THE
JOBLESS LIFE
Keluh Kesah Penganguran
Selain Malaikat Atid dan Rakib ada 2 hal lagi yang sepertinya selalu menyertai diri
saya, yaitu berkas lamaran kerja dan kesialan. Seperti siang ini ketika saya memasuki sebuah
“Nama, tanda tangan.” Ujar seorang Petugas keamanan sambil membuka buku
“Kuswara Pak...“
meja.
Bunyi hentakannya bikin kaget dan nyali saya menciut. Jadi ingat omongan senior
waktu ospek kuliah, mereka sering menyuruh saya push up sambil membentak bilang “Ini
Saya pikir itu hanya akal-akalan senior aja biar punya alasan melonco juniornya. Eh
Tapi kan saya belum masuk dunia kerja, baru ngelamar kok udah galak-galak sih!
Pulpen yang diberikan petugas keamanan ini membuat pengalaman menulis kali ini
terasa kayak lagi membuat ukiran kaligrafi di media kayu. Tinta-nya susah banget keluar.
Harus ditekan cukup kuat dan digoreskan berulang-ulang baru tintanya keluar... Bikin pegal
aja ni pulpen!
Pandangan petugas keamanan ini juga bikin saya tambah tegang dan risih. Selain
tatapannya sinis. Saya juga enggak terbiasa dipandang begitu dekat oleh seorang lelaki
Di sudut Pos Keamanan yang bangunan depannya tanpa dinding ini terdapat meja
panjang berwarna kayu yang penuh sama tumpukan map cokelat memenuhi semua ruang
yang ada. Disengaja atau enggak tumpukan berkas itu kayak kartu remi bekas dipakai.
Berantakan...
“Berkas lamarannya simpan aja di situ.” gerutu petugas keamanan itu menunjuk
Ternyata bukan hanya di atas meja aja. Tumpukan-berkas ini juga ada di kolong dan
banyak lagi memenuhi lantai, diikat kayak gundukan koran yang siap diedarkan di pagi hari.
“Iya simpan aja, yang lain juga di situ!” jawab Petugas itu tetap ketus tanpa menoleh.
Di satu sisi saya jadi kasihan sama orang yang nanti ditugasi memeriksanya. Apa
enggak bosen begitu bacain riwayat hidup orang lain sampai mungkin dia sendiri enggak
punya waktu buat bikin riwayat hidupnya sendiri. Ah tapi saya juga curiga sih enggak semua
bakal dia periksa. Mungkin aja dia pilih secara acak atau pake metode cap cip cup untuk
nentuin berkas mana yang bakal dia periksa dan sisanya yaaa palingan juga diikat terus
ditimbang dan dilempar masuk gerobak Mang-Mang berbaju oblong yang di belakang
Pas banget kan... Kurang istimewa apalagi itu berkas berisi lembar demi lembar hasil
barang bekas untuk diolah lagi enggak tahu jadi apa. Kalau sedikit beruntung itu kertas
Jadi jangan heran kalau nemu tulisan keterangan IPK 3.00 di bungkus gorengan tempe, bala-
bala dan gehu yang dibeli atau nemuin bungkus gorengan yang tercantum tinta bertuliskan
pengcapain kita itu luntur oleh minyak jelantah sisa dari gorengan, persis kayak ilmu kita
yang luntur enggak terpakai karena saking lamanya nunggu dapat pekerjaan.
Tapi yaaa seenggaknya mah berkas lamaran kita masih berguna buat orang lain. Jadi
Nasib yang paling sial dari berkas lamaran kita adalah menjadi kumpulan benda tak
berarti dan enggak punya fungsi. Hanya dinilai ngotorin lingkungan aja dan sering dijadikan
Penganguran juga punya nasib yang sama seperti sampah karena sering diremehkan
dan dianggap tidak bermanfaat bagi masyarakat sosial. Yaaa walaupun seenggaknya
penganguran mah tidak berakhir di tempat pembuangan sampah tapi paling enggak
pengangguran berakhir jadi bahan gibah tetangga. Huh... hina rasanya tuh. Padahal mah saya
juga enggak mau atuh jadi pengangguran tuh. Tapi entah kenapa selalu aja terjadi hal-hal
“Iya” jawabnya singkat dengan nada yang tidak ada pertanda dia ingin beramah-
tamah dengan tamu yang datang. Terlebih tamu yang seperti saya.
Kenapa sih petugas keamanan di Kantor atau Pabrik-pabrik enggak bisa seramah
Meskipun perlakuan petugas keamanan pada saya begitu arogan tapi saya mencoba
tetap sopan ketika melangkah pulang dengan mengucap terima kasih sambil membungkukan
badan.
Mendekati gerbang tralis besi lengkap dengan roda dan bantaran rell yang terlihat
dimakan usia yang saya rasa lebih tua umurnya dibandingkan umur petugas kemanan itu.
Terbayang mendorong gerbang yang lajurnya pasti macet. Suara gesekan roda dengan
lintasannya pun bikin perih telinga dan gigi ngilu, kayak mendengar suara biola yang
senarnya udah karatan dan bikin jari pemainnya berdarah-darah. Pantesan sikapnya enggak
ada ramah-ramahnya, mungkin karena beban dia yang tiap hari harus membuka-tutup
Yaaa udahlah saya juga enggak mau ambil hati juga kalau emang dia enggak ramah
sama orang. Itu kan urusan dia. Yang penting saya mah jangan sama kayak dia. Harus sopan.
“Woy! Woy!” Teriak petugas itu dengan sangat keras tepat sebelum kaki saya
ngelangkah sepenuhnya keluar, teriakannya seperti yang lagi ngejar maling. Saking kerasnya
bikin seantero orang meletakan kerjaanya berhamburan keluar memandang saya dengan niat
ingin mukulin.
Kemudian, dia merapihkan kemejanya dan mengetatkan ikat pinggangnya sebelum berjalan
mendekati saya.
Dalam hati saya mengira mungkin dia sadar dan meminta maaf atas perlakuannya
yang kurang ramah lalu berdiri di samping gerbang mengantar kepulangan saya dan berkata
“Balikin pulpennya!”
Ini salah satu momen yang membuat saya terlihat bodoh dan tidak berdaya sepanjang
26 tahun hidup di dunia. Saya hanya melongo bingung harus bicara apa saat dia merebut
pulpen yang sedari tadi tanpa disadari masih dalam genggaman tangan saya.
Sial! udah mah judes si bapak petugas keamanan teh, berkas lamaran yang di sana juga
banyak banget. Eh pake lupa segala lagi saya belum balikin pulpenya.
Gimana kalau kejadian ini sampai ke kuping manajer? Saya bisa langsung dicoret dari
daftar calon pekerja karena belum apa-apa udah berani mencoba mengelapkan aset
perusahaan.
Dalam perjalanan pulang saya hanya terpagut diam di pojokan kursi Bus Damri
sampai kemudian Bus yang saya tumpangi melewati Kampus tempat saya kuliah. Banyak
memori kembali muncul di pikiran. Ada rasa nostalgia dengan teman-teman seangkatan yang
sekarang konmunikasinya hanya sebatas kalau ada berita duka & undangan pernikahan aja.
Ada juga rasa penyesalan yang datang karena merasa saat Kuliah asal-asalan. Tapi ada juga
yang membuat saya merasa bahagia ketika memandangi kampus dari kaca Bus yang kotor
ini, yaitu kenangan indah yang saya habiskan bersama Ika. Pacar saya yang sampai saat ini
Entah kenapa rasanya banyak banget deh kesialan yang menimpa saya saat mencari
kerja. Dari hampir kena tipu karena harus menyetor uang dahulu kalau mau dapat kerja. Ikut
pelatihan kerja di kantor yang kayak siluman karena besok harinya itu kantor berubah jadi
toko parfum. Atau ketika mau wawancara kerja tiba-tiba saya menderita seriawan di lidah
segede tutup spidol yang bikin saya melet-melet kayak anjing herder kalau mau ngomong.
Sejak saat itu saya jadi tambah insecure kalau mengikuti wawancara kerja. Dunia itu
kayak gak berpihak untuk saya ditambah kelakuan saya yang terkadang ceroboh bikin saya
selalu gagal dapat pekerjaan. kesialan itu udah kayak pacar yang posesif bagi saya. Karena
Sesampainya di rumah hari sudah gelap. Saya langsung masuk kamar merenungi
rentetan kegagalan yang saya alami. Seandainya aja saya punya kerjaan mungkin hidup saya
lebih baik. Seperti hidup orang-lain yang lulus kuliah langsung Kerja lalu menikah dan punya
anak. Heu...
yaa sayangnya jalan hidup berkehendak lain buat saya yang harus menjalani fase
Padahal mah udah gak keitung berapa berkas lamaran yang saya kirim kalau disimpan
di satu rumah cukup buat bikin orang-orang mengira kalau rumah itu gudang Kantor Pos.
Semua cara udah saya coba dari door to door menenteng berkas lamaran ke perusahaan-
perusahaan sampai mengirim online di situs penyedia lowongan kerja seperti jobcikdotcom
Seminggu, dua minggu. Sebulan, dua bulan saya menunggu dan tetap masih belum
juga ada balasan dari berkas lamaran yang saya kirim itu.
Mendapat pekerjaan emang bukan perkara yang mudah bagi sebagian orang. Ini
bukan cuma soal ketatnya persainganan karena banyaknya pencari kerja yang gak sebanding
sama lowongan yang tersedia. Tapi parahnya lagi sebagian orang mempunyai jimat ajaib, anti
gagal diterima kerja. Bahkan tanpa harus melewati tahapan tes dan wawancara kerja seperti
pencari kerja pada umumnya. Saya anaknya bapak anu. Saya keponakannya yang punya
perusahaan dan apa pun itu praktik nepotisme yang sering kita perhalus dengan istilah orang
dalam...
Jadi kalau ditanya kenapa belum dapat pekerjaan, yaaa banyak faktor juga yang
menentukan. Bukan cuma karena usaha kita yang kurang maksimal atau karena IQ kita
jongkok. Di luaran sana juga banyak lulusan Cum laude yang sama susah cari kerja. Apalagi
Salah satu faktor diterima kerja juga adalah soal keberuntungan dan sayangnya saya
***
sekaligus satu-satunya keluarga yang tinggal bareng saya. Dari kecil Teh Santi yang merawat
saya. Kalau enggak ada Teh Santi mah mungkin saya udah jadi gelandangan.
“Iya Teh...” Jawab saya dengan kelopak mata yang masih tertutup.
“Teteh mau berangkat. Cepet bangun.” Seru Teh Santi mengetuk pintu kamar “Nih ada
Dengan gerakan kilat. Sekali lompat ke kamar mandi, cuci muka, gosok gigi dan ganti
baju telah saya lakukan. Tanpa sempat Teh Santi berkedip saya sudah berdiri di hadapannya
“Bau Jigong! Rambut acak-acakan, baju pada bolong kamu teh meni kayak gembel
“si Teteh pagi-pagi teh udah ngomel aja.” Ucap aya seraya menggaruk-garuk kepala
Teh Santi kerja jadi guru kesenian di SD Cipta Pasundan. Sekolah yang menitik
beratkan budaya Sunda dalam kurikulum pengajarannya. Semasa remaja Teh Santi rajin
banget belajar musik karawitan, hampir semua instrumen tradisional dia bisa mainkan
terutama kecapi. Karena permainannya bagus sekali dia sering diajak mentas dari panggung
desa sampai panggung gede kayak ulang tahun kota sampai akhirnya ketika tamat SMA Dia
langsung ditarik buat bantu-bantu mengajar alat musik hingga akhirnya diangkat menjadi
Kalau ada perlombaan orang paling baik sedunia mah udah pasti dia pemenangnya.
Harusnya diusia yang setahun lagi genap 40 tahun ini Teh Santi udah nikah punya anak
dan hidup bahagia. Tapi karena ada satu makhluk beban keluarga yang harus dia rawat dan
jaga, hidupnya jadi gak seindah seperti teman sebayanya yang sudah berkeluarga.
Semenjak orang tua kita meninggal karena kecelakaan dalam perjalanan mengunjungi
Uwa yang tinggal di Subang. Teh Santi harus menggantikan merawat saya juga sekaligus
sibuk cari uang buat hidup kita berdua. Memang Uwa sempat menyuruh kita tinggal di
subang namun kita berdua menolak. Teh Santi yang baru memulai mengajar di sekolah
merasa terlalu jauh bila harus bolak-balik Bandung-Subang setiap hari. Sementara saya
Gak mudah meyakinkan Uwa agar mempercayai kita untuk tinggal di Bandung terlebih
setelah kejadian saya dibawa ke Rumah Sakit. Namun pada akhirnya setelah diskusi yang
panjang Uwa setuju dan mengizinkan kita tetap tinggal di Bandung, mungkin Uwa juga
melihat bagaimana Teh Santi yang bersungguh-sungguh merawat dan menjaga saya setelah
kejadian itu dan membuat hati uwa luluh. Sebagai gantinya Uwa yang seminggu sekali
datang untuk tinggal di rumah kita, tapi seiring waktu lama kelamaan Uwa juga sibuk dengan
bisnisnya yang kian membesar, bisnisnya ini emang membutuhkan perhatian ekstra karena
“Kus coba magang-magang dulu atuh biar dapat pengalaman.” Saran Teh Santi sambil
”Iya Teh... magang juga kan harus yang bener biar dapet ilmunya.”
“Kemarin Uwa nawarin kan bener Kus.” Goda Teh Santi tersenyum tipis menahan
tawa.
“Ah apaan atuh Teh masa Engkus disuruh ngurusin kolam buaya... serem atuh.”
Rengek saya.
“Uwa mah aneh-aneh orang lain mah bikin tuh kolam ikan atau kolam lele atau apalah
yang gak bikin orang yang kerjanya dekat sama mara bahaya. ini mah kolam buaya!” lanjut
saya sambil membayangkan nasib saya yang terpeleset jatuh dan berakhir jadi santapan
buaya.
Pertama kali Uwa bikin Penangkaran hanya ada 7 ekor buaya aja tapi sekarang ada
ratusan ekor. Panjang dan beratnya juga beragam ada yang sampai 700 kilo bahkan.
Terbayang kan harus mengurus ratusan ekor binatang yang bentuknya enggak ada lucu-
lucunya sama sekali. ngasih makan, memandikan dan bersihin kandang di dekat mulut buaya
yang sedang mangap adalah sebuah cara tidak mensyukuri nikmat Tuhan. dikit aja kita
lengah langsung jadi talan bulat-bulat. Gak pernah ada niat saya mau melakukannya.
“Eh jangan atuh Teh, nanti enggak ada yang minta uang jajan ke Teteh.” Jawab saya
memelas.
Enggak semua orang bisa menjalani rutinitas keseharian orang spesial (dibaca pemuda
rongsok) kayak saya. Bayangkan waktu 24 jam yang kita punya dari mulai bangun tidur
hanya untuk memastikan kepada orang terdekat bahwa saya masih bernyawa. Kemudian,
melamun gak karuan celingak-celingkuk disiang yang panjang terlewatkan dengan tidur lagi
Entah mengapa orang-orang sering menganggap saya hanya diam tidak melakukan apa
pun dan kerap menyuruh saya untuk mencari kegiatan. Padahal secara harfiah sebenarnya
Satu-satunya hal yang dapat mengganggu rutinitas sesuci ini hanyalah suatu dorongan
kuat dari dalam tubuh yang membuat salah satu organnya mengeluarkan bunyi-bunyian
seperti seseorang saat bernafas di dalam air atau bisa disebut kelaparan.
Sedangkan malam hari adalah waktu yang sangat berat bagi saya. Biasanya waktu yang
tersedia dipakai untuk merenungi nasib yang apes ini. Penyesalan, rasa putus asa, harapan
dan cita-cita bercampur aduk mengisi ruang di kepala membuat saya susah tidur.
Semakin larut pikiran tambah kusut, merasa tidak percaya diri dan enggak tenang
dengan keadaan. meskipun ucap kali saya bertekad untuk lebih optimis dan giat lagi berusaha
dapat Kerja tapi esok harinya tetap aja malas-malasan. Bangun siang dan rebahan sepanjang
hari.
Ini udah menjadi siklus waktu yang umum dan selalu diterapkan oleh segenap
pengangguran di seluruh pelosok dunia. Semacam pedoman yang wajib diterapkan bilamana
tidak, maka akan dikeluarkan secara hormat dari keanggotaan altar sesat perhimpunan beban
tidur dan bangun tidur juga punya 2 masalah dalam kesehariannya, yaitu susah tidur dan
susah bangun tidur. Saat malam susah banget menutup mata, sedangkan waktu siang malah
ngantuk melulu. Kemudian dengan gampangnya langsung bilang ke semua orang punya
Saya dan Teh Santi tinggal di sebuah Gang kecil di Bandung Tengah, dekat sebuah
terminal Bus yang melayani trayek Bandung-Garut. Gang kencana namanya, salah satu
daerah padat penduduk yang ada di Bandung. Teras rumah dengan pagar adalah salah satu
barang mewah di Gang Kencana. hanya orang-orang tertentu aja yang bisa punya halaman
atau teras rumah, itu juga biasanya ruang terasnya udah habis sama kandang burung dan
parkir motor, sementara rumah lainnya termasuk rumah saya dan rumah tetangga di samping
kiri-kanan saya enggak punya lahan sama sekali untuk dijadikan teras. Hanya ada satu pot
tanaman ukuran mini dan tong sampah dari jeriken yang atasnya dipotong sebagai tanda
Penduduknya kebanyakan pedagang keliling dan pegawai pabrik, ada juga 3-4 orang
yang kerja di Instansi Pemerintahan atau pegawai negeri, orang-orang ini biasanya dijadikan
tokoh masyarakat karena kalau menyumbang dana untuk kepentingan daerah selalu paling
gede.
salah satunya Pak Aji tetangga depan rumah saya. Saya mengira dia punya masalah
kelainan Disastria, Gangguan dalam sistem saraf yang mempengaruhi otot bibir, lidah dan
pita suara yang membuat dia susah bicara karena kalau disapa biasanya dia hanya akan
menjawab “hmmm.”
Pak Aji lagi ngapain? dia jawab “hmmm.” Pak Aji unsur gas apa yang paling banyak
terdapat di permukaan bumi?” dia jawab “hmmm.” Pak Aji 3x6:4x4x4+17-5 berapa?” Dia
juga ngejawab “hmmm.” Apapun pertanyaannya hanya satu kata yang akan keluar dari
negeri sipil di Disdukcapil kota Bandung. Tetangga depan rumah saya, punya teras yang
Ada juga Ceu Salma tetangga samping rumah saya yang kelihatan baik suka senyum.
Sempat saya dengar Ceu Salma bicara kalau saya orang yang gak guna karena udah
disekolahin tinggi-tinggi tapi gak punya pekerjaan pada Ibu-ibu yang lagi belanja sayur. Tapi
banyak juga tetangga yang baik yang tulus kok salah satunya kayak Bu Isah pemilik warung
kecil dekat rumah, kalau ketemu Bu isah selalu nanya kabar atau nawarin makan pokoknya
mah baik banget... Saya doain masuk surga buat Bu Isah mah.
Samping kiri depan mulut Gang ada warung kopi “Sabar menanti” dengan meja yang
buka 24 jam. Biasanya saya dan beberapa teman suka begadang disini. Kalau siang banyak
polisi yang ngopi di sana sambil ngobrol dan diskusi soal pekerjaan mereka atau hanya
sekadar istirahat sehabis menjalankan tugas aja. Sedangkan di samping kanan pintu masuk
Gang ada gedung kosong yang udah gak dipakai lumayan lama.
Teh Santi pernah cerita waktu saya kecil sempat pingsan karena jatuh dari kursi sehabis
mandi. Ketika saya bertanya kenapa jatuh di kursi sampai bisa pingsan, jawab Teh Santi
karena dia memakaikan handuk cukup kencang seperti lilitan perban buat membungkus
mumi jadi kedua tangan saya enggak bisa gerak untuk menahan tubuh saya yang kehilangan
Dibawalah saya ke rumah sakit. Kata Teh Santi cukup lama saya pingsan kira-kira
butuh satu jam setelah penanganan rumah sakit akhirnya saya bisa siuman. Tidak ada yang
serius hanya sedikit luka goresan di pelipis kanan yang berbekas sampai sekarang. Lantas
Dokter memperlihatkan hasil rongsen dibarengi dengan pertanyaan yang aneh bin ajaib dan
sangat scientis sekali untuk ditanyakan oleh seorang Dokter yang sudah mengenyam
pendidikan tentang medis bertahun-tahun dan berpengalaman menangani berbagai macam
penyakit klinis. Dokter itu bertanya apakah saya pernah memasang susuk tidak sebelumnya.
Bayangkan anak kecil berumur 9 tahun yang sehari-harinya hanya dipenuhi dengan
kegiatan bermain dan bermain diberi pertanyaan apakah dirinya pernah memasang susuk?.
Bahkan saat itu saya pun enggak tahu arti susuk itu apa apalagi bersinggungan dengan dunia
supranatural.
Uwa sama Teh Santi panik bukan main melihat gambar hasil rongsen yang
ditunjukkan Dokter ada bercak putih di bagian kiri tengkorak saya yang kata Dokter benda
asing dan enggak biasa. Setelah diteliti lebih lanjut lewat beberapa tes Dokter menjelaskan
ada lempeng metal dengan unsur kimia seperti kuningan menempel di kiri tengkorak saya.
Semenjak itu saya diajak ke banyak orang pintar (dibaca pengobatan spiritual) untuk
menghilangkan susuk itu. Sebenarnya Teh Santi enggak percaya, mungkin aja ada yang salah
dari rongsen dan hasil tes laboratoriumnya. Dia lebih memilih untuk berdoa dan meminta
pertolongan Tuhan yang Maha Kuasa. Tapi terpaksa harus menuruti kemauan Uwa untuk
membawa saya berobat ke orang pintar. Uwa khawatir susuk itu akan berdampak jelek dan
Salah satu orang pintar yang dikunjungi bilang ada orang yang syirik pada keluarga
kita. mengirim susuk supaya saya menderita. Jadi saya seperti dijadikan tumbal untuk
kesuksesan mereka, semakin saya sial semakin mereka akan menjadi kaya raya. Ketikaika
Uwa bertanya siapa orang yang tega menjadikan saya tumbal orang pintar itu menjawab
Untuk menghilangkan susuk itu saya dikepret-kepret oleh satu tangkai daun kelapa
sawit yang dia celupkan air kendi yang telah dicampurkan garam sodium Cap Kapal.
Aneh sih biasanya kan pakai daun kelor kalau mau mengobati penyakit yang
disebabkan gangguan alam gaib mah tapi ini menggunakan daun kelapa sawit. Kalau kata
orang pintarnya ngejelasin daun kelapa sawit lebih sakti karena Jin dan Setan penunggu hutan
kalimantan aja enggak protes dan ngamuk waktu tahu tempatnya bakal dibabat dan diganti
Gak cukup satu orang pintar Uwa membawa saya ke orang pintar lainnya. Kali ini hasil
penerawangan orang pintarnya berbeda katanya susuk itu kiriman nenek moyang saya yang
masih satu tongkrongan dan sepupuan sama keponakannya saudara jauh dari Prabu Siliwangi.
Kalau bahasa sekarang mah masih satu circle lah kira-kira. Susuk ini sebagai penjaga katanya
biar enggak diculik Kalong Wewe kalau nanti saya suka pulang kemalaman.
