Rating: PG-15 Length: Chaptered Main cast: Lee Donghae Sung Hyosun Etc. Disclaimer: FF ini bener-bener imajinasiku.Kalau misal ada yang mau komplain karena ada kesamaan. Ke acc twitterku ya di: @officialunie
Apa syaratnya? tanyaku dengan suara yang cukup bergetar. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan memandang lurus ke depan, tanpa menoleh padaku. Menikahlah denganku, beri aku seorang anak Kalimatnya memang singkat, dan sesingkat itu pula jantungku seperti ditikam sebilah pisau tajam. Apa dia bilang? Menikah? Memberinya seorang anak? Lee Donghae mengatakan ingin menikah denganku? Apa? tanyaku dengan suara yang cukup lemah. Tiada daya untuk berkonfrontasi lagi dengannya. Sebagai imbalannya aku akan mengirim beberapa detektif untuk membantumu menemukan saudaramu di Paris. Tapi kalau kau tidak tertarik, silahkan menunggu pegawai pemerintahan Perancis untuk mendeportasimu Kkauu. . . Kalau kau dideportasi, kau baru bisa kembali ke Perancis 5 tahun lagi dia memotong kalimatku dan memicingkan mata, menoleh padaku. TAPI AKU BUKAN BETINA YANG BISA KAU SEWA!! teriakku tak tahan lagi dengan sikapnya yang terkesan berkuasa. Aku tidak mengatakan itu Tapi maksudmu begitu! Kau menikahiku, kemudian meniduriku dan setelah aku melahirkan anakmu kau akan menyeretku ke meja hijau untuk sidang perceraian! Aku bukan wanita murahan! Tidak sepenuhnya yang kau katakan itu benar, nona Sung Hyosun dia mendengus, memberi pertanda ejekan. Apa maksudmu? Dengar ya Tuan LEE DONGHAE. Lebih baik aku mati daripada harus ditiduri oleh pria yang beberapa jam aku kenal! Dia terkekeh setelah mendengar pernyataanku barusan. Apanya yang lucu? Tidakkah dia melihat keseriusan yang terpancar dari kedua mataku. Memangnya aku memintamu untuk tidur denganku? Aku hanya memintamu melahirkan bayi untukku, nona Sung . . . aku tidak mengerti dan memilih untuk mendengarkan kelanjutan dari ucapannya. Aku punya dua opsi. Bayi tabung atau. . . Atau apa? Dia berdehem kemudian melanjutkannya Atau aku bisa menyemprotkan spermaku ke dalam botol dan menyerahkannya padamu Aku berusaha mencerna kalimatnya. Sedikit tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan barusan. Tapi setelah beberapa saat tampak tolol, akhirnya aku mengerti. Dia menyuruhku memasukkan spermanya itu ke salah salah satu lubang yang ada di tubuhku. Bagaimana? Jika kau mau, kau hanya akan tinggal bersamaku dan keluargaku sampai anak itu lahir dan kau bisa bertemu kembali dengan orang yang selama ini kau cari Katakan, kenapa kau memilihku? tanyaku sedikit ragu. Karena tidak akan terlalu beresiko jika kau yang membantuku. Kau tidak punya keluarga dan hanya memiliki saudara yang belum jelas keberadaannya Kau bisa meminta gadis lain untuk melakukan ini. Kenapa harus aku? Karena yang aku mau adalah kau. Hanya kau! Untuk kesekian kalinya aku terkesiap. Dia hanya mau aku yang melakukannya? Kenapa aku? Apa dia. . . . Tidak usah GR. Aku mencintai wanita lain. Aku tidak mau mengambil resiko dengan wanita lain kecuali kau. Menurutku kaulah yang paling cocok Kenapa kau tidak melakukan ini semua dengan wanita yang kau cintai? Kau tidak punya kapasitas bertanya seperti itu. Pikirkanlah, aku rasa tidak ada ruginya kau menerima tawaranku. Sama-sama menguntungkan Ujarnya untuk yang terakhir kali. Dia melenggang, pergi menjauhiku yang masih terduduk di kursi taman yang cukup sepi. Membiarkanku menimbang keputusan apa yang bisa aku buat.
Ku tatap beberapa draft novel di komputerku secara bergantian. Deadline ini harus ku kerjakan sampai hari minggu tapi aku malah berjam-jam tanpa fokus menghadapinya. Sebagai editor freelance di salah satu penerbitan ternama di ibukota Negara Perancis, tidak seharusnya aku mengabaikan pekerjaan ini walaupun pekerjaan ini bisa ku kerjakan di apartemen kecilku. Bagaimana aku bisa diangkat sebagai editor tetap kalau aku berpangku tangan? Brengsek! Aku menggebrakkan mouse ke atas meja dengan kasar. Pikiranku masih tertuju pada satu hal, yaitu membuat anak. Ku buka laci mejaku perlahan. Ku temukan sehelai mika berukuran 5 kali 3 sentimeter di atas buku usang yang entah apa judulnya. Ini adalah kartu nama Donghae. Ku tunggu sampai besok di kantor cabangku. Jam setengah dua siang saat itu dia menyerahkan kartu nama ini padaku kemudian pergi tanpa permisi. Ku jejalkan benda sialan itu ke dalam laci dengan kasar setelah beberapa detik memandanginya. Kenapa aku harus bertemu dengan orang sesial dia sih? Dengan frustasi, aku menjambaki rambutku sendiri. ~Tuk Tuk Tuk~ Apa kau sibuk? sebuah suara yang sangat aku kenal menggema di apartemen kecilku. Aku menoleh dan mendapati sosoknya yang tegap tengah bersandar pada bingkai pintu yang tak tertutup. Aku cukup terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba. Sejak kapan dia di situ? Apa dari tadi dia mengamatiku? Max, sejak kapan kau di situ? aku langsung bangkit dan menghampirinya. Emmmm dia memandang jam tangannya. Sejak 300 detik yang lalu katanya santai seraya memelukku yang tengah berada di hadapannya. Kau tidak ke kantor? tanyaku pelan tanpa mengurangi ulasan senyum yang aku tawarkan. Shim Changmin atau yang biasa aku panggil dengan sebutan Max adalah seorang executive muda di salah satu perusahaan manufaktur kenamaan di pusat kota Paris. Dari awal aku memasuki Negara ini, dia lah yang selalu membantuku. Dia membantuku memalsukan identitas sebagai warga Negara Prancis. Aku sudah berkali-kali mengajukan pergantian kewarganegaraan ke kedutaan Perancis, tapi sangat sulit untuk memperoleh kewarganegaraan. Dan ya akhirnya aku memilih jalan pintas. Aku tidak bisa bekerja di bidang formal karena takut sewaktu-waktu harus berurusan dengan petugas imigrasi. Ini semata-mata aku lakukan karena aku harus menemukan kakak laki-lakiku yang kabarnya menetap di Paris. Ini bagian dari pekerjaanku, Hyosun-ah Masa? Aku baru tahu kalau mengunjungi seorang editor freelance adalah bagian dari sebuah pekerjaan pegawai kantoran aku bertanya dengan merefleksikan rasa tidak percayaku yang ku buat-buat. Seperti biasa, dia menyapukan bibirnya di atas bibir tipisku selesai berpelukan. Aku membalasnya sejenak. Tidak seperti biasanya dengan sebuah ciuman yang dalam. Baru sekian detik aku langsung melepasnya. Bahkan lidahnya pun belum sempat tenggelam di dalam mulutku. Terlalu banyak yang ku pikirkan. Terutama tentang tawaran Lee Donghae. Kenapa? dahinya berkerut tak sanggup menyembunyikan rasa herannya. Tidak apa-apa aku buru-buru melepaskan badanku darinya. Kau mau kopi? aku berjalan menuju pantry yang ukurannya kecil, disesuaikan dengan luas apartemen ini sendiri. Aku meraih gagang teko bulat yang berisi cairan hitam pekat. Dia memberikan isyarat dengan tangan kanannya. Tidak. Aku sudah minum kopi. Aku tidak lama. Aku hanya Dia berjalan mendekat ke arahku, Aku hanya ingin memberikanmu ini. Aku melihat benda berwarna silver mendekati warna putih yang ada di tangannya. Rantai- rantai kecil tersusun apik dan mengait satu sama lain. Di bagian tengahnya dihubungkan lempengan paling mencolok karena ukurannya yang lima kali lipat lebih besar dari rantai- rantai kecil itu. Lempengan itu adalah dua huruf yang disatukan. MH. Max-Hyosun. Max, ini Ini besi putih. Aku sendiri yang membuatnya. Sini aku pakaikan Dia meraih kalung itu kemudian memutar tubuhku hingga membelakanginya. Aku mengangkat rambutku ke atas agar dia tidak merasa kesulitan saat melingkarkannya di leherku dengan sempurna. Di hadapanku berdiri terdapat sebuah kaca yang cukup lebar untuk memantulkan bayangan kami berdua. Benarkah kau yang membuat ini? tanyaku sambil mengelus logam itu. Walaupun itu hanya besi putih, tapi aku menyukainya. Ini indah sekali. Iya. Apa kau menyukainya? Sangat! jawabku mantap. Aku akan menggantinya dengan emas putih sungguhan saat kita menikah nanti. Bagaimana? Max keluhku. Oke, oke Aku mengerti kau belum siap untuk ke jenjang berikutnya. Begitu pula denganku. Hmmm Aku harus berangkat ke kantor sekarang. Sampai nanti, chaggi dia mengecup pipiku pelan kemudian beringsut meninggalkanku. Max panggilku saat dia berjalan di ambang pintu dia berhenti dan menoleh. Ada apa? Aku mencintaimu Dia tertawa kecil melihatku yang tengah mematung di hadapannya. Dia mendekat setelah beberapa detik berlalu dan secara regular memberikan kecupan-kecupan tipis di bibirku. Kali ini aku membalasnya lebih dalam hingga beberapa menit seperti ritual yang biasa kami lakukan saat bertemu, walaupun hanya sebatas ciuman. Aku juga mencintaimu walaupun pagi ini kau terlihat sedikit aneh Itu karena pekerjaanku yang menumpuk aku berbohong. Alasan yang sebenarnya adalah pertemuanku dengan Donghae bukan karena pekerjaan yang sudah biasa menumpuk. Aku mengerti dia mengelus pipiku dengan jemarinya yang lembut. Aku berangkat ya Oke, hati-hati di jalan Baiklah dia mengecup dahiku kemudian berlalu.
Bodoh sekali aku? Apa ini ide bagus? Aku benar-benar di ruangannya. Kepalang tanggung, aku tidak bisa mundur dan kembali ke apartemen. Mau ditaruh dimana mukaku ini? Bahkan menggerakkan kakiku kebelakang satu langkah pun akan terlihat sangat konyol. Sudah ku duga kau akan datang. Duduklah katanya dengan tetap berfokus pada tumpukan laporan dan file-file yang harus ditandatanganinya. Mau minum? tawarnya. Tidak perlu jawabku datar sementara dia masih sibuk dengan pekerjaannya. Aku harap kau tidak keberatan. Aku harus menyelesaikan ini semua hari ini juga dia menatapku sejenak sambil memberi isyarat pada file-file yang teronggok di dapannya. Kalau sekarang bukan waktu yang tepat, aku bisa datang lain. Tidak-tidak. Aku hanya mohon kesabaranmu sejenak. Ini tidak akan lama Oh, oke Aku duduk di hadapannya, dengan sabar menunggui hingga selesai. Tatapanku menyapu ruangan yang bisa dibilang cukup luas ini. Hingga akhirnya terpusat pada bingkai foto besar yang melatar belakangi dirinya sekarang. Aku memandangi wajah di foto itu satu per satu tanpa bersuara. Dari foto itu, yang ku tangkap adalah perbedaan generasi yang dikemas dalam sebuah bingkai keluarga. Nampak, anak kecil yang berusia kurang lebih lima tahun dipangku oleh seorang wanita yang memiliki banyak kerutan di wajahnya. Di sampingnya duduk pria. Dia memakai jas hitam, dengan rambut yang cukup menandakan bahwa usianya sudah di atas kepala enam. Intensitas ketiga tokoh yang menjadi center of view foto itu dilengkapi dengan adanya sepasang suami istri yang berdiri di belakang. Apa anak kecil itu Lee Donghae? Aku menatap Lee Donghae sejenak dan memperhatikan lekuk rahangnya. Kemudian ke bagian hidung dan bibir. Ku lempar pandanganku pada foto. Hmmm, sepertinya itu memang dia. Kalau ada hal yang ingin kau tanyakan, tanyakan saja ujar Donghae tanpa menoleh padaku. Tampak tangannya tengah menarikan pena di atas materai yang baru saja dilekatkan dengan lem. Sepertinya mata Donghae tidak hanya di bawah dahi, tapi juga ada di ubun-ubunnya. Dia tahu kalau aku sedang mengamatinya. Apa itu kau? tanyaku akhirnya. Dia tidak langsung menjawab, melainkan menutup filenya satu per satu. Aku memperhatikannya dengan saksama, menunggu dia menjawab pertanyaanku yang terlanjur ku lontarkan. Dia memandangku sejenak, kemudian memundurkan kursi dan berjalan hingga berdiri di sampingku sambil menatap bingkai foto itu. untuk beberapa detik, aku harus menunggunya hingga dia mau membuka suara. Seperti biasa, dia menyelipkan jemarinya ke dalam saku celana. Itu memang aku. Itu nenek dan kakekku. Serta yang di bagian belakang adalah kedua orangku. Foto ini diambil saat aku masuk TK pada hari pertama katanya sambil memberi petunjuk dengan salah satu jarinya. Setelah itu dia diam sambil memandangi foto itu penuh arti. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan sekarang, karena aku bukan paranormal. Mungkin kenangan-kenangan masa lalu tengah terbesit di pikirannya? Entahlah. Apa kau berubah pikiran? akhirnya dia mengeluarkan suara walaupun tatapannya tetap lurus ke depan. Kenapa kau memilihku? tanyaku lagi bersikukuh. Jujur saja aku tidak puas dengan apa yang dikatakannya tempo hari. Meminimalisir resiko jawabnya singkat. Aku butuh detail kataku tidak mau kalah. Hanya itu yang bisa ku katakan Itu bukan jawaban. Bisakah kau lebih spesifik, Donghae-shi? Dia menghela nafas, kemudian berjalan menuju kursinya. Dia memegang gagang telephone dan menekan speed dial. Bisakah kau kemari? tanyanya dengan menggunakan bahasa Perancis yang cukup fasih. Setelah mendapat jawaban dari orang yang di seberang telephone, dia memutus sambungan. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Lalu? Siapa yang dia hubungi barusan? Apakah security yang siap mendepakku dari ruangannya? Kau memanggilku, boss? seorang wanita bermata biru dan rambut yang bisa dibilang pirang mendekati kami berdua. Ini seluruh file dan kontrak-kontrak yang sudah selesai ku koreksi dan ku tandatangani. Tolong kau cek ulang, kalau ada kesalahan langsung temui aku Donghae menyerahkan file- file yang tersusun rapi dalam map itu padanya. Oke Setelah transaksi itu, Donghae menatapku dibarengi dengan keluarnya wanita yang ku simpulkan sebagai sekretarisnya. Ternyata dia tidak memanggil security untuk mengusirku. Mau spesifik di bagian mana? tanyanya sambil menatapku dengan intens. Jujur saja hal itu sedikit membuatku gugup, tapi aku berhasil mengontrolnya. Tentang semua ide gilamu untuk menikah denganku Semata-mata aku hanya ingin memintamu melahirkan anak untukku Oke, tentang anak? Lalu kenapa kau ingin mempunyai anak? Terlebih lagi denganku yang notabene baru kau kenal tidak lebih dari empat hari? Lagi-lagi dia menghela nafas dengan cukup panjang. Aku ingin melindungi perusahaan yang dirintis oleh kakekku Maksudmu? Perusahaan ini didirikan oleh kakekku. Setelah kakekku meninggal, seluruh saham keluarga baru bisa dimiliki oleh ayahku saat beliau sudah menikah dan memiliki minimal satu orang anak. Itu adalah isi surat warisan yang ditandatangani oleh kakekku di hadapan notaris. Dan sebelum ayahku meninggal, surat warisan itu belum dirubah sama sekali hingga aku harus mengikuti tutorialnya. Bedanya, waktu itu ayahku sudah menikah dan mempunyai anak, yaitu aku. Sementara aku, aku baru menyelesaikan program masterku dan belum berfikir untuk menikah apalagi punya anak. Yang aku butuhkan adalah seorang anak dan istri agar seluruh saham keluargaku tidak dilelang bebas di rapat umum pemegang saham paparnya sambil menatapku lurus seolah-olah mau mengira-ngira apakah aku benar-benar percaya atau tidak. Kau materialistis, Donghae-shi Jangan naif dengan menyimpulkannya seperti itu. Coba kau di posisiku? Apa yang bisa kau lakukan dengan perusahaan keluargamu jika situasinya seperti ini? Mau tidak mau kau harus mengesampingkan egomu. Perusahan yang dibangun oleh keluargamu dengan jatuh bangun apa akan kau sia-siakan begitu saja, nona Sung Hyosun? Lalu kenapa kau memilihku? Bagaimana kau bisa sekonyong-konyong memintaku menikah denganmu dan memberimu seorang anak padahal kita belum lama berkenalan? Mungkin kita baru beberapa hari yang lalu bertemu, tapi sudah satu bulan penuh aku mengetahui identitasmu Aku terperanjat dengan pernyataannya barusan. Dia mengenalku? Apa tidak salah? Dia membuka lacinya saat melihat ekspresiku yang sangat shock. Aku punya datamu dia menyerahkan sebuah map berwarna kuning padaku. Di dalamnya berisi berkas-berkasku yang telah dicopy dari panti asuhan Song Seoul. Bagaimana bisa dia tahu tentang aku sampai sedetail ini? Aku membutuhkan alibi. Aku butuh seorang wanita berkewarganegaraan Korea yang tinggal di Paris. Dengan begitu, aku bisa berpura-pura pada ibu dan nenekku kalau aku sudah punya pacar selama di Paris. Bagaimana kau bisa mendapatkan semua ini? tanyaku dengan nada yang masih sulit percaya. Aku punya orang-orang yang bisa melacak keberadaanmu. Sebenarnya aku tidak secara sengaja menemukanmu. Kebetulan kau adalah orang yang bermasalah dan kemungkinan besar aku bisa membantumu, makanya aku langsung mengusut kebaradaanmu Aku tidak percaya kau memanfaatkan situasiku aku menggeleng lemah sembari memandangnya dengan tatapan hina. Kalau ini bisa dikatakan sebuah simbiosis, maka kau bisa menyebutnya mutualisme karena kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dia mengancingkan jas kemudian menyesap kopi yang sudah tak lagi mengepul asapnya. Tapi di sisi lain kau mengancamku dengan melaporkanku pada petugas imigrasi. Apakah itu bisa kau sebut dengan simbiosis mutualisme, Donghae-shi? tatapanku tajam, tapi dia terlihat tidak menghiraukan dan malah menyeringai puas. Terkadang hal seperti itu memang diperlukan, nona Sung Hyosun. Tapi percayalah, aku akan menemukan kakak laki-lakimu sebagai gantinya. Kalau perlu sampai ke ujung dunia. Kau juga berhak meminta materi padaku jika kau mau. Apapun yang kau mau asalkan aku sanggup akan aku turuti. Hanya aku satu-satunya harapan di keluargaku Apa kau juga bisa membantuku memperoleh kewarganegaraan Perancis? aku menantangnya karena dia tidak punya wewenang apa-apa dengan Negara ini. Kewarganegaraan? Untuk apa? Bukankah tujuanmu di sini adalah untuk mencari kakakmu? Aku ingin menetap di sini. Setahun lebih aku mengajukan kewarganegaraan tapi selalu dipersulit oleh kedutaan. Aku tidak punya surat keluarga yang jelas. Mereka tidak menerima surat keluarga yang aku ajukan dari SONG SEOUL Satu tahun? Kenapa kau tidak menikah dengan orang Perancis saja? Itu akan mempermudahmu memperoleh kewarganegaraan tanyanya heran tapi sarat dengan senyum yang cukup mengejek. Aku tidak mau anak-anakku berambut pirang dan bermata biru. Aku tidak suka percampuran ras. Aku ingin anak-anakku tetap berwajah Asia Hanya itu? Tidak. Aku juga ingin tahu kenapa kau tidak menikah dengan wanita yang kau cintai? Kenapa kau bersikeras memilihku? Dia mendengus kesal dengan pertanyaanku barusan. Aku bisa membantumu dalam mengatasi masalah kewarganegaraan. Tapi untuk urusan ini wanita mana yang aku cintai, kau tidak berhak menanyakannya, Hyosun-ah Kenapa? Yang aku butuhkan sekarang ini adalah detailnya, Donghae-shi. Aku membutuhkan alasanmu Untuk beberapa menit kami hanya berdiam diri. Aku tidak membuka suara, begitu pula dengan Lee Donghae. Memangnya ada apa? Apa itu sangat pribadi? Dengar ya, Donghae-shi. Kau pikir menikah itu main-main? Aku juga tidak menganggapnya begitu. Setelah anak itu lahir, kita bisa mengajukan pembatalan pernikahan dengan alasan keterpaksaan atau apalah. Uskup akan mengurusnya karena pernikahan itu dianggap tidak sah Tapi aku katolik! Pernikahan dianggap tak-terceraikan, Donghae-shi Aku juga katolik. Pernikahan itu baru tak-terceraikan jika pernikahan itu ratum (sah) dan disempurnakan dengan persetubuhan. Buka Kitab Hukum Kanonik (KHK). 1141 kau akan menemukan jawabannya di sana. Sementara kita? Kita tidak akan bersetubuh dan dilandasi keterpaksaan dari masing-masing pihak kan? Pengadilan gereja akan mengabulkan perceraian kita paparnya dengan wajah yang cukup terlihat frustasi. Berbeda dengan pernikahan yang sah dan telah disempurnakan dengan persetubuhan atau biasa disebut ratum et consummatum yang jika terjadi perceraian, di mata gereja tetap dianggap sebagai sebuah perkawinan walaupun dengan status cerai dia melanjutkan dengan nada yang kian melemah. Terlihat sekali dia sangat religious dari caranya menyampaikan penjelasan tentang perkawinan dalam agama katolik. Kenapa kita tidak berpura-pura telah menikah di Paris saja? Kita bisa Kau pikir aku akan merendahkanmu sejauh itu? potongnya cepat, sejurus dengan itu dia mendengus dan melengos menghindari tatapanku. Dulu aku berfikir seperti itu. Tapi walau bagaimanapun, pada akhirnya ibu dari anakku adalah kau. Dengar ya Aku menikahimu untuk melindungi nama baikmu sebagai ibu dari anakku kelak. Aku tidak mau anakku menjadi anak haram dari penikahan yang pura-pura walaupun kita tidak melakukan hubungan badan secara langsung. Aku akan tetap menuliskan nama kita berdua sebagai orangtua kandung di akta kelahirannya Mendengar penjelasannya itu aku hanya bisa membisu. Tak percaya kalau dia akan berfikir sejauh ini. Bahkan hal ini pun tidak sempat terlintas di otakku. Dia melindungi namaku juga? Aku pikir dia adalah orang yang tamak, egois dan ambisius. Tapi dari sudut pandang ini, aku bisa melihat bahwa dia adalah orang yang baik walaupun pembawaannya serius dan terkesan semena-mena dengan nada yang tidak jarang sangat mengancam. Lee Donghae, siapa kau sebenarnya? Bisakah kau menjelaskan padaku kenapa kau tidak menikah dengan wanita itu, Donghae- shi? Bukankah itu jauh lebih baik. Kau tidak perlu bercerai, kan? Kenapa kau bertanya itu lagi? dia membalik badan dan menatapku dengan geram. Karena aku tidak bisa menerima alasan yang setengah-setengah Aku tidak akan menjawabnya! Dan aku juga tidak akan sudi menerima tawaranmu aku bangkit dan berjalan menuju pintu. Jika kau keluar dari ruangan ini, nona Sung Hyosun aku berhenti tanpa menoleh kemudian dia melanjutkan. Kau akan menyesal tandasnya. Aku baru akan peduli sampai kau menceritakan semuanya aku menoleh ke samping sejenak, tapi bukan menengok ke belakang untuk melihatnya dan setelah selesai, aku keluar dari ruangannya tanpa mengatakan apa-apa lagi. Terserah kau! Ck! Apa ini? Sudah dua email masuk yang menyatakan complain atas hasil editanku? Editor amatiran? God, apa yang ada di kepala dua orang ini? Apa mereka tidak me-review sebelum mengirim tulisan-tulisan ini? Sebenarnya yang amatiran siapa? Penulis-penulis ini atau aku? Aku memandangi titik-titik kecil air hujan yang jatuh satu per satu dari langit. Nampak dari jendela kacaku rintik itu semakin lama semakin deras. Setelah cukup puas mengamati, ku sesap secangkir coklat hangat yang berada di atas meja kerjaku. Sebelumnya aku memperhatikan motif yang ada di bagian badan cangkir. Ku elus motif bunga sakura yang mengitari lapisan luar benda pecah belah itu. Asapnya mengepul ke udara dan aku menikmati pemandangan coklat hangat di dalam cangkir klasik. ~Tok Tok Tok~ Aku memandang lurus ke arah pintu. Hmmm itu pasti Max. Sebentar! teriakku sembari meletakkan cangkir pada tempatnya semula. Aku berjalan menuju pintu kayu. Sesampainya di muka, tanganku langsung memutar knop pintu ke arah kiri dan membuka pintu itu. Tubuhku sempat terasa beku saat melihat sosok yang ada dihadapanku sekarang. Dia memakai kaos polo berwarna putih yang disesuaikan dengan celana bahan semi jeans berwarna biru gelap. Tidak seperti beberapa hari yang lalu saat aku menemuinya. Saat itu dia terlihat formal dengan balutan busana yang umum dipakai orang kantoran. Tapi sekarang dia menjelma menjadi pria yang biasa tanpa dasi dan sepatu yang mengkilat. Kali ini dia memilih sepatu cats. Badannya juga terdapat percikan-percikan air hujan. Saat dia membuka kacamata hitamnya, hal itu cukup membuatku susah untuk menelan ludah. Mau apa kau ke sini? aku melongok ke belakang bahunya takut-takut kalau dia membawa beberapa petugas imigrasi. Tidak ada petugas imigrasi katanya cepat menjawab ketakutanku yang tak samar. Dia menerobos masuk ke dalam apartemenku tanpa permisi. Bukan hal yang mengherankan jika dia tahu dimana aku tinggal. Kalau dia tahu seluruh dokumenku, tidak menutup kemungkinan dia tahu tempat tinggalku di sini. Tapi mau apa dia kemari? Apa dia berubah pikiran dan bermaksud untuk memperinci hal yang masih abu-abu? Jadi ini tempat tinggalmu? kicaunya tanpa dosa sambil duduk di atas sofa. Tidak sopan? Memang. Tapi orang-orang Perancis terkadang memiliki sifat aneh seperti ini. Bahkan kaum pendatang pun bisa tertular. Aku tidak heran kalau dia juga seperti kebanyakan penduduk di sini. Basa-basi tidak perlu, Donghae-shi aku menyilangkan kedua tanganku di depan dada, setelah menutup pintu. Untuk beberapa detik dia memandangku lurus. Dia berdeham kecil Apa pertanyaanmu kemarin sangat penting? Yang mana? Tentang kenapa kau tidak menikah saja dengan orang yang kau cintai? Dia menjawabku dengan anggukan kecil. Melihatnya aku menghela nafas cukup dalam namun ku keluarkan secara perlahan agar tidak terlalu nampak di pandangannya. Menurutku sangat penting jawabku seadanya menunggu kata kenapa dari mulutnya. Seberapa penting? Aku hanya tidak mau saat aku memutuskan untuk mengiyakan hal ini, terjadi masalah dan aku tidak tahu apa-apa. Itu saja intinya aku mendekatinya yang tengah mengelus-elus dahinya sendiri. Dia berfikir dan aku langsung mengambil tempat di kursi yang berhadapan langsung dengannya. Kau tahu miom, Hyosun-ah? katanya dengan nada yang paling lemah yang pernah ku dengar dari mulutnya. Biasanya dia selalu berbicara dengan intonasi yang teratur disertai penekanan-penekanan. Tapi kali ini tidak, dia menatap lurus sambil menerawang. Tumor jinak pada otot rahim? Iya. Itulah yang terjadi padanya. Sewaktu kami masih sama-sama duduk di bangku kelas dua SMA, dia harus operasi pengangkatan dinding rahim dia menatapku sayu. Terlihat sekali kalau dia cukup terpukul. Dari pernyataannya yang sederhana itu aku bisa menyimpulkan beberapa hal. Yang pertama adalah mereka teman satu sekolah atau bahkan satu kelas saat SMA, karena dia menggunakan key word sama-sama. Yang kedua, dinding rahim yang diangkat sama artinya tidak bisa mengandung. Dan yang terakhir, Donghae tidak bisa menyambung keturunan dari wanita ini. Oh seruku lirih. Dan sekarang aku malah merasa bersalah karena telah bertanya ini padanya. Jangan tanyakan apapun lagi mengenai ini karena aku sudah berjanji padanya untuk tidak memberitahu siapapun, Hyosun-ah Maaf kataku parau. Tidak perlu. Ini hanya masalah janji mengenai aib seseorang Aku mengerti sekarang kenapa kau tidak bisa menikah dengannya. Tidak memiliki rahim, itu sama artinya suatu kegagalan bagi seorang wanita. Kau kecewa dengan hal ini? Aku tidak tahu karena aku belum merasakan yang namanya mengarungi rumah tangga. Aku mencintainya tapi aku tidak bisa turut merasakan kegagalannya menjadi seorang ibu. Hanya dia yang tahu Aku mengangguk-angguk, mengiyakan apa yang aku pikir rasional. Kalau boleh tahu, dimana dia sekarang? Paris? Tidak. Setelah putus dia ke New York. Dia mengambil sekolah modeling di sana Eh? Putus? Jadi wanita yang dia maksud adalah mantan kekasihnya? Aku pikir dia adalah pacarnya sekarang. Ingin sekali aku bertanya lebih jauh kenapa hubungan mereka kandas. Tapi apa itu sopan? Ah sudahlah. Kami putus karena jarak. Selain berjanji untuk merahasiakan ini, aku juga berjanji akan menikahinya Oh lagi-lagi hanya bisa mengeluarkan seruan ini. Kau sudah puas dengan penjelasanku, Hyosun-ah? Tunggu, kau mau menikah dengannya sementara dia tidak bisa memberimu keturunan, Donghae-shi? lagi-lagi dahiku dibuat berkerut olehnya. Aku akan punya anak darimu dan kami berencana akan mengadopsi bayi. Itu planning-planning kami ke depan Apa ini wujud dari rasa kasihan? Apa kau pikir selama lima tahun kami berhubungan hanya rasa kasihan yang timbul? Ini semacam harapan kami dari awal berpacaran. Pada akhirnya cinta yang kami jalin akan bermuara pada pernikahan Siapa bilang? Buktinya banyak yang gagal setelah bertahun-tahun pacaran. Tuhan yang menentukan semuanya, bukan berapa lama manusia berpacaran. Hmm Entahlah, ini juga bukan wewenangku untuk tahu lebih jauh mengenai hubungan mereka. Setidaknya aku sudah mempunyai titik temu dari pertanyaan yang muncul di otakku. Aku tidak mengeluarkan unek-unek ini, daripada aku salah lebih baik diam, kan? Dia tidak tahu dengan rencanamu ini? Tidak. Aku akan memberitahunya nanti. Setahun lagi dia akan selesai sekolah modeling dan kembali ke Seoul Kau sudah puas? dia menatapku cepat dengan sikapnya yang kembali seperti biasa. Rohnya yang tercecer sudah kembali di badannya. Sejujurnya aku belum terlalu puas karena aku masih bingung. Mereka sudah putus tapi Donghae ingin menikah dengannya setelah berpisah dariku? Aneh. Apa karena jarak saja yang membuat mereka berpisah? Atau setelah bekas pacarnya kembali ke Seoul, mereka akan berpacaran lagi kemudian menikah? Well, kenapa aku jadi bertanya-tanya? Urusanku apa? Ah, sudahlah! Kau mau minum apa? tanyaku mengabaikan pertanyaannya yang tergambar seperti sebuah geraman itu. Aku berjalan menuju pantry. Yang aku punya hanya air mineral, beberapa botol soda di kulkas dan seteko kopi. Kalau kau punya whisky aku tidak menolak katanya mencoba mencairkan suasana setelah menatapku dengan ganjil. Sayangnya minuman itu tidak ada aku menuangkan air mineral ke dalam gelas kemudian berjalan mendekatinya. Ini aku menyodorkannya dan dia meraih tanpa protes walaupun diiringi dengan dengusan kecil. Kau suka menulis? tanyanya sambil memandang screen saver komputerku yang bergerak-gerak setelah meneguk air mineral itu hingga setengahnya. Aku suka mengedit Tidak heran dia meneguk sisa air yang ada di dalam gelas. Maksudmu? dahiku berkerut, tidak mengerti apa yang dia maksud. Kau teliti dan suka hal yang terperinci. Pernah menulis sebuah buku sendiri dan mengeditnya? Entah kata teliti dan terperinci itu adalah sebuah pujian atau apa, yang jelas aku tidak bisa menghentikan urat wajahku untuk mengembang walaupun tidak begitu nampak. Belum. Tapi hal itu sempat terlintas di benakku. Aku juga tidak tahu kapan akan memulainya. Aku terlalu sibuk. Mungkin suatu saat nanti aku akan membuat fiksi konyol berisi roman picisan Kau menyukai pekerjaanmu, Hyosun-ah? Saat aku kuliah, aku mengambil bidang sastra agar aku bisa menekuni hal yang mulanya adalah sekedar hobi. Dulu aku sangat suka menulis. Tapi biasanya aku menulis untuk ku baca sendiri. Bukan untuk dipublikasikan. Setelah lulus, aku mulai mengenal dunia edit-mengedit dan ternyata hal ini jauh lebih menyenangkan. Hal itu membuatku ketagihan. Iya aku sangat menyukai pekerjaanku walaupun aku harus bekerja sebagai editor freelance paparku antusias. Kau mau minum lagi? aku menatapnya kemudian melempar pandangan pada gelas yang ia timang dan sudah kosong. Tidak. Ini sudah cukup jawabnya sambil meletakkan gelas itu di atas meja. Jadi? katanya menggantung. Jadi apa? Jadi, kau bersedia menerima tawaranku setelah aku ceritakan semuanya? Aku menatapnya dengan dengusan kecil. Aku masih menyusun kalimat apa yang harus ku keluarkan. Di otakku sudah timbul beberapa pertanyaan baru dan itu sangat menggelitik. Bagaimana kalau aku bermasalah dengan kesuburan, hormon dan sebagainya, Donghae-shi? Kalau aku tidak memenuhi kriteria yang kau mau sebagai ibu dari anakmu? tanyaku menantang. Anehnya dia tidak kaget dengan pertanyaanku. Dia malah mengeluarkan ponselnya dan memencet beberapa tombol sentuh layarnya. Yoboseyo Kapan aku bisa ke tempat praktekmu oh, oke ~Klik~ Dan itulah jawabannya. Dia memang sudah merencanakan ini semua dengan matang. Serasa dunia memang sudah di tangannya. Dari kata praktekmu saja aku sudah menduga bahwa baru saja dia berbicara dengan dokter. Kita bisa datang kapan saja untuk memeriksa kondisimu katanya santai sambil memasukkan gadget-nya ke dalam saku celana. Kondisiku? aku terkekeh mendengar itu. Kondisi kita, Donghae-shi tandasku dengan sebuah penekanan. Kita? Aku tidak bermasalah Cih! Aku terbiasa menghadapi tulisan fiksi maupun non-fiksi, Donghae-shi. Aku sering membaca artikel yang berisi bahwa laki-laki kerap kali menyalahkan wanita dalam hal hubungan sex. Mereka yang tidak bisa atau belum mempunyai anak lebih sering menyalahkan istri yang tidak subur, istri yang mandul dan sebagainya. Tapi mereka tidak pernah berfikir tentang dirinya sendiri. Mereka cenderung melimpahkan kesalahan pada pihak wanita terangku dengan nada sinis. Aku tidak seperti itu! Lalu? Apa kita akan sama-sama memeriksa kondisi kita? tantangku untuk yang kedua kalinya. Untuk apa? Untuk membuktikan bahwa kita sama-sama normal Aku tidak menyangka kalau menghadapimu tidak segampang yang ku kira Aku memegang kartu As-nya sekarang. Kalau kau tidak ragu dengan testosteronmu, ayo kita periksa bersama-sama. Atau jangan-jangan Jangan-jangan apa? matanya melotot mendengar pelecahanku. Jangan-jangan kau memang tidak punya potensi untuk menjadi seorang ayah Jaga bicaramu, Sung Hyosun geramnya kesal. Haha, tenang, tuan Lee. Tidak perlu segalak itu. Jadi? aku menggodanya lagi. Terserah kau. Kapan kau bisa? Aku berjalan menuju meja kecil yang tak jauh dari meja kerjaku. Ku sambar kalender meja yang menanti untuk diperhatikan. Lusa aku bisa jawabku akhirnya. Oke, aku akan menjemputmu hari selasa dia berdiri sambil menepuk-nepuk pahanya seolah ada beberapa butir debu yang menempel di situ. Kau akan pulang sekarang? Tentu. Memangnya kau senang aku berlama-lama di sini? dahinya berkerut. Lebih cepat kau angkat kaki itu lebih baik, Donghae-shi aku berjalan menuju pintu dan membukakannya. Dia menyeringai penuh arti dan hal itu tidak bisa terdeteksi olehku. Dia berjalan ke luar apartemenku. Ku perhatikan hujan yang tadi mengguyur pusat kota Paris telah mereda. Dia berhenti, merenung sejenak sebelum aku menutup pintu. Dia berbalik dan berjalan ke arahku. Ada yang tertinggal? tanyaku heran. Ada apa dengan pacarmu, Hyosun-ah? Maksudmu? alisku naik, lebih heran lagi. Aku rasa ini bukan keputusan yang main-main, Hyosun-ah. Lalu? Bagaimana dengan pacarmu? tanyanya penuh selidik. Matanya membulat. Aku juga tidak mengatakan iya padamu Tapi secara eksplisit kau mengatakan itu. Sekarang katakan padaku, apa yang terjadi pada pacarmu sampai kau mau menerima tawaran ini? Demi Tuhan, sekarang aku merasa diserang balik olehnya. Dia mengambil kartu As-ku. Bodohnya, kenapa aku tidak mengantisipasi pertanyaan ini? Ada apa dengan otakku sekarang? Kenapa? tanyanya lagi. ~Ndret Ndret Ndert~ benda elektronik yang tergeletak di atas meja kerjaku bergetar hebat. Itu pertanda panggilan masuk. Aku akan menjawabnya setelah aku tahu tingkat kenormalan-mu, Donghae-shi Aku menutup pintu dengan segera kemudian berjalan dan menyambar ponsel flip-ku tanpa peduli pada Donghae lagi. Toh, juga dia tidak mengetuk pintu lagi. Hallo? Hallo, chaggi. Kau sedang apa? tanya Max dari seberang sambungan. Sedang apa lagi selain berkutat dengan komputerku? Kau sendiri? Aku sedang melihat keindahan menara Eiffel di tepi sungai Seine. Kau mau menyusulku? Sepertinya menikmati hidangan kaki lima di sini cukup romantis katanya mencoba berkelakar. Kenapa kau baru bilang? Oke, aku akan menyusul ke sana. Tunggu emmmm dua puluh menit lagi. message aku lokasimu dimana, oke? Oke ~Klik~ Setidaknya otakku bisa rehat sejenak sebelum mengurusi email-email yang cukup membuatku gusar terakhir kali. Ku raih mantel yang tersampir di balik pintu. Memakainya sebelum menjajakan kaki keluar rumah. Mantel murah ini cukup membuatku hangat dengan ketebalan yang pas untukku. Apa yang harus ku katakan pada Max? Walaupun selama berhubungan dengannya aku selalu merasa gusar dengan hubungan kami ke depan, tapi hal ini adalah hal yang paling membuatku pusing bukan kepalang. Dia pasti akan sangat kecewa. Apa aku bisa mengatakannya sekarang? Bisakah dia menerima semua ini?
Ah, Tuan dan nyonya Lee. Silahkan duduk Pria paruh baya yang mengenakan jas berwarna putih itu mempersilahkan kami dengan memberi tanda pada dua bangku kosong yang ada di hadapannya. Dia memakai kacamata dan sebuah stetoskop menggantung di lehernya. Wajahnya yang penuh kerutan dilengkapi dengan uban yang tumbuh di kulit kepalanya. Dan panggilan nyonya Lee padaku oleh dokter itu sama artinya bahwa Donghae telah mengaku menikah denganku. Tidak perlu dipertanyakan lagi. Tidak ada yang salah padamu. Nyonya Lee, kondisimu sangat subur. Kadar estrogenmu juga sangat cukup. Apa kau mengalami keluhan-keluhan? kata sang dokter sambil mengawasi wajahku. Apa? sontak aku kaget. Keluhan seperti pusing-pusing atau semacamnya? Ohh Sebenarnya aku ingin meledak saat sang dokter mengatakan kata subur. Kadar estrogen dan lain-lain. Sekarang dia malah bertanya tentang keluhan-keluhan? Tentu saja ada, dok. Keluhanku akhir-akhir ini adalah hampir dibuat gila oleh Lee Donghae dengan tingkahnya yang menyebalkan. Aku hanya sedikit pusing akhir-akhir ini aku melirik Donghae yang ada di sampingku. Dia menatap balik sejenak kemudian mengarahkan pandangannya lagi pada sang dokter. Mungkin itu hanya gejala kurang darah. Seharusnya kau tidak perlu merisaukan apa-apa mengenai kadar hormonmu. Jumlah hormon itu tidak akan teratur ketika mendekati menstruasi dan setelahnya. Itu wajar, jadi jangan khawatir jelasnya dengan nada kalem kemudian membaca laporan selanjutnya. Oh, jadi saya tidak apa-apa, Dok? Tentu tidak Nyonya Lee dokter itu tertawa kecil padaku. Hmmm Tuan Lee. Kau terlalu sibuk akhir-akhir ini? dokter mengalihkan perhatiannya pada Donghae. Lumayan, dok. Aku sering lembur. Urusan kantor cukup menyitaku akhir-akhir ini. Apa ada masalah mengenai itu, Dok? Donghae menatap sang dokter dengan serius. Sementara aku mengeluarkan botol air mineral dari dalam tas dan meneguknya beberapa kali. Kadar testosteronmu menurun hingga 15% Vonis sang dokter itu hampir saja membuatku menyemprotkan seluruh air yang ada di dalam mulutku. Aku hampir tertawa terbahak-bahak tapi sebisa mungkin ku tahan dengan paksa dan hasilnya adalah aku terbatuk-batuk. Donghae menatapku penuh cemooh karena reaksiku barusan. Skak mat! Kau tidak apa-apa, Nyonya Lee? tanya sang dokter terlihat sedikit panik. Tidak-tidak, Dok. Tarikan nafasku salah. Seharusnya aku menelan airnya kemudian menarik nafas. Tapi aku melakukannya bersamaan hingga tersedak jelasku berlagak ilmiah. Tapi memang itu alasan yang paling rasional. Lain kali kau harus waspada, nyonya Lee. Kerongkongan dan tenggorokan yang terbuka secara bersamaan ketika sesuatu masuk ke dalam mulut dapat membuat organ paru-paru bermasalah Ohh. Lain kali aku akan lebih berhati-hati, Dok Dan kau harus mengurangi aktivitasmu, tuan Lee. Inilah pemicu utama kadar testosteronmu turun dokter mengalihkan perhatiannya lagi pada Donghae. Apa itu bahaya, dok? Sejauh ini tidak. Kau hanya perlu istirahat yang cukup, olahraga dan makan makanan yang mengandung zat besi Donghae berdeham sedikit kemudian melanjutkanKalau boleh tahu, prosedur apa yang harus kami jalani jika kami ingin menjalankan bayi tabung, Dok ~Glek~ dan ini adalah pertanyaan yang tak ku sangka-sangka akan ditanyakan oleh Donghae pada dokter. Apa dia gila? Kita belum berbicara lebih serius mengenai ini. Bayi tabung? Untuk apa? tanya sang dokter terkesan heran. Kami berencana menjalani program bayi tabung, dok. Kami ingin memperoleh anak melalui jalan ini Bukannya menjawab, sang dokter malah tertawa terbahak-bahak. Eh? Ada apa? Berapa usia pernikahan kalian? Dua tahun, dok lagi-lagi Donghae berbohong pada dokter yang hampir pikun itu. Kalian masih terlalu muda. Luangkanlah waktumu untuk relax, tuan Lee. Ini bukan masalah hormon, tapi mungkin faktor kelelahan yang kau alami. Ambillah cuti dan lakukan liburan-liburan bersama istrimu. Itu akan membuatmu relax. Untuk sementara aku akan memberimu resep vitamin yang bisa kau tebus di depan dokter menuliskan beberapa karakter pada secarik kertas. Aku menoleh sejenak pada Donghae yang takzim memandangi sang dokter. Kemudian ku keluarkan ponsel dan mengetikkan beberapa karakter. Setelah selesai ku pencet tombol send. Aku di atas awan. To: Lee Donghae 15% Tuan Lee? Kau buang kemana 15% itu? Beberapa detik setelahnya, terdengar sebuah tanda pesan masuk dari ponsel Donghae. Buru-buru dia merogoh saku celana untuk memastikan. Raut wajahnya berubah dan dengan cepat menatapku. Aku menghindari tatapannya, berpura-pura meraba meja yang peliturnya masih begitu mengkilap. Aku yakin kedua bola matanya hampir keluar sekarang. Beberapa saat kemudian ponselku bergetar. Dengan segera aku membuka flip-nya. Aku menutup mulutku dengan tangan sembari cekikikan. Aku tidak membalasnya. From: Lee Donghae Tempat sampah! Puas? Resep ini harus kau tebus semua, tuan Lee sang dokter menyodorkan secarik kertas yang baru saja dirobeknya. Baik, dok Donghae memegangi dahi, memijitnya kecil sambil memandangi kertas itu. Kalau begitu kami pamit, dok tambahnya lagi. Oke, silahkan. Dan kembalilah jika ada masalah lagi Mari, dok kataku untuk yang terakhir kali. Selama di jalan aku tidak berkata apa-apa. Dia terfokus pada jalan yang menurutnya lebih indah dipandang daripada mengobrol denganku. Dia mau bilang apa? Kau sudah makan? tanyanya kikuk membuka pembicaraan. Sepiring pancake dan segelas kopi hangat, bukan ide yang buruk Aku menjawab pertanyaannya tanpa menunggu dia bertanya mau makan dimana. Dia memandangku sekilas dan mengerti maksudku. Setelah beberapa menit menyurusi ibu kota, akhirnya kami menemukan sebuah caf yang cukup hommy dan lumayan sepi. Kami mengambil tempat duduk yang berada di dekat dinding kaca. Sejenak dia mengamati kendaraan yang berlalu lalang di jalan De Prompe. Aku mengamatinya tapi tidak bertanya apapun padanya. Aku tidak ingin membangunkan macan yang sedang tidur. Yeah, anggap saja dia adalah macan. Sekarang ceritakan tentang pacarmu dia menoleh padaku dan menatap secara intens. Kalimatnya membuatku semakin diam. Bukannya aku tidak mau bercerita, tapi hal itu menyayat luka di hati yang belum kering. Untuk sesaat aku masih berfikir, mau menggunakan kalimat dan kata-kata apa yang bisa ku bebaskan dari mulut. Dia masih mengamatiku. Tidak mungkin aku menangis di hadapannya karena itu bukan sifatku. Aku bukan tipe orang yang akan menumpahkan airmata dengan sembarangan di hadapan orang lain. Terlebih lagi Lee Donghae. Pikiranku masih tertuju pada obrolanku bersama Max dua hari yang lalu. Di tepi sungai Seine, dibawah sinar menara Eiffel.
Flash back Menyusuri jalan di tengah gegap gempita kota Paris dengan berjalan kaki merupakan kenikmatan tersendiri. Ditambah lagi dengan lembabnya udara yang cukup membuat orang- orang semakin mengeratkan mantel. Sayangnya aku telah menenggak secangkir coklat hangat di apartemen barusan, kalau belum biasanya aku akan membeli satu cup kopi di sebuah kedai kecil yang berdiri di sekitar Champ de Mars. Suasana Paris di malam hari seperti ini sudah terkenal sebagai suasana yang romantis di seluruh dunia. Tidak salah jika Paris menjadi salah satu tempat yang dikunjungi lebih dari dua ratus juta wisatawan, baik lokal maupun domestik. Di tepi sungai Seine, aku mendapati Max tengah menatap permukaan sungai Seine yang berbuih. Aku kenal dari perawakannya. Dari caranya berdiri. Dia membelakangiku sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku mantel. Aku mendekat perlahan, kemudian memeluknya dari belakang setelah jarak kami hanya terpaut beberapa senti. Hei, Nona. Kau siapa? Kenapa memelukku seperti ini? Kau tidak tahu ya kalau aku sudah punya pacar? katanya lembut sembari membebaskan tangannya kemudian mengelus tanganku yang telanjang tanpa sarung. Aku sudah tahu. Tapi aku ingin menggoda laki-laki yang sudah punya pacar sepertimu aku tertawa kecil sambil menempelkan pelipisku ke punggungnya. Aku bisa mencium aroma sabun bercampur minyak wangi yang menguatkan kemaskulinannya. Aku terbiasa dengan aroma ini setiap kali berada dekat dengannya. Badannya bergetar-getar, dia tertawa mendengar jawabanku. Kau tidak takut salah memeluk orang, Hyosun-ah? Kenapa? Aku sangat hafal dengan perawakan dan wangi tubuhmu Bagaimana kalau tadi kau salah? Cuma aku yang bisa mengenali laki-laki sejelek dirimu, Max aku bermaksud menarik tanganku, tapi Max menahannya. Malam ini romantis katanya kemudian. Setiap malam di Paris selalu romantis, Max. Tidak jarang pasangan yang tengah berbulan madu menikmati suasana ini Max Hmmm dia bergumam. Aku ingin membicarakan sesuatu kataku dengan nada serak. Max mengendurkan tangannya dan meloloskan tanganku begitu saja kemudian berbalik. Untuk sejenak mata kami berpaut satu sama lain. Tentang? tanyanya kemudian. Aku menghela nafas, kemudian mendudukkan bagian dari tubuhku di kerikil-kerikil kecil sambil menatap lurus ke permukaan air. Max mengikutiku dengan duduk bersebelahan. Aku bingung harus mengatakan sesuatu yang seperti apa padanya. Susah payah aku mengolahnya dalam otakku, tetap saja aku bingung untuk memulainya darimana. Kenapa diam? tanyanya heran. Aku mengalihkan pandanganku dari air ke wajahnya yang rupawan. Aku berfikir lagi Menurutmu hubungan kita bagaimana, Max? Sejauh ini baik-baik saja. Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku menunduk, menatapi bumi yang seolah lebih cantik dari apapun sekarang ini. Aku merasa hubungan kita tidak akan mungkin, Max. Aku takut berjalan beriringan denganmu lebih jauh lagi. Bahkan untuk memikirkan menikah pun aku selalu merasa seperti Seperti akan melakukan hal di atas kuasaku Mataku yang awalnya berkaca kini telah berleleran air asin yang menetes satu per satu. Dia diam. Aku diam. Sama-sama berfikir tentang satu hal. Aku selalu berfikir bagaimana menyatukan perbedaan ini menjadi satu kesepakatan. Di satu sisi aku tidak mau memungkiri kepercayaan yang aku anut, tapi di sisi lain aku juga yakin kau adalah orang yang sangat taat dengan ajaran Buddha. Bagaimana kita bisa bersatu? Apakah harus menistakan salah satu agama? Atau salah satu diantara kita harus mengalah dalam urusan ini? aku menatapnya yang sekarang juga menunduk. Dia menengadah sejenak. Aku tahu yang dia lakukan adalah mencegah airmatanya agar tidak keluar dan tetap mengitari bola matanya. Buddha sangat flexible, Hyosun-ah. Sepanjang pengesahan sebuah pernikahan dilakukan dengan tata cara Buddha, hal itu bukan masalah walaupun yang bukan Buddha tidak masuk agama kami terlebih dahulu dia memandangku, setetes airmata menelusuri pipi kirinya. Pernikahan beda agama juga dianggap sah oleh ajaranku, tapi pernikahan itu tidak diberkati dengan sakramen pernikahan. Kalau kita sampai menikah, Max Siapa mengikuti tata cara agama siapa? Di agamamu sah sudah pasti di agamaku tidak. Begitu pula sebaliknya aku menatapnya intens tanpa bermaksud mengintimidasi. Dia tertawa getir Seharusnya sejak awal kita tidak pernah memulai ini semua, Hyosun-ah. Kita sama-sama salah. Kita terlalu jauh melangkah tanpa memikirkan ke depannya. Kalaupun salah satu diantara kita mengalah, lalu bagaimana dengan anak-anak kita kelak? Antara gereja dan vihara, antara natal dan waisak. Kita akan menentukan dimana letak meja dupa dan menggantung salib. Dan ironisnya lagi, setiap minggunya kita akan berjalan ke tempat yang terpisah, kau ke gereja dan aku ke vihara. Aku tidak akan menukar agamaku, Max kataku lirih dan setelah itu tangisku benar- benar pecah dihadapannya. Dia mendiamkanku agar seluruh emosi terluap melalui tangisan. Mendengar setiap isakan yang tidak bisa ku tahan lagi. Begitu pula denganku jawabnya kemudian merangkulku agar tangisku jatuh membasahi dadanya yang bidang. Aku merasakan detak jantungnya yang kian memburu disertai isakan walaupun samar terdengar. Tangisku masih mengguncang badannya. Pedih, sakit, marah, kecewa semuanya bercampur menjadi satu yang diwakili dengan tetesan airmata. Kenapa Tuhan memberiku perasaan yang seperti ini? Kenapa aku harus mencintai seseorang yang berbeda iman denganku? Sekalipun saat menjalani ini aku selalu dihinggapi rasa ragu untuk melangkah ke depan, tapi cintaku lebih dalam dari apapun. Belum pernah aku merasakan ini dengan laki- laki manapun. Kenapa aku begitu mencintaimu, Max? Kenapa? Kenapa harus kau yang aku cintai? Dia menatapku, kemudian menciumku sekilas, ragu-ragu kemudian melepaskannya. Karena jalannya harus begitu Semoga katanya tercekak menahan isaknya. Semoga jika masih ada kehidupan di masa yang akan datang, kita bisa bersatu dalam satu ikatan dan di satu simpang tanpa harus merisaukan perbedaan, Hyosun-ah lanjutnya semakin mendekapku erat. Maafkan aku, Max Maafkan aku Tidak, tidak ada yang salah, Hyosun-ah. Jangan meminta maaf. Memang keadaannya yang tidak tepat. Cepat atau lambat, kita memang harus membicarakan ini Tangisku semakin menderu dalam dekapnya. Tidak peduli lagi orang yang berlalu lalang akan berasumsi apa, aku hanya bisa menangis. Menangisi hubungan yang tidak akan sempat menjadi indah. Mungkin kami terlihat dekat, tapi sejujurnya kami menyebrang di jembatan yang berbeda. Apa rencanamu sekarang, Hyosun-ah? tanyanya setelah bermenit-menit berlalu. Setelah airmata berkali-kali terusap. Setelah waktu berjalan sampai airmata di pipi mengering. Aku akan kembali ke Korea. Aku akan menikah Dia mengernyitkan dahi mendengar statementku. Orang tua angkatku menjodohkanku dengan anak dari temannya Aku berbohong. Orang tua angkatku kemungkinan besar tidak mengenal Lee Donghae. Sangatlah konyol jika aku mengatakan pada Max bahwa aku akan menikah untuk membantunya membuat anak. Tidak! Dalam beberapa kasus aku harus berbohong. Berbohong demi kebaikan sekalipun hal itu sama saja dengan dosa. Termasuk dalam keadaan ini. Kau mau menikah? tanyanya heran. Aku hanya Hanya tidak mau mengecewakan mereka. Mereka yang mengadopsiku dan membiayaiku sampai aku lulus kuliah. Ini adalah waktunya aku membalas budi, Max Sakit? Tentu. Membohongi orang yang kita cintai seperti ini sama saja menyayat-nyayat perasaan sendiri. Tapi pasti akan lebih sakit jika aku mengatakan hal yang sebenarnya. Dia tidak akan melepaskanku begitu saja tanpa alasan yang jelas. Jika dia tahu aku akan menikah dengan alasan membuatkan anak untuk Donghae, jangan harap kakiku tidak dirantai olehnya. Apa dia tampan? Aku menerawang, membayangkan lekuk wajah Lee Donghae inci demi inci. Mata, hidung, tulang rahang, hidung sampai ke dagunya yang kelancipannya tidak begitu kentara. Tampan kalau dibayangkan. Tapi kalau sudah berbicara langsung dengannya rasanya berapi-api. Mungkin Yang jelas kau yang paling tampan aku tersenyum simpul padanya. Tak bisa mengelak, diapun tertawa. Bagaimana kau bisa mencintainya kalau kau mengatakan aku yang paling tampan? Bagaimana aku mau mencintainya, Max? Motif kami menikah bukan untuk memperdalam cinta dan menjalin kasih. Aku akan mencoba menghadirkan cinta dengan cara terbiasa Kau yakin bisa? Aku mendengus dan menjawabnya dengan gelengan kecil Aku akan mencobanya, Max Apapun yang akan kau jalani ke depan dan dengan siapapun itu, aku harap kau bahagia, Hyosun-ah dia mengelus puncak kepalaku dengan hati-hati. Menerima perlakuannya itu airmataku serasa ingin runtuh. Langit hari ini mendung. Biasanya cerah dan banyak bintang katanya mengalihkan suasana. Kau bisa melihat Eiffel sebagai gantinya sambungku. Eiffel dia menggumam sedikit berfikir. Mungkin ini terakhir kali kita bersama-sama di sini, Max aku melanjutkan. Iya. Aku juga tidak berniat mengajak istri orang untuk diajak ke sini Max kataku mengeluh. Aku bercanda. Hmmm Sepertinya aku ke sini ingin mengajakmu makan di kaki lima? Ide bagus. Selesai menangis perut jadi lapar, Max kataku mecoba berkelakar. Dengan mengabaikan rasa sedih yang masih berkecamuk, kami pun mencari penjual makanan di pinggiran sungai Seine. Tidak peduli seberapa besar rasa sakit yang kami rahasiakan satu sama lain, kami hanya berusaha menghabiskan malam yang mungkin terakhir ini dengan tersenyum menutupi yang menyayat hati. Dan setelah ini mungkin aku akan menangis di apartemen sampai persediaan airmataku habis. End Flashback Donghae memperhatikanku lekat yang sedari tadi berceloteh. Dia bisa menjadi pendengar yang baik sampai aku selesai berbicara. Dia menyodorkan selembar kain berwarna biru yang terlipat membentuk bujur sangkar. Aku menatapnya sejenak. Untuk apa? aku melotot memandanginya. Untuk mengelap airmatamu. Apalagi? Kau bodoh ya? Jelas-jelas aku tidak mengeluarkan airmata, kenapa kau memberiku sapu tangan? Siapa tahu sebentar lagi kau akan ke toilet dan memutuskan untuk menangis di sana. Aku hanya takut kau kehabisan tissue Orang macam apa sih dia? Malah mengatakan hal seperti itu. Mati-matian aku menahannya agar tidak keluar, dia malah mencemoohku. Aku menatapnya penuh protes kemudian menyambar sapu tangan itu dengan segera. Ku bekap hidungku dengan kain itu dan mengeluarkan lendir-lendir di dalam lubang hidung. Aku puas melihat expresinya yang jijik itu. Puas? Jorok! Kau hanya tahu sebagian kecil dari diriku, Donghae-shi Hmmm Jadi intinya kau memanfaatkanku untuk membohongi bekas pacarmu? tanyanya setelah menyeruput kopi hangat dari tempatnya. Terkadang hal itu diperlukan Dia menatapku sinis Kau mengutip kalimatku beberapa hari yang lalu, Hyosun-ah Jangan lupa aku adalah editor. Memoriku banyak, tak sulit untuk menghafal kalimatmu yang singkat itu kataku bersikukuh. Aku melemparkan pandanganku ke dinding kaca. Matahari semakin merangkak naik tapi suasana masih saja dingin. Sebentar lagi musim semi. Jadi, itu artinya kau setuju? Aku tidak langsung menjawab. Aku sedang menikmati pemandangan yang ada di depanku sekarang. Aku melihat seorang ibu muda berjalan di trotoar sambil menggendong bayi kecil di dadanya. Sang ibu menggoda bayi kecil berambut pirang itu dengan guyonan-guyonan yang walaupun tak terdengar olehku tapi ku yakini sangat menghibur. Bayi itu tertawa disusul senyum yang terkembang dari sang ibu. Apakah nasibku akan seperti itu? Mempunyai anak dan membawanya ke dekapanku? Aku belum bisa membayangkannya. Kau melewatkan satu hal, Donghae-shi aku mengalihkan pandanganku, dari trotoar ke pada mata bulat Lee Donghae. Alisnya naik sebelah Apa? Apa kau tidak tahu kalau bayi tabung dilarang agama. Yang diakui hanyalah hubungan badan yang sebenarnya Aku tahu kilahnya santai kemudian menguras habis kopinya dalam sekali tegukan. Lantas? Apa kau mau aku mau menjadi penjahat wanita? Yang meniduri wanita setelah menikahinya kemudian menceraikannya setelah seorang anak lahir? Jelaskan padaku, lebih brengsek mana hal itu ketimbang bayi tabung? matanya mengisyaratkan kemarahan bercampur pembelaan dan melihat hal itu aku merasa sedikit gugup untuk menanggapi. Kau tidak takut dosa, Donghae-shi? Manusia tidak akan luput dari kesalahan apalagi dosa. Hal ini yang bisa aku perbuat untuk menjaga keluargaku. Terserah kau mau memandangku seperti apa. Yang jelas aku tidak akan mengambil terlalu banyak darimu! kau bersedia menikah denganku saja aku sudah cukup bersyukur Dia memelanting badannya ke sandaran kursi. Wajahnya terlihat kusut seperti baju yang belum terkena panasnya setrika. Sedangkan aku sedang memainkan sebuah cincin yang melingkar di jari manisku. Cincin itu indah dengan sebongkah batu kecil di tengahnya. Tapi ini imitasi. Bukan asli. Kami memilih diam sejenak, bergumul dengan pikiran masing- masing. Kau sempat bertunangan dengannya? aku mendongak mendengar pertanyaan Donghae. Tidak. Aku hanya memakainya. Ini milikku, bukan dari orang lain Lalu kenapa kau memakainya? Aku pikir saat pertama kali bertemu denganmu, kau adalah wanita yang sudah memiliki tunangan. Ekspresinya berubah normal lagi dengan tidak mengurangi sikap cool-nya. Aku hanya ingin orang-orang beranggapan seperti itu Kenapa? Aku tidak punya alasan untuk itu. Ini sudah aku lakukan sejak SMA hingga kuliah. Saat orang-orang bertanya apakah aku sudah bertunangan, aku hanya membalasnya dengan senyuman. Karena itulah banyak laki-laki yang berfikir ulang untuk mendekatiku. Paparku sambil menelisik tatapannya yang lekat bercampur dengan ekspresi heran. Semacam merubah mindset? Ya Seperti itulah Setelah puas memainkannya, aku menarik cincin yang hampir tujuh tahun tidak lepas dari jari manisku itu. Setelah beberapa detik ku pandangi, ku taruh cincin itu tepat di depan piring bekas pancake milik Donghae yang telah kosong. Dia mengernyit. Lamar aku sekarang kataku kemudian. Kau gila? dia terperanjat, tapi aku tidak merubah ekspresiku yang masih datar. Itulah fungsi cincin itu. Siapapun yang menikahiku, aku ingin dia melamarku dengan cincin itu sebagai simbol Termasuk denganku? Tapi Termasuk denganmu sekalipun motif kita menikah adalah membantu satu sama lain potongku cepat. Aku tidak mau! Aku butuh alibi tentang bagaimana kau melamarku kataku membalikkan lagi ucapannya. Alibi? Kita bisa mereka-reka Aku mau meminimalisir kebohongan tandasku lagi. Sejenak dia menatapku dengan ekspresinya heran. Kerutan-kerutan di dahinya semakin bertambah. Dan ekspresi itu sebagian besar bercampur marah yang tak bisa ia keluarkan. Shit! umpatnya pelan kemudian mengambil cincin itu. Apa yang harus ku lakukan? tanyanya sambil menimang cincin itu dengan suara yang mirip dengan geraman. Berlutut dengan satu tumpuan, kemudian tanyakan padaku maukah kau menikah denganku? Ya! Yang benar saja!!! protesnya berapi-api. Ayo lakukan godaku. Tidak mau! Ya sudah. Aku juga tidak mau menikah denganmu kataku santai, memilih melipat kedua tanganku di depan dada. Kau tahu kan resikonya kalau kau tidak mau? tanyanya setengah mengancam. Aku tahu. Tapi aku yakin kau tidak akan benar-benar melaporkanku pada petugas imigrasi. Kalau kau mau melakukannya, sudah dari lusa kau membawa mereka ke apartemenku Gadis sinting Tapi kau memilihku Kalimatku mungkin sebuah tamparan kecil untuknya. Entah dia merasa lelah berdebat denganku, akhirnya dia memundurkan kursinya dan berjalan mendekatiku setelah satu lenguhan kecil. Dia tidak punya pilihan. Saat menatapku dia masih berfikir sejenak dan setelah itu menekuk kakinya dengan satu tumpuan kaki. Dengan suasanya melodramatis yang sangat dipaksakan, dia membuka suara sambil menyodorkan cincin itu. Menikahlah denganku suaranya lebih mirip dengan gumaman. Apa? Aku tidak mendengar tanyaku meledek dan bola matanya hampir keluar. Menikahlah denganku gumamnya lagi. Kurang keras Sung Hyosun! Menikahlah denganku! teriaknya menggema di restoran ini. Aku diam selama beberapa detik karena kaget. Tapi setelah itu aku tertawa puas melihat ekspresinya yang seperti mau bunuh diri ini. Banyak pasang mata yang memandang ke arah kami, tapi aku tidak peduli. Hingga seorang pelayan mendekat ke arah kami. Donghae melamarku dengan bahasa korea. Ada masalah, nona? tanyanya dengan menggunakan bahasa Perancis dengan logatnya yang sangat kental. Tidak. Tidak ada apa-apa. Pria ini hanya melamarku. Itu saja jawabku dengan bahasa yang sama dengannya. Oh, aku pikir dia menyulitkanmu. Tidak. Dia sedang melamarku. Tidak perlu khawatir. Kau bisa kembali lagi ke sini jika kami membutuhkanmu Pelayan itu kemudian mengangguk dan pergi meninggalkan kami. Donghae masih pada tempatnya, aku melemparkan pandangan ke arahnya sekarang. Kau puas? aku tidak menjawab tapi menyodorkan tangan kiriku ke hadapanku. Pakaikan Untung saja aku adalah wanita. Jika aku berjenis kelamin sama dengannya, mungkin dia akan menghajarku habis-habisan di tempat karena mempermainkannya. Dasar anak kecil Apa kau tidak mau mencium punggung tanganku dulu, Donghae-shi? tanyaku menggodanya untuk yang ke sekian kali. Dasar gila! kemudian dia pergi keluar restoran. Aku tersenyum, kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dan aku taruh di atas meja. Aku menyusulnya yang tengah berada di dalam mobil. Hmmm Minggu depan urusan auditku di kantor cabang berakhir. Apa waktu itu kau sudah siap untuk kembali ke Korea? tanyanya sambil menatap ke luar mobil, tangannya memegang kendali mobil. Besok aku akan ke penerbitan. Aku akan mengurus pengunduran diriku. Mungkin aku juga akan mengurus satu dua hal. Aku akan memberitahu orang tua angkatku dulu sebelum pulang. Mau pulang sendiri-sendiri atau Pulang bersama-sama. Aku akan menyiapkan tiketmu. Kita pulang hari minggu. Oke. Kalau kau tidak keberatan, antarkan aku pulang sekarang. Please. Aku ingin istirahat Bukan masalah Donghae menyalakan mesin mobilnya, kemudian melaju dengan kecepatan sedang setelah kami berdua sama-sama memakai seat belt. Donghae-shi Ada apa? tanyanya tetap fokus pada jalanan. Nenek dan ibumu sudah tau dengan rencana ini? Aku akan memberitahu mereka saat pulang Bagaimana kalau mereka menolakku? Aku akan meyakinkan mereka kalau aku tidak salah pilih. Kenapa? Kau takut batal menikah? Aku hanya berfikir, kalau mereka tidak mengijinkan kita menikah, kepulanganku pun sia- sia. Lalu apa yang akan kau lakukan? Nekat? aku menoleh padanya, tapi pandangannya tetap fokus pada jalan. Kenapa kau berfikir seperti itu? Aku menunduk, memainkan ujung kemejaku yang sudah kusut. Strata sosial kita berbeda, Donghae-shi. Kau dari keluarga yang kaya raya, sementara aku hanya orang biasa. Apa kau tidak berfikir seperti itu? Standart nenek dan ibuku, bukan kaya atau miskin. Tapi layak atau tidak layak. Mereka tidak menilai seseorang dari materi. Mulai sekarang berhentilah meletakkan imbuhan shi di belakang namaku. Belajarlah memanggilku oppa karena keluargaku sangat menghormati perbedaan usia katanya setelah menoleh sejenak padaku. Ya, harus aku akui kalau umurku dua tahun di bawahnya dan memang seharusnya aku menghormatinya. Mungkin karena kami tinggal di daratan Eropa jadi aku terbiasa dengan panggilan nama. Berbeda dengan kultur Asia yang sangat menjaga tata karma. Kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa. Kau tinggal tunggu saja Tunggu apa? tanyaku karena pernyataan Donghae yang masih menggantung. Tunggu saja kau digantung oleh nenekku di pintu masuk atau dimasukkan ke dalam oven oleh ibuku Tawanya getir. Mencoba mengancamku, tapi aku tidak merasa terancam. Ucapannya terdengar garing di telingaku. Aku tidak habis fikir orang-orang macam apa yang akan aku hadapi di rumah Donghae. Menghadapinya saja aku sudah cukup kewalahan, apalagi ditambah dengan nenek dan ibunya.
