sehingga banyak yang kakinya
pecah-pecah (terluka) dan ada yang kukunya terkelupas. Mereka membalut kaki-kaki mereka
dengan kain-kain perca, karena itulah peperangan itu diberi nama Dzatur Riqa’ (yang ada
tambalannya), dan tempat mereka singgah diberi nama yang sama.

Melihat kehadiran pasukan Nabi SAW di Nakhl, kabilah-kabilah dari suku Ghathafan itu
merasa ketakutan. Sebagian dari mereka menawarkan perdamaian atau menyerah di bawah
kekuasaan Madinah, termasuk kabilah Bani Tsa’labah dan Bani Muharib. Sebagian kecil lainnya
ada yang memeluk Islam. Pada akhirnya, berangsur-angsur makin banyak dari suku Ghathafan ini
yang memeluk Islam.

Jadi tidak terjadi bentrok senjata langsung dalam Perang Dzatur Riqa’ ini, dan kaum
muslimin beristirahat cukup tenang di Nakhl, termasuk juga Rasulullah SAW. Namun demikian,
ada saja satu dua orang yang tidak puas dengan perdamaian itu. Salah seorang musyrikin bernama
Ghaurats bin Harits yang berasal dari Bani Muharib, berniat untuk membunuh Nabi SAW. Ia
berhasil menyelinap di perkemahan kaum muslim, dan ia melihat Nabi SAW sedang tertidur di
bawah pohon (riwayat lain menyebutkan, beliau sedang duduk-duduk, atau riwayat lain, sedang
shalat), dan pedang beliau tergantung di sebuah ranting. Ghaurats mengambil pedang itu
mengacungkan kepada beliau sambil menghardik, “Wahai Muhammad, tidakkah engkau takut
kepadaku?”

Nabi SAW yang segera terbangun, berkata dengan tenang, “Tidak!!”

“Siapakah yang akan menghalangiku untuk membunuhmu?” Tanya Ghaurats lagi.

“Allah!!” Kata Nabi SAW.

Mendengar kata ‘Allah’ yang terlontar dari bibir Rasulullah SAW itu, tiba-tiba tubuhnya
serasa lumpuh dan pedang itu terlepas dari tangannya, dan ia jatuh terduduk. Beliau segera
mengambil pedang itu dan mengacungkannya kepada Ghaurats, dan bersabda, “Siapa yang bisa
menghalangiku untuk membunuhmu?”

Ghaurats berkata, “Tidak ada!! Jadilah engkau orang yang sebaik-baiknya menjatuhkan
hukuman!!”
Nabi SAW tersenyum mendengar jawabannya itu, dan berkata, “Kalau begitu bersaksilah
engkau bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah!!”

“Tidak,” Kata Ghaurats, “Tetapi aku berjanji kepadamu untuk tidak memusuhimu, dan
tidak akan bergabung dengan orang-orang yang memusuhimu!!”

Memang tidak ada paksaan dalam memeluk Islam, hidayah adalah hak mutlak Allah,
terserah Allah kepada siapa akan diberikan. Beliau tidak memaksa Ghaurats, bahkan beliau
memaafkan dan melepaskannya. Ketika tiba kembali di antara kaumnya, Ghaurats berkata, “Aku
baru saja kembali dari sebaik-baiknya orang di dunia ini!!”

Dalam riwayat lain disebutkan, lelaki yang ingin membunuh Nabi SAW dalam peristiwa
tersebut adalah seorang Badui bernama Du’tsur. Setelah gagal dan Nabi SAW memaafkannya, ia
kemudian memeluk Islam. Sebagian riwayat lain menyebutkan, Ghaurats dan Du’tsur adalah dua
peristiwa yang hampir sama, tetapi terjadi dalam peperangan yang berbeda.

7
Perjalanan Nabi SAW di Dalam Mimpi

Telah menjadi kebiasaan Rasulullah SAW, usai shalat subuh berjamaah, beliau
menghadapkan wajah kepada para sahabat dan berkata, “Siapakah di antara kalian yang bermimpi
tadi malam?”

Siapa saja yang bermimpi, mereka akan menceritakannya kepada Nabi SAW, dan beliau
akan memberikan tanggapan dan komentar seperlunya, misalnya, beliau akan berkata “Masyaa
Allah!!”

Suatu ketika beliau bertanya seperti biasanya, tetapi tampaknya tidak ada yang bermimpi
pada malam itu. Nabi SAW justru berkata, “Tetapi aku bermimpi semalam…!!”

Kemudian Nabi SAW menceritakan bahwa ada dua orang mendatangi beliau dan mengajak
beliau menuju bumi yang suci (al-Ardhul Muqaddasah, mungkin maksudnya Baitul Makdis di
Yerusalem, atau mungkin bumi lainnya lagi). Dalam perjalanan itu beliau melihat pemandangan
dua orang, satu orang duduk satunya lagi berdiri sambil membawa sepotong besi berkait (kalub).
Lelaki yang berdiri itu menancapkan kalub ke pipi orang yang duduk, dari kedua sisinya sehingga
kedua pipinya itu menyatu. Ketika dilepas, pipinya itu kembali seperti sediakala, dan lelaki yang
berdiri itu mengulangi lagi perbuatannya. Begitu seterusnya berulang-ulang.

Ketika Nabi SAW bertanya, “Apakah ini?”

Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”

Maka beliau meneruskan perjalanan lagi. Dan sekali beliau melihat suatu pemandangan,
satu orang tidur terlentang, dan satunya lagi berdiri sambil memegang batu besar. Orang yang
berdiri itu melemparkan batu ke kepala orang yang tidur hingga pecah berantakan, dan ia
mengambil lagi batu itu. Ketika ia berdiri kembali di tempat semula, kepala orang yang tertidur itu
telah utuh lagi seperti sediakala. Dan lelaki itu kembali melemparkan batu ke kepala yang tertidur,
begitu terjadi berulang-ulang.

Ketika Nabi SAW bertanya, “Siapakah ini?”

Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”

Nabi SAW berjalan lagi diikuti dua orang itu. Dan beliau melihat suatu lubang semacam
tungku, atasnya sempit, bawahnya lebar, dan di dalamnya ada api yang menyala-nyala dan
sekumpulan orang, lelaki dan perempuan yang telanjang. Api itu terus membara dan mendorong
orang-orang itu ke atas. Tetapi ketika mereka hampir terlempar ke luar dari lubang tersebut, api itu
padam dan mereka jatuh lagi ke dasar lubang. Mulailah api menyala lagi, dan berulang lagi seperti
sebelumnya.

Ketika Nabi SAW bertanya, “Siapa pula mereka ini?”

Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”

Nabi SAW meneruskan perjalanan, hingga beliau sampai pada sebuah sungai darah. Di
dalam sungai itu ada seseorang yang berusaha keluar, berjalan atau berenang ke tepian. Tetapi di
tepian telah menunggu seseorang lainnya dengan sebuah batu cukup besar di tangannya. Setiap
kali orang pertama hampir tiba di tepian, orang kedua melemparkan batunya tepat mengenai mulut
orang yang di dalam sungai itu sehingga ia terlempar lagi ke tengah sungai, sementara batu itu
seperti memantul dan ditangkap lagi oleh orang yang di pinggir sungai. Begitulah berulang-ulang
terjadi.

Nabi SAW berkata, “Siapa pula itu?”

Dua orang itu berkata, “Teruslah berjalan!!”

Mereka bertiga meneruskan perjalanan meninggalkan sungai darah, hingga tiba di suatu
kebun yang menghijau indah. Dalam kebun itu ada sebatang pohon besar di mana pada pangkal
atau pokok pohonnya ada seorang lelaki tua dengan beberapa orang anak. Seorang lelaki lain
tampak sedang menyalakan api di hadapan lelaki tua tadi, juga tidak jauh dari pohon tersebut.

Dua orang lelaki tadi membawa Rasulullah SAW menaiki pohon tersebut, dan terus
memasuki suatu rumah yang begitu indah. Belum pernah rasanya Nabi SAW melihat rumah yang
seindah itu. Di dalam rumah tersebut, beliau melihat cukup banyak orang, baik laki-laki atau
perempuan, pemuda ataupun anak-anak. Kemudian kedua lelaki itu kembali mengajak Nabi SAW
berlalu, naik menuju suatu rumah yang jauh lebih indah lagi daripada rumah sebelumnya yang
beliau kunjungi. Di dalam rumah tersebut tampak beberapa orang lelaki dewasa dan para pemuda.

Rumah tersebut tampaknya pemberhentian terakhir dari perjalanan Nabi SAW karena
sampai beberapa waktu lamanya mereka tidak lagi mengajak beliau pergi, dan beliau sendiri
cukup nyaman berada di rumah itu. Nabi SAW bersabda, “Wahai tuan-tuan, kalian telah membawa
aku berjalan berkeliling malam ini, sekarang tolong dijelaskan kepadaku semua pemandangan
yang telah kulihat itu."

Maka dua lelaki itu berganti-ganti memberikan perjelasan, salah satu dari mereka berkata,
“Adapun orang yang pipinya ditusuk dengan besi berkait (kalub) hingga menyatu, dia itu adalah
pembohong. Ia menceritakan suatu kebohongan, dan diterima, kemudian kebohongan itu
menyebar kemana-mana. Begitulah ia akan diperlakukan (disiksa) hingga hari kiamat tiba…!!”

Salah satunya lagi berkata, “Sedangkan orang yang engkau lihat tidur terlentang dan
kepalanya dihantam dengan batu hingga pecah berantakan, dia adalah orang yang oleh Allah
diajarkan Al Qur’an kepadanya, tetapi ia tidur saja di malam hari dan tidak pernah
mengamalkannya di siang hari. Begitulah mereka diperlakukan (disiksa) hingga hari kiamat tiba!!”

Salah satunya lagi berkata, “Adapun orang-orang yang engkau lihat berada di dalam
lubang semacam tungku, yang berisi api yang membara dan menggelegak, mereka itu adalah para
pezina. Sedangkan orang yang berenang di sungai darah dan dilempar batu tepat pada mulutnya,
mereka adalah para pemakan riba. Begitulah mereka akan disiksa hingga hari kiamat tiba!!”

Salah satu dari mereka berkata lagi, “Orang tua yang engkau lihat di pokok pohon adalah
Nabi Ibrahim AS, dan anak-anak yang berada di sekitarnya adalah anak-anak dari orang banyak.
Lelaki yang menyalakan api di dekat pohon adalah Malaikat Malik, penjaga neraka. Rumah yang
pertama-tama engkau masuki adalah rumah umum kaum muslimin (yang selamat), sedang rumah
ini adalah khusus untuk para syuhada’!!”

Nabi SAW terkagum-kagum mendengar penjelasan tersebut, sedih bercampur gembira.


Sedih karena beberapa siksaan yang akan dialami oleh beberapa dari umat beliau, senang karena
merasakan keindahan dua rumah yang disediakan bagi umat beliau juga. Kemudian salah seorang
dari mereka berkata lagi, “Saya adalah Jibril dan kawan saya ini adalah Mikail. Tolong engkau
angkat kepala engkau!!”

Nabi SAW mengangkat kepalanya, dan beliau melihat semacam awan yang di atasnya
terdapat suatu rumah yang sangat-sangat indahnya, jauh lebih-lebih indah daripada rumah yang
beliau tempati saat itu.

Malaikat Jibril berkata, “Itulah tempat tinggal engkau!!”

Nabi SAW berkata, “Biarkanlah aku ke sana sekarang!!”

Jibril berkata lagi, “Sekarang masih ada sisa usia engkau, nanti jika telah tiba masanya,
engkau akan pergi ke tempat itu dan tinggal di dalamnya!!”

Setelah itu Nabi SAW terbangun dari mimpi beliau. Para sahabat yang berjamaah subuh
pada hari itu sangat gembira mendengar cerita mimpi beliau tersebut. Mereka makin
menggencarkan amal-amal kebaikan mereka, khususnya makin menggelorakan semangat berjihad,
dan menghindarkan diri dari berbagai macam kemaksiatan, khususnya yang telah diceritakan
dalam mimpi beliau tersebut.

8
Ketika Kaum Musyrikin “Terpaksa” Bersujud

Suatu ketika di tahun ke lima dari nubuwwah, saat itu bulan ramadhan, Nabi SAW datang
ke Masjidil Haram dan di sana telah berkumpul beberapa orang pembesar dan pemuka kaum
Quraisy. Kemudian beliau membaca Surat an-Najm yang berjumlah 62 ayat. Surat itu memang
ayatnya pendek-pendek dan berkesan seperti susunan syair, tetapi jauh-jauh lebih indah dan
bermakna. Kaum Quraisy, dan orang-orang Arab pada umumnya saat itu memang selalu
membangga-banggakan syair, sangat menghargai dan menjunjung tinggi seorang penyair yang
hebat.

Ketika Nabi SAW melantunkan ayat demi ayat dari Surat an Najm itu, mereka seperti
terhipnotis, terpesona dengan keindahannya. Sepanjang usia mereka, belum pernah mereka
mendengar rangkaian kata yang begitu indah dan bermakna sangat dalam seperti yang sedang
dilantunkan Rasulullah SAW. Bahkan mereka sampai lupa kalau yang sedang melantunkan ayat-
ayat itu adalah orang yang sangat mereka benci, bahkan kalau bisa mereka ingin membunuhnya
saja. Mereka makin tenggelam dalam kekhusyu’an dan kekhidmatan, setiap kali bibir Rasulullah
SAW melantunkan ayat-demi ayat itu.

Ketika beliau melantunkan ayat terakhir, ayat ke 62 yang merupakan Ayat Sajdah, “Maka
bersujudlah kamu kepada Allah dan sembahlah Dia!!” (Fasjuduu lillaahi wa’buduu!!).

Tanpa dapat ditahan lagi, mereka semua itu bersujud dengan bercucuran air mata penuh
haru. Tampaknya keagungan dan kehalusan kalam Allah benar-benar menguasai emosi mereka,
walau akalnya mungkin menolak. Orang-orang musyrik lainnya yang berada agak jauh dari tempat
itu sangat terkejut melihat keadaan tersebut. Mereka segera mendatangi mereka dan mencaki-maki
dan mencela sikapnya itu.
Mendengar cacian dan celaan itu, orang-orang musyrik yang tadinya bersujud segera
menyadari keadaannya. Mereka seolah-olah baru terbangunkan dari suasana terhipnotis tanpa
menyadari apa yang mereka lakukan. Antara malu dan marah karena bersujud di hadapan Nabi
SAW, mereka segera membuat kebohongan untuk menutupi rasa malunya. Mereka menyatakan
bahwa Nabi SAW menyebutkan kemuliaan dan sanjungan kepada berhala-berhala mereka, karena
itu mereka bersujud. Sungguh suatu alasan yang menggelikan, yang kebanyakan kaum musyrikin
sendiri tidak mempercayai alasan tersebut.

Berita sujudnya kaum musyrikin di hadapan Nabi SAW itu menyebar ke mana-mana,
termasuk kepada kaum muslimin yang berhijrah di Habasyah. Hanya saja kabar yang sampai
kepada mereka, kaum Quraisy telah dapat menerima ajaran Nabi SAW. Karena itu pada bulan
syawal, sebagian besar dari mereka segera kembali ke Makkah dengan riang gembira. Tetapi
sampai di pinggiran kota Makkah, mereka tahu bahwa berita itu tidak benar. Bahkan mereka
melihat kaum Quraisy telah siap menangkap mereka kembali. Sebagian besar dari mereka kembali
ke Habasyah, dan sebagian lagi masuk ke Makkah dengan diam-diam dan mencari jaminan
perlindungan dari tokoh-tokoh Quraisy yang dikenalnya.

9
Tanda Kenabian Menjelang Kelahiran Nabi
SAW (3)
Dajjal Dibelenggu

Dajjal adalah fitnah terbesar yang akan muncul secara nyata menjelang hari kiamat tiba.
Tidak ada seorang nabi-pun kecuali mengingatkan umatnya akan fitnah Dajjal, termasuk Nabi
Muhammad SAW. Beliau bersabda, “Sejak diciptakannya Nabi Adam AS hingga datangnya hari
kiamat, tidak ada perkara (fitnah) yang lebih besar daripada Dajjal.”

Nabi SAW bersabda, “…sesungguhnya Dajjal akan muncul dengan membawa semacam
surga dan neraka, sesuatu yang dikatakan sebagai surga oleh Dajjal, maka itu sebenarnya neraka.”
Beliau juga memperingatkan kita, “Barang siapa mendengar berita kehadiran Dajjal, maka
usahakanlah untuk menghindar/menjauh dari dia. Demi Allah, adakalanya seseorang didatangi
oleh Dajjal dan ia menganggap Dajjal sebagai seorang mukmin sehingga ia menjadi pengikutnya,
karena diperlihatkan kepadanya berbagai macam syubhat.” Dan masih banyak lagi hadist-hadist
lainnya mengenai Dajjal ini.

Dajjal adalah sosok yang sangat jenius, ia mengetahui berbagai ilmu pengetahuan dan
menguasai berbagai macam rahasia alam semesta. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia juga
sangat menguasai ilmu-ilmu keislaman, sehingga pada awal kemunculannya nanti, ia tampil
sebagai seorang muballigh yang saleh. Ia bisa menampilkan berbagai macam keajaiban karena
pengetahuannya akan rahasia alam semesta, dan tentunya karena diijinkan oleh Allah, sehingga
pengikutnya makin banyak. Lama-kelamaan ia mengaku dirinya sebagai nabi, dan ketika makin
banyak orang yang memujanya, ia mengaku dirinya sebagai Tuhan.

Tidak ada riwayat pasti yang menjelaskan kapan Dajjal ini dilahirkan? Seorang ulama,
pemikir dan jurnalis dari Mesir bernama Syech Muhammad Isa Dawud menyatakan bahwa Dajjal
dilahirkan sekitar satu abad sebelum Nabi Musa AS dilahirkan. Kesimpulan itu diambil
berdasarkan kajian mendalam beberapa ayat-ayat Al Qur’an, berbagai hadist-hadist Nabi SAW,
dan berbagai macam manuskrip (literatur) kuno yang beliau dapatkan dari berbagai daerah di
Timur Tengah.

Orang tua Dajjal itu tinggal di daerah Samirah, sebuah daerah kecil di Palestina, yang di
kemudian hari menjadi kota besar, ibukota dari kerajaan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Masyarakat Samirah itu adalah para penyembah berhala dan pelaku berbagai macam kemaksiatan,
termasuk sodomi dan liwath (homoseksual). Orang tua Dajjal memiliki sesembahan berhala yang
mirip dengan sapi betina, dan sejak pernikahannya, mereka selalu membuat persembahan kepada
berhalanya itu, dengan permintaan agar mereka diberi keturunan seorang anak laki-laki.

Setelah tigapuluh tahun berlalu, barulah istrinya mengandung dan melahirkan seorang anak
laki-laki, tetapi kedua matanya cacat, satu saja yang bisa melihat dan tubuhnya tidak banyak
bergerak. Selama bertahun-tahun layaknya ia hanya tidur saja, tetapi anehnya ia tumbuh
sebagaimana bayi pada umumnya. Pada umur empat tahun, di suatu malam ia bergerak
meninggalkan tempat tidurnya di antara ayah ibunya dan berpindah ke sebelah berhala mirip sapi
betina itu, dan tidur di sana. Beberapa kali dikembalikan, ia berpindah lagi ke sisi berhala itu tanpa
diketahui siapapun. Keadaan yang menghebohkan itu sempat membuat ayahnya diperiksa dan
ditahan oleh Hakim.

Ketika ia berusia lima tahun, Allah menimpakan azab pada penduduk Samirah, buminya
diguncang gempa amat keras hingga tanahnya terbalik seperti yang terjadi kaum Sadumi dan
Amurah. Anehnya, anak kecil berusia lima tahun itu selamat, tinggal sendirian di antara
reruntuhan puing-puing yang berserakan. Sepertinya Allah mempunyai ‘rencana besar’ dengan
anak kecil tersebut, dan memerintahkan Jibril untuk memindahkan anak tersebut ke suatu pulau
terpencil di antara berbagai pulau di “belantara” Laut Yaman, bagian dari Samudra Hindia.

Walau terpencil, pulau tersebut memiliki semua kelengkapan untuk kehidupan, air yang
segar, buah-buahan dan berbagai jenis makanan lainnya. Di sana juga ada gua yang cukup besar
dan nyaman, yang bisa melindunginya dari panas dan hujan. Allah menugaskan Jibril untuk
merawat dan mengajari anak kecil tersebut, khususnya tentang aqidah dan keimanan, termasuk
tentang akan datangnya Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul. Secara
khusus Allah menciptakan seekor binatang berbulu sangat tebal, yang bisa berbicara seperti
manusia, yang disebut Al-Jassasah (yang selalu memata-matai). Al-Jassasah inilah yang sehari-
harinya mengajar anak kecil, calon fitnah akhir zaman, Dajjal tersebut. Ajaran-ajaran yang
disampaikan malaikat Jibril itu tertulis pada tujuh buah panel/dinding batu yang ada di salah satu
bagian dari pulau tersebut.

Setelah bertahun-tahun tinggal di pulau itu dan ia makin dewasa, suatu ketika ada perahu
yang merapat di pulau tersebut, dan ia dibawa serta ke luar pulau. Mereka beranggapan, lelaki itu
mungkin korban dari salah satu perahu yang tenggelam dan terdampar di pulau itu. Mereka
menurunkan calon Dajjal ini di daratan Yaman yang jaraknya sekitar 4000 km dari pulau tersebut.
Ia mulai mengembara, menjelajah berbagai tempat, dan karena Allah membekalinya dengan otak
yang sangat jenius, ia belajar dengan cepat dan kepandaiannya makin meningkat, dengan mudah
pula menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru. Ia membahasakan (menamakan) dirinya
dengan Ibnu Samirah, dinisbahkan pada tempat asalnya seperti diceritakan al Jassasah.

Ia bekerja menjadi pelayan seorang filosof Yaman. Suatu ketika sang filosof tertarik untuk
memeriksa daya pikir dan keanehan perilakunya, dan akhirnya sang filosof menyimpulkan, “Jika
engkau bisa hidup lama, engkau bisa menjadi seorang raja yang sangat adil, atau sebaliknya raja
yang sangat lalim!!”

Setelah tinggal beberapa tahun lamanya bersama sang filosof, Ibnu Samirah berkeinginan
untuk mengunjungi negeri asalnya Samirah, yang berada di Palestina. Ia membeli sebuah perahu
besar dan menggaji beberapa nelayan untuk menjalankannya. Segala kebutuhan dan perlengkapan
juga dipersiapkan dalam perahunya itu. Tetapi sebelum mengarahkan ke Palestina, ia ingin
mengunjungi pulau terpencil tempat masa kecilnya tinggal bersama al Jassasah. Walau tidak
mudah bagi orang lain menemukannya, tetapi kekuatan ingatan dan pikirannya dengan mudah
membawanya ke pulau itu.

Ketika ia berlabuh dengan perahu kecil di pantainya, al Jassasah menatapnya dengan


tajam, tetapi kemudian meninggalkannya ke dalam hutan tanpa berkata apapun. Ibnu Samirah
berjalan berkeliling mengenang masa kecilnya. Tidak terasa ia telah berusia seratus tahun lebih,
tetapi sama sekali tidak ada gurat ketuaan di wajahnya. Bahkan tampaknya ia makin merasa kuat
dan tegar, layaknya ketika berusia tigapuluhan. Ketika sampai pada panel batu yang bertuliskan
pengajaran Malaikat Jibril, ia menemukan sebuah bejana berisi semacam tinta yang digunakan
menulis pada batu. Ia mengambil bejana tersebut, ia juga mengambil atau memotong dari tiap
panel batu pengajaran itu untuk kenang-kenangan. Kemudian ia kembali lagi ke perahunya dan
mengarahkan ke Palestina.

Setelah beberapa hari lamanya mengarungi lautan, ia berlabuh di salah satu lembah di
Palestina yang tersembunyi. Ia meneruskan ke Samirah dengan onta yang dibelinya. Walau ia
tidak menemukan apa-apa dari negeri Samirah yang masih luluh lantak tanpa penghuni, dari
beberapa orang berusia lanjut di negeri sekitar Samirah seperti al-Jalil dan al-Arbad, ia mendengar
kisah tentang anak kecil yang diambil dewa-dewa ke pangkuannya. Ada juga kisah selentingan
tentang anak kecil yang diculik malaikat ketika terjadi bencana besar yang menghancurkan
Samirah. Kisah-kisah tersebut seolah membenarkan jati dirinya seperti yang diceritakan oleh al
Jassasah.

Setelah tinggal di Palestina beberapa tahun lamanya, ia memutuskan menuju negeri sang
Fir’aun, Mesir. Ia ‘melamar’ menjadi pelayan seorang dukun terkenal di negeri itu, yang dengan
senang hati menerimanya setelah mengetahui kemampuan dan kecerdasannya. Saat itu Nabi Musa
AS dan Nabi Harun AS sedang mendakwahkan agama Tauhid kepada Fir’aun dan masyarakat
Mesir, khususnya kaum Bani Israil yang hidup dalam perbudakan di negeri itu.

Dukun yang diikutinya itu seorang yang berusia tigaratus tahun dan sangat mengenal
sejarah hidup Nabi Musa AS di Mesir. Ketika ia mendengar kisah Musa tersebut, ia segera
menceritakan kisah kehidupannya, yang segera saja sang dukun berkata, “Kalau begitu engkau
adalah Musa yang lain, yakni Musa dari Samirah (Musa as Samiri).”

Mungkin karena inilah, muncul suatu ungkapan dari sebagian ulama dalam hal pendidikan
dan pengajaran, “Musa yang dididik oleh Fir’aun menjadi salah seorang Nabi dan Rasul, sedang
Musa (as Samiri) yang dididik oleh malaikat Jibril malah menjadi orang yang paling ingkar
kepada Allah…!!”

Ibnu Samirah sangat kagum dengan komentar sang dukun itu, dan ia merasa derajadnya
tidaklah terlalu jauh daripada Nabi Musa AS. Setelah beberapa waktu lamanya, ia memutuskan
untuk bergabung dengan Bani Israil karena ada kedekatan kedaerahan dan garis darah leluhurnya
yang bertemu dengan Nabi Musa, yakni pada Nabi Ya’kub. Ia juga menikahi salah seorang wanita
Bani Israil tetapi tidak mempunyai keturunan. Namun demikian, walau ia melihat berbagai macam
mu’jizat yang ditunjukkan Nabi Musa AS, hatinya tidak bisa sepenuhnya mengimani Nabi Musa
AS, termasuk juga mengimani Allah SWT. Sementara itu, beberapa orang dari Bani Israil
menunjukkan penghargaan dan kedekatannya kepada Ibnu Samirah karena kecerdasan dan
kepiawaiannya dalam beberapa hal. Walau tidak banyak, mereka itu layaknya ‘budaknya’ Ibnu
Samirah, yang akan selalu menurut jika diperintahkannya.

Ketika Allah SWT memerintahkan Nabi Musa dan Bani Israil untuk meninggalkan Mesir
menuju Palestina, Ibnu Samirah ikut serta dalam rombongan besar itu. Beberapa kali lagi ia
melihat dengan mata kepalanya sendiri mu’jizat Nabi Musa AS, termasuk membelah lautan
dengan tongkat beliau, tetapi semua itu tidak membuatnya beriman. Bahkan terbersit dalam
pikirannya, “Akupun bisa melakukannya suatu saat nanti, bahkan bisa lebih dahsyat!!”

