“Bahagia, ya …”
“Penting atau tidak, itu tergantung tujuan hidupmu. Perspektifmu tidak bisa
dipaksakan dengannya.”
“Siapa yang maksa. Aku hanya menawarkan yang lebih bermanfaat, kok.”
“Dengar, ya. Dalam hidup ini yang terpenting adalah makan, tidur, berkuasa, dan sex.
Nggak perlu berpikir yang rumit-rumit di luar itu.”
“Dangkal.”
“Sudah hentikan. Bukankah sudah kukatakan. Setiap orang punya perspektif masing-
masing. Kita harus belajar menghargai.”
“….”
“Aku bosan. Hidupku tidak menarik lagi. Semua hal di dunia ini sudah kupikir dan
renungkan, karena memang seperti itulah pekerjaanku. Rumus, teori, prediksi masa depan
telah kubuat. Tapi jauh di dalam diriku, aku merasa kosong.”
“Tidak sesederhana itu. Kalian berdua memang mirip air dan api.”
“Memang kenapa, hah? Kalian itu mati saja sana. Banyak keinginanku yang gagal
tercapai gara-gara kalian, sialan!”
“Cukup!”
“…..”
“Apa?”
“Di dunia ini, ada sesuatu yang bisa dan tak bisa gapai.”
“Setuju.”
“Halah, bullshit.”
“Sebagai contoh, kau merasa kosong padahal kau punya banyak sekali ilmu. Dan kau.
Kau punya banyak keinginan tapi tidak semua keinginanmu mampu kau wujudkan. Benar?”
“Ya.”
“….”
“Kau salah. Tuhan hanya memberikan balasan sesuai dengan perbuatan hamba.”
“Nobel Sastra, penjajahan, dan kehampaan atau dengan kata lain absurditas. Albert
Camus, ya….”
“Orang sinting, kalian membicarakan apa, sih! Lagi pula dapat penghargaan begitu
kok merasa hampa. Dengan ketenaran itu, bukankah sudah pasti dia kaya. Kalau kaya pasti
punya kekuasaan. Dengan kekuasaan pasti mudah baginya mendapat ribuan kenikmatan.
Makanan enak, wanita, ahhh.”
“Dengarkan sampai selesai. Anak manusia lain dianugerahi Tuhan wajah rupawan,
kemapanan, keturunan, dan yang paling penting adalah kebahagiaan. Semua anugerah itu tak
memalingkannya dari Tuhan, malah justru meningkatkan keimanan. Setan iri dan berulah.
Caranya yang licik berhasil membuat orang itu jatuh miskin, semua keturunannya mati, istri
tercinta juga meninggalkannya. Bahkan orang itu ditimpa penyakit kulit yang menjijikkan.
Namun apakah ia putus asa dan mengakhiri hidupnya?”
“Tuhan memang baik, sebagai bukti Dia menciptakan makhluk menjengkelkan. Kau
contohnya!”
“Keparat!”
“Sudah jangan berkelahi. Yang ingin kukatakan adalah, Tuhan dengan segala
kemahakuasaan-Nya telah menciptakan kita. Dan kita atau mungkin salah satu dari kita ada
dalam setiap makhluk-Nya. Hewan, tumbuhan, malaikat, jin, setan, dan manusia. Potensi
terbaik untuk bahagia adalah manusia. Kita ada di dalam mereka, dan jika mereka ingin
bahagia, maka mereka harus bisa menyeimbangkan kita.”
“Sebelum kalian berkelahi, dengarkan aku dulu, untuk terkahir kalinya. Sepertinya
kalian melupakan sesuatu….”
“….”
“Obrolan ini mungkin saja tidak pernah terjadi. Kita mungkin tak pernah bertemu.
Kita hanya sedang menunggu di dalam diri manusia-manusia: raja, pencuri, pemungut
sampah, guru, teroris, pelukis, atau di dalam diri seorang lelaki yang tengah insomnia.
Menekuri layar laptop ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Berusaha menulis
kegelisahan tentang gajinya yang kecil, nasib yang tak kunjung berubah dan tanggung jawab
kehidupan yang selalu mengalirkan cintanya ke tempat yang salah.”
Adnan Jadi Al-Islam. Lahir di Klaten, 21 Oktober. Lelaki galau, pengagum kata-kata,
penikmat ojek penyet dan sambel welut. Sering insomnia lantaran kebanyakan kopi dan
kenangan. Tulisannya tersebar di beberapa media cetak dan daring. Masih mukim di Klaten.
Sapa aja, siapa tahu jodoh:
Instagram : @ad_nanj