Setelah berjam-jam aku dan Donghae berada di dalam pesawat, akhirnya kami menapakkan kaki di tanah kelahiran. Aku sudah menghubungi keluarga Cho. Merekalah keluarga angkatku yang selama ini mengadopsi dan membesarkanku. Kyu oppa yang akan menjemputku di bandara. Dia adalah anak tunggal dari keluarga Cho. Nama lengkapnya adalah Cho Kyuhyun. Pribadinya yang cool menjadi pedomanku selama ini. Sementara itu, Donghae akan dijemput oleh sepupunya yang bernama Victoria. Anak dari adik ibunya yang sekarang ikut tinggal di rumahnya. Dia kuliah di Universitas Seoul, sementara orang tuanya berada di China. Oppa! sebuah teriakan yang terdengar asing di telingaku saat aku dan Donghae tengah mendorong trolly masing-masing. Aku mencari ke arah suara, dan mendapati seorang wanita dengan rambut yang bergelombang mendekati kami. Cantik. Kalau dilihat lebih lekat, dia mirip bintang iklan lipstick karena bibirnya yang terlihat sensual dan menggoda. Kau sendirian? tanya Donghae. Iya. Bibi sedang ada rapat dengan client dan nenek sekarang di Mokpo. Kebetulan aku sedang libur kuliah, makanya aku yang menjemputmu sekarang jelasnya. Di Mokpo? Sendirian? Tiga hari lagi kan hari kematian kakek. Makanya nenek ingin berada di rumah lama untuk sementara Ck! Aku lupa Donghae mengelus pelipisnya yang tidak gatal. Dan kau juga melupakanku Donghae. Hey! Aku di sini seperti pajangan sementara kalian berdiskusi sendiri. Ku putuskan untuk berdeham kecil dan hal itu cukup ampuh untuk membuatnya menghiraukanku. Oh, iya. Kenalkan. Ini adalah Sung Hyosun Aku tersenyum dan mengulurkan tangan bermaksud menjabat tangannya. Bukannya menyambut uluran tanganku, dia malah memandangiku heran kemudian melemparkan tatapannya pada Donghae dengan ekspresi yang masih sama. Pacarmu? tanyanya pada Donghae kemudian memandangku dari atas hingga ke bawah. Jujur saja hal itu membuatku merasa tidak nyaman. Nanti oppa jelaskan di rumah Dia pacarmu bukan? tanyanya lagi dengan menaikkan nada suaranya sedikit lebih tinggi. Aku menarik tanganku agar tidak tampak semakin tolol. Terlihat jelas sambutan dari sepupunya sangat tidak baik. Tapi apa salahnya menjabat tanganku? Hah? Apa dia tidak diajari sopan santun? Jawab, oppa! Iya, dia pacarku. Aku akan menikah dengannya sebentar lagi Apa? Lalu kau kemanakan Jessica? tanyanya tidak percaya. Jessica? Apakah itu wanita yang dimaksud Donghae selama ini? Bekas pacarnya. Sudahlah kita bicarakan di rumah. Aku lelah Tapi, oppa Hyosun-ah! sebuah teriakkan yang melengking masuk ke dalam rongga telingaku. Aku mengenal suara itu. Seketika aku menoleh dan mendapati Kyu oppa tengah berlari ke arahku. Aku tersenyum melihatnya. Balutan blazer semi formal yang dipadukan dengan kaos berwarna abu-abu sangat pas di badannya. Walaupun dia adalah kakak angkatku, tapi paling tidak dialah yang selama ini meminjamkan bahunya untukku menangis kalau-kalau aku merasa sedih. Oppa! aku melambaikan tangan. Maaf, aku telat. Biasa, macet dia memelukku seketika. Tidak apa-apa, Oppa. Aku juga baru saja landing kataku sambil melepaskan pelukannya. Oppa, kenalkan ini Donghae Kyu oppa langsung memandang Donghae. Menatapnya dari atas ke bawah dengan tampang tidak percaya. Pacarmu? tanyanya langsung padaku. Aku memberikan anggukan kecil padanya. Kyuhyun. Cho Kyuhyun Kyu oppa mengangsurkan tangannya dan Donghae menjabatnya dengan mantap. Lee Donghae. Dan ini adalah sepupuku, Victoria Sekilas Victoria dan Kyuhyun berpandangan. Entah apa yang mereka pikirkan, aku tidak tahu. Keduanya tidak langsung mengulurkan tangan. Apa aku mengenalmu? tanya Kyu Oppa. Kau Tunggu, kau Cho Kyuhyun yang dulu pernah kuliah di Universitas Seoul, kan? Apa aku mengenalmu? Victoria menggeleng Aku rasa kau tidak mengenalku tapi aku sering melihatmu main game di taman kampus Ohh Siapa namamu? Victoria. Victoria Song Victoria mengulurkan tangannya dan disambut baik dengan Kyu oppa. Cho Kyuhyun Hari itu aku dan Donghae berpisah di bandara. Dia akan menghubungiku jika waktunya sudah tepat. Victoria bersikap sinis padaku bukan tanpa alasan, melainkan karena dia adalah sahabat dekat Jessica yang tidak lain adalah bekas pacar Donghae. Urusan itu aku pikirkan nanti, sekarang yang aku perlukan adalah bertemu dengan keluarga angkatku untuk melepas rindu.
Berapa lama kau berpacaran dengannya? tanya Kyu oppa tanpa melepas kendalinya dari mobil. Pandangannya lurus. Aku berfikir sejenak menimbang-nimbang kebohongan apa yang akan ku rancang kali iniSekitar tiga bulan lebih. Kenapa? Kau mau membohongiku? dia menoleh dan memberikan sorot matanya yang lumayan tajam. Sial! Dia tidak percaya. Aku tidak berbohong, oppa kilahku mencoba membela diri. Jujur saja aku lumayan panik. Aku dan Donghae belum membicarakan masalah berapa lama kami berpacaran, kapan kami bertemu, bahkan tanggal berapa kami jadian. Kenapa harus alibi tentang dia melamarku yang aku buat? Kenapa tidak semuanya? Idiot! Tiga bulan? Bukankah tiga bulan lalu pacarmu bernama Changmin? tanyanya lagi. Dari matanya yang berkilat, sudah sangat terlihat bahwa dia tidak mempercayaiku. Aku sudah putus kataku dengan nada yang melemah. Dan secepat itu kau berpacaran dengan laki-laki bernama Donge itu? Lee Donghae, oppa jawabku membenarkan. Iya. Siapapun namanya! Kau tidak mencintainya, Hyosun-ah. Aku bisa melihatnya dari matamu. Ini bukan kau? katanya kesal, sambil menekan klakson dengan penuh amarah pada mobil yang tepat berada di depan kami. ~Tin TinTin~ Aku tidak bohong, oppa Bohong!!! Katakan kenapa kau berbohong? Oppa aku pusing!!! teriakku. Ban mobil langsung berdencit dengan aspal beberapa detik setelah aku berteriak. Kyu oppa menginjak rem secara mendadak setelah membanting setir ke bahu jalan. Tubuhku langsung menjorok ke depan namun tertahan oleh seat belt kemudian kembali ke sandaran jok mobil. Oppa, apa-apaan ini? Kita bisa mati! protesku. Sorot matanya masih tajam dan hal itu cukup membuatku bergidik. Dia orang yang terbiasa dengan sikapnya yang dingin dan tidak mau ambil pusing. Tapi dia adalah pribadi yang cepat murka apabila ada orang yang membohonginya. Dan sekarang aku tidak bisa mengelak. Dia seperti singa yang siap menerkamku. Masih tidak mau mengaku? Aku menghela nafas cukup panjang dan akhirnya menyerah Ck! Susah sekali aku membohongimu. Iya aku tidak mencintainya. Tapi kami menjalani hubungan ini dengan serius. Dia ingin menikahiku, oppa Aku menunduk, menghindari tatapannya yang tajam itu. Menikah? Kau bilang kalian akan menikah? Bagaimana bisa kalian menikah tanpa cinta? Impossible! dia mendengus kesal dengan jawabanku yang terdengar asal di telinganya. Kami akan mencobanya, oppa Apa? Mencoba katamu? Pernikahan itu adalah hal yang sakral dan tidak bisa diputus oleh tangan manusia, Hyosun-ah. Ini hanya sekali seumur hidupmu. Tidakkah kau memikirkan itu? dia masih mendebatku, belum mau menyelesaikan konfrontasi ini. Ya. Pernikahan adalah hal yang sakral. Sekarang yang aku pikirkan bukan hanya bertemu dengan kakakku atau pindah kewarganegaraan Perancis. Tetapi juga keluarga Lee Donghae itu sendiri. Seorang gentleman muda seperti Donghae tidak akan bersusah payah membujukku untuk menikah dengannya, tanpa alasan yang benar-benar krusial. Aku yakin dia tidak punya pilihan yang lebih baik selain ini. Aku mengerti, oppa. Aku tahu maksudmu. Tapi ini keputusanku Dengar, Hyosun-ah. Aku tidak mau kau tidak bahagia. Setelah kau naik pelaminan, saat itu pula tanggungjawabku sebagai kakakmu berakhir. Aku akan menyerahkanmu sepenuhnya pada suamimu. Kau adikku dan aku mau kau tidak salah mengambil keputusan, mengerti? Aku mengerti, oppa. Aku mengerti. Tapi aku mohon, kali ini percayalah padaku aku memasang tampang memelas. Dia menatapku sejenak, memastikan sesuatu yang entah apa itu. Kau yakin akan bahagia? Aku mengangguk cepat di hadapannya. Dia berfikir sejenak kemudian menyalakan mobilnya lagi. Awas saja kalau kau sampai tidak bahagia gumamnya. Percayalah padaku, oppa Lakukan dengan tindakan, bukan ucapan Oke, oppa aku mengangguk pelan. Aku memandang ke luar jendela, memandangi gedung-gedung yang berkelebatan seolah berlari ke arah yang berlawanan dengan mobil. Sesekali aku menoleh pada Kyu oppa yang dari tadi masih diam. Seperti biasa, dia memang tidak banyak bicara. Oppa tanyaku setelah beberapa menit berlalu. Ada apa? Kau tidak menyukainya ya? tanyaku ragu sambil menatapnya. Kau kan tahu kalau aku tidak bisa langsung percaya begitu saja pada orang dalam waktu singkat Iya, aku mengerti. Tapi percayalah, dia orang yang baik jawabku takzim. Aku hanya takut dia adalah laki-laki brengsek Percayalah aku menatapnya memelas dan dia hanya mengangkat bahu. Aku mencontoh sikap seperti ini darinya. Sikap yang tidak mudah percaya dengan siapapun yang baru dikenal. Tapi entah kenapa ini pengecualian untuk Donghae. Walaupun belum genap sebulan aku berkenalan dengannya, tapi aku bisa merasakan bahwa dia orang yang bisa dipercaya.
From: Lee Donghae Nenek dan ibuku ingin bertemu denganmu. Kita bertemu di Bonapetit resto, besok jam 9. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal. Kenapa dia tidak pernah bertanya apakah aku bisa atau tidak sih? Selalu seperti ini. Dia yang memegang kendali. Aku menatap keluar jendela, tak terasa hari cepat sekali berubah menjadi gelap padahal aku merasa baru beberapa menit yang lalu sampai di rumah ini. Tapi kenyataannya tidak, aku sudah dua hari berada di rumah. To: Lee Donghae Oke! Kemudian aku merebahkan badan di atas ranjang kesayanganku setelah melempar ponsel itu ke sisi yang lain. Aku sangat merindukan pewangi ruangan khas yang semerbak memenuhi ruangan ini. Dan hal ini selalu membuatku teringat masa lalu. Aku memejamkan mata, menerawang ke waktu yang sudah lewat tapi selalu membekas diingatanku. Eh, Hyosun. Cita-citamu apa kalau sudah besar nanti? Waktu itu dia mengusap kepalaku pelan saat kami duduk bersama di tepi pantai. Saat itu umurku masih tujuh tahun, terpaut enam tahun dengannya. Aku memandang lurus ke cahaya jingga di sore itu, memandangi matahari yang hampir tenggelam di ufuk barat. Aku menoleh padanya. Aku ingin jadi pengantin kataku polos. Dia hanya tertawa renyah mendengarnya Apa? Pengantin? Kenapa pengantin? Itu bukan cita-cita, Hyosun-ah Itu cita-citaku, kak. Aku ingin punya anak-anak yang banyak dan lucu-lucu Dasar anak kecil. Cita-cita itu seperti menjadi dokter, guru, pilot Tapi cita-citaku ingin menjadi pengantin! Aku ingin seperti Umma. Menunggu Appa, aku, dan kakak di rumah. Aku ingin memasak, menggendong bayi, dan mengajak mereka bermain aku bersikukuh waktu itu. Dengan tampang tanpa dosa, aku berbicara tanpa henti dihadapannya. Ya! Kau banyak omong, Hyosun-ah dia menjitakku kemudian berlari di atas pasir putih. Kakak!!! Awas kau! Aku akan menangkapmu! Aku pukul kau nanti Aku ingat, saat itu aku langsung berlari mengejarnya. Kakiku yang kecil tidak sanggup mengejar langkah yang panjang. Dia terus menggodaku sambil memercikkan air asin dari pinggir pantai. Kami bermain-main dibawah matahari yang sebentar lagi tenggelam dengan sempurna. Aku sangat bahagia kala itu tapi ibarat disambar petir di siang hari yang buta, orangtua kami meninggal karena kecelakaan mobil dihari itu juga. Tak terasa airmataku menetes pelan menyusuri pelipis di saat pelupuk ini menutup. Aku sangat merindukan mereka. Aku merindukan kakakku yang sekarang entah dimana dan orangtuaku yang kini di surga. Tanganku menggenggam erat simbol keluargaku. Sebuah lempengan logam silver bertuliskan Kim Family. Marga asliku memang bukan Sung, melainkan Kim. Secara sengaja aku tidak pernah menyebutkan marga asliku pada orang lain, kecuali keluarga Cho yang telah mengadopsiku dan panti asuhan yang telah menampungku dulu. Aku ingin dikenal sebagai Sung Hyosun, bukan Kim Hyosun. Ku usap airmata yang mengalir saat keadaan mataku masih terpejam, kemudian menyelipkan lempengan itu di bawah bantal. Aku berharap hari ini bisa bermimpi, berkumpul bersama mereka bertiga seperti dulu. Bercita-cita menjadi pengantin? Mungkin itu terdengar konyol, tapi itulah impianku sampai saat ini walaupun keadaan sekarang berbeda. Bukan untuk menjadi ibu rumah tangga yang baik, tetapi aku akan menikah sebagai batu loncatan untuk segera bertemu dengan kakakku dan tinggal bersamanya di Perancis.
Tidak seperti biasanya aku memakai make up berlebihan seperti ini. Biasanya aku hanya menyapukan bedak tabur ke setiap lini kulit wajahku dan seoles lipgloss di bibir. Tapi kali ini aku menggunakan mascara, blash on berwarna pink dan lip balm agar bibirku tidak begitu kering. Dandananku tidak menor, tapi sengaja aku bentuk agar karakter di wajahku terlihat sedikit kalem dari biasanya. Aku juga memperkuat lekuk alisku dengan goresan pensil alis. Aku harus tampil sopan di hadapan calon mertua hari ini. Kata calon mertua memang membuatku sedikit, sedikit apa ya? Bahkan aku tidak bisa menggambarkannya mengingat calon suamiku adalah Lee Donghae. Rasanya aneh kalau aku juga harus berpenampilan seperti ini di hadapannya juga. Tapi walau bagaimana pun, aku tahu bagaimana harus menyesuaikan keadaan. Aku memilih mengenakan dress merah yang panjangnya dibawah lutut dengan lengan yang cukup panjang tapi tidak mencapai siku. Kemudian ku padukan lagi dengan sepatu gelap hak setinggi 12 sentimeter. Untuk yang satu ini aku tidak memilih yang lancip. Selesai! Aku menyambar tas di meja rias yang senada dengan sepatu kemudian keluar dari kamar. Mau kemana? tanya Kyu oppa yang tidak sengaja melintas di kamarku. Donghae mengajakku bertemu dengan nenek dan ibunya hari ini. Dia sudah menungguku di Bonapeti aku menutup kamar tanpa menguncinya. Bonapeti? Ayah dan ibu sudah tahu? dahinya berkerut. Aku baru akan memberitahunya sekarang Suruh dia datang kemari untuk menjemputmu. Ayah tidak akan mengijinkanmu keluar seperti ini Kenapa? Kalau dia gentle, dia harus berani menjemputmu di rumah. Bukan kau yang datang padanya. Biar dia menghadapi ayah dulu. Telephone dia sekarang Aku berfikir sejenak. Benar juga yang dikatakan oppa. Sebelum dia mengajakku ke rumahnya dan bertemu dengan orang-orang yang tak terprediksi wataknya olehku, dia harus menghadapi ayah angkat dulu. Oke Aku langsung men-dial nomor ponsel Donghae di atas keypad kemudian melekatkannya di telinga. Hallo Kau dimana? tanyanya langsung dari seberang sambungan. Aku masih di rumah. Kau sudah sampai? Aku masih di jalan, lima menit lagi juga sampai Donghae-shi, bisakah kau menjemputku di rumah? Kau harus meminta ijin dulu pada ayahku Harus? Sepertinya begitu aku melirik Kyu oppa yang masih mengawasiku. Terdengar dia menghela nafasnya sejenak kemudian berkata Baiklah, aku ke sana. Kirimi aku alamat lengkapmu Oke Aku memutus sambungan dan dengan sigap mengetikkan beberapa karakter yang membentuk alamat dimana aku tinggal sekarang. Kemudian menekan tombol send setelah pesan itu selesai ku teliti sebanyak satu kali. Dia masih di jalan. Aku sudah memberikan alamat kita Baguslah. Sekarang beritahu ayah kalau pacarmu itu mau ke sini Kyu oppa langsung melenggang pergi sambil berkutat dengan psp-nya. Oke jawabku malas-malasan. Aku berjalan ke ruang tengah dan mendapati Ayah dan ibu sedang menonton TV. Wajar saja semua orang berada di rumah sekarang, hari ini adalah hari minggu. Biasanya ayah pergi ke kantor dan Kyu oppa pergi ke universitas Inha untuk mengajar. Dia adalah dosen muda jurusan sains. Aku duduk di anak sofa yang masih kosong. Kau cantik sekali hari ini. Kau mau kemana, Hyosun-ah? tanya ibu yang menyadari kedatanganku. Dia menatapku sumringah. Sementara itu ayah masih fokus pada acara televisi. Donghae mengajakku ke rumahnya, bu. Nenek dan ibunya ingin bertemu denganku kataku ragu. Oh, pacarmu yang diceritakan Kyuhyun semalam? Aku mengangguk. Kata oppa, dia harus bertemu dengan ayah dulu untuk meminta ijin. Makanya dia aku menyuruhnya menjemputku di rumah Laki-laki memang harus begitu. Dulu ayahmu juga melakukan hal yang sama pada ibu. Katakan satu hal pada ayah, Hyosun-ah. Apa yang membuatmu ingin menikah dengannya? ayah yang tadi fokus menonton berita, sekarang menatapku serius. Well, ini pertama kalinya seorang pria akan berkunjung ke rumah untuk menemuiku. Dan sepertinya semua orang benar-benar menanyakan keyakinanku memilih Donghae. Satu hal? Ayah bertanya tentang satu hal? Tapi apa keistimewaan Donghae? Aku juga baru mengenalnya. Aku berdeham kecil Aku memang belum lama mengenalnya, ayah ibu. Tapi aku punya satu keyakinan kalau dia adalah orang baik sekalipun aku bukan paranormal yang bisa membaca pikirannya Ku dengar kalian berencana menikah? tanya ayah dan aku menjawabnya dengan anggukan. Iya, ayah Kau yakin dengan pilihanmu ini? Aku yakin tidak akan mengecewakan kalian Hampir satu jam aku menunggu kedatangannya di rumah. Tapi ini terbilang cukup lama. Dari Bonapeti resto ke rumah jaraknya tidak lebih dari lima belas kilometer. Seharusnya dia sudah sampai dari tadi. Aku mondar-mandir di salah satu sisi rumah karena SMS-ku belum juga dibalas olehnya. Ada apa ini? Mungkin dia terjebak macet kata Kyu oppa yang datang dari arah dapur sambil membawa segelas air. Mungkin aku mengangkat bahu. Aku melihat jam tanganku sekilas. Kyu oppa berjalan menuju kamarnya, tapi langkahnya terhenti kemudian dia berbalik dan memandangku. Menurutmu kado yang cocok untuk seorang wanita apa? Kado untuk wanita? tanyaku heran tapi sekian detik kemudian aku sadar apa yang dimaksud olehnya. Sejak kapan kau punya pacar? Bukan pacar. Hanya teman biasa Tidak. Pasti bukan teman biasa. Expresinya sedikit berubah walaupun dia tidak banyak bicara. Ayolah, katakan. Siapa dia? Apa ayah dan ibu sudah tahu? aku merajuk, menatapnya dengan menggoda. Aku belum berpacaran dengannya. Ini baru semacam pendekatan katanya malu-malu. Astaga. Kakak angkatku yang satu ini ternyata bisa mengenal wanita juga? Biasanya yang ada di otaknya adalah bagaimana caranya mengalahkan seluruh game di laptop dan PSP-nya. Sisanya mengurusi materi untuk perkuliahan reguler. Katakan siapa gadis tak beruntung itu? aku semakin dibuat penasaran olehnya. Kau mengenalnya Aku? terperanjat. Dia mahasiswi semester akhir fakultas kedokteran Universitas Seoul Sejenak aku memandangnya penuh tanya sampai akhirnya aku sadar wanita mana yang dia maksud. Otakku mengolah sesuatu tentang seorang wanita berambut panjang dan bergelombang yang sorot matanya sangat aku kenal. What the hell is going on? Oppa, kau ~TinTinTin~ suara klakson mobil membuyarkan kami. Kyu oppa langsung meninggalkanku dengan senyum yang penuh arti. Kau berhutang penjelasan padaku oppa! Aku langsung berjalan menuju pintu dan membukanya. Pandanganku tertuju pada seorang pria yang baru saja keluar dari Mercedes-Benz miliknya. Dia berjalan ke arahku sambil membenarkan kancing jasnya yang terlepas kemudian mengendurkan dasi yang hampir mencekiknya. Mataku tidak sempat berkedip saat dia mendekat. Kemeja putih yang dibalut dengan jas berwarna pastel itu sangat pas di badannya. Ditambah lagi dengan dasi yang mencekik kerah kemeja dan disesuaikan agar senada, dia tampil dengan elegan dan tampan. Tapi kenapa aku baru menyadarinya? Hentikan Hyosun! Hentikan! Kau tidak perlu memikirkan hal yang tidak penting. Saat berada tepat di hadapanku, ia menatapku sejenak. Aku tidak tahu apa yang membuatnya diam untuk sesaat. Apa ada remah-remah biscuit di bibirku? Kau lama sekali? tanyaku memecah pandangannya. Aku terjebak macet. Masuk dulu. Akan mengenalkanmu pada ayah dan ibu angkatku Aku membimbingnya masuk ke ruang keluarga dimana Ayah dan Ibu angkatku masih belum melepas channel favoritnya. Ayah, Ibu. Kenalkan, ini Donghae ayah dan ibu yang sedari tadi duduk berdiri menyambutnya. Apa kabar, paman, bibi. Saya Lee Donghae Donghae membungkuk sebagai tanda penghormatan. Oh, jadi kau yang bernama Donghae. Ternyata kau sangat tampan ya Ibu memuji dengan senyum yang terkembang. Hyosun-ah, kau masuk ke kamar dulu. Ayah ingin berbicara dulu dengan Donghae Ayah memberikan pertanda dengan matanya. Iya aku berjalan menuju kamar tanpa protes lagi. Ada apa ini? Kenapa Ayah mengajaknya bicara tanpa aku? Ck! Jangan-jangan Donghae diadili oleh ayah. Tapi atas kesalahan apa? Atau jangan-jangan ayah tidak menyukainya? Bermenit-menit aku menunggunya di dalam kamar, mematuhi instruksi yang diberikan oleh ayah. Gusar? Tentu. Yang aku lakukan hanyalah mondar-mandir dari satu sisi kamar ke sisi kamar yang lain. Aku memandang ke kaca. Pantulannya memperlihatkan bayangan diriku sendiri. Sejenak aku menatap dress marun. Aku merasa mencolok dan tidak percaya diri dengan yang membalut badanku dengan sempurna ini. Akhirnya setelah beberapa saat berfikir, aku berjalan menuju lemari. Memilah-milah antara satu dress ke dress lainnya. Kalau aku tetap memakai merah, tidak akan senada dengan pakaian Donghae. Dan akhirnya pilihanku jatuh pada drees putih bertali sedang dan panjangnya kurang lebih sama dengan dress merah yang ku kenakan sekarang. ini lebih match dengan pakaian formal Donghae. Hyosun-ah Keluarlah suara nyaring khas dari mulut ibu itu membuyarkanku. Ya, bu! Sebentar! Aku bergegas mencopot dress yang ku kenakan kemudian melemparnya sembarangan di atas kasur lalu menggantinya dengan dress yang tadi ku pilih. Setelah menarik resleting punggung, aku tidak langsung keluar melainkan menghadap cermin lagi. Kusibakkan beberapa helai rambut yang tidak rapi ke belakang lalu berkata Looks better. Aku keluar kamar dan menuju ruang keluarga, menemui Donghae, ayah dan ibu. Kau mengganti bajumu? ibu bertanya heran. Suaranya yang renyah membuatku tersenyum. Aku tidak percaya diri memakainya. Terlalu mencolok mata aku menatap Donghae sekilas yang turut memperhatikan penampilanku yang baru. Ya, sudah. Kau bisa pergi sekarang. Donghae-ah, tolong jaga putri kami ayah menatap wajah Donghae dengan saksama. Lalu apa yang dibicarakan mereka? Saya mengerti. Paman, bibi, kami pergi dulu Donghae membungkuk, kemudian melirik padaku agar ikut berjalan mengikutinya. Ayah, Ibu aku pergi dulu Hati-hati ya Donghae berjalan mendahuluiku dan aku bergegas menyamai langkahnya saat berada di muka pintu. Tidak ku pungkiri jika rasa penasaran sekarang menyergap ke seluruh urat nadiku. Apa yang mereka bicarakan? Donghae-shi, ayah mengatakan apa? tanyaku saat kami tengah berada di dalam mobil. Dia tidak langsung menjawab, tapi mengendalikan mobilnya dulu agar bisa keluar halaman. Donghae-shi tegurku lagi dan ini lebih mirip seperti sebuah rengekan. Hanya pembicaraan pribadi antara calon mertua dan menantu. Tidak ada yang penting matanya fokus, berkonsentrasi pada jalan tanpa menoleh padaku. Tentang apa? Katakan. Apa ayah memarahimu? Atau apa? Dia menghela nafas cukup panjang dan mengeluarkannya dengan hentakan yang sangat kentara Kau tahu, saat menghadapi ayahmu rasanya seperti sedang melihat grafik saham- sahamku yang anjlok di bursa efek. Tanganku langsung dingin Tapi sejurus dengan itu dia tersenyum simpul, seperti tanda kemenangan. Lalu apa yang dibicarakan ayah dengannya? Lalu? Apa yang dikatakan oleh ayah, Donghae-shi? suasana tegang menyusup di tengkukku. Semacam wejangan yang diberikan oleh mertua kepada menantunya hanya itu. Jangan bertanya detailnya karena aku tidak akan memberitahumu Donghae-shi Sudah ku bilang belajarlah memanggilku oppa. Nenekku sangat cerewet dan terbilang galak. Bisa-bisa seharian kau jadi bulan-bulannya kalau kau terus memanggil namaku Oppa? Kenapa susah sekali menggunakan kata ini untuk memanggilnya. Oppaku hanya satu, yaitu Cho Kyuhyun. Aku tidak terbiasa memanggil orang lain sama seperti Cho Kyuhyun. Arrrghh! Perutku jadi keram membayangkan keluarga Donghae. Sudah cukup aku mendapat sambutan yang kurang mengenakkan dari Victoria, dan sekarang aku harus berhadapan dengan dua anggota keluarga Donghae yang lain? Oh, God! Please, help me! Walaupun cerewet dan galak, hati nenekku terbilang lembut. Dia tidak akan menyampaikan rasa sayangnya secara implisit tapi lebih ke hal-hal yang eksplisit. Dan kitalah yang harus pandai-pandai memahaminya. Kalau kau berhasil mendapatkan hatinya, ibuku dengan sendirinya akan luluh. Kau bisa membunuh lalat dalam satu kali tepukan paparnya berlagak sastrawan. Terlihat jelas dari kata-kata yang dipilihnya. Kenapa kau memakai pribahasa itu? Mengibaratkan ibu dan nenekmu sebagai lalat. Protesku. Karena kalau aku menggunakan sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, itu sangat tidak masuk akal. Mana bisa mencapai dua atau tiga pulau yang berbeda dengan sekali dayung? Imposible Tapi itu kan pribahasa Logikaku seperti itu. Mau bagaimana lagi? Terserah kau aku menyerah menghadapinya. Kenapa dari awal kau tidak memakai dress ini? Warna merah membuatmu terlihat sedikit garang dan pantulan warnanya merusak mata katanya sambil memandangi dress yang ku kenakan. Aku memutar bola mataku Garang atau tidak yang penting aku tetap terlihat cantik Yeah, terserah kau mau memuji dirimu sendiri seperti apa. Oh iya, ayahmu sudah mengijinkanku mengajakmu ke Mokpo dia memilih tidak berargumen lebih lanjut. Tangannya masih mengendalikan setir dan matanya fokus terhadap jalan walaupun sesekali melihatku saat berbicara. Mokpo? Untuk apa kita ke sana? Bukankah rumahmu di ibu kota? aku terkesiap karena dia baru bercerita sekarang. Nenekku mengundangmu. Nenek dan ibu masih di sana. Kemarin adalah hari kematian kakek karena itulah nenek masih di sana Apa kau bercerita banyak tentangku? Tidak. Aku hanya bilang ingin menikah dan aku menceritakan tentang dirimu Lalu? Nenek ingin bertemu denganmu secara langsung. Itu saja Dalam perjalanan, aku masih memikirkan tentang bagaimana karakter nenek Donghae. Apakah dia tipe nenek yang kolot dan tidak menerima peradaban baru, atau seorang nenek yang bersikap cool seperti Donghae sekarang ini, atau bagaimana. Aku penasaran. Pertanyaan-pertanyaan itu timbul tenggelam seiring kendaraan ini melaju. Beberapa jam kemudian kami sampai di daerah Mokpo yang letaknya di provinsi Jeollanan- do, ujung barat daya semenanjung Korea. Memang tidak sebesar dan sepadat Ibu kota, tapi Mokpo menawarkan panorama alam yang cukup indah terutama pesisir pantainya. Sepanjang jalan menuju rumah Donghae, mataku terbius dengan birunya air laut yang membentuk ombak-ombak kecil. Indahnya daerah ini. Untuk mencapai rumah Donghae kami memerlukan waktu sekitar tiga puluh menit dari pusat kota Mokpo itu sendiri. Tempat ini indah kataku memuji. Kau baru pertama kali ke sini? tanyanya menanggapi tanpa menoleh padaku. Iya. Dulu waktu aku kecil aku pernah pergi ke pantai, tapi di hawai saat liburan. Aku, umma, appa dan kakak berlibur saat musim panas di sana mengingat butiran pasir putih yang terhampar, membuatku ingat akan masa lalu yang kelam. Apa kau sudah menemukan jejak kakakku? dengan suara parau aku menatap Donghae penuh harap. Aku ingin dia menjawab telah menemukan kakakku walaupun itu mustahil. Aku rindu sekali padanya. Aku akan mencarikannya untukmu. Percayalah kalian akan berkumpul lagi Donghae menatapku penuh arti kemudian menginjak rem-nya setelah sampai di tikungan lalu membunyikan klakson. Donghae menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah yang pagarnya bisa dibilang cukup menjulang tinggi. Melihat sisi luarnya saja, aku bisa menerka bahwa halaman rumah ini cukup luas. Setelah klakson berhenti berbunyi pintu pagar pun terbuka secara otomatis dan mobil pun melaju kembali. Roda mobil bergesekan dengan kerikil-kerikil kecil yang merupakan sekat antara sisi halaman bagian kanan dan kiri yang terbentuk menyerupai jalan setapak. Mataku terpaku pada halaman di sisi kanan yang dipenuhi dengan berbagai macam bunga dan membentuk sebuah gradasi indah di bagian depan. Kemudian aku lemparkan pandanganku ke luar jendela di samping Donghae dan yang ku temukan adalah hamparan rumput hijau yang cukup luas dengan beberapa pohon berdiri di pinggirannya. Halaman kiri itu menyerupai lapangan mini untuk sekedar bermain lempar tangkap bola. Nenekku suka berkebun kata Donghae dan hal itu cukup singkat untuk menyimpulkan pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak di kepala. Ohh Rumahmu lumayan Indah. Pamanku yang tinggal di Kanada adalah seorang arsitek. Dia cukup mengerti masalah design interior dan exterior. Sebagian besar dialah yang memperbaharui keadaan rumah ini sebelum kakek meninggal Donghae menginjak rem kaki kemudian mematikan mesin mobilnya setelah berada tepat di muka rumah. Ayo turun tambahnya saat melepas seatbelt yang sedari tadi mengikatnya. Aku mengikutinya berjalan ke dalam rumah. Rasanya jantungku berdegup lebih kencang dan kalau diibaratkan mungkin ini seperti drum yang sedang ditabuh dengan stick oleh seorang drummer. Stupid! Kenapa seperti ini? Apa tadi Donghae merasakan yang seperti ini? Kalau dia merasa sahamnya akan anjlok, tapi aku merasa seperti seluruh file hasil editanku hampir termakan virus. Semoga jantung ini tidak lompat dari tempatnya. Aku harap detakan ini tidak didengar oleh Donghae. Apakah ini sindrom sebelum bertemu dengan calon mertua? OMG! Aku memperhatikan setiap parabot yang tertatap rapi di ruang tamu yang seolah menertawaiku karena rasa gugup yang sangat kentara. Aura rumah ini terasa horror. Kenapa aku harus merasa seperti ini? Hello!!! Ini hanya sekedar bertemu dengan calon mertua, tidak lebih. Kau hanya duduk, mengobrol, kemudian minum teh, itu saja. Calm down, baby! Aku mengekor di belakang Donghae, mengikutinya menuju sisi rumah yang lain sampai akhirnya kami berhenti di sebuah ruangan dimana ada seorang wanita yang sangat aku kenal tengah duduk bersama dua wanita lainnya. Dia adalah Victoria yang beberapa hari ku temui di bandara, melihatku datang rautnya berubah dan langsung membuang muka. Persetan! Aku memperhatikan dua wanita yang lain yang duduk bersebelahan, aku mengenali wajah mereka melalui bingkai foto di kantor Donghae yang berada di Paris. Aku yakin yang aku pandang saat ini adalah ibu Donghae. Pakaiannya cukup formal layaknya exsecutive di perusahaan swasta. Tapi itu tidak membuatku heran karena dialah pemegang kendali utama Lee Corporate saat ini, menggantikan ayah Donghae yang sudah meninggal. Jadi wajar saja jika tampilannya seperti itu. Aku melemparkan pandanganku pada wanita tua berkacamata yang kini rambutnya tengah dipenuhi uban. Dia juga memandangku dan secara refleks aku membungkuk kecil. Ibu, nenek, ini adalah Sung Hyosun yang aku ceritakan kemarin.
Aku hanya menunduk dan memandangi pahaku yang kini tertekuk rapat. Aku menunggu wanita dihadapanku sekarang untuk angkat bicara terlebih dahulu. Di ruangan yang luasnya kurang lebih 100 meter per segi ini, aku sempat memperhatikan benda-benda tradisional yang diletakkan di beberapa sisi ruangan sebelum aku duduk bersimpuh di atas lantai kayu berplitur mengkilap. Ruangan ini bukan kamar untuk beristirahat, tapi lebih mirip seperti perpustakaan. Terdapat beberapa rak besar yang dipenuhi oleh buku-buku dengan judul yang beraneka ragam di dalamnya. Tapi bedanya si pembaca tidak diberi kursi untuk duduk, melainkan hanya meja biasa untuk sekedar meletakkan buku sementara badannya langsung bersentuhan dengan lantai. Meja itu kini tangah menyekat kami berdua dan hingga berhadapan satu sama lain. Aku tidak mau bertanya apapun tentang keadaan ruangan ini walaupun sebenarnya dalam hati berkecamuk. Aku masih menunduk, aku tahu kalau matanya mengawasiku. Jadi, namamu Sung Hyosun? tanyanya membuka obrolan. Suaranya tidak begitu dalam, tapi sedikit nyaring khas nenek-nenek berusia hampir delapan puluh tahun. Aku mengangkat kepala dan memandang matanya yang memang serius mengamatiku. Aku berkata sedikit ragu Sebenarnya nama asliku bukan itu. Nama asliku adalah Kim Hyosun Alisnya naik sebelah kemudian bertanya lebih lanjut Kenapa kau mengaku sebagai Sung Hyosun, bukan Kim Hyosun? Aku juga sudah mendengarnya dari Donghae kalau nama aslimu Kim Hyosun Sung Hyosun adalah nama nenekku. Aku memakai nama ini karena aku sangat menghormatinya. Ceritakan tentang dirimu katanya mencoba mengujiku. Aku berfikir sejenak dan memulai berbicara dengan hati-hati. Namaku adalah Kim Hyosun. Anak kedua dari Sung Ahn Jung dan Kim Eunhoo. Kedua orang tuaku adalah anak tunggal dari keluarga. Aku juga mempunyai seorang kakak yang bernama Kim Young Woon. Orang tuaku Kalimatku terputus di situ. Tenggorokanku terasa kering dan pandanganku menjadi kabur karena mataku yang berkaca-kaca. Tetap di posisi sebelumnya, aku tidak menengadah, aku sedikit menunduk saat menceritakan ini. Orangtuaku mengalami kecelakaan Aku mencoba menguatkan diri tapi tetap saja tenggorokanku tercekak. Airmata yang mati- matian ku tahan pun meleleh dengan sendirinya. Dia mengulurkan secarik tisu padaku. Aku menghapus airmataku kemudian mengeraskan hati untuk terus berbicara. Orang tuaku mengalami kecelakaan mobil saat liburan musim panas di hawai. Mereka berdua tewas Lebih parah dari sebelumnya, aku menumpahkan airmataku tanpa peduli di hadapan nenek tua ini. Ini menyimpang dari diriku yang biasa. Aku tidak pernah menangis dihadapan orang lain, kecuali orang yang benar-benar sudah dekat dan mengenalku. Dan mendengar itu, nenekku langsung terserang penyakit jantung. Dia juga meninggal di hari yang sama. Saat itu aku menghapus airmataku sejenak, kemudian melanjutkan. Saat itu yang tersisa hanya aku dan kakakku. Umurku masih tujuh tahun dan aku juga tidak mengerti kenapa harus tinggal di panti asuhan waktu itu. akhirnya aku berhasil mengontrol diri walaupun suaraku masih terdengar bergetar. Sekarang kau tahu kenapa kau tinggal di sana? aku tidak menatapnya dan tidak tahu raut macam apa yang ada di wajahnya sekarang ini. Saat aku berusia lima belas tahun, aku baru tahu kalau kami berdua tidak memiliki wali dan karena itulah aku harus tinggal di panti asuhan. Saat itu aku sudah tinggal dengan keluarga Cho. Mereka adalah sahabat karib umma dan baru bertemu denganku setelah aku tinggal di panti asuhan selama dua tahun Sekarang dia dimana? Siapa? tanyaku. Kakakmu Aku tidak tahu. Kabar yang aku dengar, dia berada di Paris. Karena itulah aku sempat aku berfikir ulang untuk mengatakan istilah imigran gelap, antara memilih berbohong atau mengatakan yang sejujurnya. Aku sempat bekerja di sana sebagai editor freelance. Itu yang aku lakukan sembari mencari kakakku. Aku tidak tahu kenapa dia meninggalkanku begitu saja di panti dan tidak memberitahuku apapun mata bagian kiriku mulai berair lagi dan hal itu masih bisa ku atasi dengan sapuan jari-jari tangan. Kau masih mencarinya? Donghae Mmm maksudku oppa sudah mengirimkan orang-orangnya untuk mencari kakakku ralatku. Dia mengamatiku penuh selidik, kemudian mengulur tangan untuk meraih secangkir teh yang ada di hadapannya sekarang. Cangkir itu dikembalikan lagi pada tempatnya, setelah dia menyesap isinya beberapa kali. Dia mengangguk-angguk kecil. Jadi, kalian berencana menikah? tanyanya lagi. Itu yang kami harapkan Apa yang kau harapkan darinya? kali ini pertanyaannya lebih tegas, penuh penekanan. Maaf? aku bertanya heran. Dia cucu laki-lakiku satu-satunya dan nantinya dia yang menjadi pewaris utama keluarga ini. Apa kau Tunggu sebentar biar aku jelaskan dulu. Uang bukan segalanya untukku. Aku ingin menikah dengannya karena aku ingin bahagia, itu saja. Jadi tolong jangan salah paham dengan ini kataku memotong ucapannya yang belum selesai dilontarkan. Aku mengerti apa maksudnya sekarang. Dia menganggap aku menyukai Donghae karena harta. Walaupun pernikahan ini adalah sebuah konspirasi terselubung, tapi aku tetap tidak mau dipandang rendah oleh siapapun. Karena harga diriku tidak mengijinkannya. Aku ingin bahagia, aku ingin berkumpul lagi dengan kakakku. Apa kau terbiasa memotong ucapan orang lain? Aku belum selesai berbicara dia menatapku intens dan itu membuatku serba salah. Bodoh! Oh, maaf aku menunduk, menghindari tatapannya. Apa kau mencintai, Donghae? Lagi-lagi pertanyaan seperti ini. Kenapa seluruh dunia seolah tahu kalau aku berkomplot dengan Donghae? Kenapa selalu ada pertanyaan apakah aku mencintainya? Jawablah dengan jujur lanjutnya lagi dan itu semakin membuatku serba salah. Menjawab iya, aku berbohong karena si tua ini sepertinya sedang menguji kejujuranku. Tapi menjawab tidak, beresiko pernikahan ini bisa gagal. Lalu apa yang harus ku lakukan? Ini seperti wawancara untuk menentukan kualifikasi fresh graduate di sebuah perusahaan. Kenapa kau diam? Sebenarnya kataku masih mengambang. Kau harus tegas jika mengatakan sesuatu. Jangan setengah-setengah apalagi ragu-ragu seperti itu. Kau tidak mencintainya kan? tanyanya dengan nada tinggi. Aku Mencoba berbohong adalah hal yang percuma potongnya cepat. Aku bisa melihat kalau kalian tidak saling mencintai dia menghela nafas cukup panjang. Bagaimana ini? Bahkan orang tua yang hampir pikun seperti dia tidak bisa ku kelabui. Aku tahu Donghae sedang banyak tekanan sekarang ini. Dia ingin segera menggantikan posisi ibunya di perusahaan. Dia tahu ibunya tidak terlalu kokoh dalam mengelola perusahaan terutama menghadapi kolega-kolega bisnis dan para investor yang kian menyudutkannya. Donghae tidak bisa menggantikan ibunya begitu saja. Dia tidak memiliki banyak saham. Sekarang ini dia hanya memiliki sekitar sepuluh persen saham perusahaan. Setelah dia menikah, tiga puluh persen saham ibunya akan dihibahkan padanya, tapi itu tidak cukup menjadikannya seorang presdir. Dia masih menjadi wakil karena posisi presdir masih dipegang oleh ibunya. Dan saat dia memiliki seorang anak, barulah enam puluh persen saham perusahaan bisa di kendalikannya. Tapi kalau dalam dua tahun terakhir dia tidak mempunyai keturunan juga, seluruh saham akan dilelang bebas di bursa saham dan rapat umum pemegang saham. Dia menerawang tanpa memandangku seinci pun. Dan tiba-tiba dia langsung menatapku tajam Kalian menikah karena ingin mempunyai anak? Bingo! Akhirnya aku mengerti ke arah mana dia menggiring obrolan ini. Aku hanya berdiam diri tanpa mengatakan apapun. Lidahku terasa kelu seolah seluruh saraf di indra perasa ini kompak bekerjasama menahan diri untuk tidak bergerak. Sepandai-pandainya aku mengelak, dia lebih pandai untuk memojokkanku hingga tidak punya pilihan yang tepat untuk diutarakan. Ikut denganku dia bangkit dari duduknya dan membuatku menengadah kemudian sejurus dengan itu, aku mengikuti langkahnya ke sisi lain ruangan ini. Dia berdiri mematung di depan lukisan. Lukisan itu bergambar bunga teratai yang ukurannya kurang lebih sama dengan kalender dinding. Artistik. Kemudian dia mengangkat lukisan itu yang pada akhirnya mengantarkan pandanganku ke sebuah lemari besi di baliknya. Aku mengerti sekarang, ternyata lukisan itu hanya sekedar benda yang menutupi bagian private ruangan ini, bukan sebagai central-nya. Dia mulai memutar kombinasi angka yang ada. Aku bisa berbalik jika kau mau aku memberikan tanda dengan tanganku agar dia tidak melanjutkan lebih jauh. Kenapa? Aku percaya padamu Mendengar itu aku hanya bisa memandangnya penuh tanya. Secepat itukah dia percaya padaku? Aku baru beberapa menit di sini. Atas dasar apa? aku bertanya padanya penuh ragu. Entahlah dia mengangkat bahu kemudian melanjutkan tangannya untuk memasukkan kombinasi angka. Aku hanya diam dan mengabaikan pikiranku tentang orang tua ini berkecamuk di seratus juta neuron yang ada di otakku. Walaupun aku heran, toh aku juga tetap memperhatikan angka- angka itu. Setelah beberapa detik berlalu, akhirnya pintu lemari besi itu terbuka secara otomatis. Isinya bukan tumpukan uang kertas yang berlimpah atau apa, melainkan beberapa berkas-berkas dan sebuah kotak meyerupai tempat perhiasan. Dan benar saja. Dia memperlihatkan isinya padaku hingga terpampang sebuah kalung berwarna perak yang dililit oleh batu berkilau di beberapa bagian. Kalung itu berkelap-kelip di hadapanku dan tanpa sadar menggoda tanganku untuk mendekatinya. Aku ingin menyusuri setiap milinya dengan buku-buku jari yang aku miliki. Fantastic aku berdecak kagum dengan sendirinya. Kau boleh menyentuhnya saat pernikahan nanti. Ini warisan keluarga Lee. Aku harap kau bisa menjaganya untuk menantu keluarga ini jika kau punya anak laki-laki kelak dia menarik kalung berlian itu menjauhi tanganku. Aku langsung menarikku tanganku karena tersadar betapa tololnya diriku sekarang. Mungkin saat menjalani pernikahan ini kau akan merasa berat, Hyosun-ah. Tapi ketahuilah, aku berharap dia bahagia dengan wanita pilihannya. Percayalah, cinta itu bisa hadir dengan sendirinya. Jadilah karang yang tetap kokoh walaupun diterjang ombak sekuat apapun Paparnya sembari tangannya menutup kembali kotak perhiasan itu. Mungkin ada sedikit celah di sini untuk berbohong. Aku mengerti. Aku akan mencoba memberinya perhatian-perhatian yang tidak begitu kentara namun menggelisahkan, tapi tidak terlalu samar agar dia paham kalimatku lolos dengan sempurna. itulah kutipan dari salah satu buku Shakespeare yang pada abad delapan belas. Shakespeare dia mendengus kecil kemudian memasukkan kembali kotak itu pada tempatnya. Dia mencoba mengangkat lukisan namun tanganku berhasil membantunya. Kau tahu tentang Shakespeare? tanyaku setelah lukisan terpasang seperti sediakala. Kalau kau mau, kau bisa membaca beberapa karyanya di rak itu. yang paling atas dia menunjuk rak yang letaknya tersekat oleh satu rak lain. Oh Aku jarang sekali membaca bukunya secara langsung. Aku biasa menemukannya di internet. kilahku. Hmmm, orang-orang di luar pasti bertanya-tanya sedang apa kita di sini. Mungkin mereka berfikir kalau aku akan menelanmu hidup-hidup Aku terkekeh mendengar itu, begitu pula dengannya. Donghae bilang kalau kau orang yang cerewet dan galak. Tapi kenyataannya jauh dari yang aku pikirkan Dia terlalu berlebihan. Sudah, kau keluar dulu. Nanti aku akan menyusul Oke Aku menggeser pintu ruangan itu ke sebelah kiri dan menutupnya kembali setelah memasang sepatuku yang memang harus dilepas saat memasuki ruang pribadi nenek Lee Donghae. Bukan obrolan yang serius, hanya sebuah motivasi yang diberikannya padaku sebelum menikah dengan Donghae. Dan belum sempat berbohong pun aku sudah gagal saat memulainya. Aku melihat Donghae sudah berjalan mendekatiku. Dia menanggalkan Jas dan dasinya dan menggulung kemejanya hampir mencapai siku. Ku rasa dia menyukaimu celetuknya sembari mendekatiku. Benarkah? aku pura-pura terkejut saat berdiri. Tidak semua orang bisa masuk perpustakaannya Serius? Bagaimana kau melakukannya? Apanya? tanyaku lagi. Kau mengatakan apa padanya? Hanya menceritakan latar belakang keluargaku. Memangnya kenapa? Kau tidak menceritakan tentang kenapa menikah kan? dia memelankan suaranya dan cenderung seperti sebuah bisikan. Tanpa aku bilang dia sudah tahu motifmu? Apa??? dia terbelalak dan hal itu tidak ditutupinya dengan baik. Untuk apa kalian masih di sini? aku menoleh untuk memandang si pemilik suara. Nenek Donghae telah berkacak pinggang di depan kami berdua. Donghae-ah! Kemarin kau tidak datang ke makam ayah dan kakekmu. Apa sekarang kau tidak mau ke sana juga? Mau jadi anak apa kau ini??? lanjutnya dengan suara yang lebih melengking. Bisnis, bisnis, dan bisnis saja yang kau urusi. Bisakah sekali-kali kau memikirkan keluargamu dulu omelnya frontal. Dengan melihat ini semua aku jadi mengerti apa yang dimaksud Donghae saat di mobil. Neneknya galak dan cerewet seperti sekarang dan berhati lembut seperti saat bersamaku di perpustakaan. Iya. Kami akan berangkat. Ayo, Hyosun-ah. Eh, kau mau berangkat dengan tangan kosong? Bawa bunga dan arak yang ada di atas meja! Sudah besar masih saja harus diingatkan. Mau jadi apa kau nanti gerutunya saat kami belum sempat melangkah. Donghae mengacak rambutnya sendiri dan aku hanya bisa tersenyum saat melihat tingkahnya itu. Iya. Iya gerutunya sambil berjalan mengambil bunga dan dua botol arak untuk disiramkan di atas kuburan yang sempat terlupakan. Kau tidak memakai jasmu? Demi Tuhan, nenek. Kau bisa cepat tua kalau mengomeliku terus Donghae mendekati neneknya kemudian mencium pipi keriputnya kemudian langsung berlalu. Eh, dasar anak nakal Kami pergi. Ayo, Hyosun-ah Donghae berjalan mendahuluiku. Kami pergi dulu, Nek Aku membungkuk kecil lalu berjalan menyusul langkah panjang Donghae. Hati-hati!!! teriaknya di belakang kami. Aku hanya tersenyum kecil mendengar itu. Sementara cucunya yang bengal ini tidak menunjukkan respons yang berarti. Memang sikapnya selalu seperti itu. Tidak mengherankan.
Keterlaluan, kenapa kita harus berjalan kaki? keluhku saat melewati beberapa rumah yang ukurannya tidak terlalu besar dan jaraknya yang tidak pula berdekatan. Hanya dua kilometer, kenapa mengeluh? Kau tidak lihat aku memakai hak tinggi? Ini menyiksaku! mulutku mengerucut, membantah pria yang kini berjalan mendahuluiku. Aku tidak menyuruhmu memakai itu kilahnya. Dan kau juga tidak memberitahuku akan berjalan kaki sejauh ini. Kakiku lecet Kenapa wanita harus menyiksa dirinya dengan benda itu? Toh, saat sepatu itu dilepas ketinggiannya tidak akan berubah dia menoleh ke samping, sementara kakinya tetap menyusuri jalan setapak. Memangnya kenapa? Ini kan salah satu bentuk usaha untuk memperindah penampilan Aku tidak mengerti jalan pikiran wanita kepalanya sedikit menggeleng. Kau terlalu banyak omong, Donghae-shi. Semakin banyak komentar, lama-lama kau mirip dengan komentator bola yang gagal aku mendengus kesal dan dia tidak menggubris. Dia terus berjalan didepanku. Rasanya kakiku mau patah setelah bolak-balik dari rumah ke pemakaman dan sekarang harus berjalan kaki lagi untuk kembali ke rumahnya. Ingin sekali aku melempar jauh-jauh sepatu hak tinggi yang kini ku kenakan. Pantas saja feeling-ku tidak enak saat memakai sepatu ini. Kalau tahu akhirnya begini, mungkin aku akan memilih untuk memakai pantofel biasa. Aku memperhatikannya yang kira-kira berada satu meter di depanku. Dia berhenti di sebuah rumah berpagar kayu. Dari luar bagian dalam rumah itu tidak terlihat karena pagarnya cukup tinggi. Seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia memasukkan tangannya ke dalam saku celana dan mengamati penuh arti. Kau jalan saja duluan katanya. Rumah temanmu? aku mengikuti pandangannya. Bukan Lalu? tanyaku lagi sembari mengamatinya. Dia menoleh Sudah ku bilang jalan saja dulu Memangnya kenapa? rasa keran mulai terpeta di dahiku dengan beberapa kerutan. Kau bisa lari? tanyanya sebelum menjawab pertanyaanku. Aku pernah lomba marathon waktu SMA. Kenapa? Menurutmu jarak dari sini menuju rumah seberapa jauh? Kau pikir aku petugas yang mengukur jalan? protesku bercampur rasa penasaran. Dia terus saja menjawab pertanyaanku dengan sebuah pertanyaan baru. Kira-kira seberapa jauh? dia menoleh padaku sedikit kesal. Ck! Akhirnya aku mengira-ngira jarak dimana kami berpijak sampai pagar depan. Mungkin hampir satu kilometer. Masih jauh dari perkiraanku. Satu kilo meter. Kurang lebih Sekarang kau tunggu aku di sana dia menunjuk jalan setapak yang kira-kira berjarak tiga ratus meter dariku. Apa? Lakukanlah, tidak perlu banyak bicara Well, dia memang seorang dictator. Dan aku adalah korbannya. Demi Tuhan, kenapa dia sangat menyebalkan? Menyuruh sesuka hatinya sendiri tanpa menjelaskan apapun. Dan bodohnya aku, malah mengikuti komando misteriusnya. Setelah aku mencapai titik yang dimaksud, dia menoleh padaku sejenak. Kemudian dia berjalan mendekati rumah itu dan tanpa ragu langsung memencet bel. Sebentar! suara dari dalam menjawab. Tapi demi seluruh tulisan yang pernah ku baca sampai detik ini, Donghae malah bersembunyi di balik pagar tanaman yang mengitari rumah itu. Tampak seorang nenek tua tengah keluar dan menoleh ke samping kanan dan kiri. Apa kau yang memencet bel, nona? tanyanya saat melihatku. Bukan bukan aku. Tapi aku menengok ke arah Donghae yang memberi tanda diam di mulutnya dengan telunjuk. Apa kau melihat orang di sekitar sini? Aku menggeleng dengan cepat kemudian Donghae memberiku jempol kanannya dan seringai nakalnya. Apa dia mantan bandit kecil? Nakal sekali dia, mengerjai nenek itu. Akhirnya nenek itu kemudian masuk ke rumah dan menutup pagarnya lagi. Donghae Kau gila ya? Apa yang kau lakukan? bisikku takut-takut kalau nenek tadi masih berada di sekitar pagar rumahnya. Dia tidak menjawabku, malah memencet bel rumah itu lagi. Astaga! Dia benar-benar sudah tidak waras. Aku menyelinap di balik pohon terdekat agar tidak menjadi tertuduh kalau-kalau nenek itu keluar lagi. Dan benar saja, dia keluar. Dia menoleh ke kanan dan kiri lalu masuk kembali ke dalam rumah setelah tahu tidak ada seorang pun yang ditemukannya. Sekali Dua kali tiga kali Dia masih melakukan hal yang monoton itu. Kelewatan! Aku mendekat ke arahnya dan dia langsung berlari ke arahku tanpa prediksi. Eh? Kenapa? Dan setelah beberapa saat aku termenung, aku baru sadar ternyata ada seeokor anjing yang turut berlari di belakangnya. Bulunya berwarna hitam lebat. Mulutnya terbuka dan menampilkan barisan giginya yang terlihat sangat runcing. Kebuasannya dilengkapi dengan air liur yang tak henti menetes. Untuk beberapa saat aku masih termangu dengan pemandangan ini. Hyosun-ah, lari!!!!!!!! teriakannya membuatku sadar. Shit! Aku langsung melepas sepatu hak tinggiku kemudian menentengnya agar tidak kesusahan saat berlari nanti. Donghae yang kian mendekat langsung meraih pergelangan tanganku agar tidak terlalu lama di tempatku berdiri. Sinting! Sudah ku bilang lari! pekiknya dibarengi dengan gonggongan anjing di belakang kami. Kau gila!!! Tidak ada waktu untuk berkhotbah! Indra penciumannya cukup tajam, dia mendeteksi melalui bau kita. Dia tidak akan berhenti! Dan bodohnya kau adalah kenapa malah memancing hewan sebesar domba itu! teriakku menatapnya tak percaya. Kakiku sedikit nyeri di beberapa lini. Rasa pegal yang belum sirna kini ku tambahi dengan gesekan kulit dengan jalan setapak. Benar-benar gila! Anjing itu menggonggong lagi. Terserah apa katamu! Kau gila, Donghae-shi!! Kaki kami masih beradu dengan tanah. Saat mencapai persimpangan, salah satu sepatuku jatuh. Aku berniat mengambilnya, tapi Donghae keburu menarik tanganku lagi. Nanti ku belikan selusin kalau kau mau! Itu sepatu kesayanganku!! nafasku tinggal setengah, rasanya hampir mati karena berlari. Ya! Apa kau mau terkena rabies karena digigit anjing itu? Awas saja! Aku akan membuat perhitungan atas ini Kita bicarakan nanti! Sebentar lagi kita sampai di rumah! Kau gila ya? Menunggu pagar depan terbuka secara otomatis sama saja membiarkan salah satu dari kita digigit anjing gila itu!! Anjing dibelakang kami masih menggonggong. Nadanya sangat mengancam kematian kami dengan sekali gigitan. Tengkukku dingin. Baru pertama kalinya aku dikejar anjing, terlebih lagi yang sebesar itu. Kita bisa lewat pintu samping. Kita akan aman! Pagar depan rumah sudah terlihat dari kejauhan. Semoga bisa! Semoga bisa! Ini lebih menegangkan ketimbang menaiki roller coaster. Adrenalinku terpacu dan jantungku berkali- kali ingin terjun dari tempatnya. Ke sini! Dongahae yang masih memegangi tanganku membawaku ke samping kiri rumah. Dan ternyata benar, ada pintu kecil di situ. Dia langsung membuka pintu itu dan mendahulukanku masuk, kemudian dengan kencang dia membanting pintu agar merapat sempurna. Tubuhku langsung merosot ke tanah dan begitu pula dengan Donghae. Nafasku tersengal-sengal dibarengi dengan gonggongan anjing yang kian memudar. Dadaku naik turun, begitu pula dengan Donghae. Tampilanmu saja elegan. Tapi tingkahmu seperti anak kecil yang baru lulus TK. Kau orang paling gila yang pernah ku temui dadaku sesak, mencoba menarik nafas sedalam mungkin. Sepertinya gelembung alveolusku rontok semua dibarengi dengan patahnya cabang paru- paru. Sesak sekali. Bercelotehlah sesuka hati. Silahkan Dia malah tertawa terbahak-bahak. Mungkin masa kecilnya kurang bahagia atau apa aku juga tidak mengerti. Baru kali ini aku melihat dia menjadi sosok di luar dari dirinya yang biasa. Manis. Kau tahu, dulu aku pernah tertangkap oleh nenek itu. Saat itu aku masih SMP dan dia memukulku dengan gagang sapu dia tertawa lagi seperti sedang mendongeng dan aku sebagai pendengar. Ayo kita masuk. Aku haus dia bangkit dari duduknya dan mulai berjalan. Saat dia mengawali langkah pertamanya, aku merasakan sesuatu yang nyeri di telapak kakiku. Tidak hanya nyeri, bahkan bisa dibilang sakit. Sampai kapan kau terus di situ? Donghae-shi Sepertinya kataku ragu dan terputus. Aku langsung menarik kakiku dan melihat telapaknya. Aku melihat ada sepotong beling yang menancap di bagian tengah kakiku. Tercium bau anyir yang berasal dari darah yang mengalir melalui luka itu. Kenapa? dia menoleh. Ada pecahan kaca di kakiku aku menatapnya dengan tampang memelas. Wajahku langsung pucat pasi dan selalu begini saat melihat darah. Aku melihat cairan kental itu keluar dengan tidak lancar karena pecahan kaca yang masih mengganjal lukanya. Sakitnya mungkin bisa ku tahan, tapi darah ini membuatku pusing. Dia mengamatiku sejenak kemudian melemparkan pandangannya ke kakiku yang sekarang tanpa alas dan melihat itu, dia buru-buru langsung mendekatiku Kakimu berdarah pekiknya. Semua ini gara-gara kau bodoh desisku sembari menatapnya tajam. Ayo kita ke dalam. Biar Vic mengobatimu. Kaca itu harus dicabut katanya lagi. Dia mengamatiku yang memandanginya penuh tanda tanya. Dia calon dokter. Ini tidak akan sulit baginya Aku tidak bisa berjalan. Bisakah kau membawa mobil ke sini? Aku meringis. Kakiku benar-benar lunglai setelah berlari. Bukan hanya itu, perjalanan yang lumayan jauh dengan menggunakan high heels seolah telah menguras tenagaku untuk berjalan lagi. Ditambah lagi dengan luka akibat pecahan kaca yang cukup membuatku mengangkat bendera putih. Aku menyerah, aku tidak sanggup berjalan lagi. Kau gila ya? Tidak ada akses jalan menuju kemari. Tidak mungkin aku menerobos taman milik nenek. Cari mati! protesnya kesal kemudian setelah berfikir sejenak berjongkok memunggungiku. Naiklah Apa? tanyaku masih bingung. Aku akan menggendongmu. Naiklah katanya lagi. Aku tidak bisa. Aku memakai dress. Aku akan berjalan saja Aku mencoba berdiri dan dia membantuku. Aku berjalan dengan menahan rasa sakit yang menjalar di kakiku. Hanya beberapa meter, pasti aku bisa. Tapi tanpa ku duga, Donghae malah meraih tubuhku dan membopongnya di atas kedua tangannya. Donghae, apa yang kau lakukan? protesku. Sudah diam. Bisa-bisa tahun depan kau sampai di rumah kalau berjalan seperti siput Ini semua salahmu! Kenapa kau mengajakku dengan ide konyolmu itu!!? aku menaikkan nada suaraku sedikit lebih tinggi. Aku minta maaf dia mulai berjalan menjauhi pintu samping, mengarah ke serambi depan. Apa? Aku tidak mendengarnya tanyaku memastikan. Maaf gumamnya pelan. Kenapa kau harus menggumam seperti itu? Aku tidak mendengarnya Aku bilang aku minta maaf, Sung Hyosun! teriaknya dengan nada frustasi. Kau tidak perlu berteriak seperti itu, aku mendengarnya kok aku menyeringai penuh kemenangan. Sekali lagi kau berbicara, aku akan menjatuhkanmu ke kolam itu katanya dengan nada mengancam. Dia berhenti sejenak menatapku, kemudian melanjutkan jalannya saat aku tidak memprotesnya lagi. Ini adalah kontak fisik terlama yang pernah ku lakukan dengannya. Dengan jarak sedekat ini, aku bisa mencium bau tubuhnya yang bercampur minyak wangi. Aku lupa minyak wangi merk apa yang baunya seperti ini, tapi setahuku minyak wangi ini akan bereaksi dengan keringat dalam proses evaporasi. Aku juga bisa melihat singlet yang membatasi kemeja dan kulitnya. Ada sesuatu yang aneh. Aku merasa seperti ada sebuah generator yang menyala di dadaku dan semakin lama semakin kencang. Tidak hanya itu, rasanya aku juga kehilangan banyak persedian oksigen di sekitar sini. Kenapa ini? Normalnya aku bisa menghirup udara segar di halaman ini karena banyaknya tanaman. Tapi kenapa begini? Kenapa jantungku juga berdetak lebih kencang dari biasanya? Aku juga tidak punya riwayat penyakit jantung selama ini. Dia meletakkan badanku dengan hati-hati di atas kursi panjang yang ada di depan rumah. Entah bagaimana mulanya, kalung yang biasa berada di balik bajuku keluar dan menyangkut di buah bajunya yang paling dekat dengan kerah kemeja. Saat dia menarik diri, badannya tertahan. Dia memandangku sedikit kesal, tapi di waktu yang bersamaan saat itulah untuk pertama kali aku melihat kedua bola matanya dengan jarak yang sangat dekat. Aku baru sadar kalau sinar yang terpancar sangatindah. Kenapa bisa tersangkut sih? dia menggumam kesal, tapi dari caranya aku tahu dia salah tingkah begitu pula denganku. Ya! Hati-hati menariknya. Lepaskan dulu kancingmu protesku saat melihat dia menarik dengan sembarangan kalung pemberian Max itu. Menyusahkan katanya sambil membuka kacing baju. Aku tidak menyuruhmu menggendongku Dia mendongak dan siap memulai perlawanan. Tapi baru membuka mulut, dia urung karena neneknya mendekati kami. Ada apa? tanyanya. Kakimu kenapa? Nenek Donghae langsung panik melihat kakiku yang meneteskan cairan merah tanpa henti. Vic! Victoria! Kemarilah! Bawa kotak P3K! teriak Donghae ke dalam rumah. Memangnya apa yang terjadi? Kenapa bisa begini? Ini karena ulahnya! dengan seketika aku menunjuk pada Donghae. Dia tertawa garing. Apa yang kau lakukan? tanyanya dengan nada yang garang. Kami dikejar-kejar anjing, Nek. Sungguh katanya berusaha meyakinkan. Tapi awalnya dia mengganggu rumah nenek tua yang tidak jauh dari makam. Dan anjing itu mengejar kami sampai aku terkena pecahan kaca jelasku. Kau ini! Memangnya kau anak SMP? Hah? Nenek Donghae mencubit lengannya hingga dia berteriak. Ya! Ampun, Nek Apa dia memencet bel rumahnya berulang-ulang? Neneknya menatapku dan aku menjawabnya dengan anggukan. Kau ini! Sudah hampir menikah, tingkahmu seperti bayi yang lahir kemarin sore. Kekanak- kanakan Donghae terus saja diomeli sampai kupingnya terasa panas. Tapi dia hanya diam, sebagai wujud pengakuan kesalahannya. Ada apa? Kenapa harus memakai P3K? Victoria berlari dari dalam rumah mendekati kami bertiga. Kau obati dia kata Donghae. Dia mengamatiku sejenak, kemudian mendekat ke arahku. Awalnya aku merasa canggung menerima perlakuan ini dari Victoria. Dia mencabut beling di kakiku, kemudian mengobatinya dan memberi perban pada lukaku agar tidak terkena benda asing. Walaupun dia tidak menyukaiku, dia tidak bisa menanggalkan jiwa sosialnya begitu saja. Dia tidak kehilangan jiwanya sebagai seorang calon dokter. Dia merawat kakiku dengan mengesampingkan rasa tidak sukanya terhadapku.
