Anda di halaman 1dari 14

a) Bagaimana silsilah Nabi Muhammad SAW ?

b) Bagaimana riwayat hidup Nabi Muhammad SAW ?


c) Bagaimana proses terjadinya wahyu pertama ?

Silsilah Nabi Muhammad SAW

Nasab nabi Muhammad dari ayahnya yaitu Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutalib bin Hasyim
bin Abdu Manaf bin qushoy bin kilab bin Murrah bin ka’ab bin luay bin Ghalib bin Fahr bin Malik bin
An-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhor bin Nizar bin Mu’ad bin
Adnan. Nasab seperti inilah yang telah disepakati, adapun keatasnya itu masih berbeda-beda
pendapat dan tidak bisa dipegang,tapi tidak ada perbedaan pendapat bahwa Adnan adalah termasuk
keturunan Ismail bin Ibrahim AS.

Adapun nasab dari ibunya yakni Muhammad bin Aminah binti Wahb bin Abdu Manaf bin zuhrah bin
kilab. Dan nasab kedua orang tuanya bertemu di kilab bin murrah.

Kelahiran Muhammad

Nabi Muhammad dilahirkan dikota Mekah pada tahun gajah(tahun dimana Abrahah ingin
mengahancurkan Ka’bah dengan pasukan bergajahnya tapi justru merekalah yang dihancurkan oleh
Allah),yang bertepatan pada tanggal 12 rabiul awwal 570 m.Sedangkan ayahnya sudah meninggal
terlebih dahulu ketika ia masih berumur 2 bulan didalam kandungan.

ketika Aminah selesai bersalin dikirimnya berita kepada Abdul Muthalib yang berada di
ka’bah,bahwa Aminah melahirkan anak laki-laki. Alangkah bahagianya ia ketika mendapat kabar
itu,lalu ia bergegas pergi menemui menantunya itu, diangkatnya bayi itu lalu dibawa ke Ka’bah. Ia
beri nama Muhammad. Nama ini tidak umum dikalangan orang arab,tetapi cukup dikenal. kemudian
dikembalikannya bayi itu kepada ibunya. kini mereka sedang menantikan orang yang akan
menyusukannya dari Bani Sa’d, untuk kemudian diserahkan kepada salah seorang dari mereka,
sebagaimana sudah menjadi adat kaum bangsawan Arab di Mekah pada hari kedelapan mereka
biasa mengirimkan anak-anak itu ke pedalaman dan kembali pulang ke kota sesudah berumur
delapan atau sepuluh tahun.

Sambil menunggu orang yang akan menyusukan, Aminah menyerahkan anaknya kepada suwaibah,
budak perempuan pamannya, Abu Lahab. Ia disusukan selama beberapa waktu,sama seperti
Hamzah bin Abdul Muthalib yang juga kemudian disusukannya. Jadi mereka adalah saudara susuan.

Halimah binti Abi zua’ib

Akhirnya datang juga perempuan-perempuan keluarga sa’d yang akan menyusukan itu ke
mekah.mereka memang mencari bayi yang akan mereka susukan, tetapi mereka menghindari anak-
anak yatim. Sebenernya mereka masih mengharapkan balas jasa dari sang ayah, sedangkan anak-
anak yatim sedikit sekali yang dapat mereka harapkan. oleh karena itu diantara mereka tidak ada
yang mau mendatangi muhammad.Tetapi ada seorang wanita bernama Halimah binti Abi zua’ib
yang mulanya menolak Muhammad seperti yang lain, ternyata tidak mendapat bayi lain sebagai
gantinya. Disamping itu karena dia juga perempuan yang kurang mampu, ibu-ibu lain pun tidak
menghiraukannya. Setelah sepakat mereka ingin meninggalkan mekah, Halimah berkata pada
suaminya, Al-haris bin Abdul uzza:

”Tidak senang aku pulang dengan teman-temanku tanpa membawa bayi, biarlah aku pergi kepada
anak yatim itu dan akan aku bawa juga.”

“Baiklah,” jawab suaminya.

”mudah-mudahan karena itu Tuhan memberkahi kita” ucap Halimah

Halimah kemudian mengambil Muhammad dan membawanya pergi bersama teman-temannya di


pedalaman. Dia bercerita, bahwa sejak mengambil anak itu ia merasa mendapat berkah. Ternak
kambingnya gemuk-gemuk dan air susunya pun bertambah.Tuhan telah memberkati semua yang
ada padanya.

Selama dua tahun Muhammad tinggal di sahara, disusukan oleh Halimah dan diasuh oleh Syaima’,
putrinya. Udara sahara dan kehidupan pedalaman yang kasar menyebabkannya cepat menjadi
besar, dan menambah indah bentuk dan pertumbuhan badannya. Setelah cukup dua tahun dan tiba
masanya disapih, Halimah membawa anak itu kepada ibunya dan sesudah itu ia membawanya
kembali ke pedalaman. Hal ini dilakukan karena kehendak ibunya. Dalam keterangan lain dikatakan
bahwa hal itu karena kehendak Halimah sendiri. Ia dibawa kembali supaya lebih matang, juga
memang dikhawatirkan akan terkena serangan wabah Mekah.

Dua tahun lagi anak itu tinggal di sahara, menikmati udara pedalaman yang jernih dan bebas, tidak
terikat oleh ikatan rohani atau materi.

Dada Muhammad Dibedah


Sebelum usianya mencapai tiga tahun, waktu itulah terjadi cerita yang banyak dikisahkan orang.
Sementara ia dengan saudaranya yang sebaya sesama anak-anak itu sedang berada di belakang
rumah di luar pengawasan keluarganya, tiba-tiba anak yang dari Keluarga Sa’d itu kembali pulang
sambil berlari, dan berkata kepada ibu bapanya: “Saudaraku dari Quraisy itu diambil oleh dua orang
laki-laki berbaju putih-putih. Dia dibaringkan, perutnya dibedah, sambil diguncang-guncang dan
dibalik balikkan.”

Lalu Halimah pergi dengan suaminya ke tempat itu. Mereka jumpai dia yang sedang berdiri,
mukanya pucat pasi. Diperhatikannya oleh Halimah dan suaminya, lalu ditanyakan:

“Mengapa kau, nak?”

