Anda di halaman 1dari 8

KETELADANAN UMAR BIN KHATTAB RA

KISAH UMAR BIN KHATTAB MASUK ISLAM


Pada suatu ketika, Umar berpapasan dengan Nu'aim bin Abdullah saat dalam perjalanan
ingin membunuh Nabi Muhammad SAW. Nu'aim yang melihat kerut dan muram di wajah
Umar kemudian bertanya, "Ada apa denganmu, Umar?"

"Aku mencari dan menginginkan Muhammad, lelaki yang mencerai-beraikan keturunan


Quraisy, yang meruntuhkan impian mereka, menghilangkan agama leluhur merena,
menyerapahi tuhan-tuhan sesembahan mereka. Aku akan membunuh Muhammad," jawab
Umar geram.

"Demi Allah, nafsumu telah menipu dirimu sendiri. Tidakkah kau melihat bahwa anak
cucu Bani Manaf tidak akan meninggalkanmu begitu saja. Mereka masih ada di atas bumi
ini. Lalu kau akan membunuh Muhammad, salah seorang cucu Bani Manaf itu? Tidakkah
kau melihat sanak keluargamu sendiri dan kepada merekalah seharusnya kau tegakkan
perkaramu itu?"

Mendengar hal itu Umar lantas berkata, "Siapa kau maksud dari sanak keluargaku?"

"Anak pamanmu, Sa'd bin Zaid dan saudari kandungmu, Fathimah. Demi Allah, keduanya
telah memeluk Islam dan mengikuti ajaran agama yang dibawa Muhammad. Temuilah
keduanya," seru Nu'aim.

Umar sempat tak percaya mendengar sepupu dan adik kandungnya telah masuk Islam.
Tanpa berpikir panjang, ia pulang dan mencari Fathimah.
Begitu sampai di rumah, ia mendapati Fathimah bersama Sa'd dan Khabbab bin al-Art
tengah membaca lembaran-lembaran Al-Qur'an. Khabbab sedang membacakan surah
Thaha di hadapan keduanya.

Mengetahui Umar datang, Khabbab lantas bersembunyi ke samping rumah. Fathimah pun
bergegas menyembunyikan lembaran-lembaran suci itu di bawah pahanya.

Umar yang sempat mendengar lantunan ayat yang dibaca Khabbab lantas bertanya, "Suara
apa yang baru saja aku dengar?"

"Kami tidak mendengar apa-apa," jawab keduanya.

"Tidak, aku mendengarnya. Jangan sembunyikan apapun dariku. Demi Tuhan, akau
mendengar kabar jika kalian berdua telah mengikuti ajaran Muhammad dan mengingkari
ajaran leluhur kita," ucap Umar.

Umar lalu mendekati Sa'd bin Zaid yang juga suami adiknya itu dan memukulnya hingga
terpelanting. Fathimah yang saat itu melihatnya kemudian berdiri melindungi dan
memeluk suaminya. Umar lantas memukul adiknya sampai bersimpah darah.

"Ya! Kami berdua telah memeluk agama Islam dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.
Umar, lakukan saja apa yang kau mau. Islam tetap tidak akan pernah lepas dari hati kami,"
tegas Fathimah.

Umar lalu tertegun mendengar kata-kata Fathimah. Ketika melihat darah bercucuran dari
tubuh adiknya itu, ia menyesali perbuatannya dan menahan amarahnya. Ia kemudian
meminta lembaran-lembaran Al-Qur'an yang dibaca Fathimah dan suaminya.

Fathimah sempat menolak untuk memberikan lembaran tersebut karena khawatir akan
dihancurkan oleh kakaknya. Kemudian, Umar pun berjanji tidak akan merusak dan akan
mengembalikannya begitu selesai membacanya.

Ketika Umar hendak mengambil dan membaca lembaran itu, Fathimah berkata,
"Saudaraku! Engkau dalam keadaan tidak suci atas kemusyrikan dan kekafiranmu. Dan
tidaklah menyentuh lembaran itu kecuali orang-orang yang tersucikan."

Umar lantas mandi besar dan mengambil lembaran Al-Qur'an lalu membaca surah Thaha.
"Alangkah eloknya kalimat-kalimat ini, betapa mulianya ajaran-ajaran yang
dikandungnya. Sungguh tak ada manusia yang mampu membuat kalam seindah ini," tutur
Umar yang cakap dalam sastra Arab ini.

