Anda di halaman 1dari 17

Mush’ab bin Umair,

Teladan Bagi Para Pemuda Islam


Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan merasakan
manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan
kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas
hidup yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang
baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan
rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang
menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba
di Madinah. Ia berkata,

َ ‫َر ُج ٌل لَ ْم أَ َر ِم ْثلَهُ َكأَنَّهُ ِم ْن ِر َجا ِل‬


‫الجنَّ ِة‬

“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah
laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam
datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya

Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah
kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan
pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf
bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.

Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang
tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah
seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya
merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ َوال أَ ْن َع َم نِ ْع َمةً ِم ْن ُمصْ َع‬، ً‫ق ُحلَّة‬


‫ب ب ِْن ُع َمي ٍْر‬ َّ ‫ َوال أَ َر‬، ً‫ْت بِ َم َّكةَ أَ َحدًا أَحْ َسنَ لِ َّمة‬
ُ ‫َما َرأَي‬

“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus
pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di
dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.

Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak
kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup
dan kekurangan nikmat.

Menyambut Hidayah Islam

Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi Thalib, dan
anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa
orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian
menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di
rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit
Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.

Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr,
penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu membedakan
manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi
dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan
menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di
rumah al-Arqam dan menyatakan keimanannya.

Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk


menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri
majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk.
Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah
Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode
sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.

Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa
bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri
tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab
meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa
yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah
seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia
akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di
tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari
pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat
menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena
luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati.
Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari,
kami duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab
bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan
kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan dengan
keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang
duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain
burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun
menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan beliau
bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang tuanya di Mekah.
Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak
ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu
demi menggapai ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya,
Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang
kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan
ia merasa tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-
busur kami, lalu kami papah dia.” ( Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal:
659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan


secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika
memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga
mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya
menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia
melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian
berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia
alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam

Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang
mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk
mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan
dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah
semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun
memeluk agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu
Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya
cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya yang tenang dan
tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil
mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata
kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku
sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya
engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu lebih
bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa
yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui
kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”.
Kemudian Saad berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?”
“Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua
rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang
kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka
kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.

Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu besarnya
wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata,
“Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal
dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).

Wafatnya

Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia
mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia
ini. Ia berkata:

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang
penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira
bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah
tangan kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:

ْ َ‫ۚ و َما ُم َح َّم ٌد إِاَّل َرسُو ٌل قَ ْد خَ ل‬


‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ِه الرُّ ُس ُل‬ َ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan
menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya
sambal membaca ayat yang sama:

ْ َ‫ۚ و َما ُم َح َّم ٌد إِاَّل َرسُو ٌل قَ ْد خَ ل‬


‫ت ِم ْن قَ ْبلِ ِه الرُّ ُس ُل‬ َ

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa
orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab
gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal:
329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh
Muhammad”.

Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya


yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin
Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan
kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:

َ ‫ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ِر َجا ٌل‬


َ َ‫ص َدقُوا َما عَاهَدُوا هَّللا َ َعلَ ْي ِه ۖ فَ ِم ْنهُ ْم َم ْن ق‬
‫ض ٰى نَحْ بَهُ َو ِم ْنهُ ْم َم ْن يَ ْنتَ ِظ ُر ۖ َو َما بَ َّدلُوا تَ ْب ِدياًل‬

“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka
janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula)
yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di


sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah,
tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau.
Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya
ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya,
terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan
kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair

Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang
sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair
telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali
sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup
menyantap makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan
pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka
kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun
memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan
rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).

Penutup

Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda
Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan
kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu
menghalanginya untuk mendapatkan ridha Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat menuntut ilmu,
mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash
syariat, pandai dalam menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.

Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin Umair. Jeddah: Dar
al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu-
un al-Islamiyah
Abu Ubaidah Al-Jarrah,
Orang Kepercayaan Umat Ini
Sahabat inilah yang pertama-tama dijuluki sebagai pemimpin para pemimpin ( Amirul Umara).
Dialah orang yang dipegang oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan
kanannya seraya bersabda mengenai dirinya,

‫َّاح‬
ِ ‫لجر‬َ ‫ َوإِ َّن أَ ِم ْينَ ه ِذ ِه ْاألُ َّم ِة أَبُوْ ُعبَ ْي َدةَ بْنُ ْا‬،‫إِ َّن لَ ُك ْم أُ َّمةً أَ ِم ْينًا‬

“Sesungguhnya setiap umat memiliki orang kepercayaan, dan orang kepercayaan umat ini
adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.“

Orang kepercayaan inilah yang disebut-sebut Al-Faruq radhiallahu ‘anhu pada saat akan
menghembuskan nafas terakhirnya, “Seandainya Abu Ubaidah bin al-Jarrah radhiallahu ‘anhu
masih hidup, niscaya aku menunjuknya sebagai penggantiku. Jika Rabb-ku bertanya kepadaku
tentang dia, maka aku jawab, ‘Aku telah menunjuk kepercayaan Allah dan kepercayaan Rasul-
Nya sebagai penggantiku’.”

