(Integrasi Ilmu)
Disusun oleh:
CIREBON
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Tuhan telah memberikan kita pilihan, bahkan pilihan untuk beriman atau ingkar
kepada-Nya.dan apapun pilihan yang akhirnya kita pilih, kita harus bertanggung jawab
terhadapnya, dalam arti menanggung segala konsekuensinya. Termasuk konsekuensinya
terhadap pandangan dunia dan keilmuan kita. Ketika ilmuan-ilmuan barat (terutama massa
pascarenaisans) merasa ragu, atau bahkan kehilangan kepercayaan mereka pada realitas
metafisik (alam gaib) maka merekapun menganut paham sekuler dalam berbagai bentuknya:
agnostistisisme, naturalisme, materialisme, ateisme, atau positivisme.pada gilirannya paham
sekuler ini pun mempengaruhi pandangan keilmuan mereka sedemikian rupa
sehinggamerekapun menciptakan sebuah sistem ilmu sekuler yang mereka sebut science
sesuai dengan pandangan mereka.maka tak heran kalau dikatakan bahwa dibarat telah terjadi
sekularisasi ilmu, dimana science dibatasi objek-objeknya hanya pada entitas-entitas fisik.
Sejak massa itu ilmu (sains) tidak pisa dipisahkan dari “sekularitas”dan sejalan dengan
hegemoni barat yang mendunia, maka pandangan sains “sekuler” inipun kemudian diadopsi
dimana-mana di dunia ini termasuk di Indonesia. Dengan ini terkenalah ilmu-ilmu sekuler
(umum) yang dikontraskan dengan ilmu-ilmu agama.
Begitu lekatnya pengertian sains sekarang ini dalam pikiran kita sehinnga kita sering
bertanya-tanya mungkinkah kedua macam ilmu tersebut dapat diintegrasikan? Tentu saja
pertanyaan ini harus mendaptkan jawaban yang memadai mengingat pentingnya pern
reintegrasi ilmu pengetahuan bagi perkembangan pendidikan dinegri tercinta ini.
B. Biografi Penulis
Dr.Mulyadhi Kartanegara adalah doktor filsafat lulusan Universitas Chi cago. Kini,
dia mengajar mata kuliah filsafat diberbagai perguruan tinggi: Program Pascasarjana di UIN
Syarif Hidayatullah dan di IAIN Sunan Kalijaga; Program Pasca sarjana di Universitas
Indonesia dan program pascasarjana Islamic College for Advanced Studies (ICAS) cabang
London,Jakarta. Karya-karyanya yang telah dipublikasikan, antara lain, adalah Renungan
Mistik Jalal Al-Din Rumi (Pustaka Jaya,1987) dan Mozaik Khazanah Islam
(Paramadina,2000), Sejarah Filsafat Islam (terjemahan,1999) dan The Venture of Islam
(terjemahan,2002), menembus batas waktu (Mizan,2002). pengantar Epistomologi Islam
(Mizan 2003), Jalal Al-Din Rumi: Guru Sufi, Penyair Agung (Teraju,2004), seni mengukir
kata (MCL,2005), dan kearifan para filosof (Hikmah,2005).
Tahun 2001-2003 pernah menjadi Direktur Pelaksana Program Pascasarjana Pusat
Kajian Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadja Mada. Sekarang selain mengajar, ia aktif
menulis – antara lain Tradisi Ilmiah Islam (selesai April 2005), dan menyelami lubuk
Tasawuf, serta aktif berpartisipasi dalam berbagai seminar, dalam dan luar negri.