Ketika Bani Israil telah selamat dari kejaran Fir’aun dan tiba di sisi gunung Thursina, Nabi
Musa meninggalkan mereka dalam pengawasan Nabi Harun untuk segera ‘menghadap’ Allah di
Bukit Thursina. Pada saat itulah Ibnu Samirah membikin ulah dengan membuat sebuah patung
anak sapi dari emas dan dapat bersuara, dan mengatakan bahwa itulah tuhannya Musa dan Bani
Israil. Sebagian besar dari mereka mempercayainya dan menyembah patung emas tersebut, segala
upaya dilakukan oleh Nabi Harun untuk mencegah mereka tetapi mengalami kegagalan.

Lebih lengkapnya bisa dilihat dalam Al Qur’an Surat Thaha ayat 83-97, lebih baik lagi
kalau dilengkapi dengan tafsirnya. Hanya saja yang menjadi dasar renungan Syech Muhammad
Isa Dawud sehingga ‘menyimpulkan’ bahwa Samiri atau Ibnu Samirah ini adalah calon Dajjal,
adalah sikap Nabi Musa dalam peristiwa itu.

Begitu turun dari Thursina sambil membawa shuhuf yang terbuat dari batu berisi Perintah-
perintah Allah (The Ten Command The Men, istilah baratnya), Nabi Musa melihat kaumnya telah
menyembah dan menari-nari di depan tuhan barunya, sebuah patung sapi betina dari emas yang
bisa bersuara. Hati Nabi Musa sangat marah, mukanya merah padam dan tanpa disadari beliau
melemparkan shuhuf yang beliau pegang sambil berteriak keras. Mendengar suara keras beliau
tersebut, kaum Bani Israil langsung menghentikan aktivitas penyembahannya dengan ketakutan.

Kemudian Nabi Musa menghampiri Nabi Harun, menarik janggut dan memegang
kepalanya dan berkata dengan marah, seolah-olah Nabi Harun telah mengabaikan perintahnya,
lihat Surat Thaha ayat 92-94. Padahal Nabi Harun telah berusaha keras, tetapi beliau tidak mampu
mempengaruhi Bani Israil yang telah berada di bawah kendali dan pengaruh Samiri atau Ibnu
Samirah itu.

Tetapi ketika Nabi Musa menghadapkan diri kepada Samiri, otak dari segala macam
kekacauan dan fitnah bagi Bani Israil sepeninggal beliau ke Thursina, Al Qur’an (Surat Thaha ayat
95-97) tidak menjelaskan ‘sikap keras’ Nabi Musa seperti sebelumnya, bahkan akhirnya beliau
hanya berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu dalam kehidupan dunia ini hanya bisa
berkata : Janganlah menyentuhku. Dan sesungguhnya bagimu telah ada ketentuan waktu, yang
kamu tidak akan bisa menghindarinya….!!” (QS Thaha 97).

Nabi SAW telah menjelaskan, “Sesungguhnya saya memperingatkan kalian akan Dajjal.
Dan tidak ada seorang nabi-pun kecuali mereka mengingatkan kaumnya (tentang dirinya). Akan
tetapi saya akan menyampaikan kepada kalian apa yang belum pernah disampaikan nabi-nabi
kepada kaumnya. Sesungguhnya ia (Dajjal) itu buta sebelah dan sesungguhnya Allah tidaklah buta
sebelah. Dan tertulis di antara kedua mata Dajjal ka-fa-ra (artinya kafir)!!”

Mungkin ketika Nabi Musa menghadap ke Samiri, beliau melihat tanda-tanda Dajjal pada
dirinya. Karena itu, walau beliau termasuk seorang yang sangat keras dalam menerapkan syariat,
tetapi beliau membiarkan Samiri pergi, karena beliau meyakini Allah telah mempunyai rencana
sendiri dengan dirinya. Sementara kepada kaum Bani Israil yang menyatakan dirinya bertobat,
beberapa di antara mereka yang punya andil besar dalam penyembahan berhala tersebut,
disyaratkan untuk bunuh diri agar taubatnya diterima, dan mereka mau melakukannya.
Bagaimanapun, kehidupan akhirat jauh lebih bak daripada kehidupan dunia.

Setelah diusir Nabi Musa, Ibnu Samirah kembali melanjutkan pengembaraannya dari satu
negeri ke negri lainnya. Entah berapa tahun atau berapa abad perjalanannya ia hampir tidak
merasakannya karena ia tetap dalam kemudaannya. Pengetahuannya makin bertambah banyak dan
semua itu makin menambah kesombongan dan ambisinya. Setelah cukup lelah menjelajah,
ia memutuskan untuk kembali ke pulau tempat ia dibesarkan. Ia mengira, al Jassasah yang telah
menjadi ‘teman’ masa kecilnya itu telah mati, ternyata tidak. Ia menemukannya di dekat panel
batu yang berisi pengajaran malaikat Jibril. Tetapi ia sama sekali tidak berbicara (menjawab)
ketika diajaknya bercakap-cakap. Yang keluar dari mulutnya hanyalah ucapan yang berulang-
ulang, “Laa ilaaha illallaah, lahul mulku wa lahul hamdu, yukhyii wa yumiit, wahuwa ‘alaa kulli
syai-in qodiir!!”

Setelah beberapa waktu lamanya hidup di pulau itu tanpa bisa berkomunikasi, ia kembali
mengadakan perjalanan berkelana. Ia mendengar tentang seorang nabi yang menghebohkan,
dengan gelaran al masih, yakni Nabi Isa AS. Ibnu Samirah tidak mau langsung bertemu atau
menyatu dengan umat Nabi Isa seperti ketika dengan Nabi Musa dahulu. Ia mengirim seorang
utusan sementara ia menunggu di luar, dengan sebuah pesan kepada Nabi Isa AS, “Jika engkau
benar-benar seorang nabi, katakan kepadaku siapa yang di luar?”

Ketika utusan itu menghadap Nabi Isa dan menyampaikan pesan tersebut, sejenak Nabi Isa
terdiam, kemudian beliau bersabda, “Wahai saudaraku, katakan kepada orang yang mengutusmu
itu, bahwa Allah yang Maha Perkasa dan Maha Agung menerima taubat dan mengampuni semua
dosa hamba-Nya, jika hamba tersebut mau bertaubat dan mengesakan Allah maka ia benar-benar
akan kembali (suci). Allah-lah yang melindungi anak kecil yang sedang tidur dari kekejaman
penguasa, Dia-lah pula yang memeliharanya di pulau tempat tinggal binatang raksasa ketika ia
masih kecil. Dia-lah yang mengajarkan kepadanya Keesaan Allah dan shalat melalui tulisan
kepercayaan-Nya Jibril. Dia Maha Kuasa untuk memaafkan fitnah yang dibuatnya kepada Bani
Israil, asalkan dia beriman kepada al Masih ar Rabb (yakni Nabi Isa AS), dan kepada kitab Injil
yang diturunkan kepadanya..!!”

Setelah mendengar jawaban tersebut dari orang yang diutusnya, Ibnu Samirah segera
berlalu pergi. Tampaknya pengalaman pahit ketika bertemu dengan Nabi Musa membuatnya
jengah untuk bertemu dan bergaul dengan Nabi Isa, apalagi tidak niatan sama sekali dalam hatinya
untuk bertaubat. Maka ia melanjutkan ‘tradisi’ pengembaraannya dari satu negeri ke negeri
lainnya. Kalau ada suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya, maka ia akan segera menuju
ke tempat itu. Setelah berabad-abad tanpa ia menyadarinya, kerinduannya kepada pulau tempat al
Jassasah itu muncul juga, dan ia mengarahkan perahunya ke sana.

Ibnu Samirah menambatkan perahunya dan berjalan menuju gua tempat tinggalnya dulu.
Tetapi tiba-tiba muncul al Jassasah menghalangi jalannya, binatang raksasa berbulu tebal ‘teman’
masa kecilnya itu tidak sendirian. Ada duapuluh orang berwajah seperti matahari, tingginya seperti
pepohonan dan masing-masing dari mereka membawa semacam rantai besi bercampur baja yang
mengkilat laksana emas. Ibnu Samirah yang mempunyai pengetahuan luas tentang berbagai
macam barang tambang di bumi, sepertinya tidak mengenali jenis logam tersebut.

Tiba-tiba saja ia merasakan suatu ketakutan amat dalam sehingga tubuhnya menggigil.
Padahal selama ini ia tidak pernah merasa takut kepada apapun dan siapapun, termasuk ketika ia
menghadapi Nabi Musa AS, setelah fitnah yang dikobarkannya lewat patung emas anak sapi yang
sempat menjadi sesembahan Bani Israil. Ketakutan yang pertama kali dirasakannya itu membuat
ia lupa jati dirinya, lupa pada kecerdikannya, kekuatannya, kesombongannya, ambisinya dan lupa
pada semua kelebihannya yang selama ini menjadi andalannya. Dengan terbata-bata ia berkata,
“Apa ini? Siapa mereka? Bagaimana mereka sampai di sini?”

Al Jassasah berkata dengan tegas, “Wahai orang yang paling bodoh, engkau telah menyia-
nyiakan dua kesempatan (untuk bertaubat, yakni ketika bertemu dengan Nabi Musa AS dan Nabi
Isa AS), dan kini tidak tersisa lagi bagimu kecuali janji terakhir!!”

Belum sempat Ibnu Samirah berkata atau berbuat apapun, duapuluh orang berwajah cahaya
itu menyerangnya dan ia langsung pingsan karena takutnya. Ketika terbangun, ia telah berada di
dalam gua, kaki dan tangannya terbelenggu dengan rantai yang cukup panjang sehingga ia bisa
bergerak leluasa di dalam gua tersebut. Ketika ia mencoba mengerahkan kekuatan dan ilmunya
untuk membuka/mematahkan rantai tersebut, tampaknya sia-sia saja. Padahal berbagai jenis logam
di bumi dengan mudah ‘dikendalikan’ dengan ilmu dan kekuatannya.

Al Jassasah yang juga berada di dalam gua itu, setelah melihatnya putus asa dengan segala
upayanya, berkata dengan tegas kepadanya, “Wahai Dajjal masa depan, sekarang engkau berada di
zaman penutup para nabi, kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. Ia telah lahir beberapa hari yang
lalu ketika engkau berada di tengah lautan. Engkau berada di penghujung akhir zaman di bumi.
Janji Allah telah datang masanya, engkau tidak akan terlepas dari belenggumu itu kecuali jika
kekasih Allah, Muhammad SAW telah wafat, berpulang ke hadirat Yang Maha Tinggi. Sedangkan
tanda keluarmu sebagai orang yang paling sombong di muka bumi adalah terputusnya pohon
kurma Baisan (dari berbuah), berkurangnya air danau Thabariyah, mengeringnya mata air Zhugar,
dan banyak terjadinya gempa bumi yang dahsyat…!!”

Setelah itu al Jassasah meninggalkannya sendiri. Sesekali ia datang ke dalam gua


membawa berbagai buah-buahan, tetapi tidak pernah berbicara atau menjawab ketika diajak
bicara, kecuali hanya pandangan keprihatinan. Beberapa puluh tahun berselang, sekelompok orang
dari Palestina terdampar di pulau itu karena perahunya mengalami kerusakan. Mereka itu adalah
Tamim ad Daari, seorang pendeta Nashrani dan teman-temannya, yang sempat melakukan
pembicaraan dengan Ibnu Samirah atau calon Dajjal ini, dan akhirnya memeluk Islam dan menjadi
salah seorang sahabat Nabi SAW. Lihat kisahnya dalam laman “Percik Kisah Sahabat Nabi
Muhammad SAW” di bawah judul “Tamim ad Daari”.

Dalam versi Syech Muhammad Isa Dawud ini, setelah Rasulullah SAW wafat, belenggu
Ibnu Samirah atau Dajjal tersebut tiba-tiba melunak dan dengan mudah ia melepaskan diri. Ia
segera keluar dari pulau tersebut dan sepertinya ia tidak pernah ingin kembali lagi ke pulau
tersebut setelah ‘pengalaman pahit’ 63 tahun (qomariah/hijriah atau 61 tahun masehi) terbelenggu
dalam keadaan lemah tak berdaya. Tak lupa al Jassasah mengantar kepergiannya dengan doa
laknat sebagaimana laknat yang ditimpakan Allah kepada Iblis. Ia kemudian melanjutkan
kebiasaannya melanglang buana ke seluruh penjuru dunia, khususnya negeri-negeri yang belum
pernah dikunjunginya.

Dalam versi lainnya, yakni pengajian dari para ulama yang pernah saya dengar, belenggu
Dajjal sebenarnya belum terlepas sampai saat ini. Setiap saat ia ‘menggerogoti’nya agar belenggu
itu terlepas, tetapi bersamaan dengan itu, setiap kali adzan dikumandangkan, belenggu itu makin
kuat dan makin menebal lagi. Tetapi Dajjal tidak pernah beristirahat dan putus asa untuk berusaha
memutuskan belenggu tersebut. Jika suatu saat nanti di bumi tidak ada lagi yang
mengumandangkan adzan, tidak ada lagi yang menguatkan belenggu Dajjal dan ia akan terlepas
dan menyebarkan fitnah ke seluruh penjuru dunia. Namun untuk kisah versi yang ini, saya belum
menemukan rujukan kitabnya. Wallahu ‘Alam.

10
Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (1)
Washilah dengan Wajah Nabi SAW

Suatu ketika kota Makkah dilanda paceklik dan kekeringan yang tidak seperti biasanya,
sehingga kemiskinan merajalela. Sekelompok orang Quraisy mendatangi Abu Thalib sebagai
sesepuh dan tokoh yang paling disegani dalam pengelolaan rumah Allah (Ka’bah), sambil berkata,
“Wahai Abu Thalib, lembah-lembah kami sedang kekeringan dan kemiskinan melanda kami.
Marilah kita berdoa untuk meminta turunnya hujan!!”

Abu Thalib berkata, “Baiklah, tunggulah sebentar!!”

Tidak berapa lama Abu Thalib keluar dari rumahnya dengan menggandeng seorang anak
kecil yang usianya belum genap sepuluh tahun, yakni Nabi SAW. Mereka berjalan beriringan
menuju Ka’bah, dan disadari atau tidak oleh yang lainnya, awan tipis bergerak perlahan beriringan
menaungi Abu Thalib dan Nabi SAW.

Ketika telah sampai di salah satu sisi Ka’bah, Abu Thalib menyandarkan punggung beliau
ke dinding Ka’bah dan jari jemarinya memegangi beliau. Sambil memandangi wajah beliau yang
putih berseri, mulut Abu Thalib mengucap doa meminta hujan diikuti oleh orang-orang Quraisy
lainnya. Belum lagi mereka berlalu dari tempatnya, tiba-tiba langit yang bersih berubah menjadi
gelap, penuh mendung yang datang dari segala penjuru, dan tak lama kemudian hujan turun
dengan derasnya.

Abu Thalib memandang dengan takjub wajah keponakannya tersebut dan memeluknya
erat. Kemudian terlontar sebuah syair pendek dari mulutnya : Putih berseri, meminta hujan dengan
wajahnya ; Penolong anak yatim, dan pelindung wanita janda…

Penduduk Makkah menyambut gembira datangnya hujan tersebut, dan hanya dalam
beberapa jam saja lembah-lembah dipenuhi air lagi, dan dalam beberapa hari kemudian ladang-
ladang mereka mulai subur kembali.
11
Ketika Nabi SAW kurang Rakaat Shalatnya

Suatu ketika, dalam shalat maghrib atau shalat isya’, Nabi SAW telah duduk tasyahud
akhir dan kemudian salam, padahal saat itu masih kurang satu rakaat. Biasanya beliau akan duduk
menghadap jamaah setelah selesai salam, tetapi kali ini bersikap lain. Beliau berdiri bertelekan
kayu yang melintang di bagian depan masjid, jari-jari tangan terjalin, kemudian beliau meletakkan
pipi kanan beliau di atas punggung tangan kiri beliau.

Para sahabat tampak kebingungan dengan rakaat yang kurang satu itu, tetapi mereka tidak
berani bertanya, apalagi melihat sikap beliau yang tidak biasanya itu. Termasuk Umar dan Abu
Bakar yang biasanya kritis, ternyata mereka hanya diam saja. Mereka hanya berbisik-bisik di
antara mereka, “Mengapa shalat diperpendek?”

Dalam keadaan ‘deadlock’ seperti itu, seorang sahabat Anshar yang kedua tangannya
tampak lebih panjang daripada umumnya sehingga biasa dipanggil ‘Dzul Yadain’, memberanikan
diri menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau lupa ataukah
shalat memang diqashar?”

Nabi SAW mengangkat wajah dan memandang Dzul Yadaian, kemudian bersabda, “Saya
tidak lupa, dan tidak pula shalat diqashar!!”

Nabi SAW berpaling kepada para sahabat lainnya dan bersabda, “Benarkah apa yang
dikatakan oleh Dzul Yadain??”

“Benar, ya Rasulullah,“ Kata para sahabat serentak.

Maka beliau memerintahkan memanggil kembali beberapa orang yang telah terlanjur
keluar masjid, kemudian beliau menyempurnakan (menambah) satu rakaat lagi. Setelah salam,
beliau bersujud lagi seperti sujudnya shalat atau lebih lama, kemudian beliau bangkit dari sujud
sambil bertakbir, sesudah itu beliau bertakbir dan bersujud lagi seperti sujudnya shalat atau lebih
lama. Kemudian beliau bangkit lagi dengan bertakbir dan mengucap salam seperti salamnya waktu
menutup shalat. Sujud ini dalam ilmu fiqih disebut sebagai sujud Sahwi.

Sebagian ulama berpendapat, sujud sahwi ini dilakukan setelah selesai membaca tahiyyat,
tetapi sebelum mengucap salam, sehingga hanya satu kali salam.

12
Nabi SAW dan Umatnya Dimuliakan dengan
Shalat
Allah menciptakan malaikat Jibril dalam bentuknya yang paling bagus, Dia menambahkan
enamratus sayap bagi Jibril, yang setiap sayapnya sepanjang antara timur dan barat. Ketika
melihat keadaan dirinya, Jibril mengagumi dirinya dan berkata, “Wahai Allah, apakah engkau
menciptakan mahluk lain yang bentuknya lebih bagus dari diriku?”

Allah SWT berfirman, “Tidak!!”

Maka Jibril langsung gembira dan bersyukur kepada Allah, ungkapan syukurnya dilakukan
dengan shalat dua rakaat. Dia berdiri selama duapuluh ribu tahun untuk satu rakaatnya. Dan
setelah selesai shalat, Allah berfirman kepadanya, “Wahai Jibril, engkau telah beribadah kepada-
Ku dengan sebenar-benarnya peribadatan kepada-Ku, tidak ada seorang-pun yang beribadah
kepada-Ku seperti ibadah yang telah engkau lakukan itu!!”

Jibril makin gembira dengan pujian Allah tersebut, dan makin menambah rasa syukurnya.
Kemudian Allah berfirman lagi, “Namun akan datang seorang nabi mulia sebagai kekasih-Ku di
akhir zaman. Dia mempunyai umat yang lemah lagi berdosa, mereka melakukan shalat beberapa
rakaat dalam waktu yang singkat, itupun dilakukan disertai kekurangan dan kelalaian, pikiran yang
bermacam-macam, bahkan terkadang mereka berdosa besar. Tetapi demi keagungan-Ku dan
keluhuran-Ku, sesungguhnya shalat mereka itu lebih Aku sukai daripada shalatmu, karena mereka
shalat itu untuk menjalankan perintah-Ku, sedangkan engkau menjalankan shalat tanpa perintah
dari-Ku…!!”

Jibril berkata, “Wahai Allah, apakah balasan atas shalat mereka itu?”

Allah Berfirman, “Aku berikan untuk mereka surga sebagai tempat tinggal mereka!!”

Jibril meminta ijin Allah untuk melihat surga tersebut dan mengitarinya, dan Allah
mengijinkannya. Jibril terbang mengepakkan sayapnya, yang dengan sekali kepakan ia mencapai
jarak perjalanan tigaribu tahun, dan ia terus terbang hingga jarak perjalanan tigaratus ribu tahun.
Ketika merasa lelah dan belum sampai juga, ia berhenti dan bersujud kepada Allah, lalu berkata,
“Wahai Allah, apakah aku telah mencapai separuhnya, sepertiganya atau seperempatnya?”

Allah berfirman, “Wahai Jibril, seandainya engkau terbang (sejauh perjalanan) tigaratus
ribu tahun lagi, dan Aku berikan lagi kekuatan seperti kekuatanmu itu, sayap lagi seperti sayap-
sayapmu itu dan engkau melakukan lagi apa yang telah lakukan itu, maka sesungguhnya engkau
tidak akan sampai pada sepersepuluh dari apa yang Aku berikan kepada umat kecintaan-Ku,
Muhammad SAW, sebagai balasan atas shalat yang mereka lakukan itu!!”

Malaikat Jibril jadi sangat merindukan untuk bisa bertemu dengan Nabi SAW dan umatnya
itu.

Memang, dalam perjalanan Mi’raj, Nabi SAW melihat sekelompok malaikat pada tiap lapis
langit sedang shalat atau beribadah kepada Allah SWT dengan caranya masing-masing. Pada
langit pertama, beliau melihat para malaikat yang terus-menerus mengucap dzikr kepada Allah
sambil berdiri, dan menurut penjelasan malaikat Jibril, mereka beribadah seperti itu sejak
diciptakan Allah hingga hari kiamat tiba. Pada langit ke dua, beliau melihat malaikat yang shalat
dengan cara ruku, sejak diciptakan hingga hari kiamat tiba.

Memasuki langit ke tiga, beliau melihat para malaikat beribadah dengan cara terus
menerus bersujud kepada Allah, sejak diciptakan hingga hari kiamat tiba. Beliau amat takjub
dengan pemandangan tersebut, dan tidak bisa menahan diri untuk mengucap salam. Akibatnya,
para malaikat itu bangkit dari sujudnya untuk sesaat, sekedar menjawab salam yang disampaikan
Rasulullah SAW, kemudian mereka kembali sujud seperti semula. Dan mereka akan tetap sujud
hingga hari kiamat tiba.

Pada langit ke empat, beliau melihat para malaikat beribadah dengan terus menerus duduk
tasyahud. Pada langit ke lima, para malaikat beribadah dengan terus-menerus mengucapkan tasbih.
Pada langit ke enam, para malaikat beribadah dengan terus menerus mengucap takbir dan tahlil.
Dan pada langit yang ke tujuh, para malaikat beribadah dengan terus menerus mengucapkan
salam. Mereka menjalankan ibadah tersebut hingga hari kiamat tiba.

Rasulullah SAW amat tertarik dengan cara peribadatan para malaikat tersebut, dan sangat
menginginkan agar beliau dan umatnya bisa melaksanakan sembahyang seperti mereka. Karena
itu, ketika Allah mensyariatkan kewajiban shalat pada peristiwa Mi’raj tersebut, sekaligus
mengajarkan cara-caranya (melalui Malaikat Jibril) sebagai rangkaian dan rangkuman ibadah para
malaikat di tujuh lapis langit. Semua itu sebagai wujud kasih sayang Allah kepada Nabi SAW dan
umat beliau.

Mungkin atas dasar dan alasan inilah, Allah lebih memuliakan shalatnya Nabi SAW dan
umat beliau daripada shalat yang dilakukan Malaikat Jibril ketika ia diciptakan. Nabi SAW juga
pernah bersabda, “Barang siapa yang menunaikan shalat lima waktu, maka ia akan mendapatkan
pahala ibadah, seperti ibadahnya para malaikat pada tujuh lapis langit…!!”

13
Nabi SAW Menjaga Prasangka Umatnya

Suatu malam Nabi SAW sedang i’tikaf di dalam masjid. Tidak lama kemudian datanglah
istri beliau, Shafiyyah binti Huyyai menemui beliau. Setelah berbincang beberapa saat lamanya,
beliau mengantarkan Shafiyyah pulang. Dalam perjalanan tersebut beliau bertemu dengan dua
orang sahabat Anshar. Mereka berdua tidak mengenali istri beliau itu karena berkerudung dan
keadaannya cukup gelap, mereka-pun mempercepat jalannya, seolah-olah mereka tidak ingin
melihat Nabi SAW bersama wanita yang tidak mereka kenali itu.

Melihat sikap mereka itu, Nabi SAW bersabda, “Wahai sahabat Anshar, waspadalah,
sesungguhnya ia ini adalah Shafiyyah binti Huyyai!!”

“Subkhanallah, wahai Rasulullah!!” Kata dua sahabat Anshar itu, “Kami tidaklah
berprasangka macam-macam terhadap engkau!!”

Tentu Nabi SAW secara umum mengetahui bagaimana kecintaan para sahabat Anshar
kepada beliau, tetapi beliau juga sangat tahu bagaimana ‘licin dan liciknya’ syaitan dalam
menggoda manusia. Tidak ada peluang sedikitpun kecuali akan dimanfaatkan syaitan untuk
menggelincirkan manusia, bahkan menyeret mereka ke neraka. Beliau tidak ingin hal itu akan
terjadi pada umat beliau, khususnya pada sahabat Anshar yang telah berkorban begitu banyak
kepada Nabi SAW dan Islam.

Karena itu Nabi SAW bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya syaitan itu berjalan di
badan anak Adam bersama jalannya darah. Karena itu aku khawatir kalau syaitan itu akan
menyusupkan kejahatan ke dalam hatimu, atau ia mengatakan sesuatu…!!”

Memang, pada saat itu dua orang sahabat Anshar tersebut tidak akan berprasangka buruk
kepada Nabi SAW. Tetapi kalau beliau tidak pernah memberitahukan kepada mereka, siapa wanita
yang sedang bersama beliau malam itu, bisa jadi syaitan terkutuk, al khannas, akan membisik-
bisikkan sesuatu di hati mereka. Mungkin dari sebuah pertanyaan sederhana, “Siapa ya wanita
yang bersama Rasulullah SAW pada malam itu?”

Disusul pertanyaan, “Mengapa Rasulullah SAW tidak memperkenalkan wanita tersebut?”

Begitu seterusnya, pertanyaan demi pertanyaan, yang kemudian disusul dengan analisa,
sehingga akhirnya bisa menjadi sebuah fitnah yang sama sekali tidak berdasar, tetapi menjadi
sebuah dosa yang sangat besar. Dan semua itu bisa terjadi karena licik dan licinnya syaitan dalam
menggelincirkan manusia.

Karena itulah tepat sekali sikap Nabi SAW ‘memutus’ peluang syaitan, dengan jalan
melarang atau menghilangkan prasangka dari umat beliau. Dan ini sejalan dengan Firman Allah,
QS al Hujurat 12 : “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah
seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang.”

14
Ketika Nabi SAW akan Diracun

Setelah Perang Khaibar berakhir dengan kemenangan di pihak pasukan Islam, Nabi SAW
dan para sahabat beristirahat beberapa lamanya di Khaibar. Suatu ketika seorang wanita bernama
Zainab binti Harits, istri dari Sallam bin Misykam, salah seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir,
datang kepada Nabi SAW dan para sahabat sambil membawa daging kambing yang sudah
dipanggang. Aroma daging kambing tersebut sangat menggoda sehingga beliau mengambil
sepotong daging paha yang menjadi kesukaan beliau dan menggigitnya.

Tetapi tiba-tiba Nabi SAW memuntahkan daging yang digigitnya dan berteriak menyuruh
para sahabat untuk tidak memakan daging tersebut. Beliau bersabda, "Tulang ini memberitahu aku
bahwa daging ini dicampuri dengan racun, panggillah perempuan itu!"