Dua minggu menjelang pernikahan Tinggal dua undangan lagi yang harus ku sebar. Yang pertama untuk sahabat SMP-ku, Lexy Kim dan yang terakhir adalah untuk kepala asrama panti asuhan SONG SEOUL. Sementara, undangan dari pihak keluarga Donghae secara keseluruhan telah dikirim. Jika Urusan undangan sudah beres, hal yang terakhir kami lakukan adalah fitting baju pengantin. Sisanya tinggal menunggu dari H. Aku tidak bisa lama, jam sebelas nanti ada rapat dengan klien katanya dengan pandangan yang masih fokus pada jalanan sementara tangannya mengendalikan setir. Aku bisa memberikan undangan ini sendiri kalau menurutmu menyita waktu Aku ingin bertemu kepala asrama SONG SEOUL. Sudah lama aku tidak berkunjung dia menoleh sejenak kemudian mengembalikan perhatiannya pada jalanan. Dahiku berkerut, menangkap kata yang ganjil dari ucapannya Sudah lama? Memangnya kau sering ke sana? Dia mendengus Apa aku harus mengatakan juga kalau aku adalah donator SONG SEOUL? Benarkah? Dari situlah aku tahu riwayatmu. Itu kebetulan yang tidak ku sengaja Jadi, kau tahu seluruh dataku dari ibu kepala asrama? aku terbelalak. Tidak percaya jika Ibu kepala asrama SONG SEOUL yang sangat aku hormati memberikan dataku begitu saja padanya. Aku punya beberapa teman yang tergabung dalam situs WikiLeaks. Bagi mereka mencari datamu sama dengan menjentikkan kuku jari dia memandangku dengan tatapan meremehkan. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala mendengarnya Jangkauanmu seluas itu? Aku hanya kenal beberapa orang di organisasi itu. Tapi mereka bukan orang yang bisa dianggap remeh Dia menginjak rem-nya tepat di parkiran SONG SEOUL Ada yang mau kau tanyakan lagi? Apa hanya sekedar kebetulan kau memilihku? Kenapa kau selalu menanyakan pertanyaan yang berulang-ulang? Pasti ada alasan tertentu kataku bersikukuh. Demi Tuhan, dua minggu lagi kita akan menikah kau masih saja menanyakan itu? dia memandangku sinis dan berlagak dramatis. Aku tidak cepat puas dengan satu pernyataan Dia mendengus Setidaknya jika aku punya anak darimu dia bisa cantik dan sepintar dirimu Kemudian dia membanting pintu mobil tanpa memandangku lagi. Entah ekspresi macam apa yang bisa aku tangkap dari itu. Samar, wajahnya sedikit merona. Aku mengikutinya keluar dari mobil sambil tersenyum. Setidaknya aku puas dia mengakui kecantikan dan kepintaranku. Aku berjalan menyamai langkahnya menuju kantor kepala asrama panti asuhan. Sesampainya di sebuah pintu dengan papan nama berjudul Jung Eunja dia mengetuk pintu. Masuk terdengar suara yang cukup keras dari dalam. Donghae memutar gagang pintu dan kami berdua secara bergantian masuk ke dalamnya. Aku menemukan sosok yang selama lebih dari setahun ini tidak ku temui. Wajahnya masih seperti dulu, kerutan di wajahnya belum terlalu banyak. Tuan Lee, Hyosun-ah. Kalian kemari? dia langsung bangkit dari mejanya menyambut kedatangan kami. Kami berjabat tangan secara bergantian. Apa kabar ibu asrama? tanyaku seperti biasa. Aku baik. Ku dengar kalian akan menikah? Aku tersenyum, kemudian menyodorkan salah satu undangan yang ada di tanganku padanya. Aku harap kau bisa datang di acara pernikahan kami lanjut Donghae. Tentu-tentu aku akan datang ke acara itu. Sekarang ceritakan bagaimana kalian bisa bertemu? tanyanya antusias. Sekitar empat puluh lima menit kami mengobrol tentang beberapa hal yang tidak berhubungan satu sama lain dengan ibu asrama SONG SEOUL. Dia adalah orang yang sangat aku hormati di panti. Walaupun aku sudah tinggal bersama keluarga Cho saat usiaku Sembilan tahun, tapi tetap saja hampir setiap minggu aku bermain di asrama ini. Karena itulah tempat ini adalah rumah keduaku. Berbeda dengan Donghae yang melanjutkan hal yang biasa dilakukan ayahnya selaku donatur panti asuhan. Setelah beberapa saat kami di panti asuhan, Donghae menyempatkan diri untuk mengantarku ke Universitas Seoul. Aku akan bertemu dengan Lexi di fakultas kedokteran. Sampaikan maafku pada temanmu. Aku harus rapat sejam lagi katanya saat aku menunduk melihatnya dari kaca. Oke. Nanti kalau sempat aku akan mampir ke kantormu Oke Aku mundur, memberikan ruang untuknya melajukan mobil. Oh, iya. Ini untukmu Dia menyodorkan sebuah tas kertas padaku. Melihat ukurannya, aku yakin di dalamnya juga bukan benda yang ukurannya kecil. Aku mengulurkan tangan dan berhasil meraihnya melalui jandela yang masih terbuka. Apa ini? tanyaku membuka sedikit kantong itu. Seperti sebuah kardus berbentuk balok. Itu sebagai ganti sepatumu yang tercecer sewaktu kita di Mokpo. Oke, aku pergi dulu Seketika dia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku menatap mobilnya hingga hilang dari pandanganku kemudian berjalan ke area kampus. Ku pandangi kantong itu sekali lagi tanpa melihat isinya sambil tersenyum mengingat kejadian beberapa hari yang lalu. Walaupun dulu aku kuliah di Inha, tapi untuk mencari dimana letak fakultas kedokteran tidak akan sulit bagiku mengingat dulu aku sering sekali bersafari ke universitas ini. Aku mengambil ponsel dan menekan beberapa angka kemudian memencet icon gagang telephone berwarna hijau. Hallo. Kau dimana? tanyaku pada suara yang ada di seberang. Susul aku di perpustakaan fakultas Oke Aku menutup sambungan kemudian berjalan lagi menuju perpustakaan. Tidak heran jika dia akan menghabiskan waktunya di perpustakaan. Dia sedang sibuk menyusun skripsi. Aku terus menyusuri beberapa koridor melewati orang-orang asing yang tak ku kenal. Beberapa mata memandangku tapi tak sedikit yang mengacuhkanku. Setelah beberapa menit berjalan, akhirnya aku menemukan perpustakaan itu. Busy girl aku berdecak saat berada di depan wanita yang tengah sibuk mecoret-coreti buku catatannya. Seperti itulah dia mengangkat bahunya malas. Judul apa yang di acc oleh dosen pembimbingmu? tanyaku lagi. Sejauh ini belum ada yang di-acc. Aku sampai stress. Lima kali aku mengajukan judul berbeda dan lima kali itu pula judulku di tolak. Dia mengacak rambutnya frustasi. Lalu apa rencanamu sekarang? tanyaku sambil melihatnya yang hampir gila. Aku belum menentukan judulnya. Tapi aku sedang menimbang-nimbang untuk mengembangkan ini dia menunjuk buku yang cukup tebal di hadannya yang berjudul Metode Inseminasi Inseminasi? Intra Uterine Insemination. Teknik memasukkan sel-sel sperma yang telah dipreparasi langsung ke dalam rongga rahim menjelang ovulasi. Berbeda dengan bayi tabung yang dalam proses pertemuan sel-sel spermanya dengan sel telur dilakukan diluar rahim katanya menjelaskan. Seberapa besar akurasinya? tanyaku penasaran. Aku tahu teknik ini tapi tidak pernah mencari detailnya lebih jauh. Yang ada dipikiranku hanyalah bayi tabung yang lebih trend sekarang ini. Akurasinya sekitar 10 persen. Jika pasien yang melakukan inseminasi gagal, sebaiknya tidak mengulangnya lebih dari tiga kali Kenapa? Menurut penelitian, seterusnya juga akan gagal Ada yang bilang tingkat keberhasilan bayi tabung sekitar 25 persen, berarti kemungkinan terbesar untuk mempunyai anak lewat jalur ini bisa dibilang lebih efisien dibanding insemninasi? aku menarik kursi yang berada di sampingnya kemudian duduk, mendengarkan calon dokter ini berceloteh lebih jauh. Tidak sepenuhnya seperti itu. Kalau pada wanita kondisinya subur sementara masalah lebih banyak ditemui pada sperma laki-laki, lebih baik menggunakan teknik inseminasi karena pertemuan sel telur dapat dilakukan di dalam tubuh. Dan tata pelaksanaannya tidak serumit jika melakukan bayi tabung. Bayi tabung menuntut si pasien untuk bolak-balik ke rumah sakit, sementara inseminasi tidak. Semuanya tergantung situasi dan kondisi. Kenapa kau mau menanyakan ini? Kau kan anak sastra. Apa kau mau mempraktekkannya? dia menatapku curiga yang dari tadi mendengarkan penuturannya dengan saksama. Kau tidak waras ya? Ini aku menyodorkan undangan terakhir padanya. Jadilah pendamping pernikahanku lanjutku. Dia tersenyum riang mendengar kabar gembira itu Jadi kau benar-benar akan menikah? Dua minggu lagi Arrrrgh, kau mendahuluiku.katanya protes sambil membuka undangan yang ada di tangannya. Segeralah menyusul. Ku dengar kau sedang dekat dengan seseorang? tanyaku penuh selidik. Dia mengangkat wajahnya dan berpura-pura tidak mengerti maksudku. Siapa? Jadi selama aku di Paris kau dekat dengan Kyu oppa? Dia tertawa kecil Kami hanya sebatas teman Kenapa kalian tidak berpacaran saja? Aku belum berfikir untuk berpacaran. Aku masih senang menjalani yang seperti ini. Aku ingin meraih gelar sarjana kemudian mengambil spesialisasi dan setelah aku dinyatakan sebagai dokter muda, aku baru akan memikirkannya dia melihatku dengan tatapan bangga pada dirinya sendiri. Kau tidak takut oppa berpindah ke wanita lain? aku mengerutkan dahi. Kalau Cho Kyuhyun benar-benar serius denganku, dia pasti akan menungguku sampai selesai Rupanya kalian? aku mendongak ketika mendengar suara yang lumayan aku kenal. Suaranya terdengar sinis dan sedikit mengintimidasi. Vic? Kau di sini juga? tanyaku heran. Kau mengenalnya? tanya Lexy padaku. Dia adik sepupu Donghae Dia mendengus kemudian berkata Kalian berdua sama saja! Apa maksudmu? tanyaku tidak mengerti. Bukannya menjawab dia malah pergi begitu saja dari hadapan kami. Dia memang seperti itu. kata Lexy kemudian. Pada semua orang? Tidak. Hanya denganku saja. Aku juga tidak tahu kenapa. Tapi kenapa dia bertingkah seperti itu juga padamu? Lexymenutup buku yang telah selesai di-review-nya. Sahabatnya adalah bekas pacar Donghae. Sepertinya dia belum sepenuhnya menerima kehadiranku aku mengangkat bahu. Kau yakin akan tinggal satu atap dengannya juga? Kenapa tidak?
Donghae-shi, coba kau lihat ini aku mengangsurkan beberapa artikel terkait inseminasi. Dia mengalihkan pekerjaannya sejenak. Aku sengaja datang ke kantornya untuk memberitahunya tentang teknik inseminasi. Lalu kenapa? dia menatapku, setengah menengadah. Aku memundurkan kursi, kemudian duduk berhadapan dengannya. Kita bisa mencoba ini. Bayi tabung terlalu beresiko. Nenekmu tinggal bersama kita, bagaimana kalau dia bertanya kenapa aku harus bolak-balik ke rumah sakit? Tidak mungkin kita memberitahu ini kan? Kau sudah tidak perawan ya? tanyanya heran. Apa? mataku terbelalak karena tidak mengerti apa maksud pertanyaannya barusan.
Donghae-shi, coba kau lihat ini aku mengangsurkan beberapa artikel terkait inseminasi. Dia mengalihkan pekerjaannya sejenak. Aku sengaja datang ke kantornya untuk memberitahunya tentang teknik inseminasi ini. Lalu kenapa? dia menatapku, setengah menengadah. Aku memundurkan kursi, kemudian duduk berhadapan dengannya. Kita bisa mencoba ini. Bayi tabung terlalu beresiko. Nenekmu tinggal bersama kita, bagaimana kalau dia bertanya kenapa aku harus bolak- balik ke rumah sakit? Tidak mungkin kita memberitahu ini kan? Kau sudah tidak perawan ya? tanyanya heran. Apa? mataku terbelalak karena tidak mengerti apa maksud pertanyaannya barusan. Dia memandangku dengan tatapan yang sedikit meremehkan Apa kau sudah tidak perawan? Tanpa pikir panjang aku langsung meraih gelas yang masih berisi penuh dengan air yang bertengger di atas meja kemudian membuka tutupnya dan menyiramkan seluruh isinya ke wajah Donghae. Dia menanyakan keperawanan, apa maksudnya? Sedetik pun tidak pernah terlintas di otakku dia akan menanyakan hal yang tabu itu. APA YANG KAU LAKUKAN?? Sebentar lagi aku harus rapat!!! teriaknya murka mendapati anggota badan bagian atas beserta kemeja dan jasnya kuyup. Dia mengumpat-umpat sambil membersihkan dirinya dengan tissue. Demi Tuhan, kau menghancurkan kontrak yang baru saja ku tandatangani? dia memandangku kesal setelah melihat sekilas ke arah map yang terbuka dihadapannya. Di atasnya sudah dipenuhi dengan percikan-percikan air mineral yang aku siramkan ke wajahnya. Beberapa bagian luntur, terutama pada tinta di atas materainya. Kau menanyakan virginitas? Apa maksudmu? Kau tahu itu hal yang sensitif bagi seorang wanita??? tanyaku tak kalah geram. Dia memandangku dengan kilatan matanya yang cukup tajam. Untuk beberapa detik dia tidak menjawabku. Dia mengabaikanku dan memilih menuju salah satu sisi dari ruangan yang cukup luas. Dia membuka pintu lemari beraksen Eropa dengan cara mengeser. Aku melihat ada beberapa pasang setelan jas menggantung di sana. Aku mengabaikan kata prepare dengan semua jas itu. Dia mengambil salah satunya yang berwarna abu-abu dan warnanya tidak jauh beda dengan yang ia kenakan sekarang. Tanpa canggung dia membuka atasannya, mulai dari Jas lalu dasi dan barulah yang terakhir kemeja. Kalau bisa kututup mataku, aku tidak akan melakukannya sedetikpun. Aku tidak bisa mengabaikan kulit yang selama ini disembunyikan di balik semua kainnya begitu saja. Dia berjalan mendekatiku sambil mengancingkan kemejanya, bukan untuk mengatakan apapun tapi untuk meraih gagang telephone. Dia masih menatapku tajam. Clara, tolong siapkan ulang surat kontrak dari PHP Enterprise. Lima menit, aku tunggu kemudian dengan cepat dia menutup sambungan lalu beranjak dari tempat itu dengan melirikku tajam lalu mengambil dasinya. Jawab aku! paksaku di waktu yang tidak tepat. Aku hanya bertanya apakah kau sudah tidak perawan. Kau tinggal jawab, iya atau tidak? Bukan menyemburku dengan gelas yang masih terisi penuh! Stupid! bentaknya kemudian menjejalkan kemejanya dengan kasar setelah memasang dasinya dengan benar. Lalu kenapa kau bertanya seperti itu??? Apa itu sopan, TUAN LEE? Seberapa jauh kau tahu inseminasi? tanyanya menantangku. Dia meraih jas kemudian berjalan mendekatiku. Ini teknik memasukkan sel-sel sperma langsung pada rongga rahim. Kataku datar namun sarat dengan rasa heran. Apa hubungannya keperawanan dengan memasukkan sel-sel sperma itu langsung ke rongga rahim? Apa selaput dara tidak mengganggu? Kalau kau dia sedikit berdeham. Katakanlah kau sudah melakukan itu dengan pacarmu dulu, aku tidak keberatan kau inseminasi. lanjutnya. Aku tidak pernah melakukan apa-apa, Donghae-sshi!!! Kenapa kau tidak sopan dengan bertanya seperti itu? tanganku mengepal kuat, siap melayangkannya ke benda apapun yang ada di dekatku. Hei, umurmu berapa? Kau bukan anak di bawah umur lagi? Itu bukan pertanyaan aneh untuk ukuran dewasa. Kau tidak perlu marah. Sekarang pikirkan, bagaimana sel-sel sperma itu melewati rongga rahim jika selaput daramu belum koyak? Donghae memandangku dengan tatapan meremehkan. Dia menghindari pandanganku lagi kemudian meraih berkas yang telah basah lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat. Aku sedikit kaget dengan ucapannya itu. Bukan bermaksud menghakiminya lagi, tapi malah rasa bersalah yang menelusup ke dalam pikiranku. Aku sudah berfikir yang aneh-aneh tentang dia tanpa mengecek lebih jauh tentang inseminasi. Konfrontasi kami berakhir ketika seorang wanita yang aku pikir tidak sopan karena menerobos masuk ke ruangan ini tanpa permisi. Apakah dia wanita yang disuruh Donghae membawa surat kontrak barunya. Yang benar saja? Melihat dandanannya tidak bisa dipungkiri kalau wanita ini salah satu yang sangat mengorientasikan dirinya terhadap brand. Dari atas hingga bawah, walaupun aku bukan pengamat mode tapi aku tahu dia memakai merk-merk mahal dan berkelas. Hak sepatunya yang runcing itu mengetuk- ketuk lantai sempat mencuri perhatianku untuk beberapa detik. Pakaiannya yang demi Tuhan sangat tidak pada tempatnya ini membuatku menyimpulkan satu hal, yaitu dia salah masuk catwalk. Katakan apa maksud dari semua ini? tatapan matanya garang sambil melempar kertas yang ada di tangannya tepat mengenai dada bidang Donghae. Donghae terlihat cukup shock dengan kedatangan wanita ini. Aku menengok kertas itu sekilas dan menyadari bahwa aku sangat mengenalinya dari warna dan pita sebagai penghias bagian muka. Itu undangan pernikahan kami. Aku memperhatikan wajah gadis itu. Matanya mulai berkaca dan aku yakin sebentar lagi air yang ada di dalamnya segera tumpah. Apakah dia Jess, aku bisa menjelaskan ini Donghae yang tanpa pikir panjang langsung mendekati wanita itu. Dia meraih lengannya. Lepaskan! Jangan menyentuhku! dia menghempaskan tangan itu. Tapi apakah Donghae menyerah begitu saja? Tidak. Dia tetap mencoba memberikan sentuhan fisik pada wanita itu. Aku akan menjelaskannya. Tenangkan dirimu, Jess Donghae bersikukuh. Benarkah dia Jessica? Bekas pacar Donghae? Kalau aku bisa menutup mata dan telingaku akan aku lakukan sekarang ini. Aku tidak ingin melihat pemandangan ini terlebih lagi mendengarnya. Aku seperti sebuah tensimeter yang diletakkan di meja dapur. Tidak pada tempatnya. Seharusnya aku tidak berada di sini dari awal. Kau membohongiku, Hae-sshi! Kau membohongiku! Kau akan menikah Kau menyakitiku. Kau mengingkari janjimu Jessica menggeleng keras. Airmata yang deras telah mengalir menyurusi pipi tirusnya. Aku bisa menjelaskannya, Jess. Dengarkan aku lagi-lagi Donghae mencoba meraih lengan wanita itu. Jessica menggeleng dengan meluapkan sesenggukannya Tidak ada yang perlu dijelaskan. Semuanya sudah jelas, Hae-sshi Tenanglah Lepas! Jessica terus meronta dan mengelak. Donghae merengkuh tubuh Jessica dengan susah payah agar masuk ke dalam pelukannya. Kedua tangan Jessica menahan dada Donghae agar tidak lebih mendekat barang seinci pun. Tapi gagal, Donghae lebih kuat dan dia berhasil memeluk wanita itu. Kau jahat, Lee Donghae! Kau brengsek! Kau munafik! Jessica mengumpat di pelukannya. Melihat melodrama di hadapanku ini, rasanya jantungku seperti ditusuk duri kecil yang sangat runcing. Walaupun kecil tapi duri tetaplah duri yang dapat menyakiti. Rasanya detak jantungku menjadi tak terkontrol akibat duri itu dan darah yang seharusnya dipompa oleh jantung sebagaimana mestinya serasa naik seluruhnya ke otakku. Apa ini? Donghae memeluk wanita itu di depan mata kepalaku sendiri? Hyosun-ah. Bisakah kau meninggalkan kami? tanya Donghae tanpa menoleh ke arahku. Tapi Please pintanya antara sebuah ketegasan dan permohonan. Dia masih melindungi wanita di pelukannya itu dengan posesif. Itu memang hanya sebuah pertanyaan yang seharusnya dengan mudah aku jawab dengan kata iya atau tidak. Tapi yang tertangkap di telingaku, pertanyaan itu adalah sebuah pengusiran secara halus agar aku menyingkir dari semua ini. Oke aku langsung meraih tasku lalu keluar tanpa basa-basi lagi. Dadaku serasa bergemuruh. Seperti ada badai yang mengoyak-ngoyak setiap ruang di dalamnya tanpa menghiraukan sebuah ruang yang sedang butuh ketenangan. Dan tanpa sadar, setetes airmata keluar dari mata kananku. Sung Hyosun, apa yang kau lakukan? Kau mau membuat dunia menertawaimu karena airmata yang jatuh tanpa alasan yang kau tidak ketahui itu. Yang benar saja, Hyosun-ah! Aku mengabaikan pikiran-pikiran konyolku lalu mengusap yang telah menetes dengan kasar. Kenapa wanita itu harus datang sekarang? Seminggu menjelang pernikahan Setelah memikirkan ini dengan matang, akhirnya aku memberanikan diri berkunjung ke rumah Lexy untuk mengetahui detil tentang inseminasi yang pernah memicu konflik antara aku dan Donghae. Well, setelah kejadian di kantornya seminggu yang lalu, praktis dia tidak menghubungiku sama sekali. Bahkan saat fitting baju pengantin dia memilih datang ke butik terlebih dulu dan kembali ke kantornya sebelum aku mencapai butik yang sama. Dia terkesan menghindariku. Apa dia harus semarah itu padaku? Atau karena Jessica telah kembali? Kenapa tiba-tiba kau bertingkah sok ilmiah, Hyosun-ah? Ini bukan bidangmu. Kenapa kau sangat tertarik dengan inseminasi? tanyanya terheran. Seorang temanku ingin mencoba inseminasi setelah 2 tahun menikah dan tidak mendapat anak. Aku butuh referensi untuknya kataku berbohong. Dia menatapku penuh tanya Sungguh? Aku menjawabnya dengan sebuah anggukan. Apa pengaruh keperawanan dengan inseminasi? tanyaku ragu tapi walau bagaimanapun aku harus tetap menanyakan ini. Maksudmu? dahinya berkerut. Maksudku, apa selaput dara wanita bisa menghambat proses inseminasi? Memangnya dia masih perawan? Aku mengangkat bahu, berlagak tidak mengerti. Orang itu bertanya pada orang yang salah. Dia menanyakan bagaimana cara membuat kue pada seorang montir. Seharusnya dia pergi pada seorang koki Lexy mendesah sambil menggelengkan kepalanya sejenak setelah berkata dengan cukup retoris. Yeah, tapi seorang montir yang pintar akan menemui si koki untuk mengetahui jawabannya walaupun hal itu tidak ada kaitannya dengan oli dan besi-besi aku tersenyum bangga padanya. Kau pintar sekali dia tertawa kecil. Jadi, katakan. Apa selaput dara itu mempengaruhi proses inseminasi? Kalau dibilang menghambat Bagaimana ya? dia tampak berfikir, mencari jawaban yang tepat sebelum ia tuangkan ke dalam kuliahnya padaku. Perawan atau tidak, itu bukan masalah. Walaupun selaput dara wanita itu masih utuh, sel-sel sperma masih bisa merembes melewatinya dan berhasil masuk ke rongga rahim. Lexy bangkit dari duduknya. Dia meraih beberapa kertas hasil print out yang telah disatukan dengan sebuah penjepit kertas. Kebetulan aku sedang meneliti ini dia menyerahkan kertas tadi. Isinya adalah artikel-artikel yang diperolehnya dari internet. Banyak pengakuan dari orang-orang yang berhasil hamil melalui inseminasi. Entah itu memakai donor sperma atau sperma pasangan mereka masing-masing. Tapi katanya terputus saat aku membaca setiap kata yang ada di artikel pertama. Aku mendongak. Begini logikanya, anggap saja kau sedang memasukkan air mineral ke dalam botol, tapi di atas botol itu ada semacam saringan yang lumayan rapat. Apa yang akan terjadi? Aku mengimajinasikan pertanyaannya dan tidak butuh waktu yang banyak untuk menangkap maksudnya. Tidak lancar dan membutuhkan waktu yang lebih lama kataku singkat. Nah! Itu maksudku. Sperma akan tetap masuk tapi tidak selancar pada miss. V yang sudah pernah dimasuki oleh itu dan selaput daranya telah koyak. Lagi pula untuk apa sih memelihara keperawanan kalau sudah menikah? Toh, pada akhirnya dia akan melahirkan juga. Oke, kalau proses persalinan bisa dilakukan secara sesar. Yang aku heran, apa orang-orang ini tidak melakukannya secara alami dengan pasangan masing-masing? Semakin hari dunia ini semakin aneh saja dia menggumam dengan nada yang cukup mencemooh. Apa bedanya denganku? Aku juga orang yang masih perawan tapi ingin melakukan teknik ini. Aku orang aneh yang terpaksa. Apa keuntungan dari inseminasi? tanyaku lagi. Dia menghela nafasnya Pasien bisa memilih jenis kelamin bayinya. Bisa perempuan, bisa laki-laki dengan mendominasikan salah satu kromosom antara kromosom X dan kromosom Y saat pencucian sperma. Benarkah? aku terhenyak, sedikit tidak percaya. Iya. Lebih baik temanmu langsung menemui dokter yang lebih ahli. Aku masih mahasiwa, belum banyak yang aku ketahui. Sepertinya penjelasan ini sudah cukup untuknya aku berkata sedikit ragu. KINKEY HOSPITAL biasa menangani teknik ini. Coba kau suruh dia ke sana Oke, dia pasti senang mendengar ini Lexy menimang-nimang majalah yang ada di tangannya. Membolak-balikkan setiap lembarnya dengan khusyuk. Sementara itu, aku memilih membaca isi artikel-artikel yang kini ada di tanganku. Kau sudah fitting baju pengantin? tanyanya mengalihkan perhatianku dari artikel. He hem jawabku dengan gumaman singkat. Apa dia tampan saat mencoba baju pengantinnya? Aku tidak tahu. Dia pergi dari butik lebih awal karena harus menghadiri rapat penting Ooh Lalu kau? Bagaimana gaun pengantinmu? Aku menutup artikel itu kemudian menyesap teh hangat yang sudah ditawarkan Lexy saat aku datang. Kau lihat saja nanti. Yang jelas jangan bosan untuk memegangi ekornya aku tersenyum kecil membayangkan gaun pengantin yang pernah ku coba seminggu yang lalu. Sepanjang apa? Lihat nanti saja. Oke, sepertinya aku harus segera memberitahukan ini pada temanku. Boleh aku membawanya? aku mengangkat artikel-artikel itu ke udara. Tidak masalah. Aku mempunyai salinannya. Aku bisa mencetaknya lagi atau membacanya langsung di depan PC Setelah berkunjung dari kediaman Lexy, aku memutuskan untuk menemui Donghae ke kantornya. Aku akan memberitahunya bahwa inseminasi bisa dilakukan oleh wanita manapun sekalipun dia masih perawan. Sekaligus meminta maaf atas kejadian minggu lalu. Kejadian saat aku dengan frontal menyiramkan air minum kepadanya. Entah kenapa hari ini perasaanku tidak seperti biasa. Aku merasa ada hawa yang aneh saat melangkahkan setiap tapak kakiku di atas lantai marmer Lee Corporate. Apa ini hawa kekesalan Donghae yang masih tersisa? Beberapa kali hatiku ingin melangkahkan kakiku menjauhi perusahaan multinasional ini. Tapi pikiranku yang sangat egois lebih enggan untuk menghentikan langkah maju. Ada sesuatu yang ingin ku lihat sekarang ini. Ah, bukan sesuatu tapi tepatnya adalah seseorang. Seseorang yang membuatku merasa serba salah kurun waktu seminggu terakhir ini. Oh, nona Kim. Anda mau menemui tuan Lee? sapa sekretarisnya ramah saat melihatku datang. Iya. Apa dia ada? Anda sudah membuat janji dengan tuan Lee sebelumnya? Sebenarnya belum, aku hanya ingin memberinya semacam kejutan kecil. Bolehkah aku masuk? Sepertinya tuan Lee sedang ada tamu. Anda mau menunggu? raut wajah wanita bernama Clara Han ini sedikit kecewa. Tidak masalah. Aku akan menunggu di depan pintunya. Apa aku perlu menyiapkan kursi untuk anda? Ah, tidak perlu. Kalau aku harus menunggu lebih dari satu jam, baru aku akan meminta bantuanmu Aku langsung melenggang menuju ruangan Donghae. Jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar lima meter dari meja sekretarisnya. Aku menatap pintu kayu ruangan itu. Pintunya tidak bisa dibilang menutup dengan sempurna. Masih ada celah yang tersisa karena kerapatan pintu yang tidak tepat. Alih-alih ingin menutupnya, aku malah menangkap pemandangan yang tak kusangka-sangka dari celah kecil itu. Aku kesulitan menelan ludah saat melihat ini. Terasa keringat dingin mulai mengucur menuruni tengkukku. Lidahku kelu sementara artikel yang ada di tanganku terjatuh ke lantai begitu saja. Donghae sedang berciuman dengan wanita berambut pendek yang aku temui minggu lalu di kantor yang sama. Donghae benar-benar mencium wanita bernama Jessica itu. Aku bisa melihat bagaimana dia membalas setiap kecupan-kecupan yang diberikannya. Ini bukan semacam ciuman satu arah yang sangat pasif. Dadaku sesak. Aku urung menutup pintu itu dan memilih memungut artikel yang terlanjur jatuh lalu hengkang dari titik dimana aku berdiri terakhir kali. Aku sempat mendengar panggilan dari Clara, tapi aku mengabaikannya dengan mempercepat langkahku. Aku tidak bisa menahan airmata yang mulai mengucur tetes demi tetes. Sakit. Bahkan artikel yang lusuh karena ku remas dan sudah terlanjur masuk tempat sampah tak mengimpaskan rasa sakit yang ku rasa. Aku sulit bernafas, rasanya ada yang menusuk-nusuk paru-paruku dengan jarum yang jumlahnya ribuan. Rasa ini lebih sakit ketimbang saat aku melihatnya memeluk wanita itu di hadapanku tempo lalu. Aku memandang sebuah katedral yang berdiri kokoh di hadapanku. Kakiku lelah setelah berjalan sejauh ratusan meter dari kantor Donghae. Walaupun begitu, lelahnya kakiku tidak tersinkronisasi dengan airmataku yang keluar tanpa henti. Kenapa aku harus seperti ini? Kenapa aku harus menangis? Aku tidak punya alasan untuk itu. Ku beranikan diri untuk melangkah masuk ke tempat itu. Barisan bangku kosong telah menyambutku dari kejauhan. Aku memilih bangku panjang yang paling belakang tanpa pikir ulang dan menangis lagi di rumah Tuhan. Bahkan kali ini lebih keras dan tanpa malu-malu. Aku menutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Kenapa kau menangis? tanya sebuah suara yang cukup asing di telingaku beberapa saat setelah aku memasuki tempat suci ini. Aku mendongak dan mendapati seorang pastor dengan pakaian khasnya menatapku penuh tanya. Airmataku masih berleleran. Bolehkah aku meminjam salib dan injilmu? kataku kemudian saat melihat semacam buku tebal di tangan kanannya yang aku yakini adalah Al Kitab. Kalau itu bisa membuatmu lebih baik pastor itu langsung memberikan injilnya dilanjutkan dengan meloloskan salip yang terkalung di lehernya. Terimakasih aku mengambil kedua benda suci itu. Kau butuh teman? Aku menggeleng lemah. Baiklah. Aku akan kembali jika kau membutuhkanku pastor itu menatapku sejenak lalu mengeloyor, menghilang di balik salah satu pintu gereja. Aku langsung memeluk al kitab dan salib itu ke dadaku. Aku pikir dengan kedua benda ini aku akan merasa lebih baik, tapi hal itu malah mengantarkanku ke tangisan yang berkali-kali lipat lebih dalam dari sebelumnya. Ampuni aku ~NdretNdretNdret~ Aku mengabaikan ponsel yang dari tadi berdering tanpa henti selama beberapa kali. Itu panggilan masuk dari Kyu oppa. Beberapa menit yang lalu aku mengirimi pesan singkat bahwa aku merasa lelah. Setelah deringannya berhenti dalam beberapa menit, barulah aku menghubunginya. Hallo, Hyosun-ah katanya cepat. Oppa aku terisak tanpa bisa ku kontrol. Aku bermaksud mengatakan sesuatu, tapi airmata ini seolah menghalangiku dan memicu lidahku menjadi kelu. Tenggorokanku rasanya diikat oleh semacam tali hingga menghambat pita suaraku. Hyosun-ah! Kau dimana? Kau kenapa? Please, jangan membuatku cemas aku merasakan kekhawatiran yang teramat dari suaranya. Oppa, aku di suaraku tercekat lagi. Kau dimana sekarang? tanyanya dengan suara yang lebih keras. Aku menelan ludahku dengan susah payah Katedral Myeongdong Oppa akan segera ke sana. Jangan kemana-mana! Aku menjatuhkan ponselku ke lantai tanpa peduli setelah putusnya sambungan. Aku tidak tahu apakah Kyu oppa tahu tempat ini atau tidak. Aku tidak memberikan rinciannya. Seharusnya dia tahu, ini adalah tempat suci untuk pemberkatan pernikahanku nanti. Airmata ini? Konyol sekali, aku menangisi perbuatan Donghae? Apa yang salah pada otakku? Tuhan, ampuni aku. Ampuni aku. Hyosun-ah! setelah hampir satu jam telephone itu terputus, akhirnya Kyu oppa berhasil menemukanku. Aku menoleh. Kali ini aku telah menampilkan wajah tanpa airmata. Aku telah mengusapnya beberapa menit yang lalu dan mencoba mengontrol nafasku agar normal. Ada apa? Apa yang terjadi? dia langsung duduk di bangku panjang yang sama denganku. Dia tidak bisa menutupi kepanikan yang terlukis jelas di wajahnya. Bersumpahlah di atas Al kitab ini, demi Tuhan, demi aku dan salib ini bahwa kau tidak akan mengintimidasi siapapun saat aku membuat pengakuan kataku retoris dengan menyodorkan Al Kitab dan salib itu. Hyosun-ah! Apa-apaan ini? tanyanya bingung. Berjanjilah, oppa!!! teriakku dan membuat tempat suci ini menggema sesaat. Walaupun memaksa, aku malah mengeluarkan airmataku lagi. Hyosun-ah! Jangan membuatku bingung! Sebenarnya ada apa ini? Jangan main-main dengan Al kitab dan Tuhan! bentaknya keras namun tidak bisa menutupi kecemasan yang terpancar dari sinar-sinar matanya. Karena aku tidak main-main maka bersumpahlah, oppa! Atau aku tidak akan mengatakan apa-apa ancamku. Hyosun-ah Please Nada suaraku melemah terkesan membuat sebuah rengakan padanya. Akhirnya dengan ragu dia meletakkan tangan kanannya di atas Injil dan salib Aku bersumpah Sekarang katakan, sebenarnya ada apa? Aku mencoba mengatur nafasku sebelum membuka suara. Aku mengusap airmata yang telah menetes pelan. Aku yakin kau akan kecewa dengan apa yang aku katakan, oppa. Aku mohon maafkan aku airmata yang tadinya aku pikir bisa kutahan ternyata runtuh dengan sendirinya. Katakan Kau kenapa? Aku berjanji tidak akan marah dia mengusap airmata yang mengalir di pipi dengan hati-hati, takut melukaiku lebih dalam lagi. Aku kataku dengan nada serak dan tercekak. Aku sedikit menunduk. Aku menikah dengan Donghae Karena aku mengangkat kepalaku dan menatapnya ragu. Karena apa, Hyosun-ah? Bisakah kau tidak bertele-tele seperti ini, please? dia meraih wajahku, menjaga pandanganku agar tidak kemana-mana lagi. Karena Aku ingin memberinya seorang anak kataku akhirnya dan di saat yang bersamaan airmataku mengucur lagi. Memberinya anak? Apa maksudmu? Aku dan Donghae membuat sebuah perjanjian. Jika aku memberikan seorang anak padanya Maka dia akan mencarikan kakakku dan melegalkan aku sebagai warga negara Perancis Kyu oppa melepaskan tangannya dari wajahku dan menggeleng lemah dan mengatakan kata tidak mungkin beberapa kali. Dia diam, sibuk dengan pikirannya sendiri tanpa sudi menatapku lagi. Kau sudah berjanji tidak akan marah, oppa kataku memelas. Tapi aku tidak berjanji untuk tidak kecewa dia masih enggan menatapku. Aku tidak habis fikir kau melakukan ini, Hyosun-ah. Kau terpelajar dengan didikan yang tidak kurang dari keluarga Cho. Tapi kenapa kau keluarkan sisi bodohmu untuk hal yang seperti ini? Kau kemanakan otakmu? Kenapa kau mau bermain-main dengan sebuah pernikahan? dia menatapku. Aku bisa melihat ada genangan airmata di sudut-sudut matanya. Dia sangat kecewa. Belum pernah dia mengatakan hal yang blak-blakan seperti ini dengan mengeluarkan kata bodoh. Aku ingin kakakku, oppa. Dan sebagai gantinya Lalu kau anggap aku ini apa??!!! Apa selama ini kau tidak menganggapku sebagai kakakmu? Kau mencari kakakmu dengan mengorbankan masa depanmu??? Hentikan semua ini!! Aku akan mencari Kim Young Woon untukmu!! bentaknya tak terkendali karena merasa tidak ku hargai. Aku tidak pernah melihatnya semarah ini. Oppa Kau dia menatapku antara kesal dan tidak percaya. Melihat airmataku yang terus turun, Kyu oppa tidak tahan untuk tidak memelukku. Dia mencoba memberiku ketenangan dengan caranya ini. Aku tidak tahan melihatmu menangis, Hyosun-ah. Please, berhentilah. Aku tidak pernah melihatmu seperti ini sebelumnyadia mengusap kepalaku. Wanita itu Wanita itu kembali aku menyembunyikan wajahku di dadanya dan melepaskan airmata ini tanpa henti. Menangislah sepuasmu. Baru kau bisa berbicara Kyu oppa mendekapku semakin erat. Dari dulu aku tidak pernah menangis seperti ini di hadapannya. Aku memilih menumpahkan kesedihan di atas bantal sampai basah. Bukan di hadapan orang lain. Tidak peduli seberapa bengkak mataku akibat tangisan demi tangisan ini, yang jelas aku ingin menghabiskan seluruh persediaan airmataku. Kau sangat mencintainya, Hyosun-ah katanya setelah airmataku mengering dan menyisakkan isakan demi isakan. Aku langsung melepaskan pelukannya dan menatap heran Mencintainya? Siapa? Donghae? Awalnya aku yakin kau tidak mencintainya tapi seminggu belakangan ini kau bertransformasi menjadi pribadi yang lain dari biasanya. Kau gelisah. Kau merindukannya? Aku tidak Akuilah Kenapa kau menangis seperti ini? tanyanya retoris. Oppa, aku Apa benar aku mulai mencintainya, oppa? tanyaku setengah tak percaya padanya dan pada diriku sendiri. Dia mengangguk kecil dengan memamerkan wajah teduhnya. Sekarang jawab aku, apa yang membuatmu menangis seperti ini? Aku melihatnya bersama Jessica di kantor. Aku menunduk lesu. Pacarnya? Aku tidak tahu apakah mereka berpacaran lagi atau tidak. Mereka putus karena Jessica sekolah model di New York. Tapi sekarang dia terlihat sangat dekat bukan seperti bekas pacar pada umumnya Berikan aku detil tentang semua ini Aku menelan ludahku dengan susah payah, kemudian membuka suara dan tatapanku masih ke bawah Donghae mengajakku menikah dan memintaku melahirkan seorang anak. Semuanya berhubungan dengan surat warisan kakeknya. Sampai batas waktu yang ditentukan jika aku tidak bisa memberikannya keturunan, 60% sahamnya akan dilelang bebas di bursa efek dan rapat umum pemegang saham. Dan itu artinya, dia tidak bisa memegang perusahaannya sendiri karena seluruh sahamnya tidak mencapai 50%+1. Sejujurnya aku tidak terlalu mengerti dengan surat warisan keluarga mereka. Dan sebagai gantinya dia akan mencarikan kakakku dan membantu proses kewarganegaraanku ke Perancis Kau tahu arti sebuah pernikahan? Aku mengangguk Sesuatu yang sakral dan tak terceraikan Lalu kenapa kau lakukan ini? Aku ingin bertemu kakakku dan Kau yakin akan meninggalkan tanah Korea? potongnya dengan pertanyaan yang mendekatati sebuah cemoohan. Entahlah, oppa. Sekarang yang ada di pikiranku hanyalah menghentikan semua ini Lama kami terdiam dengan suasana hening seperti ini. Aku merenungi apa yang sejauh ini aku lakukan bersama Donghae. Aku menatap lilin-lilin yang bercahaya indah di hadapanku, cahaya temaramnya mampu membuatku sedikit merasa damai. Di sana, tepat di depan lilin-lilin itulah seharusnya aku dan Donghae mengikat janji suci enam hari ke depan terhitung dari sekarang. Apa yang kau rasakan jika berada dekat dengannya? tanya Kyu oppa tiba-tiba. Aku menoleh dan dia menoleh. Oppa Katakan semuanya. Apapun itu dia mengelus puncak kepalaku seolah menyuruhku menuruti apa yang dia perintahkan. Aku menerawang, sejenak memandangi langit-langit yang menjulang tinggi dengan arsitektur bergaya roma. Terlukis pula wajah malaikat-malaikat kecil bersayap yang memadukan senyumnya satu sama lain. Dia sangat menyebalkan dan membuatku muak. Itulah perasaan pertama yang aku rasakan di hari pertama aku bertemu dengannya Kyu oppa mendengus, merasa lucu dengan ucapanku Lalu? Tapi aku tetap datang menemuinya lagi. Ada semacam semacam magnet yang menarikku untuk terus datang. Kau ingat Max Changmin yang pernah aku ceritakan? Dia mengangguk pelan.Mantan pacarmu Saat itu aku masih berpacaran dengannya tapi aku masih saja datang menemui Donghae tanpa dia tahu. Bahkan sampai sekarang dia tidak pernah tahu tentang aku dan Donghae. Sejujurnya, aku tidak terlalu takut dengan ancamannya yang akan melaporkanku ke petugas imigrasi kota Paris. Entahlah Ada sesuatu yang membuatku selalu datang padanya walaupun hampir di setiap pertemuan kami selalu ada debat kusir. Saling beradu argumen, tanpa ada yang mau mengalah. Aku tidak serta merta begitu saja percaya dengan seseorang, oppa aku memandangnya sejenak, meminta persetujuan dari statement-ku yang terakhir. Aku tahu itu. Entah kenapa dengan mudah dia membuatku percaya walaupun aku tidak menunjukkannya dengan dramatis. Ini sesuatu yang hanya bisa ku rasakan Tapi, aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Katakan, seberapa besar kau ingin menikah dengannya, Hyosun-ah Aku mendesah Aku juga tidak tahu, oppa. Aku tidak mengerti. Aku ingin sekali mundur setelah Jessica datang. Terlebih lagi hari ini Saat aku melihat mereka Aku menutup mataku sejenak, kemudian membukanya sepelan mungkin Saat melihat mereka berdua berciuman. Suasana hening sejenak. Aku takut terlalu jauh. Aku tidak mau mendekati Donghae lagi, oppa Kenapa? Aku juga tidak tahu aku menundukkan kepalaku lagi. Dengar Kyu oppa mengangkat wajahku hingga menatapnya. Dari awal kau memang sudah menyukainya, Hyosun-ah. Tapi kau tidak paham dengan apa yang kau rasakan di hatimu. Kau menafikkannya. Kau merasa semuanya masih abu-abu. Kau melakukan semua ini bukan semata-mata ingin bertemu dengan kakakmu atau karena ingin mengubah kewarganegaraanmu, tapi kau juga menginginkannya. Menginginkan Donghae Oppa, aku Sebanyak apapun kau menyangkal, hatimu tidak bisa berbohong, Hyosun-ah kyu oppa menutup bibir kecilku dengan salah satu telunjuknya. Sudah aku bilang aku ingin kau bahagia, Hyosun-ah Dia berfikir sejenak kemudian melanjutkan Dalam setiap kehidupan selalu ada satu warna tunggal, sebagaimana terdapat dalam palet seorang pelukis yang memberikan arti bagi kehidupan dan seni, yaitu cinta Apa kau tidak mau meraihnya? Tapi ia tidak pernah melihatku kataku ragu. Wajahku lagi-lagi kutundukkan. Serasa air bening mengalir pelan di pipiku. Jangan menunduk Kyu oppa meraih daguku dan menyaksikan mataku yang kembali berkaca. Tegakkan kepalamu Jangan berhenti melihatnya sampai dia menoleh padamu dan tidak pernah bisa memalingkan wajahnya lagi darimu. Mengerti? Lihat altar itu Kyu oppa menunjuk ke meja panjang yang menjadi center of view tempat suci ini yang berada di hadapan kami. Aku yang akan mengantarkanmu langsung menuju tempat itu saat kau menikah jika kau berani memutuskan ini. Anggap saja ini adalah badai kencang yang harus kau lalui jika kau mengatakan iya. Ketika badai itu terlalu kuat, berpeganglah Kyu oppa meletakkan injil di atas tanganku yang terbuka dengan mantap. Jika badai itu semakin kuat, kau harus berpengan lagi Lagi dan lagi sampai kau mencapai titik tujuanmu dia meletakkan salib itu di atas Al Kitab yang berada di tanganku. Tapi, oppa Dia tidak Tidak mencintaimu? potongnya cepat. Aku mengangguk lesu. Jika sampai detik kau akan menikah dia tidak menghubungimu Batalkan semua ini tukasnya tajam. Tapi jika dia menghubungimu dengan alasan apapun, ambil ini sebagai sebuah keyakinan bahwa dia akan mencintaimu sebagaimana kau mencintainya. Bersumpahlah di atas Al Kitab kau akan melakukan ini untukku *** Authors POV Pria itu berjalan ke sana kemari dari sisi kamarnya ke sisi yang lain. Pikirannya kacau. Sudah hampir pukul setengah sepuluh, tapi ia belum juga mengenakan jas putih yang tergantung itu sebagaimana mestinya. Dia tidak menghiraukan waktu yang kian menghunus. Seluruh kain yang ia kenakan hari ini didominasi dengan warna putih, mulai dari kemeja sampai celana bahannya tapi tidak untuk dasinya yang berwarna keemasan. Dia memilih pantofel berwarna senada juga agar semuanya tampak match. Segala sesuatu yang telah tertata dengan perhitungan yang cukup matang itu membuatnya tampak lebih tampan dari biasanya dengan riasan yang tidak begitu kentara. ~Ndret Ndret Ndret~ Benda elektronik yang sedari tadi teronggok di atas meja kecil begetar hebat hingga membuatnya sempat terlonjak kecil. Dia langsung berjalan dan meraih ponselnya sekilat mungkin lalu memencet tombol gagang telephone berwarna hijau. Hallo katanya cepat. Hallo, tuan Lee. Apa kabarmu? tanya suara dari seberang terdengar meledek dan lumayang nyaring. Terlalu basa-basi tukas Donghae kesal. Bagaimana perasaanmu sekarang? tanya suara dari seberang itu dengan nada yang masih sama. Menurutmu apa? Donghae menyalak galak. Donghae, kau galak sekali? lawan bicara Donghae malah terkekeh geli merasa tak terancam. Aku hampir stress masih saja kau bercanda Donghae menurunkan nada suaranya beberapa oktaf hingga terdengar seperti desahan. Kau masih belum menghubunginya? Untuk apa? tanya Donghae sedikit galak. Untuk meminta maaf, apa lagi? Kau tidak waras ya? Donghae menghempaskan badannya hingga terduduk di atas sofa di belakang tubuhnya. Kau lupa kalau kau yang salah? Aku? Donghae mendengus tak setuju dengan statement-nya itu. Siapa lagi? Dia tidak salah. Kau sendiri yang bertanya tentang keperawanannya. Itu tidak sopan sekalipun kalian sudah sama-sama dewasa hardik suara di seberangnya. Tapi Tapi apa? potong suara itu cepat. Jangan melakukan pembelaan. Reaksi wajar jika dia menyirammu dengan segelas air jika pertanyaanmu seperti itu. Kau baru bisa mengatakan dia tidak normal jika dia tidak melakukan perlawanan. Dua minggu tidak menghubunginya, itu tidak baik, Donghae. Hubungilah dia, mungkin dia menunggu telephone darimu. Mintalah maaf Lagi pula Lagi pula apa lagi? potong suara itu lagi. Lagi pula dia hanya akan menjadi istri pura-puramu? Dengar ya, Donghae. Aku peringatkan kau untuk terakhir kali. Pernikahan bukan sebuah permainan sekalipun ini terpaksa kau lakukan. Kau telah membuat arus di dasar lautan yang semakin lama semakin besar. Mungkin sekarang kau masih bisa mengendalikannya, tapi jangan sampai suatu saat nanti kau ikut terseret oleh pusaran arus yang kau buat sendiri, Donghae paparnya tegas dengan sedikit nada yang mengintimidasi. Tidak usah berlagak sastra. Apa kau menghubungiku hanya untuk memberiku kuliah sebelum menikah? Tidak. Aku hanya peduli terhadap masa depan sahabatku. Karena hanya ini yang bisa aku tawarkan Untuk sesaat suasana berubah hening tanpa argumen lagi. Kenapa kau tidak pulang? Aku kan akan menikah Ada hal yang harus ku kejar. Aku tidak ingin menyesal kali ini Wanita? Donghae menaikkan alisnya sebelah. Cantik dan baik jawab pria dari seberang itu sarkastis. Kau belum berubah rupanya Donghae menahan tawanya sejenak. Bagaimana dengan dia? Kau tahu standart-ku kan? Yeah. Kita lihat apakah istrimu lebih cantik daripada wanitaku sekarang. Dua bulan lagi aku akan kembali ke Korea Bosan di Eropa? Tidak juga. Hanya saja pulau Jeju lebih indah dari benua Eropa tanpa melihat, Donghae bisa merasakan bahwa sahabatnya itu tengah tersenyum di seberang sana. Kau mencintai wanita itu? tanya Donghae penasaran. Tantu saja. Dia yang mengobati hatiku yang pernah luka. Kenapa? Apa harus ada alasan jika aku bertanya? Kau terlalu sensitif, sedikit-sedikit marah akhir-akhir ini. Ngomong-ngomong, jam berapa pemberkatannya? Jam setengah sebelas Donghae Ada apa? Kau yakin dengan keputusanmu itu? Kenapa sih kau gemar mengulang-ulang pertanyaan yang sama? Memangnya kau tidak takut jatuh cinta padanya? Akuilah, Donghae. Nona Kim mempunyai potensi untuk menaklukanmu Kau bicara apa sih? Sahut Donghae dengan nada sinis. Aku hanya memperingatkanmu, Donghae desah suara di seberang. Aku tidak akan mencintainya! Aku punya Jessica Mulut masih bisa menipu, tapi dalam hati siapa yang tahu? Pikirkan, kau tidak pernah menghubungiku lebih dari tiga kali dalam sehari karena seorang wanita. Bahkan karena seorang Jessica pun Max!!! ~Klik~ Sambungan diputus satu arah dari suara di seberang sambungan. Donghae mengumpat pelan. Donghae tampak kesal dengan pernyataan yang diucapkan oleh sahabatnya itu. Bukan kesal, tapi cenderung semakin stress. ~Ndert Ndret Ndret~ Ponselnya bergetar lagi dan dari ringtone yang dipasangnya, hal itu menunjukkan sebuah pesan singkat masuk. From: Max Changmin Aku berharap kau tidak menyesali keputusanmu. Hubungilah dia sebelum pemberkatan. Itu akan lebih baik.
End Authors POV
Aku masih saja memandangi tubuhku di depan cermin. Menilik setiap inci gaun putih berbahan sutra murni dari atas ke bawah melalui pantulan benda datar di hadapanku sekarang. Gaun hasil rancangan rumah mode Alexander Mcqueen ini membalut tubuhku dengan sempurna. Well, mungkin kalau aku tidak menikah dengan seorang Lee Donghae, aku tidak akan mungkin memakai gaun perancang kelas dunia, Sarah Burton yang terkenal sangat mahal ini. Begitu detil dengan brokat bunga aster di bagian pinggang kemudian turun hingga ujung ekor gaun sepanjang tiga meter. Replika berbentuk bordir bunga aster yang melambangkan cinta, kerapihan dan kehalusan ini, tampak dua kali lebih kecil dari ukuran normalnya. Aku sangat menyukai bunga mungil dan manis ini. Bahkan aku sampai tak berani duduk di sofa paling lembut sekalipun, takut-takut kalau perlakuanku akan membuat kusut gaun mahalku. Aku menyibak kain penutup wajahku ke belakang dan tersembullah sebuah tiara bertabur batu kristal yang tidak begitu besar ukurannya tapi berkilau indah ketika terpantul cahaya. Aku meminta perias untuk tetap membiarkan rambutku terurai bebas karena ini akan memperkuat lekuk wajahku agar tetap bernuansa oriental. Dan riasan yang minimalis ini hanya mengubah karakter wajahku agar sedikit lebih kalem tanpa mengurangi kesan elegan. Dia belum menghubungimu? tanya Kyu oppa yang baru datang dari arah pintu. Aku menggeleng kemudian menatap jam yang menunjuk ke angka 10 kurang 5. Lima menit lagi Donghae harus berangkat dari rumahnya menuju gereja dan rombonganku menyusul lima belas menit kemudian. Batalkan saja pernikahan ini kalau dia belum menghubungimu juga. Aku yang akan bicara langsung pada keluarga mereka Kyu oppa sudah menarik-narik dasi yang terasa mencekik setelah melepas jas hitamnya. Tapi ~Ndret Ndret Ndret~ Pandangan kami langsung terpusat pada ponselku yang mengeluarkan ringtone salah satu lagu yang pernah di populerkan oleh Mariah Carrie. Aku langsung mengangkat bagian bawah gaunku kemudian berjalan menuju meja kecil untuk meraihnya. Apakah itu dari Donghae? Dahiku berkerut saat melihat barisan angka yang diawali dengan kode telephone internasional negara Perancis. Ini dari Max. Hallo sapaku ragu. Hallo. Apa kabar, Hyosun-ah? Sedikit gugup kataku asal dan dia hanya terkekeh. Itu wajar. Maaf, aku tidak bisa datang memenuhi undanganmu. Aku harus terbang ke Moscow hari ini juga Sudah ku duga. Kau menghindar? Apa kau merasa canggung untuk menghadiri pernikahanku karena kita pernah Oh, tidak. Sama sekali tidak, Hyosun-ah potongnya cepat. Hari ini aku harus menemui seseorang di sana dan ini sangat penting lanjutnya. Seseorang? Wanita? Seperti itulah Dan itu lebih penting daripada pernikahanku? bibirku mengerucut karena dia memprioritaskan seseorang yang dianggapnya sangat penting. Kalau sampai besok aku tidak menemuinya, aku tidak tahu apakah dia masih mau menerimaku atau tidak. Aku benar-benar minta maaf suaranya pelan dan hampir mirip seperti desahan yang memohon pengertian. Ohh, wanita yang istimewa rupanya. Aku mengangguk pelan dan ada sedikit rasa mencelos di hatiku. Tidak begitu dalam tapi terasa walaupun samar. Aku akan mengenalkannya saat aku pulang nanti. Bagaimana? Sesuai kriteriamu? tanyaku penasaran. Lebih dari yang ku harapkan. Kau sudah siap untuk hari ini? Pasti kau sangat cantik sekarang tanpa aku melihatnya langsung, aku tahu dia sedang tersenyum dari kejauhan. Aku tidak tahu. Mungkin pernikahan ini akan aku batalkan kataku pelan sambil melirik Kyu oppa yang sedari tadi mengawasiku. Kenapa? dia terkejut. ~Tut Tut Tut~ Terdengar suara lain di percakapan kami. Bukan suara yang menandakan putusnya sambungan karena aku masih merasakan Max di seberang sana sedang bertanya kenapa. Aku tidak tahu itu dari arah mana. Kemudian aku ambil ponsel itu dari telinga dan melihat layarnya. Lee Donghae calling Aku menatap panggilan itu tak percaya. Rasanya dadaku ikut bergemuruh seirama dengan pendaran cahaya dari layar ponselku. Max, ada panggilan masuk. Bolehkah aku kataku cepat. Oh, silahkan. Aku bisa menghubungimu lagi lain waktu Terimakasih kau sudah mau mengerti aku langsung memutus sambungan dari Max. Aku tidak langsung mengangkat panggilan itu, melainkan memperhatikannya sampai sambungan terputus sendiri. Dan aku baru sadar betapa tololnya diriku. Dua minggu tanpa komunikasi dan sekarang aku sia-siakan begitu saja panggilan ini. Dia tidak menghubungiku lagi. Oppa aku menoleh pada Kyu oppa yang sekarang tengah bermalas-malasan di atas kasurku. Aku tidak tahu sejak kapan dia sudah asyik dengan PSP-nya. Dia hanya melongok sebentar, lalu kembali menekuri benda elektronik yang sudah dianggapnya seperti dewa itu. Donghae menelephoneku Benarkah? dia langsung bangkit dari ranjang dan melempar PSP-nya ke sisi yang lain. Apa yang dia katakan? tanyanya bersemangat sambil mendekatiku. Aku menggeleng pelan Sambungannya terputus. Apa aku harus menghubunginya? Dia berfikir sejenak, kemudian melanjutkan setelah melihat jam yang tepat menunjuk ke angka 10 tepat. Tidak perlu. Aku rasa itu sudah cukup. Sekarang bersiaplah. Waktu kita tidak banyak katanya bersemangat. Dia langsung membenarkan dasi yang sempat berantakan itu dan mengambil jas dan memasangnya dengan sempurna. Aku memandangi ponselku sendiri dan memandangi kata 1 missed call itu dengan tampang paling bodoh sedunia. Dalam hati bertanya-tanya apakah yang akan dia katakan? Apakah dia akan bertanya apa aku sudah siap atau belum? Atau apa? Sorry, aku terlambat sebuah suara yang tak asing di telingaku terasa menggema di kamar yang tidak begitu besar ini. Dia mengenakan gaun putih gading bermotif golden flower mini di bagian dada dan lengan. Dipadukan dengan shoe-lift yang tidak begitu tinggi, pendamping mempelai wanita ini tampak begitu anggun dengan kesederhanaan yang ditampilkannya. Lexi Aku pikir kau tidak akan datang aku berdecak saat dia mendekatiku. Hyosun-ah. Lihat dirimu dia langsung mendekat ke arahku mengabaikan kekhawatiran yang terpeta di wajahku sekarang. Wajahnya berseri-seri, melihatku dengan balutan yang bisa dibilang baru pertama kali di lihatnya. Kau luar biasa dia merdecak kagum sambil mengarahkan badanku ke cermin. Pantulan kami berdua memang sangat indah, hanya saja aku takut mengakuinya dari awal. Kau membuatku iri dia mendesah pelan dengan tampang polos yang dibuat-buat. Aku bisa memberikan yang lebih bagus dari itu gumam Kyu oppa yang berada di belakang kami tiba-tiba. Sontak kami menoleh ke arahnya. Dia berlagak sibuk membenarkan jas yang memang sudah rapi dan berpura-pura mengarahkan pandangannya ke sisi lain kamar ini. Aku hanya tersenyum simpul, tapi Lexy mendekatinya perlahan. Kau yakin? Tapi pak walikota tidak akan mengijinkan putrinya menikah sampai dia benar- benar lulus kuliah. Lagi pula pak walikota juga tidak sembarangan menerima menantu Lexy membenarkan dasi Kyu oppa yang sedikit melenceng. Jarak mereka begitu dekat. Cho Kyuhyun bisa membuat walikota yakin. Bahkan Presiden sekalipun Kita lihat saja nanti kata Lexy sedikit meremehkan. Kau cantik sekali puji Kyu oppa. Ehm aku berpura-pura berdeham. Sepertinya aku belum memakai sepatu kataku membuyarkan mereka berdua. Sama bodohnya, mereka berdua salah tingkah dengan keberadaanku di ruangan ini. Kau mau memakai sepatu yang mana? Lexy mendekatiku lagi dengan canggung. Bisa tolong kau ambilkan yang di kardus hitam itu aku menunjuk ke arah kardus di samping lemari. Ini? dahi Lexy berkerut saat melihat isinya. Iya. Kenapa? Ini pantofel. Bukankah seharusnya kau memakai yang itu? Lexy menunjuk ke arah sepatu hak tinggi yang berada di samping meja riasku. Donghae yang memberiku ini. Aku ingin memakainya Aku memandangi sepatu tanpa hak berwarna putih itu dengan saksama. Entah kenapa aku sangat menyukainya. Apa karena ini dari Donghae? Aku juga tidak tahu. Ada butiran batu berkilau yang tidak berlebih di bagian ujungnya. Setidaknya ini tidak kontras dengan gaun yang aku kenakan sekarang. Kau yakin? Kenapa tidak? aku langsung menarik sepatu itu dan memakainya. Apa semuanya sudah siap? Kita harus berangkat sekarang Ayah berseru dari luar kamarku, memastikan segala sesuatunya telah berjalan sebagaimana mestinya.