PROLOG
Tampak jelas bahwa Universitas Islam Negri (UIN) Syarif hidayatullah Jakarta sangat
membutuhkan sebuah panduan bagi penyelenggaraan pendidikan yang andal dan integral,
mengingat selama ne sistem pendidikanyang ada, baik pada level nasional maupun
internasional, masih sangat dipengaruhi oleh dualisme yang kental antara ilmu-ilmu Agama,
disatu pihak dan ilmu-ilmu umum / sekuler, dipihak lain.kebutuhan tersebut semakin
mendesak lagi setelah lembaga ini berubah nama dan karakter dari sebuah institut yang
membatasi dirinya pada kajian (dalam hal ini agama islam)-menjadi sebuah
universitas.Perubahan ini tentu saja membawa konsekuensi diperkenalkannya bidan-bidang
ilmu sekuler,seperti IPA ,psikologi ,matematika ,ekonomi ,tekhnik informasi kedokteran dll.
Yang dari sudut metologis tentu memiliki perbedaan-perbedaan yang signifikan.Perbedaan-
perbedaan yang signifikan dari sudut metodologis ini pada gilirannya telah menimbulkan
problem-problem epistomologis yang hingga saat ini belum lagi ditemukan solusisolusinya
yang efektif.
Bukti nyata dari kebutuhan UIN pada adanya panduan dan model integrasi ilmu
ditunjukkan dengan diselenggarakannya seminar nasional berkenaan dengan reintegrasi
ilmu,yang diselenggarakan tahun lalun . Seminar yang diharapkan mampu memformulasikan
model pendidikan integral yang sangat dibutuhkan UIN dalam penyelenggaraan
pendidikannya ini , telah memberikan banyak masukan yang berharga, tetapi tentu saja belum
bisa dikatakan memadainsebagai panduanpraktis bagi penyelenggaraan proses belajar
mengajar disana, sehingga masih dirasakan perlu untuk menyusun sebuah karya yang lebih
sistematik dan terpadu bagi setiap fakultas yang mengelola program studi tertentu.
BAB II
INTISARI BUKU
PROBLEM
Diktonomi ilmu kedalam ilmu agama dan non agama, sebenarnya bukan hal yang
baru. I slam telah mempunyai tradisi dikotomi ini lebih dari seribu tahun silam. Tetapi
diktonomi tersebut tidak menimbulkan terlalu banyak problemdalam sistem pendidikan
Islam, hingga sistem pendidikan sekuler Barat diperkenalkan ke dunia Islam melalui
imperialisme. Hal ini terjadi karena , sekalipun dikotomi antara Ilmu-ilmu Agam dan non-
agama itu telah dikenal dalam karya-karya klasik, seperti yang ditulis Al-Ghazali (w.1111)
dan ibnu kaldun (w. 1406), ia tidak mengingkari, tetapi mengakui validitas dan status ilmiah
masing-masing kelompok keilmuan tersebut.berbeda dengan diktonomi yang di kenal dunia
Isam, sains modern Barat sering menganggap rendah status keilmuan ilmu-ilmu keagamaan.
Ketika berbicara tentang hal-hal gaib, ilmu Agma tidak bisa dipandang ilmiah karena sebuah
ilmu baru bisa dikatakan ilmiah apabila objek-objeknya bersipatempiris. Padahal ilmu-ilmu
agama tentu tidk bisa menghindar dari membicarakan hal-hal yang gaib, seperti tuhan,
malaikat, dan sebagainya sebagai pembicaraan pokok mereka.
Nah, ketika ilmu-ilmu sekuler positivistik tersebut diperkenalkan ke Dunia Islam
lewat imperialisme barat, terjadilah dikotomi yang yang ketat antara ilmu-ilmu agma,
sebagaimana dipertahankan dan dikembangkan dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam
tradisional (pesantren) di satu pihak, dari ilmu-ilmu sekuler, sebagaimana diajarkan di
sekolah-sekolah umum yang disponsori pemerintah dipihak lain. Pihak kaum teraisional
menganggap bahwa ilmu-ilmu umum itu bi’dah atau haram dipelajari karena berasal dari
orang-orang kafir ,sementara para pendukung ilmu –ilmu umum menganggap ilmu-ilmu
agama sebagai pseudo ilmiah,atau hanya sebagai mitologi yang tidak akan mencapai tingkat
ilmiah,karena tidak berbicara tentang fakta,tetapi tentang maknna yang tidak bersifat empiris.
