Anda di halaman 1dari 5

KH. Dr.

Jalaluddin Rakhmat

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi


KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Pengantar Redaksi: Tulisan ini diturunkan berkaitan dengan kelahiran


Amirul Mukminin; Imam Ali bin Abi Thalib kw, tanggal 13 di bulan Rajab.

Di antara sekian banyak sahabat Nabi, hanya Ali bin Abi Thalib-lah yang
diberikan sebutan karamallahu wajhah; sebuah sebutan yang juga berarti
doa “Semoga Allah memuliakan wajahnya” atau “Allah telah memuliakan
wajahnya.” Semua ulama sepakat bahwa doa itu hanya dikhususkan
untuk Imam Ali saja seperti halnya sebutan shalallahu ‘alaihi wa alihi
wassalam untuk Nabi Muhammad.

Ada beberapa riwayat yang menjelaskan hal ini. Salah satu riwayat di
antaranya menjelaskan alasan tentang doa itu. Pertama, di antara semua
sahabat Nabi saw, hanya Ali bin Abi Thalib yang tidak pernah
menyembah berhala. Dia masuk Islam dalam usia yang masih kecil
sehingga tak sempat beribadat kepada berhala. Artinya, wajahnya tak
pernah disujudkan kepada berhala. Ali kecil langsung sujud kepada Allah
swt.

Alasan kedua, Imam Ali adalah orang yang dikenal tak pernah melihat
aurat, baik aurat dirinya sendiri maupun aurat orang lain. Konon, dalam
sebuah pertemuan di Shiffin, pasukan Imam Ali bertemu dengan pasukan
Muawiyah. Sebelum perang berkecamuk, biasanya diadakan mubarazah
atau duel antara dua orang yang mewakili pasukan yang akan bertempur.
Imam Ali menantang Muawiyah ber-mubarazah namun Muawiyah tak
berani dan Amr bin Ash menggantikannya. Dalam duel itu, Amr terdesak
dan mengalami kekalahan. Ketika Imam Ali hendak memukulkan
pedangnya ke kepala Amr, Amr lalu membuka auratnya sehingga Imam
Ali segera berbalik memalingkan wajahnya dan meninggalkan Amr.
Karena Imam Ali tak mau melihat aurat, selamatlah Amr.

Semasa hidupnya, Imam Ali dikenal sebagai seorang pria yang gagah dan
tampan. Banyak hadis yang meriwayatkan Imam Ali memiliki kepala
yang agak botak sehingga orang yang tak senang pada Imam Ali
memberikan julukan ashla yang berarti “Si Botak”. Umar bin Khattab
pernah berkata, “Sekiranya tak ada si ashla, celakalah Umar!”
Ketika banyak sahabat lain mengecam Imam Ali dengan memberikan
julukan ashla, Rasulullah saw berkata, “Janganlah kalian mengecam Ali
karena ia sudah tenggelam dalam kecintaan kepada Allah.”

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi 1


KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Imam Ali sering menjadi fana atau larut dalam kecintaannya kepada
Allah. Pernah suatu hari, Abu Darda menemukan Ali terbujur kaku di
atas tanah seperti sebongkah kayu di sebuah kebun kurma milik seorang
penduduk Mekkah. Dengan tergopoh-gopoh, Abu Darda mendatangi
Fathimah untuk berbelasungkawa, karena ia mengira Ali telah meninggal
dunia. Fathimah hanya berkata, “Sepupuku, Ali, tidak mati melainkan ia
pingsan karena fana dalam ketakutannya kepada Allah. Ketahuilah,
kejadian itu sering menimpanya.”

Bagi Imam Ali, salat juga tidak merupakan peristiwa biasa. Baginya, salat
adalah pertemuan agung dengan Allah swt. Imam Al-Ghazali
mengisahkan hal ini dalam kitab Ihya Ulumuddin: Suatu hari, menjelang
waktu salat, seorang sahabat menemukan Imam Ali dalam keadaan tubuh
yang berguncang dan wajah yang pucat pasi. Ia bertanya, “Apa yang telah
terjadi, wahai Amirul Mukminin?” Imam Ali menjawab, “Telah datang
waktu salat. Inilah amanat yang pernah diberikan Allah kepada langit,
bumi, dan gunung tetapi mereka menolak untuk memikulnya dan
berguncang dahsyat karenanya. Sekarang, aku harus memikulnya.”
Dengan sikapnya itu, Imam Ali ingin mengajarkan sahabatnya bahwa
salat bukanlah kejadian biasa. Salat adalah amanat yang di dalamnya
mengandung perjanjian mulia antara seorang hamba dengan Tuhannya.
Alangkah anehnya bila kita masih belum merasakan kekhusyukan itu di
dalam salat kita. Tuhan berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang
mukmin itu; yaitu mereka yang khusyuk di dalam salatnya.” (QS. Al-
Mukminun; 1)