“Saya didatangi oleh dua orang laki-laki berpakaian putih. Saya dibaringkan, perut saya dibedah.
Mereka mencari sesuatu di dalamnya.Tapi saya tidak tahu apa yang mereka cari.” Jawabnya.

Muhammad dikembalikan ke Mekkah

Muhammad tinggal pada Keluarga Sa’d sampai mencapai usia lima tahun, jiwanya menghirup
kebebasan dan kemerdekaan dalam udara sahara yang lepas itu. Dari kabilah ini ia belajar
mempergunakan bahasa Arab yang murni, sehingga pernah ia mengatakan kepada teman-teman
nya kemudian:

‫ أنا قرشي واسترضعت في بني سعد بن بكر‬،‫أنا أعربكم‬

“Aku yang paling fasih berbahasa Arab di antara kamu sekalian. Aku dari Quraisy dan diasuh di
tengah-tengah Keluarga Sa’d bin Bakr.”

Lima tahun masa yang ditempuhnya itu telah memberikan kenangan yang indah sekali dan kekal
dalam hatinya. Demikian juga Ibu Halimah dan keluarganya tempat dia menumpahkan rasa kasih
sayang dan hormat selama hidupnya itu.

Sesudah lima tahun, kemudian Muhammad dikembalikan kepada ibunya. Dan Abdul-Muttalib pun
ikut serta dalam mengasuh cucunya itu. Ia memeliharanya sungguh-sungguh dan mencurahkan
segala kasih sayang nya kepada cucu ini. Buat orang tua itu-pemimpin seluruh masyarakat Quraisy
dan pemimpin Mekah-biasanya dihamparkan alas duduk di bawah naungan Ka’bah, dan anak-
anaknya pun duduk sekeliling hamparan itu sebagai penghormatan kepada orang tua. Tetapi apabila
Muhammad yang datang, maka didudukkannya ia di sampingnya di atas alas duduk itu sambil ia
mengelus-ngelus punggungnya. Melihat betapa besarnya rasa cintanya itu, paman-paman
Muhammad tidak mau membiarkannya di belakang dari tempat mereka duduk.

Muhammad ke Madinah dan wafatnya aminah

Aminah kemudian membawa anaknya itu ke Madinah untuk diperkenalkan kepada saudara-saudara
kakeknya dari pihak Keluarga Najjar. Dalam perjalanan itu dibawanya juga Um Aiman, perempuan
yang ditinggalkan ayahnya dulu. Sesampai mereka di Madinah kepada anak itu diperlihatkan rumah
tempat ayahnya meninggal dulu dan tempat dikuburkan. Itu adalah yang pertama kali ia merasakan
sebagai anak yatim. Barangkali ibunya juga pernah bercerita panjang lebar tentang ayah tercinta itu,
yang setelah beberapa waktu tinggal bersama-sama, kemudian meninggal di tengah-tengah keluarga
pamannya dari pihak ibu.

Sesudah cukup sebulan mereka tinggal di Madinah, Aminah sudah bersiap-siap akan pulang. Ia dan
rombongan kembali pulang dengan dua ekor unta yang membawa mereka dari Mekah. Tetapi di
tengah perjalanan, ketika mereka sampai di Abwa’,ibunda Aminah menderita sakit, yang kemudian
meninggal dan dikuburkan di tempat itu. Pada saat Muhammad masih berusia enam tahun.

Anak itu oleh Um Aiman dibawa pulang ke Mekah, pulang sebatang kara, menangis dengan hati pilu.
Ia makin merasa kehilangan. Sudah ditakdirkan juga ia menjadi anak yatim. Terasa olehnya hidup
yang makin sunyi, makin sedih. Baru beberapa hari yang lalu ia mendengar dari Ibunda keluhan duka
kehilangan ayahanda semasa ia masih dalam kandungan. Kini ia melihat sendiri di hadapannya, ibu
pergi untuk tidak kembali lagi, seperti ayah dulu. Tubuh yang masih kecil itu kini di biarkan memikul
beban hidup yang berat, sebagai yatim piatu.

Abdul-Muttalib Wafat

Setelah ibunya wafat hak asuh berpindah kepada kakeknya, Abdul Muthalib. Kenangan yang
memilukan hati ini barangkali akan terasa agak meringankan, sekiranya Abdul-Muttalib masih dapat
hidup lebih lama lagi. Tetapi orang tua itu juga menyusul, meninggal dalam usia delapan puluh
tahun. Muhammad waktu itu baru berumur delapan tahun. Sekali lagi Muhammad dirundung
kesedihan karena kematian kakeknya itu, seperti yang sudah dialaminya ketika Ibunya meninggal.
Begitu sedihnya dia, sehingga selalu ia menangis sambil mengantarkan Keranda jenazah sampai ke
tempat peraduan terakhir.

Sebenarnya kematian Abdul-Muttalib ini merupakan pukulan berat bagi Bani Hasyim semua. Di
antara anak-anaknya tak ada yang seperti dia punya keteguhan hati, kewibawaan, pandangan yang
tajam, terhormat dan berpengaruh di kalangan Arab semua. Dia menyediakan makanan dan
minuman bagi mereka yang datang berziarah, memberikan bantuan kepada penduduk Mekah bila
mereka mendapat bencana. Sekarang ternyata tak ada lagi dari anak-anaknya yang akan dapat
meneruskan. Yang dalam keadaan miskin, tidak mampu melakukan itu, sedang yang kaya hidupnya
kikir sekali.

Muhammad diasuh oleh abu Thalib dan perjalanan pertama ke Syam

Pengasuhan Muhammad dipegang oleh Abu Talib,pamannya. Sekalipun dia bukan yang tertua di
antara saudara-saudaranya. Saudara yang tertua adalah Haris, tetapi dia tidak seberapa mampu.
Sebaliknya Abbas yang mampu, sangat kikir. Oleh karena itu ia hanya memegang urusan siqayah
(pengairan) tanpa mengurus rifadah (makanan). Tetapi sekalipun dalam kemiskinan nya, Abu Talib
punya perasaan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Tidak heran jika Abdul-Muttalib
menyerahkan asuhan Muhammad kemudian kepada Abu Talib.