Mendengar perkataan Umar tersebut, Khabbab yang semula bersembunyi lalu keluar dan
berkata, "Demi Allah, wahai Umar, sesungguhnya aku sangat berharap engkaulah lelaki
yang dimaksud dalam doa Rasulullah. Kemarin aku mendengar Muhammad berdoa, 'Ya
Allah, muliakanlah Islam dengan salah seorang dari dua lelaki ini, al-Umar al-Hakam ibn
Hisyam atau Umar ibn Khattab.'"

Umar yang mendengar ucapan Khabbab itu lantas bergegas ingin menemui Rasulullah
SAW dan memeluk Islam di hadapannya. Tak lupa ia mengambil pedangnya dan
menyarungkannya.

Pada waktu itu, Rasulullah SAW tengah berada di rumah pengungsian Arqam (Bait al-
Arqam) di Bukit Shafa bersama Hamzah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan beberapa
sahabat.

Betapa terkejutnya Hamzah melihat dari celah pintu ada Umar yang sedang berdiri
menjinjing pedangnya. Hamzah lantas mengatakannya kepada Rasulullah SAW.

"Izinkanlah dia masuk. Bila bermaksud baik, kita akan menyambutnya. Bila bermaksud
buruk, kita akan memenggalnya dengan pedangnya sendiri," kata Rasulullah SAW saat
itu.

Hamzah kemudian membukakan pintu dan masuklah Umar dengan menyampaikan


niatnya untuk memeluk Islam.

"Wahai Muhammad, aku datang untuk beriman kepada Allah, juga kepada rasul-Nya, dan
kepada ajaran yang ia bawa dari-Nya," kata Umar.

Rasulullah SAW lantas bertakbir dan diikuti para sahabat. Takbir tersebut menggetarkan
rumah Arqam dan seluruh sahabat di rumah itu mengetahui bahwa Umar telah masuk
Islam. Peristiwa ini terjadi tiga hari setelah Hamzah memeluk Islam, pada suatu hari di
bulan Dzulhijjah tahun ke-6 kenabian.

KISAH WAKAF UMAR BIN KHATTAB


Umar bin Khattab merupakan mualaf, karena sebelumnya tidak memeluk agama Islam
bahkan sangat membenci Rasulullah Muhammad SAW. Bahkan rasa bencinya yang
mendalam tersebut membuatnya ingin membunuh sang Rasulullah.
Namun, Umar bin Khattab yang terkenal akan kekerasannya dalam melawan Islam
akhirnya berubah menjadi salah satu sahabat Rasulullah SAW yang hidup untuk membela
Islam ketika sudah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Umar bin Khattab berubah menjadi sahabat Rasulullah Muhammad SAW yang paling
setia, bahkan selalu memposisikan diri di garda depan untuk melindungi Nabi Muhammad
SAW dan juga Islam. Karena kecintaannya dengan Islam begitu besar, suatu hari ia berniat
untuk mewakafkan tanah Khaibar yang dibagikan Rasulullah SAW kepadanya.
Peristiwa perwakafan tanah Khaibar milik Umar bin Khattab terjadi persis setelah perang
Khaibar, yakni pembebasan tanah Khaibar pada tahun ke-7 Hijriyah. Sebelum itu, Umar
bin Khattab mendatangi Rasulullah SAW untuk mendapatkan petunjuk terkait tanah
miliknya tersebut.
Tanah Khaibar yang ia peroleh dari perang tersebut merupakan salah satu harta yang
sangat disukai oleh Umar bin Khattab, karena tanahnya subur dan banyak memberikan
hasil panen. Setelah meminta petunjuk, Rasulullah SAW pun mengarahkan Umar bin
Khattab agar mewakafkan tanah tersebut.
Setelah mendapat petunjuk dari Rasulullah SAW, Umar bin Khattab kemudian mencatat
wakafnya dalam akta wakaf saat beliau menjadi seorang khalifah. Prosesi wakaf tersebut
juga disaksikan oleh para saksi dan beliau pun mengumumkannya.
UMAR BIN KHATTAB RELA LAPAR 9 BULAN DEMI
RAKYATNYA

pada masa kekhalifahan Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu'anhu terjadi musibah


paceklik pada akhir tahun ke 18 H, tepatnya pada bulan Dzulhijjah, dan berlangsung
selama sembilan bulan.

Masyarakat sudah mulai kesulitan. Kekeringan melanda seluruh bumi Hijaz, dan orang-
orang mulai merasakan sangat kelaparan. Tahun ini disebut juga tahun ramadah karena
permukaan tanah menjadi hitam mengering akibat sedikitnya turun hujan, hingga
warnanya sama dengan ramad (debu).

