Anda di halaman 1dari 5

MATERI SIRAH NABAWI

KEGIATAN RAMADHAN TAHUN 2023 M/1444 H

Petunjuk Pembelajaran :

1. Diambil satu judul materi sekali pertemuan


2. Siswa diminta membaca (ditunjuk 1 orang membaca), siswa lain mendengarkan dan merenungkan
kisah tersebut
3. Dibentuk Kelompok
4. Setiap kelompok diminta untuk menuliskan (a) hikmah yang terdapat di balik kisah tersebut. (b)
pengalaman diri yang pernah dilakukan
5. Guru memilih siswa untuk membacakan hikmah-hikmah dibalik kisah dihadapan semua siswa
6. Guru memberikan penguatan.

Sirah Nabi Muhammad


1. Dari Gembala ke Manajer

Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu, bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan
pada orang lain yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui oleh Tsuaiba
-budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui Hamzah -paman lainnya yang seusia
Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari
pekerjaan sebagai Ibu susu.

Semula Halimah menolak Muhammad. Ia menginginkan bayi yang bukan seorang yatim, dan keluarganya
sanggup membayar lebih mahal. Tak ada bayi lain yang bisa disusui, Halimah pun membawa Muhammad
ke kampungnya. Suasana perkampungan Bani Saad disebut lebih baik bagi pertumbuhan anak dibanding
'kota' Mekah. Udara di sana disebut lebih bersih, bahasa Arab-nya pun lebih asli. Di masa bersama
Halimah itulah tersiar kisah mengenai Muhammad kecil.

Menurut kisah itu, Halimah menjumpai Muhammad dalam keadaan pucat. Disebutkan bahwa Muhammad
baru didatangi dua orang -yang diyakini banyak kalangan sebagai malaikat. Orang tersebut kemudian
membelah dada Muhammad. Banyak orang percaya, itu adalah proses malaikat "mencuci hati Muhammad''
sehingga bersih.

Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan
Muhammad. Dalam perjalanan ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum
ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah Abdul Muthalib. Saat
Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu membawanya ke Madinah menengok keluarga dan
makam Abdullah, sang ayah. Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar
600 km bersama kafilah dagang yang menuju Syam.

Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun
yatim piatu. Ia dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad berusia 8
tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu Abdul Muthalib yang hidup miskin.
Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak
pamannya berdagang ke Syam.

Terkisahkan, dalam perjalanan itu Abu Thalib bertemu pendeta Nasrani bernama Buhaira di Bushra. Sang
pendeta memberi tahu bahwa Muhammad bakal menjadi Nabi besar. Maka, ia menyarankan Abu Thalib
segera membawa pulang Muhammad agar tidak celaka olah ulah orang-orang yang tak suka. Perjalanan ke
negeri asing untuk berbisnis pada usia semuda itu tentu memberi kesan kuat pada Muhammad.

Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad remaja mendapat sebutan Al-Amien, "yang dapat

7
dipercaya", dari orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk kemaksiatan
yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad
selalu tertidur. Sedangkan ketajaman intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan
para penyair.

Pada bulan-bulan suci, di beberapa tempat di dekat Mekah, selalu muncul pasar. Terutama di Ukaz yang
berada di antara Thaif dan Nakhla, serta di Majanna dan Dzul-Majaz. Di hari pasar, para penyair
membacakan sajak-sajaknya. Sebagian penyair itu beragama Nasrani maupun Yahudi. Mereka umumnya
mengeritik bangsa Arab yang menyembah berhala. Peristiwa tersebut menambah sikap kritis Muhammad
atas perilaku masyarakatnya.

Persoalan pasar di Ukaz itu menyeret Muhammad pada realita manusia: perang. Berawal dari pelanggaran
kesepakatan sistem dagang yang dilakukan Barradz bin Qais dari kabilah Kinana yang memicu
pelanggaran serupa 'Urwa bin 'Uthba dari kabilah Hawazin. Barradz lalu membunuh 'Urwa di bulan suci
yang diharamkan terjadi pertumpahan darah. Kabilah Hawazin lalu mengangkat senjata terhadap kabilah
Kinana. Karena kekerabatan, kaum Quraish seperti Muhammad membela kabilah Kinana.

