Anda di halaman 1dari 119

Sinopsis

THE

JOBLESS LIFE
Keluh Kesah Penganguran

Selain Malaikat Atid dan Rakib ada 2 hal lagi yang sepertinya selalu menyertai diri

saya, yaitu berkas lamaran kerja dan kesialan. Seperti siang ini ketika saya memasuki sebuah

gerbang Gedung perkantoran.

“Nama, tanda tangan.” Ujar seorang Petugas keamanan sambil membuka buku

panjang. Di dalamnya sudah tertulis banyak nama.

“Kuswara Pak...“

“Tulis!” bentak dia menyerahkan pulpen dengan menggertakannya pada permukaan

meja.

Bunyi hentakannya bikin kaget dan nyali saya menciut. Jadi ingat omongan senior

waktu ospek kuliah, mereka sering menyuruh saya push up sambil membentak bilang “Ini

belum seberapa dek, dunia kerja lebih kejam!”

Saya pikir itu hanya akal-akalan senior aja biar punya alasan melonco juniornya. Eh

sekarang saya rasakan sendiri kerasnya dunia kerja.

Tapi kan saya belum masuk dunia kerja, baru ngelamar kok udah galak-galak sih!

Pulpen yang diberikan petugas keamanan ini membuat pengalaman menulis kali ini

terasa kayak lagi membuat ukiran kaligrafi di media kayu. Tinta-nya susah banget keluar.

Harus ditekan cukup kuat dan digoreskan berulang-ulang baru tintanya keluar... Bikin pegal

aja ni pulpen!

Pandangan petugas keamanan ini juga bikin saya tambah tegang dan risih. Selain

tatapannya sinis. Saya juga enggak terbiasa dipandang begitu dekat oleh seorang lelaki

bertubuh kering berotot dan bau asem kayak dia.

Di sudut Pos Keamanan yang bangunan depannya tanpa dinding ini terdapat meja

panjang berwarna kayu yang penuh sama tumpukan map cokelat memenuhi semua ruang
yang ada. Disengaja atau enggak tumpukan berkas itu kayak kartu remi bekas dipakai.

Berantakan...

“Berkas lamarannya simpan aja di situ.” gerutu petugas keamanan itu menunjuk

pojokan yang sedari tadi menyita perhatian saya.

Ternyata bukan hanya di atas meja aja. Tumpukan-berkas ini juga ada di kolong dan

banyak lagi memenuhi lantai, diikat kayak gundukan koran yang siap diedarkan di pagi hari.

“Di sini Pak?” tanya saya ragu ke Petugas itu.

“Iya simpan aja, yang lain juga di situ!” jawab Petugas itu tetap ketus tanpa menoleh.

Di satu sisi saya jadi kasihan sama orang yang nanti ditugasi memeriksanya. Apa

enggak bosen begitu bacain riwayat hidup orang lain sampai mungkin dia sendiri enggak

punya waktu buat bikin riwayat hidupnya sendiri. Ah tapi saya juga curiga sih enggak semua

bakal dia periksa. Mungkin aja dia pilih secara acak atau pake metode cap cip cup untuk

nentuin berkas mana yang bakal dia periksa dan sisanya yaaa palingan juga diikat terus

ditimbang dan dilempar masuk gerobak Mang-Mang berbaju oblong yang di belakang

bajunya bertuliskan Teroris (Terima Rongsokan Istimewa).

Pas banget kan... Kurang istimewa apalagi itu berkas berisi lembar demi lembar hasil

perjuangan menuntut ilmu bertahun-tahun. Sekarang nasibnya berakhir ke tangan pengepul

barang bekas untuk diolah lagi enggak tahu jadi apa. Kalau sedikit beruntung itu kertas

sampai ke tangan pedagang-pedagang gorengan seantero Bandung jadi bungkus gorengan.

Jadi jangan heran kalau nemu tulisan keterangan IPK 3.00 di bungkus gorengan tempe, bala-

bala dan gehu yang dibeli atau nemuin bungkus gorengan yang tercantum tinta bertuliskan

pengalaman organisasi satu tahun di Karang Taruna. yang lama-kelamaan tinta-tinta

pengcapain kita itu luntur oleh minyak jelantah sisa dari gorengan, persis kayak ilmu kita

yang luntur enggak terpakai karena saking lamanya nunggu dapat pekerjaan.
Tapi yaaa seenggaknya mah berkas lamaran kita masih berguna buat orang lain. Jadi

bungkus buat pedagang gorengan.

Nasib yang paling sial dari berkas lamaran kita adalah menjadi kumpulan benda tak

berarti dan enggak punya fungsi. Hanya dinilai ngotorin lingkungan aja dan sering dijadikan

kambing hitam penyebab terjadinya banjir alias jadi Sampah.

Penganguran juga punya nasib yang sama seperti sampah karena sering diremehkan

dan dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat sosial. Yaaa walaupun seenggaknya

penganguran mah tidak berakhir di tempat pembuangan sampah tapi paling enggak

pengangguran berakhir jadi bahan gibah tetangga. Huh... hina rasanya tuh. Padahal mah saya

juga enggak mau atuh jadi pengangguran tuh. Tapi entah kenapa selalu aja terjadi hal-hal

apes yang menimpa saya kalau lagi cari kerja.

“Udah pak?” tanya saya.

“Iya” jawabnya singkat dengan nada yang tidak ada pertanda dia ingin beramah-

tamah dengan tamu yang datang. Terlebih tamu yang seperti saya.

Kenapa sih petugas keamanan di Kantor atau Pabrik-pabrik enggak bisa seramah

petugas keamanan yang kerja di bank?

Meskipun perlakuan petugas keamanan pada saya begitu arogan tapi saya mencoba

tetap sopan ketika melangkah pulang dengan mengucap terima kasih sambil membungkukan

badan.

Mendekati gerbang tralis besi lengkap dengan roda dan bantaran rell yang terlihat

dimakan usia yang saya rasa lebih tua umurnya dibandingkan umur petugas kemanan itu.

Terbayang mendorong gerbang yang lajurnya pasti macet. Suara gesekan roda dengan

lintasannya pun bikin perih telinga dan gigi ngilu, kayak mendengar suara biola yang

senarnya udah karatan dan bikin jari pemainnya berdarah-darah. Pantesan sikapnya enggak
ada ramah-ramahnya, mungkin karena beban dia yang tiap hari harus membuka-tutup

gerbang tua ini .

Yaaa udahlah saya juga enggak mau ambil hati juga kalau emang dia enggak ramah

sama orang. Itu kan urusan dia. Yang penting saya mah jangan sama kayak dia. Harus sopan.

Apalagi diposisi saya yang lagi butuh pekerjaan.

“Woy! Woy!” Teriak petugas itu dengan sangat keras tepat sebelum kaki saya

ngelangkah sepenuhnya keluar, teriakannya seperti yang lagi ngejar maling. Saking kerasnya

bikin seantero orang meletakan kerjaanya berhamburan keluar memandang saya dengan niat

ingin mukulin.

“Iya pak”. Jawab saya dengan membungkuk badan sambil kebingungan.

Tangannya ke atas mengacungkan 5 jarinya sebagai pertanda agar saya berhenti.

Kemudian, dia merapihkan kemejanya dan mengetatkan ikat pinggangnya sebelum berjalan

mendekati saya.

Dalam hati saya mengira mungkin dia sadar dan meminta maaf atas perlakuannya

yang kurang ramah lalu berdiri di samping gerbang mengantar kepulangan saya dan berkata

“Terima kasih atas kunjungannya Pak.” Disertai senyum yang lebar.

Setelah berada dihadapan saya tanpa basa-basi, dia lantas berkata:

“Balikin pulpennya!”

Ini salah satu momen yang membuat saya terlihat bodoh dan tidak berdaya sepanjang

26 tahun hidup di dunia. Saya hanya melongo bingung harus bicara apa saat dia merebut

pulpen yang sedari tadi tanpa disadari masih dalam genggaman tangan saya.

Sial! udah mah judes si bapak petugas keamanan teh, berkas lamaran yang di sana juga

banyak banget. Eh pake lupa segala lagi saya belum balikin pulpenya.
Gimana kalau kejadian ini sampai ke kuping manajer? Saya bisa langsung dicoret dari

daftar calon pekerja karena belum apa-apa udah berani mencoba mengelapkan aset

perusahaan.

Sebuah pulpen, butut lagi pulpennya!

Dalam perjalanan pulang saya hanya terpagut diam di pojokan kursi Bus Damri

sampai kemudian Bus yang saya tumpangi melewati Kampus tempat saya kuliah. Banyak

memori kembali muncul di pikiran. Ada rasa nostalgia dengan teman-teman seangkatan yang

sekarang konmunikasinya hanya sebatas kalau ada berita duka & undangan pernikahan aja.

Ada juga rasa penyesalan yang datang karena merasa saat Kuliah asal-asalan. Tapi ada juga

yang membuat saya merasa bahagia ketika memandangi kampus dari kaca Bus yang kotor

ini, yaitu kenangan indah yang saya habiskan bersama Ika. Pacar saya yang sampai saat ini

selalu setia menemani hidup saya yang sial ini.

Entah kenapa rasanya banyak banget deh kesialan yang menimpa saya saat mencari

kerja. Dari hampir kena tipu karena harus menyetor uang dahulu kalau mau dapat kerja. Ikut

pelatihan kerja di kantor yang kayak siluman karena besok harinya itu kantor berubah jadi

toko parfum. Atau ketika mau wawancara kerja tiba-tiba saya menderita seriawan di lidah

segede tutup spidol yang bikin saya melet-melet kayak anjing herder kalau mau ngomong.

Sejak saat itu saya jadi tambah insecure kalau mengikuti wawancara kerja. Dunia itu

kayak gak berpihak untuk saya ditambah kelakuan saya yang terkadang ceroboh bikin saya

selalu gagal dapat pekerjaan. kesialan itu udah kayak pacar yang posesif bagi saya. Karena

selalu menghantui dan membuat hidup saya tidak tenteram.

Sesampainya di rumah hari sudah gelap. Saya langsung masuk kamar merenungi

rentetan kegagalan yang saya alami. Seandainya aja saya punya kerjaan mungkin hidup saya

lebih baik. Seperti hidup orang-lain yang lulus kuliah langsung Kerja lalu menikah dan punya

anak. Heu...
yaa sayangnya jalan hidup berkehendak lain buat saya yang harus menjalani fase

hidup paling hina sebagai penangguran

Padahal mah udah gak keitung berapa berkas lamaran yang saya kirim kalau disimpan

di satu rumah cukup buat bikin orang-orang mengira kalau rumah itu gudang Kantor Pos.

Semua cara udah saya coba dari door to door menenteng berkas lamaran ke perusahaan-

perusahaan sampai mengirim online di situs penyedia lowongan kerja seperti jobcikdotcom

dan lain-lain juga saya lakukan.

Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan saya menunggu dan tetap masih belum

juga ada balasan dari berkas lamaran yang saya kirim itu.

heuuu nasib... Nasib...

Mendapat pekerjaan emang bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang. Ini

bukan cuma soal ketatnya persainganan karena banyaknya pencari kerja yang gak sebanding

sama lowongan yang tersedia. Tapi parahnya lagi sebagian orang mempunyai jimat ajaib, anti

gagal diterima kerja. Bahkan tanpa harus melewati tahapan tes dan wawancara kerja seperti

pencari kerja pada umumnya. Saya anaknya bapak anu. Saya keponakannya yang punya

perusahaan dan apa pun itu praktik nepotisme yang sering kita perhalus dengan istilah orang

dalam...

Jadi kalau ditanya kenapa belum dapat pekerjaan, yaaa banyak faktor juga yang

menentukan. Bukan cuma karena usaha kita yang kurang maksimal atau karena IQ kita

jongkok. Di luaran sana juga banyak lulusan Cum laude yang sama susah cari kerja. Apalagi

saya yang IPK-nya pas-pasan.

Salah satu faktor diterima kerja juga adalah soal keberuntungan dan sayangnya saya

kurang beruntung. Bajingan! heu....

***

“Kus... Kus bangun.”


Setengah sadar dari alam siluman mimpi saya dengar itu suara Teh Santi. Kakak saya

sekaligus satu-satunya keluarga yang tinggal bareng saya. Dari kecil Teh Santi yang merawat

saya.  Kalau enggak ada Teh Santi mah mungkin saya udah jadi gelandangan.

“Iya Teh...” Jawab saya dengan kelopak mata yang masih tertutup.

“Teteh mau berangkat. Cepet bangun.” Seru Teh Santi mengetuk pintu kamar “Nih ada

uang buat makan siang.” Lanjutnya.

Dengan gerakan kilat. Sekali lompat ke kamar mandi, cuci muka, gosok gigi dan ganti

baju telah saya lakukan. Tanpa sempat Teh Santi berkedip saya sudah berdiri di hadapannya

memasang muka manis.

“Sikat gigi gak?”

“Udah atuh Teh...” jawab saya.

“Bau Jigong! Rambut acak-acakan, baju pada bolong kamu teh meni kayak gembel

Kuswara...” Cecar Teh Santi.

“si Teteh pagi-pagi teh udah ngomel aja.” Ucap aya seraya menggaruk-garuk kepala

kren masih pusing baru bangun tidur.

“Nih...” Timpal Teh santi memberikan Uang.

“Oh Siap Teh.” Jawab saya.

Teh Santi kerja jadi guru kesenian di SD Cipta Pasundan. Sekolah yang menitik

beratkan budaya Sunda dalam kurikulum pengajarannya. Semasa remaja Teh Santi rajin

banget belajar musik karawitan, hampir semua instrumen tradisional dia bisa mainkan

terutama kecapi. Karena permainannya bagus sekali dia sering diajak mentas dari panggung

desa sampai panggung gede kayak ulang tahun kota sampai akhirnya ketika tamat SMA Dia

langsung ditarik buat bantu-bantu mengajar alat musik hingga akhirnya diangkat menjadi

guru tetap mengajar kesenian di SD Cipta Pasundan.


Dia orangnya cantik dan baik bangeeet. Jarang marah atau mengeluh tentang apapun.

Kalau ada perlombaan orang paling baik sedunia mah udah pasti dia pemenangnya.

Harusnya diusia yang setahun lagi genap 40 tahun ini Teh Santi udah nikah punya anak

dan hidup bahagia. Tapi karena ada satu makhluk beban keluarga yang harus dia rawat dan

jaga, hidupnya jadi gak seindah seperti teman sebayanya yang sudah berkeluarga.

Semenjak orang tua kita meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan mengunjungi

Uwa yang tinggal di Subang. Teh Santi harus menggantikan merawat saya juga sekaligus

sibuk cari uang buat hidup kita berdua. Memang Uwa sempat menyuruh kita tinggal di

subang namun kita berdua menolak. Teh Santi yang baru memulai mengajar di sekolah

merasa terlalu jauh bila harus bolak-balik Bandung-Subang setiap hari. Sementara saya

enggak mau ninggalin Teh Santi sendirian...

Gak mudah meyakinkan Uwa agar mempercayai kita untuk tinggal di Bandung terlebih

setelah kejadian saya dibawa ke Rumah Sakit. Namun pada akhirnya setelah diskusi yang

panjang Uwa setuju dan  mengizinkan kita tetap tinggal di Bandung, mungkin Uwa juga

melihat bagaimana Teh Santi yang bersungguh-sungguh merawat dan menjaga saya setelah

kejadian itu dan membuat hati uwa luluh. Sebagai gantinya Uwa yang seminggu sekali

datang untuk tinggal di rumah kita, tapi seiring waktu lama kelamaan Uwa juga sibuk dengan

bisnisnya yang kian membesar, bisnisnya ini emang membutuhkan perhatian ekstra karena

bila melakukan kesalahan sedikit aja nyawa bisa jadi taruhannya...

“Kus coba magang-magang dulu atuh biar dapat pengalaman.” Saran Teh Santi sambil

memasukan tumpukan kertas nada ke dalam tasnya.

”Iya Teh... magang juga kan harus yang bener biar dapet ilmunya.”

“Kemarin Uwa nawarin kan bener Kus.” Goda Teh Santi tersenyum tipis menahan

tawa.
“Ah apaan atuh Teh masa Engkus disuruh ngurusin kolam buaya... serem atuh.”

Rengek saya.

“Uwa mah aneh-aneh orang lain mah bikin tuh kolam ikan atau kolam lele atau apalah

yang gak bikin orang yang kerjanya dekat sama mara bahaya. ini mah kolam buaya!” lanjut

saya sambil membayangkan nasib saya yang terpeleset jatuh dan berakhir jadi santapan

buaya.

Pertama kali Uwa bikin Penangkaran hanya ada 7 ekor buaya aja tapi sekarang ada

ratusan ekor. Panjang dan beratnya juga beragam ada yang sampai 700 kilo bahkan.

Terbayang kan harus mengurus ratusan ekor binatang yang bentuknya enggak ada lucu-

lucunya sama sekali. ngasih makan, memandikan dan bersihin kandang di dekat mulut buaya

yang sedang mangap adalah sebuah cara tidak mensyukuri nikmat Tuhan. dikit aja kita

lengah langsung jadi talan bulat-bulat.  Gak pernah ada niat saya mau melakukannya.

“Masih mending kalau buaya darat mah.” Gerutu saya.

“Itu mah harus di basmi justru!” Teriak Teh Santi.

“Buaya si Uwa?” tanya saya.

“Buaya darat kayak kamu tuh yang suka gombalin cewek!”

“Eh jangan atuh Teh, nanti enggak ada yang minta uang jajan ke Teteh.” Jawab saya

memelas.

“Dasar si monyong! udah ah Teteh pergi... Assalamualaikum.” Timpal Teh Santi

“Mandi Kus!” teriaknya di luar pintu.

"Iyaaa!" jawab saya. Kemudian menarik selimut untuk kembali tidur.


Susuk Tidak Berguna

Enggak semua orang bisa menjalani rutinitas keseharian orang spesial (dibaca pemuda

rongsok) kayak saya. Bayangkan waktu 24 jam yang kita punya dari mulai bangun tidur

hanya untuk memastikan kepada orang terdekat bahwa saya masih bernyawa. Kemudian,

melamun gak karuan celingak-celingkuk disiang yang panjang terlewatkan dengan tidur lagi

sampai enggak terasa hari udah menjelang gelap.

Entah mengapa orang-orang sering menganggap saya hanya diam tidak melakukan apa

pun dan kerap menyuruh saya untuk mencari kegiatan. Padahal secara harfiah sebenarnya

saya melakukan 2 kegiatan, yaitu tidur dan bangun tidur.

Satu-satunya hal yang dapat mengganggu rutinitas sesuci ini hanyalah suatu dorongan

kuat dari dalam tubuh yang membuat salah satu organnya mengeluarkan bunyi-bunyian

seperti seseorang saat bernafas di dalam air atau bisa disebut kelaparan.

Sedangkan malam hari adalah waktu yang sangat berat bagi saya. Biasanya waktu yang

tersedia dipakai untuk merenungi nasib yang apes ini. Penyesalan, rasa putus asa, harapan

dan cita-cita bercampur aduk mengisi ruang di kepala membuat saya susah tidur.

Semakin larut pikiran tambah kusut, merasa tidak percaya diri dan enggak tenang

dengan keadaan. meskipun ucap kali saya bertekad untuk lebih optimis dan giat lagi berusaha

dapat Kerja tapi esok harinya tetap aja malas-malasan. Bangun siang dan rebahan sepanjang

hari.

Ini udah menjadi siklus waktu yang umum dan selalu diterapkan oleh segenap

pengangguran di seluruh pelosok dunia. Semacam pedoman yang wajib diterapkan bilamana

tidak, maka akan dikeluarkan secara hormat dari keanggotaan altar sesat perhimpunan beban

keluarga.. Ya begitulah pokoknya hidup pengangguran mah mempunyai 2 kegiatan, yaitu

tidur dan bangun tidur juga punya 2 masalah dalam kesehariannya, yaitu susah tidur dan

susah bangun tidur. Saat malam susah banget menutup mata, sedangkan waktu siang malah
ngantuk melulu. Kemudian dengan gampangnya langsung bilang ke semua orang punya

penyakit insomia. Padahal mah berantakan pola hidupnya...

Saya dan Teh Santi tinggal di sebuah Gang kecil di Bandung Tengah, dekat sebuah

terminal Bus yang melayani trayek Bandung-Garut. Gang kencana namanya, salah satu

daerah padat penduduk yang ada di Bandung. Teras rumah dengan pagar adalah salah satu

barang mewah di Gang Kencana. hanya orang-orang tertentu aja yang bisa punya halaman

atau teras rumah, itu juga biasanya ruang terasnya udah habis sama kandang burung dan

parkir motor, sementara rumah lainnya termasuk rumah saya dan rumah tetangga di samping

kiri-kanan saya enggak punya lahan sama sekali untuk dijadikan teras. Hanya ada satu pot

tanaman ukuran mini dan tong sampah dari jeriken yang atasnya dipotong sebagai tanda

pemisah antara rumah.

Penduduknya kebanyakan pedagang keliling dan pegawai pabrik, ada juga 3-4 orang

yang kerja di Instansi Pemerintahan atau pegawai negeri, orang-orang ini biasanya dijadikan

tokoh masyarakat karena kalau menyumbang dana untuk kepentingan daerah selalu paling

gede.

salah satunya Pak Aji tetangga depan rumah saya. Saya mengira dia punya masalah

kelainan Disastria, Gangguan dalam sistem saraf yang mempengaruhi otot bibir, lidah dan

pita suara yang membuat dia susah bicara karena kalau disapa biasanya dia hanya akan

menjawab “hmmm.”

Pak Aji lagi ngapain? dia jawab “hmmm.” Pak Aji unsur gas apa yang paling banyak

terdapat di permukaan bumi?” dia jawab “hmmm.” Pak Aji 3x6:4x4x4+17-5 berapa?” Dia

juga ngejawab “hmmm.” Apapun pertanyaannya hanya satu kata yang akan keluar dari

mulutnya yaitu “hmmm.”


Padahal hmmm juga gak bisa disebut kata atuh tapi yaitu lah Pak Aji seorang pegawai

negeri sipil di Disdukcapil kota Bandung. Tetangga depan rumah saya, punya teras yang

dipakai untuk memarkir motornya.

Ada juga Ceu Salma tetangga samping rumah saya yang kelihatan baik suka senyum.

Ramah banget eh tapi di belakang sering ngegosip ngomongin orang.

Sempat saya dengar Ceu Salma bicara kalau saya orang yang gak guna karena udah

disekolahin tinggi-tinggi tapi gak punya pekerjaan pada Ibu-ibu yang lagi belanja sayur. Tapi

banyak juga tetangga yang baik yang tulus kok salah satunya kayak Bu Isah pemilik warung

kecil dekat rumah, kalau ketemu Bu isah selalu nanya kabar atau nawarin makan pokoknya

mah baik banget... Saya doain masuk surga buat Bu Isah mah.

Samping kiri depan mulut Gang ada warung kopi “Sabar menanti” dengan meja yang

buka 24 jam. Biasanya saya dan beberapa teman suka begadang disini. Kalau siang banyak

polisi yang ngopi di sana sambil ngobrol dan diskusi soal pekerjaan mereka atau hanya

sekadar istirahat sehabis menjalankan tugas aja. Sedangkan di samping kanan pintu masuk

Gang ada gedung kosong yang udah gak dipakai lumayan lama.

Teh Santi pernah cerita waktu saya kecil sempat pingsan karena jatuh dari kursi sehabis

mandi. Ketika saya bertanya kenapa jatuh di kursi sampai bisa pingsan, jawab Teh Santi

karena dia memakaikan handuk cukup kencang seperti lilitan perban buat membungkus

mumi jadi kedua tangan saya enggak bisa gerak untuk menahan tubuh saya yang kehilangan

keseimbangan. Akhirnya kepala saya yang duluan menghantam lantai.

Dibawalah saya ke rumah sakit. Kata Teh Santi cukup lama saya pingsan kira-kira

butuh satu jam setelah penanganan rumah sakit akhirnya saya bisa siuman. Tidak ada yang

serius hanya sedikit luka goresan di pelipis kanan yang berbekas sampai sekarang. Lantas

Dokter memperlihatkan hasil rongsen dibarengi dengan pertanyaan yang aneh bin ajaib dan

sangat scientis sekali untuk ditanyakan oleh seorang Dokter yang sudah mengenyam
pendidikan tentang medis bertahun-tahun dan berpengalaman menangani berbagai macam

penyakit klinis. Dokter itu bertanya apakah saya pernah memasang susuk tidak sebelumnya.

Bayangkan anak kecil berumur 9 tahun yang sehari-harinya hanya dipenuhi dengan

kegiatan bermain dan bermain diberi pertanyaan apakah dirinya pernah memasang susuk?.

Bahkan saat itu saya pun enggak tahu arti susuk itu apa apalagi bersinggungan dengan dunia

supranatural.

Uwa sama Teh Santi panik bukan main melihat gambar hasil rongsen yang

ditunjukkan Dokter ada bercak putih di bagian kiri tengkorak saya yang kata Dokter benda

asing dan enggak biasa. Setelah diteliti lebih lanjut lewat beberapa tes Dokter menjelaskan

ada lempeng metal dengan unsur kimia seperti kuningan menempel di kiri tengkorak saya.

Semenjak itu saya diajak ke banyak orang pintar (dibaca pengobatan spiritual) untuk

menghilangkan susuk itu. Sebenarnya Teh Santi enggak percaya, mungkin aja ada yang salah

dari rongsen dan hasil tes laboratoriumnya. Dia lebih memilih untuk berdoa dan meminta

pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa. Tapi terpaksa harus menuruti kemauan Uwa untuk

membawa saya berobat ke orang pintar. Uwa khawatir susuk itu akan berdampak jelek dan

bahaya bagi kehidupan saya nantinya.

Salah satu orang pintar yang dikunjungi bilang ada orang yang syirik pada keluarga

kita. mengirim susuk supaya saya menderita. Jadi saya seperti dijadikan tumbal untuk

kesuksesan mereka, semakin saya sial semakin mereka akan menjadi kaya raya. Ketikaika

Uwa bertanya siapa orang yang tega menjadikan saya tumbal orang pintar itu menjawab

masih orang dekat katanya.

Untuk menghilangkan susuk itu saya dikepret-kepret oleh satu tangkai daun kelapa

sawit yang dia celupkan air kendi yang telah dicampurkan garam sodium Cap Kapal.

Aneh sih biasanya kan pakai daun kelor kalau mau mengobati penyakit yang

disebabkan gangguan alam gaib mah tapi ini menggunakan daun kelapa sawit. Kalau kata
orang pintarnya ngejelasin daun kelapa sawit lebih sakti karena Jin dan Setan penunggu hutan

kalimantan aja enggak protes dan ngamuk waktu tahu tempatnya bakal dibabat dan diganti

jadi perkebunan kelapa sawit.

Gak cukup satu orang pintar Uwa membawa saya ke orang pintar lainnya. Kali ini hasil

penerawangan orang pintarnya berbeda katanya susuk itu kiriman nenek moyang saya yang

masih satu tongkrongan dan sepupuan sama keponakannya saudara jauh dari Prabu Siliwangi.

Kalau bahasa sekarang mah masih satu circle lah kira-kira. Susuk ini sebagai penjaga katanya

biar enggak diculik Kalong Wewe kalau nanti saya suka pulang kemalaman.

Padahal mah atuh kalau ngasih Susuk teh yang sakti. misalnya yang punya khasiat bisa

bikin saya terbang dan mata saya bisa ngeluarin sinar laser buat melawan penjahat-penjahat

di dunia. Ini mah cuma biar enggak diculik... kurang kerjaan banget punya Nenek moyang

sobatnya Prabu Siliwangi teh.

Mungkin waktu itu saya anggap perjalanan ini kayak karya wisata karena saya di ajak

keliling Jawa Barat ke pelosok daerah yang namanya mungkin juga enggak ada di peta.

Jalannya kecil dan meliuk-liuk dikelilingi hutan lebat yang akses dan informasinya terbatas,

saking terpencilnya mereka mengira kalau indonesia masih dijajah belanda. karena enggak

ada informasi yang bisa warga desa itu dapatkan selain lewat terawangan air baskom dari

Orang pintar di Kampung mereka. Saya juga pernah diajak ke suatu daerah di kota Garut

yang bernama Sarkanjut untuk mendatangi Abah Benton salah satu Orang pintar yang paling

kesohor di Jawa Barat.