Pada saat itu daerah Hijaz benar-benar kering kerontang. Penduduk-penduduk pedesaan
banyak yang mengungsi ke Madinah dan mereka tidak lagi memiliki bahan makanan
sedikitpun. Mereka segera melaporkan nasib mereka kepada Amîrul Mukminîn Umar bin
al-Khaththab Radhiyallahu'anhu.

Umar Radhiyallahu ‘anhu cepat tanggap dan menindaklanjuti laporan ini. Dia segera
membagi-bagikan makanan dan uang dari baitul mâl hingga gudang makanan dan baitul
mâl kosong total. Dia juga memaksakan dirinya untuk tidak makan lemak, susu maupun
makanan yang dapat membuat gemuk hingga musim paceklik ini berlalu.

Jika sebelumnya selalu dihidangkan roti dan lemak susu, maka pada masa ini ia hanya
makan minyak dan cuka. Dia hanya mengisap-isap minyak, dan tidak pernah kenyang
dengan makanan tersebut. Hingga warna kulit Umar Radhiyallahu'anhu menjadi hitam
dan tubuhnya kurus; dan dikhawatirkan dia akan jatuh sakit dan lemah. Kondisi ini
berlangsung selama sembilan bulan.

Setelah itu keadaan berubah kembali menjadi normal sebagaimana biasanya. Akhirnya
para penduduk yang mengungsi tadi, bisa pulang kembali ke rumah mereka.

Umar Radhiyallahu'anhu selalu mengontrol rakyatnya di Madinah pada masa peceklik


ini.

Umar Radhiyallahu'anhu tidak menemukan seorangpun yang tertawa, ataupun


berbincang-bincang di rumah sebagaimana biasanya. Umar Radhiyallahu'anhu tidak pula
menemukan orang yang meminta-minta. Dia bertanya apa sebabnya, lalu ada seseorang
yang berkata kepadanya: “Mereka pernah meminta tetapi tidak ada yang dapat diberikan,
akhirnya mereka tidak lagi meminta. Sementara mereka benar-benar dalam keadaan yang
menyedihkan dan sangat memprihatinkan, sehingga mereka tidak lagi bisa berbincang-
bincang ataupun tertawa.”

Akhirnya Umar Radhiyallahu'anhu mengirim surat kepada Abu Musa Radhiyallahu'anhu


di Bashrah yang isinya: “Bantulah umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam! Mereka hampir binasa.” Setelah itu ia juga mengirim surat yang sama kepada
‘Amru bin Al-‘Ash Radhiyallahu'anhu di Mesir. Kedua gubernur ini mengirimkan
bantuan ke Madinah dalam jumlah besar, terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa
gandum.

Bantuan ‘Amru Radhiyallahu'anhu dibawa melalui laut hingga sampai ke Jeddah,


kemudian dari sana baru di bawa ke Mekkah.

Abu Ubaidah Radhiyallahu'anhu pernah datang ke Madinah membawa 4.000 hewan


tunggangan yang dipenuhi makanan. Umar Radhiyallahu'anhu memerintahkannya untuk
membagi-bagikannya di perkampungan sekitar Madinah.

Setelah selesai menjalankan tugasnya, Umar Radhiyallahu'anhu memberikan uang


sebanyak 4.000 dirham kepadanya, namun Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu menolaknya.
Tetapi Umar Radhiyallahu'anhu terus memaksanya hingga akhirnya ia mau menerimanya

Sebagai bentuk kepedulian Umar Radhiyallahu ‘anhu terhadap nasib rakyatnya pada masa
paceklik ini, ia keluar melakukan shalat istisqâ’ (shalat minta hujan). At-Thabarani
rahimahullah meriwayatkan dari Tsumâmah bin Abdillâh bin Anas Radhiyallahu'anhu,
dari Anas Radhiyallahu'anhu bahwa Umar Radhiyallahu'anhu keluar untuk melaksanakan
doa minta hujan.
Dia keluar bersama al-Abbâs Radhiyallahu'anhu, paman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam, dan memintanya berdoa minta turun hujan.