Selama empat tahun, pertempuran berlangsung pada hari-hari tertentu setiap tahun. Itu terjadi saat
Muhammad berusia sekitar 16 hingga 20 tahun. Disebutkan pula, di pertempuran itu Muhammad hanya
bertugas mengumpulkan anak panah lawan. Ada juga yang menyebut dia pernah memanah lawan. Perang
Fijar itu pun berakhir dengan kesepakatan damai.

Satu peristiwa penting yang jarang dikisahkan adalah bergabungnya Muhammad pada Gerakan Hilfil
Fudzul. Sebuah gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya.
Peristiwa itu terpicu oleh perampasan barang milik pedagang asing yang tiba di Mekah oleh Wail bin Ash.
Zubair bin Abdul Muthalib mengajak keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym untuk menegakkan kembali
kehormatan kota Mekah. Mereka berikrar di rumah Abdullah bin Jud'an untuk membentuk gerakan
tersebut. Pada usia 20-an tahun, Muhammad aktif dalam Hilfil Fudzul itu. Ia ikut menyelamatkan gadis
dari Bani Khais'am yang diculik Nabih bin Hajaj dan kawan-kawan.

Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25
tahun, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu,
Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji
berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu. Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui
Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor
unta. Khadijah setuju.

Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan
utama Yaman - Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat
kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah, Maisarah. Bisnis tersebut sukses
besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi
dagang sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain.
Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga
semakin memahami konstalasi politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan
Persia.

Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad. Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka,
benih cinta pun perlahan bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.
Sumber : www.pesantren.net

 
2. Tahun Kesedihan Abu Thâlib wafat

Sakit yang dialami oleh Abu Thâlib semakin payah, maka tak lama dari itu dia menemui ajalnya, yaitu pada
8
bulan Rajab tahun 16 H dari kenabian setelah enam bulan keluar dari syi’b nya. Ada riwayat yang
menyebutkan bahwa dia wafat pada bulan Ramadhan, tiga hari sebelum Khadijah radhiallaahu 'anha wafat.

Dalam kitab ash-Shahîh dari (Sa’id) bin al-Musayyib disebutkan bahwa ketika Abu Thâlib dalam keadaan
sekarat, Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam mengunjunginya sementara disisinya sudah berada Abu Jahl.
Beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam bertutur kepadanya: “wahai pamandaku! Katakanlah: Lâ ilâha illallâh,
kalimat ini akan aku jadikan hujjah untukmu di sisi Allah”.

Namun Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah memotong: “wahai Abu Thâlib! Sudah bencikah engkau
terhadap agama ‘Abdul Muththalib?. Keduanya terus mendesaknya demikian, hingga kalimat terakhir yang
diucapkannya kepada mereka adalah “aku masih tetap dalam agama ‘Abdul Muththalib”.

Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam berkata: “aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak
dilarang melakukannya”, tetapi kemudian turunlah ayat: Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang
yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik
itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah
penghuni neraka Jahannam. (Q,.s. 9/at-Taubah:113).

Demikian pula, turun ayat: “sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang
kamu kasihi…”. (Q,.s.28/al-Qashash: 56).

Kiranya, tidak perlu dijelaskan betapa pengorbanan dan perlindungan yang diberikan oleh Abu Thâlib. Dia
adalah benteng, tempat berlindungnya dakwah islamiyah dari serangan para pembesar dan begundal
Quraisy, akan tetapi sayang, dia tetap memilih agama nenek moyangnya sehingga sama sekali tidak
membawanya meraih kemenangan.

Dalam kitab ash-Shahîh dari al-‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib, dia berkata kepada Nabi Shallallâhu 'alaihi
wasallam : “apakah engkau tidak mempedulikan pamanmu lagi, padahal dialah yang melindungimu dan
berkorban untukmu?”. Beliau bersabda: “dia berada di neraka yang paling ringan, andaikata bukan karenaku
(karena sikapnya melindungi beliau-red) niscaya dia sudah berada di neraka yang paling bawah”.