Ia masuk Islam lewat perantaraan Ash-Shiddiq di masa-masa awal Islam sebelum Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk Darul Arqam. Ia berhijrah ke Habasyah yang kedua.
Kemudian kembali untuk berdiri di samping Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salalm dalam
Perang Badar. Ia mengikuti peperangan seluruhnya, kemudian melanjutkan berbagai
peperangan bersama Ash-Shiddiq dan Al-Faruq radhiallahu ‘anhuma.

Sikap yang ditunjukkannya dalam perang Uhud menjelaskan kepada kita bahwa ia benar-benar
kepercayaan umat ini, di mana ia tetap menebaskan pedangnya yang terpercaya kepada
pasukan kaum paganis. Setiap kali situasi dan kondisi perang mengharuskannya jauh dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia berperang sembari kedua matanya
memperhatikan di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertempur.

Di salah satu putarannya dan peperangan telah mencapai puncaknya, Abu Ubaidah radhiallahu
‘anhu dikepung oleh segolongan kaum musyrikin. Abu Ubaidah r adhiallahu ‘anhu kehilangan
kesadarannya, ketika melihat anak panah meluncur dari tangan orang musyrik lalu mengenai
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia menyerang orang-orang yang mengepungnya dengan
pedangnya dan seolah-olah ia memegang seratus pedang, sehingga membuat mereka tercerai
berai. Lantas ia berlari bak terbang menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia melihat darah
beliau yang suci mengalir dari wajahnya, dan melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengusap darah itu dengan tangan kanannya seraya bersabda,

َ ‫َك ْيفَ يُ ْفلِ ُح قَوْ ٌم خ‬


‫ َوهُ َو يَ ْد ُعوْ هُ ْم إِلَى َربِّ ِه ْم‬،‫َضبُوْ ا َوجْ هَ نَبِيِّ ِه ْم‬

“Bagaimana akan beruntung suatu kaum yang melumuri wajah Nabi mereka, padahal dia
menyeru kepada Rabb mereka.” (Lihat, Tafsir al-Qurthubi, 4/ 199)

Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu menerangkan kepada kita tentang fenomena ini lewat
pernyataannya, “Pada saat perang Uhud, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terkena
lemparan sehingga dua bulatan besi menancap di dahinya, aku cepat-cepat menuju Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara ada seseorang yang datang dari arah timur berlari
kencang seperti terbang, maka aku katakan, ‘Ya Allah, jadikanlah itu sebagai ketaatan.’ Ketika
kami sampai pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ternyata ia adalah Abu Ubaidah bin
Jarrah yang telah datang lebih dulu daripadaku. Ia berkata, ‘Aku meminta kepadamu, dengan
nama Allah, wahai Abu Bakar, biarkan aku mencabutnya dari wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.’ Aku pun membiarkannya. Ubaidah mengambil dengan gigi serinya salah satu
bulatan besi itu, lalu mencabutnya dan jatuh ke tanah, gigi serinya pun jatuh bersamanya.
Kemudian ia mengambil sepotong besi lainnya dengan gigi serinya yang lain sampai jatuh.
Sejak saat itu, Abu Ubaidah di tengah khalayak dijuluki dengan Atsram (yang terpecah giginya,
atau jatuh dari akarnya).

Pada saat delegasi Najran dari Yaman datang untuk menyatakan keislaman mereka, dan
meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mengutus bersama mereka orang yang
mengajarkan kepada mereka Alquran, Sunnah dan Islam, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan kepada mereka,

‫ق أَ ِمي ٍْن‬
َّ ‫ َح‬،‫ق أَ ِمي ٍْن‬
َّ ‫ َح‬،‫ق أَ ِمي ٍْن‬
َّ ‫ َح‬،‫ألَ ْب َعثَ َّن َم َع ُك ْم َر ُجالً أَ ِم ْينًا‬

“Aku benar-benar akan mengutus bersama kalian seorang pria yang sangat dapat dipercaya,
benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-benar orang yang dapat dipercaya, benar-
benar orang yang dapat dipercaya.” (Thabaqat Ibn Sa’d, 3/ 314)

Semua sahabat berharap bahwa dialah yang bakal dipilih oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ternyata persaksian ini menjadi keberuntungannya.