Imam Ali juga dikenal karena salatnya yang khusyuk. Banyak sahabat
yang memuji salat Ali sebagai salat yang mirip dengan salat Rasulullah
saw. Puluhan tahun sejak kematian Rasulullah, seorang sahabat bernama
‘Umran bin Husain, salat di belakang Imam Ali di Basrah. ‘Umran
berkata, “Lelaki itu mengingatkan aku pada salat yang dilakukan
Rasulullah saw.” ‘Umran terkesan akan salat Ali bukan karena gerakan-
gerakan lahiriahnya melainkan karena kekhusyukannya.

Ibn Abi Al-Hadid, seorang tokoh Muktazilah, bercerita tentang ibadat


Imam Ali. Ia menyebutkan Ali sebagai orang yang paling taat beribadat
dan yang paling banyak salat dan puasanya sehingga dari Ali-lah orang
banyak belajar tentang salat malam. Selain itu, Ali senantiasa melazimkan
wirid dan menunaikan ibadat-ibadat nafilah. “Dalam Perang Shiffin,” Al-
Hadid bercerita, “di tengah-tengah perang yang berkecamuk, Ali masih
mendirikan salat. Sesudah salat, ia membaca wirid. Dalam kesibukan
perangnya, ia tak meninggalkan wiridnya padahal anak panah melintas di
antara kedua belah tangan dan di antara kedua daun telinganya.”

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi 2


KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Banyak hadis meriwayatkan kehidupan Imam Ali yang teramat


sederhana. Ali bekerja keras membanting tulang untuk nafkah
keluarganya. Istrinya, Fathimah, setiap hari menggiling gandum sampai
melepuh tangannya. Suatu saat, setelah memenangkan sebuah
peperangan, kaum muslimin memiliki banyak tawanan perang. Fathimah
berkata pada Ali, “Bagaimana jika kita meminta salah seorang tawanan
kepada Rasulullah untuk menjadi pembantu kita?” Imam Ali enggan
menyampaikan permohonan ini pada Rasulullah karena merasa sangat
malu. Ia meminta Fathimahlah yang memintakan hal itu.

Pergilah Fathimah menemui Rasulullah saw. Begitu ia berada di hadapan


Nabi yang mulia, Fathimah tak kuasa menyampaikan maksudnya. Ia
pulang lagi ke rumahnya. Imam Ali lalu pergi untuk menyampaikan hal
itu dan ia pun tak kuasa mengutarakan keinginan itu dan kembali lagi.
Akhirnya keduanya memutuskan untuk pergi bersama-sama ke tempat
Rasulullah. Disampaikanlah hajat itu tapi Rasulullah tak menjawab
permintaan mereka. Keduanya pulang dengan perasaan malu dan takut
akan kemurkaan Rasulullah.

Malam harinya Nabi datang ke rumah Ali. Nabi menyaksikan Ali hanya
berselimutkan sarung yang amat pendek padahal malam teramat dingin.
Jika selimut itu ditarik ke atas, terbukalah bagian bawah dan jika selimut
itu ditarik ke bawah, terbukalah bagian atas. Rasulullah terharu melihat
kesederhanaan Ali. Ia berkata kepada keluarga mulia itu, “Maukah kalian
aku berikan pembantu yang lebih baik dari seluruh isi langit dan bumi?”
Rasulullah saw kemudian memberikan wirid untuk dibacakan oleh
keluarganya itu seusai salat. Wirid itu berisi 33 kali tasbih, tahmid, dan
takbir. Begitu setianya Imam Ali dengan wiridnya itu, ia tak pernah
meninggalkannya bahkan saat perang sekali pun. Ia melazimkannya
dalam setiap keadaan.

Di masa kekuasaan Muawiyah, karena kebencian Muawiyah pada Imam


Ali, para khatib Jumat diperintahkan untuk mengakhiri setiap
khutbahnya dengan kecaman kepada Ali. Cacian dan makian ini
berlangsung selama hampir puluhan tahun. Ketika Umar bin Abdul Aziz
berkuasa, perintah ini dihapuskan. Namun meskipun Muawiyah begitu
membenci Ali, ia harus mengakui keutamaan sifat-sifat Ali.