Ketika Zainab binti Harits dibawa menghadap Nabi SAW, dan beliau bertanya tentang
tindakannya itu, ia berkata, “Memang benar saya membubuhi racun pada daging kambing
tersebut. Aku sering berkata pada diriku sendiri, kalau Muhammad itu hanya seorang raja, aku
ingin menghabisinya, tetapi kalau benar ia seorang nabi sebagaimana pengakuannya, tentu akan
ada pemberitahuan kepadanya tentang apa yang aku lakukan!!"

Sikap wanita ini untuk memastikan kebenaran kenabian Nabi Muhammad SAW mungkin
saja bisa dibenarkan, tetapi cara yang ditempuhnya tentu saja salah. Tidak ada penjelasan pasti,
apakah Zainab ini kemudian memeluk Islam setelah ia memperoleh bukti kebenaran tersebut.
Tetapi ternyata Nabi SAW memang memaafkan tindakannya yang membahayakan jiwa itu.

Diriwayatkan, bahwa ada salah seorang sahabat Nabi SAW yang terlanjur memakan dan
menelannya sebelum beliau berteriak memperingatkan. Sahabat yang bernama Bisyr bin Barra' bin
Ma'rur ini akhirnya meninggal, sehingga Zainab binti Harits dibunuh sebagai qisash atas kematian
Bisyr, walaupun sebelumnya Nabi SAW telah memaafkan tindakannya.

15
Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (2)
Rahib Nashrani Mengenali Kenabian Beliau

Sejak usia delapan tahun, yakni sejak kematian kakeknya Abdul Muthalib, Nabi SAW
diasuh oleh pamannya, Abu Thalib, saudara kandung ayahnya. Abu Thalib sangat memperhatikan
dan mengistimewakan beliau, melebihi kepada anak-anaknya sendiri. Walau ia bukan orang yang
kaya dan berkelimpahan, tetapi ia selalu mendahulukan kepentingan putra saudaranya tersebut.
Sikap dan perilakunya yang baik, pekertinya yang luhur, cerdas dan sangat berbakti kepada orang
tua dan beberapa hal menarik lainnya, yang menyebabkan Abu Thalib bersikap seperti itu.
Ketika Nabi SAW berusia 12 tahun, Abu Thalib berdagang ke Syam. Sebagian riwayat
menyebutkan, ia hanya membawakan barang dagangan orang-orang kaya di Makkah, bukan
barang dagangan miliknya sendiri. Ia hanya mengambil gaji atau bagian keuntungan dari barang
dagangan yang dibawanya, sama seperti yang dilakukan Nabi SAW kelak, membawa barang
dagangan Khadijah RA untuk dijualkan.

Sebenarnya agak berat bagi Abu Thalib untuk membawa beliau yang masih kecil
menyeberangi lautan pasir yang begitu luas. Begitu banyak halangan dan kesulitan yang harus
dihadapi dalam perjalanan seperti itu. Tetapi ternyata Nabi SAW menyatakan kesediaan dan
keikhlasannya untuk mengikuti pamannya tersebut. Tentu sikap beliau itu sangat melegakan,
karena pada dasarnya Abu Thalib memang tidak ingin berpisah lama dengan keponakannya yang
menakjubkan itu.

Perjalanan kafilah dagang tersebut berjalan lancar. Nabi SAW belajar banyak dari
perjalanannya yang pertama ini. Luasnya padang pasir yang seolah tak bertepi, gemerlap
gemintang di langit yang jernih dan melengkung sempurna, daerah-daerah yang mempunyai kisah
di masa lalu, seperti Madyan, Wadil Qura, peninggalan kaum Tsamud dan lain-lainnya menambah
perbendaharaan pengetahuan beliau.

Ketika kafilah dagang ini tiba di daerah Bushra, sudah termasuk wilayah Syam bagian
selatan, mereka dihentikan oleh seorang rahib (pendeta) Nashrani yang bernama Bahira (sebagian
riwayat menyebutnya Buhaira). Rahib Bahira yang nama aslinya Jurjis ini, sebelumnya tidak
pernah meninggalkan tempatnya, ia hanya menghabiskan waktunya untuk ibadah demi ibadah
kepada Allah. Bushra adalah wilayah Syam yang sebagian besar penghuninya adalah orang-orang
Arab, walau berada di bawah kekuasaan Romawi yang beragama Nashrani. Artinya, keberadaan
orang-orang Arab sebenarnya tidak asing bagi Bahira, tetapi hari itu tiba-tiba ia memerintahkan
pembantunya menyediakan jamuan yang istimewa untuk tamunya orang-orang Arab.

Bahira memerintahkan pembantunya untuk mengundang anggota kafilah tersebut menjadi


tamu kehormatan. Karena menganggap Nabi SAW masih kecil, Abu Thalib meminta beliau
menunggu saja di antara unta-unta yang ditinggalkan di luar, dan beliau tidak keberatan.
Perjalanan itu sendiri begitu menyenangkan bagi Nabi SAW, apalagi melihat keadaan kota Bushra
yang begitu indah dan ‘moderen’ dibandingkan dengan kota Makkah atau daerah ‘pedalaman’
padang pasir lainnya. Sepertinya beliau lebih menyukai berada di luar daripada masuk ke dalam
rumah atau tempat tinggal rahib tersebut.

Ketika anggota kafilah masuk ke rumahnya, Bahira memperhatikan mereka satu persatu,
kemudian dengan keheranan ia berkata, “Apakah ada di antara kalian yang tertinggal, tidak ikut
masuk ke sini??”

Abu Thalib berkata, “Ada keponakanku yang masih kecil tinggal di luar, sambil menjaga
unta-unta dan barang dagangan kami!!”

“Bisakah kalian membawanya kemari??” Kata Bahira.

Abu Thalib memerintahkan seseorang untuk menjemput Nabi SAW, dan begitu beliau tiba
di hadapan Bahira, rahib itu memperhatikan dengan seksama, termasuk sedikit menyingkap kain
beliau di bagian bahu belakang. Sambil memegang tangan Nabi SAW, Bahira berkata, “Anak ini
akan menjadi pemimpin semesta alam, anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh
alam!!”

Abu Thalib berkata, “Darimana engkau tahu tentang hal itu?”

Bahira berkata, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan
pepohonan kecuali mereka bersujud kepada anak ini. Mereka tidak sujud, kecuali kepada seorang
nabi. Kalau ia berjalan, sebenarnya ia selalu dinaungi awan, hanya saja kalian tidak menyadarinya.
Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwwah yang ada di bagian bawah tulang rawan bahunya,
yang menyerupai buah apel. Aku juga mendapatkan tanda-tanda itu dalam kitab suci agama
kami..!!”

Kemudian Bahira mewasiatkan agar menjaga Nabi SAW dengan sebaik-baiknya, bahkan
menyarankan untuk membawa beliau pulang ke Makkah, sebelum bertemu dengan orang-orang
Yahudi dan Romawi di Syam. Jika mereka mengenali tanda kenabiannya, Bahira khawatir mereka
akan mengganggunya, atau bahkan menyakitinya dan membunuhnya. Belum selesai Bahira
memberikan nasehatnya kepada Abu Thalib, tampak sembilan orang tentara Romawi menuju
rumahnya. Ia menyambutnya dan berkata, “Untuk apa kalian ke sini?”

Salah satu dari mereka berkata, “Kami dengar dari pendeta-pendeta kami bahwa pada
bulan ini ada seorang (calon) nabi dari bangsa Arab yang akan mengunjungi negeri ini. Tidak ada
satu jalanpun kecuali dikirim penjagaan di sana, dan kami yang bertugas di sini!!”

Bahira berkata, “Bagaimanakah pendapat kalian jika Allah menghendaki sesuatu, dapatkah
seseorang, bagaimanapun kuatnya akan mampu menghalanginya?”

Mereka berkata “Tidak!!”

Bahira berkata lagi, “Karena itu, jika nantinya kalian bertemu dengannya, berba’iatlah
kalian kepada Nabi itu, sesungguhnya ia benar-benar seorang Nabi…!!!”

Pasukan itu tinggal di sekitar rumah rahib itu, melakukan penjagaan di jalan masuk ke
Syam tersebut. Diam-diam Abu Thalib memerintahkan beberapa orang anggota kafilahnya untuk
membawa Nabi SAW pulang ke Makkah, sesuai dengan saran Rahib Bahira tersebut. Tetapi
riwayat lain menyebutkan, beliau tetap dibawa serta ke Syam, tetapi dengan pengawasan dan
penjagaan ketat dari anggota kafilah lainnya.

16
Taubatnya Umat Nabi Muhammad SAW

Nabi Muhammad SAW telah dijamin akan selalu diampuni jika memang ada dosa atau
kekeliruan yang beliau lakukan, baik yang telah berlalu atau yang akan datang. Namun demikian,
beliau tak henti-hentinya beribadah, shadaqah dan berbagai macam amal kebaikan lain, serta tidak
pernah sama sekali melanggar larangan syariat. Tidak cukup itu, beliau masih beristighfar kepada
Allah, setiap harinya tujuhpuluh kali, riwayat lainnya seratus kali. Ketika istri beliau, Aisyah RA
pernah ‘mempertanyakan’ gencarnya ibadah dan istighfar beliau itu, Nabi SAW bersabda,
“Apakah tidak selayaknya aku menjadi seorang hamba yang bersyukur??”

Namun demikian, terkadang Nabi SAW tampak dalam keadaan sedih. Yang menjadi beban
pikiran beliau adalah umat beliau. Iblis dan syaitan begitu gencar melakukan berbagai macam cara
untuk menjerumuskan umat Islam. Gebyar dunia dan hawa nafsu menjadi kendaraan syaitan untuk
menyesatkan umat beliau, terutama yang hidup belakangan. Semua itu memang pernah
‘ditampakkan’ Allah kepada beliau, baik ketika perjalanan Isra’ Mi’raj, atau dalam mimpi-mimpi
beliau.

Ketika dalam kesedihan seperti itu, Malaikat Jibril AS datang kepada Nabi SAW dan
berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah mengirimkan salam kepadamu, dan berfirman :
Barang siapa yang bertaubat dari umatmu, setahun sebelum kematiannya, maka taubatnya akan
diterima!!”

Setelah berterima kasih dan menjawab salam-Nya, Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril,
setahun itu sangat banyak (lama), karena kelalaian dan panjang angan-angannya (tulul amal)
umatku itu sangat mendominasi kehidupan mereka!!”
Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia
itu Maha Mengetahui…!!”

Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat sebelum kematiannya, berselang satu
bulan, maka taubatnya akan diterima!!”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu bulan itu masih terlalu lama untuk umatku!!”

Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia
itu Maha Mengetahui…!!”

Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat dari umatmu, sehari sebelum
kematiannya, maka taubatnya akan diterima!!”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu hari itu masih terlalu lama untuk umatku!!”

Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia
itu Maha Mengetahui…!!”

Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad,
sesungguhnya Tuhanmu berfirman : Siapa yang bertaubat dari umatmu, satu jam sebelum
kematiannya, tentu taubatnya akan diterima!!”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Jibril, satu jam itu masih terlalu lama untuk umatku!!”

Jibril berkata, “Aku akan menyampaikan ucapanmu kepada Allah, dan sesungguhnya Dia
itu Maha Mengetahui…!!”

Tidak berapa lama Jibril datang lagi kepada Nabi SAW, dan berkata, “Wahai Muhammad,
Tuhanmu menyampaikan salam kepadamu dan Dia berfirman : Barang siapa dari umatmu yang
melalui semua umurnya dengan kemaksiatan, dan ia belum kembali (bertaubat) kepada-Ku kecuali
setahun sebelum kematiannya, atau sebulan, atau sehari, atau satu jam sebelum kematiannya, atau
bahkan sebelum ruhnya sampai di tenggorokannya, dan tidak memungkinkan baginya untuk
bertaubat atau meminta maaf dengan lidahnya, kecuali hatinya yang menyesal (atas dosa-dosa
yang telah dilakukannya), maka sungguh Aku akan mengampuninya!!”

Nabi SAW amat gembira dengan kemurahan Allah atas umat beliau tersebut, dan tidak
henti-hentinya mengucap syukur. Sungguh benarlah firman Allah, QS adh Dhuha ayat 5,
“Walasaufa yu’thiika rabbuka fatardhoo!!” Artinya adalah : Dan kelak Tuhanmu pasti akan
memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga hatimu menjadi ridho (puas, senang).

Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW mengunjungi seorang lelaki dari kalangan Anshar
yang sakit dan dalam keadaan sakaratul maut (naza’). Melihat keadaannya tersebut, beliau
bersabda, “Bertaubatlah kamu kepada Allah!!”

Sahabat Anshar tersebut sepertinya memahami perkataan Rasulullah SAW, tetapi anggota
tubuhnya tidak bisa bereaksi. Mulutnya tidak bisa mengucap istighfar atau kalimat tauhid, laa
ilaaha illallah, tangannya tidak bisa diangkat untuk mengisyaratkan doa dan istighfarnya, hanya
saja tampak bola matanya bergerak ke atas, seakan-akan memandang ke langit.

Tidak lama kemudian tampak Nabi SAW tersenyum, padahal saat itu kebanyakan yang
hadir dalam keadaan bersedih dan khawatir karena orang Anshar tersebut sama sekali tidak
menanggapi perintah Nabi SAW. Umar bin Khaththab yang menyertai beliau dan meriwayatkan
peristiwa ini berkata, “Apa yang membuat engkau tersenyum, ya Rasulullah?”
Masih dengan tersenyum, beliau bersabda, “Orang yang sakit ini tidak bisa bertaubat
dengan lidahnya. Tetapi ia bertaubat dengan isyarat matanya ke langit dan hatinya melakukan
penyesalan. Dan Jibril baru saja memberitahukan kepadaku bahwa Allah berfirman : Wahai
malaikat-Ku, hamba-Ku ini tidak bisa bertaubat dengan lidahnya, namun ia sangat menyesal di
dalam hatinya. Dan Aku tidak menyia-nyiakan taubat dan penyesalan di dalam hatinya, dan
saksikanlah bahwa Aku memberikan pengampunan kepadanya!!”

Tentu saja kita sebagai umat Nabi Muhammad SAW tidak boleh lalai dan ‘keasyikan’
dalam kemaksiatan, walau ada kemurahan Allah yang begitu besarnya seperti itu. Sesungguhnya
kita tidak pernah tahu, kapan ajal kita tiba. Dan ajal bisa saja datang menjemput dengan tiba-tiba
tanpa peringatan atau sakit terlebih dahulu. Karena itu, sebaiknya kita segera bertaubat dalam
kesempatan pertama. Kalau di kemudian terjatuh lagi dalam maksiat, segera saja bertaubat. Allah
tidak pernah bosan menerima taubat hamba-Nya, selama hamba tersebut belum ‘bosan’ bertaubat.
Jangan pernah mengikuti ‘jejak’ Iblis yang tidak mau bertaubat, atau malas dan bosan bertaubat
karena putus asa dari rahmat Allah.

17
Syafaat Rasulullah SAW Pada Yaumul
Makhsyar

Semua manusia, sejak Nabi Adam AS hingga yang terakhir mati pada hari kiamat,
dibangkitkan kembali dari kematiannya dengan tiupan sangkakala Malaikat Israfil, yang setelah
itu mereka tidak akan merasakan kematian lagi. Setelah itu mereka semua digiring menuju padang
Makhsyar. Secara umum, mereka terbagi dalam tiga kelompok, yakni yang berkendaraan, yang
berjalan kaki, dan yang berjalan dengan wajahnya.

Umat Nabi SAW sendiri terbagi dalam duabelas kelompok ketika dibangkitkan, satu
kelompok yang dibangkitkan dengan wajah bersinar seperti bulan pertama, dan sebelas kelompok
lainnya dibangkitkan sesuai dengan kadar dosanya masing-masing. Ada yang dibangkitkan tanpa
tangan dan kaki padahal saat hidup di dunia lengkap semua, ada yang wajahnya seperti babi, ada
yang seperti keledai dengan perut besar yang dipenuhi ular dan kalajengking, ada yang ususnya
terburai dengan mulut mengeluarkan darah dan api, ada yang baunya seperti bangkai dan lain-
lainnya lagi yang keadaannya sangat mengerikan.

Ketika tiba di padang Makhsyar, mereka berdiri menunggu keputusan Allah, apakah akan
ke surga atau ke neraka? Saat itu matahari didekatkan sehingga keadaannya sangat panas, dan
hampir semua manusia dalam keadaan berkeringat, kecuali yang berada di dalam lindungan Allah.
Keringat itu ada yang menggenangi sampai tumitnya, sampai betisnya, sampai lututnya, sampai
pahanya, sampai tulang rusuknya, sampai mulutnya, bahkan ada yang menenggelamkannya, sesuai
dengan amalannya masing-masing ketika di dunia. Dan keringat itu seolah-olah mencambuki
tubuh yang mengeluarkannya. Beberapa orang ahli maksiat lainnya juga mengalami siksaan sesuai
dengan dosanya. Mereka berdiri menunggu dalam keadaan seperti itu selama 40 tahun, di mana
satu harinya setara dengan seribu tahun dunia. Dalam ayat lain dijelaskan, satu hari saat itu setara
dengan 50.000 tahun dunia kita sekarang ini.

Ada tujuh golongan yang mendapat perlindungan Allah, sehingga sama sekali tidak
merasakan panasnya matahari yang didekatkan dan tersiksa oleh keringat seperti yang lainnya.
Mereka itu adalah (1) Imam/pemimpin/pemerintah yang adil. (2) Pemuda yang giat beribadah
kepada Allah. (3) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, bertemu dan berpisah karena
Allah. (4) Pemuda yang diajak berzina oleh wanita yang cantik dan kaya, tetapi ia menolaknya dan
berkata, “Aku takut kepada Allah, penguasa alam semesta.” (5) Seseorang yang selalu berdzikir
kepada Allah, sehingga mengalir air matanya karena takut kepada Allah. (6) Seseorang yang
bersedekah secara rahasia dengan tangan kanannya, sehingga tangan kirinya itu tidak mengetahui.
(7) Seorang pemuda yang hatinya selalu ‘tergantung’ (condong) ke masjid.

Ketika semua manusia dalam penantian dan penderitaan tak berujung tanpa kepastian,
kecuali tujuh golongan tersebut, salah seorang dari mereka berkata, “Apakah tidak ada yang
mengetahui, siapakah yang bisa memintakan pertolongan (syafaat) untuk kita dari Tuhanmu?”

Salah seorang berkata, “Kamu harus datang kepada Nabi Adam…!!”

Maka mereka berombongan menuju ke tempat Nabi Adam AS, dan berkata, “Wahai Nabi
Adam, engkau adalah bapaknya umat manusia, Allah menciptakan engkau dengan kekuasaan-Nya,
Dia yang meniupkan ruh kepada engkau, Dia memerintahkan para malaikat bersujud kepada
engkau dan mereka bersujud. Maka mintakanlah syafaat untuk kami dari Tuhanmu!! Apakah
engkau tidak melihat bagaimana penderitaan kami ini??”

Nabi Adam berkata, “Hari ini Tuhanku sangat marah dengan kemarahan yang belum
pernah ada. Dan setelah itu Dia akan pernah marah seperti ini lagi. Dia telah melarang aku untuk
mendekati pohon kayu itu, tetapi aku telah mendurhakai-Nya dan mendurhakai diriku sendiri.
Karena itu aku malu untuk meminta tolong kepada-Nya!! Pergilah kalian kepada Nuh!!”

Masih dengan ‘siksaan’ keringat yang berbeda-beda derajadnya, mereka berombongan


mendatangi tempat Nabi Nuh AS, dan berkata, “Wahai Nabi Nuh, engkau adalah utusan Allah
yang pertama untuk penduduk bumi ini, dan Allah menyebut engkau sebagai hamba yang
bersyukur. Karena itu mintakanlah syafaat untuk kami dari Tuhanmu!! Apakah engkau tidak
melihat akibat dari dosa-dosa yang kami lakukan kepada-Nya??”

Nabi Nuh berkata, “Pada hari ini Tuhanku telah marah dengan kemarahan yang belum
pernah seperti ini. Bagiku ada satu doa mustajabah, tetapi aku telah menggunakannya untuk
mendoakan kaumku. Nafsi, nafsi (urus saja diri sendiri!!), pergilah kalian kepada orang selain aku,
pergilah kepada Ibrahim!!”

Mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Ibrahim AS, lalu berkata, “Wahai
Nabi Ibrahim, Engkau adalah Nabinya Allah sekaligus Kekasih-Nya (Kholilullah) di antara
penduduk bumi ini. Maka mintakanlah syafaat kepada Tuhanmu, tidakkah engkau melihat (akibat)
dosa-dosa yang telah kami lakukan kepada-Nya ini??”

Nabi Ibrahim berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia
belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sungguh aku
telah ‘bersalah’ kepada-Nya sebanyak tiga kali. Pergilah kalian kepada selain aku, pergilah kepada
Musa!!”

Orang-orang yang mengalami siksaan dan ketidakpastian itu berjalan lagi menuju tempat
Nabi Musa AS, dan berkata, “Wahai Musa, engkau adalah utusan Allah, Allah memuliakan engkau
dengan risalah dan kalimat-Nya atas manusia. Maka mintakanlah syafaat untuk kami dari
Tuhanmu!! Apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang kami lakukan kepada-Nya??”

Nabi Musa berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia
belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sesungguhnya
aku telah membunuh satu jiwa, padahal aku tidak diperintahkan membunuhnya. Pergilah kalian
kepada selain aku, pergilan kepada Isa!!”

Mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Isa AS dan berkata, “Wahai Isa,
engkau adalah utusan Allah dan Kalimat-Nya, Dia meletakkan Ruh-Nya kepada Maryam, dan
engkau dikehendaki-Nya bisa berbicara ketika masih dalam ayunan. Maka tolonglah berikan
syafaat untuk kami kepada Tuhanmu, apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang telah
kami lakukan kepada-Nya?”
Nabi Isa berkata, “Hari ini Tuhanku marah dengan kemarahan, yang sebelumnya Dia
belum pernah marah seperti ini, dan setelah ini Dia tidak akan marah seperti ini. Sesungguhnya
Dia telah menyebutkan dosa-dosaku, nafsi, nafsi…Pergilah kalian kepada selain aku, pergilah
kalian kepada Muhammad!!”

Sekali lagi mereka bergerak berombongan menuju tempat Nabi Muhammad SAW, lalu
berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah dan panutup para nabi,
dosa-dosa engkau telah diampuni, baik yang terdahulu atau yang terkemudian. Tolong, berilah
syafaat kepada kami atas Tuhan engkau. Apakah engkau tidak melihat (akibat) dosa-dosa yang
kami lakukan kepada Dia??”

Tidak seperti Nabi-nabi sebelumnya, Nabi SAW menyanggupinya dan bersabda, “Aku
mempunyai hak memberikan syafaat, yakni kepada orang-orang yang dikehendaki Allah dan
disenangi-Nya!!”

Ada beberapa versi tentang pertemuan dan percakapan antara manusia dengan para Nabi
yang diminta untuk memberikan syafaat tersebut, tetapi intinya adalah hanya Nabi SAW yang
akhirnya ‘berani’ menghadap Allah untuk meminta syafaat untuk manusia.

Sebenarnya setiap nabi mempunyai satu doa mustajab, yang Allah pasti akan mengabulkan
jika ‘fasilitas’ doa itu digunakan. Tetapi hampir semua nabi-nabi tersebut telah menggunakannya
di dunia. Nabi Nuh menggunakan untuk menenggelamkan kaumnya yang ingkar dalam air bah,
Nabi Ibrahim menggunakan untuk menyelamatkan dirinya dari api Namrudz, Nabi Musa
menggunakan untuk menenggelamkan Fir’aun dan pasukannya di Laut Merah, dan begitu pula
dengan nabi-nabi lainnya, kecuali Nabi Muhammad SAW. Beliau pernah bersabda, “Setiap nabi
memiliki doa (mustajab) yang selalu diucapkan. (Tetapi) aku ingin menyimpan doaku sebagai
syafaat bagi umatku pada hari kiamat.” Atau dalam riwayat lainnya, “Setiap nabi mempunyai doa
yang digunakan untuk kebaikan umatnya. Sesungguhnya aku menyimpan doaku sebagai syafaat
bagi umatku pada hari kiamat!!”

Kemudian Nabi SAW bergerak/berjalan menuju Arsy Allah. Beliau meminta ijin masuk
dan diijinkan. Hijab demi hijab dibukakan untuk beliau, dan Allah mengajarkan (mengilhamkan)
pujian-pujian yang belum pernah diucapkan oleh mahluk manapun, termasuk para malaikat. Nabi
SAW bersujud kepada Allah, dan melazimi mengucapkan pujian-pujian tersebut. Setelah beberapa
waktu lamanya, Allah berfirman, “Wahai Muhammad, angkatlah kepalamu! Mintalah, maka pasti
akan diberikan kepadamu!! Berilah syafaat, maka syafaatmu itu akan dikabulkan!!”

Nabi SAW bangkit dari sujudnya dan berkata, “Ya Allah, berilah keputusan di antara
hamba-hamba-Mu, sungguh telah terlalu lama mereka menunggu, dan masing-masing telah jelas
dosanya (dan kebaikannya) ketika di pelataran Makhsyar…!!”

Allah mengabulkan permintaan Nabi SAW. Siksaan berupa keringat dan matahari yang
didekatkan dihilangkan. Kemudian Allah memerintahkan agar mendatangkan surga dengan segala
macam keindahan dan kenikmatannya. Setelah itu didatangkan pula neraka dengan segala macam
siksa dan kesengsaraan yang akan dialami penghuninya, dengan semua malaikat penjaga dan
penyiksanya. Ketika manusia yang berada di Makhsyar mendengar gemuruh apinya, merasakan
percikan hawa panasnya dan segala macam hal yang memberatkan akibat kedatangan neraka
tersebut, mereka semua berlutut, tidak terkecuali para nabi dan rasul, termasuk yang tadinya
diminta wasilahnya. Para Nabi dan Rasul itu hanya bisa berkata, “Ya Allah, pada hari ini kami
tidak meminta yang lain lagi, nafsi, nafsi!!”

Nabi SAW sendiri ketika melihat pemandangan tersebut juga berseru, tetapi berbeda
dengan seruan para nabi dan rasul lainnya. Beliau bersabda, “Umatku, umatku!! Ya Allah,
selamatkanlah umatku, selamatkanlah umatku!!”

Neraka makin mendekat, apinya makin berkobar dan menjilat-jilat layaknya ingin
mencaplok para pendosa yang sedang berkumpul di Makhsyar. Tiba-tiba Nabi SAW mendatangi
neraka dan mengambil kendalinya dari tangan para malaikat, beliau bersabda, “Kembalilah
engkau, menyingkirlah jauh ke belakang!! Biarkan mendatangi engkau, yang menjadi rombongan
(penghuni) engkau!!”

Neraka itu berkata, “Biarkanlah aku menempuh jalan yang ditentukan untukku,
sesungguhnya engkau, Muhammad, adalah haram bagiku (menyentuhmu)…!!”

Tetapi terdengar seruan Allah kepada neraka dari balik Arsy, “Dengarlah apa yang
dikatakan Muhammad, dan patuhilah dia!!”

Kemudian neraka diseret menuju sisi kiri yang jauh dari Arsy sehingga pengaruhnya jauh
berkurang terhadap manusia yang sedang berkumpul di Makhsyar. Inilah syafaat Rasulullah yang
bersifat umum, di mana semua manusia merasakan manfaatnya, baik yang beriman ataupun yang
ingkar.