Padahal mah atuh kalau ngasih Susuk teh yang sakti. misalnya yang punya khasiat bisa
bikin saya terbang dan mata saya bisa ngeluarin sinar laser buat melawan penjahat-penjahat
di dunia. Ini mah cuma biar enggak diculik... kurang kerjaan banget punya Nenek moyang
Mungkin waktu itu saya anggap perjalanan ini kayak karya wisata karena saya di ajak
keliling Jawa Barat ke pelosok daerah yang namanya mungkin juga enggak ada di peta.
Jalannya kecil dan meliuk-liuk dikelilingi hutan lebat yang akses dan informasinya terbatas,
saking terpencilnya mereka mengira kalau indonesia masih dijajah belanda. karena enggak
ada informasi yang bisa warga desa itu dapatkan selain lewat terawangan air baskom dari
Orang pintar di Kampung mereka. Saya juga pernah diajak ke suatu daerah di kota Garut
yang bernama Sarkanjut untuk mendatangi Abah Benton salah satu Orang pintar yang paling
Setelah membacakan banyak mantra dan doa–doa kemudian saya disuruh meminum air
yang telah dicampur segala macam rempah-rempah. Tak cukup hanya itu saya juga disuruh
berendam tengah malam di kolam Lele untuk menghilangkan susuk yang menempel pada diri
saya. Penuturan Abah Benton bilang kalau Lele itu terbiasa melahap makanan berwarna
kuning jadi biar dilahap lempeng kuningan yang ada di kepala saya itu.
Ketika itu wawasan saya belum cukup luas untuk mencerna omongan Abah Benton tapi
setelah beberapa tahun dan beranjak besar saya baru mengerti hubungan benda kuning
dengan Ikan Lele. Di Tasikmalaya waktu berkunjung ke kampung halaman teman saya yang
di belakang rumahnya memiliki kolam lele. Di pinggir tepian kolam itu terdapat suatu
bangunan semi permanen beratap langit dan bersekat tempelan karung-karung bekas supaya
orang-orang yang berada di luar enggak bisa melihat aktivitas yang terjadi di dalam bangunan
itu. orang desa menyebut tempat itu dengan nama Pacilingan. sebuah tempat sakral dalam
kehidupan umat manusia. Di mana kita dapat merasakan sensasi musim dingin yang berganti
seketika menjadi musim panas. sebuah ruangan yang bisa membuat diri kita sendirian di
Dunia yang ramai ini. Tempat itu adalah tempat buang Tinja...
Dengan mata telanjang saya melihat bagaimana ratusan lele saling senggol-
menyenggol merangsek ke bawah Pacilingan. Mulut kembung gerombolan lele itu terbuka
lebar bergerak liar gak sabar membuat air kolam menciprat deras kayak lagi hujan badai
ketika seseorang masuk ke dalam Pacilingan untuk buang air besar. Gak begitu lama saya
menyaksikan bagaimana rantai makanan berkerja begitu liar. adegan Lele yang sigap
mengeroyok dan melahap semua tinja tanpa sisa. bahkan sama ganasnya seperti cuplikan
film ikan piranha saat memangsa manusia dengan gigi taringnya yang tajam.
Baru lah saya mengerti apa yang dimaksud Abah Benton dulu bahwa ikan lele terbiasa
melahap makanan berwarna kuning itu sebenarnya adalah EE (kotoran) kita. Jadi selama ini
saya pernah mandi di kolam Lele yang airnya bercampur dengan kotoran manusia. Najis!
Bukannya menghilangkan susuk ini mah malah bikin saya curiga. Inilah yang
Lambat laun Uwa dan teh Santi gak memusingkan lagi soal hasil rongsen kepala saya
dan kemungkinan itu adalah sebuah susuk. karena kalau pun itu susuk enggak ada dampak
dan khasiatnya pada diri saya sama sekali. tidak membuat saya kebal dibacok atau bikin daya
pikat diri saya dasyat sehingga mampu membuat orang-orang menuruti apa yang saya
inginkan.
Ya kalau daya pikat mah gak usah pakai susuk juga udah kinclong. Hanya dengan
modal tampang saya juga udah memikat. Nah kalau untuk kuat dibacok mah juga sebenarnya
gak usah pasang susuk. Cukup dengan kita enggak bikin onar yang bisa membuat orang sakit
hati sehingga punya niatan ngebacok. Insyallah gak akan kena bacok. Pokoknya kalau ini
Satu-satunya efek yang mungkin ada dari susuk ini mah palingan membuat saya punya
Dulu sewaktu kuliah saya harus mengikuti ujian ulang mata kuliah statistika. Saya
merasa ini bakalan jadi ujian paling ngebosenin karena harus baca soal dan angka-angka yang
saya enggak pernah paham apa maksudnya sama sekali. Hanya untuk mencari nilai rata-rata
aja Kalau pakai teori statistika tuh ribeeet banget. Harus cari nilai range, x-min, x-max,
struges dan interval dulu padahal kan tinggal di bagi per-jumlah sampel juga beres.
Orang yang menciptakan pelajaran statistika ini sama berdosanya dengan orang
pertama yang menemukan teknologi bungkus plastik karena mereka enggak tahu kalau nanti
di masa depan hal yang mereka ciptain akan berdampak merusak kehidupan dan nyusahin
banyak orang.
menyulitan yang tidak berguna bagi kehidupan berubah jadi hal yang mengesankan dalam
hidup saya. Ketika saya menyadari di pinggir tempat duduk tersibak sesosok wanita yang
Rambut panjangnya terurai dengan belahan pinggir yang dia selipkan berberpa helai
satu bagian sisinya ke daun telinga, blouse tipis berenda bercorak hijau mint dipadukan
terbayang satu adegan dia minum kopi dan tetesan terakhir kopinya tertinggal di atas ufuk
bibir.
Enggak ada satu lelaki pun yang tidak tergoda berlomba untuk mengusap bibirnya
menghapus tetes kopi itu. Atau jika lelaki masa depan suram seperti saya ini terpaku gak
berdaya untuk melakukannya, wanita menawan ini akan menjulurkan lidahnya kemudian
dalam satu tarikan setengah putaran tetesan bekas kopi tadi hilang dalam sekejap.
Dia adalah seseorang yang menghiasi dunia saya yang datar. Dia adalah embun yang
menghidupi dingin di pagi hari. Dia adalah dedaunan yang meneduhkan di terik siang, Dia
Sosok bidadari cantik yang mengubah kisah hidup saya menjadi lebih indah ceria dan
berwarna adalah Gustika Ramadiani. Satu-satunya mahasiswi yang mengikuti ujian statistka
bersama 9 mahasiwa bermuka suram lainya. Belakangan saya tahu dia harus mengikuti ujian
ulang karena sempat sakit demam berdarah yang membuat dia tidak bisa mengikuti
perkuliahan. Kalau saya dan 8 laki-laki lainnya mah dengan sangat yakin seyakin-yakinnya
mengulang ujian karena kapasitas otak yang sangat memprihatinkan alias bodoh.
Beberapa menit sebelum ujian dimulai dia nampak panik. Merogoh tasnya dan
mengeluarkan semua isinya karena lupa membawa pensil 2B sebagai syarat untuk mengisi
kolom jawaban. Kepanikannya berubah menjadi keputusasaan ketika Dosen melarang dia
keluar kelas untuk membeli pensil. Maklum Dosen galak dan pelit ngasih nilai... saya aja
dikasih nilai D.
Ujian ini kesempatan terakhir kalau sampai gagal kita harus mengulang lagi mata
Semantara para mahasiswa suram lain yang sibuk meracau saling bertanya tentang
kemungkinan diantara kita ada yang membawa pensil cadangan dan tentunya apa yang bisa
diharapkan dari 9 mahasiswa tanpa masa depan yang ada dikelas ini. Jangankan bawa pensil
Setiap orang malah sibuk berkicau mengungkapan kata-kata bijak dan perhatian yang
tak lebih dari modus untuk memikat hati Gustika. tapi malah bikin dia merasa lebih takut dan
Gustika hanya diam menatap sendu tidak menghiraukan kebisingan dari mahluk kasar
tak sedap dipandang ini. Saya yang duduk disebelahnya melihat keputusasaan itu lalu secara
spontan mematahkan pencil saya jadi dua bagian. kemudian ujung patahannya diserut untuk
diserahkan ke Gustika.
“Ini pensil mini, saingnya taman mini...” Bisik saya menyodorkan pensil.
Walaupun terlihat kaget dengan apa yang saya lakukan tapi wajahnya yang menekuk
berubah menjadi senyuman yang membuat hati saya melayang tenang ketika melihatnya.
Aksi heroik ini murni tiada niatan apapun selain tulus membantu ketika melihat orang
lain sedang dalam kesusahan. Asli gak minta balasan apapun. Misalkan kalau kejadian lupa
bawa pensil itu si Waluyo yang mengalaminya tentu saya juga akan membantu. Membantu
mengolok-olok Waluyo yang harus mengulang lagi mata kuliah statistika tahun depan...
Setelah lembar soal dan jawaban dibagikan kini giliran saya yang panik dan
kebingungan karena sama sekali enggak bisa mengisi satu soal pun. melihat lembar soal bikin
kepala saya mendadak migrain. Huh... Saya pasrah untuk mengulang kembali tahun depan.
Gustika yang melihat saya kebingungan untuk mengerjakan soal-soal ulangan itu
memperlihatkan lembar jawabannya untuk saya contek. Mungkin dia merasa iba karena
sedari tadi saya diam tanpa gairah atau juga sebagai tanda rasa terima kasih karena udah rela
membantu dia.
Padahal mah saya mah tulus menolong, ikhlas... asli! gak minta timbal balik apapun.
“Hai makasih ya.” Sapa dia sehabis ujian sambil menyodorkan patahan pencil yang
saya berikan.
Melihat wajahnya yang sedikit kebingungan lalu saya potong dengan menyodorkan
yaa Kus.” Lanjut dia tersenyum penuh pancaran keceriaan. Tangannya sesekali memainkan
pensil. entah karena apa dia tersenyum, bisa karena senang berkenalan dengan saya atau juga
karena merasa geli dengan pensil kuntet yang ukurannya lebih pendek dibanding jari
kelingkingnya. yang pasti ekspresi yang dia tujukan membuat saya begitu bahagia.
“Kok belum pernah lihat?” lanjut dia saat kita beranjak meninggalkan kelas.
“kita kan beda jurusan.” Jawab saya. Kemudian kita berdua lanjut berjalan bersama
menyelusuri lorong kampus karena sebelumnya Ika menerima ajakan saya ke kantin.
“Ehh iya, Aku juga sempat sakit jadi lama gak ke kampus.” Ucap Ika.
Di kantin kita makan batagor berdua bicara soal paniknya dia karena lupa bawa
pensil. Terus dia juga penasaran kenapa saya bisa mengulang ujian statistika padahal enggak
pernah bolos kuliah. lalu membahas hal-hal umum tentang kita berdua yang membuat waktu
begitu nyaman tidak beranjak, tentu diselingi kebodohan-kebodohan kecil yang tak sengaja
saya lakukan seperti garpu jatuh, numpahin gelas, tersendak makan dan hal random lainnya.
Untungnya Ika hanya tersenyum dan tertawa aja melihat itu semua... dan sumpah Ika cantik
Meski satu angkatan tetapi kita berbeda jurusan Ika mengambil jurusan Akutansi dan
saya jurusan Manajemen jadi pantas kalau enggak pernah bertemu sebelumnya atau kalau
pun bertemu pasti dia gak sadar, karena kaum ratu langit kayak Ika gini biasanya enggak
Semenjak itu kita sering bertemu. Saling tahu jadwal kuliah masing-masing dan
sengaja saling nunggu di kantin untuk makan bareng. Terkadang saya suka antar-jemput Ika
les bahasa Inggris, atau Ika gantian menemani saya main game di rental PS.
Waktu mau nyatain cinta, saya ajak Ika makan di sebuah restoran di jalan Braga.
Walaupun kalau dipikir sekarang saya nyesal juga sih kenapa memilih tempat itu.
kepedasannya. Dari tingkatan dasar yaitu pedas level 1, pedas sedang level 2 sampai level
Hampir semua makanan mempunyai tingkat kepedasannya saat itu. Keripik pedas
level 1-2-3. Nasi goreng pedas level 5-6-7 sampai eskirm juga dibikin pedas. Sungguh aneh
tapi begitulah namanya tren mah kalau ada satu yang ramai langsung yang lain serentak pada
ngikutin.
Salah satunya yang mengikuti tren makanan pedas ini adalah Restoran Mie Preman.
Pulang kuliah kita berangkat naik bus Damri, waktu itu saya belum punya motor
(sampai sekarang juga sih masih belum punya motor) untung Ika mau aja diajak kemana-
mana naik kendaraan umum. Berdesakan dan mencium aroma keringat orang yang
bercampur bau solar bus enggak ada satu keluhan pun keluar dari mulut dia. Sikap Ika yang
gak ribet itu tuh yang bikin saya tambah cinta sama dia.
Di restoran Ika pesan mie goreng level 7. Level yang paling pedasss. sebagai seorang
pria yang punya ego tinggi dan tidak ingin telihat lemah karena tidak kuat makan pedas di
hadapan wanita idamannya... gengsi atuh kalau pesan mie dengan level dibawah Ika. Kita
berdua sama memesan mie goreng level 7. walaupun sebenarnya mah ragu dan bikin
Kita sama-sama makan mie goreng pedas itu dengan lahap. Saya lihat Ika tanpa ragu
terus menggaduk sendoknya memakan mie sampai habis. Saya juga berhasil
menghabiskannya setelah dibantu dengan 4 gelas air putih. Nah disini lah awal mula
penyesalan saya kenapa memilih Mie Preman sebagai tempat untuk nyatain cinta.
Bukan efek sakit perut yang tercipta setelah makan pedas yang jadi masalah tapi ada
satu lagi yang saya juga tidak sadari reaksi tubuh kita ketika memakan masakan pedas
sehingga membuat skenario romantis yang telah saya bayangkan sebelumnya berubah
“Slrrpp... jadi gimana les bahasa inggrisnya lancar? Slrrpp... Slrrpp...” Tanya saya
pada Ika sambil berusaha menyedot masuk ingus yang meler-meler kembali ke dalam hidung.
“Lancar Kus.” Jawab Ika. Berbeda dengan saya walaupun kita sama-sama makan
pedas tapi cairan di hidung Ika hanya keluar sedikit dan langsung dia bersihkan dengan tisu
“Slrrpp... kalau Slrrpp... ngajak kamu jalan gini tuh sebenarnya ada yang marah gak?”
Tanpa henti saya berusaha menyedot ingus agar tidak menetes jatuh dari tepian bibir,
tapi cairan itu malah semakin deras mengalir keluar dari lubangnya. Saya jadi ingat teman
saya yang sering bilang gak semua hal yang ada di dunia ini kita bisa kendalikan. Waktu itu
saya enggak ngerti sama sekali apa yang dia ucapkan tapi sekarang saya mendapat gambaran
nyata dari kalimat itu. Salah satu hal di dunia ini yang tidak bisa dikendalikan yaitu ingus
kita.
Sempat beberapa kali untuk membatalkan niatan saya menyatakan cinta pada Ika,
karena seberapa romantis pun kata-kata yang terucap dari saya jatuhnya akan tetap terasa jijik
kalau semua itu diucapkan dengan cairan ingus yang berkerlipan mengalir dari hidung. bisa-
bisa Ika merasa ilfeel dan menolak saya. Tapi di satu sisi juga saya enggak mau menunggu
kesempatan lebih lama untuk menjadi pacar dia. Kenapa dalam keadaan seperti ini hal
cairan ingus kembali ke dalam palung produksi lendir di tubuh saya. Kemudian kata
Ika hanya terdiam hening... lama sekali. Membuat dada saya berpacu kencang seperti
penjinak bom yang melawan waktu per-sekian detik yang tersisa agar meledak. Seketika
mendadak saya seperti orang yang cacingan. usik enggak karuan mencari posisi supaya bisa
duduk dengan nyaman menunggu jawaban Ika yang kini menatap saya dengan wajah yang
merona merah.
"Kamu malu yaa? enggak usah dijawab sekarang juga gak apa." Ucap saya.
"Ini kayaknya gara-gara kepedesan deh..." Ujar Ika. mendengar itu sekarang jadi saya
Ika tersenyum menatap saya yang jadi kikuk kemudian kembali berkata “Mau.... Aku
Saya genggam tangan Ika dengan lembut. Dia membalas genggaman saya lalu kita
saling berpandangan berbinar bahagia membius seisi restoran ini menjadi berbunga-bunga.
ini bukan suara efek dari ciuman ala frenchkiss, bukaaan! tapi suara saat saya
menyedot ingus yang kembali meler-meler. Ika mengambil selembar tisu untuk saya
membersihkan cairan itu. Dia terlihat maniiis bukan main... cara dia menunjukan ke saya
bahwa dia siap menerima saya apa adanya sangatlah indah. Seorang lelaki yang menyatakan
cintanya saat dia lagi ingusan mungkin enggak ada sama sekali gambaran akan itu terjadi di
kisah cintanya Ika. Tapi itulah yang terjadi... saya pacar Ika. Walaupun enggak ada romantis-
romantis nya tapi ini adalah awal kisah kita, awal dari berbagai hal manis dan indah di hidup
Banyak momen yang udah kita lewatkan bersama. Belajar bareng, ngerjain tugas
bareng, ngerjain waluyo bareng... oh enggak yang itu cuma saya. Bimbingan skripsi dan lulus
juga ditahun yang sama, dan banyak hal lagi yang kita lakukan bareng-bareng.
Mandi? Gak bareng atuh mandi mah selain bukan muhrim. Kamar mandi ukuran 4x3
persegi dengan bak dari ember bekas wadah cat mah gak akan bikin efek erotis, seperti di
film-film romantis yang kamar mandinya pake shower atau bathtub. Nah! tidur baru bareng...
maksudnya waktunya yang bareng malam hari atau juga kalau udah ngantuk. Ya kalau
tempatnya mah beda Ika di kamarnya yang bersih dan wangi lavender. (Sumpah ini cuma
nebak aja saya belum pernah masuk kamar Ika yang di temboknya ada gambar tempel
menara Eifel dan salah satu kaki ranjangnya diganjel potongan kardus supaya rata.. Sumpah!
Ini mah Sumpah saya cuma nebak) sedangkan saya kalau tidur ya di kamar saya yang
busuk... kalau pun ada yang nemenin tidur itu mah paling juga tumila. Itu juga tumila jantan!
***
Tiupan angin yang cukup kencang bikin ranting pohon-pohon di halaman rumah Ika
bergerak bungkuk. Sore itu saya dan Ika duduk di bangku kayu yang ukurannya pas buat kita
duduk berdua. bentuk panjang lebarnya mencipta jarak jeda untuk diisi zat oksistosin dari
Tapi mungkin yang buat bangku ini tahu bakalan ada cowok kere yang sering
ngabisin waktunya duduk disini buat gombalin Ika dan minta kopi gratis. Jadi hamparannya
dibikin dari longsongan bekas dahan pohon yang gak beraturan. Kalau lama-lama duduk di
bangku ini bisa bikin pantat yang bentuknya setengah lingkaran berubah jadi jajar genjang.
Cuma cewek di samping saya ini lah satu-satunya alasan kenapa saya kuat berlama-
lama duduk di sana. sebenarnya kalau disuruh milih mah mending pacaran di bioskop atau
ngabisin waktu di kafe bisa lebih nyaman dan gak canggung karena di belakang gak ada
orang tua pacar yang siap sedia ngawasin kaya cctv mini market.
“Kus udah setahun lebih loh kamu belum dapet kerja.“ Ucap Ika sebari menaruh
gelas kopi. Ini gelas kedua yang dia bikin untuk saya. air mukanya mengguratkan rasa
kekhawatiran.
“Jauh Kus... terus entar kita gimana?” keluh Ika. “Emang kamu mau kita jauh-
jauhan.” Lanjut dia. Kini matanya menyorot tajam untuk terlihat mengintimidasi namun tetap
menawan.
Iya juga sih selain susah ketemu jarak yang jauh juga berpotensi membuat cowok lain
Gak begitu lama setelah tamat kuliah Ika langsung dapat kerja jadi “ADeEm” di salah
satu rumah sakit swasta di Bandung. Sedangkan saya mah ya begini lah apes jadi
pengangguran... moga aja enggak ada dokter sok ganteng di Rumah Sakit yang godain Ika
atau secara enggak sengaja kepala Ika ketimpuk satu dus obat-obatan yang bikin aliran syaraf
realisnya terbuka dan sadar sepenuhnya bahwa pacaran sama saya tuh cuma ngabisin waktu
“Yeuh Kuswara kapan kamu teh mau melamar Ika?’ tanya Mamahnya Ika yang keluar
sama Ika duduk maaanis aja, biar Kuswara yang urus semua.” Lanjut saya dengan
sombongnya.
Mamah Ika kelihatan sumringah. melebihi kegirangan saat dapat arisan mingguan
“Nanti kita sewa gedung merdeka.” Lanjut saya. berbicara dengan gerakan tangan yang
“Neng itu atuh kue na bawa.” Seru Mamah menyuruh Ika. Mamah semakin terbang
“Busananya juga yang bagus, mewah lah... Bikinan desianer terkenal. Kalau perlu
mah bertabur berlian sama berlapis anti peluru.“ Tutur saya sembari duduk dengan penuh
gaya melebihi Raja Roma dsamhil sesekali memakan kue yang disuguhkan.
“Kita sewa yang paling enak. Yang Paling mahal... Pokoknya Walikota, Wali kelas,
sampai Walisongo kita undang... Semua kita undang.” Jawab saya melebarkan lengan.
penuh kesombongan.
Tentu perbincangan ini hanya ada di alam khayalan saya aja. Sesungguhnya pertanyaan
Mamah itu bagi sebagian orang yang tidak kuat imun bisa menyebabkan kepala menyusut
seukuran ketumbar, tarikan nafas mpot-mpotan, isi perut terasa dikocok truk molen yang
Faktanya jawaban dari segala jawaban terbaik yang terlintas di benak saya hanyalah
“Doain aja Mah...” klise tapi ya cuma itu jawaban paling aman yang bisa saya berikan untuk
Mamahnya Ika. Dengan gurat muka yang tidak puas. Saya hanya menunduk bisu menanggapi
Seraya masuk ke dalam rumah Mamahnya Ika berkata “Jangan mau Ika sama cowok
Mukanya kelihatan aseeem, kalau dibandingin Kopikap basi mah masih lebih asem
muka si Mamah.
Punya status pengangguran itu bukan hanya enggak punya status sosial di masyarakat
aja tapi yang lebih mengenaskan adalah enggak punya kemampuan secara mandiri untuk
Direndahin dan diremehkan adalah dua hal yang harus terus menerus saya rasakan...
"Mamah... jangan gitu atuh, gak enak." Ujar Ika dari dalam rumah yang terdengar oleh
saya.
"Ika. Mamah teh cuma pengen kamu gak nyesel nanti." Tampik Mamah dengar suara
Saya mengerti apa yang jadi kecemasan Mamahnya Ika. Orang tua mana juga enggak
mau kalau nanti anaknya nikah nasibnya susah karena salah pilih pasangan jadi harus
memastikan yang dipilih anaknya itu baik dan benar-benar bisa menghidupi kebutuhan hidup
anaknya.