Abu Talib mencintai keponakannya itu sama seperti Abdul-Muttalib. Karena kecintaannya itu pula, ia
mendahulukan keponakannya daripada anak-anaknya sendiri. Budi pekerti Muhammad yang luhur,
cerdas, suka berbakti dan baik hati, itulah yang lebih menarik hati pamannya.

Pada suatu ketika abu thalib akan pergi ke Syam membawa dagangannya, ketika itu usia Muhammad
baru dua belas tahun, mengingat sulitnya perjalanan menyeberangi padang pasir, tak terpikirkan
olehnya akan membawa Muhammad. Tetapi dengan ikhlas Muhammad sendiri yang mengatakan
ingin menemani pamannya.Anak itu turut serta dalam rombongan kafilah,Ketika rombongan itu
singgah di Bashra, wilayah antara Syam dan Hijaz, mereka bertemu dengan seorang pendeta Yahudi
bernama Buhaira. Seorang pendeta yang sangat menguasai isi Kitab Injil dan memahami betul ajaran
Yahudi. Di sanalah Buhaira melihat Nabi Muhammad sekaligus menjadi awal pertemuan mereka
berdua. Buhaira merupakan salah satu pendeta Nasrani yang masih memegang teguh dan
mempertahankan tauhidnya kepada Allah, dengan meyakini bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan
Nabi Isa AS. bukanlah anak Tuhan melainkan seorang nabi yang diutus oleh Allah. Dalam perjumpaan
itu, dia memperhatikan Muhammad secara seksama dan mengajaknya bicara. Setelah pembicaraan
itu selesai, Buhaira menemui Abu Thalib dan menyampaikan pertanyaan kepadanya,

“Apa hubungan anak itu denganmu?”

“Dia putraku.” Jawab Abu Thalib. (Abu Thalib menyebut Nabi Muhammad sebagai putranya karena
begitu besar cinta dan sayang kepadanya)

Buhaira menukas, “Dia bukan putramu. Tidak mungkin ayah anak ini masih hidup.”

Abu Thalib akhirnya mengaku,

“Dia keponakanku.”

“Apa yang terjadi pada ayahnya?” tanya Buhaira.

“Dia meninggal saat ibunya masih mengandungnya,” jawab Abu Thalib.

“Engkau berkata benar. Sekarang, segera bawa pulang anak ini kembali ke negerimu dan jagalah dia
dari orang Yahudi. Karena, demi Allah, jika mereka melihatnya di sini, pasti mereka akan berbuat
jahat kepadanya. Ketahuilah, keponakanmu ini kelak akan memegang urusan yang sangat besar.”

Mendengar penjelasan Buhaira, Abu Thalib bergegas membawa Nabi Muhammad pulang ke Mekah.

Gembala kambing

Dalam usia mudanya, ia menggembalakan kambing keluarganya dan kambing penduduk Mekah.
Dengan rasa gembira saat menggembala, ia berkata: “Setiap nabi yang diutus Allah itu gembala
kambing.” Dan katanya lagi: “Musa diutus, dia gembala kambing, Daud diutus, dia gembala kambing,
aku diutus, juga gembala kambing keluargaku di Ajyad.”

Gembala kambing yang berhati terang itu, dalam udara yang bebas lepas di siang hari, dalam
kemilau bintang bila malam sudah bertakhta, menemukan suatu tempat yang serasi untuk pemikiran
dan permenungan nya. Ia menerawang dalam suasana alam demikian itu, karena ia ingin melihat
sesuatu di balik semua itu. Dalam berbagai manifestasi alam ia mencari suatu penafsiran tentang
penciptaan semesta ini.

Pemikiran dan perenungan demikian membuat ia jauh dari segala pemikiran nafsu manusia duniawi.
Ia berada lebih tinggi dari itu, sehingga adanya hidup palsu yang sia-sia akan tampak jelas di
hadapannya. Oleh karena itu, dalam perbuatan dan tingkah laku, Muhammad terhindar dari segala
penodaan nama yang sudah diberikan kepadanya oleh penduduk Mekah, dan memang begitu
adanya: al-Amin.

Semua ini dibuktikan oleh keterangan yang diceritakannya kemudian, bahwa ketika itu ia sedang
menggembalakan kambing dengan seorang kawannya. Pada suatu hari hatinya berkata, bahwa ia
ingin bermain main seperti pemuda-pemuda lain. Hal ini dikatakannya kepada kawannya pada suatu
senja, bahwa ia ingin turun ke Mekah, bermain-main seperti para pemuda di gelap malam, dan
dimintanya agar kawannya menjagakan kambing ternaknya itu. Namun sesampainya di ujung
Mekah, perhatiannya tertarik pada suatu pesta perkawinan dan dia hadir di tempat itu. Tetapi tiba-
tiba ia tertidur. Pada malam berikutnya datang lagi ia ke Mekah, dengan maksud yang sama.
Terdengar olehnya irama musik yang indah, seolah turun dari langit. la duduk mendengarkan. Lalu
tertidur lagi sampai pagi. Jadi apakah gerangan pengaruh segala daya tarik Mekah itu terhadap kalbu
dan jiwa yang begitu padat oleh pikiran dan renungan? Apa gerangan artinya dari segala daya tarik
yang kita gambarkan itu yang juga tidak disenangi oleh mereka yang martabatnya jauh di bawah
Muhammad? Karena itu ia terhindar dari cacat. Yang sangat terasa benar nikmat baginya bila ia
sedang berpikir atau merenung. Kehidupan berpikir dan merenung serta kesenangan bekerja
sekadarnya seperti menggembalakan kambing, bukanlah suatu cara hidup yang membawa kekayaan
melimpah baginya. Muhammad memang tak pernah peduli akan hal itu. Dalam hidupnya ia memang
menjauhkan diri dari segala pengaruh materi. Apa gunanya ia mengejar itu padahal sudah menjadi
bawaannya ia tidak pernah tertarik? Yang diperlukannya dalam hidup ini, asal dia masih dapat
menyambung hidupnya. Bukankah dia juga yang pernah berkata:

‫نحن قوم ال تأكل حتى تجوع وإذا أكلنا لم تشبع‬

“Kami adalah golongan orang yang hanya makan bila merasa lapar, dan bila sudah makan tidak
sampai kenyang".

