Anda di halaman 1dari 9

DARI KHASANAH CERITA-CERITA SASTRA KLASIK

ZEN
Pengantar

Tanggapan orang tentang sastra Zen sering sekali meleset. Karya-karya sastra klasik Zen yang
sudah berumur ribuan tahun ini berasal dari Jepang di abad 19. Awalnya merupakan ajaran
kebijakan Sang Budha yang karena ceritanya sangat menarik maka berkembang pulalah
menjadi karya sastra. Kelebihan utama ajaran Zen adalah mengesampingkan
penjelasanpenjelasan abstrak, spekulasi filosofis tak berguna dan segala pretensi, sebab semua
ini jauh dari denyut kehidupan. Zen memberikan pencerahan secara langsung melalui tindakan
dan kata-kata yang kadang baru terasa setelah merenungi ‘pesan’ yang disampaikannya.
Kelebihan inilah yang membuat cerita-cerita zen terasa sebagai anekdot atau cerita-cerita Joke,
namun bukan sekadar cerita joke.

Cerita-cerita Zen yang dikumpul di sini bersumber dari sebuah e-book komik berjudul “Zen
Membebaskan Pikiran” yang disunting oleh Tsai Chi Chung yang juga juga berdasarkan
literatur utama: Zen Flesh, Zen Bones karya Nyogen Senzaki dan Paul Reps berjudul Jingde
Chuandengku yang ditulis pada masa dinasti Jingde , sebuah karya historis Zen masa awal yang
diselesaikan pada tahun 1004.

Cerita-cerita tersebut yang bersumber dari komik Zen ini saya olah dan adaptasi menjadi bentuk
cerita narasi. Sudah tentu telah mengalami perubahan, baik perubahan bentuk maupun
perubahan cerita yang di sana sini telah saya sunting (tambah dan kurangi) supaya lebih
gampang dipahami oleh pembaca awam tanpa menghilangkan ‘pesan’ Zen di dalam tiap cerita.
Cerita ini berjumlah ratusan namun tak semuanya dapat diolah kembali menjadi bentuk lainj
(narasi). Sudah tentu pula peran saya di sini bukanlah pencipta atau penerjemah cerita-cerita
tersebut juga dari bahasa aslinya. Penyuntingnya Tsai Chih Chung dan penerjemahnya Koh Kok
Kiang lebih berhak untuk disebut sebagai pemegang hak-hak tersebut.

Dengan pengadaptasian ini (menceritakan kembali dengan gaya lain), sama sekali saya tidak
bermaksud untuk mengkomersilkan e-book ini, kecuali hanya ingin berbagi hikmah kepada
rekan-rekan lain yang telah dan akan mengapresiasinya dalam bentuk cerita yang lebih mudah
dipahami. Dan kalaupun tindakan tersebut salah atau melanggar maka saya harap penyunting
dan penerjemahnya dapat memaafkan saya. Inilah cara untuk melestarikan karya budaya klasik
yang kreatornya aslinya sudah tak dikenali lagi sehingga karyanya tak punah ditelan masa.

(Badaqruddin Amir)

CERITA 1 :

Kata Guru Zen, Suatu hari Sang Budha bertanya pada murid-muridnya :

Budha : Manusia hidup berapa lama ?


Murid 1 : Delapan Puluh tahun
Budha : Salah
Murid 2 : Tujuh Puluh Tahun
Budha : Salah
Murid 3 : Enam Puluh Tahunlah
Budha : Salah ! Yang benar hidup itu hanya sepanjang nafas kamu.
Guru Zen menjelaskan, maka janganlah tinggal di dalam apa yang telah berlalu dan apa yang
akan datang. Tetapi hiduplah dalam dunia sekarang. Orang mesti memahami makna “sekarang”
dan melihat semua yang indah.

CERITA 2 :

Alkisah, guru Zen bercerita kepada muridnya: Tanzan dan dan Ekido adalah dua bhikshu dalam
pengembaraannya bertemu dengan seorang gadis cantik yang sedang kebingungan di tepi
sungai.
“Tuan, maukah tuan menolong saya menyeberang sungai ini?!” pinta sang gadis cantik pada ke
dua bhikshu kita.