Pada saat ini,justru dikotomi seperti inilah yang terjadi dan telah menimbulkan berbagai
problem yang akut dalam sistim pendidikan kita. Di sekolah-sekolah umum,kita masih
mengenal pemisahan yang ketat antara ilmu-ilmu seperti fisika, matematika,
biologi,sosiologi dll, dan ilmu ilmu agama, seperti tafsir, hadis, fikih, dan lain–lain, seakan
akan muatan religius itu hanya ada pada mata pelajaran, sementara ilmu-ilmu umum
semuanya adalah profan dan netral di lihat dari sudut religi.
Di pihak lain, ilmu–ilmu agama yang mendasarkan dirinya pada kitab –kitab suci juga
tidak semestinya di perlakukan lebih rendah dari pada ilmu–ilmu modern.karena seperti
halnya fenomena alam adalah ayat–ayat atau tanda–tanda ilahi,demikian juga kitab suci
adalah ayat-ayat tuhan yang sama dan satu.oleh karena itu,sebuah upaya harus di lakukan
untuk bisa mengatasi problem dikotomi ilmu ini ke dalam sebuas sistem yang integratif dan
holistik. Problem berikutnya yang bisa muncul dari dikotomi ilmu di atas adalah timbulnya
kesenjangan tentang sumber ilmu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum.para
pendukung ilmu-ilmu agama hanya menganggap valid sumber-sumber ilahi dalam bentuk
kitab suci dan tradisi kenabian dan menolak sumber-sumber non-skrip-tural sebagai sumber
otoritatip untuk menjelaskan kebenaran yang sejati.percerapan indra dan penalaran rasional
sering di sangsikan validitas dan efektivitasnya sebsgsi sumber ilmu pengetahuan.
Di pihak lain,ilmuan-ilmuan sekulerhanya menganggap valid informasi yang di
peroleh melalui pengamatan indriawi,karena bagi mereka,satu-satunya sumber ilmu adalah
pengalaman enpiris melalui persepsi indriawi lebih khusus lagi melalui metode
induksi.metode deduksi yang di tempuh oleh akal atau nalar sering di curigai sebagai
apriori,yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori.adapun pengalaman intuitip sering di
anggap sepi hanya sebagai sebuah halusinasi atau bahkan sebuah ilusi belaka,sementara oleh
kaum beragama intuisi (hati) di pandang sebagai sumber pengetahuan (ma’rifah) yang sangat
mulia.demikian penting pengakuan atas intuisi sebagai sumber ilmu sehingga penolakan
terhadapnya akan meruntuhkan pondasi utama bagi kepercayaan kita kenabian.
Selain kedua problem di atas,dikotomi ilmu ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum (sekuler)
ini juga bisa menimbulkan problem berkenaan objek-objek ilmu yang di anggap “sah” untuk
sebuah di siplin ilmu.sain modern telah menentukan bahwa objek-objek ilmu yang sah adalah
“segala sesuatu sejauh ia dapat di obserpasi atau di amati oleh indra “ .
Di pihak lain, para pendukung ilmu-ilmu agama justru menganggap bahwa objek-
objek non fisik,seperti tuhan dan malaikat merupakan objek-objek mulia yang pembahasan
tentangnya tidak hanya akan menguatkan dan meningkatkanstatus ilmiah bidang yang
mempelajari objek tersebut.kontras antara kedua sistem ilmu tersebut dapat di lihat dari
kenyataan bahwa sementara bagi para pemikir dan ilmuan muslim metafisika adalah mahkota
ilmu,bagi ilmuan-ilmuan barat justru fisika yang mereka pandang sebagai the science,yakni
sain sejati yang harus di teladani oleh semua disiplin ilmiah lainnya terutama dalam hal
metode yang di gunakan metode lainnya.