Tak lama Ika kembali duduk lagi di samping saya, lalu mengangkat gelas
menyuguhkannya pada saya. "Diminum lagi kopinya." ucap dia. “Gak usah diambil hati
Mamah emang gitu.” Lanjut dia menenangkan saya yang terlihat kusut meski dia sendiri
terlihat gusar.
“Iya...” Jawab saya tersenyum lirih kemudian meminum kopi yang Ika sodorkan, Kopi
mengusap punggung saya lalu dengan senyum manisnya Ika lanjut berkata “Aku pasti setia
nungguin.”
“Iya atuh pasti selalu semangat mah... cuma gampang ngantuk ajaaa.”
Waktu yang tersisa kita habiskan dengan obrolan ringan penuh canda layaknya
sepasang kekasih yang tahu gambaran akhir dari ujung perjalanan cintanya akan bahagia.
Saya pandang wajah Ika tersenyum selalu menenangkan. Tangan kita menggenggam saling
menguatkan.
Kenyataan bahwa ada bidadari yang rela nunggu dan menemani saya dalam kondisi
sulit ini membuat saya sedikit tenang walaupun sebenarnya mah di hati tersembunyi
kecemasan. Mau sampai kapan kita bisa terus bertahan dengan keadaan ini. atau lebih
tepatnya sampai kapan Ika bisa sabar menunggu dan menerima keadaan saya yang seperti ini.
Pertanyaan Membosankan
Selain pacar cantik dan kakak yang baik. Ada satu kebaikan dunia lagi yang tersisa buat
saya, yaitu teman senasib. Punya teman-teman yang sama menjalani rutinitas sebagai
pengangguran itu terasa melegakan. Senggaknya bisa mengetahui bahwa selain saya masih
Seperti Sidik dan Ojat. Teman dari kecil dan teman sepenanggungan dalam menjalani
Biasanya malam hari kita nongkrong di warung kopi dekat Gang rumah kita. Kebiasaan
nongkrong di warung kopi sebenarnya mah gak berfaedah. Cuma membicarakan hal gak
penting, mengeluh sana-sini dan ngomongin orang lain. Pokoknya mah gak ada hal positif
yang bisa diambil dari nongkrong disana. Apalagi dari obrolan-obrolan orang yang sama-
Ketika saya mampir ke warung kopi sudah ada Sidik dan Ojat yang sedang berbincang.
Kemudian saya menepuk bahu mereka berbarengan. Duduk di tengah-tengah mereka dan
“Nih ya ane bawa tuh cewek ke Punclut.. Tempatnya bilik-bilik gitu kayak di warnet.”
Ungkap Sidik.
Tentunya saya bisa langsung menelaah apa yang sedang dikatakan karena ini bukan
pertama kalinya dia cerita soal kisah cintanya. Lebih tepatnya sih kisah mesumnya.
Kedua tangannya meragakan sedang membuka kancing kemeja. Kemudian dia menarik
lubang leher kaosnya, mempertontonkan dadanya yang berbulu lebat. Lantas membusung
sehingga tampak seperti buah dada yang menonjol keluar dari celah baju dan berkata “Ayah
punya Bunda mah kecil.” Dengan warna bicara yang dia ubah ke frekuensi mezzo-sopran dan
logat yang melambai manja layaknya daun pohon kelapa yang ditiup angin laut.
Kalau dipadukan dengan penampakan Sidik yang punya jakun sebesar kemiri serta bulu
dada yang rusuh saling bertumpuk mah jadi bikin ingin muntah sih sebenarnya bukan horny.
Ojat menyimak sangat serius. Dia terlihat menelan ludah menghindari dirinya dari
dehidrasi karena pikirannya sekerang dipenuhi bayangan kotor dari cerita Sidik. Berulang
kali Ojat membenarkan posisi duduknya, mungkin karena celana jeans belel yang dia pakai
“Euuuh ngacai kamu mah Jat.” Goda saya sambil berusaha mengelap kuping Ojat
“Heh! itu mah conge bukan ngacai” jawab Ojat kesal memiringkan kepalanya agar saya
“Tapi ane tutupin lagi.” seru Sidik melanjutkan ceritanya. kepalanya berubah dari
bertanduk setan kini terdapat lingkaran suci seperti malaikat. Dia bersumpah bahwa dia
menutup kembali suguhan payudara dari celah kemeja yang dibuka oleh pacarnya.
Walaupun sulit untuk dipercaya tetapi saya dan Ojat terkesan mendengar obrolan cabul
Sidik berubah menjadi satu adegan mulia. Dimana seorang pemuda dengan iman yang kuat
“Aslina?” Ojat terheran. keresahannya akan sesuatu hal yang belum pernah dia rasakan
memuncak.
sehingga asap yang keluar banyak memenuhi ruang udara di sekitar kita lalu berkata:
rambutnya sendiri.
“Dasar Onta cabul!” timpal saya. Sidik tertawa melihat saya dan Ojat yang tertipu
olehnya.
Emang enak jadi orang ganteng berbadan tegap dan banyak duit kayak Sidik ini.
Hidupnya gak pernah susah. Semua yang dia inginkan selalu terwujud... Bukan cuma soal
wanita aja tapi juga hal-hal lainnya. Sepertinya 99% masalah hidup di dunia ini udah
terhapuskan semenjak lahir bagi orang-orang yang mempunyai wajah tampan dan cantik
mah.
Kaum good looking ini seakan gak pantas untuk ngerasain kekecewaan. Apapun yang
rongsokan kayak saya dan Ojat mah harus berjuang mati-matian kalau mempunyai keinginan
teh. Karena hadangan, halangan, rintangan yang datang juga bertubi-tubi gak ada habisnya...
Berbeda dengan saya dan Ojat yang menganggur karena nasib. Sidik menganggur
penganggurannya tertutup dalam kedok mahasiswa tingkat akhir dan lebih memilih freelance
sebagai fotografer yang sebenarnya bukan untuk mencari uang melainkan modus untuk dia
Dia memilih tidak bekerja formal karena lebih senang melakukan apa yang sesuai
dengan keinginan dan minatnya. seperti walaupun apa yang dia kerjakan gak pernah ada yang
benar dan gak jarang malah berujung kerugian baik waktu atau materi tapi dia senang-senang
“Belum euy, yaa gitu lah masih kirim-kirim lamaran.” Jawab saya.
“Aahh embung” jawab saya singkat merujuk pada kerjaan Sidik yang selalu berakhir
“Ehhh kali ini mah bener Kus.” Sidik menyakinkan dengan menunjukan satu logo yang
bertuliskan “Mari Motret” di kertas sticker yang udah dia potong-potong mengikuti pola
logonya.
“Ini mah menghasilkan!” lanjut Sidik penuh percaya diri mulutnya terbuka
memperlihatkan giginya yang rapi dan bersih sekali, sampai bisa mantulin cahaya lampu...
“Tong daek Kus! Pedih...” Timpal Ojat yang pernah bantu kerjaannya Sidik.
“Diem ane gak kasih rokok lagi ente.” Seru Sidik mengancam Ojat.
“Ampun Bos.” rengek Ojat memelas pada sidik sambil meminta rokok.
Ojat sekolah hanya sampai SMP. Dia tidak melanjutkan sekolah karena lebih memilih
untuk bermain bola. Kata dia dari pada harus belajar matematika mending nendang bola
seharian di lapang.
Ojat jago banget main bolanya sampai pernah diundang seleksi di Persekab (Persatuan
Sepak bola kabupaten Soreang) tapi sayang ketika mau mengikuti seleksi kakinya bengkak
Keinginan dia untuk menjadi pemain bola profesional pun sirna karena cedera itu.
Dengan ijazah SMP dan tanpa keahlian dia jadi pengangguran sejati yang hidup bertahan
Bukan hanya soal karier, kehidupan asmaranya juga terbilang sial. Satu kali pun dia
belum pernah merasakan bagaimana indahnya punya pacar dalam hidupnya, setiap wanita
yang dia taksir dan coba dekati pasti menjauhinya bahkan dari 11 kali percobaannya
menyatakan cinta, Ojat menerima penolakan 12 kali. Seperti ada kutub magnet berlawanan
Berbeda dengan saya dan Sidik walaupun sama-sama menanggur tapi ada pacar yang
setia menemani menjalani hari yang fana ini. Kalau Ojat mah paling juga catatan utang sama
orang lain. Kan banyak orang-orang yang bersyukur dengan keadaannya setelah melihat
orang lain yang lebih menderita dari dirinya. Jahat yaaa orang! Saya juga gitu sih termasuk
"Kenapa ya orang teh Kalau ketemu Urang suka nanya sekarang di mana." Ungkap Ojat
Pertanyaan “Sekarang di mana?” Sebenarnya sih pertanyaan basa-basi biasa dan lumrah
ditanyakan ke semua orang tapi yaaa bagi kaum pengangguran extremis yang radius jejak
langkahnya bahkan tidak sampameter dengan waktu luang yang berlimpah dalam seminggu 7
Dalam kondisi normal alias punya status pekerjaan pertanyaan itu bisa dijawab dengan
mudah, tinggal bilang aja di jalan kalau bertemunya di jalan, di Mall kalau berjumpa di Mall
atau di Angkot kalau kita lagi naik Angkot dan bertemu teman yang bertanya “sekarang di
mana.”
tapi yaa pertanyaan macam ini mah tentu bukan menanyakan letak koordinat saat kita
berjumpa si Penanya aja. Ini juga sebenarnya pertanyaan tentang sudah sejauh apa capaian-
"Ah, saya mah pura-pura sibuk aja Jat kalau ada yang nanya gitu."
"Mana bisa Ojat pura-pura sibuk Kus, tiap hari juga kelihat nongkrong terus di sini."
Goda Sidik.
"Enak wae, tapi iya sih pasti teman urang juga gak percaya kalau pura-pura sibuk."
"yang pas mah pura-pura gila Jat. pasti teman ente percaya."
"Betul banget tuh, saya pernah ngalamin... Ingus salah satunya." Potong saya.
"Ngaco ente Kus. maksud ane tuh soal sikap orang ke kita yang gak bisa dikendalikan...
Memang mau bagaimana pun pertanyaan “Sekarang di mana?” itu mengganggu kita
kalau dijawab dengan cara berbohong mah enggak bisa menyelesaikan masalah. malah bisa
membuat masalah baru dan membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan yang lebih
Walaupun menjawab jujur juga enggak menjamin membuat kita menjadi merasa lega,
selalu bakal ada hal yang membuat hati kita enggak nyaman kalau ketemu teman lama,
Ya begini lah nasib jadi pengangguran mah selain diterpa krisis keuangan juga harus
menghadapi krisis percaya diri. Bahkan hanya untuk sekadar berbincang dengan orang lain
Kata orang-orang sukses persoalan kenapa sebagian orang susah dapat kerja itu karena
hidupnya kurang produktif, kebanyakan rebahan dan kurang silaturahmi. Ada benarnya juga
sih kalau lihat diri sendiri yang hidupnya emang kebanyakan malas-malasan. Makanya hari
Saya coba ubah pola hidup dari mulai tidur lebih awal dan bangun lebih pagi biar
rezekinya nanti gak dipatok ayam. Tapi tenang kalau pun saya bangun kesiangan, saya udah
pasang kertas pengumuman dilarang keras memelihara ayam di kawasan ini lengkap dengan
cap RT dan RW. Jadi bisa dipastikan radius 100 meter dari rumah bebas ayam berkeliaran.
Gak akan ada ayam yang bisa ngepatok rezeki saya kalau saya bangun kesiangan, lagian
ayam kok kayak ormas proyek hobinya ngepatok hak orang lain.
“Tumben Kus udah bangun.” Kata Teh Santi terheran mendapti saya yang sudah sibuk
“Oh iya atuh teh.” jawab saya sambil menalikan tali sepatu.
“Sekarang Kus kan ingin beruubah, hidup lebih sehat.” lanjut saya dengan nada penuh
optimis layaknya orang yang baru dapat motivasi dari Mario teguh.
“Eeeh mending bantuin dulu Teteh, tuh gosok kamar mandi!” Teh Santi ngelemparin
sabun lantai.
“Eeeh!” Bentak Teh Santi mengancam. ekspresinya seperti ancaman negara adi kuasa
yang akan mengembargo pasokan makanan dan menjatuhkan sanksi ekonomi bila tidak
menurutinya. Begitu juga saya, kalau gak nurut bisa-bisa dana hibah tak terhingga sepanjang
masa yang membuat hidup saya jauh dari kelaparan bakal dibekukan.
“Iya... Iya.” Jawab saya pasrah kayak zombie kurang zat besi berjalan menuju kamar
mandi.
“Kuswara!”
“Eeeh”
Setelah menggosok, mengelap lalu menggosok dan terus membilas sampai semua lantai
dan sudut-sudut kamar mandi terlihat kinclong akhirnya saya bisa meneruskan niat saya lari
pagi ke Gasibu.
“Wah euy udah bangun Jat jam segini? Hebat euy. Hayu lari?”
“Bukan udah bangun tapi belum tidur.” Jawab Ojat dengan senyum lebar tiga jari yang
bikin gigi kuningnya kelihatan jelas persis kayak lantai kamar mandi saya sebelum digosok.
“Dasar kuncen warkop!” seru saya. Pantes matanya merah kayak dracula dan ada bekas
iler di pipinya. napasnya bau komodo, kalau terlalu dekat langsung tergambar nyata gimana
Kalau pagi gini ternyata Bandung udaranya bersih dan terasa lebih segar di tubuh.
Enggak banyak angkot- angkot dan bus damri tua yang suka ngeluarin asap hitam.
Saya lari pelan, pelan dan pelaaan banget... Ada kakek-kakek yang jalan santai
menyusul saya. “Hayu jang sumanget!” sambil ngisep rokok keretek bergaris merah asapnya
mengepul banyak saingan sama bus Damri. cuma ini warnanya putih...
Jelas saya gak terima disusul oleh orang yang umurnya terlihat sama dengan umur
kemerdekaan Indonesia. Saya tambah kecepatan. Tarik gas sampai mentok berlari kencang
melewati Kakek itu lagi, enggak lebih dari sepuluh menit napas saya habis dan terhenti
dengan tubuh yang membungkuk dan tangan yang menopang ke lutut. Suara napas udah
“Aduh ieu Pemuda!” Ujar Kakek itu menyusul saya kembali. Dia terus berjalan
konstan sampai akhirnya mejauh tidak terlihat lagi, sementara ya saya mah sekarang udah di
“Bener si Ojat, cape ternyata lari teh.” seru saya berbicara sendiri.
“Kenapa udah balik lagi Kus?” tanya Teh Santi heran mendapati saya udah ada di
“Menuju ke Roma Teh yang banyak jalan mah.” Jawab saya sambil ngambil gelas buat
minum.
“Ah paling ge kamu mah gak kuat napasnya... baru juga berapa meter!” kata Teh Santi.
“Ya udah nih bantuin pel rumah.” lanjut teh Santi seraya membawa lap pel dan ember
“Teeeh!”
Pagi hari saya sungguh indah sekali... niat untuk berubah menjadi produktif dengan
melakukan aktivitas positif kayak olahraga malah jadi disuruh beres-beres rumah, padahal
membersihkan rumah itu adalah hal yang sia-sia di Dunia ini karena nanti juga bakal kotor
lagi, tapi ya semoga ini jadi kegiatan positif lah daripada hanya tidur aja walaupun
sebenarnya mah enakan tidur aja sih terus bangun siang, jadi enggak akan disuruh-suruh gini
Selain olahraga hal produktif lainnya seorang yang mempunyai waktu luang banyak
adalah mengisinya dengan hobi yang bermanfaat, ada teman yang hobinya pelihara ikan
cupang, dia kembang biakan sampai banyak terus hasilnya bisa dia jual, sekarang hobi dia
pelihara ikan cupang bisa jadi sumber rezeki buat dia. Ada juga teman yang hobi jalan-jalan
ke tempat-tempat indah di indonesia seperti gunung atau pantai, singkat cerita karena banyak
yang minta antar jalan-jalan ke tempat-tempat indah itu dia jadi pemandu wisata dan
membuka jasa Agen perjalanan sebagai sumber penghasilannya. Sedangkan hobi Saya yang
konsisten dan tiap hari saya kerjakan adalah tidur dan malas-malasan. walaupun saya tahu
hobi ini mah enggak bermanfaat, tapi kira-kira ada enggak ya peluang bisnis dari hobi saya
ini...
Saya pernah terpikir untuk membuat pelatihan bagi orang yang suka mengalami
kesusahan untuk tidur tapi sayang ide ini gagal gara-gara ada teknologi berbahan kimia yang
bisa bikin orang tidur alias obat tidur. Lagian juga cuma orang sakit jiwa aja yang mau daftar
pelatihan tidur, tertidur kan salah satu anugrah yang kita punya dari lahir, heran udah gede
Hobi saya lainnya adalah melamun, sayangnya ini juga enggak bermanfaat apalagi
kalau udah ngelamun jorok... misalnya ngelamun makan mie goreng di comberan, selain
jorok, melamun makan mie instan di comberan juga enggak sehat karena mie instan banyak
Emang sepertinya saya enggak punya hobi atau lebih tepatnya kegiatan yang
bermanfaat.
***
Enggak siang, enggak malam dan yaaa tentu aja pagi juga Ojat selalu nongkrong di
warung kopi. Kebanyakan dia diam sendiri tiduran di bangku panjang teras warung kopi atau
iseng pura-pura jadi patung berpose seperti pejuang kemerdekaan untuk bikin kaget orang-
orang yang lewat. Kebiasaan Ojat berada di warung kopi membuatnya kenal beberapa Polisi
yang juga sering ngopi di sana. Terkadang Ojat diberi kerjaan oleh Polisi seperti ngecat
kantor, membersihkan gudang, merapikan arsip yang udah gak terpakai, menangkat barang-
barang kebutuhan polisi atau menyuruh membeli makanan karena iba melihat Ojat yang
luntang-lantung.
Hari Minggu ini Ojat mendapat kerjaan lagi, lalu mengajak saya dan Sidik untuk bantu-
bantu di acara HUT Bayangkara di kantor polisi sebrang gang rumah kita.
Di sana saya dan Ojat membantu mengangkat sound system dan menghias panggung
kecil yang ada di halaman parkir kantor polisi. Kita berdua memasang spanduk yang
Sebenarnya mah enggak ada masalah dari pesan yang disampaikan di spanduknya. Tapi
setelah di lihat-lihat spanduk berlatar kuning ini malah mirip kayak spanduk panggung parade
band hardcore di Ujung Berung karena tulisannya menggunakan huruf ghotic. Sementara
Sidik mah kerjanya enak cuma mondar-mandir mendokumentasikan kegiatan lewat kamera
Acaranya sendiri diselenggarakan dari pagi sampai malam. Ada lomba-lomba khas
tujuh belasan, ada banyak makanan yang dihidangkan juga dan berbagai hiburan untuk
Para polisi terlihat menikmati sekali acara ini. Wajah-wajah mereka nampak bahagia,
mungkin karena sehari bisa terlepas dari beban tugas. Jarang-jarang kan biasanya banyak
makin terhanyut menikmati alunan lagu ini, saya Ojat dan Sidik (terpaksa) harus bersiap
mengeluarkan tenaga lagi untuk ngebersihin bekas acara karena besok senin semua harus
Bramantyo memanggil kita bertiga kemudian memberi Amplop. Isinya yaa uang lah masa
surat cinta. Selain itu juga ada 4 nasi box yang kita bawa pulang untuk makan malam.
“Sama lah” jawab saya selesai menghitung 5 lembar uang pecahan 50 ribu.
Ternyata nongkrong di warkop yang sering saya nilai sebagai kegiatan yang enggak ada
Semenjak acara Hut Bayangkara di kantor Polisi tempo hari, kita jadi makin akrab
dengan beberapa Polisi yang sering ngopi bareng di warung kopi. Salah satunya adalah
seorang Kasat Reskirm AKBP Bapak Eman Bramantyo. Cuma keakraban ini juga bikin kita
punya sumber penderitaan baru karena sering kali Pak Eman ngejailin kita.
Pak Eman pernah memborgol tangan saya dan Ojat dan menuduh kita sering gak bayar
kalau jajan di warung kopi. Saya sih pasti bayar, Ojat juga bayar walaupun yang dia makan
Suatu ketika Pak Eman mengajak kita ke restoran padang. Bilangnya sih mau
mentraktir makan, tapi sampai di sana dia hanya pesan satu piring nasi beserta rendang dan
memakannya dengan lahap sedangkan kita duduk di depannya melihat dia makan sambil
nahan perut yang berontak keroncongan. Walaupun pada akhirnya dibungkusin nasi juga
sih... tapi hanya nasi sama kuah sayur tanpa lauk pauk. Kebangetan! pokoknya kita sering
Kali ini Sebelum Pak Eman mau pulang dia mendatangi saya dan Ojat yang seperti
biasa lagi duduk-duduk enggak jelas depan warung kopi. saat itu Sidik enggak ada karena
“Siapa yang maling kotak amal di Masjid?” Tuduh Pak Eman. Kali ini terlihat serius,
gak ada indikasi lagi bercanda di raut mukanya. Tak sempat saya dan Ojat menjawab, Pak
“Bukan saya pak.“ Ujar saya. setelah kita duduk di ruangan yang mirip ruangan
interogasi. Meski enggak dilengkapi satu lampu gantung dan kedap suara kayak di film
“Iya Pak sumpah enggak tahu saya mah.” Timpal Ojat memelas.
“Kamu percaya dia gak ngambil?” Tanya Pak Eman menunjuk saya. Bertanya pada
Ojat.
“Percaya atuh, Kuswara mah orang jujur.” Jawab Ojat dengan panik “Paling juga yang
Saya tercengang mendengar jawaban Ojat yang ngaco “Bangsat Ojat!.” Gumam saya.
“Kalau kamu percaya bukan dia orangnya.?” Tanya Pak Eman pada saya sembari
menunjuk Ojat.
“Percaya Pak, yaaa realistis aja kalau mencuri di masjid mah Ojat enggak berani. Nah
Goblok Engkus!” Gerutu Ojat mendengar jawaban saya “Henteu Pak, henteu.” Lanjut
hitungan satu... Duaaa... Tiga... Dari mulutnya. Dengan napas terengah berat dia bertanya
“50.” Jawab Pak Eman. “Kamu juga.” Lanjut Pak Eman ketika melihat saya yang
“Push up Pak?”
Baru memulai 4 gerakan, tiba-tiba seorang petugas datang membawa 3 gelas kopi. Pak
Eman menyuruh Saya dan Ojat berhenti dan duduk kembali. Ojat yang lebih banyak
kembali. Enggak ada kotak amal yang hilang itu hanya akal-akalan Pak Eman ngejailin kita.
Ojat meminum satu gelas kopi dalam satu tegukan, mungkin karena cape bikin dia merasa itu
air es jeruk. Kemudian menjawab siap menerima pekerjaan itu. Padahal Pak Eman belum
Setelah kembali lagi ke warung kopi sebenarnya saya sedikit ragu akan pekerjaan yang
ditawarkan Pak Eman karena tabiatnya yang selalu membuat kita jadi objek keisengannya,
tapi kata Ojat rezeki enggak boleh ditolak, gas aja upahnya lumayan buat menyambung
hidup.
Benar juga sih golongan kayak kita yang lebih sering ditolak oleh pekerjaan emang gak
tahu diri kalau ada pekerjaan yang datang malah kita yang menolak. Selain itu juga saya gak
Esok harinya waktu Bandung sedang panas-panasnya. Entah kenapa hari ini angin
jarang bertiup dari arah mana pun yang semakin membuat terik matahari terasa panas Sekali.