Umar Al-Faruq radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku tidak menyukai suatu jabatan pun sebagaimana
aku menyukainya pada saat itu, karena berharap akulah yang bakal memperolehnya. Aku pergi
untuk shalat Zhuhur dengan berjalan kaki. Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengerjakan shalat Zhuhur bersama kami, beliau mengucapkan salam, kemudian memandang
ke kanan dan ke kiri. Aku menegakkan punggungku agar beliau melihatku. Tapi beliau terus
mengarahkan pandangannya hingga melihat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Kemudian beliau
memanggilnya seraya bersabda,

‫اختَلَفُوْ ا فِ ْي ِه‬ ِّ ‫ض بَ ْينَهُ ْم بِ ْال َح‬


ْ ‫ق فِ ْي َما‬ ِ ‫ فَا ْق‬،‫اُ ْخرُجْ َم َعهُ ْم‬
‘Keluarlah bersama mereka. Putuskan perkara di antara mereka dengan haq dalam segala hal
yang mereka perselisihkan’.“

Akhirnya, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu pergi bersama mereka.

Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu berjalan di
bawah panji Islam. Sekali waktu ia bersama para pasukan biasa, dan pada kesempatan yang lain
bersama para panglima. Sampai datanglah masa Umar radhiallahu ‘anhu, ia menjabat sebagai
panglima pasukan Islam di salah satu peperangan besar di Syam. Ia mendapatkan kemenangan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam peperangan ini, hingga ia menjadi hakim dan gubernur
negeri Syam, dan perintahnya ditaati.

Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu mengunjungi Syam, dan bertanya
kepada orang-orang yang menyambutnya, “Di manakah saudaraku?” Mereka bertanya, “Siapa?”
Ia menjawab, “Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” Ketika Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu datang, Umar
memeluknya. Kemudian Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu membawa Umar radhiallahu ‘anhu ke
rumahnya. Di dalam rumah tersebut, Umar tidak melihat sedikit pun perkakas rumah tangga,
kecuali pedang, perisai dan untanya. Umar radhiallahu ‘anhu bertanya kepadanya sembari
tersenyum, “Mengapa engkau tidak memiliki sesuatu untuk dirimu sebagaimana dilakukan
orang lain?” Abu Ubaidah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Wahai Amirul Mu’minin, inilah yang
bisa mengantarkanku ke akhirat.”

Pada suatu hari, pada saat Al-Faruq Umar bin al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berada di
Madinah, seorang informan datang kepadanya untuk mengabarkan bahwa Abu Ubaidah telah
meninggal dunia. Mendengar hal itu, Al-Faruq radhiallahu ‘anhu memejamkan kedua matanya
dalam keadaan penuh dengan air mata. Air mata pun mengalir, lalu dia membuka kedua
matanya dalam kepasrahan. Ia memohonkan rahmat Allah untuk sahabatnya dalam keadaan air
mata mengalir dari kedua matanya, air mata orang-orang shalih. Air mata mengalir karena
kematian orang-orang yang shalih. Al-Faruq Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata,
“Seandainya aku boleh berangan-angan, maka aku hanya mengangankan sebuah rumah yang
dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah.”

Kepercayaan umat meninggal dunia di atas bumi yang telah dibersihkannya dari paganisme
Persia yang beragama Majusi dan dari keangkara murkaan Romawi. Di sana pada hari ini, di
bawah tanah Yordan, jasad yang suci dikebumikan. Ia menjadi tempat bagi ruh yang baik dan
jiwa yang tentram.

Sumber: Rijal Haula ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 160-180 (alsofwah.or.id)
Meneladani Nabi Ibrahim
Keteguhan Ibrahim ‘alaihissallam Dalam Mendakwahkan Tauhid Kepada Ayahnya

Unsur terpenting dalam proses penyucian jiwa ialah dengan menegakkan tauhidullah,
menjadikannya sebagai pilar utama sehingga mempengaruhi unsur-unsur lain dalam jiwa.
Apabila tauhid seseorang baik, maka baik pula unsur lainnya. Demikian sebaliknya, apabila
tauhid seseorang buruk, hal itupun akan sangat berpengaruh dalam setiap gerak langkah
kehidupannya. Dan kita berharap semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu memberikan taufik
dan petunjuk-Nya.

Dalam mempelajari perjalanan hidup Nabi Ibrahim ‘alaihissallam, kita akan mendapatkan diri
beliau sebagai insan yang sangat teguh dan gigih dalam menegakkan hak Allah Subhanahu wa
Ta’ala yang agung, yakni tauhid. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa moment, di antaranya:

1. Dakwah Tuhid Kepada Ayah Beliau ‘Alaihissallan Dengan Sabar Dan Penuh Santun.

Al-Hafihz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata, “Penduduk negeri Harran adalah kaum musyrikin
penyembah bintang dan berhala. Seluruh penduduk bumi adalah orang-orang kafir kecuali
Ibrahim ‘alaihissallam, isterinya, dan kemenakannya, yaitu Nabi Luth ‘alaihissallam. Ibrahim
‘alaihissallam terpilih menjadi hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menghapus kesyirikan
tersebut dan menghilangkan kebatilan-kabatilan yang sesat. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah
menganugerahkan kepadanya kegigihan sejak masa kecilnya. Beliau diangkat menjadi Rasul,
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala memilihnya sebagai kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala pada
masa berikutnya.

