Anda di halaman 1dari 6

MUHAMMAD ABUB BAKAR IBNU UMAR

Perang Khandak berkecamuk. Beredar kabar, siapa saja lelaki berusia 15 tahun ke atas
berhak ikut berjihad. Mendengar itu seorang pemuda berseri-seri. Usianya saat itu masuk 15
tahun. Ia segera mendaftarkan diri. Itulah idamannya selama ini: berjihad bersama Rasulullah.
Keikutsertaannya dalam berbagai medan jihad tak pernah lepas dalam sejarah hidup pemuda itu.
Saat perang membuka kota Mekah (Futuh Makkah), ia berusia 20 tahun dan termasuk pemuda
yang menonjol di medan perang. Dialah, Abdullah ibn Umar, atau Ibn Umar.
“Penting sekali mendapatkan pengakuan (baiat) dari penduduk Madinah. Yang paling
kukhawatirkan ada tiga orang: Husain ibn Ali, Abdullah ibn Zubair, dan Abdullah ibn Umar,”
Muawiyah berwasiat kepada anaknya, Yazid, yang telah dia nobatkan sebagai putra mahkota.
Tiga orang itu telah menyatakan penentangannya pada pengangkatan Yazid ibn Muawiyah.
“Adapun Husain ibn Ali, aku berharap kamu dapat mengatasinya. Adapun Abdullah ibn
Zubair, kalau kamu berhasil mengatasinya, kamu harus menghancurkannya hingga berkeping-
keping. Sedangkan Ibn Umar, orang ini sebenarnya terlalu sibuk dengan urusan akhirat. Asal
kamu tidak mengusik urusan akhiratnya ini, maka ia akan membiarkan urusan duniamu.”
Berkawan Malam. Menurut sebagian penulis riwayat, kaum muslimin masa itu sedang jaya-
jayanya. Muncul daya tarik harta dan kedudukan membuat sebagian orang tergoda
memperolehnya. Maka para sahabat melakukan perlawanan pengaruh materi itu dengan
mempertegas dirinya sebgai contoh gaya hidup zuhud dan salih, menjauhi kedudukan tinggi. Ibn
Umar pun dikenal sebagai pribadi yang berkawan malam untuk beribadah, dan berkawan dengan
dinihari untuk menangis memohon ampunan-Nya. Akan halnya soal salat malam ini, ada
riwayatnya. Di masa hayat Rasulullah, Ibn Umar mendapat karunia Allah. Setelah selesai salat
bersama Rasulullah, ia pulang, dan bermimpi. “Seolah-olah di tanganku ada selembar kain
beludru. Tempat mana saja yang kuingini di surga, kain beledru itu akan menerbangkanku ke
sana. Dua malaikat telah membawaku ke neraka, memperlihatkan semua bagian yang ada di
neraka. Keduanya menjawab apa saja yang kutanyakan mengenai keadaan neraka,” begitulah
diungkapkan Ibn Umar kepada saudarinya yang juga istri Rasul, Hafshah, keesokan harinya.
Hafshah langsung menanyakan mimpi adiknya kepada Rasulullah. Rasulullah SAW
bersabda, ni’marrajulu ‘abdullah, lau kaana yushallii minallaili fayuksiru, akan menjadi lelaki
paling utamalah Abdullah itu, andainya ia sering salat malam dan banyak melakukannya.
Semenjak itulah, sampai meninggalnya, Ibn Umar tak pernah meninggalkan qiyamul lail, baik
ketika mukim atau bersafar. Ia demikian tekun menegakkan salat, membaca Al-Quran, dan
banyak berzikir menyebut asma Allah. Ia amat menyerupai ayahnya, Umar ibn Khatthab, yang
selalu mencucurkan airmata tatkala mendengar ayat-ayat peringatan dari Al-Quran.
Soal ini, ‘Ubaid ibn ‘Umair bersaksi, “Suatu ketika kubacakan ayat ini kepada Abdullah ibn
Umar.” ‘Ubaid membacakan QS 4:41-42 yang artinya: Maka bagaimanakah (halnya orang kafir
nanti), apabila Kami datangkan seseorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat, dan Kami
mendatangkan kamu (Muhamad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). Di hari itu
orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul berharap kiranya mereka ditelan bumi, dan
mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” Maka Ibn Umar
menangis hingga janggutnya basah oleh air mata.