Khadijah binti Khuwailid

Telah diketahui bahwa abu Thalib hidup miskin dan banyak anak, dari keponakannya itu ia
mengharapakan dapat tambahan rezeki yang didapatkan dari pemilik kambing yang
digembalakannya. Suatu waktu ia mendengar berita, bahwa Khadijah binti Khuwailid mengupah
orang-orang Quraisy yang menjalankan perdagangannya. Khadijah adalah seorang perempuan
pedagang yang kaya dan dihormati, mengupah orang yang akan memperdagangkan hartanya.
Berasal dari Bani As’ad, ia bertambah kaya setelah dua kali ia kawin dengan Banu Makhzum,
sehingga dia menjadi penduduk Mekah yang terkaya. Ia menjalankan dagangannya dengan bantuan
ayahnya Khuwailid dan beberapa orang kepercayaannya. Beberapa pemuka Quraisy pernah
melamarnya, tetapi ditolaknya. Ia yakin mereka melamar hanya karena memandang hartanya.

Tatkala Abu Talib mengetahui, bahwa Khadijah sedang menyiapkan perdagangan yang akan dibawa
dengan kafilah ke Syam, ia memanggil keponakannya yang ketika itu sudah berumur dua puluh lima
tahun. Ia berkata:

“anakku, aku bukan orang berpunya. Keadaan makin menekan kita juga. Aku mendengar, bahwa
Khadijah mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tetapi aku tidak setuju kalau kau akan
mendapat upah semacam itu juga. Setujukah kau kalau hal ini kubicara kan dengan dia?”

“Terserah Paman,” jawab Muhammad.

Abu Thalib pun pergi mengunjungi Khadijah. Lalu mengatakan:

“Khadijah, setujukah Anda mengupah Muhammad?”

“Saya mendengar Anda mengupah orang dengan dua ekor anak unta. Tetapi buat Muhammad
permintaan saya jangan kurang dari empat ekor.”

“Kalau permintaan Anda itu buat orang yang jauh dan tidak saya sukai pasti saya kabulkan, apalagi
buat orang yang dekat dan yang saya sukai.” Demikian jawab Khadijah.

Kembalilah sang paman kepada keponakannya dengan menceritakan hasil pertemuannya itu.

“Ini adalah karunia yang dilimpahkan Tuhan ke padamu,” katanya.

Berdagang ke syam

Setelah mendapat nasihat paman-pamannya, Muhammad pergi dengan Maisarah, laki-laki pesuruh
Khadijah. Dengan mengambil jalan padang pasir kafilah itu pun berangkat menuju Syam, melalui
Wadi al-Qura, Madyan dan Diyar Samud serta daerah-daerah yang dulu pernah dilalui Muhammad
dengan pamannya Abu Talib tatkala umurnya baru dua belas tahun. Perjalanan sekali ini telah
menghidupkan kembali kenangannya tentang perjalanan yang pertama dulu. Hal ini menambah dia
lebih banyak bermenung, lebih banyak berpikir tentang segala yang pernah dilihat dan yang pernah
didengar sebelumnya tentang peribadatan dan kepercayaan-kepercayaan di Syam atau di pasar-
pasar sekeliling Mekah. Dengan kejujuran dan kemampuannya ternyata Muhammad mampu benar
memperdagangkan barang-barang Khadijah, dengan cara yang lebih banyak menguntungkan
daripada yang dilakukan orang lain sebelumnya. Demikian juga dengan perangainya yang manis dan
perasaannya yang luhur ia dapat menarik kecintaan dan penghormatan Maisarah kepadanya.
Setelah tiba waktunya mereka akan kembali, mereka membeli segala barang dagangan dari Syam
yang kira-kira akan disukai oleh Khadijah. Dalam perjalanan kembali, kafilah mereka itu singgah di
Marr Az-Zahran. Ketika itu Maisarah berkata:

"Muhammad, cepat-cepatlah kau menemui Khadijah dan ceritakan pengalamanmu. Dia akan
mengerti semua itu."

Muhammad berangkat dan tengah hari sudah sampai di Mekah. Ketika itu Khadijah sedang berada di
ruang atas. Bila dilihatnya Muhammad di atas unta dan sudah memasuki halaman rumahnya, ia
turun menyambut nya. Didengarnya Muhammad bercerita dengan bahasa yang begitu fasih tentang
perjalanannya serta laba yang diperolehnya, juga mengenai barang barang Syam yang dibawanya.
Khadijah gembira dan tertarik sekali mendengarkannya. Sesudah itu Maisarah pun datang menyusul
dan bercerita juga tentang Muhammad, betapa halus wataknya, betapa tinggi budi pekertinya. Hal
ini menambah pengetahuan Khadijah di samping yang sudah diketahuinya tentang pemuda Mekah
yang besar jasanya itu. Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah ini telah berubah menjadi
rasa cinta, sehingga ia yang sudah berusia empat puluh tahun, dan yang sebelum itu telah menolak
lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy berhasrat juga menikah dengan pemuda
ini, yang tutur kata dan pandangan matanya telah menembusi kalbunya.

Pernikahan Muhammad dengan khadijah

Suatu ketika Khadijah bercerita kepada sahabatnya, Nufaisah binti Muniyah, bahwa ia mencintai
Muhammad dan ingin menikahinya.

Nufaisah pun pergi Menemui Muhammad seraya berkata:

“Mengapa kau tidak mau kawin?”

“Aku tidak punya apa-apa sebagai persiapan perkawinan,” jawab Muhammad.

“Kalau itu disediakan dan yang melamarmu itu perempuan cantik, berharta, terhormat dan
memenuhi syarat, tidakkah akan kau terima?”

“Siapa?”

Nufaisah menjawab hanya dengan sepatah kata:

“Khadijah.”

“Dengan cara bagaimana?” tanya Muhammad lagi.

“Serahkan soal itu kepadaku,” jawab Nufaisah

Ia pun menyatakan persetujuannya. Tak lama kemudian Khadijah menentukan waktu yang kelak
akan dihadiri oleh paman-paman Muhammad supaya dapat bertemu dengan keluarga Khadijah guna
menentukan hari perkawinan itu.
Waktu yang ditentukan pun telah tiba, perkawinan itu berlangsung dengan diwakili oleh paman
Khadijah, ‘Amr bin Asad, sebab Khuwailid ayahnya sudah meninggal dunia. Hal ini dengan sendirinya
telah membantah apa yang biasa dikatakan, bahwa ayahnya ada tetapi tidak menyetujui perkawinan
itu dan bahwa Khadijah telah memberikan minuman keras sehingga ia mabuk dan dengan begitu
perkawinannya dengan Muhammad dapat dilangsungkan.