Ini adalah langkah kakiku yang kedua di katedral umat katolik roma pertama yang didirikan di Seoul, Korea Selatan. Katedral yang didirikan pada masa pemerintahan konfusius Dinasti Joseon ini akan menjadi saksi bisu upacara pemberkatan pernikahan antara aku dan Lee Donghae. Aku menatap jam Katedral yang dibangun oleh pendeta Eugene Coste telah menunjukkan angka 10.25. Dan itu artinya waktuku hanya lima menit menuju altar. Ayo Kyu oppa mengulurkan tangan kanannya untuk membimbingku. Aku meraih tangan kakak angkatku itu tanpa ragu. Walaupun tanganku terselubung oleh kaos tangan yang hampir mencapai siku, aku bisa merasakan kulit dingin yang berasal dari telapak tangan Kyu oppa. Dia sama tegangnya denganku. Sementara Lexy yang saat di dalam mobil duduk di sampingku, merapikan ekor gaunku agar sempurna menyapu pelataran. Dan sekarang dia memegangi ujungnya. Kau siap? Kyu oppa memposisikan telapak tangannya menyentuh perut dan memberi ruang di sikunya agar tanganku bisa melingkar. Aku mengangguk pelan dan melingkarkan tangan kiriku sebagaimana mestinya. Dengarkan baik-baik. Apa yang oppamu ini katakan mewakili Kim Young Woon yang seharusnya membawamu menuju altar, ok? Aku tidak akan mengucapkannya dua kali Dia adalah evil yang bertransformasi menjadi malaikat di hari-hari menjelang pernikahanku. Dia yang biasanya usil dan menggangguku, kini menjadi pria dewasa yang akan melepas adiknya ke tangan orang lain. Inilah sisi lain dari seorang Cho Kyuhyun. Tidak peduli seberapa menyebalkannya dia, aku menganggapnya sebagai kakak terbaik sedunia setelah Kak Young Woon. Okey kataku singkat pada langkah awal kakiku di atas karpet merah sepanjang jalan menuju altar. Tataplah ke depan, lihat yang ada di hadapanmu sekarang Aku menatap ke depan dan mendapati seorang pastor yang berdiri di satu garis lurus denganku dari kejauhan. Tapi bukan itu yang membuat jantungku berdegup tak karuan dan semakin lama semakin kencang. Yang membuat detak jantungku tak senormal biasanya adalah pria ber-tuxedo putih yang kini membelakangiku. Lee Donghae. Aku menangkap sosoknya sebagai satu titik tujuan hidupku sekarang ini. Ini kali pertama aku melihatnya menggunakan busana warna putih secara menyeluruh. Dengan mengesampingkan perfective yang terbentuk dari barisan bangku, aku dapat menangkap sosoknya yang berdiri tegap dari balik kain sutra yang sekarang menghalau pandanganku ke segala arah. Kau akan memulai dunia baru. Dunia dimana yang kau lihat seharusnya hanyalah kilauan dan keindahan yang bersinar lanjutnya. Buka matanya untuk melihat dunia yang mempesona itu sampai-sampai dia tidak berani menutupnya lagi. Mungkin tidak akan dalam waktu singkat, tapi aku percaya kau bisa Aku yakin hari ini sangat luar biasa, tapi aku mengabaikan seribu pasang mata yang melihatku terheran-heran. Fokusku hanyalah pada apa yang ada di hadapanku sekarang dan yang aku dengar dari Kyu oppa. Keduanya membuatku berkonsentrasi. Kakiku berjalan dengan perlahan namun dinamis. Kejarlah cakrawala baru bersamanya. Hingga kalian sama-sama tersesat dan tidak tahu jalan kembali Oppa aku mengeratkan tanganku di lengannya dan mencengkram kuat rangkaian bunga yang ada di tangan kananku sekarang. Sebuah sudut pandang yang fantastis untuk melihat seratus ribu hal yang baru. Kejarlah tempat yang mempesona itu melalui langit berlian yang tak berujung Airmataku meleleh di bagian kanan mendengar ucapannya. Ini adalah mimpi di atas karpet merah yang sekarang kau injak. Tapi percayalah kau bisa meraihnya bersama laki-laki yang memang kau cintai sekarang. Kau harus yakin Buat dia bertanya-tanya atas keindahan demi keindahan yang kau temukan. Ini adalah dunia baru kalian. Langkahku sudah kian mendekatinya. Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di sampingnya. Perasaan yang tak terlukiskan, langit yang seakan bertaburan berlian, dan hanya senyuman yang bisa kalian ulas bersama-sama di dunia baru yang akan kalian jalani Buat dia menahan nafas layaknya bintang jatuh yang sengaja datang dari tempat yang sangat jauh Semua yang aku katakan adalah kiasan, Hyosun-ah. Aku harap kau mengerti apa yang aku maksud. Buat dia mencintaimu hingga kau mengerti arti dari dunia baru yang aku katakan, yaitu sebuah kebahagiaan Sebelum kau menumpangkan tanganmu di atas injil, ulurkan tanganmu padaku terlebih dulu, Hyosun-ah. Itu akan menjadi pesan terakhir seorang kakak yang akan menjadi saksi pernikahan adiknya karena setelah itu aku tidak punya tanggung jawab apapun atas dirimu Aku mengerti aku menoleh sejenak dan melepaskan tanganku dari lengannya, menaiki satu undakan yang tidak terlalu tinggi di depan altar. Aku tidak berani menoleh kepada Donghae yang kini telah berdampingan denganku. Tidak perlu menunggu waktu yang lama, pernyataan pernikahan pun dimulai. Semua bibir berhenti berbicara dan mengkonsentrasikan pandangan mereka kepada sepasang pengantin. Tuan Lee Donghae. Apakah saudara bersedia menerima Kim Hyosun sebagai istri dengan tulus dan ikhlas hati? tanya sang pastor pada Donghae. Ya. Saya bersedia Bersediakah Saudara mengasihi, menghormati dan selalu setia kepada istri saudara seumur hidup sampai maut memisahkan? Ya, saya bersedia Bersediakah saudara menjadi ayah yang baik atas anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara dan mendidik mereka dalam iman kepada Tuhan? tanya pastor itu lagi. Ya, saya bersedia Sang pastor memusatkan perhatiannya berganti ke arahku dengan memberikan tiga pertanyaan yang sama. Nona Kim Hyosun. Apakah saudara bersedia menerima Lee Donghae sebagai suami dengan tulus dan ikhlas hati? tanya sang pastor padaku. Ya. Saya bersedia jawabku mantap. Bersediakah Saudara mengasihi, menghormati dan selalu setia kepada suami saudara seumur hidup sampai maut memisahkan? Ya, saya bersedia Bersediakah saudara menjadi ibu yang baik atas anak-anak yang dipercayakan Tuhan kepada saudara dan mendidik mereka dalam iman kepada Tuhan? tanya pastor itu lagi. Aku menelan ludahku sejenak, kemudian menjawabnya Ya, saya bersedia Setelah pernyataan itu selesai, Kyu oppa berbisik kepadaku. Dunia baru tidak akan datang begitu saja tanpa kau mencarinya, Hyosun-ah. Mungkin akan sulit membuatnya jatuh cinta padamu. Tapi percayalah satu hal Ulurkan tanganmu aku memberikan tangan kananku dan dengan perlahan Kyu oppa mengarahkannya di atas Alkitab. Batu sekeras apapun akan pecah dengan sendirinya hanya karena tetesan air yang konsisten katanya kemudian telapak tangan Donghae menyentuh punggung tanganku dengan sendirinya. Aku masih belum menoleh ke arahnya. Kyu oppa langsung meletakkan tangan kami berdua di atas Alkitab dan inilah bisikan terakhirnya Mewakili kakakmu, tugasku selesai mengantarkanmu sampai di sini Airmataku runtuh lagi. Ingin sekali aku memeluk Kyu oppa sekarang. Belum pernah aku mendengar ucapan-ucapan indah dan sebijak ini dari mulutnya. Dia seperti kerasukan malaikat hari ini. Di hadapan Tuhan, Bapak Pastor/Imam, dan para saksi, serta umat beriman yang hadir di sini. Saya Lee Donghae dengan tulus hati memilih Kim Hyosun sebagai istri saya. Saya berjanji untuk setia kepada istri saya dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang, di waktu sehat maupun sakit. Saya tetap mencintai istri saya sepanjang hidup saya. Demikian janji saya di hadapan Tuhan dan Injil Suci ini. Janjinya begitu menggetarkan hatiku. Andai saja janji ini adalah benar-benar sebuah janji yang tulus dari mulutnya, aku akan sangat bahagia atas ini semua. Berharap semua ini bukanlah kepura-puraan adalah mimpi. Tapi Lee Donghae, perlu kau tahu bahwa aku akan membuat janji yang sesungguhnya di hadapan Tuhan, di atas Injil dan di depan seribu pasang mata tamu undangan yang kini datang. Di hadapan Tuhan, Bapak Pastor/Imam, dan para saksi, serta umat beriman yang hadir di sini. Saya Kim Hyosun dengan tulus hati memilih Lee Donghae sebagai suami saya Saya berjanji untuk setia kepada suami saya dalam suka maupun duka, dalam untung maupun malang, di waktu sehat maupun sakit. Saya tetap mencintai suami saya sepanjang hidup saya. Demikian janji saya di hadapan Tuhan dan Injil Suci ini. Aku benar-benar berjanji akan memperlihatkan dunia baru padamu, Lee Donghae. Membuka matamu untuk melihat sesuatu yang tak terlukiskan. Mungkin sekarang kau menutup pintu hatimu rapat-rapat. Tapi suatu saat nanti, sebagai istri yang mencintaimu, aku akan berusaha masuk seperti pencuri hatimu saat kau lengah melalui celah-celah yang ku temukan. Itu janjiku, dihadapan Tuhan dan di atas Injil ini. Atas nama Gereja Katolik dan di hadapan para saksi, orangtua, serta saudara sekalian, saya menyatakan bahwa dengan mengucapkan janji pernikahan di hadapan Tuhan dan Kitab Suci, pernikahan Lee Donghae dan Kim Hyosun ini adalah pernikahan yang sah menurut Hukum Gereja Katolik. Melalui sakramen ini, Lee Donghae dan Kim Hyosun telah resmi menjadi suami istri. Semoga sakramen ini menjadi sumber kekuatan dan kebahagiaan bagi kedua mempelai. Apa yang telah dipersatukan oleh Tuhan janganlah diceraikan oleh manusia. Pastor menyelesaikan pemberkatannya, kemudian mengijinkan kami bertukar cincin satu sama lain. Donghae memasangkan cincin bertahta berlian kecil itu di jari manisku. Aku masih belum berani menengadah untuk menatapnya. Bahkan seinci pun. Kemudian aku melakukan hal yang sama padanya, melingkarkan cincin ke jari manisnya. Aku bisa merasakan telapak tangan yang sama dinginnya dengan telapak tanganku. Tuhan, berkatilah kedua cincin pernikahan ini supaya menjadi lambang cinta dan kesetiaan bagi kedua suami istri ini. Semoga cincin ini mengingatkan mereka akan cinta kasih dan kesetiaan yang mereka janjikan pada hari bahagia ini. kata pastor itu untuk yang terakhir kalinya. Seperti sebagaimana seharusnya, Donghae mendekatiku dan membuka selubung yang sedari awal menghalangi pandanganku. Mau tidak mau aku menengadah untuk menatapnya walaupun aku sangat gugup. Rasanya aku ingin memegangi dadaku, takut-takut debarannya bisa didengar olehnya atau bahkan jantung itu sendiri yang lompat dari tempatnya. Dia sangat tampan. Belum pernah aku melihatnya setampan ini, atau sebenarnya aku baru sadar kalau dia memang benar-benar tampan? Dia mengambil kalung yang pernah diperlihatkan oleh neneknya padaku kemudian memasangkannya di leherku dengan sempurna. Simbol keluarga Lee. Sempat aku merasakan lapisan epidermisnya menyentuh kulit leherku pelan hingga darahku terasa berdesir. Dan setelah itu, dia meraih tengkukku, mendekatkan wajahnya hingga aku bisa mencium aroma badan dan nafasnya dari jarak paling dekat. Aku menutup mataku. Maafkan aku bisiknya kemudian menyapukan kecupan pelan di atas kulit pipiku selama beberapa detik. Tidak peduli permintaan maaf atas apa, entah karena kesalahannya dua minggu lalu di kantornya atau karena dia terpaksa harus menciumku di hadapan para undangan, aku tidak peduli lagi. Ini untuk pertama kalinya seorang Lee Donghae menciumku. Walaupun ciuman bukanlah hal yang asing untukku, tapi kali ini sangat berbeda dengan apa yang pernah aku rasakan saat Max menciumku. Aku tidak bisa menafsirkannya. Aku hanya bisa merasakannya hingga airmataku meleleh. Dia menatapku setelahnya, kemudian mengusap air asin yang terlanjur keluar dari tempatnya. Diiringi tepuk tangan seluruh oleh semua orang yang berada di Katedral Myeongdong ini, secara agama Katolik kami resmi menjadi sepasang suami istri. Dan sekarang aku menyandang status sebagai Nyonya Lee. Umma, Appa Apakah kau melihatku dari atas sana? Aku menikah. Aku menikah dengan orang yang benar-benar aku cintai. Kalian tidak perlu khawatir, aku berjanji akan hidup bahagia dengannya. Aku akan bekerja keras. Dan kakak, sekalipun kau tidak ada di sini, aku menganggapmu ada melalui tangan Kyu oppa.
Kau pendek sekali hari ini, sampai-sampai aku harus menunduk celetuknya saat aku mulai membersihkan make up wajahku dengan kapas. Aku berfikir sejenak, mencerna obrolan yang dia mulai. Ohh, maksudmu ini? aku berbalik menghadapnya dan mengangkat bagian bawah gaun yang belum ku lepas agar pantofel pemberiannya terlihat lebih jelas. Dahinya berkerut bercampur senyum simpul dari raut wajahnya Kau memakainya? Sepatu hak tinggi tidak baik untuk peranakan kataku lalu melengos dan menghadap ke cermin lagi. Dia terkekeh. Aku menatapnya dari pantulan kaca. Dia melepaskan tuxedo-nya dan berjalan ke kamar mandi dengan membawa pakaian yang lebih santai sebagai pengganti baju formalnya. Aku masih belum percaya bahwa kami benar-benar telah menikah hari ini. Donghae, bisakah kau keluar sebentar? Aku akan mengganti gaun ini. Tidak mungkin aku menggantinya di kamar mandi kan? tanyaku saat dia keluar dari kamar mandi dan tengah mengenakan pakaian santainya. Okey dia meletakkan pakaian kotornya di atas ranjang begitu saja kemudian berjalan menuju pintu. Oh, iya katanya terputus. Aku minta maaf atas kejadian dua minggu lalu lanjutnya dengan nada yang terdengar pelan. Kejadian yang mana? Saat kau bertanya tentang keperawanan atau saat kau dan Jessica berpelukan di depanku? tanyaku sinis saat memori-memori itu berkelebatan di ingatanku. Dahinya berkerut Kau mempermasalahkan kami? Seharusnya aku punya hak untuk mempermasalahkan itu karena waktu itu aku adalah calon istrimu, Donghae-shi. Tapi kenyataannya semua ini hanya pura-pura, jadi aku tidak akan menuntut apapun. Bahkan saat kau berciuman dengannya seminggu lalu, di matamu aku juga tidak punya hak untuk menuntut apa-apa Entah kenapa mengingat kejadian-kejadian itu rasanya ada api yang selalu berkobar di dadaku. Panas! Dan itu selalu memicu emosiku. Mendengar itu Donghae terperangah dan berusaha menjelaskan. Aku Kau kenapa? potongku cepat. Kau tidak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun padaku, Donghae. Kau sudah tahu statusku sebagai apa di sini. Aku juga tidak akan mengumbar bagaimana perasaanku saat melihat kalian melakukan itu. Toh, kau tidak akan peduli dan menganggapnya angin lalu aku bangkit dari tempat dudukku lalu melepaskan tiara dan selubung yang masih menyangkut di kepalaku. Aku memilih tidak menghadapnya. Kalau aku peduli? -DEG- Aku menoleh ke arahnya. Aku tidak tahu tatapan macam apa yang dipancarkan oleh matanya saat ini. Aku tidak mengerti. Dengar ya, Donghae. Walaupun kau menganggap semua ini adalah pura-pura, mau tidak mau statusku adalah istrimu. Lindungilah namaku dengan kelakuanmu. Kalau Kyu oppa atau orangtua angkatku tahu, kau akan menyakiti mereka semua. Kau tidak menjawab pertanyaanku, Hyosun-ah. Bagaimana kalau aku peduli dengan semua itu? Aku menghela nafas panjang. Rasanya tidak ada tenaga lagi untuk melanjutkan perdebatan ini. Aku lelah dan malas meladeninya. Pergilah, aku akan berganti baju Aku akan menyewa kamar yang lain. Sepertinya kau tidak akan nyaman berada di dekatku Aku berbalik dengan cepat dan menyalaknya frontal Bagaimana bisa kau mau menyewa kamar yang lain??? Kita sudah menikah!! Apa kata orang di luar? Lalu maumu apa? Kau mau kita sama-sama tidur di ranjang itu? tak kalah garangnya Donghae menunjuk ke super bed di belakangku. Aku bisa tidur di sofa sergahku. Terserah kau! Tanpa pikir panjang Donghae keluar dan membanting pintunya. Aku bisa melihat guratan kemarahan yang ada di wajahnya. Lagipula, kenapa aku harus memulai pertengkaran lagi dengannya? Bodoh!!! Kenapa aku tidak bisa diam dan bertingkah seolah tidak terjadi apapun antara dia dan Jessica? Sebegitu cemburunya kah aku? Demi Tuhan ini sangat menyebalkan. Sudah hampir 6 jam aku sendirian di kamar hotel ini. Kemana dia? Apa dia benar-benar akan menyewa kamar lain? Apa aku tadi keterlaluan? Ya ampun, ini sudah hampir jam sepuluh tapi dia belum juga kembali. ~Ceklek~ Aku mendengar pintu kamar terbuka dan mendapati Donghae dengan malas melangkah masuk. Dia menatapku sejenak saat aku berdiri dari sofa untuk memastikan bahwa yang datang adalah dia. Donghae-shi, apa kita bisa bicara sebentar? kataku. Aku lelah. Aku malas berargumen lagi denganmu jawabnya dengan nada yang sama malasnya tatkala memandangku. Kita bisa bicara baik-baik Dia berfikir sejenak, lalu mendekat dan memilih duduk di sebelahku.Katakan Tentang inseminasi, sepertinya perawan atau tidaknya seseorang bukanlah kendala. Minggu lalu aku sudah berkonsultasi dengan Lexy. Dia mengelus dahinya sendiri Tetap saja itu menghambat, Hyosun-ah. Jika wanita yang sudah tidak virgin saja hanya memiliki kesempatan 10% bagaimana yang masih virgin? Potensinya akan lebih kecil Aku mengerti. Tapi apa salahnya untuk mencoba ini, Donghae-shi? Setidaknya kalau ini gagal kita bisa mencoba bayi tabung Atau Kita bisa melakukannya dengan normal, Donghae-shi kataku sedikit ragu, tapi aku serius untuk mengatakan ini. Dia menoleh dengan cepat, menatapku tak percaya. Ini yang paling tidak beresiko tambahku. Aku tidak mau mengambil terlalu banyak darimu, Hyosun-ah! sergahnya cepat. Aku tidak akan menganggap kau mengambil terlalu banyak, Donghae-shi Dengan ragu aku menggeser tubuhku agar lebih dekat dengannya lalu mengalungkan tanganku di lehernya dengan pelan. Aku masih mencoba agar lebih dekat lagi. Ketika dia tidak protes, aku memberanikan diri mendekatkan wajahku sedekat mungkin dengan wajahnya, dia juga melakukan hal yang sama walaupun setengah ragu. Hyosun-ah, ini tidak mungkin protesnya lalu melengos begitu saja tapi tidak menghempaskan tanganku dari badannya. Apanya yang tidak mungkin? Donghae menatapku lagi dan kali ini dia berani memberikan sebuah kecupan di bibirku hingga membuat mataku terpejam sesaat. Aku merasakan setrum-setrum kecil yang menggelitik saraf-saraf di bibirku. Aku menikmatinya. Dia melepaskan kecupan itu lalu memandangku sejenak untuk melihat reaksiku, kemudian melanjutkan ciuman yang sesungguhnya. Dia berhenti dan mencoba melepaskan tangankuTidak, ini tidak benar. Ini gila! Jangan seperti ini. Aku akan sangat merasa bersalah padamu, Hyosun-ah Percayalah aku tidak akan mempermasalahkannya. Setidaknya sekali ini saja kita lakukan, jika gagal kita akan mencoba alternative Ini akan membuat pernikahan Please, kalau kau bicara lagi aku tidak bisa melanjutkan ini aku menutup mulutnya dengan beberapa jariku. Tanpa dia meneruskan kalimatnya, aku tahu dia akan mengatakan bahwa pernikahan kami tak-terceraikan jika disempurnakan dengan persetubuhan. Dan memang itulah yang aku mau sekarang ini. Aku menginginkan perkawinan yang tak-terceraikan. Berbeda dengan hari-hari yang telah lalu ketika aku belum sadar bahwa aku begitu menginginkan Donghae. Aku hanya berharap sentuhan yang paling intim ini mampu membuatnya luluh walaupun sedikit. Aku memandangnya dengan tatapan memohon agar dia mau memenuhi permintaanku. Dan dia kembali mendekatkan wajahnya setelah beberapa saat berfikir. Aku merasakan nafasnya yang hangat saat dia mulai menciumku pelan. Dia seperti melakukan percobaan untuk meminta ijin. Terasa sangat ragu-ragu. Kemudian ku beranikan untuk membalasnya dan barulah bibir kami benar-benar bertaut, memberi respons satu sama lain. Aku tidak tahu apakah dari awal dia memang menginginkan ini atau tidak, tapi yang aku rasakan seperti itu. Dia seperti memiliki hasrat yang sama denganku. Dia masih menghujaniku dengan ciuman- ciumannya sampai beberapa menit sebelum foreplay dan menurutku ini terlalu lama. Ini semacam rasa kerinduan yang mendalam. Apakah benar ini sebuah kerinduan?
Ku kerjapkan mataku dengan susah payah. Rasanya seperti ada lem pekat yang kompak mengapit kedua kelopak mataku. Tapi akhirnya aku berhasil membukanya sedikit demi sedikit. Pandanganku terantuk pada sosok yang kini tertidur pulas di sampingku. Badan kami terbungkus oleh kain selimut sebagai pengganti pakaian kami yang tercecer di lantai. Aku juga masih merasakan rasa nyeri yang menyerang daerah pangkal pahaku. Bukan bayi tabung atau inseminasi seperti yang telah kami bahas sebelumnya, melainkan cara alami untuk mengurangi resiko agar tidak semakin melebar kemana-mana. Aku tidak menyesal sedikitpun telah melakukan ini untuk pertama kalinya dengan Donghae karena aku percaya sentuhan fisik seperti ini akan sangat berarti dalam sebuah pernikahan. Dan apa yang kami lakukan telah membuat pernikahan kami benar-benar tak-terceraikan di mata agama. Aku akan mempertahankanmu Donghae. Aku hendak menyentuh wajahnya yang sangat lucu itu, tapi dia menggeliat hingga mengendurkan keberanianku. Aku menarik salah satu kain yang menutupi badan kami, kemudian turun dari ranjang dan memunguti pakaianku satu per satu. Aku sempat melihat bercak merah yang tertinggal di atas ranjang yang menandakan virginitasku yang telah hilang oleh Donghae. Rasa ngilu yang menyerang, bisa aku tahan hingga aku mencapai kamar mandi untuk menghilangkan sisa-sisa peluh karena aktivitas kami semalam.
Aku melangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi dan telah berbalut pakaian yang lebih baru dan tertutup dibanding yang semalam. Rambutku juga sudah setengah kering karena aku memakai hair dryer untuk mengeringkannya. Aku tidak menghiraukan rasa nyeri yang masih tersisa saat aku berjalan. Kata orang yang sudah pernah melakukan malam pertama- lama kelamaan hal ini akan hilang dengan sendirinya. Aku menatap ke arah kasur berseprai kusut dan tidak menemukan Donghae di atasnya. Pandanganku menghambur ke seluruh penjuru ruangan namun nihil. Aku tidak menemukannya. Tapi saat aku melihat ke arah balkon, aku bisa melihat Donghae memandang ke jalanan yang sudah mulai macet. Jari-jarinya mencengkram besi pembatas. Aku berjalan mendekat dengan pelan, tapi implusnya yang jauh lebih cepat menangkap keberadaanku. Dia setengah menoleh, tapi tidak berbalik. Kau Mau mandi, Donghae? Aku sudah selesai kataku sedikit ragu karena dia telah mengetahui kedatanganku. Dia hanya mengenakan singlet putih polos dan celana panjang yang semalam ia kenakan. Dia tidak berbalik, tapi menjawab pertanyaanku dengan jawaban yang tidak seharusnya. Kita akan pindah ke apartemen. Aku akan membicarakan ini dengan Nenek dan Ibu. Kita bisa leluasa dengan kamar yang terpisah. Katanya dingin. Entah kenapa kalimatnya ini begitu menyakitkan. Rasanya dia seperti menggali sebuah jurang yang lebih dalam agar aku benar-benar tidak bisa menggapainya. Dia benar-benar tidak nyaman berada di dekatku. Apakah hal yang kami lakukan semalam tidak ada artinya? Bagaimana kalau mereka menolak? Kita berdua yang akan mengatakan ini pada mereka. Bantu aku meyakinkan mereka. Untuk sementara kita akan tinggal di rumah selama seminggu. Semalam aku sudah bicara dengan salah satu kenalan yang bekerja di bidang properti. Dia akan mencarikan apartemen yang letaknya tidak jauh kantor katanya masih sedingin sebelumnya, kemudian melenggang ke kamar mandi melewatiku tanpa memandangku sedikit pun. Tidak ada pembicaraan setelah melakukan itu? Oke, fine. Aku bisa menerimanya. Tidak ada percakapan antar suami istri sebagaimana layaknya? Tidak masalah. Tapi pindah ke sebuah apartemen adalah salah satu penolakan yang dia tunjukkan secara terang-terangan. Itu sama halnya dengan membangun tembok yang lebih tinggi agar aku semakin sulit untuk melihatnya. Bagaimana dia bisa sikapnya sedingin itu? Seolah-olah aku adalah musuh yang sangat mengancam. Apa ada yang salah? Ada apa dengannya? Dia tampak sangat mengerikan sekarang, jauh lebih parah dibanding Donghae yang aku kenal sebelumnya.
Donghae menarik dasinya agar lebih longgar kemudian mengepalkan jemari dan menempelkannya ke bibir yang masih rapat lalu berdeham. Nenek, kami akan pindah ke apartemen mulai minggu depan? katanya di sela-sela makan malam kami di rumahnya tiga hari setelah kami kembali dari hotel. Di ruangan ini ada aku, Dia, Ibunya, Neneknya dan tentu saja Victoria yang sekarang duduk tepat di depanku. Dia melihat ke arah Donghae sejenak, lalu memandangku dengan menampilkan kerutan di dahinya. Neneknya tidak langsung menjawab melainkan Ibunya yang langsung bertanya padaku Apa itu benar, Hyosun-ah? Kami telah membicarakan ini sebelumnya aku melirik pada Donghae yang sedang menghentikan makannya sejenak dan memilih mendengarkanku. Dan keputusan yang lebih baik adalah pindah ke apartemen yang lebih dekat dengan kantor Oppa. Apa ibu keberatan? Donghae menoleh ke arahku sejenak. Ini kali pertama aku menyebut namanya dengan sebutan oppa di hadapannya secara langsung. Tapi beberapa detik kemudian, dia berubah menjadi Donghae yang semula. Kenapa kau mau pindah? Apa ada yang membuatmu tidak nyaman untuk tinggal di sini? Victoria menatapku tajam setelah mengetuk meja sebanyak dua kali dengan sumpitnya. Ada satu hal. Yaitu sikap Victoria. Selebihnya aku menyukai apa yang ada di rumah ini. Tapi jika aku boleh memilih, aku ingin tinggal di sini walaupun harus berhadapan dengannya setiap hari daripada tinggal di satu apartemen dengan Donghae. Karena dengan pindah, aku akan lebih banyak kehilangan intensitas dengannya. Dia mempersempit ruang yang dari awal sudah sesak. Tidak ada. Aku mengangkat sedikit bahuku. Aku hanya menuruti apa kata suamiku. Bukankah istri yang baik harus patuh pada suaminya? Yang benar saja? Bukankah istri yang baik adalah istri yang bersedia tinggal bersama orang tua si suami? katanya mencemooh. Dimanapun suamiku tinggal aku akan ikut dengannya. Kalau dia berubah pikiran dan memilih tetap tinggal di sini, aku sama sekali tidak keberatan Aku mengepalkan tanganku di balik meja sebagai manifestasi emosi yang aku tahan. Kenapa dia begitu menyebalkan? Kenapa dia tidak mau menerimaku dengan tangan terbuka? Tidak ada perubahan yang berarti agar dia menyukaiku, melainkan semakin menjadi-jadi kebenciannya terhadapku. Kenapa kalian malah berdebat. Vic, ini urusan interen mereka. Kau tidak usah ikut campur dengan masalah ini Ibu Donghae menengahi kami berdua. Tentu saja ibu tidak keberatan. Semuanya tergantung keputusan Nenek, bukan Ibu karena beliau yang paling dituakan di sini Aku menatap Nenek yang tengah menyuap sepotong daging. Kami yang di ruangan itu menunggunya memberi jawaban. Bagaimana, Nek? tambah Donghae. Kau ikut ke ruanganku sekarang Nenek meminum air di gelasnya sebagian lalu mengelap mulut dengan serbet, dan setelah itu berjalan menuju ruangan pribadinya. Donghae melakukan hal yang sama, lalu mengekor di belakang orang tertua di rumah ini. Ibu sudah selesai. Ibu akan kembali ke kamar Iya, bu jawabku sopan saat dia memundurkan kursi ke belakang dan pergi meninggalkan kami. Kenapa kau mau pergi? Kau merasa terancam karena aku tidak menyukaimu di rumah ini? tanya Victoria saat kami hanya berdua saja di meja makan. Aku tidak punya alasan menganggapmu sebagai ancaman. Lagi pula aku juga tidak bisa membenci seseorang hanya karena dia membenciku. Naif gumamnya samar tapi masih terdengar dengan jelas di telingaku. Boleh aku tanya sesuatu, Vic? Dia menaikkan sebelah alisnya hingga membuatku menyimpulkan bahwa mimiknya itu adalah sebuah kata tanya apa. Kenapa kau tidak menyukaiku? Dia mendengus dan memandangku dengan tatapan mencemooh seperti biasa. Dia menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang kupingnya lalu bersedekap. Menurutmu apa? tanyanya sengit. Kalau aku tahu jawabannya aku tidak perlu bertanya Karena kau bukan Jessica. Jessica adalah orang yang selalu bisa mengerti aku dan saat pertama kali melihatmu, aku langsung membencimu. Karena aku berharap yang duduk di hadapanku sekarang adalah Jessica, bukan kau! Katanya sarkastis. Tapi itu tidak membuatku heran karena pertanyaan ini hanya sekedar memastikan saja apa benar yang dikatakan Donghae bahwa Victoria membenciku karena Jessica. Dan jawabannya adalah benar. ~Ting Tong~ Itu pasti Jessica! katanya cepat lalu berlari menuju pintu masuk dan membukanya tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang datang melalui benda elektronik yang tertempel di dinding. Ahh, Jess! Sudah ku duga yang datang adalah kau Aku melihat sosok wanita yang tidak asing di mataku tengah masuk ke rumah ini. Dia membalut tubuhnya dengan mantel berwarna pastel peach yang panjangnya melewati batas lutut dan di tangannya tergantung tas Gucci berwarna terang namun tetap senada dengan pakaian yang dikenakannya. Dia berbalik memandangku dan senyum yang tadinya ditawarkan pada Victoria lenyap sudah. Sikapnya yang tidak welcome padaku itu memperkuat karakter antagonis yang terbentuk dari rahang dan garis wajahnya. Dia tidak basa-basi menunjukkan ketidaksukaannya terhadapku. Jess, ini Hyosun Victoria mengenalkannya padaku tapi dari kalimatnya lebih condong sebagai pernyataan Ini-wanita-yang-merebut-Donghae-darimu. Hallo aku mengulurkan tangan, berusaha sopan walaupun basa-basi. Dia tidak membalas uluran tanganku, memilih bersedekap dan menatapku dari atas hingga ke bawah. Aku langsung menarik tanganku lagi, refleksi dari sikapnya yang kelewat dingin. Kau yang berada di kantor Donghae waktu itu, kan? Kau sudah bertemu dengannya? Victoria bertanya heran. Sekitar tiga minggu yang lalu. Hari pertama aku sampai di Korea Benarkah? tanya Victoria sedikit tercengang. Jessica tidak melepaskan tatapannya dariku dan itu sangat membuatku risih. Keduanya seperti sepasang ular yang siap mendiskreditkanku kapan saja. Kenapa kau Vic!! Bisakah kau kemari sebentar? teriak Ibu dari kamarnya, memotong ucapan Victoria yang belum sempat lolos dari mulutnya. Ya, ahjumma! Jess, kau tidak keberatan kan? Tentu saja tidak jawabnya cepat. Kau mau minum? tanyaku basa-basi lagi saat Victoria telah berlalu meninggalkan kami berdua. Dia tidak menjawab dan mendekatiku. Kau harus sadar, nona Hyosun. Donghae tidak benar-benar menganggapmu sebagai istrinya. Aku harap kau tahu batasan-batasannya katanya langsung ke pokok masalah. Aku sedikit tersentak mendengarkan pernyataannya itu tapi masih di ambang batas kekagetanku. Sudah ku duga Donghae akan membeberkan semuanya pada wanita ini. Dari sikapnya yang seperti ini, sudah tidak mungkin lagi jika aku berbaik hati dengan basa-basi di hadapannya lagi. Lebih baik sama-sama mengangkat pedang dan melihat siapa yang terhunus terlebih dahulu. Dengar, Jess. Aku tidak peduli jika Donghae membatasi dirinya untuk dekat denganku. Tapi aku tidak akan membatasi diriku sendiri untuk masuk ke kehidupannya. Aku tidak peduli siapa yang dia cintai sekarang, tapi aku percaya bahwa suatu saat Donghae akan berbalik mencintaiku Percaya diri sekali kau? Jujur saja aku muak dengan keputusannya untuk menikah denganmu tanpa sepengetahuanku. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa menunggu sekarang. Menunggu kau diceraikan oleh Donghae, setelah anaknya lahir. Aku mengenal Donghae selama bertahun-tahun, sementara kau masih dalam hitungan bulan katanya dengan intonasi yang cukup dinamis tapi cukup ampuh untuk menghujamku pelan-pelan. Aku pikir dia adalah wanita yang anggun dan berkepribadian baik saat melihatnya pertama kali. Tapi ternyata aku salah, dia tidak memiliki karakter seperti itu. Dia membuatku muak. Bagaimana bisa Donghae berpacaran dengan orang seperti dia? Kita lihat saja nanti, Jess. Apa kau yakin kau benar-benar mengenal dia kataku tidak mau kalah. Donghae memang kaya raya jadi wajar saja jika kau berusaha mengejarnya mati-matian. Kau harus sadar diri, nona Kau Kenapa? Benarkan? Kau hanya mengincar harta Donghae? potongnya cepat dan hal itu cukup membuatku naik pitam. Rasanya darah panasku sudah terkumpul di ubun-ubun. Tanganku sekarang mengepal keras namun aku sembunyikan agar dia tidak bisa melihatnya. Mati-matian aku menahan amarahku agar tidak keluar dengan tindakan-tindakan frontal. Yeah, mungkin awalnya kau sepakat karena Donghae akan mencarikan kakakmu dan membantumu menjadi warga negara Perancis. Tapi setelah kau melihat apa yang dimiliki Donghae, kau mau meraih semuanya kan? Kau memang serakah! dia mendengus. Nadanya begitu meremehkan. Jaga bicaramu, Jess. Apa Donghae buta? Bagaimana bisa dia memacari wanita bermulut racun sepertimu? Apa katamu? Bermulut racun? Dengar, nona Kim Oh, salah. Mungkin kau lebih senang jika aku panggil dengan sebutan nyonya Lee. Yah, setidaknya sampai kau dan Donghae berpisah. Aku berkata seperti ini hanya padamu, bukan orang lain. Aku hanya memperingatkanmu agar tidak terlalu berharap karena itu pekerjaan yang sia-sia Yang benar saja. Kami di bawah atap yang sama, Jess. Jangan lupakan itu dan apapun bisa terjadi Benarkah? Kau punya kaca di rumah? Lihatlah dirimu di cermin, apa kau pantas berdampingan dengan Donghae? Aku mengunci mulutku rapat-rapat agar tidak terpancing oleh obrolan yang semakin tak terarah ini. Dia seperti sedang memancing kemarahanku agar meledak tak terkendali. Aku memilih berjalan melaluinya, mengabaikan kata-kata kasar yang diucapkannya. Tapi saat, aku mendekat dia malah menahan lengan kananku dan aku terpaksa mendengarkan apa yang akan dia katakan selanjutnya. Aku menatap cengkraman tangannya, penuh intimidasi. Dengar nona Hyosun. Di mata Donghae kau bukanlah apa-apa. Jadi kau jangan bermimpi untuk merebutnya dariku Aku menatapnya dengan kilatan yang tak jauh berbeda dengan yang dia tampilkan Lepaskan tanganmu! Aku akan mengawasimu, nona Hyosun. Aku tidak akan membiarkanmu mengambil milikku yang paling berharga tambahnya lagi. Donghae bukan piala bergilir yang bisa direbut oleh siapapun. Tapi Donghae adalah ayah dari anakku kelak dan aku akan patri hatinya secara permanen sampai-sampai dia tidak ingat pernah mengenalmu. Sementara kau? Lihat dirimu. Apa kau bisa menghadirkan seorang anak di tengah hubungan kalian? perlahan aku menarik tangannya dari badanku. Dia terbelalak, mungkin tidak menyangka kata-kataku bisa sekasar ini. Dia menyadari kekurangan dalam dirinya dan sekarang wajahnya sudah terlihat miris. Maaf kalau ucapanku kasar, kau yang memulainya lebih dulu aku beringsut menjauhkan badanku darinya dan membiarkannya berada dalam pikiran-pikirannya sendiri. Kemudian meraih tissue yang dapat ku jangkau dan mengelap lengan yang telah dicengkeramnya. Bukan karena kotor atau apa, tapi karena aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku tidak bisa diremehkan begitu saja. Aku berjalan menuju kamar dan di saat yang bersamaan Donghae telah keluar dari ruangan neneknya. Dia memandangku sekilas Kita bisa pindah dua hari lagi Donghae-shi pekik Jessica yang masih berdiri di tempatnya semula. Jess, sejak kapan kau di sini? Donghae langsung mengabaikanku tanpa menunggu komentar yang ingin aku sampaikan. Baru saja. Kebetulan aku sedang lewat, jadi sekalian mampir. Katanya bersikap manis. Dan yang aku tangkap adalah dia benar-benar ular berkepala dua. Dia bisa bersikap manis tanpa dosa di hadapan Donghae, tapi di sisi lain sikapnya sangat jahat terutama padaku. Dia menempatkanku di urutan pertama sebagai orang yang tidak di sukainya. Atau sebenarnya dia hanya membenciku seorang karena menjadi istri Donghae? Aku mengabaikan mereka berdua lalu masuk ke kamar. Donghae hanya beberapa menit di luar, lalu masuk ke kamar. Ini lebih cepat dari perkiraanku sebelumnya. Mungkin dia tidak mau mengambil resiko karena di rumah ini ada Ibu dan Neneknya. Aku tidak berkata apapun saat dia masuk. Aku duduk di depan meja rias, bermain-main dengan sisir yang aku gunakan untuk merapihkan rambutku yang sedikit berantakan. Nenek setuju kita pindah. Dan aku juga sudah mendapat apartemen yang cocok untuk kita Ohh Mendengar jawabanku yang lebih mirip seperti gumaman, dia menoleh. Aku tidak menatap balik padanya melalui pantulan kaca, melainkan bermain dengan ujung rambutku seolah hal itulah yang lebih menarik ketimbang mendengarnya berbicara. Aku tidak berkomentar banyak dan tidak berminat untuk berkomentar lebih lanjut. Kau mau melanjutkan kuliah lagi, Hyosun-ah? Aku bisa mengurusi program mastermu jika kau mau tawarnya lagi. Aku menatapnya dari pantulan kaca, dia juga menatapku walaupun hanya sepersekian detik. Rasanya bertahun-tahun lamanya dia tidak menatap mataku secara langsung seperti barusan. Dia memilih tidak menatapku ketika berbicara dan baru melihatku ketika aku menatap benda yang lain. Dia seperti bermain petak umpet denganku. Tidak tahukah kalau aku merindukan tatapan itu, Donghae? Aku belum berfikir ke arah situ kataku singkat. Atau kau mau bekerja lagi sebagai editor? Aku bisa mengenalkan rekanku yang bekerja di penerbitan jika kau mau tawarnya lagi Hal itu membuatku berbalik dengan cepat. Bukan karena antusiasme mengenai pembicaraan di bidang editing yang terdengar menarik tapi agar tidak kehilangan kesempatan untuk menatap matanya secara langsung. Kali ini dia tidak memalingkan wajahnya, tapi malah menatapku intens. Rasanya waktu terasa berhenti ketika dia menatapku seperti ini. Seperti ada palu yang mengetuk jantungku sampai-sampai debarannya terdengar keluar, nafasku terasa tinggal setengah karena persediaan oksigen di sekitar menipis. Kau tertarik? tanyanya lagi dan hal itu membuat pikiranku buyar. Aku menjawabnya dengan kegugupan yang tidak bisa ku tutupi seperti maling yang tertangkap basah sedang mencuri. Akan aku pikirkan kataku kemudian lalu berbalik menghadap kaca lagi. Bodoh! Dalam hati selalu protes kenapa dia tidak memandangmu dan setelah dia memandangmu cukup dalam kau bertingkah tolol. Maumu apa, Hyosun-ah??? Oke. Dan masalah kewarganegaraanmu katanya terputus, berfikir lagi untuk mengeluarkan kata-kata yang pas. Aku menatapnya melalui pantulan kaca. Apa kau yakin akan pindah menjadi warga negara Perancis? Kenapa memangnya? Bagaimana kalau kakakmu ternyata tidak ada di sana? Bagaimana kalau dia sebenarnya di Korea? Aku berbalik cepat lagi dan kali ini aku mampu mengesampingkan tatapannya karena pembicaraan ini sangat membuatku terpancing. Apa kau sudah menemukan jejaknya? Dia menggeleng Orang-orangku belum memberi laporan apapun. Tapi besar kemungkinan dia masih menjadi warga negara Korea. Apa kau masih mau mengganti kewarganegaraanmu? Aku berfikir, menekuri pertanyaan Donghae yang masuk akal. Benar apa yang dikatakannya, bagaimana kalau Kak Young Woon masih di Korea? Kabar tentang keberadaannya di Perancis masih simpang siur, tapi aku begitu yakin dia ada di sana. Kembali lagi, bagaimana kalau benar dia masih di Korea? Apa gunanya aku merubah kewarganegaraan? Pikirkanlah lagi. Jangan sampai menyesal. Kau tidak bisa kembali menjadi warga negara Korea jika sudah melepasnya untuk kewarganegaraan yang lain Apa orang-orangmu tidak bisa lebih cepat menemukan kakakku, Donghae? kataku dengan suara bergetar. Tidak semudah itu, Hyosun-ah. Tapi aku sudah berjanji dari awal akan mempertemukanmu dengan Young Woon dan aku tidak akan mengingkarinya. Sekarang tidurlah, jernihkan pikiranmu agar kau bisa lebih hati-hati dalam mengambil keputusan Donghae beranjak, lalu merebahkan badannya di atas ranjang berseprai marun dengan gambar bunga tulip di beberapa sudut. Aku memandangnya yang mulai memejamkan mata lalu berjalan ke bagian ranjang yang masih kosong bersekat dua guling yang menghalangi badanku dan Donghae. Aku turut merebahkan badanku. Itulah keadaan kami di dalam kamar selama di rumah ini. Tidak ada kasur yang digelar di atas lantai agar kami terpisah karena kami ingin meminimalisir hal yang tidak terduga-duga seperti: kepergok berpisah ranjang oleh salah satu anggota keluarga rumah ini. Aku memiringkan badanku agar bisa melihatnya dengan jelas, berbeda dengan hari-hari sebelumnya tatkala aku memilih memunggunginya atau tidur dengan posisi telentang. Dia sedikit berbeda setelah keluar dari ruangan neneknya. Apa yang dikatakan neneknya? Masih ada yang ingin kau tanyakan? tanyanya, mengetahui bahwa aku tengah mengawasinya. Dia membuka matanya dan menoleh. Tidak kataku buru-buru lalu menelentangkan tubuhku seperti biasa. Semakin melihatnya aku semakin ingin memilikinya. Apa dia bisa mencintaiku sebagaimana aku mencintainya, Tuhan? Aku memejamkan mataku dan mengenang hari pertama aku melihatnya. Sikapnya angkuh dan sangat kentara mengintimidasiku waktu itu. Sementara aku tak kalah angkuhnya, karena menurutku melawannya adalah sebuah seni. Terkadang membuat frustasi tapi tidak jarang aku malah hanyut dalam egoku saat menghiraukannya. Karena alasan itulah aku ingin tau orang seperti apa Lee Donghae sebenarnya. Dan aku menemukan hal lain yang membuatku ingin lebih mengenalnya yaitu di pertemuan kedua. Di hari dimana dia mengatakan bahwa dia menikahiku untuk melindungi nama baikku sebagai ibu dari anaknya kelak. Dia akan tetap menuliskan nama kami berdua sebagai orangtua kandungnya. Dari situ aku bisa merasakan bahwa dia adalah pria yang baik. Aku akan memegang ini sebagai pedoman, Donghae. Aku akan kuat dengan kata-kata yang keluar dari mulutmu sendiri. Sekalipun hatimu masih milik Jessica, aku akan mengambilnya perlahan tapi pasti. Maafkan aku Tuhan, tapi dalam hal cinta bukankah aku harus berjuang sekalipun pada akhirnya harus menyakiti hati orang lain? Ampuni aku jika harus ada yang terluka. Dan kalaupun pada akhirnya yang terluka adalah aku sendiri, kuatkanlah aku.
Ini kamarmu Donghae membuka salah satu pintu yang ter-display di apartemen baru ini. Aku bisa mencium cat merah batanya yang masih baru, Perabot-perabot mahal yang masih belum terjamah oleh debu, meja berplitur sempurna dan kaca-kaca mengkilap yang sepertinya baru saja di lap. Ada gorden bermotif bunga aster yang menggantung di dekat ranjang berukuran cukup besar untuk ku tiduri sendiri. Secara keseluruhan aku menyukai kamar baru ini. Kau menyukainya? tanyanya lagi. Ini lebih dari cukup kataku ringan. Aku tidur di kamar sebelah. Dia melihat jam tangan yang melingkar di tangan kanannya sejenak. Sepertinya aku harus pergi sekarang. Dia langsung keluar setelah memakai jas-nya kembali dan menenteng tas kerjanya. Hari sudah gelap dan dia harus rapat. Aku memperhatikan punggungnya yang kian menjauh saat berjalan di koridor. Donghae-shi pekikku. Dia berhenti dan menoleh. Hati-hati di jalan kataku lagi. Dia tersenyum kecil tanpa menjawab apapun lalu berjalan lagi dengan kecepatan yang tidak di rubah. Aku memperhatikan badannya yang kian menjauh sampai pandanganku tak mampu menjangkaunya. Jadi kalian benar-benar pindah hari ini? -DEG- suara itu? Bulu kudukku sedikit meremang saat mendengar suara yang baru saja tertangkap oleh telingaku itu. Aku membalikkan tubuhku dan berharap yang ku dengar adalah suara orang lain. Kenapa? Kau terkejut? katanya saat aku benar-benar mendapatinya sedang berdiri di belakangku. ~Jessica~ Sudah ku bilang kalau aku akan mengawasimu selama bersama Donghae. Kau tidak lupa obrolan kita di kediaman keluarga Lee, kan? Kau sengaja membeli apartemen di sini? tanyaku heran. Benar-benar seperti di sambar petir tapi tidak mati. Dia menggeleng dan tersenyum sinis, menganggap pertanyaanku yang terdengar lucu di telinganya. Donghae yang memutuskan tinggal di sini. Dia yang memilih berada di dekatku. Dari awal aku memang sudah tinggal di sini, nona Hyosun. Kenapa kau kaget begitu? Sudah ku bilang kan, kalau Donghae itu milikku dan sudah pasti dia akan menimbang-nimbang usulku untuk tinggal di sini Donghae, apa lagi ini? Kau menyakitiku melalui Jessica. Apa kau tidak tahu kalau aku sangat tidak nyaman berada di dekatnya? Ini lebih dari sekedar neraka dunia. Tinggal berdua saja sudah membuat keadaan terpuruk, bagaimana jika ditambah dengan Jessica di sekitar kami? Sama saja tidak ada kesempatan untukku. Oh, iya. Rencananya aku tidak akan melanjutkan study-ku di New York. Aku akan masuk di salah satu akademi yang serupa di kota ini. Selamat menghuni apartemen barumu, nona Hyosun. Semoga kau betah di sini Dia membungkukkan badan berlagak mematuhi peraturan tak tertulis tentang sopan santun terhadap penghuni apartemen yang baru. Melihatnya aku benar-benar ingin mengeluarkan seluruh isi di dalam perutku yang belum lama aku masukkan. Dia berjalan menjauh lalu menghilang di balik pintu yang letaknya terpisah dari 3 pintu yang lain. Aku masuk ke kamar lalu mengambil ponselku yang berada di dalam tas. Aku mengetikkan beberapa karakter dengan emosi yang meluap-luap. Sepertinya hatiku seperti lelehan lava yang siap keluar dari perut bumi. Panas! To: Lee Donghae Kau baru saja memadamkan lilin-lilin yang masih redup, Donghae. Melemparkan kerikil di air yang mulai tenang. Demi Tuhan, ini sangat menyakitkan. Aku mengabaikan benda elektronik itu kemudian pergi meninggalkan apartemen yang baru beberapa sudutnya terjamah oleh keberadaanku. Membiarkan airmata berlinang beriringan dengan langkah kaki yang kian cepat menyerupai berlari.
Arrrrrrrrrrrrrrrrrrghhhhhhhh BODOH!!! teriakku di tempat paling tinggi gedung ini. Aku membiarkan tangis memenuhi udara. Kerlap-kerlip lampu yang seharusnya bisa aku nikmati keindahannya kini menjadi sinar-sinar yang buram karena airmata yang menggenang di pelupuk mata. Bahkan langit yang begitu cerah bertabur bintang pun tak kuasa membuatku terhibur. Kenapa? Kenapa dan kenapa? Satu kata yang selalu berputar-putar di otakku sekarang ini. Kenapa kau jahat Donghae? Sudah selesai belum? Aku terperanjat saat menyadari seseorang bersuara sedikit berat mengagetkanku. Aku buru-buru mengusap airmataku yang menyusuri pipi kemudian berbalik dengan canggung. Sejak kapan kau di situ? tanyaku salah tingkah. Sebelum kau datang katanya seraya mendekatiku. Aku memandangi sapu tangan yang diulurkannya padaku kemudian memandangnya. Lekuk wajahnya sangat kuat. Matanya sipit dilengkapi dengan sorot yang cukup tajam tapi tidak terasa mengancam. Kalau aku pikir-pikir dia lebih mirip aktor berperan antagonis di drama-drama yang pernah aku tonton di TV. Siapa dia? Aku tidak butuh itu kataku kemudian hengkang dari tempat itu. Aku merasa malu karena ada orang yang melihatku menangis seperti tadi. Ya ampun, Hyosun. Kenapa kau bodoh sekali? Bagaimana kau tidak sadar kalau ada orang di sekitarmu berada?
Apa maksud SMS-mu? tanya Donghae. Dia menghampiriku yang sedang duduk di ruang tengah. Dia menjinjing tas, lengkap dengan busana kerjanya. Dia baru pulang dari kantor. Aku sedang memusatkan mataku pada televisi walaupun hatiku berlalu lalang ke sana kemari tanpa fokus. Aku tidak menghiraukannya. Aku sudah memasakkan makanan untukmu. Makanlah kataku kemudian berlalu dari hadapannya. Aku masuk ke kamar, lalu menguncinya dari dalam agar dia tidak masuk tanpa permisi. Aku malas membahas tentang Jessica, si orang lama di hunian ini atau kami yang merupakan tetangga barunya. Kalau diam itu bisa menghukum dan membuka mata hatinya untuk melihat apa yang aku rasakan, akan aku lakukan. 3 days later Ini hari ketiga aku mendiamkan dan tidak menemuinya dengan cara tidak berada di luar kamar saat dia di rumah. Aku bangun lebih pagi untuk memasak sarapan lalu masuk ke kamar lagi saat dia bangun. Malam harinya tidak jauh beda dengan yang aku lakukan pada pagi hari. Aku kembali mengunci kamarku setelah semua makanan terhidang di atas meja sebelum dia pulang dari kantor. Hampir setiap hari dia memastikan aku baik-baik saja di dalam kamar dengan cara mengetuk pintu kamarku dan aku menjawabnya dengan satu pesan singkat ke ponselnya yaitu Im Ok. Pagi ini tidak seperti biasanya. Aku merasa cepat lelah, padahal kerjaku hanya mengetik-ngetik naskah novel yang sekarang menjadi project-ku selama menjadi istri Donghae. Tengkukku terasa kaku sampai- sampai aku harus menggerakkannya ke kanan dan ke kiri. Aku bangun pukul lima, seperti biasa saat keadaan luar masih berselimut kegelapan dan tentu saja Donghae masih terlelap di kamarnya. Aku membuka lemari makanan untuk mengambil bahan untuk membuat pancake lalu mengambil wadah untuk adonannya dari rak yang terletak di sebelah lemari makanan. Aku memegangi tengkukku yang terasa tegang. Mau sampai kapan kau seperti ini? Damn! Sontak aku langsung berbalik ke belakang saat mendengar suara yang tak lain adalah milik Donghae. Itu cukup mengagetkan dan membuat jantungku terasa hampir copot. Dia dengan santai bersedekap dan menyenderkan badannya di kulkas. Sedang apa kau di situ? tanyaku balik agar tidak terlihat kaget dihadapannya. Kenapa sih selalu menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang baru? Kenapa kau menghindariku? tanyanya tajam. Well, mau tidak mau pada akhirnya aku pasti akan menghadapinya juga. Tapi apa yang harus aku katakan? Sepertinya dia memang sengaja bangun bersamaan denganku untuk meminta penjelasan. Aku mau masak aku melengos menghadapi tepung yang baru saja aku buka kemasannya dengan gunting dapur. Aku mengabaikannya yang masih berdiri di belakang. Aku merasa derak langkahnya kian mendekatiku diiringi bayangan hitam yang semakin mendekat. Dia mencengkram pergelangan tangan kananku. Aku menoleh secepat kilat Lepaskan. Kau tidak melihat kalau aku sedang sibuk? Kau kenapa? Menurutmu apa? Lepaskan! aku mulai meronta dengan menanggapi perlakuannya itu. Tapi dia tetap tidak mau melepaskanku. Tidak sebelum kau mengatakan alasannya katanya bersikukuh tanpa mengesampingkan sakit yang aku rasakan. Kau kasar sekali! Lepaskan! Dia menghempaskan tanganku dengan geram. Matanya berkilat-kilat memandangku yang tidak mau memberi alasan kenapa aku mendiamkannya belakangan ini. Walaupun reaksi dari sebuah kata diam ini cukup lama, tapi aku percaya kalau hal inilah yang membuatnya gelisah. Kau kenapa, Hyosun-ah? Apa aku salah padamu? Apa pedulimu? tanyaku tak mau kalah. Kita berada di satu rumah, tidak bisakah kau bersikap lebih baik dari ini? Tidak. Kau sendiri yang membuatku menyikapi kepindahan kita di sini dengan cara seperti ini. Kenapa kau memilih apartemen yang sama dengan Jessica? Kau tahu sendiri aku tidak merasa nyaman jika dia di dekatku. Apa kau sengaja melakukan ini? Dia mendengus dengan menampakkan senyum liciknya. Sudah ku duga gumamnya samar. Tapi untuk jarak yang sedekat ini pendengaranku masih cukup kuat untuk bisa mendengarnya. Apa maksudmu? dahiku berkerut. Lepaskan kalungmu dia menunjuk tepat ke leherku. Dia menunjuk kalung berbandul huruf MH yang menggantung sempurna di tempat itu. Aku memakai kalung pemberian Max ini lagi setelah hari pernikahan kami dan menyimpan kalung keluarga Lee ke tempat asalnya. Untuk apa? aku memegang logam itu protectif. Lepaskan saja Aku tidak mau! aku mencengkram liontinnya lebih erat dari sebelumnya. Aku mundur ke belakang tapi dia malah mendekatiku. Dari sorot matanya Donghae terlihat tidak main-main kali ini. Jangan sampai aku memaksamu ancamnya. Donghae, mundur! Atau aku akan memukulmu dengan Aku kebingungan lalu melirik segulung tissue yang ada di dekat papan potong. Aku melemparnya ke arah Donghae tapi dia keburu menghindar. Dia mengulurkan tangannya Berikan padaku Tidak! teriakku dan di saat yang bersamaan badanku membentur tembok. Posisiku terpojok. Berikan katanya lagi. Untuk apa? Ya, berikan saja Tidak akan! tukasku tajam. Dan hal itu malah membuatnya semakin mendekat. Aku berusaha mendorongnya dengan kedua tanganku. Menjauhlah, Donghae! Dengan cepat dia menangkap tanganku dan menguncinya di dinding. Aku menoleh ke samping kanan dan kiri dengan gugup, melihat tanganku yang rasanya seperti diborgol. Dia menatapku sejenak lalu mendekatkan wajahnya ke leherku. Mulanya dia menciumi bagian samping kiri tapi langsung merambat kemana-mana. Bulu kudukku kian meremang. Donghae, apa yang kau lakukan? aku berusaha meronta lagi, tapi dia tidak bergeming. Dia malah sibuk menciumi area tubuhku yang cukup sensitif itu dengan intens bahkan sampai ke daun telingaku. Makin lama seperti ada sesuatu yang basah saat dia melakukan itu. Aku mengeratkan gigiku kuat-kuat agar tidak mengeluarkan erangan atau bahkan desahan saat dia memakai lidahnya. Ya, ampun apa dia mau memperkosaku di dapur? Lepaskan kataku semakin lemah berusaha mendorong dadanya agar menjauh dari badanku walaupun percuma. Kakinya juga menempel kuat di kakiku hingga aku benar-benar terkunci, tidak bisa melakukan perlawanan baik itu dengan tangan ataupun kaki. Tapi dia tidak menghiraukan kata-kataku. Malah semakin lama aku merasa ada rasa perih saat yang tertinggal di satu bagian dari leherku. Dia sedang asik dengan satu titik di daerah pangkal leherku. Apa dia mau meninggalkan jejak di di bagian itu? Aku memejamkan mataku kuat-kuat, menahan sensasi ini. Terasa cengkraman tangan kanannya kian melemah dan benar-benar terlepas beberapa detik kemudian. Dia mundur ke belakang setelah aku menangkap suara tumbukan logam kecil. Aku memberanikan diri membuka mataku sedikit demi sedikit dan aku baru sadar betapa bodohnya diriku, kalung itu sekarang sudah mendarat di tangan kanannya. Aku berusaha menahan nafasku sebisa mungkin agar tidak tersengal- sengal. Kalung dari mantanmu? tanyanya merasa puas setelah mengerjaiku. Kurang ajar! Bagaimana bisa dia melepaskan kalung itu hanya dengan mulutnya? Sial! Pasti saat aku merasa digigiti tadi. Dia memanfaatkan situasi saat aku terlena. KauKembalikan, Donghae! Itu milikku! aku menatapnya garang dan berusaha merebut benda itu dari tangannya. Tapi dia terlalu gesit dalam menghindar. Dia memasukkan benda itu ke saku celana lalu bersedekap di hadapanku. Apa yang kau lakukan? Kenapa kau mengantonginya? Seberapa penting benda ini untukmu? tanyanya lagi dengan mata yang menyipit. Itu sangat penting bagiku. Kembalikan! aku berusaha meraih lubang kantungnya tapi dia selalu berhasil menghindar. Apa akan sepadan jika kalung ini ku tukar dengan yang lebih baru? Dia merogoh saku celananya yang lain lalu menyodoriku dengan logam emas putih yang bentuknya seperti rantai jangkar kapal berukuran seribu kali lebih kecil. Di bagian tengahnya juga ada liontin huruf H tanpa embel-embel huruf M. Sudah pasti harganya tidak murah, tapi aku merasa lebih nyaman menggunakan kalung pemberian Max ketimbang kalung yang masih terlihat asing di mataku itu. Aku tidak mau! kataku sengit, menatapnya galak. Lalu apa yang sepadan dengan kalungmu? Tidak ada. Menurutku itu istimewa! Dia tertawa melihat reaksiku. Eh, apa yang lucu? Lalu, menurutmu apa istimewanya aku di mata Jessica? Apa maksudmu? alisku naik sebelah, masih merasa heran dengan apa yang dikatakannya. Sama halnya dengan Jessica. Dia mencintaiku dan merasa kau telah merebutku darinya. Aku hanya ingin memberikan gantinya dengan tinggal di sini walaupun itu tidak sepadan dengan apa yang dia rasa telah dipinjam sementara olehmu. Kalungmu hanya benda mati, sementara aku makhluk yang bisa bernafas dan dekat dengannya. Kalau urusan kalung ini saja membuatmu segeram itu, bagaimana dengan perasaan Jessica melihatku menikah denganmu? paparnya blak-blakan. Analogi kalung? Cih! Kenapa tidak blak-blakan saja dengan mengatakan ingin melindungi perasaannya? Lalu bagaimana dengan perasaanku? Kenapa dia tidak peduli dan mencoba mengerti. Aku hanya mencoba melindungi perasaannya -DEG- Hal yang barusan ku gerutukan dalam hati lolos juga dari mulutnya. Rasanya sakit mendengar itu. Seperti dilempar ke jurang lalu digencet dengan batu-batu berukuran besar. Memangnya aku tidak punya perasaan? Kapan dia akan mengerti aku? Aku menatapnya tajam dan setelah itu melemparkan pandangan ke arah lain. Mengertilah pintanya dan itu membuatku mendengus, muak. Dia memintaku untuk mengerti tapi dia tidak pernah mencoba mengerti perasaanku. Aku menatapnya sekilas lalu pergi dari hadapannya. Aku pergi ke kamar sebelum airmataku tumpah di hadapannya. Hyosun-ah! panggilnya, tapi aku tidak menghiraukan panggilan itu melainkan memilih untuk mengunci kamarku rapat-rapat. Aku langsung menuju meja rias dan menghadap ke kaca yang ukurannya cukup besar untuk memantulkan bayanganku dari perut hingga ujung kepala. Aku melihat leherku yang terasa sedikit perih. Dan benar, dia menggigitinya hingga menimbulkan bercak merah. Brengsek! Seharusnya aku tahu kalau dia ingin mengambil kalung dari Max. Dia mengelabuhiku dengan cara memberiku skinship singkat. Keterlaluan! Untung saja aku tidak pernah ikut ekstrakulikuler karate atau taekwondo saat kuliah, kalau saja iya sudah patah tulang-tulangnya karena memperlakukanku seperti itu. Bukan berarti setelah malam itu aku bisa diperlakukan seenaknya. Yang aku lakukan hanya sebatas syarat. Mungkin ada benarnya dia melakukan itu karena Jessica terlanjur tahu dengan keputusannya menikah denganku, tapi tetap saja aku tersakiti. Tersakiti karena Donghae lebih memilih melindungi perasaan Jessica daripada menjaga perasaanku. Setelah kejadian di dapur tadi aku tidak melanjutkan pekerjaanku lagi. Aku memilih untuk tiduran di atas kasur dengan pikiran yang masih melalang buana. Bahkan saat Donghae mengetuk pintu dan ingin berangkat bekerja, aku tidak bergeming. Menjawabnya melalui SMS pun aku juga merasa enggan. ~ceklek~ Pintu luar sudah tertutup lagi dan itu pertanda bahwa Donghae telah pergi ke kantor. Aku turun dari ranjang, memutuskan untuk mengambil air mineral di dapur. Saat aku melintasi meja makan, mataku terbelalak melihat Donghae sudah duduk di salah satu kursi. Lalu suara pintu itu? Ya Tuhan, dia mengecohku lagi. Dia menatapku Aku tidak biasa makan sendirian Aku mendesis tapi mengikuti apa yang dimintanya. Di meja makan sudah tersebar beberapa jenis makanan. Jangan ditanya siapa yang memasak, sudah pasti dia. Melihat ini aku merasa malu karena membiarkan suamiku sendiri memasak untukku. Besok malam ada acara reuni SMA. Bisakah kau luangkan waktu? tanyanya sebelum memasukkan sepotong omlette ke dalam mulutnya. Aku menghela nafas cukup panjang Apa dress code-nya? Dia tersenyum, menyimpulkan persetujuanku yang secara explisit itu Black tie katanya singkat. Black tie semacam pesta yang bernuansa formal dan lebih ditunjukkan pada kalangan pria. Kaum pria memakai toxedo dilengkapi dengan dasi hitam dan pasangannya hanya mengikuti dengan coctail gown selutut atau two piece tapi tetap terlihat elegan. Tatanan rambut dibuat seperti french twist atau digelung ke atas. Dan yang paling penting adalah para pria diwajibkan mengenakan dasi hitam (black tie). Berbeda dengan white tie yang mengharuskan undangan wanita menggunakan gaun yang panjangnya hingga menyentuh lantai. Baiklah kataku kemudian memotong omlette dengan pisau lalu memasukkannya ke dalam mulut. Bersamaan dengan itu, perutku terasa keram. Seperti diaduk-aduk hingga menimbulkan rasa sakit yang cukup membuatku meletakkan garpu dan pisau. Aku memegangi perutku yang terasa keram. Keringat di dahi sepertinya juga mulai bermunculan. Tidak ini tidak boleh terjadi. Ini bukan jadwalku datang bulan. Pasti ini hanya keram biasa. Hyosun, kau kenapa? Wajahmu pucat Donghae menghentikan makannya lalu mendekatiku. Aku menggeleng kuat-kuat, tapi tanganku masih mencengkram kain yang melapisi bagian perutku. Kau sakit? Tidak mungkin! Bagaimana bisa aku menstruasi pada tanggal ini. Seharusnya minggu depan aku baru mendapatkan menstruasiku. Aku menatap Donghae tidak percaya, lalu beranjak dan pergi ke kamar mandi terdekat. Aku bersandar di balik pintu untuk beberapa saat sambil menatap kaca penuh tanda tanya. Kenapa cepat sekali? Berarti apa yang aku lakukan dengan Donghae waktu itu tidak ada artinya? Aku masih memegangi perutku yang keram, tapi mau tidak mau aku harus mengetahui kebenarannya. Perlahan aku menurunkan celana dalamku dan aku bisa melihat bercak-bercak merah di situ. Dan saat itulah aku merasa hancur. Impian untuk mendapatkan anak gagal sudah. Hyosun, kau tidak apa-apa? Donghae menggedor pintu. Apa yang harus ku katakan padanya? Tak terasa airmataku meleleh pelan karena menstruasi bulan ini. Tapi aku buru-buru mengusapnya lalu keluar untuk menjawab kecemasan Donghae. Aku sedang menstruasi. Kataku dengan suara lemah. Wajah yang tadinya cemas kini berubah menjadi sebuah kekecewaan. Dia sadar setelah beberapa detik bahwa dia tidak akan mendapatkan anak dari hubungan badan yang dilakukan baru saru kali. Aku merasa sedih melihat ekspresinya karena ini bukan situasi yang tepat untuk mengatakan kita bisa mencobanya lagi bahkan untuk berkata kita bisa melakukannya dengan cara lain pun tidak ada gunanya. Tapi perutmu? Ini sudah biasa terjadi saat hari-hari pertama menstruasiku Oh desahnya lesu. Jangan terlalu dipikirkan. Masih ada jalan dan waktu dia mengelus puncak kepalaku, mencoba tegar dengan menampilkan sedikit senyumnya. Aku akan berangkat ke kantor sekarang dia beranjak lalu menyambar tas kerjanya yang berada di kursi. Aku melihat makan yang sengaja di campakkannya setelah mendengar jawabanku. Kau tidak mau menghabiskan makananmu dulu? Aku sudah telat. Aku pergi dulu Dia pergi begitu saja. Membawa rasa kecewa yang baru saja didapatnya dariku.