Awal dakwah tauhid yang beliau ‘alaihissallam tegakkan, ialah diarahkan kepada ayahnya,
karena ia seorang penyembah berhala dan yang paling berhak untuk diberi nasihat (Al-Bidayah
wan-Nihayah, juz 1, hal: 326).

Syaikh as-Sa`di rahimahullah berkata,”Ibrahim ‘alaihissallam adalah sebaik-baik para nabi


setelah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, … yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala
jadikan kenabian pada anak keturunnya. Dan kepada mereka diturunkan kitab-kitab suci. Dia
telah mengajak manusia menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala, bersabar terhadap siksa yang ia
dapatkan (dalam perjalanan dakwahnya), ia mengajak orang-orang yang dekat (dengannya) dan
orang-orang yang jauh, ia bersungguh-sungguh dalam berdakwah terhadap ayahnya
bagaimanapun caranya…” (Tafsir as-Sa`di, hal: 443.)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

‫ص ُر َواَل يُ ْغنِي َع ْنكَ َش ْيئًا‬ ِ َ‫ال أِل َبِي ِه يَا أَب‬


ِ ‫ت لِ َم تَ ْعبُ ُ[د َما اَل يَ ْس َم ُع َواَل يُ ْب‬ َ َ‫إِ ْذ ق‬

“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya; “Wahai Ayahku, mengapa engkau menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong engkau sedikitpun?”.
(QS. Maryam:42).

Lihatlah, bagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihissallam mendakwahkan tauhid kepada ayahnya dengan
ungkapan sangat lembut dan ucapan yang baik untuk menjelaskan kebatilan dalam perbuatan
syirik yang dilakukannya?! (Tafsir as-Sa`di, hal: 444). Penolakan ayahnya terhadap dakwah itu
tidak menyurutkan semangat serta sikap sayang terhadap ayahnya dengan tetap akan
memintakan ampunan, sekalipun permohonan ampun itu tidak dibenarkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala. Disebutkan dalam firman-Nya,

‫َو َما َكانَ ا ْستِ ْغفَا ُر إِب َْرا ِهي َم أِل َبِي ِه إِاَّل ع َْن َموْ ِع َد ٍة َو َع َدهَا إِيَّاهُ فَلَ َّما تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ َع ُد ٌّو هَّلِل ِ تَبَرَّأَ ِم ْنهُ ۚ إِ َّن إِب َْرا ِهي َم أَل َوَّاهٌ َحلِي ٌم‬

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk ayahnya tidak lain hanyalah karena
suatu janji yang telah diikrarkan kepada ayahnya itu. Maka tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa
ayahnya adalah musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala , maka Ibrahim berlepas diri darinya.
Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At-
Taubah: 114).

Dalam usaha yang lain, Ibrahim berdialog dengan ayahnya:

ٍ ِ‫ضاَل ٍل ُمب‬
‫ين‬ َ ‫ك فِي‬ َ ‫َوإِ ْذ قَا َل إِ ْب َرا ِهي ُم أِل َبِي ِه آزَ َر أَتَتَّ ِخ ُذ أَصْ نَا ًما آلِهَةً ۖ إِنِّي أَ َرا‬
َ ‫ك َوقَوْ َم‬

“Dan (Ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada ayahnya, Azar. ‘Layakkah engkau menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam
kekeliruan yang nyata’.” (QS. Al-An’am: 74).

Syaikh as-Sa’di berkata,”Dan ingatlah (terhadap) kisah Ibrahim ‘alaihissallam manakala Allah
Subhanahu wa Ta’ala memuji dan memuliakannya saat ia berdakwah mengajak kepada tauhid
dan melarang dari berbuat syirik.” (Tafsir as-Sa`di, hal: 224).