Umar Radhiyallahu'anhu berkata: “Ya Allah Azza wa Jalla sesungguhnya apabila kami
ditimpa kekeringan sewaktu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, maka
kami meminta kepada-Mu melalui Nabi kami; dan sekarang kami meminta kepada-Mu
melalui paman Nabi kami Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Bukhâri juga meriwayatkan
kisah ini dari Anas Radhiyallahu ‘anhu

KETELADANAN AISYAH BINTI ABU


BAKAR RA
Alkisah, suatu hari Aisyah RA, istri Nabi Muhammad, pernah “menikahkan” seorang
perempuan keponakannya yang bernama Hafsah binti Abdurrahman. Sang Ummul Mukminin
menikahkan Hafsah dengan seorang lelaki bernama al-Mundzir bin az-Zubair bin al-Awwam.
Saat itu, ayah Hafsah, Abdurrahman yang notabene merupakan saudara laki-laki Siti Aisyah,
sedang tidak berada di tempat. Sang ayah sedang berada nun jauh di Syam, sebuah wilayah kuno
yang sekarang merujuk kepada negara Syiria, Yordania, Lebanon, dan Palestina.

Sepulang dari Syam dan kembali ke Madinah, Abdurrahman pun marah mengetahui anak
perempuannya menikah tanpa sepengetahuannya. “Apakah orang sepertiku ini memang harus
diperlakukan demikian? Tidak dianggap keberadaanku dalam masalah ini?” seru Abdurrahman
dengan geram.

Mengetahui Abdurrahman marah, Aisyah pun berbicara mendudukkan masalah yang


sebenarnya. Suasana hening.

Lantas al-Mundzir berkata, “Keputusan tetap berada di tangan Abdurrahman.”

Sejurus kemudian, Abdurrahman berkata kepada Aisyah. “Sungguh, aku tidak bermaksud
menolak masalah yang telah engkau putuskan.”

Akhirnya, Hafsah memilih untuk tetap meneruskan pernikahan dengan al-Munzhir. Perselisihan
itu tidak menjadikan keduanya bercerai.

Kisah ini dijadikan salah satu dasar bagi mazhab Hanafi untuk membenarkan pendapat mereka.
Pendapat itu adalah bahwa pernikahan tetap sah meski tanpa wali selama masih
terdapat kafaah (kesetaraan) antara pengantin lelaki dan perempuan. Demikianlah pendapat
yang dikemukakan oleh as-Sarkhasi, salah satu ulama Hanafiyah, dalam kitab-nya berjudul al-
Mabsuth (IV/75).

Salah seorang sejarawan Islam, al-Waqidi, dalam ath-Thabaqat (VIII/468) menyebutkan pula
kisah Aisyah RA tersebut. Namun dalam penjelasannya, al-Waqidi menyebutkan bahwa ketika
Abdurrahman tiba dari Syam, ia tidak memperbolehkan hal itu. Ia menolak tindakan saudaranya,
Siti Aisyah. Setelah terjadi polemik, akhirnya keputusan diserahkan kepada Abdurrahman,
sebagai orang tua Hafsah. Selanjutnya, Abdurrahman pun akhirnya menikahkan ulang Hafsah
dengan al-Mundzir.

Menurut al-Waqidi, pernikahan Hafshah dan al-Munzhir berlangsung sekian lama, sehingga
melahirkan tiga orang anak yang bernama Abdurrahman, Ibrahim, dan Qaribah. Setelah itu,
keduanya bercerai. Hafsah kemudian menikah lagi dengan putra dari Ali bin Abi Thalib, yaitu
Husain.

Mengomentari kisah tersebut, al-Baihaqi berpendapat bahwa saat itu Aisyah bukanlah
menikahkan Siti Hafsah. Namun yang terjadi adalah bahwa Siti Aisyah mempersiapkan
pernikahan keponakannya tersebut. Pihak yang menjadi wali dalam akad nikah tersebut
bukanlah dirinya. Ia hanyalah mempersiapkan akad nikah. Nama istilah
“menikahkan” (tazwij) disandarkan kepada Aisyah dengan seizin dirinya. Tindakan persiapan
pernikahan itulah yang menyebabkan istilah “menikahkan” disandarkan kepada Siti Aisyah (as-
Sunan al-Kubra: VII/112).

Sedangkan Ibnu Hajar al-Asqallani dalam Fathul Baari (IX/186) juga mengomentari kisah
tersebut. Menurut Ibnu Hajar, Siti Aisyah tidaklah secara langsung melaksanakan akad nikah
keponakannya itu. Tampaknya bahwa perempuan keponakannya itu adalah seorang janda. Sang
keponakan menuntut adanya kedudukan yang sekufu dengan calon pengantin laki-laki. Di sisi
lain, ayahnya sendiri sedang tidak berada di tempat. Akhirnya, perwaliannya pun berpindah ke
wali yang lebih jauh (al-ab’ad) atau kepada penguasa(sulthan).