Dari Abi Sa’îd al-Khudriy bahwasanya dia mendengar Nabi Shallallâhu 'alaihi wasallam bersabda: “semoga
saja syafa’atku bermanfa’at baginya pada hari kiamat, lalu dia ditempatkan di neraka paling ringan yang
(ketinggiannya) mencapai dua mata kaki (saja)”. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa ketika beliau
mengucapkan itu, pamannya berada disisinya.

3. Khadijah berpulang ke rahmatullah

Setelah dua bulan atau tiga bulan dari wafatnya, Abu Thâlib, Ummul Mukminin, Khadijah al-Kubra
radhiallaahu 'anha pun wafat. Tepatnya, pada bulan Ramadhan tahun 10 H dari kenabian dalam usia 65
tahun sedangkan Rasulullah ketika itu berusia 50 tahun.

Sosok Khadijah merupakan nikmat Allah yang paling agung bagi Rasulullah. Selama seperempat abad hidup
bersamanya, dia senantiasa menghibur disaat beliau cemas, memberikan dorongan di saat-saat paling kritis,
menyokong penyampaian risalahnya, ikut serta bersama beliau dalam rintangan yang menghadang jihad dan
selalu membela beliau baik dengan jiwa maupun hartanya.

Untuk mengenang itu, Rasulullah bertutur:”dia telah beriman kepadaku saat manusia tidak ada yang
beriman, dia membenarkanku di saat manusia mendustakan, dia memodaliku dengan hartanya di saat
manusia tidak menahannya, Allah mengkaruniaiku anak darinya sementara Dia Ta’ala tidak memberikannya
dari isteri yang lainnya”.

Di dalam kitab ash-Shahîh dari Abu Hurairah, dia berkata: “Jibril 'alaihissalâm mendatangi Rasulullah
Shallallâhu 'alaihi wasallam sembari berkata: ‘wahai Rasulullah! inilah Khadijah, dia telah datang dengan
membawa lauk-pauk, makanan atau minuman; bila dia nanti mendatangimu, maka sampaikan salam
9
Rabbnya kepadanya serta beritakan kepadanya kabar gembira perihal rumah untuknya di surga yang terbuat
dari bambu yang tidak ada kebisingan dan juga menguras tenaga di dalamnya.

Kesedihan datang silih berganti

Dua peristiwa sedih tersebut berlangsung dalam waktu yang relatif berdekatan, sehingga perasaan sedih dan
pilu menyayat-nyayat hati Rasulullah Shallallâhu 'alaihi wasallam. Kemudian, cobaan demi cobaan terus
datang secara beruntun pula dari kaumnya. Sepeninggal Abu Thâlib, nampaknya mereka semakin berani
terhadap beliau, mereka dengan terang-terangan menyiksa dan menyakiti beliau. Lengkap sudah, kesedihan
yang dialaminya halmana membuat beliau hampir putus asa untuk mendakwahi mereka. Karenanya, beliau
pergi menuju kota Thâ-if dengan harapan penduduknya mau menerima dakwah beliau, melindungi dan
menolong beliau melawan perlakuan kaumnya namun beliau sama sekali tidak melihat ada seroangpun yang
mau melindungi dan menolong. Bahkan sebaliknya, mereka menyiksa dan memperlakukannya dengan yang
lebih sadis dari apa yang dilakukan oleh kaumnya sendiri.
Siksaan yang begitu keras tidak saja dialami Nabi, tetapi para shahabatnyapun ikut mendapatkan jatah. Hal
ini membuat teman akrab beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallaahu 'anhu berhijrah dari Mekkah.
Manakala dia sudah mencapai suatu tempat yang bernama Bark al-Ghumâd dengan tujuan utama ke arah
Habasyah, Ibnu ad-Daghinnahnya mengajaknya pulang dan memberinya suaka.