Setelah membacakan banyak mantra dan doa–doa kemudian saya disuruh meminum air

yang telah dicampur segala macam rempah-rempah. Tak cukup hanya itu saya juga disuruh

berendam tengah malam di kolam Lele untuk menghilangkan susuk yang menempel pada diri

saya. Penuturan Abah Benton bilang kalau Lele itu terbiasa melahap makanan berwarna

kuning jadi biar dilahap lempeng kuningan yang ada di kepala saya itu.
Ketika itu wawasan saya belum cukup luas untuk mencerna omongan Abah Benton tapi

setelah beberapa tahun dan beranjak besar saya baru mengerti hubungan benda kuning

dengan Ikan Lele. Di Tasikmalaya waktu berkunjung ke kampung halaman teman saya yang

di belakang rumahnya memiliki kolam lele. Di pinggir tepian kolam itu terdapat suatu

bangunan semi permanen beratap langit dan bersekat tempelan karung-karung bekas supaya

orang-orang yang berada di luar enggak bisa melihat aktivitas yang terjadi di dalam bangunan

itu. orang desa menyebut tempat itu dengan nama Pacilingan. sebuah tempat sakral dalam

kehidupan umat manusia. Di mana kita dapat merasakan sensasi musim dingin yang berganti

seketika menjadi musim panas. sebuah ruangan yang bisa membuat diri kita sendirian di

Dunia yang ramai ini. Tempat itu adalah tempat buang Tinja...

Dengan mata telanjang saya melihat bagaimana ratusan lele saling senggol-

menyenggol merangsek ke bawah Pacilingan. Mulut kembung gerombolan lele itu terbuka

lebar bergerak liar gak sabar membuat air kolam menciprat deras kayak lagi hujan badai

ketika seseorang masuk ke dalam Pacilingan untuk buang air besar. Gak begitu lama saya

menyaksikan bagaimana rantai makanan berkerja begitu liar. adegan Lele yang sigap

mengeroyok dan melahap semua tinja tanpa sisa. bahkan sama ganasnya seperti cuplikan

film ikan piranha saat memangsa manusia dengan gigi taringnya yang tajam.

Baru lah saya mengerti apa yang dimaksud Abah Benton dulu bahwa ikan lele terbiasa

melahap makanan berwarna kuning itu sebenarnya adalah EE (kotoran) kita. Jadi selama ini

saya pernah mandi di kolam Lele yang airnya bercampur dengan kotoran manusia. Najis!

Bukannya menghilangkan susuk ini mah malah bikin saya curiga. Inilah yang

membuat hidup saya selalu dinaungi kesialan.

Lambat laun Uwa dan teh Santi gak memusingkan lagi soal hasil rongsen kepala saya

dan kemungkinan itu adalah sebuah susuk. karena kalau pun itu susuk enggak ada dampak

dan khasiatnya pada diri saya sama sekali. tidak membuat saya kebal dibacok atau bikin daya
pikat diri saya dasyat sehingga mampu membuat orang-orang menuruti apa yang saya

inginkan.

Ya kalau daya pikat mah gak usah pakai susuk juga udah kinclong. Hanya dengan

modal tampang saya juga udah memikat. Nah kalau untuk kuat dibacok mah juga sebenarnya

gak usah pasang susuk. Cukup dengan kita enggak bikin onar yang bisa membuat orang sakit

hati sehingga punya niatan ngebacok. Insyallah gak akan kena bacok. Pokoknya kalau ini

benaran susuk gak ada gunanya lah buat saya.

Satu-satunya efek yang mungkin ada dari susuk ini mah palingan membuat saya punya

sifat malas-malasan padahal aslinya mah enggak... enggak salah!


Ika aja.

Dulu sewaktu kuliah saya harus mengikuti ujian ulang mata kuliah statistika. Saya

merasa ini bakalan jadi ujian paling ngebosenin karena harus baca soal dan angka-angka yang

saya enggak pernah paham apa maksudnya sama sekali. Hanya untuk mencari nilai rata-rata

aja Kalau pakai teori statistika tuh ribeeet banget. Harus cari nilai range, x-min, x-max,

struges dan interval dulu padahal kan tinggal di bagi per-jumlah sampel juga beres.

Orang yang menciptakan pelajaran statistika ini sama berdosanya dengan orang

pertama yang menemukan teknologi bungkus plastik karena mereka enggak tahu kalau nanti

di masa depan hal yang mereka ciptain akan berdampak merusak kehidupan dan nyusahin

banyak orang.

. Tapi semua berubah... Anggapan saya tentang statistika hanyalah pelajaran

menyulitan yang tidak berguna bagi kehidupan berubah jadi hal yang mengesankan dalam

hidup saya. Ketika saya menyadari di pinggir tempat duduk tersibak sesosok wanita yang

sungguh sangat menawan.

Rambut panjangnya terurai dengan belahan pinggir yang dia selipkan berberpa helai

satu bagian sisinya ke daun telinga, blouse tipis berenda bercorak hijau mint dipadukan

celana panjang berwarna light rose membalut tubuh rampingnya.

Bibirnya melengkung tipis melukiskan hawa sensual. Kalau melihatnya langsung

terbayang satu adegan dia minum kopi dan tetesan terakhir kopinya tertinggal di atas ufuk

bibir.

Enggak ada satu lelaki pun yang tidak tergoda berlomba untuk mengusap bibirnya

menghapus tetes kopi itu. Atau jika lelaki masa depan suram seperti saya ini terpaku gak

berdaya untuk melakukannya, wanita menawan ini akan menjulurkan lidahnya kemudian

dalam satu tarikan setengah putaran tetesan bekas kopi tadi hilang dalam sekejap.
Dia adalah seseorang yang menghiasi dunia saya yang datar. Dia adalah embun yang

menghidupi dingin di pagi hari. Dia adalah dedaunan yang meneduhkan di terik siang, Dia

adalah kilauan sinar bintang yang menenangkan di gelap malam.

Sosok bidadari cantik yang mengubah kisah hidup saya menjadi lebih indah ceria dan

berwarna adalah Gustika Ramadiani. Satu-satunya mahasiswi yang mengikuti ujian statistka

bersama 9 mahasiwa bermuka suram lainya. Belakangan saya tahu dia harus mengikuti ujian

ulang karena sempat sakit demam berdarah yang membuat dia tidak bisa mengikuti

perkuliahan. Kalau saya dan 8 laki-laki lainnya mah dengan sangat yakin seyakin-yakinnya

mengulang ujian karena kapasitas otak yang sangat memprihatinkan alias bodoh.

Beberapa menit sebelum ujian dimulai dia nampak panik. Merogoh tasnya dan

mengeluarkan semua isinya karena lupa membawa pensil 2B sebagai syarat untuk mengisi

kolom jawaban. Kepanikannya berubah menjadi keputusasaan ketika Dosen melarang dia

keluar kelas untuk membeli pensil. Maklum Dosen galak dan pelit ngasih nilai... saya aja

dikasih nilai D.

Ujian ini kesempatan terakhir kalau sampai gagal kita harus mengulang lagi mata

kuliah statistika semester depan membuat Gustika terlihat sedih.

Semantara para mahasiswa suram lain yang sibuk meracau saling bertanya tentang

kemungkinan diantara kita ada yang membawa pensil cadangan dan tentunya apa yang bisa

diharapkan dari 9 mahasiswa tanpa masa depan yang ada dikelas ini. Jangankan bawa pensil

dua, isi otaknya dibawa aja udah untung.

Setiap orang malah sibuk berkicau mengungkapan kata-kata bijak dan perhatian yang

tak lebih dari modus untuk memikat hati Gustika. tapi malah bikin dia merasa lebih takut dan

terintimidasi karena melihat sekeliling dia dipenuhi muka-muka gahar.

Gustika hanya diam menatap sendu tidak menghiraukan kebisingan dari mahluk kasar

tak sedap dipandang ini. Saya yang duduk disebelahnya melihat keputusasaan itu lalu secara
spontan mematahkan pencil saya jadi dua bagian. kemudian ujung patahannya diserut untuk

diserahkan ke Gustika.

“Ini pensil mini, saingnya taman mini...” Bisik saya menyodorkan pensil.

Walaupun terlihat kaget dengan apa yang saya lakukan tapi wajahnya yang menekuk

berubah menjadi senyuman yang membuat hati saya melayang tenang ketika melihatnya.

Sedikit malu di bibirnya yang mempesona terucap kata terima kasih.

Aksi heroik ini murni tiada niatan apapun selain tulus membantu ketika melihat orang

lain sedang dalam kesusahan. Asli gak minta balasan apapun. Misalkan kalau kejadian lupa

bawa pensil itu si Waluyo yang mengalaminya tentu saya juga akan membantu. Membantu

mengolok-olok Waluyo yang harus mengulang lagi mata kuliah statistika tahun depan...

Setelah lembar soal dan jawaban dibagikan kini giliran saya yang panik dan

kebingungan karena sama sekali enggak bisa mengisi satu soal pun. melihat lembar soal bikin

kepala saya mendadak migrain. Huh... Saya pasrah untuk mengulang kembali tahun depan.

Gustika yang melihat saya kebingungan untuk mengerjakan soal-soal ulangan itu

memperlihatkan lembar jawabannya untuk saya contek. Mungkin dia merasa iba karena

sedari tadi saya diam tanpa gairah atau juga sebagai tanda rasa terima kasih karena udah rela

membantu dia.

Padahal mah saya mah tulus menolong, ikhlas... asli! gak minta timbal balik apapun.

Tapi kalau dikasih contekan gini mah ya saya terima.

“Hai makasih ya.” Sapa dia sehabis ujian sambil menyodorkan patahan pencil yang

saya berikan.

“Simpan aja.” Jawab saya.

Melihat wajahnya yang sedikit kebingungan lalu saya potong dengan menyodorkan

tangan untuk bersalaman “Kuswara, panggil aja Kus” ucap saya.


“Gustika Ramadiani.” Seru dia menyambut tangan saya untuk berjabatan. “Makasih

yaa Kus.” Lanjut dia tersenyum penuh pancaran keceriaan. Tangannya sesekali memainkan

pensil. entah karena  apa dia tersenyum, bisa karena senang berkenalan dengan saya atau juga

karena merasa geli dengan pensil kuntet yang ukurannya lebih pendek dibanding jari

kelingkingnya. yang pasti ekspresi yang dia tujukan membuat saya begitu bahagia.

“Sama-sama. Gusti...? Gustika Ram...Ma..." Ujar saya mengeja namanya ragu.

“Ika aja.” Potong dia.

“Kok belum pernah lihat?” lanjut dia saat kita beranjak meninggalkan kelas.

“kita kan beda jurusan.” Jawab saya. Kemudian kita berdua lanjut berjalan bersama

menyelusuri lorong kampus karena sebelumnya Ika menerima ajakan saya ke kantin.

“Ehh iya, Aku juga sempat sakit jadi lama gak ke kampus.” Ucap Ika.

Di kantin kita makan batagor berdua bicara soal paniknya dia karena lupa bawa

pensil. Terus dia juga penasaran kenapa saya bisa mengulang ujian statistika padahal enggak

pernah bolos kuliah. lalu membahas hal-hal umum tentang kita berdua yang membuat waktu

begitu nyaman tidak beranjak, tentu diselingi kebodohan-kebodohan kecil yang tak sengaja

saya lakukan seperti garpu jatuh, numpahin gelas, tersendak makan dan hal random lainnya.

Untungnya Ika hanya tersenyum dan tertawa aja melihat itu semua... dan sumpah Ika cantik

sekali kalau lagi senyum.

Meski satu angkatan tetapi kita berbeda jurusan Ika mengambil jurusan Akutansi dan

saya jurusan Manajemen jadi pantas kalau enggak pernah bertemu sebelumnya atau kalau

pun bertemu pasti dia gak sadar, karena kaum ratu langit kayak Ika gini biasanya enggak

sempat memperhatikan gerombolan pria dekil kayak saya.

Semenjak itu kita sering bertemu. Saling tahu jadwal kuliah masing-masing dan

sengaja saling nunggu di kantin untuk makan bareng. Terkadang saya suka antar-jemput Ika

les bahasa Inggris, atau Ika gantian menemani saya main game di rental PS.
Waktu mau nyatain cinta, saya ajak Ika makan di sebuah restoran di jalan Braga.

Walaupun kalau dipikir sekarang saya nyesal juga sih kenapa memilih tempat itu.

Di Bandung sempat ada tren makanan pedas yang mempunyai peringkat

kepedasannya. Dari tingkatan dasar yaitu pedas level 1, pedas sedang level 2 sampai level

tertinggi yang bisa bikin bibir dower.

Hampir semua makanan mempunyai tingkat kepedasannya saat itu. Keripik pedas

level 1-2-3. Nasi goreng pedas level 5-6-7 sampai eskirm juga dibikin pedas. Sungguh aneh

tapi begitulah namanya tren mah kalau ada satu yang ramai langsung yang lain serentak pada

ngikutin.

Salah satunya yang mengikuti tren makanan pedas ini adalah Restoran Mie Preman.

Tempat saya ngungkapin rasa cinta pada Ika.

Pulang kuliah kita berangkat naik bus Damri, waktu itu saya belum punya motor

(sampai sekarang juga sih masih belum punya motor) untung Ika mau aja diajak kemana-

mana naik kendaraan umum. Berdesakan dan mencium aroma keringat orang yang

bercampur bau solar bus enggak ada satu keluhan pun keluar dari mulut dia. Sikap Ika yang

gak ribet itu tuh yang bikin saya tambah cinta sama dia.

Di restoran Ika pesan mie goreng level 7. Level yang paling pedasss. sebagai seorang

pria yang punya ego tinggi dan tidak ingin telihat lemah karena tidak kuat makan pedas di

hadapan wanita idamannya... gengsi atuh kalau pesan mie dengan level dibawah Ika. Kita

berdua sama memesan mie goreng level 7. walaupun sebenarnya mah ragu dan bikin

tenggorokan seret karena terbayang rasanya bakal pedasnya sekali.

Kita sama-sama makan mie goreng pedas itu dengan lahap. Saya lihat Ika tanpa ragu

terus menggaduk sendoknya memakan mie sampai habis. Saya juga berhasil

menghabiskannya setelah dibantu dengan 4 gelas air putih. Nah disini lah awal mula

penyesalan saya kenapa memilih Mie Preman sebagai tempat untuk nyatain cinta.
Bukan efek sakit perut yang tercipta setelah makan pedas yang jadi masalah tapi ada

satu lagi yang saya juga tidak sadari reaksi tubuh kita ketika memakan masakan pedas

sehingga membuat skenario romantis yang telah saya bayangkan sebelumnya berubah

menjadi satu adegan yang sedikit menjijikan.

“Slrrpp... jadi gimana les bahasa inggrisnya lancar? Slrrpp... Slrrpp...” Tanya saya

pada Ika sambil berusaha menyedot masuk ingus yang meler-meler kembali ke dalam hidung.

“Lancar Kus.” Jawab Ika. Berbeda dengan saya walaupun kita sama-sama makan

pedas tapi cairan di hidung Ika hanya keluar sedikit dan langsung dia bersihkan dengan tisu

yang dia ambil dari dalam tasnya.

“Slrrpp... kalau Slrrpp... ngajak kamu jalan gini tuh sebenarnya ada yang marah gak?”

“Enggak kok Kus.”

Tanpa henti saya berusaha menyedot ingus agar tidak menetes jatuh dari tepian bibir,

tapi cairan itu malah semakin deras mengalir keluar dari lubangnya. Saya jadi ingat teman

saya yang sering bilang gak semua hal yang ada di dunia ini kita bisa kendalikan. Waktu itu

saya enggak ngerti sama sekali apa yang dia ucapkan tapi sekarang saya mendapat gambaran

nyata dari kalimat itu. Salah satu hal di dunia ini yang tidak bisa dikendalikan yaitu ingus

kita.

Sempat beberapa kali untuk membatalkan niatan saya menyatakan cinta pada Ika,

karena seberapa romantis pun kata-kata yang terucap dari saya jatuhnya akan tetap terasa jijik

kalau semua itu diucapkan dengan cairan ingus yang berkerlipan mengalir dari hidung. bisa-

bisa Ika merasa ilfeel dan menolak saya. Tapi di satu sisi juga saya enggak mau menunggu

kesempatan lebih lama untuk menjadi pacar dia. Kenapa dalam keadaan seperti ini hal

menjijikkan bisa terjadi sih....


Suara seperti raungan gajah terdengar keras dari usaha saya ketika menyedot kuat

cairan ingus kembali ke dalam palung produksi lendir di tubuh saya. Kemudian kata

sederhana itu keluar dari mulut saya.

“Mau gak kamu jadi pacar saya?”

Ika hanya terdiam hening... lama sekali. Membuat dada saya berpacu kencang seperti

penjinak bom yang melawan waktu per-sekian detik yang tersisa agar meledak. Seketika

mendadak saya seperti orang yang cacingan. usik enggak karuan mencari posisi supaya bisa

duduk dengan nyaman menunggu jawaban Ika yang kini menatap saya dengan wajah yang

merona merah.

"Kamu malu yaa? enggak usah dijawab sekarang juga gak apa." Ucap saya.

"Emang tahu dari mana aku malu?" tanya Ika

"wajah kamu merah."

"Ini kayaknya gara-gara kepedesan deh..." Ujar Ika. mendengar itu sekarang jadi saya

yang merasa malu.

Ika tersenyum menatap saya yang jadi kikuk kemudian kembali berkata “Mau.... Aku

mau jadi pacar kamu ”

“Jadi euu... sekarang kita pacaran?” tanya saya tak percaya.

“Iya.” Jawab Ika dengan rona bahagia.

Saya genggam tangan Ika dengan lembut. Dia membalas genggaman saya lalu kita

saling berpandangan berbinar bahagia membius seisi restoran ini menjadi berbunga-bunga.

“Slrrpp... Slrrpp... Slrrpp...” “Slrrpp... Slrrpp... Slrrpp...”

“Slrrpp... Slrrpp... Slrrpp...” “Slrrpp... Slrrpp... Slrrpp...”

ini bukan suara efek dari ciuman ala frenchkiss, bukaaan! tapi suara saat saya

menyedot ingus yang kembali meler-meler. Ika mengambil selembar tisu untuk saya

membersihkan cairan itu. Dia terlihat maniiis bukan main... cara dia menunjukan ke saya
bahwa dia siap menerima saya apa adanya sangatlah indah. Seorang lelaki yang menyatakan

cintanya saat dia lagi ingusan mungkin enggak ada sama sekali gambaran akan itu terjadi di

kisah cintanya Ika. Tapi itulah yang terjadi... saya pacar Ika. Walaupun enggak ada romantis-

romantis nya tapi ini adalah awal kisah kita, awal dari berbagai hal manis dan indah di hidup

saya dan Ika.

Banyak momen yang udah kita lewatkan bersama. Belajar bareng, ngerjain tugas

bareng, ngerjain waluyo bareng... oh enggak yang itu cuma saya. Bimbingan skripsi dan lulus

juga ditahun yang sama, dan banyak hal lagi yang kita lakukan bareng-bareng.

Mandi? Gak bareng atuh mandi mah selain bukan muhrim. Kamar mandi ukuran 4x3

persegi dengan bak dari ember bekas wadah cat mah gak akan bikin efek erotis, seperti di

film-film romantis yang kamar mandinya pake shower atau bathtub. Nah! tidur baru bareng...

maksudnya waktunya yang bareng malam hari atau juga kalau udah ngantuk. Ya kalau

tempatnya mah beda Ika di kamarnya yang bersih dan wangi lavender. (Sumpah ini cuma

nebak aja saya belum pernah masuk kamar Ika yang di temboknya ada gambar tempel

menara Eifel dan salah satu kaki ranjangnya diganjel potongan kardus supaya rata.. Sumpah!

Ini mah Sumpah saya cuma nebak) sedangkan saya kalau  tidur ya di kamar saya yang

busuk... kalau pun ada yang nemenin tidur itu mah paling juga tumila. Itu juga tumila jantan!

***

Tiupan angin yang cukup kencang bikin ranting pohon-pohon di halaman rumah Ika

bergerak bungkuk. Sore itu saya dan Ika duduk di bangku kayu yang ukurannya pas buat kita

duduk berdua. bentuk panjang lebarnya mencipta jarak jeda untuk diisi zat oksistosin dari

sentuhan–sentuhan tipis yang enggak disengaja saat kita duduk berdampingan.

Tapi mungkin yang buat bangku ini tahu bakalan ada cowok kere yang sering

ngabisin waktunya duduk disini buat gombalin Ika dan minta kopi gratis. Jadi hamparannya
dibikin dari longsongan bekas dahan pohon yang gak beraturan. Kalau lama-lama duduk di

bangku ini bisa bikin pantat yang bentuknya setengah lingkaran berubah jadi jajar genjang.

Cuma cewek di samping saya ini lah satu-satunya alasan kenapa saya kuat berlama-

lama duduk di sana. sebenarnya kalau disuruh milih mah mending pacaran di bioskop atau

ngabisin waktu di kafe bisa lebih nyaman dan gak canggung karena di belakang gak ada

orang tua pacar yang siap sedia ngawasin kaya cctv mini market.

“Kus udah setahun lebih loh kamu belum dapet kerja.“ Ucap Ika sebari menaruh

gelas kopi. Ini gelas kedua yang dia bikin untuk saya. air mukanya mengguratkan rasa

kekhawatiran.

“Waktu Aku mau kerja ke Kalimantan kamu yang enggak ngizinin.”

“Jauh Kus... terus entar kita gimana?” keluh Ika. “Emang kamu mau kita jauh-

jauhan.” Lanjut dia. Kini matanya menyorot tajam untuk terlihat mengintimidasi namun tetap

menawan.

Iya juga sih selain susah ketemu jarak yang jauh juga berpotensi membuat cowok lain

punya kesempatan mendekati Ika... enak aja!

Gak begitu lama setelah tamat kuliah Ika langsung dapat kerja jadi “ADeEm” di salah

satu rumah sakit swasta di Bandung. Sedangkan saya mah ya begini lah apes jadi

pengangguran... moga aja enggak ada dokter sok ganteng di Rumah Sakit yang godain Ika

atau secara enggak sengaja kepala Ika ketimpuk satu dus obat-obatan yang bikin aliran syaraf

realisnya terbuka dan sadar sepenuhnya bahwa pacaran sama saya tuh cuma ngabisin waktu

tanpa ada kejelasan. Aamiiin....

“Yeuh Kuswara kapan kamu teh mau melamar Ika?’ tanya Mamahnya Ika yang keluar

dari dalam rumah disela-sela kita lagi berbincang.


“Oh siap atuh Mah... siap mau besok atau lusa juga.” Jawab saya tanpa ragu. “Mamah

sama Ika duduk maaanis aja, biar Kuswara yang urus semua.” Lanjut saya dengan

sombongnya.

Mamah Ika kelihatan sumringah. melebihi kegirangan saat dapat arisan mingguan

begitu mendengar penuturan saya yang sungguh meyakinkan.

“Nanti kita sewa gedung merdeka.” Lanjut saya. berbicara dengan gerakan tangan yang

mengikuti alur kayak diplomat ulung di sidang PBB.

“Neng itu atuh kue na bawa.” Seru Mamah menyuruh Ika. Mamah semakin terbang

terbuai oleh perkataan saya.

“Busananya juga yang bagus, mewah lah... Bikinan desianer terkenal. Kalau perlu

mah bertabur berlian sama berlapis anti peluru.“ Tutur saya sembari duduk dengan penuh

gaya melebihi Raja Roma dsamhil sesekali memakan kue yang disuguhkan.

“Katering nya?” Tanya Ika dengan mata berbinar.

“Kita sewa yang paling enak. Yang Paling mahal... Pokoknya Walikota, Wali kelas,

sampai Walisongo kita undang... Semua kita undang.” Jawab saya  melebarkan lengan.

penuh kesombongan.

Tentu perbincangan ini hanya ada di alam khayalan saya aja. Sesungguhnya pertanyaan

Mamah itu bagi sebagian orang yang tidak kuat imun bisa menyebabkan kepala menyusut

seukuran ketumbar, tarikan nafas mpot-mpotan, isi perut terasa dikocok truk molen yang

mengakibatkan energi dari tubuh hilang dalam seketika.

Faktanya jawaban dari segala jawaban terbaik yang terlintas di benak saya hanyalah

“Doain aja Mah...” klise tapi ya cuma itu jawaban paling aman yang bisa saya berikan untuk

momen menegangkan ini.


“Asal kamu tahu aja Kus. Banyak yang ngantri pengen ngelamar Ika teh.” Cecar

Mamahnya Ika. Dengan gurat muka yang tidak puas. Saya hanya menunduk bisu menanggapi

perkataan Mamahnya Ika.

Seraya masuk ke dalam rumah Mamahnya Ika berkata “Jangan mau Ika sama cowok

yang gak punya masa depan mah.”

Mukanya kelihatan aseeem, kalau dibandingin Kopikap basi mah masih lebih asem

muka si Mamah.

Punya status pengangguran itu bukan hanya enggak punya status sosial di masyarakat

aja tapi yang lebih mengenaskan adalah enggak punya kemampuan secara mandiri untuk

berani memutuskan gimana jalannya masa depan.

Direndahin dan diremehkan adalah dua hal yang harus terus menerus saya rasakan...

"Mamah... jangan gitu atuh, gak enak." Ujar Ika dari dalam rumah yang terdengar oleh

saya.

"Ika. Mamah teh cuma pengen kamu gak nyesel nanti." Tampik Mamah dengar suara

yang cukup keras.

Saya mengerti apa yang jadi kecemasan Mamahnya Ika. Orang tua mana juga enggak

mau kalau nanti anaknya nikah nasibnya susah karena salah pilih pasangan jadi harus

memastikan yang dipilih anaknya itu baik dan benar-benar bisa menghidupi kebutuhan hidup

anaknya.

Tak lama Ika kembali duduk lagi di samping saya, lalu mengangkat gelas

menyuguhkannya pada saya. "Diminum lagi kopinya." ucap dia. “Gak usah diambil hati

Mamah emang gitu.” Lanjut dia menenangkan saya yang terlihat kusut meski dia sendiri

terlihat gusar.

“Iya...” Jawab saya tersenyum lirih kemudian meminum kopi yang Ika sodorkan, Kopi

yang sama tapi kini rasanya jadi lebih pahit.


“Kamu harus semangat. Harus lebih rajin lagi nyari kerjanya.” Seru Ika, tangannya

mengusap punggung saya lalu dengan senyum manisnya Ika lanjut berkata “Aku pasti setia

nungguin.”

“Iya atuh pasti selalu semangat mah... cuma gampang ngantuk ajaaa.”

“Yeee!” seru Ika mencubit tangan saya.

Waktu yang tersisa kita habiskan dengan obrolan ringan penuh canda layaknya

sepasang kekasih yang tahu gambaran akhir dari ujung perjalanan cintanya akan bahagia.

Saya pandang wajah Ika tersenyum selalu menenangkan. Tangan kita menggenggam saling

menguatkan.

Kenyataan bahwa ada bidadari yang rela nunggu dan menemani saya dalam kondisi

sulit ini membuat saya sedikit tenang walaupun sebenarnya mah di hati tersembunyi

kecemasan. Mau sampai kapan kita bisa terus bertahan dengan keadaan ini. atau lebih

tepatnya sampai kapan Ika bisa sabar menunggu dan menerima keadaan saya yang seperti ini.

Pertanyaan Membosankan
Selain pacar cantik dan kakak yang baik. Ada satu kebaikan dunia lagi yang tersisa buat

saya, yaitu teman senasib. Punya teman-teman yang sama menjalani rutinitas sebagai

pengangguran itu terasa melegakan. Senggaknya bisa mengetahui bahwa selain saya masih

ada orang lain yang nasibnya apes...

Seperti Sidik dan Ojat. Teman dari kecil dan teman sepenanggungan dalam menjalani

fase hidup terhina di hidup ini.

Biasanya malam hari kita nongkrong di warung kopi dekat Gang rumah kita. Kebiasaan

nongkrong di warung kopi sebenarnya mah gak berfaedah. Cuma membicarakan hal gak

penting, mengeluh sana-sini dan ngomongin orang lain. Pokoknya mah gak ada hal positif

yang bisa diambil dari nongkrong disana. Apalagi dari obrolan-obrolan orang yang sama-

sama gak punya pekerjaan.

Ketika saya mampir ke warung kopi sudah ada Sidik dan Ojat yang sedang berbincang.

Kemudian saya menepuk bahu mereka berbarengan. Duduk di tengah-tengah mereka dan

langsung larut pada perbicangan yang sedang terjadi.

“Nih ya ane bawa tuh cewek ke Punclut.. Tempatnya bilik-bilik gitu kayak di warnet.”

Ungkap Sidik.

