Anda di halaman 1dari 4

Kisah suhud

Betapa mulia akhlak para sahabat Nabi SAW! Mereka hidup bersama


Rasulullah SAW dan mampu meneladani perikehidupan beliau shalallahu
'alaihi wasallam. Rasa cinta mereka kepada iman dan Islam melampaui
urusan dunia.

Di antara para sahabat yang mulia, tersebutlah Abu Dzar al-Ghifari. Sosok
ini memiliki nama asli Jundub bin Junadah bin Sakan. Sebelum masuk
Islam, ia dikenal sebagai seorang perampok. Maklum, kaum tempatnya
lahir dan tumbuh besar mencari penghidupan dengan cara merampok.

amun, sejak kecil hingga remaja Jundub cenderung pada kebenaran. Ia


membenci praktik ritual penyembahan terhadap berhala-berhala. Karena
itu, begitu mengetahui adanya seorang Nabi di tengah bangsa Arab, ia
pun langsung menuju ke kota yang dimaksud. Di Makkah, ia berjumpa
dengan Rasulullah Muhammad SAW dan seketika menyatakan diri
Muslim.

Jundub alias Abu Dzar al-Ghifari dengan setia mendampingi Rasul SAW,


baik di Makkah maupun Madinah. Sesudah beliau wafat, Abu Dzar dikenal
sebagai seorang yang alim dan menjalani kehidupan zuhud.

Di masa tuanya, ia tinggal di sebuah kampung kecil bernama Rabadzah.


Menjelang ajal menjemputnya, ia hanya didampingi istrinya yang
menangis tersedu-sedu.

"Apa yang kamu tangisi, padahal maut itu pasti datang?'' tanya Abu Dzar.

Istrinya menjawab, "Anda akan meninggal, tetapi kita tak punya sehelai
kain pun untuk kafanmu."

Mendengar jawaban itu, Abu Dzar hanya tersenyum. Setelah itu, ia


meninggal dunia.

Tidak lama kemudian, datanglah serombongan Mukminin yang dipimpin


sahabat Abdullah bin Mas'ud. Melihat sesosok jenazah sudah terbujur
kaku dalam kondisi yang cukup menyedihkan itu, air mata Ibnu Mas'ud
pun meleleh lebat.
Rupanya, ia mengenal betul siapa sosok yang wafat itu, seraya berkata,
"Benarlah prediksi Rasulullah! Anda berjalan sebatang kara, mati sebatang
kara, dan dibangkitkan sebatang kara!''

Itulah akhir hayat Abu Dzar, sahabat Nabi yang terkenal gemar
mengampanyekan hidup sederhana,

Sepanjang hayatnya, ia dikenal rewel dan lantang kepada para pejabat


yang kerap menyalahgunakan kekuasaan demi menumpuk kekayaan
pribadi. Sikap kritisnya sering membuat merah telinga para pejabat saat
itu.

Pernah suatu ketika, tanpa gentar dan tedeng aling-aling, ia menanyakan


harta kekayaan Muawiyah sebelum akhirnya terpilih menjadi Gubernur
Syiria. Syiria memang wilayah paling makmur, sekaligus jauh dari Madinah
ketika itu.

Banyak para pejabat yang berlomba-lomba memiliki gedung dan tanah


pertanian di sana. Sambil mengutip Alquran surah at-Taubah ayat 24-35,
Abu Dzar kerap mengingatkan para pejabat yang bergelimang
kemewahan, "Sampaikan kepada para penumpuk harta akan seterika api
neraka!''

Mendengar nasihat ini, Muawiyah resah. Ia merasa terancam dengan


kehadiran Abu Dzar. Ia lalu menulis surat kepada Khalifah Utsman untuk
meminta agar Abu Dzar dipanggil pulang ke Madinah.

Permintaan itu dikabulkan. Abu Dzar pun kembali ke Madinah. Di Kota


Nabi itu, ia akhirnya dipinggirkan.