Demikian, perjuangan dakwah tauhid yang disampaikan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam kepada
kaumnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikannya sebagai bagian dari ayat-ayat Alquran
yang akan selalu dibaca dan dipelajari secara seksama.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

َ‫َوإِ ْب َرا ِهي َم إِ ْذ قَا َل لِقَوْ ِم ِه ا ْعبُدُوا هَّللا َ َواتَّقُوهُ ۖ ٰ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم إِ ْن ُك ْنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬

“Dan (ingatlah) Ibrahim, ketika ia berkata kepada kaumnya: ‘Sembahlah Allah dan bertakwalah
kepada-Nya, yang demikian itu lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui’.” (QS. Al-Ankabut:
16).
Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam menafsirkan ayat ini: “Allah Subhanahu wa Ta’ala
mengkabarkan tentang hamba-Nya, Rasul dan kekasih-Nya, yaitu Ibrahim ‘alaihissallam sang
imam para hunafa`, bahwa ia ‘alaihissallam berdakwah mengajak kaumnya untuk beribadah
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata dan tidak ada sekutu bagi-Nya, mengikhlaskan-Nya
dalam ketakwaan, memohon rezeki hanya kepada-Nya, dan mengesakan-Nya dalam bersyukur.”
(Tafsir Ibnu Katsir, Juz 3, hal: 536).

Keteguhan dakwah tauhid yang diperjuangkan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam juga termaktub
dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala surat al-Anbiya` ayat 51-56. Dan dalam beberapa ayat
disebutkan, bahwa dakwah tauhid kepada ayah dan kaumnya dilakukan secara bersamaan,
seperti tersebut dalam surat asy-Syu`ara ayat 69, dan ash-Shaffat ayat 84.

2. Nabi Ibrahim ‘alaihissallam Tegar Dan Tabah Menghadapi Ujian Dan Siksaan.

Sikap ini tercermin dalam kisah beliau ‘alaihissallam saat berdakwah mengajak manusia untuk
bertauhid dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, namun kebanyakan menolaknya dengan
penuh kenistaan. Ketabahan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam ini menjadi teladan bagi setiap dai
dalam mengajak manusia menuju jalan yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kisah
ketabahan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam diabadikan dalam Alquran melalui firman-firman-Nya.
Meskipun kaumnya dengan kuatnya untuk membakar dirinya, namun Nabi Ibrahim
‘alaihissallam tetap tabah dan menyerahkan segala perkara kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

َ‫ فَأ َ َرادُوا بِ ِه َك ْيدًا فَ َج َع ْلنَاهُ ُم اأْل َ ْسفَلِين‬.‫ قَالُوا ا ْبنُوا لَهُ بُ ْنيَانًا فَأ َ ْلقُوهُ فِي ْال َج ِح ِيم‬. َ‫ َوهَّللا ُ خَ لَقَ ُك ْم َو َما تَ ْع َملُون‬. َ‫قَا َل أَتَ ْعبُ ُدونَ َما تَ ْن ِحتُون‬

Ibrahim berkata: “Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu? Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. Mereka berkata: “Dirikanlah
suatu bangunan untuk (membakar) Ibrahim;lalu lemparkanlah dia ke dalam api yang menyala-
nyala itu”. Mereka hendak melakukan tipu muslihat kepadanya, maka Kami jadikan mereka
orang-orang yang hina. (QS. Ash-Shaffat: 95-98).

As-Suddi rahimahullah berkata: “Mereka menahannya dalam sebuah rumah. Mereka


mengumpulkan kayu bakar, bahkan hingga seorang wanita yang sedang sakit bernadzar
dengan mengatakan ‘sungguh jika Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan bagiku
kesembuhan, maka aku akan mengumpulkan kayu bakar untuk membakar Ibrahim’. Setelah
kayu bakar terkumpul menjulang tinggi, mereka mulai membakar setiap ujung tepian dari
tumpukkan itu, sehingga apabila ada seekor burung yang terbang di atasnya niscaya ia akan
hangus terbakar. Mereka mendatangi Nabi Ibrahim ‘alaihissallam kemudian mengusungnya
sampai di puncak tumpukan tinggi kayu bakar tersebut”. Riwayat lain menyebutkan, ia
diletakkan dalam ujung manjaniq.

Nabi Ibrahim ‘alaihissallam mengangkat kepalanya menghadap langit, maka langit, bumi,
gunung-gunung dan para malaikat berkata: “Wahai, Rabb! Sesungguhnya Ibrahim akan dibakar
karena (memperjuangkan hak-Mu)”
Nabi Ibrahim berkata, “Ya, Allah, Engkau Maha Esa di atas langit, dan aku sendiri di bumi ini.
Tiada seorang pun yang menyembah-Mu di atas muka bumi ini selainku. Cukuplah bagiku
Engkau sebaik-baik Penolong.” (Fathul-Bari, Juz 6, hal: 483).

Mereka lantas melemparkan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam ke dalam tumpukan kayu bakar yang
tinggi, kemudian diserukanlah (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala): “Wahai api, jadilah dingin dan
selamat bagi Ibrahim.” (Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43).

Ibnu Abbas dan Abu al-Aliyah, keduanya berkata: “Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
mengatakan ‘dan selamat bagi Ibrahim,’ niscaya api itu akan membinasakan Ibrahim
‘alaihissallam dengan dinginnya.” (Tafsir ath-Thabari, Juz 9, hal: 43).

