Anda di halaman 1dari 7

PEMUDA HEBAT DALAM ISLAM

A. Kisah Pemuda di Zaman Sahabat


1. Mus’ab bin Umair
Masa muda atau usia remaja adalah saat orang-orang mulai mengenal dan
merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak pemuda lalai dan lupa, jauh
sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak mereka. Apalagi bagi mereka
orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup yang dijamin orang tua. Mobil
yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal yang baik, dan kenikmatan
lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.

Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ada seorang pemuda yang kaya,
berpenampilan rupawan, dan biasa dengan kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab
bin Umair. Ada yang menukilkan kesan pertama al-Barra bin Azib ketika pertama
kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di Madinah. Ia berkata,

‫َأ ِم َل َك َأَّن ِم ِر اِل ا َّنِة‬


‫َرُج ٌل ْمَل َر ْث ُه ُه ْن َج َجل‬
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah melihat orang semisal dirinya. Seolah-
olah dia adalah laki-laki dari kalangan penduduk surga.”

Ia adalah di antara pemuda yang paling tampan dan kaya di Kota Mekah.
Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya dengan kekalnya kebahagiaan di
akhirat.

Kelahiran dan Masa Pertumbuhannya

Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih
sedikit) setelah kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007:
54), sehingga Mush’ab bin Umair dilahirkan pada tahun 585 M.

Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy; Mush’ab bin Umair bin Hasyim
bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab al-Abdari al-Qurasyi.

Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang
pemuda yang tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat
menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab
adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan pakaian yang terbaik, dan dia
adalah orang Mekah yang paling harum sehingga semerbak aroma parfumnya
meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ ال َأْنَع ِنْع ًة ِم ْن ُمْص َعِب ْبِن ُع ٍرْي‬، ‫ ال َأ َّق ُح َّلًة‬، ‫َم ا َأْيُت َمِبَّك َة َأَح ًد ا َأْح ِلَّم ًة‬
‫َم‬ ‫َم َم‬ ‫َو‬ ‫َو َر‬ ‫َسَن‬ ‫َر‬
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di Mekah yang lebih rapi rambutnya,
paling bagus pakaiannya, dan paling banyak diberi kenikmatan selain dari
Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).

Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai saat ia tidur dihidangkan bejana


makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari tidur, maka hidangan makana
sudah ada di hadapannya.

Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair. Seorang pemuda kaya yang


mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang ibunya, membuatnya tidak
pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan nikmat.

Menyambut Hidayah Islam

Orang-orang pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu
beliau Ali bin Abi Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu
‘anhum. Kemudian diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi
terhadap dakwah Islam yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-
Arqam bin Abi al-Arqam radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit
Shafa, jauh dari pengawasan orang-orang kafir Quraisy.

Mush’ab bin Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala,


pecandu khamr, penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya,
sehingga ia mampu membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama
yang menyimpang. Manakah ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan
nenek moyang semata. Dengan sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk
memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-
Arqam dan menyatakan keimanannya.

Kemudian Mush’ab menyembunyikan keislamannya sebagaimana sahabat yang


lain, untuk menghindari intimidasi kafir Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia
tetap terus menghadiri majelis Rasulullah untuk menambah pengetahuannya
tentang agama yang baru ia peluk. Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang
sahabat yang paling dalam ilmunya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengutusnya ke Madinah untuk berdakwah di sana.

Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat

Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat Mush’ab bin Umair sedang beribadah
kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan apa yang ia lihat kepada ibunda
Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam kehidupan pemuda yang terbiasa dengan
kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu
Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan
dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang yang terik atau di
malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab,
Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu.
Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang
yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti
dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap oleh keluarganya dan
dikurung di tempat mereka.

Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya
diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya
yang dulu sangat menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya.
Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang
dulu berisi, mulai terlihat mengurus.

Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu. Tidak ada lagi fasilitas kelas satu
yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan minumannya semuanya berubah. Ali bin
Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami duduk bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan
mengenakan kain burdah yang kasar dan memiliki tambalan. Ketika Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya, beliau pun menangis teringat akan
kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum memeluk Islam) dibandingkan
dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No. 2476).

Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam sedang duduk dengan para sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah
Mush’ab bin Umair dengan kain burdah (jenis kain yang kasar) yang tidak
menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang pun menunduk. Lalu ia mendekat
dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang baik-baik tentangnya. Dan
beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala bersama kedua orang
tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya berbagai macam
fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang semisal
dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai ridha Allah
dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).

Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu berkata, “Dahulu saat bersama orang
tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda Mekah yang paling harum. Ketika ia
mengalami apa yang kami alami (intimidasi), keadaannya pun berubah. Kulihat
kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa tertatih-taih karena hal itu
sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan busur-busur kami, lalu kami
papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail Muhammad Ashbahani, Hal: 659).

Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami


penderitaan secara materi. Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan
tidak lagi ia rasakan ketika memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan
pakaian yang layak untuk dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik
sehingga kulit-kulitnya mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia
alami juga ditambah lagi dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang
sangat ia cintai memotong rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian
berjemur di tengah teriknya matahari agar sang anak keluar dari agamanya.
Semua yang ia alami tidak membuatnya goyah. Ia tetap teguh dengan
keimanannya.