Aku mengamati wajahku di cermin. Menilik dari ujung rambut hingga ujung kaki. Aku memakai dress putih polos sepanjang lutut tanpa tali dengan belahan dada yang tidak begitu rendah. Bagian bawah cukup melebar tapi terkunci oleh ikat pinggang hitam yang aku padukan dengan high heels tali berwarna gelap. Biasanya aku merias wajahku agar tampak cassual tapi kali ini aku harus memberi riasan mencolok terutama dalam memoleskan lipstick, aku harus memakai warna merah. Aku memilih warna merah bata, jadi tidak terlalu menor walaupun harus tetap terlihat glamour. Hyosun, kau sudah siap? Donghae menggedor pintu kamarku dengan beberapa tekukan jarinya. Ya. Sebentar lagi aku keluar jawabku lalu menarik tas hitam kecil seukuran dengan dompet yang biasa aku bawa kemana-mana. Kita berangkat sekarang? tanyaku saat membuka pintu dan mendapatinya sedang mondar-mandir di depan kamarku. Donghae menoleh padaku. Dia menatapku dengan sorot mata yang cukup ganjil tanpa berkedip. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Apa foundation yang aku gunakan melebihi batas atau goresan pensil alisku melenceng? Aku memang baru pertama kali ini memakai riasan yang berlebihan di hadapannya. Apa ada yang salah? tanyaku gugup menyikapi ekspresinya yang tak terdeteksi itu. Tidak. Ayo berangkat sekarang katanya buru-buru lalu mendahului langkahku. Mungkin hanya firasatku saja. Donghae memang aneh dan tatapannya juga tidak konsisten. Tapi kenapa aku malah menyukainya. Aku tersenyum kecil lalu buru-buru mengekor di belakangnya. Donghae! panggil sebuah suara di belakangku. Tidak. Jangan dia, please. Donghae langsung menoleh, tapi aku masih sibuk berdoa dalam hati agar wanita itu bukan Jess. Ada apa? tanya Donghae dan ucapan yang keluar dari mulutnya itu menjawab doaku yang tak terkabul. Dia memang Jessica. Kau ke acara reuni, kan? Bolehkah aku menumpang di mobilmu? Hari ini mobilku di bengkel tanya Jessica, bersamaan dengan aku yang tengah membalik badan. Donghae menoleh canggung padaku. Aku berharap dia menanyakan padaku apakah aku setuju atau tidak. Tapi dia tidak melakukannya. Baiklah. Masih ada tempat kosong jawab Donghae dengan gampangnya. Terimakasih kata Jessica dengan cukup riang. Nona Hyosun, tentu kau tidak keberatan kan? Jessica memandangku dengan tatapan memaksa dan mengancam di balik senyumnya yang terlihat menawan. Aku mendengus kesal lalu memilih berjalan terlebih dahulu. Aku bilang keberatan pun Donghae juga tidak akan peduli. Bagaimana bisa dia membiarkan situasi yang seperti ini? Satu mobil dengan aku, Jessica dan dia. Lalu siapa yang akan duduk di sampingnya? Jessica atau aku?
Sepanjang jalan aku hanya bisa menggerutu kesal. Aku seperti menumpang di mobil Donghae. Dia membiarkan Jessica duduk di sebelahnya sementara aku di kursi belakang. Bahkan ketika sudah berada di acara reuni pun dia tidak terlalu banyak bicara denganku. Orang-orang ini seluruhnya asing di mataku kecuali dia dan Jessica, dan hal itu membuatku sulit untuk berinteraksi. Terlihat sekali semua yang hadir begitu menikmati acara nostalgia ini. Mereka tersenyum dan sesekali terkekeh ketika bercerita tentang masa-masa SMA-nya. Sementara aku terpuruk di kesunyian di tengah hingar bingar pesta. Reuni macam apa ini? Membosankan! Nona, Hyosun. Ku dengar kau bertemu dengan Donghae di Paris, apa itu benar? tanya salah satu di antara tiga teman SMA Donghae padaku. Dia memakai kacamata dan penampilannya sedikit kuno menurutku. Namanya Alex. Iya. Kebetulan dia adalah editor di sana Donghae memotong, menjawab pertanyaan itu sebelum aku membuka suara. Bertemu di kota Paris pasti sangat romantis. Suasana sungai Seine, menara eiffel Aku hanya tersenyum mendengar celotehan-celotehan teman lama Donghae ini. Romantis apanya? Cih! Aku memandangi gelasku yang tengah kosong. Aku mengedarkan pandangan ke arah bartender berdasi kupu-kupu yang sekarang sedang sibuk menunjukkan kebolehannya di hadapan tamu undangan. Dia mendapatkan pujian dan tepuk tangan. Donghae aku menunjukkan gelasku yang kosong dan dia mengerti kalau aku ingin menambah minum. Dia mengangguk. Aku boleh minta yang non-alkhohol? tanyaku pada pelayan yang satunya. Orange jus atau soda? Orange Jus juga boleh Tunggu sebentar kata pelayan itu kemudian pergi ke balik tirai. Aku mengamati bartender yang masih dikerubungi oleh para tamu karena atraksinya yang lumayan menarik. Dia mengocok bottle shake kemudian melemparkannya ke udara dan menangkapnya dengan tangan kiri di belakang punggung. Tolong White wine satu kata seseorang yang kini duduk di sampingku. Dia sedikit menghalangiku untuk melihat atraksi lanjutan dari bartender itu. Tuan, bisakah kau Kau? dia berbalik memandangku saat aku mengusik bahunya. Astaga, kenapa dia lagi? Dia kan yang waktu itu melihatku menangis di landasan helikopter. Kau yang Yang waktu itu melihatmu menangis potongnya meneruskan kalimatku yang terputus. Dia mendengus senang. Pipiku serasa memanas dia membahas itu lagi. Berhentilah membahas itu! tukasku. Baiklah. Aku kan hanya mengingatkan siapa aku Dia mengulurkan tangan Namaku Choi Seung Hyun. Biasa dipanggil TOP Aku memperhatikan jemarinya yang terulur lalu menatapnya matanya yang seolah berkata ayo jabat tanganku. Hyosun aku menjabat tangannya dan menjawab singkat. Margamu? Lee. Lee Hyosun kataku akhirnya, menyebutkan marga Donghae padanya. Kami menarik tangan masing-masing secara bersamaan. Ngomong-ngomong, kau angkatan tahun berapa? Sepertinya aku tidak pernah menemuimu selama SMA? Aku memang bukan alumni. Aku menemani suamiku di sini. Kau kenal Donghae? Dialah suamiku Apa? Donghae suamimu? Aku pikir dia kakakmu katanya tampak terkejut. Kami menikah dengan dua minggu yang lalu. Memangnya kenapa? Bagaimana kau bisa menikah dengannya? Kau yakin dengan pilihanmu? Kau ini kenapa sih? Memangnya apa yang salah dengan pernikahan kami? Dia diam, berfikir sejenak dan pandangan matanya berubah ke tempat lain, seperti mencari-cari sesuatu. Setahuku Donghae berpacaran dengan dia dia menunjuk ke arah lain dengan matanya. Aku menengok ke belakang dan melihat Donghae yang tengah mengobrol dengan Jessica. Melihat Donghae tengah tersenyum dengan wanita itu rasanya darahku mendidih. Katakan apa saja yang kau ketahui? aku menatapnya tajam. Aku tidak tahu banyak. Tapi sebulan terakhir ini aku lihat mereka sering jalan bersama. Itu saja dia mengangkat bahu lalu meneguk white wine satu gelas kecil. Kau tahu darimana? Bagaimana aku tidak tahu. Kami kan tinggal di hunian yang sama. Sebulan terakhir? Apa selama Jessica di sini mereka berdua sering bertemu? Pertanyaan macam apa ini, Hyosun? Itu sudah pasti. Donghae memang masih mencintainya. Kau tidak salah memilih pasangan hidup? Pertanyaan macam apa itu? Kasian sekali kau Persetan! Gerutuku dalam hati. Cara apalagi yang harus ku gunakan untuk mendekati Donghae? Rasanya semua ini tidaklah cukup. Tinggal bersama hanya mengubah sikapnya sementara. Hyosun-ah. Kau sedang apa dengan pria ini? aku berbalik ke belakang dan mendapati Donghae yang terlihat kebingungan dan heran. Oh, Tuan Lee. Sudah lama kita tidak bertemu. Sekarang kau sudah menjadi tentanggaku rupanya. Kau di lantai 7 dan aku satu lantai di atasmu Top menatapnya sedikit sinis. Donghae mendengus Iya. Senang bisa menjadi tetangga barumu Dari nada suara keduanya, sepertinya mereka tidak begitu akrab. Ayo kita ke sana Donghae memegang pergelangan tanganku, tapi aku tidak bergeming hingga membuatnya menoleh. Aku masih mau di sini kataku ketus. Sebentar lagi acara selesai. Kita bisa langsung pulang dia belum mau melepaskan tangannya. Aku akan pulang bersama dia. Kau pulang saja sendiri aku menunjuk Top dengan mendongakkan daguku. Kau pulang dengan dia? Donghae heran bukan kepalang hingga memandang sebelah mata pada Top. Memangnya kenapa? Tidak. Kau harus pulang denganku Aku tidak mau, Donghae. Aku menghempaskan tanganku dari cengkramannya. Hei, kenapa kau memaksanya Donghae? Kau tidak dengar dia ingin pulang bersamaku? Top menengahi. Kau serius ingin pulang dengannya? tanya Donghae dingin. Aku memberinya sebuah anggukan. Terserah kau Donghae langsung pergi begitu saja dari hadapanku. Aku melihat punggungnya yang kian menjauh kemudian menghadap pada pria yang tengah meneguk wine keduanya. Dia tersenyum padaku. Aku tidak pernah menawarimu tumpangan katanya. Aku juga tidak berniat menumpang. Aku akan naik taxi Sudah ku duga hubungan kalian tidak harmonis Berhentilah membahas itu kataku ketus. Aku mengambil gelas berisi cairan berwarna orange itu lalu meminumnya hingga tetes terakhir. Kau galak sekali. Tidak usah naik taxi. Kita tinggal di wilayah yang sama. Aku akan memberimu tumpangan Tidak perlu Kau keras kepala sekali. Wanita tidak baik keluar malam-malam
Akhirnya aku pulang bersama Top, pria yang baru aku kenal di acara reuni Donghae. Banyak hal yang diceritakan tentang Donghae dan Jessica. Bagaimana mereka berdua selama SMA dan lain-lain. Cukup menohok mendengar kisah mereka dari Top, tapi mau tidak mau aku harus mendengarnya. Darimana saja kau? Donghae beranjak dari tempat duduknya, menghampiriku. Aku langsung pulang Bohong. Kalau kau langsung pulang seharusnya sejak tadi kau sudah ada di rumah sergah Donghae, tak terima dengan jawabanku. Aku tadi mampir untuk makan ramen bersama Top Aku beringsut menjauhinya. Tidak peduli dengan ekspresi marah yang terpancar dari matanya. Lagi pula kenapa dia harus marah? Aku hanya tidak mau menjadi orang yang paling tolol di tengah-tengah Donghae dan Jessica. Aku tidak suka kau berdekatan dengan pria itu Aku menghentikan langkahku, kemudian menoleh pada Donghae yang tengah menatapku. Kenapa? Dia baik padaku aku bersedekap. Aku tidak menyukainya! Tapi aku menyukainya tantangku. Kau Kenapa? Aku berharap Donghae mengatakan bahwa aku adalah istrinya. Ayo katakan! Tapi dia tidak mengatakan apapun dan memilih mendahuluiku pergi ke kamar lalu membanting pintu kamarnya. Aku tidak menyangka semuanya akan terasa seberat ini.
Setelah malam reuni itu Donghae yang berbalik mengabaikanku. Kenapa harus bersikap seperti itu? Bukankah dia lebih tua dariku tapi kenapa sifatnya sangat kekanak-kanakan. Terlebih lagi saat dia tahu aku telah bertukar nomor ponsel dengan Top. Setiap berbicara dia tidak akan memandangku sama sekali. Dan karena hubungan kami yang semakin runyam ini, aku memutuskan untuk meminta Top agar tidak menghubungiku sama sekali. Kalau tidak, hubunganku dengan Donghae akan lebih susah. Bukankah itu lebih bagus jika dia marah karena kedekatan kita? kata Top saat aku berkunjung ke apartemennya. Apa maksudmu? Bantu aku, maka aku akan membantumu Top menyodorkan sebuah kartu nama berwarna emas padaku. Sebuah kartu nama yang cukup bonafide dari salah satu penerbitan kenamaan di kota Seoul. Apa maksudnya? tanyaku. Dia tersenyum kecil menanggapi pertanyaanku.
Ini hari ke lima setelah reuni SMA Donghae dan dia masih saja bersikap dingin padaku. Aku melihatnya tengah menyaksikan berita lokal di depan televisi. Dia duduk dan menyandar di sofa terbesar ruangan itu. Hari ini adalah hari minggu, jadi wajar saja jika dia seharian ini di rumah. Aku mendekat dan mengambil tempat duduk di salah satu bangku kosong yang letaknya paling dekat dengan Donghae sekarang. Aku merapatkan pahaku karena aku memakai rok yang cukup pendek hari ini. Bisa kita bicara? tanyaku sedikit ragu. Dia mengalihkan pandangannya dari televisi sesaat untuk memandangku. Tapi beberapa detik kemudian memfokuskan pandangannya lagi ke acara berita. Ada apa? tanyanya tanpa memandangku. Top menawariku untuk bekerja di sini aku menyodorkan kartu nama yang kemarin diberikan oleh Top padaku. Donghae menangkap gerakan tanganku dari salah satu sudut matanya, kemudian melirik benda plastik berwarna keemasan itu. Dia menatapku sejenak lalu mengambilnya. Penerbitan Choi? Donghae menatapku cepat dengan matanya yang kian menyipit. Penerbitan Choi adalah salah satu penerbitan yang dirintis oleh adik dari ayahnya. Iya. Top memintaku untuk bekerja di bagian editing. Donghae mendengus dan menatapku penuh cemooh. Aku punya teman di Penerbitan Yonghwa. Aku akan mengenalkannya padamu dia mencampakkan salah satu kartu nama ter-bonafide di bidang penerbitan itu di atas meja. Tapi aku ingin bekerja di Penerbitan Choi kataku bersikukuh. Aku tidak setuju Kenapa? Karena aku tidak menyukai Top sejak SMA! Aku tidak mengijinkanmu! Itu bukan alasan! tukasku. Apa alasanmu bekerja di sana? tanyanya tak mau kalah. Dia mengambil gelas minumnya yang ternyata sudah kosong, kemudian mengumpat kecil dan meletakkan gelas itu ke tempat asalnya. Penerbitan Choi adalah penerbitan besar yang cukup berpengaruh di Korea Selatan. Lagi pula aku bosan di apartemen terus Penerbitan Yongwha juga tak kalah berpengaruh. Tapi aku ingin bekerja di sana! Kenapa kau keras kepala sekali? Kau istriku dan aku berhak mengaturmu, apapun itu dia menaikkan nada suaranya satu oktaf lebih tinggi. Istri? tanyaku sinis. Memangnya seberapa jauh kau menganggapku sebagai istrimu? Dia terlihat salah tingkah dengan pertanyaanku tapi masih bisa mengontrol ekspresinya setelah beberapa saat berlalu Setidaknya bersikaplah dengan benar selama kau menjadi istriku Bersikap benar yang bagaimana? Aku hanya memberitahumu bahwa aku akan bekerja di Penerbitan Choi dan menurutku itu adalah hal yang sudah cukup benar untuk kuberitahukan walaupun sebenarnya itu tidak penting. Bukankah dari awal hubungan kita dibina tanpa komitmen? tanyaku menantangnya. Dia menatapku tajam karena pertanyaanku barusan. Kau dia menggeram dan memotong kalimatnya sendiri. Aku tidak tahu apa lanjutan kalimatnya itu, tapi dia membuatku sedikit bergidik karena matanya berkilat-kilat. Apa kau menyukainya? tanyanya kemudian mencoba mengalihkan kalimatnya yang terputus. Siapa? Top? tanyaku pura-pura tidak mengerti tapi dia tidak menjawabnya, dia menunggu jawabanku. Dia baik dan aku mempercayainya sebagai seorang teman Kau mempercayainya? Manusia macam apa kau ini bisa langsung mempercayai orang lain yang baru dikenal selama beberapa hari? Donghae tidak percaya dan tersenyum keji padaku. Apa salahnya? Kenapa kau tidak bertanya manusia macam apa aku ini yang langsung menerima tawaranmu sebagai istri dalam beberapa hari? Aku meremas bagian sofa yang tidak terlihat oleh mata Donghae. Sejujurnya aku takut melihat ekspresinya yang seperti ini. Dia marah tapi tidak mengatakan sesuatu padaku tapi memilih menatapku dengan garang. Jangan sampai dia mengangkat tangannya untuk memukulku. Aku akan menuruti semua yang kau mau, Donghae. Semuanya. Jika memang kau memberiku hak sepenuhnya untuk menjadi istrimu. Tapi hubungan kita memang dari awal tidak dibuat seperti itu. Nanti aku akan menyerahkan aplikasiku pada Top, mungkin mulai minggu depan aku bisa mulai bekerja kataku untuk terakhir kalinya karena dia tidak mengatakan apapun lagi. Dia masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Aku beranjak dari tempat dudukku. Rasanya ada sesuatu yang menganga di jantungku hingga aku merasa sakit dengan ucapanku sendiri. Airmataku menetes saat aku menutup pintu kamarku. Aku bersandar di daun pintu sejenak, membiarkan air asin ini mengalir, menyusuri wajahku hingga ke bagian yang landai.
Bagaimana? tanya Top bersemangat saat aku datang ke ke apartemennya beberapa jam setelah berbicara dengan Donghae. Dia mendekatiku tapi aku langsung melemparnya dengan sebuah buku yang tidak begitu tebal. Brengsek! Aku hampir mati, bodoh! kataku geram. Dia malah tertawa sesuka hati dan menganggap semuanya adalah lelucon konyol. Berhentilah tertawa! Maaf, Hyosun-ah. Aku hanya tidak tahan melihat ekspresimu itu. Jadi, dia mengijinkanmu? tanyanya setelah berhasil mengontrol tawanya tapi masih menyisakan kikikan. Dia tidak punya pilihan. Tapi kau tahu, aku takut sekali menghadapinya kali ini. Dia seperti monster. Aku takut dia menghajarku karena menentangnya aku belum sepenuhnya bisa mengontrol nafasku, masih merasa panik walaupun pembicaraan dengan Donghae sudah berlalu. Top menebaskan tangannya, memberi nada yang sedikit menenangkan.Donghae bukan tukang pukul. Semarah apapun dia, dia akan memilih meninju tembok daripada mengangkat tangan untuk memukul seorang wanita. Jadi kau tenang saja Kau yakin ini akan berhasil? Tidak ada salahnya untuk mencobanya kan? Kalau dia belum sadar dengan perasaannya padamu, kau sendiri yang harus menyadarkannya Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini? Bukankah melawan api dengan api yang lain malah menimbulkan api yang lebih besar sangkalku kemudian mengelus-elus dahiku sendiri. Tapi cinta itu bukan api kan? Setahuku cinta memang seperti api yang sewaktu-waktu bisa kuat dan kadang-kadang meredup Top menggeleng tidak setuju, kemudian meraih tangan kananku. Memperhatikan logam yang melingkar di jari manisku. Cinta yang dangkal memang seperti api. Tidak konsisten, terkadang redup dan terkadang menyala besar. Tapi cinta sejati seperti ini dia menunjuk ke berlian kecil yang ada di tengah-tengahnya. Mineral yang memiliki sifat-sifat fisika yang istimewa, terutama kekerasannya dan kemampuannya mendiskripsikan cahaya. Selain itu, berlian hanya bisa dipecah dengan berlian yang lain. Sama halnya dengan cinta sejati, Hyosun-ah. Kau juga harus melawannya dengan hal yang sama kalau kau yakin dia adalah cinta sejatimu Tapi, entah mengapa jika ada Jessica, rasanya aku kehilangan kepercayaan diri, Top. Dia selalu membuatku merasa tidak ada apa-apanya kataku lemah. Aku menunduk saat Top melepaskan tanganku. Karena itulah kau harus menyadarkan Donghae. Aku yakin dia juga memiliki perasaan padamu. Tapi dia belum mau mengakuinya. Aku bisa melihat bagaimana posesifnya dia di acara reuni waktu itu. Makanya kau harus sesering mungkin membuatnya cemburu Top memegang kedua lenganku dan itu cukup untuk membuatku menengadah. Dan itu kulakukan denganmu? Top memberikan sebuah anggukan. Kau bilang padaku kalau dia terpaksa menikah denganmu tapi kau tidak memberitahu detilnya padaku. Sekarang ceritakan semuanya padaku Aku menatapnya intens Bagaimana aku bisa percaya padamu? Untuk percaya pada seseorang, kau tidak perlu bukti apapun. Tapi biarkan hatimu yang menentukannya. Aku memang terkenal play boy, nakal, bermasalah dengan para pengajar dan lain-lain selama di SMA. Tapi ada satu kebaikan yang aku sisihkan, yaitu aku bisa dipercaya. Itu saja dia melepaskan tangannya lalu membiarkanku berfikir. Dan karena itulah Donghae tidak menyukaimu? Terlebih lagi saat aku mematahkan gitar akustiknya dia mengiyakan. Aku berfikir lagi. Apa harus seperti ini jalannya? Sejujurnya aku juga tidak bisa menyimpan ini terlalu lama seorang diri desahku menyerah. Aku tidak mungkin lagi datang pada Kyu Oppa. Dia yang memintaku bertahan. Aku sudah tidak bisa lagi membagi perasaan seperti ini padanya, aku tidak mau dia terlalu banyak memikirkanku. Aku hanya ingin terlihat baik-baik saja di hadapannya dan mengatakan semuanya OK. Bagi bebanmu itu padaku. Maka semuanya akan terasa lebih ringan Aku menatapnya sejenak. Sama halnya dengan Donghae, aku bisa mempercayai Top tanpa perlu kenal dengannya terlalu lama. Dari matanya yang cukup tajam itu, aku bisa merasakan bahwa dia bisa menjadi salah satu orang yang bisa aku percaya. Aku mengambil tempat di salah satu sofa yang masih kosong, lalu menceritakan semuanya pada Top. Dia mendengarkan tanpa banyak bicara. Menurutmu jika aku menginginkan lebih dari Donghae, apa itu salah? Top menggeleng Tidak. Hanya saja. Hanya saja apa? Hanya saja mereka berdua sudah berpacaran cukup lama. Apa kau siap jika nantinya Donghae memilih Jessica? Aku menelan ludah mendengar hal itu dari mulut Top. Rasanya aku sudah melihat kegagalan di depan mataku. Pandanganku sudah mulai blur. Mataku mulai berkaca. Apa lebih baik aku mundur sebelum jauh? Top malah terkekeh Kenapa kau jadi ciut begitu? Dengar, kau tidak perlu menjadi yang pertama untuk menjadi yang utama. Jika kau tidak bisa berjalan cepat, maka jangan terburu-buru. Karena dengan berjalan lambat kau bisa melihat banyak hal. Kalau memang Donghae tidak pernah memberikan tempat di hatinya untukmu Maka aku yang akan mengantarmu ke museum of broken heart di Kroasia Aku mendengus Kurang ajar! Haha paling tidak kau harus berusaha sampai akhir Sekarang ceritakan tentang wanita itu dan apa yang harus aku lakukan? tanyaku kemudian. Namanya Kim Sujin. Dia adalah wanita yang tidak pernah melirikku sama sekali selama di SMA. Dia juga terkesan tidak peduli padaku. Tapi aku tahu dia menyukaiku Dari mana kau tahu? Sudah jelas-jelas dia mengabaikanmu kataku meremehkan. Dulu saat perpisahan dia mengirimiku surat cinta tanpa nama. Aku hafal setiap lekuk tulisannya jadi aku yakin kalau tulisan itu miliknya. Tapi dia tidak pernah mengaku Kau menyukainya? Dia tersenyum kecil Sampai sekarang daya tariknya tidak pernah berkurang. Lalu apa yang harus aku lakukan? Dia juga bekerja di bagian editing. Tolong cari tahu tentang dia. Semuanya, apakah dia sudah punya kekasih atau belum. Pokoknya sesuatu yang seperti itu Aku mengernyit Kau mau aku menjadi penguntit? Ayolah. Aku bekerja di bagian humas. Aku tidak punya kenalan di bagian editing. Kalau bukan kau siapa lagi? Aku bisa meminta pamanku untuk memasukkanmu di sana. Please Aku juga rela mengambil resiko kalau sewaktu-waktu Donghae menghajarku karena berdekatan dengan istrinya dia memohon. Kenapa tidak kau saja yang bekerja di bagian editing? Kau kan bisa bertemu dengannya setiap hari Dulu aku sudah mencobanya, tapi HRD menolakku karena jurusanku tidak sesuai. Pamanku juga tidak bisa membantu banyak. Lagi pula Sujin anti berdekatan denganku Kenapa? mataku menyipit. Ah Kau tidak perlu tahu. Yang jelas kau harus membantuku, ayolah Aku perlu tahu apa masalahmu. Ini memalukan dia mendesah kesal sambil mengacak-acak rambutnya. Seberapa memalukan? Sangat memalukan Memangnya apa yang kau lakukan padanya? tanyaku penasaran. Hyosun, please jangan paksa aku untuk mengatakannya wajahnya kini memelas, mengurangi karakter garang dari wajahnya. Yeah, aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi jangan paksa aku untuk membantumu kataku, merasa menang. Ck! dia berdecak, menatapku penuh protes tapi tidak punya pilihan. Aku pernah menciumnya setelah acara perpisahan Apa? Menciumnya? Lalu apa yang dia lakukan padamu? Dia langsung menamparku Top nyengir. Tindakan yang bagus, nona Sujin! kataku mantap, setuju dengan tindakan Sujin di masa lalu. Heh! Kenapa kau membelanya? Kau kan temanku Cih! Untung saja dia hanya menggamparmu. Kalau aku jadi dia, aku akan melemparmu ke jurang setelah menyumpal mulutmu itu dengan popok bayi Sial! Lebih baik aku tidak pernah mengatakannya padamu kalau kau berniat mencemoohku seperti itu Mendengar dia mengeluh, aku malah tertawa. Jadi bagaimana? Oke. Aku akan membantumu. Ini aplikasinya aku menyerahkan map berisi transkrip nilai, riwayat hidup dan lain-lain. Yes! Sekarang aku punya alasan untuk datang ke tempat editing dia berdecak kegirangan. Dahiku berkerutAlasan? Maksudmu? Aku akan sering menemuimu di bagian editing. Dengan begitu aku bisa melihatnya setiap hari katanya sumringah. Yeah, terserah kau saja. Kalau dipikir-pikir nasib kita tidak jauh berbeda ya. Sama-sama mengejar cinta dari orang yang belum tentu mencintai kita aku mendesah. Eh, sudah jelas-jelas kita berbeda. Dia menyukaiku saat SMA. Sementara kau Eh, itu asumsimu saja. Bagaimana kalau surat itu dari orang lain dan orang lain itu meminta tolong pada Sujin untuk menulisnya? potongku tidak terima. Wajahnya menjadi muram Benar juga. Aku buru-buru menyikutnya Heh! Tadi kau berorasi tentang cinta sejati. Kenapa sekarang loyo begitu? Jangan sampai kau yang aku antar ke Museum of Broken Heart di Kroasia ya Ah! Konyol. Baru kali ini aku dibuat gila oleh wanita dia menoleh padaku, tersenyum masam. Memangnya kau sendiri yang gila? Aku juga gila karena Donghae Kalau mereka bukan cinta sejati kita katanya mengatung. Bagaimana kalau kita ke Kroasia bersama-sama? Sudahlah, belum apa-apa sudah membicarakan masalah Kroasia. Eh, bolehkah aku menumpang ke kamar mandi? Akhir-akhir ini aku mengalami gangguan di saluran kemih
1 Week later Aku memilah-milah blazer formal yang akan aku kenakan di hari pertama kerja. Entah kenapa, aku merasa tidak ada yang menarik untuk dikenakan hari ini. Tapi mau tidak mau aku harus memilih salah satunya. Berat badanku naik beberapa kilo dalam dua minggu terakhir. Akhirnya aku mengambil blazer putih bergaris di sepanjang kerah kemudian memilih rok pendek hitam agar warnanya netral. Masalah baju mungkin sudah bisa ku atasi, tapi ada masalah lain yang akhir-akhir ini timbul. Seluruh braku menciut atau lebih tepatnya ukuran payudaraku bertambah satu tingkat. Aku heran padahal sekarang ini sudah bukan masa pubertasku lagi. Selama menjadi istri Donghae, aku tidak pernah berbelanja lagi. Apa sebaiknya aku membeli beberapa keperluanku setelah pulang kerja? Ah, aku bisa mengajak Lexy. Aku buru-buru menyambar benda elektronik yang tergeletak di atas kasur. Kemudian mengetikkan beberapa karakter di atas touch screen-nya. To: Lexy Aku butuh bra! Aku langsung menekan tombol send setelah selesai mengetikkan pesan singkat untuknya. Tidak perlu menunggu lama balasan SMS itu sudah masuk ke ponselku. From: Lexy Kau pikir aku penjual bra? Memangnya ada apa dengan semua bra-mu? Apa selain memakan isinya Donghae juga menggerogoti tempatnya? LOL Aku tersenyum melihat jawabannya. To: Lexy Seluruh bra-ku menyusut XD Eh, kau bisa menemaniku belanja hari ini jam 5? From: Lexy Menyusut? Astaga! Bringas sekali dia sampai-sampai ukurannya berubah? LOL Oke. Di tempat biasa ya Melihat kata bringas, aku teringat dengan malam itu. Walaupun itu adalah hal yang pertama yang pernah kami lakukan, tapi kalau boleh jujur aku menginginkannya lagi. Donghae tidak bringas tapi berhati- hati. Flashback Kita bisa melakukannya dengan normal, Donghae-shi kataku sedikit ragu, tapi aku serius untuk mengatakan ini. Dia menoleh dengan cepat, menatapku tak percaya. Ini yang paling tidak beresiko tambahku. Aku tidak mau mengambil terlalu banyak darimu, Hyosun-ah! sergahnya cepat. Aku tidak akan menganggap kau mengambil terlalu banyak, Donghae-shi Dengan ragu aku menggeser tubuhku agar lebih dekat dengannya lalu mengalungkan tanganku di lehernya dengan pelan. Aku masih mencoba agar lebih dekat lagi. Ketika dia tidak protes, aku memberanikan diri mendekatkan wajahku sedekat mungkin dengan wajahnya, dia juga melakukan hal yang sama walaupun setengah ragu. Hyosun-ah, ini tidak mungkin protesnya lalu melengos begitu saja tapi tidak menghempaskan tanganku dari badannya. Apanya yang tidak mungkin? Donghae menatapku lagi dan kali ini dia berani memberikan sebuah kecupan di bibirku hingga membuat mataku terpejam sesaat. Aku merasakan setrum-setrum kecil yang menggelitik saraf-saraf di bibirku. Aku menikmatinya. Dia melepaskan kecupan itu lalu memandangku sejenak untuk melihat reaksiku, kemudian melanjutkan ciuman yang sesungguhnya. Dia berhenti dan mencoba melepaskan tangankuTidak, ini tidak benar. Ini gila! Jangan seperti ini. Aku akan sangat merasa bersalah padamu, Hyosun-ah Percayalah aku tidak akan mempermasalahkannya. Setidaknya sekali ini saja kita lakukan, jika gagal kita akan mencoba alternative Ini akan membuat pernikahan Please, kalau kau bicara lagi aku tidak bisa melanjutkan ini aku menutup mulutnya dengan beberapa jariku. Tanpa dia meneruskan kalimatnya, aku tahu dia akan mengatakan bahwa pernikahan kami tak-terceraikan jika disempurnakan dengan persetubuhan. Dan memang itulah yang aku mau sekarang ini. Aku menginginkan perkawinan yang tak-terceraikan. Berbeda dengan hari-hari yang telah lalu ketika aku belum sadar bahwa aku begitu menginginkan Donghae. Aku hanya berharap sentuhan yang paling intim ini mampu membuatnya luluh walaupun sedikit. Aku memandangnya dengan tatapan memohon agar dia mau memenuhi permintaanku. Dan dia kembali mendekatkan wajahnya setelah beberapa saat berfikir. Aku merasakan nafasnya yang hangat saat dia mulai menciumku pelan. Dia seperti melakukan percobaan untuk meminta ijin. Terasa sangat ragu-ragu. Kemudian ku beranikan untuk membalasnya dan barulah bibir kami benar-benar bertaut, memberi respons satu sama lain. Aku tidak tahu apakah dari awal dia memang menginginkan ini atau tidak, tapi yang aku rasakan seperti itu. Dia seperti memiliki hasrat yang sama denganku. Dia masih menghujaniku dengan ciuman-ciumannya sampai beberapa menit sebelum foreplay dan menurutku ini terlalu lama. Ini semacam rasa kerinduan yang mendalam. Apakah benar ini sebuah kerinduan? Ciumannya turun, menyusuri leherku yang cukup jenjang dan untuk beberapa saat dia berkutat di bagian sensitifku itu. Well, ini pertama kalinya untukku dan rasanya aku ingin teriak karena bulu kudukku mulai meremang. Dia menurunkan tali kecil di bahuku dan di saat yang bersamaan, aku menelan ludah. Aku rasa bra-ku terlihat karena baju tidurku sudah sedikit melorot. Oke, kenapa kamar ini menjadi panas saat dia menjelajahi dadaku padahal sudah jelas-jelas dia belum sampai ke bagian puncaknya? Aku merasa tangannya mulai terulur dan hampir menyentuh bagian itu, tapi ~NdretNdretNdret~ Tangan dan ciumannya berhenti saat ringtone dari ponselku berbunyi. Lagu dari salah satu penyanyi solo pria dari negeri Paman Sam mengalun dari sana. LEXY KIM! Ya ampun, apa yang ada di otak sahabatku itu? Kenapa dia menghubungiku di saat yang tidak tepat seperti ini? Tapi demi apapun, rasanya aku terselamatkan karena telephone-nya itu. Bodoh! Aku tidak tahu kalau melakukan hubungan sex untuk yang pertama kali sesulit ini. SKIP Dia lemas dan terlihat tidak punya tenaga lagi. Baik dia maupun aku sama-sama mengeluarkan peluh. Aku tersenyum kecil, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua. End Flasback Mengingat itu aku jadi berfikir, apa karena itu ukuran bra-ku harus kunaikkan? Yang benar saja? Kami kan baru melakukannya sekali. Aku mencoba mengabaikan pikiran itu, kemudian memakai baju yang telah aku pilih barusan, tentu saja dengan bra seadanya. Mungkin sepulang dari tempat kerja aku bisa memborong bra di sebuah toko.
Itu. Dia yang memakai kemeja orange Top menunjukkanku ke arah wanita berambut panjang yang kini tengah berjalan di salah satu koridor dari lantai ini. Dia menyibakkan rambutnya ke samping sambil membawa beberapa buah map dengan warna berbeda di tangan kirinya. Matanya sipit dan dandanannya juga tidak begitu menor tapi tetap elegan. Kalau aku pikir-pikir dia mirip dengan bintang iklan sampo yang ada TV, rambutnya membuatku iri. Dia melintasi kami, sementara kami pura-pura mengobrol dan tidak mengamatinya yang tengah melintas. Pantas saja dia tidak mau padamu. Dia cantik, tapi tampangmu pas-pasan kataku setelah gadis bernama Sujin itu menjauh dan hilang dari pandangan kami. Yang benar saja. Kenapa kau dan dia sama-sama mengataiku bertampang pas-pasan? Saat SMA maupun kuliah, banyak wanita yang mengejarku kilahnya merasa diremehkan. Mereka saja yang bodoh. Menurutku tidak ada yang lebih tampan selain suamiku sendiri. Donghae tampan? Alah, dia itu tidak sepopuler aku saat SMA Donghae memang tidak populer, tapi dia berkarisma Mau sampai kapan kau memuji ikan mokpomu itu? Sekarang bekerjalah dengan benar. Kalau aku sedang luang, aku akan bermain-main ke tempatmu. Carikan aku informasi yang banyak tentang Sujin ya. dia nyengir sambil menggaruk kepala bagian belakangnya yang tidak gatal. Untung saja kau memberiku pekerjaan yang sesuai dengan bidangku, kalau tidak pasti aku sudah menolaknya dari awal. Dia tertawaTerimakasih, cantik Tidak usah merayuku atau memujiku seperti itu. Hak sepatu yang aku pakai hari ini lumayan runcing dan itu cukup untuk membuat kepalamu bocor Kau ini galak sekali sih? Pantas saja Donghae tidak menyukaimu Top memberengut. Sembarangan. Kalau dia belum mencintaiku itu mungkin saja. Tapi kalau dia tidak menyukaiku, untuk apa dia memilihku sebagai istrinya? aku bersedekap. Well, Donghae tidak cukup kritis dalam memilih istri. Apa dia tidak takut kalau anaknya menjadi monster seperti ibunya Cih~ Mengocehlah sesuka hati di sini. Sudahlah aku mau ke ruanganku. Ini hari pertamaku, jadi aku harus bersikap sebaik mungkin aku beringsut pergi menjauhinya. Bekerjalah dengan benar, Nyonya Lee! Aku tersenyum, tapi tidak menoleh padanya sambil mengacungkan jempol kananku ke samping.
Setelah beberapa jam bekerja, akhirnya aku bisa bertemu dengan sahabatku. Setelah hari pernikahan, praktis aku belum bertemu dengannya sama sekali. Dan dalam kesempatan kali ini dia malah menggodaiku terus-terusan. Ayo, ceritakan. Bagaimana? tanyanya semangat saat aku memilah-milah pakaian dalam yang ada di toko itu. Bagaimana apanya? Kau usil sekali sih? Nanti kau juga akan tahu rasanya seperti apa Kau seharusnya memakai yang seperti ini Lexy menyodorkan sepasang pakaian dalam transparan padaku. Aku melihat itu dan menatapnya jijik. Tidak. Terimakasih Dia tertawa. Eh, ngomong-ngomong kau belum hamil? Aku menatapnya sejenak. Lalu mendesah. Aku mendapatkan menstruasiku minggu lalu. Satu minggu lebih cepat dari biasanya. Tapi anehnya menstruasiku kali ini tidak lama dan rasa kram di perutku tidak bisa hilang begitu saja. Sekarang masih terasa? tanyanya dengan raut wajah yang lebih serius. Masih. Sepertinya aku harus memeriksanya ke dokter Aku selesai memilah-milah barang yang ingin ku beli dan bermaksud berjalan menuju kasir. Kau tidak merasa mual? Apa? aku berbalik menghadap Lexy lagi. Selama ini kau tidak pernah merasa mual? Aku menggeleng Tidak. Memangnya kenapa? Aku kan sudah mendapatkan menstruasiku bulan ini, jadi tidak mungkin aku mual-mual karena hamil Apa kau sering merasa pusing, lelah. Ceritakan semua keadaanmu akhir-akhir ini Aku sedikit bingung mendengar pertanyaannya tapi aku berusaha menjawab sesuai dengan kondisiku akhir-akhir ini. Aku memang merasa cepat lelah. Tapi kalau pusing hanya sesekali. Sebenarnya selain perutku yang masih terasa keram, aku juga mengalami gangguan di saluran kencingku. Aku jadi lebih sering buang air kecil akhir-akhir ini. Itu saja. Memangnya kenapa? Bisa jadi kau hamil Apa? Hamil? Bagaimana bisa? Aku kan tidak Sudah, lebih baik kau bayar dulu barang-barangmu itu. Nanti ku jelaskan Aku menurutinya kemudian membayar seluruh barang-barang keperluanku. Setelah melakukan transaksi dengan kasir, aku dan Lexy pergi ke kedai es krim yang biasa kami kunjungi. Katakan, apa maksudmu dengan mengatakan bahwa aku hamil? Aku tidak mengalami gejala seperti mual-mual Memangnya gejala hamil itu mual-mual saja? Hanya 50% ibu hamil mengalami mual-mual. katanya saat aku menyuap satu sendok kecil es krim rasa vanila. Kram perut yang kau alami itu mungkin pengaruh tingginya kadar estrogen. Perubahan yang terjadi pada payudaramu juga karena selain dari tingginya estrogen juga karena naiknya hormon progesteron. Lalu sering buang kecil, istilah ilmiahnya adalah frequent urination. Ini terjadi karena janin yang semakin berkembang dan mendesak kandung kemih hingga memicu seringnya buang air kecil. Cepat lelah dan mengantuk juga pengaruh dari faktor hormonal Aku merasa tertegun dengan penjelasannya walaupun aku tidak mengerti secara menyeluruh tentang apa yang dia katakan. Terlalu ilmiah. Tapi intinya, dia mengatakan kemungkinan besar aku hamil. Lihat juga cara makanmu sekarang. Kau rakus sekali. Ini sudah gelas es krim yang ketiga. Pasti berat badanmu sudah naik Aku memperhatikan tiga gelas es krim yang sudah kosong di depanku dan aku baru sadar kalau aku makan es krim sekalap ini. Dahiku berkerut. Biasanya aku tidak pernah makan es krim sebanyak ini. Apa benar aku hamil? Aku menatap Lexy dan mengingat kapan terakhir aku menimbang berat badanku. Ini Lexy menyodorkan sebuah test pack yang masih tersegel padaku. Sebenarnya itu milik Ahjuma. Dia memintaku untuk membelikannya. Nanti aku bisa membelinya lagi. Periksalah. Kalau negatif kau coba dengan test pack lain dengan merk yang berbeda. Tapi kalau hasilnya tetap negatif, kau harus periksa ke dokter. Sepertinya kau memang bermasalah dengan kesehatanmu Lexy mengayunkan sendok, memakan suapan terakhir dari es krimnya. Aku menjilati bibirku, sedikit ragu dengan apa yang ingin ku tanyakan padanya Kau yakin? He hem Dia mengangguk pelan.
Aku duduk di atas closet dan menarik nafasku dalam-dalam. Aku belum berani melihat hasil dari tiga buah test pack yang aku genggam erat-erat di bagian ujungnya. Apakah ini akan berhasil? Lalu aku harus bagaimana jika aku benar-benar hamil?
Selamat. Anda positif hamil, Nyonya Lee. Kata seorang dokter kandungan di rumah sakit bersalin yang letaknya tidak jauh dari apartemen. Wajahnya turut berseri-seri setelah membuka amplop berupa hasil pemeriksaanku dari laboratorium. Aku masih belum yakin dengan hasil ketiga test pack yang aku gunakan kemarin karena itulah aku pergi ke rumah sakit ini untuk memeriksanya setelah pulang dari kantor. Benarkah? tanyaku tak percaya. Hatiku berbunga-bunga mendengar pernyataannya. Rasanya aku baru saja menggenggam dunia. Aku bahagia sekali setelah tahu bahwa aku benar-benar hamil. Donghae pasti akan sangat senang jika dia mendengar ini. Usia kandunganmu sudah tiga minggu. Ngomong-ngomong, suamimu tidak menemanimu? tanya dokter paruh baya itu penuh selidik. Dia tidak tahu kalau saya sedang memeriksa kandungan. Saya akan memberinya kejutan Aku sumringah sambil membayangkan reaksi Donghae jika mengetahui kesalahpahaman tentang flek yang aku kira adalah menstruasi tapi ternyata adalah tanda-tanda kehamilan. Oh, begitu rupanya. Pasti dia akan lebih memanjakanmu Lebih memanjakan? tanyaku heran. Aku mengilas balik ke belakang, mencoba mengingat hari-hariku bersama Donghae. Memangnya dia pernah memanjakanku? Rasanya konyol membayangkannya memanjakanku. Yang benar saja? Ya. Rata-rata calon ayah akan memberikan perhatian yang berlebihan. Melarang ini itu, bahkan cenderung seperti nenek-nenek yang sentimentil. Kau jangan kaget jika perangainya demikian Aku tersenyum mendengar paparannya walaupun aku sendiri belum sepenuhnya bisa membayangkan reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan Donghae. Perasaan seperti ini sangat luar biasa. Indah sekali. Ternyata menjadi calon ibu seperti ini euphoria-nya? Bagaimana mimik Donghae jika mengetahui ini? Arrrgh, bagaimana aku menyampaikannya nanti? Ouugh, kenapa pipiku menjadi panas? Kacau! Terlalu senang malah membuatku tidak bisa berfikir dengan normal, tapi terlalu sedih malah membuatku seperti orang gila. Dasar manusia! Aku memegang perutku dan membayangkan kehidupan yang ada di dalamnya. Nanti aku akan ditendang- tendang dari dalam dengan kakinya jika sudah masuk hitungan bulan. Dia akan bermain-main, jungkir balik dan lain-lain di dalam rahimku sebelum keluar. Aku harap jika dia laki-laki bisa setampan ayahnya dan jika perempuan, tentu harus secantik aku tapi tetap mewarisi mata ayahnya yang indah. Mata Donghae yang sering kali membuat jantungku berdentum-dentum tak karuan. Aku tersenyum penuh arti sambil mengusap-usap perutku yang tertutup kain. Ayahmu akan senang mendengar ini batinku dalam hati. Kalau begitu, saya permisi sekarang. Sepertinya kabar baik tidak bisa disimpan terlalu lama aku bangkit dari kursi dengan raut wajah yang masih sama. Tentu saja. Kembalilah jika kau ingin melakukan USG agar kau tahu jenis kelaminnya. Ajaklah suamimu kata Dokter itu sambil memamerkan barisan gigi putih bersihnya padaku. Aku berfikir sejenak, kemudian tersenyum lagi. Sepertinya jenis kelamin lebih baik menjadi sebuah kejutan saat persalinan, dok Oh, itu ide yang bagus. Dulu aku juga melakukan itu. Aku tidak pernah melakukan USG sama sekali bahkan sampai anak ketigaku Benarkah? Tentu saja. Menebak-nebak itu terkadang menyenangkan Oke. Terimakasih atas bantuannya, Dok aku mengulurkan tanganku. Senang bisa membantumu dia menjabat tanganku. Sepanjang perjalanan pulang, yang ada di otakku hanya membayangkan seperti apa wajah anakku kelak. Apakah dia berpipi chuby, berhidung lancip, memiliki kulit putih mulus, atau memiliki bibir yang tipis? Apakah dia akan keras kepala seperti aku dan Donghae? Ya ampun, ini baru tiga minggu dan masih ada delapan bulan lebih yang harus aku lewati tapi aku sudah membayangkan terlalu jauh. Ah, siapa peduli? Bahkan aku juga mulai berfikir nama apa yang paling cocok untuk anak pertamaku dan Donghae. Hari yang sangat indah seperti ini merupakan waktu yang tepat untuk menghidangkan makanan yang enak- enak di atas meja. Rasanya aku ingin memberitahu seluruh dunia kalau aku sedang hamil. Tapi Donghae harus menjadi orang pertama yang mengetahui hal ini, bukan orang lain. Membayangkan memberitahunya saja, kakiku terasa lumpuh. Bagaimana reaksinya? Aku tidak sanggup membayangkan bagaimana dia memandangku nanti. Donghae Aku membuka pintu apartemenku dengan tangan kiri sementara tangan yang lain tengah sibuk memegangi bahan makanan yang aku gunakan untuk memasak nanti. Aku langsung pergi ke dapur setelah pintunya ku tutup dan meletakkan seluruh belanjaan di atas meja dapur. Aku menepuk-nepuk kedua telapak tanganku seperti seorang koki kue yang tengah menepuk-nepuk telapak tangannya hingga tepung terigu yang terselip di antara jemari ikut terbang ke udara sebelum adonan diuleni. Aku tersenyum memandangi kantung belanjaanku, kemudian beringsut menuju ke kamar. Aku harus mengganti baju sebelum memasak. Saat aku memasuki kamar, aku melihat ada sesuatu yang mecolok di atas meja riasku. Itu pasti bukan milikku. Aku berjalan mendekat, dan mendapati sebuah komputer jinjing yang diikat dengan pita plastik berwarna pink. Dahiku berkerut. Aku melihat ada sebuah kertas lebih tepatnya sebuah kartu ucapan- yang terselip di sela-sela pita. Aku mengambilnya kemudian melihat tulisan apa yang tertera. Happy Birthday LDH Aku melongo melihat tulisan di kartu ucapan itu. Dan dengan sigap aku langsung menyambar kalender meja yang berada di dekat tempat tidur . Aku baru sadar kalau hari ini aku berulang tahun. Aku melihat angka tiga belas di bulan oktober. Tapi bukan itu yang membuatku lebih kaget, melainkan hadiah kecil (untuk ukuran Donghae) ini. Dia tahu aku berulang tahun? Bahkan aku sendiri lupa kalau aku hari ini adalah hari kelahiranku. Kapan dia menaruh laptop ini? Tuhan, indah sekali. Kau memberiku double hari ini seketika airmataku meleleh. Aku mengelus benda elektronik ber-icon apel yang betuknya sudah tidak utuh lagi itu. Dengan ini aku bisa menyimpulkan satu hal, yaitu dia benar-benar mendukung apa yang aku kerjakan walaupun dia tidak menyukai keputusanku untuk bekerja di penerbitan Choi. Aku langsung mengambil ponsel yang dari kemarin ku biarkan begitu saja di atas meja. Aku melihat display-nya dan ternyata sudah banyak pesan yang berisi ucapan selamat ulang tahun untukku. Selain itu, ada beberapa panggilan tak terjawab. Tapi aku mengabaikan semua itu dan memilih untuk segera menghubungi Donghae. Saat aku hampir menekan icon gagang telephone berwarna hijau, nyaliku menjadi hilang bersamaan dengan detak jantungku yang tak karuan. Hell, apa ini? Aku hanya akan mengucapkan terimakasih tapi kenapa aku jadi gugup sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk mengiriminya pesan singkat daripada aku semakin salah tingkah. To: Donghae Terimaksih ucapan dan kadonya:D I Love U Aku tertawa melihat kalimat I Love U kemudian buru-buru menghapusnya dan mengirim pesan dengan kalimat pertama. Belum saatnya untuk mengatakan itu padanya. Aku mondar-mandir di dalam kamarku, menunggu jawabanya selama beberapa menit. Lama sekali. Apa dia sibuk? Tapi akhirnya ada dering dari ponselku saat aku melangkah meninggalkan kamar. Aku langsung berbalik dan menyambar ponsel. Rasanya seperti baru saja menang lotre saat melihat namanya. From: Lee Donghae Hari ini aku akan pulang lebih cepat Aku tersenyum seperti orang gila melihat pesan itu. Sudah terlalu biasa jika dia menjawab apa yang aku ucapkan dengan hal yang tidak seharusnya. Tidak ada kolerasi antara pulang lebih cepat dan terimakasih, tapi aku tidak peduli. Itu sudah menjadi adatnya.
Kau masak banyak sekali? Donghae keheranan saat melihat beranekaragam makanan yang tersedia di meja. Hari ini kan hari spesialku aku nyengir dan mengambil tempat yang berhadapan langsung dengannya. Kau senang sekali? Memangnya kau dapat kado spesial apa? Donghae mendengus, kemudian meraih sumpit dan mencisipi masakanku. Sesuatu yang penting aku mengangkat bahu kemudian mengikuti Donghae menjepit satu salah satu lauk yang tersedia. Aku tidak akan memberitahu Donghae tentang kehamilanku ini sekarang, melainkan dua hari ke depan saat ulang tahunnya tanggal 15. Saat aku melihat kalender dan menyadari bahwa hari ulang tahun kami hanya berjarak dua hari, aku memutuskan untuk memberitahukan keadaanku ini nanti. Aku memegangi perutku lalu mengelusnya. Sabar ya, nak batinku. Besok sore aku akan berangkat ke Jepang. Mungkin selama empat sampai lima hari di sana katanya lalu menyuap nasi yang terlanjur terjepit di sumpitnya. Ohh Aku mengunyah nasiku sambil berfikir. Kalau dia ke Jepang, lalu kapan aku bisa mengatakan kabar baik ini padanya? Apa aku harus mengatakannya hari ini juga? Donghae pekikku tanpa pikir panjang dan dia mendongak. Dengan tatapannya yang seperti itu, aku malah semakin gugup. Ada nasi di dekat bibirmu aku menunjuk ke dekat pipinya. Bodoh! Aku kan tidak bermaksud mengatakan itu. Tapi bukan berarti berbohong, memang ada sebutir nasi yang belum sempat masuk ke mulutnya. Donghae sibuk menggerayangi pipinya. Mengusap-usap hingga nasi itu jatuh. Apa kau akan pulang dulu sebelum berangkat? tanyaku ragu-ragu. Aku tidak akan ke kantor. Ada beberapa pekerjaan yang bisa aku selesaikan di rumah. Yang aku butuhkan hanya koneksi internet Itu artinya besok dia seharian di rumah. Lalu kapan aku bisa mengatakan kabar ini padanya? Hari ulang tahunnya bertepatan saat di berada di Jepang. Kalau mengatakannya melalui telephone atau media lain, rasanya aku tidak akan puas. Jam berapa kau akan berangkat? Sekitar jam lima. Dia menatapku, entah apa yang ada di pikirannya sekarang. Tapi dia buru-buru mengalihkannya ke arah makanan lagi. Aku berdeham Ngomong-ngomong, terimakasih atas kadomu Kau menyukainya? Mulai sekarang aku akan memakainya untuk berkerja Baguslah aku bisa melihat senyum yang cukup samar di salah satu sudut bibirnya dan itu membuatku cukup lega. Tidak lebih dari dua puluh menit acara makan malam kami telah selesai dan masing-masing dari kami kembali ke kamar masing-masing. Aku mengabaikan cucian piring yang masih menumpuk karena badanku cukup pegal hari ini, mungkin efek dari hamil juga. Aku tidak tahu. Aku akan mencucinya besok pagi setelah membuat sarapan untuknya.