Di sinilah dimulainya lembaran baru dalam kehidupan Muhammad. Dimulainya kehidupan itu
sebagai suami-istri dan ibu-bapa, suami-istri yang harmonis dan sedap dari kedua belah pihak, dan
sebagai ibu-bapa yang telah merasakan pedihnya kehilangan anak seperti yang pernah dialami
Muhammad yang juga telah kehilangan ibu-bapa semasa ia masih kecil.

Keikutsertaan Muhammad dalam membangun Ka’bah

Ka’bah merupakan bangunan pertama yang dibangun atas nama Allah dan untuk menyembah Allah.
Ka’bah didirikan oleh Ibrahim as. Dan Ismail as. atas perintah Allah

Pergaulan Muhammad dengan penduduk Mekah tidak terputus, juga partisipasinya dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada waktu itu masyarakat sedang sibuk karena bencana banjir
besar yang turun dari gunung pernah menimpa dan meretakkan dinding-dinding Ka’bah yang
memang sudah rapuh. Sebelum itu pun pihak Quraisy memang sudah memikirkannya. Tempat yang
tidak beratap itu menjadi sasaran pencuri yang ingin mengambil barang-barang berharga di
dalamnya. Hanya saja Quraisy merasa takut kalau bangunannya diperkuat, pintunya ditinggikan dan
diberi beratap, dewa Ka’bah yang suci itu akan menurunkan bencana kepada mereka. Sepanjang
zaman jahiliah keadaan mereka diliputi oleh berbagai macam takhayul yang mengancam siapa saja
yang berani mengadakan perubahan. Dengan demikian perbuatan itu dianggap tidak umum.

Tetapi sesudah mengalami bencana banjir, tindakan demikian itu di rasakan adalah suatu keharusan,
walaupun masih serba takut dan ragu. Suatu peristiwa kebetulan telah terjadi, sebuah kapal milik
seorang pedagang Romawi bernama Baqum Yang datang dari Mesir terhempas ke tepi laut dan
pecah. Sebenarnya Baqum ini seorang ahli bangunan yang mengetahui juga soal-soal perdagangan.
Sesudah Quraisy mengetahui hal ini, maka berangkatlah Walid bin Mugirah dengan beberapa orang
dari Quraisy ke Jedah. Kapal itu mereka beli dari pemiliknya, yang sekalian diajaknya berunding
supaya sama-sama datang ke Mekah guna membantu mereka membangun Ka’bah kembali. Baqum
menyetujui permintaan itu. Pada waktu itu di Mekah ada seseorang yang punya keahlian sebagai
tukang kayu. Persetujuan tercapai bahwa dia pun akan bekerja dengan mendapat bantuan Baqum.

Pada saat Ka’bah ingin dirombak, orang Quraisy membagi sudut-sudut Ka’bah menjadi empat
bagian, tiap kabilah mendapat satu sudut yang harus dirombak dan dibangun kembali. Sebelum
bertindak melakukan perombakan mereka masih ragu, khawatir akan mendapat bencana. Kemudian
Walid bin Mugirah tampil ke depan dengan sedikit takut-takut. Setelah ia berdoa kepada dewa-
dewanya mulailah ia merombak bagian sudut selatan. Orang-orang menunggu apa yang akan
ditimpakan Tuhan terhadap Walid. Tetapi ternyata sampai pagi tak terjadi apa-apa, mereka ramai-
ramai mulai merombaknya dan memindahkan batu-batu yang ada. Dalam kegiatan ini Muhammad
juga ikut membawa batu.Setelah mereka berusaha membongkar batu hijau yang terdapat di situ
dengan pacul tidak berhasil, dibiarkannya batu itu sebagai fondasi bangunan. Dari gunung-gunung
sekitar tempat itu sekarang masyarakat Quraisy mulai mengangkuti batu-batu granit berwarna biru,
dan pembangunan pun segera dimulai. Sesudah bangunan itu setinggi orang berdiri dan tiba saatnya
meletakkan Hajar Aswad di tempatnya semula di sudut timur, timbullah perselisihan di kalangan
Quraisy, siapa yang seharusnya mendapat kehormatan meletakkan batu itu di tempatnya. Demikian
memuncaknya perselisihan itu sehingga hampir saja timbul perang saudara karenanya. Bani Abdud-
Där dan Bani Adi bersepakat tak akan membiarkan kabilah yang mana pun campur tangan dalam
kehormatan yang besar ini. Untuk itu mereka mengangkat sumpah bersama. Keluarga Abdud-Dar
membawa sebuah baki berisi darah. Tangan mereka dimasukkan ke dalam baki itu guna
memperkuat sumpah mereka. Karenanya sumpah itu diberi nama La'aqat ad-dam('jilatan darah').

Abu Umayyah bin al-Mugirah dari Banu Makhzum orang yang tertua di antara mereka, dihormati
dan dipatuhi. Setelah melihat keadaan serupa itu ia berkata kepada mereka.

"Serahkanlah putusan kamu ini kepada orang yang pertama kali memasuki pintu safa ini."

Keesokan harinya, ternyata Muhammad lah orang yang pertama memasuki tempat itu,Lalu mereka
berseru:

"Ini al-Amin, kami dapat menerima keputusannya."

Mereka menceritakan peristiwa itu kepada Muhammad. Ia mendengarkan dan sudah melihat di
mata mereka betapa berkobarnya api permusuhan itu. Ia berpikir sebentar, lalu katanya:

"Kemarikan sehelai kain," katanya.

Setelah kain dibawakan, dihamparkannya dan diambilnya batu itu lalu diletakkannya dengan
tangannya sendiri, kemudian katanya:

"Hendaknya setiap ketua kabilah memegang ujung kain ini."