Tentunya saya bisa langsung menelaah apa yang sedang dikatakan karena ini bukan

pertama kalinya dia cerita soal kisah cintanya. Lebih tepatnya sih kisah mesumnya.

Kedua tangannya meragakan sedang membuka kancing kemeja. Kemudian dia menarik

lubang leher kaosnya, mempertontonkan dadanya yang berbulu lebat. Lantas membusung

sehingga tampak seperti buah dada yang menonjol keluar dari celah baju dan berkata “Ayah

punya Bunda mah kecil.” Dengan warna bicara yang dia ubah ke frekuensi mezzo-sopran dan

logat yang melambai manja layaknya daun pohon kelapa yang ditiup angin laut.

Kalau dipadukan dengan penampakan Sidik yang punya jakun sebesar kemiri serta bulu

dada yang rusuh saling bertumpuk mah jadi bikin ingin muntah sih sebenarnya bukan horny.
Ojat menyimak sangat serius. Dia terlihat menelan ludah menghindari dirinya dari

dehidrasi karena pikirannya sekerang dipenuhi bayangan kotor dari cerita Sidik. Berulang

kali Ojat membenarkan posisi duduknya, mungkin karena celana jeans belel yang dia pakai

sekarang sedikit sesak.

“Euuuh ngacai kamu mah Jat.” Goda saya sambil berusaha mengelap kuping Ojat

dengann menarik lengan kaosnya.

“Heh! itu mah conge bukan ngacai” jawab Ojat kesal memiringkan kepalanya agar saya

tidak bisa meraihnya.

“Tapi ane tutupin lagi.” seru Sidik melanjutkan ceritanya. kepalanya berubah dari

bertanduk setan kini terdapat lingkaran suci seperti malaikat. Dia bersumpah bahwa dia

menutup kembali suguhan payudara dari celah kemeja yang dibuka oleh pacarnya.

Walaupun sulit untuk dipercaya tetapi saya dan Ojat terkesan mendengar obrolan cabul

Sidik berubah menjadi satu adegan mulia. Dimana seorang pemuda dengan iman yang kuat

menolak godaan dari seorang wanita untuk berzinah.

“Aslina?” Ojat terheran. keresahannya akan sesuatu hal yang belum pernah dia rasakan

memuncak.

Sidik mengisap rokoknya dalam-dalam, menghembuskannya dengan penuh tenaga

sehingga asap yang keluar banyak memenuhi ruang udara di sekitar kita lalu berkata:

“Iya ane tutupin pakai mulut.”

“Eta mah dikenyot!” Teriak Ojat sembari kedua tangannya mengacak-ngacak

rambutnya sendiri.

“Dasar Onta cabul!” timpal saya. Sidik tertawa melihat saya dan Ojat yang tertipu

olehnya.

Emang enak jadi orang ganteng berbadan tegap dan banyak duit kayak Sidik ini.

Hidupnya gak pernah susah. Semua yang dia inginkan selalu terwujud... Bukan cuma soal
wanita aja tapi juga hal-hal lainnya. Sepertinya 99% masalah hidup di dunia ini udah

terhapuskan semenjak lahir bagi orang-orang yang mempunyai wajah tampan dan cantik

mah.

Kaum good looking ini seakan gak pantas untuk ngerasain kekecewaan. Apapun yang

mereka impikan semesta akan bahu-membahu membantu mewujudkanya. Sementara kaum

rongsokan kayak saya dan Ojat mah harus berjuang mati-matian kalau mempunyai keinginan

teh. Karena hadangan, halangan, rintangan yang datang juga bertubi-tubi gak ada habisnya...

Berbeda dengan saya dan Ojat yang menganggur karena nasib. Sidik menganggur

karena pilihan. Dia sengaja menunda menyelesaikan skripsinya supaya status

penganggurannya tertutup dalam kedok mahasiswa tingkat akhir dan lebih memilih freelance

sebagai fotografer yang sebenarnya bukan untuk mencari uang melainkan modus untuk dia

bisa memotret cewek-cewk berpakaian seksi.

Dia memilih tidak bekerja formal karena lebih senang melakukan apa yang sesuai

dengan keinginan dan minatnya. seperti walaupun apa yang dia kerjakan gak pernah ada yang

benar dan gak jarang malah berujung kerugian baik waktu atau materi tapi dia senang-senang

aja melakukannya selama itu sesuai dengan minat dia.

“Gimana ente udah ada kerjaan?” tanya Sidik pada saya.

“Belum euy, yaa gitu lah masih kirim-kirim lamaran.” Jawab saya.

“yaa kan mending ngikut hela bantuin ane.”

“Aahh embung” jawab saya singkat merujuk pada kerjaan Sidik yang selalu berakhir

dengan suatu bencana.

“Ehhh kali ini mah bener Kus.” Sidik menyakinkan dengan menunjukan satu logo yang

bertuliskan “Mari Motret” di kertas sticker yang udah dia potong-potong mengikuti pola

logonya.
“Ini mah menghasilkan!” lanjut Sidik penuh percaya diri mulutnya terbuka

memperlihatkan giginya yang rapi dan bersih sekali, sampai bisa mantulin cahaya lampu...

“Makasih Dik, saya mau coba yang lain dulu.”

“Tong daek Kus! Pedih...” Timpal Ojat yang pernah bantu kerjaannya Sidik.

“Diem ane gak kasih rokok lagi ente.” Seru Sidik mengancam Ojat.

“Ampun Bos.” rengek Ojat memelas pada sidik sambil meminta rokok.

“Yeee!” kesal Sidik

Ojat sekolah hanya sampai SMP. Dia tidak melanjutkan sekolah karena lebih memilih

untuk bermain bola. Kata dia dari pada harus belajar matematika mending nendang bola

seharian di lapang.

Ojat jago banget main bolanya sampai pernah diundang seleksi di Persekab (Persatuan

Sepak bola kabupaten Soreang) tapi sayang ketika mau mengikuti seleksi kakinya bengkak

terlindas roda pagar toko bangunan.

Keinginan dia untuk menjadi pemain bola profesional pun sirna karena cedera itu.

Dengan ijazah SMP dan tanpa keahlian dia jadi pengangguran sejati yang hidup bertahan

hidup dari hari ke hari tanpa masa depan yang jelas.

Bukan hanya soal karier, kehidupan asmaranya juga terbilang sial. Satu kali pun dia

belum pernah merasakan bagaimana indahnya punya pacar dalam hidupnya, setiap wanita

yang dia taksir dan coba dekati pasti menjauhinya bahkan dari 11 kali percobaannya

menyatakan cinta, Ojat menerima penolakan 12 kali. Seperti ada kutub magnet berlawanan

yang membuat Ojat dan wanita tidak bisa berdekatan.

Berbeda dengan saya dan Sidik walaupun sama-sama menanggur tapi ada pacar yang

setia menemani menjalani hari yang fana ini. Kalau Ojat mah paling juga catatan utang sama

dosa yang setia menemani hari-harinya.


Sepertinya mah Ojat diciptakan di dunia ini buat jadi bahan tolak ukur rasa syukur

orang lain. Kan banyak orang-orang yang bersyukur dengan keadaannya setelah melihat

orang lain yang lebih menderita dari dirinya. Jahat yaaa orang! Saya juga gitu sih termasuk

orang yang bersyukur karena lebih beruntung dari Ojat.

"Kenapa ya orang teh Kalau ketemu Urang suka nanya sekarang di mana." Ungkap Ojat

sambil menikmati rokok pemberian Sidik.

Pertanyaan “Sekarang di mana?” Sebenarnya sih pertanyaan basa-basi biasa dan lumrah

ditanyakan ke semua orang tapi yaaa bagi kaum pengangguran extremis yang radius jejak

langkahnya bahkan tidak sampameter dengan waktu luang yang berlimpah dalam seminggu 7

hari akan sangat bingung untuk menjawab pertanyaan seperti itu.

Dalam kondisi normal alias punya status pekerjaan pertanyaan itu bisa dijawab dengan

mudah, tinggal bilang aja di jalan kalau bertemunya di jalan, di Mall kalau berjumpa di Mall

atau di Angkot kalau kita lagi naik Angkot dan bertemu teman yang bertanya “sekarang di

mana.”

tapi yaa pertanyaan macam ini mah tentu bukan menanyakan letak koordinat saat kita

berjumpa si Penanya aja. Ini juga sebenarnya pertanyaan tentang sudah sejauh apa capaian-

capaian kita dalam kehidupan terutama dalam Pekerjaan...

"Kadang urang ngebohong ngejawabnya teh." Ungkap Ojat.

"Ah, saya mah pura-pura sibuk aja Jat kalau ada yang nanya gitu."

"Mana bisa Ojat pura-pura sibuk Kus, tiap hari juga kelihat nongkrong terus di sini."

Goda Sidik.

"Enak wae, tapi iya sih pasti teman urang juga gak percaya kalau pura-pura sibuk."

"yang pas mah pura-pura gila Jat. pasti teman ente percaya."

"euuh! Dasar Onta!"


"Yaa udah atuh jujur aja." Cetus sidik sambil mematikan rokoknya pada asbak. "Nih

gak semua hal tuh bisa kendalikan." Lanjut Sidik

"Betul banget tuh, saya pernah ngalamin... Ingus salah satunya." Potong saya.

"Ehh naha jadi ke ingus" celetuk Ojat terheran.

"Ngaco ente Kus. maksud ane tuh soal sikap orang ke kita yang gak bisa dikendalikan...

Tinggal jujur aja. Ane ngangur. selesai."

Memang mau bagaimana pun pertanyaan “Sekarang di mana?” itu mengganggu kita

kalau dijawab dengan cara berbohong mah enggak bisa menyelesaikan masalah. malah bisa

membuat masalah baru dan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih

mengganggu lagi seperti “Udah Nikah?” dan yang lainnya.

Walaupun menjawab jujur juga enggak menjamin membuat kita menjadi merasa lega,

selalu bakal ada hal yang membuat hati kita enggak nyaman kalau ketemu teman lama,

terlebih jika teman kita itu terlihat sudah lebih sukses.

Ya begini lah nasib jadi pengangguran mah selain diterpa krisis keuangan juga harus

menghadapi krisis percaya diri. Bahkan hanya untuk sekadar berbincang dengan orang lain

pun gak sanggup...


Mencoba produktif

Kata orang-orang sukses persoalan kenapa sebagian orang susah dapat kerja itu karena

hidupnya kurang produktif, kebanyakan rebahan dan kurang silaturahmi. Ada benarnya juga

sih kalau lihat diri sendiri yang hidupnya emang kebanyakan malas-malasan. Makanya hari

ini saya ingin berubah.

Saya coba ubah pola hidup dari mulai tidur lebih awal dan bangun lebih pagi biar

rezekinya nanti gak dipatok ayam. Tapi tenang kalau pun saya bangun kesiangan, saya udah

pasang kertas pengumuman dilarang keras memelihara ayam di kawasan ini lengkap dengan

cap RT dan RW. Jadi bisa dipastikan radius 100 meter dari rumah bebas ayam berkeliaran.

Gak akan ada ayam yang bisa ngepatok rezeki saya kalau saya bangun kesiangan, lagian

ayam kok kayak ormas proyek hobinya ngepatok hak orang lain.

“Tumben Kus udah bangun.” Kata Teh Santi terheran mendapti saya yang sudah sibuk

di depan pintu rumah.

“Oh iya atuh teh.” jawab saya sambil menalikan tali sepatu.

“Sekarang Kus kan ingin beruubah, hidup lebih sehat.” lanjut saya dengan nada penuh

optimis layaknya orang yang baru dapat motivasi dari Mario teguh.

“Terus mau kemana pakai sepatu?

“Lari lah ke Gasibu.”

“Eeeh mending bantuin dulu Teteh, tuh gosok kamar mandi!” Teh Santi ngelemparin

sabun lantai.

“Aaah si Teteh mah.” Rengek saya.

“Itu udah pada kuning kamar mandinya!” tegur Teh Santi.

“Emang warna kuning tembok kamar mandi mah.”

“Eeeh!” Bentak Teh Santi mengancam. ekspresinya seperti ancaman negara adi kuasa

yang akan mengembargo pasokan makanan dan menjatuhkan sanksi ekonomi bila tidak
menurutinya. Begitu juga saya, kalau gak nurut bisa-bisa dana hibah tak terhingga sepanjang

masa yang membuat hidup saya jauh dari kelaparan bakal dibekukan.

“Iya... Iya.” Jawab saya pasrah kayak zombie kurang zat besi berjalan menuju kamar

mandi.

“Kuswara!”

“Apa atuh Teh... Ini kan mau ke kamar mandi.”

“Buka sepatunya!” bentak Teh Santi.

“Eeeh”

Setelah menggosok, mengelap lalu menggosok dan terus membilas sampai semua lantai

dan sudut-sudut kamar mandi terlihat kinclong akhirnya saya bisa meneruskan niat saya lari

pagi ke Gasibu.

“Kus kemana euy.” Sahut Ojat ketika bertemu di depan gang.

“Wah euy udah bangun Jat jam segini? Hebat euy. Hayu lari?”

“Bukan udah bangun tapi belum tidur.” Jawab Ojat dengan senyum lebar tiga jari yang

bikin gigi kuningnya kelihatan jelas persis kayak lantai kamar mandi saya sebelum digosok.

“Dasar kuncen warkop!” seru saya. Pantes matanya merah kayak dracula dan ada bekas

iler di pipinya. napasnya bau komodo, kalau terlalu dekat langsung tergambar nyata gimana

rasanya siksa neraka itu.

“Palingan juga 5 meter kamu udah gak kuat.” Ledek Ojat.

“Ehhh! Nganggap remeh.” Timpal saya. Kemudian pergi ninggalin Ojat.

Kalau pagi gini ternyata Bandung udaranya bersih dan terasa lebih segar di tubuh.

Enggak banyak angkot- angkot dan bus damri tua yang suka ngeluarin asap hitam.

Saya lari pelan, pelan dan pelaaan banget... Ada kakek-kakek yang jalan santai

menyusul saya. “Hayu jang sumanget!” sambil ngisep rokok keretek bergaris merah asapnya

mengepul banyak saingan sama bus Damri. cuma ini warnanya putih...
Jelas saya gak terima disusul oleh orang yang umurnya terlihat sama dengan umur

kemerdekaan Indonesia. Saya tambah kecepatan. Tarik gas sampai mentok berlari kencang

melewati Kakek itu lagi, enggak lebih dari sepuluh menit napas saya habis dan terhenti

dengan tubuh yang membungkuk dan tangan yang menopang ke lutut. Suara napas udah

kayak suara mendidih... Di depan sebuah Tenda Penjual lontong kari.

“Aduh ieu Pemuda!” Ujar Kakek itu menyusul saya kembali. Dia terus berjalan

konstan sampai akhirnya mejauh tidak terlihat lagi, sementara ya saya mah sekarang udah di

posisi duduk kecapean.

“Bener si Ojat, cape ternyata lari teh.” seru saya berbicara sendiri.

“Kenapa udah balik lagi Kus?” tanya Teh Santi heran mendapati saya udah ada di

depan rumah lagi sedang melepas sepatu.

“Euh... itu Teh jalannya ditutup.”

“Kan bisa jalan lain ke Gasibu mah banyak jalan.”

“Menuju ke Roma Teh yang banyak jalan mah.” Jawab saya sambil ngambil gelas buat

minum.

“Ah paling ge kamu mah gak kuat napasnya... baru juga berapa meter!” kata Teh Santi.

“Eh kata siapa Teh ini mah asli Gasibunya ditutup.”

“Tadi jalan, sekarang Gasibu ditutup. kenapa?” tanya Teh Santi.

“Orang yang pengang kuncinya belum bangun.”

“Yeee ontohod dasar!” kata teh Santi.

“Ya udah nih bantuin pel rumah.” lanjut teh Santi seraya membawa lap pel dan ember

berisi cairan pembersih lantai.

“Teeeh!”

Pagi hari saya sungguh indah sekali... niat untuk berubah menjadi produktif dengan

melakukan aktivitas positif kayak olahraga malah jadi disuruh beres-beres rumah, padahal
membersihkan rumah itu adalah hal yang sia-sia di Dunia ini karena nanti juga bakal kotor

lagi, tapi ya semoga ini jadi kegiatan positif lah daripada hanya tidur aja walaupun

sebenarnya mah enakan tidur aja sih terus bangun siang, jadi enggak akan disuruh-suruh gini

sama teh Santi.

Selain olahraga hal produktif lainnya seorang yang mempunyai waktu luang banyak

adalah mengisinya dengan hobi yang bermanfaat, ada teman yang hobinya pelihara ikan

cupang, dia kembang biakan sampai banyak terus hasilnya bisa dia jual, sekarang hobi dia

pelihara ikan cupang bisa jadi sumber rezeki buat dia. Ada juga teman yang hobi jalan-jalan

ke tempat-tempat indah di indonesia seperti gunung atau pantai, singkat cerita karena banyak

yang minta antar jalan-jalan ke tempat-tempat indah itu dia jadi pemandu wisata dan

membuka jasa Agen perjalanan sebagai sumber penghasilannya. Sedangkan hobi Saya yang

konsisten dan tiap hari saya kerjakan adalah tidur dan malas-malasan. walaupun saya tahu

hobi ini mah enggak bermanfaat, tapi kira-kira ada enggak ya peluang bisnis dari hobi saya

ini...

Saya pernah terpikir untuk membuat pelatihan bagi orang yang suka mengalami

kesusahan untuk tidur tapi sayang ide ini gagal gara-gara ada teknologi berbahan kimia yang

bisa bikin orang tidur alias obat tidur. Lagian juga cuma orang sakit jiwa aja yang mau daftar

pelatihan tidur, tertidur kan salah satu anugrah yang kita punya dari lahir, heran udah gede

masih ada aja orang yang bilang susah tidur.

Hobi saya lainnya adalah melamun, sayangnya ini juga enggak bermanfaat apalagi

kalau udah ngelamun jorok... misalnya ngelamun makan mie goreng di comberan, selain

jorok, melamun makan mie instan di comberan juga enggak sehat karena mie instan banyak

kandungan micin dan bahan pengawet.

Emang sepertinya saya enggak punya hobi atau lebih tepatnya kegiatan yang

bermanfaat.
***

Enggak siang, enggak malam dan yaaa tentu aja pagi juga Ojat selalu nongkrong di

warung kopi. Kebanyakan dia diam sendiri tiduran di bangku panjang teras warung kopi atau

iseng pura-pura jadi patung berpose seperti pejuang kemerdekaan untuk bikin kaget orang-

orang yang lewat. Kebiasaan Ojat berada di warung kopi membuatnya kenal beberapa Polisi

yang juga sering ngopi di sana. Terkadang Ojat diberi kerjaan oleh Polisi seperti ngecat

kantor, membersihkan gudang, merapikan arsip yang udah gak terpakai, menangkat barang-

barang kebutuhan polisi atau menyuruh membeli makanan karena iba melihat Ojat yang

luntang-lantung.

Hari Minggu ini Ojat mendapat kerjaan lagi, lalu mengajak saya dan Sidik untuk bantu-

bantu di acara HUT Bayangkara di kantor polisi sebrang gang rumah kita.

Di sana saya dan Ojat membantu mengangkat sound system dan menghias panggung

kecil yang ada di halaman parkir kantor polisi. Kita berdua memasang spanduk yang

bertuliskan “Hut Bhayangkara, Mengabdi untuk Masyarakat, Bangsa dan Negara.”

Sebenarnya mah enggak ada masalah dari pesan yang disampaikan di spanduknya. Tapi

setelah di lihat-lihat spanduk berlatar kuning ini malah mirip kayak spanduk panggung parade

band hardcore di Ujung Berung karena tulisannya menggunakan huruf ghotic. Sementara

Sidik mah kerjanya enak cuma mondar-mandir mendokumentasikan kegiatan lewat kamera

yang dia bawa.

Acaranya sendiri diselenggarakan dari pagi sampai malam. Ada lomba-lomba khas

tujuh belasan, ada banyak makanan yang dihidangkan juga dan berbagai hiburan untuk

memeriahkan acara Hut Bayangkara ini.

Para polisi terlihat menikmati sekali acara ini. Wajah-wajah mereka nampak bahagia,

mungkin karena sehari bisa terlepas dari beban tugas. Jarang-jarang kan biasanya banyak

tugas dan kasus yang menanti untuk diselesaikan.


Menjelang malam acara diakhiri oleh hiburan musik dangdut, sementara para polisi

makin terhanyut menikmati alunan lagu ini, saya Ojat dan Sidik (terpaksa) harus bersiap

mengeluarkan tenaga lagi untuk ngebersihin bekas acara karena besok senin semua harus

seperti semula untuk dipakai bekerja kembali.

Seorang polisi berpangkat AKBP yang di seragamnya bertuliskan nama Eman

Bramantyo memanggil kita bertiga kemudian memberi Amplop. Isinya yaa uang lah masa

surat cinta. Selain itu juga ada 4 nasi box yang kita bawa pulang untuk makan malam.

“Sabaraha?” Tanya Ojat sambil ngitung uang.

“Sama lah” jawab saya selesai menghitung 5 lembar uang pecahan 50 ribu.

“Lumayan Gope.” Seru Sidik.

“Naha beda? Tanya Ojat.

“Tergantung amal-amalan.” Jawab Sidik dengan air muka yang menyebalkan.

“Halaaah.” Timpal saya.

“Kacau Pak Eman.” Keluh Ojat.

Ternyata nongkrong di warkop yang sering saya nilai sebagai kegiatan yang enggak ada

faedahnya sekarang malah menghasilkan.


Jimat Anti Sial

Semenjak acara Hut Bayangkara di kantor Polisi tempo hari, kita jadi makin akrab

dengan beberapa Polisi yang sering ngopi bareng di warung kopi. Salah satunya adalah

seorang Kasat Reskirm AKBP Bapak Eman Bramantyo. Cuma keakraban ini juga bikin kita

punya sumber penderitaan baru karena sering kali Pak Eman ngejailin kita.

Pak Eman pernah memborgol tangan saya dan Ojat dan menuduh kita sering gak bayar

kalau jajan di warung kopi. Saya sih pasti bayar, Ojat juga bayar walaupun yang dia makan

lebih banyak dari yang dia bayar.

Suatu ketika Pak Eman mengajak kita ke restoran padang. Bilangnya sih mau

mentraktir makan, tapi sampai di sana dia hanya pesan satu piring nasi beserta rendang dan

memakannya dengan lahap sedangkan kita duduk di depannya melihat dia makan sambil

nahan perut yang berontak keroncongan. Walaupun pada akhirnya dibungkusin nasi juga

sih... tapi hanya nasi sama kuah sayur tanpa lauk pauk. Kebangetan! pokoknya kita sering

banget dijadikan objek bercandanya Pak Eman dan Polisi lainnya.

Kali ini Sebelum Pak Eman mau pulang dia mendatangi saya dan Ojat yang seperti

biasa lagi duduk-duduk enggak jelas depan warung kopi. saat itu Sidik enggak ada karena

mulai sibuk dengan kerjaan pemotretannya.

“Siapa yang maling kotak amal di Masjid?” Tuduh Pak Eman. Kali ini terlihat serius,

gak ada indikasi lagi bercanda di raut mukanya. Tak sempat saya dan Ojat menjawab, Pak

Eman langsung membentak menyuruh kita ikut ke kantornya.

“Bukan saya pak.“ Ujar saya. setelah kita duduk di ruangan yang mirip ruangan

interogasi. Meski enggak dilengkapi satu lampu gantung dan kedap suara kayak di film

kriminal, tapi ini ruangan tetap aja auranya bikin ngeri.

“Iya Pak sumpah enggak tahu saya mah.” Timpal Ojat memelas.
“Kamu percaya dia gak ngambil?” Tanya Pak Eman menunjuk saya. Bertanya pada

Ojat.

“Percaya atuh, Kuswara mah orang jujur.” Jawab Ojat dengan panik “Paling juga yang

dia tipu mah cuma Tetehnya sendiri.” Lanjut dia.

Saya tercengang mendengar jawaban Ojat yang ngaco “Bangsat Ojat!.” Gumam saya.

“Kalau kamu percaya bukan dia orangnya.?” Tanya Pak Eman pada saya sembari

menunjuk Ojat.

“Percaya Pak, yaaa realistis aja kalau mencuri di masjid mah Ojat enggak berani. Nah

kalau di luaran gitu saya yakin Ojat pelakunya.” Jawab saya.

Goblok Engkus!” Gerutu Ojat mendengar jawaban saya “Henteu Pak, henteu.” Lanjut

Ojat meyakinkan Pak Eman.

“Ngomong kasar Push up.” Perintah Pak Eman kepada Ojat.

“Atuh punteun Pak.” Rengek Ojat.

“Push up!” bentak Pak Eman dengan tegas menunjuk ke lantai.

Ojat langsung mengambi posisi, tubuhnya naik-turun bergerak lambat dibarengi

hitungan satu... Duaaa... Tiga... Dari mulutnya. Dengan napas terengah berat dia bertanya

“Berapa kali pak?”

“50.” Jawab Pak Eman. “Kamu juga.” Lanjut Pak Eman ketika melihat saya yang

sedang menertawakan Ojat.

“Push up Pak?”

“Iya cepat.” Tegur Pak Eman.

Baru memulai 4 gerakan, tiba-tiba seorang petugas datang membawa 3 gelas kopi. Pak

Eman menyuruh Saya dan Ojat berhenti dan duduk kembali. Ojat yang lebih banyak

melakukan gerakan push up berkeringat banyak dan memandang saya sinis.


Ternyata kedatangan kita kemari perihal Pak Eman yang menawarkan pekerjaan

kembali. Enggak ada kotak amal yang hilang itu hanya akal-akalan Pak Eman ngejailin kita.

Ojat meminum satu gelas kopi dalam satu tegukan, mungkin karena cape bikin dia merasa itu

air es jeruk. Kemudian menjawab siap menerima pekerjaan itu. Padahal Pak Eman belum

bilang detail pekerjaannya seperti apa.

“Kamu?” tanya Pak Eman pada saya.

“Siap pak.” Jawab saya dengan tegas seperti anak buahnya.

Setelah kembali lagi ke warung kopi sebenarnya saya sedikit ragu akan pekerjaan yang

ditawarkan Pak Eman karena tabiatnya yang selalu membuat kita jadi objek keisengannya,

tapi kata Ojat rezeki enggak boleh ditolak, gas aja upahnya lumayan buat menyambung

hidup.

Benar juga sih golongan kayak kita yang lebih sering ditolak oleh pekerjaan emang gak

tahu diri kalau ada pekerjaan yang datang malah kita yang menolak. Selain itu juga saya gak

mau mengsia-siakan kesempatan kerja yang datang...

Esok harinya waktu Bandung sedang panas-panasnya. Entah kenapa hari ini angin

jarang bertiup dari arah mana pun yang semakin membuat terik matahari terasa panas Sekali.

Pertanda hari ini bakal jadi hari yang panjang dan berat.

Saya dan Ojat sudah berdiri di halaman kantor polisi sekitar 30 menit untuk menunggu

Pak Eman yang katanya lagi memberi instruksi untuk tugas-tugas anak buahnya.

Kantor sedikit sibuk dari biasanya, banyak mobil polisi yang keluar tancap gas dengan

bunyi sirine yang lantang diikuti beberapa polisi yang menggunakan kendaraan roda dua

pergi entah ke mana meninggalkan halaman kantor.

Pak Eman keluar dari ruangannya tepat setelah keriuhan petugas polisi lainnya yang

pergi entah kemana. Saya dan Ojat lalu diajak masuk ke mobil dinasnya.
Kita melaju menyusuri jalan Ahmad Yani ke arah selatan menuju perempatan antapani

membelah kepadatan Pedagang Pasar Tumpah yang lagi membereskan dagangannya.

Sepanjang jalan enggak ada celetukan atau bercandaan hangat tapi terasa nyebelin bagi

kita terucap dari Pak Eman. Sedari tadi dia sibuk melihat satu berkas dan menjawab

panggilan dari teleponnya, sementara anak buahnya fokus menyetir mobil. Keadaan ini justru

bikin saya dan Ojat menjadi khawatir.

“Pak ini teh kerjaan apa ?” tanya Ojat terbata-bata.

“Akting.” jawab Pak Eman singkat.

Siku Ojat menyenggol dada saya dan berbisik “Kumaha Kus” kebingungan.

“Akting gimana Pak ? main film?” Tanya saya. Pak Eman diam gak menjawab.

Rasanya enggak ada hubungannya seorang Perwira Polisi dengan kegiatan seni peran

atau akting. Apalagi industri film atau teater. Dari gelagat dan tingkahnya yang sering

bercanda saya terpikir apa mungkin Pak Eman ini sebenarnya seorang yang mempunyai jiwa

seni. Soalnya waktu acara Hut Bhayangkara tempo hari dia juga tampil bernyanyi berduet

dengan penyanyi dangdut.