Allah memerintahkan malaikat untuk membentangkan shirat, jembatan yang melintang di


atas neraka dan juga ditegakkan mizan, timbangan amal untuk menghisab amal perbuatan manusia
selama di dunia. Secara bersamaan, saat itu beterbangan buku catatan amal menuju pemiliknya
masing-masing. Ada yang menerimanya dari arah kanan, yakni orang-orang yang beriman dan
bertakwa, orang-orang yang beriman tetapi durhaka dan bergelimang dosa akan menerima dari
arah kirinya, dan orang-orang musyrik dan ingkar akan menerima dari arah belakang.

Para Nabi dan Rasul akan dihadapkan kepada umatnya untuk mempertanggung-jawabkan
tugas risalahnya, dan akhirnya mereka akan masuk surga. Tentunya yang pertama dan memimpin
adalah Nabi Muhammad SAW, dan yang terakhir adalah Nabi Dawud dan Nabi Sulaiman karena
harus dilakukan hisab dahulu atas kerajaannya di dunia. Bagi para Nabi dan Rasul itu telah
disediakan mimbar-mimbar dari emas, dan mereka semua telah duduk di atasnya. Tetapi mimbar
yang terbesar, terbaik dan terindah ternyata dalam keadaan kosong, mimbar itu adalah milik Nabi
SAW. Ternyata beliau memilih untuk berdiri menghadap Allah dan meminta ijin memberi syafaat
untuk umatnya, dan Allah mengabulkannya.

Saat itulah muncul suatu seruan (nida’) yang ditujukan kepada umat Nabi SAW yang
sedang berkumpul di Makhsyar, “Dimanakah orang-orang yang memiliki keutamaan??”

Sekelompok orang dari umat beliau berjalan cepat menuju ke surga, dan para malaikat
menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga,
sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”

“Kami adalah orang-orang yang mempunyai keutamaan!!” Kata mereka.

Tentunya pengetahuan mereka akan keutamaan tersebut didasarkan dari catatan buku amal
yang telah mereka terima sebelumnya. Para malaikat itu bertanya, “Apakah keutamaan kalian?”

Mereka berkata, “Ketika kami didzalimi (dianiaya) kami bersabar, dan ketika dijahati kami
memaafkan orang yang berbuat jahat tersebut!!”

Para malaikat berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga, dia adalah sebaik-baiknya pahala
bagi orang yang beramal!!”

Setelah mereka masuk semua ke surga, terdengar seruan (nida’) lainnya, “Di manakah
orang-orang yang ahlu sabar?”

Sekelompok orang dari umat beliau berjalan cepat menuju ke surga, dan para malaikat
menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga,
sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”

“Kami adalah orang-orang ahlu sabar!!” Kata mereka.


“Terhadap apakah kalian bersabar??” Tanya para malaikat.

Mereka berkata, “Kami bersabar dalam berbuat taat kepada Allah, kami juga bersabar dari
berbuat maksiat kepada Allah, dan kami juga bersabar dalam menerima cobaan Allah!!”

Para malaikat berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga!!”

Terdengar lagi satu seruan (nida’), “Di manakah orang-orang yang saling mengasihi karena
Allah??”

Sekelompok orang lainnya dari umat Nabi SAW berjalan cepat menuju ke surga, dan para
malaikat menyambutnya dan berkata, “Sesungguhnya kami melihat kalian berjalan cepat ke surga,
sedangkan kalian belum dihisab, siapakah kalian ini??”

“Kami adalah orang-orang yang saling mengasihi karena Allah, saling memberi karena
Allah dan saling berjanji karena Allah!!”

Para malaikat itu berkata, “Masuklah kalian ke dalam surga!!”

Nabi SAW sangat gembira dengan adanya mereka yang masuk surga tanpa hisab tersebut.
Namun demikian beliau masih belum mau masuk kembali ke surga, beliau berdiri mengawasi
umat beliau yang telah selesai dihisab dan melalui shirat. Mulut beliau tidak pernah lepas dari doa,
“Allaahumma sallim sallim!!” Artinya adalah : Ya Allah, selamatkanlah umatku, selamatkanlah
umatku!!

Umat Nabi SAW melewati shirat dengan bermacam-macam cara, ada yang secepat kilat
menyambar, bagai angin yang kencang, bagai burung yang terbang, bagai kuda yang berlari, bagai
orang yang berlari, orang yang berjalan, ada yang cepat ada yang pelan-pelan, bahkan ada yang
merangkak dan merayap. Ada yang memerlukan waktu sekejab, harian, bulanan dan ada yang
memerlukan hingga puluhan, ratusan, ribuan atau bahkan puluhan ribu tahun untuk bisa selamat
sampai di seberang, dan akhirnya masuk surga.

Saat itu waktu menjadi sangat relatif, walau begitu lamanya terasa bagi mereka yang
menyeberang shirat, tetapi tidak terasa bagi Nabi SAW, bahkan kegembiraan beliau selalu
bertambah ketika ada umat beliau selamat sampai di ujung perjalanan, walau keadaan tubuhnya
ada yang tersambar api neraka hingga hangus. Begitu dimandikan di Nahrul Haya’ (sungai
kehidupan), mereka kembali seperti semula, bahkan lebih sempurna penampilan fisiknya, dan
akhirnya masuk surga.

Nabi SAW memang bisa mengenali umat beliau di antara begitu banyak umat yang berada
di Makhsyar dan yang sedang menyeberang shirat. Ketika itu beliau melihat beberapa kelompok
umat beliau yang tertahan di shirat, padahal begitu banyak yang telah sampai dan masuk surga.
Maka beliau berkata kepada Jibril, “Wahai Jibril, mengapa ada umatku yang masih tertahan di
shirat??”

Jibril diam, tidak segera menjawab, mungkin tidak bisa menjawab, atau tidak tega untuk
menjawab, karena jawabannya pasti akan membuat Nabi SAW bersedih. Mereka yang tertahan itu
memang umat Nabi SAW, yang tidak bisa tidak harus masuk neraka untuk menebus dan
membersihkan dosa dan kesalahan mereka. Kemudian Allah berfirman (mengilhamkan) kepada
Jibril tanpa diketahui Nabi SAW, “Singkirkanlah mereka ke lembah antara surga dan neraka,
hingga Muhammad masuk surga!!”

Maka satu persatu mereka disingkirkan dari shirat dan dikumpulkan di suatu lembah di sisi
neraka, yang tidak terlihat Nabi SAW. Ketika beliau tidak lagi mengenali dan melihat umat beliau
di Makhsyar atau di shirat, beliau beranggapan mereka telah masuk semua ke surga maka beliau
juga masuk surga. Setelah itu Allah berfirman kepada Zabaniah, “Serahkanlah mereka (umat Nabi
SAW) kepada Malik!!”

Ketika Malaikat Malik melihat mereka, ia cukup keheranan karena keadaannya tidak
dibelenggu, wajahnya tidak hitam legam, tetap berjalan dan bertumpu dengan kaki mereka,
berbeda sekali dengan penghuni neraka sebelumnya. Ia bertanya, “Umat siapakah kalian ini??”

“Jangan menanyakan itu, wahai Malik, kami malu bercerita kepadamu, tetapi kami ahli
Qur’an, berpuasa di bulan Ramadhan, berhaji, berjihad, menunaikan zakat, menyantuni anak
yatim, mandi saat jinabat dan shalat lima waktu!!”

“Celaka sekali, bukankah seharusnya Al Qur’an itu mencegah kalian berbuat maksiat
kepada Allah, rasanya tidak mungkin ini terjadi!!“ Kata Malaikat Malik.

“Wahai Malik, janganlah menghina kami, saat ini kami telah selamat dari hinaan Allah!!”

Lalu terdengar suatu seruan, “Hai Malik, masukkanlah mereka ke pintu yang tertinggi dari
neraka!!”

Malaikat Malik berpaling bersiap melaksanakan perintah tersebut, tetapi mereka berkata,
“Berilah kesempatan kepada kami untuk menyesali diri!!”

“Tidak ada waktu untuk itu!!” Kata Malik.

Tetapi kemudian terdengar seruan, “Hai Malik, biarkanlah mereka menangisi dirinya!!”

Mereka berkelompok-kelompok kemudian menangis menyesali diri dan perbuatan maksiat


mereka waktu di dunia. Kemudian Malaikat Malik menggiring mereka hingga di tepi jurang
neraka, seribu malaikat Zabaniyah yang tidak punya rasa kasihan langsung menangkap dan
melemparkannya ke pintu neraka yang tertinggi (yang terdangkal). Api yang berkobar menyambut
dan melalap tubuh-tubuh tanpa daya tersebut. Ketika api neraka akan membakar habis hati dan
wajahnya, terdengar seruan, “Tahanlah, taruhlah saja api itu di dada dan wajahnya. Mereka
memang mengingkari ikrar mereka, tetapi mereka mengenal Aku lewat hati mereka, mereka juga
pernah bersujud kepada-Ku dengan wajah-wajah mereka!!”

Mendengar seruan seperti itu, salah salah seorang dari mereka juga berseru, “Wahai
Rasulullah, wahai Abul Qasim, Wahai Muhammad yang selalu berbuat baik kepada janda dan
anak yatim, wahai orang yang paling mulia pada hari kiamat, wahai pemuka seluruh umat, wahai
pembuka pintu surga, wahai penutup pintu neraka bagi umatmu yang lemah, yang tidak tahan
panas api neraka, siramilah kami dengan syafaatmu agar kami masuk surga!!”

Kemudian seorang lagi berseru keras, sambil meletakkan tangannya di telinganya seperti
seorang muadzin, “Kami adalah umat Muhammad!!”

Berturut-turut akhirnya mereka semua berseru mengakui sebagai umat Nabi Muhammad
SAW. Sebelumnya mungkin mereka malu mengaku sebagai umat beliau karena gelimang dosa dan
maksiat yang dilakukannya, tetapi ketika merasakan pedihnya siksaan, dan juga adanya seruan
(Allah), yang walau sedikit, mengakui keimanan mereka, mereka akhirnya mengakui dan
menyadari kalau hal itu adalah satu-satunya jalan keselamatan di saat seperti itu.

Malaikat Malik ikut terhanyut dengan seruan mereka itu dan memohon ijin Allah untuk
menemui Nabi SAW di surga, dan Allah mengijinkannya. Ketika berada di hadapan Nabi SAW,
Malaikat Malik berkata, “Wahai Muhammad, engkau bersenang-senang di surga sementara
umatmu yang lemah membutuhkan bantuanmu. Mereka benar-benar lemah dan sangat menderita
di neraka, bantulah mereka!!”
Beliau tersentak kaget, dan segera berangkat ke neraka bersama Malaikat Malik. Di tepi
jurang neraka, beliau mendengar tangisan dan jeritan pilu mereka yang memanggil nama beliau.
Nabi SAW tidak tahan mendengarnya dan ikut menangis, kemudian berkata, “Wahai Malik,
keluarkanlah umatku dari neraka!!”

Malaikat Malik berkata, “Aku tidak berani mengeluarkan mereka tanpa perintah Allah!!”

Nabi SAW bergerak/berjalan menuju Arsy, dan ketika tiba di hadirat Allah, beliau bersujud
sangat lama. Ketika bangkit dari sujud, beliau berkata, “Wahai Allah, seperti inikah yang Engkau
janjikan untuk tidak menyiksa umatku di neraka??”

Allah berfirman, “Wahai Muhammad, mereka telah melupakan dirimu, meninggalkan


syariatmu ketika di dunia, karena itu Aku juga melupakan syafaat yang bisa engkau berikan
kepada mereka. Tetapi sekarang telah cukup, berilah syafaat kepada mereka!!”

Nabi SAW kembali menemui Malaikat Malik dan menyatakan memberi syafaat kepada
umat beliau tersebut, dan Allah memerintahkan Malaikat Malik mengeluarkan mereka dari neraka,
sehingga hanya orang-orang kafir yang tertinggal di neraka. Orang-orang kafir itu berkata,
“Andaikata kita dahulu seorang muslim, tentulah kita akan dikeluarkan dari neraka, sebagaimana
mereka dikeluarkan!!”

18
Tanda Kenabian Sebelum Menjadi Nabi (3)
Ketika Ka'bah Dibangun Kembali

Lima tahun sebelum Nubuwwah, yakni ketika Nabi Muhammad SAW berusia 35 tahun,
masyarakat Quraisy memutuskan untuk merenovasi Ka’bah. Keadaan Ka’bah saat itu hanya
berupa susunan batu-batu yang lebih tinggi dari badan manusia, yang telah dibuat sejak zaman
Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tanpa perbaikan yang memadai. Bagian atasnya dalam keadaan
terbuka tanpa atap, sehingga sering ada pencurian terhadap barang-barang yang ada di dalamnya.
Beberapa waktu sebelumnya juga terjadi banjir hingga melanda Baitullah, akibatnya keadaan
Ka’bah makin memprihatinkan saja.

Semua pemuka kabilah dari suku Quraisy bermusyawarah, dan mereka memutuskan untuk
merenovasi Ka’bah. Tetapi mereka memutuskan hanya akan mencari dan mengumpulkan bahan
dan dana dari jalan yang ‘baik-baik’ saja (halal, istilah syariatnya). Walau ‘maksiat’ adalah hal
yang biasa bagi umumnya mereka, tetapi untuk renovasi Ka’bah itu mereka memutuskan untuk
menolak ‘sumbangan’ dan pengumpulan dana dari hasil kedzaliman, hasil transaksi yang
mengandung riba, dari hasil merampas atau merampok, penggelapan atau korupsi, pelacuran dan
berbagai cara ‘maksiat’ lainnya.

Sempat terjadi kebimbangan ketika akan merobohkan bangunan lama, mereka takut
terkena bala’ jika melakukannya. (Jawa, kuwalat). Mereka sangat memuliakan Ka’bah, melebihi
berhala-berhala sesembahannya. Akhirnya Walid bin Mughirah al Makhzumy yang mengawali
melakukannya. Setelah beberapa saat lamanya tidak terjadi apa-apa pada Walid, mereka baru
berani bergerak bersama-sama merobohkannya.

Untuk membangun kembali Ka’bah, kaum Quraisy mendatangkan seorang ‘arsitek’ dari
Romawi bernama Pachomius, atau lebih dikenal dengan nama Baqum. Mereka bergotong-royong
mengerjakannya, setiap kabilah diserahi satu bagian dari Ka’bah. Nabi SAW juga terjun langsung
dalam pembangunan itu, beliau bekerja berdampingan dengan paman beliau, Abbas bin Abdul
Muthalib, mengangkat batu-batuan. Kebanyakan orang mengangkat jubahnya hingga di atas lutut
dalam bekerja, tetapi beliau tetap membiarkannya hingga hampir pertengahan betis atau mata kaki.
Abbas berkata, “Angkatlah jubahmu agar engkau tidak terluka oleh batu!!”

Nabi SAW mengikuti saran Abbas, yang artinya terlihat paha beliau (secara syariat, terlihat
auratnya), tetapi seketika itu beliau jatuh terjerembab. Beliau memandang ke langit, kemudian
berkata, “Ini gara-gara jubahku (yang terbuka), ini gara-gara jubahku (yang terbuka)!!”

Kemudian beliau membiarkan jubahnya seperti semula, atau malah justru mengikatkannya
agar tidak terbuka. Dan setelah peristiwa itu Nabi SAW tidak pernah lagi menampakkan auratnya.

Ketika pembangunan telah sampai pada batas tempat Hajar Aswad, terjadi perselisihan.
Masing-masing kabilah merasa paling berhak untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya
semula, dan tidak ada yang mau mengalah. Perselisihan itu terus berlanjut sehingga pembangunan
sempat terhenti selama empat atau lima hari. Begitu panasnya suasana pertentangan ini hingga
hampir terjadi perang saudara.

Kabilah Bani Abdid Dar datang membawa baki berisi darah. Mereka mengangkat sumpah
bersama Bani Ady bin Ka’ab bin Luay untuk berjuang sampai titik darah penghabisan demi
memperoleh kehormatan meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya semula. Semua orang dari dua
kabilah itu mencelupkan tangannya ke baki berisi darah, dan peristiwa itu terkenal dengan nama
Luq’atud-Daam (Jilatan Darah).

Melihat perkembangan situasi yang membahayakan tersebut, para pemuka itu berkumpul
di Baitullah untuk mencari jalan tengah. Salah seorang tetua bijaksana yang dihormati di antara
mereka, Abu Umayyah bin Mughirah al Makhzumy berkata, “Wahai kaum Quraisy, serahkanlah
masalah yang kalian pertentangkan itu kepada orang yang pertama muncul dari pintu masjid ini
(yakni pintu Bani Syaibah), dan biarkanlah dia yang memutuskan!!”

Mereka menerima saran dari Abu Umayyah tersebut. Dan tak lama berselang, sepertinya
Allah berkehendak menunjukkan keutamaan beliau, Nabi SAW muncul dari pintu Bani Syaibah
tersebut. Begitu melihat kemunculan beliau, mereka langsung berseru, “Inilah dia Muhammad,
inilah dia al Amin (yang dapat dipercaya), kami rela dengan apa yang diputuskannya!!”

Mereka memanggil Nabi SAW mendekat dan menyampaikan hasil musyawarah mereka.
Walau beliau mengetahui terjadinya pertentangan, tetapi selama empat atau lima hari tersebut
beliau menjauhkan diri dari mereka, sambil menunggu pembangunan dilanjutkan kembali. Setelah
mendengar keputusan mereka itu, beliau meminta selembar kain atau selendang dan dibentangkan,
dalam riwayat lain, beliau membentangkan surban beliau. Kemudian beliau meminta setiap
pimpinan kabilah untuk memegang sisi-sisi kain atau surban tersebut, beliau meletakkan Hajar
Aswad di atasnya dan memerintahkan mereka untuk membawanya ke tempatnya di salah satu
sudut Ka’bah. Setibanyanya di sana, Nabi SAW mengambil Hajar Aswad dari tengah kain/surban
dan meletakkan/menanamkan pada tempatnya semula.

Para pemuka Quraisy itu sangat gembira dengan keputusan yang diambil oleh Nabi SAW.
Mereka terselamatkan dari perpecahan dan pertumpahan darah karena kecerdikan dan kebijakan
beliau, yang tak lain adalah bagian dari sisi kenabian (salah satu sifat kenabian, yakni Fathonah),
dan mereka mengakui hal itu. Sayangnya, beberapa tahun kemudian ketika beliau menyampaikan
Risalah Kebenaran Islam, sebagian besar dari mereka justru menentang habis-habisan. Lebih
sayangnya lagi, mereka menentang bukan karena mereka tidak tahu bahwa Islam itu adalah
kebenaran, dan Nabi Muhammad SAW adalah orang yang sangat dapat dipercaya sebagaimana
mereka mengenali sejak kecil. Tetapi mereka menentang hanya karena gengsi, kesombongan dan
arogansi kekuasaan, yang takut terlepas dari tangan mereka.

Pembangunan Ka’bah dapat dilanjutkan setelah mereka bersatu kembali. Hanya saja
mereka kehabisan dana dari sumber-sumber yang baik (yakni, halal), sehingga ada bagian di sisi
utara yang tidak terbangun, yakni bagian setengah lingkaran yang kini dikenal dengan nama al
Hijir (Ismail) atau al Hathim. Dalam sebuah riwayat, Ummul Mukminin, Aisyah RA pernah
bertanya kepada Nabi SAW tentang Hijir Ismail tersebut, “Wahai Rasulullah, apakah ia (Hijir
Ismail ini) termasuk dari rumah suci ini??”

Nabi SAW bersabda, “Benar!!”

“Mengapa mereka tidak memasukkannya ke dalam bangunan Ka’bah?” Kata Aisyah.

Beliau bersabda, “Itu karena kaummu tidak mempunyai (kehabisan) dana!!”

19
Berjihad tetapi Masuk Neraka

Perang Uhud yang terjadi pada tahun 3 Hijriah memunculkan beberapa peristiwa dramatis,
heroik, sekaligus kontroversial. Sejak sebelum pecahnya peperangan, dari seribu prajurit yang
dibawa Nabi SAW, tigaratus orang ternyata membelot dan kembali ke Madinah setelah melihat
besarnya kekuatan pasukan kaum kafir Quraisy. Mereka itu memang dari golongan kaum munafik
yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay. Terancamnya jiwa Rasulullah SAW dalam perang
tersebut, bahkan dikabarkan beliau terbunuh, jenazah Hamzah bin Abdul Muthalib yang dirusak,
sahabat yang ‘dimandikan’ malaikat, sahabat yang syahid dan masuk surga padahal belum pernah
shalat, tetapi ada juga mujahid yang berjuang dengan gagah perkasa tetapi akhirnya masuk neraka.
Peristiwa terakhir ini yang akan diungkap dalam kisah ini.

Ketika Islam mulai didakwahkan di Yatsrib (nama Kota Madinah sebelum Islam) oleh
utusan Nabi SAW, sahabat Mush’ab bin Umair, sambutan masyarakatnya sungguh luar biasa untuk
memeluk Islam, apalagi ketika Rasulullah SAW telah berhijrah ke sana. Islam yang ‘tiba-tiba’
menjadi agama mayoritas dan memiliki kekuatan ’militer’ karena bersatunya Suku Aus dan
Khazraj yang sebelumnya selalu terlibat perang saudara, membuat sebagian orang juga ikut-ikutan
memeluk Islam walau motivasinya tidak benar-benar mencintai Islam dan mengharap ridho Allah.
Termasuk di antaranya adalah kaum munafik, yang kemudian mengelompok sendiri dengan
pimpinan Abdullah bin Ubay bin Salul.

Seorang lelaki dari kabilah Bani Zhafr bernama Quzman adalah seorang yang sangat
mencintai kaumnya. Ketika sebagian besar dari mereka memeluk Islam sebagaimana mayoritas
masyarakat Madinah, ia juga ikut memeluk Islam karena tidak ingin sendirian dengan agama
jahiliahnya. Tetapi tidak ada penjelasan/riwayat bahwa ia termasuk dalam kelompok kaum
munafik. Ketika terjadi perang Uhud, ia juga menerjunkan diri melawan pasukan kafir Quraisy
dalam golongan kaum Anshar. Ia berjuang dengan perkasanya sehingga mengundang decak kagum
kaum muslimin lainnya. Tidak kurang dari delapan orang musyrik yang tewas di tangannya, belum
lagi yang luka dan tertawan.

Ketika peperangan usai, ia dalam keadaan luka parah dan merasa sangat kesakitan. Kerabat
dan saudaranya dari Bani Zhafr membawanya pulang dan menghiburnya, memintanya untuk
bersabar. Mereka memuji kepahlawanannya dan mendoakannya akan mendapat surga yang
tertinggi. Tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Quzman berkata, “Demi Allah, aku ikut berperang
semata-mata karena pertimbangan kaumku. Kalau tidak karena itu, aku tidak akan sudi untuk
berperang!!”
Kaum muslimin di sekitarnya, yang kebanyakan masih saudara-saudaranya itu menjadi
sedih mendengarnya. Mereka merayunya untuk bertobat dan memohon ampunan kepada Allah,
tetapi Quzman tidak bergeming. Bahkan karena ia tidak kuat dan tidak sabar menahan penderitaan
dari luka-lukanya, ia bunuh diri. Ketika Nabi SAW diberitahu tentang keadaan Quzman tersebut,
beliau bersabda, “Jika dia berkata (dan berbuat) seperti itu, maka ia termasuk penghuni (akan
masuk) neraka!!”

Masih dalam perang Uhud itu juga, seorang lelaki Yahudi dari Bani Tsa’labah bernama
Mukhairiq berkata kepada kaumnya, “Wahai semua orang Yahudi, demi Allah, kalian tahu bahwa
membantu Muhammad saat ini adalah kewajiban kalian!!”

Memang, ketika Nabi SAW telah hijrah ke Madinah, beliau menyusun suatu sistim
kemasyarakatan baru dengan mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Kaum Anshar. Beliau juga
menyusun suatu perjanjian dengan masyarakat non muslim lainnya di Kota Madinah, termasuk
kaum Yahudi yang dikenal dengan nama “Piagam Madinah”. Salah satu isi dari perjanjian tersebut
adalah kesepakatan untuk saling membela dan membantu jika salah satu pihak diserang oleh
musuhnya.

Mendengar penuturan Mukhairiq tersebut, mereka berkata, “Bukankah hari ini hari sabtu?”

Hari sabtu memang hari besar bagi kaum Yahudi, mereka tidak diperbolehkan melakukan
kegiatan apapun, termasuk bekerja, kecuali hanya untuk beribadah kepada Allah. Kalau bekerja
saja terlarang, apalagi untuk berperang. Tetapi Mukhairiq seolah-olah ingin mengingkari ajaran
agamanya sendiri, dan lebih ‘mematuhi’ perjanjian yang disetujuinya dengan Nabi SAW. Ia
berkata “Tidak ada hari sabtu untuk kalian!!”

Kemudian ia mengambil kuda dan perlengkapan perangnya, dan berkata kepada kaumnya,
“Kalaupun aku mendapat celaka, aku sama sekali tidak perduli dengan (pandangan dan sikap)
Muhammad, biarkan saja ia berbuat semaunya dalam peperangan itu!!”

Mungkin maksudnya, ia tidak punya pamrih apapun (dari Nabi SAW) dengan terjun dalam
perang Uhud tersebut, kecuali hanya ingin memenuhi perjanjiannya. Ia memacu kudanya dengan
cepat ke Uhud dan langsung menerjunkan diri dalam pertempuran di pihak kaum muslimin. Ia
berperang dengan perkasanya menerjang kaum musyrikin Makkah, dan akhirnya gugur dalam
peperangan tersebut.

Ketika Nabi SAW diberitahu tentang tindakan Mukhairiq tersebut, beliau bersabda,
“Mukhairiq adalah sebaik-baiknya orang Yahudi!!”

Walau Nabi SAW memujinya, tetapi beliau menyatakan ia tetap dalam agama Yahudi. Dan
secara aqidah, di akhirat nanti tentu tidak ada bagian bagi dirinya kecuali dalam neraka, walau ia
gugur di dalam membela Islam. Wallahu A’lam.

Peristiwa yang hampir serupa terjadi pada Perang Hunain, yang terjadi setelah Penaklukan
Kota Makkah (Fathul Makkah). Memang, setelah Makkah jatuh ke tangan kaum Muslimin,
banyak sekali orang yang memeluk Islam, baik dari masyarakat Makkah sendiri, atau dari
beberapa kabilah lain yang tinggal di sekitar Kota Makkah. Tentu saja motivasi keislaman dari
sekian banyak orang itu berbeda-beda, ada yang benar-benar tulus, tetapi ada juga yang ikut-
ikutan saja, atau mencari selamat, atau bahkan mencari keuntungan ‘duniawiah’ dengan islamnya
tersebut.

Ketika akan berlangsungnya perang Hunain tersebut, tiba-tiba Nabi SAW bersabda tentang
seorang lelaki muslim yang ikut berjuang di peperangan tersebut, “Orang itu termasuk ahli neraka
(akan masuk neraka)!!”
Pertempuran berkecamuk dengan hebatnya, pasukan muslim sempat terdesak, tetapi lelaki
tersebut tetap berjuang dengan perkasa tanpa sedikitpun rasa takut. Walau luka-luka di tubuhnya
makin banyak, ia terus saja menerjang barisan musuh tanpa gentar. Ada seorang sahabat yang
datang kepada Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, lelaki yang engkau katakan sebagai
ahli neraka itu berjuang fisabilillah dengan mati-matian hingga ia terluka parah!!”

Tetapi sekali lagi Nabi SAW bersabda, “Ia akan masuk neraka!!”