3. Yakin Terhadap Kebesaran Allah ‘Azza wa Jalla

Pada saat Nabi Ibrahim diletakkan di ujung manjaniq, ia dalam keadaan terbelenggu dengan
tangan di belakang. Kemudian kaumnya melemparkan Nabi Ibrahim ‘alaihissallam ke dalam api,
dan ia pun berkata: “Cukuplah Allah ‘Azza wa Jalla bagi kami, dan Dia sebaik-baik Penolong”.

Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata:

‫َح ْسبُنَا هللاُ َونِ ْع َم ْال َو ِك ْي ُل‬

(cukuplah Allah ‘Azza wa Jalla bagi kami dan Dia sebaik-baik penolong)” telah diucapkan Nabi
Ibrahim ‘alaihissallam tatkala ia dilemparkan ke dalam api (Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 8,
hal: 288, no. 4563).

Demikianlah, Nabi Ibrahim ‘alaihissallam sangat yakin dengan kebesaran, pertolongan dan
perlindungan Allah ‘Azza wa Jalla , karena beliau sedang memperjuangkan hak Allah ‘Azza wa
Jalla yang terbesar, yakni tauhid dalam beribadah kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala.

Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Berada Di Atas Segalanya

1. Kisah dalam hijrah bersama Hajar dan Ismail (Shahih Bukhari dan Fathul-Bari, Juz 6, hal: 478,
no. 3364).

Ketika Ismail baru saja dilahirkan dan dalam penyusuan ibunya (Hajar), Nabi Ibrahim
‘alaihissallam membawa keduanya menuju Baitullah pada dauhah (sebuah pohon rindang) di
atas zam-zam. Saat itu, tidak ada seorangpun di Makkah, dan juga tidak ada sumber air.

Nabi Ibrahim ‘alaihissallam meninggalkan jirab, yaitu kantung yang biasa dipakai untuk
menyimpan makanan. Kantung itu berisi kurma untuk keduanya. Juga meninggalkan siqa`
(wadah air) yang berisi air minum. Kemudian Nabi Ibrahim ‘alaihissallam berpaling dan pergi.
Hajar mengikutinya sembari berkata: “Wahai, Ibrahim! Kemana engkau akan pergi
meninggalkan kami di lembah yang sunyi dan tak berpenghuni ini?” Hajar mengulangi
pertanyaan itu berkali-kali, namun Ibrahim tidak menoleh, tak pula menghiraukannya. Kemudian
Hajar pun bertanya: “Apakah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah memerintahkan engkau
dengan ini?”

Ibrahim menjawab,“Ya.”

Mendengar jawaban itu, maka Hajar berkata: “Jika demikian, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
akan meninggalkan kami”. Lantas Hajar kembali menuju tempatnya semula. Adapun Ibrahim, ia
terus berjalan meninggalkan mereka, sehingga sampai di sebuah tempat yang ia tak dapat lagi
melihat isteri dan anaknya. Ibrahim pun menghadapkan wajah ke arah Baitullah seraya
menengadahkan tangan dan berdoa: Ya Rabb kami, sesungguhnya aku telah menempatkan
sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah
Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Rabb kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan
shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah
mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. [QS. Ibrahim ayat 37).

2. Kisah Penyembelihan Ismail.

Nabi Ibrahim ‘alaihissallam berdoa: “Wahai Rabb-ku, karuniakanlah untukku anak yang shalih,”
maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kabar gembira kepadanya dengan kehadiran
seorang anak yang mulia lagi penyabar. Dan tatkala anak itu saat mulai beranjak dewasa
berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata kepadanya: “Wahai anakku, sesungguhnya
aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?”

Isma’il menjawab: “Wahai Ayahandaku, lakukanlah apa yang diperintahkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala kepadamu; insya Allah engkau akan mendapati diriku termasuk orang-
orang yang sabar”.

Saat keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya di atas pelipis(nya),
(nyatalah kesabaran keduanya). Setelah itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memanggilnya: “Wahai
Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya, demikianlah Kami
memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata. Dan kami menebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian.
(Yaitu) ‘Kesejahteraan yang dilimpahkan kepada Ibrahim’. Demikianlah Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk
hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang mukminin. Kisah ini dijelaskan di dalam Alquran dalam
surat ash-Shaffat ayat 99-111.

Dalam Tafsir al-Qurthubi, Juz 18, hal: 69 dan Tafsir al-Baghawi, Juz 4, hal: 33, Ibnu Abbas
berkata:

Ibrahim dan Isma’il … keduanya taat, tunduk patuh terhadap perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala. Ingatlah, renungkanlah kisah itu … ketika keduanya akan melaksanakan perintah Allah
Subhanahu wa Ta’ala, dengan tulus dan tabah sang anak berkata:

َ ‫اط ْي َحتَّى الَ أَضْ طَ ِر‬


‫ب‬ ِ َ‫…يَا أَب‬.
ِ َ‫ت ا ْش ُد ْد ِرب‬
“Wahai Ayahku, kencangkanlah ikatanku agar aku tak lagi bergerak.”