Pikir saya mungkin aja dia punya bakat dan hasrat terpendam sebagai seorang seniman

dan punya sanggar seni peran

Tapi yang lebih mengganggu adalah tebakan saya yang lainnya. Mungkin ini semua tuh

emang enggak ada hubungannya dengan seni pertunjukan. Bisa aja kita disuruh menyamar

jadi pembeli narkoba untuk menangkap gembong narkoba jaringan internasional. meski

terlihat keren seperti di film holywood, tetapi ini juga berbahaya. Saya dan Ojat yang

bermuka polos tidak berdosa dengan tubuh yang kekurangan zat besi harus berhadapan

dengan kartel narkoba yang mungkin bersenjata. Seram...

“Enggak bahaya kan pak? tanya saya semakin resah.

“Kalian tenang aja jangan banyak tanya!” Cukup ikuti intruksi saya.” Tegur Pak Eman.
“Kumaha ieu Kus.” kata Ojat terlihat khawatir.

“Pasti gak beres.” Bisik saya yang sama khawatirnya. Firasat saya semakin kuat bahwa

kesialan pasti akan menimpa kita hari ini.

Ketika memasuki kawasan Bandung tengah. Mobil kita memasuki jalan yang hanya

cukup menampung lebar satu mobil, lumayan sempit untuk bisa dilintasi bahkan bila ada

motor di arah berlawanan jalanan harus tersendat sedikit. Setelah memasuki pemukiman

warga yang cukup padat mobil berhenti di sebuah lapangan bola yang tak terawat,

rerumputannya cukup tinggi khas lapangan-lapangan di kampung yang tinggal menunggu

giliran aja digarap oleh pengembang jadi pabrik atau perumahan.

Kita berdua kebingungan dan bengong enggak tahu apa-apa karena diluar terlihat

banyak orang berkerumun. Sebelum sempat nanya lagi soal apa yang akan kita kerjakan, Pak

Eman melempar dua potongan karton dengan tali menguntai membentuk sebuah kalung dari

jok depan.

“Pakai.” Ujar Pak Eman.

Satu potong karton bertuliskan "Korban" satunya lagi bertuliskan "Tersangka."

keraguan saya dan Ojat semakin menjadi namun enggak ada pilihan lain selain memakai

kalung itu. Ojat medapat kalung yang bertuliskan "korban" sedangkan saya mendapatkan

kalung dengan tulisan "tersangka."

“Hahaha...tersangka maneh Kus.” Ojat menertawakan saya.

“Heuuu”

Tapi sebelum keluar dari mobil Pak Eman menyuruh kita untuk bertukar kalung. Saya

jadi memakai kalung bertuliskan "Korban" dan gantian menertawakan Ojat yang memakai

kalung "Tersangka."

“Nah ini baru pas, muka maneh kan muka penjahat.” seru saya.

“Beul.” kata Ojat kesal.


Panas matahari seakan bukan penghalang bagi banyak orang untuk berkumpul di

lapangan ini. Rasa penasaran yang tinggi membuat mereka datang berbondong-bondong

mengerumuni semua sudut yang ada. Ketika kita turun dari mobil dan melangkah beberapa

meter di tengah kerumunan orang terdengar tangisan dan teriakan silih berganti.

“Bakar!” “Bakar!” kata-kata yang terdengar oleh saya. Teriakan penuh amarah dari

banyak orang terus mengumpat tanpa henti. “Hutang nyawa bayar nyawa!” “Aing teu tarima!

Aing teu tarima!” dan teriakan kasar lainnya yang membuat keadaan menjadi mencekam.

Satu orang merangsek mendekati Ojat dan melepaskan kepalan tangan yang penuh

dengan tenaga kebencian lalu diikuti banyak orang lainnya.

“Buaak... buuuk.. buak... buuuk...”

“Arggg ... buuk bak buaaak.”

Satu petugas polisi menarik saya keluar dari kerumunan, di situ saya mendengar Ojat

teriak-teriak meminta tolong. Suara cempreng melengking Ojat yang biasanya membuat

orang-orang sekitar mundur jaga jarak sekitar 1 meter dari dia karena bisa bikin kuping terasa

diiris sekarang nampak tidak terpengaruh dan terus menyerang Ojat. Melihat keadaan jadi

semakin ricuh para polisi merapat membuat barikade dan mencoba melerainya. Saya lihat

Ojat ditarik oleh 4 petugas polisi untuk dilindungi dari amuk masa.

“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu tertib! tahan emosi.” Terisk salah satu petugas polisi. Petugas

polisi lainya langsung bergegas memasang garis polisi.

Dengan beberapa pendekatan Petugas polisi mulai bisa mengatasi masa yang tadi ricuh

sehingga keadaan berangsur kondusif. Pak Eman datang ke kerumunan dan berbicara

menggunakan pengeras suara bahwa adegan reka ulang pembunuhan ini dilakukan oleh

pemeran pengganti... yaitu oleh saya dan Ojat.

“Teu kunanaon?” tanya saya, mendatangi Ojat yang terlihat syok.


Kericuhan tadi membuat Ojat menerima beberapa pukulan dikepala, cakaran di pipi dan

menyebabkan bajunya sedikit robek.

“Lihat yaa ini bukan pelakunya, mereka pemeran pengganti.” Seru Pak Eman menunjuk

kita dengan santai berbicara ke kerumunan masa.

Ciri-ciri tersangka: Ciri-ciri Ojat:

- pria berkulit gelap - pria berkulit sawo busuk

- rambut pendek ikal - rambut lurus pendek

- bentuk muka bulat - bentuk muka kotak

- postur badan kurus tinggi 178 cm - postur badan kurus pendek 146 cm

- ada bekas tatto di lengan kiri - ada bekas bisul di lengan kanan

- kucel - kucel

“Lihat beda orang kan! Kehed!” teriak Ojat sangat marah.

Siapa yang enggak marah kalau dipukulin gitu mah... tapi masih untung Ojat baik-baik

aja enggak sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Ternyata bukan cuma cinta yang bisa

membutakan mata, amarah berlebihan juga bisa membuat indra penglihatan kita menjadi

tidak berfungsi dengan baik. Ojat dan tersangka sebenarnya jelas memiliki ciri-ciri yang

berbeda, tapi mungkin karena sama-sama terlihat kucel jadi susah membedakannya.

Ah yang pasti mah ternyata saya bisa lebih beruntung kalau di dekat Ojat, dia jadi

semacam jimat anti sial buat saya... Coba kalau tadi enggak sama Ojat, pasti saya yang

disuruh memakai kalung bertuliskan "tersangka" dan diamuk masa.

Gak terbayang gimana sakitnya di pukul sama orang sebanyak itu. Untung ada Ojat...

Korban dan tersangka pergi ke lapangan untuk memakan rujak yang dibuatnya. sesaat

setelah memakan rujak tersangka merasa ada yang kurang yaitu lupa membawa kerupuk lalu

tersangka pun pergi ke warung terdekat untuk membeli kerupuk dan kembali menemui

korban di lapangan. Sesampainya di sana tersangka marah mendapati rujaknya telah


dihabiskan oleh korban. Pada titik inilah petaka itu datang... tersangka merasa kesal karena

kerupuk yang dibelinya untuk dinikmati bareng rujak kini sia-sia, Tidak bisa menerima

tersangka dan korban terlibat cekcok adu mulut, kemudian tersangka memutuskan beranjak

pergi namun ketika di perjalanan tersangka menemukan sebongkah batu. Dengan amarah

yang memuncak tersangka kembali ke tempat korban. Tanpa berpikir panjang tersangka

langsung memukul kepala korban dengan batu tersebut hingga akhirnya korban meregang

nyawa.

Begitu kira-kira narasi reka ulang kejadian perkara kalau udah masuk ke media cetak

atau TV tapi kejadian aslinya mah gak gitu. Ojat yang kepalanya benjol dan cenat-cenut

melakukan adegan dengan sedikit tangisan sendu dan seluruh tubuh yang bergetar kesakitan.

“Hayang balik heuheee..” Rengek Ojat kesakitan.

“Kalau balik sekarang gak bakal dapet duit... tahan Jat."

“Tahan Tahan! Sakit nih.” Teriak Ojat.

“Akting-akting! Tahunya disuruh meragain pembunuh.” Gerutu Ojat.

Setelah membujuk Ojat akhirnya kita lanjut memperagakan kejadian pembunuhan tersebut.

Kurang lebih ada 13 adegan, setiap adegan yang dilakukan Ojat dengan meringis kesakitan dan saya

yang ketawa-ketawa melihat penderitaannya.

Saya dan Ojat duduk di lapangan. Adegan memakan rujak dibuat senyata mungkin agar

kronologis kejadian sesuai dengan fakta yang terjadi.

“Heuu ... heuuu”

“Sakit gak?” bisik saya pada Ojat.

“Ladaaa!” Ojat jawab sambil mengunyah rujak.

“Stop!” Teriak Pak Eman.

“Ekspresinya mana!?” lanjut Pak Eman layaknya sutradara film.


Reka ulang dilanjutkan dengan Ojat pergi ke warung untuk membeli kerupuk lalu balik

lagi ke tempat kejadian perkara.

“Kerupuk nih.” Sahut Ojat. Jalannya lambat banget, tubuhnya gemetaran sangat

ringkih.

“Rujaknya abis.” Timpal saya.

“Aeee kamu dihabisin!” bentak Ojat.

“Stop!” Pak Eman teriak. Saya dan Ojat saling menatap dan bingung karena gak tahu

apa yang salah.

“Itu kerupuk apa?”

“Ya kerupuk Pak... kerupuk biasa.” Jawab Ojat.

“Salah... gimana ini yang benar dong.” Pak Eman menunjuk salah satu anak buahnya.

“Ganti ganti ganti!” Perintah Pak Eman. berbicara melalui pengeras suaranya “Cepat ganti

sama kerupuk black yang warna putih.” Lanjut dia.

Ojat kembali mengulang adegan membeli kerupuk. Dia berjalan lagi dengan susah

payah menahan rasa sakit. Tubuhnya masih gemetar kayak orang indonesia yang pertama kali

merasakan suhu minus 17 derajat di Norwegia. Melihat itu saya sebagai teman yang baik

terus mentertawakannya. kemudian adegan yang menimbulkan konflik dan nyawa melayang

kita lakukan.

“Kenapa dihabisin.” Bentak Ojat.

“Iyaa kan Enak.” jawab saya.

“Belegug!” teriak Ojat marah.

"Masa harus dimuntahin lagi." Ujar saya dengan muka tanpa dosa.

"Podolkeun weh!" Teriak Ojat. kemuadian pergi dengan muka merah membara. Tidak

seperti sedang akting Ojat mengambil sebongkah batu dengan penuh amarah dan niat jahat.
“Ojat celaka... Jat jangan main-main.” Ujar saya melihat Ojat bersiap untuk menimpuk

kepala saya dengan sungguh-sungguh. Dia terlihat sangat ingin menghantamkan batu itu ke

kepala saya.

“Bae Aing kesel ka maneh! Biar benjol-benjol juga.” Jawab Ojat sambil memainkan

batu yang ada di tangannya. Dengan senyum jahatnya lantas dia berkata “Rasakeun...”

“Stop!” teriak Pak Eman melihat jam di tanganya. “Udah selesai waktu habis.” Lanjut

Pak Eman

“Eeeh Pak atuh Pak, ini belum dipergain.” Ujar Ojat menunjukkan batu di tangannya.

“Udah cukup.” Jawab Pak Eman tegas.

“Yaah gak sesuai fakta kejadian atuh Pak.” Ojat semakin kesal. “Sekali lagi atuh Pak.”

Lanjut Ojat merengek.

“Iya selesai Pak! udah beberes aja, udah sore” Saya memotong Ojat bicara lalu segera

berdiri dan tertawa karena niat jahat Ojat yang mau menimpuk saya tidak terlaksana.

Semua petugas langsung membereskan alat peraga dan alat bukti setelah menerima

instruksi dari Pak Eman. Kemudian kita semua kembali ke kantor.

Malam harinya saya kembali nongkrong di warung kopi, sebelumnya mampir dulu ke

apotek untuk membeli obat dan plester untuk Ojat. Di warung kopi ada Sidik lagi ketawa

sangat kencang sementara Ojat lagi jongkok menahan nyeri.

“Nih...” seru saya melemparkan obatnya pada Ojat.

“Nah gitu atuh perhatian lihat teman sakit teh.” Kata Ojat matanya berbinar terharu,

dengan rambut yang acak-acakan bekas luka dan bau keringat karena belum mandi.

“Eeeh siapa yang ngasih, ganti uang buat beli obatnya.” Jawab saya.

“Wkwkwk Tega.” Timpal Sidik.

“Goblok teh warga enggak bisa ngebedain gitu!” Gerutu Ojat. “Main nonjok aja.”

Lanjut dia sambil mengusap-usap pipinya yang bengkak.


“Muka ente memang muka kriminal sih.” Ledek Sidik.

“Makannya mandi yang rajin Jat!” Timpal saya.

“Lihat urang menderita teh, masih aja diledek heuu!” Rengek Ojat.

Ada yang potong rambut. Ada yang mandi pakai 7 sumber mata air. Ada juga yang

keramas di air terjun tengah hutan malam hari. Banyak juga yang melarung seluruh barang-

barangnya ke laut untuk membuang sial. Tapi saya cukup punya teman seperti Ojat untuk

membuang kesialan saya musna.

Gak usah jauh-jauh, gak usah cape-cape... makasih Ojat kesialan gak menimpa saya

kalau lagi dekat sama kamu...


Aku Sayang Kamu

Setelah sekian lama waktu pacaran saya dan Ika hanya dihabiskan di kursi teras

rumahnya Ika. Akhirnya malam ini kita bisa pacaran di kafe. di tempat yang lebih nyaman,

ada banyak pohon-pohon dengan lampu-lampu kecil berkerlap kerlip melingkar di dahannya,

suara percik air dari 2 kolam yang mengapit area duduk berpadu dengan alunan musik yang

keluar dari pengeras suara dan yang paling penting kursinya empuk gak seperti kursi kayu

sialan di teras rumah Ika yang bikin saya seperti korban sodomi setiap kali duduk di sana.

Saya memilih tempat duduk di pojok dekat kolam tepat di samping pohon, perpaduan titik-

titik air yang berhamburan dari pancuran di kolam dan kerlip lampu yang melilit di dahan

pohon membuat tempat ini sempurna sekali untuk berkasih ditambah rangkain bintang-

bintang mencuat dengan berani membuat langit malam bandung lebih berseri bikin suasana

kafe jadi sangat romantis. malam ini pasti jadi malam yang indah dan tak terlupakan

Sempat beberapa kali Ika mengajak saya untuk pergi pacaran di ditempat seperti ini tapi

selalu saya tolak dengan alasan secara tiba-tiba genetika dompet kulit saya yang enggak ada

isinya berubah bentuk menjadi peci. Tapi akhirnya sekarang saya punya uang dan bisa

gantian mengajak Ika pacaran di kafe. Lumayan lah upah jadi pemeran pengganti

pembunuhan kemarin cukup buat beli minum dan makan di kafe ini mah. Ditambah 3 hari

lalu adalah tanggal jadian kita jadi hitung-hitung sekalian merayakan Anniversary kita. Gak

kerasa udah 6 tahun aja saya sama Ika pacaran... waktu 6 tahun kalau dipakai untuk nyicil

mobil tuh udah lunas.

“Susah gak cari tempatnya?” tanya saya ketika melihat Ika yang baru tiba. wajah saya

hampir habis dipenuhi senyum ketika melihatnya.

“Enggak...” jawab Ika lalu duduk sambil merunduk merapikan rambutnya. Seperti biasa

dia selipkan satu sisi helai rambutnya ke daun telinga, membuat saya teringat kembali

perjumpaan pertama kita yang langsung membuat saya jatuh ke hatinya.


“Kamu cantik banget hari ini.” Puji saya.

Ika tampil dengan riasan yang lebih dari biasanya, dipadukan dengan dress tanpa

lengan berwarna merah bata panjang se-lutut. Dengan udara Bandung malam ini yang cukup

dingin saya langsung memikirkan satu adegan romantis di mana sang pria memberikan

jaketnya kepada sang wanita saat melihat pujaan hatinya kedinginan.

“Kamu kedinginan ya? Ini pakai jaket saya.”

“Ah kamu baik sekali, muaach.” Ika mendaratkan bibirnya di pipi saya.

Tapi itu buyar seketika ketika saya ingat bahwa saya juga enggak bawa jaket. Ya

sudahlah...

“Gimana kerjaan kemarin?” tanya Ika.

“Oooh lancar-lancar.”

“Emang bantuin polisi gimana sih? kok keren banget bisa membantu polisi." Ungkap

Ika.

“yaaa gitu..” gelagapan saya menjawab pertanyaan Ika karena jadi pemeran pengganti

adegan reka ulang kejadian pembunuhan itu sama sekali bukan hal yang bisa dibanggakan

apalagi untuk di ceritakan kepada kekasih.

Untung aja Pelayan datang menanyakan mau memesan apa, jadi saya gak usah

menjelaskan lebih panjang lagi soal kerjaan sama Polisi.

Saya memandang Ika dan bertanya "Mau pesan apa?" kemudian dia jawab “Terserah.”

“Mau makan?” tanya saya pada Ika sambil melihat daftar menu.

“Gak usah...” jawab Ika. “Samain aja sama kamu” lanjut dia bicara..

“Ya udah, latte 2.” Kata saya kepada Pelayan yang berdiri menunggu dengan kertas

pesanannya.

"Ada lagi?" tanya Pelayan.

"Itu dulu..." Ujar saya setelah melihat Ika yang mengangguk.


“Baik ditunggu ya...” kata Pelayan lalu pergi meninggalkan saya dan Ika.

“Aku mau ngomong...” Ungkap Ika. wajahnya tampak gusar.

Melihat gelagat Ika, saya langsung membenarkan posisi duduk yang tadinya bersandar

pada kursi jadi sedikit lebih tegak. “Ada apa?” tanya saya.

Ika memandang hampa ke arah samping. Tangannya sesekali memegang bibir seperti

gelisah kemudian berkata “Kayaknya kita harus udahan.”

“bisa diulang lagi perkataannya? Saya... saya...”

“Aku minta Putus.” Potong Ika.

Separuh otak saya tidak mencerna dengan baik momen ini. Terlalu bertolak belakang

saat pengeras suara di kafe sedang memutar bait-bait dari lagu romantis sedangkan di

hadapan saya sekarang ada wanita yang sangat saya cintai meminta mengakhiri hubungan

yang sudah kita jalani bertahun-tahun.

“Ah ini mah kamu mau ngerjain saya kan?” Tanya saya meyakinkan walaupun dari

yang saya lihat tidak ada satu pun indikasi kalau dia lagi bercanda saat ini.

“Maafin aku...” jawab Ika perkataannya bercampur isak tangis.

“Kamu gak serius kan?” saya genggam tangan Ika dan

mencoba untuk setenang mungkin dengan harapan mungkin Ika hanya sedang cape dan

stress dengan kerjaannya. Atau bisa jadi waktu di rumah sakit dia gak sengaja menghirup

bau dari cairan infus teralu lama sehingga sekarang jadi ngelantur.

“Serius... Keputusan ini udah aku pikir ratusan kali." Jawab Ika.

“Enggak bisa coba pikirin lagi ribuan atau jutaan kali gitu...”

“Maaf Kus..." Ika menghela napas. di pipinya bergilap air mata.

“Silakan.” Pelayan datang membawa 2 gelas latte yang di dalamnya terlukis bentuk

love lalu menaruhnya di atas meja, tapi karena hati saya sedang porak poranda bentuknya

lebih seperti gambar pantat. Kemudian bertanya “Ada pesanan lain?”


saya diam dengan ekspresi yang suram dan rambut acak-acakan. Ika juga hanya terus

mencoba mengendalikan tangisnya tanpa bersuara, sementara Pelayan masih menanti kita

berdua menjawab.

“Maaf?” Tanya Pelayan sekali lagi. kita berdua masih tak bergeming. " Kalau butuh..."

"Itu aja mas." Potong saya dengan tatapan murka kayak buta yang bersiap makan

kepala orang. Ika hanya memalingkan muka, seraya Pelayan segera pergi.

Setelah diam cukup lama Ika pun berkata “Aku sayang kamu Kus.”

“Kalau masih sayang? Kenapa minta putus. Saya gak ngerti.. kenapa? kenapa?” tampik

saya.

Bercampur tangis yang membuat perkataannya sedikit tidak jelas terdengar Ika berkata

“Aku gak bisa terus begini, Aku gak bisa nunggu.”

Sebagian besar lelaki pada saat momen diputuskan oleh kekasihnya akan berlagak sok

keren. Menerima dengan mudah ajakan putus dari pasangannya tanpa beban. Tapi itu bukan

saya, enggak akan semudah itu saya rela melepaskan Ika. Perempuan yang selalu menemani

saya selama ini.

“Kalau ini karena status saya, saya ngerti... Tapi selama ini juga saya terus usaha terus

berjuang buat ngasih bukti ke kamu, ke mamah ke semua orang. saya tuh layak jadi

pendamping kamu.” Ucap saya. Berusaha agar Ika menarik perkataanya kembali.

“Saya bisa buat kamu bahagia selamanya sampai kita nikah sampai kita mati, Saya

cuma butuh waktu....” Lanjut saya sambil menggenggam lebih erat tangan Ika dan membuat

tangis yang susah payah fia seka kembali deras turun dari matanya.

“Aku gak bisa nunggu lagi. Aku gak yakin kita punya masa depan.“ Jawab Ika.

Suaranya tersesak berat.


Kepala saya terasa berat perlu tumpuan dari tangan untuk tetap berada dalam

kesadaran. Semua gerak motorik tubuh saya terasa salah apapun yang dilakukan. Kursi

empuk di kafe ini sekarang terasa lebih sakit dari kursi kayu sialan itu.

“Saya gak yakin kok kamu mendadak gini minta putus.” Tangan saya mengepal

sesekali mengetuk meja. perasaan sedih berubah jadi kesal lalu menjelma jadi marah. Marah

pada keadaan yang sama sekali tidak saya mengerti... kenapa ini bisa terjadi.

“Salah saya apa! Apa ada cowok lain? Atau ini karena mamah?”

“Udah...” jawab Ika. kemudian menarik napasnya dalam-dalam.

“Sebelum kita jadi saling nyakitin... Aku rasa ini yang terbaik” bulir-bulir air kembali

menetes menyusuri pipinya.

Saya diam gak tahu harus gimana lagi mendengar perkataan Ika, pipi saya seperti

ditampar tapi yang sakit di dada, kepala bagian kiri, dan tenggorokan. pokoknya semua terasa

gak enak. Otak dan muka sama-sama kusut kayak pita kaset yang udah diputar ribuan kali.

Kerlap-kerlip lampu kafe mendadak memudar, suara–suara menjadi sunyi gak terdengar.

cuma sandaran kursi yang masih menopang saya dari kehancuran. Ika sesekali coba menahan

tangis dan mengatur napasnya yang terdengar berat dia memandang hampa entah ke mana

lalu berdiri mencium pipi saya dan pergi sambil berkata “makasih buat semuanya.”

Terkadang kecupan selalu pertanda dalam mengawali sesuatu hubungan yang lebih

serius, tetapi kali ini kecupan menjadi pertanda untuk mengakhiri kisah yang saya dan dia

bangun. Akhir dari segala keindahan dunia yang kita ciptakan bersama, akhir perjuangan dari

segala rintangan yang kini seakan tidak berarti, sepertinya enggak ada yang lebih sakit selain

perpisahan yang penuh dengan tanya.

Setelah lama terduduk tanpa bergerak sedikit pun saya pulang dengan kehampaan

bahkan kedipan mata saya pun seakan tidak punya gairah untuk melakukan tugasnya.
Mungkin orang-orang juga mengira saya mati terpagut di sana, gelas minuman yang dipesan

masih penuh enggak ada yang diminum, disentuh pun enggak.

Kini setiap langkah yang saya lakukan dituntun kekecewaan kenapa dunia harus punya

bagian realita yang pahit padahal saya punya rencana yang baik.

Bandung tidak pernah sesepi ini rasanya. Bahkan bagi orang-orang yang murung kota

ini selalu punya bagian yang hangat...

Saya berjalan di tepian trotoar jalan yang tak terawat, genangan air yang tak meresap

dan lampu jalan yang remang untuk semakin meresapi patah hati ini, membuat setiap

kepingan mimpi-mimpi indah yang kita janjikan luntur tak berarti. Berjalan dan terus

berjalan... Tergerak kaki ini oleh kekosongan menuntun pulang dengan pikiran yang entah

melayang kemana membuat semua pandangan jadi gelap dan sampai lah saya di hadapan

sebuah pintu rumah.

“Teh.. Teh Santi! Kenapa dikunci?” Seru saya sembari mencoba membuka gagang

pintu dan mengetuknya beberapa kali.

“eeiih!?” Lanjut saya heran kenapa yang keluar dari pintu sosok yang tidak begitu asing

tapi bukan Teh Santi.

“Kuswara?!” jawab Ceu Salma Terheran.

“Ceu Salma?” ngapain di rumah saya?”

“Rumah kamu mah yang sebelah!” Bentak Ceu Salma. Ini berbahaya wajahnya

mengintimidasi layaknya singa yang kekurangan jatah makan siang lalu tiba-tiba melihat

seekor kancil kurus di hadapannya yang siap diterkam.

Saya melihat sekeliling. Atapnya, warna temboknya, sudut-sudut lantainya baru

menyadari dan mendapati bahwa saya salah rumah... dengan penuh malu saya segera pergi

dari hadapan Ceu Salma yang tidurnya terganggu oleh bujangan lapuk yang baru patah hati

ini. “Punten Ceu...”


Anjir.

Salah imah!

Teori Ojat

Sehari penuh saya hanya tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Ya walaupun

sebenarnya mah emang kayak gini. kebanyakan waktu saya dilalui tanpa melakukan apapun

di kamar sumpek ini, tapi kali ini mah terasa beda. Terasa lebih sendu dan gelap.

Ternyata begini rasanya patah hati teh kayak tersengat listrik tegangan tinggi. lemas

banget...

“Kus.” Panggil Teh Santi sambil mengetuk pintu kamar saya.

“Hmm.” Jawab saya.

“Seharian belum makan. Ayo makan dulu.”


“Hmm.” Jawab saya kembali.

“Hmm... Hmm terus kayak Pak Aji aja... Bangun cepat.” Lanjut Teh Santi.

“Hmm.” Jawab saya lagi.

Bangun tidur, mandi atau mau makan pun sekarang jadi gak selera rasanya semua

hambar tanpa gairah kayak Zombie tapi Zombie yang masih SMA, yang tersesat kehilangan

arah dan tujuan mencari jati diri...

Sidik dan Ojat jadi sering datang ke rumah mengajak saya keluar, tapi sesungguhnya

mah niat mereka datang tuh bukan buat menemani saya yang lagi patah hati, melainkan buat

numpang makan di rumah. Kaum oportunis kayak mereka mah enggak ada rasa empati-

empatinya lihat teman lagi sedih teh, yang ada malah ngetawain saya.

karena bosan mereka terus-terusan datang ke rumah membuat Teh Santi harus masak

nasi dan lauk lebih banyak dari porsi biasanya yang bikin pengeluaran uang makan bulanan

keluarga saya jadi membengkak.

Mau enggak mau saya iya kan ajakan Sidik dan Ojat untuk keluar rumah dan tentunya

udah gampang ditebak kita nogkrong di warung kopi “sabar menanti” lagi.

“Udah lah jangan dipikirin cewek mah pilsapat Kus.” Kata Ojat dengan logat sundanya

yang gak bisa melafalkan mana huruf “F” dan huruf “P”.

“Filsafat?” tanya saya kebingungan.

“Yeuh cewek mah kadang manis banget tapi hitungan detik bisa berubah jadi

menyeramkan.”

Meski sudah pesimistis dengan kapasitas otak Ojat untuk bisa mencerna serapan suatu

istilah tapi tetap saya dengarkan dia bicara.

“Maksud Ente apa Jat?” tanya Sidik juga bingung. Enggak ada hubungannya soal mood

cewek yang sering berubah dengan salah satu bidang studi tentang kehidupan dan pemikiran

manusia yang disebut filsafat.