Pada kesempatan lain, Ibn Umar tengah duduk di antara sahabatnya, lalu membaca QS 83:-6
yang maknanya: Maka celakalah orang-orang yang berlaku curang dalam takaran. Yakni orang-
orang yang apabila menerima takaran dari orang lain meminta dipenuhi, tetapi mengurangkannya
bila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain. Tidakkah mereka merasa bahwa mereka
akan dibangkitkan nanti menghadapi suatu hari yang dahsyat, yaitu ketika manusia berdiri
menghadap Tuhan semesta alam. Lantas Ibn Umar mengulang bagian akhir ayat ke enam,
“yauma yaquumun naasu lirabbil ‘alamiin”, ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta
alam. Sembari air matanya bercucuran, sampai akhirnya ia jatuh karena sekapan rasa duka
mendalam dan banyak menangis.
Abdullah ibn Umar adalah salah satu sahabat Nabi yang berhati lembut dan begitu
mendalam cintanya kepada Rasulullah. Sepeninggal Rasulullah SAW, apabila ia mendnegar
nama Rasulullah disebut di hadapannya, ia menangis. Ketika ia lewat di sebuah tempat yang
pernah disinggahi Rasulullah, baik di Mekah maupun di Madinah, ia akan memejamkan
matanya, lantas butiran air bening meluncur dari sudut matanya. Sebagai sahabat Rasul, ahli
ibadah dan dikaruniai mimpi yang haq, karena mimpinya dibenarkan Rasulullah, ia menjadi
sosok yang tak punya minat lagi kepada dunia. Sebuah kecenderungan yang sudah nampak sejak
ia remaja, ketika pertama kali gairahnya bangkit untuk ikut berjihad. Dermawan. Bagaimana
mungkin Ibn Umar dikatakan tak berhasrat pada dunia, sedang ia pedagang yang sukses? Bisa
saja. Sebagai pedagang ia berpenghasilan banyak karena kejujurannya berniaga. Selain itu ia
menerima gaji dari Baitul Maal. Tunjangan yang diperolehnya tak sedikitpun disimpan untuk
dirinya sendiri, tetapi dibagi-bagikannya kepada fakir miskin. Berdagang buat Ibn Umar hanya
sebuah jalan memutar rezeki Allah di antara hamba-hambanya.
Suatu ketika Ibn Umar menerima uang sebanyak 4.000 dirham dan sehelai baju dingin.
Sehari kemudian, periwayat yang bernama Ayub ibn Wail Ar-Rasibi melihat Ibn Umar sedang
membeli makanan untuk hewan tunggangannya dengan berutang. Maka Ayub ibn Wail ini
mencari tahu kepada keluarganya. Bukankah Abu Abdurrahman (maksudnya Ibn Umar)
menerima kiriman empat ribu dirham dan sehelai baju dingin? Mengapa dia berutang untuk
membeli pakan hewan tunggangannya? “Tidak sampai malam hari, uang itu telah habis
dibagikannya. Mengenai baju dingin itu, mula-mula dipakainya, lalu ia pergi keluar, saat kembali
ia sudah tak lagi memakai baju dingin itu. Ketika kami tanya ke mana baju dingin itu, Ibn Umar
bilang sudah diberikannya kepada seorang miskin,” demikian jawab keluarga Ibn Umar.
Segera saja Ayub ibn Wail bergegas menuju pasar. Ia berdiri di tempat yang agak tinggi dan
berteriak. “Hai kaum pedagang, apa yang Tuan-tuan lakukan terhadap dunia. Lihatlah Ibn Umar,
datang kiriman kepadanya sebanyak empat ribu dirham, lalu dibagi-bagikannya hingga esok pagi
ia membelikan hewan tunggangannya makanan secara berutang.” Kedermawanan Ibn Umar
antara lain juga ditunjukkan dengan sikap hanya memberi mereka yang fakir miskin. Ia pun
jarang makan sendirian. Anak-anak yatim atau golongan melarat kerap diajaknya makan
bersama-sama. Ia pernah menyalahkan anak-anaknya sendiri lantaran mengundang jamuan
makan untuk kalangan hartawan. “Kalian mengundang orang-orang yang dalam kekenyangan,
dan kalian biarkan orang-orang kelaparan.”