Tanpa banyak bicara Tanzan pun melompat menggendong gadis itu menyeberang sungai sambil
menutup matanya dan temannya Ekido membelalak mengikuti mereka di belakang. Setelah
mereka sampai diseberang sungai sang gadis diturunkan.

“Terima kasih tuan-tuan telah menolong saya, sampai ketemu lagi” kata gadis itu pergi. Kedua
bikhsu itu pun meneruskan pengembaraan berkilo-kilo meter tanpa bicara. Setelah istirahat di
bawah pohon rindang karena terik matahari kelewat panas, bhikshu Ekido berata, “kita ini
bhikshu, tidak boleh dekat-dekat dengan wanita, kan? Tapi kenapa sampean justru
menggendong wanita cantik tadi?”

“Hai, wanita cantik apa maksudmu kawan? Saya telah tidak membawanya sejak dari tadi, tapi
kamu masih menggendongnya ya?” jawab Tanzan kalem.

Guru Zen berkata: yang menggendong sang gadis ke seberang sungai tidak menggendong
disertai nafsu . Ia berlaku spontan dan masa bodoh. Tapi bhikshu satunya lagi, meski tak
menggendong namun ia membawa nafsu sepanjang jalan.

CERITA 3 :

Seorang cendekiawan dari sebuah mashab (sebutlah Partai) mengunjungi guru Zen terkenal
untuk belajar kebijaksanaan agar dapat mencapai kesempurnaan. Saat menjamu tamunya guru
Zen menuangkan teh ke dalam cangkir. Dan meskipun cangkir itu telah penuh guru Zen tetap
menuangkan teh terus ke cangkir tamunya hingga meluap dan tumpah membasahi taplak meja.
Melihat perbuatan ini sang cendekiawan muda tak tahan untuk tidak menegur.
“Guru, tehnya sudah melimpah ke luar cangkir dan membasahi meja. Jangan menuang lagi”
katanya.
Tapi guru Zen tetap menuang terus dan berkata, “Engkau kulihat serupa persis dengan cangkir
ini, cara pandangmu penuh dengan pikiranmu sendiri. Jika kau mau belajar kebijaksanaan dari
zen maka kosongkanlah dulu pikiranmu. Karena kalau tidak maka kau akan tuli dengan katakata
bijak dari orang lain. Kau tidak akan bisa bejalar memahami orang lain dengan pandangan yang
kau desakkan pada orang lain. Akibatnya kau tak akan bisa belajar apapun tentang
kebijaksanaan kecuali mempertahankan pendapat-pendapatmu sendiri.” Kata guru Zen. Dan
“cendekiawan” seperti ini sering kita saksikan adu argumen di televisi mendesakkan
pendapatnya kepada kita.

CERITA 3 :

“Apa yang perlu diamalkan setiap hari agar kita bisa hidup selaras dengan Kebenaran, Guru?”
tanya seseorang pejabat kepada guru Zen.
“Satu jangan berbuat jahat, dua tambahkan kebijakan sebanyak mungkin, tiga...” “Wah,
kalau itu sih anak kecil juga tahu !” potong pejabat itu kecewa.
“Benar, benar, anak kecil juga tahu. Tapi orang tua 68 tahun dan punya jabatan penting pun
sukar melaksanakannya.”

CERITA 4 :

“Guru apa yang harus saya lakukan agar bisa mempelajari kebenaran?” tanya seorang pejabat
kepada guru Zen.
Dengan santai guru Zen menjawab: “Jika lapar makan, jika capek tidur, jika birahi...” “Wah,
itu kan yang sering dilakukan setiap orang.” Kata sang pejabat kecewa.
“Tidak! Tidak ! Kebanyakan orang, terutama pejabat tidak seperti itu. Banyak pejabat yang
makan penuh dengan pikiran-pikiran dan keinginan-keingin, waktu tidur penuh dengan
kegelisahan, dan waktu birahi ...penuh dengan fantasi perempuan lain.”

CERITA 5 :

Akhirnya Jendral itu memutuskan untuk berperang. Lebih baik mati berkalang tanah dari pada
hidup bercermin bangkai, kata sang Jenderal mengulang pepatah lama di hadapan prajuritnya.
Tiga puluh orang prajurit yang dipimpinnya sebenarnya ragu-ragu untuk mengangkat senjata
karena lawan banyaknya sepuluh kali.