Demikianlah, nasib para pejuang yang lantang membela kebenaran dan


kritis kepada penguasa--memang selalu tragis. Sejarah mencatat,
berupaya keras memperjuangkan nasib rakyat lemah sering berakhir
dengan keadaan dikucilkan. "Hidup seorang diri, mati seorang diri, dan
kelak dibangkitkan seorang diri pula." Inilah nubuat yang telah
disampaikan Nabi SAW perihal sahabatnya yang gemar hidup zuhud dan
lugas itu!

Sebelum memeluk Islam, Uwaimir bin Malik al-Khazraji atau lebih kenal dengan Abu Darda,
seorang pedagang yang bergelimang harta kekayaan. Sejak menjadi Muslim, kesuksesan
duniawi tidak membuatnya terlena. Meniru Rasulullah SAW, dirinya pun menempuh jalan
hidup zuhud.

Kisah berikut ini, yang dinukil dari buku Abu Darda: Pedagang dan Ulama Besar,
menggambarkan konsistensinya untuk mengamalkan kesederhanaan.

KISAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB YANG ZUHUD


Umar bin Khattab ra. Pekerjaan sehari-harinya adalah berdagang, ketika beliau
menjadi khalifah keperluannya dipenuhi dari baitul mal. Beliau mengumpulkan
rakyatnya di Madinah Munawwarah, lalu beliau berkata:” Saya biasa berdagang,
sekarang kalian telah memberiku suatu kesibukan sehingga saya tidak dapat
berdagang lagi. Sekarang bagaimana dengan mata pencaharian saya?” orang-
orang berselisihpendapat tentang jumlah tunjangan bagi Umar ra. Sedangkan Ali
ra. Hanya berdiam diri. Umar ra. Bertanya kepadanya, “ bagaimanakah
pendapatmu wahai Ali?” jawab Ali ra. “ ambilah uang sekadar untuk mencukupi
keperluan keluargamu.” Umar ra. Sangat menyetujui usul Ali ra. Maka
ditentukanlah uang tunjangan untuk Umar ra.

