Anda di halaman 1dari 6

BAB II

PEMBAHASAN
1. Kelahiran Rasulullah SAW.

Nabi Muhammad dilahirkan di tegah Tengah salah satu kabilah yang bersar, yaitu bani
Hasyim di kota mekkah pada hari senin, tanggal 9 rabiul awwal, yang pada tahun itu terjadi
sebuah tragedi yaitu pasukan bergajah, atau 40 tahun setelah selesai nya masa pemerintahan
kisra anusyirwan. Tanggal tersebut juga bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 april tahun 571
M sesuai dengan analisis seorang ulama besar, yaitu Muhammad sulaiman al-manshufuri dan
seorang ahli astrolog (ilmu falak), mahmud pasha.1

Ibnu sa’ad meriwayatkan bahwa ibunda nabi Muhammad pernah menceritakan,


“Ketika aku melahirkannya melalui faraj ku (kemalian ku) keluarlah Cahaya yang karenanya
itu istana- istana yang ada di negeri syam itu tersinari” imam ahmad, ad-darimi, dan
periwayat lainnya juga meriwayatkan versi yang hamper mirip dengan Riwayat tersebut. 2

Dan pada sumber lainnya dikatakan bahwa beberapa irhashat (tanda tanda awal yang
menunjukkan akan diutus nya seorang nabi) Ketika kelahiran nya beliau diantaranya adalah
jatuhnya empat belas beranda istana kekaisaran Persia, padam nya api-api yang biasa nya
menjadi sesembahan nya kaum majusi, dan robohnya gereja-gereja di sekitar danau sawah
setelah surut nya air danau tersebut. Riwayat ini dilansir oleh ath-thabari, al-baihaqi, dan
rawi-rawi lainnya,3 namun Riwayat ini tidak memiliki sanad yang valid.

Setelah nabi Muhammad SAW Dilahirkan ibunda nya siti aminah mengirim kan
utusan kepada kakeknya, yaitu abdul mutholib untuk memberikan kabar gembira tentang
kelahiran cucu nya. Kemudian kakeknya opun langsung mendatangin siti aminah dengan
perasaan sukacita lalu memboyong cucu nya tersebut masuk kedalam ka’bah, kemudian
berdo’a kepada allah dan bersyukur kepada nya.4

1
Lihat Nata’ij Al-Afham, Karya Al-Falaki, Hal. 28-35, Cet., Beirut; Rahmah Li Al-Alamin, 1/38, 39. Perbedaan
Seputar Tanggal Bulan April Terjadi Berdasarkan Kalender Lama Dan Baru.
2
Thabaqatibnu Sa’ad, 1/63; Musnad Ahmad, 4/127, 128, 185; 5/262; Ad-Darimi, 1/9.
3
Ad-Dala’il, Karya Al-Baihaqi, 1/126, 127; Tarikh Ath-Thabari, Op.Cit., 2/166, 167; Al-Bidayah Wa An-
Nihayah, 2/268, 269.
4
Ibnu hisyam, op.cit., I/159, 160; thabaqot ibnu sa’ad, op.cit., hal. 103; ath-thabari, ibid.
Setelah itu kakeknya abdul muthalib memberikan nama kepada cucu nya itu dengan
manam Muhammad, nama Muhammad tersebut tidaklah popoler dan bahkan terdengar asing
ditelinga bangsa arab saat itu, dan pada hari ketujuh kelahiran Muhammad, beliat pun di
khitan kan. Karena merupakan salah satu tradisi yang berlaku di kalangan bangsa arab.5

Dan Wanita yang pertama kali menyusui Rasulullah setelah ibunda nya ialah
Tsuwaibah. Wanita ini merupakan hamba sahaya nya abu lahab yang saat itu juga Tengah
menyusui bayinya yang Bernama masruh. Dan sebelumnya, dia juga alah yang telah
menyusui pamannya nabi Muhammad SAW yaitu hamzah bin abdul muththalib, kemudian
juga menyusui abu salamah bin abdul asad al-makhzumi 6 setelah menyusui nabi Muhammad
SAW.

2. Masa persusuan di perkampungan bani sa’ad

Salah satu tradisi Masyarakat arab yang ditinggal di kota saat itu adalah mencari para
Wanita yang dapat menyusui bayi-bayi mereka sebagai Tindakan preventif terhadap
tersebarnya penyakit-penyakit di iklim perkotaan. Hal itu dilakukan juga agar tubuh bayi
mereka kuat, kekar, dan mahir dalam berbahasa sejak masa kanak-kanak. Dan akhrinya,
kakeknya pun telah menemukan ibu susuan dari kabilah bani sa’ad bin bakr, yang Bernama
Halimah binti abu dzuaib. Suami Wanita ini Bernama al-harits bin abdul uzza dengan julukan
nya ialah abu kabsyah yang mereka ini berasal dari kabilah yang sama.