Aku menekuri pekerjaanku di depan komputer dan sesekali melirik ke arah jam dinding yang hampir menunjukkan jam dua belas lewat tiga puluh. Sebentar lagi jam makan siang dan Top akan ke sini untuk menemuiku. Menurutmu draft ini cocok tidak untuk di ajukan ke bagian penerbitan? Aku mendongak dan mendapati Sujin yang tengah berdiri di depan mejaku. Dia mengulurkan tumpukan kertas tebal yang pinggirnya sudah dijilid padaku. Well, ini kali pertama Sujin menyapaku padahal aku sudah bekerja di sini selama dua hari. Dari cerita Top, Sujin adalah gadis yang tidak populer di masa SMA-nya. Dia sederhana dalam segala hal, tidak berlebihan seperti yang lain. Tapi bagaimana bisa dia tidak terkenal? Dia cukup pintar. Aku bisa melihat itu dari caranya berbicara dan menanggapi berbagai pertanyaan. Selain itu dia juga sangat cantik. Apa dulu dia tidak membuka diri seperti sekarang ini? Aku mengulurkan tanganku dan meraih draft itu. Oh, ini? Aku sudah melihatnya kemarin. Menurutku aku berfikir sejenak, mencari kalimat yang pas untuk mengomentari hasil jerih payah penulis draft itu sendiri. Kalau boleh jujur, draft ini tidak layak untuk diterbitkan. Beberapa kali aku menemukan unsur SARA. Aku juga berfikir seperti itu. Lalu bagaimana? Apa sebaiknya kita pending sementara? Sebaiknya begitu. Kita bicarakan dengan manajer saja kataku sepakat. Oke, nanti aku akan bertemu dengan manajer. Sekarang dia sedang keluar Dia tersenyum kemudian berbalik, bermaksud untuk menuju mejanya. Hyosun, aku boleh bertanya sesuatu padamu? dia menghadapku lagi. Tentang? Tentang Top. Apa kau punya hubungan khusus dengannya? dia bertanya ragu-ragu dan itu menimbulkan kerutan di dahiku. Memangnya kenapa? Kau tidak takut? Dia terkenal playboy sewaktu SMA Benarkah? Aku malah tidak menyadarinya. Aku pura-pura tidak mengerti maksudnya. Sebaiknya kau berhati-hati dengannya. Dia sering bergonta-ganti pacar. Yang aku tahu hanya sejauh itu, dulu aku pernah menjadi temannya Apa kau pernah menjadi korbannya? tanyaku penuh selidik. Dia memasang wajah angkuh Cih~ Jangan sampai aku berurusan lagi dengannya. Dia itu menyebalkan Aku tersenyum melihat ekspresinya. Ekspresi yang sepertinya mirip dengan ekspresiku saat mengatakan bahwa Donghae adalah manusia paling menyebalkan di jagat raya. Tapi belakangan ini, justru yang menyebalkan itulah yang bisa membuat tergila-gila dan susah untuk memejamkan mata. Aku sudah menikah. Aku menunjukkan tangan kananku agar dia melihat logam putih yang melingkar di jari manisku. Kami dekat karena tinggal di apartemen yang sama. Dan kebetulan juga, aku sedang ada urusan penting dengannya Sebenarnya itu tidak begitu penting bagiku, tapi bagi Top ini sangat penting. Yaitu misi mendekati Kim Sujin. Aku tidak yakin dengan ekspresi Sujin sekarang, menurutku dia lega karena aku sudah menikah. Tapi itu masih presepsiku saja. Ohh Ya sudah aku kembali ke tempatku dia buru-buru pergi meninggalkanku. Tingkahnya aneh. Heh, ada apa? beberapa detik setelah Sujin pergi, kini muncul Top di hadapanku. Pantas saja Sujin langsung pergi dari hadapanku, ternyata ada Top yang mendatangiku. Dia seperti hantu padang pasir yang datangnya tiba-tiba. Temani aku mencari sesuatu kataku kemudian. Mencari apa? Aku juga belum tahu. Ini kado untuk ulang tahun Donghae Wah, kapan? Besok dan waktuku tidak banyak untuk memberikan kado itu. Jam lima dia akan terbang ke Jepang. Menurutmu kado apa yang cocok? Seharian aku sampai pusing memikirkan ini Top menarik kursi, kemudian duduk di atasnya. Dia berfikir sejenak. Sebenarnya laki-laki itu simple, tidak seperti wanita. Diberi apapun mereka akan menerimanya dengan senang hati. Aku pikir hanya kaum wanita saja yang mendramatisir dengan memberikan sesuatu yang berlebihan Kemarin dia memberiku laptop, menurutmu aku harus memberi apa untuk membalasnya? Dalam rangka apa dia memberimu laptop? dia mengernyit, sementara tangannya sibuk memainkan pulpen yang baru saja diambilnya dari benda silinder di depanku. Kemarin aku ulang tahun. Saat aku pulang laptop itu sudah ada di kamarku jelasku berusaha santai. Benarkah? Wah, selamat ulang tahun dia bangkit dan langsung meraih tanganku yang masih menempel di keyboard. Aku menatapnya malas sementara dia merasa girang. Tidak perlu heboh kalau kau mau menarik perhatiannya, dasar playboy Aku menatapnya kemudian melirik pada Sujin yang tengah berkutat dengan papan ketiknya, sesekali dia manatap layar. Aku tahu kalau teknik-teknik seperti ini biasa dipakai oleh kaum adam untuk menarik perhatian lawan jenisnya. Top ikut menoleh ke belakang. Temanmu cantik sekali katanya setelah selesai mengamati Sujin. Tidak heran kalau kau dikatainya playboy. Kemarin kau bilang aku cantik, hari ini dia. Besok siapa lagi? kataku mencemooh. Semua wanita memang dilahirkan cantik, tapi ibuku paling cantik dari semuanya Tampangmu sangar tapi kelakuan mawar. Ya, ampun aku memamerkan tampang jijik. Haha, jadi intinya apa sekarang? tanyanya tidak menggubris olokanku. Aku bingung mau memberinya apa. Top berfikir lagi. Beri dia sesuatu yang bisa dipakai, sesuatu yang penting, dan benda itu bisa dibawa kemana-mana. Dengan begitu, saat dia melihat benda yang kau berikan maka dia akan teringat padamu. Kalau laptop, ponsel, atau benda-benda mahal lainnya aku rasa tidak cocok, karena dia bisa membelinya sendiri Aku mengangguk-angguk sambil berfikir. Sesuatu yang bisa dipakai, penting, dan bisa dibawa kemana- mana? Ponsel! Tapi ponselnya masih bagus. Lalu apa yang cocok? Aku memperhatikan Top yang sedang menimang-nimang pulpen hitam di tangannya, dia memain-mainkannya dan terkadang mengetuk- ngetukkannya ke paha. Ah! Iya, pulpen. Aku bisa memberinya pulpen. Orang seperti dia tidak akan lepas dari pulpen. Dia butuh menandatangani file-file dan data-data penting diperusahaan. Kau jenius sekali. Dengan terburu-buru aku mematikan komputer kerjaku, lalu mengambil bangkit dan menyeret tasku. Ayo ikut aku! kataku. Aku berjalan terlebih dahulu dan tidak mendapati Top mengikuti langkahku. Aku menoleh ke belakang dan menangkap sebuah pemandangan dimana Top tengah mendekat ke meja kerja Sujin. Aku hanya memperhatikannya dari jauh. Sepertinya aku mengenalmu katanya. Sujin menengadah dengan malas, kemudian asik dengan kerjaannya lagi. Dia tidak merespons. Mau makan siang bersamaku? tawarnya. Kau tidak lihat aku sedang bekerja Top memandang jam tangannya Tapi ini sudah jam makan siang. Kau tidak lapar? Nanti aku akan makan. Trims Ya sudah Aku menyilangkan kedua tanganku di dada dan tersenyum melihat kelakuan Top. Top berjalan ke arahku, sambil mengangkat kedua bahunya. Ayo! serunya. Berapa banyak informasi yang kau dapat darinya? bisiknya. Sejauh ini belum ada. Aku harus mendekatinya pelan-pelan dan menjadi temannya terlebih dahulu. Menurutmu dia wanita yang seperti apa? Aku diam sejenak, kemudian menjawab pertanyaannya Sepertinya menyenangkan. Kalau dia tidak mau terlalu dekat denganmu, berarti kau yang bermasalah. Sudahlah kita bahas nanti, sekarang temani aku mencari kado Kau mau mencari apa? Pulpen. Aku mau mencarikannya pulpen
To: Lee Donghae Kau masih di rumah? Aku menekan tombol send saat perjalanan pulang dari kantor. Aku berusaha pulang satu jam lebih awal dari waktu yang ditentukan, berharap masih bisa bertemu dengan Donghae di rumah sebelum dia ke airport. Aku merogoh tas dan melihat bungkusan kecil berbentuk balok memanjang dengan pita yang mengikat di bagian tengahnya. Aku berhasil menemukan pulpen simpel berwarna hitam dengan harga yang bisa dibilang lumayan menguras dompetku hari ini. Di bagian tengahnya terdapat cincin logam besi putih yang diukir dengan singkatan nama Donghae, yaitu LDH. Aku memesannya secara khusus karena itulah harganya lebih mahal dari harga semula. Tidak peduli seberapa harganya, yang jelas aku berharap dengan ini dia akan selalu mengingatku. Semoga saja dia mau memakainya. Aku merogoh ponselku saat deringnya berbunyi. From: Lee Donghae Masih Setelah membaca pesannya, aku langsung melirik jam tanganku dan ku dapati waktu yang sudah menunjukkan pukul empat sore. Perjalanan dari kantor ke rumah membutuhkan waktu sekitar setengah jam, itupun jika jalanan lancar tanpa hambatan yang berarti. Untung saja jalanan hari ini cukup lancar mungkin karena aku pulang lebih awal dari jam pulang kantor- sehingga aku hanya membutuhkan waktu sekitar empat puluh menit. Aku menetralkan nafasku yang terengah-engah selama beberapa saat di depan pintu apartemen agar tidak terlihat terburu-buru saat pulang. Kemudian ku putar knop lalu masuk ke dalam rumah setelah semuanya terasa aman. Saat aku masuk, aku melihat Donghae melintas dari arah dapur dan anehnya dia masih menggunakan pakaian biasa. Bukankah seharusnya dia sudah siap-siap untuk mengangkat koper? Donghae, kau belum bersiap-siap? tanyaku heran setelah menutup pintu seperti sediakala. Darimana saja kau? tanyanya dengan nada yang kurang bersahabat. Dari kantor. Benarkah? nadanya mengejek, menjurus ke arah cemooh. Kau ini kenapa sih? tanyaku sewot. Menurutmu kenapa? Aku lelah, aku mau istirahat! kataku tanpa minat. Melihatnya dengan raut wajah seperti itu aku jadi malas untuk memberikan bingkisan kecil yang ada di dalam tas. Jenuh sekali melihat tampangnya yang senantiasa mengintimidasiku seperti itu. Aku lelah karena sepanjang istirahat makan siang kerjaku hanya berkunjung dari toko satu ke toko yang lain untuk sekedar mencari sebuah pulpen yang bisa diukir seperti ini. Dia membuat mood-ku benar-benar buyar dengan sambutannya yang tidak mengenakkan. Aku memilih berjalan ke kamarku. Tapi belum sempat aku memutar gagang pintu, dia sudah meraih lenganku dengan cukup kasar. Katakan, apa kau kerja di Penerbitan Choi agar kau bisa bersenang-senang dengan Top? katanya blak- blakan. Aku mengamati jari-jarinya yang merekat di lenganku, kemudian melihat wajahnya tanpa mengelurkan suara. Dia melepaskan cengkramannya karena tatapanku yang membuatnya merasa tidak nyaman. Kau ini bicara apa? Dia mendengus kesal kemudian berkacak pinggang di hadapanku. Ternyata pekerjaanmu berjalan-jalan dengan dia saat jam makan siang. Editing? Bullshit! Kau ini lucu sekali. Sudahlah, aku mau ke kamar. Aku mau mandi kataku seenaknya, mengabaikan hal yang aku rasa tidak penting untuk dibahas. Aku juga tidak peduli dia mendapat informasi tentang kegiatanku dari siapa. Otakku sudah buntu untuk diajak berfikir. Aku belum selesai berbicara! bentaknya, membuatku sedikit melonjak. Pantas saja kau tidak mau aku kenalkan dengan temanku di penerbitan Yonghwa, ternyata motifmu ini Arah pembicaraan ini kemana sih? Kenapa kau harus marah-marah? Top hanya kalimatku terpotong, membuatku berfikir ulang untuk memberitahukan hal yang sebenarnya. Hanya apa? Hanya Hanya mengantarkanku mencari sesuatu Apa yang kau cari? Kau lupa ya kalau kau sekarang istriku? Bagaimana anggapan orang jika melihatmu berjalan dengan pria lain sementara suamimu sedang sibuk bekerja. Bisakah kau menjaga sikap? Aku tidak peduli dengan anggapan orang lain tentang kami. Dia itu temanku dan kami juga tidak pernah melakukan apa-apa. Kami hanya sebatas teman. Lagipula, kau juga bukan artis. Paparazi tidak akan mengejarmu untuk meminta konfirmasi. Tidak usah membesar-besarkan masalah yang sepele, tuan Lee aku menaikkan suaraku satu oktaf lebih tinggi. Sepele katamu? Ini sepele. Rekan kerja pergi bersama untuk makan siang atau saling membantu untuk mencari barang adalah sesuatu yang wajar. Aku sendiri yang memintanya untuk menemaniku, jadi tidak usah berlebihan. Kecuali aku pergi ke hotel bersamanya, silahkan kau membentak-bentakku seperti itu! Tanpa segan-segan lagi aku langsung masuk ke kamar dan membanting pintu sekeras yang aku bisa, lalu menguncinya dari dalam. Dia menggedor pintu dan berteriak, tapi aku mengabaikannya. Aku memelenting badanku di atas kasur berseprai bunga akasia. Badanku tidak mau diajak kompromi untuk berdiri lebih tegak. Bahkan untuk sekedar duduk pun aku tidak melakukannya. Mungkin karena hamil jadi aku cepat lelah. Aku mengelus perutku setelah Donghae menghentikan aksinya. Aku memejamkan mataku. Ayahmu hanya salah paham, sayang
Aku mengerjap-kerjapkan mataku. Rasanya lengket sekali, seperti ada sisa-sisa lem super yang masih menempel dan membuat kelopak mataku mengatup hebat. Tapi akhirnya aku berhasil melakukannya setelah bersusah payah. Aku langsung melihat ke arah jam yang sudah menunjuk ke angka enam. Aku diam sejenak, kemudian mencoba bangkit setelah seluruh nyawaku terasa terkumpul. Tidur sejenak membuatku merasa lebih segar dari sebelumnya. Suasana apartemen begitu lengang saat aku melangkahkan kakiku keluar kamar. Kemana perginya Donghae? Apa dia sudah berangkat? Dengan ragu-ragu aku berjalan menuju kamarnya, ada sedikit celah dari pintu yang tidak menutup rapat. Aku mendorongnya dan ternyata Donghae tidak ada di dalam kamarnya. Aku melihat kopernya yang masih teronggok di lantai. Dia belum berangkat. Mungkin dia di kamar mandi pikirku singkat. ~TingTong~ Aku berjalan menuju ruang tamu setelah mendengar bunyi bel. Pasti bukan Donghae, dia kan punya kunci kombinasi apartemen ini. Aku memutar knop setelah menekan beberapa digit angka untuk membuka kunci otomatisnya. Hallo, apa kabar? Sudah lama tidak bertemu denganmu, Hyosun. Bisa tolong panggilkan Donghae? sapanya dengan nada yang cukup culas. Jessica. Memang sudah hampir dua minggu sejak terakhir di acara reuni- aku tidak pernah melihatnya lagi. Tapi dengan kedatangannya yang mengejutkan seperti ini, aku malah semakin kesal melihat tampangnya yang dibuat seolah-olah dia adalah tetangga yang baik. Tidak ada. Dari tadi aku tidak melihatnya Benarkah? Lima menit yang lalu dia baru saja dari apartemenku Donghae ke apartemen Jessica? Untuk apa? Untuk apa dia ke apartemenmu? Dia tertawa, mengejek Untuk apa? Sudah jelas dia berpamitan karena akan pergi ke Jepang. Memangnya kau tidak tahu kalau dia akan pergi ke Jepang jam delapan nanti? Jam delapan? Bukankah pesawatnya jam lima sore? dahiku berkerut. Seingatku kemarin Donghae mengatakan pesawatnya akan take off jam lima sore. Dia tertawa lagi Dia tidak mengatakannya padamu? Pasti dia juga tidak bilang kalau dia menyewa pesawat jet pribadi untuk ke Jepang? Aku berusaha mencerna kalimat Jessica. Sebenarnya aku paham, tapi yang menjadi pertanyaan kenapa dia tidak mengatakan apapun padaku tentang kepergiannya yang diundur sampai jam delapan malam dan menggunakan pesawat Jet? Itulah bedanya kau dan aku, Hyosun. Donghae lebih senang menceritakan segala sesuatunya padaku ketimbang denganmu. Kau bisa menilainya dari hal yang kecil seperti ini lanjutnya. Ucapannya memang terdengar datar, tapi kalau diresapi terasa sangat menekan. Oh, iya. Ku dengar kau sekarang dekat dengan Top. Apa itu benar? Apa urusanmu? Kami masih berdiri di depan pintu. Aku tidak sudi untuk menyuruhnya masuk ke dalam apartemen kami. Donghae, dimana dia sekarang? Memang itu bukan urusanku, nona. Tapi syukurlah, setidaknya kau tidak mengejar-ngejar Donghaeku lagi. Aku dengar kau juga sering keluar bersamanya di jam makan siang. Kalian akrab sekali Apa urusanmu dengan semua itu? Tidak usah ikut campur! Atau jangan-jangan kau yang mengatakan semua ini pada Donghae agar hubungan kami semakin keruh? tukasku tajam, sementara dia hanya tersenyum tipis. Aku? Kau menuduhku? Yang benar saja. Kalau bukan kau siapa lagi?!! Dia mendesis, merubah ekspresinya menjadi lebih galak dari sebelumnya. Aku tidak peduli dengan kalian! Puas? Aku ke sini hanya ingin memberikan ini pada Donghae dia menyodorkan sepiring marshmallow berlapis coklat padaku. Donghae tidak membutuhkan ini! aku menghempaskan piring itu hingga terjun ke lantai dan menimbulkan bunyi kaca pecah. Aku melihat wadahnya yang hancur berkeping-keping dan beberapa bagiannya masih terdapat sisa-sisa marsmallow. Hyosun! Apa yang kau lakukan??? Kau sengaja memanas-manasiku dengan membawakan itu pada Donghae? Jadi kau benar-benar menantangku? Ingat, apa posisimu di sini. Tidak usah berlagak seolah-olah kau adalah nyonya rumah. Kau Hanya dimanfaatkan oleh Donghae! Catat itu baik-baik di benakmu agar kau tidak lupa! dia mengucapkannya dengan penekanan yang cukup kentara. Ada apa ini? Terdengar suara yang tidak lagi asing di telingaku kian mendekat dari belakangku. Donghae ada di dalam rumah? Aku menoleh ke belakang. Donghae, dia sengaja menghancurkan makanan yang aku buat untukmu Jessica berkicau seolah-olah dia adalah pihak yang teraniaya dan menunjuk ke lantai yang kotor akibat pecahan piring. Hyosun, apa yang kau lakukan? Donghae menatapku tak percaya. Dia menuduhku telah memberitahumu tentang kencannya bersama Top hari ini karena itulah dia melempar piringku Sela Jessica, tidak membiarkanku untuk membela diri. Apa itu benar? Suara Donghae terdengar dalam dan sengaja di tahan, tapi dia menatapku tajam. Aku tidak menuduhnya. Aku hanya bertanya apakah dia yang mengatakan itu padamu Aku membalas tatapan Donghae, tak kalah tajam. Tapi dari nadamu, kau memang menuduhku dan kau Ya ampun, kau menghancurkan kerja kerasku Jessica terisak, entah itu pura-pura atau sungguhan aku tidak peduli. Itu membuatku ingin menyumpal mulutnya dengan sepatu. Diam kau! Tidak usah ikut campur! kataku menanggapi ucapannya. Kau yang diam, Hyosun-ah!!! bentak dengan Donghae hingga membuatku terkejut. Tatapan matanya dalam dan penuh amarah. Baru kali ini aku dibentak dengan cukup kasar olehnya. Sekarang minta maaf pada Jessica! lanjutnya datar tapi penuh dengan paksaan. Kau menyuruhku minta maaf? Aku tidak sudi! Dan kau, Donghae. Kau tidak punya hak untuk membentakku seperti itu. Kau harus ingat, kau bukan siapa-siapa! Dengan kesal aku berjalan menuju kamarku lagi. Membanting pintu seperti dua jam yang lalu, kemudian menguncinya rapat-rapat dari dalam. Entah ini perbuatan yang benar atau tidak, yang jelas hari ini Donghae benar-benar membuatku muak! Walaupun aku mencintainya, bukan berarti aku mau diperlakukan begitu saja. Aku tidak mendewakannya seperti orang yang tidak waras. Tidak ada perjanjian di atas materai manapun yang memperbolehkan dia membentakku sekasar itu. Aku mengusap airmataku saat berjalan ke kamar mandi. Tanpa membuka baju, aku langsung memutar keran dan membiarkan badanku basah oleh air yang keluar dari pancuran setelah menutup pintunya. Airmataku masih keluar hingga bercampur dengan air tawar. Tidak bisakah suasana rumah bisa lebih tenang? Tidak bisakah jika percekcokan seperti ini dihilangkan? Kenapa hal seperti ini malah memancing keributan yang sebenarnya tidak perlu? Aku memasang headset di kedua telingaku dan memutar musik sekeras mungkin saat menghadapi pekerjaanku yang sengaja aku bawa pulang setelah beberapa saat berkutat dengan air di kamar mandi. Ada deadline yang harus ku kerjakan dan batas penyerahannya adalah besok siang. Yeah, setidaknya dengan begini aku bisa menghilangkan penatku. Aku mencintai pekerjaanku sekalipun ini terlihat begitu membosankan. Ditambah lagi yang ku edit adalah draft buku tentang sastra. Ini akan sangat menyenangkan. Belum sempat aku menekan papan keyboard, beberapa helai foto sudah tersebar di atasnya. Aku memandangi foto itu sejenak tanpa melihat ke arah orang yang sengaja melemparkannya. Aku juga tidak melepas headset-ku. Ini foto-foto terbaruku bersama Top saat makan siang hari ini. Aku tidak heran melihat foto-foto itu, malah dengan santai menumpuknya hingga rapi dan meletakkannya di samping laptop. Opera sabun gumamku, kemudian menyalakan tombol on pada laptop. Sebuah tangan dengan kasar menarik headset-ku hingga kedua lubang telingaku tidak tersumbat lagi. Aku masih belum menoleh. Aku yang meminta orang untuk mengawasimu. Jadi jangan libatkan Jessica, apalagi menuduhnya! Aku menghentikan aksiku di atas keyboard, berfikir sejenak. Aku melihat ke arah pintu yang terbuka dan aku baru sadar kalau apartemen ini miliknya. Dia punya semua kunci apartemen ini. Tidak heran jika dia masuk dengan mudah. Kemudian aku memandangnya sejenak lalu berdiri hingga berjajar dengannya. Dia sudah memakai pakaian rapi dan sepertinya akan segera berangkat beberapa saat lagi. Untuk apa kau mengawasiku? Tentu saja untuk memastikan tingkahmu di luar rumah, apalagi? Aku mendekap lenganku sambil memandangi lantai sejenak, kemudian memandangnya lagi dengan tatapan miris Kau cemburu pada Top, Donghae? Matanya sedikit terbelalak mendengar pertanyaanku, tapi dia mati-matian membela diri Apa maksudmu? Dengar ya Tuan Lee, kau tidak perlu repot mengawasiku. Aku sudah dewasa. Aku bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Jangan sampai aku berfikir kalau kau cemburu dan mulai tertarik padaku. Kau seperti penguntit, kau tahu itu? kataku blak-blakan dengan nada yang tidak begitu kencang dan mencoba mendeteksi tatapan yang ia suguhkan padaku sekarang. Dia memandangiku lekat, kemudian beringsut ke sisi lain kamarku. Dia mengambil dua lembar tissue lalu berjalan lagi ke arahku. Dia menutup lubang hidungku, lalu berkata Kau mimisan Dia meraih tangan kananku agar menahan tissue di hidungku kemudian keluar dari kamar. Kepalaku rasanya baru saja dibenturkan ke tembok yang paling keras. Aku pikir akan terjadi debat kusir lagi, tapi ternyata dia membungkamku dengan dalih mimisan. Aku mengambil tissue di tangaku dan memang benar, hidungku mengeluarkan cairan berwarna merah tua lalu aku menutupnya lagi. Aku tidak percaya mitos yang mengatakan jika kita melihat orang yang kita sayangi, kita bisa mimisan. Omong kosong! Tapi kenapa aku mimisan? ~NdretNdretNdret~ ponselku bergetar di atas meja dan dari suaranya aku bisa memastikan bahwa ada pesan singkat yang masuk. Aku meraihnya dengan cepat sementara tangan kananku masih memegangi tissue yang disumpalkan Donghae ke hidungku. From: Lee Donghae Aku berangkat sekarang Aku di Jepang selama empat hari Jaga dirimu Aku keluar kamar bersamaan dengan suara pintu yang sedikit berdencit. Pasti dia baru saja keluar. Aku memeriksa kamarnya dan tidak ada tanda-tanda kehidupan lagi di sana. Walaupun begitu, aku juga tidak berminat untuk melihat punggungnya yang kian menjauh dengan keluar rumah. Aku lebih memilih membalas pesan singkatnya. To: Lee Donghae Hati-hati Bertengkar, kemudian berdamai. Bertengkar, lalu meminta maaf. Bertengkar, beberapa saat berlalu sudah akur lagi tanpa penjelasan apapun. Inilah agenda rutin hubunganku dengan Donghae. Monoton, tapi tidak bisa membuatku menghentikannya begitu saja. Aku menghela nafasku cukup panjang, kemudian melangkah ke kamar lagi.
Benarkah? tanya Top saat aku memberitahunya bahwa Donghae menyuruh orangnya untuk mengawasiku. Top hanya tertawa dari seberang sambungan dan berhasil menorehkan kerutan di dahiku. Apanya yang lucu? Tidak ada. Lalu bagaimana kadonya? Apa dia menyukai pemberianmu? Aku menghela nafasku cukup panjang Belum. Kami bertengkar dan aku kehilangan semangatku untuk sekedar memberikannya. Lalu apa rencanamu? Entahlah, mungkin aku akan menunggunya pulang baru memberikannya Hei, kenapa kau tidak menyusulnya ke Jepang? Kau memberikan pulpen itu, lalu menjelaskan sebenarnya tujuan kita keluar makan siang adalah untuk mencari itu. Dengan begitu hubungan kalian mungkin bisa lebih baik Jauh-jauh ke Jepang hanya untuk memberikan ini? aku mengamati bungkusan balok kecil yang ada di tanganku sekarang dengan heran. Sedikit konyol mendengar idenya itu. Yang dinilai oleh pria jika ada seorang wanita jauh-jauh datang hanya untuk memberi barang yang tidak seberapa mahal harganya bukanlah apa yang diberikan wanita itu, melainkan seberapa besar perhatiannya. Percayalah, aku ini laki-laki dan tidak ada salahnya jika kau mengikuti sudut pandang yang aku ambil paparnya. Aku terdiam sejenak, berfikir lagi dengan ide yang diberikan oleh Top. Aku tersenyum sambil mengelus perutku yang masih rata dan belum menunjukkan tanda-tanda ibu hamil.
Ada benarnya juga apa yang dikatakan Top tentang usulnya agar aku pergi ke Jepang. Tapi apa yang harus aku katakan pada Donghae jika aku benar-benar pergi ke sana? Apa aku harus mengatakan Kejutan! saat berada di depan pintu kamar hotelnya sambil membawa kue tart lalu menyodorkan pulpen yang harganya tidak sebanding dengan tiket pesawat dan waktu yang aku korbankan. Bagaimana kalau dia langsung mengatakan Kau tidak punya kerjaan ya? Jauh-jauh hanya untuk ini? Apa yang harus aku katakan? Memberitahu kalau aku hamil dan memberikannya kejutan dengan datang ke Jepang memang ide yang sangat brilian, tapi itu berlaku jika kami memang saling mencintai dan tahu perasaan masing-masing. Tapi faktanya tidak seperti itu. cinta kami hanya dari satu pihak setidaknya sampai saat ini kenyataannya seperti itu-. Apa aku harus menebalkan muka untuk yang satu ini? Dengan ragu aku menyentuh belum menekan- tombol-tombol telephone rumah di dekat buffet TV, kemudian setelah satu tarikan nafas yang cukup panjang aku mulai men-dial angka-angka yang aku butuhkan. Aku melekatkan gagang telephone tepat di telingaku dan dalam hubungan detik, sambunganku langsung ditanggapi dari arah yang ku tuju. Lee Corporate, dengan Clara Han. Ada yang bisa saya bantu? ucap sekretaris pribadi Donghae yang pernah aku temui di kantornya dua minggu sebelum hari pernikahan kami. Nona Clara, ini aku Hyosun jawabku. Oh, nyonya Lee. Ada yang bisa saya bantu? sapanya ramah dan tanpa aku melihat ekspresinya, aku merasa dia tengah tersenyum dari sana. Begini, ini tentang Donghae. Aku menelan ludahku sebelum melanjutkan. Apa kau bisa memberiku informasi dimana dia menginap sekarang? Oh, tentu. Tapi kalau boleh tahu, ada kepentingan atau Ah, begini. Hari ini dia ulang tahun dan aku bermaksud memberinya kejutan. Aku ingin ke Jepang hari ini juga potongku mencoba menjelaskan. Benarkah? dia sedikit terkejut. Aku tersenyum dan mengangguk dari kejauhan. Dia pasti akan senang dengan kejutan yang anda berikan. Sebentar, saya akan mencarikan data perjalanan dinas tuan Lee. Lanjutnya. Sambungan kami terhubung selama beberapa menit. Clara memberiku informasi yang begitu detil tentang perjalanan dinas Donghae. Dia memberitahu tentang maskapai penerbangan apa yang dipakai Donghae, kamar hotel, schedule-nya sekaligus tujuan Donghae ke Jepang. Setelah mendapatkan informasi yang kubutuhkan, aku mencoba mempersuasi Clara agar dia tidak memberitahu ini pada siapapun terlebih dahulu. Saya mengerti. Jika saya menyebarluaskan ini sebelum tuan Lee tahu, namanya bukan kejutan lagi. Semoga berhasil, nyonya. Oh, iya. Nanti saya akan pesankan tiket pesawat kelas bisnis penerbangan jam 11.35 sekaligus reservasi kamar di Keio Plaza Hotel. Saya usahakan di lantai yang sama dengan Tuan Lee katanya. Aku tersenyum mendengar dukungannya Terimakasih, nona Han. Ini sangat membantuku. Saya senang bisa membantu anda, nyonya Lee. Nanti saya akan menghubungi anda setelah maskapai penerbangan Korean airlines mengkonfirmasi tiket pesawatnya Sekali lagi terimakasih, nona Han Aku memutus sambungan dengan meletakkan gagang telephone pada tempatnya kemudian meraih bingkisan kecil berisi pulpen yang susah payah aku cari. Aku juga sudah menambahkan salah satu hasil test pack yang aku gunakan untuk mengetes air seniku kemarin. Dengan datang ke Jepang, sebenarnya secara kasat mata menunjukkan bahwa aku mencintainya. Memang samar. Tapi jika dengan cara seperti ini Donghae tidak mengerti perasaanku padanya juga, itu artinya dia tidak lebih pintar dari seekor keledai. Aku berfikir lagi sambil memandangi langit-langit apartemen kemudian mengusap perutku dan tersenyum kecil. Kau sudah siap untuk jalan-jalan ke Jepang? Aku akan menerima semua resikonya. Jika dia mulai menjauh setelah kedatanganku ke Jepang, itu artinya dia memang tidak mencintaiku. Mungkin akan canggung, tapi aku akan bertahan hingga akhir. Tapi jika dia memberiku perhatian yang lebih, aku anggap itu adalah respon yang positif. Aku mengunci kamarku kemudian menenteng tas jinjing yang akan aku bawa ke Jepang. Setelah semuanya terasa aman, aku langsung keluar rumah dan menguncinya secara otomatis dengan menekan tombol-tombol angka kombinasi. Kau mau berangkat kerja dengan pakaian dan tas seperti itu? hardik sebuah suara di belakangku. Aku sangat kenal dengan suara tetanggaku yang satu ini. Aku menoleh. Apa urusanmu? tanyaku sengit. Dia menyeret sebuah koper besar yang ditumpuki dengan tas jinjing sambil berjalan ke arahku. Apa dia akan minggat selamanya dari apartemen ini? Atau pergi untuk waktu yang lama? Sekedar ingin tahu saja dia mengangkat bahu kemudian berjalan mendahuluiku. Aku tidak menanggapinya lebih jauh, sampai kakinya berhenti menapak dan berbalik mendekatiku lagi. Apa program bayi tabung kalian berhasil? Pertanyaannya membuatku sedikit terperanjat. Bayi tabung? Apa maksudnya dengan menanyakan bayi tabung? Apa Donghae mengatakan bahwa kami menjalani program bayi tabung padanya? Kau sudah hamil? tanyanya penuh selidik. Ah, untuk apa aku menanyakan ini padamu. Toh, Donghae juga akan memberitahuku dengan sendirinya dia menebaskan tangan kanannya ke udara seolah pertanyaannya sendiri adalah hal yang basi dan tidak penting untuk siapapun. Gerahamku saling beradu mendengar senyumnya yang merendahkanku itu. Dia berbalik dan berjalan menjauhiku. Hingga punggungnya menghilang dari pandanganku, barulah aku berjalan agar tidak pernah berada dalam satu lift dengannya. Tapi pertanyaannya membuatku berfikir berulang kali hingga akhirnya aku bisa menyimpulkan satu hal, yaitu: Jessica tidak tahu apa-apa tentang malam setelah pernikahan kami. Apa Donghae tidak memberitahu apapun padanya?
Hari ini aku harus pergi ke kantor terlebih dahulu untuk menyerahkan deadline yang aku kerjakan kemarin. Karena pekerjaan inilah aku hanya menghabiskan waktu untuk tidur selama tiga jam. Kepalaku juga sedikit pusing karenanya, mungkin karena terlalu lelah. Awalnya aku pikir setelah pekerjaan ini selesai aku bisa sedikit santai, tapi ternyata aku salah. Manager memberiku pekerjaan tambahan dan harus selesai hari ini juga. Tapi, Sir. Saya sudah mengajukan surat ijin jam sepuluh elakku saat di ruangannya. Aku tahu. Tapi ini tidak bisa ditunda. Pegawai yang lain juga sedang keteteran karena pekerjaan mereka masing-masing. Apa kau tidak bisa menunda keberangkatanmu? Setidaknya sampai dokumen ini selesai Saya harus pergi ke Jepang hari ini juga, Sir. Tiket sudah dipesan. Apa pekerjaan ini tidak bisa aku hibahkan ke yang lain? Aku tidak yakin yang lain bisa karena semuanya sedang sibuk dengan pekerjaan tambahan bulan ini. Tapi tidak ada salahnya jika kau mencobanya, siapa tahu ada yang mau membantumu. Setelah melakukan tawar menawar tentang dokumen ini dengan manajer, akhirnya aku diijinkan meminta bantuan pada rekan satu ruanganku. Tanpa berfikir terlalu lama, akhirnya aku mendekati meja kerja Sujin. Hyosun? Bukankah kau mengambil cuti hari ini? tanyanya heran saat melihat keberadaanku. Seharusnya memang begitu. Hari ini aku hanya mengantarkan pekerjaanku dan bisa langsung ke bandara. Tapi manager menyuruhku mengerjakan ini hari ini juga aku menyodorkan map kuning padanya. Sujin tanggap dan langsung meraihnya untuk melihat apa yang ada di dalam map itu. Memangnya kau mau pergi kemana? tanyanya sambil membuka lembar-demi lembar kumpulan kertas penting itu, sesekali dia berhenti sejenak untuk membaca beberapa barisan kalimat sebelum menyingkap lembar berikutnya. Aku harus ke Jepang dan ini penting sekali Berapa lama kau cuti? Dua hari. Lusa aku bekerja seperti biasa Dia menatapku penuh pengertian karena wajahku yang memelas Aku akan membantumu, tapi lusa kau harus membantuku menyelesaikan sebagian pekerjaanku. Bagaimana? Benarkah kau mau membantuku? tanyaku tak percaya, ekspektasi dari rasa senang itu sendiri. Tenang saja, aku akan membantumu lanjutnya. Kau bisa pergi sekarang Terimakasih, Sujin. Kau yang terbaik dengan cepat aku memeluknya kemudian berlari dan menyambar tas yang ada di meja kerjaku sendiri. Aku berjalan ke tempat penitipan barang untuk mengambil tas jinjing berisi baju-baju yang akan aku bawa ke Jepang. Aku tidak membutuhkan koper karena aku hanya mengambil cuti selama dua hari sehingga pakaian yang aku butuhkan tidak terlalu banyak. Jadi, kau benar-benar akan ke Jepang? tanya Top saat aku mengambil tasku di counter. Entah kenapa dia selalu muncul tiba-tiba seperti ini. Tentu saja. Memangnya kenapa? Kau bisa bahasa Jepang? Jangan meremehkanku. Setidaknya aku menguasai empat bahasa asing, termasuk bahasa Jepang Kau juga tidak perlu khawatir jika aku sampai tersesat. Aku punya GPS potongku saat dia hampir membuka suara. Tapi ini perjalanan pertamamu ke Jepang, kan? Kau ini plin-plan sekali. Kemarin kau sendiri yang memberiku usul untuk ke Jepang kataku gemas karena melihat ekspresinya. Dia menggaruk-garuk kepala belakangnya yang sudah tentu tidak gatal. Kau mau ku antar ke bandara? Sejak kapan kau pindah profesi menjadi supir taksi? Kau ini mirip manula yang minta diimunisasi lagi Aku hanya khawatir. Kelihatannya kau tidak sehat. Wajahmu pucat dan dahimu berkeringat Mendengar alasannya itu, aku langsung mengusap dahiku dengan lengan bajuku Tidak apa-apa. Mungkin efek dari begadang semalam. Aku memakai kelas bisnis, aku akan tidur sasampainya di pesawat Kau yakin? Banyak komentar tukasku. Dia mengangkat bahunya Ya sudahlah kalau kau merasa baik Sebenarnya aku memang sering merasa lemas akhir-akhir ini. Tapi aku tidak begitu mengindahkannya karena aku anggap ini adalah efek karena aku hamil. Untuk menuju bandara aku menggunakan taksi, aku tidak menerima tawaran dari Top.
Berkali-kali aku mencoba untuk memejamkan mataku selama di pesawat, tapi hasilnya nihil. Goncangan saat take off membuat perutku keram dan terkadang ingin muntah. Ditambah lagi dengan landing yang cukup menimbulkan getaran hebat hingga aku harus berpegangan tidak seperti biasanya saat aku naik pesawat-. Tapi itu semua tidak penting, karena yang terpenting sekarang adalah aku sudah berada di ibu kota negeri sakura. Aku memandangi langit Tokyo yang masih berwarna biru dengan seulas harapan dari senyum yang aku torehkan. Semoga hari ini adalah keberuntunganku. Keio Plaza Hotel kataku pada supir taksi dengan bahasa Jepang setelah dia menanyakan tujuanku. Selama di perjalanan aku hanya memandangi kota asing yang baru pertama kali aku sambangi ini melalui kaca mobil. Aku merasa barisan gedung dan pohon-pohon kota yang seolah berlari dengan cepat ke arah yang berlawanan dengan laju kendaraan roda empat ini. Aku memandangi perutku, lalu mengusapnya pelan. Sebentar lagi kita sampai, sayang Aku mengabaikan rasa nyeri yang masih bergulat di perutku sekarang. Biasanya tidak senyeri ini, tapi aku tetap berfikiran positif bahwa ini adalah tanda-tanda kehamilan seperti yang dijelaskan Lexy beberapa waktu lalu. Tidak butuh waktu lama untuk mencapai hotel mewah yang terletak di pusat kota Tokyo itu. Aku langsung turun dari dari taksi saat pegawai hotel membukakan pintu belakang. Welcome to the Keio Plaza Hotel, Mrs katanya mengatung. Lee. Mrs. Lee jawabku. Mrs. Lee? Thats a good name. What kind I do for you, Mrs. Lee? tanyanya ramah dibarengi senyuman yang wajib diberikan pada setiap tamu hotel standart untuk hotel internasional-. Aku menenteng tas jinjingku yang tidak begitu berat sendirian. Oh, its enough. I already reserved a room here Oh, okay. You can check it in the receptionist Thanks Aku langsung melenggang dari hadapan salah satu pegawai hotel itu setelah greeting yang harus dilakukannya menuju meja recepsionist. Selamat siang, ada yang bisa saya bantu? tanyanya dengan bahasa Jepang, berbeda dengan penerima tamu yang menggunakan bahasa inggris. Saya sudah reservasi atas nama Kim Hyosun dari Korea Oh, nyonya Kim. Reservasi dari Lee Corporate? Bisa tolong tunjukan paspor dan tanda kependudukan anda? Oke Aku mengeluarkan paspor yang pernah aku gunakan untuk pergi ke Perancis dan KTP dari dalam tas, keduanya asli dan legal. Yang aku palsukan selama tinggal di sana hanyalah dokumen kewarganegaraan sebagai warga negara tetap. Ini kunci kamar dan identitas anda. Semoga pelayanan kami tidak mengecewakan dia menyodorkan barang-barangku beserta kunci kamar. Terimakasih Kamar 515 adalah kamar dimana Donghae tinggal, sementara aku mendapatkan kamar di 426 yang letaknya satu lantai di bawah kamar Donghae. Seluruh kamar yang ada di lantai lima sudah penuh sehingga dengan terpaksa aku harus menginap di kamar yang terpisah lantai dengan kamar Donghae. Tapi itu tidak masalah. Yang terpenting sekarang adalah aku sudah sampai di sini dan akan segera bertemu dengannya. Aku tidak langsung menuju kamarnya, melainkan beristirahat sejenak di kamarku. Aku melepaskan sepatuku dengan asal dan merebahkan badanku di atas ranjang. Seluruh badanku terasa pegal setelah kurang lebih dua berada di pesawat. Aku memejamkan mataku.
Seharusnya aku membawa koper. Sekarang aku merasa kebingungan karena opsi baju yang bisa aku pakai hanya beberapa helai. Kenapa aku sebingung ini untuk menentukan baju mana yang cocok? Aku kan hanya akan bertemu dengan Donghae, bukan presiden. Biasanya baju-baju ini selalu nyaman untuk ku kenakan. Tapi kenapa selalu saja ada kendala jika menyangkut Donghae. Rasanya tidak ada yang cocok. Akhirnya pilihanku jatuh pada dress pendek berwarna coklat berlengan pendek. Aku menaruhnya di tempat tidur untuk sementara karena aku harus mengeringkan rambutku terlebih dahulu dengan handuk. Aku melirik jam dinding dan waktu sudah menunjuk ke angka tujuh. Seharusnya Donghae sudah selesai rapat batinku. Rambut yang biasanya aku ikat penuh ke belakang, hari ini aku gerai bebas. Aku juga memilih warna yang soft untuk memulas wajahku tapi aku tidak memakai pensil untuk menebalkan atau memperkuat lekukan alis karena alisku sudah cukup bagus tanpa harus dibentuk lagi. Aku beranjak dan memakai pakaianku setelah dandananku selesai. Tidak lupa aku menambahkan bros cabachon sedang berhias batu safir imitasi di bagian dada kiriku. Setelah semuanya selesai, aku menarik nafasku dalam-dalam sambil memejamkan kedua mataku. Aku berkonsentrasi dan berusaha mensugestikan bahwa ini adalah hal yang mudah. Aku mengumpulkan segenap keberanian untuk menemui Donghae malam ini. Jantungku dag dig dug, tapi aku tetap bersikukuh untuk datang ke kamarnya. Rasanya seperti mendengarkan pantulan bola yang semakin lama-semakin cepat dan tidak bisa dikontrol. Sepanjang jalan aku hanya bisa berdoa agar tidak nervous. Aku juga berharap agar Donghae bersikap manis, setidaknya untuk hari yang ku korbankan ini. Semoga saja tidak ada kecanggungan setelah ini. Aku mengamati nomor-nomor kamar di lantai lima satu per satu sambil membawa bingkisan kecil di tangan kiriku. Di koridor pertama aku tidak menemukan kamar bernomor 515 dan aku harus berbelok ke kanan. Belum sempat aku melangkahkan kakiku satu jengkal pun, tengkukku terasa meremang karena melihat wanita yang berdiri di hadapanku sekarang. Tubuhnya tinggi dengan perawakan yang cukup proporsional. Badannya mengarah ke salah satu pintu kamar hotel di lantai ini. Aku berusaha mengabaikan pikiranku, tapi hatiku semakin lama semakin tidak bisa menyangkalnya. Tidak! Pasti bukan dia. Pasti dia hanya seseorang yang mirip dengan Jessica. Dia menumpangkan kue tart dengan barisan lilin-lilin kecil yang menyala dan jumlahnya lebih dari dua puluh buah di atas kedua telapak tangannya. Kemudian keluarlah sang empunya kamar setelah wanita itu mengetuk pintu kamarnya. Tubuhku benar-benar menjadi kaku saat menyaksikan pemandangan di depanku sekarang. Melihat senyum laki-laki itu airmataku langsung meleleh tak terkendali. Rasanya telingaku tuli, aku tidak mendengar apapun yang mereka bicarakan karena jarak kami yang lebih dari sepuluh meter. Laki-laki yang mengenakan jas gabrdine biru tua tidak lain adalah Donghae. Suamiku sendiri. Dia tersenyum pada wanita yang tengah mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Dan saat Donghae meniup lilin-lilin itu, rasanya seluruh harapanku langsung padam seketika. Aku menutup mulutku agar isakannya tidak keluar dan aku memilih berjalan menjauh saat wajah mereka kian mendekat. Hanya orang bodoh yang tidak tahu apa yang akan mereka lakukan. Aku tidak punya kuasa apapun untuk melabrak dan menuntut penjelasan dari mereka. Aku tidak punya kapasitas sebanyak itu. Jika aku bersikukuh untuk melakukannya, itu sama artinya aku menjatuhkan harga diriku sendiri. Sepanjang jalan aku hanya bisa menangis dan menangis. Rasanya sakit sekali karena pengorbanan yang aku lakukan hari ini untuk Donghae tidak ada artinya sama sekali. Sarkasme kini mengoyak-ngoyak relung hatiku hingga ke bagian yang paling dalam. Kancing baju yang ada di bagian atas gaunku seolah menjelma menjadi paku-paku karet yang ditancapkan dalam-dalam hingga aku tidak bisa menarik nafas lagi. Aku mengabaikan orang-orang yang memandangiku penuh tanda tanya. Yang aku lakukan hanyalah menangis dan berjalan semakin cepat. Sesampainya di kamar, aku langsung meraih gagang telephone dan menekan angka satu untuk dihubungkan ke bagian receptionist. Aku berusaha menekan suaraku agar terdengar biasa saja saat sambungan terhubung sambil membesut airmataku walaupun setiap usapan malah menimbulkan airmata yang jauh lebih deras dari sebelumnya. Hallo. Aku aku akan check out sekarang. kataku tanpa basa basi. Tapi anda mem-booking kamar selama dua hari nyonya kata suara di seberang, heran. Ini penting. Anda tidak keberatan jika kami tetap menghitungnya penuh, nyonya? Tidak masalah. Bisakah kau pesankan satu tiket pesawat ke Incheon international airport malam ini juga? Baiklah jika itu yang anda mau katanya akhirnya menyerah. Oke, terimakasih aku langsung menutup sambungan dan menjatuhkan diri di atas lantai. Aku menjatuhkan diriku begitu saja di atas lantai berkarpet ala timur tengah dan membenamkan wajahku di pinggir tempat tidur, berharap airmataku berhenti mengucur. Tapi hal yang aku lakukan adalah sia-sia. Airmataku terus mengalir. Seharusnya aku menyadari bahwa Jessica akan pergi ke Jepang saat dia membawa koper besar itu. Jahat sekali! Donghae sudah merencanakan ini untuk berlibur bersama Jessica di sini.
Bodoh! Kenapa aku harus menangisi laki-laki yang sudah jelas-jelas tidak menyukaiku? Airmata brengsek! Memalukan, kenapa kau terus keluar? Tuhan tidak menciptakanmu untuk keluar karena alasan paling bodoh sedunia! Berhentilah! Semakin aku mencoba menahan airmataku, semakin susah pula aku menghentikannya. Selama di pesawat kerjaku hanya mengumpat dan mengutuki diriku sendiri dalam hati karena keputusanku untuk datang kemari. Aku tidak menoleh ke samping kanan dan kiri karena aku tidak peduli apapun lagi. Yang ada di pikiranku adalah ingin segera sampai ke Korea. Aku membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku, badanku juga bergetar-getar karena isakanku yang terus keluar. Hei, nona. Are you okay? seseorang mengoyak-ngoyak bahuku pelan, tapi aku tidak menghiraukannya. Dari suaranya aku tahu dia adalah laki-laki. Aku terus tenggelam dalam kesedihanku sendiri. Sekali, dua kali, dan setelah kali laki-laki itu melakukan hal yang sama barulah aku menengadah. Apa? aku menyalak galak pada pria flamboyan yang bisa dibilang cukup tampan itu. Pakaiannya formal layaknya manajer kantoran pada umumnya. Dia tidak mengatakan apapun tapi langsung meraih tanganku dan meletakkan sebuah kain yang dilipat bujur sangkar di atas telapak tanganku. Setelah itu dia menyandarkan kepala ke sandaran bangku lalu memejamkan matanya. Aku mengamati sapu tangan berwarna biru laut itu dan melihat bagian ujungnya bertuliskan nama Siwon Choi, kemudian memandangnya sejenak. Betapa bodohnya diriku, menangis di tempat umum seperti ini tanpa rasa malu. Aku meremas sapu tangan itu, kemudian setelah beberapa saat berfikir akhirnya aku mengusapkannya ke pipi kanan lalu ke kiri. Aku akan mengembalikannya saat pesawat sudah berhenti. Airmataku mungkin sudah bisa aku tahan, tapi yang ada di dalam hatiku sekarang seperti bara api yang sukar untuk dipadamkan. Sesekali airmataku masih menetes saat aku memandangi langit hitam berselimut malam. Kalau aku tidak ingat ada kehidupan di dalam rahimku sekarang, mungkin aku akan berdoa agar Tuhan menghembuskan badai yang besar hingga pesawat ini meledak di udara. Aku memegangi perutku, rasanya sangat nyeri setelah pesawat lepas landas lebih dari sejam yang lalu. Kenapa ini? Kenapa sakit sekali? Dan semakin sakit ketika guncangan terjadi akibat landing-nya pesawat hingga aku menutup mataku rapat-rapat dan menggigit bibir bawahku. Aku terus memegangi perutku dan rasanya keringat dingin kian mengucur di dahi, tengkuk dan punggungku. Rasanya kepalaku turut berkunang-kunang, tapi aku masih tersadar hingga pesawat benar-benar berhenti. Ini milikmu. Terimakasih kataku pada pria bernama Choi Siwon menurut nama yang tertera di sapu tangannya- itu saat dia membuka mata. Kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali dia meraih sapu tangan yang basah itu. Aku hanya kurang istirahat. Kalau kau tidak keberatan, aku ingin mengambil tasku Oke Aku berdiri terlebih dulu walaupun rasanya sempoyongan untuk mengambil tas yang ada di bagasi atas. Tapi aku masih bisa berpijak di atas kakiku sendiri. Pakai ini. Dengan cekatan Siwon menutupi tubuh bagian belakangku dengan coat coklat yang dipakainya. Aku menoleh dan menatapnya bingung. Kau sedang datang bulan? bisiknya di telingaku. Mendengar itu rasanya kepalaku seperti habis dipukul oleh palu hingga seluruh isinya berceceran ke lantai. Aku memandanginya tak percaya. kemudian dengan ragu-ragu, aku meraba pahaku yang terasa basah. Ada sesuatu yang mengalir. Aku mengangkat tanganku dan menemukan zat cair berwarna merah gelap di ujung-ujung jemariku. Aku menggeleng keras agar yang ku lihat ini adalah halusinasi dan saat aku mencoba mengangkat kepalaku untuk melihat pria itu lagi, semuanya menjadi kabur lalu berubah menjadi gelap dalam hitungan detik. Aku sempat mendengar suara yang samar-samar yang bersahut-sahutan hingga suara itu semakin lama semakin pudar. Aku tidak bisa merasakan tubuhku lagi.
Aku mengamati ruangan berbau obat-obatan dan bercat putih terang ini selama beberapa menit. Aku tidak tahu siapa yang membawaku sampai ke sini. Pergelangan tanganku sudah tersalur dengan infus dan bajuku juga sudah diganti dengan seragam pasien rumah sakit. Aku cukup sadar dimana aku berada sekarang. Saat pintu ruangan ini terbuka, aku langsung menoleh dan mencoba untuk mendudukkan badanku. Nona, kau sudah sadar? tanya pria itu. Pria yang duduk di sebelahku saat berada di pesawat. Dia meletakkan jas-nya di kursi kecil yang ada di ruangan ini kemudian mendekatiku. Apa yang terjadi? tanyaku datar dengan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan lain yang bermunculan di otakku. Airmataku meleleh pelan tanpa alasan. Tapi aku tahu sesuatu yang buruk telah menimpaku. Kau pingsan saat di pesawat dan aku membawamu ke sini Apa yang terjadi? tanyaku lagi dengan nada yang sama. Oh, iya. Aku juga minta maaf karena aku tadi mengotak-atik ponselmu. Aku menghubungi contact name Cho Kyuhyun dari sana karena dia orang terakhir yang kau hubungi. Dia dalam perjalanan kemari. Dia kakakmu kan? katanya berusaha mengalihkan perhatian. Katakan padaku, apa yang terjadi?! bentakku karena dia tidak mau menjawab pertanyaanku. Sejujurnya aku merasa sangat takut dengan pertanyaanku sendiri. Jemariku bergetar dan airmataku menetes lagi. Aku merasa ada yang hilang, sesuatu yang penting. Aku ingin mengatakan sesuatu itu, tapi tenggorokanku tercekak. Aku masih berharap bukan hal itu. Kau mengalami pendarahan, tapi kau tidak perlu khawatir karena kau baik-baik saja dia ragu saat memberi jawaban. Pendarahan? ada sekilas bayangan yang berkelebat di otakku. Aku mengingat darah berbau anyir di ujung-ujung jemariku kala pesawat telah sepenuhnya berhenti. Iya. Tapi kau baik-baik saja. Tenanglah. Keluargamu juga sebentar lagi akan datang Bagaimana dengan kataku terpotong. Aku berusaha menelan ludah yang rasanya seperti lem lengket hingga aku susah untuk meloloskannya dari tenggorokan. Dengan kandunganku lanjutku. Aku tidak mengerti kenapa airmataku kian membanjir saat menyebutkan potongan kalimat terakhirku. Rasanya ada jarum-jarum kecil yang menusuk-nusuk jantungku hingga dadaku dan ada sebuah tambang kecil yang mengikat batang paru-paruku hingga dadaku sakit dan sesak. Kandunganmu suaranya ragu-ragu dan terputus oleh satu suara yang tidak asing di telingaku. Hyosun! Kau tidak apa-apa? seru kakak angkatku yang langsung berlari mendekat, dia sendirian. Oppa kataku lemah. Tidak apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja, Hyosun Aku menangis sekencang-kencangnya ketika dia memelukku. Aku tidak bodoh, aku tahu apa yang terjadi dari kontak mata antara Kyuhyun dan Siwon, serta raut kecemasan dari semua wajah yang ada di ruangan ini. Katakan, apa yang terjadi? isakku sambil menarik-narik kemejanya hingga kusut. Aku masih menangis dan dia semakin memelukku erat ketika aku mencoba untuk meronta. Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja dia mengelus-elus puncak kepalaku. Katakan, oppa. Katakan semua ini tidak benar Nyatanya aku tidak merasa baik-baik saja. Airmataku tidak mau berhenti. Aku semakin terisak saat menyaksikan diamnya orang-orang di ruangan ini dan rasa prihatin yang mereka berikan. Sesuatu memang tidak perlu dikatakan agar kita mengerti dengan sendirinya. Aku tahu, aku keguguran.
Aku duduk di atas kasur dan menyandarkan punggungku ke tumpukan beberapa bantal sambil memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Aku pikir setelah membuka mata, aku sedang berada di kamarku dan semuanya berjalan seperti biasa. Tapi ternyata tidak. Kenyataan ini memang pahit. Tidak ada pecahan gelas yang bisa hubungkan kembali jika semuanya sudah berceceran di atas lantai karena terjatuh. Semuanya hilang dan saat itulah khayalan-khayalan indahku lenyap dalam sekejap. Airmataku menetes pelan. Aku menimang-nimang ponselku, kemudian menekan tombol gagang telephone berwarna hijau saat menjelajah di contact name. Hallo, Top sapaku dengan suara yang masih bergetar saat sambungan terhubung. Hyosun. Hei, kau tidak jadi berangkat ke Jepang? Nomor ponselmu masih nomor lokal tanyanya bersemangat. Dia tidak tahu apapun yang telah terjadi padaku. Top, Jangan mengatakan pada siapapun kalau aku pernah ke Jepang. Terutama pada Donghae kataku dingin. Tunggu. Kau kenapa? Kau habis menangis? Suaramu terdengar aneh di telingaku Aku mohon jangan katakan pada siapapun tentang kepergianku ke Jepang. Kau bisa melakukannya? aku menyeka airmata di pipi kiriku. Katakan padaku, apa yang terjadi? Berjanjilah, Top. Jangan katakan apapun aku terisak mengingat kejadian di hotel waktu itu, ditambah lagi hal buruk yang menimpaku hari ini. Hyosun! Hyosun! Apa yang teriaknya, tapi aku langsung memutus sambungan ketika dia mau menanyakan lebih lanjut lagi. Aku membiarkan benda elektronik itu jatuh begitu saja dari tanganku. Aku menekuk kakiku hingga aku bisa memeluk keduanya dengan lengan-lenganku yang sebenarnya sudah lemas. Aku menundukkan kepala, membiarkan dahiku beradu dengan lutut untuk beberapa saat dan mengabaikan tetesan-tetesan air asin yang membasahi kainku sekarang. Suasana pagi yang seharusnya menjadi penyemangat baru, kini selalu membuatku terbayang-bayang pada kenyataan yang sesungguhnya. Nona suara itu lagi. Dia menggoyang-goyangkan lenganku seperti saat di pesawat. Aku harus pergi sekarang. Aku harus menyelesaikan satu kasus penting yang dialami temanku. Aku sudah sangat terlambat sekarang dia memakai jas-nya yang ada di bangku. Apa semalaman dia menginap di sini? Oh, iya. Ini untukmu saja dia meraih telapak tanganku dan memberikan sapu tangan itu lagi. Kemudian dia pergi meninggalkanku, menghilang di balik pintu. Tidak lama setelah itu, Kyuhyun masuk ke ruangan ini. Dia mencoba tersenyum walaupun dipaksakan. Aku tidak mengeluarkan suara satu kali pun setelah mendengar kenyataan yang disampaikan langsung oleh dokter jaga tadi malam. Pria itu baik sekali. Dia ikut menemaniku semalaman di sini Kyuhyun mengecup puncak kepalaku, tapi aku masih diam tanpa suara. Oh, iya. Nenek Donghae dan Victoria sudah pulang. Mereka akan kembali lagi nanti. Ibu mertuamu akan menggantikan pekerjaan Donghae di Jepang. Mungkin beberapa jam lagi Donghae akan sampai ke sini Oppa, bawa aku pulang kataku untuk pertama kalinya setelah diam dalam waktu yang cukup lama. Aku tidak berbicara apapun pada siapa saja yang ada di ruangan ini sejak semalam, bahkan pada Nenek Donghae maupun orang tua angkatku sendiri. Aku tidak menjawab pertanyaan apapun yang mereka berikan. Dan aku rasa pria bernama Siwon itu juga tidak mengatakan apapun tentang perjalananku dari Jepang, karena aku memintanya untuk diam.
Authors POV Pria yang mengenakan jas gabardine biru tua dan dipadukan dengan celana bahan berwarna senada itu tangah sibuk dengan pikirannya sendiri. Tidak hanya sekali atau dua kali dia memeriksa ponsel hanya untuk memastikan pesan singkat atau panggilan masuk yang diharapkannya. Akhirnya dia meletakkan benda elektronik itu lagi di atas meja untuk yang ke sekian kalinya. Apa dia tidak tahu? desahnya. Untuk sesaat pikirannya sempat buyar karena pintu kamar hotelnya diketuk. Dia mendongak, kemudian berjalan dengan gontai ke arah suara itu berasal. Saat dia membuka pintu Happy birthday! seru seorang wanita yang bertahun-tahun tengah menjadi kekasihnya. Donghae tersenyum saat melihat kue dan lilin-lilin kecil menyala di tangan wanita itu tengah menjadi obyek utama yang dilihatnya sekarang. Bagaimana kau tahu aku menginap di hotel ini? Kau menginap di sini juga, Jess? tanya Donghae heran tapi tetap memamerkan senyumnya. Tidak. Aku menginap di Kyoto. Sudah tidak usah banyak bicara. Sekarang tiup lilinnya! pintanya ramah. Donghae memejamkan mata sejenak untuk membuat permintaan, lalu meniup lilin kecil yang berjumlah lebih dari dua puluh batang itu dengan beberapa kali hembusan nafas. Dan setelah itu Jessica mencium pipi Donghae secara bergantian. Thanks Jess. Ayo masuk. Kita habiskan kue ini malam ini juga Donghae menyeringai. Yang benar saja? Aku ke sini tidak untuk menghabiskan kue. Aku tidak bisa berlama-lama. Ini Jessica menyerahkan kue berbentuk bujur sangkar itu ke tangan Donghae. Aku sudah telat. Rei Kawakubo sudah menungguku di butiknya. Kau benar-benar ingin menerima tawarannya? tanya Donghae sambil mencolek bagian pinggir tart cake yang kini dibawah kendalinya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Kemungkinan besar iya. Kesempatan ini tidak akan datang dua kali Jessica mengangkat bahunya dengan santai. Oh, iya. Mungkin, jadwalku akan sangat padat selama di sini. Nanti kalau aku sudah luang kita bisa mencari tempat makan yang enak di pusat kota Tentu saja kau harus mengajakku makan. Kau memang harus mentraktirku. Ini untukmu Jessica mengulurkan sebuah bingkisan kecil berpita pada Donghae. Donghae tersenyum, kemudian mengambilnya dengan tangan kiri. Apa ini? tanyanya. Itu kado ulang tahunmu. Buka saja sendiri Ck! Aku sudah telat. Aku pergi sekarang Jessica melihat jam tangannya resah, kemudian mengecup pipi kanan Donghae lalu beringsut pergi. Hati-hati! Donghae mengamati kedua barang yang kini ada di tangannya, kemudian rasa gelisah yang sempat terabaikan kembali menyeruak di dadanya. Donghae melemparkan pandangan ke koridor yang sudah kosong dan entah kenapa dia merasa ada sebuah jejak yang tertinggal di situ. Tapi dengan buru-buru dia menggeleng bahwa itu semua hanya perasaannya saja. Dia mendorong pintu kamarnya dengan punggung dan membiarkan pintu itu bergerak dengan sendirinya setelah dia masuk dan meletakkan kado beserta kue di atas meja. Saat pintu tertutup secara otomatis, dia kembali menyambar ponsel untuk kesekian kalinya. Dan ternyata nihil. Sepanjang malam Donghae tidak bisa tidur dengan nyenyak. Padahal secara logika, dia terbilang cukup kepayahan hari ini. Dia berguling ke sana kemari untuk mencari posisi yang nyaman, tapi tetap saja dia tidak bisa benar-benar tidur walaupun mata sudah sekian lama terpejam. Dia membuka matanya dan dengan kesal mengambil ponsel yang menjadi perhatian utamanya malam ini. Dia meruntuk di dalam hati, lalu mengarahkan navigasi menuju speed dial yang dia pasang. Dia mengamati contact name Nona Kim untuk sesaat. Setelah berfikir sejenak, dia berinisiatif untuk menekan tombol call tapi panggilan masuk dari telephone ruangan sudah mendahuluinya. Dahinya berkerut, kemudian memandang jam dinding yang kini sudah menunjuk ke angka 12. Hallo Donghae memutuskan untuk mengangkat panggilan itu. Hallo, Tuan Lee. Saya Keiko Nagazawa dari bagian receptionist ingin memberitahukan bahwa Nona Victoria Song dari Korea ingin disambungkan dengan anda. Apa anda mau menerimanya? kata suara dari seberang dengan bahasa Jepang yang cukup formal dan fasih. Oke, sambungkan sekarang kata Donghae cepat, tapi dalam hati bertanya-tanya kenapa Victoria menelephonenya semalam ini. Baik, tunggu sebentar Hallo, oppa. Hyosun masuk rumah sakit. Dia mengalami pendarahan. Kata Victoria dengan nada panik. Apa? Pendarahan? Apa yang terjadi? Donghae terperanjat mendapati kenyataan yang tidak disangka- sangka olehnya. Aku belum bisa memastikannya. Dia masih ditangani dokter. Sekarang kita semua berada di Incheon international Hospital. Nenek menyuruhku menghubungimu Incheon? Kenapa bisa di Incheon? Donghae kebingungan. Tangkuknya kini mulai dibasahi oleh keringat dingin. Kita belum mendapat penjelasan apapun, oppa. Hyosun belum sadar dan orang yang mengantarnya tidak mau berbicara banyak Jantung Donghae terpacu dengan cepat sekarang. Kini bukan hanya rasa gelisah yang mengganggunya, melainkan rasa takut, cemas dan penuh tanda tanya bercampur menjadi satu hingga mengoyak-oyak pikirannya. Tanpa banyak bicara Donghae langsung menutup telephone dan menyibukkan dirinya dengan ponsel lagi. Dengan gegabah dia mencari salah satu nomor di contact name lalu menekan gagang berwarna hijau dan melekatkan ponselnya ke telinga. Hallo, bu. Apa urusan ibu di Paris sudah selesai? kata Donghae tanpa basa basi setelah sambungannya terhubung. Besok siang Ibu sudah bisa kembali ke Korea. Ada apa? Bisakah ibu menggantikanku di sini? Hyosun mengalami pendarahan. Dia di rumah sakit sekarang. kata Donghae panik. Pendarahan? Apa yang terjadi? suara di seberang sama paniknya dengan Donghae. Aku tidak tahu. Tadi Victoria menghubungiku dan Hyosun masih belum sadar sampai sekarang Donghae masih menunggu jawaban sampai beberapa detik. Dia tahu, jarak kota Paris-Tokyo bukanlah dekat dan sudah pasti membutuhkan waktu yang tidak sedikit pula. Baiklah, ibu akan menggantikanmu. Tapi kau tetap harus memimpin rapat sampai jam makan siang. Nanti sisanya biar ibu yang melanjutkan. Ibu akan menyewa pesawat pribadi untuk ke sana malam ini juga Donghae merasa sedikit lega karena pekerjaannya bisa diambil alih oleh pimpinan utama Lee Corporate saat ini. Walaupun begitu pikirannya tetap saja tidak karuan. Ingin sekali dia segera pergi dari Jepang sekarang juga. Tapi itu tetap saja tidak mungkin. Ada pekerjaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Derap langkah kakinya memenuhi koridor rumah sakit. Rambutnya menari-nari di udara akibat angin yang ditimpulkan oleh gerakannya sendiri. Donghae berlari secepat mungkin untuk mencapai receptionist lantai dua rumah sakit berstandart internasional itu. Tanpa pikir panjang, dia langsung kembali ke tanah Korea setelah Ibunya menggantikan seluruh perjalanan dinasnya di Jepang. Dia mencoba mengatur nafas setelah mencapai tempat yang diinginkan. Pasien atas nama Kim Hyosun dirawat di ruang berapa? Nyonya Kim Hyosun? Sebentar Petugas rumah sakit itu mengarahkan mouse untuk melihat data para pasien. Maaf tuan. Nyonya Kim pagi ini diijinkan rawat jalan. Beliau sudah tidak di rumah sakit ini Rawat jalan? Donghae merasa dirinya sangat bodoh sekarang. Sesampainya di Korea, dia langsung menuju rumah sakit tanpa menghubungi siapapun untuk mengetahui keadaan Hyosun yang terakhir. Iya. Pagi tadi tuan Cho mengajukan rawat jalan pada dokter Mendengar itu, Donghae dengan cekatan langsung mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Cho Kyuhyun. Hallo, Kyu. Apa Hyosun bersamamu sekarang? Iya. Sekarang dia di rumah kami. Dari kemarin aku mencoba menghubungimu tapi nomormu tidak aktif sama sekali Maaf, aku mengganti sim card ponselku dengan nomor lokal Jepang. Vic sudah menghubungiku melalui receptionist hotel semalam. Sebenarnya ada apa Kyu? Apa yang terjadi pada Hyosun? tanya Donghae cemas. Sebaiknya kau kemari. Sepertinya Hyosun depresi. Sejak kemarin dia tidak mau mengatakan apapun. Mendengar itu, Donghae semakin panik Katakan padaku. Sebenarnya dia kenapa? Belum sempat Kyuhyun menjawab, sambungan mereka terputus. Donghae mengumpat kecil karena pertanyaannya belum memperoleh jawaban. Dia berusaha menghubungi Kyuhyun lagi tapi nomornya langsung tidak aktif. Donghae langsung bergegas meninggalkan rumah sakit tanpa pikir panjang lagi. Sepanjang jalan menuju Seoul, pikirannya kacau karena keadaan Hyosun yang tidak jelas. Ditambah lagi suasana jalan yang ramai membuat laju taxi yang ditumpanginya bergerak semakin lambat. Mobilitas seperti ini biasa terjadi di jam-jam sibuk seperti sekarang. Hal itu membuat Donghae berfikir konyol. Seandainya dia mempunyai kekuatan sihir, dia akan memakainya untuk menyingkirkan seluruh kendaraan yang ada di hadapannya sekarang agar lajunya tidak terhambat. Tapi itu mustahil.
Dimana Hyosun? tanya Donghae saat pintu dibukakan oleh Kyuhyun. Dia mengurung dirinya di kamar. Dia tidak mau keluar dan tidak mau berbicara dengan siapapun. jawab Kyuhyun cemas. Apa yang terjadi? Hyosun kata-kata Kyuhyun terputus. Dia sengaja berfikir sejenak untuk mencari kata-kata yang tepat. Ada apa? Kau membuatku bingung! bentak Donghae tidak sabaran. Hyosun keguguran dengan berat kata itu akhirnya meluncur dari bibir Kyuhyun. Keguguran? Donghae menggeleng lemah, merasa tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh kakak angkat Hyosun. Dia mengingat kejadian dimana Hyosun mengatakan padanya bahwa dia sedang menstruasi. Bagaimana bisa Kyuhyun mengatakan padanya bahwa Hyosun keguguran sementara dia tidak hamil? Tidak. Ini tidak mungkin. Hyosun sendiri yang mengatakan padaku kalau dia mendapatkan menstruasinya bulan ini. Bagaimana bisa dia keguguran sementara dia belum hamil? kata Donghae bersikukuh. Apa dia tidak mengatakan padamu kalau dia hamil? Kyuhyun nampak kaget. Tidak sama sekali. Bahkan aku tidak pernah berfikir kalau dia hamil karena dia mengatakan padaku dia sedang menstruasi Ya, Tuhan. Hyosun benar-benar tidak mengatakan ini pada siapapun. Apa yang ada di otaknya sekarang? Kyuhyun memegangi kepalanya frustasi. Melihat reaksi Kyuhyun, Donghae langsung menerobos masuk ke dalam menuju kamar Hyosun-. Dia mengetuk pintunya. Hyosun, ini aku Donghae. Aku ingin bicara denganmu kata Donghae setelah memberikan beberapa ketukan pada pintu. Tidak ada jawaban dari dalam dan Donghae melakukan hal itu selama beberapa kali. Tapi tetap saja Hyosun tidak bergeming. Setelah tidak mendapat jawaban apa-apa dari dalam kamar Hyosun, Donghae dan Kyuhyun bertukar pandangan penuh arti. Ada apa sebenarnya? Dia tidak mengatakan apapun padaku dan sekarang dia keguguran tanya Donghae lemah. Dia frustasi. Dia masih bungkam. Bahkan orang yang mengantarnya ke rumah sakit tidak mau mengatakan apa-apa sampai Hyosun mengatakannya sendiri Siapa yang mengantarnya? tanya Donghae penasaran. Dalam hatinya yakin bahwa orang ini bisa memberitahunya sesuatu. Namanya Choi Siwon. papar Kyuhyun. Bagaimana ceritanya dia bisa mengantar Hyosun sampai ke rumah sakit? Aku tidak tahu sama sekali. Dia tidak mau mengatakan apapun pada kami. Kata Lexy, dia pernah memberikan test pack pada Hyosun karena menurutnya gejala yang dialami Hyosun sangat mirip dengan awal mula kehamilan. Dan setelah itu Hyosun tidak mengatakan apapun pada kami, termasuk pada Lexy papar Kyuhyun. Donghae berfikir lagi. Dia yakin, pasti test pack itu ada di salah satu bagian apartemennya. Dia memandangi pintu kamar Hyosun yang masih tertutup kemudian melemparkan pandangannya pada Kyuhyun. Aku harus pergi sekarang Kau mau kemana? Aku akan kembali ke apartemen untuk mencari test pack itu. Setidaknya jika aku menemukannya, aku tidak akan kebingungan lagi seperti ini Donghae mengambil langkah mundur dengan meninggalkan Kyuhyun kemudian pergi hingga hilang dari pandangan. Dia sangat antusias untuk mencari jawaban dari keraguan yang sekarang menderanya. Sesampainya di apartemen dia langsung menuju ke kamar Hyosun. Jemarinya gemetar saat menekan satu per satu angka kombinasi untuk membuka pintu itu. Empat kali layar pengaman elektronik itu men-display kalimat Wrong Password setelah Donghae menekan tombol enter dan itu semakin membuatnya frustasi. Shit! dia mengumpat karena sadar bahwa kombinasinya telah diganti oleh Hyosun. Donghae berlari ke arah kamarnya dengan segera dan tanpa basa-basi lagi langsung menarik laci kecil di seberang tempat tidurnya. Dia mengobrak-abrik isinya untuk mencari kunci manual cadangan. Setelah ketemu, dia bergegas ke kamar Hyosun yang masih tertutup rapat. Dia memasukkan kunci lalu memutarnya berlawanan arah jarum jam kemudian barulah memutar knopnya. Setelah pintu kamar Hyosun bisa dibuka, dia menarik nafas lega. Untuk sesaat dia memandangi isi kamar Hyosun. Terasa lengang dan ada perasaan kosong yang menyeruak di hatinya kini. Dimana dia menyimpannya? batin Donghae seraya melangkahkan kakinya dengan hati-hati, seolah Hyosun tengah tidur di atas ranjang hingga dia takut jika sewaktu-waktu wanita itu terbangun karena kelancangannya memasuki kamar pribadi ini. Donghae melakukan pencarian di laci, lemari baju, meja rias, dan kamar mandi tapi hasilnya nihil. Dia tidak menemukan apapun. Kemudian dia melangkah ke meja kerja Hyosun. Sejenak dia memperhatikan komputer jinjing yang ada di atasnya, lalu mengelusnya perlahan sambil tersenyum dia teringat saat membeli benda elektronik itu-. Tapi lintasan itu hanya sementara, kini pikirannya dirasuki hal yang harus ditemukannya lagi. Kalau ada pasti tidak diluar kamar ini pikirnya. Donghae memilah-milah barang di atas meja itu dengan hati-hati. Dia tahu jika Hyosun melihat apa yang dilakukannya ini, pasti wanita itu akan marah besar. Dan karena itulah dia melakukannya serapih mungkin agar tidak meninggalkan jejak. Dimana dia menyimpannya? keluh Donghae dalam hati, tidak mampu lagi menutupi keputusasaannya. Dia menunduk dan menyangga tubuhnya dengan kedua tangan yang ia tompangkan di atas meja. Pikirannya menjelajah ke segala arah dan membuat matanya kini berkaca. Tapi saat pandangannya kian kabur karena genangan airmata yang semakin bertambah, ada sebuah amplop putih yang menyita perhatiannya. Amplop itu tergeletak begitu saja di atas lantai. Donghae memungutnya lalu melihat stempel bertuliskan Seoul Medical Center. Dahinya berkerut, kemudian melihat isinya. Dia tidak mengerti tentang penjelasan dari barisan kalimat dan tabel yang ada di secarik kertas yang baru saja dikeluarkannya itu. Yang jelas di matanya hanya nama Kim Hyosun sebagai pasien rumah sakit swasta itu. Apa Hyosun mengidap penyakit berbahaya juga? tanya Donghae entah pada siapa. Pikiran Donghae semakin morat-marit. Dia mengendurkan dasinya lalu melepasnya dengan satu tarikan hingga lolos dari lehernya karena frustasi. Detak jantungnya kian terpacu cepat, merasa khawatir dengan keadaan Hyosun sekarang. Setelah terpuruk cukup lama, akhirnya dia memutuskan untuk mengunjungi dokter yang namanya tertera di kertas itu.