Problem lainya yang sangat potensial muncul dari dikotomi klasifiksi ilmu secara
radikal ke dalam ilmu-ilmu agama dan umum adalah munculnya disentegrasi pada tatanan
klasifikasi ilmu. “Ilmuwan-ilmuwan sekular hanya menganggap valid informasi yang
diperoleh melalui pengamatan indriawi, karena bagi mereka, satu-satunya sumber ilmu
adalah pengalaman empiris melalui persepsi indriawi, lebih khusus lagi melalui metode
induksi. Metode deduksi yang ditempuh oleh akal atau nalar sering dicurigai sebagai apriori,
yakni tidak melalui pengalaman atau aposteriori. Karena dalam metode ilmiah modern
konvensional akal dipakai sebagai alat bantu dalam memutuskan valid tidaknya pengamatan
indra yang dilakukan, tetapi bukan sebagai sumber ilmu yang independen.”
Dalam alam pikiran moderen, sebab material dan formal dianggap kuno dan tidak
memiliki nilai makna yang besar kecuali dalam estetika. Sebab final juga telah lama
disingkirkan dalam fisika. Dalam bidang biologi, sebab final kadang-kadang masih
digunakan, pada level common sense, untuk memahami fenomena biologis atau
perkembangan, tetapi sebagian besar ahli biologi dengan terang-terangan menganggap tak
berguna atau bahkan menjijikan terhadap sebab-sebab tersebut.pada massa sekarang, satu-
satunya sebab yang masih diperhatikan dalam penjelasan ilmiah sains modern adalah sebab
efesien, yang dipandang sebagai sebab terjadinya gerak atau perubahan. Dengan demikian,
menjadi jelas betapa keempat sebab ini merupakan satu kesatuan tunggal dari penjelasan
ilmiah yang tidak akan sempurna kalau kita meninggalkan atau hanya mengambil salah
satunya. Hanya dengan menjelaskan keempat sebab bagi sebuah objek yang sedang kita
teliti, maka kita akan memperoleh pengetahuan yang holistik dan komprehesif tentangnya.
INTEGRASI ILMU TEORITIS DAN PRAKTIS
Dalam tradisi filosofis Islam, pengetahuan teoritis dan praktis—sesekali pun bisa
dibedakan menurut obyek dan tugasnya—tidak bisa dipisahkan secara tegas tanpa
menimbulkan disintegrasi pemahaman kita. Ilmu-ilmu praktis yang diciptakan oleh para
filosof Muslim selalu mempunyai landasan teoritis—khususnya landasan metafisiknya. Itulah
sebabnya, mengapa buku politik al-Farabi tidak langsung berbicara tentang topik-topik yang
berkaitan dengan politik, tetapi justru dimulai dengan diskusi yang cukup panjang tentang
topik-topik metafisika.” (hlm. 164)
1. Kelebihan buku
Penjelasan dari setiap masalah dalam buku ini cukup jelas karena penulis
meaparkannya dengan disertai contoh-contoh yang relevan. Pembagian dan urutan pokok
pembahasannya sangat tepat sehingga mempermudah pembaca memahami isi atau alur tujuan
dari buku ini. Buku ini ditulis dengan bahasa yang sistematis dan tampak bagaimana ia
membandingkan pandangan ilmuwan-ilmuwan dan filosof Muslim dan kebepihakannya
kepada merekadengan pandangan sekular Barat. Memiliki buku ini adalah sebuah
kebanggaan. Rujukan atau referensi dari buku ini ditulis atau dicantumkan di setiap bab, hal
ini mempermudah pembaca untuk lebih mendalami isi buku ini dan menggali pengetahuan
lainnya yang berkaitan dengan buku ini
2. Kekurangan buku
Dalam buku ini penulis tidak menyatakan secara eksplisit apa yang menjadi obat bagi
situasi yang terjadi. Bahasa yang tigunakan terlalu tinggi, sehingga tidak semua kalangan
pembaca dapat memahaminya secara jelas.