“Jangan ragu, aku akan meminta petunjuk guru Zen bagaimana sebaiknya menghadapi lawan
yang banyaknya sepuluh kali dari jumlah kita” kata sang Jenderan.

Di tengan jalan menuju medan perang Sang Jenderal berhenti, kemudian ia menuju ke tepi
hutan memasuki sebuah rumah gubur di mana guru Zen tinggal. Ke tiga puluh pasukannya sama
berdebar menunggu sang Jenderal pulang. Tak lama kemudian Sang Jenderal pun muncul.

“Saudara-saudara saya telah bertemu dengan guru Zen dan beliau memberi saya sekeping uang
logam untuk mengundi nasib kita. Apabila saya lemparkan ke atas uang logam ini dan jatuh ke
tanah dengan gambar burung di atas maka itu berarti kemenangan menanti kita. Teruslah
berjuang melawan musuh dengan penuh semangat. Tetapi kalau gambar orang di atas maka itu
berarti kekalahan menanti kita. Saya tidak bisa menjamin apakah kita masih bisa pulang bertemu
dengan anak istri atau sahid sebagai pejuang” kata Sang Jenderal.”Tapi satu hal yang perlu
kalian ketahui, burung atau orang kita tetap harus maju ke medan perang dan tak ada kata
mundur atau kembali !”

Sang Jenderal pun melemparkan uang itu ke atas diikuti pandangan semua prajurit dan ketika
uang logam itu jatuh ke tanah, berputar-putar dan akhirnya terkapar maka yang di atas
adalah...gambar burung!

“Hore...kita menang. Ayo maju, serang, terjang !” teriak para prajurit dengan semangat yang
berapi-api. Merekapun segera menyerang ke daerah musuh tanpa menunggu perintah
komandan lagi. Dua hari dua malam mereka bertempur dan pada hari berikutnya hampir
kehabisan nafas. Taqpi musuh yang mereka serang dengan jumlah sepuluh kali lipat, benar
dapat terkalahkan. Sebagian besar tewas di medan perang dan sisanya kocar-kacir melarikan
diri, sementara mereka semua masih lengkap dan beberapa di antaranya hanya menderita
lukaluka.

Saat istirahat di kemahnya sendirian sang Jenderal mengeluarkan uang logam dari sakunya dan
membolak balik ke dua sisi mata uang itu. Ia kaget setengah mati, karena ternyata uang logam
yang diberikan oleh guru Zen yang dipakai sebagai toss itu kedua sisinya bergambar burung
yang sama.
CERITA 6 :

Dan malam pun tiba. Gelap menyelubung bumi. Gelap sangat karena hari mau hujan. Sahabatku
yang buta sejak lahir itu, tapi sangat baik hati kemudian pamit setelah seharian berdiskusi
tentang zen di rumahku.

“Baiklah aku permisi saja, besok kita masih bisa bertemu” katanya.
“Tapi malam gelap sekali, sahabatku. Baik aku ambilkan lampu untuk kau pakai pulang.” Kataku.
“Apa, Lampu? Ha ha ha.” Ia tertawa, “lampu bagiku tak ada artinya. Terang atau gelap sama saja
bagiku, siang atau malam tak ada persoalan bagi si buta seperti aku.” Katanya.

“Tapi ini bukan untuk kau” kataku,”melainkan untuk orang-orang yang berpapasan denganmu di
jalan supaya kau tak ditabraknya” lanjutku menyerahkan lampu menyala di tangannya. Ia pun
maklum dan menerima lampu itu dan meninggalkan halaman rumah menyusuri jalan gelap yang
belum dijamah PLN.

Di tengah perjalanan, apa yang kuhawatirkan ternyata terjadi juga. Seseorang menabrak
sahabatku dan celakanya orang itulah yang marah habis-habisan menyemprot sahabatku.
“Dasar orang buta, kalau berjalan di gelap gulita kau selalu harus berjalan di sebelah kiri. Jangan
ambil jalan kanan.”