Sang dermawan memang bukan mencari nama dengan kedermawanannya. Dalam
kesehariannya, kaum dhuafa akrab dengan Ibn Umar. Sifat santunnya, terutama kepada fakir
miskin, bukan basa-basi. Orang-orang fakir dan miskin sudah duduk menunggu di tepi jalan
yang diduga bakal dilewati Ibn Umar, dengan harapan mereka akan terlihat oleh Ibn Umar dan
diajak ke rumahnya. Hati-hati. Adalah Abdullah ibn Umar orangnya, yang kalau dimintai fatwa
enggan berijtihad. Karena takut berbuat kesalahan, meskipun ajaran Islam yang diikutinya sejak
berusia 13 tahun memberi satu pahala bagi yang keliru berijtihad, dan dua pahala bagi yang
benar ijtihadnya. Karena khawatir keliru berijtihad, ia pun menolak jabatan kadi atau kehakiman.
Padahal ini jabatan tertinggi di antara jabatan kenegaraan dan kemasyarakatan, jabatan yang juga
“basah”.
Pernah khalifah Utsman r.a. mau memberi jabatan kadi, tapi Ibn Umar menolak. semakin
Khalifah mendesak, Abdullah ibn Umar makin tegas menolak.
“Apakah antum tak hendak menaati perintahku?”
“Sama sekali tidak. Hanya, saya dengar para hakim itu ada tiga macam: pertama hakim yang
mengadili tanpa ilmu, maka ia dalam neraka; kedua, yang mengadili berdasarkan nafsu, ia pun
dalam neraka; dan ketiga, yang berijtihad sedang ijtihadnya betul, maka ia dalam keadaan
berimbang, tidak berdosa tapi tidak pula beroleh pahala. Dan saya atas nama Allah memohon
kepada antum agar dibebaskan dari jabatan itu.”
Khalifah menerima keberatan itu dengan syarat, Ibn Umar tak menyamnpaikan alasan
penolakannya kepada siapa pun. Sebab, jika seorang yang bertakwa lagi salih mengetahui hal ini,
niscaya akan mengikuti jejak Ibn Umar. Kalau sudah demikian, pupuslah harapan khalifah
mendapatkan kadi yang takwa dan salih.
Penolakan itu sendiri sebenarnya karena Ibn Umar masih melihat di antara sahabat Rasulullah
masih banyak yang salih dan wara’ yang lebih pantas memegang jabatan itu. Ibn Umar sendiri
sadar, penolakan itu takkan sampai berakibat jatuhnya posisi kadi ke tangan yang tak pantas
memegangnya.
Calon Khalifah Ketiga. Penerus kekhalifahan Islam sepeninggal Abu Bakar Ash-Shiddiq, adalah
Umar ibn Khattab. Khalifah Umar ibn Khattab suatu ketika mendapat serangan mematikan dari
Abu Lu’lu’ah. Dalam keadaan terluka parah, sejumlah sahabat menemui Khalifah memberi
saran. “Wahai Amirul Mu’minin, bukankah sebaiknya engkau segera menunjuk salah seorang
wakil yang akan menggantikan engkau?”
“Siapakah orangnya? Andaikata Abu Ubaidah Ibn Jarrah masih hidup, niscaya aku akan tunjuk
dia sebagai pengganti.” Salah satu sahabat berkata, “Saya akan menunjukkan nama pengganti
itu. Tunjuklah Abdullah ibn Umar.”
“Demi Allah, engkau keliru. Aku tak bermaksud menunjuk orang yang kau usulkan itu. Apa
yang kau harapkan dari keluargaku untuk pekerjaan ini, sudah cukuplah dan dari keluargaku aku
seorang diri saja yang akan diperiksa Allah dan yang akan ditanya tentang hal-hal mengenai
umat Muhamad saw ini.”