Ibnu Ishâq berkata: “ketika Abu Thâlib wafat, kaum Quraisy menyiksa Rasulullah Shallallâhu 'alaihi
wasallam dengan siksaan yang semasa hidupnya tidak berani mereka lakukan. Lebih dari itu, salah seorang
begundal Quraisy menghalangi jalan beliau, lalu menaburi debu ke arah kepala beliau. Tatkala beliau masuk
rumah dalam kondisi demikian, salah seorang anak perempuan beliau menyongsongnya dan membersihkan
debu tersebut sembari menangis. Beliau berkata kepadanya: “jangan menangis duhai anakku! Sesungguhnya
Allah lah Yang akan menolong ayahandamu”.

Ibnu Ishâq melanjutkan: “beliau Shallallâhu 'alaihi wasallam selalu berkata bila mengingat hal itu: ‘Tidak
pernah aku mendapatkan suatu perlakuan yang tidak aku sukai dari Quraisy hingga Abu Thâlib wafat’ ”.

Dikarenakan beruntunnya kesedihan demi kesedihan pada tahun ini, maka disebutlah dengan “Tahun
Kesedihan”, sehingga sebutan ini lebih dikenal di dalam buku-buku Sirah dan Tarikh.

3. Kisah Pertemuan Nabi Musa dengan Nabi Khidir, Ditegur Allah karena Merasa Paling Alim

Kisah ini bermula saat Nabi Musa alaihis salam ditanya oleh kaum Bani Israil tentang manusia yang paling
alim di muka bumi. Dijawab oleh Nabi Musa, “Tidak ada lagi yang paling alim di muka bumi selain aku.”
Akibat jawaban itu, Nabi Musa ditegur Allah. Tak hanya itu, Allah juga menurunkan wahyu kepadanya,
“Sesungguhnya, aku memiliki seorang hamba di pertemuan dua samudera yang lebih alim darimu.”
Nabi Musa menjadi penasaran, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku bisa bertemu dengannya?” Allah
menjelaskan, “Bawalah olehmu seekor ikan. Lalu simpan dalam keranjang. Di mana ikan itu menghilang, di
sanalah hamba itu berada.”

Hamba dimaksud tak lain adalah Nabi Khidir alaihis salam  Singkatnya kisah, Nabi Musa mengambil seekor
ikan lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Setelah itu, dirinya berangkat ditemani seorang pemuda
muridnya yang bernama Yusya‘ ibn Nun.

Tibalah keduanya di sebuah batu besar. Tetapi bermaksud untuk merebahkan kepala sejenak, keduanya
justru tertidur. Sementara ikan yang ada dalam keranjang mulai meronta, hingga akhirnya keluar dan terjatuh
ke lautan.

Kejadian ini pun diabadikan dalam Al-Quran dalam Surat Al-Kahfi, “Lalu ikan itu melompat dan
mengambil jalannya ke laut.” Ketika Nabi Musa terbangun, kawannya lupa mengabarkan kepadanya tentang
keberadaan ikan. Keduanya justru melanjutkan perjalanannya selama sehari semalam. Keesokan harinya,
10
Musa baru berkata kepada muridnya, “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih
karena perjalanan kita ini.”