Pertanda hari ini bakal jadi hari yang panjang dan berat.
Saya dan Ojat sudah berdiri di halaman kantor polisi sekitar 30 menit untuk menunggu
Pak Eman yang katanya lagi memberi instruksi untuk tugas-tugas anak buahnya.
Kantor sedikit sibuk dari biasanya, banyak mobil polisi yang keluar tancap gas dengan
bunyi sirine yang lantang diikuti beberapa polisi yang menggunakan kendaraan roda dua
Pak Eman keluar dari ruangannya tepat setelah keriuhan petugas polisi lainnya yang
pergi entah kemana. Saya dan Ojat lalu diajak masuk ke mobil dinasnya.
Kita melaju menyusuri jalan Ahmad Yani ke arah selatan menuju perempatan antapani
Sepanjang jalan enggak ada celetukan atau bercandaan hangat tapi terasa nyebelin bagi
kita terucap dari Pak Eman. Sedari tadi dia sibuk melihat satu berkas dan menjawab
panggilan dari teleponnya, sementara anak buahnya fokus menyetir mobil. Keadaan ini justru
Siku Ojat menyenggol dada saya dan berbisik “Kumaha Kus” kebingungan.
“Akting gimana Pak ? main film?” Tanya saya. Pak Eman diam gak menjawab.
Rasanya enggak ada hubungannya seorang Perwira Polisi dengan kegiatan seni peran
atau akting. Apalagi industri film atau teater. Dari gelagat dan tingkahnya yang sering
bercanda saya terpikir apa mungkin Pak Eman ini sebenarnya seorang yang mempunyai jiwa
seni. Soalnya waktu acara Hut Bhayangkara tempo hari dia juga tampil bernyanyi berduet
Pikir saya mungkin aja dia punya bakat dan hasrat terpendam sebagai seorang seniman
Tapi yang lebih mengganggu adalah tebakan saya yang lainnya. Mungkin ini semua tuh
emang enggak ada hubungannya dengan seni pertunjukan. Bisa aja kita disuruh menyamar
jadi pembeli narkoba untuk menangkap gembong narkoba jaringan internasional. meski
terlihat keren seperti di film holywood, tetapi ini juga berbahaya. Saya dan Ojat yang
bermuka polos tidak berdosa dengan tubuh yang kekurangan zat besi harus berhadapan
“Kalian tenang aja jangan banyak tanya!” Cukup ikuti intruksi saya.” Tegur Pak Eman.
“Kumaha ieu Kus.” kata Ojat terlihat khawatir.
“Pasti gak beres.” Bisik saya yang sama khawatirnya. Firasat saya semakin kuat bahwa
Ketika memasuki kawasan Bandung tengah. Mobil kita memasuki jalan yang hanya
cukup menampung lebar satu mobil, lumayan sempit untuk bisa dilintasi bahkan bila ada
motor di arah berlawanan jalanan harus tersendat sedikit. Setelah memasuki pemukiman
warga yang cukup padat mobil berhenti di sebuah lapangan bola yang tak terawat,
Kita berdua kebingungan dan bengong enggak tahu apa-apa karena diluar terlihat
banyak orang berkerumun. Sebelum sempat nanya lagi soal apa yang akan kita kerjakan, Pak
Eman melempar dua potongan karton dengan tali menguntai membentuk sebuah kalung dari
jok depan.
keraguan saya dan Ojat semakin menjadi namun enggak ada pilihan lain selain memakai
kalung itu. Ojat medapat kalung yang bertuliskan "korban" sedangkan saya mendapatkan
“Heuuu”
Tapi sebelum keluar dari mobil Pak Eman menyuruh kita untuk bertukar kalung. Saya
jadi memakai kalung bertuliskan "Korban" dan gantian menertawakan Ojat yang memakai
kalung "Tersangka."
“Nah ini baru pas, muka maneh kan muka penjahat.” seru saya.
lapangan ini. Rasa penasaran yang tinggi membuat mereka datang berbondong-bondong
mengerumuni semua sudut yang ada. Ketika kita turun dari mobil dan melangkah beberapa
meter di tengah kerumunan orang terdengar tangisan dan teriakan silih berganti.
“Bakar!” “Bakar!” kata-kata yang terdengar oleh saya. Teriakan penuh amarah dari
banyak orang terus mengumpat tanpa henti. “Hutang nyawa bayar nyawa!” “Aing teu tarima!
Aing teu tarima!” dan teriakan kasar lainnya yang membuat keadaan menjadi mencekam.
Satu orang merangsek mendekati Ojat dan melepaskan kepalan tangan yang penuh
Satu petugas polisi menarik saya keluar dari kerumunan, di situ saya mendengar Ojat
teriak-teriak meminta tolong. Suara cempreng melengking Ojat yang biasanya membuat
orang-orang sekitar mundur jaga jarak sekitar 1 meter dari dia karena bisa bikin kuping terasa
diiris sekarang nampak tidak terpengaruh dan terus menyerang Ojat. Melihat keadaan jadi
semakin ricuh para polisi merapat membuat barikade dan mencoba melerainya. Saya lihat
Ojat ditarik oleh 4 petugas polisi untuk dilindungi dari amuk masa.
“Bapak-Bapak, Ibu-Ibu tertib! tahan emosi.” Terisk salah satu petugas polisi. Petugas
Dengan beberapa pendekatan Petugas polisi mulai bisa mengatasi masa yang tadi ricuh
sehingga keadaan berangsur kondusif. Pak Eman datang ke kerumunan dan berbicara
menggunakan pengeras suara bahwa adegan reka ulang pembunuhan ini dilakukan oleh
“Lihat yaa ini bukan pelakunya, mereka pemeran pengganti.” Seru Pak Eman menunjuk
- postur badan kurus tinggi 178 cm - postur badan kurus pendek 146 cm
- ada bekas tatto di lengan kiri - ada bekas bisul di lengan kanan
- kucel - kucel
Siapa yang enggak marah kalau dipukulin gitu mah... tapi masih untung Ojat baik-baik
aja enggak sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Ternyata bukan cuma cinta yang bisa
membutakan mata, amarah berlebihan juga bisa membuat indra penglihatan kita menjadi
tidak berfungsi dengan baik. Ojat dan tersangka sebenarnya jelas memiliki ciri-ciri yang
berbeda, tapi mungkin karena sama-sama terlihat kucel jadi susah membedakannya.
Ah yang pasti mah ternyata saya bisa lebih beruntung kalau di dekat Ojat, dia jadi
semacam jimat anti sial buat saya... Coba kalau tadi enggak sama Ojat, pasti saya yang
Gak terbayang gimana sakitnya di pukul sama orang sebanyak itu. Untung ada Ojat...
Korban dan tersangka pergi ke lapangan untuk memakan rujak yang dibuatnya. sesaat
setelah memakan rujak tersangka merasa ada yang kurang yaitu lupa membawa kerupuk lalu
tersangka pun pergi ke warung terdekat untuk membeli kerupuk dan kembali menemui
kerupuk yang dibelinya untuk dinikmati bareng rujak kini sia-sia, Tidak bisa menerima
tersangka dan korban terlibat cekcok adu mulut, kemudian tersangka memutuskan beranjak
pergi namun ketika di perjalanan tersangka menemukan sebongkah batu. Dengan amarah
yang memuncak tersangka kembali ke tempat korban. Tanpa berpikir panjang tersangka
langsung memukul kepala korban dengan batu tersebut hingga akhirnya korban meregang
nyawa.
Begitu kira-kira narasi reka ulang kejadian perkara kalau udah masuk ke media cetak
atau TV tapi kejadian aslinya mah gak gitu. Ojat yang kepalanya benjol dan cenat-cenut
melakukan adegan dengan sedikit tangisan sendu dan seluruh tubuh yang bergetar kesakitan.
Setelah membujuk Ojat akhirnya kita lanjut memperagakan kejadian pembunuhan tersebut.
Kurang lebih ada 13 adegan, setiap adegan yang dilakukan Ojat dengan meringis kesakitan dan saya
Saya dan Ojat duduk di lapangan. Adegan memakan rujak dibuat senyata mungkin agar
“Kerupuk nih.” Sahut Ojat. Jalannya lambat banget, tubuhnya gemetaran sangat
ringkih.
“Stop!” Pak Eman teriak. Saya dan Ojat saling menatap dan bingung karena gak tahu
“Salah... gimana ini yang benar dong.” Pak Eman menunjuk salah satu anak buahnya.
“Ganti ganti ganti!” Perintah Pak Eman. berbicara melalui pengeras suaranya “Cepat ganti
Ojat kembali mengulang adegan membeli kerupuk. Dia berjalan lagi dengan susah
payah menahan rasa sakit. Tubuhnya masih gemetar kayak orang indonesia yang pertama kali
merasakan suhu minus 17 derajat di Norwegia. Melihat itu saya sebagai teman yang baik
terus mentertawakannya. kemudian adegan yang menimbulkan konflik dan nyawa melayang
kita lakukan.
"Masa harus dimuntahin lagi." Ujar saya dengan muka tanpa dosa.
"Podolkeun weh!" Teriak Ojat. kemuadian pergi dengan muka merah membara. Tidak
seperti sedang akting Ojat mengambil sebongkah batu dengan penuh amarah dan niat jahat.
“Ojat celaka... Jat jangan main-main.” Ujar saya melihat Ojat bersiap untuk menimpuk
kepala saya dengan sungguh-sungguh. Dia terlihat sangat ingin menghantamkan batu itu ke
kepala saya.
“Bae Aing kesel ka maneh! Biar benjol-benjol juga.” Jawab Ojat sambil memainkan
batu yang ada di tangannya. Dengan senyum jahatnya lantas dia berkata “Rasakeun...”
“Stop!” teriak Pak Eman melihat jam di tanganya. “Udah selesai waktu habis.” Lanjut
Pak Eman
“Eeeh Pak atuh Pak, ini belum dipergain.” Ujar Ojat menunjukkan batu di tangannya.
“Yaah gak sesuai fakta kejadian atuh Pak.” Ojat semakin kesal. “Sekali lagi atuh Pak.”
“Iya selesai Pak! udah beberes aja, udah sore” Saya memotong Ojat bicara lalu segera
berdiri dan tertawa karena niat jahat Ojat yang mau menimpuk saya tidak terlaksana.
Semua petugas langsung membereskan alat peraga dan alat bukti setelah menerima
Malam harinya saya kembali nongkrong di warung kopi, sebelumnya mampir dulu ke
apotek untuk membeli obat dan plester untuk Ojat. Di warung kopi ada Sidik lagi ketawa
“Nah gitu atuh perhatian lihat teman sakit teh.” Kata Ojat matanya berbinar terharu,
dengan rambut yang acak-acakan bekas luka dan bau keringat karena belum mandi.
“Eeeh siapa yang ngasih, ganti uang buat beli obatnya.” Jawab saya.
“Goblok teh warga enggak bisa ngebedain gitu!” Gerutu Ojat. “Main nonjok aja.”
“Lihat urang menderita teh, masih aja diledek heuu!” Rengek Ojat.
Ada yang potong rambut. Ada yang mandi pakai 7 sumber mata air. Ada juga yang
keramas di air terjun tengah hutan malam hari. Banyak juga yang melarung seluruh barang-
barangnya ke laut untuk membuang sial. Tapi saya cukup punya teman seperti Ojat untuk
Gak usah jauh-jauh, gak usah cape-cape... makasih Ojat kesialan gak menimpa saya
Setelah sekian lama waktu pacaran saya dan Ika hanya dihabiskan di kursi teras
rumahnya Ika. Akhirnya malam ini kita bisa pacaran di kafe. di tempat yang lebih nyaman,
ada banyak pohon-pohon dengan lampu-lampu kecil berkerlap kerlip melingkar di dahannya,
suara percik air dari 2 kolam yang mengapit area duduk berpadu dengan alunan musik yang
keluar dari pengeras suara dan yang paling penting kursinya empuk gak seperti kursi kayu
sialan di teras rumah Ika yang bikin saya seperti korban sodomi setiap kali duduk di sana.
Saya memilih tempat duduk di pojok dekat kolam tepat di samping pohon, perpaduan titik-
titik air yang berhamburan dari pancuran di kolam dan kerlip lampu yang melilit di dahan
pohon membuat tempat ini sempurna sekali untuk berkasih ditambah rangkain bintang-
bintang mencuat dengan berani membuat langit malam bandung lebih berseri bikin suasana
kafe jadi sangat romantis. malam ini pasti jadi malam yang indah dan tak terlupakan
Sempat beberapa kali Ika mengajak saya untuk pergi pacaran di ditempat seperti ini tapi
selalu saya tolak dengan alasan secara tiba-tiba genetika dompet kulit saya yang enggak ada
isinya berubah bentuk menjadi peci. Tapi akhirnya sekarang saya punya uang dan bisa
gantian mengajak Ika pacaran di kafe. Lumayan lah upah jadi pemeran pengganti
pembunuhan kemarin cukup buat beli minum dan makan di kafe ini mah. Ditambah 3 hari
lalu adalah tanggal jadian kita jadi hitung-hitung sekalian merayakan Anniversary kita. Gak
kerasa udah 6 tahun aja saya sama Ika pacaran... waktu 6 tahun kalau dipakai untuk nyicil
“Susah gak cari tempatnya?” tanya saya ketika melihat Ika yang baru tiba. wajah saya
“Enggak...” jawab Ika lalu duduk sambil merunduk merapikan rambutnya. Seperti biasa
dia selipkan satu sisi helai rambutnya ke daun telinga, membuat saya teringat kembali
Ika tampil dengan riasan yang lebih dari biasanya, dipadukan dengan dress tanpa
lengan berwarna merah bata panjang se-lutut. Dengan udara Bandung malam ini yang cukup
dingin saya langsung memikirkan satu adegan romantis di mana sang pria memberikan
“Ah kamu baik sekali, muaach.” Ika mendaratkan bibirnya di pipi saya.
Tapi itu buyar seketika ketika saya ingat bahwa saya juga enggak bawa jaket. Ya
sudahlah...
“Oooh lancar-lancar.”
“Emang bantuin polisi gimana sih? kok keren banget bisa membantu polisi." Ungkap
Ika.
“yaaa gitu..” gelagapan saya menjawab pertanyaan Ika karena jadi pemeran pengganti
adegan reka ulang kejadian pembunuhan itu sama sekali bukan hal yang bisa dibanggakan
Untung aja Pelayan datang menanyakan mau memesan apa, jadi saya gak usah
Saya memandang Ika dan bertanya "Mau pesan apa?" kemudian dia jawab “Terserah.”
“Mau makan?” tanya saya pada Ika sambil melihat daftar menu.
“Gak usah...” jawab Ika. “Samain aja sama kamu” lanjut dia bicara..
“Ya udah, latte 2.” Kata saya kepada Pelayan yang berdiri menunggu dengan kertas
pesanannya.
Melihat gelagat Ika, saya langsung membenarkan posisi duduk yang tadinya bersandar
pada kursi jadi sedikit lebih tegak. “Ada apa?” tanya saya.
Ika memandang hampa ke arah samping. Tangannya sesekali memegang bibir seperti
Separuh otak saya tidak mencerna dengan baik momen ini. Terlalu bertolak belakang
saat pengeras suara di kafe sedang memutar bait-bait dari lagu romantis sedangkan di
hadapan saya sekarang ada wanita yang sangat saya cintai meminta mengakhiri hubungan
“Ah ini mah kamu mau ngerjain saya kan?” Tanya saya meyakinkan walaupun dari
yang saya lihat tidak ada satu pun indikasi kalau dia lagi bercanda saat ini.
mencoba untuk setenang mungkin dengan harapan mungkin Ika hanya sedang cape dan
stress dengan kerjaannya. Atau bisa jadi waktu di rumah sakit dia gak sengaja menghirup
bau dari cairan infus teralu lama sehingga sekarang jadi ngelantur.
“Serius... Keputusan ini udah aku pikir ratusan kali." Jawab Ika.
“Enggak bisa coba pikirin lagi ribuan atau jutaan kali gitu...”
“Silakan.” Pelayan datang membawa 2 gelas latte yang di dalamnya terlukis bentuk
love lalu menaruhnya di atas meja, tapi karena hati saya sedang porak poranda bentuknya
mencoba mengendalikan tangisnya tanpa bersuara, sementara Pelayan masih menanti kita
berdua menjawab.
“Maaf?” Tanya Pelayan sekali lagi. kita berdua masih tak bergeming. " Kalau butuh..."
"Itu aja mas." Potong saya dengan tatapan murka kayak buta yang bersiap makan
kepala orang. Ika hanya memalingkan muka, seraya Pelayan segera pergi.
Setelah diam cukup lama Ika pun berkata “Aku sayang kamu Kus.”
“Kalau masih sayang? Kenapa minta putus. Saya gak ngerti.. kenapa? kenapa?” tampik
saya.
Bercampur tangis yang membuat perkataannya sedikit tidak jelas terdengar Ika berkata
Sebagian besar lelaki pada saat momen diputuskan oleh kekasihnya akan berlagak sok
keren. Menerima dengan mudah ajakan putus dari pasangannya tanpa beban. Tapi itu bukan
saya, enggak akan semudah itu saya rela melepaskan Ika. Perempuan yang selalu menemani
“Kalau ini karena status saya, saya ngerti... Tapi selama ini juga saya terus usaha terus
berjuang buat ngasih bukti ke kamu, ke mamah ke semua orang. saya tuh layak jadi
pendamping kamu.” Ucap saya. Berusaha agar Ika menarik perkataanya kembali.
“Saya bisa buat kamu bahagia selamanya sampai kita nikah sampai kita mati, Saya
cuma butuh waktu....” Lanjut saya sambil menggenggam lebih erat tangan Ika dan membuat
tangis yang susah payah fia seka kembali deras turun dari matanya.
“Aku gak bisa nunggu lagi. Aku gak yakin kita punya masa depan.“ Jawab Ika.
kesadaran. Semua gerak motorik tubuh saya terasa salah apapun yang dilakukan. Kursi
empuk di kafe ini sekarang terasa lebih sakit dari kursi kayu sialan itu.
“Saya gak yakin kok kamu mendadak gini minta putus.” Tangan saya mengepal
sesekali mengetuk meja. perasaan sedih berubah jadi kesal lalu menjelma jadi marah. Marah
pada keadaan yang sama sekali tidak saya mengerti... kenapa ini bisa terjadi.
“Salah saya apa! Apa ada cowok lain? Atau ini karena mamah?”
“Sebelum kita jadi saling nyakitin... Aku rasa ini yang terbaik” bulir-bulir air kembali
Saya diam gak tahu harus gimana lagi mendengar perkataan Ika, pipi saya seperti
ditampar tapi yang sakit di dada, kepala bagian kiri, dan tenggorokan. pokoknya semua terasa
gak enak. Otak dan muka sama-sama kusut kayak pita kaset yang udah diputar ribuan kali.
Kerlap-kerlip lampu kafe mendadak memudar, suara–suara menjadi sunyi gak terdengar.
cuma sandaran kursi yang masih menopang saya dari kehancuran. Ika sesekali coba menahan
tangis dan mengatur napasnya yang terdengar berat dia memandang hampa entah ke mana
lalu berdiri mencium pipi saya dan pergi sambil berkata “makasih buat semuanya.”
Terkadang kecupan selalu pertanda dalam mengawali sesuatu hubungan yang lebih
serius, tetapi kali ini kecupan menjadi pertanda untuk mengakhiri kisah yang saya dan dia
bangun. Akhir dari segala keindahan dunia yang kita ciptakan bersama, akhir perjuangan dari
segala rintangan yang kini seakan tidak berarti, sepertinya enggak ada yang lebih sakit selain
Setelah lama terduduk tanpa bergerak sedikit pun saya pulang dengan kehampaan
bahkan kedipan mata saya pun seakan tidak punya gairah untuk melakukan tugasnya.
Mungkin orang-orang juga mengira saya mati terpagut di sana, gelas minuman yang dipesan
Kini setiap langkah yang saya lakukan dituntun kekecewaan kenapa dunia harus punya
bagian realita yang pahit padahal saya punya rencana yang baik.
Bandung tidak pernah sesepi ini rasanya. Bahkan bagi orang-orang yang murung kota
Saya berjalan di tepian trotoar jalan yang tak terawat, genangan air yang tak meresap
dan lampu jalan yang remang untuk semakin meresapi patah hati ini, membuat setiap
kepingan mimpi-mimpi indah yang kita janjikan luntur tak berarti. Berjalan dan terus
berjalan... Tergerak kaki ini oleh kekosongan menuntun pulang dengan pikiran yang entah
melayang kemana membuat semua pandangan jadi gelap dan sampai lah saya di hadapan
“Teh.. Teh Santi! Kenapa dikunci?” Seru saya sembari mencoba membuka gagang
“eeiih!?” Lanjut saya heran kenapa yang keluar dari pintu sosok yang tidak begitu asing
“Rumah kamu mah yang sebelah!” Bentak Ceu Salma. Ini berbahaya wajahnya
mengintimidasi layaknya singa yang kekurangan jatah makan siang lalu tiba-tiba melihat
menyadari dan mendapati bahwa saya salah rumah... dengan penuh malu saya segera pergi
dari hadapan Ceu Salma yang tidurnya terganggu oleh bujangan lapuk yang baru patah hati
Salah imah!
Teori Ojat
Sehari penuh saya hanya tergeletak tak berdaya di tempat tidur. Ya walaupun
sebenarnya mah emang kayak gini. kebanyakan waktu saya dilalui tanpa melakukan apapun
di kamar sumpek ini, tapi kali ini mah terasa beda. Terasa lebih sendu dan gelap.
Ternyata begini rasanya patah hati teh kayak tersengat listrik tegangan tinggi. lemas
banget...
“Hmm... Hmm terus kayak Pak Aji aja... Bangun cepat.” Lanjut Teh Santi.
Bangun tidur, mandi atau mau makan pun sekarang jadi gak selera rasanya semua
hambar tanpa gairah kayak Zombie tapi Zombie yang masih SMA, yang tersesat kehilangan
Sidik dan Ojat jadi sering datang ke rumah mengajak saya keluar, tapi sesungguhnya
mah niat mereka datang tuh bukan buat menemani saya yang lagi patah hati, melainkan buat
numpang makan di rumah. Kaum oportunis kayak mereka mah enggak ada rasa empati-
empatinya lihat teman lagi sedih teh, yang ada malah ngetawain saya.
karena bosan mereka terus-terusan datang ke rumah membuat Teh Santi harus masak
nasi dan lauk lebih banyak dari porsi biasanya yang bikin pengeluaran uang makan bulanan
Mau enggak mau saya iya kan ajakan Sidik dan Ojat untuk keluar rumah dan tentunya
udah gampang ditebak kita nogkrong di warung kopi “sabar menanti” lagi.
“Udah lah jangan dipikirin cewek mah pilsapat Kus.” Kata Ojat dengan logat sundanya
yang gak bisa melafalkan mana huruf “F” dan huruf “P”.
“Yeuh cewek mah kadang manis banget tapi hitungan detik bisa berubah jadi
menyeramkan.”