“Mereka tuh ramah, keibuan, pengertian tapi juga dalam sekejap penuh drama, sering

ngatur... ngelarang itu, ngelarang ini dan marah-marah enggak jelas.“ Tutur Ojay. Setiap dia

bicara tangannya ikut gerak kayak orang genius kalau lagi memaparkan sebuah teori, tapi

kalau Ojat mah jatuhnya sih kayak Pak Ogah di film Si Unyil, lalu dengan penuh keyakinan

dia lanjut bicara “Nih yaa cewek teh serem deh kayak di pilem.” Sidik sesekali coba motong

Ojat bicara tapi Ojat terus ngomong dan nyuruh kita untuk dengar dulu sampai dia selesai.

“Kita tuh kayak dipaksa mati perlahan, sadis kayak penjahat pilsapat.”

“Penjahat filsafat?” tanya saya dan sidik. saling melirik kebingungan.

“Iya... Pilsapat.” Jawab Ojat.

“Psikopat Ojaaat! Timpal Sidik sembari mengelus muka Ojat, tangannya yang

berlumur minyak bekas makan gorengan bikin wajah Ojat jadi mengkilap kucel metalik.

“Ente ngomong panjang lebar malah bikin pusing." Gerutu Sidik. Saya hanya menggeleng-

gelengkan kepala dan berharap waktu saya yang terhabiskan sia-sia karena mendengarkan

khotbah Ojat bisa kembali.

“Pokoknya mah gitu weh mau pilsapat mau pilkupat.”

“Psikopat!” teriak Sidik.

“ Iyaa itu lah maksudnya mah jangan percaya sama cewek.”

“Aaah jangan dengerin Kus.” Timpal Sidik.

“Nih buktinya urang mah kan gak pernah ditinggalin. pantang urang mah sedih

karena .cewek.” Sanggah Ojat sambil makan gorengan.

“Pacaran aja belum pernah Jat. Gimana mau ditinggal cewek.” Ujar saya sambil

tertawa.

Kalau bukan karena rasa malu pada diri mereka yang udah sirna gak mungkin mereka

bisa ngomong ngawur gak karuan kayak ahli percintaan. yaa walaupun kadang ada poin
benarnya dari omongan mereka tapi itu cuma kebetulan aja rasanya gak mungkin gen

manusia gagal kayak mereka bisa punya wawasan yang baik.

Menghabiskan waktu sama teman gini memang selalu menyenangkan dan bisa

membuat saya lupa akan apa yang sebenarnya saya alamin untuk sementara, yaaa sementara

karena terkadang pikiran saya masih tertuju memikirkan Ika. Ninggalin perbincangan dua

pemuda masa depan suram yang bicara melebihi kapasitasnya.

Memori otak saya melompat menembus ruang warung kopi. Memutar kembali waktu

indah yang saya dan Ika lalui. Menelusuri kenangan saat kita habiskan waktu naik Bus Damri

dari Terminal Cicaheum sampai Terminal Leuwi Panjang hanya untuk duduk berdua di kursi

paling belakang menikmati pemandangan kota dari jendela sambil mendengarkan lagu dari

Pengamen yang nyanyi sepanjang jalan. Walau jarang saya kasih uang tapi mereka bernyanyi

merdu sekali. Terus tiba-tiba ada orang yang menaruh permen jahe ke setiap penumpang di

Bus, saya kira ini bagian servis dari Damri mirip-mirip kalau naik pesawat kelas bisnis diberi

kue dan minuman gratis. Eh enggak tahunya saya harus bayar kalau makan permen itu.

Setelah makin sering naik Bus Damri rupanya itu adalah strategi pemasaran yang dilakukan

pedagang di Bus Damri, ada yang menaruh pulpen, mesin jahit portable, buku lirik dan kunci

gitar top 20 indonesia dll. Semuanya saya cuekin aja karena nanti harus bayar lagi.

Malam harinya saya coba menemui Ika lagi, pergi ke rumah sakit tempat Ika kerja. Jam

8 malam saya datang tepat dengan jam pulang kerja Ika biasanya. Di bangku taman rumah

sakit saya menunggunya tempat biasa saya menunggu kalau menjemput dia, tatapan saya

fokus enggak berpaling dari pintu keluar Rumah Sakit.

Ada rombongan orang keluar dari pintu rumah sakit, tapi saya yakin ini bukan Ika dan

teman kerjanya karena mereka memakai pakaian bebas dan terlihat menangis. Mungkin

orang yang mereka sayangi mengidap sakit parah atau lebih buruk mungkin udah meninggal.

Rasa-rasanya saya ingin ke sana dan menyampaikan rasa duka cita, berkata pada mereka
untuk tetap tabah karena semua ini memang sudah takdirnya enggak bisa di tunda-tunda atau

dibatalkan. Kita sebagai orang-orang yang ditinggalkan cukup mendoakan supaya Almahrum

tenang di sana dan terus melanjutkan hidup sebaik-baiknya. Tapi batal saya lakukan takut

rombongan orang-orang itu enggak merasa kebingungan karena ada orang asing tiba-tiba

mendatangi mereka ngomong enggak jelas. Itu hanya akan membuat mereka lebih menderita,

harus berduka dalam kebingungan menebak-nebak siapa kah saya. Orang yang gak tahu malu

bertingkah kayak motivator kehidupan yang bicara tentang persoalan hidup yang seakan

gampang untuk dilalui oleh rangkaian kata-kata hebatnya.

Selang setengah jam ada lagi rombongan yang keluar. Mereka tampak saling

mengobrol santai dan berpamitan persis kayak orang yang baru pulang kerja. Pakaian nya

juga sama, menggunakan seragam. 100 persen saya pastikan mereka pegawai rumah sakit

yang baru selesai kerja, tapi saya yakin enggak ada Ika juga di sana karena rombongan itu

laki-laki semua.

Heu... setengah putus asa menunggu Ika yang tak kunjung terlihat, cukup untuk

menghadirkan 12 betol hadir di tangan, leher dan jidat saya karena gigitan nyamuk. Enggak

ketemu Ika malah bisa-bisa demam berdarah yang saya dapat kalau begini. Sampai akhirnya

saya pasrah dan pulang...

Selanjutnya hari-hari saya terlewati dengan biasa. melamar kerja, Ikut test di beberapa

tempat dan mengikuti beberapa pelatihan. Banyak kegagalan yang masih saya terima tapi

sekarang dampaknya tidak terlalu membuat saya kecewa. Mungkin karena udah terlalu sering

gagal jadi hati saya kebal.

Sebisa mungkin saya membuat diri saya sibuk supaya gak mikirin Ika lagi. Untuk

mencari suasana baru saya juga pergi mengunjungi Penangkaran Buaya milik Uwa yang

berada di Subang.
Disana saya kebanyakan hanya duduk melamun, ngopi di saung yang agak jauh dari

kolam Buaya. Selain itu terkadang saya berbincang dengan pegawai-pegawai Uwa yang saya

jumpai. Salah satunya Kang Dobleh pegawai Uwa yang paling banyak mengobrol dengan

saya selama berada di sana. Kata dia matanya buaya itu menipu, kayak yang mau nangis,

pengen dielus, tapi kalau kita lengah langsung menerkam.

"Nih Kus bekas digigit buaya." Ungkap Kang Dobleh sambil menunjukkan lengan

kirinya ketika saya sedang ngopi di pagi hari.

"Kok enggak ada Bekasnya Kang?"

"Iyaaa atuh." Kang Dobleh mengusap-usap tangannya penuh bangga.

"Waah Punya ilmu kebal yaa?" Tanya saya. Kang Dobleh masih mengusap-usap

tangannya.

"Udah pasti ini mah Kang Dobleh punya ilmu kebal kan." Ujar saya.

"Ini?" Tanya Kang Dobleh menunjuk tangan yang bekas digigit. "Bukan Kus... Kang

Dobleh mah gak punya ilmu kebal." Lanjut dia.

"terus kenapa?" tanya saya.

"Buayanya ompong." Jawab Kang Dobleh.

Walaupun enggak banyak hal yang bisa saya lakukan di sini, tapi seenggaknya rasa

patah hati saya bisa sedikit tergantikan oleh rasa takut mati melihat puluhan buaya di kolam

penangkaran.

Sebenarnya perjalanan ke Subang itu sering kali saya hindari. Di hati saya yang

terdalam tersimpan sebuah ketakutan setiap kali mendengar Subang. Tempat ini

mengingatkan saya tentang kedua orang tua saya.

Ketika malam dan tempat ini ditinggalkan oleh pegawai-pegawai Uwa, kesepian

menghampiri saya kemudian memaksa pikiran saya untuk berandai-andai. Seandainya aja

Orang tua saya masih ada pasti hidup gak akan sebeeat ini deh....
"Mikirin apa Kuswara? Tanya Uwa. "Peuting masih diluar mau diculik kalong wewe."

sambungnya, melihat saya duduk sendirian di teras rumah.

"Ehhh... hareudang Wa." Jawab saya.

"Mikirin Pacarnya?" Tanya Uwa lagi, setelah duduk disamping saya memegang gelas

teh.

"Enggak..." Jawab saya sedikit canggung.

"Mikirin Kerjaan? udah weh kamu kerja disini mandiin Buaya." Timpal Uwa.

"Enggak... Enggak ah."

"Nanti Uwa kasih alamat kantor Pak Peter Bleder. Kamu kirim kesana kalau gak mau

mandiin Buaya mah." Ujar Uwa.

"Makasih Wa..." Ujar saya.

"Mikirin Bapak sama Ibu, Wa..." Celetuk saya setelah diam beberapa saat.

Muka Uwa sedikit panik kemudian clingak-clinguk dan berbisik "Bapak sama Ibu idup

lagi?*

"Atuuuh Wa serius...." Timpal saya.

"Ya terus kenapa di pikirin?" Tanya Uwa.

"Ada temen yang susah dapat kerja dibantuin sama bapaknya, Tapi ada juga temen

yang justru dimarahi, dibanding-banding sama anak tetangga yang udah jadi PNS. kira-kira

kalau Bapak-Ibu gimana yaaa."

"Lihat kamu yang idupnya gak beres mah udah pasti bakal disiksa ku si Bapak jeng si

Ibu. kamu tiap pagi pasti di suruh nyikat gigi si Joni tuh.. Buaya kesayangan si Bapak."

Kelakar Uwa.

"Ah curhat ka Uwa mah gak ada serius-seriusnya pisan." Keluh saya.
"Yeuh Kuswara gak usah dipikirin Bapak-Ibu mah cukup weh didoain aja. Semua juga

udah ada jalannya, udah ada yang ngatur. Kita mah yang masih Idup terus aja Ikhtiar." Tutur

Uwa.

"Wa...?" tanya saya.

"Hmm." Jawab Uwa. Kemudian saya sentuh kening uwa. seraya berkata "Wah ini mah

kerasukan kalong wewe."

"Ontohod dasar! hayang dikutuk jadi kenteng siah..." Gerutu Uwa.

Mencari Kursi Kosong

Jam 11 malam saya sudah berada di Stasiun Kiara condong, stasiun kereta terbesar

kedua di Bandung ini kebanyakan melayani Kereta Api kelas ekonomi. Rencananya saya
akan ke Jakarta menaiki Kereta Serayu malam. Kereta Ekonomi jurusan Puwekerto-Jakarta

yang singgah dulu di Bandung dan beberapa kota lainnya untuk mengangkut dan menurunkan

penumpang.

Walaupun jadwal keberangkatan saya nanti pas tengah malam. Tepatnya sih jam 00.23

yang tertera ditiket, tapi saya memilih datang lebih awal karena biasanya jam 11 ke atas

angkutan umum di Bandung jarang ada yang beroperasi, kalau pun ada yang ngalong sebutan

buat Angkot yang narik larut malam tapi itu kebanyakan beroprasinya selepas jam 1 dini hari

untuk mengantar orang yang mau ke pasar.

Saya pergi ke Jakarta untuk memenuhi undangan wawancara kerja setelah mendapat

kabar bahwa lamaran kerja yang saya kirim atas rekomendasi Pak Peter Bleder mendapat

respon yang baik. walaupun pekerjaan ini penempatannya di Bandung tetapi untuk

wawancara kerjanya, saya harus ke kantor pusatn yang berada di Jakarta.

Suasana malam hari di stasiun lumayan rame, ada orang-orang yang menunggu kereta

buat berangkat ke tujuannya masing-masing, ada juga orang-orang yang menunggu

kedatangan kereta untuk menjemput keluarga atau saudaranya yang datang ke Bandung.

Selain itu banyak juga supir taksi baik taksi resmi atau pun taksi gelap yang mencari

penumpang di sini. Kebanyakan sopir ini sudah tua dengan katup mata yang besar

diwajahnya. Mungkin karena masih harus kerja semalam ini jadi kurang tidur.

Untuk penumpang yang nunggu keberangkatan Keretanya, mereka kebanyakan hanya

duduk diam mengunggu, beberapa ada yang tidur, sebenarnya sih saya juga ingin tidur-

tiduran tapi takut kebablasan dan ketinggalan kereta jadi akhirnya saya mencari orang yang

jualan kopi. Kata orang kopi itu bisa bikin kita jadi enggak ngantuk karena kadar caffeinnya

bikin mata melek terus, tapi buat saya selain itu kopi juga bisa bikin uang saya jadi berkurang

2.500 Rupiah karena harus membayar ke si Bapak yang punya warung di pojok stasiun dekat

parkiran motor.
Setelah kereta tiba di Stasiun Kiaracondong saya bergegas masuk barisan untuk ke

dalam Kereta walaupun orang yang mengantri tidak terlalu ramai tetapi barang bawaan yang

mereka bawa banyak dan besar-besar. Satu orang minimal membawa dua tas besar. Kalau

dilihat orang-orang yang bawa tas besar-besar ini kemungkinan adalah pedagang yang

membawa barang jualannya untuk dijajakan di jakarta.

Hanya saya yang membawa satu tas selempang ukuran kecil yang didalamnya hanya

ada satu buah kemeja dan beberapa berkas untuk wawancara kerja yang mungkin nanti

dibutuhkan.

Suasana di dalam gerbong Kereta sudah sesak oleh penumpang dari kota sebelumnya

ditambah penumpang yang baru naik dari Bandung dengan barang bawaannya membuat saya

sedikit kesusahan berjalan untuk mencari tempat duduk. Ekonomi ac gerbong 4 nomor 13 B

adalah tempat duduk saya yang tertera di tiket.

Mencari kursi duduk di gerbong kereta itu gampang-gampang susah karena sempitnya

jalan di antara rangkaian kursi dan banyaknya penumpang yang kurang disiplin menyimpan

barang bawaan bukan pada tempatnya. Saya seperti berjalan di antara celah tebing dan jurang

melewati rintangan yang bila saya kurang waspada nyawa saya menjadi taruhannya. Bedanya

ini bukan nyawa yang jadi taruhan, tapi amarah dari orang yang istirahatnya tergangu karena

enggak sengaja terinjak oleh saya.

“Woy. Jalan pake mata” misalkan kata seseorang yang kakinya gak sengaja saya injak.

“Maaf, maaf” lagian udah tahu sempit duduk selonjoran ke jalan.

Atau “Woy gak liat apa!” kata orang yang nggak sengaja mukanya saya injak.

“Maaf, maaf.” Lagian ada kursi kenapa tidurnya ngemper di lantai.

Sesekali badan saya harus menyamping ke kiri dan miring ke kanan atau berjalan jinjit

supaya bisa menghidari barang bawaan penumpang lain.


Untuk ukuran lebar ruang jalan di gerbong kereta saya bisa memakluminya kenapa

sesempit ini mungkin si pembuat desain kereta mengerti akan kultur masyarakat indonesia.

Bayangkan kalau ruang jalannya diperlebar bisa-bisa nanti akan ada lahan untuk parkir liar.

Ruang jalan yang sempit aja udah banyak yang dipakai menaruh barang-barang padahal kan

udah disediain tempat untuk menyimpan barang.

Nah kalau hal dari layanan kereta ekonomi ini yang saya sangat keberatan adalah

bentuk senderan kursi yang tegak kokoh kayak pohon beringin bikin kita kayak tentara yang

sedang apel siaga persiapan sebelum perang teluk dan satu hal lagi adalah jarak antar

rangkaian kursinya. Karena kereta ekonomi ini bentuk rangkaian kursinya adalah gabungan

dua kursi panjang saling berhadapan yang diisi 6 orang. Bagi orang-orang yang memiliki

ukuran badan yang cukup tinggi jarak antar kursi ini menjadi masalah yang cukup berat

karena ketika duduk lutut kita yang menekuk bisa bersentuhan dengan lutut penumpang lain

yang duduk di hadapan kita. Kesemutan, persendian kaku, aliran darah tersumbat dan

perasaan yang gak jelas dengan penumpang lain adalah efek yang bisa didapat selama duduk

di Kereta Ekonomi ini.

Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya saya menemukan tempat duduk yang

nomornya sesuai dengan tiket saya, Gerbong 4 nomor 13 B. dibangku yang saya mau tempati

ini ada seorang Ibu yang sedang menepuk-nepuk pantat anaknya yang sedang tidur dengan

lembut.

“Kursi berapa Mas?” tanya Ibu itu ketika melihat saya berdiri di sampignya sedang

mencocokan nomor yang tertera di dinding kereta dengan yang ada di tiket saya.

“13 B.” Jawab saya singkat.

“Le ada orangnya bangun Le.” Bisik Ibu pada anaknya yang menjawab dengan

rengekakan lalu melanjutkan tidurnya.


“Ngapunten Mas.” Lanjut Ibu itu bicara pada saya. Matanya memandang wajah

anaknya yang terlelap tidur di pangkuannya penuh kasih sayang. Tangannya lalu

membenarkan baju anaknya yang terbuka tertarik ke atas.

“Dengan AC sedingin ini pasti si Anak kedinginan.’ Ujar saya dalam hati.

Si Anak mungkin berumur 7 tahun tidurnya mangap tanda sangat nyenyak sedangkan

Ibunya saya rasa berumur 50 tahun lebih. Udah banyak uban di rambutnya, air mukanya

melukiskan ketulusan. Di hadapan saya tergambar dengan nyata bagaimana wujud kasih

sayang yang tak terbatas seorang Ibu kepada anaknya. Sesaat hening membawa saya pada

kenyataan betapa saya merindukan itu. Rindu elusan lembut seorang Ibu kepada anaknya

yang seolah berkata “Dunia boleh mencampakan mu, tapi tenang Ibu tetap ada untuk mu.”

Saya hanya melempar senyum dan memutuskan pergi mencari tempat duduk lain yang

masih kosong tanpa bertanya lebih lanjut atau merasa keberatan karena kursinya ditempati.

Berjalan menyusuri gerbong ke gerbong menjauh meninggalkan Ibu dan anaknya yang

tidur dalam ketenangan dari gangguan seorang pemuda kusut yang mungkin merasa

pantatnya lebih berhak untuk menempati tempat duduk dengan senderan tegak itu. Kursi

yang jauh dari azas-azas keprimanusiaan.

Setelah melewati 2 gerbong saya melihat ada seorang bapak sedang duduk sendirian.

saya sedikit tidak yakin mendekatinya karena penampilannya sungguh berbeda dari

penumpang kebanyakan. Rambutnya gondrong acak-acakan dihiasi kain ikat berwarna hitam

membelit kening, matanya bercelah hitam dan ada tahi lalat di pipi kirinya dengan garis

wajah tegas terlihat. Kumis dan jenggot menguntai panjang. cukup bagi kutu-kutu

bergelantungan di ujungnya. mamakai pangsi hitam dengan bawahannya mengunakan sarung

motif bali. Jari-jarinya tertambat cincin batu akik lonjong berukuran panjang yang lebih mirip

senjata Wolverin.

“Kosong pak?” tanya saya menunjuk kursi di hadapannya.


Kemudian kepala Bapak itu menggeleng lambat seperti penari dengan mata tertuju pada

saya. Kemudian berkata “Secara lahiriah.”

Saya tercengang mendengar suara bapaknya yang begitu serak berat seperti vokalis

band metal yang sedang menyanyikan sebuah lagu yang hanya dia dan tuhan yang tahu apa

kalimat dari liriknya.

“Ma.. ma... maksudnya pak?” tanya saya ketakutan.

“Dalam batiniah tidak ada yang kosong.” Sergah si Bapak lalu terbahak begitu keras.

Tangannya bergerak-gerak ke udara seperti sedang menangkap lalat, batu akiknya

bergemercik nyaring, kemudian dia menepak pinggangnya sendiri dengan kuat dan komat

kamit.

Hening yang tak enak menghampiri saya. Keadaan ini terasa ganjil, bulu kuduk berdiri,

kepala sedikit pusing, upil mata saya menciut dan tubuh merinding dahsyat kayak habis

kencing di belakang pohon. Saya memandang dalam kursi kosong itu lalu menelan ludah

beberapa kali tanpa ada satu kata yang terucap. Butir keringat bergantungan di dahi, jantung

berderap tak karuan, seketika waktu seperti berhenti berputar. Partikel debu beterbangan

pelan, sepelan adegan slow motion saat keanu reeves menghindari peluru-peluru yang

ditembakan kepadanya di film matrix. semerbak bau bunga melati tercium oleh saya,

mengalahkan bau pengharum ruangan aroma jeruk yang dipasang petugas kereta di gerbong

ini.

sunyi... sepi... dan tiba-tiba kegelapan menelan setiap jengkal gerbong ini. ternyata...

Ternyata Kereta sedang memasuki terowongan.

“Pantes gak ada yang mau duduk sama dia.” Gumam saya dalam hati. seraya bergegas

kaki ini melangkah pergi menjauh dari Bapak itu dan segala hal mistis di sekitarnya.
Berbeda dengan kejadian pertama, ketika melihat seorang Ibu saya langsung mengingat

sosok dan kasih sayang Ibu. Kalau saat berjumpa bapak ini tidak membuat saya merasa ingat

sosok seorang Ayah, malahan saya jadi mengingat sosok genderuwo.

Ini gila gak pernah saya membayangkan betapa susahnya mendapat tempat duduk di

Kereta. Saya tidak pernah membanyangkan hal biasa seperti naik kereta untuk pergi ke kota

lain yang telah banyak orang lakukan menjadi pengalaman aneh saat menimpa saya. Ada apa

sih antara saya dan kursi kereta? Keseeel!

Akhirnya saya memutuskan pergi ke Gerbong Kafetaria. Tempat yang dikhususkan

untuk melayani Penumpang yang ingin makan dan minum atau penumpang yang kursinya di

pakai sama seorang ibu dan anaknya terus bertemu Bapak dengan tampilan seperti dukun

yang aneh di gerbong kereta... Sungguh begitu siaaal saya malam ini!

Untuk bisa duduk di Gerbong Kafetaria saya harus memesan kopi yang harganya 10

kali lipat lebih mahal dibandingkan membeli kopi di warung kopi tempat saya biasa ngumpul

sama teman-teman. Tapi gak apa-apa lah daripada enggak harus harus terus nyari-nyari

bangku kosong. udah cape gak ada hasil...

Rencana awal untuk langsung tidur ketika diperjalanan ke Jakarta buyar, tak sekali pun

mata saya terpejam. sisa perjalanan jidat saya menempel di jendela melihat pemandangan

gelap yang dihiasi lampu-lampu kecil di kejauhan dan terus berulang-ulang seperti itu lalu

perlahan berubah. Lampu yang bersinar di kejauhan kini merapat mengisi setiap ruang di luar

saat memasuki daerah Jakarta.

Suasana di luar stasiun sangat ramai. Alunan ayat suci dari pengeras suara masjid saling

sahut-menyahut terdengar menyambut saya tiba di stasiun Pasar Senen. Deratan mobil

terparkir padat di stasiun ini, meski matahari belum nampak suasana sudah terlihat sibuk dan

sesak lalu lalang orang.


Karena langit masih gelap saya putuskan untuk diam dulu di Stasiun sambil menunggu

adzan shubuh berkumandang, juga sambil mumpang mandi dan sarapan sebelum nanti saya

pergi ke tempat wawancara kerja.

Banyak Ojek dan Taksi yang nawarin jasanya untuk mengantar ke alamat yang saya

tuju. Tapi berbekal informasi yang saya terima bahwa tempatnya tidak jauh dari Stasiun Pasar

Senen, hanya butuh 15 menit jalan kaki untuk mencapainya. Jadi saya putuskan untuk jalan

kaki ke sana, yaaa itung-itung sambil lihat Jakarta dari dekat.

Setelah beres dengan semua urusan perut dan Kamar Mandi saya pun beranjak pergi

sekitar jam 7.00 pagi. Di Jakarta jam segini orang-orang udah pada sibuk memadati jalanan

dengan kendaraanya, kalau di Bandung biasanya orang-orang masih sembunyi di bawah

selimut nunggu kabut hilang dan suhu udara agak hangat sedikit baru beraktivitas. Bukan

ativitas yang super serius kayak orang Jakarta tapi cari gorengan dan kopi untuk sarapan pagi.

Orang-orang Bandung emang santai banget. kalau belum ketemu kopi sama gorengan

mah enggak akan kerja dulu. Beda yaaa sama ibu kota yang sibuk 24 jam gak berhenti.

ini mah bakal jadi jalan santai hanya 1 kilometer untuk sampai di tujuan saya dan hanya

butuh 200 meter untuk bikin badan saya yang wangi rapih segar habis mandi banjir keringat

dan lepek lagi. cuaca jakarta udah panas aja jam segini, tahu gini mending ikut mandi di

tempat wawancara kerja...

Tepatnya 24 menit 17 detik waktu yang saya butuhkan untuk mencapai ke sebuah

gedung pencakar langit ini. Setelah melewati 3 belokan, 2 pusat perbelanjaan, 1 hotel, 1

pasar, 1 gedung apartment, 3 tukang kopi, dan 1 tukang mie ayam. Saya sampai di satu ujung

simpangan yang membagi kawasan perkantoran dengan gedung pemerintahan. Menara Epul

nama Gedungnya. Mungkin yang punya gedung ini tadinya mau ngasih nama Menara Eiffel

tapi udah ada di Perancis, selain itu juga nama Eiffel kurang mencerminkan rasa nasioalis
jadi lah menara Epul yang dipakai. Tempat yang jauh-jauh saya tuju dari Bandung untuk

mengubah nasib.

Saya menunggu di satu lorong depan ruangan HRD yang tertutup pintunya. Kemudian

Beberapa orang berdatangan. Kita saling bertegur sapa tanpa berkenalan, dari gelagatnya

mereka sama seperti saya orang yang mau mengikuti wawancara kerja juga.

Beberapa orang tampak sibuk memeriksa perlengkapan mereka. Ada pula orang yang

lagi serius latihan untuk persiapan wawancara sendirian. Sewaktu jadi Pewawancara suaranya

berubah seperti cewek dengan nada yang mendayu-dayu sebaliknya waktu menjawab

pertanyaan dia kembali ke suara aslinya. Ada juga pelamar yang sibuk dengan

penampilannya. sedikit-sedikit lihat cermin, merapikan baju, nyemprot pewangi, memainkan

sisir lipat yang dia bawa padahal rambutnya botak.

Setelah cukup lama menunggu giliran saya pun tiba. Segera saya memasuki Ruang

HRD. Seseorang sedang duduk dengan perut gempal yang timbul di balik meja dengan

kemeja kesempitannya yang bikin lipatan perutnya terlihat jelas kayak awan kumulonimbus.

“Permisi Pak." sahut saya sambil menjulurkan tangan ke hadapannya.

“Duduk.” Jawabnya singkat seraya melepas genggaman tangan saya dan langsung

duduk, beban hidupnya eh beban tubuhnya bikin kursi yang didudukinya berdenyit-denyit

seperti seperti suara tikus kejepit. Kemudian mengenalkan namanya. Pak Tinton sebagai

Kepala Divisi HR.

Tanganya mengepak meja dan langsung membolak-balik lembar CV saya yang

terbungkus map hijau.

“Kuswara Putra?” tanya dia.

“Iya Pak.” Jawab saya.

“Okay.”
Kini bukan hanya tangannya aja yang sibuk membolak-balikan kertas matanya juga

turun naik menelisik ke setiap tinta yang ada di kertas itu kayak ular yang lagi nyari lubang

tikus. Di dahului suara ehm-an dari tenggorokannya beberapa kali lalu dia lanjut bertanya.

“Apa motovasi Anda masuk Perusahaan ini?” tanpa sedikit pun matanya menatap saya.

"Saya ingin berkontribusi untuk kemajuan Perusahaan dan bisa menyalurkan Karya,

Skill serta kemampuan yang saya miliki.