Kondisi Umar terus memburuk, belum juga ada nama penggantinya. Sekali lagi para sahabat
menemui Khalifah, mendorong menunjuk calon penerusnya. Khalifah pun memberi nama-nama
calon itu. “Hendaklah kamu berpegang teguh kepada calon yang terdiri dari beberapa orang, dan
orang yang kucalonkan ini ialah beberapa orang yang sewaktu Rasulullah wafat, beliau rela
kepada orang-orang ini, dan orang-orang ini termasuk yang dijanjikan Rasulullah masuk surga.
Mereka ialah Ali ibn Abi Thalib, Utsman ibn Affan, Saad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn
Auf, Thalhah ibn Ubaidillah, dan Abdullah ibn Umar.”
Akhirnya masuk juga nama anak Umar ini. Tapi, kata Umar, Ibn Umar hanya berhak memilih,
tapi tidak berhak dipilih. Menurut periwayat, Abdullah ibn Umar sampai mendorong terpilihnya
Usman ibn Affan dengan pertimbangan, Utsman ibn Affan luas ilmunya, wara’, dan memiliki
kelebihan dan keistimewaan. Antara lain, Utsman ibn Affan menjadi suami dari dua anak
perempuan Rasulullah SAW.
Tak heran, dalam masa kepemimpinan Utsman ibn Affan, Abdullah ibn Umar kerap dimintai
nasihat. Puncaknya, Utsman meminta Ibn Umar memegang jabatan kadi yang kemudian
ditolaknya dengan hujjah, alasan yang kuat.
Syahid setelah Mengingatkan Penguasa. Namanya tak kalah terkenal dibanding ayahandanya,
Umar ibn Khattab. Ia lahir di Mekah, 10 tahun sebelum Hijrah atau 612 Masehi. Dalam usia 10
tahun, Abdullah cilik ikut ayahnya berhijrah. Abdullah adalah contoh sahabat Nabi yang amat
terpelajar di Madinah, di masa kejayaan Islam. Selain Basrah, Madinah memang tumbuh
menjadi pusat pemikiran Islam pasca masa Nabi SAW.
Kegairahan Abdullah seolah melengkapi kekurangan yang ada di kalangan penuntut ilmu-ilmu
Islam, karena ia mendalami segi ajaran Islam yang saat itu kurang memperoleh perhatian serius.
Yakni tradisi atau hadis Rasulullah saw. Menurut para periwayat, Abdullah mendapatkan
inspirasi luar biasa karena ia tinggal di Madinah, yakni tumbuhnya kecenderungan
mendengarkan, mencatat, dan mengkritisi berbagai hal mengenai Nabi, termasuk anekdot-
anekdot yang sepeninggal Nabi banyak diungkapkan penduduk Madinah.
Putra Umar ini perintis awal bersama sahabat yang lainnya yakni Abu Hurairah dalam bidang
hadis (tradisi) Nabi SAW. Ia periwayat hadis kedua terbanyak setelah Abu Hurairah, yakni
meriwayatkan 2.630 hadis. Ia pun hapal Quran secara sempurna. Selain itu, ia banyak menerima
hadis langsung dari Nabi SAW, dari para sahabat Nabi termasuk ayahnya, Umar ibn Khattab ra.
Selama 60 tahun setelah Nabi wafat, ia menjadi salah satu mata air pengetahuan menyangkut
hadis yang banyak dihapalnya, baik karena ia mendengar langsung dari Nabi atau bertanya
kepada orang-orang yang menghadiri majelis Nabi menyangkut tutur dan perbuatan Nabi. Ia
kerap diminta fatwa dan pertimbangan, tetapi ia juga saking berhati-hatinya ia menolak diminta
ijtihadnya. Kecintaannya kepada Rasulullah, kemampuannya mengingat tutur dan perbuatan
Nabi, menjaga substansi ajaran sebagaimana dulu Nabi menyampaikannya, membuat Abdullah
ibn Umar bersama Abdullah ibn Abbas dianggap pemula bagi golongan yang kemudian disebut
golongan sunni.
Abdullah ibn Umar memang hidup dalam beberapa masa kekhalifahan, di antaranya ada masa-
masa penuh pergolakan antar kelompok Islam. Menghadapi situasi keras, Ibn Umar tak berubah
menjadi kasar dan pembalas. Suatu ketika, Gubernur Mu’awiyah, Al-Hajjaj ibn Yusuf, yang
berkedudukan di Hijaz tengah berpidato di masjid. Sang gubernur terkenal kejam dan fasik.