Semula memang Nabi Musa seperti yang tidak mendapati rasa letih, hingga tibalah di tempat yang
diperintahkan Allah dan bertanya demikian. Muridnya lantas menjawab, “Tahukah engkau tatkala kita
mencari tempat berlindung di batu tadi, sesungguhnya aku lupa (bercerita tentang) ikan itu dan tidak ada
yang melupakanku kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang sangat aneh.”
Benar sekali, ikan itu mengambil jalannya di laut, sehingga Musa dan muridnya pun terheran-heran. Musa
kembali berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Akhirnya, keduanya pun kembali. Mengikuti jejak mereka
semula. Keduanya menyusuri jejak mereka semula, hingga sampai lagi di baru besar. Tiba-tiba ada seorang
pria yang berselimutkan sebuah kain. Musa pun mengucap salam dan dijawab oleh pria berselimut yang
belakangan dikenali sebagai Khidir itu, “Bagaimana salam di tempatmu?”  Musa lalu memperkenalkan diri,
“Aku adalah Musa.” Ditanya oleh Khidir, “Apakah Musa kaum Bani Israil?” Musa menjawab, “Benar. Aku
menemuimu agar engkau mengajariku sebuah ilmu.” Kemudian, Musa meminta izin untuk mendampingi
dan mengikuti Khidir. Namun, keinginannnya itu diragukan oleh hamba saleh itu, “Sesungguhnya kamu
sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku, wahai Musa, sebab aku memiliki sebuah ilmu Allah yang
telah diajarkan kepadaku, namun tidak engkau ketahui. Begitu juga engkau memiliki ilmu Allah yang telah
diajarkan-Nya kepadamu, tetapi tidak aku ketahui.” Musa pun berusaha meyakinkan Khidir, “Insya Allah
engkau akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu
urusan pun.” Secara tidak langsung, Khidir menjanjikan kepada Musa bahwa kemampuannya untuk bersabar
ditentukan oleh perkenan dan kehendak Allah. Tak lupa, sang hamba memberi persyaratan kepada Musa
agar tidak bertanya apa-apa kepadanya sampai dirinya menjelaskan semua alasan di balik apa yang
dilakukannya. “Jika engkau mengikutiku, janganlah engkau menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun,
sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu.” Berjalanlah Nabi Musa dan Nabi Khidir menyusuri
pinggiran pantai. Saat ingin menyeberangi pantai yang lain, keduanya mendapati kapal kecil yang tengah
mengangkut para penumpang. Untungnya, para awak kapal telah mengenali Khidir. Singkatnya, mereka pun
membawa Khidir dan Musa menuju pantai yang dituju tanpa diminta imbalan apa pun.

Di sinilah Musa sudah memilih untuk berpisah dengan Khidir. Hal itu ditunjukkan dalam pertanyaannya
tentang alasaan mengapa Khidir mau memperbaiki rumah para penduduk kampung itu tanpa imbalan sedikit
pun. Padahal, dari mereka tidak ada yang mau menyambut dan menjamu. Seandainya, Musa bersabar dalam
mendampingi Khidir, tentu Nabi Musa akan mendapatkan banyak keajaiban dan rahasia yang dialaminya.
Sayangnya, Nabi Musa memilih berpisah setelah Nabi Khidir menjelaskan rahasia di balik semua yang
dilakukannya.  “Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut. Maka, aku
bermaksud membuatnya cacat karena di hadapan mereka ada seorang raja (zalim) yang merampas setiap
perahu (yang terlihat masih bagus),” jelas Nabi Khidir pada Musa. “Adapun anak (yang aku bunuh) itu,
kedua orang tuanya mukmin dan kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya untuk durhaka
dan berbuat kufur.” “Maka, kami menghendaki bahwa Tuhan mereka menggantinya (dengan seorang anak
lain) yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).” “Adapun
dinding (rumah) itu adalah milik dua anak yatim di kota tersebut dan di bawahnya tersimpan harta milik
mereka berdua, sedangkan ayah mereka orang saleh. Maka, Tuhanmu menghendaki agar keduanya mencapai
usia dewasa dan mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Aku tidak melakukannya
berdasarkan kemauanku (sendiri). Itulah makna sesuatu yang engkau tidak mampu bersabar terhadapnya,”
pungkas Khidir. Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir ini pun diabadikan Al-Qur'an dalam Surat al-Kahfi
mulai ayat 61 sampai ayat 82. Kisahnya diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dalam “Kitab al-‘Ilm” dari Ibnu
‘Abbas, dari Ubay ibn Ka‘b, tepatnya dalam “Bab Mā Dzukira Dzahāb Mûsā fi al-Bahr ilā al-Khidir,” juz I,
halaman 168, nomor hadits 74. Diriwayatkannya pula dalam “Bāb al-Khurūj fî Thalab al-‘Ilm”, juz I,
halaman 174, nomor hadits 78, dan dalam “Bāb Mā Yustahabb li al-‘Ālim Idzā Su’ila Ayyu al-Nās A’lam?
Fayakilu al-‘Ilm ilāllāh,” juz I, halaman 217, nomor hadits 122.

11

Anda mungkin juga menyukai