Setelah rentetan kegagalan dalam wawancara kerja, saya sekarang lebih siap dalam

menjawab pertanyaan. selain dari pengalaman saya pun sudah belajar dan latihan buat

wawancara kerja,l. Ada banyak buku yang udah saya baca dari mulai buku "10 tips agar

sukses wawancara kerja.” atau buku "99% Lolos Wawancara Kerja." dan banyak lagi. jadi

wabannya gak akan ngaco kayak dulu.

Tapi selain banyak baca dan latihan wawancara saya juga baca buku “ Cara

Menghipnotis Orang.“ buat jaga-jaga jika buku-buku soal latihan wawancara kerja yang saya

baca enggak berhasil.

Hanya tiga pertanyaan untuk menutup wawancara kerja, sebelum Pak Tinton dan semua

orang di muka bumi ini yang mempunyai peran sebagai Pewawancara kerja mengeluarkan

kata-kata mutiaranya.

“Terimaksih. Akan Saya hubungi lagi nanti.”

Kenapa Saya Terus

Menerima ajakan Sidik itu kayak ikut ajakan tawuran sama kampung sebelah yang

mayoritas warganya petinju semua, udah pasti kalah dan babak belur. Nah itu lah kenapa saya

selama ini sering nolak kalau diminta bantuin usahanya Sidik.

Saya masih ingat dulu dia pernah ngajakin jualan petasan di malam tahun baru. Bukan

gelimpangan rupiah yang kita dapat tapi pengalaman harus menginap satu malam di kantor

polisi. Waktu itu kita jualan petasan di depan SPBU. jualannya pakai segala dicoba dulu lagi
petasannya kayak beli duren. Petasan yang dia coba tembak ke langit malah terbang bergerak

liar mengarah ke SPBU dan bikin panik seantero orang yang lagi isi bensin, kalau bukan

karena kesigapan petugas SPBU buat ngambil APAR bisa-bisa Pom bensin itu bakalan abis

dilalap api.

“Tapi segitu oge udah untung.” Kata Sidik dulu setelah kita keluar dari kantor polisi

karena jaminan Pamanya Sidik yang ada di Bareskrim Polri.

Kalau diingat sekarang mah rasanya pengen teriak “Untung Hulu maneh Buntung!”

Tapi sekarang mah mau gimana lagi, hasil dari wawancara kemarin belum ada hasil.

Jadi yaa terpaksa ikut dulu bantuin kerjaan sidik...

Kita lantas pergi ke daerah Cikapundung. Di sana kita udah janjian dengan pasangan

calon pengantin yang kelihatannya lebih muda dari pada saya dan Sidik. Mereka terlihat

begitu serasi. Ceweknya berdandan cukup tebal memakai gaun sedangkan Cowoknya

mengunakan kemeja putih dengan celana hitam.

“Ceweknya Reni dan cowoknya Bowo.” Tutur Sidik.

Tanpa banyak basa basi Sidik langsung mengeluarkan kameranya “Ayo.” Katanya

sambil mengatur posisi pasangan ini untuk dipotret.

“Kus... samping kanan arahin ke muka.” Perintah Sidik pada saya untuk mengarahkan

flashlight external yang saya pegang.

Pose-pose romantis dengan mata yang saling bertatapan. tangan Bowo merangkul tubuh

Reni sang calon istrinya begitu erat dan penuh cinta.

Belum lama rasanya saya patah hati kini harus melihat adegan seromantis ini. Pedih!

Harusnya saya nih yang berpose gini sama Ika. Ini malah jongkok di samping dua sejoli

sambil megang benda kotak yang ngeluarin cahaya. Nasib... Nasib... huee nyesal nerima

ajakannya Sidik!

“Sorot ke wajah Kus bukan ke dada!” seru Sidik menyadarkan lamunan saya.
“Bangsat Sidik enggak ada sensitif-sensitifnya. Temannya baru patah hati juga. eh

sekarang malah disuruh bantuin foto pasangan akan menikah.” Gumam saya dalam hati.

Dari lubuk jiwanya yang terdalam perempuan memang sepertinya mempunyai genetika

seorang model, sensor motorik tubuh dan mikro expresi wajahnya otomatis aktif ketika

berhadapan dengan lensa kamera. Lihat aja Reni gerak tubuhnya saat berpose lentur sekali

persis kayak model-model majalah Gadis, posisi wajahnya, sorot matanya dan tarikan

bibirnya tahu betul mana angle yang bikin dia terlihat menawan. Saya dan Sidik

mengarahkannya juga enak tanpa kesulitan, sedangkan Bowo dan setiap lelaki yang ada di

alam dunia ekpresinya dataaar. Kalau lagi bergaya tubuhnya kaku kayak perwira militer, urat-

urat di wajahnya membeku bikin ekspresinya suram. Setiap gerakan dan pose Bowo selalu

tegang. Bikin kita sedikit kerepotan untuk mengarahkannya.

“Senyum dong Mas.” Kata Reni membantu ngarahin bowo setelah lihat saya dan Sidik

mengkerut kesulitan. Meskipun udah diarahin sama calon istrinya bowo masih tampak kaku

tarikan bibirnya kuat sekali malah bikin bowo kelihatan seperti lagi nahan berak bukan

sedang tersenyum. Sesi pemotretan ini jadi kayak Anya Geraldine foto bareng Kim Jong Un.

Ceweknya penuh ekspersi sedangkan yang cowoknya kaku banget.

Walaupun begitu sesi pemotretan prewedding yang perdana bagi saya dan Sidik

berjalan cukup baik, tidak ada kendala-kendala yang cukup teknis.

Setelah semakin lama Bowo menjadi lebih nyaman dihadapan Kamera, dua sejoli ini

saling menatap penuh gairah cinta menjalani pose berjalan bergandengan mesra, lalu pose

selanjutnya bowo memegang setangkai bunga dan berlutut dihadapan Reni layaknya

pujangga di film India. Beberapa pose romantis selanjutnya yang menyayat hati saya pun

dilakukan dengan mulus-mulus aja tanpa masalah. Cuaca Bandung juga cerah mendukung

sekali dalam proses pemotretan ditambah bangunan-bangunan tua peninggalan kolonial

menjadikan latar foto lebih indah dan menarik. klien kita Reni dan Bowo juga senang dan
puas dengan hasil foto preview yang kita tunjukin, begitu juga saya yang senang karena

semua berjalan lancar.

“Dapat klien dari mana Dik?” tanya saya setelah pemotretan selesai.

“Ada Paman ane yang punya Viu Organizer.” Jawab Sidik.

“Oh...” Jawab saya terkagum karena ternyata Wedding Organizer Pamanya Sidik

adalah Wedding Orgnizer paling terkenal di Bandung. Banyak orang terkenal dan pejabat

pemerintahan yang acara pernikahannya diselengarakan menggunakan jasa WO pamanya

Sidik.

Setelah semua selesai Sidik memberi tahu dua hari lagi ada jadwal pemotretan. jadi

kalau bisa katanya coba cari tahu dan lihat-lihat di internet gaya dan pose-pose romantis

orang yang pacaran. Kemudian memberi saya uang sebagai upah untuk pemotretan hari ini.

Lumayan juga ternyata upahnya dan yang terpenting enggak ada kesialan yang

menimpa saya di kerjaan kali ini... semoga aja lancar terus, enggak seperti kerjaan sidik

sebelumnya yang selalu berujung masalah.

Klien kedua janjian sama kita di sekitar lapangan Saparua. Karena tempatnya cukup

luas kita harus muter-muter nyari klien kita. dari banyaknya orang yang berada di lapangan

Saparua ini enggak satu pun terlihat seperti pasangan yang berdandan dan berpakain seperti

calon pengantin yang mau melakukan sesi foto pre wedding.

“Telpon atuh Dik.” Seru saya.

“Paman Ane yang hubungan. Ane cuma dikasih tahu namanya aja.” Ungkap Sidik.

Ditengah kebingungan kita tiba-tiba ada yang menepuk pundak Sidik. Berdiri sepasang

cewek dan cowok. Mata kedua orang ini dirias dengan culah hitam tebal kayak riasan dedi

corbuizer waktu dia masih punya rambut. menggunakan setelan kaos hitam bertuliskan

“Anarchy” dan “Punk not dead” dan celana jeans sobek-sobek, dilengkapi dengan aksesoris

kalung rantai dengan gembok di tengahnya, sedangkan yang cewek bawahannya memakai
rok merah bergaris hitam diatas lutut yang dipadukan dengan stocking hitam yang membalut

kakinya, kedua tangannya dihiasi gelang piercing.

“Kang Sidik?” tanya dia.

“Iya." Sambut Sidik menjulurkan tangan ke orang barusan.

“Iyus.” Kata dia lalu menunjuk wanita disampingnya dan berkata “Popo calon istri

saya.” Dengan senyum yang lebar.

Saya dan Sidik mengangguk tak bicara beberapa saat melihat penampilan mereka. “Dik

bener nu ieu?” bisik saya.

“Namanya sih bener” jawab Sidik pelan.

“Naaah gini kang.” Ujar Iyus memecah kekikukan saya dan Sidik yang enggak

menyangka mereka datang dengan busana seperti ini untuk pemotretan pre wedding. “Tema

kita itu riot.” Lanjut Iyus menerangkan.

“Riot?” saya dan Sidik saling menatap kebingungan.

“Itu kang kerusuhan.” Kata Iyus. Saya dan Sidik kembali saling menatap kebingungan.

“Bahasa Ingris, bahasa Ingris.” Sambung Iyus menjelaskan.

“Oh Riot.” Jawab Sidik mengucapkannya seperti orang Inggris dengan lidah ditarik ke

belakang, lalu ujung lidahnya menempel ke langit mulut menghasilkan bunyi “rray” dan

mengucapan O menjadi E tertutup atau dalam penulisan sunda mah jadi ‘Eu”. “Rrayeut” nah

kaya gitu Sidik mengucapkannya.

“Ayo...” Seru Sidik.

“Bentar kang.” Iyus dan pasangannya pergi menuju mobil yang dia parkir enggak jauh

dari tempat kita lalu balik lagi membawa sebuah pemutar musik yang besar dengan power

baterai untuk menyalakannya.


Terdengar suara pintu kaset yang ditutup mirip suara saat menutup pintu mobil kijang

kapsul. Kemudian suara putaran pita kaset berubah jadi suara gelegar arungan ritem gitar

menembak-nembak sangat garang. Disusul percikan suara simbal yang malu-malu terdengar.

Iyus dan Popo segera berpose. terlihat eksotis tapi tetap gahar. Saya dan Sidik

menyambutnya dengan jepretan-jepretan foto. Berbeda dengan klien pertama sesi foto kali ini

kita enggak banyak ngarahin pose pasangannya. Gaya mereka mengalir tanpa henti, kayak

pemotretan seorang Rockstar yang enggak mau diatur.

“Smoke on the water... A fire in the sky... Smoke on the water”

raungan suara dan kilatan flash saling menyerang memenuhi ruang, ditambah pose

ajrut-ajrutan pasangan kekasih di depan saya ini membuat keadaan kelihataan keren. Hmm

tapi enggak juga... mungkin gokil atau beda dari yang lain tapi kayaknya juga enggak. Ini

lebih kerasa kayak orang gila yang kabur di rumah sakit jiwa. Yaaa lebih kayak gitu

keadaannya. Kalau bukan karena tuntutan ekonomi mah enggak akan saya lakukan, malu

dilihat banyak orang...

***

Klien ke-3 ini mempelai prianya seorang pegawai negri sipil di Bandung baru setahun

lulus di kampus UPNI (Universitas Pegawai Negeri Indonesia) kampus kedinasan milik

pemerintah yang kalau lulus langsung diterima kerja di lembaga pemerintahan. kenapa dulu

saya enggak kuliah disini aja padahal mah yaaa.

Meskipun bisa langsung kerja setelah lulus, tapi perkuliahan di kampus ini mirip-mirip

kamp tentara penuh disiplin dan sangat keras. Ada rumor kalau mahasiswa-mahasiswi disini

banyak yang keluar karena tidak kuat menjalani kehidupan di kampus. Bukan soal belajarnya

aja yang keras tapi hubungan antara senior dan junior pun sangat keras, Kita harus patuh dan

mau diperintah apa aja sama senior.

Pokoknya sistem Senioritas kuat banget disini dan enggak boleh malas-malasan.
Setelah tahu itu kayaknya gak cocok sama mental saya yang lembek dan pemalas.

Dibentak sekali sama senior aja bisa langsung kejang-kejang. yang ada berhenti tengah jalan

kalau saya kuliah disini.

Saya dan Sidik udah dibuat heran sewaktu baru masuk gerbang kampus ini karena

banyak mahasiswa berhenti dan memberi hormat saat berpapasan dengan kita.

“Kus kayaknya mereka kira kita seniornya.” Gumam Sidik.

“Bisa juga enggak Dik.”

“Lah.” Timpal Sidik heran.

“Bisa aja mereka ngira saya senior mereka, tapi ngira kamu tiang bendera. makanya

mereka ngasih hormat.”

“Ente tuh tiang listrik.” Tampik Sidik. “Ayo jalan... ngaco aja ente” lanjut dia kesal.

Selama jalan dari gerbang masuk ada 6 kali kita harus berhenti dan membalas hormat

ke rombongan mahasiswa-mahasiswi yang berpapasan, udah kayak komandan tentara aja kita

kelihatnya. Cuma kalau tentara bawa senjata atau senapan kita mah nenteng kamera, tripod

dan seperangkat alat pemotretan lainya.

“Nah itu kayaknya.” Sidik menunjuk kerumunan orang di depan masjid samping

gedung utama UPNI.

“Banyak banget kayak rombongan pengajian.”

“Udah! Ayo...” Seru Sidik menyeret saya mendatangi rombongan itu.

Ada seorang Bapak yang menghampiri dan berkata “Fotograpernya ya?”

“Tunggu ya anak saya masih dandan.” Sambungnya lagi setelah bersalaman dengan

kita.

Ada 2 pasang bapak-bapak dan ibu-ibu, 3 anak kecil, 1 balita, 1 orang pria berumuran

35 tahunan dan 1 orang wanita yang lagi merias. Ditambah calon pengantin ada 12 orang
yang ikut di sesi pemotretan kali ini. Udah kayak tim sepak bola yang mau main antar desa

aja ini pemotretan...

Setelah pasangan selesai berdandan kita berjalan ke beberapa lokasi, yang pertama di

gerbang depan ada sebuah tulisan UPNI besar berlatar sebuah taman dengan kolam ikan di

tengahnya. Megahnya Gedung utama kampus UPNI juga nampak dari sini. Busana sang pria

menggunakan seragam kuliahnya dan yang perempuan memakai gaun putih bermahkota

dengan ekor gaun yang panjang.

Seperti biasa saya dan Sidik langsung menyiapkan peralatan dan angle-angle yang kita

bidik untuk nanti di kamera. Kita mulai dengan pose pasangan saling memegang tangan

seakan berjalan mengarah ke Gedung utama. Bidikan dari arah belakang membuat hasil foto

pasangan ini memberi kesan mereka berjalan menuju mahligai kebahagian.

“Kus kibasin.” Perintah Sidik sambil menunjuk ekor gaun yang meluntai di bawah

untuk melakukan pose selanjutnya.

Saya lalu bergegas menarik ujung ekor gaun sang perempuan dan melemparkannya

perlahan seperti melempar hamparan jaring yang biasa nelayan lakukan. Ekor gaun itu

menggelombang di udara. membuat pose yang dilakukan terlihat elegan. Untuk pose dengan

ekor gaun seperti itu, memaksa saya untuk mengeluarkan skill bajing luncat. karena saya

harus segera mungkin ke pinggir setelah melemparkan ekor gaunnya agar tidak masuk ke

dalam frame.

Setelah itu kita lanjut ke tempat lainnya sebuah lorong jalan di antara ruangan kelas

dengan pilar–pilar berbaris di samping kiri-kananya, saya arahkan posisi pasangan itu

menyamping untuk merangkul mesra. Wajahnya saling bersentuhan, lalu saya minta sang

pria meraih tangan pasangannya untuk dikecup. Ketika saya dan Sidik bersiap memotret tiba-

tiba ada seorang ibu yang berlari ke arah kita sambil teriak-teriak.

“Eh Jangan! Tong kitu... Tong kitu gayana!” membuat Saya dan sidik kaget.
“Mamah ih gapapa atuh.” Kata sang mempelai perempuan.

“Belum sah Neng, gak boleh.” Jawab si Ibu ke perempuan yang manggil dia mamah

tadi. “Pokoknya mah gak boleh jaga jarak.” Lanjut si Ibu sambil menjauhkan jarak di antara

calon pengantin yang tadi lagi saling merangkul mesra.

“Cut!” teriak Sidik. “Siapa ini main masuk frame aja?” sambung Sidik.

“Ibu saya kang.” jawab perempuan itu merasa bersalah dengan air muka yang

cemberut.

‘Eh punten Bu.” Kata Sidik sambil tertawa.

"Heran! bisa-bisanya lagi gini Sidik masih bercanda aja..." Gumam saya.

“Pak fotograper ingat jangan bersentuhan.” Ujar Ibu itu pada Sidik. mengacungkan

telunjuknya sebagai tanda penegasan.

Kedua calon pengantin salin berbisik-bisik dengan muka yang kecewa. Saya yang ada

di dekatnya mendengar kalau mereka ingin di bebasin posenya, kalau kelihatan mesra kan

emang nantinya juga nikah atuh kata yang pria berbisik-bisik ke pasangannya.

“Kang udah lanjut aja.” kata mereka pada saya.

“Ibu gimana? Jawab saya, menunjuk si Ibu yang berjalan menjauhi kita.

“Gak apa-apa. Kita atur...” Kata si Neng sang mempelai perempuan.

“Siaaap.” Jawab saya mengacungkang Jempol.

Selanjutnya sesi pemotretan ini seperti kucing-kucingan, kalau si Ibu lagi lihat dan ada

di sekitar kita pose yang dilakuin tanpa bersentuhan. Nah baru kalau si ibunya pergi posenya

lebih mesra. Saling peluk, Pokoknya romantis deh... Tapi pemotretan kali ini jadi cukup lama

dan menghabiskan banyak energi.

Kita pindah tempat lagi ke sebuah tangga di lingkungan sarana olahraga kampus UPNI.

Karena lokasinya menuruni tangga cukup terjal si Ibu dan rombongan yang lain tidak ikut

mengerubuti di dekat kita, mereka memilih menungggu di pinggir jalan. Kita melakukan
pose-pose mesra dimana perempuan menyandarkan tubuhnya ke sebuah tembok lalu sang

pria mendekapnya dari depan. Tangan sang pria merangkul pinggul dan sang perempuan

meraih bahu sang lelaki dinding pipi mereka saling bersentuhan.

Kita terus-menerus memotret dan berganti gaya lebih mesra dengan asyiknya. Tiba-

tiba muncul si Ibu yang enggak tahu kesurupan kangguru atau bagaimana menuruni tangga

dengan cepat sambil teriak-teriak. “jangan! Jangan!.”

Selendang berhias manik dan butiran bola kaca kecil yang melekat di bahu si Ibu

dikibaskan penuh tenaga layaknya sebuah pecut mengarah tepat pada saya yang sedang

dalam posisi jongkok melongo.

“Kan udah dibilang jangan.. belum sah!” Bentak si Ibu. Masih enggak berhenti

menyerang saya dengan selendangnya.

“Aduh... Ampun Bu...” Pekik saya kesakitan, tapi tidak di hiraukan dan tetap

membabi buta menyerang saya.

“Ibu ini kan ada 4 orang kok saya aja yang dipukul.” Kilah saya masih dalam keadaan

jongkok dengan tangan yang mencoba menutupi kepala dari selendang ibu itu yang terus

menerus dia pecutkan. Bentuk manik-manik yang beragam lumayan membuat badan saya

terasa perih.

Setelah mendengar perkataan saya si Ibu berhenti dan berkata “Kalau itu mah jangan

anak dan calon mantu.” Sembari menunjuk kedua orang calon mempelai di depan saya yang

sekarang kelihatan serba salah.

“Yaa itu atuh teman saya yang motret.” Seru saya menujuk Sidik.

“Kalau si Akang fotograper takut kena kameranya... mahal.” Jawab si Ibu lalu

kembali mengibaskan selendangnya pada saya yang hanya bisa pasrah dan meringis meminta

ampun dan pertolongan. Meski sudah dipaksa berhenti oleh anak dan calon menantunya si

Ibu masih tetap menyerang saya, sedangkan Sidik malah asik memotret kejadian itu.
Bukannya bantuin biar si Ibu berhenti nyerang saya. Dasar teman laknat!

Emang dari pertama juga saya udah punya prasangka buruk karena baru kali ini ada

pemotretan pre wedding yang datang banyak banget... lebih kayak arisan keluarga jatuhnya

dari Orang tua, Adik-Kakak, Sepupu dan Cucu semua ada. Berkerumun kayak lagi lihat

Tukang obat yang jualan di pasar kaget.

Setelah sang anak berdiskusi dan kasih pengertian ke ibunya akhrinya kita bisa

lanjutkan lagi pemotretannya. Tapi buat jaga-jaga kali ini saya memakai helm yang saya

bawa dari motor. kali aja si Ibu kumat dan coba nyerang saya lagi dengan selendangnya.

Tapi untungya setelah petaka yang menimpa saya semuanya berjalan lancar. Setiap

pose yang kita inginkan dapat dilakukan dengan mulus, dan satu lagi setelah si Ibu tahu kalau

saya seorang anak yatim si Ibu langsung merasa bersalah lalu memberi uang tip yang sangat

banyak untuk saya. Setelah pemotretan selesai saya dan Sidik juga diajak makan di restoran

sunda yang sangat terkenal di Bandung.

Seenggaknya ini setimpal dengan kelelahan yang saya dan Sidik alami dan rasa sakit

yang hanya saya aja yang rasakan... Di perjalanan pulang saya berdoa semoga kerjaan

memotret ini masih banyak dan semoga Klien yang mau foto enggak bawa orang tua dan

keluarganya lagi.

***

Perlahan Ojat mulai mengerti soal piramida tingkat kesialan diantara saya, Sidik dan

dia, di tingkat teratas adalah tempatnya Sidik kadar kesialan yang dia alami hanya sedikit

atau malah hampir enggak pernah ada, lalu tingkatan kedua ditempati saya. Kesialan yang

sering menimpa saya dan membuat saya kecewa sekali pada hidup meski dibalik itu selalu

ada hikmah yang bisa diambil. Nah di tingkatan yang paling bawah adalah lapak Ojat, bisa

dibilang Ojat ini kutub berlawanan dari hal-hal baik dan menguntungkan yang ada di dunia
ini. Segala kesialan selalu Ojat alami dalam kehidupannya apalagi kalau kita bertiga sedang

bersama-sama.

Kesialan akan selalu melekat pada dirinya sehingga ketika saya mengajaknya untuk

ikut juga membantu pemotretan pre wedding dengan tegas dia menolaknya. Apalagi setelah

dia tahu apa yang saya alami kemarin, firasat dia kalau ada disana pasti bakal jadi orang yang

diserang oleh Ibu-Ibu itu.

Ojat juga bilang kapok kalau dapat kerjaan dari Sidik, suatu ketika dia pernah diajak

jualan air mineral oleh Sidik di depan Universitas Negeri yang lagi mengadakan ujian

penerimaan mahasiswa baru. Awal mula semua berjalan biasa aja kata Ojat seperti jualan air

pada umumnya, tapi karena kurang laku Sidik mulai dengan ide gilanya yang Sidik sebut

strategi marketing. Kumpulan air mineral yang dipajang, dia kasih label keterangan yang

bertuliskan “Jual Aneka Macam Air Doa. Dijamin Mujarab Lolos Ujian.” Bikin banyak orang

yang jadi penasaran dan datang ke tempat jualan mereka, ungkap Ojat saat bertemu di

Warung kopi.

“Bagus atuh Jat strategi marketing mah.” Kata saya setelah mendengar Ojat bercerita.

“Dengekeun hela.” Jawab Ojat lalu menenggak kopi hasil japrem (jatah preman) dari

gaji pemotretan.

“Oh belum beres, sok cerita atuh.”

Ojat lantas lanjut bercerita lagi katanya di sana ada dua orang peserta calon mahasiswa

yang datang dan betanya air doanya benar mujarab atau enggak, terus Sidik menjelaskan pasti

mujarab karena salah satu kriteria doa yang dikabulkan. Ada air doa orang yang soleh, air doa

orang yang berpuasa dan air doa orang yang teraniaya. Sidik menerangkan kayak sales

profesional yang bikin konsumennya yakin kalau minum air ini bisa bikin lolos ujian.

“Urang teh kayak yang bego merhatiin Sidik.” Keluh Ojat dengan mata lirihnya

memandang saya. Sebenermya itu mah kode biar saya iba dan ngasih rokok.
“Emang iya kan Jat.” Seru saya

“Iya apa?”

“Iya kamu bego.”

“Maneh mah sama aja Beul!” gerutu Ojat kesal mata lirihnya berubah jadi mata sinis.

Sebelum dia lebih banyak lagi mengeluarkan amarahnya dan mengeluarkan sumpah serapah

dengan berniat jahat, saya segera menyodorkan satu bungkus rokok buat Ojat yang

sebelumnya saya beli dari warung Bu Isah. Seketika mata sinisnya tertutupi oleh senyum

lebar.

Dengan isapan rokok yang dalam Ojat kembali bicara tanpa menunggu asap-asap rokok

keluar habis dari rongga mulutnya, kata dia waktu ada yang beli minta air doa orang yang

soleh, Sidik berubah menggunakan stelan baju koko dan peci di kepalanya, lalu mulutya

komat kamit baca doa memberikannya ke Pembeli.

“Benar nih bang mujarab?” tanya Pembeli

“Kalau ente jawabnya benar semua, Ane jamin pasti lolos.” Cerita Ojat dengan gaya

bicara nyerupai Sidik mengunakan logat kearab-arabanya.

“Nah ieu yang bikin urang kapok kerja berdua sama si Sidik!” Ujar Ojat mengebu-

gebu. “Waktu ada pembeli yang minta Air doa orang yang teraniaya Sidik nyuruh urang buka

sepatu.“ Lanjut Ojat sambil mematikan rokoknya.

Kemudian Ojat beranjak dari tempat duduknya, dengan penuh tenaga dia tekan kakinya

ke bawah dan berkata “Diinjak kaki urang.” Kaki kanannya terus dihujamkan ke bawah

sambil dipelintir-pelintir.

“Terus-terusan eta teh Kus, nyeri pisan!” Keluh Ojat.

Kepala saya mangut-mangut mendengarkan Ojat berbicara tentang kesalnya dia pada

Sidik yang menginjaknya dengan sengaja.

“Urang dianiaya!" Teriak Ojat kesal.


“Kacau pisan si Sidik” timpal saya walaupun kasihan tapi rasanya ingin tertawa dengar

nasib Ojat.

“Terus disuruh berdoa, gelo kan!” Hardik Ojat.

***

Selang 4 hari dari sesi pemotretan pre wedding terakhir yang cukup tragis buat saya,

akhirnya kita kembali mendapat klien. Kali ini saya udah bilang ke Sidik kalau kliennya

bawa keluarga mendingan dibatalin aja daripada urusannya ribet kayak kemarin, terus

waktunya jadi molor banget dan saya jadi korban kekerasan seorang Ibu.

Kita berangkat ke daerah dago letaknya di Taman Hutan Raya Bandung. Udara pagi

yang bersih ditambah rimbunnya pohon pinus bikin suasananya enak sekali.

“Jadi outdoor gitu Kus sekarang temanya.” Tutur Sidik waktu nunggu di parkiran

mobil dekat pintu masuk taman.

“Pake baju kasual dong pasangannya.” Sahut saya.

“ada dress juga, yaa tapi nature-nature gitu lah.” Ungkap Sidik.

“Siapa namanya?

“Rehan sama siapa lah lupa lagi...” Jawab Sidik mengerutkan dahinya mencoba

mengingat nama pasangan perempuannya.

“Kebiasaan nanti harus nyari-nyari lagi.” Keluh saya.

“Ah siapa lah lupa namanya." Timpal Sidik kesal karena tidak mengingat nama klienya

“ Ini kan luas, harusnya kita bawa karton yang ditulis nama mereka kayak orang yang

lagi jemput tamu di bandara.”

“Iya juga... Tapi kita kan di hutan bukan bandara.” Kilah Sidik. “Tapi aneh Kus ah,

malah kayak orang demo yang nyasar ke hutan."

“Dari pada nyari-nyari kayak waktu di Saparua?”