Peranan Mush’ab Dalam Islam

Mush’ab bin Umair adalah salah seorang sahabat nabi yang utama. Ia memiliki
ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengutusnya untuk mendakwahi penduduk Yatsrib, Madinah.

Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia
mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada penduduk negeri tersebut,
termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin Muadz. Dalam waktu yang
singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk agama Allah ini. Hal ini
menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman ilmu Mush’ab bin
Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan sunnah, baiknya
cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi, serta jiwanya
yang tenang dan tidak terburu-buru.

Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab berhadap dengan Saad bin Muadz.
Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair, Mush’ab berangkat menuju
Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad, “Bagaimana kiranya kalau Anda
duduk dan mendengar (apa yang hendak aku sampaikan)? Jika engkau ridha
dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah. Seandainya engkau
membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang demikian itu
lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam, lalu
membacakannya Alquran.

Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap Mush’ab bin Umair radhiyallahu
‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi Allah, dari wajahnya, sungguh
kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia berbicara tentang Islam,
tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad berkata, “Apa yang
harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?” “Mandilah, bersihkan
pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian shalatlah dua rakaat”. Jawab
Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan Mush’ab.

Setelah itu, Saad berdiri dan berkata kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal,
apa yang kalian ketahui tentang kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab,
“Engkau adalah pemuka kami, orang yang paling bagus pandangannya, dan
paling lurus tabiatnya”.
Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar biasa, yang menunjukkan begitu
besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu kuatnya pengaruhnya bagi
mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan perempuan di antara kalian
berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya!”

Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun beriman kecuali Ushairim.

Karena taufik dari Allah kemudian buah dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi
tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan
kemudian kota itu dikenal dengan Kota Nabi Muhammad (Madinah an-
Nabawiyah).

Wafatnya

Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera Islam di peperangan. Pada Perang
Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin Syarahbil mengisahkan akhir
hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:

Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu membawa bendera perang di medan


Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan musyrik yang bernama Ibnu
Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah Rasulullah), lalu ia
menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan kanannya. Lalu Mush’ab
membaca ayat:

ۚ‫َو َم ا َحُمَّمٌد ِإاَّل َرُس وٌل َقْد َخ َلْت ِم ْن َقْبِلِه الُّر ُس ُل‬

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Bendera pun ia pegang dengan tangan kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang
kembali dan menebas tangan kirinya hingga terputus. Mush’ab mendekap bendera
tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang sama:

ۚ‫َو َم ا َحُمَّمٌد ِإاَّل َرُس وٌل َقْد َخ َلْت ِم ْن َقْبِلِه الُّر ُس ُل‬

“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu
sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran: 144).

Kemudian anak panah merobohkannya dan terjatuhlah bendera tersebut. Setelah


Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan bendera pasukan kepada Ali bin Abi
Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).

Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir Quraisy, ia berkata, “Aku telah
membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-
sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur.
Saat melihat jasad Mush’ab bin Umair yang syahid dengan keadaan yang
menyedihkan, beliau berhenti, lalu mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian
beliau membaca ayat:

‫ِم َن اْلُم ْؤ ِمِنَني ِر َج اٌل َص َد ُقوا َم ا َعاَه ُد وا الَّلَه َعَلْيِهۖ َفِم ْنُه ْم َمْن َقَضٰى ْحَنَبُه َو ِم ْنُه ْم َمْن َيْنَتِظ ُر ۖ َو َم ا‬
‫َبَّد ُلوا َتْبِد ياًل‬
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang
telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan
di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah
(janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).

Kemudian beliau mempersaksikan bahwa sahabat-sahabatnya yang gugur adalah


syuhada di sisi Allah.

Setelah itu, beliau berkata kepada jasad Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika
di Mekah, tidak ada seorang pun yang lebih baik pakaiannya dan rapi
penampilannya daripada engkau. Dan sekarang rambutmu kusut dan (pakaianmu)
kain burdah.”

Tak sehelai pun kain untuk kafan yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah.
Andainya ditaruh di atas kepalanya, terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila
ditutupkan ke kakinya, terbukalah kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda,
“Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”

Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40
tahun.

Para Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair

Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu
‘anhu yang sedang dihidangkan makanan mengenang Mush’ab bin Umair. Ia
berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat terbunuh, dan dia lebih baik dariku.
Tidak ada kain yang menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no.
1273). Abdurrahman bin Auf pun menangis dan tidak sanggup menyantap
makanan yang dihidangkan.

Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya


meninggalkan pakaian wool bergaris-garis (untuk kafannya). Kalau kami
tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya terbuka. Jika kami tarik ke kakinya,
maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun memerintahkan kami agar menarik kain
ke arah kepalanya dan menutupi kakinya dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari
no.3897).

Penutup

Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan menjadikannya teladan bagi
pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa dunia ini tidak ada
artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan semua kemewahan
dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan ridha
Allah.

Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang teladan dalam bersemangat


menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya. Ia memiliki
kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam menyampaikannya,
dan kuat argumentasinya.

Sumber:
al-Jabiri, Adnan bin Sulaiman. 2014. Shirah ash-Shahabi al-Jali: Mush’ab bin
Umair. Jeddah: Dar al-Waraq al-Tsaqafah
Mubarakfury, Shafiyurrahman. 2007. ar-Rahiq al-Makhtum. Qatar: Wizarah al-
Awqaf wa asy-Syu-un al-Islamiyah
2.

Anda mungkin juga menyukai