Jadi nyonya Lee belum memberitahukannya pada anda? tanya Dokter itu tak percaya. Tentang apa, dok? Saya tidak mengerti tanya Donghae lagi. Istri anda hamil. Nyonya Lee melakukan test dua hari yang lalu dan usia kandungannya sudah masuk minggu ketiga Mendengar itu, Donghae merasa ada sebuah lubang yang kini menganga di hatinya. Nafasnya tersendat- sendat dan kini timbul genangan airmata di sudut-sudut matanya saat dokter itu pergi ke sisi lain ruangan itu. Dia berusaha tidak percaya dengan apa yang dikatakan dokter itu, tapi nyatanya hatinya sendiri tidak bisa dibohongi. Dokter itu kembali lagi sambil menyodorkan dua buah benda yang mirip plastik batangan sepanjang sepuluh senti padanya. Ini hasil test pack-nya kata dokter itu. Istri anda sangat senang dengan kehamilannya dan saat saya tanya kenapa anda tidak hadir bersamanya untuk memeriksa, katanya dia ingin memberi anda kejutan lanjut dokter itu. Donghae memperhatikan dua buah test pack yang ada di tangannya sekarang. Dadanya sesak dan airmata yang berusaha ditahannya meluncur dengan mudahnya melewati pipi. Untuk sesaat dia terisak. Anda baik-baik saja tuan Lee? tanya Dokter itu cemas. Dia melihat tubuh Donghae yang kini bergetar- getar di hadapannya. Aku tidak pernah mendengar dia Mengatakan bahwa dia sedang hamil, tapi yang aku tahu sekarang adalah dia keguguran kata Donghae terputus-putus. Dia tidak bisa mengontrol emosinya lagi. Dia meluapkan kesedihannya di depan petugas medis berkacamata itu. Dokter itu sendiri bingung ingin menanggapinya seperti apa. Dia merasa permintaan untuk bersabar pun tidak akan cukup untuk menunjukkan rasa simpatiknya. Dia bisa merasakan bahwa kesedihan semacam ini adalah ibarat luka yang tidak akan pernah hilang bekasnya.
Hai, Im LHJ. If you hear this, its means you have to leave a message after you press one. Ill call you back Donghae mengumpat dalam hati, kemudian dia meninggalkan pesan suara setelah menekan digit satu. Hyuk, kenapa kau selalu menghilang di saat seperti ini? Bantu aku mencari identitas Choi Siwon. Namanya tidak begitu familiar di telingaku. Hubungi aku kalau kau sudah menemukannya Donghae memutuskan sambungan internasionalnya, kemudian melempar ponselnya ke sisi lain kasur berseprai putih bersih itu. Dia merebahkan badannya di atas kasur wanita yang hampir sebulan ini menyandang status sebagai istri sahnya. Dia masih bisa merasakan bau parfum yang tertinggal di spray bermotif bunga akasia itu sekalipun tengah memejamkan mata. Entah kenapa kamar itulah yang didatanginya setelah pulang dari rumah sakit. Pikirannya sekarang tertuju pada pertengkaran yang terjadi antara dia dan Hyosun malam itu. Dia merasa sangat bodoh dan berharap seandainya waktu bisa diputar, dia tidak akan berperilaku seperti itu pada Hyosun. Dan karena pikirannya itulah dia langsung membuka matanya dengan cepat. Dia tertarik untuk mendatangi obyek yang menjadi bahan pertengkaran malam itu. Choi Seung Hyun. Dia beranjak dari tempat tidur itu, bermaksud menuju salah satu pintu apartemen yang berada satu lantai di bawah apartemennya. Kau? Apa yang kau lakukan di sini? tanya Top saat membuka pintu dan mendapati Donghae tengah berdiri di pintu apartemennya. Tak kurang dari lima menit Donghae sudah mencapai apartemen Top. Donghae tengah mengatur nafasnya agar tidak terlalu konyol saat menghadapi pria yang tidak begitu disukainya sepanjang SMA ini. Apa Hyosun memberitahumu tentang kehamilannya? tanya Donghae saat nafasnya menjadi normal seperti biasa. Hamil? Top terkejut. Kau juga tidak tahu kalau dia sekarang keguguran? Apa? Keguguran? pertanyaan kedua ini membuatnya tampak kaget dan tidak percaya. Top tidak tahu menahu tentang ini semua. Yang dia ketahui terakhir kali hanyalah keputusan Hyosun untuk pergi ke Jepang. Kau benar-benar tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, Choi Seung Hyun! bentak Donghae saat melihat ekspresi Top yang berubah melankolis. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanya Top memutus kalimatnya sendiri. Dia ragu ingin mengatakan bahwa Hyosu pergi ke Jepang untuk menemui Donghae. Hanya apa? tanya Donghae tidak sabaran. Hanya tahu kalau keadaannya tidak begitu sehat saat terakhir kali aku bertemu. Itu saja Top berbohong. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan Hyosun hingga menyuruhnya untuk tidak mengatakan kepergiannya ke Jepang pada siapa pun, terutama pada Donghae. Dia percaya bahwa Hyosun pasti punya alasan untuk itu semua. Donghae mengacak rambutnya dengan kesal karena tidak mendapatkan jawaban dari setiap pertanyaannya. Tapi di sisi lain terselip sebuah kelegaan di hatinya karena Hyosun benar-benar tidak memberitahu siapapun setidaknya tidak ada orang lain yang lebih tahu tentang kehamilannya sebelum dirinya-. Walaupun begitu, tetap saja semua ini menjadi teka-teki baginya. Percuma saja aku bertanya padamu Donghae melenggang begitu saja setelah mendapat jawaban dari Top. Dia masih belum merasa puas. Sudah dua hari sejak kedatangannya ke Korea, Donghae tidak pergi ke kantor. Dia belum bisa berkonsentrasi penuh dengan pekerjaannya karena Hyosun. Puluhan SMS dan telephone sudah dicobanya untuk menghubungi Hyosun, tapi usahanya tetap satu arah tanpa mendapat feed back yang berarti. Dan itu semakin membuatnya bertanya-tanya. Tapi keadaan Hyosun tidak bisa menjadi alasan untuknya berlarut- larut dengan pikirannya dan mengabaikan pekerjaan yang sudah menumpuk dan menunggunya di meja kerja kantor. Dia harus tetap menunjukkan kredibilitasnya sebagai seseorang yang memangku jabatan satu level di bawah ibunya sendiri. Pagi ini, sebelum dia pergi ke kantor, dia menyempatkan diri untuk menyambangi kediaman keluarga Cho. Alih-alih berharap Hyosun mau berbicara dengannya, ternyata dia mendapat sambutan yang tidak menyenangkan dari Kyuhyun. Pergilah. Tidak ada gunanya kau kemari. Toh, Hyosun juga tidak mau berbicara denganmu kata Kyuhyun sakratis. Ekspresinya sangat berbeda dari biasanya. Dia berdiri di muka pintu, menghalangi siapa pun untuk masuk ke rumahnya. Biarkan aku mencobanya lagi. Siapa tahu dia mau berbicara denganku kata Donghae berusaha melongok ke balik bahu Kyuhyun tapi dia kalah tinggi beberapa senti. Dia tahu bahwa Kyuhyun tidak sedang bercanda kali ini. Sudah ku bilang pergi! Kyuhyun mendorong dada Donghae hingga badannya terhuyung ke belakang. Ada apa denganmu? Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja Donghae tidak mau kalah. Dia baik-baik saja jika kau tidak datang kemari. Pergilah! Dia benar-benar tidak mau bertemu denganmu! Kau ini kenapa sih?! tanya Donghae emosional. Dia tidak tahu kenapa Kyuhyun berubah sedingin itu. Bahkan lebih dingin dari sifat aslinya. Aku hanya berusaha membuat adikku merasa nyaman dengan tidak mengijinkanmu masuk! Aku tahu pasti ada sesuatu yang salah darimu. Dia tidak pernah semarah itu. Kau tahu, beberapa menit setelah kau pulang dia melempar jambangan kristal kesayangannya saat aku menyebut namamu? Dia tidak pernah melakukan itu untuk mengekspresikan kemarahannya. Pasti masalahnya ada pada dirimu! Aku tidak mau kau menemuinya sampai dia benar-benar merasa baik, mengerti! Kata Kyuhyun tak kalah emosional. Kemudian dengan keras membanting pintu depan dan menguncinya dari dalam. Kyuhyun! Cho Kyuhyun! Buka pintunya! Aku tidak mengerti dengan apa yang kau katakan! Donghae menggedor pintu kayu itu dengan keras. Dia semakin bingung dengan apa yang terjadi. Donghae melakukan hal yang tidak ada gunanya. Kyuhyun tidak akan mungkin membukakan pintu sekalipun tangannya berdarah karena menggedor pintu dengan begitu keras. Setelah merasa percuma dengan tindakannya, Donghae kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanannya menuju kantor dengan perasaan kesal bercampur marah. Belum sempat menyalakan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Dia melihat kode negara bagian Amerika mengawali digit-digit angka di belakangnya dan tanpa pikir panjang Donghae langsung mengangkatnya. Hallo, Hyuk. Kemana saja kau? tanya Donghae panik walaupun dalam hatinya dia merasa lega karena sahabatnya itu menghubunginya. Aku di Bogota selama sebulan. Ada misi yang harus ku selesaikan. Oh, iya mengenai pria bernama Choi Siwon itu Apa yang kau dapat? potong Donghae cepat. Bisakah kau mengirimiku fotonya melalui email atau memberitahuku setidaknya profesinya apa? Pria bernama Choi Siwon jumlahnya lebih dari tiga ribu di data base Korea. Belum lagi yang di luar negeri Mendengar itu Donghae langsung terdiam. Dia hanya tahu apapun tentang pria yang bernama Choi Siwon itu. Profesinya saja tidak tahu apalagi fotonya. Aku tidak tahu profesinya apalagi fotonya. Aku tidak mengenalnya sama sekali desah Donghae. Dia benar-benar kehilangan semangat setelah sadar dengan kenyataan itu. Kau ini bagaimana? Mana bisa aku mencari data seseorang dengan modal namanya saja? Dasar bodoh! maki pria bernama Lee Hyukjae di seberang sana. Iya, aku memang bodoh! Aku tolol dan idiot! Puas? bentak Donghae. Hyukjae begitu dia biasa dipanggil- langsung menjauhkan ponsel dari telinganya saat mendengar bentakan itu kemudian mendekatkannya lagi setelah Donghae puas mengumpati dirinya sendiri. Hyukjae cukup kaget tapi sudah mengantisipasi bahwa emosi Donghae memang sedang tidak stabil. Dia cukup mengenal perangai sahabatnya itu. Heh, sebenarnya ada apa? Dan siapa Choi Siwon itu? tanya Hyukjae santai. Donghae mengatur nafasnya di dalam mobil yang belum bergerak sama sekali. Dadanya naik turun karena kekesalan yang melanda dirinya sekarang. Istriku keguguran desah Donghae, dia seperti tidak punya kekuatan untuk berbicara senormal biasanya. Apa? Nona Kim keguguran? Yeah, dan yang bisa memberitahuku semuanya adalah pria bernama Choi Siwon itu. Hyosun tidak mau berbicara padaku dan kakak angkatnya kini berubah menjadi tempramental saat melihatku datang. Aku harus bagaimana? Semuanya membuatku bingung Donghae membenturkan kepalanya pada kendali mobil tapi tidak sampai mengenai klaksonnya. Suaranya juga bergetar. Bagaimana bisa terjadi? Kalau aku tahu mana mungkin aku kebingungan seperti ini, hyuk! bentak Donghae sambil mengangkat kepalanya dari kendali mobili. Dan lagi-lagi suaranya membuat Hyukjae menjauhkan ponsel dari telinganya. Maksudku bagaimana bisa Choi Siwon itu yang tahu semuanya? Memangnya kau dimana? tanya Hyukjae, masih di ambang kesabarannya. Donghae menghela nafasnya berharap dengan cara seperti itu dia bisa jauh lebih tentram seperti sedia kala. Aku sedang dinas di Jepang, sementara Hyosun keguguran di Incheon. Bagaimana aku tidak bingung? Apa yang dilakukannya di Incheon? Dan pria yang bernama Choi Siwon adalah orang yang mengantarnya ke rumah sakit? tanya Hyukjae, mencoba menerka kelanjutan cerita dari Donghae. Bagitulah. Aku bingung jika semuanya serba tidak jelas seperti ini Apa sebelum kau pergi, kau dan nona Kim bertengkar? Mengingat itu, rasa bersalah meliputi Donghae lagi Iya. Masalah kecil dan sepertinya kami sudah berdamai sebelum aku berangkat ke Jepang Sepertinya? Kau yakin kalian sudah berdamai? Atau itu hanya kesimpulan yang kau ambil sendiri? Hyukjae menginterupsi. Aku juga tidak yakin. Tapi memang dia yang pertama kali membuatku kesal Memang nona Kim membuat ulah apa sampai kau kesal? Hyosun seenaknya saja pergi dengan laki-laki lain dan dia menganggap hal itu adalah hal yang biasa. Bagaimana aku tidak marah sementara aku punya buktinya? Hyukjae malah terkekeh mendengar itu dan tidak bisa berhenti untuk beberapa saat. Diam, hyuk! Ini tidak lucu, bersimpatilah! bentak Donghae. Aku cukup simpatik. Aku juga turut bersedih saat tahu keadaan nona Kim. Yang lucu adalah kau. Kenapa kau harus marah-marah? Bukankah hubungan kalian hanya sebatas memberimu keturunan dan menemukan kakak kandungnya? Tapi dia istriku sekarang! kilah Donghae lagi. Katakan padaku. Apa kau mulai menyukainya? Kau posesif sekali, kau sadar itu? Pertanyaan macam apa ini? Aku tidak memintamu untuk menanyakan hal-hal yang tidak penting seperti itu. Tolong carikan identitas Choi Siwon, bukan yang lain! Oke, anggap saja itu tidak penting untukmu. Dan kedepannya kau juga tidak perlu berapi-api seperti ini jika Hyosun bersama pria lain. Kau juga berhubungan dengan Jessica kan? Apa nona Kim marah padamu saat kau berdekatan dengan Jessica? Kalau dia tidak marah, itu artinya kau juga tidak punya hak apa-apa atas nona Kim. Status kalian hanya sebatas relasi, tidak lebih. Anggap saja profesionalisme dalam bekerja Ucapan Hyukjae membuatnya berfikir. Dia baru menyadari bahwa reaksinya sangat berlebihan pada Hyosun. Tapi walau bagaimanapun dia tidak bisa menafikan sikap posesifnya pada wanita yang sekarang menjadi istrinya itu. Apakah sekarang hatinya telah terbagi dua, untuk Hyosun dan Jessica? Donghae menghela nafasnya. Aku peringatkan satu hal padamu, Donghae. Kau baru akan sadar jika seseorang itu sangat berharga dalam hidupmu saat orang itu sudah pergi. Jangan sampai suatu saat nanti kau menyesali tindakanmu sendiri, Donghae Aku tidak butuh kuliah, Lee Hyukjae! Kau semakin membuatku pusing Lagi-lagi Hyukjae terkekeh. Kali ini Donghae tidak mau menanggapi Hyukjae yang menertawainya seolah dirinya adalah badut sirkus yang pantas ditertawakan. Kau dan Max tidak ada bedanya. Kalian berdua sama-sama dipusingkan oleh makhluk cantik bernama wanita. Dan kalian selalu menyeretku untuk masuk dalam urusan kalian. Ada apalagi dengan Max? tanya Donghae penasaran. Sebelum menelephonemu, aku mencarikan data gadis pulau Jeju yang ditemuinya di Rusia Sudah ketemu? Aku sudah mengirim datanya pada Max. Gadis yang cantik. Gadis itu menyukainya? Belum tahu. Yang jelas Max berniat serius dengan gadis ini. Yeah, sepertinya kita perlu mengadakan pesta lajang sebelum dia menikah Mengadakan pesta lajang sebelum dia menikah? Cih~ kalian berdua saja tidak peduli dengan pernikahanku! kata Donghae menginterupsi. Hei, aku sudah mengatakan padamu kalau kau harus memundurkan tanggal pernikahanmu. Setidaknya sampai akhir tahun ini. Pasti aku dan Max akan datang Hyukjae membela diri. Tapi waktuku tidak bisa menunggu Aku mengerti. Lagipula kau juga tidak mencintai nona Kim, kan? Lebih baik kita rayakan saja hari perceraianmu nanti lanjut Hyukjae. Kau Donghae geram hingga tidak mulutnya tidak bisa terkatup begitu saja. Kenapa? Apa kau sekarang berfikir untuk memilikinya juga? Ah, sudahlah. Kau malah membuatku semakin stres! Donghae menyerah memperdebatkan perasaannya terhadap Hyosun bersama dengan Hyukjae. Hahahaha Eh, ngomong-ngomong selamat ulang tahun untuk dua hari yang lalu kata Hyukjae kemudian. Telat! Aku sibuk dan baru bisa membalas semua message voice hari ini. Terlambat itu lebih baik daripada tidak sama sekali Donghae menghela nafas panjangnya untuk ke sekian kali Iya. Terimakasih. Aku harus ke kantor sekarang. Adakah yang ingin kau bicarakan lagi? Oh, iya. Aku dan Max kemungkinan akan pulang akhir bulan depan. Aku masih ada urusan di Den Haag sampai akhir bulan depan dan rencananya aku kembali ke Korea di hari yang sama dengan Max. Aku akan berangkat dari Paris Apa Max serius akan menetap di Korea? tanya Donghae penasaran. Gadis pulau Jeju sudah membuat otaknya tidak waras. Sama halnya nona Kim yang membuat otakmu terjatuh entah dimana Hyuk belum sempat Donghae melanjutkan kalimatnya, sambungan itu sudah diputus satu arah oleh Hyukjae. Donghae geram dan mulutnya berkomat-kamit tidak jelas sepanjang jalan menuju kantor setelah mobil yang dari tadi tak bergeming dinyalakannya. Dia juga tidak berniat untuk menghubungi Hyukjae lagi, bukan karena takut sambungannya langsung di-reject tapi jika dia terus menanggapi celotehan sahabatnya yang cukup blak-blakan itu dia akan tampak semakin tolol. Akses menuju kantornya tidak begitu jauh dan bisa ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Kedatangannya di kantor sudah di sambut oleh Clara Han, sekertarisnya yang langsung berdiri ketika dia melintas di hadapannya. Selamat pagi, bos katanya dengan sedikit menundukkan kepala. Pagi. Bisakah kau antarkan secangkir kopi ke ruanganku? pinta Donghae sebelum melangkah ke ruangannya. Siap! Donghae langsung bergelut dengan pekerjaan yang menumpuk dan sudah menunggunya hari ini. Dia memeriksa file dan seluruh map yang sudah tersusun rapi di mejanya. Setidaknya dengan pekerjaan itu, pikirannya bisa teralihkan untuk sesaat. Kopimu, bos kata Clara Han beberapa menit setelah Donghae menyuruhnya mengambilkan secangkir kopi. Terimakasih, noona kata Donghae. Tumben kau tidak profesional. Harusnya nona bukan noona kata Clara sembari meletakkan cangkir berisi air panas berwarna hitam pekat itu di atas meja yang masih kosong. Clara Han adalah kakak tingkat Donghae saat kuliah yang sekarang bekerja sebagai sekretaris pribadinya. Usia mereka terpaut tiga tahun. Iya, nona Han. Keduanya memang ambigu Donghae kembali menekuri pekerjaannya lagi. Jadi Donghae menghentikan aksinya di atas kertas tapi tidak menengadah untuk menunggu kalimat Clara yang terputus. Kejutan apa yang diberikan istrimu saat di Jepang? Jepang? Donghae langsung menengadah tidak percaya. Iya. Dua hari lalu istrimu menanyakan padaku di hotel mana kau menginap. Katanya dia ingin memberi kejutan ulangtahun untukmu. Aku yang memesankan tiket pesawat dan kamar di hotel yang sama denganmu. Memangnya kau tidak bertemu dengannya? dahi Clara berkerut, dia merasa heran karena ada sesuatu yang keliru. Benarkah? tanya Donghae lemah, kini dia kehilangan kata-katanya. Apa terjadi sesuatu? Apa kau yakin dia benar-benar menginap dan naik pesawat ke Jepang? Sebenarnya ada apa? Bisakah kau mengeceknya ke Keio Plaza Hotel. Kapan dia chek in, check out pokoknya semuanya? Aku membutuhkannya! kata Donghae. Suaranya naik satu oktaf lebih tinggi dari sebelumnya. Iiya. Aku akan menelephone bagian receptionist. Clara keluar dari ruangan Donghae dengan perasaan bingung karena sikap Donghae yang tidak seperti biasanya itu. Rasa bersalah kini meliputi Donghae. Dan untuk yang ke sekian kalinya dia mengabaikan tumpukan pekerjaan yang harus diselesaikannya dengan segera. Pikirannya tidak bisa fokus. Yang ada di benaknya sekarang adalah pertanyaan-pertanyaan baru tentang kepergian Hyosun ke Jepang tanpa sepengetahuannya. Kalau dia pergi ke Jepang dan ingin memberinya kejutan, pasti Donghae bertemu dengan Hyosun. Tapi nyatanya tidak. Clara kembali lagi ke ruang kerja Donghae setelah beberapa saat menghilang di balik pintu. Di tangannya sekarang sudah ada note yang akan dibacakannya pada Donghae. Apa yang kau dapat? tanya Donghae seketika. Istrimu pergi sesuai jadwal. Dia berangkat dengan penerbangan siang jam 11.35. Dia check in di hotel dua setengah jam setelahnya. Tapi pihak hotel mengkonfirmasi kalau Hyosun check out malam itu juga. Sementara reservasi kamar normalnya selama dua hari penuh. Dan tadi pihak hotel juga mengatakan ada barang yang tertinggal di kamar 426 yang kemungkinan besar milik Hyosun. Apa kau mau mereka mengirimkannya? papar Clara. Dia tidak bisa menyembunyikan perasaan cemas yang turut menyelimutinya sekarang. Barang? Barang apa? Receptionist tidak melihat isinya. Minta mereka mengirimnya Donghae tidak mau melewatkan sedikitpun hal yang kemungkinan bisa menjadi petunjuk baginya. Oppa, aku perlu bicara Victoria menerobos masuk tanpa permisi. Dia berjalan cepat menuju meja Donghae. Donghae menoleh pada Clara lagi Tolong minta mereka mengirimkannya hari ini juga Baik Clara langsung pergi meninggalkan ruangan Donghae dan digantikan dengan kehadiran Victoria sekarang. Victoria menarik kursi kemudian duduk di atasnya. Wajahnya serius dan justru itulah yang membuat Donghae bertanya-tanya. Ada apa? Istrimu bodoh! umpatnya seketika. Kenapa kau mengatainya seperti itu? Donghae merasa tidak terima dan mengeraskan suaranya. Apa dia tidak mempelajari buku kehamilan? Kandungannya masih rentan dan dia malah naik pesawat. Aku meminta temanku yang bekerja di rumah sakit Incheon. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran istrimu itu Victoria menggeleng kesal. Apa yang kau dapat? Katakan padaku Victoria menghela nafasnya kemudian melanjutkan Istrimu mengalami goncangan di dalam pesawat dan itulah yang menyebabkan pendarahan. Dia dibawa ke rumah sakit oleh pria yang duduk di sampingnya yang bernama Choi Siwon. Dari keterangan medis, Hyosun sudah mengalami tanda-tanda keguguran itu sebelum berangkat ke Jepang. Kalau dia tidak naik pesawat, mungkin kandungannya masih bisa diselamatkan. Apa kau pernah melihat dia mimisan, pusing, tidak enak badan dan sebagainya? Mimisan? Kalau mimisan aku tahu. Aku tidak tahu dia mengalami pusing-pusing atau apa, dia tidak pernah mengeluh padaku. Ya Tuhan Donghae menarik telephone ruangan lalu membantingnya hingga hancur di atas lantai. Dia membenamkan wajahnya di telapak tangan dan tubuhnya bergetar-getar. Dia terisak. Oppa, tenangkanlah dirimu Victoria yang kaget mencoba untuk mendekat, berusaha menenangkan kakak sepupunya yang sedang kalap itu. Bagaimana aku bisa tenang? Hah? bentak Donghae. Sekarang Hyosun tidak mau berbicara denganku dan aku juga baru tahu kalau dia ke Jepang untuk menemuiku. Dia membahayakan dirinya dan kandungannya sendiriHanya untuk menemuikuAku harus bagaimana? Suara Donghae kian melemah diiringi tetesan airmata yang kini mengalir di pipinya. Mungkin dia sedang syok. Dia butuh menenangkan diri. Jadi jangan salahkan dirimu seperti ini, oppa Tapi kenyataannya Donghae tidak melanjutkan kalimatnya. Dia terisak untuk waktu yang lama.
Donghae membubuhkan tanda tangannya di atas materai yang melekat di salah satu file miliknya. File itu adalah pekerjaan terakhirnya hari ini sebelum jam makan siang. Dia menutup lembaran terakhir, kemudian menekan pulpen mekanik berwarna hitam yang sejak seminggu terakhir dipakainya untuk melakukan sejumlah pekerjaan. Dia mengamati cincin yang melingkar di bagian tengahnya. Di bagian itu ada ukiran inisial namanya, LDH. Benda inilah yang tertinggal di kamar hotel sewaktu Hyosun meninggalkan Jepang. Donghae kini sibuk dengan pikirannya. Sampai akhirnya pikiran itu dibuyarkan oleh dering ponsel yang kini menggema di ruangannya. Dia melihat nama penelephone yang memang sudah dari tadi ditungguinya. Hallo, selamat siang ibu asrama Selamat siang, tuan Lee. Bagaimana? Apa Hyosun akan ke panti asuhan sekarang? tanya Donghae tanpa basa-basi lagi. Iya. Kemarin aku membujuknya agar datang ke panti. Dan tadi pagi dia menelephone akan datang jam satu siang Donghae menarik nafas lega. Jika menemui Hyosun di rumah orang tua angkatnya adalah hal yang mustahil, maka memancingnya untuk keluar adalah keputusan yang tepat. Dia meminta tolong pada Jung Eunja kepala asrama Song Seoul- untuk membujuk Hyosun agar mengunjungi panti. Terimakasih atas bantuannya, ibu asrama Donghae memutus sambungannya lalu meletakkan pulpen pemberian istrinya itu dengan hati-hati ke dalam laci. Dia langsung menarik jas yang tersampir di kursinya, kemudian pergi meninggalkan ruangan. Nona Han. Tolong re-schedule semua jadwalku hari ini. Aku tidak akan kembali lagi ke kantor setelah jam makan siang kata Donghae sambil lalu. Clara hanya mengangguk dan menatap atasannya itu heran.
Hyosun, kita harus bicara kata Donghae saat wanita itu tengah menunduk untuk memberikan sebuah permen pada anak panti yang usianya sekitar empat tahun. Hyosun sedang bermain dengan beberapa anak panti saat dia datang ke taman belakang. Hyosun yang langsung menoleh ke belakang mendapati Donghae berdiri menutupi matahari yang menyingsing. Siluetnya indah di terpa cahaya siang. Kau? Apa yang kau lakukan di sini? tanya Hyosun sinis. Kita harus bicara Apa yang mau dibicarakan? Apa yang kau lakukan di Jepang? Hyosun kaget dan menatap Donghae tidak percaya. Bukan urusanmu kata Hyosun, berusaha mengontrol ucapannya sendiri. Itu urusanku! Kau adalah istriku jadi aku berhak tahu semuanya! bentak Donghae, manifestasi dari rasa kesal dan berbagai pertanyaan yang kian terakumulasi. Lalu apa yang kau lakukan di Jepang? Kau dinas? Apa yang aku lihat itu salah? Kau membuat janji dengan Jessica dan bertemu dengannya di hotel. Kau pikir aku Donghae menutup mulut wanita yang tengah mengoceh itu dengan sebuah ciuman yang tiba-tiba. Hyosun diam seketika dan hanya bisa membisu dengan perlakuan yang diterimanya itu. ~Tuk Tuk Tuk~ Donghae tersadar dari lamunannya saat pintu kaca mobilnya diketuk oleh seorang pria paruh baya berkacamata. Dengan buru-buru dia menurunkan kaca mobil. Bisakah kau pinggirkan sedikit mobilmu. Jalanan ini terlalu sempit dan mobilku tidak bisa melintas Baiklah kata Donghae gelagapan. Dia merasa baru dibangunkan dari mimpi dengan seember air dingin. Apa yang kau pikirkan, Donghae? keluhnya dalam hati sambil menggerakkan mobil hingga terparkir di bahu jalan. Setelah sebuah mobil sedan berwarna biru melintas, Donghae mengamati wanita yang lebih dari seminggu tidak ditemuinya itu melalui kaca mobil bagian depan. Dia membiarkannya bermain-main dengan beberapa anak panti yang umurnya masih di bawah lima tahun. Timbul sebuah kelegaan di hatinya saat melihat Hyosun tengah memamerkan senyum khasnya pada anak-anak kecil yang kini mengerumuninya. Rasanya sudah berabad-abad Donghae tidak melihat pemandangan seindah itu. Donghae mematikan mesin setelah anak-anak kecil yang bermain bersama Hyosun pergi memasuki gedung utama panti asuhan itu. Lalu dia berlari mengejar wanita yang kini sedang berjalan mengikuti langkah-langkah kecil di depannya. Donghae tidak berani berteriak agar Hyosun berhenti karena takut wanita itu akan segera menjauh setelah melihatnya datang. Hyosun Donghae menahan tangan Hyosun setelah berada di dekat istrinya itu. Hyosun menoleh dan tidak menunjukkan keterkejutan atau reaksi berlebihan yang lainnya. Entah apa yang dipikirkannya sekarang. Dia tidak terperanjat layaknya sedang terbangun dari mimpi dan menganggap Donghae adalah orang yang datang dari kabut tebal untuk menuntut sebuah penjelasan. Sudah ku duga kata Hyosun datar. Dahi Donghae berkerut, dia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Hyosun sekarang Maksudmu? Dia tidak langsung menjawab, melainkan memandang tangannya yang kini bersentuhan secara langsung dengan Donghae. Donghae yang tanggap langsung melepaskan pegangannya. Kau meminta ibu asrama untuk membujukku agar aku datang ke sini? Donghae mendengus dan menyadari bahwa istrinya bukan wanita yang percaya dengan sesuatu yang terlalu kebetulan. Kau sudah makan? tanya Donghae mengalihkan pembicaraan. Kau tidak mau mendengarkan apapun dariku, Donghae? Donghae menggeleng Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja Aku keguguran Kata Hyosun blak-blakan dengan nada yang datar tapi tegas dan bergetar. Dia tidak berhasil menutupi emosi hingga airmatanya mengalir. Apa Donghae berniat mengusap airmata itu, tapi Hyosun terlebih dahulu menepisnya. Kenapa? Kau tidak pernah melihat wanita menangis? lanjut Hyosun, airmatanya jatuh terus menerus walaupun dia berusaha menunjukkan sikap dinginnya. Aku yang menyebabkan anak itu mati. Aku yang tidak bisa menjaga diri. Aku yang menyebabkanmu kehilangan kesempatan untuk mengembalikan saham-sahammu. Bukan orang lain, tapi akulah yang menyebabkan semua ini Bela dirimu. Kenapa kau menyalahkan dirimu sendiri? Donghae terbawa emosi. Bukan emosi untuk meluapkan amarah karena semuanya adalah kesalahan Hyosun, tapi karena Hyosun tidak mengalah dan menyalahkan dirinya sendiri. Apa yang mau dibela? Hah? Kalau aku bisa menjadi suami yang baik, semuanya tidak akan seperti ini Donghae tidak menahan dirinya sendiri, kemudian menarik Hyosun dan membawa ke pelukannya. Dia mengikuti insting dan berharap ini adalah hal yang benar setidaknya untuk sekarang-. Hyosun tidak mengeluarkan kata-katanya lagi tapi tenggelam dalam isakannya sendiri. Sekuat-kuatnya seseorang menahan airmatanya agar tidak terjatuh, pada akhirnya dia akan menangis juga. Ini kali kedua Hyosun menangis di depan Donghae setelah hari pernikahan mereka. Aku bisa memotong jariku jika itu bisa mengurangi rasa sakitnya kata Donghae. Suaranya bergetar tapi dia lebih pandai menahan tangis. Ini kesalahanku Berhentilah menyalahkan dirimu sendiri. Berhentilah suara Donghae kian melemah dan merapatkan dekapannya pada Hyosun. Keduanya membisu, larut dalam kesedihan tanpa ada kata-kata lagi yang terucap. Donghae juga tak luput dari tangis walaupun dengan sengaja dia langsung membesutnya saat Hyosun masih lengah dalam pelukannya. Dia tidak mau wanita itu melihat kelemahannya. Berapa lama kau mengambil cuti? tanya Donghae dengan hati-hati beberapa menit setelah mereka meluapkan emosi masing-masing. Mereka berdua duduk di rerumputan di sore hari saat matahari kian tenggelam di ufuk barat dan meninggalkan lukisan berwarna jingga di langit yang berselimut awan putih. Hyosun menyandarkan kepalanya di bahu Donghae, keduanya menghadap ke barat hingga siluet mereka terpantul indah di terpa cahaya sore. Donghae juga memilih untuk tidak membahas tentang apa yang diketahuinya. Membiarkan dirinya pura-pura tidak tahu menahu tentang kepergian Hyosun ke Jepang. Dia akan menunggu waktu yang tepat untuk membahas itu semua, saat waktunya tiba untuk memilih. Aku mengundurkan diri kata Hyosun santai. Donghae menoleh cepat tanpa menggerakkan badan bagian bawahnya. Kenapa? Aku tidak bisa bekerja dengan baik jika mood-ku masih buruk seperti ini. Aku masih punya tabungan untuk sekedar makan sampai beberapa tahun ke depan Kau berbicara seolah aku ini tidak sanggup memberimu makan Donghae mendengus. Hmmm, kau tidak mau pulang? lanjut Donghae. Dia sedikit ragu dengan pertanyaannya sendiri. Aku butuh waktu Hubungi aku kalau kau sudah siap untuk pulang. Biar pelayan membereskan kamar kita Pelayan? Pelayan yang mana? Hyosun menatap Donghae penuh tanya. Selama ini mereka tidak pernah menyewa pelayan untuk keperluan sehari-hari. Pelayan rumah. Memangnya pelayan yang mana lagi? Maksudmu rumahmu? Well, sepertinya saraf motorikmu sedikit terganggu. Iya, kita pulang ke rumah Lalu Jessica? kata Hyosun. Dia di Jepang selama setahun. Dia mendapat tawaran menjadi brand ambassador dari gaun rancangan Rei Kawakubo. Kemarin dia menandatangani kontraknya Ohh Ngomong-ngomong, kau belum menjawab pertanyaanku. Kau sudah makan? Kau tidak usah sok kasihan seperti itu. Aku akan makan jika aku merasa lapar. Kau malah membuatku merasa tidak nyaman dengan sikapmu yang berubah kata Hyosun sedikit sewot dan menjauhkan kepalanya dari tubuh Donghae. Donghae memandang Hyosun penuh arti, entah apa yang ada di pikirannya sekarang Kalau kasihan padamu, aku sudah memberimu cek yang bisa kau cairkan kapan saja di bank ~NdretNdretNdret~ Interaksi mereka dibubarkan dengan adanya getaran dan ringtone ponsel yang ada si saku Hyosun. Hyosun langsung melengos dari tatapan Donghae dan memilih mengambil ponsel itu. Dia melihat contact name Choi Seung Hyun terpampang layar ponselnya sebagai penelephone. Siapa? tanya Donghae. Raut wajahnya berubah sedikit masam sekarang. Dari Top Ternyata pria itu sangat spesial Donghae mendesis. Dia sudah punya firasat bahwa pria itulah yang menghubungi Hyosun. Kau bicara apa sih? Donghae langsung membuang muka. Tidak mau memulai pertengkaran yang baru lagi dengan wanita yang hampir dua minggu tidak dijumpainya ini. Walaupun begitu, Donghae tidak bisa memungkiri rasa sebal yang timbul dari kedekatan Hyosun dengan Top dan yang bisa dia lakukannya sampai saat ini adalah menahan diri agar tidak emosi seperti tempo lalu. Hallo Sujin? Oke, baiklah aku akan segara ke sana Kata Hyosun panik dan terburu-buru menutup ponselnya. Donghae juga terbawa rasa panik dan penuh tanda tanya saat melihat mimik istrinya itu. Ada apa? Donghae, Top masuk rumah sakit. Kita harus menjenguknya. Hyosun bangkit dari rumput hujau dan menatap Donghae serius. Aku pikir ada apa. Aku malas bertemu dia Donghae, ayo antar aku. Kau ini bagaimana sih? Hyosun menarik tangan Donghae, mencoba membantunya berdiri. Tapi Donghae masih tetap malas-malasan. Aku tidak mau kata Donghae acuh. Ya sudah aku naik taksi saja. Kau itu memang tidak bisa diandalkan Hyosun pergi dengan amarah yang tidak bisa ditutupinya di depan Donghae. Dia mempercepat jalannya terkesan sesuatu yang gawat telah dialami Top. Apa sih menariknya pria itu? Ya ampun desis Donghae. Hyosun, tunggu! End Authors POV
Sudah genap sebulan aku dan Donghae terpisah. Seperti yang aku bilang saat kami di panti tempo lalu, aku belum siap untuk kembali dalam waktu dekat.Walaupun begitu, selama kami tidak tinggal dalam satu atap, Donghae rajin mengunjungiku dan acap kali memberiku perhatian-perhatian kecil seperti mengirimiku pesan singkat yang isinya hanya sekedar menanyakan apakah perutku sudah terisi atau belum dan kegiatan apa yang sedang aku lakukan. Sesekali dia juga mengajakku untuk makan malam dan memberiku beberapa buku keluaran terbaru yang tentunya berhubungan dengan bidangku, yaitu sastra. Aku menyapukan kakiku di atas lantai marmer licin nan mengkilap, menyusuri koridor berpintu tertutup di kanan dan kiri, menuju sebuah pintu apartemen yang sudah cukup lama tidak tersentuh oleh tanganku. Aku langsung menekan kombinasi angka pada kunci otomatis sesampainya di muka pintu yang aku maksud. Seperti dugaanku, kombinasinya tidak pernah berubah. Aku langsung memutar kenop besinya setelah lampu signal yang tadinya berwarna merah berubah menjadi hijau, pertanda ijin akses diberikan berdasarkan angka yang aku tekan. Aku sempat tertegun beberapa saat setelah masuk ke dalam apartemen itu karena pemandangan yang tertera terhampar di hadapanku sekarang. Hingga akhirnya, pintu di belakangku menutup secara otomatis, barulah aku tersadar dari lamunan. Apa yang kau lakukan selama ini, Donghae? desahku sendirian sembari meletakkan tas kecil yang tadinya tersampir di bahuku ke atas kursi anak sofa yang kosong. Aku mendekati meja tamu yang berantakan karena ceceran kulit kacang, remah-remah biscuit yang entah apa merk-nya, kertas-kertas yang tumpukannya tak lagi rapi, dua gelas bekas air mineral yang sudah kosong dan sebuah cangkir kopi yang sepertinya bekas ia gunakan tadi pagi. Aku tidak menyangka keadaan apartemen akan separah ini selama aku tidak ada, padahal Donghae bukan tipe orang yang suka dengan hal-hal jorok. Aku menghela nafas panjang sembari mengangkat gelas dan cangkir untuk di bawa ke dapur. Sambil lalu, aku sempatkan untuk melirik ke sudut-sudut apartemen yang lain. Beruntung hanya ruang tamu yang terlihat parah, walaupun di atas meja makan ada beberapa piring bekas pakai dan cukup merusak pandanganku. Tidak jauh berbeda dengan keadaan di ruang tamu, dapur pun tak kalah berantakannya. Toples garam terbuka, wajan dan panci anti lengket dicampakkan begitu saja di atas kompor tanpa dibersihkan, beberapa piring dan gelas kotor yang berserakan di atas bak cuci dan yang paling membuatku geram adalah banyaknya bungkus makanan instan saat aku mau membuang tissue lecek ke tempat sampah. God, apa dia memakan semua ini? Kemana otaknya? Apa dia mau sakit? Bukankah dia bisa memesan makanan di luar selama aku tidak ada? gerutuku sembari mengeluarkan ponsel lalu menekan beberapa digit angka di atas layar sentuhnya. Hallo, bisakah aku memesan satu paket lengkap Hoe, Doenjang JJigae dan bulgogi dua porsi? kataku setelah sambungan terhubung pada salah satu restoran Korea yang menawarkan jasa pesan antar. Satu paket lengkap Hoe, Doenjang JJigae dan bulgogi dua porsi. Anda mau menambah minum? kata suara di seberang, mengulang pesananku lalu menawarkan sesuatu yang lain. Tidak. Itu saja. Diantar kemana? Aku memutus sambungan setelah menyebut alamat apartemen ini pada customer service restoran itu. Dan untuk yang ke sekian kalinya aku menatap jengkel pada seisi ruangan yang seperti kapal yang hampir karam. Bagaimana bisa dia membiarkan tempat tinggal kami menjadi sudut-sudut yang menjijikkan dan tidak sedap dipandang mata seperti ini? Tanpa pikir panjang aku langsung membereskan satu per satu bagian rumah yang berantakan, membuang barang-barang yang tidak perlu, mencuci benda beling yang kotor, mengelap perabot yang berdebu dan memanfaatkan vacum cleaner yang hampir sebulan tak tersentuh di sudut dapur untuk menyedot debu di atas karpet dan lantai. Rasanya aku menjadi pembantu rumah tangga hari ini. Aku menatap jam dinding yang menempel di dinding yang tengah menunjukkan pukul 21.30 sekarang. Sudah berjam-jam aku di sini tapi Donghae juga tak kunjung datang, padahal normalnya dia pulang tiga puluh menit yang lalu. Seharusnya dia sudah sampai di rumah. batinku. Aku menatap hamparan makanan yang sudah terhidang tiga puluh menit yang lalu setelah aku hangatkan. Aku berharap tidak memanaskannya untuk yang kedua kali karena makanan ini tidak akan fresh lagi. Aku bangkit dari tempatku duduk saat terdengar pintu yang merapat lalu berjalan memastikan siapakah gerangan yang telah membuka pintu. Aku bernafas lega karena itu adalah Donghae. Aku masih diam saat Donghae mendapati keadaan rumah yang kembali bersih dengan lampu utama yang menyala. Dia sedikit kaget saat melihatku. Kau di sini? Kenapa kau tidak memberitahuku? tanyanya langsung seraya mengganti sepatu kerjanya dengan sandal rumah. Untuk apa aku memberitahumu? tanyaku datar. Setidaknya aku bisa menjemputmu. Kau sudah lama? Yeah, lumayan. Setidaknya cukup lama untuk membereskan seluruh kekacauan di rumah ini. Donghae tertawa getir. Aku tidak punya banyak waktu untuk bersih-bersih. Bahkan sebulan terakhir ini aku harus bekerja seminggu penuh. Dia mengangkat bahu. Aku sedikit prihatin dengan ucapannya, tapi seperti biasanya aku tidak menunjukkan perasaanku itu secara berlebihan. Ayo makan. Tawarku. Kau memasak? Mana sempat. Aku memesan semuanya. Lain kali Donghae kataku terputus dan Donghae masih menunggu kelanjutannya. Ya? Lain kali Bukan, bukan lain kali. Maksudku nanti ralatku, masih terputus. Nanti kalau kita sudah berpisah, pesanlah makanan. Makanan instan tidak baik untuk pencernaanmu. Entah setan apa yang merasuki pikiranku saat ini hingga kalimat yang untukku pribadi cukup dramatis itu bisa lolos begitu saja dari mulutku. Aku benar-benar menyebut kata berpisah yang kalau boleh jujur malah menyilet hatiku hingga bagian yang paling dalam sampai aku tidak bisa mendeskripsikannya. Donghae menatapku tanpa ekspresi, aku tidak tahu apa yang dipikirkannya sekarang. Cukup lama kami berpandangan hingga aku sendiri yang harus memutuskan kontak mata itu sendiri. Ayo, makan. Aku sudah menyiapkannya. aku beranjak. Hyosun? Aku menoleh. Kau baik-baik saja? Aku tersenyum setiap kali Donghae melontarkan pertanyaan monoton itu dari mulutnya. Hampir setiap kali kami bertemu, dia selalu menanyakan keadaanku. Apa kau tidak punya pertanyaan lain? Aku berjalan mendahuluinya menuju meja makan dan mengambil tempat duduk yang letaknya berhadapan langsung dengan kursi yang biasa ia tempati. Setelah makan, aku akan mandi dan mengantarmu pulang. Kata Donghae seraya menarik kursi lalu mendudukinya. Aku berdeham, Aku tidak berniat pulang. Aku akan di sini. Tadi aku sudah menelephone ke rumah dan besok pagi ayah akan mengutus orang untuk mengantar barang-barangku. Benarkah? aku bisa melihat sedikit senyum di sudut bibir tipisnya walaupun tidak begitu kentara. Kau pikir setelah aku melihat keadaan apartemen yang berantakan seperti tadi, aku bisa tidur di rumah dengan tenang? Semuanya kotor dan tidak teratur. Aku muak melihat kekacauan yang kau buat. Donghae malah terkekeh mendengar kata-kataku. Apa yang lucu? Kenapa tertawa? alisku naik sebelah. Tidak ada. Hanya saja, suasana rumah terasa ramai setelah sekian lama kau pergi. Kenapa kau tidak mengambil salah satu pelayan dari rumahmu? Bukankah dia bisa membersihkan debu di atas karpet dan perabot-perabot mahal yang kau pajang? Aku tidak membutuhkannya. Lagipula jika ada pelayan dari rumah yang bekerja di apartemen ini, mau ku suruh tidur dimana dia? Kau mau berbagi kamar dengan pelayan? Donghae meraih sumpit, lalu menjepit daging sapi khas korea yang berada di piring terdekat lalu memakannya. Selesai bekerja kan dia bisa kembali ke rumahmu. Dia bisa mengadu kepada nenekku tentang keadaan kita. Kau kan punya uang banyak. kataku bersikukuh. Tapi nenekku punya kuasa penuh atas seluruh pelayan yang bekerja di rumah. Aku menghela nafasku, Kalau begitu kau sewa saja pelayan dari luar. Aku lebih memilih keadaan apartemen ini kotor daripada membiarkan orang asing masuk ke tempat tinggal kita. Keras kepala. Geramku lalu melahap potongan daging yang semula berada di sumpit makanku. Kita butuh privasi, oke? dia menyuap makanannya lagi dan terlihat tidak mau membahas obrolan kami lagi. Melihat antusiasmenya yang berkurang, aku juga enggan untuk membahasnya lebih lanjut. Kami makan dalam diam sampai Donghae angkat bicara lagi setelah meneguk air mineral. Kau benar-benar tidak akan bekerja lagi? Tanya Donghae, lalu menyapukan serbet makan pada mulutnya. Aku sedang mengerjakan project novel. Untuk sementara aku ingin menulis. Kenapa? aku meletakkan sepasang sumpit bambu sekali pakai itu di atas mangkuk nasiku yang sudah kosong. Bukankah kau suka mengedit? Mengurusi plot-plot dan merevisi karya-karya non-fiksi. Aku tersenyum. Untuk saat ini aku mau menulis, bukan memperbaiki tulisan-tulisan orang lain yang masih cacat. Kalau itu maumu, aku tidak keberatan. Donghae memundurkan kursinya , lalu beranjak menuju ke kamar. Donghae panggilku saat dia berjalan. Dia berhenti dan menoleh padaku. Ada apa? Aku akan minum teh di balkon. Kalau kau mau menemaniku, aku bisa menyiapkan cangkir lain untukmu. Dia tersenyum lembut. Aku akan menyusul setelah selesai mandi.
Pakai ini. Donghae mengulurkan selimut tebalnya padaku. Warnanya abu-abu. Udara di luar sangat dingin. lanjutnya. Terimakasih. Kataku, lalu mengalihkan pandanganku lagi pada lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti kunang-kunang. Dari salah satu sudut mataku, aku bisa melihat Donghae duduk di kursi yang lain lalu menuangkan tehnya sendiri. Kau tidak ingin mencobanya lagi? tanyaku dengan rasa percaya diri yang penuh tanpa menoleh sedikitpun padanya. Aku sudah memikirkan ini ratusan kali selama aku tinggal di rumah orang tua angkatku. Donghae tidak mungkin secara terang-terangan akan bertanya langsung padaku mengenai ini. Dia lebih memilih menungguku angkat suara atau bahkan tidak akan membahasnya lagi. Aku tidak akan memaksamu. desahnya. Aku tidak merasa terpaksa. Kita bisa mencoba inseminasi. Aku menoleh padanya yang tengah menatapku lekat. Kau yakin? Donghae mengerutkan dahi. Aku sudah memikirkannya. Tidak ada salahnya untuk mencoba. Jika masih gagal, kita bisa mencobanya dengan cara lain. Bayi tabung, seperti rencana awal kita. Donghae berfikir sejenak, lalu menatap lurus ke arah lain. Semenjak kejadian itu, aku sudah memikirkan hal yang lain. Aku tidak akan menuntut apa-apa lagi darimu dan membiarkanmu pergi. Urusan kakakmu, aku akan tetap mencarikannya untukmu. Kau gila? Bagaimana dengan perusahaan dan keluargamu? Dia menatapku penuh pengertian. Kau tidak usah memikirkan hal itu. Akan aku urus semuanya. Seluruh sahamku tidak akan dilelang. Empat puluh persen saham perusahaan masih bisa aku pegang, jika sudah jatuh tempo. Kemungkinan besar ibuku yang harus dipensiunkan dan digantikan oleh pemegang saham tertinggi. Tapi sebelum semua itu terjadi, aku akan membeli sebelas persen dari bursa effect. Mungkin aku akan mengorbankan property yang aku punya dan beberapa harta lainnya. Kau mau bermain saham? Itu sangat beresiko, Donghae. Kau bisa bangkrut karena saham yang tidak stabil dan tiba-tiba anjlok. Masalah anjlok tidaknya saham, tidak ada pengaruhnya. Yang harus ku lakukan adalah mengumpulkan saham Lee Corporate hingga lima puluh persen lebih. Dengan begitu aku bisa menyelamatkan asset terbesar keluargaku. Yang menjadi kendalaku saat ini adalah salah satu kolega bisnis ayahku sudah memegang tiga puluh lima persen saham perusahaan kami. Tidak menutup kemungkinan kalau dia juga akan melakukan hal yang sama seperti yang aku lakukan. Aku mencoba memahami apa yang dikatakan Donghae walaupun aku sendiri tidak begitu mengerti dengan apa yang dia paparkan. Pengetahuanku sangat minim dalam bidang ekonomi. Tapi aku tidak bisa membiarkan suamiku terpuruk begitu saja. Aku sangat mencintainya. Kalau kau pikir aku masih trauma dengan kejadian itu, kau salah Donghae. Jangan merasa kasihan padaku karena aku terluka. Aku sudah menyembuhkannya dengan caraku sendiri. Kalaupun masih tersisa rasa pedihnya, aku bisa mengatasinya. kataku mencoba kuat, walaupun bayang-bayang keguguran kerap kali menghantuiku. Donghae menatapku serius, Kau yakin tidak apa-apa? Aku mengangguk. Seperti kesepakatan kita, kau harus menemukan kakakku dan membantuku merubah kewarganegaraanku. Berhentilah membahas kewarganegaraan. Kakakmu masih di Korea! katanya dengan nada yang sedikit tinggi. Kau sudah menemukannya? tanyaku penuh semangat. Baru jejaknya saja. Sekarang orang-orangku sudah bergerak mencarinya. Benarkah? Dia mengangguk lalu menyesap tehnya yang masih mengepulkan asap. Minumlah tehmu agar kau merasa lebih hangat. Donghae terimakasih. Simpan ucapan terimakasih itu sampai aku benar-benar mempertemukanmu dengan Kim Young Woon. Kami menikmati suasana malam yang cukup terang di bawah sinar bulan yang utuh pada tanggal 15. Dengan secangkir teh di tangan dan selimut yang menutupi tubuh kami, suasana ini terasa semakin lengkap. Sesekali uap air keluar dari mulut kami seperti kepulan asap rokok dan bergabung dengan benda gas lainnya di udara. Kalau kau hamil, kita pindah ke rumah. Katanya tiba-tiba saat aku terlena dalam lamunan. Aku tidak keberatan tinggal di sini, Donghae. Timpalku mengingat Jessica yang masih lama di Jepang. Lebih dari itu, aku memilih tinggal di kediaman keluarga Lee jika Jessica berada di sini. Aku tidak mau kau sendirian. Biar pelayan yang mengurusi semua kebutuhanmu. Lagipula, nenekku sangat rewel setelah kejadian itu. Aku bukan bayi. Cibirku kesal. Aku juga tidak menganggapmu bayi. Tapi bisakah sekali ini saja kau menurutiku agar aku tenang selama di kantor? dia menatapku lekat dan memohon. Sial! Selalu saja saat dia menatapku tiba-tiba seperti ini, jantungku serasa mau meledak dan keadaan sekitar serasa menyempit hingga detak jantungku sendiri terpental ke segala arah. Aku harap Donghae tidak mendengarnya. Seharusnya tidak karena dia tidak bisa menangkap gelombang ultrasonic, dia bukan kelelawar. Baiklah, kataku menyerah dan memalingkan wajahku darinya. Kau ingin anak laki-laki atau perempuan? lagi-lagi dia membuat pertanyaan yang tidak sempat terantisipasi olehku. Aku menelan ludah, membasahi tenggorokanku yang terasa kering. Kau sendiri? Laki-laki. Kenapa? Dia bisa menggantikanku dalam beberapa hal. Contohnya? Dia bisa menggantikan posisiku dan menjaga keluarga. Aku rasa anak pertama memang lebih cocok jika laki-laki. Perempuan tidak bisa melakukan yang seperti itu, dia lebih cocok menjadi anak kedua, ketiga dan seterusnya. Mendengar pernyataannya yang terakhir, aku merasa telingaku berdesing. Kalimatnya seperti olok-olok kalau wanita adalah makhluk Tuhan yang lemah. Aku tidak terima jika kaum kami dikatakan seperti itu. Siapa bilang wanita tidak bisa setara dengan laki-laki? Nyatanya wanita selalu berdiri di belakang laki-laki untuk meminta perlindungan. Katanya santai dan hal itu membuatku semakin geram karena merasa diremehkan. Tapi tanpa perempuan yang mengandung kaummu selama sembilan bulan, kalian bukan apa-apa. Itulah kelebihan kaummu yang kodratnya tidak akan pernah kami miliki. Kalian memang diciptakan istimewa. Donghae meneguk cairan manis lagi. Aku tidak mampu berkata-kata lagi. Dia seperti sedang mengajakku bermain tarik tambang, tapi saat aku ingin menarik tali itu dengan kekuatan penuh, tiba-tiba dia melepaskannya begitu saja lalu berjalan ke arahku sambil berkata kau menang. Dia tidak mau berargumen apapun lagi. Sudah malam. Masuklah. Udara terlalu dingin. Bisa-bisa kau sakit jika terus-terusan berada di sini. Katanya seraya bangkit dari kursi bercat putih yang warnanya sedikit pudar. Kau duluan. Aku ingin di sini dulu. Apa aku harus menggendongmu agar kau menurut? Aku menatapnya sedikit kesal tapi tidak protes. Aku langsung beranjak agar dia tidak membuktikan keseriusan dari apa yang dia katakan barusan, memangnya siapa yang mau bertingkah konyol dengan membiarkannya menggendongku?
Atau aku akan menyemprotkan spermaku ke dalam botol, lalu menyerahkannya padamu. Kalimat itulah yang sekarang mengiang-ngiang di otakku. Kalimat menyebalkan yang dulu pernah diucapkan Donghae di hari pertama kami bertemu. Dan sekarang hal itu benar-benar terjadi. Dia menyerahkan spermanya dalam wadah khusus yang sudah disediakan untuk proses inseminasi. Saat di rumah sakit, aku dan Donghae pergi ke tempat terpisah. Aku di ruang pemeriksaan untuk melakukan pengecekan pra insem, sementara dia ke bagian klinik infertile untuk mengeluarkan spermanya-. Well, apa sebelum dia mengeluarkannya dia membaca buku porno atau sejenisnya? Atau menonton blue film sampai dia benar-benar terangsang? Ya ampun, kenapa aku malah berfikir kemana-mana? Kau sudah siap? Tanya dokter yang sekarang menanganiku sambil membenarkan sarung tangannya. Aku sengaja mencari rumah sakit yang memakai jasa dokter wanita dalam proses ini. Sudah beberapa kali aku menolak jika dokter yang menanganiku adalah pria, dengan alasan risih jika organ intimku diotak-atik oleh orang yang bukan suamiku. Aku siap. Posisiku sekarang berbaring telentang di atas meja khusus yang biasa digunakan untuk memeriksa ibu hamil. Kedudukan pinggangku lebih tinggi dari badan dan kepala, sementara kakiku dalam keadaan terbuka dan tergantung di penyangga kiri dan kanan. Ini tidak akan lama. Kau rilex saja. Dokter itu melangkah lalu menghadap pada organ kewanitaanku. Di tangannya sudah ada speculum (alat yang digunakan untuk memeriksa bagian dalam vagina). Entah bagaimana prosesnya aku tidak berani melihat ada semacam cairan yang dengan hati-hati mengalir ke rongga dalam. Oke, selesai. Kata dokter itu beberapa saat setelah alat yang tadi dia masukkan keluar dari lubang itu. Secepat itu? tanyaku tak percaya. Memang hanya seperti itu prosedur pelaksanaannya. Hanya persiapannya saja yang memakan waktu. Tunggu sampai satu jam dengan posisi seperti ini. Jangan rubah keadaan ini sampai aku datang, oke? Oke. Ngomong-ngomong, kau mau ku panggilkan suamimu? Dengan keadaan seperti ini? mataku sedikit terbelalak mendengar penawarannya. Memangnya kenapa? Aku buru-buru menggeleng. Lebih baik dia menunggu di luar. Baiklah kalau itu maumu. Bersamaan dengan perginya dokter itu, aku langsung mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja. Aku langsung mengetikkan beberapa karakter untuk aku kirimkan pada Donghae bahwa semuanya sudah selesai. Tapi belum apa-apa, SMS darinya sudah lebih dahulu masuk ke ponselku. From: Lee Donghae Bagaimana? Semuanya lancar?
To: Lee Donghae Sudah selesai Tapi aku harus menunggu sampai satu jam. Kau bisa pergi dulu kalau kau mau
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak mau dia pergi. Malah aku berharap dia menemaniku di ruangan ini. Tapi bagaimana bisa dengan posisiku yang seperti sekarang? Dengan kaki yang mengangkang dan terangkat? Oh, tidak! Sekalipun aku menutupinya dengan selimut, pikirannya pasti akan tetap mesum. Dia membalas SMS-ku lagi. From: Lee Donghae Aku boleh masuk?
Belum sempat aku membalas SMS-nya, Donghae sudah membuka pintu ruangan ini. Aku panik dan seketika langsung menarik selimut lalu menutupi bagian tubuhku yang bawah dengan cekatan. Apa yang kau lakukan? Aku kan belum mengijinkanmu masuk! kataku panik sambil merapikan selimut tanpa merubah posisi kakiku. Aku hanya ingin melihat prosesnya dan memastikan kau baik-baik saja. katanya santai. Jadi seperti ini? lanjutnya sambil mengarahkan matanya pada kakiku yang terangkat lalu menatapku lagi. Tuhan, aku malu saat dia menyeringai. Apa yang dipikirannya sekarang? Ouggh, pasti sesuatu yang mesum. Kau sudah lihat, kan? Sekarang kau bisa keluar. Untuk apa? Aku akan menunggu di sini. Donghae menarik kursi lalu mendudukinya. Setelah mendapat posisi yang dirasa nyaman, dia mengambil koran yang ada di atas meja. Dia menutupi wajahnya dengan melebarkan koran itu. Donghae, kau tidak risih? Dia menyibak korannya lalu bertanya, Risih kenapa? Ah, lupakan. Aku langsung melemparkan padanganku ke arah lain. Aku yakin pipiku bersemu merah sekarang. Aku pernah melihatmu tanpa busana. Jadi, kalau kau berfikir keadaanmu sekarang membuatku risih, kau salah besar. Dengan santai dia menutupi wajahnya lagi dengan koran saat aku akan menanggapi ucapannya. Aku tidak menyangka dia akan mengungkit malam yang sudah lewat itu sekarang. Malam ini nenek mengundang kita untuk makan malam. Tidak masalah. Kau mau datang? Donghae menyibakkan koran itu lagi dan menatapku heran. Memangnya kenapa? Lagipula sudah terlalu lama aku tidak ke sana semenjak kejadian itu. Aku merasa bersalah karena sudah mengabaikan keluargamu. Mereka memahami keadaanmu. Tenang saja. Donghae menutupi wajahnya dengan koran lagi. Entah kenapa karena agar aku tidak merasa canggung atau apa, yang jelas sikapnya itu membuatku merasa nyaman.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang, membelah jalanan ibukota yang masih cukup ramai dengan kendaraan lain di jam-jam orang kantoran pulang kerja. Sedikit macet memang, tapi hal itu tidak membuat kami telat dalam jamuan makan malam di rumah Donghae. Dalam waktu kurang dari satu jam, kami sudah sampai di sebuah rumah bergaya modern minimalis dengan atap berbentuk pelana dan ditutupi genteng beton flat merk Cisankan. Saat aku turun dari mobil setelah kendaraan itu terparkir sempurna, tiba-tiba ponselku berdering. Max calling. Kau duluan saja. Aku akan mengangkat telephone ini dulu. Kataku pada Donghae sambil merogoh gadget yang mengeluarkan bunyi itu dari tasku. Jangan lama-lama. Oke. Aku langsung menekan tombol gagang berwarna hijau pada touch screen ponselku lalu mendekatkannya ke telinga hingga nyaris seluruh layarnya menempel pada kulitku. Hallo, Max. sapaku ramah. Apa kabarmu? Aku baik. Kau sendiri? Dan suamimu? tanyanya tanpa menjawab sedikitpun perhatianku. Suaranya cukup datar dan tidak terdengar ramah seperti biasanya. Dia juga baik. Kenapa kau tiba-tiba menanyakannya? Kau bahagia dengan Tuan Lee-mu itu? Degup jantungku terasa lebih kencang dari biasanya. Max selalu bersikap lembut dan nyaris tidak pernah menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang baru. Tapi kali ini dia melakukan itu dan mengatakannya dengan penuh tekanan. Sepintas terdengar mengintimidasi. Kami bahagia. Tunggu, dari tadi kau tidak menjawab pertanyaanku. Kau kenapa, Max? Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Maukah kau mengenalkannya padaku saat aku pulang nanti? Tentu saja. Kapan kau akan pulang? Lusa aku sampai di Korea. Oh, oke. Boleh aku bertanya sesuatu, Hyosun? Tanyakan saja. Siapa nama lengkap Tuan Lee-mu itu? Baru kali ini Max menanyakan nama asli Donghae. Dalam pembicaraan biasanya kami menggunakan kata ganti untuk menunjuk seseorang. Itu kebiasaannya yang tertular padaku. Seperti menggunakan julukan si gigi tonggos untuk menggantikan nama Gracia Parker, si pirang untuk Antonio atau tuan berkumis untuk penjual kebab di sekitar Seine river. Dan kami menggunakan kata ganti tuan Lee untuk menyebut nama Donghae. Kenapa? tanyaku heran. Aku ingin tahu. Namanya Lee Donghae. Kataku kemudian. Entah kenapa hal itu malah menimbulkan jeda yang cukup lama. Max diam, tidak menanggapi sedikitpun. Max, kau masih di situ? Ya. Oke, aku rasa itu sudah cukup untuk menjawab rasa penasaranku. Penasaran? Penasaran tentang apa? Sambungan terputus begitu saja bahkan sebelum Max menjawab pertanyaanku. Ada perasaan gelisah yang kini mengerubungi hatiku. Bahkan nafsu makanku langsung turun drastis saat makan malam. Kau kenapa? Donghae berbisik sambil menyikut lenganku. Apa makanannya tidak enak? tegur nenek Donghae yang seperti mengamatiku terus sepanjang makan malam. Masakannya lumayan enak, nek. Hanya saja kepalaku sedikit pusing hingga aku sulit menikmatinya. Kilahku. Biasanya aku menyukai tenderloin biasa disebut fillet mignon- yang dimasak dengan cara medium seperti agar bagian tengahnya masih terasa jussy seperti ini. Tapi percakapanku dengan Max membuatku berfikir terus-menerus. Masuklah ke kamar, biar pelayan mengambilkan aspirin untukmu. Aku tahu semua mata tertuju padaku, tapi aku menuruti perintah orang tertua di rumah ini. Kepalaku tidak pusing, tapi pikiranku yang acak-acakan. Apa Max tahu alasanku menikah? Tidak mungkin. Hanya Kyuhyun oppa yang aku beritahu tentang ini. Bahkan Lexy yang sudah seperti saudaraku sendiri tidak tahu menahu tentang alasanku. Lantas kenapa aku malah takut? Kau kenapa? Donghae masuk ke kamar sambil membawa segelas air mineral di tangan kanan dan sebutir aspirin yang masih bersegel di tangan lainnya. Minumlah. Dia menyodorkan keduanya padaku. Aku langsung meraihnya dan meletakkannya di atas meja dekat tempat tidur. Donghae, tadi aku menjilati bibirku yang terasa kering sebelum melanjutkan omonganku. Sementara itu Donghae masih mengamatiku dengan serius. Bekas pacarku menelephone. Lalu? Dia ingin berkenalan denganmu. Dia ingin memastikan aku bahagia setelah menikah denganmu. Hanya itu? Aku mengangguk dengan mengindahkan reaksi datar yang Donghae berikan. Ada-ada saja. Untuk kali pertama Donghae mengacak rambutku lalu beranjak. Tapi di sini rasanya aneh. aku menahan tangannya agar dia berbalik dan melihat telapak tanganku yang lain yang tengah memegangi dadaku. Donghae menghela nafasnya, lalu duduk di sampingku. Dia menoleh. Apa dia temperamental? Tidak Pernah memukulmu? Dia bukan orang yang gampang mengangkat tangan, terlebih lagi pada wanita. Dahinya berkerut, Apa dia pernah mengucapkan sumpah serapah yang kasar padamu? Aku menggeleng. Lalu apa masalahnya? Tanya Donghae tidak sabaran. Aku takut. Aku rasa dia tahu alasan kita menikah. Tapi aku tidak pernah mengatakan apapun padanya. Yang dia tahu, aku menikah karena dijodohkan. Itu saja. Omong kosong! Kalau kau tidak mengatakan apapun, pasti dia juga tidak tahu kebenarannya. Jangan terlalu dipikirkan. Tidurlah sekarang. Nenek memaksa kita untuk menginap. Tapi dia tidak seperti biasanya, Donghae. Kau bilang dia ingin bertemu denganku, kan? Kenapa kau malah senewen. Kami kaum pria, punya cara sendiri untuk menyelesaikan masalah. Kalian tidak akan berkelahi, kan? tanyaku panik. Untuk apa menghabiskan tenaga untuk sesuatu yang tidak perlu. Donghae naik ke atas ranjang dan mengambil tempat yang masih kosong. Seperti biasa, keadaan kami di atas kasur selalu bersekat benda non permanen, yaitu guling. Aku menatapnya dengan intens saat dia berbaring dan menindih kedua tangannya dengan kepala. Kau bisa berpura-pura mencintaiku di hadapannya? tanyaku spontan dan menghasilkan respons yang spontan pula darinya. Dia menoleh dengan cepat tanpa mengatakan apapun. Kenapa? tanyaku heran. Tidurlah! Donghae memutus pembicaraan dan memilih memunggungiku. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Lanjutnya. Aku masih belum merasa lega. Masih ada yang bergejolak dan sulit ditafsirkan. Aku mencoba merebahkan badanku dan memejamkan mata agar semuanya berubah sebagaimana wajarnya. Tapi percuma. Kau belum tidur juga? kata Donghae setelah bermenit-menit lamanya. Aku langsung membuka mataku dan langsung menoleh pada badannya yang kini menghadap padaku. Aku pikir kau sudah tidur. Aku ingin mengenalkanmu pada kedua sahabatku Ini kali pertama Donghae membahas tentang sahabatnya denganku. Mereka sekarang di Eropa. Besok mereka akan pulang. Kalau tidak ada penundaan, lusa mereka sampai. Kau tidak keberatan kan untuk menjamu mereka? Kalau hanya sekedar menyiapkan makanan dan mengobrol sambil minum teh, aku rasa itu bukan hal yang sulit. Kau tidak keberatan? Asal kau tidak menyuruh mereka menginap di apartemen kita yang kecil itu, aku tidak akan mempermasalahkannya. Dia tertawa kecil. Kapan mereka akan berkunjung? Mungkin malam hari setelah kedatangan mereka. Kalau begitu besok aku akan berbelanja. Mau aku temani? tawarnya. Tidak perlu. Kau harus bekerja. Lagipula supermarket tidak begitu jauh dari apartemen. Terserah kau saja kalau begitu. Donghae menyingkap selimut yang menutupinya lalu beranjak. Kau mau kemana? Aku tidak bisa tidur. Aku mau menonton film. Donghae berjalan ke arah sofa besar yang menghadap TV Flat yang tertanam di tembok. Dia mengambil remote control lalu memasang kacamata 3D-nya agar visualisasi bisa tampak se-real mungkin. Aksinya itu membuatku tertarik. Aku mendekat dan mengambil kacamata yang lain di atas meja lalu duduk di sampingnya. Kau punya popcorn? Donghae tersenyum lagi.