Meski sudah pesimistis dengan kapasitas otak Ojat untuk bisa mencerna serapan suatu
“Maksud Ente apa Jat?” tanya Sidik juga bingung. Enggak ada hubungannya soal mood
cewek yang sering berubah dengan salah satu bidang studi tentang kehidupan dan pemikiran
ngatur... ngelarang itu, ngelarang ini dan marah-marah enggak jelas.“ Tutur Ojay. Setiap dia
bicara tangannya ikut gerak kayak orang genius kalau lagi memaparkan sebuah teori, tapi
kalau Ojat mah jatuhnya sih kayak Pak Ogah di film Si Unyil, lalu dengan penuh keyakinan
dia lanjut bicara “Nih yaa cewek teh serem deh kayak di pilem.” Sidik sesekali coba motong
Ojat bicara tapi Ojat terus ngomong dan nyuruh kita untuk dengar dulu sampai dia selesai.
“Kita tuh kayak dipaksa mati perlahan, sadis kayak penjahat pilsapat.”
“Psikopat Ojaaat! Timpal Sidik sembari mengelus muka Ojat, tangannya yang
berlumur minyak bekas makan gorengan bikin wajah Ojat jadi mengkilap kucel metalik.
“Ente ngomong panjang lebar malah bikin pusing." Gerutu Sidik. Saya hanya menggeleng-
gelengkan kepala dan berharap waktu saya yang terhabiskan sia-sia karena mendengarkan
“Nih buktinya urang mah kan gak pernah ditinggalin. pantang urang mah sedih
“Pacaran aja belum pernah Jat. Gimana mau ditinggal cewek.” Ujar saya sambil
tertawa.
Kalau bukan karena rasa malu pada diri mereka yang udah sirna gak mungkin mereka
bisa ngomong ngawur gak karuan kayak ahli percintaan. yaa walaupun kadang ada poin
benarnya dari omongan mereka tapi itu cuma kebetulan aja rasanya gak mungkin gen
Menghabiskan waktu sama teman gini memang selalu menyenangkan dan bisa
membuat saya lupa akan apa yang sebenarnya saya alamin untuk sementara, yaaa sementara
karena terkadang pikiran saya masih tertuju memikirkan Ika. Ninggalin perbincangan dua
Memori otak saya melompat menembus ruang warung kopi. Memutar kembali waktu
indah yang saya dan Ika lalui. Menelusuri kenangan saat kita habiskan waktu naik Bus Damri
dari Terminal Cicaheum sampai Terminal Leuwi Panjang hanya untuk duduk berdua di kursi
paling belakang menikmati pemandangan kota dari jendela sambil mendengarkan lagu dari
Pengamen yang nyanyi sepanjang jalan. Walau jarang saya kasih uang tapi mereka bernyanyi
merdu sekali. Terus tiba-tiba ada orang yang menaruh permen jahe ke setiap penumpang di
Bus, saya kira ini bagian servis dari Damri mirip-mirip kalau naik pesawat kelas bisnis diberi
kue dan minuman gratis. Eh enggak tahunya saya harus bayar kalau makan permen itu.
Setelah makin sering naik Bus Damri rupanya itu adalah strategi pemasaran yang dilakukan
pedagang di Bus Damri, ada yang menaruh pulpen, mesin jahit portable, buku lirik dan kunci
gitar top 20 indonesia dll. Semuanya saya cuekin aja karena nanti harus bayar lagi.
Malam harinya saya coba menemui Ika lagi, pergi ke rumah sakit tempat Ika kerja. Jam
8 malam saya datang tepat dengan jam pulang kerja Ika biasanya. Di bangku taman rumah
sakit saya menunggunya tempat biasa saya menunggu kalau menjemput dia, tatapan saya
Ada rombongan orang keluar dari pintu rumah sakit, tapi saya yakin ini bukan Ika dan
teman kerjanya karena mereka memakai pakaian bebas dan terlihat menangis. Mungkin
orang yang mereka sayangi mengidap sakit parah atau lebih buruk mungkin udah meninggal.
Rasa-rasanya saya ingin ke sana dan menyampaikan rasa duka cita, berkata pada mereka
untuk tetap tabah karena semua ini memang sudah takdirnya enggak bisa di tunda-tunda atau
dibatalkan. Kita sebagai orang-orang yang ditinggalkan cukup mendoakan supaya Almahrum
tenang di sana dan terus melanjutkan hidup sebaik-baiknya. Tapi batal saya lakukan takut
rombongan orang-orang itu enggak merasa kebingungan karena ada orang asing tiba-tiba
mendatangi mereka ngomong enggak jelas. Itu hanya akan membuat mereka lebih menderita,
harus berduka dalam kebingungan menebak-nebak siapa kah saya. Orang yang gak tahu malu
bertingkah kayak motivator kehidupan yang bicara tentang persoalan hidup yang seakan
Selang setengah jam ada lagi rombongan yang keluar. Mereka tampak saling
mengobrol santai dan berpamitan persis kayak orang yang baru pulang kerja. Pakaian nya
juga sama, menggunakan seragam. 100 persen saya pastikan mereka pegawai rumah sakit
yang baru selesai kerja, tapi saya yakin enggak ada Ika juga di sana karena rombongan itu
laki-laki semua.
Heu... setengah putus asa menunggu Ika yang tak kunjung terlihat, cukup untuk
menghadirkan 12 betol hadir di tangan, leher dan jidat saya karena gigitan nyamuk. Enggak
ketemu Ika malah bisa-bisa demam berdarah yang saya dapat kalau begini. Sampai akhirnya
Selanjutnya hari-hari saya terlewati dengan biasa. melamar kerja, Ikut test di beberapa
tempat dan mengikuti beberapa pelatihan. Banyak kegagalan yang masih saya terima tapi
sekarang dampaknya tidak terlalu membuat saya kecewa. Mungkin karena udah terlalu sering
Sebisa mungkin saya membuat diri saya sibuk supaya gak mikirin Ika lagi. Untuk
mencari suasana baru saya juga pergi mengunjungi Penangkaran Buaya milik Uwa yang
berada di Subang.
Disana saya kebanyakan hanya duduk melamun, ngopi di saung yang agak jauh dari
kolam Buaya. Selain itu terkadang saya berbincang dengan pegawai-pegawai Uwa yang saya
jumpai. Salah satunya Kang Dobleh pegawai Uwa yang paling banyak mengobrol dengan
saya selama berada di sana. Kata dia matanya buaya itu menipu, kayak yang mau nangis,
"Nih Kus bekas digigit buaya." Ungkap Kang Dobleh sambil menunjukkan lengan
"Waah Punya ilmu kebal yaa?" Tanya saya. Kang Dobleh masih mengusap-usap
tangannya.
"Udah pasti ini mah Kang Dobleh punya ilmu kebal kan." Ujar saya.
"Ini?" Tanya Kang Dobleh menunjuk tangan yang bekas digigit. "Bukan Kus... Kang
Walaupun enggak banyak hal yang bisa saya lakukan di sini, tapi seenggaknya rasa
patah hati saya bisa sedikit tergantikan oleh rasa takut mati melihat puluhan buaya di kolam
penangkaran.
Sebenarnya perjalanan ke Subang itu sering kali saya hindari. Di hati saya yang
terdalam tersimpan sebuah ketakutan setiap kali mendengar Subang. Tempat ini
Ketika malam dan tempat ini ditinggalkan oleh pegawai-pegawai Uwa, kesepian
menghampiri saya kemudian memaksa pikiran saya untuk berandai-andai. Seandainya aja
Orang tua saya masih ada pasti hidup gak akan sebeeat ini deh....
"Mikirin apa Kuswara? Tanya Uwa. "Peuting masih diluar mau diculik kalong wewe."
"Mikirin Pacarnya?" Tanya Uwa lagi, setelah duduk disamping saya memegang gelas
teh.
"Mikirin Kerjaan? udah weh kamu kerja disini mandiin Buaya." Timpal Uwa.
"Nanti Uwa kasih alamat kantor Pak Peter Bleder. Kamu kirim kesana kalau gak mau
"Mikirin Bapak sama Ibu, Wa..." Celetuk saya setelah diam beberapa saat.
Muka Uwa sedikit panik kemudian clingak-clinguk dan berbisik "Bapak sama Ibu idup
lagi?*
"Ada temen yang susah dapat kerja dibantuin sama bapaknya, Tapi ada juga temen
yang justru dimarahi, dibanding-banding sama anak tetangga yang udah jadi PNS. kira-kira
"Lihat kamu yang idupnya gak beres mah udah pasti bakal disiksa ku si Bapak jeng si
Ibu. kamu tiap pagi pasti di suruh nyikat gigi si Joni tuh.. Buaya kesayangan si Bapak."
Kelakar Uwa.
"Ah curhat ka Uwa mah gak ada serius-seriusnya pisan." Keluh saya.
"Yeuh Kuswara gak usah dipikirin Bapak-Ibu mah cukup weh didoain aja. Semua juga
udah ada jalannya, udah ada yang ngatur. Kita mah yang masih Idup terus aja Ikhtiar." Tutur
Uwa.
"Hmm." Jawab Uwa. Kemudian saya sentuh kening uwa. seraya berkata "Wah ini mah
Jam 11 malam saya sudah berada di Stasiun Kiara condong, stasiun kereta terbesar
kedua di Bandung ini kebanyakan melayani Kereta Api kelas ekonomi. Rencananya saya
akan ke Jakarta menaiki Kereta Serayu malam. Kereta Ekonomi jurusan Puwekerto-Jakarta
yang singgah dulu di Bandung dan beberapa kota lainnya untuk mengangkut dan menurunkan
penumpang.
Walaupun jadwal keberangkatan saya nanti pas tengah malam. Tepatnya sih jam 00.23
yang tertera ditiket, tapi saya memilih datang lebih awal karena biasanya jam 11 ke atas
angkutan umum di Bandung jarang ada yang beroperasi, kalau pun ada yang ngalong sebutan
buat Angkot yang narik larut malam tapi itu kebanyakan beroprasinya selepas jam 1 dini hari
Saya pergi ke Jakarta untuk memenuhi undangan wawancara kerja setelah mendapat
kabar bahwa lamaran kerja yang saya kirim atas rekomendasi Pak Peter Bleder mendapat
respon yang baik. walaupun pekerjaan ini penempatannya di Bandung tetapi untuk
Suasana malam hari di stasiun lumayan rame, ada orang-orang yang menunggu kereta
kedatangan kereta untuk menjemput keluarga atau saudaranya yang datang ke Bandung.
Selain itu banyak juga supir taksi baik taksi resmi atau pun taksi gelap yang mencari
penumpang di sini. Kebanyakan sopir ini sudah tua dengan katup mata yang besar
diwajahnya. Mungkin karena masih harus kerja semalam ini jadi kurang tidur.
duduk diam mengunggu, beberapa ada yang tidur, sebenarnya sih saya juga ingin tidur-
tiduran tapi takut kebablasan dan ketinggalan kereta jadi akhirnya saya mencari orang yang
jualan kopi. Kata orang kopi itu bisa bikin kita jadi enggak ngantuk karena kadar caffeinnya
bikin mata melek terus, tapi buat saya selain itu kopi juga bisa bikin uang saya jadi berkurang
2.500 Rupiah karena harus membayar ke si Bapak yang punya warung di pojok stasiun dekat
parkiran motor.
Setelah kereta tiba di Stasiun Kiaracondong saya bergegas masuk barisan untuk ke
dalam Kereta walaupun orang yang mengantri tidak terlalu ramai tetapi barang bawaan yang
mereka bawa banyak dan besar-besar. Satu orang minimal membawa dua tas besar. Kalau
dilihat orang-orang yang bawa tas besar-besar ini kemungkinan adalah pedagang yang
Hanya saya yang membawa satu tas selempang ukuran kecil yang didalamnya hanya
ada satu buah kemeja dan beberapa berkas untuk wawancara kerja yang mungkin nanti
dibutuhkan.
Suasana di dalam gerbong Kereta sudah sesak oleh penumpang dari kota sebelumnya
ditambah penumpang yang baru naik dari Bandung dengan barang bawaannya membuat saya
sedikit kesusahan berjalan untuk mencari tempat duduk. Ekonomi ac gerbong 4 nomor 13 B
Mencari kursi duduk di gerbong kereta itu gampang-gampang susah karena sempitnya
jalan di antara rangkaian kursi dan banyaknya penumpang yang kurang disiplin menyimpan
barang bawaan bukan pada tempatnya. Saya seperti berjalan di antara celah tebing dan jurang
melewati rintangan yang bila saya kurang waspada nyawa saya menjadi taruhannya. Bedanya
ini bukan nyawa yang jadi taruhan, tapi amarah dari orang yang istirahatnya tergangu karena
“Woy. Jalan pake mata” misalkan kata seseorang yang kakinya gak sengaja saya injak.
Atau “Woy gak liat apa!” kata orang yang nggak sengaja mukanya saya injak.
Sesekali badan saya harus menyamping ke kiri dan miring ke kanan atau berjalan jinjit
sesempit ini mungkin si pembuat desain kereta mengerti akan kultur masyarakat indonesia.
Bayangkan kalau ruang jalannya diperlebar bisa-bisa nanti akan ada lahan untuk parkir liar.
Ruang jalan yang sempit aja udah banyak yang dipakai menaruh barang-barang padahal kan
Nah kalau hal dari layanan kereta ekonomi ini yang saya sangat keberatan adalah
bentuk senderan kursi yang tegak kokoh kayak pohon beringin bikin kita kayak tentara yang
sedang apel siaga persiapan sebelum perang teluk dan satu hal lagi adalah jarak antar
rangkaian kursinya. Karena kereta ekonomi ini bentuk rangkaian kursinya adalah gabungan
dua kursi panjang saling berhadapan yang diisi 6 orang. Bagi orang-orang yang memiliki
ukuran badan yang cukup tinggi jarak antar kursi ini menjadi masalah yang cukup berat
karena ketika duduk lutut kita yang menekuk bisa bersentuhan dengan lutut penumpang lain
yang duduk di hadapan kita. Kesemutan, persendian kaku, aliran darah tersumbat dan
perasaan yang gak jelas dengan penumpang lain adalah efek yang bisa didapat selama duduk
Setelah berjalan sekitar 15 menit akhirnya saya menemukan tempat duduk yang
nomornya sesuai dengan tiket saya, Gerbong 4 nomor 13 B. dibangku yang saya mau tempati
ini ada seorang Ibu yang sedang menepuk-nepuk pantat anaknya yang sedang tidur dengan
lembut.
“Kursi berapa Mas?” tanya Ibu itu ketika melihat saya berdiri di sampignya sedang
mencocokan nomor yang tertera di dinding kereta dengan yang ada di tiket saya.
“Le ada orangnya bangun Le.” Bisik Ibu pada anaknya yang menjawab dengan
anaknya yang terlelap tidur di pangkuannya penuh kasih sayang. Tangannya lalu
“Dengan AC sedingin ini pasti si Anak kedinginan.’ Ujar saya dalam hati.
Si Anak mungkin berumur 7 tahun tidurnya mangap tanda sangat nyenyak sedangkan
Ibunya saya rasa berumur 50 tahun lebih. Udah banyak uban di rambutnya, air mukanya
melukiskan ketulusan. Di hadapan saya tergambar dengan nyata bagaimana wujud kasih
sayang yang tak terbatas seorang Ibu kepada anaknya. Sesaat hening membawa saya pada
kenyataan betapa saya merindukan itu. Rindu elusan lembut seorang Ibu kepada anaknya
yang seolah berkata “Dunia boleh mencampakan mu, tapi tenang Ibu tetap ada untuk mu.”
Saya hanya melempar senyum dan memutuskan pergi mencari tempat duduk lain yang
masih kosong tanpa bertanya lebih lanjut atau merasa keberatan karena kursinya ditempati.
Berjalan menyusuri gerbong ke gerbong menjauh meninggalkan Ibu dan anaknya yang
tidur dalam ketenangan dari gangguan seorang pemuda kusut yang mungkin merasa
pantatnya lebih berhak untuk menempati tempat duduk dengan senderan tegak itu. Kursi
Setelah melewati 2 gerbong saya melihat ada seorang bapak sedang duduk sendirian.
saya sedikit tidak yakin mendekatinya karena penampilannya sungguh berbeda dari
penumpang kebanyakan. Rambutnya gondrong acak-acakan dihiasi kain ikat berwarna hitam
membelit kening, matanya bercelah hitam dan ada tahi lalat di pipi kirinya dengan garis
wajah tegas terlihat. Kumis dan jenggot menguntai panjang. cukup bagi kutu-kutu
motif bali. Jari-jarinya tertambat cincin batu akik lonjong berukuran panjang yang lebih mirip
senjata Wolverin.
Saya tercengang mendengar suara bapaknya yang begitu serak berat seperti vokalis
band metal yang sedang menyanyikan sebuah lagu yang hanya dia dan tuhan yang tahu apa
“Dalam batiniah tidak ada yang kosong.” Sergah si Bapak lalu terbahak begitu keras.
bergemercik nyaring, kemudian dia menepak pinggangnya sendiri dengan kuat dan komat
kamit.
Hening yang tak enak menghampiri saya. Keadaan ini terasa ganjil, bulu kuduk berdiri,
kepala sedikit pusing, upil mata saya menciut dan tubuh merinding dahsyat kayak habis
kencing di belakang pohon. Saya memandang dalam kursi kosong itu lalu menelan ludah
beberapa kali tanpa ada satu kata yang terucap. Butir keringat bergantungan di dahi, jantung
berderap tak karuan, seketika waktu seperti berhenti berputar. Partikel debu beterbangan
pelan, sepelan adegan slow motion saat keanu reeves menghindari peluru-peluru yang
ditembakan kepadanya di film matrix. semerbak bau bunga melati tercium oleh saya,
mengalahkan bau pengharum ruangan aroma jeruk yang dipasang petugas kereta di gerbong
ini.
sunyi... sepi... dan tiba-tiba kegelapan menelan setiap jengkal gerbong ini. ternyata...
“Pantes gak ada yang mau duduk sama dia.” Gumam saya dalam hati. seraya bergegas
kaki ini melangkah pergi menjauh dari Bapak itu dan segala hal mistis di sekitarnya.
Berbeda dengan kejadian pertama, ketika melihat seorang Ibu saya langsung mengingat
sosok dan kasih sayang Ibu. Kalau saat berjumpa bapak ini tidak membuat saya merasa ingat
Ini gila gak pernah saya membayangkan betapa susahnya mendapat tempat duduk di
Kereta. Saya tidak pernah membanyangkan hal biasa seperti naik kereta untuk pergi ke kota
lain yang telah banyak orang lakukan menjadi pengalaman aneh saat menimpa saya. Ada apa
untuk melayani Penumpang yang ingin makan dan minum atau penumpang yang kursinya di
pakai sama seorang ibu dan anaknya terus bertemu Bapak dengan tampilan seperti dukun
yang aneh di gerbong kereta... Sungguh begitu siaaal saya malam ini!
Untuk bisa duduk di Gerbong Kafetaria saya harus memesan kopi yang harganya 10
kali lipat lebih mahal dibandingkan membeli kopi di warung kopi tempat saya biasa ngumpul
sama teman-teman. Tapi gak apa-apa lah daripada enggak harus harus terus nyari-nyari
Rencana awal untuk langsung tidur ketika diperjalanan ke Jakarta buyar, tak sekali pun
mata saya terpejam. sisa perjalanan jidat saya menempel di jendela melihat pemandangan
gelap yang dihiasi lampu-lampu kecil di kejauhan dan terus berulang-ulang seperti itu lalu
perlahan berubah. Lampu yang bersinar di kejauhan kini merapat mengisi setiap ruang di luar
Suasana di luar stasiun sangat ramai. Alunan ayat suci dari pengeras suara masjid saling
sahut-menyahut terdengar menyambut saya tiba di stasiun Pasar Senen. Deratan mobil
terparkir padat di stasiun ini, meski matahari belum nampak suasana sudah terlihat sibuk dan
adzan shubuh berkumandang, juga sambil mumpang mandi dan sarapan sebelum nanti saya
Banyak Ojek dan Taksi yang nawarin jasanya untuk mengantar ke alamat yang saya
tuju. Tapi berbekal informasi yang saya terima bahwa tempatnya tidak jauh dari Stasiun Pasar
Senen, hanya butuh 15 menit jalan kaki untuk mencapainya. Jadi saya putuskan untuk jalan
Setelah beres dengan semua urusan perut dan Kamar Mandi saya pun beranjak pergi
sekitar jam 7.00 pagi. Di Jakarta jam segini orang-orang udah pada sibuk memadati jalanan
selimut nunggu kabut hilang dan suhu udara agak hangat sedikit baru beraktivitas. Bukan
ativitas yang super serius kayak orang Jakarta tapi cari gorengan dan kopi untuk sarapan pagi.
Orang-orang Bandung emang santai banget. kalau belum ketemu kopi sama gorengan
mah enggak akan kerja dulu. Beda yaaa sama ibu kota yang sibuk 24 jam gak berhenti.
ini mah bakal jadi jalan santai hanya 1 kilometer untuk sampai di tujuan saya dan hanya
butuh 200 meter untuk bikin badan saya yang wangi rapih segar habis mandi banjir keringat
dan lepek lagi. cuaca jakarta udah panas aja jam segini, tahu gini mending ikut mandi di
Tepatnya 24 menit 17 detik waktu yang saya butuhkan untuk mencapai ke sebuah
gedung pencakar langit ini. Setelah melewati 3 belokan, 2 pusat perbelanjaan, 1 hotel, 1
pasar, 1 gedung apartment, 3 tukang kopi, dan 1 tukang mie ayam. Saya sampai di satu ujung
simpangan yang membagi kawasan perkantoran dengan gedung pemerintahan. Menara Epul
nama Gedungnya. Mungkin yang punya gedung ini tadinya mau ngasih nama Menara Eiffel
tapi udah ada di Perancis, selain itu juga nama Eiffel kurang mencerminkan rasa nasioalis
jadi lah menara Epul yang dipakai. Tempat yang jauh-jauh saya tuju dari Bandung untuk
mengubah nasib.
Saya menunggu di satu lorong depan ruangan HRD yang tertutup pintunya. Kemudian
Beberapa orang berdatangan. Kita saling bertegur sapa tanpa berkenalan, dari gelagatnya
mereka sama seperti saya orang yang mau mengikuti wawancara kerja juga.
Beberapa orang tampak sibuk memeriksa perlengkapan mereka. Ada pula orang yang
lagi serius latihan untuk persiapan wawancara sendirian. Sewaktu jadi Pewawancara suaranya
berubah seperti cewek dengan nada yang mendayu-dayu sebaliknya waktu menjawab
pertanyaan dia kembali ke suara aslinya. Ada juga pelamar yang sibuk dengan
Setelah cukup lama menunggu giliran saya pun tiba. Segera saya memasuki Ruang
HRD. Seseorang sedang duduk dengan perut gempal yang timbul di balik meja dengan
kemeja kesempitannya yang bikin lipatan perutnya terlihat jelas kayak awan kumulonimbus.
“Duduk.” Jawabnya singkat seraya melepas genggaman tangan saya dan langsung
duduk, beban hidupnya eh beban tubuhnya bikin kursi yang didudukinya berdenyit-denyit
seperti seperti suara tikus kejepit. Kemudian mengenalkan namanya. Pak Tinton sebagai
“Okay.”
Kini bukan hanya tangannya aja yang sibuk membolak-balikan kertas matanya juga
turun naik menelisik ke setiap tinta yang ada di kertas itu kayak ular yang lagi nyari lubang
tikus. Di dahului suara ehm-an dari tenggorokannya beberapa kali lalu dia lanjut bertanya.
“Apa motovasi Anda masuk Perusahaan ini?” tanpa sedikit pun matanya menatap saya.