Beberapa lama kemudian, beberapa orang sahabat termasuk Ali ra, Utsman ra, Zubair ra, dan Thalhah
ra. Mengusulkan agar tunjangan untuk Umar ra. Ditambah karena tunjangannya terlalu sedikit. Tetapi tak
seorang pun yang berani mengemukakannya secara langsung kepada Umar ra. Akhirnya mereka
menemui Hafshah r.ha. putri Umar ra. Juga ummul mukminin istri Rasulullah saw. Mereka meminta agar
ia mengajukan usul mereka kepada Umar ra. Tanpa menyebutkan nama-nama mereka. Ketika Hafshah
r.ha. mengajukan usul tersebut, wajah Umar ra. Menjadi merah karena marahnya. Umar ra. Bertanya, “
siapakah yang mengusulkan ini? “ Hafshah r.ha. menyahut, “jawablah dulu bagaimanakah pendapatmu?”
Umar ra. Berkata: “andaikan saya tahu siapakah mereka itu, niscaya akan saya tampar wajah mereka.
Hafshah ceritkanlah tentang pakaian Nabi saw. Yang terbaik yang pernah beliau miliki di rumahnya,
“Hafshah r.ha. menjawab,” beliau memiliki dua pakaian berwarna kemerahan yang biasa  beliau kenakan
pada hari Jum’at atau ketika menemui tamu. “ kata Umar ra. “sebutkan makanan apakah yang terlezat,
yang pernah dimakan oleh Nabi saw. Di rumahmu?” jawab Hafshah r.ha. “roti yang terbuat dari tepung
kasar lalu dicelupkan ke dalam kaleng berisi minyak. Kami memakannya ketika masih panas, kemudian
dilipat menjadi beberapa lipatan. Pernah suatu hari saya menyapu sekerat roti dengan bekas-bekas
mentega yang terdapat dalam sebuah kaleng minyak yang hampir kosong. Beliau saw. Memakannya
dengan penuh kenikmatan, dan beliau juga ingin membagi-bagikannya kepada orang lain.” Umar ra.
Berkata, “sebutkanlah apa alas tidur terbaik yang pernah digunakan oleh Rasulullah saw. Di rumahmu?”
hafshah r.ha. menjawab, “sehelai kain tebal, pada musim panas, kain itu dilipat menjadi empat, dan pada
musim dingin dilipat menjadi dua, separuh digunakan untuk alas tidurnya dan yang separuh lagi untuk
selimutnya. “Umar ra. Berkata, nah Hafshah, sekarang pergilah dan katakan kepada mereka bahwa Nabi
saw. telah menunjukkan contoh kehidupan yang terbaik, dan aku harus mengikutinya. Perumpamaanku
dengan dua orang sahabatku, yaitu Rasulullah saw. Dan Abu Bakar ra. Adalah seperti tiga orang musafir
yang sedang melalui sebuah jalan yang sama. Musafir yang pertama telah melalui jalan tersebut dantelah
sampai ke tempat tujuan. Adapun yang ketiga ,sekarang baru memulai perjalanannya. jika ia menempuh
jalan yang telah mereka tempuh sebelumnya ,maka ia akan menjumpai keduanya di tempat tujuan yang
sama. jika ia tidak menempuh jalan mereka yang mendahuluinya,tentu ia tidak akan sampai ke tempat
mereka.
Inilah contoh kehidupan seseorang yang sangat ditakuti oleh para raja pada masa itu. Namun beliau telah
menjalani dengan penuh kezuhudan .
Pada suatu hari, beliau berkhutbah di depan para sahabatnya dengan mengenakan kain sarung dengan
dua belas tambalan, salah satunya ditambal dengan kulit. Ketika itu beliau terlambat datang kemasjid
untuk menunaikan fardlu jum’at. Beliau berkata kepada para jamaah,”maafkan saya, saya terlambat
karena mencuci pakaian saya terlebih dahulu, karena saya tidak memiliki baju lain yang dapat saya
pakai.
Pada suatu saat, ketika Umar ra. Sedang menikmati makanannya, datanglah pelayan beliau
memberitahukan bahwa Utbah bin Abi Farqad ingin menemui beliau. Setelah Umar ra. Mengijinkannya,
masuklah Utbah ra. Lalu beliau mengajaknya untuk makan bersama. Utbahpun menerima tawaran
tersebut. Tetapi roti yang di hidangkan adalah roti keras dan tebal sehingga ia sangat kesulitan untuk
menelannya. Ia bertanya,” mengapa engkau tidak menggunakan tepung yang baik untuk membuat roti?
“jawab Umar ra. Apakah semua orang islam mampu memakan roti dari tepung yang baik? Sahut Utbah,
“tidak semuanya.’ Umar ra. Berkata, tampaknya engkau ingin agar saya menikmati semua jenis
kenikmatan hidup didunia ini .
Kisah-kisah seperti ini yang menunjukkan pengorbanan dan perjalanan hidup para sahabat ra. Bukan
hanya berjumlah ratusan, tetapi ribuan. Sekarang kta tidak dapat meniru kehidupan mereka, bahkan
hasrat untuk mengikuti kehidupan mereka pada diri kita masing-masing sudah tidak ada. Disebabakan
kelemahan kita, kita tidak mampu menanggung kesusahan dalam menjalani keidupan seperti mereka.
Karena itulah para ahli sufi tidak mengijinkan kita untuk bermujahadah seperti itu karena dapat
melemahkan diri kita. Memang, dari awalnya kita sudah tidak berdaya, sedangkan mereka telah memiliki
kekuatan untuk menjalani kehidupan seperti itu sejak awal. Yang sangat penting bagi diri kita adalah
hendaknya kita selalu memilki semangat, cita-cita, dan berusaha untuk dapat mengikuti jejak langkah
mereka. Sehingga keinginan duniawi kita dapat diredam dan pandangan kita semakin menunduk
kebawah.
Pada zaman ini memang sangat penting untuk menjaga keseimbangan dunia dan akhirat ketika orang-
orang tengah disibukkan   oleh kenikmatan duniawi, seehingga timbul persaingan untuk mendapatkan
harta. Pandangan mereka hanya tertuju pada kebendaan, mereka merasa rugi jika ada orang lain yang
lebih kaya dari pada mereka.

Anda mungkin juga menyukai