Ini untukmu. kata Victoria, seraya menyodorkan sebuah buku bersampul ibu hamil yang tengah memegang perutnya padaku. Judul buku itu adalah Save our Little Angel. Aku melihatnya sekilas, lalu mengambilnya. Aku rasa kau membutuhkannya. Lanjutnya, lalu melenggang pergi. Vic Dia berhenti lalu berbalik menghadapku. Dia mengangkat alisnya dan seketika mengubah ekspresinya menjadi lebih tegas. Dengan memberimu itu, bukan berarti aku sudah menerimamu. Aku hanya mengikuti naluriku sebagai seorang calon dokter, itu saja. Well, apapun alasanmu aku tetap berterimakasih. Aku tersenyum padanya lalu mengamati buku yang diberikan Victoria setelah dia pergi. Awalnya aku kira buku itu adalah novel, tapi ternyata buku psikologi untuk ibu hamil. Kenapa kau tersenyum seperti itu? Tanya Donghae yang baru keluar dari kamar. Tangan kirinya sedang sibuk membetulkan ikatan dasinya. Vic, memberiku ini. aku memamerkan buku pemberian Vic pada Donghae, tapi dia tidak begitu antusias menanggapiku. Dia kesulitan membenarkan dasinya dengan satu tangan. Kau butuh bantuan? Tangan kiriku pegal karena kau. Aku mendekat dan menepis tangannya. Kini dasi itu dalam kuasaku. Siapa suruh kau menumpangkan tangan kirimu di sandaran? Aku kan tidak bisa memastikan bakal tertidur di sofa atau tidak. Kilahku sambil melakukan beberapa tarikan pada dasi itu, memutar, lalu membuat simpul sebagaimana mestinya. Sudah salah, malah mengomel. Apa? Donghae tidak mengulang perkataannya lagi hingga tarikan dasi yang terakhir. Dia memilih diam. Ngomong-ngomong, tinggi badanmu berapa? Aku baru sadar kalau kau tidak begitu tinggi. Dia menarik dasinya yang sudah benar dari tanganku. Setidaknya aku lebih tinggi darimu. Kau itu pendek. Heh, apa katamu? aku menarik dasinya lagi hingga wajah kami terpaut beberapa senti. Tiba-tiba nafasku memburu, jantungku berdegup kencang, aliran darahku mengalir deras, bahkan ada sesuatu yang hangat dan kini menjalari wajahku setelah tubuh kami berjarak sedekat ini. Nafasnya yang terasa berhembus di bagian muka, aku rasa telah berhasil membuat pipiku merona. Aku selalu merasa seperti ini saat mata kami bertemu satu sama lain. Kenapa? Aku tampan? Ada sisa makanan di bibirmu. Aku langsung melepaskan dasinya agar tidak tampak semakin tolol. Dia tertawa dan mengabaikan ucapanku tanpa memeriksa bibirnya. Dia tahu aku berbohong. Kau sudah siap? Kau akan mengantarkanku pulang ke apartemen dulu atau Aku akan mengantarmu dulu baru ke kantor. Kita harus pamit dulu pada nenek dan ibu. Potongnya cepat, sembari melangkahkan kakinya lebih dulu.
Aku menata gelas dan piring di atas meja makan setelah menyajikan makanan barat yang cukup cocok dengan lidah orang Asia. Antara lain Chicken Cordon Blue, Mashed Potato dan Escargot. Untuk dessert, aku sudah menyiapkan tiramitsu yang belum ku keluarkan dari kulkas. Selain itu, aku juga mengganti isi gelas anggur dengan coctail apel non alkohol karena di rumah kami tidak menyediakan minuman yang berbau alkohol bahkan sebotol soju sekalipun. Mereka datang jam berapa? tanyaku pada Donghae saat menuangkan air pada gelas berkaki panjang. Mungkin sebentar lagi. Ngomong-ngomong, kau belum memberitahuku siapa nama mereka. Apa mereka juga hadir di acara pernikahan kita? aku meletakkan teko kaca bening yang isinya sudah terkuras hampir separuh. Tidak. Mereka tidak datang. Yang satu sibuk mengejar wanita dan yang satunya lagi malah sibuk dengan urusan Negara orang. Lee Hyukjae, waktu itu dia bekerja di Amerika tapi baru-baru ini dipindahkan ke Belanda. Namanya Lee Hyukjae? dahiku berkerut dan sudut bibirku tertarik untuk menertawai sesuatu. Namanya memang seperti nama pelawak. Donghae mengiyakan. Baru saja aku mau mengomentarinya. Dia diplomat? Bukan. Lalu? Nanti kau bisa menanyakannya sendiri. Oke. aku mengangguk. Dan yang satunya lagi bernama Shim Changmin. Kami biasa memanggilnya dengan sebutan Max. Max? Setelah mendengar nama itu keluar dari mulut Donghae, jemariku yang tadinya tenang kini terasa gemetaran. Pasti bukan Max yang sekarang wajahnya terpeta di pikiranku. Pemilik nama itu tidak hanya satu di muka bumi ini. Tapi orang yang bernama Shim Changmin dan biasa dipanggil dengan sebutan Max pasti terbatas jumlahnya. Aku masih berharap kalau aku salah dengar. Pasti bukan Max-ku. Tadi kau bilang siapa namanya? tanyaku dengan suara yang sedikit bergetar. Shim Changmin. Dia bekerja di salah satu perusahaan manufaktur di Paris. Kabar terakhir darinya, dia tidak akan melanjutkan kontraknya lagi. Dia akan menetap di Korea. Tengkukku serasa basah. Seperti ada cairan dingin yang mengalir menyusurinya. Kupingku tidak bermasalah, Donghae memang menyebutkan nama asli Max. Dadaku serasa terhimpit hingga aku kesulitan untuk bernafas. Perasaan takut semakin menjalar setiap detiknya. Ditambah lagi dengan suara bel yang berbunyi. Itu pasti mereka. decak Donghae seraya bangkit dari duduknya lalu berjalan menuju pintu. Detak jantungku semakin tak karuan saat melihat punggung Donghae yang kian menjauh. Tanganku mencengkram sandaran kursi, takut-takut kalau aku terhuyung. Itu keluar dari mulut Donghae, jemariku yang tadinya tenang kini terasa gemetaran. Pasti bukan Max yang sekarang wajahnya terpeta di pikiranku. Pemilik nama itu tidak hanya satu di muka bumi ini. Tapi orang yang bernama Shim Changmin dan biasa dipanggil dengan sebutan Max pasti terbatas jumlahnya. Aku masih berharap kalau aku salah dengar. Pasti bukan Max-ku. Aku menahan nafasku saat melihat Donghae yang tengah memegang gagang pintu dan menariknya setelah memutar kenopnya. Selamat malam. Dengan tuan Lee Donghae? sapa seorang pria yang tidak aku kenal sama sekali. Tapi melihat seragam yang dikenakannya, dia pasti security apartemen ini. Aku langsung menghembuskan nafas yang tadi sempat ku tahan. Iya, saya sendiri. Anda menjatuhkan dompet anda di parkiran. security itu langsung menyodorkan dompet kulit berwarna hitam pada Donghae. Donghae langsung meraihnya dan membolak-balikkan isinya. Iya, benar. Ini milikku. Terimakasih sudah mengantarkannya. Interaksi antara Donghae dan security itu untuk sementara tersita oleh deringan ponselku di atas meja. Aku langsung mengambilnya dengan tangan kiri. Lexy calling, begitulah yang tertera pada layarnya. Hallo, sapaku setelah menekan tombol gagang berwarna hijau. Hallo, Hyosun. Bisakah kau menyalakan skype-mu? Untuk apa? Aku akan makan malam. Bisakah kau membantuku memilih gaun? Makan malam? ulangku penuh selidik. Iya. Dengan oppaku? aku langsung menebaknya. Tidak perlu berfikir lama untuk mengetahui dengan siapa dia pergi dinner karena Lexy bukan tipe orang yang meminta saran dalam urusan memakai gaun, kecuali hal itu sangat istimewa. Cerdik. Aku tertawa, Kenapa tidak lewat video call saja? Fiturku sedang bermasalah. Aku sudah mencobanya berulang kali. Oke, beri aku waktu untuk menyalakan laptop. kataku lalu berjalan menuju kamar. Untuk sesaat aku sempat terlena dengan pembicaraanku dengan Lexy. Dia menunjukkan beberapa potongan gaun dengan motif yang berbeda dari lemarinya. Dua diantaranya berhias batu swarovsky. Aku memilihkan gaun merah selutut dengan lengan yang cukup pendek untuknya karena menurutku gaun itu sederhana tapi tampak glamour karena warnanya. Setelah beberapa menit berbicara dengan Lexy di kamar, aku mematikan laptop dan berjalan ke luar kamar. Tenggorokanku langsung tercekak saat melihat pemandangan di muka pintu. Tiga orang pria sedang berdiri di sana. Ketiganya langsung menoleh padaku saat aku keluar dari kamar. Dua dari ketiga orang itu adalah orang yang sangat aku kenal, Donghae dan Max. Sementara pria yang satunya lagi terlihat asing di mataku. Apakah dia Lee Hyukjae? Max. Iya, benar. Itu Max. Dia Shim Changmin yang ku kenal. Dadanya tengah ditahan oleh pria yang tidak ku kenal itu. Max tampak menyeramkan, tatapannya benar-benar garang. Bukan seperti Max yang pernah ku kenal. Max kataku lirih. Lepaskan! Max meronta dan menghempaskan tangan yang mencekal dadanya. Max menatapku penuh amarah. Ku beri kau waktu satu menit untuk mengatakan semuanya pada Hyosun, Donghae. katanya singkat dan menimbulkan sebuah pertanyaan di benakku. Max, tidak sekarang. lagi-lagi pria yang tak ku kenal itu mencoba menghalau sesuatu yang tidak ku ketahui. Jangan ikut campur, Lee Hyukjae! Apa kau juga mau ku hajar?! Max berapi-api. Baru kali ini aku melihat ekspresi menyeramkan dari wajahnya. Dan hal itu berhasil membuatku takut bukan main. Tutup mulutmu, Max! Kau tidak tahu apa-apa! Sekarang pergilah! kata Donghae sambil mengelap pinggiran bibirnya yang berdarah. Astaga! Aku melewatkan sesuatu yang penting selama aku di kamar dan bergelut dengan headset. Apa yang terjadi? Apa Max memukul Donghae? Apa yang terjadi? tanyaku gemetaran. Aku seperti penonton bodoh yang tengah menyaksikan drama yang dimainkan Donghae, Max dan Hyukjae. Aku sama sekali tidak tahu dengan cerita yang mereka bawakan. Max langsung menatapku sinis, Ini yang kau sebut bahagia? Max ini Kalau aku tahu pria yang akan kau nikahi adalah Donghae, dulu aku tidak akan melepaskanmu begitu saja! potongnya cepat dan frontal. Aku semakin ketakutan melihat perangainya itu. Dia benar-benar marah. Hentikan, Max! Keluar dari rumahku sekarang! bentak Donghae. Hentikan? Apa yang mau dihentikan? Apa perlu aku mengatakan pada Hyosun sebrengsek apa dirimu, Donghae? Cukup, Max Hyukjae menahan langkah Max, tapi yang dilakukan Max adalah mendorongnya hingga tersungkur. Sudah ku bilang jangan ikut campur! Max kembali menatap Donghae dengan mata yang berkilat-kilat sementara orang yang diintimidasinya masih bergeming tanpa menunjukkan reaksi yang berarti. Max langsung menoleh padaku. Kau menikah karena Kim Young Woon? -DEG- Itulah yang selama ini ku takutkan. Max tahu alasanku menikah. Diam! Donghae langsung menarik kerah Max dan mendaratkan sebuah tinju hingga rahang kirinya berbunyi dan mengeluarkan darah. Donghae, apa yang kau lakukan? teriakku tanpa beranjak sedikitpun dari tempatku berdiri. Donghae tidak menggubrisku sama sekali, sementara Max tertawa miris menatap Donghae. Kerahnya masih dalam kuasa Donghae. Lalu Max memandangku. Tanyakan pada tuan Lee-mu ini dimana kakakmu. Bahkan sebelum menikahimu, dia sudah tahu dimana dia berada. Keparat! umpat Donghae lalu menggelendeng Max hingga mencapai pintu, disusul oleh Lee Hyukjae yang sudah bangun dari lantai.
Donghae, buka pintunya!!! teriakku untuk yang ke sekian kalinya sambil menggedor pintu kamar Donghae yang tertutup rapat sejak kepergian Max dan Hyukjae. Donghae langsung melakukan pelarian dengan cara setolol ini tanpa menjelaskan apapun padaku. Donghae, kau berhutang penjelasan padaku! Buka pintunya! Aku memukul-mukulkan jemariku yang tergenggam pada pintu kayu mahoni bercat hitam pekat hingga terasa mau patah, tapi dia tak kunjung membuka pintu juga. Tapi tetap tidak ada jawaban. Sialan! Tapi di saat terkhir, saat aku hampir menyerah karena kelakuannya itu, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan aku memutuskan untuk membalik badanku. Jelaskan semuanya padaku! saat semuanya terasa relevan karena kebohongan yang diperbuat Donghae terkuak, aku langsung menarik kerah polo shirt-nya dengan kasar. Tidak sekarang. Katanya santai. Antah sadar atau tidak, secara langsung sikapnya itu malah membuatku semakin gusar dan berapi-api. Lalu kapan? Saat aku sudah melahirkan anak untukmu? Dasar brengsek! Katakan padaku! aku memukul-mukul dada bidang Donghae dengan kalap. Aku tahu kekuatan kami adalah lima banding satu dan itu artinya pukulan yang ku lakukan tidak berarti apa-apa padanya, tapi aku terus melakukannya. Kau jahat, Donghae! Kau benar-benar jahat! Aku menatapnya penuh amarah, tapi dia langsung menarik tengkukku lalu menciumku dengan kasar. Susah payah aku merapatkan mulutku agar tidak terbuka sambil meronta-ronta, tapi dia belum mau melepaskanku. Dia mengunci tubuhku selama beberapa detik dan setelah dia melepaskanku, aku langsung menamparnya. Brengsek!!! aku mengelap bibirku dengan punggung jariku selama masih terengah. Aku tahu apa yang aku lakukan, jadi aku minta diamlah. Katanya. Kau pikir aku akan menurutimu? Tidak, terimakasih! Aku beringsut dari hadapannya lalu membanting pintu kamarku dengan keras. Tanpa pikir panjang, aku langsung meraih ponsel lalu mengobrak-abrik contact list-nya. Aku melakukan hal yang sia-sia karena mencari nomor Max di ponselku. Sudah jelas-jelas kalau terakhir kali kami berkomunikasi melalui nomor Prancis-nya. Tidak ada jalan lain, aku harus ke rumahnya! Biar bagaimanapun dia adalah orang selain Donghae- yang bertanggungjawab untuk menjelaskan semuanya padaku. _ Aku berdiri di depan bangunan megah bergaya modern klasik setelah turun dari taksi beberapa detik yang lalu. Ini rumah Max. Aku menemukan alamat rumanya di buku catatan lamaku yang telah usang. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku bertandang ke rumahnya. Kami sudah dekat saat di Seoul, tapi karena saat itu kami belum secara resmi berpacaran, Max tidak pernah mengajakku untuk datang ke rumahnya. Sebelum melangkahkan kakiku menuju pintu, aku melirik jam tenganku yang setiap jarumnya secara sinkron menunjukkan pukul 10.30. Aku harap ini adalah jam yang tepat untuk bertamu. Setelah satu tarikan napas panjang, aku memberanikan diri menekan bel yang terpasang di tembok dekat pintu. Tidak ada jawaban dari dalam, tapi lampu benda elektronik yang tadinya berwarna merah itu berubah menjadi hijau, pertanda akses masuk diijinkan. Semudah itukah orang-orang di rumah sebesar ini mengijinkan seseorang masuk tanpa memastikan bahwa tamunya adalah orang baik-baik melalui kamera satu arah? Lamunku sesaat. Pintu bergagang besi itu bergerak ke dalam tanpa ku sentuh. Seseorang telah menarik pintu itu dari dalam hingga si pemilik rumah terlihat dari balik pintu. Dia menatapku dalam diam, begitu pula denganku. Aku terus menatap sosok yang penah menjadi bagian dari napasku ini sampai dia bereaksi. Masuklah katanya kemudian, lalu berjalan mendahuluiku. Aku mengekor di belakangnya hingga kami berada di sebuah ruangan yang cukup luas dengan sebuah sofa yang kira-kira panjangnya mencapai dua setengah meter terbentang di hadapan plasma TV yang berdiri di atas meja besi. Aku rasa ini adalah ruang keluarga. Bukan ruang tamu. Duduklah katanya mempersilahkanku. Dia duduk mendahuluiku di bagian sofa paling ujung. Dengan gelagatnya yang seperti itu, aku bisa melihat bahwa dia sedang menjaga jarak denganku. Kenapa? Apa karena sekarang aku sudah resmi menjadi istri sahabatnya? Rumahmu sepi kataku basa-basi saat merasakan keadaan rumah yang begitu lengang. Pasti bukan karena perabotan di ruangan ini yang memang ditata seminim mungkin. Bagaimana pernikahanmu? Tanya Max langsung tanpa memperdulikan pertanyaanku. Aku menelan ludahku dengan susah payah saat menlihat kilatan matanya yang tidak bersahabat. Dia masih marah. Kau mau jawaban yang seperti apa? Aku rasa tidak ada yang perlu aku jelaskan lagi mengingat kau adalah sahabat Donghae yang secara langsung sudah tahu semuanya tentang kami. Dan bodohnya, kenapa aku baru tahu kalau kau adalah istri Donghae beberapa hari sebelum kepulanganku ke Korea. Max tertawa getir. Dia tertawa bukan karena situasi yang lucu, tapi dia menertawai sesuatu yang tolol pada diriku atau kasarnya dia berkata bahwa aku adalah wanita idiot. Kau memohon padaku agar hubungan kita berakhir. Kau mengatakan akan menikah karena orang tua angkatmu akan menjodohkanmu. Tapi kenyataannya apa? Kau malah membohongiku, Hyosun. Lanjutnya dengan suara yang lirih. Aku menundukkan kepala, membiarkan dia menghakimiku hingga puas. Aku tidak berani menatap matanya. Dia benar-benar kecewa dengan tindakanku. Kalau aku tahu kau akan menikah dengan Donghae, aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Saat itu aku tidak punya pilihan yang lebih baik, Max. lirihku, mataku terpaku pada lantai marmer yang bisa memantulkan bayanganku. Mataku terasa panas. Tapi kau sadar kan alasan Donghae menikahimu? Sudah jelas-jelas dia akan memanfaatkanmu! Aku tahu Max. Aku sadar! Aku membiarkan airmataku mengalir dengan mudahnya. Sekarang aku sadar kenapa beberapa hari terakhir sebelum kepulangan Max keadaanku menjadi tak terkendali. Max sudah tahu semuanya. Dan Donghae menjadi orang pertama di dalam daftar orang-orang yang aku benci setelah Max memberitahu bahwa Donghae sudah tahu dimana kakakku sebelum kami menikah. Semuanya terasa rumit sekarang. Aku, Max dan Donghae. Tapi kenapa kau tetap menikah dengannya? Apa karena Donghae menjanjikan kewarganegaraan dan kakakmu? Tidak hanya itu. Aku juga mencintainya, Max. tegasku sambil mengangkat kepala. Max langsung merubah expresinya setelah mendengar jawabanku. Dahinya berkerut. Apa kau bilang? Ayolah, Max. Apa sekarang kita harus membahas itu juga? Kau tahu kan maksud kedatanganku kemari. Aku ingin tahu kejelasan tentang kakakku. Dimana dia? Kau tahu kan dimana dia sekarang? Apa yang dikatakan Donghae padamu? Max membuang muka ke arah lain dengan sebal. Dia berpikir sejenak lalu menatapku lagi. Donghae tidak mengatakan dimana kakakmu berada padaku ataupun Eunhyuk. Dia tidak mengatakan apapun pada kami. Donghae hanya bilang kalau dia sudah bertemu dengan kakakmu sebelum kalian menikah. Itu saja. Bohong! Pekikku berusaha tidak percaya. Max bukan orang yang pandai berbohong, tapi dalam keadaan seperti ini, aku berharap dia sedang berbohong. Kau tahu kan kalau aku bukan orang yang seperti itu? Aku benar-benar tidak tahu sama sekali. Dia bersikukuh. Kami sama-sama diam. Aku yakin Max tidak sedang membohongiku. Banyak hal yang menjadi kelebihan Max dan berbohong bukan salah satu diantaranya. Aku tahu dia sudah berkata jujur. Aku mengenalnya dengan baik. Aku hanya tahu kalau yang dinikahinya adalah gadis yang biasa kamiaku, Donghae dan Hyukjaesebut dengan nona Kim. Semuanya dia cerita tapi aku tidak terlalu fokus untuk mendengar detailnya. Kalau kau butuh penjelasan, hanya Donghae yang paling tahu masalah ini. Oke, Max berkata jujur. Lalu pada siapa aku harus meminta penjelasan? Donghae? Memang hanya dia satu-satunya sumber yang bisa memberikan seluruh informasinya secara rinci. Tapi kali ini dia benar-benar keterlaluan. Dia mempermainkanku. Dia telah mengangkatku tinggi-tinggi lalu membuatku mencintainya (mungkin setengah mati) lalu dia menjatuhkanku dengan kebohongan yang tidak bisa ditolerir. Apa maunya? Mau membunuhku pelan-pelan? Aku dan Max saling memandang. Aku mencari penegasan dan pembenaran sementara tatapannya memintaku untuk percaya padanya. Bagaimana mungkin tatapannya adalah kebohongan? Tapi tatapan kami langsung buyar tatkala bel rumah Max berbunyi dua kali. Itu pasti Donghae. Max memberi isyarat dengan telunjuknya lalu berjalan ke arah suara. Dia memandang ke interkom berkamera yang terpasang di dinding, lalu menekan tombolnya dan terbukalah pintu secara otomatis. Dan benar, yang datang memang Lee Donghae, suami pura-puraku yang muncul dari balik pintu. Pergi sajalah kau ke neraka! Mereka berdua berpandang-pandangan. Tapi kali ini suasana tidak memanas seperti saat acara makan malam kami yang berantakan dengan sempurna. Donghae mengatakan sesuatu dengan suara yang sangat rendah dan aku juga bisa melihat Donghae mengatakan sesuatu walaupun posisinya membelakangiku. Aku tidak dalam jarak pendengaran jadi aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Malahan dentingan jam dinding di samping lemari kaca yang mendominasi suara di ruangan. Hyosun, ayo. Donghae lantas memanggilku. Kemana? Aku menatapnya bingung sekaligus sebal. Pergilah, Hyosun. Max mencoba membatu Donghae agar aku menurutinya. Apa ini kabar baik? Apa Donghae akan memberitahukan semuanya. Aku menuruti mereka berdua. Akhirnya aku hengkang dari rumah Max dan masuk ke Mercedes Benz C-Class hitam yang dikendarai Donghae hari ini. Tidak banyak omong, itulah situasi selama perjalanan kami. Aku tidak tahu ke arah mana Donghae akan membawaku. Yang jelas mobil mobil menyusuri Namdaimun-ro 9-gil dan melintasi convenience store asal Amerika 7-Eleven yang biasa kusambangi sebelum mengenal Donghae, dulu. Suasana di begitu lengang hingga mobil kami terparkir tepat di alamat 101 Hyeonjeo-dong, Seodaemun-gu, tepat di depan gedung Seodaemun Prison. Tembok besar dan tinggi berbata merah terbentang lebar menghalau pandangan siapa saja yang ingin tahu bagaimana kehidupan para narapidana yang menghabiskan waktunya di sana kurun waktu yang lama. Donghae menyuruhku turun. Tapi aku tidak berani menuntun ragaku untuk menuruti Donghae. Aku takut bahwa yang kupikirkan benar adanya. Firasatku buruk. Ayo turun. Tidak apa-apa. Donghae malah membukakan pintu untukku dan menunggu sambil memegangi pintu. Aku menggeleng dengan tatapan memohon pada Donghae. Apa ini yang ditutupi Donghae dariku, bahkan dari kedua sahabatnyaMax dan Hyuk? Rahasia yang baru bisa terungkap jika aku mau melewati pagar merah itu? Aku sangat berharap semoga pikiranku salah. Donghae lantas menyentuh telapak tanganku, menggenggamnya erat, dan menuntunku dengan hati- hati dari dalam mobil. Dia membuatku nyaman dan aman lagi. Lagi-lagi dia membolak-balikkan perasaanku, melabilkan pikiran dan hatiku untuk kesekian kalinya. Dan rasa benciku mendadak punah. Aku masih berharap dia tidak membawaku ke dalam, tapi dia tetap melakukannya. Donghae tidak melepaskan tangannya dan tetap menggenggam jemariku dengan erat setelah kami melewati sipir dan menunggu di rungan yang telah disediakan bagi pengunjung. Kami berdua duduk di sebuah bangku yang agak panjang, muat untuk menompang kami berdua, di sebuah ruangan berukuran kurang lebih 3 kali 4 meter. Lumayan bersih dan terawat. Di depan kami juga sudah ada meja sepanjang bangku tadi yang akan menjadi sekat antara pengunjung dan narapidana. Kim Young Woon akan membunuhku kalau aku membawamu kemari. Donghae berbicara dengan suara yang pelan. Aku mengernyit. Dia melarangku untuk memberitahumu sampai dia bebas bulan depan. Lantai yang kuinjak rasanya mencelos hingga ke dasar yang paling dalam. Jadi, karena ini Donghae tidak memberitahu siapapun? Karena kakakku sendiri yang melarangnya. Aku benar-benar merasa bersalah. Donghae... Aku menyentuh lengannya dan meremas lengan bajunya sampai kusut. Dia tersenyum dan mencoba bergurau,Mungkin aku bakalan dapat satu tonjokan atau tamparan lagi. Aku hampir mengomentarinya, tapi sebuah suara yang muncul tiba-tiba menginterupsi kami. Aku menoleh pada sumber suara itu dan mendapati seorang pria muda yang telah bermetamorfosis menjadi dewasa. Pria yang sudah lama tak kudengar suaranya dan lama tak berjumpa. Kakakku, Kim Young Woon. Donghae... Mimik wajahnya yang tadinya sumringah saat melihat Donghae, mendadak berubah dalam sekejab saat matanya beralih padaku. Dia terlihat bingung saat mataku mulai berbinar dan diliputi cairan bening bearasa asin. Kakak... Sudah lama sekali sapaan itu tidak kuucapkan padanya. Dia tidak langsung menjawabku, tapi matanya yang ikut berkaca lalu mengintimidasi Donghae yang duduk di sampingku. Wajahnya merah padam penuh amarah. Maksudnya apa ini, Donghae? Kakak, dia tidak bersalah! Aku yang memaksanya! Aku langsung memekik saat tangan kak Young Woon meraup kerah kemeja Donghae yang kancingnya terbuka dua. Setelah menatapku dia melepaskan tangannya dengan kesal. Kau tidak boleh melihat ini. Kakakku malah menundukkan kepalanya dan mulai menangis. Aku ikut melakukan apa yang dia lakukan. Untuk sementara, pilihan menumpahkan semuanya dengan airmata adalah cara yang tepat untuk melepaskan kerinduan kami. Penjara memang bukan tempat yang diharapkan setiap orang untuk menemui orang yang dicintai, terlebih bagi orang yang sudah lama saling tak bersua. Tapi menurutku, lebih baik di penjara daripada aku tidak bisa bertemu dengan kak Young Woon untuk selamanya. Aku dan kak Young Woon terlibat dalam obrolan yang panjang. Banyak hal yang kami bicarakan. Bagian yang membuatku sangat penasaran adalah bagaimana kakakku bisa masuk bui. Sejauh aku kenal dia, membunuh kelincipun dia tidak tega. Rupanya paradigma itu berubah setelah dia bercerita bahwa dia terpaksa terlibat dalam gembong penipuan dan secara tidak sengaja membunuh korban. Kenapa kau tidak membela diri? Dia mati di tanganku dan aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku. Aku juga menolak tawaran Donghae untuk menebusku agar bisa keluar dari sini. Aku menoleh pada Donghae yang dari tadi memilih mendengarkan kami. Dia tersenyum tipis. Donghae tidak ikut campur dalam obrolan kakak-adik yang sedang melepas kangen. Kembali ke topik. Kak Young Woon bercerita kalau dia sudah lama meninggalkan Paris. Dia pergi ke Korea Utara bersama dengan teman-temannya. Dia sanalah kehidupannya mulai berubah. Mulai dari lingkungan dan gaya hidup hingga mengantarkannya ke dalam dinginnya dinding penjara. Birokrasi dan pergolakan politik anatara Korsel dan Korut membuat kak Young Woon tidak bebas keluar masuk. Dia menghabiskan tahun-tahunnya di sana. Dan sekarang dia bisa di sini tidak lain karena campur tangan Donghae. Dia mengatur semuanya tanpa mencegah kakakku untuk menebus kesalahannya. Bagaimana perkawinan kalian? Kau sudah hamil? Aku memandang Donghae. Aku bisa menebak bahwa Donghae tidak menceritakan semuanya pada kak Young Woon. Dia merahasiakan motif pernikahan kami. Aku sempat keguguran. Dengan miris aku mengakuinya. Aku menceritakan kehidupanku tanpa menyinggung masalah perjanjian yang kami buat sebelum menikah dan bagaimana Donghae yang sebenarnya. Kami benar-benar lupa waktu. Aku pikir baru saja aku bertemu dengan kak Young Woon, tapi petugas sudah memberitahu bahwa batas kunjungan sudah selesai. Aku berjanji akan menjenguk kak Young Woon besok dan membawakannya makanan yang ia sukai sebelum dia dibawa oleh petugas. Dan kak Young Woon setuju. Aku harus menunggu sampai kami benar-benar keluar dari tembok merah itu sekedar mengucapkan terimakasih pada Donghae. Kali ini aku tidak mau malu-malu, aku memelukanya dari belakang sesaat sebelum dia membuka pintu mobil. Terimakasih... Dia menyentuh tanganku dan aku tahu dia diliputi kegamangan dan keragu-raguan saat melakukannya. Donghae memutar tubuhnya hingga menghadap padaku. Dan entah bagaimana mulanya, bibir kami sudah berpagutan satu sama lain. Aku tidak ingat persisnya yang memulai siapa, yang aku tahu matahari senja memantulkan sinarnya yang indah hingga memantulkan siluet kami berdua. Lama kami melakukannya. Dan kami berdamai.
Aku merasa hatiku sedang diombang-ambingkan oleh Donghae. Pria itu benar-benar membuatku bingung, sekaligus membuatku sibuk untuk menebak-nebak apakah dia mulai menyukaiku atau tidak. Sikap dan perhatiannya selama beberapa pekan ini membuatku terserang galau. Tapi aku juga tidak menampik bahwa aku sering mengakui keambiguan sikapnya itu. Di satu sisi Donghae sedang menanamkan investasi masa depannya dalam perutku, yang membuatnya harus memprioritaskanku setara dengan bisnisnya. Tapi di sisi lain, diam-diam aku berpikir bahwa dia memang menaruh perasaan khusus padaku. Dari caranya berbuat baik padaku, caranya memandangku, dan caranya... menciumku. Bagaimana jika... Aku mulai mengubur keinginan itu, keinginan untuk mengatakan perasaanku pada Donghae lagi dan lagi. Mungkin karena aku menganggap harga diriku terlalu tinggi. Dan siapa aku? Aku hanya rakyat jelata yang mengharapkan cintanya. Tapi, sampai kapan aku bisa tahan? _ Siang ini begitu terik ketika aku hendak membeli beberapa bahan makanan yang mulai melonggarkan isi kulkasku. Sudah beberapa hari ini kami makan makanan siap saji dengan layanan pesan antar. Aku bosan. Aku ingin makan pasta. Aku sudah membuat catatan kecil sebagai pengingatku nanti. Belum sampai aku memasukkannya ke dalam saku, bel pintu berbunyi. Donghae pulang secepat ini? Pasti ada yang salah. Tubuhku rasanya langsung membeku saat mataku menangkap sosok yang hampir kulupakan keberadaannya. Ada perubahan dalam penampilannya. Rambutnya yang dulu pendek, sekarang sudah berubah menjadi ikal menjuntai dan berwarna coklat. Dan ada satu hal juga yang berbeda, tatapan matanya tidak mengintimidasiku lagi. Dia bukan Jessica yang kukenal sebelumnya. Dan, bukankah dia di Jepang? Aku boleh masuk? Tanyanya tanpa basa-basi. Donghae di kantornya. Aku ingin bicara denganmu. Aku tidak bisa menebak apa yang hendak ia katakan. Dia datang jauh-jauh dari negeri sakura hanya sekedar untuk bicara. Tapi aku sadar, aku terjangkit panik mendadak. Jantungku koleps, berdebar- debar. Dan aku penasaran. Aku mempersilahkannya masuk. Kami duduk di ruang tamu. Aku sempat menawari Jessica minum, tapi dia menolaknya. Pergilah. Katanya datar. Apa? Sepertinya pendengaranku mulai terganggu. Dia berkata seperti sedang berbisik, pelan sekali. Sebenarnya aku mendengarnya, tapi aku perlu memastikan. Pergilah dari kehidupan Donghae. Apa maksudmu? Dia menatapku lekat-lekat. Kau tahu kan kalau keberadaanmu sebagai pihak penolong untuk Donghae menjelma menjadi penengah hubungan antara aku dan Donghae? Kau mengusik kebersamaan kami. Nada bicara Jessica mulai merangkak naik satu oktaf. Kau ini bicara apa sih? Kau tahu sendiri kan kalau keberadaanku di sini... Ya, ya, ya. Kau sebagai istri palsunya. Jessica memotong. Tapi semakin lama kau menikmati peranmu kan? Kau ingin memiliki Donghae seutuhnya kan? Harta dan dirinya. Akui saja, Hyosun. Jessica mencemoohku bahwa semakin lama aku malah semakin ingin masuk dalam kehidupan Donghae. Aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti setiap detial ucapannya, tapi intinya seperti itu. Aku memilih diam saja, membiarkan dia berceloteh dengan panjang lebar. Aku tidak menampiknya, lagipula ucapannya juga ada benarnya. Tapi aku tidak terima ketika dia mengatakan orientasiku yang sesungguhnya adalah harta. Jaga ucapanmu, Jesse. Aku tidak seperti itu! Kalau kau tidak seperti itu, kau bisa pergi dengan gampang dari kehidupan kami dan jangan pernah kembali. Aku tidak akan melakukannya. Aku bersikukuh. Setelah banyak hal yang kami lalui, mana mungkin aku pergi begitu saja. Mungkin aku memang menjadi bagian yang tidak diharapkan oleh Jessicamungkin juga Donghae, dulutapi kalau posisinya seperti ini, pilihan untuk bertahan itu adalah yang paling bijaksana. Dan akan lebih baik lagi kalau Donghae memilihku. Kau tahu kan keadaanku bagaimana? Dia mulai tidak terima. Kau juga tahu posisiku seperti apa? Aku tidak mau kalah. Kenapa kau tidak mau mengalah? Karena aku mencintainya! Hening. Aku mengucapkannya dengan nada yang cukup tinggi. Dadaku naik turun, darahku seolah naik seluruhnya ke kepala. Aku rasa Jessica sudah menyadari itu dari dulu, jauh sebelum aku mengakuinya dengan lantang di hadapannya. Dia diam. Dalam keadaan itu, aku meneruskan agresi. Bisakah kau saja yang mengalah Jesse? Aku sudah terlalu jauh dan aku tidak mau meninggalkannya. Aku juga sudah bersamanya sejak lama. Kau tahu kondisiku yang tidak sempurna dan kedatanganmu benar-benar mengusikku. Donghae menerima ketidaksempurnaanku itu dan aku sangat mencintainya. Sementara kau, kau normal. Banyak yang bisa menerimamu. Tapi aku menginginkan dia, Jess. Aku tidak mau bercerai. Aku tahu kau tidak sempurna, tapi kau juga perlu tahu kalau anakku nanti juga memerlukan ayah dan ibunya di sisinya, Nyatanya aku manusia biasa, Jess. Hatiku tidak selapang yang kaukira. Aku mengucapkannya dengan suara parau. Aku menyadari bahwa aku juga memiliki sisi yang tidak sempurna. Jessica tidak berkomentar lagi. Tapi aku tahu matanya mulai lembab, hampir basah mungkin. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, aku masih mau bertahan. Dia berdiri dan berbalik ke arah pintu. Setelah beberapa langkah, dia membalik badan sambil menanyakan kata-kata terakhirnya sebelum pergi. Kalau dia memilihku? Jessica menatapku lekat-lekat dan begitu dalam. Dia menungguku menjawab. Aku kehabisan kata- kata karena aku tidak bisa membayangkan jika Donghae melepasku dan pergi ke pelukan Jessica. Apa yang bisa kuperbuat? Memenangkan hati pria itu dengan cara yang salah? Dalam keculasan? Aku menarik napas dalam-dalam,Aku akan pergi, Jess. Terimakasih. Dia berbalik dan aku sempat melihat air matanya terjatuh. Dadaku disesaki sesuatu yang tidak kumengerti setelah Jessica lenyap dari ruangan ini. Diam-diam aku mulai ragu kalau Donghae akan memilihku. Wanita itu sudah terlalu lama dengannya, mana mungkin Donghae mau melepasnya begitu saja. Sementara aku, hanya sosok yang sepintas lalu hinggap dalam kehidupannya. Mataku mulai basah. Kedatangan Jessica yang begitu mendadak tidak menyurutkan niat awalku untuk bersafari ke supermarket yang letaknya beberapa blok dari apartemen. Bedanya, aku molor dari jam yang seharusnya. Aku berangkat sekitar dua jam setelah kehadiran Jessica yang tiba-tiba. Aku membawa dua bungkusan plastik ukuran sedang sepulangnya dari supermarket. Hari ini aku tidak bisa menggunakan elevator yang biasa kugunakan untuk menuju apartemen karena sedang dalam masa maintenance. Akhirnya aku memutar dan menggunakan lift yang jaraknya agak jauh dan aku juga harus berjalan ke arah yang berlawanan dari biasanya. Aku akan menceraikannya, kau tahu itu! Jantungku rasanya berhenti berdetak saat itu juga. Aku mengenal suara itu dan arahnya dari apartemen Jessica yang pintunya sedikit terbuka. Aku memang terpaksa harus melewati apartemen Jessica jika memakai elevator yang satunya. Aku memang belum berada tepat di depan pintunya, tapi aku tahu itu suara Donghae. Kata-katanya membuat hatiku menjelma menjadi perabot kaca yang dibanting hingga membentur lantai dan hancur berkeping-keping. Kita akan menikah, seperti rencana kita dulu. Kata-kata Donghae benar-benar menghujam jantungku. Aku bisa menebak akhirnya bagaimana, karena itu aku memilih mundur. Aku tidak sanggup untuk mendengarnya hingga selesai. Aku tidak meneruskan perjalananku ke apartemen, melainkan memutar tubuhku dan berjalan menuju parkiran. Aku tidak bisa menahan airmataku lagi, semuanya sudah terucap. Dan Donghae mengakui bahwa dia tidak akan memilihku. Aku masuk ke dalam mobil Volkswagen dua pintu berwarna silver yang dihadiahkan Donghae padaku beberapa waktu lalu. Aku membenamkan wajahku dalam jemari hingga membekap sebagian mukaku. Aku memuaskan hatiku untuk menangisi nasibku yang tak beruntung. Setelah semuanya mereda, aku mulai menguatkan diri dan menghubungi Lexy. Dia satu-satunya yang bisa kupercaya sekarang, aku ingin bertemu dengannya. Lagipula beberapa hari lagi dia akan pergi ke Afrika sebagai relawan medis. Hai, Lexy. Kau ada waktu? Tanyaku saat sambungan terhubung. Anytime, Hyosun. Kalau sekarang? Tentu. Aku memutus sambungan, lalu memutar kunci pada sumbunya. Beberapa saat aku bisa mencium bau yang menggangguku hingga membuatku mual sebelum menginjak gas. Bau itu asalnya dari pengharum mobil yang biasa kupakai. Lalu kenapa aku tiba-tiba ingin muntah? _ Authors POV Aku mencintainya. Katanya lirih sambil menatap lekat-lekat pada kedua sahabatnya. Hening. Ruangan khusus yang biasanya digunakan Donghae untuk rapat bersama klien dan stafnya, mendadak berubah seperti tempat persidangan. Dan pintu ditutup rapat-rapat, bahkan kamera CCTV sengaja dimatikan untuk menghilangkan jejak. Donghae duduk di kursi pesakitan, tepat di depan Eunhyuk dan Max yang menuntut penjelasan. Mereka mengadakan rapat setelah semua bisa mendinginkan kepalanya masing-masing. Masalah yang timbul karena Nona KimHyosunsempat mengoyak persahabat Donghae-Max bahkan hampir menimbulkan perselisihan yang parah.Max tidak bisa berkata apa-apa setelah Donghae melantangkan kata-kata itu. Donghae tetap terlihat tenang walaupun hatinya bergejolak. Dia sendiri secara naluri meluncurkan kata-kata itu, terbebas begitu saja tanpa jeruji lagi yang menyekatnya untuk hengkang. Posisi serba salah dalam situasi ini jatuh pada Lee Hyukjae. Dia menggaruk kepalanya, bingung. Dia bukan tokoh yang memiliki andil penting dalam masalah mereka, tapi dia tahu semuanya. Eunhyuk, begitu biasa dia disapa, mencium babak baru dalam kehidupan kedua sahabatnya itu. Tapi dia sudah bisa menebak semua ini, tentang Donghae yang memang sudah mencintai istrinyaSung Hyosun. Tapi dia harus tetap duduk, sekaligus menjadi penengah jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Kau mau bermain-main atau apa? Bagaimana dengan Jessica? Max terlihat gemas, tapi dalam hatinya kasihan pada sahabatnya sendiri. Donghae menggeleng dan menghela napas panjangnya. Udara sepertinya menguap dan menjauhinya hingga paru-parunya hampa tak berdaya. Dadanya sesak. Situasinya bukan lagi masalah Dongahe membagi hatinya menjadi dua, tapi dia juga menyakiti hati Max yang pernah menjadi bagian dari Hyosun, sekaligus sahabatnya sendiri. Aku harus bagaimana? Donghae menatap mata sahabatnya satu per satu, memohon belas kasih dan petuah. Aku akan menyakiti keduanya. Bahkan keadaan ini malah secara tidak langsung menyakiti kau, Max. Kalau akhirnya seperti ini, aku tidak akan memulainya dari awal. Ini bukan mauku. Keduanya memiliki tempatnya masing-masing di hatiku. Lee Hyukjae yang dari tadi memilih diam, akhirnya angkat bicara. Dia prihatin dengan keadaan kedua sahabatnya yang sama-sama menyedihkan itu. Mungkin aku bukan penasihat yang baik, Donghae. Tapi, sebagai seorang pria kau harus bertanggung jawab dengan masalah yang kau timbulkan dan tetap konsisten pada rencana awal, Hyukjae mulai memberikan petuah, sesuatu yang sangat jarang ia lakukan. Kau harus menyelesaikan semuanya. Kalau kau memilih, kau hanya akan menyakiti hatimu dan wanita yang harus pergi dari kehidupanmu. Tapi jika kau masih meneruskan semua ini, kalian semua yang tersakiti. Kalian terjebak dalam lingkaran setan yang harus segera kau musnahkan. Sebagai sahabat, aku menyarankan kau kembali pada Jessica. Dia sangat terpukul dengan keputusanmu yang secara sepihak untuk menikahi nona Kim. Lee Hyukjae begitu meyakinkan, tapi pendapat Shim Changmin yang turut mendengarkan saran dari sahabatnya, membuatnya membuka mulut kembali. Hyosun juga tidak kalah menderita. Dia meninggalkan karirnya, merelakan kehidupannya demi mengikutimu, pernah keguguran setelah pulang dari Jepang, bahkan mencintaimu setengah matimungkin lebih daripada cintanya padaku dulu. Aku mengenal kepribadiannya. Walaupun aku pernah bersamanya, tapi dia tidak pernah menemukan hal itu padanya. Dia terlalu keras dan...terlalu mencintaimu. Donghae merasa menjadi pria paling brengsek di dunia. Dia menundukkan kepalanya dan memandangi jemarinya yang saling mengait di atas meja. Dia diliputi kegamangan yang luar biasa dasyat. Dia mencintai Jessica, tapi bagian dari hatinya yang lain diam-diam diisi oleh istrinya. Aku tidak bisa memilih. Donghae pada satu kesimpulan yang tidak diharapkan. Dia masih belum menentukan pilihannya. Pada akhirnya kau akan meninggalkan salah satunya, Donghae. Atau salah satu dari mereka yang akan pergi meninggalkanmu. Pilihan itu adalah suatu keharusan. Hyukjae menimpali. Tapi tidak bisa sekarang, Hyuk. Donghae tenggelam dalam sindrodrama percintaannya dengan Hyosun dan Jessica. Max tidak berbuat apa-apa, dia memilih pergi dan meninggalkan sahabatnya sendiri. Sementara Hyukjae yang mengekor di belakang Max sempat menepuk bahu Donghae agar sahabatnya bisa berpikiran jernih dan bijak dalam memilih. Kini, Donghae seorang diri dan terjebak dalam ironi percintaan yang telah ia mulai dan harus segera sudahi. Di dalam pikirannya terpeta dua wanita yang ia cintai silih berganti. Keduan memiliki keistimewaan dan ketidaksempurnaannya masing-masing. Tapi karakter keduanya berbeda tipissama-sama keras kepala dan hatinya. Pendirian keduanya juga sama teguhnya. Di tengah kebimbangan yang dirasakan, ponsel Donghae bergetar dan lumayan membuyarkan pikirannya. Ia merogoh kantong celana dan menggeser navigasi keylock-nya dengan ibu jari. From: Nona Kim Aku akan masak pasta hari ini. Kau harus makan di rumah. Lamat-lamat Donghae membatin dalam hatinya: Pada akhirnya aku sampai pada suatu titik dimana aku menyadari bahwa hatiku terbelah menjadi dua dan menciptakan ruang yang baru, yaitu untukmu. Kau mengisi ruang yang gelap dan kosong itu dengan cahayamu yang terang hingga terasa lapang. Seperti sinar kosmik yang mampu menembus atmosfer bumi. Hampir saja dia membalasnya, tapi ponsel Donghae lebih dahulu menunjukkan adanya panggilan masuk. Kali ini dari wanita yang satunya lagi. Donghae menghela napasnya dengan berat. Dia merasa seperti ada kontak khusus yang menghubungkannya dengan wanita-wanita yang mengendap di hatinya dalam waktu yang hampir bersamaan. Dia mengangkat sambungan yang masuk itu. Hallo, Jesse. Aku sudah di apartemen. Aku mau bicara. Kau di Seoul? Ya. Donghae memang menyimpan dua nomor Jessica (Korea dan Jepang) dalam satu contact name sehingga dia tidak sadar bahwa telepon yang masuk adalah sambungan lokal, bukan internasional. Dia memijiti dahinya, lalu meninggalkan ruang rapat setelah mengembalikan ruangan itu senormal sebelumnya. Paradoks. Donghae yang dulunya selalu bersemangat ketika hendak bertemu dengan Jessica, kini jalan dengan lambatnya. Dia memacu Porschenya dengan kecepatan 70 kilometer per jam padahal dia bisa melajukan tunggangan beroda empatnya itu hingga dua kali lipat lebih pada jam-jam seperti ini. Dalam waktu kurang dari tiga puluh menit, akhirnya Donghae sampai juga di apartemennya. Dia turun dari mobilnya dengan sedikit malas. Dia memilih menggunakan elevator sektor barat karena di sektor timur sedang ada perbaikan. Artinya, Donghae harus menempuh perjalanannya lebih jauh. Tapi diam-diam dalam hatinya dia berharap perjalanannya berubah menjadi ribuan mil jauhnya. Dia menekan bel yang terpasang tepat di samping pintu kayu bercat putih. Tidak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah Jessica. Hai, Jesse. Donghae melambaikan tangannya. Kita harus bicara. Kali ini Jessica tidak seperti wanita yang dikenal Donghae sebelumnya. Dia benar-benar serius. Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Kata Jessica setelah Donghae memasuki apartemennya. Oke, Donghae sebenarnya juga sudah tidak tahan. Tapi keadaan ini memposisikannya di tengah dua pilihan. Jessica mulai meneteskan airmatanya. Ada nyeri yang terasa di dalam lubuk hati Donghae yang paling dalam. Melihat wanita yang dicintainya begitu tersakiti oleh tindak-tanduknya sendiri, dia merasa bahwa saat itulah dia menjadi pria paling bejat seantero negeri. Jess... Donghae hendak menyentuh lengan Jessica, tapi wanita itu buru-buru menghindar. Please, aku tidak tahan dengan semua ini. Aku tidak suka kau di dekat wanita manapun, termasuk dia. Tatapan Jessica membuat Donghae semakin merasa sakit hati sendiri. Tidak bisa begitu, Jess. Aku... Kenapa Donghae? Kau mulai melupakan janji-janjimu? Kau mau menghianatiku? Bukan begitu! Lalu bagaimana keluargaku? Donghae sedikit meradang atas tuduhan itu. Aku bisa membantumu. Aku bisa bilang pada ayahku. Aku kan sudah menawarkan semuanya padamu, Donghae. Tapi kau tidak mau mendengarkanku. Egomu terlalu tinggi. Saat Jessica tahu bahwa Donghae menikahi Hyosun (bukan dirinya), Jessica kembali ke Seoul setelah menghabiskan beberapa tahun di New York. Saat itu dia merasa hancur. Tapi Jessica tidak diam begitu saja setelah tahu alasan Donghae menikahi istrinya, dia langsung menawarkan bantuan yang besar agar Donghae tidak tergantung pada Hyosun. Donghae urung, egonya terlalu tinggi untuk menerima itu. Dia punya caranya sendiri untuk menyelesaikan masalahnya. Tapi caranya itu malah memerangkapnya dengan dua wanita yang mengisi hari-hari yang ia lalui. Tapi bukan begitu caraku menyelesaikan masalah ini. Ini sepenuhnya tanggungjawabku, Jess. Tolong, jangan membuatku semakin serba salah. Kenapa kau bisa benar-benar tega padaku, Donghae? Kenapa? Aku tidak bermaksud begitu. Airmata Jessica kian membanjir, Tapi kau benar-benar menyakitiku, Donghae. Donghae tidak menjawab. Dia terjebak dalam fait acommpli yang ia lahirkan sendiri. Dia juga tak kalah sakit. Apa kau sudah tidur dengannya? Ucapan Jessica itu membuat Donghae seperti ditampar bolak-balik tujuh kali berturut-turut. Dia tidak bisa menjawab. Lidahnya sontak membeku. Hal yang sangat krusial dan tidak ingin dia diskusikan bersama Jessica akhirnya terkuak juga ke permukaan. Melihat diamnya Donghae, Jessica menyimpulkannya sendiri. Dia langsung duduk di kursi, mencoba menenangkan diri walaupun tak ada gunanya. Kau mendapatkan pelayanan yang menyenangkan dari dia dibanding aku yang tidak sempurna ini? Suara Jessica bergetar, dia benar-benar tidak percaya bahwa pria yang dipujanya melakukan hal itu. Menghianatinya. Aku akan menceraikannya, kau tahu itu! Kita akan menikah, seperti rencana kita dulu. Donghae seperti terserang panik, dia mengatakannya dengan spontan. Thats not the point, Donghae. Jessica menggeleng. Peryataan Donghae itu tidak ada kolerasinya dengan apa yang ditanyakan Jessica. Dan malah membuat Jessica terbenam dalam kesedihannya. Dia menangis tanpa henti, sementara Donghae tidak bisa berbuat apa-apa. Sepintas lalu Donghae juga meneteskan airmatanya. Jess, maafkan aku... Ujar Donghae dengan memelas. Jessica bergeming, dia sudah tidak punya kata-kata lagi. Dalam hati wanita itu terlalu bergejolak dan dia sudah menebak kenyataan itu, tapi dia tidak berani bertanya untuk memperoleh jawabannya dari awal. Jess... Donghae berlutut di depan Jessica yang menunduk dan sibuk dengan kesedihan dan tangisnya. Jessica tidak mau menjawab. Mulutnya seperti dikunci. Jess, katakan sesuatu... Donghae benar-benar memohon. Dia tidak pernah melihat wanitanya itu marah dalam diam seribu bahasa. Dia lebih memilih dimaki- maki olehnya ketimbang didiamkan begitu saja. Impak yang ditimbulkannya mampu menggetarkan Donghae. Pria itu kelabakan. Pergilah... Jessica mengangkat wajahnya dan menatap Donghae dengan dalam. Airmatanya masih menyusuri pipinya yang tirus. Pergilah pada istrimu... Jess... Jessica menggeleng, Sudah waktunya kau pergi. Aku mau sendiri... Perbuatan Donghae benar-benar melukai Jessica. Kalau Jessica tidak ingat akan kekurangannya, pastilah dia akan memberondongi Donghae dengan segala sumpah serapah dan makian hingga lidahnya lelah. Tapi dia sadar, dia tidak sempurna. Dan dia juga sadar kalau Donghae juga manusia biasa yang membutuhkan wanita normal. Dan dalam ketidaksempurnaannya itu, Donghae telah mengingkari janji yang ia buat sendiri. Menghancurkan Jessica hingga berkeping-keping. Penghinatan Donghae membuat Jessica butuh waktu lama untuk memaafkannya. _ Donghae melakukan kebiasaan lamanya setelah menyakiti Jessica dan dirinya sendirimabuk- mabukan. Sesuatu yang sudah bertahun-tahun lamanya ia tinggalkan, rutinitasnya di masa kelam. Otaknya sudah tidak jernih. Bahkan dia hampir saja dipukuli orang di dalam bar karena merancau dalam keadaan mabuk pada pria afrika betubuh tinggi tegap nan legam. Mungkin kalau Victoria tidak datang, Donghae sudah babak belur di tangan pria itu. Victoria sibuk meminta maaf sebelum memindahkan Donghae hingga ke dalam Ferrari merah menyalanya. Dia membawanya ke apartemennya. Victoria tidak bisa berbuat banyak, dia membawa Donghae dengan bantuan dua security yang menjaga gedung berlantai tiga puluh itu. Lantas, Jessica mencopot sepatu Donghae dan menyelimuti badannya. Victoria menggeletakkan Donghae di atas sofa panjang berwarna merah pudar. Malam ini dia tidak pulang. Dia sangat prihatin dengan dilema yang sedang dihadapi sepupunya itu. Donghae merancau dalam ketidaksadarannya, menyebut nama Hyosun dan Jessica secara bergantian hingga dia tertidur dengan sendirinya. Pagi harinya, saat pening merayapi kepalanya dan kelopak matanya seperti desekat oleh lem, Donghae memaksakan dirinya untuk bangun. Efek yang ditimbulkan dari minuman beralkohol itu benar-benar luar biasa. Dia agak kaget saat mendapati raganya yang menyasar di ruangan asing di sekelilingnya. Tapi setelah pikirannya terkumpul dengan sempurna, dia sadar kalau sedang berada di apartemen Victoria. Victoria memang selalu menjadi dewi penyelamatnya. Bahkan tabiatnya itu belum berubah hingga sekarang. Kau masak apa? Donghae berjalan menuju dapur kecil saat hidungnya mengendus sesuatu yang akan menggoyang lidahnya pagi ini. Berapa banyak kau minum? Victoria menoleh pada Donghae. Donghae hampir lupa persisnya, yang jelas dia sempat muntah-muntah karena sudah lama tidak menenggak alkhohol. Victoria hanya menghela napas panjang, lalu menyerahkan secangkir kopi hitam pekat pada Donghae, berharap agar saudaranya itu kembali waras. Donghae mengambil tempat duduk dan memangku kedua sikunya di atas meja panjang dapur. Wajahnya masih berantakan walaupun sudah guyur dengan air wastafel kamar mandi sebelum pergi ke dapur. Donghae menyeruput kopinya, lalu dia mengerang. Kopi apa ini? Victoria belum berubah, dia masih memberikan kopi paling pahit sedunia yang ia seduh tanpa gula. Biar kau melek. Victoria lalu memberikan sepiring roti bakar yang ia isi dengan selai kacang dicampur coklat likuid. Kau kan tahu aku tidak suka kopi pahit. Kata Donghae sambil mengelap lidahnya dengan serbet makan. Victoria duduk dan memandang tajam pada sepupunya. Kau mau merusak hidupmu lagi? Kau jangan main-main, Donghae. Kenapa kau kembali seperti ini lagi? Donghae melengos sambil mengunyah roti yang ia ambil dengan gemas. Dia membuang mukanya dari Victoria, tidak mau berdebat pagi-pagi. Masalahnya terlalu rumit. Masalahnya memang rumit, tapi kau tidak perlu mabuk-mabukan. Kau hanya akan menambah masalah. Vic, berhentilah berkhotbah. Dan berhentilah mengidari masalah. Selesaikan! Victoria memberikan penekanan khusus pada kata terakhirnya. Donghae meletakkan rotinya yang belum genap separuh ia makan di atas piring. Dia menuang air putih pada gelas dan meminum isinya hingga gelasnya kosong. Pria itu sadar tentang apa yang ada di pikirannya sekarang. Kau memihak siapa? Donghae bertanya. Victoria sedikit tersinggung. Memangnya mereka sedang perang? Ah, kau pasti lebih memilih Jessica. Kenapa kau benci sekali dengan Hyosun? Omongan Donghae mulai melantur, padahal dia sudah sadar seratus persen. Tapi dia tahu apa yang dia lontarkan. Victoria memandang Donghae dengan sinis. Apa aku pernah bilang kalau aku membencinya? Victoria bersedekap. Sikapmu yang bilang begitu. Aku tidak bilang kalau aku tidak menyukainya. Jadi, kau mulai menerimanya? Donghae masih mengejar arah pembicaraannya dengan Victoria. Jessica sahabatku, kau menempatkanku di posisi yang serba salah. Victoria terlihat sangat marah. Tapi dia berusaha berdiplomasi sebaik mungkin. Dia menuang air di gelas yang sama dengan Donghae dan menenggak seluruh isinya. Semuanya kembali padamu. Kau yang memutuskan, mana yang akan kau tinggalkan. Victoria meninggalkan Donghae. Dia menuju ruang tengah lalu mengambil coat hitamnya yang tersampir di sofa. Dia sudah rapi dan hendak pergi. Tapi dia masih menunggu Donghae bangun. Kau bisa menghangatkan beberapa makanan di kulkas kalau kau lapar. Aku harus pergi. Prof. Philip ingin menemuiku. Victoria melenggang pergi, sementara Donghae masih pada tempatnya. Tidak bergeser sedikitpun. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Semuanya memang harus ia akhiri. Jessica menghendaki kalau Donghae tidak kembali padanya. Wanita itu sangat terluka. Sekarang menjadi puncak kegalauan Donghae. Bagaimana ia memulai untuk mengatakan semuanya pada Hyosun. Bagaimana dia harus mengungkapkan perasaannya dan meminta wanita itu untuk tetap tinggal bersamanya. Donghae sibuk memutar otaknya. Dia bukan tipe orang yang romantis, jadi dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia juga tidak yakin kalau Hyosun akan menerimanya. Yang dia tahu, dia diserang gugup dan panik. Akhirnya, Donghae beranjak. Dia ke sofa tempatnya tidur semalam dan mengambil jasnya yang tersampir begitu saja. Donghae juga tidak sadar kalau banyak panggilan tak terjawab yang berjubel di smartphonenya. Sembilan belas panggilan dari nomor yang tak terdeteksi oleh ponselnya, lima dari Cho Kyuhyun, sepuluh dari ibunya dan dua dari Max. Dia juga agak syok karena pesan masuk tak kalah banyak, 53 pesan. Donghae baru ingat kalau dia mengubah profil ponselnya ke silent. Perasaannya mendadak tidak enak. Kenapa? Batinnya dalam hati. Jemari tangannya hampir menyentuh nama kontak Cho Kyuhyun, tapi dia urungkan karena sebuah panggilan dari nomor yang tidak dikenal masuk. Donghae mengangkatnya. Hallo, Donghae. Ya. Ini siapa? Aku Lexy. Hyosun....mengalami kecelakaan tunggal. Dia....meninggal Ucapan sahabat Hyosun memang terbata-bata, tapi Donghae hafal setiap katanya dengan pasti. Dia tidak percaya dengan pendengarannya, lalu ia meminta Lexy mengulangnya hingga dua kali. Donghae merasa tembok yang dipunggunginya retak dan runtuh ke lantai begitu saja. Dia tidak sanggup berkata apa-apa.
23 Maret... Suasana pemakaman diliputi kesedihan yang begitu besar. Tidak hanya dari keluarga Cho dan keluarga Lee saja yang datang, tapi ratusan pelayat yang mengenal sosok Sung Hyosun turut hadir dalam prosesi tersebut. Hampir semuanya menangis. Istri anda dalam keadaan hamil. Kalimat dari bagian forensik yang mengurusi jasad Hyosun berpendar-pendar dalam pikiran Donghae. Pria itu menangis di depan gundukan tanah yang belum kering. Dia begitu terpukul saat mengetahui kenyataan bahwa istrinya mengalami kecelakaan dan kendaraan yang ditumpanginya terbakar. Percikan api yang menyulut bensin membuat mobil Hyosun meledak. Dan mayat Hyosun hampir tidak dikenali karena hangus terbakar. Donghae bahkan tidak sempat mengucapkan kata cinta dan maafnya pada wanita itu. Yang tersisa kini tinggal kenangan dan penyesalan. Dia tidak menyangka waktu berjalan sekilat ini. Donghae, ayo kita pulang. Sebentar lagi hujan. Victoria yang dari awal memayungi Donghae, mencoba membujuk sepupunya itu untuk beranjak. Tapi Donghae tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pergi. Bahkan guntur yang menggulung-gulung tak mampu membuat kakinya terangkat sedikitpun. Alam seolah turut berkonspirasi dengan Victoria. Siang hari yang biasanya berselimut langit biru, kini tertutup kabut tebal yang menandakan sebentar lagi akan hujan. Guntur meraung dan kilat yang bercabang-cabang menyambar horizon bagian selatan. Donghae menengadah wajah dan tanganku ke langit, air turun satu persatu. Kenapa kau tidak memanggilku saja, Tuhan? Hyosun masih sangat muda. Tubuh Donghae bergetar-getar, dia tidak bisa menahan luapan emosi dan penyesalannya. Bahkan dia berharap, seandainya boleh memilih dia ingin mengajukan diri sebagai ganti dari Hyosun dan si calon bayi. Dua kali dia gagal menjadi seorang ayah, dan yang terakhir ini adalah bagian yang paling menyakitkan. Keluarga dan sahabat Donghae tidak sanggup membujuk pria malang itu. Bahkan, Jessica yang turut hadir diacuhkannya begitu saja. Suami Hyosun itu terpekur dalam kesakitan yang teramat sangat dan dia akan kembali ke masa kelamnya, lagi. THE END