Hampir saja para sahabat ragu dengan pernyataan Rasulullah SAW tersebut. Ketika perang
usai dan kemenangan berada di tangan kaum muslimin, lelaki itu dalam keadaan luka parah.
Karena begitu banyak luka-luka yang dialaminya, ia merasakan sakit yang tidak terkira. Mungkin
ketika sibuk berperang, ia tidak merasakan sakitnya itu. Karena tidak tahan dan tidak mampu
bersabar dengan rasa sakitnya itu, ia bunuh diri. Ia menancapkan gagang pedangnya di tanah, dan
menempatkan ujung pedang di dadanya, kemudian menjatuhkan diri sehingga tembus dan ia mati
seketika.

Para sahabat mendatangi Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh benar apa
yang engkau katakan. Lelaki itu bunuh diri karena tidak mampu menahan rasa sakitnya!!”

Sebagian riwayat menyebutkan, ketika Nabi SAW menyebutkan bahwa lelaki itu adalah
penghuni neraka, ada seseorang yang belum memeluk Islam ingin membuktikannya. Ia mengamati
dan mengikuti lelaki itu kemanapun lelaki itu bergerak. Seperti kebanyakan sahabat lainnya, ia
juga sempat ragu dan bahkan ‘menertawakan’ pendapat Nabi SAW, apalagi ketika pasukan muslim
memperoleh kemenangan. Tetapi ketika lelaki itu ternyata bunuh diri, ia segera menghadap Nabi
SAW dan berkata, “Saya bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah!!”

Kemudian ia membaca syahadat menyatakan diri memeluk Islam. Nabi SAW berkata,
“Apakah yang terjadi??”

Lelaki itu menceritakan apa yang dilakukannya, dan beliau menanggapinya dengan
gembira. Kemudian Nabi SAW memanggil Bilal dan berkata, “Wahai Bilal, bangkitlah dan
umumkan bahwa tidak akan masuk surga kecuali orang yang benar-benar beriman. Dan ada
kalanya Allah membela agama (Islam) ini dengan seorang lelaki yang faajir!!”

Faajir adalah kebalikan dari takwa, yang bisa dimaknakan sebagai kefasikan (tetap muslim
tetapi durhaka), atau bisa juga ditafsirkan sebagai kekafiran yang akan kekal di neraka. Hal ini
tercantum dalam surat asy Syam ayat 8 : Fa-alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa, yang artinya :
Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.

20
Ya Rasulullah, Mana Lebih Engkau Sukai?

Anas bin Malik RA, adalah seorang sahabat ‘kecil’ Rasulullah SAW yang membaktikan
hidupnya untuk menjadi pelayan beliau hingga beliau meninggal dunia. Dikatakan sahabat ‘kecil’
karena ia telah diserahkan ibunya, Ummu Sulaim binti Milhan kepada Nabi SAW ketika usianya
belum mencapai sepuluh tahun. Karena masih kecil itu, ia sangat akrab dan disayang oleh
Rasulullah SAW layaknya putra beliau sendiri. Dan karena sejak masih kecil pula, ia banyak
‘merekam’ peristiwa dan ucapan-ucapan beliau, sehingga ia menjadi salah satu sahabat yang
banyak meriwayatkan hadits-hadits Nabi SAW.

Suatu ketika Nabi SAW tampak dalam keadaan agak ‘santai’, maka Anas bin Malik
mendatangi beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, sepotong roti
yang saya shodaqohkan atau saya shalat sunnah seratus rakaat?”
Nabi SAW bersabda, “Sepotong roti yang engkau shodaqohkan itu, lebih aku sukai
daripada engkau shalat sunnah duaratus rakaat!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memenuhi
kebutuhan sesama muslim atau shalat sunnah seratus rakaat??”

Nabi SAW bersabda, “Memenuhi kebutuhan sesama muslim itu, lebih aku sukai daripada
shalat sunnah seribu rakaat!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, meninggalkan
sesuap makanan yang haram atau shalat sunnah seribu rakaat??”

Nabi SAW bersabda, “Meninggalkan sesuap makanan haram itu, lebih aku sukai daripada
shalat sunnah dua ribu rakaat!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, meninggalkan
fitnah (mengumpat/mengghibah) atau shalat sunnah seribu rakaat??”

Nabi SAW bersabda, “Meninggalkan fitnah itu, lebih aku sukai daripada shalat sunnah
sepuluh ribu rakaat!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memenuhi
kebutuhan seorang janda atau shalat sunnah sepuluh ribu rakaat??”

Nabi SAW bersabda, “Memenuhi kebutuhan seorang janda itu, lebih aku sukai daripada
shalat sunnah tigapuluh ribu rakaat!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, duduk-duduk
bersama keluarga atau duduk (i’tikaf) di masjid??”

Nabi SAW bersabda, “Duduk sesaat bersama keluarga itu, lebih aku sukai daripada i’tikaf
di masjidku ini!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, memberi belanja
keluarga atau berinfak di jalan Allah??”

Nabi SAW bersabda, “Satu dirham yang dibelanjakan oleh seseorang untuk keluarganya,
lebih aku sukai daripada seribu dinar yang ia infaqkan di jalan Allah!!”

Anas bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, mana yang lebih engkau sukai, berbakti kepada ke
dua orang tua atau beribadah selama seribu tahun??”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Anas, yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap,
karena sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang tentu lenyap (pada akhirnya, setidaknya
di akhirat kelak). Maka berbakti kepada dua orang tua, lebih aku sukai daripada beribadah selama
dua juta tahun!!”

21
SIM (Surat Ijin Melewati) Jahanam

Suatu ketika Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW untuk menyampaikan wahyu Allah
QS Ibrahim ayat 48 : “Yauma tubaddalul ardhu ghairal ardhi was samaawaatu wa barazuu lillaahi
waahidil qahhaar.” Artinya adalah : “(Yaitu) pada hari (kiamat, ketika) bumi diganti dengan bumi
yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul
menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.”

Setelah menerima wahyu tersebut, Nabi SAW berkata. “Wahai Jibril, bagaimana keadaan
manusia pada hari kiamat nanti??”

Malaikat Jibril menceritakan bahwa semua manusia akan berkumpul di atas bumi yang
putih, bumi baru yang belum ada orang yang berbuat dosa di sana. Ketika terdengar suara jahanam
menggelegar satu kali, para malaikat berpegangan pada Arsy, dan masing-masing berkata, “Wahai
Tuhanku, aku tidak memohon kepada-Mu kecuali (keselamatan) diriku!!”

Jibril menyatakan bahwa saat itu gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Nabi SAW bertanya, “Wahai Jibril, apa yang dimaksud dengan bulu yang dihambur-hamburkan?”

Jibril berkata, “Bulu yang dicabut kemudian dihamburkan (dilemparkan ke segala arah),
dan gunung menjadi cair karena takut kepada Jahanam.”

Jibril melanjutkan penjelasannya, pada saat kiamat tersebut, jahanam didatangkan dengan
mengeluarkan satu suara yang menggelegar, tali kekangnya ditarik oleh 70.000 malaikat dan ia
diberhentikan di hadapan Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung. Allah berfirman, “Wahai
Jahanam, bicaralah kamu!!”

Jahanam berkata, “Laa ilaaha illallaah, demi Kemuliaan dan Kebesaran-Mu, Ya Allah,
sungguh hari ini saya akan menyiksa orang-orang yang makan rezeki-Mu tetapi tidak mau
menyembah-Mu. Tidak akan bisa (selamat) melewati saya, siapa saja yang tidak mempunyai surat
ijin!!”

Nabi SAW berkata, ‘Wahai Jibril, apakah surat ijin pada hari kiamat itu??”

Jibril berkata, “Wahai Muhammad, terimalah kabar gembira, sesungguhnya umatmu telah
memiliki surat ijin untuk hari kiamat itu. Ingatlah, orang yang telah bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah (dengan tulus membaca kalimat Tahlil : Laa ilaaha illallaah), itulah surat ijin
untuk bisa melewati shirat (titian, jembatan) jahanam dengan selamat (atau pada akhirnya ia ‘akan’
selamat dari siksaan jahanam)…!!”

Nabi SAW berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan ilham (kepada umatku)
bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (Laa ilaaha illallaah)…!!”

22
Nabi SAW Menangisi Kaum Wanita di Neraka

Suatu ketika Ali bin Abi Thalib bersama istrinya, Fathimah az Zahrah, mengunjungi Nabi
SAW, tetapi beliau tampak sedang menangis penuh kesedihan. Melihat keadaan mertuanya itu, Ali
berkata, “Wahai Rasulullah, apa yang membuat engkau menangis?”

Nabi SAW bersabda, “Pada malam aku diisra’kan ke langit, aku melihat umatku dari para
wanita yang sedang mengalami berbagai macam siksaan yang pedih di neraka. Dan saat ini aku
teringat dengan keadaan mereka itu sehingga aku menangis!!”

Ali bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, siksaan seperti apakah yang diperlihatkan kepada
engkau terhadap wanita-wanita itu?”

Masih dengan wajah yang diliputi kesedihan, Nabi SAW menyebutkan satu persatu
keadaan wanita-wanita yang mengalami penyiksaan tersebut. Sebagai sesama wanita, Fathimah
merasa terenyuh (terhanyut dalam kepedihan) dengan azab yang menimpa kaumnya itu, kemudian
ia berkata, “Wahai ayahku, pelipur lara hatiku, beritahukanlah kepadaku, apakah yang dilakukan
oleh para wanita tersebut??”

Rasulullah SAW bersabda, “Wahai Fathimah, sekelompok wanita yang disiksa dengan cara
digantung dengan rambutnya, dan otaknya dalam keadaan mendidih. Selama hidup di dunia
mereka ini tidak pernah menyembunyikan (menutup) rambutnya dari laki-laki lain, yang bukan
suami atau mahramnya. Dan ia tidak pernah bertaubat sampai akhir hidupnya!!”

Kemudian Nabi SAW menjelaskan lebih lanjut. Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan
cara digantung dengan lidahnya, tangannya dikeluarkan (dibelenggu) di punggungnya, kemudian
dituangkan aspal panas di tenggorokannya. Selama hidup di dunia, mereka ini sangat senang
menyakiti hati suaminya dengan lidahnya. Mereka ini mati sebelum meminta maaf kepada
suaminya dan bertaubat kepada Allah, dan suaminya dalam keadaan tidak ridho (tidak
memaafkan) kepadanya.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua payudaranya dari
belakang punggungnya, kemudian dituangkan zaqqum (buah atau kayu berduri di neraka) pada
tenggorokannya. Selama hidup di dunia mereka ini senang menyusui anak-anak orang lain, tanpa
perintah suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara digantung dengan dua tangan dan dua
kakinya terikat pada (di atas) ubun-ubunnya, sementara ular-ular dan kalajengking memakan dan
menggerogoti dirinya. Selama hidup di dunia mereka ini sering keluar rumah tanpa ijin suaminya,
dan juga tidak mau mandi (jinabat) setelah haid dan nifas. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat
kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dinyalakan api di bagian bawah tubuhnya
(seolah-olah mereka dimasak atau dipanggang), kemudian mereka itu memakan jasadnya sendiri
(yang telah matang). Selama hidup di dunia mereka ini senang berhias (mempercantik) diri untuk
laki-laki lain, dan suka menggunjing (ghibah, Jawa:ngerasani) orang lain. Dan mereka ini mati
sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dijadikan hitam legam, dan
mereka memotong-motong tubuhnya dengan gunting api, kemudian memakan usus-ususnya
sendiri. Selama hidup di dunia mereka ini senang menunjukkan (memamerkan) tubuhnya,
sehingga orang-orang bisa melihat perhiasannya (kelebihan atau keelokan tubuhnya), dan akhirnya
kaum laki-laki jadi tertarik kepadanya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas
dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara dimasukkan ke dalam peti api, dalam
keadaan tuli, bisu dan buta, kemudian otaknya keluar (mengalir) lewat hidungnya. Bau tubuhnya
lebih busuk daripada orang yang berpenyakit kusta dan lepra. Selama hidup di dunia mereka ini
sebenarnya mampu melaksanakan shalat dan puasa, tetapi mereka tidak mau melaksanakan
keduanya, tidak berwudhu, dan juga tidak mandi jinabat. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat
kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara wajahnya dirubah seperti babi hutan, dan
badannya seperti badan himar (keledai), dan sejuta macam siksaan ditimpakan kepadanya. Selama
hidup di dunia mereka ini sangat senang berdusta dan mengadu domba sesamanya. Dan mereka ini
mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu.

Sekelompok wanita lainnya disiksa dengan cara tubuhnya dirubah seperti anjing, kemudian
ular-ular dan kalajengking masuk melalui mulut dan kemaluannya, serta keluar dari duburnya.
Sementara itu satu malaikat memukul kepalanya dengan pemukul dari api. Selama hidup di dunia
mereka ini senang membuat fitnah dan menyebarkannya, serta seringkali membuat jengkel
suaminya. Dan mereka ini mati sebelum bertaubat kepada Allah atas dosa-dosanya itu, dan
suaminya-pun tidak ridha kepadanya.

Mendengar penuturan Nabi SAW tersebut, Fathimah ikut menangis, sedih bercampur takut,
kemudian memohon perlindungan Allah untuk tidak terjatuh pada dosa-dosa tersebut.

23
Yang Membebaskan Siksa Kubur

Suatu ketika Tsauban bin Bujdud RA, seorang sahabat yang juga hamba sahaya (budak)
Rasulullah SAW, mengiringi beliau dalam suatu perjalanan, ia berjalan agak jauh di belakang.
Tiba-tiba Nabi SAW berhenti di suatu pemakaman, dan menangis cukup keras. Dengan wajah
sedih, tampak beliau berdoa kepada Allah. Usai berdoa, Tsauban mendekati beliau dan berkata,
“Mengapa engkau menangis, ya Rasulullah?”

Nabi SAW bersabda, “Wahai Tsauban, mereka ini (kaum muslimin) sedang disiksa di
dalam kuburnya, dan aku berdoa semoga Allah meringankan beban siksa yang mereka alami!!”

Beliau tampak masih sedih, sehingga Tsauban tidak berani berbicara lebih lanjut, hanya
diam saja menunggu. Kemudian beliau bersabda lagi, “Wahai Tsauban, seandainya saja mereka
mau berpuasa (sunnah) sehari saja di bulan Rajab, dan tidak tidur semalam untuk shalat (shalat
sunnah, yakni qiyamul-lail atau tahajjud), tentu mereka tidak akan disiksa di dalam kuburnya!!”

Tsauban berkata, “Wahai Rasulullah, apakah puasa sehari dan qiyamul-lail semalam di
Bulan Rajab dapat mencegah terjadinya azab (siksa) kubur??”

Nabi SAW bersabda lagi, “Wahai Tsauban, demi Dzat yang mengutusku dengan hak
(benar) sebagai Nabi, tidaklah seorang muslim laki-laki atau perempuan yang berpuasa sehari dan
melakukan qiyamul-lail semalam di Bulan Rajab, ikhlas semata-mata mengharap keridhoan Allah,
melainkan Allah akan mencatatnya telah beribadah selama setahun penuh terus-menerus, puasa di
siang harinya dan qiyamul-lail (shalat malam) di malam harinya. Dan hal itu bisa
membebaskannya dari siksaan di alam kubur!!”

24
Nabi SAW dan Wanita Bermulut 'Tajam'

Ada seorang wanita yang mulutnya ‘tajam’ sekali, ia suka mengeluarkan kata-kata keji
(atau komentar yang menyakitkan/tidak mengenakkan) kepada orang-orang yang ditemuinya, baik
laki-laki atau perempuan. Suatu ketika ia melewati rumah Aisyah RA dan Nabi SAW sedang
berada di sana, beliau sedang duduk menekuk lutut sambil makan dendeng (daging yang
dikeringkan). Melihat keadaan Nabi SAW tersebut, ia mendekat dan berkata, “Lihatlah orang ini
duduk seperti duduknya hamba sahaya!!”

Mendengar kementar seperti itu, Nabi SAW bersabda, “Aku memang seorang hamba,
karena itu aku duduk seperti duduknya seorang hamba, dan aku makan seperti makannya seorang
hamba!!”

Wanita itu tidak berkata apa-apa karena ternyata Nabi SAW tidak membantah
perkataannya, bahkan menguatkan/membenarkannya. Beliau berkata kepadanya, “Makanlah!!”
Wanita itu berkata, “Tidak, kecuali engkau memberi makan kepadaku dengan tanganmu
sendiri!!”

Nabi SAW mengambil sepotong dendeng dan memberikan kepada wanita tersebut, bahkan
beliau bermaksud menyuapinya. Tetapi ia berkata lagi, “Tidak, kecuali jika engkau memberikan
makanan kepadaku dari (makanan yang ada) di mulutmu!!”

Saat itu beliau memang sedang mengunyah sepotong dendeng, maka segera saja beliau
mengeluarkannya dari mulut beliau dan menyuapkannya kepada wanita tersebut. Wanita itu
mengunyah beberapa saat kemudian menelannya.

Segera setelah daging bekas kunyahan Rasulullah SAW itu masuk ke dalam perutnya, tampak
perubahan besar pada wanita tersebut. Kalau sebelumnya dengan santainya ia memandang orang
di sekitarnya, dan berkomentar dengan seenaknya, termasuk kepada Nabi SAW, tiba-tiba saja ada
perasaan malu yang memenuhi hatinya. Seakan ia tak mampu mengangkat kepala dan memandang
orang-orang di sekitarnya, baik laki-laki ataupun perempuan. Dan sejak saat itu pula, ia tidak
pernah lagi mengucapkan kata-kata keji yang menyakitkan hati kepada siapapun juga, hingga ia
meninggal dunia.

Perubahan besar itu terjadi mungkin karena sikap tawadhu dan kasih sayang Nabi SAW
kepada wanita tersebut. Atau mungkin juga karena ‘berkah’ dari makanan yang telah menyatu
dengan ludah Nabi SAW, dan masuk ke dalam perutnya. Wallahu A’lam!!

25
Innalillaahi wa inna ilaihi rooji'uun Kamulah
yang Celaka

Abu Hurairah RA, seorang sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadist Nabi SAW,
suatu malam setelah shalat Isya bersama Rasulullah SAW, ia berjalan menyusuri kota Madinah
sendirian. Tiba-tiba ia bertemu dengan seorang wanita berkerudung, berdiri di tengah jalan, wanita
itu berkata, “Wahai Abu Hurairah, saya telah melakukan dosa besar, maka apakah saya bisa
bertaubat??”

Abu Hurairah berkata, “Apakah dosa yang kamu lakukan itu?”

Wanita itu berkata, “Saya telah berbuat zina dan hamil, kemudian anak yang saya lahirkan
itu saya bunuh!!”

Abu Hurairah berkata, “Celakalah kamu, dan kamu telah membinasakan (dirimu sendiri)!!
Demi Allah kamu tidak bisa lagi bertaubat!!”

Mendengar jawaban Abu Hurairah seperti itu, wanita itu menjerit dengan kerasnya penuh
kesedihan sehingga ia jatuh pingsan. Abu Hurairah meninggalkan wanita itu begitu saja. Dalam
perjalanan pulang tersebut, hati kecil Abu Hurairah terusik juga. Apakah ia telah memberikan
jawaban (fatwa) yang tepat? Memang benar bahwa wanita tersebut telah melakukan dua dosa
besar secara berturutan, tetapi apakah memang tidak ada jalan taubat bagi dirinya? Tiba-tiba hati
nuraninya mencela sikapnya, “Mengapa engkau berani memberikan fatwa (keputusan) sementara
Nabi SAW masih ada di antara kita semua??”

Keesokan harinya setelah shalat subuh, Abu Hurairah menghadap Rasulullah SAW, dan
menceritakan peristiwa yang dialaminya malam sebelumnya. Reaksi Rasulullah SAW sungguh
sangat tidak diduganya. Ia termasuk salah satu orang terdekat beliau, tetapi saat itu ia justru
merasa ketakutan tak terkira. Nabi SAW bersabda dengan keras, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi
rooji’uun, demi Allah, kamulah yang celaka dan membinasakan (dirimu sendiri), ya Abu Hurairah.
Dari mana (dasarnya) kamu bisa memberikan fatwa seperti itu??”

Abu Hurairah hanya tertunduk malu dan terdiam, sekaligus ketakutan. Nabi SAW bersabda
lagi, “Apakah engkau tidak (pernah) memperhatikan ayat-ayat Allah ini….”

Kemudian Nabi SAW membacakan ayat-ayat QS al Furqaan 68-70 sebagai berikut : Dan
orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah, dan tidak membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang
siapa yang melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya), (yakni) akan
dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam
keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka
kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.

Abu Hurairah meminta Nabi SAW untuk memohonkan ampunan baginya kepada Allah
atas kekeliruannya, kemudian ia meminta ijin untuk mencari wanita tersebut. Nabi SAW
mengijinkannya dan ia berjalan menyusuri lorong-lorong kota Madinah. Setiap bertemu seseorang,
ia menanyakan keberadaan wanita tersebut. Ia tidak berhenti mencari kecuali pada waktu-waktu
untuk shalat, sehingga banyak anak-anak yang mengatakan kalau ia telah gila.

Pada malam harinya, ketika ia melalui jalan dimana ia bertemu dengan wanita tersebut
untuk ke sekian kalinya, ia melihat wanita itu berdiri di tempat yang sama. Abu Hurairah segera
menghampirinya, dan meminta maaf atas perkataannya malam sebelumnya. Ia juga menceritakan
peristiwa yang dialaminya bersama Rasulullah SAW dan fatwa beliau bahwa taubatnya bisa
diterima oleh Allah. Sekali lagi wanita itu menjerit, tetapi kali ini karena rasa gembira yang tidak
tertahankan, kemudian ia berkata, “Saya mempunyai sebuah kebun, dan kebun itu saya
shadaqahkan untuk orang-orang miskin sebagai kaffarat dari dosa-dosaku!!”

26
"Tidak ada Pahala Baginya!!"

Nabi SAW sedang duduk berkumpul dengan beberapa sahabat lainnya. Tiba-tiba datang
seorang lelaki menghadap beliau, setelah mengucap salam dan meminta ijin untuk bicara serta
diijinkan, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang berjihad fi sabilillah, tetapi ia
juga mengharapkan suatu tujuan/kepentingan dunia (dalam perjuangannya itu) ??”

Nabi SAW berkata tegas, “Tidak ada pahala baginya!!”

Para sahabat yang mendengar jawaban pendek dan tegas beliau itu merasa gentar hatinya,
yakni antara takut dan khawatir. Salah seorang sahabat berkata pelan kepada lelaki itu, “Ulangilah
pertanyaanmu kepada Nabi SAW, mungkin beliau belum jelas benar dengan maksud
pertanyaanmu!!”

Lelaki penanya itu menuruti permintaan sang sahabat tetapi ia tidak mengubah redaksi
(susunan kalimat) pertanyannya. Ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana bila seseorang berjihad
fi sabilillah, tetapi ia juga mengharapkan suatu tujuan/kepentingan dunia (dalam perjuangannya
itu) ??”

Sekali lagi Nabi SAW berkata pendek dan tegas, “Tidak ada pahala baginya!!”

Seorang sahabat lainnya berkata pelan kepada lelaki penanya itu, “Ulangilah pertanyaanmu
kepada Nabi SAW, mungkin engkau yang belum jelas dengan maksud pertanyaanmu itu!!”
Sahabat ini mungkin 'menangkap' maksud lain, yakni seseorang yang berjihad "Lillaahi
ta'ala", tetapi terselip sedikit harapan, siapa tahu ia akan memperoleh ghanimah. Lelaki itu
menuruti permintaan sahabat tersebut, tetapi ia tidak mengubah redaksi pertanyaannya. Ia
mengulang pertanyaannya kepada Nabi SAW seperti semula, dan beliau tetap menjawab, “Tidak
ada pahala baginya!!”

Memang, amalan yang dikerjakan tidak ikhlas karena Allah akan tertolak. Bahkan yang
pertama-tama menjadi umpan api neraka pada hari kiamat nanti bukanlah orang-orang kafir, tetapi
justru orang-orang yang saat di dunia dikenal sebagai orang-orang yang saleh yang senang
membaca Al Qur’an, para dermawan dan mujahid yang syahid di medan jihad. Mereka
mengerjakan amal-amal kebaikannya itu tidak semata-mata karena Allah, tetapi ‘ditunggangi’
dengan keinginan dan ambisi pribadi yang bersifat duniawiah. (Lihat kisah lengkapnya pada
Laman “Percik Kisah Hikmah Pemupuk Iman” dengan judul “Yang Pertama Dibakar Api Neraka”
atau kunjungi blog-nya di www.percikkisahhikmah.blogspot.com dengan judul yang sama).

Nabi SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya yang sangat aku khawatirkan (akan terjadi)
kepada umatku adalah syirik kepada Allah. Ingatlah (perhatikanlah), sesungguhnya aku tidak
berkata bahwa kalian akan menyembah matahari, bulan atau berhala. Tetapi kalian akan beramal
(kebaikan) untuk selain Allah, dan karena terdorong oleh syahwat (keinginan) yang samar!!”

Amal kebaikan yang disinyalir Rasulullah SAW akan terjadi pada umat beliau itu
(khususnya di akhir zaman) disebut sebagai riya. Dan Al Qur’an ‘menempelkan’ sifat riya ini pada
shalat yang dilakukan oleh orang-orang munafik, sebagaimana disitir pada QS An-Nisa ayat 142 :
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
Dan apabila mereka berdiri untuk salat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya
(dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.

27
Nabi SAW dan Wanita yang Berdosa Besar

Suatu ketika seorang wanita datang menghadap Nabi SAW, setelah mengucap salam ia
berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah berdosa besar!!”

Maksud kedatangan wanita itu menghadap Nabi SAW adalah untuk mencari jalan kaffarat
(tebusan dosa), kalau perlu dilakukan qishas (hukuman), agar ia tidak mendapat siksa pada hari
akhirat kelak. Tetapi tanpa bertanya dan meminta penjelasan apa dosa yang dilakukannya, Nabi
SAW berkata pendek, “Bertaubatlah engkau kepada Allah!!”

Wanita itu berkata, “Apakah cukup seperti itu, sedangkan bumi telah mengetahui bahwa
saya berbuat dosa, dan ia akan menjadi saksi pada hari kiamat nanti!!”

Nabi SAW bersabda, “Ia tidak akan bisa menjadi saksi bagi dosamu. Sesungguhnya Allah
telah berfirman : Pada hari itu bumi akan diganti dengan bumi yang lain!! (QS Ibrahim 48)”

Wanita itu berkata, “Tetapi langit yang di atas saya juga tahu, dan akan menjadi saksi pada
hari kiamat nanti!!”

Nabi SAW bersabda lagi, “Langit tidak akan bisa menjadi saksi karena ia akan terlipat.
Sesungguhnya Allah telah berfirman : Hari itu Kami akan menggulung (melipat) langit seperti
melipat lembaran-lembaran kitab!! (QS Al-Anbiya 104)”

Wanita itu berkata, “Tetapi malaikat pencatat amal telah menulis dosaku dalam kitab
mereka!!”
Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya kebaikan itu akan menyingkirkan (menghapus
catatan amal) kejelekan!! (QS Hud 114) Bukankah orang yang bertaubat itu seperti orang yang
tidak punya dosa!!”

Tampaknya wanita itu masih juga dihantui oleh ketakutan atas dosa-dosanya, yang
menurut keyakinannya tidak bisa dihapus hanya dengan sekedar bertaubat. Ia berkata lagi, “Wahai
Rasulullah, bukankah malaikat itu berhenti (mencatat kebaikanku) ketika ia melihat amal-amal
burukku!!”

