Anda di halaman 1dari 6

Segitiga Sama Sisi

Cerpan Adnan Jadi Al Islam

“Seperti apa rasanya bahagia?”

“Hah, apa aku nggak salah dengar?!”

“Bahagia, ya …”

“Ayolah, nggak perlu bahas begituan, buang-buang waktu!”

“Penting atau tidak, itu tergantung tujuan hidupmu. Perspektifmu tidak bisa
dipaksakan dengannya.”

“Siapa yang maksa. Aku hanya menawarkan yang lebih bermanfaat, kok.”

“Jawab saja pertanyaanku.”

“Dengar, ya. Dalam hidup ini yang terpenting adalah makan, tidur, berkuasa, dan sex.
Nggak perlu berpikir yang rumit-rumit di luar itu.”

“Dangkal.”

“Apa kau bilang?!”

“Sudah hentikan. Bukankah sudah kukatakan. Setiap orang punya perspektif masing-
masing. Kita harus belajar menghargai.”

“….”

“Sekarang kutanya. Kenapa kau ingin mengetahuinya?

“Aku bosan. Hidupku tidak menarik lagi. Semua hal di dunia ini sudah kupikir dan
renungkan, karena memang seperti itulah pekerjaanku. Rumus, teori, prediksi masa depan
telah kubuat. Tapi jauh di dalam diriku, aku merasa kosong.”

“Tolol. Kalau kosong, ya tinggal diisi, kan, selesai.”

“Tidak sesederhana itu. Kalian berdua memang mirip air dan api.”

“Memang kenapa, hah? Kalian itu mati saja sana. Banyak keinginanku yang gagal
tercapai gara-gara kalian, sialan!”

“Si rendahan ini mulai merajuk.”


“Kubunuh kau!”

“Cukup!”

“…..”

“Akan kuberitahu sesuatu. Aku yakin kalian belum pernah mendengarnya.”

“Apa?”

“Di dunia ini, ada sesuatu yang bisa dan tak bisa gapai.”

“Setuju.”

“Halah, bullshit.”

“Sebagai contoh, kau merasa kosong padahal kau punya banyak sekali ilmu. Dan kau.
Kau punya banyak keinginan tapi tidak semua keinginanmu mampu kau wujudkan. Benar?”

“Ya.”

“….”

“Aku yakin bahwa Tuhan menciptakan kita bukan tanpa alasan—”

“Tuhan itu suka menyiksa!”

“Kau salah. Tuhan hanya memberikan balasan sesuai dengan perbuatan hamba.”

“Dengar. Seorang anak manusia pernah mencapai kejayaan. Ia dianugerahi Nobel


Sastra berkat pemikiran dan karya-karyanya yang legendaris tentang kehidupan modern umat
manusia. Namun, di podium, saat hendak berpidato dan menerima penghargaan itu. Ia justru
merasa bingung. Untuk apa sebuah Nobel sementara rakyatnya dibungkam. Tanah
kelahirannya tengah menderita karena penjajahan. Saat itu, di tengah podium ia benar-benar
merasa hampa.”

“Nobel Sastra, penjajahan, dan kehampaan atau dengan kata lain absurditas. Albert
Camus, ya….”

“Orang sinting, kalian membicarakan apa, sih! Lagi pula dapat penghargaan begitu
kok merasa hampa. Dengan ketenaran itu, bukankah sudah pasti dia kaya. Kalau kaya pasti
punya kekuasaan. Dengan kekuasaan pasti mudah baginya mendapat ribuan kenikmatan.
Makanan enak, wanita, ahhh.”
“Dengarkan sampai selesai. Anak manusia lain dianugerahi Tuhan wajah rupawan,
kemapanan, keturunan, dan yang paling penting adalah kebahagiaan. Semua anugerah itu tak
memalingkannya dari Tuhan, malah justru meningkatkan keimanan. Setan iri dan berulah.
Caranya yang licik berhasil membuat orang itu jatuh miskin, semua keturunannya mati, istri
tercinta juga meninggalkannya. Bahkan orang itu ditimpa penyakit kulit yang menjijikkan.
Namun apakah ia putus asa dan mengakhiri hidupnya?”

“Tidak. Ayyub tetap beriman sampai akhir hidup.”

“Benar, dia masih memiliki—mempertahankan—keimanan. Ia tak henti berdoa dan


akhirnya Tuhan ijabah. Tuhan mengembalikan semua kebahagiaannya.”

“Mood pasti Tuhan sedang baik saat itu.”

“Tuhan memang baik, sebagai bukti Dia menciptakan makhluk menjengkelkan. Kau
contohnya!”

“Keparat!”

“Sudah jangan berkelahi. Yang ingin kukatakan adalah, Tuhan dengan segala
kemahakuasaan-Nya telah menciptakan kita. Dan kita atau mungkin salah satu dari kita ada
dalam setiap makhluk-Nya. Hewan, tumbuhan, malaikat, jin, setan, dan manusia. Potensi
terbaik untuk bahagia adalah manusia. Kita ada di dalam mereka, dan jika mereka ingin
bahagia, maka mereka harus bisa menyeimbangkan kita.”

“Persetan keseimbangan, aku menolaknya! Akan kubunuh kalian dan menguasai


segalanya.”

“Kami tak akan tinggal diam, dasar bodoh!”

“Sebelum kalian berkelahi, dengarkan aku dulu, untuk terkahir kalinya. Sepertinya
kalian melupakan sesuatu….”

“….”

“Obrolan ini mungkin saja tidak pernah terjadi. Kita mungkin tak pernah bertemu.
Kita hanya sedang menunggu di dalam diri manusia-manusia: raja, pencuri, pemungut
sampah, guru, teroris, pelukis, atau di dalam diri seorang lelaki yang tengah insomnia.
Menekuri layar laptop ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok. Berusaha menulis
kegelisahan tentang gajinya yang kecil, nasib yang tak kunjung berubah dan tanggung jawab
kehidupan yang selalu mengalirkan cintanya ke tempat yang salah.”

Klaten, 4 Januari 2023


BIO

Adnan Jadi Al-Islam. Lahir di Klaten, 21 Oktober. Lelaki galau, pengagum kata-kata,
penikmat ojek penyet dan sambel welut. Sering insomnia lantaran kebanyakan kopi dan
kenangan. Tulisannya tersebar di beberapa media cetak dan daring. Masih mukim di Klaten.
Sapa aja, siapa tahu jodoh:

WA : 0812 1517 5144,

Instagram : @ad_nanj

No. Rek (BRI) : 3592-0103-4272-532 (A.N ADNAN JADI AL ISLAM)

Anda mungkin juga menyukai