“Iye... Saparua ” Jawab Sidik lalu tertawa mengingat pasangan nyentrik itu.
Kata Pamannya Sidik klien kali ini anaknya orang penting, Bapaknya kepala Dinas

Kesehatan Kota Bandung, jadi kita diminta kerja sebaik mungkin, harus bikin puas dengan

hasil foto yang terbaik. Kalau gagal dan kecewa Sidik bakal dijemur 12 jam di gurun pasir

biar beneran kayak onta dan gak akan diberi kerjaan lagi sama Pamanya. Maka dari itu dari

kemarin malam kita udah sibuk mempersiapkan perlengkapan buat pemotretan kali ini.

Budgetnya juga besar jadi propertinya banyak banget... segala aneka pernak-pernik kita

sediakan sebagai penunjuang untuk pemotretan kali ini.

“Kayaknya itu orangnya.” Dari kejauhan sidik menunjuk seorang lelaki berkacamata

hitam yang baru turun dari mobil. Dari balik mobil kemudian menyusul keluar sesosok

wanita yang tidak asing bagi saya. Dengan setengah tidak percaya saya mengamatinya

perlahan.

“Gustika!” Teriak Sidik “Nama perempuanya Gustika.” lanjut dia mengalihkan

perhatian saya.

Ini adalah momen dimana waktu di dunia terasa begitu lambat sekali, semua gerakan

tertangkap begitu perlahan saya tertegum menelan ludah yang bahkan sampai kering dan

membuat sesak tenggorokan. Dengan senyum hangat tanpa dosa sidik lambaikan tangannya

tanpa menghiraukan saya yang masih melongo kayak orang kesambet.

“Bangsat! Itu kan Ika.” Teriak saya. Langsung saya menyeret sidik ke balik sebuah

mobil yang terparkir supaya tidak terlihat oleh mereka.

“Ika? Gustika?” Kata Sidik kebingungan.

"Ahh jangan pura deh, kamu pasti udah tahu kan!" Bentak saya sambil menarik kerah

baju Sidik.

“Mana ane tahu nama asliya Ika itu Gustika Kus.” Kilah Sidik, kedua tanganya meraih

pudak saya. "Suerr Kus ane gak bohong." lanjut dia.


“Kacau!” teriak saya sembari menjambak rambut sendiri. “Pikir maneh emang naon?”

tanya saya sangat kesal.

“Yaaa kan bisa aja Tika, Vika, Rika, Erika.” Jawab Sidik dengan entengnya.

"hmm..." Keluh saya. Menghela napas.

"Atau Andika." Timpal Sidik.

“Ontaaa!"

"Saya pulang aja."

“Jangan Kus ingat Paman ane.” kata Sidik memohon-mohon.

“Terus gimana." cetus saya pasrah.

“Hadapin aja Kus, paling enggak Ente tahu alasan sebenarnya dia ninggalin Ente.” Ujar

Sidik.

Cepat atau lambat kenyataan ini memang bisa saja terjadi. Saya bertemu Ika dan

kekasih barunya. Tapi yaa enggak pas kayak gini juga!

“Kus... kus...mereka datang.”

Saya menghela nafas panjang dan mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk

bertaut pada kaca mobil yang terparkir dengan tangan yang tanpa henti memukul-mukul

jendela mobil.

“Kus udah Kus.”

“Iya saya tahu harus profesional.”

“Bukan itu...” Kata Sidik.

“Terus?”

“Udah mukul jendala mobilnya... Itu punya orang.”

“Kamu harusnya yang aya pukul!” Bentak saya kesal.

“Ya udah lah, Ayo." Seru saya mencoba menguatkan diri untuk menghadapi ini..
Dengan kacamata hitam mengkilapnya dipadukan dengan kemeja flanel dan celana

jeans warna langit cerah jam 2 siang. Berjalan memakai sepatu adidas “Futurecarft x

parley” berwarna merah dengan sole putih bersih tanpa satu pun partikel debu

menempel. Lelaki keren itu bernama Rehan menyapa kita. “Tunggu sebentar ya orang

make up dan wardrobenya masih di jalan.” Kata dia penuh karisma.

Saya sedari tadi yang memperhatikan pakainnya dari bawah ke atas hanya ngelus dada

karena upah yang saya dapat di pemotretan selama setahun pun belum cukup untuk membeli

semua pakaian itu.

Setelah itu Ika datang menjulurkan tangannya lalu diam mematung terkejut mendapati

saya di hadapannya. Keadaan cangung ini bikin dia kelihatan enggak nyaman dan bikin saya

lemas kayak abis donor darah.

“Hai.” Sidik menyapa sok akrab.

“kenal?” Tanya Rehan pada Ika

Sebelum keadaannya makin terasa tidak nyaman dan sebelum Sidik berbicara lebih

ngawur segera saya potong ”Oh, belum mas... Saya Kus dan ini Sidik.” Seraya menepuk

punggung Sidik.

Ika hanya membisu, sorot wajahnya gelisah, setiap gerak-geriknya penuh ragu. Selama

kita berempat menunggu orang make up dan wardrobe datang Rehan terlihat sibuk dengan

telepon gengamnya, sementara saya tak henti memperhatikan Ika yang berdiri menunduk

canggung.

Banyak pertanyaan yang ingin saya katakan pada Ika sekarang, tapi rasanya keberanian

saya sirna. Saya enggak tahu apa yang bakal jadi konsekuensinya bila tetap nekat. Apa akan

membuat perasaan saya jadi lega atau malah lebih menyakitkan dan yang paling buruk juga

akan membuat Ika terluka...


Setelah semua yang berkepentingan dalam pemotretan ini datang saya masih harus

menunggu lagi mereka berias. Setiap detiknya terasa setahun dan membuat saya lemas seperti

belum makan seharian, Sidik udah sibuk nyari-nyari tempat dan konsep buat nanti difoto,

sementara saya duduk lunglai tanpa gairah di pojokan jalan setapak di dalam taman hutan

raya ini. Pohon-pohon bergerumul yang tadinya bikin udara segar kali ini malah terasa bikin

sesak, dari jauh sesekali Sidik mengepalkan tangan memberi isyarat agar saya semangat.

“Ayo mas udah ready.” Sahut orang wardrobe keluar dari tenda yang sengaja didirikan

khusus pemotretan kali ini untuk tempat rias dan menyimpan busana yang akan digunakan,

kemudian Rehan dan Ika muncul menggunakan pakaian bernuansa putih-putih, kemeja

lengan panjang yang digulung 3/4 dan celana pendek kasualnya membuat Rehan tampak

gagah namun tetap santai, sedangkan tubuh Ika dibalut buasana bergaya boho dengan

potongan leher berbentuk v dan lengan yang berenda diatas membuatnya terlihat sangat lucu

sekali...

Saya beranjak mendekati Sidik dan menyiapkan lampu dan segala pernak-perniknya.

Setelah set dirasa siap Sidik mempersilahkan Rehan dan Ika untuk ke tengah dan memulai

pemotretan.

“Coba mas Rehannya berdiri dibelakang.” Sahut Sidik mengarahkan.

“Nah Ika coba di depan nyamping... Good. Matanya Ngadap kamera.” Lanjut Sidik dan

langsung menekan tombol shutter beberapa kali dibarengi dengan kilatan cahaya yang

muncul dari flash external yang saya pegang.

“Tangannya masuk saku mas Rehan.” Kata Sidik mengarahkan dengan mata yang tak

lepas dari kaca bidik di kamera. “Nah iyaa.. tahan.. Good.” Bibir Sidik terus berucap

bertautan dengan suara cekrak-cekrek dari kamera, berbarengan dengan pose dan gerak tubuh

Rehan dan Ika yang terus berganti.


Busana kedua Rehan menggunakan jas dan Ika sebuah gaun dengan potongan atas

rendah yang membuat bahu jenjangnya terlihat jelas, dihiasa oleh sebuah mahkota di

rambutnya membuat dia terlihat seperti seorang putri kayangan. Kita pindah ke sebuah jalan

setapak di dalam taman ini yang berpagar bunga dandelion bermekaran dipucuknya, mereka

berpose seakan sedang melangkah, wajahnya disisipi tawa yang manis dengan tangan yang

saling menggenggam, terlihat begitu serasi dan saling mencinta walaupun ketika kamera

tidak menyorot, air muka Ika memancarkan keresahan.

Pose selanjutnya mereka berbaring di tikar piknik lengkap dengan pernak-pernik kotak

makan khas piknik dan lainnya, sedangkan pencahayaannya diambil dari payung besar

dengan lampu agar cahaya yang masuk sesuai yang diinginkan Sidik. Kepala Ika bersandar di

dada Rehan yang tegap, tangannya memegang buku menutupi bagian dada yang terbuka dari

gaunnya dengan ekspresi yang riang. Sidik menaiki tangga lipat untuk dapatkan sudut potret

dari atas yang dia mau. Saya memegang tangga yang tepat dihadapan Ika supaya sidik tidak

jatuh. Wajah Ika bergetar risih saat kita tak sengaja saling berpandang. Walaupun begitu dia

masih bisa menahan emosi dan tetap mengeluarkan beberapa ekspresi yang manis ketika

lensa kamera membidiknya.

Pemotretan ini berjalan terus menurus berdampingan dengan matahari yang mulai

menampilkan sinar emasnya. Waktu Enggak terasa udah sore aja dan saya juga enggak terasa

masih bisa menghadapi ini, padahal dalam hati ingin teriak gak kuaaat!

Pose terakhir Ika dan Rehan saling memeluk dengan bibir mereka seperti akan

bertautan dengan jarak yang sangat dekat, sedekat rasa sayang saya dan Ika dulu. Sinar senja

menyorot di tengah-tengah kepala mereka yang memiring. Kalau tahu mereka akan

meragakan pose gini, saya ingin sekali memberi Rehan jengkol campur es duren biar

nafasnya bau seperti naga yang lagi sariawan sehingga Ika enggak mau dekat-dekat sama dia.
Sampai pada pose terakhir Sidik tetap fokus kerja enggak ada tingkah atau omongan

konyol yang dia lakukan. Kali ini dia mengerti keadaan saya. Lelaki patah hati yang

melakukan foto pre wedding mantannya, bisa ngelakuin hal nekat kalau terpancing

amarahnya... Misalnya seperti membunuh sahabat karibnya sendiri.

Tapi pose-pose yang Sidik arahkan buat Ika dan Rehan ini sudah lebih nyebelin dari

tingkah konyolnya selama ini... Kenapa Posenya mesra-mesra mulu Onta!

Setelah semua selesai kita berpamitan dengan orang make up, orang wardrobe juga Ika

dan Rehan. Enggak ada satu patah kata pun yang terucap dari Ika kepada saya, kita layaknya

seperti seseorang yang memang tidak saling mengenal.

“Aman Kus.” Sidik menghampiri saya yang duduk tak berdaya.

“Arrggh dasar Onta!” Teriak saya sambil mencekik Sidik, kepalanya goyang berulang-

ulang kayak pajangan di dashbord mobil.

“Ampun... Ampun...” Pekik Sidik yang malah menikmati cengkaraman tangan saya.

“Aman Dik.” Jawab saya dengan menghela nafas kemudian saya melepaskan cekekan

pada sidik. “Yaaa mau gimana lagi atuh...”

“Iya kata Rehan juga aman... Dia suka hasil preview fotonya.” Potong Sidik dengan

ringannya.

“Arrggh Onta!” tangan saya kembali mencekek Sidik lebih keras. Kini wajahnya

menjadi biru gelap.

Saya kira Sidik menanyakan keadaan saya... Eh malah kerjaan yang dipikir... Dasar

Ontaaaa!

“Ampuuun.” Pekik Sidik. Kepalanya terus bergoyang-goyang, kali ini benar-benar

saya ingin mencekiknya sampai dia kehilangan nafas. Pokoknya kesal dan greget sekali liat

muka dia tapi tak lama berselang nada dering panggilan masuk berbunyi dari handpone saya,

menyelamatkan sidik dari maut.


“Halo.” Saya terima panggilan masuk itu.

“Iyaa... baik... iya...” lanjut saya merespon perkatan penelepon tersebut.

“Siapa kus? tanya Sidik yang saya abaikan dan terus fokus mendengar perkataan

penelpon.

“Kus?” tanya Sidik penasaran. Kali ini wajahnya saya remas dengan tangan kanan

lalu mendorongnya menjauh dari dekat saya.

Setelah mengucap salam penutup pada penelepon itu, saya memandang Sidik dengan

tatapan bengis, Sidik mengangkat kedua tealapak tangannya seperti penjahat yang mau di

tembak sama polisi.

“Tahan, tahan kus.” seru Sidik memohon.

Masih memasang wajah buas seperti harimau yang bersiap menyergap mangsanya

saya bangun dari posisi duduk dan mengepalkan kedua tangan ke udara lalu berteriak dengan

girang...

“Aing diterima kerjaaa!”

wawancara kerja di jakarta tempo hari hasilnya sudah keluar, saya diterima kerja.

Kabar baik ini seenggaknya bisa jadi penawar dari segala rasa pahit yang saya rasakan hari

ini. Tak ada lagi yang saya lakukan selain berteriak gembira “Kerja, kerja kerja!” puas sekali

rasanya hati ini.

“Nyebut Kus kesambat Jurig apa Ente?”

“Onta!” teriak saya mencekik kembli leher sidik.

“Ampun Kus Ampun.” Sidik merengek-rengek.


Terima Aja

Semenjak di televisi Indonesia ada acara kompetisi masak-memasak Teh Santi jadi

ketularan hobi memasak. banyak bahan makanan dan hidangan yang belum pernah saya lihat

dimasak Teh Santi. Katanya sih eksperimen, kebanyakan masakannya aneh-aneh, nama

makanannya pakai bahasa inggris tapi rasanya mah enggak karuan. Sialnya saya juga harus

jadi bagian eksperimennya Teh Santi sebagai orang yang memakan apapun yang Teh Santi

masak. Hadeuh...

“Nih Kus.” Ucap Teh Santi menbawa satu piring dengan hidangan yang masih panas.

“fried mix vegetable with oyster sacue.” Lanjut Teh Santi mengenalkan nama makanannya.

“Ini mah capcay atuh teh.” Kata saya setelah melihat, mengamati dan mengaduknya

dengan garpu.

“Eeeh beda atuh.”

“Sama Teh... Sayuran ditumis cuma beda sausnya aja.” Timpal saya.

“Udah terima aja.” Desak Teh Santi ketus. “Kamu mah da enggak tahu ini tuh resep si

Chef Tuna” lanjutnya.

Chef Tuna ini salah satu juri di acara kompetisi masak-memasak yang Teh Santi selalu

tonton dan alasan kenapa sebenarnya Teh Santi dan banyak cewek-cewek di Indonesia jadi

hobi dan rajin penuh semangat kalau memasak. Tentu aja bukan hanya karena dia jago masak

tapi juga karena dia ganteng banget, makanya banyak yang suka sama Chef Tuna. Setiap

bagian chef Tuna nongol dan ngasih komentar masakan peserta, Teh Santi histeris dan

mengaguminya sekali, mungkin cewek-cewek yang lain juga sama akan begitu juga reaksiya.

Sewaktu masak Teh Santi semangat dan kadang suka senyum-senyum sendiri, mungkin

karena mengkhayal masak dibantuin Chef Tuna, didampingi waktu motong bawang, dikasih

tahu apinya harus kecil kalau numis dan dibersihin keningnya Teh Santi waktu keringatan

sama chef juna. Aaah pokoknya mah kalau dipikiran Teh Santi mah manis banget... tapi dari
sudut pandang saya mah melihat kenyataan dapur kita enggak mungkin adegan itu terjadi.

Dapur di rumah kita itu sempit dan kotor kalau ada 2 orang di dapur rasanya sesak sekali,

terus kompornya suka ngadat susah nyala juga. Panci penyok berkarat dan pengorengan yang

warnanya udah kayak batubara jenis antrasit alias gosong dengan pegangan dari kayu bekas

patahan sapu injuk bikin tangan orang yang megangnya meletek kena minyak. mana mungkin

Chef Tuna mau... Dapurnya juga multifungsi tempat masak tapi bisa juga jadi tempat nyuci

baju dan tempat menyimpan barang-barang yang enggak terpakai. Belum lagi terkadang

banyak kecoak yang berterbangan, jauh banget dari kata higenis mah

Adegan romantis yang Teh Santi banyangkan saat memasak bersama Chef Tuna

kayaknya enggak mungkin terjadi deh...

Walaupun dapurnya begitu saya dan Teh Santi tetap sehat mungkin karena sudah biasa

jadi kebal menahan setiap zat berbahaya yang enggak sengaja masuk di makanan. Nah yang

satu ini baru saya belum biasa, Teh Santi masak sayuran yang dicampur sama saus yang

aneh... Rasanya ancur sekali lebih mirip telur mentah. meski begitu saya terpaksa

memakannya sambil mau muntah.

Dari Asparagus, sticky rice with pouring chiken cover by banana leaf, bangkok mustard

flour coated tempe with ccoconat grated dan semua makanan yang bahkan lebih ribet

namanya dibanding penampakannya. Saya makan semua supaya Teh Santi enggak marah.

Pokoknya semua yang dimasak Teh Santi pasti saya makan apapun itu, kalau Teh Santi

masak kulit durian pun akan saya makan, tenang Teh Santi pasti saya habiskan... karena kalau

saya komentari masakannya dia selalu ngomong “Terima aja, timbang makan doang, udah

dimasakin juga!” dengan penuh intimidasi.

Minggu sore waktu yang sempurna buat males-malesan, rebahan dan melemaskan

semua otot tubuh yang tegang untuk menyambut hari esok yang harus lebih baik dari hari

sekarang. Euh... tapi Teh Santi udah teriak teriak aja manggil saya.
“Kus... Kus!” katanya menyuruh belanja bulanan karena persediaan sabun mandi,

deterjen, minyak goreng di rumah udah hampir habis dan Teh Santi juga sekalian minta

dibeliin kulit Gyoza. Katanya ada menu baru yang mau dia coba.

“Udah cepat sana pergi.” Tegur Teh Santi

“Iyaaa.” Teriak saya yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. “Timbang ke

mini market depan aja harus diburu-buru.”

“Eh bukan disana, belinya ke Mal yang di Dago.” seru Teh Santi.

“Meni jauh.” Keluh saya.

“Kulit Gyoza enggak ada di mini market depan mah.”

“Euuhh...”

“Nih ditambahin buat ongkosnya.” Ucap Teh Santi sambil menyodorkan beberepa

lembar uang seratus ribuan pada saya.

“Buat beli minum kalau haus di jalan?” pinta saya menjulurkan tangan.

“Itu ada lebihnya Kuswara putraaa nu kasep, nu bageur” Gerutu Teh Santi dengan sorot

mata mengancamnya.

“Iyaaa.” Ujar saya bergegas keluar rumah.

“Kus.” Teriak Teh Santi.

“Apaaa lagi?”

“Jangan salah kulitnya. bukan kulit pangsit.”

“Iyaa kulit yakuza.” Seru saya sembari bergegas pergi.

“Gyoza! Kuswara, Gyoza!” Teriak Teh Santi.

Setelah 2 kali naik turun Angkot ganti jurusan dari Angkot yang berwarna biru ke

Angkot berwarna kuning saya sampai di salah satu Mal terbesar dan terlengkap di Bandung,

mata saya menari kesena kemari ketika masuk di bagian swalayan Mal ini yang berada paling

pojok belakang lantai 1.


Sabun mandi, deterjen, gula, minyak goreng dan semua kebutuhan sehari-hari untuk

satu bulan ke depan sudah menempuk di keranjang belanjaan tapi untuk kulit Gyoza ini susah

sekali menemukanya.

“Mas ada kulit yakuza, eh Gyoza?” tanya saya ke pegawai disana, walaupun sayaudah

muter-muter masih enggak ketemu itu kulit.

“Gyoza?” pegawai itu tanya balik kebingungan. Kurang ngerti mas coba ke bagian

bahan makanan, di sini bagian kosmetik.” Lanjut dia.

“Eh maaf kirain, soalnya disini banyak tulisan Skin.. kan artinya kulit yaa Mas?”

“Oh iya tapi bukan kulit yang itu.” Jawab Pegawai itu.

“Kulit itu apa Mas?”

“Iyaa kulit...” Jawabnya lagi sambil mengelus tangannya.

“Ahh ya udah, saya cari kesana” Ujar saya sambil menunjuk ke sembarang arah, lagian

juga agak sedikit aneh rasanya kalau perbincangan diteruskan, sesama lelaki membicarakan

tentang kulit. Teh Santi sih makin enggak ngerti, sebenarnya dia mau masak apa sih...

Bahannya aja pakai kulit penjahat jepang. Kulit yakuza... eh Gyoza.

“Makasih yaaa, saya kebagian bahan makanan.”

“Silahkan,” jawab pegawai itu dengan menunjukan arah letak bagian bahan makanan

berada. Setelah dilihat ternyata memang benar kulit gyoza ada di satu etalase panjang

terhimpit oleh kulit lumpia, dan kulit siomay.

Sesudah membayar di kasir saya membawa pulang barang-barang itu, kini semua sudah

berpindah wadah ke 2 kantung plastik berukuran besar yang cukup bikin otot tangan saya

terasa pegal... ketika berjalan menyusuri koridor mall untuk menuju pintu keluar tiba-tiba

terdengar suara yang familiar sekali. Suara yang selalu dan masih saja menenangkan hati

saya.

“Kus.” Sahutnya memanggil dari arah pintu salon yang baru saja saya lewati.
“Ika.” Jawab Saya ragu.

Kemudian dia mendekati saya. “Dari mana?” tanya Ika.

“Ini....” Tangan saya menunjukan 2 kantung plastik yang digenggam. “Biasa disuruh

Teh Santi.” Lanjut saya menjawabnya penuh dengan ketidaknyamanan. Ika juga merasa, dia

tampak kikuk sebentar.

“Eh Teh Santi apa kabar? Udah lama enggak ketemu juga.” Tanya Ika membuyarkan

kekikukkan diantara kita.

“Baik.. baik.”

“Kalau kamu apa kabar?” tanya Ika dengan terbata.

“Baik, kalau Ika apa kabar? Papah mamah sehat? Tanya saya canggung, demi apa

pertanyaan biasa ini kesannya terasa aneh banget sekarang.

“Baik.” jawab Ika lalu hening cukup lama, kita sama-sama kebingungan.

“Aku boleh bicara sebentar?” tanya Ika dengan senyuman yang ragu dan dibalas

dengan anggukan kepala oleh saya. “Sambil jalan.” Lanjut Ika.

Kita berjalan pelan di koridor Mal yang ramai banyak pengunjung. Karena ini hari libur

jadi banyak orang yang menghabiskan waktunya jalan-jalan di Mal. Kita terus berjalan

perlahan melewati banyak toko-toko yang menjual aneka barang, dari baju, sepatu, kacamata

optik dan penjaja makanan, sesekali Ika memandang saya seakan sedang mengumpulkan

keberanian untuk memulai perbincangan kembali, saya hanya berjalan mengikutinya dengan

gestur badan yang terasa sangat tidak enak. Keramain di Mal ini tertelan oleh kecanggungan

diantara kita.

“Maaf yaaa kemarin saya enggak nyapa kamu sama sekali.” Ucap Ika setelah cukup

lama hanya terdiam.

“Waktu pre wedding? sahut saya. "rasanya emang lebih baik kayak gitu deh.” Jawab

saya tetap berusaha tersenyum. Yaaa walaupun aslinya mah kaya sesak banget ini suasana
hati. Ika menjawab hanya dengan memandang saya lalu mengangukan kepalanya dan

kembali bisu sesaat menhampiri kita lagi.

“Gimana mas Rehan?” tanya saya, kali ini mencoba memulai perbincangan, tapi ini

adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah diajukan ras manusia dalam sejarahnya di dunia.

Tentu aja saya enggak siap menerima dampak dari pertanyaan saya dengan Ika. padahal

maksudnya cuma basa-basi tapi ngapain juga sih nanyain soal calon suaminya... Bego

kuswara! saya gedek pada diri sendiri.

Air muka Ika menyiratkan sesuatu yang enggak nyaman lalu berkata. “Sebenernya aku

gak mau negbahasnya tapi.” alisnya menarik ke atas dengan tangan yang saling menepuk lalu

terdiam sejenak seperti sedang mencari kalimat yang aman supaya mahluk rapuh di

sebelahnya enggak mati mendadak karena serangan jantung.

“Kita ketemu di rumah sakit waktu dia ngejemput Bapaknya yang lagi kunjungan ke

rumah sakit Aku.” Lanjut Ika.

“Itu sebelum atau sesudah kita putus? tanya saya lagi.

Ini adalah pertanyaan paling bodoh kedua yang pernah diajukan ras manusia dalam

sejarahnya di dunia. Jawaban pertanyaan pertama aja udah bikin sesak nafas dan semua otot

terasa lemas kaya orang yang belum makan 7 hari.

Ika menunduk lalu membuang pandangan seperti tidak mau menjawab. Walaupun ada

perasaan enggak siap mendengar jawaban Ika soal Rehan tetap aja ada perasaan mengganjal

dari saya karena jarak Ika ninggalin saya lalu memutuskan menikah dengan Rehan begitu

dekat.

“Eh gimana rame job pemotretannya?” tanya Ika mengubah topik pembicaraan.

Ya mungkin memang mending enggak usah tahu juga sih kapan mereka bertemunya

daripada jawabanya bikin hidup saya kayak zombie yang luntang-lantung enggak ada hasrat

buat hidup.
“Lumayan... tapi saya udah berhenti bantuin pemotretan.” Jawab saya.

“Apa gara-gara aku kemarin?” Tanya Ika, air mukanya bergetir merasa bersalah.

Melihat itu saya mencoba untuk menenangkannya dan berkata. “Enggak kok, saya

diterima kerja.” sambil menaikan halis penuh keceriaan.

“Seriusss? Akhirnya! Selamat yaaa.” Seru Ika, senyum manis yang dahulu selalu

menyambut saya kembali terlihat begitu hangat dan dekat sekali membuat saya lupa akan

kenyataan kalau dia bakal menikah dengan lelaki lain.

“Kamu tahu gak, pacaran sama Rehan tuh bikin aku ngerasa dekat sama tuhan.” Timpal

Ika menggelangkan kepala suara hembusan nafasnya begitu berat, kini rasa canggung di

antara kita seolah lenyap, jadi lebih santai pembawaannya kayak dulu sebelum kita putus.

“Loh...” jawab saya bingung “Harusnya bagus atuh bisa bikin kamu lebih agamis dan

tambah solehah mah.”

“Bukaaan itu.” Seru Ika dengan memanyunkan bibirnya sangat lucu.

“Terus?”

“Dia kalau dijalan tuh suka kebut-kebutan gitu, nyetirnya ugal-ugalan hobinya balapan

liar.” Ika menjelaskan. “Aku takut kecelakaan kalau udah gitu.”

“Waduuuh.”

“Kalau aja aku sedikit sabar dan kita enggak pisah....” Ujar Ika. Kalimatnya tak usai

terganti oleh helaan nafas yang dalam, air mukanya menunjukan kekesalan. Tanpa sengaja

dia mengkaitkan tangannya pada saya.

“Eeeh... maaf.” Ika kembali melepaskan tangannya.

Jeda bisu kembali menyelimuti kita sebelum akhirnya saya berkata kepada Ika mungkin

harus begini jalannya, dulu waktu kita pacaran saya selalu gagal dapat kerjaan yang bikin

saya enggak berani buat ajak Ika ke hubungan yang lebih serius, tapi ketika putus malah

akhirnya saya dapat kerjaan tetap.


“Terima aja... mau gimana lagi.” Ucap saya dengan berusaha agar setegar mungkin

kelihatannya oleh Ika.

“Iyaaa mana ada yang tahu gimana jalannya hidup, walaupun kita enggak bisa sampai

ke jenjang itu tapi apapun yang kamu lakuin indah kok buat aku.” Kata Ika lalu melangkah

menghadapan saya lalu lanjut berkata.

“Makasih yaaa.”

“Sama-sama.” Jawab saya singkat. kita melanjutkan berjalan terus menuju pintu

keluar.

“Sekarang lagi dekat sama siapa?”

“Ada banyaaak.” Jawab saya dengan aura yang penuh kepercayaan. “Pusing mana yang

harus dipilih.”

Ika menepak tangan saya dan berucap. “Uuh sombong... jangan lama-lama nanti keburu

tua.” Katanya dan enggak terasa pintu keluar Mal ini terbuka lebar, sekarang kita

melewatinya dengan hati yang damai tanpa ada sesuatu hal yang mengganjal lagi.

“Udah lama enggak ngobrol-ngobrol sambil jalan, jadi ingat zaman kampus kita sering

loh kayak gini jalan di lorong-lorong kelas.” Kata Ika

“Iya sambil ngejailin mahasiswa lain pake kulit pisang biar pada kepeleset kan.”