Memang, Nabi SAW pernah menyampaikan bahwa jika beberapa jenis dosa dilakukan,
amal-amal kebaikan seseorang, termasuk shalat tidak akan diterima selama 40 hari. Tetapi Nabi
SAW bersabda menenangkan dirinya, “Sesungguhnya pada hari kiamat Allah akan menjadikan
para malaikat pencatat amal lupa (atas apa yang pernah dicatatnya)!!”

Dalam suatu kesempatan, Nabi SAW memang pernah bersabda, “Jika seorang hamba
bertaubat kepada Allah, dan Allah menerima taubatnya, maka Allah akan menjadikan para
malaikat pencatat amal itu lupa dengan apa yang telah dikerjakan (oleh hamba itu)!!”

Wanita itu masih berkata lagi, “Wahai Rasulullah, bukanlah Allah berfirman : pada hari
(ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu
mereka kerjakan!! (QS An Nur 24)”

Tetapi Nabi SAW bersabda, “Allah akan berfirman kepada bumi dan seluruh anggota
tubuhnya : Sembunyikanlah, dan janganlah engkau mengungkapkan kejelekannya selamanya!!”

Akhirnya wanita itu berkata, “Benar, ya Rasulullah, semua itu menjadi hak bagi orang
yang bertaubat. Hanya saja saya merasa gentar pada hari kiamat nanti, dan merasa malu kepada
Allah. Bagaimana saya akan bisa mengatasinya (menghadapinya) nanti?? Bukankah engkau telah
bersabda : Pada hari kiamat, orang-orang yang berdosa akan mengakui dosa-dosanya, kemudian
mereka akan merasa malu kepada Allah, sehingga keringat mereka menetes hingga selutut,
sebagian dari mereka hingga sampai ke pusar, dan sebagian lagi sampai ke lehernya!!”

Nabi SAW bersabda, “Benar, karena itu, wahai orang-orang yang beriman, ingatlah hari
tersebut dan jangan sampai engkau melupakannya. Bertaubatlah kepada Allah dan selalulah
engkau mendekat (taqarrub) kepada-Nya, sesungguhnya Allah Maha Menerima Taubat dan Maha
Penyayang!!”

28
Kecintaan Sahabat Rabiah kepada Nabi SAW

Para sahabat sangat mencintai Nabi SAW, yang pada dasarnya adalah juga ekspresi
kecintaan kepada Allah SWT. Hanya saja setiap dari mereka berbeda dalam tingkat kecintaan
kepada beliau, begitu juga berbeda cara dalam mengekspresikan kecintaannya, tetapi sebagian
besar ‘tidak pernah terekam’ dalam catatan sejarah. Yang jelas mereka selalu berusaha mengikuti
(ittiba’, meneladani) perilaku dan perbuatan Nabi SAW dalam batas kemampuan masing-masing.

Tidak mungkin para sahabat itu, termasuk umat beliau, ada yang bisa 100 persen seperti
Nabi SAW dalam akhlak dan ibadah, karena ‘mengikuti’ memang berbeda dengan ‘menyamai’.
Dan perintah Allah dalam Al Qur’an memang hanya ittiba’, seperti disitir dalam QS Ali Imran ayat
31 : Katakanlah (wahai Muhammad), "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah (ittiba'
kepada) aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.

Rabiah bin Ka'b al Aslamy adalah salah seorang sahabat yang berasal dari Kabilah Bani
Aslam, salah satu dari dua kabilah yang di masa jahiliah paling ditakuti para kafilah dagang karena
sering melakukan perampokan di padang pasir pada malam hari. Kabilah lainnya adalah Bani
Ghifar, yang kemudian dua kabilah itu menjadi pemeluk Islam yang kokoh atas dakwah yang
dilakukan oleh Abu Dzar al Ghifari. Ketika dua kabilah ini berhijrah ke Madinah dengan pimpinan
Abu Dzar, Nabi SAW memandang mereka dengan mata berkaca-kaca penuh haru, kemudian
bersabda, "Ghifaarun ghafarallahu laha, Wa Aslamu Saalamahallahu.” (Bani Ghifar telah diampuni
oleh Allah, Bani Aslam telah diterima dengan selamat (damai) oleh Allah).

Rabiah al Aslamy adalah salah seorang Ahlu Shuffah dan ia membaktikan dirinya sebagai
salah satu pelayan Rasulullah SAW. Ia bertugas untuk mengurus keperluan Nabi SAW pada waktu
malam, termasuk ketika beliau akan shalat tahajud, ia yang menyiapkan air untuk wudhu atau
mandi beliau. Ia dengan tekun dan sabar menjalankan tugasnya itu selama bertahun-tahun tanpa
meminta imbalan, baik berupa doa, apalagi sekedar harta duniawiah.

Suatu ketika di malam hari, setelah selesai shalat tahajud, Nabi SAW memandang Rabiah
dengan penuh kasih, kemudian berkata kepadanya, "Mintalah kamu kepadaku!"

Pada dasarnya Rabiah melaksanakan tugas itu dengan senang hati, didorong rasa cinta
kepada Nabi SAW sehingga tidak mengharapkan balasan apapun juga. Diijinkan untuk melayani
Nabi SAW sudah merupakan berkah tersendiri dan ia tidak memerlukan yang lainnya lagi. Ia
berkata, "Saya sudah cukup puas dengan bisa melayani keperluan engkau, ya Rasulullah!"

Nabi SAW tetap menyuruhnya untuk meminta, tetapi Rabiah memberikan jawaban yang
sama. Ketika untuk ketiga kalinya beliau memerintahkan, ia berfikir sejenak, kemudian berkata,
"Ya Rasulullah, aku hanya ingin bersama (menjadi teman) engkau di surga!"

Mungkin yang dimaksudkan Nabi SAW adalah permintaan yang sifatnya dapat dinikmati
di dunia ini walau bukan duniawiah, tetapi hal itu tidak dimintanya. Justru karena itu kekaguman
beliau kepada Rabiah makin bertambah, yang usianya relatif masih muda. Nabi SAW bersabda
lagi, "Apakah engkau tidak memiliki permintaan yang lain lagi?"

"Tidak ada, ya Rasulullah, hanya itu yang menjadi idam-idaman saya selama ini!" Jawab
Rabiah menegaskan.

Nabi SAW bersabda, "Baiklah kalau begitu, engkau harus menolong aku (mewujudkan
keinginanmu itu) dengan memperbanyak sujud kepada Allah."

Setelah itu Nabi SAW berdoa kepada Allah seperti yang diminta oleh Rabiah tersebut.

Maksud ‘memperbanyak sujud’ adalah agar Rabiah memperbanyak mengerjakan shalat-


shalat sunnah, selain shalat fardhu yang menjadi kewajibannya. Dan setelah itu Rabiah al Aslamy
makin meningkatkan kuantitas dan kualitas shalat sunnah yang dikerjakannya.

Kisah lebih lengkap tentang sahabat Rabiah bin Ka’b al Aslamy ini bisa dilihat pada
Laman facebook, “Percik Kisah Sahabat Nabi Muhammad SAW.”

29
Berkah Istiqomah Membaca Shalawat Nabi
SAW

Dalam menjalankan ibadah haji, Nabi SAW telah mengajarkan banyak sekali doa-doa yang
dibaca pada saat dan tempat tertentu. Ketika melihat Ka’bah, memakai pakaian Ihram, Thawaf,
Sa’i, atau ketika berada di tempat-tempat tertentu seperti Multazam, di padang Arafah, di Mina
dan berbagai tempat dan aktivitas lainnya ketika berhaji, Nabi SAW telah mengajarkan doa khusus
walau sifatnya hanyalah sunnah.
Di suatu musim haji, ada seorang lelaki yang hanya mengucapkan shalawat kepada Nabi
SAW dalam berbagai kesempatan, termasuk ketika berada di tempat-tempat mustajabah. Hal itu
sempat menimbulkan berbagai dugaan dan tanda tanya pada orang-orang di sekitarnya, padahal
tampaknya ia bukan orang yang awam dalam hal ilmu agama. Akhirnya ada seseorang yang
memberanikan diri bertanya, “Mengapa engkau tidak membaca doa-doa ma’tsur yang diajarkan
Nabi SAW pada tempat-tempat tertentu?”

Lelaki itu minta maaf kalau aktivitasnya membaca shalawat itu mengganggu mereka,
kemudian ia menceritakan pengalamannya beberapa tahun yang lalu. Saat itu ia berangkat haji
bersama ayahnya, tetapi ketika sampai di Bashrah di suatu malam, ayahnya itu meninggal dunia.
Ia sangat sedih karenanya, tetapi yang lebih menyedihkan lagi, wajah ayahnya itu ternyata berubah
seperti wajah himar (keledai).

Dengan kesedihan yang begitu mendalam sehingga mempengaruhi keadaan jiwanya, ia


jatuh tertidur. Dalam tidurnya itu ia bermimpi melihat kehadiran Nabi SAW, ia segera memegang
tangan beliau dan menceritakan ayahnya yang meninggal dalam keadaan begitu memprihatinkan.
Padahal mereka dalam niat dan perjalanan kepada kebaikan, yakni beribadah haji. Nabi SAW
bersabda, “Ayahmu itu makan riba, sedang pemakan riba keadaannya memang seperti itu ketika
meninggal. Namun demikian ayahmu mempunyai amalan istiqomah membaca shalawat kepadaku
seratus kali setiap malamnya. Karena itu, ketika malaikat memberitahukan keadaan ayahmu
kepadaku, aku meminta ijin kepada Allah untuk memberikan syafaat kepada ayahmu dan Allah
mengijinkannya…!!”

Setelah itu ia terbangun dari mimpinya, dan ia melihat wajah ayahnya kembali seperti
semula, bahkan kali ini tampak sangat cemerlang seperti bulan purnama. Keesokan harinya ia
memakamkan jenazah ayahnya, dan terdengar hathif (suara tanpa wujud), “Keselamatan ayahmu
karena ia suka dan sering membacakan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW!!”

Lelaki itu menutup ceritanya dengan berkata kepada jamaah haji yang mengitarinya,
“Sejak saat itulah aku bersumpah kepada diriku sendiri, tidak akan meninggalkan shalawat kepada
Nabi SAW, dalam keadaan bagaimanapun dan dimanapun aku berada!!”

Idealnya, jika kita mempunyai suatu dosa atau kesalahan, hendaknya kita bertaubat
sebelum kematian menjemput kita. Hanya saja memang Allah mempunyai ‘wewenang’ untuk
mengampuni suatu dosa walau ia belum bertaubat sampai ia meninggal, asal bukan dosa
menyekutukan Allah (dosa syirik) atau menjadi murtad/musyrik. Amalan-amalan tertentu yang
dilakukan secara ikhlas, walau terkadang tampak remeh dan tidak berarti, bisa jadi ‘memancing’
kasih sayang Allah untuk mengampuni dosa-dosanya, termasuk shalawat Nabi SAW.

Rasulullah SAW pernah bersabda, “Perbanyaklah membaca shalawat kepadaku, karena


shalawatmu kepadaku itu (bisa) menyebabkan pengampunan dosa-dosamu. Dan bermohonlah
kepada Allah derajad washilah untukku, karena sesungguhnya derajad washilahku di sisi Tuhan
akan menjadi syafaat untukmu!!”

30
Isra Mi'raj Nabi SAW

Peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi ketika Nabi SAW dan kaum muslimin lainnya dalam tekanan
dan siksaan yang terkira dari kaum kafir Quraisy, karena telah meninggalnya dua orang yang
selama ini menjadi pilar dan pembela beliau. Pertama adalah paman beliau, Abu Thalib, yang
selalu berdiri tegak membela Nabi SAW dari kaum kafir Quraisy, layaknya sebuah benteng yang
susah ditembus. Sayangnya, Abu Thalib meninggal dalam kemusyrikannya pada bulan Rajab
tahun sepuluh dari kenabian. Dua atau tiga bulan berikutnya, yakni pada Ramadhan tahun yang
sama, istri beliau Khadijah RA wafat. Istri tersayang beliau ini, adalah pendukung dan pelindung
beliau, baik secara materi dengan merelakan semua harta kekayaannya untuk menjalankan dakwah
Islamiyah. Atau secara mental, menjadi penyejuk dan penguat hati Nabi SAW ketika menghadapi
berbagai macam halangan dan tantangan dalam mengemban risalah kenabian.

‘Undangan’ Allah kepada Nabi SAW menjalani Isra’ Mi’raj ini seolah-olah menjadi
‘hiburan’ tersendiri sekaligus motivasi bagi beliau, ketika beliau begitu sedih dan berduka karena
kehilangan dua orang yang sangat beliau sayangi. Apalagi hal itu (meninggalnya dua orang
tersebut) juga berdampak pada meningkatnya penyiksaan kaum Quraisy kepada orang-orang
muslim. Begitu dalamnya kesedihan Nabi SAW itu sehingga dalam tarikh Islam disebut sebagai
‘Amul Huzni’, Tahun Duka Cita. Allah ingin menunjukkan kepada Nabi SAW sebagian dari tanda-
tanda kekuasaan-Nya (linuriyahuu min aayaatinaa) dalam perjalanan Isra’ Mi’raj itu, untuk lebih
memantapkan hati Nabi SAW dalam mengemban dakwah Islamiyah.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini, Allah menetapkan kewajiban shalat lima waktu bagi Umat
Islam. Sebelumnya kewajiban shalat bagi kaum muslimin hanyalah shalat malam, sebagaimana
disitir dalam QS Al-Muzammil ayat 20. Walau sifatnya sebagai suatu kewajiban, tetapi shalat lima
waktu itu lebih merupakan pemuliaan dan pengutamaan bagi beliau dan umat beliau. Shalat juga
merupakan sarana komunikasi dengan Allah untuk meminta pertolongan, sebagaimana disitir
dalam QS Al-Baqarah ayat 45, “Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
(mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-
orang yang khusyuk!!”

Juga disitir dalam QS Al-Baqarah 153, “Hai orang-orang yang beriman, mintalah
pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat, sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar!!”

Nabi SAW juga membuka peluang bagi umat Islam untuk bisa “merasakan” pengalaman
Mi’raj yang beliau jalani itu, walau tentunya tidak mungkin persis sama, dengan jalan shalat pula.
Tentunya hal ini bagi kaum muslimin yang telah mencapai tingkat/derajad keimanan tertentu. Nabi
SAW pernah bersabda, “Ash shalaatu mi’rajul mu’miniin.” Maksudnya adalah : Shalat itu adalah
Mi’raj-nya orang-orang mukmin.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang peristiwa Isra Mi’raj yang dialami
Rasulullah SAW, apakah beliau mengalaminya dengan jasad kasar (tubuh fisik) atau hanya
sekedar dengan ruh beliau saja, yakni semacam perjalanan mimpi saja? Tentu bukan di sini
tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut, hanya saja logika paling sederhana, jika
saat menceritakan kepada kaum kafir Quraisy, beliau mengatakan telah bermimpi atau mengalami
perjalanan rohani (secara ruh) ke Baitul Makdis kemudian ke langit ke tujuh dalam semalam itu,
tentu tidak akan terjadi ‘kehebohan’ pada mereka. Karena itu mayoritas ulama berpendapat bahwa
beliau menjalani peristiwa Isra’ Mi’raj ini dengan tubuh fisik beliau.

Malam itu Nabi SAW sedang berada di Baitullah, bersandar pada dinding Ka’bah atau
pada dinding Hijr Ismail, dan sebagian riwayat menyebutkan berada di rumah Ummu Hani binti
Abu Thalib, saudara sepupu beliau. Tiba-tiba datanglah Malaikat Jibril dan Malaikat Mikail sambil
membawa tunggangan berwarna putih bersayap yang disebut Buraq, lebih tinggi daripada himar
(keledai) tetapi lebih rendah daripada baghal. Jibril berkata kepada Mikail, “Bawalah seember air
zam-zam, aku akan membersihkan hati Muhammad dan melapangkan dadanya!!”

Mikail datang dengan seember air zam-zam dan ia pulang baik hingga tiga kali, sementara
Jibril mengoperasi (membelah) perut beliau dan membersihkan kemudian melapangkan dada
beliau. Dibuanglah sifat dengki dan segala (bibit-bibit) sifat keburukan yang umumnya ada pada
manusia, kemudian dipenuhi (digantikan) dengan hikmah, ilmu dan keimanan. Akhirnya Jibril
memerintahkan beliau untuk berwudhu, dan menaiki Buraq sambil berkata, “Berangkatlah wahai
Muhammad!!”

Nabi SAW berkata, “Kemana?”


Jibril menjawab, “Menghadap kepada Tuhanmu dan Tuhan segala sesuatu!!”

Dengan diiringi Jibril, Buraq dengan Nabi SAW di atasnya bergerak begitu cepatnya,
jangkauan kaki depannya adalah sejauh pandangan matanya yang mencapai batas cakrawala .
Sesaat sebelum berangkat, beliau mendengar seruan dari arah kanan, “Wahai Muhammad, pelan-
pelan, tunggulah!!”

Beliau mengabaikan seruan itu. Begitu juga ketika terdengar seruan yang sama dari arah
kiri, beliau tidak memperdulikannya. Ada seorang wanita yang memakai segala macam perhiasan
yang dimilikinya, mengulurkan tangan kepada beliau dan berkata, “pelan-pelan, tunggulah aku!!”

Sekali lagi beliau tidak memperdulikan dan segera berangkat. Pada suatu tempat Buraq
berhenti dan Jibril berkata, “Turunlah dan lakukan shalat!!”

Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata,
“Tahukah kamu dimana kamu shalat!!”

Beliau berkata, “Tidak!!”

Jibril berkata, “Kamu telah shalat di tanah Thaibah (yakni, Madinah), kesanalah kamu
akan berhijrah, insyaallah!!”

Mereka melanjutkan perjalanan, di suatu tempat mereka berhenti dan Jibril berkata,
“Turunlah dan lakukan shalat!!”

Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata,
“Tahukah kamu dimana kamu shalat!!”

Beliau berkata, “Tidak!!”

Jibril berkata, “Kamu telah shalat di bukit Thursina, di sanalah Allah berfirman secara
langsung kepada Nabi Musa!!”

Mereka melanjutkan perjalanan, di suatu tempat mereka berhenti dan Jibril berkata,
“Turunlah dan lakukan shalat!!”

Nabi SAW turun dan melakukan shalat sesuai perintah Jibril. Setelah itu Jibril berkata,
“Tahukah kamu dimana kamu shalat!!”

Beliau berkata, “Tidak!!”

Jibril berkata, “Kamu telah shalat di Baitul Lahm (Betlehem), di sanalah Nabi Isa
dilahirkan!!”

Mereka melanjutkan perjalanan dan tiba di Baitul Makdis. Ternyata para penghuni langit,
yakni para malaikat telah berkumpul di sana dan menyambut kedatangan Nabi SAW dengan penuh
penghormatan dan keramahan. Mereka berkata, “Salam untukmu wahai Nabi yang awal dan akhir,
dan Nabi yang mengumpulkan!!”

Setelah menjawab salam mereka, Nabi SAW berkata kepada Jibril, “Apa maksud salam
penghormatan mereka itu?”

Jibril berkata, “Sesungguhnya engkau adalah orang pertama yang bangkit dari bumi (pada
hari kiamat nanti), begitu juga dengan umatmu (adalah umat yang pertama dibangkitkan). Engkau
adalah orang yang pertama kali memberi syafaat dan diterima syafaatnya. Dan engkau memang
Nabi yang terakhir di antara nabi-nabi dan rasul-rasul. Sedangkan penghimpunan, karena semua
mahluk akan terlaksana dihimpun (di padang Makhsyar) kelak adalah berkat kamu dan umatmu!!”
Nabi SAW bersama Jibril berjalan menuju Masjidil Aqsha dan Buraq ditambatkan pada
lingkaran di depan Masjid dengan tali sutera dari surga. Begitu memasuki pintunya, beliau melihat
di dalam masjid telah penuh orang, dan mereka mengucapkan salam dan penghormatan seperti
yang dilakukan para malaikat sebelumnya. Setelah menjawab salam mereka, Nabi SAW berkata,
“Wahai Jibril, siapakah mereka ini?”

Jibril berkata, “Mereka adalah saudara-saudaramu, yaitu para nabi dan rasul terdahulu!!”

Nabi SAW shalat sunnah dua rakaat dan mereka semua bermakmum kepada beliau. Usai
shalat, Nabi SAW berkata, “Wahai Jibril, pada waktu akan berangkat tadi, aku mendengar
panggilan dari arah kananku!!”

Jibril berkata, “Itu adalah panggilan Yahudi, jika engkau berhenti pada panggilan itu, maka
akan banyak umatmu yang menjadi pengikut Yahudi!!”

Beliau berkata lagi, “Saya juga mendengar seruan yang sama dari arah kiri dan seorang
wanita yang memakai semua perhiasannya!!”

Jibril berkata, “Itu adalah panggilan Nashrani, jika engkau berhenti pada panggilan itu,
maka akan banyak umatmu yang menjadi pengikut Nashrani. Sedangkan wanita itu adalah dunia
yang menghiasi dirinya untukmu. Jika engkau berhenti pada panggilannya, akan sangat banyak
umatmu yang memilih dunia daripada akhirat!!”

Kemudian Jibril menyodorkan dua gelas minuman, satu gelas berisi susu dan satunya lagi
berisi khamr, dan berkata kepada beliau, “Minumlah mana yang engkau suka!!”

Nabi SAW memilih gelas berisi susu dan meminumnya hingga habis, gelas berisi khamr
dibiarkan begitu saja. Jibril berkata, “Kamu telah memilih yang benar, yaitu fitrah. Yakni, engkau
telah memberikan Islam kepada umatmu, sehingga mereka akan kembali kepada fitrah. Jika
engkau memilih meminum khamr, tentulah umatmu akan tersesat!!”

Kemudian Jibril memegang tangan Nabi SAW keluar dari Masjid menuju suatu batu yang
terletak tidak terlalu jauh dari sisi masjid. Tampak di sana sebuah ‘tangga’ menuju langit yang
begitu indah dan cemerlangnya. Jibril membawa Nabi SAW naik melewati tangga itu dengan
cepat hingga sampai di pintu langit pertama (langit dunia). Ketika Jibril minta dibukakan pintu,
Malaikat penjaga bertanya, “Siapakah engkau?”

Jibril berkata, “Saya Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapa yang bersamamu?”

Jibril menjawab, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Ya, ia telah diutus!!”

Lalu pintu dibukakan bagi mereka. Pada langit pertama itu Nabi SAW melihat seorang
laki-laki sedang duduk, di sebelah kanannya ada hitam-hitam (yakni siluet dari banyak orang) dan
di sebelah kirinya juga ada hitam-hitam (siluet dari banyak orang). Apabila ia memandang ke
kanan, ia tertawa dan apabila ia berpaling ke kiri, ia menangis. Ketika melihat kedatangan Nabi
SAW, lelaki itu berkata, “Selamat datang Nabi yang saleh dan anak laki-laki yang saleh.”

Beliau bertanya kepada Jibril, “Siapakah orang ini?”


Jibril menjawab, “Dia adalah Nabi Adam, yang hitam-hitam di kanan dan kirinya itu
adalah jiwa anak cucunya. Yang di sebelah kanan itu adalah penghuni surga dan yang di sebelah
kirinya adalah penghuni neraka. Karena itulah jika melihat ke sebelah kanannya, ia tertawa, dan
apabila ia melihat ke sebelah kirinya, ia menangis!!”

Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke dua. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapakah engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke dua ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi Isa
bin Maryam dan Nabi Yahya bin Zakaria. Mereka berdua menyambut dan mendoakan beliau
dengan kebaikan.

Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke tiga. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke tiga ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Yusuf, yang dikarunia Allah sebagian dari keindahan pada wajahnya. Dia menyambut dan
mendoakan beliau dengan kebaikan.

Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke empat. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke empat ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Idris. Allah telah berfirman tentang Nabi Idris, “Kami mengangkatnya pada tempat (martabat)
yang tinggi!!” Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.
Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke lima. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke lima ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Harun. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan.

Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke enam. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke enam ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Musa. Dia menyambut dan mendoakan beliau dengan kebaikan. Ketika Nabi SAW dan Jibril
meninggalkannya, Nabi Musa menangis. Terdengar Allah berfirman, “Wahai Musa, mengapa
engkau menangis??”

Nabi Musa berkata, “Ya Tuhanku, orang muda ini (yakni Nabi SAW) Engkau utus
(sebagai Nabi dan Rasul) setelah aku, tetapi umatnya yang masuk surga lebih banyak daripada
umatku!!”

Kemudian Nabi SAW dibawa naik ke langit ke tujuh. Jibril minta dibukakan pintu dan
malaikat penjaga bertanya, “Siapa engkau?”

Jawab Jibril, “Jibril.”

Ia bertanya lagi, “Siapakah yang bersamamu?”

Jawab Jibril lagi, “Muhammad!!”

Ia bertanya lagi, “Apakah ia telah diutus?”

Jawab Jibril, “Dia telah diutus.”

Pintu dibukakan untuk mereka. Pada langit ke tujuh ini Nabi SAW bertemu dengan Nabi
Ibrahim, yang tampak menyandarkan tubuhnya pada dinding Baitul Makmur. Dia menyambut dan
mendoakan beliau dengan kebaikan.
Baitul Makmur adalah ‘kiblat’ bagi seluruh malaikat, layaknya Ka’bah menjadi kiblat bagi
seluruh umat Islam. Setiap hari ada tujuhpuluh ribu malaikat yang masuk ke dalam Baitul Makmur
untuk beribadah di dalamnya, dan mereka tidak pernah keluar lagi dari sana.

Dalam perjalanan melalui langit demi langit itu, Nabi SAW juga menyaksikan para
malaikat yang beribadah, yakni shalat, dengan cara yang berbeda-beda pada setiap lapisan langit.
Hal itu membuat beliau terkagum-kagum dan sangat menginginkan umatnya bisa beribadah
seperti itu. Kisah lengkapnya bisa dilihat pada Buku/Laman ini juga dengan judul “Nabi SAW dan
Umatnya Dimuliakan dengan Shalat.”

Kemudian Jibril membawa Nabi SAW pergi ke Sidratul Muntaha yang dedaunannya
seperti kuping-kuping gajah dan buahnya sebesar tempayan. Ketika atas perintah Allah, Sidratul
Muntaha diselubungi berbagai macam keindahan, maka suasana menjadi berubah, sehingga tak
seorang pun di antara makhluk Allah mampu melukiskan keindahannya. Di sana terdapat malaikat
yang tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah saja, dan Jibril berada di tengah-
tengahnya. Jibril berkata, “Majulah ke depan!!”

Nabi SAW menjawab, “Wahai Jibril, kamu sajalah, silahkan maju!!”

Jibril berkata lagi, “Tidak, wahai Muhammad, silahkan kamu yang maju ke depan, karena
dalam pandangan Allah, kamu lebih mulia daripada aku!!”

Nabi SAW berjalan di depan dan Jibril mengikuti di belakang. Ketika tiba pada suatu
dinding hijab (pembatas) dari cahaya, terdengar pertanyaan dari malaikat penjaga, “Siapa ini?”

Jibril berkata, “Aku Jibril, datang bersama Muhammad!!”

Malaikat penjaga hijab itu mengulurkan tangannya dan membawa Nabi SAW memasuki
(menembus) hijab cahaya tersebut, sementara Malaikat Jibril tetap tinggal di Sidratul Muntaha.
Nabi SAW berkata, “Aku mau dibawa kemana??”