Kebetulan Abdullah ibn Umar ada di masjid itu.
Saat itulah, orang-orang semasanya mendapat bukti, betapa kelembutan dan kesabaran Ibn Umar,
tidak berarti lemah terhadap kezaliman. Dengan tenang, Ibn Umar berdiri masih saat Gubernur
Hajjaj masih di mimbar, dan berkata, “Engkau musuh Allah. Engkau menghalalkan barang yang
diharamkan Allah. Engkau meruntuhkan rumah Allah, dan engkau membunuh banyak wali
Allah.” Al Hajjaj menyetop pidatonya. “Siapakah orang bicara tadi?” Seseorang menjawab, itu
Abdulah ibn Umar. Lalu Hajjaj meneruskan pidatonya. “Diam, wahai orang yang sudah pikun.”
Seteleh Al-Hajjaj kembali ke kantornya, diperintahkannya pembantunya menikam Abdullah ibn
Umar dengan pisau beracun. Si pembantu berhasil menorehkan pisau beracun itu ke tubuh
Abdullah ibn Umar yang lantas jatuh sakit. Di pembaringan, Ibn Umar dijenguk Al-Hajjaj. Al-
Hajjaj beruluk salam, Ibn Umar tak menjawab. Al-Hajjaj menanyakan sesuatu, berbicara dengan
Abdullah ibn Umar tetapi Abdullah ibn Umar tak menjawab sepatah katapun.
Ibn Umar wafat tahun 72 Hijriyah dalam usia 84 tahun. Putra Umar ibn Khattab sebagaimana
ayahnya, sama-sama penggiat Islam, telah pergi. Kalau Umar ibn Khattab hidup di suatu masa di
mana banyak pula sahabat Rasulullah yang wara’ dan ahli ibadah, maka orang-ornag semasa
Abdullah ibn Umar mengatakan, zaman ketika Ibn Umar hidup sulit menemukan sosok yang
sealim dan seteguh dia.
Menghindari Jabatan, Antikekerasan
Benar, Ibn Umar bergairah kala panggilan jihad berkumandang. Tetapi, sungguh suatu
kenyataan, ia anti kekerasaan, terlebih ketika yang bertikai adalah sesama golongan Islam.
Kendati ia berulangkali mendapat tawaran berbagai kelompok politik untuk menjadi khalifah.
Hasan r.a. meriwayatkan, tatkala Utsman ibn Affan terbunuh, sekelompok umat Islam
memaksanya menjadi khalifah. Mereka berteriak di depan rumah Ibn Umar, “Anda adalah
seorang pemimpin, keluarlah agar kami minta orang-orang berbai’at kepada anda.” Tapi Ibn
Umar menyahut, “Demi Allah, seandainya bisa janganlah ada walau darah setetas tertumpah
disebabkan daku.” Massa di luar mengancam. “Anda harus keluar. Atau, kalau tidak kami bunuh
di tempat tidurmu.” Diancam begitu, Umar tak tergerak. Massa pun bubar.
Sampai suatu ketika datang lagi ke sekian kali tawaran menjadi khalifah. Ibn Umar mengajukan
syarat, yakni asal ia dipilih seluruh kaum muslimin tanpa paksaan. Jika bai’at dipaksakan
sebagian orang atas sebagian lainnya di bawah ancaman pedang, ia akan menolak jabatan
khalifah yang dicapai dengan cara semacam itu. Saat itu, sudah pasti syarat ini takkan terpenuhi.
Mereka sudah terpecah menjadi beberapa firqah, saling mengangkat senjata pula. Ada yang kesal
lantas menghardik Ibn Umar.
“Tak seorang pun lebih buruk perlakuannya terhadap umat manusia, kecuali engkau.”
“Kenapa? Demi Allah tak pernah aku menumpahkan darah mereka, tidak pula aku berpisah
dengan jamaah mereka apalagi memecah-mecah persatuan mereka?” saut Ibn Umar heran.
“Seandanya kamu mau menjadi khalifah, tak seorang pun akan menentang.”