Suatu saat, Darar bin Dhamrah Al-Khazani diminta Muawiyah untuk


bercerita tentang Imam Ali kw. Ia tak mau memenuhi permintaan itu. Ia
takut, bila ia menceritakan keadaan Ali apa adanya, ia akan dianggap
sebagai orang yang mengutamakan Ali, dan ia akan dihukum. Oleh sebab
itu Darar hanya berkata, “Ampunilah aku, wahai Amirul Mukminin!
Jangan perintahkan aku untuk mengungkapkan hal itu. Perintahkan aku

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi 3


KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

untuk melakukan hal lain saja.” “Tidak,” ujar Muawiyah, “aku takkan
mengampunimu.”

Akhirnya Darar bercerita tentang Ali dalam bahasa Arab yang teramat
indah. Terjemahannya sebagai berikut:
“Ali adalah seorang yang cerdik cendekia dan gagah perkasa. Ia berbicara
dengan jernih dan menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari kedalaman
dirinya dan hikmah keluar dari sela-sela ucapannya. Ia mengasingkan diri dari
dunia dengan segala keindahannya untuk kemudian bertemankan malam
dengan seluruh kegelapannya, di sisi Allah. Air matanya senantiasa mengalir
dan hatinya selalu tenggelam dalam pikiran. Ia sering membolak-balikkan
tangannya dan berdialog dengan dirinya. Ia senang dengan pakaian yang
sederhana dan makanan yang keras.”
“Demi Allah, ia dekat kepada kami dan kami senang berdekatan dengannya. Ia
menjawab bila kami bertanya. Namun betapa pun ia dekat dengan kami, kami
tak sanggup menegurnya karena kewibawaannya. Jika tersenyum, giginya
tampak bagai untaian mutiara. Ia memuliakan para ahli agama dan mencintai
orang miskin. Orang kuat tak berdaya di hadapannya karena keadilannya
sementara orang yang lemah tak putus asa di sisinya.”
“Aku bersaksi demi Allah, aku sering melihatnya berada di mihrab pada
sebagian tempat ibadatnya. Malam telah menurunkan tirainya dan gemintang
tak tenggelam, saat itu ia memegang janggutnya dan merintih dengan rintihan
orang yang sakit. Ia menangis dengan tangisan orang yang menderita. Seakan-
akan kudengar jeritannya Ya Rabbana, ya Rabbana.....”
“Ia menggigil di hadapan kekasihnya. Kepada dunia, ia berkata: Kepadaku kau
datang mencumbu. Kepadaku kau merayu. Enyahlah dan pergi! Tipulah orang
selain aku. Aku telah menjatuhkan talak tiga kepadamu. Usiamu pendek,
posisimu rendah. Betapa sedikitnya bekal dan betapa jauhnya perjalanan, dan
betapa sepinya perantauan.”

Muawiyah mendengar Darar yang bercerita dengan penuh perasaan.


Meskipun ia amat membenci Ali, tapi ia tak kuasa menahan tangisan
begitu mendengar penuturan Darar. Pada kesempatan lain, Darar pernah
ditanya, “Bagaimana kerinduanmu kepada Ali?” Darar menjawab, “Aku
rindu kepadanya seperti kerinduan seorang perempuan yang kekasihnya
disembelih di pangkuannya. Air matanya takkan pernah kering, dukanya
panjang dan takkan pernah usai.”

Imam Ali selalu mengisi malamnya dengan tangisan dan orang-orang yang
mengenalnya akan mengisi kisah Ali dengan tangisan pula.

Dalam tasawuf, menangis termasuk salah satu hal yang harus dilatih.
Imam Ali berkata, “Salah satu ciri orang yang celaka adalah ia yang
memiliki hati yang keras. Dan ciri hati yang keras adalah hati yang sukar
menangis.” Nabi saw bersabda, “Jika engkau membaca Al-Quran,
menangislah. Jika tidak bisa, berusahalah agar engkau menangis.”

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi 4


KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat

Pada salah satu doanya yang teramat indah, Imam Ali memohon:
“Tuhanku, berilah daku kesempurnaan ikatan kepada-Mu. Sinarilah bashirah
hati kami dengan cahaya karena melihat-Mu sehingga kalbu kami menorehkan
tirai cahaya dan sampailah ia pada sumber kebesaran; arwah kami terikat pada
keagungan kesucian-Mu. Air mata tidak mengering kecuali karena hati yang
keras dan hati takkan keras kecuali karena banyaknya doa.”

Wassalam

Ali bin Abi Thalib; Penghulu Para Sufi 5

Anda mungkin juga menyukai