Malaikat itu berkata, “Wahai Muhammad, tiadalah dari kami (para malaikat) kecuali
mempunyai tempat tertentu. Ini adalah batas terakhir dari semua mahluk, dan kami diijinkan
menempati hijab ini karena kehormatan dan kemuliaanmu!!”

Mereka bergerak sangat cepat, dan tiba di dinding hijab berikutnya. Terdengar sebuah
seruan, “Siapakah ini?”

Malaikat itu menjawab, “Aku penjaga hamparan hijab emas, dan bersamaku adalah
Muhammad!!”

Malaikat yang bertanya itu mengucap takbir, kemudian mengulurkan tangannya dan
membawa Nabi SAW menembus hijab yang dijaganya. Begitulah, Nabi SAW diantar setiap
malaikat penjaga menembus hijab demi hijab yang dijaganya hingga tiba pada suatu hamparan
hijau, dengan cahaya yang berkilauan cemerlang di sekelilingnya. Tiba-tiba Nabi SAW terbawa
mendekat pada Arsy sendirian saja. Beliau duduk bersandar kepada Arsy tersebut ‘berhadapan’
dengan Allah. Kemudian Allah berfirman kepada Nabi SAW, menceritakan keadaan orang-orang
yang terdahulu dan terkemudian. Beliau hanya duduk diam dengan lidah kelu karena diliputi
dengan Keagungan dan Kewibawaan Allah.

Para ulama berbeda pendapat ketika Nabi SAW berhadapan dengan Allah tersebut, apakah
beliau bisa melihat Allah dengan mata kepalanya secara langsung? Atau beliau melihat Allah
hanya dengan mata hati (fuad) saja? Atau bahkan hanya melihat-Nya (merasakan-Nya) di dalam
hati (qolbu) saja? Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut, yang
jelas bahwa kemuliaan dan penghormatan yang diperoleh Nabi SAW dalam peristiwa Mi’raj ini
tidak pernah dialami oleh Nabi-nabi dan rasul-rasul sebelumnya, bahkan tidak juga oleh para
malaikat, termasuk Malaikat Jibril sebagai penghulunya para malaikat. Jauh lebih mulia dan agung
daripada ‘percakapan’ Nabi Musa dengan Allah ketika tajalli di Bukit Thursina.

Kemudian Nabi SAW mengucap pujian kepada Allah, “Attahiyyaatu lillaahi wash
sholawaatu wath thoyyibaatu…!!” Maksudnya adalah : Segala kehormatan hanyalah milik Allah,
demikian pula dengan segala rahmat dan kebaikan.

Mendengar pujian Nabi SAW itu, Allah berfirman, “Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu
wa rahmatullaahi wa barakaatuh…!!” Maksudnya adalah : Kesejahteraan bagi kamu wahai Nabi,
demikian juga dengan rahmat dan barakah Allah (akan selalu terlimpah kepadamu).

Nabi SAW amat gembira dengan firman Allah tersebut, tetapi kemudian beliau teringat
akan umat beliau, karena itu beliau berkata, “Assalamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish
shoolihiin…!!” Maksudnya adalah : Semoga kesejahtreraan dilimpahkan kepada kepada kami dan
kepada hamba-hamba Allah yang saleh. Beliau tidak ingin sendirian dalam memperoleh
kesejahteraan itu, tetapi ingin mengikut-sertakan umat beliau yang saleh juga.

Malaikat Jibril, walaupun berada ‘jauh di bawah’ Arsy, tetapi ia bisa mendengar
percakapan antara Allah dan Nabi SAW itu, dan ia ikut kagum dan berkata, “Asyhadu allaa ilaaha
illallaah wa asyhadu anna muhammadan abduhuu wa rasuuluh!!”

Bacaan-bacaan tersebut ‘diabadikan’ sebagai bagian dari shalat yang menjadi kewajiban
kaum muslimin, yakni bacaan saat tasyahud, baik waktu tasyahud akhir yang sifatrnya wajib
(bagian dari rukunnya shalat), atau tasyahud awal yang bersifat sunnah. Beberapa riwayat lain
mempunyai redaksi (susunan kalimat) yang agak berbeda, walau intinya sama.

Kemudian Allah memfirmankan beberapa perkara, yang tidak semuanya diijinkan untuk
disampaikan kepada umat beliau, tetapi semua itu makin memperkuat semangat beliau untuk
mendakwahkan Risalah Islamiah, walau tidak ada lagi Khadijah dan Abu Thalib. Penentangan dan
siksaan dari berbagai pihak mungkin makin kuat menghalangi, tetapi tidak ada lagi kegentaran
beliau menghadapinya, karena sandaran beliau kini makin kuat dan tampak sangat nyata, yakni
Allah SWT. Allah juga men-syariatkan pelaksanaan shalat 50 waktu bagi beliau dan seluruh umat
beliau. Dan Allah berfirman, “Kembalilah kepada umatmu, dan sampaikanlah kepada mereka apa
yang kamu peroleh dari-Ku (yakni, apa-apa yang diijinkan-Nya untuk disampaikan, khususnya
kewajiban shalat tersebut)!!”

Nabi SAW mundur dan turun dari Arsy, dalam sekejab saja telah tiba kembali di Sidratul
Muntaha. Jibril menyambut beliau dan memberikan ucapan selamat atas penghormatan yang
diberikan Allah kepada beliau. Suatu kedudukan terpuji (maqaman mahmudah) yang tidak pernah
dicapai oleh nabi dan rasul manapun, bahkan oleh para malaikat muqarrabin, termasuk Jibril
sendiri. Ia memerintahkan beliau untuk bersyukur, dan Nabi SAW segera mengucapkan puji
syukur kepada Allah atas anugerah yang beliau terima itu.

Kemudian Jibril berkata, “Wahai Muhammad, pergilah engkau ke surga, akan aku
perlihatkan apa yang dipersiapkan untukmu di sana, sehingga engkau akan makin zuhud terhadap
dunia dan semakin cinta kepada akhirat!!”

Jibril mendampingi Nabi SAW menuju surga dan menjelajah semua tempat di dalamnya
atas ijin Allah, tidak ada satu sudutpun yang terlewat, walau memang masih kosong tanpa
penghuni. Beberapa peristiwa juga ditampakkan kepada Nabi SAW berkaitan dengan surga ini,
seperti bau harum yang begitu menyengat, yang ternyata adalah dari Masyitoh, tukang sisir
Fir’aun yang dihukum mati karena mempertahankan akidah tauhidnya. Begitu juga dengan suara
terompah (sandal atau sepatu) sahabat Bilal yang terdengar di surga. Juga seorang wanita
(bidadari) yang sangat jelita, yang ternyata adalah milik Sahabat Zaid bin Haritsah, padahal Zaid
adalah seorang yang berkulit hitam dan bekas budak. Nabi SAW berkomentar, “Untuk
(kenikmatan) yang semacam inilah hendaknya (sepantasnya) beramal orang-orang yang ingin
beramal!!”
Kemudian Jibril membawa Nabi SAW mengunjungi neraka. Diperlihatkan kepada beliau
beberapa siksaan yang dialami oleh penghuni neraka, seperti orang yang memakan (mengambil)
harta anak yatim secara tidak sah, orang-orang yang memakan (menjalankan) riba, dan orang-
orang yang suka berzina. Beliau juga sempat mendengar suara yang sangat keras dan bergemuruh
dari sebuah benda jatuh, ketika beliau bertanya kepada Jibril, ia berkata, “Itu adalah batu yang
dilemparkan ke neraka Sa’ir sejak tujuhpuluh tahun yang lalu, dan sekarang ini baru sampai ke
dasarnya!!”

Sempat diperlihatkan pula kepada Nabi SAW para penghuni neraka itu, dan kebanyakan
atau lebih banyak kaum wanitanya daripada kaum lelakinya. Nabi SAW selalu menangis jika
teringat dengan pemandangan ini, karena sangat sedih dengan nasib yang menimpa kaum wanita
dari umat beliau itu. (Lebih lengkapnya tentang apa yang dilihat Nabi SAW ini, baca kembali
kisah pada Buku/Laman ini dengan judul “Nabi SAW Menangisi Kaum Wanita di Neraka”)

Setelah mengalami ‘perjalanan’ menyenangkan dan menyedihkan itu, Jibril membawa


Nabi SAW turun ke lapisan langit di bawahnya untuk kembali ke bumi. Tetapi ketika tiba di langit
ke enam, Nabi Musa menyapa beliau, “Wahai Muhammad, apa yang difardhukan Allah kepadamu
dan kepada umatmu?”

Nabi SAW berkata, “Shalat limapuluh kali dalam sehari!!”

Nabi Musa berkata, “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu
tidak akan kuat melaksanakannya. Sungguh aku pernah mencobanya pada Bani Israil (yang lebih
ringan dari ini) dan mereka tidak mampu!!”

Nasehat yang sangat masuk akal, dengan limapuluh waktu shalat berarti kewajiban shalat
(kalau dirata-rata) dikerjakan setiap 28 menit, sungguh sangat memberatkan. Nabi SAW
menyadari itu dan beliau segera kembali menghadap ke hadirat Allah di Arsy, sementara Jibril
menunggu di Sidratul Muntaha seperti sebelumnya. Beliau berkata, “Ya Rabbi, berilah keringanan
kepada umatku!!”

Allah memenuhi permintaan beliau, dan mengurangi sepuluh waktu menjadi empatpuluh
waktu shalat sehari semalamnya. Ketika turun bersama Jibril dan sampai di langit ke enam, Nabi
Musa bertanya seperti sebelumnya. Nabi SAW menjelaskan kalau telah dikurangi sepuluh, ia
berkata lagi, “Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan, karena umatmu tidak akan kuat
melaksanakannya!!”

Nabi SAW memenuhi saran tersebut, dan beliau kembali menghadap Allah beberapa kali
lagi karena Nabi Musa selalu menyarankan untuk meminta keringanan. Ketika telah tinggal
sepuluh waktupun Nabi Musa masih meminta beliau untuk kembali kepada Allah. Tetapi ketika
telah tinggal lima waktu shalat dan Nabi Musa masih juga menyarankan meminta keringanan,
Nabi SAW berkata, “Aku malu untuk kembali lagi meminta keringanan kepada Allah, aku ridha
dan tunduk dengan apa yang difardhukan Allah kepadaku dan kepada umatku!!”

Dalam riwayat lainnya disebutkan, setiap kali menghadap Allah dikurangkan lima-lima
sehingga tinggal lima waktu shalat. Riwayat lain lagi, dikurangkan separuh-separuh hingga tinggal
lima waktu shalat.

Nabi SAW bersama Jibril meneruskan perjalanan ke bumi, dan ketika telah melewati Nabi
Musa, terdengar Allah berfirman, “Engkau telah berlalu dengan membawa kefardhuan dari-Ku
dan Aku telah memberikan keringanan kepada hamba-hamba-Ku. Dan Aku membalas setiap
kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya!!”

Nabi SAW makin gembira dengan adanya ‘pemberitahuan’ Allah tersebut. Jibril dan Nabi
SAW turun di Baitul Makdis, di tempat seperti ketika mulai naik ke langit, dan pulang kembali ke
Makkah dengan Buraq. Dalam perjalanan pulang itu beliau sempat bertemu dengan rombongan
Bani Fulan yang sedang berhenti di Rauha’, mereka kehilangan seekor untanya dan mencari-
carinya, Nabi SAW menunjukkan tempat untanya yang tengah tersesat itu. Beliau juga sempat
minum air dari sebuah gelas mereka, tetapi beliau tidak menghabiskannya.

Beliau juga melewati kafilah dagang kaum Quraisy yang baru kembali dari Syam, mereka
berada di Tan’im, salah satu daerah di luar batas tanah Haram.

31
Tanggapan atas Isra' Mi'raj Nabi SAW

Perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW bukanlah perjalanan biasa, dan bukan pula
sebuah perjalanan luar biasa dalam jangkauan pemikiran manusia, tetapi lebih dari semua itu
adalah sebuah perjalanan mu’jizat. Artinya, setinggi apapun nantinya ilmu pengetahuan itu akan
mencapai posisinya, sebanyak apapun nantinya rahasia alam semesta itu terungkap oleh manusia,
mereka tidak akan pernah bisa “menapak-tilasi” perjalanan yang telah dialami oleh Nabi SAW
dalam peristiwa Isra’ Mi’raj itu secara persis sama. Hal ini telah diindikasikan dengan awalan kata
‘Subkhaana’ (Maha Suci Allah) pada QS Al Isra ayat 1, yang menjelaskan tentang perjalanan Isra
Nabi SAW.

Jarak antara Makkah di mana Baitul Haram berada dan Baitul Maqdis di Palestina,
termasuk wilayah Syam, adalah sekitar 3.000 kilometer. Kafilah dagang kaum Quraisy biasanya
memerlukan waktu sebulan untuk berangkatnya, dan sebulan pula ketika kembali. Hal itu disadari
benar oleh Nabi SAW, beliau pernah menjalaninya bersama paman beliau Abu Thalib ketika
berusia 12 tahun, atau ketika menjalankan perdagangan Khadijah saat berusia 25 tahun. Karena itu
beliau sempat termenung diliputi kesedihan pada pagi harinya, orang-orang Quraisy sudah pasti
tidak akan mempercayai cerita beliau ini. Tetapi perasaan seperti itu hanya hanya muncul sekejab
saja, segera saja beliau tampak tenang dan mantap hatinya ketika teringat akan apa yang beliau
alami semalam, di mana Allah telah menunjukkan secara langung tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Saat itulah Abu Jahal datang dan berkata sinis, “Wahai Muhammad, apakah ada yang ingin
engkau katakan, sehingga aku bisa memperoleh faedah darinya??”

Bagaimanapun juga Nabi SAW tidak akan mengatakan sesuatu kecuali kebenaran. Sebesar
dan seberat apapun cacian, halangan dan siksaan yang akan beliau hadapi setelah Isra’ Mi’raj ini,
kecil dan ringan saja bagi beliau. Terlepas dari fakta bahwa selama ini Abu Thalib dan Khadijah
menjadi pembela yang kokoh, tetapi sebenarnya beliau menyandarkan diri hanya kepada Allah.
Dengan berbagai macam ‘Tanda-tanda Kebesaran Allah’ yang ditunjukkan kepada beliau
(linuriyahuu min aayaatinaa), kepasrahan dan tawakal beliau kepada Allah makin mengerucut saja.
Tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran ketika hanya Allah yang menjadi sandaran.

Mendengar pertanyaan menghina itu, dengan tenangnya Nabi SAW menjawab, “Benar,
tadi malam aku telah diisra’kan (diperjalankan)!!”

“Ke mana?” Tanya Abu Jahal.

Nabi SAW berkata, “Ke Baitul Maqdis!!”

“Baitul Maqdis di Palestina??” Kata Abu Jahal tidak percaya, “Lalu pagi-pagi begini kamu
telah berada di antara kami disini??”

“Benar!!” Kata Nabi SAW.

Tampak mata Abu Jahal berbinar gembira, seolah-olah ia telah memperoleh ‘kartu truft’
untuk bisa menghancurkan dan menghentikan dakwah Nabi SAW, dengan hal yang sangat tidak
masuk akal itu. Ia berkata, “Apakah kamu mau menceritakan kepada kaummu yang lainnya, apa
yang baru saja engkau ceritakan kepadaku??”

Beliau bersabda, “Baiklah!!”

Abu Jahal berteriak keras, “Wahai Bani Ka’ab bin Luay, kemarilah kamu semua!!”

Mereka segera datang dan berkumpul di sekitar Nabi SAW, kemudian Abu Jahal berkata,
“Ceritakanlah kepada kaummu apa yang baru saja engkau katakan kepadaku!!”

Nabi SAW berkata, “Tadi malam aku telah diisra’kan (diperjalankan)!!”

Mereka bertanya, “Ke mana?”

Nabi SAW berkata, “Ke Baitul Maqdis!!”

“Baitul Maqdis di Palestina??” Kata mereka tidak percaya, “Lalu pagi-pagi begini kamu
telah berada di antara kami disini??”

“Benar!!” Kata Nabi SAW.

Mereka saling berpandangan, tampak sekali mata mereka berbicara kalau Nabi SAW
mungkin telah ‘tidak waras’. Tetapi ketika mereka memandang kembali kepada Nabi SAW yang
tampak begitu tenang, dan sama sekali tidak tampak tanda-tanda kedustaan seperti biasanya, akal
mereka jadi terguncang. Pada dasarnya mereka sangat mengenal Nabi SAW sebagai orang yang
sangat benar dan terpercaya sejak masa kecilnya. Tidak pernah sekalipun mereka menentang dan
mendustakan beliau sebelum beliau mendakwahkan Islam. Tetapi menghadapi kontradiksi logika
ini, yakni ketidak-mungkinan menempuh Makkah-Palestina pulang pergi dalam semalam, dan
Nabi SAW yang tidak pernah dan tidak mungkin berdusta sejak masih kecilnya, justru mereka
yang menjadi terbengong. Ada sebagian dari mereka yang telah memeluk Islam menjadi murtad
kembali. Sementara kebanyakan kaum kafir makin jauh tenggelam dalam pengingkaran kepada
Nabi SAW, dan tampak sangat mencemoohkan beliau.

Kalau saja yang dihadapi Nabi SAW saat menceritakan pengalaman Isra’ Mi’raj adalah
ilmuwan-ilmuwan sekarang yang telah mendalami ilmu-ilmu astronomi, antariksa, astrofisika,
kimia, metafisika dan lain sebagainya. Atau juga ilmuwan-ilmuwan NASA yang telah
‘berpengalaman’ membuat perjalanan jauh dalam sekejab, bahkan mencapai bulan dan mars,
tentulah keadaannya tidak akan seheboh kaum kafir Quraisy saat itu. Dengan membuat kendaraan
dengan kecepatan seper-seratus persen (1/10.000) saja dari kecepatan cahaya, maka Makkah-
Palestina hanya ditempuh dalam seratus detik, atau kurang dari dua menit saja. Kecepatan cahaya
adalah 300.000 km/detik, seper-seratus persennya berarti 30 km/detik. Apalagi dengan
kemampuan menghasilkan energi dari zat radioaktif seperti yang ditemukan Einstein. Dengan
hanya satu gram uranium saja, mungkin telah cukup menggerakkan kendaraan tersebut untuk
menempuh Makkah-Palestina puluhan atau ratusan kali pulang pergi.

Belum lagi kalau Nabi SAW menceritakan kisah Isra’ Mi’raj beliau kepada para Futurolog
Scientist yang punya imaginasi tinggi, sehingga bisa memperkirakan terjadi Star Wars (Perang
Bintang), atau sekedar membuat film-film imaginasi antariksa semacam Star Trek dan lain-
lainnya. Ditambah lagi dengan adanya fenomena UFO (Unidentification Flying Obyek/Piring
Terbang) yang memiliki kecepatan sangat super, yang saat ini belum bisa dijelaskan oleh ilmuwan
paling brilliant sekalipun di bumi ini. Bisa jadi mereka ini, dan juga para ilmuwan tersebut -
terlepas karena hidayah Allah - akan segera memeluk Islam dengan keimanan yang sangat
mendalam. Hal ini disebabkan apa yang dialami Nabi SAW bisa jadi sangat masuk akal dan sangat
ilmiah dalam pemikiran, penelitian dan pengamatan mereka. Bahkan sangat mungkin bisa
membawa mereka pada tingkat pengetahuan yang lebih tinggi lagi.
Dalam keadaan yang membingungkan tersebut, kaum kafir itu mendatangi Abu Bakar,
sahabat terbaik Nabi SAW. Mereka berharap, setelah mendengar cerita beliau tentang Isra’ Mi’raj
itu Abu Bakar akan ingkar, dan hal itu akan melemahkan dakwah beliau. Setelah bertemu Abu
Bakar, mereka menceritakan pengalaman Nabi SAW pada malam itu, Abu Bakar berkata, "Kalian
berdusta!!"

"Sungguh," kata mereka. "Dia di masjid sedang bicara dengan orang banyak."

Abu Bakar berkata, "Dan kalaupun itu yang dikatakannya, tentu beliau bicara yang
sebenarnya. Dia mengatakan kepadaku, bahwa ada berita dari Tuhan, dari langit ke bumi, pada
waktu malam atau siang, aku percaya!!”

Kemudian Abu Bakar bangkit mengikuti mereka datang ke Masjidil Haram, saat itu Nabi
SAW tengah melukiskan keadaan Masjidil Aqsha dengan mendetail. Memang, ketika mereka
mendatangi Abu Bakar, ada salah seorang kafir yang sangat mengenal seluk beluk Masjidil Aqsha
meminta beliau menyebutkan ciri-cirinya, sebagai bukti bahwa beliau memang singgah di sana.
Sebenarnya suatu permintaan yang sangat tidak masuk akal, namanya singgah tentulah Nabi SAW
tidak secara mendetail memperhatikannya karena hanya sekedar shalat dua rakaat di sana. Tetapi
tentunya mudah saja bagi Allah, tinggal memerintahkan Jibril untuk menunjukkan kepada beliau.
Kalau sekarang ini, layaknya seperti sedang menonton video rekaman tentang Masjidil Aqsha,
Nabi SAW dengan lancar menceritakan ciri-cirinya, warnanya, jumlah pintu dan jendelanya, dan
tanda-tanda lainnya. Lagi-lagi orang kafir itu hanya terbengong, tidak percaya dan tidak masuk
akal (dalam kemampuan logika dan pengetahuan mereka saat itu), tetapi nyata dan semua jawaban
beliau itu benar.

Setelah Nabi SAW selesai melukiskan keadaan masjidnya, Abu Bakar yang juga cukup
mengenal keadaan Masjidil Aqsha berkata, “Engkau benar, ya Rasulullah, dan saya percaya
dengan semua yang engkau alami (yakni Isra’ Mi’raj beliau itu) tadi malam. Bahkan apabila
engkau menceritakan pengalaman engkau yang lebih jauh (atau lebih hebat) daripada itu, tentu
saya mempercayainya!!”

Rasulullah SAW berkata kepada Abu Bakar, “Sungguh, engkau ini adalah ash Shiddiq!!”

Ash Shiddiq artinya adalah yang selalu membenarkan. Sejak itulah Nabi SAW menggelari
Abu Bakar dengan ‘Ash Shiddiq’ dan beliau lebih sering memanggilnya dengan nama gelarannya
tersebut. Ketegasan Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW ‘tanpa reserve’ itu ikut berperan
besar dalam memantapkan kaum muslimin yang dalam kebimbangan. Mungkin memang ada
beberapa orang yang menjadi murtad, tetapi sebagian besar tetap bertahan dalam keislaman berkat
ketegasan Abu Bakar dalam membenarkan Nabi SAW apapun dan bagaimanapun yang belum
sampaikan dan ceritakan.

Orang-orang kafir Quraisy menjadi tidak puas karena ‘prediksinya’ tentang sikap Abu
Bakar meleset. Mereka berfikir cepat, dan salah seorang dari mereka berkata, “Ceritakanlah
tentang rombongan kafilah dagang kami yang berangkat ke Syam!!”

Nabi SAW berkata, “Sesungguhnya aku telah melewati rombongan Bani Fulan (yakni
salah satu kafilah dagang mereka) di Rauha’, mereka sedang mencari salah satu untanya yang
hilang, dan aku menunjukkan di mana untanya tersesat. Aku juga sempat minum segelas air pada
kendaraan mereka, dan menyisakannya. Silahkan kalian bertanya kepada mereka tentang hal ini
jika mereka telah kembali!!”

Mendengar penjelasan itu, salah seorang dari mereka berkomentar, “Sungguh ini suatu
bukti (bahwa Nabi SAW benar dengan cerita dan pengalaman beliau)!!”

Mereka berkata lagi, “Ceritakanlah rombongan unta kami lainnya yang akan kembali??”

Nabi SAW bersabda, “Aku melewati mereka di Tan’im.”


Tan’im adalah daerah perbatasan ‘tanah haram’ tetapi sudah termasuk ‘tanah halal’,
jauhnya tidak sampai sepuluh kilometer dari Makkah. Mereka berkata, “Berapa jumlahnya, apa
saja muatannya, keadaannya bagaimana, siapa saja dan kapan akan tiba di sini?”

Lagi-lagi suatu permintaan yang tidak masuk akal. Tetapi segera saja Jibril ‘menyetel video
clip’ perjalanan rombongan dagang itu untuk beliau, dan Nabi SAW dengan lancar
menceritakannya, “Rombongan dagang itu adalah begini dan begini, di dalamnya ada si Fulan dan
si Fulan, yang paling depan adalah seekor unta berwarna abu-abu. Dan mereka akan tiba di sini
pada saat matahari terbit besok pagi!!”

Ternyata rombongan kafilah itu telah mengirimkan utusan tentang kedatangan mereka, dan
dia hadir juga saat itu. Spontan ia berkomentar, “Ini juga suatu tanda bukti!!”

Keesokan harinya ketika matahari terbit, mereka menjumpai rombongan kafilah dagang itu
datang dengan ciri-ciri yang tepat seperti digambarkan Rasulullah SAW. Namun, karena Allah
memang belum menghendaki mereka untuk memperoleh hidayah keislaman, mereka hanya
berkata, “Sungguh ini adalah suatu sihir yang nyata!!”

32
Sebuah Kisah di Balik Isra' Mi'raj Nabi SAW

Kisah percakapan, atau lebih tepat dikatakan perdebatan antara mahluk Allah yang
bernama bumi dan langit juga menjadi salah satu sebab Allah memperjalankan dan mengundang
Nabi SAW untuk menembus langit demi langit untuk langsung menghadap kepada-Nya.
Percakapan yang sifatnya membanggakan diri ini mungkin mirip dengan kebanggaan Iblis ketika
ia menolak perintah Allah untuk sujud kepada Nabi Adam AS, “Saya lebih baik daripada dia…
dst…!!”

Perbedaan mendasarnya, kalau Iblis membanggakan dzat dan amal kebaikan dirinya yang
dengan itu ia menolak perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam, sebagai bentuk
penghormatan, bukan peribadatan. Sedangkan kebanggaan langit dan bumi, sebagai bentuk syukur
atas karunia dan kelimpahan yang diberikan Allah kepadanya. Karena itulah iblis menuai laknat
dan kutukan Allah hingga hari kiamat tiba akibat kebanggaannya yang berlebihan, sementara
Allah justru menambah karunianya kepada langit, yang kalah dalam perdebatannya dengan bumi.

Semua itu berawal ketika bumi membanggakan dirinya kepada langit, “Aku lebih baik
daripada dirimu, karena Allah menghiasi aku dengan berbagai negeri, lautan, sungai-sungai,
pohon-pohon, gunung-gunung dan lain-lainnya.”

Langit berkata kepada bumi, “Justru aku yang lebih baik dari dirimu, Allah telah menghiasi
diriku dengan matahari, bintang-bintang, bulan, cakrawala, planet-planet dan lain sebagainya.”

Bumi berkata lagi, “Padaku terdapat rumah (Baitullah, Ka’bah) yang selalu dikunjungi
oleh para Nabi, para Rasul, para wali dan orang-orang mukmin secara umum, dan mereka selalu
berthawaf kepadanya!!”

Langit tidak mau kalah, ia berkata, “Padaku ada Baitul Ma’mur, di mana para malaikat
selalu berthawaf kepadanya. Padaku juga terdapat surga, yang merupakan tempat ruh para Nabi,
ruh para Rasul, ruh para wali dan semua ruh orang-orang yang saleh!!”