Halimatus Sa’diyah mengasuh Nabi Muhammad SAW selama kurang lebih empat
tahun lamanya. Ketika Nabi Muhammad SAW menginjak usia dua tahun, Halimatus Sa’diyah
menghentikan susuannya dan hendak dikembalikan Rasulullah SAW kepada Aminah.
Namun, saking sayangnya Halimatus Sa’diyah kepada Nabi Muhammad SAW, ia meminta
agar anak itu kembali ia rawat di dususuanya. Karena Aminah takut anak yang tumbuh subur
dan sehat itu terganggu penyakit yang ada di Makkah, maka ia mengizinkan Halimatus
Sa’diyah untuk merawatnya kembali.

5
Terdapat juga Riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah lahir dalam kondisi telah dikhitan (talqih fuhum
ahl al-atsar, hal. 4). Dan ibnu qayyim berkata “tidak ada satu pun hadits yang valid tentang hal ini” (zad al-
ma’ad, 1/18).
6
Lihat shahih al-bukhari, hadits no. 2645, 5100, 5106, 5372.
Nabi Muhammad SAW kecil lalu kembali diasuh oleh Halimatus Sa’diyah hingga
umurnya empat tahun sebelum dikembalikan kepada Aminah. Nabi Muhammad SAW selalu
membawa keberkahan kepada seluruh makhluk dan umat manusia. Begitupun kepada ibu
sepersusuannya, Halimatus Sa’diyah. Sebelum berangkat kembali ke dusun Bani Sa’ad,
Halimatus Sa’diyah dan suaminya berhenti untuk berkemah dahulu bersama rombongannya
di suatu tempat. Di sana, ia menyusui Abdullah dan Nabi Muhammad SAW bersamaan. Saat
inilah keberkahan dan keajaiban dirasakan oleh Halimatus Sa’diyah.

Biasanya air susunya kering dan sedikit, namun setelah kehadiran Nabi Muhammad
SAW, air susunya menjadi melimpah. Begitu pula dengan unta tunggangannya yang tadinya
kurus, menjadi sangat gemuk dan memiliki banyak susu. Sehingga mereka bisa memerah
susu unta tersebut dan dibagikan kepada rombongannya. Paginya, saat mereka kembali ke
perkampungan Bani Sa’ad, unta Halimatus Sa’diyah yang tadinya adalah unta paling lemah
dan lambat, berubah menjadi unta yang paling cepat. Orang-orang lantas berkata, “Apakah
itu untamu yang kemarin? Pelan-pelanlah, wahai Halimah.”

Kemudian sampailah kami di tempat tinggal kami di perkampungan kabilah Bani


Sa'ad. Sepanjang pengetahuanku tidak ada bumi Allah yang lebih tandus darinya. Sejak kami
pulang dengan membawa Muhammad, kambingku tampak dalam keadaan kenyang dan air
susunya banyak sehingga kami dapat memerahnya dan meminumnya, padahal orang-orang
tidak mendapatkan setetes air susu pun di puting susu kambing. Kejadian ini membuat
kaumku yang ber- mukim berkata kepada para penggembala mereka, 'Celakalah kalian!
Pergilah ikuti ke mana saja penggembala kambing putri Abu Dzu aib mengembalakan
kambingnya. Meskipun demikian, realitasnya, kam- bing-kambing mereka tetap kelaparan
dan tidak mengeluarkan air susu setetes pun sedangkan kambingku selalu kenyang dan
banyak air susunya.

Demikianlah, kami selalu mendapatkan tambahan nikmat dan kebaikan dari Allah
hingga tak terasa dua tahun pun berlalu dan tiba waktuku untuk menyapihnya, Dia tumbuh
berkembang tidak seperti kebanyakan anak-anak sebayanya, sebab sebelum mencapai usia
dua tahun dia sudah tumbuh dengan postur tubuh yang kuat. Dan Akhirnya kami
mengunjungi ibunya, dan dalam hati yang paling dalam kami sangat berharap dia masih bisa
berada di tengah keluarga kami karena keberkahan yang kami rasakan sejak keberadaannya
tersebut. Kemudian kami membujuk ibu- nya.
Aku berkata kepadanya, 'Kiranya anda sudi membiarkan anak ini bersamaku lagi
hingga dia besar, sebab aku khawatir dia terserang penyakit menular yang biasa menjangkiti
kota Makkah.' Kami terus memelas kepadanya hingga dia bersedia mengembalikannya untuk
tinggal bersama kami lagi."7

3. Proses pembelahan dada dan wafatnya ibunda nya rasulullah Saw

Rasulullah Saw akhirnya tetap tinggal di perkampungan kabilah Bani Sa’ad, bersama
ibu susuan nya dan saudara saudara sesusuan nya. Hingga beberapa saat setelah nya terjadi
peristiwa di belahnya dada beliau saat berusia lima tahun.