ُ‫ص أَجْ ِريْ َوت ََراهُ أُ ِّم ْي فَتَحْ زَ ن‬


َ ُ‫ض َح َعلَ ْيهَا ِم ْن َد ِّم ْي َش ْي ٌء فَيَ ْنق‬ ْ ُ‫… َوا ْكف‬.
ِ َ‫ف َعنِّي ثِيَابَكَ َحتَّى الَ يَ ْنت‬

“Wahai Ayahku, singsingkanlah baju engkau agar darahku tidak mengotori bajumu, maka akan
berkurang pahalaku, dan (jika nanti) ibu melihat bercak darah itu niscaya beliau akan bersedih.”

‫ي فَإ ِ َّن ْال َموْ تَ َش ِد ْي ٌد‬


َّ َ‫ْر ْع َم َّر ال ِّس ِّكي ِْن َعلَى َح ْلقِ ْي لِيَ ُكوْ نَ أَ ْه َونُ َعل‬
ِ ‫ك َوأَس‬ ِ َ‫… َويَا أَب‬.
َ َ‫ت ا ْستَ ِح َّد َش ْف َرت‬

“Dan tajamkanlah pisau Ayah serta percepatlah gerakan pisau itu di leherku agar terasa lebih
ringan bagiku karena sungguh kematian itu amat dahsyat.”

ِ ‫ َوإِ ْن َرأَيْتَ أَ ْن تَ ُر َّد قَ ِم ْي‬.…‫… َوإِ َذا أَتَيْتَ أُ ِّم ْي فَا ْق َر ْأ َعلَ ْيهَا ال َّسالَ َم ِمنِّ ْي‬.
ْ‫ص ْي َعلَى أُ ِّم ْي فَا ْف َعل‬

“Wahai Ayah, apabila engkau telah kembali maka sampaikan salam (kasih)ku kepada ibunda,
dan apabila bajuku ini Ayah pandang baik untuk dibawa pulang maka lakukanlah.”

‫ي َعلَى أَ ْم ِر هللاِ تَ َعالَى‬


َّ َ‫ نِ ْع َم ْال َعوْ نُ أَ ْنتَ يَا بُن‬: ‫…فَقَا َل لَهُ إِ ْب َرا ِه ْي ُم‬.

(Saat itu, dengan penuh haru) Ibrahim berkata: “Wahai anakku, sungguh engkau adalah anak
yang sangat membantu dalam menjalankan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala “.

Dalam Shahih Qashashil-Anbiya Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ini adalah ujian Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas kekasih-Nya (yakni Ibrahim ‘alaihissallam) untuk menyembelih
putranya yang mulia dan baru terlahir setelah beliau berumur senja. (Ujian ini terjadi) setelah
Allah memerintahkannya untuk meninggalkan Hajar saat Ismail masih menyusui di tempat yang
gersang, sunyi tanpa tumbuhan (yang dimakan buahnya), tanpa air dan tanpa penghuni. Ia taati
perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu, meninggalkan isteri dan putranya yang masih kecil
dengan keyakinan yang tinggi dan tawakal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Maka Allah
Subhanahu wa Ta’ala memberikan kepada mereka kemudahan, jalan keluar, serta limpahan
rezeki dari arah yang tiada disangka. Setelah semua ujian itu terlampaui, Allah menguji lagi
dengan perintah-Nya untuk menyembelih putranya sendiri, yaitu Ismail ‘alaihissallam. Dan tanpa
ragu, Ibrahim menyambut perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala itu dan segera mentaatinya.
Beliau ‘alaihissallam menyampaikan terlebih dahulu ujian Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut
kepada putranya, agar hati Ismail menjadi lapang serta dapat menerimanya, sehingga ujian itu
tidak harus dijalankan dengan cara paksa dan menyakitkan. Subhanallah…

3. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Ibrahim untuk Berkhitan.

Pada saat Ibrahim ‘alaihissallam telah mencapai umur senja (delapan puluh tahun), ia diuji oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan beberapa perintah, di antaranya agar beliau berkhitan.
Sebagaimana hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:

ً‫اختَتَنَ إِ ْب َرا ِهي ُم َعلَ ْي ِه ال َّساَل م َوه َُو ابْنُ ثَ َمانِينَ َسنَة‬
ْ
“Ibrahim ‘alaihissallam berkhitan di usia beliau delapan puluh tahun.” (Shahih Bukhari dan
Fathul-Bari (Juz 6, hal: 468, no. 3356)).