Bumi berkata lagi, “Sesungguhnya pimpinan para rasul dan penutup para nabi, Kekasih
Allah, Tuhan semesta alam, seorang rasul yang paling mulia dari segala yang ada, Muhammad
SAW, yang semoga salam dan penghormatan selalu terlimpah kepadanya, ia tinggal dan menetap
pada diriku, dan ia menjalankan syariatnya di atas punggungku!!”
Mendengar perkataan bumi yang membanggakan akan keberadaan Nabi SAW pada
dirinya, langit tidak bisa memberikan argumentasi tandingan yang sepadan. Ia tahu bahwa Nabi
SAW adalah mahluk termulia dan yang paling dicintai oleh Allah, dan faktanya tidak pernah
sekalipun Nabi SAW menjejakkan kaki pada dirinya, apalagi membuat aktivitas-aktivitas yang
membekas dan memberi kesan tersendiri pada beliau. Langit hanya terdiam, merasa kalah dan
terpojok dengan dibandingkan posisi bumi.

Tetapi kemudian langit menghadapkan diri kepada Allah dan berdoa, “Ya Allah, Engkau
selalu mengabulkan segala permintaan hamba-hamba-Mu yang dalam keadaan terdesak atau
terjepit. Ya Allah, saat ini aku adalah hamba-Mu yang dalam keadaan terdesak dan tidak dapat
memberikan jawaban yang sepadan kepada bumi!!”

Allah memperkenankan doa langit tersebut. Saat itu adalah tanggal duapuluh tujuh Rajab,
Allah berfirman, “Wahai Jibril, hentikan dahulu tasbihmu pada malam ini!! Wahai Izrail, pada
malam ini janganlah engkau mencabut ruh terlebih dahulu!!”

Jibril berkata, “Ya Allah, Apakah kiamat telah tiba masanya!!”

Memang, Jibril dan malaikat-malaikat lainnya tidak akan pernah berhenti melantunkan
Tasbih kepada Allah, apapun keadaannya, kecuali jika hari kiamat telah tiba. Allah berfirman lagi,
“Tidak, wahai Jibril, tetapi pergilah engkau ke surga, bawalah salah satu buraq di sana dan
bawalah Muhammad datang menghadap-Ku malam ini!!”

Jibril segera memenuhi perintah Allah, ia datang ke surga dan dan melihat empatpuluh ribu
Buraq sedang merumput di padang rumput surga, pada kening-kening buraq itu tertulis nama
Muhammad SAW. Tampak satu buraq menunduk dan air matanya terus mengalir, tidak merumput
seperti yang lainnya. Jibril menghampirinya dan berkata, “Apa yang terjadi dengan dirimu, wahai
buraq!!”

Buraq itu berkata, “Wahai Jibril, sejak empatpuluh tahun yang lalu aku mendengar nama
Muhammad SAW, dan hatiku terbakar rindu untuk bisa bertemu dengannya. Kerinduan itu begitu
meliputiku sehingga aku tidak bisa lagi makan dan minum, kecuali aku telah bertemu dengan
beliau!!”

Jibril tersenyum dan berkata, “Aku akan menyampaikan dirimu kepada orang yang selama
ini kamu rindukan. Malam ini juga engkau akan bertemu dengan Muhammad SAW!!”

Kemudian Jibril memasang pelana dan tali pengikat dari sutera surga pada buraq itu dan
membawanya turun ke bumi. Setelah selesainya peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi SAW, langit bisa
memberikan argumentasi kepada bumi dan ia merasa kedudukannya cukup sejajar dengan bumi.

33
Nabi SAW Memutuskan Perselisihan Harta

Suatu ketika dua lelaki yang masih ada hubungan saudara datang menghadap Nabi SAW
mengadukan persoalannya. Mereka berselisih atau lebih tepatnya berebut tentang harta warisan.
Masing-masing mengklaim bahwa dirinya lebih berhak atas harta warisan itu. Mereka
mengemukakan argumentasi yang mendukung pendapatnya, yang sebenarnya tidak cukup kuat
dan mengikat klaimnya secara utuh atas harta warisan tersebut sesuai syariat Islam.

Nabi SAW memandang keduanya dengan sedih, kemudian beliau bersabda, “Kalian
mengadukan persoalan ini kepadaku, sementara aku hanyalah manusia biasa. Jika saja salah satu
dari kalian bisa memberikan bukti yang lebih kuat daripada yang lainnya, maka saya akan
memutuskan sesuai dengan bukti yang saya dengar itu…!!”

Beberapa saat Nabi SAW terdiam, kemudian beliau meneruskan lagi, “Jika nantinya telah
kuputuskan kepadanya, bahwa barang itu milik yang lain, maka sama sekali ia tidak boleh
mengambilnya (atau memprotes dan memaksa untuk meminta bagian harta itu), karena itu sama
artinya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka. Di hari kiamat nanti, akan dipikulkan di
pundaknya sepotong besi panas dari neraka!!”

Dua lelaki itu tampak menangis tersedu mendengar penjelasan Nabi SAW. Salah satu dari
mereka berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah hak saya, saya berikan untuk saudaraku ini!!”

Salah satunya lagi berkata, “Tidak, wahai Rasulullah, biarkanlah hak saya yang saya
berikan untuk dirinya!!”

Mereka saling melepaskan hak kepemilikan atas harta warisan itu dan merelakan untuk
saudaranya. Mereka juga sempat berdebat kecil, hanya saja berbeda dengan waktu datangnya
kepada Nabi SAW. Kalau tadinya mereka saling berebut untuk memiliki, kini mereka saling
berebut untuk memberikan. Nabi SAW tersenyum melihat keduanya dan bersabda, “Jika kalian
telah berkata seperti itu, kini pulanglah!! Bagilah harta kalian itu menjadi dua, dan ikrarkanlah
keikhlasan masing-masing kepada saudaranya!!”

34
Sebuah Kisah di Balik Lailatul Qadar

Suatu ketika Nabi SAW tengah berkumpul dengan para sahabat, dan beliau menceritakan
tentang seseorang dari Bani Israil yang bernama Syam’un. Allah memberikan kekuatan dan
keberanian kepada Syam’un ini sehingga dia berjuang dan berjihad di jalan Allah selama seribu
bulan (sekitar 83 tahun 4 bulan Qomariah/Hijriah, atau 80 tahun 10 bulan Syamsiah/Masehi)
secara terus menerus. Pedang atau senjatanya yang berupa tulang rahang unta selalu tersandang di
pundaknya. Pelana kudanya tidak pernah sempat kering dari keringatnya.

Syam’un selalu mengalahkan kaum kafirin yang diperanginya di medan jihad. Hal ini
membuat orang-orang musyrikin itu ciut hatinya, mereka berfikir keras bagaimana cara
mengalahkan dan membunuhnya. Suatu ketika mereka menghubungi istri Syam’un dengan diam-
diam, mereka membawa sepiring perhiasan emas untuk menyuapnya. Mereka minta agar ia mau
mengikat Syam’un dengan tali ijuk cukup besar dan sangat kuat yang telah dipersiapkan ketika ia
sedang tidur, dan perhiasan itu akan menjadi miliknya. Setelah ia tidak berdaya mereka akan
datang untuk menangkap dan membunuhnya.

Syam’un memang bukan orang yang materialistis dan bergelimang dengan kekayaan.
Walaupun ia memenangkan berbagai pertempuran selama puluhan tahun dan mempunyai jabatan
cukup tinggi, tetapi ia memilih hidup dalam kesederhanaan. Apalagi syariat yang berlaku sebelum
Nabi SAW, ghanimah atau rampasan perang diharamkan bagi kaum muslimin yang memenangkan
pertempuran itu. Harta benda dari kaum musyrikin yang dikalahkan itu harus dikumpulkan pada
lapangan luas, setelah itu akan muncul kobaran api dari langit yang akan membakar habis hingga
menjadi abu. Dihalalkannya ghanimah bagi umat Nabi SAW merupakan keutamaan yang
diberikan Allah, yang tidak pernah dialami oleh umat-umat Nabi dan Rasul sebelumnya.

Pola hidup zuhud dan sederhana yang diamalkan oleh Syam’un, yang menghabiskan
waktunya untuk ibadah dan berjihad, ternyata tidak bisa sepenuhnya diikuti dan diterima oleh
istrinya. Begitu melihat tawaran kaum kafirin itu, ia segera menyetujuinya. Suatu malam ia
mengikat suaminya yang sedang tidur itu dengan tali ijuk, dengan sangat kuatnya. Tetapi pagi
harinya, ketika Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya, tali-tali itu langsung putus. Dengan
heran Syam’un berkata, “Mengapa engkau melakukan hal ini?”

Istrinya berkata, “Aku hanya ingin menguji kekuatanmu!!”

Ketika peristiwa itu didengar oleh orang-orang kafir, mereka diam-diam mendatangi istri
Syam’un dengan membawa sebuah rantai besi yang sangat kuat. Malam harinya, istrinya itu
mengikat Syam’un dengan rantai itu, tetapi sama seperti sebelumnya, rantai itu putus begitu
Syam’un bangun dan menggerakkan tubuhnya. Lagi-lagi istrinya hanya berkilah dengan alasan
yang sama.

Melihat kegagalan yang kedua kalinya ini, iblis merasa gerah dan ia ikut campur dalam
masalah ini. Ia mendatangi kaum kafir dan memberikan solusinya, yakni agar istrinya itu merayu
Syam’un untuk menceritakan ‘rahasia’ kekuatannya. Orang-orang kafir itu mendatangi istri
Syam’un dengan menjanjikan hadiah yang lebih besar lagi jika bisa melumpuhkan suaminya itu,
dengan cara yang diajarkan Iblis. Suatu ketika istrinya berkata, “Engkau bagitu kuatnya sehingga
tali dan rantai besi begitu saja putus dan hancur ketika engkau menggerakkan tubuh. Apakah ada
sesuatu yang engkau tidak mampu merusakkan atau memutuskannya??”

Karena kecintaan kepada istrinya, dengan jujur Syam’un berkata, “Beberapa gombak
rambutku ini, yang aku tidak mampu memutuskannya!!”

Kelihatannya tidak masuk akal, kalau tali ijuk dan rantai besi yang begitu kuat dengan
mudah dihancurkan, bagaimana mungkin tidak mampu memutuskan rambutnya sendiri?? Tetapi
memang seperti itulah sunnatullah (kebanyakan orang menyebutnya ‘hukum alam’), tidak sesuatu
dari mahluk atau ciptaan Allah, kecuali ada kelemahan atau kekurangannya, di samping banyak
sekali kelebihan yang dimilikinya.

Rambut itulah yang memang menjadi rahasia kekuatan Syam’un yang diberikan Allah
kepadanya. Rambutnya itu memang terurai panjang hingga mencapai tanah, dan biasanya hanya
digelung ke atas. Malam harinya, diam-diam istrinya memotong rambutnya itu untuk digunakan
mengikat ke dua tangan dan kakinya. Pagi harinya, ketika terbangun Syam’un sama sekali tidak
bisa menggerakkan tubuhnya, bahkan ia tampak lemah tidak berdaya. Istrinya begitu gembira dan
memberitahukan hal itu kepada orang-orang kafir. Ia memperoleh berbagai macam perhiasan
seperti yang dijanjikan, bahkan ditambahi lagi lebih banyak.

Orang-orang kafir itu membawa Syam’un kepada rajanya, dan ia ingin mempertontonkan
pembantaian Syam’un di hadapan rakyatnya. Pada waktu yang ditentukan, mereka berkumpul di
suatu gedung megah, dengan arsitektur canggih yang belum bisa dicontoh sampai zaman modern
ini. Bangunan yang begitu luas dan tinggi, layaknya sebuah stadion sepakbola, tetapi tiang
utamanya hanya satu saja. Tiang penyangganya itu tidak akan mampu digerakkan atau dirobohkan
oleh ratusan atau bahkan ribuan orang.

Dalam keadaan terikat dengan rambutnya sendiri, dan diikatkan lagi pada tiang penyangga
utama gedung itu, Syam’un disiksa habis-habisan. Matanya disulut dengan besi panas hingga buta
dan dicongkel keluar, dua telinganya dipotong, begitu juga dengan lidahnya. Masyarakat kafirin
itu bersorak-sorak gembira melihat penderitaan Syam’un. Tidak ada keluhan dan jeritan kesakitan
yang keluar dari mulut Syam’un selama penyiksaan itu, kecuali kalimat-kalimat dzikr dan
penyandaran diri kepada Allah. Sabar dan tawakal terhadap takdir Allah yang diterimanya.

Kemudian Allah berfirman (mengilhamkan) kepadanya, “Wahai Syam’un, apakah yang


engkau inginkan atas orang-orang kafir ini? Katakanlah, Aku akan mengabulkannya!!”

Syam’un berkata atau berdoa dalam hatinya, “Ya Allah, kembalikanlah kekuatanku,
sehingga aku bisa merobohkan gedung ini dan menimpa mereka semua!!”
Allah mengabulkan doanya, kekuatannya pulih kembali. Rambut, tali dan rantai yang
mengikatnya langsung putus ketika ia menggerakkan tubuhnya. Ia mendorong tiang penyangga
utama gedung itu, dan sebentar saja roboh dan gedung itu hancur mengubur orang-orang kafir,
termasuk rajanya, yang ada di dalamnya. Mereka semua mati, kecuali Syam’un sendiri, Allah
menyelamatkannya, bahkan Allah mengembalikan mata, telinga dan bibirnya seperti sediakala.
Syam'un kembali mengisi waktunya dengan berjihad dan berpuasa di siang hari, malam harinya
lebih banyak dihabiskan untuk shalat. Ia terus istiqomah dalam amalannya itu hingga kematian
menjemputnya.

Setelah Nabi SAW selesai menceritakannya, tampak para sahabat menangis, penuh haru
dan ghirah (semangat, kerinduan) melihat perjuangan Syam’un tersebut. Mereka berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah engkau tahu, berapa besarnya pahala yang diperoleh Syam’un tersebut?”

Nabi SAW berkata, “Aku tidak tahu!!”

Sebagian sahabat berkata lagi, “Ya Rasulullah, apakah kami dapat memperoleh pahala
Syam’un itu??”

Lagi-lagi Nabi SAW hanya berkata, “Aku tidak tahu!!”

Melihat keadaan para sahabat tersebut, Nabi SAW berdoa, “Ya Allah, Engkau menjadikan
umatku yang paling pendek umurnya di antara umat-umat yang ada, dan yang paling sedikit amal-
amalnya!!”

Tidak lama kemudian Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dengan membawa wahyu
Allah, lima ayat dari surah Al Qadar. Begitu pendeknya surat tersebut, tetapi merupakan
keberkahan dan pengutamaan Nabi SAW dan umatnya atas Nabi dan umat-umat sebelumnya.
Dengan sedikit amalan, yang sederhana sekalipun, jika dilakukan dengan ikhlas, lillaahi ta’ala dan
bertepatan dengan Lailatul Qadar, maka akan memperoleh pahala yang lebih baik daripada pahala
yang diterima Syam’un dalam perjuangan jihadnya selama seribu bulan tersebut. Bahkan umat
Nabi SAW bisa memperoleh berkali-kali pahala seperti itu selama hidupnya, karena Lailatul Qadar
akan selalu datang di Bulan Romadhon.

35
Berpuasa dari Halal Makan dari Haram

Suatu ketika di bulan Romadhon, dua orang wanita tampak sangat payah dan menderita
dalam menjalankan puasa. Ketika sore hari tiba, mereka hampir pingsan karena lapar dan hausnya,
karena itu mereka mengirim utusan kepada Nabi SAW meminta ijin untuk membatalkan puasa.
Mereka khawatir kalau tetap meneruskan puasa akan makin menderita dan meninggal, yang justru
secara syariat bisa dianggap sebagai kesalahan.

Ketika utusan itu tiba di hadapan Nabi SAW dan menceritakan keadaan dua wanita itu,
beliau terdiam sesaat seolah memperoleh ‘pemberitahuan’ tertentu dari Malaikat Jibril. Setelah itu
beliau minta diambilkan dua gelas atau bejana agak besar dan berkata kepada utusan itu,
“Suruhlah dua wanita itu muntah di dalam dua gelas ini!!”

Utusan itu kembali kepada dua wanita tersebut dan menyampaikan pesan Rasulullah SAW.
Masing-masing dari mereka memuntahkan darah dan daging mentah dari mulutnya. Ketika utusan
itu kembali kepada Nabi SAW dan melaporkan keadaan dua wanita tersebut, para sahabat yang
tengah berkumpul merasa sangat heran dan ajaib. Rasulullah SAW bersabda, “Keduanya berpuasa
dari apa yang dihalalkan Allah, tetapi mereka makan dari apa yang diharamkan Allah. Di pagi hari
yang satu datang kepada yang lainnya, kemudian duduk bersama melakukan ghibah (Jawa:
ngerasani atau membicarakan keburukan orang lain). Itulah buktinya, mereka makan daging dari
mereka yang di-ghibah-nya!!”

Memang, Allah telah memperingatkan untuk tidak melakukan ghibah, sebagaimana disitir
dalam QS Al Hujurat ayat 12, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari
prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa. Dan janganlah kamu mencari-cari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah
salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat
lagi Maha Penyayang.”

Ghibah sendiri secara syariat atau secara ilmu fiqih memang tidak membatalkan puasa,
artinya tidak ada kewajiban bagi seorang muslim untuk meng-qadha’ (mengganti) puasanya
karena ghibah. Tetapi para ulama sepakat bahwa ghibah bisa menghilangkan atau membatalkan
pahala puasa yang dijalankan seseorang.

Ada riwayat lain lagi, ketika beberapa orang sahabat tengah berkumpul, tiba-tiba ada bau
bangkai menyebar. Mereka mencoba mencari-carinya tetapi tidak menjumpai bangkai apapun di
sekitar mereka. Maka salah seorang sahabat berkata, “Tentu ada salah seorang dari kalian yang
telah melakukan ghibah, dan kini ia mengeluarkan bau dari mulutnya seperti bau bangkai.
Sungguh benar firman Allah….!!”

Kemudian sahabat tersebut mengutip Al Qur’an surat Al Hujurat ayat 12 seperti yang
tertera di atas.

Pada masa Nabi SAW dan para sahabat memang jarang sekali terjadi kemaksiatan yang
berlarut-larut, karena akan langsung diingatkan (amar ma’ruf nahi munkar) oleh beliau atau
sahabat lainnya. Karena itu, jika ada seseorang yang ghibah atau berbuat makisat lainnya, hawa
dan suasana ‘tidak nyaman’ yang ditimbulkannya langsung dirasakan oleh para sahabat lainnya.

Kalau di masa kita sekarang, karena mayoritas dari kita bergelimang dengan dosa,
termasuk ghibah, kita tidak akan mampu merasakan seperti para sahabat tersebut. Justru
kebalikannya, ketika kita berada di tempat terpencil, yang belum terjamah oleh banyak manusia,
atau kita berada di suatu tempat yang kebanyakan orang-orangnya beribadah dengan tulus, kita
akan merasakan suatu kenyamanan dan kenikmatan yang luar biasa. Hal itu bisa terjadi karena
saat itu kita ‘terbebas’ dari suasana dan hawa dosa yang sehari-harinya melingkupi kita. Wallahu
A’lam.

36
Khutbah Nabi SAW di Akhir Bulan Sya'ban

Pada suatu hari, di hari terakhir dari Bulan Sya’ban, Rasulullah SAW berdiri di hadapan
para sahabat yang berkumpul, dan bersabda, “Hai manusia, telah datang kepada kalian bulan yang
agung dan penuh berkah (yakni Bulan Romadhon), di dalamnya terdapat satu malam yang lebih
baik daripada seribu bulan (yakni, Lailatul Qadr). Allah mewajibkan puasa di dalamnya, dan
bangun malamnya hanyalah sunnah. Dan barang siapa berbuat kebaikan di dalamnya (yang
sifatnya sunnah) untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka (pahalanya) bagaikan mengerjakan
yang fardhu di bulan lainnya. Barang siapa yang mengerjakan amalan fardhu, maka (pahalanya)
bagaikan mengerjakan tujuhpuluh amalan fardhu di bulan lainnya….”

Kemudian Nabi SAW meneruskan sabda beliau, bahwa Bulan Romadhon itu adalah bulan
kesabaran, dan pahala dari kesabaran adalah surga. Ia juga bulan bantuan / pertolongan dan bulan
bertambahnya rezeki. Barang siapa yang memberikan makanan berbuka untuk orang lain yang
berpuasa, maka ia akan mendapat maghfirah atas dosa-dosanya, yang akan melepaskan dirinya
dari api neraka. Ia juga akan memperoleh pahala orang yang berpuasa (yang diberinya makanan
berbuka) itu, tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.

Salah seorang sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua dari kami yang bisa
memberikan makanan untuk berbuka itu!!”

Nabi SAW bersabda, “Allah akan memberi pahala kepada orang yang memberi makanan
untuk berbuka, walau hanya berupa sebutir kurma, seteguk air, atau hanya se-isapan air susu…!!”

Rasulullah SAW meneruskan sabdanya lagi, bahwa Bulan Ramadhan itu permulaannya adalah
rahmat, pertengahannya adalah ampunan (maghfirah) Allah, dan akhirnya adalah pembebasan dari
api neraka. Barang siapa yang memberikan keringanan beban kerja kepada budak-budak (atau
pembantu-pembantu)-nya pada bulan itu, maka Allah akan mengampuninya dan membebaskannya
dari siksaan api neraka.

Nabi SAW juga berpesan, agar kita memperbanyak (ucapan atau dzikr) dari empat macam,
dua macam yang akan mengundang keridhaan Allah kepada kita, dan dua macam lainnya yang
kita sangat berhajad atau memerlukannya. Dua macam (ucapan/dzikr) untuk keridhaan Allah
adalah : Asyhadu allaa ilaaha illallaah (Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah) dan
Astaghfirullah (Saya mohon ampunan kepada Allah). Sedangkan dua macam (ucapan/dzikr) yang
kita sangat memerlukannya adalah : Nas’alukal jannata (Kami meminta kepada-Mu surga) dan Wa
na’uudzubika minan naar (Dan kami berlindung kepada-Mu dari neraka).

Dalam riwayat lainnya, dua hal yang kita memerlukan itu adalah : Nas’aluka ridhooka wa
jannata (Kami meminta kepada-Mu keridhoan-Mu dan surga) dan Wa na’uudzubika min
sakhootika wan naar (Dan kami berlindung kepada-Mu dari kemurkaan-Mu dan neraka).

Beliau juga bersabda, bahwa barang siapa yang memberikan minuman (untuk berbuka)
pada orang-orang yang berpuasa, maka Allah akan memberinya minuman dari telaga Rasulullah
SAW (Al Haudh, al Kautsar). Siapa yang memberikan makanan berbuka bagi orang yang berpuasa
dari hasil yang halal, maka para malaikat akan mendoakannya pada semua malam-malam di Bulan
Ramadhan, dan ia akan berjabat tangan dengan malaikat Jibril di (malam) Lailatul Qadr. Barang
siapa yang telah berjabat tangan dengan malaikat Jibril, hatinya akan menjadi lunak dan deras air
matanya. Maksudnya, ia akan mudah menangis atau terenyuh karena takut kepada Allah atau
karena menyaksikan tanda-tanda kebesaran Allah.

Itulah rangkaian pesan Nabi SAW yang disampaikan kepada para sahabat pada akhir Bulan
Sya’ban. Tujuannya jelas, agar umat Islam, termasuk kita semua, makin bersemangat dan
meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah di Bulan Ramadhan tersebut, tentunya dalam batas
kemampuan masing-masing.

37
Nabi SAW Menunjukkan Hakikat Ghibah

Para sahabat ahlush shuffah adalah para sahabat yang tinggal di serambi masjid Nabi SAW
karena keadaan mereka yang miskin, atau mereka yang memilih untuk tinggal di sana karena ingin
selalu dekat dan bertemu dengan Nabi SAW setiap saat. Mereka tidak makan/minum atau berganti
pakaian/kain kecuali yang diberikan oleh Nabi SAW, dan mereka lebih banyak menghabiskan
waktu untuk beribadah dan menimba ilmu dari Nabi SAW. Keadaan ini sangat menguntungkan
karena ketika terjadi kesalahan atau mereka terjatuh dalam kemaksiatan, yang samar sekalipun,
Nabi SAW akan langsung mengoreksi mereka, seperti peristiwa berikut ini.

Suatu ketika Zaid bin Tsabit, seorang sahabat Anshar yang masih muda, tetapi mempunyai
kedekatan dengan Nabi SAW, bahkan memiliki kelebihan di bidang ilmu Al Qur’an, sedang
berada di antara sahabat ahlush shuffah. Ia menceritakan beberapa riwayat atau hadits yang pernah
didengarnya langsung dari Rasulullah SAW, atau mungkin dialaminya sendiri bersama beliau.
Walau kelihatannya mereka tampak senang mendengarkan, tetapi ada beberapa orang sahabat
yang tampak kurang berkenan.

Tiba-tiba datang seorang utusan yang datang kepada Nabi SAW dengan membawa daging
yang cukup banyak. Maka salah seorang dari mereka berkata, “Wahai Zaid, masuklah ke rumah
Rasulullah dan katakan bahwa kami sudah cukup lama tidak makan daging. Mungkin beliau akan
memberikan sebagian daging itu untuk kami!!”

Ketika Zaid bangkit menuju rumah Nabi SAW, sebagian dari mereka berkata, “Lihatlah
Zaid ini, bukankah kita semua bertemu dengan Rasulullah sebagaimana dia bertemu dengan beliau
(Maksudnya, tidak ada kelebihan Zaid terhadap mereka), mengapa ia duduk di sini mengajarkan
hadits kepada kita??”

Setelah diijinkan, Zaid masuk ke rumah Nabi SAW dan menyampaikan permintaan/pesan
para sahabat ahlush shuffah itu. Tetapi Nabi SAW bersabda, “Katakan kepada mereka bahwa saat
ini mereka sedang makan daging!!”

Zaid bin Tsabit tampak terheran-heran dengan perkataan Nabi SAW, ia melihat sendiri
bahwa mereka tidak makan apapun, bahkan tampaknya mereka sedang lapar. Tanpa membantah
dan menjelaskan apa yang dilihatnya, Zaid kembali ke ahlush shuffah dan menyampaikan pesan
Nabi SAW. Merekapun berkata, “Demi Allah, sudah sekian lama kami tidak memakan daging!!”

Zaid kembali kepada Nabi SAW menyampaikan perkataan sahabat ahlush shuffah itu,
tetapi dengan tegas Nabi SAW bersabda, “Saat ini mereka sedang makan daging!!”

Zaid menemui para sahabat itu dan menyampaikan pesan beliau. Mereka bangkit, datang
berombongan menuju rumah Nabi SAW. Setelah mereka berkumpul, Nabi SAW keluar rumah dan
berkata, “Kalian semua baru saja makan daging saudaramu ini (sambil menunjuk Zaid), dan bekas
daging itu masih tersisa di gigi-gigimu itu. Meludahlah sekarang supaya kalian dapat melihat
merahnya daging itu!!”

Benar saja, begitu mereka meludah, tampaklah warna merah darah di antara ludahnya.
Mereka langsung bertaubat, kemudian meminta maaf dan kehalalan dari Zaid bin Tsabit. Setelah
tahu duduk persoalannya, dengan senang hati Zaid memaafkan mereka.

Pada riwayat yang lain, Nabi SAW sedang berjalan-jalan beberapa orang sahabat. Tiba-tiba
tercium bau busuk seperti bau bangkai terbawa angin. Langsung saja Nabi SAW bersabda,
“Sesungguhnya ada orang munafik yang menggunjing orang-orang muslim, karena itulah bertiup
angin yang berbau busuk ini!!”

Anda mungkin juga menyukai