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bahwasanya Rasu- lullah didatangi oleh Jibril
saat beliau tengah bermain bersama teman-teman sebayanya. Jibril menangkap dan
merebahkan beliau di atas tanah lalu membelah jantungnya, kemudian mengeluarkannya, dari
jantung ini dikeluarkan segumpal darah. Jibril berkata, ‘Ini adalah bagian setan yang ada pada
dirimu (sehingga bila tetap ada, ia dapat memperdayaimu, pent.)!” Kemudian mencuci
jantung tersebut dengan air zamzam di dalam baskom yang terbuat dari emas, lalu memper-
baikinya dan menaruhnya di tempat semula. Teman-teman sebayanya tersebut berlarian
mencari ibu susuannya seraya berkata, Muhammad telah dibunuh!’ Mereka akhirnya
beramai-ramai menghampirinya dan menemukannya dengan rona muka yang sudah berubah.
Anas (peri- wayat hadits) berkata, ‘Sungguh aku telah melihat bekas jahitan itu di dada
beliau.8

Setelah peristiwa tersebut, Halimah merasa khawatir terhadap diri beliau sehingga
beliau pun dikembalikan kepadanya ibunya dan tinggal bersama hingga usia beliau enam
tahun.

Sebelum beliau memasuki usia enam tahun, ibundanya berfikir untuk berziarah ke
kuburan suami nya bersama Muhammad Saw sebagai bentuk kasih sayang nya terhadap
suami nya. Sekaligus untuk memberitahu kan Muhammad Saw dimana letak makam
ayahnya. Pada saat itu, Siti Aminah berangkat ke yatsrib(Madinah) tidak hanya bersama

7
Ibnu Hisyam, op.cit., 1/162-164.
8
Shahih muslim, kitab al-isra’, 1/92.
dengan Muhammad, tetapi juga bersama dengan Abdul Muthalib dan pembantu nya Ummu
aiman.

Setelah itu mereka menetap disana selama satu bulan, kemudian kembali pulang ke
Makkah, akan tetapi ditengah perjalanan pulang, ibunda nya rasulullah Saw terserang
penyakit yang cukup parah sehingga akhirnya ibundanya meninggal dunia di suatu tempat
bernama abwa’, yaitu daerah yang terletak diantara Mekkah dan Madinah, 9 dan kemudian
Rasulullah Saw dibawa kembali ke Mekkah oleh kakeknya.

4. Masa asuhan kakeknya (Abdul Muthalib)


Perasaan kasih terhadap sang cucu yang yatim semakin bertambah di sanu- barinya,
dan hal ini ditambah lagi dengan adanya musibah baru) yang seakan menggores luka lama
yang belum sembuh betul. Maka ibalah dia terhadapnya, sebuah perasaan yang tak pernah dia
tumpahkan terhadap seorang pun dari anak-anaknya. Dia tidak lagi membiarkan cucunya
tersebut hanyut dengan kesendirian yang terpaksa harus di- alaminya bahkan dia lebih
mengedepankan kepentingannya daripada kepentingan anak-anaknya.
Ibnu Hisyam berkata, “Biasanya, sudah terhampar permadani yang dihamparkan
untuk Abdul Muththalib di bawah naungan Ka’bah, lalu anak-anaknya duduk-duduk di
sekitar permadani tersebut hingga ia datang, tak seorang pun dari anak-anaknya tersebut yang
berani duduk- duduk di situ sebagai rasa hormat terhadapnya. Namun Rasulullah pernah
suatu ketika saat beliau berusia sekitar dua tahun, datang dan langsung duduk di atas
permadani tersebut, maka paman-pamannya serta-merta mencegahnya agar tidak mendekati
tempat itu. Ketika melihat tindakan anak-anaknya itu, Abdul Muththalib berkata kepada
mereka, Jangan kau ganggu cucuku! Demi Allah! Sesungguhnya dia nanti akan menjadi
orang yang besar!’ Kemudian ia duduk-duduk bersama beliau di permadani tersebut sembari
mengusap-usap punggungnya dengan tangannya. Dia merasa senang dengan kelakuan
cucunya tersebut.”10
Saat beliau berusia delapan tahun dua bulan sepuluh hari, kakek beliau Abdul
Muthalib meninggal dunia di kota Mekkah. Sebelum meninggal dunia, Abdul Muthalib telah
menyerahkan tanggung jawab asuhan terkait cucu nya tersebut kepada pamannya beliau, abu
Thalib, yang merupakan saudara kandung dari ayah nya Rasulullah Saw.