"Saya ingin berkontribusi untuk kemajuan Perusahaan dan bisa menyalurkan Karya,
Setelah rentetan kegagalan dalam wawancara kerja, saya sekarang lebih siap dalam
menjawab pertanyaan. selain dari pengalaman saya pun sudah belajar dan latihan buat
wawancara kerja,l. Ada banyak buku yang udah saya baca dari mulai buku "10 tips agar
sukses wawancara kerja.” atau buku "99% Lolos Wawancara Kerja." dan banyak lagi. jadi
Tapi selain banyak baca dan latihan wawancara saya juga baca buku “ Cara
Menghipnotis Orang.“ buat jaga-jaga jika buku-buku soal latihan wawancara kerja yang saya
Hanya tiga pertanyaan untuk menutup wawancara kerja, sebelum Pak Tinton dan semua
orang di muka bumi ini yang mempunyai peran sebagai Pewawancara kerja mengeluarkan
kata-kata mutiaranya.
Menerima ajakan Sidik itu kayak ikut ajakan tawuran sama kampung sebelah yang
mayoritas warganya petinju semua, udah pasti kalah dan babak belur. Nah itu lah kenapa saya
Saya masih ingat dulu dia pernah ngajakin jualan petasan di malam tahun baru. Bukan
gelimpangan rupiah yang kita dapat tapi pengalaman harus menginap satu malam di kantor
polisi. Waktu itu kita jualan petasan di depan SPBU. jualannya pakai segala dicoba dulu lagi
petasannya kayak beli duren. Petasan yang dia coba tembak ke langit malah terbang bergerak
liar mengarah ke SPBU dan bikin panik seantero orang yang lagi isi bensin, kalau bukan
karena kesigapan petugas SPBU buat ngambil APAR bisa-bisa Pom bensin itu bakalan abis
dilalap api.
“Tapi segitu oge udah untung.” Kata Sidik dulu setelah kita keluar dari kantor polisi
Kalau diingat sekarang mah rasanya pengen teriak “Untung Hulu maneh Buntung!”
Tapi sekarang mah mau gimana lagi, hasil dari wawancara kemarin belum ada hasil.
Kita lantas pergi ke daerah Cikapundung. Di sana kita udah janjian dengan pasangan
calon pengantin yang kelihatannya lebih muda dari pada saya dan Sidik. Mereka terlihat
begitu serasi. Ceweknya berdandan cukup tebal memakai gaun sedangkan Cowoknya
Tanpa banyak basa basi Sidik langsung mengeluarkan kameranya “Ayo.” Katanya
“Kus... samping kanan arahin ke muka.” Perintah Sidik pada saya untuk mengarahkan
Pose-pose romantis dengan mata yang saling bertatapan. tangan Bowo merangkul tubuh
Belum lama rasanya saya patah hati kini harus melihat adegan seromantis ini. Pedih!
Harusnya saya nih yang berpose gini sama Ika. Ini malah jongkok di samping dua sejoli
sambil megang benda kotak yang ngeluarin cahaya. Nasib... Nasib... huee nyesal nerima
ajakannya Sidik!
“Sorot ke wajah Kus bukan ke dada!” seru Sidik menyadarkan lamunan saya.
“Bangsat Sidik enggak ada sensitif-sensitifnya. Temannya baru patah hati juga. eh
sekarang malah disuruh bantuin foto pasangan akan menikah.” Gumam saya dalam hati.
Dari lubuk jiwanya yang terdalam perempuan memang sepertinya mempunyai genetika
seorang model, sensor motorik tubuh dan mikro expresi wajahnya otomatis aktif ketika
berhadapan dengan lensa kamera. Lihat aja Reni gerak tubuhnya saat berpose lentur sekali
persis kayak model-model majalah Gadis, posisi wajahnya, sorot matanya dan tarikan
bibirnya tahu betul mana angle yang bikin dia terlihat menawan. Saya dan Sidik
mengarahkannya juga enak tanpa kesulitan, sedangkan Bowo dan setiap lelaki yang ada di
alam dunia ekpresinya dataaar. Kalau lagi bergaya tubuhnya kaku kayak perwira militer, urat-
urat di wajahnya membeku bikin ekspresinya suram. Setiap gerakan dan pose Bowo selalu
“Senyum dong Mas.” Kata Reni membantu ngarahin bowo setelah lihat saya dan Sidik
mengkerut kesulitan. Meskipun udah diarahin sama calon istrinya bowo masih tampak kaku
tarikan bibirnya kuat sekali malah bikin bowo kelihatan seperti lagi nahan berak bukan
sedang tersenyum. Sesi pemotretan ini jadi kayak Anya Geraldine foto bareng Kim Jong Un.
Walaupun begitu sesi pemotretan prewedding yang perdana bagi saya dan Sidik
Setelah semakin lama Bowo menjadi lebih nyaman dihadapan Kamera, dua sejoli ini
saling menatap penuh gairah cinta menjalani pose berjalan bergandengan mesra, lalu pose
selanjutnya bowo memegang setangkai bunga dan berlutut dihadapan Reni layaknya
pujangga di film India. Beberapa pose romantis selanjutnya yang menyayat hati saya pun
dilakukan dengan mulus-mulus aja tanpa masalah. Cuaca Bandung juga cerah mendukung
menjadikan latar foto lebih indah dan menarik. klien kita Reni dan Bowo juga senang dan
puas dengan hasil foto preview yang kita tunjukin, begitu juga saya yang senang karena
“Dapat klien dari mana Dik?” tanya saya setelah pemotretan selesai.
“Oh...” Jawab saya terkagum karena ternyata Wedding Organizer Pamanya Sidik
adalah Wedding Orgnizer paling terkenal di Bandung. Banyak orang terkenal dan pejabat
Sidik.
Setelah semua selesai Sidik memberi tahu dua hari lagi ada jadwal pemotretan. jadi
kalau bisa katanya coba cari tahu dan lihat-lihat di internet gaya dan pose-pose romantis
orang yang pacaran. Kemudian memberi saya uang sebagai upah untuk pemotretan hari ini.
Lumayan juga ternyata upahnya dan yang terpenting enggak ada kesialan yang
menimpa saya di kerjaan kali ini... semoga aja lancar terus, enggak seperti kerjaan sidik
Klien kedua janjian sama kita di sekitar lapangan Saparua. Karena tempatnya cukup
luas kita harus muter-muter nyari klien kita. dari banyaknya orang yang berada di lapangan
Saparua ini enggak satu pun terlihat seperti pasangan yang berdandan dan berpakain seperti
“Paman Ane yang hubungan. Ane cuma dikasih tahu namanya aja.” Ungkap Sidik.
Ditengah kebingungan kita tiba-tiba ada yang menepuk pundak Sidik. Berdiri sepasang
cewek dan cowok. Mata kedua orang ini dirias dengan culah hitam tebal kayak riasan dedi
corbuizer waktu dia masih punya rambut. menggunakan setelan kaos hitam bertuliskan
“Anarchy” dan “Punk not dead” dan celana jeans sobek-sobek, dilengkapi dengan aksesoris
kalung rantai dengan gembok di tengahnya, sedangkan yang cewek bawahannya memakai
rok merah bergaris hitam diatas lutut yang dipadukan dengan stocking hitam yang membalut
“Iyus.” Kata dia lalu menunjuk wanita disampingnya dan berkata “Popo calon istri
Saya dan Sidik mengangguk tak bicara beberapa saat melihat penampilan mereka. “Dik
“Naaah gini kang.” Ujar Iyus memecah kekikukan saya dan Sidik yang enggak
menyangka mereka datang dengan busana seperti ini untuk pemotretan pre wedding. “Tema
“Itu kang kerusuhan.” Kata Iyus. Saya dan Sidik kembali saling menatap kebingungan.
“Oh Riot.” Jawab Sidik mengucapkannya seperti orang Inggris dengan lidah ditarik ke
belakang, lalu ujung lidahnya menempel ke langit mulut menghasilkan bunyi “rray” dan
mengucapan O menjadi E tertutup atau dalam penulisan sunda mah jadi ‘Eu”. “Rrayeut” nah
“Bentar kang.” Iyus dan pasangannya pergi menuju mobil yang dia parkir enggak jauh
dari tempat kita lalu balik lagi membawa sebuah pemutar musik yang besar dengan power
kapsul. Kemudian suara putaran pita kaset berubah jadi suara gelegar arungan ritem gitar
menembak-nembak sangat garang. Disusul percikan suara simbal yang malu-malu terdengar.
Iyus dan Popo segera berpose. terlihat eksotis tapi tetap gahar. Saya dan Sidik
menyambutnya dengan jepretan-jepretan foto. Berbeda dengan klien pertama sesi foto kali ini
kita enggak banyak ngarahin pose pasangannya. Gaya mereka mengalir tanpa henti, kayak
raungan suara dan kilatan flash saling menyerang memenuhi ruang, ditambah pose
ajrut-ajrutan pasangan kekasih di depan saya ini membuat keadaan kelihataan keren. Hmm
tapi enggak juga... mungkin gokil atau beda dari yang lain tapi kayaknya juga enggak. Ini
lebih kerasa kayak orang gila yang kabur di rumah sakit jiwa. Yaaa lebih kayak gitu
keadaannya. Kalau bukan karena tuntutan ekonomi mah enggak akan saya lakukan, malu
***
Klien ke-3 ini mempelai prianya seorang pegawai negri sipil di Bandung baru setahun
lulus di kampus UPNI (Universitas Pegawai Negeri Indonesia) kampus kedinasan milik
pemerintah yang kalau lulus langsung diterima kerja di lembaga pemerintahan. kenapa dulu
Meskipun bisa langsung kerja setelah lulus, tapi perkuliahan di kampus ini mirip-mirip
kamp tentara penuh disiplin dan sangat keras. Ada rumor kalau mahasiswa-mahasiswi disini
banyak yang keluar karena tidak kuat menjalani kehidupan di kampus. Bukan soal belajarnya
aja yang keras tapi hubungan antara senior dan junior pun sangat keras, Kita harus patuh dan
Pokoknya sistem Senioritas kuat banget disini dan enggak boleh malas-malasan.
Setelah tahu itu kayaknya gak cocok sama mental saya yang lembek dan pemalas.
Dibentak sekali sama senior aja bisa langsung kejang-kejang. yang ada berhenti tengah jalan
Saya dan Sidik udah dibuat heran sewaktu baru masuk gerbang kampus ini karena
banyak mahasiswa berhenti dan memberi hormat saat berpapasan dengan kita.
“Bisa aja mereka ngira saya senior mereka, tapi ngira kamu tiang bendera. makanya
“Ente tuh tiang listrik.” Tampik Sidik. “Ayo jalan... ngaco aja ente” lanjut dia kesal.
Selama jalan dari gerbang masuk ada 6 kali kita harus berhenti dan membalas hormat
ke rombongan mahasiswa-mahasiswi yang berpapasan, udah kayak komandan tentara aja kita
kelihatnya. Cuma kalau tentara bawa senjata atau senapan kita mah nenteng kamera, tripod
“Nah itu kayaknya.” Sidik menunjuk kerumunan orang di depan masjid samping
“Tunggu ya anak saya masih dandan.” Sambungnya lagi setelah bersalaman dengan
kita.
Ada 2 pasang bapak-bapak dan ibu-ibu, 3 anak kecil, 1 balita, 1 orang pria berumuran
35 tahunan dan 1 orang wanita yang lagi merias. Ditambah calon pengantin ada 12 orang
yang ikut di sesi pemotretan kali ini. Udah kayak tim sepak bola yang mau main antar desa
Setelah pasangan selesai berdandan kita berjalan ke beberapa lokasi, yang pertama di
gerbang depan ada sebuah tulisan UPNI besar berlatar sebuah taman dengan kolam ikan di
tengahnya. Megahnya Gedung utama kampus UPNI juga nampak dari sini. Busana sang pria
menggunakan seragam kuliahnya dan yang perempuan memakai gaun putih bermahkota
Seperti biasa saya dan Sidik langsung menyiapkan peralatan dan angle-angle yang kita
bidik untuk nanti di kamera. Kita mulai dengan pose pasangan saling memegang tangan
seakan berjalan mengarah ke Gedung utama. Bidikan dari arah belakang membuat hasil foto
“Kus kibasin.” Perintah Sidik sambil menunjuk ekor gaun yang meluntai di bawah
Saya lalu bergegas menarik ujung ekor gaun sang perempuan dan melemparkannya
perlahan seperti melempar hamparan jaring yang biasa nelayan lakukan. Ekor gaun itu
menggelombang di udara. membuat pose yang dilakukan terlihat elegan. Untuk pose dengan
ekor gaun seperti itu, memaksa saya untuk mengeluarkan skill bajing luncat. karena saya
harus segera mungkin ke pinggir setelah melemparkan ekor gaunnya agar tidak masuk ke
dalam frame.
Setelah itu kita lanjut ke tempat lainnya sebuah lorong jalan di antara ruangan kelas
dengan pilar–pilar berbaris di samping kiri-kananya, saya arahkan posisi pasangan itu
menyamping untuk merangkul mesra. Wajahnya saling bersentuhan, lalu saya minta sang
pria meraih tangan pasangannya untuk dikecup. Ketika saya dan Sidik bersiap memotret tiba-
tiba ada seorang ibu yang berlari ke arah kita sambil teriak-teriak.
“Eh Jangan! Tong kitu... Tong kitu gayana!” membuat Saya dan sidik kaget.
“Mamah ih gapapa atuh.” Kata sang mempelai perempuan.
“Belum sah Neng, gak boleh.” Jawab si Ibu ke perempuan yang manggil dia mamah
tadi. “Pokoknya mah gak boleh jaga jarak.” Lanjut si Ibu sambil menjauhkan jarak di antara
“Cut!” teriak Sidik. “Siapa ini main masuk frame aja?” sambung Sidik.
“Ibu saya kang.” jawab perempuan itu merasa bersalah dengan air muka yang
cemberut.
"Heran! bisa-bisanya lagi gini Sidik masih bercanda aja..." Gumam saya.
“Pak fotograper ingat jangan bersentuhan.” Ujar Ibu itu pada Sidik. mengacungkan
Kedua calon pengantin salin berbisik-bisik dengan muka yang kecewa. Saya yang ada
di dekatnya mendengar kalau mereka ingin di bebasin posenya, kalau kelihatan mesra kan
emang nantinya juga nikah atuh kata yang pria berbisik-bisik ke pasangannya.
“Ibu gimana? Jawab saya, menunjuk si Ibu yang berjalan menjauhi kita.
Selanjutnya sesi pemotretan ini seperti kucing-kucingan, kalau si Ibu lagi lihat dan ada
di sekitar kita pose yang dilakuin tanpa bersentuhan. Nah baru kalau si ibunya pergi posenya
lebih mesra. Saling peluk, Pokoknya romantis deh... Tapi pemotretan kali ini jadi cukup lama
Kita pindah tempat lagi ke sebuah tangga di lingkungan sarana olahraga kampus UPNI.
Karena lokasinya menuruni tangga cukup terjal si Ibu dan rombongan yang lain tidak ikut
mengerubuti di dekat kita, mereka memilih menungggu di pinggir jalan. Kita melakukan
pose-pose mesra dimana perempuan menyandarkan tubuhnya ke sebuah tembok lalu sang
pria mendekapnya dari depan. Tangan sang pria merangkul pinggul dan sang perempuan
Kita terus-menerus memotret dan berganti gaya lebih mesra dengan asyiknya. Tiba-
tiba muncul si Ibu yang enggak tahu kesurupan kangguru atau bagaimana menuruni tangga
Selendang berhias manik dan butiran bola kaca kecil yang melekat di bahu si Ibu
dikibaskan penuh tenaga layaknya sebuah pecut mengarah tepat pada saya yang sedang
“Kan udah dibilang jangan.. belum sah!” Bentak si Ibu. Masih enggak berhenti
“Aduh... Ampun Bu...” Pekik saya kesakitan, tapi tidak di hiraukan dan tetap
“Ibu ini kan ada 4 orang kok saya aja yang dipukul.” Kilah saya masih dalam keadaan
jongkok dengan tangan yang mencoba menutupi kepala dari selendang ibu itu yang terus
menerus dia pecutkan. Bentuk manik-manik yang beragam lumayan membuat badan saya
terasa perih.
Setelah mendengar perkataan saya si Ibu berhenti dan berkata “Kalau itu mah jangan
anak dan calon mantu.” Sembari menunjuk kedua orang calon mempelai di depan saya yang
“Yaa itu atuh teman saya yang motret.” Seru saya menujuk Sidik.
“Kalau si Akang fotograper takut kena kameranya... mahal.” Jawab si Ibu lalu
kembali mengibaskan selendangnya pada saya yang hanya bisa pasrah dan meringis meminta
ampun dan pertolongan. Meski sudah dipaksa berhenti oleh anak dan calon menantunya si
Ibu masih tetap menyerang saya, sedangkan Sidik malah asik memotret kejadian itu.
Bukannya bantuin biar si Ibu berhenti nyerang saya. Dasar teman laknat!
Emang dari pertama juga saya udah punya prasangka buruk karena baru kali ini ada
pemotretan pre wedding yang datang banyak banget... lebih kayak arisan keluarga jatuhnya
dari Orang tua, Adik-Kakak, Sepupu dan Cucu semua ada. Berkerumun kayak lagi lihat
Setelah sang anak berdiskusi dan kasih pengertian ke ibunya akhrinya kita bisa
lanjutkan lagi pemotretannya. Tapi buat jaga-jaga kali ini saya memakai helm yang saya
bawa dari motor. kali aja si Ibu kumat dan coba nyerang saya lagi dengan selendangnya.
Tapi untungya setelah petaka yang menimpa saya semuanya berjalan lancar. Setiap
pose yang kita inginkan dapat dilakukan dengan mulus, dan satu lagi setelah si Ibu tahu kalau
saya seorang anak yatim si Ibu langsung merasa bersalah lalu memberi uang tip yang sangat
banyak untuk saya. Setelah pemotretan selesai saya dan Sidik juga diajak makan di restoran
Seenggaknya ini setimpal dengan kelelahan yang saya dan Sidik alami dan rasa sakit
yang hanya saya aja yang rasakan... Di perjalanan pulang saya berdoa semoga kerjaan
memotret ini masih banyak dan semoga Klien yang mau foto enggak bawa orang tua dan
keluarganya lagi.
***
Perlahan Ojat mulai mengerti soal piramida tingkat kesialan diantara saya, Sidik dan
dia, di tingkat teratas adalah tempatnya Sidik kadar kesialan yang dia alami hanya sedikit
atau malah hampir enggak pernah ada, lalu tingkatan kedua ditempati saya. Kesialan yang
sering menimpa saya dan membuat saya kecewa sekali pada hidup meski dibalik itu selalu
ada hikmah yang bisa diambil. Nah di tingkatan yang paling bawah adalah lapak Ojat, bisa
dibilang Ojat ini kutub berlawanan dari hal-hal baik dan menguntungkan yang ada di dunia
ini. Segala kesialan selalu Ojat alami dalam kehidupannya apalagi kalau kita bertiga sedang
bersama-sama.
Kesialan akan selalu melekat pada dirinya sehingga ketika saya mengajaknya untuk
ikut juga membantu pemotretan pre wedding dengan tegas dia menolaknya. Apalagi setelah
dia tahu apa yang saya alami kemarin, firasat dia kalau ada disana pasti bakal jadi orang yang
Ojat juga bilang kapok kalau dapat kerjaan dari Sidik, suatu ketika dia pernah diajak
jualan air mineral oleh Sidik di depan Universitas Negeri yang lagi mengadakan ujian
penerimaan mahasiswa baru. Awal mula semua berjalan biasa aja kata Ojat seperti jualan air
pada umumnya, tapi karena kurang laku Sidik mulai dengan ide gilanya yang Sidik sebut
strategi marketing. Kumpulan air mineral yang dipajang, dia kasih label keterangan yang
bertuliskan “Jual Aneka Macam Air Doa. Dijamin Mujarab Lolos Ujian.” Bikin banyak orang
yang jadi penasaran dan datang ke tempat jualan mereka, ungkap Ojat saat bertemu di
Warung kopi.
“Bagus atuh Jat strategi marketing mah.” Kata saya setelah mendengar Ojat bercerita.
“Dengekeun hela.” Jawab Ojat lalu menenggak kopi hasil japrem (jatah preman) dari
gaji pemotretan.
Ojat lantas lanjut bercerita lagi katanya di sana ada dua orang peserta calon mahasiswa
yang datang dan betanya air doanya benar mujarab atau enggak, terus Sidik menjelaskan pasti
mujarab karena salah satu kriteria doa yang dikabulkan. Ada air doa orang yang soleh, air doa
orang yang berpuasa dan air doa orang yang teraniaya. Sidik menerangkan kayak sales
profesional yang bikin konsumennya yakin kalau minum air ini bisa bikin lolos ujian.
“Urang teh kayak yang bego merhatiin Sidik.” Keluh Ojat dengan mata lirihnya
memandang saya. Sebenermya itu mah kode biar saya iba dan ngasih rokok.
“Emang iya kan Jat.” Seru saya
“Iya apa?”
“Maneh mah sama aja Beul!” gerutu Ojat kesal mata lirihnya berubah jadi mata sinis.
Sebelum dia lebih banyak lagi mengeluarkan amarahnya dan mengeluarkan sumpah serapah
dengan berniat jahat, saya segera menyodorkan satu bungkus rokok buat Ojat yang
sebelumnya saya beli dari warung Bu Isah. Seketika mata sinisnya tertutupi oleh senyum
lebar.
Dengan isapan rokok yang dalam Ojat kembali bicara tanpa menunggu asap-asap rokok
keluar habis dari rongga mulutnya, kata dia waktu ada yang beli minta air doa orang yang
soleh, Sidik berubah menggunakan stelan baju koko dan peci di kepalanya, lalu mulutya
“Kalau ente jawabnya benar semua, Ane jamin pasti lolos.” Cerita Ojat dengan gaya
“Nah ieu yang bikin urang kapok kerja berdua sama si Sidik!” Ujar Ojat mengebu-
gebu. “Waktu ada pembeli yang minta Air doa orang yang teraniaya Sidik nyuruh urang buka
Kemudian Ojat beranjak dari tempat duduknya, dengan penuh tenaga dia tekan kakinya
ke bawah dan berkata “Diinjak kaki urang.” Kaki kanannya terus dihujamkan ke bawah
sambil dipelintir-pelintir.
Kepala saya mangut-mangut mendengarkan Ojat berbicara tentang kesalnya dia pada
nasib Ojat.
***
Selang 4 hari dari sesi pemotretan pre wedding terakhir yang cukup tragis buat saya,
akhirnya kita kembali mendapat klien. Kali ini saya udah bilang ke Sidik kalau kliennya
bawa keluarga mendingan dibatalin aja daripada urusannya ribet kayak kemarin, terus
waktunya jadi molor banget dan saya jadi korban kekerasan seorang Ibu.
Kita berangkat ke daerah dago letaknya di Taman Hutan Raya Bandung. Udara pagi
yang bersih ditambah rimbunnya pohon pinus bikin suasananya enak sekali.
“Jadi outdoor gitu Kus sekarang temanya.” Tutur Sidik waktu nunggu di parkiran
“ada dress juga, yaa tapi nature-nature gitu lah.” Ungkap Sidik.
“Siapa namanya?