Mereka bersama-sama membawa kain tersebut ke tempat batu itu akan diletakkan. Muhammad
mengeluarkan batu itu dari kain dan meletakkannya di tempatnya. Dengan demikian perselisihan
berakhir dan bencana dapat dihindarkan. Quraisy menyelesaikan bangunan Ka'bah sampai setinggi
delapan belas hasta (+11 meter), dan ditinggikan dari tanah sedemikian rupa,sehingga mereka dapat
menyuruh atau melarang orang masuk. Di dalam itu mereka membuat enam batang tiang dalam dua
deretan dan di sudut barat sebelah dalam dipasang sebuah tangga naik sampai ke teras di atas lalu
meletakkan Hubal di dalam Ka'bah. Juga di tempat itu diletakkan barang-barang berharga lainnya,
yang sebelum dibangun dan diberi atap menjadi sasaran pencurian. Umur Muhammad waktu
memperbaiki Ka'bah dan memberikan keputusannya tentang batu itu adalah tiga puluh lima tahun.

Putra-putri Muhammad

Selama bertahun-tahun Muhammad tetap bersama-sama penduduk Mekah dalam kehidupan


masyarakat sehari-hari. Ia menemukan dalam diri Khadijah teladan perempuan terbaik; perempuan
yang subur dan penuh kasih, sudah memasrahkan diri kepadanya, dan telah melahirkan anak-anak
yakni :

Pertama, Sayyidina al-Qasim. Dia lahir sebelum beliau diangkat menjadi Nabi. Karena Qasim adalah
anak tertua, maka Nabi diberi julukan Abu Qasim. Dia hanya hidup selama beberapa hari saja.

Kedua, Sayyidah Zainab. Dia adalah putri tertua Nabi yang lahir pada tahun ke-30 dari kelahiran Nabi
Muhammad.

Ketiga, Sayyidah Ruqayyah. Dia lahir pada tahun ke-33 dari kelahiran Nabi Muhammad.

Keempat, Sayyidah Ummu Kultsum.

Kelima, Sayyidah Fathimah az-Zahra. Ia dilahirkan lima tahun sebelum Nabi Muhammad menerima
wahyu yang pertama.
Keenam, Sayyidina Abdullah yang dijuluki At-Thayyib dan At-Thahir. Dia lahir setelah ayahnya
diangkat menjadi Nabi. Ia lahir di Makkah dan wafat saat usianya masih kecil.

Telah diketahui bahwa kedua putranya itu meninggal ketika waktu kecil, maka tidak begitu sulit bagi
kita untuk menduga betapa dalamnya kesedihan demikian itu, pada suatu zaman yang
membenarkan anak-anak perempuan dikubur hidup-hidup dan menjaga keturunan laki-laki sama
dengan menjaga suatu keharusan hidup, bahkan lebih lagi dari itu. Cukuplah menjadi contoh, betapa
besarnya kesedihan itu, Muhammad tak dapat menahan diri atas kehilangan tersebut, sehingga
ketika Zaid bin Harisah ditawarkan untuk dijual, dimintanya kepada Khadijah supaya ia dibeli lalu
dimerdekakan. Waktu itu orang menyebutnya Zaid bin Muhammad. Keadaan ini tetap demikian
hingga akhirnya ia menjadi seorang pengikut dan sahabat pilihan. Juga Muhammad merasa sedih
sekali ketika kemudian anaknya, Ibrahim meninggal pula. Kesedihan demikian ini timbul juga
sesudah Islam mengharamkan menguburkan anak perempuan hidup-hidup, dan sesudah
menentukan bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu.

Sudah tentu malapetaka yang menimpa Muhammad dengan kematian kedua putranya berpengaruh
juga dalam kehidupan dan pemikirannya. Sudah tentu pula pikiran dan perhatiannya tertuju pada
kemalangan yang datang satu demi satu itu menimpanya, yang oleh Khadijah dilakukan dengan
membawakan sesajen buat berhala-berhala dalam Ka’bah, menyembelih hewan buat Hubal, Latta,
Uzza dan Manat. Ia ingin menebus bencana kesedihan yang menimpanya. Tetapi, semua korban dan
penyembelihan itu tidak berguna sama sekali.

Menyendiri Di Gua Hira

Sudah menjadi kebiasaan masyarakat Arab masa itu, mereka menjauhkan diri dari keramaian orang,
berkhalwat dan mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka dengan bertapa dan berdoa, untuk
mengharapkan agar diberi karunia dan pengetahuan. Pengasingan untuk beribadat semacam ini
mereka namakan tahannuf dan tahannus.

Di tempat ini rupanya Muhammad mendapat tempat yang paling baik guna mendalami pikiran dan
renungan yang berkecamuk dalam dirinya itu. Juga di tempat ini ia mendapatkan ketenangan hidup
serta obat penawar hasrat hati yang ingin menyendiri, ingin mencari jalan memenuhi kerinduannya
yang selalu makin besar, ingin mencapai ma’rifat serta mengetahui rahasia alam semesta.

Kecenderungan Muhammad Menyendiri Di puncak Gunung Hira’, sejauh dua farsakh sebelah utara
Mekah terletak sebuah gua yang baik sekali buat tempat menyendiri dan tahannus. Sepanjang bulan
Ramadan tiap tahun ia pergi ke sana dan berdiam di tempat itu, cukup hanya dengan bekal sedikit
yang dibawa nya. Ia bertekun dalam renungan dan ibadat, jauh dari segala kesibukan hidup dan
keramaian manusia. Ia mencari Kebenaran demi kebenaran semata.

Demikian kuatnya ia merenung mencari hakikat kebenaran itu, sehingga ia lupa akan dirinya, lupa
makan, lupa segala yang ada dalam hidup ini. Sebab, segala yang dilihatnya dalam kehidupan
manusia sekitar nya, bukanlah kebenaran. Di situ ia mengungkapkan dalam kesadaran batinnya
segala yang disadarinya. Tambah tidak suka lagi ia akan segala praduga yang pernah dikejar-kejar
orang.