Timpal saya sembari ketawa.

“Itu mah kamu.” Jawab Ika dengan nada yang manja.

“Ingat gak waktu kita lagi jalan di dago terus kamu ditangkap satpol PP karena dikira

gembel.” Kata Ika dengan di akhiri tawa yang lepas sambil mukul-mukul punggung saya.

“Iyaa.” Jawab saya dengan senyum terpaksa.

“Mukanya biasa aja jangan sedih dong...”

“Apa enggak ada gitu hal yang bagusan dikit yang kamu ingat dari saya?”

“Enggak. Kenapa emang?” cetus Ika dengan wajah menggoda.


“Enggak.” Jawab saya sedikit kecewa.

“Aku ingat kok pertama kali kita kenal. Potongan pensil yang kamu kasih juga masih

aku simpan.”

Saya menatapnya dalam sekali dengan sumringah tak percaya, pensil yang saya potong

bagi dua untuk membantu Ika dulu ikut ujian masih dia simpan.

Keadaan canggung seperti diawal bertemu kembali lagi, saya diam mematung

sedangkan Ika memainkan tangannya enggak jelas. Cukup lama membisu sampai saya

mengucapkan selamat tinggal pada Ika.

“Sampai jumpa lagi” jawab Ika lalu secara tiba-tiba mendekat dan memeluk saya begitu

erat, entah respon apa yang harus saya lakukan saat ini, detik ini dan pada momen ini di

depan gerbang salah satu Mal di Bandung... tak sebentar untuk meyakinkan saya

mendekapnya lagi, mengelus halus punggungnya.

“Kalau kamu ada waktu datang ya ke nikahan Aku.” bisik Ika melepas dekapannya,

matanya berlinang air yang segera dia enyahkan dengan usapannya.

“Iya.” jawab saya singkat.

Kita berpisah pergi ke arah yang berbeda, sesekali saya menoleh ke arah Ika pergi.

Ingin rasanya berteriak pada Ika untuk jangan pergi, sebenarnya mah saya masih berat untuk

relain kamu hidup bersama orang lain tuh. Kamu itu pantasnya sama saya, meski kata orang

lain mah enggak.

Tapi saya yakin saya bisa selalu jaga dan bikin kamu bahagia kok. Saya tahu dan saya

juga yakin Ika rasa, kita itu masih saling menyayangi...

Tapi kayaknya mah udah terlambat juga untuk bicara semua itu Terlalu egois kalau

saya coba meminta Ika kembali. Ada banyak konsekuensi yang saya rasa enggak akan

sanggup buat saya tanggung.

Jadi ya udah terima aja nasib ini... Sampai jumpa Gustika Ramadiani.
Tanggal 1 April

Setelah serangkaian kegagalan dan kesialan yang saya hadapi, akhirnya hari ini saya

masuk kerja untuk pertama kalinya. Gak sabar saya untuk memulai kehidupan baru yang

cemerlang dan menyudahi hidup nista sebagai penangguran abadi.

Saking antusiasnya Teh Santi membuatkan sarapan bagi saya yang justru bikin saya

cemas, takut Teh Santi masak makanan yang aneh-aneh lagi. Tapi syukur pagi ini dia

menyajikan nasi goreng dengan telur mata sapi buat saya, dengan potongan buah katokkon,

sekilas sih bentuknya mirip seperti buah ceri cuma lebih besar buah katokkon. Katanya nasi

goreng ala Sulawesi Utara. Sebenarnya sih agak sedikit curiga waktu Teh Santi kasih tahu

buah katokkon, karena belum pernah satu kali pun saya dengar nama buah itu tapi rasanya

nasi gorengnya enak kok enggak seperti eksperimen yang biasanya Teh Santi masak. Semua

terasa lezat sampai saya menyantap buah katokkonnya...

PEDAAAS!

Sekujur tubuh terasa terbakar, muka saya memerah, mulut juga bengkak jadi kayak

Angelina Jolie versi berjakun. Perih dan menyiksa sekali di perut tapi karena janji saya untuk

menghabiskan apapun yang dimasak Teh Santi, jadi saya tetap berusaha memakannya sampai

habis. Yaaa walaupun makan nasi goreng ini tuh bikin saya jadi punya pengalaman gimana

rasanya ngijak api neraka tanpa alas kaki.

Teh Santi cuma ngomong ‘masa sih... masa sih” menanggapi saya yang kepedasan. Sok

kaget padahal saya yakin dia asal ngambil aja itu buah waktu belanja. Tanpa tahu rasanya

bagaimana.

“Padahal bentuknya sama kayak buah ceri, harusnya manis.” Cetus Teh Santi dengan

polosnya.

“Teeeh.” Rengek saya kepedasan.

“Gak semua yang bentuknya sama, rasanya harus sama juga atuh Teh.” Keluh saya.
“Contohnya?”

“Nangka sama Campeda, sama bentuk tapi beda rasa.” Jawab saya diiringi suara huh

hah huh hah masih kepedasan.

“Terus apa lagi?”

“Ya ini... yang Teteh kira buah ceri. Apa namanya?”

“Buah katokkon.”

“Nah itu lah... Rasanya kayak makan semut rangrang hidup-hidup enggak ada mirip-

miripnya sama rasa buah ceri.” Gerutu saya.

“Eh Kuswara buah ceri juga ada yang asem!” potong Teh Santi.

“Buah ceri oleh-oleh dari si uwa waktu pulang dari ciwidey itu asem.” lanjut Teh Santi

menjelaskan.

“Itu mah mentah. Tuh yaaa malah jadi ngomongin ceri.” Jawab saya jadi sedikit kesal.

”Udah ah Kus berangkat kerja dulu.” Sambung saya.

Sambil meminum air putih satu gelas besar lalu saya pamit “Asalamuallaikum Teh”

lalu bergegas keluar.

“Walaikumsalam, lancar yaaa.” Seru Teh Santi.

Setelah drama pagi hari ini saya tiba di tempat kerja dengan keadaan sehat wal afiat.

saya diarahkan menunggu di sebuah ruangan tempat rapat. Ada 3 orang lainnya disana 2

cowok dan 1 cewek bernama Tari. Satu-satunya nama yang saya ingat waktu berkenalan

sama mereka. Sama seperti saya mereka juga pegawai baru yang menungu pengarahan dulu

sebelum nantinya kerja di divisi masing-masing.

Setelah pengarahan selesai kita diantar ke divisi masing-masing. Saya masuk di divisi

PPIC yang bertempat di tengah bangunan utama pabrik ini. Ruangannya sempit, enggak ada

jarak antar mejanya. Dengan sekat kaca besar di dinding temboknya membatasi dengan

ruangan di belakang, sebuah ruangan produksi dengan puluhan mesin yang menyala.
Walaupun begitu bunyi bising di tempat itu enggak menembus ruangan PPIC tempat saya

berada sekarang.

Ada 14 jumlah orang di divisi PPIC 4 staf dan 10 pekerja lapangan. Tapi yang saya

jumpa disana hanya ada 4 orang. Pak Agus sebagai kepala divisi lalu Iman yang biasa panggil

Omen, Yusril yang paling cungkring karena dari kecil enggak makan nasi dan Acep berbadan

paling subur dan paling sok akrab. Omen, Yusril dan nantinya ditambah saya bekerja sebagai

staf sedangkan Acep bekerja di lapangan. mereka tampak baik dan ramah menyambut saya

sebagai pekerja baru di sini.

Karena komputer untuk saya belum tersedia saya hanya mengamati dan mempelajari

cara bagaimana mereka bekerja, itung-itung latihan dulu sebelum nanti terjun langsung kerja.

Semua berjalan lancar sampai akhirnya sebuah panggilan dan gejolak gejolak dari dalam usus

mencuat keluar. Bau gas dari perut saya menyeruap mengisi lingkup kecil ruangan ini.

“Bau naon ieu?” tanya Pak Agus mendongkakan kepalanya bertanya pada kita seraya

hidungnya mengendus-endus ke berbagai arah.

“Bau Hitut.” Teriak Acep menutup hidungnya lalu diikuti yang lainya menutupi

hidungnya. Saya menunduk malu tak jelas rasa.

“Melepes Pak... bau” Seru Omen.

Suasana jadi sedikit gaduh “manehnya?” tanya Omen menuduh Yusril.

“Tuh si Acep yang segala makanan digares.” Yusril menunjuk Acep. “Bau bangke

gini.” Lanjut Yusril teriak.

“Naooon tuh Pak Agus.” Seru Acep.

“eehh enggaaak.” Teriak Pak Agus.

Tuduh-menuduh ini terus berulang semakin ricuh dengan dihiasi gelak tawa, suara

setiap orang jadi terdengar aneh seperti tokoh Squidward di serial kartun Spongebob

Squarepant. Ingin rasanya mengaku dan minta maaf namun karena masih canggung dengan
mereka, saya jadi malu. Sampai akhirnya di tengah sorak sorai saling tuduh-menuduh itu saya

mengacungkan tangan.

“Maaf pak... Sakit perut....” Ungkap saya. ditanggapi gelak tawa dari semua orang yang

memenuhi ruangan ini.

Kentut di depan teman kerja yang baru saya kenal pada hari pertama masuk kerja

rasanya bikin harga diri ancur. Ampuuun... malu banget.

“Cepat ke toilet.” Seru Pak Agus melihat saya terus memegang perut kesakitan.

“Iyaa pak.” Saya bergegas keluar dan tak lama balik lagi. “Euh... Toiletnya dimana?’

Tanya saya.

“Keluar belok kiri di pojokan.” Jawab Omen dengan tangan yang masih memutup

lobang hidungnya.

Sunguh bukan kesan pertama yang baik sebagai seorang pegawai baru. “Pasti ini karena

efek buah sialan itu. Heuh...” Gerutu Saya sambil menghela nafas dalam-dalam di Toilet.

Sakit perut ini parah banget bikin saya harus mondar-mandir ke toilet. Baru duduk 10

menit setelah kembali dari kamar mandi perut saya kontraksi kembali bersiap meluncurkan

lahar dinginnya. Dari minta ijin penuh sopan santun untuk pergi ke Toilet seperti “Mohon

maaf pak ijin ke toilet.” Sampai hanya melambaikan tangan tanpa kalimat sebagai isyarat

saya harus ke toilet, karena saking tidak bisa menahan panggilan alam ini. Kontraksi ini harus

segera disambut karena kalau telat sedikit bisa-bisa lahar dingin yang siap mengalir keluar di

tempat yang tidak semestinya seperti di celana dan akan mentengsarakan saya sepanjang hari.

Sampai siang menjelang hanya di habiskan untuk pulang-pergi ke kamar mandi. Lemas

banget... Juga malu sih sampai Acep datang bawa obat diare dan satu botol isotonik buat saya

sehingga bisa bertahan sampai pulang kerja.

Esok harinya dengan muka yang enggak tahu harus bagaimana lagi saya datang ke

kantor, saking malunya saya punya pikiran buat keluar kerja aja gitu...
Enggak habis pikir bisa-bisanya hari pertama kerja terjadi tragedi memalukan sepeti itu.

Saya ngerasa setiap orang kayak ngelihatin saya dan berbisik-bisik membicarakan sesuatu

ketika berjalan dari gerbang masuk menuju ruangan PPIC.

“Woy Beol!” teriak Acep memanggil saya yang sedang berjalan di lorong mendekati

dia yang berdiri di depan ruangan PPIC.

Saya hanya senyum terpaksa sambil melambaikan tangan membalas panggilan Acep.

“Ini Cep yang kemarin mencret teh.” Tanya seorang yang berdiri di samping Acep

badannya tegap kayak binaragawan.

“Iya Ki.” Jawab Acep ke orang tadi sambil tertawa.

“Kuswara.” Saya menyodorkan tangan mengenalkan diri.

“Hengki PPIC lapangan.” Jawab dia

“Kumaha sehat?” tanya Acep.

“Iya.” jawab saya mengangukan kepala lalu mereka tertawa lagi.

“Sarapanya seblak kali.” Sahut Henki yang diiringi gelak tawa mereka.

Tragedi hari pertama dampaknya ternyata belum berakhir, satu hari memalukan itu

cukup bikin saya punya nama panggilan yang artinya enggak banget. “Beol" sekarang hampir

semua teman kerja memanggil saya dengan sebutan Kus beol.

Walaupun saya kurang nyaman sama panggilan itu tapi yaaa mau gimana lagi namanya

juga anak baru enggak bisa protes. cepat atau lambat entar juga terbiasa dipanggil Beol.

Production Planing and Inventory Control kalau disingkat jadi PPIC. Keren kan nama

divisi tempat saya kerja pakai bahasa Inggris. Sebelum memulai kerja sebagai staf Pak Agus

bicara pada saya untuk mengikuti program adaptasi dulu di lapangan. Jadi lah selama 2

minggu pertama saya ditempatkan di bagian PPIC lapangan bareng Acep, Hengki dan

beberapa orang yang belum saya hapal namanya. Karena ada istilah planing dan control saya
kira kerjaannya hanya memantau dan mengawasi produksi perusahaan tapi kenyataan di

lapangan jauh dari apa yang saya pikirkan.

“Ayo.” Sahut Acep setelah keluar dari ruangan PPIC.

Saya mengikutinya dari belakang menuju satu ruangan di sudut tempat kerja dengan

lorong yang lebih sempit dari lorong jalan masuk ke ruangan PPIC. Tempatnya berdebu dan

terasa gerah. Disana banyak barang-barang dan alat yang tersimpan. Acep mengambil satu

palet troli kemudian kita berjalan kembali menuju gudang komponen Acep memasukan

pijakan troli itu kolong palet yang diatasnya menumpuk box plastik.

“Jadi Supir atau kenek?”

“Hah kenek?” Tanya saya kebingungan.

“Oke.” Timpal Acep menarik gagang troli. Walau masih bingung saya akhirnya bantu

Acep mendorong dari belakang. Kita menyusuri lorong gedung utama menuju Gudang bagian

Pengepakan. Beberapa kali saya dan Acep berpapasan dengan palet troli yang di dorong oleh

pegawai PPIC lapangan lainnya.

“Antri woy.” Sahut orang PPIC yang belum saya kenal ketika kita berpapasan.

Ada Hengki juga yang saya lihat waktu mau masuk ke Gudang bagian pengepakan.

Tidak seperti ruangan PPIC, Gudang Komponen dan Ruang Produksi yang masih dalam satu

gedung, Gudang bagian pengepakan ini gedungnya terpisah sendiri, jalan masuknya juga

menanjak bikin tenaga habis kalau mendorong troli ke Gudang bagian pengepakan. Hengki

dan satu orang lain yang belakangan namanya saya ketahui yaitu Cepi membantu saya dan

Acep melewati tanjakan itu.

“1... 2.. 3...” Sahut Acep yang disambut oleh kita sambil berlari mendorong troli

menaiki tanjakan.

Begitu juga palet troli lain yang kita jumpai kalau mau melewati tanjakan ke bagian

pengepakan, kita akan saling membantu. Enggak ke hitung berapa kali saya bolak-balik
mendorong troli kadang berpasangan sama Acep kadang juga sama Hengki atau yang lain.

Sebenarnya kerjaan ini lumayan nguras tenaga, tapi karena kita kerjanya saling bantu dan

banyak bercanda jadi asik. teringat memori waktu kecil kalau lagi main roda-rodaan sama

teman-teman. Meski awalnya saya enggak nyangka divisi yang namanya keren pakai bahasa

Inggris “Production Planing and Inventory Control.” Ternyata kerjaanya dorong-dorong

roda.

Emang benar kalau ada sesuatu yang namanya pakai bahasa inggris tuh belum tentu

bagus dan keren. Persis... kayak masakannya Teh Santi.

Kenyataan bahwa saya udah kerja membuat dunia saya yang selama ini tertutup awan

kelam kesialan kini mulai bersinar dan harapan-harapan baru akan hidup yang lebih baik kini

jelas tergambar. Setiap pagi saya punya rutinitas, enggak seperti dulu waktu nganggur pusing

mikirin mau ngelakuin apa buat ngabisin waktu seharian.

Setelah 3 bulan bekerja ada banyak hal baru yang saya tahu dan saya rasakan, ternyata

dengan bekerja enggak otomatis hidup kita jadi lebih bahagia. Dulu waktu nganggur sering

banget ngeluh, ngerasa hidup tuh berat banget tapi ternyata waktu udah kerja sering juga saya

dengar rekan kerja saya mengeluh... Yaa cape lah, stress kerjaan numpuk atau ngerasa

gajinya kurang karena cicilan banyak dan lainnya.

Ternyata penganguran atau pekerja sama aja, ada sesuatu hal yang dikeluhkan dan

mempunyai urusan yang sama harus diurus. Presepsi orang kalau penganguran itu hanya

melamun kosong tiap hari, saya rasa enggak begitu. Mau ngangur atau kerja atau apapun itu

selama masih hidup akan selalu mempunyai urusan yang harus dia selesaikan namun dalam

porsi yang berbeda.

Buat saya pribadi mah banyak banget yang saya terima dari bekerja, selain gaji

tentunya... Sekarang saya lebih percaya diri merencanakan masa depan terus juga enggak

gagap kalau bertemu teman lama atau menghadiri reunian. Tapi selain itu ada juga dampak
dari kerjaan saya harus saya terima, yaitu penglihatan saya yang menjadi buram, sepanjang

hari melototi layar komputer membuat mata saya minus sepertinya, pandangan dengan jarak

2 meter sudah kurang jelas bagi saya. Harusnya sih pakai kacamata tapi saya gak percaya

diri. jadi yaa saya paksain aja walau harus mengkeritkan dahi terlebih dahulu supaya fokus

dan melihat lebih jelas.

“Meni rajin Kus pagi-pagi udah nyuci motor.” Ujar Ceu Salma menyapa saya yang

sedari awal hari udah sibuk di depan rumah bersihin motor yang baru 1 bulan saya beli. Gak

kayak dulu kalau mau kemana-mana naik angkot, sekarang mah tinggal gas aja naik motor,

“Iya Ceu hehe.” Jawab saya sambil tangan terus menggosok bodi motor biar terlihat

makin kinclong. “Belanja sayur Ceu?”

“Iya ini mau bikin sayur lodeh, hayu atuh sarapan dulu.”

“Mangga Ceu makasih.” Sahut saya tetap sibuk menyuci motor.

Semenjak saya kerja, Teh Santi jadi lebih santai. Kini dia punya wakttu lebih untuk

hidupnya sendiri, enggak kayak dulu yang harus ngurusin saya si beban keluarga. Selain

menggeluti hobi masaknya yang lebih serius dengan ikutan kursus memasak, jadi bikin

masakannya enak-enak jarang gagal kayak waktu pertama nyoba hobi masak hidangan aneh.

Teh Santi juga sekarang udah punya pacar, Kang Hendra namanya. se

Setiap malam minggu mereka selalu pamit pergi pacaran nonton bioskop dan makan

malam di luar. Sekarang malah saya yang tiap malam minggu jagain rumah. Nasib... nasib...

Ojat sekarang jadi juru parkir di Puskesmas. Gedung samping warung kopi yang dulu

terbengkalai sekarang jadi Puskesmas. Kata Ojat waktu dia tidur-tiduran dekat situ enggak

sengaja dia bantuin orang yang kesusahan mau parkir lalu orang yang dibantu orang itu

memberi uang. Setelah itu dia punya pikiran untuk mengelola lahan parkirnya dengan

meminta ijin ke pihak Puskesmas. Lumayan lah sekarang tiap hari ada penghasilan tetap buat

sehari-hari enggak seperti dulu yang nista mau ngerokok aja harus mungutin puntung rokok
bekas orang. Setiap hari dia bisa dapat 50 sampai 100 ribu dari lahan parkirannya. Dia juga

jadi rajin ibadah dan berdoa, mendoakan orang-orang banyak yang sakit... Jadi banyak yang

mau berobat dan parkir di Puskesmas. Kelakuaaan Ojat!

Semantara Sidik kembali membuka-buka berkas penelitian skripsinya waktu di

bangka dulu, dia berhenti ngerjain kerjaan-kerjaannya dan mau fokus menyelesaikan

kuliahnya biar bisa lulus tahun ini dan langsung lanjutin kerja di perusahan tambang milik

pamannya di Kalimantan.

Biasanya setiap hari minggu saya merasa bahagia karena bisa istirahat dari penatnya

kerjaan tapi di hari minggu di tanggal 1 April ini berbeda. Minggu ini membuat saya gelisah

bahkan dari kemarin malam saya merasa resah, jantung berdebar dan susah tidur. Walaupun

pagi mataharinya cerah tapi rasa-rasanya perasaan saya lumayan murung dan tidak bergairah.

Kalau punya kekuatan yang bisa meniadakan suatu tanggal atau hari, ingin deh rasanya

menghapus hari minggu tanggal 1 April ini. Tapi namanya janji harus ditepati jadi saya

melompat ke kamar mandi dan bersiap pergi ke undangan pernikahannya Ika.

Yaa pernikahan Ika! Heuu....

"Kus...!" Sahut Ojat

"Jat." jawab saya saat bertemu Ojat di lahan parkirannya.

"Jadi ke kondangan Ika?" tanya Ojat.

"jadi... tapi yaa sebenarnya mah berat euy." Keluh saya.

"Udah guna-guna aja biar batal nikahannya Ika. Di kampung urang ada dukun sakti

Abah Benton namanya." Tutur Ojat.

"Siapa namanya?"

"Abah Benton." timpal Ojat.

"Kumaha Kus?" tanya Ojat ketika saya sedang melamun. Kalau gak salah itu dukun

yang bikin saya berendam di kolam yang banyak tinjanya.


"Ah enggak-enggak..." Jawab saya.

"ehh asli ini mah sakti." Seru Ojat.

"Enggak!" Teriak saya sambil menarik gas meninggalkan Ojat.

"Kuuus... Kus!" Panggil Ojat dari kejauhan.

Saya meluncur menuju jalan Asia Afrika, tempat berlangsungnya acara pernikahan

Ika dan Rehan. Menelusuri jalanan Bandung yang kali ini ramai oleh para pelancong yang

datang untuk liburan. Berjejer mobil berplat nomor kota lain,kl khusunya mobil berplat

nomor B mendominasi jalanan hari ini. Apalagi menuju ke jalan Asia Afrika, macet... Karena

pusat kota Bandung dan banyak tempat rekreasi juga berada disana.

Rasanya Bandung dulu enggak semacet ini deh, eh tapi dulu saya kan enggak pernah

jalan kemana-mana. Gak tahu juga kalau tiap akhir pekan macet kayak gini atau enggak.

Sepanjang jalan saya teui banyak janur kuning terpasang. Di satu gapura jalan

terpasang janur bertuliskan “Miranty & teddy.” Berkendara sedikit jauh kembali saya

temukan janur kuning dengan tulisan “Wati & Dani” di gerbang sebuah sekolah. kemudian

lewat beberapa perempatan kembali saya lihat janur bertuliskan “Pricilla & Andi.”

Setidaknya ada 7 janur kuning yang saya lihat. Apa sekarang lagi musimnya orang pada

nikah kali yaaa.

Keadaan jalan makin padat merayap apalagi ketika saya memasuki jalan Asia Afrika.

Saking macetnya laju motor saya sama orang yang jalan kaki pdi trotoar aja masih cepatan

orang yang jalan kaki. Setelah menegok ke kiri dan ke kanan akhirnya saya melihat janur

kuning dengan papan nama bertuliskan “Rehan & Gusti” di sebuah hotel yang letaknya persis

di depan Gedung Merdeka. Rasanya dulu pernah deh ngehayal nikah di Gedung itu...

Sebelum masuk ke tempat pernikahan saya berhenti dulu sejenak dan berpikir apa

baiknya mending saya balik lagi, enggak usah datang ke nikahannya Ika. Pikiran ini

berkecamuk di otak saya. Satu sisi diri saya berbicara kepada saya sendiri “Jangan masuk
Kus kamu enggak akan Kuat.” Satu sisi lagi berbicara “Udah hadepin aja.” Semua terus

beradu di otak saya bikin tambah pusing sampai akhirnya ada suara orang berteriak “Masuk

woy! Cepat jangan ngalangin jalan.” Dari orang yang berseragam hitam-hitam dengan rambut

cepaknya. “Kang ayo kang Pak Wali mau masuk.” Lanjut dia menepuk punggung saya pelan.

Setelah memasuki area parkiran motor baru saya paham yang dimaksud Pak Wali oleh orang

itu tuh Walikota... rasanya dulu juga saya pernah deh ngayal nikah mengundang Walikota...

hmm...

Entah kenapa tiba-tiba muncul kembali bayang-bayang indah ketika saya dan Ika

bersama. Gak jauh dari hotel ini, 6 tahun lalu di sebuah restoran saya dan Ika resmi

berpacaran. Saya masih mengingatnya dengan baik bagaimana Ika begitu cantiknya walau

tanpa riasan, berbicara pada saya penuh kegemasan. Setelah itu banyak waktu yang selalu

kita habiskan bersama. Misalnya kenangan saat kita malam mingguan jalan-jalan di Dago,

waktu itu Ika menangis minta tolong ke Satpol PP untuk melepaskan saya, karena mereka

sangka saya anak punk yang sering mabuk Lem di dekat taman flexi... Kalau dulu rasanya

kesal sekali karena bisa-bisanya Satpol PP menangkap dan mengira saya sebagai brandalan

yang enggak punya uang dan mabuk dengan menghirup botol Lem. Saya masih ingat wajah

Ika yang sangat khawatir dan terlihat tidak mau kehilangan saya... Eh tapi sekarang malah

mau nikah sama orang lain.

Walaupun terasa berat saya urungkan niat untuk meninggalkan tempat ini. Datang ke

pernikahan Ika adalah sebuah isyarat bahwa saya baik-baik saja. Banyak kisah cinta orang

lain yang juga nasibnya sama kok tidak berakhir di pelaminan. Ada yang ceweknya nikah

duluan sama orang lain ada pula cowoknya yang nikah duluan sama cewek lain, tetapi

semuanya masih baik-baik aja mereka tetap hidup normal dan bahagia dengan jalan hidupnya

masing-masing, saya yakin saya juga akan begitu.


Setelah menulis nama di buku tamu saya dengan tegap melangkah memasuki gedung

hotel, di satu ballroom yang cukup luas dari kejauhan pasangan pengantin terlihat berdiri di

pelaminan meski nggak terlalu jelas, terlebih karena penglihatan mata saya yang buram.

Samar-samar mereka memakai busana merah bercorak emas, sedangkan pengantin

perempuannya dihiasi mahkota besar berwarna emas yang bentuknya mirip ekor burung

merak yang merekah di kepalanya. Disana juga banyak tamu lain yang datang ke panggung

pelaminan menyalami. Karena Walikota datang antriannya jadi cukup panjang dan lama.

Saya putuskan buat nyicip baso tahu dulu sebagai hidangan pembuka. Itung-itung buat

tambahan asupan tenaga biar saya bisa tegar di hadapan Ika nanti. Siomay, tahu putih Kol

gulung yang tadi dihidangkan dari piring kertas kecil kini sudah bermukim di perut saya.

Baso tahu terenak yang pernah saya makan, dilematisnya baso tahu terenak ini adanya di

nikahan mantan saya...

Bebarengan dengan itu antrian ke panggung pelaminan sekarang lebih longgar enggak

sepenuh barusan, saya pun masuk ke dalam barisan untuk menemui Ika dan Rehan dan

menyalaminya. Satu persatu orang naik ke panggung pelaminan, semakin dekat dengan

panggung pelaminan kini semakin jelas saya bisa melihat mereka dan betapa tidak

menyangkanya dua orang pasangan pengantin yang berada di panggung pelaminan itu terlihat

asing, mereka sama sekali tidak saya kenal.

“Mas ini nikahannya Rehan dan Ika... eh Gusti kan?.” Tanya saya ke seseorang yang

berseragam putih disamping barisan, dia sedari tadi sibuk mengatur barisan untuk bergiliran

naik panggung menyalami pengantin.

“Iya mba Rehana sama Mas Gusti.”

“Eeeh.. Mas Gusti?!” Teriak saya tercengang.


“Iya Gusti landak.” Jawab dia menunjuk laki-laki di atas pelaminan, seorang lelaki

pendek, sedikit gempal dengan rambut rancung. “Pengacara terkenal di Bandung.” Lanjut

dia.

Orang berseragam putih itu terus berbicara tetapi tidak terdengar jelas karena saya

tertelan dalam keterkejutan. Kedua tangan memegang kepala tak percaya karena ternyata...

Saya salah Kondangan. Anjiiir...!

Tamat

Anda mungkin juga menyukai