“Rehan sama siapa lah lupa lagi...” Jawab Sidik mengerutkan dahinya mencoba
“Ah siapa lah lupa namanya." Timpal Sidik kesal karena tidak mengingat nama klienya
“ Ini kan luas, harusnya kita bawa karton yang ditulis nama mereka kayak orang yang
“Iya juga... Tapi kita kan di hutan bukan bandara.” Kilah Sidik. “Tapi aneh Kus ah,
“Iye... Saparua ” Jawab Sidik lalu tertawa mengingat pasangan nyentrik itu.
Kata Pamannya Sidik klien kali ini anaknya orang penting, Bapaknya kepala Dinas
Kesehatan Kota Bandung, jadi kita diminta kerja sebaik mungkin, harus bikin puas dengan
hasil foto yang terbaik. Kalau gagal dan kecewa Sidik bakal dijemur 12 jam di gurun pasir
biar beneran kayak onta dan gak akan diberi kerjaan lagi sama Pamanya. Maka dari itu dari
kemarin malam kita udah sibuk mempersiapkan perlengkapan buat pemotretan kali ini.
Budgetnya juga besar jadi propertinya banyak banget... segala aneka pernak-pernik kita
“Kayaknya itu orangnya.” Dari kejauhan sidik menunjuk seorang lelaki berkacamata
hitam yang baru turun dari mobil. Dari balik mobil kemudian menyusul keluar sesosok
wanita yang tidak asing bagi saya. Dengan setengah tidak percaya saya mengamatinya
perlahan.
perhatian saya.
Ini adalah momen dimana waktu di dunia terasa begitu lambat sekali, semua gerakan
tertangkap begitu perlahan saya tertegum menelan ludah yang bahkan sampai kering dan
membuat sesak tenggorokan. Dengan senyum hangat tanpa dosa sidik lambaikan tangannya
“Bangsat! Itu kan Ika.” Teriak saya. Langsung saya menyeret sidik ke balik sebuah
"Ahh jangan pura deh, kamu pasti udah tahu kan!" Bentak saya sambil menarik kerah
baju Sidik.
“Mana ane tahu nama asliya Ika itu Gustika Kus.” Kilah Sidik, kedua tanganya meraih
“Yaaa kan bisa aja Tika, Vika, Rika, Erika.” Jawab Sidik dengan entengnya.
“Ontaaa!"
“Hadapin aja Kus, paling enggak Ente tahu alasan sebenarnya dia ninggalin Ente.” Ujar
Sidik.
Cepat atau lambat kenyataan ini memang bisa saja terjadi. Saya bertemu Ika dan
Saya menghela nafas panjang dan mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk
bertaut pada kaca mobil yang terparkir dengan tangan yang tanpa henti memukul-mukul
jendela mobil.
“Terus?”
“Ya udah lah, Ayo." Seru saya mencoba menguatkan diri untuk menghadapi ini..
Dengan kacamata hitam mengkilapnya dipadukan dengan kemeja flanel dan celana
jeans warna langit cerah jam 2 siang. Berjalan memakai sepatu adidas “Futurecarft x
parley” berwarna merah dengan sole putih bersih tanpa satu pun partikel debu
menempel. Lelaki keren itu bernama Rehan menyapa kita. “Tunggu sebentar ya orang
Saya sedari tadi yang memperhatikan pakainnya dari bawah ke atas hanya ngelus dada
karena upah yang saya dapat di pemotretan selama setahun pun belum cukup untuk membeli
Setelah itu Ika datang menjulurkan tangannya lalu diam mematung terkejut mendapati
saya di hadapannya. Keadaan cangung ini bikin dia kelihatan enggak nyaman dan bikin saya
Sebelum keadaannya makin terasa tidak nyaman dan sebelum Sidik berbicara lebih
ngawur segera saya potong ”Oh, belum mas... Saya Kus dan ini Sidik.” Seraya menepuk
punggung Sidik.
Ika hanya membisu, sorot wajahnya gelisah, setiap gerak-geriknya penuh ragu. Selama
kita berempat menunggu orang make up dan wardrobe datang Rehan terlihat sibuk dengan
telepon gengamnya, sementara saya tak henti memperhatikan Ika yang berdiri menunduk
canggung.
Banyak pertanyaan yang ingin saya katakan pada Ika sekarang, tapi rasanya keberanian
saya sirna. Saya enggak tahu apa yang bakal jadi konsekuensinya bila tetap nekat. Apa akan
membuat perasaan saya jadi lega atau malah lebih menyakitkan dan yang paling buruk juga
menunggu lagi mereka berias. Setiap detiknya terasa setahun dan membuat saya lemas seperti
belum makan seharian, Sidik udah sibuk nyari-nyari tempat dan konsep buat nanti difoto,
sementara saya duduk lunglai tanpa gairah di pojokan jalan setapak di dalam taman hutan
raya ini. Pohon-pohon bergerumul yang tadinya bikin udara segar kali ini malah terasa bikin
sesak, dari jauh sesekali Sidik mengepalkan tangan memberi isyarat agar saya semangat.
“Ayo mas udah ready.” Sahut orang wardrobe keluar dari tenda yang sengaja didirikan
khusus pemotretan kali ini untuk tempat rias dan menyimpan busana yang akan digunakan,
kemudian Rehan dan Ika muncul menggunakan pakaian bernuansa putih-putih, kemeja
lengan panjang yang digulung 3/4 dan celana pendek kasualnya membuat Rehan tampak
gagah namun tetap santai, sedangkan tubuh Ika dibalut buasana bergaya boho dengan
potongan leher berbentuk v dan lengan yang berenda diatas membuatnya terlihat sangat lucu
sekali...
Saya beranjak mendekati Sidik dan menyiapkan lampu dan segala pernak-perniknya.
Setelah set dirasa siap Sidik mempersilahkan Rehan dan Ika untuk ke tengah dan memulai
pemotretan.
“Nah Ika coba di depan nyamping... Good. Matanya Ngadap kamera.” Lanjut Sidik dan
langsung menekan tombol shutter beberapa kali dibarengi dengan kilatan cahaya yang
“Tangannya masuk saku mas Rehan.” Kata Sidik mengarahkan dengan mata yang tak
lepas dari kaca bidik di kamera. “Nah iyaa.. tahan.. Good.” Bibir Sidik terus berucap
bertautan dengan suara cekrak-cekrek dari kamera, berbarengan dengan pose dan gerak tubuh
rendah yang membuat bahu jenjangnya terlihat jelas, dihiasa oleh sebuah mahkota di
rambutnya membuat dia terlihat seperti seorang putri kayangan. Kita pindah ke sebuah jalan
setapak di dalam taman ini yang berpagar bunga dandelion bermekaran dipucuknya, mereka
berpose seakan sedang melangkah, wajahnya disisipi tawa yang manis dengan tangan yang
saling menggenggam, terlihat begitu serasi dan saling mencinta walaupun ketika kamera
Pose selanjutnya mereka berbaring di tikar piknik lengkap dengan pernak-pernik kotak
makan khas piknik dan lainnya, sedangkan pencahayaannya diambil dari payung besar
dengan lampu agar cahaya yang masuk sesuai yang diinginkan Sidik. Kepala Ika bersandar di
dada Rehan yang tegap, tangannya memegang buku menutupi bagian dada yang terbuka dari
gaunnya dengan ekspresi yang riang. Sidik menaiki tangga lipat untuk dapatkan sudut potret
dari atas yang dia mau. Saya memegang tangga yang tepat dihadapan Ika supaya sidik tidak
jatuh. Wajah Ika bergetar risih saat kita tak sengaja saling berpandang. Walaupun begitu dia
masih bisa menahan emosi dan tetap mengeluarkan beberapa ekspresi yang manis ketika
Pemotretan ini berjalan terus menurus berdampingan dengan matahari yang mulai
menampilkan sinar emasnya. Waktu Enggak terasa udah sore aja dan saya juga enggak terasa
masih bisa menghadapi ini, padahal dalam hati ingin teriak gak kuaaat!
Pose terakhir Ika dan Rehan saling memeluk dengan bibir mereka seperti akan
bertautan dengan jarak yang sangat dekat, sedekat rasa sayang saya dan Ika dulu. Sinar senja
menyorot di tengah-tengah kepala mereka yang memiring. Kalau tahu mereka akan
meragakan pose gini, saya ingin sekali memberi Rehan jengkol campur es duren biar
nafasnya bau seperti naga yang lagi sariawan sehingga Ika enggak mau dekat-dekat sama dia.
Sampai pada pose terakhir Sidik tetap fokus kerja enggak ada tingkah atau omongan
konyol yang dia lakukan. Kali ini dia mengerti keadaan saya. Lelaki patah hati yang
melakukan foto pre wedding mantannya, bisa ngelakuin hal nekat kalau terpancing
Tapi pose-pose yang Sidik arahkan buat Ika dan Rehan ini sudah lebih nyebelin dari
Setelah semua selesai kita berpamitan dengan orang make up, orang wardrobe juga Ika
dan Rehan. Enggak ada satu patah kata pun yang terucap dari Ika kepada saya, kita layaknya
“Arrggh dasar Onta!” Teriak saya sambil mencekik Sidik, kepalanya goyang berulang-
“Ampun... Ampun...” Pekik Sidik yang malah menikmati cengkaraman tangan saya.
“Aman Dik.” Jawab saya dengan menghela nafas kemudian saya melepaskan cekekan
“Iya kata Rehan juga aman... Dia suka hasil preview fotonya.” Potong Sidik dengan
ringannya.
“Arrggh Onta!” tangan saya kembali mencekek Sidik lebih keras. Kini wajahnya
Saya kira Sidik menanyakan keadaan saya... Eh malah kerjaan yang dipikir... Dasar
Ontaaaa!
saya ingin mencekiknya sampai dia kehilangan nafas. Pokoknya kesal dan greget sekali liat
muka dia tapi tak lama berselang nada dering panggilan masuk berbunyi dari handpone saya,
“Siapa kus? tanya Sidik yang saya abaikan dan terus fokus mendengar perkataan
penelpon.
“Kus?” tanya Sidik penasaran. Kali ini wajahnya saya remas dengan tangan kanan
Setelah mengucap salam penutup pada penelepon itu, saya memandang Sidik dengan
tatapan bengis, Sidik mengangkat kedua tealapak tangannya seperti penjahat yang mau di
Masih memasang wajah buas seperti harimau yang bersiap menyergap mangsanya
saya bangun dari posisi duduk dan mengepalkan kedua tangan ke udara lalu berteriak dengan
girang...
wawancara kerja di jakarta tempo hari hasilnya sudah keluar, saya diterima kerja.
Kabar baik ini seenggaknya bisa jadi penawar dari segala rasa pahit yang saya rasakan hari
ini. Tak ada lagi yang saya lakukan selain berteriak gembira “Kerja, kerja kerja!” puas sekali
Semenjak di televisi Indonesia ada acara kompetisi masak-memasak Teh Santi jadi
ketularan hobi memasak. banyak bahan makanan dan hidangan yang belum pernah saya lihat
dimasak Teh Santi. Katanya sih eksperimen, kebanyakan masakannya aneh-aneh, nama
makanannya pakai bahasa inggris tapi rasanya mah enggak karuan. Sialnya saya juga harus
jadi bagian eksperimennya Teh Santi sebagai orang yang memakan apapun yang Teh Santi
masak. Hadeuh...
“Nih Kus.” Ucap Teh Santi menbawa satu piring dengan hidangan yang masih panas.
“fried mix vegetable with oyster sacue.” Lanjut Teh Santi mengenalkan nama makanannya.
“Ini mah capcay atuh teh.” Kata saya setelah melihat, mengamati dan mengaduknya
dengan garpu.
“Sama Teh... Sayuran ditumis cuma beda sausnya aja.” Timpal saya.
“Udah terima aja.” Desak Teh Santi ketus. “Kamu mah da enggak tahu ini tuh resep si
Chef Tuna ini salah satu juri di acara kompetisi masak-memasak yang Teh Santi selalu
tonton dan alasan kenapa sebenarnya Teh Santi dan banyak cewek-cewek di Indonesia jadi
hobi dan rajin penuh semangat kalau memasak. Tentu aja bukan hanya karena dia jago masak
tapi juga karena dia ganteng banget, makanya banyak yang suka sama Chef Tuna. Setiap
bagian chef Tuna nongol dan ngasih komentar masakan peserta, Teh Santi histeris dan
mengaguminya sekali, mungkin cewek-cewek yang lain juga sama akan begitu juga reaksiya.
Sewaktu masak Teh Santi semangat dan kadang suka senyum-senyum sendiri, mungkin
karena mengkhayal masak dibantuin Chef Tuna, didampingi waktu motong bawang, dikasih
tahu apinya harus kecil kalau numis dan dibersihin keningnya Teh Santi waktu keringatan
sama chef juna. Aaah pokoknya mah kalau dipikiran Teh Santi mah manis banget... tapi dari
sudut pandang saya mah melihat kenyataan dapur kita enggak mungkin adegan itu terjadi.
Dapur di rumah kita itu sempit dan kotor kalau ada 2 orang di dapur rasanya sesak sekali,
terus kompornya suka ngadat susah nyala juga. Panci penyok berkarat dan pengorengan yang
warnanya udah kayak batubara jenis antrasit alias gosong dengan pegangan dari kayu bekas
patahan sapu injuk bikin tangan orang yang megangnya meletek kena minyak. mana mungkin
Chef Tuna mau... Dapurnya juga multifungsi tempat masak tapi bisa juga jadi tempat nyuci
baju dan tempat menyimpan barang-barang yang enggak terpakai. Belum lagi terkadang
banyak kecoak yang berterbangan, jauh banget dari kata higenis mah
Adegan romantis yang Teh Santi banyangkan saat memasak bersama Chef Tuna
Walaupun dapurnya begitu saya dan Teh Santi tetap sehat mungkin karena sudah biasa
jadi kebal menahan setiap zat berbahaya yang enggak sengaja masuk di makanan. Nah yang
satu ini baru saya belum biasa, Teh Santi masak sayuran yang dicampur sama saus yang
aneh... Rasanya ancur sekali lebih mirip telur mentah. meski begitu saya terpaksa
Dari Asparagus, sticky rice with pouring chiken cover by banana leaf, bangkok mustard
flour coated tempe with ccoconat grated dan semua makanan yang bahkan lebih ribet
namanya dibanding penampakannya. Saya makan semua supaya Teh Santi enggak marah.
Pokoknya semua yang dimasak Teh Santi pasti saya makan apapun itu, kalau Teh Santi
masak kulit durian pun akan saya makan, tenang Teh Santi pasti saya habiskan... karena kalau
saya komentari masakannya dia selalu ngomong “Terima aja, timbang makan doang, udah
Minggu sore waktu yang sempurna buat males-malesan, rebahan dan melemaskan
semua otot tubuh yang tegang untuk menyambut hari esok yang harus lebih baik dari hari
sekarang. Euh... tapi Teh Santi udah teriak teriak aja manggil saya.
“Kus... Kus!” katanya menyuruh belanja bulanan karena persediaan sabun mandi,
deterjen, minyak goreng di rumah udah hampir habis dan Teh Santi juga sekalian minta
dibeliin kulit Gyoza. Katanya ada menu baru yang mau dia coba.
“Iyaaa.” Teriak saya yang sedang mengeringkan rambut dengan handuk. “Timbang ke
“Eh bukan disana, belinya ke Mal yang di Dago.” seru Teh Santi.
“Euuhh...”
“Nih ditambahin buat ongkosnya.” Ucap Teh Santi sambil menyodorkan beberepa
“Buat beli minum kalau haus di jalan?” pinta saya menjulurkan tangan.
“Itu ada lebihnya Kuswara putraaa nu kasep, nu bageur” Gerutu Teh Santi dengan sorot
mata mengancamnya.
“Apaaa lagi?”
Setelah 2 kali naik turun Angkot ganti jurusan dari Angkot yang berwarna biru ke
Angkot berwarna kuning saya sampai di salah satu Mal terbesar dan terlengkap di Bandung,
mata saya menari kesena kemari ketika masuk di bagian swalayan Mal ini yang berada paling
satu bulan ke depan sudah menempuk di keranjang belanjaan tapi untuk kulit Gyoza ini susah
sekali menemukanya.
“Mas ada kulit yakuza, eh Gyoza?” tanya saya ke pegawai disana, walaupun sayaudah
“Gyoza?” pegawai itu tanya balik kebingungan. Kurang ngerti mas coba ke bagian
“Eh maaf kirain, soalnya disini banyak tulisan Skin.. kan artinya kulit yaa Mas?”
“Oh iya tapi bukan kulit yang itu.” Jawab Pegawai itu.
“Ahh ya udah, saya cari kesana” Ujar saya sambil menunjuk ke sembarang arah, lagian
juga agak sedikit aneh rasanya kalau perbincangan diteruskan, sesama lelaki membicarakan
tentang kulit. Teh Santi sih makin enggak ngerti, sebenarnya dia mau masak apa sih...
“Silahkan,” jawab pegawai itu dengan menunjukan arah letak bagian bahan makanan
berada. Setelah dilihat ternyata memang benar kulit gyoza ada di satu etalase panjang
Sesudah membayar di kasir saya membawa pulang barang-barang itu, kini semua sudah
berpindah wadah ke 2 kantung plastik berukuran besar yang cukup bikin otot tangan saya
terasa pegal... ketika berjalan menyusuri koridor mall untuk menuju pintu keluar tiba-tiba
terdengar suara yang familiar sekali. Suara yang selalu dan masih saja menenangkan hati
saya.
“Kus.” Sahutnya memanggil dari arah pintu salon yang baru saja saya lewati.
“Ika.” Jawab Saya ragu.
“Ini....” Tangan saya menunjukan 2 kantung plastik yang digenggam. “Biasa disuruh
Teh Santi.” Lanjut saya menjawabnya penuh dengan ketidaknyamanan. Ika juga merasa, dia
“Eh Teh Santi apa kabar? Udah lama enggak ketemu juga.” Tanya Ika membuyarkan
“Baik.. baik.”
“Baik, kalau Ika apa kabar? Papah mamah sehat? Tanya saya canggung, demi apa
“Baik.” jawab Ika lalu hening cukup lama, kita sama-sama kebingungan.
“Aku boleh bicara sebentar?” tanya Ika dengan senyuman yang ragu dan dibalas
Kita berjalan pelan di koridor Mal yang ramai banyak pengunjung. Karena ini hari libur
jadi banyak orang yang menghabiskan waktunya jalan-jalan di Mal. Kita terus berjalan
perlahan melewati banyak toko-toko yang menjual aneka barang, dari baju, sepatu, kacamata
optik dan penjaja makanan, sesekali Ika memandang saya seakan sedang mengumpulkan
keberanian untuk memulai perbincangan kembali, saya hanya berjalan mengikutinya dengan
gestur badan yang terasa sangat tidak enak. Keramain di Mal ini tertelan oleh kecanggungan
diantara kita.
“Maaf yaaa kemarin saya enggak nyapa kamu sama sekali.” Ucap Ika setelah cukup
“Waktu pre wedding? sahut saya. "rasanya emang lebih baik kayak gitu deh.” Jawab
saya tetap berusaha tersenyum. Yaaa walaupun aslinya mah kaya sesak banget ini suasana
hati. Ika menjawab hanya dengan memandang saya lalu mengangukan kepalanya dan
“Gimana mas Rehan?” tanya saya, kali ini mencoba memulai perbincangan, tapi ini
adalah pertanyaan paling bodoh yang pernah diajukan ras manusia dalam sejarahnya di dunia.
Tentu aja saya enggak siap menerima dampak dari pertanyaan saya dengan Ika. padahal
maksudnya cuma basa-basi tapi ngapain juga sih nanyain soal calon suaminya... Bego
Air muka Ika menyiratkan sesuatu yang enggak nyaman lalu berkata. “Sebenernya aku
gak mau negbahasnya tapi.” alisnya menarik ke atas dengan tangan yang saling menepuk lalu
terdiam sejenak seperti sedang mencari kalimat yang aman supaya mahluk rapuh di
“Kita ketemu di rumah sakit waktu dia ngejemput Bapaknya yang lagi kunjungan ke
Ini adalah pertanyaan paling bodoh kedua yang pernah diajukan ras manusia dalam
sejarahnya di dunia. Jawaban pertanyaan pertama aja udah bikin sesak nafas dan semua otot
Ika menunduk lalu membuang pandangan seperti tidak mau menjawab. Walaupun ada
perasaan enggak siap mendengar jawaban Ika soal Rehan tetap aja ada perasaan mengganjal
dari saya karena jarak Ika ninggalin saya lalu memutuskan menikah dengan Rehan begitu
dekat.
“Eh gimana rame job pemotretannya?” tanya Ika mengubah topik pembicaraan.
Ya mungkin memang mending enggak usah tahu juga sih kapan mereka bertemunya
daripada jawabanya bikin hidup saya kayak zombie yang luntang-lantung enggak ada hasrat
buat hidup.
“Lumayan... tapi saya udah berhenti bantuin pemotretan.” Jawab saya.
“Apa gara-gara aku kemarin?” Tanya Ika, air mukanya bergetir merasa bersalah.
Melihat itu saya mencoba untuk menenangkannya dan berkata. “Enggak kok, saya
“Seriusss? Akhirnya! Selamat yaaa.” Seru Ika, senyum manis yang dahulu selalu
menyambut saya kembali terlihat begitu hangat dan dekat sekali membuat saya lupa akan
“Kamu tahu gak, pacaran sama Rehan tuh bikin aku ngerasa dekat sama tuhan.” Timpal
Ika menggelangkan kepala suara hembusan nafasnya begitu berat, kini rasa canggung di
antara kita seolah lenyap, jadi lebih santai pembawaannya kayak dulu sebelum kita putus.
“Loh...” jawab saya bingung “Harusnya bagus atuh bisa bikin kamu lebih agamis dan
“Terus?”
“Dia kalau dijalan tuh suka kebut-kebutan gitu, nyetirnya ugal-ugalan hobinya balapan
“Waduuuh.”
“Kalau aja aku sedikit sabar dan kita enggak pisah....” Ujar Ika. Kalimatnya tak usai
terganti oleh helaan nafas yang dalam, air mukanya menunjukan kekesalan. Tanpa sengaja
Jeda bisu kembali menyelimuti kita sebelum akhirnya saya berkata kepada Ika mungkin
harus begini jalannya, dulu waktu kita pacaran saya selalu gagal dapat kerjaan yang bikin
saya enggak berani buat ajak Ika ke hubungan yang lebih serius, tapi ketika putus malah
“Iyaaa mana ada yang tahu gimana jalannya hidup, walaupun kita enggak bisa sampai
ke jenjang itu tapi apapun yang kamu lakuin indah kok buat aku.” Kata Ika lalu melangkah
“Makasih yaaa.”
“Sama-sama.” Jawab saya singkat. kita melanjutkan berjalan terus menuju pintu
keluar.
“Ada banyaaak.” Jawab saya dengan aura yang penuh kepercayaan. “Pusing mana yang
harus dipilih.”
Ika menepak tangan saya dan berucap. “Uuh sombong... jangan lama-lama nanti keburu
tua.” Katanya dan enggak terasa pintu keluar Mal ini terbuka lebar, sekarang kita
melewatinya dengan hati yang damai tanpa ada sesuatu hal yang mengganjal lagi.
“Udah lama enggak ngobrol-ngobrol sambil jalan, jadi ingat zaman kampus kita sering
“Iya sambil ngejailin mahasiswa lain pake kulit pisang biar pada kepeleset kan.”
“Ingat gak waktu kita lagi jalan di dago terus kamu ditangkap satpol PP karena dikira
gembel.” Kata Ika dengan di akhiri tawa yang lepas sambil mukul-mukul punggung saya.