Beliau ‘alaihissallam berkhitan dengan pisau besar (semisal kampak). Meskipun terasa sangat
berat bagi diri beliau ‘alaihissallam, namun hal itu tidak pernah membuatnya merasa ragu
terhadap segala kebaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan dalam sebuah riwayat, Ali
bin Rabah radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa : “Beliau (Ibrahim ‘alaihissallam) diperintah
untuk berkhitan, kemudian beliau melakukannya dengan qadum. Maka Allah Subhanahu wa
Ta’ala mewahyukan ‘Engkau terburu-buru sebelum Kami tentukan alatnya’. Beliau mengatakan:
‘Wahai Rabb, sungguh aku tidak suka jika harus menunda perintah-Mu’.” (Shahih Bukhari dan
Fathul-Bari, Juz 6, hal: 472)

4. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala Untuk Membangun Ka`bah.

‫[ال َحجِّ يَ[[أْتُوكَ ِر َج[ ااًل‬


ْ [ِ‫اس ب‬
ِ َّ‫الس[جُو ِد َوأَ ِّذ ْن فِي الن‬ ِ ‫َوإِ ْذ بَو َّْأنَا إِل ِ ْب َرا ِهي َم َم َك[[انَ ْالبَ ْي‬
ُّ ‫ت أَ ْن اَل تُ ْش[ ِر ْك بِي َش[ ْيئًا َوطَهِّرْ بَ ْيتِ َي لِلطَّائِفِينَ َو ْالقَ[[ائِ ِمينَ َوالرُّ َّك ِع‬
‫ق‬ ْ
ٍ ‫ضا ِم ٍر يَأتِينَ ِم ْن ُكلِّ فَجٍّ َع ِمي‬ َ ‫َو َعلَ ٰى ُك ِّل‬

“Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan
mengatakan): “Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan Aku dan sucikanlah
rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang
yang ruku’ dan sujud. Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh,” (QS. Al-Hajj: 26-27).

Dalam Shahih Bukhari disebutkan, bahwasanya Ibrahim ‘alaihissallam berkata: “Wahai anakku,
sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan aku sesuatu”.

Ismail ‘alaihissallam menjawab: “Lakukanlah perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada


engkau”.

Ibrahim ‘alaihissallam bertanya: “Apakah engkau (akan) membantuku?”

Ismail ‘alaihissallam menjawab: “Ya, aku akan membantu engkau”.

Ibrahim ‘alaihissallam berkata lagi: “Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah


memerintahkan aku untuk membangun disini sebuah rumah”. (Nabi Ibrahim ‘alaihissallam
mengisyaratkan tanah yang sedikit tinggi dibandingkan dengan yang ada di sekelilingnya). Saat
itulah keduanya membangun pondasi-pondasi. Dan Ismail ‘alaihissallam membawa kepada
ayahnya batu-batu dan Ibrahim ‘alaihissallammenyusunnya. Sehingga, ketika telah mulai tinggi,
ia mengambil batu dan diletakkan agar Ibrahim ‘alaihissallamdapat naik di atasnya. Demikian,
dilakukan oleh keduanya, dan mereka berkata:

‫ك أَ ْنتَ ال َّس ِمي ُع ْال َعلِي ُم‬


َ َّ‫َربَّنَا تَقَبَّلْ ِمنَّا ۖ إِن‬

“Ya Rabb kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Baqarah: 127).
Dari pemaparan kisah-kisah di atas, banyak pelajaran penting dan berharga yang dapat dipetik,
di antaranya:

1. Nabi Ibrahim ‘alaihissallam adalah hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Subhanahu
wa Ta’ala yang amat taat kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala
menjadikannya sebagai hamba yang sangat disayangi.
2. Pilar utama upaya tazkiyyatun-nufus adalah dalam hal tauhid. Dan berdakwah menyeru kepada
tauhid merupakan amanat yang dipikul para nabi, dan sekaligus menjadi panutan bagi setiap dai.
3. Kesabaran dalam mendakwahkan tauhid dan ketabahan dalam menghadapi ujian di jalan itu,
harus dilakukan sesuai dengan cara yang dicontohkan oleh para rasul ‘alaihissallam.
4. Yakin terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam
mengarungi kehidupan.
5. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan hal terpenting di atas segalanya. Ketulusan hati
dalam melaksanakan segala perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah kebahagiaan. Maka
selayaknya kita berupaya secara maksimal untuk melaksanakannya diiringi doa memohon taufik
serta kemudahan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Segala contoh kebaikan telah ada pada diri para Rasul ‘alaihissallam yang harus selalu menjadi
suri tauladan bagi kita dalam setiap hal. Wallahul Musta`an..

Read more https://kisahmuslim.com/4816-meneladani-nabi-ibrahim.html#more-4816

Anda mungkin juga menyukai