“Aku memang buta dan tak melihat saudara di depan saya, tapi seharusnya saudaralah yang
melihat saya. Masa saudara tak melihat saya membawa lampu terang-benderang di tangan
saya. Berarti saudara ini juga buta”

Orang itu tertawa terbahak-bahak dan berhenti marah.

“Apa? Kau bilang kau membawa lampu yang menyala terang-benderang di tanganmu? Ha ha
ha. Kalaulah benar tadi kau membawa lampu yang menyala maka tentunya dari tadi lampumu itu
padam tertiup angin dan kau tidak tahu hal itu karena kau memang buta.”

Dan guru Zen berkata pada muridnya, “Orang yang menggunakan kata-kata orang untuk
menggurui orang lain adalah seperti orang buta tersebut. Lampu di tangannya telah lama
padam, tetapi ia tidak menyadarinya.

CERITA 7 :

Suatu siang saat hujan turun guru zen lewat di depan rumah seorang perempuan tua . Tentu
saja guru zen mengenakan payung untuk melindungi dirinya dari guyur hujan. Tiba-tiba
telinganya menangkap suara tangis sedu-sedan dari teras rumah perempuan tua itu. Saat guru
zen menoleh ke teras ia melihat perempuan tua pemilik rumah itu menangis terngungu-ngungu.
Guru zen tidak singgah karena perempuan itu juga tidaklah menegurnya. Paling-paling ia
mengingat nostalgia bersama suaminya yang sudah lama meninggal. Hujan turun sering
membuat orang romantis, pikir guru zen.

Tapi pada suatu hari yang lain ketika cuaca bagus guru zen lewat lagi di depan rumah
perempuan tua itu Ia melihat lagi perempuan tua itu menangis terngungu-ngungu di terasnya
sendirian. Kali ini guru zen tidak enak untuk tidak singgah menyapa. Pokoknya, tak ada alasan
baginya untuk tidak singgah karena hari tidak hujan dan tidak pula buru-buru untuk sampai ke
rumahnya.
Maka guru zen pun singgah dan perempuan itu tak bereaksi. Ia tetap menangis
terngungungungu.

“Nek, mengapa nenek menangis begitu? Saya sudah dua kali lewat di depan rumah nenek dan
saya selalu menjumpai nenek sedang menangis. Saat hujan turun nenek menangis dan saat
cuaca baik seperti sekarang ini nenek juga menangis. Adakah cuaca telah mengganggu nenek?
Berhentilah bersedih nek.” Bujuk sang guru zen.

Sambil masih menangis sesegukan perempuan tua itupun bercerita: “Bagaimana saya tidak
menangis setiap hari nak, karena saya mempunyai dua anak perempuan yang sangat saya
sayangi dan dari dialah saya gantungkan harapan meniti hidup di sehari-hari yang sisa. Malam
kami selalu bersama di rumah ini, siang mereka berdua pergi bekerja mencari nafkah” tutur
Perempuan tua itu.

“Saya kira sangat bagus dan tak perlu ditangisi, Nek. Anak-anak nenek penuh dengan
pengabdian pada ibunya. Tidak usah nenek sedihkan.” Kata guru Zen.

“Bukan begitu nak,” kata perempuan itu, “dua anak perempuanku ini bekerja sebagai penjual.
Yang sulung menjual payung, dan yang bungsu menjual sepatu. Jika hari hujan saya menangis
karena sedih memikirkan nasib jualan sepatu anak bungsuku. Pastilah sepatunya tidak laku
karena tak ada orang yang mau membeli sepatu pada saat hari hujan. Tapi jika cuaca baik
seperti sekarang ini saya tak bisa menahan ir mata memikirkan si sulung anakku yang menjual
payung karena pastilah payungnya tidak laku. Ya, siapa yang mau repot-repot membeli payung
saat hujan tidak turun, hu hu hu.”

Mendengar penururan perempuan itu guru Zen tersenyum kemudian berkata: “Berentilah
menangis nek. Sekarang juga tersenyumlah nek !”

“Tapi kenapa saya harus tersenyum?”

“Karena cuaca baik dan jualan sepatu anak bungsu nenek saat ini pasti laku keras !” Kata guru
zen.

