Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang
tampan dan rapi penampilannya. Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah
seorang wanita yang sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya
merupakan pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri, 2014: 19).
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa
bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri
tanpa naungan, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya. Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin
Umair, tidak tega mendengar apa yang akan dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu,
biarkanlah ia. Sesungguhnya ia adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia
dibiarkan dalam keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun
ditangkap oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari
pergaulannya, Mush’ab juga mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat
menyayanginya, kini tega melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena
luka-luka siksa yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.