5. Masa asuhan pamannya (abu Thalib)

9
Ibnu Hisyam, ibid; talqih, ibid
10
Ibnu Hisyam, Ibid, hal. 169. Talqih, ibid.
Abu Thalib melaksanakan amanah yang diembankan kepadanya untuk mengasuh
keponakannya dengan sebaik-baiknya dan meng- gabungkan beliau dengan anak-anaknya.
Dia bahkan mendahulukan kepentingannya ketimbang kepentingan mereka. Dia juga
mengistimewa- kannya dengan penghormatan dan penghargaan. Perlakuan tersebut terus
berlanjut hingga beliau berusia di atas empat puluh tahun, pamannya masih tetap memuliakan
beliau, membentangkan perlin- dungan terhadapnya, menjalin persahabatan ataupun
mengobarkan permusuhan dalam rangka membelanya.

Ketika Rasulullah berusia dua belas tahun-menurut riwayat lain, dua belas tahun dua
bulan sepuluh hari pamannya,11 Abu Thalib, membawanya serta berdagang ke negeri Syam
hingga mereka sampai di suatu tempat bernama Bushra yang masih termasuk wilayah Syam
dan merupakan ibu kota Hauran. Ketika itu. Syam merupakan ibu kota negeri-negeri Arab
yang masih mengadopsi undang-undang Romawi Di negeri inilah dikenal seorang Rahib
(pendeta) yang bernama Bahira (ada yang mengatakan nama aslinya adalah Jarjis).
Ketika rombongan tiba, dia langsung menyongsong mereka padahal sebelumnya dia
tidak pernah melakukan hal itu, kemudian berjalan di sela-sela mereka hingga sampai kepada
Rasulullah lalu memegang tangannya sem- bari berkata, “Inilah penghulu alam semesta,
inilah utusan Rabb alam semesta, dia diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi alam semesta
ini.” Abu Thalib dan pemuka kaum Quraisy bertanya kepadanya, “Bagai- mana anda tahu hal
itu?” Dia menjawab, “Sesungguhnya ketika kalian muncul dan naik dari bebukitan, tidak satu
pun dari bebatuan ataupun pepohonan melainkan bersujud terhadapnya, dan keduanya tidak
akan bersujud kecuali terhadap seorang Nabi.
Sesungguhnya aku dapat mengetahuinya melalui tanda kenabian yang terletak pada
bagian bawah tulang rawan pundaknya yang bentuknya seperti apel. Sesungguhnya kami
mengetahui hal tersebut dari kitab suci kami.” Kemudian sang Rahib mempersilakan mereka
dan menjamu mereka secara istimewa. Setelah itu, dia meminta kepada Abu Thalib agar
memulangkan kepo- nakannya tersebut ke Makkah dan tidak membawanya serta ke Syam
sebab khawatir bila tertangkap oleh orang-orang Romawi dan Yahudi. Akhirnya, pamannya
mengirimnya pulang bersama sebagian anaknya ke Makkah.12

 Referensi
1. Al-Mubarakfuri, shafiyyurrahman, 2001, Sirah Nabawiyah perjalanan hidup Rasul
yang agung Muhammad Saw dari kelahiran hingga detik detik terakhir, Darul Haq,
jakarta.
2. Al-umuri, Akram dhiya’, 2010, shahih Sirah Nabawiyah, pustaka as-sunnah, Jakarta.

11
Hal ini dinyatakan oleh Ibnu al-Jauzi dalam Kitab Talgih Fuhum Ahl al-Atsar, loc.cit.
12
Sunan at-Tirmidzi, 3620; al-Mushannaf, karya Ibnu Abi Syaihah, 11/489; Dala il, karya al Baihaqi, 2/24, 25:
ath-Thabari, op.cit., 2/278-279. Di kekeliruan dalam Sunan at-Tirmidzi dan selainnya disebutkan bahwa Abu
Thalib mengulus bersamanya Bilal dan ini suatu yang jelas, sebab, Bilal ketika itu sepertinya belum ada,
sekalipun sudah ada, maka dia tidak lah ikut serta bersama paman beliau, tidak pula bersama Abu Bakar, (Lihat
Zad al-Ma'ad, 1/17)

Anda mungkin juga menyukai