“Oh, iya kah ?” kata perempuan tua itu mulai tersenyum, “tapi bagaimana kalau sebentar sore
atau besok hujan turun?”

“Tersenyumlah karena jualan payung anak sulung nenek saat itu pasti laku keras. Orang pasti
berebutan membeli payungnya. Untuk segala cuaca kita harus tersenyum. Tersenyumlah selalu
pada bumi ciptaan Tuhan.” Kata guru zen.

Dan sejak itu biarpun hari hujan atau cuaca baik setiap guru zen lewat di depan rumah
perempuan itu, maka selalu ditemukannya perempuan tua itu duduk di teras menunggu anak
perempuannya pulang dengan senyum yang ditebarkan pada siapa saja yang lewat.

CERITA 8 :

Sang guru sedang mengkaji kitabnya tatkala pintu rumahnya digedor orang secara paksa, lalu
masuklah seorang perampok bersenjata clurik mengancam sang guru.
“Nyawa atau harta !” teriak perampok itu sambil mengacung-acungkan clurik ke leher sang guru.
“Nyawaku cuma satu dan itu tak berguna bagimu, hartaku juga tak banyak hanya pakaian yang
melekat di badanku, tapi aku punya uang yang kusimpan di laci meja sedekah murid-muridku.
Jumlahnya cukup lumayan untuk membangun sebuah padepokan. Tapi kalau kau
membutuhkannya ambillah semaumu, tapi jangan ambil semuanya, sisakan sedikit untukku.
Ucapkan terima kasih jika kau sudah mengambilnya.” Kata sang guru zen.
Mendengar ucapan itu, perampok itu terbengong-bengong di tempatnya. Sepanjang karirnya
sebagai perampok baru kali inilah ia menghadapi mangsa yang begitu tenang dan begitu ikhlas
menyerahkan hartanya. Tapi dasar perampok tengik, ia mengobrak abrik juga laci meja sang
guru dan menemukan setumpuk uang yang jumlahnya memang lumayan. Ia menggasak uang
itu dan menyisakan sedikit sesuai permintaan sang guru, lalu melompat ke pintu sambil berteriak
“thank you the old man !”
Tapi nasib malang bagi perampok itu karena saat mengendap-endap memasuki rumah sang
guru ia ketahuan oleh seseorang. Dan orang itu segera memanggil polisi dan masyarat sehingga
saat keluar dari rumah sang guru ia sudah terkepung dengan baik dan tak bisa meloloskan diri.
Dengan tangan diborgol ia dibawa masuk ke rumah guru zen.
“Guru”, kata seseorang”perampok ini kami tangkap saat keluar dari rumah guru. Sudah pasti ia
menggasak uang guru karena kami menemukan sejumlah uang di kantongan yang dibawahnya.
Ini guru, uangnya kami kembalikan dan perampok ini akan segera kami bawa ke kantor polisi”
Sang guru berbalik dan berkata, “Hmn. Dia tidak mencuri. Ia meminta dan aku memberikannya
dan ia mengucapkan terima kasih dalam bahasa Inggris setelah mengambilnya.”
Meski perampok itu mendapat pengampunan dari sang Guru namun pada akhirnya dipenjarakan
juga beberapa bulan. Setelah ia menjalani masa tahanannya perampok itu mendatangi sang
Guru dan mengemukakan niatnya untuk menjadi murid sang Guru.

CERITA 9 :

Guru Zen bercerita: ada empat bhikshu yang sepakat untuk bermeditasi bersama selama
seminggu di dalam sebuah gua tanpa berkata-kata. Mereka pun melingkari sebuah lilin yang
menyala sebagai alat penerang. Hari pertama mereka diam tanpa sedikitpun mengeluarkan
suara. Akan tetapi setelah hari mulai gelap dan angin bertiup meredupkan nyala lilin salah
seorang berkata, “Waduh lilin akan padam ini”.
“Eh, dalam bermeditasi kita kan tidak boleh ngomong” tegur bhiksu ke dua.
“Tapi kenapa Anda juga ngomong ?” tanya bhiksu ke tiga.
“Ha ha ha, tinggal saya satu-satunya dari kita berempat yang masih bertahan tak bicara” timpal
bhikshu ke empat.
Banyak orang di dalam menasihati orang lain dan menunjukkan kesalahan mereka justru juga
melakukan kesalahan yang sama, kata Guru Zen.