Ia tidak berharap kebenaran yang dicarinya itu akan terdapat dalam kisah-kisah lama atau dalam
tulisan-tulisan para pendeta, melainkan dalam alam sekitarnya; dalam luasan langit dan bintang-
bintang, dalam bulan dan matahari, dalam padang pasir di kala panas membara di bawah sinar
matahari yang berkilauan. Atau di kala langit yang jernih dan indah, bermandikan cahaya bulan dan
bintang yang sedap dan lembut, atau dalam laut dan deburan ombak, dan dalam segala yang ada di
balik itu. Yang ada hubungannya dengan wujud ini, serta diliputi seluruh kesatuan wujud. Dalam
alam itulah ia mencari Hakikat Tertinggi. Dalam usaha mencapai itu, pada saat-saat ia menyendiri
demikian, jiwanya membubung tinggi akan mencapai hubungan dengan semesta alam ini,
menembusi tabir yang menyimpan semua rahasia. Ia tidak memerlukan permenungan yang panjang
guna mengetahui bahwa apa yang oleh masyarakatnya dipraktekkan dalam soal-soal hidup dan apa
yang disajikan sebagai kurban-kurban untuk tuhan-tuhan mereka itu, tidak membawa kebenaran
sama sekali. Berhala-berhala yang tidak berguna, tidak menciptakan dan tidak pula mendatangkan
manfaat, tak dapat memberi Perlindungan kepada siapa pun yang ditimpa bahaya. Hubal, Latta dan
Uzza, dan semua patung dan berhala yang terpancang di dalam dan di sekitar Ka’bah, tak pernah
menciptakan, sekalipun seekor lalat, atau akan mendatangkan kebaikan bagi Mekah.

Tetapi! Ah, di mana gerangan kebenaran itu! di mana kebenaran dalam alam yang luas ini, luas
dengan buminya, dengan lapisan-lapisan langit dan bintang-bintangnya? Adakah barangkali dalam
bintang yang berkelip-kelip, yang memancarkan cahaya dan kehangatan kepada manusia, dari sana
pula hujan diturunkan, sehingga karenanya manusia dan semua makhluk yang ada di muka bumi ini
hidup dari air, dari cahaya dan kehangatan udara? Tidak! Bintang-bintang itu tak lain hanya benda-
benda langit seperti bumi ini juga. Ataukah barangkali di balik benda-benda itu terdapat sesuatu
yang tak terbatas, tak berkesudahan?

Tetapi apa sesuatu itu? Adakah hidup yang kita alami sekarang, dan besok akan berkesudahan? Apa
asalnya, dan apa sumbernya? Kebetulan sajakah bumi ini terjadi dan dijadikan pula kita didalamnya?
Tetapi, baik bumi atau hidup ini sudah punya ketentuan yang pasti yang tak berubah ubah. Tak
mungkin bila dasarnya hanya kebetulan saja. Apa yang di alami manusia, kebaikan atau keburukan,
datang atas kehendak manusia sendiri, ataukah itu sudah bawaannya sendiri pula sehingga tak kuasa
ia memilih yang lain?

Masalah-masalah kejiwaan dan kerohanian serupa itu, itu juga yang dipikirkan Muhammad selama ia
mengasingkan diri dan bertekun dalamGua Hira'. la ingin melihat Kebenaran dan melihat hidup itu
seluruhnya. Pemikirannya memenuhi jiwanya, memenuhi jantungnya, pribadinya dan seluruh
wujudnya. Siang dan malam hal ini menderanya terus-menerus. Bilamana bulan Ramadan sudah
berlalu dan ia kembali kepada Khadijah, pengaruh pikiran yang masih membekas padanya membuat
Khadijah menanyakannya selalu, karena dia pun ingin lega hatinya bila sudah di ketahuinya ia dalam
sehat dan afiat.

Dalam melakukan ibadah selama dalam tahannus itu adakah Muhammad menganut suatu syariat
tertentu? Dalam hal ini pendapat para ulama tidak sama. Dalam kitab sejarahnya, (al-Bidayah wan-
Nihayah) Ibn Kasir menceritakan sedikit tentang pendapat-pendapat mereka mengenai syariat yang
digunakan melakukan ibadat itu. Ada yang mengatakan menurut Nuh, ada yang mengatakan
menurut Ibrahim, yang lain berkata menurut syariat Musa, ada yang mengatakan menurut syariat Isa
dan yang dapat dipastikan bahwa ia menganut syariat tertentu dan diamalkannya. Barangkali
pendapat yang terakhir ini lebih tepat daripada yang sebelumnya. Ini sesuai dengan dasar renungan
dan pemikiran yang menjadi kedambaan Muhammad.

Mimpi Hakiki

Tahun telah berganti tahun dan kini telah tiba pula bulan Ramadan. la pergi ke Gua Hira', ia kembali
bermenung, sedikit demi sedikit ia bertambah matang, jiwanya pun semakin penuh. Sesudah
beberapa tahun jiwa yang terbawa oleh Kebenaran Tertinggi itu dalam tidurnya ia bertemu dengan
mimpi hakiki, yang memancarkan cahaya kebenaran yang selama ini dicarinya. Bersamaan dengan
itu dilihatnya hidup yang sia-sia, hidup tipu daya dengan segala macam kemewahan yang tiada
berguna. Ketika itulah ia percaya bahwa masyarakatnya telah sesat dari jalan yang benar, dan hidup
kerohanian mereka telah rusak karena tunduk kepada khayal berhala-berhala serta kepercayaan-
kepercayaan semacamnya yang tidak kurang pula sesatnya.

Muhammad sudah menjelang usia empat puluh tahun. Ia pergi ke gua Hira' melakukan tahannus.
Jiwanya sudah penuh iman atas segala yang telah dilihatnya dalam mimpi hakiki itu. Ia telah
membebaskan diri dari segala kebatilan. Tuhan telah mendidiknya, dan didikan-Nya baik sekali.
Dengan sepenuh kalbu ia menghadapkan diri ke jalan lurus, kepada Kebenaran yang Abadi. Ia telah
menghadapkan diri kepada Allah dengan seluruh jiwanya agar dapat memberikan hidayah dan
bimbingan kepada masyarakatnya yang sedang hanyut dalam lembah kesesatan. Dalam hasratnya
menghadapkan diri itu ia bangun tengah malam, pelita kalbu dan kesadarannya dinyalakan. Lama
sekali ia berpuasa, dengan begitu renungannya dihidupkan. Kemudian ia turun dari gua itu,
melangkah ke lorong-lorong di sahara. Lalu ia kembali ke tempatnya berkhalwat, hendak menguji
apa gerangan yang berkecamuk dalam perasaannya itu, apa gerangan yang terlihat dalam mimpi itu?
Hal serupa itu berjalan selama enam bulan, sampai-sampai ia merasa khawatir akan membawa
akibat lain terhadap dirinya. Oleh karena itu ia menyatakan rasa kekhawatirannya itu kepada
Khadijah dan menceritakan apa yang telah dilihatnya. Ia khawatir kalau-kalau itu adalah gangguan
jin. Tetapi istri yang setia itu dapat menenteramkan hatinya. Dikatakan nya bahwa dia adalah al-
Amin, tidak mungkin jin akan mendekatinya, sekalipun memang tidak terlintas dalam pikiran istri
atau dalam pikiran suami itu bahwa Allah telah mempersiapkan pilihan-Nya dengan memberikan
latihan rohani sedemikian rupa guna menghadapi saat yang dahsyat, berita yang dahsyat, yakni saat
datangnya wahyu pertama. Dengan itu ia dipersiapkan untuk membawakan pesan dan risalah yang
besar.