“Apa enggak ada gitu hal yang bagusan dikit yang kamu ingat dari saya?”
“Aku ingat kok pertama kali kita kenal. Potongan pensil yang kamu kasih juga masih
aku simpan.”
Saya menatapnya dalam sekali dengan sumringah tak percaya, pensil yang saya potong
bagi dua untuk membantu Ika dulu ikut ujian masih dia simpan.
Keadaan canggung seperti diawal bertemu kembali lagi, saya diam mematung
sedangkan Ika memainkan tangannya enggak jelas. Cukup lama membisu sampai saya
“Sampai jumpa lagi” jawab Ika lalu secara tiba-tiba mendekat dan memeluk saya begitu
erat, entah respon apa yang harus saya lakukan saat ini, detik ini dan pada momen ini di
depan gerbang salah satu Mal di Bandung... tak sebentar untuk meyakinkan saya
“Kalau kamu ada waktu datang ya ke nikahan Aku.” bisik Ika melepas dekapannya,
Kita berpisah pergi ke arah yang berbeda, sesekali saya menoleh ke arah Ika pergi.
Ingin rasanya berteriak pada Ika untuk jangan pergi, sebenarnya mah saya masih berat untuk
relain kamu hidup bersama orang lain tuh. Kamu itu pantasnya sama saya, meski kata orang
Tapi saya yakin saya bisa selalu jaga dan bikin kamu bahagia kok. Saya tahu dan saya
Tapi kayaknya mah udah terlambat juga untuk bicara semua itu Terlalu egois kalau
saya coba meminta Ika kembali. Ada banyak konsekuensi yang saya rasa enggak akan
Jadi ya udah terima aja nasib ini... Sampai jumpa Gustika Ramadiani.
Tanggal 1 April
Setelah serangkaian kegagalan dan kesialan yang saya hadapi, akhirnya hari ini saya
masuk kerja untuk pertama kalinya. Gak sabar saya untuk memulai kehidupan baru yang
Saking antusiasnya Teh Santi membuatkan sarapan bagi saya yang justru bikin saya
cemas, takut Teh Santi masak makanan yang aneh-aneh lagi. Tapi syukur pagi ini dia
menyajikan nasi goreng dengan telur mata sapi buat saya, dengan potongan buah katokkon,
sekilas sih bentuknya mirip seperti buah ceri cuma lebih besar buah katokkon. Katanya nasi
goreng ala Sulawesi Utara. Sebenarnya sih agak sedikit curiga waktu Teh Santi kasih tahu
buah katokkon, karena belum pernah satu kali pun saya dengar nama buah itu tapi rasanya
nasi gorengnya enak kok enggak seperti eksperimen yang biasanya Teh Santi masak. Semua
PEDAAAS!
Sekujur tubuh terasa terbakar, muka saya memerah, mulut juga bengkak jadi kayak
Angelina Jolie versi berjakun. Perih dan menyiksa sekali di perut tapi karena janji saya untuk
menghabiskan apapun yang dimasak Teh Santi, jadi saya tetap berusaha memakannya sampai
habis. Yaaa walaupun makan nasi goreng ini tuh bikin saya jadi punya pengalaman gimana
Teh Santi cuma ngomong ‘masa sih... masa sih” menanggapi saya yang kepedasan. Sok
kaget padahal saya yakin dia asal ngambil aja itu buah waktu belanja. Tanpa tahu rasanya
bagaimana.
“Padahal bentuknya sama kayak buah ceri, harusnya manis.” Cetus Teh Santi dengan
polosnya.
“Gak semua yang bentuknya sama, rasanya harus sama juga atuh Teh.” Keluh saya.
“Contohnya?”
“Nangka sama Campeda, sama bentuk tapi beda rasa.” Jawab saya diiringi suara huh
“Buah katokkon.”
“Nah itu lah... Rasanya kayak makan semut rangrang hidup-hidup enggak ada mirip-
“Eh Kuswara buah ceri juga ada yang asem!” potong Teh Santi.
“Buah ceri oleh-oleh dari si uwa waktu pulang dari ciwidey itu asem.” lanjut Teh Santi
menjelaskan.
“Itu mah mentah. Tuh yaaa malah jadi ngomongin ceri.” Jawab saya jadi sedikit kesal.
Sambil meminum air putih satu gelas besar lalu saya pamit “Asalamuallaikum Teh”
Setelah drama pagi hari ini saya tiba di tempat kerja dengan keadaan sehat wal afiat.
saya diarahkan menunggu di sebuah ruangan tempat rapat. Ada 3 orang lainnya disana 2
cowok dan 1 cewek bernama Tari. Satu-satunya nama yang saya ingat waktu berkenalan
sama mereka. Sama seperti saya mereka juga pegawai baru yang menungu pengarahan dulu
Setelah pengarahan selesai kita diantar ke divisi masing-masing. Saya masuk di divisi
PPIC yang bertempat di tengah bangunan utama pabrik ini. Ruangannya sempit, enggak ada
jarak antar mejanya. Dengan sekat kaca besar di dinding temboknya membatasi dengan
ruangan di belakang, sebuah ruangan produksi dengan puluhan mesin yang menyala.
Walaupun begitu bunyi bising di tempat itu enggak menembus ruangan PPIC tempat saya
berada sekarang.
Ada 14 jumlah orang di divisi PPIC 4 staf dan 10 pekerja lapangan. Tapi yang saya
jumpa disana hanya ada 4 orang. Pak Agus sebagai kepala divisi lalu Iman yang biasa panggil
Omen, Yusril yang paling cungkring karena dari kecil enggak makan nasi dan Acep berbadan
paling subur dan paling sok akrab. Omen, Yusril dan nantinya ditambah saya bekerja sebagai
staf sedangkan Acep bekerja di lapangan. mereka tampak baik dan ramah menyambut saya
Karena komputer untuk saya belum tersedia saya hanya mengamati dan mempelajari
cara bagaimana mereka bekerja, itung-itung latihan dulu sebelum nanti terjun langsung kerja.
Semua berjalan lancar sampai akhirnya sebuah panggilan dan gejolak gejolak dari dalam usus
mencuat keluar. Bau gas dari perut saya menyeruap mengisi lingkup kecil ruangan ini.
“Bau naon ieu?” tanya Pak Agus mendongkakan kepalanya bertanya pada kita seraya
“Bau Hitut.” Teriak Acep menutup hidungnya lalu diikuti yang lainya menutupi
“Tuh si Acep yang segala makanan digares.” Yusril menunjuk Acep. “Bau bangke
Tuduh-menuduh ini terus berulang semakin ricuh dengan dihiasi gelak tawa, suara
setiap orang jadi terdengar aneh seperti tokoh Squidward di serial kartun Spongebob
Squarepant. Ingin rasanya mengaku dan minta maaf namun karena masih canggung dengan
mereka, saya jadi malu. Sampai akhirnya di tengah sorak sorai saling tuduh-menuduh itu saya
mengacungkan tangan.
“Maaf pak... Sakit perut....” Ungkap saya. ditanggapi gelak tawa dari semua orang yang
Kentut di depan teman kerja yang baru saya kenal pada hari pertama masuk kerja
“Cepat ke toilet.” Seru Pak Agus melihat saya terus memegang perut kesakitan.
“Iyaa pak.” Saya bergegas keluar dan tak lama balik lagi. “Euh... Toiletnya dimana?’
Tanya saya.
“Keluar belok kiri di pojokan.” Jawab Omen dengan tangan yang masih memutup
lobang hidungnya.
Sunguh bukan kesan pertama yang baik sebagai seorang pegawai baru. “Pasti ini karena
efek buah sialan itu. Heuh...” Gerutu Saya sambil menghela nafas dalam-dalam di Toilet.
Sakit perut ini parah banget bikin saya harus mondar-mandir ke toilet. Baru duduk 10
menit setelah kembali dari kamar mandi perut saya kontraksi kembali bersiap meluncurkan
lahar dinginnya. Dari minta ijin penuh sopan santun untuk pergi ke Toilet seperti “Mohon
maaf pak ijin ke toilet.” Sampai hanya melambaikan tangan tanpa kalimat sebagai isyarat
saya harus ke toilet, karena saking tidak bisa menahan panggilan alam ini. Kontraksi ini harus
segera disambut karena kalau telat sedikit bisa-bisa lahar dingin yang siap mengalir keluar di
tempat yang tidak semestinya seperti di celana dan akan mentengsarakan saya sepanjang hari.
Sampai siang menjelang hanya di habiskan untuk pulang-pergi ke kamar mandi. Lemas
banget... Juga malu sih sampai Acep datang bawa obat diare dan satu botol isotonik buat saya
Esok harinya dengan muka yang enggak tahu harus bagaimana lagi saya datang ke
kantor, saking malunya saya punya pikiran buat keluar kerja aja gitu...
Enggak habis pikir bisa-bisanya hari pertama kerja terjadi tragedi memalukan sepeti itu.
Saya ngerasa setiap orang kayak ngelihatin saya dan berbisik-bisik membicarakan sesuatu
“Woy Beol!” teriak Acep memanggil saya yang sedang berjalan di lorong mendekati
Saya hanya senyum terpaksa sambil melambaikan tangan membalas panggilan Acep.
“Ini Cep yang kemarin mencret teh.” Tanya seorang yang berdiri di samping Acep
“Sarapanya seblak kali.” Sahut Henki yang diiringi gelak tawa mereka.
Tragedi hari pertama dampaknya ternyata belum berakhir, satu hari memalukan itu
cukup bikin saya punya nama panggilan yang artinya enggak banget. “Beol" sekarang hampir
Walaupun saya kurang nyaman sama panggilan itu tapi yaaa mau gimana lagi namanya
juga anak baru enggak bisa protes. cepat atau lambat entar juga terbiasa dipanggil Beol.
Production Planing and Inventory Control kalau disingkat jadi PPIC. Keren kan nama
divisi tempat saya kerja pakai bahasa Inggris. Sebelum memulai kerja sebagai staf Pak Agus
bicara pada saya untuk mengikuti program adaptasi dulu di lapangan. Jadi lah selama 2
minggu pertama saya ditempatkan di bagian PPIC lapangan bareng Acep, Hengki dan
beberapa orang yang belum saya hapal namanya. Karena ada istilah planing dan control saya
kira kerjaannya hanya memantau dan mengawasi produksi perusahaan tapi kenyataan di
Saya mengikutinya dari belakang menuju satu ruangan di sudut tempat kerja dengan
lorong yang lebih sempit dari lorong jalan masuk ke ruangan PPIC. Tempatnya berdebu dan
terasa gerah. Disana banyak barang-barang dan alat yang tersimpan. Acep mengambil satu
palet troli kemudian kita berjalan kembali menuju gudang komponen Acep memasukan
pijakan troli itu kolong palet yang diatasnya menumpuk box plastik.
“Oke.” Timpal Acep menarik gagang troli. Walau masih bingung saya akhirnya bantu
Acep mendorong dari belakang. Kita menyusuri lorong gedung utama menuju Gudang bagian
Pengepakan. Beberapa kali saya dan Acep berpapasan dengan palet troli yang di dorong oleh
“Antri woy.” Sahut orang PPIC yang belum saya kenal ketika kita berpapasan.
Ada Hengki juga yang saya lihat waktu mau masuk ke Gudang bagian pengepakan.
Tidak seperti ruangan PPIC, Gudang Komponen dan Ruang Produksi yang masih dalam satu
gedung, Gudang bagian pengepakan ini gedungnya terpisah sendiri, jalan masuknya juga
menanjak bikin tenaga habis kalau mendorong troli ke Gudang bagian pengepakan. Hengki
dan satu orang lain yang belakangan namanya saya ketahui yaitu Cepi membantu saya dan
“1... 2.. 3...” Sahut Acep yang disambut oleh kita sambil berlari mendorong troli
menaiki tanjakan.
Begitu juga palet troli lain yang kita jumpai kalau mau melewati tanjakan ke bagian
pengepakan, kita akan saling membantu. Enggak ke hitung berapa kali saya bolak-balik
mendorong troli kadang berpasangan sama Acep kadang juga sama Hengki atau yang lain.
Sebenarnya kerjaan ini lumayan nguras tenaga, tapi karena kita kerjanya saling bantu dan
banyak bercanda jadi asik. teringat memori waktu kecil kalau lagi main roda-rodaan sama
teman-teman. Meski awalnya saya enggak nyangka divisi yang namanya keren pakai bahasa
roda.
Emang benar kalau ada sesuatu yang namanya pakai bahasa inggris tuh belum tentu
Kenyataan bahwa saya udah kerja membuat dunia saya yang selama ini tertutup awan
kelam kesialan kini mulai bersinar dan harapan-harapan baru akan hidup yang lebih baik kini
jelas tergambar. Setiap pagi saya punya rutinitas, enggak seperti dulu waktu nganggur pusing
Setelah 3 bulan bekerja ada banyak hal baru yang saya tahu dan saya rasakan, ternyata
dengan bekerja enggak otomatis hidup kita jadi lebih bahagia. Dulu waktu nganggur sering
banget ngeluh, ngerasa hidup tuh berat banget tapi ternyata waktu udah kerja sering juga saya
dengar rekan kerja saya mengeluh... Yaa cape lah, stress kerjaan numpuk atau ngerasa
Ternyata penganguran atau pekerja sama aja, ada sesuatu hal yang dikeluhkan dan
mempunyai urusan yang sama harus diurus. Presepsi orang kalau penganguran itu hanya
melamun kosong tiap hari, saya rasa enggak begitu. Mau ngangur atau kerja atau apapun itu
selama masih hidup akan selalu mempunyai urusan yang harus dia selesaikan namun dalam
Buat saya pribadi mah banyak banget yang saya terima dari bekerja, selain gaji
tentunya... Sekarang saya lebih percaya diri merencanakan masa depan terus juga enggak
gagap kalau bertemu teman lama atau menghadiri reunian. Tapi selain itu ada juga dampak
dari kerjaan saya harus saya terima, yaitu penglihatan saya yang menjadi buram, sepanjang
hari melototi layar komputer membuat mata saya minus sepertinya, pandangan dengan jarak
2 meter sudah kurang jelas bagi saya. Harusnya sih pakai kacamata tapi saya gak percaya
diri. jadi yaa saya paksain aja walau harus mengkeritkan dahi terlebih dahulu supaya fokus
“Meni rajin Kus pagi-pagi udah nyuci motor.” Ujar Ceu Salma menyapa saya yang
sedari awal hari udah sibuk di depan rumah bersihin motor yang baru 1 bulan saya beli. Gak
kayak dulu kalau mau kemana-mana naik angkot, sekarang mah tinggal gas aja naik motor,
“Iya Ceu hehe.” Jawab saya sambil tangan terus menggosok bodi motor biar terlihat
“Iya ini mau bikin sayur lodeh, hayu atuh sarapan dulu.”
Semenjak saya kerja, Teh Santi jadi lebih santai. Kini dia punya wakttu lebih untuk
hidupnya sendiri, enggak kayak dulu yang harus ngurusin saya si beban keluarga. Selain
menggeluti hobi masaknya yang lebih serius dengan ikutan kursus memasak, jadi bikin
masakannya enak-enak jarang gagal kayak waktu pertama nyoba hobi masak hidangan aneh.
Teh Santi juga sekarang udah punya pacar, Kang Hendra namanya. se
Setiap malam minggu mereka selalu pamit pergi pacaran nonton bioskop dan makan
malam di luar. Sekarang malah saya yang tiap malam minggu jagain rumah. Nasib... nasib...
Ojat sekarang jadi juru parkir di Puskesmas. Gedung samping warung kopi yang dulu
terbengkalai sekarang jadi Puskesmas. Kata Ojat waktu dia tidur-tiduran dekat situ enggak
sengaja dia bantuin orang yang kesusahan mau parkir lalu orang yang dibantu orang itu
memberi uang. Setelah itu dia punya pikiran untuk mengelola lahan parkirnya dengan
meminta ijin ke pihak Puskesmas. Lumayan lah sekarang tiap hari ada penghasilan tetap buat
sehari-hari enggak seperti dulu yang nista mau ngerokok aja harus mungutin puntung rokok
bekas orang. Setiap hari dia bisa dapat 50 sampai 100 ribu dari lahan parkirannya. Dia juga
jadi rajin ibadah dan berdoa, mendoakan orang-orang banyak yang sakit... Jadi banyak yang
bangka dulu, dia berhenti ngerjain kerjaan-kerjaannya dan mau fokus menyelesaikan
kuliahnya biar bisa lulus tahun ini dan langsung lanjutin kerja di perusahan tambang milik
pamannya di Kalimantan.
Biasanya setiap hari minggu saya merasa bahagia karena bisa istirahat dari penatnya
kerjaan tapi di hari minggu di tanggal 1 April ini berbeda. Minggu ini membuat saya gelisah
bahkan dari kemarin malam saya merasa resah, jantung berdebar dan susah tidur. Walaupun
pagi mataharinya cerah tapi rasa-rasanya perasaan saya lumayan murung dan tidak bergairah.
Kalau punya kekuatan yang bisa meniadakan suatu tanggal atau hari, ingin deh rasanya
menghapus hari minggu tanggal 1 April ini. Tapi namanya janji harus ditepati jadi saya
"Udah guna-guna aja biar batal nikahannya Ika. Di kampung urang ada dukun sakti
"Siapa namanya?"
"Kumaha Kus?" tanya Ojat ketika saya sedang melamun. Kalau gak salah itu dukun
Saya meluncur menuju jalan Asia Afrika, tempat berlangsungnya acara pernikahan
Ika dan Rehan. Menelusuri jalanan Bandung yang kali ini ramai oleh para pelancong yang
datang untuk liburan. Berjejer mobil berplat nomor kota lain,kl khusunya mobil berplat
nomor B mendominasi jalanan hari ini. Apalagi menuju ke jalan Asia Afrika, macet... Karena
pusat kota Bandung dan banyak tempat rekreasi juga berada disana.
Rasanya Bandung dulu enggak semacet ini deh, eh tapi dulu saya kan enggak pernah
jalan kemana-mana. Gak tahu juga kalau tiap akhir pekan macet kayak gini atau enggak.
Sepanjang jalan saya teui banyak janur kuning terpasang. Di satu gapura jalan
terpasang janur bertuliskan “Miranty & teddy.” Berkendara sedikit jauh kembali saya
temukan janur kuning dengan tulisan “Wati & Dani” di gerbang sebuah sekolah. kemudian
lewat beberapa perempatan kembali saya lihat janur bertuliskan “Pricilla & Andi.”
Setidaknya ada 7 janur kuning yang saya lihat. Apa sekarang lagi musimnya orang pada
Keadaan jalan makin padat merayap apalagi ketika saya memasuki jalan Asia Afrika.
Saking macetnya laju motor saya sama orang yang jalan kaki pdi trotoar aja masih cepatan
orang yang jalan kaki. Setelah menegok ke kiri dan ke kanan akhirnya saya melihat janur
kuning dengan papan nama bertuliskan “Rehan & Gusti” di sebuah hotel yang letaknya persis
di depan Gedung Merdeka. Rasanya dulu pernah deh ngehayal nikah di Gedung itu...
Sebelum masuk ke tempat pernikahan saya berhenti dulu sejenak dan berpikir apa
baiknya mending saya balik lagi, enggak usah datang ke nikahannya Ika. Pikiran ini
berkecamuk di otak saya. Satu sisi diri saya berbicara kepada saya sendiri “Jangan masuk
Kus kamu enggak akan Kuat.” Satu sisi lagi berbicara “Udah hadepin aja.” Semua terus
beradu di otak saya bikin tambah pusing sampai akhirnya ada suara orang berteriak “Masuk
woy! Cepat jangan ngalangin jalan.” Dari orang yang berseragam hitam-hitam dengan rambut
cepaknya. “Kang ayo kang Pak Wali mau masuk.” Lanjut dia menepuk punggung saya pelan.
Setelah memasuki area parkiran motor baru saya paham yang dimaksud Pak Wali oleh orang
itu tuh Walikota... rasanya dulu juga saya pernah deh ngayal nikah mengundang Walikota...
hmm...
Entah kenapa tiba-tiba muncul kembali bayang-bayang indah ketika saya dan Ika
bersama. Gak jauh dari hotel ini, 6 tahun lalu di sebuah restoran saya dan Ika resmi
berpacaran. Saya masih mengingatnya dengan baik bagaimana Ika begitu cantiknya walau
tanpa riasan, berbicara pada saya penuh kegemasan. Setelah itu banyak waktu yang selalu
kita habiskan bersama. Misalnya kenangan saat kita malam mingguan jalan-jalan di Dago,
waktu itu Ika menangis minta tolong ke Satpol PP untuk melepaskan saya, karena mereka
sangka saya anak punk yang sering mabuk Lem di dekat taman flexi... Kalau dulu rasanya
kesal sekali karena bisa-bisanya Satpol PP menangkap dan mengira saya sebagai brandalan
yang enggak punya uang dan mabuk dengan menghirup botol Lem. Saya masih ingat wajah
Ika yang sangat khawatir dan terlihat tidak mau kehilangan saya... Eh tapi sekarang malah
Walaupun terasa berat saya urungkan niat untuk meninggalkan tempat ini. Datang ke
pernikahan Ika adalah sebuah isyarat bahwa saya baik-baik saja. Banyak kisah cinta orang
lain yang juga nasibnya sama kok tidak berakhir di pelaminan. Ada yang ceweknya nikah
duluan sama orang lain ada pula cowoknya yang nikah duluan sama cewek lain, tetapi
semuanya masih baik-baik aja mereka tetap hidup normal dan bahagia dengan jalan hidupnya
hotel, di satu ballroom yang cukup luas dari kejauhan pasangan pengantin terlihat berdiri di
pelaminan meski nggak terlalu jelas, terlebih karena penglihatan mata saya yang buram.
perempuannya dihiasi mahkota besar berwarna emas yang bentuknya mirip ekor burung
merak yang merekah di kepalanya. Disana juga banyak tamu lain yang datang ke panggung
pelaminan menyalami. Karena Walikota datang antriannya jadi cukup panjang dan lama.
Saya putuskan buat nyicip baso tahu dulu sebagai hidangan pembuka. Itung-itung buat
tambahan asupan tenaga biar saya bisa tegar di hadapan Ika nanti. Siomay, tahu putih Kol
gulung yang tadi dihidangkan dari piring kertas kecil kini sudah bermukim di perut saya.
Baso tahu terenak yang pernah saya makan, dilematisnya baso tahu terenak ini adanya di
Bebarengan dengan itu antrian ke panggung pelaminan sekarang lebih longgar enggak
sepenuh barusan, saya pun masuk ke dalam barisan untuk menemui Ika dan Rehan dan
menyalaminya. Satu persatu orang naik ke panggung pelaminan, semakin dekat dengan
panggung pelaminan kini semakin jelas saya bisa melihat mereka dan betapa tidak
menyangkanya dua orang pasangan pengantin yang berada di panggung pelaminan itu terlihat
“Mas ini nikahannya Rehan dan Ika... eh Gusti kan?.” Tanya saya ke seseorang yang
berseragam putih disamping barisan, dia sedari tadi sibuk mengatur barisan untuk bergiliran
pendek, sedikit gempal dengan rambut rancung. “Pengacara terkenal di Bandung.” Lanjut
dia.
Orang berseragam putih itu terus berbicara tetapi tidak terdengar jelas karena saya
tertelan dalam keterkejutan. Kedua tangan memegang kepala tak percaya karena ternyata...
Tamat