AISYAH RA DAN SIKAP KRITIS DALAM BERAGAMA


Ayat al-Qur’an yang turun langsung berkaitan dengan Aisyah Ra adalah QS. An-Nur 24:11
sebagai berikut:

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga.
Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu. Tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di
antara mereka yang mengambil bagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya
azab yang besar.”

Ayat di atas turun berkaitan dengan tuduhan bahwa Aisyah Ra melakukan perselingkuhan
dengan Shafwan bin Mu’thil. Ketika itu Aisyah Ra sedang menyertai Rasulullah Saw dalam
perang Bani al-Musthaliq. Setelah kaum muslimin selesai memetik kemenangan, Rasulullah dan
para sahabat pun kembali ke Madinah.

Dalam perjalanan, mereka beristirahat di sebuah tempat. Pada malam harinya, Rasulullah
melanjutkan perjalanan pulang dan menyangka Aisyah sudah berada di dalam sekedup untanya
setelah buang hajat. Padahal dia keluar kembali untuk mencari-cari kalung di lehernya yang
jatuh dan hilang.

Setelah ditemukan, Aisyah kembali ke pasukan dan alangkah kagetnya karena tidak ada seorang
pun yang dia temukan. Aisyah tidak meninggalkan tempat itu, dan mengira bahwa penuntun
unta akan tahu bahwa dirinya tidak berada di dalamnya, sehingga mereka pun akan kembali ke
tempat semula.
Ketika Aisyah tertidur, lewatlah Shafwan bin Mu’thil yang terheran-heran melihat Aisyah tidur.
Dia pun mempersilakan Aisyah menunggangi untanya dan dia menuntun di depannya. Tuduhan
selingkuh pun tersebar yang disulut oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ayat di atas kemudian
turun untuk menegaskan bahwa tuduhan keji terhadap Aisyah Ra itu tidak benar adanya.

Di samping menjadi bagian dari sejarah turunnya ayat al-Qur’an, Aisyah Ra juga banyak
menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya riwayat asbabun
nuzul yang bersumber darinya. Dr. ‘Abdullah Abu al-Su’ud Badr telah mengumpulkan riwayat-
riwayat ini dalam sebuah karya yang berjudul Tafsir Umm al-Mu’minin ‘Aisyah Radhiyallahu
‘anha.

Salah satunya adalah penjelasannya tentang ayat poligami (an-Nisa 4:3) yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim serta dikutip oleh mufasir ath-Thabari. Menurut Aisyah Ra, ayat ini
turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang menjadi wali anak perempuan yatim.

Wali tersebut tertarik pada kecantikan dan hartanya sehingga ingin menikahinya dengan mahar
yang rendah. Wali itu kemudian diperintahkan untuk berbuat adil dengan memberi mahar
sewajarnya atau menikahi perempuan lain jika tidak bisa memperlakukannya dengan adil.
Penuturan Aisyah Ra ini menegaskan pentingnya menekankan pesan keadilan pada perempuan
dalam memahami ayat poligami.

Pengetahuannya yang cukup luas tentang ayat al-Qur’an membuat Aisyah cukup sensitif
terhadap ucapan para sahabat yang disandarkan pada Rasulullah Saw. Tidak jarang dia
meluruskan periwayatan para sahabat yang diyakininya keliru karena bertentangan dengan ayat
al-Qur’an.

Misalnya ketika Ibnu Umar yang mengatakan bahwa Rasulullah bersabda seorang mayat akan
disiksa karena tangisan keluarganya. Ketika mendengar berita dari Ibnu Umar tersebut, Aisyah
Ra meluruskan bahwa peristiwa yang sebenarnya adalah Nabi Saw melewati sebuah kuburan
kemudian bersabda bahwa mayat di dalam kuburan tersebut sedang disiksa.

Sementara itu pada saat yang sama keluarganya sedang menangisinya. Aisyah menegaskan
bahwa dua peristiwa yang terjadi bersamaan tersebut yakni disiksanya seorang mayat dan
tangisan keluarganya tidak mempunyai hubungan sebab akibat dengan mengingatkan ayat al-
Qur’an yang menegaskan bahwa tidak seorang pun menanggung dosa akibat perbuatan orang
lain” (HR. Abu Daud).

Anda mungkin juga menyukai