Wahyu Pertama (tahun 610 M.)

Mimpi Hakiki itulah yang menjadi permulaan Wahyu, yang dimana setelah itu Muhammad jadi lebih
senang menyendiri.Kemudian ia pergi di gua Hira untuk bertahanus lagi.

pada waktu beliau berada di gua Hira.tiba-tiba datanglah malaikat kepadanya dan berkata,

“Bacalah!”

“Aku tidak bisa membaca.” Jawab Muhammad

Lalu malaikat itu menarik dan memeluknya erat-erat sehingga ia kepayahan. Kemudian malaikat itu
melepaskannya dan berkata lagi,

“Bacalah!”

“Aku tidak bisa membaca.”jawabnnya.

Lalu ia ditarik dan dipeluknya kembali kuat-kuat hingga habislah tenaganya.Seraya


melepaskannya,malaikat itu berkata lagi,

“Bacalah!”

“Aku tidak bisa membaca.” Jawabnya kembali

Kemudian untuk ketiga kalinya malaikat itu menarik dan memeluknya sekuat-kuatnya, lalu seraya
melepaskannya malaikat itu berkata,

‫ان َما لَ ْم َيعْ لَ ْم‬


َ ‫نس‬ َ ‫ ا ْق َرْأ َو َرب‬.‫ان مِنْ َعلَ ٍق‬
َ ‫ َعلَّ َم اِإْل‬.‫ الَّذِي َعلَّ َم ِب ْال َقلَ ِم‬.‫ُّك اَأْل ْك َر ُم‬ َ ‫ا ْق َرْأ ِباسْ ِم َرب‬
َ ‫ َخلَقَ اِإْل‬. َ‫ِّك الَّذِي َخلَق‬
َ ‫نس‬
(1)Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan; (2) Dia Telah menciptakan
manusia dari segumpal darah; (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah; (4) Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran qalam (pena); (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya. (QS. Al-Alaq, 96:1-5)

Kemudian Nabi pulang ke rumah istrinya, dengan hati gemetar ketakutan. Beliau memohon
kepadanya,

“Selimutilah aku!”

khadijah menyelimutinya hingga hilanglah ketakutannya. Kemudian beliau bercerita kepada Khadijah
tentang apa yang baru dialaminya,ia berkata:

“Sesungguhnya aku mencemaskan diriku.”

Khadijah berkata,

“Sama sekali tidak. Demi Allah, Allah selamanya tidak akan menghinakan engkau. Sesungguhnya
engkaulah orang yang selalu menyambung tali persaudaraan, selalu menanggung orang yang
kesusahan, selalu mengusahakan apa yang diperlukan, selalu menghormati tamu dan membantu
derita orang yang membela kebenaran.”

Selanjutnya Khadijah pergi membawa beliau menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul Uzza,
anak paman Khadijah. Waraqah adalah seorang Arab pemeluk agama Nasrani di zaman Jahiliyah. Ia
pandai menulis kitab dalam bahasa Ibrani dan ia pun menulis Injil dengan bahasa Ibrani. Ia seorang
tua yang buta. Khadijah berkata kepadanya,

“Wahai anak pamanku, dengarkanlah cerita anak saudaramu ini”

Waraqah bertanya kepada Nabi,

“Wahai anak saudaraku, apakah yang kaulihat?”

Lalu beliau menceritakan apa yang beliau lihat dan alami di Gua Hira’. Kemudian Waraqah berkata
lagi kepada beliau,

“Itulah Namus (Jibril) yang pernah diutus Allah kepada Musa. Mudah-mudahan aku masih hidup di
saat engkau diusir kaummu!”

“Apakah mereka akan mengusirku?” Tanya rasulullah.

Ia menjawab,

“Ya, sebab setiap orang yang membawa seperti apa yang engkau bawa pasti dimusuhi orang. Jadi
kelak engkau mengalami masa-masa seperti itu, dan jika aku masih hidup, aku pasti akan
menolongmu sekuat tenagaku.”

Tidak lama kemudian, Waraqah meninggal dan wahyu pun putus untuk sementara (fatrah al-wahy).

Menurut Ibnu Syihab dari Abu Salamah bin Abdirrahman, Jabir bin Abdillah al-Anshari menceritakan
tentang terhentinya wahyu tersebut, bahwa Rasulullah bersabda:

“Ketika aku sedang berjalan, tiba-tiba aku mendengar suara dari atas, maka aku lihat ada malaikat
yang pernah datang kepadaku di gua Hira, sedang duduk di atas kursi di antara langit dan bumi,
maka takutlah aku padanya. Lalu aku pulang seraya berkata,
“Selimutilah aku!”

Lalu turunlah wahyu:

ْ‫ َوالرُّ جْ َز َفاهْ جُر‬. ْ‫ك َف َطهِّر‬ َ ‫ َو َر َّب‬. ْ‫ قُ ْم َفَأنذِر‬.ُ‫َيا َأ ُّي َها ْال ُمد َِّّثر‬
َ ‫ َو ِث َيا َب‬. ْ‫ك َف َكبِّر‬
Wahai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah (manusia) peringatan, dan Tuhanmu
agungkanlah, dan pakaianmu sucikanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah!” (QS. al-Muddatsir,
74 :1-5).

Sesudah itu, wahyu pun turun terus-menerus.” (HR. Bukhari: 02, Muslim: 232)

Anda mungkin juga menyukai