“Saya tak suka kalau dalam hal ini seorang mengatakan setuju, sedang yang lain tidak.”
Lagi-lagi, Ibn Umar menghindari posisi pemimpin tertinggi umat Islam ini. Meski demikian, saat
ia berusia lanjut pun harapan orang dipimpin Ibn Umar tetap ada. Ketika Muawiyah II putera
Yazid beberapa kali menduduki jabatan khalifah. Datang Marwan menemui Ibn Umar. “Ulurkan
tangan Anda agar kami berbaiat. Anda adalah pemimpin Islam dan putra dari pemimpinnya.”
“Lantas apa yang kita lakukan terhadap orang-orang masyriq?”
“Kita gempur mereka sampai mau berbaiat.”
“Demi Allah, aku tak sudi dalam umurku yang tujuhpuluh tahun ini, ada seorang manusia yang
terbunuh disebabkan olehku.”
Mendengar jawaban ini, Marwan pun berlalu, dan melontarkan syair.
“Api fitnah berkobar sepeninggal Abu Laila, dan kerajaan akan berada di tangan yang kuat lagi
perkasa.” Abu Laila yang dimaksudkannya, ialah Muawiyah ibn Yazid.
Sikap penolakan Ibn Umar ini karena ia ingin netral di tengah kekalutan para pengikut Ali dan
Muawiyah. Sikap itu diungkapkannya dengan pernyataan, “Siapa yang berkata ‘Marilah salat’,
akan kupenuhi. Siapa yang berkata ‘Marilah menuju kebahagiaan’, akan kuturuti pula. Tetapi
siapa yang mengatakan ‘Marilah membunuh saudaramu seagama dan merampas hartanya’ aku
katakan: tidak!”
Ini bukan karena Ibn Umar lemah, tapi karena ia sangat berhati-hati, dan amat sedih umat Islam
berfirkah-firkah. Ia tak suka berpihak pada salah satunya. Pernah, Abul ‘Ali Al-Barra berada di
belakang Ibn Umar tanpa sepengetahuannya. Didengarnya Ibn Umar bicara pada dirinya sendiri,
“Mereka letakkan pedang-pedang mereka di atas pundak-pundak lainnya, mereka berbunuhan
lalu berkata, hai Abdulah ibn Umar ikutlah dan berikan bantuan. Sungguh menyedihkan.”
Begitulah, gambaran suasana hati Abdulah ibn Umar.
Meskipun pada akhirnya, pernah Abdulah ibn Umar berkata, “Tiada sesuatu pun yang
kusesalkan karena tak kuperoleh, kecuali satu hal, aku amat menyesal tak mendampingi Ali
memerangi golongan pendurhaka.” Tapi kemudian, Ibn Umar tak mampu menyetop peperangan,
sehigga ia menjauhi semuanya. Seseorang menggugatnya. Mengapa ia tak membela Ali dan
pengikutnya kalau ia merasa Ali di pihak yang benar, Abdullah ibn Umar menjawab, “Karena
Allah telah mengharamkan atasku menumpahkan darah Muslim.” Lalu dibacanya Q.2:193,
perangilah mereka itu hingga tak ada lagi fitnah dan hingga orang-orang beragama itu ikhlas
semata-mata karena Allah.
Ibn Umar melanjutkan, “Kita telah melakukan itu, memerangi orang-orang musyrik hingga
agama itu semata bagi Allah. Tetapi sekarang apa tujuan kita berperang? Aku sudah mulai
berperang semenjak berhala-berhala memenuhi Masjidil Haram dari pintu sampai ke sudut-
sudutnya, hingga akhirnya semua dibasmi Allah dari bumi Arab. Sekarang, apakah aku akan
memerangi orang yang mengucapkan “laa ilaaha illallah”?
Selain mendaftar keutamaan sifat-sifat Ibnu Umar, bapak sosiologi Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah mengkritisi Ibnu Umar. Menurutnya Abdullah bin Umar melarikan diri dari urusan
kenegaraan karena sifatnya memang senang menghindar dari ikut campur dalam urusan apapun,
baik yang boleh maupun yang terlarang. Wallahu’alam.

Anda mungkin juga menyukai