CERITA 10 :

Petani tua itu termenung sedih di bawah pohon di pinggir kebunnya sambil mengusap-usap
barang temuannya seberat 50 kg yang tak bisa diangkatnya sendirian itu. Benda itu adalah
sebuah patung Arahat yang terbuat dari emas murni. Ia menemukan patung itu di pinggir
kebunnya saat ia menggali untuk membuat sebuah sumur agar bisa mendapatkan air bagi
tanaman yang baru saja ditanamnya.

Ia pun mengirim pesan kepada keluarganya melalui seseorang yang kebetulan lewat agar
anakanaknya segera datang ke kebun untuk membantunya mengangkat sesuatu, tanpa
memberi tahu barang temuannya pada orang yang dititip pesan itu. Tak lama kemudian
datanglah anakanaknya, istrinya, dan keluarganya yang dekat untuk membantu mengangkat
sesuatu sesuai pesannya. Dan alangkah kaget dan gembira keluarganya setelah mengetahui
bahwa benda yang tak bisa diangkat sendirian itu adalah sebuah patung emas seberat 50 kg.
“Wah, kita akan menjadi kaya raya. Sekarang kita bisa bersenang-senang sepanjang hidup dan
ayah tidak perlu lagi capek-capek berkebun mencari nafkah!” kata anak sulungnya.

“Beratnya pasti tidak 50 kg saja. Ini mungkin 60 atau 70 kilo.” Kata anak bungsunya, mencoba
mengangkat patung itu sendirian.

Keluarganya yang lain mencegah, “Hati-hati, jangan diangkat sendirian. Biar aku angkat, aku
lebih kuat.”

“Tidak. Biar aku saja yang angkat, aku yang paling kuat. Kalian bimbinglah pulang, araklah
sebagai pahlawan kita.” Kata anak sulungnya lagi.

Tapi sang ayah tak beranjak dari tempat duduknya di bawah pohon. Air mukanya sedih, seperti
seorang remaja yang putus cinta.

Istrinyapun mendekat dan menyapanya pelan-pelan, “Kenapa Bapak sedih. Bukankan


seharusnya bapak bergembira bersama kami karena sejak hari ini kami semua akan hidup
berbahagia sebagai orangkaya sepanjang masa. Temuan Bapak itu tidak akan habis dimakan
tujuh turunan” kata istrinya membujuk.

Dan orang tua itupun menyahut, “Tapi Bu, waktu kecil dulu aku membaca di kitab kuno yang
sudah berusia ratusan tahun disimpan kakekku di lemari tuanya. Di situ diceritakan bahwa ada
17 patung arhat yang masing masing seberat 50 kg terbuat dari emas murni tertimbun entah di
mana setelah bencana besar melanda kampung ini puluhan abad yang lalu. Sungguh saya tak
tahu di mana harus mencari 16 patung arhat yang lainnya itu”.

CERITA 11 :

Di sebuah danau yang dipinggirnya tumbuh lebat semak belukar kodok-kodok hidup membangun
komunitasnya dengan penuh kedamaian. Suatu siang Sang Ketua Komunitas mengundang
semua kodok-kodok yang hidup di dnau itu.

“Saudara-saudara para kodok se danau, pertama-tama marilah kita mengucapkan rasa syukur
kepada pencipta kita karena kita senantiasa hidup dengan tentram dan damai di danau ini” kata
Ketua Komunitas kodok memulai pidatonya. Segenap kodok yang hadir pun menyambut dengan
suara yang ramai, kekekeek kekekeek kekekeek.

“Tahukah saudara-saudara bahwa kita hidup di sini sebagai mahluk yang dikasihi. Semua yang
ada di danau ini adalah untuk kita. Langit ada untuk kita, bumi ada untuk kita semak belukan ada
untuk kita sehingga kita memiliki kekuasaan untuk hidup”

Kekekeek kekekeek kekekeek kekekeek !

“hujan datang untuk kita. Udara ada untuk kita!”

