Anda di halaman 1dari 1

Alqamah

‘Alqamah seorang sahabat yang sangat taat. Ia tak pernah lalaikan shalat. Fadhu ataupun
sunnah. Amalan puasa dan sedekah tak pernah terlewat. Namun, di penghujung hayat ia susah
mengucap syahadat. Dikisahkan, saat ‘Alqamah sakit keras, istrinya mengirim utusan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tujuannya memberi kabar bahwa suaminya sakit kritis dan
sepertinya sedang menghadapi sakaratul maut. Begitu menerima kabar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam langsung mengutus ‘Ammar, Bilal, dan Shuhaib untuk menjenguk ‘Alqamah dan
mengajarinya mengucap kalimat tuhid, Lailahaillallah. Namun, lisannya kelu tak kuasa berucap.
Akhirnya, mereka kembali memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Beliau bertanya, “Apakah di antara kedua orang tuanya masih ada yang hidup?”
Disampaikan kepadanya, “Ada, wahai Rasul, ibunya. Ia sudah sangat sepuh.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam meminta, “Temuilah ibunya. Sampaikan, ‘Jika engkau masih kuat, datanglah kepada
Rasulullah. Jika tidak, diamlah di rumah. Dan Rasulullah yang akan menemuimu.’” Singkat cerita,
utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bergegas menemuinya. Setiba di hadapan ibunda
‘Alqamah, sang utusan menyampaikan pesan tadi. “Biarlah aku sendiri yang menemui Nabi. Aku
lebih berhak menemuinya,” jawab ibunda ‘Alqamah. Dengan bantuan tongkatnya, ibunda ‘Alqamah
pun berangkat menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Setibanya, ia mengucap salam dan
dijawab oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi bertanya, “Wahai ibunda
‘Alqamah, jujurlah kepadaku. Jika berbohong, wahyu Allah akan turun kepadaku. Bagaimana
keadaan anakmu?” Ia menjawab, “Wahai Rasul, ‘Anakku itu rajin shalat, rajin puasa, dan banyak
sedekah.” “Lantas bagaimana keadaanmu kepadanya?” desak Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. “Aku tidak suka kepadanya. Karena ia lebih mementingkan istrinya, dan durhaka
kepadaku.” “Berarti, murka sang ibunda yang membuat ‘Alqamah terhalang mengucap syahadat,”
ungkap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Kemudian, Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata kepada Bilal, “Hai Bilal, kumpulkanlah kayu bakar sebanyak-banyaknya.” “Untuk
apa, ya Rasul?” sela ibunda ‘Alqamah. “Aku akan membakar ‘Alqamah.” “Wahai Rasul, dia itu
anakku. Hatiku tetap tak tega melihatmu membakar tubuhnya. Apalagi dilakukan di depan mataku
sendiri,” rajuk ibunda ‘Alqamah. “Wahai ibunda ‘Alqamah, azab Allah itu lebih berat dan lebih kekal.
Jika kau ingin Allah mengampuninya, maka ridlai dia. Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, shalat,
puasa, dan sedekah ‘Alqamah tidak ada manfaatnya selama engkau masih murka kepadanya,” kata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam panjang lebar. “Wahai Rasulullah, di hadapan Allah, para
malaikat-Nya, dan seluruh kaum Muslimin yang hadir, aku bersaksi bahwa aku meridlai anakku
‘Alqamah,” ikrar sang ibunda. Kali ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kembali memerintah Bilal,
“Hai Bilal, pergi dan lihatlah ‘Alqamah. Apakah dia sudah bisa mengucap Lailahaillallah atau
belum? Siapa tahu ibunda Alqamah mengucap sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hatinya karena
malu kepadaku.” Tak berpikir panjang, Bilal pun menuju rumah ‘Alqamah. Dari luar rumah, dirinya
mendengar ‘Alqamah mengucap Lailahaillallah. Setelah itu, Bilal masuk ke dalam rumah dan
menyampaikan, “Wahai semua yang hadir, sesungguhnya murka sang ibunda-lah yang membuat lisan
‘Alqamah terhalang mengucap syahadat. Setelah ibunya rida, barulah lisan ‘Alqamah ringan
mengucapnya.” Pada hari itu juga ‘Alqamah mengembuskan napas terakhir. Tersiar kabar
kematiannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun hadir berta‘ziyah. Beliau memerintah agar
jenazahnya segera dimandikan dan dikafani. Usai dikafani, bersama para sahabat, beliau menshalati
jenazahnya. Pada saat pemakaman, baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri di pinggir
lubang kubur dan berpidato, “Wahai kaum Muhajirin dan Anshar, siapa saja yang mementingkan
istrinya daripada ibunya, maka laknat Allah, para malaikat, dan seluruh manusia adalah untuknya.
Allah tidak akan menerima kebaikan dan keadilannya kecuali ia bertobat kepada Allah, memperbaiki
sikapnya kepada ibu, dan berusaha mengejar ridlanya. Sesungguhnya ridla Allah berada
pada ridla ibu. Murka Allah juga berada pada murka ibu.”

Anda mungkin juga menyukai