Kekekeek kekekeek kekekeek kekekeek !

“Serangga terbang untuk kita, nyamuk di balik daun untuk kita!”


Kekekeek kekekeek kekekeek kekekeek ! Teriak kawanan kodok sambil melompat-lompat
menangkapi nyamuk untuk santapannya. Saat mereka asyik berpesta pora menangkap nyamuk
dan serangga menyusuplah seekor ular yang lapar dari semak menuju ke tempat kodok itu
berpesta. Begitu belihat ular itu menerjang seekor kodok untuk santapannya, sang Ketua
Komunitas berteriak,

“Lariiiiii, ular datang !”


Mereka pun melompat berhamburan. Tapi naas, kodok yang sudah tertangkap oleh sang ular tak
bisa lagi berkutik. Ia langsung ditelan oleh sang ular. Setelah sang ular pergi, ketua kodokpun
keluar dari persembunyiannya dan mengumpulkan kembali komunitasnya. Begitu ia hendak
mulai lagi pidatonya, seekor kodok berteriak lantang.

“Kali ini jangan bilang ular muncul untuk kita !”


“Benar saudara, benar. Ular itu muncul untuk kita. Coba bayangkan kalau tak ada sang ular,
maka kita para kodok akan beranak-pinak menjadi terlalu banyak sehingga tak akan ada tempat
lagi bagi kita di danau ini.” Kilah sang Ketua.

CERITA 12 :

Pada suatu siang yang tenang seorang Jenderal mantan Panglima Perang yang masih
menggunakan uniform perang lengkap dengan senjata pedang di pinggangnya, mendaki puncak
sebuah bukit kecil menuju ke padepokan guru Zen. Mantan Panglima Perang ini merasa tak
menemukan ketenangan dalam hidupnya setelah bertahun-tahun memimpin peperangan dan
telah membunuh banyak musuh. Kematian sudah menjadi pemandangan sehari-hari baginya
dan darah tak lagi membuatnya ngeri.

Setelah sampai di Padepokan Guru Zen, ia disambut oleh seorang murid Zen.

“Ada apakah keperluan tuan datang ke mari?” tanya murid Zen sedikit ngeri melihat Sang
Jenderan lengkap dengan pakaian perang itu.

“Aku sedang galau. Antarkan aku ke guru Zen” kata sang Jenderan. Dan begitulah sang murid
mengantarkan sang Jenderal ke pertapaan guru Zen.

“Apa yang harus saya bantu, Tuan ?” tanya guru Zen ketika melihat Sang Jendral lengkap
dengan pakaian perangnya menghadap padanya.

“Saya ingin tahu, benar-benarka ada Surga dan Neraka seperti yang didongenkan oleh beberapa
agama itu ?” tanya Sang Jenderal.

“Apa pangkatmu sekarang ?” tanya guru Zen.

“Aku seorang Jenderal. Aku adalah pemimpin perang yang sudah banyak membunuh orang.”

“Ha ha ha ha” guru Zen tertawa, “Orang goblok mana yang mau memakaimu sebagai Jenderal?
Di mataku kamu lebih pantas jadi tukang daging di pasar.” Kata Guru Zen.

Mendengar penghinaan tersebut karuan saja Sang Jenderal yang masih berpakaian perang itu
menghunus pedangnya dan menyerang guru Zen.

“Kucincang kau bangsat, heyaat !”

Beruntunglah guru Zen dapat menghindari serangan itu.


“Tunggu dulu, tadi kau mau tahu benar-benar ada neraka bukan? Nah kamu sekarang sudah
membuka pintu ke neraka !” kata guru Zen.

Mendengar kata itu Sang Jenderal pun menghentikan serangannya dan berpikir sejenak: kalau
begitu betapa banyak pintu ke neraka telah saya buka selama ini. Ia pun segera membuang
pedangnya dan tunduk di hadapan guru Zen.

“Maafkan saya guru, saya telah berlaku kasar dihadapan guru” kata Sang Jenderal penuh
penyesalan.

“Nah, tahukah kau bahwa sekarang ini kau telah membuka sebuah pintu menuju ke sorga?” kata
guru Zen lagi.

Anda mungkin juga menyukai